konsep dasar penatalaksanaan naser

Upload: heri-heidar

Post on 19-Jul-2015

167 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

KONSEP DASAR PENATALAKSANAAN

Dalam bidang kedokteran, penatalaksanaan bermakna terapi dan tindakan-tindakan yang berkait dengannya. Umumnya tujuan terapi ketergantungan napza adalah sebagai berikut: 1. Abstinensia atau penghentian total penggunaan napza. Tujuan terapi ini tergolong sangat ideal, namun sebagian besar pasien tidak mampu atau tidak bermotivasi untuk mencapai sasaran ini, terutama pasien-pasien pengguna awal. Usaha pasien untuk mempertahankan abstinensia tersebut dapat didukung dengan meminimasi efek-efek yang langsung ataupun tidak langsung akibat penggunaan napza. Sedangkan sebagian pasien lain memang telah sungguh-sungguh abstinen terhadap salah satu napza, tetapi kemudian beralih menggunakan jenis napza yang lain. 2. Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps. Tujuan utamanya adalah mencegah relaps. Bila pasien pernah menggunakan satu kali saja setelah abstinensia, maka ia disebut slip. Bila ia menyadari kekeliruannya, dan ia memang telah dibekali keterampilan untuk mencegah pengulangan penggunaan kembali, pasien akan tetap mencoba bertahan untuk selalu abstinen. Program pelatihan ketrampilan mencegah relaps (relapse prevention program), terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy), opiate antagonist maintenance therapy dengan naltrexone merupakan beberapa alternatif untuk mencapai tujuan terapi jenis ini. 3. Memperbaiki fungsi psikologi, dan fungsi adaptasi sosial. Dalam kelompok ini, abstinensia bukan merupakan sasaran utama. Terapi rumatan metadon, syringe exchange program merupakan pilihan untuk mencapai tujuan terapi jenis ini.

Terapi medik ketergantungan napza merupakan kombinasi psikofarmakoterapi dan terapi perilaku(1). Meskipun telah dipahami bahwa banyak faktor yang terlibat dalam terapi ketergantungan zat (termasuk faktor problema psikososial yang sangat kompleks), narnun upaya penyembuhan ketergantungan napza dalam konteks medik tetap selalu diupayakan. Seperti diketahui, terapi medik ketergantungan napza terdiri atas dua fase berikut: 1. Detoksifikasi 2. Rumatan (maintenance, pemeliharaan, perawatan). Kedua bentuk fase terapi ini merupakan suatu proses berkesinambungan, runtut, dan tidak dapat berdiri sendiri.

Farmakoterapi : Manfaat farmakoterapi terhadap pasien ketergantungan napza adalah untuk : 1. Medikasi untuk menghadapi intoksikasi dan sindrom putus zat. Misalnya adalah penggunaan metadon dan klonidin untuk sindrom putus opioida, klordiazepoksid untuk sindrom putus alkohol. 2. Medikasi untuk mengurangi efek memperkuat (reinforcing effect) dari zat yang disalahgunakan. Misalnya pemberian antagonis opioida seperti naltrekson dapat memblok/menghambat pengaruh fisiologi dan subyektif dari pemberian opioida berikutnya. Pada kasus lain, gejala-gejala abstinensia yang dicetuskan oleh penggunaan antagonis opioida, misalnya nalokson, dianggap sebagai provocative test untuk mengetahui adanya penggunaan opioida. 3. Medikasi untuk mengendalikan gejala-gejala klinis seperti anti agresi (haloperidol, fluphenazine, chlorpromazine) anti anxietas (diazepam, lorazepam) anti halusinasi (trifluoperazine, thioridazine) anti insomnia (estazolam, triazolam) 4. Terapi substitusi agonis, seperti metadon, klordiazepoksid

5. Medikasi untuk menyembuhkan komorbiditas medikopsikiatri. 6. Terapi terhadap overdosis: seperti pemberian nalokson untuk pasien overdosis opioida pada pengguna IDU (Injecting Drug User), 7. Mengatur keseimbangan cairan: air dan elektrolit 8. Antibiotika: infeksi akibat komplikasi TB pulmonum, hepatitis dan infeksi sekunder karena HIV/AIDS 9. Terapi untuk gangguan ekstrapiramidal.

TERAPI DETOKSIFIKASI Detoksifikasi merupakan langkah awal proses terapi ketergantungan opioida dan merupakan intervensi medik jangka singkat. Seperti telah disebutkan di atas, terapi detoksifikasi tidak dapat berdiri sendiri dan harus diikuti oleh terapi rumatan. Bila terapi detoksifikasi diselenggarakan secara tunggal, misalnya hanya berobat jalan saja, maka kemungkinan relaps lebih besar dari 90 %. Tujuan terapi detoksifikasi opioida adalah 1. Untuk mengurangi, meringankan, atau meredakan keparahan gejala-gejala putus opioida 2. Untuk mengurangi keinginan, tuntutan dan kebutuhan pasien untuk "mengobati dirinya sendiri" dengan menggunakan zat-zat ilegal 3. Mempersiapkan proses lanjutan yang dikaitkan dengan modalitas terapi lainnya seperti therapeutic community atau berbagai jenis terapi rumatan lain 4. Menentukan dan memeriksa komplikasi fisik dan mental, serta mempersiapkan perencanaan terapi jangka panjang, seperti HIV/AIDS, TB pulmonum, hepatitis. Berdasarkan lamanya proses berlangsung, terapi detoksifikasi dibagi atas: 1. Detoksifikasi jangka panjang (3-4 minggu) seperti dengan menggunakan metadon

2. Detoksifikasi jangka sedang (3-5 hari) : naltrekson, midazolam, klonidin 3. Detoksifikasi cepat (6 jam sampai 2 had): rapid detox Variasi dan pilihan terapi detoksifikasi napza cukup banyak. Di Indonesia, sebagian dokter/psikiater masih menggunakan terapi detoksifikasi opioida konservatif seperti penggunaan obat simptomatik (analgetika, anti-insomnia, dan lainnya). Bahkan beberapa psikiater masih menggunakan berbagai bentuk neuroleptika dosis tinggi, yang di negara maju sudah lama ditinggalkan.

