kab kalbar
DESCRIPTION
kalbar kalimantanTRANSCRIPT
KALIMANTAN BARAT
Saya akan menuliskan beberapa pengalaman yang saya dapatkan ketika tinggal di
daerah Kalimantan khususnya Kalimantan Barat. Propinsi Kalimantan Barat terletak di bagian
barat pulau Kalimantan, beribukotakan Pontianak. Sementara, dari segi geografis
kewilayahannya, Propinsi Kalimantan Barat termasuk salah satu propinsi di Indonesia yang
berbatasan dengan Negara Asing yaitu negara bagian Serawak, Malaysia Timur.
TRADISI DAN MITOS KALIMANTAN BARAT
Hal yang sangat berkesan ketika saya tinggal beberapa lama di Kalimantan adalah pada
sisi adat dan tradisi mereka yang masih sangat kental. Ada beberapa tradisi dan mitos yang
akan saya jabarkan yaitu tradisi robo-robo, rumah betang milik kepala suku, barongsai
singkawang dan kemponan.
Tradisi Robo-robo
Robo-robo berasal dari kata Robo atau Rabu. Tradisi Robo-Robo biasa diadakan pada
Rabu terakhir bulan Sapar (Hijriah) yang menyimbolkan keberkahan. Menurut cerita, ritus ini
merupakan peringatan atau napak tilas kedatangan Pangeran Mas Surya Negara dari Kerajaan
Matan (Martapura) ke Kerajaan Mempawah (Pontianak).
Ritual tersebut dimulai ketika Raja, Ratu Mempawah, putra-putrinya serta punggawa
dan pengawal berangkat dari Desa Benteng, Mempawah, menggunakan perahu bidar, yakni
perahu kerajaan dari Istana Amantubillah. Kapal tersebut akan berlayar menuju muara Sungai
Mempawah yang terletak di Desa Kuala Mempawah dengan jarak tempuh sekitar satu jam
perjalanan. Di muara sungai akan dilakukan semacam upacara "penyambutan" ke laut seperti
ketika Opu Daeng Menambon tiba di muara sungai tersebut untuk pertama kalinya.
Robo-robo itu sendiri dimaksudkan sebagai suatu peringatan serangkaian kejadian
penting bermula Haulan pada hari Senin malam Selasa terakhir bulan Syafar guna mengenang
hari wafatnya Opu Daeng Manambun. Bagi warga keturunan Bugis di Kalbar, robo-robo
biasanya diperingati dengan makan bersama keluarga di halaman rumah. Tidak hanya di
rumah, makan bersama juga dilakukan siswa di berbagai sekolah baik tingkat Sekolah Dasar
hingga Sekolah Menengah Atas pada Rabu pagi.
1
Rumah Betang Milik Kepala Suku
Merupakam Satu rumah yang dihuni banyak orang. Itulah ciri khas rumah betang. Saat
berkabung, warga rumah betang tidak melakukan kegiatan yang sifatnya berisik. Satu rumah
untuk semua, itulah rumah betang. Beberapa keluarga tinggal di sana dengan jumlah penghuni
sekitar 100-150 orang. Keluarga besar ini dipimpin oleh seorang tetua yang disebut Pembakas
Lewu .
Rumah betang berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat Dayak. Di sini, orang
Dayak melakukan kegiatan, seperti menenun, memahat, mengukir, menari dan melaksanakan
upacara adat.
Warga rumah betang sangat memelihara rasa kekeluargaan. Jika ada salah satu
penghuni meninggal, semua warga betang ikut berkabung. Rasa berkabung itu ditunjukkan
selama satu minggu. Mereka tidak menyalakan musik, tidak berisik, tidak menggunakan
perhiasan, tidak minum saguer (minuman tradisional dari beras ketan), dan tidak
menghidupkan alat elektronik. Sebaliknya, jika salah seorang penghuni rumah betang
memperoleh ikan dan hasil buruan lainnya, perolehan itu dibagi-bagi dan dimakan bersama-
sama.
Barongsai Singkawang
Singa merah tampak mengendap-endap. Haap! Ia meloncat dan bertengger di sebuah
tiang. Si singa merah bertubuh panjang mulai menari. Para pemain musik mengiringi barongsai
dengan tabuhan bertalu-talu. Dug, dug, jreng! Wuih, meriah sekali. Barongsai siap beraksi!
Itulah sebagai gambaran bagaimana pertunjukan barongsai singkawang.
Kota Singkawang, Kalimantan Barat terkenal dengan pertunjukkan barongsai. Apalagi
menjelang hari Imlek dan Cap Go Meh , semakin banyak yang berlatih. Pemain barongsai
biasanya berlatih satu jam dalam sehari dan dilakukan rutin setiap hari. Pemain ini kadang
bergantian dengan pemain musik jika sudah kelelahan. Selain sering tampil di klenteng,
barongsai juga berkeliling dari rumah ke rumah. Setelah pamer kebolehan, mereka akan
mendapat angpau dari pemilik rumah. Angpau sering diletakkan di tempat yang tinggi oleh
pemilik rumah. Barongsai pun harus meloncat tinggi untuk mengambil angpaunya. Seru Sekali.
Selain barongsai ada juga penari naga. Nah, kalau yang ini, dimainkan oleh orang dewasa. Ini
karena naganya sangat berat. Bayangkan, panjang naga 70 meter dan berat kepalanya 20 kg.
2
Untuk mengangkat si naga yang berat dan panjang, dibutuhkan 40 orang dewasa.
Pertunjukkan naga biasanya berlangsung sekitar tiga jam. Saat lampu menyala, naga akan
terlihat sangat bagus. Setelah dimainkan, naga pun langsung dibakar. Aduh, sayang sekali.
Padahal untuk membuat naga ini menghabiskan biaya berjuta-juta. Tapi, ini memang
kepercayaan dan tradisi mereka.
Kemponan atau Kampunan
Salah satu adat yang sangat tidak bisa saya lupakan adalah dengan adanya cerita
tentang sebuah mitos atau kepercayaan yang ada didaerah Pontianak, Kalimantan Barat.
Dimana didaerah tersebut (khususnya suku melayu) sangat meyakini adanya kejadian yang
mereka sebut kemponan atau juga kampunan.
