keterangan ahli hukum pidana pengujian undang … · hubungan timbal-balik dan saling ... teori...

18
1 KETERANGAN AHLI HUKUM PIDANA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1/PNPS/1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. Ahli Hukum Pidana Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia A. Pendahuluan Cita hukum Indonesia ialah Pancasila, sebagaimana terkandung di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya disingkat UUD 1945). Salah satu norma paling mendasar di dalam cita hukum itu ialah cita tentang keadilan. Artinya, hukum yang diciptakan harus hukum yang adil bagi semua pihak. 1 Dalam rangka penegakan hukum, 2 maka harus didasarkan kesamaan dihadapan hukum (equality before the law) dan atas kepastian hukum yang adil, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 27, dan 28D ayat (1) UUD 1945 serta memberikan manfaat. Dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap kepentingan agama, negara memiliki tanggung jawab untuk menjaga kemurnian ajaran agama dari segala bentuk penyalahgunaan dan/atau penodaan. 3 Implementasi perlindungan terhadap ajaran agama, maka negara memerlukan kriminalisasi 4 terhadap perbuatan yang menyerang kepentingan agama. Oleh karenanya, negara menetapkan sejumlah norma yang berlaku dalam hukum pidana (ius punale) 5 dan hak memidana (ius puniendi) sebagai bentuk penanganan suatu tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat. 1 Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Gema Insani Press, Jakarta, hlm. 91. 2 Penegakan hukum yang berkeadilan seharusnya sarat dengan etis dan moral. Penegakan hukum seharusnya dapat memberi manfaat atau berdaya guna bagi masyarakat. 3 Penjelasan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, menegaskan agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan dan melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan atau penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa (atheis). 4 Kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana. Lihat: Soerjono Soekanto, 1981, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 62. Hukum mewujud dalam undang-undang sebagai sarana perubahan sosial, berarti perundang-undangan merupakan bagian dari suatu kebijakan tertentu. Dengan demikian, undang-undang adalah satu rangkaian alat-alat yang dimiliki oleh pemerintah untuk mewujudkan kebijakan tersebut. Lihat: Roeslan Saleh, 1991, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-undangan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.19. 5 Moeljatno mengartikan bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk: pertama, menentukan perbuatan- perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. Kedua, menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. Ketiga, menentukan dengan cara bagaimana mengenai pidana itu dapat dilksanakan apabila ada orang yang disangka telah

Upload: trinhhanh

Post on 13-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: KETERANGAN AHLI HUKUM PIDANA PENGUJIAN UNDANG … · hubungan timbal-balik dan saling ... teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua ... negara dapat berkembang

1

KETERANGAN AHLI HUKUM PIDANA

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1/PNPS/1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.

Ahli Hukum Pidana Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia

A. Pendahuluan

Cita hukum Indonesia ialah Pancasila, sebagaimana terkandung di dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk

selanjutnya disingkat UUD 1945). Salah satu norma paling mendasar di dalam cita hukum

itu ialah cita tentang keadilan. Artinya, hukum yang diciptakan harus hukum yang adil

bagi semua pihak.1 Dalam rangka penegakan hukum,2 maka harus didasarkan kesamaan

dihadapan hukum (equality before the law) dan atas kepastian hukum yang adil,

sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 27, dan 28D ayat (1) UUD 1945 serta

memberikan manfaat.

Dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap kepentingan agama, negara

memiliki tanggung jawab untuk menjaga kemurnian ajaran agama dari segala bentuk

penyalahgunaan dan/atau penodaan.3 Implementasi perlindungan terhadap ajaran

agama, maka negara memerlukan kriminalisasi4 terhadap perbuatan yang menyerang

kepentingan agama. Oleh karenanya, negara menetapkan sejumlah norma yang berlaku

dalam hukum pidana (ius punale)5 dan hak memidana (ius puniendi) sebagai bentuk

penanganan suatu tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat.

1 Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi

Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Gema Insani Press, Jakarta, hlm. 91. 2 Penegakan hukum yang berkeadilan seharusnya sarat dengan etis dan moral. Penegakan hukum

seharusnya dapat memberi manfaat atau berdaya guna bagi masyarakat. 3 Penjelasan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau

Penodaan Agama, menegaskan agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan dan melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan atau penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa (atheis).

4 Kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana. Lihat: Soerjono Soekanto, 1981, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 62. Hukum mewujud dalam undang-undang sebagai sarana perubahan sosial, berarti perundang-undangan merupakan bagian dari suatu kebijakan tertentu. Dengan demikian, undang-undang adalah satu rangkaian alat-alat yang dimiliki oleh pemerintah untuk mewujudkan kebijakan tersebut. Lihat: Roeslan Saleh, 1991, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-undangan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.19.

5 Moeljatno mengartikan bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk: pertama, menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. Kedua, menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. Ketiga, menentukan dengan cara bagaimana mengenai pidana itu dapat dilksanakan apabila ada orang yang disangka telah

Page 2: KETERANGAN AHLI HUKUM PIDANA PENGUJIAN UNDANG … · hubungan timbal-balik dan saling ... teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua ... negara dapat berkembang

2

Tindak pidana terhadap agama, dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: delik-

delik yang bersangkutan dengan agama (relating, concerning), dan delik-delik yang

ditujukan terhadap agama (against).6 Kedua aspek mengenai tindak pidana terhadap

agama tersebut diatur dalam KUHP7, tepatnya pada Pasal 156a KUHP. Rumusan Pasal

156a KUHP menekankan kepada teori yang memandang rasa keagamaan sebagai

kepentingan-kepentingan hukum yang harus dilindungi. Pasal 156a KUHP merupakan

delik yang berada dalam ruang lingkup Bab V tentang “Kejahatan Terhadap Ketertiban

