kasus kematian
DESCRIPTION
caseTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ASITES
Kata asites berasal dari bahasa Yunani (askos) yang artinya kantung. Asites
adalah keadaan terkumpulnya cairan patologis di dalam rongga abdomen. Lelaki yang
sehat hanya memiliki sedikit atau tidak sama sekali cairan intraperitoneal, sedangkan
wanita masih normal kurang lebih 20 mL.
Penyebab asites terbanyak adalah gangguan hati kronis, tetapi dapat pula
disebabkan penyakit lain, seperti gagal jantung, sindrom nefrotik, atau carcinoma
diseminata. Yang penting adalah menentukan ada tidaknya factor lain yang menyebabkan
asites selain yang disebutkan di atas.
Parasentesis diagnostik ( 50-100 ml ) : kadar protein, jumlah sel, hitung jenis sel,
pewarnaan gram dan BTA, kultur harus dikerjakan. Pemeriksaan sitologi dapat memberi
petunjuk adanya carcinoma. Transudat khas untuk sirosis (< 25 g/L, BJ < 1.016)
sedangkan untuk peritonitis bersifat eksudat Gradien serum-asites albumin > 1,1 g/dL
khas untuk sirosis uncomplicated akibat hipertensi portal, gardien < 1,1 g/dL
menunjukkan asites bukan disebabkan hipertensi portal.Cairan bercampur darah dengan
protein > 25 g/L menunjukkan peritonitis TB atau keganasan. Cairan keruh dengan
dominasi PMN menunjukkan peritonitis bacterial sedangkan dominasi MN menunjukkan
TBC. Laparoskopi dan biopsy digunakan untuk kasus tertentu..
High gradient asites (transudat) tanpa sebab yang jelas umumnya disebabkan oleh
sirosis, hipertensi vena sisi kanan yang meningkatkan tekanan sinusoid hepatic, keadaan
hipoalbuminemia. Pemeriksaan fungsi hati, scan lien dan hepar, CT scan atau USG dan
biopsy kadang diperlukan.
Low gradient asites (eksudat) menunjukkan infeksi atau tumor di peritoneum.
Kultur bakteri cairan asites dapat menunjukkan organisme penyebab peritonitis
infeksi.Peritonitis TB paling baik didiagnosa dengan biopsy peritoneum baik secara
perkutaneus atau melalui laparoskopi.Karena kultur dan biopsy untuk TB memerlukan
1
waktu 6 minggu, maka biasanya terapi TB dapat dimulai berdasarkan pemeriksaan
histopatologi.Diagnosa tumor di peritoneum berdasarkan analisa sitologi dan biopsy.
Test-test lain dapat dipakai untuk menentukan letak tumor primer. Asites karena penyakit
pancreas biasanya akibat ektravasasi cairan pancreas dari sistem duktus pancreas yang
rusak biasanya dari pseudokista. USG, CT scan dan ERCP dapat menunjukkan letak
kerusakan secara tepat.
Patogenesis
Asites dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, diantaranya :
•Peningkatan tekanan hidrostatik : Sirosis, oklusi vena hepatika (sindrom Budd-Chiari),
obstruksi vena cafa infefrior, perikarditis konstriktif, penyakit jantung kongestif.
•Penurunan tekanan osmotik koloid : Penyakit hati stadium lanjut dengan gangguan
sintesis protein, sindrom nefrotik, malbutrisi, protein loosing enteropahty.
•Peningkatan permeabilitas kalpiler peritoneal : Peritonitis TB, peritonitis bakteri,
penyakit keganasan pada peritoneum.
•Kebocoran cairan di cavum peritoneal : Bile ascites, pancreatic ascites (secondary to a
leaking pseudocyst), chylous ascites, urine ascites.
•Misscellaneous : Myxedema, ovarian disease (Meigs‘ syndrome), chronic hemodialysis.
Patofisiologi
Terjadinya asites dapat diterangkan sebagai berikut :
• Peningkatan tekanan portal yang diikuti oleh perkembangan aliran kolateral melaui
lower pressure pathways. Hipertensi portal memacu pelepasan nitric oxide, menyebabkan
vasodilatasi dan pembesaran ruang intavaskuler. Tubuh berusaha mengoreksi
hipovolemia yang terdeteksi (perceived hypovolemia) ini dengan memacu faktor-faktor
antinatriuretik dan vasokonstriktor yang memicu retensi cairan dan garam, dengan
demikian mengganggu keseimbangan Starling forces yang mempertahankan hemostasis
cairan. Lalu, cairan itu mengalir (seperti berkeringat) dari permukaan hati (liver) dan
mengumpul di rongga perut (abdominal cavity).
