jurnal universitas abulyatama

36
Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421 1 1. Model Pembelajaran Integratif Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing Berdasarkan Pendekatan Komunikatif di Sekolah Dasar. Oleh Prof. Dr. A. Halim Majid, M.Pd. 2. The Communicative Language Teaching Oleh Putri Dini Meutia 3. Kajian Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Nagan Raya Oleh Irwan Safwadi, S.E. 4. Pengembangan Tanaman Kakao Rakyat di Kabupaten Pidie Jaya Oleh Ir. Syarifuddin, M.Si. 5. Perencanaan Pengembangan Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Aceh Barat Daya Oleh Yusri, S.E. M.Si. 6. Permasalahan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Oleh Drs. Yusri, M.Pd. 7. Peningkatan Mutu Satuan Pendidikan Melalui Manajemen Berbasis Sekolah Oleh Drs. Zamzami, M.Si. 8. Analisis Perkembangan Ekspor dan Impor serta Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Oleh Yuliana, S.E. 9. The Contributions and Challenges for Educational Leaders Brought About by the Behavioral Science Approach, the Participatory Management Model and Deming’s Total Quality Management. Oleh Alfiatunnur, M.Ed. 10. Pengaruh Strategi Pembelejaran dan Kognitif Terhadap Hasil Belajar IPA Murid SD Negeri Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Oleh Drs. Razali, M.Pd. 11. Tinjauan Yuridis Pelaksanaan UU No. 22 Tahun 2007 dan Qanun No. 7 Tahun 2007 (Studi Kasus Pembentukan Panwaslu Aceh Tahun 2009) Muhammad Nur, S.H. M. Hum. Vol. II No. 2, OKTOBER 2011

Upload: imam-ahmad

Post on 08-Mar-2016

225 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Jurnal Universitas Abulyatama

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

1

1. Model Pembelajaran Integratif Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing Berdasarkan Pendekatan Komunikatif di Sekolah Dasar.

Oleh Prof. Dr. A. Halim Majid, M.Pd.

2. The Communicative Language Teaching Oleh Putri Dini Meutia

3. Kajian Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Nagan Raya Oleh Irwan Safwadi, S.E.

4. Pengembangan Tanaman Kakao Rakyat di Kabupaten Pidie Jaya Oleh Ir. Syarifuddin, M.Si.

5. Perencanaan Pengembangan Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Aceh Barat DayaOleh Yusri, S.E. M.Si.

6. Permasalahan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Oleh Drs. Yusri, M.Pd.

7. Peningkatan Mutu Satuan Pendidikan Melalui Manajemen Berbasis Sekolah Oleh Drs. Zamzami, M.Si.

8. Analisis Perkembangan Ekspor dan Impor serta Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Oleh Yuliana, S.E.

9. The Contributions and Challenges for Educational Leaders Brought About by the Behavioral Science Approach, the Participatory Management Model and Deming’s Total Quality Management. Oleh Alfiatunnur, M.Ed.

10. Pengaruh Strategi Pembelejaran dan Kognitif Terhadap Hasil Belajar IPA Murid SD Negeri Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Oleh Drs. Razali, M.Pd.

11. Tinjauan Yuridis Pelaksanaan UU No. 22 Tahun 2007 dan Qanun No. 7 Tahun 2007 (Studi Kasus Pembentukan Panwaslu Aceh Tahun 2009) Muhammad Nur, S.H. M. Hum.

Vol. II No. 2, OKTOBER 2011

Page 2: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

JURNAL ISSN 2086-8421

TASIMAKMedia Sain dan Teknologi Abulyatama

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ Volume II, No. 2 – Oktober 2011

Pelindung/Pembina : Rektor Universitas AbulyatamaPenanggung Jawab : Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian

Kepada Masyarakat Universitas Abulyatama

Pemimpin Redaksi : Drs. Yusri, M.Pd.

Redaktur Ahli : Prof. Dr. H. Warul Walidin, A.K. M.A. (IAIN) Prof.H. Burhanuddin Salim, M.Sc. Ph.D. (Unsyiah) Prof. Dr. Ir. H.M. Hasan Suud, M.Sc. (Unsyiah) Prof. Dr. A. Halim Majid, M.Pd. (Unaya)

Drs. Azwar Thaib, M.Si. (Unaya)

Redaktur Pelaksana : Drs. Zamzami A.R., M.Si. Yuliana, S.E. Yulinar, S.Pd.

Dewan Redaksi : Muhammad Nur, S.H., M.Hum Ir. Mulyadi Ir. H. Firdaus, M.Si. Dewi Astini, S.H., M.Hum. Maryati B, S.H., M.Hum. Drs. Tamarli, M.Si. Yulfrita Adamy, S.E. M.Si. Drs. H.M. Hasan Yakob, M.M.

Drs. Bukhari, M.Si. Fakhrurazi Abbas, S.E., M.Si.

Distributor/Komunikasi : Drs. Akhyar, M.Si. Drs. Muhammad, M.Si.

Bendahara : Drs. Nasruddin A.R., M.Si.

Desain Cover : aSOKA Communications (www.asoka.web.id)

Alamat Redaksi : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Abulyatama, Jl. Blang Bintang Lama km 8,5

2

Page 3: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Lampoh Keude – Aceh Besar, Telepon 0651 21255

DAFTAR ISI Halaman

1. Model Pembelajaran Integratif Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing

Berdasarkan Pendekatan Komunikatif di Sekolah Dasar.

Oleh Prof. Dr. A. Halim Majid, M.Pd. ............................................................... 1 – 7

2. The Communicative Language Teaching

Oleh Putri Dini Meutia ....................................................................................... 8 – 15

3. Kajian Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Nagan Raya

Oleh Irwan Safwadi, S.E. .................................................................................... 16 – 29

4. Pengembangan Tanaman Kakao Rakyat di Kabupaten Pidie Jaya

Oleh Ir. Syarifuddin, M.Si. ................................................................................. 30 – 46

5. Perencanaan Pengembangan Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Aceh Barat

Daya

Oleh Yusri, S.E. M.Si. ........................................................................................ 47 – 57

6. Permasalahan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah

Oleh Drs. Yusri, M.Pd. ....................................................................................... 58 – 68

7. Peningkatan Mutu Satuan Pendidikan Melalui Manajemen Berbasis Sekolah

Oleh Drs. Zamzami, M.Si. ................................................................................. 69 – 77

8. Analisis Perkembangan Ekspor dan Impor serta Pengaruhnya Terhadap

Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia

Oleh Yuliana, S.E. .............................................................................................. 78 – 87

9. The Contributions and Challenges for Educational Leaders Brought About by

3

Page 4: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

the Behavioral Science Approach, the Participatory Management Model and

Deming’s Total Quality Management.

Oleh Alfiatunnur, M.Ed. .................................................................................... 88 – 90

10. Pengaruh Strategi Pembelejaran dan Kognitif Terhadap Hasil Belajar IPA

Murid SD Negeri Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh Propinsi Nanggroe

Aceh Darussalam

Oleh Drs. Razali, M.Pd. ..................................................................................... 91 – 100

11. Tinjauan Yuridis Pelaksanaan UU No. 22 Tahun 2007 dan Qanun No. 7 Tahun

2007 (Studi Kasus Pembentukan Panwaslu Aceh Tahun 2009)

Oleh Muhammad Nur, S.H. M. Hum. ................................................................. 101 – 109

MODEL PEMBELAJARAN INTEGRATIF BAHASA INGGRISSEBAGAI BAHASA ASING BERDASARKAN PENDEKATAN

KOMUNIKATIF DI SEKOLAH DASAR

(English Integrative Teaching Model as a Foreign LanguageBased on Communicative Approach at Elementary School)

oleh

A.Halim Majid *)

ABSTRACT

This research aimed at designing an instructional model, called “integrated model”, which will improve the mastery of English. If this aim is attained, it is expected that the model should increase the quality of the implementation of the English curriculum at the primary school. To

* Prof. Dr. A. Halim Majid, M. Pd. adalah staf pengajar pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Abulyatama Banda Aceh.

4

Page 5: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

achieve of this aim, the research has been carried out by using a research and development method. First of all, a prasurvey was carried out to identify how English has been learned by primary school students. Then, the results of the prasurvey were used to develop the integrated model. While the model was being tested, adjustments were made along the way the implementation at elementary level, bearing in mind the different phases of development that elementary students went through. Tests were carried out at grade 5 elementary school of the fair quality scale with assumption that if the model could be successfully implemented at these places, it can be implemented with even more success at better schools. The result of the test indicated the improvements in both the students’ learning and the teachers’ performance. Thus, the research progressed in the form of experiments comparing the way that study was carried out using the integrated model and the way that study is carried out conventionally. The test showed that the students’ achievements were higher when compared to either the pretest of the control group. This demonstrates that the integrated model is effective in increasing students’ achievements learning English (in this particular case, developing the ability of mastering English) and is relevant to be used for the teaching of English. It is also effective in improving teachers’ performance. Therefore, it can be concluded that the integrated model is effective to improve the quality of English instruction.

Key words: integrative model, foreign language, communicative approach

I. PENDAHULUANDi Indonesia, bahasa Inggris

merupakan bahasa asing pertama yang menjadi pelajaran wajib mulai tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama. Bahkan mulai tahun 1994, bahasa Ingris disarankan untuk ditawarkan menjadi pelajaran pilihan pada tingkat sekolah dasar di sekolah-sekolah tertentu sebagai muatan lokal.

