kesadaran individu dalam pengelolaan makanan sehat dan halal

51
Kesadaran Individu Dalam Pengelolaan Makanan Sehat Dan Halal A.Pendahuluan Setiap makhluk hidup membutuhkan makanan. Sebagai makhluk hidup manusia pun membutuhkan makanan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, setiap orang akan senantiasa berusaha mencari makanan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kelompok tertentu berpendirian bahwa hakikat hidup adalah bekerja untuk mencari makanan. Sehingga wajar jika kelompok Darwinian mengatakan bahwa perjuangan hidup adalah perjuangan untuk mendapatkan makanan. Hanya mereka yang mampu mendapatkan akses makanan sajalah yang dapat mempertahankan “hak” hidupnya. Sementara orang yang tidak mendapatkan akses pada makanan, dia akan mengalami ketersisihan dari kehidupan ini. Dalam hokum rimba, siapa yang dapat menguasai sumber-sumber produksi, maka dia yang memiliki untuk mempertahankan hidup lebih baik. Dengan menggunakan perspektif ini, fungsi makanan (lebih luasnya yaitu komoditas ekonomi) adalah alat selektor bagi kelangsungan hidup manusia. Makanan atau pola makanan menjadi alat alamiah yang menyeleksi manusia atau pengelompokan manusia. Perbedaan kepemilikan sumber dan bahan makanan mengelompokkan 1

Upload: sofiani-twin-azizah

Post on 28-Dec-2015

49 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Kesadaran Individu Dalam Pengelolaan Makanan Sehat Dan Halal

A. Pendahuluan

Setiap makhluk hidup membutuhkan makanan. Sebagai makhluk hidup

manusia pun membutuhkan makanan untuk mempertahankan kelangsungan

hidupnya. Oleh karena itu, setiap orang akan senantiasa berusaha mencari

makanan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kelompok tertentu berpendirian bahwa hakikat hidup adalah bekerja untuk

mencari makanan. Sehingga wajar jika kelompok Darwinian mengatakan bahwa

perjuangan hidup adalah perjuangan untuk mendapatkan makanan. Hanya mereka

yang mampu mendapatkan akses makanan sajalah yang dapat mempertahankan

“hak” hidupnya. Sementara orang yang tidak mendapatkan akses pada makanan,

dia akan mengalami ketersisihan dari kehidupan ini. Dalam hokum rimba, siapa

yang dapat menguasai sumber-sumber produksi, maka dia yang memiliki untuk

mempertahankan hidup lebih baik.

Dengan menggunakan perspektif ini, fungsi makanan (lebih luasnya yaitu

komoditas ekonomi) adalah alat selektor bagi kelangsungan hidup manusia.

Makanan atau pola makanan menjadi alat alamiah yang menyeleksi manusia atau

pengelompokan manusia. Perbedaan kepemilikan sumber dan bahan makanan

mengelompokkan manusia menjadi orang kaya dan orang miskin, variasi jenis

makanan mengelompokkan manusia menjadi orang kaya dan orang miskin,

variasi jenis makanan mengelompokkan manusia menjadi orang modern dan

orang tradisional, serta perbedaan gaya hidup mengenai makanan

mengelompokkan manusia menjadi manusia gaul atau tidak.

Berdasarkan pertimbangan ini, keberadaan makanan ternyata memberikan

warna-warna kehidupan yang berbeda antara satu kelompok dengan kelompok

lainnya. Makanan bukan lagi sekedar benda ekonomi yang “hampa makna”.

Makanan justru merupakan entitas budaya yang tumbuh dan berkembang dalam

tatanan kehidupan manusia. Dengan kata lain, bila dikaitkan dengan konteks

sosial budaya, maka makanan itu ternyata mengansung makna yang lebih luas

dibandingkan sekedar bahan konsumsi manusia.

1

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah makanan yang sehat dan halal itu ?

2. Apa saja nilai norma yang ada pada makanan ?

3. Bagaimana relasi dari budaya dan sosial dengan makanan sehat dan halal ?

4. Bagaimana menganalisa makanan yang sehat dan halal ?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui makanan yang sehat dan halal.

2. Untuk mengetahui apa saja nilai norma yang ada pada makanan.

3. Untuk mengetahui bagaimana relasi budaya dan sosial dan juga menganalisa

makanan sehat dan halal.

2

A. Pembahasan

Konsumsi makanan yang halal dan menepis yang haram menjadi bagian

inhern dari ajaran Islam, karena menyangkut dengan keimanan dan eksistensi

seorang Muslim, sebagaimana diisyaratkan dalam al-Quran dan hadits. Seiring

dengan era globalisasi dengan cirinya yang saling keterkaitan (interdependensi)

dan saling hubungan (korelasi) antar bangsa dan agama, beredarnya makanan

multi Negara dan multi agama dalam suatu tempat menjadi hal yang tidak

terelakan, terlepas sesuai tidaknya makanan tersebut dengan selera, nilai dan

budaya suatu tempat. Akibatnya, banyak makanan beredar yang tidak jelas

kehalalannya. Jika sertifikat halal yang dijadikan sebagai standart, maka hanya di

bawah 10% yang jelas kehalalan makanan/minuman tersebut. untuk itu perlu

digelorakan gerakan sadar halal di kalangan umat Islam sebagai pertahanan akhir

umat Islam.

Umat Islam sangat berhati-hati dalam memilih dan membeli pangan dan

produk lainnya yang diperdagangkan. Mereka tidak akan membeli barang atau

produk lainnya yang diragukan kehalalannya. Masyarakat hanya mau

mengkonsumsi dan menggunakan produk yang benar-benar halal dengan jaminan

tanda halal/keterangan halal resmi yang diakui Pemerintah. Fenomena yang

demikian pada satu segi menunjukkan adanya tingkat kesadaran terhadap

pelaksanaan keyakinan menurut hukum Islam, dan pada segi yang lain

mendorong timbulnya sensitivitas mereka ketika pangan dan produk lainnya

bersentuhan dengan unsur keharaman atau kehalalannya. Masalah halal dan

haram bukan hanya merupakan isu yang sensitif di Indonesia, tetapi juga selalu

mengusik keyakinan umat Islam di seluruh dunia. Umat Islam di seluruh dunia

amat berkepentingan atas jaminan halal tidak saja terhadap produk makanan,

minuman, dan produk lainnya namun juga terhadap proses produksi serta

rekayasa genetik. Terhadap produk dan rekayasa genetik dimaksud dibutuhkan

respons normatif dari negara guna memenuhi kebutuhan hak konstitusional warga

negara yang dijamin oleh UUD 1945 dan norma filosofis negara, Pancasila.

3

Sertifikasi dan penandaan kehalalan baru menjangkau sebagian kecil

produsen di Indonesia. Data Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)

Indonesia pada tahun 2005 menunjukkan bahwa tidak lebih dari 2.000 produk

yang telah meminta pencantuman tanda halal. Data dari Majelis Ulama Indonesia

(MUI) menunjukkan bahwa permohonan sertifikasi halal selama 11 tahun terakhir

tidak lebih 8.000 produk dari 870 produsen di Indonesia.

Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, bahan

pangan diolah melalui berbagai teknik pengolahan dan metode pengolahan baru

dengan memanfaatkan kemajuan teknologi sehingga menjadi produk yang siap

dilempar untuk dikonsumsi masyarakat di seluruh dunia. Sebagian besar produk

industri pangan dan teknologi pangan dunia tidak menerapkan sistem sertifikasi

halal. Indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas tingkat regional,

internasional dan global, dikhawatirkan sedang dibanjiri pangan dan produk

lainnya yang mengandung atau terkontaminasi unsur haram. Dalam teknik

pemrosesan, penyimpanan, penanganan, dan pengepakan acapkali digunakan

bahan pengawet yang membahayakan kesehatan atau bahan tambahan yang

mengandung unsur haram yang dilarang dalam agama Islam.

Pangan (makanan dan minuman) yang halal, dan baik merupakan syarat

penting untuk kemajuan produk-produk pangan lokal di Indonesia khususnya

supaya dapat bersaing dengan produk lain baik di dalam maupun di luar negeri.

Indonesia merupakan Negara dengan mayoritas penduduknya adalah muslim.

Saat ini Islam merupakan agama yang paling cepat pertumbuhannya di dunia

(Hariyadi, 2006).

