kasyf el fikr volume 1, nomor 1, juni 2014 · 2015-11-10 · kasyf el fikr volume 1, nomor 1, juni...

17
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 97 KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN Shofaussamawati 1 Abstract In Islam, leadership is very strategic, Islam considers that the leaders fulfill their duty to realize the condition of the people who baldatun thoyyibatun warobbun ghafur. Namely the Islamic community life systems implement Islamic values so as to achieve the level of prosperity and well-being equitable with justice for all citizens. Therefore it becomes very important for us to uncover how exactly the Quran as a source of doctrine and way of life of Muslims speak (giving demands) on the establishment of the leadership in Islam. The term leadership in the Koran are found by various terms, including the caliph, ulil amri. Whereas Imamate and leadership principles according to the Qur'an is trustworthy, fair, deliberation, and amar ma’ruf nahi munkar. Al-Qur'an also suggests qualities must a leader among which are patient and steadfast, able to demonstrate a good path to his people, and good. Keywords: Leadership, Al-Quran, Islam A. Pendahuluan Pada tahun 2014 ini Negara kita Indonesia mempunyai beberapa agenda politik, mulai dari pemilukada untuk memilih bupati, walikota dan gubernur di berbagai daerah, pemilu legislative untuk memilih para wakil rakyat baik DPRD TK II, DPRD TK I, DPR Pusat dan pemilu presiden untuk memilih capres dan cawapres sebagai pemimpin negara, sehingga banyak orang menyebut tahun ini adalah tahun politik. Dari deretan agenda itu pada intinya masyarakat Indonesia mempunyai tugas untuk memilih para pimpinan baik dari tingkat daerah, bupati dan gubernur maupun tingkat pusat yaitu presiden.Yang menjadi permasalahan adalah masyarakat dalam memilih seorang pemimpin kebanyakan atau bahhkan bisa dikatakan mayoritas berdasarkan subyektifitasnya masing-masing.Maka bagaimana sebetulnya sumber ajaran kita umat Islam memberikan tuntunan dalam memilih seorang pemimpin. Di sisi lain seorang pemimpin yang sudah dipilih oleh rakyat dia juga harus tahu apa itu kepemimpinan dan bagaimana seseorang pemimpin itu bisa menjadi pemimpin yang ideal, bisa memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Oleh karena itu,dalam tulisan ini penulis berusaha untuk mengungkap apa itu kepemimpinan dan bagaimana kriteria seorang pemimpin dalam perspektif al-Qur’an. 1 Penulis adalah Dosen tetap STAIN Kudus

Upload: others

Post on 08-Mar-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

97

KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

Shofaussamawati1

Abstract

In Islam, leadership is very strategic, Islam considers that the leaders fulfill their

duty to realize the condition of the people who baldatun thoyyibatun warobbun ghafur.

Namely the Islamic community life systems implement Islamic values so as to achieve the

level of prosperity and well-being equitable with justice for all citizens.

Therefore it becomes very important for us to uncover how exactly the Quran as a

source of doctrine and way of life of Muslims speak (giving demands) on the establishment

of the leadership in Islam. The term leadership in the Koran are found by various terms,

including the caliph, ulil amri. Whereas Imamate and leadership principles according to the

Qur'an is trustworthy, fair, deliberation, and amar ma’ruf nahi munkar. Al-Qur'an also

suggests qualities must a leader among which are patient and steadfast, able to demonstrate

a good path to his people, and good.

Keywords: Leadership, Al-Quran, Islam

A. Pendahuluan

Pada tahun 2014 ini Negara kita Indonesia mempunyai beberapa agenda politik,

mulai dari pemilukada untuk memilih bupati, walikota dan gubernur di berbagai daerah,

pemilu legislative untuk memilih para wakil rakyat baik DPRD TK II, DPRD TK I, DPR

Pusat dan pemilu presiden untuk memilih capres dan cawapres sebagai pemimpin negara,

sehingga banyak orang menyebut tahun ini adalah tahun politik.

Dari deretan agenda itu pada intinya masyarakat Indonesia mempunyai tugas untuk

memilih para pimpinan baik dari tingkat daerah, bupati dan gubernur maupun tingkat pusat

yaitu presiden.Yang menjadi permasalahan adalah masyarakat dalam memilih seorang

pemimpin kebanyakan atau bahhkan bisa dikatakan mayoritas berdasarkan

subyektifitasnya masing-masing.Maka bagaimana sebetulnya sumber ajaran kita umat

Islam memberikan tuntunan dalam memilih seorang pemimpin. Di sisi lain seorang

pemimpin yang sudah dipilih oleh rakyat dia juga harus tahu apa itu kepemimpinan dan

bagaimana seseorang pemimpin itu bisa menjadi pemimpin yang ideal, bisa memberikan

perlindungan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Oleh karena itu,dalam tulisan ini penulis berusaha untuk mengungkap apa itu

kepemimpinan dan bagaimana kriteria seorang pemimpin dalam perspektif al-Qur’an.

1 Penulis adalah Dosen tetap STAIN Kudus

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

98

B. Istilah Kepemimpinan

Dalam kamus bahasa Indonesia istilah kepemimpinan berasal dari kata“pimpin” yang

mempunyai arti “dibimbing”. Sedangkan kata pemimpin itusendiri mempunyai makna

“orang yang memimpin.” Jadi kepemimpinanadalah cara untuk memimpin.2Sedangkan

kepemimpinan ditinjau dari segi bahasa, berasal dari kataleadership (kepemimpinan) yang

berasal dari kata leader (pemimpin).Kataini muncul sekitar tahun 1300-an. Sedangkan kata

leadership munculkemudian sekitar tahun 1700-an. Hingga pada tahun 1940-an, kajian

tentangkepemimpinan didasarkan pada teori sifat.Teori ini terbatas hanya mencarisifat-sifat

kepribadian, sosial, fisik atau intelektual yang membedakan antara pemimpin dan bukan

pemimpin.Artinya, kepemimpinan itu dibawa sejaklahir atau bakat bawaan.3

Jika kepemimpinan lebih memiliki arti luas, pemimpin merupakanspesifikasi dari

kepemimpinan tersebut. Dengan demikian, pemimpin bisadiartikan sebagai individu yang

menduduki suatu status tertentu di atasindividu yang lain di dalam kelompok, dapat

dianggap seorang pimpinan ataupemimpin.4Hal ini memungkinkan bahwa dalam

menduduki posisinyamelalui pemberian atribut-atribut secara formal atau tertentu.