Metadon: adalah substitusi opioida yang merupakan pilihan utama dalam terapi detoksifikasi opioida secara gradual(2). Proses detoksifikasi berlangsung relatif lama (>21 hari) Selama proses terapi detoksifikasi metadon berlangsung, angka relaps dapat ditekan. Setelah detoksifikasi berhasil, kemudian dilanjutkan dengan terapi rumatan : Methadone Maintenance Treatment Program. Methadone

Metadon mempunyai khasiat sebagai suatu analgetik dan euforian karena bekerja pada reseptor opioid mu (), mirip dengan agonis opioid mu () yang lain misalnya morfin. Metadon adalah suatu agonis opioid sintetik yang kuat dan secara oral diserap dengan baik.

Metadon juga dapat dikonsumsi melalui parenteral dan rektal, meski cara yang terakhir tidak lazim. SEDIAAN DAN DOSIS Metadon tersedia dalam bentuk tablet 5 dan 10 mg serta sediaan ampul atau vial 10 mg/ml. Dosis oral untuk dewasa 2,5 sampai 15 mg tergantung nyeri dan respon pasien, sedangkan dosis pariental 2,5 10 mg. FARMAKO DINAMIK Efek metadon secara kualitatif mirip dengan efek morfin dan opioid lainnya. Efek metadon tersebut antara lain sebagai analgetik, sedatif, depresi pernapasan, dan euforia. Efek lainnya adalah menurunkan tekanan darah, konstriksi pupil, dan efek pada saluran cerna yaitu memperlambat pengosongan lambung karena mengurangi motilitas, meningkatkan tonus sfingter pilorik, dan meningkatkan tonus sfingter Oddi yang berakibat spasme saluran empedu. FARMAKO KINETIK Bioavailibilitas metadon oral tidak memperlihatkan perubahan yang berarti pada orang yang distabilisasi dengan metadon, atau yang sudah menggunakannya secara kronis. Metadon dipecah di hati melalui sistem enzim sitokrom P450. sekitar 10 % metadon yang dikonsumsi secara oral akan diekskresi utuh. Sisanya akan dimetabolisme dan metabolit inaktifnya dibuang melalui urin dan tinja. Metadon juga dibuang melalui keringat dan liur. Onset efek metadon terjadi sekitar 30 menit setelah obat diminum. Konsentrasi puncak dicapai setelah 3-4 jam setelah metadon diminum. Waktu paruh eliminasi 15 sampai 60 jam dengan rata-rata sekitar 24 jam di eksresi melalui urin. Metadon mencapai kadar tetap dalam tubuh setelah penggunaan 3-10 hari. Setelah stabilisasi dicapai, variasi konsentrasi metadon dalam darah tidak terlalu besar dan supresi gejala putus obat lebih mudah dicapai.

Metadon banyak diikat oleh protein plasma dalam jaringan seluruh tubuh. Metadon dapat diketemukan dalam darah, otak, dan jaringan lain seperti ginjal, limpa, hati, serta paru. Konsentrasi metadon dalam jaringan tersebut lebih tinggi daripada dalam darah. Ikatan tersebut menyebabkan terjadinya akumulasi metadon dalam badan cukup lama bila seseorang berhenti menggunakan metadon. INTERAKSI OBAT

Walaupun tidak terdapat kontraindikasi absolut pemberian suatu obat bersama metadon, beberapa jenis obat harus dihindarkan bila pasien mengkonsumsi metadon. Antagonis opiat harus dihindari. Barbiturat, efavirenz, estrogen, fenitoin, karbamazepin, nevirapin, rifampisin, spironolakton, dan verapamil akan menurunkan kadar metadon dalam darah. Sebaliknya, amitriptilinin, flukonazol, flufoksamin, dan simetidin akan meningkatkan kadar metadon dalam darah. Etanol secara akut akan meningkatkan efek metadon dan metadon akan menunda eliminasi etanol. Berikut ini adalah contoh interaksi metadon dengan obat-obat lain: Alkohol Meningkatkan efek sedasi, meningkatkan depresi napas. Kombinasinya dapat meningkatkan potensi hepatotoksik dan menambah depresi sistem saraf pusat (SSP). Barbiturat Menurunkan kadar metadon, meningkatkan efek sedasi menambah depresi SSP. Barbiturat merangsang enzim hati yang terlibat dalam mempertahankan kadar metadon. Benzodiazepin Memperkuat efek sedasi, menambah depresi SSP Buprenorfin

Efek antagonis atau memperkuat sedasi dan depresi napas. Buprenorfin adalah agonis parsial dari reseptor opiat Despiramin Meningkatkan kadar despiramin hingga faktor dua. Mekanismenya masih belum diketahui pasti Fenitoin Menurunkan kadar metadon. Fenitoin merangsang enzim hati yang terlibat dalam metabolisme metadon. Fluoksetin Sertralin Meningkatkan kadar metadon tapi tidak signifikan seperti fluvoksamin. Menurunkan metabolisme metadon. Fluvoksamin Meningkatkan kadar metadon dalam plasma Menurunkan metabolisme metadon Indinavir Meningkatkan kadar metadon. Menurunkan metabolisme metadon Karbamazepin Menurunkan kadar metadon. Karbamazepin merangsang enzim hati yang terlibat dalam metabolisme metadon. Ketoconazol Meningkatkan kadar metadon Menurunkan kadar metadon Kloral hidrat Memperkuat efek sedasi Menambah depresi SSP Klormetiazol Memperkuat efek sedasi Menambah depresi SSP Meprobamat

Meningkatkan efek sedasi dan depresi napas Menambah depresi SSP Naltrekson Menghambat efek metadon (kerja lama). Antagonis opioid. Nalokson Menghambat efek metadon (kerja cepat), tapi mungkin diperlukan jika timbul overdosis. Antagonis opioid Nevirapin Menurunkan kadar metadon Meningkatkan metabolisme metadon Pengalkali urin, misal natrium bikarbonat Meningkatkan kadar metadon dalam plasm Mengurangi ekskresi metadon dalam urin Pengasam urin, misal asam askorbat Menurunkan kadar metadon dalam plasma Meningkatkan ekskresi metadon dalam urin Rifampisin Menurunkan kadar metadon Rifampisin merangsang enzim hati yang terlibat dalam metabolisme metadon. Rifabutin Menurunkan kadar metadon Meningkatkan metabolisme metadon. Ritonavir Menurunkan kadar metadon dalam plasma. Meningkatkan metabolisme metadon. Siklazin dan antihistamin sedatif lain Injeksi siklazin dengan opioid menimbulkan halusinasi. Menambah efek psikoaktif. Memiliki efek antimuskarinik pada dosis tinggi. Tioridazin Memperkuat efek sedasi yang tergantung dosis. Memperkuat depresi SSP. Zidovudin

