kebijakan kesehatan pemerintah kolonial pada awal abad ke-20-libre

29
ANTARA PREVENTIF DAN KURATIF: Kebijakan Kesehatan Pemerintah Kolonial Pada Awal Abad Ke-20 Dalam ilmu kedokteran upaya preventif didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang diambil untuk mencegah terjadinya atau semakin menyebarnya suatu penyakit pada masyarakat. Biasanya usaha preventif dibarengi dengan usaha promotif yaitu tindakan-tindakan yang bertujuan dalam rangka untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Sementara upaya kuratif didefinisikan sebagai tindakan perawatan dan pengobatan terhadap seseorang yang secara positif telah terjangkiti suatu penyakit. Tindakan kuratif biasanya juga dilanjutkan dengan upaya rehabilitatif yaitu upaya untuk memulihkan kesehatan orang yang sakit. 1 Tujuan tulisan ini ingin menjelaskan mengenai respon dan kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap kondisi kesehatan masyarakat terutama di Jawa pada awal abad ke-20. Selain itu juga ingin membuktikan pendapat Boomgaard yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam kebijakan kesehatan pemerintah kolonial Hindia Belanda pada abad ke-19 dan 20. Menurut Boomgaard, pada abad ke-19, pemerintah Hindia Belanda sangat lamban dalam merespon kasus-kasus epidemi dan endemi yang melanda masyarakat di Jawa. Selain itu pemerintah Hindia Belanda juga tidak memiliki kemampuan dalam memahami karaktersitik penyakit-penyakit tropis dan yang lebih parah lagi adanya kecenderungan keengganan untuk mengeluarkan dana kesehatan. 2 1 Soekidjo Notoatmodjo, Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-prinsip Dasar (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm 2. 2 Sebagian besar penyebab penyakit infeksi yang melanda di Jawa baru diketahui pada akhir abad ke-19, malaria pada tahun 1882, tipus tahun 1880, kolera tahun 1883, dan tetanus pada tahun 1884.

Upload: marcelinus-hery

Post on 21-Nov-2015

19 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

kesehatan

TRANSCRIPT

  • ANTARA PREVENTIF DAN KURATIF:

    Kebijakan Kesehatan Pemerintah Kolonial Pada Awal Abad Ke-20

    Dalam ilmu kedokteran upaya preventif didefinisikan sebagai

    tindakan-tindakan yang diambil untuk mencegah terjadinya atau semakin

    menyebarnya suatu penyakit pada masyarakat. Biasanya usaha preventif

    dibarengi dengan usaha promotif yaitu tindakan-tindakan yang bertujuan

    dalam rangka untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Sementara upaya

    kuratif didefinisikan sebagai tindakan perawatan dan pengobatan terhadap

    seseorang yang secara positif telah terjangkiti suatu penyakit. Tindakan

    kuratif biasanya juga dilanjutkan dengan upaya rehabilitatif yaitu upaya

    untuk memulihkan kesehatan orang yang sakit.1

    Tujuan tulisan ini ingin menjelaskan mengenai respon dan kebijakan

    pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap kondisi kesehatan masyarakat

    terutama di Jawa pada awal abad ke-20. Selain itu juga ingin membuktikan

    pendapat Boomgaard yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang

    signifikan dalam kebijakan kesehatan pemerintah kolonial Hindia Belanda

    pada abad ke-19 dan 20. Menurut Boomgaard, pada abad ke-19, pemerintah

    Hindia Belanda sangat lamban dalam merespon kasus-kasus epidemi dan

    endemi yang melanda masyarakat di Jawa. Selain itu pemerintah Hindia

    Belanda juga tidak memiliki kemampuan dalam memahami karaktersitik

    penyakit-penyakit tropis dan yang lebih parah lagi adanya kecenderungan

    keengganan untuk mengeluarkan dana kesehatan.2

    1Soekidjo Notoatmodjo, Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-prinsip Dasar

    (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm 2.

    2Sebagian besar penyebab penyakit infeksi yang melanda di Jawa baru

    diketahui pada akhir abad ke-19, malaria pada tahun 1882, tipus tahun 1880, kolera

    tahun 1883, dan tetanus pada tahun 1884.

  • 2

    Sementara pada abad ke-20 pemerintah Hindia Belanda telah

    banyak memahami mengenai karakteristik penyakit tropis terutama

    mengenai hubungan kesehatan rakyat dengan sanitasi dan penyakit.

    Perkembangan ilmu kedokteran pada saat itu telah mampu melakukan upaya

    preventif yang lebih baik yaitu dengan dilakukannya vaksinasi secara intensif

    untuk beberapa penyakit seperti cacar dan kolera, walaupun sebenarnya

    aktivitas ini sudah dilakukan pada abad sebelumnya.

    A. Upaya Preventif dan Kuratif terhadap Penyakit Cacar

    Upaya preventif penyakit cacar yaitu vaksinasi cacar3 atau lebih

    terkenal dengan istilah pencacaran merupakan usaha paling tua yang pernah

    dilakukan dalam mencegah suatu penyakit di Indonesia. Bahkan sampai

    sekitar tahun 1900, selain vaksinasi cacar sama sekali tidak ada usaha lain

    untuk mengembangkan pemeliharaan kesehatan masyarakat di Jawa.4

    Upaya vaksinasi di Jawa pertama kali dilakukan pada tahun 1804.

    Namun upaya pertama ini mula-mula hanya di lakukan kepada orang-orang

    pribumi yang sehari-hari berhubungan dengan orang-orang Eropa. Dalam hal

    3Penyakit cacar merupakan penyakit infeksi yang telah dikenal sejak

    sebelum Masehi. Di Asia Tenggara pertama diketahui pada tahun 1550 dan di Jawa

    pada awal tahun 1600. Penularan penyakit ini antara lain melalui udara dan dengan

    persentuhan langsung. Masa inkubasinya antara 10-12 hari dan penularan dapat

    terjadi dengan benih cacar (lymfe) pada kulit orang yang terjangkiti. Gejala yang

    ditimbulkannya adalah berupa bisul-bisul kecil dan manusia merupakan vendor

    satu-satunya benih cacar ini. Vaccine cacar pertama kali ditemukan oleh Jenner pada

    tahun 1789 dengan menggunakan lymfe cacar sapi. Sebelum ditemukan vaksin ini

    pencacaran dilakukan dengan menggunakan benih cacar yang sesungguhnya yang

    dikenal dengan istilah inokulasi. Lihat Bram Peper, Jumlah dan Pertumbuhan

    Penduduk Asli di Jawa dalam Abad ke-19: Suatu Pandangan lain khususnya mengenai

    masa 1800-1850, (Jakarta: Bhratara, 1975), hlm. 50-52. Lebih detil mengenai

    penyakit cacar dan kebijakan penanganannya pada masa kolonial lihat tulisan saya

    "Dari Mantri Hingga Dokter Jawa"

    4Ibid., hlm. 49.

  • 3

    ini adalah para pekerja pribumi yang bekerja di perkebunan orang Eropa.5

    Upaya vaksinasi cacar besar-besaran dilakukan pada masa pemerintahan

    Raffles dengan jalan memperluas daerah operasi diluar daerah Surabaya,

    Semarang dan Batavia yang sebelumnya menjadi pusat kegiatan ini.6 Di

    ketiga kota tersebut ditempatkan tiga orang pengawas (superintendent).

    Perluasan vaksinasi pada tahap ini meliputi daerah-daerah seperti Jepara,

    Surakarta, Yogyakarta, Priangan dan Bogor.7 Pada tahun 1812, ketika W.

    Hunter, superintendent di Surabaya melakukan inspeksi di beberapa wilayah

    Jawa Timur telah menemukan aktivitas vaksinasi cacar dilakukan di Gresik,

    Pasuruan, Bangil, Probolinggo, Besuki dan Banyuwangi, namun dia belum

    menemukan aktivitas yang sama di daerah Madura.8

    Keterbatasan jumlah tenaga kesehatan pada waktu itu dan adanya

    jarak sosial antara pribumi dengan tenaga medis Eropa maka pemerintah

    memutuskan untuk melatih dan memotivasi sejumlah orang pribumi yang

    terpandang dalam suatu daerah. Pelatihan inilah yang kemudian

    menghasilkan apa yang dikenal dengan mantri cacar atau juru cacar

    (vaccinateur). Bahkan para Dokter Djawa lulusan Dokter Djawa School

    (Sekolah Dokter Djawa) di Weltevreden pada mulanya difungsikan sebagai

    dokter pembantu (hulp genesheer) dan bertugas sebagai mantri cacar.9 Pela-

    5D. Schoute, Occidental Therapeutics in the Netherlands East Indies During

    three Centuries of Netherlands Settlement (1600-1900), (The Hague: Netherlands

    Indian Public Health Service, 1937), hlm. 26.

