kajian ekonomi sulawesi utara

Upload: ricky-v-wowor

Post on 13-Oct-2015

32 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Kajian Ekonomi sulawesi utara 2013

TRANSCRIPT

  • 1

    Analisis Ekonomi dan Fiskal Provinsi Sulawesi Utara

    Triwulan III-2013

    1. Kondisi Makro Ekonomi Sulawesi Utara

    1.1 Perkembangan Ekonomi Sulawesi Utara

    Selama Triwulan III-2013, Sulawesi Utara memperlihatkan pertumbuhan ekonomi yang

    cukup baik dimana tumbuh 7,46% dibanding triwulan yang sama tahun 2012 (y.o.y). Angka

    pertumbuhan ini sedikit lebih baik dibanding pertumbuhan Triwulan II-2013 namun sedikit lebih

    rendah dibandingkan Triwulan I-2013. Peningkatan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Utara pada

    Triwulan III-2013 terutama disebabkan oleh puasa dan lebaran, kegiatan permulaan tahun

    anggaran baru, serta mulai ditingkatkannya belanja pemerintah. Secara kumulatif, selama tiga

    triwulan pertama tahun 2013, ekonomi Sulawesi Utara tumbuh 7,42% dibanding periode yang

    sama tahun 2012.

    Secara sektoral, Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih mengalami pertumbuhan tertinggi

    pada Triwulan III-2013, yaitu 19,21%. Secara kumulatif selama tiga triwulan pertama tahun

    2013, sektor ini tumbuh 13,13%. Walaupun sektor ini tumbuh paling tinggi pada Triwulan III-

    2013 tetapi secara kumulatif selama tiga triwulan, Sektor Keuangan, Sewa, dan Jasa Perusahaan

    tumbuh paling tinggi, yaitu 15,59%. Pertumbuhan sektor ini terutama karena bertambahnya

    gerai lembaga keuangan bank dan non bank di Kota Manado, baik ekspansi dari perusahaan

    keuangan yang sudah ada sebelumnya maupun perusahaan pendatang baru. Ranking kedua

    dalam pertumbuhan ekonomi Sulawesi Utara pada Triwulan III-2013 adalah Sektor Keuangan,

    Sewa, dan Jasa Perusahaan yang tumbuh sebesar 14,23% namun secara kumulatif sektor ini

    tumbuh tertinggi sebagaimana disebutkan di atas. Selanjutnya, Sektor Perdagangan, Hotel dan

    Restoran (PHR) menempati ranking ketiga pada Triwulan III-2013, yaitu 12,04%. Selama tiga

    triwulan pertama, sektor ini tumbuh 11,42%.

    Berdasarkan kontribusi, perekonomian Sulawesi Utara pada Triwulan I-III tahun 2013

    masih didominasi oleh Sektor Jasa-jasa dengan kontribusi sebesar 18,5%. Disusul Sektor

    Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) dengan kontribusi 17,7%. Di sisi lain, Sektor

    Pertanian menempati urutan keempat (16,2%) dalam kontribusi setelah Sektor Konstruksi

    (16,4%). Data PDRB Sektoral pada Triwulan I-III tahun 2013 selengkapnya dapat dilihat pada

    Tabel 1.

  • 2

    Sektor Pertanian sebelumnya mendominasi perekonomian Sulawesi Utara. Namun

    kontribusi sektor ini kemudian menurun pada dua tahun terakhir yang disebabkan oleh beberapa

    faktor. Pertama, terjadi alih fungsi lahan pertanian dan perkebunan menjadi kawasan perumahan

    dan bisnis. Kedua, terjadi peralihan tenaga kerja Sektor Pertanian ke Sektor Transportasi dan

    Sektor PHR terkait berkembang pesat kedua sektor. Ketiga, masih terdapat ketergantungan yang

    tinggi para petani terhadap bantuan pemerintah sehingga bila bantuan pemerintah berkurang,

    maka hasil produksi pertanian, khususnya tanaman makanan. Keempat, terjadinya illegal fishing

    dan penjualan langsung di tengah laut oleh nelayan lokal kepada nelayan asing yang semakin

    tidak terkendali.

    Tabel 1 PDRB Sektoral Provinsi Sulawesi Utara, Triwulan I-III Tahun 2013

    Sumber: Badan Pusat Statistik Sulawesi Utara, 2013

    Dari aspek penggunaan, perekonomian Sulawesi Utara masih ditopang oleh Konsumsi

    Rumah Tangga. Pada Triwulan I-III tahun 2013, Konsumsi Rumah Tangga memberi kontribusi

    sebesar 45,58% terhadap total PDRB. Juga terjadi tren penurunan kontribusi komponen

    pengeluaran dari triwulan ke triwulan selama tiga triwulan pertama tahun 2013. Selanjutnya,

    Ekspor (luar negeri dan antar pulau) sesungguhnya menduduki ranking kedua dalam kontribusi,

    yaitu 36,9% pada Triwulan I-III tahun 2013. Namun demikian, porsi Impor (luar negeri dan antar

    pulau) terhadap PDRB lebih besar dari porsi Ekspor sehingga Ekspor Neto menjadi minus 2,75%

    pada tiga triwulan tersebut. Ini menyebabkan penyumbang kedua terbesar bagi PDRB Sulawesi

    Utara adalah Investasi yang terdiri dari Konsumsi Pemerintah, yaitu sebesar 27,8% dimana lebih

    besar disbanding Perubahan Modal Tetap Bruto (PMTB) ditambah perubahan stok. Data

    selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

  • 3

    Tabel 2 PDRB Berdasarkan Pengeluaran Provinsi Sulawesi Utara, Triwulan I-III Tahun 2013

    Sumber: Badan Pusat Statistik Sulawesi Utara, 2013

    Kegiatan investasi di Sulawesi Utara pada beberapa tahun terakhir banyak dilakukan

    pada Sektor PHR dan Konstruksi. Namun sayangnya, sebagian besar dilaksanakan di Kota

    Manado sedangkan kabupaten/kota lain di Sulawesi Utara terutama di daerah kepulauan masih

    minim investasi. Ini memperlebar kesenjangan ekonomi Kota Manado dengan daerah lain di

    provinsi ini. Kendala utama investasi di daerah-daerah tersebut adalah minimnya ketersediaan

    listrik serta sarana dan prasarana perhubungan, terutama jalan dan pelabuhan.

