ke leng keng

Upload: nadya-tiara

Post on 02-Mar-2016

199 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

-

TRANSCRIPT

  • [i]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia

    Susunan Pengu ru sP e l i n d u n g

    Sekretaris Jendral Persatuan Senat Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia (PSMKGI)

    P e n a s e h a tKetut Suardita, drg., PhD., Sp.KG. (Universitas Airlangga)

    P e m i m p i n U m u mUfo Pramigi, S.KG (Universitas Airlangga)

    P e m i m p i n R e d a k s i Saka Winias, S.KG

    P e n y u n t i n g A h l iProf. Dr. M. Rubianto, drg., MS., Sp. Perio (K). (Universitas Airlangga)

    Titien Hary Agustantina, drg., M.Kes. (Universitas Airlangga)Markus Budi Rahardjo, drg., M.Kes. (Universitas Airlangga)

    Dr. Rini Devijanti, drg., M.Kes. (Universitas Airlangga)Laksmiari Setyowati, drg., M.S., Sp.KG (K). (Universitas Airlangga)

    Maretaningtyas Dwi Ariani, drg., M.Kes., Ph.D. (Universitas Airlangga)Annisaa Chusida, drg., M.Kes. (Universitas Airlangga)

    Wisnu Setyari Juliastuti, drg., M.Kes. (Universitas Airlangga)

    P e n y u n t i n g P e l a k s a n aNur Riflianty R, S.KG., Alivy Aulia Azzahra, S.KG., Fitria Rahmitasari, S.KG.,

    Tiarisna H N, Nayu Nur Annisa S, Izzatul Barr El Haq

    L a y o u t d a n T a t a L e t a kIrham M. Adinugraha, Lidyana F., Diesta Dhania Pertiwi, Bandaru Rahmatari

    H u m a s d a n P r o m o s iMoh. Khafid, Imam S. Azhar, S.KG., Ririh Khrisnanti, Novita Aristyanti

    P e l a k s a n a A d m i n i s t r a t i fElda Yuliantari (Sekretaris), Reindasty T (Sekretaris), Zahrina Sandra (Keuangan)

    Sekretariat :Kampus A Universitas AirlanggaJl. Mayjen. Prof. Dr. Moestopo 47, SurabayaNo. Telp. 031-5020251, 5030253, Fax.031-5022472bimkgi.bimkes.org [email protected]

  • [ii]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia

    Daftar IsiSusunan PengurusB e r k a l a I l m i a h M a h a s i s w a K e d o k t e r a n G i g i I n d o n e s i a . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . i

    Daftar IsiB e r k a l a I l m i a h M a h a s i s w a K e d o k t e r a n G i g i I n d o n e s i a . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii

    Sambutan Pimpinan RedaksiS a k a W i n i a s , S K G . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iv

    Literature Study : Potensi Kulit dan Biji Kelengkeng (Euphoria longan) sebagai Gel Topikal untuk Mempercepat Penyembuhan Luka Pasca Ekstraksi GigiS u s i l a w a t i , M o h a m m a d K h a f i d , T i a r i s n a H N , N a r e n d r a K W , C h u s n u l

    C h o t i m a h . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1

    Literature Study : Potensi Pemanfaatan Carbon-14 sebagai Alat Bantu dalam Kedokteran Gigi ForensikL a i l a N o v p r i a n t i , R i z k i A m a l i a , D e t a A p r i t a n t i a , N u r t a m i S o e d a r s o n o

    . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4

    Literature Study : Pemanfaatan Bi j i Pepaya (Carica papaya) sebagai Alternatif Mengatasi HalitosisN i r m a l a M a u l i d a K a r i m a t a n n i s a , I s n a d i a N a b a a t i n , D y a h A n d r i a n t i n i . . . . . . 1 0

    Research : Peningkatan Jumlah Pembuluh Darah akibat Aplikasi Graft Hidro-gel-CHA pada Soket Pasca Pencabutan Gigi (Kajian in vitro)

    R i m a C h a e r i y a n a , F a i z n u r R i d h o , D i m a z A . N . B a n d r i a n a n t o . . . . . . . . . . . . . 1 4

    Case Report : Penetapan Gigit Gigi Tiruan Lengkap dengan Menggunakan Centric TrayS i s t a P r a s e t y o . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 9

    Research : Efektivitas Antibakteri Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya) terha-dap Pertumbuhan Porphyromonas gingivalisR a h a d i a n I n d r a J a t i , A d v a i t h a V i s n u M a n i t i s . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2 4

  • [iii]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia

    Research : Sitotoksisitas Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava l.) sebagai Bahan Pencegah Karies dengan Menggunakan MTT AssayR e z a D o n y H e n d r a w a n . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3 0

  • [iv]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia

    Salam Pimpinan RedaksiMewujudkan impian apa pun dibutuhkan usaha. Impian mempunyai kekuatan yang san-gat besar hanya ketika diperkuat oleh penelitian, pembelajaran, dan usaha. Jika menjalani

    setiap proses itu, kita akan mencapai tujuan kita

    Tidak semua orang mempunyai keinginan. Tidak semua orang mempunyai impian. Namun dengan terbitnya berkala ilmiah mahasiswa kedokteran gigi edisi kedua ini membuktikan impian kami ma-hasiswa kesehatan, khususnya mahasiswa kedokteran gigi telah terwujud yaitu untuk mengembangakan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran gigi. Meskipun edisi kedua ini merupakan edisi terakhir bagi kami pengurus perdana berkala ilmiah ini, kami berharap berkala ilmiah ini akan menjadi jauh lebih baik diedisi berikutnya yang akan dilanjutkan pengurus baru. Impian ini masih harus terus tertoreh, bahkan lebih besar Perkembangan jaman saat ini telah mengubah dunia dari dunia yang penuh dengan kemanualan menjadi dunia yang penuh dengan otomatisasi hampir dalam setiap aspek kehidupannya. Perkembangan itu ditandai dengan semakin majunya teknologi baik itu teknologi telekomunikasi, maupun teknologi lain-nya. Dan untuk itulah BIMKGI (Berkala Ilmiah Mahasiswa kedokteran Gigi) ini terbit untuk memuaskan hasrat keingin tahuan para pembaca akan ilmu-ilmu dan informasi-informasi terkini tentang kedokteran gigi. BIMKGI sebagai sarana publikasi ilmiah dalam dunia kesehatan, kedokteran gigi khususnya sehingga dapat membantu peningkatan keilmuan di dunia kedokteran gigi serta informasi mengenai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru yang mudah diakses, baik untuk antar-mahasiswa, praktisi, dan masyarakat awam di Indonesia. Sebagai pimpinan redaksi saya merasa bangga bentuk kerjasama Redaksi, sebagai satu kesatuan dan keluarga baru yang terus bekerja mengembangkan berkala ilmiah ini, redaksi telah mampu memberi-kan berbagai inovasi dan kreatifitas untuk terbitnya berkala ilmiah ini. Kami mengucapkan terimakasih dan selamat pada para penulis yang telah bersusah payah menulis dalam pengembangan ilmu dan teknologi dalam bidang kedokteran gigi. Redaksi juga mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi ting-ginya kepada para pakar (Mitra Bebestari) yang telah meluangkan waktunya untuk menilai naskah yang dimuat dalam edisi ini. Kami sebagai pengurus perdana berkala ilmiah ini mengucapkan selamat kepada pengurus baru, semoga bisa menjadi lebih baik pada edisi berikutnya.

    Semua prestasi, semua kesuksesan yang diperoleh bermula dari satu gagasan

    Sehingga pada kesempatan ini, redaksi kembali mengundang kepada praktsi, akademisi, peneliti dan mahasiswa di bidang kedokteran gigi untuk mempublikasikan hasil penelitiannya, maupun ide - ide, gagasan baru dan orisinil. Saatnya kita memberikan kontribusi nyata untuk mengembangkan keilmuan dan teknologi kedokteran gigi. Akhirnya redaksi hanya bisa berharap semoga artikel - artikel ilmiah yang termuat dalam jurnal ini dapat memberikan inspirasi bagi para pembaca untuk berperan aktif dalam rangka pengembangan ilmu dan teknologi terutama di bidang kedokteran gigi. Akhir kata, saya mohon maaf bila terdapat kesalahan pada penulisan, ataupun petikan kata-kata yang terdapat pada BIMKGI edisi ini. Kritikan, saran dan segala kesulitanlah yang senantiasa memapah kami untuk terus belajar bermetamorfosa dan berevolusi secara bertahap dalam mengemban amanah bagaimana mengelola berkala ilmiah ini oleh karena itu, kritik dan saran selalu kami tunggu demi perbaikan pada edisi yang selanjutnya. Together we can, Together we serve the best!

    Surabaya, 20 Juni 2013

    Saka Winias(Pimpinan Redaksi)

  • Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia

    [1]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    Literature Study

    Potensi Kulit dan Biji Kelengkeng (Euphoria longan) sebagai Gel Topikal untuk

    Mempercepat Penyembuhan Luka pasca Ekstraksi Gigi

    Susilawati, 1 Mohammad Khafid, 1 Tiarisna HN, 1 Narendra K W, 2 Chusnul Chotimah1

    AbstractTooth extraction is one prosedure all most used in dentistry. Dental extractions have been used to

    treat a variety of illnesses, as well as a method of torture to obtain forced confessions. Following extraction of a tooth, a blood clot forms in the socket, usually within an hour. Bleeding is common in this first hour, but its likelihood decreases quickly as time passes, and bleeding has usually stopped after 24 hours. The raw open wound overlying the dental socket takes about one week to heal. Thereafter, the socket will gradually fill in with soft gum tissue over a period of about one to two months. Final closure of the socket with bony remodelling can take six months or more. Scar post extraction cant back to normal optimally. 11 billion patient per day feel uncomfort such as pain, odem, and bruised. An to over come this case, some herbal medicine can be use for recover healing in dental post extraction. One of an effective those herbal medicine is Euphoria longan, a popular plant most be found in Indonesia. Usually, people just use pulp longan, wheareas the rind and seed that 17% from longan wight was throw away.Based on some research, rind and seed longan consist of corilagin, galat acid, and ellagat acid which can be antiplasmodial, antimicroba, antioxidant, antiinflamation, and compound to prevent cancer. Chemistry compound rind and seed Euphoria longan can increasing healing process. Anti microbial activity can prevent secunder infection that usually make bad infulence in healing process. Anti oxidant activity will blocked NO production in tissue demage process. Then, anti inflamation process will decrease exudat of acute inflamation and stimuleted limfosit T and macrofag. Rind and seed of Euphoria longan can increasing healing process in dental post extraction. Keyword: rind and seed Euphoria longan, healing, post extraction

    AbstrakEkstraksi gigi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan di kedokteran gigi. Luka ekstraksi

    gigi diperkirakan 1-11,5% mengalami penyembuhan yang tidak optimal. Terdapat 11 juta pasien perhari yang mengalami ketidaknyamanan seperti nyeri, pembengkakan, dan memar pasca operasi pencabutan gigi. Untuk mengatasi hal itu, tanaman obat dapat digunakan untuk mempercepat proses penyembuhan luka. Tanaman kelengkeng (Euphoria longan) merupakan tanaman yang banyak ditemukan di Indonesia. Pada umumnya, masyarakat hanya memanfaatkan daging buah kelengkeng sementara kulit dan biji kelengkeng sebesar 17% dari berat keseluruhan buah hanya berakhir sebagai limbah. Berdasarkan penelitian, kulit dan biji kelengkeng mengandung senyawa corilagin, asam galat dan asam ellagat yang berfungsi sebagai antiplasmodial, antimikroba, antioksidan, antiinflamasi dan senyawa pencegah kanker. Sifat antibakterial, antioksidan dan antiinflamasi pada kulit dan biji kelengkeng dapat mempercepat proses penyembuhan luka. Aktivitas antimikroba mencegah terjadinya infeksi sekunder pada daerah luka yang berpengaruh pada proses penyembuhan. Aktivitas antioksidan akan menghambat produksi NO yang berperan dalam terjadinya kerusakan jaringan. Sedangkan aktivitas antiinflamasi akan mengurangi eksudat inflamasi akut dan menstimulasi aktivasi limfosit T dan makrofag. Kulit dan biji kelengkeng dapat mempercepat proses penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi.Kata Kunci: luka ekstraksi gigi, kulit dan biji Euphoria longan, antiinflamasi

    1Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya2Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Airlangga SurabayaCorrespondence:Universitas AirlanggaKampus A Jl. Mayjen.Prof. Dr. Moestopo 47, SurabayaEmail : [email protected]

  • Potensi Kulit dan Biji Kelengkeng

    [2]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    PendahuluanEkstraksi gigi merupakan prosedur yang paling banyak dilakukan di kedokteran gigi dan sering menimbulkan komplikasi.1 Salah satu komplikasi ekstraksi gigi yang sering terjadi adalah perdarahan pada luka pasca ekstraksi. Luka adalah kerusakan jaringan tubuh oleh karena jejas fisik yang menyebabkan terganggunya kontinuitas struktur normal dari jaringan.2

    Perawatan luka bertujuan untuk menghentikan perdarahan, membersihkan area luka dari benda asing, sel mati dan bakteri untuk proses penyembuhan. Proses penyembuhan luka pada umumnya akan berjalan secara fisiologis, namun adakalanya proses penyembuhan luka mengalami masalah dan menimbulkan rasa nyeri serta tidak nyaman dalam rongga mulut. Sebagian kecil luka ekstraksi, diperkirakan 1 sampai 11,5% mengalami penyembuhan yang tidak sesuai atau tidak lengkap.1 Friedman (2007) juga berpendapat bahwa terdapat 11 juta pasien perhari yang mengalami ketidaknyamanan seperti nyeri, pembengkakan, dan memar pasca operasi pencabutan gigi molar ketiga. Masalah yang timbul akibat gangguan penyembuhan luka ini akan berpengaruh terhadap produktifitas kerja sang pasien.