Meningkatkan kadar zidovudin dalam plasma. Tidak memiliki efek terhadap kadar metadon. Tidak diketahui Zopiklon Memperkuat efek sedasi Memperkuat efek depresi napas Menambah depresi SSP Agonis opioid lainnya Memperkuat efek sedasi. Memperkuat efek depresi napas Menambah depresi SSP Obat depresi SSP lainnnya (misal neuroleptik, hyosin) Memperkuat efek sedasi yang tergantung dosis Menambah depresi SSP

EFEK SAMPING Efek samping metadon antara lain gangguan tidur, mual muntah, konstipasi, mulut kering, berkeringat, vasodilatasi dan gatal-gatal, menstruasi tidak teratur, ginekomastia dan disfungsi seksual pada pria, serta retensi cairan dan penambahan berat badan. Efek samping tidak akan terlalu banyak dialami oleh orang yang telah menggunakan heroin.

3. METADON DAN OPIOD LAIN Metadon adalah di-4,4 difenil-6-dimetil-amino-3-heptanon. L-metadon merupakan analgesik yang 8-50 kali lebih kuat daripada d-metadon. Efek depresi napas d-metadon lemah dan bahay adiksinya juga kecil, tetapi isomer ini berefek antitusif. Derivat yang serupa dengan metadon tidak lebih baik dari pada metadon sendiri, malah dekstromoramid lebih banyak menimbulkan efek samping dan menyebabkan depresi napas lebih berat daripada morfin jika diberikab dalam dosis ekuilanalgetik. Efek analgetik 7,5 10 mg metadon sama kuat dengan efek 10 mg morfin. Dalam dosis tunggal, metadon tidak menimbulkan hipnosis sekuat morfin. Setelah pemberian

metadon berulang kali timbul efek sedasi yang jelas mungkin karena adanya akumulasi. Dosis ekuilanalgetik menimbulkan depresi napas yang sama kuat seperti morfin dan dapat bertahan lebih dari 24 jam setelah dosis tunggal. Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi dengan metadon sama dengan jenis nyeri yang dapat dipengaruhi morfin. Dosis ekuilanalgetik metadon kira-kira sama dengan morfin, tetapi ada yang berpendapat bahwa metadon sedikit lebih kuat daripada morfin. Metadon digunakan sebagai pengganti morfin atau opioid lain (misalnya heroin) untuk mencegah atau mengatasi gejala-gejala putus obat yang ditimbulkan oleh obat-obat tersebut. Gejala putus obat yang ditimbulkan oleh metadon tidak sekuat dari yang ditimbulkan oleh morfin atau heroin tetapi berlangsung lebih lama, dan timbulnya lebih lambat. Toleransi metadon dapat timbul terhadap efek analgetik, mual, anoreksia, miotik, sedasi, depresi napas dan efek kardiovaskuler, tetapi tidak timbul terhadap konstipasi. Toleransi ini lebih lambat daripada toleransi terhadap morfin. Timbulnya ketergantungan fisik setelah pemberian metadon secara kronik dapat dibuktikan dengan cara menghentikan obat atau dengan memberikan nalorfin. Kemungkinan timbulnya adiksi ini lebih kecil daripada bahaya adiksi morfin.

Klonidin: adalah suatu central alpha-2-adrenergic receptor agonist, yang digunakan dalam terapi hipertensi. Klonidin mengurangi lepasnya noradrenalin dengan mengikatnya pada presynaptic alpha2 receptor di daerah locus cereleus, dengan demikian mengurangi gejala-gejala putus opioida(2). Karena terbatasnya substitusi opioida lain di Indonesia, beberapa dokter telah menggunakan kombinasi klonidin, kodein dan papaverin untuk terapi detoksifikasi. Klonidin digunakan dalam kombinasi untuk mengurangi gejala putus opioida ringan seperti: menguap,

keringat dingin, air mata dan lainnya. Clocopa method tersebut dapat digunakanuntuk berobat jalan maupun rawat inap. Namun karena klonidin sendiri tidak dapat memperpendek masa detoksifikasi, maka diperlukan kombinasi dengan naltrekson. Cara tersebut dikenal dengan nama Clontrex Method yang dapat dilakukan untuk pasien berobat jalan maupun pasien rawat inap. Umumnya program detox dengan cara Clontrex method ini berlangsung selama 3-5 hari dan kemudian diikuti dengan terapi rumatan : Opamat-ED Program.

Lofeksidin dan Guanfasin: Lofeksidin adalah analog klonidin tetapi mempunyai keuntungan bermakna karena tidak banyak mempengaruhi tekanan darah (Washton et al 1982). GUANFASIN

Guanfasin adalah senyawa alpha-2 adrenergic agonist yang juga mempunyai kemampuan untuk mengurangi gejala putus opioida. Guanfasin memiliki bioavabilitas mendekati 100% dan tidak melewati metabolisme tingkat pertama. Eliminasi waktu paruh adalah 17 jam dengan rute eliminasi utama adalah ginjal. Metabolit utama adalah derivat 3hidroksi. Buprenorfin: adalah suatu senyawa yang berkerja ganda sebagai agonis dan antagonis pada reseptor opioida. Gejala putus opioida pada terapi buprenorfin sangat ringan dan hilang dalam sehari

