kearifan lokal dalam pengurangan resiko bencana

104
1 Strategi Internasional untuk Pengurangan Bencana (International Strategy for Disaster Reduction/ISDR) Universitas Kyoto Uni Eropa Kearifan Lokal dalam Pengurangan Risiko Bencana: Praktik-praktik yang Baik dan Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Pengalaman- pengalaman di Kawasan Asia-Pasifik 2008

Upload: lukman-simbah

Post on 26-Jun-2015

1.368 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

1

Strategi Internasional untuk

Pengurangan Bencana

(International Strategy for

Disaster Reduction/ISDR)

Universitas Kyoto

Uni Eropa

Kearifan Lokal dalam Pengurangan Risiko Bencana:

Praktik-praktik yang Baik dan Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Pengalaman-

pengalaman di Kawasan Asia-Pasifik

2008

Page 2: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

2

“Uni Eropa adalah organisasi yang beranggotakan 27 Negara Anggota yang telah

memutuskan untuk secara bertahap menggabungkan pengetahuan, sumber daya dan

tujuan-tujuan bersama mereka. Dalam perkembangan organisasi selama 50 tahun, secara

bersama negara-negara ini telah membangun sebuah kawasan yang stabil, demokratis dan

menerapkan pembangunan berkelanjutan, sambil tetap mempertahankan keberagaman

budaya, toleransi dan kebebasan individu.

Uni Eropa berkomitmen untuk membagikan pencapaian-pencapaian dan nilai-nilai yang

dianutnya kepada negara-negara dan bangsa-bangsa yang berada di luar batas-batas

wilayahnya.”

Catatan

“Publikasi ini diterbitkan dengan dukungan Uni Eropa. Isi publikasi ini menjadi tanggung

jawab sepenuhnya sekretariat UN/ISDR dan bagaimana pun juga tidak dapat dianggap

sebagai mencerminkan pandangan-pandangan Uni Eropa.”

Tim Editor: Rajib Shaw, Noralene Uy, dan Jennifer Baumwoll

Desain Grafis oleh Mario Barrantes

Foto pada halaman sampul memperlihatkan sebuah Dhani, suatu tempat kediaman

tradisional keluarga di distrik Barmer di Rajasthan, India. Kualitas bangunan Dhani telah

ditingkatkan dengan menggunakan teknologi modern yang disebut teknologi bata press

saling terikat (Stabilized Compressed Interlocking Block technology/SCEB). Untuk

informasi lebih lanjut, lihat “Kearifan Lokal dan Ilmu Pengetahuan Modern Memberi

Solusi untuk Permukiman yang Ramah Lingkungan di Kawasan Gurun yang Rawan

Banjir di India” dalam publikasi ini.

(Sumber Foto Halaman Sampul: SEEDS)

Silahkan mengirimkan umpan balik dan saran-saran anda (termasuk studi-studi kasus

lebih lanjut yang dapat kami pertimbangkan) kepada:

Christel Rose

Regional Program Officer

UN ISDR Asia dan Pacific

[email protected]

www.unisdr.org

Catatan:

Informasi dan pandangan-pandangan yang terdapat dalam publikasi ini tidak dengan

sendirinya mencerminkan kebijakan-kebijakan sekretariat UN/ISDR

Page 3: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

3

Kearifan Lokal dalam Pengurangan Risiko Bencana:

Praktik-praktik yang Baik dan Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Pengalaman-

pengalaman di Kawasan Asia-Pasifik

Bangkok, Juli 2008

Foto oleh Steve Evans, Thailand, Suku-suku Perbukitan

Page 4: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

4

Sambutan

Penelitian-penelitian dalam bidang pembangunan memperlihatkan bahwa keberhasilan

dan keberlanjutan upaya pembangunan di tingkat masyarakat tergantung pada sejumlah

faktor, antara lain, pada adanya budaya, pengetahuan dan praktik-praktik asli masyarakat

setempat yang dapat diselaraskan dengan gagasan-gagasan baru untuk menciptakan

inovasi. Kearifan lokal tidak hanya berkontribusi pada keberhasilan upaya pembangunan,

tetapi lebih-lebih pada keberlanjutan upaya tersebut dalam jangka panjangnya. Partisipasi

dan integrasi upaya masyarakat dalam semua proses kebencanaan merupakan salah satu

sarana penting untuk mewujudkan Kerangka Aksi Hyogo dan ini menggarisbawahi

pentingnya kearifan lokal dalam membantu mengarusutamakan kebijakan-kebijakan dan

praktik-praktik pengurangan risiko bencana.

Bahkan sebelum kita mengenal sistem-sistem peringatan dini berbasis teknologi tinggi,

atau prosedur-prosedur operasional standar dalam tanggap darurat, banyak masyarakat

tradisional di seluruh dunia telah mempersiapkan diri, melakukan upaya, bertindak dan

merespons bencana alam dengan menggunakan cara-cara tradisional yang diturunkan dari

satu generasi ke generasi berikutnya. Perserikatan Bangsa-Bangsa beranggapan bahwa

kearifan lokal merupakan sesuatu yang penting dan memasukkannya dalam Prioritas

ketiga dari Kerangka Aksi Hyogo, yang menitikberatkan pendidikan dan ilmu

pengetahuan. Salah satu kegiatan utama yang teridentifikasi di bawah prioritas aksi ini

berfokus pada pentingnya pengelolaan dan pertukaran informasi, dan menggarisbawahi

penggunaan “kearifan lokal, pengetahuan tradisional dan warisan budaya yang relevan”

yang dapat dibagikan dan diadaptasi oleh masyarakat di tempat lain.

Untuk mencapai tujuan ini, kita semua perlu memahami, mengakui dan menghormati

kearifan lokal sebagai salah satu sumber informasi yang sangat berharga dan kontributor

utama bagi upaya pengurangan risiko di banyak tempat di seluruh dunia.

Publikasi ini, “Kearifan Lokal dalam Pengurangan Risiko Bencana: Praktik-praktik yang

Baik dan Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Pengalaman-pengalaman di Kawasan Asia-

Pasifik” bertujuan untuk membangun kesadaran akan pentingnya kearifan lokal sebagai

suatu alat yang efektif untuk mengurangi risiko bencana alam. Dengan meningkatkan

pemahaman akan kearifan lokal dan menyajikan contoh-contoh nyata bagaimana

memanfaatkannya, saya berharap publikasi ini dapat memberi inspirasi bagi para praktisi

dan pengambil kebijakan untuk mempertimbangkan pengetahuan yang dimiliki oleh

masyarakat-masyarakat lokal dan memadukan kekayaan pengetahuan ini ke dalam kerja-

kerja kebencanaan di masa yang akan datang.

Jerry Velasquez

Senior Regional Coordinator

UN/ISDR Asia Pacific

Foto oleh Maureen Keogh, Kamboja

Page 5: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

5

Kata Pengantar

Publikasi ini menyajikan 18 praktik kearifan lokal yang selama ini berkembang di

masyarakat-masyarakat yang tinggal di kawasan Asia-Pasifik. Jenis-jenis bencana yang

dihadapi termasuk gempa bumi, angin siklon (topan), kekeringan, tanah longsor, erosi

tanggul sungai, tsunami dan zud (kondisi iklim yang ekstrim). Kasus-kasus yang

ditampilkan dipilih berdasarkan kriteria-kriteria berikut: asal-usul pengetahuan yang

bersangkutan, tingkat adaptasi relatifnya selama ini, hubungannya dengan keterampilan

dan bahan-bahan lokal, keberhasilannya dalam tetap bertahan atau mengatasi bencana

selama ini, dan kemungkinan untuk menerapkan praktik-praktik tersebut pada masyarakat

lain yang menghadapi situasi serupa.

Setiap kasus yang dimuat dalam publikasi ini disajikan dalam format umum yang sama,

yaitu sebuah abstrak singkat, informasi latar belakang untuk memberi arah kepada

pembaca tentang aspek demografis dan lokasi dari masyarakat yang diulas, penjelasan

tentang kisah atau peristiwa spesifik di mana masyarakat bersangkutan berhasil

memanfaatkan dengan baik pengetahuan yang dimilikinya, penggambaran tentang

kearifan lokal yang dimiliki masyarakat, dan akhirnya ulasan tentang pelajaran-pelajaran

yang dapat dipetik dari kasus spesifik yang diuraikan. Walau setiap kasus bersifat

spesifik, susunan urutan cerita yang seragam akan memudahkan kasus-kasus dianalisis

dan didiskusikan sebagai suatu kelompok, dengan membandingkan dan mengkontraskan

unsur-unsurnya yang berbeda.

Kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu,

dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, penyebarluasan

praktik-praktik kearifan lokal tertentu seringkali menjadi sebuah tantangan. Publikasi ini

menekankan bahwa prinsip-prinsip kearifan lokal dapat diterapkan di tempat-tempat lain,

tentu saja dengan penyesuaian dengan budaya lokal setempat. Penerapan kearifan lokal

merupakan sebuah proses dan membutuhkan keterlibatan para pemangku kepentingan

yang lebih luas serta dukungan kebijakan. Bagian itu akan menjadi fokus kita di masa

yang akan datang.

Saya ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua

penyumbang tulisan, dan saya berharap para pembaca akan memperoleh pemahaman

tentang bagaimana cara menghargai kearifan lokal dan mempraktikkannya untuk

mengurangi risiko dari berbagai jenis bencana.

Rajib Shaw

Universitas Kyoto

Foto oleh Sean Hawkey, Bangladesh

Page 6: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

6

Pendahuluan

Setelah Tsunami Samudera Hindia tahun 2004, ada dua kisah sukses yang muncul, yang

membangkitkan minat baru pada konsep kearifan lokal. Masyarakat Simeulue yang

tinggal di lepas pantai Sumatra, Indonesia dan kaum Moken, yang hidup di Kepulauan

Surin di lepas pantai Thailand dan Myanmar sama-sama memanfaatkan pengetahuan

mereka yang diturunkan secara lisan dari nenek moyang mereka untuk menyelamatkan

diri dari tsunami yang menghancurkan. Kedua kasus tersebut dalam beberapa tahun

belakangan ini menjadi kasus yang paling sering disebut, tetapi masih ada banyak contoh

yang belum banyak diketahui umum dari masyarakat-masyarakat yang juga telah

memanfaatkan kearifan lokal mereka untuk menyelamatkan diri dari kejadian-kejadian

bencana dan menghadapi kondisi-kondisi lingkungan hidup yang sulit. Penerapan

kearifan lokal oleh masyarakat-masyarakat ini dalam mengurangi risiko, menghadapi dan

menyelamatkan diri dari bencana-bencana alam yang terjadi belakangan ini telah

memberikan banyak pelajaran berharga bagi para praktisi dan pengambil kebijakan akan

pentingnya kearifan lokal bagi pengurangan risiko bencana.

Kearifan lokal adalah cara-cara dan praktik-praktik yang dikembangkan oleh sekelompok

masyarakat, yang berasal dari pemahaman mendalam mereka akan lingkungan setempat,

yang terbentuk dari tinggal di tempat tersebut secara turun-temurun. Pengetahuan

semacam ini mempunyai beberapa karakteristik penting yang membedakannya dari jenis-

jenis pengetahuan yang lain. Kearifan lokal berasal dari dalam masyarakat sendiri,

disebarluaskan secara non-formal, dimiliki secara kolektif oleh masyarakat bersangkutan,

dikembangkan selama beberapa generasi dan mudah diadaptasi, serta tertanam di dalam

cara hidup masyarakat sebagai sarana untuk bertahan hidup.

Pada tahun-tahun belakangan ini semakin banyak orang tertarik untuk mempelajari

hubungan antara kearifan lokal dan bencana alam. Diskusi-diskusi terkini dalam hal ini

berfokus pada potensi kearifan lokal dalam meningkatkan kebijakan-kebijakan

pengurangan risiko bencana melalui integrasi kearifan lokal ke dalam pendidikan

kebencanaan dan sistem peringatan dini. Dalam khasanah pustaka pengurangan risiko

bencana, ada empat argumen dasar yang mendukung pentingnya kearifan lokal. Pertama,

berbagai praktik dan strategi spesifik masyarakat asli yang terkandung di dalam kearifan

lokal, yang telah terbukti sangat berharga dalam menghadapi bencana-bencana alam,

dapat ditransfer dan diadaptasi oleh komunitas-komunitas lain yang menghadapi situasi

serupa. Kedua, pemaduan kearifan lokal ke dalam praktik-praktik dan kebijakan-

kebijakan yang ada akan mendorong partisipasi masyarakat yang terkena bencana dan

memberdayakan para anggota masyarakat untuk mengambil peran utama dalam semua

kegiatan pengurangan risiko bencana. Ketiga, informasi yang terkandung di dalam

kearifan lokal dapat membantu meningkatkan pelaksanaan proyek dengan memberikan

informasi yang berharga tentang konteks setempat. Terakhir, cara penyebarluasan

kearifan lokal yang bersifat non-formal memberi sebuah contoh yang baik untuk upaya

pendidikan lain dalam hal pengurangan risiko bencana. Walaupun publikasi ini lebih

berfokus pada upaya mengumpulkan strategi-strategi dan mekanisme-mekanisme spesifik

masyarakat tertentu yang dapat ditransfer dan diadaptasi oleh masyarakat-masyarakat

Page 7: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

7

lain, pelajaran-pelajaran yang dapat dipetik dari kisah-kisah ini menekankan keseluruhan

empat bidang ini.

Publikasi ini disusun untuk menggugah kesadaran akan nilai berharga dari kearifan lokal

dalam mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh bermacam jenis ancaman dalam berbagai

lingkungan dan lingkup budaya berbeda yang terdapat di kawasan Asia dan Pasifik.

Upaya penerbitan ini merupakan bagian dari sebuah prakarsa lebih besar di kawasan ini

untuk menganalisis pentingnya kearifan lokal dan mengembangkan cara untuk

memadukan lebih lanjut pengetahuan ini ke dalam kebijakan dan praktik pengurangan

risiko bencana. Publikasi ini adalah langkah pertama, yang diharapkan dapat menjadi

sebuah forum untuk saling berbagi pengetahuan sehingga pengalaman-pengalaman dan

strategi-strategi dari berbagai masyarakat yang ada di kawasan ini dapat dikomunikasikan

kepada para pemangku kepentingan pengurangan risiko bencana utama. Selain itu,

koleksi ini diharapkan juga akan mendorong adanya analisis lebih lanjut akan pentingnya

kearifan lokal, yang dapat dimanfaatkan dalam penyusunan kebijakan serta

pengembangan kurikulum. Akhirnya, publikasi ini diharapkan dapat mendorong juga

kawasan-kawasan lain untuk mulai mengumpulkan kasus-kasus dari negara-negara di

dalam wilayah mereka dan berkontribusi pada upaya untuk menjajaki manfaat global dari

kearifan lokal bagi pengurangan risiko bencana.

Banyak dari masyarakat yang menjadi subjek diskusi dalam publikasi ini hanya mendapat

sedikit perhatian dalam mekanisme perencanaan penanggulangan bencana pada

umumnya dan mereka telah memanfaatkan pengetahuan mereka untuk menolong diri

mereka sendiri dalam menghadapi masa-masa sulit. Banyak pengetahuan yang mereka

miliki seringkali dianggap oleh pihak luar sebagai inferior dan diabaikan karena dianggap

sebagai milik orang-orang yang “terbelakang” dan “kurang terdidik”. Walaupun

demikian, banyak dari masyarakat ini telah mengembangkan pelajaran-pelajaran dan

strategi-strategi yang jitu untuk menghadapi bencana-bencana yang berulang kali terjadi

serta berhasil menyelamatkan diri dari kejadian-kejadian ekstrim yang bahkan peralatan

berteknologi tinggi pun tidak dapat membantu. Semua masyarakat ini pada umumnya

memiliki kemampuan untuk bergantung pada diri mereka sendiri dalam situasi bencana

dan mempunyai pemahaman akan ancaman-ancaman setempat serta bagaimana

mengurangi risiko-risiko ini. Banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari masyarakat-

masyarakat ini.

Jennifer Baumwoll

Ko-editor

Page 8: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

8

Daftar Isi

Sambutan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii

Kata Pengantar. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . v

Pendahuluan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . vii

Cina Teknologi Karez untuk Pengurangan Bencana Kekeringan di Cina..

Weihua Fang, Fei He, Jingning Cai dan Peijun Shi

1

India Praktik-praktik Pembangunan Rumah Tradisional yang Aman

Gempa di Kashmir. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Amir Ali Khan

5

India Kearifan Lokal dan Ilmu Pengetahuan Modern Memberi Solusi

Tempat Bermukim yang Ramah Lingkungan di Kawasan Gurun

yang Rawan Banjir di India. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Anshu Sharma dan Mihir Joshi

9

India Konservasi Tanah dan Air melalui Penanaman Bambu: Sebuah

Teknik Penanggulangan Bencana yang Diadopsi oleh Masyarakat

Nandeswar, Assam. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Irene Stephen, Rajiv Dutta Chowdhury dan Debashish Nath

14

Indonesia Legenda, Ritual dan Arsitektur di Kawasan Sabuk Gunung Api. . . .

Koen Meyers dan Puteri Watson

17

Jepang Langkah-langkah Tradisional untuk Mengurangi Bencana Banjir di

Jepang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Yukiko Takeuchi dan Rajib Shaw

23

Mongolia Kearifan Lokal dalam Pengurangan Risiko Bencana pada

Masyarakat Penggembala Shiver. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Bolormaa Borkhuu

27

Nepal Kearifan Lokal dalam Mitigasi Bencana: Membangun Upaya untuk

Saling Melengkapi antara Pengetahuan Masyarakat dan

Pengetahuan Para Ahli . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Man B. Thapa, Youba Raj Luintel, Bhupendra Gauchan dan Kiran

Amatya

30

Nepal/Pakistan Pengetahuan Lokal tentang Kesiapsiagaan dalam Menghadapi

Banjir: Contoh-contoh dari Nepal dan Pakistan. . . . . . . . . . . . . . . . .

Julie Dekens

35

Pakistan Mekanisme Bertahan Masyarakat Asli dalam Penanggulangan

Bencana di Distrik Mansehra dan Battagram, Provinsi Perbatasan

Barat Laut, Pakistan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Takeshi Komino

41

Papua Nugini Hidup bersama Banjir di Singas, Papua Nugini. . . . . . . . . . . . . . . . .

Jessica Mercer dan Ilan Kelman

46

Filipina Menggabungkan Kearifan Lokal dan Pengetahuan Ilmiah dalam

Sistem Peringatan Banjir Kota Dagupan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Lorna P. Victoria

52

Filipina Pengetahuan Masyarakat Asli tentang Mistisisme Muntahan Lava

Page 9: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

9

Gunung Berapi Mayon . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Gerardine Cerdena

55

Filipina Dibentuk oleh Angin dan Topan: Kearifan Lokal Kaum Ivatan di

Kepulauan Batanes, Filipina . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Noralene Uy dan Rajib Shaw

59

Kepulauan

Solomon

Kearifan Lokal Menyelamatkan Nyawa dalam Tsunami Kepulauan

Solomon tahun 2007. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Brian G. McAdoo, Jennifer Baumwoll dan Andrew Moore

64

Sri Lanka Sistem Tangki Air Desa Bertingkat: Pendekatan Tradisional untuk

Mitigasi Kekeringan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa di

Pedesaan-pedesaan Purana di Sri Lanka. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

C.M. Madduma Bandara

68

Thailand Diselamatkan oleh Sebuah Legenda Kuno dan Pengamatan yang

Tajam: Kasus Kaum Moken, Kaum Nomaden yang Tinggal di Laut

di Thailand . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Narumon Arunotai

73

Vietnam Peramalan Cuaca melalui Kearifan Lokal untuk Budidaya

Tanaman di Kawasan-kawasan Rawan Kekeringan di Vietnam . . .

Nguyen Ngoc Huy dan Rajib Shaw

79

Page 10: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

10

Turpan, Xinjiang, Cina Barat Laut

Teknologi Karez untuk Pengurangan Bencana Kekeringan di Cina

Weihua Fang, Fei He, Jingning Cai dan Peijun Shi

Abstrak

Karez adalah sebuah sistem pengairan tradisional yang mampu memanfaatkan air bawah

tanah dengan efisien. Sistem Karez telah memiliki sejarah yang panjang di daerah

Xinjiang di Cina. Sebagai sebuah sistem yang menyeluruh, Karez tersusun dari empat

komponen utama: sumur-sumur vertikal, saluran-saluran air bawah tanah, saluran air di

atas permukaan tanah dan tempat-tempat penampungan air kecil. Berkat adanya sistem

Karez, Turpan, sebuah lembah yang terdapat di kawasan kering di Cina bagian Barat

Laut, menjadi terkenal akan berbagai jenis produk pertaniannya. Di daerah Turpan yang

merupakan bagian dari Xinjiang, sistem Karez masih dipergunakan untuk mensuplai

sumber-sumber air untuk irigasi dan kebutuhan rumah tangga. Saat ini, teknologi modern

telah pula dipadukan dengan sistem Karez yang tradisional untuk semakin meningkatkan

daya guna dari praktik tradisional yang menguntungkan tersebut.

Latar Belakang

Cekungan (depresi) Turpan, yang memiliki ketinggian 32,8 m, terdapat di lembah Turpan

yang merupakan lembah terendah kedua di dunia. Kawasan ini dikelilingi oleh beberapa

daerah pegunungan tinggi (3500-5000 m) yang diselimuti gletser atau salju permanen.

Ketinggian minimum Danau Aiding, yang berada di bagian selatan lembah ini, adalah

sekitar -155 m, sehingga danau ini menjadi danau yang terendah di Cina. Pada lapisan

penampung air bawah tanah yang dekat permukaan terdapat air berlimpah. Bentang tanah

pegunungan di sekitar lembah Turpan terutama terbentuk oleh pergerakan hercynian pada

akhir masa Paleozoic. Bentang tanah tersebut bersifat keras dan terpatah-patah dan oleh

karenanya mudah terbentuk celah-celah yang menampung air. Batu-batuan terpapar dari

Pegunungan Flaming terutama terdiri dari konglomerat berpasir dan batu-batu lumpur

dari masa Jurassic, berkapur (cretaceous) serta periode jaman Tersier. Oleh karena itu,

kondisi geologis distrik Turpan cocok untuk konstruksi saluran air bawah tanah dengan

hanya sedikit penguatan untuk mengumpulkan sumber air yang cukup memadai.

Kawasan Turpan terkenal akan berbagai jenis buah-buahan yang dihasilkannya seperti

anggur, semangka, dan muskmelon Hami.

Kisah/Peristiwa

Dalam semua musim Turpan sangatlah kering dan sangat panas terutama selama musim

semi, musim panas dan musim gugur. Suhu udara tertinggi yang tercatat adalah 47,7° C

pada musim panas. Tingginya suhu udara dan kuatnya radiasi sinar matahari di daerah

tersebut menyebabkan tingkat penguapan tahunan yang tinggi, yang mencapai 2800-3000

mm.1 Kawasan Turpan berada di pedalaman daratan dan memiliki tingkat curah hujan

1 Ji ZHAO (2001).

Page 11: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

11

tahunan yang hanya sekitar 16-17 mm. Karena kuatnya penguapan yang terjadi atau

proses evapotranspirasi, curah hujan (air atau salju) yang jatuh di lereng-lereng gunung

akan menguap atau merembes ke bawah pasir dan tanah sebelum akhirnya bersatu dan

membentuk aliran-aliran air kecil, dan mencapai daerah-daerah pertanian datar di sekitar

kaki gunung. Air permukaan tanah sangat sulit didapatkan di hampir seluruh kawasan

tersebut. Di bawah lingkungan yang keras ini hanya sedikit tumbuhan maupun hewan

yang dapat bertahan hidup.

Kearifan Lokal

Karez merupakan suatu sistem irigasi tradisional yang telah memiliki sejarah panjang di

kawasan Xinjiang di Cina, yang menggunakan air tanah dengan sangat efisien. Jika tanah

pertanian berlokasi di daerah pegunungan, tanah tersebut dibangun pada kipas atau

dataran alluvial. Sebagian besar sistem Karez yang ada sekarang pada umumnya

dibangun antara abad ke-17 dan ke-20. Sistem-sistem Karez yang saat ini masih

berfungsi tersebar di daerah-daerah kering lereng selatan dari Pegunungan Tianshan di

Xinjiang timur, di distrik Hami dan Turpan, distrik Shanshan dan Toksun di lembah

Turpan. Di distrik Turpan ada 1.016 sistem Karez yang 686 dari antaranya masih

operasional. Total panjangnya mencapai sekitar 3.000 kilometer. Rata-rata kedalaman

saluran air bawah tanah adalah 20 meter, sementara yang paling dalam mencapai 90

meter. Total aliran dari sistem-sistem Karez di lembah Turpan adalah 10 meter kubik per

detik yang merupakan sekitar 20% dari keseluruhan air dalam saluran-saluran di lembah

itu.2 Saat ini fasilitas-fasilitas modern seperti sumur-sumur elektromekanis mulai

dipadukan dengan sistem Karez.

Struktur sebuah sistem Karez bisa kompleks, tetapi struktur dasarnya pada hakikatnya

tersusun dari empat komponen utama: sumur-sumur vertikal, saluran-saluran air bawah

tanah, saluran air di atas permukaan tanah dan tempat-tempat penampungan air kecil

(Gambar 1).

Sumur Vertikal

Panjang saluran bawah tanah bervariasi antara sekitar 3 km sampai 30 km. Hampir tidak

mungkin menggali saluran air di bawah tanah sepanjang ini tanpa lebih dulu menggali

sumur vertikal, terutama pada jaman-jaman pertanian di masa yang lalu ketika peralatan

modern belum dikenal. Jadi, sumur vertikal terutama digunakan untuk membantu dalam

menggali saluran-saluran di bawah tanah. Dalam pembuatan sumur digunakan bantuan

tenaga hewan untuk mengeluarkan pasir dan tanah dari dalam lubang galian.

Fungsi utama dari sumur-sumur vertikal adalah untuk ventilasi, penetapan arah yang

benar dari saluran air dalam pembangunannya dan untuk mengawasi serta memperbaiki

saluran-saluran air setelah dibangun. Jarak antara sumur-sumur vertikal biasanya sekitar

60-100 meter di bagian atas, 30-60 meter di bagian tengah, dan 10-30 meter di bagian

bawah. Kedalaman sumur berkisar antara 40-70 meter, 100 meter di bagian atas, 30-40

2 ZHONG dan CHU (1993); www.karez.org

Page 12: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

12

meter di tengah, dan 3-15 meter di bagian bawah. Sumur-sumur vertikal dimanfaatkan

tidak hanya untuk membantu proses penggalian saluran-saluran air di bawah tanah, tetapi

juga untuk menimba air dari saluran-saluran tersebut setelah keseluruhan sistem Karez

selesai dibangun. Gambar 2 menyajikan foto udara dari sumur-sumur vertikal.

Saluran-saluran Air Bawah Tanah dan Permukaan Tanah

Dari kedua jenis saluran air, mayoritas adalah saluran bawah tanah. Saluran air di bawah

permukaan tanah pada umumnya merupakan bagian dari sebuah jaringan yang

memungkinkan terkumpulnya air bawah tanah (seperti ditunjukkan pada Gambar 3a).

Biasanya lapisan tanah dalam di sekitar saluran bawah tanah sangat kuat dan tidak mudah

runtuh. Namun, pada saluran-saluran yang lebih dekat ke permukaan, tanah di sekitarnya

lebih longgar. Agar tidak mudah runtuh, saluran air bawah tanah biasanya diperkuat

dengan tonggak-tonggak kayu. Pada bagian bawah sumur, kedua sisi digali untuk saluran

air bawah tanah. Jika saluran air bawah tanah mencapai tanah pertanian, saluran tersebut

menjadi saluran permukaan dan dihubungkan dengan sebuah tempat penampungan air

kecil atau langsung dihubungkan dengan sistem saluran pengairan untuk irigasi (Gambar

3b). Biasanya saluran permukaan lebih pendek untuk membatasi penguapan.

Gambar 1. Komponen-komponen tipikal sistem Karez

Tempat Penampungan Air

Air dikumpulkan di dalam tempat-tempat penampungan air kecil yang dapat disesuaikan

tingkat ketinggian dan suhu airnya. Pembangunan tempat-tempat penampungan air ini

meningkatkan tinggi permukaan air sehingga dapat mengairi lahan pertanian yang lebih

luas. Selain itu, air yang disimpan di dalam tempat-tempat penampungan ini memperoleh

cahaya matahari sehingga suhunya meningkat. Air yang lebih hangat lebih sesuai untuk

keperluan irigasi, karena rendahnya suhu air yang disebabkan oleh cairnya salju atau air

yang berasal dari kedalaman dapat menimbulkan dampak merugikan bagi tanaman

pangan.

Bermacam-macam peralatan sederhana digunakan untuk membangun sistem Karez. Alat-

alat tersebut antara lain pacul untuk menggali, palu untuk memalu, keranjang, roda

pengerek dan lampu minyak (seperti diperlihatkan pada Gambar 4). Pacul dan palu

digunakan untuk menggali terowongan-terowongan di bawah tanah. Keranjang dan roda

pengerek digunakan untuk mengeluarkan tanah dan pasir. Lampu minyak besi yang

dilengkapi dengan sebuah panah untuk orientasi arah digunakan untuk menggali saluran-

saluran di dalam tanah. Lampu tersebut juga dapat dengan mudah ditancapkan pada

dinding-dinding saluran. Saat ini di kota Hami di Cina digunakan juga sebuah kaca yang

dapat memantulkan sinar matahari.

Dalam membangun berbagai komponen berbeda dari sistem Karez, penting untuk

menjamin agar sumber daya air yang tersedia di sepanjang saluran air bawah tanah cukup

memadai. Langkah pertama yang penting adalah menemukan sumber-sumber air di

bagian atas dan mengetahui kedalaman air sesuai dengan lokasi lahan pertanian.

Page 13: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

13

Selanjutnya lokasi penggalian sumur dapat ditetapkan. Setelah itu, sumur-sumur dan

saluran-saluran air dapat mulai dibangun secara bertahap mulai dari bagian bawah sampai

ke bagian atas mengikuti sumber air.

Gambar 2. Foto udara sumur-sumur vertikal di kawasan Turpan, Cina. Sumber:

www.sunnychina.com

Gambar 3. (a) saluran air bawah tanah diperkuat dengan tonggak-tonggak kayu. Sumber:

www.chinahw.net; dan (b) penjangkauan saluran air bawah tanah ke saluran permukaan.

Sumber: www.travelchinaguide.com

Gambar 4. (a) lampu minyak tradisional dengan panah samping, (b) pacul untuk

menggali, (c) keranjang dan (d) sebuah katrol modern digunakan dalam membangun

sistem Karez. Sumber: www.karez.org, dan cersp.com

Pelajaran yang Dapat Dipetik

Sistem Karez merupakan teknologi masyarakat asli dalam mengurangi dampak

kekeringan yang telah terbukti efektif dan masih dipergunakan. Kearifan lokal ini

memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut:

1. Dukungan Gravitasi Bumi. Karena sistem Karez memanfaatkan topografi lahan

untuk mengalihkan aliran air dalam tanah di bawah permukaan melalui saluran air

bawah tanah ke permukaan tanah untuk irigasi dengan memanfaatkan gravitasi bumi,

biaya yang dibutuhkan untuk peralatan menaikkan air dan perawatan sistem menjadi

sangat sedikit sekali.

2. Aliran yang Stabil. Sumber air utama sistem Karez adalah salju yang mencair dan

air bawah tanah. Saluran air bawah tanah dapat meminimalkan penguapan yang tinggi

di distrik Turpan yang berangin banyak, sehingga sistem ini tidak akan terlalu

terpengaruh oleh dampak perubahan iklim. Selain itu, saluran-saluran air bawah tanah

juga tidak akan terkena badai debu. Semua ini menyebabkan sistem Karez mampu

menyediakan sumber-sumber air yang stabil, walaupun jumlah keseluruhan volume

air yang dihasilkan tidak terlalu besar. Seperti dapat kita lihat, selama beribu-ribu

tahun kawasan yang memiliki Karez telah didiami oleh populasi penduduk yang

stabil, walau adanya perubahan-perubahan lingkungan hidup yang terus terjadi dari

masa ke masa.

3. Kualitas Air yang Tinggi. Air yang berasal dari salju yang mencair masuk ke dalam

sistem dan tanah berfungsi menjadi penyaring yang baik yang menyingkirkan bahan-

bahan yang telah terpolusi. Tidak seperti saluran-saluran air yang berada di atas

permukaan tanah, saluran-saluran air bawah tanah meminimalkan polusi air dan pada

saat yang sama sangat kaya akan mineral-mineral. Kualitas air yang dihasilkan

memenuhi syarat untuk dipergunakan sebagai air minum dan untuk keperluan rumah

tangga.

Page 14: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

14

4. Konstruksi dengan Peralatan yang Sederhana. Sebagian besar sistem Karez

dibangun dengan alat-alat pertukangan yang sederhana dan tidak membutuhkan

peralatan yang kompleks.

Walaupun demikian, sistem Karez pun memiliki keterbatasan-keterbatasan.

Pembangunan dan penggunaan sistem ini terbatas secara spasial pada daerah-daerah

tertentu saja. Sistem hanya dapat diterapkan di daerah-daerah yang memiliki suplai air

bawah tanah yang stabil dan memiliki jenis tanah yang keras. Beberapa sistem Karez

dibangun di sekitar Dataran Guanzhong di Cina Tengah pada masa Dinasti Han tetapi

tidak dapat bertahan karena saluran-saluran air bawah tanahnya runtuh. Selain itu,

volume air pada sistem Karez dapat berubah sesuai dengan musim walau tidak ada

banyak perubahan dalam volume hariannya. Pada musim panas akan tersedia cukup

sumber air bila airnya berasal dari salju yang mencair. Pada musim semi, jumlah volume

air Karez terbatas, sementara pada musim gugur dan musim dingin jumlahnya banyak.

Hal ini seringkali tidak sejalan dengan kebutuhan air untuk pertanian.

Dengan demikian saat ini ada kebutuhan untuk memperkuat sistem Karez yang

tradisional dengan teknologi modern. Nilai sistem ini sebagai sebuah teknologi

pengurangan dampak kekeringan yang efisien yang berbasis kearifan lokal tidak dapat

diabaikan. Sebaliknya, pengetahuan tradisional ini harus ditingkatkan dan diperkuat

dengan teknologi modern. Penggunaan sistem ini harus dipromosikan dalam menghadapi

bencana kekeringan yang kian parah di masa yang akan datang.

Daftar Pustaka

- SI Maqian, SHIJI (catatan sejarah), 91 S.M.

- Shouyi BAI (eds.), General history of China (Sejarah Umum Cina), 2004, Shanghai

People’s Press.

- Xingqi ZHONG dan Huaizhen CHU (eds.), Turpan Karez Sistem (Sistem Karez di

Turpan), Xinjiang University Press, Halaman 5-19, 1993.

- Ji ZHAO, Geography of China (Geografi Cina), 2001, Higher Education Press.

- http://travelguide.sunnychina.com/travel_image/14441/1420/1

- http://it.chinahw.net/homepage/2006/baman/homepage/08xinjiang/01xinjiang/01.htm.

- http://www.travelchinaguide.com/attraction/xinjiang/turpan/karez.htm.

- www.karez.org

- http://blog.cersp.com/2005/11/06/165519.jpg.

Page 15: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

15

Negara Bagian Jammu dan Kashmir, India Utara

Praktik-praktik Pembangunan Rumah Tradisional yang Aman Gempa di Kashmir

Amir Ali Khan

Abstrak

Karena kawasan Kashmir seringkali mengalami gempa bumi, masyarakat yang tinggal di

daerah ini mengembangkan praktik-praktik konstruksi setempat untuk pembangunan

rumah yang aman gempa. Teknik tersebut, yang dikenal sebagai sistem “Taq” dan

“Dhajji-Dewari”, telah terbukti benar-benar tahan gempa. Studi kasus berikut ini hendak

mempelajari kearifan lokal dalam praktik-praktik pembangunan rumah yang aman gempa

di daerah-daerah pedesaan dan perkotaan di negara bagian Jammu dan Kashmir di India

bagian Utara.

Latar Belakang

Negara bagian Jammu dan Kashmir, yang memiliki total wilayah seluas 222.236 km2,

terletak di India bagian utara. Kawasan ini berbeda dari bagian-bagian lain negara

tersebut dalam beberapa hal, termasuk di antaranya dari segi topografi, iklim,

perekonomian, dan struktur sosial. Daerah ini pada dasarnya merupakan kawasan

pegunungan, di mana tingkat kepadatan penduduk di daerah lembah-lembahnya tinggi,

sementara di daerah perbukitan rendah. Secara administratif, negara bagian ini dibagi

menjadi tiga bagian berbeda, yakni daerah Jammu di selatan dan tenggara, perbukitan

Kashmir di barat dan daerah Ladakh di utara dan timur laut. Dari segi topografi, negara

bagian ini dibagi menjadi empat kawasan geografis, utamanya: kawasan dataran tinggi

pegunungan dan semi semi pegunungan, perbukitan-perbukitan yang lebih rendah

(Deretan Perbukitan Shiwalik), pegunungan di lembah Kashmir dan Deretan Pegunungan

Pir Panjal dan Pegunungan-pegunungan Ladakh dan Kargil di daerah Tibet.

Kondisi iklim bervariasi dari gurun arktik yang dingin di daerah Ladakh sampai

temperatur sedang di lembah Kashmir dan subtropis di daerah Jammu. Serupa dengan itu,

pola curah hujan tahunan juga bervariasi dari 92 mm di Leh di daerah Ladakh, 650,5 mm

di Srinagar di kawasan Kashmir dan 1.115,6 mm di Jammu di daerah Jammu. Kondisi

tanah di lembah Kashmir buruk dan sangat tidak baik untuk konstruksi bangunan.

