kesusastraan sebelum dan sesudah masuknya islam …
TRANSCRIPT
LITERATURE BEFORE AND AFTER THE ENTRY OF ISLAM FROM
ORAL LITERATURE TO WRITTEN LITERATURE AND ITS
RELEVANCE TO CHARACTER EDUCATION IN
WABOROBO AND BUTON PALACE
BAUBAU CITY SOUTHEAST
SULAWESI
TESIS
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar
Magister Pendidikan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia
OLEH :
SITI JULIATIN
NIM : 105041301718
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021
KESUSASTRAAN SEBELUM DAN SESUDAH MASUKNYA ISLAM
DARI SASTRA LISAN KE SASTRA TULIS DAN RELEVANSINYA
TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER DI WABOROBO
DAN KERATON BUTON KOTA BAUBAU
SULAWESI TENGGARA
i
KESUSASTRAAN SEBELUM DAN SESUDAH MASUKNYA ISLAM DARI SASTRA LISAN KE SASTRA TULIS DAN RELEVANSINYA TERHADAP
PENDIDIKAN KARAKTER DI KERATON BUTON KOTA BAUBAU SULAWESI TENGGARA
TESIS
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai Magister
Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun dan diajukan oleh
SITI JULIATIN Nomor Induk Mahasiswa : 105041301718
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021
ii
TESIS
KESUSASTRAAN SEBELUM DAN SESUDAH MASUKNYA ISLAM DARI SASTRA LISAN KE SASTRA TULIS DAN RELEVANSINYA TERHADAP
PENDIDIKAN KARAKTER DI KERATON BUTON KOTA BAUBAU SULAWESI TENGGARA
Yang Disusun dan Diajukan Oleh
SITI JULIATIN
Nomor Induk Mahasiswa
105041301718
Telah Dipertahankan Di Depan Panitia Ujian Tesis
Pada Tanggal 30 Januari 2021
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Prof.Dr.H.Muhammad Rapi Tang,M.S. Dr.H.Andi Sukri Syamsuri,M.Hum.
Mengetahui
Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi Magister Unismuh Makassar Bahasa dan Sastra Indonesia Dr.H.Darwis Muhdina,M.Ag. Dr.Abdul Rahman Rahim,M.Hum. NBM : 483 523 NBM : 922 699
iii
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI
Judul Tesis Kesusastraan Sebelum dan Sesudah Masuknya Islam Dari Sastra Lisan Ke Sastra Tulis dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Karakter Di Keraton Buton Kota Baubau Sulawesi Tenggara
Nama Mahasiswa SITI JULIATIN NIM 105041301718 Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Telah diuji dan dipertahankan di depan Panitia Penguji Tesis pada
Tanggal 30 Januari 2021 dan dinyatakan telah dapat diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia (M.Pd) pada Program Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Makassar dengan beberapa perbaikan.
Makassar, 22 Maret 2021
Tim Penguji
Prof.Dr.H.Muhammad Rapi Tang,M.S. ………………………………
(Pembimbing I)
Dr.H.Andi Sukri Syamsuri,M.Hum. ………………………………
(Pembimbing II)
Dr.Abdul Rahman Rahim,M.Hum. ……………………………….
(Penguji I)
Dr.Muhammad Akhir,M.Pd. ……………………………….
(Penguji II)
Mengetahui
Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi Magister Unismuh Makassar Bahasa dan Sastra Indonesia Dr.Darwis Muhdina,M.Ag. Dr.Abdul Rahman Rahim,M.Hum. NBM : 483 523 NBM : 922 699
iv
MOTO DAN PERSEMBAHAN
MOTO
Menyia-nyiakan waktu lebih buruk dari kematian
Karena kematian memisahkan dari dunia sementara
Menyia-nyiakan waktu memisahkanmu dari Allah
-Imam bin Al Qayim
PERSEMBAHAN
Tesis ini saya persembahkan untuk keluarga
Tersayang, kedua orang tuaku, anak-anakku,
Serta orang-orang yang sudah banyak berkorban dalam
Memberi semangat, mendoakan, dan mendorong
Kesuksesanku dari segi material maupun non material
v
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama Siti Juliatin
NIM 105041301718
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, dan bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan
Tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut.
Makassar, 22 Februari 2021
Pembuat pernyataan
Siti Juliatin NIM : 105041301718
vi
vii
ABSTRAK
SITI JULIATIN. 2021, “ Kesusastraan Sebelum dan Sesudah Masuknya Islam Dari Sastra Lisan Ke Sastra Tulis dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Karakter Di Keraton Buton Kota Baubau Sulawesi Tenggara “ di bimbing oleh Muhammad Rapi Tang dan Andi Sukri Syamsuri.
Penelitian ini bertujuan :1). Mendeskripsikan nilai moral dalam syair Kabhanti Gambusu di kelurahan Keraton kecamatan Murhum kota Baubau, 2). Mengungkapkan nilai-nilai kearifan lokal pada Kabhanti Bula Malino dan Jaohara Molabina sebagai landasan pendidikan, 3). Meminimalkan pengaruh negatif budaya luar khususnya budaya barat yang dibawa oleh globalisasi, 4). Menelaah fungsi dan peranan kesusastraan bagi kehidupan masyarakat Buton.
Penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di kelurahan Keraton kecamatan Murhum kota Baubau. Subjek penelitian adalah penutur asli syair Kabhanti Gambusu dan karya sastra Muhammad Idrus Kaimuddin. Teknik pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik rekam dan teknik catat syair Kabhanti Gambusu serta melakukan pengamatan pada karya sastra Muhammad Idrus Kaimuddin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1). Nilai moral pada Kabhanti Gambusu terdiri dari prinsip sikap baik berupa pentingnya kesadaran manusia tentang eksistensi kemanusiaan, prinsip kerukunan berupa saling memperhatikan satu sama lain, prinsip hormat patuh kepada orang tua, dan prinsip ketuhanan dalam wujud keyakinan atas ketetapan tuhan, 2). Nilai kearifan lokal Kabhanti Bula Malino dan Jaohara Molabina terdiri dari aspek religius tentang hubungan manusia dengan tuhan, aspek norma tentang syariat Islam sebagai sumber utama dalam kehidupan masyarakat, dan aspek sosial tentang budi pekerti yang merujuk pada falsafah Buton Bhinci-Bhinciki Kuli. Nilai kearifan lokal dapat diimplementasikan dalam pendidikan karena pendidikan menjadi target kurikulum maka perlu kolaborasi antara nilai-nilai kearifan lokal dengan materi pendidikan. Memperkenalkan Kabhanti sebagai budaya daerah ke dalam mata pelajaran akan mengembangkan kebudayaan bangsa yang berkepribadian dan berkesadaran nasional. gerakan kearifan Buton dengan kembali ke akar budaya Buton sendiri merupakan tindakan cerdas untuk meminimalkan pengaruh negatif globalisasi. Kata kunci : nilai moral syair Kabhanti Gambusu, kearifan lokal, karakter, norma, nilai, sosial
viii
ABSTRACT
SITI JULIATIN. 2021. “ Literature Before and After Entry Islam From Oral
Literature To Written Literature and Relevance Hamp Character Education
In Keraton Buton Baubau City Southeast Sulawesi “ guided by
Muhammad Rapi Tang and Andi Sukri Syamsuri.
The aim of this studi :1). Discribe moral values in double Kabhanti
verse in the Waborobo village Betoambari sub district Baubau city, 2).
Express the value local wisdom on the Kabhanti Buton community as a
foundation of education, 3). Minimize influence negative culture outside
especially western culture brought about by globalization, 4). Examine
function and role literature for the life of the Buton people. .
This research is field research by using a qualitative descriptive
method. This research was conducted in Waborobo village Betoambari
district and Keraton village Murhum district Baubau city. Research subject
are native speaker of double Kabhanti verse and literary works of
Muhammad Idrus Kaimuddin. Data collection techniques were carried out
using recording techniques and double Kabhanti verse note techniques
and observing the literary works of Muhammad Idrus Kaimuddin.
Research result show that :1) Moral values in dual Kabhanti consist
of good attitudes in the form of the importance of human awareness of the
existence of humanity, the principle of harmony in the form of mutual care
for one another, the principle of obedient respect to parents, and divine
principles in the form of belief in divine provision, 2). The value of local
wisdom consists of religious aspect about the relationship between
humans and god, aspect of norms regarding Islamic law as the main
source in people’s lives, social aspects of manners which refer to the
Buton Bhinci-Bhinciki Kuli falsafah. The value of local wisdom in Kabhanti
can be implemented in education because education is the target of the
curriculum it is necessary to collaborate between local wisdom values and
educational materials. Introducing Kabhanti as a regional culture into the
subject will develop a national culture with a national personality and
awareness.
Keywords : moral values, dual Kabhanti verse, local wisdom, character,
norms, values, social
ix
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur semoga senantiasa tercurahkan Kehadirat Allah
Swt.,yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan kenikmatan-Nya
kepada kita. Sehingga pada kesempatan kali ini kita masih sempat
menyelesaikan penulisan hasil Tesis ini dalam keadaan sehat walafiat.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita yakni
Baginda Rasulullah Muhammad Saw.,yang telah membawa umat manusia
dari zaman kedzaliman, kesesatan menuju zaman yang penuh dengan
petunjuk, cahaya, dan kebenaran. Kepada keluarga beliau, para sahabat,
dan para pengikut-pengikutnya yang senantiasa istiqamah dalam
menegakkan syariat Islam kapanpun dan dimanapun mereka berada.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada kedua orang tua saya ibu Masfufah dan bapak
Amran Hasibuan yang telah memberikan dukungan penuh dalam
mengatasi kendala yang ada dari awal proses penelitian hingga saat ini.
Dan tak lupa ucapan terima kasih juga kepada :
1. Prof.Dr.H.Ambo Asse,M.Ag., Rektor Universitas Muhammadiyah
Makassar yang telah memberi kesempatan untuk bisa menuntut ilmu
menjadi mahasiswa di kampus ini.
2. Dr.H.Darwis Muhdina,M.Ag., sebagai Direktur Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah memberikan izin dan
dukungan demi terlaksananya penelitian dalam rangka penulisan tesis.
x
3. Dr.Abdul Rahman Rahim,M.Hum., sebagai Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang tiada hentinya
memberikan motivasi kepada mahasiswa untuk menjadi contoh
teladan.
4. Prof.Dr.H.Muhammad Rapi Tang,M.S., sebagai pembimbing I yang
telah membimbing penulis menjadi insan akademis serta berbagai
motivasi yang penulis peroleh.
5. Dr.H.Andi Sukri Syamsuri,M.Hum., sebagai pembimbing II yang telah
membimbing penulis dalam penyelesaian penelitian ini serta motivasi
yang diberikan.
6. Dr.Abdul Rahman Rahim,M.Hum., sebagai penguji I yang telah banyak
memberikan masukan guna perbaikan tesis ini.
7. Dr.Muhammad Akhir,M.Pd., sebagai penguji II yang telah banyak
memberikan masukan dan motivasi guna perbaikan tesis ini.
Harapan penulis semoga Tesis ini dapat memberikan pencerahan
dan manfaat bagi penulis khususnya dan secara umum bagi pembaca
lainnya. Segala kritikan dan masukan demi penyempurnaan Tesis ini akan
di terima dengan senang hati.
Makassar, 22 Februari 2021 Penulis
Siti Juliatin NIM : 105041301718
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI ...................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ............................................................ iv
ABSTRAK .................................................................................................. v
ABSTRACT ............................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................ vii
DAFTAR ISI ............................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian ............................................................ 1
B. Penelitian Relevan ...................................................................... 14
C. Rumusan Masalah ..................................................................... 16
D. Tujuan Penelitian ....................................................................... 16
E. Manfaat Penelitian ..................................................................... 17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Pustaka ........................................................................ 18
1. Mengenal Buton, Sejarah Buton, dan Sastra Buton .............. 18
2. Dari sastra lisan menuju sastra tulis ..................................... 23
3. Nilai moral nyanyian rakyat ................................................... 30
4. Nilai kearifan lokal Kabhanti .................................................. 33
B. Kerangka Pikir ........................................................................... 38
xii
BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian ............................................................... 40
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 40
C. Jenis dan Sumber Data ............................................................. 40
D. Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 41
E. Teknik Analisis Data .................................................................. 41
F. Teknik Keabsahan Data ............................................................ 42
BAB IV TEMUAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pembahasan Hasil Penelitian .................................................... 43
1. Pengolahan data hasil penelitian ......................................... 43
B. Pembahasan ............................................................................. 93
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .............................................................................. 100
B. Saran ....................................................................................... 100
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 104
LAMPIRAN............................................................................................. 113
xiii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberagaman bahasa merupakan warisan budaya leluhur yang
sangat berharga sehingga upaya untuk melestarikan bahasa daerah harus
ditangani serius. Hilangnya suatu bahasa pada hakikatnya merupakan
hilangnya warisan nilai-nilai budaya suatu kelompok masyarakat. gagasan
yang menyatakan bahwa kandungan budaya tercermin dalam bahasa
sudah lama dan sudah banyak diungkapkan oleh para pakar. kandungan
setiap budaya terungkap dalam bahasanya. Tidak ada materi bahasa baik
isi maupun bentuk yang tidak dirasakan sebagai lambang makna yang
dikehendaki, tanpa memperdulikan sikap apapun yang ditunjukkan oleh
budaya lain. pengalaman budaya yang baru sering dirasakan penting
untuk memperluas sumber-sumber acuan suatu bahasa.
Bahkan Bloomfield menambahkan bahwa begitu kuat budaya
terhadap bahasa. Sehingga kekayaan atau kemiskinan suatu budaya
tercermin dalam bahasanya. Akhirnya dapat dimaknai bahwa tujuan hakiki
dari pemeliharaan dan penggunaan bahasa daerah adalah untuk
memastikan dan sekaligus pengidentifikasian budaya-budaya daerah dan
nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Bahasa daerah dalam UUD 1945
ditetapkan sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas
daerah, alat perhubungan didalam keluarga dan masyarakat daerah,
1
2
sebagai sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia, dan
sebagai pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia. dalam
hubungannya dengan fungsi bahasa Indonesia bahasa daerah berfungsi
sebagai pendukung bahasa Indonesia, bahasa pengantar pada tingkat
permulaan sekolah dasar di daerah tertentu untuk memperlancar
pengajaran bahasa Indonesia atau pelajaran lain, dan sumber
kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia.
Kebhinekaan suku bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia berimbas kepada keragaman budaya yang
didalamnya terdapat keragaman bahasa daerah yang dimilikinya.
Kekhasan bahasa daerah masing-masing etnis itu senantiasa
mengandung perhatian berbagai kalangan khususnya peneliti bahasa dan
sastra daerah.
Sastra daerah yang menggunakan bahasa daerah adalah salah
satu terpenting yang sangat mendesak diungkapkan melalui kajian ilmiah.
karena pentingnya hal ini sangat banyak kajian interdisipliner sastra
dengan bidang ilmu lain. seperti kajian sastra daerah dari sudut pandang
sosial budaya, agama, nilai, lingkungan, dan lain-lain.
Kajian sastra khususnya sastra daerah (sastra lisan) tidak hanya
berorientasi pada pendokumentasian dan pelestarian sastra lisan dan
bahasa daerah yang digunakannya. Akan tetapi lebih pada pengungkapan
serta aktualisasi nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Berbagai upaya
3
ilmiah tersebut banyak memberikan manfaat terhadap eksistensi sastra
daerah bagi kehidupan pembaca dan pemiliknya.
Dijelaskan dalam GBHN 1999-2004 butir 2f tentang kebudayaan,
kesenian, dan pariwisata (1999,106) bahwa ada upaya untuk melestarikan
apresiasi nilai kesenian dan kebudayaan tradisional serta menggalakkan
dan memberdayakan pusat-pusat kesenian untuk merangsang
berkembangnya kesenian nasional yang lebih kreatif dan inovatif sehingga
menumbuhkan rasa kebanggaan nasional.
Secara morfologi kata kesusastraan berasal dari kata dasar
susastra yang diberi imbuhan ke-an. Kata dasar susastra sebenarnya kata
dasar kedua karena dapat diuraikan pula atas su dan sastra. Keduanya
berasal dari bahasa sansekerta. Su berarti baik, sastra berarti tulisan.
Kata susastra sendiri dalam bahasa Indonesia tidak hidup pemakaiannya
kecuali dalam kata bentukan kesusastraan. Untuk pengertian susastra
saat ini dipakai sastra saja. Sedangkan kesusastraan mengandung
pengertian jamak yaitu semua yang meliputi sastra. Kesusastraan
Indonesia artinya semua hal yang meliputi sastra Indonesia.
Effendi (dalam Badudu,1984;5) menjelaskan bahwa kesusastraan
(sastra) ialah ciptaan manusia dalam bentuk bahasa lisan maupun tulisan
yang dapat menimbulkan rasa bagus dan sastra juga sebagai kesimpulan
pendapat dengan bahasa yang indah. Dari Gazali.B.A, B.Simorangkir,
Zuber Usman, Suparlan.D.S, maupun H.F.Sitompul yang mengakui
bahwa kesusastraan itu karya seni yang ditulis dengan bahasa yang
4
indah. Secara singkat sastra adalah suatu kegiatan yang kreatif dari
sebuah karya seni.
Sastra lisan adalah bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh
dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dan diwariskan secara
terus-menerus secara lisan sebagai milik bersama. Shipley (dalam Gaffar
dkk,1991;2) menjelaskan secara rinci bahwa sastra lisan adalah jenis atau
kelas karya sastra tertentu yang dituturkan dari mulut ke mulut tersebar
secara lisan, anonim, dan menggambarkan kehidupan masyarakat pada
masa lampau. Jenis sastra lisan meliputi : 1. Bahasa rakyat : logat,
sindiran, dan mantra. 2. Ungkapan tradisional : peribahasa, pepatah, dan
seloka. 3. Pertanyaan tradisional : teka-teki, wangsalan. 4. Puisi rakyat :
pantun, syair, dan gurindam. 5. Cerita prosa rakyat : mite, legenda,
dongeng, fabel, cerita jenaka. 6. Nyanyian rakyat.
Kehidupan sastra daerah itu dapat dikatakan masih berkisar pada
sastra lisan yang sebagian besar tersimpan dalam ingatan orang tua atau
pencerita yang jumlahnya semakin berkurang dimakan usia. Sastra
daerah sebagai kebudayaan daerah yang mempunyai peran sangat
penting dalam upaya pengembangan kebudayaan nasional. untuk itu
penggalian kebudayaan daerah memerlukan data dan informasi yang
lengkap sehingga keanekaragaman kebudayaan tersebut dapat
mewujudkan kesatuan bangsa melalui sastra daerah yang dimilikinya.
Salah satu informasi yang sangat penting yaitu adanya sastra daerah
yang masih berbentuk lisan dan masih terdapat di tengah-tengah
5
masyarakat, serta diwariskan dan disebarkan secara turun-temurun dari
generasi berikutnya.
Fungsi dan kedudukan sastra lisan itu sangat penting untuk
mendukung usaha kegiatan pengembangan sastra tradisional yang
menjadi aspirasi dan kreasi yang akan memperkaya dan mempermantab
wawasan budaya bangsa Indonesia. oleh karena itu, sastra daerah
merupakan gambaran dari alam budaya bangsa Indonesia. salah satu dari
sekian banyak yang mewarisi sastra lisan daerah Buton adalah
masyarakat Waborobo. Sastra lisan masyarakat Waborobo sangat
beranekaragam jenisnya.
Syair Kabhanti Ganda merupakan salah satu sastra lisan
masyarakat Waborobo yang biasa dilantunkan pada prosesi budaya yang
disebut acara pingitan sebagai warisan sejak zaman dahulu hingga saat
ini. Proses upacara adat ini dilaksanakan untuk puluhan anak gadis di
kampung tersebut yang baru saja melewati masa menstruasi pertama.
Pada prosesi upacara adat pingitan selama tujuh malam atau
delapan malam ini misalnya, para orang tua melantunkan nyanyian yang
kemudian disebut dengan syair Kabanti Ganda. Syair Kabhanti Ganda ini
masih dipertahankan oleh masyarakat Waborobo sekaligus sebagai ciri
khas budaya masyarakat pemiliknya. Masyarakat kelurahan Waborobo
kecamatan Betoambari kota Baubau masih merasakan betapa penting
dan perlunya nilai-nilai kehidupan sosial keagamaan yang terkandung
dalam prosesi dari nyanyian tersebut.
6
Disamping tradisi adat dan peninggalan bukti sejarah berupa
artefak-artefak sejarah yang menjadi pilar pelestarian budaya dan
sekaligus sebagai wahana untuk mempertahankan keberadaan bahasa
Wolio, yang perlu diangkat ke permukaan adalah nyanyian rakyat Buton.
Nyanyian rakyat merupakan salah satu alat atau wadah yang ampuh
untuk dapat mempertahankan keberadaan bahasa daerah. Fungsi
nyanyian rakyat selain sebagai alat pemertahanan bahasa juga berfungsi
sebagai sarana pendidikan. Orang yang bernyanyi pada dasarnya ingin
menyampaikan pesan atau nasehat yang bermanfaat bagi pembentukan
watak dan kepribadian para pendengarnya. Pesan atau nasehat itu akan
lebih mudah diterima jika dijalin dengan syair atau puisi yang
mengasyikkan. Sehingga tanpa terasa para pendengarnya dapat
menyerap ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya sesuai dengan taraf
dan tingkat kedewasaan jiwanya masing-masing. fungsi lain dari nyanyian
rakyat adalah sebagai pengokoh nilai-nilai dari sosial budaya yang berlaku
dalam masyarakat. dalam nyanyian rakyat terkadang ajaran-ajaran etika
dan moral bisa dipakai sebagai pedoman bagi masyarakat. disamping itu,
didalamnya juga terdapat larangan dan pantangan yang perlu dihindari.
Nyanyian rakyat bagi warga masyarakat pendukungnya bisa menjadi
tuntunan tingkah laku dalam pergaulan sosial. Dengan demikian, nyanyian
rakyat berfungsi sebagai pengokohan nilai-nilai budaya dan juga sebagai
media silahturahmi sesama masyarakat.
7
Indonesia merupakan negara yang secara garis besar mempunyai
keragaman budaya, bahasa, serta adat istiadat. Indonesia yang terdiri dari
tiga puluh empat provinsi yang masing-masing kaya akan budaya, bahasa
dan adat istiadat termasuk sastra lisan dan tulisan. Sastra lisan
merupakan ekspresi dari suatu budaya yang lahir dan berkembang pada
masyarakat tertentu yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke
mulut serta turun-temurun.
Sastra tulis seperti Kabhanti yang berbahasa Wolio menjadi salah
satu aspek yang dapat digunakan untuk mengenal budaya. Pada sisi lain
kabhanti sebagai cermin kehidupan dan warisan budaya nasional serta
masih mempunyai amanat yang tersirat didalamnya. Terutama sastra tulis
kabhanti Bula Malino dan Bunga Malati. Kabhanti Bula Malino merupakan
sebuah sastra tulis yang menceritakan tentang hubungan manusia
dengan tuhannya, serta sikap yang harus dimiliki sebagai manusia ciptaan
tuhan.
Sastra tulis dapat ditemukan pada masyarakat yang berada di
daerah terpencil atau masyarakat tradisional. Seperti kabhanti pada
beberapa tempat di seluruh nusantara, khususnya di Keraton Buton
Sulawesi Tenggara. Saat ini keberadaan kabhanti terkesan terpinggirkan
dengan melihat kenyataan yang ada bahwa kebanyakan masyarakat
masa kini tidak lagi menjaga keutuhan dan kelestarian yang menjadi ciri
khas daerahnya yaitu sastra tulis. Keberadaan kabhanti sudah mulai
tergusur oleh jenis-jenis karya seni lain. kalau pun kabhanti masih
8
digunakan, pembacanya hanya pada kalangan orang tua karena kabhanti
hanya dapat dipahami oleh mereka dan siapapun yang mendengarkan isi
kabhanti tersebut meneteskan airmata karena kesedihan yang mendalam.
Kabhanti berpotensi untuk menggugah rasa empati, religi, maupun
suasana romantis. Tergusurnya kabhanti disebabkan oleh masyarakat
suku Buton yang sudah banyak menerima budaya baru dan meninggalkan
budaya tradisi lama, contohnya adanya pengaruh luar atau seni modern.
Terutama generasi muda yang merupakan generasi penerus, dan para
orang tua sebagai pendidik diakibatkan beberapa faktor seperti
masyarakat suku Buton mulai generasi muda sampai orang tua telah lupa
dengan budayanya sendiri khususnya kabhanti sebagai hasil budaya
daerah Buton dan mulai menerima unsur budaya modern seperti ragam
musik pop, dangdut, rock, dan lain-lain. selain itu, pengguna bahasa Wolio
sedikit demi sedikit mulai berkurang karena lebih mengutamakan
penggunaan bahasa asing disebabkan karena akulturasi (pencampuran
atau pembauran) budaya. Pembelajaran bahasa daerah pada mata
pelajaran muatan lokal di sekolah telah diganti dengan bahasa asing
karena Keraton merupakan wilayah wisata dipusat kota Baubau. Sehingga
peserta didik sangat kurang memahami bahasa daerah yang dijadikan
mata pelajaran muatan lokal. Hal ini berefek pada kabhanti sebagai karya
tulis yang dijadikan budaya turun-temurun masyarakat Buton. Jika dilihat
dari arti syair kabhanti banyak mengandung nasihat-nasihat yang dapat
diambil manfaatnya terutama pada nilai religius dan kearifan lokal.