• Bila terjadi perdarahan akibat pecahnya varises esopahagus, maka kadar plasma protein
dapat menurun, sehingga tekanan koloid osmotic menurun pula, kemudian terjadilah
asites. Sebaliknya bila kadar plasma protein kembali normal, maka asitesnya akan
menghilang walaupun hipertensi portal tetap ada (Sujono Hadi). Hipertensi portal
2
mengakibatkan penurunan volume intravaskuler sehingga perfusi ginjal pun menurun.
Hal ini meningkatkan aktifitas plasma renin sehingga aldosteron juga meningkat.
Aldosteron berperan dalam mengatur keseimbangan elektrolit terutama natrium, dengan
peningkatan aldosteron maka terjadi retensi natrium yang pada akhirnya menyebabkan
retensi cairan.
• Tekanan koloid plasma yang biasa bergantung pada albumin di dalam serum. Pada
keadaan normal albumin dibentuk oleh hati. Bilamana hati terganggu fungsinya, maka
pembentukan albumin juga terganggu, dan kadarnya menurun, sehingga tekanan koloid
osmotic juga berkurang. Terdapatnya kadar albumin kurang dari 3 gr % sudah dapat
merupakan tandan kritis untuk timbulnya asites.
Pendekatan Diagnosis
Riwayat Penyakit
Perut membesar pertama kali diketahui penderita dari ukuran ikat pinggang dan
pakaian yang semakin besar, timbulnya hernia abdominal dan inguinal, atau pembesaran
abdomen setempat. Distensi perut yang progressive umumnya diikuti perasaan menekan
atau tegang pada pinggang dan nyeri pada pinggang bawah. Nyeri local umumnya berasal
dari keterlibatan suatu organ abdomen (misalnya bendungan pasif hati, lien yang
membesar atau tumor colon).
Nyeri tidak umum terdapat pada asites, umumnya terdapat pada pankreatitis,
hepatoseluler carcinoma atau peritonitis. Asites yang besar atau tumor abdomen dapat
mengakibatkan heart burn dan keluhan indigesti akibat reflux gastroesofageal atau
dispnea, ortopnea ,dan takipnea akibat diafragma yang tinggi. Pleural effusi yang terjadi
bersamaan pada umumnya terletak di kanan, diakibatkan kebocoran cairan asites melalui
suatu celah di diafragma. Penderita perlu ditanyakan tentang riwayat intake alcohol,
riwayat sakit kuning atau hematuria sebelumnya dan adanya perubahan BAB.
Pemeriksaan Fisik
Eritema palmaris dan spider naevi memberi petunjuk adanya sirosis, adenopati
supraklavikula (Virchow’s node ) memberi petunjuk adanya keganasan gastrointestinal.
Inspeksi abdomen sangat penting peranannya. Dengan melihat kontur abdomen ,dapat
dibedakan pembesaran local atau diffus dari abdomen. Distensi abdomen yang tegang,
3
pinggang yang membonjol kesamping, umbilicus yang menonjol merupakan tanda khas
adanya asites. Venektasi dengan arah aliran darah menjauhi umbilicus merupakan tanda
hipertensi portal, sedangkan arah aliran darah dari bawah menuju umbilicus menunjukkan
obstruksi vena cava inferior, sedangkan pada obstruksi vena cava superior arahnya dari
atas menuju umbilicus. Obstruksi usus dan obstruksi pylorus dapat diketahui dengan
melihat adanya suatu kontur dari massa. Massa noduler di kuadran kanan atas yang ikut
bergerak dengan pernapasan menunjukkan suatu keganasan di hati.
Auskultasi dapat menunjukkan adanya obstruksi usus, bruit dan friction rub
terdapat pada hepatoseluler carcinoma. Bising vena merupakan tanda hipertensi portal
atau meningkatnya aliran kolateral di hati. Gelombang cairan, pekak samping dan pekak
pindah merupakan tanda adanya cairan di pertitoneum. Untuk jumlah cairan asites yang
sedikit dapat dideteksi dengan posisi penderita menyangga pada tangan dan kaki. Jumlah
cairan yang sedikit kadang hanya dapat dideteksi dengan USG.