Kisah/Peristiwa

Kawasan Kashmir terletak di zona yang memiliki tingkat ancaman gempa bumi yang

tinggi. Gempa-gempa yang dahsyat terjadi secara rutin. Pada tanggal 8 Oktober 2005,

terjadi gempa dengan kekuatan 7,6 Mw pada kedalaman 26 km, dengan pusat gempa

(episenter) terletak pada 34.60 LU, 73.0

0 BT dekat kota Muzaffarabad, yang getarannya

dirasakan di seluruh Pakistan dan India. Di India bagian utara, dampak terbesar gempa

tersebut dirasakan di negara bagian Jammu dan Kashmir. Distrik yang paling parah

terkena adalah distrik Poonch di daerah Jammu dan distrik Baramula dan Kupwara di

daerah Kashmir. Gempa bumi tersebut melumpuhkan kehidupan sehari-hari yang normal

sampai cukup lama karena kerusakan dan kehancuran yang ditimbulkannya pada rumah-

Page 16: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

16

rumah dan infrastruktur di kawasan tersebut, serta gangguan yang ditimbulkannya pada

komunikasi dan pelayanan-pelayanan masyarakat penting lainnya. Jumlah penduduk

yang terkena dampak gempa mencapai lebih dari setengah juta. Sekitar 90.000 rumah

tangga di Daerah Kashmir dan 8.000 di Jammu tertimpa dampak parah dari gempa ini.

Walaupun tingkat kerusakan dan kehancuran begitu tinggi, teknik-teknik konstruksi

setempat yang berdasarkan kearifan lokal telah membantu menyelamatkan nyawa banyak

orang.

Kearifan Lokal

Kawasan Kashmir terkenal akan praktik-praktik konstruksi tradisionalnya yang aman

gempa, di mana ada dua jenis praktik konstruksi yang banyak digunakan: sistem Taq

(bangunan tembok yang diikat dengan kayu-kayu) dan sistem Dhajji-Dewari (kerangka

kayu dengan dinding pengisi).

Sistem Taq

Sistem Taq menggunakan balok-balok kayu besar atau kayu gelondongan sebagai balok-

balok horisontal yang ditanam ke dalam dinding-dinding bata/batu. Balok-balok pengikat

ini ditempatkan pada lantai dasar dan di atas jendela-jendela. Balok-balok ini mengikat

semua unsur bangunan atau rumah menjadi satu dan menjaga keseluruhan struktur agar

bergerak sebagai satu kesatuan, dan dengan demikian mencegah melar serta pecahnya

tembok. Balok-balok pengikat ini dihubungkan antara satu sama lainnya dengan

potongan-potongan kayu yang lebih kecil, sehingga membentuk semacam tangga yang

diletakkan/ditempelkan pada tembok menutup dua muka luar dari tembok. Gambar 1

memperlihatkan rumah-rumah yang dibangun dengan menggunakan tipe konstruksi Taq.

Dalam bahasa setempat Taq berarti tembok. Pada umumnya ini mengacu pada tata letak

modular dari balkon kecil dan jendela menjorok yang menjadi ciri dari tipe konstruksi ini.

Balkon kecil yang menggantung biasanya memiliki luasan hampir 1,5–2 kaki persegi dan

jendela yang menggantung lebarnya sekitar 3,5 kaki. Tidak ada kebiasaan untuk

menggunakan kerangka kayu sepenuhnya. Balok-balok pengikat berfungsi sebagai

penguat horisontal yang pada akhirnya mengikat seluruh bangunan tembok menjadi satu

kesatuan.

Gambar 1. Rumah-rumah dengan tipe konstruksi khas Taq di Srinagar. Foto: Amir Ali

Khan

Sistem Dhajji-Dewari

Sistem Dhajji-Dewari menggunakan kerangka-kerangka kayu untuk mengikat tembok

dalam bagian-bagian kecil. Kerangka kayu tidak hanya memiliki unsur vertikal tetapi

juga unsur-unsur diagonal yang membagi tembok dalam berbagai bentuk panel-panel

yang kecil. Ciri yang paling penting dari tipe konstruksi semacam ini adalah penggunaan

lapisan lumpur yang tipis sebagai campuran tembok (mortar). Di daerah yang banyak

menggunakan konstruksi ini, sistem Dhajji-Dewari biasanya digunakan untuk tembok-

Page 17: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

17

tembok di lantai atas, terutama untuk bagian tembok yang menjorok ke luar atau

menggantung. Beberapa contoh rumah yang dibangun dengan menggunakan tipe

konstruksi Dhajji-Dewari dapat anda lihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Rumah-rumah dengan sistem konstruksi khas Dhajji-Dewari di Srinagar. Foto:

Amir Ali Khan

Pelajaran yang Dapat Dipetik

Setelah Gempa Bumi Kashmir pada tahun 2005, praktik-praktik konstruksi yang umum

dilaksanakan di daerah itu dipelajari untuk mencari fitur-fitur relevan yang membuatnya

aman gempa. Berikut ini beberapa hasil observasi yang didapat:

1. Penelitian mendapatkan bahwa kondisi-kondisi bangunan pada umumnya sangat

buruk karena kurangnya fitur-fitur aman gempa pada rumah-rumah dan bangunan-

bangunan yang ada. Rumah-rumah dan bangunan-bangunan yang dibangun dengan

memanfaatkan kearifan lokal, baik dengan menggunakan sistem Taq ataupun teknik

Dhajji-Dewari, terbukti mampu menahan gempa. Ada banyak contoh di mana bagian-

bagian rumah atau bangunan yang dibangun dengan sistem Dhajji-Dewari dan Taq

mampu mengatasi goncangan gempa, bahkan walaupun bagian lain dari rumah yang

tidak menggunakan sistem tersebut telah runtuh (Gambar 3 a dan b).

2. Rumah-rumah yang dibangun dengan bahan-bahan berkualitas seperti tembok yang

mampu menahan beban, dengan batu yang diplester semen dan campuran kapur dan

bata yang diplester semen, terbukti tidak dapat bertahan terhadap gempa jika

dibangun tanpa bantuan pengetahuan profesional yang tepat dan memadai. Tanpa

adanya bimbingan profesional, struktur-struktur bangunan yang menggunakan beton

bertulang menjadi sangat berbahaya dan dapat berakibat pada runtuh totalnya struktur

bersangkutan jika mendapat goncangan yang besar. Gempa Bumi Kashmir jelas-jelas

memperlihatkan keunggulan praktik-praktik tradisional dalam membangun rumah

atau bangunan lain dibandingkan dengan teknik-teknik modern yang diterapkan tanpa

menggunakan pengetahuan profesional yang memadai.

3. Teknik-teknik tradisional sistem Dhajji-Dewari dan Taq untuk membangun rumah

belakangan ini menjadi semakin kurang populer. Teknik-teknik tersebut perlu

diperkenalkan lagi agar masyarakat mengetahui keunggulan-keunggulannya

dibandingkan dengan teknik-teknik modern. Lebih banyak lagi tukang di kawasan

Kashmir perlu mendapat pelatihan dalam pembangunan rumah dengan menggunakan

teknik-teknik ini.

Gambar 3. a) Bagian-bagian rumah yang menggunakan sistem Dhajji-Dewari (bagian

balkon kecil) dan b) sistem Taq (seluruh struktur kecuali bagian balkon) yang selamat

dari kerusakan yang diakibatkan oleh gempa bumi tahun 2005.

Sumber: Durgesh C Rai dan C V R Murty (IIT Kanpur, India) – Laporan awal dari

Gempa Bumi Kashmir Utara 2005 pada 8 Oktober 2005.

Page 18: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

18

Barmer, Rajasthan, India

Kearifan Lokal dan Ilmu Pengetahuan Modern Memberi Solusi Tempat Bermukim

yang Ramah Lingkungan di Kawasan Gurun yang Rawan Banjir di India

Anshu Sharma dan Mihir Joshi

Abstrak

Pada bulan Agustus tahun 2006 beberapa desa di Distrik Barmer yang merupakan bagian

dari kawasan gurun dari negara bagian Rajasthan di India Barat yang selalu mengalami

kekeringan mengalami hujan deras dan kebanjiran. Hujan yang berlangsung selama terus-

menerus lebih dari seratus jam menggenangi beberapa desa sampai ketinggian tiga puluh

kaki. Berdasarkan catatan sejarah, selama dua ratus tahun terakhir hujan dan banjir

semacam itu tidak pernah terjadi dan masyarakat serta pemerintah setempat tidak siap

untuk menghadapi situasi darurat sedahsyat itu.

SEEDS, sebuah LSM nasional, segera melakukan kunjungan ke daerah-daerah yang

terkena bencana tersebut dan melakukan pengkajian kerusakan serta sebuah studi tentang

lingkungan hidup alamiah setempat dan lingkungan yang telah dibangun. Tim mengkaji

praktik-praktik konstruksi tradisional di daerah tersebut, yang bentuk dasarnya berupa

dinding-dinding lumpur dan atap jerami/alang-alang, dengan desain rumah yang bundar.

Rumah-rumah semacam ini memiliki banyak keuntungan dalam menghadapi kondisi-

kondisi lingkungan hidup yang dialami saat ini. Namun, walaupun struktur tradisional

yang utamanya terdiri dari lumpur ini memang cocok untuk jenis-jenis bencana seperti

gempa bumi dan badai pasir, struktur semacam ini tidak memiliki kapasitas anti air dan

oleh karenanya menderita kehancuran yang parah selama banjir.

Kearifan lokal memang telah memberikan nilai tambah yang tinggi selama beberapa

generasi, tetapi dibutuhkan adanya dukungan teknologi yang dapat memperkuat agar

kearifan lokal dapat menghadapi tantangan bencana-bencana yang tidak pernah

diperkirakan sebelumnya yang berkaitan dengan perubahan iklim, yang akan semakin

sering terjadi di masa yang akan datang. SEEDS dan para mitranya membantu

mengembangkan suatu teknologi baru yang memadukan kearifan lokal dengan tambahan

masukan teknologi yang terbatas. Dengan bantuan Panitia-panitia Pembangunan Desa

dibangun beberapa bangunan baru yang dapat beradaptasi dengan ancaman-ancaman

bencana yang ada saat ini.

Latar Belakang

Distrik Barmer merupakan sebuah distrik yang terletak pada bagian paling barat dari

negara bagian Rajasthan, India. Terletak di sepanjang perbatasan India dan Pakistan,

distrik ini sepenuhnya berada di kawasan Gurun Thar. SEEDS bekerja di daerah/blok

Sheo dari distrik Barmer di mana mereka membangun 300 hunian untuk keluarga-

keluarga yang paling parah terkena dampak banjir, dengan sasaran terutama kelompok-

kelompok yang secara sosial terpinggirkan dan tidak memiliki kapasitas untuk dapat

membangun rumah mereka kembali secara mandiri.

Page 19: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

19

Masyarakat setempat tinggal terpencar-pencar dan dalam jumlah yang sangat sedikit.

Dalam satu klaster/kelompok permukiman biasanya ada empat sampai lima bangunan

bundar yang dikelilingi oleh sebuah tembok rendah, dan ini menjadi tempat tinggal

sebuah keluarga yang dalam bahasa setempat disebut Dhani. Setiap bangunan digunakan

untuk berbagai kegiatan berbeda seperti tidur, menyimpan barang, memasak dan

kegiatan-kegiatan harian lainnya. Sekelompok Dhani membentuk sebuah desa.

Komunitas-komunitas ini tinggal dalam kondisi iklim yang sangat keras dan mereka

harus menggunakan dengan bijaksana sumber-sumber daya yang sangat terbatas di

sekitar mereka untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk membangun rumah-rumah mereka.

Tingkat kepadatan penduduk di distrik Barmer termasuk yang paling rendah di India. Air

merupakan masalah utama di daerah ini. Perempuan-perempuan desa harus berjalan jauh

dengan kendi-kendi di atas kepala untuk mengambil air untuk minum, seringkali lebih

dari satu kali dalam sehari. Kehidupan di kawasan ini benar-benar sangat berat. Sarana

penghidupan yang tersedia sangat terbatas sekali.

Kisah/Peristiwa

Hujan yang terjadi terus-menerus di gurun di negara bagian Rajasthan menimbulkan

salah satu banjir terburuk dalam dua abad terakhir di Rajasthan. Hujan lebat di musim

penghujan yang dimulai pada tanggal 16 Agustus 2006 mendera sekitar seratus desa dari

12 distrik yang ada di Rajasthan. Pada malam hari tanggal 21 Agustus 2006, Barmer telah

menerima curah hujan sebesar 577 mm hanya dalam waktu tiga hari, 300 mm lebih

banyak daripada rata-rata curah hujan tahunannya. Beberapa desa yang paling parah

terkena meliputi Kavas, Malua, Bhadkha dan Shiv. Tinggi permukaan banjir mencapai

hampir tiga puluh kaki di atas permukaan tanah. Laporan resmi menyebutkan banjir ini

menelan korban jiwa 103 orang, dan sekitar 95 persen keluarga yang berada di desa-desa

yang terkena (lebih dari 50.000 orang) terpaksa kehilangan rumah tempat tinggal mereka.

Dampak banjir semakin diperparah oleh kenyataan bahwa daerah tersebut memiliki

penduduk yang sangat sedikit dan fasilitas-fasilitas infrastruktur pun sangat terbatas

sekali, sehingga akses warga terhadap pelayanan pemerintah menjadi sangat sulit.

Banjir juga menimbulkan kehancuran parah karena sebagian besar rumah di kawasan ini

pada umumnya dibangun di daerah cekungan yang terletak di sela-sela perbukitan pasir

untuk melindungi diri dari badai pasir. Dalam situasi banjir hal ini sangat merugikan

karena tempat tinggal warga menjadi semacam kantung-kantung yang letaknya rendah

dan dengan menjadi arah tujuan larinya air banjir. Juga karena jenis lapisan tanah bagian

dalam yang tidak menyerap air, air banjir menggenang selama berminggu-minggu.

Bahkan rumah-rumah yang masih berdiri tegak di banyak tempat menjadi tidak layak

untuk dihuni lagi. Karena sebagian besar bangunan terbuat dari lumpur, banyak yang

rusak parah dan hancur akibat banjir. Masyarakat setempat sebelumnya tidak pernah

mengalami bencana banjir sedahsyat itu dan mereka begitu terkejut serta tidak tahu harus

berbuat apa untuk menghadapi situasi seperti itu. Beberapa warga setempat berpikiran

bahwa bencana merupakan hukuman dari dewa-dewi yang kurang berkenan terhadap

kehidupan mereka, sementara mereka yang lebih ilmiah mengaitkan banjir itu dengan

perubahan iklim.

Page 20: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

20

Kearifan Lokal

Kearifan lokal untuk kenyamanan dan keberlanjutan permukiman

Masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan di Rajasthan selama beberapa generasi telah

terbiasa membangun rumah dengan bahan-bahan bangunan setempat dan teknologi

tradisional mereke. Untuk membangun dhani mereka, semua anggota keluarga

memainkan peranan penting dan semua memiliki tanggung jawab masing-masing. Kaum

lelaki mengumpulkan tanah yang berkualitas baik dari tempat-tempat terdekat, sementara

kaum perempuan mengumpulkan kotoran sapi, yang kemudian dicampur dengan adonan

lumpur menjadi bahan bangunan dasar untuk keperluan konstruksi. Kaum perempuan

mengerjakan pemlesteran rumah baru dan selanjutnya mereka juga bertanggung jawab

atas perawatan rutin tembok-tembok dan lantai. Atap dibuat dari anyaman ranting-ranting

dan jerami dari tanaman Jowar.

Rumah dibangun dengan arah sedemikian rupa sehingga arah angin dan jalan sinar

matahari dapat menjamin adanya ventilasi yang baik dan suhu rumah tetap terjaga agar

nyaman, yang merupakan sesuatu yang penting di daerah ini karena suhu pada musim

panas dapat mencapai 500 C. Pada umumnya ukuran bukaan pintu-jendela sangat kecil

untuk mengurangi panas yang masuk dan melindungi dari badai pasir yang sering terjadi

di daerah tersebut.

Masyarakat biasanya membangun rumah berbentuk bundar dan memilih lokasi di daerah

yang tidak terlalu tinggi. Ini terutama dilakukan karena adanya Kawasan Angin dengan

Kecepatan Tinggi yang sering mengalami angin kencang terutama di musim panas.

Rumah yang bundar akan mempermudah aliran udara dengan hambatan yang minimum.

Gambar 1 menyajikan diagram struktur sebuah dhani.

Karena kawasan ini juga berlokasi di kawasan rawan gempa sedang sampai tinggi,

berdasarkan Peta Kerawanan Gempa India, bentuk yang bundar juga dapat memberi

rumah kekuatan daya tahan lateral. Pada gempa bumi tahun 2001 di Kutch, Gujarat, yang

sangat dekat dengan Barmer, hanya sedikit rumah dengan desain serupa di kawasan ini

yang mengalami kerusakan.

Gambar 1. Diagram struktur sebuah dhani

Bertahannya dan penyebarluasan kearifan lokal dalam hal konstruksi

Teknologi yang berdasarkan kearifan lokal untuk membangun rumah kediaman warga

digunakan secara meluas di kawasan tersebut. Para anggota masyarakat sendiri menjadi

penyebar dari teknologi ini dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karena seluruh

anggota keluarga menjadi bagian dari kegiatan pembangunan rumah, mereka memiliki

rasa kepemilikan terhadap rumah kediaman mereka dan pemahaman akan bahan-bahan

bangunan serta cara memprosesnya.

Page 21: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

21

Ada lima faktor utama yang menyebabkan teknologi pembangunan rumah tradisional

semacam ini dapat bertahan di kawasan gurun yang terpencil dan bagaimana teknologi ini

disebarluaskan ke masyarakat lain di wilayah yang lebih luas. Hal ini diperlihatkan pada

Gambar 2 dan diterangkan di bagian berikut ini.

1. Para pemimpin masyarakat memberi contoh dengan menggunakan Teknologi ini

Salah satu tradisi penting yang sangat umum yang diikuti oleh sebagian besar

masyarakat pedesaan di India adalah adanya sekelompok orang terhormat di desa

yang memberikan contoh bagi seluruh masyarakat. Para anggota masyarakat

seringkali meniru para pemimpin ini dalam hal perilaku, pilihan-pilihan, dan cara

hidup pada umumnya. Di desa-desa di Barmer, sebagian besar orang terhormat di

masyarakat hidup di Dhani-dhani. Menyaksikan hal tersebut, para anggota

masyarakat lainnya terdorong untuk mengikuti.

2. Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan rumah

Seluruh masyarakat dan para anggota keluarga terlibat dalam berbagai kegiatan dalam

rangka pembangunan rumah. Keterlibatan para anggota keluarga serta saudara-

saudara dekat mengurangi beban biaya pembangunan rumah dan memperkuat

semangat bermasyarakat. Inilah juga hal yang menjadi salah satu alas an mengapa

teknologi ini dapat bertahan dan terus digunakan di kawasan pedesaan dan pusat

tradisi ini.

3. Kondisi-kondisi iklim yang ekstrim

Di Barmer, suhu udara pada musim panas dapat mencapai 500 C dan pada musim

dingin suhu udara di malam hari mendekati titik beku. Rumah-rumah yang terbuat

dari beton menjadi seperti oven di kala udara panas dan dalam suhu dingin menjadi

seperti lemari es. Tidak ada listrik dan bahan bakar sangat langka serta harganya tak

terjangkau untuk digunakan sebagai pengontrol suhu udara. Untuk dapat bertahan

hidup dalam kondisi iklim yang ekstrim seperti ini dibutuhkan sebuah rumah yang

sesuai. Walaupun beberapa orang telah mulai memilih membangun rumah dengan

bahan-bahan bangunan modern, rumah modern yang mereka bangun tidak senyaman

seperti rumah-rumah tradisional.

4. Tersedianya bahan-bahan bangunan lokal yang gratis

Adanya bahan-bahan bangunan lokal, yang bebas biaya dan bebas transportasi,

merupakan faktor penarik utama bagi masyarakat yang telah dibuat menjadi miskin

oleh tidak adanya pilihan-pilihan untuk memperoleh penghidupan dan oleh iklim

yang sangat keras.

5. Desain yang baik untuk keamanan dan kenyamanan

Bentuk yang bundar mampu menahan tekanan angin yang ditimbulkan oleh badai

pasir dan tekanan gelombang yang ditimbulkan oleh gempa bumi. Dinding yang

dibuat memiliki kualitas untuk mengisolasi panas atau dingin dan tebal, sehingga

memberikan suhu udara yang nyaman di dalam rumah baik dalam situasi panas

ataupun dingin yang ekstrim. Atap rumah Dhani juga tersambung baik dengan sistem

tembok, sehingga tercipta tingkat keamanan struktural yang lebih tinggi bagi rumah

Page 22: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

22

sebagai suatu unit. Gabungan dari keamanan dan kenyamanan ini telah menghasilkan

teknologi pembangunan rumah yang teruji sepanjang masa dan dihargai di tingkat

lokal atas manfaat langsung ataupun manfaat jangka panjang yang telah diberikannya.

Gambar 2. Faktor-faktor yang menentukan kebertahanan dan penyebarluasan teknologi

pembangunan rumah milik masyarakat setempat.

Dukungan ilmu pengetahuan

SEEDS mengadakan kunjungan ke daerah-daerah yang terkena bencana segera setelah

banjir dan melakukan kajian kerusakan serta sebuah studi atas lingkungan setempat, baik

lingkungan hidup alami maupun lingkungan bentukan manusia. Tim pengkaji menilai

dan mendokumentasikan praktik-praktik pembangunan rumah di daerah tersebut, yang

terbukti memiliki beberapa nilai tambah. Tim mendapati bahwa struktur bangunan

ternyata sangat ramah lingkungan karena bahan-bahan bangunan yang dicapai sama

sekali tidak menciptakan jejak ekologis atau karbon; rumah-rumah yang dibangun sangat

kondusif dan memiliki suhu ruang yang sangat nyaman dalam kondisi cuaca ekstrim yang

sering terjadi di kawasan tersebut; desain yang bundar melindungi struktur bangunan dari

angin kencang dan gempa bumi; dan proses pembangunannya sederhana serta cocok

dengan tingkat ketrampilan masyarakat setempat.

SEEDS dan berbagai mitranya membantu dalam pembangunan 300 hunian di bawah

Program Barmer Ashray Yojana (Program Perumahan Barmer). Program dimulai dengan

penelitian tentang teknologi tepat guna yang dapat mendukung sistem pembangunan

tradisional yang sudah ada, dan penelitian ini membawa pada penggunaan teknologi bata

press saling terikat yang distabilisasikan (Stabilized Compressed Interlocking Earth

Desain yang baik untuk keamanan

dan kenyamanan

Kondisi

Iklim yang ekstrim

Tersedia bahan

bangunan lokal yang

gratis

Keterlibatan masyarakat

dalam konstruksi

rumah

Para pemimpin

masyarakat memberikan

contoh

Teknologi konstruksi rumah asli

masyarakat

Page 23: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

23

Block/SCEB). Dalam teknologi SCEB, lumpur lokal distabilisasikan dengan semen

sebanyak lima persen, kemudian dipress menjadi bentuk bata yang memiliki kekuatan

struktural tinggi dan kemampuan anti air.

Bekerja sama dengan Christian Aid, dan dengan pendanaan dari Departemen Bantuan

Kemanusiaan Komisi Eropa, rumah-rumah dibangun dengan menggunakan teknologi

tepat guna ini, yang merupakan campuran dari kearifan lokal dan sedikit masukan ilmiah

untuk membuatnya semakin tangguh dalam menghadapi ancaman-ancaman baru

(Gambar 3a dan 3b). Panitia Pembangunan Desa (Village Development Committee/VDC)

dibentuk di setiap desa untuk mengambil keputusan dan mengarahkan serta memantau

proses pembangunan. Panitia ini terdiri dari kaum lelaki, perempuan, para pemimpin

masyarakat setempat, para guru sekolah, perwakilan-perwakilan LSM dan personil tim

proyek bekerja sama erat dengan para pejabat pemerintah setempat. Desain tradisional

yang bundar dan atap jerami yang “bisa bernafas” tetap dipertahankan. Sebuah sistem

yang efisien dibangun untuk memproduksi SCEB secara massal untuk menyediakan

rumah kepada keluarga-keluarga yang terkena bencana dalam rentang waktu hanya enam

bulan. Pembangunan rumah sebagian besar dikerjakan oleh para pemilik rumah sendiri

dengan hanya sedikit dukungan dari tim proyek. Pengetahuan dan ketrampilan dalam

membangun rumah-rumah ini diturunkan kepada para tukang bangunan setempat

sehingga dapat direplikasi dan disebarluaskan di seluruh kawasan. Setelah pembangunan

rumah selesai, masyarakat setempat lebih memilih struktur-struktur bangunan tradisional

ini daripada rumah yang dibangun dengan teknologi beton modern yang disediakan oleh

donor lain, yang berubah menjadi seperti oven di bawah matahari gurun yang panasnya

begitu menyengat.

Gambar 3. Rumah dhani tradisional

Pelajaran yang Dapat Dipetik

Pelajaran-pelajaran yang dapat dipetik dari intervensi proyek dan pendokumentasian

studi kasus ini berkaitan dengan teknologi pembangunan rumah, ilmu bahan bangunan,

serta sistem-sistem dan proses-proses sosial. Pelajaran-pelajaran yang dapat dipetik

disarikan pada bagian di bawah ini:

1. Program-program pembangunan rumah pasca-bencana harus memanfaatkan kearifan

lokal yang ada dalam hal bahan-bahan bangunan dan teknologi konstruksi, karena hal

ini telah teruji dari generasi ke generasi dan paling sesuai dengan lingkungan hidup

serta budaya setempat.

2. Jika dibutuhkan teknologi dapat diperkenalkan, tetapi secara minimal saja, untuk

memberi nilai tambah kepada sistem-sistem tradisional yang ada dan membuat

sistem-sistem tersebut menjadi lebih tangguh dalam menghadapi ancaman-ancaman

baru seperti yang diakibatkan oleh perubahan iklim.

3. Bahan-bahan bangunan yang digunakan untuk pembangunan rumah haruslah sedapat

mungkin ramah lingkungan dan berasal dari daerah setempat. Ini akan membuat biaya

Page 24: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

24

yang dibutuhkan untuk membangun rumah menjadi rendah, dan juga meminimalkan

jejak karbon dari intervensi proyek.

4. Partisipasi dari para pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan berkaitan

dengan pemilihan tempat, desain dan rincian konstruksi merupakan hal yang sangat

menentukan bagi keterlibatan dan kepemilikan masyarakat terhadap proses ini.

5. Keterlibatan keluarga-keluarga pemilik dalam proses pembangunan rumah sangat

berguna dalam menghemat biaya, memperkuat rasa memiliki, dan membuat desain

serta proses pembangunan rumah menjadi cukup fleksibel bagi setiap keluarga agar

mereka dapat mengatur sendiri unsur-unsur kecil dari pembangunan rumah yang

sesuai dengan pilihan dan kebutuhan mereka.

6. Alih teknologi kepada para tukang bangunan setempat merupakan sesuatu hal yang

sangat berguna demi menjamin keberlanjutan pendekatan konstruksi, replikasinya

dan peningkatannya di kawasan bersangkutan.

7. Hubungan dengan para pemangku kepentingan lokal termasuk pemerintah, kaum

akademisi dan sektor swasta merupakan sesuatu hal yang berguna demi melancarkan

pelaksanaan proyek-proyek semacam ini, dan juga untuk mendorong agar para

pemangku kepentingan menerima pendekatan yang ditawarkan, yang pada jangka

panjangnya akan membantu keberlanjutan pendekatan tersebut.

8. Hubungan dengan sektor-sektor lain seperti sektor air, sanitasi, penghidupan dan

pendidikan dapat membantu menciptakan paket yang lebih menyeluruh yang

berkaitan dengan rumah hunian, lingkungan hidup dan gaya hidup serta akan

memberikan nilai tambah bagi masyarakat setempat.

Daftar Pustaka

- Dewan Promosi Bahan dan Teknologi Bangunan (Building Materials and Technology

Promotion Council), Pemerintah India, 2006. Peta Kerentanan India (Vulnerability

Atlas of India). 2006.

- SEEDS. 2007. “Barmer Aashray Yojna – Program Restorasi Hunian Pasca Banjir”,

Dokumen Proyek, SEEDS, Delhi.

Page 25: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

25

Desa Nandeswar, Distrik Goalpara, Assam, India

Konservasi Tanah dan Air melalui Penanaman Bambu: Sebuah Teknik

Penanggulangan Bencana yang Diadopsi oleh Masyarakat Nandeswar, Assam

Irene Stephen, Rajiv Dutta Chowdhury dan Debashish Nath

Abstrak

Penanaman pohon bambu di sepanjang tanggul saluran air oleh para warga setempat di

Desa Nandeswar dalam banyak hal telah menguntungkan desa mereka. Dengan ditanami

bambu, salah satu vegetasi Assam yang paling dapat ditemukan di mana-mana di daerah

tersebut, tanggul-tanggul saluran air jadi terlindungi dan tanah terhindar dari erosi lebih

lanjut. Walaupun banjir terjadi setiap tahun di Assam, teknik ini telah memelihara dan

menjaga tanggul-tanggul serta melindungi jembatan-jembatan dan jalan-jalan raya dari

kehancuran yang dapat ditimbulkan oleh curah hujan yang tinggi.

Latar Belakang

Desa Nandeswar terletak di Distrik Goalpara (Gram Panchayat–Karipara di bawah

Daerah/Blok Pembangunan Matia), Assam, India. Sebagian besar warga Desa Nandeswar

adalah petani. Penghidupan mereka tergantung pada lahan dan kegiatan-kegiatan berbasis

pertanian. Assam dan negara-negara bagian timur laut lainnya seringkali mengalami

banjir selama musim-musim penghujan dari bulan Juni sampai September.

Kisah/Peristiwa

Walau daerah ini mengalami kejadian banjir yang parah pada tahun 2002, 2004 dan 2007,

tahun-tahun antara 1953-1998 merupakan saat-saat kejadian banjir yang terburuk.

Kondisi fisik kawasan dan faktor-faktor seperti penggundulan hutan, tekanan penggunaan

lahan, tingkat pertumbuhan penduduk yang cepat dan tekanan-tekanan pada aliran-aliran

sungai telah menyebabkan adanya perubahan aliran-aliran dan saluran-saluran sungai

secara terus-menerus, dan erosi pada tepi sungai di daerah aliran sungai Brahmaputra.

Selama masa-masa curah hujan tinggi, daerah luas di sekitar Assam tergenang, dan ini

mengakibatkan banyak desa dan kota-kota di Assam menjadi terisolasi. Secara khusus,

runtuhnya tanggul sungai dan jalan, putusnya jembatan dan tanah longsor biasanya

menyebabkan warga terperangkap. Selama bertahun-tahun, masyarakat di kawasan ini

berulang kali harus menghadapi hari-hari kebanjiran yang panjang.

Kearifan Lokal

Masyarakat telah belajar menghindari kerugian dengan menggunakan metode-metode

yang terjangkau dan telah dipraktikkan selama beberapa generasi. Beberapa teknik

tradisional dapat membantu sungai dan saluran-saluran air agar terhindar dari

pendangkalan dan peluberan yang berlebihan jika hujan deras. Banjir seringkali

membobol tanggul dan merusak jalan-jalan yang merupakan penghubung penting antara

satu desa dengan desa lainnya. Penanaman bambu membantu melindungi tanggul agar

tidak tergerus dan mencegah banjir bandang dari aliran sungai bila sungai meluber pada

Page 26: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

26

hari-hari hujan deras (Gambar 1). Selain itu, penanaman bambu di sekitar kolam-kolam

ikan dan sawah-sawah dapat mencegah erosi tanah serta menjaga agar air tidak

menenggelamkan daerah-daerah yang letaknya rendah selama puncak hari-hari banjir.

Sebagai persiapan untuk menghadapi datangnya hari-hari hujan dari bulan Desember

sampai Februari, para warga di Desa Nandeswar biasanya membersihkan aliran-aliran

sungai dari endapan dan pasir. Bahan-bahan yang didapat dari pembersihan ini ditumpuk

di sepanjang sungai dan saluran air sebagai gundukan tanggul dari tanah. Permukaannya

ditanami rumput untuk mencegah erosi (Gambar 2). Akar-akar rumput membantu

mengikat lapisan tanah di bagian atas. Setelah satu bulan, di sepanjang tanggul tanah

dibuat lubang berjarak 24 inchi yang kemudian ditanami bibit/anakan bambu. Proses ini

dilakukan dengan menggunakan metode penanaman lokal yang disebut teknik penekanan

akar bambu. Sejalan dengan tumbuhnya bambu, akar-akarnya yang dalam akan menjalar

ke segala arah dan menumbuhkan anakan-anakan bambu yang baru serta mengikat tanah.

Akar-akar bambu menjalar di permukaan (dekat lapisan tanah bagian atas) masuk 2,5

sampai 3 kaki ke dalam tanah dan pada bagian tanah yang lebih dalam bahkan sampai 5

kaki.

Gambar 1. Bambu yang ditanam di sepanjang sungai di Assam.

Gambar 2. Tanggul-tanggul tanah dibangun dari tanah endapan dan pasir serta ditanami

rumput.

Para warga setempat memperoleh banyak manfaat dari teknik penanaman semacam ini.

Selain mengurangi tingkat erosi tanah, tanaman bambu yang sudah berumur 5 tahun

dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, bahan dasar untuk kerajinan dan pembuatan

kertas. Kegiatan-kegiatan ini membantu menciptakan lapangan kerja tambahan bagi

masyarakat. Biaya untuk memperbaiki dan memelihara tanggul tanah juga sangat

ekonomis. Endapan lumpur yang diambil dari sungai juga dapat digunakan untuk

berbagai keperluan pertanian.

Pelajaran yang Dapat Dipetik

Para warga masyarakat Desa Nadeswar telah belajar bagaimana menyiasati banjir dan

erosi tanah. Mereka telah menggunakan penanaman bambu untuk mencegah kerusakan-

kerusakan yang besar. Tidak seperti di masa lalu, di mana bambu ditanam hanya untuk

keperluan komersial, teknik ini menjadi suatu cara yang ekonomis yang dapat membantu

warga setempat dalam menjaga kelestarian air dan menghentikan erosi lapisan tanah

bagian atas serta tebing sungai. Metode yang digunakan membutuhkan investasi yang

lebih sedikit untuk perbaikan dan pemeliharaan tanggul, mengurangi pengendapan yang

dibawa oleh hujan deras serta mencegah peluberan air sungai. Masyarakat juga telah

banyak memetik manfaat dari berbagai kegunaan bambu melalui teknik konservasi yang

dikembangkan secara lokal ini. Penanaman bambu telah memegang peranan yang penting

dalam hal penghidupan dan upaya bertahan hidup masyarakat di Nandeswar, Assam.

Gambar 3. Bambu yang ditanam di sepanjang sungai melindungi sebuah jembatan

penting.

Page 27: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

27

Simeulue, Nias, dan Siberut, Indonesia

Dongeng, Ritual, dan Arsitektur di Kawasan Sabuk Gunung Api

Koen Meyers dan Puteri Watson

Abstrak

Praktik-praktik kearifan lokal terbukti telah mengurangi dampak bencana alam di tiga

pulau Sumatra, yakni Simeulue, Nias, dan Siberut. Dengan kebudayaan yang berbeda-

beda, ketiga pulau itu, yang dalam kurun waktu lima tahun mengalami bencana gempa

bumi dan tsunami, telah mengangkat ke permukaan pelbagai praktik kearifan lokal yang

sebelumnya luput dari perhatian masyarakat internasional yang peduli pada upaya

pengurangan risiko bencana. Praktik-praktik itu mencakup antara lain sarana komunikasi

tradisional, metode pembangunan dan perencanaan hunian, serta upacara ritual yang

terkait. Praktik-praktik itu akan dibahas secara terinci supaya diperoleh pemahaman yang

utuh mengenai dampaknya dan bagaimana relevansi praktik dan kearifan lokal bagi

pembangunan modern.

Latar belakang

Simeulue

Simeulue adalah bagian dari Provinsi Aceh. Wilayahnya berupa kepulauan yang terdiri

dari 1 pulau besar, yaitu Pulau Simeulue, dan sekitar 40 pulau kecil. Luasnya sekitar

205.148,63 ha dan terletak kira-kira 155 km dari pulau utama Sumatra.

Nias

Nias terdiri dari sekumpulan pulau yang terletak antara Simeulue dan kepulauan

Mentawai, kira-kira 100 kilometer sebelah barat pantai Sumatra Utara. Luas wilayahnya

4.771 km². Secara administratif kepulauan Nias termasuk dalam Provinsi Sumatra Utara,

terdiri dari dari dua kabupaten, yaitu Nias dan Nias Selatan. Menurut data sensus tahun

2006, jumlah penduduk Nias diperkirakan 713.045 jiwa.1 Gambar 1 memperlihatkan

pemandangan sebuah perkampungan di Nias.

Siberut

Dengan luas 400.030 ha, Siberut merupakan pulau terbesar di Kepulauan Mentawai yang

terdiri dari sekurang-kurangnya 70 pulau, besar dan kecil. Letaknya di sebelah barat lepas

pantai Sumatra Barat. Lebih dari 35.000 penduduk asli tinggal di Siberut. Mereka

termasuk dalam kelompok etnik Mentawai dan merupakan salah satu dari sedikit

kelompok masyarakat di Asia Tenggara yang cara hidupnya masih banyak bergantung

pada lingkungan alam. Di banyak tempat di Siberut masih tampak pola ekonomi yang

subsisten, di mana pengelolaan lingkungan secara tradisional dan sistem-sistem

kepercayaan yang terkait berperan penting dalam kehidupan sehari-hari orang-orangnya.

Contoh perkampungan khas Siberut dapat dilihat dalam Gambar 2.

1 Badan Pusat Statistik Sumatera Utara

Page 28: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

28

Kisah/Peristiwa

Dalam lima tahun terakhir, Simeulue, Nias, dan Siberut mengalami beberapa kejadian

gempa bumi dan tsunami. Pada Desember 2004 tsunami melanda Simeulue dan Nias.