Di dalam Islam Allah melebihkan standart rezeki salah satu individu dari

individu yang lain. Namun bukan berarti orang yang diberi rezeki lebih

memperlakukan orang yang rendah dengan sewenang-wenangnya saja. Melainkan

dibantu dengan cara memberikan sebagian lebih rezekinya kepada mereka yang

membutuhkan. Seperti yang diterangkan dalam QS. An-Nahl ayat 71:

4

ق� ف�م�ا ز� �ع�ض� ف�ي الر �م� ع�ل�ى ب �ع�ض�ك �ه� ف�ض�ل� ب و�الل

�ه�م� �م�ان ي� �ت� أ �ك ق�ه�م� ع�ل�ى م�ا م�ل ادي ر�ز� �ر� �وا ب �ذ�ين� ف�ضل ال

�ج�ح�د�ون� ) �ه� ي �ع�م�ة� الل �ن ف�ب� و�اء3 أ (71ف�ه�م� ف�يه� س�

Artinya: “Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain

dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezeki itu) tidak mau

memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka

sama (merasakan) rezeki itu, maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah.”

(QS. An-Nahl [16]: 71)

ق� ز� ك�م� ع�ل�ى ب�ع�ض ف�ي ال��ر� ل� ب�ع�ض��� الل�ه� ف�ض� و�

ا م� Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal) ف�

rezeki). Perbedaan dalam hal rezeki merupakan suatu yang jelas dan diketahui

orang, dan nash Al-Qur’an menepiskan perbedaan ini serta mengalihkannya

dengan menggunakan ungkapan ‘kelebihan’ yang diberikan Allah SWT antara

satu dengan yang lain dalam hal rezeki. Dalam masalah kelebihan karunia ini, ada

sebab-sebabnya yang tunduk di bawah Sunnatullah, tidak ada maksud permainan

atau tanpa tujuan.

Kadang seseorang itu adalah seorang pemikir, akademis, dan orang yang

berilmu, tetapi kemampuan atau berkatnya untuk mendapat rezeki dan

mengembangkan itu sangat terbatas. Apa juga orang yang kelihatan bodoh, picik.

Dan dungu, tetapi memiliki bakat dalam memeperoleh harta, mengolah, dan

mengembangkannya.

Manusia masing-masing memiliki bakat dan kemampuan yang beragam,

maka ada sebagian pandangan yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan

antara rezeki dengan kemampuan seseorang, akan tetapi itu tidak lebih dari

sebuah kemampuan khusus di antara aspek kehidupan. Bisa jadi melimpahnya

rezeki seseorang sebagai ujian dari Allah SWT, dan bisa jadi juga kesempitan

harta untuk tujuan suatu hikmah yang datang dalam bentuk cobaan. Intinya,

5

bagaimanapun keadaanya, perbedaan dalam hal rezeki adalah fenomena wajar dan

terlihat, sebagai akibat dari perbedaan dan kecenderungan.1

Dalam bersosial dan berbudaya dengan sesama tentunya kita akan banyak

mengenal dan banyak berinteraksi dengan berbagai ras, suku, dan agama dan

akhirnya mempunyai banyak teman dan saudara. Kebanyakan banyak orang

muslim yang merasa ragu mengenai makanan yang diperolehnya dari salah satu

saudara atau kerabat yang non muslim.

Allah berfirman dalam surat Al-Maidah: 5.

�وا �وت �ذ�ين� أ �ات� و�ط�ع�ام� ال ب �م� الط�ي �ك �ح�ل� ل �و�م� أ �ي ال

�ات� �م�ح�ص�ن �ه�م� و�ال �م� ح�لA ل �م� و�ط�ع�ام�ك �ك �اب� ح�لA ل �ت �ك ال�اب� �ت �ك �وا ال �وت �ذ�ين� أ �ات� م�ن� ال �م�ح�ص�ن �ات� و�ال �م�ؤ�م�ن م�ن� ال

�ر� �ين� غ�ي ه�ن� م�ح�ص�ن �ج�ور� �م�وه�ن� أ �ت �ي �ت �ذ�ا آ �م� إ �ك �ل م�ن� ق�ب

�يم�ان� �اإل� �ف�ر� ب �ك �خ�د�ان� و�م�ن� ي �خ�ذ�ي أ اف�ح�ين� و�ال� م�ت م�س�ر�ين� ) �خ�اس� ة� م�ن� ال �خ�ر� �ه� و�ه�و� ف�ي اآل� �ط� ع�م�ل ب ف�ق�د� ح�

5)Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan

(sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan

kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang

menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita

yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum

kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud

menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya

gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-

hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-

orang merugi.” (QS. Al-Maidah [5]: 5).

Pada ayat ini Allah SWT. menambahkan makanan yang baik-baik dan

halal, sebagai pertanda kasih sayang Allah kepada hamba-Nya, yaitu dengan

dihalalkannya makanan (sembelihan) ahli kitab yang kesemuanya ini adalah

1 Al Miliji Athif, Dr. 2008. Keindahan Makna Al-Qur’an. Jakarta: Cendekia.

6

merupakan nikmat duniawi.2 Secara umum, ayat ini menerangkan tentang

makanan dan minuman yang baik-baik. Di antara makanan yang dibolehkan

untuk dimakan adalah sembelihan ahli kitab yang terdiri dari Yahudi dan Nasrani.

Firman Allah SWT:

�م� �ك �اب� ح�لA ل �ت �ك �وا ال �وت �ذ�ين� أ و�ط�ع�ام� الArtinya: “Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu

halal bagimu.” (QS. Al-Maidah [5]: 5)

Jumhur musafirin menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ungkapan

tha’am dalam ayat tersebut di atas adalah sembelihan Ahli Kitab, bukan roti,

bukan buah-buahan atau makanan lainnya, sebagaimana yang diduga oleh

sementara orang. Karena sembelihan itulah yang menyebabkan binatang menjadi

halal. Adapun roti, buah-buahan dan lain sebagainya telah dihalalkan kepada

orang-orang mukmin baik sebelum dimiliki oleh ahli kitab maupun sesudah

berada di tangan mereka. Oleh sebab itu, tidak pada tempatnya untuk

mengecualikan makanan-makanan tersebut bagi ahli kitab, karena makanan itu

telah halal sebelumnya.

Sejalan dengan itu, Al-Maraghi (1974: 6: 58) menyatakan:

بأصله حالل غيرها ألن ئح الذبا هنا الطعامArtinya: “Bahwa yang dimaksud dengan makanan di sini adalah

sembelihan, sebab selain dari itu sejak awal telah dihalalkan kepada kita.”

Maksdunya dari ungkapan ayat tersebut adalah kita dibolehkan memakan

makanan hasil sembelihan ahli kitab, meskipun waktu menyembelihnya mereka

menyebut/dengan nama AL-Masih atau Uzair, ataupun mereka beranggapan

bahwa Tuhan itu tiga, namun sembelihan tersebut tetap halal bagi kita.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Atha berikut ini:

ألن المسيح باسم قال وان النصرانى ذبيحة من كلذبائحهم أباح قد .الله

2 Ali al-Sayis: 1953: 2: 168

7

Artinya: “Makanlah olehmu sembelihan orang-orang Nasrani, meskipun

sewaktu menyembelihnya mereka menyebut Al-Masih, karena Allah telah

membolehkan sembelihan mereka.”(Al-Qurtubi: 6: 76)

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abi Darda bahwa dia pernah ditanya tentang

hukum seekor kambing yang disembelih lalu dihadiahkan untuk gereja yang

bernama “Jirjis”, apakah boleh dimakan atau tidak, kemudian Abi Darda

menjawab:

لنا حل طعامهم كتاب اهل هم انما عفوا اللهمبأكله وأمره لهم حلل وطعامنا

Artinya: “mudah-mudahan Allah mengampuni. Sesungguhnya mereka

adalah Ahli Kitab. Makanan mereka halal untuk kita dan makanan kita boleh

untuk mereka. kemudian ia memerintahkan untuk memakannya.” (Al-Maraghi:

1974: 6: 59)

Adapun sembelihan selain Ahli Kitab, seperti penyembahan berhala,

Majusi, Buda, dan sebagainya tidak dihalalkan kepada kita untuk memakannya.

Begitu pula mengawini perempuan mereka berdasarkan kepada firman Allah:

… عليه الله اسم يذكر لم مما كلوا والتأArtinya: “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut

nama Allah…” (Al-An’am [6]: 121)

5. Makanan Sebagai Nilai Sakral

Di luar makna budaya, dalam kehidupan masyarakat Indonesia makanan pun

ada yang mengandung nilai sakral dan ada yang mengandung nilai profan.

Khususnya untuk makanan uang memiliki milai sakral, di antaranya dapat

ditemukan dalam beberapa agamam atau budaya daerah Indonesia.

Daging kambing kurban dan beras zakat merupakan makanan sakral dalam

kehidupan bagi kalangan muslim. Kue sakramen merupakan makanan sakral bagi

kalangan nasrani. Sapi adalah hewan sakral bagi maysarakat hindu. Rokok cerutu

merupakan komoditas sakral bagi masyarakat Jawa karena biasa digunakan

sebagai bagian dari sesaji bagi nenek moyang.

