kerangka kebijakan fiskal untuk pembangunan ramah

103

Upload: ngongoc

Post on 17-Jan-2017

242 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untukPembangunan Ramah Lingkungan padaSektor Berbasis Lahan di Indonesia

Makalah Akhir

Februari, 2015

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia

Kerangka Kebijakan Fiskal untukPembangunan Ramah Lingkungan padaSektor Berbasis Lahan di Indonesia

Makalah Akhir

Februari, 2015

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia

Kerangka Kebijakan Fiskal untukPembangunan Ramah Lingkungan padaSektor Berbasis Lahan di Indonesia

Makalah Akhir

Februari, 2015

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia

Kerangka Kebijakan Fiskal untukPembangunan Ramah Lingkungan padaSektor Berbasis Lahan di Indonesia

Makalah Akhir

Februari, 2015

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia

Page 2: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia Laporan Akhir Februari 2015 Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia

Page 3: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia i

Prakata

Laporan ini menyajikan hasil kajian “Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan di Sektor Berbasis Lahan” (KKF-PRLSBL) berdasarkan studi pustaka, hasil wawancara, dan diskusi dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Bappenas dan dengan beberapa pemangku kepentingan lainnya yang terkait dengan sektor berbasis lahan. Dua kunjungan lapangan ke Provinsi Jambi dan D.I. Yogyakarta telah dilakukan, sekaligus melaksanakan diskusi grup terfokus (FGD) dan kunjungan ke Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Studi pustaka juga telah dilakukan, meliputi lebih dari 200 laporan dan hasil kajian. Kajian ini memberikan perhatian khusus pada tiga bidang: a) hambatan kelembagaan untuk keberhasilan kebijakan; b) implikasi anggaran; dan c) dampak terhadap PDB dan emisi gas rumah kaca sehingga dapat dipergunakan sebagai bahan masukan untuk konsultasi para pemangku kepentingan di masing-masing bidang. Laporan ini dibuat berdasarkan hasil temuan selama kajian. Temuan-temuan kunci dibahas dalam konsultasi dengan para pihak, antara lain Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Bappenas, dan kelompok pemangku kepentingan lain yang lebih luas. Kajian ini diperkuat berdasarkan umpan balik dari konsultasi para pihak. KKF-PRLSBL mengidentifikasi kebijakan di bidang kehutanan dan pertanian yang diharapkan dapat memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan berkelanjutan, yang menunjukkan seberapa lama pemanfaatan sumber daya alam dapat mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah tantangan perubahan iklim. Kajian ini menunjukkan potensi dampak dari kebijakan penggunaan lahan terhadap keseimbangan pasokan pangan dan emisi gas rumah kaca. Kerangka kebijakan ini diharapkan dapat memberikan orientasi tentang arah perubahan anggaran dan memberikan masukan terkait beberapa target yang diharapkan dapat dicapai dalam kebijakan penggunaan lahan untuk pembangunan berkelanjutan. Semoga hasil kajian ini bermanfaat bagi para pihak, khususnya yang terkait dalam penyusunan kerangka kebijakan fiskal untuk pembangunan ramah lingkungan pada sektor-sektor berbasis lahan. Laporan ini disiapkan oleh tim yang terdiri dari Kit Nicholson, Dodik Rochmat dan Federica Chiappe. Laporan ini dapat berhasil atas dukungan Program Rendah Karbon Pemerintah Inggris kepada Kementerian Keuangan oleh Bp. Ismid Hadad. Kerjasama yang baik dengan Pusat Perubahan Iklim dan Kebijakan Pembiayaan Multilateral (PKPPIM) di Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan dibawah kepemimpinan Kepala Pusat Dr. Syurkani Ishak Kasim dengan pengawasan manajemen oleh Bp. Suharto Haryo Suwakhyo. Mitra utama di PKPPIM adalah Bp. Aditya Hakim dengan dukungan dari Ibu Dwi Utari and Dr. Joko Tri Haryanto.

Disclaimer Issue Paper ini telah disiapkan melalui Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan Republik Indonesia untuk tujuan pengembangan kebijakan dan pembahasan/ diskusi. Pandangan yang diungkapkan dalam Laporan Akhir ini adalah dari penulis sendiri dan sama sekali tidak harus ditafsirkan sebagai cermin pandangan dari Kementerian Keuangan atau Pemerintah Indonesia"

Page 4: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia ii

Pertanyaan Mengenai Makalah

Pertanyaan mengenai Laporan Akhir ini atau laporan lainnya dari program LCS dapat ditujukan kepada [email protected].

Page 5: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia iii

DAFTAR ISI

Prakata ........................................................................................................................ i Daftar Singkatan ......................................................................................................... vi Daftar Istilah .............................................................................................................. viii Ringkasan Eksekutif ................................................................................................... ix

1 Pendahuluan ........................................................................................................... 1 1.1 Latar belakang ............................................................................................................ 1 1.2 Tujuan dan Ruang Lingkup KKF-PRLSBL .................................................................. 1 1.3 Metodologi dan Struktur Laporan ................................................................................ 3

2. Situasi Saat Ini ....................................................................................................... 5 2.1 Pembangunan Ekonomi dan Situasi Fiskal ................................................................. 5 2.2 Mitigasi ....................................................................................................................... 6 2.3 Kerentanan ................................................................................................................. 7 2.4 Lingkungan ................................................................................................................. 9

3. Kebijakan-Kebijakan yang Berlaku dan Belanja Saat Ini ....................................... 10 3.1 Telaah Kebijakan Saat Ini ......................................................................................... 10 3.2 Pendapatan dan Belanja Saat Ini ............................................................................. 13

4 Komponen Kebijakan Kunci KKF-PRLSBL ........................................................... 18 4.1 Kehutanan ................................................................................................................ 18

4.1.1 Pengendalian deforestasi: perizinan dan penerimaan kehutanan ..................... 21 4.1.2 Pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Pengelolaan

Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) ................................................................ 23 4.1.3 Perlindungan dan Konservasi Hutan.................................................................. 28 4.1.4 Rehabilitasi Lahan Hutan Terdegradasi ............................................................. 30 4.1.5 Rehabilitasi dan Pemanfaatan Lahan Gambut Berkelanjutan ............................ 36 4.1.6 Imbal Jasa Ekosistem (IJE) .......................................................................... ….38

4.2 Pertanian .................................................................................................................. 40 4.2.1 Penggunaan lahan terdegradasi untuk pertanian, termasuk Kebun Sawit ......... 41 4.2.2 Pertanian Cerdas Iklim ..................................................................................... 44 4.2.3 Infrastruktur Irigasi yang Tahan Perubahan Iklim ............................................... 47 4.2.4 Subsidi Pupuk dan Pupuk Organik .................................................................... 48 4.2.5 Asuransi Pertanian ............................................................................................ 54 4.2.6 Biofuels ............................................................................................................. 56

5. Konsistensi dan Tantangan KKF-PRLSBL ............................................................ 60 5.1 Keseimbangan, Konsistensi dan Sinergi Kebijakan-Kebijakan Kunci ........................ 60 5.2 Tantangan Kebijakan ................................................................................................ 61

6 Dampak Kebijakan KKF-PRLSBL.......................................................................... 63 6.1 Implikasi untuk Penggunaan Lahan .......................................................................... 63 6.2 Dampak Kebijakan Terhadap Pertumbuhan PDB dan Ketahanan Pangan ............... 64 6.3 Dampak terhadap belanja dan pendapatan .............................................................. 66 6.4 Dampak terhadap Emisi GRK ................................................................................... 71

7 Implementasi Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan

di Sektor Berbasis Lahan (KKF-PRLSBL) .............................................................. 73 7.1 Instrumen ................................................................................................................. 73 7.2 Perubahan Perencanaan dan Penganggaran di Kementerian Pertanian,

sKementerian Kehutanan, Bappenas dan Kementerian Keuangan .......................... 73

Page 6: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia iv

7.3 Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi ......................................................................... 74 7.4 Langkah Tindak Lanjut ............................................................................................. 75

Referensi .................................................................................................................. 76

Lampiran 1 Pengeluaran Kegiatan Kehutanan dan Pertanian Ramah Lingkungan ........... 80 Lampiran 2 Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) .................................................. 83 Lampiran 3 Ringkasan Kesenjangan (Gap) Kebijakan Kehutanan .................................. 84

Page 7: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia v

Daftar Tabel Tabel X1 Ringkasan komponen kunci kebijakan prioritas berdasarkan tingkatan dampak

terhadap anggaran ................................................................................................... xv Table X2 Belanja untuk kegiatan-kegiatan prioritas kunci ...................................................... xvi Tabel 1 Target Penurunan Emisi Kehutanan dan Pertanian Berdasarkan RAN GRK ............. 6 Tabel 2 Kerentanan terhadap Risiko Dampak Perubahan Iklim ............................................. 8 Tabel 3 Daftar Kebijakan Ramah Lingkungan untuk Sektor Berbasis Lahan dalam

Kebijakan Saat ini ................................................................................................... 11 Tabel 4 Anggaran Pendapatan dan Belanja KKF-PRLSBL Priorities (2011-2014, Rp miliar) 14 Tabel 5 Kegiatan-kegiatan DAK Kehutanan ......................................................................... 15 Table 6 Klasifikasi dan luas kawasan hutan (juta hektar, 2012) ........................................... 19 Tabel 7 Nilai Kini Bersih dari Biaya dan Pendapatan Hutan Tanaman ................................. 34 Tabel 8 Skenario Program Reboisasi Lahan Terdegradasi .................................................. 35 Tabel 9 Deskripsi Biaya Manfaat Pengusahaan Beberapa Kategori Lahan Terdegradasi

(Juta Rupiah/ha)...................................................................................................... 43 Tabel 10 Sistem dan Jumlah Subsidi Input Pertanian pada Beberapa Negara di Asia ........... 50 Tabel 11 Alokasi Sumberdaya dan Dampak pada Prioritas KKF-PRLSBL ............................. 63 Tabel 12 Implikasi Anggaran dari Kebijakan Prioritas KKF-PRLSBL (Rp Miliar) ..................... 69 Tabel 13 Indikator Monitoring untuk Prioritas KKF-PRLSBL ................................................... 75

Daftar Gambar Gambar 1 Lokasi lahan-lahan terdegradasi di Indonesia .......................................................... 30 Gambar 2 Nilai kini bersih manfaat dari opsi mitigasi lahan gambut (Rp triliun) ........................ 37 Gambar 3 Kompensasi minimal untuk efektivitas mekanisme IJE (PES) .................................. 40 Gambar 4 Tingkat subsidi untuk pupuk tahun 2008 sampai dengan 2012. ............................... 49 Gambar 5 Implikasi penggunaan lahan .................................................................................... 64 Gambar 6 Kerangka waktu dampak bersih terhadap anggaran ................................................ 71 Gambar 7 Dampak terhadap emisi GRK .................................................................................. 72

Daftar Kotak Kotak 1 Harga dan nilai ekonomi karbon ................................................................................ 7 Kotak 2 PDB Hijau dan Pendekatan Sisnerling ...................................................................... 9 Kotak 3 Dana Reboisasi (DR) .............................................................................................. 16 Kotak 4 Beragam Manfaat Hutan ......................................................................................... 20 Kotak 5 REDD+.................................................................................................................... 25 Kotak 6 Studi Kasus Wanagama .......................................................................................... 33 Kotak 7 Tipe Hutan Tanaman............................................................................................... 35 Kotak 8 Pengalaman Indonesia dengan Imbal Jasa Ekosistem (IJE) ................................... 39 Kotak 9 Lahan yang Diperlukan berdasarkan Perhitungan Pencapaian Target

Kementerian Pertanian............................................................................................ 41 Kotak 10 Pengurangan Emisi dari Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit Rakyat ............... 42

Page 8: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia vi

Daftar Singkatan

jt juta (1.000.000) tr triliun (1,000,000,000,000) ha hektar Rp Rupiah lt liter t ton tCO2e ton carbon dioxide equivalent tDM tons Dry Matter (ton material kering) BAU Business As Usual

BAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BKF Badan Kebijakan Fiskal BPS Badan Pusat Statistik CIFOR Centre for International Forestry Research CSO Civil Society Organizations

DAK Dana Alokasi Khusus DAU Dana Alokasi Umum DFID UK Department for International Development

DNPI Dewan Nasional Perubahan Iklim DR Dana Reboisasi FORDA Forestry Research & Development Agency, Kementerian Kehutanan FPA Fiscal Policy Agency, Kementerian Keuangan GDP Gross Domestic Product

GERHAN Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan GRK Gas Rumah Kaca GIZ Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (Badan Kerjasama

Internasional Jerman) HHBK Hasil Hutan Bukan Kayu ICCTF Indonesia Climate Change Trust Fund IPB Institut Pertanian Bogor IDR Indonesian Rupiah IGIF Indonesia Green Investment Fund JICA Japanese International Cooperation Agency

Kem. ESDM Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Kementan Kementerian Pertanian KLH Kementerian Lingkungan Hidup Kemenkeu Kementerian Keuangan Kemenhut Kementerian Kehutanan Kemendagri Kementerian Dalam negeri Kem. PU Kementerian Pekerjaan Umum KPH Kesatuan Pengelolaan Hutan LULUCF Land Use, Land Use Change and Forestry MAC Marginal Abatement Cost MACC Marginal Abatement Cost Curve MFF Mitigation Fiscal Framework

MP3EI Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 MP3KI Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengentasan Kemiskinan 2011-2025 MTEF Medium Term Expenditure Framework NBSAP National Biodiversity Strategy & Action Plan NPV Net Present Value NTFP Non Timber Forest Products

PEP Pemantauan Evaluasi dan Pelaporan

PDB Produk Domestik Bruto PES/IJE Payment for Ecosystem Services/Imbal Jasa Ekosistem

Page 9: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia vii

PFM Public Financial Management

PIP Pusat Investasi Pemerintah PKPPIM Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral PLN Perusahaan Listrik Negara PPP Public-Private Partnership RAD-GRK Rencana Aksi Daerah untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca RAN-API Rencana Aksi Nasional untuk Adaptasi Perubahan Iklim RAN-GRK Rencana Aksi Nasional untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca REDD Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation (penurunan

emisi dari deforestasi dan degradasi hutan) RPJM Rencana Kerja Pembangunan Jangka Menengah RPJP Rencana Kerja Pembangunan Jangka Panjang RKA-KL Rencana Kerja & Anggaran – Kementerian/Lembaga RKP Rencana Kerja Pemerintah RKPD Rencana Kerja Pemerintah Daerah

SILK Sistem Informasi Legalitas Kayu SNC Second National Communication to UNFCCC

SVLK Sistem Verifikasi Legalitas Kay

UKP4 Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan & Pengendalian Pembangunan UNDP United Nations Development Programme UNFCCC United Nations Framework Convention on Climate Change USAID US Agency for International Development

Page 10: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia viii

Daftar Istilah

Adaptasi. Aksi atau tindakan yang membantu peningkatan daya tahan untuk mengurangi

dampak perubahan iklim.

Ketahanan Iklim. Perubahan desain dari suatu tindakan untuk membuatnya lebih tahan

terhadap dampak perubahan iklim dan seringkali melibatkan penguatan infrastruktur untuk

mengurangi kerusakan akibat bencana.

Deforestasi. Deforestasi adalah perubahan kondisi dari hutan menjadi non hutan. Oleh karena

itu, istilah deforestasi melekat pada definisi legal hutan. Setiap negara atau lembaga memiliki

definisi sendiri tentang hutan. Di Indonesia, hutan didefinisikan sebagai lahan dengan luas lebih

dari 0,25 hektar yang ditumbuhi pepohonan dengan tinggi lebih dari 5 meter dan tutupan kanopi

lebih dari 30 persen (Permenhut 14/2004). Dengan demikian, deforestasi terjadi hanya jika hutan

telah rusak di bawah ambang batas definisi hutan, jika tidak maka kita menyebutnya sebagai

degradasi hutan. Namun demikian, dalam kajian ini istilah "deforestasi" tidak mengacu definisi

legal, tetapi mencakup semua kegiatan yang tidak mengikuti pengelolaan hutan lestari dan/atau

konversi hutan.

Diskonto. Penambahan biaya dan manfaat di masa yang akan datang dengan mengurangi nilai-

nilai di tahun-tahun mendatang dengan faktor diskon.

PDB hijau. Perubahan dari Produk Domestik Bruto (PDB) konvensional dengan memasukkan

penaksiran nilai deplisi dan kerugian akibat degradasi sumber daya alam dan sumber daya

manusia.

Mitigasi. Tindakan yang mengurangi emisi gas rumah kaca.

Harga Karbon. Harga karbon adalah nilai yang diberikan oleh perusahaan swasta maupun

pemerintah terhadap penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam satuan tertentu. Dari

perspektif perusahaan swasta, harga karbon adalah harga saat ini pada pasar karbon dunia,

yaitu antara USD 1-5/tCO2e pada akhir 2014. Dari perspektif kebijakan pemerintah, yang

diarahkan oleh pertimbangan rasional untuk kesejahteraan penduduk, harga karbon harus

ditetapkan pada biaya sosial karbon, yang merupakan total kerusakan yang disebabkan oleh

perubahan iklim dibagi dengan emisi GRK total, dinyatakan sebagai USD/tCO2 (diperkirakan

oleh Laporan Stern menjadi sekitar USD 50/tCO2e untuk harga tahun 2014). Beberapa analis

kebijakan memilih untuk menggunakan nilai pasar karbon sebelum runtuhnya mekanisme

perdagangan karbon Eropa, yaitu sekitar USD 30/tCO2e. Perlu digarisbawahi, penggunaan

harga karbon berdasarkan nilai ekonominya lebih mencerminkan nilai karbon secara menyeluruh

(ekologi, sosial, ekonomi) dan oleh karena itu, pendekatan ini dipandang sesuai untuk evaluasi

prioritas pembangunan. Namun demikian, pendekatan harga karbon untuk perhitungan

penerimaan dan belanja negara, serta transfer fiskal, disarankan menggunakan harga pasar.

Berkelanjutan. Kata ini mulai digunakan secara luas setelah konferensi bumi di Rio de Jeneiro

pada tahun 1992 dan digunakan untuk menekankan pentingnya memperluas perspektif

perencanaan pembangunan konvensional untuk menyertakan manfaat ekonomi jangka panjang,

keadilan sosial, dan lingkungan. Dalam kerangka ini diasumsikan bahwa istilah berkelanjutan

juga memerlukan penilaian terhadap pentingnya perubahan iklim.

Page 11: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia ix

Ringkasan Eksekutif

Kerangka Strategis. Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan di

Sektor Berbasis Lahan (KKF-PRLSBL) ini disusun berdasarkan kebijakan-kebijakan strategis

nasional yang berlaku saat ini dan laporan-laporan hasil kajian yang telah dilaksanakan

sebelumnya.

Aksi-aksi pada KKF-PRLSBL meliputi jangka waktu tahun 2015 sampai dengan 2025, sejalan

dengan Rencana Jangka Panjang Pembangunan Nasional (RPJP). Aksi ini diusulkan dengan

melihat konteks kerusakan jangka panjang dari perubahan iklim dan degradasi sumber daya

alam (SDA).

Setelah menyelesaikan tahapan pembangunan jangka panjang pada tahun 2025, Indonesia

diperkirakan akan menjadi negara berpenghasilan tinggi (High Income Country/HIC) pada

tahun 20331. Hal ini memerlukan prasyarat pertumbuhan PDB secara kontinu sebesar 7% per

tahun. Sektor-sektor berbasis lahan, khususnya sektor pertanian dan kehutanan, tidak dapat

dibebani dengan target pertumbuhan yang tinggi. Pertumbuhan PDB di kedua sektor ini

diperkirakan hanya sekitar 5% per-tahun. Hal ini penting digarisbawahi karena dalam konteks

pembangunan ramah lingkungan, pertumbuhan PDB pertanian dan kehutanan Indonesia ke

depan diharapkan berlangsung tanpa melakukan deforestasi dan sekecil mungkin

menimbulkan kerusakan lingkungan. Namun demikian, pertumbuhan ini hanya dapat dicapai

dengan menghindari risiko kerugian akibat dampak perubahan iklim dan degradasi SDA yang

diprediksi akan terjadi sampai dengan tahun 2050.

Indonesia diperkirakan akan mampu mencapai dan mempertahankan swasembada beras,

kecuali jika menghadapi situasi cuaca ekstrem seperti kekeringan atau banjir. Untuk

mewujudkan swasembada beras nasional diperlukan peningkatan produksi sebesar 21%

pada tahun 2025.

Sesuai dengan RAN-GRK, emisi gas rumah kaca Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan

sebesar 2.183 mtCO2e per-tahun, dimana pada saat itu rasio emisi karbon per PDB akan

mencapai 1,45 kg CO2e/USD PDB. Rasio ini diduga akan meningkat menjadi sekitar 3,0 kg

CO2e/USD PDB pada tahun 2033, setara dengan rata-rata rasio emisi/PDB negara-negara

industri maju. Pada saat itu, kontribusi sektor-sektor berbasis lahan terhadap total emisi

nasional akan menurun, dari 50% pada saat ini, menjadi kurang dari 20% pada tahun 2033,

sebagaimana umumnya negara-negara industri maju. Energi dari biofuel diperkirakan akan

meningkat menjadi 5% dari total konsumsi energi nasional.

Profil pendapatan dan belanja sektor pertanian dan kehutanan saat ini. Kebijakan fiskal

untuk pembangunan sektor pertanian dan kehutanan ramah lingkungan tercermin dari alokasi

anggaran sekitar Rp 9,0 triliun dari APBN 2014, terutama untuk membiayai kegiatan-kegiatan:

perlindungan hutan dan rehabilitasi lahan gambut (Rp 4,5 triliun); adaptasi tanaman untuk

antisipasi perubahan iklim (Rp 2,4 triliun); pengembangan tanaman perkebunan (Rp 0,7 triliun);

dan pemeliharaan irigasi (Rp 1,4 triliun). Selain itu, terdapat Rp 3,7 triliun pengeluaran di bawah

skema DAK (Rp 2,5 triliun untuk pertanian, Rp 0,6 triliun untuk kehutanan dan Rp 0,6 triliun untuk

infrastruktur irigasi) dan Rp 2,6 triliun untuk dana bagi hasil (DBH) kehutanan yang meliputi Rp

1 Berdasarkan simulasi hasil studi KKF-PRLSBL.

Page 12: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia x

1,4 triliun Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Rp 0,1 triliun untuk Iuran Izin Usaha Pemanfaatan

Hutan (IIUPH) dan Rp 1,0 triliun Dana Reboisasi (DR).

Rencana pendapatan dari sektor kehutanan dalam tahun anggaran 2014 sebesar Rp 5,0 triliun,

termasuk: Rp 2,4 triliun dari DBH DR; Rp 1,8 triliun dari PSDH; Rp 0,3 triliun dari IIUPH; dan Rp

0,6 triliun dari izin penggunaan atau izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Rencana

pendapatan dari sektor pertanian masih terbatas yaitu kurang dari Rp 30 miliar yang berasal dari

penjualan tanaman pangan dan hasil ternak.

Kebijakan. Kebijakan-kebijakan fiskal kunci untuk mendukung sektor-sektor berbasis lahan

yang berkelanjutan adalah sebagai berikut:

Penurunan laju deforestasi. Kebijakan moratorium pemberian izin pada hutan gambut saat ini

akan terus diberlakukan. Penebangan liar merupakan salah satu dari dua sumber emisi gas

rumah kaca yang paling penting (bersama dengan kerusakan lahan gambut) dan juga

menghasilkan kepunahan keanekaragaman hayati. Hal ini akan dikontrol dengan peningkatan

koordinasi dalam penegakan hukum izin-izin kehutanan antara pemerintah pusat dan daerah.

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM).

KPH dan PHBM adalah kebijakan utama pemerintah untuk meningkatkan perlindungan dan

pemanfaatan hutan ramah lingkungan melalui pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Paket

standar pembiayaan untuk penguatan kelembagaan 80 KPH di hutan produksi kurang lebih

Rp 9,25 miliar per KPH, sehingga secara keseluruhan diperlukan anggaran sebesar Rp 740

miliar. Untuk memperluas program penguatan kelembagaan terhadap 350 KPH, termasuk

KPH di hutan lindung dan hutan konservasi, diperlukan tambahan anggaran sebesar Rp 2,5

triliun. Biaya ini dimaksudkan sebagai investasi bagi KPH selama beberapa tahun awal

beroperasi, namun sulit memprediksi waktu yang dibutuhkan KPH untuk mencapai

kemandirian dan keberlanjutan finansial. Jika dalam pelaksanaannya nanti KPH diberikan

kewenangan untuk mengontrol atau bekerjasama dengan perusahaan konsesi hutan, maka

akan ada beberapa potensi penurunan pendapatan dari iuran izin usaha pemanfaatan hutan

(IIUPH). Mengingat keterbatasan aparat, KPH juga perlu bekerjasama dengan masyarakat

untuk memastikan seluruh kawasan hutan dapat terkontrol dan terkelola dengan baik.

Dengan demikian, diharapkan nantinya pendapatan dari sektor kehutanan dapat semakin

banyak dinikmati oleh masyarakat dan kontribusi PDB kehutanan juga akan meningkat.

Perlindungan hutan. Perlindungan hutan merupakan salah satu tugas utama Kementerian

Kehutanan dengan alokasi anggaran yang cukup besar untuk penegakan hukum di kawasan

hutan lindung dan konservasi. Namun demikian, pada saat ini masih terdapat beberapa

ambivalensi kebijakan yang terkait dengan kewenangan dan tanggungjawab pemberian iuran

izin usaha pemanfaatan hutan (kawasan, hasil hutan, dan jasa lingkungan) dan pendapatan

dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) kehutanan dari kawasan hutan lindung antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Dana untuk

perlindungan hutan memang sangat terbatas dibandingkan dengan luas kawasan hutan. Oleh

karena, perlu didorong penguatan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan kolaborasi dengan

masyarakat untuk memberikan perlindungan hutan secara optimal.

Rehabilitasi lahan kritis. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan ada sekitar 27 juta ha

lahan kritis dan sangat kritis yang saat ini tidak dapat dipergunakan secara produktif. Lahan-

lahan ini rawan erosi dan berpotensi memicu terjadinya aliran permukaan (run-off) yang besar

sehingga memicu terjadinya banjir. Kegiatan rehabilitasi lahan kritis ini menelan biaya hingga

Page 13: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia xi

Rp 10 juta/ha/tahun. Di masa mendatang biaya untuk rehabilitasi lahan diharapkan dapat

dikompensasi dari keuntungan yang diperoleh dari penjualan kayu yang ditanam dan atau dari

dana penyimpanan dan penyerapan karbon. Secara teknis, hal ini tidak mudah diwujudkan

mengingat produktivitas lahan kritis yang rendah, memerlukan biaya penyiapan dan

pengolahan lahan yang tinggi, serta belum adanya regulasi yang jelas terkait pemanfaatan

kayu hasil rehabilitasi. Produktivitas lahan biasanya rendah dan biaya rehabilitasinya lebih

tinggi. Program yang diusulkan melibatkan tiga opsi kebijakan untuk empat kategori lahan

kritis: sangat rentan; sebagian terdegradasi; sedikit terdegradasi; dan pasca tambang.

Masing-masing membutuhkan kombinasi dukungan teknis, insentif dan peraturan yang

berbeda. Skenario yang diusulkan akan membutuhkan biaya kurang lebih Rp 1,6 triliun per

tahun untuk menghutankan kembali sekitar 0,5 juta ha lahan per tahun.

Rehabilitasi lahan gambut. Secara teoritis kebijakan rehabilitasi lahan gambut ini dapat

mengurangi emisi gas rumah kaca, lebih dari semua kebijakan lainnya. Namun demikian

hingga saat ini belum ada teknik untuk memulihkan lahan gambut yang terpercaya dan akan

memerlukan waktu cukup lama untuk memperoleh hasil yang diharapkan, sehingga secara

umum kebijakan ini diduga hanya akan memberikan manfaat ekonomi yang rendah.

Imbal jasa eksosistem (IJE). IJE memberikan kesempatan bagi pemerintah, sektor swasta

dan masyarakat untuk memberikan kompensasi satu sama lain atas nilai manfaat yang

dihasilkan ekosistem (misalnya tata air, keanekaragaman hayati, dan pengelolaan tanah).

Pelaksanaan mekanisme reward tidak mudah, tetapi skema ini memiliki potensi dan telah

berhasil diwujudkan di beberapa tempat di Indonesia (misalnya: IJE untuk pelanggan PDAM

di Provinsi NTB, serta Insentif Hulu Hilir antara Kab. Kuningan dan Kota Cirebon).

Pemanfaatan lahan terdegradasi untuk pertanian. Budidaya pertanian di lahan terdegradasi

secara teknis memerlukan tambahan biaya investasi untuk menstabilkan struktur tanah dan

pasokan nutrisi, terutama dalam kurun waktu 5 tahun pertama. Selama periode ini, hasil

pertanian juga masih rendah. Untuk membangun perkebunan kelapa sawit pada lahan

terdegradasi, misalnya, rata-rata diperlukan tambahan biaya input sekitar Rp 3,5 juta/ha.

Dalam rangka optimasi penggunaan lahan terdegradasi untuk pertanian, diperlukan strategi

insentif fiskal yang tepat sehingga dapat mendukung keberhasilan budidaya tanaman yang

sesuai dan bernilai ekonomi tinggi, yang pada akhirnya berdampak positif bagi kesejahteraan

masyarakat dan mampu meningkatkan penerimaan pajak bagi negara.

Pertanian cerdas iklim (climate smart agriculture/CSA). Ada berbagai teknik pertanian yang

adaptif terhadap perubahan iklim (CSA), yang seringkali juga disebut sebagai pertanian

cerdas iklim atau pertanian ramah iklim. Pada prinsipnya teknik ini bertujuan untuk

meningkatkan daya tahan tanaman terhadap perubahan iklim dan sekaligus juga dapat

mengurangi emisi. Teknik ini mencakup: pertanian berbasis konservasi, sistem pemanenan

air (termasuk air hujan) atau penggunaan air berkelanjutan, dan pengelolaan hama terpadu.

Teknik CSA ini memiliki risiko investasi baik dari segi waktu maupun dana, karena ada jeda

waktu dalam mengembangkan sumberdaya untuk menguasai dan menerapkannya. Pada

saat ini skema pemberian insentif kepada petani untuk mengadopsi teknik CSA masih terbatas

pada proyek-proyek di daerah tertentu saja. Implementasi teknik CSA mempersyaratkan

kerjasama yang kuat antar petani. Jika ada kerjasama yang baik antar petani, teknik CSA

akan sangat efektif dalam membantu mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan

diperkirakan mampu menghasilkan tambahan 2 juta ton beras per tahun pada tahun 2024.

Page 14: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia xii

Sistem irigasi yang adaptif terhadap iklim. Pengembangan sistem irigasi yang adaptif terhadap

iklim adalah salah satu cara yang paling efektif untuk meningkatkan ketahanan pertanian di

Indonesia yang harus menghadapi tingginya variasi curah hujan sepanjang tahun. Dukungan

fiskal diperlukan untuk meningkatkan sistem irigasi pada areal seluas 7,2 sampai 8,0 juta

hektar dalam kurun waktu 10 tahun. Untuk menjamin terlaksananya program pemeliharaan

sistem irigasi secara efektif diperkirakan perlu peningkatan anggaran sebesar Rp 0,6 triliun

sampai Rp 1,1 triliun. Efektivitas dari sistem irigasi yang dibangun sangat tergantung pada

kapasitas kelembagaan dan keuangan kelompok petani pemakai air, untuk memastikan

bahwa infrastruktur tersier dipertahankan. Kebijakan ini diperkirakan dapat menghasilkan

tambahan 6 juta ton produksi beras per-tahun pada tahun 2024 dan merupakan salah satu

faktor penentu untuk mewujudkan PDB pertanian tumbuh sebesar 5%.

Pupuk. Anggaran 2014 meliputi alokasi Rp 21 triliun untuk subsidi pupuk, sehingga harga

pupuk urea untuk pertanian menjadi sekitar setengah dari harga pasar. Hal ini mengakibatkan

tingginya penggunaan pupuk urea (over dosis, pemborosan pupuk) oleh petani, dibandingkan

dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan

anggaran subsidi, perbaikan sistem atas penerima pupuk bersubsidi mutlak diperlukan. Dalam

hal ini, setengah dari subsidi pupuk akan beralih ke dalam bentuk dukungan pertanian yang

lain, termasuk dukungan untuk pupuk organik dan teknik pertanian berkelanjutan lainnya yang

mendukung kesuburan tanah, termasuk didalamnya program pertanian cerdas iklim (CSA).

Hal ini diperkirakan akan berakibat pada penurunan produksi beras sebesar 2 juta ton, tetapi

sumberdaya yang dialihkan akan menghemat anggaran yang cukup untuk mendanai seluruh

program fiskal ramah lingkungan sektor-sektor berbasis lahan, khususnya pertanian.

Asuransi Pertanian. Asuransi pertanian memainkan peran penting dalam strategi ketahanan

pangan di negara-negara maju. Di Indonesia, uji coba Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) telah

dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian pada tahun 2012 yang mencakup areal seluas

3.000 hektare di tiga provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Selatan dengan

luas masing-masing 1.000 hektar. Menurut Menteri Pertanian, rencananya nanti premi

asuransi akan dikenakan sebesar Rp 180 ribu per hektar lahan. Kementerian Pertanian

memperkirakan untuk membiayai premi program asuransi pertanian untuk lahan seluas 13,1

juta hektar diperlukan anggaran sebesar Rp 1,9 triliun sampai dengan 2,3 triliun untuk lahan

pertanian secara keseluruhan. Namun demikian, sumber dana untuk membayar premi

asuransi tersebut sampai saat ini belum juga ditemukan. 2 Kementerian Pertanian

mengharapkan program asuransi pertanian dapat terwujud pada 2015 dan telah mengusulkan

anggaran sebesar Rp 150 miliar untuk bantuan subsidi premi asuransi pertanian bagi petani

di beberapa lokasi percontohan, setelah pada tahun 2014 tertunda pelaksanaannya.3

Bahan bakar nabati (biofuels). Pada tingkat harga BBM saat ini, diperlukan subsidi sebesar

Rp 3.000/liter untuk memungkinkan biodiesel bersaing dengan solar bersubsidi dari bahan

bakar fosil. Jika subsidi bahan bakar fosil dikurangi, subsidi biodiesel juga dapat dikurangi.

Hal ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari terganggunya industri yang relatif

masih baru (infant industry). Jika diberikan subsidi riil untuk biodiesel sebesar Rp 1.000

2 Bahan paparan Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) pada acara Diskusi Reformasi Kebijakan Subsidi Pupuk di IPB ICC, 18 September 2014; Tempo, 15.09.2014, Kontan, 28.09.2014 3 Kemenkominfo http://infopublik.kominfo.go.id/read/62512/kementan-ajukan-anggaran-asuransi-pertanian.html (13.12.2013), diskusi dengan Kepala Badan Litbang Kementerian Pertanian 15.09.2014 dan Direktur Jenderal PSP Kementerian Pertanian 18.09.2014, serta komunikasi informal dengan salah satu Direktur di Kementerian Pertanian 11.12.2014

Page 15: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia xiii

rupiah/liter, sesungguhnya biaya yang dikeluarkan nilainya kurang dari seperempat potensi

keuntungan dari pengurangan emisi gas rumah kaca.

Efektivitas kebijakan. Deforestasi menghasilkan keuntungan ekonomi yang tinggi, dimana

sekitar setengah dari PDB kehutanan berasal dari aktivitas konversi dan pembalakan yang tidak

lestari. Hal ini menjadi tantangan besar untuk merumuskan kerangka kerja yang dapat

mempertahankan PDB kehutanan tanpa menimbulkan lebih banyak emisi. Mengandalkan

insentif untuk mencegah deforestasi diprediksi akan memerlukan biaya yang sangat mahal dan

sulit merancang skema yang sesuai karena besarnya perbedaan kondisi lingkungan. Dengan

kondisi demikian, penegakan hukum yang konsisten terhadap pemegang konsesi hutan

merupakan instrumen terpenting untuk mengurangi laju deforestasi.

Karena aktivitas pembalakan dan konversi hutan merupakan sumber pendapatan yang penting

di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, maka diperlukan suatu mekanisme insentif-disinentif

sebagai kompensasi kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk berpartisipasi aktif

dalam penegakan hukum kehutanan dalam rangka menghentikan laju deforestasi dan

mengurangi degradasi hutan. Ada beberapa peraturan teknis pelaksanaan yang menimbulkan

kerancuan dalam mekanisme pengaturan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor

kehutanan, termasuk peraturan yang mengatur kewenangan dan tanggungjawab pemerintah

pusat dan provinsi dalam beberapa hal terkait PNBP kehutanan.

Secara umum ada banyak kekuranglengkapan dan perbedaan data tentang kehutanan di

Indonesia, termasuk indikator pengelolaan hutan yang paling mendasar seperti laju deforestasi.

Inisiatif kebijakan “satu data” akan membantu untuk memecahkan masalah keragaman data.

Lebih dari itu, yang tidak kalah penting adalah adanya studi aplikatif tentang parameter-

parameter dasar yang memengaruhi efektivitas kebijakan.

Sesungguhnya, potensi peningkatan PDB pertanian tinggi. Sebagian besar inisiatif pertanian

memerlukan penyesuaian program agar lebih adaptif terhadap perubahan iklim. Beberapa teknik

yang paling menjanjikan diantaranya adalah inisiatif pertanian yang adaptif terhadap iklim

(Climate Smart Agriculture/CSA), pemeliharaan irigasi, dan peningkatan efektivitas kelembagaan

kelompok pemakai air. Saat ini ada kelompok-kelompok tani yang berhasil, tetapi untuk

mereplikasinya memerlukan anggaran yang cukup dan waktu sekitar 5-10 tahun untuk

membangun kelembagaan kelompok tani yang kuat.

Dampak terhadap anggaran. KKF-PRLSBL merekomendasikan pengurangan belanja publik

untuk kebijakan prioritas dari 1,69% pada tahun 2014 menjadi diperkirakan sebesar 1,26% dari

total PDB pada tahun 2025. Hal ini dicapai antara lain dengan mengalihkan setengah dari subsidi

pupuk kepada jenis dukungan lain untuk pertanian (membutuhkan sekitar Rp 13 triliun) dan

menggunakan bagian dari subsidi pupuk untuk mengkompensasi hilangnya pendapatan yang

timbul dari dihentikannya deforestasi selama lebih dari 10 tahun (senilai sekitar Rp 2 triliun).

Pada tahun 2025, sekitar 55% dari total belanja dikelola oleh Kementerian Keuangan, melalui

subsidi, transfer dan insentif, dan 45% dikelola oleh Kementerian Kehutanan, Kementerian

Pertanian dan Kementerian Pekerjaan Umum.

Pada tahun 2025, ketika program 10 tahun selesai, akan ada sekitar Rp 8,5 triliun tambahan

pengeluaran per-tahun, dibandingkan dengan tahun 2014, yang akan dipenuhi dari anggaran

rutin pada tahun tersebut, dengan asumsi bahwa anggaran untuk Kementerian Kehutanan,

Kementerian Pertanian, dan Kementerian Pekerjaan Umum (untuk irigasi) juga naik seiring

dengan kenaikan PDB. Dampak terhadap anggaran disajikan dalam Tabel X1 dan X2 pada

bagian akhir ringkasan eksekutif.

Page 16: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia xiv

Dampak terhadap penurunan emisi GRK. RAN GRK bertujuan untuk mengurangi emisi

sebesar 767 mtCO2e pada tahun 2020, yang berasal dari pengurangan 672 mtCO2e di sektor

kehutanan dan lahan gambut dan 40 m tCO2e dari pertanian. Terdapat 12 kebijakan yang

diidentifikasi dalam KKF-PRLSBL berkontribusi terhadap pengurangan gas rumah kaca sebesar

468 mtCO2e pada tahun 2020 dan 731m tCO2e pada tahun 2025. Sekitar 95% dari

pengurangan berasal dari kebijakan-kebijakan terkait hutan dan lahan gambut, dimana 75%

diantaranya berasal dari pengurangan deforestasi dan restorasi lahan gambut.

Implementasi kerangka kebijakan fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan di Sektor

Berbasis Lahan (KKF-PRLSBL). Kebijakan fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan di

Sektor Berbasis Lahan akan dilaksanakan melalui mekanisme perencanaan dan sistem

penganggaran yang berlaku. Kebijakan ini akan diterapkan bersama dengan dokumen strategis

lainnya, agar anggaran yang disediakan oleh Kementerian Keuangan dapat dipergunakan oleh

Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Pekerjaan Umum untuk

menyusun rencana dan membiayai program-program pembangunan yang (lebih) ramah

terhadap lingkungan tanpa menambah total alokasi anggaran.

