kajian kebijakan daerah tentang penyelenggaran …

109
KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN PERMUKIMAN DI KOTA SALATIGA DALAM PELAKSANAAN DAN KONSEP PERUMUSAN KEBIJAKAN STRATEGIS PERMUKIMAN Oleh: Drs. DARU PURNOMO,M.Si. Dr. Ir LASMONO TRI SUNARYANTO,M.Sc. Prof.Dr. Ir SONY HERU PRIYANTO,M.M. KUSTADI,S.H. Dr. Ir. BISTOK HASIHOLAN SIMANJUNTAK,M.Si. SETO HERWANDITO,S.Pd, M.I.Kom PUSAT KAJIAN KEPENDUDUKAN DAN PERMUKIMAN (PK2P) FISKOM -UKSW 2014

Upload: others

Post on 21-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN PERMUKIMAN DI KOTA

SALATIGA DALAM PELAKSANAAN DAN KONSEP PERUMUSAN KEBIJAKAN STRATEGIS PERMUKIMAN

Oleh:

Drs. DARU PURNOMO,M.Si.

Dr. Ir LASMONO TRI SUNARYANTO,M.Sc.

Prof.Dr. Ir SONY HERU PRIYANTO,M.M.

KUSTADI,S.H.

Dr. Ir. BISTOK HASIHOLAN SIMANJUNTAK,M.Si.

SETO HERWANDITO,S.Pd, M.I.Kom

PUSAT KAJIAN KEPENDUDUKAN DAN PERMUKIMAN (PK2P) FISKOM -UKSW

2014

Page 2: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

KATA PENGANTAR

Ketersediaan perumahan yang cukup, layak huni, tertata dan memenuhi standar

kebutuhan yang telah dipersyaratkan, merupakan permasalahan yang senantiasa dihadapi oleh

setiap Pemerintahan Daerah. Selain mendukung upaya penyediaan jumlah rumah dan

lingkungan permukiman yang cukup, Pemerintah Daerah juga berkewajiban untuk mengatur

dan mengarahkan perkembangan pertumbuhan perumahan dan permukiman di masyarakat,

sehingga dapat terarah dan tertata di wilayah-wilayah yang telah ditetapkan perutukannya

seperti yang telah tertuang dalam Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW).

Pelaksanaan kegiatan kajian ini dirasakan cukup mendesak dan strategis demi

menciptakan kondisi lingkungan Kota Salatiga yang teratur dan indah. Kami, dari Pusat

kajian Kependudukan dan Permukiman (PK2P) yang berada di dalam Fakultas Ilmu Sosial

dan Komunikasi, merasa bangga karena dipercaya oleh DPRD Kota Salatiga untuk

mengerjakan kajian ini. Kiranya upaya menyusun kajian ini dapat memperoleh dukungan

dari semua pihak yang terkait dengan permasalahan perumahan dan permukiman di Kota

Salatiga dan hasilnya dapat menjadi masukkan yang berharga bagi penetapan kebijakan

permukiman mendatang. Laporan Pendahuluan ini kami susun sebagai wujud kesiapan kami

untuk mengerjakan kegiatan kajian ini.

Kiranya semua yang kita lakukan dapat memperoleh berkat dan penyertaanNya.

Salatiga, Awal Desember 2014

Tim Penyusun

Page 3: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

DATIAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISIi

ii

1

I578

28282933

36

BAB I.I .1.1.2.1.3.1.4.

BAB II.2.1.2.2.)72.4.

BAB IIL

3.1.3.2.J.J.3.4.

PENDAHULUANLatar BelakangIdentifikasi MasalahMaksud dan TujuanMetode

KAJIAN TEORI DAII PRAKTIK EMPIRISPerumahan dan PermukimanPersyaratan Lokasi PermukimanFaktor-fal*or yang Mempengaruhi perkembangan pennukimanPenggunaan Sistem Informasi Geografi s dalanperencanaanPerumahan dan Pennukiman.

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG.UNDANGAN TERKAIT

5"914* Pembangunan perumahan dan permukiman Kota salatiga ....

$epilatan Pembangruran perumahan dan permukiman

Rencana Detail Tata Ruang Kota

BAB rv. T,ANDASAN FILOSOFIS, soslolocls DAN yuRrDrs.4. 1. Gambman Umtrm Kota Salatiga... ............4.2. Analisis Kependudukan4.3. Aspek Lahan danEkonomi.4.5. Aspek Ekonomi Dalam Dunia perrnukiman4.6. Determinan Permukiman: Analisis Ekonomi

BABY. PENUTUP5.1. Kesimpulan5.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA

39454753

1s6l849497

106

ll1111

111

Page 4: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

1  

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Ketersediaan perumahan dan permukiman merupakan hak dasar bagi setiap

Warga Negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (I) yang menyatakan bahwa:

setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan

lingkungan yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Selanjutnya Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal

40 juga menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta

berkehidupan yang layak

Sejalan dengan hal itu, perumahan dan permukiman merupakan salah satu

kebutuhan dasar manusia yang keberadaan dan ketersediaannya wajib dipenuhi.

Sebagai satu kebutuhan dasar manusia, ketersediaan perumahan dan permukiman yang

memenuhi syarat juga mempunyai peran sangat strategis sebagai pusat pendidikan

keluarga, persemaian budaya, dan peningkatan kualitas generasi mendatang, serta

merupakan pengejawantahan jati diri. Oleh karena itu, setiap orang berhak hidup

sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidupyang

baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran

yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah

satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan

produktif.

Semakin meningkatnya laju perkembangan jumlah penduduk dan fenomena

urbanisasi yang terjadi di kota-kota besar juga mengakibatkan semakin meningkatnya

kebutuhan akan ruang kota, seperti fasilitas perumahan dan permukiman.

Pengembangan permukiman baik di perkotaan maupun pedesaan pada hakekatnya

dilaksanakan untuk mewujudkan kondisi perkotaan dan pedesaan yang layak huni

(livible), aman, nyaman, damai dan sejahtera serta berkelanjutan. Pemerintah wajib

memberikan akses kepada masyarakat untuk dapat memperoleh permukiman yang

layak huni, sejahtera, berbudaya, dan berkeadilan sosial. Pemerintah perlu lebih

Page 5: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

2  

berperan dalam menyediakan dan memberikan kemudahan dan bantuan perumahan

dankawasan permukiman bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan

kawasan permukiman yang berbasis kawasan serta keswadayaan masyarakatsehingga

merupakan satu kesatuan fungsional dalamwujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi,

dan sosialbudaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan

semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Persoalan perumahan dan permukiman

sesungguhnya tidak terlepas dari dinamikayang terjadi dalam kehidupan masyarakat

maupun kebijakan pemerintah di dalam mengelola perumahan dan permukiman.

Sejalan dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan

Kawasan Permukiman, yang dimaksud dengan perumahan adalah kumpulan rumah

sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi

dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah

yang layak huni. Sedangkan yang dimaksud dengan kawasan permukiman adalah

bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan

maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan

hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.Selain itu

juga dipahami bahwa permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri

atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas

umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau

kawasan perdesaan. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan hunian adalah

bagian dari kawasan permukiman yang terdiri atas lebih dari satu satuan permukiman.

Secara menyeluruh, ruang lingkup perumahan dan kawasan permukiman yang

dikandung dalam undang-undang tersebut adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas

pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman,

pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan

kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan,

serta peran masyarakat. Pengembangan permukiman ini meliputi berbagai hal, seperti

pengembangan prasarana dan sarana dasar, pengembangan permukiman yang

terjangkau, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah, proses penyelenggaraan

lahan, pengembangan ekonomi kota, serta penciptaan sosial budaya di perkotaan.

Sejalan dengan UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman dan

Permenpera 7 Tahun 2013, batasan perumahan sampai kawasan permukiman adalah

sebagai berikut:

Page 6: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

3  

Gambar 1.

Pengertian dan Batasan Perumahan dan Kawasan Permukiman

Menurut Besset dan Short (1980) lingkungan permukiman merupakan suatu

sistem yang terdiri dari lima elemen, yaitu:

Nature (unsur alami), mencakup sumber-sumber daya alam seperti topografi,

hidrologi, tanah, iklim, maupun unsur hayati yaitu vegetasi dan fauna.

Man (manusia sebagai individu), mencakup segala kebutuhan pribadinya seperti

biologis, emosional, nilai-nilai moral, perasaan, dan perepsinya.

Society (masyarakat), adanya manusia sebagai kelompok masyarakat.

Shells (tempat), dimana mansia sebagai individu maupun kelompok

melangsungkan kegiatan atau melaksanakan kehidupan.

Network (jaringan), merupakan sistem alami maupun buatan manusia, yang

menunjang berfungsinya lingkungan permukiman tersebut seperti jalan, air bersih,

listrik, dan sebagainya.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada dasarya suatu permukiman terdiri

dari isi (contents) yaitu manusia, baik secara individual maupun dalam masyarakat dan

wadah yaitu lingkungan fisik permukiman lingkungan fisik permukiman yang

merupakan wadah bagi kehidupan manusia dan merupakan pengejawantahan dari tata

nilai, sistem sosial, dan budaya masyarakat yang membentuk suatu komunitas sebagai

bagian dari lingkungan permukiman tersebut. Agar supaya isi (manusianya) yang

tinggal dalam wadah (perumahan dan permukimannya) dapat mewujudkan jatidirinya

sebagai manusia yang berharkat dan bermartabat, maka dalam penentuan lokasi suatu

Page 7: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

4  

permukiman, perlu adanya kriteria atau persyaratan untuk menjadikan suatu lokasi

sebagai lokasi permukiman yang sehat. Kriteria tersebut antara lain:

1. Tersedianya lahan yang cukup bagi pembangunan lingkungan dan dilengkapi

dengan prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial.

2. Bebas dari pencemaran air, pencemaran udara dan kebisingan, baik yang berasal

dari sumber daya buatan atau dari sumber daya alam (gas beracun, sumber air

beracun, dsb).

3. Terjamin tercapainya tingkat kualitas lingkungan hidup yang sehat bagi pembinaan

individu dan masyarakat penghuni.

4. Kondisi tanahnya bebas banjir dan memiliki kemiringan tanah 0-15 %, sehingga

dapat dibuat sistem saluran air hujan (drainase) yang baik serta memiliki daya

dukung yang memungkinkan untuk dibangun perumahan.

5. Adanya kepastian hukum bagi masyarakat penghuni terhadap tanah dan bangunan

diatasnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Gambaran umum penyelenggaraan Perumahan dan Pemukiman di Kota Salatiga

sejalan dengan pesat perkembangan jumlah penduduk mengakibatkan semakin

meningkatnya kebutuhan masyarakat akan perumahan, diluar kemampuan pemerintah,

sementara tingkat ekonomi urbanis sangat terbatas, yang selanjutnya akan berakibat

timbulnya perumahan-perumahan liar yang pada umumnya berkembang di sekitar

daerah perdagangan dan pusat kota.

Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang disebabkan oleh faktor alamiah

maupun adanya perpindahan penduduk ke daerah perkotaan, permintaan akan lahan

untuk pemukiman juga semakin meningkat, sedangkan jumlah lahan jika dilihat secara

administratif jumlahnya tetap sehingga membuat penduduk yang status ekonominya

lemah dan tidak mempunyai kemampuan untuk memiliki rumah membangun sejumlah

pemukiman yang akhirnya menjadi daerah permukiman kumuh (slum area) yang

dibangun di daerah tepi sungai. Selain itu meningkatnya permintaan terhadap lahan

permukiman ini selanjutnya juga akan mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan

pertanian yang semakin meningkat. Hal tersebut yang pada akhirnya berdampak pada

timbulnya permasalahan dan dampak terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah.

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan untuk tempat

tinggal juga semakin meningkat. Hal tersebut mendorong terjadinya perubahan

penggunaan lahan non permukiman menjadi permukiman. Penggunaan lahan adalah

pencerminan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu (Lillesandand Kiefer, 1997).

Page 8: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

5  

Dengan berjalannya waktu penggunaan lahan dapat terkonversi dan yang sering terjadi

adalah sawah, tegalan, atau bahkan hutan. Sehingga meningkatnya luas lahan untuk

permukiman seringkali mencerminkan penurunan jumlah lahan sawah, tegalan, dan

hutan. Perubahan penggunaan lahan dari non permukiman menjadi permukiman banyak

terjadi di berbagai wilayah Indonesia terutama yang memiliki potensi untuk

dikembangkan menjadi permukiman.

Kondisi keberadaan perumahan dan pemukiman di Kota Salatiga, sejalan

dengan pesat perkembangan jumlah penduduk, mengakibatkan semakin meningkatnya

kebutuhan masyarakat akan perumahan diluar kemampuan pemerintah. Sementara

tingkat ekonomi urbanis sangat terbatas, yang selanjutnya akan berakibat timbulnya

perumahan-perumahan liar yang pada umumnya berkembang di sekitar daerah

perdagangan dan pusat kota. Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang disebabkan

oleh faktor alamiah maupun adanya perpindahan penduduk ke daerah perkotaan,

permintaan akan lahan untuk pemukiman juga semakin meningkat. Di sisi lain jumlah

lahan, jika dilihat secara administratif, jumlahnya tetap sehingga membuat penduduk

yang status ekonominya lemah dan tidak mempunyai kemampuan untuk memiliki

rumah membangun sejumlah pemukiman yang akhirnya menjadi daerah permukiman

kumuh (slum area). Hal tersebut yang pada akhirnya berdampak pada timbulnya

permasalahan dan dampak terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah.

Kecenderungan makin tingginya angka backlog yang terjadi akibat adanya

kesenjangan selisih antara permintaan dan penawaran rumah kepada masyarakat

berpenghasilan rendah (MBR) sangatlah memprihatinkan. Hal ini terjadi karena

sejumlah kriteria hambatan sebagai berikut:

1. Hambatan fisik berupa keterbatasan lahan untuk pembangunan perumahan,

selain karena harganya yang cenderung mahal dan juga prosedur pembebasan

yang belum kondusif untuk pengembangan perumahan bagi MBR.

2. Hambatan hukum dan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini bisa

ditunjuk pada belum leluasanya pengurusan sertifikasi hak milik rumah MBR

dan juga ketidakkonsistenan UU Nomor 1 tahun 2011 dan Peraturan terkait.

3. Hambatan organisasi, dimana manajemen kebijakan pengembangan perumahan

cenderung berorientasi pada pembangunan rumah komersial yang dapat

mengeliminasi hak MBR.

4. Hambatan politik berupa masih kurangnya komitmen Pemda dalam

merumuskan kebijakan pengembangan perumahan untuk MBR.

Page 9: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

6  

5. Hambatan distributif, dimana akses MBR terhadap pasar perumahan masih

sangat terbatas akibat kecenderungan harga naik dan daya beli mereka tetap

rendah bahkan tidak berdaya sama sekali.

6. Hambatan dana. Berbagai skema pembiayaan perumahan yang diluncurkan

melalui kebijakan selama ini belum efektif menyentuh persoalan dalam usaha

membuka akses MBR untuk memiliki rumah.

7. Hambatan SDM, dimana pemegang kebijakan perumahan rakyat belum

menjiwai roh dari perumahan untuk rakyat, khususnya perumahan untuk

masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Sejalan dengan kondisi dan harapan tersebut kegiatan kajian ini dilaksanakan.

Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota

Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman

ini, dilaksanakan dengan berdasarkan:

1. Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman.

2. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan;

3. Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD;

4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

5. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;

6. Permendagri No. 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah;

Sehubungan dengan hal tersebut, maka DPRD Kota Salatiga membutuhkan adanya

dukungan dari tenaga Ahli/Pakar yang mempunyai kapasitas dan kompetensi terhadap

kegiatan penyusunan Raperda-raperda tersebut di atas yang berasal dari Akademisi,

dengan asumsi mempunyai kajian yang lebih empiris, teoritis, yuridis, filosofis dan

sosiologis, agar nantinya dapat diperoleh suatu produk hukum yang baik.

1.2. MAKSUD DAN TUJUAN

1) Maksud :

Pelaksanaan Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan

Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan

Page 10: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

7  

Strategis Permukiman, dimaksudkan untuk mendapatkan hasil kajian mengenai kondisi

permukiman dan perumahan di Kota Salatiga dengan segala permasalahannya, dan

perumusan kebijakan dalam rangka menyelesaikan permasalahan permukiman tersebut.

2) Tujuan :

1. Melakukan kajian terhadap kebijakan Pemerintah Kota Salatiga mengenai

penyelenggaraan permukiman masyarakat beserta seluruh fenomena dan

dinamikanya;

2. Menyusun bahan dan materi kajian penelitian permasalahan, baik dari aspek

sosiologis, filosofis, ekonomis, dan yuridis tentang permukiman masyarakat di

Kota Salatiga, yang akan dipergunakan dalam perumusan kebijakan Daerah

yang merupakan tugas dan wewenang serta fungsi DPRD Kota Salatiga.

3. Menyusun rujukan terhadap permasalahan dan rumusan kebijakan tentang

penyelenggaraan permukiman di Kota Salatiga.

1.3. SASARAN DAN RUANG LINGKUP

Secara umum, sasaran kegiatan adalah tersusunnya Kajian Kebijakan Daerah

tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep

Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman sesuai kondisi dan kebutuhan Daerah

secara objektif di lapangan dan ketentuan hukum yang berlaku. Sedangkan secara lebih

khusus, sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah:

1. Tersedianya hasil kajian terhadap kebijakan Pemerintah Kota Salatiga mengenai

penyelenggaraan permukiman masyarakat beserta seluruh fenomena dan

dinamikanya;

2. Tersusunnya bahan dan materi kajian penelitian permasalahan, baik dari aspek

sosiologis, filosofis, ekonomis, dan yuridis tentang permukiman masyarakat di

Kota Salatiga, yang akan dipergunakan dalam perumusan kebijakan Daerah

yang merupakan tugas dan wewenang serta fungsi DPRD Kota Salatiga.

3. Tersusunnya rujukan terhadap permasalahan dan rumusan kebijakan tentang

penyelenggaraan permukiman di Kota Salatiga.

Page 11: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

8  

Sejalan dengan sasaran yang ingin dicapai, ruang lingkup Kegiatan Kajian

Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam

Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman meliputi :

1. Penyelenggaraan Forum Group Discussion (FGD);

2. Penyusunan Laporan Pendahuluan;

3. Penyusunan dan Penyampaian Laporan Akhir dan Produk Akhir Kegiatan.

1.4. DASAR HUKUM

Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota

Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman

ini, dilaksanakan dengan berdasarkan:

1. Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman.

2. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan;

3. Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD;

4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

5. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;

6. Permendagri No. 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.

1.5. METODE PELAKSANAAN KEGIATAN

1.5.1. Tahapan Penelitian

Dalam melaksanakan Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang

Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep

Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman, tahapan kegiatan yang akan dilaksanakan

adalah sebagai berikut:

a) Pengumpulan Data Primer dan Sekunder

Pengumpulan data promer dan sekunder dilaksanakan untuk memperoleh

berbagai informasi dan data yang berkaitan dengan kondisi, keberadaan dan

pelaksanaan kegiatan perumahan dan permukiman di Kota Salatiga. Data primer

dan sekunder yang akan dikumpulkan antara lain meliputi: jumlah dan proyeksi

Page 12: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

9  

penduduk Kota Salatiga, keberadaan dan kondisi lahan yang ada, keberadaan dan

kondisi perumahan dan permukiman yang selama ini sudah berkembang dan/atau

dikembangkan, serta keberadaan Peraturan Daerah (Perda) tentang perumahan dan

permikiman yang ada di Kota Salatiga.

b) Focus Group Discussion (FGD)

FGD dilaksanakan guna mengumpulkan informasi langsung dari para pihak

(stakeholders) yang berkaitan dengan masalah perumahan dan permukiman di Kota

Salatiga. Bagaimanakah pendapat, permasalahan dan harapan para pihak tersebut

tentang keberadaan dan permasalhan perumahan dan permukiman di Kota Salatiga

yang mereka geluti selama ini.

c) Pengolahan dan Analisis Data

Kegiatan pengolahan dan analisis data akan dilaksanakan dengan menggunakan

statistik deskriptif, yakni hanya mendeskripsikan fenomena yang ada, serta

melakukan proyeksi atas kondisi yang akan dihadapi di masa mendatang. Analisis

data juga akan dilaksanakan dengan menggunakan bantuan Sistem Informasi

Geografis (SIG) sehingga pembacaan hasilnya akan lebih mudah dilakukan.

Seluruh tahapan kegiatan kajian tersebut akan dilaksanakan dengan

menggunakan metodologi sebagai berikut :

a) Metode survey data

Survey Data terutama akan dilaksanakan untuk mengumpulkan Data Primer

yang antara lain berkaitan dengan:

a. Identifikasi permasalahan mengenai permukiman di kota Salatiga;

b. Identifikasi kebijakan yang telah ada;

c. Wawancara secara langsung dan penyebaran kuesioner kepada pihak-pihak

yang terkait (stakeholder) didalamnya.

d. Survey Data Sekunder

e. Kajian kepustakaan;

f. Data dari dinas terkait dan instansi terkait;

g. Legal base line/inventarisasi perundang-undangan terkait.

b) Teknik Pengumpulan Data

Teknis pengumpulan data dalam Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang

Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep

Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman dilakukan dengan beberapa cara :

Page 13: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

10  

a. Studi dokumentasi; meliputi identifikasi, inventarisasi dan pengkajian

terhadap peraturan perundang-undangan Kota Salatiga, Propinsi Jawa

Tengah dan nasional serta berbagai teori, hasil penelitian, jurnal yang

berkenaan dengan materi Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan

Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan

Kebijakan Strategis Permukiman.

b. Focus Group Discussion; merupakan kegiatan yang dilakukan dengan

anggota DPRD, Pimpinan SKPD para pemangku kepentingan, PA, PPTK

dan Tim Koordinasi untuk mengidentifikasi problematika dan harapan

berkenaan dengan Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan

Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan

Kebijakan Strategis Permukiman penyusunan.

c. Wawancara; dilakukan terhadap beberapa informan kunci yang dianggap

memiliki pengetahuan atau informasi yang memadai tentang topik Naskah

Akademik dan Raperda, baik di lingkungan DPRD, SKPD dan lembaga non

pemerintah (perguruan tinggi, LSM, tokoh masyarakat, tokoh agama, dll).

c) Diskusi Terfokus (Focus Group Discussion)

Diskusi terfokus akan dilakukan pada setiap tahapan pekerjaan, bahan diskusi

diserahkan kepada Pengguna Jasa dalam waktu 3 (tiga) hari kalender sebelum

pelaksanaan diskusi, sehingga PA, PPTK dan Tim Koordinasi dapat mempelajari

terlebih dahulu. Laporan yang disampaikan untuk diskusi disajikan dalam 2 (dua)

tahap diskusi yaitu:

a. Diskusi 1

Diskusi ini dilakukan untuk membahas Laporan Pendahuluan dihadiri

PPTK, dan Pihak penyedia jasa (konsultan), diharapkan dalam diskusi ini

didapatkan kesepakatan-kesepakatan mengenai latar belakang, kebijakan

daerah, kerangka pikir sistematika, jenis data dan cara mendapatkan data,

metodologi dan analisa kegiatan, rencana pelaksanaan kegiatan, jadwal

kegiatan.

b. Diskusi 2

Diskusi ini membahas Draft Laporan Akhir dihadiri PA/KPA, PPTK dan

Penyedia Jasa (konsultan) untuk mendapatkan saran masukan untuk

penyempurnaan materi dalam rangka penyusunan Laporan Akhir dan

Produk Akhir.

Page 14: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

11  

Gambar 2.

Metode Pemanfaatan SIG

Page 15: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

12 

1.5.2. Tahap Analisis Data

1. Analisis Pola dan Sebaran Permukiman

Pada tahap ini dilakukan analisis tumpang tindih (overlay) antara peta permukiman

beberapa tahun terakhir dengan peta zonasi jalan, peta lereng, peta elevasi, dan peta

administrasi. Overlay antara peta permukiman dengan peta lereng akan menghasilkan peta

persebaran permukiman berdasarkanlereng, overlay peta permukiman dengan peta elevasi akan

menghasilkan peta persebaran permukiman berdasarkan elevasi, overlay peta permukiman

dengan peta zonasi jalan akan menghasilkan peta persebaran permukiman berdasarkan

aksesibilitasnya, dan overlay peta permukiman dengan peta administrasi menghasilkan

persebaran permukiman berdasarkan wilayah administrasinya.

2. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Perkembangan Permukiman

Pada tahap ini dilakukan proses analisis tumpang tindih (overlay) untuk beberapa

periode (antar 2 titik waktu), yaitu antar peta penggunaan lahan tahun pertama dengan

kedua,kemudian antara tahun kedua dengan ketiga, dan antara tahun ketiga dengan

keempat.Hal ini dilakukan untuk mendapatkan peta perubahan penggunaan lahan dan

petaperkembangan permukiman secara khusus dalam tiga periode, yaitu dari tahunpertama

sampai tahun keempat. Overlay antara peta permukiman multi tahun terhadappeta zonasi jalan,

peta elevasi, dan peta kemiringan lereng dilakukan untukmengetahui pola perkembangan

permukiman multi tahun tersebut berdasarkanelevasi, kemiringan lereng, dan aksesibilitas.

Gambar 3.

Metode Penggunaan SIG (Overlay)

Page 16: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

13 

1.5.3. Teknik Analisis Data

Beberapa teknik/metode analisis yang digunakan dalam penyusunan kegiatan kajian

permukiman di Kota Salatiga ini antara lain:

1. Analisis Kependudukan

Analisis kependudukan merupakan analisis untuk mengetahui perkembangan penduduk

dan komposisi penduduk sehingga dapat digunakan untuk mempertimbangkan kebutuhan

sarana dan prasarana, dan kebutuhan ruang, termasuk dalam perencanaan program

perumahan dan permukiman.

Tujuan: mengetahui kondisi penduduk dilihat dari kuantitas dan kualitasnya sehingga

dapat diketahui potensi sumber daya manusianya dalam mendukung pembangunan

perumahan dan permukiman di Kota Salatiga.

Metode :

h Proyeksi dan Pertumbuhan Penduduk

Proyeksi penduduk adalah perhitungan (kalkulasi) yang menunjukkan keadaan fertilitas,

mortalitas, dan migrasi di masa yang akan datang. Proyeksi penduduk akan dihitung

dengan menggunakan model perhitungan, diantaranya dengan menggunakan Model

Pertumbuhan Geometris.

Model Pertumbuhan Geometris

Model Pertumbuhan Geometris adalah perhitungan pertumbuhan penduduk menggunakan

dasar bunga (bunga majemuk). Rumus yang digunakan adalah:

Dimana: Pn = jumlah penduduk pada tahun ke n (jiwa)

Po = jumlah penduduk awal (jiwa)

r = tingkat pertumbuhan penduduk ( % )

n = jumlah tahun pada periode tertentu / selisih tahun

h Tingkat Kepadatan Penduduk

Tingkat kepadatan penduduk menunjukkan kualitas lingkungan permukiman, semakin

padat penduduk pada suatu wilayah mengakibatkan semakin besar tekanan terhadap

sumber daya dan daya dukung fisik lingkungan yang ada pada wilayah tersebut, yang pada

gilirannya menyebabkan penurunan kualitas lingkungan dan prasarana sarana.

Pn = Po ( 1 + r )n

Page 17: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

14 

2. Analisis karakteristik perumahan dan permukiman

Analisis karakteristik perumahan dan permukiman merupakan analisis dengan

mengidentifikasi karakteristik perumahan dan permukiman, yang dilihat baik dari

karakteristik bangunan, status kepemilikan, arsitektur dan pola permukiman. Selain itu

juga untuk mengidentifikasi kawasan permukiman berdasarkan tingkat kepadatan,

kekumuhan, pola pembangunan, dan sebagainya.

Tujuan : mengetahui kondisi perumahan dan permukiman sehingga dapat diketahui tingkat

kualitas perumahan dan permukiman di Kota Salatiga.