Kemponan atau kampunan adalah sebutan untuk suatu kejadian buruk yang menimpa
seseorang. Kemponan atau kampunan biasanya terjadi apabila kita menolak pemberian atau
penawaran seseorang (biasanya berbentuk makanan atau minuman seperti nasi atau kopi)
tanpa melakukan yang mereka sebut njamah. Njamah adalah tindakan menyentuh dengan
ujung jari sebagai bentuk penghormatan untuk si pemberi. Intinya penolakan dengan cara
halus. Sebagai contoh : apabila kita bertemu atau berkunjung kerumah seseorang dan orang
tersebut memberikan atau menawarkan kita makan maka apabila kita menolak kita harus
"menjamah" atau menyentuhkan ujung jari kita ke makanan tersebut. Apabila kita tidak
melakukan "njamah", maka diyakini pada hari itu kita akan mengalami suatu kejadian buruk
atau musibah,dan itulah yg disebut sebagai Kemponan atau kampunan . Awalnya saya tidak
mempercayai itu sehingga pada akhirnya apabila saya tidak melakukan itu akan ada saja
musibah atau ‘apes’ yang menimpa saya dan akan selalu begitu apabila saya melanggar.
Pembuktian saya terhadap Kemponan atau kampunan ini terbukti pada saat berpindah-
pindah kota di Kalimantan Barat. Jadi untuk Kemponan sendiri di tiap kota mempunyi level
tersendiri. Sebagai contohnya pula ketika saya tinggal di daerah pedalaman daerah Ketapang
yaitu Kendawangan, di daerah ini untuk menyebutkan makanan sendiri tidak di perbolehkan
atau di perbolehkan dengan syarat yaitu setelah menyebutkan makanan tersebut kita harus
segera mengucap “pusa-pusa palet” entah apa maksudnya tapi terkadang saya heran mengapa
bisa demikian dan hal itu memang benar adanya. Setelah saya bandingkan di kota lain seperti
contohnya di Pontianak, mengucap makanan di bebaskan namun apabila di tawari makanan
minimal kita harus menyentuhnya. Untuk membuktikan benar atau tidaknya mitos tersebut
3
silahkan anda coba dan buktikan sendiri jika anda berkunjung atau berada di kota pontianak.
Karna sesungguhnya musibah itu semua datangnya dari Allah S.W.T. Yang jelas sebagian besar
suku melayu pontianak meyakini akan hal tesebut.
BAHASA KALIMANTAN BARAT
Hasil pengamatan saya selama menetap beberapa tahun di Kalimantan Barat, bahasa
Indonesia merupakan bahasa yang secara umum dipakai oleh masyarakat Kalimantan Barat.
Selain bahasa Indonesia, terdapat bahasa penghubung dominan lainnya yaitu bahasa Melayu,
Melayu Sambas dan Bahasa Senganan menurut wilayah penyebarannya dan juga terdapat
beragam jenis Bahasa Dayak, Bahasa Tionghoa. Bahasa Melayu sendiri di Kalimantan Barat
terdiri atas beberapa jenis, antara lain Bahasa Melayu Pontianak dan Bahasa Melayu Sambas.
Bahasa Melayu Pontianak sendiri memiliki logat yang sama dengan bahasa Melayu Malaysia
dan Melayu Riau.
Di setiap kota biasanya mempunyai perbedaan bahasa berdasarkan pada dominan suku
di dalam kota tersebut. Seperti bahasa Cina atau Tionghoa lebih dominan di Kota Singkawang.
Bahasa Madura akan lebih sering terdengar di daerah pedalaman Pontianak. Bahasa Dayak di
daerah pedalaman Sintang. Dan melayu merupakan bahasa penghubung dari berbagai kota.
SUKU KALIMANTAN BARAT
Di Kalimantan Barat dalam pengetahuan saya yang pernah saya dapatkan terdapat
beragam suku yang menetap di sana, seperti suku Melayu, Madura, Bugis, Cina, Dayak, dan
banyak lagi yang menetap disana sebagai contoh dari suku Sunda, Batak, Jawa dan sebagainya
suku tersebut ada karena proses transmigrasi. Namun di antara sekian suku yang telah saya
sebutkan hanya empat suku yang saya anggap paling dominan di Kalimantan Barat yaitu
Melayu, Madura, Dayak, Cina. Agar lebih lengkapnya saya akan mengemukakan apa yang saya
ketahui tentang ke empat suku dominan tersebut yang terdapat di Kalimantan Barat :
Melayu
Suku Melayu di Kalimantan Barat tersebar luas hampir di semua kabupaten dan kota.
Setiap suku memiliki nama dan karakteristik yang berbeda. Suku Melayu di Kalimantan Barat
antara lain Melayu Pontianak, Melayu Singkawang, Melayu Mempawah, Melayu Sambas,
4
Melayu Bengkayang, Melayu Sanggau, Melayu Sekadau, Melayu Sintang, Melayu Kapuas Hulu,
Melayu Kubu, Melayu Sukadana dan Melayu Ketapang. Peninggalan sejarah dan budaya
Melayu di Kalimantan Barat tercermin pada peninggalan Keraton yang terdapat di seluruh
kabupaten kota. Adat dan tradisi masih dilestarikan secara turun temurun oleh generasi
penerusnya. Agama di suku melayu ini adalah mayoritas beragama islam bahkan bisa di bilang
hampir seratus persen beragama islam hal ini bisa dikaitkan dengan banyak peninggalan
kerajaan Islam di Kalimantan Barat.
