kaum puritan amerika: imigran puritan inggris dan pembentuk masyarakat kolonial abad ke-17
DESCRIPTION
Pada masa awal pembentukan masyarakat koloni, Amerika berdiri di atas sendi-sendi kehidupan sosial yang sangat religius. Imigran Eropa yang datang ke dunia baru tersebut antara lain adalah kaum Puritan Inggris. Didorong motif keagamaan, setelah Reformasi Gereja dan dinamika pertentangan agama kaum Puritan tersebut menyeberangi Samudra Atlantik untuk membangun kehidupan baru seperti yang diharapkannya.TRANSCRIPT
Kaum Puritan Amerika:Imigran Puritan Inggris & Pembentuk Masyarakat Koloni Abad Ke-17
Sejarah Masyarakat & Budaya Amerika
Esti Indah Puji Lestari/1306454662
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kaum Puritan seringkali disebut sebagai peletak dasar nilai-nilai dasar yang
membentuk masyarakat Amerika secara umum. Tradisi dan karakter Amerika dianggap
sebagai warisan langsung dari orang-orang Puritan Inggris yang bermigrasi ke pantai timur
Amerika pada abad ke-17. Kebanggaan sebagai orang terpilih yang mengemban tugas
khusus dalam memengaruhi sejarah perjalanan umat manusia di dunia, membuat bangsa
Amerika merasa seolah menjadi mercusuar dan tolok ukur bagi kelompok lain.
Keyakinan-keyakinan itu pada abad ke-17 dibawa kaum Puritan dari Inggris yang
bertekad membangun masyarakat teladan dan dapat dijadikan percontohan di dunia. Status
keanggotaan masyarakat yang diterapkan oleh pejabat hukum—contoh di koloni
Massachusetts—sangat ketat dikaitkan dengan latar belakang keagamaan dan standar moral
serta kesalehan yang baik. Migrasi kaum Puritan pun dikaitkan dengan konsep perjanjian
dengan Tuhan yang termaktub pada Alkitab Perjanjian Lama yang meyakini bahwa
kemajuan suatu wilayah tergantung pada hubungan baik dengan Tuhan. Untuk menjaga
kesalehan dan ketaatan hubungan dengan Tuhan maka para penghuni wilayah haruslah
seorang yang bermoral dan taat beragama.
Latar belakang historis ini kemudian turut mencampuri pandangan amerikanisme
yang mencetak persepsi bahwa Amerika Serikat sangat Protestan dan dibangun atas dasar
keanggotaan masyarakat yang ekslusif menurut pertimbangan agamanya. Selain itu,
arogansi yang muncul sebagai sebuah bangsa besar juga tak luput dari keyakinan kelompok
bahwa nenek moyang kaum Puritan dari Inggris adalah orang-orang terpilih bermoral yang
dihadirkan untuk mencetak perubahan. Dengan keyakinan moral tinggi yang dilanggengkan
sistem religinya, imigran-imigran awal abad ke-17 yang membentuk masyarakat koloni
merasa berhak untuk merampas tanah dari orang-orang Indian dan memberadabkan
penduduk asli Amerika itu. Atas dasar moral dan kesalehan pula koloni Massachusetts
pernah mengusir imigran Protestan dari Inggris yang dinilai tidak sesuai dengan standar
mereka. Akan tetapi seiring dengan perkembangan Boston menjadi kota dagang dan bandar
pelabuhan besar, kebutuhan terhadap pemukim baru semakin meningkat karena dikaitkan
2
dengan pertimbangan ekonomi. Penjagaan yang ketat terhadap aspek agama menjadi
terkalahkan oleh kepentingan untuk meningkatkan roda perekonomian melalui penerimaan
imigran-imigran baru.
Migrasi kaum Puritan dari Inggris yang menjadi cikal bakal kaum Puritan dalam
masyarakat koloni Amerika, disebabkan oleh berbagai dinamika agama dan politik yang
terjadi baik di Inggris maupun di Eropa. Reformasi Lutheran, Calvinis, dan Anglikan turut
memengaruhi terbentuknya kaum Puritan awal. Suksesi kepemimpinan politik di Inggris
juga berdampak besar pada migrasi kaum Puritan ke tanah koloni di Amerika. Tanpa
menjelaskan perjalanan Reformasi Gereja dan pergantian tahta kepemimpinan di Inggris,
perunutan akar kaum Puritan tentu tidak tersaji secara gamblang guna membentuk
pemahaman yang komprehensif.