Metode :

h Tingkat Kualitas Struktur Bangunan

Kualitas struktur bangunan terkait dengan kebutuhan minimal keamanan dan keselamatan

bangunan, khususnya rumah tinggal. Tingkat kualitas struktur bangunan dinilai

berdasarkan persentase banyaknya bangunan rumah yang tidak memenuhi persyaratan

pondasi, dinding, atap, serta lantai suatu bangunan rumah tinggal yang sehat.

h Tingkat Kepadatan Bangunan

Tingkat kepadatan bangunan adalah jumlah unit rumah per satuan luas (ha) dalam suatu

lingkungan permukiman. Semakin tinggi tingkat kepadatan bangunan maka lingkungan

permukiman akan semakin kumuh akibat keterbatasan lahan yang tersedia.

Jumlah Penduduk

X 100 % Luas Wilayah

Jumlah Bangunan Rumah dg Struktur Tidak Layak X 100 %

Jumlah Keseluruhan Bangunan Rumah

Jumlah Bangunan Rumah

Luas Wilayah (ha)

Page 18: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

15 

h Kebutuhan Rumah Total:

Ada 4 aspek yang menjadi pertimbangan dalam perhitungan kebutuhan rumah diantaranya

yaitu: aspek kekurangan jumlah rumah, aspek pertumbuhan jumlah penduduk, aspek

rumah tidak layak huni, dan aspek permukiman kumuh.

Penghitungan Kekurangan Jumlah Rumah Berdasarkan Status Penguasaan Bangunan

Merupakan suatu perhitungan kekurangan jumlah rumah atau backlog yang dilihat dari

status kepemilikan bangunan. Backlog rumah didefinisikan sebagai kekurangan jumlah

rumah dari jumlah KK yang ada. Kekurangan jumlah rumah atau backlog dibagi secara

spesifik menurut status kepemilikan rumah. Rumah tangga dengan status penguasaan

bangunan milik sendiri diklasifikasikan sebagai rumah tangga yang sudah memiliki rumah,

sedangkan rumah tangga dengan status penguasaan bangunan kontrak, sewa, rumah dinas,

bebas sewa, rumah milik orang tua/famili, dan lainnya diklasifikasikan sebagai rumah

tangga yang belum memiliki rumah.

Backlog =

h Tingkat Kesehatan dan Kenyamanan Bangunan

Tingkat kesehatan dan kenyamanan bangunan tempat tinggal akan terkait dengan 3 aspek,

yaitu pencahayaan, penghawaan, serta suhu udara dan kelembaban dalam ruangan dalam

suatu lingkungan permukiman.

h Tingkat Penggunaan Luas Lantai Bangunan

Tingkat penggunaan luas lantai bangunan adalah luas ruang yang dipergunakan untuk

melakukan aktifitas sosial, ekonomi dan budaya setiap orang. Mengacu pada pedoman

rumah sehat, bahwa rumah kumuh mempunyai luas lantai kurang dari 9 meter persegi tiap

orang. Oleh karena itu, semakin kecil penggunaan luas bangunannya maka

mengindikasikan lingkungan permukiman tersebut semakin kumuh. Teknik penilaiannya

adalah membandingkan luas bangunan rumah dengan jumlah penghuni rumah.

Jumlah Bangunan Rumah Tidak Sehat dan Aman X 100 %

Jumlah Keseluruhan Rumah

Jumlah Bangunan Rumah

Jumlah Penghuni Rumah

Jumlah keluarga – Jumlah rumah

Page 19: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

16 

3. Analisis penyediaan dan kebutuhan perumahan

Analisis penyediaan perumahan merupakan analisis yang dilakukan dengan

mengidentifikasi kemampuan penyediaan rumah melalui jenis-jenis pola penyediaan,

seperti real estate, masyarakat secara swadaya, instansi sektoral, perumnas dan sebagainya.

Dengan demikian akan diketahui proporsi atau kontribusi peran masing-masing

stakeholder dan perkembangan (trend) kemampuannya.

Tujuan : mengevaluasi penyediaan (ketersediaan) rumah bagi masyarakat hingga saat ini,

selain itu dengan mengetahui peran stakeholder penyedia terkait melalui preferensinya

akan dapat diprediksi alokasi lahan bagi pembangunan perumahan 5 hingga 10 tahun

mendatang.

Metode :

Kualitatif deskriptif, dimana melalui masukan yang diperoleh dari stakeholder terkait

seperti REI, perumnas, instansi, dan sebagainya akan dapat diketahui prosentase

penyediaan oleh masing-masing pihak dalam mencari lokasi pengembangan perumahan

Analisis kebutuhan rumah (sebagai tempat tinggal) didasarkan pada asumsi-asumsi dasar

antara lain: jumlah penghuni (tingkat hunian) rata-rata tiap satu unit rumah, jumlah rata-

rata KK per unit dan sebagainya.

Tujuan : mengetahui tingkat hunian rumah dan kekurangan rumah (backlog) di Kota

Salatiga.

Metode :

h Tingkat Hunian :

Semakin tinggi angka perbandingan KK dengan bangunan rumah ini menunjukkan

semakin banyak jumlah anggota keluarga, yang pada gilirannya berpengaruh pada

kebutuhan sarana pelayanan yang semakin besar.

4. Penghitungan kebutuhan rumah berdasarkan pertumbuhan penduduk

Merupakan suatu perhitungan kebutuhan rumah yang didasari oleh adanya faktor

pertumbuhan jumlah penduduk. Perhitungan ini untuk mengetahui tambahan rumah rata-

Banyaknya KK dalam Suatu Wilayah

Jumlah Bangunan Rumah

Page 20: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

17 

rata per tahun yang nantinya dapat dipakai untuk memprediksikan jumlah rumah pada

tahun mendatang.

Proses :

a) Menghitung jumlah kepala keluarga (KK) selama kurun waktu 5 tahun terakhir

sehingga dapat diketahui jumlah kebutuhan rumah.

koefisien dasar tingkat hunian ideal atau penurunan yang diinginkan (misal dari 4,5

jiwa/ unit menjadi 4 jiwa/unit). Dalam perhitungan kebutuhan rumah ini, koefisien

hunian ditetapkan sebesar 4 jiwa/unit. (Bambang Panudju, 1999).

Jumlah KK pada tahun xn:

b) Dengan asumsi 1 rumah = 1 KK, maka jumlah KK sama dengan jumlah kebutuhan

rumah pada tahun tersebut.

c) Lakukan perhitungan yang sama untuk tahun-tahun yang lain, kemudian hitung rata-

ratanya.

Kebutuhan rumah rata-rata pertahun :

5. Perhitungan Kebutuhan Rumah Total

Kebutuhan Rumah Total = Jumlah backlog + Jumlah kebutuhan rumah akibat faktor

pertumbuhan jumlah penduduk + Jumlah permukiman tidak layak huni + jumlah

permukiman kumuh.

h Segmentasi Kebutuhan Rumah

Untuk menetapkan segmentasi kebutuhan rumah digunakan standar tingkat kesejahteraan.

Menurut BPS, pengelompokkan tingkat kesejahteraan penduduk dibedakan menjadi 2

kelompok yaitu kelompok keluarga prasejahtera, kelompok keluarga sejahtera I. Dari

kedua kelompok keluarga diatas maka selanjutnya dikelompokkan menjadi 3 kelompok

keluarga yaitu kelompok keluarga miskin dan rawan miskin, keluarga berpenghasilan

Jumlah penduduk

4

X1 + x2 + x3 + x4 + x5

5

Page 21: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

18 

rendah, dan keluarga berpenghasilan menengah-atas. Dalam identifikasi kebutuhan rumah

ini variabel-variabel yang mendasari pengelompokkan tersebut antara lain:

a) Kelompok keluarga miskin dan rawan miskin

h Kondisi rumahnya tidak layak huni, dengan lantai dari tanah

h Mempunyai penghasilan dibawah rata-rata/UMR

b) Kelompok keluarga berpenghasilan rendah

h Kondisi rumah layak huni, dengan lantai bukan dari tanah

h Mempunyai penghasilan yang diasumsikan dapat digunakan untuk mengangsur

kredit rumah

h Mempunyai rumah dengan tipe bangunan rumah antara 21 – 36

h Mempunyai penghasilan maksimum diperkirakan antara Rp.900.000,00-

Rp.1.500.000,00.

h Proses Perhitungan

a) Mengitung persentase jumlah keluarga tiap-tiap kelompok keluarga dengan cara

membagi jumlah keluarga tiap kelompok dengan jumlah total keluarga dikalikan

100%. Dengan catatan:

h Keluarga Prasejahtera masuk dalam kategori Keluarga Miskin dan Rawan Miskin

h Keluarga Sejahtera I dan II masuk dalam kategori Keluarga Berpenghasilan

Rendah

b) Menghitung segmentasi kebutuhan rumah berdasarkan tingkat penangananya yaitu

yang memerlukan pembangunan baru dan yang perlu peningkatan, tetapi sebelumnya

terlebih dahulu menghitung jumlah persentasenya terhadap jumlah kebutuhan rumah

total. Perlu menjadi catatan jumlah kekurangan jumlah rumah/backlog dan kebutuhan

rumah akibat pertumbuhan jumlah penduduk dianggap sebagai yang memerlukan

pembangunan rumah baru. Sedangkan rumah yang tidak layak huni dan jumlah

permukiman kumuh dianggap sebagai jumlah rumah yang memerlukan peningkatan

kualitas.

c) Menghitung kebutuhan rumah dengan mengalikan persentase tiap kelompok kelurga

dengan jumlah total kebutuhan rumah dari hasil perhitungan sebelumnya.

h Rumus

a) Menghitung persentase tiap kelompok keluarga

- Persentase kelompok keluarga miskin dan rawan miskin = (Jumlah keluarga

prasejahtera/Jumlah keluarga) x 100%

Page 22: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

19 

- Persentase kelompok keluarga berpenghasilan rendah = (Jumlah keluarga sejahtera

I dan sejahtera II/Jumlah keluarga) x 100%

b) Menghitung persentase berdasarkan penanganan

- % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan pembangunan baru = (Jumlah

backlog dan jumlah kebutuhan rumah akibat pertumbuhan penduduk / jumlah

kebutuhan rumah total) x 100%

- % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan peningkatan kualitas = (Jumlah

rumah tidak layak huni dan jumlah rumah yang berada di lingkungan permukiman

kumuh / jumlah kebutuhan rumah total) x 100%

c) Menghitung kebutuhan rumah tiap kelompok keluarga

h Jumlah kebutuhan rumah untuk kelompok keluarga miskin dan rawan miskin

- Untuk pembangunan baru = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga

miskin dan rawan miskin x % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan

pembangunan baru

- Untuk peningkatan kualitas = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga

miskin dan rawan miskin x % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan

peningkatan kualitas

h Jumlah kebutuhan rumah untuk kelompok keluarga berpenghasilan rendah

- Untuk pembangunan baru = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga

berpenghasilan rendah x % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan

pembangunan baru

- Untuk peningkatan kualitas = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga

berpenghasilan rendah x % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan

peningkatan kualitas

h Jumlah kebutuhan rumah untuk kelompok keluarga berpenghasilan menengah-

atas

- Untuk pembangunan baru = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga

berpenghasilan menengah-atas x % jumlah kebutuhan rumah yang

memerlukan pembangunan baru

- Untuk peningkatan kualitas = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga

berpenghasilan menengah-atas x % jumlah kebutuhan rumah yang

memerlukan peningkatan kualitas.

Page 23: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

20 

6. Analisis kesesuaian lahan bagi permukiman

Analisis kesesuaian lahan bagi permukiman merupakan analisis overlay dari berbagai

kriteria pengembangan permukiman, baik fisik, ekonomi, sosial dan kebijakan. Dari

berbagai kriteria yang dikembangkan, dalam analisis ini pertimbangan aspek fisik seperti

kemiringan lahan, struktur tanah (geologi), sistem drainase alami, ketersediaan air tanah

dan sebagainya, akan menjadi pertimbangan utama.

Tujuan : mengetahui dimana alokasi kawasan fungsi lindung, kawasan aman untuk

permukiman (direkomendasikan) dan kawasan yang kurang diprioritaskan (ada kendala-

kendala yang harus diatasi terlebih dahulu), serta kawasan larangan pengembangan

permukiman karena pertimbangan keamanan dan lain sebagainya.

Metode : kualitatif deskriptif, dengan memperhatikan aspek-aspek yang terkait yang

mengacu pada Petunjuk Pelaksanaan Penilaian Tingkat Kekumuhan yang dikeluarkan oleh

Dirjen Perumahan dan Permukiman Tahun 2002, yakni:

- Status Legalitas Tanah

Status legalitas tanah adalah perbandingan jumlah rumah yang dibangun di atas

tanah/lahan yang diperuntukkan bukan sebagai perumahan dibandingkan dengan yang

dibangun pada tanah yang diperuntukkan bagi perumahan, sesuai dengan Rencana

Umum Tata Ruang (RUTR).

- Status Penguasaan Bangunan

Status penguasaan bangunan adalah status pemilikan dan penggunaan bangunan. Status

penguasaan bangunan dapat berupa hak milik, hak guna, dan hak pakai.

- Frekuensi Bencana Banjir

Frekuensi bencana banjir adalah banyaknya kejadian banjir pada suatu lingkungan

permukiman. Biasanya disebabkan tidak tersedianya atau kurang terpeliharanya

prasarana drainase ataupun tempat pembuangan akhir. Semakin sering terjadi bencana

banjir pada suatu lingkungan permukiman, tingkat kerawanan bencana terhadap

penyakit di lingkungan tersebut semakin tinggi.

- Frekuensi Bencana Tanah Longsor

Frekuensi bencana tanah longsor adalah banyaknya kejadian tanah longsor pada suatu

lingkungan permukiman, akibat penempatan bangunan pada daerah patahan dan

longsoran. Semakin sering terjadi bencana tanah longsor pada suatu lingkungan

permukiman dapat dikatakan semakin tinggi tingkat kerawanan bagi kelangsungan

hidup penduduknya, dan secara fisik membutuhkan penanganan yang cukup mahal.

Page 24: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

21 

7. Analisis kecenderungan arah perkembangan permukiman

Analisis kecenderungan perkembangan permukiman merupakan analisis spasial yang

mengintegrasikan pertambahan rumah dengan penggunaan lahan.

Tujuan : mengetahui lokasi-lokasi yang berkembang lebih cepat dalam hal pembangunan

perumahan dan permukiman

Metode: kualitatif deskriptif, dengan memperhatikan aspek-aspek yang mempengaruhi

arah (kecenderungan) perkembangan permukiman antara lain:

a. Ketersediaan jaringan jalan dan pola sirkulasi (lalu lintas) regional. Semakin tinggi

aksesibilitas (ketersediaan jalan, besarnya arus lalu lintas dan berada diantara 2 simpul

kegiatan) akan semakin mudah suatu kawasan perumahan baru untuk berkembang.

b. Kemudahan dalam penyediaan sarana dan prasarana penunjang permukiman seperti

air bersih, drainase (bebas genangan), serta pengelolaan sampah. Ketersediaan jalan

akan memacu kemudahan penyediaan listrik dan telepon. Sehingga kawasan yang

telah terakses jaringan PSD akan lebih cepat berkembang menjadi permukiman baru.

c. Status lahan yang akan memudahkan pengalihfungsian lahan, yang umumnya dari non

permukiman menjadi permukiman.

d. Arahan tata ruang wilayah dan kota yang akan mendorong secara administratif

(perijinan) dan legalisasi kegiatan pengembangan permukiman. Pengembangan

kegiatan industri, perdagangan dan jasa dan kegiatan pelayanan sosial akan memicu

tumbuhnya permukiman di sekitarnya.

8. Analisis permasalahan perumahan dan permukiman

Analisis prioritas permasalahan perumahan permukiman merupakan analisis yang

digunakan untuk menentukan tingkat kepentingan dari berbagai permasalahan perumahan

dan permukiman yang muncul sebagai akibat perkembangan penduduk dan perkembangan

wilayah.

Tujuan : mengidentifikasi potensi, permasalahan, peluang dan ancaman yang ada dalam

bidang perumahan dan permukiman di Kota Salatiga

Metode : Untuk mengidentifikasi permasalahan perumahan dan permukiman digunakan

analisis deskripsi kualitatif berdasarkan data-data yang telah dihimpun hasil survei primer

dan sekunder.

Dalam analisis ini pertimbangannya meliputi beberapa aspek, diantaranya: aspek

kependudukan, tata ruang dan pengembangan wilayah, pertanahan, prasarana,

pembiayaan, kelembagaan, peran serta masyarakat, dan peraturan perundang-undangan.

Page 25: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

22 

Permasalahan perumahan dan permukiman (yang merupakan hasil kesimpulan sementara

tentang kondisi yang telah dan sedang berkembang) yang perlu segera ditangani adalah:

1) Permasalahan yang mendesak dan apabila tidak diatasi menimbulkan dampak yang

sangat meluas, adalah:

a. Pemberian perijinan lokasi permukiman baru yang tidak sesuai dengan tata ruang

b. Pemberian perijijnan yang melebihi daya dukung lingkungan atau melebihi

kebutuhan yang berkembang

c. Pertumbuhan kawasan permukiman kumuh yang sangat cepat

2) Permasalahan yang perlu diantisipasi melalui berbagai kebijakan dan pengaturan, untuk

mencegah dampak negatif apabila tidak diatasi seperti:

a. Review terhadap peruntukan perumahan dan permukiman terutama pada kawasan

yang berkembang tidak terkendali menjadi kawasan permukiman.

b. Penetapan fungsi dan peruntukan kawasan non perumahan yang berkembang

menjadi kawasan perumahan atau sebaliknya.

c. Penetapan negative list terhadap kawasan yang terlarang untuk diubah menjadi

kawasan permukiman dll.

d. Penetapan daya dukung lahan yang mengalami degradasi fisik dan lingkungan.

3) Daftar masalah lain yang perlu ditangani namun dapat diselenggarakan secara bertahap.

Terhadap masalah seperti ini, perlu dipilah menjadi:

a. Masalah yang dapat diselesaikan melalui/menjadi urusan sektor

b. Masalah yang perlu diselesaikan sebagai urusan umum

c. Urusan yang perlu dipecahkan secara terkoordinasi melalui forum lokal/kota.

9. Analisis Kebutuhan Sarana dan Prasarana Perumahan

1) Analisis Kebutuhan Sarana Perumahan

Salah satu bentuk analisis yang akan dilakukan adalah mengkaji kebutuhan sarana dan

prasarana perumahan. Data-data primer dan sekunder yang telah didapatkan, disesuaikan

dengan standar rencana kebutuhan fasilitas yang kemudian disesuaikan dengan arah

pengembangan perkiraan di Kota Salatiga. Analisis yang dilakukan dengan metoda

diskriptif kualitatif dan kuantitatif.

2) Analisis Kebutuhan Prasarana Perumahan

Di dalam pelaksanaan pekerjaan ini dibutuhkan beberapa metodologi untuk menganalisis,

termasuk menghitung dan merencanakan sistem jaringan dari komponen-komponen PSD-

PU. Metodologi tersebut akan dikaitkan dengan berbagai prosedur dan standar yang

berlaku dan digunakan di Indonesia. Termasuk proses dan standar yang digunakan di dalam

Page 26: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

23 

lingkungan Departemen Pekerjaan Umum, dan Departemen Permukiman dan

Pengembangan Wilayah.

3) Analisis Pemilihan Lokasi

Konsep pemilihan lokasi harus disesuaikan dengan asas kesesuaian dan keberlanjutan

(sustainability) dan kesempatan (opportunities). Untuk lebih jelasnya, pemilihan lokasi

permasalahan perumahan dan permukiman disini harus mengacu pada :

- Kebutuhan dari masyarakat

Apa yang dibutuhkan oleh masyarakat pada suatu lokasi harus dapat diidentifikasi, agar

lokasi yang dipilih tidak salah sasaran.

- Kecenderungan perkembangan

Yang perlu diperhatian adalah adanya kecenderungan bahwa masalah yang ada pada

suatu wilayah, apabila tidak segera ditangani akan menimbulkan dampak yang meluas.

Disini unsur prediksi diperlukan, sehingga masalah yang perlu diatasi telah

diprioritasnya berdasarkan kemendasakannya.

- Pertimbangan lingkungan

Setelah kebutuhan masyarakat diketahui dan prioritas masalah diperoleh, yang terakhir

harus diperhatikan adalah kondisi lingkungan. Dalam arti disini bukan hanya

lingkungan secara fisik namun juga lingkungan organisasi.

Lingkungan fisik perlu diperhatikan, karena lokasi terpilih nantinya merupakan

tempat/wadah pengelolaan dan penanganan masalah yang dihadapi. Sehingga unsur

sumber daya sangat diperlukan untuk mendukung kelancaran tujuan tersebut. Sedangkan

lingkungan organisasi termasuk didalmnya adalah: kesesuaian rencana penanganan dengan

peruntukan lokasinya, keterlibatan aktor yang berperan secara aktif serta bagaimana

kondisi pendukung lainnya.

4) Analisis Pembiayaan Pembangunan Perumahan

Analisis pembiayaan pembangunan perumahan merupakan suatu analisis yang bertujuan

untuk mengenali dan menggali sumber-sumber pendanaan potensial yang dapat dijadikan

sumber pembiayaan perumahan. Tentunya analisis pembiayaan perumahan ini harus

disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat Kota Salatiga. Ada tiga

aspek penting pembiayaan permukiman yaitu sumber dana, aksebilitas dan sasaran (target

group). Perumusan kebijaksanaan pembiayaan permukiman diarahkan guna mengatasi

permasalahan tidak terjangkaunya harga rumah oleh golongan masyarakat berpenghasilan

rendah dan ditujukan guna menciptakan iklim yang kondusif sehingga masyarakat

berpenghasilan rendah dapat menjangkau dan menikmati hasil-hasil pembangunan

Page 27: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

24 

perumahan. Analisis ini nantinya diharapkan dapat memberikan jawaban atas

permasalahan pembiayaan permukiman di Kota Salatiga baik bagi masyarakat yang di kota

maupun di daerah yang masih bercirikan perdesaan. Hal lainnya yang harus dijawab

adalah memasukkan pembiayaan permukiman sektor non-formal ke dalam sistem

pembiayaan formal yang didukung pendapatan, hubungan atau kemitraan yang harmonis

antara pemerintah, swasta dan masyarakat.

5) Analisis Kelembagaan Pembangunan Perumahan

Analisis kelembagaan pembangunan perumahan merupakan analisis yang tujuannya untuk

mengembangkan fungsi dan kapasitas lembaga yang ada dalam mendukung pembangunan

perumahan. Pengembangan sistem kelembagaan harus bersifat komprehensif dan sinergis

yaitu mencakup semua aktor, dan sektor yang terkait dengan bidang perumahan. Dengan

melakukan analisis kelembagaan ini diharapkan akan tersusun tatalaksana penyelenggara

pembangunan perumahan yang baik, sehingga nantinya peran dan kapasitas masyarakat

akan semakin meningkat dalam menjawab tantangan dan isu serta permasalahan dalam

penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang mengedepankan strategi

pemberdayaan masyarakat.

1.6. JADWAL PELAKSANAAN

Penyelesaian atas seluruh obyek dan lingkup Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah

tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep

Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman dalam Jangka Waktu 30 (tiga puluh) hari

kalender (atau sekitar 5 minggu hari kerja, terhitung sejak diterbitkannya Surat Perintah Mulai

Kerja (SPMK). Dengan batasan waktu penyelesaian tersebut, jadwal kegiatan yang akan

dilaksanakan adalah sebagai berikut: No Kegiatan Mgg-1 Mgg-2 Mgg-3 Mgg-4 Mgg-5

1 Persiapan (SPMK, penyu-

sunan kues dsb)

2 Pengumpulan data

3 FGD tahap 1 25-27

Nov

4 Pengolahan dan Analisa Data

5 Penulisan Laporan

6 FGD tahap 2 2-4 Des

7 Perbaikan Laporan Akhir

8 Penyerahan Laporan Akhir 15 Des

Page 28: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

25 

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

2.1. PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia. Dalam masyarakat

Indonesia, perumahan beserta prasarana pendukungnya merupakan pencerminan dari jati diri

manusia, baik secara perseorangan maupun dalam suatu kesatuan dan kebersamaan serta

keserasian dengan lingkungan sekitarnya. Perumahan dan permukiman juga mempunyai

peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa,sehingga

perlu dibina dan dikembangkan demi kelangsungan serta peningkatan kehidupan dan

penghidupan masyarakat.

Perumahan dan permukiman selain berfungsi sebagai wadah pengembangan sumber

daya manusia dan pengejawantahan dari lingkungan sosial yang tertib, juga merupakan

kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi melalui sektor industri perumahan sebagai penyedia

lapangan kerja serta pendorong pembentukan modal yang besar. Melalui peningkatan serta

pemenuhan kebutuhan akan perumahan dan permukiman, diharapkan masyarakat dapat

meningkatkan produktivitas, berperan serta secara aktif dalam pembangunan, dan mampu

meningkatkan pemupukan modal bagi pembangunan selanjutnya.

Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman menyebutkan

bahwa perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal

atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan, sedangkan

permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa

kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau

lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan

penghidupan.Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman semakin

menegaskan bahwa perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagiandari permukiman, baik

perkotaan maupun perdesaan,yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitasumum

sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yanglayak huni dan terjangkau.Yang dimaksud dengan

“rumah yang layak huni dan terjangkau”adalah rumah yang memenuhi persyaratan

keselamatan bangunandan kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatanpenghuninya,

yang mampu dijangkau oleh seluruh lapisanmasyarakat.

Sementara, sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan

Permukiman, yang dimaksud dengan permukiman adalah bagian dari lingkungan hunianyang

Page 29: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

26 

terdiri atas lebih dari satu satuan perumahanyang mempunyai prasarana, sarana, utilitas

umum,serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain dikawasan perkotaan atau kawasan

perdesaan. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan hunian adalah bagian dari

kawasanpermukiman yang terdiri atas lebih dari satu satuanPermukiman, dan kawasan

permukiman adalah bagian dari lingkunganhidup di luar kawasan lindung, baik berupa

kawasanperkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagailingkungan tempat tinggal atau

lingkungan hunian dantempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Sedangkan yang dimaksud dengan “lingkungan yang sehat, aman, serasi,teratur, terencana,

terpadu, dan berkelanjutan” adalah lingkunganyang memenuhi persyaratan tata ruang,

kesesuaian hak atas tanahdan rumah, dan tersedianya prasarana, sarana, dan utilitas umumyang

memenuhi persyaratan baku mutu lingkungan. Dalam upaya penetapan lokasi dan penyediaan

perumahan dan permukiman yanglayak huni, sehat dan produktif ini peran pemerintah menjadi

sangat penting.

Pemerintah wajib berperan sebagai fasilitator dan pendorong dalam upaya

pemberdayaan masyarakat serta pelaku kunci lainnya bagi berlangsungnya seluruh rangkaian

proses penyelenggaraan perumahan dan permukiman, memfasilitasi dan mendorong

terciptanya iklim yang kondusif didalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman serta

mengoptimalkan pandayagunaan sumber daya pendukung penyelenggaraan perumahan dan

permukiman.

2.2. PERSYARATAN LOKASI PERMUKIMAN

Salah satu faktor utama yang akan sangat berpengaruh dalam penyediaan perumahan

dan permukiman adalah masalah lokasi. Penetapan suatu lokasi pembangunan lingkungan

hunian barusebagaimana dimaksud dalam UU 1/2011 tentang Perumahan dan Permukiman

pada pasal 66 ayat (5) adalah menjadi kewenangan dari bupati/walikota.Penetapan lokasi

pembangunan lingkungan hunian barusebagaimana dimaksud pada ayat (5) tersebut

dilakukanberdasarkan hasil studi kelayakan;

a. rencana pembangunan perkotaan atau perdesaan;

b. rencana penyediaan tanah; dan

c. analisis mengenai dampak lalu lintas danlingkungan

Menurut Joseph De Chiara dalam Standar Perencanaan Tapak (1994), kondisi yang

harus dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi/tapak untuk perumahan apabila ingin dicapai

pembangunan dan pemeliharaan yang sehat, antara lain:

Page 30: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

27 

A. Sifat Khas Fisis Tapak yang Penting

1. Kondisi tanah dan bawah tanah.

Kondisi bawah tanah dan harus sesuai dengan untuk pekerjaan galian dan persiapan,

peletakan jaringan utilitas serta pelandaian dan penanaman, memberikan daya dukung

yang baik untuk penghematan konstruksi bangunan yang akan dibangun. Untuk

menghemat konstruksi, sebaiknya lapisan bawa tanah tidak mengandung batuan keras atau

rintangan lain untk efisiensi galian utilitas pondasi atau kolong bangunan.