setelah pemberian buprenorfin sublingual. Pemberian buprenorfin juga digunakan sebagai awal dari terapi kombinasi Clontrex Method. Bupronorfin merupakan suatu agonis parsial reseptor , merupakan derifat fenantren yang poten dan sangat lipofilik. Buprenorfin menimbulkan anagesia dan efek lain pada ssp seperti morfin. Masa kerjanya meskipun bervariasi umumnya lebih panjang daripada morfin, karena lambat dilepaskan dari reseptor . Masa paruh disosiasi buprenorfin dari reseptor 166 menit, sedangkan fentanil 7 menit. Tergantung pada dosis, buprenorfin dapat menyebabkan gejala abstinensi pada pasien yang sedang menggunakan agonis reseptor untuk beberapa minggu. Buprenorfin dapat mengantagoninis depresi pernafasan yang ditimbulkan oleh dosis anestik fentasil sama baiknya dengan nalokson. Depresi pernapasan dan efek lain yang ditimbulkan buprenorfin dapat dicegah oleh penggunaan nalokson sebelumnya, akan tetapi nalokson dosis tinggipun sulit untuk mengatasi efek yang sudah ditimbulkan buprenorfin. Buprenorfin diabsobsi lebih baik. Buprenorfin 0,4-0,8 mg sublingual menimbulkan analgesia yang baik pada pasien pasca bedah, kadar puncak dalam darah dicapai dalam 5 menit setelah suntikan im dan dalam 1-2 jam setelah penggunaan secara oral dan sublingual. Masa paruh dalam plasma sekitar 3 jam, tetapi kecil hubungannya dengan kecepatan hilangnya buprenorfin. Buprenorfin dapat menimbulkan ketergantungan fisik dengan gejala tanda-tanda dan putus obat seperti morfin, tetapi tidak terlalu berat, selain sebagai anagesik buprenorfin juga bermanfaat untuk terapi penunjang pasien ketergantungan opioid, dan pengobatan adiksi heroin. DOSIS

Dosis untuk menimbulkan anagesia 0,3 mg iv atau im tiap 6 jam, atau 0,4-0,8 mg sublingual. Untuk terapi penunjang pasien ketergantungan opioid dosis 6-8 mg kurang lebih sama dengan 60 mg metadon. INTERAKSI OBAT Beberapa obat dapat mempengaruhi tingkat buprenorfin dalam darah bila dipakai bersamaan, dan sebaiknya klien dipantau untuk gejala sakaw atau sedasi setelah mulai atau berhenti penggunaan obat apa pun. Saat ini hanya ada sedikit data mengenai interaksi antara buprenorfin dan obat lain, suplemen, jamu atau narkoba lain. Tampaknya tidak ada dampak besar dari obat antiretroviral (ARV), selain atazanavir dan mungkin saquinavir. Atazanavir dapat meningkatkan tingkat buprenorfin dalam darah, sehingga takaran buprenorfin harus diturunkan bila dipakai dengan atazanavir, dan mungkin juga dengan saquinavir. Nevirapine dan efavirenz dapat mengurangi tingkat buprenorfin dalam darah, dan walau kemungkinan besar perubahan takaran buprenorfin tidak dibutuhkan, klien buprenorfin yang mulai ARV ini sebaiknya dipantau untuk beberapa minggu. Tampaknya tidak ada interaksi yang bermakna dengan ARV lain. Tidak ada interaksi dengan buprenorfin yang mempengaruhi tingkat ARV dalam darah. Bila buprenorfin dipakai bersama dengan flukonazol, fenobarbital, fenitoin atau rifampisin, kemungkinan tidak dibutuhkan penyesuaian dosis buprenorfin atau obat yang bersangkutan. Penggunaan buprenorfin bersamaan dengan jenis benzodiazepin (mis. diazepam) dapat menjadi berbahaya. EFEK SAMPING Efek samping buprenorfin pada awalnya serupa dengan opiat lain, termasuk sakit kepala, mual, muntah dan sembelit. Namun klien yang dialihkan dari heroin ke buprenorfin

jarang mengalami efek samping. Sebelum mulai memakai buprenorfin, berhenti memakai heroin atau metadon untuk beberapa waktu sehingga gejala putus zat timbul, sedikitnya delapan jam untuk heroin dan 24 jam untuk metadon. Bila mulai lebih cepat, dosis pertama buprenorfin akan langsung membuat sakaw.

Midazolam-Naltrekson:

kombinasi midazolam-naltrekson juga telah digunakan untuk memperpendek waktu terapi detoksifikasi. Selama dalam pengaruh sedasi midazolam intravena, pasien diberi nalokson intravena, suatu antagonis opioida.

MIDAZOLAM

Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat melalui sawar darah otak. Namun waktu equilibriumnya lebih lambat dibanding propofol dan thiopental. Hanya 50% dari obat yang diserap yang akan masuk ke sirkulasi sistemik karena metabolisme

portahepatik yang tinggi. Sebagian besar midazolam yang masuk plasma akan berikatan dengan protein. waktu durasi yang pendek dikarenakan kelarutan lemak yang tinggi mempercepat distribusi dari otak ke jaringan yang tidak aktif begitu juga dengan klirens hepar yang cepat. Waktu paruh midazolam adalah antara 1-4 jam, lebih pendek daripada waktu paruh diazepam. Waktu paruh ini dapat meningkat pada pasien tua dan gangguan fungsi hati. Pada pasien dengan obesitas, klirens midazolam akan lebih lambat karena obat banyak berikatan dengan sel lemak. Akibat eliminasi yang cepat dari midazolam, maka efek pada CNS akan lebih pendek dibanding diazepam. AWITAN AKSI IV: 30 detik-1 menit; IM 15 menit; PO/rektal menit; intranasal < 10 menit;intranasal < 5 menit. EFEK PUNCAK IV : 3-5 menit; IM 15-30 menit; PO 30 menit; intranasal 10 menit; rektal20-30 meniT LAMA AKSI IV/IM 15-80 menit; PO/rectal 2- jam TOKSISITAS Efek depresi SSP dan sirkulasi dipotensiasi oleh alkohol, narkotik,sedatif,anestesik volatil, menurunkan MAC untuk anestesik volatil; efeknya diantagonis oleh flumazenil. METABOLISME Midazolam dimetabolisme dengan cepat oleh hepar dan enzim cytochrome P-450 usus halus menjadi metabolit yang aktif dan tidak aktif. Metabolit utama yaitu 1hidroksimidazolam yang memiliki separuh efek obat induk. Metabolit ini dengan cepat dikonjugasi dengan asam glukoronat menjadi 1-hidroksimidazolam glukoronat yang

dieskresikan melalui ginjal. Metabolit lainnya yaitu 4-hidroksimidazolam tidak terdapat dalam plasma pada pemberian I. Metabolisme midazolam akan diperlambat oleh obat-obatan penghambat