    6Ibid., hlm.. lihat juga Peter Boomgaard, Smallpox, vaccination, and the

    Pax Nerlandica Indonesia, 1550- dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-en, Volkenkunde, deel 159, 2003, hlm. 603.

    7Peter Boomgaard, Smallpox and Vaccination on Java, -1860; Medical data as a source for demographic history dalam A.M. Luyendijk-Elshout (ed.), Dutch

    Medicine in the Malaya Archipelago 1816-1942 (Amsterdam: Rodopi 1989), hlm.124.

    8D. Schoute, op.cit., hlm. 49.

    9Mantri cacar inilah yang membuka jalan masuk bagi pengobatan Barat

    sampai ke pelosok-pelosok pedesaan dan melawan penolakan penduduk dengan

    segala macam cara, termasuk paksaan. Sehingga sebenarnya mantri cacar

  • 4

    tihan mantri cacar orang pribumi ini dilakukan di beberapa rumah sakit milik

    militer.10

    Grafik 1

    Fluktuasi Angka Penderita dan Mortalitas

    yang diakibatkan Cacar (awal Abad ke-20)

    Sumber: Data diolah dari Slamet Ryadi, Ilmu Kesehatan Masyarakat; dasar-dasar

    dan Sejarah Perkembangannya. (Suraba ya: Usaha Nasional, 1982), hlm.

    42.

    Tersedianya tenaga kesehatan mantri cacar ini sangat membantu

    upaya perluasan vaksinasi di Jawa pada paruh pertama abad ke-19. Dalam

    rangka hal tersebut di atas, para mantri cacar kemudian diharuskan untuk

    tinggal di distrik-distrik yang telah ditentukan dan aktivitas pencacaran

    dilakukan di desa-desa induk untuk mempermudah menjangkau masyarakat

    pedesaan. Misalnya pada waktu itu, di Karesidenan Surabaya aktivititas

    vaksinasi cacar ini dipimpin oleh seorang dokter sebagai superintendent

    bernama Dr. Gray. Dokter ini dibantu oleh dua orang vaccinateur Belanda dan

    14 mantri cacar pribumi yang disebar ke distrik-distrik yang ada di wilayah

    mempunyai misi untuk menanamkan kepercayaan masyarakat terhadap pola peng-

    obatan Barat yang dibawa oleh Belanda. Lihat Baha` Uddin, Pelayanan Kesehatan Masyarakat )ndonesia pada Masa Kolonial, dalam Lembaran Sejarah Vol.5. No.1. 2000, hlm.112. Lihat juga Rosalia Scortiono, Menuju Kesehatan Madani (Yogyakarta:

    Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 20.

    10Satrio, et al., Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia I (Jakarta: Depkes,

    1978), hlm. 53.

    05000

    10000150002000025000300003500040000

    1912 1913 1914 1915 1928

    Penderita

    Mortalitas

  • 5

    ini. Kegiatan vaksinasi cacar disetiap distrik ditangani oleh 2 orang mantri

    cacar pribumi.11

    Tabel 1

    Jumlah Orang di Jawa dan Madura

    yang dilakukan Pencacaran Pada Abad ke-19

    Tahun Pencacaran Pencacaran Ulang Jumlah

    Keseluruhan

    1818 50.420 Tidak diketahui 50.420

    1819 55.322 Tidak diketahui 55.322

    1820 83.237 Tidak diketahui 83.237

    1860 479.768 211.051 690.819

    1871 524.553 209.479 734.032

    1875 570.652 360.201 930.853

    Sumber: D. Schoute, De Geneeskunde in Nederlandsch-Indie gedurende de

    negentiende eeuw (Batavia: Druk G. Kolff & Co., 1934), hlm. 118, 119 dan

    267.

    Perubahan signifikan terjadi pada tahun 1820 ketika dikeluarkan

    Reglement voor den Burgelijke Geneeskundige Dienst (Peraturan mengenai

    BGD) yang dibarengi dengan dikeluarkan Reglement op de uitoefening der

    koepokvaccinatie in Nederlandsch-Indie (Peraturan Pelaksanaan Vaksinasi

    cacar). Dengan dikeluarkannya peraturan ini maka dimulailah sebuah usaha

    pertama yang terorganisir untuk memberantas penyakit cacar.12 Pemerintah

    kemudian membentuk sebuah dinas khusus untuk mencegah penyakit cacar

    yang berskala nasional. Dinas khusus ini kemudian mengeluarkan beberapa

    kebijakan yang berhubungan dengan aktivitas vaksinasi cacar yaitu:13

    a. Seluruh usaha vaksinasi ditempatkan di bawah seorang inspektur;

    b. Pada setiap karesidenan diangkat seorang pengawas seorang pengawas

    yang lebih baik diisi oleh dokter setempat;

    11D. Schoute, op.cit., hlm. 59.

    12Bram Peper, op.cit., hlm. 54.

    13Satrio, et al., op.cit., hlm. 55.

  • 6

    c. Untuk tempat-tempat yang jauh dari tempat kedudukan pengawas,

    digunakan mantra cacar pribumi yang telah terdidik terlebih dahulu;

    d. Tiap bulan pengawas harus mengirimkan laporan kepada residen dan

    inspektur dan setiap 6 bulan memeriksa hasil pekerjaan para mantri

    cacar;

    e. Inspektur bertanggung jawab atas pengiriman bibit cacar ke seluruh

    karesidenan yang ada di Nusantara.

    Perbaikan pelaksanaan vaksinasi cacar ini terjadi lagi pada tahun

    1850 ketika diciptakan apa yang disebut dengan sistem pencacaran sirkulir.

    Tujuan sistem ini ialah untuk membawa vaksin cacar sedekat mungkin

    dengan penduduk di pedesaan.14 Prinsip sistem ini adalah bahwa setiap

    orang berhak mendapatkan kesempatan untuk memperoleh manfaat dari

    vaksin cacar ini. Untuk keperluan tersebut maka dibuatlah wilayah-wilayah

    khusus dalam rangka untuk memeratakan persebaran vaksin cacar. Sebuah

    karesidenan kemudian dibagi-bagi atas distrik-distrik vaksin yang memiliki

    luas setara dengan wilayah kabupaten, namun jika penduduknya lebih padat

    maka distrik-distrik vaksin akan didirikan lebih banyak lagi.

    Mantri cacar dalam sistem ini mempunyai tugas yang semakin berat

    karena di samping melakukan pencacaran juga harus melakukan kontrol di

    distrik yang menjadi wilayah kerjanya. Konsekuensi dari sistem ini adalah

    semakin banyak diperlukan tenaga mantri cacar seiring dengan semakin ba-

    nyaknya diciptakan distrik vaksin. Selain itu dana yang diperlukan untuk

    aktivitas ini juga berlipat. Namun sebaliknya bagi penelitianduduk di

    pedesaan karena mereka tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi untuk

    menjangkau pelayanan vaksinasi cacar tersebut. Sebelum tahun 1818, setiap

    keluarga di Priangan dikenai biaya sebesar 12 stuivers15 untuk mendapatkan

    14D. Schoute., op.cit., hlm. 267.

    151 stuiver sama dengan 5 sen, jadi 12 stuivers = 60 sen.