Kegagalan pengajaran bahasa Inggris di SD selama ini disebabkan oleh pendekatan yang digunakan tidak terfokus kepada upaya untuk menciptakan kemampuan/ keterampilan komunikatif siswa. Walaupun di dalam kurikulum/GBPP ditegaskan pendekatan ko-munikatif, implementasinya menunjukkan pendekatan lain. Ada sejumlah gejala yang harus diwaspadai sebagai berikut. Pertama, para guru bahasa Inggris lulusan lembaga kependidikan tidak dipersiapkan untuk meng-ajar bahasa Inggris di Sekolah Jadi, secara profesional mereka tidak siap untuk itu. Mereka tidak dibekali wawasan psikologi anak, teori belajar dan mengajar bahasa asing pada anak anak. Dan, yang terpenting mereka pada

umumnya mereka belum mengalami praktek mengajar di lapangan. Kedua, para guru sekolah dasar adalah orang dewasa dan dengan begitu cenderung menggunakan kerangka. ‘dunia orang dewasa’ sewaktu mengajar anak-anak, padahal anak-anak jauh berbeda dari orang dewasa dalam hal perkembangan psikologi dan bahasanya. Dengan demikian, generalisasi dan pemberlakuan satu pendekatan pengajaran untuk dua kelompok pembelajar yang berbeda merupakan dosa edukasional. Ketiga, karena belum ada aturan yang jelas ihwal persyaratan kualifikasi pengajar sementara minat belajar bahasa Inggris di sekolah dasar semakin menggelora, banyak sekolah dasar yang mempekerjakan guru bahasa ‘karbitan’, yang tidak memiliki kefa-sihan yang memadai dalam bahasa Inggris. Sesungguhnya, ujaran guru—tekanan kata, intonasi, ucapan, ejaan, juga aspek paralinguistik seperti gerak-gerik tubuh dan raut muka sewaktu berbahasa Inggris—merupakan model utama yang akan ditiru siswa (Alwasilah, 2000).

5

Page 6: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Bahwa upaya peningkatan kualitas, efektivitas, dan efisiensi pendidikan tidak dapat berhasil dengan baik tanpa didukung peningkatan kualitas pembelajaran. Peluang yang dibawa Kurikulum 1994 yang membe-rikan keleluasaan kepada guru sebagai pengembang kurikulum di dalam kelas juga belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena keterbatasan kemampuan guru. Ke-terbatasan kemampuan ini berdampak pada munculnya sikap intuitif dan spekulatif dalam menggunakan metode pembelajaran. Kondisi ini berakibat pada rendahnya mutu pem-belajaran yang bermuara pada rendahnya mutu hasil belajar.

Salah satu cara yang dapat dilakukan agar kondisi yang kurang menguntungkan itu tidak berkembang lebih jauh, guru perlu diberi suatu preskripsi model pembelajaran, yang meru-pakan model yang sangat memadai dalam memfasilitasi guru merancang pembelajaran yang berkualitas, suatu pembelajaran yang efektif, efisien, dan memiliki daya tarik yang tinggi.

Uraian di atas menggambarkan situasi pendidikan bahasa ditinjau dari sudut pendekatan belajar-mengajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Uraian tersebut menggambarkan bahwa masalah pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar cukup kompleks.

Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.1. Kemampuan dan kinerja guru bagaimana

yang dituntut dalam penerapan model integratif?

2. Media pembelajaran bagaimana yang dituntut dalam implementasi model integratif?

3. Kemampuan dan kegiatan siswa bagaimana yang dituntut dalam penerapan model integratif?

II. METODE PENELITIANStudi ini diselesaikan melalui

penelitian dan pengembangan. Seiring dengan itu, penelitian ini bertujuan memproduksi dan memvalidasi satu model pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing pada anak usia sekolah dasar dengan pendekatan komunikatif. Wujud fisiknya akan berupa satu set bahan penyajian yang digunakan guru dan satu set bahan pembelajaran yang digunakan siswa yang disertai dengan contoh-contoh satuan pengajaran, materi belajar, prosedur interaksi belajar-mengajar situasional, media dan alat pelajaran dan evaluasi hasil belajar. Model ini akan dilengkapi dengan uraian landasan filosofis, konsepsi teoretis, dan empiris. Apa yang disajikan oleh penulis bukanlah model yang sangat terinci, melainkan model dalam garis besarnya saja.

Prosedur penelitian ditempuh melalui dua tahap kegiatan penelitian pokok. Kegiatan penelitian pertama berupa penelitian kepus-takaan dan penelitian laboratoris untuk menyusun model konseptual atau pramodel yang diinginkan, sedangkan kegiatan penelitian tahap kedua berupa uji empiris untuk memvalidasi model dengan pendekatan desain eksperimental semu. Temuan dari validasi empiris ini digunakan untuk menghaluskan model konseptual. Model yang telah diha-luskan inilah produk akhir penelitian, disertai dengan rekomendasi bagi diseminasi dan pengembangannya lebih lanjut. Penelitian uji coba model mengambil lokasi di SDPN Jalan Setiabudi Bandung dengan populasi siswa-siswa kelas 5B tahun ajaran 1999/2000.

Uji statistiik untuk penelitian eksperimental dan uji hipotesis dilakukan melalui teknik uji t dan uji kovarian. Uji-uji statistik dilakukan dengan komputer melalui The Statistical Package for the Social Sciences/PC + for DOS versi 4.00.

6

Page 7: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Kemampuan dan Kinerja Guru yang Dituntut

Implementasi model pengembangan pada saat uji coba memperlihatkan perbaikan kinerja guru. Kemampuan dan kinerja yang dituntut sejak tahap pengembangan perencanaan pengajaran sampai ke tahap kegiatan belajar mengajar menyebabkan guru tidak lagi dapat mengabaikan perencanaan pengajaran dan melaksanakan pembelajaran dengan seadanya. Tuntutan terhadap kemampuan dan kinerja guru pada tahap pengembangan perencanaan pengajaran menyebabkan guru harus memahami tuntutan kurikulum, memahami keluasan dan kedalaman materi, sampai kepada menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam materi. Dalam hal ini guru harus menambah wawasan substansi materi dan wawasan kurikulum.

Tuntutan terhadap kemampuan dan kinerja guru dalam tahap kegiatan belajar mengajar menyebabkan guru harus mehamami tujuan pembelajaran, mempersiapkan perta-nyaan-pertanyaan klarifikasi, mencari contoh-contoh, dan dapat melakukan pemanggalan materi. Pada proses ini guru tidak dapat hanya bertumpu pada hanya membacakan isi buku pegangan murid, melainkan harus aktif berinteraksi dengan murid membangun suasana komunikasi dua arah dan iklim kompetitif dalam proses pembelajaran sehingga murid terkondisikan untuk belajar dan berdialog.

Hasil uji coba memperlihatkan sejak uji coba ketiga guru sudah terbiasa meng-gunakan model pembelajaran. Pada posisi ini dapat diartikan bahwa model pembelajaran integratif yang dikembangkan tidak terlalu sulit untuk diadopsi oleh guru. Penggunaan media pembelajaran juga sudah mulai terbiasa, bahkan sejak uji coba keempat tampak media menjadi suatu kebutuhan, di mana guru memberikan penjelasan selalu mengacu ke media. Berdasarkan interpretasi terhadap

kinerja guru dapat dikatakan bahwa model pembelajaran integratif yang dikembangkan mempunyai dampak positif terhadap perbaikan kualitas kinerja profesional guru dan model inipun tidak sulit untuk diadopsi oleh guru.

2. Media Pengajaran dan Sarana yang Dituntut

Media pengajaran yang dituntut dalam penerapan model pembelajaran integratif tidak spesifik, artinya dengan sarana sekolah yang ada model tersebut masih dapat diimplementasikan. Dalam prasurvei diperoleh gambaran bahwa sekolah-sekolah yang diteliti pada umumnya memenuhi syarat minimal sebagai sebagai suatu pusat pendidikan karena tiap sekolah memiliki ruang kelas, ruang kepala sekolah, ruang guru, kamar kecil, dan halaman tempat dilakukannya aktivitas di luar kelas. Dengan terpenuhinya syarat minimal ini model pembelajaran integratif dapat diimple-mentasikan.

SDPN Jalan Setiabudi Bandung tempat dilakukannya uji coba model integratif merupakan salah satu sekolah yang tergolong ke dalam sekolah memiliki syarat minimal sebagai suatu pusat pendidikan. Pada implementasi model pembelajaran integratif selain dituntut tersedianya fasilitas umum seperti papan tulis dan perlengkapannya serta alat belajar untuk siswa (buku, catatan, dan perlengkapannya), juga diperlukan fasilitas khusus berupa media pembelajaran. Yang dimaksud media dalam pengajaran bahasa ialah segala alat yang dapat digunakan oleh guru dan siswa untuk mencapai tujuan-tjuan yang ditentukan.

Penggunaan media dalam berbagai bentuk pada umumnya dianggap bermanfaat dalam pengajaran bahasa Inggris. Alat/media yang canggih dan mahal tidak selalu/belum tentu lebih efektif. Yang lebih penting ialah bagaimana alat/media itu memikat dan menarik perhatian para siswa dan mempertinggi motivasi mereka untuk belajar. Di samping itu,

7

Page 8: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

khususnya permainan dapat menghilangkan perasaan jenuh dalam hati siswa dengan memberi variasi dalam kegiatan belajar, dan ini merupakan suatu hal yang positif. Media ini dapat terdiri atas yang komersial atau yang dapat dibuat sendiri. Media juga dapat dibagi atas yang didengar (auditory), yang dilihat (visual),dan yang didengarkan dan dilihat (audio-visual). Di samping itu juga dimasukkan permainan (games) dalam kategori media karena permainan itu tujuannya untuk membantu siswa untuk mencapai tujuan yang ditentukan (sesuai dengan ciri-ciri permainan).