Page 17: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia xv

Tabel X1 Ringkasan komponen kunci kebijakan prioritas berdasarkan tingkatan dampak terhadap anggaran

Kebijakan Kunci Aksi yang membutuhkan anggaran rendah Dampak terhadap anggaran yang lebih tinggi

Kehutanan

Mengendalikan deforestasi

Peraturan tentang pembalakan liar

Meningkatkan royalti/iuran

Kewajiban yang jelas untuk royalti/iuran

Penegakan aturan pemungutan royalty/pungutan

Pemetaan dan tata batas kawasan

KPH/PHBM

Peraturan yang memberikan hak perizinan KPH

Reformasi lahan dan resolusi konflik

Dukungan teknis untuk KPH

Peraturan tentang ekspor kayu

Mempromosikan pasar kayu

Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) untuk mendukung Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)

Memfasilitasi pendanaan untuk KPH

Hibah inisiasi penyelenggaraan KPH

Dukungan untuk penegakan aturan

Memaksimalkan pendapatan dari DR dan DAK Kehutanan

Pengalihan pendapatan negara dari izin konsesi/perizinan lain ke KPH

Pelatihan SVLK dan akreditasi

REDD+

Pemetaan dan penataan batas

Perlindungan Hutan

Moratorium perizinan baru

Klarifikasi hak dan kewajiban perizinan

Pemetaan dan penataan batas

Penegakan hukum

Kehilangan penerimaan dari perizinan baru

Reforestasi lahan terdegradasi

Klasifikasi lahan terdegradasi

Peraturan yang memungkinkan pelaksanaan land swap

Insentif (pajak atau subsidi) untuk mengkompensasi biaya tambahan/ produktivitas yang lebih rendah

Restorasi Lahan Gambut

Peraturan terkait drainase dan kebakaran hutan

Merasionalisasi klasifikasi

Reformasi lahan untuk land swap

Penegakan hukum

Pendanaan publik untuk rehabilitasi

Biaya reformasi lahan

IJE Swasta ke swasta/masyarakat Pemerintah ke swasta/masyarakat

Pertanian

Lahan terdegradasi untuk pertanian

Fasilitasi kepemilikan lahan, untuk memastikan hak kepemilikan dan pertukaran lahan

Insentif untuk mengkompensasi biaya tambahan

Biaya reformasi kepemilikan lahan

Teknik pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim

Fasilitasi kerjasama dengan masyarakat Perluasan pertanian/penelitian, dukungan

terhadap kelompok petani

Teknik irigasi yang adaptif terhadap perubahan iklim

Fasilitasi kelompok pengguna air irigasi Investasi publik dalam aksi ketahanan

terhadap perubahan iklim

Pemeliharaan Irigasi

Fasilitasi kelompok pengguna air irigasi

Klarifikasi peraturan pendanaan kelompok pengguna air irigasi untuk pemeliharaan tersier

Investasi publik dalam memelihara infrastruktur primer dan sekunder

Reformasi pupuk Dukungan terhadap investasi sektor

swasta untuk pupuk organik

Keuntungan dari pengalihan subsidi

Target pengawasan yang lebih besar

Penyuluhan penggunaan pupuk yang efisien

Asuransi Pertanian Regulasi untuk asuransi swasta

Jaminan keuangan untuk peserta asuransi Subsidi terhadap biaya asuransi

Bioenergi

Peraturan untuk bioenergi (% dalam bahan bakar)

Formula harga biofuel

Informasi dan promosi

Subsidi harga untuk bioenergi (setara dengan subsidi untuk BBM fosil)

Pinjaman lunak untuk investor

Penegakan peraturan

Page 18: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia xvi

Table X2 Belanja untuk kegiatan-kegiatan prioritas kunci (Rpbn)

2014 2025 Mitigasi Jk Pendek Menengah Panjang Prioritas KKF-PRLSBL

Pend/ Peng1

% PDB

Pend/ Peng1

% PDB

m tCO2e 2025

Kehutanan

Pengurangan laju deforestasi 2049 0,11% -30 0,00% 300

Perizinan/fee/royalti penebangan hutan alam 2065 Menengah

Pengelolaan perizinan/fee/royalti Kemenhut -16 -30 Panjang

KPH dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat -560 -0,03% -2500 -0,07% 70

Anggaran Kemenhut -267 -1250 Men/Panj.

80% DBH & 1/3 DAK Kehutanan -294 -1250 Pend/Men

Perlindungan hutan -3096 -0,17% -5952 -0,17%

Anggaran Kemenhut -2186 -4202 Men/Panj.

60% DR & 20% DBH -910 -1750 Menengah

Rehabilitasi lahan terdegradasi -2714 -0,14% -6869 -0,19% 80

Anggaran Kemenhut -2135 -4155 Men/Panj.

40% DR & 1/3 DAK kehutanan -580 -2715 Menengah

Restorasi lahan gambut -889 -0,05% -1760 -0,05% 250

Anggaran Kemenhut (2014 dari anggaran 2012) -705 -1406 Men/Panj.

1/3 DAK kehutanan -184 -354 Menengah

Imbal Jasa Ekosistem/IJE (bilateral) 0 0,00% 0 0,00% -

Total -5210 -0,28% -17111 -0,48% 700

Pertanian

Pertanian di lahan terdegradasi (termasuk sawit) -103 -0,01% -498 -0,01% 18

Penerimaan dari sawit di lahan terdegradasi 200 Panjang

Anggaran Kementan dari lahan terdegradasi -103 -198 Men/Panj.

Insentif Kemenkeu untuk lahan terdegradasi 0 -500 Men/Panj.

Pertanian Cerdas Iklim -520 -0,03% -3002 -0,08% -

Anggaran produksi pertanian (10% CSA 2014) -262 -1006 Men/Panj.

DAK pertanian (asumsi 10% CSA 2014) -258 -1996 Men/Panj.

Pengembangan irigasi ramah iklim -4365 -0,23% -14565 -0,40% 3

Anggaran Kementerian PU -1442 -6542 Men/Panj.

DAK irigasi -2923 -8023 Menengah

Pengelolaan/ppengalihan subsidi pupuk -21332 -1,14% -10525 -0,29% 9

Biaya Kementan untuk mengelola subsidi -283 -2105 Pendek

Pengeluaran Kemenkeu untuk subsidi -21049 -8420 Pend/Men

Asuransi pertanian (Kemenkeu) -150 -0,01% -318 -0,01% Semua

Minyak nabati/Biofuel (insentif Kemenkeu) 0 0,00% 500 0,01% 1 Men/Panj.

Total -26470 -1,41% -28408 -0,79% 31

Jumlah Total -31680 -1,69% -45519 -1,26% 731

Anggaran kementerian/lembaga -7397 -20893

Kebijakan fiskal Kemenkeu -24283 -24626

1 Pend = pendapatan (nilai positif); Peng = pengeluaran (nilai negatif)

Asumsi

DR: Tahun 2014, Kemenhut 60% digunakan untuk perlindungan dan 40% untuk rehabilitasi lahan terdegradasi

DBH: Tahun 2014, Kemenhut 20% digunakan untuk perlindungan dan 80% untuk PHBM

DAK Kehutanan: Tahun 2014, 1/3 untuk KPH/HKm, rehabilatasi lahan terdegradasi, restorasi lahan gambut

Page 19: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 1

1 Pendahuluan

1.1 Latar belakang

Ketertarikan global dalam pertumbuhan berkelanjutan telah berkembang dalam lima tahun

terakhir, yakni menggabungkan perhatian tentang dua dimensi perubahan iklim (mitigasi dan

adaptasi) dengan komitmen untuk tiga dimensi pembangunan berkelanjutan (ekonomi,

masyarakat, dan lingkungan). Ada berbagai definisi pertumbuhan berwawasan lingkungan,

tetapi Kerangka Kerja Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan di Sektor Berbasis

Lahan (KKF-PRLSBL) mendefinisikan kebijakan fiskal untuk pertumbuhan ramah lingkungan

sebagai kebijakan fiskal yang memberikan kontribusi untuk lingkungan, irigasi dan atau

adaptasi perubahan iklim. Hal ini mengasumsikan bahwa perumusan kebijakan fiskal untuk

pembangunan berkelanjutan menekankan pada pentingnya keadilan sosial dan pertumbuhan

ekonomi jangka panjang.

Strategi nasional Indonesia selalu menekankan baik pada aspek pertumbuhan ekonomi

maupun pengurangan kemiskinan. Selama ini aspek lingkungan telah dimasukkan dalam

rencana nasional tetapi dirasakan masih kurang mendapatkan perhatian dan kurang

mendapat alokasi anggaran yang memadai. Padahal, pemerintah Indonesia telah

memainkan peran penting dalam perjanjian perubahan iklim internasional dan telah membuat

komitmen nasional yang kuat melalui berbagai kebijakan yang mengarah pada rencana

mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, diantaranya RAN-GRK, RAD-GRK, dan komitmen

untuk melakukan adaptasi perubahan iklim melalui RAN-API.

Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM), Badan Kebijakan

Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan bertanggungjawab untuk memastikan bahwa kebijakan

fiskal memperhitungkan tantangan yang ditimbulkan oleh dampak perubahan iklim. Sebagai

bagian dari tanggung jawab ini, PKPPIM menyusun panduan strategis dalam bentuk kerangka

kerja fiskal untuk mitigasi dan implikasi anggaran yang dapat mendukung RAN-GRK.

PKPPIM juga telah menyelesaikan kajian Strategi Perencanaan dan Penganggaran Hijau,

yang mempertimbangkan implikasi dari pemakaian pandangan ekonomi hijau dalam

perencanaan dan penganggaran. Kedua dokumen ini mempertimbangkan semua sektor

ekonomi. KKF-PRLSBL memberikan panduan yang lebih rinci tentang kemungkinan dampak

terhadap anggaran untuk melaksanakan kebijakan mitigasi dan adaptasi di sektor-sektor

berbasis lahan, terutama kehutanan dan pertanian.

1.2 Tujuan dan Ruang Lingkup KKF-PRLSBL

Tujuan nasional yang lebih luas. Kerangka kerja ini menggunakan pandangan jangka

panjang, sampai tahun 2025, karena kebijakan berkelanjutan berkaitan dengan rencana

pembangunan jangka panjang (RPJP) nasional dan memerlukan pertimbangan atau

antisipasi situasi jangka panjang dari populasi penduduk, iklim dan sumber daya alam. Hal

ini mengasumsikan beberapa tujuan jangka panjang sebagai berikut:

Pertumbuhan ekonomi. Indonesia diperkirakan akan menjadi negara berpenghasilan

tinggi (HIC) pada tahun 2033, yang akan memerlukan pertumbuhan PDB sebesar 7% per

Page 20: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 2

tahun secara berkelanjutan4. Untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan diperkirakan

akan ada beberapa diversifikasi dari sektor pertanian dan kehutanan, yang akan tumbuh

hanya sebesar 5% per tahun.

Proyeksi dampak perubahan iklim. Tahap awal dari sebagian besar proyeksi perubahan

iklim adalah pada tahun 2050. Hal ini diasumsikan bahwa kerusakan akibat perubahan

iklim akan meningkat secara bertahap dalam kurun waktu 35 tahun, sampai dengan tingkat

kerusakan yang diproyeksikan pada tahun 2050.

Keseimbangan pangan. Indonesia akan mencapai dan mempertahankan swasembada

produksi beras, kecuali di tahun-tahun dimana terjadi kekeringan yang luar biasa atau

banjir. Hal ini memerlukan peningkatan produksi beras sebesar 21% pada tahun 2025.

Mitigasi. Emisi gas rumah kaca akan mengikuti komitmen RAN-GRK, sebesar 2,183 miliar

tCO2e/tahun pada tahun 2020 pada titik dimana 1,45 kgCO2e/USD PDB. Nilai emisi

CO2e/PDB pada tingkat ini sebanding dengan negara-negara Eropa, yang paling efisien

dalam pemanfaatan energi di antara negara-negara berpenghasilan tinggi. Kontribusi

sektor berbasis lahan terhadap emisi akan turun dari tingkat saat ini, yaitu lebih dari 50%

menjadi 10%, sejalan dengan norma-norma negara berpenghasilan tinggi. Energi dari

biofuel diperkirakan akan meningkat menjadi 5% dari total konsumsi energi.

Keseimbangan fiskal. Tujuan-tujuan pengurangan emisi CO2 ini akan tercapai tanpa

adanya permintaan tambahan biaya pada sektor pertanian dan kehutanan ketika

dinyatakan sebagai persentase dari PDB.

Tujuan Khusus. KKF-PRLSBL bertujuan untuk meningkatkan kualitas anggaran di sektor-

sektor berbasis lahan, menggambarkan bagaimana analisis yang dilakukan oleh Kementerian

Kehutanan dan Kementerian Pertanian dapat membantu untuk menjustifikasi pengusulan

anggaran mereka dan memberikan referensi kerangka kerja untuk membantu Kementerian

Keuangan dalam menilai dan bernegosiasi atas anggaran yang diusulkan.

Untuk mencapai hal ini, tujuan langsung dari KKF-PRLSBL adalah sebagai berikut:

Mengkaji kontribusi kehutanan dan pertanian untuk pembangunan ramah lingkungan dan

untuk menilai kompatibilitasnya dengan kerangka kebijakan fiskal berkelanjutan.

Mencatat kebijakan yang telah ada, termasuk kebijakan yang memengaruhi pendapatan

dan biaya.

Menilai efisiensi, efektivitas, konsistensi, koherensi dan keberlanjutan kebijakan tersebut.

Mengembangkan kerangka kebijakan fiskal di sektor berbasis lahan dalam jangka

menengah.

4 Diasumsikan pertumbuhan PDB 7% per-tahun dari USD 3.475 pada tahun 2013, sementara pertumbuhan

penduduk menurut secara bertahap dari 1,1% saat ini menjadi nol pada tahun 2050 dan batasan negara berpendapatan tinggi (HIC) adalah USD 12.746 per-kapita,

Page 21: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 3

Ruang lingkup KKF-PRLSBL. KKF-PRLSBL mengkaji kebijakan-kebijakan yang berkaitan

dengan penggunaan lahan, khususnya untuk kepentingan pemanfaatan kehutanan dan

pertanian. Salah satu bagian kajian adalah melihat efektivitas kebijakan dalam memberikan

kontribusi terhadap pertumbuhan PDB, khususnya dalam skema PDB hijau, dengan

mempertimbangkan kendala kelembagaan dan prospek untuk mengatasi hambatan yang

ada. Berbeda dengan skema PDB konvensional, perhitungan PDB hijau juga

mempertimbangkan sejauh mana kebijakan akan dipengaruhi oleh perubahan iklim dan oleh

perubahan akuntansi nasional yang bertanggung jawab atas biaya dari degradasi sumber

daya alam. Kajian ini juga merekomendasikan opsi-opsi kebijakan fiskal yang sesuai untuk

pembangunan berkelanjutan pada sektor-sektor berbasis lahan.

Sektor. Sektor berbasis lahan akan mencakup kehutanan dan pertanian. Dalam strategi

pembangunan ramah lingkungan, dua dari duapuluh satu prioritas utama adalah di bidang

kehutanan (perlindungan hutan/reboisasi/produktivitas dan lahan gambut) dan tiga di sektor

pertanian (adaptasi tanaman, produktivitas perkebunan dan irigasi). KKF-PRLSBL

mempertimbangkan kebijakan ini secara lebih rinci dan menambahkan kebijakan lain,

termasuk antara lain: insentif untuk peningkatan pemanfaatan lahan terdegradasi,

produktivitas hutan, pertanian cerdas iklim (climate smart agriculture), pupuk organik dan

bahan bakar nabati (biofuel).

Skala waktu. Meskipun tujuan nasional disajikan dalam jangka panjang dengan

mempertimbangkan rencana pembangunan jangka panjang nasional hingga tahun 2025 dan

dampak perubahan iklim pada tahun 2050, KKF-PRLSBL juga fokus pada perubahan yang

mungkin diperlukan dalam jangka menengah selama 5 tahun ke depan (2015-2019), dan

menghasilkan proyeksi dampak bersih pada anggaran (net impact budget) selama periode ini.

Instrumen. KKF-PRLSBL mencakup instrumen sebagai berikut:

Pengeluaran pemerintah, termasuk investasi, insentif dan dana pinjaman. Fokus utama dari KKF-PRLSBL adalah pengeluaran publik di tingkat nasional dan lokal, serta transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Instrumen yang terkait dengan regulasi, promosi dan peningkatan kesadaran (misalnya penyuluhan), beberapa di antaranya mungkin menghasilkan pendapatan.

Pendapatan, termasuk penerimaan negara bukan pajak dari sektor kehutanan.

Biaya-biaya terkait pendanaan, terutama yang berhubungan dengan kegiatan operasional Bulog dalam anggaran intervensi pembelian komoditas.

Perubahan peraturan yang mungkin memiliki efek tidak langsung dan jangka panjang terhadap anggaran.

1.3 Metodologi dan Struktur Laporan

Fokus utama dari KKF-PRLSBL adalah pada efektivitas kebijakan fiskal berkelanjutan di

sektor kehutanan dan pertanian, serta implikasinya terhadap belanja dan pendapatan ke

depan. Dalam menilai efektivitas kebijakan tersebut, KKF-PRLSBL bertujuan untuk

mempertimbangkan fundamental ekonomi dari kebijakan dan kendala kelembagaan yang

Page 22: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 4

mempengaruhi kementerian/lembaga pada sektor-sektor berbasis lahan agar lebih

termotivasi untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip pembangunan ramah lingkungan.

KKF-PRLSBL menganalisis efektivitas dan dampak kebijakan sektor-sektor berbasis lahan

terhadap pertumbuhan ekonomi, lingkungan, mitigasi dan adaptasi. Dengan membandingkan

dampak ini dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam bagian 1.2, KKF-PRLSBL

mendefinisikan program fiskal ramah lingkungan sesuai dengan tujuan dengan

mempertimbangkan kinerja fiskal dari kebijakan sektor-sektor berbasis lahan.

Page 23: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 5

2. Situasi Saat Ini

2.1 Pembangunan Ekonomi dan Situasi Fiskal

Pembangunan Ekonomi. Selama sepuluh tahun terakhir, PDB Indonesia telah tumbuh

antara 5% sampai dengan 6,5% per tahun. Pertumbuhan yang tinggi ini didorong oleh

tingginya tingkat investasi yang mencapai 28% dan 35% dari PDB.

Selama sepuluh tahun tahun terakhir kinerja keuangan Indonesia menunjukkan tren positif,

baik dilihat dari transaksi berjalan, transaksi modal, dan neraca pembayaran. Namun, pada

tahun 2012, transaksi berjalan menjadi negatif. Hal ini diantaranya disebabkan oleh

penurunan ekspor minyak dan gas serta komoditas ekspor lainnya yang dibarengi oleh

peningkatan impor. Menurunnya transaksi berjalan sebagian telah diimbangi dengan

peningkatan modal dan finansial, terutama dari investasi-investasi berkapital besar.

Secara umum situasi moneter relatif stabil, tetapi ada tanda-tanda peningkatan tekanan pada

inflasi dan nilai tukar. Cadangan nasional kuat, baik utang pemerintah maupun swasta

nasional yang relatif rendah. Inflasi berkisar antara 3% dan 11%, dengan tingkat inflasi yang

lebih tinggi pada saat-saat terjadi tekanan fiskal, termasuk pada tahun 2008 dan 2013.

Meskipun terjadi tekanan pada neraca pembayaran dan beberapa kecenderungan kenaikan

inflasi, nilai tukar rupiah relatif stabil –walaupun dua tahun terakhir ini (2013-2014) terjadi

pelemahan nilai tukar rupiah.

Pemerintah menyadari bahwa ekonomi bergerak ke tahap baru dimana manajemen ekonomi

makro yang sehat akan menjadi semakin penting untuk menjaga stabilitas ekonomi dan

investasi. Investasi-investasi bernilai tinggi akan dikelola secara lebih baik dalam rangka

menumbuhkan iklim usaha yang menarik dan sehat. Kebijakan perdagangan menekankan

perlunya mempertahankan nilai ekspor serta pada saat yang bersamaan mempromosikan

nilai tambah di dalam negeri, sehingga dapat meningkatkan devisa dari ekspor dan

mengurangi pengurangan devisa untuk impor.

Situasi fiskal. Penerimaan pemerintah pusat relatif rendah antara 15% dan 20% dari PDB.

Pengeluaran pemerintah pusat (termasuk transfer ke pemerintah daerah) juga relatif rendah,

di antara 16% dan 20% dari PDB. Pada tahun 2012, pengeluaran terdiri atas subsidi (4,2%

dari PDB); pengeluaran lainnya (5,4%); pengeluaran pembangunan (2,7%); dan transfer ke

daerah (5,8%). Lebih dari 85% dari subsidi adalah untuk energi, dan sebagian besar sisanya

untuk subsidi pertanian.

Selama sepuluh tahun terakhir, terjadi defisit anggaran antara 0% dan 2% dari PDB. Defisit

anggaran sebesar 2,5% dari PDB terjadi pada tahun 2013 dan mungkin juga pada tahun 2014,

karena besarnya tekanan pengeluaran dan terjadinya penurunan dari beberapa sumber

pendapatan.

Kebijakan saat ini bertujuan untuk mengurangi defisit anggaran pemerintah pusat, dimana

dari data tahun terakhir sebesar 2,5% dari PDB menjadi kurang dari 1,5% pada tahun 2018.

Pendapatan akan dipertahankan pada sekitar 16% dari PDB, yang diharapkan akan

menghasilkan pertumbuhan riil sekitar 6%, sesuai dengan PDB. Akan ada sedikit perubahan

Page 24: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 6

dalam struktur pendapatan. Pengeluaran juga akan tetap pada tingkat saat ini, yaitu sekitar

18% dari PDB, dengan opsi penurunan belanja untuk subsidi yang memungkinkan beberapa

peningkatan pengeluaran pembangunan. Kebijakan ini berarti terbuka beberapa ruang untuk

peningkatan belanja, sejalan dengan pendapatan tambahan yang timbul dari pertumbuhan

PDB. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, kebijakan fiskal sektor-sektor berbasis

lahan bertujuan untuk mempertahankan investasi dan pertumbuhan, serta untuk pengeluaran

yang melindungi pertumbuhan ini melalui perhatian pada sumber daya alam dan perubahan

iklim.

2.2 Mitigasi

Komunikasi Nasional Kedua (Second National Communication/SNC) melaporkan bahwa

emisi pada kondisi Business as Usual (BAU) tahun 2020 akan menjadi 2950 tCO2e, dengan

emisi dari kehutanan (1.344 tCO2e) dan pertanian (221 tCO2e) menyumbang lebih dari

setengah emisi tersebut. RAN-GRK berkomitmen untuk pengurangan 50% emisi kehutanan

dan pengurangan 18% emisi pertanian pada tahun 2020, dibandingkan dengan BAU. RAN-

GRK menguraikan target penurunan emisi yang diharapkan dari kehutanan dan pertanian ke

dalam kebijakan sebagai berikut.

Tabel 1 Target Penurunan Emisi Kehutanan dan Pertanian Berdasarkan RAN GRK

Kode Kegiatan Lembaga

Target penurunan

emisi (m tCO2e)

FO1 Kesatuan Pengelolaan Hutan (120) Kemenhut 25.8

FO2 Perbaikan izin usaha pemanfaatan kayu (2.5 jt ha) dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)/Jasa Lingkungan.

Kemenhut 20.2

FO3 DA REDD+ (2 lokasi) Kemenhut 3.0

FO4 Pengukuhan batas kawasan hutan (25.000km) Kemenhut 102.3

FO5 Reklamasi (0.45 jt ha), pemeliharaan (1.2 jt ha) Kemen. PU 4.3

FO6 Pemanfaatan lahan gambut berkelanjutan(325,000ha) Kementan 86.2

FO7 Rehabilitasi lahan gambut terdegradasi (250,000ha) Kementan 83.5

FO8 Rehabilitasi DAS (2,45 jt ha), kota, mangrove Kemenhut 76.1

FO9 Hutan Kemasyarakatan (2.5 jt ha), Hutan Rakyat (0.25 jt ha) Kemenhut 83.7

FO10 Pemantauan kebakaran hutan mengurangi 20%kejadian dengan tingkat keberhasilan 67%

Kemenhut 18.0

FO11 Penegakan hukum kehutanan Kemenhut 1.9

FO12 Pengelolaan ekosistem dan perlindungan hutan Kemenhut 75.7

FO13 Perbaikan kinerja hutan tanaman (3 jt ha) Kemenhut 91.3

AG1 Perbaikan irigasi (1.34 jt ha) dan pemeliharaan (2,32 jt ha) Kemen. PU 0.0

AG2 Pembukaan lahan pertanian tanpa bakar (300.500ha) Kementan 1.3

AG3 Perbaikan teknologi perlindungan tanaman (2, 03 jt ha) Kementan 9.9

AG4 Pupuk organik dan bio-pestisida (250.000ha) Kementan 3.1

AG5 Pembangunan perkebunan di lahan terdegradasi (1.65 jt ha) Kementan 25.2

AG6 Biogas berbasis ternak masyarakatditerapkan di 1.500 lokasi Kementan 0.3

Prioritas kegiatan mitigasi tergantung pada kemampuan praktis untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan biaya yang diperlukan untuk penurunan emisi tersebut. Kotak 1 mengulas beberapa pendekatan untuk memberi nilai karbon, yang kemudian dapat dibandingkan dengan biaya satuan kebijakan mitigasi, untuk menentukan efektifitas biaya suatu kebijakan.

Page 25: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 7

Kotak 1 Harga dan nilai ekonomi karbon

Biaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca biasanya dinyatakan dalam USD/ton karbon dioksida ekuivalen (USD/tCO2e). Beberapa kebijakan (misalnya yang berkaitan dengan efisiensi energi) memiliki nilai USD negatif/tCO2e, karena mereka mendukung mitigasi yang menguntungkan. Sebagian besar kebijakan penurunan emisi memerlukan biaya bersih. Peringkat kebijakan dalam kurva biaya pengurangan emisi marginal (Marginal Abatement Cost/MAC) sesuai dengan unit biaya yang dikeluarkan, kemudian dibandingkan dengan

standar harga karbon untuk menentukan apakah efektifitas biaya suatu kebijakan.

Dari perspektif perusahaan swasta, harga karbon adalah harga pasar karbon dunia saat ini (yaitu kurang dari USD 1/tCO2e pada akhir 2014). Dari perspektif anggaran, harga ini relevan jika perusahaan swasta dapat memperoleh pembayaran dari pasar karbon, sehingga ada penurunan permintaan untuk insentif anggaran.

Dari perspektif kebijakan pemerintah yang lebih luas, yang dipandu oleh kekhawatiran rasional untuk kesejahteraan penduduk, harga karbon harus ditetapkan pada biaya sosial karbon, yang merupakan total kerusakan yang disebabkan oleh perubahan iklim dibagi dengan emisi gas rumah kaca total, yang dinyatakan dalam USD/tCO2e (dalam laporan Stern nilai karbon diperkirakan menjadi sekitar USD 80/tCO2e pada tahun 2014). Namun, pemerintah di beberapa negara berpendapat bahwa mereka harus menggunakan nilai yang lebih rendah karena mereka tidak menerima tanggung jawab atas kerusakan global atau karena negara mereka tidak mengalami kerusakan perubahan iklim yang tinggi.

Beberapa analis kebijakan, termasuk kajian ini, memilih untuk menggunakan nilai pasar karbon sebelum runtuhnya mekanisme perdagangan karbon Eropa, yaitu sekitar USD 30/tCO2e. Pasar karbon jatuh pada tahun 2008 dan stabil di kisaran harga antara USD 20 dan USD 25/tCO2e pada tahun 2009 dan pertengahan 2011. Selama tahun 2012 harga karbon berkisar antara USD 7 dan USD 10/tCO2e dan jatuh menjadi USD 5/tCO2e, bahkan kurang dari USD 1/tCO2e dalam beberapa bulan terakhir.

2.3 Kerentanan

RAN API mengidentifikasi delapan risiko perubahan iklim yang mungkin berdampak pada

Indonesia, seperti yang dirangkum dalam Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa ketahanan

pangan sangat dipengaruhi oleh hampir semua risiko dampak perubahan iklim. Satu-satunya

risiko dampak perubahan iklim yang bukan dianggap ancaman untuk ketahanan pangan

dalam RAN API adalah peningkatan tahun kekeringan – yang secara akademis sebenarnya

mungkin dapat diperdebatkan. Hutan dianggap rentan terhadap perubahan pola musim,

curah hujan, dan hilangnya infrastruktur akibat banjir.

Page 26: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 8

Tabel 2 Kerentanan terhadap Risiko Dampak Perubahan Iklim

Risiko dampak perubahan iklim Ekonomi Kesejahteraan Lingkungan

Kawasan khusus

AG

R

EN

E

HE

A

HO

U

INF

EC

O

FO

R

WA

T

CS

I

UR

B

DIS

Peningkatan evapotranspirasi Y Y Y Y Y Y

Risiko peningkatan serangan hama Y Y Y Y Y

Penyebaran penyakit tanaman melalui udara dan air Y Y

Kekeringan Y Y Y Y Y Y

Penurunan curah hujan Y Y Y Y Y

Peningkatan frekuensi tahun kering Y Y Y

Perubahan musim/pola curah hujan Y Y Y Y Y Y

Peningkatan intensitas hujan/angin/badai/gelombang Y Y

Banjir akibatbadai dan gelombang Y Y Y

Kerusakan infrastruktur akibat cuaca ekstrem Y Y Y Y Y Y Y Y

Perubahan air laut terhadap perikanan dan terumbu karang

Y Y Y Y Y

Peningkatan muka air laut Y Y Y

Intrusi air laut ke sungai/air tanah Y Y Y Y

Catatan: AGR = ketahanan pangan; ENE = ketahanan energi; HEA = kesehatan; HOU = perumahan; INF = infrastruktur; ECO = ekosistem dan keanekargaman hayati; FOR = kehutanan; CSI = pesisir dan pulau-pulau kecil; DIS = penurunan risiko bencana

Sumber: RAN-API, risiko-risiko iklim yang mungkin terjadi.

Pada umumnya pengukuran kerentanan terhadap perubahan iklim secara Internasional

menggunakan tiga dimensi, yaitu: (1) paparan terhadap risiko perubahan iklim; (2) kepekaan

terhadap paparan; dan (3) kapasitas untuk beradaptasi dengan sensitivitas tertentu (Aliance

Development Works 2012; Bours, McGinn et al 2013). Indonesia adalah salah satu negara

yang paling rentan terhadap perubahan iklim di antara negara-negara berpenghasilan

menengah, karena rentan dalam ketiga dimensi risiko perubahan iklim.

Laporan Khusus IPCC atas Kejadian Ekstrem (SREX) menghasilkan analisis pertama

terhadap perubahan yang diduga dalam kejadian ekstrem (IPCC 2012a), yang memperkuat

pesan dari pentingnya RAN-API. Analisis SREX menunjukkan bahwa peristiwa cuaca yang

tidak biasa cenderung menjadi dua kali lebih sering pada tahun 2050. Secara umum, hal ini

kemungkinan akan berlaku baik terhadap kejadian ekstrem (seperti banjir dan kekeringan)

dan peristiwa anomali tertentu (seperti kekeringan pendek di musim hujan atau musim tak

terduga). Menurut laporan SREX, kesimpulan ini berlaku untuk semua wilayah di dunia,

dengan beberapa variasi. Perubahan kejadian ekstrem cenderung merupakan risiko dampak

perubahan iklim yang paling penting di sebagian besar negara. Antara tahun 2003 dan 2005,

terjadi 1.429 bencana di Indonesia, 53% di antaranya terkait hidrometeorologi (SNC 2010).

Indonesia juga sangat rentan terhadap kenaikan permukaan laut akibat garis pantai yang

sangat panjang dan konsentrasi penduduk di kota-kota pesisir, kota dan masyarakat pulau-

pulau kecil. Kenaikan permukaan laut sebesar 100 cm akan berdampak pada 130.000 orang

di Jakarta, 114.000 di Semarang dan 122.000 di Surabaya (SNC 2010).

Page 27: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 9

2.4 Lingkungan

Hilangnya sumber daya alam yang paling mendapat sorotan di Indonesia terjadi karena

deforestasi. Data statistik menunjukkan bahwa deforestasi di Indonesia secara umum telah

mengalami penurunan dalam sepuluh tahun terakhir, walaupun data yang pasti masih menjadi

bahan perdebatan para peneliti. Statistik resmi menunjukkan bahwa laju deforestasi

bervariasi antara 0,8 juta ha/tahun dan 1,2 juta ha/tahun pada tahun 2000-an. Data statistik

kehutanan resmi terbaru menunjukkan bahwa deforestasi telah menurun menjadi kurang dari

0,2 juta ha dalam beberapa tahun terakhir (Kemenhut 2013), sementara beberapa studi

terbaru berbasis data penginderaan jauh menunjukkan bahwa laju kehilangan pohon sekitar

2 juta ha/tahun, meskipun telah dilakukan moratorium (Broich, Hansen et al. 2011;. Hansen,

Potapov et al. 2013; Margono, Potapov et al. 2014).

Dalam kondisi lahan kritis, beberapa bukti menunjukkan bahwa erosi tanah menurunkan hasil

tanaman sebesar 4% per tahun (Santikayasa, 2011). Hal ini dapat terjadi pada 27 juta hektar

lahan yang tergolong kritis di Indonesia.

Kotak 2 PDB Hijau dan Pendekatan Sisnerling

PDB Hijau membuat penyesuaian terhadap PDB konvensional dengan mengurangi nilai

sumber daya alam yang hilang atau rusak. Kerangka fiskal yang berkelanjutan serta ramah

lingkungan seharusnya mengukur kinerja dengan PDB hijau daripada PDB konvensional,

karena ini membutuhkan perspektif jangka panjang. Nilai yang melekat pada sumber daya

alam yang hilang atau rusak mencerminkan, sebagian, hilangnya manfaat masa depan, serta

nilai intrinsik ditempatkan pada sumber daya oleh masyarakat.

Nilai hutan yang hilang telah dilaporkan dalam Statistik Indonesia oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada saat penghitungan PDB hijau, melalui pendekatan Sistem terintegrasi neraca lingkungan atau “Sisnerling” (BPS 2013). Perkiraan Sisnerling menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB hijau (yang mengurangi nilai sumber daya alam yang hilang) akan menjadi sebesar 4%, lebih rendah dari pertumbuhan PDB konvensional sebesar 7% (Gastami 2012). Namun, sebagian besar penurunan ini disebabkan oleh eksploitasi sumber daya mineral, meskipun hilangnya hutan juga berkontribusi sebesar sepertiga dari kerugian kehilangan sumberdaya hutan yang tinggi dalam beberapa tahun (Repetto, Magrath et al. 1989). Terdapat rencana untuk memperluas praktik Sisnerling untuk memperhitungkan degradasi sumber daya hutan, serta hilangnya hutan, dan untuk memperluas sumber daya alam lainnya. Hal ini akan dibantu oleh proyek WAVES5, dengan dukungan dari Bank Dunia

5 Wealth Accounting and the Valuation of Economic Services (WAVES) adalah sebuah kerjasama internasiona

yang mempromosikan pengarusutamaan nilai-nilai sumberdaya alam di dalam perencanaan dan akutansi nasional. WAVES mencakup pemerintah, internasional, CSO dan mitra korporasi. WAVES aktif di 8 negara, termasuk Indonesia.

Page 28: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 10

3. Kebijakan-Kebijakan yang Berlaku dan Belanja Saat Ini

3.1 Telaah Kebijakan Saat Ini

Strategi Nasional. Perencanaan pembangunan nasional dipandu oleh rencana

pembangunan jangka panjang di tingkat nasional dan daerah (RPJP-N dan RPJP-D) serta

rencana pembangunan jangka menengah (RPJM-N dan RPJM-D) yang disiapkan oleh

Bappenas. RPJP terbaru untuk periode tahun 2005-2025 dan RPJM yang baru (2015-2019)

saat ini sedang dipersiapkan. Rencana strategis jangka menengah juga disiapkan oleh

masing-masing kementerian dan lembaga (RENSTRA-KL) dan provinsi (RENSTRA-SKPD).

Rencana jangka panjang dilengkapi dengan dua rencana induk (2011-2025), yaitu:

Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan

Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia (MP3KI).

RPJMN (2010-2014) mengharapkan pertumbuhan sektor pertanian dan kehutanan sebesar

3,5%-3,6% per tahun. RPJMN mengacu pada pertanian sebagai sektor yang memberikan

kontribusi untuk keamanan pangan, yang merupakan prioritas kelima dari sebelas prioritas.

Enam area yang teridentifikasi untuk ketahanan pangan, yaitu: memperjelas zonasi lahan dan

kepemilikan lahan serta memperluas lahan pertanian sebesar 12 juta hektar; infrastruktur

pertanian; penelitian dan pengembangan; promosi investasi untuk pertanian dan agribisnis;

gizi; dan adaptasi perubahan iklim. RPJMN ini juga mencakup komitmen untuk memastikan

bahwa harga pangan terjangkau dan petani dapat 'hidup sejahtera'. Kehutanan tidak menjadi

prioritas nasional dalam RPJMN, tetapi RPJMN melihat kehutanan sebagai sektor yang

menerima dana DBH dan melihat sektor kehutanan dan pertanian sebagai penerima dana

DAK.

Indonesia memainkan peran penting di antara negara-negara berpendapatan menengah yang

berkomitmen dalam merencanakan pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan.

Komitmen nasional untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK) telah tertuang dalam Rencana

Aksi Nasional penurunan Gas Rumah Kaca (RAN GRK) dan komitmen daerah yang

dituangkan dalam Rencana Aksi daerah untuk penurunan Gas Rumah Kaca (RAD GRK).

Kementerian Keuangan telah memperhitungkan upaya pencapaian target RAN GRK dalam

Kerangka Fiskal untuk Mitigasi Gas Rumah Kaca. Pemerintah juga telah menanggapi

ancaman perubahan iklim dengan menyusun Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan

Iklim (RAN API). Ada juga berbagai hal lain terkait strategi, rencana dan studi, termasuk:

Strategi Keanekaragaman Hayati Nasional dan Rencana Aksi (NBSAP); Kajian Hijau: Strategi

kebijakan ekonomi dan fiskal untuk mitigasi perubahan iklim di Indonesia, Kemenkeu (2009)6;

Laporan DNPI tentang Kurva Biaya Pencegahan Karbon (2009); Studi Ekonomi Lingkungan

dan Pembangunan oleh DNPI, (NEEDS, 2009); Peta Jalan Perubahan Iklim Sektoral

Bappenas (ICCSR, 2010); dan Kerangka Fiskal untuk Mitigasi, Kemenkeu (MFF, 2012).

Indonesia memiliki berbagai rancangan inisiatif dalam rangka mewujudkan pertumbuhan

ekonomi hijau (pertumbuhan ekonomi ramah lingkungan yang berkelanjutan), termasuk:

kertas kerja Strategi Perencanaan dan Penganggaran Hijau oleh Kementerian Keuangan

untuk menganalisis dampak pada anggaran jika mengambil pendekatan ekonomi hijau.

6 MoF Green Paper (2009): Economic and Fiscal Policy Strategies for Climate Change Mitigation in Indonesia

Page 29: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 11

Strategi dan rencana aksi yang ditetapkan pemerintah Indonesia terkait perubahan iklim

mengacu pada kebijakan-kebijakan yang terkait dengan sektor berbasis lahan, yang

kesemuanya tercantum dalam Tabel 3. Beberapa kebijakan yang dijelaskan dari daftar

kebijakan pada Bab 4, disusun berdasarkan pertimbangan pentingnya kontribusi yang

diharapkan untuk tujuan mencapai pertumbuhan hijau sebesar 5% di sektor-sektor berbasis

lahan, tanpa memerlukan tambahan anggaran dan dengan mempertimbangkan situasi

ekonomi dan kelembagaan. Kajian dilakukan berdasarkan diskusi dengan Kementerian

Kehutanan dan Kementerian Pertanian serta berdasarkan masukan dalam lokakarya para

pemangku kepentingan.

Tabel 3 Daftar Kebijakan Ramah Lingkungan untuk Sektor Berbasis Lahan dalam Kebijakan Saat ini

Kegiatan

Relevansi terhadap ekonomi hijau

Sumber data

Mit

igasi

Resilie

nsi

Eko

n.

berk

ela

nju

tan

Pem

era

taan

Lin

gku

ng

an

RA

N-G

RK

RA

N-A

PI

WB

GG

AA

A

Gre

en

Pap

er

Kehutanan, lahan gambut dan keanekaragaman hayati

Kesatuan Pengelolaan Hutan Y

Izin usaha pembukaan/pemanfaatan hutan: regulasi/penegakan hukum ½

REDD+: hibah, regulasi, insentif, PEP Y Y

Reklamasi lahan basah/mangrove Y

Regulasi untuk budidaya lahan gambut berkelanjutan Y

Rehabilitasi lahan gambut terdegradasi Y

Rehabilitasi hutan Y Y

Hutan Kemasyarakatan/Hutan Tanaman Rakyat/Hutan Rakyat Y

Tukar guling lahan terdegradasi Y

Konservasi hutan untuk ketahanan air dan biodiversitas Y

Rehabilitasi ekosistem terdegradasi Y

Pertanian dan air

Infrastruktur irigasi cerdas iklim Y

Penyiapan lahan pertanian tanpa bakar Y

Peningkatan teknologi perlindungan tanaman Y

Penggunaan pupuk organik dan bio-pestisida Y

Penanaman/pembangunan perkebunan di lahan terdegradasi Y

Pengembangan varietas tanaman yang lebih tahan kekeringan, banjir, dan fluktuasi curah hujan

Y Y

Asuransi pertanian: pendanaan untuk benih, regulasi, penjaminan

Catatan: Bagian yang diberi warna berbeda mengindikasikan bahwa kebijakan tersebut berkontribusi terhadap relevansinya dengan Ekonomi Hijau; Y mennandakan bahwa kebijakan tersebut disitasi dalam referensi

Sumber: RAN AGRK, RAN API, NBSAP, Green Paper (Kemenkeu, 2009)

Strategi dan Kebijakan Kehutanan. Kebijakan Kehutanan dipandu oleh Rencana

Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) tahun 2011-2030. RKTN mengidentifikasi 14 bidang

kebijakan, yang diimplementasikan melalui 50 program aksi untuk melaksanakan kebijakan

ini. 1. Hasil hutan (jasa lingkungan, ekoturisme, HHBK, energi terbarukan, benih).