    1.2 Tingkat Inflasi,

    Pada September 2013, Sulut mengalami sebesar sebesar 2,10%. Deflasi pada September

    2013, telah menurnkan laju inflasi tahun kalender menjadi sebesar 5,99% dan inflasi year on

    year 7,73% setelah sebelumnya meningkat tinggi karena kebijakan pemerintah menaikan harga

    BBM subsidi. Deflasi September 2013 terjadi karena adanya penurunan indeks yang sangat

    besar pada kelompok Bahan Makanan sebesar 6,49% serta Transpor, Komunikasi,dan Jasa

    keuangan sebesar 1,10%. Penurunan indeks harga ini telah menyerap kenaikan indeks harga dari

    kelompok yang lain, yaitu kelompok Sandang yang naik sebesar 1,55%; Perumahan, Air, Listrik,

    Gas, dan Bahan Bakar sebesar 0,11%; Kesehatan sebesar 0,23%; Makanan Jadi, Minuman,

    Rokok, dan Tembakau sebesar 0,08%.

    Deflasi yang terjadi di Sulut pada September 2013 merupakan koreksi terhadap inflasi

    selama tiga bulan sebelumnya yang meningkat tinggi karena kenaikan harga BBM subsidi dan

    tarif dasar listrik, serta kegiatan saat puasa dan lebaran.

  • 4

    1.3 Pengangguran dan Kemiskinan

    Sulawesi Utara mengalami penurunan jumlah angkatan kerja sebesar 2,27% pada

    Agustus 2013 jika dibandingkan dengan posisi Agustus 2012 menjadi 1,014 juta orang.

    Penurunan juga terjadi pada tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) yang menjadi 59,76%

    dibanding 61,93% pada Agustus 2012.

    Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Sulawesi Utara terus mengalami tren menurun

    hingga mencapai 6,68% pada Agustus 2013 dimana sebelumnya sebesar 7,79% pada Agustus

    2012. Dari aspek wilayah, pengangguran terbesar masih pada daerah perkotaan. TPT perkotaan

    satu setengah kali lebih besar dari pedesaan, yaitu 8,17% dibanding 5,40%.

    Data kemiskinan yang dirilis BPS terakhir menunjukan jumlah penduduk miskin pada

    Maret 2013 sebanyak 184,40 ribu jiwa atau 7,88% dari total penduduk Sulawesi Utara dimana

    lebih tinggi dari September 2012 yang sebesar 7,64%. Kenaikan kemiskinan pada 2013 terutama

    disebabkan migrasi penduduk dari daerah lain yang membawa tanggungan keluarga yang belum

    masuk angkatan kerja. Ini mengakibatkan pendapatan yang diperoleh penanggung kurang

    mencukupi kehidupan layak bagi keluarganya.

    Tingkat kemiskinan di pedesaan masih lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan.

    Tingkat kemiskinan pedesaan sebesar 9,40% atau 120,59 ribu jiwa sedangkan perkotaan sebesar

    6,04% atau 63,81 ribu jiwa. Pada periode September 2012-Maret 2013, tingkat kemiskinan di

    pedesaan mengalami peningkatan (0,71%), sebaliknya perkotaan mengalami penurunan sebesar

    0,32%.

    2. Perkembangan Fiskal Sulawesi Utara

    2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

    Pada Semester I-2013, realisasi pendapatan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara sebesar

    Rp 974,59 miliar atau 50,87% dari target pendapatan pada APBD Murninya. Dari jumlah yang

    pendapatan yang terealisasi, sebesar 63,70% berasal dari Dana Transfer1, dan 36,3% berasal dari

    Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bila dibandingkan dengan pendapatan pada APBD Murni,

    selama Semester I-2013, Dana Transfer telah terealisasi sebesar 49,07 %, sementara PAD yang

    terealisasi sebesar 54,42 %. Capaian di atas 50% pada satu semester, baik total pendapatan

    1 Dana transfer mencakup Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Bagi Hasil, dan Dana Penyesuaian

  • 5

    maupun PAD, mengindikasikan kinerja pendapatan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara sedikit

    di atas rata-rata. Data pendapatan diperlihatkan pada Tabel 3 dan Tabel 4.

    Pada tingkatan kabupaten/kota, dari data kabupaten/kota di Sulawesi Utara, Kabupaten

    Bolaang Mongondow Timur menduduki ranking pertama dalam persentase capaian target

    pendapatan pada Semester I-2013. Realisasi total pendapatan kabupaten tersebut sebesar

    58,89% dari target 2013 dimana Dana Transfer telah mencapai 59,64% dan PAD telah mencapai

    30,85 %. Di sisi lain, capaian target terendah terjadi di Kabupaten Minahasa Tenggara dimana

    realisasi total pendapatan masih sebesar 31,24% dengan rincian realisasi Dana Transfer sebesar

    32,11% dan PAD sebesar 40,34 %. Selanjutnya, capaian pendapatan Kota Manado yang

    merupakan ibukota provinsi sedikit di atas rata-rata, yaitu realisasi total pendapatan sebesar

    52,67% dimana realisasi Dana Transfer sebesar 50,34% dan realisasi PAD sebesar 59,21%.

    Peningkatan realisasi PAD lebih disebabkan perluasan tax base karena perkembangan bisnis

    yang tinggi di kota tersebut.

    Tabel 3 Total Pendapatan dan Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota

    di Sulawesi Utara, Semester I-2013

    Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan-Kementerian Keuangan, 2013

    Bila mempertimbangkan tingkat kemandirian, porsi PAD terhadap total pendapatan

    Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara masih belum terlalu tinggi. Pada Semester I-2013 realisasi

    PAD sebesar 36,30% dari total pendapatan. Pada tingkatan pemerintah kabupaten/kota, Kota

    Manado memiliki porsi PAD tertinggi, yaitu 18,01%. Angka ini relatif masih rendah untuk

    ukuran ibukota provinsi. Di luar Kota Manado, porsi PAD hanya berada pada rentang 1,49-

    6,41%. Kondisi PAD yang ada membuat pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi Utara sulit

  • 6

    untuk mandiri. Dengan demikian kebijakan pemerintah daerah menjadi sangat tergantung pada

    kebijakan nasional.