    Untuk mengatasi hal itu, obat herbal dapat digunakan untuk mempercepat penyembuhan luka. Penggunaan tanaman sebagai obat sudah dikenal luas baik di negara berkembang maupun negara maju. Di Asia dan Afrika 70-80% populasi masih tergantung pada obat tradisional sebagai pengobatan primer.3

    Tanaman kelengkeng (Euphoria longan) merupakan tanaman yang banyak ditemukan di Indonesia. Pada umumnya, masyarakat hanya memanfaatkan daging buah kelengkeng sebagai konsumsi buah sehari-hari. Pada pengobatan china, daging buah kelengkeng digunakan sebagai stomachic, febrifuge, vermifuge, dan juga sebagai penangkal racun. Kelengkeng kering juga digunakan sebagai tonik dan perawatan insomnia. Sementara itu, kulit dan biji kelengkeng segar sebesar 17% dari berat keseluruhan buah hanya berakhir sebagai limbah dan bahan bakar.4

    Berdasarkan beberapa penelitian ilmiah, kulit dan biji kelengkeng memiliki berbagai senyawa kimia yang dapat dimanfaatkan sebagai obat herbal. Penelitian Jaitrong, et al (2006) melaporkan bahwa kandungan kimia dalam kulit kelengkeng adalah asam galat, glikosida, flavon, dan hidroksinamat dengan kandungan utama flavon berupa kuersetin dan kaemferol. Sedangkan biji kelengkeng mengandung senyawa fenolik seperti corilagin, asam galat, dan asam ellagat sebagai antiplasmodial, antimikroba, antioksidan, antiinflamasi dan senyawa pencegah kanker.5 Beberapa penelitian juga mengindikasikan bahwa asam galat dan asam ellagat ini mempunyai manfaat yang penting bagi kesehatan.4

    Berdasarkan latar belakang diatas, maka perlu dilakukan studi pustaka lebih lanjut mengenai kulit dan biji kelengkeng (Euphoria longan (Lour.) Steud) untuk membuktikan bahwa biji kelengkeng dapat mempercepat proses penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi.

    PembahasanEkstraksi gigi akan menimbulkan luka trauma pada socket gigi dan akan mengalami proses penyembuhan secara fisiologis. Pembuluh darah pada area luka tersebut akan melakukan fungsi hemostatis dengan cara vasokonstriksi dan sekresi faktor-faktor pembekuan darah untuk pembentukan blood clot. Setelah blood clot terbentuk, maka fase inflamasi akan segera dimulai. Pada fase inflamasi ini terjadi pengeluaran berbagai mediator inflamasi yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga terjadi peningkatan permeabilitas kapiler.6 Peningkatan permeabilitas kapiler mengakibatkan sel-sel radang seperti PMN, limfosit, dan monosit bermigrasi keluar dari pembuluh darah menuju ke tempat terjadinya luka. Sel-sel radang ini akan memfagositosis bakteri, benda asing dan jaringan yang rusak. Sel radang tersebut akan digantikan oleh sel makrofag pada hari ketiga yang akan menginisiasi fase proliferasi.7

    Kulit dan biji kelengkeng diketahui mengandung senyawa fenolik seperti corilagin, asam galat, dan asam ellagat sebagai antiplasmodial, antimikroba, antioksidan, antiinflamasi dan senyawa pencegah kanker.5 Adanya invasi bakteri pada daerah luka akan menyebabkan peningkatan degradasi jaringan dan keterlambatan respon imun host. Aktivitas antimikroba yang terdapat dalam senyawa fenolik ini akan mencegah terjadinya infeksi sekunder pada daerah luka yang berpengaruh pada proses penyembuhan.

    Sifat antioksidan asam galat dan asam ellagat yang terdapat pada biji kelengkeng menunjukkan adanya hambatan yang signifikan terhadap produksi NO yang berperan dalam terjadinya kerusakan jaringan.8 Penurunan kerusakan jaringan akibat aktivitas antimikroba dan antioksidan ini akan meningkatkan respon imun tubuh sehingga proses penyembuhan dapat berjalan lebih baik. Sedangkan aktivitas antiinflamasi yang dimiliki oleh asam gallat dan asam ellagat ini akan mengurangi eksudat inflamasi akut dan menstimulasi aktivasi limfosit T dan makrofag.9 Sel limfosit T yang teraktivasi ini akan mensekresi limfokin sehingga dapat mengaktifkan lebih banyak makrofag pada daerah luka.10 Makrofag mensekresi growth factor seperti Fibroblast Growth Factor (FGF) , Platelet Derived Growth Factor (PDGF), Transforming Growth Factor (TGF-), dan Epidermal Growth Factor (EGF) yang akan menstimulasi lebih banyak fibroblas untuk mensintesis kolagen serta meningkatkan proliferasi pembuluh darah kapiler.11

  • Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia

    [3]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    Peningkatan proliferasi fibroblas dan pembuluh darah menyebabkan proses epiteliasasi pada daerah luka berjalan lebih cepat.

    KesimpulanKulit dan biji kelengkeng dapat mempercepat proses penyembuhan luka ekstraksi gigi yang ditandai dengan meningkatnya jumlah sel fibroblas dan sel pembuluh.

    SaranPerlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap kulit dan biji kelengkeng (Euphoria longan (Lour.) Steud) untuk membuktikan bahwa kulit dan biji kelengkeng dapat mempercepat proses penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi.

    Daftar Rujukan 1. Lanre et al. Clinical Evaluation of Post-Extraction Site Wound Healing. The Jurnal of Contemporary

    Dental Practice. 2006;7(3):2-3.2. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Pocket Companion to Pathologic Basis of Disease. 7th ed.

    Philadelphia : WB Saunders;2006.p.46-47. 3. WHO. Traditional medicine. Accesed on October 1st . Available from URL:

    Http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs134/en/. 2012.4. Panyathep et al. Antioxidant and anti-matrix metalloproteinases activities of dried longan (Euphoria

    longana) seed extract. ScienceAsia 39; 2013:12-18. 5. Rangkadilok N et al. Identification and Quantification of Polyphenolic Compounds in Longan

    (Euphoria longana Lam.) Fruit. A grant from the Chulabhorn Research Institute (N.R., L.W., J.S.) and the Biotechnology and Biological Sciences Research Council, UK (R.N.B.) : Thailand; 2004.

    6. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Alih Bahasa Brahm U Pendit dkk. Jakarta: EGC; 2005.p.57-71.

    7. Kumar V, Robbins SL, Cotran RS,. Buku Ajar Patologi Edisi 7 No.1. Jakarta : EGC; 2004.p.80.8. Huang et al. Antioxidant and Anti-inflammatory Properties of Longan (Dimocarpus longan Lour.)

    Pericarp. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine; 2012. 9. Miranda et al. Effect of Topical Application of Different Substances on Fibroplasia in Cutaneous

    Surgical Wounds. Published online 8 February 2012.10. Vaghasiya, J., Datani, M., Nandkumar, K., Malaviya, S., Jivani, N., 2010. Comparative Evaluation

    Of Alcoholic And Aqueous Extracts Of Ocimum sanctum L. For Immunomodulatory Activity. International Journal On Pharmaceutical And Biological Research. 2010;1(1).25-29.

    11. Diegelmann RF, Evans MC. Wound Healing: An Overview of Acute, Fibrotic, and Delayed Healing. Frontiers in Bioscience. 2004;9:283-289.

  • Potensi Penggunaan Carbon-14

    [4]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    Literature Study

    Potensi Penggunaan Carbon-14 sebagai Alat Bantu dalam Kedokteran Gigi ForensikLaila Novpriati,1 Rizki Amalia,1 Deta Apritantia,1 Nurtami Soedarsono2

    AbstractNowadays victims identification have used forensic. But, victims condition which difficult to

    identify needs help from forensic dentistry. Forensic dentistry have indetification technique that using antemortem and postmortem tooth record. But, usually the victims tooth record cant be the only guidance, escpecially to determine victims age. The purpose of this study literature is to find out the potential use of carbon-14 as aid tool which means indicator or marker to estimate victims age. Carbon-14 is a radioactive chemical which is present in atmosfer after nuclear weapon trial during 1950s and 1960s. The concentration of this chemical in the atmosfer distributes in same level because carbon-14 reacts with oxide to be carbon dioxide which assimilited by the plant for photosynthesis. The concentration of carbon-14 level in the body is parallel with the concentration in the atnosfer because human also consume plant and air. Carbon-14 will trap inside tooth enamel, strated from enamel formation until complete enamel layer formation, so carbon-14 will be the accurate indicator to count when is the enamel formation. So that we can conclude that carbon-14 can be used as indicator to estimate victims age in forensic dentistry. Keywords : carbon-14, forensic dentistry, enamel

    AbstrakIdentifikasi korban di seluruh dunia saat ini sudah menggunakan ilmu kedokteran forensik.

    Namun, keadaan yang korban yang sulit dilakukan identifikasi akhirnya membutuhkan bantuan ilmu kedokteran gigi forensik. Kedokteran gigi forensik menggunakan teknik identifikasi berdasarkan rekam gigi antemortem dan postmortem. Namun sering kali rekam medik yang dimiliki korban tidak dapat sepenuhnya dijadikan acuan, terutama untuk mengetahui usia korban. Tujuan kajian pustaka ini adalah untuk membahas potensi penggunaan carbon-14 sebagai alat bantu berupa marker untuk mengetahui usia korban identifikasi. Carbon-14 adalah senyawa radioaktif yang terdapat di atmosfir setelah diadakan uji coba nuklir di antara tahun 1950an-1960an. Jumlah senyawa ini di udara cukup merata karena carbon-14 bereaksi dengan oksida menjadi karbon dioksida yang diserap tumbuhan untuk fotosintesis. Jumlah carbon-14 di dalam tubuh manusia juga paralel dengan jumlah carbon-14 di udara karena manusia mengkonsumsi tumbuhan dan udara. Carbon-14 ini akan terperangkap dalam email dimulai dari pembentukan email hingga lengkapnya peletakan lapisan email, sehingga carbon-14 ini akan menjadi acuan yang tepat untuk menghitung kapan dimulainya pembentukan email. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa carbon-14 dapat digunakan sebagai marker estimasi usia korban dalam kedokteran gigi forensik.Kata kunci : carbon-14, kedokteran gigi forensik, email,

    1Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia2 Dosen Fakultas Kedokteran Gigi Universitas IndonesiaCorrespondence:Universitas IndonesiaJl. Salemba Raya No. 4 Jakarta PusatNo. Tlp. (021) 31930270 Fax (021) 31931413

    E-mail : [email protected]

    PendahuluanBerbagai macam bencana di Indonesia sudah menjadi problematika yang tak bisa dielakkan. Bencana tersebut dapat terjadi secara natural (alam) atau diakibatkan oleh human error (kecelakaan). Untuk kasus bencana alam, Indonesia yang memang merupakan daerah rawan bencana dengan angka kejadian bencana yang cukup tinggi dan menelan banyak korban jiwa. Kasus bencana tersebut antara lain bom Bali I (2002), peledakan Hotel JW Marriot

    (2003), Bom Bali II (2005), bencana Tsunami Aceh (2004) dan jatuhnya pesawat Garuda Indonesia GA-152 (2007) serta pesawat Sukhoi Superjet 100 (2012). 1 Permasalahan utama yang sering terjadi saat bencana adalah sulitnya mengindentifikasi korban yang tidak dikenal.