Sebelum kedatangan kaum Puritan, orang-orang Inggris di pantai timur Amerika yang
mulai membangun permukiman di Jamestown pada 1607 telah mendapat pengaruh Katolik
yang kuat dalam masyarakat koloni. Ketika kaum Puritan Inggris tiba di Amerika,
setidaknya sudah terletak dasar-dasar pengaruh Katolik di tanah koloni. Keberadaan
pengaruh Katolik di Amerika juga berawal dari pertentangan masa Reformasi Gereja di
Eropa yang membuat orang-orang Katolik membuat strategi misionaris untuk meluaskan
ajarannya. Sehingga sebelum kedatangan kaum Puritan, masyarakat koloni di pantai timur
Amerika telah diwarnai terlebih dahulu oleh dasar-dasar Katolik.
Tatanan masyarakat koloni Massachusetts yang berdiri di atas dasar kaum Puritan
tidak selamanya kokoh tanpa perlawanan dari dalam. Tokoh seperti Roger Williams dan
kelompok Puritan Ortodoks lainnya justru berbalik melawan beberapa hal yang tidak sesuai
seperti perampasan tanah dan penyatuan otoritas negara dengan geraja. Para penentang itu
meninggalkan Massachusetts dan mencari daerah lain untuk membangun koloni baru yang
sesuai dengan harapannya. Dari situlah akar kaum Puritan menyebar membentuk tatanan
sosial masyarakat yang di kemudian hari disebut sebagai Amerika Serikat.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang melatarbelakangi migrasi kaum Puritan dari Inggris ke Amerika pada abad
ke-17?
1.2.2 Bagaimana peran kaum puritan dalam membentuk masyarakat koloni Amerika?
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Reformasi Gereja dan Terbentuknya Kaum Puritan di Inggris
Pada 1517 seorang biarawan dari Wittenburg yang juga bergabung dalam Serikat
Agustinus, Martin Luther, melancarkan puncak protesnya pada gereja istana di Wittenburg,
Jerman. Luther mengecam keras praktik penjualan indulgensi1 yang dianggap sebuah
penyelewengan otoritas gereja. Ketika itu gereja katolik di Jerman sedang mengumpulkan
dana untuk pembangunan Basilika Santo Petrus di Roma dengan menjual indulgensi kepada
jemaat. Martin Luther menempelkan 95 “tesis” di pintu gereja kota Wittenburg.2 Pada
dasarnya ia memprotes doktrin dan praktik gereja yang kebanyakan tidak berdasarkan ajaran
murni Katolik. Protes dan perlawanan yang disampaikan Luther kemudian menandai yang
hingga masa setelahnya disebut sebagai Reformasi Gereja. Kelompok yang memprotes
kesewenang-wenangan otoritas gereja dan menuntut untuk kembali pada ajaran murni yang
tunggal (Al-Kitab) kemudian disebut kelompok protestan.3
Reformasi Gereja yang dipelopori Luther menyebar luas dari Jerman ke wilayah-
wilayah di Eropa. Pada perkembangan selanjutnya, protes yang sama dilancarkan oleh John
Calvin (Jean Cauvin, nama latin) dan Ulrich Zwingli di Swiss. Calvin resmi memutuskan
hubungan dengan keuskupan gereja Katolik pada 1533 dan mengembalikan pusat ajaran
kepada Alkitab yang dianggap sebagai sumber utama ajaran Kristen.
Prinsip Luther dan Calvin yang berupaya mengembalikan ajaran Kristen kepada
Alkitab bertentangan dengan tradisi dan otoritas gereja Katolik. Ajaran Katolik
mempercayai bahwa gereja yang berdiri di bumi adalah suatu otoritas lembaga agama yang
disahkan Tuhan. Dengan demikian gereja di bumi yang diperintah Paus bertindak sebagai
penafsir ajaran dan wahyu Tuhan. Reformasi Gereja menilai penafsiran gereja sebagai
lembaga keagamaan telah melampaui Alkitab sebagai sumber ajaran utama, sehingga perlu
1 Indulgensi: semacam surat pengampunan dosa atau jaminan gereja kepada seseorang bahwa ia bisa langsung masuk surga apabila menyumbangkan hartanya kepada gereja.2 Michael Keene, Kristianitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2006.3 Kelompok yang menghendaki Reformasi Gereja melakukan perlawanan pada 1559 dan sejak itu kelompok tersebut dinamai kelompok protestan.
4
adanya suatu reformasi yang bertujuan mengembalikan pokok ajaran langsung kepada
Tuhan dan bukan kepada manusia yang menafsirkan wahyu Tuhan.4
Meski bertentangan dengan otoritas geraja Katolik, gereja Lutheran yang menganut
ajaran reformasi Martin Luther berkembang luas di Jerman, Baltik, dan Skandinavia. Gereja
Calvinis yang berakar di Jenewa (Swiss) pun mulai menyebarkan pengaruhnya ke negara-
negara Eropa di sekitarnya seperti Prancis dan Belanda. Masih pada abad yang sama, di
Inggris lahir aliran gereja baru yang disebut gereja Anglikan. Kemunculan gereja Anglikan
akan berkaitan dengan cikal-bakal terbentuknya kaum puritan di Inggris.