enzimsitokrom P-450 seperti simetidin, eritromisin, calsium channel blocker, obat anti jamur.Kecepatan klirens hepatic midazolam lima kali lebih besar daripada lorazepam dansepuluh kali lebih besar daripada diazepam INTERAKSI OBAT Pengaruh obat penenang midazolam intravena dititikberatkan oleh setiap obat diberikan bersamaan, yang menekan sistem saraf pusat, terutama narkotika (misalnya,morfin, meperidin dan fentanil) serta secobarbital dan droperidol. Akibatnya, midazolamdosis harus disesuaikan sesuai dengan jenis dan jumlah obat yang diberikan bersamaan danrespon klinis yang diinginkan.Perhatian disarankan ketika midazolam diberikan bersamaan dengan obat yangdiketahui menghambat sistem enzim P450 3A4 seperti cimetidine (tidak

ranitidin),eritromisin, diltiazem, verapamil, ketokonazol dan itraconazole. Interaksi obat dapatmenyebabkan sedasi berkepanjangan akibat penurunan clearance plasma midazolam. NALTREXON

Adalah derivat nalokson, dimana gugus alil diganti dengan siklopropil. Sifatnya antagonis murni yang tidak mengakibatkan toleransi atau ketergantungan fisik dan psikis.

Dalam hati, zat ini diubah menjadi metabolit aktif 6-naltreksol yang terutama diekskresi melalui kemih. Nalterksol mengalami siklus interohepatis, masa paruh 4-12 jam. Penggunaannya terutama untuk mengambat efek-efek opioid berdasarkan pengikatan kompetitif pada reseptor opioid dan sebagai anti ketagihan heroin. Pada pecandu opiad menimbulkan gejala abstinensi hebat dalam waktu 5 menit, yang bertahan 48 jam. Obat ini hanya boleh diberikan setelah penghentian heroin / morfin atau metadon sekurang-kurangnya masing-masing 7 dan 10 hari. Dosis permulaan 25 mg, bila tidak terjadi efek abstinensi setelah 1 jam diulang dengan 25 mg. Lalu 50 mg sehari selama 3 bulan atau lebih lama.

TERAPI RUMATAN Terapi rumatan ketergantungan opioida bertujuan antara lain untuk : Mencegah atau mengurangi terjadinya craving terhadap opioida Mencegah relaps (menggunakan zat adiktif kembali). Restrukturisasi kepribadian Memperbaiki fungsi fisiologi organ yang telah rusak akibat penggunaan opioida Tujuan farmakoterapi rumatan pasca detoksifikasi adalah Menambah holding power untuk pasien yang berobat jalan sehingga menekan biaya pengobatan Menciptakan suatu window of opportunity sehingga pasien dapat menerima intervensi psikososial selama terapi rumatan dan mengurangi risiko(3). Mempersiapkan kehidupan yang produktif selama menggunakan terapi rumatan

Methadone: adalah suatu substitusi opioida yang bersifat agonis dan long-acting. Sejak tahun 1960an di Amerika dan Eropa, penggunaan metadon dianggap sebagai terapi baku untuk pasien ketergantungan opioida. Klinik-klinik Metadon berkembang di beberapa tempat dengan berbagai variasi program. Beberapa kelemahan terapi metadon: harus datang ke fasilitas kesehatan sekurangkurangnya sekali sehari, terjadinya overdosis, ketergantungan metadon, dan kemungkinan terjadinya peredaran ilegal metadon. Dewasa ini dikembangkan suatu bentuk derivat metadon, levacethylmethadol, yang mempunyai masa aksi lebih lama (72 jam) sehingga pasien tidak perlu tiap hari datang ke fasilitas kesehatan. Buprenorfin: dapat juga digunakan untuk terapi rumatan. Seperti levacethylmethadol, hanya diberikan 2 atau 3 kali dalam seminggu karena masa aksinya yang panjang. Karena kemungkinan penyalahgunaan, kombinasi buprenorfin dan naltrekson juga telah dipelajari dan dicoba untuk terapi ketergantungan opioida. Disulfiram, Disulfiram & Behaviour Therapy: Disulfiram, suatu alcohol antabuse yang diketemukan di Denmark tahun 1948. Disulfiram sangat efektif jika diberikan kepada pasien ketergantungan alkohol secara ambulatory di bawah supervisi(4). Disulfiram dibuat sebagai tablet buih yang mudah larut dalam air, sehingga mudah diminum. Terapi disulfiram tanpa pemantauan hasilnya kurang menguntungkan(5). Hasil yang memuaskan justru diperoleh melalui kombinasi disulfiram dengan terapi perilaku kognitif.

MODIFIKASI LAIN Ultra rapid detoxification: Rapid detox adalah kombinasi antara prosedur terapi detoksifikasi dengan anestesia; karena itu yang bertanggung jawab dalam teknik terapi rapid detox ini adalah psikiater dan ahli dokter ahli anestesia. Istilah "rapid detox" rasanya kurang tepat, narnun sudah sangat populer sehingga sukar diganti. Istilah yang tepat adalah "rapid antagonist induction" yang kemudian diikuti dengan terapi naltrekson. Teknik rapid detox pertama kali berasal dari Loimer dari Bagian Psikiatri University Hospital of Vienna, Austria (first published technique in details, 1988). Dalam laporannya ia menggunakan 6 kasus ketergantungan heroin berusia antara 21-28 tahun. Penemuan rapid detox tersebut kemudian diikuti oleh Brewer (1989) di Stapleford Centre di London. Dalam perkembangan berikutnya rapid detox telah berkembang secara luas di berbagai institusi dan klinik di Amerika Serikat dan Eropa. Beberapa institusi dan klinik tersebut berkembang pesat di Eropa dan mengadakan konferensi setiap tahun, menerbitkan berbagai karya kedokteran ilmiah; sebagian lagi mengembangkannya secara komersial seperti yang dilakukan oleh suatu kelompok "Spanish-Israeli CITA group" yang secara kurang etis mencoba mematenkan prosedur yang dilakukannya(6). Usaha-usaha mereka telah berhasil masuk ke Indonesia. Sebutan untuk teknik rapid detox dalam berbagai literatur berbeda-beda, narnun mempunyai makna yang hampir mirip, antara lain adalah: Ultra-rapid opiate detoxification, Rapid Opiate Detoxification under general Anesthesia (RODA) - Vienna Method, Rapidly Accelarated Narcotic Detoxification (RAND) - Addiction Medical Group Inc. (AMGI), Ultra Rapid Detoxification with Anesthesia (UROD) - NIDA, Antagonist Assisted Abstinence (A3) Detoxification - Dr. Lance L. Gooberman, Treatment Accelerated Neuro-regulation of Opiate Dependency - Dr. Waismann.

