kasus kematian

32
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. ASITES Kata asites berasal dari bahasa Yunani (askos) yang artinya kantung. Asites adalah keadaan terkumpulnya cairan patologis di dalam rongga abdomen. Lelaki yang sehat hanya memiliki sedikit atau tidak sama sekali cairan intraperitoneal, sedangkan wanita masih normal kurang lebih 20 mL. Penyebab asites terbanyak adalah gangguan hati kronis, tetapi dapat pula disebabkan penyakit lain, seperti gagal jantung, sindrom nefrotik, atau carcinoma diseminata. Yang penting adalah menentukan ada tidaknya factor lain yang menyebabkan asites selain yang disebutkan di atas. Parasentesis diagnostik ( 50-100 ml ) : kadar protein, jumlah sel, hitung jenis sel, pewarnaan gram dan BTA, kultur harus dikerjakan. Pemeriksaan sitologi dapat memberi petunjuk adanya carcinoma. Transudat khas untuk sirosis (< 25 g/L, BJ < 1.016) sedangkan untuk peritonitis bersifat eksudat Gradien serum-asites albumin > 1,1 g/dL khas untuk sirosis uncomplicated akibat hipertensi portal, gardien < 1,1 g/dL menunjukkan asites bukan disebabkan hipertensi portal.Cairan bercampur darah dengan protein > 25 g/L menunjukkan peritonitis TB atau keganasan. Cairan keruh 1

Upload: putriyuriandiniyulsam

Post on 14-Apr-2016

52 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

case

TRANSCRIPT

Page 1: kasus kematian

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ASITES

Kata asites berasal dari bahasa Yunani (askos) yang artinya kantung. Asites

adalah keadaan terkumpulnya cairan patologis di dalam rongga abdomen. Lelaki yang

sehat hanya memiliki sedikit atau tidak sama sekali cairan intraperitoneal, sedangkan

wanita masih normal kurang lebih 20 mL.

Penyebab asites terbanyak adalah gangguan hati kronis, tetapi dapat pula

disebabkan penyakit lain, seperti gagal jantung, sindrom nefrotik, atau carcinoma

diseminata. Yang penting adalah menentukan ada tidaknya factor lain yang menyebabkan

asites selain yang disebutkan di atas.

Parasentesis diagnostik ( 50-100 ml ) : kadar protein, jumlah sel, hitung jenis sel,

pewarnaan gram dan BTA, kultur harus dikerjakan. Pemeriksaan sitologi dapat memberi

petunjuk adanya carcinoma. Transudat khas untuk sirosis (< 25 g/L, BJ < 1.016)

sedangkan untuk peritonitis bersifat eksudat Gradien serum-asites albumin > 1,1 g/dL

khas untuk sirosis uncomplicated akibat hipertensi portal, gardien < 1,1 g/dL

menunjukkan asites bukan disebabkan hipertensi portal.Cairan bercampur darah dengan

protein > 25 g/L menunjukkan peritonitis TB atau keganasan. Cairan keruh dengan

dominasi PMN menunjukkan peritonitis bacterial sedangkan dominasi MN menunjukkan

TBC. Laparoskopi dan biopsy digunakan untuk kasus tertentu..

High gradient asites (transudat) tanpa sebab yang jelas umumnya disebabkan oleh

sirosis, hipertensi vena sisi kanan yang meningkatkan tekanan sinusoid hepatic, keadaan

hipoalbuminemia. Pemeriksaan fungsi hati, scan lien dan hepar, CT scan atau USG dan

biopsy kadang diperlukan.

Low gradient asites (eksudat) menunjukkan infeksi atau tumor di peritoneum.

Kultur bakteri cairan asites dapat menunjukkan organisme penyebab peritonitis

infeksi.Peritonitis TB paling baik didiagnosa dengan biopsy peritoneum baik secara

perkutaneus atau melalui laparoskopi.Karena kultur dan biopsy untuk TB memerlukan

1

Page 2: kasus kematian

waktu 6 minggu, maka biasanya terapi TB dapat dimulai berdasarkan pemeriksaan

histopatologi.Diagnosa tumor di peritoneum berdasarkan analisa sitologi dan biopsy.