Di dalam Al-Qur’an kepemimpinan diungkapkan dengan berabagai macam istilah

antara lainkhalifah, Imam, Uli al-Amri, dan masih banyak lagi yang lainnya.

a. Khalifah

Dalam Al-Qur’an kata yang berasal dari Kh-l-f ini ternyata disebut sebanyak 127 kali,

dalam 12 kata kejadian. Maknanya berkisar diantara kata kerja menggantikan,

meninggalkan, atau kata benda pengganti atau pewaris, tetapi ada juga yang artinya telah

“menyimpang” seperti berselisih, menyalahi janji, atau beraneka ragam.5Sedangkan dari

perkataan khalf yang artinya suksesi, pergantian atau generasi penerus, wakil, pengganti,

penguasa – yang terulang sebanyak 22 kali dalam Al-Qur’an – lahir kata khilafah.Kata ini

menurut keterangan Ensiklopedi Islam, adalah istilah yang muncul dalam sejarah

pemerintahan Islam sebagai institusi politik Islam, yang bersinonim dengan kata imamah

yangberarti kepemimpinan.6

Adapun ayat-ayat yang menunjukkan istilah khalifah baik dalam bentuk mufrad

maupun jamaknya, antara lain:

وإذ قال ربك للمالئكة إني جاعل في األرض خليفة، قالوا أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك

03ونقدس لك، قال إني أعلم ما ال تعلمون البقرة:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak

menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau

2Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet. ke-4,1994, hlm. 967. 3Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003, hlm. 8. 4Ghalia Indonesia, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 7. 5M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci,

Paramadina, Jakarta, 2002, Cet. II, hlm: 349 6Ibid, hlm: 357

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

99

hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan

padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji

Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui

apa yang tidak kamu ketahui."

Quraish Shihab di dalam “Tafsir al-Mishbah” mengatakan bahwa ayatini merupakan

penyampaian Allah kepada para malaikat tentang rencana-Nyamenciptakan manusia di

muka bumi ini. Penyampaian kepada mereka menjadisangat penting, karena malaikat akan

dibebani sekian tugas menyangkutmanusia. Ada yang akan bertugas mencatat amal-amal

manusia, ada yangbertugas memelihara, ada yang membimbingnya.7Penyampaian ini bisa

jadi merupakan bagian dari proses penciptaanalam raya dan kesiapannya untuk dihuni

manusia pertama (Adam) dengannyaman. Maksud Allah ini kemudian didengar oleh

malaikat dan malaikat lalubertanya tentang makna penciptaan tersebut. Mereka menduga

bahwa khalifah(manusia) ini akan merusak dan menumpahkan darah.8Dugaan

iniberdasarkan pada pengalaman mereka sebelumnya. Pertanyaan mereka jugabisa lahir

penamaan Allah terhadap makhluk yang akan diciptakan itu dengankhalifah.9

Menurut Ibnu Katsir, Imam Al-Qurthubi dan ulama’ yang lain telahmenjadikan ayat

ini sebagai dalil wajibnya menegakkan khilafah untukmenyelesaikan dan memutuskan

pertentangan antara manusia, menolongorang yang teraniaya, menegakkan hukum Islam,

mencegah merajalelanyakejahatan dan masalah-masalah lain yang tidak dapat terselesaikan

kecualidengan adanya imam (pimpinan).10

أوعجبتم أن جاءكم ذكر من ربكم على رجل منكم لينذركم واذكروا إذ جعلكم خلفاء من بعد قوم نوح وزادكم في

96الخلق بصطة فاذكروا آالء هللا لعلكم تفلحون )األعراف:

Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari

Tuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan

kepadamu?Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai

7Dalam Tafsir al-Misbah katakhalifah pada mulanya berarti yang menggantikan atauyang datang

sesudah siapa yang datang sebelumnya. Ada juga yang memberikan makna yang “menggantikan Allah”,

bukannya dia tidak mampu untuk menjadikan manusia menjadi Tuhan, akan tetapi ini merupakan ujian bagi

manusia, dan memberinya penghormatan epada manusia. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (pesan

dan Kesan Keserasian al-Qur’an), Jakarta:Lentera Hati, volume.I, cet. Ke-2, 2004, hlm. 140. 8Dalam proses penciptaan manusia sebagai khalifah di Bumi (Adam), terjadi penolakan dari mahluk-

mahluk yang lain, yakni Malaikat. Mereka merasa dia lebih hebat banding dengan manusia, pada dasarnya,

mereka beranggapan dengan adanya manusia, maka akan terjadi malapetaka di muka bumi ini seperti

pengalaman yang dulu. Malaikat beralasan bahwa mereka diciptakan dari Nur. Hal serupa ditandaskan oleh

mahluk yang bernama Iblis, dia merasa lebih hebat dari manusia, dengan argumen dia di ciptakan dari api,

sedangkan manusia diciptakan dari tanah. Iblis sangat kecewa dengan kehadiran manusia, karena mereka

tidak dianggap sebagai wakil-Nya untuk menjaga Bumi. Untuk itu, Iblis bersumpah kapada Allah, akan

mengganggu manusia sepanjang zaman. Lihat Achmad Chodjim, Membangun Surga, Jakarta: PT Serambi

Ilmu

Semesta, cet, ke-1, 2004, hlm. 174. 9M. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 140. 10M. Hasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani, 1999,

hlm. 104.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

100

pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah

melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu).Maka ingatlah

nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

وهو الذي جعلكم خالئف األرض ورفع بعضكم فوق بعض درجات ليبلوكم في ما ءاتا كم ، إن ربك سريع العقاب

591وإنه لغفور الرحيم )األنعام:

Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan

sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu

tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat

siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

، إن الذين يضلون يا داود إنا جعلناك خليفة في األرض فاحكم بين الناس بالحق وال تتبع الهوى فيضلك عن سبيل هللا

69عن سبيل هللا لهم عذاب شديد العقاب )ص:

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,

maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu

mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.

Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang

berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

Allah menyuruh kepada Nabi Dawud, untuk menjadi khalifah, menjadihakim di

antara manusia, karena beliau mempuyai kekuasaan.Untuk itu manusia wajib

mendengarkan dan mentaatinya.Kemudian Allah menjelaskan kepada Nabi Dawud kaidah-

kaidah hukum untuk diajarkan kepada manusia.Pertama, maka berilah keputusan (perkara)

diantara manusia dengan dalil artinya hukumilah manusia dengan seadil-adinya

sebagaimana berdirinya langit dan bumi.Ini merupakan kaidah-kaidah hukum yang paling

utama dan penting dalam penegakan hukum.Kedua, dan janganlah kamu mengikuti hawa

nafsu, artinya jangan condong dengan hawa nafsumu ketika memutuskan suatu perkara

atau karena asanya kepentingan duninya ketika sedang menghukumi, maka sesunggunya

mengikuti hawa hafsu akan lebih menjerumuskan ke api neraka sebagaimana Allah

berfirman: “Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” artinyasesungguhnya

mengikuti hawa nafsu menjadi sebab terjerumus kepadakesesatan dan melenceng dari

kebenaran yang haqiqi dan akibatnya adalah,kedhaliman, sebagaimana firman Allah dalam

al-Qur’an “Sesungguhnyaorang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab

yang berat,karena mereka melupakan hari perhitungan.” artinya sesungguhnya merekayang

melenceng dari jalan kebenaran dan keadilan, dan mereka akanmendapatkan siksa yang

amat besar dan pedinya dihari kiyamat nanti.11

Ayat ini mengisyaratkan bahwa, salah satu tugas dan kewajiban utamaseorang

khalifah (pemimpin) adalah menegakkan supremasi hukum secara adil (al haq).Artinya

tidak membedakan golongan, dan juga seorang pemimpin tidak boleh menjalankan

11Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir Fli aqidah Wa syariah Wal Minha, Beirut: Darul Al- Fikri Al- Ma’sir,

jus 23, t.th, hlm. 187.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

101

kepemimpinannya dengan mengikuti hawa nafsu. Tugas kepemimpinan adalah tugas

fisabilillah (jalan allah) dan karenanya mulia.

هو الذي جعلكم خالئف في األرض ، فمن كفر فعليه كفره وال يزيد الكافرين كفرهم عند ربهم إال مقتا ، وال يزيد

39)الكافرين كفرهم إال خسارا )فاطر

Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.Barangsiapa yang kafir,

maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang

kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan

kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian

mereka belaka.

Dari beberapa ayat tersebut di atas menjadi jelas, bahwa konsep khalifah dimulai

sejak nabi Adam secara personil yaitu memimpin dirinya sendiri, dan ini menunjukkan

bahwa kepemimpinan dalam Islam juga mencakup memimpin dirinya sendiri yakni

mengarahkandiri sendiri ke arah kebaikan.Disamping memimpin diri sendiri, konsep

khalifah juga berlaku dalam memimpin umat, hal ini dapat dilihat dari diangkatnya nabi

Daud sebagai khalifah.

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa (1) kata khalifah digunakan oleh al-Qur’an

untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas.Dalam

hal ini Daud mengelola wilayah Palestina, sedangkan Adam secara potensial atau aktual

diberi tugas mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan; (2)

Bahwa seorang khalifah berpotensi, bahkan secara aktual, dapat melakukan kekeliruan dan

kesalahan akibat mengikuti hawa nafsu.Karena itu baik Adam maupun Daud diberi

peringatan agar tidak mengikuti hawa nafsu (lihat QS 20:16 dan QS 38: 26).

Menarik untuk diperbandingkan bahwa pengangkatan Adam sebagai khalifah

dijelaskan Allah dalam bentuk tunggal inni (sesungguhnya Aku) Sedangkan pengangkatan

Daud dijelaskan dengan menggunakan kata inna (sesungguhnya Kami). Jikalau benar

kaidah yang mengatakan bahwa penggunaan bentuk plural, selain berarti lita’zhim, juga

bisa bermakna mengandung keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam pekerjaan yang

ditunjuk-Nya, maka ini berarti bahwa dalam pengangkatan Daud sebagai khalifah terdapat

keterlibatan pihak lain selain Allah, yakni masyarakat. Adapun Adam dipilih langsung oleh

Allah, tanpa unsur keterlibatan pihak lain.Sejarah mencatat bahwa Daud bukan saja Nabi

tetapi juga penguasa kerajaan (“Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan

kepadanya hikmahS.QS. 38: 20). Allah mengisyaratkan bahwa Daud bukan saja dipilih

oleh Allah tetapi juga diangkat oleh masyarakat.