Rapid detox dilakukan atas pasien dalam keadaan di bawah pengaruh anestesia umum; dalam keadaan itu diberikan sejumlah besar antagonis opioida sehingga memblokade semua reseptor yang ada dalam otak dan tubuh pasien. Dengan masuknya antagonis opioida, semua opioida yang semula ada di dalam tubuh dipindahkan, sehingga mempresipitasi timbulnya gejala putus opioida sementara pasien sedang asyik tertidur nyenyak karena pengaruh anestesia umum; pasien tentu saja tidak mengalami gejala putus obat yang terjadi, bahkan bermimpi tentang kejadian itu juga tidak. Gejala-gejala putus opioida umumnya adalah nausea, muntah, diare, kejang-kejang kecil, nafas lambat atau cepat, kram otot, sakit dan ngilu pada sendi dan otot, tegang, merinding, air mata keluar, menguap, demam, berkeringat, depresi umum, insomnia dan gejala-gejala sedih lainnya; gejala-gejala tersebut muncul selama beberapa jam, kemudian berhenti. Umumnya prosedur rapid detox berlangsung selama 4-6 jam di ruang ICU, sehingga pasien memerlukan perawatan sekurangkurangnya selama satu hari. Beberapa rumah sakit di Indonesia memfalisitasi perawatan di VIP selama satu sampai tiga hari. Keuntungan-keuntungan rapid detox antara lain : waktu detoksifikasi singkat, terhindarnya rasa sakit atau rasa tidak menyenangkan lainnya selama masa detoksifikasi, cepat masuk ke fase rehabilitasi untuk mengikuti suatu program pemulihan jangka panjang atau dapat menghemat waktu agar dapat dimanfaatkan untuk segera bekerja atau keperluan keluarga lain. Stadium 1: Pre-Rapid Detox Pemilihan pasien dengan indikasi ketat (ketergantungan opioida, bermotivasi tinggi, penggunaan opioida yang sering) Konfirmasi terhadap kemungkinan pasien menggunakan program hanya untuk abstinensia opioida jangka pendek Pasien bersedia mengikuti pemeriksaan jangka panjang/ aftercare setelah detoksifikasi

Memastikan bahwa pasien (dan atau keluarganya) dapat menerima risiko medik dan memahami informed consent Pemeriksaan: darah rutin, skrining napza dalam urine, EKG, Rontgen foto thorax Melakukan pemeriksaan latar belakang sosial, psikologi dan klinis secara detail Kepada pasien dijelaskan tentang perlunya terapi rumatan menggunakan naltrekson; naltrekson mengurangi craving; selain itu naltrekson dapat mem-blok reseptor opioida sehingga menghambat pasien mengalami high atau gifting. Dengan menggunakan anestesia pasien secara cepat dibawa ke kondisi persiapan menggunakan naltrekson. Wawancara Pre-Rapid Detox harus disertai dengan penandatanganan kontrak dan rencana terapi mendatang. Stadium 2: Rapid Detox plus Anesthesia Sesudah selesai stadium 1, ahli anestesia di ICU mulai melakukan anestesia umum sehingga pasien masuk dalam stadium "tidur", selama prosedur detoksifikasi berlangsung. Pada stadium ini diberikan nalokson, naltrekson dan juga klonidin dalam jumiah yang cukup untuk menginduksi terjadinya gejalagejala putus opioida secara cepat. Setelah gejala-gejala putus opioida selesai sempurna, pasien diperkenankan bangun; umumnya antara 4-6 jam sejak terapi dimulai. Ketika bangun tidur pasien sudah tidak merasakan sama sekali fisik yang "tergantung" dan siap dengan cepat untuk mulai mengikuti program rehabilitasi. Stadium 3: Program Setengah Hari Sebagian besar pasien mulai menjalani stadium 2 pada pagi hari pertama dan kemudian diperkenankan keluar rumah sakit pada pagi hari ke dua. Stadium 3 dimulai pada hari ke dua dan kemudian dilanjutkan pada hari ke tiga dan ke empat.

Struktur komponen inti stadium 3 adalah: Evaluasi medis Review isyu-isyu tentang naltrekson Penilaian dengan Addiction Severity Index dan rekomendasi intervensi Komponen tambahan lainnya sebagai introduksi sebelum benar-benar memasuki terapi antara lain Konseling individual Konseling kelompok Relapse Prevention Training atau Craving Coping Skill Cognitive Behavioural Therapy Sessi edukasional misal tentang reproduksi dan HIV/AIDS The 12 Step Recovery Program Terapi Ko-dependensi Umumnya proses rapid detox itu sendiri tidak mempunyai hambatan klinis bermakna. Menurut pengalaman kami ketika awal awal melakukan Rapid Detox adalah akibat persiapan pasien yang belum sempurna (diare sebagai gejala putus opioida terjadi begitu hebat ketika selesai anestesia umum, dan dapat menimbulkan dehidrasi). Teknik Rapid Detox hanya sebuah langkah awal dalam proses panjang terapi ketergantungan opioida.Untuk mencapai status bebas opioida sebelum penggunaan naltrekson, teknik rapid detox dapat digunakan untuk membantu transisi cepat menuju terapi rumatan naltrekson. Kita kutip suatu tulisan berikut : "Although the success rate with Rapid Detox is actually 100 %, this is only detoxification. The real marker of patient success is how they are doing at 6 months, 1 year ...Patient sobriety is based on the most important elements of a recovery program-rehabilitation and aftercare", AMGI, 1998

Beberapa zat yang digunakan dalam rapid detox adalah : Klonidin Oral/IV mengurangi gejala withdrawal Midazolam IV hipnotik Ondansetron IV anti muntah-mual Nalokson IV menduduki reseptor opioida Naltrekson Oral antagonis/terapi rumatan Oktreotid IV/SC mencegah komplikasi intestinal Propofol IV anestetik Dextrose 5 % Infus cegah hipoglikemia Haloperidol IM anti-agresi

