kajian kebijakan manajemen

22
KAJIAN KEBIJAKAN MANAJEMEN RUMAH SAKIT UMUM DAERH PESAWARAN Edi Purwadi., SKM Koordinator Rekam Medis dan Sistem Informasi Kesehatan Rumah Sakit RSUD Pesawaran Kabupaten Pesawaran Ringkasan Eksekutif Kebijakan perijinan sarana kesehatan dalam kerangka desentralisasi menimbulkan berbagai masalah, antara lain adanya tumpang tindih kewenangan perijinan dan ketidak sesuaian kebijakan yang ada. Rumah sakit diijinkan menyelenggarakan pelayanan tanpa mempertimbangkan standar kelengkapan peralatan dan sumberdaya manusia yang dimiliki. Status RS mengikuti aturan payung yang berlaku generik untuk semua organisasi Pemerintah dan umumnya aturan tersebut terkait dengan kebijakan finansial secara umum. Hal ini berdampak pada penyelenggaraan pelayanan, antara lain program prioritas pelayanan BPJS Kesehatan kurang optimal, mekanisme sistim rujukan kurang berjalan karena sarana dan prasarana yang kurang terpenuhi. Akses terhadap pelayanan kesehatan bermutu di Rumah Sakit tidak bisa dipenuhi karena: a) Rumah sakit diijinkan menyelenggarakan pelayanan tanpa mempertimbangkan standar kelengkapan peralatan dan sumber daya manusia yang dimiliki; dan b) Pelayanan kesehatan di rumah sakit diselenggarakan dengan tingkat efisiensi rendah sehubungan dengan lemahnya manajemen RS dan perubahan kebijakan yang tidak konsisten. Kebijakan yang diatur dalam Kepmenkes 1333/1999 tentang standar pelayanan rumah sakit, Permenkes 920/1986 tentang upaya pelayanan kesehatan swasta di bidang medik dan Kepmenkes 1189A/1999 tentang wewenang penetapan ijin di bidang kesehatan belum disesuaikan dengan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta PP-nya. Kebijakan dan instrumen kebijakan yang mengatur pencabutan ijin penyelenggaraan pelayanan kesehatan RS belum ada. Untuk

Upload: rsudpwslampung

Post on 03-Dec-2015

24 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kajian kebijakan menajemen ttg rumah sakit

TRANSCRIPT

Page 1: KAJIAN KEBIJAKAN MANAJEMEN

KAJIAN KEBIJAKAN MANAJEMEN RUMAH SAKIT UMUM DAERH PESAWARAN

Edi Purwadi., SKMKoordinator Rekam Medis dan Sistem Informasi Kesehatan Rumah Sakit

RSUD Pesawaran Kabupaten Pesawaran

Ringkasan Eksekutif

Kebijakan perijinan sarana kesehatan dalam kerangka desentralisasi menimbulkan berbagai masalah, antara lain adanya tumpang tindih kewenangan perijinan dan ketidak sesuaian kebijakan yang ada. Rumah sakit diijinkan menyelenggarakan pelayanan tanpa mempertimbangkan standar kelengkapan peralatan dan sumberdaya manusia yang dimiliki. Status RS mengikuti aturan payung yang berlaku generik untuk semua organisasi Pemerintah dan umumnya aturan tersebut terkait dengan kebijakan finansial secara umum. Hal ini berdampak pada penyelenggaraan pelayanan, antara lain program prioritas pelayanan BPJS Kesehatan kurang optimal, mekanisme sistim rujukan kurang berjalan karena sarana dan prasarana yang kurang terpenuhi. Akses terhadap pelayanan kesehatan bermutu di Rumah Sakit tidak bisa dipenuhi karena: a) Rumah sakit diijinkan menyelenggarakan pelayanan tanpa mempertimbangkan standar kelengkapan peralatan dan sumber daya manusia yang dimiliki; dan b) Pelayanan kesehatan di rumah sakit diselenggarakan dengan tingkat efisiensi rendah sehubungan dengan lemahnya manajemen RS dan perubahan kebijakan yang tidak konsisten.

Kebijakan yang diatur dalam Kepmenkes 1333/1999 tentang standar pelayanan rumah sakit, Permenkes 920/1986 tentang upaya pelayanan kesehatan swasta di bidang medik dan Kepmenkes 1189A/1999 tentang wewenang penetapan ijin di bidang kesehatan belum disesuaikan dengan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta PP-nya. Kebijakan dan instrumen kebijakan yang mengatur pencabutan ijin penyelenggaraan pelayanan kesehatan RS belum ada. Untuk status/kelembagaan RS berbentuk UPT Dinas Kesehatan yang berbentuk Non-Swadana dan Swadana, tidak sejalan dengan semangat Keppres 40/2001 tentang  pedoman kelembagaan dan

pengelolaan rumah sakit daerah, PP 8/2003 tentang pedoman organisasi perangkat daerah dan UU 32/2004 pasal 125. Penetapan status RS Pemerintah yang berlaku saat ini tidak tegas, untuk penetapan status RS daerah masih tumpang tindih, sedangkan RS Swasta tidak ada kejelasan pengaturannya, dan tidak diperhatikan

Page 2: KAJIAN KEBIJAKAN MANAJEMEN

hirarki tingkat kebijakan antara UU, PP, Keppres, dll.  Perubahan status rumah sakit yang selama ini dilakukan tidak didukung dengan instrumen yang mengatur aspek pelayanan rumah sakit, ketenagaan, pembiayaan, sarana dan prasarana. Penyelenggaraan Askeskin tidak berjalan efisien. Ada ketidakjelasan status penjaminan, apakah bersifat social security, health insurance atau protecting the poor, sehingga muncul ketidakpastian atau ketidakjelasan penyelenggaraan Askeskin di Rumah Sakit. Tidak ada instrumen teknis yang mengatur mengenai prosedur rujukan pasien. Kebijakan sistim rujukan hanya mengatur pelayanan kesehatan pemerintah.

Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan makro tentang pelayanan publik yang mengatur perijinan dan kelembagaan, perlu penetapan yang tegas terhadap prinsip penyelenggaraan Askeskin agar penyelenggaraannya bisa dilaksanakan secara konsisten. Perubahan status/kelembagaan sebagai RS PPK-BLU, diperlukan dukungan kemampuan manajemen yang komprehensif, instrumen kebijakan yang diperlukan antara lain:standar fisik, standar alat, standar SDM dan standar pelayanan medis yang seimbang, terintegrasi, dan dapat merespon masalah setempat, instrumen policy monitoring evaluasi dalam penetapan perijinan RS, perlunya PP baru tentang BLU pelayanan publik yang bersifat sosial merujuk UU no. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara atau amandemen PP 23/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, serta instrumen safeguarding yang dapat menjamin pengamanan financial, mutu pelayanan dan menjamin pemerataan pelayanan (portabilitas).

A. PENDAHULUAN

Rumah Sakit sebagai lembaga pelayanan publik, sampai dengan saat

ini telah mengalami berbagai perubahan status kelembagaan. Evolusi

perubahan yang ada mulai dari penetapan rumah sakit sebagai bentuk UPT

(non swadana), UPT (swadana), Pengguna PNBP, Perjan dan kecenderungan

ke depan perubahan RS menjadi bentuk PPK BLU yamg lebih banyak

menekankan pada perubahan sistem manajemen berkaitan dengan

economic entity. Padahal di sisi lain, RS sebagai lembaga pelayanan publik

juga perlu memberikan perhatian pada sistem manajemen yang berkaitan

dengan mutu pelayanan dan social entity.

Perubahan kebijakan rumah sakit yang dilakukan berkali-kali dan

cenderung parsial pada aspek manajemen pembiayaan yang

berkaitan dengan economic entity saja berdampak pada kurang

Page 3: KAJIAN KEBIJAKAN MANAJEMEN

baiknya mutu pelayanan rumah sakit karena tidak diperhatikannya

aspek manajemen pelayanan, pemenuhan sumberdaya, termasuk

sumber daya manusia di rumah sakit.

Menaruh harap yang cukup besar terhadap perubahan dan

peningkatan mutu dalam manajemen rumah sakit secara

keseluruhan, Rekam Medis dan SIK RS RSUD Pesawaran melakukan

kajian kebijakan yang berkaitan dengan manajemen rumah sakit,

meliputi:

1) Kajian Kebijakan Penentuan Status Rumah Sakit;

2) Kajian Kebijakan Perijinan dan Sarana Kesehatan;

3) Kajian Kebijakan Kesiapan Rumah Sakit dalam Pelayanan

Masyarakat Miskin; dan

4) Kajian Kebijakan Rujukan Kesehatan.

Hal ini sejalan dengan salah satu strategi utama Departemen

Kesehatan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap

pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Kajian kebijakan tersebut di atas dilakukan mengingat adanya

berbagai masalah kebijakan yang terkait dengan manajemen RSUD

Pesawaran antara lain: ketidaksesuaian kebijakan perijinan sarana

kesehatan, masih ditemuinya ketidaksesuaian penerapan kebijakan

dalam sistem rujukan, banyaknya permasalahan kebijakan terkait

dengan penyelenggaraan program pelayanan masyarakat miskin dan

berbagai dampak negatif yang muncul akibat perubahan status

kelembagaan rumah sakit. Hal ini semakin diperburuk dengan belum

optimalnya proses desentralisasi bidang kesehatan.

Kebijakan perijinan sarana kesehatan dalam kerangka

desentralisasi mengalami berbagai masalah, karena adanya tumpang

tindih kewenangan perijinan antar instansi pemerintah dan ketidak

sesuaian kebijakan yang ada. Berbagai persoalan ini berdampak pada

penyelenggaraan pelayanan antara lain pada program prioritas

pelayanan askeskin kurang optimal, termasuk mekanisme sistim

rujukan yang kurang berjalan karena sarana dan prasarana yang

kurang terpenuhi.

Untuk memudahkan dalam memahami kajian kebijakan terkait

manajemen RSUD Pesawaran, dapat dijelaskan beberapa pengertian

sebagai berikut :

Page 4: KAJIAN KEBIJAKAN MANAJEMEN

(1) Instrumen kebijakan : adalah suatu pedoman/standar tentang

aspek legal yang menetapkan stakeholder yang terlibat, tanggung

jawabnya, kontribusinya dan akuntabilitasnya dalam bentuk

produk hukum,  berupa standar, prosedur tetap pedoman tehnis

dan pedoman pelaksanaan.