    Walaupun realisasi total pendapatan pemerintah Provinsi Sulawesi Utara pada Semester

    I-2013 telah mencapai 50,87% dari target pendapatan tahun 2013, namun realisasi belanja jauh

    lebih rendah, yaitu baru mencapai 34,46%. Untuk Belanja Modal yang dianggap memiliki

    multiplier effect yang tinggi, baru terealisasi 26,63%. Ini menyebabkan fungsi belanja

    pemerintah untuk mengakselerasi pembangunan di daerah belum berjalan secara optimal.

    Tabel 4 Dana Transfer Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota

    di Sulawesi Utara

    Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, 2013

    Penyebab rendahnya Belanja Modal diantaranya keterlambatan dalam tender, termin

    pembayaran yang belum jatuh tempo, maupun kesengajaan pemerintah daerah menahan dana

    untuk dibungakan. Bilamana penyebabnya adalah termin pembayaran yang belum jatuh tempo,

    maka kondisi tersebut lumrah, namun bila penyebabnya adalah keterlambatan tender dan

    kesengajaan menahan dana, maka kondisi ini tidak mendukung tujuan desentralisasi fiskal untuk

    percepatan pencapaian perluasan kesejahteraan masyarakat. Kondisi belanja pemerintah daerah

    selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.

    Pada tingkatan pemerintah provinsi, selama Semester I-2013, sebanyak 33,45% dari

    belanja yang telah direalisasikan digunakan untuk Belanja Pegawai serta 21,80% dialokasi

  • 7

    untuk Belanja Barang dan Jasa. Di sisi lain, untuk Belanja Modal hanya mendapat alokasi

    14,18%. Komposisi belanja ini belum memadai untuk mendukung peran pemerintah sebagai

    agen pembangunan di daerah.

    Alokasi yang lebih buruk terjadi pada pemerintah kabupaten/kota dimana porsi Belanja

    Pegawai berkisar 46-86%. Porsi Belanja Pegawai terendah pada Semester I-2013 terjadi pada

    pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara yaitu sebesar 46,09% dan tertinggi terjadi pada

    pemerintah Kota Manado yaitu sebesar 85,87%. Untuk Belanja Modal, porsi terendah pada

    semester yang sama terjadi pada Kota Manado yang sebesar 1,28%. Sebaliknya porsi Belanja

    Modal terbesar dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Timur yang sebesar

    25,55%. Sayangnya, walaupun Kabuapten Bolaang Mongondow Timur mengalokasikan banyak

    belanja modal, namun kebanyakan untuk fasilitas kepemerintahan sehubungan kabupaten

    tersebut termasuk kabupaten pemekaran baru.

    Tabel 5 Beberapa Kelompok Belanja Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota

    di Sulawesi Utara

    Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, 2013

    Persoalan Belanja Modal tidak semata pada alokasi yang rendah. Persoalan yang lebih

    mendasar yaitu kebanyakan Belanja Modal digunakan untuk pengeluaran yang tidak menyentuh

    secara langsung kepentingan masyarakat dan kegiatan perekonomian, seperti pembelian mobil

    dinas dan perbaikan kantor pemerintah. Ini mengakibatkan banyak jalan rusak yang tidak

    diperbaiki serta minimnya pelebaran jalan yang dibiayai dengan APBD.

  • 8

    Rendahnya PAD dan Belanja Modal membawa persoalan bagi otonomi daerah.

    Rendahnya PAD mengindikasikan rendahnya kemandirian daerah sehingga tidak sejalan dengan

    hakikat otonomi daerah yang menekankan pada pengurangan ketergantungan pemerintah daerah

    terhadap pemerintah pusat. Di sisi Belanja Modal, rendahnya jenis belanja tersebut

    memperlambat pembangunan ekonomi di daerah terutama berkaitan dengan ketersediaan

    infrastruktur secara memadai.

    2.2 Realisasi Dana Dekonsentrasi di Sulawesi Utara

    Dana Dekonsentrasi Sulawesi Utara tahun 2013 yang telah direalisasikan hingga 30

    September 2013 sebesar Rp 122,81 miliar untuk 29 kegiatan dengan jangkauan 15

    kabupaten/kota sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 6. Angka realisasi ini setara dengan

    60,16% nilai pagu kegiatan-kegiatan tersebut yang sebesar Rp 204,16 miliar. Bila dikaitkan

    dengan bulan berjalan yang telah mencapai 9 bulan, maka persentase realisasi tersebut yang

    sebesar 60,16% relatif masih agak rendah. Sebaiknya telah mencapai di atas 67%. Oleh sebab

    itu, upaya percepatan penyerapan Dana Dekonsentrasi perlu menjadi perhatian.

    Tabel 6 Pagu dan Realisasi Dana Dekonsentrasi di Sulawesi Utara

    Periode Januari-September 2013

    Sumber: Kanwil Anggaran Kementerian Keuangan di Sulawesi Utara, 2013

  • 9

    Sebagian besar Dana Dekonsentrasi berasal dari Kementerian Dalam Negeri yang

    berjumlah 22 kegiatan, dan sisanya sebanyak 7 kegiatan berasal dari Kementerian Pekerjaan

    Umum. Selanjutnya, bila ditinjau dari jenis belanja, sebanyak 18 kegiatan berupa Belanja

    Bantuan Sosial sedangkan 11 kegiatan berupa Belanja Barang. Dengan demikian, tidak ada

    satupun kegiatan yang berhubungan langsung dengan Belanja Modal. Oleh sebab itu, alokasi

    Dana Dekonsentrasi ini belum selaras dengan kebutuhan mendesak Sulawesi Utara untuk

    mengakselerasi pembangunan. Selama ini, kondisi infrastruktur perhubungan dan energi masih

    menjadi ganjalan dalam meningkatkan investasi di Sulawesi Utara. Oleh karenanya, alokasi

    Dana Dekonsentrasi seharusnya lebih dititikberatkan pada pembangunan dan pemeliharaan

    infrastruktur tersebut.