Umum”. Aturan-aturan dalam bab ini juga dikenal dengan “haatzai artikelen” atau pasal-

pasal “penyebar kebencian”. Ketika ditempatkan dalam Bab Kejahatan Terhadap

Ketertiban Umum, maka pada dasarnya pelarangan atas perbuatan tersebut karena

sangat berpotensi menggangu Ketertiban Umum. Keberlakuan hukum pidana dalam

upaya memberikan perlindungan terhadap agama sangat terkait dengan kepentingan

publik dalam rangka mewujudkan ketertiban umum. Apabila kepentingan agama

diabaikan ketika terjadi penyalahgunaan dan/atau penodaan terhadap agama, maka

dikhawatirkan menjadi pembuka gerbang timbulnya ancaman terhadap Ketertiban

Umum dan bahkan Ketahanan Nasional. 8

Menurut Muladi pengaturan tentang tindak pidana penodaan agama dan kehidupan

beragama merupakan refleksi bahwa Indonesia merupakan “nation state‟ yang religius,

di mana semua agama (religion) yang diakui sah di Indonesia merupakan kepentingan

hukum yang besar yang harus dilindungi dan tidak sekedar merupakan bagian dari

ketertiban umum yang mengatur tentang rasa keagamaan atau ketenteraman hidup

beragama.9 Hal yang sama dinyatakan oleh Mardjono bahwa penghinaan atau penodaan

terhadap suatu agama yang diakui di Indonesia dan atau pun dengan cara lain

mengganggu kehidupan beragama akan membahayakan kedamaian hidup

bermasyarakat dan kesatuan bangsa.10 Kepentingan hukum (recht belangen) – yang

melanggar larangan tersebut. Lihat: Moeljatno, 2015, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 1.

6 Oemar Seno Adji, 1985, Hukum Pidana Pengembangan, Erlangga, Jakarta, hlm.96-97 ; Supanto, 2007, Delik Agama, Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press), Surakarta, hlm.6.

7 KUHP pada awalnya tidak mengatur tindak pidana terhadap agama yang pada pokoknya ditujukan kepada perbuatan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan. Pengaturan tentang tindak pidana terhadap agama barulah dikenal dalam sistem hukum pidana Indonesia ketika diundangkannya Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang kemudian berdasarkan Pasal 4 dimasukkan ke dalam KUHP. Dimasukkannya norma hukum Pasal 4 ke dalam KUHP mengandung makna ada keterhubungan antara Pasal 156a dengan pasal sebelum dan sesudahnya.

8 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, menyebutkan Kewaspadaan Nasional atas berbagai keadaan yang memecah persatuan nasional, dimana penyalahgunaan dan/atau penodaan agama dapat membahayakan persatuan bangsa dan negara. Kewaspadaan Nasional merupakan salah satu pilar bagi Ketahanan Nasional.

9 Muladi, Beberapa Catatan Berkaitan Dengan RUU KUHP Baru, Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional RUU KUHP Nasional. Diselenggarakan oleh Universitas Internasional Batam, Batam 17 Januari 2004, hlm. 7

10 Mardjono Reksodiputro, 1995, Pembaharuan Hukum Pidana: Buku Keempat, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.95.

Page 3: KETERANGAN AHLI HUKUM PIDANA PENGUJIAN UNDANG … · hubungan timbal-balik dan saling ... teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua ... negara dapat berkembang

3

harus dilindungi - itu adalah “tiap-tiap kepentingan yang harus dijaga, agar tidak

dilanggar, dan yang kesemuanya itu ditujukan untuk kepentingan masyarakat.”

B. Pembahasan dan Analisis (Inti Keterangan Ahli)

Dalam kepentingan pemberian keterangan ahli hukum pidana terkait dengan

pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang

Nomor 1/PNPS/1965)11, analisis difokuskan keberlakuan kaidah hukum, teori serta pada

asas-asas/doktrin hukum pidana. Untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut.

1. Landasan Keberlakuan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965

1) Landasan Filosofis

Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 ditinjau dari kaidah hukum secara fiosofis

tidaklah bertentangan, bahkan selaras dan sejalan dengan cita-cita hukum sebagai nilai

positif yang tertinggi. Agama dan negara memiliki relasi yang erat dalam kehidupan

bernegara di Indonesia. Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga menyatakan kemerdekaan

Indonesia adalah “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.” Kalimat tersebut adalah

salah satu representasi pengakuan negara terhadap eksistensi agama. Berdasarkan Sila

Pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945 sejumlah ahli Hukum Tata Negara, seperti

Ismail Suny, mengatakan bahwa sistem ketetanegaraan Indonesia mengakui tiga bentuk

kedaulatan, yakni kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum dan kedaulatan Tuhan. 12

Indonesia sesuai dengan ideologi Pancasila tidak menganut paradigma sekularistik

maupun integralistik,13 namun menganut paradigma simbiotik. Paradigma simbiotik

memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yakni berlakunya

hubungan timbal-balik dan saling memerlukan.14 Dengan demikian, kebijakan-kebijakan

politik yang memberikan tempat dan peranan yang terhormat kepada agama. Menjadi

suatu keharusan jika kepentingan agama merupakan suatu hal yang penting untuk

dilindungi.

11 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan

Presiden Dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang, Penetapan Presiden ditingkatkan menjadi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

12 Ismail Suny, 1987, Mekanisme Demokrasi Kita, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 7-8. 13 Kepentingan agama itu merupakan suatu hal yang penting untuk dilindungi atau tidak, tergantung

pada politik suatu negara dalam memandang hubungan negara dengan agama. Mengenai hal ini ada dua doktrin yang saling bertolak belakang, yaitu ; pertama, pandangan yang memisahkan antara agama dan negara (separation of state and crurch/trennung von staat und kirche), dan kedua, pandangan yang menyatukan antara agama dan negara (einheif von staat und kirche). Lihat : Oemar Seno Adji, 1981, Hukum (Acara) Pidana Dalam Prospeksi, Erlangga, Jakarta, hlm.105.

14 Secara umum, teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua entitas yang saling menguntungkan bagi peserta hubungan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual. Karena sifatnya yang simbiotik, maka hukum agama masih mempunyai peluang untuk mewarnai hukum-hukum negara, bahkan dalam masalah tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai hukum negara. Lihat : Adi Sulistyono, ”Kebebasan Beragama dalam Bingkai Hukum”, Makalah Seminar Hukum Islam “Kebebasan Berpendapat VS Keyakinan Beragama Ditinjau dari Sudut Pandang Sosial, Agama, dan Hukum,” FOSMI Fakultas Hukum UNS, Surakarta, tanggal 8 Mei 2008.