Oleh karena itu, dalam pandangan al-Qur’an, pemimpin yang diangkat oleh

masyarakat sebenarnya berada pada posisi menerima amanah, sedangkan masyarakat

sebagai pemberi amanah. Tentu saja, ajaran agama mengatur bahwa penerima amanah,

pada saatnya nanti, harus mempertanggungjawabkan amanahnya kepada si pemberi

amanah, yaitu pada “pengadilan” masyarakat di dunia, dan “pengadilan” Allah swt di

Padang Mahsyar nanti.Konsep khalifah di sini mempunyai syarat antara lain, tidak

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

102

membuat kerusakan di muka bumi, memutuskan suatu perkara secara adil dan tidak

menuruti hawa nafsunya. Allah memberi ancaman bagi khalifah yang tidak melaksanakan

perintah Allah tersebut.

b. Imamah

Dalam Al-Qur’an kata imam terulang sebanyak 7 kali, sedangkan kata

aimmahjamaknya kata imamterulang 5 kali.Kata imam dalam Al-Qur’an mempunyai

beberapa arti yaitu, nabi, pedoman, kitab/buku/teks, jalan lurus, dan pemimpin.12

Adapun ayat-ayat yang menunjukkan istilah imam antara lain:

والذين يقولون ربنا هب لنا من أزواجنا وذرياتنا قرة أعين واجعلنا للمتقين إماما )الفرقان:

Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-

isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami

imam bagi orang-orang yang bertakwa.

وإذ ابتلى إبراهيم ربه بكلمات فأتمهن قال إني جاعلك للناس إماما قال ومن ذريتي قال ال ينال عهد الظالمين )البقرة:

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan

larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan

menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga)

dari keturunanku Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".

Dalam Tafsir Al-Mizan karya Allamah Thabathaba’i juz 1 halaman. 273, dalam

menjelaskan ayat di atas beliau menyebutkan sebuah riwayat yang diriwayatkan Imam

Ja’far Ash-Shadiq as :

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menerima Nabi Ibrahim as sebagai seorang

hamba sebelum Dia mengangkatnya menjadi seorang mabi, mengangkatnya menjadi

nabi sebelum Dia memilihnya menjadi rasul, mengangkatnya menjadi rasul sebelum Ia

menjadikannya sebagai kekasih-Nya (Khalilullah), dan menjadikannya sebagai

khalilullah sebelum mengangkatnya menjadi seorang imam. Dan setelah Allah

menganugerahkan semua itu kepadanya, Dia berfirman: “Sungguh Aku telah

mengangkatmu menjadi imam bagi seluruh manusia”. Karena imamah itu sangat agung

baginya, maka beliau memohon kepada Allah: “Dan dari keturunanku juga!”.

Kemudian Allah menjawab: “Janjiku ini (imamah) tidak akan dapat digapai oleh

orang-orang yang zalim”. Selanjutnya Imam Ja’far berkata: “Orang yang bodoh tidak

akan menjadi imam bagi orang yang bertakwa”.

Allamah Thabathaba’i mengatakan berdasarkan riwayat di atas, yang dimaksud

dengan “Kalimat” dalam ayat ini adalah imamah Nabi Ibrahim as, Ishak dan keturunannya

yang kemudian ia menyempurnakannya dengan imamah Muhammad SAW dan para imam

Ahlul Bayt a.s dari keturunan Nabi Ismail as Kemudian Allah memperjelas persoalan ini

dengan firman-Nya: “Sungguh Aku akan menjadikan kamu imam bagi seluruh manusia.”

Allah menguji Nabi Ibrahim dengan berbagai macam ujian, dimana ujian yang

diberikan kepada beliau.Sebagai seorang Nabi, ujian yang diberikan kepada beliau tidaklah

12Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press,

Jakarta, 2002, hlm: 197-199

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

103

ringan.Misalnya perintah untuk menyembelih anaknya.Padahal sudah bertahun-tahun

beliau menginginkan anak, dan Allah mengabulkan permintaan beliau ketika usianya sudah

lanjut.Maka betapa sulit kita bayangkan beratnya ujian yang beliau hadapi ketika anak

yang sangat disayanginya masih muda belia tiba-tiba diminta untuk disembelih.

Biasanya memang kalau kita menyenangi sesuatu ,maka Allah akan menguji apakah

kesenangan terhadap sesuatu itu melengahkan ingatnya kepada Allah. Tentu saja memang

kualitas ujian berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Jika kita menyukai sesuatu

dengan berlebihan maka Allah pasti akan menguji.

Begitu pula ujian bagi Nabi Ibrahim saat ia diusir oleh bapaknya. Ia tidak lagi diakui

anak oleh Azar sang bapak. Begitu pula saat ia menghadapi raja Namrudz. Semua berhala

ia hancurkan dengan tangannya, kecuali yang paling besar. Dengan menyisakan patung

yang paling besar, ia bermaksud untuk menyadarkan masyarakatnya melalui nalar mereka.

Dalam Al-Qur'an juga memberitakan perjalanan Nabi Ibrahim dalam menemukan Tuhan

yang pantas disembah dengan melihat jagad raya ini hingga ia mengagumi bulan, matahari

dan sebagainya dan akhirnya ia menemukan bahwa hanya Allah lah Dzat yang pantas

untuk disembah. Ia berkesimpulan bahwa semua benda-benda yang ia temukan tadi akan

hancur dan lenyap, dan ada Dzat yang tidak hancur dan lenyap yakni Allah SWT.

Begitu pula ujian yang ia terima untuk membangun Ka'bah dan meninggalkan

istrinya, Hajar, sendirian di tanah yang tandus Makkah bersama anaknya, Ismail. Padahal

saat itu ia berdomisili di Syiria. Nabi Ibrahim menjenguk anak istrinya ini hanya 3,5 tahun

sekali, akibat jaraknya yang jauh. Ia betul-betul luarbiasa dalam bertawakkal kepada Allah

SWT.

Bahwasanya dalam surat Al Baqarah ayat 124 mengisyaratkan bahwa kepemimpinan

dan keteladanan harus berdasarkan keimanan dan ketaqwaan, pengetahuan dan

keberhasilan dalam aneka ujian. Karena itu kepemimpinan tidak akan dapat dianugerahkan

oleh Allah kepada orang-orang yang zalim, yakni yang berlaku aniaya.