    BOKS

    Kondisi Pariwisata di Sulawesi Utara

    Beberapa provinsi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) mencoba mengangkat industri

    pariwisata sebagai sumber pembangunan daerah. Dari aspek sustainability and green economy,

    industri ini sangat cocok bagi daerah-daerah di KTI sebab: (1) dampak negatif bagi lingkungan

    dan pemanfaatan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui, relatif kecil, terutama

    dibandingkan dengan industri tambang; (2) kondisi alam yang kebanyakan masih alami

    memberikan nilai tambah bagi pengembangan pariwisata; dan (3) dapat mendorong masuknya

    devisa. Dengan kata lain, apabila industri pariwisata di KTI dikembangkan secara profesional,

    maka tidak mustahil industri tersebut menjadi lokomotif pembangunan daerah di masa depan.

    Namun demikian perlu juga dicermati dan diantisipasi dampak negatif dari kegiatan tersebut

    berupa infiltrasi budaya asing tertentu yang bersifat merusak terhadap perilaku generasi muda

    dan budaya lokal. Itu menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah daerah dan para pemuka

    agama.

    Setelah dilaksanakan kegiatan World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle

    Initiavtive (CTI) pada Mei 2009, kegiatan pariwisata meningkat sangat pesat. Hampir setiap

    bulan terdapat kegiatan Meeting, Incentive, Conference, and Exhibition (MICE) yang berskala

    nasional dan beberapa berskala internasional. Hal tersebut disebabkan telah tersedianya

    infrastruktur penudukung pariwisata terutama hotel berbintang dan non bintang secara memadai

    yang dikembangkan oleh sektor swasta.

  • 10

    Namun demikian, pengembangan pariwisata di daerah tidak sekedar MICE melainkan

    terintegrasi dengan wisata alam dan budaya secara baik. Faktor integrasi ini yang menjadi

    masalah sebab objek wisata yang ditonjolkan hanya Bunaken, Bukit Kasih, dan Danau Tondano,

    padahal Sulawesi Utara memiliki banyak objek wisata alam yang bagus namun tidak dikelola

    dengan serius oleh pemerintah yang dapat diintegrasikan dalam suatu paket wisata yang menarik.

    Selain, itu wisata budaya Sulawesi Utara justru mengalami penurunan sebab generasi muda

    kebanyakan tidak menguasai tarian daerah, alat musik daerah seperti Kolintang dan Bambu

    Seng, serta berbagai kegiatan budaya lain.

    Kondisi ini menjadi tantangan bagi pemerintah di daerah untuk mengembangkan

    pariwisata secara serius. Pada tataran kebijakan, pemerintah daerah perlu mengangkat kembali

    budaya daerah dan mengembangkan sinergitas antar kabupaten/kota dan juga dengan provinsi

    sehingga manfaat pariwisata tidak hanya dirasakan oleh Manado, Bitung, Tomohon, Minahasa,

    dan Minahasa Utara, namun juga dinikmati oleh kabupaten/kota lain.

    3. Rekomendasi Kebijakan

    Berdasarkan kondisi ekonomi dan fiscal yang ada di Sulawesi Utara, maka dikemukakan

    beberapa rekomendasi kebijakan sebagai berikut.

    1. Penurunan hasil pertanian salah satunya disebabkan oleh alih fungsi lahan. Oleh

    sebab itu, perlu penegakan aturan terhadap pelanggaran Rencana Tata Ruang dan

    Wilayah (RTRW) yang ada.

    2. Secara umum industri pengolahan di Sulawesi Utara tumbuh melambat, terutama

    yang berbahan baku lokal seperti perkebunan dan perikanan. Oleh sebab itu,

    pemerintah perlu mendorong peremajaan tanaman perkebunan terutama kelapa. Di

    samping itu, meningkatkan upaya pengawasan perairan Sulawesi Utara terhadap

    aktivitas illegal fishing. Bagi oknum aparat yang terlibat dalam kegiatan tersebut

    perlu diteliti dan ditindak tegas.

    3. Kemampuan pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi Utara dalam meningkatkan

    Pendapatan Asli Daerah sangat terbatas. Hal ini disebabkan: (1) kemampuan ekonomi

    daerah yang terbatas karena pemekaran daerah yang tidak memperhatikan fakta

    ekonomi; dan (2) tax base pajak kabupaten/kota umumnya sangat rendah bagi

    kabupaten/kota yang bukan ibukota provinsi.misalnya pajak hotel, pajak restoran, dan

  • 11

    pajak parkir. Oleh sebab itu, pemerintah perlu melakukan moratorium kembali

    pemekaran daerah yang saat ini lebih mengedepankan unsur SARA serta mengatur

    kembali pajak dan retribusi sehingga tidak menimbulkan ketimpangan yang mendasar

    antar kabupaten/kota.

    4. Sebagian besar belanja pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi Utara dialokasikan

    untuk belanja pegawai. Di satu sisi belanja modal terabaikan, bahkan lebih buruknya

    lagi belanja modal kebanyakan digunakan untuk fasilitas yang tidak terkait langsung

    dengan kepentingan umum, seperti pembelian mobil dinas. Oleh sebab itu,

    pemerintah daerah perlu melakukan analisis beban kerja yang baik untuk menentukan

    jumlah pegawai yang wajar. Setelah perlu dilakukan kebijakan pertumbuhan

    negatif hingga komposisi yang wajar tercapai.

    5. Pemerintah daerah perlu mendorong pengembangan budaya daerah terutama pada

    generasi muda. Salah satu caranya adalah melakukan lomba secara berkala untuk

    tarian dan alat musik daerah mulai bangku SD sampai perguruan tinggi dalam rangka

    mengembangkan minat generasi muda dan memperkuat strategi Sulawesi Utara

    menjadi destinasi wisata unggulan.