(2) Isu kebijakan : permasalahan kebijakan yang diidentifikasi

sebagai masalah dalam mencapai tujuan kebijakan

(3) Policy gap/kesenjangan kebijakan : munculnya masalah

kebijakan, sebagai akibat tidak ada/tidak lengkapnya instrumen

kebijakan yang diperlukan dalam rangka implementasi kebijakan.

(4) Konflik kebijakan : munculnya masalah kebijakan sebagai akibat

tidak siskronnya kebijakan yang ada baik dalam lingkup internal

dan eksternal maupun di tingkat implementasi

(5) Alternatif kebijakan : pilihan-pilihan kebijakan untuk

dipertimbangkan sebagai rekomendasi kebijakan

(6) Hospital bylaw : ketentuan penyelenggaraan pelayanan

kesehatan di Rumah Sakit baik pelayanan klinis maupun

pelayanan manajerial yang ditetapkan oleh Rumah Sakit itu

sendiri (misalnya dalam bentuk keputusan Direktur Rumah Sakit)

B. TUJUAN

Tujuan kajian kebijakan ini adalah untuk memberikan masukan

kebijakan/rekomendasi yang menyangkut pelaksanaan kebijakan

terkait dengan manajemen RSUD Pesawaran. Diharapkan masukan

tersebut dapat menjadi sumbangsih dalam memperbaiki

implementasi kebijakan, khususnya dalam menjalankan strategi

pembangunan kesehatan dalam meningkatkan aksesibilitas dan mutu

pelayanan kesehatan di Rumah Sakit.

Kebijakan ini disusun untuk menyampaikan usulan beberapa opsi

kebijakan, penyempurnaan instrumen kebijakan serta kebutuhan studi

kebijakan dalam rangka penyelesaian masalah/isu kebijakan terkait dengan

manajemen rumah sakit.

C. ISU/MASALAH KEBIJAKAN

Page 5: KAJIAN KEBIJAKAN MANAJEMEN

1.Isu Perijinan RS

Rumah sakit diijinkan menyelenggarakan pelayanan tanpa

mempertim-bangkan standar kelengkapan peralatan dan sumber

daya manusia yang dimiliki.

Peraturan Rumah Sakit yang ada saat ini, tidak jelas mengatur

kewenangan provinsi dan kabupaten/kota dalam pemberian ijin dan

penetapan status kelembagaan Rumah Sakit. Bahkan dalam

kelembagaan Rumah Sakit, dalam waktu yang bersamaan dapat

mempunyai beberapa status, misalnya sebuah RS dapat berstatus

UPT dan sekaligus Swadana, keduanya pun pada saat itu berstatus

penyelenggara PNBP

Kebijakan perijinan sarana kesehatan khususnya rumah sakit, yang

diatur melalui kepmenkes 1189 A/Menkes/SK/X/1999  tentang

wewenang penetapan ijin di bidang kesehatan, dinyatakan bahwa

perijinan pendirian RS Umum diserahkan ke pemerintah daerah,

perijinan uji-coba/operasional sementara diserahkan ke Dinas

Kesehatan Provinsi dan perijinan operasional tetap/perpanjangan

ditetapkan oleh Depkes RI melalui Ditjen Yanmedik

Dalam kerangka desentralisasi, UU 32 pasal 22 f menyatakan

bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai

kewajiban menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan.

Permenkes RI no 920/Menkes/Per/XII/1986 tentang upaya

pelayanan kesehatan swasta di bidang medik, Bab V, pasal 20 dan

21 dinyatakan bahwa untuk mendirikan dan menyelenggarakan

pelayanan medik dasar atau medik spesialistik harus memperoleh

ijin operasional dari Menkes RI yang didelegasikan pada Dirjen

Yanmedik.

Aturan-aturan tersebut di atas, tidak secara jelas mengatur

perlunya daerah mengacu standar teknis pemenuhan syarat

minimal kelengkapan fasilitas pelayanan kesehatan sebagai

kewajiban pemerintah daerah dikaitkan dengan penyelenggaraan

otonomi. Di samping itu,  aturan-aturan tersebut tidak secara jelas

mengatur mekanisme pencabutan perijinan RS jika perijinan RS

yang diberikan sudah kadaluwarsa/sudah tidak memenuhi standar

yang ditetapkan. Misalnya: Kepmenkes

1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang pengupayaan pemenuhan

Page 6: KAJIAN KEBIJAKAN MANAJEMEN

kebutuhan sarana dan ketenagaan RS tidak diacu untuk pemberian

maupun pencabutan ijin operasional RS.

Dalam penyelenggaraan otonomi, rekomendasi  perijinan rumah

sakit yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan akan

dipengaruhi iklim politik setempat/lokal, hal ini berdampak pada

pemberian perijinan sementara oleh Kepala Dinas Kesehatan

provinsi tanpa didasari pertimbangan teknis yang akurat.

Permenkes RI no 920/Menkes/Per/XII/1986 yang mengatur

perijinan upaya pelayanan kesehatan swasta di bidang medik,

masih berdasarkan sistim pemerintahan sentralistik. Instrumen

legal perijinan ini bertentangan dengan PP 38/2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan yang mendelegasikan

kewenangan penyelenggaraan upaya kesehatan kepada daerah

sesuai dengan UU 32/2004. Secara tegas pada lampiran PP 38/2007

sub bidang upaya kesehatan, pemerintah hanya memberikan

perijinan sarana kesehatan tertentu, sementara provinsi

memberikan ijin RS kelas B non pendidikan, RS khusus, RS swasta,

serta sarana kesehatan penunjang yang setara. Sedangkan

pemerintah kabupaten/kota memberikan ijin RS kelas C dan kelas

D, RS yang setara, praktik berkelompok, klinik umum/spesialis,

rumah bersalin.