Dialek melayu pontianak merupakan Bahasa Melayu yang dituturkan di Kota Pontianak,
Kabupaten Kubu Raya dan Kabupaten Pontianak serta memiliki kesamaan dengan Bahasa
Melayu Sarawak, Malaysia Timur. Bahasa Melayu Pontianak dipengaruhi oleh bahasa dayak
dari rumpun klemantan juga memiliki kesamaan beberapa kosa kata dengan bahasa melayu
yang dituturkan di wilayah Kabupaten Sambas, Kabupaten Kayong Utara dan Kabupaten
Ketapang. Bahasa Pontianak memiliki keunikan dalam penguncapan, dimana tidak mengenal
huruf 'R' dalam percakapan, sebab dalam bahasa melayu Pontianak yang digunakan adalah
'GH' yang berasal dari huruf arab 'غ' ghain. Kemudian terdapat tambahan 'bah' sebagai
penegas kata yang diucapkan sebelumnya. Dalam bahasa Melayu Pontianak tidak mengenal
tingkatan seperti Halus, Sebaya atau Kasar. Kasar dan halusnya seseorang berbicara tergatung
pada penekanan nada dan intonasi. Perbedaan mencolok antara Bahasa Melayu Pontianak
dengan Bahasa Melayu lainnya adalah dalam pembicaraan sehari-hari sering menggunakan
kata-kata yang disingkat dari kata asalnya. Pada penggunaan huruf "E" dalam bahasa Melayu
Pontianak terdapat dua cara pembacaan yakni "e" e pepet dan "é" e taling. "e" pada e pepet
digunakan seperti pada pelafalan huruf "e" pada kata "lemari" , sedangkan "é" pada e taling
digunakan seperti pada pelafalan huruf "e" pada kata "soré"
Madura
Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang
temperamental dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin, dan rajin
bekerja. Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit
penghasilannya untuk simpanan naik haji. karena suku madura kebanyakan beragama Islam.
Selain itu orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat, sekalipun kadang
melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan larung sesaji). Harga diri, juga
paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah peribahasa lebbi
5
bagus pote tollang, atembang pote mata. Artinya, lebih baik mati (putih tulang) dari pada malu
(putih mata). Sifat yang seperti ini melahirkan tradisi corak pada masyarakat Madura.
Beberapa kota di Kalimantan seperti Sampit dan Sambas, pernah terjadi kerusuhan etnis
yang melibatkan orang Madura di sebabkan oleh kesenjangan sosial, namun sekarang
kesenjangan itu sudah mereda dan etnis Madura dan penduduk setempat sudah rukun
kembal. Orang Madura pada dasarnya adalah orang yang mempunyai etos kerja yang tinggi,
suka merantau karena keadaan wilayahnya yang tidak baik untuk bertani. Orang perantauan
asal Madura umumnya berprofesi sebagai pedagang, misalnya: jual-beli besi tua, pedagang
asongan dan pedagang pasar.
Di Pulau Kalimantan, masyarakat Madura terpusat di kawasan Sambas, Pontianak,
Bengkayang dan Ketapang, Kalimantan Barat, sedangkan di Kalimantan Tengah mereka
berkonsentrasi di daerah Kotawaringin Timur, Palangkaraya dan Kapuas. Namun kebanyakan
generasi muda Madura di kawasan ini sudah hilang penguasaan terhadap bahasa ibu mereka.
Bahasa Madura mempunyai sistem pelafalan yang unik. Begitu uniknya sehingga orang
luar Madura yang berusaha mempelajarinya pun mengalami kesulitan, khususnya dari segi
pelafalan tadi. Bahasa Madura mempunyai lafal sentak dan ditekan terutama pada konsonan
[b], [d], [j], [g], jh, dh dan bh atau pada konsonan rangkap seperti jj, dd dan bb . Namun
demikian penekanan ini sering terjadi pada suku kata bagian tengah.Sedangkan untuk sistem
vokal, Bahasa Madura mengenal vokal [a], [i], [u], [e], [ə] dan [o].
Dayak
Sewaktu saya kelas dua Sekolah Dasar (SD) saya sempat tinggal di pedalaman ketapang
yang bernama Tumbang Titi. Di sana saya mendapatkan banyak pelajaran mengenai suku adat
Dayak ini. Akses jalan ke Tumbang Titi sangat luar biasa sulitnya, hanya jalan utama atau
tempat keramaian saja yang ada aspalnya itu pun dengan alakadarnya selebihnya tanah kuning
yang berlubang yang bisa megubur bis kecil. Di pengalaman ini saya akan bercerita lebih dalam
lagi mengenai suku Dayak. Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan.
Sedangkan agama yang mereka anut sangat variatif. Masyarakat Dayak masih memegang
teguh kepercayaan dinamismenya, mereka percaya setiap tempat-tempat tertentu ada
penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk
sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah
6
kekuasaan Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang gana (Dayak mualang) adalah penguasa
tanah, simara-mara (Dayak Kanayatn atau Ahe) adalah penguasa api dan lain-lain.
Adapun segelintir masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam dianggap oleh suku
dayak telah menjadi sama dengan suku melayu. Banyak yang lupa akan identitas sebagai suku
dayak mulai dari agama barunya dan aturan keterikatan dengan adat istiadatnya hingga
mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam memperlihatkan diri
sebagai suku melayu. Dan sesuai perkembangannya maka masuklah para misionaris dan misi
kristiani atau nasrani ke pedalaman Kalimantan. Setelah penduduk pendatang di pesisir
berasimilasi dengan suku Dayak yang pindah ke Agama Islam, agama islam lebih identik
dengan suku melayu dan agama kristiani atau nasrani atau kepercayaan dinamismenya lebih
identik dengan suku Dayak.
Secara keseluruhan Suku Dayak ini tak mengenal agama Kristen dan Islam. Kepercayaan
yang ada hanyalah kepercayaan pada leluhur, binatang-binatang, batu batuan, serta isyarat
alam pembawaan kepercayaan Hindu kuno. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari mereka
mempercayai berbagai pantangan yang tandanya diberikan oleh alam. Pantangan dalam
kehidupan masyarakat Dayak hanya ada dua, yaitu pantangan yang membawa kebebasan
sehingga populasi mereka bertambah banyak dan ada pula karena pantangan berakibat
populasi mereka semakin sedikit dan kini malah hampir punah. Seperti misal kehidupan yang
tak boleh berbaur dengan masyarakat lain dari suku mereka.
Pantangan ini membuat mereka selalu hidup tak tenang dan selalu berpindah pindah.
Sehingga kehidupan mereka tak pernah maju bahkan cendrung tambah primitif. Misalnya saja
seperti Suku Dayak Punan. Suku yang satu ini sulit berkomunikasi dengan masyarakat umum.