Page 30: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 12

2. Konsolidasi definisi kawasan hutan dan pemanfaatan.

3. Insentif baru (DAK Kehutanan, Dana Dekonsentrasi, SVLK).

4. Penelitian dan pengembangan.

5. Desentralisasi pengelolaan hutan, termasuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan

peran yang lebih jelas bagi otoritas lokal.

6. Koordinasi lintas sektoral/kementerian, termasuk untuk perdagangan dan jasa

lingkungan DAS

7. Informasi kehutanan

8. Kerja sama internasional

9. Penegakan hukum

10. Konservasi alam, termasuk taman nasional

11. Kontribusi terhadap lingkungan global (REDD+, pengelolaan lahan gambut )

12. Percepatan rehabilitasi hutan dan lahan

13. Diversifikasi hasil hutan, termasuk tanaman non-konvensional kehutanan/

”perkebunan” dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat

14. Perencanaan wilayah

RKTN disesuaikan dengan RENSTRA-KL Kementerian Kehutanan (2010-2014) yang

mengidentifikasi enam prioritas kebijakan yaitu: stabilisasi kawasan hutan; rehabilitasi hutan

dan peningkatan pengelolaan daerah aliran sungai; pengamanan hutan dan pengendalian

kebakaran; konservasi keanekaragaman hayati; revitalisasi industri kehutanan; dan hutan

kemasyarakatan. Hal ini diimplementasikan melalui delapan program dan berbagai macam

kegiatan.

Strategi Kebijakan Pertanian. Kementerian Pertanian telah menetapkan daftar Indikator

Kinerja Kunci (Key Performance Indicator) yang menguraikan rencana pelaksanaan Rencana

Strategis Kementerian Pertanian (RENSTRA Kementan). Strategi ini berfokus pada

beberapa target, yaitu: produksi tanaman unggulan; diversifikasi beras; nilai tambah dan daya

saing; serta pendapatan petani. Setiap unit kerja di Kementerian Pertanian kemudian memiliki

indikator kinerja yang lebih rinci.

Kementerian Pertanian juga telah menetapkan Peta Jalan Pertanian dan Perubahan Iklim

tahun 2011. Peta jalan (road map) tersebut diimplementasikan melalui beberapa kebijakan

sebagai berikut:

1. Kesiapan kelembagaan, termasuk: data dan pemetaan, analisis dampak, penelitian,

penyuluhan dan reformasi regulasi.

Page 31: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 13

2. Mitigasi.

a. Lahan gambut, termasuk pengelolaan lahan gambut yang sudah dibudidayakan

secaraberkelanjutan dan sistem peringatan dini kebakaran.

b. Tanaman pangan, termasuk penggunaan teknologi rendah emisi, pupuk organik,

konversi limbah pertanian untuk energi dan agroforestry.

c. Tanaman perkebunan, termasuk pemanfaatan lahan tidur, peningkatan efisiensi,

konversi limbah pertanian untuk energi, dan peremajaan tanaman perkebunan.

d. Ternak, melalui pengolahan pupuk kandang dan peningkatan efisiensi pemberian

pakan.

e. Irigasi, termasuk perbaikan dan pemeliharaan, untuk mengendalikan dan

menahan laju peningkatan emisi.

3. Adaptasi.

a. Tanah dan air, mengutamakan optimasi pemanfaatan lahan yang tersedia,

daripada memperluas lahan baru, meningkatkan efisiensi penggunaan air dan

teknik penyediaan air.

b. Tanaman pangan, melalui pengembangan varietas tanaman baru, perbaikan

tanah dan pengelolaan air, ekstensi untuk inovasi, diversifikasi dan asuransi

jaminan risiko cuaca.

c. Tanaman perkebunan, melalui pengembangan varietas tanaman baru,

diversifikasi, teknik pengelolaan tanah dan air dan penggunaan jaring pengaman

sosial.

d. Ternak, melalui pengenalan keturunan dan spesies baru, penggunaan konservasi

makanan (misalnya silase), sistem pertanian campuran dan bio-security.

4. Penelitian dan pengembangan di berbagai kebijakan mitigasi dan adaptasi.

5. Program lintas sektor, untuk mempromosikan kerjasama antar-departemen,

termasuk untuk irigasi, industri, perdagangan, transportasi, peraturan perundang-

undangan mengenai lahan dan kehutanan. Program ini juga akan melibatkan sektor

swasta dan masyarakat sipil, termasuk organisasi pertanian.

Kementerian Pertanian telah menetapkan Strategi Teknologi dan Inovasi Pertanian untuk

menghadapi perubahan iklim pada tahun 2007, yang berfokus pada pilihan untuk

memperkenalkan teknik pertanian cerdas iklim (Climate Smart Agriculture). Pada tahun 2009,

Kementerian Pertanian mengeluarkan pedoman bantuan eksternal paralel dengan

penyusunan RENSTRA Kementerian Pertanian tahun 2010-2014. Prioritas utama layanan

Kementerian Pertanian sesuai dengan Renstra antara lain: meningkatkan daya saing dan

kontribusi pertanian terhadap PDB, kemudian mengidentifikasi empat strategi utama, yaitu:

ketahanan pangan, diversifikasi dan keamanan pangan; keberlanjutan dalam konteks

perubahan iklim; aktivitas nilai tambah dan pendapatan petani kecil; serta kesiapsiagaan dan

manajemen bencana.

3.2 Pendapatan dan Belanja Saat Ini

Belanja untuk kebijakan dan kegiatan berbasis ekonomi ramah lingkungan disajikan dalam

Tabel 4. Dari Tabel tersebut dapat dilihat bahwa besaran belanja Kementerian Kehutanan

relatif stabil, sementara belanja Kementerian Pertanian lebih berfluktuasi, terutama yang

Page 32: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 14

berkaitan dengan infrastruktur irigasi, dan juga untuk mendukung program-program pertanian

dalam arti luas, yang terutama disebabkan oleh perubahan besar dalam mendukung program

perlindungan tanaman dan untuk pengurangan kerugian pasca panen.

Tabel 4 Anggaran Pendapatan dan Belanja KKF-PRLSBL Prioritas (2011-2014, Rp miliar)

2011

Realisasi 2011

Anggaran 2012

Anggaran 2013

Anggaran 2014

Anggaran

Pendapatan

Dana Reboisasi (DR) Na na

1.505 na

2.440

Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) Na na

1.305 na

1.790

Penggantian Nilai Tegakan (PNT) Na na na na

640

Iuran usaha kehutanan (9 jenis) Na na na na

292

Total 5.162

Belanja Kehutanan (Kementerian Kehutanan)

Monitoring pembangunan hutan 126 155 153 130 118

Perencanaan DAS 2.073 2.608 2.107 2.229 2.034

Konservasi dan pengelolaan hutan 434 544 556 680 557

Pengelolaan Taman Nasional 465 514 609 719 635

Pengukuhan kawasan hutan 173 187 429 520 532

Penelitian dan pengembangan 194 232 225 251 200

Penyuluhan, KPH, usaha kehutanan 103 178 157 175 131

Kontrol api dan keamanan hutan 61 119 174 173 85

Kegiatan lainnya 262 317 297 327 226

Total 3.889 4.854 4.708 5.204 4.519

Belanja Pertanian (Kementerian Pertanian, kecuali irigasi)

Peningkatan praktik pertanian yang baik 2.328 1.811 2.759 1.191 1.027

Input kegiatan pertanian 1.486 777 482 163 283

Penelitiian dan pengembangan 851 721 901 1.265 1.082

Pertanian perkebunan 1.400 1.706 1.057 719 695

Irigasi dan pengelolaan air (Kementan) 582 677 816 756 641

Infrastruktur irigasi (Kem. PU) 4.168 4.505 157 184 164

Total 10.814 10.196 6.171 4.277 3.892

Pembelanjaan diluar anggaran K/L

Subsidi pupuk 21,049

Subsidi pupuk 16.344 16.400 13.959 16.229 21.049

Subsidi benih 97 120 130 1.454 1.565

DBH SDA kehutanan: PSDH Na

1.087 1.044 1.518 1.447

DBH SDA kehutanan: IIUPH Na

76 30 10 137

DBH SDA kehutanan: Dana Reboisasi (DR) Na

512 602 740 989

DAK kehutanan Na na

490 539 558

DAK pertanian Na na

1.880 2.542 2.580

DAK irigasi Na na

1.349 1.614 2.923

Catatan: lihat Lampiran 1 untuk anggaran kegiatan selengkapnya. Sumber: APBN 2014; Kementerian Kehutanan (2011-2014)

Page 33: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 15

Pengeluaran diluar anggaran kementerian dikelola sebagai berikut:

Subsidi pupuk yang dibayarkan kepada produsen untuk memungkinkan mereka menjual pupuk dengan harga terjangkau dan menguntungkan. Sedangkan subsidi benih biasanya diberikan kepada petani atau masyarakat melalui Kementerian Kehutanan atau Kementerian Pertanian.

DBH adalah transfer ke daerah yang bertujuan untuk mempromosikan pembangunan ekonomi yang lebih merata. Untuk PSDH dan IIUPH, 20% yang dibayarkan kepada Kementerian Kehutanan dan 80% diberikan kepada daerah (16% untuk provinsi dan 64% untuk kabupaten atau kota). Dari 64% proporsi untuk kabupaten/kota, 32% diantaranya diberikan kepada kabupaten/kota penghasil penghasil dan 32% sisanya dibagi rata kepada kabupaten dan kota dalam satu provinsi. Kewenangan penggunaan PSDH dan IIUPH berada di tangan pemerintah lokal. Terdapat beberapa fleksibilitas dalam penggunaannya, tetapi bentuk penggunaan akhir harus disetujui Kementerian Keuangan.

Untuk DR, 60% dikelola oleh Kementerian Kehutanan dan 40% oleh kabupaten atau kota penghasil. Penggunaan DR oleh pemerintah daerah terbatas hanya untuk reboisasi dan rehabilitasi lahan, dan untuk pemerintah pusat dapat pula dipergunakan mendanai kegiatan pendukung termasuk perlindungan hutan, pencegahan kebakaran, kontrol batas, pengawasan, penelitian dan pengembangan serta pengembangan benih.

DAK ini dikelola bersama oleh kementerian dan pemerintah daerah dan penggunaannya disepakati melalui proses diskusi dan negosiasi. Pada tahun 2012, DAK Kehutanan disalurkan ke 382 kabupaten/kota, dan dihasilkan sebanyak 268 laporan pengeluaran dari penggunaan DAK kehutanan. Tabel 5 mengulas kegiatan yang didanai oleh DAK Kehutanan.

Selain itu, dimungkinkan untuk menyediakan hibah yang langsung diberikan kepada pemerintah daerah. Hal ini biasanya dilakukan oleh organisasi-organisasi internasional.

Akhirnya, skema Dana Insentif Daerah (DID) juga disusun untuk memungkinkan pembayaran kepada pemerintah daerah, yang apabila memungkinkan disusun berdasarkan kinerja pada indikator agregat emisi karbon atau indikator terkait seperti area deforestasi atau reforestasi, dan kejadian kebakaran lahan gambut.

Tabel 5 Kegiatan-kegiatan DAK Kehutanan

Kegiatan DAK 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Peningkatan fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS)

Peningkatanfungsi hutan mangrove danpesisir

Perluasan/pembangunan hutan

Rehabilitasilahan di luar kawasan hutan pada berbagai ekosistem

Rehabilitasi lahan kritis di dalam kawasan hutan

Pengelolaan taman nasional

Bangunan konservasi tanah dan air

Fasilitasdan infrastruktur hutan lindung

Fasilitasdan infrastruktur taman nasional

Fasilitas dan infrastruktur KPH

Peningkatan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS)

Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan Sumber: Medrilzam (2013)

Page 34: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 16

Kotak 3 Dana Reboisasi (DR)

DR merupakan instrumen untuk memperoleh pendanaan reboisasi dan rehabilitasi hutan melalui retribusi berdasarkan volume kayu. Sebesar 60% dari pendapatan DR dialokasikan untuk pemerintah pusat dan 40% masuk ke pemerintah kabupaten/kota, sesuai dengan jumlah retribusi yang diterima dari masing-masing kabupaten/kota, dan persyaratan untuk rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Mandat DR adalah untuk mendukung reboisasi dan rehabilitasi lahan dan hutan yang rusak; Namun, penggunaannya sering tidak digunakan sebagaimana diamanatkan7. Antara tahun 2004 dan 2006, dilakukan pembaruan peraturan untuk meningkatkan implementasi penggunaan DR. Bagian DR untuk Pemerintah Daerah tidak lagi diperlakukan sebagai bagian dari Dana Alokasi Khusus (DAK-DR) tetapi termasuk dalam Dana Bagi Hasil Sumberdaya Alam (DBH SDA-DR), dan semua dana DR daerah dialokasikan langsung ke pemerintah kabupaten/kota (tidak ke pemerintah provinsi).

Lembaga pembiayaan seperti BP2H, yang didirikan pada tahun 2007 menyediakan dana

bergulir untuk pembangunan hutan. BP2H menerima Rp 2,5 triliun antara tahun 2010 dan

2014, untuk menyediakan pinjaman lunak pembangunan hutan dengan tingkat bunga 6% dan

masa tenggang 8 tahun. Pinjaman ini tersedia untuk kegiatan masyarakat, termasuk:

penanaman di hutan produksi (>15ha per-kelompok); hutan kemasyarakatan (>2 hektar per-

kk); dan penundaan penebangan hutan rakyat ("kredit tunda tebang hutan rakyat"). Fasilitas

dana bergulir (FDB) adalah skema yang lebih luas dalam rangka memberikan pinjaman, bagi

hasil, usaha patungan dan partisipasi syariah untuk setiap perusahaan, termasuk perusahaan

milik negara, perusahaan swasta dan instansi. Dana ini tersedia untuk usaha di sektor

kehutanan maupun pertanian.

Pada umumnya pengelolaan dana internasional masih mengikuti mekanisme yang dipercaya

atau dikembangkannya sendiri, walaupun dalam beberapa hal juga dapat dijalankan dengan

sistem pemerintah (misalnya DAK atau hibah). Ada dua lembaga pengelola dana

internasional untuk perubahan iklim di Indonesia, yaitu: pertama, Lembaga amanat dana

perubahan iklim internasional atau the Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) dikelola

oleh Bappenas dan digunakan terutama untuk: mitigasi berbasis lahan (terutama terkait

dengan upaya mengurangi deforestasi dan restorasi lahan gambut); mitigasi energi; dan

adaptasi. Kedua, terdapat pula dana untuk REDD+ di Indonesia (FREDDI) yang juga

merupakan dana perwalian dan dikelola oleh Badan REDD+. Mekanisme kelembagaan

REDD+ masih dikembangkan, mencakup penguatan kelembagaan, prioritas pemerintah

daerah, hibah kompetitif dan program hibah kecil.

Ada 31 sumber pendapatan kehutanan yang diharapkan dapat memberikan kontribusi

terhadap pendapatan publik sebesar Rp 5.017 miliar dalam anggaran 2014. Sumber-sumber

pendapatan negara bukan pajak (PNBP) kehutanan diatur dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 12/2014 (yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 22/1997 sebagaimana

telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59/1998)8 sebagai berikut (Lampiran 2

menyajikan daftar lengkap sumber PNBP kehutanan):

7 Kementerian Keuangan (2009) 8 Sampai dengan terbitnya PP 12/2014, PNT dipungut berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 22/1997 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 59/1998. Padahal PP yang diacu oleh Peraturan Menteri Kehutanan itu tidak menyebut PNT, sehingga landasan hukum pemungutan PNT sangat lemah. Akibatnya, dana PNT yang dipungut sebelum keluarnya PP 12/2014 tidak dapat didistribusikan.

Page 35: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 17

Dana Reboisasi (DR – Rp 2.440 miliar dalam anggaran 2104) dikumpulkan sebagai

biaya tetap per meter kubik kayu hutan alam dan ditujukan untuk membiayai DAK

Kehutanan. Biaya tetap mencerminkan biaya penanaman kembali pada lahan kritis.

Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH Rp 1.790 miliar) dikenakan pada semua produksi

kayu dari izin pemanfaatan kayu dan 10% dari nilai kayu yang dihasilkan, untuk pohon

berdiameter> 30 cm.

Penggantian Nilai Tegakan (PNT - Rp 640 miliar) dipungut untuk memastikan bahwa

perusahaan hanya memperoleh keuntungan normal dari aktifitas penebangan hutan

alam dan selisihnya dibayarkan kepada negara. Biaya dihitung sebagai nilai produksi

kayu dikurangi DR dan PSDH.

Ada sembilan jenis biaya perizinan dengan total PNBP sebesar Rp 292 miliar untuk

beberapa izin usaha yang berbeda (IIUPHHK-HA/RE/HTR/HKM/HD, THPB,

IIUPHHBK, IIUPJL, IIUPJJK).

Ada juga berbagai sumber pendapatan yang lebih kecil, termasuk diantaranya ganti

rugi tegakan (GRT)9, dua jenis denda; dua biaya yang berkaitan dengan pemanfaatan

alam dan empat terkait dengan penggunaan air; tiga biaya yang terkait dengan

penggunaan benih; tujuh biaya yang berkaitan dengan penggunaan penelitian dan

informasi.

Selain itu, perusahaan kehutanan tunduk pada regulasi tentang pajak negara (yaitu

pajak penghasilan - PPh, pajak pertambahan nilai – PPn, dan pajak bumi dan

bangunan pajak - PBB) dan pungutan sah atau retribusi yang dibebankan oleh

pemerintah daerah.

Total pendapatan Kehutanan diharapkan mencapai Rp 5,017 Triliun, sementara pendapatan

untuk pertanian sangat kecil, sekitar Rp 29 Miliar yang berasal dari hasil penjualan tanaman

dan ternak dan sedikit pendapatan dari irigasi.

9 Ganti Rugi Tegakan (GRT) adalah pungutan sebagai pengganti nilai tegakan yang rusak dan atau hilang akibat dari perbuatan melanggar hukum pidana sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan –lihat Permenhut 52/2014.

Page 36: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 18

4 Komponen Kebijakan Kunci KKF-PRLSBL

Setiap kebijakan kunci akan dinilai dengan menggunakan aspek berikut:

Konteks, termasuk peluang dan tantangan atas suatu kebijakan.

Koherensi, konsistensi dan sinergi (saling melengkapi) dengan kebijakan lain.

Kendala kelembagaan, termasuk berbagai kepentingan instansi terkait (pemerintah

dan swasta) yang berpotensi menghambat keberhasilan kebijakan dan tindakan yang

memungkinkan untuk menghapus kendala.

Efektivitas dan efisiensi dalam memberikan manfaat dan implikasi dari perubahan iklim

dan kehilangan atau degradasi sumber daya alam

Dampak yang diharapkan dan keberlanjutan manfaat

Anggaran terbaru

Pemantauan

4.1 Kehutanan

Menurut BPS, nilai nominal PDB kehutanan sebenarnya cenderung naik atau setidaknya

secara riil statis, sejak tahun 2004. Namun demikian, kontribusi relatif kehutanan terhadap

PDB terus mengalami penurunan dari 1,05% pada tahun 2004 menjadi hanya sebesar 0,63%

pada tahun 2013. Pada tahun 2013 kehutanan memberikan kontribusi sekitar Rp 57 triliun

terhadap PDB berdasarkan harga berlaku. Dua PDB produk turunan yang juga tergantung

pada hutan, yaitu: produk kayu, yang memberikan kontribusi Rp 94,7 triliun pada harga saat

ini dan kurang lebih tetap statis pada periode tahun 2004-2013; dan produk kertas dan

percetakan, yang cenderung mengalami peningkatan dan memberikan peningkatan kontribusi

dari Rp 72,8 triliun tahun 2013 pada harga berlaku.

Selain peningkatan kontribusi terhadap PDB, sektor kehutanan juga diharapkan mengambil

peran penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Pada tahun 2008,

tercatat sekitar 17% penduduk Indonesia tinggal di pemukiman sekitar hutan yang

diklasifikasikan sebagai “masyarakat desa hutan” dan 32% dari masyarakat di desa-desa ini

tergolong miskin.

Tabel 6 menyajikan kawasan hutan di bawah pengelolaan Kementerian Kehutanan. Lebih

lanjut, terdapat area hutan tanaman dengan luasan sebesar kurang lebih 9,4 juta ha pada

tahun 2010 menurut statistik FAO.

Page 37: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 19

Table 6 Klasifikasi dan luas kawasan hutan (juta hektar, 2012)

Tutupan Vegetasi

Kawasan Hutan Non-

Kawasan Hutan

Luas Daratan

HL KSA/PA HP HPT Total HPK Total APL

Berhutan 24.8 16.0 20.3 18.8 79.8 10.3 90.1 8.6 98.7

Tidak Berhutan

7.4 5.2 13.9 4.0 30.6 10.6 41.1 48.0 89.2

Total 32.2 21.2 34.1 22.8 110.4 20.9 131.3 56.6 187.8 Catatan: HL=Hutan Lindung; KSA/KPA=Kawasan Suaka Alam; HP=Hutan Produksi; HPT=Hutan Produksi

Terbatas; HPK=Hutan Produksi Konversi; APL=Area Penggunaan Lain Sumber: Statistik Kemenhut (2012)

Menurut UU Kehutanan 41/1999, ada tiga jenis pemanfaatan hutan yang dapat dilakukan di

hutan lindung dan hutan produksi, yaitu: izin usaha pemanfaatan kawasan (IUPK), izin usaha

pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL) dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan (IUPHH),

dengan beberapa variasi dan aturan (Dermawan et al. 2011). Izin usaha pemanfaatan hasil

hutan terdiri atas beberapa macam, antara lain: Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

(IUPHHK), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK), Izin Pemungutan

Hasil Hutan Kayu (IPHHK) dan Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK). Izin

pemungutan hasil hutan dikeluarkan untuk usaha kecil, dengan luasan area yang lebih kecil

dan jangka waktu yang lebih pendek. Sementara, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

(IUPHHK) terdiri dari beberapa jenis, antara lain: Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

Hutan Alam (IUPHHK-HA) yang dahulu dikenal dengan sebutan Hak Pengusahaan Hutan

(HPH), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) dan

Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT), yang terdiri dari

Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR).

Ada banyak perbedaan data, termasuk perbedaan definisi hutan, klasifikasi hutan, dan

berbagai analisis data dan metode. Hal ini menyebabkan perbedaan dalam memperkirakan

tutupan hutan dan deforestasi. Data luas kawasan hutan belum terintegrasi dan laju

deforestasi di Indonesia berbeda-beda tergantung pada sumber yang dipergunakan, dan

perbedaan terjadi dari tahun ke tahun (Indrarto et al. 2012).

Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN) saat ini sedang diperkenalkan di Indonesia ( 'One

Map' Policy atau kebijakan peta tunggal). Kebijakan ini bertujuan membuat data deforestasi

lebih mudah tersedia dan konsisten. Google.com baru-baru ini juga meluncurkan sebuah

akses peta penginderaan jarak jauh yang terbuka untuk seluruh dunia, yang sangat berguna

untuk mengidentifikasi dan melacak terjadinya deforestasi di berbagai negara.

(http://earthenginepartners.appspot.com/science-2013-global-forest).

Page 38: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 20

Kotak 4 Beragam Manfaat Hutan

Kebijakan kehutanan bertujuan untuk menyeimbangkan berbagai manfaat hutan, termasuk: ekstraksi kayu, hasil hutan bukan kayu (HHBK), manfaat DAS, keanekaragaman hayati dan manfaat rekreasi. Data lengkap tentang nilai ekonomi hutan di Indonesia masih sangat terbatas, tetapi ada beberapa literatur yang dapat dipergunakan sebagai referensi. Pearce (2001) berdasarkan serangkaian studi membuat estimasi nilai manfaat ekonomi hutan tahunan sebagai berikut (dalam USD/ha/tahun): ekstraksi kayu yang berkelanjutan 30-266; kayu bakar 40; HHBK 0-100; manfaat DAS 15-850; dan rekreasi 2-470. Selain itu, ada manfaat dan biaya yang terkait dengan penebangan hutan alam: ekstraksi kayu 200-4.400; keanekaragaman hayati 0-3.000; dan simpanan karbon 360-2.200 (dengan asumsi harga karbon USD 37/tCO2e).Sebuah penelitian valuasi SDH di Indonesia menunjukkan rentang nilai yang berbeda, tetapi juga menunjukkan pentingnya nilai manfaat ekonomi hutan (Yusran dan Darusman, 2003).

Pedoman IPCC merekomendasikan untuk menggunakan nilai standar perhitungan stok karbon biomassa di atas tanah dan pertumbuhan bersih di hutan hujan tropis: untuk hutan alam, stok material kering 300 ton/ha dan pertumbuhan dari 7 ton/ha material kering; dan untuk perkebunan, stok 150 ton/ha material kering dan pertumbuhan dari 15 ton/ha/tahun material kering. Tingkat pertumbuhan tanaman yang lebih tinggi dimungkinkan dengan penanaman jenis cepat tumbuh seperti Eucalyptus. Gambaran ini mengacu pada asumsi 20 tahun pertama

pertumbuhan hutan. Secara umum produktifitas hutan tropis semakin menurun (misalnya hutan kering atau hutan pegunungan) serta memiliki stok dan pertumbuhan tegakan yang secara signifikan lebih rendah. Pada umumnya angka yang sebenarnya ditaksir kurang lebih sebesar 20% dari nilai-nilai standar.

Harga kayu di pabrik sangat bervariasi di seluruh Indonesia, dengan harga tertinggi berada di Jawa, khususnya untuk produsen kecil, karena pasar yang lebih kompetitif. Rata-rata harga di pabrik adalah antara Rp 250.000 dan Rp 500.000/ton, dengan total output sekitar Rp 75 juta/ha, dan asumsi panen dari sekitar 200 ton/ha kayu. Pangsa nilai tambah (yaitu pendapatan tenaga kerja dan keuntungan) dalam total output untuk kegiatan berbasis lahan biasanya sekitar 70%, menurut tabel input-output, menunjukkan bahwa penebangan hutan alam menyumbang sekitar Rp 50 juta/ha terhadap PDB. Untuk lahan perkebunan, dengan asumsi panen tahunan rata-rata 15 ton/ha/thn, rata-rata kontribusi terhadap PDB adalah sekitar Rp 4 juta/ha/tahun. Untuk pengelolaan hutan alam, dengan asumsi panen tahunan 7 ton/tahun, rata-rata kontribusi terhadap PDB sekitar Rp 2 juta/ha/tahun.

Sekitar tiga perempat dari stok karbon hutan berada di atas tanah.Bagian dari stok yang dapat diekstrak sebagai kayu bulat meningkat dari sekitar 50% pada 50 tahun pertama menjadi sekitar 70% setelah 100 tahun. Kandungan material kering dari kayu keras bervariasi antara 0,6 dan 0,8 t/m3 dan kandungan karbon kayu biasanya diperkirakan 0,5 tC/ton material kering, atau 1,8 tCO2e/ton material kering. Dengan demikian, penebangan hutan hujan tropis menyebabkan hilangnya cadangan karbon sekitar 300 tCO2e/ha, sementara hasil pengelolaan hutan lestari menghasilkan keuntungan bersih sekitar 8 tCO2e/ha/tahun dan hutan tanaman memberikan keuntungan bersih sekitar 16 tCO2e/ha/tahun.

Emisi dari pengeringan lahan hutan hujan tropis diperkirakan sebesar 3 hingga 14 tCO2e/ha/tahun.Dalam hutan hujan tropis yang sudah mencapai klimaks, secara umum emisi bersih antara penyerapan dan pengeluaran karbon akan mendekati titik keseimbangan.

Page 39: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 21

4.1.1 Pengendalian deforestasi: perizinan dan penerimaan kehutanan

Konteks dan dimensi ramah lingkungan. Penebangan liar merupakan masalah besar di

Indonesia. Data estimasi proporsi kayu ilegal sangat beragam. Sebuah artikel yang

merangkum lima estimasi proporsi kayu ilegal di Indonesia berkisar antara 19% sampai 57%,

bahkan dua laporan memperkiraan lebih dari 70% (Luttrell et al., 2011). Kajian ini

menggunakan estimasi proporsi kayu ilegal sekitar 40%.

Pembalakan liar didorong oleh dua faktor ekonomi utama, yaitu: pertama, keuntungan yang

tinggi dari menjual kayu; dan, kedua, keuntungan selanjutnya yang didapatkan dari

menggunakan lahan hutan untuk keperluan pertanian, termasuk perkebunan, khususnya

kelapa sawit. Net Present Value dari marjin penjualan kayu yang ditebang dan dari hasil

perkebunan di atas lahan hutan yang telah ditebang sangat tinggi. Margin ini jauh lebih tinggi

daripada yang dapat diperoleh dari usaha pengelolaan hutan lestari.

Kebijakan. Karena insentif dari kegiatan deforestasi sangat tinggi, maka perlu adanya

kebijakan yang menggabungkan insentif dan regulasi. Dalam banyak kasus, kebijakan

sebenarnya sudah ada dan apa yang diperlukan sesungguhnya adalah memperkuat insentif

dan penegakan hukum. Kebijakan utama yang dilakukan pemerintah adalah sebagai berikut.

• Melanjutkan moratorium izin baru untuk konversi hutan. Menurut angka resmi, moratorium

izin baru telah membantu memperlambat deforestasi, meskipun pemegang izin yang telah

ada masih diperbolehkan membuka hutan.

• Penegakan hukum untuk mencegah deforestasi. Pada kenyataannya, deforestasi

cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir, meskipun angka deforestasi resmi

besarnya berfluktuasi. Pengendalian deforestasi ilegal merupakan prioritas utama KKF-

PRLSBL. Secara teori, hukum memungkinkan pemerintah untuk menuntut individu dan

perusahaan yang terlibat dalam pembalakan liar. Namun, dalam praktiknya banyak pelaku

pembalakan liar dan perambahan hutan hanya dihukum ringan.

• Fee dan royalti kehutanan pada dasarnya dirancang untuk memungut sebesar mungkin

surplus keuntungan dari kegiatan deforestasi dan mengurangi insentif untuk kegiatan

tebang habis. Namun, dalam praktiknya disinsenif melalui pungutan-pungutan kehutanan

tersebut tidak selalu berfungsi secara efisien. Bahkan, fee dan royalti dapat membuat

insentif buruk, mendorong pemerintah menerbitkan izin untuk meningkatkan pendapatan,

terutama oleh pemerintah daerah.

• Pemberlakuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di seluruh Indonesia, untuk hutan

tanaman skala besar, dan juga pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

Koherensi, konsistensi dan sinergi. Ada beberapa ketidaksinkronan kewenangan antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah atas tanggung jawab untuk mengumpulkan

pendapatan dan beberapa kewenangan pengeluaran di sektor kehutanan (lihat Lampiran 3).

Dalam banyak kasus, keberadaan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) benar-benar

menciptakan insentif bagi pemerintah daerah mempercepat pemanfaatan hutan untuk tujuan

produktif, terutama untuk meningkatkan pendapatan daerah.

Page 40: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 22

Besaran tarif yang ditetapkan untuk DR dan PSDH yang telah berlaku enam tahun perlu

ditinjau kembali, untuk memastikan bahwa disinsentif ini sudah cukup untuk memengaruhi

keputusan pelaku usaha dalam pembukaan hutan.

Kerusakan hutan juga disebabkan oleh kurangnya informasi dan kesadaran pelaku usaha

tentang prosedur pengelolaan hutan lestari dan terbatasnya kesempatan untuk berbagi

informasi. Dalam banyak kasus, pengusaha dan masyarakat tidak memanfaatkan hutan

dengan prosedur yang benar, sehingga mereka tidak dapat beroperasi secara efisien dan

kelestarian hutan tidak terjaga.

Efisiensi, efektivitas, dampak dan keberlanjutan. Biaya transaksi yang terkait dengan

berbagai insentif yang tinggi akan menciptakan hambatan untuk pengelolaan hutan yang

efisien, mengurangi pendapatan hasil usaha dan menjadi disinsentif bagi usaha kehutanan

yang sah. Hal ini terutama terlihat dari kesulitan yang dialami dengan pelaksanaan proyek

berbasis DR. Banyak provinsi memiliki saldo besar dari iuran kehutanan dan biaya yang

belum dibayar.

Kelembagaan. Insentif yang tersedia dalam peraturan saat ini tidak cukup besar untuk

mendorong pengelolaan hutan lestari, kecuali para pengambil keputusan secara

kelembagaan didorong untuk lebih memerhatikan keuntungan non-komersial, seperti manfaat

keanekaragaman hayati dan DAS, serta keseimbangan insentif hulu-hilir dalam rangka

mendukung pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan. Hal ini juga akan mempengaruhi

insentif bagi pemegang hak pemanfaatan hutan, pemerintah daerah, dan LSM.

Implikasi fiskal. Hilangnya pendapatan pemerintah yang hilang dari sektor kehutanan

berdampak serius dan estimasi nilainya sangat beragam. Salah satu laporan menyebutkan

bahwa pemerintah kehilangan pendapatan sekitar Rp 20 triliun pada tahun 2006 (Human

Rights Watch, 2009). Kerugian ini berasal dari berbagai sumber, termasuk fee dan royalti

yang hilang, kerugian dari penggelapan pajak, serta kerugian yang terkait dengan praktik-

praktik penetapan harga yang tidak adil. Estimasi kehilangan pendapatan dari sektor

kehutanan ini tergolong tinggi, mengingat bahwa pendapatan dari hutan hanya Rp 5,2 triliun

dalam anggaran 2014, dan kontribusi kehutanan dalam angka PDB resmi sekitar Rp 57 triliun.

Pendekatan sederhana untuk memperkirakan pendapatan yang hilang akan diperoleh dengan

asumsi bahwa pembalakan liar sepenuhnya dikenakan pajak dan jumlahnya sekitar 40% dari

total penebangan, maka anggaran pendapatan dari kegiatan kehutanan akan meningkat dari

Rp 5,2 triliun menjadi Rp 8,7 triliun. Dalam kasus apapun, penghentian deforestasi secara

bertahap dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun akan berarti bahwa pendapatan saat ini yang

diperoleh dari deforestasi (yang diperkirakan sebesar Rp 2,0 triliun, jika diasumsikan 40% dari

pendapatan total hutan), akan hilang pada tahun 2025.

Jika rencana pengenaan pungutan pajak hasil pertanian tetap dilaksanakan (tidak dibatalkan

oleh Mahkamah Konstitusi), maka perkiraan potensi pendapatan dari peningkatan

pemungutan pajak dari sektor minyak kelapa sawit menunjukkan pendapatan tambahan yang

dapat diperoleh lebih dari Rp 100 triliun (Prastowo, 2014). Tidak ada aturan bahwa pajak

hasil pertanian harus dialokasikan secara khusus untuk prioritas KKF-PRLSBL. Dalam

praktiknya, kontribusi terbesar terhadap perekonomian berkelanjutan adalah regulasi yang

mengatur pengendalian perkebunan kelapa sawit, sehingga akan mengurangi tekanan untuk

ekspansi kebun ilegal. KKF-PRLSBL mengasumsikan bahwa potensi peningkatan

Page 41: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 23

pendapatan akan dicapai selama 5 tahun dan 10% dari perbaikan akan tersedia untuk

prioritas KKF-PRLSBL di sektor kehutanan.

4.1.2 Pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM)

Konteks dan dimensi ramah lingkungan. Terdapat tradisi panjang kehutanan masyarakat

di Indonesia, termasuk dukungan untuk Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD),

dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR).

Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah salah satu cara untuk menghindari

akses terbuka terhadap kawasan hutan, serta mempromosikan pemanfaatan hutan yang lebih

produktif dan berkelanjutan melalui penguatan lembaga untuk mengelola sumber daya hutan

di tingkat tapak. Sebanyak 600 KPH direncanakan dibangun, termasuk yang terkait dengan

fungsi produksi (KPH-P), lindung (KPH-L) dan konservasi (KPH-K). Saat ini hampir 200 KPH

sudah ditetapkan dari rencana untuk membangun 600 KPH dalam kurun waktu sekitar 4

tahun. Dari 80 KPH yang telah aktif, 17 KPH diantaranya telah membuat rencana usaha

(business plan) jangka panjang.

Selain mendorong terbentuknya KPH, pemerintah melalui Rencana Kehutanan Tingkat

Nasional (RKTN 2011) juga telah mengalokasikan sekitar 6 juta ha untuk pengusahaan hutan

skala kecil atau kurang 5% dari 130 juta ha kawasan hutan. Walaupun telah mendapatkan

perhatian, namun luas yang dialokasikan untuk pengusahaan hutan skala kecil dalam RKTN

masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan luas kawasan hutan yang dialokasikan untuk

konsesi skala besar seluas 41% dari kawasan hutan (52 juta ha).

Kebijakan. Tujuan kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) adalah untuk

meningkatkan area pengelolaan hutan bersama masyarakat dan memastikan bahwa sumber

daya alam dikelola dengan cara yang lestari.

Kebijakan pendukung KPH diperlukan untuk memastikan agar kawasan hutan yang

sangat luas dapat dikelola dengan baik, terkait pemanfaatan hasil hutan baik kayu

maupun bukan kayu secara berkelanjutan dan perlindungan hutan dari tindakan-

tindakan ilegal. Kementerian Kehutanan menjalankan program untuk menginisiasi

pembentukan KPH dengan alokasi dana sebesar Rp 9 miliar/tahun per KPH untuk 80

KPH-P. Dana inisiasi pembentukan KPH ini dipergunakan untuk rekrutmen karyawan,

pembangunan kantor, dan pengadaan kendaraan.

Skema kredit untuk PHBM dimulai pada tahun 1988 melalui kegiatan usaha tani

konservasi Daerah Aliran Sungai (KUK-DAS) terpadu antara intensifikasi pertanian

dan penerapan konservasi tanah, yang disalurkan sebesar Rp 42 miliar antara tahun

1988 dan 1998. Skema kredit untuk pengembangan kelompok usaha hutan rakyat

(KUHR) yang disalurkan sebesar Rp 108 miliar antara tahun 1997 dan 2000. Tingkat

pengembalian atas pinjaman awal ini sangat rendah. Dilanjutkan dengan BLU P2H

(Pembiayaan Pembangunan Hutan) yang diluncurkan pada tahun 2007. Sebuah

laporan pada tahun 2010 menunjukkan bahwa masih perlu peningkatan kesadaran

para peminjam untuk tidak menggunakan skema untuk tujuan selain kehutanan.

Page 42: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 24

Dana Alokasi Khusus (DAK) membuka ruang kepada pemerintah pusat untuk

mendukung kegiatan kehutanan. Dana Reboisasi (DR) adalah bagian dari sistem DAK

dan ditujukan khusus untuk kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan.

Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kegiatan PHBM meliputi Hutan

Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), pola

kemitraan, dan Hutan Rakyat (HR).

Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan izin usaha kehutanan dan pungutan

kehutanan, baik yang bersifat fee maupun royalti.

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) juga dapat memperoleh manfaat

dari kebijakan yang memberikan insentif berupa Imbal Jasa Ekosistem (IJE). Sebagian

besar skema IJE yang sejauh ini telah dikembangkan berupa imbal jasa pasokan air

bersih dan atau fungsi tata air, karena pengguna merasakan manfaat yang nyata

sehingga bersedia memberikan sumber dana untuk IJE. Berdasarkan berbagai

pengalaman IJE yang terkait dengan pasokan air bersih atau tata air, inisiatif PHBM

juga berpotensi untuk dikembangkan dalam beberapa skema pembayaran IJE untuk

jasa lingkungan lainnya, misalnya keanekaragaman hayati dan karbon, melalui skema

REDD+. Detail lebih lanjut dijelaskan lebih detil pada bagian 4.1.6.

Skema REDD+ dapat dilaksanakan pada level KPH maupun dalam PHBM yang akan

dijelaskan lebih lanjut di Kotak 5.

Kebijakan-kebijakan pengembangan KPH dan PHBM memerlukan dukungan

Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah, baik untuk bantuan teknis maupun

dalam hal penegakan hukum. Secara khusus, upaya-upaya penegakan hukum harus

diarahkan untuk mencegah pembalakan liar, dimana KPH memerlukan dukungan

hukum yang kuat dan aparat kepolisian yang memadai.