  • 7

    vaksinasi cacar, namun setelah tahun 1818, disemua daerah dibebaskan dari

    pembiayaan tersebut.16

    Faktor utama kegagalan vaksinasi yang terjadi pada paruh pertama

    abad ke-19 adalah buruknya kualitas vaksin dan minimnya pengetahuan

    yang dimiliki oleh para mantri cacar. Dalam beberapa kejadian mantri cacar

    sering melakukan kesalahan dengan melakukan vaksinasi terhadap orang

    yang kulitnya masih terluka, atau orang yang sudah terjangkiti tetapi

    bisulnya belum timbul. Dari tindakan dan rendahnya kualitas vaksin

    tersebut, antara 10-15% vaksinasi yang dilakukan mengalami kegagalan.17

    Kegagalan-kegagalan itu antara lain terjadi di Surabaya tahun 1824, Pasu-

    ruan tahun 1828, Kedu tahun 1823, Pasuruan tahun 1830, dan Banyumas

    tahun 1835.18 Mengenai jumlah orang yang di Jawa dan Madura pada abad

    ke-19 yang dilakukan pencacaran dapat dilihat pada tabel 7.

    Namun sebenarnya kegagalan pencacaran ini juga disebabkan oleh

    faktor-faktor yang dimiliki penduduk pedesaan Jawa pada saat itu. Kesadaran

    dan melek huruf yang rendah telah menyulitkan para mantri cacar dalam

    melaksanakan tugasnya. Selain itu rasa enggan penduduk terhadap sesuatu

    yang belum dikenalnya serta jarak tempuh untuk mencapai tempat penca-

    caran juga merupakan alasan kuat bagi penduduk untuk tidak mau

    melakukan pencacaran. Bram Peper menduga, rendahnya kesadaran

    pencacaran penduduk ini tidak hanya terjadi pada abad ke-19 namun juga

    pada abad ke-20.19 Walaupun angka kegagalan vaksinasi ini tinggi namun

    16Peter Boomgaard, (1989), op.cit., hlm.126.

    17Bram Peper, op.cit., hlm. 61.

    18Peter Boomgaard, loc.cit. Dalam penelitian Dina Dwikurniarini,

    Karesidenan Banyumas sejak akhir abad ke-19 sampai tahun 1940 mengalami hampir semua epidemi penyakit rakyat yang ada di Jawa. lebih lanjut lihat Dina Dwikurniarini, Epidemi di Karesidenan Banyumas tahun - Tesis S-2 Program Studi Sejarah UGM Yogyakarta, 1999.

    19Bram Peper, op.cit., hlm.68.

  • 8

    Gooszen berpendapat setidaknya pada paruh kedua abad ke-19, upaya

    vaksinasi ini telah berhasil menurunkan angka kematian yang disebabkan

    oleh penyakit cacar.20

    Memasuki abad ke-20, sistem pencacaran sirkulir yang diterapkan

    sejak tahun 1850, pada tahun 1911 sudah lazim dilakukan dihampir semua

    wilayah di Jawa. Permasalahan buruknya vaksin yang disebabkan oleh

    kematian vaksin sebelum disuntikkan kepada orang karena harus

    didatangkan dari Belanda telah teratasi dengan keberhasilan pembuatan

    vaksin oleh Lembaga Pembuatan vaksin cacar di Batavia pada akhir abad ke-

    19. Pada tahun 1918 lembaga ini dipindah ke Bandung dan bersama dengan

    Instituut Pasteur menjadi lembaga yang berperan vital dalam pengembangan

    dan penelitian masalah kesehatan di Indonesia.

    Pada tahun 1914 dikenalkan sistem baru untuk memperbaiki sistem

    yang lama. Sistem pencacaran baru ini dikenal dengan istilah separated

    vaccination system. Dalam sistem ini vaksinasi pertama yang dilakukan pada

    masa bayi (utama) dan vaksinasi ulang yang dilakukan pada orang dewasa

    dilaksanakan secara terpisah. Dengan sistem baru ini dalam 5-7 tahun pen-

    cacaran ulang dalam sebuah distrik akan dapat diselesaikan dan mantri cacar

    dapat memulai dari proses awal lagi.21

    Dengan penyempurnaan usaha-usaha preventif penyakit cacar ini

    telah berhasil menekan bahkan membebaskan penduduk di Jawa dari

    serangan penyakit cacar. Penurunan jumlah penderita dan kematian

    penduduk Jawa pada awal abad ke-20 dapat dilihat pada grafik 2 pada bab

    sebelumnya.

    20 Hans Gooszen, A Demographic History of The Indonesian Archipelago

    1880-1942 (Leiden: KITLV Press. 1999), hlm. 176.

    21Verslag voor Burgelijke Geneeskundige Dienst, -1918. dalam

    Mededelingen Burgelijke Geneeskundige Dienst in Nederlandsch-Indie, 1919. hlm 27.

  • 9

    B. Upaya Preventif dan Kuratif terhadap Penyakit Malaria

    Upaya-upaya pemberantasan dan preventif penyakit malaria pada

    abad ke-19 masih sporadis dan tidak terorganisir serta terencana dengan

    baik. Upaya-upaya itu mengalami perbaikan dan penyempurnaan pada abad

    ke-20 karena pada abad ini upaya-upaya tersebut didahului dengan

    penelitian mendalam terutama mengenai tempat pengembangbiakan larva

    anopheles.22 Dengan kata lain pada abad ke-20, faktor lingkungan, sosial, dan

    adat kebiasaan masyarakat di Jawa telah dijadikan faktor penting untuk

    mencari solusi pemberantasan dan upaya preventif penyakit ini.

    Sepanjang awal abad ke-20 di Jawa pemerintah Hindia Belanda telah

    melakukan beberapa tindakan pemberantasan epidemi malaria dengan

    menggunakan penelitian dan metode yang berbeda-beda disesuaikan dengan

    tempat pengembangbiakan larva anopheles. Tindakan pemberantasan ini

    bertujuan untuk memutus lingkaran pengembangbiakan dan persebaran

    malaria dengan membunuh larva-larvanya. Tindakan-tindakan itu secara

    umum dapat dibagi menjadi dua yaitu tindakan pemberantasan di daerah

    pesisir dan di daerah pedalaman23.

    1). Pemberantasan di daerah Pesisir

    a). Penerapan tindakan yang disebut dengan istilah species-

    assaineering. Ada dua macam tindakan dalam hal ini yaitu:

    (1) Pembuatan tanggul di sepanjang garis pantai. Tanggul dibuat lebih tinggi dari pasangnya air laut yang tertinggi. Hal ini

    bertujuan untuk pengeringan rawa-payau dan mencegah air

    laut mengalir ke wilayah tersebut.

    22Terdapat banyak jenis anopheles yang menjadi vendor malaria. Dalam

    beberapa kasus epidemi dan endemi paling tidak ada 4 jenis anopheles-malaria yang

    sangat banyak ditemukan di Jawa pada abad ke-19 dan 20 yaitu Anopheles

    Maculatus, A.Sundaicus, A. Aconitus, dan A. Hyrcanus.

    23R. Soesilo, Malariabestrijding in den Oost-Indischen Archipel dalam

    Feestbundel Geneeskundige Tijdschrift voor Nederlansch-Indie 1936. Lihat juga P.

    Peverelli, De Zorg voor de Volksgezonheid in Nederlandsch-Indie S-Gravenhage: W. Van Hoeve, 1947), hlm. 63.

  • 10

    (2) Membuat saluran dari muara sungai menuju laut sampai mencapai gelombang laut. b. Penempatan tambak air payau pada sebuah komunikasi yang terbuka dengan laut. Tindakan ini dapat dilakukan dengan jalan

    pembukaan tanggul di beberapa tempat supaya kadar garam di

    tambak dan airnya dapt selalu mengalami perubahan. Tindakan ini

    pernah diterapkan di Probolinggo pada tahun 1921 dan di

    Banyuwangi pada tahun 1927.24 Kecermatan, kejelian, dan

    pengetahuan mengenai jenis ikan dan lingkungan laut setempat

    mutlak diperlukan ketika menerapkan metode ini.

    c). Pemeliharaan tambak ikan bandeng secara higienis dengan jalan

    menjaga permukaannya tetap bersih dan makanan ikan terbatas

    pada lumut di dasar tambak. Metode ini pernah diterapkan di

    Kotapraja Batavia pada tahun 1928 dan 1932 dengan luas tambak

    sekitar 291 ha.25

    2. Pemberantasan di daerah Pedalaman

    a). Memberantas larva anopheles di kolam ikan tawar (A. Ludlowi)

    digunakan cara membuat saluran air untuk mengatur aliran air

    tambak dan pada tindakan yang radikal dengan jalan merubah

    tambak menjadi areal persawahan.

    b). Selain tindakan di atas, di kolam ikan dapat juga dilakukan

    tindakan lain seperti penggantian air kolam secara teratur.