9
Religius adalah penghayatan dan pemahaman yang dilakukan
seseorang dalam hidup serta kehidupan terutama pada kabhanti Bula
Malino dan Bunga Malati.
Meneliti kembali kehidupan manusia Indonesia masa lalu mereka
telah mewariskan tentang adab dan kearifan hidup yang diajarkan baik
melalui lisan maupun tulisan. Salah satu contoh warisan pemikiran
tentang adab pada masa lalu telah ada zaman kerajaan tradisional di
Indonesia khususnya pada kesultanan Buton. Pada masa Sultan
Muhammad Idrus Kaimuddin telah melahirkan suatu pemikiran mengenai
adab bagi masyarakat Buton baik di lingkungan Keraton maupun di luar
Keraton.
Sebelum masuknya Islam masyarakat Buton Beragama hindu
budha atau kepercayaan animisme dan dinamisme. Bahkan hingga abad
ke-19 para pejabat kerajaan, Sultan, dan seluruh perangkatnya masih
berfungsi, sistem kekuasaannya tetap berjalan, pranata-pranatanya tetap
terpelihara, hegemoninya masih tetap diakui oleh daerah-daerah yang
sudah lama menjadi wilayah kekuasaannya. Para penguasa masih tetap
memelihara nilai-nilai Islam yang sufistik, bahkan dua dari enam Sultan
yang berkuasa pada abad ke-19 mewariskan beberapa artikel, karya tulis,
yang berisikan ajaran tasawuf (Rajab,2015;50-51).
Salah satu Sultan yang dianggap paling berjasa dalam
pengembangan Islam adalah Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, beliau
memerintah antara tahun 1824-1851. Meskipun sebagai seorang Sultan
10
beliau sangat gemar menulis dalam rangka untuk mengembangkan
kepercayaan yang diyakini. Ketika menjadi Sultan beliau mendirikan
sekolah yang diberi nama Zaawiyah. Hasil dari sekolah ini adalah
melahirkan cendekiawan yang gemar menulis.
Agama dimaknai sebagai ajaran sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada tuhan yang maha
kuasa, tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan
manusia serta manusia dan lingkungannya. Mayoritas penduduk Baubau
beragama Islam dan mengidentifikasikan diri mereka sebagai negeri
kesultanan Khalifatul Khamis atau negeri Khalifah kelima. Masyarakat
Buton bukan hanya mempelajari aqidah dan ajaran Islam tetapi lebih jauh
dari itu. Agama Islam mempunyai pengaruh yang sangat besar dan
penting. Masuknya Islam di Buton bukan hanya membawa aqidah atau
ajaran Islam tetapi juga sekaligus mempelajari aksara Arab yang
kemudian diadabtasi oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhannya.
Tulisan ini bagi masyarakat Buton menyebutnya dengan Buri Wolio
(aksara Wolio). Aksara ini pada prinsipnya diadopsi dari aksara Arab
melayu. Sebelumnya naskah / tulisan berbahasa Woilo juga banyak ditulis
dan tersimpan di perpustakaan kesultanan. Naskah-naskah yang
diwariskan sejak zaman kesultanan kurang lebih 350 buah (mantan
sekretaris Sultan Buton terakhir Muhammad Falihi 1938-1960). Selain dari
naskah-naskah tersebut terdapat pula naskah-naskah yang dimiliki secara
pribadi oleh masyarakat dan jumlahnya diperkirakan sangat besar.
11
Dengan demikian dapat dihubungkan bahwa pemertahanan bahasa Wolio
juga bersinggungan langsung dengan agama.
Wilayah pemakaian bahasa Wolio pada masa pemerintahan
kesultanan Buton meliputi wilayah Keraton Buton di Wolio sekarang ini
menjadi pusat pemerintahan kota Baubau. Bahasa Wolio selain digunakan
sebagai alat komunikasi di pusat kerajaan Buton di Wolio juga digunakan
sebagai bahasa resmi di tingkat kesultanan Buton.
Salah satu keunggulan bahasa Wolio dibandingkan dengan
kelompok bahasa lainnya yang terdapat di kesultanan Buton adalah
bahasa Wolio memiliki sistem aksara yang baku diadopsi dari aksara Arab
dan aksara Jawi (Arab melayu). Hal ini dapat dilihat melalui berbagai
peninggalan tertulis (naskah kuno) yang tersimpan di pusat Keraton
Koleksi almarhum Muhammad Idrus Kaimuddin. Naskah-naskah kuno
yang tersimpan selain menggunakan bahasa Wolio juga menggunakan
beberapa bahasa yaitu bahasa melayu, Arab, Bugis, Belanda, dan
Jepang. Dapat dipastikan bahwa kosakata bahasa Wolio memenuhi
syarat sehingga mencapai fungsinya secara maksimal karena
mengadopsi unsur-unsur serapan dari berbagai bahasa terutama bahasa
melayu, bahasa Arab, dan bahasa pancana.
Ajaran-ajaran moral yang mencerahkan bagi masyarakat Buton
sedang mengalami situasi krisis moral di Keraton. Pada hakikatnya Sultan
Muhammad Idrus Kaimuddin berfungsi sebagai guru masyarakat pada
zamannya. Menemukan esensi konsep tata krama atau etika menurut
12
ajaran pemikiran Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin yang menjadi
tuntunan masyarakat Keraton kesultanan Buton yang pada dasarnya
banyak bersumber dari ajaran agama Islam. Kelahiran pemikiran berupa
ajaran-ajaran moral, etika, agama, dan kehidupan masyarakat Keraton
Buton yang berlangsung melalui akulturasi antara Islam dan kebudayaan
Buton pada hakikatnya merupakan sebuah proses pembentukan
peradaban Buton yang berpusat pada Keraton dan disebarkan pada
masyarakat Buton secara umum melalui proses dialog antara kebudayaan
Buton dan kebudayaan Islam. Diakui telah terjadi akulturasi antara
kebudayaan Buton dengan Islam atau sebaliknya, serta pembauran
antara Islam dan budaya adat Buton. Meskipun demikian, pemikiran
seorang Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin dalam menjaga kearifan
lokal melalui Kabhanti (naskah tulis).
Kabhanti berasal dari bahasa Wolio terdiri dari dua morfem yaitu
morfem terikat dan morfem bebas. Morfem terikat berfungsi sebagai
pembentuk kata benda, sedangkan morfem bebas (bhanti) mengandung
pengertian puisi. bentuk puisi merupakan bentuk kesusastraan yang
menggunakan pengulangan suara sebagai ciri khasnya. Pengulangan
kata tersebut menghasilkan rima, irama, atau ritme. Menurut La Niampe
(2000) Kabhanti merupakan suatu karya sastra yang berbentuk puisi.
Kesusastraan jenis ini telah dikenal oleh masyarakat Buton sejak masa
kerajaan Buton oleh karena itu kesusastraan jenis Kabhanti merupakan
kesusastraan masyarakat Buton paling tua. Kabhanti berkembang pesat
13
setelah masuknya agama Islam di kerajaan Buton. Masuknya ajaran Islam
sanggup mengubah dan mewarnai perkembangan sastra masyarakat
Buton. Petuah tentang nilai-nilai dan falsafah hidup disampaikan melalui
Kabhanti yang pada prinsipnya merupakan hasil pengolahan secara
bebas dari kesusastraan bentuk prosa sejak zaman itu. Kabhanti tidak
saja berkembang secara lisan tetapi juga berkembang secara tertulis.
Pembacaan Kabhanti biasanya dilakukan saat acara pengajian, acara
walimatul ursy, acara khitanan serta sebagian besar nenek moyang
masyarakat Buton menyanyikan Kabhanti untuk anak-anaknya sebelum
tidur.
Sebagai contoh kearifan pendidikan etika, moral, dan karakter
tersirat dalam nasehat Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin dalam
Kabhanti karya beliau sebagai unsur kebudayaan orang Buton yang hidup
di lingkungan masyarakat Keraton pada abad ke-19. Ajaran etika
kehidupan yang menjadi tuntunan masyarakat Buton tersebut digali dari
Kabhanti Bula Malino. karya Sultan Muhammad Idrus lainnya yang sudah
menjadi tradisi tertua yang mengandung ajaran Islam dan moral bagi
masyarakat Buton adalah Bunga Malati. Kabhanti ini sarat dengan nasihat
dan pengingat bagi siapa saja yang hidup bermasyarakat. Seseorang
akan membenarkan nilai luhur yang sejatinya untuk terus dilestarikan.
Segala proses dan himbauan yang sarat dengan nilai moral dan agama
dalam karya sastra lama ini digambarkan dengan lugas. Selayaknya syair
dan petuah masa lampau isi dari Kabhanti Bula Malino dan Bunga Malati
14
ini memerlukan penjelasan dan uraian akan makna sesungguhnya, namun
satu hal yang dapat diperhatikan bahwa pada akhirnya pesan moral dan
pesan agama yang dibawa oleh syair-syair tersebut menjadi konsep
berkeluarga (bermasyarakat) yang menginginkan terciptanya generasi
yang baik dan bermartabat, selaras dengan identitas bangsa.
B. Penelitian Relevan
Beberapa penelitian serupa tentang sastra lisan di Buton yang
menggunakan bahasa Wolio sebagai langkah awal mereka memusatkan
kajian pada masalah inventarisasi karya sastra lisan. Seperti apa yang
dilakukan oleh Mattaliti dkk (1985) dan La Djamudi (1993). Ada juga
penelitian yang memusatkan kajian pada teori dan penerapan karya
sastra lisan tersebut seperti yang dilakukan oleh Sande dkk (1998).
Sedangkan Suhartini (2000) dalam bentuk kajian wacana.
Penelitian serupa tentang sastra tulis karya Sultan Muhammad
Idrus Kaimuddin juga dilakukan oleh Melamba dan Hafsah (2014) dimana
berdasarkan penelitian yang mereka lakukan dapat disimpulkan bahwa
karya Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin mampu menggabungkan
antara kebudayaan lokal dengan Islam. Beberapa karya Sultan
Muhammad Idrus Kaimuddin yang bersumber dari ajaran Islam kemudian
dijadikan sebagai tuntunan masyarakat dan penguasa di kesultanan
Buton.
Penelitian lain mengenai sastra tulis karya Sultan Muhammad Idrus
Kaimuddin dilakukan oleh Rajab (2015) dimana dia menyimpulkan bahwa
15
selain sebagai seorang negarawan, Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin
juga merupakan seorang ulama dan pemikir dalam menegakkan aqidah
Islam yang konsisten. Sebagai Sultan dan juga ulama selain menulis
karya yang berisikan gagasan dan pemikiran tentang kemajuan Islam
beliau juga merupakan praktisi dan da’I yang berhasil.
Penelitian serupa tentang Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin
pernah dilakukan oleh Ilyas dan Sabirin (2014) dimana dalam penelitian
tersebut kesultanan Buton pada masa kepemimpinan Muhammad Idrus
Kaimuddin menjadi pusat pendidikan dan kesenian. Selain itu, pada masa
kepemimpinan beliau kesultanan Buton mulai menggalakkan tradisi literasi
(menulis). Berdasarkan penelitian ini pula bahwa Sultan Muhammad Idrus
Kaimuddin wafat pada tanggal 28 April 1851 dan dimakamkan di
lingkungan masjid Baadia.
Dari dasar pemikiran diatas penulis merasa terpanggil untuk
mengangkat judul “Kesusastraan Sebelum dan Sesudah Masuknya Islam
Dari Sastra Lisan Ke Sastra Tulis dan Relevansinya Terhadap Pendidikan
Karakter Di Waborobo dan Keraton Buton Kota Baubau Sulawesi
Tenggara“. alasan penulis mengangkat judul tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Di dalam judul tersebut terkandung nilai-nilai kearifan lokal dan budaya
yang jika kita kaji secara ilmiah akan ditemukan sejumlah konsep yang
dapat menambah perbendaharaan pengetahuan umumnya, sehingga
16
akan membawa manfaat bagi kepentingan pembangunan bangsa
secara keseluruhan.
2. Mengingat kebudayaan Buton terutama yang menyangkut
kesusastraannya sudah lama terpendam dan jika tidak mendapat
perhatian maka kekayaan warisan budaya dari para leluhur tersebut
akan mengalami kepunahan.
3. Sudah seharusnya menjadi usaha sadar terutama bagi penulis sendiri
dan bagi peneliti selanjutnya untuk dapat memperkenalkan
kesusastraan Buton sebagai salah satu warisan budaya kepada
masyarakat luas. hal ini akan sangat bermanfaat terhadap
pengembangan kebudayaan lokal khususnya maupun kebudayaan
nasional pada umumnya.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan alasan memilih judul yang telah
dikemukakan diatas penulis dapat menetapkan permasalahan sebagai
berikut :
1. Bagaimana nilai moral dalam syair Kabhanti Gambusu di kelurahan
Waborobo kecamatan Betoambari kota Baubau ?
2. Bagaimana nilai kearifan lokal pada Kabhanti dan relevansi dalam
upaya pengembangan pendidikan untuk melahirkan nilai karakter
bangsa ?
3. Bagaimana eksistensi pemertahanan nilai-nilai budaya lokal dalam
pembelajaran sastra ?
17
4. Bagaimana fungsi dan peranan kesusastraan Buton pada masyarakat?
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan nilai moral dalam syair Kabhanti Gambusu di
kelurahan Waborobo kecamatan Betoambari kota Baubau.
2. Untuk mengungkapkan nilai-nilai kearifan lokal pada Kabhanti
masyarakat Buton sebagai landasan pendidikan.
3. Untuk meminimalkan pengaruh negatif budaya luar khususnya budaya
barat yang dibawa oleh globalisasi
4. Untuk menelaah fungsi dan peranan kesusastraan bagi kehidupan
masyarakat Buton.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
a. Sebagai bahan studi perbandingan dari penelitian selanjutnya yang
dianggap relevan.
b. Sebagai informasi tentang kandungan nilai dalam Kabhanti.
2. Manfaat Praktis
Masukan bagi pihak Departemen Pendidikan Nasional dalam
rangka mempertimbangkan perlunya pembelajaran sastra.
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Pustaka
1. Mengenal Buton, Sejarah Buton, dan Sastra Buton
Baubau adalah sebuah kota di pulau Buton Sulawesi Tenggara.
Baubau memperoleh staus kota pada tanggal 21 Juni 2001 berdasarkan
Uu Nomor 13 tahun 2001. Luas kota ini 295.072 km persegi dengan
jumlah penduduk 167.519 jiwa (2018). Berdasarkan PERDA Nomor 2
tahun 2010 tentang penetapan hari jadi kota Baubau dan perubahan
penulisan Baubau ditetapkan pada pasal 5 ayat 1 dan 2 bahwa nama
penulisan kota Bau bau menjadi Baubau sesuai dengan ejaan yang
disempurnakan. PERDA tersebut juga ditetapkan bahwa hari jadi kota
Baubau pada tanggal 17 Oktober 1541. Pemilihan tahun 1541 karena
tahun tersebut merupakan tahun bersejarah di bumi seribu benteng ini
serta ditandai dengan terjadinya transformasi pemerintahan kerajaan
Buton menjadi kesultanan Buton sebagai pembaharuan, yang ditandai
dengan dilantiknya La Kilaponto sebagai Sultan Buton pertama dengan
gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis.
Wilayah kota Baubau terdiri dari delapan kecamatan yaitu
Betoambari yang terdiri atas beberapa kelurahan yaitu kelurahan Sulaa,
kelurahan Waborobo, kelurahan Katobengke, kelurahan Lipu, kelurahan
Labalawa. Bungi yang terdiri atas beberapa kelurahan yaitu kelurahan
18
19
Ngkaring-Ngkaring, kelurahan Kampeonaho, kelurahan Liabuku, dan
kelurahan Woliobuku. Kokalukuna yang terdiri atas beberapa kelurahan
yaitu kelurahan Waruruma, kelurahan Lakologou, kelurahan Liwuto,
kelurahan Sukanaeo, kelurahan Kadolomoko, kelurahan Kadolo. Murhum
yang terdiri atas beberapa kelurahan yaitu kelurahan Wajo, kelurahan
Lamangga, kelurahan Melai, kelurahan Baadia, kelurahan Tanganapada.
Batupoaro yang terdiri atas beberapa kelurahan yaitu kelurahan Tarafu,
kelurahan Kaobula, kelurahan Lanto, kelurahan Nganganaumala,
kelurahan Wameo, kelurahan Bone-bone. Sorawolio yang terdiri atas
beberapa kelurahan yaitu kelurahan Kaisabu Baru, kelurahan Karya Baru,
kelurahan Bugi, kelurahan Gonda Baru. Wolio yang terdiri atas beberapa
kelurahan yaitu kelurahan Bataraguru, kelurahan Tomba, kelurahan Wale,
kelurahan Batulo, kelurahan Wangkanapi, kelurahan Kadolokatapi,
kelurahan Bukit Wolio Indah. Lealea yang terdiri atas beberapa kelurahan
yaitu kelurahan Palabusa, kelurahan Kantalai, kelurahan Lowu-lowu,
kelurahan Kolese, kelurahan Kalia-lia. Orang Buton terkenal pula dengan
keberadabannya yang tinggi dan hingga saat ini peninggalannya masih
dapat dilihat di wilayah-wilayah kesultanan Buton diantaranya Benteng
Keraton Buton, rumah adat tradisional Buton yang berdiri kokoh setinggi
empat tingkat tanpa menggunakan sebatang paku pun, mata uang
kesultanan Buton yang disebut Kampua, dan masih banyak lagi.
Buton dikenal dalam sejarah Indonesia karena telah tercatat dalam
naskah negara Kertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi
20
dengan menyebut Buton atau Butuni sebagai negeri (desa) keresian atau
tempat tinggal para resi dimana terbentang taman dan didirikan lingga
serta saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Maha Guru. Nama pulau
Buton juga telah dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit, Patih
Gajah Mada dalam Sumpah Palapa menyebut nama pulau Buton.
Terbentuknya wilayah Buton untuk menjadi sebuah kerajaan pertama kali
dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si empat orang) yaitu Sipanjonga,
Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati. Menurut sumber lisan mereka berasal
dari Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke-13.
Mereka mulai membangun perkampungan yang dinamakan Wolio
(saat ini berada dalam wilayah kota Baubau) serta membentuk sistem
pemerintahan tradisional dengan menetapkan empat limbo (empat
wilayah kecil) yaitu Gundu-Gundu, Barangkatopa, Peropa, dan Baluwu
yang masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang Bonto sehingga lebih
dikenal dengan Patalimbona. Keempat orang Bonto tersebut disamping
sebagai kepala wilayah juga bertugas sebagai pelaksana dalam
mengangkat dan menetapkan seorang Raja. Selain empat limbo yang
disebutkan diatas, di Buton telah berdiri beberapa kerajaan kecil seperti
Tobe-tobe, Kamaru, Wabula, Todanga, dan Batauga. Maka atas jasa
Patalimbona kerajaan-kerajaan tersebut kemudian bergabung dan
membentuk kerajaan baru yaitu kerajaan Buton dan menetapkan Wa
Kaakaa (seorang wanita bersuamikan Sibatara turunan bangsawan
kerajaan Majapahit) menjadi Raja pertama pada tahun 1332 setelah
21
mendapat persetujuan dari keempat orang Bonto (Patalimbona). Hal ini
hampir sama dengan Lembaga Legislatif.
Dalam periodisasi sejarah Buton mencatat dua fase penting yaitu
masa pemerintahan kerajaan sejak tahun 1332 sampai pertengahan abad
ke-16 dengan diperintah oleh enam orang Raja diantaranya dua orang
Raja perempuan yaitu Wa Kaakaa dan Bulawambona. Kedua Raja ini
merupakan bukti bahwa sejak masa lalu derajat kaum perempuan sudah
mendapat tempat yang istimewa dalam masyarakat Buton. Fase kedua
adalah masa pemerintahan kesultanan sejak masuknya Islam di kerajaan
Buton pada tahun 948 Hijiriyah (1542 Masehi) bersama dilantiknya La
Kilaponto sebagai Sultan Buton pertama dengan gelar Sultan Murhum
Kaimuddin Khalifatul Khamis sampai pada Muhammad Falihi Kaimuddin
sebagai Sultan Buton ke tiga puluh delapan yang berakhir tahun 1960.
Kesusastraan Buton mengalami fase baru pada abad ke-19 seiring
penerapan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat. ajaran tasawuf
yang dikembangkan Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin berdampak luas
ke berbagai sendi kehidupan masyarakat, termasuk dalam hal
berkesenian (Zahari,1977(III);28). Sastra-sastra lokal dikehendaki agar
disesuaikan dengan tradisi dan ajaran tasawuf yang dikembangkan saat
itu.
Kabhanti adalah tradisi lisan dan tulisan yang berupa nyanyian atau
syair atau puisi di seluruh wilayah kesultanan Buton. Pelantunnya disebut
Pekabhanti. Tradisi kabhanti ini muncul ketika penyebaran agama Islam di
22
Buton sangat marak dan termasuk didalamnya budaya tulis-menulis. Oleh
sebab itu kabhanti ditulis dengan menggunakan aksara Arab, Arab
melayu, dan aksara Wolio. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Buton
terutama bagian Keraton pada saat itu telah menampilkan sisi kreativitas
dan tingginya tingkat intelektual masyarakat tersebut dalam membentuk
peradaban pada masa itu. Masyarakat Buton pada umumnya memang
menempatkan syariat Islam diatas segalanya. Isi Kabhanti itu sendiri
banyak mengambil dari syariat Islam yang kemudian digunakan selain
sebagai hiburan juga untuk menyampaikan kearifan lokal sebagai dasar
karakter masyarakatnya.
Dalam penggunaannya Kabhanti memiliki beberapa fungsi yaitu
sebagai hiburan atau penyemangat kerja, sebagai wadah untuk
mengantar tidur, sebagai sarana transfer budaya dari satu generasi ke
generasi lainnya. Jabaran pada bait-bait Kabhanti mengarah pada
falsafah Buton. Falsafah tersebut tertuang pada empat prinsip hidup
masyarakat Buton. Pertama, sesama manusia harus saling menghormati,
kedua, sesama manusia harus saling peduli, ketiga, sesama manusia
harus saling memuliakan, keempat, sesama manusia harus saling
menyayangi.
2. Dari Sastra Lisan Menuju Sastra Tulis
Sejak masa pemerintahan Raja La Kilaponto yang kemudian
menjadi Sultan pertama di Buton. Buton tidak saja menjadi agama Islam
sebagai agama resmi kerajaan Buton tetapi juga menjadi pusat
23
penyebaran Islam di kawasan Sulawesi Tenggara. Kehadiran Islam
termasuk kebudayaan di buton diperkuat dengan pendirian lembaga
pengkajian Islam yang bernama Belo Baruga di Keraton Sultan Buton
pada abad ke-16. Belo artinya hiasan, Baruga artinya balairung. Belo
Baruga adalah pemuda umur sebelum lima belas tahun yang tinggal di
Keraton Sultan Buton untuk mendapat pengalaman (pelajaran langsung)
dalam tata cara pemerintahan dan adat istiadat yang ditugaskan dalam
upacara-upacara. Selain Belo Baruga kesultanan Buton membangun
tempat pengajaran tarekat yang populer dengan nama Zaawiyah. Yunus
(1995,72-73) menyebutkan bahwa Zaawiyah merupakan sebuah
bangunan pengajian untuk mempelajari tarekat. Selain sebagai tempat
pengajian Zaawiyah berfungsi sebagai tempat penyimpanan surat-surat
dan buku-buku keagamaan. Bangunan tersebut juga dikenal sebagai
tempat Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin belajar tarekat sebelum
dirinya menjadi Sultan.
Lembaga Belo Baruga mencapai puncak keberhasilan pada masa
pemerintahan Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin yakni dengan hadirnya
pujangga-pujangga Buton yang mampu menulis dan berbahasa Arab
dengan baik. Penguasaan yang baik terhadap bahasa dan aksara Arab
berdampak pada kedudukan bahasa Arab yang semula sebagai bahasa
asing meningkat menjadi bahasa resmi di lingkungan kesultanan Buton.
Aksra Arab digunakan dalam menulis surat-surat, perjanjian, ataupun
ajaran-ajaran yang dikembangkan para Sultan dan pujangga Buton. Oleh
24
masyarakat Buton aksara Arab yang dipakai dalam menulis Kabhanti
ataupun naskah disebut Buri Wolio. Buri artinya tulisan dan Wolio artinya
nama daerah yang menjadi pusat pemerintahan kesultanan Buton. Buri
Wolio merupakan nama aksara Arab yang telah di modifikasi oleh
masyarakat Buton agar dapat menampung semua bunyi konsonan dan
vokal bahasa Wolio yang tidak terdapat dalam bahasa Arab. Hasil
modifikasi bahasa Arab yang merupakan kolaborasi antara bahasa Arab
dengan bunyi-bunyi konsonan dan vokal bahasa Wolio melahirkan aksara
yang populer di Buton dengan nama Buri Wolio.