8

Bagi masyarakat Islam, mengonsumsi makanan ini, tidak cukup hanya dengan

memenuhi syarat halal, artinya cara mendapatkan dan cara syarat bersih (thayyib),

tetapi juga harus memenuhi syarat halal, artinya cara mendapatkan dan cara

mengolahnya sesuai dengan aturan dan norma yang ditentukan oleh ajaran agama.

Dengan demikian, bagi masyarakat Islam mengonsumsi makanan merupakan

bagian dari praktik agama itu sendiri. Inilah yang dimaksudkan dengan makanan

mengandung nilai sakral.

Dalam tradisi Jawa ada ritual memakan makanan tertentu yang terbiasa

muncul dalam ritual keyakinannya. Mutih adalah ritual makan orang orang jawa

untuk mengonsumsi yang tidak berasa (tawar) dalam rangka melakukan tirakat

atau penyucian batin untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam kasus lain, kelompok

pencari kedigjayaan (istilah jawanya “ngilmu”), ada yang mensyaratkan makan

bangkai-misalnya bangkai manusia-sebagai lelaku untuk mendapatkan ilmu

“ngilmu” tersebut.

6. Nilai Norma Makanan

Sebelum menjelaskan beberapa kasus perilaku kesehatan yang terkait dengan

masalah ekonomi, ada baiknya dikemukakan lebih dahulu megenai norma sosial

yang berkembang di masyarakat. Norma sosial ini kita kembangkan dalam lima

kategori norma.

a. Makanan yang memiliki nilai pokok (wajib). Yang dimaksud wajib ini, yaitu

makanan pokok dari sebuah kemunitas. Sebagaimana yang dikemukakan

sebelumnya, nasi merupakan makanan pokok dari masyarakat Sunda-Jawa,

jagung menjadi makanan pokok masyarakat Madura.

b. Makanan yang memiliki nilai anjuran (sunnah), yaitu komoditas makanan

yang merupakan tambahan (suplemen). Di era modern ini, banyak produksi

makanan yang berfungsi sebagai makanan/minuman suplemen.

c. Makanan yang memiliki nilai mubah. Kelompok makanan ini, sesungguhnya

belum diketahui efek positif atau negatifnya bagi kesehatan. Informasi yang

baru diketahui itu, yang kandungan gizi makanan dari komoditas tersebut

sangat rendah, sehingga tidak dianjurkan dan juga tidak menjadi sebuah

pantangan.

9

d. Makanan yang memiliki nilai pantangan. Sebuah masyarakat atau individu

kadang memiliki pantangan. Karakter pantangan ini, lebih bersifat sementara.

Bagi mereka yang akan dioperasi pantang makan, orang yang sedang sakit

tipus dilarang makan makanan yang keras.

e. Dalam kategori yang terakhir, yaitu pantangan mengonsumsi sebuah makanan

yang bersifat permanen. Dalam ajaran agama, terdapat beberapa beberapa

jenis makanan-minuman yang dilarang dikonsumsi secara permanen.

7. Makanan Sebagai Identitas Kelompok

Nasi adalah satu komuditas makanan utama bagi masyarakat Sunda-Jawa.

Semetara jagung menjadi komoditas makanan utama bagi masyarakat Madura.

Bagi orang Barat, mereka tidak membutuhkan nasi setelah mengonsumsi roti

karena roti merupakan makanan utama dalam budaya Barat. Persepsi dan

penilaian seperti ini merupakan makna makanan sebagai budaya utama sebuah

msyarakat. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila orang Sunda, kendati sudah

makan roti kadangkala masih berkata belum makan karena dirinya belum

menyantap nasi.

Karena adanya kesangsian terhadap makanan hasil olahan atau makanan

instan, banyak di antara masyarakat kota yang sudah mulai berpindah ke tradisi

vegetarian. Bagi kelompok “gang”, menghirup ganja, narkoba, dan merokok

merupakan ciri kelompoknya. Kacang diidentikkan sebagai makanan yang bisa

menemani orang untuk nonton sepakbola. Merokok menjadi teman untuk

menghadirkan inspirasi atau kreativitas. Pemahaman dan persepsi seperti ini lebih

merupakan sebuah persepsi budaya tandingan (counter-culture) terhadap budaya

dominan.

Selain mengandung budaya dominan dan budaya tandingan, makanan pun

menjadi bagian dari budaya populer. Bakso merupakan makanan populer bagi

kelompok perempuan. Terakhir, makanan sebagai makanan khusus untuk

kelompok tertentu. Makanan subkultur ini misalnya daging babai bagi kalangan

nasrani, ketupat bagi kalangan muslim di hari lebaran, dodol bagi masyarakat

Cina di hari Imlek, coklat menjadi ikon budaya dalam menunjukkan rasa cinta

dan kasih.

10

Berdasarkan telaahan ini, makanan mengandung makna sebagai (a) identitas

arus budaya utama (dominan culture), artinya harus ada dan menjadi kebutuhan

utama masyarakat, (b) budaya tandingan (counterculture), yaitu menghindari

arus utama akibat adanya kesangsian atau ketidaksepakatan dengan budaya arus

utama, dan (c) makanan sebagai identitas budaya lagi sekelompok tertentu

(subculture).

Alangkah lebih baiknya bahkan wajib untuk direalisasikan bila sebuah

lembaga sosial (pabrik, kampus, pesantren) memiliki tim medis khusus yang siap

jaga (stand by) dan bertugas untuk mengawasi kesehatan makanan atau minimal

ada tim perawat kesehatan yang khusus menjaga keamanan dan kenyamanan

pegawai/karyawan dalam mengonsumsi makanan.

Di antara fungsi perawat kesehatan kerja (Harrington dan Gill, 2005:7) adalah

memberikan supervise kesehatan, promosi kesehatan, serta mengembangkan dan

melaksanakan imunisasi dan vaksinasi. Dalam konteks ini, petugas perawat

kesehatan kerja (baik di pabrik, perusahaan, instansi, kampus atau pesantren) juga

memiliki tanggung jawab terhadap pengawasan kesehatan konsumsi yang

disediakan oleh lembaga atau organisasi.

Pada sisi yang lain, sisi kefrustasian ekonomi masyarakat tersebut, berdampak

luas pula terhadap perilaku masyarakat dalam pola makan. Masyarakat menjadi

apatis dan tidak peduli terhadap angka kandungan gizi (AKG) makanan yang

dikonsumsinya. Akibat tekanan ekonomi yang tinggi, banyak kejadian di

masyarakat yang tidak mengabaikan kandungan gizi dari sebuah makanan. Oleh

karena itu, tidak mengherankan, bila pada tahun 2006-2007, Indonesia diguncang

oleh tingginya kasus polio dan gizi buruk. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan

ekonomi menyebabkan pola konsumsi masyarakat menjadi tanpa pertimbangan

yang rasional. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, kadang sebuah keluarga

mengonsumsi gaplek (ketela pohon) tanpa tambahan makanan yang lainnya.

Bagian terakhir yang ingin dikemukakan di sini adalah perlunya pemerintahan

melalui pelayanan kesehatan untuk melakukan promosi kesehatan tentang

makanan. Masalah promosi kesehatan (helath promotion) ini menjadi salah satu

strategi untuk meminimalisasi adanya keracunan makanan secara masal seperti

11

yang sering terjadi saat ini. Pada sebuah perusahaan yang mengeluarkan

kebijakan penyediaan makan bagi karyawan di perusahaan perlu menunjukkan

kepeduliaannya dalam menjaga kesehatan karyawan. Tanggung jawab sosial

perusahaan (corporate’s social responsibility) atau lembaga dalam masalah

kesehatan ini, perlu ditunjukkan dengan mengeluarkan kebijakan adanya tim

khusus yang bertanggung jawab terhadap kesehatan makanan.

Gerakan promosi kesehatan ini perlu dilakukan secara sinergis, kolektif, dan

berkelanjutan. Hanya dengan gerakan sosial inilah, maka promosi kesehatan

kepada masyarakat supaya peduli pada gizi makanan menjadi efektif. Kita semua

patut prihatin. Sebab dengan adanya krisis ekonomi yang berkepajangan, pola

konsumsi masyarakat kita jarang memerhartikan masalah kandungan gizi

makanan. Namun, kondisi krisi ekonomi ini tidak perlu dijadikan alasan untuk

menghentikan promosi kesehatan dalam bidang perubahan pola makan

masyarakat kita. Kesehatan dan upaya memiliki makanan yang bergizi baik

menjadi kewajiban hidup manusia selama hayatnya. Oleh karena itu, makak

promosi kesehatan mengenai kesehatan makanan dan kandungan gizi makanan

menjadi sangat penting untuk terus digalakkan.