Dalam surat ini menjelaskan salah satu perbedaan yang menunjukkan ciri pandangan

islam tentang kepemimpinan dengan pandangan-pandangan yang lain. Islam menilai

bahwa kepemimpinan bukan hanya sekedar kontrak sosial, yang melahirkan janji dari

pemimpin untuk melayani yang dipimpin sesuai kesepakatan bersama, serta ketaatan dari

yang dipimpin kepada pemimpin, tetapi juga harus terjalin hubungan harmonis antara yang

diberi wewenang memimpin dengan Tuhan.Yaitu berupa janjin untuk menjalankan

kepemimpinan sesuai dengan nilai-nilai yang diamanatkan-Nya.

(janjiku tidak mendapatkan orang-orang yang zalim), menunjukkan bahwa

perolehan kepemimpinan lebih banyak merupakan anugerah, bukan upaya manusia. itulah

sebabnya ayat tersebut menyatakan “janjiku tidak mendapatkan orang-orang yang zalim”,

dalam arti bahwa mereka yang aktif mencari kedudukan , tetapi justru “janji” yang menjadi

pelaku (subyek). Janji itu yang tidak menemui atau mendapatkan mereka.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

104

Dari penafsiran QS Al Baqarah ayat 124 dapat dipahami bahwa kepemimpinan

tergantung pada karakter pemimpinnya. Sifat-sifat yang dimiliki antara lain kepribadian,

keunggulan fisik, dan kemampuan sosial. Dalam ayat ini juga diterangkan bahwa

kepemimpinan dalam islam lebih kepada anugerah bukan kepada upaya manusia. Dan

tidak mungkin Allah memilih seorang yang zalim sebagai seorang pemimpin.Karakter

pemimpin haruslah baik yang meliputi aspek kepribadian dan kemapuan

sosial.Kepribadian yang dimiliki seorang pemimpin yang dimaksud tentunya tidak zalim

seperti yang tercantum dalam QS Al Baqarah ayat 124.Artinya ayat ini juga menekankan

terhadap identifikasi pribadi, pembangkitan motivasi oleh pemimpin dan pengaruh

pemimpin terhadap tujuan- tujuan dan rasa percaya diri para pengikut. Identifikasi pribadi

disini dapat diartikan pengetahuan yang dimiliki seorang pemimpin, keimanan dan

ketaqwaan kepada Allah SWT.

وجعلناهم أئمة يهدون بأمرنا وأوحينا عليهم فعل الخيرات وإقام الصالة وإيتاء الزكاة وكانوا لنا عابدين )األنبياء:

Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk

dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan

kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah

mereka selalu menyembah

4ونريد أن نمن على الذين استضعفوا في األرض ونجعلهم أئمة ونجعلهم الوارثون )القصص: ,

Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir)

itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang

yang mewarisi (bumi)

Konsep imam di sini, mempunyai syarat memerintahkan kepada kebajikan sekaligus

melaksanakannya.Dan juga aspek menolong yang lemah sebagaimana yang diajarkan

Allah, juga dianjurkan.

c. Ulial- Amri

Istilah Ulual-Amri oleh ahli Al-Qur’an, Nazwar Syamsu, diterjemahkan sebagai

functionaries, orang yang mengemban tugas, atau diserahi menjalankan fungsi tertentu

dalam suatuorganisasi.13Hal yang menarik memahami uli al-Amri ini adalah keragaman

pengertian yang terkandung dalam kata amr. Istilah yang mempunyai akar kata yang sama

dengan amr yang berinduk kepada kata a-m-r, dalm Al-Qur’an berulang sebanyak 257 kali.

Sedang kata amr sendiri disebut sebanyak 176 kali dengan berbagai arti, menurut konteks

ayatnya.14kata amr bisa diterjemahkan dengan perintah (sebagai perintah Tuhan), urusan

(manusia atau Tuhan), perkara, sesuatu, keputusan (oleh Tuhan atau manusia), kepastian

(yang ditentukan oleh Tuhan), bahkan juga bisa diartikan sebagaia tugas, misi, kewajiban

dan kepemimpinan.15

13M. Dawam Raharjo, Op.Cit., hlm. 466 14Ibid 15 Ibid

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

105

Berbeda dengan ayat-ayat yang menunjukkan istilah amr, ayat-ayat yang menunjuk

pada istilah ulial-Amri dalam Al-Qur’an hanya disebut 2 kali

ياأيها الذين أمنوا أطيعوا هللا وأطيعوا الرسول وأولى األمر منكم ، فإن تنازعتم في شيئ فردوه إلى هللا والرسول إن

كنتم تؤمنون باهلل واليوم األخر ، ذلك خير وأحسن تأويال )النساء:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri

di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka

kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-

benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama

(bagimu) dan lebih baik akibatnya.

وإذا جاءكم أمر من األمن أو الخوف أذاعوا به ، ولو ردوه إلى الرسول وإلى أولى األمر منهم لعلمه الذين

النساء:)يستنبطونه منهم ، ولوال فضل هللا عليكم ورحمته التبعتم الشيطان إال قليال

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,

mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil

Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya

(akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri) Kalau tidaklah karena

karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali

sebahagian kecil saja (diantaramu).

Adapun maksud dari dua ayat di atas jelas menunjukkan bahwa yang dimaksud

dengan ulial-Amri adalah mereka yang mengurusi segala urusan umum, sehingga mereka

termasuk orang-orang yang harus ditaati setelah taat terhadap perintah Rasul.Tidak

disebutkannya kata taat pada ulil amri untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada

mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah

dan Rasul, dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan

RasulNya, mka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka.Apabila terjadi persilangan

pendapat maka yang diutamakan adalah Allah dan Rasul-Nya.