Pengajaran bahasa dan aksara Arab melahirkan beberapa penulis
yang menandai masa baru kesusastraan Buton. Pujangga-pujangga
Buton yang populer antara lain Sultan La Elangi, Sapati La Singka, Sultan
Muhammad Idrus Kaimuddin, Kenepulu Bula, dan seorang perempuan
bernama Wa Ode Samarati. Karya sastra yang dihasilkan antara lain Bula
Malino (bulan yang terang), Kaluku Panda (kelapa pendek), Jaohara
(permata), Nuru Molabi (cahaya yang mulia), Kalipopo Mainawa (bintang
terang), Bunga Malati (bunga melati), Tula-Tula Koburu (cerita dari kubur),
Pakeana Mia Arifu (pakaian orang arif), Ana-Ana Maelu (anak yatim
piatu), Wa Hadini (Wa Hadini), Kanturuna Molingkana (pelita bagi orang
yang pergi), dan Ajonga Inda Malusa (pakaian yang tidak luntur), dan lain-
lain. Bahasa dan aksara yang digunakan para penulis yaitu bahasa Arab
menggunakan aksara Arab, bahasa melayu menggunakan aksara Arab
melayu, dan bahasa Wolio menggunakan aksara Arab Wolio.
25
Keberadaan para pujangga di kesultanan Buton memberi warna
baru dalam dunia kesusastraan masyarakat Buton. Karya sastra yang
semula berkembang dalam tradisi kelisanan mulai diciptakan dalam
bentuk tertulis (naskah). Abad ke-19 merupakan fase penting kemajuan
kesusastraan Buton terutama di sekitar Keraton kesultanan Buton. Isi
sastra lisan Kabhanti yang semula merupakan potret keseharian
masyarakat bergeser ke petuah-petuah adat dan agama. nyanyian
Kabhanti berevolusi menjadi pembacaan naskah. pada pertengahan abad
ke-19 para penulis telah mengubah sastra lisan Buton menjadi sastra tulis.
Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin disebut sebagai sastrawan Buton
yang memiliki kemampuan menulis dalam tiga bahasa yaitu bahasa Wolio
(Buton), Arab, dan melayu. gubahan-gubahannya menjadi bahan bacaan
pelajaran yang didendangkan di semua wilayah kesultanan Buton.
Sastra lisan Kabhanti kemudian tertransformasi menjadi sastra tulis
Kabhanti merupakan dua karya yang berbeda. Masyarakat penikmat
sastra lisan Kabhanti umumnya masyarakat awam. Sebaliknya penikmat
sastra tulis Kabhanti umumnya kalangan bangsawan ataupun mereka
yang masih berkerabat dengan kalangan Keraton. Perbedaan penikmat itu
menjadikan ruang pertunjukannya berbeda. Sastra lisan Kabhanti
dipertunjukkan di rumah-rumah warga untuk berbagai acara hiburan.
Sebaliknya sastra tulis Kabhanti di gelar dalam Keraton ataupun di rumah-
rumah tokoh agama dan masyarakat.
26
Perbedaan-perbedaan tersebut secara tegas sastra lisan Kabhanti
dan sastra tulis Kabhanti merupakan dua karya yang berbeda. Terjadinya
kesamaan nama merupakan upaya penguasa mengganti atau meredam
kepopuleran sastra lisan Kabhanti. Karya sastra yang lama diganti dengan
karya sastra baru yang lebih sufistik. Bentuk karya sastra lama diganti
tetapi mempertahankan nama karya sastra lama. Dengan cara seperti itu
masyarakat akan dikenalkan tradisi berkabhanti dengan bentuk dan isi
yang baru. Perubahan semacam itu disertai dengan upaya-upaya
mempertahankan Kabhanti dari sekitar bermukimnya para kaum
agamawan.
Kebijakan penguasa yang memberi ruang besar pada karya sastra
baru dan meredam kepopuleran karya sastra lama berdampak pada
menguatnya posisi sastra tulis Kabhanti sebagai sastra Keraton.
Sebaliknya sastra lisan Kabhanti semakin tergeser hingga ke daerah yang
jauh dari Keraton. Sastra lisan Kabhanti yang semula sebagai pertunjukan
komunal tergantikan oleh pertunjukan yang hanya dihadiri kalangan adat
dan tokoh-tokoh kesultanan. Keriuhan yang menjadi ciri pertunjukan
sastra lisan Kabhanti terganti oleh kekhusyu’an pembacaan naskah
Kabhanti. Sastra lisan Kabhanti yang semula pertunjukan lisan yang
spontan tergantikan oleh pertunjukan pembacaan naskah yang mirip
dengan pembacaan tembang Macapat yang terdapat didalam tradisi
masyarakat Jawa, Sunda dan Madura.
27
Sastra tulis Kabhanti, Macapat dipertunjukkan dengan cara
membaca naskah yang telah ditulis sebelumnya. Pembacaan naskah-
naskah tersebut memiliki aturan atau pakem yang wajib diikuti.
pembacaan Macapat mempunyai aturan tersendiri yaitu dengan
dilagukan. seni musik dan pertunjukan Macapat sebagai Puisi yang mula-
mula dinyanyikan suatu cerita, dibaca dengan dinyanyikan dalam tembang
sambil menambah penjelasan. Perbedaan Kabhanti dengan Macapat
yaitu Macapat disertai dengan penjelasan. Sedangkan Kabhanti naskah
hanya berupa pembacaan naskah. Kabhanti naskah tidak disertai
penjelasan karena kalangan bangsawan Keraton mampu memahami isi
naskah Kabhanti.
Kesuksesan Keraton Buton melahirkan sastra tulis memunculkan
kontradiktif pada nama sastra tulis tersebut. Jika sastra lisan yang
tersingkir populer dengan nama Kabhanti maka sastra tulis juga
menggunakan nama yang sama yaitu Kabhanti. Naskah prosa yang di
tulis para pujangga Buton menggunakan nama pada Kabhanti, padahal
sastra tulis tersebut lahir untuk menggantikan posisi Kabhanti yang
dianggap sebagai sastra yang bertentangan dengan etika moral dan
agama. pentransformasian nama sastra lisan Kabhanti menjadi nama
sastra tulis merupakan upaya merebut popularitas nama pertunjukan
Kabhanti. Dari sudut pandang lain penggunaan nama Kabhanti sebagai
nama sastra tulis yang digubah para penguasa kesultanan Buton
28
merupakan klimaks dari kontestasi antara sastra lisan yang berbasis
tradisi lokal dengan sastra tulis yang Islami.
Penggunaan nama Kabhanti sebagai nama sastra tulis tidak hanya
disebabkan oleh dua hal. Sastra lisan Kabhanti bermula dari sastra lisan
Keraton yang terganti seiring perubahan kebijakan penguasa di
kesultanan buton. Dugaan tersebut didukung oleh proses Islamisasi di
Buton yang terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama terjadi pada masa
Raja La Kilaponto (Sultan pertama), tahap kedua pada masa Sultan
Dayanu Ikhsanuddin (Sultan keempat), dan tahap ketiga pada masa
Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (Sultan ke duapuluh Sembilan).
Tahapan-tahapan Islamisasi tersebut memungkinkan terjadinya
perubahan kebijakan penguasa seiring dengan perubahan tahapan
Islamisasi. Kesenian tradisi pada masa Raja La Kilaponto (Sultan
pertama) akan tetap bertahan atau justru berubah pada masa Islamisasi
tahap dua Sultan Dayanu Ikhsanuddin. Begitu pula Islamisasi pada tahap
ketiga pada masa Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin yang berpotensi
merupakan perubahan tradisi masyarakat yang disesuaikan dengan
ajaran tasawuf yang dikembangkannya.
Fakta lain yang memperlihatkan sastra lisan Kabhanti sebagai
sastra lisan yang berasal dari Keraton yaitu aksi berbalas pantun dalam
pertunjukan Kabhanti yang merupakan ciri kemelayuan. Sastra lisan
Kabhanti merupakan karangan prosa yang tetap memperlihatkan ciri-ciri
pantun melayu. Meskipun beberapa larik Kabhanti tidak terdapat sampiran
29
namun umumnya larik sastra lisan Kabhanti terdiri atas sampiran dan isi.
Kemelayuan Kabhanti juga diketahui dari alat musik yang mengiringi
pertunjukan yaitu gambus yang merupakan alat musik bernuansa Islam
khususnya di wilayah nusantara. Dalam tradisi lisan tersimpan mutiara
kehidupan yang sangat berharga, mengandung nilai-nilai moral dari
masyarakat pendukungnya. Sastra lisan sebagaimana telah tercantum
dalam surat Asy Syu’ara ayat 84 :
Terjemahaannya Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian.
Terjemahannya Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas.
Terjemahannya : Dan mereka menetapkan bagi Allah apa yang mereka sendiri membencinya, dan lidah mereka mengucapkan kedustaan, yaitu bahwa sesungguhnya merekalah yang akan mendapat kebaikan.
30
Tiadalah diragukan bahwa nerakalah bagi mereka,dan sesungguhnya mereka segera dimasukkan (ke dalamnya).
Terjemahannya : Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku".
Sebagai kitab suci, Al Qur’an merupakan salah satu wahyu yang
diturunkan Allah kepada nabi Muhammad Saw. Al Qur’an yang berupa
kalam Allah ini merupakan kitab atau wahyu yang istimewa dibandingkan
dengan wahyu-wahyu yang lainnya. Bahkan salah satu keistimewaannya
adalah tidak ada satu bacaan pun yang lebih baik sejak peradaban baca
tulis dikenal dalam peradaban manusia, baik yang dibaca oleh orang yang
mengerti artinya maupun oleh orang yang tidak mengerti artinya. Sebagai
sumber ajaran islam yang utama, Al Qur’an diyakini berasal dari Allah dan
mutlak benar. Didalam Al Qur’an terdapat petunjuk hidup yang sangat
dibutuhkan oleh manusia sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan.
Lisan adalah salah satu anggota badan yag terdapat dalam mulut sebagai
alat untuk berbicara dan mengecap. Sehingga orang yang berkata lancar,
jelas, dan mudah dipahami disebut fasih lisannya. Secara jumlah, kata
lisan disebut dalam Al Qur’an dengan surat yang berbeda. Dalam surat Al
Maidah ayat 78 menjelaskan melalui lisan dapat menunjukkan bahwa
31
ucapan adalah doa. Dalam surat Al Nahl ayat 62 menjelaskan bahwa lisan
mampu menjerumuskan kepada hal-hal yang di benci oleh Allah. Dan
dalam surat Al Qashas ayat 34 menjelaskan bahwa lidah mampu
memberikan perkataan yang membenarkan.
Penggunaan nama Kabhanti sebagai nama sastra tulis merupakan
upaya menghapus memori masyarakat atas pertunjukan yang dianggap
bertentangan dengan etika moral dan agama. penggunaan nama
Kabhanti sebagai nama naskah (sastra tulis) yang berisi ajaran agama
Islam dan pandangan hidup orang Buton di nilai sebagai upaya
menggiring dan mengikis tradisi lokal yang kurang Islami ke Tradisi yang
Islami. Sikap penguasa tersebut dilatari oleh semangat ajaran tasawuf dan
syariat islam yang diterapkan oleh Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin.
Kebijakan tersebut menandakan sikap penguasa yang melihat kesenian
bukan dari sudut pandang ideologi lokal tetapi dari sudut pandang agama.
kesenian yang merupakan tradisi lokal disesuaikan ajaran tasawuf.
3. Nilai Moral Nyanyian Rakyat
Pada umumnya tiap-tiap daerah di Indonesia memiliki seni, sastra,
bahasa lisan dan tulisan, adat istiadat, tata cara dan tata krama pergaulan
serta nilai-nilai kehidupan yang beranekaragam. Semua itu merupakan
gambaran kekayaan budaya daerah di Indonesia dari masa ke masa.
Oleh karena berkembangnya zaman dari masa tradisional ke masa
modern. Semua unsur budaya tersebut berangsur-angsur berkurang
32
bahkan punah. Maka sangat penting jika hal-hal yang berkaitan dengan
tradisi harus selalu dipertunjukkan agar kelestariannya tetap terjaga.
Tradisi di Indonesia yang menjadi bagian dari seni adalah nyanyian
rakyat meskipun kenyataannya nyanyian ini bukan merupakan bagian dari
seni musik secara utuh. Sebagian kecil nyanyian ini dapat
menyumbangkan sesuatu yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari
terutama dalam hal ajaran moral. Saat ini di Sulawesi Tenggara
khususnya pada masyarakat Keraton, Waborobo di Baubau kegiatan
nyanyian rakyat masih dapat kita jumpai walaupun dari sisi kuantitas
sudah banyak berkurang penggunanya. Tentu hal tersebut terjadi karena
adanya akulturasi tradisi yang dialamnya tidak terjadi adanya
pemertahanan. Dari fenomena tersebut muncul batas-batas kehidupan
masyarakat yang berakibat pada kecenderungan pola hidup sendiri-
sendiri yang terbungkus dalam satu kelompok. Oleh karena itu tidak heran
jika di Indonesia kita mendengar banyak budaya lisan maupun tulisan
tidak sama antara satu dengan lainnya. Kebiasaan yang sudah menjadi
tradisi di Indonesia antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya
sangat jauh berbeda baik dari segi bentuk maupun prosesi
pelaksanaannya. kenyataan itu tentu disebabkan oleh banyaknya daerah
lepulauan yang ada di Indonesia.
Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi di Indonesia
yang banyak memiliki daerah-daerah kecil dan memiliki adat kebiasaan
masing-masing pula. Salah satu daerah yang dimaksud adalah Keraton
33
dan Waborobo di Baubau. Banyak sisi yang berkaitan dengan hiburan
rakyat. Ada hiburan yang dapat menyenangkan hati semua orang, ada
hiburan khusus untuk anak-anak yang dapat mengobati rasa lelah karena
aktivitas kesehariannya membantu orang tua di kebun, Adapula hiburan
rakyat yang khusus dilakukan oleh wanita yang sudah dipersunting dan
sudah mempunyai momongan. Salah satu hiburan yang dimaksud adalah
Kabhanti lisan atau nyanyian rakyat.
Menurut Jan Harold Brunvand yang dikutip oleh Danandjaja
mengatakan bahwa nyanyian rakyat adalah salah satu genre faktor yang
terdiri dari kata-kata dan lagu yang beredar secara lisan di antara kolektif
tertentu dalam bentuk tradisional serta banyak mempunyai varian. Setiap
nyanyian rakyat, kata-kata, dan lagu merupakan dwi tunggal yang tidak
dapat terpisahkan.
Teks Kabhanti atau nyanyian pada masyarakat Buton bertahan
dengan memakai bahasa daerah setempat, sehingga mudah di terima
oleh masyarakat. namun sekarang ini pengguna budaya Buton sudah
semakin berkurang apalagi berkaitan dengan Kabhanti atau nyanyian
rakyat. Untuk itu penulis berkeinginan melakukan penelitian ini karena
adanya fakta bahwa generasi muda masa kini sudah tidak lagi melihat
tradisinya sebagai sesuatu yang penting untuk diri mereka. Tradisi-tradisi
tersebut banyak mengandung nilai-nilai kehidupan yang dapat diharapkan
dalam kehidupan sosial maupun di jenjang pendidikan.
34
Kabhanti pada masyarakat Buton khususnya desa Waborobo
Baubau juga mengenal jenis-jenis Kabhanti lainnya. Yaitu Kabhanti
Gambusu yang meliputi Kabhanti berbalas pantun, Kabhanti petuah, dan
Kabhanti tarian. Kabhanti Kavekalolodo, Kabhanti saha, Kabhanti
Hukumu, Kabhanti Anai Maelu. Namun penelitian ini hanya difokuskan
pada Kabhanti Ganda pada masyarakat desa Waborobo kecamatan
Betoambari kota Baubau provinsi Sulawesi Tenggara.
Secara etimologis kata moral berasal dari kata Mos dalam bahasa
latin, bentuk jamaknya mores yang artinya adalah tata cara atau adat
istiadat. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (2014;592) moral diartikan
sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Secara terminologis terdapat
berbagai rumusan pengertian moral yang dari segi substantif materiilnya
tidak ada perbedaan, akan tetapi bentuk formalnya berbeda. Moral
merupakan kondisi pikiran perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang
terkait dengan nilai-nilai baik buruknya. Moral juga dapat diartikan sebagai
sikap, perilaku, tindakan yang dilakukan seseorang pada saat melakukan
sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat, dan
lain-lain. Sikap moral sebenarnya adalah moralitas. Moral atau moralitas
mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Sedangkan
bidang moral adalah kehidupan masyarakat dilihat dari segi kebaikannya.
Norma-norma moral adalah tolak ukur yang dipakai masyarakat untuk
mengukur kebaikan seseorang.
35
Nilai berarti sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek itu
sendiri. Sesuatu dikatakan bernilai apabila sesuatu itu berharga, berguna,
benar, indah, baik, dan lain sebagainya.
4. Nilai Kearifan Lokal Kabhanti
Istilah kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan yang berarti
kebijaksanaan dan lokal yang berarti suatu tempat. Secara umum
keariafan lokal dapat diartikan sebagai gagasan setempat yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik dan terpelihara oleh masyarakat
setempat. Secara linguistik kata kearifan di bentuk dari kata arif yang
bermakna bijaksana, cerdik pandai. Jadi istilah kearifan berarti 1.
Kebijaksanaan atau 2. Kecerdasan, sehingga kata kearifan berkenaan
dengan dua hal yaitu karakter atau kepribadian dan kecerdasan atau
kognisi. Batasan ini yang menjadi kerangka acuan pembahasan kearifan
lokal masyarakat.
Beberapa ahli berpendapat untuk memadukan kearifan lokal
dengan konsep budaya lokal yaitu kecerdasan yang dimiliki oleh
sekelompok masyarakat untuk digunakan sebagai pencerdasan pula.
Sementara itu kearifan lokal merupakan suatu hasil adabtasi dari suatu
komunitas yang berasal dari generasi ke generasi berikutnya
(Gunawan,2003;6).
36
Hal ini sejalan dengan pendapat (Taalami,2010;26) yang
menegaskan bahwa kearifan lokal dipandang sebagai suatu adabtasi
tentang pengalaman hidup masyarakat yang telah diterapkan secara
turun-temurun sehingga menjadi suatu tradisi masyarakat yang
bersangkutan.
Berdasarkan pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa kearifan
lokal merupakan suatu pengetahuan lokal yang digunakan oleh suatu
komunitas masyarakat lokal sehingga mereka dapat bertahan hidup dalam
suatu lingkungan kolektif. Kearifan lokal dapat menyatu dengan sistem
kepercayaan, pandangan hidup, norma, nilai sosial (etika), pengetahuan,
dan budaya yang diekspresikan dalam penerapan tradisi yang dianut oleh
masyarakat secara turun-temurun. Implikasi teori tersebut terhadap
penelitian ini adalah kearifan lokal dipandang sebagai tradisi masyarakat
yang terungkap pada Kabhanti masyarakat Buton dengan cerminan nilai-
nilai luhur kehidupan. Tradisi dan budaya yang dikaji merupakan bentuk
kearifan lokal masyarakat yang telah diterapkan secara turun-temurun.
Secara esensial keariafan lokal merupakan sistem budaya lokal
yang meliputi aspek 1. Nilai, 2. norma, 3. Perilaku, 4. Kebudayaan, 5.
Pengetahuan, 6. Keyakinan dan, 7. Pandangan hidup. Implementasinya
dalam peneltian ini ditekankan pada tiga hal yaitu aspek religius, aspek
norma, aspek sosial, dan aspek pendidikan. Ketiga aspek tersebut
menjadi tujuan pembahasan yang dikaitkan dengan pendidikan karakter
yang sekarang ini menjadi perhatian dalam pengembangan kurikulum
37
atau pembelajaran di sekolah. Guru harus memiliki kreativitas dan inovatif
dalam pembelajaran yang berbasis pada nilai-nilai kearifan lokal
masyarakat.
Kabhanti sastra tulis merupakan salah satu jenis kesusastraan
Buton berbentuk puisi. Kesusastraan jenis ini telah dikenal oleh
masyarakat Buton sejak masa kesultanan Buton. Oleh karena itu
kesusastraan jenis Kabhanti merupakan kesusastraan masyarakat Buton
yang paling tua. Kabhanti berkembang pesat setelah masuknya Islam di
kerajaan Buton. Masuknya ajaran agama Islam sanggup mengubah dan
mewarnai perkembangan sastra masyarakat Buton. Petuah-petuah
tentang nilai dan falsafah hidup disampaikan melalui Kabhanti. Yang pada
prinsipnya merupakan hasil pengolahan secara bebas dari kesusastraan
bentuk prosa. Sejak zaman itu Kabhanti tidak saja berkembang secara
lisan tetapi juga berkembang secara tulisan.
Dari segi bentuknya kesusastraan jenis Kabhanti lisan dan tulis
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu pantun dan syair. Kabhanti
yang tergolong kelompok pantun pada umumnya pendek, terdiri atas
sampiran dan isi, dan kadang pula hanya berupa isi saja. Syair bentuknya
panjang, dan merupakan hasil pengolahan secara bebas dari
kesusastraan bentuk prosa. Biasanya terdiri atas delapan sampai
duabelas suku kata. diantaranya memakai empat tekanan, biasanya terdiri
atas tiga sampai empat perkataan sehingga Kabhanti juga termasuk karya
sastra berbentuk puisi.
38
Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra tidak hanya sebagai
sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa lapis norma yang
menuangkan pengalaman yang luas dan pengalaman individu melalui
ungkapan bahasa. Beberapa pandangan ahli tentang puisi yaitu 1. Carlyle
mengemukakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal
karena pencipta puisi memikirkan rangkaian bunyi yang merdu disusun
dengan menonjolkan bunyi yang merdu. 2. Wordsworth mengemukakan
bahwa puisi merupakan pernyataan perasaan seseorang pengarang yang
bersifat imajinatif. 3. Dunton berpendapat bahwa puisi itu merupakan
pemikiran manusia secara konkret dan artistik melalui bahasa emosional
dan berirama. Sastra daerah dalam bentuk puisi seperti Kabhanti
masyarakat Buton banyak mengandung nilai-nilai ajaran tentang
kehidupan. Sebagai karya kreatif puisi menggunakan bahasa simbol
sehingga untuk memahaminya memerlukan penelitian ilmiah. Penelitian
ilmiah tentang Kabhanti pada masyarakat Buton dimaksudkan untuk
menggali berbagai informasi tentang nilai-nilai kehidupan masyarakat
Buton pada masa lalu. Tujuannya agar menopang nilai-nilai kehidupan
masa kini yang disebut dengan nilai-nilai kearifan lokal. Kabhanti dikenal
oleh masyarakat Buton sejak awal kesultanan pada abad ke-15. Sehingga
karya sastra ini dipandang sebagai bentuk sastra yang paling tua dalam
masyarakat Buton. Penulisan Kabhanti mulai populer pada masa
pemerintahan Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (1824-1851) karena
Sultan sendiri banyak menulis Kabhanti yang bernafaskan Islam. Dalam
39
surat Al Alaq ayat 1 sampai 5 telah dijelaskan mengenai pentingnya
membaca keadaan sosial sehingga dapat melatih diri untuk meningkatkan
kepekaan, rasa empati, dan sebagainya.
Terjemahannya : "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan (1), Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2), Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia(3), Yang mengajar (manusia) dengan pena (4), Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (5)."
Terjemahnnya : Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca sesuatu kitab sebelum (Al-Qur'an) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis), niscaya ragu orang-orang yang mengingkarinya.
Seni yang lahir karena agama sudah mempunyai patokan-patokan
yang jelas sesuai dengan ciri agama. Keindahan yang diperjuangkan oleh
seni yang timbul dari agama juga bersifat normatif seperti dalam puisi para
penyair dari Buton. Patokan-patokan normatif dapat dirujuk dalam Al
40
Qur’an. Karena Al Qur’an sebagai kitab suci agama Islam dimaksudkan
untuk menjadi petunjuk, bukan saja bagi anggota masyarakat kitab suci ini
diturunkan tetapi juga bagi seluruh manusia. Al Qur’an memuat tema-tema
yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia seperti hubungan
manusia dengan tuhan, hubungan antarmanusia, dan hubungan manusia
dengan lingkungan alam sekitarnya. Sebagai kitab suci yang menghadapi
masyarakat dengan kebudayaan dan peradaban yang terus berkembang
dan maju.
Kabhanti sebagai salah satu bentuk sastra daerah perlu dipelihara
dan dikembangkan. Jika tidak dipelihara dengan baik maka dikhawatirkan
mengalami proses kepunahan akibat gesekan budaya asing. Langkah
yang perlu dilakukan adalah pengkajian Kabhanti secara ilmiah agar dapat
menemukan nilai-nilai luhur pada masyarakat Buton. Telaah nilai-nilai
kearifan lokal pada Kabhanti sangat relevan dengan upaya
pengembangan keilmuan sehingga temuan pada penelitian ini dapat
dikolaborasikan dengan pendidikan pembelajaran sastra untuk melahirkan
kearifan lokal dan nilai-nilai karakter bangsa. Sebagian besar Kabhanti
sarat dengan nilai-nilai kehidupan.