Page 43: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 25

Kotak 5 REDD+

Program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) di negara berkembang adalah respon UNFCCC untuk memberikan dukungan keuangan dan teknis dari negara-negara maju untuk membatasi deforestasi dan degradasi hutan. Rencana internasional untuk REDD yang dimulai pada tahun 2009 dan telah meluas menjadi REDD+, yang mencakup konservasi dan pengelolaan hutan .Praktik standar internasional mengadopsi tiga fase untuk implementasi: kesiapan (termasuk rencana dan lembaga); pelaksanaan (melibatkan pembangunan kapasitas dan demonstrasi); dan pembayaran untuk kinerja (dimana pembayaran dilakukan untuk hasil yang terkait dengan mitigasi). Hasil yang diterima juga dapat diperluas untuk keanekaragaman hayati dan, bahkan, mata pencaharian yang berkelanjutan. Namun, ada beberapa contoh dimana REDD+ telah bergerak di luar fase kesiapan. Kemajuan program REDD+ terhambat oleh buruknya kinerja pasar karbon internasional. Pembentukan Lembaga REDD+ di Indonesia diharapkan dapat mempercepat kemajuan program REDD+.Keberhasilan penguatan kelembagaan REDD+masih memerlukan kebijakan lebih lanjut. Dana REDD+untuk Indonesia (FREDDI) yang dikelola oleh Badan REDD+, terlibat dalam hibah percontohan kecil yang bertujuan untuk cepat bertindak dengan dampak tinggi dan berkelanjutan, sejalan dengan pentahapan yang lebih luas untuk percontohan dan scale-up REDD+ (BP REDD+, 2014).

Ada empat tantangan utama yang terkait dengan keuangan REDD+ (Angelsen et al, 2012.), yaitu: mendefinisikan biaya dan pembiayaan; memobilisasi pembiayaan yang memadai; mengalokasikan dan menyalurkan pembiayaan secara efisien; dan memenuhi harapan penerima dan pemberi dana. Di Indonesia, pengalaman dari Program Karbon Hutan Berau (PKHB) menunjukkan bahwa tantangan utama di tingkat lokal adalah ambiguitasperan antara pemerintah kabupaten dan provinsi; metodologi akuntansi dan indikator pengukuran stok karbon dan insentif pembiayaan yang memadai (OPM, Juli 2014).

Setidaknya ada empat komponen biaya utama dalam REDD+, yaitu::biaya kesempatan penggunaan lahan; pengembangan kesiapan REDD+; pelaksanaan REDD+; dan biaya transaksi REDD+ untuk pasar kredit karbon (Prasetyo, 2013). Perkiraan biaya kesempatan pengembangan REDD+ bagi Indonesia bervariasi dari USD 1.590/ha/tahun (Wertz-Kanounnikoff dan Kongphan-Apirak, 2009) untuk NPV USD 10.330/ha dan daur lebih dari 25 tahun (Prasetyo, 2013). Readiness dan biaya start-up sekitar USD 25/ha (Prasetyo, 201310);

biaya implementasi sekitar USD 0.51/tCO2e; dan biaya transaksi sekitar USD 0.38/tCO2e.

Emisi gas rumah kaca bersih rata-rata konversi hutan alam untuk perkebunan kelapa sawit sekitar 149tCO2e/ha (yaitu stok karbon hutan alam dari 225 tCO2e/ha menjadi stok karbon kelapa sawit kurang dari 76tCO2e/ha), menunjukkan biaya kegiatan REDD+ per-satu hektar hutan, termasuk biaya kesempatan, adalah sekitar USD 25 untuk biaya set-up dan sekitar

USD 130 untuk biaya tahunan transaksi dan implementasi. Biaya peluang tidak mencakup seluruh manfaat penurunan deforestasi, karena pada umumnya biaya non-pasar tidak diperhitungkan. Melalui metode penilaian Kontingensi, biaya non-pasar adalah USD 2,3 miliar, yang diperkirakan berasal dari keuntungan rata-rata USD 130/ha, untuk 18 juta ha areal konsesi (Caravani, 2011).

REDD+ juga dapat didanai baik di bawah skema APBN maupun anggaran daerah (APBD). APBN 2014 untuk REDD+ adalah Rp 8,6 triliun. Pendanaan dapat dikaitkan langsung dengan arus masuk pembiayaan karbon internasional, terutama untuk REDD+. DAK juga dapat digunakan secara langsung untuk program REDD+.

Koherensi, konsistensi dan sinergi. Tidak terdapat inkonsistensi substansial di antara

kebijakan-kebijakan yang mengatur tentang Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

10 Prasetyo berasumsi bahwa pendapatan dari penebangan kayu (up front) sebesar USD 1.099/ha; rata-rata hasil tbs kelapa sawit 3.89 t/ha; biaya pembangunan USD 3800/ha; biaya tahunan USD 280/ha; dan bunga diskonto 5,75%.

Page 44: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 26

(PHBM). Namun demikian, terdapat beberapa inkonsistensi antara kebijakan PHBM dan

kebijakan-kebijakan lainnya, yang akan dibahas dalam bagian 5.1.

Efisiensi, efektivitas, dampak dan keberlanjutan. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)

mencerminkan kesadaran bahwa Kementerian Kehutanan tidak memiliki sumberdaya untuk

mengelola secara efektif semua lahan hutan. Pemberdayaan KPH yang melampaui beberapa

tanggung jawab pengelolaan kepada masyarakat, dalam pertukaran hak untuk mengelola

lahan secara berkelanjutan. Pada umumnya KPH memiliki sumberdaya terbatas. Secara

teori, seorang rimbawan (pegawai KPH) hanya dapat mengawasi areal hutan sekitar 10

hektar. Artinya, KPH dengan luas 100.000 hektar akan membutuhkan 10.000 orang, yang

jauh melampaui ketersediaan sumberdaya manusia yang memiliki kapasitas dan tertarik

untuk bekerja di hutan.

Tingkat bunga dibatasi oleh pendapatan yang diterima. Secara teori, ekstraksi kayu yang

berkesinambungan dari 1 ha hutan alam sekitar 7 ton/tahun akan memberikan pendapatan

kotor sekitar Rp 7 juta. Jika margin pada pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan yang

berasal dari hutan tanaman (yaitu sekitar 50%) akan memberikan penghasilan tahunan sekitar

Rp 3,5 juta. Hal ini berarti diperlukan luas pemanfaatan hutan antara 5 ha sampai 10 ha per

orang untuk mendapatkan penghasilan yang kira-kira sebanding dengan rata-rata PDB per

kapita Indonesia dan upah minimum provinsi11.Dalam praktiknya, biaya pemanenan pohon di

hutan alam cenderung lebih tinggi daripada di hutan tanaman.

Pendapatan dari PHBM yang berkelanjutan perlu dibandingkan dengan pendapatan dari

konversi/penebangan hutan yang biasanya memberikan keuntungan sekitar Rp 150 juta/ha,

dan kemudian menggunakan lahan untuk pertanian, yang dalam kasus kelapa sawit,

menghasilkan manfaat tahunan Rp 10 juta – Rp 30 juta/ha dan menghasilkan Nilai Kini Bersih

(NPV) antara Rp 50 juta-Rp 300 juta/ha (Budidarsono et al., 2012, World Growth, 2011).

Efektivitas KPH dan PHBM perlu dilihat dalam konteks berbagai manfaat yang dihasilkan

secara menyeluruh dan kesulitan atau hambatan untuk penyediaan insentif (Subarudi,

Achmad et al. 2014). Dalam praktiknya, ada tantangan dalam mendorong masyarakat untuk

berbagi keuntungan hasil ekstraksi kayu dan penggunaan lahan untuk tanaman campuran

kehutanan dan pertanian yang berkelanjutan. Salah satu opsi yang paling efektif, misalnya

melalui pola agroforestry (Maryudi dan Krott, 2012).

Angka standar IPCC menunjukkan bahwa PHBM, termasuk pola agroforestry, diperkirakan

dapat memanfaatkan minimal 5 ton/ha kayu setiap tahun, yang akan bernilai sekitar Rp 2,5

juta/ha untuk rata-rata jenis pohon dan dua atau tiga kali lipat lebih besar untuk kayu keras

tropis bernilai tinggi. Harga ini kira-kira sesuai dengan nilai-nilai yang disajikan pada Kotak 3.

Selain kayu bulat, masyarakat juga memperoleh nilai manfaat kayu bakar yang diperkirakan

setara dengan Rp 0,4 juta/ha. Sementara, manfaat jasa lingkungan dari Daerah Aliran

Sungai (DAS) tergantung pada lokasi hutan dan apakah ada pemukiman besar di dekatnya

yang memiliki akses terbatas terhadap sumber-sumber alternatif air bersih. Nilai manfaat

keanekaragaman hayati lebih subyektif, sehingga sampai dengan saat ini masih sulit untuk

direalisasikan melalui skema imbal jasa ekosistem (IJE).

11 Untuk sebagian besar provinsi, upah minimum provinsi (UMP) tahun 2014 adalah antara Rp 1,2 juta dan Rp 1,8 juta/bulan, dimana tingkat UMP terendah adalah Rp 0,91 juta (di Jawa Tengah) dan tertinggi Rp 2,44 juta (di DKI Jakarta).

Page 45: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 27

Nilai mitigasi dari kegiatan PHBM memerlukan analisis yang cermat. Untuk hutan hujan tropis

primer (mendekati vegetasi klimaks), pada umumnya telah terjadi keseimbangan antara

pengeluaran dan penyerapan karbon sehingga total hanya ada sedikit perubahan dalam

cadangan karbon pada biomassa di atas tanah, di dalam tanah, dan di bawah tanah.

Penyerapan bersih GRK dari atmosfer kecil dan penyerapan GRK oleh biomassa hidup kira-

kira setara dengan GRK yang dihasilkan dari dekomposisi biomassa yang mati, baik pada

permukaan tanah maupun di dalam tanah. Pemanenan pohon dalam skema PHBM berguna

untuk memanfaatkan pohon-pohon yang telah tua dan mencegah pohon tua membusuk

sehingga akan mengurangi emisi. Jika menggunakan parameter dalam Kotak 2, pengurangan

emisi karbon dari kegiatan PHBM sekitar 8 tCO2e/ha atau senilai sekitar Rp 0,25 juta/ha,

dengan asumsi harga karbon dari USD 30/tCO2e (Lihat Kotak 1).

Kelembagaan. Pengembangan dan penguatan kelembagaan KPH dan REDD+ yang

melibatkan masyarakat perlu dilakukan. Instrumen kelembagaan lainnya selain KPH dan

REDD+ mungkin dapat pula diterapkan, namun diduga akan memerlukan keterlibatan

langsung pemerintah pusat atau pemerintah daerah dan kemungkinan menggunakan transfer

bersyarat dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. KPH dan inisiatif PHBM tampaknya

lebih berhasil diterapkan di Pulau Jawa daripada di daerah lain karena adanya pasar kayu

yang lebih efisien. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh tradisi PHBM yang sudah cukup lama

diterapkan di Pulau Jawa, tetapi juga dipengaruhi oleh maraknya pasar kayu, dimana

masyarakat dapat dengan mudah menjual kayu dari hutan rakyat kepada pedagang kayu atau

industri pengolahan kayu. Di luar Pulau Jawa, biaya transportasi yang lebih tinggi dan jumlah

industri pengolahan kayu skala kecil juga lebih sedikit. Hal ini mengakibatkan menguatnya

integrasi vertikal dalam industri kehutanan skala besar, sehingga harga kayu rakyat jauh lebih

rendah daripada di Pulau Jawa.

Pemerintah daerah merupakan salah satu elemmen kunci untuk mencapai komitmen

pengurangan emisi karbon karena sebagian kewenangan perencanaan tata ruang dan

perizinan berada dalam yurisdiksi mereka. Setelah desentralisasi dan implementasi undang-

undang otonomi daerah di Indonesia, sebagian besar kewenangan administratif dan regulatif

ditransfer dari pemerintah pusat ke pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota. Secara khusus,

pemerintah kabupaten menerima banyak fungsi pemerintahan yang penting, termasuk

mandat untuk merancang dan mengelola strategi pembangunan kabupaten, dan peran yang

lebih besar dalam pengelolaan hutan, seperti mengeluarkan izin penebangan kayu dan

konversi hutan skala kecil, melaksanakan penggunaan lahan mereka sendiri rencana tata

ruang, dan merumuskan strategi pembangunan kabupaten12.

Implikasi fiskal. Skema pemberian hibah termasuk dalam anggaran pengeluaran.

Pembatasan penebangan akan mengakibatkan kerugian sekitar 220 juta ton dari ekstraksi

kayu dan pengelolaan hutan berkelanjutan akan mengurangi sekitar sepertiga dari produksi

kayu saat ini. Implementasi skema ini diperkirakan akan memerlukan sekitar 5 juta hektar

hutan yang dikelola dengan manajemen yang berkelanjutan dan membutuhkan biaya sekitar

Rp 25 triliun. Jika skema ini diterapkan secara bertahap selama lebih dari 10 tahun, maka

biaya tahunan yang diperlukan sebesar Rp 2,5 triliun.

12 Pada akhir tahun 2014 Undang Undang Pemerintahan Daerah Nomor 32 Tahun 2004 diganti dengan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014, dimana sebagian kewenangan pemerintah kabupaten/kota ditarik ke provinsi.

Page 46: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 28

Penyediaan dana bergulir untuk KPH dianggap sebagai bagian dari skema pembiayaan dan

dampak negatifnya pada anggaran dapat dilihat dari sejauhmana dana bergulir gagal berputar

sebagai akibat dari tunggakan pembayaran dan bunga. Pengalokasian lahan hutan untuk

hutan kemasyarakatan (HKm) berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar

hutan, namun kemungkinan juga akan mengurangi PNBP kehutanan dari royalti.

4.1.3 Perlindungan dan Konservasi Hutan

Konteks dan dimensi ramah lingkungan. Data Statistik Kehutanan (2012) menyebutkan

terdapat hutan konservasi seluas 22,4 juta ha, selain itu 31,5 juta ha diklasifikasikan sebagai

hutan lindung dan 5,5 juta ha merupakan cagar alam.

Kebijakan. Banyak kebijakan yang terkait dengan perlindungan dan konservasi sumberdaya

hutan memerlukan biaya yang besar. Kebijakan perlindungan dan konservasi sumberdaya

hutan mencakup: regulasi yang mengatur kegiatan apa yang diizinkan di hutan lindung dan

konservasi; penegakan hukum kehutanan; mendefinisikan batas-batas; proteksi kebakaran;

dan perizinan, yang semuanya diperlukan dalam mengendalikan deforestasi. Kegiatan ini

dikelola oleh Kementerian Kehutanan, yang menentukan alokasi optimal dari anggaran rutin

untuk mencapai tujuan dalam perlindungan hutan dan konservasi sumberdaya hutan.

Namun, ada beberapa ambiguitas tanggung jawab antara pemerintah pusat dan provinsi

terkait penerimaan negara bukan pajak (PNBP) (Lampiran 3). Salah saru fungsi dari KPH

adalah untuk membentuk kapasitas lokal untuk berkontribusi dalam perlindungan hutan dan

kebijakan-kebijakan yang mendukung KPH agar dapat berpengaruh untuk meningkatkan

perlindungan hutan.

Koherensi, konsistensi dan sinergi. Dalam beberapa hal DBH Kehutanan (Dana Bagi Hasil

dari Sektor Kehutanan) dirasakan kurang efektif karena keterbatasan kapasitas dan

perbedaan kepentingan pemerintah daerah dan masyarakat lokal dalam pengelolaan dan

perlindungan hutan. Terdapat beberapa masalah dalam prinsip-prinsip perhitungan DBH,

yang terkait dengan produksi kayu dan perlindungan sumberdaya hutan. Selain itu, target

penerimaan dari DBH yang terus meningkat dalam rencana anggaran tahunan juga dirasakan

semakin sulit untuk dicapai. Kementerian Keuangan telah berusaha untuk mengatasi hal ini

dengan mengaitkan target penerimaaan DBH dengan rata-rata realisasi DBH dalam tiga

tahun terakhir, namun hal ini mengakibatkan target DBH yang underestimate. Penentuan

target DBH juga menimbulkan masalah dan dialami oleh Kementerian Kehutanan dan

pemerintah daerah yang membuat pemerintah daerah hanya memiliki sedikit waktu untuk

menggunakan dana. Masalah-masalah ini menyebabkan kebingungan dalam proses

pelaporan triwulanan. Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BP2HP) tidak terlibat

dalam proses manajemen tersebut, yang membuatnya sulit untuk merespon secara efektif.

Pencairan Dana Reboisasi (DR) lambat. Hal ini terkait dengan Peraturan Pemerintah No.

35/2002 tentang Dana Reboisasi (DR) yang membatasi penggunaan DR oleh pemerintah

daerah hanya untuk reboisasi dan rehabilitasi lahan, namun pemerintah pusat dapat

mempergunakannya untuk kegiatan pendukung.

Ada beberapa masalah terkait dengan administrasi DR, PSDH dan IIUPH, terutama

menyangkut keterlambatan dalam pelaporan dan pembayaran. Hal ini disebabkan selain

karena keterbatasan kapasitas pelaksana, juga diakibatkan oleh peraturan tentang prosedur

Page 47: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 29

dan tanggung jawab antara tingkat pemerintahan yang kurang jelas dan terkadang

bertentangan (Lampiran 3).

Efisiensi, efektivitas, dampak dan keberlanjutan. Manfaat utama dari kegiatan

perlindungan hutan terkait dengan nilai manfaat keanekaragaman hayati, jasa DAS dan

rekreasi. Indonesia belum menetapkan standar untuk penilaian manfaat ini. Dalam

praktiknya, kebijakan tentang perlindungan hutan didasarkan pada upaya mempertahankan

daerah yang ditunjuk sebagai hutan lindung dan menggunakan sumberdaya anggaran yang

tersedia di Kementerian Kehutanan dengan cara yang paling efektif untuk menegakkan

perlindungan hutan tersebut. Anggaran kegiatan yang berkaitan dengan perlindungan hutan

yang diterima sekitar Rp 850 miliar pada tahun 2012, termasuk 23 miliar untuk pelaksanaan

tata batas; 53 miliar untuk pengendalian kebakaran; 121 miliar untuk penegakan hukum

kegiatan-kegiatan illegal kehutanan; dan 653 miliar untuk pengelolaan ekosistem dan

perlindungan hutan.

Salah satu tantangan utama kebijakan adalah kondisi lokal yang cukup bervariasi sehingga

jika menstandarisasi kebijakan nasional akan menciptakan insentif yang berbeda. Misalnya,

total biaya pemanenan dan transportasi untuk kayu dari hutan tanaman bervariasi dari Rp

500.000 sampai Rp 800.000/m3. Jika harga kayu di pintu gerbang pabrik adalah Rp

1.200.000/m3, maka pungutan DR dan PSDH yang dikenakan sebesar Rp 264.000/m3.

Setelah dikurangi pajak dan pungutan lainnya, keuntungan yang diterima perusahaan

bervariasi antara 13%, yaitu keuntungan yang dianggap kurang memadai bagi perusahaan

dalam menutup pengeluarannya, sampai dengan 65%, yaitu keuntungan yang berlebihan13.

Secara khusus, pemanenan kayu di hutan yang dekat dengan daerah-daerah maju biasanya

akan memerlukan biaya transportasi rendah dan keuntungan yang tinggi, tetapi sumberdaya

hutan di daerah tersebut juga akan cenderung memiliki manfaat DAS tertinggi, serta manfaat

rekreasi tinggi pula.

Perlu dipertimbangkan perubahan sistem pungutan perizinan berbasis penggantian output

berdasarkan biaya untuk DR dan PSDH sebagaimana berlaku saat ini, dengan pungutan

berdasarkan keuntungan. Hal ini akan memberikan insentif yang lebih efisien, tetapi

diperkirakan juga akan berimbas pada biaya transaksi yang lebih tinggi. Masalah terbaru

dalam pemungutan biaya pengganti nilai tegakan (PNT), terkait dengan perbedaan pendapat

tentang biaya satuan standar karena kompleksitas peraturan berbagai macam pungutan.

Mengingat kesulitan dalam menegakkan peraturan terkait pungutan-pungutan yang berlaku

saat ini, perlu dipertimbangkan suatu reformasi sistem pungutan kehutanan dengan

mengenakan pungutan berdasarkan keuntungan dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Kelembagaan. Serupa dengan kelembagaan pengelolaan hutan lestari bersama masyarakat,

kelembagaan perlindungan dan konservasi sumberdaya hutan perlu diperkuat dengan lebih

memerhatikan pola-pola sosial, ekonomi, dan masyarakat di dalam dan sekitar hutan.

Partisipasi aktif masyarakat dalam perlindungan dan konservasi sumberdaya hutan hanya

dapat terjadi jika kegiatan dan program yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan dan

kepentingan masyarakat.

13 Harga kayu bervariasi tergantung terutama pada jenis dari kayunya. Harga 1.2 juta IDR.m3 akan digunakan untuk kayu keras yang berkualitas tinggi misalnya jati.

Page 48: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 30

Implikasi fiskal. Kebijakan-kebijakan kunci yang berkaitan dengan perlindungan hutan dan

konservasi sumberdaya hutan merupakan tanggung jawab dari Kemenhut. Biaya untuk

menegakkan kebijakan harus dipastikan dapat dipenuhi oleh anggaran Kemenhut sehingga

kebijakan dapat diimplementasikan secara efektif. KKF-PRLSBL mengasumsikan bahwa

pengeluaran untuk perlindungan hutan akan meningkat sejalan dengan rata-rata pengeluaran

publik, yang akan mengakibatkan peningkatan sebesar 92% secara riil pada tahun 2014-

202514, dari perkiraan total sebesar Rp 3.096 miliar hingga Rp 5.952 miliar.

4.1.4 Rehabilitasi Lahan Hutan Terdegradasi

Konteks dan dimensi ramah lingkungan. Lahan terdegradasi adalah lahan kritis dan

mengalami kerusakan akibat kehilangan tutupan vegetasi dan kehilangan sebagian besar

fungsi ekosistemnya, termasuk pengendalian erosi, penahan air, siklus nutrisi, pengaturan

iklim dan penyimpanan karbon. Menurut Statistik Kementerian Kehutanan (2012), ada 27,3

juta ha lahan kritis dan seluas 5,3 juta ha diantaranya sangat kritis. Sekitar 35% dari lahan-

lahan terdegradasi berada dalam kawasan hutan (Verchot, Petkova et al. 2010), dan 65%

sisanya berada di luar kawasan hutan. Kementerian yang berbeda menggunakan definisi

yang berbeda untuk lahan terdergradasi. Gambar 1 menunjukan distribusi secara geografis

dari lahan terdegradasi berdasarkan Kementerian Kehutanan, meskipun definisinya berbeda

dengan yang ada pada Buku Statistik Kementerian Kehutanan 2012.

Gambar 1. Lokasi lahan-lahan terdegradasi di Indonesia

Antara tahun 2008 dan 2012, seluas 3.2 juta ha lahan hutan telah direboisasi (termasuk

reboisasi, lahan hutan perkotaan, hutan kemasyarakatan dan hutan bakau), dengan

menghabiskan anggaran sebesar Rp 3.956 miliar, dengan biaya rehabilitasi rata-rata sekitar

Rp 1,2 juta/ha.

Kebijakan. Kegiatan hutan tanaman perlu dikembangkan pada lahan kritis, karena perluasan

hutan tanaman dengan mengkonversi hutan alam primer dan hutan gambut secara signifikan

14 Diasumsikan bahwa belanja publik akan turun dari18,5% dari PDB pada tingkat saat ini menjadi 16,9% sesuai dengan MTEF.

Page 49: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 31

akan meningkatkan emisi dan merusak lingkungan. Pada saat yang sama, industri kehutanan

nasional perlu memenuhi kebutuhan kayu nasional. Kesenjangan antara permintaan dan

penawaran kayu bulat di Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 30 juta ton/tahun. Pilihan

untuk meningkatkan pasokan kayu legal dirasakan terbatas baik dari pertumbuhan hutan

tanaman –di kawasan hutan negara maupun hutan rakyat- atau meningkatkan produksi dari

hutan alam. Pembangunan hutan tanaman di lahan gundul dan alang-alang adalah salah

satu strategi pemungkin yang secara bersamaan diharapkan dapat memenuhi produksi kayu

dan tujuan perubahan iklim (IFC, 2010).

Sejumlah faktor yang dirasakan sebagai pembatas perkembangan rehabilitasi lahan hutan

terdegradasi di Indonesia antara lain: tingginya biaya rehabilitasi; kurangnya ekspektasi

pendapatan khususnya dalam jangka pendek; kurangnya kapasitas sumber daya manusia;

dan lemahnya kerangka tata kelola untuk alokasi lahan untuk hutan tanaman pada lahan kritis

(Dalfelt, Næss et al. 1996; IFC 2010).

Pemanfaatan padang rumput pada umumnya dianggap sebagai salah satu masalah dalam

pengelolaan hutan. Bahkan, di banyak lokasi padang rumput yang diklaim dan digunakan

oleh masyarakat setempat sebagian besar dipergunakan untuk perladangan berpindah.

Demikian pula penggunaan lahan olehpetani tradisional atau masyarakat adat diatur melalui

hak-hak tradisional atau hukum adat, yang dalam banyak kasus tidak sama dengan peraturan

(hukum positif) yang dipergunakan sebagai dasar hukum oleh pemerintah. Oleh karena itu,

pada umumnya tidak ada skema kompensasi bagi petani atau masyarakat adat yang

kehilangan lahan karena upaya reboisasi pemerintah.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan reboisasi, antara lain: terjadinya

kebakaran yang tidak terkendali, yang mungkin timbul dari kurangnya dukungan untuk upaya

reboisasi besar-besaran dari masyarakat setempat. Kurangnya dukungan dari masyarakat

dapat disebabkan oleh: komunikasi dan kerjasama yang tidak memadai antara pemerintah

atau investor dengan petani lokal; kurang jelasnya hak kepemilikan lahan; dan kurangnya

pengetahuan teknis di kalangan petani.

KKF-PRLSBL mempertimbangkan empat kebijakan, untuk berbagai jenis lahan kritis.

1. Lahan marjinal. Sektor swasta akan tertarik berinvestasi pada lahan marjinal terdegradasi

yang masih produktif, selama persyaratan kelembagaan telah disiapkan. Lahan ini

mencakup beberapa lahan yang diklasifikasikan marjinal oleh Kementerian Pertanian dan

untuk sementara tidak digunakan. Kebijakan ini akan fokus pada fasilitasi penghapusan

hambatan kelembagaan untuk rehabilitasi lahan. Hal ini dapat mencakup penyelesaian

masalah kepemilikan lahan, misalnya melalui pertukaran lahan dan melalui dialog dengan

masyarakat setempat untuk memastikan bahwa hak-hak dan kepentingan mereka

diselesaikan secara konstruktif. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Kemenhut dengan

melibatkan beberapa lembaga terkait. Antara tahun 1989 dan 2006 seluas 10,3 juta ha izin

hutan tanaman industri telah diberikan. Namun, pada tahun 2006 hanya 30% dari total izin

tersebut yang telah direalisasikan.

2. Lahan terdegradasi sebagian. Ini akan melibatkan sebagian besar lahan kritis yang

cukup serius terdegradasi untuk mencegah investasi swasta, tetapi tidak berisiko besar

akan terjadinya degradasi cepat yang lebih lanjut. Insentif akan dibutuhkan untuk lahan

ini, namun tingkat insentif akan lebih rendah daripada insentif untuk kategori lahan yang

rentan secara ekstrim. Tingkat yang tepat perlu ditetapkan melalui kegiatan percontohan,

Page 50: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 32

tetapi Tabel 7 menunjukkan bahwa angka anggaran Rp 3 juta/ha dapat mencukupi. Karena

lahan yang sebagian terdegradasi ini tidak membutuhkan restorasi, beberapa di antaranya

dapat dibiarkan untuk regenerasi alami, jika ada minat terbatas dari perusahaan

perkebunan/HTI. Hal ini akan memberikan beberapa manfaat lingkungan dan mitigasi

tetapi manfaat yang dirasakan hanya terbatas pada rumah tangga.

3. Lahan kritis ekstrim. Merupakan lahan yang berisiko terdegradasi dengan cepat jika

dibiarkan tanpa pengelola, termasuk lahan yang berisiko mengalami erosi tanah yang

parah. Sebagian besar lahan yang diklasifikasikan oleh Kementerian Kehutanan sebagai

'sangat kritis' akan dimasukkan dalam kategori ini, tetapi beberapa lahan di luar Kawasan

Hutan juga akan disertakan. Untuk lahan ini, fasilitasi tidak akan memadai karena lahan

tidak akan cukup produktif untuk memberikan hasil kepada investor swasta. Lahan ini akan

membutuhkan insentif dan peraturan untuk dapat dikelola. Insentif akan diberikan kepada

investor swasta, termasuk hibah, untuk menutupi biaya tambahan menanam kembali, dan

jaminan pinjaman untuk mengkompensasi investor terhadap pengembangan perkebunan

yang lebih lambat. Tingkat subsidi perlu dikembangkan melalui serangkaian studi

percontohan, bersama dengan pengaturan kelembagaan untuk pengelolaan insentif.

Skema ini akan dipengaruhi oleh sifat degradasi serta dengan lokasi lahan dan kemudahan

akses ke pasar kayu. Analisis pada Tabel 7 menunjukkan bahwa subsidi dengan NPV

sekitar Rp 10 juta/ha akan diperlukan, mengingat bahwa lahan itu akan menjadi lahan yang

paling rusak dan akan memerlukan penanaman kembali dengan teknik yang paling

kompleks, hati-hati dan mahal. Karena pentingnya menyelesaikan masalah pada kategori

lahan ini, maka insentif akan didukung oleh peraturan yang mengharuskan Kementerian

Kehutanan dan pemerintah daerah untuk menghutankan kembali lahan ini, berdasarkan

jadwal yang disepakati.

4. Reklamasi pasca pertambangan. Pada saat ini sudah ada peraturan terkait dengan

kewajiban reklamasi pasca pertambangan. Pada prinsipnya perusahaan tambang secara

hukum berkewajiban untuk mendanai kegiatan reklamasi ini. Namun demikian, pada

kenyataannya hingga sekarang masih banyak perusahaan tambang yang belum

melakukan kegiatan reklamasi sesuai dengan ketentuan. Oleh karena itu, ke depan

kebijakan akan difokuskan pada penegakan kewajiban perusahaan pertambangan

melakukan reklamasi.

Untuk mendukung empat kebijakan di atas, sangat penting untuk mendapatkan data spasial

tentang lahan terdegradasi untuk menentukan kebijakan mana yang akan dilaksanakan untuk

setiap lahan yang terdegradasi (Verchot, Petkova et al. 2010). Hal ini diatur dengan Peraturan

Dirjen P.4/V-SET/2013 tentang Petunjuk Teknis dalam Penyusunan Data Spasial untuk lahan

terdegradasi.Pilihan strategi tergantung pada kriteria efisiensi ekonomi, pada preferensi

masyarakat setempat, serta dampaknya terhadap lingkungan.

Page 51: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 33

Kotak 6 Studi Kasus Wanagama

Wanagama adalah hutan pendidikan hasil reboisasi dan rehabilitasi lahan terdegradasi seluas 600 hektar yang dikelola oleh Universitas Gadjah Mada (UGM). Wanagama terletak di Kabupaten Gunungkidul, sekitar 35 km dari kota Yogjakarta.

Pada tahun 1964, tanah di Wanagama sangat marjinal/kritis. Di sana hampir tidak ada pohon, solum tanahnya sangat tipis dan didominasi oleh bebatuan di atas permukaan. Reboisasi dimulai dengan tujuan mencari model rehabilitasi lahan kritis dan sebagai fasilitas layanan edukatif bagi mahasiswa UGM. Nama Wanagama berasal dari dua kata, yaitu wana yang berarti “hutan”, dan “gama” yang merupakan singkatan dari “Gadjah Mada”.

Kegiatan rehabitasi dimulai dengan penanaman lahan kritis seluas 10 hektar pada tahun 1964. Upaya itu ternyata berhasil dan kemudian menarik perhatian Kementerian Kehutanan. Lahan untuk reboisasi diperluas menjadi 79,9 hektar dan terus bertambah hingga saat ini menjadi 600 hektar, yang terbagi menjadi 9 kompartemen.

Tiga strategi yang dipergunakan dalam rehabilitasi lahan kritis di Wanagama, yaitu: a) Pendekatan teknis (terasering, aplikasi pupuk kandang); b) Pendekatan biologi (penanaman spesies kacang-kacangan untuk perbaikan struktur tanah dan suksesi vegetasi); dan c) Pendekatan sosial (sistem agroforestry, tanaman pakan ternak dan kayu bakar, tenaga kerja, dan penyuluhan).

Mulberry (Morus alba) adalah tanaman perdu yang banyak ditanam di Wanagama. Tanaman ini dipilih karena daun dapat digunakan untuk makanan ulat sutera dan tidak mudah roboh. Sejak awal, masyarakat telah banyak terlibat dalam proyek penanaman murbei dan budidaya ulat sutera, sehingga menciptakan mata pencaharian baru.

Teknik rehabilitasi hutan juga dilakukan dengan menerapkan metode “bushing”. Tanaman

pionir ditanam untuk memperbaiki struktur tanah, kondisi air dan iklim mikro. Tanaman pioner yang ditanam sebagian besar adalah kacang-kacangan (leguminaceae) yang dapat menghasilkan nitrogen untuk meningkatkan kesuburan tanah. Biomasa tanah lapisan atas semakin bertambah karena adanya dekomposisi daun, sehingga membantu untuk menyuburkan tanah. Metode “bushing” telah diadopsi dan menjadi model untuk rehabilitasi lahan kritis di tempat-tempat lain.

Saat ini, terdapat sekitar 40 jenis fauna dan lebih dari 1.000 jenis flora, termasuk 65 jenis kayu hutan dan ratusan herba yang hidup di Wanagama. Jati (tectona grandis) adalah jenis pohon kayu komersial yang paling banyak ditanam di hutan pendidikan Wanagama. Keberadaan fauna, khususnya burung-burung, sangat penting bagi ekosistem Wanagama karena mereka adalah agen penyerbukan bagi beberapa jenis tanaman yang menunjang keberhasilan reboisasi. Setelah dilakukan reboisasi, lebih dari 5 mata air yang dulunya pernah hilang kembali muncul dan tidak kering sepanjang tahun, sehingga menghasilkan jasa ekosistem yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar.15

15 http://www.ugm.ac.id/id/p2m/3533-laboratorium.kehutanan

Page 52: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 34

Koherensi, konsistensi, dan sinergi. Dalam praktiknya terdapat beberapa masalah dengan

DAK Kehutanan yang dialokasikan untuk reboisasi dan rehabilitasi lahan. Hal ini biasanya

terkait dengan masalah kapasitas dan kurangnya kejelasan dan pengalaman pemerintah

daerah tentang bagaimana penggunaan dana tersebut. Ada juga pemerintah daerah yang

merasa kebingungan, menyangkut sejauhmana DAK kehutanan dapat dipergunakan untuk

melaksanakan program pengurangan emisi gas rumah kaca dan tentang cara menghitung

pengurangan emisi tersebut. Kementerian Keuangan sedang mencoba untuk mengklarifikasi

beberapa masalah terkait DAK kehutanan dengan menghubungkan pembayaran DAK

Kehutanan dengan rencana RAD-GRK yang sedang dipersiapkan oleh pemerintah daerah.

Efisiensi, efektivitas, dampak, dan keberlanjutan. Terdapat variasi yang besar terkait

profitabilitas usaha hutan tanaman. Hal ini terjadi karena perbedaan biaya (termasuk

persiapan lahan, pemanenan, dan transportasi), perbedaan produktivitas dan perbedaan

pendapatan. Tabel 7 menggambarkan perbedaan pendapatan di tiga lokasi. Analisis IFC dari

tabel tersebut menunjukkan bahwa pengurangan biaya transportasi memiliki dampak besar

pada profitabilitas dan memastikan bahwa kegiatan usaha yang menguntungkan untuk hutan

tanaman pada semua jenis lahan terdegradasi. Variasi besar dalam angka hasil analisis IFC

menggambarkan sulitnya menentukan klasifikasi sederhana yang diterapkan untuk usaha

hutan tanaman.

Tabel 7 Nilai Kini Bersih dari Biaya dan Pendapatan Hutan Tanaman

Provinsi

NPV Hutan Tanaman pada

Lahan terdegradasi

NPV Hutan Tanaman Kayu Campuran

Kerapatan pohon rendah

Kerapatan pohon sedang

Kerapatan pohon tinggi

Riau -3,126 11,442 13,938 20,176

Kalimantan Barat -12,762 -9,936 -10,377 -11,478

Kalimantan Timur -3,126 -12,044 -15,419 -23,860

Sumber: IFC (2010) dalam Rp 000/ha.

Hutan tanaman yang dikembangkan pada lahan kritis dapat memberikan kontribusi untuk

pengurangan emisi. Jika hutan tanaman industri terutama untuk kayu pulp ditanam pada

setengah luasan lahan kritis, maka target pengurangan emisi diperkirakan akan tercapai 8-

12%. Sementara hutan tanaman industri untuk tujuan non-kayu pulp (kayu pertukangan)

diperkirakan dapat memberikan kontribusi 22-33% dari target pengurangan emisi (Verchot et

al. 2010).

Kelembagaan. Komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi sebagian besar dibebankan

pada Kementerian Kehutanan, yang juga bertugas mengurangi kesenjangan antara pasokan

dan permintaan kayu legal. Penguatan kelembagaan KPH sangat diperlukan, demikian pula

dengan skema REDD+ yang telah berjalan juga perlu diperkuat kelembagaannya.

Pemerintah pusat perlu menyediakan dana untuk pembentukan dan penguatan kelembagaan

KPH secara selektif untuk memastikan bahwa dana yang diberikan dapat dipergunakan

sesuai dengan sasaran secara efektif. Pemerintah daerah akan dilibatkan dalam administrasi

dan pemantauan KPH, serta aspek yang lebih luas dari perencanaan dan program kehutanan.

Page 53: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 35

Kotak 7 Tipe Hutan Tanaman

Hutan Tanaman Industri (HTI). Aktivitas hutan tanaman yang dominan di Indonesia adalah hutan tanaman industri (HTI), dengan jenis tanaman Acacia dan Eucalyptus terutama untuk kayu pulp. Indonesia memiliki sekitar 4 juta ha areal hutan tanaman industri. Kementerian Kehutanan menargetkan untuk menambah 5 juta ha HTI pada tahun 2016. Meskipun tersedia subsidi untuk penghijauan dan reboisasi, secara umum target penanaman akan sulit tercapai karena pendapatan dari penjualan kayu HTI yang jauh lebih rendah daripada biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan (Verchot, Petkova et al. 2010).

Harga kayu HTI sangat rendah karena struktur pasar kayu HTI cenderung monopsoni (dibeli oleh industri kayu yang masih satu group perusahaan). Pada umumnya perusahaan HTI di luar Jawa yang tidak bergabung dengan industri pengolahan kayu tidak akan dapat bertahan karena rendahnya harga kayu HTI. Dalam usaha HTI keuntungan yang besar diperoleh industri hilirnya, bukan didapatkan oleh perusahaan HTI.

Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Kementerian Kehutanan juga berusaha untuk meningkatkan pasokan kayu bulat melalui percepatan program hutan tanaman rakyat yang disebut HTR, untuk merevitalisasi sektor pengolahan kayu tradisional dan mendukung penyediaan bahan baku untuk industri. Namun, pelaksanaan program ini berjalan lambat karena manfaat ekonomi yang terbatas akibat peraturan jenis tanaman yang terlalu ketat dan tidak banyak pilihan sehingga kurang menarik bagi petani. Hanya 350.000 ha yang HTR telah terbentuk dari 1,2 juta ha yang ditargetkan untuk dibangun pada periode tahun 2007- 2009.

Implikasi fiskal. Pada tahun 2008-2012, telah dilakukan reforestasi pada hutan dan lahan

seluas 3,2 juta ha (termasuk reboisasi, penghijauan lahan perkotaan, hutan rakyat dan hutan

mangrove) yang menghabiskan anggaran sebesar Rp 3.956 miliar, dengan biaya rehabilitasi

rata-rata sekitar Rp 1,2 juta/ha. Biaya rata-rata rehabilitasi hutan dan lahan relatif rendah,

sehingga lahan dengan biaya rehabilitasi rendah diarahkan untuk dipilih terlebih dahulu.

Tabel 8 menggambarkan sebuah skenario program reforestasi dan kebutuhan biayanya.

Tabel 8 Skenario Program Reboisasi Lahan Terdegradasi

Kategori Lahan Area yang direboisasi (ha/tahun)

Dukungan teknis (Rp/ha)

Insentif (Rp /ha)

Total biaya (Rp miliar/thn)

Lahan marjinal 200.000 50.000 0 10

Lahan terdegradasi sebagian 200.000 50.000 3.000.000 610

Lahan kritis ekstrim 100.000 100.000 10.000.000 1.010

Reklamasi pasca tambang 20.000 200.000 1.000.000 20

Total 520.000 1.650 Sumber: skenario KKF-PRLSBL

Keberhasilan rehabilitasi lahan kritis dengan penanaman pohon berkayu diperkirakan akan

dapat memasok 45% kebutuhan kayu secara berkelanjutan yang diperlukan untuk

mengimbangi berkurangnya pasokan kayu dari hutan alam. Hal ini akan dicapai dengan

penanaman hutan di lahan kritis seluas 10 juta ha. Dengan asumsi biaya satuan Rp 2 juta/ha,

maka rehabilitasi lahan kritis akan memerlukan total biaya sekitar Rp 20 triliun, selama kurun

waktu 10 tahun.

Biaya pendampingan dan pengembangan kelembagaan sosial diperkirakan memerlukan 10-

40% dari total biaya untuk pembangunan HTI. Biaya untuk kegiatan pemeliharaan termasuk

penyiangan dan pemupukan pada luasan 20.000 ha diperkirakan sekitar Rp 500-700 juta

selama masa rotasi tanam pertama (IFC 2010 ).