Kepmenkes 1189A/1999 mengatur perijinan RS pemerintah, dan

Permenkes 920/1986 mengatur perijinan upaya pelayanan

kesehatan swasta. Hal ini memperlihatkan adanya prosedur ganda

dan standar ganda. Seharusnya tidak boleh ada prosedur dan

standar ganda.

Standar ketenagaan RS Pemerintah tidak rasional karena tidak

didasari atas kualifikasi tenaga, namun hanya berdasarkan pada

jumlah tempat tidur dan kelas yang dimiliki suatu RS, sehingga sulit

digunakan untuk penyusunan formasi (Permenkes 262 Tahun

1979 tentang standarisasi ketenagaan RS).

2.Isu Efisiensi dan Manajemen RS

Pelayanan kesehatan di rumah sakit diselenggarakan dengan

tingkat efisiensi rendah sehubungan dengan lemahnya manajemen

dan perubahan yang tidak konsisten serta berbagai status dan

Page 7: KAJIAN KEBIJAKAN MANAJEMEN

kelembagaan RS Pemerintah berdasarkan berbagai peraturan yang

berlaku atau yang dianggap masih berlaku.  

a. Status dan Kelembagaan RS

Saat ini, aturan hukum yang digunakan oleh RS Pemerintah

bermacam-macam. RS Umum Pusat meliputi RS UPT Non

Swadana (UU No.5/1974 tentang Pemerintahan Daerah),

RS UPT Swadana (Keppres No 38/1991 tentang Unit

Swadana dan tata cara pengelolaannya), RS Pengguna

PNBP (UU No 20/1997 tentang PNBP dan PP No 22/1997

tentang penerimaan jasa RS merupakan salah satu jenis

PNBP), RS Perusahaan Jawatan, dan Pola pengelolaan

Keuangan Badan Layanan Umum/ PPK-BLU (UU Nomor 1

tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang

diperjelas dengan PP 23/2005 tentang pengelolaan

keuangan Badan Layanan Umum). Sementara RS Umum

Daerah adalah RS UPT Non Swadana (UU No.5/1974 tentang

Pemerintahan Daerah), RS UPT Swadana (Keppres No

38/1991 tentang Unit Swadana dan tata cara

pengelolaannya), Lembaga Teknis Daerah (Keppres Nomor

40 tahun 2001 tentang Lembaga Teknis Daerah), Badan

Usaha Milik Daerah  atau BUMD (Kepmendagri No 1 tahun

2002 tentang SOTK RS Daerah), PT Badan Layanan Umum

Daerah (PP No 23/2005 tentang Pengelolaan Keuangan

Badan Layanan Umum).

Pemerintah tidak pernah menetapkan status RS secara spesifik.

Seluruh status RS mengikuti aturan payung yang berlaku

generik untuk semua organisasi Pemerintah, dan umumnya

aturan tersebut terkait dengan kebijakan finansial secara

umum.

Tidak ada aturan yang jelas menetapkan status kelembagaan

RS yang sudah berubah terhadap status RS sebelumnya.

Misalnya RS Swadana yang berubah status menjadi BLU tidak

jelas apakah status swadana yang sebelumnya masih berlaku

atau tidak.

UU 32/2004 psl 125 mengatur bahwa status RSUD sebagai

Lembaga Teknis Daerah, sementara PP 8/2003 mengatur

kelembagaan RSUD sebagai UPT Dinkes. Disisi lain Keppres

Page 8: KAJIAN KEBIJAKAN MANAJEMEN

40/2001 bahwa kelembagaan RSUD sebagai Lembaga Teknis

Daerah atau BUMD, juncto Kepmendagri no 1/2002 tentang

Pedoman Susunan Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit

Daerah. Memperhatikan berbagai regulasi tersebut maka

ditemukan adanya perbedaan penetapan status & kelembagaan

RSUD, RS Pemerintah yang bukan milik daerah tidak jelas status

kelembagaannya, RS swasta juga tidak diatur secara tegas

kelembagaannya sebagai fasilitas pelayanan publik. Bahkan UU

no 32/2004 tidak secara tegas menterminasi pengaturan

kelembagaan rumah sakit sebelumnya.

Penetapan RS PNBP sebagai RS Perjan sebenarnya merupakan

penyimpangan dari tata aturan perundang-undangan yang

berlaku di Indonesia, mengingat PNBP ditetapkan dengan

Undang-Undang sedangkan Perjan ditetapkan dengan PP yang

berkedudukan di bawah UU. Termasuk regulasi ketenagaan di

rumah sakit pemerintah (RS PNBP terdiri dari PNS dan pejabat

eselon, sementara pada PPK-BLU bisa terdiri dari PNS, non PNS

dan non eselon).