Test-test lain dapat dipakai untuk menentukan letak tumor primer. Asites karena penyakit

pancreas biasanya akibat ektravasasi cairan pancreas dari sistem duktus pancreas yang

rusak biasanya dari pseudokista. USG, CT scan dan ERCP dapat menunjukkan letak

kerusakan secara tepat.

Patogenesis

Asites dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, diantaranya :

•Peningkatan tekanan hidrostatik : Sirosis, oklusi vena hepatika (sindrom Budd-Chiari),

obstruksi vena cafa infefrior, perikarditis konstriktif, penyakit jantung kongestif.

•Penurunan tekanan osmotik koloid : Penyakit hati stadium lanjut dengan gangguan

sintesis protein, sindrom nefrotik, malbutrisi, protein loosing enteropahty.

•Peningkatan permeabilitas kalpiler peritoneal : Peritonitis TB, peritonitis bakteri,

penyakit keganasan pada peritoneum.

•Kebocoran cairan di cavum peritoneal : Bile ascites, pancreatic ascites (secondary to a

leaking pseudocyst), chylous ascites, urine ascites.

•Misscellaneous : Myxedema, ovarian disease (Meigs‘ syndrome), chronic hemodialysis.

Patofisiologi

Terjadinya asites dapat diterangkan sebagai berikut :

• Peningkatan tekanan portal yang diikuti oleh perkembangan aliran kolateral melaui

lower pressure pathways. Hipertensi portal memacu pelepasan nitric oxide, menyebabkan

vasodilatasi dan pembesaran ruang intavaskuler. Tubuh berusaha mengoreksi

hipovolemia yang terdeteksi (perceived hypovolemia) ini dengan memacu faktor-faktor

antinatriuretik dan vasokonstriktor yang memicu retensi cairan dan garam, dengan

demikian mengganggu keseimbangan Starling forces yang mempertahankan hemostasis

cairan. Lalu, cairan itu mengalir (seperti berkeringat) dari permukaan hati (liver) dan

mengumpul di rongga perut (abdominal cavity).

• Bila terjadi perdarahan akibat pecahnya varises esopahagus, maka kadar plasma protein

dapat menurun, sehingga tekanan koloid osmotic menurun pula, kemudian terjadilah

asites. Sebaliknya bila kadar plasma protein kembali normal, maka asitesnya akan

menghilang walaupun hipertensi portal tetap ada (Sujono Hadi). Hipertensi portal

2

Page 3: kasus kematian

mengakibatkan penurunan volume intravaskuler sehingga perfusi ginjal pun menurun.

Hal ini meningkatkan aktifitas plasma renin sehingga aldosteron juga meningkat.

Aldosteron berperan dalam mengatur keseimbangan elektrolit terutama natrium, dengan

peningkatan aldosteron maka terjadi retensi natrium yang pada akhirnya menyebabkan

retensi cairan.

• Tekanan koloid plasma yang biasa bergantung pada albumin di dalam serum. Pada

keadaan normal albumin dibentuk oleh hati. Bilamana hati terganggu fungsinya, maka

pembentukan albumin juga terganggu, dan kadarnya menurun, sehingga tekanan koloid

osmotic juga berkurang. Terdapatnya kadar albumin kurang dari 3 gr % sudah dapat

merupakan tandan kritis untuk timbulnya asites.

Pendekatan Diagnosis

Riwayat Penyakit

Perut membesar pertama kali diketahui penderita dari ukuran ikat pinggang dan

pakaian yang semakin besar, timbulnya hernia abdominal dan inguinal, atau pembesaran

abdomen setempat. Distensi perut yang progressive umumnya diikuti perasaan menekan

atau tegang pada pinggang dan nyeri pada pinggang bawah. Nyeri local umumnya berasal

dari keterlibatan suatu organ abdomen (misalnya bendungan pasif hati, lien yang

membesar atau tumor colon).

Nyeri tidak umum terdapat pada asites, umumnya terdapat pada pankreatitis,

hepatoseluler carcinoma atau peritonitis. Asites yang besar atau tumor abdomen dapat

mengakibatkan heart burn dan keluhan indigesti akibat reflux gastroesofageal atau

dispnea, ortopnea ,dan takipnea akibat diafragma yang tinggi. Pleural effusi yang terjadi

bersamaan pada umumnya terletak di kanan, diakibatkan kebocoran cairan asites melalui

suatu celah di diafragma. Penderita perlu ditanyakan tentang riwayat intake alcohol,

riwayat sakit kuning atau hematuria sebelumnya dan adanya perubahan BAB.