2. Air tanah dan drainase

Muka air tanah yang relatif rendah untuk untuk melingdungi bangunan dari genangan pada

kolong bangunan dan gangguan air selokan, tidak adanya rawa, dan kelandaian lereng

yang cukup memungkinkan penyaluran curah hujan permukaan normal dan kelancaran

aliran air selokan.

3. Keterbebasan dari banjir permukaan

Daerah pembangunan harus terbebas dari bahaya banjir permukaan yang disebabkan oleh

sungai, danau atau air pasang.

4. Kesesuaian penapakan bangunan yang akan direncanakan

Lahan tidak boleh terlalu curam demi kebaikan kelandaian dalam kaitannya dengan

kostruksi hunian. Tapak bangunan tidak boleh mempunyai ketinggian melebihi

kemampuan jangkuan air untuk keperluan rumah tangga dan penangulangan kebakaran.

5. Kesesuaian untuk akses dan sirkulasi

Topografi harus memungkinkan pencapaian yang baik oleh kendaraan maupun pejalan

kaki, ke dan di dalam tapak. Topografi juga harus memungkinkan pelandaian yang sesuai

dengan standar yang ada.

6. Kesesuaian untuk pembangunan ruang terbuka

Lahan untuk halaman pribadi, tempat bermain dan taman lingkungan harus memungkinkan

pelandaian dan pembangunan yang sesuai dengan spesifikasi.

7. Keterbatasan dari bahaya kecelakaan topografi

Daerah yang akan dibangun hendaknya bebas dari kondisi topografi yang dapat

menyebabkan kecelakaan, seperti galian, lubang yang menganga, dan garis pantai yang

berbahaya.

Page 31: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

28 

B. Ketersediaan Pelayanan Saniter dan Perlindungan

1. Persediaan air dan pembuangan air selokan saniter

Sistem persediaan air dan pembuangan harus dipandang sebagai pelayanan saniter jangka

panjang dan bukan hanya sekedar instalasi fisis. Penyetujuan dini dari pihak berwenang

dibidang kesehatan merupakan prasyarat untuk pembuatan fasilitas pembuangan air kotor

pada tapak dan untuk usulan pengembangan jaringan air maupun selokan yang akan

melayani tapak tersebut.

2. Pembuangan sampah

Apabila pelayanan sampah kota dapat diadakan, maka pemilihan tapak yang menyangkut

hal ini tidak akan menemui masala. Tetapi kebutuhan fasilitas pengolahan sampah pada

tapak atau di sekitas tapak untuk penguburan, pembakaran dan proses kimiawi memerlukan

upaya penelaahan untuk pengalaman. Masalah yang utama adalah pemisahan lahan untuk

pembuangan, penghindaran bau-bauan yang disebar oleh angin serta penggunaan metode

pembuangan untuk mencegah bersarangnya tikus dan pembiakan serangga.

3. Listrik, bahan bakar dan komunikasi

Listrik sangat penting untuk setiap rumah, tetapi karena pelayanan listrik biasanya dapat

diperluas untuk suatu pembangunan dan dapat dibangkitkan apabila diperlukan maka listrik

jarang menimbulkanmaslah dalam pemilihan tapak. Gas tidak dianggap sebagai utilitas

yang penting. Apabila keperluan gas berada di luar jangkauan jaringan pelayanan, maka

tabung gas bertekanan tinggi yang mudah diangkut dapat digunakan. Pelayanan telepon,

seperti listrik dapat diperluas untuk tapak yang memerlukannya.

4. Pengamanan oleh polisi dan penyelamat kebakaran

Kelayakan perlindungan oleh polisi tidak begitu terpengaruh oleh lokasi, tetapi seperti

halnya perlindungan terhadap kebakaran, apabila letak tempatnya terisolir maka segi

pembiayaan harus diperhitungkan.

C. Keterbatasan Dari Bahaya dan Gangguan Setempat

1. Bahaya kecelakaan

Bahaya utama kecelakaan utama adalah tabarakan dengan kendaraan bermotor lainnya,

bahaya api dan ledakan, jatuh, dan tenggelam. Penyebab tabrakan adalah lalu lintas jalan

dan jalan kereta api serta musibah pendaratan pesawat terbang di dekat jalur pendaratan.

2. Kebisingan dan getaran

Kebisingan yang berlebihan, kadang-kadang disertai getaran biasanya dihasilkan oleh

jalan kereta api, bandar udara, lalu lintas, industri berat, peluit kapal, dan sebagainya.

Page 32: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

29 

Perumahan tidak boleh terletak pada tapak yang terus menerus dilanda kebisingan yang

tidak terkendali, terutama di malam hari.

3. Bau-bauan, asap dan debu. Sumber bau-bauan yang tidak sedap biasanya adalah:

− Pabrik, industri, terutama rumah potong hewan, penyamakan kulit dan pabrik yang

menghasilkan produk dari binatang; industri karet, kimia dan pupuk, pewarnaan atau

pencucian tekstil; pabrik kertas, sabun dan cat; dan pabrik gas.

− Tempat pembuangan sampah, terutama apabila proses pemusnahan melibatkan

pembakaran.

− Sungai yang dikotori air selokan, atau instalasi pengolahan tinja yang tidak berjalan

dengan sempurna.

− Peternakan, terutama babi dan kambing, terutama apabila dipelihara secara berdesak-

desakan dan dalam keadaan kotor.

− Asap lalu lintas kendaraan bermotor dan kereta api dengan bahan bakar batubara.

Sumber asap dan debu yang sering dijumpai adalah industri, jalur kereta api, tempat

pembuangan dan kebakaran sampah. Debu juga berasal dari lahan terbuka seperti

lahan kosong, perkebunan yang tidak ditanami, tempat rekreasi yang tak terurus dan

daerah berdebu yang luas.

(Dirangkum dari: Joseph De Chiara; Lee E. Koppelman. Standar Perencanaan Tapak. 1994.

Hal: 91-95)

2.3. KRITERIA LOKASI DAN PERSYARATAN BAGGI PERUMAHAN DAN

PERMUKIMAN

Pengembangan permukiman pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas

lingkungan permukiman yang secara mendasar sangat berpengaruh terhadap kehidupan sehari-

hari dan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan permukiman selain menyediakan rumah

untuk tempat tinggal, juga bertujuan untuk menciptakan iklim kehidupan yang sehat secara

lingkungan, sosial, ekonomi, budaya dan politik dan menjamin kualitas kehidupan bagi semua

orang.

Penggunaan lahan untuk permukiman merupakan penggunaan lahan tunggal terbesar di

kota manapun (Koppelman dan De Chiara J, 1994). Menurut UU no 4 tahun 1992 tentang

permukiman dan perumahan pasal 1, fungsi kawasan permukiman adalah sebagai berikut:

Selain berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan manusia untuk

berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya, rumah juga merupakan tempat

Page 33: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

30 

awal pengembangan kehidupan dan penghidupan keluarga, dalam lingkungan yang sehat,

aman, serasi dan teratur.

Selain berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian untuk

mengembangkan kehidupan dan penghidupan keluarga, perumahan juga berfungsi sebagai

tempat untuk menyelenggarakan kegiatan bermasyarakat dalam lingkup terbatas.

Penataan ruang dan kelengkapan prasarana dan sarana lingkungan dan sebagainya,

dimaksudkan agar lingkungan tersebut akan merupakan lingkungan yang sehat, aman,

serasi dan teratur serta dapat berfungsi sebagaimana diharapkan.

Permukiman yang dimaksud dalam undang-undang ini mempunyai lingkup tertentu

yaitu kawasan yang didominasi oleh lingkungan hunian dengan fungsi utama sebagai tempat

tinggal yang dilengkapi dengan prasarana, sarana lingkungan, dan tempat kerja yang

memberikan pelayanan dan kesempatan kerja terbatas untuk mendukung peri kehidupan dan

penghidupan sehingga fungsi permukiman tersebut dapat berdaya guna dan berhasil guna.

2.4. PERSYARATAN LINGKUNGAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

Untuk mewujudkan suatu lingkungan perumahan yang mampu meningkatkan taraf

hidup penghuninya perlu penyediaan prasarana dan sarana penunjang. Prasarana lingkungan

perumahan umumnya terdiri atas jalan, air bersih, listrik, drainase dan persampahan.

Sedangkan sarana lingkungan meliputi dua hal yakni fasilitas sosial (tempat ibadah, lapangan

olah raga, gedung pertemuan) dan pelayanan sosial (sekolah, klinik/puskesmas/rumah sakit)

(Budiharjo, 1991).

Pembangunan dan pengembangan kawasan lingkungan perumahan pada dasarnya

memiliki dua fungsi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu fungsi pasif dalam

artian penyediaan sarana dan prasarana fisik, serta fungsi aktif yakni penciptaan lingkungan

yang sesuai dengan kehidupan penghuni (Budiharjo, 1991). Kedua fungsi ini lebih lanjut

dijabarkan dalam suatu pedoman pokok perumahan atau Habitat Bill of Rights yang

mengemukakan pedoman menyangkut lingkungan permukiman dan bangunan perumahan.

Dalam pedoman mengenai lingkungan permukiman disebutkan:

Fisik lingkungan harus mencerminkan pola kehidupan dan budaya masyarakat setempat;

Lingkungan permukiman harus didukung oleh fasilitas pelayanan dan utilitas umum yang

sebanding dengan ukuran/luas lingkungan serta jumlah penghuni;

Pada lingkungan permukiman masyarakat berpenghasilan rendah sedapat mungkin tersedia

pula wadah kegiatan yang dapat menambah penghasilan;

Taman, ruang terbuka/penghijauan harus tersedia cukup;

Page 34: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

31 

Perencanaan tata letak permukiman harus memanfaatkan bentuk topografis dan

karakteristik alami site setempat;

Jalan masuk lingkungan terdapat pemisahan antara lalu lintas kendaraan dan pejalan kaki,

serta sedapat mungkin diteduhi dengan pepohonan;

Lingkungan permukiman harus menunjang terjadinya kontak sosial dan menciptakan

identitas dari segenap penghuni.

Sedangkan hal-hal yang tertera dalam pedoman untuk bangunan perumahan, antara lain:

Ukuran unit rumah dan pekarangan diperhitungkan atas dasar jumlah anggota keluarga dan

kemungkinan pertambahan jumlah penghuni;

Setiap rumah selayaknya memiliki taman tersendiri;

Batas pemilikan rumah/pekarangan harus cukup jelas dibedakan dari daerah publik;

Setiap rumah harus terbuka ke kedua arah agar dapat sirkulasi udara silang dan

pencahayaan silang;

Interior dan eksterior rumah selayaknya mencerminkan nilai-nilai dan tata cara

penghuninya;

Setiap unit rumah memiliki fasilitas mandi cuci sendiri yang memenuhi persyaratan

kesehatan. (Budiharjo, 1991).

2.5. KRITERIA LOKASI PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

Yang dimaksud dengan kriteria lokasi adalah kriteria umum yang dipersyaratkan untuk

suatu kawasan dapat disebut dan atau dikembangkan sebagai kawasan perumahan dan

permukiman. Tidak setiap kawasan ekonomis dapat dikembangkan sebagai kawasan

perumahan, dan tidak setiap kawasan fungsional yang tidak produktif layak dikembangkan

menjadi kawasan perumahan dan permukiman.

Untuk itu, berbagai standart teknis pembangunan perumahan dan permukiman yang ada

tetap dapat dijadikan acuan dan pegangan sepanjang tidak bertentangan dengan visi, misi, dan

kebijakan nasional. Secara umum, terdapat dua kriteria yang perlu dijadikan pegangan dalam

menetapkan suatu kawasan agar dapat dikembangkan menjadi kawasan perumahan dan

permukiman.

1. Kriteria Umum

Hal yang prinsip dalam penetapan suatu kawasan perumahan dan permukiman adalah

dalam RTRW, kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai daerah dengan peruntukan

perumahan dan permukiman. Kawasan perumahan dan permukiman dapat dikembangkan

pada lokasi yang memenuhi kriteria berikut:

Page 35: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

32 

a. Tercantum dalam RUTR Kota/Kabupaten sebagai daerah perumahan (baik yang telah

ada ataupun masih memerlukan proses dan yang dicadangkan khusus untuk keperluan

tersebut).

b. Secara geografis lokasinya mudah diakses, dalam arti terkait dengan rencana investasi

dan pengembangan sarana dan prasarana primer yang berskala kota, terlayani atau

dalam rencana terlayani oleh sarana angkutan umum.

c. Memberikan manfaat bagi Pemerintah Daerah, khususnya masyarakat, dalam arti:

Menunjang ketersediaan rumah layak dan terjangkau.

Dukungan atau menjadi bagian integral dari pengembangan kawasan fungsional

lain (kawasan industri, kawasan wisata, dll).

Luasan minimalnya mendukung terlaksananya pola hunian berimbang (membentuk

lingkungan sosial yang harmonis antar strata).

Tidak mengganggu keseimbangan dan fungsi ekologis dan upaya pelestarian

sumber daya alam lainnya.

Skala kegiatannya dapat memberikan/ membuka kesempatan kerja baru bagi

masyarakat yang membutuhkan.

2. Kriteria Khusus

Kriteria khusus ini merupakan penjabaran lanjut dari kriteria umum, yang dapat dikaitkan

dengan pengembangan melalui program dan kegiatan khusus, antara lain:

a. Kawasan Permukiman Baru

Pembangunan kawasan permukiman baru diartikan sebagai kawasan permukiman yang

dibangun pada lahan yang disiapkan secara khusus untuk itu. Pengembangannya

mensyaratkan antara lain:

1. Tidak berada pada lokasi yang rawan bencana rutin maupun dapat diprediksi terjadi

(longsor, banjir, genangan menetap atau rawan kerusuhan sosial).

2. Mempunyai sumber air baku yang memadai (kualitas dan kuantitas) atau

terhubungkan dengan layanan jaringan air bersih, pematusan dan sanitasi berskala

kota.

3. Terletak pada hamparan dengan luasan yang memadai, sebagaimana tertuang dalam

Intruksi MENEG AGRARIA No.5/ Tahun 1998 tentang pemberian izin lokasi

dalam rangka penataan/ penguasaan tanah skala besar, yang antara lain memuat

penguasaan lahan maksimum oleh perusahaan pengembang sebagai berikut:

Antara 200-400 Ha per propinsi untuk satu pengembang atau konsorsium.

4000 Ha untuk seluruh Indonesia (bila terletak dalam satu hamparan).

Page 36: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

33 

b. Untuk pengembangan kawasan permukiman di daerah pedesaan, harus terkait dengan :

1. Upaya antisipasi tumbuh dan bekembangnya kota-kota kecil yang berada pada

lokasi geografis dan strategis.

2. Mendukung pengembangan ibu kota kecamatan sebagai pusat pelayanan primer.

3. Upaya menggulirkan kegiatan berkehidupan dan penghidupan pada desa-desa

terisolasi, kawasan permukiman perbatasan atau desa potensial yang belum

tergarap.

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, lokasi

yang sesuai untuk pengembangan dan pembangunan perumahan minimal harus memenuhi

kriteria-kriteria sebagai berikut:

Lokasi perumahan harus berada pada daerah yang peruntukannya dapat dikembangkan

sebagai lingkungan perumahan sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku atau di

daerah yang ditunjuk dengan sah oleh pemerintah setempat bila belum ada rencana tata

ruang yang diberlakukan.

Tersedianya lahan yang cukup bagi pembangunan lingkungan perumahan dan dilengkapi

dengan prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial perumahan.

Bebas dari pencemaran air, udara dan gangguan suara atau gangguan lainnya, baik yang

ditimbulkan dari sumber daya buatan manusia maupun sumber daya alam.

Dapat menjamin tercapainya tingkat kualitas lingkungan hidup yang sehat bagi pembinaan

individu dan masyarakat penghuni.

Mempunyai kondisi yang bebas dari banjir dan memiliki kemiringan tanah 0-15%,

sehingga dapat dibuat sistem saluran pembuangan air hujan dan fungsi jalan setempat yang

baik serta memiliki daya dukung yang cukup untuk memungkinkan dibangun perumahan.

Menjamin adanya kepastian hukum atas status penguasaan tanah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Untuk memperoleh lokasi yang sesuai sebagai kawasan perumahan memerlukan seleksi

dan analisis terhadap kondisi fisik kawasan (Chiara & Koppelman, 1989).

Sedangkan menurut Bourne (1982) dalam penentuan lokasi perumahan yang diinginkan

penghuni berkaitan dengan kemampuan ekonomi, keuntungan lokasi dan kualitas lingkungan

fisik.

Kemampuan biaya, dapat dilihat dari pengeluaran yang diperuntukkan bagi penyediaan

tempat tinggal.

Keuntungan lokasi, dilihat dari faktor aksesibilitas dan jarak dari pusat kota. Aksesibilitas

terutama faktor angkutan umum menyebabkan pergerakan penduduk lebih mudah. Bagi

Page 37: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

34 

golongan berpendapatan rendah maka faktor kedekatan jarak dengan pusat kota menjadi

preferensi utama, sedangkan bagi golongan masyarakat menengah ke atas jarak kedekatan

lokasi tidak menjadi permasalahan.

Kualitas lingkungan, setiap hunian dalam suatu perumahan merupakan tempat kita

melepaskan diri dari luar, dari tekanan dan ketegangan dan dari kegiatan rutin. Oleh

karena itu diperlukan suatu hunian yang nyaman dan damai sebagai elemen pendukung

terhadap konsep ini. Dari pengertian ini diturunkan faktor ketersediaan sarana prasarana

dan bebas banjir.

Menurut Chapin dalam perencanaan guna lahan kawasan perumahan, pada prinsipnya lokasi

pembangunan perumahan memiliki beberapa kriteria, antara lain:

Kawasan perumahan harus didukung dengan kelengkapan sarana prasarana, utilitas, dan

fasilitas umum bagi penghuni.

Kawasan permukiman dan perumahan harus dialokasikan sehingga memiliki kemudahan

pencapaian ke pusat-pusat kegiatan.

Kawasan perumahan dialokasikan di kawasan yang memiliki kapasitas fasilitas pelayanan

lingkungan yang memadai agar pembangunan lebih efisien yaitu dengan memperluas

fasilitas pelayanan yang sudah ada.

Kawasan perumahan perlu dibangun dengan tingkat kepadatan ruang yang direncanakan

sehingga dapat mencegah timbulnya pergerakan yang berlebihan dan mengurangi

kemacetan.

Selain itu dalam memilih lokasi permukiman, juga perlu mempertimbangkan potensi struktural

dan lokasi lahan permukiman (Charter dalam Sai’dah, 2002). Pertimbangan tersebut

ditekankan pada faktor-faktor sebagai berikut:

Kondisi akses lokasi permukiman ke lokasi kegiatan lain.

Besarnya biaya untuk perjalanan aktivitas harian.

Harga lahan yang lebih murah atau menjangkau kemampuan masyarakat.

Kondisi dan kelengkapan fasilitas umum.

Arsitektur rumah yang baik dan modern

Kondisi sosial lingkungan yang dapat diterima.

Jarak permukiman ke lokasi tempat kerja.

Jarak permukiman ke pusat kota atau pusat aktivitas.

Menurut Drabkin (1997), selain itu juga ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap

pemilihan lokasi secara individu yang berbeda satu sama lain yaitu:

Aksesibilitas

Page 38: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

35 

Aksesibilitas ini terdiri atas kemudahan transportasi dan jarak ke pusat kota.

Lingkungan

Lingkungan dalam hal ini terdiri atas lingkungan sosial dan fisik seperti kebisingan, polusi

dan lingkungan yang nyaman.

Peluang kerja yang tersedia

Peluang kerja dalam hal ini yaitu kemudahan seseorang dalam mencari pekerjaan untuk

kelangsungan hidupnya.

Tingkat pelayanan

Dalam hal ini lokasi yang dipilih merupakan lokasi yang memiliki pelayanan yang baik

dalam hal sarana dan prasarana dan lain-lain.

Menurut Hidayat dalam Supriyanto (2002), ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan

perumahan oleh konsumen, yaitu:

1. Kelompok faktor kenyamanan, terdiri atas tersedianya air bersih yang mencukupi, udara

yang sejuk segar bebas dari pencemaran, ada jaminan keamanan, bebas banjir, jauh dari

sumber bencana alam.

2. Kelompok faktor internal, terdiri dari; harga rumah yang murah, luas lahan, lebar jalan,

kualitas bangunan.

3. Kelompok faktor tujuan terdiri dari menikmati rumah, untuk spekulasi, untuk investasi.

4. Kelompok faktor sosialisasi terdiri dari penghargaan sesama penghuni, untuk

kebanggaan/prestise, dekat dengan/ada teman sejawat

5. Kelompok faktor fasilitas, terdiri dari ada gedung pertemuan, dekat dengan/ada taman,

kolam renang, tempat ibadah dan lapangan tenis.

6. Kelompok faktor pendidikan terdiri dari dekat TK, SD, SMP, SMA, dan kampus.

7. Kelompok faktor kesehatan, terdiri dari dekat dengan dokter, puskesmas, rumah sakit.

8. Kelompok faktor aksesibilitas, terdiri dari tersedia alat transportasi umum, keadaan lalu

lintas yang lancar menuju lokasi perumahan

9. Kelompok faktor eksternal, terdiri dari dekat dengan bandar udara, pusat kota, museum,

kebun binatang, tempat kerja, pasar, pantai wisata, dll.

10. Kelompok faktor topografi terdiri dari topografi yang berbukit-bukit dan datar/rata.

Sementara itu, menurut Budihardjo (1998) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

memilih lokasi perumahan dibagi menjadi empat segi antara lain:

1. Segi teknis pelaksanaanya :

Mudah mengerjakannya, tidak banyak pekerjaan cut and fill

Bukan daerah banjir, daerah gempa, daerah angin ribut dan daerah rayap

Page 39: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

36 

Mudah dicapai tanpa hambatan yang berarti

Tanahnya baik sehingga baik untuk konstruksi bangunan

Mudah mendapatkan sumber air bersih, listrik, pembuangan air limbah/kotor/hujan dan

lain-lain

Mudah mendapatkan bahan-bahan bangunan

Mudah mendapatkan tenaga-tenaga pekerja dan lain-lain.

2. Segi tata guna tanah :

Tanah yang secara ekonomis sudah susah untuk dikembangkan secara produktif

Tidak merusak lingkungan

Mempertahankan tanah yang berfungsi sebagai reservoir air tanah, penampung air

hujan dan penahan air laut.

3. Segi kesehatan :

Lokasi jauh dari lokasi pabrik-pabrik yang dapat mendatangkan polusi misalnya debu

pabrik, buangan sampah-sampah dan limbah pabrik.

Lokasi tidak terganggu oleh kebisingan

Lokasi mudah untuk mendapatkan air minum, listrik, sekolah, puskesmas, dan lain-lain

kebutuhan keluarga.

Lokasi mudah dicapai dari tempat kerja para penghuni

4. Segi politis dan ekonomis

Menciptakan kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat sekelilingnya

Menjadi contoh bagi masyarakat sekeliling untuk membangun rumah dan lingkungan

yang sehat

Mudah penjualannya karena lokasi disukai calon pembeli dan menguntungkan

pengembang

Dari kriteria di atas dapat disederhanakan menjadi 3 faktor berikut ini:

Kemampuan fisik lahan, meliputi kemiringan, erosi, keefektifan tanah dan ada tidaknya

genangan.

Penggunaan lahan yang ada, meliputi ketersediaan lahan, fungsi lahan eksisting dan

harga lahan.

Potensi lokasi, meliputi kelengkapan sarana/fasilitas dan jaringan utilitas, kemudahan

aksesibilitas atau rute angkutan umum, kedekatan dengan pusat kegiatan/aktivitas atau

jarak ke pusat kota/kecamatan.

Menurut Koppelman dan De Chiarra, 1994 lokasi perumahan seharusnya memiliki sistem jalan

yang sesuai dengan persyaratan sirkulasi dari rencana tata ruang kota. Hal ini memberikan

Page 40: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

37 

pencapaian maksimum kepada semua bagian kota dan menjamin koordinasi yang baik dengan

rencana perubahan sirkulasi di kemudian hari.

3. Persyaratan Dasar Kawasan Perumahan

Persyaratan dasar tersebut meliputi:

- Aksesibilitas, yaitu kemungkinan pencapaian dari dan ke kawasan perumahan yang

terwujud dalam bentuk jalan dan transportasi;

- Kompabilitas, merupakan keserasian dan keterpaduan antar kawasan yang menjadi

lingkungannya;

- Fleksibilitas, yaitu kemungkinan pertumbuhan fisik/pemekaran kawasan perumahan

dikaitkan dengan kondisi fisik lingkungan dan keterpaduan prasarana;

- Ekologi, adalah keterpaduan antara tatanan kegiatan alam yang mewadahinya (DPU,

1987).

2.6. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN

PERMUKIMAN

Keberadaan suatu permukiman dapat mempengaruhi berkembangnya suatu wilayah,

dan sebaliknya kegiatan pembangunan dalam suatu wilayah dapat mempengaruhi

berkembangnya permukiman. Permukiman berkaitan secara langsung dengan kehidupan dan

harkat hidup manusia, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan permukiman cukup

banyak, antara lain faktor geografis, faktor kependudukan, faktor kelembagaan, faktor swadaya

dan peran serta masyarakat, faktor keterjangkauan daya beli, faktor pertanahan, faktor

ekonomi dan moneter. Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap pembangunan perumahan

adalah disebabkan oleh perubahan nilai-nilai budaya masyarakat(Sumber: “Jurnal Perencanaan

Wilayah Dan Kota, Nomor 12.April 1994).

Menurut Siswono, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan

permukiman yang dapat dilihat dari 9 aspek, antara lain: letak geografis, kependudukan, sarana

dan prasarana, ekonomi dan keterjangkauan daya beli, sosial budaya, ilmu pengetahuan dan

teknologi, kelembagaan, dan peran serta masyarakat(Sumber : Siswono, dkk).

1. Faktor geografi

Letak geografis suatu permukiman sangat menentukan keberhasilan

pembangunan suatu kawasan. Permukiman yang letaknya terpencil dan sulit dijangkau

akan sangat lambat untuk berkembang. Topografi suatu kawasan juga berpengaruh, jika

topografi kawasan tersebut tidak datar maka akan sulit bagi daerah tersebut untuk

Page 41: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

38 

berkembang. Lingkungan alam dapat mempengaruhi kondisi permukiman, sehingga

menambah kenyamanan penghuni permukiman.

2. Faktor Kependudukan

Perkembangan penduduk yang tinggi, merupakan permasalahan yang

memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap pembangunan permukiman. Jumlah

penduduk yang besar merupakan sumber daya dan potensi bagi pembangunan, apabila

dapat diarahkan menjadi manusia pembangunan yang efektif dan efisien. Tetapi

sebaliknya, jumlah penduduk yang besar itu akan merupakan beban dan dapat

menimbulkan permasalahan bila tidak diarahkan dengan baik. Disamping itu,

penyebaran penduduk secara demografis yang tidak merata, merupakan permasalahan

lain berpengaruh terhadap pembangunan perumahan.

3. Faktor Kelembagaan

Faktor lain yang berpengaruh terhadap pembangunan perumahan adalah

perangkat kelembagaan yang berfungsi sebagai pemegang kebijaksanaan, pembinaan,

dan pelaksanaan baik sektor pemerintah maupun sektor swasta, baik di pusat maupun di

daerah. Secara keseluruhan perangkat kelembagaan tersebut belum merupakan suatu

sistem terpadu. Menurut UU No. 5 Tahun 1979, Pemda memegang peranan dan

mempunyai posisi strategis dalam pelaksanaan pembangunan perumahan. Namun

unsur-unsur perumahan di Tingkat Daerah yang melaksanakan program khusus untuk

koordinasi, baik dalam koordinasi vertikal maupun horisontal dalam pembangunan

perumahan, masih perlu dimantapkan dalam mempersiapkan aparaturnya.Termasuk

didalamnya adalah kebijaksanaan yang mengatur kawasan permukiman, keberadaan

lembaga-lembaga desa, misalnya LKMD, Karang Taruna, Kelompok wanita dan

sebagainya.