Kebanyakan mereka tinggal di hutan hutan lebat, di dalam goa-goa batu dan pegunungan yang
sulit dijangkau. Sebenarnya hal tersebut bukanlah kesalahan mereka. Namun karena budaya
pantangan leluhur yang tak berani mereka langgar terjadilah keadaan demikian. Hal ini
sebenarnya adalah kesalahan dari leluhur mereka.
Dalam riwayat atau cerita, leluhur mereka ini asal-usulnya datang dari negeri yang
bernama “Yunan“ sebuah daerah dari daratan Cina. Mereka berasal dari keluarga salah satu
kerajaan Cina yang kalah berperang yang kemudian lari bersama perahu-perahu, sehingga
sampai ke tanah Pulau Kalimantan. Karena merasa aman, mereka lalu menetap di daratan
tersebut. Walau demikian, mungkin akibat trauma peperangan, mereka takut bertemu dengan
kelompok masyarakat manapun. Mereka khawatir akan pembantaian dan peperangan
7
terulang kembali yang menyebabkan mereka bisa habis atau punah tak bersisa. Karena rasa
takut itu, para leluhur mereka melakukan pelarangan dan pantangan bertemu dengan orang
yang bukan dari kalangan mereka.
Cina
Dari pengalaman dan beberapa pengetahuan yang saya dapatkan selama di Kalimantan
Barat, tentang suku cina lebih banyak didapatkan di daerah Singkawang. Singkawang bisa di
bilang kota yang penduduknya mayoritas Cina atau Tionghoa. Oleh karena terlalu
mendominasinya suku Cina di Singkawang sampai-sampai untuk mencari makanan yang halal
saja sulit dan kebanyakan makanan dengan campuran babi dan anjing hitam. Kota ini hanya
berjarak 150 km atau dua sampai tiga jam dari Pontianak. Kota ini termasuk kota “satelit”
Pontianak, karena dari sisi pendapatan daerah dan aktifitas perekonomian masyarakat lebih
maju dan modern di banding kabupaten atau kodya lainnya di seluruh Kalimantan Barat dan
Pontianak sebagai ibukota Provinsi.
Kota Singkawang yang berpenduduk 300 ribu jiwa ini memang bergeliat dan lebih maju
dalam berbagai bidang. Apakah kota yang heterogen ini memiliki masyarakat dari berbagai
kalangan yang dapat berbaur sehingga memicu rasa saling ketergantungan dan bersaing secara
elegan sehingga bisa maju dan terlihat tertata dengan rapi? Tentu banyak faktor dan hal
lainnya yang menjadi sebab bangkitnya perekonomian kota Singkawang.
Salah satu faktor lainnya yang tidak kalah hebat adalah komposisi etnis yang ada di
Singkawang ternyata di dominasi oleh warga keturunan China (Tionghoa). Setelah itu barulah
warga Melayu, Dayak, Jawa dan lainnya datang ke daerah Singkawang. Maka tidak heran
komposisi penganut agama di seluruh Kabupaten Singkawang adalah 35% beragama Budha,
25% beragama Konghucu, 22% beragama Islam, 12% Kristen Katolik, 3% Protestan, 2% Tao
dan sisanya Hindu dan sebagainya.
Jika kita menuju ke kota Singkawang jalan darat dari pontianak, menjelang masuk ke
Kabupaten Singakwang telah terlihat suasana dan “aura” Tinghoa disepanjang kiri-kanan jalan
provinsi menuju ke Kota Singkawang. Rumah penduduk di kiri dan kanan jalan di desa-desa
dan kecamatan yang dilalui itu hampir seluruhnya warga Indonesia etnis China. Mereka seperti
masyarakat di desa atau kampung kita pada umumnya, ada yang sedang berkipas, selonjoran,
mengayunkan anak, merokok, dan berbagai aktifitas di desa lainnya. Sama persis, mereka
tinggal di negeri leluhurnya seperti kita juga.
8
Suku bangsa Tionghoa (biasa disebut juga Cina) adalah salah suatu etnis di Indonesia.
Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang Tengnang atau Thongnyin. Dalam
bahasa Mandarin mereka disebut Tangren Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang
Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai
orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai orang Han.
CINA DALAM DAYAK
Orang Dayak memanggilnya “sobat” (sahabat), mereka memanggil orang Dayak “darat”,
kadang-kadang dipanggilnya juga dengan sebutan laci. Laci artinya anak keturunan. La = anak,
Ci = orang atau keturunan. Anak hasil perkawinan Dayak dengan Cina disebut Pantokng dan
sebaliknya anak hasil perkawinan Cina dengan Dayak dikenal sebagai Pantongla.
Tulisan ini hanya memotret singkat dalam konteks sejarah, bagaimana hubungan Dayak
dan Cina yang hampir sempurna, khususnya kenapa Orang Dayak memanggil Orang Cina
“sobat”, sebuah tata nilai budaya yang sedemikian sempurna, sebagai perwujudan dari nilai-
nilai hidup yang dijaga dan dikembangkan selama ini.
Cina Dalam Dayak, Potret Inkulturasinya kata La Ci seringkali diplesetkan orang luar
untuk mempengaruhi relasi Dayak dengan Cina. Menurut Acui (2005), merujuk pada kata La Ci,
mungkin mereka mengakui secara “implisit” bahwa Dayak adalah keturunan dari kelompok
imigran yang telah datang masa 3000-1500 Sebelum Masehi.
Panggilan “sobat” Orang Dayak kepada Orang Cina diatas bukanlah tanpa alasan. Dalam
tradisi yang sangat sakral, misalnya dalam mitologi keagamaan, seorang tokoh Cina merupakan
salah satu tokoh penting yang sangat dihormati bahkan diakui sebagai leluhur orang Dayak.
Disebutkan, ada lima orang tokoh, yang mencipta adat: Ne Unte’ Pamuka’ Kalimantatn, Ne
Bancina ka Tanyukng Bunga, Ne Sali ka Sabakal, Ne Onton ka Babao, dan Ne Sarukng ka
Sampuro. Menurut pengakuan Singa Ajan (sembilan puluh empat tahun, seorang Singa atau
Timanggong, tinggal di kampong Rees-Menjalin-Landak), Ne Bancina adalah leluhur Orang
Cina, beliau tinggal di sebuah tanjung, yang bernama tanjung bunga, daerah pasir panjang-
Singkawang sekarang ini.