Yang termasuk media audio-visual ialah radio, tape-recorder, laboratorium bahasa, film dan video. Keguanaan alat-alat ini/media ini ialah, antara lain: (1) memberi ksempatan kepada siswa untuk berlatih secara mandiri di dalam maupun di luar ruangan kelas, (2) meringankan/membantu/melengkapi peran guru, (3) suara beberapa orang penutur asli dapat didengarkan di kelas agar siswa dapat membedakan antara suara wanita, pria, anak-anak, pemuda dengan segala ragamnya, dan (4) suara siswa dapat direkam juga dan digunakan oleh guru dalam mengevaluasi penguasaan bahasa Inggris dan oleh siswa untuk mengevaluasi hasil produksi diri sendiri. Radio adalah suatu sarana yang relatif mudah diperoleh dan dapat digunakan untuk mendengarkan program-program pada waktu-waktu tertentu seperti: wawancara, berita dunia/regional, dan sebagainya dalam bahasa Inggris. Melalui radio para siswa dapat memperoleh materi yang otentik yang diucapkan oleh penutur asli.

Laboratorium bahasa banyak kegunaannya, antara lain, melatih menyimak (listening comprehension), melafal (pronunciation), imlak (dictation), dan berbi-cara (satu arah dengan bercerita), dan sebagainya.

Film dan video-cassette merupakan sarana audio dan visual yang relatif mahal harganya dan tidak selalu dimiliki oleh semua

sekolah. Tentu kegunaannya sudah jelas banyak, yakni, memberi contoh dan informasi yang terang dan visual mengenai sesuatu aspek bahasa, umpamanya mengenai lafal, idiom, dan metode-metode pengajaran bahasa.

Media visual termasuk papan tulis. Banyak kegunaan papan tulis biasa atau whiteboard yang tidak perlu dirinci di sini. Kecuali untuk menulis keterangan, denah, bagan, dan sebagainya, guru juga dapat memberi informasi melalui sarana yang menarik bagi siswa untuk lebih memahami keterangan guru, seperti stick figure.

3. Kemampuan dan Kegiatan Siswa yang Dituntut Hasl uji coba model pengembangan memperlihatkan adanya peningkatan dalam hal skor evaluasi belajar, peningkatan aktivitas di kelas, dan perbaikan dalam menjawab pertanyaan terbuka pada tes evaluasi hasil belajar.

a. Peningkatan skor evaluasi hasil belajar Skor rata-rata tes evaluasi hasil belajar

meningkat yakni dari 51.36 pada tes uji coba 1 meningkat sampai 68.77 pada tes uji coba 5. Terjadinya angka standar deviasi yang cukup besar (antara 21.53-24.52) adalah karena terdapat rentang skor yang besar antara skor minimum dengan skor maksimum dan penyebaran skor bervariasi. Dalam kelas uji coba ini terdapat lima murid yang memiliki kemampuan jauh di bawah rata-rata sehingga skor minimum hanya bergerak antara 10-18 (tidak terjadi peningkatan yang cukup berarti). Apabila diperhatikan peningkatan skor maksimum tampak adanya kenaikan yang cukup besar (dari 82 sampai 100), dan jika dibandingkan dengan perolehan skor < terlihat adanya penurunan jumlah murid yang memperoleh skor < 50 (dari 36.36% menjadi 18.18%). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

8

Page 9: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

model pembelajaran yang diujicobakan dapat meningkatkan perolehan skor evaluasi hasil belajar meskipun rata-rata skor tertinggi belum mencapai nilai ideal (masih di bawah kategori kualifikasi 80.1-100 = tinggi sekali).

b. Peningkatan aktivitas pembelajaran di kelas

Kualitas aktivitas pembelajaran di kelas memperlihatkan peningkatan. Murid sangat entusias menjawab pertanyaan-pertanyaan guru (dalam langkah presentasi model integratif yakni ketika dilakukan klarifikasi konsep-konsep utama). Revisi model yakni strategi pemenggalan dan pengulangan di akhir penggalan menyebabkan konsentrasi murid tidak terpecah, dan terkonsentrasinya murid terutama dalam langkah presentasi materi mendorong munculnya pertanyaan-pertanyaan dari murid. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul tersebut tidak sekedar pertanyaan pengulangan tetapi memperlihatkan murid bertanya karena berpikiir. Pertanyaan-pertanyaan ini tentu akan memacu guru untuk memperluas wawasan pengetahuannya agar dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

c. Perbaikan dalam menjawab pertanyaan tes evaluasi hasil belajar

Terhadap hasil evaluasi tampak adanya perbaikan dalam hal kemampuan menuangkan pemahaman baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, terutama dalam menjawab pertanyaan uraian terbuka. Jika pada uji coba 1 jawaban yang diberikan oleh murid untuk pertanyaan terbuka uraian terbatas pada satu atau dua kata saja, maka pada uji coba 5 terlihat kecenderungan murid menjawab pertanyaan dengan kalimat dengan kalimat yang utuh. Bila dikaitkan dengan tujuan yang ingin dicapai melalui penerapan model pembelajaran integratif yakni meningkatkan proses berpikir murid, maka fenomena

perbaikan kemampuan menuangkan pemikiran dalam bentuk lisan dan tulisan memperkuat hipotesis bahwa model pembelajaran integratif efektif untuk meningkatkan pola berpikir murid, sebab hasil yang tertuang dalam bentuk lisan mapun tulisan mencerminkan pola berpikir seseorang.

Temuan penelitian ini memperlihatkan bahwa model pembelajaran integratif yang dikembangkan memberikan hasil yang diinginkan dalam peningkatan hasil belajar Terhadap kemampuan siswa, hasil uji coba memberikan gambaran adanya peningkatan yang cukup berarti. Setiap akhir uji coba—yang dilaksanakan sebanyak 14 kali—dilakukan tes evaluasi hasil belajar dan untuk masing-masing uji coba dipeoleh hasil seperti yang sangat memuaskan.

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Kesimpulan Temuan hasil penelitian uji coba

memberi gambaran kecenderungan pening-katan skor evaluasi hasil belajar, sedangkan penemuan hasil penelitian uji validasi memperlihatkan skor evaluasi hasil belajar yang lebih tinggi dan secara signifikan berbeda jika dibandingkan skor evaluasi hasil belajar yang diperoleh melalu pembelajaran secara convensional. Uji validasi yang dilakukan pada tiga sekolah dengan kualifikasi yang berbeda (baik, sedang, rendah) memperlihatkan kecenderungan yang sama yakni tingginya perolehan skor posttest yang secara signifikan berbeda bila dibandingkan dengan skor pretest maupun skor posttest dari kelompok dengan pembelajaran konvensional.

Pengembangan media pembelajaran memberikan efek munculnya rasa percaya diri guru sehingga memasuki langkah-langkah pembelajaran sebagai proses implementasi guru tidak lagi menghadapi kesulitan. Langkah-langkah dalam model pembelajaran

9

Page 10: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

integratif yang terstruktur secara sederhana menyebabkan guru lebih mudah mengelola proses pembelajaran. Hal ini tampak dari temuan hasil penelitian yang memperlihatkan guru dapat menyelesaikan materi pengajaran tepat waktu dan dapat mengontrol proses belajar yang dilakukan oleh murid. Atas dasar pengamatan bahwa kemampuan memahami dan mengembangkan media pembelajaran dan kemampuan mengelola proses pembelajaran yang ternyata menghasilkan prestas belajar murid yang lebih baik.

2. Rekomendasia. Kepala sekolah sebagai atasan guru

dapat mendorong guru untuk memperbaiki kualitas implementasi kurikulum, khususnya kurikulum bahasa Inggris melalui pemanfaatan produk pembelajaran ini. Disadari sepenuhnya akan keterbatasan yang dimiliki oleh guru, maka saran diseminasi model pembelajaran ini dapat dilakukan melalui sanggar kerja guru sebagai tempat bertukar informasi.

b. Diharapkan kepada pejabat yang terkait dapat memberi kemudahan dan men-dorong guru untuk mau mengupayakan perbaikan pembelajaran melalui alter-natif menggunakan produk pengem-bangan yang telah teruji ini. Peman-faatan sanggar kerja guru yang telah dibangun sebagai suatu infra-struktur di bawah pengawasan Depdiknas dapat dijadikan titik awal diseminasi, sehingga aspek-aspek yang memerlukan pema-haman lebih mendalam dapat dikaji melalui kegiatan ini. Dengan demikian, kendala atau kesulitan yang dihadapi oleh guru ketika mengimplementasi model pembelajaran produk pengem-bangan ini dapat diatasi dan dicarikan solusinya melalui pertemuan-pertemuan di sanggar kerja guru terebut.

c. Memberikan persiapan kepada maha-siswa yang akan menjadi guru bahasa Inggris dengan menekankan pada: (1) pengajaran yang mengaktifkan dan melibatkan siswa sehingga terangsang untuk berbicara, (2) keterampilan menggunakan media, bermain kata, bermain peran, dan membuat suasana kelas yang menyenangkan, dan (3) memberikan kemampuan mengelola kelas sehingga tercapai hasil belajar yang optimal.

d. Depdiknas memberikan penataran bagi guru-guru bahasa Inggris di SD yang tidak memperoleh kesempatan meng-ikuti pembelajaran secara formal. Hal ini pelu diperhatikan mengingat (1) banyak guru SD yang belum mendapat program pengajaran bahasa Inggris untuk sekolah dasar dan (2) mengingat banyak jumlah sekolah dasar yang memberikan pelajaran bahasa Inggris sebagai muatan lokal. Hal ini juga berarti tersalurnya lulusan lembaga kependidikan tenaga kependidikan.

e. Perlu adanya pendidikan khusus tentang cara-cara dalam menyampaikan materi pengajaran bahasa Inggris pada jenjang anak-anak. Untuk tercapainya hal ini dapat diadakan kerja sama dengan lembaga pendidikan.