4. Faktor Swadaya dan Peran Serta Masyarakat

Dalam rangka membantu golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah,

menengah, tidak tetap, perlu dikembangkan pembangunan perumahan secara swadaya

masyarakat yang dilakukan oleh berbagai organisasi non-pemerintah. Dalam hal ini

dapat dinyatakan bahwa masyarakat yang berpenghasilan tidak tetap serta amat rendah

dan tidak berkemampuan tersebut mampu membangun rumahnya sendiri dengan proses

bertahap, yakni mula-mula dengan bahan bangunan bekas atau sederhana, kemudian

Page 42: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

39 

lambat laun diperbaiki dengan bangunan permanen bahkan ada pula beberapa rumah

yang sudah bertingkat. Faktor swadaya dan peran serta masyarakat atau aspek sosial

tersebut juga meliputi kehidupan sosial masyarakat, kehidupan bertetangga, gotong

royong dan pekerjaan bersama lainnya.

5. Sosial dan Budaya

Faktor sosial budaya merupakan faktor internal yang mempengaruhi

perkembangan permukiman. Sikap dan pandangan seseorang terhadap rumahnya, adat

istiadat suatu daerah, kehidupan bertetangga, dan proses modernisasi merupakan faktor-

faktor sosial budaya. Rumah tidak hanya sebagai tempat berteduh dan berlindung

terhadap bahaya dari luar, tetapi berkembang menjadi sarana yang dapat menunjukkan

citra dan jati diri penghuninya.

6. Ekonomi dan Keterjangkauan Daya Beli

Aspek ekonomi meliputi yang berkaitan dengan mata pencaharian. Tingkat

perekonomian suatu daerah yang tinggi dapat meningkatkan perkembangan

permukiman. Tingkat perekonomian suatu daerah akan mempengaruhi tingkat

pendapatan seseorang. Makin tinggi pendapatan sesorang, maka makin tinggi pula

kemampuan orang tersebut dalam memiliki rumah. Hal ini akan meningkatkan

perkembangan permukiman di suatu daerah. Keterjangkauan daya beli masyarakat

terhadap suatu rumah akan mempengaruhi perkembangan permukiman. Semakin murah

harga suatu rumah di daerah tertentu, semakin banyak pula orang yang membeli rumah,

maka semakin berkembanglah permukiman yang ada.

7. Sarana dan Prasarana

Kelengkapan sarana dan prasarana dari suatu perumahan dan permukiman dapat

mempengaruhi perkembangan permukiman di suatu wilayah. Dengan adanya sarana

dan prasarana yang memadai dapat memudahkan penduduknya untuk beraktivitas

sehari-hari. Semakin lengkap sarana dan prasarana yang tersedia maka semakin banyak

pula orang yang berkeinginan bertempat tinggal di daerah tersebut.

8. Pertanahan

Kenaikan harga lahan sebagai akibat penyediaan kelangkaan lahan untuk

permukiman, menyebabkan timbulnya kawasan kumuh (slum dan squatter).

Page 43: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

40 

9. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat meningkatkan

perkembangan perumahan dan permukiman. Dengan diciptakannya teknologi-teknologi

baru dalam bidang jasa konstruksi dan bahan bangunan maka membuat pembangunan

suatu rumah akan semakin cepat dan dapat menghemat waktu. Sehingga semakin

banyak pula orang-orang yang ingin membangun rumahnya. Hal ini akan meningkatkan

perkembangan permukiman.

2.7. PENGGUNAAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PERENCANAAN

PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

Perkembangan ilmu geografi yang memanfaatkan kemampuan teknologi penginderaan

jarak jauh (remote sensing) telah semakin berkembang melalui pengembangan Sistem

Informasi Geografis (SIG) yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti

pemetaan lahan, pemetaan kawasan permukiman dan sebagainya. Sistem Informasi Geografis

(bahasa Inggris: Geographic Information System disingkat GIS) adalah sistem informasi

khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Atau

dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk

membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi berefrensi geografis,

misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah database. Para praktisi juga

memasukkan orang yang membangun dan mengoperasikannya dan data sebagai bagian dari

sistem ini.

Teknologi Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk investigasi ilmiah,

pengelolaan sumber daya, perencanaan pembangunan, kartografi dan perencanaan rute.

Misalnya, SIG bisa membantu perencana untuk secara cepat menghitung waktu tanggap

darurat saat terjadi bencana alam, atau SIG dapat digunaan untuk mencari lahan basah

(wetlands) yang membutuhkan perlindungan dari polusi.Dengankemajuan teknologi yang

demikian pesat, GIS berfungsi sebagai alat kajian yang utama dalamanalisis keruangan secara

komprehensif. Bahkan sebagian pakarmenyatakan bahwa SIG akan menjadi potensial kajian

geografi (Agnew et al.1996).Dengan keterlibatan seperti itu jelaslah bahwa GIS sebagai alat

bantu ilmuGeografi sangat efektif dalam melakukan analisis geografis karena memangdapat

memadukan berbagai unsur dalam geografi, baik fisik, sosial, ekonomimaupun budaya.

Salah satu keunggulan utama dari SIG adalah kemampuannya untuk

mentransformasikan data riil rupa bumi kedalam berbagai lapis peta (layers) yang saling bisa

Page 44: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

41 

ditumpangtindihkan (overlay) sesuai dengan yang diinginkan. Gambar berikut menunjukkan

konsep dasar SIG dan contoh penggunaannya.

Gambar 3.

Konsep Dasar

SIG

Dalam Keppres No. 5 tahun 1989 tentang pedoman penyusunan tata ruang di daerah,

kawasan permukiman adalah kawasan yang diperuntukkan bagi permukiman dengan kriteria

ketersediaan air terjamin, kesesuaian lahan dengan masukan teknologi dan lokasi berkaitan

dengan kawasan hunian yang telah adadan berkembang. Semakin bertambahnya jumlah

permukiman di Indonesia seperti tersebut di atas, mendorong untuk dilakukannya studi

mengenai pola sebaran dan perkembangan permukiman yang mengakibatkan bertambahnya

suatu penggunaan lahan untuk permukiman yang diikuti dengan berkurangnya suatu

penggunaan lahan lainnya pada kurun waktu tertentu,sehingga untuk mengetahui perubahan

lahan di suatu daerah diperlukan minimum dua data pada daerah yang sama dengan kurun

waktu yang berbeda. Pola penggunaan lahan banyak dipengaruhi oleh tiga faktor penting, yaitu

faktor fisik lahan, faktor ekonomi, dan faktor kelembagaan.

Perubahan penggunaan lahan adalah perubahan penggunaan atau aktivitas terhadap

suatu lahan yang berbeda dari aktivitas sebelumnya, baik untuk tujuan komersial maupun

untuk industry (Kazaz, 2001 dalam Arifiyanto, 2005).Perubahan penggunaan lahan dari lahan

non pertanian (permukiman) bersifat tidak dapat balik, karena untuk mengembalikannya

membutuhkan modal yang sangat besar. Perubahan penggunaan lahan umumnya dapat diamati

dengan menggunakan data-data spasial dari peta penggunaan lahan dari titik tahun yang

berbeda. Data-data penginderaan jauh (remote sensing data) seperti citra satelit,radar dan foto

udara sangat berguna dalam pengamatan perubahan penutupan atau penggunaan lahan

Page 45: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

42 

(Arifiyanto, 2005). Untuk memenuhi kebutuhan inilah maka Sistem Informasi Geografis (SIG)

akan dapat dimanfaaatkan secara maksimal.

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem berdasar komputer yang

mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografis yang mencakup

pemasukan, manajemen data (peyimpanan data dan pemanggilandata), manipulasi dan analisis

dan pengembangan produk serta pencetakan (Aronoff, 1989). Dengan kata lain, suatu SIG

adalah suatu sistem database dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial

bersamaan dengan seperangkat operasi kerja.

Page 46: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

43 

BAB III

ASPEK SOSIO DEMOGRAFIS, EKONOMI, TATA

RUANG DAN YURIDIS PEMBANGUNAN

PERMUKIMAN KOTA SALATIGA

3.1. GAMBARAN UMUM KOTA SALATIGA

Kota Salatiga terletak di Jawa Tengah bagian tengah tepatnya di tengah-tengah wilayah

Kabupaten Semarang, berjarak ± 54 km ke arah selatan dari Kota Semarang, tepatnya pada

posisi 110 º 27’ 56,81" - 110º 32’ 4,84” Bujur Timur dan 7º 17’ 4,14” - 7º 23’ 23,25” Lintang

Selatan. Secara geografis, letak Kota Salatiga cukup strategis karena berada pada jalur

transportasi darat utama Jakarta – Semarang – Solo – Surabaya dan terletak diantara dua kota

pusat pengembangan yaitu Kota Semarang dan Surakarta. Ditinjau dari sudut morfologinya,

maka letak Kota Salatiga karena berada di pedalaman kaki Gunung Gajahmungkur, Gunung

Telomoyo dan Gunung Rong yang mempunyai hawa sejuk.

Kota Salatiga secara administratif termasuk dalam bagian dari Wilayah Propinsi Jawa

Tengah. Secara sepintas tampak bahwa, wilayah Kota Salatiga terletak diantara 0070 17’ dan

0070 17’ 23” Lintang Selatan serta 1100 27’ 56.81” dan 1100 32’ 4.64” Bujur Timur.

Secara administrasi Kota Salatiga terbagi menjadi 4 kecamatan dan 22 kelurahan

dengan luas wilayah 5.678.109 Ha, dan berbatasan dengan:

1. Sebelah Utara

- Kecamatan Pabelan : Kelurahan Pabelan, Kelurahan Bejatan

- Kecamatan Tuntang : Kelurahan Kesongo, Kelurahan Watu Agung

2. Sebelah Timur

- Kecamatan Pabelan : Kelurahan Ujung-ujung, Kelurahan Sukoharjo dan Kelurahan

Glawan

- Kecamatan Tengaran : Kelurahan Bener, Kelurahan Tegal Waton, dan Kelurahan Nyamat

3. Sebelah Selatan

- Kecamatan Getasan : Kelurahan Sumogawe, Kelurahan Samirono, dan Kelurahan Jetak

- Kecamatan Tengaran : Kelurahan Patemon, Kelurahan Karang Duren

4. Sebelah Barat

- Kecamatan Tuntang : Kelurahan Candirejo, Kelurahan Jombor, Kelurahan Sraten, dan

Kelurahan Gedongan

Page 47: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

44 

- Kecamatan Getasan : Kelurahan Polobogo

3.1.1. Kondisi Fisik Alam

Tinjauan kondisi fisik alam Kota Salatiga meliputi Topografi, Geologi, Hidrologi dan

Hidrogeologi, Klimatologi serta klasifikasi tanah.

3.1.1.1. Topografi

Dilihat dari letak topografinya Kota Salatiga, terletak pada ketinggian lebih kurang 455

– 800 meter dpl (dari permukaan laut), berarti kota Salatiga termasuk dalam kawasan budidaya

yang potensial (ketinggian antara 0 – 1000 dpl, menurut Keppres No. 32/1990). Wilayah Kota

Salatiga setelah mengalami perluasan menjadi 3 kategori, yaitu:

- Daerah bergelombang, ± 65% dari luas wilayah yang meliputi Kelurahan Sidorejo Lor,

Salatiga, Kutowinangun, Gedongan, Ledok, Dukuh, Bugel, Kumpulrejo, dan Kelurahan

Kauman Kidul.

- Daerah miring, ± 25% dari luas wilayah meliputi Kelurahan Tegalrejo, Mangunsari,

Sidorejo Kidul, Tingkir Lor, Pulutan, Kecandran, Randuacir, Tingkir Tengah, dan

Kelurahan Sidorejo Lor.

- Daerah yang relatif datar, ± 10% dari luas wilayah yang berada di Kelurahan Kalicacing,

Kelurahan Noborejo, Kalibening dan Kelurahan Blotongan.

Sedangkan ditinjau dari kelerengan tanahnya, kelerengan tanah terbagi menjadi 6 kategori,

yaitu:

1. 2% - 5%, Luas keseluruhan 1.847,26 ha sebagian besar terdapat di kelurahan Tegalrejo,

Kelurahan Mangunsari, Kelurahan Randuacir, Kelurahan Noborejo, Kelurahan Kalibening

dan Kelurahan Tingkir Tengah, Kelurahan Pulutan.

2. 5% - 8%, Luas Keseluruhan 2.393,10 ha sebagian besar terdapat di Kelurahan Kalicacing,

Kelurahan Gendongan, Kelurahan Tegalrejo, Kelurahan Kumpulrejo, Kelurahan

Kecandran, Kelurahan Tingkir Lor, Kelurahan Blotongan, Kelurahan Kauman Kidul dan

Kelurahan Kalibening.

3. 8% - 15%, Luas Keseluruhan 1.098,64 ha sebagian besar terdapat di Kelurahan Ledok,

Kelurahan Salatiga, Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan Mangunsari, Kelurahan Sidorejo

Lor, Kelurahan Kumpulrejo, Kelurahan Sidorejo Kidul, Kelurahan Kauman Kidul,

Kelurahan Blotongan.

4. 15% - 25%, Luas keseluruhan 216,31 ha sebagian besar di Kelurahan Bugel dan Kelurahan

Blotongan.

Page 48: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

45 

5. 25% -40%, luas keseluruhan 213,37 ha sebagian besar di Kelurahan Kutowinangun,

Kelurahan Bugel, Kelurahan Blotongan, Kelurahan Kauman Kidul dan Kelurahan Sidorejo

Kidul.

6. > 40%, luas keseluruhan 131,30 ha sebagian besar di Kelurahan Bugel dan sebagian kecil

di Kelurahan Sidorejo Kidul, Blotongan dan keseluruhan Kutowinangun.

Dari data kelerengan diatas dapat dilihat kawasan Budidaya dan Lindung, yakni pada

kelerengan 2% - 15 % ideal untuk Kawasan Permukiman, sedangkan untuk kelerengan 15% -

25% dapat pula dipergunakan untuk Permukiman dengan persyaratan teknis yang lebih rinci.

Untuk kelerengan > 40%, berdasarkan Keppres No. 32/1990 merupakan Kawasan

Lindung/Konservasi.

Jika disimpulkan sebagian besar wilayah Kota Salatiga potensial untuk digunakan

sebagai Permukiman, dan hanya sebagian kecil yang dijadikan sebagai Kawasan

Lindung/Koservasi. Sedangkan untuk kawasan disepanjang aliran sungai, dibagian kiri dan

kanan dapat dijadikan sebagai Kawasan Lindung/Konservasi dengan jarak minimum 15 meter,

dan untuk mata air dengan radius jari-jari ± 200 m. Secara makro, diwilayah Kota Salatiga

sebagian besar tidak terjadi genangan. Untuk kelerengan 25% - > 40 % genangan yang terjadi

hanya sebagian kecil berada di Kelurahan Sidorejo Kidul, Kelurahan Kutowinangun,

Kelurahan Kauman Kidul, Kelurahan Bugel dan Kelurahan Blotongan.

Berdasarkan penjelasan pada Keppres No. 32/1990 bahwa salah satu kriteria Kawasan

Lindung adalah mempunyai kelerengan > 40 %. Hal ini tidak berlaku pada sebagian kecil

kawasan yang ada di Kelurahan Sidorejo Kidul, Bugel dan Blotongan yang mempunyai tingkat

erosi ringan. Maka pada kawasan tersebut tetap masuk dalam kriteria Kawasan Budidaya

dengan persyaratan tertentu. Kondisi kelerengan tersebut diatas sesuai dengan Peta 3.1.

3.1.1.2. Geologi

Geologi merupakan aspek penting dalam kaitannya dengan potensi sumberdaya tanah.

Jenis lahan di Kota Salatiga dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

a. Lahan Latosol Coklat

Bahan induknya terdiri dari tufa vulkanis intermedier, tekstur remah dan konsegtasinya

gembur, produktivitas lahan sedang sampai tinggi. Jenis lahan ini terdapat di sebagian besar

wilayah Kota Salatiga dan ini sangat baik ditanami padi, palawija, sayur-sayuran, buah-

buahan, cengkih dan lain-lain.

Page 49: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

46 

b. Lahan Latosol Coklat Tua

Bahan dasarnya terdiri dari tufa vulkanis intermedier, tekstur lahannya remah dan

konsegtasinya gembur sekali. Lahan ini terdapat di bagian ujung utara kota, sekitar

pegunungan Payung Rong. Lahan ini cocok sekali ditanami kopi, teh, coklat, padi, pisang,

cengkih, dan tanaman campuran.

3.1.1.3. Hidrologi dan Hidrogeologi

Wilayah Kota Salatiga memiliki 4 buah mata air yang mengalir di beberapa kecamatan

dan kelurahan yang ada. Keempat mata air tersebut sedikit banyak menjadi sumber air yang

dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan air bersih. Mata air-mata air tersebut adalah

sebagai berikut:

1. Mata air Kalitaman yang mengalir ke Utara dengan kapasitas 150 liter per detik, yang

berfungsi sebagai irigasi persawahan di pemandian dan rekreasi.

2. Mata air Kalisombo yang mengalir ke arah Utara dengan kapasitas 50 liter per detik, yang

dimanfaatkan sebagai sumber air minum dan mengaliri areal persawahan di wilayah

Semarang dan Kota Salatiga

3. Mata air Benoyo yang mengalir kearah barat dengan kapasitas 50 liter per detik yang

berfungsi sebagai irigasi persawahan di wilayah Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga

serta sebagai penggelontoran drainase Kota. Mata air ini dianggap tidak sehat.

4. Mata air Senjoyo yang mengalir ke arah Utara dengan kapasitas ± 1.000 liter per detik,

terletak di wilayah Kota Salatiga yang dimanfaatkan untuk air minum Utama Kota Salatiga.

Jumlah sumber air yang cukup banyak di Kota Salatiga akan dapat meningkatkan

konservasi tata air, sehingga kondisi ini akan menjadi kendala dalam pengembangan wilayah

Permukiman selain juga dapat sebagai potensi. Adapun kali-kali yang mengalir di wilayah

Kota Salatiga yaitu: Kali Ngaglik, Kali Banjaran, Kali Kalisombo, yang kesemuanya bermuara

pada Kali Tuntang.

Air tanah di wilayah Kota Salatiga rata-rata pada ketinggian 10 – 20 m. Kota Salatiga

termasuk dalam area “Ground Reservoir” atau daerah pengumpulan air tanah, dimana asal air

tanah yang mengalir dari daerah tangkapan air Gunung Merbabu di sebelah Selatan dan

Gunung Ungaran di sebelah Barat. Maka persediaan air tanah dirasa sudah cukup termasuk air

permukaan yang dapat diperoleh dari kali-kali yang mengalir di wilayah Kota Salatiga dan

sekitarnya, selain dipergunakan untuk kepentingan irigasi, sebagian dapat diolah untuk air

minum Kota Salatiga di masa mendatang.

Page 50: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

47 

3.1.1.4. Klimatologi

Kota Salatiga mempunyai iklim yang bersifat tropis, dengan musim hujan dan kemarau

yang bergantian setiap setengah tahun sekali dengan temperatur rata-rata yang dapat

dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu:

• 240 – 260 C

• 220 – 240 C

• 200 – 220 C

• dan dibawah 200 C

Kota Salatiga mempunyai iklim yang bersifat tropis dengan temperatur antara 20 derajat – 26

derajat. Menurut data yang tertuang dalam Kota Salatiga Dalam Angka 2005 menunjukkan

bahwa jumlah curah hujan 2.308 mm dengan jumlah hari hujan 146 hari dan rata-rata curah

hujan 16 mm/hari.

Tabel III - 1.

Curah Hujan dan Hari Hujan Kota Salatiga Tahun 2014

NO BULAN CURAH

HUJAN

HARI

HUJAN

RATA-RATA

HUJAN/HARI

1. Januari 210 13 16

2. Februari 262 20 13

3. Maret 244 19 13

4. April 339 18 19

5. Mei 68 5 14

6. Juni 18 10 8

7. Juli 82 6 14

8. Agustus 44 5 9

9. September 145 7 21

10. Oktober 330 11 30

11. Nopember 141 9 16

12. Desember 365 23 16

JUMLAH 2.308 146 16

Sumber: Kota Salatiga dalam Angka 2014

Tingginya intensitas jumlah hari hujan dan rata-rata curah hujan di Kota Salatiga,

sehingga perlu mendapatkan perhatian yang serius terutama dalam hal pengelolaan jaringan

drainase dan perlindungan terhadap kawasan hijau. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadi

bencana banjir dan tanah longsor, serta terjadinya genangan air di Kota Salatiga.

3.1.2. Penggunaan Lahan

Dari luas wilayah Kota Salatiga sebesar 5.678.110 Ha, pola penggunaan lahannya

terdiri atas 803.590 Ha digunakan untuk lahan sawah dan 4.678,777 Ha bukan lahan sawah.

Page 51: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

48 

(Kota Salatiga dalam Angka, 2014), untuk lebih jelasnya mengenai penggunaan lahan eksisting

Kota Salatiga dapat dilihat pada Peta 3.2. Penggunaan Lahan Kota Salatiga Eksisting.

A. Tanah Sawah

Tanah sawah dengan irigasi teknis seluas 373.973 Ha, irigasi setengah teknis seluas 125.934

Ha, irigasi sederhana seluas 138.514 Ha, dan sawah tadah hujan seluas 165.169 Ha.

Ditinjau dari luas tanah sawah di tiap kecamatan, diketahui bahwa tanah sawah terluas adalah

di Kecamatan Sidorejo (391.543 Ha), diikuti oleh Kecamatan Tingkir (316.442 Ha),

Kecamatan Sidomukti (64.920 Ha) dan Kecamatan Argomulyo (30.685 Ha).

B. Tanah Kering

Penggunaan tanah kering di Kota Salatiga seluas 4.678.777 ha terdiri dari: pekarangan

3.033,043 ha, tegal/kebun 1.645,940 dan lahan lainnya 195.743 ha.

Ditinjau dari luas tanah kering di tiap kecamatan, diketahui bahwa tanah kering terluas adalah

Kecamatan Argomulyo (1.748.026 ha), sedangkan luas tanah kering paling kecil adalah

Kecamatan Tingkir (702.527 ha).

Tabel III - 2.

Pola Penggunaan Lahan Kota Salatiga Tahun 2014

NO KELURAHAN

PENGGUNAAN LAHAN ( Ha )

TOTAL LAHAN

SAWAH

LAHAN KERING LAHAN

LAINNYA PEKARANGAN TEGALAN

A KEC.

SIDOREJO

391,542 889,543 287,264 56,371 1.624,720

1 Blotongan 77,836 159,000 166,964 20,000 423,800

2 Sidorejo Lor 33,485 146,880 72,935 18,300 271,600

3 Salatiga 21,574 173,162 2,492 4,772 202,000

4 Bugel 49,284 228,509 12,883 3,694 294,370

5 Kauman Kidul 76,127 86,813 28,810 4,100 195,850

6 Pulutan 133,236 95,179 3,180 5,505 237,100

B KEC.

TINGKIR

316,442 525,185 177,892 35,535 1.055,054

1 Kutowinangun 45,625 192,762 47,780 7,583 293,750

2 Gendongan 0,000 66,584 0,000 2,316 68,900

3 Sidorejo Kidul 84,472 93,639 86,328 13,061 277,500

4 Kalibening 57,038 39,312 0,177 3,276 99,803

5 Tingkir Lor 75,992 79,230 17,455 4,623 177,300

6 Tingkir Tengah 53,315 53,658 26,152 4,676 137,801

C KEC.

ARGOMULYO

30,685 974,246 774,117 73,644 1.852,692

Page 52: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

49 

NO KELURAHAN

PENGGUNAAN LAHAN ( Ha )

TOTAL LAHAN

SAWAH

LAHAN KERING LAHAN

LAINNYA PEKARANGAN TEGALAN

1 Noborejo 2,635 100,867 223,626 5,073 332,201

2 Ledok 13,270 128,976 34,787 10,297 187,330

3 Tegalrejo 0,000 135,423 43,001 10,006 188,430

4 Kumpulrejo 0,000 412,088 209,942 7,000 629,030

5 Randuacir 0,000 125,557 222,994 29,050 377,601

6 Cebongan 14,780 71,335 39,767 12,218 138,100

D KEC.

SIDOMUKTI

64,920 644,069 406,668 30,193 1.145,850

1 Kecandran 31,712 175,397 184,064 8,027 399,200

2 Dukuh 3,516 205,677 158,369 9,588 377,150

3 Mangunsari 29,692 186,861 64,235 9,982 290,770

4 Kalicacing 0,000 76,134 0,000 2,596 78,730

Jumlah Total 803,589 3.033,043 1.645,941 195,743 5.678,109

Sumber: Kota Salatiga dalam Angka, 2014

Gambar 3.1.

Diagram Penggunaan Lahan Kota Salatiga Tahun 2014

Sumber: Hasil Olahan Data, 2014

Penggunaan lahan di suatu wilayah atau Kota senantiasa berubah secara dinamis setiap

tahunnya. Hal tersebut secara umum dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan dan perkembangan

penduduk. Kondisi pertumbuhan dan perkembangan penduduk tersebut mempengaruhi fungsi,

luasan dan penggunaan lahan yang tersedia. Status kepemilikan tanah tersebut dapat dilihat

pada Peta 3.3.

P e k a r a n g a n5 3 . 4 1 %

L a in n y a3 . 4 5 %T e g a l

2 8 . 9 9 %

S a w a h T e k n is8 . 8 0 %

S a w a h P . n o n T e k n is5 . 3 5 %

Page 53: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

50 

Kondisi tersebut juga terjadi di wilayah Kota Salatiga. Seiring dengan pertumbuhan

penduduk yang ada di wilayah Kota Salatiga, terjadi konversi lahan dari sawah menjadi

pekarangan dan dari tegalan menjadi pekarangan. Konversi lahan sawah menjadi pekarangan

yang seharusnya tidak boleh terjadi adalah lahan sawah yang memiliki sistem irigasi permanen

atau sudah baik.

Pada tahun 2003-2005 konversi lahan sawah menjadi pekarangan secara total adalah

seluas 17.450 m2. Konversi tersebut terjadi khususnya hampir di semua wilayah Kecamatan

Sidorejo. Untuk konversi lahan dari tegalan menjadi pekarangan secara total seluas 70.753 m2.

kelurahan yang memiliki jumlah konversi lahan dari tegalan menjadi pekarangan terluas adalah

Kelurahan Dukuh seluas 51.641 ha, kemudian untuk Kelurahan Sidorejo seluas 9.564 ha,

Kelurahan Kutowinangun seluas 16.931 ha, Kelurahan Tegalrejo seluas 35.813 ha. Perubahan

penggunaan tanah/lahan menjadi pekarangan ini menunjukkan bahwa di Kota Salatiga ada

indikasi penambahan jumlah rumah atau dengan kata lain kebutuhan akan perumahan ini

semakin bertambah. Untuk lebih detilnya dapat dilihat pada Tabel III – 3.

Tabel III - 3.