8. Gaya Hidup dan Gaya Makan

Berbeda dengan makanan sebagai keunggulan etnik, dalam gaya hidup

modern ini ada makanan yang dianggapnya sebagai budaya universal. Makanan

cepat saji di restoran-restoran cepat saji (fast food) merupakan satu di antara

sekian banyak jenis makanan yang muncul ke permulaan sebagai makanan global.

Ketika mengonsumsi dua jenis makanan ini, identitas etniknya musnah dan

yang muncul adalah identitas gaya hidup modern yang sarat dengan prinsip hidup

(1) mengutamakan efisiensi, artinya cepat saji, (2) prinsip kuantitatif, artinya jelas

porsinya, (3) mudah prediksi, yaitu gampang menebak kapan berakhirnya, dan (4)

adanya kontrol, pada masyarakat modern makan bukanlah sesuatu hal yang bebas

nilai. Berawal dari budaya kelompok tertentu, pada saat ini sudah mulai muncul

etika makan yang dijadikan alat kontrol untuk mengukur budaya seseorang dalam

makan.

12

Untuk sekedar contoh ketika makan tidak boleh memegang sendok dan garpu,

jangan berbicara atau mengambil hidangan tanpa meletakkan peralatan makan

terlebih dahulu dan selama jamuan makan berlangsung, jangan duduk

membungkuk atau bersandar malas. Duduklah dengan tegak dengan jarak badan

dengan tepi meja selebar lima jari. Hindari mengembangkan kedua belah siku dan

meletakkannya di atas meja makan. Budaya dan gaya hidup itulah yang

dkemudian disebut sebagai orang yang mengalami demam makanan cepat saji.

A. Penutup

Dominasi kebudayaan manusia menjadi sangat berperan terutama dalam

pola makannya. Makanan terkategorisasi menjadi makanan yang boleh dan tidak

boleh dimakan. Makanan yang dianggap nutriment belum tentu menjadi makanan

yang boleh dimakan. Begitu sebaliknya, makanan yang boleh dan tidak boleh

dimakan belum tentu memiliki nilai gizi yang memadai. Dengan demikian

kategori makanan menjadi pemicu akan munculnya berbagai hal, seperti perilaku

makan, perubahan gaya hidup, persepsi masyarakat, nilai keagamaan, ekspresi

simbolik.

Dimensi etis muncul ketika makanan berada di tangan konsumen,

produsen, dan lingkungan manusia. Interaksi antara konsumen dengan produsen

memunculkan aspek etis, yaitu hak dan kewajiban serta tanggung jawab moral.

Berada pada posisi yang lemah, maka konsumen sebagai penyantap makanan

berhak mendapat perlindungan dari instansi yang berwewenang, produsen (petani,

peternak pemilik pabrik), ilmuwan tentang makanan yang disantapnya. Selain itu

konsumen juga berhak untuk hidup sehat, mendapat kesetaraan kualitas makanan.

Makanan yang baik dan sehat menjadi milik, dan hak bagi semua orang.

Pola hubungan antara perilaku masyarakat dengan perilaku budayanya merupakan

pola yang terstruktur oleh kesadaran masing-masing individu. Melalui pengaruh

lingkungan serta pandangan hidupnya, maka kesadaran (cara berpikir) individu

tersebut terbentuk sehingga menimbulkan berbagai persepsi ataupun pola berpikir

yang sifatnya ideologis. Dampak persepsi tersebut memunculkan suatu bentuk

masyarakat konsumtif (consumer society). Masyarakat konsumtif tersebut

13

terbentuk karena munculnya teks label yang bersifat persuasif serta bersifat

utopis, dan ideologis. Rekomendasi pada penelitian ini berupa perlunya kajian

etika makanan yang berada pada dua tataran, teoritis dan praktis.

Melalui persebaran informasi tentang pentingnya dimensi etis pada

makanan, masyarakat, pemilik modal atau kelompok kapital diharapkan menjadi

lebih paham tentang hak dan kewajiban masing-masing. Dengan demikian

keberpihakan tidak hanya dilihat pada satu sisi ekonomis (konsumen atau

produsen atau ilmuwan) tetapi keberpihakan moral yang dilandasi oleh kesadaran

dan hati nurani yang baik.

I. Analisis Makanan Sehat dan Halal

Dalam catatan antropologi, peradaban manusia dibedakan berdasarkan

mata pencaharian masyarakat. Tahap pertama (gelombang hidup pertama)

ditandai dengan adanya peradaban manusia yang didominasi oleh tradisi

memburu dan meramu. Pola konsumsi manusia pada masa itu dengan makan

makanan hasil ramuan bahan tumbuhan yang dikumpulkan dari hutan dan atau

memakan hasil hutan (hewan atau tumbuhan) yang diburu dan kemudian dibakar.

Setelah terjadi revolusi atau gelombang peradaban yang pertama, manusia

beranjak pada tahapan agrikultur. Mata pencaharian manusia sudah bukan lagi

memburu dan meramu, melainkan sudah pada tahap bercocok tanam. Pada tahap

ini pola dan jenis makanan yang dikonsumsi pun adalah makanan hasil olahan.

Namun, setelah adanya revolusi industri atau gelombang ketiga, olahan

manusia ini berkembang dengan pesat. Dengan bantuan teknologi dan

industrialisasi, berbagai jenis makanan, baik yang merupakan olahan dari bahan

dasar tumbuhan dan hewan, maupun dengan bahan kimiawi bermunculan ke

permukaan. Pada saat ini, manusia sudah bukan lagi hanya memakan hasil

tanaman melainkan hasil olahan industri.

Setiap masyarakat memiliki persepsi yang berbeda megenai benda yang

dikonsumsi. Perbedaan persepsi ini, sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma

budaya yang berlaku di masyarakatnya. Oleh karena itu, bila bertemu beberapa

14

orang dengan latar belakang budaya berbeda akan menunjukkan persepsi nilai

terhadap makanan yang berbeda.

Pola makan masyarakat modern cenderung mengonsumsi makanan cepat

saji (fast food). Hal ini mereka lakukan karena tingginya jam kerja atau tingginya

kompetisi hidup yang membutuhkan kerja keras. Padahal dibalik pola makanan

tersebut, misalnya hasil olahan siap santap, memiliki kandungan garam yang

sangat tinggi.

Di Negara-negara industri maju, konsumsi garam relatif tinggi (kira-kira

10-12 g sehari atau setara dengan 2-2,5 sendok the sehari). Padahal kebutuhan

tubuh seseorang hanya sekitar 5-7,5 g sehari bergantung pada usia. Nasional

Academy of Science (NAS) memperkirakan bahwa jumlah garam dapur yang

aman dan layak konsumsi setiap hari ialah 2,75-3,25 g per orang.

Pola makan seperti ini diduga ada kaitannya dengan tingginya penderita

stroke. Hal ini terkait dengan adanya tren penurunan penderita stroke di AS dan

Eropa dalam 50 tahun terakhir, seirign dengan kebiasaan masyarakat Negara maju

memasukkan makanan ke dalam lemari es untuk sarapan esok dari pada makanan

kalengan atau awetan yang memiliki kadar garam tinggi.3 Pada konteks inilah,

pola dan bahan makanan merupakan sebagian dari ciri pedukung dari

perkembangan dan peradaban manusia.

Di suku Urala, India. Bagi suku bangsa ini, makanan tikus merupakan

santapan harian yang tidak ada bedanya dengan binatang hutan yang lainnya.

Bahkan suku Urala ini, sering diminta pertolongannya oleh suku lain untuk

membasmi tikus-tikus yang menjadi wabah bagi pertanian.4

Uniknya suku Urala, mereka akan memburu tikus sampai kelubangnya dan

jika mereka menemukan sisa biji-bijian atau padi yang dikonsumsi tikus, maka

mereka pun akan membawanya pulang. dengan kata lain, selain mengonsumsi

daging panggang tikus mereka pun terbiasa mengonsumsi sisa makanan yang

dikonsumsi tikus itu sendiri. Daging tikusnya mereka panggang dan biji-bijiannya

mereka tanak.

3 Masitoh Dumas Busanta dan Stephanus Kurniadi, Sehat dengan Sedikit Garam dalam Rahasia Sehat Dibalik Makan, (Jakarta: Intisari, 2005), hlm. 103-104.4 Informasi didapat dari Lativi, 13 juni 2004.

15

Hal menarik terjadi pula dalam konsumsi daun ganja. Bagi masyarakat

Indonesia pada umumnya, daun ganja masih dipersiapkan sebagai salah satu daun

psikotropika yang dapat memabukkan dan mengonsumsi sesuatu hal yang

memabukkan adalah tindakan yang dilarang.

Namun, berbeda dengan masyarakat Aceh. Sebagai provinsi yang

mayoritas penduduknya beragama Islam, telah sejak lama menjadiakan daun

ganja sebagai bagian dari penyedap sayuran. Bagi mereka daun ganja adalah

sayuran dan tidak pernah memersepsikannya sebagai makanan yang dilarang.