10

Page 11: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

DAFTAR BACAAN

Alwasilah, A. Chaedar. (2000). Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia dalam Konteks Persaingan Global. Bandung. CV Indira.

Brat, P.C. (1985). Communicative Language Teaching. Singapore: Regional Language Center.

Bruner, J.S. (1996). Toward a Theory of Instruction. Cambridge: Harvard University Press.

Bogdan.C.R. dan Biklen Knopp Sari. (1982). Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. New York: The Macmilan Company.

Finocchiaro, Mary. (1990). Teaching English as a Second Language in Elementary and Secondary Schools. New York: Harpers and Brothers Publishers.

Halim, Amran. (1982). Ujian Bahasa. Jakarta: PT Wira Nurbakti.

Hamalik, O. (1994). Media Pendidikan. Bandung: Citra Aditya Bhakti.

Huda, Nurul, (1994). The Teaching of English n the Primary Schools: Issues and Problems. Teflin Journal no. 4. September 1994, Bandung.

Kanwil Depdiknas Jawa Barat. (1997). Kurikulum Muatan Lokal Dasar. Bandung: Proyek Sekolah Dasar Jawa Barat.

Klein, K. (1993). Teaching Young Learners. English Teacging Forum. Tahun II, no. 31. Washington DC: United States Information Service Agency.

Shaleha, Evi Syaefini, et.al. (1999). Let’s Learn English 1. Bandung: Mizan.

Syaukah, Ali, at.al (1995). English for the Elementary School. Malang: IKIP Malang.

Vale,D. and Vaunteun, A. (1995). Teaching Children English. Cambridge: Cambridge University Press.

Widdowson, H.G. (1988). Teaching Language as Communication. Oxford: Oxford University Press.

Wright, A. (1989). Pictures for Language Learning. Cambridge: Cambridge University Press.

------------. (1995). Games for Leanguage Teaching. Cambride: Cambridge University Press.

8

Page 12: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

THE COMMUNICATIVE LANGUAGE TEACHING

Putri Dini Meutia S.Pd.I

Abstrak

Tujuan utama dari semua metode atau pendekatan pengajaran bahasa adalah membuat siswa mampu berkominikasi dengan bahasa sasaran. Salah satu pendekatannya adalah Pendekatan Komunikatif (Communicative Approach/Communivative Learning Teaching). Pendekatan ini bertujuan untuk membantu siswa menggunakan bahasa sasaran/target dalam bermacam konteks dan menekankan pada fungsi bahasa tersebut. Menurut pengikut CLT, struktur dan kosakata sangat penting. Oleh karena itu, persiapan komunikasi tidak hanya diajarkan tetapi juga harus dilatih atau dipraktikkan. Dalam pendekatan ini guru dan siswa memiliki perannya masing-masing dalam aktivitas di dalam kelas. Guru bertindak sebagai penasehat, fasilisator, menjawab pertanyaan siswa dan memonitor kegiatan di dalam kelas. Sebaliknya, siswa adalah tokoh utama dalam berkomunikasi satu sama lain. Siswa harus berintegrasi dengan bahasa target meskipun pengetahuan terhadap bahasa tersebut belum lengkap.

Key words: Communicative Language Teaching, approach, communicative, competence

I. Introduction Language is a vehicle to communicate

and express the ideas with others. According to Longman Dictionary, language is the system of human communication by means of structured arrangement of sounds (or their written representation to form larger unit). Therefore, human need a language to communicate each other and to perform daily activities.

When we communicate, we will use a language to accomplish some functions, i.e. arguing, persuading, or promising. Moreover, communication is a process where the learners are inadequate if only have knowledge of the target language forms, meanings, and functions, but the learners must be able to apply their knowledge of target language in negotiating meaning. For example, if the listener did not know what is the speaker said. Therefore, the listener give a feedback to the speaker that she/he did not know or understand

what the speaker has said. So that the speaker can repeat what she/he has said and tries to communicate her/his intent meaning again until the listener understands.

In addition, in language learning, there are four skills that must be mastered by the learners. The skills are reading, listening, writing, and speaking. Reading and listening are receptive skills while writing and speaking are productive skills.

In Indonesia, English is as a foreign language. Teaching English as a foreign language (TEFL) refers to teaching English to learners whose first language is not English. Nowadays, teaching English, in Indonesia, begins from elementary school, but some kindergarten school also teach English in the classroom activities. Moreover, the education experts developed some approach and must method that can be applied in teaching language, such as Direct Method, Natural Approach, Grammar Translation Method,

9

Page 13: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Audio-lingual Method, Communicative Language Teaching or Communicative Approach, etc. But the focus of this paper is Communicative Language Teaching (CLT).1. Discussiona. Communication Language Teaching (CLT)

Communicative language teaching or communicative approach is an approach to foreign or second language teaching which emphasizes that the goal of language learning is communicative competence (Longman Dictionary; 1987). The CLT was firstly developed by British applied linguists in late 1960s. They thought that the focus of language teaching is on communicative competence rather than only on mastering of structures. Moreover, D.A. Wilkins, a British linguist, composed a functional or communicative definition of language that could serve as a basis for developing communicative syllabus for language teaching. His contribution was an analysis of the communicative that a language learners needs to understand and express (Richards and Rodgers; 1986).

Furthermore, Wilkins explained two types of meaning i.e. national categories and categories of communicative function. The national categories are concept such as time, sequence, quantity, location, and frequency. And categories of communicative function are request, denials, offers, and complaints. In 1976, Wilkins proposed his documents to a book with the title “National Syllabus”. This book had a significant impact on the development of Communicative Language Teach-ing. In addition, the council of Europe collected the writing of British applied linguists on the theoretical basis for a communi-cation or functional approach to language teaching, and then called this as the Communicative Approach or Communicative Language Teaching. And in the middle of 1970s, the scope of Communicative Approach has expanded. According to British and American

adherents of Communicative Approach, it is an approach that aims to make communication competence the goal of language teaching, and develop procedures for the teaching of the four language skills that acknowledge the interdependence of language and communication (Richards and Rodgers; 1986).

Furthermore, the primary goals of all methods are to make learners be able to communicate with the target language. According to the proponents of Communicative Approach said that the structure and vocabulary are important. They added that the preparation for communication is not enough if only it is taught but it must be practical because the learner may know the using of the target language but they will be not able to use it.

In addition, Howatt differentiates between a strong and a weak version of Communicative Approach. According to Howatt, the weak version is to stress the importance of providing learners with opportunities to use their English for communication purposes and attempt to integrate such activities into a wider program of language teaching, while the strong version is to advance the claim that language is acquired through communication (Richards and Rodgers; 1986).

Communicative Approach emphasizes interaction as both the tools and the main goal of learning a language. In spite of a number of criticisms, Communicative Approach continues to be popular, particularly in Japan, Taiwan, and Europe (Wikipedia). The adherents of Communicative Approach believe that Communicative Approach is important for developing and improving speaking, writing, listening, and reading skill, and that it prevent students’ merely listening passively to the teacher without interaction.

10

Page 14: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Some experts such as Finocchiaro and Brumfit (1983) made the major distinctive characteristic of the Audio-lingual Method (ALM) and Communicative Approach. They stated 22 items that make ALM and Communicative Approach (CA) are different. Some of them are; ALM attends to structure and form more than meaning, while in CA, meaning is paramount. Drilling is a central technique in ALM, but it may occur in CA. The desired goal for ALM is linguistic competence while for CA is communicative competence. Mastery and native-speaker-like pronunciation are sought in ALM but in CA it seeks effective communication and comprehensible pronunciation. Moreover, translation is forbidden at early levels in ALM, but in CA translation may be used where students need or benefit from it, etc. (Richards and Rodgers; 1986).

Moreover, Hilliday, an adherent of Communicative Approach, has summarized theory of the functional language and described seven basic functions that language performs for children learning their first language. The seven basic functions are: the instrumental, the regulatory, the persobal, the heuristic, the imaginative, and the representative function (Richards and Rodgers; 1986). The instrument function related to the using language to get things. The regulatory function referred to the using language to express personal felling and meaning. In addition, the heuristic function is the using language to learn and to discover. Next, the imaginative function related to the using language to create a world of the imagination. Finally, the representational function referred to the using language to communicate the information.

In addition, there are three important elements that can be applied in Communicative Approach activities. The first is communication principle; where are the activities increase language learning that can involve the real

communication in language learning. The second is task principle; it is needed because the activities in Communicative Approach emphasize that language is used for carrying out the meaningful tasks. The last is meaningfulness principle; it means that language will help learners in learning process. All of these elements are needed in Communicative Approach because without these elements the activities may be useless.

After giving some explanation from the experts of Communicative Approach, it can be concluded that all of interactions in Communicative Approach do in real communication; thus, learners can apply what they have learned to their real life activities.

b. Communicative competence Communicative competence is firstly

developed by Hymes (1972) as the goal of language teaching. Communicative competence is the ability not only to apply the grammatical rules of a language in order to form grammatically correct sentences, but also to know when and where to use these sentences and to whom (Longman Dictionary; 1987). It means that in language teaching, the using of appropriate technique is needed because to reach the students’ communicative competence. In short, the communicative Approach has communicative competence as its desired goal.