Ketika Luther mencetuskan gerakan Reformasi Gereja di Jerman, Inggris masih
menjadi penganut Katolik dan bertalian erat dengan keuskupan Roma. Kemudian tahun
1534 Raja Henry VIII yang memerintah Inggris memutuskan untuk mengangkat dirinya
menjadi pemimpin tertinggi gereja di Inggris dan memutuskan garis hubungan dengan
kepemimpinan Paus di Roma. Konflik Raja Henry VIII dengan Paus dimulai ketika gereja
Katolik menolak untuk mengeluarkan surat cerai untuk raja yang ingin menikah lagi. Aliran
gereja baru yang dipimpin Henry VIII disebut dengan gereja Anglikan dan juga meluaskan
pengaruhnya ke negara-negara lain.5 Reformasi di Inggris tidak lantas menutup
kemungkinan konflik keagamaan pada masa setelahnya. Justru sepeninggal Raja Henry
VIII, pertentangan antara Katolik dan Anglikan masih berlanjut.
Katarina dari Aragon (1485-1536) istri pertama Henry adalah warga negara Spanyol
dan beragama Katolik. Ketika putri mereka Marry (1516-1558) menjadi ratu Inggris dalam
tahun 1553, ia memulihkan Katolisisme, menghukum mati banyak pemimpin Protestan.6
Pengikut gereja Anglikan dan gereja berada pada posisi terpojok pada masa pemerintahan
Ratu Marry (Ratu Marry I). Latar belakang kekuasaan politis yang lebih berpihak pada
Katolik Roma memaksa mereka untuk meninggalkan Inggris.
Elizabeth atau Ratu Elizabeth I, anak Raja Henry VIII dengan Anne Boleyn istri
keduanya, memerintah Inggris sepeninggal Ratu Marry tahun 1558. Jika Ratu Marry
berupaya mengembalikan dominasi Katolik maka Ratu Elizabeth I lebih memilih berpihak
4 Alkitab dianggap sebagai pewahyuan langsung yang murni dari Tuhan.5 Meskipun gereja Anglikan adalah bagian dari gereja reformasi, namun dalam praktiknya gereja tersebut masih menekankan pada perayaan sakramen daripada ajaran yang bersumber dari Alkitab. Gereja Anglikan juga masih menempatkan altar sebagai pusat ibadah di dalam gereja. Selengkapnya dalam Michael Keene, Kristianitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2006.6 George M. Marsden, Agama dan Budaya Amerika, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hlm. 21.
5
pada kelompok protestan. Ia mengesahkan Undang-Undang Supremasi dan Persamaan
tahun 1559 yang memutuskan Anglikan sebagai aliran dan agama Kristen yang resmi di
Inggris.
Elizabeth menyusun suatu kompomi bagi gereja Inggris, dengan mempertahankan
bentuk pemerintahan episkopal (kepemimpinan para uskup) dan sebagian besar upacara
Katolik tradisional, tetapi melembagakan doktrin Prostestan.7 Beberapa praktik keagamaan
yang masih kental tradisi Katolik antara lain keberadaan jabatan keuskupan dan penggunaan
busana khas gereja.
Meskipun telah membuat penetapan besar terkait status gereja Anglikan sebagai
pusat ajaran resmi di Inggris, keputusan tersebut tidak cukup memuaskan kaum puritan dan
penganut protestan yang telah kembali dari pelarian di Jenewa—pusat gereja Calvinis—
selama kepemimpinan Ratu Marry. Mereka mengharapkan pemurnian Kristen yang lebih
drastis dari sekedar penetapan status agama resmi. Thomas Cartwright (1535-1603) adalah
salah satu pemimpin kaum puritan Inggris yang menentang gereja resmi negara (Anglikan)
karena masih memuat unsur tradisional Katolik. Tokoh lainnya adalah Robert Browne yang
menentang gereja Anglikan karena kekuasaan sipil dianggap terlalu berkaitan erat dengan
gereja yang seharusnya independen tanpa campur tangan pemerintah. Ketika tidak dipimpin
lagi oleh Browne, gereja demokratik yang digagasnya berubah menjadi gereja presbiterian.8
Golongan Kalvinis di dalam gereja Inggris, yang menginginkan untuk melakukan
pemurnian lebih lanjut, menjadi terkenal sebagai kaum puritan.9 Kaum puritan tersebut yang
pada perkembangan selanjutnya menjadi cikal-bakal terbentuknya kelompok yang sama di
permukiman-permukiman awal di pantai timur Amerika. Lengsernya Ratu Elizabeth I
(1558-1603) yang digantikan oleh Raja James I tak luput dari pertentangan agama yang
kemudian memaksa sejumlah kaum puritan untuk meninggalkan Inggris.10
2.2 Migrasi Kaum Puritan Ke Amerika
7 Ibid, hlm. 21.8 Presbiterian memiliki akar yang sama dengan Calvinisme (digagas oleh John Knox, salah satu murid terkenal Calvin) hanya saja kelembagaannya tumbuh di Skotlandia Salah satu ciri ajarannya adalah predestinasi ganda (penetapan umat yang akan diselamatkan dan yang akan dihukum Tuhan).9 Ibid, hlm.22.10 Raja James I di Inggris adalah Raja James VI dari Skotlandia.