    Kebanyakan orang pribumi pada saat itu umumnya kurang

    mempunyai perhatian terhadap sanitasi kolam ikannya. Metode ini

    dilakukan dengan jalan membuat beberapa saluran air atau pintu

    air di sekeliling kolam, kemudian disekeliling pinggir kolam bagian

    dalam dibuat parit yang dalamnya melebihi dasar kolam. Parit ini

    berfungsi sebagai penampungan ikan ketika kolam dikeringkan,

    24J.G. Overbeek and W.J. Stoker, op.cit., hlm. 57.

    25Ibid., hlm. 43.

  • 11

    sedangkan larva-larva anopheles akan terjebak didasar kolam.

    Tindakan ini pernah diterapkan di Batavia pada tahun 1919.26

    c). Penimbunan rawa atau tempat sejenis dengan tanah, pasir atau

    material lainnya. Tindakan ini pernah dilakukan di Tanjung Perak,

    Surabaya pada tahun 1916 dan di Tegal pada tahun 1926.

    Tindakan ini mungkin untuk dilakukan jika kawasan yang akan

    ditimbun tidak terlalu luas karena untuk kawasan yang sangat luas

    kemungkinan kecil akan dilakukan karena akan membutuhkan

    banyak biaya. Di Surabaya tindakan ini menelan biaya f 700.000

    sedangkan di Tegal f 360.000.27

    d). Pengeringan tempat-tempat luas yang digenangi air dengan jalan

    memompanya dan membuangnya ke sungai. Pada tempat yang

    sama dapat juga dilakukan metode lain seperti membuat beberapa

    pintu air beserta katupnya. Pada tahun 1919 kebijakan ini pernah

    dilakukan di Cilacap dan menelan biaya sebesar f 1.000.000.28

    e). Metode yang digunakan untuk pemberantasan larva anopheles

    yang menggunakan sawah sebagai tempat pengembangbiakannya

    dilakukan dengan cara:

    (1) Pemeliharaan saluran irigasi, termasuk menjaganya agar tetap bersih dan membuang tanaman-tanaman yang menutupinya.

    (2) Penanaman padi dan penyaluran air irigasi dilakukan hanya dari bulan Oktober sampai Mei dan setelah panen semua lahan

    persawahan dikeringkan dengan segera untuk beberapa waktu

    lamanya.

    26W. Takken, et al., Environment Measures for Malaria Control in Indonesia: an

    Historical Review on Species Sanitation, (Wageningen: Wageningen Agricultural

    University Papers, 1991), hlm. 88.

    27J.G. Overbeek and W.J. Stoker, op.cit., hlm. 57.

    28Ibid.

  • 12

    (3) Pengeringan sawah yang tidak diolah antara dua masam tanam.

    Metode ini diterapkan atas prakarsa dr. Mangkoewinoto di dataran

    Cihea, Cipadani, dan Cianjur dari tahun 1919-1935 dan mencakup

    lahan persawahan seluas 12.502 ha.29 Tindakan ini sangat sukses

    mengendalikan malaria di daerah itu khususnya di Cihea. Biaya

    untuk kebijakan ini mendapat subsidi dari Dinas Kesehatan

    Rakyat, setiap 5.600 ha menelan biaya sebesar f 1.500.000.30

    f). Jika tempat pengembangbiakan larva anopheles tertutup dan dalam

    skala yang kecil maka dilakukan penyiraman minyak

    (petrolization) pada permukaan airnya. Tindakan ini bertujuan

    menutup jalan pernafasan larva sehingga sebelum berkembang

    menjadi nyamuk dewasa telah binasa. Metode ini pernah

    dilakukan di beberapa selokan yang ada di Tanjung Priok pada

    tahun 1922.

    Sementara itu pada awal abad ke-20 telah mulai dilakukan upaya

    pemberantasan anopheles dewasa yaitu dengan menggunakan racun

    serangga atau insektisida seperti Didhloro-Dipendhyl-Trichloro-ethaan (DDT),

    Benzine Hexa Chlororide (BHC) dan Dieldrien. Namun upaya-upaya tersebut

    sebenarnya masih pada taraf eksperimen. Beberapa daerah di Jawa yang

    dijadikan eksperimen ini antara lain Tanjung Priok, Batavia, Semarang, dan

    Surabaya. Tindakan pemberantasan baik terhadap larva maupun anopheles

    dewasa selalu dibarengi dengan Kinaisasi.

    Pendistribusian pil kina31 secara reguler dilakukan oleh Dinas

    Kesehatan Rakyat, dengan memanfaatkan pangreh praja, kepada penduduk

    29W. Takken, et al., loc.cit.

    30J.G. Overbeek and W.J. Stoker, op.cit., hlm. 60. Lihat juga W. Takken, et al.,

    loc.cit.

    31Bandoengsche Kinine Fabriek memproduksi 3 jenis pil Kina: 1). Bisulfas

    Chinine berwarna putih. Jenis ini banyak dijumpai di took obat dan diperjualbelikan

  • 13

    di suatu daerah dengan gratis atau dijual harga yang murah. Di beberapa

    tempat, seperti di afdeeling Sampang Madura, orang yang bertugas sebagai

    distributor pil Kina di tingkat onderdistrik adalah para juru tulis

    onderdistrik. Mereka mendapat imbalan 10% dari harga penjualan pil

    tersebut.32 Pada tahun 1918 Bandoengsche Kinine Fabriek telah menyuplai pil

    Kina kepada pemerintah sebanyak 11.774.000 pil Kina dengan dosis yang

    berbeda. Pil ini kemudian didistribusikan kepada penduduk miskin dengan

    embel-embel sebagai bantuan medis.33 Pengendalian malaria pada masa ini kemudian dianggap sebagai

    sebuah permasalahan yang mempunyai banyak aspek sehingga dibutuhkan

    sebuah peraturan umum yang mengatur semua hal yang berhubungan

    dengan malaria. Oleh karena itulah pada tahun 1924 kemudian didirikan

    Centrale Malaria Bureau atau Biro Pusat Malaria sebagai salah satu sub-

    bagian dari Dinas Kesehatan Rakyat. Tugas biro ini adalah meneliti dan

    mencari metode khusus untuk pemberantasan malaria dalam hubungannya

    dengan sanitasi lingkungan. Singkatnya, biro ini bertugas untuk melakukan

    perencanaan (planning), mengorganisir (organizing) dan melaksanakan

    (carrying out) pemberantasan penyakit malaria di seluruh wilayah

    Nusantara.34

    Untuk lebih mengintensifkan upaya-upaya baik kuratif maupun

    preventif terhadap malaria, dipandang perlu untuk mendirikan cabang biro

    secara luas; 2). Hidrochlorus Chinine berwarna merah jambu. Jenis ini dibuat khusus

    untuk kepentingan militer Belanda, terutama yang bertugas di daerah pesisir; 3).

    Malariakuur Tableta DVG yang berwarna biru. Jenis ini dibeli dan didistribusikan

    oleh pemerintah kepada rakyat dalam rangka kinaisasi pada kasus epidemi.

    32ANRI, Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur dan Tanah Kerajaan)

    (Jakarta: ANRI, 1978), hlm.CXLVIII.

    33Verslag voor Burgelijke Geneeskundige Dienst, -1918, op.cit., hlm. 49. 34J.P. Verhave, Malaria: Epidemiology and )mmunity in the Malay Arcipelago dalam A.M. Luyendijk-Elshout (ed)., Dutch Medicine in the Malaya

    Archipelago 1816-1942, (Amsterdam: Rodopi, 1989), hlm. 96.

  • 14

    ini di beberapa daerah di Indonesia. Pada tahun 1929 di Surabaya dibuka

    satu cabang untuk melayani kawasan timur, kemudian menyusul di Medan

    untuk melayani seluruh Sumatera.35

    Sama dengan alasan ketika dilakukan upaya vaksinasi cacar, pada

    tahun 1926 biro ini untuk pertama kalinya melakukan pelatihan kepada

    orang-orang pribumi mengenai seluk beluk malaria dan pengendaliannya.