Konversi Lahan Kota Salatiga Tahun 2011-2013

Kelurahan

Dari Sawah menjadi

pekarangan

Dari Tegalan menjadi pekarangan

2011 2012 2013 2010 2011 2012 2013

A. Kec. Sidorejo 18.519 25.825 15.539 3.802 23.805 0 15.635

1. Blotongan 902 9.886 2.720 - 7.086 0 5.859

2. Sidorejo Lor 6.139 3.908 0 - 12.315 0 8.589

3. Salatiga 6.039 0 1.293 - 4.404 0 486

4. Bugel 774 1.099 0 - 0 0 901

5. Kauman Kidul 2.273 6.370 5.053 - 0 0 0

6. Pulutan 2.392 4.562 6.479 - 2.245 0 0

B. Kec. Tingkir 11.740 4.690 0.360 9.819 13.340 22.840 0.840

1. Kutowinangun 4.250 0 0 - 11.310 1.970 0.390

2. Gendongan 0 0 0 - 0 0 0

3. Sidorejo Kidul 0 3.430 0.170 - 2.030 7.010 0.020

4. Kalibening 6.170 0 0.190 - 0 0 0

5. Tingkir Lor 0 0 0 - 0 4.110 0

6. Tingkir Tengah 1.320 1.230 0 - 0 9.750 0.430

D. Kec. Argomulyo 400 0 0 26.588 19.844 24.521 14.483

1. Noborejo 0 0 0 - 0 4.307 0

2. Ledok 400 0 0 - 6.102 6.095 0

Page 54: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

51 

Kelurahan

Dari Sawah menjadi

pekarangan

Dari Tegalan menjadi pekarangan

2011 2012 2013 2010 2011 2012 2013

3. Tegalrejo 0 0 0 - 8.208 7.337 5.086

4. Kumpulrejo 0 0 0 - 3.973 1.541 7.896

5. Randuacir 0 0 0 - 1.561 4.127 1.499

6. Cebongan 0 0 0 - 0 1.114 0

E. Kec. Sidomukti 365 7.145 3.231 34.007 17.740 22.241 41.398

1. Kecandran - 4.905 - - 3.067 -

2. Dukuh - - 0.616 16.561 16.308 34.518

3. Mangunsari - 2.240 2.615 1.179 2.866 6.880

4. Kalicacing - - - - - -

Jumlah 31.040 37.666 18.770, 36 74.216 69.523 84.461 71.516,84

Sumber: Kota Salatiga dalam angka, 2005

Kec Sidomukti tahun 2011, angka dari tiap Kelurahan tidak tersedia

Perubahan status desa menjadi kelurahan berpengaruh juga terhadap tanah bengkok.

Tanah eks bengkok/eks bondo desa ini menjadi aset Pemerintah Kota Salatiga. Luas tanah ini

kurang lebih 4.066.048 m2. Untuk selengkapnya dapat dilihat pada Tabel III – 4 berikut ini.

Tabel III - 4.

Tanah Bengkok di Wilayah Kota Salatiga

Kelurahan

Dlm Wil.

Kelurahan

(m²)

Luar Wil.

Kelurahan

(m²)

Dipergunakan

Untuk Sarana

& Prasarana

(m²)

Tanah Negara

Untuk Makam

(m²)

Jumlah

A. Sidorejo 701.082 312.504 76.450 25.101 1.115.137

1. Blotongan 123.667 118.587 0 0 242.254

2. Sidorejo Lor 40.437 34.046 56.810 0 131.293

3. Salatiga 0 159.871 0 4.920 164.791

4. Bugel 118.488 0 0 0 118.488

5. Kauman Kidul 221.530 0 2.300 15.581 239.411

6. Pulutan 196.960 0 17.340 4.600 218.900

B. Tingkir 660.660 107.876 36.780 38.434 843.750

1. Kutowinangun 98.583 102.366 5.960 17.070 223.979

2. Gendongan 0 0 3.080 1.500 4.580

3. Sidorejo Kidul 244.175 0 24.840 0 269.015

4. Kalibening 116.475 0 0 4.000 120.475

Page 55: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

52 

Kelurahan

Dlm Wil.

Kelurahan

(m²)

Luar Wil.

Kelurahan

(m²)

Dipergunakan

Untuk Sarana

& Prasarana

(m²)

Tanah Negara

Untuk Makam

(m²)

Jumlah

5. Tingkir Lor 102.158 0 2.900 15.864 120.922

6. Tingkir

Tengah 99.269 5.510 0 0 104.779

C. Argomulyo 1.109.608 172.943 129.419 25.650 1.437.630

1. Noborejo 329.159 91.229 9.300 10.400 440.088

2. Ledok 68.350 29.753 26.050 2.500 126.653

3. Tegalrejo 4.250 4.751 44.150 4.500 57.651

4. Kumpulrejo 361.075 0 11.680 5.800 378.555

5. Randuacir 249.073 2.000 10.500 2.450 264.023

6. Cebongan 97.711 45.210 27.739 0 170.660

D. Sidomukti 380.574 112.740 155.717 20.500 669.531

1. Kecandran 290.246 0 18.394 0 308.640

2. Dukuh 57.533 57.370 33.250 7.000 155.153

3. Mangunsari 32.795 30.070 102.910 8.500 174.275

4. Kalicacing 0 25.300 1.163 5.000 31.463

Jumlah 2,851,934 706,063 398,366 109,685 4,066,048

Sumber: Kota Salatiga dalam angka, 2005

3.1.3 Aspek Sosio Demografis Permukiman

3.1.3.1. Aspek Sosio-Filosofis Permukiman

Dilihat dari aspek filosofis, keanekaragaman pola persebaran permukiman di suatu

wilayah adalah sebagai wujud dari persebaran penduduk yang dipengaruhi oleh pola-pola

perilaku baik perorangan, kelompok, maupun lembaga (Chapin, 1965). Model Chapin

menjelaskan bagaimana rangkaian tindakan dan pengaruh nilai-nilai yang ada pada individu,

kelompok, maupun lembaga dapat menimbulkan perubahan pola permukiman di suatu wilayah.

Page 56: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

53 

Gambar 3.2

Model ChapinRangkaian Tindakan & Pengaruh Nilai-Nilai yang Menimbulkan

Perubahan Pola Permukiman

values

Experiencing Needs and wants

Defining goalsPlanningalternatives

Deciding andacting

Cycle of Human Behaviour

Economic ends Social ends

Individu maupun kelompok masyarakat selalu mempunyai nilai-nilai tertentu terhadap

penggunaan setiap jengkal lahan. Perilaku manusia pada dasarnya dipengaruhi oleh nilai-nilai

yang hidup di dalam persepsi pada setiap individu ataupun kelompok, semuanya itu tercermin

di dalam suatu siklus yang dapat dibedakan dalam 4 fase, yaitu;

a. Fase merumuskan kebutuhan (need) dan keinginan (experiencing needs and wants)

b. Fase merumuskan tujuan-tujuan yang berkaitan dengan “needs” and “wants” tersebut

(defining goals)

c. Fase membuat alternative perencanaan (planning alternatives)

d. Fase memutuskan memilih perencanaan yang dianggap paling sesuai dan melaksanakan

tindakan (deciding and acting)

Baik disadari atau tidak disadari, secara eksplisit atau implisit, pola perumahan dan

permukiman akan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang berkembang pada individu,

kelompok masyarakat, ataupun badan-badan swasta maupun pemerintah. Hal ini juga terjadi di

kota Salatiga, dimana pola perumahan dan permukiman dapat diamati dari system-sistem

kegiatan yang saling bertaut antara berbagai pihak (lembaga, perorangan, kelompok) yang

tercermin dalam proses imbal daya yang berulang-ulang dan terjadi secara terus menerus

(mempola) dan didalamnya terdapat pergerakan penduduk saja, barang saja, informasi saja atau

gabungan dari elemen-elemen terseut, inilah yang membentuk pola keruangan suatu kota.

Page 57: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

54 

3.1.3.2. Aspek Kependudukan Permukiman

Aspek kependudukan yang dibahas meliputi jumlah dan kepadatan penduduk serta

komposis dari penduduk tersebut menurut jenis kelamin, mata pencaharian serta agama atau

kepercayan. Karakter kependudukan tersebut erat kaitannya dengan penyediaan perumahan dan

permukiman serta sarana dan prasarana serta fasilitas yang akan dikembangkan atau dibangun

di dalam kawasan perumahan dan permukiman yang akan direncanakan.

3.1.3.2.a Jumlah dan Kepadatan Penduduk

Tabel III - 5.

Kepadatan Penduduk Kota Salatiga Tahun 2014

Dari tabel dan data diatas dapat dilihat bahwa penduduk Kota Salatiga pada tahun 2009

berjumlah 170.024 jiwa dan pada umumnya mengalami peningkatan tiap tahun, akan tetapi

pada tahun 2013 mencapai angka 178.594 jiwa. Artinya ada lonjakan jumlah penduduk sebesar

4720 jiwa.. Kondisi tersebut dapat terjadi karena adanya pengaruh angka kelahiran dan

kematian serta migrasi. Sedangkan kelurahan-kelurahan yang ada di Salatiga, pada umumnya

semua mengalami kenaikan, hanya ada enam kelurahan yang mengalami penurunan jumlah

penduduk, empat kelurahan yang mengalami kenaikan jumlah penduduk sedang dan dua

kelurahan yang mengalami kenaikan jumlah penduduk yang tinggi.

Page 58: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

55 

Kelurahan yang mengalami penurunan jumlah penduduk adalah Kel Kauman Kidul

(Kec Sidorejo), Kel Kutowinangun, Kel Gendongan dan Kel Tingkir Lor (Kec Tingkir), Kel

Ledok dan Kel Kumpulrejo (Kec Argomulyo). Kelurahan yang mengalami kenaikan jumlah

penduduk sedang adalah Kel Sidorejolor (Kec Sidorejo), Kel Tingkir Tengah (Kec Tingkir),

Kel Randuacir dan Kel Cebongan (Kec Argomulyo). Sedangkan kelurahan yang mengalami

kenaikan jumlah penduduk yang tinggi adalah Kel Dukuh dan Kel Mangunsari (Kec

Sidomukti).

Jumlah penduduk Kota Salatiga Tahun 2013 yaitu 178.594 jiwa dengan luas wilayah

5.678,11 Ha atau 56,781 Km² dengan Kepadatan per Km² mencapai 3.145. Jumlah penduduk

tertinggi di Kota Salatiga yaitu di Kecamatan Sidorejo sebesar 54.074 jiwa dengan kepadatan

per Km² 3.328 dengan luas kecamatan 16,247 Km², kemudian Kecamatan Argomulyo 42.133

jiwa dengan kepadatan penduduk 2.274 per Km² dengan luas 18,526 Km² , Kecamatan Tingkir

sebesar 41.723 jiwa dengan kepadatan penduduk per Km² sebesar 3.355 jiwa dengan luas

sebesar 10,549 Km², dan jumlah penduduk terendah di Kota Salatiga yaitu di kecamatan

Sidomukti yaitu sebesar 40.664 jiwa dengan kepadatan 3.549 jiwa per Km² dengan luas 11.459

Km².

Sedangkan jumlah penduduk tertinggi di Kecamatan Sidorejo yaitu di Kelurahan

Salatiga yaitu sebesar 17.130 jiwa dengan kepadatan 8.480 dengan luas 2,020 Km² dan

terendah terdapat di Kelurahan Bugel yaitu sebesar 2.886 jiwa dengan kepadatan 980 Km²

dengan luas 2,944 Km². Kemudian di Kecamatan Argomulyo jumlah penduduk tertinggi

terdapat di Kelurahan Tegalrejo yaitu sebesar 10.409 dengan kepadatan penduduk 5.525 per

Km² dengan luas 1,884 Km² dan jumlah penduduk terendah di Kelurahan Cebongan sebesar

4.443 jiwa dengan kepadatan penduduk 3.217 dan luas 1,381 Km². Kecamatan Tingkir jumlah

penduduk tertinggi di Kelurahan Kutowinangun sebesar 19.961 jiwa dengan kepadatan

penduduk 6,794 per Km² dan luas 2,938 Km² dan jumlah penduduk terendah di Kelurahan

Kalibening sebesar 1.845 jiwa dengan kepadatan penduduk 1.852 dan luas 9,96 Km². Jumlah

penduduk tertinggi di Kecamatan Sidomukti yaitu di Kelurahan Mangunsari sebesar 16.380

jiwa dengan luas 2.908 Km² dan kepadatan penduduk 5,633 sedangkan jumlah penduduk

terendah di Kelurahan Kecandran sebesar 5.319 jiwa dengan luas 3,992 Km² dan kepadatan

penduduk 1,322.

Apabila menggunakan patokan angka kepadatan penduduk, yaitu kategori Sangat

Tinggi (> 6004/ km2), kategori kepadatan tinggi (4.003 – 6.003/ Km2), Kategori kepadatan

Sedang (2.002 – 4.002 / Km2) dan kategori Kepadatan rendah (< 2.002 / km2), maka hanya ada

lima kelurahan yang dikategorikan sangat tinggi. Pertama yaitu Kelurahan Kalicacing dengan

Page 59: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

56 

angka kepadatan mencapai 8.776, hal ini terjadi karena lokasi tersebut memiliki wilayah yang

tidak luas, akan tetapi penduduk yang tinggal di lokasi tersebut sangatlah banyak atau terlalu

banyak (overcrowded), sehingga menjadikan angka kepadatannya sangat tinggi. Lokasi

Kelurahan Kalicacing merupakan lokasi yang dekat dengan pusat kota yaitu Salatiga, sehingga

akses jalan, perekonomian, toko, transportasi sangat mendudukung untuk ditinggali.

Kedua adalah Kelurahan Salatiga dengan angka kepadatan penduduk mencapai 8.480

jiwa/ Km2 dikatakan sangat tinggi karena lokasi ini merupakan pusat kota, jadi banyaknya

toko, akses jalan, fasilitas publik menjadi magnet bagi penduduk untuk tinggal di lokasi

tersebut. Ketiga adalah Kelurahan Kutowinangun dan Kelurahan Gendongan, kedua kelurahan

ini merupakan lokasi yang dekat dengan pusat kota Salatiga, dekatnya akses untuk ke fasilitas

publik, akses jalan, dekat dengan pusat perekonomian menjadikan kedua kelurahan ini banyak

ditinggali.

Selain itu ada dua kelurahan yang jumlah penduduknya meningkat drastis, yaitu

Kelurahan Dukuh dan Mangunsari (Kec Sidomukti), hal ini disebabkan adanya JB atau Jalan

Baru (Jalan Lingkar Selatan) menjadikan daerah di sekeliling jalan tersebut menjadi

berkembang. Fakta yang terjadi adalah semenjak Jalan Baru tersebut selesai dibuat maka

banyak pembangunan dilakukan, seperti pertokoan, ruko, rumah penduduk, perumahan, dan

sekolah-sekolah, serta harga tanah atau rumah di pusat kota yaitu Salatiga sudah terlampau

mahal menjadikan masyarakat bergeser untuk mencari lokasi yang harga tanah atau rumah

masih murah dan akses jalan atau transportasi mudah, hal inilah yang menjadikan jumlah

penduduk di dua kelurahan tersebut meningkat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

gambar Peta Tabel III-2 dan III-6 berikut ini.

Trend perkembangan penduduk Kota Salatiga yang cenderung meningkat dari tahun ke

tahun baik dari aspek kuantitas maupus aktifitasnya, berimplikasi terhadap permintaan akan

ruang yang semakin meningkat pula, hal ini tercermin pada distribusi tingkat kepadatan yang

semakin tinggi pada berbagai wilayah kota Salatiga.

Page 60: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

57 

Tabel III - 6.

Jumlah Penduduk Kota Salatiga Tahun 2009-2013

N

o

   Kelurahan 

2009  2010  2011  2012  2013 

Jml 

Penddk 

Kepadatan 

per Km² 

Jml 

Penddk 

Kepadatan 

per Km² 

Jml 

Penddk 

Kepadatan 

per Km² 

Jml 

Penddk 

Kepadatan 

per Km² 

Jml 

Penddk 

Kepadatan 

per Km² 

A  Kec. Sidorejo  49.683  3,058  50.024  3,079  52.357  3,223  52.688  3,243  54.074  3,328 

1  Blotongan  10.367  2,446  10.599  2,501  11.642  2,747  11.822  2,790  11.592  2,735 

2  Sidorejo Lor  12.622  4,647  12.697  4,675  14.407  5,304  14.440  5,317  14.914  5,491 

3  Salatiga  16.385  8,111  16.298  8, 068  `16.111  7,976  16.004  7,923  17.130  8,480 

4  Bugel  2.823  .959  2.844  966  2.824  959  2.844  966  2.886  980 

4  Kauman Kidul  3.777  1,929  3.864  1,973  3.643  1,861  3.778  1,930  3.639  1,858 

5  Pulutan  3.709  1,564  3.722  1,570  3.730  1,573  3.800  1,603  3.913  1,650 

B  Kec. Tingkir  41.952  3,977  39.978  3,987  40.562  3,811  41.150  3,830  41.723  3,955 

1  Kutowinangun  20.518  6,984  19.187  6,967  19.447  6,645  19.707  6,482  19.961  6.794 

2  Gendongan  5.373  7,798  4.961  7,676  5.022  7,010  5.083  6,961  5.142  7.463 

3  Sidorejo Kidul  5.239  1,888  5.417  1,952  5.216  1,984  5.306  2,008  5.398  1,945 

4  Kalibening  1.642  1,649  1.762  1,648  1.790  1,784  1.817  1,767  1.845  1.825 

5  Tingkir Lor  4.758  2,684  4.209  2,698  4.273  2,405  4.338  2,418  4.401  2,428 

6  TingkirTengah  4.422  3,209  4.733  3,233  4.814  3,509  4.897  3,539  4.976  3,611 

C  Kec. Argomulyo  41.816  2,257  40.212  2,302  40.853  2,210  41.500  2,244  42.133  2,274 

1  Noborejo  5.068  1,526  5.074  1,527  5.158  1,553  5.243  1,578  5.326  1,603 

2  Ledok  10.578  1,682  9.486  5,065  9.630  5,141  9.774  5,218  9.915  5,294 

3  Tegalrejo  10.351  5,494  9.915  5,263  10.079  5,349  10.246  5,438  10.409  5,525 

4  Kumpulrejo  7.236  3,864  6.581  1,047  6.682  1,062  6.785  1,079  6.887  1,095 

5  Randuacir  4.580  1,213  4.904  1,299  4.988  1,321  5.071  1,343  5.153  1,365 

6  Cebongan  4.001  2,897  4.252  3,079  4.316  3,125  4.381  3,172  4.443  3,217 

D  Kec. Sidomukti  36.573  3,912  36.611  3,195  38.975  3,401  39.208  3,422  40.664  3,549 

1  Kecandran  4.959  1,242  4.958  1,242  5.150  1,290  5.245  1,314  5.319  1,322 

2  Dukuh  9.786  2,594  10.001  2,651  11.736  3,111  11.892  3,153  12.058  3,194 

3  Mangunsari  14.968  5,147  14.894  5,122  15.678  5,391  15.770  5,423  16.380  5,633 

4  Kalicacing  6.860  8,717  6.758  8,587  6.411  8,146  6.301  8,006  6.907  8,776 

   Jumlah Total  170.024  2,994  171,327  3,017  172.485  3,038  173.874  3,062  178.594  3,145 

Sumber: Salatiga Dalam Angka , 2014

Page 61: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

58 

Gambar 3.3

Peta Kepadatan Penduduk Kota Salatiga 2014

Page 62: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

59 

Gambar 3.4

Peta Pola Ruang Kota Salatiga Tahun 2014

Page 63: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

60 

3.1.3.2.b Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin

Komposisi jumlah penduduk menurut jenis kelamin di Kota Salatiga secara umum

menunjukkan jumlah penduduk perempuan lebih besar dibandingkan jumlah penduduk laki-

laki. Hal tersebut selalu terjadi sesuai dengan perkembangan yang ada dari tahun ke tahun

mulai dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2014. pada tahun 2014, rasio jenis kelamin (rasio

jumlah penduduk laki-laki terhadap jumlah penduduk perempuan) sebesar 95,86 , ini berarti

bahwa untuk setiap 95,86 penduduk laki-laki sebanding dengan 100 penduduk perempuan.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel III-7. Komposisi Jumlah Penduduk Menurut

Jenis Kelamin Tahun 2014 serta Gambar 3.2. Diagram Komposisi Penduduk Menurut Jenis

Kelamin Tahun 2014.

Tabel III - 7.

Komposisi Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Tahun 2013

NO KELURAHAN

PENDUDUK

LAKI-LAKI PEREMPUAN TOTAL RASIO JENIS

KELAMIN

A Kec. Sidorejo 26.184 27.890 54.074 93,881 Pulutan 1983 1930 3.913 102,75

2 Blotongan 5.170 5.882 11.592 97.08

3 Sidorejo Lor 7.160 7.754 14.914 92,34

4 Salatiga 8,161 8.969 17.130 90,66

5 Bugel 1.418 1.468 2.886 96,59

6 Kauman Kidul 1,752 1,887 3,639 92,85

B Kec. Tingkir 20.421 21.302 41.723 95,861 Tingkir tengah 2,447 2,449 4,976 97,92

2 Tingkir Lor 2,104 2,297 4,401 91,59

3 Kalibening 958 887 1,845 108,00

4 Sidorejo Kidul 2,687 2,711 5,398 99,11

5 Kutowinangun 9,691 10,270 19,961 94,36

6 Gendongan 2,504 2,638 5,142 94,92

C Kec. Argomulyo 20.729 21.404 42.133 96,851 Noborejo 2,597 2,729 5,326 95,16

2 Cebongan 2,177 2,266 4,433 96,07

3 Randuacir 2,556 2,597 5,153 98,42

4 Ledok 4,779 5,136 9,915 93,05

5 Tegalrejo 5,192 5,217 10,409 99,52

6 Kumpulrejo 3,428 3,459 6,887 99,10

D Kec. Sidomukti 20.009 20.655 40.664 96,871 Kecandran 2,700 2,619 5,319 103,09

2 Dukuh 5,963 6,095 12,058 97,83

3 Mangunsari 8,113 8,267 16,380 98,14

4 Kalicacing 3,233 3,674 6,907 88,00

J u m l a h

Page 64: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

61 

2013 87.343 91.251 178.594 95,72

2012 85.299 88.575 173.874 96,20

2011 84.621 87.864 172.485 96,31

2010 84.807 86.520 171.327 98,02

2009 84.078 85.946 170.024 97,83

Sumber: Kota Salatiga Dalam Angka, 2014

Yang cukup menarik dari tabel di atas adalah pada kelurahan-kelurahan tertentu seperti

kelurahan Pulutan, Kelurahan Kalibening, dan Kelurahan kecandran, memiliki sex rasio

dimana jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari pada penduduk perempuan. Hal itu dapat

dimungkinkan karena ke 3 wilayah tersebut diduga sebagai kantong-kantong dimana kaum

perempuan melakukan migrasi untuk bekerja baik di dalam satu negara maupun di luar negeri.

Gambar 3.5

Diagram Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin Tahun 2014.

87.34391.251

Komposisi Penduduk menurut Jenis Kelamin 2014

Laki‐Laki

Perempuan

Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014

Penduduk Kota Salatiga relatif terdistribusi secara merata di seluruh wilayah.

Umumnya penduduk banyak terkonsentrasi di daerah pusat kota dan sub urban dibandingkan di

wilayah peripheri. Secara rata-rata, kepadatan penduduk kota salatiga tercatat sebesar 3,2745

jiwa/Km2 (kategori tingkat kepadatan sedang).

Untuk mengetahui tingkat konsentrasi penduduk di Kota Salatiga dapat digunakan

dengan perhitungan tingkat kepadatan penduduk aritmatik (KPA), yaitu jumlah penduduk yang

menempati 1 Km² atau dengan penghitungan jumlah penduduk dibagi luas wilayah (Km2).

Untuk selengkapnya dapat dilihat pada Tabel III – 8. Kepadatan Penduduk Kota Salatiga

Tahun 2013. Dari tabel diatas dan penghitungan mengenai tingkat kepadatan penduduk

Page 65: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

62 

diperoleh hasil ada delapan kelurahan yang padat penduduk dengan luas lahan kelurahan yang

tidak sebanding, yaitu Kelurahan Sidorejo Lor dan Kelurahan Salatiga (Kec Sidorejo),

Kelurahan Kutowinangun dan Kelurahan Gendongan (Kec Tingkir), Kelurahan Ledok dan

Kelurahan Tegalrejo (Kec Argomulyo) serta Kelurahan Mangunsari dan Kelurahan Kalicacing

(Kec Sidomukti)

3.1.3.2.c Penduduk Menurut Mata Pencaharian

Jumlah penduduk Kota Salatiga pada tahun 2013 sebesar 178.594 jiwa jiwa, penduduk

Kota Salatiga rata-rata memiliki pekerjaan baik pegawai negeri maupun pegawai swasta atau

mungkin berwiraswasta sendiri. Penduduk yang bermata pencaharian paling tinggi adalah

buruh industri di Kota Salatiga yaitu sebesar 16.415 jiwa, kemudian banyak juga yang menjadi

buruh bangunan yaitu sebesar 26.780 jiwa. Penduduk Kota Salatiga yang bermata pencaharian

sebagai pedagang, dalam data monografi kelurahan tercatat sebesar 10.143 jiwa. Kemudian

penduduk Kota Salatiga yang bekerja sebagai buruh bangunan yaitu sebesar 9.944 jiwa dan

yang bermata pencaharian sebagai PNS/ABRI atau POLRI sebesar 9.111 jiwa.

Apabila dilihat dari jumlah penduduk menurut mata pencaharian, penduduk Kota

Salatiga memiliki tingkat pendapatan yang cukup beragam. Mata pencaharian penduduk

tersebut hubungannya dengan tingkat pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendapatan, maka

semakin tinggi pula kemampuan penduduk dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat di Tabel III – 4. dan Gambar 3.5

Jenis dan ragam matapencaharian berimplikasi terhadap terjadinya stratifikasi social

pada masyarakat kota Salatiga. Stratifikasi social masyarakat merupakan salah satu pembentuk

struktur ruang dan pola keruangan (pola perumahan dan permukiman). Hal ini nampak jelas

pada perumahan unit besar dengan beragam tipe rumah yang berbeda-beda dan mencerminkan

strata social masyarakat yang mendiaminya; di sisi lain pertumbuhan perumahan dan

permukiman yang berbentuk cluster lebih mencerminkan homogenitas strata social.

Page 66: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

63 

Tabel III - 8

Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kota Salatiga Tahun 2014

NO. KELURAHAN

MATA PENCAHARIAN

Petani Sendiri

BuruhTani

Pengusaha Buruh

Industri Pedagang

Buruh Bangunan

Transportasi PNS/ABRI/

POLRI Pensiunan Lain-lain Jumlah

A Kec. Sidorejo 1078 2210 1786 7563 3608 3972 1885 3349 2720 13.929 42.100

B Kec. Tingkir 197 304 3061 5650 2351 1440 402 1224 827 18.520 33.976

C Kec. Argomulyo 1578 480 2251 6815 559 109 320 1634 617 10.516 29.919

D Kec. Sidomukti 731 1602 1085 6752 3621 4423 2397 2904 1522 14.317 39.354

Jumlah Total 3.584 4.596 8.183 26.780 10.143 9.944 5.004 9.111 5.686 57.282 145.349

Sumber: Kota Salatiga Dalam Angka, 2014

Gambar 3.6

Diagram Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kota Salatiga Tahun 2014

9.1115.686 5.0049.944

10.143

26.780

8.1834.5963.584

57.282

Petani SendiriBuruh TaniPengusahaBuruh IndustriPedagangBuruh BangunanTransportasiPNS/ABRI/POLRIPensiunanLain‐lain

Sumber: Kota Salatiga Dalam Angka, 2014

Page 67: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

64 

3.2. ANALISIS KEPENDUDUKAN

Sektor kependudukan yang akan dianalisis dalam pembahasan berikut meliputi

pertumbuhan dan proyeksi jumlah penduduk serta jumlah dan persebaran rumah. Analisis

tersebut mendasari penentuan penyediaan rumah dalam kawasan perumahan dan

permukiman di Kota Salatiga.

3.2.1. Pertumbuhan dan Proyeksi Jumlah Penduduk

Perencanaan pembangunan suatu daerah khususnya adalah pembangunan

perumahan dan permukiman, kependudukan adalah aspek yang sangat penting. Secara

umum aspek kependudukan yang perlu dipertimbangkan dalam proses pembuatan

rencana tata ruang adalah struktur penduduk serta pertumbuhan pertahun dari penduduk

tersebut. Pertumbuhan penduduk per kelurahan di Kota Salatiga dari tahun 2010-2014

memiliki pola kecenderungan yang cukup unik. Di tahun 2010 ada beberapa Kelurahan

yang mengalami penurunan jumlah penduduk, sehingga pertumbuhan penduduknya

mencapai negatif. Pertumbuhan penduduk rata-rata di wilayah Kota Salatiga dapat dilihat

pada Tabel III - 9

Pola pertumbuhan yang demikian dapat dipengaruhi oleh banyaknya angka

kematian dan kelahiran serta angka migrasi penduduk. Untuk Kota Salatiga, pengaruh

angka migrasi penduduk cukup besar. Hal tersebut salah satunya disebabkan adanya

aktivitas pendidikan di Kota Salatiga, dalam hal ini adanya Sekolah Tinggi Lanjutan Atas

dan Universitas atau Perguruan Tinggi di Kota Salatiga cukup diminati oleh pelajar dari

luar daerah bahkan luar pulau Jawa yang status tinggalnya hanya sementara.