Page 4: KETERANGAN AHLI HUKUM PIDANA PENGUJIAN UNDANG … · hubungan timbal-balik dan saling ... teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua ... negara dapat berkembang

4

2) Landasan Teoretis

Ditinjau dari perspektif teoretis, Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 memiliki

landasan teori yang sangat kuat. Berdasarkan paradigma simbiotik, menurut penulis

terdapat dua identitas yang memerlukan perlindungan, yakni agama dan individu

sebagai penganut agama di satu sisi, sedangkan di sisi lain adalah negara yang berperan

dalam memberikan perlindungan baik terhadap agama dan individu-individunya. Di

sinilah letak keterpaduan antara, individu, negara dan ajaran agama yang saling

berhubungan erat, tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Menurut Imam al-Ghazali

bahwa “agama adalah fondasi, pemerintahan sebagai penjaganya. Apa-apa yang tidak ada

fondasinya pasti rubuh dan apa-apa yang tidak dijaga pasti akan hilang.” Undang-Undang

Nomor 1/PNPS/1965 ditinjau dari teori al-Maqashid Syariyah - sebagai wujud dari teori

al-Mashlahah al Mursalah – sangat berkesuaian, mengingat aspek perlindungan dalam al-

Maqashid Syariyah menunjuk pada agama, keturunan, jiwa, akal dan harta.

Lebih lanjut, menurut teori solvasasi hukum (pelarutan hukum) - yang penulis

gagas - menempatkan al-Maqashid Syariyah sebagai suatu kebutuhan dan berdayaguna

dalam upaya menjaga kepentingan agama dan negara. Dengan kata lain, dalam

membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan

terhadap agama, keturunan, jiwa, akal dan harta, maka keberlakuan teori solvasisasi

hukum ini sangat efektif dan berdayaguna. Keberadaan teori pelarutan hukum

mengakomodasi kepentingan agama dan negara. Teori solvasisasi hukum ini sebagai

landasan teoretis keberlakuan al-Maqashid Syariah dalam sistem hukum pidana nasional,

dalam kepentingan perlindungan terhadap ajaran pokok agama. Terciptanya hubungan

kooperatif antara al-Maqashid Syariah dengan hukum positif adalah manifestasi relasi

negara dan agama dalam paradigma negara simbiotik. Perspektif teori solvasisasi hukum

sangat terkait dengan teori receptio a contrario, teori lingkaran konsentris, teori

eksistensi hukum Islam dan teori pluralisme hukum. Kesemuanya itu juga berhubungan

dengan tujuan hukum Islam dalam tata hukum indonesia. Teori solvasisasi hukum

diharapkan dapat menjadi basis teoretis pembangunan model politik hukum sistem

Ketahanan Nasional dari adanya ancaman ekspansi ideologi transnasional yang

bermuatan transendental.15 (Keberlakuan teori solvasisasi hukum dalam kaitannya

dengan sistem Ketahanan Nasional dan Politik Hukum Pidana dapat dilihat pada bagan

lampiran 1).

Penentuan perbuatan sebagai tindak pidana terhadap agama, berhubungan dengan

teori-teori yang mendasari hukum pidana untuk menentukan adanya suatu tindak pidana

terhadap agama. Dikemukakan oleh Oemar Seno Adji, adanya tiga teori dimaksud,

yaitu:16

15 Lebih lanjut baca : Abdul Chair Ramadhan, Membangun Politik Hukum Sistem Ketahanan Nasional

Terhadap Ancaman Ekspansi Ideologi Transnasional Syiah Iran, Disertasi. Program Pascasarjana Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2016.

16 Oemar Seno Adji, 1981, Hukum (Acara) Pidana …Op.Cit, hlm.87. Lihat juga : Barda Nawawi Arief, 2007, Delik Agama dan Penghinaan Tuhan (Blasphemy) di Indonesia dan Perbandingannya di Berbagai Negara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 2.

Page 5: KETERANGAN AHLI HUKUM PIDANA PENGUJIAN UNDANG … · hubungan timbal-balik dan saling ... teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua ... negara dapat berkembang

5

1. Friedensschutz Theorie yaitu teori yang memandang ketertiban atau ketenteraman

umum sebagai kepentingan hukum yang dilindungi;

2. Gefuhlsschutz Theorie yaitu teori yang memandang rasa keagamaan sebagai

kepentingan-kepentingan hukum yang harus dilindungi;

3. Religionsschutz Theorie yaitu teori yang memandang agama itu an sich sebagai

kepentingan hukum yang harus dilindungi atau diamankan oleh negara.

Teori-teori tersebut di atas didasarkan pada pemahaman bagaimana melindungi

kepentingan agama melalui instrumen hukum pidana.

Hukum merupakan suatu tindakan yang berfungsi sebagai sarana pengendalian

sosial yang berbeda dangan kaidah-kaidah lainnya, yaitu dikenal ada 4 (empat) tanda

hukum (attributes of law), yakni sebagai berikut :17

1. Attribute of authority; bahwa hukum merupakan keputusan-keputusan mana yang

ditujukan untuk mengatasi ketegangan-ketegangan yang terjadi di masyarakat,

2. Attribute of intention of universakl application; bahwa keputusan-keputusan

penguasa mempunyai daya jangkau yang panjang untuk masa mendatang,

3) Attribute of obligation; bahwa keputusan-keputusan penguasa harus berisikan

kewajiban-kewajiban pihak kesatu kepada pihak kedua dan sebaliknya,

4) Attribute of sanction; bahwa keputusan-keputusan dari pihak penguasa harus

diikutkan dengan sanksi yang didasarkan pada kekuasaan masyarakat yang nyata.

Keempat tanda hukum di atas sangat relevan dengan keberlakuan Undang-Undang

Nomor 1/PNPS/1965. Perlindungan terhadap ajaran agama sangat terkait dengan

kewajiban negara agar tidak terjadi ketegangan-ketegangan yang dapat berujung pada

aksi main hakim sendiri ketika terjadi dugaan tindak pidana terhadap agama. Ketiadaan

pengaturan dalam freedom to act dapat menimbulkan:

1. Potensi konflik masal;

2. Anarkisme atas nama agama;

3. Hegemoni kekuasaan dan mayoritas.18

3) Landasan Yuridis

Keberlakuan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 memiliki landasan yuridis yang

kokoh. Pembentukannya didasarkan atas kaidah yang lebih tinggi tingkatannya (stufen

theory).19 Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan “Negara menjamin kemerdekaan

17 Sabian Utsman, 2009, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog antara Hukum dan Masyarakat,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.172. 18 Lihat: Pendapat sebagai ahli Nur Syam dalam sidang perkara Pengujian Undang-Undang Nomor

1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm 243.

19 Stufen theory yang diajarkan oleh Hans Kelsen menyatakan bahwa sistem hukum merupakan hierarki apabila suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Lihat: Lili Rasjidi, 1985, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Alumni, Bandung. Lihat juga : Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.272.