Kedua persepsi ini, kemudian dapat dijelaskan bahwa kedua masyarakat yang

berbeda pandangan itu sesungguhnya menggunakan patokan nilai norma yang

berlaku untuk memersepsikan makanan.

Khususnya untuk kasus daun ganja ini, ada perbedaan sudut pandang.

Kelompok pertama memandang daun ganja sebagai sesuatu yang haram karena

termasuk psikotropika, yaitu pada saat memandang daun ganja unutk diisap. Daun

ganja yang dibakar dan kemudian asapnya diisap inid apat menyebabkan orang

mabuk. Pada konteks inilah, maka daun ganja menjadi makanan yang terlarang.

Sementara kelompok kedua atau masyarakat Aceh memandangnya bahwa

mengonsumsi daun ganja dengan cara disayur (bukan dibakar untuk diisap), maka

persepsi terhadap daun ganja ini menjadi sesuatu hal yang dibolehkan.

Bagi masyarakat Tuban-Mataram, minum tuak merupakan bagian dari

konsumsi harian. Demikian pula bagi masyarakat Tiongkok. Mereka

menggunakan tuak sebagai bagian dari konsumsi harian. Namun, bagi kelompok

di luar masyarakat itu, ada yang memersepsikan tuak sebagai sesuatu yang

dilarang agama. Alasan sederhananya, yaitu minuman tuak menyebabkan orang

mabuk.

Terkait dengan masalah ini, dapat disimpulkan bahwa makanan atau

sesuatu yang yang dikonsumsi berprotein mengandung makna budaya yang

berbeda antara budaya mayoritas (dominant culture) pada satu masyarakat dengan

budaya mayoritas masyarakat lainnya.

16

A. STRENGTH (KEKUATAN)

Pada tahun pertama kelahirannya sesuai dengan amanah MUI, lembaga ini

mencoba membenahi berbagai masalah dalam makanan sehubungan dengan

kehalalannya sehingga dapat menentramkan konsumen muslim khususnya dan

konsumen Indonesia pada umumnya serta para produsen secara keseluruhan.

Karena itu pada tahun-tahun pertama, LPPOM MUI berulang kali mengadakan

seminar, diskusi dengan para pakar, termasuk pakar ilmu syari’ah, dan kunjungan-

kunjungan yang bersifat studi perbandingan serta muzakarah. Semua dikerjakan

dengan tujuan mempersiapkan diri untuk dapat menentukan suatu makanan halal

atau tidak, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kaidah agama.

Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan diri dalam menentukan standar

kehalalan dan prosedur pemeriksaan, sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan kaidah agama. Pada awal tahun 1994, barulah LPPOM MUI

mengeluarkan sertifikat halal yang pertama kali. Sertifikat halal dikeluarkan oleh

MUI setelah melalui proses audit oleh para ahli di berbagai disiplin ilmu dan

dikaji oleh Komisi Fatwa yang menguasai bidang syari’ah, ulumul Qur’an dan

ulumul hadist.

Masalah kehalalan produk yang akan dikonsumsi masyarakat merupakan

persoalan besar dan urgen, sehingga apa yang akan dikonsumsi itu benar-benar

halal, dan tidak tercampur sedikit pun barang haram. Di sisi lain, tidak semua

orang dapat mengetahui kehalalan suatu produk secara pasti. Dalam sejarah

perkembangan kehalalan di Indonesia, ada beberapa kasus yang berkaitan dengan

masalah tersebut. Misalnya kasus lemak babi pada tahun 1988. Kasus tersebut

tidak hanya menghebohkan umat Islam, tapi juga berpotensi meruntuhkan

perekonomian nasional karena tingkat konsumsi masyarakat terhadap produk

pangan olahan yang menurun drastis.

17

Menyadari tanggung jawabnya untuk melindungi masyarakat, maka MUI

mendirikan LPPOM MUI sebagai bagian dari upaya untuk memberikan

ketenteraman batin umat, terutama dalam mengkonsumsi pangan, obat-obatan dan

kosmetika. LPPOM MUI didirikan pada tanggal 6 Januari 1989 dan telah

memberikan peranannya dalam menjaga kehalalan produk-produk yang beredar di

masyarakat.

Perkembangan teknologi informasi dan industri, tidak hanya memberikan

pengaruh terhadap dunia ekonomi. Efek langsung dan tidak langsung dari

kemajuan peradaban manusia ini, terasa pula dalam bentuk perubahan gaya hidup.

Bila 10 tahun yang lalu, masih banyak terlihat para pengusaha atau karyawan

makan di rumahnya sendiri serta seorang mahasiswa atau seorang anak kecil

sarapan di rumah bersama keluarga. Dalam situasi zaman seperti ini, maka

bersama dengan keluarga itu menjadi sesuatu hal yang istimewa dan didapatnya

pada hari-hari istimewa misalnya saja pada hari libur bersama.

Pada suatu saat, mungkin sempat melihat ada seorang istri dalam mobilnya

duduk di samping kiri suaminya yang sedang memegang setir mobil menyuapi

suami untuk makan pagi. Dalam satu waktu tertentu, mungkin sempat melihat

anak kecil yang mau berangkat sekolah disuapi makan dalam kendaraan

sepanjang jalan menuju lokasi sekolah. Inilah sebagai dari realitas gaya hidup di

zaman modern, yang terkait dengan makanan.

B. WEAKNESS (KELEMAHAN)

Tingginya jam kerja atau padatnya aktivitas menyebabkan orang harus

mengubah jam makan. Efek negatifnya, bagi mereka yang sibuk tetapi kurang

mampu mengelola waktu kerap menjadikan pekerjaan sebagai alasan untuk

menunda atau menangguh-nangguhkan makan.

Aktivitas diorganiasi maupun di tempat kerja dapat menyita perhatian

seseorang untuk memenuhi kebutuhan fisiologinya. Tidak mengherankan bila

kemudian muncul penyakit tipus atau maag. Hal demikian, karena tidak adanya

18

sikap disiplin dalam makan. Kejadian serupa dapat terjadi pada orang yang gila

kerja (workacholic) hingga sampai melupakan jam makan atau tidak teraturnya

pola makan.

Hal yang menarik pula, dalam budaya kota ini muncul diverifikasi

makanan sesuai dengan waktunya. Di kalangan mereka muncul ada pemahaman

yang biasa dikonsumsi pada pagi, siang, dan malam hari. Ketika makan pun,

ditemukan ada makanan pembuka, pokok, dan penutup. Lebih luasnya lagi, ada

makanan uyang dikonsumsi pada hari-hari tertentu (ketupat di hari lebaran,

cokelat di valentine’s day).

Contoh mengenai persepsi budaya dan makanan ini dapat ditemukan pula

dalam tanggapannya terhadap daging tikus. Bulan januari 2006, masyarakat

Indonesia digemparkan oleh adanya isu bakso yang dicampur dengan daging

tikus. Isu ini merebak di saat masyarakat kecil sedang mengalami kesulitan

ekonomi yang akut dan berbagai sektor riil pun terganggu. Bukan hanya para

pengusaha besar yang bebrbasiskan bahan baku impor, tetapi kalagan pedagang

bakso pun turut merasakan adanya krisis ekonomi nasional yang berkepanjangan.

Para pedagang bakso ini, secara terbuka mengaku bahwa bahan baku

daging sapi sangat mahal. Sementara harga bakso, tidak naik secara nyata.

Sehingga hitung punya hitung, keuntungan dari harga bakso dengan materi daging

sapi kurang menguntungkan. Maka salah satu alternatifnya adalah mengganti

bahan daging sapi dengan daging tikus. Tikus yang dijadikan pengganti daging

sapi ini, pada umumnya adalah tikus sawah, walaupun terkadang menggunakan

tikus got bila memang terpaksa karena tidak mendapati tikus sawah.5

Untuk “mengelabui” pembeli supaya tidak jijik makan bakso daging tikus,

meka dimasak menggunakan bumbu yang lebih banyak, sehingga tercium harum.

Dengan olahan seperti ini, maka tampilan fisik bakso daging sapi dan bakso

daging tikus, sangat sulit utnuk dibedakan. Bahkan si pedagangnya pun, masih

merasa kesulitan untuk membedakan antara bakso daging tikus dan bakso daging

sapi.

5 Pandangan ini dikemukakan oleh Edi (nama samara), sebagaimana ditanyakan dalam Reportase Investigasi, Trans TV, Edisi 7 Januari 2006.

19

Dengan adanya isu seperti ini serta merta popularitas pedagang bakso

menurun. Mengapa ? jawaban sederhananya, karena masyarakat pada umumnya,

menilai bahwa tikus merupakan binatang yang menjijikkan dan “tidak layak”

uktuk dikonsumsi.