Perkusi abdomen harus dapat membedakan pembesaran perut local dengan diffus,
memperkirakan ukuran hati dan tanda adanya udara bebas akibat perforasi usus.
Palpasi pada keadaan asites massif sulit dilakukan, metode ballottement dipergunakan
untuk menilai hati dan lien. Hepar dengan konsistensi lunak menunjukkan obstruksi
ekstrahepatik, konsistensi kenyal menunjukkan sirosis, konsistensi keras dan noduler
menunjukkan suatu tumor. Nodul keras disekitar umbilicus (Sister Mary Joseph’s
Nodule) menunjukkan suatu metastase keganasan di pelvis atau gastrointestinal ke
peritoneum. Pulsasi hati disertai asites sering terdapat pada insufisiensi trikuspidal.
Massa yang tidak ikut bergerak pada pernafasan menunjukkan letaknya di
retroperitoneum. Nyeri local menunjukkan adanya abses, regangan peritoneum visceral
atau nekrosis tumor. Rectal touché dan pemeriksaan pelvis dapat menunjukkan adanya
massa karena tumor atau adanya infeksi.
Foto polos abdomen, USG, CT scan diperlukan sesuai keadaan. Pemeriksaan dengan
barium atau kontras lainnya digunakan untuk mencari tumor primer.
Derajat asites dapat ditentukan sebagai berikut :
• Derajat 1: Mild, hanya dapat terdeteksi dengan ultrasonografi
• Derajat 2: Moderate, symetrical distension, mudah diketahui demgam pemeriksaan fisik
biasa.
4
• Derajat 3: Gross or large with marked distension, biasanya dengan nyeri atau perasaan
tidak nyaman
Terapi
Penanganan asites tergantung dari penyebabnya, diuretik dan diet rendah garam
sangat efektif pada asites karena hipertensi portal. Pada asites karena inflamasi atau
keganasan tidak memberi hasil. Restriksi cairan diperlukan bila kadar natrium turun
hingga < 120 mmol/L.
Obat
Kombinasi spironolakton dan furosemid sangat efektif untuk mengatasi asites
dalam waktu singkat. Dosis awal untuk spironolakton adalah 1-3 mg/kg/24 jam dibagi 2-
4 dosis dan furosemid sebesar 1-2 mg/kgBB/dosis 4 kali/hari, dapat ditingkatkan sampai
6 mg/kgBB/dosis. Pada asites yang tidak memberi respon dengan pengobatan diatas
dapat dilakukan cara berikut :
Parasentesis
Peritoneovenous shunt LeVeen atau Denver
Ultrafiltrasi ekstrakorporal dari cairan asites dengan reinfus
Berdasarkan penelitian, spironolakton 2x50 mg selama 1 bulan terbukti efektif
pada penderita asites. Spironolakton tidak boleh diberikan pada penderita asites yang
disertai dengan ginekomasti (pembesaran payudara) yang nyeri.
Paracentesis
Pengambilan cairan untuk mengurangi asites masif yang aman untuk anak adalah
sebesar 50 cc/kg berat badan. Disarankan pemberian 10 g albumin intravena untuk tiap 1
liter cairan yang diaspirasi untuk mencegah penurunan volume plasma dan gangguan
keseimbangan elektrolit.
Monitoring
Rawat inap diperlukan untuk memantau peningkatan berat badan serta pemasukan
dan pengeluaran cairan. Pemantauan keseimbangan natrium dapat diperkirakan dengan
monitoring pemasukan (diet, kadar natrium dalam obat dan cairan infus) dan produksi
urin. Keseimbangan Na negatif adalah prediktor dari penurunan berat badan.
Keberhasilan manajemen pasien dengan asites tanpa edema perifer adalah keseimbangan
Na negatif dengan penurunan berat badan sebesar 0,5 kg per hari.
5
Diet
Restriksi asupan natrium (garam) 500 mg/hari (22 mmol/hari) mudah diterapkan
pada
pasien-pasien yang dirawat akan tetapi sulit dilakukan pada pasien rawat jalan. Untuk itu
pembatasan dapat ditolerir sampai batas 2000 mg/hari (88 mmol/hari).