Sebagaimana sejarahnya, Dayak adalah merupakan keturunan Bangsa Weddoid dan
Negrito (Coomans,1987). Orang Negrito dan Weddoid telah ada di Kalimantan sejak tahun
8.000 sebelum masehi. Mereka tinggal di dalam gua dan mata pencaharian mereka adalah
berburu binatang. Kelompok ini menggunakan batu sebagai alat berburu dan meramu.
9
Warisan Weddoide yang masih bertahan hingga hari ini dan melekat pada sebagian kecil Orang
Dayak adalah menjadikan hewan anjing sebagai hewan sembelih dan kurban pada jubata
(Tuhan). Ini terjadi karena pada waktu itu banyak anjing hutan yang liar yang hidup di daerah
ini. Binatang ini menjadi hewan buruan yang mudah bagi kaum Weddoide yang masih memiliki
peralatan dari batu. Namun, kelompok ini sekarang telah lenyap sama sekali, setelah
kedatangan imigran baru yang dikenal sebagai Bangsa Proto Melayu atau Melayu Tua
(Wojowasito, 1957). Proto Melayu merupakan imigran kedua yang datang sekitar tahun 3000-
1500 SM. Menurut Asmah Haji Omar, peradaban kelompok ini lebih baik dari Negrito, mereka
telah pandai membuat alat bercocok tanam, membuat barang pecah belah dan alat-alat
perhiasan. Gorys Keraf (1984) mengatakan bahwa, kelompok imigran ini juga telah mengenal
logam, sehingga alat perburuan dan pertanian sudah menggunakan besi.
Emas merupakan penyebab terjadinya salah satu migrasi utama Orang Cina ke Kalbar
pada akhir abad ke-18 (Jackson,1970). Dari catatan sejarah, tahun 1745, dua puluh orang Cina
didatangkan dari Brunei oleh Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah untuk bekerja pada
pertambangan emas, utamanya di Mandor (wilayah Mempawah) dan di Monterado (Sambas).
Hasil emas mencapai puncaknya antara tahun 1790 dan 1820. Pada tahun 1810, produksi emas
dari Kalbar melebihi 350.000 troy ons, dengan nilai lebih dari 3,7 juta dollar Spanyol (Raffles,
1817). Keberhasilan pertambangan emas ini, menyebabkan Sultan Sambas dan Panembahan
Mempawah terus mendatangkan Orang Cina, hingga pada tahun 1770 orang Cina sudah
mencapai 20.000 orang. Menghindari perkelahian sesama perantauan setali sedarah, Lo Fong
Fak, pimpinan sebuah kongsi di Mandor menyatukan 14 kongsi yang tersebar dan mendirikan
sebuah pemerintahan “republic” Lan Fang pada tahun 1777. Republik ini berkuasa selama 108
tahun, 1777 - 1884. Pada masa Presiden Lan Fang ke-10, Presiden Liu Konsin yang berkuasa
sejak 1845-1848, Republik ini pernah melakukan pertempuran dengan Orang Dayak didaerah
Mandor, Lamoanak, Lumut, dan sekitarnya, hasilnya Orang Dayak kalah dan sebagian kecil
memilih bermigrasi kehilir Sungai Mandor, hingga akhirnya membentuk pemukiman diwilayah
Kesultanan Pontianak. Mereka inilah yang menjadi leluhur Orang Dayak di Sei Ambawang.
Perang ini dikenal sebagai “Perang Lamoanak”.
Sebagaimana bangsa lainnya, Orang Dayak sudah mengenal tradisi pertanian sebagai
mata pencaharian. Dalam mitologinya, sebelum padi dikenal, mereka meramu dan
mengumpulkan sagu liar (eugeissona utilis). Sagu liar ini banyak tumbuh ditanah-tanah
lembab, dikenal dengan nama rawa-rawa. Mereka mengambil pati dari sagu ini, lalu
10
memelihara tumbuhan sagu, seperti sekarang dilakukan oleh orang Ambawang, Kubu Raya.
Untuk mencampur sagu ini, mereka juga mengumpulkan dan memetik “kulat karakng” (sejenis
jamur) sebagai makanan pokok kedua.
Karena hasil emas mulai berkurang pada tahun 1820-an dan terus menurun dalam dua
dasawarsa berikutnya semakin banyak orang Cina diwilayah Republik Lan Fang yang beralih
keperdagangan dan pertanian dengan menanam padi, sayuran dan beternak babi. Hal ini
sesuai dengan penelitian Jessup, bahwa tradisi pertanian, khususnya tanaman padi Orang
Dayak setidaknya telah dilakukan sejak tahun 1820-an (Jessup, 1981). Tanaman padi mungkin
dibawa oleh imigran Cina ini (Bellwodd;1985). Bellwodd mencatat, padi liar dan padi-padian
lain telah dibudidayakan dipunggung Daerah Aliran Sungai Yangtze yaitu dilahan-lahan basah
musiman disebelah selatan Propinsi Kwang Tung, Fuk Chian, Yun Nan dan Kwang Sie. Hal ini
cocok dengan sebuah tulisan (Asali;2005;3), yang menjelaskan bahwa imigran Cina yang
datang ke Kalbar umumnya dari bagian selatan China, khususnya dari Propinsi Kwang Tung,
Fuk Chian, Yun Nan, dan Kwang Sie. Orang Dayak kemudian berubah dari masyarakat
pengumpul sagu liar menjadi masyarakat yang aktiv menanam padi (Ave, J.B., King, V.T, 1986)
dan menyelenggarakan siklus pertanian yang sarat ritual (Atok;2003;19). Padi pertama yang
ditanam dikenal dengan nama padi antamu’. Oleh Petani Dayak, hingga sekarang jenis padi ini
selalu ditanam, istilahnya “Ngidupatn Banih” (melestarikan benih). Jika merunut sejarah
tanaman padi ini, tidaklah mengherankan kalau dalam prosesi perladangan Dayak, dalam siklus
tertentu dan keadaan tertentu pula, nyaris mengikuti kalender Cina. Penanggalan Cina amat
berpengaruh dalam tradisi perladangan Dayak, hingga hari ini.