Kendati demikian, di Simeulue hanya jatuh sedikit korban bila dibandingkan dengan di

daerah lainnya. Laporan resmi pemerintah setempat menyebutkan hanya ada tujuh korban

dari keseluruhan populasi yang jumlahnya sekitar 78.000, di mana 95% di antaranya

hidup di wilayah pantai.2 Ketika terjadi gempa pada 26 Desember 2004, penduduk

Simeulue tahu bahwa mereka harus mengungsi ke tempat yang lebih tinggi karena ada

kemungkinan terjadi tsunami. Reaksi ini telah meminimalkan dampak kerusakan akibat

tsunami. Selain faktor kearifan lokal itu, topografi pulau yang berbukit-bukit juga

menjadi faktor penting lain yang memperkecil jumlah korban. Perbukitan hanya berjarak

ratusan meter dari perkampungan dan garis pantai.

Pulau Nias mengalami dampak serius akibat gempa 26 Desember 2004 dan tsunami yang

terjadi setelahnya. Sebanyak 140 penduduk tewas dan ratusan lainnya kehilangan tempat

tinggal.3 Beberapa bulan kemudian, tepatnya 28 Maret 2005, terjadi lagi gempa

berkekuatan 8,7 skala Richter dan merenggut 839 jiwa.4 Dampak gempa sangat dahsyat

sehingga di beberapa tempat menyebabkan tanah terangkat hingga lebih dari 2 meter, dan

menyembulkan karang pantai hingga 100 meter dari garis pantai semula. Kehidupan 90%

penduduk terkena dampaknya, 15.000 rumah harus diperbaiki dan 29.000 lainnya harus

dibangun kembali.

Pada tanggal 12 September 2007 sebuah gempa berkekuatan 7,9 skala Richter terjadi di

dekat Siberut. Namun, hanya jatuh satu korban jiwa. Salah satu sebab kecilnya angka

korban adalah karena semua orang, begitu merasakan gempa, bergegas meninggalkan

rumah dan lari ke tempat terbuka. Reaksi yang kompak semacam itu dapat dimungkinkan

antara lain karena adanya pengetahuan masyarakat yang dikomunikasikan melalui

dongeng dan legenda.

Kearifan Lokal

Simeulue

Salah satu penyebab rendahnya angka korban tewas di Pulau Simeulue adalah kearifan

lokal yang dimiliki masyarakat setempat. Menurut mereka, kearifan atau pengetahuan itu

berasal dari “pengalaman nenek moyang” pada tahun 1907, ketika terjadi sebuah gempa

besar yang menimbulkan tsunami hingga menewaskan banyak penduduk pulau. Cerita-

cerita tentang peristiwa 1907 ini kemudian diterjemahkan menjadi kisah-kisah, monumen

peringatan, dan pengingat lainnya, yang lalu diteruskan kepada anak cucu mereka dengan

pola yang bermacam-macam.

2 UNORC (2005)

3 Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) NAD-Nias, (2005, Oktober)

4 BRR (2005, Oktober)

Page 29: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

29

Masyarakat Simeulue menggunakan kata smong untuk menyebut peristiwa itu, yang

artinya sama dengan tsunami. Adanya istilah lokal untuk menyebut peristiwa tsunami

membuktikan bahwa masyarakat setempat memiliki pengetahuan hingga tingkat tertentu

berkaitan dengan fenomena alam itu. Tidak jelas apakah sebelum tsunami tahun 1907

istilah smong memang sudah ada, tetapi banyak orang Simeulue amat yakin bahwa istilah

itu sudah ada. Konon, kata smong diturunkan dari ni semongan yang berarti percikan

(air), sebagaimana ditemukan dalam satu dari tiga bahasa setempat. Menurut pemahaman

penduduk sekarang ini, smong adalah rentetan peristiwa yang diawali oleh gempa yang

besar, lalu diikuti oleh surutnya air laut, kemudian gelombang raksasa dan banjir.

Peristiwa yang terjadi pada tsunami tahun 1907 diwariskan dari mulut ke mulut dalam

masyarakat tanpa struktur yang baku. Cerita-cerita itu dikisahkan tidak dengan tujuan

menyiapkan anak cucu menghadapi bencana serupa di masa datang, melainkan untuk

memberikan gambaran tentang suatu kejadian dalam sejarah. Peristiwa itu rupanya

meninggalkan trauma yang amat dalam sehingga darinya muncullah cerita-cerita

individual, yang kemudian diceritakan turun-temurun di dalam keluarga atau di

masyarakat. Tiap-tiap cerita memiliki kisahnya sendiri-sendiri dan tak jarang

menyebutkan tentang penderitaan dan kematian anggota keluarga. Karena tsunami 1907

terjadi pada hari Jumat, ketika orang-orang sedang kembali ke rumah seusai

melaksanakan ibadah di masjid, peristiwa itu kemudian memperoleh makna simbolik

religius, yakni sebagai murka Tuhan. Orang kerap menyebut peristiwa itu sebagai cara

Tuhan untuk meluruskan kembali cara hidup mereka yang telah melanggar norma-norma

sosial dan religius. Dalam cerita-cerita itu dikisahkan juga tentang monumen alam dari

peristiwa tsunami, misalnya adanya bebatuan karang laut di lahan pertanian di daratan.

Nias

Gempa tanggal 28 Maret 2005 sangat berdampak terhadap penduduk dan infrastruktur

Pulau Nias. Di tengah segala kerusakan itu justru tampaklah contoh yang sangat kentara

tentang bagaimana praktik tradisional dapat mengurangi dampak bencana. Setelah

gempa, kebanyakan rumah kayu tradisional yang jumlahnya terus berkurang itu ternyata

dapat bertahan terhadap goncangan gempa.

Seperti tampak pada Gambar 3, rumah tradisional Nias terbuat dari kayu, di mana unsur-

unsur strukturnya dikaitkan satu sama lain, bukan dipaku. Teknik sambungan ini

menyebabkan bangunan fleksibel. Rumah ditopang oleh tonggak-tonggak vertikal

(enomo), yang bertumpu pada balok-balok batu dan sejumlah balok diagonal (ndriwa).

Ndriwa diletakkan di antara enomo, dengan arah memanjang dan melintang bangunan,

dan dengan demikian berfungsi sebagai pengikat longitudinal dan lateral sekaligus.

Mereka saling bertumpu satu sama lain pada bagian bawah, juga pada bagian atas yang

tepat bertemu dengan balok horizontal di bawah lantai rumah. Teknik pengikatan ndriwa

secara diagonal ke dua arah ini memungkinkan bangunan bertahan terhadap goncangan

gempa yang sangat kuat sekalipun.

Atap bangunan memiliki konstruksi yang serupa dengan struktur alasnya. Atap terdiri

dari beberapa lapis balok diagonal yang ditepatkan pada posisi lateral. Kedua ujungnya

Page 30: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

30

bertumpu pada balok-balok vertikal dan diagonal. Struktur alas dan atap semacam ini

membentuk struktur tiga dimensi yang meningkatkan elastisitas dan stabilitas bangunan

ketika terjadi gempa. Teknik yang khas itu hingga kini tetap dinilai sebagai contoh yang

teruji mengenai arsitektur yang tahan gempa di Pulau Nias.

Siberut

Pengalaman masyarakat Mentawai atas fenomena alam seperti gempa bumi telah mereka

terjemahkan ke dalam pelbagai strategi, secara kasat mata maupun tidak, yang berhasil

mengurangi dampak bencana gempa. Sebagai misal, salah satu strategi yang tak kasat

mata adalah kisah dongeng yang menekankan adanya kaitan metafisik antara manusia

dan peristiwa gempa bumi. Dongeng itu mengisahkan secara detail tentang gempa yang

pertama kali terjadi di muka bumi. Selain membangkitkan kesadaran masyarakat atas

bahaya gempa, cerita ini juga mengingatkan pendengar bahwa gempa bumi mempunyai

asal-usul manusia juga dan berkaitan dengan emosi manusia.

Berikut ini adalah salah satu versi dongeng di Attabai, sebuah dusun kecil di Siberut

selatan:

“Pada zaman dahulu kala, di sebuah lembah di pantai barat Pulau Siberut, hiduplah

sebuah keluarga besar. Mereka ingin membangun sebuah rumah panjang (uma) yang

baru dan megah. Segala persiapan dilakukan: pohon-pohon besar ditebang untuk

dijadikan tonggak, daun sagu dikumpulkan untuk anyaman atap, kayu dipotong-potong

untuk dijadikan papan lantai, dan kulit rotan mereka serut untuk dijadikan tali. Mereka

meminta bantuan sanak saudara dan kenalan yang tinggal di lembah lainnya.

Setelah segalanya siap, tibalah waktu untuk menggali lubang bagi tonggak pertama.

Setelah lubang selesai digali, sang pemilik uma menjatuhkan cangkulnya ke dalam

lubang, kemudian meminta saudara tirinya agar mengambilkan cangkulnya itu. Sang

pemilik rumah sesungguhnya tidak menyukai saudara tirinya ini. Ketika si saudara tiri

sudah berada di dalam lubang, sang pemilik rumah memerintahkan para saudara

lainnya untuk menghunjamkan tonggak kayu yang besar ke dalam lubang. Sesaat

terdengar jerit kesakitan, namun begitu tonggak kayu besar itu tertanam, hanya ada

kesunyian.

Akhirnya, uma itu selesai dibangun dan termasyhur di seluruh pulau karena

keindahannya. Lalu, tiba saatnya untuk menyelenggarakan pesta besar-besaran sebagai

upacara peresmiannya. Sang pemilik rumah mengundang sanak saudara dan kenalan

untuk ikut pesta. Puluhan babi dan ratusan ayam disembelih dan dimasak.

Sementara itu, arwah sang saudara tiri tidak dapat beristirahat dengan tenteram. Ia

sangat dendam terhadap sang pemilik rumah dan semua yang ikut berpesta. Sebelum

perayaan berlangsung, sang arwah memperingatkan saudara perempuannya dan anak-

anaknya agar selama pesta mereka tidak makan di dalam uma, melainkan harus

bersembunyi di bawah pohon pisang.

Page 31: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

31

Ketika orang-orang sedang berpesta pora dan menyantap hidangan di dalam uma, tiba-

tiba saja tanah bergoncang amat keras. Gempa bumi itu ungkapan balas dendam sang

arwah. Uma yang indah dan megah itu runtuh. Semua orang di dalamnya mati, kecuali

keluarga sang arwah. Hanya merekalah yang selamat dari kejadian itu.

Semenjak hari itu, menurut kisah itu, orang-orang Mentawai menyebut gempa bumi

sebagai teteu yang berarti ‘kakek’.”

Ada dua istilah dalam bahasa Mentawai untuk menyebut gempa bumi, yaitu sigegeugeu

dan teteu. Sigegeugeu dapat diterjemahkan secara harfiah sebagai ‘goncangan’ [dan

memiliki makna persis sama dengan kata earthquake dalam bahasa Inggris]. Sementara

itu, teteu atau ‘kakek’ memiliki makna yang metafisik, yang menyiratkan

antropomorfisasi terhadap fenomena alam yang perlu dihadapi dengan rasa hormat dan

gentar. Menurut sistem kepercayaan di sana, setiap kali orang hendak mendirikan rumah,

mereka harus memberikan sesaji bagi roh penguasa tanah (Taikabaga) agar teteu (kakek)

tidak murka dan marah. Sesaji diletakkan di dekat tonggak-tonggak utama dengan tujuan

menenangkan hati para roh penguasa tanah, serta agar rumah itu dilindungi apabila suatu

hari nanti teteu datang lagi. Tindakan menyiapkan sesaji berguna untuk menanamkan

kesadaran kolektif tentang risiko gempa dan membuatnya tetap hidup dalam kesadaran

masyarakat. Gambar 4 memperlihatkan tokoh adat yang berperan sebagai shaman atau

medium. Lewat merekalah sistem kepercayaan tradisional diturunkan dan diteruskan.

Pelajaran yang Dapat Dipetik

Simeulue

Ada beberapa hal yang layak disoroti mengenai tradisi penyampaian cerita di Simeulue

yang telah berhasil menyelamatkan banyak jiwa pada tahun 2004. Pertama-tama, cerita-

cerita itu mengenai informasi setempat. Kedua, penyampaian cerita terjadi di dalam

rumah dari satu anggota keluarga kepada anggota keluarga lainnya. Dua faktor ini

merupakan metode komunikasi yang efektif untuk menginformasikan kepada suatu

masyarakat tentang risiko bencana di daerah mereka. Cara-cara komunikasi modern

kurang memperhatikan informasi lokal, melainkan cenderung menyebarkan informasi

dengan cara yang jauh lebih luas. Seiring dengan masuknya saluran komunikasi modern

seperti radio, televisi, dan telepon, terjadilah peluasan horizon masyarakat dan

mengalirnya informasi yang lebih banyak dan luas. Mulailah orang lebih cenderung

mengambil pelajaran dari tempat dan peradaban nun jauh di sana, bukan dari pengalaman

masa lalu atau konteks lokal mereka sendiri. Dalam contoh ini, perlu dicari cara-cara baru

untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat tentang bahaya bencana di daerah

mereka. Cara-cara baru ini harus mengandung informasi yang relevan dan harus dapat

meniru keberhasilan tradisi cerita lisan dalam daya sebar dan relevansinya bagi

masyarakat lokal. Di Simeulue, dongeng sebelum tidur tentang peristiwa di masa lampau

terbukti dapat menyelamatkan ratusan jiwa. Program-program pembangunan yang

modern, yang berupaya mempersiapkan masyarakat melalui penyebaran brosur atau

diskusi focus-group, kiranya masih perlu menimba hikmah dari tradisi cerita rakyat.

Page 32: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

32

Hal yang juga patut diingat adalah peran topografi Pulau Simeulue. Penduduk kampung,

dengan bekal pengetahuan tentang kemungkinan datangnya tsunami, berhasil segera

mencapai perbukitan hingga dapat menyelamatkan diri. Ini menunjukkan betapa

pentingnya faktor perencanaan permukiman dalam upaya pengurangan risiko bencana.

Seandainya saja akses ke tempat yang aman itu tidak tersedia, pengetahuan tentang

legenda tahun 1907 tidak akan menyelamatkan sedemikian banyak orang. Ini pelajaran

penting bagi upaya pengurangan risiko bencana di masa mendatang—suatu pendekatan

yang menyeluruh perlu diambil demi melindungi kelompok masyarakat terhadap

bencana. Strategi pengurangan risiko harus diintegrasikan ke dalam seluruh aspek

kehidupan masyarakat tersebut.

Nias

Sejak gempa Maret 2005, praktik-praktik asli masyarakat dalam membangun rumah

tradisional di Nias diteliti kembali dan telah mendapat pengakuan karena sifat tahan

gempanya. Namun, walaupun hal itu layak disyukuri, kerusakan hebat yang diakibatkan

oleh gempa Maret 2005 terhadap penduduk dan ekonomi Nias tidak boleh dilupakan.

Memang ini terasa ironis karena Pulau Nias pada saat itu dan masih sampai hari ini

merupakan tempat ditemukannya salah satu arsitektur tahan gempa yang terbaik di dunia.

Ironi ini memperlihatkan kepada kita, pertama-tama, bahwa satu praktek kearifan lokal

saja tidak dapat berperan banyak dalam mengurangi risiko bencana. Kedua, terbukti

bahwa ketika yang tradisional digeser oleh yang modern, masyarakat dapat menjadi lebih

rentan terhadap risiko bencana. Modernisasi merupakan faktor penting yang

menyebabkan makin berkurangnya arsitektur tradisional Nias. Salah satu simbol status di

masyarakat adalah menganut desain dan gaya hidup modern, yang menyebabkan banyak

orang memilih membangun rumah dengan gaya Melayu yang sebetulnya lebih rentan

terhadap gempa. Deforestasi juga membuat keadaan makin parah. Kayu keras yang

diperlukan untuk membangun rumah tradisional sekarang makin sulit didapatkan.

Akibatnya, pelbagai metode dan teknik pembangunan rumah tradisional secara perlahan

mulai dilupakan orang karena beton dan batu bata telah menggantikan kayu sebagai

bahan bangunan.

Siberut

Cerita tentang teteu merupakan bagian dari sitem kepercayaan tradisional masyarakat

Mentawai. Mereka kerap merujuk pada dongeng dan lagu-lagu tradisional yang

menyebabkan mereka bereaksi secara tepat ketika gempa mulai terasa. Dalam banyak

kasus, orang-orang terselamatkan karena pengetahuan yang mereka peroleh dari dongeng

dan lagu.

Dongeng yang telah berperan mengurangi jatuhnya korban gempa mungkin memang

tidak dapat dianggap sebagai metode pengurangan risiko bencana karena pengaruhnya

terkait erat dengan ritual pembangunan rumah tradisional. Namun, sistem kepercayaan

tradisional dan dongeng-dongeng yang terkait tak bisa disangkal berperanan mengurangi

risiko bencana. Akibat tekanan program pembangunan, semua ini dapat kehilangan

makna dan dampaknya dalam masyarakat lokal. Masuknya agama-agama monoteistik

Page 33: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

33

membuat orang kehilangan kepercayaan pada arwah leluhur, termasuk teteu, sehingga

pemberian sesaji semakin jarang dilakukan. Telah kita lihat bagaimana praktek

menyediakan sesaji menguatkan pengetahuan akan gempa dalam ingatan kolektif

masyarakat setempat. Kini, karena kebiasaan ini mulai digantikan oleh kepercayaan yang

lebih modern, pengetahuan tersebut pun mulai terlupakan. Oleh karena itu, agar

pengetahuan itu tidak lenyap, diperlukan alternatif-alternatif modern yang mampu meniru

proses penyampaian pengetahuan itu dengan tingkat kepentingan yang sama bagi

masyarakat setempat.

Benang merah dari uraian tentang ketiga contoh praktik asli masyarakat yang diuraikan di

atas adalah: semuanya ditemukan di wilayah-wilayah pedalaman dan terbelakang,

sebagaimana yang lazim terjadi pada kebanyakan, meski tidak semua, praktik asli. Dalam

kasus Simeulue, Nias, dan Siberut, contoh-contoh itu masih dipraktikkan hingga hari ini

justru karena pulau-pulau itu terpisah dari daratan Sumatra yang sudah lebih maju, dan

dalam banyak hal dapat dikatakan belum tersentuh perkembangan modern. Pulau-pulau

itu hanya sedikit saja bersentuhan dengan infrastruktur, pendidikan, komunikasi, dan

transportasi modern. Program pembangunan baru perlahan-lahan masuk, tetapi

pengaruhnya sudah langsung terlihat berkaitan dengan praktik dan kearifan lokal dalam

mengurangi risiko bencana. Pertanyaan yang mencuat di sini adalah bagaimana pengaruh

pembangunan dan modernisasi terhadap praktik masyarakat asli ketika proses

pembangunan itu berjalan terus di masa depan? Sehubungan dengan upaya pengurangan

risiko bencana, apakah peran praktik masyarakat asli dalam modernisasi ketiga pulau ini?

Perlukah diambil langkah-langkah untuk melestarikan contoh praktik masyarakat asli ini,

atau sungguh naifkah menganggap praktik-praktik ini sebagai solusi yang mudah

dikemas yang dapat direproduksi demi kebaikan generasi mendatang?

Kecepatan dan ciri pembangunan modern tidak selalu memberikan ruang bagi praktik-

praktik masyarakat asli. Ketika praktik asli tidak digantikan dengan alternatif yang

modern, kelompok masyarakat menjadi lebih rentan terhadap bencana. Selama berabad-

abad, praktik-praktik asli telah memungkinkan banyak kelompok masyarakat hidup

berdampingan dengan bencana, dan ketika modernisasi bergerak terlampau cepat, makna

dan nilai praktik asli itu di dalam konteks modern tidaklah selalu dapat dipahami. Hanya

ketika kemajuan pembangunan disela oleh alam dengan bentuk bencana alam, barulah

praktik-praktik asli itu diperhatikan lagi dan diingat-ingat.

Daftar Pustaka

- Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. http://sumut.bps.go.id/pop/2006/pop05.html

- Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR), NAD – Nias, 2005, Oktober.

Meletakkan Fondasi. Membangun Harapan. 6 month Report.

- Herry Yogaswara and Eko Yulianto, 2006. SMONG, Pengetahuan Lokal Pulau

Simeulue: Sejarah dan Kesinambungannya. Jakarta: UNESCO and LIPI.

- Sieh, K., 2007. The Sunda Megathrust: Past, Present and Future. For presentation at

the National University of Singapore, March 7-9. Diunduh dari:

www.gps.caltech.edu/~sieh/pubs_docs/submitted/Snu.pdf

Page 34: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

34

- UNORC, 2005. Total Population per Simeulue Village District. Diunduh dari:

www.humanitarianinfo.org/sumatra/mapscentre/docs/81_Simeulue/30_Population/SU

M81-020_Simeulue_Population_Village_HIC_2005_04_18_ A4.pdf

Page 35: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

35

Prefektur Gifu, Jepang

Langkah-Langkah Tradisional untuk Mengurangi Bencana Banjir di Jepang

Yukiko Takeuchi and Rajib Shaw

Abstrak

Kearifan lokal dalam penanggulangan bencana banjir di Jepang telah dikembangkan dan

diuji dari waktu ke waktu, dan terbukti efektif. Suatu perpaduan antara teknologi

pencegahan banjir, pengendalian erosi, dan pengurangan kerusakan tengah diteliti di

prefektur Gifu, Jepang tengah, yang rawan banjir. Dengan mendokumentasikan

pengalaman ini, dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan kearifan dan teknologi lokal

mensyaratkan adanya dukungan kebijakan yang sesuai dan kesadaran dari para peneliti di

satu pihak, serta perekaman, verifikasi, dan pengujian teknologi tersebut di pihak lain.

Latar Belakang

Jepang adalah sebuah kepulauan di wilayah iklim muson yang mengalami udara hangat

dan lembap pada musim panas dan udara sejuk di musim dingin. Udara lembap dari air

terserap dan terkeringkan di daratan berkat topan di musim panas, hujan salju di musim

dingin, aliran udara “Bai-u” pada bulan Juni dan Juli, serta peralihan depresi dan aliran

udara pada semua musim. Rata-rata curah hujan 1.800 milimeter per tahun, berarti dua

atau tiga kali lipat dari rata-rata daerah lainnya dengan ketinggian yang sama. Di wilayah

pantai selatan yang menghadap ke Samudera Pasifik, curah hujan mencapai 4.000

milimeter. Karena bentuk kepulauan Jepang yang sempit dengan topografi yang

bervariasi, perbedaan iklim udara menjadi sangat besar.

Tiga perempat daratannya berupa pegunungan dengan relief yang cukup tajam. Deretan

pegunungan, beberapa di antaranya hingga 3.000 meter di atas permukaan laut,

memanjang di tengah daratan negeri yang panjang dan sempit ini. Akibatnya, sungai-

sungai di sana pada umumnya pendek dan agak curam. Erosi dan pengikisan tanah terjadi

sangat cepat di wilayah pegunungan. Segera setelah turun hujan lebat, sungai-sungai

membanjir. Tambahan lagi, Jepang terletak di area gempa Sabuk Pasifik dan kerap

mengalami dampak akibat aktivitas gunung berapi dan gempa yang dahsyat. Jumlah

gunung berapi di Jepang kira-kira sepersepuluh gunung berapi di dunia. Mayoritas

penduduk dari total 100 juta jiwa memadati wilayah dataran yang sempit. Proses

urbanisasi yang deras dan kurang terkendali mengakibatkan juga pemakaian lahan secara

tidak sesuai. Berbagai pengubahan lingkungan alam terjadi secara cepat dan besar-

besaran, seiring dengan meningkat pesatnya kegiatan dan eksploitasi ekonomi.1

Kebanyakan kota di Jepang terkumpul di dataran pantai. Mengingat 10% lahan di sana

rentan terhadap banjir, sekitar 50% populasi dan hampir 75% tanah milik penduduk

terletak di area banjir.2 Secara khusus, prefektur Gifu, salah satu daerah di Jepang yang

paling rentan terhadap bencana banjir, terletak pada pertemuan tiga sungai: Kiso, Nagara,

dan Ibi. Ketiga sungai ini mengitari dataran Noubi, sebuah wilayah dataran rendah yang

kerap diserang banjir.

1 T. Nakano et al. (1974).

2 Japan Water Forum (JWF) (2006).

Page 36: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

36

Kisah/Peristiwa

Bencana banjir terjadi setiap tahun di dataran aluvial dan daerah delta prefektur Gifu.

Karena lokasi dan topografinya, dataran Noubi mengalami sejumlah bencana banjir.

Selama lebih dari 200 tahun, masyarakat di sana berjuang untuk melindungi jiwa dan

harta milik dari bencana banjir.

Kearifan Lokal

Di masa lalu, masyarakat tidak dapat mengendalikan sungai, tetapi jiwa dan harta milik

dapat dilindungi dengan teknologi sederhana, pengetahuan, tradisi, dan gotong royong

dalam komunitas. Sebagai contoh, pada awal abad ke-19 (zaman dinasti Edo), aktivitas

pengurangan risiko bencana banjir dilakukan melalui goninggumi, suatu sistem saling

bantu, gotong royong, dan saling mengawasi yang meliputi lima keluarga pada kelompok

masyarakat tertentu. Program lain mencakup penanaman bambu sebagai persiapan dan

pengurangan risiko bencana banjir, serta pengelolaan hutan di dataran banjir.

Pada akhir abad ke-19 (zaman dinasti Meiji), berbagai teknologi pengendalian banjir

diterapkan dengan bantuan para insinyur dari Belanda. Orang dapat melindungi hidup

dan harta milik dengan lebih baik berkat masuknya teknologi seperti, antara lain, tanggul

beton, check dam, pintu air, dan peralatan pompa.

Dulu, luapan banjir dari sungai dianggap sebagai gejala alam. Orang tidak berusaha

menghalanginya, melainkan membuat perangkat berbasis-pengetahuan untuk mengurangi

dampak kerusakan. Tiga jenis pengetahuan dan teknologi tradisional yang dimiliki

masyarakat Gifu diterangkan pada Gambar 1 dan dalam pembahasan di bawah ini.

Pencegahan Banjir

Untuk mengurangi dampak banjir, masyarakat membangun tanggul cincin tradisional

yang berfungsi melindungi beberapa rumah dan lahan pertanian (Gambar 2). Penduduk

menamainya Waju (cincin dalam). Dalam peta sejarah, tanggul cincin semacam ini

ditemukan di beberapa lokasi, dan di banyak tempat saling terhubung. Setiap kampung

membentuk pengurus khusus dengan tugas memelihara tanggul cincin itu. Kerja sama ini

membantu tumbuhnya rasa percaya diri dan memperkuat ikatan komunitas setempat.

Akibat kebijakan yang dilaksanakan pemerintah pada abad ke-18 terhadap aliran sungai

Kiso, Nagara, dan Ibi, frekuensi banjir di daerah ini berkurang. Oleh sebab itu,

keberadaan tanggul cincin itu mulai dirasakan kurang berguna dan di beberapa tempat

bahkan dibongkar agar tanahnya dapat digunakan untuk keperluan lain.

Pengendalian Erosi

Untuk meminimalkan erosi, masyarakat membangun beberapa struktur sederhana di

tepian sungai, khususnya pada area kelokan sungai. Struktur ini disebut Hijiri-ushi yang

berarti Sapi Besar, agaknya karena bentuknya yang secara sepintas mirip dengan seekor

Page 37: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

37

sapi. Tujuan struktur ini adalah mengurangi kekuatan arus air sungai sehingga

memperkecil dampak erosi. Ada beberapa jenis Hijiri-ushi berdasarkan bahan yang

digunakan. Jenis yang paling umum tampak pada Gambar 3 dan 4. Biasanya satu set

Hijiri-ushi terdiri dari 5 struktur. Pada tiap kelokan sungai (bergantung pada panjang

pendeknya kelokan) biasanya diletakkan sekitar 13-15 set Hijiri-ushi (Gambar 4).

Patut diperhatikan bahwa teknologi yang sama masih digunakan hingga hari ini dengan

sedikit perubahan pada jenis bahan yang dipakai. Kini beton lebih lazim digunakan

daripada kayu sehingga umur pakainya lebih lama.

Pengurangan Kerusakan

Untuk mengurangi kerusakan akibat banjir, orang membangun rumah yang ditinggikan,

yang disebut Mizuya (Gambar 5). Keluarga-keluarga yang cukup makmur biasanya

mempunyai Mizuya di samping bangunan rumah utama, sebagai cadangan hunian pada

saat banjir. Pada awalnya, Mizuya dibangun sebagai ruang penyimpanan harta benda

rumah tangga. Ketika terjadi peristiwa banjir besar tahun 1896, ketinggian Mizuya hanya

sekitar 2 meter. Setelah itu, para pemilik rumah membangun Mizuya dengan menambah

ketinggiannya 1,3 meter dari ketinggian semula (Gambar 6). Dalam perjalanan waktu

fungsi Mizuya mulai diubah sehingga dapat dihuni orang untuk waktu yang lebih lama.

Mizuya yang sudah dimodifikasi terdiri dari dua ruang, sebuah gudang penyimpanan dan

sebuah kamar mandi. Keluarga yang cukup kaya biasanya juga mempunyai perahu

darurat untuk keperluan evakuasi (Gambar 7).

Gambar 3. Hijiri-ushi dari beton (Foto oleh NIED-KU, 2007)

Gambar 4. Hijiri-Ushi di Sungai Nagara (Foto oleh NIED-KU, 2007)

Pelajaran yang Dapat Dipetik

Walaupun pengetahuan dan teknologi tradisional semakin tersingkir dan semakin jarang

diterapkan di kebanyakan wilayah Jepang, ada beberapa kelemahan jika orang melulu

bergantung pada teknologi modern untuk mengurangi dampak bencana. Pengetahuan

tradisional telah terbukti bermanfaat dalam konteks kebudayaan dan sosio-ekonomi lokal.

Prinsip-prinsip tradisional dipertahankan, kendati mengalami perubahan dalam perjalanan

waktu, sehingga meningkatkan kemandirian masyarakat. Terlebih lagi, keterlibatan

masyarakat merupakan unsur penting dalam praktik kearifan lokal. Ketergantungan

terhadap teknologi modern membuat orang terlalu bergantung pada sumber daya luar,

sehingga justru mengurangi kapasitas dan kemampuan mereka untuk menolong diri

sendiri. Kejadian-kejadian bencana yang terjadi akhir-akhir ini banyak memperlihatkan

kegagalan sistem tersebut dalam menolong kelompok masyarakat yang terkena bencana,

membuat mereka tak berdaya dan menyebabkan kerugian yang lebih banyak. Karena itu,

langkah ideal dalam upaya pengurangan bencana seharusnya memuat kombinasi yang

seimbang antara teknologi modern dan pengetahuan tradisional.

Di satu pihak, kita perlu memusatkan perhatian pada pengembangan teknologi

pengurangan bencana. Di pihak lain, penting jugalah memusatkan perhatian pada

Page 38: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

38

implementasi teknologi, menjalani proses hingga ujung dan menjembatani jurang antara

teori dan praktik. Untuk ini, khazanah kearifan lokal memainkan peran yang amat penting

karena berkaitan langsung dengan kelompok masyarakat. Agar pengetahuan tradisional

dapat dimanfaatkan secara efektif, perlu ada kebijakan yang jelas pada berbagai

tingkatan, dalam upaya pengurangan bencana dan dalam penelitian dan pendidikan, demi

menunjang pemanfaatannya. Pentinglah mendokumentasikan pengetahuan tradisional itu

secara sistematis. Langkah-langkah pendokumentasian mencakup: (i) pengumpulan

informasi dasar, (ii) verifikasi tentang kekuatan dan kelemahannya, (iii) telaah atas

kemungkinan penerapannya pada berbagai konteks (fisik, sosial, budaya, dan ekonomi),

dan (iv) klasifikasi teknologi berdasarkan kriteria tertentu.

Komunikasi risiko adalah perangkat interaktif dua arah untuk saling berbagi informasi

tentang risiko di antara aparat pemerintah, peneliti, dan masyarakat setempat. Untuk

mengoptimalkan komunikasi risiko, pemerintah, peneliti, dan masyarakat setempat harus

saling berbagi pengetahuan. Lembaga-lembaga pemerintah dan komunitas peneliti

umumnya memiliki ‘informasi risiko’ yang lebih tinggi daripada kelompok-kelompok

masyarakat setempat. Kendati demikian, masyarakat setempat kaya akan kearifan lokal.

Informasi risiko perlu dilengkapi dengan kearifan lokal dan pengetahuan tradisional agar

dapat secara efektif mengurangi risiko bencana dalam komunitas masyarakat lokal.

Bahkan, seandainya ada kebutuhan untuk menerapkan suatu teknologi baru untuk

pengurangan bencana, masyarakat setempat perlu dilibatkan agar mereka dapat

memahami kelebihan dan kekurangan teknologi itu (mencakup rincian bahan yang

digunakan, modal yang harus dipenuhi, waktu yang diperlukan, dan sebagainya).

Pemerintah, juga kalangan akademis, perlu menghargai praktik dan teknik tradisional

yang masih diterapkan masyarakat agar dapat mengajukan upaya perbaikan yang

berdasarkan konteks dan paling sesuai bagi wilayah tertentu.

Daftar Pustaka

- Nakano, T., H. Kadomura, T. Mizutani, M. Okuda, and T. Sekiguchi, 1974. “Natural

hazards: Report from Japan.” In Natural Hazards: Local, National, Global, edited by

White, G. and I. Burton, 231-245. Oxford: Oxford University Press.

- Japan Water Forum (JWF), 2006. Flood Fighting in Japan: 15.

- Settu City, 2007. http://www. city.settsu.osaka.jp/section/222_ shougaigaku-

sports/p106-107. pdf

Page 39: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

39

Masyarakat Penggembala Shiver, Mandal, Selenge, Mongolia

Kearifan Lokal dalam Pengurangan Risiko Bencana pada Masyarakat

Penggembala Shiver

Bolormaa Borkhuu

Abstrak

Masyarakat penggembala Shiver di aimag (provinsi) Selenge, Mongolia, sepanjang

waktu berhadapan dengan bahaya bencana zud (bencana musim dingin yang khas

Mongolia), kekeringan, kebakaran hutan, hujan badai, dan serangan serangga hutan.

Masyarakat secara bersama-sama menerapkan kearifan lokal yang dapat digunakan untuk

pengurangan risiko bencana. Peta penggunaan lahan, pengetahuan tentang bencana alam,

kalender musim, dan organisasi sosial adalah beberapa bidang kearifan lokal yang

membantu masyarakat mempersiapkan diri untuk menghadapi bencana sepanjang tahun,

khusunya pada musim dingin.

Latar Belakang

Mongolia terdiri atas ibu kota dan 21 aimag atau provinsi, dengan pembagian lebih rinci

aimag ke dalam beberapa soum, soum ke dalam beberapa bag, ibu kota ke dalam

beberapa distrik, dan distrik ke dalam beberapa horoo. Masyarakat penggembala Shiver

tinggal di soum Mandal. Pusat soum Mandal terletak di wilayah utara, 160 km dari

Ulaanbaatar (ibu kota Mongolia), 200 km dari pusat aimag Selenge. Masyarakat Shiver

terdiri dari kira-kira 30 keluarga penggembala. Sejak zaman dahulu, kaum penggembala

di Mongolia biasanya tergabung dalam khot ail, yakni kelompok 4–5 keluarga yang

terikat hubungan darah atau kekerabatan.

Kisah/Peristiwa

Masyarakat pedalaman di Mongolia sangat bergantung pada kondisi iklim dan sering

terpapar bencana alam, yang paling sering adalah zud, kekeringan, kebakaran hutan,

hujan badai, dan serangan serangga hutan. Karena perubahan iklim dan ekologi, frekuensi

peristiwa kekeringan dan zud cenderung meningkat. Zud adalah bencana alam yang

paling sering terjadi, yakni sejenis bencana musim dingin khas Mongolia yang

mengganggu kesejahteraan dan keamanan pangan masyarakat penggembala itu akibat

tingginya angka korban jiwa manusia dan juga korban ternak. Penyebab langsung

bencana zud adalah meningkatnya fenomena alam, termasuk (i) kekeringan parah yang

meluas pada musim panas, (ii) temperatur yang luar biasa dingin pada musim gugur dan

musim dingin (di bawah -40°C), (iii) salju tebal (lebih dari 70 cm), (iv) lapisan es di

tanah, dan (v) rendahnya kandungan nutrisi pada rerumputan. Semua kondisi ini, di

samping meningkatnya bencana alam, sangat berdampak pada ekonomi negara dan

kehidupan penduduk pedalaman.

Kearifan Lokal

Page 40: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

40

Masyarakat penggembala Shiver secara bersama-sama menemukan kearifan lokal yang

bermanfaat bagi pengurangan risiko bencana (Gambar 1). Beberapa jenis pengetahuan

yang penting pun muncul, antara lain peta penggunaan lahan, pengetahuan tentang sebab

dan akibat bencana, kalender musim, dan jejaring sosial.

Peta Penggunaan Lahan

Dengan melakukan survei, para penggembala membuat sebuah peta tentang tempat

tinggal mereka, lengkap dengan deskripsi penggunaan lahan (Gambar 2). Pada peta

tergambarkan antara lain letak permukiman musiman, ladang jerami, ladang

penggembalaan, sungai, mata air, hutan, hutan yang terbakar, jalan, jembatan, lahan

pertanian, serta area runtuhan salju selama berlangsung zud. Permukiman musim dingin

terletak agak berjauhan di lembah gunung, antara lain lembah Chavgants, Urtuunii am,

Khuurai Shaazgait, Marz, Shar Khad, Tsagaan, dan terusan Nariin. Permukiman pada

musim panas dapat ditemukan di tepian sungai Ar bulag, Galsan bulag, dan Saalinch.

Permukiman pada musim gugur terletak berdekatan dengan lokasi permukiman musim

dingin.

Peta menunjukkan 30 rumah tangga yang tinggal di 13 permukiman musim dingin (1-5

rumah tanggap pada tiap permukiman), 43 rumah tangga di 8 permukiman musim panas

(2-9 rumah tangga tiap permukiman). Jumlah rumah tangga di permukiman musim panas

lebih banuyak daripada musim dingin karena banyak keluarga dari perkotaan datang ke

daerah pada musim panas dan lalu pulang pada musim gugur. Ladang jerami memenuhi

daerah lembah sungai Shiver dan berdekatan dengan permukiman musim gugur.