6
Sebelum menjadi raja Inggris, James I adalah Raja James VI dari Skotlandia yang
berasal dari keluarga Stuart. Ketika memerintah Inggris, ia menolak keinginan reformasi
total dari kaum puritan. Selain itu, Raja James I tidak dapat menerima golongan presbitarian
yang Calvinis.
Keluarga Stuart dari pihak Raja James di Skotland telah dipaksa, secara
tidak rela, untuk menerima suatu gereja Presbiterian yang Kalvinis, James dan para
penggantinya dari keluarga Stuart, yang memerintah Inggris selama sebagian besar
tahun 1600-an, tentu sangat membenci kaum Puritan Inggris.11
Setelah kematian Eizabeth I, kaum puritan marah terhadap sikap James I
(1603-25) berupa intervensi pemerintah terhadap ibadah dan kebebasan Klerus
mereka.12
Bagi James, kekuasaan mutlak ada di tangan raja – ia percaya bahwa ia
mempunyai “hak ilahi” untuk memerintah, sementara hierarki Anglikan dan gelar
penguasa, yaitu Pembela Iman sangat menarik baginya. Ia meremehkan ajaran
Presbiterian yang mengajarkan kebebasan yang tidak sepaham dengan hak ilahi
seorang raja.13
Reformasi menyeluruh yang dicetuskan kaum puritan Inggris dianggap
menentang ketentuan pemerintah yang telah menetap Anglikan sebagai ajaran resmi
negara. Gagasan reformis mereka dianggap memecah belah rakyat dan berpotensi
untuk merongrong wibawa raja. Mulanya rakyat Inggris terutama kaum Puritan dan
kelompok Separatis senang karena Raja James I tumbuh di lingkungan Presbeterian
di Skotlandia sehingga ada kemungkinan akan mendukung kelompok mereka.
Sedangkan orang Katolik juga tak kalah senang dengan latar belakang ibu Raja
James I yang seorang Katolik. Tetapi pada faktanya James I adalah seorang
Anglikan.
“Jika tidak ada uskup, tidak ada raja,” deikian seru James I, memberitahukan
kepada kaum Puritan bahwa mereka memiliki seorang raja, dengan sendirinya
mereka juga mempunyai uskup gereja. Namun ia masih belum berhadapan dengan
iman fanatic yang melekat pada para “pemurni” (purifiers) gereja tersebut. Di
antara mereka ada yang masih ingin bertahan dalam gereja, tetapi mereka tidak
11 George M. Marsden, Agama dan Budaya Amerika, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2006, hlm. 24.12 Michael Collins dan Matthew A. Price, The Story of Christianity: Menlusuri Jejak Kristianitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2006, hlm. 143.13 A Kenneth Curtis, dkk, 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen, Gunung Mulia, Jakarta, 2007, hlm. 91.
7
merasakan bahwa reformasi akan berhasil di bawah raja yang bersikap bermusuhan
ini.14
Sekelompok jemaat Separatis radikal yang merupakan sekumpulan orang-orang desa
sederhana meninggalkan Inggris menuju Leiden, Belanda tempat yang akan membebaskan
mereka untuk beribadah sesuai dengan cara mereka. Beberapa kelompok Separatis tersebut
yang disebut kaum peziarah atau pilgrims meninggalkan Belanda menuju pantai timur
Amerika dan pada 1620 mereka mendirikan koloni Plymouth.