B. GAGAL GINJAL KRONIK
Anatomi dan Fisiologi
Ginjal merupakan sepasang organ yang berbentuk seperti kacang (bean-shaped)
yang terletak di tepi tulang belakang dibawah punggung bagian tengah. Setiap ginjal
terdiri dari kira-kira satu juta unit penyaring, yang disebut nefron. Setiap nefron terbuat
dari glomerulus dan tubulus. Ginjal terhubung pada kandung kemih melalui ureter.
Kandung kemih terhubung ke luar tubuh melalui uretra.
Gambar 2.1 Anatomi Ginjal
Nefron adalah unit terkecil pada ginjal yang mempunyai struktur dan fungsi
sebagai penyaring darah yang terletak pada lapisan terluar (korteks) ginjal. Nefron terdiri
6
atas tubulus, yang terdiri atas tubulus kontortus proksimal dan distal serta tubulus
kolektifitus dan buluh malpighi yang terdiri atas glomelorus (yang tersusun atas banyak
pembuluh darah dan kapsula bowman).
Berikut ini adalah cara kerja dari nefron, meliputi:
1. Filtrasi
Filtrasi dimulai dengan masuknya darah ke glomerulus dan disaring oleh sel endotelium,
kemudian disaring lagi oleh sel podosit didalam kapsula bowman dan jadilah urin primer.
2. Reabsorbsi
Urin primer masuk kedalam tubulus proksimal untuk mengalami reabsorbsi, yaitu dengan
cara menyerap kembali zat-zat yang masih bermanfaat, sehingga menghasilkan urin
sekunder.
3. Augmentasi
Proses augmentasi yaitu penambahan cairan ke urin sekunder yang terjadi pada tubulus
distal kemudian menuju tubulus kolektus. Dengan demikian, tugas nefron selesai dan urin
akan ditampung didalam kandung kemih untuk segera diekskresikan keluar tubuh.
Gambar 2.2 Fisiologi ginjal
Fungsi utama ginjal adalah membuang produk yang tidak terpakai dan kelebihan
air dari darah. Ginjal memproses sekitar 200 liter darah per hari dan memproduksi sekitar
7
2 liter urin. Produk yang tak terpakai berasal dari proses metabolik normal termasuk
penghancuran jaringan aktif, makanan yang tercerna, dan bahan-bahan lain. Ginjal juga
berperan dalam mengatur berbagai macam mineral seperti kalsium, sodium, dan potasium
didalam darah.
Langkah pertama dari filtrasi yaitu darah dibawa ke glomerulus melalui kapiler.
Darah disaring dari produk dan cairan yang tak terpakai, sedangkan sel darah merah,
protein, dan molekul besar tetap dalam kapiler. Namun, beberapa bahan yang berguna
juga ikut tersaring keluar. Bahan-bahan yang tersaring dikumpulkan dalam kapsula
Bowman. Selain itu terdapat tubula yang berfungsi memproses filtrat, reabsorb air dan
bahan kimia yang berguna bagi tubuh.
Definisi
Penyakit Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan
klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu saat
yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi
ginjal.
Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua
organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik, penyajian dan
hebatnya tanda dan gejala uremia berbeda dari pasien yang satu dengan pasien yang lain,
tergantung paling tidak sebagian pada besarnya penurunan massa ginjal yang masih
berfungsi dan kecepatan hilangnya fungsi ginjal.
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik antara lain :
1) Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG), dengan manifestasi :
- kelainan patologis
- terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah dan
urin atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2) Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m² selama 3
bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
8
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan LFG sama atau lebih
dari 60 ml/menit/1,73m², tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik
Epidemiologi
Menurut data yang dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun
2007-2008, hasilnya adalah penyebab / etiologi terbanyak penyakit ginjal kronik adalah
glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik
(10%).4. Menurut data statistik di berbagai negara maju seperti di Amerika, angka
kematian akibat gagal ginjal kronik meningkat sekitar 20%. Total orang amerika yang
terkena penyakit gagal ginjal kronik mencapai 26 juta orang. Menurut data dari WHO,
Indonesia termasuk dalam urutan ke-4 sebagai negara dengan penderita gagal ginjal
kronik terbanyak yang jumlahnya mencapai 16 juta jiwa. Hal ini cukup signifikan dan
buktinya dapat dilihat dari persentase peningkatan jumlah penderita gagal ginjal yang
datang ke poli klinik ginjal dan banyaknya penderita yang menjalani program
hemodialisis.