Pemeriksaan Fisik

Eritema palmaris dan spider naevi memberi petunjuk adanya sirosis, adenopati

supraklavikula (Virchow’s node ) memberi petunjuk adanya keganasan gastrointestinal.

Inspeksi abdomen sangat penting peranannya. Dengan melihat kontur abdomen ,dapat

dibedakan pembesaran local atau diffus dari abdomen. Distensi abdomen yang tegang,

3

Page 4: kasus kematian

pinggang yang membonjol kesamping, umbilicus yang menonjol merupakan tanda khas

adanya asites. Venektasi dengan arah aliran darah menjauhi umbilicus merupakan tanda

hipertensi portal, sedangkan arah aliran darah dari bawah menuju umbilicus menunjukkan

obstruksi vena cava inferior, sedangkan pada obstruksi vena cava superior arahnya dari

atas menuju umbilicus. Obstruksi usus dan obstruksi pylorus dapat diketahui dengan

melihat adanya suatu kontur dari massa. Massa noduler di kuadran kanan atas yang ikut

bergerak dengan pernapasan menunjukkan suatu keganasan di hati.

Auskultasi dapat menunjukkan adanya obstruksi usus, bruit dan friction rub

terdapat pada hepatoseluler carcinoma. Bising vena merupakan tanda hipertensi portal

atau meningkatnya aliran kolateral di hati. Gelombang cairan, pekak samping dan pekak

pindah merupakan tanda adanya cairan di pertitoneum. Untuk jumlah cairan asites yang

sedikit dapat dideteksi dengan posisi penderita menyangga pada tangan dan kaki. Jumlah

cairan yang sedikit kadang hanya dapat dideteksi dengan USG.

Perkusi abdomen harus dapat membedakan pembesaran perut local dengan diffus,

memperkirakan ukuran hati dan tanda adanya udara bebas akibat perforasi usus.

Palpasi pada keadaan asites massif sulit dilakukan, metode ballottement dipergunakan

untuk menilai hati dan lien. Hepar dengan konsistensi lunak menunjukkan obstruksi

ekstrahepatik, konsistensi kenyal menunjukkan sirosis, konsistensi keras dan noduler

menunjukkan suatu tumor. Nodul keras disekitar umbilicus (Sister Mary Joseph’s

Nodule) menunjukkan suatu metastase keganasan di pelvis atau gastrointestinal ke

peritoneum. Pulsasi hati disertai asites sering terdapat pada insufisiensi trikuspidal.

Massa yang tidak ikut bergerak pada pernafasan menunjukkan letaknya di

retroperitoneum. Nyeri local menunjukkan adanya abses, regangan peritoneum visceral

atau nekrosis tumor. Rectal touché dan pemeriksaan pelvis dapat menunjukkan adanya

massa karena tumor atau adanya infeksi.

Foto polos abdomen, USG, CT scan diperlukan sesuai keadaan. Pemeriksaan dengan

barium atau kontras lainnya digunakan untuk mencari tumor primer.

Derajat asites dapat ditentukan sebagai berikut :

• Derajat 1: Mild, hanya dapat terdeteksi dengan ultrasonografi

• Derajat 2: Moderate, symetrical distension, mudah diketahui demgam pemeriksaan fisik

biasa.

4

Page 5: kasus kematian

• Derajat 3: Gross or large with marked distension, biasanya dengan nyeri atau perasaan

tidak nyaman

Terapi 

Penanganan asites tergantung dari penyebabnya, diuretik dan diet rendah garam

sangat efektif pada asites karena hipertensi portal. Pada asites karena inflamasi atau

keganasan tidak memberi hasil. Restriksi cairan diperlukan bila kadar natrium turun

hingga < 120 mmol/L. 