Kearifan lokal tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai luhur
bangsa. Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang digunakan oleh
masyarakat lokal untuk bertahan hidup secara turun-temurun. Kearifan
lokal merupakan hasil dari kecerdasan suatu masyarakat lalu digunakan
oleh sesamanya sebagai sarana pencerdasan. Memahami dan
41
mengimplementasikan kearifan lokal sejak dini dapat menjadi landasan
kehidupan masyarakat terutama untuk menangkal pengaruh budaya asing
yang saat ini banyak menimpa generasi muda. Nilai-nilai kehidupan
masyarakat lokal yang tercermin dalam sastra dan budaya lokal dapat
menopang nilai-nilai luhur bangsa.
B.Kerangka Pikir
.
Sastra Lisan Ajaran Islam Sastra Tulis
Kabhanti Gambusu Karya Sastra Idrus
Kaimuddin
Kabhanti
berbalas
pantun
Kabhanti
petuah
Kabhanti
tarian
Bula
Malino
Jaohara
molabina
Nilai Moral Kearifan Lokal
Pendidikan Karakter
42
Untuk mempermudah suatu penelitian perlu dibuat kerangka pikir
atau konsep dengan tujuan membuat arah penelitian menjadi jelas. Sastra
Buton tidak lepas dari sastra lisan dan sastra tulis. Sastra lisan yang
mengawali adanya tuturan dalam bentuk syair dan nyanyian digunakan
pada acara adat pingitan dan melahirkan. Tuturan lisan inilah yang
menjadi ciri khas masyarakat Waborobon sebelum masuknya Islam.
Meskipun masyarakat Buton belum mengenal Islam tetapi ajaran nilai
moral telah dituturkan melalui Kabhanti. Oleh karena itu masuknya Islam
di Buton sekaligus mengajarkan masyarakat dalam mempelajari bahasa
Arab Wolio melalui tulisan. Sehingga bahasa Arab Wolio saat itu menjadi
bahasa komunikasi di lingkungan Keraton dan digunakan oleh para
sastrawan-sastrawan Buton dalam menulis karya sastranya, salah
satunya adalah Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin atau lebih dikenal
dengan Kobaadhiana.. Karya sastranya Bula Malino dan Bunga Malati
yang dipandang sebagai cerminan nilai-nilai luhur kehidupan. Tradisi dan
budaya yang dikaji merupakan bentuk kearifan lokal yang telah diterapkan
secara turun-temurun. Serta pentingnya suatu pendidikan merupakan
upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik sehingga
mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang
diwariskan oleh masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke
arah kehidupan masa kini dan masa mendatang.
43
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif
dan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan.
Data penelitian ini adalah tuturan lisan berupa kata-kata atau kalimat yang
mengandung nilai moral dalam syair Kabhanti Gambusu serta tuturan
tulisan dalam hal ini adalah menelaah karya sastra Kabhanti Bula Malino
dan Jaohara Molabina yang ditulis oleh Sultan Muhammad Idrus
Kaimuddin berkaitan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung
didalamnya.
B. Lokasi dan Waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan pada masyarakat Buton di kota Baubau
Sulawesi Tenggara. Adapun sasaran penelitian ini adalah masyarakat di
Keraton (wilayah kesultanan) dan masyarakat di Waborobo. Waktu
pelaksanaan penelitian ini dirancang selama dua bulan setelah
pelaksanaan seminar proposal sampai perampungan data-data di
lapangan.
C. Jenis dan Sumber Data
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan. Sumber data dalam
penelitian ini adalah untuk sastra lisan informan penutur asli syair
43
44
Kabhanti Gambusu pada masyarakat kelurahan Waborobo kecamatan
Betoambari kota Baubau. Sedangkan untuk sastra tulis adalah karya
sastra Kabhanti Bula Malino dan Jaohara Molabina yang ditulis oleh
Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, namun karena sulitnya mendapatkan
naskah asli yang masih utuh peneliti menggunakan naskah salinan
sebagai sumber data yang ditulis oleh Ummi Salamah dalam aksara Arab
Wolio. Selain itu peneliti juga menggunakan sumber data buku-buku yang
memiliki keterkaitan dengan naskah Kabhanti karya Sultan Muhammad
Idrus Kaimuddin.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada sastra lisan menggunakan teknik
rekam dan teknik catat. Teknik rekam digunakan untuk merekam syair
Kabhanti Gambusu yang dilantunkan secara lisan oleh informan utama
yaitu penutur asli atau pelantun asli Kabhanti Gambusu. Teknik catat
digunakan dengan cara mencatat data yang dianggap penting diluar data
rekaman untuk mendapatkan data yang komprehensif. Sedangkan teknik
pengumpulan data pada sastra tulis yaitu peneliti turun langsung ke
lapangan untuk melakukan pengamatan pada karya sastra Muhammad
Idrus Kaimuddin.
E. Teknik Analisis Data
Data dalam penelitian ini sastra lisan di analisis secara deskriptif
kualitatif yang mengacu pada pendapat Ratna (2015;53) bahwa analisis
45
data dideskripsikan dalam bentuk kata-kata atau kalimat untuk
menemukan unsur-unsurnya yang dilakukan dengan tahapan-tahapan
yaitu transkripsi rekaman data, klasifikasi data, penerjemahan data, dan
analisis data. Sedangkan pada sastra tulis dilakukan melalui tiga langkah.
Pertama penulis melakukan pendataan teks yang menjadi bahan-bahan
penelitian yaitu mengidentifikasi teks-teks yang mengandung nilai-nilai
kearifan lokal. Kedua teks yang telah di klasifikasi berdasarkan unit-unit
lalu dilakukan suatu pendalaman melalui pengamatan dan wawancara.
Ketiga melakukan analisis komponen sebagai pendalaman temuan yang
telah di identifikasi pada catatan lapangan untuk membuat inferensi dan
simpulan (Glasser,1986;102).
F. Teknik Keabsahan Data
Analisis keabsahan data digunakan teknik triangulasi. Ada dua
bentuk triangulasi untuk memeriksa data yaitu triangulasi teoretis adalah
melihat serta mengkonfirmasikan hasil analisis Kabhanti dengan beberapa
teori yang ada. Dan triangulasi logis adalah mengkonfirmasikan analisis
Kabhanti dengan ahli atau pembimbing. Disamping bentuk triangulasi
tersebut dalam penelitian ini digunakan pula dua teknik triangulasi yaitu
triangulasi pakar dan triangulasi kolegial. Triangulasi pakar adalah
melakukan wawancara dengan ahli bidang telaah Kabhanti sebagai
kearifan lokal. Triangulasi kolegial adalah melakukan diskusi dengan
teman-teman untuk memberikan pendapat.
46
BAB IV
TEMUAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Pengolahan Data Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti di kelurahan
Waborobo kecamatan Betoambari dan kelurahan Keraton kecamatan
Murhum kota Baubau Sulawesi Tenggara dengan judul “ Kesusastraan
Sebelum dan Sesudah Masuknya Islam Dari Sastra Lisan Ke Sastra Tulis
Terhadap Relevansi Pendidikan Di Waborobo dan Keraton Buton Kota
Baubau Sulawesi Tenggara “ ada beberapa temuan yang akan peneliti
sajikan sebagai berikut :
a. Uraian tentang nilai moral dalam teks syair Kabhanti Ganda mengacu
pada pendapat Suseno (2011;129) dan Zubair (2016;78) bahwa nilai
moral terbagi atas prinsip sikap baik, prinsip keadilan, prinsip
menghargai diri sendiri, prinsip kerukunan, prinsip hormat, prinsip
ketuhanan. Perpaduan kedua pendapat inilah yang digunakan peneliti
dalam penyajian hasil penelitian dan pembahasan.
b. Menelaah karya sastra Kabhanti Bula Malino dan Jaohara Molabina
yang ditulis oleh Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin berkaitan dengan
nilai-nilai kearifan Lokal yang terkandung didalamnya dan
implementasinya ditekankan pada tiga hal yaitu aspek religius, aspek
46
47
norma, dan aspek sosial. Masyarakat Buton mempelajari masalah
ketuhanan sebagai konsepsi dalam kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat yang selalu menyadari eksistensi diri sebagai hamba Allah
akan selalu mengarahkan kepada sifat-sifat merendah, selalu
bersyukur, dan bertawakal kepada maha pencipta. Artinya kehidupan
bermasyarakat dibalut dengan nilai-nilai keimanan kepada Allah
dengan kesadaran sebagai hamba. Dalam tatanan kehidupan
masyarakat Buton berjalan pada nilai-nilai keislaman serta norma-
norma adat.
c. Kabhanti pada dasarnya berisi ajaran tentang kehidupan yang ideal.
Hal ini dimaksudkan agar masyarakat Buton memahami eksistensi
dirinya baik sebagai pemerintah maupun sebagai masyarakat. nilai-
nilai kearifan lokal pada Kabhanti meliputi ketaqwaan, budi pekerti,
toleransi terhadap keberagaman, tolong-menolong, kasih sayang, rela
berkorban, saling menghargai, pantang menyerah, kebersamaan,
kreatif, dan bela negara. nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Buton
pada Kabhanti sangat relevan dengan pilar pendidikan karakter yaitu
menanamkan nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai kearifan lokal dalam
Kabhanti dapat diimplementasikan dalam pendidikan karakter, semua
nilai-nilai luhur yang di analisis mengandung nilai-nilai karakter. Karena
pendidikan karakter menjadi target kurikulum maka perlu kolaborasi
antara nilai-nilai kearifan lokal dengan materi pendidikan karakter.
Upaya yang dilakukan guru dapat menggunakan momen budaya
48
masyarakat untuk mempercepat pemahaman siswa sehingga
penurunan moral generasi muda yang mulai nampak saat ini dapat di
minimalisir. Disamping itu siswa mengenal nilai-nilai luhur secara dini
menjadi penangkal dari berbagai dampak pengaruh budaya asing.
d. Agar eksistensi budaya lokal tetap kokoh maka diperlukan
pemertahanan. Beberapa hal yang termasuk budaya lokal salah
satunya adalah Kabhanti Buton. Mengintegrasikan budaya lokal dalam
pembelajaran sastra akan mengimbangi pengaruh budaya asing yang
semakin mewabah di masyarakat Buton. Gerakan kearifan lokal
dengan kembali ke akar budaya bangsa sendiri merupakan tindakan
cerdas untuk meminimalisir pengaruh negatif globalisasi. Sehingga
fungsi dan peranan yang menjadi titik berat perhatian para pemuka
masyarakat pendahulu Buton itu adalah menjadikan karya sastra
sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat khususnya generasi
muda.
a. Kelurahan Waborobo
Pengolahan data dalam penelitian ini mengacu pada pendapat
Ratna (2015;53) bahwa data dideskripsikan dalam bentuk kata-kata atau
kalimat untuk menemukan unsur-unsurnya yang dilakukan dengan
tahapan-tahapan,
49
Transkripsi rekaman data
Memindahkan data ke dalam bentuk tulisan yang sebenarnya.
Klasifikasi data Semua data yang memenuhi syarat dikumpulkan sesuai dengan karakteristik bentuknya.
Penerjemahan data Semua data yang sudah dikelompokkan langsung diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Analisis data
Peneliti menganalisis semua data yang terkumpul berdasarkan maknanya.
Uraian tentang nilai moral dalam teks syair Kabhanti Gambusu
mengacu pada pendapat Suseno (2011;129) dan Zubair (2016;78) bahwa
nilai moral terbagi atas prinsip sikap baik, prinsip keadilan, prinsip
menghargai diri sendiri, prinsip kerukunan, prinsip hormat, prinsip
ketuhanan. Perpaduan kedua pendapat inilah yang digunakan peneliti
dalam penyajian hasil penelitian dan pembahasan.
Kabhanti berbalas
pantun
Kabhanti
petuah
Kabhanti tarian
Nilai Moral Kabhanti Gambusu
1. Prinsip sikap baik
2. Prinsip keadilan
3. Prinsip menghargai diri sendiri
4. Prinsip kerukunan
5. Prinsip hormat
6. Prinsip ketuhanan
Syair Kabhanti Gambusu
50
b. Kelurahan Keraton
Berdasarkan temuan penelitian tersebut menunjukkan bahwa
masyarakat Buton mempelajari masalah ketuhanan sebagai konsepsi
dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat yang selalu menyadari
eksistensi diri sebagai hamba Allah akan selalu mengarahkan kepada
sifat-sifat merendah, selalu bersyukur, dan bertawakal kepada maha
pencipta. Artinya kehidupan bermasyarakat dibalut dengan nilai-nilai
keimanan kepada Allah dengan kesadaran sebagai hamba. Oleh karena
itu, dalam tatanan kehidupan masyarakat Buton berjalan pada nilai-nilai
keislaman serta norma-norma adat.
Pada temuan lain dalam Kabhanti Bula Malino dan Jaohara
Molabina dijelaskan bahwa mengajarkan semua ajaran-ajaran disertai
kebenaran dengan iman yang tak goyah, umur adalah kematian yang
akan memisahkan dengan segalanya, mengajari diri tentang
mengendalikan hawa nafsu, rasa kasih terhadap diri sendiri, ibadah
kepada Allah, serta memelihara anggota tubuh dari segala yang
memalukan. Nasihat bagi manusia, kalau kita benar-benar dikatakan
sebagai orang Islam maka wajib kita melakukan yang terbaik dan
menjauhi larangannya.
Oleh karena itu, kandungan Kabhanti ini ditegaskan pembentukan
keimanan (tauhid) untuk pemerintah dan diri sendiri melalui utusan
kesultanan dan para ulama. Artinya pembentukan pandangan hidup
manusia tentang tuhan menjadi tanggungjawab diri sendiri. Itu sebabnya,
nilai-nilai kearifan lokal dalam Kabhanti dapat dimplementasikan dalam
51
pendidikan karakter, karena semua nilai-nilai luhur yang di analisis
mengandung nilai-nilai karakter.
Pengolahan data dalam penelitian ini mengacu pada pendapat
Glasser (1986;102) bahwa dilakukan melalui tiga langkah
1. Mengidentifikasi teks-teks yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal
2. Melakukan suatu pendalaman melalui pengamatan dan wawancara
3. Melakukan analisis komponen untuk membuat inferensi dan simpulan
Naskah kabhanti karya Idrus Kaimuddin
Kabhanti Bula Malino Kabhanti Jaohara Molabina
Kearifan Lokal Pendidikan Karakter
1. Aspek religius
2. Aspek norma
3. Aspek sosial
1. Upaya guru
mempercepat
pemahaman
2. mengenal nilai-nilai
luhur
3. Dapat memanfaatkan
kearifan lokal
1. Nilai ketaqwaan
2. Budi pekerti
3. Toleransi
4. Tolong-menolong
5. Kasih sayang
6. Rela berkorban
7. Saling menghargai
52
C.Kabhanti Untuk Masyarakat Buton
Puisi sebagai salah satu bentuk sastra merupakan hasil pemikiran
manusia yang konkret dan artistik dengan bahasa perasaan (emosional).
Pradopo (2000;7) menyimpulkan adanya tiga unsur pokok dalam puisi,
yaitu yang pertama pemikiran atau ide, kedua bentuk atau struktur, dan
ketiga kesan atau pesan yang ingin disampaikan. Oleh karena itu,
Kabhanti sebagai bentuk puisi daerah yang sarat dengan nilai-nilai dan
norma serta falsafah hidup yang disebut sebagai kearifan lokal.
Kearifan lokal merupakan gagasan pengetahuan dari suatu
komunitas masyarakat yang digunakan dari generasi ke generasi
selanjutnya untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan kolektif
(Gunawan,2003;6). Kabhanti yang menjadi bahan kajian ini dapat
mengandung aspek-aspek kearifan lokal. Karena Kabhanti merupakan
karya sastra masyarakat Buton yang berbentuk puisi. Masuknya ajaran
Islam di Buton mengubah kerajaan menjadi kesultanan Buton (1538 M)
turut mewarnai perkembangan kesusastraan masyarakat Buton terutama
Kabhanti. Pada awal kesultanan Buton kesusastraan hanya diwariskan
secara turun-temurun. Karena saat itu belum mengenal aksara. Kabhanti
merupakan bagian dari wujud kearifan lokal. Kearifan lokal merupakan
usaha yang dilakukan oleh manusia untuk memberikan makna secara
manusiawi, untuk menata kehidupan mereka yang manusiawi pula yaitu
dalam wujud nilai-nilai luhur.
53
Nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat kita telah mulai luntur.
Banyak nilai-nilai kearifan lokal mulai diabaikan oleh masyarakat lokal
terutama generasi muda sebagai dampak dari era globalisasi. Lunturnya
nilai-nilai luhur masyarakat terkontaminasi budaya-budaya asing yang
berbeda dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat kita. Oleh karena itu
perlu adanya upaya penyaringan (filter) yang salah satunya adalah
menggali kearifan lokal dalam sastra daerah seperti Kabhanti pada
masyarakat Buton. Mengenal serta memahami kearifan lokal dapat
menjadi landasan berpijak dalam hidup di tengah-tengah masyarakat yang
multietnis. Kearifan lokal itu juga dapat menjadi bahan-bahan
pembelajaran di sekolah. Agar generasi memahami nilai-nilai kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Nilai-nilai kehidupan yang dibangun
melalui sarana pembelajaran kearifan lokal dengan sendirinya akan
menjadi landasan kearifan nasional sehingga terbentuk suatu generasi
yang memiliki ketahanan karakter yang kokoh dari berbagai pengaruh
budaya lain terutama budaya asing.
Nilai-nilai kearifan lokal saat ini dipandang sangat relevan dengan
pendidikan karakter. Mulai tahun 2011 semua satuan pendidikan di
Indonesia mulai melaksanakan pendidikan karakter tujuannya adalah
mengembangkan karakter peserta didik yang berlandaskan pada nilai-nilai
luhur bangsa.
Kabhanti berbentuk puisi bagi masyarakat Buton, bahasanya padat
(sedikit kata-kata tetapi mengandung banyak makna). Keindahan struktur
54
(rima, ritme, musikalitas) dalam bahasa yang digunakan sangat
diperhatikan. Makna yang terkandung dalam puisi dapat berupa pikiran,
perasaan, pendapat, kritikan, dan lain-lain. pada masyarakat Buton
sebagai turunan dari masyarakat kesultanan, Kabhanti dipandang sebagai
bentuk puisi yang menyerupai syair. Puisi yang dimiliki oleh masyarakat
Buton memiliki kemiripan dengan bentuk-bentuk syair di berbagai daerah.
Puisi Kabhanti berkembang pesat setelah masuknya agama Islam di
kerajaan Buton. Masuknya ajaran agama Islam sanggup mengubah status
kerajaan Buton menjadi kerajaan Islam (kesultanan) yang turut pula
mewarnai perkembangan sastra di Buton. Dari segi bentuknya
kesusastraan jenis Kabhanti dapat dikelompokkan menjadi dua bagian
yaitu pantun dan syair. Kabhanti yang tergolong kelompok pantun pada
umumnya berbentuk pendek-pendek, kadang-kadang terdiri atas lampiran
dan isi, dan kadang pula hanya berupa isi saja. Kabhanti yang tergolong
kelompok syair pada umumnya berbentuk panjang-panjang, dan
merupakan hasil pengolahan secara bebas dari kesusastraan bentuk
prosa.
Sastra lisan adalah karya sastra yang diciptakan dan disampaikan
secara lisan dengan mulut baik dalam pertunjukan seni maupun diluarnya,
karya seni yang menggunakan bahasa lisan, yang diungkapkan dari mulut
ke mulut, yang berisikan makna kehidupan dan nilai-nilai luhur
pengajaran, karya yang dikarang menurut standar bahasa kesusastraan
dan diteruskan dari orang ke orang dalam bentuk tidak berubah dengan
55
lisan bukan tulisan, dan merupakan jenis karya yang diturunkan dari
mulut ke mulut, tersebar secara lisan, anonim, dan menggambarkan
kehidupan pada masa lampau.
Ciri-ciri sastra lisan adalah 1. Anonim, adalah karya sastra itu tidak
diketahui pengarangnya. 2. Statis, yaitu baik isi maupun bentuk contohnya
sangat lambat perubahannya. 3. Religiusitas, yaitu karya-karya itu
berhubungan dengan agama dan kepercayaan yang dianut. 4. Klise
imajinatif, yaitu baik isi maupun bentuknya selalu meniru bentuk yang
sudah ada sebelumnya.
Fungsi sastra lisan adalah 1. Fungsi mendidik yaitu membina
tingkah laku yang baru, agar tercapai keserasian hidup bersama,
membina kemampuan dan perasaan, mendidik moral yang tinggi seperti
jujur, belas kasihan, dan suka menolong. 2. Fungsi menyimpan budaya,
dengan mendengar sastra lisan generasi muda mengetahui bagaimana
setiap hidup yang luhur dari nenek moyang. 3. Fungsi motivasi, agar
generasi muda dapat mengambil manfaat dari sastra lisan tersebut. 4.
Fungsi rekreasi.
Jika diamati dari fungsi sastra lisan diatas maka nyanyian
tradisional dalam syair Kabhanti Ganda sebagai salah satu bentuk sastra
lisan masyarakat Buton dapat pula menunjukkan fungsi yaitu sebagai alat
penghibur, sarana pendidikan, dan sarana rekreasi. Sastra lisan termasuk
folklor lisan dan mempunyai empat fungsi yaitu 1. Sebagai bentuk hiburan,
56
2. Sebagai alat pengesahan, 3. Sebagai alat pendidikan anak, 4. Sebagai
alat pemaksa agar norma-norma masyarakat dipatuhi.
Sastra lisan sebagai sistem proyeksi terkait dengan keinginan-
keinginan manusia atau hanya dalam angan-angan, untuk memberikan
seseorang suatu jalan yang diberikan oleh masyarakat agar dia dapat
membantu orang lain, sebagai alat untuk memprotes ketidakadilan dalam
masyarakat, dan sebagai hiburan. Fungsi-fungsi sastra lisan tersebut
saling berkaitan. Sebuah cerita lisan yang ditemukan oleh seorang peneliti
dapat dikaitkan dengan berbagai fungsi yang ada.
Bentuk-bentuk secara umum ragam sastra lisan atau genre sastra
berdasarkan situasi bahasanya. Menurut Luxemburg dkk (2010;52) terdiri
atas tiga yaitu 1. Teks monolog yaitu teks yang dibawakan oleh satu
pencerita, misalnya pidato, khutbah, uraian, dan sebagainya. 2. Teks
dialog yaitu teks yang sekurang-kurangnya dibawakan oleh dua
pembicara secara bergantian, misalnya drama, komedi. 3. Teks berlapis
yaitu teks yang memuat pembicara utama atau pencerita yang dapat
menampilkan pembicara lain, yaitu tokoh. Dalam hal ini teks tokoh
merupakan lapisan yang bertumpuh pada teks pencerita utama. Misalnya
roman, epos, dan cerpen.
Sastra lisan juga merupakan jenis atau kelas karya sastra tertentu,
yang dituturkan dari mulut ke mulut, tersebar secara lisan, anonim, dan
menggambarkan kehidupan masyarakat pada masa lampau. Jenis sastra
lisan meliputi 1. Bahan yang bercorak cerita yaitu cerita biasa, mitos,
57
cerita tutur. 2. Bahan yang bercorak bukan cerita yaitu ungkapan,
nyanyian, peribahasa, teka-teki, puisi lisan. 3. Bahan yang bercorak
tingkah laku yaitu drama panggung, drama arena.
Sastra lisan atau kesusastraan lisan adalah kesusastraan yang
mencakup hasil ekspresi warga suatu kebudayaan masyarakat tertentu
yang turun-temurun dan disebarluaskan secara lisan dari mulut ke mulut.
Bentuk-bentuk sastra lisan itu sendiri adalah 1. Bahasa rakyat, merupakan
suatu bentuk bahasa yang dijadikan sebagai alat komunikasi di antara
rakyat dalam suatu masyarakat atau bahasa yang dijadikan sebagai
sarana pergaulan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dialek, logat,
kosakata bahasanya, julukan. 2. Ungkapan tradisional, merupakan suatu
peribahasa atau pepatah sebagai pendidikan, biasanya disampaikan
secara lisan sebagai ajaran bagi masyarakat untuk menegur seseorang
atau memuji seseorang tidak secara langsung namun menggunakan
ungkapan-ungkapan yang bermakna kiasan. Seperti peribahasa, pepatah.
3. Pertanyaan tradisional, merupakan teka-teki lebih bersifat tradisional
dan mempunyai jawaban yang tradisional juga, seperti teka-teki dalam
syair. 4. Cerita rakyat, merupakan kiasan antonim yang tidak terikat pada
orang dan waktu yang beredar secara lisan di tengah-tengah masyarakat
seperti cerita ikan duyung di tanah Buton. 5. Puisi rakyat (puisi lama),
merupakan bentuk sastra lisan yang biasanya selalu terikat dengan
aturan-aturan atau syarat-syarat tertentu yakni berupa jumlah baris,
jumlah bait, irama, maupun bentuk persajakan seperti gurindam, pantun,
58
syair. 6. Nyanyian rakyat, merupakan salah satu bentuk sastra lisan yang
terdiri dari kata-kata dan lagu yang beredar secara lisan di antara kolektif
tertentu yang berbentuk tradisional seperti Kabhanti.