Pengetahuan tentang Bencana dan Sebab Akibatnya

Para penggembala menyebutkan zud, kekeringan, keakaran hutan, hujan adai, dan

serangan serangga hutan sebagai bencana alam yang paling banyak terjadi di wilayah itu.

Mereka tahu, bencana-bencana itu disebabkan oleh macam-macam kondisi semisal

kurangnya penegakan hukum, permasalahan seputar lahan penggembalaan,

penggundulan hutan, dan perubahan iklim. Dampaknya pun bermacam-macam, misalnya

kematian ternak, perubahan komposisi tumbuhan, dan kekurangan lahan penggembalaan.

Kalender Musim

Kalender musim digunakan untuk menentukan kapan tiba dan berapa lama bencana

berlangsung. Berikut ini hasil pengamatan mereka:

Zud dan kekeringan: Juni-September

Kebakaran hutan: April-Juni pada musim semi, September-Oktober pada musim gugur

Hujan lebat: Juni-Agustus

Serangan serangga hutan: Mei (awal musim tanam)-September

Organisasi Sosial

Page 41: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

41

Di wilayah pedalaman, kaum penggembala dan penduduk lainnya membentuk unit-unit

swadaya dan koperasi untuk secara bersama-sama menangani masalah yang diakibatkan

oleh kekeringan, zud, dan kebakaran stepa. Sewaktu terjadi bencana, sumber pertolongan

yang utama berasal dari para tetangga, anggota keluarga, sanak saudara, dan pemerintah

soum. Bantuan dan dukungan juga datang dari organisasi Palang Merah setempat dan

anggota parlemen. Tujuan utama masyarakat penggembala adalah penggunaan ladang

penggembalaan secara rasional, pencegahan dan pengurangan risiko bencana alam, dan

peralihan ke ekonomi pasar. Pintu dibuka lebar bagi munculnya inisiatif dari tingkat akar

rumput berkenaan dengan perkara yang bukan sekadar soal perlindungan air dan padang

rumput, melainkan lebih luas hingga ke persoalan tentang perlindungan lingkungan

hidup, penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan, dan manajemen bencana.

Praktik kearifan lokal menjadi penting karena adanya kebutuhan untuk memobilisasi

tindakan manajemen bencana di tingkat akar rumput. Masyarakat lokallah yang terkena

bencana, maka mereka pulalah yang sangat perlu tahu tentang risiko bencana dan mampu

mengambil langkah-langkah untuk mengurangi dampak bencana yang akan terjadi.

Pelajaran yang Dapat Dipetik

Ada beberapa pelajaran penting yang dapat dipetik dari masyarakat Shiver berkenaan

dengan kearifan lokal untuk mengurangi bencana.

1. Di Mongolia, kaum penggembala di wilayah pedalaman telah berhasil mengambil

inisiatif dan membangun semangat untuk bergabung dalam kelompok-kelompok agar

dapat bekerja, melakukan aktivitas bisnis, dan menyelesaikan berbagai persoalan dan

kesulitan melalui usaha bersama.

2. Masyarakat Shiver dapat mengenali bencana-bencana alam yang umum dialami di

Mongolia seperti zud, kekeringan, kebakaran hutan dan stepa, serta hujan badai. Ciri

khas bencana alam di sana: durasi cukup lama, kerugian yang ditimbulkan amat

banyak dan luas. Masyarakat pedalaman harus mampu memahami kerentanan mereka

terhadap bencana yang merugikan ekonomi dan terjadi secara terus-menerus.

3. Penghidupan kaum penggembala Mongolia, permukiman dan pekerjaan mereka,

sangat berbeda dibandingkan dengan negara-negara lain. Oleh sebab itu, sistem

manajemen bencana yang akan diterapkan di sana harus terlebih dahulu disesuaikan

dengan kondisi lokal.

4. Sistem manajemen bencana secara lokal pada tingkat akar rumput diperlukan supaya

memampukan para penggembala untuk mengatasi bencana dengan kerugian sekecil

mungkin.

5. Manajemen bencana tidak boleh hanya terpaku pada mengupayakan ladang

penggembalaan dan ladang jerami yang mencukupi agar para penggembala dapat

melewati musim dingin dengan tenang. Pentinglah agar manajemen juga mencakup

cara-cara pemakaian sumber daya alam di daerah itu secara berkelanjutan.

6. Pemanfaatan kearifan lokal pada masyarakat pedalaman dalam upaya pengurangan

risiko bencana adalah metode yang terbukti hemat biaya dan efisien, serta sangat

penting untuk mengurangi risiko bencana yang paling sering terjadi dan paling

merusak ekonomi, yakni zud, kekeringan, serta kebakaran hutan dan stepa.

Page 42: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

42

7. Lembaga-lembaga negara perlu menerapkan langkah-langkah yang komprehensif

dengan tujuan meningkatkan kesadaran penduduk tentang pentingnya upaya

pengurangan risiko bencana, terutama justru di kalangan masyarakat miskin. Di

samping itu, inisiatif dari akar rumput harus didukung. Persepsi masyarakat tentang

kerentanan diri mereka terhadap bencana alam haruslah diubah. Pemahaman mereka

tentang manajemen bencana sebagai upaya bantuan pasca-bencana belaka perlu

diperluas hingga mencakup pula upaya pengurangan risiko dan pencegahan bencana.

Page 43: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

43

Distrik Bardiya, Chitwan, Syangja, dan Tanahu, Nepal

Kearifan Lokal dalam Mitigasi Bencana: Membangun Upaya untuk Saling

Melengkapi antara Pengetahuan Masyarakat dan Pengetahuan Para Ahli

Man B. Thapa, Youba Raj Luintel, Bhupendra Gauchan, dan Kiran Amatya

Abstrak

Nepal rentan terhadap beberapa bencana alam, antara lain tanah longsor, banjir, gempa

bumi, kebakaran, dan kekeringan, karena beberapa faktor antara lain topografi

wilayahnya, pembangunan yang tak terencana, dan pesatnya pertumbuhan penduduk.

Akibatnya, banyak masyarakat terpencil di pedalaman memanfaatkan pelbagai macam

praktik tradisional mitigasi dan persiapan untuk mengurangi dampak negatif bencana

terhadap nyawa dan harta milik mereka.

Penelitian yang mendalam dan sistematis tentang kearifan lokal dalam penanggulangan

bencana adalah hal yang langka di Nepal. Proyek Program Penanggulangan Bencana

Partisipatif yang didukung oleh UNDP memberikan perhatian banyak pada teknik-teknik

mitigasi tanah longsor sebagaimana dipraktikkan oleh masyarakat di distrik Bardiya,

Chitwan, Syangja, dan Tanahu di Nepal. Tujuan proyek ini adalah mendorong para

pengambil kebijakan agar memasukkan unsur-unsur kearifan lokal yang amat kaya ke

dalam upaya penanggulangan bencana negara itu.

Latar Belakang

Program Penanggulangan Bencana Partisipatif (Participatory Disaster Management

Program, disingkat PDMP) mulai dilaksanakan pada tahun 2000 di delapan kampung di

empat distrik Nepal. Kampung-kampung itu antara lain Bhandara dan Kathar di Distrik

Chitwan, Risti dan Kyamin di Distrik Tanahu, Kahule dan Oreste di Distrik Syangja,

serta Guleria dan Padnaha di Distrik Bardiya. Program ini, yang didasari oleh

pengalaman sebelumnya dalam program Peningkatan Kapasitas Penanggulangan

Bencana di Nepal, bertujuan memadukan pengetahuan modern dan pengetahuan lokal

dalam upaya mitigasi dan kesiagaan terhadap bencana, dengan sasaran membangun

kapasitas masyarakat secara partisipatif, berkelanjutan, dan hemat biaya.

Kisah/Peristiwa

Tanah longsor biasa terjadi di banyak tempat di Nepal. Longsor dapat terjadi di hilir

(aliran sungai) atau di hulu (pegunungan). Beberapa kondisi dan perilaku masyarakat

turut memperburuk keadaan. Sebagai contoh, semakin banyaknya pengambilan bebatuan

dan pasir dari dasar sungai dalam skala besar-besaran telah memperparah masalah.

Meningginya dasar sungai di hilir, akibat pengendapan lumpur, dapat juga

mengakibatkan tanah longsor.

Kurangnya manajemen kehutanan yang baik juga berperan menimbulkan longsor.

Memangkas dan menebang pohon pada waktu yang tidak tepat juga merupakan faktor

yang menambah persoalan. Penggundulan hutan secara hebat dan praktik pertanian yang

Page 44: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

44

buruk ikut memperburuk keadaan. Dandhelo (kebakaran hutan) mempercepat menipisnya

sumber daya hutan. Dandhelo terjadi bukan hanya karena kelalaian manusia pada musim

kering, melainkan juga karena dilakukan secara sengaja akibat kepercayaan pada mitos

bahwa pembakaran hutan membantu proses regenerasi tumbuhan. Praktik khoria

(peladangan tebang-dan-bakar) juga mempercepat proses menipisnya sumber daya hutan.

Di samping itu, erosi parit di punggung bukit dapat menimbulkan tanah longsor. Parit-

parit alam di punggung bukit terbentuk karena penggundulan rumput oleh ternak secara

berlebihan, sistem drainase natural yang kurang tepat, dan bertambahnya pembangunan

jalan (rel, aspal, dll.) yang tidak ramah terhadap lingkungan alam sekitar. Terakhir, dalam

banyak kasus, tanah longsor menyebabkan banjir. Oleh sebab itu, ada kaitan erat antara

tanah longsor dan banjir.

Kearifan Lokal

Masyarakat setempat memiliki serangkaian langkah tradisional untuk menanggulangi

tanah longsor. Selain itu, penduduk setempat mengamati tanda-tanda alam yang

memungkinkan mereka berjaga-jaga sebelum terjadi bencana.

Sistem penanaman

Daripada menanam pepohonan besar, masyarakat di perbukitan lebih suka menanam

pepohonan kecil, semak, atau rumput-rumputan di dan sekitar perkampungan. Para petani

beranggapan bahwa pepohonan kecil, semak, dan rerumputan di kelokan sungai dan di

area yang curam dapat melindungi lahan pertanian terhadap risiko erosi dan tanah

longsor. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa pepohonan kecil dan semak dapat

mencegah hilangnya humus dan tidak berisiko tumbang jika terjadi hujan lebat. Petani di

Terai menanam tumbuhan seperti itu di lahan pinggiran yang tidak cocok untuk ditanami.

Mereka juga menanam amriso (bouquet grass dalam bahasa Inggrisnya) dan babiyo

(eulaliopsis) untuk melindungi pematang terasering. Semua tanaman ini mengakar secara

dalam dan melebar sehingga memperkuat tanah. Demikian juga, orang menanam bambu

di parit, cekungan, untuk mengendalikan larinya air. Akar bambu juga melebar dan saling

bertautan dengan akar bambu lainnya sehingga membentuk suatu sistem penguat tanah

alami. Praktik penanaman dengan cara demikian itu tidak hanya memberikan makanan,

bahan bakar dan kandang bagi hewan ternak, tetapi juga menambah pendapatan bagi

petani.

Memperbaiki terasering

Di daerah yang kurang subur, kadang orang terpaksa bercocok tanam di tanah yang

curam. Seringkali tanah semacam itu rentan terhadap bencana tanah longsor. Tetapi,

selama ratusan tahun para petani berhasil membangun terasering untuk mengurangi laju

aliran air dan hilangnya lapisan humus, juga untuk mempermudah cocok tanam. Mereka

juga berhasil membangun dan mengelola terasering dengan sedikit kemiringan pada

pojoknya, bukan pada tepinya. Dengan meletakkan bebatuan dan lumpur pada tepi

terasering, air yang tertahan di teras dapat mengalir melalui pojok itu. Dengan cara itu,

Page 45: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

45

tanah di lahan curam diubah menjadi lahan pertanian terasering (Gambar 1). Walau

tujuan utamanya untuk memperluas area pertanian, teknik tersebut berhasil

meminimalkan hilangnya lapisan humus dan mengurangi laju aliran air yang pada

akhirnya mengurangi kemungkinan terjadinya longsor.

Di samping itu, para petani juga membiarkan rerumputan tumbuh di dinding terasering.

Akar rumput berfungsi menjaga ikatan tanah dan mengurangi laju aliran air hujan

maupun air irigasi. Sebagai akibatnya, menanam rumput membantu mengendalikan

hilangnya lapisan humus dan mengurangi kemungkinan longsornya dinding terasering.

Pembuatan pagar

Membangun pagar adalah salah satu cara yang paling populer untuk melindungi tanaman

dari serangan binatang hama dan memungkinkan tanaman dan rerumputan tumbuh pada

tanah pinggiran. Tanaman dewasa dan rerumputan mencegah pengikisan tanah dan

longsor. Dua jenis pagar yang umum ditemui adalah dinding pagar kering dan pagar

hidup.

Dinding pagar kering. Di daerah perbukitan, petani mendirikan dinding batu pada sisi

lahan pertanian atau di dekat aliran sungai dan parit. Pagar semacam ini efektif dalam

meminimalkan pengaruh banjir, longsor, pengikisan tanah, dan ambruknya lereng, selain

juga dapat mengalihkan banjir dan menjaga agar binatang liar tidak masuk ke dalam

lahan pertanian. Struktur pagar terdiri dari bebatuan besar yang ditumpangkan di atas

galian pondasi, di atas bebatuan kecil yang diletakkan di atas permukaan tanah. Biasanya,

petani menanam bambu atau tumbuhan lain di samping dinding itu supaya strukturnya

lebih kokoh dan awet.

Di area dekat lahan pertanian, jika bebatuan mudah didapat, petani mendirikan struktur

semacam ini pada tepian sungai yang arusnya deras. Karena mengangkut batu-batu besar

bukanlah pekerjaan mudah, orang-orang biasanya bergotong royong untuk

membangunnya. Meskipun mendirikan pagar batu merupakan pekerjaan yang mahal dan

memerlukan perawatan teratur, cara ini efektif karena mampu membelokkan aliran

sungai dari lahan pertanian.

Pagar hidup. Banyak petani di Terai dan di perkampungan perbukitan lainnya

mempraktikkan pembuatan pagar hidup. Pagar semacam ini merupakan alternatif jikalau

bebatuan besar sukar didapatkan di sana. Yang sering digunakan sebagai pagar hidup

antara lain sajiwan, pohon neem, khirro, dan simali. Beberapa jenis tanaman pakan

hewan juga kadang digunakan (secara tersendiri atau dikombinasikan dengan pepohonan

pagar) semisal badhar, dabdabe, gindari, koiralo, kutmiro, phaledo, siris, dan tanki.

Tanaman-tanaman ini berakar dalam dan merontokkan daun pada musim dingin sehingga

menyediakan sinar matahari bagi tanaman musiman lainnya. Daun-daunnya yang mati

juga berfungsi sebagai zat organik yang menyuburkan tanah. Lebih jauh lagi, tanaman

berakar dalam ini tidak berebut nutrisi dan udara dengan tanaman pangan seperti

gandum.

Page 46: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

46

Tumpangsari

Petani di perbukitan dan di Terai meningkatkan perolehan tanaman pangan dengan cara

tumpangsari. Di perbukitan mereka menanam jagung dengan kedelai, finger millet

dengan masyang (black gram), gandum dengan kentang, dan sebagainya. Salah satu

tujuan utama intensifikasi ini adalah meningkatkan dan meragamkan panen. Sekaligus

juga cara itu efektif untuk mengurangi hilangnya lapisan humus karena menahan laju

peluruhan permukaan tanah. Menanam satu jenis tanaman pada satu waktu berarti tidak

membiarkan lahan pertanian menganggur dan terbuka. Pengalaman petani selama

bertahun-tahun membuktikan bahwa lahan yang terbuka rentan terhadap pengikisan oleh

angin, air dan longsor.

Selain bermacam-macam teknik mitigasi tersebut, kelompok-kelompok masyarakat juga

memiliki kemampuan untuk mengenai tanda-tanda bahaya jika akan terjadi longsor,

sehingga mereka dapat mempersiapkan diri sebelum bencana terjadi. Misalnya, jika

tampak rekahan baru di permukaan tanah, ada kemungkinan itu pertanda akan terjadinya

longsor dalam waktu dekat. Pancaran air di tempat baru juga merupakan pertanda

lainnya. Berubahnya posisi pohon secara vertikal ataupun horizontal juga menandakan

terjadinya longsor di daerah itu atau di sekitarnya.

Pelajaran yang Dapat Dipetik

Nepal adalah sebuah negeri yang kecil, bertekstur pegunungan, dan sangat rentan

terhadap bencana. Kapasitas negara itu untuk menangani banjir dan bencana alam

sangatlah lemah, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat masyarakat. Beberapa

laporan tersedia tentang nilai kearifan lokal bagi pengelolaan sumber daya alam di Nepal.

Namun, literatur tentang kearifan lokal bagi persiapan dan mitigasi bencana amatlah

jarang dan tercerai-berai. Penelitian yang mendalam dan sistematis tentang mitigasi

bencana pada umumnya dan kearifan lokal pada khususnya, bisa dikatakan tidak ada.

Lebih jauh lagi, telaah atas literatur yang ada memperlihatkan bahwa praktik dan kearifan

lokal yang dimiliki masyarakat setempat ternyata tidak diajarkan di sekolah dan juga

tidak dicatat. Pengetahuan lokal itu tetap bertahan karena dua sebab: Pertama,

pengetahuan itu mempunyai manfaat fungsional dalam masyarakat yang berkepentingan;

Kedua, pengetahuan itu secara dinamis disampaikan dari generasi ke generasi melalui

tradisi lisan dan praktik.

Setelah hampir setahun lamanya melakukan observasi dan berinteraksi dengan penduduk

di delapan perkampungan, menjadi jelaslah bahwa tidak semua kelompok masyarakat

memiliki khazanah pengetahuan yang sama luasnya mengenai mitigasi bencana—

sebagaimana bisa diduga. Pengetahuan semacam itu lebih kental di dalam kelompok suku

yang homogen daripada dalam kelompok-kelompok pendatang (seperti Brahmin dan

Chhetri di distrik Terai). Masyarakat yang tinggi kesadarannya akan solidaritas dan

harmoni, seperti Gurung dan Tharu, memiliki pengetahuan lebih banyak tentang mitigasi

bencana. Semakin mandiri dan relatif endogen suatu kelompok, semakin besarlah

kemungkinan bahwa kelompok itu memiliki khazanah kearifan lokal yang kaya.

Page 47: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

47

Bagaimanapun juga, semua kelompok terancam bahaya makin terkikisnya kearifan lokal

antara lain karena pengaruh modernisasi.

Masyarakat memiliki khazanah pengetahuan yang amat luas dan beragam tentang

mitigasi bencana berdasarkan kearifan lokal. Karena mereka hidup di tebing atau lembah

yang terpencil dan sulit dijangkau, mereka mempunyai strategi sendiri dalam menghadapi

bencana yang harus mereka hadapi. Perkawinan atau penyatuan kearifan lokal ini dengan

pengetahuan ilmiah modern akan dapat meningkatkan kapasitas kelompok masyarakat

dalam kesiapsiagaan dan mitigasi bencana. Telaah yang mendetail, sistematis, dan

intensif tentang kearifan lokal dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif

dan penghargaan mengenai peran kearifan lokal demi peningkatan kualitas dan keamanan

hidup penduduk. Oleh sebab itu, sangatlah perlu dilakukan upaya untuk mengumpulkan,

menyusun, dan mensistematisasikan khazanah kearifan lokal yang amat beragam ini

sebelum lenyap ditelan waktu. Pencatatan pengetahuan semacam itu akan tampak jika

saja ada upaya untuk menjadikan prakarsa peningkatan kapasitas penanggulangan

bencana dalam kelompok masyarakat bukan saja hemat biaya, tetapi juga berkelanjutan

dan selaras dengan alam dan budaya.

Daftar Pustaka

- Carter, A.S. and D.A. Gilmour.1989. “Increase in tree cover on private farm land in

Central Nepal,” Mountain Research and Development, 9(4), pp. 381-391.

- Chand, S.P. Gurung, B.D. and P.G.Rood.1991. Farmers’ traditional wisdom: where

does it stand within the present agricultural research system of Nepal? Pakhribas

Agricultural Center Occasional Paper No. 4, Dhankuta.

- Fisher, R.J.1989. Indigenous Systems of Common Property Forest Management in

Nepal, Environment and Policy Institute (EAPI) Working Paper No. 18, East-West

Center, Honolulu.

- Gautam, K.H.1991. “Indigenous Forest Management Systems in Nepal,” an

unpublished M. Sc. thesis. Australian National University.

- Gilmour, D.A. and R.J.Fisher.1991. Villagers, Forests and Foresters: The Philosophy,

Process and Practice of Community Forestry in Nepal, Kathmandu: Sahayogi Press.

- Gilmour, D.A.1989. Forest Resources and Indigenous Management in Nepal,”

Environment and Policy Institute (EAPI) Working Paper No. 17, East-West Center,

Honolulu.

- Jackson, W.J.1990.“Indigenous Management of Community Forest Resources in

Middle Hills of Nepal: A Case Study,” an unpublished graduate diploma essay,

Australian National University.

- Metz, John J.1990.“Conservation practices at an upper-elevation village of West

Nepal,” Mountain Research and Development, 10(1), pp. 7-15.

- Rai, Navin K. and Man B.Thapa.1992. Indigenous Pasture Management Systems in

High Altitude Nepal: A Review, Research Report Series, HMG Ministry of

Agriculture and Winrock International, Kathmandu.

- Rusten, E.P.1989. “An Investigation of an Indigenous Knowledge System and

- Management Practices of Tree Fodder Resources in the Middle Hills of Nepal,” an

unpublished PhD thesis, Michigan State University, Michigan.

Page 48: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

48

Terai Timur di Nepal dan Distrik Chitral di Pakistan

Pengetahuan Lokal tentang Kesiapsiagaan dalam Menghadapi Banjir: Contoh-

contoh dari Nepal dan Pakistan

Julie Dekens

Diambil dan diringkas dari “The Snake and the River Don’t Run Straight. Local

Knowledge on Disaster Preparedness in the Eastern Terai of Nepal” dan “Herders of

Chitral. The Lost Messengers? Local knowledge on Disaster Preparedness in Chitral

District, Pakistan” Kathmandu: ICIMOD, 2007.

Abstrak

Kearifan lokal mengenai kesiapsiagaan menghadapi banjir telah dicatat dalam dua studi

kasus yang dilakukan di beberapa masyarakat pedalaman di Terai Timur, Nepal, dan di

Distrik Chitral, Pakistan. Informasi dikumpulkan mengenai kemampuan orang untuk

mengamati, mengantisipasi, beradaptasi dengan, dan berkomunikasi tentang risiko-risiko

banjir. Contoh-contoh yang diteliti memperlihatkan bahwa dalam perjalanan waktu pada

umumnya masyarakat mengembangkan banyak praktik dan kearifan lokal mengenai

kesiapsiagaan menghadapi banjir, dan pengetahuan ini berperan menyelamatkan jiwa dan

mengurangi kerugian harta benda. Walau demikian, kearifan lokal ini sering dipandang

sebelah mata saja oleh pihak-pihak luar, baik nasional maupun internasional, yang

cenderung hanya memperhatikan pengetahuan ilmiah dari luar. Kearifan lokal juga makin

terkikis berkat perubahan pesat dalam konteks lingkungan hidup dan sosio-ekonomi.

Studi kasus ini menunjukkan perlunya telaah lebih lanjut atas praktik dan kearifan lokal

untuk memperkuat praktik lokal yang baik (yang berkelanjutan dan seimbang) dan,

sebaliknya, mengurangi praktik yang tidak berkelanjutan. Pada akhirnya, pemahaman

atas praktik dan kearifan lokal merupakan prasyarat jika hendak mengintegrasikan

konteks dan kebutuhan lokal ke dalam program PRB. Proyek PRB niscaya akan memetik

manfaat dengan menggabungkan pengetahuan ilmiah eksternal dan kearifan lokal demi

terciptanya solusi-solusi yang inovatif dan berkelanjutan.

Latar belakang

Studi kasus dilakukan di distrik Dhanusa, Mahottari, Rautahat, and Sarlahi di Terai

Timur, Nepal, serta di distrik Chitral di Provinsi Tapal Batas Barat Laut, Pakistan.

Kelompok-kelompok masyarakat pedalaman dalam studi kasus ini kerap menggabungkan

pertanian mandiri dan pekerjaan di luar ladang. Seperti lazim di seluruh Himalaya, kedua

masyarakat menghadapi peruahan pesat dalam konteks lingkungan hidup dan sosio-

ekonomi, yang mempengaruhi kerentanan mereka terhadap risiko bencana alam serta

cara mereka menanggapinya.

Terai Timur

Diibandingkan dengan masyarakat lain di Nepal, sebagian besar kelompok masyarakat di

Terai tergolong konservatif. Sistem kasta dalam agama Hindu mempengaruhi hubungan

sosioekonomis secara cukup kuat. Segelintir orang berkasta tinggi di kampung

Page 49: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

49

kebanyakan adalah tuan tanah atau rentenir. Maka, orang-orang yang miskin dan berkasta

rendah seringkali menggantungkan hidup mereka pada orang berkasta tinggi karena tidak

tersedia jalan untuk memperoleh kekayaan. Perbedaan besar dalam hal kerentanan

tampak di antara kasta-kasta dan tingkat sosio-ekonomis berbeda, di antara kalangan

kelompok umur yang berbeda, dan juga di dalam rumah tangga. Terlebih lagi, kerentanan

gender lebih mencolok di wilayah yang diteliti karena perempuan dalam kebudayaan

Maithali, yang dominan di perkampungan, terutama tinggal dan bekerja di rumah.

Namun, seiring bertambahnya migrasi kaum lelaki, semakin banyak lelaki yang bekerja

di luar kampung atau bahkan luar negeri sehingga lebih banyak perempuan kini harus

juga bekerja di luar rumah.

Distrik Chitral

Kesenjangan sosio-ekonomis di antara penduduk Chitral tidaklah semencolok di Nepal.

Yang unik dalam kasus ini adalah lingkungan fisik masyarakat pegunungan yang

terpencil itu. Kondisi geografis di Chitral secara umum tidak menawarkan banyak pilihan

yang aman untuk hidup. Nyaris hanya 3,5% wilayah Chitral cocok untuk pertanian.

Lereng pegunungan banyak yang curam, tandus, dan tidak cocok untuk permukiman.

Daerah lembah sungai terkena banjir berulang-ulang sehingga sama-sama tidak cocok

untuk permukiman. Orang sering dihadapkan pada situasi di mana mereka harus memilih

tempat yang paling kecil risikonya. Pada umumnya, tempat itu adalah di sisi pada ujung

bilah pegunungan. Bilah-bilah itu kemudian diubah menjadi oasis ketika orang

membangun saluran irigasi. Tanah yang mengandalkan irigasi air hujan ini sangatlah

subur karena perubahan konstan sedimen yang terkikis. Para petani menanam gandum,

pohon buah-buahan, dan sayuran, terutama untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Untuk

membajak tanah, mereka menggunakan kerbau.

Kisah/Peristiwa

Dalam kedua studi kasus, banjir merupakan peristiwa yang selalu berulang hampir setiap

tahun. Angka korban tewas akibat banjir memang tergolong rendah, tetapi kerusakan

yang menimpa lahan pertanian dan harta benda di rumah warga cukup tinggi, sehingga

amat berdampak pula pada penghidupan banyak orang karena sebagian besar warga

hidup dari pertanian.

Terai Timur di Nepal beriklim muson yang ditandai dengan musim panas yang panas dan

lembap, musim dingin yang agak agak lembut dan kering, dengan akibat besarnya

perbedaan curah hujan antarmusim. Hujan terkonsentrasi pada bulan Juni hingga

Agustus. Pada musim muson ini hujan yang deras atau berlangsung agak lama dapat

menimbulkan banjir di tanah yang sudah jenuh itu. Sama halnya, hujan lebat di

pegunungan dapat memicu terjadinya banjir bandang. Orang dapat dengan mudah

menarik garis batas antara banjir tahunan normal dan banjir luar biasa yang lebih

merusak tetapi dengan siklus kejadian lebih panjang.

Kearifan Lokal

Page 50: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

50

Kearifan lokal yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang berperan meningkatkan

kapasitas mereka untuk mengurangi risiko bencana mencakup, sekurang-kurangnya,

aspek-aspek berikut ini:

- Pengetahuan sejarah dan lingkungan: Masyarakat setempat memiliki pengetahuan

tentang sejarah dan sifat banjir di daerah merka sendiri dengan mengamati dan

mengalami sendiri peristiwa banjir, dengan dasar pengamatan sehari-hari atas

lingkungan di sekitar mereka, adanya ikatan erat dengan lingkungan hidup agar dapat

bertahan hidup, dan akumulasi pemahaman tentang lingkungan hidup yang

disampaikan dari satu generasi ke generasi lainnya. Ini penting karena pengalaman

dan pemahaman masa lalu tentang banjir pasti akan mempengaruhi pengalaman dan

pemahaman di masa kini. Salah satu contoh berkaitan dengan kapasitas orang untuk

mengamati lingkungan sekitarnya di Chitral. Di sana, salah satu strategi beradaptasi

dengan banjir bandang diperoleh dengan dasar pengetahuan lokal, yakni kemampuan

untuk membaca lingkungan alam, dan karenanya membuat interpretasi tentang di

mana tempat membangun, atau tidak membangun, rumah, kantor, dsb. Akibatnya,

permukiman di Chitral didirikan di daerah yang relatif aman kendati risiko sangat

tinggi akibat banjir bandang dan bencana alam lainnya di distrik itu.

- Pengetahuan organisasional: Kemampuan merencanakan, mengawasi, dan menilai

didasari oleh pelbagai transaksi, persepsi, kepercayaan, dan pengalaman masa lalu

tentang banjir. Orang sering dapat mengantisipasi banjir dengan cara mengamati

tanda-tanda peringatan alam (misalnya perubahan warna air, perubahan awan).

Mereka juga dapat mengidentifikasi tempat-tempat mana saja yang aman bagi

manusia dan ternak peliharaan, serta pengaturan waktu (misalnya, jika tiba saatnya

untuk memasukkan kayu bakar dan makanan lebih duu, singkirkan harta milik

berharga, lalu tinggalkan rumah).

- Pengetahuan tentang proyek pembangunan: Kepercayaan orang tentang akan adanya

pihak-pihak dari daerah, negara, atau internasional yang akan mengulurkan tangan

ketika mereka mengalami bencana akan berpengaruh pada bagaimana orang akan

menanggapi keterlibatan pihak-pihak itu.

- Pengetahuan teknis: Contoh strategi teknis sebagai upaya beradaptasi dengan banjir

antara lain langkah-langkah yang berkaitan dengan pembangunan rumah, langkah

perlindungan dinding, gudang atas, air minum, dan transportasi, serta langkah-

langkah yang diambil untuk mengalihkan aliran sungai. Sebagai contoh, di Terai

Timur, Nepal, orang menerapkan berbagai strategi sederhana untuk mendirikan

rumah (misalnya meninggikan undakan, memperkuat dan memperkokoh dinding

dengan timbunan lumpur, pagar bambu, dsb.), membangun gudang penyimpanan

makanan, atau membangun lantai untuk menghindarkan barang-barang kecil,

makanan, ternak kecil, dan juga manusia dari air banjir. (Gambar 1)

- Pengetahuan non-teknis: Contoh strategi adaptasi yang bersifat nonteknis antara lain

tindakan yang diambil berkaitan dengan mobilitas ruang dan sosial (mis. kemampuan

untuk mengandalkan dukungan sanak saudara dan tetangga, strategi-strategi

diversifikasi usaha), keamanan pangan, penyelenggaraan sistem keuangan mikro,

pengelolaan sumber daya alam (mis. peraturan tentang menggembalakan ternak dan

penebangan pohon, reorganisasi pola tanam dan pengolahan tanah, penerapan strategi

baru bercocok tanam semisal menanam di sepanjang sungai, atau menanam sayuran

Page 51: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

51

di tepian sungai untuk mengurangi dampak banjir, kepercayaan dan sikap batin

terhadap perubahan sehingga mampu belajar dari kesalahan masa lampau dan dari

peristiwa bencana banjir, serta terbangunnya relasi-relasi institusional dengan pihak

di luar lingkaran masyarakat setempat).

- Strategi komunikasi: Ini mencakup komunikasi secara lisan maupun tertulis tentang

peristiwa banjir di masa lampau maupun tentang yang akan datang, serta adanya

sistem peringatan dini (misalnya siulan, teriakan, lari menuruni bukit).

Semua orang mempunyai pengetahuannya sendiri, yang bersifat keseharian dan lokal,

tentang lingkungan sekitar mereka. Tingkat pengetahuan lokal juga bergantung pada sifat

suatu masyarakat (misalnya, masyarakat migran mempunyai pengetahuan lebih sedikit

daripada masyarakat yang telah tinggal di suatu daerah secara turun-temurun. Namun,

kelompok masyarakat nomad bisa jadi mempunyai pengetahuan lokal tentang lebih dari

satu daerah saja). Orang-orang yang dianggap ahli dalam kelompok masyarakat dan

beberapa kelompok sosial tertentu juga memiliki pengetahuan spesialis lokal, yakni

mereka memiliki keahlian penting tertentu yang tidak diketahui semua orang dan yang

dapat bermanfaat bagi kesiapsiagaan menghadapi bencana. Contohnya antara lain

masyarakat nelayan yang setiap hari hidup berdekatan dengan air. Dengan demikian, tak

aneh jika mereka mahir berenang dan peka terhadap perubahan air. Kelompok lainnya

lagi mungkin memiliki pengetahuan tentang perkayuan dan anyaman bambu,

keterampilan yang berguna dalam pengerjaan meninggikan lantai demi menghindari

banjir seperti yang ditemukan di Terai, Nepal. Beberapa pemimpin adat disegani dan

memiliki keterampilan berkomunikasi yang membuat mereka mampu berbicara di depan

publik dan menyampaikan pesan peringatan (misalnya “harap Anda meninggalkan rumah

sekarang juga!”) yang akan dipercayai dan diikuti semua penduduk.

Masyarakat di Chitral juga telah menerapkan strategi-strategi untuk meningkatkan

ketahanan mereka terhadap serangan banjir bandang. Sebagai contoh, penduduk setempat

telah mampu mempelajari tanda-tanda awal akan terjadinya banjir bandang yang

merusak. Tanda-tanda itu semisal warna, bau, dan ciri-ciri air sungai pegunungan, di

samping juga kemampuan meramalkan berdasarkan konstelasi bintang. Pada tahun 2005,

sebanyak 106 rumah di kampung Brep hancur karena Luapan Banjir Danau Es (Glacial

Lake Outburst Flood, GLOF). Kendati demikian, tidak ada korban jiwa satu pun karena

penduduk berhasil menafsirkan perilaku aliran sungai sebagai pertanda awal, dan seisi

kampung berhasil menyelamatkan diri tepat pada waktunya (Gambar 2).

Pengetahuan tentang kesiapsiagaan menghadapi banjir diwariskan secara lisan dengan

cara belajar sambil melakukan (learning by doing), setiap hari mengamati keadaan alam

sekitar, menceritakan dongeng, dan internalisasi praktik-praktik tertentu secara turun-

temurun. Penyebaran pengetahuan ini berlangsung pada dua tingkatan: di antara anggota

masyarakat (mis. peringatan dini tentang akan datangnya banjir) dan di antara generasi

(mis. menyampaikan pengetahuan dan pelajaran yang dipetik dari peristiwa banjir di

masa lalu). Dalam studi kasus ini, seperti halnya di wilayah lain di Himalaya, kelompok-

kelompok masyarakat tidak mencatat sejarah dalam buku; kisah masa lalu disampaikan

secara lisan oleh orang-orang tua dengan cara bercerita. Dengan demikian, peran para

sesepuh amat penting karena merekalah yang kerap kali menjadi ingatan sosial bagi

Page 52: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

52

masyarakat atau kelompok tertentu. Pada masyarakat yang banyak mengandalkan tradisi

lisan, peristiwa masa lampau, termasuk bencana banjir, ditanamkan ke dalam ingatan

melalui cerita dongeng, lagu, syair, peribahasa, kegiatan dan upacara ibadat, ritual, dan

sebagainya. Sebagai contoh, biasanya, lagu dan puisi merupakan bagian penting dalam

kebudayaan Nepali dan Terai. Salah satu contohnya adalah peribahasa: “Ular dan sungai

tidak pernah berjalan lurus”. Bentuk sungai di Terai Timur, Nepal, bisa dibandingkan

dengan gerak ular, yang merujuk pada sifat sungai di daerah itu: saluran-saluran air

sangat tidak stabil, setiap saat bisa berubah arah dan mengubah keadaan. Beberapa lagu

yang dikumpulkan dalam studi kasus di Nepal seluruhnya bercerita tentang banjir,

sementara lainnya menyebut soal banjir di samping masalah-masalah lain yang dihadapi

penduduk. Pada beberapa kasus, lagu dan peribahasa menjadi gudang simpanan (atau

bisa juga dilihat sebagai relay, penerus) atas peristiwa banjir di masa lampau dan dapat

membantu merangsang pembelajaran, ingatan, dan kreativitas penduduk (Gambar 3).

Lagu dan peribahasa juga berperan dalam penyampaian strategi penanganan bencana,

membentuk pengetahuan bersama, dan membagikan pemahaman yang sama tentang

perubahan sehubungan dengan peristiwa banjir yang kadang sering kadang jarang. Lagu

dan peribahasa juga dapat membantu membangun kesadaran berkomunitas dan

solidaritas di dalam kampung dan/atau dalam beberapa kelompok yang terkait. Para

penyanyi dan pengarang lagu setempat adalah tokoh kunci pembawa pengetahuan dan

agen perubahan yang memainkan peran vital dalam pembentukan kesadaran kelompok

masyarakat. Ibadat, sesaji, dan upacara tertentu membantu mereka dalam memahami dan

mengingat kejadian banjir di masa lampau serta meredakan kegelisahan akan bahaya

bencana di masa mendatang. Sebagai contoh, masyarakat Kalash, salah satu etnik

minoritas di Distrik Chitral, Pakistan, menyelenggarakan upacara bersama yang disebut

lavak natek yang agaknya menstimulasikan unsur-unsur peristiwa banjir melalui gerak-

gerik dan adegan simbolik (mis. berlari menuruni bukit sambil berteriak) sebagai

peristiwa katarsis bagi seluruh kelompok masyarakat.