  • 1

    Analisis Ekonomi dan Fiskal Provinsi Sulawesi Utara

    Triwulan II-2013

    1. Kondisi Makro Ekonomi Sulawesi Utara

    1.1 Perkembangan Ekonomi Sulawesi Utara

    Selama Triwulan II-2013, Sulawesi Utara memperlihatkan pertumbuhan ekonomi yang

    cukup baik dimana tumbuh 7,21% dibanding triwulan yang sama tahun 2012 (y.o.y). Namun

    demikian angka pertumbuhan ini sedikit lebih rendah dibanding pertumbuhan Triwulan I-2013.

    Kondisi ini agak berbeda dengan kelaziman yang terjadi pada perekonomian Sulawesi Utara

    dimana pertumbuhan Triwulan II selalu tumbuh lebih tinggi dibanding Triwulan I. Penyebab

    utama perlambatan ini adalah menurunnya kinerja ekonomi nasional yang memberi dampak ke

    daerah serta menurunnya nilai ekspor Provinsi Sulawesi Utara pada Semester I-2013 akibat krisis

    ekonomi berkepanjangan di Uni Eropa yang menjadi salah satu tujuan ekspor utama provinsi ini

    dan penurunan harga komoditas ekspor terutama kopra dan minyak kelapa kasar (crude coconut

    oil-CCO).

    Secara sektoral, Sektor Keuangan, Sewa, dan Jasa Perusahaan mencetak pertumbuhan

    tertinggi pada Semester I-2013, yaitu 15,68%. Sementara perbandingan antar triwulan, pada

    Triwulan II-2013 sektor tersebut tumbuh 15,05% di mana relatif lebih rendah dibanding

    Triwulan I-2013, yaitu 16,38%. Pertumbuhan sektor ini terutama karena bertambahnya gerai

    lembaga keuangan bank dan non bank di Kota Manado, baik ekspansi dari perusahaan keuangan

    yang sudah ada sebelumnya maupun perusahaan pendatang baru. Ranking kedua dalam

    pertumbuhan ekonomi Sulawesi Utara pada Semester I-2013 adalah Sektor Perdagangan, Hotel,

    dan Restoran (PHR) yang tumbuh sebesar 11,07%. Sektor ini mengalami pertumbuhan pada

    Triwulan II sebesar 11,4% dimana lebih tinggi dari Triwulan I (10,7%). Selanjutnya, Sektor

    Listrik, Air, dan Gas menempati ranking ketiga, yaitu 8,82%. Pada Triwulan I-2013 sektor ini

    hanya tumbuh sebesar 4,26% dan meningkat jauh pada Triwulan II-2013, yaitu 13,56%.

    Berdasarkan kontribusi, perekonomian Sulawesi Utara pada Semester I-2013 masih

    didominasi oleh Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) dengan kontribusi di atas

    17,6%. Di sisi lain, Sektor Pertanian menempati urutan ketiga (16,3%) dalam kontribusi setelah

    Sektor Konstruksi (16,6%). Data PDRB Sektoral pada Semester I-2013 selengkapnya dapat

    dilihat pada Tabel 1.

  • 2

    Sektor Pertanian sebelumnya mendominasi perekonomian Sulawesi Utara. Namun

    kontribusi sektor ini kemudian menurun pada dua tahun terakhir yang disebabkan oleh beberapa

    faktor. Pertama, terjadi alih fungsi lahan pertanian dan perkebunan menjadi kawasan perumahan

    dan bisnis. Kedua, terjadi peralihan tenaga kerja Sektor Pertanian ke Sektor Transportasi dan

    Sektor PHR terkait berkembang pesat kedua sektor. Ketiga, masih terdapat ketergantungan yang

    tinggi para petani terhadap bantuan pemerintah sehingga bila bantuan pemerintah berkurang,

    maka hasil produksi pertanian, khususnya tanaman makanan. Keempat, terjadinya illegal fishing

    dan penjualan langsung di tengah laut oleh nelayan lokal kepada nelayan asing yang semakin

    tidak terkendali.

    Tabel 1 PDRB Sektoral Semester I-2013, Provinsi Sulawesi Utara

    Sumber: Badan Pusat Statistik Sulawesi Utara, 2013

    Dari aspek penggunaan, perekonomian Sulawesi Utara masih ditopang oleh Konsumsi

    Rumah Tangga. Pada Semester I-2013, Konsumsi Rumah Tangga memberi kontribusi sebesar

    46,7% terhadap total PDRB dengan rincian untuk Triwulan I-2013 sebesar 48,9% dan Triwulan

    II-2013 sebesar 44,8%. Selanjutnya, Ekspor (luar negeri dan antar pulau) sesungguhnya

    menduduki ranking kedua dalam kontribusi, yaitu 36,7% pada Semester I-2103. Namun

    demikian, porsi Impor (luar negeri dan antar pulau) terhadap PDRB lebih besar dari porsi Ekspor

    sehingga Ekspor Neto menjadi minus 4,6% pada semester tersebut. Ini menyebabkan

    penyumbang kedua terbesar bagi PDRB Sulawesi Utara adalah Investasi yang terdiri dari

    Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) dan Perubahan Stok, yaitu sebesar 26,7% untuk

    Semester I-2013. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

  • 3

    Tabel 2 PDRB Berdasarkan Pengeluaran Semester I-2013, Provinsi Sulawesi Utara

    Sumber: Badan Pusat Statistik Sulawesi Utara, 2013

    Kegiatan investasi di Sulawesi Utara pada beberapa tahun terakhir banyak dilakukan

    pada Sektor PHR dan Konstruksi. Namun sayangnya, sebagian besar dilaksanakan di Kota

    Manado sedangkan kabupaten/kota lain di Sulawesi Utara terutama di daerah kepulauan masih

    minim investasi. Ini memperlebar kesenjangan ekonomi Kota Manado dengan daerah lain di

    provinsi ini. Kendala utama investasi di daerah-daerah tersebut adalah minimnya ketersediaan

    listrik serta sarana dan prasarana perhubungan, terutama jalan dan pelabuhan.