C. Prinsip-prinsip Kepemimpinan

Dalam Al-Qur’an juga menyebutkan prinsip-prinsip kepemimpinan antara lain,

amanah, adil, syura(musyawarah), dan amr bi al-ma’ruf wa nahy ‘an al- munkar.

a. Amanah

Dalam Kamus Kontemporer (al-Ashr) Amanah diartikan dengan kejujuran,

kepercayaan (hal dapat dipercaya).16 Amanah ini merupakan salah satu sifat wajib bagi

Rasul.Ada sebuah ungkapan “kekuasan adalah amanah, karena itu harus dilaksanakan

dengan penuh amanah”. Ungkapan ini menurut Said Agil Husin Al-Munawwar,

menyiratkan dua hal.Pertama, apabila manusia berkuasa di muka bumi, menjadi khalifah,

maka kekuasaan yang diperoleh sebagai suatu pendelegasian kewenangan dari Allah SWT.

(delegationofauthority) karena Allah sebagai sumber segala kekuasaan. Dengan demikian,

kekuasaan yang dimiliki hanyalah sekedar amanah dari Allah yang bersifat relative, yang

16Atabik Ali & Ahmad Zuhdi Mudlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yayasan Ali Maksum,

Yogyakarta, tt, hlm: 215

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

106

kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.Kedua,karena kekuasaan itu pada

dasarnya amanah, maka pelaksanaannya pun memerlukan amanah. Amanah dalam hal ini

adalah sikap penuh pertanggungjawaban, jujur dan memegang teguh prinsip.Amanah

dalam arti ini sebagai prinsip atau nilai.17 Mengenai Amanah ini Allah berfirman:

إنا عرضنا األمانة على السماوات واألرض والجبال فأبين أن يحملنها وأشفقن منها وحملها اإلنسان ، إنه كان ظلوما

جهوال )األحزاب:

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-

gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan

mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu

amat zalim dan amat bodoh

Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menjelaskan bahwa amanah yang

dimaksud adalah ketaatan dalam menjalankan kewajiban (taklif) syar’i, seperti sholat,

puasa dan lainnya.Lebih jauh Az-Zuhaili menafsirkan bahwa kata amanah dalam ayat di

atas juga mencakup amanah terhadap harta, menjaga kemaluan, menjaga pendengaran,

penglihatan, lisan batin, tangan dan langkah kaki. Kegagalan menerima amanah ini (akibat

manusia itu amat zalim dan amat bodoh) akan mengakibatkan manusia terbagi menjadi tiga

golongan (sebagaimana diisyaratkan oleh ayat selanjutnya QS 33: 73): pertama, munafikin,

yaitu sebagaimana digambarkan dalam hadis: kalau berkata selalu berdusta; kalau berjanji

selalu ingkar; dan kalau diberi amanah berlaku khianat (Musnad Ahmad, Hadis Nomor:

6583); kedua, golongan musyrikin, yaitu golongan yang baik tersembunyi maupun terang-

terangan telah berlaku syirik dan menentang Rasul; ketiga Mu’minun, yang dalam ayat ini

digambarkan sebagai mereka yang diterima taubatnya.

Amanah keagamaaan yang dibebankan kepada manusia itu sedemikian berat, apalagi

jika ditambah amanah keduniawian berupa kekuasaan.Sudah jelas bahwa dua golongan

pertama, munafik dan musyrik, bukan saja gagal menerima amanah keagamaan namun

harus dipandang tidak juga layak menerima amanah keduniawian. Perhatikan firman Allah

berikut ini : “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat

(perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya

Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon

juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang

zalim”.”

Tinggal satu golongan lagi yang layak menerima dan menjalankan amanah, yaitu

golongan mu’min.Namun mengapa Allah mengisyaratkan Mu’min yang layak menerima

amanah itu sebagai Mu’min yang diterima tobatnya?Rupanya, Allah tahu bahwa seorang

pemimpin tidak bebas dari kesalahan.Adam dan Daud yang disebut sebagai khalifah

ternyata juga sempat melakukan perbuatan tercela.Namun mereka segera bertaubat (lihat

Qs 7: 23 dan Qs 38: 25).Jadi, carilah pemimpin yang bersedia dikoreksi, bersedia

17Said Agil Husin Al-Munawar, Op.Cit., hlm. 200

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

107

mengakui kesalahan, bersedia memperbaiki kesalahannya, dan gemar mengucapkan

isitighfar pada Allah swt.sebagai wujud kehinaan dan kerendahan diri ketika berhadapan

dengan Dzat Yang Maha Agung.

Apakah kriteria itu sudah cukup? Allah mengingatkan Daud dalam QS 38: 26, “Hai

Daud, sesungguhanya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka

berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti

hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” Allah sebagai pemberi

amanah dari “langit” menentukan bahwa pemimpin itu harus menegakkan hukum (law

enforcement) dan keadilan serta menghindarkan diri dari mengikuti hawa nafsu. Tanpa

keadilan, yang berlaku adalah “hukum rimba”: siapa yang kuat, maka dialah yang menang.

Hawa nafsu adalah godaan terus menerus didalam diri kita yang selalu mengajak kita untuk

menyimpang dari kebenaran.Hawa nafsu jugalah yang membawa penguasa terus

memperkaya diri sementara rakyat makan tiwul.

Apakah semua itu sudah cukup? Dengarkan tuntutan penduduk “bumi” yang juga

telah memberi amanah kepada Daud (Qs 38: 22), “Berilah keputusan antara kami dengan

adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang

lurus (Wahdina ila sawa`i al-shirat).” Pesan dari “langit” akan keadilan dan kebenaran

rupanya juga cocok dengan kebutuhan penduduk “bumi”. Namun ada satu tambahan, yaitu,

masyarakat juga menuntut pemimpin untuk memberi petunjuk kepada yang dipimpin akan

sawa’i al-shirat. Kalau kita kembali merujuk pada Imam al-Mawardi, dalam al-Nukat wa

al-’Uyun, pemberi amanah menuntut pemimpin untuk memberi petunjuk kepada tujuan

atau maksud-maksud yang benar.Ini berarti pemimpin tidak boleh memberi informasi yang

keliru, plin-plan, bahkan juga tidak boleh menyembunyikan informasi yang benar, layak,

pantas dan harus diketahui oleh masyarakat.Pemimpin juga harus menjadi teladan agar

yang dipimpin merasa yakin bahwa pemimpin tidak pernah berniat mencelakakan

masyarakat. Sebelum menunjuki jalan yang lurus, pemimpin harus “meluruskan” dirinya

terlebih dahulu

إن هللا يأمركم أن تؤدوا األمانات إلى أهلها وإذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل، إن هللا نعّما يعظكم به، إن هللا

كان سميعا بصيرا )النساء:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak

menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia

supaya kamu menetapkan dengan adil.Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang

sebaik-baiknya kepadamu.Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha

Melihat.