Etiologi
Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000
1. Glomerulonefritis (46,39%)
2. Diabetes Mellitus (18,65%)
3. Obstruksi dan infeksi (12,85%)
4. Hipertensi (8,46%)
5. Sebab lain (13,65%)
Hiperurisemia juga dapat menjadi faktor risiko dimana terdapat kelebihan kadar
asam urat di darah misalnya pada penderita arthritis Gout. Asam urat ini akan
meningkatkan konsentrasi plasma darah yang difiltrasi ginjal dan mengendap di lumen
tubulus, akibatnya semakin lama akan terjadi penyumbatan, peningkatan tekanan
intrarenal, dan akhirnya aliran darah yang terfiltrasi (GFR) turun serta menimbulkan
reaksi inflamasi.
Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.
Insidennya
pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih.
9
Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara struktural dan
fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi “kompensatori” ini akibat hiperfiltrasi
adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensinaldosteron intrarenal ikut memberikan
konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas tersebut. Aktivitas
jangka panjang aksis renin-angiotensinaldosteron, sebagian diperantarai oleh growth
factor seperti transforming growth factor ß. Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya
sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan daya
cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron
yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik),
tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan
kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan
darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain
sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi
saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan
air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium
dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius,
dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara
10
lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada
stadium gagal ginjal.
Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat
(stage) penyakit dan dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit
dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcorft-Gault
sebagai berikut:
LFG (ml/menit/1,73m²) = (140-umur)x berat badan / 72x kreatinin plasma (mg/dl)*)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Klasifikasi tersebut terlihat pada tabel 1
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
11
Klasifikasi atas dasar diagnosis terlihat pada tabel 2
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas dasar Diagnosis Etiologi
Diagnosis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari, seperti diabetes malitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus
Sistemik (LES),dll.
b. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya, antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
khlorida).
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
12
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria
Pemeriksaan radiologis penyakit GGK meliputi :
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter
glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi
Penatalaksanaan.
Tabel 3. Rencana tatalaksana penyakit GGK sesuai dengan derajatnya
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
13
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi
toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan
keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan
utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi
dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis
mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan
penyebab dasar penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease).
2. Terapi simptomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia).
Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali.
Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau
serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis inisial 50 u/kg IV 3
kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberian menjadi 2
kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga kalidalam
seminggu.
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi
alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena
dapat menyebabkan kematian mendadak. Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada
GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari
14
GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai
anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-
obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis regular yang
adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym Konverting
Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor). Melalui berbagai studi
terbukti dapat memperlambat proses pemburukan antihipertensi dan antiproteinuria.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting,
karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita, termasuk pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, hiperfosfatemia, dan
terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbanagan elektrolit.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG
kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialysis peritoneal,
dan transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia,
dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang
belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis,
yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi
absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah
persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.
15
Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m2, mual, anoreksia, muntah,
dan astenia berat.
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di
pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-
anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita
penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan
stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality.
c. Transplantasi ginjal
Prognosis
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau
stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari,
keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani dialisis
kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal
ginjal stadium akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada
yang menjalani dialysis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung
(45%), infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%).
C. GAGAL JANTUNG KONGESTIFS (CHF)
Definisi
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung memompa darah
dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan
nutrien.
Etiologi
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh :
1) Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan
menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan
fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit
degeneratif atau inflamasi.
16
2) Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke
otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark
miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung.
Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung
karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan
kontraktilitas menurun.
3) Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi
serabut otot jantung.
4) Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak
serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.
5) Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang
secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat mencakup
gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katup semiluner),
ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade, perikardium, perikarditif
konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan mendadak afterload.
6) Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya
gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misal: demam), hipoksia dan
anemia diperlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen
sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung.
Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalitaselektronik dapat menurunkan
kontraktilitas jantung.
Patofisiologi
Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu
sistem tubuh melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga
jantung tidak mampu memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal
17
jantung ditandai dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal yang
nyata serta suatu keadaan
patologik berupa penurunan fungsi jantung. Salah satu respon hemodinamik yang
tidak normal adalah peningkatan tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung
atau preload. Respon terhadap jantung menimbulkan beberapa mekanisme
kompensasi yang bertujuan untuk meningkatkan volume darah, volume ruang
jantung, tahanan pembuluh
darah perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi
dari mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam oleh
ginjal dan aktivasi system saraf adrenergik.