Page 54: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 36

4.1.5 Rehabilitasi dan Pemanfaatan Lahan Gambut Berkelanjutan

Konteks dan dimensi ramah lingkungan. Lahan gambut menyimpan lebih banyak karbon

dibandingkan jenis lahan lainnya dan degradasi di lahan gambut menghasilkan emisi yang

lebih besar daripada degradasi dari ekosistem lainnya. Lahan gambut kering mengeluarkan

emisi karbon, dan emisi berlanjut sampai simpanan karbon habis atau lahan tersebut

direhabilitasi. Pemanfaatan lahan gambut yang tidak berkelanjutan memberikan kontribusi

kurang dari 1% dari PDB, namun menyumbang hampir 50% dari emisi (Bappenas 2009).

Kanalisasi lahan rawa gambut sepanjang sungai untuk mengambil kayu mempengaruhi sifat

fisik, kimia dan biologis air. Kehadiran kanal meningkatkan laju erosi, drainase rawa gambut,

risiko kebakaran, ancaman terhadap habitat keanekaragaman hayati dan gangguan pada

perikanan (Nyoman dan Suryadiputra 2004).

Kebijakan. Saat ini, belum ada metode yang dapat diterima semua pihak untuk budidaya

lahan gambut tanpa risiko kebakaran, tetapi ada beberapa kegiatan percontohan

pemanfaatan lahan gambut yang relatif baik. Kebijakan nasional terus berupaya melakukan

restorasi lahan gambut dan mencakup unsur-unsur berikut (Bappenas 2009).

Peningkatan praktik pengelolaan lahan gambut.

o Menegakkan kepatuhan para pemegang izin konsesi hutan dan perkebunan yang

ada terhadap peraturan yang melarang budidaya gambut pada ketebalanlebih dari

tiga meter.

o Memberikan insentif, sanksi dan menegakkan: (a) kebijakan tanpa bakar (zero

burning) untuk pembukaan lahan oleh perusahaan dan (b) praktik terbaik untuk

pengelolaan air untuk mengurangi emisi penurunan karbon dari oksidasi di lahan

gambut yang ditanami.

o Menetapkan praktik terbaik dalam pengelolaan tanah termasuk penambahan

amelioran untuk mengurangi emisi.

Rehabilitasi lahan gambut yang rusak melalui pendekatan terpadu untuk mencegah

kebakaran, rehabilitasi hidrologi, reforestasi, dan pembangunan sosial-ekonomi.

Revisi alokasi lahan, rencana tata ruang dan izin penggunaan lahan untuk mengurangi

emisi melalui arahan penggunaan lahan untuk kepentingan ekonomi tidak dilakukan

pada lahan gambut tetapi pada tanah mineral.

o Reklasifikasi hutan di zona pengembangan non-kehutanan (APL) untuk

perlindungan atau kawasan konservasi (revisi rencana tata ruang)

o Reklasifikasi lahan gambut tersisa yang belum dikenakan izin pemanfaatan untuk

perlindungan atau konservasi (tidak ada izin baru di lahan gambut dan revisi

rencana tata ruang).

o Relokasi perizinan atau bagian dari perizinan dari lahan gambut ke tanah mineral

(land swap) untuk perusahaan yang belum memulai operasi di lapangan.

Page 55: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 37

Dalam rangka pengelolaan lahan gambut lestari perlu dibuat peta lahan gambut nasional yang

akurat, peraturan atas perluasan penggunaan lahan gambut, dan insentif kepada perusahaan

untuk biaya investasi yang dibutuhkan dalam mengubah praktik pengelolaan (misalnya kontrol

air).

Efisiensi, efektivitas, dampak dan keberlanjutan. Biaya mengelola lahan gambut yang

berkelanjutan (misalnya biaya pengendalian “inflow” air dan drainase) perlu dipertimbangkan.

Efisiensi dapat dievaluasi berdasarkan biaya budidaya lahan gambut yang berkelanjutan

dibandingkan dengan hasil dan biaya menggunakan lahan lainnya.

Bappenas (2009) melakukan analisis terhadap opportunity cost yang mungkin untuk opsi

kebijakan merevisi alokasi izin usaha di lahan gambut. Gambar 3 menunjukkan nilai kini

bersih dari PDB, pendapatan pemerintah pusat dan pendapatan daerah selama tiga aksi

mitigasi yang berbeda terkait dengan lahan gambut dan untuk opsi BAU. Hasil analisis

menunjukkan bahwa terdapat kemungkinan lahan mineral terdegradasi yang cukup tersedia

untuk penggunaan yang produktif di masa depan sebagai alternatif untuk lahan gambut,

dengan hasil yang lebih tinggi dan biaya lebih rendah pada pemanfaatan tanah mineral.

Gambar 2. Nilai kini bersih manfaat dari opsi mitigasi lahan gambut (Rp triliun)

Sumber: Bappenas (2009)

Terdapat beberapa bukti bahwa tanaman pertanian sebenarnya lebih menguntungkan

dibudidayakan di tanah mineral yang terdegradasi daripada di lahan gambut dan pemilik lahan

pertanian akan tertarik untuk mengubah produksinya, jika dimungkinkan untuk melaksanakan

pertukaran lahan (Elson 2011).

Menurut hasil FGD di Yogyakarta, lahan gambut di Riau memiliki produktivitas jauh lebih

rendah dibandingkan di Jawa. Untuk membuat budidaya di lahan gambut menguntungkan

setidaknya diperlukan lahan seluas 5-10 hektar.

SNC menggunakan data untuk emisi lahan gambut yang berasal dari tahun 2004. Estimasi

terbaru menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca lahan gambut adalah sebesar 86

tCO2e/ha/tahun, ketika dikeringkan pada kedalaman 0,95 m. Emisi gas rumah kaca sebesar

15 tCO2e/ha/tahun ketika dikeringkan pada kedalaman 0,33 m (Hooijer, Page et al. 2010).

Oleh karena itu, pengurangan emisi gas rumah kaca dari rehabilitasi lahan gambut jauh lebih

tinggi dari sumber mitigasi lain.

Page 56: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 38

Kelembagaan. Peraturan tentang perlindungan dan pengelolaan lahan gambut telah

tersedia, namun pada umumnya masih terjadi perbedaan penafsiran pada tataran

implementasi. Pemerintah daerah memiliki kepentingan yang kuat untuk pemanfaatan lahan

gambut, namun kadang-kadang memiliki persepsi yang berbeda dengan pemerintah pusat

terkait peraturan tentang pemanfaatan lahan gambut. Perusahaan yang melakukan budidaya

di lahan gambut harus menerapkan praktik pertanian yang baik dan ramah lingkungan.

Demikian pula dengan kelembagaan organisasi kelompok tani yang mengolah lahan gambut

juga harus memperoleh perhatian, misalnya melalui pendampingan, pelatihan, dan

penyuluhan.

Implikasi fiskal. Dalam APBN tahun 2012, dana yang dialokasikan untuk reklamasi dan

pemeliharaan rawa gambut sebesar Rp 705 miliar. Sejak 2012, lahan gambut belum

menerima anggaran khusus (masuk di dalam anggaran program K/L) dan hal ini

menyebabkan sulitnya untuk mengidentifikasi apakah telah ada perbaikan dalam prioritas

restorasi lahan gambut. Reformasi sistem anggaran yang memungkinkan identifikasi

pemulihan lahan gambut secara terpisah akan membantu untuk meningkatkan konsistensi

kinerja pengelolaan lahan gambut mengingat statusnya sebagai salah satu elemen terpenting

dalam RAN GRK.

4.16 Imbal Jasa Ekosistem (IJE)

Konteks dan dimensi ramah lingkungan. Imbal Jasa Ekosistem (IJE) merupakan salah

satu mekanisme yang dianggap efektif untuk mengejar tujuan ekonomi hijau. IJE mengacu

pada skema dimana pengguna layanan ini mengkompensasi pemilik lahan (hutan), sebagai

pengakuan atas fakta bahwa lahan dapat dikonversi untuk penggunaan lain yang akan

mengurangi atau meniadakan jasa lingkungan.

Kebijakan. Pengembangan kesepakatan bersama untuk implementasi Imbal Jasa Ekosistem

(IJE) antar daerah di sepanjang daerah aliran sungai (DAS). Dengan adanya kesepakatan

bersama untuk mengimplementasikan IJE, sejumlah pembayaran akan diberikan oleh

Pemerintah Daerah di bagian hilir kepada pemerintah daerah di bagian hulu yang

menyediakan pelayanan lingkungan. Pelaksanaan skema imbal jasa ekosistem (IJE), seperti

yang dijelaskan dalam Kotak 4, adalah salah satu opsi kebijakan pembangunan ramah

lingkungan yang menarik. Terdapat pula pengalaman IJE internasional yang baik, tetapi

sebagaimana halnya dengan inisiatif REDD+, pada umumnya masih ada persoalan dalam

standar dan metode pemantauan, evaluasi, dan pelaporan dan verifikasi (PEP). Selain

pemerintah daerah, pemerintah pusat juga perlu terlibat dalam pelaksanaan PEP.

Page 57: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 39

Kotak 8 Pengalaman Indonesia dengan Imbal Jasa Ekosistem (IJE)

Beberapa percontohan skema IJE di Indonesia yang dilaksanakan oleh Pemerintah, LSM dan swasta, antara lain:

Insentif Hulu-Hilir jasa air dari Taman Nasional Gunung Ciremai antara Pemerintah Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon.

Program RUPES yang dilaksanakan oleh ICRAF di Singkarak, Sumatera Barat dan Bungo, Jambi.

Skema WWF di Gunung Rinjani, Lombok dan penelitian persiapan yang dilakukan di Koridor WKapuas Hulu di Kalimantan Barat.

Dua program yang dijalankan oleh LP3ES di Cidanau dan di Sungai Citarum, Jawa Barat.

Forum Komunikasi Daerah Aliran Sungai Cidanau yang didukung oleh CSR PT. KTI.

Skema di Sungai Brantas, dikelola oleh PJT1, dengan dukungan dari YPP dan LP3ES.

Rencana kerjasama Provinsi DKI Jakarta dan daerah-daerah penyangga di sekitarnya yang meliputi program rehabilitasi hulu DAS di Provinsi Jawa Barat (Bogor, Cianjur, Sukabumi, Depok) dan Provinsi Banten untuk mencegah banjir di daerah hilir.

Beberapa skema IJE yang dilaksanakan melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) misalnya program CSR di hutan pendidikan Gunung Walat Sukabumi, yang dikelola oleh Institut Pertanian Bogor (IPB).

Koherensi, konsistensi dan sinergi. Jika kesepakatan bersama dalam Imbal Jasa

Ekosistem (IJE) tidak terjadi, maka intervensi kebijakan fiskal dapat memainkan peran. Salah

satu alternatif kebijakan fiskal “hijau” yang terkait dengan pelaksanaan konsep IJE adalah

melalui pemberian Dana Alokasi Khusus (DAK) konservasi. Pemerintah pusat dapat

memberikan pendanaan khusus untuk konservasi (DAK Konservasi) dalam jumlah yang

memadai kepada pemerintah daerah di hulu DAS sebagai bentuk insentif kepada daerah hulu

atas kontribusinya dalam menyediakan jasa lingkungan.

Efisiensi, Efektivitas, Dampak, dan Keberlanjutan. Dalam jangka pendek, skema DAK

sebagai salah satu perwujudan Imbal Jasa Ekosistem (IJE) cukup menarik dan mungkin

cukup efektif. Namun, dalam jangka panjang skema DAK tidak terlalu efektif karena skema

ini hanya memberikan perhatian di sisi penghargaan (rewards), tetapi mengabaikan sisi

pemberian hukuman (punishment). Oleh karena itu, skema IJE akan efektif jika dan hanya

jika keuntungan yang berasal dari jasa ekosistem (misalnya: fungsi hidrologis, penyerapan

karbon dan/atau penyimpanan karbon, nilai keanekaragaman hayati, dsb.) serta dana alokasi

khusus yang diberikan kepada daerah yang peduli konservasi (“nilai konservasi”) nilainya

lebih tinggi daripada manfaat yang diperoleh apabila dilakukan konversi hutan atau ekstraksi

sumberdaya alam yang diperhitungkan sebagai “nilai konversi”. Pembayaran minimum IJE

harus sama dengan nilai yang diperoleh dari selisih nilai konversi dan nilai konservasi,

sedangkan nilai maksimum IJE akan sama dengan nilai total biaya akibat adanya aktivitas

konversi.16 Tanpa peraturan yang melengkapi, pembayaran minimum IJE harus lebih besar

dari selisih antara nilai konversi dan nilai konservasi seperti yang ditunjukkan pada tabel 3.

16 Lihat Pagiola, S and G. Platais (2007). Payments for Environmental Services: From Theory to Practice. World Bank, Washington; Engel, S., Pagiola, S and S. Wunder (2008). Designing payments for environmental services in theory and practice: An overview of the issues. Ecological Economics 65 (2008) 663-674. Elsevier.

Page 58: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 40

Gambar 3. Kompensasi minimal untuk efektivitas mekanisme IJE (PES)

Sumber: Pagiola & Platais (2007): Engel et al. (2008)

Kelembagaan. Jika IJE terkait dengan pungutan terhadap masyarakat maka diperlukan

payung hukum, yakni Undang Undang dan peraturan pelaksana. Namun, apabila IJE dilakukan dengan skema pembayaran antar perusahaan, antar pemerintah daerah, atau skema tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), maka pelaksanaannya cukup diatur dengan peraturan yang telah ada saat ini.

Implikasi Fiskal. Mekanisme Imbal Jasa Ekosistem (IJE) merupakan salah satu opsi skema

pembiayaan untuk pembangunan berkelanjutan untuk sektor berbasis lahan yang perlu

didorong karena hampir tidak memerlukan tambahan pendanaan dari pemerintah, tetapi

dapat turut serta mendukung kelestarian lingkungan melalui jaminan kesinambungan jasa

ekosistem.

4.2 Pertanian

KKF-PRLSBL mempertimbangkan kontribusi pertanian terhadap lingkungan, termasuk untuk

mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Kerangka kerja ini memerlukan perhatian Kementerian

Pertanian untuk mencapai ketahanan pangan, yang termasuk sebagai tujuan utama dari KKF-

PRLSBL. Hal ini memengaruhi keseimbangan optimal antara penggunaan lahan untuk

produksi pangan, kehutanan, dan biofuel.

Menurut data BPS, PDB pertanian tumbuh antara 2,7% dan 4,0% per tahun pada periode

tahun 2004-2013, berdasarkan harga konstan tahun 2000. Kontribusi sektor pertanian

terhadap PDB nasional menurun dari 11,7% menjadi 9,4% selama periode tersebut.

Pertumbuhan sama di tiga sub-sektor tanaman pangan (5,9% dari PDB pada tahun 2013),

perkebunan (2,0%) dan peternakan (1,6%). Sub-sektor makanan dan minuman menyumbang

7,1% dari PDB pada tahun 2004 dan 7,0% pada tahun 2013.

CONVERSION

VALUE

CONSERVATION

VALUE

CONSERVATION

VALUE + PES

Page 59: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 41

Kotak 9 Lahan yang Diperlukan berdasarkan Perhitungan Pencapaian Target Kementerian Pertanian

Kementerian Pertanian membuat perhitungan tahunan sebagai dasar permohonan kepada Menteri Kehutanan untuk pengeluaran izin baru konversi hutan alam menjadi perkebunan dan penggunaan pertanian lainnya. Menurut Direktur Perluasan Lahan Pertanian (2013) Kementerian Pertanian memerlukan tambahan lahan baru seluas 50 juta ha untuk menjamin seluruh target produksi komoditas pertanian terpenuhi. Sementara, berdasarkan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN 2011) Kementerian Kehutanan hanya dapat mengalokasikan 17,9 juta ha kawasan hutan untuk dikonversi menjadi peruntukan di luar kehutanan, termasuk untuk kepentingan sektor pertanian, secara bertahap sampai dengan tahun 2030. Untuk menekan laju konversi hutan serendah mungkin dan memastikan bahwa target produksi pertanian juga tercapai diperlukan upaya-upaya yang keras untuk membangun sistem pertanian intensif berdasarkan prinsip-prinsip praktik pertanian yang baik (good agriculture practices) dan fokus pada pencapaian target produksi beberapa komoditas

unggulan yang terpenting dan bernilai strategis.

4.2.1 Penggunaan lahan terdegradasi untuk pertanian, termasuk Kebun Sawit

Konteks dan dimensi ramah lingkungan. Prioritas adaptasi pertama yang tercantum dalam

Peta Jalan Pertanian dan Perubahan Iklim Kementerian Pertanian tahun 2011 adalah

pengembangan lahan pertanian dengan menggunakan lahan yang ada, daripada

memperluas pembukaan lahan pertanian yang baru. Hal ini agak berbeda dengan RPJMN

(2010-2014), yang memprediksi perluasan pertanian sebesar 12 juta hektar. Pemanfaatan

lahan kritis untuk kebun sawit kemungkinan akan menjadi kebijakan yang menarik, karena

memberikan hasil tertinggi di antara tanaman tadah hujan lainnya dan memungkinkan

perusahaan perkebunan memperluas lahan usahanya.

Kebijakan. Secara umum pemanfaatan lahan terdegradasi kurang menarik bagi investor

dibandingkan dengan pembukaan lahan hutan karena mereka tidak menerima manfaat awal

dari penebangan kayu dan karena kualitas kesuburan tanah di lahan yang baru dibuka

kemungkinan lebih baik dari pada lahan kritis. Kebijakan pencegahan deforestasi akan

membantu memastikan bahwa investor beralih ke lahan terdegradasi untuk memperluas

perkebunan. Beberapa insentif barangkali diperlukan agarhasil yang diperoleh investor dapat

bersaing secara komersial dan untuk memfasilitasi kendala kelembagaan. Insentif ini meliputi

hal-hal sebagai berikut.

Kebijakan mengenai pajak properti konsesi yang berkaitan dengan lahan terdegradasi

sebagaimana diaturdalam UU 41/2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 12/2012.

Kebijakan yang memfasilitasi pertukaran lahan, memberikan kompensasi kepada

investor yang siap untuk menyerahkan perizinan pada lahan hutan dalam skema

pertukaran dengan lahan kritis.

Insentif berupa kompensasi atas biaya tambahan bagi investor yang bersedia

menggunakan lahan yang direhabilitasi, bukan dengan cara mengkonversi hutan.

Page 60: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 42

Kotak 10 Pengurangan Emisi dari Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit Rakyat

Koherensi, konsistensi, dan sinergi. Ketidakpastian atas kebijakan konversi lahan hutan

di masa mendatang menyebabkan ketidakpastian investor dalam melakukan usaha di lahan

kritis. Kurangnya insentif yang jelas untuk mendorong usaha di lahan-lahan kritis/terdegradasi

menyebabkan terbatasnya minat investasi padalahan terdegradasi.

Efisiensi, efektivitas, dampak, dan keberlanjutan. Belum banyak studi yang mengevaluasi

produktivitas relatif dan biaya rehabilitasi lahan dibandingkan dengan penggunaan lahan

hutan yang baru dibuka. Beberapa laporan menyebutkan bahwa penyiapan usaha pertanian

di lahan kritis memerlukan waktu 50% lebih lama dibandingkan dengan penggunaan lahan

yang normal. Pemanfaatan lahan kritis mungkin akan membantu peningkatan produksi

tanaman perkebunan secara nasional, tetapi upaya ini memerlukan biaya tambahan untuk

kegiatan konservasi tanah dan pengelolaan unsur hara, yang diperkirakan mencapai Rp 10

juta/ha.

Hasil kajian Boer et al. (2012) di Kalimantan Tengah menyebutkan bahwa tukar menukar

lahan (land swap) dan peningkatan produktivitas sawit rakyat berpotensi untuk mengurangi

laju konversi hutan dan menurunkan emisi GRK. Pada umumnya kebun sawit rakyat

produktivitasnya rendah karena ditanam di lahan marginal, menggunakan bibit asalan, dan

miskin input. Peningkatan produktivitas kebun sawit rakyat berpotensi untuk berkontribusi

pada pengurangan permintaan lahan kelapa sawit sekitar 232.000 hektar, sehingga beberapa

lahan hutan yang telah dialokasikan untuk kelapa sawit dapat diselamatkan. Pemerintah

dapat melindungi dan melestarikan lahan hutan dari kegiatan konversi tanpa secara signifikan

mengurangi tingkat produksi kelapa sawit. Pemerintah perlu mengevaluasi kembali status

lahan yang dialokasikan untuk kebun kelapa sawit. Jika lahan yang dialokasikan masih

tertutup oleh hutan dan tidak ada Hak Guna Usaha (HGU) yang telah dikeluarkan maka

konversi hutan perlu ditunda dan dibatalkan. Agar ini terjadi, kepemilikan lahan perlu ditangani

oleh pemerintah pusat dan daerah, dengan dukungan transisi keuangan. REDD+ dan

kerjasama pembangunan internasional diharapkan menjadi sumber utama keuangan

tersebut, terutama pada tahap awal implementasi.

Tim World Resources Institute (WRI) juga melakukan kajian tentang hutan dan tataguna lahan di Indonesia (termasuk pekerjaan sebelumnya dikenal sebagai proyek “Potico”) bekerjasama dengan para pemangku kepentingan dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan hutan yang menguntungkan dan berkelanjutan. Tujuannya adalah untuk mencegah deforestasi dengan mengalihkan alokasi lahan perkebunan kelapa sawit di luar kawasan hutan dan daerah yang sudah terdegradasi, yang meliputi:

menyediakan data lingkungan dan tata kelola sumber daya alam di atas lahan hutan.

menyediakan data yang dapat diakses melalui peta interaktif, laporan dan alat-alat lain (www.wri.org/resources/maps/suitability-mapper untuk data kesesuaian peta dan www.wri.org/resources/maps/forest-cover untuk data tutupan hutan)

menafsirkan data dalam konteks kebijakan Indonesia

bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat sipil untuk meningkatkan pemantauan hutan.

bekerjasama dengan industri untuk memungkinkan perluasan usaha yang berkelanjutan dari komoditas utama.

melakukan peningkatan kapasitas untuk mempercepat implementasi di tingkat tapak.

Page 61: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 43

Pelaksanaan land swap dan program peningkatan produktivitas sawit rakyat akan berdampak

positif untuk pengurangan emisi dari deforestasi sekitar 480 juta ton CO2. Jika pemerintah

memutuskan untuk mempertahankan semua lahan hutan yang sedianya dialokasikan untuk

kebun sawit untuk tidak dikonversi, maka pengurangan emisi akan naik menjadi 746 juta ton

CO2. Dengan pengurangan ini, potensi penghasilan yang diterima dari kredit karbon dapat

menutupi bagian dari biaya tambahan yang diperlukan untuk program peningkatan

produktivitas sawit rakyat. Efek pengganda dari peningkatan produktivitas sawit rakyat akan

menghasilkan peningkatan manfaat yang jauh lebih tinggi daripada biaya tambahan yang

diperlukan. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang menyediakan fleksibilitas dalam

insentif pemanfaatan lahan kritis. Secara teori, salah satu cara yang efisien untuk mengelola

lahan kritis dapat dilakukan melalui proses tender, untuk memberikan hak atas lahan kritis

kepada investor yang bersedia menerima insentif terendah. Namun, dalam praktiknya hal ini

akan sulit untuk diterapkan dan perlu dikembangkan sistem kategori sederhana, sesuai

dengan yang disajikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 9 Deskripsi Biaya Manfaat Pengusahaan Beberapa Kategori Lahan Terdegradasi

Tipe Siklus tanam (tahun)

Biaya Tambahan (Rp juta/ha) Insentif

(Rp juta/ha) Kelembagaan Rehabilitasi Penanaman

Tidak terdegradasi 30 0 0 0

Lahan marginal (A) 40 0.5 0 1.0 0.5 + 0.1/th

Lahan terdegradasi sebagian (B)

50 1.0 2.0 2.0 2.0 + 0.2/th

Lahan kritis ekstrem (C) 50 2.0 10.0 2.0 5.0 + 0.2/th Catatan: insentif indikatif merujuk pada subsidi “one-off” yang dibayar setelah tanam (dimaksudkan untuk menutupi sekitar setengah biaya tambahan), ditambah subsidi tahunan yang berlangsung 10 tahun untuk mengkompensasi penanaman yang lambat. (Sumber: kategori ilustrasi untuk KKF-PRLSBL).

Usaha pertanian dan perkebunan sebenarnya lebih menguntungkan jika dilakukan di tanah

mineral yang terdegradasi daripada di lahan gambut (Elson 2011). Jika temuan ini disebarkan

dan diterapkan secara luas, maka diperlukan revisi sistem subsidi agar pemilik usaha

pertanian tertarik untuk beralih dari lahan gambut kepemanfaatan lahan kritis. Kompensasi

mungkin dapat diberikan berdasarkan atas pembayaran kembali sebagian biaya

pembangunan perkebunan baru.

Dampak bersih konversi lahan terdegradasi menjadi perkebunan kelapa sawit terhadap emisi

gas rumah kaca tergantung pada kondisi vegetasi asal di atas lahan kritis tersebut. Emisi

bersih dari kebun sawit bervariasi sepanjang siklus hidup perkebunan, tetapi rata-rata sekitar

7 tCO2e/ ha/tahun, ketika tidak dilakukan aktivitas deforestasi dan tidak dibudidayakan di

lahan gambut (Bessou, Chase et al. 2012). Nilai ini hampir sama dengan penyerapan karbon

pada padang rumput di daerah tropis, tetapi serapan karbon di padang rumput diperkirakan

setara dengan dekomposisi dan terdapat kontribusi bersih lebih sedikit terhadap cadangan

karbon. Di kebun sawit juga terjadi dekomposisi, tetapi ada akumulasi bersih simpanan

karbon yang berkontribusi atas sedikitnya 50% dari penyerapan karbon tahunan, jika batang

pohon sawit yang ditebang pada saat peremajaan (replanting) dimanfaatkan sebagai kayu

pertukangan atau bahan bakar.

Kelembagaan. Salah satu fungsidari DAK Kehutanan yang diberikan melalui Dana

Reboisasi, adalah untuk menyediakan sumberdaya bagi implementasi kebijakan yang

mempromosikan rehabilitasi lahan terdegradasi. Namun, hal ini juga memerlukan perbaikan

Page 62: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 44

substansial dari kapasitas pemerintah daerah untuk mengatur kebijakan secara baik dan

transparan. Sampai dengan saat ini pemerintah daerah cenderung masih mengharapkan

sumberdaya pemerintah pusat dan beberap verifikasi independen untuk membantu klasifikasi

lahan terdegradasi.

Implikasi fiskal. Implikasi anggaran untuk insentif penggunaan lahan terdegradasi untuk

pertanian sulit diperkirakan sampai dengan skema disiapkan dan diujikan sepenuhnya.

Namun, dengan menggunakan nilai-nilai dalam Tabel 8, dan dengan asumsi luas area yang

sama dari tipe lahan A, B dan C, dan bahwa skema di atas membutuhkan sumberdaya

tambahan sebesar 30% dari insentif, total insentif yang diperlukan untuk mengkonversi 1 juta

hektar per tahun untuk perkebunan akan menjadi sekitar Rp 3,5 triliun untuk insentif awal,

diikuti dengan insentif tahunan sekitar Rp 0,5 triliun selama sepuluh tahun. Setelah sepuluh

tahun, 1 juta hektar perkebunan baru harus memberikan keuntungan minimal Rp 2 juta/ha

dan memberikan kontribusi penerimaan pajak sebesar Rp 0,2 triliun per tahun.

4.2.2 Pertanian Cerdas Iklim

Konteks dan dimensiramah lingkungan. Produksi tanaman rentan terhadap peningkatan

frekuensi dan kerusakan akibat kekeringan dan banjir, baik secara langsung maupun melalui

dampaknya terhadap pertumbuhan tanaman dan kematangan, dan secara tidak langsung

melalui kecenderungan variabilitas cuaca yang meningkatkan ancaman hama dan penyakit.

Petani terus menyesuaikan teknik-teknik beradaptasi dengan perubahan iklim, namun

Kementerian Pertanian berperan dalam mengkaji opsi-opsi dan menyediakan informasi bagi

petani tentang opsi-opsi untuk pertanian cerdas iklim atau climate-smart agriculture (CSA).

Teknik-teknik baru meliputi beberapa hal, antara lain:

Penggunaan mulsa dan menghindari pembakaran jerami adalah cara yang paling

efektif untuk mengelola kelembaban tanah dan melindungi hasil pertanian terhadap

pola curah hujan yang bervariasi. Menghindari pembakaran jerami juga memiliki

manfaat untuk mengurangi risiko kebakaran di sekitar hutan dan lahan gambut.

Namun, teknik ini mungkin menimbulkan masalah terkait dengan kebutuhan tenaga

kerja serta pengendalian hama dan penyakit.

Pemanenan air dapat memberikan manfaat besar dalam hal kenaikan permukaan air,

meningkatkan kelembaban tanah dan sebagai sumber daya untuk irigasi air tanah.

Manajemen hama terpadu merupakan teknik untuk menghindari risiko wabah hama

dan penyakit yang meningkat akibat praktik monokultur yang menjadi tantangan terkait

isu perubahan iklim. Ledakan hama dan penyakit sering terjadi sebagai respon atas

periode yang tidak biasa dari cuaca kering atau basah dan perubahan suhu.

Varietas benih tanaman baru akan memengaruhi efektifitas biaya untuk meningkatkan

ketahanan terhadap perubahan iklim. Pusat Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) telah

merilis 32 varietas baru padi pada tahun 2006-2010, banyak diantaranya yang

dikembangkan dengan tujuan untuk membantu petani mengatasi kekeringan, banjir

dan musim yang tak terduga dari perubahan pola curah hujan.

Kebijakan. Beberapa kebijakan yang terkait dengan pengembangan sistem pertanian cerdas

iklim (climate smart agriculture) antara lain:

Page 63: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 45

Kebijakan penelitian Kementerian Pertanian untuk mengembangkan varietas tanaman

baru dan praktik pertanian baru, baik dengan mengadaptasi penelitian internasional

maupun melalui penelitian di Indonesia.

Kebijakan penyuluhan Kementerian Pertanian untuk membuat petani sadar varietas

dan praktik-praktik baru dan mendorong petani untuk bertindak bersama-sama,

dimana kelangsungan suatu teknik membutuhkan kerjasama, terutama dalam hal

pengelolaan hama terpadu. Pengembangan sekolah lapang petani dapat sangat

efektif dalam mempromosikan kerjasama serta peningkatan keterampilan teknis.

Peraturan yang melarang praktik-praktik pertanian yang kurang ramah lingkungan.

Pembiayaan bagi petani dan pengusaha di pedesaan, termasuk pengganda benih dan

pengecer benih dan input lainnya. Banyak teknik CSA baru yang memerlukan waktu

sampai lima tahun untuk memperoleh manfaat dan petani menghadapi risiko selama

masa transisi, sehingga skema pembiayaan pedesaan dapat membantu untuk

memberikan insentif yang diperlukan untuk mengadopsi CSA.

Koherensi, konsistensi dan sinergi. Kebanyakan kebijakan CSA memerlukan penyesuaian

terhadap penelitian dan penyuluhan yang dilakukan oleh Kementan, sehingga salah satu

tantangan pelaksanaan CSA adalah penyesuaian dari program yang sudah ada. Tantangan-

tantangan untuk penyesuaian program semacam inibiasa dijumpai dalam praktik CSA di

seluruh dunia, termasuk tantangan yang berkaitan dengan: mengintegrasikan penelitian dan

penyuluhan; memfasilitasi pertukaran pengalaman di antara petani; dan menyediakan insentif

dengan cara yang mendorong peran sertasektor swasta.

Efisiensi, efektivitas, dampak dan keberlanjutan. Penelitian dan penyuluhan adalah

kegiatan dengan biaya yang relatif rendah, dibandingkan dengan investasi besar pada irigasi

dan rehabilitasi lahan. Namun, kegiatan penelitian dan penyuluhan hanya akan efektif jika

didukung sumberdaya dan anggaran yang memadai.Banyak pengalaman internasional yang

menunjukkan bahwa keuntungan ekonomi dari hasil varietas tanaman baru sangat tinggi,

banyak inovasi pertanian yang populer dan diterima secara luas oleh petani. Dalam

kebanyakan kasus, inovasi pertanian memberikan manfaat yang dirasakan secara bertahap

dan manfaat ini diperkirakan akan meningkat seiring terjadinya perubahan iklim. Beberapa

inovasi pertanian, seperti yang terkait dengan revolusi hijau, ternyata dapat menghasilkan

keuntungan yang cepat dan dapat diterima secara luas oleh petani. Terobosan lainnya seperti

pengelolaan hama terpadu dan pertanian konservasi, memerlukan perubahan besar dalam

praktik pertanian karena terkait dengan risiko kegagalan tanpa adanya komitmen dan

kolaborasi yang kuat antar petani. Dengan demikian, meskipun mungkin tidak memerlukan

pengeluaran anggaran yang terlalu besar, penelitiandan penyuluhan memerlukan investasi

yang besar dalam sumberdaya manusia.

Pengalaman di beberapa negara tentang praktik pengelolaan hama terpadu (IPM)

menunjukkan bahwa manfaat penerapan IPM sangat tinggi jika praktik berhasil (Swinton dan

Williams 1998; Yonggong dan Shu 2004; Fernandez-Cornejo dan Rakshit 2006). Keuntungan

dari teknik pemanenan air juga bisa sangat tinggi, terutama jika mereka diimplementasikan

menggunakan teknik alami, seperti penggunaan “vetiver grass” (Olaolu 2009; Yudelman,

Page 64: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 46

Greenfield et al. -). Pertanian konservasi juga telah terbukti menghasilkan manfaat yang tinggi

tetapi memerlukan keterampilan yang kompleks (Mazvimavi 2011; Majanen et al. 2011).

Kelembagaan. Banyak teknik CSA memerlukan kerjasama yang baik antara petani. Hal ini

berlaku terutama untuk IPM, dimana teknik ini tidak akan memberikan dampak positif jika tidak

semua petani mengadopsinya, begitu puladengan teknik lain. Jika investasi “pemanenan air”

dilaksanakan oleh beberapa petani, tetapi petani-petani lainnya justru mengeksploitasi

sumberdaya berlebihan maka ini skema ini juga tidak akan berhasil. Negara-negara dengan

pertanian konservasi paling sukses adalah negara dimana kelompok taninya bekerja sama

untuk mengembangkan solusi bersama untuk masalah yang muncul, dengan prinsip-prinsip

umum pertanian konservasi. Sektor publik dapat membantu untuk mendorong perilaku

kelompok, namun pada akhirnya keberhasilan tergantung pada kemauan petani untuk

bekerjasama.

Implikasi fiskal. CSA memerlukan penyesuaian kegiatan Kementerian Pertanian yang

sudah ada dan fokus pada penguatan ketahanan pertanian terhadap variabilitas cuaca. Oleh

karena itu, ada kebutuhan anggaran untuk penerapan kebijakan CSA. Dana dapat diperoleh

tanpa menambah total anggaran tetapi dengan membuat pergeseran anggaran atau

perubahan prioritas dari program-program yang ada. Namun, banyak teknik CSA terbaru

memang membutuhkan investasi yang cukup besar, baik dari segi input maupun tenaga kerja.

Risiko yang mungkin terjadi adalahhasil panen petaniyang menurunpada tahun-tahun awal

adopsi. Penerapan teknik baru CSA sulit dilakukan secara swadayapada tahap awal

penerapan karena keuntungan baru didapatkan setelah teknik CSA dijalankan, sehingga tidak

mungkin petani akan menerima biaya awal dan risiko, tanpa dukungan pembiayaan dari

pemerintah atau sektor swasta. Biaya adopsi CSA perlu dianalisis secara lebih rinci, tetapi

berdasarkan pengalaman di beberapa tempat, penerapan teknik CSA memerlukan biaya

sekitar Rp 5 juta/ha. Sebagian biaya akan ditanggung oleh petani yang menyadari atas

manfaat CSA di masa depan, namun dukungan pemerintah tetap diperlukan, setidaknya

sebesar sepertiga dari biaya-biaya tersebut. Total anggaran yang diperlukan untuk penerapan

CSA sebesar Rp 15 triliun dalam kurun waktu 10 tahun.

Meningkatnya tantangan sektor pertanian sebagai dampak perubahan iklim membawa

konsekuensi terhadap semakin tingginya alokasi anggaran Kementerian Pertanian untuk

penerapan CSA yang menggeser prioritas pengeluaran untuk kegiatan lainnya. Penyesuaian

anggaran memerlukan argumen yang kuat untuk memastikan bahwa alokasi anggaran

kegiatan Kementerian Pertanian yang terkait dengan CSA telah memadai. Hal ini dapat

dilakukan, misalnya melalui kebijakan alokasi anggaran kegiatan CSA yang ditetapkan sekian

persen dari PDB.

Penerapan program CSA berpotensi memberikan manfaat bagi penghematan anggaran

secara keseluruhan. Keberhasilan program CSA akan mengurangi risiko diperlukannya

tambahan anggaran yang tinggi untuk program-program kesejahteraan sosial pemerintah

setelah banjir atau kekeringan. Peningkatan hasil pertanian dengan program CSA akan

mengurangi kebutuhan impor yang dapat menghemat devisa, tetapi pada saat yang sama

juga memengaruhi pendapatan dari bea masukuntukhasil pertanian yang tidak dibebaskan

dari bea masuk. Selain itu, program CSA akan memperkuat ketahanan pangan yang pada

gilirannya akan menyebabkan harga pangan lebih stabil. Hal ini akan membatasi permintaan

untuk intervensi pemerintah dalam mengendalikan harga pangan dan mengurangi risiko

pembengkakan anggaran yang tak terduga untuk mendukung kebijakan intervensi harga.

Page 65: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 47

4.2.3 Infrastruktur Irigasi yang Tahan Perubahan Iklim

Konteks dan dimensi ramah lingkungan. Irigasi adalah salah satu cara yang paling penting

di mana petani dapat melindungi diri dari perubahan pola curah hujan yang diduga akan

semakin bervariasi seiring dengan terjadinya perubahan iklim. Saat ini, telah dikembangkan

sistem irigasi yang mencakup areal sekitar 7,2 juta ha dari potensi 10,9 juta ha, dengan 0,6

juta ha lebih lanjut pada tahap perencanaan. Sebagian besar irigasi menggunakan limpasan

air sungai dan hanya 11% yang menggunakan “reservoir”. Sekitar 85% dari produksi beras

nasional dihasilkan dari lahan sawah yang memiliki sistem irigasi. Rata-rata hasil panen padi

dari sawah irigasi 4,7 ton/ha dengan indeks tanaman per-tahun 1,4. Di lapangan, produktifitas

bervariasi mulai dari 5,8ton/ha dan indeks tanaman 1,9 per tahun di Jawa dan 3,8 ton/ha dan

indeks tanaman 1,0 per tahun di Papua (Nouchsin 2012).17 Lebih dari setengah produksi padi

dan daerah irigasi berada di Pulau Jawa.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7/2004, pemeliharaan jaringan irigasi merupakan

tanggung jawab pemerintah pusat untuk skema irigasi yang mencakup luasan lebih dari

3.000ha dan untuk skema irigasi lintas provinsi. Untuk skema irigasi antara 1.000 dan

3.000ha, tanggung jawab di tangan pemerintah provinsi dan untuk skema irigasi pada luasan

yang lebih kecil merupakan tanggung jawab pemerintah kabupaten.

Kebijakan. Pengembangan sistem irigasi yang tahan iklim dilaksanakan melalui beberapa

kebijakan sebagai berikut:

Kebijakan pendanaan langsung dari pemerintah untuk investasi dalam skema irigasi, termasuk membangun skema baru dan merevisi skema yang ada.

Kebijakan kelembagaan untuk memastikan bahwa petani bertanggung jawab untuk pemeliharaan saluran tersier dan penguatan kelembagaan kelompok pengguna air. Pemerintah bertanggungjawab untuk pemeliharaan saluran primer dan sekunder.

Kebijakan yang mendorong efisiensi skema yang ada, termasuk penggunaan teknik yang lebih efisien, praktik pengelolaan air skala kecil, penerapan teknik konservasi dan panen air.

Kebijakan penggunaan DAK untuk perbaikan irigasi.

Koherensi, konsistensi, dan sinergi. Tantangan utama dalam hal konsistensi kebijakan

adalah infrastruktur irigasi yang baru harus sesuai dengan skema pemeliharaan yang efisien

di semua tingkatan. Hal ini memerlukan koordinasi antara Kementerian PU dan Kementerian

Pertanian untuk infrastruktur primer dan sekunder, serta antara Kementerian Pertanian dan

petani (kelompok pengguna air) untuk infrastruktur tersier dan peralatan irigasi di lapangan.

Efisiensi, efektivitas, dampak, dan keberlanjutan. Irigasi memberikan manfaat besar bagi

petani. Pembangunan jaringan irigasi dan pemeliharaan sistem irigasi adalah kegiatan

terpenting dalam menjaga fungsi irigasi bagipara petani.Jika hasil panen padi dan intensitas

tanam di seluruh Indonesia dapat ditingkatkan setara dengan rata-rata capaian di Pulau Jawa,

maka produksi beras akan dapat meningkat hampir dua kali lipat dari 38 juta ton menjadi lebih

17 Informasi dari Kepala Badan Litbang Kementan dan Plt. Dirjen Tanaman Pangan Kementan di Institut Pertanian Bogor (IPB) 15.09.2014, menunjukkan bahwa produktifitas rata-rata sawah pada tahun 2013 telah melampaui angka 5 ton/ha.