Sandostatin (Octreotide asetat) Injeksi, sebuah octapeptide siklik dipersiapkan sebagai steril jelas deep larutan octreotide, garam asetat, dalam larutan asam laktat buffered untuk pemberian dengan mendalam subkutan (intrafat) atau injeksi intravena. as Octreotide asetat, yang dikenal sebagai kimia L-Cysteinamide, D-phenylalanyl-L-cysteinyl-L-phenylalanyl-D-tryptophyl-L-lysyl-L- LCysteinamide, D-phenylalanyl-L-sisteinil-L-phenylalanyl-D-tryptophyl-L-lysyl-Lthreonyl-N-[2-hydroxy-1-(hydroxymethyl)propyl]-, cyclic (2 7)-disulfide; [R-(R*, R*)] threonyl-N-[2-hidroksi-1-(hidroksimetil) propil] -, siklus (2 7)-disulfida; [R-(R *, R *)] adalah octapeptide long-acting dengan tindakan farmakologis meniru orang-orang dari alami hormon somatostatin. Sandostatin tersedia sebagai: 1-steril mL ampuls dalam 3 kekuatan, mengandung 50, 100, or 500 mcg octreotide (as acetate), and sterile 5-mL multi-dose vials in 2 strengths, containing atau 500 mcg octreotide (seperti asetat), dan steril 5-ml botol multi-dosis dalam 2 kekuatan, yang mengandung 200 and 1000 mcg/mL of octreotide (as acetate). 200 dan 1000 mcg / mL octreotide (seperti asetat).

CLINICAL PHARMACOLOGY KLINIS FARMAKOLOGI Sandostatin Sandostatin (Octreotide asetat) diberikannya tindakan farmakologis mirip dengan hormon alami, somatostatin. somatostatin. Ini adalah inhibitor yang lebih potensial dari hormon pertumbuhan, glukagon, dan insulin dari somatostatin. Seperti somatostatin, juga menekan respon LH untuk GnRH, menurunkan splanchnic blood flow, and inhibits release of serotonin, gastrin, vasoactive intestinal peptide, aliran darah splanknikus, dan menghambat pelepasan serotonin, gastrin, vasoaktif peptida usus, secretin, motilin, and pancreatic polypeptide. secretin, motilin, dan pankreas polipeptida. By virtue of these pharmacological actions, Sandostatin has been used to treat the symptoms Berdasarkan tindakan farmakologis, Sandostatin telah digunakan untuk mengobati gejala associated with metastatic carcinoid tumors (flushing and diarrhea), and Vasoactive Intestinal terkait dengan tumor karsinoid metastasis (kemerahan dan diare), dan usus vasoaktif Peptide (VIP) secreting adenomas (watery diarrhea). Peptida adenoma mensekresi (VIP) (diare). Sandostatin substantially reduces growth hormone and/or IGF-I (somatomedin C) levels in Sandostatin secara substansial mengurangi hormon pertumbuhan dan / atau IGF-I (somatomedin C) tingkat di patients with acromegaly. pasien dengan akromegali. Single doses of Sandostatin have been shown to inhibit gallbladder contractility and to Dosis tunggal Sandostatin telah terbukti dapat menghambat kontraktilitas kandung empedu dan decrease bile secretion in normal volunteers. menurunkan sekresi empedu pada sukarelawan normal. In controlled clinical trials the incidence of Dalam uji klinis terkontrol kejadian gallstone or biliary sludge formation was markedly increased ( see WARNINGS ). batu empedu atau pembentukan lumpur empedu itu nyata meningkat (lihat PERINGATAN). Sandostatin suppresses secretion of thyroid stimulating hormone (TSH). Sandostatin menekan sekresi thyroid stimulating hormone (TSH). Pharmacokinetics Farmakokinetik After subcutaneous injection, octreotide is absorbed rapidly and completely from the injection Setelah injeksi subkutan, octreotide diserap dengan cepat dan sepenuhnya dari injeksi site. situs. Peak concentrations of 5.2 ng/mL (100-mcg dose) were reached 0.4 hours after dosing. Konsentrasi puncak 5,2 ng / mL (100-mcg dosis) yang mencapai 0,4 jam setelah pemberian. Using a specific radioimmunoassay, intravenous and subcutaneous doses were found to be Menggunakan radioimmunoassay tertentu, intravena dan subkutan dosis ditemukan menjadi bioequivalent. bioekuivalen. Peak concentrations and area under the curve values were dose proportional Konsentrasi puncak dan area di bawah kurva nilai adalah dosis proporsional after intravenous single doses up to 200 mcg and subcutaneous single doses up to 500 mcg setelah dosis tunggal intravena sampai 200 mcg subkutan dan dosis tunggal sampai dengan 500 mcg and after subcutaneous multiple doses up to 500 mcg tid (1500 mcg/day). dan setelah beberapa dosis subkutan sampai 500 mcg tid (1500 mcg / hari). In healthy volunteers the distribution of octreotide from plasma was rapid (t 1/2 = 0.2 h), the Pada sukarelawan sehat distribusi octreotide dari plasma adalah yang cepat (t 1/2 = 0,2 h),

1.PROPOFOL

Propofol didegradasi di hati melalui metabolisme oksidatif hepatik oleh cytochrome P-450. Namun, metabolisme tidak hanya dipengaruhi hepatik tetapi juga ekstrahepatik. Metabolisme hepatik lebih cepat dan lebih banyak menimbulkan inaktivasi obat dan terlarut air sementara metabolisme asam glukoronat diekskresikan melalui ginjal. Propofol membentuk 4-hydroxypropofol oleh sitokrom P450. Propofol yang berkonjugasi dengan sulfat dan glukoronide menjadi tidak aktif dan bentuk 4 hydroxypropofol yang memiliki 1/3efek hipnotik. Kurang dari 0,3% dosis obat diekskresikan melalui urin. Waktu paruh propofoladalah 0,5 1,5 jam tapi yang lebih penting sensitive half time dari propofol yang digunakanmelalui infus selama 8 jam adalah kurang dari 40 menit. Maksud dari sensitive half time adalah pengaruh minimal dari durasi infus karena metabolisme propofol yang cepat ketikainfus dihentikan sehingga obat kembali dari tempat simpanan jaringan ke sirkulasi. Propofolmirip seperti aldentanil dan thiofentanil, yang memiliki efek singkat di otak setelah pemberian melalui intravena.