    Setelah lulus pelatihan orang-orang ini kemudian disebut dengan mantri

    malaria. Syarat utama bagi orang pribumi untuk dapat mengikuti pelatihan

    ini harus telah lulus sekolah dasar dan jangka waktu pelatihan selama 1,5

    tahun. Pada tahun kedua pelatihan ini telah meluluskan 134 mantri malaria

    36 dan pada akhir tahun 1930-an meluluskan sebanyak 180 mantri malaria.37

    Mereka ini kemudian dipekerjakan untuk membantu para dokter pada kasus-

    kasus malaria. Sementara tugas khusus mereka adalah:38

    a. Menangkap dan menentukan jenis nyamuk dan larva-larvanya.

    b. Membuat persiapan pemeriksaan darah bagi penderita malaria.

    c. Mengadakan pembedahan lambung nyamuk anopheles untuk

    keperluan penelitian.

    d. Membuat peta wilayah pemberantasan malaria.

    Dampak dari berbagai upaya seperti telah dijelaskan di atas,

    menurut beberapa laporan kolonial berhasil menekan angka kematian

    penduduk di Jawa. Pada akhir tahun 1920-an, laporan dari Koloniaal Verslag

    mengenai malaria mengalami perubahan yang dramatis. Hal ini terutama

    disebabkan oleh perbaikan sarana irigasi di persawahan dan peningkatan

    distribusi kina ke berbagai daerah. Sementara pada akhir tahun 1930-an

    35Satrio, et al., op.cit., hlm.56.

    36J.L. Hydrick, Intensive Rural Hygiene Work and Public Health Education of

    the Public Health Service of Netherlands India, (Batavia-Centrum: DVG, 1937), hlm.

    47.

    37J.P. Verhave, loc.cit.

    38 Satrio, et al., op.cit., hlm. 57.

  • 15

    dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa sebagian besar kasus malaria

    berada di bawah kendali. 39

    C. Upaya Preventif dan Kuratif terhadap Penyakit Kolera

    Kolera mulai ditemukan pertama kali di Nusantara pada awal abad ke-

    19. Pada bulan Desember tahun 1819 pemerintah Hindia Belanda di Batavia

    menerima peringatan mengenai kematian massal yang disebabkan oleh

    epidemi kolera di Mauritius, Penang, dan Malaka, khususnya di Provinsi

    Queda.40 Persebaran kolera ke Mauritius dan Malaka disebabkan adanya

    hubungan dagang keduanya dengan Bengal, tempat yang diyakini merupakan

    asal muasal timbulnya kolera.41 Di India, kolera timbul sebagai sebuah

    epidemi pada tahun 1818. Satu tahun kemudian penyakit ini telah ditemukan

    di Jawa karena daerah ini merupakan salah satu pusat jaringan perdagangan

    di Nusantara yang mempunyai hubungan langsung baik ke Malaka maupun

    ke India.42

    39 Peter Gardiner and Mayling Oey, Morbidity and Mortality in Java -: The Evidence of the Colonial Reports dalam Norman G. Owen (ed.), Death and Disease in Southeast Asia: explorations in Social, Medical, and Demographic History

    (Singapore: Oxford University Press, 1987), hlm. 79.

    40D. Schoute (1937), op.cit., hlm. 121.

    41Kolera disebabkan oleh baksil yang disebut dengan vibrio- cholera. Baksil

    ini menyerang bagian pencernaan atau usus manusia dan dapat mengakibatkan

    gejala berupa muntah-muntah dan berak. Selain itu penderita pada tingkat akut

    akan mengalami kejang-kejang dan gangguran saluran kencing dan akhirnya dapat

    mengakibatkan kematian.

    42Slamet Ryadi, Ilmu Kesehatan Masyarakat; dasar-dasar dan Sejarah

    Perkembangannya. (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 42.

  • 16

    Grafik 2

    Fluktuasi Laporan Kematian yang Disebabkan oleh

    Epidemi Kolera Di Karesidenan Semarang, 1910-1920

    Sumber: Diolah dari data di Koloniaal Verslag 1911-1921.

    Sampai tahun 1860, dikalangan para medis masih terjadi

    perdebatan mengenai sifat persebaran penyakit ini.43 Namun diyakini bahwa

    manusia memegang peranan utama dalam penyebarluasan kolera karena

    persebarannya ternyata mengikuti jalur hubungan manusia dalam

    melakukan aktivitasnya. Dibandingkan dengan penyakit menular lainnya,

    kolera merupakan penyakit yang dengan cepat bisa menyebar luas di seluruh

    wilayah sebuah komunitas.44

    Pola persebaran kolera yang pada abad ke-20 berbeda dengan pola

    persebaran pada abad ke-19. Laporan BGD dan juga Peverelli menyebutkan

    bahwa epidemi utama pada abad ini pertama kali ditemukan di Jambi pada

    tahun1909 ketika orang-orang muslim pribumi pulang menunaikan ibadah

    haji dari Makkah.45

    43Satrio, et al., op.cit., hlm.59.

    44Peter Gardiner and Mayling Oey, op.cit., hlm.75.

    45Verslag voor Burgelijke Geneeskundige Dienst, -1918, op.cit., hlm. 23.

    bandingkan dengan P. Peverelli, P. Peverelli, De Ontplooiing vand den Burgelijken Geneeskundigen Dienst dalam Feestbundel Geneeskundige Tijdschrift voor Neder-lansch-Indie 1936. hlm 42.

    0

    2000

    4000

    6000

    8000

    10000

    12000

    1910 1911 1912 1913 1914 1915 1916 1917 1918 1919 1920

  • 17

    Dari Jambi, penyakit ini kemudian masuk ke Batavia dan 2-3 tahun

    kemudian menyebar ke seluruh wilayah di Jawa, lalu ke luar Jawa dan

    mencapai klimaksnya pada tahun 1912 dan 1913, setelah itu perlahan-lahan

    kasus kolera berkurang. Epidemi kolera yang terjadi di Jawa dan Madura

    pada tahun 1910 ini dilaporkan menelan korban sebanyak 60.000 jiwa.46

    Pada paruh kedua tahun 1915 dan 1916, serta paruh pertama tahun

    1917 hanya ditemui beberapa kasus kolera di Batavia. Kemudian pada

    pertengahan tahun 1917 sebuah infeksi kolera baru masuk ke Batavia lagi

    yang berasal dari Singapura melalui Palembang. Setelah itu pola persebaran

    pada awal abad ke-20 terulang kembali ketika Batavia menjadi titik

    persebaran kolera ke hampir seluruh Jawa dan Madura, dan daerah luar Jawa

    terutama di Kalimantan Timur dan Selatan.47

    Sementara itu di Karesidenan Semarang, setelah terjadi laporan

    kematian yang cukup tinggi akibat epidemi penyakit ini pada awal abad ke-

    20, untuk beberapa tahun lamanya penyakit ini menghilang. Laporan

    kematian serupa baru muncul lagi pada antara tahun 1910 sampai tahun

    1920. Lebih jelasnya lihat grafik 2.

    Untuk seluruh Jawa dan Madura, pada awal abad ke-20 ini terdapat

    dua tahun puncak terjadinya epidemi kolera yang menyebabkan banyaknya

    korban meninggal yaitu pada tahun 1910 dan pada tahun 1918.48 Lebih

    jelasnya mengenai hal ini lihat grafik 3.

    46Peter Gardiner and Mayling Oey, op.cit., hlm.76.

    47Ibid., hlm. 25.

    48Lihat P. Peverelli, op.cit., hlm. 185., Bandingkan dengan Peter Gardiner and

    Mayling Oey, loc.cit.

  • 18

    Grafik 3

    Fluktuasi Laporan Kematian yang Disebabkan

    oleh Epidemi Kolera Di Jawa dan Madura, 1910-1920

    Sumber: Diolah dari P. Peverelli, De Ontplooiing vand den Burgelijken Geneeskundigen Dienst dalam Feestbundel Geneeskundige Tijdschrift

    voor Nederlansch-Indie 1936. hlm. 186.