Page 6: KETERANGAN AHLI HUKUM PIDANA PENGUJIAN UNDANG … · hubungan timbal-balik dan saling ... teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua ... negara dapat berkembang

6

tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat

menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Jika Pasal 28E merupakan hak setiap

warga negara, maka Pasal 29 ayat (2) merupakan kewajiban negara untuk memberikan

jaminan terhadap ketentuan Pasal 28E dimaksud. Dalam menjalankan hak dan

kebebasannya, setiap orang tetap melekat pembatasan yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku (Pasal 28J UUD 1945). Atas dasar norma hukum

konstitusi yang mengatur mengenai agama, merupakan mandat yang harus dilakukan

oleh penyelenggara negara untuk membuat norma hukum yang berisi jaminan bagi

setiap orang untuk memperoleh pelindungan hukum terhadap agamanya.

Diakui bahwa negara tidak boleh mencampuri urusan doktrin agama, akan tetapi

negara justru harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin

kebebasan dan kerukunan beragama. Bahkan negara juga dapat melakukan pembatasan-

pembatasan yang tidak dengan sendirinya berarti mendiskriminasi melainkan untuk

menjamin hak-hak orang lain.20

Salah satu ciri negara hukum adalah adanya perlindungan Hak Asasi Manusia,

termasuk perlindungan atas kebebasan hak atas kebebasan beragama atau keyakinan.

Terhadap keberadaan Hak Asasi Manusia yang bersifat universal, tentunya harus diiringi

dengan kewajiban dan tanggungjawab terhadap hak asasi orang lain. Masyhur Effendi

dan Taufani Sukmana menggambarkan/merumuskan : SH (subjek hukum) adalah

pemilik H (hak) + K (kewajiban) + TJ (tanggung jawab), disingkat : SH = H + K + TJ.

Bertemunya tiga elemen pada seseorang dalam bermasyarakat menunjukkan kesadaran

hukum seseorang cukup tinggi. Sebaliknya, kalau hanya dua elemen saja pada diri

seseorang, menunjukkan kesadaran hukum yang bersangkutan pada tingkat meso, lebih-

lebih hanya satu elemen, maka hak dan kesadarannya masih rendah,.21 Pembatasan

pernyataan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya di depan umum (forum externum)

merupakan pembatasan hak-hak dasar seseorang didasarkan pada doktrin due process of

law22, dan ini merupakan inti dari suatu negara hukum atau negara yang berdasarkan

kepada rule of law.

20 Lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 140/PUU-VII/2009 dalam perkara Pengujian Undang-

Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

21 A. Masyhur Effendi & Taufani Sukmana Evandri, 2010, HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik; Dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-Kham (Hukum Hak Asasi Manusia), Ghalia Indonesia, Bogor, hlm.55.

22 Konsep tentang pelaksanaan hukum yang adil (due process of law), dikenal dengan dua macam due process yakni yang prosedural dan yang substantif. Konsep due process of law yang prosedural pada dasarnya didasari atas konsep tentang keadilan yang fundamental (fundamental fairness). Dalam perkembangannya, due process of law yang prosedural merupakan suatu proses atau prosedur formal yang adil, logis dan layak, yang harus dijalankan oleh yang berwenang. Adapun yang dimaksudkan dengan due process of law yang substantif adalah suatu persyaratan yuridis yang menyatakan bahwa pembuatan suatu peraturan hukum tidak boleh berisikan hal-hal yang dapat mengakibatkan perlakuan terhadap manusia secara tidak adil, tidak logis dan sewenang-wenang. Karena itu, doktrin due process of law yang substantif pada prinsipnya tidak lain dari suatu kriteria terhadap wajar tidaknya suatu kebijaksanaan atau tindakan pemerintah atau parlemen yang menyangkut dengan hak-hak dasar manusia. Lihat: Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung, , hlm.47.

Page 7: KETERANGAN AHLI HUKUM PIDANA PENGUJIAN UNDANG … · hubungan timbal-balik dan saling ... teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua ... negara dapat berkembang

7

4) Landasan Sosiologis

Selanjutnya, ditinjau dari sudut sosiologis, Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965

menyebutkan Kewaspadaan Nasional atas berbagai keadaan yang memecah persatuan

nasional dengan maraknya berbagai aliran-aliran atau organisasi-organisasi

kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan

hukum Agama, terjadi hampir diseluruh Indonesia. Kesemuanya itu, dapat

membahayakan persatuan bangsa dan negara. Perlu diketahui, bahwa Kewaspadaan

Nasional23 merupakan salah satu pilar bagi Ketahanan Nasional. Tanpa adanya

Kewaspadaan Nasional, maka Ketahanan Nasional dengan sendirinya akan melemah dan

terancam.

Penyalanggunan dan/atau penodaan terhadap agama yang dapat melahirkan

konflik horizontal (das sein), sehingga dan oleh karenanya memerlukan das sollen. Jika

terjadi konflik, maka konflik tersebut merupakan kenyataan alamiah atau peristiwa

konkrit (das sein), namun demikian memerlukan kenyataan normatif atau apa yang

seyogianya dilakukan (das sollen). Dalam hukum yang terpenting bukanlah apa yang

terjadi, melainkan apa yang seharusnya terjadi. Mencermati konflik dan potensi konflik

antara umat Islam dengan penganut Ahmadiyah di Indonesia pada dasarnya dapat

dilakukan dengan memperhatikan adanya momentum yang bersifat tidak rutin atau

sporadis dalam hubungan keduanya. Dimana konflik yang terjadi bersamaan dengan

adanya ekspresi atau tereksposnya ajaran Ahmadiyah di tengah masyarakat yang

bertentangan dengan ajaran pokok agama Islam.

Faktor utama yang menyulut konflik horizontal tersebut tidak lain adalah

bersumber dari doktrin kenabian Mirza Ghulam Ahmad, yang demikian kuat merasuk

dalam diri penganut Ahmadiyah. Resultan dari doktrin tersebut melahirkan tahriful

Qur'an (mendistorsi al-Qur'an). Kedua hal inilah yang menjadi faktor elementer

terjadinya konflik horisontal antara umat Islam dengan penganut Ahmaditah. Konflik

horisontal yang terjadi tentunya memerlukan jaminan stabilitas dan ketertiban oleh

lembaga penegak hukum. Kepentingan agama juga perlu memperoleh jaminan

perlindungan hukum, sehingga tidak dilakukan perbuatan-perbuatan yang menyerang

atau merugikannya. Kebijakan penanggulangannya juga perlu menyesuaikan dengan

perkembangan tipe kejahatan. Untuk kepentingan ini, maka politik penegakan hukum

sangat berperan dalam membentuk politik kriminal.24

23 Kewaspadaan Nasional sering diartikan sebagai sikap otoriter sebuah pemerintahan yang

menjadikan terhambat terbentuknya masyarakat sipil (civil society) dan sebagai bentuk ke otoriteran rezim. Padahal Kewaspadaan Nasional sebagai bentuk kesiapan dan kesiagaan dari segala ancaman. Paradigma Kewaspadaan Nasional bersifat multidimensional, konprehensif, berwawasan kebangsaan dan ke-Indonesiaan demi keselamatan dan keberlangsungan (sustainability) NKRI. Lihat: Abdul Chair Ramadhan, Op.Cit, hlm. 10.