Pelajaran yang Dapat Dipetik

Secara keseluruhan, dua studi kasus itu membuktikan bahwa praktik masyarakat asli

seringkali, tapi tidak selalu, memiliki kelebihan-kelebihan berikut jika dibandingkan

dengan kebanyakan strategi yang datang dari luar dan bersifat dari-atas-ke-bawah:

- Strategi hemat biaya, menggunakan sumber daya dan keterampilan lokal

- Mudah diterima, dipercaya, dan dimengerti (dihayati)

- Dimiliki oleh kelompok masyarakat

- Tanggap terhadap budaya

- Pengawasan berlangsung terus-menerus

- Keandalannya teruji oleh waktu

- Selaras dengan konteks dan kebutuhan setempat

- Memberdayakan masyarakat, termasuk kelompok-kelompok yang paling rentan dan

paling kurang beruntung, untuk mampu mengambil tindakan dan bukan sekadar

mengharapkan bantuan dari luar saja

Page 53: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

53

- Bersifat holistik, menyeluruh (mempertimbangkan hal-hal dan prioritas lain yang

dapat mempengaruhi kerentanan kelompok masyarakat, rumah tangga, atau individu)

Berdasarkan dua studi kasus di atas, kiranya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

- Dalam perjalanan waktu, penduduk setempat biasanya telah mengembangkan cukup

banyak praktik dan kearifan lokal mengenai kesiapsiagaan menghadapi banjir yang

berperan memperbesar peluang selamat dan mengurangi kerugian harta benda

- Relasi sosial, khususnya sistem kasta, merupakan unsur penting yang membantu

pemahaman kearifan lokal

Banyak keterbatasan dan hambatan bagi digunakannya kearifan lokal dalam penanganan

bencana. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Masih dominan kepercayaan bahwa pengetahuan ilmiah “lebih tinggi” daripada

kearifan lokal

2. Kearifan lokal sulit untuk diidentifikasi, digunakan, dinilai, diuji, digeneralisasi, dan

ditiru

3. Kearifan lokal sering dimonopoli oleh kelompok yang dominan di dalam masyarakat

4. Beberapa kebiasaan, kepercayaan, dan strategi adaptasi lokal tidak berkelanjutan

dan/atau tidak berimbang secara sosial

5. Akibat perubahan yang cepat, praktik dan kearifan lokal semakin menjadi tidak pas,

tidak relevan, atau tidak bisa diketahui lagi seiring perjalanan waktu

6. Kearifan lokal semakin tidak dipercaya di dalam kelompok masyarakat sendiri,

terutama di kalangan generasi muda

7. Fokus terhadap kearifan lokal dapat dianggap sebagai ancaman bagi kepentingan

nasional dan struktur politik, khususnya di mata rezim yang otoriter

8. Bahaya dan bencana alam telah dianggap sebagai persoalan yang berkaitan dengan

ketahanan dan keamanan nasional, sehingga upaya desentralisasi dalam bidang ini

menjadi semakin sulit

9. Dokumentasi dan pemanfaatan kearifan lokal dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak

luar untuk menguasai masyarakat tersebut dan sumber daya yang mereka miliki

Menambah data dan teknologi belaka tidak akan membantu meningkatkan kehidupan

masyarakat jika tidak dibarengi pemahaman atas konteks dan kebutuhan setempat.

Seringkali campur tangan dari pihak luar mengabaikan kearifan lokal (dalam arti, mereka

tidak mengerti dan tidak mengakui konteks dan kebutuhan setempat). Dengan cara itu

sesungguhnya pihak-pihak luar itu sedang menciptakan kerentanan dan bencana baru

akibat tidak adanya gambaran yang menyeluruh dan analisis yang mendalam tentang

konteks kerentanan setempat.

Oleh sebab itu, kearifan lokal, jika dikombinasikan dengan pengetahuan ilmiah,

memungkinkan organisasi-organisasi pelaksana untuk menciptakan solusi-solusi yang

inovatif dan berkesinambungan dalam upaya mengurangi risiko bencana. Contoh

penerapan kearifan lokal dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana antara lain sebagai

berikut:

Page 54: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

54

1. Memadukan kearifan lokan dengan pengetahuan ilmiah untuk membuat peta bahaya,

survei, dan pendataan lainnya untuk verifikasi informasi

2. Mempertimbangkan nasihat dari penduduk setempat tentang tempat-tempat yang

aman, lokasi pembangunan bangunan dan jalan—karena kearifan lokal dapat

memberikan informasi yang berkaitan dengan keragaman dan kekhususan lingkungan

alam setempat

3. Memahami dan mempertimbangkan persepsi masyarakat setempat mengenai bahaya

alam yang mempengaruhi bagaimana orang menilai dan bertindak terhadap bahaya,

risiko, dan bencana alam

4. Memahami dan mempertimbangkan kompromi (tradeoff) antar risiko yang dilakukan

orang dalam kondisi di bawah banyak tekanan

5. Mengidentifikasikan, memahami, dan mempertimbangkan kelompok-kelompok dan

individu-individu yang rentan, tokoh elite setempat, dan hubungan kekuasaan

6. Memahami dan mempertimbangkan perubahan dalam kerentanan penduduk terhadap

bencana alam seiring berjalannya waktu

7. Mengidentifikasikan mekanisme apa yang dapat diusulkan pada tingkat lokal (mis.

mana strategi penanganan yang berkelanjutan, seimbang, dan perlu diperkuat),

bagaimana menghentikan praktik yang tidak berkelanjutan, dan bagaimana mengajak

orang untuk turut serta dalam kegiatan pengurangan risiko bencana. Fokus pada

praktik dan kearifan lokal membantu mengidentifikasikan dan memanfaatkan

kekuatan yang sudah dimiliki masyarakat dan institusi-institusi setempat (daripada

membuat institusi baru yang sejenis)

8. Belajar dari kearifan lokal untuk menciptakan konsep, metode, dan strategi yang baru

demi perbaikan penanganan bencana dan demi penguatan mekanisme lokal yang

relevan dan berkelanjutan untuk menangani bencana

9. Membangun kepercayaan masyarakat bahwa kearifan dan praktik lokal yang mereka

miliki masih tetap relevan dalam upaya kesiapsiagaan menghadapi bencana. Sistem

pendidikan yang sekarang berjalan perlu ditimbang ulang supaya terbentuk kaitan

yang jelas antara sekolah dan masyarakat setempat sehingga kurikulum sekolah

disesuaikan dengan realitas dan kebutuhan setempat, serta memelihara praktik dan

kearifan lokal

10. Menyesuaikan strategi komunikasi dengan pemahaman dan persepsi orang-orang

setempat, dan memasukkan nilai-nilai lokal ke dalam proses pengambilan keputusan

(misalkan sistem peringatan dini)

Perubahan lingkungan dan sosio-ekonomi yang berlangsung secara cepat dihadapi oleh

banyak kelompok masyarakat sebagai sumber kelemahan baru, namun sekaligus juga

peluang baru untuk mengeksplorasi cara-cara baru penganggulangan risiko. Seberapa

jauh praktik dan kearifan lokal dapat berperan meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat

dalam menghadapi bencana tentulah tidak hitam putih, tetapi yang pasti tidak dapat

diabaikan.

Page 55: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

55

Distrik Mansehra and Battagram, Provinsi Perbatasan Barat Laut, Pakistan

Mekanisme Bertahan Masyarakat Asli dalam Penanggulangan Bencana di Distrik

Mansehra dan Battagram, Provinsi Perbatasan Barat Laut, Pakistan

Takeshi Komino

Abstrak

Penduduk di distrik Mansehra dan Battangram di Pakistan telah mengembangkan

mekanisme bertahan yang bersifat sosial, fungsional, dan sekuensial untuk menghadapi

dampak bencana yang kerap berulang, terutama tanah longsor. Semua mekanisme ini

bergantung pada kemampuan orang-orang. Oleh sebab itu, tujuan penanggulangan

bencana seharusnyalah meningkatkan kemampuan orang agar dapat menghadapi situasi

buruk dengan lebih baik. Ini dapat dicapai dengan memahami persepsi masyarakat dan

memperkuat mekanisme bertahan yang sudah ada sehingga dampak bencana dapat

diperkecil.

Latar belakang

Distrik Mansehra dan Battagram di Provinsi Perbatasan Barat Laut Pakistan (Gambar 1)

sangat rentan terhadap pelbagai risiko buruk yang disebabkan oleh kondisi lingkungan,

iklim, geografis, dan sosial di wilayah itu. Masyarakat di sana (i) rentan secara fisik

akibat ketinggian lokasi dari permukaan laut, cuaca yang ganas, kontur wilayah yang

pegunungan, dan tanah yang tidak subur untuk pertanian, (ii) rentan secara arsitektural

karena buruknya bangunan dan infrastruktur, (iii) rentan secara ekonomi akibat

kemiskinan, pengangguran, dan penurunan hasil pertanian, (iv) rentan secara demografis

akibat bertambahnya populasi dan masalah kesehatan, dan (v) rentan secara politik dan

administratif karena di sana tidak ada struktur penanggulangan bencana, bahkan

kehendak politik untuk menerapkannya pun tidak ada. Selama berabad-abad, penduduk di

wilayah-wilayah ini menghadapi banyak bencana yang terjadi berulang-ulang seperti

tanah longsor, banjir bandang, gempa bumi, dan cuaca yang ekstrem semisal hujan lebat,

badai, badai salju, dan hujan es.

Karena seringnya kejadian bencana, penduduk setempat menjadi percaya bahwa bencana

adalah bagian kehidupan mereka yang tak dapat dihindari dan mungkin merupakan suatu

bentuk hukuman dari Tuhan. Dampak bencana amat dirasakan oleh kelompok-kelompok

masyarakat di pedalaman karena efek jangka panjangnya terhadap penghidupan mereka.

Ada beberapa hal lain yang membedakan wilayah ini. Iklim bervariasi sepanjang tahun,

di mana Desember, Januari, dan Februari merupakan bulan-bulan terdingin, sementara

Juni dan Juli bulan-bulan terpanas. Hujan dan salju umum terjadi di wilayah ini.

Topografinya pegunungan. Nyaris sulit ditemukan dataran kecuali petak kecil yang

biasanya dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Pertanian skala kecil, membuka warung,

dan menjadi pegawai swasta (mis. guru sekolah, karyawan bank) adalah sumber

penghasilan utama bagi penduduk Mansehra dan Battagram. Seluruh penduduk beragama

Islam, tetapi terbagi-bagi ke dalam berbagai klan dan aliran semisal gujjar, sayed, swati,

tanuli, dan pashtoon. Karena alasan keagamaan, orang tidak menjalankan keluarga

berencana. Sebagai akibatnya, anak-anak menikah pada usia muda, 18-25 dan 15-22,

Page 56: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

56

yang menjadi faktor penyebab pesatnya pertambahan penduduk. Pengangguran dan

kemiskinan ada di mana-mana. Kaum lelaki kerap bermigrasi ke pusat-pusat

perekonomian di negara itu.

Kelompok-kelompok masyarakat memiliki sistem sosial dan organisasi yang kuat. Di

samping kelompok-kelompok berbasis komunitas setempat, ada empat pranata sosial:

kekerabatan, hasshar, jirga, dan “semangat kampung” (village hood). Pertama,

kekerabatan memungkinkan orang memperoleh dukungan lebih luas berkenaan dengan

suatu masalah atau situasi darurat. Misalnya, sanak saudara membantu kerabat mereka

membangun rumah yang roboh dengan cara menyumbangkan tenaga, makanan, atau

material. Kedua, Hasshar adalah saling memberikan bantuan tenaga untuk menyelesaikan

masalah dan dalam keadaan darurat, di mana orang dapat meminta bantuan dari kenalan

atau kampung tetangga. Ketiga, Jirga biasanya dilakukan untuk menyelesaikan

perselisihan dan mencari solusi bagi permasalahan bersama. Terakhir, “semangat

kampung” memungkinkan orang membeli dari warung dengan cara mengutang.

Kisah/Peristiwa

Tanah longsor merupakan fenomena yang umum terjadi di Mansehra and Battagram

(Gambar 1). Peristiwa bencana yang terakhir terjadi pada 14 Februari 2004, ketika gempa

menyerang wilayah itu dan menyebabkan tanah longsor serta kerusakan parah di banyak

tempat.

Tidak ada upaya penanggulangan bencana dari pihak pemerintah di Mansehra dan

Battagram ketika gempa terjadi. Masyarakat menggunakan strategi yang mereka peroleh

turun-temurun untuk menangani dampak bencana.

Kearifan Lokal

Kearifan lokal di sana dapat dibagi ke dalam tiga kategori berbeda: mekanisme bertahan

secara sosial, fungsional, dan sekuensial. Tiap-tiap kategori digunakan oleh masyarakat

di Mansehra and Battagram pada beberapa tingkatan masyarakat (individu, rumah tangga,

dan komunitas) untuk menanggulangi bencana.

Mekanisme Bertahan secara Sosial

Ada struktur-struktur dan relasi formal maupun non-formal yang dapat mengerahkan

sumber daya dan membantu menyelesaikan masalah pada tingkat lokal. Di dalamnya

tercakup struktur-struktur internal maupun eksternal seperti unit-unit kemasyarakatan,

lembaga keagamaan, organisasi politik, dan sistem ekonomi. Komisi Bra-e-Tahaffuz-e-

Jangalat, misalnya, mengambil bagian dalam penanggulangan bencana dengan cara

bekerja sama dengan departemen kehutanan berkaitan untuk menangani masalah

penebangan hutan demi mencegah banjir dan erosi tanah akibat hujan lebat. Lebih jauh

lagi, kelompok-kelompok masyarakat sering mengawasi ketinggian air selama turun

hujan. Jika ada bahaya, penduduk yang tinggal di tempat yang rentan terkena bencana

segera dikabari dengan teriakan atau ketukan pintu. Ketika air mencapai batas kritis,

Page 57: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

57

penghuni rumah yang terancam bahaya segera memindahkan barang ke rumah kerabat

atau kampung tetangga. Anggota keluarga, khususnya perempuan, anak-anak, dan orang

cacat, mengungsi ke tempat yang aman. Umumnya mereka lebih memilih tempat saudara,

kenalan, atau tetangga. Di kampung Paras, tugas ini dilakukan secara bergilir di antara

warga masyarakat sepanjang musim penghujan.

Pada saat perbaikan pasca-bencana, ikatan sosial yang kuat merupakan bantuan bagi

keluarga-keluarga miskin yang menjadi korban. Mereka dapat meminjam uang atau

bahan makanan dari sanak saudara, teman, tetangga, atau pemilik warung. Di beberapa

kampung, diselenggarakan upacara keagamaan, semisal pembacaan Al-Quran dan doa

bersama setelah peristiwa bencana besar.

Mekanisme Bertahan secara Fungsional

Untuk meminimalkan risiko tanah longsor, masyarakat menerapkan teknik-teknik

pembangunan infrastruktur yang dikembangkan selama ratusan tahun.

Rumah-rumah di perkampungan pada umumnya dibangun dengan jarak 2 sampai 3 kaki

satu sama lain. Rumah-rumah yang dibangun berdempetan biasanya paling banyak

mengalami kerusakan akibat bencana dan memakan lebih banyak korban jika batu-batu

berguguran dari gunung. Di kampung Gantar, bilah-bilah kayu digunakan pada

konstruksi dinding batu untuk menambah kekuatan. Konstruksi dinding batu berukuran 2

x 2,5 kaki menghasilkan kohesi dan mengurangi dampak kerusakan pada infrastruktur.

Penduduk yang termasuk golongan lebih kaya, khususnya di kampung Paras, menambah

jumlah tiang dan balok kayu untuk lebih memperkuat rumah mereka.

Selain itu, atap berukuran lebar 1 hingga 2 kaki dibuat dengan perhitungan matang.

Mula-mula dibangun tonggak-tonggak kayu pendukung. Kemudian, berton-ton tanah

disebarkan ke atas atap untuk menahan rembesan air (Gambar 2). Beberapa orang

terlebih dahulu menutupi atap dengan lembaran plastik, jute, atau nilon sebelum

ditumpangi tanah agar atap lebih aman. Sebelum musim muson, rerumputan yang

tumbuh di atap disiangi karena akar rumput berperan menyebabkan perembesan air.

Bagian tengah atap dibuat sedikit lebih tinggi, sementara sisi-sisinya menyilang dari tepi

sehingga memudahkan air mengalir. Bilah logam agak panjang dipasang di bawah tanah

pada tiap tepi atap agar memudahkan aliran air dari atap. Sama halnya, tepi atap

dipanjangkan agar air dari atap tidak membasahi dinding. Kadang-kadang batu

dipasangkan pada tepi atap untuk menjaga agar atap tidak rusak. Atap dan bagian

sepanjang dinding kemudian dipukuli dengan alat kayu bernama dabkan untuk mencegah

rembesan air dan juga untuk memantapkan fondasi rumah.

Akibat bencana yang berulang kali terjadi, penduduk sangat berhati-hati ketika memilih

lokasi bangunan rumah. Mereka biasanya memilih untuk mendirikan rumah pada area

datar, jauh dari sumber air, dekat jalan, dan di atas tanah putih, yang menurut

kepercayaan setempat berkualitas baik karena lebih padat. Untuk mengatasi kerentanan

tanah, mereka menanam pohon walnut, sherol, dan kikar di sekitar rumah. Akar pohon

Page 58: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

58

menghunjam sampai jauh sehingga memperkuat ikatan tanah. Beberapa orang menggali

pondasi rumah hingga kedalaman 2 kaki, khususnya di bawah bagian dinding bangunan.

Untuk rumah lumpur, warga menggunakan bahan bangunan tradisional yang dicampur

dengan lumpur agar stabil, untuk kemudian mereka jadikan atap atau dinding. Bahan

bangunan tradisional itu antara lain kotoran kerbau, kapas, jerami, bulu kambing, daun

cemara, karung goni yang telah digiling, dan serbuk gergaji. Mereka yang kurang mampu

biasa menggunakan lembaran seng sebagai atap dan dengan demikian menghemat tenaga,

waktu, dan perawatan (Gambar 3). Kadang kala, bebatuan sengaja diletakkan di atas atap

seng agar tidak terbawa angin ketika terjadi badai. Dahulu arsitektur rumah lumpur

didirikan tanpa sambungan antara pilar dan batar, atau bilah-bilah kayu di atap. Setelah

Februari 2004, perangkat besi bernama kalab digunakan untuk mengikat pilar dan bilah-

bilah kayu atap.

Lembaga pemerintah, Departemen Pekerjaan Umum, kerap mengunjungi wilayah itu

selama musim penghujan untuk memantau risiko tanah longsor. Departemen ini juga

membangun turap-turap penahan tanah di sepanjang tepi jalan yang rentan longsor

(Gambar 4).

Mekanisme Bertahan secara Sekuensial

Pada saat bencana terjadi, kelompok-kelompok masyarakat mengerahkan pelbagai

sumber daya menurut urutan berdasarkan tingkat kerugian dan kemampuan. Karena yang

paling utama adalah penghidupan, mereka menerapkan strategi untuk mengamankan

penghidupan. Mereka yang miskin segera mengubah pola dan jenis makanan. Pada

kejadian bencana hebat, kadang orang pindah sementara ke kampung lain, terutama jika

keluarga yang terkena dampak bencana belum mendapat pertolongan dan tidak mau

tinggal di rumah tetangga, kenalan, atau teman. Kadang-kadang anak-anak lelaki dikirim

ke pusat perkotaan terdekat atau ke kota-kota besar untuk bekerja. Ketika dampak

bencana sangat luas, keluarga yang tidak mampu, sebagai jalan terakhir, biasanya

memilih menjual harta milik mereka (mis. ternak, perhiasan, tanah).

Ketika warga masyarakat sendiri mengembangkan pengetahuan dalam ketiga kategori itu

melalui pelbagai macam pengalaman, pengetahuan itu semakin tertanam di dalam

kebudayaan, semakin dikenal, semakin mudah diterapkan. Pengetahuan berevolusi di

tempat aslinya, selalu dinamis dan kreatif, terus-menerus tumbuh dan menyesuaikan diri

dengan keadaan-keadaan baru. Pengetahuan ini tertanam dalam suatu sistem yang

dinamis, di mana spiritualitas, kekerabatan, politik lokal, dan faktor-faktor lainnya saling

terhubung dan mempengaruhi satu sama lain.

Tidak ada sistem formal di masyarakat untuk menyebarluaskan kearifan lokal ini.

Walaupun demikian, pengetahuan ini berhasil diwariskan secara informal, turun-temurun

dari generasi ke generasi melalui perantaraan individu-individu dalam masyarakat. Tidak

ada seorang pun yang memberikan perhatian pada penerapan strategi tradisional ini

sebelum bencana tahun 2004, karena memang saat itu tidak ada struktur pemerintah

formal yang bertugas menanggulangi bencana. Masyarakat sendirilah yang

Page 59: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

59

menyebarluaskan dan menerapkan teknik-teknik kearifan lokal dalam beragam cara

untuk menangani bencana.

Pelajaran yang Dapat Dipetik

Kearifan lokal, seperti yang dapat dilihat di Provinsi Perbatasan Barat Laut Pakistan,

menyediakan mekanisme yang penting untuk mengurangi risiko bencana, dan secara

khusus amat berharga bagi penanggulangan bencana di tingkat masyarakat. Para

pengambil kebijakan sepatutnya mempertimbangkan untuk melestarikan mekanisme

tradisional yang sedemikian efektif itu, dan kemudian mengembangkannya dan

memastikan bahwa pembangunan tidak menyebabkan masyarakat semakin rentan

terhadap bencana alam. Lebih dari itu, mendorong kelompok masyarakat untuk terlibat

melalui cara praktik tradisional merupakan strategi yang lebih realistis dan khas-daerah-

tertentu karena masyarakat setempat memahami situasi mereka berdasarkan pengalaman

bencana di masa lalu.

Mekanisme-mekanisme asli ini saja tentu tidaklah mencukupi untuk menanggulangi

bencana secara efektif. Sementara pengetahuan ini membantu mengurangi risiko

bencana, tetapi pengetahuan macm ini tidak memadai untuk menghadapi bencana-

bencana baru yang dialami masyarakat. Sebagai misal, pengalaman gempa tahun 2004

menunjukkan bahwa teknik pencegahan rembesan air ternyata berperan meningkatkan

jumlah bangunan yang rusak akibat beban tanah di atas atap. Mekanisme-mekanisme

bertahan tradisional bisa jadi tidak selalu pas, dan senantiasa rentan terhadap perubahan

lingkungan internal dan eksternal. Misalnya lagi, mengubah kondisi sosial, politik, dan

ekonomi di suatu daerah niscaya akan mempengaruhi efektivitas mekanisme-mekanisme

itu. Ada kebutuhan yang meningkat untuk mengembangkan mekanisme bertahan ini

dengan cara yang sedemikian rupa sehingga tidak berdampak negatif terhadap

masyarakat.

Mekanisme-mekanisme bertahan di Mansehra and Battagram amat bergantung pada

kemampuan masyarakat yang bersangkutan. Memang kemandirian dan solidaritas dalam

keluarga dan masyarakat amat sangat bernilai ketika orang menghadapi bencana,

kapasitas dukungan sosial juga merupakan faktor yang tak ternilai; kendati demikian,

adanya sistem pendukung yang kuat merupakan tulang punggung keberhasilan

mekanisme bertahan di Mansehra dan Battagram. Tujuan penanggulangan bencana

haruslah untuk meningkatkan kemampuan orang untuk menangani kejadian-kejadian

buruk. Program pembangunan dan penanggulangan bencana semestinya mendukung

aktivitas yang menggerakkan dan memperkuat sumber daya lokal pada tingkat keluarga

dan komunitas. Ini bisa dicapai dengan memahami persepsi masyarakat dan memperkuat

mekanisme bertahan yang sudah ada dengan cara yang mengurangi dampak bencana.

Terbatasnya sumber daya dan persepsi masyarakat tentang bencana sering mempengaruhi

diterima atau tidak diterimanya suatu mekanisme tertentu. Sebagai contoh, pemahaman

atas sistem-sistem penghidupan masyarakat asli adalah syarat yang penting agar upaya

pembangunan tidak malah menghilangkan kemandirian, menggoyahkan nilai-nilai

budaya, atau merongrong sistem-sistem penghidupan tradisional.

Page 60: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

60

Pendekatan yang berbasis komunitas—yang bertujuan memahami bagaimana cara

komunitas-komunitas menangani bencana yang berbeda-beda, bagaimana tingkat

pemahaman mereka tentang bencana, dan bagaimana kemampuan mereka untuk

menanggulanginya secara efektif dan berkesinambungan—adalah cara terbaik untuk

menerapkan program penanggulangan bencana. Partisipasi kelompok masyarakat tidak

selayaknya dianggap sebagai proses konsultasi belaka, melainkan juga sebagai proses

pemberdayaan yang efektif untuk mengetahui akar-akar penyebab kerentanan mereka.

Akan sangat membantu jika ada suatu sistem untuk memantau dampak bencana pada

tingkat komunitas dan nasional. Adanya peta risiko dan bahaya yang disempurnakan,

kesadaran akan bencana, dan sistem peringatan dini pada tingkat komunitas niscayalah

juga akan berguna.

Yang paling penting, baik analisis sosio-ekonomi maupun pendekatan penghidupan

berbasis komunitas perlu diintegrasikan ke dalam perencanaan dan program-program

penanggulangan bencana pada kelompok-kelompok masyarakat yang terancam oleh

risiko bencana.

Page 61: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

61

Desa Singas, Papua Nugini

Hidup bersama Banjir di Singas, Papua Nugini

Jessica Mercer dan Ilan Kelman

Abstrak

Pengalaman penduduk yang tinggal di desa Singas, yang terletak di Provinsi Morobe,

Papua Nugini menggambarkan bagaimana kearifan lokal berperan penting dalam upaya

mengurangi risiko bencana. Desa Singas terdiri dari masyarakat yang tinggal di

sepanjang bantaran salah satu sungai besar di Papua Nugini, yaitu Sungai Markham.

Sebagai akibatnya, desa tersebut terkena dampak banjir tahunan yang disebabkan oleh

hujan deras yang melanda selama musim penghujan. Contoh ini sangat penting terutama

karena sungai tersebut tidak hanya menyimpan potensi bencana namun juga karena

sungai tersebut menjadi sumber penghidupan masyarakat sekitar dan dengan demikian

sungai itu sangat penting artinya bagi masyarakat tersebut. Akibatnya, masyarakat desa

Singas sangat proaktif dalam upaya-upaya mitigasi dampak bencana banjir. Kearifan

lokal di lima bidang khusus, yaitu metode pembangunan, hubungan sosial, perencanaan

penggunaan lahan, strategi pangan dan lingkungan, telah membantu meningkatkan peran

masyarakat dalam mitigasi dampak banjir yang rutin terjadi setiap tahun.

Latar Belakang

Desa Singas terletak di sebuah daerah kantong di Distrik Markham di Provinsi Morobe

sepanjang bantaran sungai Markham di Papua Nugini.

Kota terdekat adalah Mutzing Station, yang merupakan pusat Distrik Markham, terletak

di seberang sungai dari desa Singas. Di Mutzing Station terdapat gedung-gedung

pemerintahan, sekolah menengah, klinik kesehatan dan pasar terdekat dari Singas. Lebar

Sungai Markham bervariasi dari 3-8 km kalau ditempuh ke arah hilir, dan penyeberangan

di desa Singas merupakan titik terlebar. Perjalanan menyeberangi sungai dari Singas ke

Mutzing Station makan waktu kurang lebih 2 jam tergantung pada arus sungai (Gambar

1). Rute ini hanya dapat dilewati pada musim kemarau dan bahkan pada saat itupun

masih sering berbahaya untuk dilewati. Selama musim penghujan, penduduk desa harus

berjalan selama dua hari untuk mencapai tempat di mana ada jembatan yang dapat

mereka lewati. Namun, itupun sering rusak atau bahkan tidak dapat dilewati sama sekali.

Penduduk desa Singas berjumlah 296 orang dan terbagi menjadi lima kelompok keluarga.

Masyarakat ini dulunya menggantungkan sumber pendapatan pada pohon pinang, yang

buahnya dikunyah seperti tembakau. Namun, akibat adanya suatu penyakit baru yang

membunuh pohon tersebut, masyarakat sekarang sangat menggantungkan mata

pencaharian mereka pada penjualan hasil kebun, kelapa, mangga (kalau sedang musim)

dan ikan. Tingkat pendidikan di desa tersebut sangat rendah, karena orangtua tidak

mampu membayar uang sekolah, terutama sebagai akibat dari hilangnya pendapatan dari

panen buah pinang. Meskipun demikian, sumber-sumber pendapatan semakin beragam

dengan diperkenalkannya sumber pemasukan pendapatan yang dihasilkan dari panenan

seperti kacang dan kopi. Di dekat desa Singas, terdapat tiga sekolah dasar tempat anak-

Page 62: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

62

anak bersekolah, meskipun akses ke sekolah ini sering terbatas karena banjir yang

melanda, dan para murid seringkali harus menyeberangi sungai Markham untuk

mencapai sekolah.

Kisah/Peristiwa

Karena tinggal di sepanjang bantaran salah satu sungai besar di Papua Nugini,

masyarakat Singas selalu terancam bahaya banjir, terutama sepanjang musim hujan.

Biasanya, desa ini dilanda banjir untuk beberapa waktu setiap tahun, tergantung pada

volume curah hujan yang diterima. Beberapa banjir besar terakhir yang terekam dalam

ingatan warga desa adalah banjir di tahun 1998 dan 2002 ketika air naik mencapai tiang

penyangga rumah panggung dan sampai masuk ke dalam rumah (Gambar 2). Selama

tahun-tahun inilah kearifan lokal yang mereka terapkan sungguh-sungguh bermanfaat

dalam upaya mengurangi risiko bencana bagi diri mereka sendiri maupun bagi

penghidupannya.

Penduduk desa Singas telah dihimbau untuk memindahkan pemukiman mereka dari

bantaran sungai ke tempat yang lebih tinggi di atas bukit sebagai bagian dari solusi ’top-

down’ bagi masalah banjir yang selalu mereka hadapi. Namun, tidak ada penduduk desa

yang bersedia pindah. Ada berbagai macam alasan mengapa mereka tidak mau pindah,

antara lain karena (i) sungai tersebut berharga bagi penghidupan mereka misalnya

sebagai tempat mencari ikan, pertanian, persediaan air dan tanah liat untuk membuat

bejana untuk memasak. (ii) mereka dekat dengan fasilitas umum (gedung-gedung

provinsi terletak di seberang sungai) dan (iii) mereka telah bermukim selama bertahun-

tahun dan mampu bertahan dari banjir-banjir terdahulu. Meskipun ada risiko tersebut,

masyarakat desa sepenuhnya sadar akan situasi yang mereka hadapi dan sangat proaktif

dalam menanggapi banjir agar keberlangsungan hidup mereka di tepi sungai tersebut

dapat terjamin.

Kearifan Lokal

Strategi utama pengurangan risiko bencana yang dilakukan oleh masyarakat Singas

dalam menangani masalah banjir dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori umum

yang mencakup metode pembangunan, hubungan sosial, perencanaan penggunaan lahan,

strategi pangan dan lingkungan. Dalam berbagai kasus strategi-strategi ini melekat dalam

budaya masyarakat dan kehidupan sehari-hari, sehingga tidak dipandang oleh masyarakat

sebagai strategi khusus dalam upaya pengurangan risiko bencana. Situasi semacam itu

memang tidak aneh dalam sebuah masyarakat lokal, namun pada kasus Singas nampak

jelas bahwa masyarakat menganggap sungai pertama-tama dan terutama sebagai sumber

penghidupan dan menempatkan sungai sebagai ancaman di tempat kedua. Akibatnya,

strategi pengurangan risiko bencana masyarakat pribumi menyatu dalam kegiatan hidup

sehari-hari karena mereka bergulat tiap hari dengan sungai.

Metode Pembangunan

Page 63: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

63

Budaya-budaya pedesaan memiliki jenis rumah tradisional mereka sendiri yang sesuai

dengan kondisi lingkungan setempat. Masyarakat Singas juga demikian. Mereka

menggunakan pengetahuan lingkungan mereka yang sangat dalam untuk mencari tempat

yang kering dan kokoh untuk membangun rumah mereka. Karena sadar akan

kemungkinan bahaya banjir, masyarakat ini membangun rumahnya di atas tiang

penyangga (panggung), yang secara bertahap telah diperpanjang setiap tahun untuk

mengakomodasi air yang meluap dan insiden banjir yang semakin sering terjadi. Mereka

juga membangun gundukan tanah yang tinggi di bawah rumah-rumah mereka untuk

membendung air sungai yang meluap. Lahan dibuka untuk membangun rumah-rumah di

tempat tersebut, kemudian digunakan sebagai parit untuk menimbun sampah di mana

nantinya sedikit demi sedikit sampah akan menggunung sampai terbentuk gundukan

besar. Gundukan ini kemudian ditutup dengan tanah dan ditanami dengan pohon-pohon

sebagai pengencang sebelum memulai pembangunan rumah (Gambar 3). Rumah-rumah

tersebut dibangun dengan menggunakan bahan-bahan kayu tradisional yang tidak hanya

mudah diangkut dan diperbaiki, namun juga murah dan mudah diakses. Rumah-rumah

dibangun pada musim kemarau untuk memberi waktu tiang-tiang penyangga agar dapat

tertancap dengan mantap di atas tanah, dan dengan demikian memperlambat proses

pembusukan. Bangunan rumah yang dibangun di atas tanah terdiri dari dapur yang

terbuat dari bahan-bahan kayu yang ringan dan mudah dilepas untuk mengurangi

kemungkinan hanyut dalam banjir.

Hubungan Sosial

Di masa lalu, jarang terjadi masyarakat yang mengalami stres akibat banjir atau bahaya

lingkungan lainnya, karena seringkali mereka tidak tergantung pada sumber daya mereka

sendiri.1 Meskipun ada konsekuensi dari masuknya masyarakat desa ke dalam ekonomi

global – termasuk dampak-dampak dari peningkatan jumlah penduduk, tingkat

kemiskinan, emigrasi dan bentuk-bentuk perdagangan yang lain selain bentuk-bentuk

tradisional seperti barter antar desa – Singas sangat tergantung pada sumber daya yang

mereka punyai. Jika di masa lalu perhatian lebih ditekankan pada lahan dan perencanaan

penggunaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat, maka saat ini hal tersebut secara

bertahap menghilang seiring dengan munculnya kebun-kebun yang ditanami warga

secara sembarangan tanpa mengikuti perencanaan tradisional. Meski demikian, ketika

kebun mereka hancur diterjang banjir, seluruh anggota masyarakat bergotong-royong ikut

membantu menggali dan menanam tanaman yang baru.

Singas merupakan masyarakat yang sangat rukun. Mereka saling membantu pada saat

susah seperti pada kerusakan yang diakibatkan oleh kejadian banjir. Sumber daya dan

pengalaman dibagikan pada tingkat masyarakat, sehingga pada saat bencana semua

anggota masyarakat sadar akan rencana tindakan terbaik atau di mana mereka akan

berkumpul kembali jika perlu. Kerukunan masyarakat ini mungkin karena adanya

pemimpin yang berpengaruh dan aktif dalam menjamin terselenggaranya pertemuan

warga rutin untuk membahas hal-hal yang relevan dan cara-cara yang harus ditempuh

untuk maju (Gambar 4). Ada juga sikap positif yang kuat untuk menjamin

1 Campbell (1990).

Page 64: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

64

keberlangsungan hidup warganya sendiri, karena kalaupun bantuan akan diterima dengan

penuh syukur, namun bantuan yang diharapkan mungkin tidak ada.

Perencanaan Penggunaan Lahan

Lokasi desa-desa dan perkampungan telah sering terkena dampak kerentanan bahaya.

Jika mungkin, masyarakat memilih tinggal di pemukiman yang berada di tempat tinggi

jauh dari serangan badai dan banjir, yang tidak rawan bahaya tanah longsor, dan di pulau-

pulau vulkanik yang tidak terjangkau oleh aliran lava dan di mana angin kencang tidak

akan meninggalkan timbunan abu atau hujan asam yang merusak hasil panen.2 Warga

masyarakat Singas yang menyadari adanya ancaman banjir memiliki sistem saluran air

yang digali mengelilingi kebun dan lahan mereka sehingga air banjir dialirkan menjauhi

tempat-tempat penting. Penggunaan lahan dan waktu penanaman direncanakan untuk

menghindari musim penghujan untuk memperkecil peluang kerusakan dan kehancuran

karena kebun ditanami sepanjang bantaran sungai dengan memanfaatkan tanah yang

paling subur. Terdapat juga lokasi aman yang ditandai untuk tempat warga masyarakat

mengungsi pada saat banjir besar terjadi.

Pepohonan, tanaman bunga dan tumbuh-tumbuhan ditanam secara teratur untuk

melindungi dan menstabilkan tanah, terutama yang ada di sekitar pemukiman warga.

Penanaman dan pemantauan wilayah sekitar yang cermat juga dilakukan untuk mencari

bahan-bahan kayu yang dapat dipakai. Misalnya, hanya pohon tertentu saja yang

ditebang, yaitu pohon-pohon yang paling kuat yang cocok untuk membangun dan pohon-

pohon yang tidak berdampak buruk pada stabilisasi tanah. Strategi ini memberi waktu

bagi pohon-pohon muda untuk tumbuh besar sambil memastikan ketersediaan bahan-

bahan bangunan ketika diperlukan pada saat banjir.