Obat 

Kombinasi spironolakton dan furosemid sangat efektif untuk mengatasi asites

dalam waktu singkat. Dosis awal untuk spironolakton adalah 1-3 mg/kg/24 jam dibagi 2-

4 dosis dan furosemid sebesar 1-2 mg/kgBB/dosis 4 kali/hari, dapat ditingkatkan sampai

6 mg/kgBB/dosis. Pada asites yang tidak memberi respon dengan pengobatan diatas

dapat dilakukan cara berikut : 

Parasentesis 

Peritoneovenous shunt LeVeen atau Denver 

Ultrafiltrasi ekstrakorporal dari cairan asites dengan reinfus 

Berdasarkan penelitian, spironolakton 2x50 mg selama 1 bulan terbukti efektif

pada penderita asites. Spironolakton tidak boleh diberikan pada penderita asites yang

disertai dengan ginekomasti (pembesaran payudara) yang nyeri. 

Paracentesis 

Pengambilan cairan untuk mengurangi asites masif yang aman untuk anak adalah

sebesar 50 cc/kg berat badan. Disarankan pemberian 10 g albumin intravena untuk tiap 1

liter cairan yang diaspirasi untuk mencegah penurunan volume plasma dan gangguan

keseimbangan elektrolit. 

Monitoring 

Rawat inap diperlukan untuk memantau peningkatan berat badan serta pemasukan

dan pengeluaran cairan. Pemantauan keseimbangan natrium dapat diperkirakan dengan

monitoring pemasukan (diet, kadar natrium dalam obat dan cairan infus) dan produksi

urin. Keseimbangan Na negatif adalah prediktor dari penurunan berat badan.

Keberhasilan manajemen pasien dengan asites tanpa edema perifer adalah keseimbangan

Na negatif dengan penurunan berat badan sebesar 0,5 kg per hari. 

5

Page 6: kasus kematian

Diet 

Restriksi asupan natrium (garam) 500 mg/hari (22 mmol/hari) mudah diterapkan

pada

pasien-pasien yang dirawat akan tetapi sulit dilakukan pada pasien rawat jalan. Untuk itu

pembatasan dapat ditolerir sampai batas 2000 mg/hari (88 mmol/hari).

B. GAGAL GINJAL KRONIK

Anatomi dan Fisiologi

Ginjal merupakan sepasang organ yang berbentuk seperti kacang (bean-shaped)

yang terletak di tepi tulang belakang dibawah punggung bagian tengah. Setiap ginjal

terdiri dari kira-kira satu juta unit penyaring, yang disebut nefron. Setiap nefron terbuat

dari glomerulus dan tubulus. Ginjal terhubung pada kandung kemih melalui ureter.

Kandung kemih terhubung ke luar tubuh melalui uretra.

Gambar 2.1 Anatomi Ginjal

Nefron adalah unit terkecil pada ginjal yang mempunyai struktur dan fungsi

sebagai penyaring darah yang terletak pada lapisan terluar (korteks) ginjal. Nefron terdiri

6

Page 7: kasus kematian

atas tubulus, yang terdiri atas tubulus kontortus proksimal dan distal serta tubulus

kolektifitus dan buluh malpighi yang terdiri atas glomelorus (yang tersusun atas banyak

pembuluh darah dan kapsula bowman).

Berikut ini adalah cara kerja dari nefron, meliputi:

1. Filtrasi

Filtrasi dimulai dengan masuknya darah ke glomerulus dan disaring oleh sel endotelium,

kemudian disaring lagi oleh sel podosit didalam kapsula bowman dan jadilah urin primer.

2. Reabsorbsi

Urin primer masuk kedalam tubulus proksimal untuk mengalami reabsorbsi, yaitu dengan

cara menyerap kembali zat-zat yang masih bermanfaat, sehingga menghasilkan urin

sekunder.

3. Augmentasi

Proses augmentasi yaitu penambahan cairan ke urin sekunder yang terjadi pada tubulus

distal kemudian menuju tubulus kolektus. Dengan demikian, tugas nefron selesai dan urin

akan ditampung didalam kandung kemih untuk segera diekskresikan keluar tubuh.

Gambar 2.2 Fisiologi ginjal

Fungsi utama ginjal adalah membuang produk yang tidak terpakai dan kelebihan

air dari darah. Ginjal memproses sekitar 200 liter darah per hari dan memproduksi sekitar

7

Page 8: kasus kematian

2 liter urin. Produk yang tak terpakai berasal dari proses metabolik normal termasuk

penghancuran jaringan aktif, makanan yang tercerna, dan bahan-bahan lain. Ginjal juga

berperan dalam mengatur berbagai macam mineral seperti kalsium, sodium, dan potasium

didalam darah.