24 Hukum pidana dan penegakannya merupakan bagian dari politik kriminal (criminal policy), politik kriminal merupakan bagian dari politik penegakan hukum (law enforcement policy). Politik penegakan hukum merupakan bagian bagian politik sosial (social policy) yang merupakan usaha setiap masyarakat dan Negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Lihat: Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar, 24 Februari 1990, Semarang, Universitas Diponegoro, hlm.6.

Page 8: KETERANGAN AHLI HUKUM PIDANA PENGUJIAN UNDANG … · hubungan timbal-balik dan saling ... teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua ... negara dapat berkembang

8

2. Perumusan Norma Dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965

Dalam hukum pidana terkandung dalam asas legalitas. Menurut Jan Remmelink,

makna dalam asas legalitas adalah bahwa undang-undang yang dirumuskan harus

terperinci dan cermat. 25 Hal ini didasarkan pada prinsip “nullum crimen, nulla poena sine

lege certa”. Konsekuensi dari prinsip ini adalah bahwa rumusan perbuatan pidana harus

jelas, sehingga tidak bersifat multi tafsir yang dapat membahayakan bagi kepastian

hukum.26 Selain itu, asas legalitas juga mengandung makna larangan untuk menerapkan

analogi, yang dikenal dengan adagium “nullum crimen noela poena sine lege stricta.”27

Terkait dengan asas legalitas, rumusan dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965

tidaklah melanggar asas legalitas, didalilkan sebagai berikut di bawah ini :

1) Norma hukum Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tidaklah mengandung unsur

multi tafsir dalam setiap rumusan pasalnya dan tidak pula merugikan hak-hak

konstitusional seseorang/sekelompok orang yang tergabung dalam badan hukum.

2) Norma hukum yang diatur dalam Pasal 1 adalah larangan terhadap perbuatan

penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang

diakui di Indonesia. Penilaian terhadap penafsiran dan kegiatan yang menyimpang

dari pokok-pokok ajaran agama dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Frasa “dengan sengaja” dalam Pasal 1, mengandung makna bahwa penafsiran dan

kegiatan yang menyimpang memang ditujukan kepada sikap batin pelaku baik

terhadap perbuatan maupun akibatnya. Dengan demikian, penerapan kesengajaan

(dolus) dalam Pasal 1 sudah tepat. Demikian pula, frasa “di muka umum

menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum” tidak

dimaksudkan dalam ranah forum internum, melainkan pada wilayah forum

externum.

3) Norma hukum dalam rumusan Pasal 2 yang mengatur tentang penerapan sanksi

tindakan berupa SKB Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri adalah

wujud dari prinsip ultimum remedium. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965

menganut sistem dua jalur (double track system) mengenai sanksi hukum, yakni

jenis sanksi tindakan di satu pihak, dan jenis sanksi pidana di pihak lain. (Untuk

lebih jelasnya, lihat lampiran 2)

4) Norma hukum dalam rumusan Pasal 3 merupakan sebagai langkah terakhir (last

resort), sesuai dengan double track system yang dianut dalam Undang-Undang

Nomor 1/PNPS/1965. Penggunaan sistem dua jalur ini hanya berlaku pada

penyalahgunaan ajaran agama, bukan ditujukan kepada permusuhan dan penodaan

terhadap agama. Dengan adanya prinsip ultimum remedium, menempatkan negara

(baca: pemerintah) tidak menjadikan dirinya melebihi kewenangannya (ultra vires)

25 Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.357-359.

26 Machteld Boot sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiariej, 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hlm.79.

27 Jan Remmelink, Op.Cit, hlm.357-359.

Page 9: KETERANGAN AHLI HUKUM PIDANA PENGUJIAN UNDANG … · hubungan timbal-balik dan saling ... teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua ... negara dapat berkembang

9

maupun bertindak semena-mena atau menyalahgunakan wewenang (abuse of

power).

Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tidak membatasi keyakinan seseorang

(forum internum)28, akan tetapi hanya membatasi pernyataan pikiran dan sikap sesuai

hati nuraninya di depan umum (forum externum)29 yang menyimpang dari pokok-pokok

ajaran agama yang dianut di Indonesia, mengeluarkan perasaan atau melakukan

perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan

terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Jika menafsirkan adalah sesuatu yang

sah, maka sah pula menyebarkan hasil-hasil penafsiran agama. Oleh kerana itu, negara

tidak boleh membatasinya. Namun, kebebasan melakukan penafsiran terhadap suatu

agama tidak bersifat mutlak atau absolut. Pembatasan diterapkan terhadap kebebasan

pernyataan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya di depan umum (forum externum)

yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama.30 Jika suatu kegiatan, tafsiran yang

kemudian disebarluaskan dan menimbulkan keresahan, konflik dan ketegangan, maka

tidak ada alasan bagi pemerintah untuk bertindak demi menjaga harmoni, kedamaian

dan ketertiban umum warga negara dan penduduknya. Mahkamah Konstitusi melalui

putusannya Nomor 84/PUU-X/2012 dalam uji materi terhadap Undang-Undang Nomor

1/PNPS/196531, telah menyatakan bahwa Pasal 156a KUHP yang dirumuskan dalam

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965, telah menjadi bagian yang tidak

terpisahkan dari KUHP. Dengan demikian sanksi pidana dalam Pasal 156a KUHP yang

terkait dengan penafsiran suatu ajaran agama atau penyimpangan dan penyalahgunaan

agama tertentu merupakan sanksi yang bersifat ultimum remedium. Menurut Mahkamah,

penerapan Pasal 156a KUHP dengan penafsiran sebagaimana dimaksud permohonan

para Pemohon adalah ruang lingkup kewenangan mutlak peradilan umum, atau

merupakan permasalahan penerapan norma, bukan persoalan konstitusionalitas norma.