Page 66: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 48

dari 60 juta ton. Sebenarnya swasembada beras pada tahun 2014 ini telah tercapai18dan

hanya diperlukan peningkatan produksi sekitar 6 juta ton untuk mempertahankannya sesuai

dengan estimasi kebutuhan beras berdasarkan pertumbuhan penduduk sampai dengan 20

tahun ke depan. Peningkatan produksi beras sebesar 6 juta ton ini akan memberikan

tambahan nilai hampir Rp 24 triliun dan memberikan total margin bagi petani sekitar Rp 10

triliun.

Namun, evaluasi dari beberapa skema irigasi menunjukkan bahwa ketika manfaat irigasi

dapat dicapai, seringkali tingkat pendapatan yang diterima petani ternyata lebih rendah dari

yang diharapkan ketika skema dirancang (ADB 2008; Sugimoto 2010; Mukherji, Fuleki et al.

2010). Tingkat rata-rata peningkatan pendapatan petani diperkirakan mendekati 20% ketika

skema dirancang, tapi evaluasi ex-post menemukan bahwa peningkatan pendapatan petani

hanya sekitar 10%. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mencapai peningkatan produksi beras

sebesar 6 juta ton, investasi tahunan untuk irigasi harus meningkat setidaknya sekitar Rp 5

triliun setiap tahun, dari tingkat yang ada sekarang sebesar Rp 1,9 triliun.

Emisi gas rumah kaca dari lahan sawah biasanya sekitar 5 tCO2e/ha. Oleh karena itu, dengan

total luas sawah di Indonesia 8 juta ha, diperkirakan akan menyumbang sekitar 40 mtCO2e

per tahun. Beberapa cara untuk penurunan emisi dari sawah memungkinkan, misalnya

dengan peningkatan efisiensi penggunaan air. Skala pengurangan emisi dapat bervariasi

tetapi tidak mungkin lebih tinggi dari 10%.

Kelembagaan. Kelembagaan Kelompok Pengguna Air (KPA) adalah kunci untuk pengelolaan

irigasi berkelanjutan. Dalam hal ini, sangat penting untuk memastikan dukungan teknis yang

efektif untuk membangun keterampilan dan kelembagaan KPA, serta menyusun pedoman

yang jelas tentang pembagian tanggung jawab antara Kementan dan KPA.

Implikasi fiskal. Target KKF-PRLSBL antara lain adalah memperluas irigasi dari 7,2 juta

menjadi 8,0 juta hektar kurun waktu 10 tahun. Rencana ini memerlukan biaya sekitar Rp 3,2

triliun per tahun. Selain itu, apabila akan ada investasi untuk meningkatkan efisiensi irigasi di

seluruh Indonesia akan memerlukan biaya sebesar Rp 7,0 triliun dalam kurun waktu 10 tahun.

Anggaran untuk pemeliharaan irigasi selama ini dirasakan sangat kurang, terutama di tingkat

provinsi dan kabupaten. Kondisi ini berdampak besar pada produksi padi di hampir 70% dari

areal sawah dengan saluran irigasi yang dikelola oleh pemerintah provinsi dan kabupaten.

Anggaran untuk pemeliharaan irigasi dalam beberapa tahun terakhir sebesar Rp 700 miliar

sampai Rp 800 miliar yang hanya cukup untuk mempertahankan kurang dari 10% jaringan

irigasi. Akibatnya, sebagian besar jaringan irigasi dipaksa bekerja dalam kondisi yang tidak

efisien sehingga cepat mengalami kerusakan dan kemudian memerlukan biaya rehabilitasi

yang besar. Untuk memelihara jaringan irigasi secara baik di seluruh Indonesia diperkirakan

memerlukan anggaran sebesar Rp 5 triliun per tahun.

4.2.4 Subsidi Pupuk dan Pupuk Organik

Konteks dan dimensi ramah lingkungan. Kebijakan fiskal sektor berbasis lahan berkaitan

dengan subsidi pupuk kimia dan opsi penggunaan pupuk organik yang dianggap lebih ramah

lingkungan. Produksi pupuk dari bahan organik yang lebih terorganisir berpotensi

18Pernyataan Kepala Badan Litbang Kementan dan Plt. Dirjen Tanaman Pangan di IPB 15.09.2014

Page 67: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 49

meningkatkan produksi tanaman dan margin hasil pertanian dengan emisi yang lebih rendah

dibandingkan dengan pupuk kimia.

Indonesia mulai memberikan subsidi pupuk pada tahun 1971 (OECD, 2012). Harga eceran

tertinggi (HET) dikaitkan dengan harga beli hasil pertanian dan biaya subsidi meningkat tajam

selama tahun 1970 dan 1980-an. Biaya subsidi dikurangi setengahnya pada tahun 1990-an,

tetapi masih menyumbang hampir 20% dari belanja pemerintah untuk pertanian. Pada tahun

1998, pemerintah bermaksud untuk menaikkan subsidi pupuk, tetapi tidak terealisasi karena

biaya yang tinggi akibat krisis keuangan dan devaluasi rupiah, sehingga rencana peningkatan

subsidi pupuk itu dibatalkan dan diganti dengan peningkatan subsidi untuk harga pangan.

Pada tahun 2003, subsidi diberikan untuk empat jenis pupuk (urea, TSP / SP36, ZA dan NPK)

yang dijual kepada petani yang memiliki kurang dari 2 hektar lahan. Subsidi diberikan melalui

lima perusahaan milik negara yang memproduksi pupuk dengan harga eceran tertinggi (HET)

yang ditentukan oleh pemerintah. Meskipun telah dilakukan kontrol ketat atas distribusi dan

ritel pupuk, masih banyak laporan terkait kebocoran subsidi kepada pengusaha/petani besar,

melalui berbagai cara. Upaya untuk memperketat pengawasan distribusi pupuk bersubsidi

diperkenalkan pada tahun 2009, namun masih banyak laporan yang terkait dengan masalah

dengan kebocoran distribusi pupuk bersubsidi. Ekspor hanya diperbolehkan setelah

permintaan domestik terpenuhi.

Pada tahun 2000-an, Indonesia menggunakan antara 5,0 juta sampai 6,5 juta ton pupuk

bersubsidi, sekitar tiga perempat diantaranya adalah urea. Sejak tahun 2008 penggunaan

pupuk bersubsidi terus meningkat dan menjadi hampir 9,5 juta ton pada tahun 2010, terutama

melalui peningkatan penggunaan pupuk non-urea. Harga dunia pupuk terkait erat dengan

harga energi. Lonjakan harga energi pada tahun 2008 menyebabkan lonjakan harga pupuk

dunia, lebih dari dua kali lipat dari harga tahun 2000-an. Dengan tidak adanya perubahan HET,

biaya untuk anggaran subsidi pupuk meningkat tajam menjadi lebih Rp 18 triliun. Pada saat

harga pupuk dunia mendekati puncaknya, HET pupuk bersubsidi dinaikkan sedikit. Walaupun

telah dinaikkan, tetapi HET hanya sekitar setengah dari harga paritas impor. Akibatnya biaya

subsidi pupuk sebesar Rp 21 triliun dalam tahun anggaran 2014 akan meningkat menjadi Rp

35 triliun pada tahun anggaran 2015. Gambar 4 menunjukkan bahwa tingkat subsidi

dipertahankan antara 45% dan 65% untuk sebagian besar jenis pupuk.

Gambar 4. Tingkat subsidi untuk pupuk tahun 2008 sampai dengan 2012.

Catatan: Tingkat subsidi (1-(HET maksimum untuk harga tersubsidi/biaya produksi)) Sumber: Kementerian Pertanian (2014)

Page 68: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 50

Pengalaman berbagai negara terkait subsidi pupuk berbeda-beda. Pada tahun 1990-an, sebagian besar negara menerapkan subsidi pupuk dengan argumen yang cukup kuat. Namun, dalam sepuluh tahun terakhir, kebijakan di berbagai negara telah berubah dan banyak yang telah menggeser pola subsidi dari subsidi produsen kepada infrastruktur atau subsidi untuk membantu peningkatan pendapatan petani. Selain Indonesia, beberapa negara yang masih menerapkan subsidi input antara lain China, India, Bangladesh, Srilanka, Filipina, dan Malaysia (Kementerian Pertanian, 2014).

Tabel 10 Sistem dan Jumlah Subsidi Input Pertanian pada Beberapa Negara di Asia

Negara

Jumlah Penduduk

(juta)

Luas Lahan

Pertanian (juta ha)

Jenis Subsidi Total

Subsidi (triliun)

Subsidi / pertanian (Rp juta)

Indonesia 247 24.9 HET (Urea, SP, ZA, NPK, organik) 15.8 0.63 Philipina 95 4.8 Kupon petani (Urea, NPK) 0.2 0.04

India 1200 137.8 Subsidi berbasis nutrisi, kel. Harga 204.7 1.49

China 1300 200.6 Subsidi produsen 316.8 1.58

Bangladesh 154 15.2 HET 17.2 1.13

Sri Lanka 20 3.3 HET 4.0 1.21

Malaysia 29 .05 Petani padi 0.8 16.00

Sumber: Subsidi Kementerian Pertanian (2014); Rumah tangga petani(Lowder et al., 2014)

Bank Dunia (2010) dalam laporan Pengeluaran Publik Pertanian cenderung menentang

kebijakan subsidi pupuk. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa subsidi memberikan

manfaat substansial yang lebih banyak bagi para petani kaya daripada yang diterima petani

miskin. Barangkali salah satu argumen utama dalam pemberian subsidi pupuk adalah untuk

menjamin kecukupan pasokan pangan. Secara teori, efisiensi penggunaan urea

menghasilkan respon minimal 3 ton beras untuk setiap ton urea, dengan benefit cost ratio

minimal 2,0. Subsidi menyebabkan petani cenderung untuk menggunakan urea secara tidak

efisien karena harga pupuk urea bersubsidi jauh lebih murah dibandingkan dengan harga

pasar. Akibatnya, rata-rata penggunaan urea di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan

dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Oleh karena itu, Kementerian Pertanian telah

mengusulkan skema pengurangan subsidi pupuk secara bertahap melalui peningkatan Harga

Eceran Tertinggi (HET) agar lebih mendekati Harga Pokok Produksi (HPP).

Pemerintah khawatir bahwa subsidi pupuk kimia mendorong ketergantungan dan

penggunaan pupuk kimia yang tidak efisien serta mengarah pada pengabaian pupuk organik,

termasuk pupuk kandang dan mulsa untuk bahan baku kompos. Pupuk organik mencegah

risiko penurunan kesuburan lahan dalam jangka panjang sebagaimana diduga terjadi jika

menggunakan pupuk kimia. Pupuk organik sebagian besar juga merupakan karbon netral,

sementara pupuk kimia menyebabkan emisi gas rumah kaca yang cukup besar. Untuk

mengatasi masalah ini, skema subsidi baru (BLP) telah diperkenalkan untuk mendukung

pengembangan pupuk organik, walaupun masih terbatas pada sekitar 0,4 juta ton pada tahun

2010 (OECD 2012). Pemerintah juga telah memberikan dukungan dengan mendistribusikan

Unit Pembuatan Pupuk Organik (UPPO) untuk masing-masing kelompok tani, termasuk 35

ekor sapi, ditambah kandang, alat pengolahan pupuk dan kendaraan. Setiap UPPO mampu

memproduksi 135 ton pupuk per tahun, yang dijual dengan harga terkendali. Pada akhir tahun

2009, sebanyak 1.345 UPPO telah didistribusikan, yang seharusnya telah memproduksi 0,18

juta ton pupuk.

Page 69: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 51

Penggunaan pupuk kimia memiliki implikasi yang kompleks untuk emisi gas rumah kaca.

Kebanyakan perhatian ditujukan untuk emisi yang timbul dari penggunaan pupuk. Namun,

ada juga dampak positif pada emisi gas rumah kaca dari penggunaan pupuk karena

peningkatan fotosintesis pada tumbuhan yang memanfaatkan pupuk. Efektivitas pupuk

organik diketahui, tetapi masih bisa diperdebatkan apakah biomassa sebaiknya dipergunakan

langsung sebagai pupuk organik, atau apakah biomassa tersebut sebaiknya digunakan

sebagai sumber pakan ternak, yang kemudian menghasilkan pupuk kandang. Skema untuk

pengolahan kotoran hewan menjadi biogas, hasilnya sangat bervariasi tergantung pada

efisiensi dan skala sistem yang dipergunakan (Gebrezgabher et al. 2009, Frandsen et al. 2011,

Morup 2012).

Kebijakan. Untuk menghadapi tantangan yang dihadapi subsidi pupuk kimia, Kementerian

Pertanian telah mengusulkan pengurangan parsial dalam skema subsidi pupuk melalui

peningkatan HET secara bertahap agar semakin mendekati biaya produksi. Reformasi

subsidi pupuk akan berdampak besar pada hasil pertanian, pada kelestarian lingkungan dan

pada anggaran. Reformasi mencakup tiga hal utama, yaitu:

Menjaga subsidi lebih tepat sasaran dan pertanian komersial tidak mendapat

keuntungan dari subsidi.

Setengah dari belanja subsidi akan dialihkan ke subsidi pertanian lainnya, termasuk

dukungan untuk pertanian cerdas iklim dan irigasi. Perubahan ini akan terjadi melalui

tiga langkah tahunan.

Mendukung pengembangan pupuk organik untuk mengimbangi pengurangan

penggunaan nutrisi kimia dan untuk menciptakan kesuburan tanah dalam jangka

panjang, yang mencakup: a) dukungan untuk penggunaan pupuk; dan b) dukungan

untuk mulsa dan teknik yang terkait.

Beberapa kebijakan yang terkait dengan subsidi pupuk dan penggunaan pupuk organik antara

lain adalah:

Sejauh ini kebijakan yang paling penting pada pupuk adalah subsidi urea.

Kementerian Pertanian mengupayakan beberapa kebijakan agar petani menyadari

penggunaan pupuk yang optimal dalam pemanfaatannya, baik dari aspek ekonomi

maupun lingkungan.

Kementerian Pertanian juga telah mengupayakan program penyuluhan, hibah alat,

subsidi suku bunga dan jaminan pinjaman bagi petani untuk mendorong mereka

menggunakan lebih banyak pupuk organik.

Koherensi, konsistensi, dan sinergi. Pemberian subsidi pupuk dan hibah alat untuk

pengembangan pupuk organik merupakan cara-cara yang ditempuh Kementerian Pertanian

untuk meningkatkan kesuburan tanah. Namun, kedua cara tersebut memiliki implikasi yang

berbeda dalam pembangunan rendah karbon: penggunaan pupuk kimia secara efisien

memberikan kontribusi untuk peningkatan produksi pangan dan mengurangi tekanan pada

lahan; sementara penggunaan pupuk organik memberikan kontribusi terhadap peningkatan

kesuburan dan kelembaban tanah, sehingga meningkatkan ketahanan atas iklim, dan juga

menciptakan kesempatan untuk menyediakan makanan berkualitas tinggi yang menghasilkan

manfaat ekonomi bagi produsen dan manfaat kesehatan bagi konsumen.

Page 70: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 52

Efisiensi, efektivitas, dampak, dan keberlanjutan.

1. Perhatian lebih untuk penetapan target subsidi. Beberapa perkiraan menunjukkan

bahwa sebanyak 60% dari subsidi diterima oleh petani terkaya sebesar 40% dari

petani, meskipun terdapat upaya untuk menetapkan target subsidi kepada petani

terkecil dan termiskin. Penegakan lebih lanjut atas aturan penetapan target subsidi

akan disosialisasikan dengan tujuan menghemat 20% dari subsidi tanpa mengurangi

penggunaan pupuk oleh petani miskin. Penargetan ini akan membutuhkan investasi

yang signifikan dalam penegakan aturan dan setengah penghematan anggaran akan

disediakan untuk menegakkan peraturan baru.

2. Pengalihan 50% dari subsidi pupuk untuk pendukung pertanian lain.

Keseimbangan data-data dan bukti internasional akan efektivitas subsidi pupuk amat

beragam. Pada sebagian besar tahun 1990-an, terdapat argumen yang kuat melawan

subsidi pupuk. Namun, dalam sepuluh tahun terakhir, keseimbangan pendapat telah

bergeser dan ada beberapa contoh program subsidi yang dianggap berhasil. Secara

teori, efisiensi penggunaan urea menghasilkan respon minimal 3 ton beras untuk

setiap ton urea (Manzoor et al., 2006).

Dalam teori ini berarti jika 5 juta ton urea digunakan pada tahun 2010 untuk

menghasilkan beras, maka harus dapat menghasilkan 15 juta ton tambahan beras.

Dalam praktiknya, produksi beras dalam 10 tahun terakhir telah meningkat hampir 20

juta ton/tahun atau sekitar 37%, menurut data Statistik Indonesia. Sekitar 60% dari

peningkatan ini dapat diperhitungkan dari perluasan pertanian di daerah dan 40%-nya

(yaitu sekitar 8 juta ton) dari kenaikan hasil. Angka-angka ini konsisten dengan saran

bahwa sebagian besar dari kenaikan hasil disebabkan oleh peningkatan penggunaan

pupuk kimia.

Dampak pengurangan subsidi pupuk tergantung pada sejauh mana hal itu akan

menyebabkan berkurangnya penggunaan pupuk yang akan berdampak pada produksi

pertanian dan pendapatan petani. Beberapa laporan menunjukkan bahwa elastisitas

harga dari permintaan pupuk adalah antara 0,1 dan 0,2, yang berarti peningkatan

100% pada harga urea akan mengakibatkan penurunan 10% sampai 20% permintaan

pupuk (Warr dan Yusuf, May, 2013). Estimasi atas elastisitasharga pupuktersebut

sangat sensitif terhadap faktor-faktor lain, seperti perilaku harga input lain dan pola

cuaca.

Tingkat penggunaan pupuk urea di Indonesia hampir dua kali lipat dari negara-negara

lain di Asia Tenggara, sehingga kemungkinan penghematan subsidi dari penggunaan

pupuk cukup besar. Penghapusan subsidi input pupuk tanpa pergeseran ke subsidi

infrastruktur atau peningkatan pendapatan petani diperkirakan mengurangi

penggunaan pupuk sekitar 0,7 juta ton (0,5-1,0 juta ton), yang mengarah pada

penurunan produksi beras sekitar 2 juta ton.

3. Peningkatan dukungan untuk pupuk dan mulsa. Dampak peningkatan dukungan

untuk menggunakan pupuk kandang sebagai pupuk organik terbatas baik oleh biaya19

19 Efektifitas biaya dari unit-unit pengolahan pupuk organik saat ini perlu dievaluasi. Evaluasi internasional terhadap biodigester menunjukkan bahwa pengolahan pupuk organik dapat menguntungkan, tetapi mempersyaratkan biaya operasional yang sangat efisien. Gebrezgabher, S. A., Meuwissen, M., Lansink, G. O. &

Page 71: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 53

dan oleh pasokan potensi pupuk kandang. Belum ditemukan studi mengenai pasokan

potensial, tapi perkiraan awal dapat diperoleh dari dari data jumlah hewan ternak.

Menurut Statistik Indonesia (BPS), ada sekitar 16 juta ekor sapi dan kerbau, 35 juta

kambing dan domba, 8 juta ekorbabi dan 1.900 juta unggas di seluruh Indonesia.

Hewan ternak ini menghasilkan sekitar 1,9 juta ton nutrisi per tahun20, dibandingkan

4.6 juta ton nutrisi dari pupuk kimia (FAOSTAT data). Jika kebijakan untuk

mempromosikan pupuk organik mampu memobilisasi nutrisi tambahan sebesar 10%

dari pasokan potensial teoritis, mereka akan menggantikan kurang dari 5% dari nutrisi

yang disediakan oleh pupuk kimia. Manfaat dari pupuk kandang terhadap tanah

melampaui pasokan nutrisi utama dan termasuk nilai bahan organik dan mikro-nutrisi,

tetapi analisis ini memberikan beberapa indikasi bahwa pupuk hanya

akanmemberikan kontribusi sederhana.

Skala potensi manfaat dari penggunaan mulsa jauh lebih tinggi daripada penggunaan

pupuk kandang karena volume bahan organiknya jauh lebih tinggi. Namun demikian,

penggunaan alternatif bahan organik yang potensial digunakan untuk mulsa, termasuk

untuk pakan ternak, sangat bersaing. Terdapat perkembangan pesat pemakaian

mulsa di dunia internasional. Di Brazil, pada 30 tahun terakhir telah terjadi transformasi

praktik pertanian dan lebih dari 55% dari semua tanaman sekarang tumbuh

menggunakan pengolahan nol, yang bergantung pada daur ulang nutrisi dari mulsa

dan memungkinkan pengurangan penggunaan pupuk kimia tanpa pengurangan hasil.

Peningkatan penggunaan teknik yang sama terjadi di Australia dan Amerika Utara dan

terdapat pilihan-pilihan yang dikembangkan untuk produksi padi, (misalnya

menggunakan prinsip-prinsip Sustainable Rice Intensification). Teknik-teknik ini

adalah pusat untuk praktik Pertanian Cerdas Iklim (CSA) seperti yang disebutkan di

atas.

Sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya, Penggunaan pupuk

kimia memiliki implikasi kompleks untuk emisi gas rumah kaca. Pada umumnya

kekhawatiran timbul terhadap emisi yang timbul secara langsung dari pemakaian

pupuk kimia. Namun, sesungguhnya ada pula dampak positif dari penggunaan pupuk

kimia dalam reduksi emisi karena adanya peningkatan fotosintesis pada tanaman

yang memanfaatkan pupuk. Efektivitas pupuk organik telah diketahui meskipun masih

dapat diperdebatkan apakah bahan organik/biomasa tumbuhan paling baik digunakan

sebagai sumber pakan ternak, dan menghasilkan pupuk yang akan diterapkan dalam

bentuk kotoran hewan. Keuntungan yang dihasilkan dari pengolahan kotoran hewan

menjadi biogas berbeda-beda, tergantung pada efisiensi dan skala usahanya

(Gebrezgabher, Meuwissen et al 2009;. Frandsen, Rodhe et al 2011;Morup 2012).

Penurunan penggunaan pupuk juga memiliki implikasi untuk emisi karena emisi rata-

rata dari pembuatan dan aplikasi pupuk sekitar 13 tCO2e per berbasis pupuk nitrogen

Prins, B. 2009. Economic analysis of anaerobic digestion - A case of Green power biogas plant in the Netherlands Case Study 17th International Farm Management Congress, Morup, C. 2012. Viability of Household Biogas Plants in Vietnam: A Social Cost-Benefit Analysis. Aarhus School of Business MSc Thesis.). 20 Diasumsikan bahwa hewan ternak termasuk kerbau memproduksi 4t/kepala/tahun OECD 2012. Review of Agricultural Policies: Indonesia. and the production for other animals is roughly proportional to their bodyweight and so is 0.4t/head/yr for sheep/goats, 0.8t/head/yr for pigs and 0.015 for poultry. Assume also that the NPK content of all manure is 1.7%.

Page 72: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 54

(WF, ZX et al. 2013). Penurunan penggunaan pupuk 0,7 juta ton dengan demikian

mengurangi emisi gas rumah kaca sekitar 9 juta tCO2e, senilai sekitar Rp 2,7triliun.

Dampak ini sebagian juga akan diimbangi oleh hilangnya produktivitas tanaman, yang terkait dengan penyerapan CO2 yang lebih rendah selama fotosintesis. Namun demikian, jika alternatif ini mampu mendukung pertanian cerdas iklim dan mengembalikan hasil ke tingkat terbaik –walaupun tanpa penurunan penggunaan pupuk kimia, maka hal ini akan memberikan keuntungan dalam hal penyerapan emisi gas rumah kaca tanpa kehilangan produktivitas.

Kelembagaan. Kementerian Pertanian berupaya untuk mendorong petani menggunakan

pupuk organik dan menggunakan pupuk kimia bersubsidi secara lebih rasional. Kementerian

Pertanian menggandeng perusahaan swasta untuk menyediakan peralatan pengolahan

pupuk organik dan mendorong bank untuk bersedia memberikan pinjaman untuk lembaga

pengolahan pupuk organik. Selain itu, Kementerian Pertanian juga mendorong keterlibatan

lembaga penelitian nasional dan internasional serta lembaga-lembaga terkait mekanisme

pembangunan bersih (CDM) untuk mendukung petani menggunakan pupuk organik.

Kelembagaan distribusi dan pengawasan pupuk bersubsidi juga perlu dibenahi untuk

mengurangi kebocoran pupuk bersubsidi ke tangan pihak yang tidak berhak menerima.

Disamping itu, kelembagaan penyuluhan juga harus diperkuat agar petani lebih rasional (tidak

berlebihan) dalam menggunakan pupuk.

Implikasi fiskal. Subsidi mencapai sekitar 60% dari seluruh pengeluaran pertanian dan

subsidi pupuk adalah yang terbesar dari subsidi pertanian, yaitu sebesar Rp 21 triliun dalam

tahun anggaran 2014. Pada tahun 2013, Menteri Pertanian mengusulkan menurunkan

subsidi pupuk dan menggunakan pengalihan sumberdaya tersebut untuk meningkatkan irigasi

dan praktik pertanian lainnya. Namun demikian, dalam RAPBN tahun 2015 ternyata rencana

pengeluaran untuk subsidi pupuk justru meningkat menjadi sekitar Rp 35 triliun.

4.2.5 Asuransi Pertanian

Konteks dan dimensi ramah lingkungan. Asuransi pertanian diperlukan oleh petani untuk

melindungi terjadinya kerugian akibat kegagalan tanaman karena peningkatan frekuensi

musim yang buruk. Tantangan dalam pelaksanaan asuransi tanaman untuk mengatasi gagal

panen sebagian besar terkait dengan kompleksitas biaya pengukuran dan verifikasi. Sistem

yang lebih sederhana berdasarkan asuransi indeks iklim adalah yang lebih hemat biaya (Boer,

2012; IFC, -).

Kebijakan. Subsidi diberikan kepada perusahaan asuransi yang memungkinkan mereka

menerapkan asuransi pertanian untuk mengganti risiko kehilangan pendapatan petani di

tahun-tahun dengan musim yang buruk. Undang Undang Nomor 19/2013 dikeluarkan dalam

rangka menyediakan kebijakan pemungkin yang mendukung asuransi pertanian, dimana

Pasal 37 undang-undang tersebut menyatakan bahwa:

Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya wajib untuk

melindungi kegiatan usaha tani dalam bentuk asuransi pertanian;

Asuransi pertanian didirikan untuk melindungi petani dari kerugian gagal panen yang

disebabkan oleh: bencana alam; serangan hama tanaman; wabah penyakit hewan

menular; dampak perubahan iklim, dan/atau jenis risiko yang ditetapkan oleh

peraturan.

Page 73: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 55

Kementan telah menerapkan proyek percontohan asuransi pertanian pada usahatani

padi di tiga provinsi: Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, dengan dukungan

dari JICA di bawah program Pengembangan Kapasitas untuk Strategi Perubahan Iklim

di Proyek Indonesia. Pelajaran dari proyek percontohan tersebut antara lain sebagai

berikut (BKF, 2013).

o Undang-Undang Pemberdayaan dan Perlindungan Petani merupakan salah satu

elemen kunci dalam adaptasi perubahan iklim dan mendukung pengembangan

sektor pertanian.

o Asuransi pertanian sangat penting dalam menjamin ketahanan pangan dengan

harga stabil, serta mencapai target permintaan dan penawaran.

o Asuransi pertanian akan memainkan peran penting dalam banyak komoditas

yang melibatkan pengeluaran publik dan swasta.

o Peran pemerintah (pusat dan daerah) sangat penting dalam mempromosikan dan

menjamin implementasi asuransi pertanian yang baik dan adil.

o Mitra pembangunan dapat membantu inisiatif melalui penyediaan kapasitas

pengetahuan dan berbagi kebijakan dan praktik terbaik dalam melaksanakan

asuransi pertanian.

Koherensi, konsistensi, dan sinergi. Asuransi pertanian adalah subyek yang kompleks.

Fakta bahwa asuransi pertanian dipergunakan di beberapa negara menunjukkan bahwa

asuransi pertanian memainkan peran yang penting dalam mendukung pembangunan

pertanian. Namun, agar efektif asuransi pertanian perlu dikelola dengan sangat hati-hati. Jika

asuransi pertanian diimplementasikan tanpa persyaratan yang jelas, maka insentif untuk

mengadopsi sistem pertanian cerdas iklim (CSA) berkurang dan petani mungkin lebih

cenderung untuk menerima risiko. Untuk beberapa hal, asuransi pertanian ini akan menjadi

kebijakan yang rasional secara nasional karena akan mengatasi dampak kerugian petani

akibat masalah cuaca lokal sehingga dapat mengejar produktivitas nasional yang lebih tinggi.

Namun, jika asuransi pertanian ini dirancang dengan cara yang mengabaikan upaya petani

untuk mengurangi risiko maka dikhawatirkan dapat merusak insentif bagi keberhasilan

pertanian cerdas iklim (CSA).

Pada saat ini dirasakan adanya kebutuhan yang semakin mendesak untuk menerapkan

asuransi pertanian dalam menghadapi kondisi perubahan iklim (IFAD, 2010). Beberapa studi

menunjukkan bahwa skema asuransi pertanian dapat bekerja secara efektif dalam beberapa

keadaan, baik dalam skala makro maupun mikro. Namun demikian skema asuransi pertanian

harus dirancang dengan sangat hati-hati untuk menyesuaikan dengan berbagai kondisi

(Balzer dan Hess, 2010). Pemerintah perlu mendorong sektor swasta agar mulai

menawarkan produk asuransi pertanian untuk menghadapi risiko cuaca (perubahan iklim)

kepada petani, atau menerapkan asuransi pertanian melalui beberapa skema percontohan.

Efisiensi, efektivitas, dampak, dan keberlanjutan. Di negara-negara maju dengan pasar

asuransi yang tinggi, seperti Amerika Serikat, ternyata penerapan asuransi risiko tanaman

(asuransi pertanian) masih tergantung pada dukungan publik (subsidi pemerintah). Namun

demikian, berbagai skema asuransi dapat diterapkan dalam beberapa sistem kontrak

pertanian. Biaya untuk merancang dan mengelola skema asuransi pertanian di negara-

negara berpenghasilan menengah cukup tinggi dan sering disubsidi (misalnya hingga 92% di

Page 74: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 56

Cina dan 90% di Brasil) (IFAD 2010). Tidak diketahui, apakah skema subsidi ini akan

berlangsung terus atau secara bertahap akan menjadi swadana.

Subsidi pemerintah diperlukan untuk mempertahankan skema asuransi pertanian (indeks

cuaca). Subsidi ini dapat dibenarkan, jika biayanya lebih rendah daripada pilihan alternatif

untuk biaya tanggap bencana. Skema asuransi pertanian juga dapat membantu mengurangi

volatilitas harga komoditas pertanian selama tahun-tahun kegagalan tanam/panen dan

dengan demikian membantu untuk mengurangi biaya intervensi ad hoc di pasar beras.

Namun, seperti kebanyakan subsidi, efektifitas nyata dari kebijakan tidak tergantung pada

keuntungan jangka pendek dari pemberian subsidi dan efisiensi dari subsidi yang diberikan,

tetapi pada implikasi jangka panjang sampai dengan keputusan produksi diubah oleh subsidi.

Kelembagaan. Skema asuransi pertanian akan dilaksanakan oleh perusahaan asuransi dan

Kementerian Pertanian memberikan subsidi bagi petani. Kementerian Pertanian

mengusulkan anggaran untuk asuransi pertanian senilai Rp 150 miliar.

Implikasi Fiskal. Pengalaman dengan skema asuransi pertanian (berdasarkan indeks cuaca)

di negara-negara berpenghasilan menengah lainnya menunjukkan bahwa petani membayar

premi bervariasi dari USD 13/ha (India) sampai USD 24/ha (Cina) dan 11% sampai 17% dari

uang pertanggungan (Brazil). Biaya pengelolaan skema bervariasi mulai dari 15% dari premi

yang diterima di India dan sekitar 20% di Brazil.

Skema percontohan saat ini memiliki anggaran yang tidak terlampau besar. Jika skema

percontohan ini ditingkatkan untuk 500.000 ha selama lebih dari 10 tahun, maka dengan

mengacu pada biaya tahunan bersih minimal USD 10/ha, asuransi pertanian membutuhkan

anggaran sebesar Rp 25 miliar.

4.2.6 Biofuels

Konteks dan dimensi ramah lingkungan. Menurut Dewan Energi Nasional, Indonesia

termasuk salah satu dari 15 negara pengkonsumsi minyak terbesar di dunia dengan volume

mencapai sekitar 1.384 juta barel/hari. Sementara itu, cadangan energi fosil nasional terus

menipis dan diprediksi hanya mampu bertahan 10 hingga 15 tahun dengan cadangan terbukti

hanya sekitar 4,03 miliar barel. Oleh karena itu pengembangan energi baru dan terbarukan

atau Biofuel tidak hanya diperlukan tetapi menjadi sebuah keharusan.21 Biofuels juga dapat

berkontribusi mengurangi emisi gas rumah kaca dari penggunaan energi fosil. Namun, pada

saat yang sama biofuel juga menimbulkan persaingan dalam penggunaan lahan dan dapat

menjadi salah satu penyebab deforestasi yang berdampak pada peningkatan emisi, bukan

pengurangan emisi (Yuliani, Indriatmoko et al., 2010) serta dapat menjadi pemicu kelangkaan

pangan (Oxfam 2008). Secara teori, akan ada kemungkinan untuk membatasi produksi biofuel

dengan mengutamakan untuk penggunaan produk sampingan. Namun demikian, hal ini

biasanya memerlukan biaya besar dan akan mengurangi produksi tanaman pangan, karena

petani akan beralih menanam tanaman penghasil biofuel jika harga produknya lebih tinggi

daripada harga produk tanaman pangan.

Kebijakan. Pada tahun 2014 DPR telah mengesahkan sebuah Kebijakan Energi Nasional

dan energi terbarukan. Penggunaan energi terbarukan diperkirakan meningkat dari 5% pada

21 Majalah TROPIS Edisi 05/Tahun VII/Agustus-September 2014

Page 75: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 57

tahun 2010 menjadi 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050. Rencana terbaru

Pembangunan Tenaga Listrik Nasional PLN (2010-2019) menyebutkan bahwa pasokan

energi terbarukan akan didominasi oleh panas bumi dan hidro, sedangkan biofuel hanya

berkontribusi sekitar 6% dari total energi terbarukan. Dalam RAN-GRK diasumsikan bahwa

biofuel akan memberikan kontribusi sekitar 1,4% dari total energi terbarukan. Menurut

Peraturan Menteri ESDM Nomor32/2008, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri

ESDM Nomor 25/2013, industri dan perdagangan diwajibkan menggunakan campuran biofuel

sebesar 20-25% dalam konsumsi bahan bakar pada tahun 2025 dan pembangkit listrik wajib

menggunakan campuran biofuel sebesar 30%.

Kebijakan utama untuk mencapai target tersebut mencakup harga, pembiayaan dan

peraturan yang mengatur pangsa energi yang harus disediakan dari biofuel.

Produsen biofuel menerima manfaat dari subsidi (sebagaimana didefinisikan dalam

Peraturan Presiden Nomor 45/2009) dan keringanan pajak. Produsen biodiesel

menerima subsidi dari Rp 3.000/lt dan produsen bioetanol menerima Rp 3.500/lt

(Damuri & Atje, 2012). Selain itu, produsen biofuel juga memenuhi syarat untuk

pengembalian PPN, tetapi hal ini hanya dapat diklaim secara berlaku surut. Mereka

juga memenuhi syarat untuk skema pengurangan pajak penghasilan dan penyusutan

yang dipercepat.

Pemerintah mengeluarkan formula harga bahan bakar nabati dan bahan bakar etanol.

Distributor bahan bakar seperti PT. Pertamina wajib menerapkan formula harga

tersebut dalam tender mereka untuk biofuel. Saat ini formula harga untuk biodiesel

adalah MOPS 0,25 persen minyak dan gas dikurangi alpha. Rumus harga bahan

bakar etanol adalah harga FOB etanol Argus Thailand dikali 1,05.

Petani biofuel, khususnya yang berasal dari perkebunan kelapa sawit, dapat

menerima manfaat dari pemberian pinjaman lunak. Hal ini diatur dalam Peraturan

Menteri Keuangan Nomor 79/2007 (yang berkaitan dengan pangan dan tanaman

energi) dan Peraturan Pemerintah Nomor 8/2007 (yang berfokus pada proyek-proyek

investasi jangka panjang). Pinjaman lunak dapat diperoleh dari perbankan nasional.

Pemerintah perlu terus memberikan dukungan untuk pengembangan biofuel karena diyakini

bahwa pengembangan biofuel akan memainkan peran penting dalam bauran energi di

Indonesia dan memastikan bahwa kebijakan ini akan tetap memungkinkan untuk mencapai

tujuan ketahanan pangan dengan mengakomodasialokasi penggunaan lahan untuk biofuel.

Alokasi anggaran hendaknya difokuskan untuk mendorong munculnya industri biofuel yang

lebih efisien. Dengan demikian kebutuhan untuk subsidi akan berkurang dalam jangka waktu

lebih dari 10 tahun, sampai biofuel dapat dikelola sepenuhnya oleh swasta, dengan target

produksi yang ditentukan oleh pemerintah.

Koherensi, konsistensi, dan sinergi. Berbagai sasaran yang berkaitan dengan biofuel tidak

konsisten dan implikasi dari target tersebut terhadap biaya dan emisi belum ditetapkan.

Misalnya, target pemerintah untuk meningkatkan persentase penggunaan biodiesel tanpa

dibarengi mekanisme pengurangan subsidi bahan baku fosil sehingga harga biodiesel tidak

kompetitif.

Efisiensi, efektivitas, dampak, dan keberlanjutan. Catatan pengalaman internasional

tentang efektivitas biaya biofuel bervariasi. Laporan IPCC tahun 2012 tentang energi

Page 76: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 58

terbarukan menyebutkan bahwa unit biaya bervariasi tergantung pada teknologi yang

digunakan dan skala kegiatan (IPCC, 2012). Teknologi yang paling efisien menghasilkan

listrik atau panas dengan biaya kurang dari 5 c/kWh, yang menjadikannya menjadi sumber

termurah dari energi terbarukan dan kompetitif dengan generasi bahan bakar fosil. Namun,

teknologi dengan skala yang lebih kecil cenderung lebih mahal dan pada umumnya

memerlukan biaya sebanyak 20 c/kWh. Nilai pengurangan emisi GRK dari energi biomassa

diperkirakan akan mengurangi biaya sekitar 1,8 c/kWh, dengan asumsi emisi senilai

USD30/tCO2e (Lihat Kotak 1).

Studi mengenai profitabiltas atas budidaya kelapa sawit terhadap penggunaan lahan lainnya

masih terbatas. Di Indonesia, hasil kelapa sawit rata-rata adalah 3.500 kg/ha (setara dengan

sekitar 3.000 lt/ha biodiesel) yang bernilai sekitar Rp 20 juta/ha untuk petani. Nilai ini lebih

tinggi dibandingkan dengan hasil padi sebesar 4.600 kg/ha, senilai sekitar Rp 15 juta/ha.

Membandingkan profitabilitas kedua jenis tanaman ini pun cukup rumit karena budidaya padi

menghabiskan biaya tahunan yang lebih tinggi, sementara kelapa sawit memerlukan investasi

dimuka sampai dengan tujuh tahun sebelum memperoleh hasil yang menguntungkan. Dalam

praktiknya, profitabilitas kedua tanaman untuk petani kurang lebih sama, meskipun

kecenderungan perluasan perkebunan kelapa sawit menunjukkan bahwa masyarakat,

terutama dengan “kultur kebun” lebih memilih membudidayakan kelapa sawit.

Data mengenai biaya penggunaan minyak sawit untuk diesel masih terbatas. Sebuah

penelitian terbaru di Indonesia menyatakan bahwa biaya pembuatan biodiesel dari minyak

sawit sekitar Rp 4.800/lt, dimana Rp 3.300 adalah biaya pertanian dan Rp 1.500 adalah biaya

pengolahan (Sahirman, Saparso et al. 2013), dengan asumsi hasil kelapa sawit 4-6 ton/ha.

Studi terbaru lain menyebutkan biaya pembuatan biodiesel sekitar Rp 6.300/lt, berdasarkan

data dari Malaysia dan dengan asumsi hasil kelapa sawit berkisar 5-6 ton/ha (Ong, Mahlia et

al.). Namun, studi-studi ini menggunakan asumsi bahwa produk dari kelapa sawit yang

dihasilkan 50% lebih tinggi dari hasil rata-rata di Indonesia, sehingga biaya rata-rata

pembuatan biodiesel antara Rp 7.000-9.000/lt. Biaya ini lebih tinggi dibandingkan dengan

biaya solar bersubsidi sebesar Rp 5.500/lt, namun lebih rendah dibandingkan dengan harga

solar tanpa subsidi Rp 10.000/lt. Hal ini menunjukkan bahwa harga biodiesel dari minyak

sawit akan kompetitif dengan solar tanpa subsidi dan bahwa fungsi utama dari subsidi saat ini

untuk biodiesel sawit adalah memberikan subsidi bagi produsen biodiesel sawit yang kira-kira

setara dengan subsidi yang disediakan untuk solar. Hal ini menunjukkan bahwajika subsidi

bahan bakar fosil dihapus, subsidi juga dapat dihapus dari biodiesel. Namun, hal ini perlu

dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari rusaknya kepercayaan pasar.