    1.2 Tingkat Inflasi,

    Pada Juni 2013, Sulut mengalami inflasi sebesar 0,21%. Laju inflasi tahun kalender

    sebesar 1,82 persen dan inflasi year on year 4,95%. Inflasi terjadi karena adanya kenaikan

    indeks pada kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan (7,16%); kelompok kesehatan

    (0,71%); perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar (0,16%); dan kelompok makanan jadi,

    minuman, rokok dan tembakau (0,01%). Sebaliknya, dua kelompok mengalami penurunan

    indeks yang mengurangi laju inflasi, yaitu bahan makanan sebesar (-2,36%) dan kelompok

    sandang (-0,71%). Kelompok pendidikan tidak mengalami perubahan indeks.

    Rendahnya angka inflasi Sulut pada Juni 2013 mengindikasikan bahwa kenaikan harga

    BBM subsidi pada akhir Juni belum memberikan efek berlebihan terhadap harga barang dan jasa

    pada bulan tersebut. Kenaikan harga banyak terjadi pada komoditas yang berharga rigid, seperti

    transportasi, perumahan dan sebagainya yang besaran biaya sangat mempengaruhi harga jual.

    Sebaliknya, komoditas dengan harga luwes seperti bahan makanan dan sejenisnya tidak terlalu

  • 4

    terpengaruh oleh biaya melainkan oleh ketersediaan pasokannya sehingga menjaga

    ketersediaannya sangat penting untuk menjaga kestabilan harga.

    1.3 Pengangguran, dan Kemiskinan

    Sulawesi Utara mengalami peningkatan jumlah angkatan kerja sebesar 4,91% pada

    Pebruari 2013 jika dibandingkan dengan posisi Agustus 2012 menjadi 1,089 juta orang.

    Peningkatan juga terjadi pada tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) yang menjadi 64,63%

    dibanding 61,93% pada Agustus 2012.

    Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Sulawesi Utara terus mengalami tren menurun

    hingga mencapai 7,19% pada Pebruari 2013 dimana sebelumnya sebesar 7,79% pada Agustus

    2012. Dari aspek wilayah, pengangguran terbesar masih pada daerah perkotaan. TPT perkotaan

    dua kali lebih besar dari pedesaan, yaitu 9,87% dibanding 4,83%.

    Walaupun TPT Sulawesi Utara menurun pada Pebruari 2013, namun jumlah penduduk

    miskin provinsi ini justru mengalami peningkatan pada Maret 2013 dibanding September 2012.

    Jumlah penduduk miskin pada Maret 2013 sebanyak 184,40 ribu jiwa atau 7,88% dari total

    penduduk Sulawesi Utara dimana lebih tinggi dari September 2012 yang sebesar 7,64%.

    Kenaikan kemiskinan pada 2013 terutama disebabkan migrasi penduduk dari daerah lain yang

    membawa tanggungan keluarga yang belum masuk angkatan kerja. Ini mengakibatkan

    pendapatan yang diperoleh penanggung kurang mencukupi kehidupan layak bagi keluarganya.

    Tingkat kemiskinan di pedesaan masih lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan.

    Tingkat kemiskinan pedesaan sebesar 9,40% atau 120,59 ribu jiwa sedangkan perkotaan sebesar

    6,04% atau 63,81 ribu jiwa. Pada periode September 2012-Maret 2013, tingkat kemiskinan di

    pedesaan mengalami peningkatan (0,71%), sebaliknya perkotaan mengalami penurunan sebesar

    0,32%.

    2. Perkembangan Fiskal Sulawesi Utara

    2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

    Pada Triwulan I-2013, realisasi pendapatan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara sebesar

    Rp 527,18 miliar atau 27,52% dari target pendapatan pada APBD Murninya. Dari jumlah yang

    pendapatan yang terealisasi, sebesar 67,54% berasal dari Dana Transfer1, dan 32,46% berasal

    1 Dana transfer mencakup Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Bagi Hasil, dan Dana Penyesuaian

  • 5

    dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bila dibandingkan dengan pendapatan pada APBD Murni,

    selama triwulan tersebut, Dana Transfer telah terealisasi sebesar 28,14%, sementara PAD yang

    terealisasi sebesar 26,31%. Capaian di atas 25% pada satu triwulan, baik total pendapatan

    maupun PAD, mengindikasikan kinerja pendapatan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara sedikit

    di atas rata-rata. Data pendapatan diperlihatkan pada Tabel 3 dan Tabel 4.

    Pada tingkatan kabupaten/kota, dari data kabupaten/kota di Sulawesi Utara yang tersedia,

    Kota Kotamobagu menduduki ranking pertama dalam capaian target pendapatan pada Triwulan

    I-2013. Realisasi total pendapatan kota tersebut sebesar 34,46% dari target 2013 dimana Dana

    Transfer telah mencapai 34,46% dan PAD telah mencapai 29,23%. Di sisi lain, capaian target

    terendah terjadi di Kabupaten Kepulauan Sitaro dimana realisasi total pendapatan masih sebesar

    19,09% dengan rincian realisasi Dana Transfer sebesar 19,41% dan PAD sebesar 11,27%.

    Selanjutnya, capaian pendapatan Kota Manado yang merupakan ibukota provinsi sedikit di atas

    rata-rata, yaitu realisasi total pendapatan sebesar 31,79% dimana realisasi Dana Transfer sebesar

    33,17% dan realisasi PAD sebesar 26,32%.

    Tabel 3 Total Pendapatan dan Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Provinsi dan Beberapa

    Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara

    Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan-Kementerian Keuangan, 2013

    Bila mempertimbangkan tingkat kemandirian, porsi PAD terhadap total pendapatan

    Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara masih belum terlalu tinggi. Pada Triwulan I-2013 realisasi

    PAD sebesar 32,45% dari total pendapatan. Pada tingkatan pemerintah kabupaten/kota, Kota

    Manado memiliki porsi PAD tertinggi, yaitu 15,04%. Angka ini relatif masih rendah untuk

    ukuran ibukota provinsi. Di luar Kota Manado, porsi PAD hanya berada pada kisaran 2,5%.

  • 6

    Kondisi PAD yang ada membuat pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi Utara sulit untuk

    mandiri. Dengan demikian kebijakan pemerintah daerah menjadi sangat tergantung pada

    kebijakan nasional.