Kondisi inilah yang menjadikan suatu wilayah kelurahan terkadang dari tahun ke

tahun kepadatan penduduknya tinggi, di tahun berikutnya terkadang rendah. Kondisi

kepadatan tinggi dikarenakan anak muda yang mengenyam pendidikan di kota Salatiga

masuk atau menempuh kuliah, pada saat anak tersebut lulus maka kecenderungannya

akan mencari pekerjaan di luar kota, sehingga tingkat kepadatan penduduk di suatu

lokasi/ kelurahan menjadi turun.

Berdasarkan dari kondisi tersebut, dapat dihitung rata-rata pertumbuhan dari Kota

Salatiga secara umum, yaitu sebesar 4,28% pertahunnya. Apabila ditinjau lagi pola

pertumbuhan yang terjadi di Kota Salatiga yang dihitung per kelurahan, serta rata-ratanya

dapat dikatakan bahwa prosentase pertumbuhan penduduk tersebut terlalu tinggi. Oleh

karena itu, dalam penghitungan proyeksi penduduk yang dilakukan menggunakan

pertumbuhan penduduk Kota Salatiga secara keseluruhan yang tercantum dalam RTRW

Page 68: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

65 

Kota Salatiga, yaitu sebesar 2,48 %. Untuk proyeksi penduduk tersebut digunakan metode

proyeksi bunga berganda. Untuk hasil perhitungan proyeksi tersebut dapat dilihat pada

Tabel III – 9.

Kota Salatiga merupakan kota dengan tingkat pertumbuhan penduduk terbesar

(2,71 %) ke 3 dari seluruh kabupaten/Kota di Jawa Tengah pada tahun 2013, sedangkan

pertumbuhan penduduk provinsi Jawa Tengah sendiri hanya sebesar 0,89 %. Trend

pertumbuhan penduduk ini sebagai akibat dari Total Fertility Rate (TFR) Kota Salatiga

yang tinggi yaitu sebesar 2,5 % diatas standar nasional 2,1 %. Jika tidak ada pengendalian

yang serius di bidang kependudukan maka diproyeksikan pada tahun 2015 penduduk

Kota Salatiga sebesar 185.627 jiwa, dan pada tahun 2020 akan menjadi 20.4375 jiwa.

Pertumbuhan penduduk ini akan berimplikasi terhadap kebutuhan akan ruang

untuk perumahan yang dari tahun ke tahun juga akan semakin meningkat. Hal ini dapat

dilihat dari tabel III-9, distribusi kebutuhan rumah (asumsi 1 rumah untuk 1 KK) di

wilayah salatiga tertinggi ada di wilayah kecamatan Sidorejo dan terendah di wilayah

Kecamatan Tingkir.

Dari hasil data tabel III-9 dapat dilihat bahwa jumlah rumah tangga atau KK Kota

Salatiga ditahun 2014 adalah: Kec Sidorejo sebanyak 17.694 KK, Kec Tingkir sebanyak

15.284 KK, Kec Argomulyo sebanyak 15.427 KK, Kec Sidomukti sebanyak 13.993 KK.

Jika menggunakan asumsi Worldbank 1 rumah untuk 1 KK serta menggunakan proyeksi

KK untuk tahun 2020, maka kebutuhan rumah hingga tahun 2020 adalah sebagai berikut:

Lokasi Kec Sidorejo di tahun 2020 membutuhkan rumah sebanyak 14436,82, Kec Tingkir

di tahun 2020 membutuhkan rumah sebanyak 10859,71, Kec Argomulyo membutuhkan

rumah sebanyak 11062,06, Kec Sidomukti membutuhkan rumah sebanyak 11051 dan

total jumlah rumah yang dibutuhkan Kota Salatiga di tahun 2020 sebanyak 47383,04

dengan asumsi jumlah penduduk di tahun 2020 sebesar 204.375.

Page 69: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

Tabel III - 9

Pertumbuhan dan Proyeksi Penduduk Kota Salatiga NO  KELURAHAN  2010    2011    2012    2013  Rerata 

Pertumb

uhan  (%) 

PROYEKSI  

2015 

PROYEKSI 

2020 

Proyeksi KK  Rerata Kebutuhan rumah 

hingga 2020 JUMLAH  r (%)  JUMLAH  r (%)  JUMLAH  r (%)  JUMLAH  r (%)  2013  2015  2020 

A  Kec. Sidorejo  50.024  0,69  52.357  4,66  52.688  0,63  54.074  2,63  2,15  56.424  62744  13518,5  14106  15686  14436,82 

1  Blotongan  10.599  2,24  11.642  9,84  11.822  1,55  11.592  ‐1,95    12.096  13451  2898  3024  3362,6  3094,863 

2  Sidorejo Lor  12.697  0,59  14.407  13,47  14.440  0,23  14.914  3,28    15.562  17305  3728,5  3890,5  4326,3  3981,78 

3  Salatiga  16.298  ‐0,53  16.111  ‐1,15  16.004  ‐0,66  17.130  7,04    17.875  19876  4282,5  4468,6  4969,1  4573,413 

4  Bugel  2.844  0,74  2.824  ‐0,70  2.844  0,71  2.886  1,48    3.011  3349  721,5  752,86  837,18  770,512 

4  Kauman Kidul  3.864  2,30  3.643  ‐5,72  3.778  3,71  3.639  ‐3,68    3.797  4222  909,75  949,29  1055,6  971,55 

5  Pulutan  3.722  0,35  3.730  0,21  3.800  1,88  3.913  2,97    4.083  4540  978,25  1020,8  1135,1  1044,703 

B  Kec. Tingkir  42.054  0,24  40.206  ‐4,39  40.398  0,48  41.723  3,28  1,33  42.840  45753  10430,8  10710  11438  10859,71 

1  Kutowinangun  19.187  ‐6,49  18.995  ‐1,00  19.041  0,24  19.961  4,83    20.495  21889  4990,25  5123,9  5472,3  5195,473 

2  Gendongan  4.961  ‐7,67  4.830  ‐2,64  4.770  ‐1,24  5.142  7,80    5.280  5639  1285,5  1319,9  1409,7  1338,366 

3  Sidorejo Kidul  5.417  3,40  5.505  1,62  5.261  ‐4,43  5.398  2,60    5.543  5919  1349,5  1385,6  1479,9  1404,998 

4  Kalibening  1.762  7,31  1.777  0,85  1.770  ‐0,39  1.845  4,24    1.894  2023  461,25  473,6  505,81  480,2188 

5  Tingkir Lor  4.209  ‐11,54  4.264  1,31  4.263  ‐0,02  4.401  3,24    4.519  4826  1100,25  1129,7  1206,5  1145,498 

6  Tingkir Tengah  4.733  7,03  4.835  2,16  4.933  2,03  4.976  0,87    5.109  5457  1244  1277,3  1364,2  1295,159 

C  Kec. Argomulyo  42.638  1,97  40.947  ‐3,97  41.580  1,55  42.133  1,33  1,61  43.501  47111  10533,3  10875  11778  11062,06 

1  Noborejo  5.074  0,12  5.327  4,99  5.450  2,31  5.326  ‐2,28    5.499  5955  1331,5  1374,7  1488,8  1398,347 

2  Ledok  9.486  ‐10,32  9.366  ‐1,27  9.305  ‐0,65  9.915  6,56    10.237  11086  2478,75  2559,2  2771,6  2603,194 

3  Tegalrejo  9.915  ‐4,21  10.336  4,25  10.799  4,48  10.409  ‐3,61    10.747  11639  2602,25  2686,7  2909,7  2732,894 

4  Kumpulrejo  6.581  ‐9,05  6.679  1,49  6.728  0,73  6.887  2,36    7.111  7701  1721,75  1777,6  1925,2  1808,189 

5  Randuacir  4.904  7,07  4.966  1,26  4.999  0,66  5.153  3,08    5.320  5762  1288,25  1330,1  1440,5  1352,926 

6  Cebongan  4.252  6,27  4.273  0,49  4.299  0,61  4.443  3,35    4.587  4968  1110,75  1146,8  1242  1166,514 

D  Kec. Sidomukti  36.611  0,10  38.975  6,46  39.208  0,60  40.664  3,71  2,72  42.906  49042  10166  10727  12260  11051 

1  Kecandran  4.958  ‐0,02  5.203  4,94  5.245  0,81  5.319  1,41    5.612  6415  1329,75  1403,1  1603,7  1445,511 

2  Dukuh  10.001  2,20  11.817  18,16  11.892  0,63  12.058  1,40    12.723  14542  3014,5  3180,7  3635,6  3276,927 

3  Mangunsari  14.894  ‐0,49  15.751  5,75  15.770  0,12  16.380  3,87    17.283  19755  4095  4320,8  4938,7  4451,49 

4  Kalicacing  6.758  ‐1,49  6.343  ‐6,14  6.301  ‐0,66  6.907  9,62    7.288  8330  1726,75  1822  2082,5  1877,072 

  

Jumlah Total 

171.327  1,09  172.485  1,06  173.874  0,81  178.594  2,71  1,95  185.627  204375 

44648,5  46407  51094  47383,04 

Sumber: Hasil olahan data 2014

Page 70: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

  67

Tabel III - 10

Jumlah dan Kondisi Rumah Kota Salatiga Tahun 2014 N

KELURAHAN  2014 JUMLAH 2014 (%)  TOTAL 

(%) TIPE A  TIPE B TIPE C TIPE A  TIPE B  TIPE 

A  Kec. Sidorejo  7.807  563 303 8.673 90,0  6,5  3,5 22,5

1  Blotongan  2.427  37 75 2.539 95,6  1,5  3,0

2  Sidorejo Lor  700  167 11 878 79,7  19,0  1,3

3  Salatiga  2.991  115 61 3.167 94,4  3,6  1,9

4  Bugel  454  22 52 528 86,0  4,2  9,8

4  Kauman Kidul  739  95 61 895 82,6  10,6  6,8

5  Pulutan  496  127 43 666 74,5  19,1  6,5

B  Kec. Tingkir  8.281  1.406 293 9.980 83,0  14,1  2,9 25,8

1  Kutowinangun  4.390  711 45 5.146 85,3  13,8  0,9

2  Gendongan  1.403  35 35 1.473 95,2  2,4  2,4

3  Sidorejo Kidul  833  255 50 1.138 73,2  22,4  4,4

4  Kalibening  194  45 34 273 71,1  16,5  12,5

5  Tingkir Lor  720  181 99 1.000 72,0  18,1  9,9

6  Tingkir Tengah  741  179 30 950 78,0  18,8  3,2

C  Kec. 

Argomulyo 

9.098  760 630 10.488 86,7  7,2  6,0 27,1

1  Noborejo  1.203  38 106 1.347 89,3  2,8  7,9

2  Ledok  2.407  27 30 2.462 97,7  1,1  1,2

3  Tegalrejo  1.818  133 48 1.999 90,9  6,7  2,4

4  Kumpulrejo  937  230 346 1.513 61,9  15,2  22,9

5  Randuacir  834  265 68 1.167 71,5  22,7  5,8

6  Cebongan  1.902  67 32 2..000 95,1  3,4  1,6

D  Kec. 

Sidomukti 

7.881  677 933 9.491 83,0  7,1  9,8 24,6

1  Kecandran  876  179 52 1.107 79,1  16,2  4,7

2  Dukuh  2.415  298 113 2.826 85,5  10,5  4,0

3  Mangunsari  2.896  65 712 3.673 78,8  1,8  19,4

4  Kalicacing  1.694  135 56 1.885 89,9  7,2  3,0

  

Jumlah Total 

33.067  3.406 2.159 18.632 85,6  8,8  5,6 100,0

(%)  85,6  8,8 5,6 100,0    

Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014

Page 71: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

  68

Gambar 3.7

Diagram Pertumbuhan Penduduk Kota Salatiga Tahun 2014

‐60%

‐40%

‐20%

0%20%

40%

60%

80%

100%

2010 2011 2012 2013

Kec SidomuktiKec ArgomulyoKec TingkirKec Sidorejo

Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014

3.2.2. Jumlah dan Persebaran Rumah

Jumlah dan persebaran rumah ini akan membicarakan tentang jumlah rumah dilihat

berdasarkan permanensi bangunan, status kepemilikan, rumah layak huni dan tidak layak huni

dan backlog.

A. Tingkat Permanensi Bangunan

Secara umum kondisi rumah masyarakat Kota Salatiga sudah merupakan bangunan

permanen (49%). Sisanya merupakan bangunan semi permanen (31%) dan temporer sebanyak

20%.

Page 72: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

  69

Gambar 3.8

Kondisi Lahan Kota Salatiga Tahun 2014

KONDISI LAHAN

Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014

Page 73: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

  70

Gambar 3.9

Kondisi Lahan Kota Salatiga Tahun 2014

Jumlah dan Kondisi Rumah

Tipe A: Atap, dinding, lantai dr bahan bagus dan permanen, luas >= 70 m2Tipe B: Atap, dinding, lantai dr bahan bagus dan permanen, luas < 70 m2Tipe C: Atap, dinding, lantai dr bahan alami dan tdk permanen, luas < 40 m2

Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014

.

B. Tingkat Kelayakan

Rumah layak huni merupakan rumah tinggal yang memenuhi persyaratan teknis, sosial,

serta penataan ruangan yang akrab dan harmonis. Rumah layak huni dan rumah tidak layak

huni dilihat berdasarkan kondisi fisiknya rumahnya seperti dilihat dari kondisi atap, kondisi

lantai, penghawaan, pencahayaan, air bersih, air kotor, dan fasum dan fasos. Rumah layak huni

adalah rumah tinggal yang memenuhi persyaratan teknis sosial serta penataan ruangan yang

Page 74: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

  71

akrab dan harmonis. Di dalam menciptakan rumah layak huni, harus mempertimbangkan hal-

hal sebagai berikut :

1. Kesehatan:

- Lokasi rumah yang layak dipandang dari segi lokasi (tidak terkena banjir, tidak

lembab, dll)

- Memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti penerangan dan penghawaan

2. Keamanan:

- Konstruksi yang memenuhi persyaratan teknis

- Pemilihan bahan bangunan yang tepat sesuai fungsi dan kondisi lokal.

3. Keindahan dan Kenyamanan:

- Bentuk arsitektur yang sesuai dengan lingkungan

- Penataan ruangan dan penentuan besaran ruangan yang optimal dan sesuai dengan

persyaratan.

4. Jaminan hukum:

- Pemilihan dan pembangunan rumah diatas tanah yang tidak bertentangan dengan

hukum (tanah yang legal).

- Ijin mendirikan bangunan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

5. Pemeliharaan bangunan rumah:

- Secara rutin dibersihkan

- Memperbaiki setiap kerusakan yang sekecil apapun, agar tidak terjadi kerusakan yang

tidak teratasi.

C. Backlog

Backlog rumah didefinisikan sebagai kekurangan jumlah rumah dari jumlah KK yang

ada. Kekurangan jumlah rumah atau backlog dibagi secara spesifik menurut status kepemilikan

rumah. Rumah tangga dengan status penguasaan bangunan milik sendiri diklasifikasikan

sebagai rumah tangga yang sudah memiliki rumah, sedangkan rumah tangga dengan status

penguasaan bangunan kontrak, sewa, rumah dinas, bebas sewa, rumah milik orang tua/famili,

dan lainnya diklasifikasikan sebagai rumah tangga yang belum memiliki rumah.

Backlog di Kota Salatiga menunjukkan terdapat kelebihan rumah sebesar 3.043 unit. Hal

tersebut mengindikasikan bahwa kemungkinan rumah di Kota Salatiga ada yang menjadi

rumah investasi, pemiliknya bukan merupakan penduduk Kota Salatiga, atau rumah tersebut

tidak ditempati. Jumlah backlog tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.10.

Page 75: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

  72

Gambar 3.10

Analisa Backlog Kota Salatiga Tahun 2014

BacklogSelisih antara Jumlah Seharusnya tersedia dengan jumlah tersedia

Jumlah Penduduk 2012 = 186.087 jiwaJumlah Keluarga (KK) 2012 = 57.783 kk

Asumsi Worldbank 1 rumah untuk 1 KK

Kebutuhan Rumah = 57.783 rumah

Jumlah rumah = 38.632 rumah

Backlog = 19.151 rumah

Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014

Gambar 3.11

Analisa Backlog Kota Salatiga Tahun 2014

Rumah Tidak Layak Huni

Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014

Page 76: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

  73

3.3. ANALISIS KEBUTUHAN RUANG KAWASAN PERUMAHAN DAN

PERMUKIMAN

Peninjauan tentang kebutuhan ruang untuk pengembangan kawasan perumahan dan

permukiman ini meliputi dua maksud, yaitu kebutuhan ruang untuk pembangunan perumahan

dan permukiman baru serta peningkatan kualitas dan kondisi perumahan dan permukiman yang

sudah ada. Berdasarkan kebutuhan ruang untuk pembangunan dan pengembangan perumahan

dan permukiman tersebut maka ditentukan arahan pengembangan termasuk dalam hal ini

adalah pengalokasian lokasi ruang, penghitungan ketersediaan lahan yang ada serta tinjauan

terhadap kemampuan wilayah untuk menampung kawasan perumahan dan permukiman di

Kota Salatiga.

3.3.1. Arah Pengembangan Perumahan dan Permukiman

Dalam mengkaji kecenderungan perkembangan ada beberapa aspek yang

mempengaruhinya. Tiga faktor utama yang mempengaruhi perkembangan perumahan dan

permukiman (seperti halnya yang mempengaruhi perkembangan kota/ desa) yaitu faktor:

- Pelaku (manusia)

- Kegiatan/ aktivitas

- Penghubung

Selain ketiga faktor utama diatas ada beberapa faktor penting pula yang mempengaruhi

perkembangan perumahan dan permukiman yaitu faktor fisik alam (kondisi geografis,

Klimatologis, Hidrologis, Geologi dan Topografi serta kemiringan lahan).

A. Kecenderungan Perkembangan Fisik

Perkembangan pusat kota suatu wilayah tidak lain akibat adanya pertumbuhan modal

dan pertumbuhan sumber daya di wilayah tersebut. Semakin intensifnya perkembangan

keduanya mendorong pertumbuhan sektor-sektor pendukung lainnya. Di pusat kota terdapat

kemudahan-kemudahan untuk memenuhi kebutuhan manusia hal ini semakin kuat daya

tariknya mengundang manusia (migrasi) dan kegiatan ekonomi untuk datang ke tempat

tersebut. Akibat munculnya aktivitas tersebut mendorong para pendatang tersebut membangun

areal permukiman. Namun dengan semakin luasnya perkembangan sektor perdagangan dan

jasa di pusat kota tersebut dan seiring dengan semakin mahalnya harga lahan maka terjadi

perubahan kecenderungan pemanfaatan lahan kota.

Dengan sedikit mengadopsi teori Von Thunen tentang pola penggunaan lahan yang

didasarkan pada jarak. Kecenderungan perkembangan di wilayah studi bahwa pada pusat kota

mempunyai harga lahan yang tinggi sehingga mempunyai spesifikasi pemanfaatan yang lebih

Page 77: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

  74

tinggi tingkat ekonomisnya, seperti perdagangan dan jasa yang mempunyai jangkauan

pelayanan tingkat regional. Atas dasar itulah mengapa di pusat kota harga lahan semakin

tinggi, dan ini tidak menguntungkan apabila lahan di pusat kota diperuntukkan sebagai

permukiman. Akibatnya banyak muncul permukiman-permukiman baru di daerah pinggiran

yang mempunyai harga lahan relatif murah.

Kecenderungan perkembangan fisik di Kota Salatiga, pada hakekatnya tercermin dari

bentuk struktur keruangan wilayah yang terbentuk karena posisinya secara geografis dan

karakteristik tempatnya. Kota Salatiga secara umum dan garis besar, pola kecenderungan

perkembangan fisik perumahan dan permukimannya mengikuti kondisi prasarana khususnya

kondisi jalur jalan dan kondisi fisik alam yang ada. Arah perkembangan tersebut yaitu

mengikuti arah dan pola jalur jalan regional, khususnya yaitu sepanjang jalur Semarang – Solo.

Salatiga - Ambarawa. Arah perkembangan yang mengikuti jalur Semarang – Solo tersebut

didorong oleh intensitas dan pola aktivitas yang sangat tinggi di sepanjang jalur jalan tersebut.

Kawasan perumahan dan permukiman tersebut dimulai dari Kelurahan Blotongan sampai

dengan Kelurahan Cebongan. Kawasan permukiman dan perumahan tersebut semakin

memadat sampai pada pusat Kota dan mengalami penyebaran menuju ke arah barat Kota

Salatiga. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor kelerengan di bagian barat Kota Salatiga yang

relatif berkisar antara 2-15% atau dapat dikatakan memiliki topografi yang relatif datar.

Kecenderungan perkembangan yang tercermin dari perubahan fisik menunjukkan

adanya perembetan meloncat dan memanjang. Pada perkembangan selanjutnya bentuk pola

linier tidak menerus/ meloncat ini akan tumbuh menjadi pola struktur keruangan yang kompak

secara menerus atau sering disebut sebagai Ribbon City atau linier menerus.

Seperti halnya kota atau desa pada umumnya, disetiap persimpangan jalan, aktivitas

yang berkembang lebih beragam tidak hanya perumahan dan permukiman, tetapi berkembang

aktivitas lain yang mengarah pada kegiatan perdagangan dan jasa, disertai keberagaman jenis

fasilitas. Setiap simpul atau persimpangan jalan menunjukkan adanya pola pertumbuhan

perumahan dan permukiman yang konsentrik namun tidak menerus, atau dengan kata lain

menunjukkan pola keruangan yang tidak kompak dan meloncat. Bentuk perkembangan tidak

kompak/ meloncat pada pola konsentrik pada akhirnya sama juga seperti pola linier diatas,

akan membentuk stuktur keruangan yang kompak dengan bentuk bintang atau gurita, hingga

akhirnya membentuk pola yang benar-benar kompak yaitu konsentri menerus atau radial

konsentrik yang menerus.

Page 78: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

  75

B. Kecenderungan Perkembangan Non Fisik

Kecenderungan perkembangan secara non fisik dapat dilihat melalui pola pemilikan

dan nilai tanah. Batas-batas area tanah, status pemilikan tanah dan nilai tanah seringkali

menjadi problem pembangunan baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun

masyarakat.

Status tanah dibedakan menurut penguasaannya terdiri dari tanah negara, hak milik, hak

guna usaha, hak guna bangunan, dan tanah adat. Tanah milik dapat berbentuk hak milik

(sertifikat), hak milik yayasan, dan hak milik adat.

Pemberian sertifikat hak baru dan konversi tanah dari tahun ke tahun cenderung

meningkat, berbeda dengan sertifikat peralihan hak dan penggantian yang dari tahun ke tahun

cenderung mengalami penurunan. Banyaknya konversi tanah menunjukkan semakin

banyaknya lahan pertanian yang berubah fungsi untuk permukiman dan tempat kegiatan

penduduk. Dampak yang timbul dari semakin banyaknya tanah konversi ini tentunya akan

mengurangi luasan lahan pertanian. Apabila tidak dikendalikan dan diarahkan

perkembangannya akan berdampak pada menurunnya produksi dari sektor pertanian dan

timbulnya permukiman-permukiman sporadis di beberapa tempat. Sehubungan dengan

masalah tersebut maka perlu ditingkatkan upaya dan langkah-langkah untuk mencegah

terjadinya perubahan penggunaan lahan sawah beririgasi teknis ke penggunaan non pertanian

baik yang dilakukan pemilik lahan maupun oknum-oknum tertentu tanpa izin, yaitu dengan

melakukan beberapa hal sebagai berikut:

- Tidak menutup saluran-saluran yang mengairi sawah beririgasi teknis milik mereka

- Tidak mengeringkan sawah beririgasi teknis miliknya dan menjadikannya untuk

penggunaan pertanian tanah kering.

- Tidak menimbun sawah beririgasi teknis miliknya untuk keperluan bangunan.

Bagi yang telah merubah tanah beririgasi teknis miliknya menjadi tanah tegalan/tanah

kering tanpa izin dalam rangka menghindari larangan penggunaan tanah sawah beririgasi

teknis untuk penggunaan tanah non pertanian, agar mengembalikannya menjadi tanah sawah

beririgasi teknis seperti semula.

Sesuai dengan surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Basional/Ketua

Bappenas kepada Menteri Dalam Negeri No. 5335/MK/1994 tanggal 29 september 1994

tentang penyusunan RTRW, kiranya perlu memberikan petunjuk-petunjuk kepada para

Bupati/Walikota agar meninjau kembali dan merevisi RTRW dengan tidak memperuntukkan

tanah beririgasi teknis bagi penggunaan tanah non pertanian.

Page 79: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

  76

Sementara itu nilai tanah juga memegang peranan dalam beberapa aspek kegiatan

pembangunan. Selain tata letak dan potensi tanah yang menjadi tolak ukur harga/nilai tanah,

faktor rencana peruntukan lahan sering merangsang naiknya nilai tanah yang bersangkutan.

Tanah yang berada di pusat kota serta yang mempunyai letak Kestrategisan suatu lokasi jelas

akan berpengaruh terhadap nilai tanah, yaitu nilai lahan akan semakin mahal seiring dengan

semakin dekatnya letak tanah tersebut dengan pusat kota (CBD), begitupun sebaliknya.

C. Arahan Kesesuaian dengan RTRW

Arahan Tata Ruang Wilayah dan Kota akan berdampak pada kemudahan perijinan dan

legalisasi pengembangan suatu kawasan. Arahan fungsi kawasan sebagai kawasan industri,

perdagangan dan jasa serta pelayanan sosial biasanya memicu munculnya kawasan perumahan

dan permukiman di sekitarnya. Kawasan perindustrian diarahkan di Kelurahan Noborejo,

Randuacir, Cebongan dan Kalibening. Sedangkan untuk Kota Salatiga bagian Utara dan Timur,

yaitu kelurahan-kelurahan di Kecamatan Sidorejo dan Tingkir diarahkan untuk menjadi

kawasan permukiman, pertanian dan kebun campur. Namun apabila dilihat dari penggunaan

lahan eksisting, sebagian besar digunakan selain sudah menjadi kawasan permukiman dan

perumahan (yang cukup padat di Kecamatan Sidorejo), juga digunakan sebagai sawah irigasi

dan kebun campur. Penggunaan lahan tersebut cukup sulit untuk dikonversi menjadi kawasan

perumahan dan permukiman.

Untuk kawasan perdagangan dan jasa diarahkan di kawasan pusat Kota. Hal tersebut

akan lebih memicu pertumbuhan perumahan dan permukiman. Sehingga perlu adanya

penanganan dan pengendalian pertumbuhan perumahan dan permukiman tersebut. Misalnya

dengan alokasi pembangunan perumahan dan permukiman di kelurahan lain atau dapat juga

dilakukan dengan ekstensifikasi pola pemanfaatan lahan yang disesuaikan dengan daya dukung

lingkungan.

Berdasarkan dari analisis di atas arah kecenderungan perkembangan perumahan dan

permukiman Kota Salatiga jika dilihat dari pola persebaran permukiman diprioritaskan di

lokasi tegalan, yaitu Kelurahan Noborejo, Kelurahan Randuacir, Kelurahan Kumpulrejo,

Kelurahan Kecandran. Sedangkan untuk perkebunan campuran diarahkan untuk permukiman

agrowisata (sesuai RTRW) yang berlokasi di Kelurahan Kecandran, Kelurahan Dukuh,

Kelurahan Kumpulrejo dan sebagian Mangunsari, Tegalrejo. Untuk permukiman perkotaan

dikembangkan dengan kepadatan rendah (Kelurahan Sidorejo Lor, Tegalrejo, dan Kalibening),

dan kepadatan sedang (Kelurahan Salatiga, Kutowinangun, Mangunsari, dan Gendongan).