Gambar 2.3 Alur kematian CHF
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis gagal jantung bervariasi, tergantung dari umur pasien,
beratnya gagal jantung, etiologi penyakit jantung, ruang-ruang jantung yang terlibat,
apakah kedua ventrikel mengalami kegagalan serta derajat gangguan penampilan jantung.
Pada penderita gagal jantung kongestif, hampir selalu ditemukan :
1) Gejala paru berupa dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea.
2) Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi, mual, muntah,
asites, hepatomegali, dan edema perifer.
18
3) Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, mimpi buruk
sampai delirium.
Komplikasi CHF
1) Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena dalam atau
deep venous thrombosis dan emboli paru atau EP) dan emboli sistemik tinggi,
terutama pada CHF berat. Bisa diturunkan dengan pemberian warfarin.
2) Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa menyebabkan
perburukan dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan denyut jantung (dengan digoxin
atau β blocker dan pemberian warfarin).
3) Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan dosis
ditinggikan.
4) Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau sudden cardiac
death (25-50% kematian CHF). Pada pasien yang berhasil diresusitasi, amiodaron, β
blocker, dan vebrilator yang ditanam mungkin turut mempunyai peranan.
Penatalaksanaan CHF
Dasar penatalaksanaan pasien gagal jantung adalah:
1) Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung.
2) Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraksi jantung dengan bahanbahan
farmakologis.
3) Menghilangkan penimbunan cairan tubuh berlebihan dengan terapi
diuretik diet dan istirahat.
Terapi Farmakologi
1) Diuretik (Diuretik tiazid dan loop diuretik)
Mengurangi kongestif pulmonal dan edema perifer, mengurangi gejala volume
berlebihan seperti ortopnea dan dispnea noktural peroksimal, menurunkan volume
plasma selanjutnya menurunkan preload untuk mengurangi beban kerja jantung dan
kebutuhan oksigen dan juga menurunkan afterload agar tekanan darah menurun.
2) Antagonis aldosteron
Menurunkan mortalitas pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat.
3) Obat inotropik
Meningkatkan kontraksi otot jantung dan curah jantung.
19
4) Glikosida digitalis
Meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung menyebabkan penurunan volume
distribusi.
5) Vasodilator (Captopril, isosorbit dinitrat)
Mengurangi preload dan afterload yang berlebihan, dilatasi pembuluh darah vena
menyebabkan berkurangnya preload jantung dengan meningkatkan kapasitas vena.
6) Inhibitor ACE
Mengurangi kadar angiostensin II dalam sirkulasi dan mengurangi sekresi aldosteron
sehingga menyebabkan penurunan sekresi natrium dan air. Inhibitor ini juga
menurunkan retensi vaskuler vena dan tekanan darah yg menyebabkan peningkatan
curah jantung.
Terapi non farmakologi
Penderita dianjurkan untuk membatasi aktivitas sesuai beratnya keluhan
seperti: diet rendah garam, mengurangi berat badan, mengurangi lemak, mengurangi
stress psikis, menghindari rokok, olahraga teratur.
DAFTAR PUSTAKA
20
1. Chronic Kidney Disease. National Kidney Foundation. [online] New York. 2010
Diakses dari : http://www.kidney.org/kidneydisease/ckd/index.cfm/, 08 Maret 2013
2. Suwitra, K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam : Sudoyo A, Setyohadi B, Idrus A,
Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi IV, Jilid I.
Jakarta: FKUI. 2007.
3. Editorial. Glomerulonefritis. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.
com/article/777272-overview, 08 Maret 2013.
4. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord Handbook of
Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University
5. Editorial. Obat Hemopoetic. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Ed. 8. Jakarta:
CMPMedica Asia Pte Ltd; 2008
6. ESC guidelines for diagnosis and treatment of Chronic heart failure : full text (update
2005). The taks force for the diagnosis and treatment of CHS of the European Society
of Cardiology. European Heart J 2005.
7.Colucci WS, Braunwald E. Pathophysiology of heart failure.In Baunwald’s Heart
Disease. A Textbook of cardiovascularmedicine. 7th edit. Elsevier Saunders.
Philadelphia. 2005
21