John Smith, lulusan Universitas Cambridge, adalah seorang pengkhotbah
dan dosen di lingkungan Gereja Anglikan[. . .] Sekitar tahun 1606, ia memberanikan
diri mendirikan Gereja Separatis di Gainsborough, Lincolnshire. [. . . ] Banyak
kelompok Separatis lainnya yang bermunculan di daerah itu, termasuk satu di
Scrooby, di rumah William Brewster. Ketika oposisi para penguasa marak, jemaat
Smyth lari ke Amsterdam. Hal ini terjadi sekitar tahun 1608. (Kelompok Scrooby ini
lari ke Leiden dan di kemudian hari mengirim sebagian keanggotaannya ke
Amerika).15
Nampaknya, kaum Separatis Scrooby yang disebut sebagai kaum peziarah yang
kemudian ditengarai mendirikan koloni Plymouth di tanah koloni. Kelompok itu dinilai
lebih radikal karena keputusannya untuk melepaskan diri dari Inggris dan keinginan untuk
membentuk tatanan masyarakat baru yang memiliki kebebasan agama.
Ketika tahta Inggris digantikan Raja Charles I, putra James I, keadaan tidak membaik.
Kaum Puritan—yang moderat—yang masih di Inggris merasa semakin ditekan oleh otoritas
penguasa. Kelompok itu menempuh jalan yang sama dengan pendahulunya (kaum
peziarah), meninggalkan Inggris untuk membentuk masyarakat baru sesuai dengan prinsip
mereka. Gelombang kedua kaum Puritan mendirikan The Massachusetts Bay Colony pada
1630. Pada gelombang pertama kaum Puritan, mereka terdiri dari para penduduk desa sekte
radikal, sedangkan gelombang kedua lebih didominasi oleh orang-orang kaya yang memiliki
kedudukan tinggi.
Pertentangan antara gereja Katolik dengan geraja Lutheran dan Calvinis di Eropa
membuat orang-orang Katolik menyusun strategi misionaris untuk tetap mempertahankan
hegemoni Katolik di dunia. Reformasi yang menyerang gereja Katolik dibalas dengan
pengiriman utusan misionaris-misionaris Katolik ke berbagai wilayah termasuk pantai timur 14 Ibid, hlm.92.15 Ibid, hlm.90.
8
Amerika untuk membangun pusat pengaruh Katolik yang baru. Strategi misionaris Katolik
terbukti dengan penguasaan Spanyol atas Amerika Tengah dan Amerika Latin yang tak
luput menyebarkan pengaruh Katolik. Prancis merambah wilayah utara Kanada dengan
membawa serta ajaran Katolik.16
Kedatangan orang-orang Inggris di pantai timur Amerika yang mulai membangun
permukiman di Jamestown pada 1607 menjadi awal pengaruh Katolik yang kuat dalam
masyarakat koloni. Ketika kaum Puritan Inggris tiba di Amerika, setidaknya sudah terletak
dasar-dasar pengaruh Katolik di tanah koloni.
2.3 Kaum Puritan dan Perannya Dalam Pembentukan Masyarakat Koloni
Para peziarah gelombang pertama diberangkatkan atas pembiayaan dari Virginia
Company yang ditujukan untuk bermukim di Virginia. Sayangnya ketika berlayar, kapal
Mayflower yang ditumpangi 102 peziarah itu berlabuh terlalu ke utara di Semenanjung Cape
Cod. Mereka tidak jadi bermukim di Virginia dan memutuskan menetap di sekitar
pelabuhan Plymouth, tempat mereka hidup dan membentuk koloni di tahun 1620. Mereka
menghadapi tantangan alam yang lebih keras di permukiman baru karena geografisnya yang
berada di utara dan musim dingin yang lebih ekstrim.
Rombongan kedua para peziarah yang tiba di Massachusetts Bay berperan besar
dalam pengembangan New England dan pembentukan masyarakat koloninya. Seperti yang
sudah disebutkan di awal, rombongan kedua kaum peziarah didominasi oleh para orang
kaya yang memiliki kedudukan tinggi. Pembentukan masyarakat koloni di Massachusetts
Bay (Boston) dipimpin oleh Gubernur John Winthrop dengan 25 orang lainnya yang telah
mendapatkan izin kerajaan. John Winthrop berperan besar dalam merumuskan suatu
masyarakat Kristen teladan yang menjadi model kehidupan ideal di seluruh dunia.
Sekitar sepuluh tahun pascakedatangan mereka, 65 pendeta didatangkan ke
Massachusetts Bay. Kedatangan para pendeta tersebut sejalan dengan keinginan mereka
untuk membentuk suatu tatanan sosial baru seperti masyarakat teokrasi yang memiliki
kebebasan agama. Pada praktiknya, kepemimpinan yang dijalankan masih
mencampuradukkan agama dan urusan negara (sipil) meskipun secara teoritis masyarakat
16 Setelah pendudukan Prancis di Kanada, Pater Jacques Marquette seorang misionaris Katolik Prancis menyebarkan ajaran Katolik melalui lembah Missisippi dan wilayah utara Amerika yang berbatasan dengan Kanada.