    Ilmu kedokteran forensik memang sudah digunakan secara luas dalam identifikasi. Di Indonesia, permasalahan yang sering terjadi adalah kurangnya barang bukti yang bisa digunakan

  • Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia

    [5]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    untuk mengidentifikasi korban. Dalam hal ini sangat dibutuhkan bantuan ilmu kedokteran gigi forensik. Dalam kedokteran gigi forensik, gigi geligi digunakan sebagai bagian tubuh manusia yang berperan vital dalam proses identifikasi. Keunggulan yang dimiliki oleh gigi geligi yaitu gigi merupakan bagian terkeras dari tubuh manusia yang sebagian besar terdiri dari bahan anorganik sehingga tidak mudah rusak, apalagi secara anatomis didukung dengan letak lengkungan gigi yang terlindung dengan otot, bibir dan pipi. Selain itu, Sims dan Furnes juga menyatakan bahwa setiap manusia memiliki struktur dan bentuk gigi yang berbeda dengan yang lain dengan kemungkinan satu berbanding dua milyar.2

    Gigi geligi dapat digunakan untuk mengidentifikasi khususnya usia korban. Dalam perkembangannya, usia diidentifikasi melalui pengamatan pada proses pertumbuhan dan perkembangan gigi manusia yang dikategorikan dalam beberapa periode. Penyelidikan menjadi sulit ketika korban yang diidentifikasi telah memasuki usia dimana gigi tetap telah mengalami erupsi secara sempurna dan menyeluruh. Dalam hal ini memang telah diterapkan metode lain dengan mengamati indikator seperti atrisi, penurunan tepi gingiva, pembentukan dentin sekunder dan tersier, transparansi dentin dan penyempitan foramen apikalis. Namun, tetap dibutuhkan metode lain agar proses identifikasi usia dapat diketahui secara tepat dan akurat. Minimnya informasi melalui rekam medik antemortem juga menjadi salah satu faktor penghambat dalam proses identifikasi usia korban.3

    Carbon-14 merupakan senyawa yang dapat menjadi marker yang membantu proses identifikasi estimasi usia manusia melalui gigi geligi. Faktanya, jumlah carbon-14 dalam tubuh manusia paralel dengan jumlah carbon-14 di udara. Senyawa radioaktif ini akan terperangkap dalam email gigi sejak pertama kali pembentukan email terjadi. Proses inilah yang mendasari carbon-14 untuk dijadikan marker dalam mengidentifikasi usia. Oleh karena itu, tinjauan pustaka ini ditulis untuk menjelaskan peran carbon-14 sebagai marker estimasi usia manusia dalam kedokteran gigi forensik.

    Tinjauan PustakaA. Ilmu Kedokteran Gigi ForensikMenurut Keiser Nielsen (1970), kedokteran gigi forensik merupakan cabang dari ilmu kedokteran gigi yang meneliti bukti-bukti kejahatan yang berhubungan dengan gigi geligi, kemudian dinilai dan dilaporkan untuk proses peradilan. Paderson (1969) mendefinisikan kedokteran gigi forensik sebagai bagian dari ilmu kedokteran gigi yang berhubungan dengan

    penilaian dan penemuan-penemuan kedokteran gigi untuk kepentingan peradilan. Furuhata dan Yamamoto (1967) mengatakan bahwa kedokteran gigi forensik adalah cabang dari ilmu kedokteran kehakiman yang menggunakan pengetahuan kedokteran gigi dalam memecahkan masalah hukum dan kejahatan. Berdasarkan definisi tersebut maka kedokteran gigi forensik tidak hanya terbatas pada proses identifikasi korban melalui gigi geligi saja tapi juga meliputi kasus-kasus yang diakibatkan oleh dental injury, malpraktek, serta kasus penipuan dalam bidang kedokteran gigi.

    B. Estimasi UsiaDalam forensik kedokteran gigi, usia adalah salah satu faktor penting untuk menentukan identitas korban. Prakiraan usia manusia adalah suatu prosedur yang diadopsi oleh para antopolog, arkeolog dan ilmuwan forensik. Banyak prosedur yang dapat ditempuh dalam menentukan usia seseorang antara lain dari penutupan sutura tengkorak, penyatuan epifisis dan diafisis tulang panjang, permukaan simfisis pubis serta gigi geligi seseorang.4 Estimasi usia didasarkan pada gigi geligi seseorang menjadi sangat penting terutama jika bahan lain yang diperlukan untuk identifikasi korban telah rusak, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat, kebakaran atau tubuh korban yang sudah membusuk. Gigi geligi adalah jaringan yang relatif masih utuh, karena dilindungi oleh email yang merupakan jaringan terkeras dari gigi.4

    C. Metode yang Dapat Digunakan Untuk Menentukan UsiaPemeriksaan identifikasi odontologis korban dilakukan berdasarkan perbandingan yang sistematik dari karakteristik gigi dan mulut individu serta didukung oleh gambaran radiograf. Penentuan usia korban atau lebih tepatnya perkiraan usia dapat dilakukan melalui pemeriksaan gigi-geligi dengan beberapa pendekatan, yaitu :

    a) Klinis / Morfologi

    1) Melihat pertumbuhan dan perkembangan gigi2

    Perkembangan gigi mulai dapat dipantau sejak mineralisasi gigi susu, yaitu usia empat bulan dalam kandungan hingga mencapai saat sempurnanya gigi molar kedua tetap. Pemanfaatan molar ketiga mulai terbatas karena sudah mulai banyaknya molar tersebut yang tidak tumbuh sempurna. Sehubungan dengan ini dikenal beberapa tahap yang dapat dipantau dengan baik, yaitu:1) Intrauteri: dipantau melalui sediaan, dengan

  • Potensi Penggunaan Carbon-14

    [6]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    melihat tahap mineralisasi gigi dapat diketahui usia kandungan.

    2) Postnatal tanpa gigi: berkisar antara usia 0 6 bulan, yaitu saat tumbuhnya gigi susu yang pertama. Penentuan usia secara tetap disini masih memerlukan sediaan mikroskopis dengan melihat mineralisasi. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan terhadap tahap perkembangan gigi yang belum tumbuh atau masih di dalam tulang dengan bantuan radiograf.

    3) Masa pertumbuhan gigi susu: berkisar antara usia 6 bulan 3 tahun, saat bermunculannya gigi susu ke dalam mulut. Dengan memperhatikan gigi mana yang sudah tumbuh dan belum tumbuh, usia dapat diperkirakan dengan kisaran yang relatif sempit.

    4) Masa statis gigi susu: berkisar antara usia 3 6 tahun. Pada masa ini penentuan usia melihat tingkat keausan gigi susu dan jika diperlukan dengan bantuan roentgen untuk melihat tahap pertumbuhan gigi tetap.

    5) Masa gigi-geligi campuran: berkisar antara 6 12 tahun. Pada masa ini usia dapat dilihat dari gigi susu yang tanggal dan gigi tetap yang tumbuh.

    6) Masa penyelesaian pertumbuhan gigi tetap: yaitu saat tidak adanya gigi susu yang tanggal dan selesainya pembentukan akar gigi yang terakhir tumbuh, yaitu molar kedua tetap.

    2) Metode Gustafson2Setelah masa pertumbuhan gigi tetap

    selesai, maka pertumbuhan dan perkembangan gigi tidak banyak lagi memberikan bantuan untuk menentukan usia karena kondisinya dapat dikatakan menetap. Untuk itu Gustafson (1950) menemukan 6 metode dalam menentukan usia:1) Atrisi: akibat penggunaan rutin pada saat

    makan, sehingga permukaan gigi mengalami keausan.

    2) Penurunan tepi gusi: sesuai dengan pertumbuhan gigi dan pertambahan usia, maka tepi gusi (margin-gingivalattachment) akan bergerak ke arah apikal.

    3) Pembentukan dentin sekunder: sebagai upaya perlindungan alami pada dinding pulpa gigi akan dibentuk dentin sekunder yang bertujuan menjaga ketebalan jaringan gigi yang melindungi pulpa. Semakin tua seseorang semakin tebal dentin sekundernya.

    4) Pembentukan semen sekunder: dengan bertambahnya usia, maka semen sekunder di ujung akar pun bertambah ketebalannya.

    5) Transparansi dentin: karena proses kristalisasi pada bahan mineral gigi, maka jaringan dentin gigi berangsur menjadi transparan. Proses transparan ini dimulai dari ujung akar gigi

    meluas ke arah mahkota gigi.6) Penyempitan atau penutupan foramen

    apicalis: akan semakin menyempit dengan bertambahnya usia dan bahkan akan menutup.

    Garis besar yang perlu diperhatikan dalam penentuan usia dengan gigi setelah masa pertumbuhan gigi tetap selesai adalah sebagai berikut (Harmaini, 2001):1) Keausan pada gigi menunjukkan seseorang berusia di atas 50 tahun.2) Banyaknya tulang yang hilang terjadi pada usia lebih dari 40 tahun.3) Penutupan foramen apicalis molar ketiga tidak terjadi sebelum usia 20 tahun.

    b) Biokimia 1) Rasemisasi Asam Aspartat

    Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Helfman dan Bada (1976). Analisis rasemisasi asam aspartat telah dilakukan pada email gigi maupun mahkota dentin. Dibandingkan dengan metode klinis atau morfologi, metode rasemisasi asam aspartat memiliki batas error yang kecil hanya 3 tahun dan 1- 2 tahun.5 Penggunaan metode ini membutuhkan waktu yang lama karena gigi harus dicabut dan tidak dapat dilakukan bila individu masih hidup.5

    2) Radiocarbon dating Carbon-14Metode radiocarbon dating menggunakan carbon-14 adalah metode yang relatif baru. Metode ini diperkenalkan sejak tahun 2005 dan saat in terus diuji coba untuk digunakan dalam kedokteran gigi forensik. Sama halnya seperti rasemisasi asam aspartat, metode ini juga membutuhkan waktu yang lama karena gigi harus dicabut dan tidak dapat dilakukan bila individu masih hidup.5

    c) Radiografis Metode identifikasi dengan pemeriksaan radiografis tidak membutuhkan pencabutan gigi dan dapat dilakukan pada individu yang masih hidup. Metode ini tidak membutuhkan waktu lama. Pemeriksaan radiografis merupakan metode non invasif yang memiliki peran penting untuk melihat fakta yang tersembunyi.1

    d) Histologis Pertambahan usia secara histologis dapat dilihat dengan ukuran ruang pulpa gigi. Semakin bertambahnya usia, ukuran ruang pulpa semakin berkurang karena bertambahnya usia. Solheim (1992) telah melakukan penelitian terkait usia secara histologis dengan menggunakan dentin sekunder. Sedangkan Murray (2002) telah

  • Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia

    [7]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    membuktikan bahwa densitas sel odontoblas, sel subodontoblas dan sel fibroblas berhubungan

    dengan usia kronologis manusia.1

    D. Carbon-14a) Carbon-14

    Carbon-14 adalah karbon isotop radioaktif yang terbentuk secara alamiah. Isotop adalah bentuk berbeda dari elemen dengan jumlah proton yang sama di nukleus (nomor atom) tapi dengan nomer neutron yang berbeda (berat atom). Nukleus dalam carbon-14 mengandung 6 proton dan 8 neutron. Memang masih ada beberapa tipe isotop karbon yang bersifat radioaktif, namun isotop ini bersifat jangka pendek. Sebagai contoh carbon 11 yang memiliki waktu paro antara 20 menit hingga kurang dari sedetik.6

    Berikut tabel spesifikasi sifat material carbon-14.