Strategi Pangan

Masyarakat pribumi pedesaan telah mengembangkan berbagai macam varietas panen

yang tahan bahaya, yang berkontribusi pada ketahanan masyarakat dalam masa-masa

sulit atau sewaktu bencana. Di antara hasil panen bencana desa Singas adalah pisang,

tanaman panen tangguh yang bertahan hidup di air luapan banjir. Warga desa Singas

membungkus pisang dengan daun agar terlindung dari incaran burung-burung. Untuk

penanaman ubi talas, saluran dibuat untuk mengeringkan tanah. Bambu digunakan untuk

menyimpan air dan untuk keperluan memasak. Tanaman khusus juga digunakan untuk

menampung air hujan sepanjang musim penghujan agar penduduk tidak minum air dari

sungai ketika banjir dan menjadi jatuh sakit karenanya. Menjelang musim hujan dan

potensi terjadinya banjir, makanan disimpan di bejana tanah liat sederhana untuk

memastikan bahwa makanan tersedia ketika warga terpaksa tidak bisa meninggalkan

rumah mereka. Makanan ini dapat bertahan sampai beberapa bulan dalam bejana tanah

liat tersebut dan masih dapat dimakan. Makanan dan benih tanaman juga dikeringkan dan

disimpan di bawah sinar matahari sampai mencapai jumlah yang cukup untuk dipakai

pada masa tanam tahun depan. Makanan tradisional di daerah tersebut juga digunakan

pada saat-saat kekurangan pangan, misalnya umbi dan talas ditanam di lereng

2 South Pacific Applied Geo-Science Commission (2004).

Page 65: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

65

pegunungan sebagai tanaman selama masa bencana untuk berjaga-jaga apabila warga

desa harus mencari perlindungan sementara di atas bukit.

Banjir tidak memungkinkan warga mencari ikan di sungai karena air meluap dengan

cepat sehingga penduduk desa menggunakan dua danau pedalaman untuk persediaan ikan

mereka. Ibu-ibu kampung bekerja sama membentuk lingkaran yang besar untuk

menggiring ikan-ikan ke tengah danau kemudian menangkap ikan-ikan tersebut dengan

tangan. Di dalam keluarga masing-masing, ketika makanan langka sebagai akibat dari

bencana banjir, anggota keluarga yang sudah dewasa seringkali membatasi asupan makan

mereka agar anak-anak dapat makan lebih banyak. Para ibu sampai rela membuat ikat

pinggang yang terbuat dari kain atau kulit kayu yang diikatkan di sekeliling pinggang

mereka untuk mengurangi rasa sakit karena kelaparan.

Strategi Lingkungan

Karena warga masyarakat Singas tergantung pada lingkungan untuk mata pencaharian

mereka, penduduk desa sudah mengembangkan pengetahuan yang luas yang membuat

mereka mampu mengidentifikasi tanda-tanda bahaya yang akan datang. Misalnya, jika

warga dewa mengetahui hujan yang lebat di atas bukit mereka mulai bersiap-siap akan

datangnya banjir dengan memberesi barang-barang milik mereka dan memastikan bahwa

persediaan makanan cukup banyak. ”Telik Sandi/intel” sering dikirim ke daerah hulu

untuk membaca perilaku sungai dan melaporkan kembali dengan mengirim pesan

berantai dari orang yang satu ke orang yang lainnya sehingga pesan dapat sampai ke desa

dengan cepat. Penanda juga digunakan untuk menentukan perubahan ketinggian air

sungai dan warga desa sendiri selalu dalam keadaan siaga dengan rencana matang siap

dilaksanakan untuk mengantisipasi bencana banjir yang mungkin terjadi. Di Papua

Nugini, tradisi budaya lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi dalam bentuk

legenda, visi dan cerita-cerita rakyat banyak jumlahnya dan warga masyarakat sangat

tergantung pada legenda, visi dan cerita ini sebagai panduan tentang apa yang harus

mereka lakukan jika bencana terjadi.

Pelajaran yang dapat dipetik

Praktik-praktik kearifan lokal yang digambarkan di atas dan diterapkan oleh masyarakat

desa Singas untuk mengurangi risiko bencana telah terbukti berhasil memperkecil risiko

yang dihadapi warganya dan sekaligus memudahkan mereka untuk terus memanfaatkan

sungai sebagai sumber penghidupan yang berharga. Kearifan lokal yang diterapkan oleh

warga desa Singas untuk mengurangi risiko bencana terus menerus diperkaya dalam

masyarakat tersebut. Dengan saling berbagi sumber daya dan pengalaman pada tingkat

masyarakat, jika banjir melanda, dipastikan semua warga desa akan mampu membantu

satu sama lain. Kerukunan warga masyarakat desa dan kerelaan untuk saling membantu

merupakan faktor mendasar yang kuat dibalik keberhasilan warga desa Singas dalam

mengurangi risiko bencana banjir. Lebih lanjut lagi, sikap dan kerukunan sosial ini telah

memungkinkan terjadinya penyebaran pengetahuan tentang pengurangan risiko bencana

dalam masyarakat melalui pertemuan umum dan berbagi pengalaman.

Page 66: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

66

Pengalaman warga desa Singas sangat bertentangan dengan apa yang terjadi di banyak

masyarakat di Papua Nugini. Yang umum terjadi di Papua Nugini, terjadi sikap mudah

menyerah di antara warga setempat akibat kurangnya dukungan pemerintah, budaya

’turunan’ dan persepsi bahwa tingkat kerentanan tidak mungkin untuk ditangani. Dalam

kasus desa Singas, sementara pada taraf tertentu memang ada unsur sikap ‘kami tidak

dapat berbuat apa-apa’, tetapi warga desa bersikap proaktif dalam strategi mereka

menangani bahaya lingkungan. Yang diperlukan saat ini adalah perlunya pengalaman-

pengalaman warga desa Singas diketahui oleh masyarakat lain, para pembuat keputusan,

kantor-kantor pemerintahan (misalnya kantor penanggulangan bencana tingkat distrik)

dan lembaga swadaya masyarakat. Dengan mengakui keberhasilan masyarakat desa

Singas memudahkan warganya untuk berinteraksi dengan para pemangku kepentingan

yang tepat untuk selanjutnya memanfaatkan kemampuan mereka dalam usaha

mengurangi risiko bencana. Selanjutnya, interaksi ini akan memudahkan terjadinya

penyebarluasan kearifan lokal dan memudahkan warga masyarakat lain untuk

mengidentifikasi pelajaran-pelajaran apa yang dipetik dan mengembangkan pengetahuan

pengurangan risiko bencana mereka sendiri.

Masyarakat desa sangat sadar akan situasi yang mereka hadapi, namun mereka merasa

yakin bahwa mereka memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk menangani bahaya

tersebut. Solusi ’top down’ yang disarankan tidak mempertimbangkan gambaran besar

masalah maupun kebutuhan masyarakat, sehingga warga masyarakat menolaknya karena

mereka mendukung strategi mereka sendiri. Hal ini menegaskan kembali pentingnya

pengetahuan yang sudah ada mengenai kebencanaan dan menunjukkan perlunya rasa

memiliki pada tingkat lokal. Secara bertahap, disarankan bahwa masyarakat yang terkena

dampak bahaya lingkungan seharusnya menjadi pihak yang mengambil keputusan dan

mengembangkan kebijakan yang berhubungan dengan hal tersebut.3

Hal ini menyatakan bahwa cara pandang paternalistik masih sering dipaksakan dengan

tidak mendengarkan atau bahkan membungkam suara mereka yang lemah. Seperti yang

dapat dilihat dari contoh berikut ini, rasa memiliki perlu diatur dari ’bawah-ke-atas

(bottom-up)’ dan bukannya disusupkan dari ’atas-ke-bawah (top-down)’ oleh pihak-pihak

yang tidak memahami situasi masyarakat yang sebenarnya. Harus ada sistem pendukung

yang ada bersamaan dengan strategi masyarakat bilamana dukungan yang lebih banyak

diperlukan. Meskipun hal ini merupakan strategi yang cukup relevan dalam mengurangi

risiko bencana, proses-proses anthropogenik dan non-anthropogenik semakin

meningkatkan kemungkinan adanya efek kebalikan dari bahaya-bahaya lingkungan

terhadap masyarakat lokal.4 Masyarakat lokal seperti masyarakat Singas selanjutnya

dapat mengurangi kerentanan mereka terhadap bahaya banjir melalui perpaduan kearifan

lokal dan pengetahuan ilmiah. Pengenalan, pencatatan, dan promosi mekanisme

penanganan bencana lokal dengan strategi ilmiah yang kompatibel secara budaya hanya

dapat berkontribusi dalam meningkatkan kapasitas masyarakat lokal untuk mitigasi,

persiapan dan pemulihan dari bahaya-bahaya lingkungan.5 Jika itu tercapai, maka

3 Wisner et al. (2004).

4 Hay, 2002; Wilbanks dan Kates (1999).

5 Mercer et al. (2007).

Page 67: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

67

praktik-praktik pengurangan risiko bencana dianggap telah berhasil mengatasi kerentanan

masyarakat lokal terhadap ancaman-ancaman lingkungan.

Gambar

Gambar 1: Menyeberangi Sungai Markham

Gambar 2: Lumpur yang ditinggalkan banjir

Gambar 3: Perumahan tradisional di desa Singas – foto ini menggambarkan rumah

panggung, dengan penyangga yang lebih tinggi digunakan lebih sering sekarang terlihat

dari rumah yang lebih baru yang ada di latar belakang foto ini dan permulaan dari

gundukan tanah yang dikelilingi oleh parit saluran air yang ada di halaman depan

sebelum bangunan rumah.

Gambar 4: Pertemuan warga membahas pengurangan risiko bencana

Daftar Pustaka

- Campbell, J.R., 1990. Disasters and development in historical context: tropical

cyclone response in the Banks Islands, Northern Vanuatu. International Journal of

Mass Emergencies and Disasters 8 (3), 401-424.

- Dekens, J., 2007. Local Knowledge for Disaster Preparedness: A Literature Review.

International Centre for Integrated Mountain Development (ICIMOD) Kathmandu,

Nepal.

- Hay, J.E., 2002. Integrating disaster risk management and adaptation to climate

variability and change: needs, benefits and approaches, from a South Pacific

perspective. United National Development Program Expert Group Meeting –

Integrating Disaster Reduction and Adaptation to Climate Change, Havana, Cuba.

- Mercer, J., Dominey-Howes, D., Kelman, I. dan Lloyd, K., 2007. The Potential for

combining indigenous and western knowledge in reducing vulnerability to

environmental hazards in small island developing states. Environmental Hazards 7

(4), 245-256.

- National Disaster Centre, 2005. Papua New Guinea National Disaster Risk Reduction

and Disaster Management Framework for Action 2005-2015. National Disaster

Centre Port Moresby, PNG.

- South Pacific Applied Geo-Science Commission, 2004. Implementing the Yokohama

strategy and plan for action: Pacific Islands Regional Progress Report (1994-2004).

South Pacific Applied Geo-Science Commission, Fiji.

- United Nations, 2004. PNG Map

(http://www.un.org/Depts/Cartographic/map/profile/papua.pdf). Diakses pada tanggal

29 Oktober 2007.

- United Nations International Strategy for Disaster Reduction, 2005. Hyogo

Framework for Action 2005-2015: Building the Resilience of Nations and

Communities to Disasters (http://www.unisdr.org/eng/hfa/docs/Hyogo-framework-

for-action-english.pdf). Diakses pada tanggal 08 Desember 2007.

- United Nations International Strategy for Disaster Reduction, 2007. Papua New

Guinea: Disaster Profile (http://www.unisdr.org/eng/country-inform/papua-new-

guinea-disaster.htm). Diakses pada tanggal 08 Desember 2007.

Page 68: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

68

- Wilbanks, T.J. dan Kates, R.W., 1999. Global Change in local places: how scale

matters. Climatic Change 43, 601-628.

- Wisner, B., Blaikie, P., Cannon, T. dan Davis, I., 2004. At Risk: Natural Hazards,

People’s Vulnerability and Disasters, 2nd Ed. Routledge, London.

Page 69: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

69

Kota Dagupan, Pangasinan, Filipina

Memadukan Kearifan Lokal dan Ilmiah ke dalam Sistem Peringatan Banjir Kota

Dagupan.

Lorna P. Victoria

Abstrak

Kanungkong adalah alat tradisional dari bambu yang sudah sejak dahulu digunakan untuk

memanggil warga masyarakat untuk berkumpul di kantor desa, dan memperingatkan

warga desa atau untuk memanggil anak-anak pulang dari bermain. Sistem peringatan dini

banjir yang dipasang di delapan desa di Kota Dagupan, Filipina, telah menghidupkan

kembali penggunaan kanungkong bersama dengan tiang pengukur penanda banjir di

lokasi-lokasi yang strategis di semua desa di Kota Dagupan. Kearifan lokal dipadukan

dengan pengetahuan ilmiah modern dan peralatan modern digunakan dalam upaya-upaya

pengurangan risiko bencana.

Latar Belakang

Delapan barangay (desa) yang rawan banjir di Kota Dagupan di Provinsi Pangasinan

sebelah barat laut Filipina adalah Mangin, Salisay, Tebeng, Bacayao Norte, Bacayao Sur,

Lasip Grande, Lasip Chico dan Pogo Grande, telah menerapkan penggunaan kanungkong

untuk menyampaikan pesan peringatan secara berantai ke tiap-tiap rumah di delapan desa

tersebut, terutama ke rumah-rumah yang terletak di sepanjang bantaran sungai. Desa-desa

ini memprioritaskan kegiatan-kegiatan kesiapan dan mitigasi banjir di bawah naungan

proyek yang bernama Program Mitigasi Bencana Hidrometerorologi di kota-kota kecil di

Asia (Program for Hydro-meteorological Disaster Mitigation in Secondary Cities in

Asia/PROMISE). Warga masyarakat mengadakan lokakarya untuk membahas sistem

peringatan diri dan melaksanakan latihan penanganan bencana untuk para warganya.

Kisah/Peristiwa

Kota Dagupan merupakan kota yang rawan terhadap banjir besar. Di tahun 2007, angin

puyuh dengan hujan muson melanda Luzon Utara dan Tengah di sepanjang bulan

Agustus dan November yang menyebabkan meluapnya sistem sungai di Kota Dagupan.

Peristiwa ini menguji efektivitas sistem peringatan dini yang berbasis pada kanungkong.

Karena Badan Koordinasi Bencana Barangay (Barangay Disaster Coordinating

Council/BDCC) memantau penanda banjir dan melaporkan hal ini kepada Pusat Operasi

Darurat Badan Koordinasi Bencana Kota (Emergency Operations Center of the City

Disaster Coordinating Council/CDCC), maka desa-desa tersebut sudah disiagakan untuk

mengantisipasi banjir besar yang akan melanda. Sistem tersebut berhasil memberi warga

cukup waktu untuk bersiap-siap dalam menanggapi kedatangan bencana.

Kearifan Lokal

Kanungkong atau kentongan merupakan peralatan komunikasi yang di masa lalu

digunakan untuk berbagai macam keperluan oleh masyarakat warga Kota Dagupan, yang

Page 70: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

70

dekat dengan kota dan provinsi di Luzon Utara (Gambar 1a dan b). Kanungkong

dipergunakan untuk memanggil warga untuk berkumpul di balai desa, memperingatkan

warga akan adanya kejadian perampokan di malam hari, memanggil dukun bayi untuk

membantu persalinan ibu hamil yang siap melahirkan, dan memanggil anak-anak pulang

dari bermain. Dengan adanya cara komunikasi modern, penggunaan kanungkong menjadi

terlupakan.

Kanungkong berasal dari kata mangkanungkong yang bermakna harafiah ’menimbulkan

suara’. Kanungkong terbuat dari bambu yang jika dipukul akan menghasilkan suara kung,

kung, kung. Sistem peringatan dini tingkat desa menggunakan kanungkong sebagai

media komunikasi pembawa pesan berantai lokal. Untuk pemantauan banjir, dan sebagai

dasar untuk penyampaian pesan, tiang penanda atau penanda banjir telah diletakkan dan

dipantau di lokasi-lokasi yang strategis di desa-desa tersebut.

Saat ini, masyarakat telah terbiasa dengan kode peringatan yang dipakai di kota yang

sesuai dengan standar warna bencana internasional. Untuk memasukkan kanungkong ke

dalam sistem, persetujuan tentang ritme dan bunyi (misalnya jumlah pukulan

kanungkong pada interval waktu yang ditentukan) dibuat sesuai dengan tindakan khusus

yang dilakukan. Satu kanungkung di tiap 5 rumah menyampaikan peringatan berantai ke

rumah-rumah yang ada di sepanjang bantaran sungai. Tabel 1 menjelaskan kode-kode

peringatan.

Tongkat penanda telah dibangun pada titik-titik terendah di barangay (desa) untuk

menyesuaikan dengan peringatan siaga, berdasarkan pada informasi dari banjir-banjir

yang melanda desa-desa tersebut di masa lalu (Gambar 2a, b dan c). Titik nol tadinya

disarankan untuk distandarisasi oleh pemerintah kota namun saat ini masing-masing desa

memiliki penanda banjir sendiri-sendiri yang disetujui bersama yang diletakkan di

tempat-tempat strategis di desa. Pengukur menunjukkan sampai tingkat kritis mana para

warga harus bersiap-siap untuk meninggalkan rumah dan mengungsi ke pusat-pusat

evakuasi.

Tabel 1. Kode peringatan yang dipakai di Kota Dagupan

Warna Tingkat Siaga Sinyal Peringatan dengan

Kanungkong

Putih (Siaga I) Normal

Kuning (Siaga II) Siaga (peringatan bahaya) 5 kali pukulan kanungkung

dengan interval 20 menit

Oranye (Siaga III) Bersiap untuk evakuasi atau

menuju ke tempat

pengungsian (banjir besar

datang)

10 pukulan dengan interval 20

menit

Merah Evakuasi penuh (evakuasi

dari rumah-rumah menuju ke

tempat aman yang telah

ditentukan) Evakuasi paksa

Non-stop (15 pukulan dengan

interval 10 menit)

Non-stop (20 pukulan pada

interval 5 menit)

Page 71: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

71

Hijau Situasi kembali normal

Pemantauan dan penyampaian pesan berantai tentang tingkat banjir yang diperoleh dari

tongkat penanda dilakukan oleh tim peringatan dan komunikasi barangay dengan

menggunakan radio komunikasi (HT) ke pihak BDCC. Kanungkung kemudian

dibunyikan dan disampaikan secara berantai dari satu titik ke titik yang lain (setiap 5

rumah) (Gambar 3). Masing-masing BDCC memiliki hubungan radio dengan CDCC, dan

informasi disampaikan satu sama lain melalui radio yang ada di Pusat Operasi Darurat

(Posko Darurat).

Diagram alur dari sistem peringatan dini dijelaskan di Gambar 4.

Tanggap Darurat dan/atau Rencana Managemen Risiko Bencana merinci tanggungjawab

dari panitia dan personil CDCC dan BDCC dalam hubungannya dengan peringatan dan

evakuasi. Sebagai bagian dari rencana, sistem peringatan dini telah disusun melalui

serangkaian konsultasi, kunjungan studi dan lokakarya.

Gambar 4: Penyampaian informasi berantai ke warga desa dengan menggunakan

kanungkung.

Pelajaran yang Dapat Dipetik

Sistem peringatan banjir Kota Dagupan yang merupakan perpaduan antara kearifan lokal

dan pengetahuan ilmiah modern merupakan tanggapan efektif terhadap masalah klasik

banjir yang terjadi di kota tersebut. Dalam merumuskan sistem ada beberapa pelajaran

penting sebagai berikut:

1. Penggunaan kanungkong telah memobilisasi kapasitas lokal sambil menghidupkan

kembali dan melestarikan praktik-praktik lokal untuk digunakan kembali dalam

kesiapsiagaan bencana.

2. Melibatkan masyarakat dalam pengkajian risiko (misalnya pengkajian bahaya,

kerentanan dan kapasitas) dan merancang sistem peringatan dini sangat penting

dilakukan.

3. Pengujian sistem peringatan dan prosedur evakuasi penting dilakukan melalui

simulasi dan latihan praktis yang melibatkan semua anggota masyarakat.

Pemantauan Tingkat Air

sungai oleh tim Peringatan

dan Komunikasi

Penyiapan

Rencana

Tanggap Darurat

Kota dan/atau

Rencana Badan

Koordinasi

Manajemen

Risiko Bencana

Pemasangan Penanda

Banjir (Tiang

penanda)

Penyampaian informasi

berantai ke BDCC dan

CDCC melalui radio VHF

- Tindakan diambil oleh BDCC dan CDCC;

- Tindakan yang dilakukan warga berdasarkan

pada tingkat kesiagaan

Page 72: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

72

4. Belajar dari praktik-praktik baik dengan mengunjungi warga masyarakat yang terlibat

dalam kesiapsiagaan dan mitigasi bencana berbasis masyarakat. Ini akan mendorong

warga masyarakat dan pemerintah untuk terus melanjutkan kerja keras mereka.

Kunjungan studi oleh pejabat setempat dan tokoh masyarakat ke proyek-proyek yang

sama menumbuhkan refleksi kritis tentang bagaimana meningkatkan kegiatan-

kegiatan yang berhubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi mereka.

Gambar 1a dan b. Kanungkong adalah sarana komunikasi yang digunakan dalam sistem

peringatan dini tingkat desa.

Gambar 2a dan b. Tiang penanda yang menunjukkan tingkat peringatan yang dipantau

oleh tim peringatan dan komunikasi.

Gambar 3. Badan Koordinasi Bencana tingkat Desa memberikan peringatan awal dengan

menggunakan kanungkung.

Gambar 4: Penyampaian informasi secara berantai kepada masyarakat dengan

menggunakan kanungkung.

Page 73: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

73

Barangay Matanag, Kota Legazpi, Albay, Filipina

Pengetahuan Masyarakat Asli tentang Mistisisme Muntahan Lava Gunung Berapi

Mayon

Gerardine Cerdena

Abstrak

Tinggal di gunung tidak selalu berarti masyarakat yang tidak dapat berkembang dengan

lingkungan sekitarnya. Dalam kasus desa Matanag, penduduk desa tegar dalam

menantang bencana yang ditimbulkan oleh gunung berapi, tetapi masih menganggap

gunung berapi sebagai tempat tinggal yang nyaman. Kearifan lokal yang dimiliki

masyarakat tentang tanda-tanda peringatan dan bagaimana meramalkan letusan gunung

api berperan dalam upaya memperkecil risiko dan menangani bahaya yang ditimbulkan

oleh gunung berapi Mayon.

“Jika Mayon memuntahkan percikan-percikan panas, itu tandanya Mayon akan meletus.

Kadang-kadang kami khawatir tentang itu, tetapi kadang-kadang tidak. Gunung berapi

selalu menimbulkan suara-suara gemuruh sayup-sayup dan para petanilah yang pertama-

tama mendengarnya,” Domingo Arias, penduduk desa Matanag.

Latar Belakang

Sebagai salah satu gunung berapi yang aktif di pulau Luzon, Filipina, Gunung Mayon

dianggap oleh beberapa orang sebagai gunung berapi yang berbentuk paling sempurna

karena kerucutnya yang sangat simetris (Gambar 1). Sebagai salah satu gunung berapi

yang berada dalam “Sabuk Gunung Api”, Mayon terletak di bibir Samudera Pasifik di

mana kegiatan vulkanik dan gempa sering terjadi. Gunung berapi itu terletak 15

kilometer ke arah barat laut Kota Legazpi, Albay, Filipina di wilayah Bicol.

Gunung Berapi Mayon merupakan gunung berapi basal-andesit yang terletak antara

lempengan Eurasian dan Filipina yang terbentuk melalui asap tebal dan guguran lava

yang memuntahkan abu selama 400 tahun terakhir (Gambar 2).

Lereng bagian atas dari gunung berapi tersebut terjal dan kasar, dengan sudut rata-rata

35-40 derajat, dan ditutup dengan kawah kecil. Lereng-lerengnya mengandung lapisan-

lapisan lava dan material vulkanik lainnya. Magma terbentuk ketika batuan meleleh dan

letusan biasanya terjadi ketika guguran lava seperti air panas menyembur keluar dari

rekahan panjang di kawah. Desa Matanag di Kota Legazpi adalah sebuah desa pertanian

yang didiami oleh 1.400 penduduk dan merupakan salah satu dari wilayah yang mengapit

lereng gunung berapi Mayon yang rawan terlanda lava. Daerah tersebut dinyatakan

sebagai zona berbahaya oleh ahli vulkanologi dari Institut Vulkanologi dan Seismologi

Filipina dengan menggunakan penginderaan jauh dan satelit.

Kisah/Peristiwa

Page 74: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

74

Mayon tercatat telah meletus sebanyak 47 kali. Letusan yang paling dahsyat terjadi pada

tanggal 1 Februari 1814 yang memakan korban jiwa sebanyak 2.200 orang dan abu

vulkanik mengubur kota Cagsawa. Letusan Mayon terakhir yang dahsyat terjadi pada

tahun 1993 ketika lava pijar menelan 77 korban jiwa, kebanyakan para petani.

Letusan gunung berapi Mayon sering membuat orang takut kehilangan rumah dan sawah

mereka. Ditanya tentang dampak letusan Mayon, Bienvenido Belga Sr., Kepala Desa

Matanag menyatakan, ”An niyog tapos mga gulayon nagkakaaralang tapos

nagkakagaradan pag nagtutuga an Mayon. Su mga gapo nagdadalagasan nin mga

kalayo hali sa Mayon kaya minsan nagigipit kami sa negosyo pagmay eruption. – Kelapa

dan sayur mayur layu dan mati akibat letusan gunung Mayon. Batuan panas jatuh

berguguran dari gunung Mayon sehingga bisnis kami terganggu.” Kota tersebut sangat

tergantung pada hasil panenan kelapa dan padi sebagai sumber pendapatan maupun

sebagai makanan pokok. Terlebih lagi, lahar dingin yang membawa abu vulkanik serta

batuan besar yang meluncur turun dari gunung Mayon dapat membunuh ratusan jiwa dan

membawa lumpur yang sangat banyak sehingga dapat menimbun atap rumah.

Sebaliknya, letusan dapat juga dipandang sebagai hal yang menguntungkan karena

penduduk tahu bahwa abu vulkanik yang berasal dari letusan gunung berapi dapat

memperkaya tanah, sehingga dapat menghasilkan panen yang lebih baik. Bahkan,

ancaman aktivitas gunung berapi yang meningkat dan letusan selama bertahun-tahun

tidak menyurutkan semangat para penduduk desa Matanag.

Kearifan Lokal

Ketika ditanya tentang kearifan lokal mereka yang berhubungan dengan letusan gunung

berapi Mayon, beberapa penduduk desa menyatakan: Dakulon an palatandaan na aram

mi tungkol sa pagtuga kang Mayon. – Ada banyak tanda-tanda peringatan menjelang

letusan.” Mereka menyebutkan bahwa jika sungai dan anak sungai menjadi kering, ini

menunjukkan tanda-tanda awal kapan Mayon akan memuntahkan lava yang mematikan.

”Pag ubas an tubig na talagang diretso sa pirang bulan, aram mi na ma tuga na an

Mayon. Tapos an lava an pighahaditan ming maray. – Jika air menjadi kering selama 8

bulan penuh, maka kita tahu bahwa Mayon akan segera meletus. Dan lava yang terbentuk

dari gunung berapi itulah satu-satunya yang kita takutkan.”

Warga desa juga menyebutkan tentang percikan yang berasal dari gunung berapi yang

dengan cepat menciptakan lembah berapi di antara rekahan-rekahan dan menandakan

terjadinya letusan gunung Mayon.

Selain dari itu, para petani setempat dapat mendengar suara gemuruh dan merasakan

gempa bumi yang tidak bisa dirasakan oleh penduduk yang tinggal jauh dari gunung.

Seperti dinyatakan oleh Domingo Arias, seorang polisi desa, ”Pag may naguusok na

kalayo hali sa Mayon, yan an sinales na matuga na. Minsan nahahadit kami, minsan dai

man. Sigeng tagog kang bulkan asin nakakadangong inot su mga para tanom ky maluang

daguldol. – Jika Mayon memuntahkan percikan-percikan panas, artinya Mayon akan

meletus. Kadang-kadang kami khawatir tentang itu, tetapi kadang-kadang tidak. Gunung

berapi selalu menimbulkan suara-suara gemuruh sayup-sayup dan para petanilah yang

Page 75: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

75

pertama-tama mendengarnya.” Tiang batu dipakai sebagai tanda untuk melihat apakah

angin mengandung abu.

Lebih dari itu, binatang seperti baboy-damo (babi hutan liar) dan ayam mengikuti indra

perasa elektromagnetiknya. Penduduk desa menyaksikan binatang-binatang ini melarikan

diri dari gunung berapi. Ketika binatang-binatang lari menuruni gunung Mayon, ini

merupakan pertanda bagi warga bahwa sudah saatnya mengungsi karena binatang-

binatang ini dapat merasakan suhu tinggi yang berasal dari gunung api.

Menurut salah satu warga, penglihatan gaib dan tahayul yang berhubungan dengan

Gunung api Mayon selalu menunjukkan kebenaran. Ditanya tentang apakah mereka

khawatir tentang kiamat yang semakin dekat yang disebabkan oleh gunung api ketika

mereka melihat dan merasakan tanda-tanda peringatan, mereka menjawab bahwa mereka

sudah terbiasa dengan situasi tersebut. ”Tiud na kami pagnagtutuga an Mayon, -Kami

sudah kebal dengan naiknya suhu Mayon.” Romeo Nantes, seorang petani kelapa dan

bapak tiga anak, mengatakan. ”Kami tidak akan mengungsi sekarang kecuali kalau situasi

sudah sangat gawat dan ada letusan yang besar,” Rosario Nantes, istri Romeo Nantes,

berkata sambil menjaga toko kecilnya. Itulah kenapa meskipun ada perintah evakuasi,

banyak warga desa yang tetap tinggal diam di sawah-sawah sekitar gunung api Mayon

untuk merawat sawah, kebun dan ternak sambil menjaga rumah dan harta benda milik

mereka.

Seorang penduduk Matanag yang sudah lama tinggal di sana, Geronimo Toledo,

mengatakan, ”Pag mauran, baha ang mas delikado pag natugna an Mayon. Pero pag

maray an oras wara man dapat haditan. – Jika Mayon meletus, banjir jika terjadi hujan

itulah yang lebih berbahaya. Namun jika cuaca baik, tidak ada yang perlu

dikhawatirkan.”

Pengetahuan tentang tanda-tanda gunung api ketika memuntahkan gumpalan asap dan

abu yang tinggi berkontribusi terhadap pengurangan risiko bencana. Dengan mengikuti

kepercayaan ini, para penduduk setempat mengumpulkan tanda-tanda peringatan bahaya

dari ancaman di depan mata dan dengan demikian segera bersiap-siap menghadapinya.

Orang-orang ini biasanya bersyukur karena para tetua mereka mewariskan pengetahuan

ini kepada mereka.

”An mga gurang mi an nagturo samuya kang gabos na dapat ming maaraman. Maski aki

mi aram an mga sinales. – Para tetua kami yang mengajarkan apa yang perlu kami

pelajari. Bahkan anak-anak kami pun dapat membaca tanda-tanda bahaya.” Arias

menegaskan.

Ketika ditanya apakah mereka masih memperhatikan pengumuman yang berdasarkan

pada pertimbangan ilmiah, Belga, seorang penduduk desa lainnya menjawab: ”Dai kami

nagtutubod sa awtoridad ta sala sinda minsan. Masabi na matuga pero wara man

kaming napapansin na palatandaan o babala kaya dai kami mina hiro nangad hanggang

sigurado kami. Pero pag aram ming tama, ma hali man sana kami siyempre. – Kadang-

kadang kami tidak begitu memperhatikan apa yang dikatakan oleh pihak berwenang.

Page 76: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

76

Mereka mengatakan bahwa Mayon akan meletus, namun kami tidak melihat tanda-

tandanya sehingga kami memutuskan untuk tidak mengungsi jika kami tidak yakin sekali.

Namun, jika kami yakin Mayon akan meletus, tentu saja kami akan mengungsi.”

”Mga para tanom sana kadklan samo digdi pero aram mi kung ano an dapat hibuhan

and tubodan. Sa pagtuga kang Mayon, sadiri ming kahiruan an kaipuhan. Aram mi yan,

kaito pa. – Banyak di antara kami yang hanya petani namun kami tahu apa yang harus

dilakukan dan apa yang harus kami percayai. Tentang letusan gunung Mayon, kami

hanya bergantung pada naluri kami sendiri. Kami sudah tahu hal itu sejak lama,” kata

Belga dengan tegas. Dengan kearifan lokal yang mereka miliki, para penduduk desa tahu

kapan harus menghindari bahaya ketika letusan besar terjadi.

Pelajaran yang Dapat Dipetik

Para aparat pemerintahan sering tidak kuasa membujuk penduduk desa untuk

meninggalkan zona bahaya meskipun ada kerentanan alam dan bencana. Para penduduk

tidak mendengarkan para petugas yang berwenang, ahli geologi dan vukanologi, tetapi

bergantung pada bimbingan penasehat spiritual dan kepercayaan gaib. Penolakan warga

untuk mengungsi ketika gunung berapi memuntahkan lava panas dan mengandung

magma yang bergolak murka hanya karena pendirian yang keras kepala kadang-kadang

sama saja dengan kekonyolan.

Meskipun demikian, tidak semua budaya memandang letusan gunung api sebagai sesuatu

yang menghancurkan. Bahkan sebaliknya, banyak warga yang tinggal dekat gunung api

Mayon memandang letusan sebagai keadaan yang menguntungkan untuk terjadinya

penciptaan dan evolusi. Tinggal dekat dengan gunung api tidak berarti mereka tidak

dapat sukses hidup dengan alam sekitarnya. Warga masyarakat setempat tahu bahwa

gunung api tidak memuntahkan sesuatu tanpa alasan. Gunung api kadang dianggap

sebagai entitas penting yang melampiaskan dendam dan ketidakadilan pada dunia, dan

membawa keadilan bagi ketidakpastian dan kekhilafan umat manusia.

Cara pandang yang berbeda tentang letusan gunung api menghasilkan adanya salah

pengertian antara ilmuwan dan warga masyarakat yang terkena dampak langsung.

Pandangan-pandangan ini mengherankan masyarakat ilmiah namun pandangan ini tidak

bisa begitu saja dihilangkan. Sejujurnya, kearifan lokal yang telah diwariskan secara

turun-temurun membantu mereka memperkecil risiko, menghadapi bahaya yang

ditimbulkan oleh alam dan belajar bagaimana bertahan hidup. Tingkat risiko yang akan

dihadapi orang karena kearifan lokal mereka mungkin tidak mudah untuk dipercaya.

Namun cerita dan ritual yang tidak masuk akal ini juga membantu mereka menghadapi

bencana. Para ahli ilmu sosial mengamati bahwa hal ini bukan lagi merupakan pandangan

naif tentang alam. Takhayul dan mitos masih menancap dengan kuat dalam kepercayaan

masyarakat. Kepercayaan ini membuat mereka mempunyai pengharapan dan tidak mudah

menyerah dalam menghadapi bahaya.

Para ilmuwan yang menggunakan teknologi mutakhir dapat menjembatani kesenjangan

antara masyarakat yang berkeras pada pendiriannya agar memanfaatkan hasil yang

Page 77: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

77

mereka ciptakan. Namun, mereka tidak boleh meremehkan kearifan lokal yang dimiliki

oleh masyarakat dan harus memahami bagaimana karya mereka akan diterima oleh

masyarakat yang sudah sangat akrab mengalami dan menghadapi letusan gunung berapi.

Gambar 1: Gunung api Mayon dengan kerucut simetris sempurna. Foto: Jenny Exconde

Gambar 2: Awan panas yang menuruni lereng puncak Gunung api Mayon.

Page 78: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

78

Kaum Ivatan di Kepulauan Batan, Filipina

Dibentuk oleh Angin dan Topan: Kearifan Lokal Kaum Ivatan di Kepulauan

Batan, Filipina.

Noralene Uy dan Rajib Shaw

Disarikan dan diambil dari Hornedo, Florentino H, 2000. Menjinakkan Angin: Sejarah

Etno-Budaya tentang Kaum Ivatan di Kepulauan Batan

Abstrak

Kaum Ivatan yang tinggal di Kepulauan Batan telah memiliki sejarah panjang dalam

berjuang dan menyesuaikan diri terhadap badai, lautan yang ganas dan sumber daya yang

minim. Meskipun menghadapi kesulitan seperti ini, kearifan lokal yang menyatu dalam

teknik pembuatan rumah tradisional dan perahu, serta dinamika sosialnya terbukti

mampu bertahan di tengah bencana. Budaya yang luar biasa ini menunjukkan adanya

hubungan yang sangat erat antara masyarakat Ivatan dan lingkungannya sebagai sarana

bertahan hidup dalam menghadapi bermacam-macam tekanan lingkungan alam mereka.

Maka datanglah badai yang menghantamnya. Kemudian datanglah guntur bergemuruh,

kemudian datanglah petir menyambar-nyambar, dan kemudian turunlah hujan dengan

lebatnya, namun petir adalah oborku, guntur memukul irama langkahku, dan hujan

menjadi tongkat jalanku.

Syair Cerita Rakyat Ivatan

Latar Belakang

Kepulauan Batan merupakan bagian dari kumpulan pulau-pulau yang terletak di bagian

paling utara negara Filipina. Terletak antara 121o 45’ sampai 122

o 15’ Bujur Timur dan

pada 20o 15’ Lintang Utara, pulau tersebut lebih dekat dengan Taiwan (hanya 218 km)

daripada dengan daratan Luzon. Batan merupakan provinsi terkecil di Filipina dalam hal

jumlah penduduk (15.656 di tahun 2000) dan luas wilayah (hanya 230 m2). Batan terdiri

dari 10 pulau-pulau kecil dan hanya tiga di antaranya yang dihuni, yaitu Pulau Batan,

Sabtang dan Itbayat. Pulau itu dikelilingi oleh terusan Balintang di bagian selatan.

Iklim dan topografi di Batan berbeda dari provinsi lainnya di Filipina. Cuacanya agak

sejuk dan berangin. Kepulauan Batan memiliki suhu yang agak sedang yang dapat turun

sampai 7o C. Provinsi itu selalu dihempas badai, hujan dan topan. Musim hujan dan

musim kemarau tidak terlalu berat, namun selalu hujan minimal 8 hari dan maksimal 21

hari dalam sebulan. Kepulauan tersebut juga memiliki bentang alam yang sangat unik.