9
awal Boston itu telah mencoba pemisahan gereja dengan negara. Hal itu kemudian
menumbuhkan sistem kepemimpinan teokratis dan otoriter. Kaum imam dan masyarakat
awam berupaya untuk mempertahankan keseragaman dan keselarasan kehidupan religius
mereka.
Kaum puritan di Massachusetts Bay umumnya memiliki keyakinan kuat bahwa
kedatangan mereka ke tanah koloni baru dan meninggalkan Eropa adalah jalan hidup yang
diperintahkan oleh Tuhan. Hal itu sehubungan dengan keyakinan bahwa mereka
mengemban tugas besar yang berpengaruh terhadap sejarah umat manusia di dunia. Hukum
tertinggi yang mereka yakini adalah Alkitab sebagai wahyu langsung dari Tuhan sebagai
landasan fundamental ajaran agama.
Tekad yang dibawa sejak dari Eropa untuk membentuk suatu kehidupan masyarakat
teladan membuat kaum puritan memandang penting konsep perjanjian dalam Alkitab
Perjanjian Lama yang menggambarkan tentang pemerintahan Tuhan atas Israel. Mereka
percaya bahwa kemajuan dan kemerosotan suatu bangsa didasarkan pada hubungannya
dengan Tuhan. Mereka melaksanakan kehidupan berdasarkan ketentuan dan hukum Tuhan.
Para peziarah yang tiba pada abad ke-17 memiliki pengaruh yang besar dalam
pembentukan landasan kebudayaan Amerika. Mereka adalah pemukim awal yang tegas,
kuat, dan terdidik dari Eropa. Nantinya, orang-orang inilah yang ikut meletakkan dasar-
dasar tradisi kaum Puritan di dalam karakter nasional Amerika, misalnya seperti keyakinan
sebagai orang-orang terpilih yang memiliki tugas khusus dalam pejalanan sejarah umat
manusia.
Orang-orang Amerika gemar menganggap diri mereka sendiri sebagai
mempunyai suatu tugas khusus. Mereka begitu saja berbicara, hampir seperti yang
telah dilakukan kaum Puritan, tentang Amerika Serikat sebagai Israel baru yang
dipilih Allah untuk memainkan suatu peran utama dalam sebuah zaman baru
penebusan dunia. Oleh karena itu tradisi-tradisi kaum Puritan menolong membentuk
pemahaman diri kolektif orang-orang Amerika.17
Pemahaman-pemahaman yang diturunkan langsung dari tradisi kaum Puritan
berpengaruh besar membentuk karakter Amerika yang merasa menjadi bangsa yang lebih
unggul karena dipercaya Tuhan sebagai pengemban khusus. Ketika kesatuan sebagai bangsa
17 George M. Marsden, Agama dan Budaya Amerika, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2006, hlm. 25.
10
terbentuk, orang-orang Amerika merasa memiliki keutamaan sendiri sebagai bangsa terpilih
yang memang sudah ditakdirkan untuk menjadi sedemikian rupa.
Sebagai bangsa terpilih dan pemimpin baru, mereka merasa memiliki aspek moril
yang lebih baik dibandingkan orang-orang Indian dan Meksiko. Ironisnya, alasan sebagai
yang lebih bermoral tinggi itulah yang turut mendasari perampasan lahan dari orang-orang
Indian. Dengan alasan moral pula yang menyebarkan pandangan bahwa penduduk asli
Amerika perlu untuk diberadabkan seperti mereka. Jelas bahwa keyakinan sebagai bangsa
terpilih dengan sistem moral yang lebih tinggi, justru mencetak karakter masyarakat yang
memiliki arogansi tinggi dengan menganggap kelompok lain tidak lebih beradab dari
kelompoknya.
Roger Williams, salah satu pendeta dari koloni Massachusetts Bay menentang keras
kebijakan yang masih menyatukan gereja dengan negara dan hak koloni untuk merebut
tanah dari orang Indian. Williams dikeluarkan dari masyarakat koloni melalui keputusan
hukum karena dinilai sebagai pemberontak. Ia kemudian membentuk koloni sendiri di
Rhode Island yang membebaskan otoritas negara dari gereja. Menurut Williams, merampas
tanah-tanah orang Indian seperti Israel Kuno menyerobot tanah negeri yang dijanjikan
adalah suatu tatanan politis yang jahat.
Selain Williams, sekelompok kaum Puritan Ortodoks juga mulai meninggalkan
Massachusetts Bay untuk mencari kehidupan di tanah lain yang masih kosong dan subur.