Tekanan hidup dan tantangan hidup menyebabkan seseorang dapat

melakukan perilaku yang menyimpang dari norma masyarakat arus utama. Salah

satu perilaku menyimpang ini, yaitu munculnya parilaku masyarakat dalam

memperdangankan makanan yang sudah tidak layak jual dal layak konsumsi

secara medis.

Gejala keracunan karena makanan hampir menjadi bagian dari berita bagi

bangsa kita. Keracunan makanan di pesantren, di rumah penduduk yang sedang

mengadakan syukuran, di pabrik, di kampus, dan lain sebagainya. Bila kejadian

keracunan makanan tersebut terjadi hanya satu kali mungkin itdak menarik untuk

deperhatikan. Namun, bila kejadian ini berulang dan terjadi di berbagai tempat,

maka peristiwa keracunan makanan secara kolektif tersebut menjadi fenomena

sosial yang perlu mendapat penafsiran yang saksama dari kita semua.

Mungkin benar, bahwa proses keracunan dan peristiwa keracunan itu

sendiri merupakan sebuah peristiwa medis. Khususnya bila dikaitkan dengan

adanya bakteri atau kuman yang masuk ke dalam tubuh seseorang dengan

makanan sebagai medianya. Persoalan ini sudah sangat jelas. Kalangan ilmuan

medis hanya berusaha untuk mencari makanan mana yang mengandung kuman

atau bakteri yang menjadi penyebab seseorang mengalami keracunan. Bila

ditemukan sumbernya, maka selesailah sudah upaya pemecahan masalah

“misteri” keracunan tersebut.

Bagi orang awam, tampaknya jawaban tersebut belum selesai. Dengan

ditemukannya jenis makanan yang mengandung sumber keracunan, tampaknya

belum dapat mengungkapnya realitas sosial yang sedang terjadi di masyarakat.

Dan oleh karena itu, perlu ada sebuah analisis lanjutan mengenai munculnya

peristiwa keracunan makanan tersebut. berdasarkan pemikiran tersebut.

20

Di lain pihak, dalam kehidupan masyarakat muncul ada masalah-masalah

yang terkait dengan perilaku manusia terhadap makanan.

a. Pada kasus anak-anak, ada fenomena kesulitan untuk mengajari anak makan

atau dalam kasus lain, yaitu adanya keengganan anak untuk mengonsumsi

makanan tertentu.

Dalam menelaah masalah ini, ada dua jawaban yang dapat dikemukakan

dalam kesempatan ini. Pertama, yaitu kesalahan orang tua dalam

memperkenalkan makanan di waktu bayi. Ketidakberimbangan atau

keterlambatan orang tua memperkenalkan variasi rasa dan makanan

menyebabkan peluang adanya penolakan anak terhadap rasa atau makanan

tertentu. Dalam konteks ini, pendidikan makan bagi anak kecil menjadi

sangat penting.

Kedua, kejadian tersebut bisa terjadi karena adanya trauma atau alergi

terhadap makanan tertentu. Misalnya saja ada anak yang menolak makan

tempe, daging, dan nasi. Ketika diselidiki, ternyata sikap antipasti anak

tersebut dipicu oleh adanya peristiwa yang menakutkan bagi dirinya,

sehingga dia benar-benar trauma atau alergi terhadap makanan tersebut.

b. Kesalahan persepsi tentang makanan. Seiring dengan perkembangan zaman,

orang sudah mulai menggemari makanan kota. Pada sisi lain, ada persepsi-

persepsi yang kurang tepat mengenai makanan desa misalnya tempe. Bagi

sebagian orang makanan ini dianggap makanan orang kelas bawah atau

makanan desa sehingga kadang orang bodoh disebut dengan istilah “otak

tempe”. Padahal bila ditelaah dengan saksama, makanan tempe ini lebih baik

daripada makanan instan yang banyak dikonsumsi orang kota. Karena

makanan instan tersebut potensial menyebabkan kolesterol.

Kesalahan persepsi ini muncul pula dalam bentuk mitos bahwa alkohol

menawarkan pelarian dari masalah dan kebimbangan. Manusia lari dari hiruk-

pikuk persoalan hidup untuk mencari kedamaian lewat minuman. Dia

berusaha untuk meneggelamkan penderitaannya dengan harapan dapat

menikmati surga imajinasinya. Beban yang dipikulnya akan terlupakan

sejenak dalam masa singkat ketika ia sedang mabuk.

21

Contoh lain, budaya ngemil menjadi bagian dari gaya hidup modern, yang

dipersepsi sebagai bagian dari upaya menenagkan rasa dan pikiran. Oleh

karena itu, orang stress katanya bisa melepaskan kekesalannya melalui

makanan.

c. Makanan dan kelas sosial. Persepsi mengenai makanan diidentifikasikan

dengan kelas sosial mungkin terlalu mengada-ngada.

Berdasarkan pemikiran seperti itu, maka wacana kali ini tidak

berkepentingan dengan upaya pencarian sumber bakteri atau kuman yang menjadi

penyebab keracunan kolektif. Wacana ini, memiliki kepedulian untuk konteks

sosial yang lebih luas, yaitu menggali makna sosial mengapa masalah keracunan

makanan ini kerap terjadi di lingkungan masyarakat kita.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada dua hal yang perlu diungkap

dengan cermat, yaitu pola konsumsi dan tradisi pemasaran makanan. Pola

konsusmsi, kita arahkan untuk membelah sebuah perilaku konsumsi masyarakat.

Sedangkan tradisi pemasaran diarahkan untuk mendeskripsikan perilaku

distributor atau produsen makanan dalam memasarkan makanannya. Dalam

menganalisis kedua hal tersebut, pada dasarnya dapat dipisahkan dengan jelas,

namun tetap perlu dipahami dalam konteks yang bersamaan karena kedua hal

tersebut memiliki ruang transaksi kepentingan yang sangat erat.

Untuk persoalan yang terkait dengan tradisi pemasaran, maka persoalan itu

berkembang menjadi sebuah pertanyaan mengapa sebuah makanan yang

berpotensi sebuah racun masih berkeliaran di masyarakat. Adakah sebuah indikasi

bahwa masyarakat kita sudah kehilangan kepekaan dan moralitasnya terhadap

tanggung jawab kolektif mengenai kesehatan publik? Mungkin “Ya” atau

mugnkin tidak benar seluruhnya.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) biasanya rajin mengawasi

peredaran makanan menjelang hari raya-baik raya agama maupun hari raya

nasional-sebagai salah satu sasaran operasinya. Dalam beberapa kasus, kerap

muncul ada indikasi parsel yang mengandung makanan atau meniman yang sudah

kadaluwarsa, tetapi masih dijajakan di pasaran. Padahal, semua orang tahu,

makanan yang kadaluwarsa adalah makanan yang sudah tiadk layak di konsumsi.

22

Mau tidak mau, gejala seperti ini, menuntun kita untuk pada kesimpulan

bahwa tengah terjadi melemahnya kepekaan dan kepedulian kalangan distributor

(dan juga produsen) terhadap kesehatan masyarakat. Atau dalam sisi lain, mereka

lebih mengedepankan kepentingan ekonomi pribadinya daripada keselamatan dan

kesehatan masyarakat.

Gejala sosial yang menunjukkan lemahnya kepedulian pemilik “modal”

terhadap kesehatan masyarakat di masyarakat ini dapat disebabkan oleh salah satu

di antara penyebab ini, yaitu (a) kurangnya kepedulian masyarakat terhadap

kesehatan makanan, (b) adanya kefarustasian masyarakat terhadap tekanan

ekonomi, serta (c) rendahnya tanggung jawab peternak/penjual terhadap

kesehatan masyarakat. Fenomena ini merupakan salah satu bentuk kefrustasian

ekonomi masyarakat dalam mengahadapi kebutuhan pangan.

Bila fenomena tersebut dilihat dari sisi sosial, sudah barang tentu

mengandung makna sosial yang tidak sederhana. Fenomena ini dapat ditafsirkan

bahwa masyarakat kita sedang mengalami “sakit”. Secara sederhananya, gejala ini

menunjukkan (a) lemahnya kepedulian masyarakat terhadap kesehatan makanan

dan atau size makanan, (b) adanya kefrustasian masyarakat terhadap tekanan

ekonomi, (c) rendahnya tanggung jawab peternak/penjual/produsen terhadap

kesehatan masyarakat, dan (d) rendahnya Pengetahuan masyarakat terhadap

kualitas makanan.

Dalam suasana frustasi ekonomi, seorang produsen akan mengarahkan

seluruh strateginya guna menjual produk makanannya. Mereka tidak peduli

tanggal kadaluwarsa. Sementara anggota masyarakat yang sedang mengalami

frustasi secara ekonomi, tidak akan memperdulikan masalah kesehatan makanan

atau kandungan gizi makanan. Dalam benak mereka, yang penting bisa makan,

atau yang penting terjangkau (murah meriah). Tidak peduli tentang kandungan

gizinya.