Dalam kamus istilah sastra (Zainal,2016;72) mengemukakan
bahwa lagu rakyat adalah nyanyian yang merupakan tradisi lisan dari
masyarakat suatu daerah yang mencerminkan gaya hidupnya. Nyanyian
rakyat adalah nyanyian yang terdiri dari kata-kata dan lagu yang beredar
secara lisan dalam suatu masyarakat tertentu yang berbentuk tradisional
serta mempunyai banyak varian. Syair Kabhanti Ganda adalah kata-kata
nyanyian lisan dari mulut ke mulut yang secara turun-temurun dari nenek
moyang, anonim, dan bersifat tradisi menurut adat kebiasaan yang
dijalankan oleh masyarakat kelurahan Waborobo kecamatan Betoambari
Kota Baubau.
Fungsi nyanyian rakyat terdiri dari 1. fungsi kreatif yaitu
menghilangkan dari kebosanan hidup sehari-hari walaupun untuk
sementara waktu atau untuk menghibur diri dari kesukaran hidup, dapat
pula menjadi semacam pelipur lara atau untuk melepaskan diri segala
ketegangan perasaan sehingga dapat memperoleh kedamaian jiwa. 2.
Sebagai pembangkit semangat jiwa. 3. Untuk memelihara sejarah
setempat. 4. Sebagai proses sosial.
Nilai moral yang dideskripsikan terdiri atas nilai moral positif dan
negatif. Adapun tolak ukur untuk menentukan nilai moral positif dan
negatif didasarkan pada landasan kaidah dasar moral. Landasan kaidah
59
dasar moral adalah prinsip sikap baik, prinsip keadilan, prinsip
menghargai diri sendiri, prinsip kerukunan, prinsip hormat, prinsip
ketuhanan.
1) Kabhanti berbalas pantun
Kabhanti berbalas pantun merupakan salah satu jenis Kabhanti
Ganda dalam acara pingitan pada masyarakat kelurahan Waborobo.
Kabhanti Ngkitaana adalah Kabhanti yang dilantunkan oleh Pandeno
Ganda (penabuh gendang) untuk mengingatkan pada manusia bahwa
pada mulanya manusia adalah satu yang diciptakan oleh tuhan dan
kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia.. Kemudian Kabhanti
berbalas pantun berarti Kabhanti yang hakikat keberadaan kita sebagai
mahkluk sosial dan sebagai hamba Allah, Untuk lebih jelasnya Kabhanti
Ngkitaana dapat dilihat pada kutipan berikut ini :
Ngkaasi Ngkitaana Puuna rapuu-puu Kulaseno rumambano Tano rambamo ku / ese Puuna sepu’u-pu’u Puuno wasakalambe Kuleseno iaudia Alindara kuleseno Notondu ransano iiwu Nokopera situmpano Nolele sambara nggunu Bhakeno sau mparae Mantale mie junia Bhakeno sau lagundi Labua kalembanguni Artinya : Kalembangu bhakeno
60
Labuansum-suru mbungano Mbunga sembunga-mbungano Kita sekalian manusia Mulanya dari satu pohon (kemudian) akhirnya merambat Biarpun dimana akarnya Pohonnya tetap satu Pohonnya adalah wasakalambe Akarnya adalah keturunannya Kutelusuri akarnya Tenggelam di dasar negeri Tiba (berkembang) di Penghujung tertentu Meleleh sembarang gunung Buahnya kayu mparae Tercecer manusia di dunia Buahnya kayu lagundi Terus dikunjungi Dikunjungi buahnya Terus ditelusuri dan ditelusuri bunganya Adalah berbunga sama
2) Kabhanti petuah
Kabhanti petuah merupakan salah satu jenis Kabhanti Gambusu
yang mengisahkan kehidupan dan komunikasi yang gaib di dalam
kandungan ibu yang akan melahirkan. Komunikasi gaib yang di maksud
adalah komunikasi antara janin bayi dengan kakaknya (ari-ari). Pada akhir
Kabhanti Yoai juga mengisahkan tentang penderitaan sang ibu di saat
menunggu kelahiran bayinya. Untuk lebih jelasnya Kabhanti Yoai dapat
dilihat pada kutipan berikut di bawah ini :
Tabe lain tabea Aomangka powandi Nae tompamo kamborara Lampangulu notingkulu Notingkulu rato idhia Ane sampurno wangu Tobhiru nungguawe
61
Anembuli ntugu Dhotingkulu dharodua Dhotingkulu tokombowa Topombuli toponggaamo Isabharano wamba Wa inamo pangulumo Sawali maka iyau Dopotingalu ngalumo Adik, aku duluan lewat Dipenghujung terang Yang sakit akan turun Turun menemui dia Artinya : Kalau turun minta izin Potonglah dengan daun Kalau pulang tunggulah Kita turun berdua Berpegang tangan Kita turun bersama Kita pulang berpisahlah Tapi tinggal kata-kata Dan sang ibu yang sakit Padahal saja aku Hanya desah nafas 3). Kabhanti tarian
Kabhanti tarian merupakan salah satu jenis Kabhanti Gambusu.
Kabhanti tarian menggambarkan dialog antara bayi (sebagai adik) dengan
ari-ari bayi (sebagai kakak). Dikisahkan dalam Kabhanti ini bahwa sang
adik sudah kesakitan hendak lahir tapi kakaknya belum juga mau lahir.
Ajakan adik dengan berbagai argumen akhirnya dituruti dengan ucapan
bahwa ‘saya (kakak) memang sudah begini, nanti saya menyusul’. Untuk
lebih jelasnya Kabhanti Yoisa dapat dilihat pada kutipan berikut ini :
Wa aka maimo sampu Wa andi nopangulumo Maimo dhia maimo Koe dhia mbalengo
62
Ambea lengomo bhela Ngkapea neantagimo Iyau ngahanea nomo Madhapo amangka tulu Atumutumo kabhori Kabhori minae yopu Kasukara / ancangia Kokombe ntagia Bharanomo mpulawangi Atuamangi koesu Iyau amokulamo Kacintampe lampangulu Dhamule muleimo Kasimbi garanano uwe Dhamotembe-tembemo Amoa-moaleimo Asambi waamble Ambo kawasakalambe Kaasi yau wana Artinya : Sang kakak marilah turun Sang adik sudah gelisah (sakit) Marilah ! marilah ! Jangan tetap enggan (bersama) Kalau tetap enggan Kesedihan telah menunggumu Aku sudah memang begini Nanti kususuli Kututupi ketetapan (tulisan) Ketetapan dari tuhan Kesukaran sebelumnya (tanda-tanda sebelumnya) Kuterjatuh bertahan Untunglah melawannya Kutahan dirimu (kamu) Daun untuk yang gelisah (sakit) (lelah) hilang sedikit demi sedikit (tak ada panasnya) Aku bersusah-susah Gelisah dan gelisah (kalau) kawakasalambe Kasihan aku ini
63
1. Nilai moral Kabhanti berbalas pantun Ngkaasi ngkitaana kita sekalian manusia Puuna rapuu-puu mulanya dari satu Kulaseno pohon Rumambano (kemudian) akhirnya Tano rambamo merambat Kulese biarpun dimana akarnya Puuna sepu’u-pu’u pohonnya tetap satu Puuno wasakalambe pohonnya adalah Kuleseno iaudia wasakalambe Alindara kuleseno akarnya adalah keturunannya Kutelusuri akarnya Notondu ransano tenggelam di dasar Iiwu negeri Nokopera situmpano tiba (berkembang) di Nolele sambara penghujung tertentu Nggunu meleleh sembarang Bhakeno sau mparae gunung Mantale mie junia buahnya kayu mparae Bhakeno sau lagundi tercecer manusia di Labua kalembanguni dunia buahnya kayu lagundi terus dikunjungi Kalembangu bhakeno dikunjungi buahnya Labuansum-suru terus ditelusuri dan Mbungano ditelusuri bunganya Mbunga sembunga adalah berbunga Mbungano sama a. Prinsip sikap baik
Setelah membaca dan mencermati kandungan isi dari Kabhanti
Ngkitaana di atas, maka peneliti dapat mengemukakan nilai moral berupa
prinsip sikap baik dalam bentuk nasihat kepada semua manusia.
Walaupun nasihat-nasihat itu dalam bentuk tersirat, akan tetapi dapat
dimaknai betapa pentingnya kesadaran kita manusia tentang eksistensi
kemanusiaan. Memang syair ini tergolong sastra lama yang lebih bersifat
filosofis. Larik-lariknya mengandung makna yang luas. sehingga
membutuhkan pemaknaan yang dalam bagi pembacanya.
64
b. Prinsip kerukunan
Setelah membaca secara teliti teks Kabhanti Ngkitaana secara umum
judulnya mengemukakan tentang hakikat kita sebagai manusia. Setelah
kita membaca larik-lariknya maka kita akan menemukan makna tentang
manusia yang asalnya satu. Diumpamakan kita manusia di dunia ini
berasal dari satu pohon. Setelah itu menyebar ke seluruh penjuru dunia
atau bercabang. Dari perumpamaan tersebut kita dapat memahami bahwa
syair Kabhanti tersebut mengandung nilai moral berupa seruan kerukunan
kepada seluruh umat manusia karena kita berasal dari satu keturunan.
Maka kita harus selalu bersatu, harus rukun antara satu keluarga dengan
keluarga yang lain, antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain
untuk kebaikan kita semua. Seperti halnya dengan nilai moral yang
lainnya, Karena nilai kerukunan ini tersirat didalamnya secara filosofis.
2. Nilai moral Kabhanti petuah
Tabe lain tabea permisi ! permisi ! Aomangka powandi adik duluan lewat Nae tompamo (turun) Kamborara yang sakit akan Lampangulu turun Notingkulu turun menemui dia Notingkulu rato idhia kalau turun minta Ane sampumo wangu izin Tobhiru nungguawe potonglah dengan Anembuli ntugu daun kalau pulang tunggulah kita turun berdua dhotingkulu berpegang tangan dharodua kita turun bersama dhotingkulu kita pulang tokombowa berpisahlah topombuli tapi tinggal kata
65
toponggaamo kata isabharano wamba sabar wa inamo pangulumo dan sang ibu sawali maka iyau sakit dopotingalu padahal saja aku ngalumo hanya desah nafas
a. Prinsip sikap baik
Setelah membaca dan mencermati kandungan isi dari Kabhanti
Yoai di atas, maka peneliti dapat mengemukakan nilai moral berupa
prinsip sikap baik santun kepada sesama. Pada larik pertama syair
Kabhanti Yoai, intinya adalah mengenai sopan santun seorang adik
kepada kakaknya. Nilai moral berupa budaya berpamitan sangat kental
dalam budaya masyarakat Buton pada umumnya. Ketika seseorang akan
pergi meninggalkan suatu pertemuan maka kata permisi (tabe)
merupakan hal yang wajib diucapkan. Kata tabe tidak hanya merujuk
kepada makna permisi, akan tetapi lebih luas dari itu. Kata tabe bermakna
penghormatan lahir batin kepada sesama. Jadi kata tabe merupakan
penanda santun saat lewat di depan seseorang atau banyak orang atau di
saat meninggalkan suatu pertemuan sekaligus sebagai wujud
penghargaan kepada sesama. Ada harapan masyarakat agar nilai-nilai
moral budaya semacam ini dapat diikuti secara regenerasi dalam
pergaulan sosial kemasyarakatan sehari-hari. Nilai moral berupa sikap
baik dalam bentuk menghargai sesama sangat penting dalam masyarakat
Buton. Karena hal ini diungkapkan sejak dalam kandungan. Ini dibuktikan
dengan kandungan syair Kabhanti Yoai yang mengisahkan dialog di alam
66
ghaib yaitu di alam kandungan. Nilai moral budaya semacam ini sejak
didalam kandungan telah diberikan. Penanaman nilai moral sejak dini
akan lebih efektif dalam upaya pembentukan generasi yang dapat
melanjutkan pembangunan di masa yang akan datang.
b. Prinsip kerukunan
Nilai moral dalam bentuk prinsip kerukunan dapat kita temukan dalam
kutipan syair Kabhanti Yoai di atas. Makna larik-lariknya sangat filosofis.
Sehingga perlu pemaknaan yang dalam. Dialog yang terjadi di alam
kandungan merupakan hal yang sangat sakral. Antara sang kakak (ari-ari)
dengan bayi dalam kandungan telah menunjukkan sikap rukun antara
mereka. Ketika sang bayi lahir terlebih dahulu dia meminta izin dengan
kata tabe. Dan saat itu sang kakak mengizinkan untuk turun atau lahir.
Dialog mereka sangat rukun yang ditandai dengan pesan sang kakak
kepada sang adik. Sang kakak memberitahu sang adik jika sudah tiba di
sana (dunia) nanti tunggu saya. Sang kakak berharap kalaupun nanti
mereka bisa bersama-sama lagi. Artinya, kalau meninggal kelak sang
kakak berharap mereka bersama-sama lagi. Kerukunan antara sang
kakak dengan sang adik tampak dalam sikap saling menasihati dan saling
memperhatikan satu sama lain. harapan mereka berdua saling berpegang
tangan di saat turun atau lahir. Dan perjanjian mereka untuk kembali
bersama merupakan dialog yang terkesan mengharukan. Semoga nilai
moral kerukunan semacam ini dapat kita wujudkan dalam kehidupan
sehari-hari. Hanya dengan rukun kita dapat menikmati kehidupan.
67
c. Prinsip hormat
Nilai moral dalam bentuk rasa hormat dan patuh kepada ibu tercinta
dapat kita temukan dalam syair Kabhanti Yoai di atas. Dialog antara sang
kakak dengan sang adik tentang bagaimana penderitaan sang ibu ketika
melahirkan. Sang kakak mengingatkan kepada sang adik bahwa betapa
sakitnya ibu di saat kita dalam kandungan. Kesadaran akan nilai moral
tentang rasa hormat kepada ibu sangat penting bagi setiap manusia
sebagai wujud dari rasa hormat kepada jasa ibu saat mengandung dan
melahirkan. Hormat dan patuh kepada ibu merupakan nilai moral yang
sangat penting dalam kehidupan setiap insan. Sikap hormat dan patuh
kepada ibu merupakan tanda sosok anak yang berbakti. Hanya orang
yang hormat dan patuh kepada ibunya yang dapat meraih berkah
kehidupan. Sebaliknya, bagi siapa saja yang tidak menghargai atau tidak
menghormati ibunya maka, ia tergolong orang yang durhaka.
3. Nilai moral Kabhanti tarian
Wa aka maimo sang kakak marilah Sampu turun Wa andi sang adik sudah Nopangulumo gelisah (sakit) Maimo dhia maimo marilah ! marilah ! Koe dhia mbalengo jangan tetap enggan (bersama) Ambea lengomo kalau tetap enggan Bhela kesedihan telah Ngkapea menunggumu Neantagimo aku sudah memang Iyau ngahanea begini Nomo nanti kususuli Madhapo amangka Tulu Atumutumo kabhori kututupi ketetapan Kabhori minae (tulisan)
68
Yopu ketetapan dari Kasukara tuhan / ancangia kesukaran Kokombe ntagia sebelumnya (tanda tanda sebelumnya) Bharanomo kuterjatuh Mpulawangi bertahan Atuamangi koesu untunglah Iyau amokulamo melawannya Kacintampe kutahan dirimu Iampangulu (kamu) daun untuk yang gelisah Dhamule-muleimo (sakit) Kasimbi garanano (telah) hilang Uwe sedikit demi Dhamotembe sedikit (tak ada Tembemo panasnya) Amoa-moaleimo aku bersusah-susah Asambi waambie gelisah dan gelisah Ambo (kalau) Kawasakalambe kawakasalambe Kaasi yau wana kasihan aku ini
a. Prinsip kerukunan
Nilai moral dalam bentuk prinsip kerukunan dapat ditemukan dalam
kutipan syair Kabhanti tarian. Makna larik-lariknya sangat filosofis
sehingga perlu pemaknaan yang dalam. Jika kita maknai secara
keseluruhan akan tampak berbagai nilai yang terkandung didalamnya.
Dialog antara kakak dengan adik di alam gaib merupakan panutan bagi
kita dalam membentuk kehidupan keluarga atau sosial kemasyarakatan.
Antara adik dengan kakak begitu rukun dalam proses kelahirannya.
Ajakan sang adik kepada kakak agar kita secepatnya lahir karena adik
sudah kesakitan terkesan mengharukan. Sang adik bermohon kepada
kakak agar secepatnya lahir jangan sampai ada sesuatu yang
69
menyedihkan. Dalam hal ini, jika terlambat lahir jangan sampai ada resiko
yang tidak diinginkan. Dengan demikian kegelisahan adik tampak
dicurahkan kepada sang kakak. Nilai moral kerukunan di antara adik
dengan kakak tampak dalam komunikasi yang sangat toleran dan saling
mengindahkan di antara mereka adik dan kakak. Kita yakin bersama
bahwa jika penanaman nilai-nilai moral kerukunan ditanamkan sejak dini
bagi generasi kita, tentu akan lebih memudahkan kita dalam
mempersiapkan generasi yang diandalkan pada masa yang akan datang.
Generasi yang tangguh adalah generasi yang tidak hanya memiliki
kecakapan intelegensi akan tetapi juga harus memiliki kecakapan
emosional serta kecakapan spiritual. Ketiga kompetensi inilah yang
menjadi kunci dalam mewujudkan masyarakat yang madani, yaitu
masyarakat yang dapat membangun kondisi bangsa yang lebih damai dan
makmur. Hanyalah dengan situasi yang rukun di antara warga yang dapat
menciptakan kedamaian, kesejahteraan, yang demokratis.
b. Prinsip hormat
Dialog yang sangat harmonis di antara kakak dan adik merupakan
wujud dari nilai saling menghormati di antara mereka berdua. Saling
menghormati antara kakak dan adik dapat terwujud jika sang adik
menghargai dan menghormati kakaknya. Demikian pula sang kakak harus
menyayangi adiknya. Hubungan harmonis semacam itu tidaklah mudah
diciptakan. Orang tua sangat dibutuhkan peranannya dalam pembinaan
ke arah ini. Sejak dini orang tua harus menegaskan dalam berbagai wujud
70
pembinaan kepada anak-anak mereka. Jika dewasa biasanya sang anak
sudah agak susah di bentuk watak dan jiwanya. Secara umum, peneliti
dapat mengatakan bahwa nilai moral dengan prinsip hormat-menghormati
penting untuk diwujudkan dalam kehidupan keluarga, masyarakat bangsa
dan negara. penerapan nilai moral dalam bentuk saling menghormati
semacam ini merupakan kunci sukses upaya penguatan ketahanan
nasional. hanya bangsa yang saling menghormati yang dapat
menciptakan kenyamanan dan kesejahteraan yang demokratis.
c. Prinsip ketuhanan
Nilai moral dalam bentuk prinsip ketuhanan dapat ditemukan dalam
kutipan syair Kabhanti Yoisa. Kita perlu memaknai secara mendalam,
karena untaian kata-kata serta lariknya sangat filosofis. Kehadiran kata
tuhan dalam bait ketiga syair Kabhanti Yoisa hanya dapat kita maknai jika
menghubungkannya dengan larik-larik sebelumnya. Bahkan akan lebih
akurat kita memaknai eksistensi kata tuhan dalam syair tersebut jika kita
melakukan pemaknaan secara keseluruhan dari larik pertama hingga larik
terakhir. Makna kata ketetapan tuhan dalam konteks yang sebenarnya.
Ketetapan tuhan yang dimaksud dalam teks itu adalah ketetapan tuhan
dalam hubungannya dengan kelahiran sang bayi. Bahkan secara lebih
luas ketetapan tuhan sesungguhnya juga termasuk keselamatan, nasib,
dan sebagainya yang telah ditentukan oleh tuhan sebelum bayi itu lahir ke
dunia. Keyakinan atas ketetapan tuhan merupakan nilai moral yang
berdasarkan prinsip ketuhanan terkandung dalam syair Kabhanti Yoisa
71
dan juga dianut oleh masyarakat Waborobo. Akan tetapi konsep atau
prinsip ketuhanan semacam ini harus berlaku dan diberlakukan dalam
masyarakat muslim dimanapun berada.
2. Nilai-nilai kearifan lokal dalam Kabhanti pada aspek religius
Nilai-nilai kearifan lokal aspek religius pada Kabhanti masyarakat
Buton tergambar pada Kabhanti Bula Malino dan Kabhanti Bunga Malati,
tentang hubungan manusia dengan tuhan. Masyarakat Buton dengan
masalah ketuhanan menunjukkan adanya keterkaitan ajaran tasawuf
dengan bentuk kearifan lokal yang terdapat pada Kabhanti Bula Malino
dan Bunga Malati. Dalam hasil analisis data disimpulkan bahwa konsepsi
tentang tuhan harus ditelusuri melalui eksistensi diri kita sebagai ciptaan
tuhan. Untuk mengenal tuhan dalam konsepsi masyarakat Buton harus
mengenal diri kita. Berdasarkan temuan penelitian tersebut menunjukkan
bahwa masyarakat Buton mempelajari masalah ketuhanan sebagai
konsepsi dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat yang selalu
menyadari eksistensi diri sebagai hamba Allah akan selalu mengarahkan
kepada sifat-sifat merendah, selalu bersyukur, dan bertawakal kepada
maha pencipta. Artinya, kehidupan bermasyarakat dibalut dengan nilai-
nilai keimanan kepada Allah dengan kesadaran sebagai hamba. Oleh
karena itu, dalam tatanan kehidupan masyarakat Buton berjalan pada
nilai-nilai keislaman serta norma-norma adat.
Pada Kabhanti Bula Malino dijelaskan bahwa inti kemanusiaan
adalah keimanan kepada Allah Swt. tidak bermakna seorang yang
72
menyatakan diri sebagai pemeluk agama islam manakala tidak mengerti
tentang tuhannya. Oleh karena itu, kandungan Kabhanti ini ditegaskan
pembentukan keimanan (tauhid) pada masyarakat dilakukan oleh
pemerintah melalui utusan kesultanan dan para ulama. Artinya,
pembentukan pandangan hidup masyarakat tentang tuhan menjadi
tanggungjawab pemerintah. Maka seorang Sultan bagi masyarakat Buton
mendapat gelar Khalifah Alhamsi yaitu memiliki sifat saleh, suci batinnya,
menjadi panutan, dan berilmu tauhid. Itulah sebabnya, penanaman nilai-
nilai ketuhanan dalam masyarakat Buton dilakukan secara terorganisir
yaitu mulai Sultan sampai ke masyarakat biasa. Pusat pemerintahan
membentuk badan yang dinamakan Sarana Agama yang memegang
urusan agama dan berhubungan dengan Islam. Dewan tersebut
berkedudukan di Masjid Agung Keraton Buton. Badan tersebut menjalin
kerjasama yang erat dengan pusat kekuasaan Sultan dan Sarana Wolio
(lembaga adat). Dengan demikian, ketiga lembaga tersebut (Sarana
Agama, pemerintah, dan Sarana Wolio) dijalankan secara terpadu.
Sehingga ajaran Islam menyebar dan mengental di hati masyarakat
Buton. Hal ini sesuai dengan adat bersendikan sara dan sara bersendikan
kitabullah. Keseluruhan perilaku serta pengetahuan yang telah terpendam
dalam hati masyarakat menjadi pandangan hidup yang pada akhirnya
menjadi kearifan lokal dalam masyarakat Buton.
Sifat-sifat itulah yang dimaksudkan oleh narasumber sebagai
masyarakat Buton yang madani yaitu sifat bawaan yang tidak pernah
73
luntur di manapun ia berada. Bagi masyarakat Buton selalu menempatkan
syariat Islam di atas segala-galanya. Hal tersebut dapat terlihat pada
semboyan falsafah Buton Bolimo Karo Somanamo Lipu, Bolimo Lipu
Somanamo Sara, Bolimo Sara Somanamo Agama. yang maknanya tidak
perlu diri asalkan negeri tetap utuh, tidak perlu negeri asalkan hukum
tegak, tidak perlu hukum asalkan agama dilaksanakan. Semboyan
masyarakat Buton tersebut dapat berimplikasi pada pandangan atau
falsafah hidup masyarakat. falsafah hidup masyarakat Buton
berlandaskan pada masalah pokok yaitu pandangan hidup tentang
hubungan manusia dengan maha pencipta, pandangan hidup tentang
hubungan manusia dengan manusia lain, dan pandangan hidup tentang
hubungan manusia dengan alam (wilayah kehidupan). Pandangan hidup
masyarakat Buton tentang hubungan manusia dengan pencipta maka
manusia harus memandang dirinya sebagai mahkluk yang lemah. Oleh
karena itu pengabdian kepada Allah menjadi landasan kehidupan yang
tidak dapat dihindari. Hasil analisis Kabhanti disimpulkan bahwa konsepsi
tentang Allah harus ditelusuri melalui eksistensi diri kita sebagai
ciptaannya. Untuk dapat mengenal Allah dalam pandangan masyarakat
Buton harus lebih awal mengenal keberadaan dirinya sebagaimana
tertuang dalam ajaran tasawuf yang banyak dipelajari masyarakat Buton.