Dua ayat di atas jelas menunjukkan perintah Allah mengenai harus dilaksanakannya sebuah

amanah.Manusia dalam melaksanakan amanah yang dikaitkan dengan tugas

kepemimpinannya memerlukan dukungan dari ilmu pengetahuan dan hidayah dari

Allah.Hal ini dapat dilihat firman Allah “Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

108

sebaik-baiknya kepadamu”, pengajarannya bisa lewat hidayah yang merupakan anugrah

dari Allah, juga bisa melalui ilmu pengetahuan.

Dalam Al-Qur’an istilah Amanah juga diungkapkan dengan kata Risalah.

كن ال تحبون التاصحين )األعراف: فتولى عنهم وقال يا قومي لقد أبلغتكم رسالة ربي ونصحت لكم ول

Maka Nabi Shaleh meninggalkan mereka seraya berkata: "Hai kaumku sesungguhnya

aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat

kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat".

Dalam ayat datas, kata risalah yang dimaknai amanat.Maksudnya disini Allah telah

memberikan amanat kepada nabi Shaleh untuk menyampaikan ajaran Tuhan kepada

umatnya dan Nabi disini juga berfungsi sebagai pemimpin bagi umatnya.

b. Adil

Kata Adil ini merupakan serapan dari bahsa arab ‘adl. Dalam Al-Qur’an istilah adil

menggunakan tiga term yaitu ‘adl, qisth dan haqq.Dari akar kata ‘a-d-l sebagai kata benda,

kata ini disebut sebanyak 14 kali dalam Al-Qur’an.Sedangkan kata qisth berasal dari akar

kata q-s-th, diulang sebanyak 15 kali sebagai kata benda.18Sedangkan kata haqq dalam Al-

Qur’an disebut sebanyak 251 kali. Adapun ayat-ayat yang berbicara mengenai keadilan

antara lain:

ون قل أمر ربي بالقسط، وأقيموا وجوهكم عند كل مسجد وادعوه مخلصين له الدين، كما بدأكم تعود

29))األعراف:

Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". Dan (katakanlah):

"Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan

mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu

pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)".

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menyuruh orang menjalankan keadailan.

Secara konkret, yang disebut keadilan (qisth) itu adalah: (a) mengkonsentrasikan

perhatian dalam shalat kepada Allah dan (b) mengikhlaskan ketaatan kepada-

Nya.[22]Dari uraian tersebut dapat ditarik kepada aspek kepemimpinan, yaitu seorang

pemimpin harus benar-benar ikhlas dalam menjalankan tugasnya dan juga orientasinya

semata-mata karena Allah. Sehingga ketika dua hal tersebut sudah tertanam maka akan

melahirkan suatu tingkah laku yang baik.

إن هللا يأمركم أن تؤدوا األمانات إلى أهلها وإذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل إن هللا نعّما يعظكم به، إن هللا

كان سميعا بصيرا )النساء:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak

menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia

supaya kamu menetapkan dengan adil.Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang

sebaik-baiknya kepadamu.Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha

18M. Dawam Raharjo, Op.Cit., hlm. 369

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

109

Melihat.

Ayat di atas juga telah disinggung pada pembahasan amanah, karena ayat tersebut

mengajarkan manusia tentang dasar-dasar pemerintahan yang baik dan benar yaitu

menjalankan amanah dan menetapkan suatu hukum dengan adil.

ولقد أرسلنا رسال من قبلك منهم من قصصنا عليك ومنهم من لم نقصص عليك، وما كان لرسول أن يأتي بأية إال

بإذن هللا، فإذا جاء أمر هللا قضي بالحق وخسر هنالك المبطلون )المؤمن:

Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara

mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak

Kami ceritakan kepadamu.Tidak dapat bagi seorang rasul membawa suatu mukjizat,

melainkan dengan seizin Allah; maka apabila telah datang perintah Allah, diputuskan

(semua perkara) dengan adil.Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang

kepada yang batilAyat ini juga berisi tentang perintah berbuat adil, yang didalmnya

digambarkan tentang keadilan yang dijalnkan oleh utusan Allah yang juga berfungsi

sebagai pemimpin bagi umatnya.

c. Musyawarah

Musyawarah, apabila diambil dari kata kerja syawara-yusyawiru, atau syura, yang

berasal dari kata syawara-yasyuru, adalah kata-kata yang terdapat dalam Al-Qur’an. Yang

pertama merujuk merujuk pada ayat 159 surat Alu Imran, sedangkan istilah syura merujuk

kepada Al-Qur’an surat Asy-Syura ayat 38.19 Selain dua istilah di atas ada juga kata yang

maknanya menunjukkan musyawarah yaitu kata i’tamir dalam surat ath-Thalaq ayat 6.

Adapun ayat-ayat tersebut di atas yaitu:

فبما رحمة من هللا لنت لهم، ولو كنت فّظا غليظ القلب النفضوا من حولك، فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم في

األمر، فإذا عزمت فتوكل على هللا، إن هللا يحب المتوكلين )ال عمران:

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap

mereka.Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan

diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi

mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian

apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada

Allah.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Dari kata “wasyawirhum” yang terdapat pada ayat ini mengandung konotasi “saling”

atau “berinteraksi”, antara yang di atas dan yang di bawah. Dari pemahaman tersebut dapat

ditarik kesimpulan behwa pemimpin yang baik adalah yang mengakomodir pendapat

bawahannya artinya tidak otoriter.