    Tabel 1 Spesifikasi sifat Carbon-14Keterangan : Ci = Curie, g = gram dan MeV = million electron

    volts6

    b) Cara pemeriksaanPeterson menjelaskan bahwa carbon-14

    terbentuk sebagai hasil reaksi neutron terhadap sinar kosmik dengan nitrogen. Jumlah carbon-14 yang dalam keadaan stabil di biosfer adalah sekitar 300 juta Ci, dan terbanyak berada di samudra. Jumlah ini semakin meningkat sejak percobaan senjata nuklir.6 Percobaan senjata nuklir pada tahun 1950an hingga 1960an selama Perang Dingin telah mengubah jumlah carbon-14 yang tercatat secara global.7 Peristiwa itu telah menambah jumlah carbon sekitar 9,6 juta Ci atau meningkat sekitar 3% dari level stabil di biosfer.6 Pertambahan tersebut mencapai puncak pada tahun 1963, kemudian jumlah carbon-14 di udara kembali menurun. Jumlah carbon-14 di udara yang menurun tidak berarti bahwa carbon-14 hilang sama sekali, namun berpindah dari atmosfer karena tercampur dengan karbon di samudra.7

    Radiocarbon dating menggunakan waktu paro carbon-14 untuk menemukan usia perkiraan objek organik tertentu yang telah berusia 40.000 tahun lebih atau kurang. Disebut usia perkiraan atau estimasi karena ada variabel tertentu yang menyebabkan error atau tidak akuratnya dating tersebut.8 Metode radiocarbon dating ini dikembangkan setelah Perang Dunia II oleh Willard F. Libby dan pekerja pembantunya untuk membantu pekerjaan mereka di bidang arkeologi, geofisis, geologi dan cabang ilmu pengetahuan lainnya.8 Selanjutnya, radiocarbon dating mulai digunakan oleh kedokteran gigi forensik sebagai metode untuk menentukan usia seseorang atau kapan orang

    tersebut lahir. Radiocarbon dating menentukan usia seseorang dengan mengukur jumlah konsentrasi carbon-14 yang terdapat pada email.9 Carbon-14 dapat masuk ke tubuh manusia dengan cara bernafas, makan dan minum.6 Buchholz dan Splanding menyebutkan bahwa kapan terjadinya pembentukan jaringan atau biomolekul tertentu dapat diperkirakan dari bomb-curved dengan mempertimbangkan kelambanan bergabung dengan karbon lain dan menghubungkan konsentrasi carbon-14 sesuai waktu.9 Bomb-curved adalah grafik yang menunjukan waktu ketika radiocarbon yang bergabung dengan seluruh makhluk hidup.10 Email yang diisolasi dari manusia diproses untuk membentuk grafit dan diukur level carbon-14 dengan menggunakan Accelerator Mass Spectrometry (AMS).9

    Gambar 1. Kurva Kaliberasi carbon-14 oleh Stuiver et al yang dikutip oleh Wild et al.8 Keterangan : Kurva ini menunjukkan jumlah karbon di biosfer. Terlihat puncak kurva terjadi selama 70 tahun terakhir (gambar insert). Sumber : Jurnal 14C dating with

    the bomb peak: An application to forensic medicine

    Gambar 2 Bomb-curved carbon-14 yang dicatat dari belahan bumi utara. Kurva ini menunjukkan puncak akumulasi karbon pada tahun 1963. Kurva ini yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan tanggal lahir dan usia seseorang hingga waktu kematiannya. Diadaptasi dari Levin dan Kromer (2004) dan Stuiver et al, (1998a) yang dikutip oleh Ubelaker dan Buchholz (2011).10

    Pembentukan email pada manusia terjadi selama beberapa tahun. Setelah dibentuk pada masa kanak-kanak dan remaja, tidak akan

  • Potensi Penggunaan Carbon-14

    [8]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    ada pembentukan kembali lapisan email selama hidup dan konsentrasi carbon-14 pada email akan menggambarkan konsentrasi carbon-14 pada sumber makanan selama masa pembentukan email.9 Selain itu, tidak akan ada pertukaran karbon pada gigi yang emailnya sudah terbentuk sempurna selama hidup dan umumnya setelah mati.10 Oleh sebab itulah kenapa lapisan email yang dipilih untuk melihat konsentrasi carbon-14. Buchholz dan Splanding menyatakan bahwa dalam kepentingan radiocarbon dating, kita dapat menggunakan batas atas waktu pembentukan email (contoh saat peletakan email selesai) yang menyeimbangkan jumlah periode kelambanan bergabungnya carbon-14 dari atmosfer ke tubuh.9

    PembahasanTingginya angka bencana dan menyebabkan kematian di Indonesia, menyebabkan forensik kedokteran gigi berperan penting dalam membantu proses identifikasi korban bencana massal di

    Indonesia. Salah satu teknik identifikasi yaitu dengan menentukan umur dari korban yang ditemukan. Dengan memanfaatkan carbon-14 kita dapat mengetahui tahun kelahiran seseorang.11 Alkass K et al menyatakan bahwa ada tiga alasan yang mendukung penggunaan radiocarbon dating dengan carbon-14 di masa sekarang, yaitu :10

    1. Status kesehatan gigi di populasi semakin baik karena lebih efektifnya kontrol karies dan usaha kesehatan preventif.

    2. Populasi yang terpapar radiocarbon bomb spike semakin meningkat dari waktu ke waktu, hal ini berarti tubuh yang meninggal dan tidak diketahui identitasnya diperkirakan semakin banyak menunjukkan sisa akumulasi carbon-14.

    3. Presisi dari analisis AMS (Accelarator Mass Spectrometry) semakin meningkat menunjukkan sedikitnya kebutuhan jumlah email yang digunakan untuk analisis.Untuk kasus identifikasi yang dapat

    memanfaatkan carbon-14 sebagai marker alami yang terdapat dalam tubuh manusia hanya terbatas pada kasus korban yang telah meninggal dunia, karena metode radiocarbon dating diterapkan pada email gigi maka tidak terbatas apabila korban ditemukan beberapa tahun setelah kematian. Karena struktur email gigi tidak akan berubah.12

    Namun selain alasan yang mendukung tersebut, ditemukan juga beberapa hal yang menjadi kendala dari penggunaan Carbon-14 dalam Radiocarbon dating, yaitu:

    1. Jumlah carbon-14 yang tidak stabil di atmosfer7

    Seperti yang telah disebutkan sebelumnya ada variabel yang

    menyebabkan terjadinya error saat radiocarbon dating yaitu jumlah carbon-14 yang tidak stabil di atmosfer. Proporsi carbon-14 di atmosfer sepanjang sejarah tidak diketahui. Perbandingan proporsi carbon-14 dibandingkan carbon-12 pun diketahui selalu bervariasi dan kurva yang terbentuk tidak normal. Sehingga hasil pengukuran pun terkadang jauh dari tanggal lahir yang akurat.

    2. Hasil analisisnya terbatas hanya untuk subjek yang lahir setelah tahun awal 1940an.10

    Percobaan senjata nuklir baru dimulai pada tahun 1950an hingga 1960an dan mencapai puncak pada tahun 1963, oleh sebab itu hanya subjek yang lahir setelah awal tahun 1940an yang dapat dianalisis berdasarkan kalkulasi bomb-curved.

    3. Variabel lain yang dapat berpengaruh dalam proses pembentukan email.12

    Jenis makanan, perawatan kesehatan, pola pertumbuhan dan remodeling serta waktu kematian yang terjadi selama proses pembentukan email dapat mempengaruhi level carbon-14 dalam tubuh.

    KesimpulanDapat disimpulkan bahwa carbon-14 dapat digunakan sebagai alat bantu dalam artian marker (penanda) alami estimasi usia korban dalam kedokteran gigi forensik.

    Daftar Rujukan1. Nehemia, B. Prakiraan usia berdasarkan

    metode TCI dan studi analisis histologis ruang pulpa pada usia 9-21 tahun. Tesis. Jakarta : Magister Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia; 2012

    2. Metzger, Z., Buchner, A., and Gorsky, M. Gustafsons Method for Age Determination from TeethA Modification for the Use of Dentists in Identification Teams. 1980;25:742-749

    3. Vystreilova M., Novotmy V. Estimation of age at death using teeth. Variability and Evolution. 2000;8:39-49

    4. Mindya, Y. Perkiraan Usia berdasarkan Gambaran Radiografis dari Panjang dan Medium Pertumbuhan Gigi Molar 2 dan Molar 3 Rahang Bawah. Jakarta : Universitas Indonesia; 1991.

    5. Alkass K, et al. Age Estimation in Forensic Sciences: Application of Combined Aspartic Acid Ramization with Radiocarbon Dating Analysis. Cited : 9

  • Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia

    [9]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    Agustus 2012. Available from : URL: http://www.mcponline.org.6. Perterson J, et al. Radiological and Chemical Fact Sheets to Support Health Risk Analyses for

    Contaminated Areas. Cited : 9 Agustus 2012 ; page 11-12. Available from : URL : http://www.ead.anl.gov/pub/doc/carbon14.pdf. March 2007.

    7. ScienceDaily. Putting Teeth into Forensic Science. [Internet]. Available from : URL: http://www.sciencedaily.com/releases/2010/05/100519143405.htm. June 16, 2010. [diunduh 24 Agustus 2012].

    8. NDT Resource Center. Carbon-14 Dating. [Internet]. Cited : 9 Agustus 2012. Available from : URL: http://www.ndt-ed.org/EducationResources/CommunityCollege/Radiography/Physics/carbondating.htm. August 28, 2010.

    9. Buchholz BA, Spalding KL. Cited: 16 March 2006. Year of Birth Determination Using Radiocarbon Dating of Dental Email.. [LLNL-JRNL-411266]

    10. Ubelaker DH, Buchholz BA. Complexities in the Use of Bomb-Curve Radiocarbon to Determine Time Since Death of Human Skeletal Remains. Cited : 25 Agustus 2012. Available from : URL: https://e-reports-ext.llnl.gov/pdf/319544.pdf. May 11, 2005.

    11. Buchholz, B A. Carbon-14 Bomb Pulse Dating. Cited : 18 December 2007. Livermore :Wiley Encyclopedia of Forensic Science.

    12. Wild EM, et al. 14C dating with the bomb peak: An application to forensic medicine. Cited : 25 August 2012. Available from :URL: http://144.206.159.178/ft/788/29678/512496.pdf. 2000.