Itulah sebabnya setiap produk budaya pada masyarakat Buton bersandar
pada nilai-nilai Islam.
3. Nilai-nilai kearifan lokal dalam Kabhanti pada aspek norma
74
Norma merupakan suatu acuan atau pedoman tingkah laku yang
patut dan tidak patut dilakukan oleh anggota masyarakat. dengan kata
lain, norma dapat dimaknai sebagai tolak ukur yang menjadi acuan benar
salahnya suatu perilaku masyarakat. norma dalam kehidupan masyarakat
selalu berkaitan erat dengan nilai-nilai kehidupan (kearifan lokal) suatu
masyarakat. nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat banyak tercermin
dalam produk budaya termasuk pada Kabhanti. Implementasi norma dan
nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat Buton yang terkandung dalam
Kabhanti dapat terefleksi melalui kehidupan masyarakat.
Nilai-nilai kearifan lokal dalam Kabhanti pada aspek norma
berlandaskan syariat Islam sebagai sumber utama. Hal ini tergambar pada
Kabhanti Bula Malino dan Jaohara Molabina. Penerapan norma terjabar
pada tiga pilar norma yaitu norma hukum, norma sosial, dan norma adat.
Ketiga bentuk norma tersebut memiliki peranan penting dalam tata
kehidupan masyarakat karena dapat menjadi standar atau acuan untuk
berperilaku, bersikap, serta berpikir. Norma hukum yang tertuang dalam
Kabhanti Bula Malino dan Jaohara Molabina menjadi acuan dalam
penerapan syariat Islam. Norma sosial yang tampak pada Kabhanti Bula
Malino dan Jaohara Molabina menjadi acuan dalam berperilaku dan tata
krama. Norma adat sebagaimana tergambar pada Kabhanti Bula Malino
dan Jaohara Molabina menjadi acuan penetapan budaya atau adat
istiadat dalam masyarakat Buton. Hal ini dilakukan melalui satu lembaga
kesultanan yang disebut Kenepulu Bula dibawah Sultan. Nilai-nilai
75
kearifan lokal masyarakat pada aspek norma tercakup pada tiga pilar
norma yaitu norma hukum, norma sosial, dan norma adat. Masing-masing
norma tersebut memiliki peranan penting dalam tata kehidupan
masyarakat. karena dapat menjadi pedoman bersikap dan berperilaku.
Norma-norma tersebut menjadi acuan masyarakat Buton dalam
memberikan sanksi atau hukum. norma sosial menjadi acuan memberikan
sanksi sosial terhadap pelanggaran susila. Dan aspek norma adat menjadi
acuan penerapan sanksi terhadap pelanggaran adat masyarakat Buton.
Penerapan sanksi terhadap pelanggaran norma tidak pandang bulu dalam
arti telah diterapkan pada siapa saja baik pejabat maupun masyarakat
biasa.
4. Nilai-nilai kearifan lokal dalam Kabhanti pada aspek sosial
Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat pada aspek sosial mengandung
nilai-nilai luhur yang sarat dengan nuansa keislaman. Artinya, jabaran
didalamnya mencakup budi pekerti atau Akhlakul Karimah yang dalam
Kabhanti diberikan istilah Budimani. Hal ini tergambar pada sebagian
besar Kabhanti Bula Malino dan Jaohara Molabina. Pada Kabhanti ini
menguraikan tentang budi pekerti yang mempunyai beberapa indikator
yang merujuk pada falsafah Buton Bhinci-bhinciki Kuli. Falsafah tersebut
tertuang dalam empat prinsip hidup yaitu sesama manusia harus selalu
saling menghormati, sesama manusia harus selalu saling peduli, sesama
manusia harus selalu saling menyayangi, sesama manusia harus selalu
76
saling memuliakan. Orang yang memiliki perilaku tersebut masyarakat
menjuluki budimani (berakhlak mulia).
Nilai-nilai kearifan lokal dalam Kabhanti pada aspek sosial
terkandung nilai-nilai luhur masyarakat Buton yang sarat dengan nuansa
Islam. Hal ini tercakup dalam falsafah Buton Bhinci-bhinciki Kuli. Yang
biasa dikenal dengan istilah Sara Pataanguna. Hukum yang empat. Sara
Pataanguna merupakan hukum adat masyarakat Buton yang memberikan
inspirasi kepada masyarakat untuk menjalin hubungan sesama manusia
secara harmonis. Kandungan dari falsafah tersebut bertujuan untuk dapat
memisahkan antara kebaikan dengan keburukan dalam berperilaku yang
dikenal dengan budi pekerti.
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan nilai-nilai kearifan lokal
yang terkandung dalam Kabhanti sarat dengan nilai-nilai luhur kehidupan.
Jabaran didalamnya mencakup Akhlakul Karimah yang dalam Kabhanti
diberikan istilah Budimani. Pada konteks ini Budimani mempunyai
indikator yang merujuk pada falsafah Bhinci-bhinciki Kuli yang memuat
prinsip hidup Pomaa-maasiaka (sesama manusia harus saling
menyayangi), Pomae-maeka (sesama manusia harus selalu saling
menghormati), Popia-piara (sesama manusia harus saling melindungi),
Poangka-angkataka (sesama manusia harus saling memuliakan). Orang
yang memiliki prinsip hidup itu masyarakat Buton menyebut Budimani.
Sebagai implikasi perilaku tersebut membentuk masyarakat yang memiliki
77
ikatan sosial dalam berbagai bentuk, walaupun masyarakat Buton dikenal
sebagai salah satu daerah multietnis.
Realita yang ada menunjukkan bahwa nilai sosial dapat muncul
pada seseorang apabila merasakan pentingnya orang lain terhadap
keberadaan dirinya. Pada aspek ini tersirat makna bahwa nilai sosial
terbentuk oleh rasa saling membutuhkan dengan didasari oleh hati yang
bersih. Pada konteks ini setiap manusia pada dasarnya mempunyai hati
yang bersih yaitu hati nurani yang perlu dibiasakan. Nilai-nilai kearifan
lokal perlu ditanamkan secara dini. Baik yang diberikan oleh orang tua,
anggota masyarakat, maupun guru melalui pendidikan karakter di sekolah.
Pandangan hidup masyarakat terhadap hubungan manusia dengan
manusia didasarkan pada syariat Islam, sebagaimana tercakup dalam
falsafah Buton. Dengan prinsip hidup ini maka masyarakat Buton
cenderung berusaha membantu orang, peduli sesama, mengikhlaskan,
dan toleransi terhadap keberagaman.
5. Nilai-nilai kearifan lokal pada Kabhanti Bula Malino
a. Nasihat akan kematian
Mengawali nasihatnya Sultan Muhammad Idrus mengatakan bahwa
kelak ia akan menghadapi kematian. Hal ini sudah merupakan takdir
tuhan kepadanya sebagai hambanya. Tidak ada satupun hamba tuhan
yang hidup kekal di dunia ini. Yang hidup kekal abadi hanyalah tuhan
semata. Oleh karena itu, di kala kematiannya tiba ia memohon kepada
tuhan agar senantiasa diberi kekuatan iman serta dapat mengikrarkan dua
78
kalimat syahadat dengan teguh. Hal ini sebagaimana sesuai pada kutipan
dibawah ini :
Bismillahi kasi karoku si dengan nama tuhan, kasihan diriku ini Alhamdu padaka kumatemo segala puji, kelak akan mati Kajanjinamo yoputa momokana sudah takdir tuhan yang kuasa Yapekamate bari-bariya batuya mematikan semua hamba Yinda samia batuya bomolagina tidak satu jua hamba yang kekal abadi Sakubumbuya pada posamatemo semua akan mati Somo yopu yalagi samangongeya hanya tuhan yang kekal abadi Sakiyayiya yinda kokapada selama-lamanya tidak berkesudahan Ee wayopu dawuyaku iymani wahai tuhan, berikanlah aku iman Wakutuna kuboli badaku si pada waktu meninggalkan jasad ini Te sahada ikiraru momatanga dengan syahadat ikrar yang tegas Te tasidiki iymani mototapu dan dengan tasdiq iman yang tetap
b. Mensucikan diri dan larangan berbuat sombong
Mensucikan diri merupakan jalan yang harus ditempuh oleh manusia
agar senantiasa terjaga dari penyakit hati, lemah iman, dan sebagainya.
Mengenai masalah ini Sultan Muhammad Idrus menasihati dirinya agar
senantiasa mensucikan diri. Ia juga menasihatkan agar jangan
merendahkan dan memandang remeh orang lain. yang paling utama
adalah selalu memikirkan kerendahan diri sendiri. Sesungguhnya manusia
dan mahkluk lainnya tidak berbeda asal kejadiannya, yaitu berasal dari
setetes air. Demikian pula kelak akan mati, didalam tanah akan
bercampur dengan tanah kuburannya. Seperti kutipan dibawah ini :
Ee karoku yincamu pekangkiloya wahai diriku sucikanlah dirimu Nganga randamu boli yumanga pipisi niatmu jangan merendahkan orang Temo duka boli yumanga pisaki dan juga jangan memandang remeh
Fikiriya katambena karomu pikirkanlah kerendahan dirimu Yuwe satiri banamo minamu air setetes awal kejadianmu Simbayu duka kadidi yanamako yitu seperti juga mahkluk lainnya Yi nuncana tana nayile yuhancurumo di dalam tanah kelak engkau hancur
79
Yuposalomo te tana koburumu bercampur dengan tanah kuburmu c. Jangan mabuk dengan kesenangan dunia
Sultan Muhammad Idrus menasihati dirinya dan keluarga kesultanan
agar tidak memabukkan kesenangan dunia. Yang paling penting dipikirkan
adalah perbuatan baik apa yang harus dilakukan terhadap sanak keluarga
dan para sahabat. Apabila kematian telah menjemput maka berpisahlah
dirinya dengan mereka itu. Seperti kutipan di bawah ini :
Ee karoku bega-bega yumalango wahai diriku janganlah mabuk Yinda yufikiri kampodona umurumu tidakkah engkau pikirkan sisa umurmu Matemo yitu tayomo papongako kematianlah yang akan menceraikanmu Te malingu sabara manganamu dengan semua anakmu Temo duka sabara musirahamu dan juga dengan semua kenalanmu Wutitinayi tawa mosaganana famili atau yang lain-lainnya
d. Jangan mengutamakan kekuasaan dan kebangsawanan
Sultan Muhammad Idrus menasihati dirinya agar jangan
mengutamakan kekuasaan dan kebangsawanan. Keduanya itu semata-
mata hanya kebesaran dan hiasan dunia. Yang harus diutamakan adalah
hati nurani yang suci. Itulah yang akan kekal sampai pada hari kemudian.
Seperti kutipan di bawah ini :
Ee karoku fikiriya mpu-mpu wahai diriku pikirkan betul-betul Kakawasa tangkanamo yi duniya kekuasaan hanya ada di dunia Yokalaki tangkanamo yi weyi kebangsawanan hanya ada di sini Te malingu kabelokana duniya dan segala kebesaran hiasan dunia Yakawaka nayile muri-murina sampai pada hari kemudian Yamapupumo bari-bariya situ habislah semua itu Tangkanamo totona yinca mangkilo hanya hati nurani yang suci Bemolagina nayile muri-murina yang kekal abadi
80
e. Jangan membual dan memfitnah sesama
Sultan Muhammad Idrus menasihati agar jangan membual dan
memfitnah. Kejelekannya sangat besar yaitu pada hari kiamat akan
mendapat hukuman. Semua kebaikan orang yang membual dan
memfitnah diambil orang yang dibuali dan difitnah. Sebaliknya semua
kejelekan orang yang dibuali dan di fitnah diambil orang yang membual
dan memfitnah itu. Selain itu, orang yang membual dan memfitnah pada
hari kiamat lidahnya akan dipotong. Seperti kutipan yang tercantum
dibawah ini :
Ee karoku, boli yumangabuya-buya wahai diriku, jangan suka membual Temo duka boli yumangahumbu-humbu dan juga jangan memfitnah Kadakina tabuya-buya rangata kejelekannya sangat besar Hari kiyama nayile beyu marimbi pada hari kiamat kelak akan dihukum Kadakina tahumbu miya rangamu kejelekan membual sesamamu Yokadakina yuyula meya yingko keburukannya engkau yang ambil Yokalapena posaleya yinciya kebaikannya dia yang ambil
Hari kiyama delamu beya totumu pada hari kiamat lidahmu akan dibakar
6. Nilai-nilai kearifan lokal pada Kabhanti Jaohara Molabina
a. Keberanian dan kekuatan yang baik
Keberanian dan kekuatan yang harus dimiliki manusia adalah
bukanlah keberanian dan kekuatan dalam mengalahkan musuh di segala
negeri, melainkan keberanian dan kekuatan yang baik yaitu mampu
mengalahkan hawa nafsunya dan melakukan ibadah fardhu hingga
sunahnya. Seperti kutipan dibawah ini :
Mai rangoa kasega momalapena marilah dengar keberanian yang baik O kasagena malingu mia malape beraninya orang-orang yang baik Mincuanapo yi sarong amasega belumlah disebut berani
81
Nesabutuna atalo sabhara lipu kalaulah baru kalahkan segala negeri Tabeanamo yisarongi amasega kecuali yang disebut berani Atalomea hawa nafuusuna kecuali sudah kalahkan hawa
nafsunya Mincuanamo yisarongi amakea belumlah disebut kuat Nesabutuna usu’ungi bhatubuti kalau baru mampu menjunjung batu bhuti Tabeana yisarongi amaka’a kecuali yang disebut kuat Apoolia faradhu limba sunati mampu melakukan ibadah fardhu sampai sunah b. Janganlah mabuk dengan harta dunia
Kekayaan yang dimiliki manusia membuat lupa segalanya,
mengambil hak orang lain bukanlah merupakan ukuran manusia itu
mempunyai segalanya, tetapi mengorbankan kepentingan diri sendiri demi
kepentingan orang lain merupakan kekayaan manusia yang paling kaya.
Seperti pada kutipan dibawah ini :
Mincuanapo yisarongi rangkae’a belumlah disebut kaya Nesabutuna bhari arata’ana kalau baru banyak hartanya Tabeanamo yisarongi rangkae’a kecuali yang disebut kaya Hengga hakuna apeka dawwuakamo walaupun haknya diberikan kepada orang lain Mincuanamo yisarongu misikini belumlah disebut miskin Nesabutuna yinda koarata’a kalaulah hanya tidak berharta Tabeanamo yisarongi misikina kecuali yang disebut miskin Apoolimo arasi kohakuna masih ingini hak orang lain
c. Kemampuan manusia yang sesungguhnya
Kemampuan manusia dalam berilmu belumlah disebut kemampuan
yang luar biasa, kemampuan manusia yang dikatakan luar biasa adalah
jika mampu mengingat tuhannya sampai akhir menutup matanya. Seperti
pada kutipan dibawah ini :
Mincuanapo yisarongi apintara belumlah disebut pintar Nesabutuna alentu sabharagiu kalau baru tahu menghitung segala
82
sesuatu Tabeanamo yisarongi apintara kecuali disebut pintar Hengga sa’angu dhosana amataua walaupun satu dosanya diketahui Mincuanapo yisarongi amakida belumlah disebut pandai Alawua oni yinda’a bhara’akea menjawab kata yang tak sukar baginya Tabeanamo yisarongi amakida kecuali disebut pandai Alawua nangkiru yinda’a kasunu-sunu menjawab nangkir tak tersendat- sendat mincuanapo yisarongi metandai belumlah disebut pengingat nesabutuna yinda mali-malingu kalaulah hanya tak pernah lupa tabeanamo yisarongi metandai kecuali yang disebut pengingat sakija mata yinda bhara’aka opuna sekejap mata tidak melupakan tuhannya d. Mampu menjaga lisan dan hati
Kelemahan manusia terletak pada lisan dan hatinya. Mampu
menjaga lisan dari perkataan yang jelek serta mampu menjaga hati
nuraninya dari perbuatan yang buruk. Seperti pada kutipan dibawah ini :
Mincuanapo yisarongi asilamo belumlah disebut pesilat Nesabutuna yinda kanea tobho kalaulah hanya tidak dikena keris Tabeanamo yisarongi asilamo kecuali yang disebut pesilat Mo’o sanga-nga yinda kanea oni walaupun sekata tak kena bicara yang jelek Mo la’ahirina tawua mobaatinina yang lahir atau yang bathin Mincuanapo yisarongi amakesa belumlah disebut cantik Nesabutuna rouna te badhana kalaulah baru muka dan badannya Tabeana yisarongi amakesa kecuali yang disebut cantik Amalapemo te totona yincana sudah indah dengan hati nuraninya
4. Relevansi nilai-nilai kearifan lokal dengan pilar pendidikan
karakter
Kabhanti pada dasarnya berisi ajaran tentang kehidupan yang
ideal, hal ini dimaksudkan agar masyarakat Buton memahami eksistensi
dirinya baik sebagai pemerintah maupun sebagai masyarakat. nilai-nilai
kearifan lokal pada kedua Kabhanti maka cakupan nilai meliputi
83
ketaqwaan, budi pekerti, toleran terhadap keberagaman, tolong-
menolong, kasih sayang, ikhlas rela berkorban, saling menghargai,
pantang menyerah, kebersamaan, kreatif dan inovatif. Oleh karena itu,
nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Buton pada Kabhanti sangat relevan
dengan pilar pendidikan karakter yaitu menanamkan nilai-nilai kehidupan.
Nilai-nilai kearifan lokal dalam Kabhanti dapat diimplementasikan dalam
pendidikan karakter, karena semua nilai-nilai luhur yang di analisis
mengandung nilai-nilai karakter. Karena pendidikan karakter menjadi
target kurikulum, maka perlu kolaborasi antara nilai-nilai kearifan lokal
dengan materi pendidikan karakter. Upaya guru adalah menggunakan
momen budaya masyarakat untuk mempercepat pemahaman bagi siswa,
sehingga penurunan moral generasi muda yang mulai tampak saat ini
dapat di minimalisir. Disamping itu, generasi muda mengenal nilai-nilai
luhur masyarakat secara dini sehingga diharapkan menjadi penangkal dari
berbagai dampak pengaruh budaya asing. Dengan pemahaman dini
generasi muda diharapkan dapat memanfaatkan nilai-nilai kearifan lokal
sebagai landasan untuk mengembangkan kemajuan ilmu dan teknologi
yang inovatif dan kreatif sebagai bentuk kearifan lokal mereka. Pendidikan
karakter ditekankan pada sepuluh pilar yaitu cinta kepada Allah, disiplin
dan mandiri, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, kerjasama, kreatif,
kepemimpinan yang adil, rendah hati, dan bertoleransi terhadap
keberagaman. Keseluruhan pilar tersebut sangat relevan dengan nilai-nilai
kearifan lokal dalam Kabhanti masyarakat Buton. Nilai-nilai kearifan lokal
84
tersebut dapat dikolaborasikan dalam pengembangan pembelajaran
pendidikan karakter di sekolah. Guru dapat menggunakan nilai-nilai
kearifan lokal sebagai bahan pembelajaran dalam pendidikan karakter.
Langkah ini dapat mempermudah penerimaan siswa, karena siswa dapat
memperoleh melalui pengalaman dalam kehidupannya sehari-hari.
5. Eksistensi pemertahanan nilai-nilai budaya lokal dalam
pembelajaran sastra
Nilai-nilai budaya lokal manusia adalah mahkluk yang berbudaya.
Budaya lahir dan dikembangkan oleh manusia melalui akal dan pikiran,
kebiasaan dan tradisi. Setiap manusia memiliki kebudayaan tersendiri,
bahkan budaya diklaim sebagai hak paten manusia. Kebudayaan
merupakan hasil belajar yang sangat bergantung pada pengembangan
kemampuan manusia yang unik yang memanfaatkan simbol, tanda-tanda,
atau isyarat yang tidak ada paksaan atau hubungan alamiah dengan hal-
hal yang mereka pertahankan. Dengan demikian, setiap manusia baik
individu atau kelompok dapat mengembangkan kebudayaan sesuai
dengan cipta, rasa, dan karsa masing-masing. bahasa pada dasarnya
tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya masyarakat penuturnya
karena selain merupakan fenomena sosial, bahasa juga merupakan
fenomena budaya. Sebagai fenomena sosial bahasa merupakan suatu
bentuk perilaku sosial yang digunakan sebagai sarana komunikasi. Oleh
karena itu, berbagai faktor sosial yang berlaku dalam komunikasi seperti
hubungan peran di antara peserta komunikasi, tempat komunikasi
85
berlangsung, tujuan komunikasi, situasi komunikasi, status sosial,
pendidikan, usia, dan jenis kelamin peserta komunikasi juga berpengaruh
dalam penggunaan bahasa. Sementara itu, sebagai fenomena budaya
bahasa selain merupakan salah satu unsur budaya juga merupakan
sarana untuk mengekspresikan nilai-nilai budaya masyarakat penuturnya.
Atas dasar itu, pemahaman terhadap unsur-unsur budaya suatu
masyarakat disamping terhadap berbagai unsur sosial merupakan hal
yang sangat penting dalam mempelajari suatu bahasa. Pada tahun 60-an
komite Amerika mengenai bahasa dan budaya mengungkapkan hubungan
antara bahasa dan budaya. Hubungan-hubungan tersebut adalah 1.
Bahasa adalah bagian dari budaya dan harus didekati dengan sikap yang
sama membimbing pendekatan kita kepada budaya sebagai satu
keseluruhan. 2. Bahasa adalah wahana budaya, maka guru bahasa juga
harus sekaligus guru budaya. 3. Bahasa itu sendiri merupakan subjek bagi
sikap dan kepercayaan terkondisi secara kultural yang tidak dapat
diabaikan didalam kelas bahasa. Bahasa tidak bisa dilepaskan dari
budaya karena bahasa sebagai subsistem komunikasi adalah suatu
bagian dari sistem kebudayaan. Bahkan merupakan bagian terpenting dari
kebudayaan.
Pembelajaran sastra merupakan bagian dari pelajaran bahasa
Indonesia. di negara kita, pembelajaran sastra belum berdiri sendiri tetapi
masih menjadi bagian integratif dari pelajaran bahasa. Terkadang pula
pembelajaran sastra hanya menempati porsi yang sedikit dari
86
pembelajaran bahasa. Seharusnya pembelajaran sastra harus
mendapatkan porsi yang seimbang dengan pembelajaran bahasa.
Pembelajaran sastra diharapkan akan menjadikan generasi muda menjadi
manusia yang memiliki identitas kebangsaan. Tetapi kini generasi muda
pada umumnya senang dengan budaya asing. Hal ini harus menjadikan
para pendidik waspada, karena semakin lama akan menjauhkan generasi
muda dari budayanya sendiri. Mereka seperti tercabut dari budaya nenek
moyangnya sendiri. Dalam rangka upaya mengembangkan kebudayaan
bangsa yang berkepribadian dan berkesadaran nasional, perlu
ditumbuhkan kemampuan masyarakat untuk mengangkat nilai-nilai sosial
budaya daerah yang luhur serta menyerap nilai-nilai dari luar yang positif
dan diperlukan bagi pembaharuan dalam proses pembangunan bangsa.
Dalam hal ini, perlu dicegah kebudayaan asing yang negatif. Bahasa dan
sastra daerah perlu terus dibina dan dilestarikan dalam rangka
mengembangkan identitas Indonesia. generasi muda cenderung
menyalahartikan globalisasi dengan mengkonsumsi produk barat dan
menelannya mentah-mentah. Padahal budaya global banyak yang
menyimpang dari etika orang Indonesia. generasi muda justru lupa akan
budaya tradisionalnya sendiri. Banyak kebudayaan tradisional yang tidak
lagi dikenal oleh generasi muda karena mereka lebih menyukai
kebudayaan barat yang terkenal dan populer. Perbaikan keadaan budaya
bangsa adalah tanggungjawab bersama. Baik keluarga, sekolah, pranata
sosial, maupun masyarakatnya. Salah satu upayanya adalah memberikan
87
arahan sejak dini. Misalnya memperkenalkan budayanya sendiri sejak
dini. Di sekolah usaha ini dapat dilakukan dengan memasukkan unsur-
unsur budaya daerah ke dalam mata pelajaran. Salah satunya adalah ke
dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. sehubungan dengan
pengertian kebudayaan, dalam buku “Primitive Culture” karangan
E.B.Taylor yang pertama kali terbit tahun 1871, Kebudayaan diartikan
sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni,
moral, hukum, adat, serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang
diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. kebudayaan merupakan
unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem
dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian,
sistem mata pencaharian, serta sistem teknologi dan peralatan. Dalam hal
ini, kebudayaan merupakan garis pemisah antara manusia dan binatang.