Langkah pertama dari filtrasi yaitu darah dibawa ke glomerulus melalui kapiler.

Darah disaring dari produk dan cairan yang tak terpakai, sedangkan sel darah merah,

protein, dan molekul besar tetap dalam kapiler. Namun, beberapa bahan yang berguna

juga ikut tersaring keluar. Bahan-bahan yang tersaring dikumpulkan dalam kapsula

Bowman. Selain itu terdapat tubula yang berfungsi memproses filtrat, reabsorb air dan

bahan kimia yang berguna bagi tubuh.

Definisi

Penyakit Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan

etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada

umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan

klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu saat

yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi

ginjal.

Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua

organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik, penyajian dan

hebatnya tanda dan gejala uremia berbeda dari pasien yang satu dengan pasien yang lain,

tergantung paling tidak sebagian pada besarnya penurunan massa ginjal yang masih

berfungsi dan kecepatan hilangnya fungsi ginjal.

Kriteria Penyakit Ginjal Kronik antara lain :

1) Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa

kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi

glomerulus (LFG), dengan manifestasi :

- kelainan patologis

- terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah dan

urin atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)

2) Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m² selama 3

bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

8

Page 9: kasus kematian

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan LFG sama atau lebih

dari 60 ml/menit/1,73m², tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik

Epidemiologi

Menurut data yang dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun

2007-2008, hasilnya adalah penyebab / etiologi terbanyak penyakit ginjal kronik adalah

glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik

(10%).4. Menurut data statistik di berbagai negara maju seperti di Amerika, angka

kematian akibat gagal ginjal kronik meningkat sekitar 20%. Total orang amerika yang

terkena penyakit gagal ginjal kronik mencapai 26 juta orang. Menurut data dari WHO,

Indonesia termasuk dalam urutan ke-4 sebagai negara dengan penderita gagal ginjal

kronik terbanyak yang jumlahnya mencapai 16 juta jiwa. Hal ini cukup signifikan dan

buktinya dapat dilihat dari persentase peningkatan jumlah penderita gagal ginjal yang

datang ke poli klinik ginjal dan banyaknya penderita yang menjalani program

hemodialisis.

Etiologi

Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000

1. Glomerulonefritis (46,39%)

2. Diabetes Mellitus (18,65%)

3. Obstruksi dan infeksi (12,85%)

4. Hipertensi (8,46%)

5. Sebab lain (13,65%)

Hiperurisemia juga dapat menjadi faktor risiko dimana terdapat kelebihan kadar

asam urat di darah misalnya pada penderita arthritis Gout. Asam urat ini akan

meningkatkan konsentrasi plasma darah yang difiltrasi ginjal dan mengendap di lumen

tubulus, akibatnya semakin lama akan terjadi penyumbatan, peningkatan tekanan

intrarenal, dan akhirnya aliran darah yang terfiltrasi (GFR) turun serta menimbulkan

reaksi inflamasi.

Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.

Insidennya

pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih.

9

Page 10: kasus kematian

Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang

mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih

sama. Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara struktural dan

fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi “kompensatori” ini akibat hiperfiltrasi

adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses

adaptasi ini berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa

sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi

nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya

peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensinaldosteron intrarenal ikut memberikan

konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas tersebut. Aktivitas

jangka panjang aksis renin-angiotensinaldosteron, sebagian diperantarai oleh growth

factor seperti transforming growth factor ß. Beberapa hal yang juga dianggap berperan

terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,

hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya

sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.

Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan daya

cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah

meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron

yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.

Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik),

tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar

30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan

kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien

memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan

darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain

sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi

saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan

air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium

dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius,

dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara

10

Page 11: kasus kematian

lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada

stadium gagal ginjal.