    Upaya preventif dan kuratif kolera hampir sama dengan malaria

    yaitu harus dilakukan bersamaan diantara keduanya. Vaksin kolera pertama

    kali ditemukan pada tahun 1912 dan upaya pengobatan ini harus dibarengi

    dengan upaya-upaya perbaikan lingkungan tempat tinggal termasuk harus

    menjaga kebersihan yang akan digunakan untuk keperluan sehari-hari

    terutama penggunaan air bersih. Tindakan ini juga diimbangi dengan

    pelaksanaan karantina bagi orang migran yang berasal dari daerah yang

    dijangkiti kolera. Sebaliknya bagi orang yang akan pergi ke luar daerah harus

    diinjeksi vaksin kolera terlebih dahulu. Misalnya mulai dekade pertama abad

    ke-20 bagi masyarakat di Jawa yang akan menunaikan ibadah haji harus

    terlebih dahulu diinjeksi vaksin kolera.49 Tidak seperti pada kasus epidemi

    cacar atau malaria yang mempunya tenaga kesehatan mantri, pelaksanaan

    vaksinasi penyakit kolera ini menggunakan jasa para mantri cacar.

    49Peter Gardiner and Mayling Oey, loc.cit.

    0

    10000

    20000

    30000

    40000

    50000

    60000

    70000

    1910 1911 1912 1913 1914 1915 1916 1917 1918 1919 1920

  • 19

    Upaya-upaya di atas pada awal abad ke-20 selalu dilakukan di

    daerah sepanjang pantai utara Jawa, terutama kota-kota yang memiliki

    pelabuhan besar seperti Surabaya, Semarang dan Batavia. Hal ini sebenarnya

    mendukung teori yang berkembang pada masa kontemporer ini yang

    menyatakan bahwa beberapa penyakit yang berkembang di Asia Tenggara

    khususnya Nusantara menyebar melalui perantara kapal-kapal dagang yang

    berasal dari kawasan Asia lain.

    Dengan berbagai upaya yang dilakukan pada awal abad ke-20 ini

    maka pada awal tahun 1920-an kolera secara meyakinkan dapat

    dikendalikan sebagai faktor yang menyebabkan tingginya kematian di Jawa.

    Kasus kolera terakhir yang ditemukan sampai berakhirnya kolonialisme

    Belanda adalah pada tahun 1927 di Tanjung Priok.50

    D. Upaya Preventif dan Kuratif terhadap Penyakit Pes

    Pada awal abad ke-20 muncul epidemi penyakit baru yang tidak kalah

    dalam menyebabkan kematian penduduk di Jawa. Salah satu penyakit

    tersebut adalah pes.51 Penyakit pes52 atau juga dikenal dengan sampar mem-

    punyai jaringan organisme antara bakteri, kutu (xeropsylla), tikus, dan

    manusia. Terdapat dua bentuk penyakit pes yang dikenal pada waktu itu

    50P. Peverelli, (1936), op.cit., 186.

    51Peter Boomgaard, (1993), op.cit., 80.

    52Pes merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri

    Pasturella pestis (dalam dunia kedokteran modern bernama Yersinia

    pseudotuberculosis sub pestis). Persebaran bakteri ini melalui transmitter kutu

    binatang pengerat terutama tikus (sebagai host). Sementara media atau cara

    penularannya biasanya melalui gigitan tikus terhadap manusia atau dapat juga

    melalui udara dalam hal ini adalah nafas manusia yang sudah terinfeksi bakteri ini.

    Sementara bagi host-nya, ketika bakteri masuk kedalam tubuhnya dipercaya bahwa

    beberapa spesies tikus mampu mengembangkan kekebalan tubuhnya. Sehingga

    tikus ini membawa bakteri dalam aliran darahnya tanpa mengalami gangguan rasa

    sakit. Baca Terence (. (ull, Plague in Java dalam G. Owen (ed.), Death and Disease in Southeast Asia: explorations in Social, Medical, and Demographic History

    (Singapore: Oxford University Press, 1997), hlm. 210.

  • 20

    yaitu Pes Bubo (bubonic) dan Pes Paru-paru (pneumonic).53 Gejala umum yang

    ditimbulkan dari penyakit ini berupa demam tinggi, muntah-muntah,

    kesadaran menurun, shock dan kondisi badan yang lemah.

    Penderita pes bubo dapat mengalami pembengkakan kelenjar limpa

    yang terasa sangat sakit, jika kondisi ini tidak segera diterapi limpa dapat

    pecah dan mengeluarkan nanah. Sementara penderita pes paru-paru

    mengalami gejala berupa sesak nafas dan batuk-batuk yang tidak jarang

    disertai dengan darah.54 Pes merupakan salah satu penyakit menular yang

    mempunyai rasio kematian yang sangat tinggi yaitu antara 25%-50% pada

    kasus pes bubo55 dan bisa mencapai 100% pada pes paru-paru.

    Sebenarnya pes bukanlah penyakit asli manusia melainkan penyakit

    binatang pengerat terutama tikus. Sebelum terjadi kejadian epidemi pes,

    biasanya didahului dengan epidemi pes yang diderita oleh binatang ini.

    Dalam kondisi seperti ini maka terjadi penularan pes melaui kutu56 yang

    menempel dibadan dari satu tikus ke tikus yang lain. Pada tahap selanjutnya

    penularan terjadi antara tikus dengan manusia karena secara ekologis sarang

    tikus biasanya tidak jauh dari tempat tinggal dan aktivitas manusia. Pada

    awal abad ke-20, masyarakat mengenal beberapa macam tikus yang menjadi

    53Pada perkembangannya di masa sekarang penyakit ini mengalami tiga

    bentuk yaitu bubonic, septikemik, dan pneumonik. Pes bubonic terjadi karena gigitan

    serangga yang mengandung bakteri Pes. Bakteri ini masuk melalui sistem limfatik ke

    nodus limfatikus terdekat. Peradangan terjadi di nodus limfatikus, kemudian diikuti

    pembentukan bubo, yakni reaksi tubuh akibat masuknya bakteri Pes melalui kulit ke

    dalam nodus limfatikus. Septikemik adalah bentuk Pes yang terjadi ketika infeksi

    menyebar secara langsung melalui aliran darah. Bentuk ini biasanya mematikan jika

    tidak segera diterapi. Pes Pneumonik adalah infeksi paru-paru yang disebabkan oleh

    bakteri pes. Pes bentuk ini mempunyai rasio kematian yang sangat tinggi.

    54Indan Entjang, Ilmu Kesehatan Masyarakat (Bandung: Alumni, 1979), hlm.

    38.

    55Orang Jawa menyebut jenis ini dengan istilah Pes benjol

    56Kutu tikus biasanya disebut dengan pinjal.

  • 21

    agent pes yaitu tikus rumah, tikus sawah, tikus got (selokan), dan tikus

    pegunungan.57

    Struktur sosial dan kehidupan masyarakat Jawa pada waktu itu,

    ditambah dengan politik diskriminasi yang diterapkan oleh pemerintah

    kolonial telah menempatkan mereka pada tempat tinggal yang buruk. Pada

    awal abad ke-20, jumlah orang Eropa yang tinggal di rumah yang terbuat dari

    batu sebanyak 35.890, sedangkan untuk seluruh masyarakat Jawa yang

    tinggal di tempat yang sama hanya 352.353 orang. Rumah-rumah luas yang

    terbuat dari batu dengan halaman di depannya hanya dimiliki oleh golongan

    priyayi, pegawai tinggi dan menengah. Sementara pegawai rendahan

    bertempat tinggal di rumah-rumah yang terbuat dari kayu dan penduduk

    desa umumnya tinggal di rumah-rumah yang terbuat dari bambu (gedek).58

    Selain faktor lingkungan tempat tinggal, iklim tropis juga berperan

    besar dalam persebaran pes di Jawa. Pada musim hujan tikus dapat

    berkembang biak dengan sangat cepat. Sepasang tikus dalam waktu lima

    minggu bisa melahirkan sepuluh ekor anak dan dalam waktu tiga bulan

    mereka sudah dapat bereproduksi. Dengan sistem pengembangbiakan

    seperti itu maka kemungkinan pes menjadi sebuah epidemi sangat besar.

    Di Asia persebaran penyakit ini diketahui pertama kali di wilayah

    Tiongkok Barat, dekat perbatasan Tibet dan Myanmar, pada tahun 1866.