Biodiesel sawit juga dapat dianggap sebagai produk karbon netral, karena semua karbon yang

dikeluarkan oleh pembakaran akan diserap melalui fotosintesis dalam pertumbuhan kelapa

sawit. Kandungan karbon dari satu liter diesel adalah sekitar 2,6 kgCO2e, yang bernilai Rp

780/lt, dengan asumsi harga karbon sebesar USD30/tCO2e. Oleh karena itu, subsidi biodiesel

tidak serta merta harus dihapus menyusul pencabutan subsidi bahan bakar fosil, karena

penggunaan biodiesel akan memberikan manfaat pengurangan emisi karbon.

Walaupun kelapa sawit adalah tanaman penghasil biodiesel dengan produktivitas yang

sangat tinggi, namun kebijakan pemanfaatan sawit diprioritaskan untuk pangan. Oleh karena

itu, sumber bioenergi baru dan terbarukan dari biomasa hutan dapat dipertimbangkan. Ada

147 jenis tanaman yang berprospek tinggi sebagai sumber energi biomasa. Beberapa

tanaman hutan dan pekarangan yang dapat dikembangkan sebagai sumber energi

Page 77: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 59

diantaranya adalah Nyamplung, Malapari, Bintaro, Akor, Kaliandra, Gamal, dan Lamtoro

Gung. Biaya pengembangan tanaman penghasil energi ini sekitar Rp 17 juta per-hektar, jauh

lebih rendah dibandingkan dengan biaya pembangunan kebun sawit yang mencapai sekitar

30 juta per-hektar. Dalam satu hektar dapat ditanam sedikitnya 400 tanaman penghasil energi

dengan jarak tanam 5 x 5 m.22

Selain tidak berkompetisi dengan kebutuhan pangan, tanaman hutan penghasil energi pada

umumnya dapat tumbuh di lahan-lahan marginal, kering, maupun terdegradasi. Oleh karena

itu, tanaman-tanaman ini dapat dipertimbangkan sebagai tanaman reboisasi dan rehabilitasi

lahan. Dengan demikian, rehabilitasi lahan dengan menggunakan tanaman penghasil energi

akan menghasilkan manfaat ekologi (rehabilitasi lahan) dan sekaligus juga manfaat ekonomi

(sebagai sumber energi terbarukan). Menurut Kementerian Kehutanan, saat ini setidaknya

ada 9 juta ha kawasan hutan yang belum dibebani izin yang mungkin dapat dimanfaatkan

untuk pengembangan tanaman penghasil energi. Salah satu tanaman hutan yang memiliki

produktivitas tinggi adalah Nyamplung yang biasanya tumbuh di daerah pantai berpasir

dengan produktivitas biji mencapai 12 ton/ha/tahun. Inti biji Nyamplung memiliki kadar minyak

40-73% dengan rendemen 0,14%.23 Biomasa dari tanaman ini dapat diolah menjadi bahan

bakar nabati (BBN) seperti biopelet maupun biodiesel. Sebagaimana telah diuraikan rata-rata

biaya pembuatan biodiesel Rp 7.000-9.000/lt, sehingga jika subsidi BBM dicabut maka harga

biodiesel dapat kompetitif.

Kelembagaan. Kebijakan harga untuk biofuel ditentukan oleh Kementerian Keuangan

dengan berkonsultasi dengan Kementerian ESDM, untuk menentukan besaran subsidi yang

dibayarkan kepada produsen. Keterlibatan pemerintah juga diperlukan dalam penguatan

peraturan dan denda, pengawasan, dan kontrol kualitas biofuel. Budidaya, pengolahan dan

penjualan biofuel hendaknya dikelola melalui saluran pasar normal dan tidak memerlukan

lembaga khusus.

Implikasi fiskal. Biofuel perlu menerima subsidi sesuai dengan subsidi yang disediakan

untuk bahan bakar fosil. Agar biodiesel sawit dapat bersaing dengan bahan bakar fosil,

diperlukan subsidi dengan besaran rata-rata sebesar Rp 1.000/lt, setidaknya untuk 10 tahun

ke depan. Jika 5% dari konsumsi bahan bakar ditargetkan dari biodiesel maka kebijakan ini

akan membutuhkan peningkatan pasokan biodeiesel menjadi sekitar 500 juta lt, dan subsidi

yang diperlukan menjadi sebesar Rp 500 miliar. Hal ini akan membutuhkan 0,17 juta hektar

lahan.

22 Majalah TROPIS Edisi 05/Tahun VII/Agustus-September 2014 23 Majalah TROPIS Edisi 05/Tahun VII/Agustus-September 2014

Page 78: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 60

5. Konsistensi dan Tantangan KKF-PRLSBL

5.1 Keseimbangan, Konsistensi dan Sinergi Kebijakan-Kebijakan Kunci

Keseimbangan. KKF-PRLSBL perlu mempertimbangkan keseimbangan antara lahan yang

digunakan untuk kehutanan, tanaman pangan, tanaman keras, dan tanaman energi. Hal ini

mencakup penilaian terhadap produksi pangan minimum untuk menjamin ketahanan pangan

dan sejauh mana hal ini dapat dicapai melalui peningkatan produktifitas dan perluasan lahan

produksi. Analisis ini mencakup implikasi dari perubahan iklim terhadap produktifitas tanaman

dan lahan yang dibutuhkan.

1. Prioritas pertama secara keseluruhan adalah untuk memastikan bahwa negara

mempertahankan swasembada beras, dan juga melaksanakan praktik budidaya yang

menunjang kesuburan tanah dalam jangka panjang.

2. Prioritas kedua adalah untuk mencapai tingkat tutupan hutan yang stabil, dalam jangka

panjang, sehingga menghilangkan kontribusi deforestasi terhadap emisi gas rumah

kaca.

3. Setelah dua tujuan ini terpenuhi, memungkinkan untuk mengandalkan kekuatan pasar

untuk menentukan penggunaan optimal dari sisa lahan apakah untuk tanaman

komersial dan/atau energi, sepanjang ketentuannya telah ada untuk memastikan bahwa

penggunaan optimal tidak akan menyebabkan degradasi SDA. Hal ini akan memastikan

bahwa lahan Indonesia digunakan untuk tujuan yang memaksimalkan pertumbuhan

PDB dalam jangka panjang. Namun, karena pasar pertanian dan energi sangat

dipengaruhi oleh berbagai subsidi, kebijakan diperlukan untuk memastikan bahwa

keputusan petani tidak terdistorsi oleh subsidi ini. Kebijakan ini juga akan membantu

mengurangi biaya untuk anggaran subsidi.

Setelah menetapkan luasan lahan yang dibutuhkan untuk produksi pangan, studi ini juga

mempertimbangkan kontribusi penggunaan lahan alternatif (yaitu: kehutanan, tanaman

komersial, dan tanaman energi) terhadap pertumbuhan ekonomi dan dampak bersihnya

terhadap anggaran.

Konsistensi kebijakan. Sejumlah masalah konsistensi dan koherensi yang berkaitan

dengan kebijakan fiskal sektor berbasis lahan. Salah satu masalah yang memengaruhi

implementasi kebijakan sektor kehutanan antara lain adalah pengumpulan penerimaan

negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari penggantian nilai tegakan (PNT). Prosedur

untuk perhitungan PNT ini tidak sepenuhnya jelas, sehingga diajukan uji materi ke Mahkamah

Agung. Ada juga beberapa ambiguitas dalam istilah yang berkaitan dengan pembayaran

denda karena adanya beberapa peraturan PNBP di sektor kehutanan yang terkesan saling

bertentangan (Lampiran 3).

Konsistensi dalam peraturan. Terdapat beberapa ketidakjelasan dalam prosedur rinci yang

ditetapkan untuk mengatur PNBP kehutanan. Peraturan Pemerintah Nomor 12/2014 adalah

peraturan terbaru yang mengatur tentang PNBP kehutanan. Peraturan ini dalam beberapa

hal sulit diimplementasikan karena terdapat perbedaan dengan Peraturan Pemerintah Nomor

35/2002 tentang Dana Reboisasi dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 18/2007 Petunjuk

Page 79: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 61

Teknis Tata Cara Pengenaan Pemungutan dan Pembayaran Provisi Sumber Hutan (PSDH)

dan Dana Reboisasi.

Menurut Peraturan Pemerintah, dasar untuk pembayaran PSDH dan DR dari HPH adalah

laporan hasil inventarisasi tegakan sebelum penebangan (timber cruising), sedangkan

Peraturan Menteri Kehutanan menghitung pembayaran PSDH dan DR berdasarkan laporan

hasil produksi kayu. Ada juga beberapa ambiguitas terkait Peraturan Menteri Kehutanan

Nomor 18/2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38/2007 yang mengatur tanggung jawab

pemerintah provinsi dalam mengumpulkan PNBP. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan

Nomor 18/2007, pemerintah provinsi berperan dalam pengelolaan penerimaan negara bukan

pajak (DBH Kehutanan, DR, PSDH dan IIUPH). Namun, Peraturan Pemerintah Nomor

38/2007 tidak memberikan kewenangan kepada pemerintah provinsi dalam pengelolaan

penerimaan negara bukan pajak dari sektor kehutanan (Nurfatriani et al. 2013).

5.2 Tantangan Kebijakan

Berikut adalah beberapa tantangan kunci untuk kebijakan yang efektif:

Keuntungan dari penebangan hutan dan konversi lahan untuk perkebunan dan

tanaman pangan sangat tinggi.

Keuntungan dari sektor kehutanan sangat bervariasi secara geografis, sehingga perlu

dirancang suatu sistem insentif yang efisien, karena untuk beberapa lokasi besaran

insentif mungkin tidak akan memadai, sementara di lain tempat tidak diperlukan

insentif yang tinggi. Oleh karena itu, pemberian insentif harus dikombinasikan dengan

sistem regulasi dan penegakan hukum, yang juga memerlukan sumberdaya dan biaya

yang memadai.

Salah satu solusi untuk mempromosikan perlindungan hutan adalah dengan

melibatkan masyarakat melalui KPH, tetapi ini adalah tugas yang tidak ringan karena

kondisi wilayah yang sangat bervariasi dan banyak KPH masih perlu berjuang untuk

dapat memiliki kemampuan finansial secara berkelanjutan, tanpa dukungan subsidi

pemerintah. Program REDD+ dan IJE mungkin dapat mendukung KPH secara

finansial tetapi masih menghadapi kendala, antara lain pemantauan, evaluasi, dan

pelaporan (PEP) PEP yang cukup rumit dan memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Pemulihan lahan kritis untuk kehutanan dan pertanian menghadapi masalah terutama

terkait beragamnya kondisi lahan. Sifat degradasi lahan sangat bervariasi, sehingga

skema insentif perlu mempertimbangkan fleksibilitas dengan berbagai kondisi. Biaya

yang dibutuhkan untuk rehabilitasi lahan kritis cukup tinggi dan rentang kendalinya

cukup luas sehingga menyebabkan tingginya biaya PEP.

Potensi kerusakan lingkungan pada lahan gambut lebih tinggi dan lebih sulit dipulihkan

daripada lahan hutan lainnya. Oleh karena itu, mungkin perlu insentif yang lebih tinggi

untuk perlindungan dan pelestarian lahan gambut, yang juga berarti memerlukan biaya

PEP yang lebih tinggi.

Kebijakan kehutanan masih terkendala oleh ketidakjelasan hak atas tanah (masalah

tenurial) dan interpretasi praktis atas hak-hak tersebut (Safitri 2010).

DBH Kehutanan belum efektif karena kapasitas masyarakat lokal terbatas dan

rendahnya kepentingan para pihak akan konservasi.

Page 80: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 62

Ada sejumlah kendala untuk pengelolaan keuangan kehutanan yang efisien

sebagaimana dibahas dalam Bab 4 dan pada bagian 5.1.

Sistem pertanian cerdas iklim atau pertanian cerdas iklim (CSA) berpotensi

memberikan manfaat finansial yang cukup tinggi, namun memerlukan banyak

perbaikan dan perubahan dalam praktik-praktik yang secara teknis tidak mudah dan

berisiko. Oleh karena itu diperlukan insentif untuk menghadapi kemungkinan

terjadinya risiko finansial pada saat awal penerapan CSA.

Implementasi teknik CSA memerlukan kerjasama yang kuat antar petani dan untuk

mewujudkannya perlu dukungan pemerintah, misalnya melalui pengembangan

sekolah lapang bagi petani dan penguatan kelembagaan kelompok tani.

Subsidi pupuk berkontribusi besar dalam mendukung pasokan pangan di Indonesia.

Namun, pada kenyataannya subsidi pupuk ini juga tidak efisien, sehingga perlu

dipertimbangkan pengalihan subsidi pupuk untuk mendukung pendanaan berbagai

program CSA, pembangunan dan pemeliharaan irigasi, serta pengembangan pupuk

organik.

Asuransi pertanian menawarkan prospek yang menarik, tetapi membutuhkan waktu

beberapa tahun untuk membangun skema yang meyakinkan baik bagi petani maupun

perusahaan asuransi.

Biofuel memiliki potensi untuk menjadi kompetitif di Indonesia, ketika subsidi untuk

bahan bakar fosil dihapus. Produksi tanaman pangan berpotensi memenuhi

kebutuhan sesuai dengan pertumbuhan penduduk tanpa melakukan ekspansi lahan

dengan mengkonversi kawasan hutan, asalkan dukungan untuk CSA dan irigasi

berjalan. Hal ini akan menciptakan ruang untuk pemanfaatan lahannon-produktif

dan/atau peningkatan produktifitas lahan untuk pengembangan biofuel.

Page 81: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 63

6 Dampak Kebijakan KKF-PRLSBL

Dampak kebijakan yang dijelaskan dalam Bab 4 dalam kaitannya untuk pencapaian tujuan

sebagaimana disebutkan dalam bagian 2.1, termasuk dampak pada pertumbuhan dan

ketahanan pangan, serta pada anggaran dan emisi gas rumah kaca. Dampak ini diringkas

dalam Tabel 11 dan disajikan secara lebih rinci dalam bab ini.

Tabel 11 Alokasi Sumberdaya dan Dampak pada Prioritas KKF-PRLSBL

Sumber: perhitungan KKF-PRLSBLmenggunakan asumsi pada Bab 4 dan 5

6.1 Implikasi untuk Penggunaan Lahan

Kebijakan KKF-PRLSBL berimplikasi terhadap penggunaan lahan, seperti yang disajikan

pada Gambar 4.

Tidak ada perubahan dalam kawasan hutan lindung dan produksi.

Beberapa kerugian finansial dari penghentian konversi hutan akan terjadi, akan tetapi

ini secara bertahap akan turun menjadi nol selama lebih dari sepuluh tahun,

meninggalkan tutupan hutan permanen sekitar 42% dari total lahan.

Akan ada beberapa konversi lahan terdegradasi, pada tingkat 1,0 juta ha per tahun,

dialokasikan untuk penggunaan lahan berikut: 40% untuk hutan tanaman; 40% untuk

kelapa sawit; dan 20% untuk tanaman lainnya.

Tanah garapan akan tetap tidak berubah, dengan pertumbuhan produksi yang berasal

dari peningkatan produktivitas, bukan dari perluasan area garapan.

Biaya

tambahan

Penerimaan

tambahan

Dampak

thd PDB

Penurunan

GRK

Rp tr Rp tr Rp tr Rp tr Rp tr m.tCO2e jt ha

Kehutanan

Hutan/penerimaan kelapa sawit - MoF (80,00) - 10,00 - - -

KPH & Pengelolaan Hutan Lestari 0,70 DBH/DAK (13,80) (1,40) 1,50 7,50 40,00 5,00

Perlindungan 2,00 MoFor (40,00) 4,00 -6,00 (30,00) 300,00 1,00

Reforestrasi lahan terdegradasi - DBH/DAK (10,00) - 0,75 7,50 80,00 5,00

Restorasi lahan gambut - DBH/DAK (20,00) - - - 250,00 5,00

REDD+ - FREDDI (2,40) - - - 29,80 2,00

Total forestry 2,70 - (166,20) 2,60 6,25 (15,00) 699,80 -

Pertanian

Lahan terdegradasi utk pertanian - DAK (17,50) - 2,00 10,00 17,50 5,00

Pertanian cerdas iklim (CSA) 2,10 MoA (7,50) (0,80) - 4,00 - 5,00

Climate proofing irrigation 0,80 MPW (32,00) - - 7,00 0,40 0,80

Pemeliharaan irigasi 0,60 MoA (11,20) (1,10) - 4,50 2,80 5,60

Reformasi subsidi pupuk 21,00 MoF 105,00 11,60 - (3,50) 9,00 20,00

Asuransi - MoF - 0,10 - - - 0,50

Biofuel - MoF (0,80) (0,10) - - 1,30 0,17

Total pertanian 24,50 - 35,90 9,70 2,00 22,00 31,00

TOTAL 27,20 - (130,20) 12,30 8,30 7,00 730,80

Penerimaan dari pertumbuhan hijau (5%) 1,10

(Biaya)/

penghematan

selama 10

tahun

Sumber

anggaran

Biaya

tahunan

saat ini

Kondisi Tahun 2025

Luas

kawasan

Page 82: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 64

Lahan pertanian yang tidak terpakai sementara akan mulai digunakan pada tingkat 0,5

juta ha per tahun, dilokasikan sebesar 60% untuk kelapa sawit dan 40% untuk

tanaman lain.

Perumahan, pertambangan dan lahan industri akan memperluas areanya sebesar

10% per tahun.

Gambar 5. Implikasi penggunaan lahan

Sumber: Statistik Kehutanan 2012; Statistik Pertanian 2013; Statistik kota dari http://www.demographia.com/db-worldua.pdf; tidak ada data pertambangan yang tersedia sehingga digunakan asumsi 0,5 juta ha telah digunakan.

6.2 Dampak Kebijakan Terhadap Pertumbuhan PDB dan Ketahanan Pangan

Tujuan KKF-PRLSBL adalah mempertahankan PDB kehutanan secara riil, meskipun

kehilangan pendapatan dari hasil deforestasi, dan meningkatkan pertumbuhan PDB pertanian

dari tingkat saat ini 3,5% menjadi 5%.

Pertumbuhan sektor kehutanan. Kontribusi relative PDB Kehutanan nilainya statis selama

10 tahun terakhir, sekitar Rp 55 triliun berdasarkan harga tahun 2014 (BPS, 2014). Perkiraan

nilai PDB kehutanan tidak membedakan antara kontribusi dari deforestasi dan dari hutan

tanaman. Perkiraan PDB yang didasarkan dari deforestasi menunjukkan setidaknya

mencapai setengah dari PDB kehutanan24, sementara perkiraan lain menunjukkan hal itu bisa

jadi hanya sepertiganya (ITS Global, September 2011). Oleh karena itu untuk

mempertahankan PDB kehutanan sebesar Rp 55 triliun secara riil setelah deforestasi

dihentikan dalam jangka panjang, maka akan diperlukan upaya untuk menghasilkan

tambahan sebesar Rp 20 triliun sampai Rp 30 triliun per tahun dari produksi yang

24 Berdasarkan Box 4, nilai tambah dari penebangan hutan alam sekitar 50 juta rupiah/ha. Rata-rata laju deforestasi sekitars sejuta hektar per tahun dan ini diprediksi akan berkontribusi sekitar 50 triliun rupiah.

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100% Lainnya

Perkotaan, tambang dan kawasanindustriPertanian: tidak terpakai sementara

Pertanian: tanaman tetap lainnya

Pertanian: kelapa sawit

Pertanian: Layak tanam

Hutan tanaman (bagian dari APL)

Lahan terdegradasi di luar kawasanhutanLahan terdegradasi di kawasanhutanBerhutan: konversi (HPK)

Page 83: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 65

berkelanjutan. KKF-PRLSBL meramalkan dapat mencapai ini melalui langkah-langkah

sebagai berikut:

Melaksanakan pengelolaan hutan alam yang berkelanjutan seluas 5 juta ha akan

memberikan kontribusi terhadap PDB tahunan sebesar kurang lebih Rp 10 triliun25.

Bagian 4.1.2 menunjukkan bahwa biaya untuk melaksanakan pengelolaan hutan yang

berkelanjutan di bawah KPH memerlukan biaya sebesar Rp 5 juta per hektar. Hal ini

menjadikan total biaya program ini akan mencapai Rp 25 triliun. Jika program akan

dilaksanakan secara tahunan selama 10 tahun, dibutuhkan biaya tahunan sebesar Rp

2,5 triliun per tahun.

Konversi 5 juta ha lahan terdegradasi untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) akan

berkontribusi sebesar Rp 13 triliun terhadap PDB tahunan26 dengan asumsi bahwa

lahan kritis hanya memiliki tingkat produktivitas sebesar dua pertiga produktivitas HTI

lainnya. Biaya satuan reforestasi lahan kritis mungkin perlu ditingkatkan menjadi Rp 2

juta per hektar, sehingga membutuhkan total biaya sebesar Rp 10 triliun dalam jangka

waktu 10 tahun.

• Sebagian besar lahan hutan yang sudah dialokasikan diubah penggunaannya untuk non

kehutanan akan digunakan untuk pertanian. Sekitar 2 juta ha akan digunakan untuk

hutan tanaman yang memberikan kontribusi sekitar Rp 8 triliun terhadap PDB.

• Beberapa nilai tambah akan dicapai dengan mendorong diversifikasi nilai tambah,

termasuk kegiatan pengolahan kayu, HHBK, IJE, pendapatan dari jasa DAS,

pendapatan pasar karbon dan pendapatan rekreasi.

Transisi dari hasil ekonomi kayu yang diperoleh dari kegiatan deforestasi ke produksi ekonomi

kayu yang didasarkan pada pemanenan kayu berkelanjutan diperkirakan akan memakan

waktu 10 tahun. Insentif dari pemerintah diperlukan untuk menerapkan pengelolaan hutan

lestari dan untuk memotivasi investasi swasta pada lahan kritis. Selama masa transisi

sepuluh tahun, laju deforestasi akan menurun dari level saat ini sebesar 1 juta ha/tahun

sampai ke titik nol, yang dilakukan pada areal konsesi hutan. Hal ini akan menyebabkan

pengurangan luasan sekitar 5 juta ha hutan, namun setelah itu sektor kehutanan di Indonesia

akan dapat dikelola secara sepenuhnya berkelanjutan dan semua hutan yang tersisa akan

dapat terlindungi.

Swasembada produksi beras. KKF-PRLSBL bertujuan untuk menjadikan PDB pertanian

tumbuh sebesar 5% per tahun. Hal ini lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan PDB

sektor pertanian selama 10 tahun terakhir dari sekitar 3,5% dan sesuai dengan asumsi dalam

RPJMN (2010-2014) bahwa pertumbuhan sebesar 3,5% ini akan terus bertambah. Target

yang lebih tinggi yang ditetapkan dalam KKF-PRLSBL mencerminkan pentingnya

pemanfaatan sumber daya alam lestari dalam ekonomi berkelanjutan. Langkah pertama

dalam kebijakan ini adalah mempertahankan swasembada produksi beras.

Menurut proyeksi Bank Dunia, penduduk Indonesia diperkirakan akan tumbuh sebesar 8,4%

pada periode tahun 2013-2025, dari 250 juta sampai 271 juta. Dengan demikian, dalam

rangka mempertahankan swasembada produksi beras yang dapat mengimbangi

25 Berdasarkan Box 4, melalui pengelolaan hutan berbasis masyarakat untuk melakukan pemanenan terhadap rata-rata riap tahunan di hutan alam seharusnya memberikan kontribusi terhadap PDB sekitar 2 juta rupiah/ha/tahun 26 Berdasarkan Box 2, hutan tanaman dapat berkontribusi terhadap GDP sekitar 4 juta rupiah/ha/tahun

Page 84: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 66

pertumbuhan penduduk Indonesia, mengandung arti bahwa produksi beras harus

ditingkatkan sebesar 21% pada tahun 2025 dari 38 juta ton menjadi 46 juta ton. Pada saat

yang sama, diperlukan diversifikasi sehingga menghasilkan nilai tambah tanaman yang lebih

tinggi, untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan di sektor pertanian sebesar 5%. Hal ini

akan dicapai melalui beberapa upaya sebagai berikut.

Pertanian Cerdas Iklim (CSA) akan diadopsi pada 5 juta hektar lahan pertanian selama

10 tahun. Hal ini memerlukan biaya awal untuk petani sebesar Rp 25 triliun dan akan

mengakibatkan berkurangnya pendapatan sementara teknik baru ditetapkan. Setelah

itu, para petani akan memperoleh keuntungan tahunan lebih dari Rp 20 triliun,

sebagian dengan mengurangi biaya dan sebagian dengan meningkatkan hasil panen

sebesar 10%, yang akan meningkatkan produksi sebesar 2 juta ton. Subsidi

pemerintah diperlukan selama masa transisi, sebesar kurang lebih Rp 15 triliun.

Daerah irigasi akan meningkat dari 7,2 juta hektar sampai 8 juta hektar, menghasilkan

2 juta ton tambahan beras per tahun. Kebijakan ini akan menelan biaya sekitar Rp 32

triliun selama lebih dari 10 tahun.

Efisiensi dari sistem irigasi yang ada di luarPulau Jawa akan meningkat sebesar 20%,

mengakibatkan hasil rata-rata produksi padi di luar Pulau Jawa naik dari 60% pada

tingkat di Pulau Jawa menjadi 72% pada level ini. Hal ini akan meningkatkan produksi

lebih dari 4 juta ton. Kebijakan ini memerlukan biaya sebesar Rp 35 triliun selama

lebih dari 10 tahun.

Pengalihan setengah dari subsidi pupuk kepada dukungan pertanian lainnya akan

mengurangi penggunaan pupuk, yang akan memiliki dampak negatif pada produksi.

Bagian 4.2.4 menunjukkan bahwa hal ini dapat menyebabkan penurunan produksi

beras sebesar 2 juta ton.

Sebagai hasil dari kebijakan ini, kenaikan bersih potensi produksi beras akan

berjumlah sekitar 8 juta ton, lebih banyak 2 juta ton dari jumlah yang dibutuhkan untuk

memasok pasar domestik. Akibatnya, sekitar 0.5 juta hektar lahan pertanian dapat

dialihkan dari tanaman padi ke tanaman yang bernilai lebih tinggi, sehingga

memberikan kontribusi bagi pertumbuhan PDB pertanian sebesar 5%.

6.3 Dampak terhadap belanja dan pendapatan

Prioritas KKF-PRLSBL memiliki berbagai implikasi, baik untuk anggaran belanja kementerian

(terutama oleh Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Pekerjaan

Umum) dan kebijakan fiskal yang dikelola oleh Kementerian Keuangan. Hal ini dijelaskan

dalam bab 4 dan meliputi hal-hal berikut ini:

• Mengurangi deforestasi. Jika diasumsikan bahwa 40% dari pendapatan hutan saat ini

berasal dari penebangan hutan alam (lihat bagian 4.1.1), maka akan terdapat

pendapatan yang hilang sebesar lebih dari Rp 2 triliun pada tahun 2025. Biaya yang

sekarang dikeluarkan untuk mengelola penerimaan akan terus berlanjut, dan meningkat

sejalan dengan rata-rata pengeluaran publik.

Page 85: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 67

• Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). Kegiatan PHBM membutuhkan

biaya sebesar Rp 5 juta/ha. Untuk areal seluas 5 juta ha (sesuai dengan target RKTN)

selama lebih dari 10 tahun, biaya tahunan yang dibutuhkan sebesar Rp 2.500 miliar.

Hal ini akan membutuhkan dukungan teknis dari Kementerian Kehutanan, di bawah

anggaran K/L, serta insentif bagi KPH, yang diberikan melalui DBH dan DAK kehutanan

serta kemungkinan dari BP2H.

• Perlindungan hutan. Hal ini diasumsikan bahwa pengeluaran untuk perlindungan

hutan meningkat sesuai dengan pengeluaran publik rata-rata (yaitu dengan peningkatan

92% secara riil, yang mencerminkan tingkat pertumbuhan PDB sebesar 7% dan

penurunan pengeluaran publik dari 18,5% menjadi 16,9% terhadap PDB).

• Reboisasi lahan terdegradasi. Program ini memerlukan beberapa dukungan teknis

dari Kementerian Kehutanan, terutama didanai oleh insentif yang diberikan melalui DR,

DAK kehutanan dan transfer lainnya. Pengeluaran yang ada akan meningkat sebesar

Rp 1.650 miliar/tahun, di atas kenaikan standar sesuai dengan pengeluaran publik rata-

rata.

• Pemulihan lahan gambut. Belum ada anggaran khusus untuk hal ini sejak tahun 2012.

Hal ini diasumsikan bahwa pengeluaran akan bertambah seiring dengan pengeluaran

publik rata-rata, yaitu encapai Rp 705 miliar pada tahun 2012.

• Imbal Jasa Ekosistem (IJE). Hal ini akan sebagian besar didanai melalui serangkaian

pembayaran bilateral antara perusahaan swasta, masyarakat dan pemerintah daerah.

Saat ini belum memungkinkan untuk memperkirakan dampak kegiatan IJE terhadap

anggaran.

• Lahan terdegradasi untuk pertanian. Dukungan untuk mengkonversi lahan kritis

untuk pertanian diperkirakan membutuhkan tiga paket insentif, tergantung pada tingkat

kerusakan. Biaya tahunan yang dibutuhkan untuk areal seluas 1 juta ha diharapkan

sebesar Rp 0,5 triliun.

• Pertanian Cerdas Iklim (CSA). Diasumsikan bahwa 10% dari pengeluaran untuk

produksi tanaman dikhususkan untuk Pertanian Cerdas iklim dan hal ini akan meningkat

menjadi 20% pada tahun 2025. Selain itu, DAK pertanian akan ditingkatkan untuk

memberikan tambahan sebesar Rp 1,5 triliun per tahun untuk Pertanian Cerdas Iklim

(CSA), didanai sebagai bagian dari pengalihan sumber daya dari subsidi pupuk.

• Irigasi. Perluasan irigasi dan pembangunan infrastruktur irigasi yang ramah iklim

adalah kebijakan yang paling mahal di KKF-PRLSBL dan akan memerlukan tambahan

biaya sebesar Rp 10,5 triliun per tahun selama sepuluh tahun untuk meng-upgrade

semua irigasi di Indonesia. Diasumsikan bahwa hal ini akan didanai setengahnya

melalui anggaran irigasi Kementerian PU dan setengahnya melalui ekspansi besar dari

DAK irigasi.

• Subsidi pupuk. Diasumsikan bahwa penghematan 20% subsidi akan dicapai melalui

penetapan target penerima subsidi, tapi setengah dari cadangan ini akan dibutuhkan

untuk pengawasan. Hal ini kemudian diasumsikan bahwa setengah subsidi pupuk yang

Page 86: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 68

tersisa akan beralih ke dukungan lain dan untuk mengkompensasi hilangnya

pendapatan kehutanan dari penghentian deforestasi.

• Asuransi pertanian. Diasumsikan bahwa asuransi pertanian akan berkembang dari

pengeluaran skema uji coba saat ini dan selanjutnya akan sejalan dengan rata-rata

pengeluaran pemerintah.

• Bioenergi. Diasumsikan bahwa skema insentif baru membutuhkan biaya sebesar Rp

500 miliar per tahun yang akan mulai disosialisasikan.

Perubahan-perubahan tersebut dirangkum dalam Tabel 12.

Page 87: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 69

Tabel 12 Implikasi Anggaran dari Kebijakan Prioritas KKF-PRLSBL (Rp Miliar)

2014 2025 Mitigasi Jk Pendek Menengah

Panjang Prioritas KKF-PRLSBL Pend/ Peng1

% PDB

Pend/ Peng1

% PDB

m tCO2e 2025

Kehutanan

Pengurangan laju deforestasi 2049 0,11% -30 0,00% 300

Perizinan/fee/royalti penebangan hutan alam 2065 Menengah

Pengelolaan perizinan/fee/royalti Kemenhut -16 -30 Panjang

KPH dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat -560 -0,03% -2500 -0,07% 70

Anggaran Kemenhut -267 -1250 Men/Panj.

80% DBH & 1/3 DAK Kehutanan -294 -1250 Pend/Men

Perlindungan hutan -3096 -0,17% -5952 -0,17%

Anggaran Kemenhut -2186 -4202 Men/Panj.

60% DR & 20% DBH -910 -1750 Menengah

Rehabilitasi lahan terdegradasi -2714 -0,14% -6869 -0,19% 80

Anggaran Kemenhut -2135 -4155 Men/Panj.

40% DR & 1/3 DAK kehutanan -580 -2715 Menengah

Restorasi lahan gambut -889 -0,05% -1760 -0,05% 250

Anggaran Kemenhut (2014 dari anggaran 2012) -705 -1406 Men/Panj.

1/3 DAK kehutanan -184 -354 Menengah

Imbal Jasa Ekosistem/IJE (bilateral) 0 0,00% 0 0,00% -

Total -5210 -0,28% -17111 -0,48% 700

Pertanian

Pertanian di lahan terdegradasi (termasuk sawit) -103 -0,01% -498 -0,01% 18

Penerimaan dari sawit di lahan terdegradasi 200 Panjang

Anggaran Kementan dari lahan terdegradasi -103 -198 Men/Panj.

Insentif Kemenkeu untuk lahan terdegradasi 0 -500 Men/Panj.

Pertanian Cerdas Iklim -520 -0,03% -3002 -0,08% -

Anggaran produksi pertanian (10% CSA 2014) -262 -1006 Men/Panj.

DAK pertanian (asumsi 10% CSA 2014) -258 -1996 Men/Panj.

Pengembangan irigasi ramah iklim -4365 -0,23% -14565 -0,40% 3

Anggaran Kementerian PU -1442 -6542 Men/Panj.

DAK irigasi -2923 -8023 Menengah

Pengelolaan/ppengalihan subsidi pupuk -21332 -1,14% -10525 -0,29% 9

Biaya Kementan untuk mengelola subsidi -283 -2105 Pendek

Pengeluaran Kemenkeu untuk subsidi -21049 -8420 Pend/Men

Asuransi pertanian (Kemenkeu) -150 -0,01% -318 -0,01% Semua

Minyak nabati/Biofuel (insentif Kemenkeu) 0 0,00% 500 0,01% 1 Men/Panj.

Total -26470 -1,41% -28408 -0,79% 31

Jumlah Total -31680 -1,69% -45519 -1,26% 731

Anggaran kementerian/lembaga -7397 -20893

Kebijakan fiskal Kemenkeu -24283 -24626

1 Pend = pendapatan (nilai positif); Peng = pengeluaran (nilai negatif)

Asumsi

DR: Tahun 2014, Kemenhut 60% digunakan untuk perlindungan dan 40% untuk rehabilitasi lahan terdegradasi

DBH: Tahun 2014, Kemenhut 20% digunakan untuk perlindungan dan 80% untuk PHBM

DAK Kehutanan: Tahun 2014, 1/3 untuk KPH/HKm, rehabilatasi lahan terdegradasi, restorasi lahan gambut

Setelah periode 10 tahun investasi, ada beberapa biaya tahunan yang diperlukan, terutama

terkait dengan PHBM, perlindungan hutan, pemeliharaan irigasi dan dukungan untuk CSA.

Hal ini akan memerlukan biaya sebesar Rp 8,5 triliun per tahun, termasuk sebesar Rp 6,5

triliun untuk kehutanan dan Rp 2,0 triliun untuk pertanian. Dampaknya pada pendapatan akan

sedikit negatif, karena tambahan pendapatan dari hasil kayu dan minyak sawit akan sedikit

Page 88: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 70

lebih kecil dari pendapatan yang hilang dari penghentian deforestasi. Profil anggaran

diperkirakan akan terus membaik sebagai dampak dari kebijakan pengalihan setengah dari

subsidi pupuk. Besaran anggaran diperkirakan lebih tinggi Rp 11,6 triliun dalam jangka waktu

10 tahun ke depan, daripada anggaran tahun 2014.

Selain struktur anggaran yang lebih baik dengan berkurangnya subsidi pupuk, PDB juga akan

lebih tinggi sebesar Rp 7 triliun dibandingkan dengan Business as Usual (BAU) pada tahun

2025. Hal ini dicapai melalui pertumbuhan yang lebih baik, terutama di bidang pertanian.

Demikian pula kebijakan kehutanan, diperkirakan dapat mengkompensasi sekitar setengah

pendapatan yang hilang dari penghentian deforestasi. Dampak tambahan PDB setara

dengan peningkatan PDB sektor kehutanan dan pertanian sebesar 3,5%.

Sumber pendanaan. Pendanaan KKF-PRLSBL berasal dari penghematan dalam subsidi

pupuk dan beberapa peningkatan pendapatan, terutama dari pajak perusahaan kelapa sawit

dan dari berbagai pajak dan pungutan yang diterapkan pada pengusahaan kayu. Banyak

kebijakan yang juga melibatkan investasi besar dari pihak swasta yakni oleh petani dan

pemilik kebun dan biaya-biaya ini tidak dimasukkan dalam analisis. Hal ini konsisten dengan

penilaian oleh High Level Advisory Group on Climate Finance yaitu sekitar setengah biaya

dari adanya perubahan iklim akan dipenuhi oleh sektor swasta (HLAG2010).

KKF-PRLSBL akan memberikan kontribusi besar untuk target mitigasi RAN GRK, mengurangi

emisi gas rumah kaca tahunan sekitar 700 juta tCO2e, pada tahun 2025. Sebagian besar

berasal dari dihentikannya deforestasi dan dari restorasi lahan gambut. Emisi gas rumah kaca

akan bernilai Rp 21 triliun, dengan asumsi menggunakan nilai ekonomi karbon sebesar

USD30/tCO2. Penggunaan nilai ekonomi karbon penting dilakukan untuk mengevaluasi nilai

manfaat dan biaya sosial bersih, namun tidak dapat dipergunakan sebagai dasar dalam

kebijakan transfer fiskal. Namun, perlu digarisbawahi hampir setengah pengurangan emisi

gas rumah kaca berasal dari penghentian deforestasi dan pada kenyataannya mungkin lebih

sulit untuk mendapatkan pendanaan pasar karbon untuk mengurangi emisi daripada untuk

kegiatan yang berkontribusi positif terhadap pengurangan emisi. Diharapkan, pada tahun

2025, pasar karbon internasional akan berfungsi secara efisien dan bahwa setidaknya

setengah nilai ini akan terwujud, menunjukkan bahwa pasar ini harus memainkan peran utama

dalam menyediakan 50% dari sumber keuangan yang akan datang selain dari pemerintah.

Gambar di bawah ini menyajikan kerangka waktu dampak fiskal. Sebagian besar dari

program 10 tahun berlangsung pada tingkat pengeluaran yang konstan setiap tahun.

Beberapa program memakan waktu lebih lama, termasuk yang terkait dengan PHBM dan

asuransi pertanian, karena memerlukan pembentukan dan penguatan kapasitas

kelembagaan jangka panjang.

Page 89: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 71

Gambar 6. Kerangka waktu dampak bersih terhadap anggaran

Sumber: perhitungan KKF-PRLSBL menggunakan asumsi pada Bab 4 dan Bab 5

6.4 Dampak terhadap Emisi GRK

Pergeseran dari aktivitas kehutanan dari deforestasi menuju pengelolaan hutan berkelanjutan

mengandung arti bahwa kehutanan akan beralih dari menghasilkan emisi bersih sebesar

1.344 juta tCO2e pada tahun 2020, sebelum komitmen RAN-GRK, menjadi kontributor bersih

penyerapan GRK sekitar 80 juta tCO2e/tahun dari pengelolaan hutan lestari, 150 juta

tCO2e/tahun dari hutan tanaman di lahan terdegradasi dan 30 juta tCO2e/tahun dari hutan

tanaman di lahan yang baik. Emisi dari deforestasi diperkirakan akan berhenti setelah 5 tahun

yang akan mengurangi emisi tahunan sebesar 300 juta tCO2e. Restorasi lahan gambut juga

akan menghasilkan kontribusi pengurangan emisi sekitar 250 juta tCO2e yang dikeluarkan

dari lahan gambut pada tahun 2025.

Kontribusi bersih keseimbangan karbon Indonesia akan bernilai sekitar Rp 78 triliun per tahun

jika pasar karbon pulih ke tingkat lima tahun yang lalu dan jika pasar mendekati biaya sosial

karbon secara penuh dalam jangka panjang. Pasar karbon tidak mungkin berfungsi penuh

selama 10 tahun ke depan sehingga pendapatan ini tidak dapat berkontribusi langsung

sebagai insentif yang diperlukan dalam jangka menengah. Ketika pendapatan dari pasar

karbon tersedia, maka sebagian besar akan diterima oleh pengusaha swasta, bukan oleh

pemerintah, dan hal ini akan memiliki dampak yang terbatas pada fiskal. Namun, kondisi ini

akan membantu memastikan pertumbuhan yang sehat dari sektor kehutanan dan pertanian

sehingga memberikan kontribusi pendapatan secara umum dari kedua sektor ini.

Secara umum dapat dikatakan kontrol emisi untuk pertanian lebih sulit. Data dan bukti ilmiah

tentang sejauh mana Pertanian Cerdas Iklim (CSA) mengurangi emisi masih terbatas.