Pemukim lainnya menuju Maine dan New Hampshire. Meskipun mulai ditinggalkan oleh
pemukim awal, Massachusetts Bay sendiri lantas tumbuh menjadi kota dagang dengan
bandar kapal besar di pantai timur Amerika. Boston menjadi kota koloni yang makmur dan
terkenal sebagai pembuat kapal. Dibandingkan masyarakat koloni lain seperti Pennsylvania
misalnya, New England memiliki nilai yang lebih kaku dan ketat dalam kehidupan
religiusnya. New England masih sangat Puritan dan koloni yang paling kental agamanya.
Selain New England, wilayah koloni lain yang terbentuk adalah Maryland dengan
mayoritas penganut Katolik, New York yang dominan dengan gereja reformasi Belanda,
dan Pennsylvania dengan orang-orang Quaker. Massachusetts, Virginia, dan Pennsylvania
misalnya, memiliki corak keterbukaan dan penerimaan yang berbeda-beda terhadap para
imigran awal dari Eropa. Kebijakan Pennsylvania yang banyak dipengaruhi William Penn
menginginkan warga negara yang baik tanpa melihat latar belakang agamanya. Virginia
11
yang bermaksud meluaskan sektor perkebunan membuka akses luas bagi pekerja dan budak.
Sedangkan Massachusetts yang didominasi kaum Puritan membuka pintu hanya bagi warga
negara yang dinilai murni dari sudut pandang agama.
Dalam sejarah awal masyarakat koloni, Massachusetts pernah menolak serombongan
orang Protestan Inggris—enampuluh penumapang kapal Handmaid—yang datang untuk
bermukim dengan alasan bahwa kelompok itu dinilai tidak memiliki moral dan kesalehan
yang baik menurut ukuran Massachusetts. Ketatnya pandangan religius di Massachusetts tak
lain didasari keyakinan bahwa untuk mencapai kemakmuran dan kemajuan wilayahnya,
mereka hanya menerima jemaat yang taat kepada Tuhan sebagai bentuk penjagaan atas
perjanjian dengan Tuhan. Dengan demikian koloni itu tumbuh menjadi masyarakat dengan
keanggotaan gereja yang ekslusif.
Boston, tempat si Puritan Edward Johnson memperingatkan dalam
pamfletnya Wonder-Working Providence (1654) bahwa kaum imigran akan
merongrong eksperimen suci Koloni Teluk Massahusetts, mencoba
mempertahankan dasar sekte untuk keanggotaan dalam waktu yang lama. Namun,
koloni ini akhirnya tunduk pada hasrat mendapatkan pemukim dengan menerima
orang Yahudi, padahal selama abad ke-17 keanggotaan itu tertutup rapat bagi
mereka.18
Perubahan sikap terhadap kedatangan imigran tak lain dilatarbelakangi oleh
kepentingan ekonomi dan kebutuhan akan sekelompok penghuni baru di tanah koloni.
Menolak kedatangan imigran akan sangat bertolak-belakang dengan kepentingan ekonomi
yang memperhitungkan keberadaan pemukim sebagai pertimbangan awal untuk
menanamkan modal yang menghidupi perekonomian koloni. Persyaratan penerimaan
anggota masyarakat koloni Massachusetts nampak memengaruhi persepsi amerikanisme
yang menganggap Amerika Serikat sebagai bangsa Protestan yang mendasarkan
keanggotaannya melalui pertimbangan keagamaan. Akan tetapi pada akhirnya hal itu
tenggelam dengan kepentingan untuk memperoleh lebih banyak pemukim baru yang
berimbas langsung pada peningkatan ekonomi di tanah koloni.
BAB III
18 Lawrence H. Fuchs, Kaleidoskop Amerika: Ras, Etnik, dan Budaya Warga, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994, hlm.9.
12
KESIMPULAN
Kedatangan para imigran Inggris ke pantai timur Amerika pada abad ke-17 tak lain
adalah sekelompok kaum Puritan yang ingin mencari dunia baru dan membangun
masyarakat baru yang sesuai dengan keyakinannya. Migrasi kaum Puritan yang akarnya
terbentuk kuat di Inggris, dilatarbelakangi oleh situasi politik dan keagamaan pada masa
Raja James I yang menolak gagasan reformasi total kaum Puritan Inggris. Kelompok radikal
tersebut menuju Belanda untuk mendapatkan kebebasan beragama sebelum akhirnya
berangkat ke pantai timur Amerika. Gelombang pertama imigran Puritan dari Inggris yang
didominasi oleh orang-orang desa sederhana itu membentuk koloni baru di Plymouth tahun
1620.