Total body clearance dari propofol sebanding dengan aliran darah ke hati dan bersihan ekstahepatik. Pulmonary uptake dari propofoldipengaruhi avaibilitas propofol. Di paru propofol diubah ke dalam bentuk 2,-diisoprpyl- 1,4quiniol dan kebanyakan kembali lagi ke dalam sirkulasi. Glukoronidasi adalah jalur metabolisme utama dari propofol dan DP-glukoronidase sehingga ginjal juga memegang peranan penting dalam mengekresikan propofol. Meskipun metabolisme propofol cepat tidak ada bukti yang menunjukan adanya gangguan eliminasi pada pasien sirosis hepatis. Konsentrasi propofol di plasma sama antara pasien yang meminum alkohol dan yang tidak. Eliminasi ekstrahepatik propofol terjadi secara ekstrahepatik selama fase anhepatik dari orhtopik transplantasi hati. Disfungsi ginjal tidak mempengaruhi clearance propofol dan selama pengamatan lebih dari 34 tahun metabolisme propofol dimetabolisme di urin hanya 24 jam pertama. Pasien yang berusia lebih dari 0 tahun menunjukan penurunan bersihan plasma propofol dibandingkan pasien dewasa. Kecepatan bersihan propofol mengkonfirmasi bahwa obat ini dapat digunakan secara terus menerus intravena tanpa efek kumulatif. Propofol mampu melewati sirkulasi plasenta namunsecara cepat dibersihkan dari sikulasi fetus. FARMAKODINAMIK Efek propofol terhadap tubuh bergantung pada konsentrasi propofol dalam darah.Konsentrasi propofol ini biasanya merupakan proporsi dari rata-rata infus, khususnya dalam pasien secara individu. Efek Hemodynamic selama induksi dari anestesi beragam. Jika terjadiventilasi spontan, efek kerdiologiknya adalah hypotensi ( turun 30%) dengan sedikit atautidak adanya perubahan denyut jantung. Jika ventilasi terkontrol, besarnya kejadian dari penurunan cardiac output meningkat. Oleh karena itu diberikan premedikasi potent opioid (fentanyl).

Pada sistem saraf pusat Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil dapatmenimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik, pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat.

Pada sistem kardiovaskular Dapat menyebakan depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turunsekali disertai dengan peningkatan denyut nadi, pengaruh terhadap frekuensi jantung jugasangat minim. Pada Sistem pernafasanDapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam beberapa kasus dapatmenyebabkan henti nafas kebanyakan muncul pada pemberian diprivan.

2. Midazolam merupakan benzodia zepin larut air dengan cincin midazolam dalam strukturnya, dan menjadi stabil dalam larutan aqua. menggantikan diazepam untuk penggunaan medikasi pre operatif dan sedasi. efek amnesianya lebih poten daripada efek sedatif. dosis : midazolam sesuai dengan larutan ringer laktat dan dapat dicampur dengan obat lain

yang bersifat asam (seperti opioid dan anti kolinergik).

premedikasi :

0,07 0,15 mg/kg sedasi :

0,01 0,1 mg/kg induksi :

0,01 0,4 mg/kg pada dosis 0,15 mg/kg iv dapat menghasilkan penurunan dalam ventilasi, sedang pada dosis > 0,15 mg/kg iv dapat terjadi apnue transien merupakan anti konvulsi poten yang efektif untuk terapi status epileptikus. pulih sadar induksi dengan midazolam, 1 2,5 kali lebih lama dibandingkan thiopental. merupakan penyebab obstruksi jalan nafas atau non organik dan stridor pasca operasi pada dosis 0,5 1,0 mg iv .(stoelting, 2006).

3)

ondansetron suatu antagonis reseptor serotonian 5 ht3 selektif yang ditemukan secara perifer

pada terminal saraf vagal dan secara sentral dalam zona pemicu kemoreseptor dari area postrema. tidak mengantagonis reseptor dopamin. dapat melewati plasenta serta dapat diekskresikan dalam asi. hati hati pada pasien hamil dan ibu menyusui. dosis : post operatif mual dn muntah dewasa (iv) 4 mg 30 menit sebelum dan sesudah Anestesia. anak 2 12 th dan 40 kg (iv) sebesar 0,1 mg/kg. anak > 40 kg (iv) 4 mg. ondan setron tidak menstimulasi perilstatik lambung atau usus.

penggunaan ondan setron pada pembedahan perut dapat menutupi adanya suatu ileus progresif dan atau distensi lambung.

4. Klonidin Deskripsi - Nama & Struktur Kimia - Sifat Fisikokimia - Keterangan : : : Clonidine Hydrocloride. C9H9Cl2N3 HCl

Klonidin berbentuk kristal putih berasa pahit. Laru

Klonidin merupakan obat antihipertensi turunan im

Golongan/Kelas Terapi Obat Kardiovaskuler

Nama Dagang - Clonidine - Catapres

Indikasi Pengobatan hipertensi ringan hingga sedang, bisa digunakan sebagai obat tunggal ataupun kombinasi Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian Anak : Oral : Hipertensi: Awal : 5-10 mcg/kg/hari dalam dosis terbagi setiap 8-12 jam, tingkatkan secara perlahan pad

Tes toleransi klonidin (tes pembebasan hormon pertumbuhan dari pituitari ) : 0.15 mg/m atau 4 mcg/kg ADHD (attention deficit/hiperactiity disorder)-unlabeled ditingkatkan setia Dewasa : Oral : hipertensi akut : dosis awal : 0.1-0.2 mg, dapat diikuti dengan penggunaan dosis 0.1 mg setiap jam, jika Sublingual klonidin : 0.1-0.2 mg dua kali sehari; efektif untuk pasien yang tidak bisa menggunakan obat Hipertensi : dosis awal 0,1 mg dua kali sehari (rekomendasi dosis maksimum : 2.4 mg/hari), rentang do Transdermal : Hipertensi : berikan sekali setiap 7 hari; untuk dosis awal, mulai dengan 0.1 mg dan tingkatkan dengan Rentang dosis umum : 0.1-0.3 sekali dalam seminggu.Orang lanjut usia : 0.1 mg, sekali sehari sebelum Penyesuaian dosis pada gangguan ginjal : Clcr