  • Pemanfaatan Biji Pepaya

    [10]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    Literature Study

    Pemanfaatan Biji Pepaya (Carica papaya) sebagai Alternatif Mengatasi Halitosis

    Nirmala Maulida Karimatannisa1, Isnadia Naba`atin1, Diah Andryantini1

    AbstractHalitosis often occurs in adulthood that can be periodic or can also be persistent, depending on the

    cause. Anaerobic gram-negative bacterial colonization is the msain causes of halitosis. Anaerobic gram-negative bacteria can break down proteins into malodorous gases known as volatile sulfur compounds (VSCs). VSCs consist of gases H2S, CH3SH, and (CH3) 2S which is a bacterial product. Seeds of papaya (Carica papaya) is part of the papaya fruit that has not used. In papaya seeds contain saponin compound that has a function as an antimicrobial. This study aims to assess the utilization of papaya seeds as an alternative to cope with halitosis. Saponins have the aglycon molecule can enter into the lipid bilayer so that dissolve fat. The molecule can also draw water that eventually led to increased permeability of cell membranes. Increased permeability of bacterial cells can alter the structure and function of membranes, resulting in protein denaturation so that the membrane of the bacterial cell membrane damage and lysis. Based on the above study, it was concluded that the saponins contained in papaya seeds can be utilized as an alternative to overcome halitosis through antimicrobial mechanisms by suppressing the growth of anaerobic gram-negative bacteria that produce VSCs gasesKeyword : halitosis, VSCs, papayas seed, saponin, antimikroba

    AbstrakHalitosis atau bau mulut merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan bau tidak

    sedap yang dihembuskan ketika bernapas. Halitosis sering terjadi pada usia dewasa yang dapat bersifat periodik atau juga bisa persistent, tergantung penyebabnya. Penyebab utama halitosis adalah kolonisasi bakteri anaerob gram negatif diantaranya adalah Prevotella melanogenica, dan Fusobacterium nucleatum. Bakteri-bakteri ini dapat mengurai protein menjadi gas berbau tidak sedap dan mudah menguap yang dikenal dengan volatile sulfur compounds (VSCs). VSCs terdiri dari gas H2S, CH3SH, dan (CH3)2S. Biji pepaya merupakan bagian dari buah pepaya yang belum dimanfatkan. Pada biji pepaya mengandung senyawa saponin yang memiliki fungsi sebagai antimikroba. Saponin memiliki molekul aglycon yang dapat masuk ke dalam lipid bilayer sehingga melarutkan lemak. Selain itu, molekul tersebut juga dapat menarik air yang akhirnya menyebabkan meningkatnya permeabilitas membran sel yang mengakibatkan denaturasi protein membran sehingga membran sel bakteri rusak dan lisis. Kesimpulannya, dari mekanisme antimikroba saponin yang terkandung pada biji pepaya dapat dimanfaatkan untuk menekan pertumbuhan bakteri anaerob gram negatif yang menghasilkan gas VSCs. Bau tidak sedap dari mulut akan menghilang seiring dengan tidak terbentuknya gas VSCs.Kata kunci : halitosis, VSCs, biji pepaya, saponin, antimikroba

    1 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas JemberCorrespondence :FKG Universitas JemberJl. Kalimantan I No. 58 Jember, Jawa Timur 68121Email :[email protected]

    PendahuluanKesehatan Mulut (oral health) tidah hanya sebatas memiliki gigi yang sehat saja melainkan juga bebas dari seluruh penyakit mulut termasuk bebas dari kondisi halitosis (nafas bau).1.2 Sampai saat ini halitosis merupakan salah satu masalah kesehatan mulut yang banyak dikeluhkan masyarakat setelah karies dan penyakit periodontal. Halitosis memiliki

    prevalensi yang tinggi, mencapai separuh populasi yaitu berkisar antara 50%-60% dari seluruh populasi.3 Menurut Tonzetich halitosis ditemukan pada 50% populasi orang dewasa, sedangkan pada anak-anak hingga saat ini belum dilaporkan prevalensinya.4 Beberapa penulis menyatakan bahwa mayoritas manusia mengalami halitosis terutama pada saat bangun tidur ataupun setelah memakan jenis makanan tertentu. Penulis lain

  • [11]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesiamenyatakan setidaknya 50% populasi mengalami halitosis, separuhnya (25% populasi) mengalami halitosis yang agak parah.5,6 Halitosis harus segera diatasi karena dapat mengakibatkan gangguan pada interaksi sosial, rasa malu, putus asa, frustasi dan mengakibatkan terkucilnya seseorang dalam pergaulan.7,8

    Diantara berbagai penyebab halitosis, kolonisasi bakteri merupakan penyebab utama. Bakteri yang terkait dengan halitosis adalah bakteri anaerob gram negatif, yang dapat mengurai protein menjadi senyawa yang berbau tidak sedap, mudah menguap yang dikenal sebagai volatile sulfur compounds (VSCs). Suatu penelitian di Jepang yang dilakukan 2672 orang dengan mengukur konsentrasi VSC menunjukkan 6-23% subyek menderita halitosis. Di negara berkembang seperti Indonesia, persentase masyarakat yang menderita halitosis juga sangat tinggi, contohnya di kelurahan Tebet Jakarta ditemukan rata-rata konsentrasi VSC mencapai 105ppb.9,10

    Walaupun prevelansi penderita halitosis cukup tinggi, banyak penderita yang hanya berusaha menyembunyikan atau mengurangi bau mulut tanpa diikuti dengan usaha menganggulangi penyebab utamanya, bahkan sebagian besar dari penderita halitosis malah tidak menyadari bahwa mereka menderita halitosis.11,12 Salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk pencegahan dan penanganan halitosis dengan mengurangi jumlah bakteri serta menghambat aktivitas bakteri dengan menggunakan obat kumur antimikroba.12 Namun demikian, dewasa ini penggunaan antibiotik sudah mulai dikurangi karena adanya kekhawatiran akan meningkatnya mikroorganisme patogen yang resistensi terhadap antibiotik, sehingga banyak dilakukan penelitian yang bertujuan mendapatkan bahan alternatif lain. 13,14,15

    Saat ini budaya kembali ke alam atau back to nature sangat populer dan dianjurkan oleh pemerintah Indonesia. Masyarakat lebih memilih terapi dengan menggunakan bahan-bahan dari alam daripada bahan kimia sintetik yang memiliki efek samping. Salah satu bahan alami yang belum dimanfaatkan masyarakat pada umumnya dan diduga dapat mengatasi halitosis adalah biji pepaya (Carica papaya). Berdasarkan analisis fitokimia biji pepaya kaya akan berbagai senyawa kimia termasuk alkaloid, flavonoid, tannin, saponin. Ekstrak etanol dan ekstrak air biji pepaya diketahui sebagai bahan antimikroba dan anti fungi.16 Sedangkan salah satu kandungan senyawa kimia yang bersifat anti bakteri pada biji pepaya adalah saponin.17 Karya tulis ini dibuat untuk mengkaji kandungan saponin biji pepaya sebagai alternatif mengatasi halitosis.

    PembahasanHalitosis merupakan bau tidak enak yang

    dikeluarkan dari mulut yang dapat bersifat periodik atau juga bisa persisten, tergantung penyebabnya. Di kebanyakan pasien penderita halitosis, jumlah bakteri yang tinggal di dalam rongga mulut merupakan penyebab primer dari halitosis.18 Sembilan puluh persen kasus halitosis berasal dari dalam mulut, yaitu dari lapisan lidah, celah gingival dan poket periodontal. Penyebab utama halitosis adalah kolonisasi bakteri, baik di lidah, poket, permukaan gigi, mukosa pipi, dan sebagainya. Sedangkan Faktor lain penyebab halitosis adalah faktor fisiologis dan patologis. Faktor fisiologis adalah kurang aliran ludah selama tidur, makanan/minuman, kebiasaan merokok, dan menstruasi. Sedangkan faktor patologis dibedakan atas penyebab lokal, dan penyebab sistemik. Penyebab lokal seperti, karies gigi, kebersihan mulut yang buruk, periodontitis, mulut kering, gigi tiruan, dan lidah berambut. Penyebab sistemik halitosis yaitu, akibat berbagai infeksi atau lesi dari saluran napas, antara lain bronkitis, pneumonia.19 Bakteri yang sangat terkait dengan adanya halitosis adalah bakteri anaerob gram negatif, yang dapat mengurai protein menjadi senyawa yang berbau tidak sedap dan mudah menguap. Produk gas yang mudah menguap ini dikenal sebagai volatile sulfur compounds (VSCs). Adapun jenis mikroorganisme yang tergolong gram negatif penghasil VSC diantaranya adalah Prevotella melanogenica, Fusobacterium nucleatum, Viellonella alcalescene dan Klepsiella pneumonia. Sementara golongan gram positif seperti Streptococcus sanguis, Streptococcus salivarius, Streptococcus mutans, Lactobacillus naeslundii, Lactobacillus acidophilus, Streptococcus aureus, C. albicans, tidak dapat menghasilakn VSC.8

    Aktivitas bakteri anaerob dalam rongga mulut bereaksi dengan protein yang diperoleh dari sisa makanan, sel darah yang mati, ataupun sel epitel yang terlepas dari mukosa mulut. Disamping itu dalam saliva pun terdapat subtrat yang mengandung protein. Dari beberapa faktor yang dapat menyebabkan halitosis, gas VSCs adalah faktor yang paling banyak dikemukakan. VSCs terbentuk dengan adanya aktivitas pembusukan oleh bakteri anaerob yang ada dalam rongga mulut.8 Beberapa mikroorganisme yang ditemukan pada lesi gingivitis dan periodontitis berkaitan erat dengan tingginya produksi VSCs. Karena prevalensi gingivitis dan periodontitis tinggi, maka hal ini menyebabkan tingkat halitosis juga tinggi. Oleh karena itu, diperlukan suatu bahan alternatif yang dapat mencegah timbulnya halitosis oleh karena aktivitas bakteri. Saponin dari biji pepaya diduga dapat mengurangi jumlah bakteri penyebab halitosis ini.

    Berdasarkan analisis fitokimia biji pepaya kaya akan berbagai senyawa kimia termasuk alkaloid, flavonoid, tannin, saponin. Tabel 1: Perkiraan kuantitatif konstituen fitokimia

  • Pemanfaatan Biji Pepaya

    [12]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    dari biji Carica papaya.Menurut Morrissey (1999), saponin

    menunjukkan dosis responsif yang efektif dalam menghambat aktivitas bakteri yang lebih sensitive dalam menghambat bakteri gram negative daripada bakteri gram positif pada konsentrasi dengan

    rentang 2,5-10 mg/ml.21Saponin merupakan senyawa glycoside

    yang struktur kimianya tersusun atas fat-soluble nucleus (aglycon) baik triterpenoid (C-30) atau netral atau steroid alkaloid (C-27) yang berikatan dengan satu rantai atau lebih dari water-soluble sugar (glycon) melalui hubungan ester ke inti aglycone pada bagian karbon lainnya. Saponin memiliki beberapa beberapa sifat, diantaranya adalah antibakterial.22 Efek antimikroba saponin dipengaruhi oleh faktor dari aglycon, jumlah, dan struktur kimia dari rantai gula.23 Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa komponen yang dominan dalam biji papaya adalah aglycon golongan triterpenoid.24

    Sebagai bahan antibakteri saponin dapat meningkatkan permeabilitas membran sel bakteri sehingga dapat mengubah struktur dan fungsi membran, menyebabkan denaturasi protein membran sehingga membran sel akan rusak dan lisis.25 Saponin memiliki molekul yang dapat menarik air (hidrofilik) dan molekul serta dapat melarutkan lemak (lipofilik), sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan sel yang akhirnya menyebabkan kehancuran kuman.26 Efek negatif saponin terhadap permeabilitas membran disebabkan oleh pemblokiran saluran ion membran. Penelitian lain melaporkan bahwa saponin meningkatkan permeabilitas membran dengan menginsersi aglicon ke dalam lipid bilayer, sehingga menciptakan pori dengan diameter 40 sampai 50 A0. Terbentuknya pori pada membrane sel akteri menyebabkan substansi di dalam sel bakteri akan terbawa keluar, sehingga bakteri akan lisis. Disamping itu saponin juga mengubah fungsi protein atau glikoprotein pada membran plasma dan membentuk komplek saponin-kolesterol sehingga

    mengubah fosfolipid dan membentuk suatu produk foslipid yang telah rusak seperti asam fosfolipid. Aktivitas dari enzim ATPase juga diubah sehingga mempengaruhi transpor ion.27 Dengan adanya aktivitas antibakteri dari saponin pada biji papaya yang efektif terhadap bakteri gram negatif, maka bakteri penghasil gas VSC yang tak sedap dapat dihilangkan sehingga halitosis teratasi.

    KesimpulanBerdasarkan telaah berbagai literatur, maka dapat disimpulkan bahwa biji pepaya dapat dimanfaatkan sebagai terapi alternatif halitosis. Biji pepaya mengandung senyawa saponin yang memiliki fungsi sebagai antimikroba. Mekanisme antimikroba tersebut dengan cara denaturasi protein membran menarik air dan molekul serta dapat melarutkan lemak, sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan sel maupun dengan meningkatkan permeabilitas membran sehingga menciptakan pori yang mengakibatkan lisisnya bakteri.