Untuk arah Kecenderungan tersebut secara lebih jelas dapat dilihat pada Peta 3.13. Analisis

Page 80: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

  77

Kecenderungan Perkembangan Arah Perkembangan Kawasan Perumahan dan Permukiman

Kota Salatiga.

3.3.2. Alokasi Ruang Kawasan Perumahan dan Permukiman

Pengembangan perumahan dan permukiman di Kota Salatiga disebabkan dari beberapa

faktor yang akhirnya membutuhkan ruang yang tidak sedikit dalam melakukan aktivitasnya.

Dalam penentuan pengalokasian ruang bagi pemenuhan kebutuhan rumah, terlebih dahulu

ditentukan jumlah kebutuhan rumah di Kota Salatiga. Penentuan kebutuhan rumah sampai

dengan tahun 2016 menggunakan 4 alternatif, yaitu: dihitung dari pertumbuhan penduduk

alami, pertumbuhan penduduk + backlog, pertumbuhan penduduk + backlog + pendatang, serta

pertumbuhan penduduk + pendatang. Berdasarkan dari 4 alternatif tersebut jumlah penduduk

sampai dengan tahun perencanaan yang paling banyak adalah alternatif terakhir, yaitu

pertumbuhan penduduk + pendatang. Hal ini menjadi dasar pertimbangan tim teknis pada

sidang Laporan Antara untuk menyepakati alternatif tersebut. Dalam penentuan tersebut

menyertakan pendatang karena Kota Salatiga sarat akan penduduk pendatang. Penduduk

tersebut kebanyakan adalah para mahasiswa yang menuntut ilmu untuk tingkatan SLTA dan

Perguruan Tinggi atau Akademi. Selanjutnya untuk dasar perhitungan luasan kapling yang

digunakan untuk perhitungan adalah :

- Menggunakan kebijakan berimbang 1:3:6 (1 rumah mewah = 600 m2, 3 rumah

sedang/menengah = 400 m2, 6 rumah sederhana/kecil = 200m2) yang bersumber pada

RTRW Kota Salatiga.

- Building Coverage/BC rumah tinggal sesuai dengan standar PU tahun 1983

adalah sebesar 40-50 %, luasan lahan yang boleh dibangun dan tidak boleh dibangun.

Dalam perhitungan BC distudi ini digunakan sebesar 40 % karena lahan yang tersedia

cukup terbatas.

Page 81: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

78  

Tabel III - 11

Proyeksi Kebutuhan Rumah Kota Salatiga Tahun 2016

No KELURAHAN

JUMLAH

RUMAH

2005

PROYEKSI

JML

PENDUDUK

2016

PREDIKSI

PENDATANG

2016

KOEFISIEN

HUNIAN

IDEAL

PROYEKSI

JML

RUMAH

2016

KEBUTUHAN

RUMAH

2006-2016

KEBUTUHAN

RUMAH

PERTAHUN

SEGMENTASI KEBUTUHAN

RUMAH (Unit)

BESAR

10%

SEDANG

30%

KECIL

60%

A Kec. Sidorejo 10678 56106 2640 4,0 14027 16667 1667 1667 5000 10000

1 Blotongan 2485 12233 576 4,0 3058 3634 363 363 1090 2180

2 Sidorejo Lor 3642 15151 713 4,0 3788 4501 450 450 1350 2700

3 Salatiga 2247 18045 849 4,0 4511 5360 536 536 1608 3216

4 Bugel 548 2874 135 4,0 718 854 85 85 256 512

5 Kauman Kidul 1012 3846 181 4,0 962 1143 114 114 343 686

6 Pulutan 744 3958 186 4,0 990 1176 118 118 353 706

B Kec. Tingkir 8043 47019 2213 4,0 11755 13968 1397 1397 4190 8381

1 Kutowinangun 4044 23277 1095 4,0 5819 6915 691 691 2074 4149

2 Gendongan 1465 6884 324 4,0 1721 2045 204 204 613 1227

3 Sidorejo Kidul 988 5245 247 4,0 1311 1558 156 156 467 935

4 Kalibening 342 1932 91 4,0 483 574 57 57 172 344

5 Tingkir Lor 699 5272 248 4,0 1318 1566 157 157 470 940

6 Tingkir Tengah 505 4408 207 4,0 1102 1310 131 131 393 786

C Kec. Argomulyo 8587 45343 2134 4,0 11336 13470 1347 1347 4041 8082

1 Noborejo 1545 5651 266 4,0 1413 1679 168 168 504 1007

2 Ledok 1750 10862 511 4,0 2715 3227 323 323 968 1936

3 Tegalrejo 1735 11114 523 4,0 2779 3302 330 330 990 1981

4 Kumpulrejo 1539 7485 352 4,0 1871 2224 222 222 667 1334

5 Randuacir 1049 5069 239 4,0 1267 1506 151 151 452 903

6 Cebongan 969 5163 243 4,0 1291 1534 153 153 460 920

Page 82: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

79  

No KELURAHAN

JUMLAH

RUMAH

2005

PROYEKSI

JML

PENDUDUK

2016

PREDIKSI

PENDATANG

2016

KOEFISIEN

HUNIAN

IDEAL

PROYEKSI

JML

RUMAH

2016

KEBUTUHAN

RUMAH

2006-2016

KEBUTUHAN

RUMAH

PERTAHUN

SEGMENTASI KEBUTUHAN

RUMAH (Unit)

BESAR

10%

SEDANG

30%

KECIL

60%

D Kec. Sidomukti 7612 42914 2020 4,0 10729 12748 1275 1275 3824 7649

1 Kecandran 1024 5281 249 4,0 1320 1569 157 157 471 941

2 Dukuh 2126 11283 531 4,0 2821 3352 335 335 1005 2011

3 Mangunsari 2820 17631 830 4,0 4408 5237 524 524 1571 3142

4 Kalicacing 1642 8720 410 4,0 2180 2590 259 259 777 1554

JUMLAH 34920 191383 9006 4,0 47846 56852 5685 5685 17056 34111

Sumber: Hasil Analisis, 2006

Tabel III - 12

Luasan Kebutuhan Lahan Rumah Berdasarkan Tipe Rumah Kota Salatiga Tahun 2016

NO KELURAHAN

KEBUTUHAN

RUMAH 2006-

2016

BESAR SEDANG KECIL TOTAL (m2)

10% 600 (m2) 30% 400 (m2) 60% 200 (m2)

A Kec. Sidorejo 16.667 1.667 1.000.016,77 5.000 2.000.033,54 10.000 2.000.033,54 5.000.083,84

1 Blotongan 3.634 363 218.026,63 1.090 436.053,26 2.180 436.053,26 1.090.133,15

2 Sidorejo Lor 4.501 450 270.039,20 1.350 540.078,40 2.700 540.078,40 1.350.196,01

3 Salatiga 5.360 536 321.625,60 1.608 643.251,20 3.216 643.251,20 1.608.128,01

4 Bugel 854 85 51.218,34 256 102.436,68 512 102.436,68 256.091,70

5 Kauman Kidul 1.143 114 68.555,86 343 137.111,73 686 137.111,73 342.779,32

6 Pulutan 1.176 118 70.551,13 353 141.102,26 706 141.102,26 352.755,66

B Kec. Tingkir 13.968 1.397 838.051,36 4.190 1.676.102,72 8.381 1.676.102,72 4.190.256,81

Page 83: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

80  

NO KELURAHAN

KEBUTUHAN

RUMAH 2006-

2016

BESAR SEDANG KECIL TOTAL (m2)

10% 600 (m2) 30% 400 (m2) 60% 200 (m2)

1 Kutowinangun 6.915 691 414.880,17 2.074 829.760,34 4.149 829.760,34 2.074.400,86

2 Gendongan 2.045 204 122.699,30 613 245.398,61 1.227 245.398,61 613.496,52

3 Sidorejo Kidul 1.558 156 93.487,03 467 186.974,06 935 186.974,06 467.435,15

4 Kalibening 574 57 34.442,59 172 68.885,18 344 68.885,18 172.212,95

5 Tingkir Lor 1.566 157 93.971,32 470 187.942,64 940 187.942,64 469.856,59

6 Tingkir Tengah 1.310 131 78.570,95 393 157.141,89 786 157.141,89 392.854,74

C Kec. Argomulyo 13.470 1.347 808.180,45 4.041 1.616.360,91 8.082 1.616.360,91 4.040.902,27

1 Noborejo 1.679 168 100.712,61 504 201.425,22 1.007 201.425,22 503.563,06

2 Ledok 3.227 323 193.599,12 968 387.198,25 1.936 387.198,25 967.995,62

3 Tegalrejo 3.302 330 198.093,32 990 396.186,64 1.981 396.186,64 990.466,60

4 Kumpulrejo 2.224 222 133.411,76 667 266.823,53 1.334 266.823,53 667.058,82

5 Randuacir 1.506 151 90.348,84 452 180.697,68 903 180.697,68 451.744,20

6 Cebongan 1.534 153 92.014,79 460 184.029,59 920 184.029,59 460.073,96

D Kec. Sidomukti 12.748 1.275 764.885,07 3.824 1.529.770,14 7.649 1.529.770,14 3.824.425,36

1 Kecandran 1.569 157 94.126,29 471 188.252,58 941 188.252,58 470.631,45

2 Dukuh 3.352 335 201.095,91 1.005 402.191,82 2.011 402.191,82 1.005.479,54

3 Mangunsari 5.237 524 314.245,05 1.571 628.490,09 3.142 628.490,09 1.571.225,23

4 Kalicacing 2.590 259 155.417,83 777 310.835,66 1.554 310.835,66 777.089,14

JUMLAH 56.852 5.685 3.411.133,66 17.056 6.822.267,31 34.111 6.822.267,31 17.055.668,28

Sumber: Hasil Analisis, 2006

Page 84: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

81  

Gambar 3.11

Alih Fungsi Lahan Permukiman Kota Salatiga Tahun 2014

Alih Fungsi Lahan Untuk Permukiman di Kota SalatigaKecamatan Lahan Sawah menjadi Lahan

Pekarangan/PermukimanLahan Tegalan menjadi Lahan

Pekarangan/Permukiman2010 2011 2012 2010 2011 2012

Argomulyo 2.005 400 0 26.588 19.844 24.521Tingkir 16.166 11.756 4.696 9.819 13.347 13.894

Sidomukti 12.113 365 7.145 34.007 17.740 22.241Sidorejo 11.327 18.519 25.825 3.802 18.592 23.805

Total 41.611 31.040 37.666 74.216 69.523 84.461Sumber Data: Salatiga Dalam Angka 2013

Penggunaan Lahan di Salatiga (2013)1. Pekarangan/Permukiman : 3.083.514

Ha2. Tegalan:

1.611.622 Ha3. Sawah Irigasi Teknis:

491.330 Ha4. Sawah Non Irigasi Teknis 295.698

Ha5. Penggunaan Lainnya:

195 948

MENUNJUKKAN PENGGUNAAN UNTUK

PEKARANGAN/PERMUKIMAN ADALAH YANG TERBESAR

Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014

3.3.3. Intensitas Kepadatan Bangunan Kawasan Perumahan dan

Permukiman

Intensitas kepadatan bangunan kawasan perumahan dan permukiman di

Kota Kota Salatiga secara umum dapat dikatakan tidak terlalu tinggi, yaitu sebesar

307 unit/Ha. Namun kepadatan yang terjadi cenderung mengelompok di suatu

wilayah, di kelurahan-kelurahan tertentu yang memiliki kondisi representatif

sebagai kawasan perumahan dan permukiman. Kelurahan-kelurahan tersebut

antara lain adalah Kelurahan Kutowinangun, Gendongan, Kalicacing, Sidorejo

Lor dan Kelurahan Salatiga.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa kelurahan-kelurahan

tersebut terletak di sepanjang jalur jalan regional Semarang – Solo, dengan

Page 85: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

82  

topografi relatif datar dan kelerengan < 25%, yang sangat potensial untuk menjadi

wilayah kawasan perumahan dan permukiman di Kota Salatiga.

Dari kondisi kepadatan yang ada tersebut, maka untuk wilayah-wilayah

kelurahan yang memiliki tingkat kepadatan >1.000 unit/Ha seperti Kelurahan

Kutowinangun, Gendongan, Kalicacing, Sidorejo Lor dan Kelurahan Salatiga,

sudah kurang potensial untuk menjadi lokasi bagi pengembangan kawasan

perumahan dan permukiman. Apabila melihat dari tingkat kepadatan rumah yang

rendah, Kelurahan Randuacir, Kecandran, Pulutan dan Bugel merupakan

kelurahan yang cukup potensial sebagai lokasi pengembangan kawasan

perumahan dan permukiman. Namun apabila meninjau guna lahan Kota Salatiga,

di wilayah Keluahan Bugel dan Kecandran terdapat sawah irigasi yang merupakan

kawasan budidaya dan tidak boleh dikonversi menjadi kawasan perumahan dan

permukiman, sehingga pengembangannya terbatas. Untuk lebih jelasnya dapat

melihat pada gambar 3.12 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga.

Gambar 3.12

Peta Rencana Tata Ruang dan Kesesuaian Pemukiman Kota Salatiga

Peta Rencana Tata Ruang WilayahKota Salatiga Peta

KesesuaianPemukimanDi Kota Salatiga

Page 86: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

83  

Gambar 3.13

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga

Sumber: Pemerintah Kota Salatiga 2014

Page 87: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

84  

3.3.4. Pengaturan Sawah Lestari

Pengembangan penggunaan lahan saat ini di beberapa wilayah yang ada di

Jawa Tengah, temasuk dalam hal ini adalah Kota Salatiga, mulai mengarah pada

upaya untuk mempertahankan lahan sawah yang saat ini sudah mulai banyak

berubah fungsi. Perubahan fungsi lahan sawah tersebut antara lain menuju ke arah

lahan terbangun terutama untuk kawasan perumahan dan permukiman. Oleh sebab

itu perlu dilakukan pengaturan kembali untuk mencegah konversi lahan tersebut

supaya tidak mengganggu keseimbangan penggunaan lahan yang ada. Salah satu

upaya yang dilakukan adalahdengan pengaturan lahan sawah menjadi sawah

lestari.

Termasuk di Kota salatiga, dalam analisis RP4D Kota Salatiga ini tetap

memperhatikan pengaturan lahan yang ditetapkan menjadi sawah lestari. Denan

memperhatikan lahan sawah lestari ini, makadalam arahan pengembangan lahan

yang akan dijadikan kawasan perumahan dan permukiman dilakukanengan tidak

merubah lahan yang ditetapkan menjadi lahan sawah lestari. Untuk sawah yang

tidak pat dikonversi adalah sawah yang memiliki sistem irigasi teknis atau

memiliki sumebr air yang cukup serta memiliki tingkat produkstifitas lebih dari

65 % dari lahan sawah tersebut.

Gambar 3.14

Penggunaan Lahan dan Lahan Sawah Kota Salatiga

PenggunaanLahan di Kota

Salatiga

Lahan Sawah di Kota Salatiga

Page 88: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

85  

Gambar 3.15

Sawah Berkelanjutan Kota Salatiga

Sumber: Pemerintah Kota Salatiga 2014

Page 89: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

86  

3.3.5. Daya Tampung Kawasan Perumahan dan Permukiman

Daya tampung permukiman di Kota salatiga sesuai dengan lahan yang

tersedia, sehingga rencana daya tampungnya natara proyeksi jumlah kebutuhan

rumah dan ketersediaan lahan yang ada. RP4D yang merupakan penjabaran

daerah kuning (permukiman) dari RTRW, maka dalam rencana selau mengacu

rencana yang ada, untuk itu daya tampung RP4D ini tidak lepas dari daya

tampung yang ada di RTRW.

Tabel III – 13.

Kondisi dan Rencana Kebutuhan Rumah Tahun Perencanaan antara RP4D

dan RTRW

No URAIAN

RTRW RP4D

Eksisting

2002

Rencana

2013 Selisih

Eksisting

2005

Rencana

2016 Selisih

1. Jumlah Penduduk (jiwa) 144.649 158.652 14.003 176.090 191.383 24.299

2. Penduduk pendatang (jiwa) 9.006

3. Jumlah Rumah (unit) 31.568 31.730 162 34.920 47.846 12.926

4. Luas Kapling (Ha) 952,000 1.705,57

5. Luas Permukiman (Ha) 3.000,253 2.015,91 984,343 3.033,040 4.263,925 1.327,47

6.

Luas Permukiman + sarana

prasarana 3.000,253 3.911,418 911,165 3.033,040 4.401,534 1.368,494

Sumber: Hasil Analisis, 2006

Perbedaan tahun perencanaan antara RTRW (2013) dan RP4D (2016)

selisih 3 tahun, namun tidak banyak selisih jumlah penduduk tahun prediksinya

dan bukan masalah yang berarti. RTRW tidak mempertimbangkan jumlah

penduduk pendatang, padahal jumlah pendatang 5 tahun terakhir terus meningkat,

sedangkan di RP4D pendatang diproyeksikan sampai tahun 2016 sebanyak 9.006

jiwa dengan pertumbuhan 0,19 %.

Perbedaan yang sangat besar adalah kebutuhan lahan untuk permukiman.

Luas lahan yang dibutuhkan oleh RTRW sebesar 952 Ha untuk prediksi luas

kapling yang dihitung berdasarkan hanya pertumbuhan penduduk dan tidak

dikurangi jumlah penduduk eksisting dengan perhitungan kapling kecil : sedang :

besar (100 : 400 : 600). Sedangkan di RP4D, prediksi jumlah penduduk ditambah

pendatang dan dikurangi jumlah penduduk eksisting. Jumlah lahan yang

Page 90: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

87  

dibutuhkan lebih besar RP4D, sedangkan total luas lahan yang digunakan untuk

permukiman di RTRW antara eksisting (3.000,253 ha) dengan rencana (2.015,91

ha) lebih besar eksisting. Dengan demikian untuk RP4D penggunaan lahan untuk

permukiman masih mengikuti RTRW, namun ada beberapa strategi yang

dilakukan untuk memecahkan perbedaan tersebut.

Dari luasan lahan potensial yang tersedia tersebut masih dibagi lagi ke

dalam beberapa prosentase pembagian peruntukan pembangunan. Pembagian

prosentase peruntukan lahan tersebut adalah 90% sebagai kawasan permukiman

dan 10% sebagai ruang publik. Dari 90% tersebut masih dibagi lagi untuk

pengalokasian pembangunan fasilitas sebesar 20% dan prasarana sebesar 20%.

Dengan kata lain bahwa lahan yang dipergunakan untuk pembangunan rumah

adalah sebesar 60% atau sekitar 1.245 ha.

Sedangkan jika dilihat dari potensi lahan kering yang dimiliki oleh Kota

Salatiga, ada beberapa kelurahan yang masih memiliki luasan lahan kering yang

cukup besar, yaitu di Kelurahan Kumpulrejo (622.030 ha), Kelurahan Kecandran

(359.461 ha), Kelurahan Blotongan (325.954 ha) dan Kelurahan Bugel (241.392

ha). Beberapa alternatif pengalokasian luasan daya tampung yang tersedia dengan

kebutuhan akan pembangunan dan pengembangan perumahan dan permukiman di

Kota Salatiga adalah sebagai berikut:

- Mengoptimalkan lahan permukiman perkotaan yang masih memiliki

kepadatan rendah, yaitu Kelurahan Sidorejo Lor, Kelurahan Tegalrejo,

Kelurahan Kalibening, sedangkan untuk kepadatan sedang, yaitu Kelurahan

Salatiga, Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan Mangunsari, dan Kelurahan

Gendongan.

- Lokasi pembangunan baru diprioritaskan untuk kelurahan yang memiliki

tegalan, dengan persyaratan: tidak rawan bencana, memiliki kelerengan 2% -

15%, memiliki kelengkapan fasilitas sosial dan umum, adanya sumber air,

serta kesesuaian arahan lahan dengan RTRW, yaitu Kelurahan Noborejo,

Kelurahan Randuacir, Kelurahan Kumpulrejo, dan Kelurahan Kecandran.

- Untuk pusat kota dengan kepadatan > 1000 unit/Ha, dibangun secara

vertikal, yaitu Kelurahan Gendongan, Kelurahan Kalicacing, Kelurahan

Kutowinangun, Kelurahan Sidorejo Lor, dan Kelurahan Salatiga.

Page 91: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

88  

- Meminimalkan luasan kapling yang telah ditentukan di RTRW menjadi

lebih kecil, yaitu di lokasi Kelurahan Kalicacing, Kelurahan Gendongan,

Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan Sidorejo Lor, dan Kelurahan Salatiga.

- Besarnya BC (building coverage) dibedakan antara di pusat kota dengan

yang berada di pinggiran kota.

3.4. ANALISIS PENGEMBANGAN KAWASAN PERMUKIMAN BARU

Dalam upaya memenuhi kebutuhan perumahan Kota Salatiga dari

pertumbuhan penduduk alami dan pendatang dibutuhkan 47.846 unit sampai

dengan tahun 2016, membutuhkan aktor-aktor pembangunan dalam hal ini adalah

pemerintah, swasta dan masyarakat.

Pembangunan baru yang dilakukan secara formal oleh pemerintah dan

swasta/pengembang perumahan harus dilakukan koordinasi atau kerjasama dalam

pembangunan perumahan skala besar. Pembangunan yang dilakukan oleh

masyarakat secara swadaya bagi penduduk berpenghasilan tinggi membutuhkan

pengaturan dan pengendalian, sedangkan untuk menengah ke bawah

membutuhkan bantuan dari pemerintah. Pengembangan permukiman baru harus

memperhatikan:

• Jumlah dan luasan penduduk yang tertampung,

• Lokasi – lokasi pengembangan,

• Pendekatan pembangunan skala besar swadaya.

3.4.1. Pembangunan Skala Besar

Penyediaan pembangunan perumahan sampai dengan tahun perencanaan

membutuhkan suatu kawasan yang luas, terutama untuk masyarakat

berpenghasilan menengah ke bawah. Kawasan Siap Bangun (Kasiba) adalah

sebidang tanah yang fisiknya telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan

dan permukiman skala besar yang terbagi dalam satu lingkungan siap bangun atau

lebih yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap. Kawasan ini pertama kali

harus dilengkapi dengan jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan

sesuai dengan rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah

dan memenuhi persyaratan pembakuan pelayanan prasarana dan sarana

Page 92: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

89  

lingkungan. Sedangkan Lingkungan Siap Bangun (Lisiba) adalah sebidang tanah

yang merupakan bagian dari Kasiba ataupun berdiri sendiri.

Lingkungan ini juga telah dipersiapkan dan dilengkapi dengan prasarana

lingkungan dan selain itu juga sesuai dengan persyaratan pembakuan tata

lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan pelayanan lingkungan

untuk membangun kaveling tanah matang.

Penyiapan Lokasi Kasiba oleh Pemerintah Daerah, harus memperhatikan

beberapa persyaratan umum seperti tersebut di atas, namun selain itu ada beberapa

hal yang perlu diperhatikan sesuai dengan PP No. 80 Tahun 1999, yaitu:

- Jumlah unit rumah yang dapat ditampung dalam satu Kasiba sekurang-

kurangnya 3000 unit rumah dan sebanyak-banyaknya adalah 10.000 unit

rumah.

- Lokasi tersebut telah dilayani jaringan primer dan sekunder prasarana

lingkungan;

- Lokasi tersebut, telah dilayani fasilitas sosial, fasilitas umum dan fasilitas

ekonomi setingkat kecamatan.

Lokasi pembangunan permukiman untuk skala besar di Kota Salatiga ada

beberapa potensi rencana. Lokasi tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan

seperti pada Gambar 3.8. Potensi Lokasi untuk Pengembangan Kasiba/Lisiba

3.4.2. Pembangunan Swadaya Masyarakat

Pembangunan swadaya yang dilakukan masyarakat di Kota Salatiga, dapat

dilihat dari tingkat golongan masyarakatnya. Biasanya untuk masyarakat

golongan atas, mereka membangun permukiman kurang mengindahkan peraturan

yang ada, sehingga perlu adanya pengaturan dan penertiban pembangunan

perumahan dari pemerintah yang tegas. Khususnya untuk perumahan yang ada

dipusat Kota Salatiga, seperti yang ada di Kelurahan Salatiga dan Sidorejo Lor,

sebagian besar perumahan yang di kelurahan tersebut memiliki KDB yang > 100

% dan dengan kepadatan tinggi, sehingga karakteristik pusat kota Salatiga tertutup

oleh pembangunan rumah yang tidak terkendali. Sedangkan untuk pembangunan

swadaya yang dilakukan masyarakat untuk golongan menengah rendah, seperti di

Kelurahan Kecandran, Tingkir Lor dan Kauman Kidul, perlu membutuhkan

bantuan dari pemerintah. Bantuan tersebut dapat berupa pinjaman dari koperasi

dan kemudahan dalam peminjaman kredit untuk pembangunan rumah sangat

Page 93: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

90  

sederhana mandiri. Atau dapat dilakukan oleh pemerintah dengan pembangunan

perumahan sangat sederhana yang diberikan kepada masyarakat menengah

rendah, dan untuk mendapatkan dapat melalui angsuran.

Untuk Kota Salatiga, jumlah penduduk yang memiliki tingkat pendapatan

menengah rendah adalah sekitar 9.134 KK. Apabila dihitung dari keseluruhan

jumlah KK, yaitu 31.877, maka prosentase penduduk yang memiliki tingkat

pendapatan menengah rendah adalah sekitar 28%. Ini merupakan jumlah yang

relatif sedikit. Sedangkan sisanya yaitu penduduk dengan tingkat pendapatan

menengah ke atas akan memiliki kemampuan untuk membangun kawasan

perumahan dan permukiman mereka secara swadaya.

Gambar 3.16.

Potensi Lokasi untuk Pengembangan Kasiba/Lisiba Kota Salatiga

A

B

C

Sumber: Analisis Penyusun, 2006

• Kepadatan 46 jiwa/Ha • Memiliki lahan kosong yang dapat

dikembangkan sebagai kawasan perumahan dan permukiman

• Dilalui rencana jalan Lingkar • Dekat dengan jalan arteri Semarang - Solo • Kawasan disekitarnya sudah mulai banyak

dikembangkan sebagai Kasiba/Lisiba • Sumber air terbatas

• Kepadatan 82 jiwa/Ha • Memiliki lahan kosong yang dapat

dikembangkan sebagai kawasan perumahan dan permukiman

• Dilalui rencana jalan Lingkar • Dekat dengan jalan Tol • Kawasan disekitarnya sudah mulai

berkembang kapling-kapling perumahan • Tersedia sumber air sumur • Memiliki view Gn. Sindoro-Sumbing • Arah pengembangan sebagai kawasan

lindung

• Kepadatan 61 jiwa/Ha • Memiliki lahan kosong yang dapat

dikembangkan sebagai kawasan perumahan dan permukiman

• Dekat dengan rencana jalan Lingkar • Kawasan permukiman perdesaan bercirikan

agro • Sumber air langka

Page 94: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

91  

3.5. ASPEK EKONOMI DALAM DUNIA PERMUKIMAN

Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung,

baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai

lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang

mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan permukiman

adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan

tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur

Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan asas manfaat, adil dan

merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri,

keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup. Jadi, permukiman adalah suatu

wilayah atau area yang ditempati oleh seseorang atau kelompok manusia.

Pemukiman memiliki kaitan yang cukup erat dengan kondisi alam dan sosial

kemasyarakatan sekitar.

Dalam kasus permukiman di Salatiga pada khususnya dan Indonesia pada

umumnya, pertumbuhan pemukiman terus berkembang pesat. Pertumbuhan

permukiman ini juga tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan

perumahan dan pertumbuhan perumahan ini akibat meningkatnya jumlah rumah

yang dibangun. Jika ada masyarakat yang membangun rumah, akan diikuti oleh

pembangunan rumah berikutnya sehingga menjadi kumpulan rumah atau

perumahan. Dengan ada perumahan yang terus bertambah maka akan ada

masyarakat yang bertempat tinggal, bertumbuh dan berkembang, yang sering

disebut dengan permukiman. Dengan tumbuhnya permukiman, kemudian akan

menjadi daya tarik orang lain untuk membangun rumah di permukiman tersebut.

Gambar 3.17.