Pola pertanian dilahan basah, diyakini juga sebagai warisan Orang Cina di Kalimantan
Barat. orang Dayak mengenalnya dengan istilah Papuk/ Gente’/Bancah (sawah). Budaya
pertanian ini dibawa kelompok migrasi terakhir dari Propinsi Yun Nan terjadi tahun 1921-1929,
ketika di Tiongkok (Cina) terjadi perang saudara. Saat ini, diberbagai tempat kita masih
menjumpai nama sawah berasal dari kata Cina. Di Kampung Nangka, 102 Km dari Pontianak,
kita dengan mudah mendapatkan nama tempat berasal dari Cina; Ju Tet, Kubita, Pahui, dll. Ini
sekaligus bukti, bahwa pencetakan sawah awalnya diperkenalkan mereka. Latar belakang
kelompok imigran baru ini memang kebanyakan petani Orang Hakka.
Selain itu, sejak tahun 1880, orang Cina juga mulai membuka perkebunan lada, gambir
dan setelah tahun 1910 memulai perkebunan karet (Hevea brasiliensis;Euphorbiaceae) (lihat
Dove,R.Michael;1988) . Acong (70 tahun), warga Sei Nyirih Selakau-Sambas, menceritakan
11
pada saya bahwa pernah ada sebuah perusahaan besar “KAHIN”, milik Tjiap Sin. Perusahaan ini
berdagang gambir, cengkeh, kopra dan lada, dijualnya ke Singapura. Ia memiliki kapal layar
besar. Untuk ke Singapura, mereka hanya membutuhkan waktu sekitar 3 hari dari Selakau.
Seiring menipisnya hasil Gambir, Cengkeh, Lada dan Kopra, pada tahun 1958, perusahaan ini
tutup.
Pembauran Orang Dayak dengan Orang Cina yang terjadi sejak berabad-abad silam,
menurunkan perilaku kebudayaan unik, khususnya peralatan adat istiadat dan hukum adat
dalam budaya Dayak. Saat ini, masih dapat kita lihat dari alat-alat peraga adat (dan hukum
adat) yang menggunakan keramik-keramik Cina. Pengaruh ini mungkin hasil dari perdagangan
dan hubungan diplomasi mereka dengan bangsa Cina yang sempat tercatat dalam sejarah
dinasti Cina dari abad ke-7 sampai abad ke-16. Pedagang Cina menukar keramik, guci anggur
dan uang logam dengan hasil-hasil hutan yang dikumpulkan Orang Dayak seperti kayu gaharu,
gading burung rangok (enggang), serta sarang burung walet. Pedagang dari Siam juga
membawa guci-guci yang terbuat dari batu yang masih banyak digunaan Orang Dayak untuk
mas kawin dan untuk upacara penguburan (Fridolin Ukur;1992).
Uniknya, pada peristiwa “demonstrasi” yang berlangsung sekitar 2 bulan, dari Oktober
hingga November 1967, satu titik waktu dimana rezim Orde Lama beralih ke Orde Baru, Orang
Dayak menyebarkan ”Mangkok Merah” sebagai media komunikasinya, untuk ”penghukuman
sosial” terhadap Cina dipedalaman yang ditengarai berafiliasi dengan gerombolan
PGRS/Paraku yang berideologi komunis. Ratusan ribu Orang Cina harus rela meninggalkan
kampung-kampung dipedalaman, dimana sejak ratusan tahun mereka telah berinteraksi positif
dengan Orang Dayak.
Tidak cuma itu, istilah keseharian dalam bahasa Cina dengan mudah kita temui
dikalangan Orang Dayak. Di Kampung Rees, misalnya hampir semua proses pesta (baik pesta
padi, perkawinan, sunatan, dll) istilah-istilah ini muncul. Dari menentukan waktu pesta
(penanggalan Cina; ari segol, dll), nama tempat (tapsong, teosong,dll), nama alat (ten, teokang,
dll), jenis masakan (saunyuk, tunyuk, dll) hingga prosesi makan (concok). Bahkan,alat-alat
pesta maupun alat peraga adat (dan hokum adat) juga menggunakan prototive yang berasal
dari Cina, misalnya; tempayan (tapayatn jampa, siam, manyanyi, batu, dll), mangkuk
(mangkok), piring (pingatn), sendok (teokang), nampan (pahar), dll.
Dalam tradisi minuman, Cina dalam Dayak juga dapat kita lihat dari tradisi minuman
keras, khususnya jenis arak. Sebelumnya Orang Dayak hanya mengenal tuak, yang terbuat dari
12
saripati tanaman aren. Di Cina, minum arak sudah menjadi budaya yang tak terpisahkan. Oleh
karena itu kita mengenal dewa mabuk dalam cerita-cerita kungfu. Arak, selain untuk meramu
obat tradisional Cina, yang dikenal sebagai “tajok atau pujok” oleh Orang Dayak juga sebagai
bahan penyedap. Kini, arak telah menjadi bagian sehari-hari bagi kehidupan Orang Dayak.
Tak hanya itu, Cina dalam Dayak juga dapat dilihat dari persenjataan, khususnya
pembuatan senjata api “senjata lantak” sebagai alat berburu dari Orang Cina. Bubuk mesiu
ditemukan oleh ahli ahli kimia Cina pada abad ke-9 ketika sedang mencoba membuat ramuan
kehidupan abadi. Bubuk mesiu ini dibawa tentara Cina yang menetap di Kalimantan setelah
tujuan mereka menghukum Raja Kertanegara. Banyak bukti bahwa penggunaannya dengan
belerang banyak dipakai sebagai obat (Wayne Cocroft; 2000). Sebelum mengenal senjata
lantak dan mesiu, senjata untuk berburu dikalangan Orang Dayak masih berupa tombak dan
sumpit. Tidak cuma itu, “judi” juga diperkenalkan kelompok etnik ini kepada Orang Dayak.
Beragam jenis judi; Liong Fu, Te Fo, Kolok-Kolok, Sung Fu, dan lain-lain sangat digemari Orang
Dayak hingga hari ini. Disetiap pesta, keramaian, warung/toko, dengan mudah ita menjumpai
jenis-jenis permainan judi ini.
Dan bahkan, kegigihan Orang Cina dalam politik juga menjadi inspirasi bagi Orang Dayak.