    Walaupun realisasi total pendapatan pemerintah Provinsi Sulawesi Utara pada Triwulan

    I-2013 telah mencapai 27,52% dari target pendapatan tahun 2013, namun realisasi belanja jauh

    lebih rendah, yaitu baru mencapai 10,42%. Untuk Belanja Modal yang dianggap memiliki

    multiplier effect yang tinggi, baru terealisasi 1,77%. Ini menyebabkan fungsi belanja pemerintah

    untuk mengakselerasi pembangunan di daerah tidak berjalan secara optimal.

    Tabel 4 Dana Transfer Pemerintah Provinsi dan Beberapa Kabupaten/Kota

    di Sulawesi Utara

    Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, 2013

    Penyebab rendahnya Belanja Modal diantaranya keterlambatan dalam tender, termin

    pembayaran yang belum jatuh tempo, maupun kesengajaan pemerintah daerah menahan dana

    untuk dibungakan. Bilamana penyebabnya adalah termin pembayaran yang belum jatuh tempo,

    maka kondisi tersebut lumrah, namun bila penyebabnya adalah keterlambatan tender dan

    kesengajaan menahan dana, maka kondisi ini tidak mendukung tujuan desentralisasi fiskal untuk

    percepatan pencapaian perluasan kesejahteraan masyarakat. Kondisi belanja pemerintah daerah

    selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.

    Pada tingkatan pemerintah provinsi, selama Triwulan I-2013, sebanyak 47,32% dari

    belanja yang telah direalisasikan digunakan untuk Belanja Pegawai serta 18,82% dialokasi untuk

    Belanja Barang dan Jasa. Di sisi lain, untuk Belanja Modal mendapat alokasi 3,12%. Komposisi

  • 7

    belanja ini belum memadai untuk mendukung peran pemerintah sebagai agen pembangunan di

    daerah.

    Alokasi yang lebih buruk terjadi pada pemerintah kabupaten/kota dimana porsi Belanja

    Pegawai di atas 63%. Porsi Belanja Pegawai terendah pada Triwulan I-2013 terjadi pada

    pemerintah Kabupaten Sitaro yaitu sebesar 63,25% dan tertinggi terjadi pada pemerintah

    Kabupaten Minahasa Selatan yaitu sebesar 92,94%. Untuk Belanja Modal, porsi terendah pada

    triwulan yang sama terjadi pada Kabupaten Minahasa Selatan yang sebesar 0,32%. Sebaliknya

    porsi Belanja Modal terbesar dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Sitaro yang sebesar 17,05%.

    Tabel 5 Beberapa Kelompok Belanja Pemerintah Provinsi dan Beberapa Kabupaten/Kota

    di Sulawesi Utara

    Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, 2013

    Persoalan Belanja Modal tidak semata pada alokasi yang rendah. Persoalan yang lebih

    mendasar yaitu kebanyakan Belanja Modal digunakan untuk pengeluaran yang tidak menyentuh

    secara langsung kepentingan masyarakat dan kegiatan perekonomian, seperti pembelian mobil

    dinas dan perbaikan kantor pemerintah. Ini mengakibatkan banyak jalan rusak yang tidak

    diperbaiki serta minimnya pelebaran jalan yang dibiayai dengan APBD.

    Rendahnya PAD dan Belanja Modal membawa persoalan bagi otonomi daerah.

    Rendahnya PAD mengindikasikan rendahnya kemandirian daerah sehingga tidak sejalan dengan

    hakikat otonomi daerah yang menekankan pada pengurangan ketergantungan pemerintah daerah

    terhadap pemerintah pusat. Di sisi Belanja Modal, rendahnya jenis belanja tersebut

    memperlambat pembangunan ekonomi di daerah terutama berkaitan dengan ketersediaan

    infrastruktur secara memadai.

  • 8

    2.2 Realisasi Dana Dekonsentrasi di Sulawesi Utara

    Dana Dekonsentrasi Sulawesi Utara tahun 2013 yang telah direalisasikan hingga 28

    Agustus 2013 sebesar Rp 94,01 miliar untuk 29 kegiatan dengan jangkauan 15 kabupaten/kota

    sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 6. Angka realisasi ini setara dengan 46,05% nilai pagu

    kegiatan-kegiatan tersebut. Bila dikaitkan dengan bulan berjalan yang telah mencapai hampir 8

    bulan, maka persentase realisasi tersebut yang sebesar 46,05% relatif masih rendah. Oleh sebab

    itu, upaya percepatan penyerapan Dana Dekonsentrasi perlu menjadi perhatian.

    Tabel 6 Pagu dan Realisasi Dana Dekonsentrasi di Sulawesi Utara

    Periode Januari hingga 28 Agustus 2013

    Sumber: Kanwil Anggaran Kementerian Keuangan di Sulawesi Utara, 2013

    Sebagian besar Dana Dekonsentrasi berasal dari Kementerian Dalam Negeri yang

    berjumlah 22 kegiatan, dan sisanya sebanyak 7 kegiatan berasal dari Kementerian Pekerjaan

    Umum. Selanjutnya, bila ditinjau dari jenis belanja, sebanyak 18 kegiatan berupa Belanja

    Bantuan Sosial sedangkan 11 kegiatan berupa Belanja Barang. Dengan demikian, tidak ada

    satupun kegiatan yang berhubungan langsung dengan Belanja Modal. Oleh sebab itu, alokasi

  • 9

    Dana Dekonsentrasi ini belum selaras dengan kebutuhan mendesak Sulawesi Utara untuk

    mengakselerasi pembangunan. Selama ini, kondisi infrastruktur perhubungan dan energi masih

    menjadi ganjalan dalam meningkatkan investasi di Sulawesi Utara. Oleh karenanya, alokasi

    Dana Dekonsentrasi seharusnya lebih dititikberatkan pada pembangunan dan pemeliharaan

    infrastruktur tersebut.

    BOKS

    Persiapan Pelabuhan Bitung Menjadi International Hub Port (IHP) dan Kawasan

    Ekonomi Khusus

    Konektivitas domestik merupakan masalah mendasar yang dihadapi Indonesia hingga

    saat ini. Kondisi ini telah mengakibatkan mahalnya biaya transportasi yang berujung pada

    tingginya biaya hidup masyarakat serta rendahnya daya saing produk Indonesia di luar negeri.