23

Urgensinya promosi kesehatan ini dilandasi oleh adanya indikasi bahwa

(a) masyarakat kita kurang Pengetahuan tentang status kesehatan makanan, (b)

masyarakat tidak memiliki kepedulian terhadap tanggal kadaluwarsa makanan,

dan (c) lemahnya pemahaman mengenai pentingnya pemenuhan kebutuhan gizi

bagi tubuh. Kondisi ini merupakan sebuah tantangan yang nyata bahwa promosi

kesehatan menjadi sangat penting dan mendesak untuk segera dilakukan.

Rendahnya pemahaman atau Pengetahuan seseorang terhadap kesehatan

gizi makanan merupakan faktor internal individu dalam mengonsumsi makanan.

Hal demikian, bisa menyebabkan seseorang hanya bertindak “asal makan” tanpa

memperhatikan kandunagn gizi makanan.

Selain pemerintah, tanggung jawab kalangan industri dan distributor

makanan dan obat pun, perlu dikembangkan. Tanpa adanya kesadaran dan

tanggung jawab dari kelompok ini, maka peredaran makanan yang tidak sehat

akan sulit dikendalikan. Dengan kata lain, para pengusaha atau distributor

(pedagang eceran dan grosir) diharapkan tidak hanya mengedepankan keuntungan

material, melainkan perlu pula menunjukkan tanggung jawab sosialnya kepada

masyarakat.

Terjangkitnya busung lapar, pada satu sisi memang terjadi karena daya

beli masyarakat yang lemah. Gara-gara krisis ekonomi, anggota masyarakat kita

tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi tubuhnya.

Dengan kata lain, jangankan untuk memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang dan

sempurna, untuk sekedar dapat makanan pun mereka sudah merasa beruntung.

Sementara pada sisi lainnya, ini adalah potret buram wajah masyarakat mengenai

kurangnya Pengetahuan masyarakat tentang gizi makanan. Masyarakat kita, sudah

tidak memiliki kepedulian lagi terhadap pentingnya gizi makanan.

Di tahun 2005, tersiar berita keracunan kolektif santri-santri Aceh

pesantren Daarut Tauhid Bandung. Sementara kasus-kasus sebelumnya, ada

keracunan yang terjadi pada sebuah pabrik, kampus perguruan tinggi, dan

lingkungan masyarakat yang sedang mengadakan syukuran. Terkait dengan

peristiwa-peristiwa tersebut, ada beberapa hal yang perlu dikemukakan di sini.

24

Pertama, perlu ada kesadaran penuh dari si penggiat kegiatan untuk

memahami kualitas makanan. Setiap anggota masyarakat yang akan

menyelengarakan kegiatan massal perlu waspada terhadap status makanan yang

akan disajikannya. Minimal tanggal kadaluwarsa (kalau memang ada tanggal

kadaluwarsa).

Kedua, makanan siap saji atau jajanan, memang jarang yang memiliki

tanggal kadaluwarsa. Dalam posisi ini, maka seorang distributor perlu

menunjukkan kesadaran dan kepeduliannya terhadap keselamatan masyarakat.

Seorang distributor yang bertanggung jawab, harus mengategorikan dan menjaga

kualitas kesehatan makanan. Makanan yang sudah basi atau kadaluwarsa, jangan

dipasarkan. Pada titik ini, maka keluhuran dan keagungan moral seorang

pedagang menjadi sangat teruji.

Ketiga, khusus pada institusi sosial (pesantren atau pabrik) yang

mengeluarkan kebajikan memberi makan kepada karyawan di dalam ruang pabrik,

perlu menyesdiakan tim khusus yang bertanggung jawab tentang kesehatan

makanan karyawan. Dengan adanya kasus keracunan mekanan pada sebuah

pabrik atau supermarket mengindikasikan bahwa pembagian jatah ransum kepada

karyawan oleh pemilik perusahaan memperlihatkan belum efektifnya pengawasan

tim khusus kesehatan makanan pada lembaga tersebut.

C. OPPORTUNITY (PELUANG)

Makanan adalah ikon keunggulan budaya masyarakat. Semakin variatif

makanan itu dikenal publik semakin apresiasi masyarakat terhadap daerah itu.

Semakin luas distribusi wilayah pasar dari makanan tersebut, menunjukkan

kualitas makanan tersebut diakui oleh masyarakat.

Seiring dengan perkembangan ilmu kesehatan, sekarang sudah banyak

buku dan temuan penelitian yang mengulas mengenai manfaat makanan bagi

peningkatan kesehatan. Kebutuhan vitamin atau gizi dapat dipenuhi jika seseorang

mengonsumsi makanan 4 sehat 5 sempurna. Hembing telah mengembangkan

pengobatan alternatif yang bersumber dari makanan atau ramuan. Hal ini

menunjukkan bahwa memakan suatu makanan memiliki medis.

25

Bahkan-sekali lagi, kendatipun belum didukung penelitian yang

mencukupi-mengunyah permen karet, sekarang diakui sebagai salah satu pilihan

untuk olahraga wajah. Sehingga pada akhirnya kepenatan hidup dapat dikurangi.

Merujuk pada paparan tersebut, tidak salah lagi dapat dikatakan bahwa makanan

bisa menjadi sumber penyebab hadirnya sebuah penyakit. Tetapi tidak dapat

diingkari pula, bahwa makanan memiliki peran dan fungsi nyata sebagai sumber

terapi kesehatan.

Namun demikian, mengonsumsi makanan yang mengandung kandungan

gizi seimbang (misalnya 4 sehat 5 sempurna), belumlah cukup untuk membangun

individu yang sehat. Dalam penelitian terakhir, dikatakan bahwa untuk

meningkatkan kualitas kesehatan individu perlu menambahkan makanan yang 4

sehat dan 5 sempurna dengan gerak.

David Morely adalah orang pertama yang memeperkenalkan penggunaan

grafik tumbuh kembang fisik anak sebagai alat untuk memantau secara

longitudinal kecukupan gizi anak dan mulai diadopsi di Indonesia sejak tahun

1974 dengan sebutan Kartu Menuju Sehat (KMS).6

Setiap tahap tumbuh kembang anak membutuhkan asupan gizi yang

berbeda. Oleh karena itu, setiap orang tua tenaga medis perlu memerhatikan aspek

asupan gizi bagi setiap tahap tumbuh kembang anak. Untuk sekedar contoh.

Kebutuhan akan garam dapur mengandung unsur sodium dan chlor (NaCl). Unsur

sodium penting untuk mengatur keseimbangan cairan di dalam tubuh, selain

bertugas dalam transmisi saraf dan kerja otot.

Kita boleh tidak makan garam, asal ada sodium dalam menu harian.

Banyak menu harian yang menyimpan sodium dan itu sudah mencukupi

kebutuhan tubuh. Namun, karena sodium yang secara alami terkandung dalam

bahan makanan tidak berkaitan dengan chlor, tak memeberi cita rasa asin, tidak

bermakna tubuh tak memeperoleh kecukupan sodium. Walaupun tidak terasa asin,

daging sapi, sarden, keju, roti jagung, dan keripik kentang kaya unsur sodium.

Demikian pula kebanyakan menu harian orang Eskimo, Dayak, dan Indian yang

tidak asin namun tubuh tidak kekurangan sodium. Tubuh membutuhkan kurang

6 Sjahmien Moehji, lmu Gizi: Penanggulangan Gizi Buruk, jilid 2, (Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2003), hlm.9.

26

dari 7 g gram dapur sehari atau setara dengan 3.000 mg sodium. Kebanyakan

menu harian kita memberi berlipat-lipat kali lebih banyak dari itu.7

Kesimpulan pemikiran ini menekankan bahwa mengonsumsi makanan

bertujuan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan fisiologis

seseorang. Oleh karena itu, usaha menjaga keseimbangan gizi dan atau konsumsi

makanan 4 sehat 5 sempurna merupakan usaha untuk mendukung para tujuan

makanan dari sisi fisiologis.

D. THREATS (TANTANGAN)

Mengolah makanan menjadi asupan yang berguna untuk kesehatan tubuh,

diperlukan pengetahuan mendasar tentang baik buruknya ragam metode

pengolahan pada makanan. Bahan terbaik untuk sayuran dan buah adalah yang

ditanam secara organik (tanpa pestisida). Buah dan sayuran semacam ini sudah

bisa didapatkan secara mudah di beberapa pasar swalayan. Pilihlah daging yang

paling segar. Hindari daging yang sudah berwarna kebiru-biruan, apalagi yang

sudah mengeluarkan aroma sedikit busuk. Untuk pemilihan ikan, pilihlah ikan

yang paling segar, begitu juga dengan daging ayam. Walau tidak menjadi

jaminan, daging yang lebih segar bebas dari bakteri dan kuman, dengan

pengolahan yang tepat, volume bakteri dan kuman pada daging bisa dikurangi.