Sejak tahun 1941, mereka mulai mengembangkan diri dalam perjuangan politik. Sebagaimana
diketahui, umumya kelompok Cina di Kalimantan Barat berasal dari Orang Hakka yang sangat
terkenal keuletannya.Orang Hakka lebih independent-minded (berpikiran bebas), lebih mudah
melepaskan diri dari tradisi dan menangkap idea baru untuk hidup. Tidak heran, orang Hakka
adalah termasuk orang tionghoa yang cepat mengadopsi ide-ide Barat dibanding dengan yang
lain dan mengkombinasikannya dengan budaya Hakka. Dan tekanan kepahitan hidup yang
mereka rasakan menjadikan mereka lebih mudah menjadi kaum revolusioner, lebih progresif,
dan lebih berani maju untuk menuntut pembaharuan, dan banyak pelopor-pelopor
pembaharuan Cina modern berasal dari Hakka. Fleksibilitas orang Hakka dalam menyerap ide-
ide baru, tidak bersikeras untuk mempertahankan tradisi lama yang menghambat, menjadikan
Hakka sebagai etnis yang unik dalam sejarah China modern. Bukan kebetulan, kalau
pemberontakan terbesar di China pada abad ke-19 yang melibatkan puluhan juta manusia, dan
termasuk pemberontakan paling berdarah dalam sejarah kemanusiaan didunia, dimotori oleh
orang Hakka. Literasi sejarah inilah yang kemudian disambung Orang Hakka di Kalimantan
Barat dengan mendirikan sebuah Negara “republic” Lan Fang tahun 1777-1884. Selama
13
Kolonial Belanda, republic ini pernah 2 kali berperang dengan Belanda, yakni tahun 1854-1856
dan tahun 1914-1916. Perang itu dinamakan “Perang Kenceng” oleh masyarakat Kalbar.
Sikap revolusioner Orang Cina juga muncul ketika Jepang menduduki Pontianak tahun
1941. Sekelompok Cina mendirikan organisasi bawah tanah dan menyiapkan diri untuk perang
terbuka, namun niat ini menjadi hilang ketika hadir ”tragedi mandor”, sebuah pembunuhan
massal oleh Jepang di Mandor, bekas ibukota Republik Lan Fang. Orang Cina kehilangan
banyak sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu secara ekonomi. Dan karena sikap
yang cenderung bersahabat dengan Orang Dayak, melalui Partai Persatuan Daya (PD),
membuat sebagian elit Orang Cina yang lolos dari ”penyungkupan” berhasil mengkonsolidasi
kekuatan politiknya, dan pada pemilu 1955 dan pemilu 1958, kelompok ini menang. Hal ini
kemudian mengantarkan JC.Oevaang Oeray, tokoh Dayak asal Hulu Kapuas menjadi Gubernur
Kalimantan Barat dan berhasil menempatkan dirinya sebagai refresentasi kelompok etnik yang
berkuasa selama delapan (8) tahun. Dipergantian rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru,
hubungan Cina-Dayak terganggu dengan munculnya peristiwa “demonstrasi”, persahabatan
sirna dan akibatnya puluhan ribu orang Cina harus rela “keluar” dari teritori Dayak dan
mengkonsentrasikan diri di kawasan pesisir, yang selama ini menjadi teritori “Melayu”. Empat
puluh satu tahun (41 tahun) terabaikan, dipenghujung tahun 2007, konsolidasi politik Orang
Cina dan Orang Dayak menemukan klimaksnya, mereka kembali menempatkan dirinya sebagai
refresentasi kelompok etnik yang berkuasa di Kalimantan Barat.
Jika merujuk pada fakta budaya pada kelompok etnik Dayak Mampawah diatas, bagi
saya, kemungkinan besar budaya Dayak sekarang ini merupakan hasil inkulturasi budaya Cina,
walaupun kenyataannya menjadi budaya yang diakui sebagai tradisi Dayak. Mungkin saja,
contoh diatas hanyalah contoh kecil dari inkulturasi Cina dalam Dayak. Saya memahami bahwa
kebudayaan itu selalu bersifat dinamis, namun fakta bahwa tatanan sosial dan tradisi Dayak
telah berinkulturasi secara tajam dan dalam dengan budaya Cina. Cina benar-benar telah
masuk dalam diri Dayak, diberbagai bidang kehidupan, hingga hari ini.
KONFLIK ANTARA SUKU DAYAK DAN MADURA
Konflik antar etnik dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pertentangan alamiah yang
dihasilkan oleh individu atau kelompok yang berbeda etnik, karena diantara mereka memiliki
perbedaan dalam sikap, kepercayaan, nilai, atau kebutuhan (Liliweri, 2005:146).
14
Konflik adalah masalah yang lazim yang terjadi dilingkungan masyarakat. Banyaknya
perbedaan menjadi alasan yang mendasar. Begitupun yang terjadi ketika perang antar suku
yang terjadi di Indonesia.
Perang antar suku yang terjadi antara suku dayak dan suku madura memang telah lama
berlalu. Konflik-konflik kekerasan yang terjadi antara Suku Dayak dan Suku Madura disebabkan
oleh faktor-faktor struktural yang dilandasi oleh faktor faktor kultural; apabila faktor-faktor
struktural dan kultural ini tidak diatasi dengan tuntas dan sepanjang resoluasi konflik tidak
mengedepankan resolusi yang berbasis pada budaya dan kepercayaan masyarakat maka
konflik kekerasan diperkirakan akan terus berulang.
Yohanes menyebutkan bahwa konflik kekerasan antara Suku Dayak dan Suku Madura di
Kalimantan Barat selama ini memang tidak terlepas dari adanya tradisi kekerasan dalam Suku
Dayak, namun sebenarnya bukan tradisi ini yang menjadi penyebab utama konflik melainkan
lebih sebagai akibat dari adanya pemanfaatan oleh pihak-pihak lain yang menginginkan
kekerasan terjadi di Kalimantan Barat. Selain itu, oleh mereka sendiri kekerasan tidak pernah
dikaitkan dengan isu-isu keagamaan
Di sisi Suku Madura, perilaku dan tindakan orang Madura yang tinggal di Kalimantan
Barat, baik yang sudah lama maupun masih baru tidak banyak berbeda dengan perilaku dan
tindakan mereka di tempat asalnya di pulau Madura. Orang Madura biasanya akan merespon
amarah atau kekerasan berupa tindakan resistensi yang cenderung berupa kekerasan pula
(Yohanes Bahari, 2002:314). Karena itu, kecenderungan kekerasan ini pulalah yang mudah
dipicu untuk menimbulkan konflik dengan suku lain.