Klasifikasi

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat

(stage) penyakit dan dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit

dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcorft-Gault

sebagai berikut:

LFG (ml/menit/1,73m²) = (140-umur)x berat badan / 72x kreatinin plasma (mg/dl)*)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi tersebut terlihat pada tabel 1

Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

11

Page 12: kasus kematian

Klasifikasi atas dasar diagnosis terlihat pada tabel 2

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas dasar Diagnosis Etiologi

Diagnosis

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :

a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari, seperti diabetes malitus, infeksi traktus

urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus

Sistemik (LES),dll.

b. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia,

kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost,

perikarditis, kejang-kejang sampai koma.

c. Gejala komplikasinya, antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah

jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,

khlorida).

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:

a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya

b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan

penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar

kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.

12

Page 13: kasus kematian

c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan

kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,

hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolik.

d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria

Pemeriksaan radiologis penyakit GGK meliputi :

a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak

b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter

glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras

terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan

c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi

d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang

menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi

e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi

Penatalaksanaan.

Tabel 3. Rencana tatalaksana penyakit GGK sesuai dengan derajatnya

1. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara

progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki

metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.

13

Page 14: kasus kematian

a. Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi

toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan

keseimbangan negatif nitrogen.

b. Kebutuhan jumlah kalori

Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan

utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi

dan memelihara status gizi.

c. Kebutuhan cairan

Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis

mencapai 2 L per hari.

d. Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan

penyebab dasar penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease).

2. Terapi simptomatik

a. Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia).

Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali.

Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau

serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.

b. Anemia

Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis inisial 50 u/kg IV 3

kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberian menjadi 2

kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga kalidalam

seminggu.

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi

alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena

dapat menyebabkan kematian mendadak. Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.

c. Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada

GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari

14

Page 15: kasus kematian

GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai

anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-

obatan simtomatik.

d. Kelainan kulit

Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.

e. Kelainan neuromuskular

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis regular yang

adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.

f. Hipertensi

Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym Konverting

Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor). Melalui berbagai studi

terbukti dapat memperlambat proses pemburukan antihipertensi dan antiproteinuria.

g. Kelainan sistem kardiovaskular

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting,

karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit

kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang

diderita, termasuk pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, hiperfosfatemia, dan

terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbanagan elektrolit.

3. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG

kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialysis peritoneal,

dan transplantasi ginjal.

a. Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia,

dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang

belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis,

yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi

absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan

kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah

persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.

15

Page 16: kasus kematian

Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m2, mual, anoreksia, muntah,

dan astenia berat.

b. Dialisis peritoneal (DP)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di

pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-

anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita

penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang cenderung akan mengalami

perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan

stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien

nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality.

c. Transplantasi ginjal

Prognosis

Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau

stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari,

keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani dialisis

kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal

ginjal stadium akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada

yang menjalani dialysis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung

(45%), infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%).

C. GAGAL JANTUNG KONGESTIFS (CHF)

Definisi

Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung memompa darah

dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan

nutrien.

Etiologi

Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh :

1) Kelainan otot jantung

Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan

menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan

fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit

degeneratif atau inflamasi.

16

Page 17: kasus kematian

2) Aterosklerosis koroner

Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke

otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark

miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung.

Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung

karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan

kontraktilitas menurun.

3) Hipertensi sistemik atau pulmonal

Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi

serabut otot jantung.

4) Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif

Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak

serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.

5) Penyakit jantung lain

Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang

secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat mencakup

gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katup semiluner),

ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade, perikardium, perikarditif

konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan mendadak afterload.

6) Faktor sistemik

Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya

gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misal: demam), hipoksia dan

anemia diperlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen

sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung.

Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalitaselektronik dapat menurunkan

kontraktilitas jantung.

Patofisiologi

Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu

sistem tubuh melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga

jantung tidak mampu memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal

17

Page 18: kasus kematian

jantung ditandai dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal yang

nyata serta suatu keadaan

patologik berupa penurunan fungsi jantung. Salah satu respon hemodinamik yang

tidak normal adalah peningkatan tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung

atau preload. Respon terhadap jantung menimbulkan beberapa mekanisme

kompensasi yang bertujuan untuk meningkatkan volume darah, volume ruang

jantung, tahanan pembuluh

darah perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi

dari mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam oleh

ginjal dan aktivasi system saraf adrenergik.