Manusialah yang harus membentuk kebudayaan. Bukan kebudayaan
yang membentuk manusia. Kebudayaan adalah pengetahuan yang
diperoleh dan digunakan oleh manusia untuk menginterpretasi
pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial. Fungsi utama
kebudayaan adalah untuk menyebarkan nilai-nilai dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Era globalisasi yang ditandai dengan percepatan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih,
sehingga seakan-akan dunia merupakan sebuah perkampungan global
tanpa sekat dan batas yang jelas. Era global tersebut telah memberikan
kesempatan kepada dunia dan manusia yang hidup didalamnya untuk
88
berinteraksi dan berkomunikasi dari berbagai ujung dunia yang berbeda,
tanpa hambatan ruang dan waktu. Akibat dari gejala tersebut
dikhawatirkan justru kebudayaan dari luar yang membentuk generasi
muda karena mereka umumnya masih belum bisa membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk. Seolah-olah bagi mereka budaya yang
datangnya dari barat itu baik adanya. Padahal tidak semua yang
datangnya dari barat itu baik, justru sebaliknya banyak pula budaya yang
kurang baik. Terutama yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya luhur
bangsa kita. Salah satu cara untuk memperkenalkan nilai-nilai luhur
bangsa adalah dengan memperkenalkan budaya lokal kepada generasi
muda. Nilai-nilai budaya lokal ini adalah jiwa dari kebudayaan lokal dan
menjadi dasar dari segenap wujud kebudayaan didaerahnya.
Memperkenalkan Kabhanti dalam bentuk puisi atau syair misalnya
merupakan budaya masyarakat Buton zaman dahulu. Yang pada masa
kini sudah mulai luntur seiring berkembangnya zaman. Puisi atau syair
merupakan salah satu sarana penting untuk mempertahankan eksistensi
diri. Puisi atau syair tidak hanya digunakan untuk memahami dunia dan
mengekspresikan gagasan, ide-ide, dan nilai-nilai, melainkan juga sebagai
sarana penting untuk memahamkan dunia kepada orang lain, menyimpan,
mewariskan gagasan dan nilai-nilai tersebut dari generasi ke generasi
berikutnya.
Budaya lokal yang beranekaragam merupakan warisan budaya
yang wajib dilestarikan. Ketika bangsa lain yang hanya sedikit mempunyai
89
warisan budaya lokal berusaha keras untuk melestarikannya demi sebuah
identitas. Maka sungguh tidak masuk akal jika kita yang memiliki banyak
warisan budaya lokal lalu mengabaikan pelestariannya. Beberapa hal
yang termasuk budaya lokal Buton salah satunya adalah Kabhanti.
Kabhanti merupakan wujud warisan budaya Buton yang memberi kita
kesempatan untuk mempelajari kearifan lokal dalam mengatasi masalah-
masalah yang dihadapi di masa lalu. Kearifan lokal adalah sikap,
pandangan, dan kemampuan suatu komunitas didalam mengelolah
lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas
itu daya tahan dan daya tumbuh didalam wilayah dimana komunitas itu
berada. Dengan kata lain, kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu
pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas
yang dilakukan oleh masyarakat Buton dalam menjawab berbagai
masalah untuk pemenuhan kebutuhan mereka.
Secara umum kearifan lokal memiliki ciri dan fungsi yaitu 1.
Sebagai penanda identitas sebuah komunitas. 2. Sebagai elemen perekat
kohesi sosial. 3. Sebagai unsur budaya yang tumbuh dari bawah, eksis,
dan berkembang dalam masyarakat, bukan unsur budaya yang
dipaksakan dari atas. 4. Memberikan warna kebersamaan bagi sebuah
komunitas. 5. Dapat mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik
individu dan kelompok dengan meletakkannya di atas kebersamaan. 6.
Mampu mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi, dan
mekanisme bersama untuk mempertahankan diri dari kemungkinan
90
terjadinya gangguan atau perusakan solidaritas kelompok sebagai
komunitas yang utuh dan terintegrasi. Masalahnya kearifan lokal tersebut
seringkali diabaikan dianggap tidak ada relevansinya dengan pendidikan
masa sekarang dan masa depan. Dampaknya adalah banyak warisan
budaya yang lapuk dimakan usia, terlantar, terabaikan bahkan
diremehkan keberadaannya. Tradisi berkabhanti sudah dikenal sejak
zaman dahulu jauh sebelum masyarakat Buton mengenal tulisan.
Kabhanti merupakan salah satu sarana penting untuk mempertahankan
eksistensi diri. Dalam era otonomi daerah sudah selayaknya dan memang
seharusnya budaya lokal diperkenalkan kepada generasi muda. Bahkan
dalam penyusunan kurikulum di tingkat pendidikan sudah selayaknya
mengintegrasikan budaya lokal ke dalam mata pelajaran. Terutama mata
pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. hal ini dilakukan untuk
memperkecil pengaruh globalisasi yang semakin mengikis budaya bangsa
kita. Misalnya mengikutsertakan generasi muda dalam Festival Keraton
Buton dan berperan aktif dalam kegiatan Baubau Expo yang dilaksanakan
oleh walikota Baubau setiap satu tahun sekali pada momen hari ulang
tahun kota Baubau. Selain itu, mengedepankan budaya daerah berupa
pembelajaran muatan lokal (mulok) bahasa dan sastra Buton di tingkat
pendidikan. Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan
diri tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta. Sastra adalah
pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa. Sastrawan-
sastrawan Buton dapat dikatakan sebagai ahli ilmu jiwa dan filsafat yang
91
mengungkapkan masalah hidup, kejiwaan, dan ilmu filsafat dengan cara
teknik melisankan melalui tulisan sastra. Kepekaan sastrawan yang dapat
menembus kebenaran hakiki manusia yang tidak dapat diketahui orang
lain. sastra selain sebuah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan
emosi, juga sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi
intelektual dan emosional. Sastra yang dilahirkan oleh sastrawan Buton
dapat memberikan kepuasan estetik dan intelektual bagi pembaca. Tujuan
pembelajaran sastra juga untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan
kepada generasi penerus. Sastra dapat mempengaruhi daya emosi,
imajinasi, kreativitas, dan intelektual generasi muda sehingga berkembang
secara maksimal. Salah satu genre sastra Buton adalah Kabhanti.
Kabhanti merupakan salah satu puisi dan syair lama sebagai budaya lokal
sudah sepantasnya mulai dijadikan sebagai bahan pembelajaran sastra di
tingkat pendidikan. Penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam
Kabhanti terhadap generasi penerus akan melekat dalam kehidupannya.
Hal ini berkaitan dengan salah satu manfaat pembelajaran sastra yaitu
membentuk watak generasi muda. Karya sastra Sultan Muhammad Idrus
Kaimuddin memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Buton
karena karya sastra Buton terkandung nilai-nilai yang positif bagi pembaca
dan berguna bagi masyarakat khususnya masyarakat Buton sendiri.
Sastra Buton dapat menyampaikan amanat dan nilai-nilai termasuk nilai-
nilai pendidikan kepada pembaca. Pesan moral dalam karya sastra Buton
Kabhanti Ganda (sastra lisan) sejatinya esensi yang harus ditemukan oleh
92
pendengar atau penikmat sastra Buton. Pesan moral dalam karya sastra
Buton Kabhanti Ganda (sastra lisan) merupakan hal terpenting dalam
sastra sebagai bahan kontemplasi pendengar dalam merajut nilai-nilai
hidup dan menjalani kehidupan yang lebih baik. Misalnya pada Kabhanti
Ngkitaana (sastra lisan) yang mengandung nilai moral mengajarkan
bagaimana seorang gadis harus bersikap hormat pada orang tua, jangan
sampai lupa kepada orang tua walaupun sudah hidup sukses.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis temukan selama ini
pembelajaran sastra di kelurahan Waborobo dan Melai Keraton Buton
masih kurang berhasil. Salah satunya karena porsi pembelajaran sastra
terkadang sering dilewatkan begitu saja oleh para guru, muatan lokal lebih
mengarah kepada pembelajaran bahasa asing dan budidaya laut
mengingat daerah Keraton dan Waborobo merupakan daerah pusat
wisata di kota Baubau dan mayoritas masyarakatnya adalah nelayan.
Guru harus berupaya memperhatikan pembelajaran sastra secara
seksama dengan mengintegrasikan budaya lokal. Misalnya
memanfaatkan momen di kota Baubau pada saat acara Festival Keraton
Buton dan Baubau expo untuk melibatkan generasi muda atau para siswa
agar mereka mengenal dan memahami budaya Buton sejak dini.
Sehingga efek negatif globalisasi akan bisa diminimalisir. Identitas
kebangsaan kita diyakini akan tetap terjaga. Agar eksistensi budaya lokal
Buton tetap kokoh maka diperlukan pemertahanan budaya lokal.
Fenomena generasi muda yang senang dengan budaya asing menjadikan
93
kewaspadaan untuk mengangkat dan melestarikan budaya lokal agar
menjadi bagian integratif dalam pembelajaran sastra. Dengan kata lain,
gerakan kearifan lokal Buton dengan kembali ke akar budaya Buton
sendiri merupakan tindakan cerdas untuk meminimalisir pengaruh negatif
globalisasi.
6. Fungsi dan peranan kesusastraan Buton bagi masyarakat
Ditinjau dari sudut sejarahnya, bahwa perkembangan kesusastraan
daerah Buton tidak terputus mulai dari sastra tradisinya sampai kepada
sastra yang lebih modern. Dengan kata lain, terjadi kesinambungan dan
saling mempengaruhi antara satu fase perkembangan dari sastra tersebut
dengan fase selanjutnya. Fungsi dan peranan kesusastraan itu sendiri
didalam suatu masyarakat, khususnya pada kalangan masyarakat Buton
baik sastra lisan maupun sastra tulis mempunyai fungsi dan peranan yang
tidak sedikit sesuai dengan tuntutan zaman. Sastra Buton yang lahir dan
berkembang ditengah-tengah masyarakat pendukungnya sejak zaman
dahulu mampu merekam dinamika budaya serta pola pikir masyarakatnya.
Berbagai bentuk nilai-nilai kehidupan yang menjadi panutan masyarakat
Buton banyak dijumpai pada untaian kata dan bait-bait sastranya. Selain
menyangkut nasihat-nasihat didalamnya juga terdapat falsafah hidup
dengan tutur katanya yang mengandung nilai filosofis. Muatan-muatan
yang sangat bermanfaat tidak terikat oleh konstelasi ruang maupun waktu.
Namun patut diakui bahwa kontribusi yang diberikan oleh Islam terhadap
kesusastraan Buton telah membentuk sastra Buton menjadi lebih padat
94
maknanya dibandingkan sebelum masuknya Islam. Dengan
berkembangnya Islam di Buton justru semakin memperluas dan
memperdalam maknanya. Tidak hanya pada praktik sosial
kemasyarakatan melainkan juga pada kesusastraannya. Pengalaman
yang tertulis didalam karya-karya sastra Buton mengungkapkan tentang
cinta kemanusiaan, cinta kasih, dan ajaran-ajaran Islam yang sangat
bermanfaat. Mulai dari cerita rakyat seperti dongeng dan legenda, lagu-
lagu daerah, sampai kepada falsafah hidup, semuanya mengandung
hikmah yang sangat bermanfaat dalam rangka pengembangan diri dan
sosial.
Didalam fenomena sosial masyarakat Buton banyak ditemukan
langgam-langgam sastra di antara ujaran-ujaran kata atau kalimat yang
terkadang ditampilkan seperti semboyan, misalnya “Sarewu guru
moadariko indamo lawana undari karomu (seribu orang guru yang
mengajarimu tidak akan melebihi belajar dari dirimu sendiri)”, atau
“Poromu indaa saangu pogaa indaa koolota (bercampur tidak menyatu
berpisah tidak berantara)”. Dalam konteksnya yang demikian
kesusastraan Buton sesungguhnya telah mengemban fungsi sebagai
sendi kehidupan yang bersifat hiburan, intelektual, rohani, maupun sosial
kemasyarakatan. Sebagai salah satu produk budaya, kesusastraan
daerah Buton yang terlahir dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat Buton
dan dirawat secara turun-temurun merupakan kekayaan budaya.
Masyarakat Buton sesungguhnya sudah lama memiliki apresiasi sastra
95
serta telah menempatkan sastra itu sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari kehidupan sehari-hari.
Melihat kesusastraan Buton yang begitu menyatu dan sangat dekat
dengan masyarakat, maka para leluhur pun sangat senantiasa berupaya
meningkatkan fungsi dan peranan kesusastraan itu bagi kehidupan
masyarakat baik pada masa pra Islam maupun setelah masuknya Islam.
Fungsi dan peranan yang menjadi perhatian para pemuka masyarakat di
zaman dahulu adalah menjadikan karya sastra sebagai sarana pendidikan
bagi masyarakat khususnya generasi muda. Pada masyarakat Buton
peluang pengembangan kesusastraan yang sarat memuat nilai-nilai
pendidikan, akhlak, moral, sopan santun, adat istiadat, maupun ajaran
agama selalu terbuka dan biasanya dilaksanakan sejalan dan serentak
disaat sastra digelar sebagai sarana hiburan. Bila ditelusuri kembali karya-
karya sastra tradisional peninggalan leluhur masyarakat Buton ditemukan
beraneka macam pelajaran berharga seperti nasihat dan petuah-petuah
yang sangat bermanfaat untuk membangun moral dan perbaikan mental
generasi, Meskipun pada umumnya karya-karya sastra tersebut
ditampilkan dalam bentuk hiburan. Di masa Islam seiring dengan pesatnya
perkembangan sastra, fungsi dan peranan lebih dipertegas lagi sehingga
sastra yang lahir pada fase ini seperti Kabhanti didalamnya selain memuat
tata laku hidup bergaul sesama manusia juga mengenal hubungan
dengan pencipta (berketuhanan).
96
Dapat disimpulkan bahwa kesusastraan daerah Buton sejak zaman
dahulu telah mengemban fungsi serta peranan yang cukup luas di tengah-
tengah masyarakat pendukungnya. Dalam kaitannya sebagai sarana
pembinaan mental, sesuatu yang terkandung didalam sastra selalu
mencerminkan sikap moral yang dapat diambil manfaatnya bagi
kehidupan. Semua fungsi dan peranan sastra telah menunjukkan hasil
dalam proses penataan masyarakat Buton selama ini. Hal ini sejalan
dengan fungsi folklor yaitu sebagai sistem proyeksi, sebagai pencerminan
angan-angan suatu kolektif, alat pengesahan pranata-pranata dan
lembaga-lembaga untuk kemajuan dirinya, alat mendidik anak, dan
pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota
kolektifnya. Kesusastraan daerah Buton mempunyai fungsi dan peranan
yang sangat penting didalam aktivitas masyarakat Buton khususnya
dalam proses pranata masyarakat pada masa lampau. Meskipun
eksistensinya telah berangsur-angsur pudar yang disebabkan oleh
kurangnya perhatian generasi sekarang terhadap hasil-hasil sastra lama
warisan leluhur, dan juga karena terdesak oleh unsur-unsur baru yang
lebih skeptis dan modern, Namun bukan berarti bahwa sastra-sastra lama
peranannya bagi masyarakat saat ini telah hilang atau punah. Fungsi dan
peranan itu tetap ada bahkan pesan maupun amanat yang terdapat
didalamnya sudah sesuai untuk kehidupan di zaman sekarang. Dimana
nilai-nilai moral dan manusiawi telah mengalami degradasi.
97
B. Pembahasan
Masalah Kabhanti sudah banyak diangkat oleh peneliti-peneliti
sebelumnya. Namun penulis belum menemukan yang mengangkat
tentang nilai moral dalam Kabhanti Ganda pada masyarakat Waborobo
kecamatan Betoambari kota Baubau. Secara etimologi Kabhanti berasal
dari bahasa Wolio, terdiri dari dua morfem terikat Ka- dan morfem bebas
bhanti. Morfem terikat Ka- berfungsi sebagai pembentuk kata benda.
Sedangkan morfem bebas bhanti mengandung pengertian puisi. Kabhanti
berarti puisi yang berisi mutiara-mutiara kebijaksanaan atau pernyataan
rasa dalam bentuk yang amat digemari dan mengenai dasar hati bahkan
dalam situasi pembicaraan umum maupun dalam suasana dari hati ke
hati.
Konsep nilai ditentukan dari sesuatu atau hal oleh hasil interaksi
antara subjek yang menilai dan objek yang di nilai atau hasil interaksi dua
variabel atau lebih (Magnis Suseno,1986;19). Nilai mengandung harapan
atau sesuatu yang diinginkan oleh manusia. Karena itu nilai bersifat
normatif, merupakan keharusan untuk diwujudkan dalam tingkah laku
kehidupan manusia. Nilai moral yang merupakan kebijaksanaan hidup
agar menjadi manusia yang baik. Dalam masyarakat, sumber langsung
ajaran moral adalah orang-orang dalam kedudukan yang berwenang
sebagai sumber ajaran moral seperti orang tua dan guru, para pemuka
masyarakat dan agama. ajaran-ajaran itu bersumber pada tradisi dan adat
istiadat, ajaran agama, atau ideologi tertentu (Magnis Suseno,1987;14).
98
Sedangkan menurut Zubair mengatakan bahwa etika adalah ilmu yang
mempelajari segala kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia
yang mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan
pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang merupakan
perbuatan. Objek etika adalah pernyataan moral, yaitu pernyataan tentang
tindakan manusia dan pernyataan tentang unsur-unsur kepribadian
manusia seperti motif, maksud, dan watak.
Dalam sastra lisan terungkap kreativitas bahasa dan sastra yang
didalamnya mengandung hakikat kemanusiaan masyarakat di masa
lampau. Seperti Kabhanti Ganda sebagai suatu karya sastra sangat erat
hubungannya dengan kehidupan manusia dan pendidikan. Makna
pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia
untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam
masyarakat dan kebudayaan. Fungsi kesusastraan adalah untuk mendidik
masyarakat agar tidak menjadi radikal, kasar, melainkan berperasaan dan
berpikiran halus dan anggun. Sebuah karya sastra yang baik harus
memenuhi keutuhan dan keterpaduan yaitu karya sebagai estetika yang
tidak lepas dari prinsip moral (etika), pandangan hidup manusia (filsafat),
dan rasa keagamaan (religi). Nilai pendidikan dalam sastra adalah suatu
penghargaan yang diberikan oleh sekelompok orang kepada orang-orang
tertentu sebagai cermin tingkat pola berpikir dalam melihat suatu objek
yang diamatinya. Pembelajaran sastra benar-benar telah dapat
memberikan peran yang penting dalam masyarakat maju yang
99
dihadapkan kepada masalah-masalah nyata. Salah satu jalan yang dapat
dimanfaatkan untuk melaksanakan pembinaan moral (mental) ialah
penghayatan sastra. Sastra memberikan pengertian yang dalam tentang
manusia dan memberikan interpretasi sastra penilaian terhadap peristiwa-
peristiwa dalam kehidupan.
Dalam tradisi Kabhanti Gambusu pada masyarakat Waborobo nilai
pendidikan nampak pada penyampaian Kabhanti. Kabhanti Gambusu ini
mengandung pendidikan dan nasihat bagaimana seharusnya memahami
eksistensi diri dalam pergaulan sehari-hari. Tujuan pelantun Kabhanti
Ganda sebagai alat mendidik, menghibur, dan menyindir. Fenomena
religius dalam Kabhanti Gambusu pada kenyataannya tidak dapat
diabaikan. Hal ini berarti bahwa sastra itu lahir untuk kebaktian manusia
kepada tuhan. Kehadirannya selalu diikuti dengan upacara keagamaan
tertentu. Adanya religius dalam Kabhanti Gambusu merupakan akibat
logis dari kenyataan bahwa sastra lahir dari pengarang yang merupakan
pelaku atau penikmat. Oleh sebab itu, apa yang terdapat dalam sastra
pada masalah kehidupan manusia dan tidak terlepas dari masalah
religius.
Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin seorang pujangga Wolio abad
ke-19. Pada masa kesultanan Muhammad Idrus, dikenal beberapa
pujangga Wolio yang tidak dapat dilupakan jasa-jasanya dalam upaya
pendidikan dan pengembangan Islam melalui karya tulis. Melalui tulisan
mereka mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan tentang Islam mereka
100
tuangkan dalam bentuk puisi sehingga mudah diterima dan dicerna oleh
pembacanya. Karena itu, dengan cepat pula rakyat dapat memahami apa
yang diajarkan. Dalam karya mereka memakai bahasa Wolio, Arab Jawi
(melayu kuno), dan bahasa Arab. Buku-buku yang berbahasa Arab dan
Arab Jawi berisi pendidikan syariat Islam. Sedangkan Kabhanti mengenai
sejarah kebudayaan serta jalur jalan mengenai hidup dunia dan kehidupan
di alam kekal abadi, mengantarkan faham dan pengertian sufi membawa
pembacanya kepada ilmu tentang kesufian.
Muhammad Idrus disamping sebagai Sultan juga menghasilkan
karya tulisnya tercatat tidak kurang dari 40 judul diantaranya seperti
Raudhatul Ikhwan (bahasa Arab), Takhsiynul Auladi (bahasa Arab),
Darratil Ikhkaami (bahasa Arab), Sabiylis Salaam (bahasa Arab), Targiybul
Anaami (bahasa Arab), Dhaaul Anwaari (bahasa Arab), Tanbiygil Gaafili
(bahasa Wolio Kabhanti), Jaohara Maakinamu Molabi (bahasa Wolio
Kabhanti), Nuru Molabina (bahasa Arab Kabhanti), Bula Malino (bahasa
Wolio Kabhanti), Bunga Malati (bahasa Wolio Kabhanti), dan lain-lainnya.
Buku-buku yang disebutkan diatas sangat digemari di Wolio
terutama yang mengenai buku puisi Kabhanti. Di setiap rumah memiliki
buku Kabhanti sekurang-kurangnya salinan dari satu judul atau dua.
Kabhanti itu dibaca dengan dilagukan dengan nada yang khas. Sejak
anak-anak mengenal baca Arab Wolio mereka telah diberi kesempatan
oleh orang tua untuk mempelajarinya. Hal ini sangat terbatas menurut
101
tingkat isi buku yang dibacanya sebab ada pula yang tidak bisa dibaca
oleh anak-anak.
Tata krama dalam ajaran Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin
manusia dituntut senantiasa berbuat baik atau beretika baik terhadap
dirinya sendiri, orang lain, maupun kepada tuhannya. Oleh karena itu,
manusia berkewajiban menyembah tuhan dengan panduan Al Qur an dan
sunnah. Dapat dipahami bahwa etika berkaitan dengan masalah nilai,
aturan, moral, kesusilaan, atau perbuatan baik dan buruk. Nilai etika
berhubungan dengan manusia sebagai individu karena menyangkut
kehidupan pribadi. Pendukung norma etika adalah nurani individu dan
bukan manusia sebagai makhluk sosial atau sebagai anggota masyarakat
yang terorganisir. Norma etika ditujukan agar terbentuk kebaikan atau
perilaku guna menyempurnakan manusia dan melarang berbuat jahat.
Sumber norma etika adalah dari manusia sendiri yang bersifat otonom
dan tidak ditujukan kepada sikap lahir, tetapi ditujukan kepada sikap batin
manusia. Batinnya sendiri yang mengancam perbuatan yang melanggar
norma kesusilaan dengan sanksi tidak ada kekuasaan di luar dirinya yang
memaksakan sanksi itu kalau terjadi pelanggaran norma etika,
Konsep Islam mengenai tata krama terhadap diri sendiri
merupakan cerminan dari akhlak atau budi pekerti. Kehormatan manusia
tergantung pada kebaikan akhlaknya manusia senantiasa menyadari akan
dirinya mengenai masalah ini.
102
Pemikiran etika kehidupan yang tersirat dalam nasihat Sultan
Muhammad Idrus Kaimuddin dalam Kabhanti maupun beberapa karya
beliau sebagai salah satu unsur kebudayaan orang Buton yang hidup di
lingkungan masyarakat Keraton. Ajaran etika kehidupan yang menjadi
tuntunan masyarakat Buton tersebut mencerahkan bagi masyarakatnya
yang sedang mengalami krisis moral, kelahiran pemikiran berupa ajaran-
ajaran moral, etika, agama, dan kehidupan masyarakat Keraton Buton
yang berlangsung melalui akulturasi antara Islam dan kebudayaan Buton
pada hakikatnya merupakan sebuah proses pembentukan peradaban
Buton yang berpusat pada Keraton dan disebarkan pada masyarakat
Buton secara umum melalui proses dialog kebudayaan antara
kebudayaan Buton dengan kebudayaan Islam. Pemikiran Sultan
Muhammad Idrus Kaimuddin menemukan esensi konsep tata krama dan
etika menurut ajaran leluhur dalam Kabhanti menjadi penguasa di Keraton
Buton. Pemikiran beliau memiliki cakrawala pengetahuan yang mendalam
sebagai seorang pemimpin.