Kebijakan perubahan status RS tidak dilakukan secara

komprehensif (parsial), lebih menekankan pada aspek

manajemen pembiayaan/keuangan untuk meningkatkan

efisiensi penyelenggaraan pelayanan RS. Harapan ini tidak bisa

dicapai karena kebijakan ini tidak diimbangi dengan pengaturan

aspek ketenagaan, peralatan dan manajemen pelayanan

termasuk kebijakan sistim pelayanan rujukan yang memadai,

utuh dan saling melengkapi. Hal ini terjadi karena tidak ada

kebijakan untuk menghilangkan inefisiensi alokasi dan

inefisiensi teknis.

b. Sistem Rujukan

Sistim pelayanan rujukan baik pengiriman pasien maupun

pengembalian pasien, dan penetapan rujukan tidak

dilaksanakan dengan baik, sehingga terjadi bermacam-macam

pola rujukan. Hal ini terjadi karena kebijakan sistim rujukan

tidak dilengkapi dengan prosedur pelaksanaan, yang saat ini

sudah tidak sesuai dengan konteks kewilayahan serta tidak

sesuai dengan kondisi dan tantangan yang dihadapi.

Page 9: KAJIAN KEBIJAKAN MANAJEMEN

c. Penyelenggaraan Program Askeskin

Penyelenggaraan Program Askeskin tidak efisien, perubahan

pada manajemen keuangan tidak mengakibatkan terjadi

efisiensi pembiayaan pelayanan kesehatan di RS, terutama

karena sistim pembayaran dengan klaim. Tidak dilakukan

antisipasi dampak peningkatan utilisasi pelayanan kesehatan

masyarakat miskin dalam pemanfaatan sarana tempat tidur di

RS kelas III, sehingga masyarakat miskin tidak seluruhnya dapat

dilayani.

Inefisiensi dan inefektifitas ini ditunjukkan dengan data utilisasi

pelayanan kesehatan untuk rawat jalan tingkat lanjutan (RJTL)

tahun 2007 mencapai 2,6 juta kasus. Jumlah ini menurun

sebesar 12% dari tahun 2006 pada periode yang sama. Dari

aspek pembiayaan terjadi peningkatan sebesar 2 kali lipat. Data

utilisasi rawat inap tingkat lanjut (RITL) di kelas III RS semester

1 tahun 2007 sebanyak 831.139 kasus, terjadi peningkatan

sebesar 5% terhadap kasus rawat inap tingkat lanjut (RITL)

pada periode yang sama tahun 2006. Dari aspek biaya terjadi

peningkatan sebesar 82%.

Dalam penyelenggaraan program Askeskin, telah terjadi

perubahan-perubahan kebijakan  yang inkonsisten sehingga

mengakibatkan permasalahan dalam penyelenggaraannya

terutama dalam mekanisme pembayaran. Inkonsistensi

tersebut dapat dilihat misalnya dari kebijakan penanggulangan

kasus Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) sebagaimana

dijelaskan dalam Kepmenkes nomor 109/Menkes/II/2006 untuk

dibiayai dari dana Askeskin. PT Askes tidak bisa membayar

klaim Rumah Sakit apabila penderita KIPI bukan dari keluarga

miskin.

Dikaitkan dengan kebijakan Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional (RPJMN), dalam pengembangan program

Upaya Kesehatan Perorangan yang terkait dengan isu-isu

tersebut di atas, maka rumah sakit masih perlu meningkatkan

pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin di kelas III rumah

sakit; membangun dan memperbaiki sarana dan prasarana

rumah sakit sesuai dengan standar tehnis dan dalam kerangka

desentralisasi, mengembangkan sistim pelayanan kesehatan

rujukan yang sesuai, serta meningkatkan aspek manajerial

Page 10: KAJIAN KEBIJAKAN MANAJEMEN

rumah sakit, agar terjadi keseimbangan antara fungsi sosial dan

fungsi ekonominya.

Mempercepat proses pemenuhan berbagai instrumen kebijakan

terkait, serta harmonisasi konflik-konflik kebijakan yang ada

pada penyelenggaraan RS akan menghindarkan munculnya

permasalahan yang lebih kompleks di masa yang akan datang.

Kurun waktu 2 (dua) tahun sebagai limit waktu dari habisnya

masa transisi UU 40/2004 tentang SJSN dapat digunakan

sebagai ukuran terbatasnya waktu penyiapan regulasi regulasi

yang terkait.

D. KESENJANGAN DAN KONFLIK KEBIJAKAN

Dengan teridentifikasinya berbagai isu kebijakan yang

menyangkut aspek perijinan, status kelembagaan RS, dan

manajemen rumah sakit, berikut ini adalah kesenjangan dan konflik

kebijakan yang dapat ditemukan.

(1)Perijinan

Kesenjangan dan konflik yang ditemukan dalam kebijakan

perijinan rumah sakit adalah sebagai berikut:

a. Kepmenkes 1333/1999 tidak mengharuskan standar sarana dan

standar tenaga RS untuk diacu dalam proses perijinan RS;

Kepmenkes ini menjadi kehilangan kekuatan hukum dengan

diberlakukannya UU 32/2004. Kepmenkes tersebut juga tidak

menjelaskan secara rinci standar sarana, standar tenaga dan

standar penyelenggaraan pelayanan.;

b. Permenkes 920/1986 tentang upaya pelayanan kesehatan

swasta di bidang medik dan Kepmenkes 1189A/1999 tentang

wewenang penetapan ijin di bidang kesehatan menjadi

kehilangan kekuatan hukum dengan diberlakukannya UU

32/2004.

c. Kepmenkes 1189A/1999 yang memuat bahwa rekomendasi

perijinan RS dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan mempunyai

kelemahan dalam konteks desentralisasi karena dipengaruhi

secara kuat oleh kemauan politik local. Pengaturan tentang ijin

operasional tetap yang dikeluarkan oleh Depkes dalam

Page 11: KAJIAN KEBIJAKAN MANAJEMEN

kepmenkes ini bertentangan dengan UU 32/2004 pasal 6: c

tentang perijinan umum.

d. Saat ini, tidak terdapat kebijakan dan instrumen kebijakan yang

mengatur pencabutan ijin penyelenggaraan pelayanan

kesehatan RS.