28 Terdapat dua jenis forum internum yaitu: pertama, kebebasan beragama dan keyakinan yang pasif.

Kebebasan pasif menyangkut hak untuk memiliki agama atau keyakinan sesuai dengan pilihannya, ini termasuk hak untuk pindah agama. Negara dilarang melakukan tindakan berupa mendikte atau melarang pengakuan seseorang atas sebuah agama atau keyakinan, atau keanggotaan atas sebuah agama atau keyakinan, melepaskan agama atau keyakinannya atau mengubahnya. Kedua, kebebasan beragama dan keyakinan yang aktif. Seseorang menjalankan hak atas kebebasan beragama atau keyakinan secara eksternal, dan hal ini dihubungkan dengan dunia luar seseorang. Ketika seseorang sedang menjalankan ibadah di rumah atau ditempat ibadah bersama orang lain secara privasi (tidak di depan umum), maka negara ataupun pihak ketiga tidak bisa melakukan intervensi.

29 Forum externum terkait perbedaan penafsiran (interpretasi). Perbedaan interpretasi terhadap teks suci atau doktrin agama mengakibatkan timbulnya perbedaan faham, keyakinan atau aliran keagamaan. Secara teoritis dan praktis perbedaan interpretasi terhadap doktrin agamalah yang menimbulkan faham, aliran dan gerakan kegamaan baru. Perbedaan pada tingkat pemahaman – pada prinsipnya – tidak bisa dihindarkan, terutama karena adanya perbedaan tingkat pengetahuan, pemahaman dan pengamalan serta perkembangan budaya masyarakat.

30 Dengan sengaja “menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum” merupakan ranah forum externum karena telah terkait dengan hak asasi manusia orang lain, kehidupan kemasyarakatan, kepentingan publik, dan kepentingan negara. Kebebasan aksentuasi beragama (freedom to act) merupakan hak asasi yang dapat dibatasi (derogable right).

31 Sebelumnya Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009, tanggal 19 April 2010 juga telah menolak permohonan untuk menyatakan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 bertentangan dengan konstitusi.

Page 10: KETERANGAN AHLI HUKUM PIDANA PENGUJIAN UNDANG … · hubungan timbal-balik dan saling ... teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua ... negara dapat berkembang

10

Lebih lanjut, ketentuan dalam rumusan Pasal 4 Undang-Undang Nomor

1/PNPS/1965 dimaksudkan sebagai perintah pembentuk Undang-Undang untuk

memasukkan norma hukum Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 ke dalam KUHP,

sehingga dan kita kenal dengan Pasal 156a KUHP. Pelekatan huruf “a” adalah sebagai

pembeda dengan pasal sebelumnya, yakni Pasal 156 KUHP. Pasal 156a melalui ketentuan

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 secara sistematis ditempatkan

(disisipkan) diantara Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP. Hal ini mengandung makna adanya

keterhubungan dengan norma hukum pasal sebelum dan sesudahnya. Tegasnya,

rumusan Pasal 156a memiliki keterhubungan dengan perbuatan yang dilarang pada

Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP. Dengan demikian penempatan Pasal 156a dimasukkan

dalam Bab V Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum memiliki nuansa kebatinan dengan

upaya negara melindungi rasa keagamaan (gefuhlsschutz theorie) yang dipandang

penting untuk diberikan jaminan perlindungan terhadap perbuatan yang menyerang

kepentingan agama secara langsung (againts).

Penekanan Pasal 156a huruf a KUHP berdasarkan Penjelasan Pasal 4 Undang-

Undang Nomor 1/PNPS/1965 ditujukan kepada niat jahat (dolus malus) dengan wujud

perbuatan memusuhi atau menghina. Oleh karena itu, perbuatan permusuhan yang tidak

terdapat di dalam Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965

diadakan di dalam Pasal 4. Selain itu, dilihat dari judul Undang-Undang Nomor

1/PNPS/1965 tidaklah mengindikasikan adanya perbuatan “permusuhan”, hanya

disebut “penyalahgunaan dan/atau penodaan agama”. Hal ini mengindikasikan bahwa

pembentuk undang-undang memandang perlu memasukkan perbuatan permusuhan

dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 – ditempatkan pada posisi pertama pada

Pasal 4 – dimaksudkan agar tecipta keterhubungan dengan pasal sebelumnya (Pasal 156)

dan pasal sesudahnya (Pasal 157). Dapat dilihat pada Pasal 156 yang merumuskan

“menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan” dan Pasal 157

“menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum,

yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau

penghinaan.” Kata-kata “kebencian atau penghinaan” pada kedua pasal tersebut juga

bersingggungan dengan unsur penodaan dalam Pasal 156a huruf a, sebab penodaan juga

mengandung sifat “menghina” selain melecehkan dan merendahkan. Perbuatan

permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama dapat dipastikan

dilakukan dengan kesengajaan (dolus)32, bukan dengan culpa. Bagan pada halaman

berikut memvisualisasikan keterhubungan sebagaimana dimaksudkan.

32 Menurut Jan Remmelink, dolus dapat dimengerti sebagai (berbuat) dengan kehendak dan maksud

(atau dengan menghendaki dan mengetahui : willens en wettens) untuk memenuhi unsur-unsur delik sebagaimana ditemukan dalam perumusan kejahatan. Menurutnya, dolus tidak perlu ditujukan pada sifat terlarang dari perbuatan dan undang-undang tidak menuntut adanya ‘kesengajaan dengan niat jahat’ (boos opzet / dolus malus). Dikatakan pula, bahwa dalam dolus sebab itu terkandung elemen kehendak dan intelektual (pengetahuan), tindakan dengan sengaja selalu willens (dikehendaki) dan wettens (disadari atau diketahui). Lihat : Jan Remmelink, Op.Cit, hlm.143 & hlm.152. Terkait willen en weten di dalam kesengajaan terdapat dua toeri, yakni teori kehendak (de willenstheorie) dan teori pengetahuan/dapat membayangkan (de voorstellingstheorie). Teori pertama diusung Von Hippel menerangkan sebagaimana ditulis Bambang Poernomo bahwa sengaja adalah kehendak (de wills) untuk membuat suatu perbuatan. Kehendak untuk menimbulkan akbibat dari perbuatan itu, dengan kata lain jika seseorang melakukan perbuatan tertentu, sudah pasti ia melakukannya itu

Page 11: KETERANGAN AHLI HUKUM PIDANA PENGUJIAN UNDANG … · hubungan timbal-balik dan saling ... teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua ... negara dapat berkembang