    SaranDiperlukan penelitian baik dari ekstrak biji pepaya maupun isolasi saponin biji papaya yang dapat mengungkap mekanisme kerjanya terhadap bakteri penyebab halitosis. Selain itu, diperlukan kajian lebih lanjut tentang saponin biji pepaya sehingga bisa dipertimbangkan bagi pemerintah dan masyarakat untuk pengembangan budidaya pepaya penghasil senyawa saponin, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani pepaya.

    Daftar Rujukan1. Rhode Island Department of Health, Oral

    Health Program; the importance of oral health cited : 15 Mei 2008, Available at : http://www.health.sate.ri.vs/disease/primarycare/oralhealth/importance.php

    2. Halitosis and its causes, Cited : 15 May 2008, Available at :http://www.oralhealthnow.com-/Halitosis.html>

    3. Lee SS, Zhang W, Li Y. Halitosis Update: A Review of Causes, Diagnoses, and Treatments. CDA Journal. April 2007;35(4)

    4. Gnanasekhar JD. Aetiology, diagnosis and management of halitosis: a review.PERIO. 2007;4(3):2003-214

    5. Rahimi M. Halitosis (Foetor en one) Shiraz. E-Med Journal. 2001;2(4)

    6. Krespi YP, Shrime MG, Kacker A. The relationship between oral malodor and volatile sulfur compound producing bacteria. Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2006;135:671-676

    7. Sondang P, Hamada T. Menuju Gigi dan Mulut Sehat: pencegahan dan pemeliharaan. USU Pers; 2008

  • [13]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia8. Azodo CC, Osazuwa-Peter Y, Omili M. Psyhological and social impact of halitosis: a review. The

    Free Library. Cited : 9 December 2010 Available at: http//www.thefreelibrary.com/Psychological and social impact of halitosis: a riview.-a0229543169.

    9. Sanz M, Roldan S, Herrena D. Fundamental of breath malodor. J Contemporary Dent Pract. 2001;2(4):2-10

    10. Mustaqimah DN. Bakteri yang Berkaitan dengan Halitosis. Jakarta: EGC; 1993.p.83-17711. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Bau Mulut Tak Sebatas Urusan Kosmetik. Cited : 15

    November 2007. Available at : http://www.depkes.go.id/index.php?option_article&task=viewarticle& artid=332&itemid=3

    12. Pintauli Sondang. Masalah Halitosis dan Penatalaksanaanya. Dentika Dental Journal. 2008;13(1):74-79.

    13. Nawaz, M. S., S. A. Khan, A. A. Khan, F. M. Khambaty, and C. E. Cerniglia. Comparative molecular analysis of erythromycin-resistance determinants in staphylococcal isolates of poultry and human origin. Mol. Cell Probes. 2000;14:311-319.

    14. Bertolatti, D., F. G. OBrien, and W. B. Grubb. Characterization of drug-resistant Staphylococcus aureus isolated from poultry processing plants in Western Australia. Int. J. Environ. Health. Res. 2003;13:43-54

    15. Wallace, R. J. Antimicrobial properties of plant secondary metabolites. Proceedings of the Nutrition Society. 2004; 63,621629.

    16. Ilmi, T,. Uji Aktivitas In Vitro Tikus Putih Setelah Pemberian Infus Rhizoma Curcuma Domestica Vall. (Skripsi). Surabaya: Fakultas Farmasi. Universitas Airlangga. Inpress; 1995

    17. Okoye E.I, Preliminary phytochemical analysis and antimicrobial activity of seeds of carica papaya.2011;2(1):66-69

    18. Kazor CE, Mitchell PM, Lee AM, Stokes LN, Loesche WJ, Dewhirst, and Paster BJ. Diversity of Bacterial Populations on the Tongue Dorsa of Patients with Halitosis and Healthy Patients. Journal of Clinical Microbiology. 2002;41(2):558563

    19. Sonis ST, Fazio RC. Oral Medicine Secret. Philadelphia: Hanley & Belfus Inc.; 2002.p. 163.20. Okoye E.I. (). Preliminary phytochemical analysis and antimicrobial activity of seeds of Carica

    papaya. J. Basic Physical Research. 2007;2(1):66-69.21. Morrissey, J. P., & Osbourn, A. E. Fungal resistance to plant antibiotics as a mechanism of

    pathogenesis. Microbiology and Molecular Biology Reviews. 1999: 63, 708724.22. Mahato, S. B., S. K. Sudip, and G. Poddar. Review article number 38: Triterpenoid saponins.

    Phytochem. 1988: 27:3037-306723. Rakhimov, R. R., N. P. Benetis, A. Lund, J. S. Hwang, A. I. Prokofev, and Y. S. Lebedev. Intramolecular

    and reorientation dynamics of bis (triphenylphosphine)-3, 6-di-tert-butyl-4, 5-dimethoxy-o-semiquinone complex of copper (I) in viscous media. Chem. Phys. Lett. 1996;225:156-162.

    24. Sukanada, I.M, Santi Rahayu, Juliarti N.K. Aktivitas Antibakteri Senyawa Golongan Triterpenoid dari Biji Pepaya (Carica papaya L). Jurnal Kimia 2. 2008;15-18

    25. Siswandono dan Soekarjo, B. Kimia Nedisinal. Airlangga University Press; 199526. Dwidjoseputro, D. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan: Jakarta; 1994.p.97-9927. Sherif Mohamed H. Antimicrobial activities of saponin-rich guar meal extract. (Disertation) Texas:

    A&M University; 2008

  • Peningkatan Jumlah Pembuluh Darah

    [14]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    Research

    Peningkatan Jumlah Pembuluh Darah akibat Aplikasi Graft Hidrogel-CHA pada Soket pasca Pencabutan Gigi (Kajian in vivo)

    Rima Chaeriyana,1 Faiznur Ridho,1 Dimaz A.N. Bandriananto1

    Abstract Blood vessel is an important role in the formation of alveolar bone after tooth extraction. Bone graft has been developed to accelerate the process of bone formation. Bone graft carbonate apatite (CHA) was chosen because it is biocompatible and osteoconductive. Development of a construction CHA-CHA hydrogel as artificial extracellular matrix similar to native bone structure is expected to increase bone formation. The purpose of this study was to determine the number of blood vessels in socket are given hydrogel graft CHA after tooth extraction.. Graft CHA made by titration of phosphoric acid (H3PO4) into the emulsion of calcium hydroxide (Ca (OH) 2), while the composite hydrogel-CHA CHA made by synthesis in gelatin systems. Thirty-six guinea pig 4 months old weighing 285-485 gram were divided into 2 groups, with hydrogel-CHA treated group and the control group with CHA. After tooth extraction of left mandible insisivus, graft was applied to the socket for 3, 5, 7, 14, 28, and 56 days. On the day of the prescribed treatment, subjects were sacrificed, alveolar bone and surrounding tissue were taken for histological processing. Preparates stained with hematoxylin-eosin. Data were analyzed using Two Way ANOVA, followed djah Post Hoc LSD test to compare the number of blood vessels every day. The results show there are significant graft-CHA hydrogel on the number of blood vessels. Increase in the number of blood vessels occurs from day 3 to day 7, then decreased the 14th day until the 56th. Blood vessel formation in the hydrogel group-CHA faster than the CHA group. Combination of hydrogel CHA material which resembles original bone cause of alveolar bone regeneration takes place more quickly.Keywords: hydrogel, carbonate apatite (CHA),blood vessel, tooth extraction

    AbstrakPembuluh darah berperan penting pada pembentukan tulang alveolar pasca pencabutan gigi.

    Penggunaan graft tulang telah dikembangkan untuk mempercepat proses pembentukan tulang. Graft tulang karbonat apatit (CHA) dipilih karena bersifat biokompatibel dan osteokonduktif. Pengembangan CHA menjadi konstruksi hidrogel-CHA sebagai matriks ekstraseluler buatan yang serupa dengan struktur tulang asli diharapkan mampu meningkatkan pembentukan tulang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah pembuluh darah pada soket yang diberi graft CHA dan hidrogel-CHA pasca pencabutan gigi. Graft CHA dibuat dengan titrasi asam fosfat (H3PO4) ke dalam emulsi kalsium hidroksida (Ca(OH)2), sedangkan komposit hidrogel-CHA dibuat dengan melakukan sintesis CHA dalam sistem gelatin. Tiga puluh enam ekor guinea pig berusia 4 bulan dengan berat badan 285-485g dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok perlakuan dengan hidrogel-CHA dan kelompok kontrol dengan CHA. Setelah pencabutan gigi incicivus kiri mandibula, graft diaplikasikan pada soket dengan lama aplikasi 3, 5, 7, 14, 28, dan 56 hari. Pada hari perlakuan yang ditentukan, subjek dikorbankan, tulang alveolar dan jaringan sekitarnya diambil untuk diproses secara histologis. Preparat diwarnai dengan Mayer Hematoksilin-Eosin. Data dianalisi ulang asli menyebabkan regenerasi tulang alveolar berlangsung lebih cepat.Kata kunci: hidrogel, karbonat apatit (CHA), pembuluh darah, pencabutan gigi

    1Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah MadaCorrespondance :FKG Universitas Gadjah MadaJl. Bulak Sumur Yogyakarta 55281, Indonesia

  • [15]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi IndonesiaPendahuluanPencabutan gigi merupakan prosedur umum dalam kedokteran gigi. Pasca pencabutan gigi akan dihasilkan suatu perlukaan atau lubang yang disebut soket. Perawatan soket pasca pencabutan gigi bermanfaat untuk mempertahankan tulang alveolar sebagai penyokong dalam penempatan implan gigi yang akan datang. Jaringan tulang merupakan jaringan dengan vaskularisasi tinggi yang mengatur integritas skeletal. Selama proses perkembangan skeletal dan perbaikan jaringan tulang yang fraktur, pembuluh darah mikro dan sirkulasi mikro sangat penting dalam homeostasis serta regenerasi jaringan. Pembuluh darah membawa oksigen, nutrisi, faktor pertumbuhan, dan berbagai tipe sel ke semua jaringan tubuh. Faktor dan event yang terjadi pada pembentukan pembuluh darah awal adalah proses neoangiogenesis 1

    Untuk mempercepat terjadinya angiogenesis dan osteogenesis, bahan-bahan graft tulang secara luas telah digunakan dan dievaluasi secara klinis 3. Graft adalah bahan pengganti yang diimplankan ke dalam jaringan tubuh sehingga terjadi regenerasi jaringan4. Graft tulang menyediakan kerangka dasar untuk pembentukan jendalan darah, maturasi, dan remodeling jaringan. Berdasarkan donornya, graft digolongkan menjadi autograft, allograft, xenograft, dan alloplastik graft 3.

    Beberapa bahan alloplastik telah digunakan dalam bedah defek intra-osseus sebagai alternatif autograft. Hidroksiapatit (HA) Hidroksiapatit (HA) telah digunakan sebagai mineral anorganik ideal untuk menggantikan tulang karena mempunyai sifat biokompatibilitas dan osteokonduktif yang tinggi5. Karbonat apatit (CHA) telah dikembangkan sebagai bahan graft tulang. Karbonat apatit mengandung ion karbonat (CO32-) sebagai pengganti gugus fosfat (PO43-) atau hidroksil (OH-) untuk membentuk apatit bioaktif yang meningkatkan disolusi dan sifat resorbsi oleh osteoklas. Karbonat apatit mempunyai derajat kristalin yang rendah dan ukuran kristal yang kecil jika dibandingkan dengan HA6.

    Salah satu bentuk aplikasi graft yang dapat dikembangkan saat ini adalah graft hidrogel-CHA. Secara struktural, tulang merupakan suatu komposit dari kolagen, template hidrogel berbasis protein, dan dahlit anorganik (karbonat apatit) yang merupakan komponen osteokonduktif7,8. Polimer hidrogel merupakan pilihan utama untuk membentuk perancah (scaffold) fungsional perbaikan jaringan. Elastisitas intrinsik dan kemampuan retensi terhadap air yang terdapat pada hidrogel sintetik menyerupai matriks kolagen jaringan ikat, termasuk tulang. Kombinasi antara suatu material keras anorganik dan jaring-jaring hidrogel elastik memberikan sifat mekanis yang unik pada tulang, antara lain kekakuan yang rendah, ketahanan terhadap tarikan dan tekanan, dan kemampuan menahan fraktur yang tinggi7. Salah satu indikator dalam respon regenerasi

    tulang alveolar adalah jumlah pembuluh darah pada proses penyembuhan luka pasca pencabutan gigi.