Secara filosofis pendidikan adalah upaya merealisasikan
kesejatian manusia. Pendidikan adalah upaya pengembangan pancadaya
manusia dengan orientasi hakikat kemanusiaan dalam bingkai dimensi
kemanusiaan. Konsep pendidikan yang bernuansa filosofis itu menjadikan
harkat dan martabat manusia sebagai landasan utamanya. Sejak
dilahirkan sampai sepanjang kehidupannya selama masih memerlukan
pengembangan atau pembentukan atau pembinaan perlu difasilitasi
103
dengan upaya pendidikan yang memuliakannya, yang tidak menyimpang
dari kaidah-kaidah yang terkandung dalam harkat dan martabat manusia
yang mulia dan luhur itu. Dengan demikian paradigma pendidikan adalah
memuliakan kesejatian manusia atau memuliakan kemanusiaan
(Glasser&Glasser,2000). Pendidikan merupakan upaya terencana dalam
mengembangkan potensi peserta didik sehingga mereka memiliki sistem
berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan oleh masyarakatnya
dan mengembangkan warisan tersebut ke arah kehidupan masa kini dan
masa mendatang. Istilah karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau
kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai
kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara
pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah
nilai, moral, dan norma seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya,
dan hormat kepada orang lain. interaksi seseorang dengan orang lain
menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Pengembangan
karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter
individu seseorang yang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial
dan budaya yang bersangkutan. Dengan demikian pendidikan karakter
individu yang berlandaskan pada kearifan lokal dapat menopang
pendidikan karakter bangsa untuk mewujudkan generasi yang
berkepribadian dan bermartabat. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak
atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok
104
orang. Karakter juga bisa diartikan sikap, tabiat, akhlak, kepribadian yang
stabil sebagai hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis.
106
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian, peneliti menyimpulkan bahwa di
daerah Waborobo kecamatan Betoambari masih melestarikan tradisi
Kabhanti Gambusu hingga saat ini agar tidak menghilang dari kebiasaan
masyarakat Waborobo. Kabhanti Gambusu bagi masyarakat Waborobo
merupakan ekspresi keseharian yang merefleksikan cara berpikir dan cara
mereka dalam memandang realitas. Sebagai sastra lisan Kabhanti
Gambusu mempunyai wadah pendidikan karakter. Lirik-liriknya
mengandung pesan-pesan moral dan nasihat agar menjadi insan yang
berbudi pekerti luhur. Kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang
mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang
menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Jadi nilai moral
adalah segala aspek yang menyangkut baik buruknya suatu perbuatan
atau tingkah laku yang berasal dari hati nurani dan harus direalisasikan.
Nilai moral yang dideskripsikan terdiri atas nilai moral positif dan negatif.
Adapun tolak ukur untuk menentukan nilai moral didasarkan pada
landasan kaidah dasar moral terdiri dari prinsip sikap baik, prinsip
keadilan, prinsip menghargai, prinsip kerukunan, prinsip hormat, prinsip
ketuhanan.
107
Nilai-nilai kearifan lokal dalam Kabhanti pada aspek religius sangat
kental dengan nilai-nilai keislaman. Masyarakat selalu menyadari
eksistensi diri sebagai hamba Allah, dan selalu mengarah kepada sifat-
sifat merendah, selalu bersyukur, dan bertawakal kepada maha pencipta.
Nilai-nilai kearifan lokal dalam Kabhanti pada aspek norma mencakup tiga
pilar norma yaitu norma hukum, norma sosial, dan norma adat istiadat
yang masing-masing norma memiliki peranan penting dalam tata
kehidupan masyarakat, karena dapat menjadi pedoman bersikap dan
berperilaku. Norma hukum menjadi acuan penerapan hukum, norma
sosial menjadi acuan memberikan sanksi sosial terhadap pelanggaran
susila, dan aspek norma adat istiadat menjadi acuan penerapan sanksi
terhadap pelanggaran adat masyarakat Buton. Nilai-nilai kearifan lokal
dalam Kabhanti pada aspek sosial mencakup akhlakul karimah yang
dalam Kabhanti diberikan istilah budimani. Budimani mempunyai indikator
yang merujuk pada falsafah Bhinci-Bhinciki Kuli yaitu Pomaa-maasiaka
(sesama manusia harus selalu saling menyayangi), Pomae-maeka
(sesama manusia harus selalu saling menghormati), Popia-piara (sesama
manusia harus selalu saling melindungi), dan Poangka-angkataka
(sesama manusia harus selalu saling memuliakan). Relevansi nilai-nilai
kearifan lokal dalam Kabhanti dengan pendidikan karakter mencakup nilai
ketaqwaan, budi pekerti, toleran terhadap keberagaman, tolong-
menolong, kasih sayang, rela berkorban, saling menghargai,
kebersamaan, kerja keras, dan kreatif atau inovatif.
104
108
Pembelajaran sastra merupakan bagian dari pelajaran bahasa
Indonesia. pembelajaran sastra harus mendapatkan porsi yang seimbang
dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran sastra akan menjadikan
generasi muda menjadi manusia yang memiliki identitas kebangsaan.
Dalam rangka upaya mengembangkan kebudayaan bangsa yang
berkepribadian dan berkesadaran nasional perlu ditumbuhkan
kemampuan masyarakat untuk mengangkat nilai-nilai sosial budaya
daerah yang luhur serta menyerap nilai-nilai dari luar yang positif dan
diperlukan bagi pembaharuan dalam proses pembangunan bangsa.
Perbaikan keadaan budaya bangsa adalah tanggungjawab bersama, baik
keluarga, sekolah, pranata sosial, maupun masyarakatnya. Salah satu
upayanya adalah memberikan arahan sejak dini misalnya
memperkenalkan budaya sendiri. Di sekolah usaha ini dapat dilakukan
dengan memasukkan unsur-unsur budaya daerah ke dalam mata
pelajaran. Salah satunya adalah ke dalam pelajaran bahasa dan sastra
Indonesia. unsur-unsur budaya daerah mencakup pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, serta kemampuan dan kebiasaan
lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
kebudayaan merupakan unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan
upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian, serta sistem
teknologi dan peralatan.
109
Kesusastraan itu sendiri di dalam suatu masyarakat khususnya
pada kalangan masyarakat Buton baik sastra lisan maupun sastra tulis
mempunyai fungsi dan peranan yang tidak sedikit sesuai dengan tuntutan
zaman. Sastra Buton yang lahir dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat pendukungnya sejak zaman dahulu mampu merekam
dinamika budaya serta pola pikir masyarakatnya. Melihat kesusastraan
Buton yang begitu menyatu dan sangat dekat dengan masyarakat maka
para leluhur pun sangat senantiasa berupaya meningkatkan fungsi dan
peranan kesusastraan itu bagi kehidupan masyarakat baik pada masa pra
Islam maupun setelah masuknya Islam. Fungsi dan peranan yang menjadi
perhatian para pemuka masyarakat di zaman dahulu adalah menjadikan
karya sastra sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat khususnya
generasi muda. Pada masyarakat Buton peluang pengembangan
kesusastraan yang sarat memuat nilai-nilai pendidikan, akhlak, moral,
sopan santun, adat istiadat, maupun ajaran agama selalu terbuka dan
dilaksanakan sejalan disaat sastra di gelar sebagai sarana hiburan. Bila
ditelusuri kembali karya-karya sastra tradisional peninggalan leluhur
masyarakat Buton ditemukan beraneka macam pelajaran berharga seperti
nasihat dan petuah-petuah yang sangat bermanfaat untuk membangun
moral dan perbaikan mental generasi. Di masa masuknya Islam seiring
dengan pesatnya perkembangan sastra fungsi dan peranan lebih
dipertegas lagi sehingga sastra yang lahir pada fase ini seperti Kabhanti
selain memuat tata laku hidup juga mengenal hubungan dengan tuhan.
110
Jabaran pada bait-bait Kabhanti mengarah pada falsafah Buton yaitu
Bhinci-Bhinciki Kuli yang tertuang pada empat prinsip hidup masyarakat
Buton. Falsafah ini menjadi tonggak karakter masyarakat Buton.
B.Saran
1. Diharapkan kepada generasi muda agar mampu meneruskan kembali
kegiatan pembacaan naskah Kabhanti Bula Malino dan Jaohara
Molabina dalam kehidupan sehari-hari.
2. Kepada guru di sekolah khususnya guru mata pelajaran bahasa
Indonesia dan muatan lokal diharapkan mampu mengajarkan
membaca Kabhanti Bula Malino dan Jaohara Molabina kepada siswa
di sekolah.
3. Kepada pemerintah daerah Baubau diharapkan berperan aktif dalam
peningkatan budaya sastra Buton.
4. Kepada masyarakat Buton agar mampu memahami dan menerapkan
Kabhanti Bula Malino dan Jaohara Molabina dalam kehidupan sehari-
hari.
111
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,Taufik.1985. Sejarah Lokal Di Indonesia (Kumpulan Tulisan). Yogyakarta; Gajah Mada University Press
Adimahardja,Kusnaka.2008. Dinamika Budaya Lokal. Bandung; Indra
Prahasta dan Pusat Kajian LPPB Al-Quran Al-Karim.Kementerian Agama RI.2018. Al-Quran dan
Terjemahannya. Solo:Tiga Serangkai Asrif.2013. Kesusastraan Buton Abad XIX (Kontensasi Sastra Lisan dan
Tulis, Budaya, dan Agama). Jurnal Kajian Bahasa dan Sastra Indonesia Volume 12 Nomor 1 Halaman 1. UNHALU; Kantor Bahasa dan Sastra Provinsi Sulawesi Tenggara
________. Kesusastraan Buton Abad XIX (Kontensasi Sastra Lisan dan
Tulis, Budaya, dan Agama). Jurnal Sawerigading Volume 19 Nomor 3 Revisi 2013 Halaman 477-484. UNHALU; Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara
Apitukey,Leo.2010. Struktur Sastra Lisan Totemboan. Jakarta; Depdikbud Bakar,Jamil,dkk.1987. Sastra Lisan Minangkabau. Jakarta; Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud Baker,S.J.W.J.2011. Filsafat Kebudayaan. Sebuah Pengantar.
Yogyakarta; Kanisius Bouvier.2002. Tradisi Macapatan Jawa dan Madura. Jakarta; Yayasan
Obor Indonesia Bouvier,Helene.2002. Lebar; Seni Musik dan Pertunjukan Dalam
Masyarakat Madura (Penerjemah Rahayu,S, Hidayat, dan Jean Conteau). Jakarta; Yayasan Obor Indonesia
Budisantoso,S.1993/1994. Pembangunan dan Sumber Daya Manusia,
Kebudayaan, Pendidikan, dan Kerja. Majalah Kebudayaan. Jakarta; Depdikbud
Burhanuddin,B,dkk.1980/1981. Kontensasi Sastra Lisan dan Tulis,
Budaya, dan Agama. Jakarta; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
112
--------------------------------------. Sejarah Pendidikan Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Chalik.1978/1979. Kesusastraan Buton Abad ke-19. Jakarta; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
------,Husen,A.1978/1979. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi
Tenggara. Jakarta; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Daldjoni,N.1987. Geografi Kesejarahan I (Peradaban Dunia). Bandung
Alumni Danandjaja,James.2011. Folklor Indonesia. (Ilmu Gosip, Dongeng, dan
Lain-Lain). Jakarta; Gratin Depdikbud.2009. Sastra Lisan Dairi. Jakarta; Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Djaramis,Edward.1986. Puisi Indonesia Lama Berisi Nasihat. Jakarta;
Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Depdikbud Darmadi,Hamid.2010. Dasar Konsep Pendidikan Moral. Bandung; Alfabet Eco,Umberto.1976. A Theory Of Semiotics. Bloomington-London; Indiana
University Press Ema,Husna.2010. Apresiasi Sastra Indonesia. Bandung; Angkasa Endraswara,Suwardi.2003. Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi,
Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta; Universitas Negeri Yogyakarta
Falah.2011. Masa Pemerintahan Muhammad Idrus Kaimuddin. Bandung;
Falah Production Finnegan.1977. Theory Of Literature (Rene Wellek). Indiana University
Press Gafar,Zainal Abidin.2011. Struktur Sastra Lisan Musi. Jakarta; Depdikbud Glasser,B & Strauss,A.1967. The Discovery Of Grounded Theory.
Chicago; Aldine Gunawan,Restu.2003. Kearifan Lokal Dalam Tradisi Lisan. Jakarta; Pusat
Bahasa
113
Gazalba,Sidi.1967. Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu. Jakarta; Pustaka Antara
Haliadi.2006. Akulturasi Islam dan Budaya. Pusat Penelitian Sejarah
Sulawesi Tengah Harimanto dan Winarno,Mustopo.2012. Ilmu Sosial Budaya Dasar.
Jakarta Timur; Bumi Aksara Hardjana,Andre.1985. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta;
PT.Gramedia Hartoko,Dick.1983. Manusia dan Seni. Yogyakarta; Penerbit Karnesius Harsymy,A.1989. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam Di Indonesia.
Bandung; Percetakan Gifset Ihromi,T.O.1984. Pokok-Pokok Antropologi Budaya (Kumpulan Tulisan).
Jakarta; PT.Gramedia Ikram.2001. Asal Mula Tradisi Tulis Buton Schoorl. Jakarta; Dirjen Dikti
Depdiknas -------------. Masa Pemerintahan Muhammad Idrus Kaimuddin. Jakarta;
Dirjen Dikti Depdiknas Israr,C.tanpa tahun. Sejarah Kesenian Islam II. Jakarta; PT.Pembangunan Kamaluddin,Nurnia,Aramudin,Yusuf,Hilmi.2016. Bahasa Woilo
Riwayatmu. Kendari; UNHALU Press Kansil,C,S,T,dan Julianto.1990. Sejarah Perjuangan Pergerakan
Kebangkitan Indonesia. Jakarta; Erlangga Kartodirdjo,Sartono.1990. Kebudayaan Pembangunan Dalam Perspektif
Sejarah. Yogyakarta; Gajah Mada University Press Koentjoroningrat.1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.
Jakarta; Gramedia --------------------.tanpa tahun. Pengantar Antropologi Indonesia.Jilid II Kridalaksana,Harimukti.2012. Kamus Linguistik II. Bandung; Angkasa Loir,Chambert,Fathurrahman.1999. Naskah Buton. Jakarta; Yayasan Obor
Indonesia
114
M.A.Moleong,J,Lexy.2018. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung;
PT.Remaja Rosdakarya Mills,Huberman.2007. Qualitatif Data Analysis. UI Press Mustopo,M,Habib.2012. Ilmu Budaya Dasar, Kumpulan Esai dan Budaya.
Surabaya; Usaha Nasional Nanti,Syarifuddin,Ahmad,Sewang,Muzakir.2018. Pendidikan Islam Di
Zawiyah Pada Masa Kesultanan Buton Abad Ke-19, Jurnal Diskursus Islam Volume 06 Nomor 3 Halaman 338-561. Makassar; Program Magister Pascasarjana UIN Alauddin
Nasution.2003. Penelitian Kualitatif. Bandung; Tarsito Niampe,La.2000. Bahasa Melayu Kerajaan Buton (Abdul Mulku Zahari).
Jakarta; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ------------.1999. Kabhanti Oni Wolio (Puisi Berbahasa Wolio) I. Jakarta;
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Parkamin,Amroon,Noor,Basri.1982. Pengantar Sastra Indonesia (TeorI
Tentang Bentuk). Bandung; Silita Poerwadarminta,W,J,S.2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka Pradopo,Rachmat,Djoko.2000. Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma
dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta; Gajah Mada University Press
Rajab.2015. Psikoterapi Sufistik.pascasarjana UIN Alauddin Makassar Rahyono,F.X.2009. Kearifan Budaya Dalam Kata. Jakarta; Wadatama
Widya Sastra Ratna,Nyoman Kutha.2015. Teori Metode dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta; Pustaka Pelajar Robson,S,O.1978. Pengkajian Sastra-Sastra Tradisional Indonesia.
Jakarta; Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud Rosdin,Ali.2014. Aspek Kultural Bismillahirahmanirrahim Dalam Keislaman
Orang Buton (Kajian Terhadap Kabhanti Ajonga Inda Malusa).
115
Jurnal El Harakah Volume 16 Nomor 1 Halaman 81-99. Kendari; Universitas Halu Oleo Sulawesi Tenggara
Rosidi,Ajib.1985. Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir. Jakarta;
Gunung Agung Sabirin.2011. Masa Pemerintahan Dayanu Ikhsanuddin. UIN Antasari
Kalimantan Selatan ----------------. Zad Al Muttaqin. UIN Antasari Kalimantan Selatan Sahlan.2013. Kearifan Lokal Kabhanti Untuk Masyarakat Buton (Penelitian
Analisis Konten). Jurnal Parameter Volume 29 Nomor 2 Halaman 192-199. Sulawesi Tenggara; Universitas Halu Oleo
Schoorl,J.W.1994. Power Ideology and Chang In State Of Buton. Leiden:
KITL Salam,B.2013. Etika Individual (Pada Dasar Filsafat Moral). Jakarta;
Rineka Cipta Saputra.1992. Kontensasi Sastra Masyarakat Buton Lisan dan Tulis,
Budaya, dan Agama. Fakultas Sastra Universitas Indonesia ---------,Karsono,H.1992. Pengantar Sekar Macapat. Depok; Fakultas
Sastra Universitas Indonesia Saripin,S,dkk.1976. Sejarah Kesenian Indonesia. Jakarta; PT.Pradnya
Paramitha Sarjono,Partin.2013. Pengantar Pengkajian Sastra. Bandung; Pustaka
Wina Sedyawati,Edi,dan Damono,S,D.1991. Seni Dalam Masyarakat Indonesia
(Bunga Rampai). Jakarta; Gramedia Pustaka Setia,Edy.2014. Fungsi dan Kedudukan Sastra Melayu Serdang. Jakarta;
Balai Pustaka Simanjuntak,B,Simorangkir.2015. Kesusastraan Indonesia I dan II.
Jakarta; Pembangunan Soeharto,Bahar.1989. Menyiapkan Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah-
Tesis. Bandung; Tarsito
116
Soekanto,Soerdjono.1986. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta; CV. Rajawali
Soemardjan,Selo.1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta; Lembaga
Penelitian FE-UI ----------------------,dan Soelaeman Soenardi.2012. Setangkai Bunga
Sosiologi. Jakarta; Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Sukmono,R.1959. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. jilid I.
Jakarta; Nasional Trikarya Suseno,F,M.2011. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral.
Yogyakarta; Kanisius ---------------.2010. Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafat Tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta; PT.Gramedia Pustaka Utama Suprihadi,Sastro Supeno.2010. Menghampiri Kebudayaan. Bandung;
Pustaka Wina Supriyoko,Ki Ed.2005. Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum
Adat; Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta; Karya Agung Syamsuddin,Udin.1989. Identifikasi Tema dan Amanat Minangkabau.
Jakarta; Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud Sztompka,Piotr.2008. The Sociology Of Change (Alih Bahasa Alimandan).
Jakarta; Prenada Media Groop Taalami,Laode,dkk.2010. Kearifan Lokal Dalam Kebudayaan Suku
Bangsa Di Sulawesi Tenggara. Kendari; Kebudayaan dan Pariwisata Sultra
Tamburaka,Rustam,E.1993. Fragmen-Fragmen Teori, Filsafat Sejarah,
dan Metodologi Penelitian. Kendari; UNHALU Theew,A.1982. Khasanah Sastra Indonesia. Jakarta; Balai Pustaka -----------.1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta; Balai Pustaka Tylor,E,B.2014. Primitive Culture (Terjemahan Oleh Anonim). New York;
Brentono’s Udin.1996. Sastra Lisan. Sleman Yogyakarta
117
Urich,H,Damanik.1986. Sastra Lisan Simalungun. Jakarta; Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud Wahid,Sugira.2015. Kapita Selekta, Kapita Sastra. Makassar; Berkah
Utami Wahyu,M,S.1989. Bimbingan Penulisan Skripsi. Bandung; Tarsito Yunus.1995. Konsep Pendidikan Islam Perspektif. Jakarta; Mutiara
Sumber Widya ---------------. Pendidikan Islam Zawiyah Masa Kesultanan Buton. Jakarta;
Mutiara Sumber Widya ---------------. Puncak Kejayaan Tradisi Tulis. Jakarta; Mutiara Sumber
Widya ---------------. Muhammad Salih. Jakarta; Mutiara Sumber Widya --------,Ali,Rahim.1995. Posisi Tasawuf Dalam Kesultanan Buton Pada
Abad ke-19. Jakarta; Indonesia. Netherlands Cooperation Zaenu,La Ode.1985. Buton Dalam Sejarah Kebudayaan. Surabaya:
Suradipa Zahari,A,M.1977. Tradisi Masyarakat Buton. Volume 1 Buton; Keraton
Wolio ---------------------. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni. Jilid I,II,dan III.
Jakarta; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ---------------------. Sejarah Masuknya Islam Di Buton dan
Perkembangannya. Makalah disampaikan dalam seminar Sejarah Masuknya Islam Di Buton yang diadakan oleh Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Baubau pada tanggal 1 Maret 1990
Zainal,Abdul Razak,dkk.2016. Kamus Istilah Sastra. Jakarta; Balai
Pustaka Zubair,A,C.2016. Kuliah Etika. Jakarta; Rajawali Press Zuhdi.1996. Asal Mula Tradisi Tulis Buton. Jakarta; CV.Devit Prima Karya Zuhdi,Susanto,dkk.2018. Orang Buton Dalam Diaspora Nusantara dan
Integrasi Bangsa. Jakarta; Wedatama Widya Sastra
118
Zulvita,Eva,dkk.2013. Wujud Arti dan Fungsi Puncak-Puncak Kebudayaan
Asli dan Lama Bagi Masyarakat Pendukungnya. Jambi; Depdikbud Zuhdi,Susanto.1999. Labu Rope Labu Wana: Sejarah Buton Abad Ke-17.
Disertasi dalam bidang Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia. Jakarta
Zuhri,Saifuddin.1965. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya
Di Indonesia. Al Ma’rif. Bandung
119
RIWAYAT HIDUP
SITI JULIATIN,S.Pd. lahir di kota Surabaya pada
tanggal 19 Januari 1980. Lahir sebagai anak
pertama dari empat bersaudara. Merupakan buah
cinta dari pasangan ayahanda Amran Hasibuan dan
ibunda tercinta Masfufah. Penulis lahir dan besar
dengan keluarga yang harmonis dan sederhana.
Penulis memulai pendidikannya pada tingkat
Sekolah Dasar
di SD Ngagel Rejo VII kota Surabaya tahun 1986 dan lulus pada tahun
1992. Kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan
pendidikannya di Sekolah Menengah Pertama SMP Dr.Soetomo kota
Surabaya dan lulus pada tahun 1994. Di tahun yang sama penulis
melanjutkan kembali pendidikannya di Sekolah Menengah Atas SMU
Muhammadiyah 2 kota Surabaya dan lulus pada tahun 1996. Kemudian
pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi
Universitas Muhammadiyah Buton jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia hingga lulus pada tahun 2001. Kemudian pada tahun 2018
penulis melanjutkan kembali pendidikannya di perguruan tinggi
Universitas Muhammadiyah Makassar program Pascasarjana Magister
(S2) jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Saat ini penulis
bertugas sebagai guru di Madrasah Aliyah Negeri Bombana kabupaten
Bombana. Untuk memperoleh gelar Magister penulis menulis tesis ini
dengan judul “Kesusastraan Sebelum dan Sesudah Masuknya Islam Dari
Sastra Lisan Ke Sastra Tulis dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Di
Waborobo dan Keraton Buton Kota Baubau Sulawesi Tenggara”.
.
DOKUMENTASI KABHANTI GAMBUSU (SASTRA LISAN)
Tradisi Kabhanti Gambusu (tarian) yang diikuti oleh beberapa gadis di kelurahan Waborobo
kecamatan Betoambari kota Baubau
Pemberian ajaran moral bagi para gadis di empat malam kedua sebagai bentuk pendidikan
secara lisan
Mengawali acara Kabhanti Gambusu dihadiri oleh beberapa tokoh masyarakat untuk
perjamuan sekaligus pemukulan gendang
Tetua adat sekaligus penyair Kabhanti Gambusu (pekabhanti) bapak La Nuhuri di kelurahan
Waborobo kecamatan Betoambari kota Baubau
Salah satu tradisi Kabhanti Gambusu (Kabhanti petuah) sebagai bentuk sastra lisan
Salah satu tradisi Kabhanti Gambusu (Kabhanti petuah) sebagai bentuk sastra lisan dalam
memberikan ajaran moral terhadap calon ibu dan bayi yang dikandungnya
DOKUMENTASI SASTRA TULIS KABHANTI BULA MALINO
DAN JAOHARA MOLABINA
Kabhanti Bula Malino karya Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (Sultan ke-29)
Kabhanti Jaohara Molabina karya Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (Sultan ke-29)
Makam penulis atau sastrawan Buton Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (Sultan ke-29)
yang berada di samping masjid Quba Baadia Keraton Buton
Pintu gerbang masuk di benteng Baadia Keraton Buton wilayah kekuasaan Sultan
Muhammad Idrus Kaimuddin
Istana (Kamali) Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (Sultan ke-29) di Keraton Buton
Bersama Dr.La Ode Abdul Munafi,M.Si. budayawan sastra Buton sekaligus dosen Fakultas
Sastra di Universitas Dayanu Ikhsanuddin Kota Baubau
Bersama bapak Harlin,S.Pd. tenaga pengajar Bahasa Indonesia di SD Negeri Keraton
Bersama bapak Yusuf Hilmi Fasihu,S.Pd. tenaga pengajar Muatan Lokal di SMP Negeri 15
kelurahan Waborobo Kota Baubau
Pusat Kebudayaan Wolio yang menyimpan benda-benda bersejarah di zaman kesultanan
dan kerajinan khas daerah Keraton Buton
Makam Sultan Murhum Kaimuddin terletak di Keraton yang berperan aktif dalam sejarah
Buton