    Kondisi ini tidak sejalan dengan keunggulan komparatif Indonesia dalam sumber daya alam

    dibanding kebanyakan negara di dunia yang semestinya memberikan daya saing produk yang

    tinggi. Selain itu, Indonesia yang belum memiliki International Hub Port (IHP) seperti negara

    tetangga, Singapura dan Malaysia. Selama ini kebanyakan kegiatan ekspor-impor Indonesia

    memanfaatkan IHP Singapura sehingga menyebabkan Indonesia selalu mengalami defisit

    perdagangan jasa yang sangat besar terutama pada Neraca Jasa.

    Untuk konektivitas Indonesia dengan dunia luar, setidaknya Indonesia membutuhkan dua

    IHP yang berada di bagian utara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan bagian utara Kawasan

    Timur Indonesia (KTI). Dalam konteks ini, salah satu kandidat IHP di KTI adalah Pelabuhan

    Bitung-Sulawsi Utara. Ini sesuai dengan posisi strategis Sulawesi Utara yang berada di tengah

    antara Indonesia dan Australia di bagian selatan dengan negara-negara Asia Pasifik di bagian

    utara.

    Salah satu upaya awal pembangunan IHP di Pelabuhan Bitung, pemerintah lewat Pelindo

    telah melakukan pelebaran dermaga peti kemas. Panjang dermaga yang telah diperlebar sudah

    mencapai 358 meter dengan anggaran Rp 318 miliar untuk tahun 2013 dari total anggaran

    keseluruhan sebesar Rp 2 triliun. Direncanakan pada 2014 dan beberapa tahun ke depan panjang

    dermaga peti kemas yang akan diperlebar sepanjang 1000 meter. Dengan pelebaran ini

    diharapkan dapat menampung kontainer 2,5 juta unit per tahun dimana saat ini baru dapat

  • 10

    menampung 200 ribu unit per tahun. Khususnya untuk tahun 2014, PT. Pelindo menargetkan

    pelebaran dermaga untuk dapat merapatnya dua kapal kontainer sekaligus yang melakukan

    kegiatan bongkar muat.

    Keberadaan IHP dapat mendorong perkembangan pesat kawasan ekonomi yang berada di

    sekitar IHP. Dalam perencanaan pembangunan nasional, di Bitung juga akan dibangun Kawasan

    Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Merah. Saat ini, Pemerintah Kota Bitung telah menyediakan

    lahan untuk KEK seluas 536 ha. Penambahan selanjutnya lewat reklamasi pantai dan

    penimbunan rawa sehingga luas lahan KEK dapat mencapai 1.050 ha dan dapat diperluas lagi

    menjadi 2.000 ha. Keberadaan IHP Bitung dan KEK Tanjung Merah dapat menimbulkan

    sinergitas yang besar bagi perkembangan ekonomi Sulawesi Utara dan provinsi sekitar. Dengan

    demikian diharapkan dapat mempercepat pemerataan pembangunan antar kawasan di Indonesia

    dan memperbaiki sistem logistik Indonesia saat ini yang berbiaya tinggi***

    3. Rekomendasi Kebijakan

    Berdasarkan kondisi ekonomi dan fiskal yang ada di Sulawesi Utara, maka dikemukakan

    beberapa rekomendasi kebijakan sebagai berikut.

    1. Penurunan hasil pertanian salah satunya disebabkan oleh alih fungsi lahan. Oleh

    sebab itu, perlu penegakan aturan terhadap pelanggaran Rencana Tata Ruang dan

    Wilayah (RTRW) yang ada.

    2. Secara umum industri pengolahan di Sulawesi Utara tumbuh melambat, terutama

    yang berbahan baku lokal seperti perkebunan dan perikanan. Oleh sebab itu,

    pemerintah perlu mendorong peremajaan tanaman perkebunan terutama kelapa. Di

    samping itu, meningkatkan upaya pengawasan perairan Sulawesi Utara terhadap

    aktivitas illegal fishing. Bagi oknum aparat yang terlibat dalam kegiatan tersebut

    perlu diteliti dan ditindak tegas.

    3. Kemampuan pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi Utara dalam meningkatkan

    Pendapatan Asli Daerah sangat terbatas. Hal ini disebabkan: (1) kemampuan ekonomi

    daerah yang terbatas karena pemekaran daerah yang tidak memperhatikan fakta

    ekonomi; dan (2) tax base pajak kabupaten/kota umumnya sangat rendah bagi

    kabupaten/kota yang bukan ibukota provinsi.misalnya pajak hotel, pajak restoran, dan

    pajak parkir. Oleh sebab itu, pemerintah perlu melakukan moratorium kembali

  • 11

    pemekaran daerah yang saat ini lebih mengedepankan unsur SARA serta mengatur

    kembali pajak dan retribusi sehingga tidak menimbulkan ketimpangan yang mendasar

    antar kabupaten/kota.

    4. Sebagian besar belanja pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi Utara dialokasikan

    untuk belanja pegawai. Di satu sisi belanja modal terabaikan, bahkan lebih buruknya

    lagi belanja modal kebanyakan digunakan untuk fasilitas yang tidak terkait langsung

    dengan kepentingan umum, seperti pembelian mobil dinas. Oleh sebab itu,

    pemerintah daerah perlu melakukan analisis beban kerja yang baik untuk menentukan

    jumlah pegawai yang wajar. Setelah perlu dilakukan kebijakan pertumbuhan

    negatif hingga komposisi yang wajar tercapai.

    5. Pemerintah pusat perlu bekerjasama dengan pemerintah daerah untuk mempercepat

    realisasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan International Hub Port (IHP) di

    Sulawesi Utara agar mempercepat pertumbuhan ekonomi kawasan dan memperbaiki

    sistem logistik nasional yang selama ini berbiaya tinggi.

    Analisis Ekonomi dan Fiskal Provinsi Sulawesi Utara Tw III-2013.pdfRevisi Analisis Ekonomi dan Fiskal Provinsi Sulawesi Utara Tw II-2013