Tebing yang curam, bukit yang melandai, lembah yang dalam, dataran tinggi yang naik

turun serta pantai-pantai yang dibatasi oleh batuan besar menjadi ciri alam di kepulauan

itu. Sedikit banyak, provinsi ini mengingatkan kita pada Irlandia atau Selandia Baru.

Masyarakat yang mendiami kepulauan Batan disebut kaum Ivatan. Kurang lebih 75%

penduduk Ivatan adalah petani dan nelayan. Bawang putih dan ternak adalah sumber

pendapatan panen utama namun ada pula hasil bumi lain seperti beras, jagung dan umbi-

Page 79: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

79

umbian. Karena desa-desa dan kota-kota di kepulauan tersebut terletak di sepanjang garis

pantai, kondisi alamnya cocok untuk mencari ikan. Budaya Ivatan secara keseluruhan

dibangun atas dasar swa-sembada karena letaknya yang terisolir dari kebudayaan lain.

Kisah/Peristiwa

Angin merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan kaum Ivatan dan telah

ikut membentuk gaya hidup masyarakat Ivatan; terutama angin yang paling menakutkan.

Anin, atau angin puyuh, adalah angin yang paling sering terjadi di kepulauan Batan

karena kepulauan tersebut terletak di sepanjang sabuk angin puyuh. Rata-rata 20 angin

topan menyerang Filipina setiap tahun, dengan 8 di antaranya melewati Kepulauan Batan

dalam perjalanan dari Filipina selatan menuju ke arah barat laut.

Setiap warga Ivatan memiliki cerita sendiri-sendiri tentang Topan. Pada tahun 1905 angin

yang dahsyat menghempaskan ternak sampai mati. Pada tahun 1918, perahu nelayan

tersapu dari Annam, sebuah daerah yang sekarang letaknya di sebelah selatan Vietnam.

Pada tahun 1921, angin besar merontokkan atap gereja katedral dan membengkokkan

menara tanpa kabel. Pada tahun 1952, seorang warga nekat mengejar atap yang terbuat

dari seng yang diterbangkan angin dan akhirnya berhasil menangkapnya sampai gedung

balai kota. Sayangnya, seng itu telah berubah bentuk menjadi bola yang menggelinding

ke sana ke mari seperti rumput kering yang dipermainkan angin. Pada tahun 1987, kapal

tanker Angkatan Laut Filipina kandas di Basco, ibukota provinsi, dan sebuah bangunan

sekolah roboh terbawa angin di Mahatao, salah satu kota di Pulau Batan. Beberapa waktu

yang lalu, seorang nelayan terapung-apung menuju ke Taiwan. Terakhir, gubernur

provinsi itu menceritakan beberapa malam sebelumnya ketika ada badai, sebuah keluarga

sedang berkumpul menunggu badai datang. Atap rumah mereka jebol dan seekor sapi

jatuh menimpa rumah mereka. Paginya, mereka berpesta daging sapi.1

Kearifan Lokal

Arsitektur, teknik pembuatan perahu, pertanian dan lembaga sosial masyarakat Ivatan

telah disesuaikan dengan cuaca yang keras dan berubah-ubah. Rumah tradisional kaum

Ivatan dibangun dengan tembok yang tebal yang terbuat dari batu dan gamping dan diberi

atap lapisan tebal rumput cogon (sejenis ilalang yang tinggi yang hanya ada di Filipina)

untuk menahan terjangan topan yang ganas. Perahu yang lebih kokoh yang dinamakan

paluwas berfungsi sebagai moda transportasi utama dari satu pulau ke pulau lainnya.

Masyarakat menanami bagian tepi ladang dengan pohon-pohon yang dapat memecah

kemurkaan angin sehingga tanaman yang berakar dapat tumbuh. Koperasi Ivatan dan

lembaga bantuan sosial memperkuat ikatan antar anggota masyarakat. Rumah tradisional,

perahu air dan dinamika sosial masyarakat kaum Ivatan akan dijelaskan secara terinci

pada bagian berikut ini.

Rumah Tradisional

1 Feleo (2006)

Page 80: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

80

Evolusi dari apa yang disebut rumah tradisional kaum Ivatan adalah cerita turun-temurun

tentang perjuangan masyarakat dalam mempertahankan diri dari segala macam cuaca.

Cerita itu juga memuat gambaran tentang adaptasi, asimilasi dan penggunaan kreatif dari

bahan-bahan setempat yang tersedia di alam.

Di Filipina, masyarakat yang memiliki arsitektur rumah tradisional yang terbuat dari batu

hanyalah di Kepulauan Batan (Gambar 1). Rumah masyarakat lain kebanyakan terbuat

dari bahan-bahan khas daerah tropis semi-permanen (misalnya kayu, bambu dan atap

daun nipah) yang secara luas dipakai sebagai atap di seluruh pelosok negeri. Sejak

berabad-abad yang lalu, kaum Ivatan telah tinggal di tempat tinggal batu tradisional

untuk melindungi diri dari alam, dengan menggunakan batu untuk mempertahankan diri

dari angin dan tekanan curah hujan muson. Sebuah rumah Ivatan dibangun dengan

dinding batu gamping dengan tebal sekitar 2-4 kaki dan sebagai atapnya ditumpul

berlapis-lapis rumput cogon dan alang-alang. Struktur ini cukup kokoh untuk menahan

serangan angin puyuh yang menerjang kepulauan. Jendela dan pintu dibuat sangat kecil

dan sempit. Daun jendela terbuat dari aneb (daun pintu) kayu yang sangat tebal yang

diengselkan ke kusen pintu dengan yembra y machu (engsel) yang tebal pula dan dikunci

dari arah dalam dengan panahtah (palang kayu). Hanya tiga dinding rumah yang

memiliki jendela sedangkan dinding yang tidak memiliki jendela menghadap ke arah di

mana angin biasa bertiup paling kuat. Suhu dalam ruangan dapat disesuaikan agar cukup

sejuk selama musim panas dan hangat sepanjang musim badai dingin.

Kebanyakan rumah-rumah Ivatan memiliki dua unit yang terpisah, yaitu rakuh (ruang

keluarga) dan kusina (dapur). Kusina yang merupakan bagian paling penting di rumah,

dibangun mengelilingi kompor besar menyerupai api unggun. Bangunan ini

melambangkan kehangatan, keamanan dan sumber kesejahteraan komunal. Kaum Ivatan

tahu kapan saatnya mengisi dapur dengan persediaan ketika daun pohon aruyo telah

tumbuh sangat panjang dan lembut. Ini merupakan pertanda bahwa angin puyuh akan

menerjang mereka dalam hitungan hari. Ketika angin puyuh datang, seluruh anggota

keluarga tinggal di dalam rumah.2

Tata letak pemukiman juga menyesuaikan dengan keadaan alam. Pemukiman di desa-

desa tersebut kebanyakan berupa rumah-rumah batu yang beratap rendah dan bertembok

tebal ditutup dengan atap jerami tebal dan dibangun berhimpitan dalam kelompok-

kelompok untuk melindungi rumah-rumah sesama warga dari sapuan angin puyuh yang

ganas. Jalan-jalan yang memisahkan rumah-rumah tersebut dibuat lurus dan sempit,

kadang-kadang begitu sempitnya sehingga hampir tidak cukup untuk lewat kendaraan.3

Perahu air yang unik dan pengetahuan tentang laut

Kaum Ivatan adalah pelaut dan pembuat kapal. Pembuatan kapal adalah tradisi dan teknik

perahu air telah diketahui selama berabad-abad dengan tidak ada perubahan teknologi

sampai pertengahan abad 20. Teknik yang unik ini adalah hasil dari usaha untuk

menyempurnakan perahu air agar dapat mengurangi risiko hilangnya jiwa di laut karena

2 Feleo (2006)

3 Villalon (2000).

Page 81: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

81

adanya badai yang sering terjadi terutama selama musim angin badai. Perahu air

tradisional Ivatan disebut dengan tataya, chinarem, chinedkeran dan paluwa. Paluwa

adalah jenis perahu air yang paling umum dijumpai. Karena navigasi antar pulau masih

sulit karena arus air yang kuat cenderung tidak dapat diduga, bentuk paluwa tidak sama

dengan banca bergandung khas Asia Tenggara (perahu motor). Paluwa adalah perahu

kayu dengan dasar bundar yang terlempar dan bergulung bersama dengan gelombang dan

meluncur dalam ombak laut yang dahsyat. Sekarang ini, paluwa yang digunakan untuk

transportasi mempertahankan bentuk tradisionalnya tetapi telah dilengkapi dengan motor.

(gambar 2).

Sebagai pelaut yang terdidik, Ivatan membaca wajah laut. Mereka tahu kecepatan arus

hanya dengan melihat tekstur dan irama ombak. Mereka mengamati waktu dalam sehari

dan fase bulan untuk meramalkan pasang surut dan pasang naik. Ketika menyeberangi

selat, mereka menandai kemajuan perjalanan mereka dengan muncul atau menghilangnya

pepohonan di pulau yang mereka lewati. Dengan menggunakan arah dan suhu udara,

mereka meramalkan watak lautan. Idaud (angin utara) biasanya kasar dan avayat (angin

barat) biasanya tidak tentu, sehingga laut bisa menjadi sangat bergolak. Pangadiran

(angin timur) dan sumla (angin selatan) cenderung lebih lembut. Pengetahuan yang luar

biasa tentang lautan ini mencegah warga masyarakat, terutama para nelayan, untuk

berkelana jauh ke tengah laut ketika kondisi cuaca sedang buruk dan dengan demikian

memperkecil kecelakaan laut yang mungkin terjadi.

Dinamika Sosial Ivatan

Keterasingan Batan telah menyebabkan masyarakat kaum Ivatan menjadi masyarakat

yang sangat kental satu sama lain yang terbiasa dengan kerasnya hidup dan jauh dari

kemewahan yang dianggap normal bagi orang lain. Bayanihan4 merupakan contoh yang

jelas. Ketika alam memporakporandakan kepulauan mereka, warga Ivatan tetap saling

berhubungan dan membantu satu sama lain, seperti gotong royong memperbaiki rumah

tetangga, membersihkan kampung, atau memanen hasil bumi.5

Untuk memastikan adanya kesempatan yang lebih besar dalam memenangkan

perlombaan dengan alam, warga Ivatan telah menciptakan berbagai macam bentuk

koperasi buruh yang berdasarkan pada satu prinsip utama: ”Anda tidak perlu bekerja hari

ini, jika yang Anda investasikan pada saudara yang membutuhkan hari ini, maka akan

dikembalikan pada Anda ketika Anda membutuhkannya di masa yang akan datang”. Ini

merupakan kode beroperasinya kelompok kerja tetap maupun musiman semacam

kayvayvanan, payuhwan, kapaychahwan, dan kapanidungan. Koperasi mandiri

masyarakat yang disebut yaru di mana setiap rumah tangga mengirimkan setidaknya satu

wakil yang sehat secara jasmani untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, sangat

terbukti berperan penting pada saat bencana seperti angin badai.

Pola pendidikan yang menularkan kearifan lokal turun temurun, terutama mengenai

pembangunan rumah tradisional dan pembuatan perahu air, pada dasarnya dilakukan

dengan magang dan pengamatan partisipatif. Ketrampilan bagi pembangunan rumah

dengan cara tradisional tidak diajarkan di sekolah namun dipelajari dari praktik dan

Page 82: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

82

magang kepada para veteran pembangun rumah di masyarakat. Hal yang sama juga

berlaku pada pembangunan perahu air Ivatan.

Pelajaran yang Dapat Dipetik

Terlepas dari kaum Ivatan, tidak ada budaya satu pun di Filipina yang dengan gemilang

berhasil menjinakkan kemarahan angin musiman. Budaya Ivatan merupakan produk dari

sejarah panjang perjuangan dan penyesuaian diri dengan angin badai, laut yang ganas dan

sumber daya yang terbatas. Hal ini mencontohkan hubungan yang selaras antara

masyarakat dan lingkungannya.6

Beberapa pelajaran dapat dipetik dan kesimpulan dapat diambil dari kasus kaum Ivatan.

1. Khasanah kearifan lokal yang kaya tentang masyarakat kaum Ivatan yang

memanfaatkan sumber daya setempat dan dengan demikian sangat murah karena

hanya memanfaatkan keterampilan dan materi yang tersedia di alam sekitar.

2. Meskipun menghadapi berbagai keterbatasan alam, kelompok masyarakat yang

tinggal di kepulauan yang kecil dan terasing mencapai swasembada dengan

menggunakan kearifan lokal mereka.

3. Merupakan kebiasaan yang umum dilakukan oleh kaum Ivatan untuk saling

membantu. Pada saat bencana, lembaga-lembaga sosial yang ada membuat upaya-

upaya komunitas yang terorganisir dan terpadu menjadi mudah.

4. Kaalamang Bayan (kearifan masyarakat), cara hidup, metode melakukan sesuatu, dan

kepercayaan bahwa semua berdasarkan pada kearifan lokal dan kebiasaan setempat

merupakan ajaran penting dari budaya Ivatan. Budaya tradisional ini telah sangat

membantu masyarakat Ivatan dalam berjuang mempertahankan hidup selama

berabad-abad. Meskipun demikian, sejarah dan situasi sekarang menunjukkan bahwa

memang budaya tradisional dapat menjamin keberlangsungan hidup, tetapi tidak lebih

dari itu, karena nyatanya tingkat kemiskinan di Batan tidak pernah kunjung turun.

Ada kebutuhan untuk melaksanakan program pembangunan yang bermakna di Batan

yang mengakui keunikan budaya setempat dan menyediakan dukungan bagi kondisi

yang ada, yaitu sumber daya yang terbatas dan kondisi cuaca yang sangat buruk.

5. Pada umumnya, kearifan lokal masyarakat kaum Ivatan dianggap sebagai primitif dan

sering tidak direkomendasikan atau tidak dianggap penting. Misalnya, gedung

sekolah dibangun tanpa mempertimbangkan kearifan lokal. Proyek menjadi

percobaan yang sia-sia karena tidak ada bangunan yang tersisa setelah angin badai

menyapu desa. Memang penting untuk mengakui nilai-nilai dari kearifan lokal,

terutama yang sudah terbukti selama berabad-abad dan efektif, meskipun sudah ada

teknologi modern.

Daftar Pustaka

- Cafe Ivatan. Batan: A Historical and Descriptive Profile of the Ivatans.

http://uproar.fortunecity.com/sports/490/Batan/Batanestoday.htm. Diakses pada

tanggal 6 Maret 2008.

Page 83: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

83

- Carballo, Bibsy M. Batan on the Rise.

http;//www.batanesonline.com/Features/Batan_On_The_Rise.htm. Diakses tanggal 6

Maret 2008.

- Datar, Francisco A., 2002. The Batan Islands. http://www.ncca.gove.ph/about-

culture-and -arts/articles-on-c-n-a/article.php?igm=4&i=226. Diakses tanggal 29 Mei

2008.

- Feleo, Anita. Batan: Another World, 2006.

http;//www.livinginthephilippines.com/philculture/Philippine_articles/batanes.html.

Diakses tanggal 6 Maret 2008.

- Hornedo, Florentino H., 2000. Taming the Wind: Ethno-Cultural History on the

Ivatan of the Batan Isles. UST Publishing House, Manila, Philippines.

- Ignacio, Jose F. Challenges in Preserving the Heritage Houses of Batan, Philippines.

http;//rizal.lib.admu.edu.ph/conf2005/conf/ARCH.%20JOSE%20IGNACIO%20PAP

ER%20FOR%20ATENEO.pdf. Diakses tanggal 6 Maret 2008.

- Lainez, Aileen. Batan: Sea and Storm Shape the Islands.

http;//www.seasite.niu.edu/Tagalog/Tagalog_Default_files/Philippine_Culture/Regio

nal%20Cultures/northern_luzon_cultures.htm. Diakses tanggal 6 Maret 2008.

- Navarro, Celerina M. Something Different Up North.

http://www.batanesonline.com/Features/UpNorth.htm/ Diakses tanggal 6 Maret 2008.

- Villalon, Augusto F, 2000. Batan: Majestic Harmony between People and Nature.

Bandillo Batan. http://www.batanesonline.com/Features?Majestic.htm. Diakses

tanggal 6 Maret 2008.

Page 84: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

84

Provinsi Barat, Kepulauan Solomon

Kearifan Lokal Menyelamatkan Banyak Jiwa dalam Tsunami Kepulauan Solomon

tahun 2007

Brian G. McAdoo, Jennifer Baumwoll dan Andrew Moore

Abstrak

Pada tanggal 2 April 2007, sebuah gempa bumi berkekuatan 8,1 skala Richter dan disusul

tsunami menerjang kepulauan Solomon dan menelan 52 korban jiwa. Jumlah tersebut

kemungkinan akan bertambah banyak jika para penduduk yang tinggal di tepi pantai

tidak mengambil tindakan yang tepat. Walau tinggal di daerah-daerah dengan tingkat

kerusakan serupa, jumlah penduduk pendatang yang meninggal jauh lebih tinggi daripada

warga setempat, karena para pendatang tidak mengenali tanda-tanda kedatangan tsunami.

Baik penduduk lokal maupun pendatang hanya memiliki waktu singkat untuk bertindak

karena desa mereka letaknya sangat dekat dengan pusat gempa. Meskipun sistem

peringatan dini berbasis pelampung sangat diperlukan dalam mitigasi dampak tsunami

antar samudera yang menerjang garis pantai berjam-jam setelah gempa, sistem tersebut

terbatas pada wilayah yang dekat dengan pusat gempa, terutama wilayah-wilayah yang

sarana dan prasarananya sudah memadai. Rencana mitigasi tsunami yang ditujukan untuk

melatih penduduk setempat harus mempertimbangkan tidak hanya lingkungan fisik

wilayah tersebut, tetapi juga lingkungan masyarakat yang terdiri dari bermacam-macam

tingkat ekonomi dan budaya, serta pengetahuan mereka tentang lingkungan setempat.

Latar Belakang

Antara tahun 1955 dan awal tahun 1960-an, demografi etnis Provinsi Barat berubah

ketika kelompok etnis Gilbertese bermigrasi dari tempat tinggal asal mereka di Kiribati,

sebuah Negara yang terletak di Samudera Pasifik barat daya di kawasan karang-karang

atol yang jauh dari sumber gempa aktif. Karena menipisnya sumber daya dan kenaikan

jumlah penduduk di Kiribati, para warga mendatangi wilayah Provinsi Barat sebagai

bagian dari rencana pemukiman kembali oleh pemerintah Kolonial Inggris.1 Menurut

sensus pemerintah Pulau Solomon tahun 2002, penduduk Gilbertese secara turun-

temurun merupakan penghuni karang atol yang sangat tergantung pada sumber daya laut,

sehingga mayoritas pemukiman penduduknya berada di dekat daerah laguna. Sejak

orang-orang Gilbertese pindah ke daerah tersebut mereka belum pernah mengalami

gempa yang berpotensi menimbulkan tsunami.2

Kisah/Peristiwa

Pada tanggal 2 April 2007 pukul 7:39 pagi waktu setempat, sebuah gempa dengan skala

8,1 Richter menggoncang Provinsi Barat Kepulauan Solomon.3 Gempa tersebut

1 Matthew (1996)

2 Frits dan Kalligeris (2008) melaporkan keterangan saksi mata tentang adanya tsunami kecil di Ranongga

yang ditimbulkan oleh gempa lokal berskala 7,2 Richter pada tahun 1959, dan di Honiara di Guadalcanal

pada tahun 1952 yang kemungkinan berasal dari gempa yang terjadi jauh di Kachatka di Pasifik Barat laut. 3 USGS (2007)

Page 85: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

85

menyebabkan goncangan hebat (cukup hebat sampai banyak orang tidak mampu berdiri

tegak) yang berlangsung lebih dari satu menit, memporak-porandakan bangunan dan

mengoyak koloni terumbu karang,4 sementara pada saat yang sama memperingatkan

warga akan potensi terjadinya tsunami. Bangunan di wilayah tersebut rusak parah dan

banyak korban luka karena kejatuhan reruntuhan bangunan dan tersiram air mendidih

dari kompor.5 Gempa juga memicu lebih dari 1.000 tanah longsor di pulau vulkanik yang

terjal di Ranongga – satu gempa terjadi di desa Mondo menelan dua korban jiwa

manusia.6 Goncangan hebat dan kenaikan seismik juga menghancurkan terumbu karang

yang ringkih di laguna, yang akan membawa dampak lama bagi pemulihan perikanan,

sektor yang menjadi andalan suku Melanesia pribumi dan pendatang Gilbertese.

Segera sesudah goncangan berhenti, menurut saksi mata, air meluap dari karang laguna

yang dangkal, memperlihatkan dasar laut. Tsunami datang antara 3-10 menit setelah

goncangan berhenti. Bukti dari sana-sini yang didukung oleh pengamatan geologis

memperlihatkan ada dua atau tiga gelombang yang saling bersusulan dengan kekuatan

rendah, yang naik dengan cepat dan bukan gelombang pasang yang bergolak liar.7 Koloni

terumbu karang yang tidak begitu padat dengan permukaan luas yang dasarnya telah

dikoyak gempa bergeser ke dekat posisi asal tumbuhnya dan akan berpindah jika diseret

arus yang sangat kuat. Tsunami menyeret kendaraan dan rumah, menghempaskannya ke

pedalaman dan menjatuhkannya dengan sedikit kerusakan – gelombang pasang yang kuat

cenderung menggulingkan kendaraan dan merobohkan bangunan. Tsunami kali ini

menelan korban jiwa sebanyak 50-52 orang. Gambar 1 menjelaskan distribusi geografis

ketinggian air ketika naik dalam hubungannya secara spasial dengan jumlah korban jiwa.

Gambar 1. Distribusi ketinggian air naik (run-up heights) tsunami Kepulauan Solomon

tanggal 2 April 2007 yang secara spasial berhubungan dengan jumlah korban jiwa. Desa

yang ada di peta adalah desa-desa yang rusak parah, dan desa-desa yang dicetak tebal

adalah yang menderita korban jiwa. Semakin besar tsunami, jumlah korban jiwa juga

cenderung lebih besar, tetapi kebanyakan korban jiwa ini terjadi pada penduduk

pendatang yang minoritas (Dikutip dari McAdoo dkk., di harian Natural Hazards).

Kearifan Lokal

Survei geologis menemukan bahwa tsunami yang menerjang daratan pada ketinggian

yang sama di lingkungan fisik yang sama di wilayah dengan demografi yang berbeda

menghasilkan pola kematian yang tidak konsisten yang tidak dapat dijelaskan oleh

bahaya fisik semata. Pendatang Gilbertese meninggal dengan tingkat yang tidak sepadan

dibandingkan dengan penduduk Melanesia pribumi.8 Sementara desa pendatang

cenderung memiliki jumlah penduduk yang lebih tinggi, tindakan mereka menghadapi

gempa yaitu menyelidiki laguna yang tiba-tiba habis airnya, menunjukkan kurangnya

pemahaman tentang sifat tsunami. Masing-masing desa memiliki tebing

4 McAdoo et al. (2008)

5 Fritz dan Kalligeris

6 McAdoo et al. (2008)

7 McAdoo et al. (2008)

8 McAdoo dkk (di harian)

Page 86: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

86

karang/penyangga laguna yang bagus, dan salah satu dari desa pendatang yang terkena

dampak (New Manra) bahkan memiliki rumpun bakau tambahan yang tidak dimiliki oleh

desa pribumi. Bukti ini menegaskan bahwa faktor utama yang menyumbang pada tingkat

kematian yang tinggi adalah tindakan yang tepat berdasarkan pada kebiasaan warga yang

tinggal di lengkungan pulau aktif dekat dengan zona penunjaman (sukduksi).

Masyarakat desa pendatang Titiana jauhnya hanya 3 kilometer ke arah timur Pailongge di

pantai selatan Pulau Ghizo yang terkena hantaman tsunami terberat. Laguna yang lebar

(100-400 meter) terletak pada bagian depan tebing karang, seperti Pailongge, dan

memantulkan sebagian energi ombak kembali ke laut.9 Menurut mereka yang selamat,

ketika goncangan berhenti dan air laut menyusut dari laguna, anak-anak yang penasaran

berlarian dari desa menuju laguna untuk menyelidiki dasar laut yang tersibak. Di desa-

desa Gilbertese di New Manra, Titiana dan Nusa Mbaruku, sebanyak 67,7% penduduk

yang meninggal karena tsunami adalah anak-anak. Di Titiana saja, 8 dari 13 orang yang

meninggal adalah anak-anak yang belum cukup kuat untuk berenang melawan ombak

yang datang. Seperti terlihat dari gambar 2, desa-desa pendatang tercatat memiliki jumlah

kematian yang lebih tinggi di Pulau Ghizo.

Bukti dari sana-sini menyatakan bahwa kebanyakan orang dewasa di sini kewalahan

menghadapi tsunami sambil menyelamatkan anak-anak mereka.

Di pihak lain, tidak terdapat kematian penduduk pribumi di desa Pailongge di Pulau

Solomon (jumlah penduduk 76 orang) yang terletak di pantai selatan Ghizo. Air laut surut

hampir segera sesudah goncangan gempa berakhir, menurut saksi mata. Bukti geologis

menyatakan bahwa bagian depan tebing yang terjal dan laguna yang lebar (100-500 m)

memperlambat tsunami yang datang,10

namun ombak masih cukup besar ketika mencapai

daratan, membanjiri daratan sekitar tiga meter tingginya.11

Setelah goncangan reda, para

tetua desa memperhatikan bahwa laguna telah kosong, lalu mereka membantu menyuruh

semua orang naik ke pedalaman, dan setiap kepala keluarga memastikan semuanya

termasuk anak-anak baik-baik saja dan mengungsi.

Gambar 2. Penduduk Gizo terdiri dari penduduk asli Kepulauan Solomon (kuning) dan

pendatang Gilbertese (merah) yang tinggal di desa-desa terpisah. Desa pribumi Pailongge

yang terletak di pantai selatan sangat rawan serangan tsunami yang hebat, seperti juga

halnya desa pendatang Titiana dan kedua desa tersebut memiliki tanah tinggi yang dapat

dijangkau untuk menyelamatkan diri. Tidak seorang pun yang meninggal dunia di

Pailongge, dan hanya dua orang yang meninggal di desa Ghizo yang lebih banyak

penduduknya, di mana masing-masing desa pendatang mencatat adanya kematian tanpa

perduli letak geografisnya. New Manra, sebuah desa pendatang, tidak hanya memiliki

tebing karang yang melindungi, namun juga hutan bakau di depan desa, namun 8 orang

dari 206 penduduk desa menjadi korban tsunami. (McAdoo dkk., dilaporkan ke Natural

Hazards)

9 McAdoo dkk (2008)

10 McAdoo dkk (2008)

11 Fritz dan Kalligeris (2008)

Page 87: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

87

Pelajaran yang Dapat Dipetik

Dari 52 orang yang meninggal dunia selama gempa dan tsunami Kepulauan Solomon, 31

orang diantaranya (59,6%) adalah pendatang Gilbertese dari Titiana, New Manra dan

Nusa Mbaruku yang tidak mengambil tindakan tepat karena mereka tidak memiliki

ingatan akan kejadian serupa dalam tradisi mereka.12

Kiribati adalah Negara karang atol,

yang terletak jauh dari sumber gempa rutin mana pun. Karena tidak pernah ada gempa

besar yang menyebabkan tsunami selama 50 tahun perpindahan mereka ke tempat yang

baru, maka mereka benar-benar tidak memiliki kearifan lokal tentang lingkungan baru

mereka yang mungkin dapat menyelamatkan jiwa. Anak-anak Gilbertese terutama

merupakan pihak yang paling rentan karena tidak saja mereka terlalu lemah untuk

berenang melawan arus tsunami yang menyeret pelan namun dalam, akan tetapi mereka

juga tidak memiliki kearifan lokal yang membuat mereka mengurungkan niat menelusuri

mengapa air laguna tiba-tiba surut. Sebaliknya, penduduk asli Kepulauan Solomon,

sebagian besar mengambil tindakan yang tepat sehingga korban jiwa dapat dikurangi.

Kearifan lokal masyarakat Kepulauan Solomon, di mana gunung api aktif dan gempa

adalah hal yang biasa, telah mengurangi dampak tsunami. Di desa-desa asli yang terletak

di Pulau Ghizo yang terkena terjangan tsunami paling dahsyat, dampak tsunami

dimitigasi dengan menggabungkan 1) tebing koral sehat dengan penghalang yang curam

dan lebar di bagian depan, laguna yang dangkal yang memantulkan serta melemahkan

kekuatan gelombang tsunami, 2) rute penyelamatan diri yang terjangkau dan efektif serta

dataran tinggi yang dibentuk oleh topografi yang ada, dan 3) kearifan lokal tentang apa

yang harus dilakukan selama terjadinya gempa besar yang diikuti oleh surutnya air

laguna.13

Desa tempat tinggal pendatang Gilbertese yang sama-sama memiliki fisiografi

yang sama dan yang diterjang tsunami dengan intensitas yang sama, tidak memiliki

kearifan lokal yang kemudian menyebabkan mereka menderita banyak korban jiwa.

Banyak orang meninggal dunia di desa asli Tapurau, yang tidak memiliki penghalang

tebing koral karena bentuk alam yang berevolusi pada lambung di bawah angin Pulau

Simbo.

Kearifan lokal dapat menjadi alat pengurangan risiko bencana tsunami yang efektif jika

dapat menggabungkan antara pendidikan dan fisiografi. Lokasi-lokasi dengan dataran

pantai yang luas akan mengalami kesulitan dalam mengevakuasi warga dari pantai,

terutama jika kepadatan penduduk sangat tinggi seperti yang terjadi di Banda Aceh,

Indonesia pada tsunami Samudera Hindia tahun 2004. Namun, tebing koral, laguna yang

lebar dan hutan bakau tidak cukup untuk melindungi penduduk New Manra karena

mereka tidak memiliki pengetahuan tentang tsunami di daerah ini.

Daftar Pustaka

- Fritz H, dan N. Kalligeris, 2008. Ancestral heritage saves tribes during 1 April 2007

Solomon Islands tsunami. Geophys Res Lett. Doi:10.1029/2007GL031654

12

McAdoo dkk (dalam laporan pers) 13

McAdoo dkk (2008)

Page 88: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

88

- Galathea Expedition Gizo Tsunami Assistance Fund, 2005. Dapat diakses di

http://www.ilfhaus.com.sb/galatheaassist/. Diakses tanggal 7 Januari 2007

- Matthew, P., 1996. Solomon Islands, Western Province overview. Dalam: Sant G,

Hayes E (eds) The Oceania Region’s Harvest, Trade and Management of Sharks and

Other Cartilaginous Fish: An Overview, Volume II. Traffic Network, Cambridge,

UK.

- McAdoo B., L., Dengler, V. Titov, dan G. Prasetya, 2006. Smong: how an oral

history saved thousands on Indonesia’s Simeuleu Island. Eathquake Spectra 22 (S3):

661-669

- McAdoo B dkk., 2008. Solomon Islands Earthquake and tsunami damages reef,

affects local economy. EOS

- McAdoo B dkk., laporan pers. “Kearifan Lokal Menyelamatkan Jiwa selama Tsunami

Kepulauan Solomon tahun 2007,” Natural Hazards

- National Geophysical Data Center, Tsunami Database. 2008. Dapat diakses di

http://www.ngdc.noaa.gov/seg/hazard/tsu.shtml. Diakses tanggal 17 Januari 2008.

Page 89: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

89

Kepulauan Surin, Thailand

Diselamatkan oleh Sebuah Legenda Kuno dan Pengamatan yang Tajam: Kasus

Kaum Moken, Kaum Nomaden yang Tinggal di Laut di Thailand Narumon Arunotai

Abstrak

Ada sebuah pelajaran berharga yang dapat dipetik dari kasus kaum Moken, kaum

nomaden/pengembara yang tinggal di laut di Thailand – bahwa kaum Moken memiliki

kearifan lokal yang dapat membantu mereka mengurangi risiko bencana. Dapat dikatakan

bahwa kaum Moken telah diselamatkan oleh sebuah legenda kuno, pengamatan yang

tajam akan laut dan perasaaan berhati-hati yang kuat, pengetahuan mendalam akan

lingkungan laut dan hutan mereka, cara mereka memilih lokasi pembangunan desa yang

cerdik, dan keterampilan mereka yang tinggi dalam mengendalikan perahu. Tulisan

berikut ini mengkaji pelajaran-pelajaran dari kearifan lokal kaum Moken dalam

pengurangan risiko bencana dan implikasi dari penerapan pelajaran-pelajaran ini pada

kebijakan dan praktik-praktik yang terkait.

“Kami menyebut gelombang besar ini ‘laboon”. Gelombang tersebut merupakan

gelombang pembersih yang datang untuk membersihkan pantai yang kotor. Ia adalah

dewa dari gelombang, dewa yang marah yang menghabiskan dan menghancurkan apa

saja. Saya belum pernah melihat gelombang semacam itu, hanya mendengar tentang itu

dari orang-orang tua. Mereka membicarakan ‘gelombang tujuh ombak’ yang

mengunjungi kami sekali setiap dua generasi.”

Salama Klatalay, seorang tetua Moken

Latar Belakang

Kaum Moken, para “pengembara laut” atau “kaum gipsi yang tinggal di laut” yang

tinggal di Laut Andaman, adalah kelompok nomaden yang tinggal di laut yang di

Thailand umumnya dikenal sebagai Chao Lay (orang laut). Selama musim penghujan

timur laut yang kering laut cenderung tenang dan kaum Moken tinggal dalam perahu-

perahu mereka yang disebut kabang, bepergian dari satu pulau ke pulau lainnya di

Gugusan Kepulauan Mergui di Laut Andaman untuk mencari penghidupan. Struktur

sosial kaum ini berupa kelompok-kelompok kekerabatan yang terdiri dari dua sampai

sepuluh keluarga yang bepergian bersama. Selama musim penghujan barat daya, laut

menjadi ganas dan sulit diprediksi perilakunya, oleh karenanya kaum Moken beradaptasi

dengan situasi ini dengan tinggal di pondok-pondok sementara di teluk-teluk yang

terlindung dan mencari penghidupan mereka dari sekitar desa-desa yang mereka diami.

Komunitas Moken yang besar di Thailand dapat ditemukan di Pulau-pulau seperti Lao,

Sinhai, Phayam, dan Chang di Provinsi Ranong, Kepulauan Surin di Provinsi Phang-nga,

dan Pantai Rawai di Provinsi Phuket. Kaum Moken yang berasal dari Kepulauan Surin

relatif tetap mempertahankan gaya hidup mereka yang tradisional dibandingkan dengan

kelompok-kelompok lainnya. Walaupun mereka telah tinggal di tempat yang sama

Page 90: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

90

selama bertahun-tahun, mereka masih menggunakan bahan-bahan dari hutan untuk

membangun pondok-pondok mereka dan kadang-kadang memindahkan desa mereka ke

lokasi-lokasi yang lain. Saat ini terdapat sekitar 2.000 warga Moken yang tinggal di

Gugusan Kepulauan Mergui di Myanmar dan about 800 orang Moken di Thailand.1

Kepulauan Surin telah menjadi tempat kediaman dan tempat mencari penghidupan bagi

kaum Moken selama berabad-abad. Gugusan kepulauan ini terletak di Laut Andaman,

sekitar 60 kilometer lepas pantai barat daya Thailand. Secara administratif Kepulauan

Surin merupakan bagian dari Distrik Khuraburi di Provinsi Phang-nga, yang terletak kira-

kira 720 kilometer sebelah barat daya Bangkok.2 Phang-nga merupakan satu di antara

enam provinsi yang terkena dampak terburuk dari tsunami.

Fitur alami utama Kepulauan Surin adalah terumbu karang dan hutan. Terumbu karang

yang mengelilingi Kepulauan Surin merupakan yang terbesar dan terluas di Thailand.

Hutan hujan tropis merupakan fitur alami utama lainnya di kepulauan tersebut. Luas

hutan hujan ini mencapai lebih dari 90 persen dari kawasan hutan yang ada. Kawasan

hutan di kepulauan tersebut sangat terjaga baik dan memainkan peranan yang penting

dalam cara hidup kaum Moken yang tradisional.3 Kepulauan Surin dideklarasikan

sebagai taman laut nasional Thailand kedua puluh sembilan pada tahun 1981. Fasilitas-

fasilitas untuk turis telah secara bertahap dibangun dan selama tahun 2003 Taman ini

menerima lebih dari 36.000 turis selama waktu bukanya yang hanya 6 bulan (dari

pertengahan November sampai pertengahan Mei).

Sebelum tsunami, ada dua komunitas Moken di Kepulauan Surin. Salah satu komunitas,

yang terdiri dari 16 rumah tangga, berdiam di Teluk Sai-En di Pulau Surin Utara.

Komunitas lainnya, yang terdiri dari 30 rumah tangga, berdiam di Teluk Bon Kecil di

Pulau Surin Selatan. Populasi kaum Moken yang tinggal di Kepulauan Surin berfluktuasi

berdasarkan musim dan secara tahunan. Beberapa individu dan keluarga sering

berpindah-pindah di antara Kepulauan Surin dan pulau-pulau lainnya di perairan

Myanmar dan di antara kedua komunitas yang berdiam di Kepulauan Surin. Selama

tahun 2004, ada 184 orang Moken tinggal di Kepulauan Surin. Dari jumlah ini, 77 laki-

laki dan 107 perempuan. Sekitar setengah dari populasi ini berusia 18 tahun ke bawah,

dan sepertiga dari populasi adalah anak-anak berusia di bawah sepuluh tahun.4 Sampai

dengan bulan Februari 2008, ada sekitar 220 orang Moken di Pulau Surin Selatan, yang

berdiam di sebuah desa besar di Teluk Bon Besar.