Setidak-tidaknya belum ada proses pembusukkan yang mengandung

kuman serta bakteri yang jauh lebih berbahaya bagi kesehatan. Disamping

pemilihan bahan makanan, satu hal yang perlu diwaspadai ialah pemilihan alat

masak. Jangan asal memilih dan menggunakan peralatan masak. Pastikan

peralatan masak yang digunakan tidak terlapisi bahan kimia. Setelah pemilihan

bahan makanan yang tepat, masih ada beberapa kiat untuk menghindari makanan

yang ada untuk dikunjungi bakteri dan kuman selama pengolahan makanan

berlangsung. Dari semua hal, yang terpenting adalah persiapan awal untuk

mengolah makanan.

Pastikan seluruh alat-alat masak yang akan digunakan haruslah bersih dan

steril.

7 Handrawan Nadesul, http.//www.suaramerdeka_com – semata-mata fakta!.htm.

27

1. Hindarilah mengolah makanan atau makan dengan tangan kotor.

2. Jangan memasak sambil bermain dengan hewan peliharaan.

3. Hindari menggunakan lap yang sudah kotor untuk membersihkan meja dan

perabotan makan.

4. Lindungi dengan baik makanan jika hendak disimpan dalam waktu yang

lama.

5. Makanan yang tersaji besar sekali terkontaminasi kotoran kuman dan bakteri

akibat hewan yang berkeliaran di sekitarnya.

Kesterilan alat-alat masak memang sangat penting dalam hal mengolah

makanan yang sehat dan bergizi lagi halal. Namun, makanan yang diolah juga

harus teruji klinis dari segi penelitian dan pengkajian ilmiah, diantaranya:

a. Melakukan penelitian dan pengkajian serta pengujian kehalalan suatu

produk melalui laboratorium.

b. Menjawab secara rutin permasalahan yang diajukan oleh perusahaan /

industri dalam pengembangan suatu produk.

c. Menetapkan standarisasi metoda pengujian laboratorium terhadap

suatu produk berkerjasama dengan laboratorium lembaga penelitian

dan Perguruan Tinggi.

Bagi umat muslim selain makanan dilihat dari segi kebersihan,juga dapat

dilihat dari segi penetapan kehalalan produk makanan tersebut.

a. Melakukan kegiatan audit (pemeriksaan) meliputi pengkajian

dokumen asal usul bahan, audit di lapangan, mengkaji hasil audit

dalam forum rapat tim ahli.

b. Mengembangkan mekanisme kontrol dalam menjamin konsistensi dan

kesinambungan produk halal dengan cara mewajibkan perusahaan

yang disertifikasi halal untuk menerapkan Sistem Jaminan Halal.

c. Melakukan pengkajian syar’iy terhadap temuan hasil audit.

d. Menetapkan fatwa kehalalan suatu produk yang dikeluarkan dalam

bentuk sertifikat halal (fatwa tertulis).

28

e. Mengembangkan standar tata cara produksi produk halal, sistem

jaminan halal, standar persetujuan lembaga sertifikasi halal dan

standar kompetensi auditor.

f. Melakukan pelatihan calon auditor halal bekerjasama dengan

Pemerintah.

g. Melakukan pelatihan auditor halal internal perusahaan baik dalam

maupun luar negeri secara berkala dalam menyusun strategi dan

teknik implementasi Sistem Jaminan Halal.

29

II. Interpretasi Data Makanan Sehat dan Halal

Kategori makan yang muncul adalah makanan yang boleh dimakan dan

makanan yang tidak boleh dimakan. Kategori tersebut berasal dari latar belakang

budaya masyarakat yang mengijinkan orang untuk memakan makanan tertentu.

Makanan yang tidak boleh dimakan berarti makanan tersebut dianggap sebagai

makanan yang tidak sepatutnya dimakan (haram) karena tidak dijinkan oleh

norma budaya yang ada dan agama.

Mengkonsumsi produk halal menurut keyakinan agama dan/atau demi

kualitas hidup dan kehidupan, merupakan hak warga negara yang dijamin

Undang-Undang Dasar 1945, sesuai falsafah Pancasila, dan merupakan ibadah.

Dengan demikian, mengkonsumsi produk halal menjadi persoalan sosial di

masyarakat sekaligus menjadi tanggung jawab negara dengan segi pemikiran

yang sama, yakni terjaminnya produk halal. Kejujuran produsen, kewaspadaan

konsumen, serta regulasi negara, merupakan kesatuan integral penegakan hukum

mengenai produk halal.

Salah satu masalah produk halal adalah mengenai sertifikasi halal yang

bertujuan melindungi masyarakat dari produk haram dan membahayakan

kesehatan. Akan tetapi kerapkali terjadi silang kepentingan dalam prakteknya,

terutama antara produsen dan konsumen. Konsumen muslim ditekankan meneliti

tentang kehalalan sebuah produk. Di antara tindakan yang dapat dilakukan adalah

dengan cara memperhatikan tanda dan registrasi halal pada kemasan produk

tersebut. Mencermati kehalalan sebuah produk memang dianjurkan meskipun di

sisi lain disadari, konsumen muslim akhir-akhir ini mulai menyadari pentingnya

aspek kehalalan baik yang terkait dengan produk makanan, minuman, obat, dan

kosmetika, dan juga terhadap produk hasil proses kimia biologis dan rekayasa

genetik. Perkembangan jaman dengan segala piranti pendukungnya tampaknya

menjadikan masyarakat bersikap demikian.

Kehati-hatian konsumen dalam memilih produk ini tetap penting. Betapa

tidak, berdasarkan fakta mengenai peredaran makanan dan minuman di Indonesia,

sertifikasi serta penandaan kehalalan suatu produk, baru menjangkau sebagian

kecil produk di Indonesia.

30

Selain persoalan-persoalan tersebut, muncul beberapa fenomena sosial

yang unik di masyarakat. Fenomena ini, masih terakit dengan perilaku manusia

dalam memperlakukan makanan. Pada satu sisi, setiap orang tua atau medis harus

memerhatikan kebutuhan asupan makanan sesuai dengan siklus hidup individu

tersebut.

31

DAFTAR PUSTAKA

Abi Al-Fida Ismail bin Katsir. 1970. Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim. Bairut: Dar Al-Fikri.

Abu Hayyan, t.t. Tafsir al-Bahr al-Muhith. Kairo: Maktbah al-Nashr al-Jaridah.

Ahmad, Abdullah t.t. Tafsir Al-Qur’an al-Jalil, Haqa’iq at-Ta’wil. Beirut: Maktabah al-

Amawiyah.

Al Miliji Athif, Dr. 2008. Keindahan Makna Al-Qur’an. Jakarta: Cendekia.

Anton Apriyanto. Pemenuhan Kehalalan, Produk Pangan Hasil Bioteknologi: Suatu

Tantangan. Institut Pertanian Bogor., Tahun ....

Bertens, K. 2001. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

E.Harrison Lawrence dan P. Huntington Samuel. 2006. Kebangkkitan Peran budaya.

Cetakan Pertama. Jakarta: LP3ES.

Gadjahnata, K.H.O. 1997. Biologi Medis dalam Ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam Mukjizat

Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang IPTEK. Jakarta: GIP.

Herimanto, Drs., M.Pd., M.Si dan Winarno, S.Pd., M.Si. 2013. Ilmu Sosial & Budaya

Dasar. Cetakan ketujuh. Jakarta: Bumi Aksara.

Hj. Aisjah Girindra, Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal, Pustaka Jurnal Halal,

2008.

Kalangi, Nico. 1994. Kebudayaan dan Kesehatan, Jakarta: Megapoin

MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8, NO. 2, AGUSTUS 2004: 65-70

Meliono-Budianto, Irmayanti. 2002. Realitas dan Objektivitas, Jakarta: Wedatama Widya

Sastra

Muthahhari, Murtadho. 1992. Masyarakat dan Sejarah. Bandung: Mizan.

Rigth, Norman W. 2000. Konseling Krisis dan Stress. Jakarta: Gandum Mas.

Sajogyo, Savitri. 2005. Rahasia Sehat dibalik Makanan. Jakarta: Intisari.

Sudarmon Momon. 2008. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.

Sumardi Mulyanto & Evers Hans-Dieter, ed. 1982. Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok.

Cetakan Pertama. Jakarta: Rajawali.

Suratman, SH., M.Hum, Munir MBM Drs., MH., Salamah Umi, M.Pd., 2013. Ilmu Sosial

& Budaya Dasar. Cetakan ketiga. Malang: Intermedia.

Syarjaya H.E. Syibli. 2008. Tafsir Ayat-ayat Ahkam. Jakarta: Rajawali.

32