According to Hymes, communicative competence is what a speaker needs to know in order to be communicatively competence in speech community. Moreover, in his view, a person who acquires communicative competence acquires both knowledge and ability for language use with respect to whether something is formally possible, is feasible in virtue of the means of implementation available, is appropriate in relation to a context in which it is used, and is in fact done and what its doing entails (Richards and Rodgers; 1986).

11

Page 15: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Furthermore, communicative competence includes the knowledge of the grammar and vocabulary of the language, the knowledge of rules speaking, such as knowing to begin and end conversation, what topic, etc. know how to respond to different speech acts, for instance, request, invitation, apologies, and knowing how to use language appropriately (Longman Dictionary; 1986). c. The Principle of Teachers and Students in

CLTAs a language teacher, we will have

no doubt heard of the Communicative Language Teaching or Communicative Approach to language teaching and its benefit. This approach nudges all skill in language and have many benefits both teachers and learners.

There are some basic principles for teachers and learners. The major basic principles for teacher are; a teacher’s main role is a facilitator and monitoring rather than leading the class. Then, lessons are usually topic or them based, with the target grammar hidden in the context e.g. a job interview (using the present perfect tense) and built round situational or functions practical and authentic in the real world e.g. asking information, complaining, apologizing, job interview, telephoning, etc.

Moreover, activities set by the teacher have relevance and purpose to real life situational so that the learners can see the direct benefit of language teaching. Besides that, dialogues are used that center around communication function, such as socializing, giving direction, making telephone calls. Furthermore, the teachers emphasize on engaging learners in more useful and authentic language rather than repetitive phrases or grammatical patterns and emphasize on communication and meaning rather than accuracy. Thus, emphasis is put on the appropriate of language.

The next principle is communicative competence is the desired goal i.e. being able to survive, converse and be understood in the language, so emphasize is put on correct pronunciation and individual and group drilling is used. According to Hart, authentic listening and reading text are used more often rather than artificial texts simply procedure to feature the target language and used of songs and games are encouraged and provide a natural environment to increase language and enhance correct information.

The last principle is feedback and correction is usually given by teachers after task have been completed, rather than at the point of error. For instance, the teacher gives a card to each student. The card consists of a new name, a occupation, and a nation. The teacher only give brief explanation how to ask the other information and lets learners to interact each other. The teacher does not stand in front of class, but he must go around the class to see the learners’ interaction. After finishing the activity, the learners will be given feedback and corrections by teacher, thus the learners know where their errors in the activity that has been done.

In addition, the basic principles for learners are: learners are often more motivated with this approach as they have an interesting what is being communicate. Next principle, the lesson is topic or theme based and encouraged to speak and communicate rather than just barking out repetitive phrase. Moreover, the learners practice the target language a number of times, thus they slowly build the accuracy. The other principle is learners interact with each other in pairs or group, to encourage a flow of language and maximize the percentage of talking time rather than just teacher to learners. The important principle is language is created by the individual or trial. Finally, if the focus is on the accuracy stage of the lesson,

12

Page 16: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

learners are corrected at the end of an activity so as not to interrupt their thought process.

The important principle in the Communicative Approach activity is about the learners’ native language. The learners are not allowed to use their native language. They must use target language as a tool for communication. It means that whole activities in the classroom must use the target language. Furthermore, in the classroom activities, the learners should be divided into small group, triads, or pairs, so that the learners more active in the communication each other.

d. The Techniques and the Material in CLTThere are some techniques or

materials that can be applied in the Communicative Approach class activities:

1. Authentic materialsAuthentic materials can be

from a newspaper article, or require the students to listen a live radio or television broadcast. Moreover, the using of authentic materials is appropriate at high intermediate level of proficiency. It also can use for low level, but the material must be appropriate with their proficiency. For example; realia, timetable, etc.

2. Scramble sentencesThe teacher give a text where

the sentences are in a scrambled order, but the important thing is the text must be known or read by them before. The teacher asks the students to arrange the sentences become good order. The aim of this techniques is to teach them cohesion and coherence. In Harmer’s book, he gave some activities that can be applied to communicative task, such as Find the story: jumble text; The Last Cigarette: student questions; The ten Tors Expedition: pooling information, etc.

3. Language gamesTo make students are enjoyable in the classroom activities, the games are used frequently in the CLT class. According to Morrow, games that are truly communicative have three features of communication: information gap, choice, and feedback (Freeman: 1986). Information gap is the activities where learners are missing information they need to complete a task and need to talk to each other to find it out. The following are some information gap activities than can be applied in the classroom activities: each student will give different puzzle, and they must communicate each other to accomplish the task. The conversation can be started by asking:

Do you know an eight-letter word that begins with B? Ends in Y?

How you spell it? What is the meaning? etc.Student A’s puzzle:

13

Page 17: Jurnal Universitas Abulyatama

Across5. 7.9.10.

Down1.2.3.4.6.8.

--------------------------------------------------------------------------------------------Use these words to help your partner fill in his/her puzzle:

(www.lenternfish.com)

Student B’s puzzle:

Page 18: Jurnal Universitas Abulyatama

Across

1. 4.6.7.8.

Down2.3.4.5.7.

---------------------------------------------------------------------------------------------------Use these words to help your partner fill in his/her puzzle:

(www.lenternfish.com)

This game consists of information gap, choice, and feedback. It is information gap because they do not know information from other students, and they have choice to use target language to fulfil the task, and after asking to other students, they get feedback from that student.

4. Strip storyPicture strip story is almost the same with the scrambled sentences. In the picture strip story, the teacher gives a strip story to a student in a small group. Moreover, this student shows the first picture and asks other students to predict the second picture.

5. Role play

Role-play gives students a chance to practice communicating in different social context and in different social roles. Moreover, the role-play can be set up by teacher so that it very structured or in a less structured way. The very structured way is the teacher decides what the learners must say in the role play while less structured way is the teacher let the learners talk or communicate freely.

2. ConclusionThe Communicative Approach

emphasizes on helping students use the target language in variety of context and emphasizes on learning language functions. Moreover, Communicative Approach focuses on helping

Page 19: Jurnal Universitas Abulyatama

students to create the meaning rather than helping them develop grammatical structure or acquiring native-like pronunciation. It means that successfully learning a foreign language is assessed in terms of how well students develop their communicative competence.

Moreover, Communicative Approach is usually characterized as a broad approach teaching rather than as a teaching method. In classroom activities, the teacher acts as an advisor, facilitator of his students’ learning, a manager of classroom activities, a co-communicator, answering the students’ questions and monitoring their performance, while the students are the communicators. The students interact each other with the target language even their knowledge of the target language is incomplete. Therefore, the negotiation meaning will be used if they did not understand.

In short, this approach is very useful in language learning, because the students must communicate each other with the target language and not be afraid to make mistakes or errors. The mistakes or errors will disappear by time.

Page 20: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

References

Freeman, Diane Larsen. 1986. Techniques and Principle in Language Teaching. England; Oxford University Press

Hart, Gill. 2010. “What is the Communicative Approach?” Article http://www.teachingEnglish/what_is_the_communicative_approach?/socyberty accessed on June 2010

http;//www.lenternfish.com ELS Resources, Job Boards and Worksheets. Accessed on June 2010

http;//www.wikipedia/teaching_English_as_a_foreign_language.htm accessed on June 2010

Jeremy, Harber. 1991. The Principle of English Language Teaching, New Edition. New York; Longman

Richards, J.C. and Theodore S. Rodgers. 1986. Approaches and Methods in Language Teaching. Cambridge University Press

Richards, Jack., John Platt, and Heidi Weber, 1987. Longman Dictionary of Applied Linguistic. England; Longman

16

Page 21: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

KAJIAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIADI KABUPATEN NAGAN RAYA

Oleh Irwan Safwadi, SEStaf Pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Abulyatama Aceh

ABSTRAK

Pembangunan yang berpusat pada manusia merupakan paradigma baru dalam kerangka pembangunan di Indonesia. Penelitian ini mencoba mengkaji dan menganalisis kualitas pembangunan manusia di Kabupaten Nagan Raya dengan tolok ukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM), meliputi angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran riil per kapita (daya beli). Lokasi penelitian adalah di semua kecamatan Kabupaten Nagan Raya. Teknik pengumpulan data bersumber dari data primer dan data sekunder. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kualitas pembangunan manusia di Kabupaten Nagan Raya dikategorikan menengah atas menurut skala internasional. Nilai IPM-nya sebesar 69,64 tahun 2009, naik sebesar 1,55 poin dibanding tahun 2007 (67,64). Nilai IPM tertinggi dicapai Kecamatan Kuala sebesar 72,15 dan terendah Kecamatan Beutong sebesar 66,73. Angka harapan hidup diperoleh sebesar 69,53 tahun. Untuk pendidikan, angka melek huruf mencapai 91,62 persen, sedangkan sisanya sebesar 8,38 persen masih buta huruf. Sedangkan rata-rata lama sekolah penduduk berumur 15 tahun ke atas di Nagan Raya adalah 8,42 tahun atau belum menamatkan pendidikan dasar 9 tahun. Pengeluaran riil per kapita masyarakat adalah rata-rata sebesar Rp.595.728, masih terlihat lebih rendah dari angka daya beli maksimal, yakni Rp.732.720 per kapita per bulan (sesuai estimasi dari UNDP, BPS, dan Bappenas).