11

Bagan 1. Keterhubungan Pasal 156a dengan Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP

(Sumber : Abdul Chair Ramadhan, 2017)

Keterangan : KP : Kesengajaan Dengan Kepastian/Keharusan KM : Kesengajaan Dengan Kemungkinan

hendak menimbulkan akibat tertentu pula. Pasti pula ia melakukan untuk menghendaki akibat ataupun ikhwal yang menyertai perbuatannya tersebut. Teori kedua ialah teori pengetahuan/dapat membayangkan (devoorstelings) yang diajarkan oleh Frank. Teori ini menjelaskan bahwa tidaklah mungkin sesuatu akibat atau hal ihwal yang menyertai itu dapat dikehendaki. Perbuatannya memang dikehendaki akan tetapi terhadap akibat atau ihwal yang menyertai itu tidak dapat dikatakan oleh pembuatnya tentu dapat dikehendakinya pula. Karena manusia hanya dapat membayangkan/menyangka terhadap akibat atau ihwal yang menyertai dari perbuatannya. Lihat : Bambang Poernomo, 1983, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 156. Menurut doktrin, dikenal adanya corak atau gradasi kesengajaan, yaitu: kesengajaan sebagai maksud atau tujuan (opzet als oogmerk), kesengajaan sebagai kepastian atau keharusan (opzet bij noodzakelijkheids of zekerheidsbewustzijn), dan kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet met waarschijnlijkheidsbewustzijn). Lihat: Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, hlm.172-174 ; S.R. Sianturi, 1986, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta, hlm. 9

UU NOMOR 1/PNPS/1965

Pasal 156 KUHP

Pasal 156a Huruf a KUHP

Permusuhan

Penyalahgunaan

Penodaan

Pasal 4

Pasal 157 KUHP

Pasal 156a Huruf b KUHP

Permusuhan

Kebencian

Penghinaan

KM

KP

KM

KP

Kebencian KM

Penghinaan KM

Permusuhan

KP

Page 12: KETERANGAN AHLI HUKUM PIDANA PENGUJIAN UNDANG … · hubungan timbal-balik dan saling ... teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua ... negara dapat berkembang

12

Objek perkara atau kegiatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor

1/PNPS/196, menentukan hal-hal sebagai berikut:

1. Penafsiran yang menyimpang tentang suatu agama yang dianut di Indonesia.

2. Kegiatan-kegiatan keagamaan dari organisasi atau aliran kepercayaan yang

menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan suatu agama yang dianut di Indonesia.

3. Mengeluarkan perasaan dan melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan,

penyalahgunaan, dan menodai suatu agama yang dianut di Indonesia.

4. Mengeluarkan perasaan dan melakukan perbuatan supaya orang tidak menganut

agama apapun yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

Pada perbuatan penafsiran yang menyimpang dan kegiatan-kegiatan keagamaan

yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan suatu agama, menurut penulis adalah

tergolong perbuatan yang bersifat penyalahgunaan ajaran agama. Perbuatan

penyalahgunaan secara sadar kepastian dapat menimbulkan perbuatan penodaan

terhadap agama. Di sisi lain, perbuatan penodaan terhadap ajaran agama dapat terjadi

tanpa harus adanya penyalahgunaan ajaran agama.

Visualisasi pada bagan bagan di atas, mengasumsikan seseorang yang menyatakan

perasaan permusuhan terhadap golongan penduduk tertentu yang berdasarkan agama

(Pasal 156 KUHP) secara sadar kepastian berakibat pada permusuhan kepada agama

tertentu sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 156 huruf a KUHP. Menyatakan

perasaan kebencian atau penghinaan terhadap golongan penduduk yang juga

berdasarkan agama tertentu (Pasal 156 KUHP), secara sadar kemungkinan (dolus

eventualis) dapat mengakibatkan terjadinya permusuhan terhadap agama atau penodaan

terhadap agama (Pasal 156 huruf a KUHP). Pasal 156a Huruf a KUHP terkait dengan dolus

premeditatus. Dolus premeditatus adalah sengaja yang telah direnungkan atau dipikirkan

terlebih dahulu. Dengan demikian, pelaku dapat dipastikan melakukan perbuatannya

dengan sebelumya telah direnungkan atau dipikirkan terlebih dahulu, tidak termasuk

disini karena kelalaian (culpa).

Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang dikehendaki sebagaimana

dirumuskan pada Pasal 156 KUHP, namun terjadi akibat yang tidak dikehendaki

sebagaimana dirumuskan pada Pasal 156a huruf a KUHP, maka kepada pembuat

dikenakan ketentuan ancaman pidana Pasal 156a huruf a KUHP. Namun, perlu dicatat

khusus pada Pasal 156a huruf b hal tersebut tidak dimungkinkan, mengingat huruf b

harus “dengan maksud”. Dengan kata lain terjadinya kesengajaan secara kepastian

maupun secara kemungkinan tidaklah mungkin terjadi kepada akibat yang tidak

dikehendaki yang mensyaratkan adanya kesengajaan dengan maksud.

Pasal 156a huruf a tergolong tindak pidana yang dirumuskan secara formil dan

apabila dikaitkan dengan tindak pidana permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan

agama yang dilakukan oleh seseorang, maka ia mengarahkan pikirannya untuk

mewujudkan perbuatan yang dilarang. Berbeda halnya pada delik materil, pikiran

ditujukan untuk menimbulkan suatu akibat yang dilarang. Terbentuknya kesalahan

menurut hukum pidana ditentukan dari sikap batin seseorang. Sikap batin inilah yang

Page 13: KETERANGAN AHLI HUKUM PIDANA PENGUJIAN UNDANG … · hubungan timbal-balik dan saling ... teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua ... negara dapat berkembang

13

kemudian mendorong pikirannya untuk melakukan sesuatu termasuk pula

mengharapkan terjadinya akibat. Dengan kata lain, kesalahan selalu ditandai dengan

adanya pikiran yang berujung melahirkan suatu tindakan - baik berbuat atau tidak

berbuat - atau juga timbulnya suatu akibat yang dilarang oleh hukum pidana. Menjadi

jelas, bahwa kehendak dan pengetahuan seseorang telah mendorong pikirannya untuk

mewujudkan perbuatannya.