    Pada tahun 1894 penyakit ini kemudian menyebar ke daerah Kanton dan

    menewaskan sebanyak 70.000 jiwa. Lebih lanjut, penyakit ini kemudian

    menyebar ke negara-negara lain dengan perantara kapal laut menuju

    Hongkong. Pada tahun 1896 pes sudah diketahui keberadaannya di Bombay,

    kemudian menyebar ke Kolombo, Jepang, Formosa (Taiwan), Singapura,

    Sydney dan kemudian sampai di Nusantara.59

    57R. Soemedi, Penyakit Pes (Djakarta: Jajasan Pembangunan, 1951), hlm. 22.

    58Sartono Kartodirdjo, Struktur Sosial dari Masyarakat Tradisional dan Kolonial dalam Lembaran Sejarah 4, 1969, hlm. 49. 59Lihat Indan Entjan, op.cit., hlm. 47, dan R. Soemedi, op.cit., hlm. 6.

  • 22

    Di Jawa, kasus pes pertama kali ditemukan di Surabaya pada bulan

    Oktober tahun 1910. Persebaran pes ke Jawa ini diduga berasal dari

    Rangoon.60 Kasus di Surabaya ini muncul diperkirakan ketika pemerintah

    membangun sebuah gudang pangan untuk mengantisipasi kekurangan

    pangan sebelum panen tiba. Dari Surabaya melalui perantara transportasi

    kereta api, pada bulan November tahun 1910 penyakit ini kemudian menye-

    bar ke daerah Malang bagian selatan tepatnya di Distrik Turen. Pada akhir

    tahun 1910, 17 orang dari dua desa di Turen dilaporkan meninggal yang

    disebabkan oleh penyakit ini. Setahun kemudian, pes telah berkembang

    menjadi sebuah epidemi di Malang. Setelah diketahui bahwa penyakit yang

    menyerang penduduk itu adalah penyakit pes, maka kejadian ini membuat

    shock para dokter lokal yang sedang bertugas di daerah itu karena kasus ini

    mengingatkan mereka pada peristiwa The Black Death di Eropa pada abad

    ke-14.

    Grafik 4

    Jumlah Mortalitas yang diakibatkan oleh Epidemi Pes

    Pada Beberapa Karesidenan di Jawa Timur, 1911-1920

    Sumber: Diolah dari (.J. Rosier, Verslag Betreffende De Pestbestrijding op Java over het jaar dalam Mededeelingen van den Dienst der Volksgezonheid

    in Nederlandsch-Indie,1936.

    60L. Otten, De Pestbestrijding op Java - dalam Geneeskundige Tijdschrift voor Nederlansch-Indie 1936, hlm. 84.

    0100020003000400050006000700080009000

    1911 1912 1913 1914 1915 1916 1917 1918 1919 1920

    MalangSurabayaKediriMadiun

  • 23

    Dari Turen Malang, penyakit ini kemudian dengan cepat menjalar ke

    Karanglo dan pada bulan Maret tahun 1911 dilaporkan hampir semua distrik

    di Malang, Kediri dan Surabaya telah terjangkiti. Pada akhir tahun yang sama

    sekitar 2000 orang meninggal dunia akibat dari penyakit pes dan pada tahun

    1912 jumlah yang sama juga meninggal dunia.61 Penyebaran yang cepat ini,

    selain disebabkan oleh cepatnya perkembangbiakan tikus, juga disebabkan

    oleh frekuensi migrasi orang dari satu daerah ke daerah lain pada waktu itu.

    Kasus epidemi pes pada tahun 1911 di Malang ini benar-benar

    membuat panik Dinas Kesehatan Sipil sebagai pihak yang mempunyai

    wewenang dan kewajiban terhadap kondisi kesehatan rakyat pada waktu itu.

    Karena kepanikan tersebut akhirnya delapan orang mahasiswa kedokteran

    diluluskan tanpa melalui ujian akhir karena tenaganya sangat diperlukan

    untuk membantu menangani kasus ini.62

    Grafik 5

    Jumlah Mortalitas yang diakibatkan oleh Epidemi Pes

    Pada Beberapa Karesidenan di Jawa Timur, 1921-1934

    Sumber: Diolah dari (.J. Rosier, Verslag Betreffende De Pestbestrijding op Java over het jaar dalam Mededeelingen van den Dienst der

    Volksgezonheid in Nederlandsch-Indie,1936.

    Dari kejadian ini terdapat permasalahan yang kemudian diteliti oleh

    Dinas Kesehatan Sipil yaitu kenapa epidemi pes justru terjadi di daerah

    61Ibid. 62Slamet Riyadi, op.cit., hlm. 42.

    020406080

    100120140160180200 Malang

    Surabaya

    Kediri

  • 24

    pedesaan dan bukannya di kota Surabaya yang notabene merupakan tempat awal mendaratnya penyakit ini? Dipimpin oleh Swellengrebel, beberapa dokter mengadakan penelitian mengenai tikus dan pinjal beserta

    karakteristik dan perilakunya masing-masing. Akhirnya mereka membuat

    kesimpulan untuk menjawab permasalahan tersebut di atas.

    Grafik 6

    Jumlah Mortalitas yang diakibatkan oleh Epidemi Pes

    Pada Beberapa Karesidenan di Jawa Tengah, 1921-1934

    Sumber: Diolah dari (.J. Rosier, Verslag Betreffende De Pestbestrijding op Java over het jaar dalam Mededeelingen van den Dienst der

    Volksgezonheid in Nederlandsch-Indie,1936.

    Tikus-tikus yang berada di Surabaya lebih suka tinggal di bawah

    tembok rumah dengan membuat liang yang dangkal sebagai tempat

    tinggalnya. Ketika tikus ini mati di liangnya, pinjal yang ada ditubuhnya

    mengalami kesulitan untuk masuk ke dalam rumah, baik karena jaraknya

    maupun disebabkan mereka mati dimakan oleh semut sebagai predator

    alaminya.

    Sementara tikus yang ada di pedesaan, biasanya tinggal di balik atap

    atau langit-langit rumah penduduk. Ketika tikus ini mati maka pinjal dengan

    mudah dapat jatuh kebawah atau meloncat kebadan manusia yang ada di

    bawahnya. Teori kedua yang dikemukakan oleh Swellengrebel dalam

    penelitiannya itu bahwa pinjal lebih aktif bergerak dan lebih tahan hidup di

    daerah yang berhawa sejuk. Oleh karena itulah maka pinjal lebih senang

    0

    1000

    2000

    3000

    4000

    5000 SurakartaSemarangYogyakartaKeduPekalongan

  • 25

    menginfeksi manusia yang bertempat tinggal di pedesaan dataran tinggi

    daripada di kota-kota pantai yang panas.63

    Grafik 7

    Jumlah Mortalitas yang diakibatkan oleh Epidemi Pes

    Pada Beberapa Karesidenan di Jawa Barat, 1921-1934

    Sumber: Diolah dari (.J. Rosier, Verslag Betreffende De Pestbestrijding op Java over het jaar dalam Mededeelingen van den Dienst der

    Volksgezonheid in Nederlandsch-Indie,1936.

    Di Jawa Timur, penyakit ini mencapai puncaknya pada tahun 1913

    dan 1914 yang masing-masing menelan korban sebanyak 11.552 dan 15.703

    orang. Daerah-daerah yang penduduknya paling parah diserang penyakit pes

    adalah bagian utara Karesidenan Surabaya, seluruh wilayah Karesidenan Ma-

    lang, Madura, sebagian besar Karesidenan Kediri dan Madiun.64Pada tahun

    1913 itu juga pes mulai menyebar ke luar Jawa Timur karena pada tahun itu

    di Karesidenan Surakarta telah ditemukan beberapa kasus penyakit ini. Dari

    wilayah ini kemudian pes menyebar kearah tengah dan utara Jawa dan pada

    tahun 1916 dilaporkan sudah ada kasus pes di Karesidenan Semarang.

    Dari wilayah ini pes terus menyebar ke arah barat Pulau Jawa. Sebe-

    lum tahun 1920 sudah terdapat laporan mengenai penyakit ini di Jawa

    bagian barat terutama di Batavia. Pada tahun 1933 dan 1934 penyakit ini me-

    nimbulkan banyak korban di Karesidenan Priangan. Selain itu terdapat

    63Lihat Terence Hull, op.cit., hlm. 214. 64Verslag voor Burgelijke Geneeskundige Dienst -, op.cit., hlm.31.