(2)Status/Kelembagaan RS (Pusat, Daerah, Swasta, dll)

Dalam kebijakan mengenai status atau kelembagaan rumah sakit,

(RS Pusat, RS Daerah, RS Swasta, dll) ditemukan kesenjangan dan

konflik dalam implementasinya, yaitu sebagai berikut:

a. Status kelembagaan RS berbentuk UPT Dinas Kesehatan yang

berbentuk Non-Swadana dan Swadana, tidak sejalan dengan

semangat Keppres 40/2001, PP 8/2003 dan UU 32/2004 pasal

125. Di samping itu, RS Pemerintah yang bukan milik daerah

sulit ditetapkan statusnya.

b. Penetapan status RS Pemerintah yang berlaku saat ini tidak

tegas, untuk penetapan status RS daerah masih tumpang

tindih, sedangkan RS Swasta tidak ada kejelasan

pengaturannya. Terdapat instrumen teknis dari kebijakan

penetapan status kelembagaan RS yang berbeda untuk rumah

sakit pemerintah dan rumah sakit swasta.

c. Dalam menetapkan status kelembagaan RS, tidak diperhatikan

hirarki tingkat kebijakan antara UU, PP, Keppres, dll. 

d. Perubahan status rumah sakit yang selama ini dilakukan tidak

didukung dengan instrumen yang mengatur aspek pelayanan

rumah sakit, ketenagaan, pembiayaan, sarana dan prasarana.

(3)Askeskin

Ada banyak kesenjangan dan konflik yang terjadi dalam

implementasi kebijakan Askeskin di lapangan. Beberapa

kesenjangan dan konflik tersebut antara lain:

a. Penyelenggaraan Askeskin di lapangan tidak berjalan efisien.

Hal ini dikarenakan safeguarding tidak berfungsi secara optimal.

Safeguarding pada penyelenggaraan Askeskin masih terfokus

pada pengamanan aspek finansial, belum mencakup mutu

Page 12: KAJIAN KEBIJAKAN MANAJEMEN

pelayanan, termasuk penanganan keluhan (grievance

mechanism) dan review pemanfaatan (utilization review).

b. Tidak ada kebijakan yang mengatur penerimaan pasien

Askeskin di RS. Di beberapa RS, bila tempat tidur Kelas III sudah

penuh terisi pasien (occupied), maka pasien Askeskin tidak

dapat ditampung;

c. Ada konflik budaya yang terjadi dalam penyelenggaraan

Askeskin. Askeskin adalah program kesehatan berbasis sosial,

sementara RS beroperasi pada ideologi pasar. Dokter-dokter RS

hanya beroperasi pada demand dan supply. Dengan demikian,

hanya orang-orang yang sanggup membayar dokter yang

dilayani dan orang miskin tidak dilayani meskipun mempunyai

Askeskin.

d. Ada ketidakjelasan status penjaminan, apakah bersifat social

security, health insurance atau protecting the poor, sehingga

muncul ketidakpastian atau ketidakjelasan penyelenggaraan

Askeskin di Rumah Sakit. Untuk itu, harus ditetapkan terlebih

dahulu status penjaminan Askeskin agar penyelenggaraan

Askeskin di RS menjadi lebih jelas.

e. Prinsip pemerataan Askeskin berbasis pada input (biaya yang

tersedia) dan tidak berbasis pada outcome. Kalaupun rumah

sakit tetap melayani pasien miskin, maka terjadi penumpukan

klaim yang belum terbayar. Hal ini tidak sesuai dengan asas

pemerataan untuk seluruh masyarakat miskin di Indonesia dan

hasilnya dapat langsung dirasakan orang miskin.

f. Tidak ada kebijakan yang mengharuskan rumah sakit

menyusun hospital bylaw yang menjamin aksesibilitas peserta

Askeskin mendapat pelayanan kesehatan yang bermutu.

(4)Rujukan

Beberapa kesenjangan dan konflik yang ditemukan dalam

pelaksanaan kebijakan rujukan rumah sakit di lapangan adalah

sebagai berikut:

a. Tidak ada instrumen teknis yang mengatur mengenai prosedur

rujukan pasien ke rumah sakit sehingga masyarakat tidak tahu

harus pergi ke mana untuk mendapatkan pelayanan kesehatan

yang terbaik dan bermutu. Selain itu, juga ditemukan

Page 13: KAJIAN KEBIJAKAN MANAJEMEN

ketidakjelasan apakah rujukan medik yang lebih bersifat UKP itu

sudah menjadi sistem atau belum.

b. Kebijakan sektor kesehatan hanya menetapkan pelayanan

kesehatan pemerintah dalam sistem rujukan. Sedangkan

pelayanan kesehatan swasta tidak masuk dalam jejaring sistem

rujukan. Seharusnya ada network (jejaring kerjasama) rujukan

RS antara sektor pemerintah dan sektor swasta sehingga dapat

menjamin terselenggaranya sistem rujukan RS yang baik.

c. Penyelenggaraan sistem rujukan tidak dilaksanakan secara

menyeluruh (compulsary). Tidak ada aspek legal dan

enforcement dalam penyelenggaraan sistem ini. Seharusnya

semua RS di Indonesia bisa menjadi RS rujukan. Sistem rujukan

ini harus diselenggarakan sesuai dengan situasi dan kondisi,

tidak semena-mena merujuk hanya pada 1 (satu) RS saja.