PERBEDAAN STEREOTIP
Setiap suku tentu memiliki budaya, adat istiadat dan kebiasaan beragam.
Keanekaragaman tersebut tentunya membawa dampak dan konsekuensi sosial bagi kehidupan
berbangsa. Jika tidak disikapi dengan baik, perbedaan tersebut justru menjadi faktor utama
penyebab terjadinya perang antar suku.
Setiap suku akan menginterpretsikan budaya yang mereka miliki dalam lingkungannya
sehingga terciptalah stereotip yang dapat mengakibatkan lestarinya perbedaan. Penonjolan
stereotip suatu suku amat berbahaya. Namun, faktanya stereotip dan stigma buruk itu tetap
15
hidup. Bahkan, tanpa disadari kian meluas. Bahaya karna hal ini dapat menimbulkan
pepecahan perang antar suku pun menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan.
Contoh nyatanya adalah stereotip orang Madura dalam pengetahuan orang Indonesia
pada umumnya. Orang Madura kadang identik dengan watak yang kasar dan keras. Sering
menyelesaikan masalah dengan carok, mengakhiri sengketa dengan cara duel maut yang
berujung kematian. Penyebabnya adalah dendam atau pembalasan pihak keluarga dan kerabat
yang terluka. Bahkan, tewas. Bisa dibayangkan bagaimana keadaan perang antar suku yang
melibatkan suku Madura.
PERTIKAIAN DAYAK - MADURA
Terjadi dua kali kerusuhan berskala besar antara suku Dayak dan Madura, yaitu
peristiwa sampit (2001), dan Senggau Ledo (1996). Kedua kerusuhan ini merembet ke hampir
semua wilayah Kalimantan dan berakhir dengan pengusiran dan pengungsian ribuan warga
Madura, dengan jumlah korban hingga mencapai 500-an orang. Perang antar suku ini menjadi
masalah sosial yang me-nasional.
Ada empat hal yang menjadi penyebab terjadinya perang suku antara suku Dayak dan
suku Madura :
Perbedaan antara dayak-madura
Perbedaan budaya jelas menjadi alasan mendasar ketika perang antar suku terjadi.
Masalahnya sangat sederhana, tetapi ketika sudah berkaitan dengan kebudayaan, maka hal
tersebut juga berkaitan dengan kebiasaan.
Misalanya permasalahan senjata tajam. Bagi suku dayak, senjata tajam sangat dilarang
keras dibawa ketempat umum. Orang yang membawa senjata tajam kerumah orang lain,
walaupun bermaksud bertamu, dianggap sebagai ancaman atau ajakan berduel. Lain halnya
dengan budaya suku madura yang biasa menyelipkan senjata tajam kemana-mana dan
dianggap biasa ditanah kelahirannya.
Bagi suku dayak, senjata tajam bukan untuk menciderai orang. Bila hal ini terjadi,
pelakunya harus dikenai hukuman adat pati nyawa (bila korban cidera) dan hukum adat
pemampul darah (bila korban tewas). Namun, bila dilakukan berulang kali, masalahnya
berubah menjadi masalah adat karena dianggap sebagai pelecehan terhadap adat sehingga
16
simbol adat “mangkok merah” (Dayak Kenayan) atau “Bungai jarau” (Dayak Iban) akan segera
berlaku. Dan itulah yang terjadi dicerita perang antar suku Dayak-Madura.
Perilaku yang tidak menyenangkan
Bagi suku Dayak, mencuri barang orang lain dalam jumlah besar adalah tabu karena
menurut mereka barang dan pemiliknya telah menyatu; ibarat jiwa dan badan. Bila dilanggar,
pemilik barang akan sakit. Bahkan, bisa meninggal. Sementara orang madura sering kali
terlibat pencurian dengan korbannya dari suku dayak. Pencurian yang dilakukan inilah yang
menjadi pemicu pecahnya perang antara suku dayak dan madura.
Pinjam meminjam tanah
Adat suku dayak membolehkan pinjam meminjam tanah tanpa pamrih. Hanya dengan
kepercayaan lisan, orang madura diperbolehkan menggarap tanah orang dayak. Namun,
persoalan timbul saat tanah tersebut diminta kembali. Seringkali orang madura menolak
mengembalikan tanah pinjaman tersebut dengan alasan merekalah yang telah menggarap
selama ini.
Dalam hukum adat Dayak, hal ini disebut balang semaya (ingkar janji) yang harus dibalas
dengan kekerasan. Perang antar suku Dayak dan Madura pun tidak dapat dihindarkan lagi.
Ikrar perdamaian yang dilanggar
Dalam tradisi masyarakat Dayak, ikrar perdamaian harus bersifat abadi. Pelanggaran
akan dianggap sebagai pelecehan adat sekaligus pernyataan permusuhan. sementara orang
Madura telah beberapa kali melanggar ikrar perdamaian. Dan lagi-lagi hal tersebutlah yang
memicu perang antar suku tersebut.
Menurut pendapat saya di dalam konflik ini tidak ada yang dapat disalahkan, walaupun
cenderung madura lah yang salah. Pada intinya didalam konflik ini hanya tidak ada jiwa
pancasilanya. Karena konflik ini tidak akan bisa besar kalau seandainya ada jiwa pancasila
sesuai dengan sila-sila dinegara ini. Dilihat dari kerasnya watak-watak suku dayak dan madura
dan tidak ada jiwa kemanusiaannya.
Perbedaan adat istiadat di suatu daerah sangat berbeda-beda harusnya sebagai
perantau dapat beradaptasi sesuai dengan adat disekitarnya, dan bisa bisa bersosialisasi
dengan suku di daerah tersebut.
17
Kesan Penutup
Saya semestinya harus banyak-banyak bersyukur tentang pengalaman yang saya
dapatkan selama di Kalimantan Barat karena tidak semua orang mendapatkan kesempatan
dan pengalaman itu.
18