Kata Kunci : Indeks Pembangunan Manusia

I. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang Masalah

Pergeseran paradigma pembangunan dari mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada pembangunan manusia merupakan kebijakan yang sangat komprehensif dalam mengatasi berbagai persoalan pembangunan. Pembangunan yang berpusat pada manusia sebagai motor penggerak pembangunan memungkinkan masyarakat memiliki lebih banyak pilihan dalam memperbaiki kualitas hidup dan meningkatkan taraf kehidupan yang lebih baik dan bermartabat. Pembangunan manusia memandang manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Karena itu, menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan sangatlah tepat ketimbang sebagai alat bagi pembangunan.

Kemajuan pembangunan manusia suatu negara atau daerah, diukur dengan Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM dicetuskan pada tahun 1990 oleh United Nations Development Program (UNDP). IPM merupakan indeks yang mengukur pencapaian kemajuan pembangunan suatu negara (daerah) yang dipresentasikan oleh dimensi Angka Harapan Hidup pada Waktu Lahir (Life Expectancy at Birth), Angka Melek Huruf Penduduk Dewasa (Literacy Rate), Rata-rata Lamanya Sekolah Penduduk Dewasa (Mean Year of Schooling), dan Pengeluaran Riil per Kapita.

Kedudukan dan peran IPM dalam konteks perencanaan daerah

17

Page 22: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

dinilai sangat penting. Bahkan pemerintah telah menetapkan IPM sebagai salah satu variabel/indikator dalam pembagian Dana Alokasi Umum (DAU) untuk daerah. Dalam Peraturan Pemerintah No.55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, khususnya Pasal 40 ayat (1) disebutkan bahwa DAU untuk suatu daerah dialokasikan berdasarkan formula yang terdiri atas celah fiskal dan alokasi dasar. Lebih lanjut, ayat (2) menyatakan bahwa celah fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Sementara ayat (3) menyebutkan, bahwa kebutuhan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diukur dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia.

Formula yang serupa juga diterapkan Pemerintah Provinsi Aceh dalam pengalokasian dana Otonomi Khusus (Otsus) bagi Pemerintah Kabupaten dan kota. Hal ini tersirat dalam Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus.

Atas dasar uraian tersebut diatas, dipandang sangat tepat untuk menilai kembali sejauhmana kemajuan dan perkembangan kualitas pembangunan manusia yang telah dicapai Kabupaten Nagan Raya.

1.2 Tujuan PenelitianTujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui kualitas pembangunan manusia yang telah telah dicapai di seluruh kecamatan di Kabupaten Nagan Raya melalui tolok ukur

Indeks Pembangunan Manusia (IPM), mencakup indikator angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran riil per kapita (daya beli).

I.3 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan

menjadi landasan dan acuan bagi pembuat kebijakan di Kabupaten Nagan Raya, terutama dalam mengimplimentasikan program dan kegiatan pembangunan manusia di setiap kecamatan. Dan, yang lebih penting adalah menjadi kesepakatan bersama dari seluruh pemangku kepentingan dalam mendorong dan mempercepat pencapaian pembangunan manusia berkualitas di Nagan Raya.

II. METODE PENELITIAN

2.1 Lokasi PenelitianAdapun lokasi penelitian, meliputi

Kecamatan Darul Makmur, Kuala, Kuala Pesisir, Suka Makmue, Seunagan, Seunagan Timur, Tadu Raya, dan Beutong.

2.2 Sumber dan Teknik Pengumpulan DataSesuai dengan tujuan penelitian, data

yang dihimpun terdiri atas data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara langsung dengan kepala keluarga (KK) atau Rumah Tangga (RT) sampel di masing-masing desa (gampong) terpilih di setiap kecamatan. Wawancara dilakukan dengan mengunakan kuesioner sebagai pedoman. Teknik pemilihan responden dilakukan secara purposif (purposive sampling), yaitu ditetapkan secara sengaja sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dijawab atau diungkapkan.

Sedangkan data sekunder diperoleh dari beberapa badan/instansi yang ada di Kabupaten Nagan Raya dan tingkat Provinsi Aceh, disamping juga bersumber dari buku, surat khabar, internet, dan literatur lainnya.

18

Page 23: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

2.3 Metode Analisis Data dan Perhitungan IPM

Sesuai perhitungan BPS, Bappenas, dan UNDP (2001: 154–156), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) disusun dari tiga aspek, yaitu :a. Aspek lamanya hidup, diukur dengan

harapan hidup pada saat lahir.b. Aspek tingkat pendidikan, diukur

dengan kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk dewasa (dengan bobot dua per tiga) dan rata-rata lama sekolah (dengan bobot sepertiga).

c. Aspek tingkat kehidupan yang layak, diukur dengan pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan (purchasing power parity atau daya beli per kapita dalam rupiah).

Dari tiga aspek tersebut, selanjutnya dihitung indeks yang diperoleh dari rata-rata sederhana ketiga aspek tersebut di atas. Secara rinci dapat dirumuskan :

IPM = 1/3 (Indeks X1 + Indeks X2 + Indeks X3)

di mana :X1 = Lamanya hidupX2 = Tingkat pendidikan X3 = Tingkat kehidupan yang layak (daya

beli)

Untuk masing-masing aspek Xi

dihitung dengan rumus :Indeks X ( i , j ) = ( X ( i , j ) - X ( i - min ) ) / ( X ( i - max ) - X ( i - min )) dimana : X ( i , j ) = Indikator ke i dari daerah j X ( i - min ) = Nilai minimum dari Xi

X ( i - max ) = Nilai maksimum dari Xi

Nilai maksimum dan minimum dari setiap aspek IPM sebagai berikut :

KomponenIPM

NilaiMaksimum

NilaiMinimum

Keterangan

Angka Harapan Hidup (tahun)

85 25 Standar UNDP

Angka Melek Huruf (persen)

100 0 Standar UNDP

Rata-rata Lama Sekolah (tahun)

15 0 Standar UNDP

Daya beli (rupiah per kapita per bulan)

732.720 360.000 UNDP menggunakan PDB riil perkapita yang telah disesuaikan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Angka Harapan Hidup Hasil penelitian mengungkapkan

bahwa usia harapan hidup rata-rata penduduk Nagan Raya adalah 69,53 tahun. Itu artinya masih tergolong sedang atau masih relatif

menggembirakan. Angka harapan hidup di berbagai kecamatan terlihat berbeda, yakni berkisar 67 hingga 69 tahun. Kecamatan yang paling tinggi angka harapan hidupnya adalah Kuala, yakni 70,38 tahun. Disusul Darul Makmur sebesar 69,54 tahun. Usia harapan hidup di dua kecamatan tersebut berada diatas rata-rata kabupaten. Sedangkan kecamatan

19

Page 24: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

lainnya masih di bawah rata-rata kabupaten, namun paling rendah terdapat di Kecamatan Kuala Pesisir. Angka harapan hidup masyarakat di Kuala Pesisir diperkirakan 67,02 tahun. Selanjutnya, angka harapan hidup masing-masing kecamatan, meliputi Seunagan 69,42 tahun, Beutong 68,80 tahun, Suka Makmue 68,56 tahun, Seunagan Timur 68,43 tahun, dan Tadu Raya 68,36 tahun.

Dari perhitungan angka harapan hidup tersebut diperoleh indeks harapan hidup

sebesar 0,742. Artinya, pembangunan manusia dari segi upaya untuk meningkatkan harapan hidup masyarakat telah tercapai sebesar 74,2 persen. Dengan demikian, masih harus diupayakan sebesar 25,8 persen lagi untuk mencapai umur harapan hidup maksimal, yaitu 85 tahun (sesuai standar UNDP). Karena itu, berbagai terobosan di bidang pembangunan kesehatan harus terus ditingkatkan di masa mendatang.

Gambar 3.1 Angka Harapan Hidup Menurut Kecamatan di Kabupaten Nagan Raya, Tahun 2009

Sumber : Hasil Lapangan, 2009

Kendatipun belum mencapai angka ideal, berbagai upaya pembangunan kesehatan untuk meningkatkan usia harapan hidup masyarakat telah digulirkan Pemerintah Kabupaten Nagan Raya. Tahun 2004, misalnya, angka harapan hidup masyarakat Nagan Raya sebesar 68,9 tahun, lebih tinggi dari Provinsi Aceh yang mencapai 67,9 tahun (BPS, BAPPENAS,

UNDP, 2004). Angka tersebut meningkat menjadi 69,1 tahun pada tahun 2005 (Aceh 68,0 tahun). Pasca tsunami, angka harapan hidup masyarakat Nagan Raya bergerak naik menjadi 69,2 tahun (tahun 2006) dan 69,31 tahun (tahun 2007), juga lebih tinggi dari rata-rata Aceh sebesar 68,3 tahun (tahun 2006) dan 68,40 (tahun 2007).

20

Page 25: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Gambar 3.2 Angka Harapan Hidup Kabupaten Nagan Raya danProvinsi Aceh Tahun 2004-2007 (Tahun)

Sumber : BPS, BAPPENAS, UNDP, 2004, 2007

3.2 Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah

Rata-rata lama sekolah penduduk dewasa di Kabupaten Nagan Raya mencapai 8,42 tahun, atau belum menamatkan pendidikan dasar 9 tahun atau tamat SLTP/sederajat. Akan tetapi, di Kecamatan

Seunagan dan Kecamatan Darul Makmur ditemuai lama pendidikan penduduk dewasa hampir mencapai 9 tahun, yakni masing-masing 8,80 tahun dan 8,71 tahun. Di Kecamatan Kuala Pesisir masih ditemui lama pendidikan penduduk hanya 7,87 tahun, atau setingkat hampir kelas 2 SMP.