Disamping kesenjangan dan konflik kebijakan tentang perijinan,

status/kelembagaan RS, Askeskin dan Rujukan, dijumpai pula tidak

adanya standar mengenai biaya tindakan medik yang dilakukan

untuk mengobati pasien dan tidak ada pedoman pelaksanaan

pengambilan tindakan medik untuk menolong pasien, sehingga sering

terjadi kesalahan dalam melakukan tindakan medik.

E. OPSI / ALTERNATIF KEBIJAKAN

Beberapa opsi/alternatif kebijakan yang dapat diberikan untuk

memperbaiki sistem pe-rumah sakit-an ke arah yang lebih baik

adalah sebagai berikut:

(1)Perijinan

Ada beberapa hal yang harus diperbaiki dalam sistem kebijakan

perijinan RS, di antaranya perijinan RS harus memenuhi prinsip-

prinsip standarisasi, meliputi standar fisik, standar alat, standar

SDM dan standar pelayanan medis yang harus seimbang,

terintegrasi dan dapat merespon masalah kesehatan setempat

dengan cepat. Hal yang sama juga berlaku untuk pencabutan

perijinan RS.

Page 14: KAJIAN KEBIJAKAN MANAJEMEN

Dalam kebijakan perijinan RS, diperlukan suatu instrumen

kebijakan tentang monitoring dan evaluasi akreditasi RS untuk

menetapkan perpanjangan perijinan, down grading, dan

pencabutan perijinan RS. Selain itu, juga dibutuhkan kebijakan

makro tentang pelayanan publik yang mengatur perijinan dan

kelembagaan RS. Opsi/alternatif kebijakan ini merupakan

turunan/derivat dari UU No 32 terkait dengan perijinan umum dan

PP No 41 tentang perijinan umum.

(2)Status/Kelembagaan RS

Dalam kebijakan penentuan status RS, diperlukan ketegasan

kebijakan pemerintah tentang status kelembagaan RS milik

pemerintah, baik Pusat dan Daerah serta kecenderungan RS ke

depan berubah menjadi BLU.

Berdasarkan PP No 23 tahun 2005 dari UU No 1 tahun 2004,

Badan Layanan Umum adalah institusi yang berorientasi mencari

keuntungan (for profit). Padahal, seharusnya RS yang berstatus

BLU tidak boleh mencari keuntungan (non profit). Dalam kebijakan

makro pe-rumah sakit-an, RS BLU merupakan RS yang melayani

publik dan bersifat sosial.

Opsi kebijakan lain adalah seharusnya dibuat PP baru yang berisi

tentang BLU sebagai pelayanan publik yang bersifat sosial. Opsi

ini merupakan turunan/derivat dari UU no 1/2004 dan PP no

23/2005. Dengan dibuat dan dilegalkannya PP ini, maka secara

nyata membatalkan seluruh kebijakan terdahulu tentang status

kelembagaan RS milik pemerintah. Selain itu, juga perlu dilakukan

revisi atau addendum pada UU 32/2004 pasal 125, PP 8/2003 dan

Keppres 40/2001 terkait dengan status kelembagaan RS sebagai

BLU. Sebagai fasilitas pelayanan publik yang bersifat sosial, RS

BLU harus didukung oleh kemampuan manajemen secara

komprehensif, bukan hanya manajemen keuangan, tetapi secara

seimbang dan terintegrasi mencakup manajemen pelayanan

medik dan manajemen mutu pelayanan.

Selain itu, perlu dilakukan policy study tentang isu terkait dengan

status kelembagaan RS swasta. Beberapa justifikasi kebutuhan

policy study ini adalah sebagai berikut:

Page 15: KAJIAN KEBIJAKAN MANAJEMEN

1. Kebijakan AFTA untuk investasi belum bisa diimplementasikan

karena belum ada koridor pasti untuk penetapan status RS

swasta;

2. Dalam PP No 47 diatur bahwa investasi asing dibatasi dan ada

pengaturan lebih lanjut mengenai perdagangan

tertutup/terbuka.

3. Belum ditentukan bentuk dan jenis RS swasta yang cocok.

4. Perlu diteliti mengenai fungsi sosial yang harus diemban oleh

RS Swasta karena sampai saat ini pengaturan hal tersebut

masih belum jelas.

(3)Askeskin

Kebijakan Askeskin mempunyai titik berat pada pelayanan

asuransi kesehatan pada masyarakat miskin. Rekomendasi yang

dapat diberikan berkaitan dengan prinsip penyelenggaraan,

pemerataan jenis dan mutu, serta instrumen safeguarding. Untuk

dapat menyelenggarakan program Askeskin yang baik dan sesuai

sasaran, diperlukan penetapan prinsip penyelenggaraan Askeskin

sebagai salah satu dari pilihan-pilihan sebagai social health

insurance, social security atau protecting the poor. Prinsip-prinsip

dan mekanisme penyelenggaraannya harus konsisten dengan

pilihan yang ditetapkan, contohnya: dana protecting the poor

tidak diselenggarakan dengan prinsip-prinsip asuransi kesehatan.