Gelombang kedua imigran Puritan memutuskan berangkat ke Amerika setelah situasi
reformasi di Inggris tidak pernah sesuai dengan yang mereka harapkan. Tekanan otoritas
negara dari Raja Charles I juga membulatkan keputusan kaum Puritan tersebut yang
mayoritas orang-orang kaya untuk menyeberang ke tanah koloni. Mereka kemudian
diketahui membentuk masyarakat koloni pada 1630 di Massachusetts Bay yang berkembang
pesat menjadi Boston.
Imigran Inggris—kaum Puritan—membangun masyarakat koloni Massachusetts
dengan dasar-dasar agama yang kental. Standar moral, kesalehan, dan etika diturunkan
langsung dari penghayatan ajaran Alkitab Perjanjian Lama yang berisi tentang Perjanjian
antara manusia dan Tuhan. Mereka meyakini untuk membangun wilayah yang makmur
harus disertai dengan ketaatan masyarakatnya guna menjaga hubungan baik dengan Tuhan.
Mereka meyakini kedatangan mereka ke tanah koloni baru dan meninggalkan Eropa adalah
jalan hidup yang diperintahkan oleh Tuhan untuk mengemban tugas besar yang berpengaruh
terhadap sejarah umat manusia di dunia.
Pada masa-masa selanjutnya, merekalah yang turut meletakkan dasar-dasar tradisi
kaum Puritan di dalam karakter nasional Amerika. Sebagai bangsa imigran dari Eropa yang
mencoba mencari peruntungan di dunia baru yang juga disertai dengan keyakinan-
keyakinan agama, karakter Amerika tumbuh dengan kuat dengan kebanggaan sebagai
orang-orang terpilih. Demi menjaga sisi ekslusif dari masyarakat Puritannya, awalnya
13
koloni Massachusetts menolak kedatangan para imigran lain yang dianggap tidak memiliki
tingkat keimanan serta etika yang sama dengan mereka.
Pada praktiknya, kepemimpinan di Massachusetts masih belum memisahkan urusan
gereja dengan negara sehingga menimbulkan perlawanan dari dalam masyarakatnya yang
dilontarkan oleh Roger Williams dan kaum Puritan Ortodoks lainnya. Dengan dasar sebagai
orang terpilih yang akan membuat perubahan, mereka memaklumkan untuk merebut tanah
dari orang Indian. Ketidaksesuaian yang dirasakan sekelompok penentang membuat mereka
menyingkir dan membentuk koloni baru di tanah lain yang masih kosong dan subur. Mereka
menuju Maine dan New Hampshire.
Di sisi lain, Massachusetts Bay berhasil melahirkan Boston sebagai kota dagang yang
ramai, dikenal sebagai pembuat kapal yang andal serta memiliki bandar pelabuhan terbesar
di Amerika. Boston tumbuh menjadi pusat perekonomian yang penting. Sepeninggal
kelompok penentang yang meninggalkan Massachusetts Bay, sektor ekonomi menuntut
lebih banyak pemukim untuk tinggal di koloni yang terkenal ketat dengan otoritas agamanya
tersebut. Jumlah pemukim di suatu koloni menentukan potensi investasi yang berdampak
positif bagi perkembangan ekonomi wilayah koloni.
Melalui keterbukaan demi kepentingan ekonomi dan juga menyebarnya para
penentang eksklusivitas Massachusetts, ajaran kaum Puritan pun turut terbawa dalam
tatanan sosial masyarakat Amerika yang dimulai dari wilayah pantai timur. Pada generasi
setelahnya, nilai-nilai dan tradisi yang mencirikan Puritan masih dapat dirasakan termasuk
kebanggaan orang-orang Amerika sebagai orang terpilih yang akan membangun dunia baru.
Dari kajian historis, karakter nasional suatu bangsa dapat ditelisik secara mendalam dari
abad-abad sebelumnya, begitupula Amerika sebagai sebuah bangsa besar menyimpan
dinamika sejarah yang sangat kompleks, berhubungan erat dengan peristiwa besar
sebelumnya—Reformasi Gereja di Eropa dan suksesi otoritas politik di Inggris.
14
Kepustakaan
Collins, Michael dan Matthew A. Price. 2006. The Story of Christianity: Menelusuri Jejak
Kristianitas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Curtis, A Kenneth, dkk. 2007. 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen. Jakarta: Gunung
Mulia
Fuchs, Lawrence H. 1994. Kaleidoskop Amerika: Ras, Etnik dan Budaya Warga. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
Keene, Michael. 2006. Kristianitas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Luedkte, Luther S (editor). 1994. Mengenal Masyarakat dan Budaya Amerika Serikat Jilid II.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Marsden, George M. 1996. Agama dan Budaya Amerika. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
The United States Information Service. Garis Besar Sejarah Amerika
15
Lampiran
Perkembangan Gereja Protestan di Amerika Serikat
Sumber: The Story of Christianity, hlm. 145