    MetodeTabel 1. Alat dan Bahan Penelitian

    Berikut ini adalah tahapan kerja saat penelitian:

    1. Pembuatan Graft CHA dan Hidrogel-CHA

    Preparasi CHA diawali dengan pengenceran 1,852g kalsium hidroksida (Ca(OH)2) dan 1,024mL asam fosfat (H3PO4) masing-masing dengan 100mL akuades kemudian keduanya dicampur dan diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 2 jam. Setelah itu, emulsi CHA dikeringkan dengan oven pada suhu 60C. Setelah 3 hari, emulsi digerus menghasilkan serbuk CHA.

    Preparasi hidrogel-CHA dilakukan dengan cara sintesis CHA dalam larutan gelatin. Gelatin sebanyak 2,5g terlebih dahulu dicampurkan dengan 50mL akuades dan ditunggu sampai swelling. Kalsium hidroksida (Ca(OH)2) sebanyak 1,852g dimasukkan ke dalam campuran gelatin dan diaduk menggunakan magnetic stirrer pada suhu 37C sampai homogen. Asam fosfat (H3PO4) sebanyak 1,024mL dilarutkan dengan 50mL akuades, kemudian diteteskan ke dalam campuran gelatin sambil diaduk sampai homogen selama 2 jam. Reaksi crosslinking dilakukan dengan meneteskan glutaraldehid 25% sebanyak 400L sambil diaduk selama 3 jam. Setelah itu, campuran tersebut dimasukkan ke dalam cetakan dan dibekukan pada suhu 4C selama 12 jam. Selanjutnya dilakukan proses pencucian dengan larutan glisin 0,1M dan pembilasan dengan double distilled water sebanyak 3 kali. Proses dilanjutkan dengan pembekuan pada suhu -20C dengan tekanan 0 atmosfer selama 24 jam, kemudian dilakukan proses freeze drying selama 72 jam. Graft hidrogel-CHA dikeluarkan dari cetakan dan siap untuk disterilisasi.

    2. Sterilisasi Sterilisasi alat dilakukan dengan menggunakan

    autoclave pada suhu 121C selama 30 menit. Graft tulang disterilkan dengan menggunakan EOG sterilizer.

  • Peningkatan Jumlah Pembuluh Darah

    [16]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    3. Pencabutan Gigi pada Guinea Pig Prosedur awal adalah pemberian anestesi

    intramuskular dengan ketamin hidroklorida (Ketamil, 8mg/100g berat badan). Gigi diluksasi terlebih dahulu dan kemudian dilakukan pencabutan. Pasca pencabutan, soket gigi diirigasi dengan larutan NaCl fisiologis. Perdarahan dihentikan dengan penekanan kasa steril.

    4. Aplikasi Graft CHA dan Hidrogel-CHA

    Dalam keadaan guinea pig masih teranestesi, graft tulang (CHA dan hidrogel-CHA) yang telah disterilkan diaplikasikan pada defek tulang alveolar (soket gigi) menggunakan ekskavator. Soket gigi kemudian dijahit dan dioleskan antiseptik dengan menggunakan kasa steril.

    5. Pembuatan Preparat Histologis Subjek dianastesi terlebih dahulu sebelum

    dilakukan pengorbanan. Pengorbanan dilakukan dengan cara memotong leher guinea pig kemudian jaringan tulang alveolar dari soket gigi yang telah diisi graft tulang diambil dan dibersihkan dengan larutan fisiologis untuk kemudian diproses secara histologis.

    6. Penghitungan Jumlah Pembuluh Darah

    Parameter yang dipakai adalah jumlah pembuluh darah yang diamati dan dihitung dengan menggunakan mikroskop trinokular dengan perbesaran 400x pada 6 lapang pandang oleh 2 orang pengamat.

    7. Analisis DataData hasil pengamatan jumlah pembuluh

    darah yang diperoleh pada penelitian ini adalah data kuantitatif berskala rasio. Analisis data yang digunakan adalah analisis parametrik dengan uji two-way ANOVA (ANAVA dua jalur) dan dilanjutkan dengan dengan uji Post Hoc menggunakan metode LSD (Least Significant Difference).

    Hasil PenelitianHasil pengamatan jumlah pembuluh darah dengan aplikasi graft CHA dan hidrogel-CHA pasca pencabutan gigi pada masing-masing kelompok hari secara kuantitatif disajikan dalam Gambar 1.

    Gambar 1. Rerata pembuluh darah pasca aplikasi graft CHA dan hidrogel-CHA.

    Gambar 1 menunjukkan rerata jumlah pembuluh darah dengan aplikasi graft CHA dan hidrogel-CHA pasca pencabutan gigi. Rerata jumlah pembuluh darah semakin meningkat pada kelompok perlakuan dengan pemberian graft hidrogel-CHA dari hari ke-3, 5, sampai 7, kemudian menurun jumlahnya pada hari ke-14, 28, dan 56. Fenomena serupa juga ditemukan pada kelompok perlakuan yang diberi graft CHA.

    Untuk menelusuri lebih lanjut fenomena yang ditemukan, maka dilakukan uji statistik. Sebelum analisis dilakukan, homogenitas dan distribusi data dikaji terlebih dahulu dengan Levenes test dan didapatkan nilai p=0,010 (p>0,05), yang berarti data tidak homogen. Namun, pada keterangan disebutkan bahwa variansi jumlah pembuluh darah pada masing-masing kelompok sama, sehingga disimpulkan bahwa data tersebut homogen. Uji normalitas dilakukan untuk melihat distribusi data hasil pengamatan pembuluh darah. Pada penelitian ini, uji normalitas yang digunakan adalah Shapiro-Wilk karena jumlah sampel kurang dari 50. Hasil uji normalitas yang dilakukan terhadap data dari seluruh graft menunjukkan nilai p>0,05. Hal ini menjelaskan bahwa data yang diperoleh dalam penelitian telah terdistribusi secara normal.

    Pengaruh aplikasi graft terhadap jumlah pembuluh darah pada kelompok perlakuan dan kelompok hari yang berbeda selanjutnya dianalisis dengan menggunakan uji analisis variansi dua arah (two way ANOVA). Hasil analisis uji two way ANOVA disajikan pada Tabel 3.

    Tabel 3. Hasil uji two way ANOVAKeterangan: *(p0,05, artinya semakin lama perlakuan diaplikasikan tidak mempengaruhi jumlah pembuluh darah secara nyata. Selanjutnya, analisis dilakukan menggunakan analisis post hoc LSD (Least Significant Difference) untuk mengetahui signifikansi jumlah pembuluh darah antarhari perlakuan. Dari hasil uji LSD diperoleh kesimpulan bahwa perbedaan bermakna jumlah pembuluh darah (p

  • [17]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesiapasca aplikasi graft CHA maupun hidrogel-CHA. Sementara itu, kelompok hari perlakuan lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna.

    PembahasanGraft tulang merupakan alternatif yang ideal untuk mempercepat proses pembentukan tulang pasca pencabutan gigi, terutama jika akan dilakukan perawatan lanjutan pasca ekstraksi tersebut. Material graft harus bersifat biokompatibel, menghambat resorbsi tulang, dan menstimulasi osteogenesis9. Graft tulang dapat berperan sebagai membran barier untuk melindungi soket gigi dari invasi bakteri. Adanya membran barier dapat meningkatkan kualitas pembentukan tulang pada soket yang sangat baik untuk penempatan implan gigi yang akan datang10. Selain itu, porus pada graft memudahkan pembuluh darah dapat masuk ke area graft tersebut dan merangsang diferensiasi osteoblas. Graft tulang akan menstimulasi osteoblas untuk menghasilkan osteoid dan mendeposisi mineral dalam osteoid untuk membentuk tulang baru. Graft tulang akan mempercepat proses pembentukan tulang baru yang akan melapisi jaringan nekrosis sisa pencabutan gigi sehingga proses resorpsi dapat terhambat9.

    Uji two way ANOVA yang dilanjutkan dengan post hoc LSD terhadap jumlah pembuluh darah antarhari perlakuan CHA maupun hidrogel-CHA secara umum menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna kecuali pada hari ke-7 dengan hari ke-14. Pada hari awal perlakuan, terdapat peningkatan jumlah pembuluh darah dan kemudian mencapai puncaknya pada hari ke-7. Jumlah pembuluh darah akan meningkat dan mencapai puncaknya pada hari ke-7 sampai ke-10 setelah terjadi luka11. Sejumlah VEGF akan terekspresi sangat tinggi pada angioblas, osteoprogenitor, dan osteoblas pada defek tulang selama 7 hari pertama proses penyembuhan dan akan menurun setelah 11 hari [2]. Setelah mencapai puncak pada hari ke-7, terjadi penurunan jumlah pembuluh darah yang signifikan pada hari ke-14. Penurunan jumlah pembuluh darah ini terus berlanjut pada hari ke-28 sampai hari ke-56. Jika telah mencapai keadaan normal maka sinyal faktor pertumbuhan dan faktor pro-angiogenik lain akan berkurang, inflamasi terhenti, dan matriks jaringan telah stabil. Hal ini menandakan berakhirnya proses angiogenesis12. Pembuluh darah yang tidak dibutuhkan akan mengalami mekanisme destabilisasi dan regresi vaskular yang diinduksi oleh pelepasan Angiopoietin-2 dan didukung dengan ekspresi VEGF yang semakin berkurang setelah mencapai puncaknya13.

    Secara umum terjadi peningkatan jumlah pembuluh darah mulai hari ke-3 sampai hari ke-7 dan kemudian menurun pada hari ke-14 sampai hari ke-56 pasca aplikasi graft, baik kelompok CHA maupun hidrogel-CHA. Pada Tabel 2 dapat dilihat rata-rata pembuluh darah pada kelompok hidrogel-

    CHA lebih tinggi daripada kelompok CHA, namun hasil analisis statistik two way ANOVA menunjukkan perbedaan pada kedua kelompok perlakuan ini tidak bermakna. Hal ini berarti kedua material pengganti tulang yang digunakan mempunyai kemampuan yang hampir sama terhadap proses perbaikan jaringan. Karbonat apatit (CHA) mengandung ion karbonat yang meningkatkan disolusi dan sifat resorbsi oleh osteoklas5,6. Porus pada kristal apatit menyediakan ikatan mekanis dengan adanya pembentukan tulang baru sehingga akan terjadi ikatan yang kuat pada implan14.

    Hidrogel-CHA merupakan perancah (scaffold) yang didesain sedemikian rupa sehingga memiliki struktur dan komposisi yang mirip matriks ekstraseluler pada tulang8. Penambahan hidrogel pada graft CHA dapat meningkatkan respon penyembuhan jaringan dan mengoptimalkan fungsi CHA sebagai graft tulang. Kombinasi material CHA dan hidrogel akan menciptakan kondisi yang tepat untuk mendorong diferensiasi sel15. Hidrogel mempunyai banyak fungsi dalam rekayasa jaringan. Hidrogel diaplikasikan sebagai space filling agents, pengantar molekul bioaktif, dan struktur tiga dimensi yang mengatur sel dan stimulus. Perancah hidrogel dapat mendukung proses angiogenesis dengan menyediakan tempat bagi sel termasuk sel endotel pembuluh darah untuk beradhesi, proliferasi, dan diferensiasi. Selain itu, hidrogel juga menyediakan sinyal kimia melalui faktor pertumbuhan16.

    Hidrogel-CHA dikembangkan dengan menggunakan material organik yaitu gelatin yang tersusun atas kolagen [2]. Gelatin memiliki keuntungan yang unik yaitu electrical nature. Gelatin yang diproses dengan metode alkali akan mengalami hidrolisis grup amida yang meningkatkan densitas gugus karboksil sehingga membuat ion gelatin bermuatan negatif, sementara gelatin yang diproses dengan metode asam membuat ion gelatin bermuatan positif. Sifat gelatin tersebut akan menghasilkan ikatan elektrostatik dengan faktor pertumbuhan17.