Penyelenggaraan Askesin harus merata di seluruh wilayah di

Indonesia, baik dalam jenis maupun mutu pelayanan di semua RS.

Strategi kebijakan ini melandasi pembuatan instrumen untuk

pengalokasian input bagi RS penyelenggara. Perlu ditambahkan

instrumen pengaman (safeguarding) Askeskin untuk menjamin

pengamanan financial, mutu pelayanan dan menjamin

pemerataan pelayanan (portabilitas). Instrumen ini harus

menjelaskan apa yang seharusnya dijamin, bagaimana

melakukannya, berapa besaran pembiayaannya, bagaimana

tindak lanjut jika ada penyimpangan dan harus menjamin

prosedur pengamanannya. Instrumen ini juga harus memberikan

ketegasan tentang pengaturan penjaminan penerimaan pasien

Askeskin di RS secara internal melalui penetapan hospital bylaw.

Page 16: KAJIAN KEBIJAKAN MANAJEMEN

(4)Rujukan

Untuk menjamin berjalannya sistem rujukan medik di Indonesia,

perlu ditetapkan kebijakan sistem rujukan medik yang lebih

komprehensif, mencakup jejaring yang melibatkan kemitraan

swasta dan kewajiban mengikat bagi setiap unit pelayanan

kesehatan dalam jejaring rujukan. Unit pelayanan kesehatan

tersebut wajib merujuk dan menerima pasien rujukan sesuai

dengan standar dan kondisi tertentu yang diatur dalam ketentuan

teknis atau intrumen teknis lebih lanjut.

Selain itu, juga perlu ditetapkan prinsip-prinsip pembiayaan

penyelenggaraan sistem rujukan medik. Prinsip pembiayaan ini

juga perlu dilengkapi dengan instrumen pembiayaan mencakup

siapa bertanggung jawab membiayai apa, standar satuan biaya

dan prosedur penyelenggaraan pembiayaannya. Hal ini dilakukan

untuk menjamin terselenggaranya sistem rujukan medik dengan

baik dan sesuai sasaran.

F. REKOMENDASI KEBIJAKAN

Ada 3 (tiga) bentuk rekomendasi kebijakan, yaitu opsi kebijakan,

penyempurnaan instrumen kebijakan, dan kebutuhan studi kebijakan.

Berikut ini adalah rekomendasi untuk kebijakan RS yang penting:

(1)Opsi Kebijakan

a. Dalam penjabaran amanah UUD 1945, pasal 34 ayat 3

disebutkan bahwa Negara bertanggung-jawab atas penyediaan

fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum

yang layak, maka untuk memaknai hal tersebut di atas

dibutuhkan kebijakan makro tentang pelayanan publik yang

mengatur perijinan dan kelembagaan.

b. Perlu penetapan yang tegas terhadap prinsip penyelenggaraan

Askeskin sebagai salah satu dari pilihan-pilihan: apakah dalam

bentuk health insurance, social security atau protecting the

poor. Prinsip-prinsip penyelenggaraannya harus dilaksanakan

secara konsisten;

c. Diperlukan dukungan kemampuan manajemen yang

komprehensif pada RS BLU, baik manajemen keuangan dan

Page 17: KAJIAN KEBIJAKAN MANAJEMEN

manajemen pelayanan medik serta manajemen mutu

pelayanan;

d. Perlu ditetapkan kebijakan sistem rujukan medik yang lebih

komprehensif, mencakup jejaring yang melibatkan kemitraan

swasta dan kewajiban mengikat bagi setiap unit pelayanan

dalam jejaring rujukan;

e. Diperlukan prinsip-prinsip pembiayaan penyelenggaraan sistem

rujukan medik untuk menjamin terselenggaranya sistem

rujukan medik dengan baik dan sesuai sasaran.

(2)Kebutuhan Instrumen Kebijakan

a. Diperlukan standar fisik, standar alat, standar SDM dan standar

pelayanan medis yang seimbang, terintegrasi dan dapat

merespon masalah setempat.

b. Diperlukan instrumen policy monitoring evaluasi dalam

penetapan perijinan RS, apakah diberikan perpanjangan

perijinan, ’down grading’ dan pencabutan perijinan RS.

c. Diperlukan PP baru tentang BLU pelayanan publik yang bersifat

sosial merujuk UU no. 1/2004 atau amandemen PP 23/2005.

d. Dibutuhkan instrumen untuk pengalokasian input bagi rumah

sakit penyelenggara sehingga penyelenggaraan Askeskin bisa

merata di seluruh RS, baik dalam jenis maupun mutu

pelayanan.

e. Dalam penyelenggaran Askeskin, diperlukan instrumen

tambahan, yaitu instrumen safeguarding yang dapat menjamin

pengamanan financial, mutu pelayanan dan menjamin

pemerataan pelayanan (portabilitas).

(3)Kebutuhan Studi Kebijakan

Studi kebutuhan safeguarding Askeskin dikaitkan dengan

kemampuan pembiayaan saat ini dan kebutuhan pembiayaan

masa depan.