21

Page 26: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Gambar 3.3 Angka Rata-rata lama Sekolah Menurut KecamatanDi Kabupaten Nagan Raya, Tahun 2009 (Tahun)

Sumber : Hasil Lapangan, 2009

Sepanjang tahun 2004-2007, Pemerintah Nagan Raya dinilai cukup berhasil meningkatkan rata-rata lama sekolah penduduk, meskipun belum mencapai target pemerintah. Pada tahun 2004, rata-rata lama sekolah yang telah dijalani penduduk tidak lebih dari 6,3 tahun, atau belum tamat SD, dan

pernah mengecap dibangku kelas 5 (lima) SD. Lalu, angka tersebut meningkat secara signifikan menjadi 6,4 tahun (tahun 2005), 6,7 tahun (tahun 2006), dan hingga 7,32 tahun (tahun 2007). Sementara rata-rata lama sekolah yang dijalani penduduk Aceh, yakni 8,5 tahun (tahun 2006-2007).

Gambar 3.4 Rata-rata Lama Sekolah Kabupaten Nagan Rayadan Provinsi Aceh, Tahun 2004-2007 (Tahun)

22

Page 27: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Sumber : BPS Indonesia, 2007

Upaya untuk menuntaskan penduduk buta huruf di Nagan Raya diakui telah menunjukkan perbaikan dibanding tahun-tahun sebelumnya, meskipun belum mencapai angka maksimal. Hasil lapangan terlihat bahwa angka melek huruf mencapai 91,62 persen, sedangkan sisanya sebesar 8,38 persen masih

buta huruf. Penduduk yang buta huruf ini diperkirakan merupakan usia tua yang kemungkinan sulit mendapatkan pelayanan pendidikan di masa lampau. Sebelumnya tahun 2004, angka melek huruf Kabupaten Nagan Raya sebesar 89,3 persen, dan tahun 2007 naik sebesar 89,70 persen.

Gambar 3.5 Angka Melek Huruf di Kabupaten Nagan RayaTahun 2009 (Persen)

Sumber : Hasil Lapangan, 2009

23

Page 28: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Sepanjang empat tahun (2004-2007) terakhir, pencapaian angka melek huruf Kabupaten Nagan Raya masih di bawah rata-rata secara Nasional dan Provinsi Aceh. Bahkan, ditaksir pula yang dicapai tahun 2009 juga masih tergolong rendah di banding rata-rata Aceh dan Nasional. Mengutip data BPS,

akhir tahun 2007 tercatat penduduk yang bisa baca-tulis di Aceh mencapai 96,2 persen, jauh lebih tinggi dari Nasional yang sebesar 91,87 persen. Sedangkan yang dicapai Kabupaten Nagan Raya tahun 2007 tidak lebih dari 89,7 persen.

Gambar 3.6 Angka Melek Huruf Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Acehdan Nasional Tahun 2004-2007 (Persen)

Sumber : BPS, BAPPENAS, UNDP, 2004, 2007

3.3 Pengeluaran Riil Per Kapita Fakta dilapangan didapati, bahwa

hampir 68,09 persen pengeluaran per kapita penduduk di Nagan Raya digunakan untuk memenuhi konsumsi makanan/minuman. Selebihnya, sebesar 31,91 persen dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan nonmakanan. Secara absolut, pengeluaran per kapita penduduk setiap bulannya sebesar Rp.392.805, terdiri atas Rp.267.462 dibelanjakan untuk

makanan dan Rp.125.344 dibelanjakan untuk nonmakanan. Pengeluaran per kapita yang berada diatas rata-rata Kabupaten Nagan Raya, terutama ditemui di Kecamatan Kuala dan Kecamatan Kuala Pesisir. Sedangkan kecamatan lainnya masih dibawah rata-rata Nagan Raya.

Setelah disesuaikan, paritas daya beli per kapita per bulan di Kabupaten Nagan

24

Page 29: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Raya, yakni rata-rata sebesar Rp.595.728 ribu. Angka ini terbilang masih kurang memadai, karena belum mencapai angka daya beli maksimal, yakni Rp.732.720 per kapita per bulan (sesuai dengan estimasi dari UNDP,

BPS, dan Bappenas). Hal ini mencerminkan pula bahwa pendapatan penduduk Nagan Raya masih jauh dari jangkauan yang diharapkan dalam pemenuhan kebutuhan hidup yang layak.

Gambar 3.7 Pengeluaran Riil Per Kapita Menurut Kecamatandi Kabupaten Nagan Raya, Tahun 2009

Sumber : Hasil Lapangan, 2009 (diolah)

3.4 Nilai IPM Berdasarkan perhitungan, IPM

Kabupaten Nagan Raya mencapai 69,19 tahun 2009. Jika diukur dari skala internasional, angka IPM tersebut termasuk dalam kategori IPM menengah atas. Selanjutnya, angka IPM yang dicapai tahun 2009 cenderung naik dibanding tahun sebelumnya (2007) yang sebesar 67,64 (BPS), atau naik sebesar 1,55 poin. Meski demikian, perubahan yang cenderung mendatar membuktikan bahwa

percepatan pembangunan manusia di daerah ini masih relatif lamban. Untuk itu, pembangunan manusia di Kabupaten Nagan Raya harus dipacu lebih cepat, dan diharapkan ke depan dapat menyamai beberapa kabupaten/kota di Aceh, seperti Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Sabang.

Jika dilihat kondisi antarkecamatan, paling tinggi adalah Kecamatan Kuala, dan paling rendah adalah Kecamatan Beutong. Jika diurut berdasarkan skala internasional, tidak

25

Page 30: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

ditemui satu pun kecamatan yang termasuk dalam kategori IPM tinggi (>80), kategori IPM rendah (IPM <50), dan kategori IPM menengah

ke bawah (50 < IPM < 66). Keseluruhan kecamatan termasuk dalam kategori IPM menengah atas (66 < IPM < 80).

Gambar 3.8 IPM menurut Kecamatan di Kabupaten Nagan RayaTahun 2009

Sumber : Hasil Lapangan, 2008 (diolah)

Sepanjang tahun 2004-2009, pembangunan manusia yang dicapai Nagan Raya memperlihatkan kemajuan yang cukup menggembirakan, dari status IPM menengah bawah menjadi menengah atas. Meskipun diakui, capaian IPM kurun waktu tersebut masih berada di bawah rata-rata Aceh dan secara nasional. Sebagai gambaran, angka

IPM Aceh mencapai hampir 68,7 (tahun 2004), 69,0 (tahun 2005), 69,4 (tahun 2006), dan 70,35 (tahun 2007). Karena itu, perlu diupayakan terobosan program pembangunan manusia yang tepat dan berkualitas sebagai langkah untuk mencapai angka IPM yang lebih tinggi (IPM >80).

26

Page 31: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Gambar 3.9 IPM Kabupaten Nagan Raya, Aceh, dan Nasional Tahun 2004-2007

Sumber : BPS, BAPPENAS, UNDP, 2004, 2007

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 KesimpulanBerdasarkan uraian sebelumnya,

dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :(1) Nilai Indeks Pembangunan Manusia

(IPM) Kabupaten Nagan Raya berdasarkan indikator kesehatan, pendidikan, dan ekonomi (pendapatan) masih relatif menggembirakan dibanding dengan nilai IPM rata-rata untuk Provinsi Aceh tahun 2007 (sebesar 70,35). Nilai IPM Kabupaten Nagan Raya tahun 2009 adalah 69,19. Nilai IPM tertinggi adalah Kecamatan Kuala sebesar 72,15. Sedangkan terendah diduduki Kecamatan Beutong sebesar 66,73. Berdasarkan urutan skala internasional, semua kecamatan termasuk kategori IPM menengah atas (66 < IPM < 80.

(2) Angka harapan hidup capaiannya masih kurang menggembirakan, terutama di Kecamatan Kuala Pesisir (67,02 tahun), Beutong (68,80 tahun), Suka Makmue (68,56 tahun), Seunagan Timur (68,43 tahun), dan Tadu Raya (68,36 tahun). Di kecamatan tersebut di atas, angka harapan hidup masih dibawah rata-rata Kabupaten Nagan Raya sebesar 69,53 tahun. Sedangkan di atas rata-rata kabupaten, adalah Kecamatan Kuala sebesar 68,95 tahun) dan Darul Makmur 68,80 tahun. Untuk itu, upaya-upaya yang mengarah pada peningkatan derajat kesehatan penduduk di daerah ini masih harus diberi tumpuan yang lebih besar pada masa mendatang, melalui implementasi program-program pembangunan, baik melalui dana APBD Nagan Raya, maupun program-program yang didanai Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat.

(3) Angka melek huruf, di beberapa kecamatan seperti Seunagan Timur,

27

Page 32: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Tadu Raya, dan Darul Makmur, masih di bawah angka rata-rata kabupaten. Angka melek huruf Kabupaten Nagan Raya mencapai 91,62 persen. Kondisi ini bermakna bahwa masih terdapat sebagian anggota masyarakat di daerah-daerah tersebut yang belum dapat membaca dan menulis.

(4) Rata-rata lama sekolah (LS) penduduk Kabupaten Nagan Raya berumur 15 tahun ke atas adalah 8,42 tahun atau belum mencapai target wajib belajar sembilan tahun. Akan tetapi, di beberapa kecamatan, seperti Seunagan dan Darul Makmur lama pendidikan penduduk dewasa hampir mencapai 9 tahunan. Rendahnya nilai indeks LS ini memberi arti bahwa peluang dan kemampuan sebagian penduduk di daerah-daerah tersebut dalam mengecap pendidikan masih sangat terbatas. Upaya percepatan implementasi program pembangunan pendidikan, terutama di kecamatan-kecamatan bernilai indeks rendah melek huruf dan lama sekolah perlu diintensifkan di masa mendatang.