    Jalinan pembuluh darah aktif merupakan syarat dasar yang harus dipenuhi agar perancah dapat bertahan dan berintegrasi dengan jaringan sehat penerima2. Sistem perancah tidak boleh hanya mendukung pertumbuhan sel pembentuk organ, tetapi juga harus mendukung pertumbuhan sel endotel dan perkembangan vaskularisasi fungsional yang efektif18. Ukuran porus pada perancah sangat penting karena menentukan adhesi dan migrasi sel, sifat mekanis perancah, dan keberhasilan pembentukan tulang baru8. Desain perancah dalam penelitian ini berupa graft hidrogel-CHA terbukti dapat meningkatkan pembentukan pembuluh darah dan menyediakan suplai vaskuler yang ideal untuk pembentukan tulang baru.

    Kesimpulan

  • Peningkatan Jumlah Pembuluh Darah

    [18]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa aplikasi graft hidrogel-CHA berpengaruh terhadap jumlah pembuluh darah pada soket pasca pencabutan gigi. Jumlah pembuluh darah mengalami peningkatan mulai hari ke-3 sampai hari ke-7 pasca aplikasi graft dan kemudian menurun secara signifikan.

    Daftar Rujukan1. Naldini, A., Carraro, F., Role of Inflammatory mediators in angiogenesis. Inflammation &

    Allergy. 2005;4:3-83.2. Kanczler, J.M., Oreffo, R.O.C. Osteogenesis and angiogenesis: the potential for engineering

    bone. European Cells and Materials.. 2008; 15:100-114.3. Reynolds, M.A., Aichelmann-Reidy, M.E., Branch-Mays, G.L., Regeneration of periodontal

    tissue: bone replacement graft, Dent Clin N Am., 2010;54:55-71. 4. Narang, S., Chava, V., Biomaterials used as bone graft substitutes. Annal Dent Univ Malaya..

    2000;7:36-52. 5. Hasegawa, M., Doi, Y., Uchida, A. Cell-mediated bioresorption of sintered carbonate apatite

    in rabbits. J Bone Joint Surg. 2003; 85-B:42-147.6. Morgan, E.F., Yetkinler, D.N., Constantz, B.R., Dauskardt, R.H. Mechanical properties of

    carbonated apatite bone mineral substitute: strength, fracture, and fatigue behaviour. Journal of Materials Science: Materials in Medicine. 1997; 8:559-570.

    7. Song, J., Saiz, E., Bertozzi, C.R. A new approach to mineralization of biocompatible hydrogel scaffolds: an efficient process toward 3-dimensional bonelike composites. J Am Chem Soc. 2002;125:1236-1243.

    8. Wahl, D.A., Czernuskza, J.T. Collagen-hydroxyapatite composites for hard tissue repair. European Cells and Materials. 2006;11:43-56.

    9. Steiner, G.G., Francis, W., Burrell, R., Kallet, M.P., Steiner, D.M., Macias, R. The healing socket and socket regeneration, Compend Contin Educ Dent., 2008;29(2):114-116.

    10. Irinakis, T. Rationale for socket preservation after extraction of a single-rooted tooth when planning for future implant placement. J Can Dent Assoc., 2006;72(10):91722.

    11. DiPietro, L.A., Nissen, N.N. Angiogenic Mediators in Wound Healing, in Maragoudakis, M.E. (ed.): Angiogenesis: Models, Modulators, and Clinical Applications. Plenum Press: New York; 1998.p.124.

    12. Li, W.W., Tsakayannis, D., Li, V.W. Angiogenesis: A control Point for Normal and Delayed Wound Healing, in Li, W.W., Li, V.W.: Angiogenesis in Wound Healing, Dowden Health Media: Cambridge; 2003.p.5,8.

    13. Madeddu, P. Therapeutic angiogenesis and vasculogenesis for tissue regeneration. Exp Physiol. 2005;90: 315-326.

    14. Park, J.C., Han, D.W., Suh, H. A bone replaceable of synthetic polymer scaffolds: a bottom-up approach for the development of artificial bone, Journal of American Chemical Society. 2000;127:3366-3372.

    15. Phadke, A., Zhang, C., Hwang, Y., Vecchio, K., Varghese, S., Templated mineralization of synthetic hydrogels for bone-like composite materials: role of matrix hydrophobicity, Biomacromolecules. 2010;11:2060-2068.

    16. Drury, J.L., Mooney, D.J. Hydrogels for tissue engineering: scaffold design variables and applications. Biomaterials. 2003;24:4337-4351.

    17. Matsui, M., Tabata, Y. Enhanced angiogenesis by multiple release of platelet-rich plasma contents and basic fibroblast growth factor from gelatin hydrogels. Acta Biomateriali. 2012;1-10.

    18. Cenni, E. Angiogenesis and bone regeneration (Abstr.). Journal of Bone and Joint Surgery. 2005;87-B(1):8.

  • Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia

    [19]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    Case Report

    Penetapan Gigit Gigi Tiruan Lengkap dengan Menggunakan Centric Tray

    Sista Prasetyo1

    AbstractFull denture useful for edentulous patient to improve chewing function, speech and cosmetics,

    even for oral tissue health. Good quality denture should be able to replace the lost tooth tissue and maintain healthy tissues in the mouth and cause a sense of comfort to wear. In order for these objectives to be achieved it is necessary to note a few things like high bite, tooth color, tooth shape, tooth size, and arrangement of teeth. Determination bite is one of the procedures that are vital in the process of making complete dentures. Many denture that failed and not comfortable to wear due to the determination of bite patients are less careful. One method is to use a fixing nip centric tray. Centric tray is a tool which used to recording initial vertical dimension of full denture by using the BPS system (biofunctional Prosthetic System).Keywords: full denture, Determination bite, centric tray.

    AbstrakGigi tiruan lengkap berguna bagi penderita lanjut usia yang kehilangan banyak gigi atau seluruhnya

    untuk memperbaiki fungsi kunyah, bicara dan kosmetika, bahkan kesehatan jaringan mulut. Kualitas gigi tiruan yang baik harus dapat menggantikan jaringan gigi yang hilang dan menjaga kesehatan jaringan dalam mulut dan menimbulkan rasa nyaman bagi pemakainya. Agar tujuan tersebut dapat tercapai maka perlu diperhatikan beberapa hal seperti tinggi gigit, warna gigi, bentuk gigi, ukuran gigi, dan susunan gigi. Penetapan gigit merupakan salah satu prosedur yang sangat vital dalam proses pembuatan gigi tiruan lengkap. Banyak gigi tiruan yang gagal dan tidak nyaman dipakai pasien karena penetapan gigit yang kurang cermat. Salah satu metode penetapan gigit adalah dengan menggunakan centric tray. Centric tray merupakan alat yang digunakan untuk menentukan tinggi gigit pada pembuatan gigi tiruan lengkap dengan menggunakan system BPS (Biofunctional Prosthetic System).Kata kunci: Gigi tiruan lengkap, penetapan gigit, centric tray.

    1Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga SurabayaCorrespondence:Universitas AirlanggaKampus A Jl. Mayjen.Prof. Dr. Moestopo 47Surabaya

    PendahuluanKerusakan atau kehilangan beberapa gigi atau seluruhnya akan berpengaruh terhadap kesehatan seluruh tubuh.1 Hal ini disebabkan karena kesehatan rongga mulut merupakan bagian dari kesehatan tubuh secara keseluruhan, yang dalam proses pencernaan dibantu oleh keadaan gigi dan rongga mulut yang sehat. 2 Penderita lanjut usia yang kehilangan banyak gigi atau seluruhnya akan berpengaruh terhadap fungsi kunyah, bicara, kosmetika, bahkan kesehatan jaringan mulut. Oleh karena itu, untuk mengembalikan fungsi tersebut sebaiknya memakai gigi tiruan lengkap.3

    Kualitas gigi tiruan yang baik harus dapat menggantikan jaringan gigi yang hilang dalam bentuk dan ketebalan yang kira-kira sama dengan

    jaringan yang digantikannya.4 Gigi tiruan yang baik akan menjaga kesehatan jaringan dalam mulut dan menimbulkan rasa nyaman bagi pemakainya.5 Menurut Watt dan Mac Gregor (1986) diperlukan

    beberapa faktor agar gigi tiruan lengkap dapat berfungsi secara efisien. Meliputi keadaan jaringan

    pendukung, retensi gigi tiruan, keseimbangan antara otot pembuka dan penutup mulut terhadap gigi tiruan serta keseimbangan oklusi. Agar tujuan tersebut dapat tercapai maka perlu diperhatikan beberapa hal seperti tinggi gigit, warna gigi, bentuk gigi, ukuran gigi, dan susunan gigi.6

  • Penetapan Gigit Gigi Tiruan Lengkap

    [20]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    Penetapan gigit merupakan salah satu prosedur yang sangat vital dalam proses pembuatan gigi tiruan lengkap. Prosedur penetapan gigit ini dilakukan untuk mendapatkan posisi paling ideal dari hubungan rahang atas dan bawah.6 Penetapan gigit meliputi penentuan relasi vertikal dan horizontal. Penetapan gigit yang baik dan cermat akan mempengaruhi kualitas gigi tiruan. Masalah yang sering dijumpai pada penderita yang memakai gigi tiruan lengkap adalah gigi tiruan yang tidak stabil dan retentif. Banyak gigi tiruan yang gagal dan tidak nyaman dipakai pasien karena penetapan gigit yang kurang cermat.7

    Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan penetapan gigit yang baik, salah satunya adalah menggunakan centric tray. Centric tray merupakan alat yang digunakan untuk menentukan tinggi gigit pada pembuatan gigi tiruan lengkap dengan menggunakan system BPS

    (Biofunctional Prosthetic System). Centric tray ini digunakan untuk menentukan dengan tepat posisi oklusi ideal dari pasien. Alat ini memiliki kelebihan antara lain, penentuan tinggi gigit yang lebih cepat, akurat dan mekanisme kerja yang lebih sederhana.

    MetodePasien wanita usia 82 tahun dan tidak bekerja datang atas kemauan sendiri dengan ingin dibuatkan gigi tiruan lengkap rahang atas dan bawah karena susah mengunyah makanan. Pasien ingin dibuatkan gigi tiruan karena gigi tiruan sebelumnya rusak dan patah sejak 6 bulan yang lalu. Pencabutan terakhir dilakukan sekitar 25 tahun yang lalu karena karies pada regio kanan atas. gigi tiruan sebelumnya telah dipakai kurang lebih selama 25 tahun. Saat ini gigi

    tersebut tidak nyaman lagi saat dipakai.Pemeriksaan intra oral didapatkan gigi hilang

    pada rahang atas dan bawah, jaringan lunak tidak ada kelainan. Kondisi vestibulum pada rahang atas dan bawah dalam. Bentuk ridge ovoid dan bentuk palatum square. Torus palatinus dan torus mandibularis flat, serta tidak ada exostosis. Frenulum

    labialis, bukalis dan lingualis tinggi. Relasi ridge >80o. Retromylohyoid kanan dan kiri dalam. Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan radiografi.

    Diagnosis dari kasus ini adalah edentulous ridge rahang atas dan bawah.

    Rancangan gigi tiruan rahang atas dan bawah menggunakan basis dan anasir gigi akrilik dengan perluasan basis pada rahang bawah sampai area retromolar pad dan rahang atas sampai daerah tuber maksila. Tidak dilakukan perawatan pendahuluan karena kondisi ridge masih dalam keadaan baik.

    Gambar 1. Profil Wajah Pasien

    Gambar 2. Pengukuran Rest Position

    Gambar 3. Centric Tray

  • Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia

    [21]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013

    Gambar 4. Posisi Centric Tray di Dalam Mulut Penderita

    Gambar 5. Hasil Cetakan Alginat pada Centric Tray

    Gambar 6. Pemasangan Hasil Cetakan dalamModel Kerja

    Gambar 7. Hasil Penanaman Model Kerja dalam Artikulator

    Gambar 8. Model Kerja dalam Artikulator

    Gambar 9. Pembuatan Lempeng dari Self Cured Acrylic

  • Penetapan Gigit Gigi Tiruan Lengkap

    [22]BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Ju