Perluasan daerah irigasi cenderung meningkatkan emisi dari sawah, namun kemajuan dalam

meningkatkan efisiensi penggunaan air mungkin dapat mengimbangi dalam pengurangan

Page 90: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 72

emisi dari sawah berigasi. Mengganti komoditas pertanian dengan tanaman yang bernilai

lebih tinggi dapat menghasilkan emisi yang lebih sedikit daripada yang dihasilkan sawah,

tetapi beberapa opsi komoditas yang dikembangkan mungkin juga akan terkait dengan hewan

ternak yang menghasilkan emisi yang signifikan. Perlu studi yang lebih mendalam untuk

memahami pentingnya tren ini.

Dampak gabungan dari kebijakan KKF-PRLSBL akan mengurangi emisi gas rumah kaca lebih

dari 700 juta tCO2e per tahun pada tahun 2025, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.

Sebagian besar pengurangan emisi ini berasal dari penghentian deforestasi selama lebih dari

5 tahun dan dari restorasi lahan gambut yang secara bertahap akan mempercepat

pengurangan emisi selama periode tersebut. Oleh karena itu, instrumen dan lembaga baru

perlu dikembangkan untuk membuat skema KKF-PRLSBL layak diimplementasikan.

Rehabilitasi lahan terdegradasi dan pengelolaan hutan lestari juga berkontribusi besar dalam

pengurangan emisi gas rumah kaca.

Gambar 7. Dampak terhadap emisi GRK

Sumber: perhitungan KKF-PRLSBL menggunakan asumsi pada Bab 4 dan 5.

0

100

200

300

400

500

600

700

800

GH

G E

mis

sio

n R

ed

uct

ion

s (m

illio

n tC

O2

e) Biofuels

Asuransi pertanian

Reformasi subsidi pupuk

Pemeliharaan sarana irigasi

Sistem Irigasi adaptifperubahan iklim

Pertanian cerdas iklim

Lahan pertanian terdegradasi

Page 91: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 73

7 Implementasi Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan di Sektor Berbasis

Lahan (KKF-PRLSBL)

7.1 Instrumen

Kehutanan. Tiga kebijakan kehutanan yang melibatkan sebagian besar pengeluaran (yaitu:

KPH dan pengelolaan hutan lestari, reboisasi lahan, dan pemulihan lahan gambut yang rusak)

semuanya dikelola melalui gabungan belanja pemerintah pusat dan belanja pemerintah

daerah, terutama menggunakan DBH sumber daya alam dan DAK. Sejumlah dana tambahan

dari hibah juga tersedia terutama dari pendanaan internasional. Secara umum, investasi yang

akan didanai oleh pemerintah daerah dan Kementerian Kehutanan akan bertanggung jawab

untuk pendanaan dukungan teknis, pengawasan dan kontrol kualitas. Namun dalam lima

tahun pertama, Kementerian Kehutanan perlu terlibat dalam beberapa uji coba skema baru,

seperti yang digunakan untuk mendukung pembangunan KPH dan uji coba teknik restorasi

lahan gambut.

Pertanian. Sebagian besar kebijakan KKF-PRLSBL di sektor pertanian memerlukan

dukungan dana dari pemerintah pusat, baik melalui Kementerian Pertanian atau Kementerian

Pekerjaan Umum. Dana ini mencakup investasi dan dukungan teknis untuk penelitian,

penyuluhan dan kontrol kualitas. Namun, insentif untuk mengkonversi lahan kritis menjadi

lahan pertanian, termasuk kelapa sawit, akan dikelola menggunakan dana DAK. Kebijakan

KKF-PRLSBL di bidang pertanian dapat mempergunakan investasi baru di bidang pertanian,

untuk memanfaatkan peluang-peluang yang tersedia untuk petani dan pemilik perkebunan.

Pasar Karbon. Saat ini, ruang lingkup dalam penggunaan pasar karbon untuk mendorong

partisipasi sektor swasta dalam kebijakan KKF-PRLSBL sebagian besar masih terbatas untuk

pasar sukarela dan skema Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR). Pemerintah

Indonesia mengharapkan situasi ini lebih baik sebagaimana konsolidasi komitmen

internasional, setelah COP 21 di Paris pada tahun 2015. Program REDD+ dapat menjadi

penghela untuk sektor berbasis lahan, dan harus dapat menarik sejumlah besar pendanaan

internasional, baik dana pemerintah maupun swasta. Pada tahun 2025, diharapkan bahwa

setengah dari semua pendanaan untuk kebijakan KKF-PRLSBL akan disediakan oleh sektor

swasta, sejalan dengan analisis yang diberikan oleh High Level Group on Climate Finance

(HLAG Nov 2010).

7.2 Perubahan Perencanaan dan Penganggaran di Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Bappenas dan Kementerian Keuangan

Strategi. KKF-PRLSBL diharapkan memiliki implikasi penting bagi strategi sektor.

RENSTRA-KL Kementerian Kehutanan yang baru perlu memasukkan program yang realistis

untuk menghentikan deforestasi selama jangka menengah dan menentukan anggaran yang

realistis untuk program dalam KKF-PRLSBL. Data dan asumsi yang lebih tepat akan

membantu Kementerian Kehutanan untuk membuat kebijakan yang lebih terarah.

Page 92: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 74

Beberapa kunci kebijakan KKF-PRLSBL untuk sektor kehutanan memerlukan penguatan

kelembagaan secara substansial, terutama yang terkait dengan perlindungan hutan, REDD+,

penggunaan DBH dan DAK Kehutanan. Hal ini memerlukan sumberdaya dan kepemimpinan

politik di tingkat pusat dan daerah. Kepemimpinan politik ini mungkin dapat muncul jika ada

dukungan rakyat atas kebijakan lingkungan yang kuat dan jika dukungan ini menyebar dari

tren positif reforestasi dan aforestasi di Pulau Jawa ke seluruh negeri.

Peta Jalan Pertanian dan Perubahan Iklim Kementerian Pertanian sudah menyediakan dasar

yang kuat untuk melaksanakan KKF-PRLSBL. Prioritas pertama di Kementerian Pertanian

adalah untuk memastikan bahwa kebijakan yang diidentifikasi dalam Peta Jalan dan KKF-

PRLSBL dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Fokus Kementerian Pertanian adalah

untuk meningkatkan produktivitas pada lahan yang ada (intensifikasi), dibandingkan untuk

memperluas ke lahan baru (ekstensifikasi), dengan pengecualian untuk lahan kritis, yang

dapat digunakan secara produktif, sementara juga memberikan kontribusi positif terhadap

lingkungan serta jasa tanah dan air.

RPJMN perlu menekankan pentingnya memerhatikan aspek lingkungan dan perubahan iklim

dan memberikan arahan yang memungkinkan Kementerian Kehutanan, Kementerian

Pertanian, dan Kementerian Pekerjaan Umum untuk menjustifikasi pengajuan anggaran yang

sejalan dengan RENSTRA-KL mereka, KKF-PRLSBL dan dokumen strategis lainnya.

Prosedur anggaran. Kementerian Keuangan sudah membuat pengaturan untuk anggaran

K/L dengan menyertakan persyaratan bagi semua kementerian untuk mempersiapkan

anggarannya dengan mempertimbangkan konsep pembangunan yang ramah lingkungan.

Penyaluran anggaran untuk Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian

mencerminkan kebijakan berwawasan lingkungan dengan menunjukkan bagaimana

pendekatan pembangunan berkelanjutan dijadikan prioritas tambahan untuk beberapa aspek

kebijakan. Hal ini akan memengaruhi cara dimana kegiatan-kegiatan masing-masing K/L

diusulkan dan dijustifikasi serta memengaruhi dokumen pendukung yang diberikan oleh

kementerian untuk anggaran mereka secara keseluruhan.

Hubungan dengan Pemerintah Daerah. Diskusi yang sedang berlangsung tentang

penggunaan DBH dan DAK untuk kehutanan dan pertanian akan terus berlanjut. Kementerian

Kehutanan dan Kementerian Pertanian akan berkonsultasi dengan provinsi untuk menilai

sejauh mana mereka mampu memberikan kontribusi pada kebijakan yang ditetapkan dalam

KKF-PRLSBL. Sementara kontribusi dari masing-masing provinsi akan tergantung pada

kepentingan provinsi, tetapi pemerintah memberikan beberapa indikasi dari kontribusi yang

diharapkan untuk setiap provinsi.

7.3 Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi

Koordinasi. KKF-PRLSBL berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi lintas

kementerian/lembaga antara lain Kementerian Keuangan, Kementerian Kehutanan,

Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, Pemerintah Daerah dan Bappenas.

Kementerian Keuangan akan memantau perkembangan KKF-PRLSBL, sebagai bagian dari

tugasya untuk mengelola keseimbangan fiskal.

Page 93: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 75

Monitoring. KKF-PRLSBL tidak memerlukan kegiatan pengumpulan data terpisah dan akan

dipantau dengan menggunakan data yang ada. Hal ini mencakup indikator-indikator yang

disajikan dalam Tabel 13. Sebagian besar indikator melibatkan daerah yang terkena dampak

kebijakan tersebut. Dalam praktiknya, indikator ini perlu didukung oleh beberapa penilaian

terhadap efektivitas kebijakan di daerah yang bersangkutan, sebagaimana tercermin dalam

bukti tentang manfaat per-hektar lahan yang dihasilkan oleh kebijakan. Hal ini dapat dinilai

melalui konsultasi para ahli, didukung dengan referensi pada studi kasus. Laporan tahunan

yang dibuat hendaknya berdasarkan indikator kunci di bawah ini. Data manfaat dan kendala

kelembagaan hendaknya terus diperbaharui.

Tabel 13 Indikator Monitoring untuk Prioritas KKF-PRLSBL

Kebijakan Kunci Indikator

Kehutanan

KPH & Pengelolaan Hutan Lestari Luas di bawah pengelolaan aktif oleh KPH/CBF (ha)

Perlindungan hutan Luas hutan lindung secara efektif (ha)

Reforestasi lahan terdegradasi Luas lahan terdegradas iyang ditanami pepohonan (ha)

Restorasi lahan gambut Luas lahan gambut dipulihkan (ha)

REDD+ Luas hutan di bawah program REDD+ (ha)

Pertanian

Pemanfaatan lahan kritis untuk pertanian

Luas lahan kritis yang ditanami tanaman (ha)

Pertanian Iklim pintar (CSA) Luas lahan menggunakan berbagai praktik CSA (ha)

irigasi tahan Iklim Luas skema irigasi baru (ha)

pemeliharaan irigasi % dari lahan irigasi yang dilayani oleh skema dalam kondisi baik

Reformasi subsidi pupuk Tingkat subsidi sebagai % dari harga pasar

asuransi pertanian Luas yang dicover asuransi pertanian (ha)

Biofuels Liter biofuel yang dihasilkan

7.4 Langkah Tindak Lanjut

Langkah selanjutnya meliputi kegiatan sebagai berikut:

Banyak kebijakan prioritas sedang diuji coba dan dilaksanakan kegiatan-kegiatan

penyiapan. Hal ini termasuk pembangunan KPH, restorasi lahan gambut, REDD+ dan

asuransi pertanian. Uji coba ini akan terus berlanjut dan akan digunakan sebagai dasar

perluasan kegiatan untuk mencapai tujuan KKF-PRLSBL.

Pengujian kegiatan saat ini untuk memperkuat penggunaan DAK bagi perubahan iklim

dan lingkungan yang akan diimplementasikan secara intensif dan akan diusahakan untuk

melakukan perluasan kegiatan.

Peneliti terapan dalam kegiatan kehutanan dan pertanian hendaknya dilibatkan untuk

terus memperkuat KKF-PRLSBL. Inisiatif “kebijakan satu data” akan membantu

implementasi KKF-PRLSBL.

Page 94: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 76

Referensi

ADB (2008). "Indonesia: Northern Sumatra Irrigated Agriculture Sector Project." Alliance Development Works (2012). "World Risk Report 2012." Angelsen, A., M. Brockhaus, et al. (2012). Analysing REDD+: Challenges and Choices. Bogor,

Center for International Forestry Research. Anwar, S. Land degradation and Desertification asssessment In indonesia. 2011. Ministry of

Forestry. Balzer, N. and U. Hess (2010). "Climate change and weather risk management: evidence from

index-based insurance schemes in China and Ethiopia." in Revolution: from Food Aid to Food Assistance - Instruments by WFP.

Bessou, C., L. Chase, et al. (2012). "PalmGHG, the RSPO greenhouse gas calculator ". Boer, R. (2012). Asuransi Iklim sebagai Jaminan Perlindungan Ketahanan Petani terhadap

Perubahan Iklim. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 10: Pemantapan Ketahanan Pangan dan perbaikan Gizi Berbasis Kemandirian dan Kearifan Lokal, Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific, Bogor Agricultural University.

Boer, R., Nurrochmat, D.R., Ardiansyah,M., Purwawangsa,H., Hariyadi, and G. Ginting. (2012). Reducing agricultural expansion into forests in Central Kalimantan, Indonesia. Analysis of implementation and financing gaps.Center for Climate Risk & Opportunity Management (CCROM). Bogor Agricultural University.

Bours, D., C. McGinn, et al. (2013). "Monitoring & evaluation for climate change adaptation: A synthesis of tools, frameworks and approaches. ." SEA Change CoP, Phnom Penh and UKCIP, Oxford.

BP REDD+ 2014. Freddi/Indra: Funding Instrument REDD+ in Indonesia. BPS (2013). "Compilation of Environmental Economic Accounts." Presentation to the

International Conference on Global Implementation Programme for the SEEA, New York, 17-19 June 2013.

Broich, M., M. Hansen, et al. (2011). "Remotely sensed forest cover loss shows high spatial and temporal variation across Sumatera and Kalimantan, Indonesia 2000–2008.Enviromental Research Letters, vol. 6.

Budidarsono, S., Rahmanullah, A. & Sofiyuddin, M. 2012. Economics Assessment of Palm Oil Production. Technical Brief No. 26: palm oil series. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office. 6p.

Caravani (2011). " Market and Non-Market Costs of REDD+ Perceived by Local Communities." REDD Network Publication.

Dalfelt, A., L. O. Næss, et al. (1996). "Reforestation of Degraded Grasslands in Indonesia as a Climate Change Mitigation Option." CICERO Report 1996:5.

Dermawan, A., Petkova, E., Sinaga, A., Muhajir, M. M. & Indriatmoko, Y. 2011. Preventing the risk of corruption in REDD+ in Indonesia. United Nations Office on Drugs and Crime and Center for International Forestry Research, Jakarta and Bogor, Indonesia.

Elson, D. (2011). Cost-Benefit Analysis of a Shift to a Low Carbon Economy in the Land Use Sector in Indonesia. Jakarta, UK Climate Change Unit of the British Embassy.

Engel, S., Pagiola, S and S. Wunder. (2008). Designing payments for environmental services in theory and practice: An overview of the issues. Ecological Economics 65 (2008) 663-674. Elsevier.

Fernandez-Cornejo, J. and A. Rakshit (2006). "The Economic Impacts of IPM Adoption: Review of the Empirical Evidence." Presentation at the 5th National IPM Symposium.

Frandsen, T. Q., L. Rodhe, et al. (2011). "Best Available Technologies for pig Manure Biogas Plants in the Baltic Sea Region." Published by Baltic Sea 2020.

Gastami (2012). "Indonesian Experience in Developing Sustainable Development Indicators." Presentation material.

Gebrezgabher, S. A., M. Meuwissen, et al. (2009). "Economic analysis of anaerobic digestion - A case of Green power biogas plant in the Netherlands " Case Study 17th International Farm Management Congress.

Page 95: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 77

Hansen, M. C., P. V. Potapov, et al. (2013). "High-Resolution Global Maps of 21st-Century Forest Cover Change." Science 15 November 2013: Vol. 342 no. 6160 pp. 850-853

HLAG (2010). "Report of the Secretary-General’s High-level Advisory Group on Climate Change Financing." November, 2010.

Hooijer, A., S. Page, et al. (2010). "Current and future CO2 emissions from drained peatlands in Southeast Asia." Biogeosciences, 7, 1505–1514, 2010.

Human Right Watch 2009. “Wild Money”: The Human Rights Consequences of Illegal Logging and Corruption in Indonesia’s Forestry Sector.

IFAD (2010). "The Potential for Scale and Sustainability in Weather Index Insurance for Agriculture and Rural Livelihoods."

IFC (2010). "Using Climate Change Revenues to Grow More Wood and Reduce Net Carbon Emissions: Dual-Purpose Forest Plantations."

IFC (undated). Weather Index Insurance for Maize Production in Eastern Indonesia - A Feasibility Study, Jakarta.

Indarto, G. B., Murharjanti, P., Khatarina, J., Pulungan, I., Ivalerina, F., Rahman, J., Prana, M. N., Resosudarmo, I. A. P. & Muharrom E. 2012. The Context of REDD+ in Indonesia: Drivers, agents and institutions. Working Paper 92. CIFOR, Bogor, Indonesia.

IPCC 2006. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories: Volume 4 Agriculture, Forestry and Other Land Use.

IPCC (2012). "Managing the Risks of Extreme Events and Disasters to Advance Climate Change Adaptation: Full Report."

IPCC (2012). "Renewable Energy Sources and Climate Change Mitigation: Special Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change."

ITS Global Sept 2011. The Economic Contribution of Indonesia's Forest-Based Industries. ITTO 2009. Encouraging industrial forest plantations in the Tropics. Lowder, S. K., Skoet, J. & Singh, S. 2014. What do we really know about the number and

distribution of farms and family farms in the world? . ESA Working Paper No. 14-02. Background paper for The State of Food and Agriculture 2014

Luttrell, C., Obidzinski, K., Brockhaus, M., Muharrom, E., Petkova, E., Wardell, A. & Halperin, J. 2011. Lessons for REDD+ from measures to control illegal logging in Indonesia. CIFOR Working Paper 74.

Manzoor, Z., Awan, T. H., Zahid, M. A. & Faiz, F. A. 2006. Response of Rice Crop (Super Basmati) to Different Nitrogen Levels. J. Anim. Pl. Sci. 16(1-2): 2006.

Margono, B. A., P. V. Potapov, et al. (2014). "Primary Forest Cover Loss in Indonesia over 2000-2012." Nature Climate Change.

Maryudi, A. and M. Krott (2012). "Poverty Alleviation Efforts through a Community Forestry Program in Java, Indonesia." Journal of Sustainable Development5(2): 43-53.

Mazvimavi, K. (2011). "Socio-Economic Analysis of Conservation Agriculture in Southern Africa." FAO Network Paper 02.

Medrilzam (2013). "Perbaikan dan Peningkatan Insentif Daerah Berbasis Kinerja dalam Peningkatan Tata Kelola Hutan dan Lahan: ... mungkinkah? Jakarta: Bappenas."

Milder, J., T. Majanen, et al. (2011). "Performance and Potential of Conservation Agriculture for Climate Change Adaptation and Mitigation in Sub-Saharan Africa: an assessment of WWF and CARE projects in support of the WWF-CARE Alliance’s Rural Futures Initiative."

[MoF] Ministry Of Finance (2009). Ministry of Finance Green Paper: Economic and Fiscal Policy Strategies for Climate Change Mitigation in Indonesia. Ministry of Finance and Australia Indonesia Partnership, Jakarta.

[MoFor] Ministry of Forestry (2013). "Forestry Statistics 2012." Morup, C. (2012). "Viability of Household Biogas Plants in Vietnam: A Social Cost-Benefit

Analysis." Aarhus School of Business MSc Thesis. Mukherji, A., B. Fuleki, et al. (2010?). "Irrigation reform in Asia: A review of 108 cases of

irrigation management transfer ". Nouchsin, P. (2012). "Irrigation Management to Increase Agricultural Production: Indonesian

Experiences." Presentation to COMCEC Agriculture Working Group.

Page 96: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 78

Nurfatriani, F., Darusman, D., Nurrochmat, D.R., Yustika, A.E. (2013). Analisis Kebijakan Fiskal Pembangunan Rendah Karbon di Sektor Kehutanan. Laporan Akhir. SEAMEO BIOTROP: Bogor. Tidak diterbitkan.

Nurfatriani, F, Nurrochmat, D.R. (2014). Evaluasi Kebijakan Fiskal Sektor Berbasis Lahan. IPB: Bogor. Tidak Diterbitkan.

Nyoman, I. and N. Suryadiputra (2004). "Recent Experiences in Peatland Rehabilitation in Indonesia." International Workshop on Integrated Management and Rehabilitation of Peatlands Kuala Lumpur.

OECD 2012. Review of Agricultural Policies: Indonesia. Olaolu, B. (2009). "Effect of Vetiver Grass Strip in Controlling Soil Erosion in Traditional

Farming Practices and Improvements in the Yields of Crops." Ong, H. C., T. M. I. Mahlia, et al. (no date). "Life cycle cost and sensitivity analysis of palm

biodiesel production." OPM (2014). "Developing a framework for jurisdictional performance-based incentives as a

financial mechanism for REDD+ in Indonesia." July, 2014. Oxfam (2008). Another Inconvenient Truth - How biofuel policies are deepening poverty and

accelerating climate change Briefing Paper, Oxfam. Pagiola, S and G. Platais. (2007). Payments for Environmental Services: From Theory to

Practice. World Bank, Washington. Pearce, D. W. (2001). The Economic Value of Forest Ecosystems. Prasetyo, E. (2013). "Converting or Conserving the Forests: A Cost-Benefit Analysis of

Implementing REDD in Indonesia." School of Public and International Affairs, Columbia University.

Repetto, R., W. Magrath, et al. (1989). "Wasting Assets: Natural Resources in the National Income Accounts."

Safitri, M. A. (2010). "Forest tenure in Indonesia : the socio-legal challenges of securing communities'rights."

Sahirman, S., Saparso, et al. (2013). "Palm Oil Biodiesel Life-cycle Cost Analysis ". Santikayasa, I. P. 2011. DPSIR Framework Analysis of Soil Degradation in Indonesia. Subarudi, M. M., B. Achmad, et al. (2014). "Community Forestry for Poverty Reduction:

lessons learned in Indonesia." Proceedings of the regional workshop on forests for poverty reduction.

Sugimoto, M. (2010). "Ex-Post Evaluation of Japanese ODA Loan Project “Way Sekampung Irrigation Project (I) (II) (III)” ".

Swinton, S. M. and M. B. Williams (1998). "Assessing the Economic Impacts of Integrated Pest Management: Lessons from the Past, Directions for the Future." MSU Dept of Ag Econ Staff Paper 98-12.

Verchot, L. V., E. Petkova, et al. (2010). Reducing forestry emissions in Indonesia. Bogor, Center for International Forestry Research (CIFOR).

Thompson, D. & Matthews, R. 1989. The Storage of Carbon in Trees and Timber. Forestry Commission Research Information Note 160.

TIMNAS BBN 2006. Pengembangan bahan bakar nabati di Indonesia. Paper presented at Workshop Nasional Bisnis Biodiesel dan BioEthanol di Indonesia, Jakarta, Indonesia, 21 November.

Verchot, L. V., Petkova, E., ObidzinskI, K., Atmadja, S., Yuliani, E. L., Dermawan, A., Murdiyarso, D. & Amira, S. 2010. Reducing forestry emissions in Indonesia. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR).

Warr, P. and A. A. Yusuf (2013). "Fertilizer subsidies and food self-sufficiency in Indonesia " Center for Economics and Development Studies, Department of Economics, Padjadjaran University. May, 2013.

Wertz-Kanounnikoff, S. and M. Kongphan-Apirak (2009). "Emerging REDD+: A preliminary survey of demonstration and readiness activities." CIFOR.

WF, Z., D. ZX, et al. (2013). "New technologies reduce greenhouse gas emissions from nitrogenous fertilizer in China."

World Bank 2010. Indonesia Agricultural Public Expenditure Review. World Growth 2011. The Economic Benefit of Palm Oil to Indonesia.

Page 97: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 79

Yonggong, L. and X. Shu (2004). "Results of a Social and Economic Impact Assessment of Integrated Pest Management Strategies in Brassica Vegetable Crops in China." Center for Integrated Agricultural Development, ACIAR, Working Paper 47.

Yudelman, M., J. C. Greenfield, et al. (unknown). "New Vegetative Approaches to Soil and Moisture Conversation."

Yuliani, E. L., Y. Indriatmoko, et al. (2010). Biofuel policies and their impact on local people and biodiversity: a case study from Danau Sentarum. Case Study, Borneo Research Bulletin.

Yusran, R.H. and D. Darusman (2003). "Management of Natural Resources and Autonomy: Economic Valuation and Policy Perspectives."

Page 98: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 80

Lampiran 1 Pengeluaran Kegiatan Kehutanan dan Pertanian Ramah Lingkungan

Kem Kode

Keg

Prioritas

KKF-

PRLSBL

Kegiatan 2011

Aktual

2010

Budget

2011

Budget

2012

Budget

2013

Budget

2014

Budget

Perencanaan makro sektor kehutanan dan konsolidasi kawasan hutan

Kemhut 2309 F2 Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan 41.5 64 43.3 38.5 35.3 8.3

Kemhut 2310 F2

Pengendalian Kawasan Hutan untuk Pengembangan Kegiatan di Luar

Kawasan Hutan 11.5 10 13.6 16.6 7 6.3

Kemhut 2313 F1 Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) 12.8 36 15.4 29.1 10.3 10.5

Kemhut 2314 F2 Persiapan Konsolidasi Kawasan Hutan 173.1 187.1 429.4 520.1 532.1

Kemhut Penetapan kawasan hutan 71 31.15 31.73 32.33 32.77

Kemhut Perumusan perencanaan makro kawasan hutan 57 15.58 15.87 16.17 16.39

Kemhut Dukungan Manajemen Ditjen Planologi Kehutanan 93 65.44 66.65 67.92 68.85

Kemhut Peningkatan Usaha Kehutanan

Kemhut 2283 F2

Pemantauan Pemanfaatan Hutan dan Pengembangan Ganis WASGANIS

PHPL 125.6 155.2 153 129.9 118.1

Kemhut 2284 F3 Peningkatan Distribusi Pungutan Kehutanan 22.5 63 27.1 26.9 29.7 15.5

Kemhut 2285 F1 Peningkatan Pengusahaan Hutan Alam 13.4 49 29 13.5 18.1 11.1

Kemhut 2286 F1 Peningkatan Pengusahaan Hutan Tanaman 16.8 45 26.5 17.3 20.2 10.9

Kemhut 2287 F1 Peningkatan Perencanaan Bisnis dan Pemanfaatan Kawasan Hutan 6.4 19 14.9 9.1 11.9 13.1

Kemhut 2288 F1 Peningkatan Industri Kehutanan Primer 12.3 24 43.9 14.2 19.3 14.7

Kemhut Dukungan Manajemen Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan 100 44.24 45.06 45.92 46.55

Kemhut Konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan hutan

Kemhut 2300 F2 Pengembangan Area Konservasi, Ekosistem Esensial, Hutan Lindung 17.9 268 49.6 44 49.4 27

Kemhut 2301 F2 Konservasi dan Pengembangan Spesies Genetik 10.5 90 17.5 17.8 20.2 15

Kemhut 2302 F2 Pengembangan Jasa Lingkungan 14.9 90 17 17.3 21.2 20.5

Kemhut 2303 F2 Pengendalian Kebakaran Hutan 28.6 300 56 53.1 98.7 41.8

Kemhut 2304 F2 Penyelidikan dan Pengamanan Hutan 32.4 162 62.8 121.1 74.2 43.2

Kemhut 2305 F2 Manajemen Pengembangan Konservasi Sumber Daya Hutan Alam 409.2 512.6 533.6 631.5 542.5

Kemhut 2306 F2 Pengembangan dan Pengelolaan Taman Nasional 464.8 513.6 609.2 719.4 635

Kemhut Dukungan Manajemen Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam 445 59.14 60.23 61.38 62.22

Kemhut Peningkatan Fungsi dan kapasitas pengelolaan DAS berbasis masyarakat

Kemhut 2291 F1 Pengembangan Perhutanan Sosial 16.1 1.238.40 17.9 15.9 27.7 17.6

Kemhut 2292 F4 Pelaksanaan Rehabilitasi Lahan / Hutan / Daerah Aliran Sungai 53.9 1.541.49 58.8 37.6 38.3 34

Kemhut 2293 F4

Pengembangan Penerapan Manajemen Daerah Aliran Sungai

15.3 138 52.5 13.4 29.5 11.9

Page 99: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 81

Kem Kode

Keg

Prioritas

KKF-

PRLSBL

Kegiatan 2011

Aktual

2010

Budget

2011

Budget

2012

Budget

2013

Budget

2014

Budget

Kemhut 2294 F4 Pengembangan Benih Tanaman Hutan 18.1 21 20.5 17.1 21.1 13.8

Kemhut 2295 F4 Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) 2003.3 2496.9 2056.4 2161 1988

Kemhut 2296 F4 Perencanaan, Pengembangan Kelembagaan dan Evaluasi Hutan Mangrove 15.5 18.4 17.4 18.6 17.6

Kemhut 2297 F4 Pelaksanaan Benih Pohon Hutan 78.2 77.5 71.5 78.1 69.4

Kemhut 2298 F1 Pengembangan Sutra Alam 14.9 13.7 13.2 18.1 13.6

Kemhut Dukungan Manajemen Ditjen Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial 160 261.32 266.15 271.24 274.94

Kemhut Program Kehutanan Lainnya

Kemhut 2272 F2 Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional I 3.9 4.5 4 6.2 4.7

Kemhut 2273 F2 Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional II 4.2 4.6 4.1 6.8 4.7

Kemhut 2274 F2 Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional III 3.9 4.4 3.9 5.6 3.7

Kemhut 2275 F2 Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional IV 4 4.9 4.3 9.4 6.2

Kemhut 2311 F2 Area Konservasi Hutan 24.4 31.1 22.8 48.5 14.6

Kemhut 2317 F1

Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil

Hutan 17.2 19 29.7 31.7 24.4

Kemhut 2318 F2 Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi 91.5 104.3 87.5 96 77.9

Kemhut 2319 F1 Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan 71.8 79.2 88.4 98 80.7

Kemhut 2320 F1 Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan 13.6 30 19.9 25.6 17.2

Kemhut 2267 F1 Pengembangan Penyuluhan Kehutanan 14.8 18.5 11.9 67.5 52.9

Kemhut 4016 F1 Peningkatan Layanan Penyuluhan Kehutanan 9.9 12 45.7

Kemtan 1753 A2 Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian 15.8 17 17.3 24.1 22.2

Kemtan 1763 A2 Manajemen System Pasokan Tanaman Pangan 1440 1226.4 1404.5 201.4 131.4

Kemtan 1764 A2 Penguatan Perlindungan Tanaman Pangan Dari Gangguan hama dan DPI 313.7 84.9 542.4 232.2 192.3

Kemtan 1765 A2 Penanganan Pasca Panen Tanaman Pangan 119.6 88.1 338.8 161.1 216.4

Kemtan 1767 A2 Metode Pengujian Mutu Benih dan Laboratorium 5.3 6 7.2 8.3 7.2

Kemtan 1768 A2 Peramalan pengembangan serangan tanaman hama 7.3 7 9.1 12.2 10.4

Kemtan 1769 A2 Produktivitas & Kualitas Tanaman Buah Berkelanjutan 92.3 107.3 145.9 124.3 119.3

Kemtan 1770 A2 Produktivitas & Kualitas Florikultura Berkelanjutan 35.6 46.5 48 51.5 48.6

Kemtan 1771 A2 Produktivitas & Kualitas Tanaman Sayuran & Tanaman Obat 90.9 104.7 101.6 103.3 108.6

Kemtan 1772 A2 Pengembangan Sistem Benih Hortikultura 93.8 66 80.6 127 75

Kemtan 1773 A2 Pengembangan Sistem Perlindungan Tanaman Hortikultura 113.6 57.2 63.4 145.9 95.1

Kemtan 3993 A4 Fasilitas Pupuk dan Pestisida 1485.7 776.6 481.6 162.5 283.2

Kemtan 1798 A2 Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik 25.6 26.1 28.7 72.7 40.6

Kemtan 1799 A2 Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pasca Panen 17.9 17.1 20 44.3 26

Kemtan 1800 A1 Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian 101.6 75.4 72.8 125.1 102.9

Page 100: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 82

Kem Kode

Keg

Prioritas

KKF-

PRLSBL

Kegiatan 2011

Aktual

2010

Budget

2011

Budget

2012

Budget

2013

Budget

2014

Budget

Kemtan 1801 A2 Diseminasi Inovasi Teknologi Pertanian 344 319.8 435.8 529.9 518.4

Kemtan 1802 A2 Penelitian / Rekayasa dan Pengembangan Mekanisasi Pertanian 16.1 16.7 17.6 41 22

Kemtan 1803 A2 Penelitian / Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian 23.8 18.2 24.7 28.1 36.5

Kemtan 1804 A2 Penelitian dan Pengembangan Tanaman Hortikultura 69.6 57.5 71.5 102.3 94.9

Kemtan 1805 A2 Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan 116.4 85.1 95.3 135.7 112

Kemtan 1807 A2 Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan 135.7 104.7 134.5 185.7 128.4

Kemtan 1775 A2

Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Rempah dan

Penyegar 1232 1526.8 730.5 349.8 340.1

Kemtan 1777 A2 Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Tahunan 81.6 89.3 221.8 205.6 186.3

Kemtan 1779 A2 Dukungan Perlindungan Tanaman 28.5 30.5 34.2 77.4 84.7

LIPI 3395 F2 Pengembangan Konservasi Tanaman Indonesia – Kebun Raya Baru 4 4 5.5 18.1 7

LIPI 3396 F2 Pengembangan Konservasi Tanaman Indonesia – Kebun Raya 54.3 55.4 64.7 68.2 76.9

Kemtan 1794 A3 Irigasi Pengelolaan Air untuk Pertanian 581.7 676.9 816 755.9 641.2

PU 2422 A3 Pengembangan Irigasi, rawa, kolam, Air Baku dan Air Tanah 4167.7 4505.4 156.6 183.6 164.1

PU 2423 A3 Pengembangan O & M Sumber Daya Air untuk Bencana / Tanggap Darurat 1200.2 1307.6 450.2 297 499.4

PU 2424 A3 Pengembangan sungai, danau, waduk, Lahar Pengendalian dan Keamanan

Pantai 5403.6 5963.5 145.4 204 137.1

Page 101: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 83

Lampiran 2 Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)

Peraturan Pemerintah Nomor 12/2014 mengatur jenis-jenis penerimaan negara bukan pajak

dari Kementerian Kehutanan adalah sebagai berikut:

1. Dana Reboisasi (DR);

2. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH);

3. Iuran lzin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IIUPHHK-HA);

4. Iuran lzin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman dengan Sistem

Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB);

5. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IIUPHHBK);

6. Iuran lzin Pemanfaatan Kawasan;

7. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IIUPHHK-RE)

pada Hutan Produksi;

8. Iuran lzin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan pada Hutan Produksi (IIUPJL);

9. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat

(IIUPHHK-HTR), Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan

Kemasyarakatan (IIUPHHK-HKm), Iuran lzin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

pada Hutan Desa (IIUPHHK-HD);

10. Ganti Rugi Tegakan;

11. Penggantian Nilai Tegakan;

12. Transaksi kegiatan penyerapan dan atau penyimpanan karbon dari kawasan hutan;

13. Hasil Silvopastural Sistem;

14. Hasil Silvofishery Sistem;

15. Denda Pelanggaran Eksploitasi Hutan (DPEH);

16. Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam;

17. Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar;

18. Denda Administratif bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam;

19. Hasil lelang kayu temuan, dan hasil lelang tumbuhan dan satwa liar yang tidak

dilindungi Undang-Undang;

20. Iuran Usaha Pemanfaatan Air (IUPA) dalam Kawasan Hutan Konservasi;

21. Iuran Usaha Pemanfaatan Energi Air (IUPEA) dalam Kawasan Hutan Konservasi;

22. Pungutan Usaha Pemanfaatan Air (PUPA) dalam Kawasan Hutan Konservasi;

23. Pungutan Usaha Pemanfaatan Energi Air (PUPEA) dalam Kawasan Hutan

Konservasi;

24. Kegiatan Perizinan Dibidang Perbenihan;

25. Sertifikasi Benih;

26. Iuran Pengumpulan/ Pengunduhan Benih dan Anakan;

27. Jasa Laboratorium;

28. Produk Samping Hasil Penelitian;

29. Jasa Perpustakaan;

30. Jasa Penggunaan Sarana dan Prasarana yang terkait dengan tugas dan fungsi; dan

31. Jasa Lainnya.

Page 102: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 84

Lampiran 3 Ringkasan Kesenjangan (Gap) Kebijakan Kehutanan

No Instrumen

Kebijakan Kesenjangan

1 Regulasi a. Adanya penerapan pungutan kehutanan berupa Pengganti Nilai Tegakan (PNT)

yang ditetapkan berdasarkan Permenhut tetapi belum memiliki payung hukum di

tingkat Peraturan Pemerintah dan Undang-Undang, serta dianggap oleh beberapa

pihak sebagai pungutan berganda dengan obyek yang sama dengan PSDH dan DR.

a. Revisi peraturan perundangan terkait PNBP kehutanan yang berjalan lama dan

kurang partisipatif

b. Adanya ketidaksesuaian antara implementasi pengelolaan PNBP di lapangan

dengan isi peraturan yang diacu di tingkat Permenhut, PP dan UU.

c. Pemerintah belum menyusun kebijakan insentif bagi:

Sektor swasta yang bergerak di usaha pemulihan fungsi hutan dan pengurangan

deforestasi dan degradasi

Petani hutan rakyat yang mengelola hutan negara

Upaya konservasi hutan dan pemeliharaan jasa lingkungan

Upaya pengurangan emisi GRK

d. Belum disusunnya kerangka kebijakan pendanaan penurunan emisi GRK yang

formal dan dapat dioperasionalkan melalui integrasi kebijakan tersebut dalam

kebijakan penganggaran APBN, APBD atau pengelolaan dana hibah

e. Kontribusi kehutanan terhadap pembangunan nasional masih dilihat dari aspek

ekonomi saja sehingga indikator kinerja sektor kehutanan hanya dilihat dari aspek

ekonomi saja, padahal manfaat hutan sangat luas tidak hanya diukur dari segi

ekonomi tapi juga manfaat ekologi dan sosial

2 Fiskal a. Tarif DR/PSDH yang terlalu rendah dan selama 6 tahun belum direvisi

b. Terdapat sejumlah dana penerimaan PNBP kehutanan yang tidak dapat

termanfaatkan karena:

Tidak ada dasar hukumnya (PNT)

Aturan penggunaan terlalu kaku (DR)

c. Terdapat sejumlah dana tunggakan DR, IIUPH dan PSDH

d. Mekanisme penggunaan dana DR masih bersifat keproyekan dan efektifitasnya

rendah

e. Efektifitas dana Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan dianggap rendah

f. DBH kehutanan belum menjadi insentif bagi pelestarian hutan di daerah

g. Masih ada ego sektoral berupa keinginan daerah untuk meningkatkan proporsi DBH

kehutanan bagi daerah penghasil

h. Pemerintah pusat dan daerah lebih memandang anggaran sebagai tujuan sehingga

menginginkan anggaran yang sebesar-besarnya yang menyebabkan penganggaran

tidak efektif

3 Administrasi a. Banyaknya praktik tata administrasi pengelolaan PNBP dan DBH kehutanan yang

tidak tertib dari mulai perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, monitoring dan

evaluasi

b. Kurangnya inisiatif dari Kementrian teknis dalam mengajukan review atau usulan

penggunaan dana PNBP yang belum bisa dimanfaatkan

c. Pemungutan iuran kehutanan masih belum optimal:

Masih terdapat kebocoran,

Pelaporan penerimaan kehutanan masih belum akurat (perbedaan data dll)

Adanya illegal logging/misreporting produksi

Alur mekanisme pembayaran panjang melalui Kemenhut

d. Tata hubungan kerja dan koordinasi secara vertical dan horizontal yang belum

optimal antar institusi pengelola PNBP kehutanan di tingkat pemerintah pusat,

provinsi dan kabupaten

Page 103: Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah

Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia 85

No Instrumen

Kebijakan Kesenjangan

e. Kompetensi SDM pelaksana penagihan DR/PSDH/IIUPH di daerah masih banyak

yang belum memenuhi kriteria

4 Informasi a. Sistem informasi online terkait Penatausahaan Hasil Hutan dan Penatausahaan

PSDH/DR masih belum sempurna karena terkendala keterbatasan infrastruktur,

fasilitas komputer, SDM, dan dukungan pembiayaan yang baik.

b. Minimnya kegiatan sosialisasi, diklat, dan pelatihan regular di daerah terkait

pengaturan DBH termasuk administrasinya yang dilaksanakan oleh Kemenkeu

sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam penyaluran DBH.

c. Belum ada sistem informasi pengalokasian dan penyaluran DBH kehutanan yang

mendorong kelestarian hutan. Saat ini sistem informasi yang ada baru sebatas

sistem pelaporan, belum electronic based sehingga sistem ini masih memiliki

ketidakpastian tinggi dari segi jumlah salur dan waktu salur.

d. Proses revisi atas UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah belum banyak disosialisasikan ke berbagai pihak

melalui konsultasi public dan ke berbagai media.

e. Belum ada mekanisme penyaluran informasi mengenai kebijakan pungutan

kehutanan di daerah yang terstruktur.

Sumber: Nurfatriani dan Nurrochmat (2014)