(5) Kondisi ekonomi masyarakat di hampir seluruh kecamatan masih relatif menggembirakan. Pengeluaran riil perkapita yang disesuaikan di Kabupaten Nagan Raya rata-rata adalah Rp. 595.728 per bulan. Kecuali Kuala, Darul Makmur, dan Kuala Pesisir, semua kecamatan menunjukkan daya belinya di bawah rata-rata kabupaten. Ini bermakna bahwa tingkat pendapatan masyarakat yang ada selama ini belum setara dengan besaran pengeluaran yang harus dipikul mereka sehari-hari. Dengan kondisi yang demikian ini, perlu diupayakan penajaman program-program pembangunan di bidang ekonomi, khususnya yang mampu membuka lapangan kerja, dan menyediakan peluang atau sumber-sumber ekonomi baru yang

dapat diakses oleh setiap anggota masyarakat.

4.2 RekomendasiBerdasarkan capaian nilai-nilai Indeks

Pembangunan Manusia melalui tiga indikator di atas, maka direkomendasikan hal-hal sebagai berikut :(1) Pendidikan

Tingkat pendidikan penduduk di 8 kecamatan yang diteliti memperlihatkan nilai indeks yang kurang menggembirakan, baik dari segi melek huruf, lama sekolah, maupun jenjang pendidikan yang ditekuni. Atas dasar ini, maka upaya-upaya yang perlu ditempuh adalah sebagai berikut :a. Meningkatkan kuantitas dan kualitas

prasarana dan sarana pendidikan, disertai penyediaan sarana proses belajar mengajar di sekolah yang telah dibantu pembangunan fisik sekolah, seperti mobiler, meja kursi, alat-alat peraga, dan labaratorium IPA dan bahasa.

b. Menyediakan tenaga pengajar yang cukup dan bermutu, terutama guru-guru sekolah taman kanak-kanak, guru jurusan eksakta, guru keterampilan/kejuruan, dan guru bimbingan konseling.

c. Memperluas kesempatan belajar kepada siswa, melalui kursus-kursus dan pelatihan di luar jam sekolah (ekstra kurikuler), terutama kursus Bahasa Inggris, komputer, dan internet terutama bagi siswa tidak/kurang mampu.

d. Mengembangkan dan membina perpustakaan umum di kecamatan-kecamatan, sekaligus mengadakan program paket belajar A, B, dan C bagi penduduk yang berumur 15 tahun ke atas yang masih tergolong buta huruf.

e. Meningkatkan anggaran biaya pendidikan, terutama untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun (tamat SD dan SMP), disamping juga membantu

28

Page 33: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

siswa menengah atas yang berprestasi dan tergolong miskin untuk dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi (universitas).

(2) KesehatanUntuk meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat agar mencapai taraf yang memadai, terutama dalam hal memperpanjang usia harapan hidup, maka diperlukan upaya-upaya sebagai berikut :a. Meningkatkan kualitas prasarana dan

sarana kesehatan yang memadai, khususnya fasilitas pendukung di setiap puskesmas, seperti ambulance, sarana transportasi perawat dan bidan, kenyamanan ruangan kerja, serta insentif tambahan bagi staf medis yang berstatus honorer.

b. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan optimal, melalui penyediaan obat-obatan dalam jumlah yang cukup, disertai perbaikan peralatan yang telah usang (expired), dan penambahan alat-alat medis seperti meja obgin, stateskop, jarum suntik, termometer, dan sebagainya.

c. Menyediakan tenaga medis dan tenaga kesehatan yang terampil, khususnya dokter ahli/dokter spesialis (jantung, anak, dalam, kandungan, dan lainnya) dan penambahan dokter gigi di sejumlah puskesmas. Disamping itu, mengupayakan melatih dan memberikan pengetahuan tambahan bagi paramedis terutama bidan desa (bidan kampung), dan menyediakan brosur atau informasi terkini tentang kesehatan di setiap puskesmas/pustu/posyandu.

d. Mengintensifkan kegiatan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat, terutama tentang penyakit menular dan kesehatan lingkungan secara periodik (minimal dua

kali setahun) melalui pemanfaatan posyandu dan pelibatan tokoh-tokoh masyarakat di setiap kecamatan (gampong).

e. Meningkatkan efektivitas program Jamkesmas bagi keluarga masyarakat miskin, di samping juga penambahan alat kontrasepsi gratis (suntikan dan pil) untuk peserta KB, peningkatan pemberian gizi tambahan bagi balita di setiap posyandu, dan pemberian bantuan obat-obatan suplemen bagi ibu yang sedang mengandung, melahirkan, dan pasca melahirkan.

(3) PendapatanPendapatan masyarakat di 8

kecamatan yang diteliti pada umumnya masih tergolong rendah, untuk itu diperlukan upaya-upaya sebagai berikut :a. Mengembangkan potensi sumberdaya

lokal secara optimal, baik tanaman pangan, perikanan, peternakan, maupun perkebunan;

b. Meningkatkan kerjasama koperasi dan pengusaha di daerah dalam upaya menampung dan memasarkan produk pertanian masyarakat.

c. Meningkatkan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana, baik dalam sub sektor prasarana perhubungan maupun prasarana ekonomi lainnya untuk kelancaran arus distribusi barang dan jasa.

d. Membantu modal usaha melalui pengembangan lembaga-lembaga keuangan mikro baik pola konvensional maupun syariah di tingkat kecamatan, dengan prosedur peminjaman yang mudah dan bunga rendah, serta dengan bantuan pemberdayaan lainnya (teknologi, mutu, manajemen, dan pasar) khususnya bagi petani/nelayan dan pelaku usaha dagang/industri kerajinan, industri rumah tangga, dan lainnya.

29

Page 34: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

e. Membangun pusat pelatihan (balai latihan kerja), khususnya di kecamatan-kecamatan yang memiliki potensi pengembangan usaha.

f. Meningkatkan kegiatan bimbingan dan penyuluhan secara periodik, disertai dengan pendampingan bagi usaha-usaha pertanian dan industri yang belum berhasil, dengan melibatkan peran-peran pelaku usaha yang sukses.

g. Menjamin pasar bagi pemasaran produk-produk pertanian dan industri (industri kecil, industri kerajinan/rumah tangga), termasuk mendirikan lembaga penjamin pemasaran di daerah-daerah yang memiliki prospek bisnis yang cerah.

h. Mengupayakan operasi pasar murah, khususnya barang-barang kebutuhan pokok di saat harga barang melambung tinggi atau terjadinya inflasi.

i. Membantu penyediaan kebutuhan pokok bagi keluarga yang berpendapatan rendah (miskin), termasuk mengupayakan program BLT (Bantuan Langsung Tunai) secara berkesinambungan sampai keluarga miskin mampu mandiri.

30

Page 35: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal TASIMAK Vol. II No2, Oktober 2011 ISSN 2086-8412

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, 2004, Nagan Raya Dalam Angka 2003, Suka Makmue

Badan Pusat Statistik, 2005, Nagan Raya Dalam Angka 2004, Suka Makmue

Badan Pusat Statistik, 2006, Nagan Raya Dalam Angka 2005, Suka Makmue

Badan Pusat Statistik, 2007, Nagan Raya Dalam Angka 2006, Suka Makmue

Badan Pusat Statistik, 2008, Nagan Raya Dalam Angka 2008, Suka Makmue

Badan Pusat Statistik, 2009, Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Nagan Raya Tahun 2008, Suka Makmue

Badan Pusat Statistik, 2007, Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2006, Banda Aceh

Badan Pusat Statistik, 2007, Indeks Pembangunan Manusia 2005-2006, Jakarta

Bappenas, 2007, Laporan Pencapaian Millennium Development Goals Indonesia 2007, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2008, Profil Kesehatan 2006, Jakarta

Dinas Kesehatan Kabupaten Nagan Raya, 2006, Profil Kesehatan Kabupaten Nagan Raya 2005, Suka Makmue

Dinas Kesehatan Kabupaten Nagan Raya, 2007, Profil Kesehatan Kabupaten Nagan Raya 2006, Suka Makmue

Dinas Kesehatan Kabupaten Nagan Raya, 2008, Profil Kesehatan Kabupaten Nagan Raya 2007, Suka Makmue

Dinas Pendidikan Kabupaten Nagan Raya, 2007, Profil Pendidikan Kabupaten Nagan Raya 2006, Suka Makmue

Dinas Pendidikan Kabupaten Nagan Raya, 2008, Profil Pendidikan Kabupaten Nagan Raya 2007, Suka Makmue

Sadono Sukirno, 2002, Ekonomi Pembangunan : Proses, Masalah, dan Dasar Kebijaksanaan, FE-UI, Jakarta.

UNDP, BPS dan Bappenas, 2001, Laporan Pembangunan Manusia 2001, Demokrasi dan Pembangunan Manusia di Indonesia, Jakarta.

Page 36: Jurnal Universitas Abulyatama

Jurnal TASIMAK Vol. II No2, Oktober 2011 ISSN 2086-8412

UNDP, BPS dan Bappenas, 2004, Laporan Pembangunan Manusia 2004, Ekonomi dari Demokrasi: Membiayai Pembangunan Manusia di Indonesia, Jakarta.