Kisah/Peristiwa

Pada pagi hari Minggu tanggal 26 Desember 2004, kaum Moken yang tinggal di

Kepulauan Surin mengamati adanya perubahan mendadak pada permukaan laut. Hal ini

terjadi tanpa adanya perubahan cuaca dan mereka menganggap ini sebagai suatu gejala

yang sangat tidak biasa. Bagi beberapa tetua Moken, hal ini menandakan kedatangan

1 Arunotai (2006): 140

2 Arunotai, Wongbusarakum, dan Elias (2007): 8-9.

3 Arunotai, Wongbusarakum, dan Elias (2007): 8-9

4 Arunotai, Wongbusarakum, dan Elias (2007): 12.

Page 91: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

91

“tujuh gelombang”, sebuah legenda yang telah diturunkan dari generasi ke generasi.

Seluruh warga masyarakat dengan cepat berlari menaiki bukit-bukit di balik desa mereka,

dan mereka semua dapat terselamatkan dari bencana tsunami, walaupun seluruh desa

tersapu habis berikut beberapa perahu warga.

Pada saat yang sama, lebih dari 20 warga Moken telah bekerja di Taman Nasional.

Mereka yang mengantarkan turis untuk menyelam di terumbu karang mengamati adanya

perubahan pada arus air dan memutuskan untuk mengarahkan perahu menjauh dari

pantai. Berkat insting mereka yang tajam dan keterampilan mengendalikan perahu yang

tinggi, mereka telah menyelamatkan nyawa banyak turis. Sekali lagi, kaum Mokenlah

yang mengarahkan staf Taman Nasional dan para turis naik ke atas jalur di hutan di mana

mereka sering mencari makanan untuk mencari tempat yang aman untuk bermalam

sambil menanti sebuah kapal yang lebih besar yang akan membawa mereka ke daratan.

Setelah kedua desa mereka tersapu oleh tsunami, kaum Moken di Kepulauan Surin

pindah ke daratan dan mengungsi di sebuah kuil setempat. Dalam waktu dua minggu

mereka sudah merindukan pulau mereka dan laut, dan sudah merasa cukup percaya diri

untuk pulang kembali ke Kepulauan Surin. Karena mereka adalah kelompok warga yang

hanya memiliki sedikit harta-benda, mereka tidak berlama-lama larut dalam kesedihan,

tetapi langsung melanjutkan kehidupan sehari-hari mereka seperti pada hari-hari sebelum

tsunami.

Gambar 1. Kaum Moken dan kabang mereka. Foto: Paladej Na Pombejra

Kearifan Lokal

Kaum Moken yang tinggal di Kepulauan Surin telah menjadi sangat terkenal di Thailand

maupun di tingkat internasional sebagai kelompok masyarakat yang dapat terluput dari

tsunami tanpa kerugian berarti. Kaum Moken mampu bertahan hidup tidak hanya karena

mereka mengenal legenda tentang tujuh gelombang, tetapi juga karena pengamatan

mereka yang tajam, kewaspadaan dan sikap kehati-hatian mereka, pengetahuan

mendalam akan lingkungan laut dan hutan mereka, pemilihan yang cerdas akan di mana

mereka akan membangun desa, dan ketrampilan mereka dalam mengendalikan perahu.

Secara rinci, pengetahuan, perasaan yang tajam dan ketrampilan-ketrampilan terkait

Kaum Moken adalah sebagai berikut:

1. Legenda tujuh gelombang. Masyarakat Moken adalah suatu kelompok yang buta

huruf tetapi “sastra lisan” mereka kreatif dan kaya. Setelah hidup di kawasan pulau-

pulau dan pantai selama berabad-abad, nenek moyang mereka telah mengalami

kejadian-kejadian tsunami, dan dengan cerdas mereka menuangkan bahaya dari

bencana tsunami ke dalam sebuah legenda tentang laboon atau gelombang yang

besar. Legenda ini mengajarkan bahwa laboon biasanya datang sebagai serangkaian

gelombang, oleh karenanya disebut “tujuh gelombang”. Walaupun membicarakan

laboon secara terbuka dilarang karena takut akan mengundang gelombang mematikan

tersebut kepada mereka, semua orang mengetahui bahwa jika air laut di pantai tiba-

tiba surut, mereka harus segera berlari ke daratan yang lebih tinggi untuk

Page 92: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

92

menyelamatkan nyawa mereka. Pengetahuan ini menjadi sistem peringatan bencana

alam yang paling efektif, tanpa bantuan teknologi modern sama sekali.5 Tanda

peringatan akan bahaya tsunami tertanam di dalam sistem kognitif mereka, sehingga

mereka semua mampu menyelamatkan diri walaupun sebagian besar dari mereka

sebelumnya belum pernah melihat tsunami.

2. Pengamatan yang tajam dan sikap kehati-hatian. Kaum Moken memiliki pengamatan

yang tajam, terutama berkaitan dengan perubahan-perubahan pada cuaca dan

kejadian-kejadian tidak biasa lainnya. Mereka menerapkan prinsip kehati-hatian dan

selalu waspada. Hal ini disebabkan oleh banyaknya risiko yang harus mereka hadapi

dalam kehidupan mereka sehari-hari – mulai dari risiko-risiko alam seperti badai

yang datangnya tiba-tiba, hewan-hewan laut dan hutan yang berbahaya, sampai

risiko-risiko yang ditimbulkan oleh manusia yang dapat ditelusur balik kepada sejarah

panjang kaum Moken yang telah menjadi korban pelecehan dan eksploitasi oleh

pihak-pihak luar – para bajak laut, pedagang budak, para perampok dan bandit, dsb.6

Oleh karena itu, segera setelah air laut surut secara tidak wajar pada tanggal 26

Desember 2004, kaum Moken saling memberitahu satu sama untuk melarikan diri

dan mengungsi ke bukit di balik desa, dan mereka yang sedang mengantarkan turis

untuk menyelam di terumbu karang segera mengarahkan perahu-perahu mereka

menjauh dari daratan untuk menghindari hempasan gelombang.

3. Pengetahuan mendalam akan lingkungan laut. Hidup sebagai “orang laut” yang hidup

di, dari dan oleh laut, kaum Moken memiliki pengetahuan yang mendalam akan

ritme-ritme alam, suatu kemampuan untuk mengenali tanda-tanda alam dan

membedakan antara gejala-gejala yang “biasa” dan “tidak biasa”. Bagi mereka, massa

air laut dalam jumlah besar yang tiba-tiba surut dengan cepat merupakan sesuatu yang

aneh, dan datangnya ombak putih menunjukkan dengan pasti tanda-tanda datangnya

laboon karena hal-hal ini terjadi tanpa adanya perubahan angin atau tanpa adanya

tanda perubahan di langit.

Gambar 2. Kiri: Tanda peringatan tsunami yang dapat dilihat di sepanjang pantai selatan

Thailand. Kanan: Tanda peringatan semacam ini dapat “ditanamkan” pada diri kaum

muda melalui kearifan lokal.

4. Pengetahuan akan jalur-jalur jalan di hutan dan cara bertahan hidup di alam bebas.

Setelah berlari mendaki bukit untuk menyelamatkan diri dari dampak tsunami, kaum

Moken mengetahui “ke mana” mereka harus berlari karena mereka sangat mengenal

lingkungan dan jalan-jalan di hutan.

5. Pemilihan lokasi desa yang cerdik. Kaum Moken yang tinggal di berbagai pulau di

Laut Andaman Thailand memilih lokasi yang tepat bagi desa-desa mereka dengan

sangat berhati-hati, yakni kawasan di bagian timur dari pulau-pulau tersebut. Sebuah

kajian perbandingan antara permukiman-permukiman masyarakat asli (antara kaum

Moken dan Urak Lawoi) membawa pada kesimpulan bahwa setiap permukiman

5 Arunotai (2006): 143

6 Hinshiranan (1996): 131-133

Page 93: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

93

berada dalam teluk yang terlindungi di bagian timur. Hal ini disebabkan karena

pulau-pulau di Laut Andaman dipengaruhi oleh dua musim penghujan, musim

penghujan barat daya yang membawa hujan, angin kencang, gelombang besar dan

badai-badai; dan musim penghujan timur laut yang membawa cuaca yang lebih

kering dan angin yang lebih lemah. Dengan membangun permukiman di bagian timur

pulau warga akan relatif terlindung dari angin barat daya (dan oleh karenanya juga

terlindung dari tsunami dari laut lepas).7 Bagi kaum Moken di Kepulauan Surin,

gunung tinggi di balik desa juga memberikan dataran tinggi yang cukup untuk

evakuasi.

Permukiman tradisional kaum Moken, desa, dan pondok-pondok mereka, termasuk

kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik yang berhubungan dengan

pembangunan pondok, semuanya mencerminkan kearifan lokal yang membantu kaum

Moken hidup dengan nyaman dan aman di lingkungan pantai. Selain itu, bentuk desa

yang kecil dengan pondok-pondok panjang rumah panggung yang dibangun di atas

air telah menjadi sebuah bagian penting dari identitas budaya kaum Moken.8 Harus

diperhatikan di sini bahwa selamatnya mereka dari tsunami sebagian disebabkan oleh

“pengamatan mereka yang tajam” – dari tata letak desa tradisional mereka, sebagian

besar kaum Moken dapat mengamati laut langsung dari pondok mereka.

6. Keterampilan mengendalikan perahu dan keterampilan terkait laut lainnya. Para lelaki

Moken memiliki keterampilan yang tinggi dalam mengendalikan perahu karena sejak

sangat muda mereka telah terbiasa menggunakan perahu dayung dan mengoperasikan

perahu motor yang lebih besar. Dalam perairan yang bergolak, para lelaki ini dapat

dengan terampil mengarahkan perahu menjauh dari daratan. Baik kaum lelaki

maupun kaum perempuan juga menguasai keterampilan-keterampilan lainnya yang

berkaitan dengan laut seperti berenang dan menyelam. Lebih lanjut, kaum lelaki dan

perempuan, muda dan tua, relatif dapat mempertahankan kebugaran fisik mereka

karena pekerjaan mereka biasanya berkaitan dengan tenaga fisik. Bahkan kaum lanjut

usia dan anak-anak mampu berlari dan memanjat ke dataran yang lebih tinggi tanpa

banyak kesulitan.

Terkait dengan penerusan kearifan lokal dari satu generasi ke generasi berikutnya,

tidak ada sarana untuk mendokumentasikan atau merubah pengetahuan ke dalam

bentuk tekstual sehingga orang dapat membaca atau mengikutinya karena bahasa

kaum Moken hanya memiliki bentuk lisan, tanpa bahasa tulis. Dari perspektif

pendidikan modern, hal ini menimbulkan keterbatasan tertentu karena tidak ada cara

untuk merekam pengetahuan dan tidak ada “jalan pintas” lain kepada pengetahuan itu

kecuali dengan belajar langsung dari mereka yang mengetahui melalui 1)

pengamatan, 2) hafalan atau mengingat-ingat, 3) coba-coba atau pengalaman terapan,

4) penemuan-eksplorasi-penemuan kembali, dan 5) praktik serta peninjauan.

Di mata para warga Thailand yang menetap dan hidup di daratan serta memiliki

rumah permanen, kehidupan nomaden dan sederhana kaum Moken tampak kuno,

7 Arunotai dan Elias (2005).

8 Arunotai dan Elias (2005).

Page 94: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

94

terbelakang dan tidak ada potensi untuk maju.9 Ini telah menjadi representasi sosial

yang diadopsi oleh kaum Moken sendiri dari masyarakat yang lebih luas.10

Sebagai

akibatnya, kearifan lokal kaum Moken jarang dikenal atau dihargai.

Gambar 3. Pondok-pondok sebelum tsunami, dengan pintu masuk menghadap ke arah

dalam pulau tetapi bagian beranda belakang terbuka ke arah laut.

Pelajaran yang Dapat Dipetik

Pelajaran utama yang dapat dipetik di sini adalah bahwa kearifan lokal kaum Moken

yang sebelumnya dianggap sebagai “biasa” atau bahkan “kuno” telah memungkinkan

kaum Moken (dan orang-orang lainnya) untuk menyelamatkan diri dari bencana tsunami.

Sayangnya bentuk-bentuk kearifan lokal ini sekarang hanya terbatas dimiliki oleh orang-

orang dewasa dan para tetua. Kearifan lokal ini secara perlahan-lahan dilupakan dan

jarang diteruskan kepada generasi-generasi yang lebih muda.

Terkait dengan legenda dan cerita-cerita rakyat, “Beberapa dari cerita-cerita ini hanyalah

versi pendek dari cerita-cerita yang lebih panjang, dan sastra lisan tidak lagi memiliki

banyak arti bagi mereka.”11

“Kearifan tradisional kaum Moken tidak dianggap sebagai

pengetahuan atau ilmu; sehingga arah perubahan lebih mengarah pada jenis

pembangunan yang didefinisikan dan diperkenalkan oleh pihak-pihak luar yang

memandang mereka sebagai terbelakang dan miskin.”12

Ada beberapa implikasi untuk menerapkan pelajaran-pelajaran ini pada kebijakan dan

praktik-praktik terkait.

1. Menghargai dan mempromosikan kearifan lokal melalui pengembangan kurikulum

lokal yang sesuai dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pendidikan. Anak

harus mendapat kesempatan untuk belajar dari para tetua di masyarakat, untuk

menyerap dan mempraktikkan “pengamatan yang tajam” dan “prinsip kehati-hatian”,

dan belajar serta menghargai pengetahuan yang mendalam akan lingkungan laut dan

hutan. Pendidikan formal menekankan pengetahuan “eksplisit”, tetapi pengetahuan

dan keterampilan-keterampilan yang “tersembunyi” telah terbukti sangat penting bagi

keberlangsungan hidup fisik dan budaya kaum Moken.

2. “Menginternalisasikan” tanda-tanda peringatan dini dan rencana-rencana

kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana seperti evakuasi, rute melarikan diri dan

mencapai tempat penampungan darurat. Bagi kaum Moken, kedatangan laboon telah

aktual tercetak di dalam sistem kognitif mereka walau sebelumnya lebih berupa

setengah mitos dan setengah kenyataan. Mereka tidak hanya mampu mengenali

tanda-tanda peringatan, tetapi juga sangat mengenal jalan-jalan setapak di hutan yang

mereka gunakan sebagai jalur penyelamatan diri dan tinggal/hidup di alam bebas juga

9 Arunotai (2003): 116–117.

10 Arunotai (2006): 141.

11 Ivanoff (2001): 3.

12 Arunotai (2006): 148

Page 95: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

95

bukan masalah besar bagi mereka. Untuk masyarakat-masyarakat lain, selain

penyebarluasan bahan-bahan pendidikan tentang bencana alam kepada komunitas dan

sekolah-sekolah, dibutuhkan adanya praktik dan dril-dril teratur untuk berbagai

bentuk bencana yang mungkin terjadi di suatu daerah.

3. Mempelajari pengetahuan dan keterampilan-keterampilan yang penting untuk

menyelamatkan diri seperti berenang, memanjat, pertolongan pertama pada

kecelakaan, dll. Agar selalu siap siaga seseorang harus memiliki kebugaran fisik yang

prima. Komunitas kaum Moken biasanya kecil, sehingga mereka saling mengenal

satu sama lain dan mengetahui siapa yang membutuhkan bantuan khusus. Untuk

masyarakat-masyarakat lain, harus diupayakan adanya pemetaan kaum lanjut usia,

mereka yang cacat, dan orang-orang lainnya yang membutuhkan bantuan khusus

sehingga mereka dapat memperoleh perhatian khusus dalam situasi darurat.

Daftar Pustaka

- Arunotai, Narumon. 2003. “For a Better Understanding of the Moken Knowledge and

Myth about Chao Lay Ethnic Groups” in Ethnic Groups and Mystification (Untuk

Pemahaman yang Lebih Baik akan Pengetahuan Kaum Moken dan Mitos tentang

Kelompok-kelompok Etnis Chao Lay, dalam Kelompok-kelompok Etnis dan

Mistifikasi). (bahasa Thai). Bangkok: Dewan Budaya Nasional, Departemen

Kebudayaan.

- Arunotai, Narumon. 2006. “Moken traditional knowledge: an unrecognised form of

natural resources management and conservation” (Kearifan tradisional kaum Moken:

suatu bentuk manajemen dan konservasi sumber daya alam yang tidak dihargai).

Jurnal Internasional Ilmu Sosial, 187: 139-150.

- Arunotai, N. dan D. Elias. 2005. “Moken –Their changing huts and village” (Kaum

Moken – pondok-pondok dan desa mereka yang berubah). Sebuah makalah tidak

diterbitkan yang ditulis untuk Proyek Pilot Andaman.

- Arunotai, N., S. Wongbusarakum, dan D. Elias. 2007. Bridging the gap between the

rights and needs of indigenous communities and the management of protected areas:

Case Studies from Thailand (Menjembatani kesenjangan antara hak-hak dan

kebutuhan-kebutuhan masyarakat asli dan pengelolaan kawasan-kawasan yang

dilindungi: Studi-studi kasus dari Thailand). Bangkok: UNESCO Bangkok.

- Hinshiranan, N. 1996. The Analysis of Moken Opportunistic Foragers’ Intragroup

and Intergroup Relations (Analisis Hubungan Oportunistik Intragrup dan Antargrup

Kaum Pengembara Moken). Disertasi Doktoral tidak diterbitkan. Universitas

Hawai’i.

- Ivanoff, Jacques. 2001. Rings of Coral (Lingkar-lingkar Terumbu Karang). Bangkok:

White Lotus.

- Paladej Na Pombejr, 2003. The World According to the Moken: Reflection from

traditional ecological knowledge on marine environment (Dunia Menurut Kaum

Moken: Refleksi dari pengetahuan ekologis tradisional atas lingkungan laut). Thesis

Master tidak diterbitkan, Fakultas Ilmu Politik, Universitas Chulalongkorn, Bangkok.

- Wongbusarakum, Supin. 2005. Loss of traditional practices, loss of knowledge, and

the sustainability of cultural and natural resources: a case of Urak Lawoi people in the

Page 96: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

96

Adang Archipelago, Southwest Thailand (Hilangnya praktik-praktik tradisional,

hilangnya kearifan lokal, dan keberlanjutan sumber daya budaya serta alam: sebuah

kasus dari kaum Urak Lawoi di Kepulauan Adang, Thailand Barat Daya). Dari

http://www.iucn.org/themes/ceesp/WAMIP/Aichi%20Paper%20submitted%2031%20

Aug%2005.doc. Diundun pada 7 Februari 2008.

Page 97: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

97

Komunitas An Hai, Distrik Ninh Phuoc, Provinsi Ninh Thuan, Vietnam

Peramalan Cuaca melalui Kearifan Lokal untuk Budidaya Tanaman di Kawasan-

kawasan Rawan Kekeringan di Vietnam

Nguyen Ngoc Huy dan Rajib Shaw

Abstrak

Daerah pesisir provinsi Ninh Thuan merupakan salah satu kawasan yang paling kering di

Vietnam. Tingkat curah hujan tahunan biasanya berkisar antara 600 mm sampai 800 mm

per tahun dengan distribusi yang tidak merata antar bulan. Karena di beberapa daerah

yang masih belum berkembang pelayanan peramalan cuaca hanya tersedia secara

terbatas, penggunaan kearifan tradisional untuk peramalan cuaca sangat berguna untuk

kepentingan pertanian tanaman pangan di masyarakat. Khususnya, metode pengamatan

bulan dan pengamatan capung untuk meramalkan perubahan cuaca telah memainkan

peranan penting dalam kegiatan-kegiatan pertanian komunitas An Hai.

“Capung terbang tinggi, langit cerah

Terbang rendah, hujan

Terbang tidak tinggi dan tidak rendah, langit berawan”

(Lirik lagu daerah yang digunakan untuk meramal cuaca)

Latar Belakang

An Hai merupakan satu dari beberapa komunitas pesisir yang berdiam di sebelah Timur

Provinsi Ninh Thuan. Total luas geografis kawasan ini adalah 2.091,98 ha dengan

1.057,37 ha lahan untuk pertanian, 4239 ha lahan untuk hutan, 4833 ha untuk tempat

tinggal dan sisanya untuk keperluan budidaya perikanan air tawar serta keperluan-

keperluan lainnya. Pada tahun 2005, jumlah total penduduk An Hai adalah 12.890,

terbagi dalam sekitar 2.596 rumah tangga dalam total 6 dusun.

Penghidupan utama masyarakat adalah pertanian, terutama pertanian padi, anggur dan

sayur-mayur dengan waktu tanam yang pendek (seperti tomat, wortel, cabe dan kentang)

sebagai tanaman utama. Usaya peternakan juga menjadi salah satu kekuatan dari

komunitas An Hai, yang sebagian besar terfokus pada ternak sapi, domba dan kambing.

Daerah-daerah yang memiliki irigasi dapat menanam padi sebanyak tiga kali: Musim

Dingin-Musim Semi dari awal Desember sampai awal April; Musim Panas-Musim Gugur

dari akhir April sampai awal Agustus dan waktu tanam utama dari bulan September

sampai awal Desember.

Sumber air utama dalam musim kering adalah air sungai dan air sumur. Pada musim

penghujan masyarakat terutama memanfaatkan air hujan untuk kegiatan bercocok tanam

mereka.

Kisah/Peristiwa

Page 98: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

98

Suhu di daratan Vietnam semakin meningkat dan cuaca menjadi semakin ekstrim dan

sulit diramalkan. Rata-rata suhu udara saat ini 1º C lebih tinggi daripada 100 tahun yang

lalu. Perubahan-perubahan dalam pola curah hujan menjadi kompleks dan bervariasi serta

sangat tergantung pada lokasi; namun demikian, kecenderungan terbesar adalah menuju

musim-musim kering yang lebih panas, lebih panjang dan lebih kering dan sebaliknya

hujan yang lebih intensif selama musim-musim penghujan.

Ninh Thuan adalah satu dari antara sembilan provinsi yang paling terpengaruh oleh

kekeringan di Vietnam. Provinsi ini telah mengalami kekeringan tahunan sejak tahun

2002. Ada dua musim di kawasan ini: musim penghujan dari bulan Juli sampai

November dan musim panas/kering dari bulan Desember sampai Juni. Umumnya jumlah

curah hujan di daerah-daerah pesisir sangatlah rendah. Curah hujan tahunan di kota

pesisir Phan Rang – Thap Cham (sangat dekat dengan komunitas An Hai) adalah

sebanyak 712 mm. Musim penghujan terutama sangat intensif selama tiga bulan antara

bulan September sampai Desember.

Provinsi ini terlanda kekeringan yang parah pada bulan Agustus tahun 2004 dengan

tingkat curah hujan yang turun sampai 50% dari normal. Kekeringan terus berlanjut pada

tahun 2005 dan 2006 dengan curah hujan yang sangat sedikit pada dua musim tanam

pertama. Semakin panjangnya hari-hari kering telah menimbulkan kerusakan yang

signifikan pada pertanian merubah tingkat salinitas air tanah sehingga merusak budidaya

perikanan air tawar. Meningkatnya kejadian-kejadian kekeringan di Provinsi Ninh Thuan

telah menjadi masalah besar baik bagi pemerintah maupun masyarakat setempat.

Sementara tingkat curah hujan tahunan terus-menerus meningkat, para petani mengalami

kekeringan karena hujan sekarang datang dengan sangat intensif dalam waktu yang lebih

pendek. Mereka harus merubah jenis tanaman yang mereka tanam dan jadwal penanaman

untuk beradaptasi dengan kondisi-kondisi cuaca dan iklim yang keras. Masyarakat selalu

mencari cara-cara baru untuk beradaptasi. Para petani bekerja bersama untuk menanam

tanaman pangan dan memelihara ternak kambing dan domba keturunan Sultan dari India,

yang dapat tahan dengan suhu udara tinggi. Petani juga telah mulai beralih dari menanam

padi kepada jelai atau tanaman-tanaman pangan jangka panjang lainnya serta

menggunakan varietas-varietas yang lebih tahan kekeringan. Mereka telah menemukan

cara-cara untuk menghemat penggunaan air dan memanfaatkan air limbah. Pada saat-saat

yang sangat sulit, beberapa anggota keluarga terpaksa bermigrasi ke kota-kota untuk

mencari pekerjaan. Beberapa teknik adaptasi ini memang produktif, tetapi beberapa

lainnya juga ada dampak negatifnya. Pindahnya kaum muda ke kota meningkatkan beban

kerja pada mereka yang lebih lanjut usia yang terpaksa tinggal di desa. Kaum perempuan

seringkali terpaksa harus mengalah dalam penggunaan air dan memberikannya untuk

para suami dan anak-anak mereka.

Kearifan Lokal

Melalui peramalan cuaca didapatkan rekomendasi-rekomendasi berkaitan dengan

tanggal-tanggal untuk penanaman dan perubahan varietas tanaman pangan yang harus

ditanam agar beras dan tanaman-tanaman pangan lainnya dapat tumbuh dengan baik.

Page 99: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

99

Karena pada jaman dahulu peramalan cuaca belum tersedia, banyak petani menanam

tanaman pangan mereka berdasarkan pengamatan atas bulan dan mengamati perilaku

serangga-serangga.

Pengamatan atas Bulan

Komunitas An Hai memiliki sebuah peribahasa kuno yang telah digunakan dalam

observasi cuaca untuk meramalkan kekeringan dan jadwal penanaman. Peribahasa ini

diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam masyarakat. Peribahasa ini

menyatakan:

“Trang quang thi han, Trang tan thi mira”

Lebih kurang berarti, “Mahkota di sekitar bulan, akan ada tahun kekeringan; Cincin/Halo

di sekitar bulan, hujan akan segera turun.”

Bulan Bermahkota

Mahkota atau corona adalah sejenis “atmosfir” plasma dari matahari atau benda-benda

langit lainnya, yang menjangkau jutaan kilometer di angkasa, paling mudah disaksikan

ketika terjadi gerhana matahari total, tetapi juga dapat diamati dengan coronagraf. Akar

kata bahasa Latin dari kata corona berarti mahkota.

Tingginya temperatur corona memberinya fitur-fitur spektrum yang tidak biasa, yang

mengakibatkan beberapa orang pada abad ke-19 beranggapan bahwa benda ini

mengandung unsur yang sebelumnya tidak dikenal, “Coronium”. Fitur-fitur spektrum ini

sekarang telah diketahui berasal dari unsur Besi yang mengandung ion tinggi (Fe (XIV))

yang menunjukkan adanya suhu plasma yang melebihi 10° Kelvin (Aschwanden, 2004).

Bulan Bercincin

Bulan bercincin atau ber-halo adalah bulan yang dikelilingi oleh sebuah cincin cahaya

yang mengelilingi matahari atau bulan dan biasanya tampak sebagai cincin-cincin putih

yang terang benderang. Namun, beberapa cincin juga dapat memiliki pola-pola warna

tertentu. Halo merupakan suatu gejala optikal yang konsepnya lebih kurang mirip dengan

pelangi tetapi sekaligus juga sangat berbeda. Halo terbentuk jika sinar matahari atau sinar

bulan direfraksikan atau dibelokkan oleh kristal-kristal es yang ada di awan-awan tipis

yang berada di ketinggian, seperti awan cirrus atau cirrostratus. Jenis halo yang paling

umum adalah halo 22 derajat. Pada halo ini, sebuah cincin cahaya 22 derajat dari

matahari atau bulan diproyeksikan oleh kristal-kristal es heksagonal (dengan enam sisi)

yang berdiameter kurang dari 20,5 mikrometer.1 Seringkali, sebuah halo yang ada di

sekitar bulan atau matahari merupakan penunjuk akan cuaca yang berawan atau akan

hujan karena awan-awan cirrus dan cirrostratus yang berada di ketinggian yang

menyebabkan adanya halo tersebut cenderung melayang di depan sistem frontal

(terutama front-front yang hangat) yang memproduksi curah hujan.

1 NASA (2003)

Page 100: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

100

Pengamatan Capung

Komunitas An Hai juga menggunakan sebuah lagu rakyat lain untuk meramalkan cuaca.

Mereka mengamati perilaku capung untuk mengetahui kapan akan hujan dan kapan akan

ada sinar matahari. Lirik bahasa Vietnam dari lagu rakyat tersebut adalah sebagai berikut:

“Chuon Chuon bay thap thi mira,

Bay cao thi nang,

Bay vira thi ram”

Artinya kira-kira: “Capung terbang tinggi, langit cerah; Terbang rendah, hujan; Terbang

tidak tinggi dan tidak rendah, langit berawan”

Para petani menjelaskan bahwa jika capung-capung terbang pada jarak kurang dari 80 cm

dari tanah, hari akan segera hujan. Berdasarkan hal tersebut, para petani kemudian

mempersiapkan tanah dan bibit-bibit tanaman pangan mereka. Dengan menggunakan

metode pengamatan capung para petani dapat memutuskan waktu untuk menabur dan

menanam, serta menyusun jadwal penanaman mereka dengan semestinya.

Gambar 1. Bulan Bermahkota

Sumber: http://www8.ttvnol.com/forum/f_533/862476.ttvn

Gambar 2. Bulan Bercincin

Sumber: http://www8.ttvnol.com/forum/f_533/862476.ttvn

Gambar 3. Seekor Capung

Sumber: http://www.scientificillustrator.com/illustration/insect

Pelajaran yang Dapat Dipetik

Pengamatan serangga dan gejala-gejala di atmosfir seperti halo telah digunakan sebagai

suatu sarana empirik untuk peramalan cuaca sebelum ilmu meteorologi berkembang.

Kearifan lokal ini telah diteruskan selama ribuan tahun oleh masyarakat dari satu generasi

ke generasi lainnya. Ini semua didasarkan pada pengalaman praktis yang telah digunakan

selama kurun waktu yang sangat panjang. Di beberapa daerah yang penduduknya tidak

memiliki akses terhadap teknologi tinggi, peramalan cuaca tradisional berdasarkan

pengamatan bulan dan serangga memainkan peranan yang penting bagi kegiatan-kegiatan

pertanian.

Masalah utama pada komunitas An Hai adalah kurangnya air bersih untuk budidaya

pertanian. Pengetahuan akan musim hujan dan peramalan akan tahun-tahun kemarau

yang tepat akan membantu para petani untuk memilih jenis tanaman pangan, benih dan

waktu untuk menabur serta menanam. Karena kearifan lokal ini sangat berguna di

kawasan-kawasan yang tidak memiliki akses terhadap metode-metode meteorologis

untuk meramal cuaca, strategi-strategi ini dapat dan harus disebarluaskan kepada

Page 101: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

101

masyarakat-masyarakat lain yang masih tinggal di daerah-daerah yang belum begitu

berkembang.

Daftar Pustaka

- Aschwanden, M. J., 2004. Fisika Mahkota Matahari, Sebuah Pengantar (Physics of

the Solar Corona, An Introduction). Praxis Publishing Ltd. ISBN 3-540-22321-5.

- Huy, Nguyen Ngoc, Rajib Shaw, Prabhakar SVRK, Provash Mondal, 2007. Adaptasi

terhadap Kekeringan: Sebuah Studi Kasus atas Provinsi Ninh Thuan, Vietnam,

Simposium Internasional tentang Mitigasi dan Adaptasi terhadap Bencana-bencana

Alam yang Ditimbulkan oleh Perubahan Iklim 20–21 September 2007, Hue city,

Vietnam

- Shaw, Rajib, Prabhakar SVRK, Huy Nguyen, Rovash Mondal, 2007. Pertimbangan-

pertimbangan Manajemen Kekeringan untuk Adaptasi Perubahan Iklim: Fokus pada

Kawasan Mekong. Dapat diakses di:

http://www.oxfam.org.uk/resources/policy/climate_change/downloads/ninh_thaun_re

search.pdf

- Forum Online Sejarah dan Budaya Vietnam. Penjelasan atas peribahasa “Trang quang

thi han, Trang tan thi mua” http://www8.ttvnol.com/forum/f_533/862476.ttvn

Page 102: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

102

Untuk informasi lebih lanjut tentang praktik-praktik yang baik yang disajikan dalam

publikasi ini, silahkan menghubungi langsung para penyumbang tulisan di bawah ini:

Cina: Teknologi Karez untuk Pengurangan Bencana Kekeringan di Cina

Weihua Fang

[email protected]

India: Praktik-praktik Pembangunan Rumah Tradisional yang Aman Gempa di Kashmir

Amir Ali Khan, Assistant Professor, National Institute of Disaster Management

Departemen Dalam Negeri, Pemerintah India, New Delhi, India

[email protected]

India: Kearifan Lokal dan Ilmu Pengetahuan Modern Memberi Solusi untuk Tempat

Bermukim yang Ramah Lingkungan di Kawasan Gurun yang Rawan Banjir di India

Anshu Sharma, SEEDS India, Direktur: Strategi

[email protected]

India: Konservasi Tanah dan Air melalui Penanaman Bambu: Sebuah Teknik

Penanggulangan Bencana yang Diadopsi oleh Masyarakat Nandeswar, Assam

Irene Stephen, UNDP India, Program Manajemen Risiko Bencana

[email protected]

Rajiv Dutta Chowdhury, Bidang Penanggulangan Bencana, Kantor Deputi Komisioner,

Goalpara, Assam, India

[email protected]

Debashish Nath, Pejabat Pengembangan Pertanian, Blok Pembangunan Matia, Goalpara,

Assam, India

Indonesia: Legenda, Ritual dan Arsitektur di Kawasan Sabuk Gunung Api

Koen Meyers, UNESCO Jakarta, Penasihat Teknis untuk Ilmu-ilmu Lingkungan Hidup

[email protected]

Jepang: Langkah-langkah Tradisional untuk Mengurangi Bencana Banjir di Jepang

Yukiko Takeuchi, Universitas Kyoto

[email protected]

Rajib Shaw, Universitas Kyoto

[email protected]

Mongolia: Kearifan Lokal dalam Pengurangan Risiko Bencana pada Masyarakat

Penggembala Shiver

Bolormaa Borkhuu, Kementerian Alam dan Lingkungan Hidup Mongolia, Pejabat,

Bagian Pembangunan Berkelanjutan dan Perencanaan Strategis

[email protected]

Nepal: Kearifan Lokal dalam Mitigasi Bencana: Membangun Upaya untuk Saling

Melengkapi antara Pengetahuan Masyarakat dan Pengetahuan Para Ahli

Page 103: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

103

Man B. Thapa, UNDP Nepal, Program Penanggulangan Bencana Partisipatif

[email protected]

Nepal/Pakistan: Pengetahuan Lokal tentang Kesiapsiagaan dalam Menghadapi Banjir:

Contoh-contoh dari Nepal dan Pakistan

Julie Dekens, Pusat Internasional untuk Pembangunan Pegunungan Terpadu

(International Centre for Integrated Mountain Development/ICIMOD)

[email protected]

Pakistan: Mekanisme Bertahan Masyarakat Asli dalam Penanggulangan Bencana di

Distrik Mansehra dan Battagram, Provinsi Perbatasan Barat Laut, Pakistan

Takeshi Komino, Christian World Service Pakistan

[email protected]

Papua Nugini: Hidup bersama Banjir di Singas, Papua Nugini

Jessica Mercer, Departemen Geografi Manusia, Divisi Ilmu-ilmu Lingkungan Hidup dan

Kehidupan, Universitas Macquarie University, Sydney, New South Wales, Australia

[email protected]

Filipina: Menggabungkan Kearifan Lokal dan Pengetahuan Ilmiah dalam Sistem

Peringatan Banjir Kota Dagupan

Lorna P. Victoria, Pusat Kesiapsiagaan Bencana (Center for Disaster Preparedness)

[email protected]

Filipina: Pengetahuan Masyarakat Asli tentang Mistisisme Muntahan Lava Gunung

Berapi Mayon

Gerardine Cerdena, Yayasan Dios Mabalos Po

Filipina: Dibentuk oleh Angin dan Topan: Kearifan Lokal Kaum Ivatan di Kepulauan

Batanes, Filipina

Noralene Uy, Universitas Kyoto

[email protected]

Rajib Shaw, Universitas Kyoto

[email protected]

Kepulauan Solomon: Kearifan Lokal Menyelamatkan Nyawa dalam Tsunami Kepulauan

Solomon tahun 2007

Brian G. McAdoo, Vassar College, Poughkeepsie, New York

[email protected]

Sri Lanka: Sistem Tangki Air Desa Bertingkat: Pendekatan Tradisional untuk Mitigasi

Kekeringan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa di Pedesaan-pedesaan Purana di Sri

Lanka

C.M. Madduma Bandara, Profesor Emeritus, Universitas Peradeniya, Sri Lanka

[email protected]

Page 104: Kearifan Lokal Dalam Pengurangan Resiko Bencana

104

Thailand: Diselamatkan oleh Sebuah Legenda Kuno dan Pengamatan yang Tajam: Kasus

Kaum Moken, Kaum Nomaden yang Tinggal di Laut di Thailand

Narumon Arunotai, Universitas Chulalongkorn, Thailand

[email protected]

Vietnam: Peramalan Cuaca melalui Kearifan Lokal untuk Budidaya Tanaman di

Kawasan-kawasan Rawan Kekeringan di Vietnam

Nguyen Ngoc Huy, Universitas Kyoto

[email protected]

Rajib Shaw, Universitas Kyoto

[email protected]

Sekretariat Asia dan

Pasifik, Bangkok

c/o UNESCAP - UN

Conference Centre

Building

Rajdamnern Nok

Avenue

Bangkok 10200 -

Thailand

Tel: +66 (0)2 288 2745

[email protected]

Sekretariat Jenewa

[email protected]

www.unisdr.org

Sekretariat Afrika,

Nairobi

[email protected]

www.unisdr.org/africa

Sekretariat Amerika,

Panama

[email protected]

www.eird.org

Sekretariat Eropa,

Jenewa

[email protected]

www.unisdr.org/europe

Sekretariat Asia Barat

dan Afrika Utara,

Cairo

[email protected]

www.unisdr-wana.org

Laboratorium

Lingkungan Hidup dan

Penanggulangan

Bencana, Jurusan Pasca

Sarjana Ilmu-ilmu

Lingkungan Hidup,

UNIVERSITAS

KYOTO

Yoshida Honmachi,

Sakyo-ku,

Kyoto 606-8501,

JAPAN

Tel/ Fax: 81-75-753-

5708 (Langsung)

Web:

http://www.iedm.ges.ky

otou.ac.jp/

Uni Eropa

Delegasi Komisi Eropa

Bangkok, Thailand

Tel: +66 2305

2600/2700

Fax: + 66 2255 9113

website:

http://ec.europa.eu/euro

peaid/index_en.htm