والذين استجابوا لربهم وأقاموا الصالة وأمرهم شورى بينهم ومما رزقناهم ينفقون )الشورى:

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan

shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan

mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.

19Ibid.,hlm. 441-442

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

110

Jika pada ayat sebelumya menunjukkan adanya interaksi, maka pada ayat ini yakni istilah

syura terkandung konotasi “berasal dari pihak tertentu”.Dari sini juga dapat ditarik

pemahaman bahwa tidak selamanya pemimpin harus mendengarkan bawahannya, artinya

pemimpin harus bisa memilih situasi dan kondisi kapan dia harus mendengarkan

bawahannya dan kapan pula dia harus memutuskan secara mandiri.Jadi pemimpin yang

baik adalah pemimpin yang situasional.

c. Amr Ma’ruf Nahy Munkar

Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, ada juga entry “amar makruf Nahi Munkar”

yang diartikan sebagai “suruuhan untuk berbuat baik serta mencegah dari perbuatan

jahat.”Istilah itu diperlakukan dal satu kesatuan istilah, dan satu kesatuan arti pula, seolah-

olah keduanya tidak dapat dipisahkan.20 Istilah amrma’ruf nahy munkar - seperti

ya’muruna bi al-ma’ruf wa yanhawna ‘an al-munkar - ternyata secara berulang disebut

secara utuh, artinya tidak dipisahkan antara amr ma’ruf dan nahy munkar. Istilah tersebut

berulang cukup banyak, 9 kali, sekalipun hanya dalam 5 surat.[26] Adapun ayat-ayat

tersebut antara lain:

تكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر، وأولئك هم المفلحون )ال عمران:ول

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,

menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-

orang yang beruntung.

والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أوليآء بعض، يأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر ويقيمون الصالة ويؤتون الزكاة

(15التوبة: )ويطيعون هللا والرسول، أولئك سيرحمهم هللا، إن هللا عزيز حكيم

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)

menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang

ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka

taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;

sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana

الذين إن مكناهم في األرض أقاموا الصالة وأتوا الزكاة وأمروا بالمعروف ونهوا عن المنكر، وهلل عاقبة األمور )الحج

yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya

mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan

mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.

Ketiga ayat di atas menunjukkan perintah amr ma’ruf dan nahy munkar. Dalam Al-

Qur’an dan Terjemahnya yang disusun oleh Hasbi Ashshiddiqi dkk., ma'ruf diartikan

sebagai segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah

segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.21 Dengan demikian dapat dipahami

bahwa prinsip kepemimpinan amr ma’ruf dan nahy munkar sangat ditekankan oleh Allah

20Ibid.,hlm. 619

21Hasbi Ashshiddiqi et.al., Al-Qur’an Dan Terjemahnya,, Departemen Agama RI, Jakarta, tt, hlm: 93

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

111

karena dari prinsip ini akan melahirkan hal-hal yang akan membawa kebaikan pada suatu

kepemimpinan.

D. Sifat Pemimpin

Di dalam Al-Quran juga dijumpai beberapa ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat

pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, diantaranya terdapat dalam surat As-

Sajdah (32): 24 dan Al-Anbiyaâ (21): 73. Sifat-sifat dimaksud adalah:

(1). Kesabaran dan ketabahan. "Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka

sabar/tabah". Lihat Q. S. As-Sajdah (32): 24. Kesabaran dan ketabahan dijadikan

pertimbangan dalam mengangkat seorang pemimpin.Sifat ini merupakan syarat pokok

yang harus ada dalam diri seorang pemimpin. Sedangkan yang lain adalah sifat-sifat yang

lahir kemudian akibat adanya sifat (kesabaran) tersebut.

(2). Mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya sesuai dengan petunjuk

Allah swt. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Mereka memberi petunjuk dengan perintah

Kami". Pemimpin dituntut tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu

gerbang kebahagiaan. Atau dengan kata lain tidak sekedar mengucapkan dan

menganjurkan, tetapi hendaknya mampu mempraktekkan pada diri pribadi kemudian

mensosialisasikannya di tengah masyarakat. Pemimpin sejati harus mempunyai kepekaan

yang tinggi (sense of crisis), yaitu apabila rakyat menderita dia yang pertama sekali

merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia yang terakhir sekali

menikmatinya.

(3). Telah membudaya pada diri mereka kebajikan. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21):

73, "Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk mengerjakan perbuatan-

perbuatan.

E. Penutup

Dengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-

sifat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih

pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits.Kaum muslimin yang benar-benar

beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah saw dilarang keras untuk memilih

pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah)

atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan permainan/kepentingan tertentu.

Sebab pertanggungjawaban atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan

kepada siapa yang mengangkatnya (masyarakat tersebut). Dengan kata lain masyarakat

harus selektif dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah "cermin" siapa

mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang berbunyi: "Sebagaimana keadaan

kalian, demikian terangkat pemimpin kalian".

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

112

DAFTAR PUSTAKA

Atabik Ali & Ahmad Zuhdi Mudlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yayasan Ali

Maksum, Yogyakarta, tt.

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet. ke-4, 1994.

Ghalia Indonesia, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.

Hasbi Ashshiddiqi et.al.,Al-Qur’an Dan Terjemahnya,, Departemen Agama RI, Jakarta, tt.

M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep

Kunci, Paramadina, Jakarta, 2002, Cet. II.

M. Quraish Shihab,

M. Hasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema

Insani, 1999.

Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat

Press, Jakarta, 2002.

Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada,

2003.

Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir Fli aqidah Wa syariah Wal Minha, Beirut: Darul Al- Fikri

Al- Ma’sir, Juz 23, t.th.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

113