C. Kesimpulan

Perbuatan penyalahgunaan agama secara sadar kepastian dapat menimbulkan

perbuatan penodaan terhadap agama. Ketika terjadi penodaan agama, maka derajat

penananganan yang dilakukan adalah berbeda dengan penyalahgunaan agama. Oleh

karena itu, diperlukan adanya peringatan keras dalam bentuk SKB terhadap

penyalahgunaan agama. Keberlakuan SKB terkait adanya pelanggaran sebagaimana

dimaksudkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 PNPS/1965 adalah ruang lingkup

kewenangan mutlak Peradilan Umum, atau merupakan permasalahan penerapan norma,

bukan persoalan konstitusionalitas norma. Dengan demikian, permohonan yang diajukan

oleh pihak Pemohon harus ditolak. Terlebih lagi, apabila Undang-Undang Nomor

1/PNPS/1965 dinyatakan secara konstitusionalitas bersyarat bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1),

Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 29 ayat (2) Undang-

Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang

dimaknai, dipersangkakan terhadap warga negara di komunitas Ahmadiyah yang hanya

beribadah di tempat ibadahnya secara internal dan tidak di muka umum, maka

dikhwatirkan akan semakin berkembangnya tindakan menghakimi sendiri

(eigenrichting).

Terlepas dari segala kekurangan yang ada dalam Undang-Undang Nomor

1/PNPS/1965, terdapat suatu hal yang menarik yakni pengakuan kepentingan agama

dikonsepsikan sebagai bagian dari kepentingan umum. Sejalan dengan kaidah,

“mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat”, dan

“jika kita tidak dapat mengambil seluruhnya, maka jangan ditinggalkan (dibuang)

seluruhnya”, maka Undang-Undang Nomor 1/PNPNS/1965 harus dipertahankan selama

belum ada undang-undang yang baru yang lebih baik.

Page 14: KETERANGAN AHLI HUKUM PIDANA PENGUJIAN UNDANG … · hubungan timbal-balik dan saling ... teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua ... negara dapat berkembang

14

DAFTAR PUSTAKA

Buku, Hasil Penelitian, dll.

Abdul Chair Ramadhan, Membangun Politik Hukum Sistem Ketahanan Nasional Terhadap Ancaman Ekspansi Ideologi Transnasional Syiah Iran, Disertasi. Program Pascasarjana Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2016.

_____________, 2017, Tindak Pidana Penodaan Agama, Lisan Hal, Jakarta.

A. Masyhur Effendi & Taufani Sukmana Evandri, 2010, HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik; Dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-Kham (Hukum Hak Asasi Manusia), Ghalia Indonesia, Bogor.

Adi Sulistyono, ”Kebebasan Beragama dalam Bingkai Hukum”, Makalah Seminar Hukum Islam “Kebebasan Berpendapat VS Keyakinan Beragama Ditinjau dari Sudut Pandang Sosial, Agama, dan Hukum,” FOSMI Fakultas Hukum UNS, Surakarta.

Bambang Poernomo, 1983, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Barda Nawawi Arief, 2007, Delik Agama dan Penghinaan Tuhan (Blasphemy) di Indonesia dan Perbandingannya di Berbagai Negara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Eddy O.S. Hiariej, 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.

Ismail Suny, 1987, Mekanisme Demokrasi Kita, Aksara Baru, Jakarta.

Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Lili Rasjidi, 1985, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Alumni, Bandung.

Mardjono Reksodiputro, 1995, Pembaharuan Hukum Pidana: Buku Keempat, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta.

Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung.

Moeljatno, 2015, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Muladi, Beberapa Catatan Berkaitan Dengan RUU KUHP Baru, Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional RUU KUHP Nasional. Diselenggarakan oleh Universitas Internasional Batam, Batam 17 Januari 2004.

Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar, 24 Februari 1990, Semarang, Universitas Diponegoro.

Oemar Seno Adji, 1985, Hukum Pidana Pengembangan, Erlangga, Jakarta.

_____________, 1981, Hukum (Acara) Pidana Dalam Prospeksi, Erlangga, Jakarta.

Roeslan Saleh, 1991, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-undangan, Sinar Grafika, Jakarta.

Sabian Utsman, 2009, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog antara Hukum dan Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Page 15: KETERANGAN AHLI HUKUM PIDANA PENGUJIAN UNDANG … · hubungan timbal-balik dan saling ... teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua ... negara dapat berkembang

15

Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

S.R. Sianturi, 1986, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 1981, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Supanto, 2007, Delik Agama, Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press), Surakarta.

Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Gema Insani Press, Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden Dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang,

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Putusan Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 84/PUU-X/2012.

Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009.

Page 16: KETERANGAN AHLI HUKUM PIDANA PENGUJIAN UNDANG … · hubungan timbal-balik dan saling ... teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua ... negara dapat berkembang

16

Lampiran 1 : Bagan Posisi Teori Solvasisasi (Pelarutan) Hukum

(Sumber: Abdul Chair Ramadhan, 2016)

SISTEM KETAHANAN NASIONAL

TEORI AL-MAQASHID SYARIAH

TEORI SOLVASISASI HUKUM

POLITIK HUKUM PIDANA

TEORI RECEPTIO A CONTRARIO

TEORI LINGKARAN KONSENTRIS

TEORI EKSISTENSI HUKUM

ISLAM

TEORI PLURALISME HUKUM

TUJUAN HUKUM ISLAM

TATA HUKUM INDONESIA

Page 17: KETERANGAN AHLI HUKUM PIDANA PENGUJIAN UNDANG … · hubungan timbal-balik dan saling ... teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua ... negara dapat berkembang

17

Lampiran 2 : Model Penerapan Sanksi Tindakan Tindak Pidana Terhadap Agama

(Sumber : Abdul Chair Ramadhan, 2017)

UU No.1/PNPS/1965

Penyelewengan Agama (Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3)

Delik permusuhan atau penodaan terhadap agama (huruf a).

Delik agar orang tidak memeluk agama (huruf b).

Penyelewengan terhadap penafsiran ajaran pokok agama.

Penyelewengan terhadap kegiatan agama.

Langsung diproses sebagai tindak pidana melalui pemeriksaan penyidikan dan penuntutan di pengadilan.

Diberikan peringatan keras lebih dahulu dengan Skep Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung.

Proses pemidanaan bila tidak mengindahkan peringatan keras / pembubaran / pelarangan.

Ancaman hukuman masksimum 5 (lima) tahun penjara.

Pasal 4 (Pasal 156a KUHP)

Page 18: KETERANGAN AHLI HUKUM PIDANA PENGUJIAN UNDANG … · hubungan timbal-balik dan saling ... teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua ... negara dapat berkembang

18