Siklus Perkembangan Permukiman

 

Perumahan 

Permukiman

 

Rumah 

Page 95: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

92  

Disatu sisi, pertumbuhan permukiman ini sangat baik dari sisi ekonomi

namun disisi lain bisa menimbulkan masalah jika pertumbuhannya tidak

terkendali, terencana dan teratur. Untuk pengendalian dan pembangunan

permukiman, kita perlu mengenali faktor determinan pertumbuhan permukiman

itu sendiri. Dengan mengenali faktor determinan tersebut, Pemerintah Daerah bisa

membuat intervensi melalui instrumen-instrumen pembangunan baik itu regulasi,

insentif dan fasilitasi.

3.5.1. Beberapa Definisi

3.5.1.1. Pengertian Rumah

Menurut UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman,

rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan

sarana pembinaan keluarga. Menurut John F.C Turner, 1972, dalam bukunya

Freedom To Build mengatakan, “Rumah adalah bagian yang utuh dari

permukiman, dan bukan hasil fisik sekali jadi semata, melainkan merupakan suatu

proses yang terus berkembang dan terkait dengan mobilitas sosial ekonomi

penghuninya dalam suatu kurun waktu. Yang terpenting dan rumah adalah

dampak terhadap penghuni, bukan wujud atau standar fisiknya. Selanjutnya

dikatakan bahwa interaksi antara rumah dan penghuni adalah apa yang diberikan

rumah kepada penghuni serta apa yang dilakukan penghuni terhadap rumah”.

Menurut Siswono Yudohusodo (Rumah Untuk Seluruh Rakyat, 1991:

432), rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian

dan sarana pembinaan keluarga. Jadi, selain berfungsi sebagai tempat tinggal atau

hunian yang digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup

lainnya, rumah merupakan tempat awal pengembangan kehidupan.

Kebijakan dan strategi nasional penyelenggaraan perumahan dan

permukiman menyebutkan bahwa rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar

manusia disamping pangan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Selain berfungsi

sebagai pelindung terhadap gangguan alam/cuaca dan makhluk lainnya, rumah

juga memiliki peran sosial budaya sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian

budaya dan nilai kehidupan, penyiapan generasi muda, dan sebagai manifestasi

jati diri. Dalam kerangka hubungan ekologis antara manusia dan lingkungannya

maka terlihat jelas bahwa kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang

sangat dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukimannya. (Sumber:

Page 96: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

93  

Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman Departemen

Permukiman dan Prasarana Permukiman )

3.5.1.2 Pengertian Perumahan

Menurut UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman,

perumahan berada dan merupakan bagian dari permukiman, perumahan adalah

kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau

lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan

(pasal 1 ayat 2).

Pembangunan perumahan diyakini juga mampu mendorong lebih dari

seratus macam kegiatan industri yang berkaitan dengan bidang perumahan dan

permukiman (Sumber: Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan

Permukiman Departemen Permukiman dan Prasarana Permukiman )

3.5.1.3. Pengertian Permukiman

Menurut Undang-Undang No 4 Tahun 1992 Pasal 3, Permukiman adalah

bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan

perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal

atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan

penghidupan. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam

berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan

sarana lingkungan yang terstruktur (pasal 1 ayat 3).

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 menyebutkan bahwa

penataan perumahan dan permukiman berlandaskan asas manfaat, adil dan

merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri,

keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup.

Jadi, pemukiman adalah suatu wilayah atau area yang ditempati oleh seseorang

atau kelompok manusia. Pemukiman memiliki kaitan yang cukup erat dengan

kondisi alam dan sosial kemasyarakatan sekitar.

3.5.2. Faktor Determinan Pertumbuhan Permukiman

Untuk mengetahui faktor determinan dari pertumbuhan permukiman, bisa

didekati antara lain dari dua teori yaitu terori permintaan dan teori penawaran.

Page 97: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

94  

Teori Permintaan. Manusia mempunyai kebutuhan yang tidak terbatas,

sedangkan pendapatan yang ada selalu terbatas. Dengan demikian manusia perlu

melakukan pilihan terhadap alternatif berbagai kebutuhannya (Soeharjoto, 1998).

Dalam teori ekonomi, konsumen adalah mereka yang membeli dan

mengkonsumsi sebagian besar barang konsumsi dan jasa. Pakar ekonomi

mengasumsikan bahwa setiap konsumen secara konsisten berusaha memperoleh

kepuasan maksimum atau kesejahteraan atau utilitas sedangkan sumber daya yang

ada yang terbatas. Akibatnya, tidak semua kebutuhan konsumen dapat terpenuhi

(Lipsey, 1995).

Dalam hukum permintaan dijelaskan sifat hubungan antara permintaan

suatu barang dengan tingkat harganya. Secara sederhana, permintaan dapat

diartikan sebagai jumlah barang yang dibeli konsumen pada berbagai tingkat

harga, waktu, dan tempat tertentu.

Menurut Lipsey (1995), jumlah yang diminta adalah jumlah komoditi total

yang ingin dibeli oleh semua rumah tangga. Banyaknya komoditi yang akan dibeli

konsumen dipengaruhi oleh faktor harga komoditi itu sendiri, rata-rata

penghasilan rumah tangga, harga komoditi yang berkaitan, selera distribusi

pendapatan di antara rumah tangga, dan besarnya populasi. Menurut Arief (1996),

fungsi permintaan terhadap barang yang diproduksi suatu perusahaan, misalnya

barang X1, dapat diformulasikan sebagai berikut:

X1 = f (P1, P2, P3, …, Pn, Y, A, á)

dimana permintaan terhadap barang X1 ditentukan oleh:

1. Harga barang itu sendiri (P1)

2. Harga barang sejenis atau yang berkaitan dengan X1, (P2, P3, …, Pn)

3. Daya beli konsumen atau pihak-pihak lain yang meminta barang X1,

yang tercermin dalam tingkat pendapatan (Y)

4. Biaya iklan untuk mempromosikan barang X1 (A)

5. Faktor-faktor lain (á) yang akan ditentukan dari waktu ke waktu

Mankiw (2003), menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

permintaan individu adalah harga, pendapatan, harga barang lain yang berkaitan,

selera, dan ekspektasi tentang keadaan dimasa yang akan datang. Begitu juga

menurut Sukirno (2002), beberapa faktor penting yang mempengaruhi permintaan

diantaranya adalah:

Page 98: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

95  

1. Harga barang itu sendiri. Dalam analisis ekonomi, dianggap bahwa

permintaan suatu barang terutama dipengaruhi oleh barang itu sendiri, dan

dimisalkan faktor-faktor lain tidak mengalami perubahan (ceteris paribus).

Dalam hukum permintaan, semakin rendah harga suatu barang maka

semakin banyak permintaan atas barang tersebut. Sebaliknya, semakin

tinggi harga suatu barang, semakin sedikit permintaan atas barang tersebut

2. Harga barang lain yang berkaitan dengan barang tersebut, yang meliputi

tiga jenis barang yaitu barang pengganti, barang pelengkap dan barang

yang tidak memiliki kaitan sama sekali (netral)

3. Pendapatan rumah tangga dan pendapatan rata-rata masyarakat,

merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan corak

permintaan terhadap berbagai jenis barang. Perubahan terhadap

pendapatan selalu menimbulkan perubahan terhadap berbagai jenis barang

4. Corak distribusi pendapatan dalam masyarakat. Jika pendapatan sebagian

masyarakat meningkat atau sebagian lainnya mengalami penurunan, maka

jenis barang yang diminta juga akan berubah

5. Cita rasa/selera masyarakat. Jika selera masyarakat terhadap suatu jenis

barang berubah, maka permintaan terhadap barang tersebut juga akan

berubah

6. Jumlah penduduk, dalam hal ini tidak dengan sendirinya menyebabkan

pertambahan permintaan. Biasanya pertambahan penduduk diikuti dengan

perkembangan dalam kesempatan kerja. Dengan demikian lebih banyak

orang yang menerima pendapatan dan meningkatkan daya beli.

Peningkatan daya beli ini akan meningkatkan permintaan

7. Ramalan mengenai keadaan dimasa yang akan datang. Jika ramalan

keadaan dimasa datang menunjukkan harga-harga meningkat, maka

konsumen akan membeli lebih banyak pada saat ini untuk menghemat

pengeluaran.

Hubungan antara permintaan suatu barang dengan tingkat harganya

tersebut disajikan pada kurva permintaan yang memiliki slope negatif. Kurva

permintaan digambarkan dengan asumsi bahwa setiap faktor, kecuali harga

komoditi itu sendiri diasumsikan konstan. Perubahan pada setiap variabel yang

sebelumnya dianggap konstan akan menggeserkan kurva permintaan itu ke posisi

Page 99: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

96  

yang baru. Pergeseran kurva permintaan disebabkan oleh perubahan faktor-faktor

lain yang mempengaruhi perubahan permintaan kecuali harga barang itu sendiri.

Kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga akan menyebabkan kurva

permintaan bergeser ke kanan (D1) yang menunujukkan terjadinya peningkatan

permintaan akan suatu komoditi dalam setiap tingkat harga yang memungkinkan.

Perubahan dalam distribusi pendapatan akan membawa dua pengaruh. Bagi

mereka yang memperoleh tambahan pendapatan akan menggeser ke kanan kurva-

kurva permintaan untuk komoditi yang dibeli (D1), sedangkan bagi mereka yang

berkurang pendapatannya akan menggeser ke kiri kurva-kurva permintaan (D2).

Kenaikan harga barang substitusi juga akan membuat kurva permintaan

bergeser ke kanan (D1), sebaliknya kenaikan harga barang komplementer akan

mengakibatkan kurva permintaan bergeser ke kiri (D2) sehingga jumlah komoditi

yang diminta pada setiap tingkat harga akan lebih menurun.

Selain hal-hal tersebut di atas, kenaikan jumlah penduduk juga akan

mengakibatkan pergeseran ke kanan kurva-kurva permintaan (D1) yang

menunjukkan bahwa akan lebih banyak produk yang dibeli pada setiap tingkat

harga. Selera masyarakat juga mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap

keinginan untuk membeli berbagai produk. Oleh karena itu, setiap perusahaan

yang memasarkan produk-produk konsumsi perlu dan harus mengkaji mengenai

preferensi konsumennya yang cenderung akan terus berubah. Dengan demikian,

diharapkan produk yang dihasilkannya dapat memenuhi selera konsumen dan

dapat meningkatakan tingkat permintaan terhadap produknya.

Teori Penawaran. Hukum penawaran pada dasarnya mengatakan bahwa

semakin tinggi harga suatu barang, maka semakin banyak jumlah barang tersebut

akan diatwarkan oleh penjual. Sebaliknya, semakin rendah harga barang, maka

semakin sedikit jumlah barang tersebut yang ditawarkan (Sukirno, 2002).

Secara umum, jumlah barang yang ditawarkan tergantung dari banyaknya

barang yang dapat dihasilkan oleh suatu unit produksi. Untuk itu, perlu

dipertimbangkan juga peranan faktor-faktor produksi terhadap banyaknya output

yang dihasilkan. Semakin banyak output yang dihasilkan maka semakin banyak

pula jumlah barang yang ditawarkan. Jumlah output dapat diperkirakan dengan

menghitung biaya produksi, misalnya dengan menggunakan fungsi Cobb-Doglas:

Page 100: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

97  

Q = Ká Lâ di mana:

Q = output riil

K = modal

L = tenaga buruh

Mankiw (2003) menyatakan faktor yang menetukan penawaran adalah

harga, harga input, teknologi dan ekspektasi. Sedangkan menurut Sukirno (2002),

selain faktor biaya produksi, keinginan penjual untuk menawarkan barangnya

dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:

1. Harga barang itu sendiri

2. Harga barang-barang lain yang berkaitan

3. Tujuan operasi perusahaan tersebut

4. Tingkat teknologi yang digunakan

Keberadaan suatu permukiman dapat mempengaruhi berkembangnya

suatu wilayah, dan sebaliknya kegiatan pembangunan dalam suatu wilayah dapat

mempengaruhi berkembangnya permukiman.

Permukiman berkaitan secara langsung dengan kehidupan dan harkat

hidup manusia, sehingga banyak aspek yang dapat mempengaruhinya. Jika

diperhatikan dengan seksama, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan

permukiman cukup banyak, antara lain faktor geografis, faktor kependudukan,

faktor kelembagaan, faktor swadaya dan peran serta masyarakat, faktor

keterjangkauan daya beli, faktor pertanahan, faktor ekonomi dan moneter.

Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap pembangunan permukiman dan

perumahan adalah disebabkan oleh perubahan nilai-nilai budaya masyarakat.

Menurut Siswono, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

perkembangan permukiman yang dapat dilihat dari 9 aspek, antara lain:

1. Letak geografis,

2. Kependudukan,

3. Sarana dan prasarana,

4. Ekonomi dan

5. Keterjangkauan daya beli,

6. Sosial budaya,

Page 101: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

98  

7. Ilmu pengetahuan dan teknologi,

8. Kelembagaan, dan

9. Peran serta masyarakat

3.5.3. Faktor Sosial dan Budaya

Faktor sosial budaya merupakan faktor internal yang mempengaruhi

perkembangan permukiman. Sikap dan pandangan seseorang terhadap rumahnya,

adat istiadat suatu daerah, kehidupan bertetangga, dan proses modernisasi

merupakan faktor-faktor sosial budaya. Rumah tidak hanya sebagai tempat

berteduh dan berlindung terhadap bahaya dari luar, tetapi berkembang menjadi

sarana yang dapat menunjukkan citra dan jati diri penghuninya. Sebagai contoh

permukiman masyarakat Bali di luar Propinsi Bali. Perumahan mereka menyatu

dan membentuk permukiman masyarakat Bali. Dengan adanya permukiman Bali,

akan menarik orang Bali lainnya untuk datang dan membangun rumah di

permukiman tersebut.

3.5.4. Faktor Ekonomi

Aspek ekonomi meliputi yang berkaitan dengan mata pencaharian.

Tingkat perekonomian suatu daerah yang tinggi dapat meningkatkan

perkembangan permukiman. Tingkat perekonomian suatu daerah akan

mempengaruhi tingkat pendapatan seseorang. Makin tinggi pendapatan sesorang,

maka makin tinggi pula kemampuan orang tersebut dalam memiliki rumah. Hal

ini akan meningkatkan perkembangan permukiman di suatu daerah.

Keterjangkauan daya beli masyarakat terhadap suatu rumah akan mempengaruhi

perkembangan permukiman. Semakin murah harga suatu rumah di daerah

tertentu, semakin banyak pula orang yang membeli rumah, maka semakin

berkembanglah permukiman yang ada.

3.6. DETERMINAN PERMUKIMAN: ANALISIS EKONOMI

1. Harga rumah

2. Pendapatan Masyarakat

3. Tingkat Bunga & Fasilitas pendanaan

4. Lokasi

5. Jumlah Penduduk

Page 102: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

99  

6. Pertumbuhan kota/wilayah

7. Kegiatan investasi

8. Pertumbuhan usaha

9. Kebutuhan tempat tinggal

10. Kebijakan pemerintah

11. Harga Rumah

Untuk membangun sebuah rumah dibutuhkan waktu yang cukup lama,

umumnya kurang dari setahun, maka untuk pembangunan perumahan secara

masal tentunya diperlukan waktu lebih dari itu. Dengan jangka waktu

pembangunan perumahan yang cukup lama, maka pada setiap waktu stok

perumahan diasumsikan tetap, dimana terdapat stok perumahan yang telah

tertentu (fixed) yang tidak dapat disesuaikan dengan cepat sebagai tanggapan

terhadap perubahan perubahan harga.

Komponen harga rumah pada keseimbangan merupakan titik pertemuan

antara permintaan dan penawaran. Perubahannya dapat diukur dengan

menggunakan indikator inflasi sektor perumahan. Jika harga rumah terus

mengalami kenaikan, maka permintaan dari masyarakat akan menurun.

Sebaliknya, kenaikan harga rumah merupakan suatu rangsangan bagi pihak

pengembang untuk membangun perumahan.

3.6.1. Pendapatan atau Daya Beli Masyarakat

Nicolson (1999) mengemukakan bahwa jika pendapatan bertambah maka

secara otomatis bagian dari pendapatan yang akan dibelanjakan akan bertambah,

sehingga jumlah barang yang bisa dibeli juga meningkat (Iskandar, 2002).

Sedangkan Soeharjoto (1998) menyatakan bahwa semakin besar pendapatan per

kapita, maka pembelian perumahan akan bertambah.

Berdasarkan konsep engel, semakin tinggi tingkat pendapatan maka

semakin rendah porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan, dan semakin

tinggi pula porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk kebutuhan non-makanan.

Jika pendapatan per kapita masyarakat meningkat, maka porsi pendapatan yang

digunakan untuk membeli rumah atau membayar cicilan KPR lebih besar.

Page 103: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

100  

3.6.2. Tingkat Bunga

Semakin tinggi tingkat suku bunga kredit, maka semakin besar cicilan

kredit yang harus dibayarkan oleh nasabah. Tingkat suku bunga berbeda

tergantung tingkat kepercayaaan kredit dari si peminjam, jangka waktu pinjaman

dan bebagai aspek perjanjian lainnya antara peminjam dengan pemberi pinjaman

(Dornbusch et. al., 2004).

Kenaikan tingkat suku bunga kredit, baik konsumsi maupun investasi akan

mengurangi permintaan agregat untuk setiap tingkat pendapatan, karena

disamping menaikkan jumlah cicilan kredit yang harus dibayar, tingkat suku

bunga yang lebih tinggi juga akan mengurangi keinginan untuk baik untuk

konsumsi maupun berinvestasi.

3.6.3. Lokasi Perumahan

Dalam menetapkan pemilihan suatu rumah sebagai tempat untuk tinggal

atau bernaung dari segala kondisi tidaklah mudah, terutama dalam pemilihan

suatu rumah didalam kawasan perumahan. Banyak pertimbangan yang akan

dihitung dan banyak aspek yang akan mempengaruhi penetapan lokasi perumahan

Baik atau tidaknya pemilihan lokasi perumahan akan terkait dengan

beberapa pihak yang menjadi tim atau organisasi pembentukan suatu perumahan.

Beberapa pihak yang terlibat dan motivasi pemilihan lokasi untuk perumahan

adalah:

3.6.4. Jumlah Penduduk

Komponen faktor lain yang ditentukan dari waktu ke waktu untuk

permintaan perumahan adalah Jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang besar

merupakan pasar yang potensial dalam memasarkan suatu produk. Kenaikan pada

tingkat pertumbuhan populasi akan menyebabkan kebutuhan perumahan menjadi

semakin besar.

Biasanya pertambahan penduduk juga diikuti dengan perkembangan

dalam kesempatan kerja. Dengan demikian lebih banyak orang yang menerima

pendapatan dan meningkatkan daya beli. Peningkatan daya beli ini akan

meningkatkan permintaan akan rumah-perumahan yang pada akhirnya akan

menumbuhkan permukiman.

Page 104: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

101  

3.6.5. Pertumbuhan Kota/Wilayah

Salah satu aspek yang mempengaruhi dinamika permukiman adalah

pertumbuhan kota atau wilayah. Kota atau wilayah yang sedang membangun atau

banyak membangun, akan membutuhkan banyak tenaga kerja, sehingga

pergerakan tenaga kerja akan mengarah ke kota atau wilayah tersebut.

Pergerakan tenaga kerja ini kemudian menyebabkan permintaan akan

rumah baik secara sewa atau dimiliki akan meningkat. Dengan permintaan rumah

meningkat akan menyebabkan peningkatan permukiman baik pada permukiman

yang lama maupun yang baru.

Pertumbuhan kota juga menyebabkan nilai asset menjadi meningkat sehingga

menyebabkan orang ingin berinvestasi di kota/wilayah tersebut, yang pada

akhirnya akan menyebabkan perubahan permukiman.

3.6.6. Kegiatan Investasi

Ada dua hal yang terkait dengan kegiatan investasi ini yaitu kegiatan

investasi rumah dan kegiatan investasi secara umum, tidak hanya rumah. Dari

makna yang pertama dimana orang berinvestasi pada rumah, maka permintaan

akan rumah meningkat untuk jadi barang investasi. Dengan pertumbuhan kota dan

penduduk, berbagai asset menjadi lebih bernilai dari sebelummnya. Banyak orang

kemudian tertarik untuk membeli rumah baik untuk ditempati, disewakan maupun

untuk dijual kembali.Kondisi inilah yang menyebabkan perubahan dan pergerakan

permukiman, masyarakat memiliki motif untuk investasi kemudian developer atau

dirinya sendiri kemudian membangun rumah dan perumahan yang akhirnya akan

membentuk investasi.

3.6.7. Pertumbuhan Usaha

Dalam kehidupan sehari-hari, pertumbuhan usaha sangat mempengaruhi

pertumbuhan permukiman. Usaha yang semakin bertumbuh, menyebabkan

banyak permintaan material, asset dan tenaga kerja. Dengan peningkatan dan

pertumbuhan usaha, banyak orang yang kemudian tinggal disuatu wilayah dimana

usaha itu berada.

Akibatnya permintaan perumahan meningkat dan kemudian permukiman

juga tumbuh dan berkembang. Dengan kata lain, jika disuatu daerah pertumbuhan

Page 105: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

102  

usahanya pesat, maka akan diikuti oleh pertumbuhan rumah-perumahan yang

akhirnya akan menumbuhkan permukiman.

3.6.8. Kebutuhan Tempat Tinggal

Pertumbuhan permukiman disisi yang lain memang terjadi karena

kebutuhan tempat tinggal. Dengan bertambanya usia, kemudian menikah dan

memiliki anak menyebabkan orang tersebut akan membutuhkan tempat tinggal.

Kebutuhan tempat tinggal ini terjadi karena pertumbuhan keluarga, dari ikut orang

tua, kemudian menikah dan memiliki anak, mulai dari satu, dua dan seterusnya.

Kondisi ini terus bertumbuh seiring dengan waktu

Dengan pertumbuhan keluarga, akan menyebabkan seseorang

membutuhkan rumah, kemudian akan terbentuk perumahan dan akhirnya akan

terbentuk permukiman secara alamiah akibat kebutuhan rumah.

3.6.9. Kebijakan Pemerintah

Disadari atau tidak, kebijakan pemerintah sangat menentukan

pertumbuhan dan perkembangan permukiman. Ini artinya, permukiman akan

dibuat seperti apa, Pemerintah bisa melakukannya melalui penerapan kebijakan

permukiman. Itu artinya kebijakan pemerintah sangat mempengaruhi perubahan

permukiman.

Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan perubahan permukiman adalah:

1. Kebijakan permukiman sendiri

2. Kebijakan moneter dan fiscal

3. Kebijakan pembangunan ekonomi

4. Kebijakan ini kemudian tali temali dengan kebutuhan masyarakat

akan perumahan dengan berbagai motif, membentuk dan atau

meniadakan permukiman

Secara keseluruhan dapati disimpulkan bahwa faktor determinan

pertumbuhan permukiman bisa dikelompokkan pada 3 bagian penting yaitu faktor

individu, faktor usaha/bisnis dan faktor pemerintah.

Page 106: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

103  

Gambar 3.18.

Driver Utama Pertumbuhan Permukiman

Page 107: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

BAB VPEl{UTUP

5.1. Kesimpulan

Terdapat sepuluh parameter penentu kelas kesesuaian lahan untuk permukifiun

yaitu lereng, posisi jalur patahan, kekuatan batuan, kembang kerut tanah, sistem

drainase, daya dukung tanah, kedalaman air tanah, bahaya erosi, bahaya longsor, dan

bahaya banjir. Faktor dominan yang menjadi penghambat utama dalam penentuan

kawasan pefitrukiman adalah, lereng, kekuatan batuan, kembang kerut tanah, bahaya

longsor, bahaya erosi, dan jaftu patahan.

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat diambil beberapa kesimpulan

tentang arah pengembangan kawasan / lokasi penelitian agar tercapai penggunaan

lahan yang optimal sesuai dengan tidak mengurangi nilai kesehatan dan kenyamanau

lingkungan tssebut yaitu :

a) Ditiqiau dari Fungsi Lahan. Sedapat mungkin disesuaikan dengan Tata

Bangunan dan Lingkungan khusus kawasan perrrukiman yang diarahkan ke

fungsi utama kota.

b) Penetapan Sarana dan Prasarana Lingkungan Pemrukiman Kota.

c) Perlu perbaikan Sarana dan Prasarana Lingkungan Perrnukiman yang terdapat

dalam lokasi studi penelitian ini.

d) Memanfaatkau bangunan-bangunan yang

dasaryang diperlukan.

5.2 Saran

ada serta perbaikan infrastruktur

Disarankan kepada Pemerintah Kota Salatiga untuk dapat membuat perangkat iaturan - aturan dalam membangun rumah tinggal serta aturar - aturan dalam

penggunaan silara dan prasama lingkungan yang ada. Untuk penge,mbangan fisik

lingkungan permukiman seharusnya dapat memperhatikan kebututran lingkungan yang

meliputi:

a) Sarana Lingkungan Permukiman. Sarana lingkungan merupakan pelayanan

umun bagi kebutuhan maqyarakat maka diharapkan pemerintah daerah

setempat untuk dapat rnerevitalisasi sarana tersebut misalnya kebutuhan

111

Page 108: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

b)

c)

arealparkir pada lokasi ini yang mempertimbangkan faktor peretrcanaan

lingkungan bahwa 0,16 m2 / penduduk.

Prasarana Lingkungan Perrnukiman

Pe,ngembangan sektor transportasi perlu dilakukan dalam raogka untukmenciptaklau fungsi dan hirarki jaringan jalan.

Pengembangan jalan lokal sekunder yang berfimgsi sebagai si*ulasi pejalatr

kaki dalam lingkungan pennukimaa tersebut. Dimeusi jatan ymg akan

direnovasi disesuaikan dengan standar perencanaan misalnya derrgrn jal*n

setapak mempunyai lebar 2 meter - 3 meter, sedangkan jalan um* kendaraan

sebesar 3 meter - 4 meter dan jalan kolektore dengan lebar 7 meter de"F"kecepatan20 Km ljem..

Pengembangan se}tor persampahan diharapkan dapat dibuatkau Tps - Tpsssuai dengan kebutuhan dan jrrml6h Unit rumah yang ada agar dapat t€r@talingkungan pemrukiman yang sehat.

Pengembangan sistem drainase meqiadi salah satu yang penting unhrk direnovasi atau dibangun baru karena hal ini bila tidak menjadi prioritas maka

pada musin penghujan baq,ir tidak dapat dihindari dalam lokasi ini

d)

e)

ttz

Page 109: KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN …

DATTAR PUSTAI(A

Ahmad, N. (1999). Manajemen Perkotaan (Aktor,Organisasi dan Pengelolaan DaerahPerkotaan di Indonesia). Yogyakarta: Cetakan Pertama, PustakaLingkaran Bangsa,.

Ambmdi, u. M. dan s. Prihawantoro. 2002. Pengembanganwilayah dan otonomiDaerah. Jakarta:BPPT

Badan Stadff Nasional, 2004. Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan DiPerkotaan. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. ISSN: 2357-0606Jurnal Perencanaan Wilayah I Vot.t I No.t I funi ZOt+

Ghalib, R.2005. Ekonomi Regional. Banduug: Pustaka Rarnadhan.

Hamid, dkk.(ed.). 2002. Kawasan Perbatasan Kalimantan Permasalahan dan KonsepPengembangan. Jakarta: BpKTpW-BppT.

Bilivson. 2004. Struktur Ruang Sebagai Arahan Pengembangan Ekonomi WilayahKabupaten Barito Selatan. Tesis, MppWK. Univ. Diponogoro,Semarang.

Dirjen Penaaan Ruang - Dep. Kimpraswil. Sinkronisasi Pe,nataan Ruang DenganPembangunan Perumahan Dan permukiman, Makalah padaOrientasi Wartawan Bidang Properti Dan Konstruksi, Bandung 17Mei 2002.

Pemerintah Kota Kendari Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah tahun2000 - 2010. Pemda Kota Kendari, 2000.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17/PrtJM/2009 Tentang pedomanPenyusuuan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota, 2009.

Soetomo, s. 2009. urbanisasi dan Morfologi. Yogyakarta: Graha lknu.

Tarigan, Rabinson.2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Atsara.

113