    02000400060008000

    100001200014000160001800020000 Cirebon

    BanyumasPriangan

  • 26

    pusat-pusat pes yang terletak di sejumlah daerah pegunungan di Jawa yaitu

    Pegunungan Tengger di Jawa Timur, Merapi, Sumbing, Sindoro, dan Merbabu

    di Jawa Tengah, serta Ciremai di Jawa Barat.65

    Tabel 2

    Jumlah Mortalitas yang diakibatkan oleh Epidemi Pes

    Pada Tingkat Karesidenan di Jawa, 1911-1934

    No Karesidenan Jumlah

    Mortalitas

    1 Malang 23.105

    2 Surabaya 3.079

    3 Kediri 10.097

    4 Madiun 2.775

    5 Madura 151

    6 Surakarta 25.088

    7 Semarang 9.123

    8 Yogyakarta 4.372

    9 Kedu 39.573

    10 Pekalongan 13.871

    11 Rembang 2

    12 Cirebon 6.677

    13 Banyumas 7.413

    14 Priangan 43.069

    15 Bogor 123

    16 Batavia 30

    Sumber: Diolah dari (.J. Rosier, Verslag Betreffende De Pestbestrijding op Java over het jaar dalam Mededeelingen van den Dienst der Volksgezonheid in Nederlandsch-Indie,1936.

    Upaya preventif yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Sipil adalah

    melakukan tindakan isolasi terhadap daerah-daerah yang terjangkiti pes dan

    melakukan karantina terhadap orang yang sudah terinfeksi. Tidak ada

    seorang pun yang dapat meninggalkan atau masuk ke suatu wilayah tanpa

    menjalani pemeriksaan terlebih dahulu. Sementara informasi mengenai pes

    di wilayah pedesaan dilakukan oleh para kepada desa dan juga para guru.

    Bahkan sebelum masuk kedalam ruang kelas, semua murid diwajibkan

    65P. Peverelli, op.cit., hlm. 184.

  • 27

    mengganti pakaian yang sudah steril, sedangkan pakaian mereka sendiri

    harus dicuci dan dijemur di bawah terik matahari dan diambil untuk dipakai

    ketika proses belajar mengajar telah selesai.66

    Rumah-rumah penduduk kemudian menjadi perhatian utama dalam

    memberantas penyakit ini. Setelah dilakukan disinfeksi dengan menggunakan

    sulphurous vapour rumah-rumah yang diidentifikasi sebagai sarang tikus

    pembawa pes dibangun kembali sesuai dengan peraturan kesehatan.

    Tindakan lainnya biasanya adalah dengan mengganti atap rumah yang

    terbuat dari dedaunan dengan atap genting. Biaya untuk perbaikan ini

    disesuaikan dengan kemampuan penduduk atau atas bantuan kredit dari pe-

    merintah seperti yang terjadi di Afdeeling Pasuruan terutama di Onderdistrik

    Pasrepan dan Bayeman pada tahun 1923.67

    Selama kurun waktu antara 1911 sampai 1935, telah diadakan

    upaya perbaikan rumah 553.773 di Jawa Timur, 685.762 di Jawa Tengah dan

    85.404 di Jawa Barat. Di Karesidenan Surakarta misalnya, dengan dipimpin

    oleh kontrolir kota, perbaikan-perbaikan rumah dilakukan di Afdeeling

    Boyolali terutama di onderdistrik Ampel, Singasari, Cepogo, Boyolali, Nusuk,

    Selo, Mojosongo, dan Taras. Sementara di Afdeeling Klaten perbaikan dila-

    kukan di onderdistrik Jatinom, Ponggok, Tulung, Keprun, Karangnongko,

    Kemalang, Karanganom, dan Polanharjo.68 Di Yogyakarta pusat epidemi pes

    terdapat di pedesaan di kaki Gunung Merapi, Imogiri, Kota Gede, Gunung

    Kidul dan Onderdistrik Panjatan di Kulon Progo. Tidak seperti metode

    perbaikan perumahan diwilayah lain, perbaikan perumahan di wilayah ini

    yaitu dengan cara melakukan pelebaran jarak rumah satu dengan yang lain.69

    66Lihat Hans Gooszen, op.cit., hlm.179.

    67Lihat ANRI, op.cit., hlm. LII.

    68Ibid., hlm. CCLVII

    69Ibid., hlm. CCLXX

  • 28

    Upaya perbaikan perumahan rakyat dengan penggantian atap

    dengan genting juga dilakukan di Karesidenan Cirebon. Pada pertengahan

    tahun 1929 pemerintah daerah telah berusaha melakukan perbaikan

    tersebut namun karena persediaan genting di wilayah itu tidak mencukupi

    maka harus mendatangkan genting dari Kebumen yaitu dari Soka, Wonosari

    dan Sruweng. Sampai awal tahun 1930 perbaikan perumahan rakyat di

    wilayah ini telah mencakup 10 desa yaitu Cikaso, Krucuk, Klapagunung (On-

    derdistrik Kuningan-Klapagunung) Karangtawang, Winduaji, Windu-

    sengkahan, Citangtu, Cigugur Windujinten, dan Cipondok (Onderdistrik

    Kuningan-Kadugede). Lebih dari 5.000 rumah rakyat berhasil diperbaiki

    dalam dua tahun tersebut dan menghabiskan dana sebesar f150.000 untuk

    pembelian genting dan f40.000 untuk upah kerja.70

    Sementara vaksinasi sebenarnya telah dilakukan pada tahun 1920-an,

    namun baru efektif dapat mengendalikan pada tahun 1930-an ketika

    menggunakan vaksin Otten. Vaksin ini berhasil menekan angka kematian

    sampai dengan 20%.71 Pada tahun 1935, seorang dokter pemerintah dengan

    dibantu oleh 4 orang mantri setiap minggunya melakukan vaksinasi terhadap

    sekitar 50.000 orang. Jumlah orang yang berhasil divaksinasi di Jawa pada

    tahun 1935 sekitar 2,5 juta orang dan 4,5 juta orang pada tahun 1936.72

    Kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam

    menanggulangi epidemi pes ini seringkali merupakan kebijakan yang tidak

    popular. Kebijakan mengenai fumigasi, perbaikan rumah, karantina terhadap

    penderita dan evakuasi penduduk dari desa atau wilayah epidemi seringkali

    mendapat tentangan dari masyarakat. Misalnya mengenai evakuasi

    70ANRI, Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Barat) (Jakarta: ANRI, 1978),

    hlm.CXLVII.

    71Satrio, et al., op.cit, hlm. 58.

    72Lihat P. Peverelli, (1947), op.cit. hlm. 59. Lihat juga C. Bonne De

    Ontwikkeling der Geneeskundige Wetenschappen in Nederlandsch-Indie de Periode

    1911- dalam Feestbundel GTNI 1936, hlm. 31.

  • 29

    penduduk, seringkali terjadi kasus ketika siang hari dilakukan evakuasi,

    mereka kembali lagi ke desa mereka pada waktu malam harinya.73

    Tindakan yang lebih radikal lagi misalnya yang dilakukan oleh

    pemerintah Kotapraja Semarang ketika daerah itu dilanda epidemi pes pada

    tahun 1917. Mereka memberi waktu selama 8 hari kepada masyarakat untuk

    pindah dari rumah-rumah yang dijadikan sarang tikus. Setelah waktu

    tersebut mereka kemudian membongkar dan membakar rumah-rumah itu

    sebagai upaya untuk membasmi tikus. Namun atas desakan Sarekat Islam,

    pemerintah kotapraja akhirnya membangunkan perumahan untuk rakyat

    yang tidak mampu.74

    Selain upaya di atas, pemerintah juga melatih orang-orang pribumi

    untuk menjadi Mantri Pes yang bertugas menjadi mediator antara dokter

    dengan masyarakat. Selain itu mereka juga yang bertugas untuk meyakinkan

    kepada masyarakat bahwa upaya-upaya di atas adalah untuk kepentingan

    bersama. Bahkan sejak tahun 1915, didirikan lembaga khusus yang

    menangani penyakit pes yaitu Dinas Pemberantasan Pes.75 Dengan semua

    upaya-upaya tersebut terbukti dapat mengendalikan epidemi pes di Jawa wa-

    laupun korban yang diakibatkannya juga sangat banyak.

    73Lihat Terence Hull, op.cit., hlm. 216.

    74Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999),

    hlm. 43.

    75Ibid.