Gambar 2.3 Alur kematian CHF

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis gagal jantung bervariasi, tergantung dari umur pasien,

beratnya gagal jantung, etiologi penyakit jantung, ruang-ruang jantung yang terlibat,

apakah kedua ventrikel mengalami kegagalan serta derajat gangguan penampilan jantung.

Pada penderita gagal jantung kongestif, hampir selalu ditemukan :

1) Gejala paru berupa dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea.

2) Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi, mual, muntah,

asites, hepatomegali, dan edema perifer.

18

Page 19: kasus kematian

3) Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, mimpi buruk

sampai delirium.

Komplikasi CHF

1) Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena dalam atau

deep venous thrombosis dan emboli paru atau EP) dan emboli sistemik tinggi,

terutama pada CHF berat. Bisa diturunkan dengan pemberian warfarin.

2) Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa menyebabkan

perburukan dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan denyut jantung (dengan digoxin

atau β blocker dan pemberian warfarin).

3) Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan dosis

ditinggikan.

4) Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau sudden cardiac

death (25-50% kematian CHF). Pada pasien yang berhasil diresusitasi, amiodaron, β

blocker, dan vebrilator yang ditanam mungkin turut mempunyai peranan.

Penatalaksanaan CHF

Dasar penatalaksanaan pasien gagal jantung adalah:

1) Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung.

2) Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraksi jantung dengan bahanbahan

farmakologis.

3) Menghilangkan penimbunan cairan tubuh berlebihan dengan terapi

diuretik diet dan istirahat.

Terapi Farmakologi

1) Diuretik (Diuretik tiazid dan loop diuretik)

Mengurangi kongestif pulmonal dan edema perifer, mengurangi gejala volume

berlebihan seperti ortopnea dan dispnea noktural peroksimal, menurunkan volume

plasma selanjutnya menurunkan preload untuk mengurangi beban kerja jantung dan

kebutuhan oksigen dan juga menurunkan afterload agar tekanan darah menurun.

2) Antagonis aldosteron

Menurunkan mortalitas pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat.

3) Obat inotropik

Meningkatkan kontraksi otot jantung dan curah jantung.

19

Page 20: kasus kematian

4) Glikosida digitalis

Meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung menyebabkan penurunan volume

distribusi.

5) Vasodilator (Captopril, isosorbit dinitrat)

Mengurangi preload dan afterload yang berlebihan, dilatasi pembuluh darah vena

menyebabkan berkurangnya preload jantung dengan meningkatkan kapasitas vena.

6) Inhibitor ACE

Mengurangi kadar angiostensin II dalam sirkulasi dan mengurangi sekresi aldosteron

sehingga menyebabkan penurunan sekresi natrium dan air. Inhibitor ini juga

menurunkan retensi vaskuler vena dan tekanan darah yg menyebabkan peningkatan

curah jantung.

Terapi non farmakologi

Penderita dianjurkan untuk membatasi aktivitas sesuai beratnya keluhan

seperti: diet rendah garam, mengurangi berat badan, mengurangi lemak, mengurangi

stress psikis, menghindari rokok, olahraga teratur.

DAFTAR PUSTAKA

20

Page 21: kasus kematian

1. Chronic Kidney Disease. National Kidney Foundation. [online] New York. 2010

Diakses dari : http://www.kidney.org/kidneydisease/ckd/index.cfm/, 08 Maret 2013

2. Suwitra, K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam : Sudoyo A, Setyohadi B, Idrus A,

Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi IV, Jilid I.

Jakarta: FKUI. 2007.

3. Editorial. Glomerulonefritis. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.

com/article/777272-overview, 08 Maret 2013.

4. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord Handbook of

Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University

5. Editorial. Obat Hemopoetic. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Ed. 8. Jakarta:

CMPMedica Asia Pte Ltd; 2008

6. ESC guidelines for diagnosis and treatment of Chronic heart failure : full text (update

2005). The taks force for the diagnosis and treatment of CHS of the European Society

of Cardiology. European Heart J 2005.

7.Colucci WS, Braunwald E. Pathophysiology of heart failure.In Baunwald’s Heart

Disease. A Textbook of cardiovascularmedicine. 7th edit. Elsevier Saunders.

Philadelphia. 2005

21