jurnal tht co ass

23

Click here to load reader

Upload: ekabuds

Post on 10-Apr-2016

51 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

jurnal

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal THT Co Ass

Studi klinis

Efektivitas povidone iodine 7,5 % dibandingkan dengan

clotrimazole 1% dengan lignokain dalam pengobatan otomicosis.

Ajay Philip,1 Regi Thomas,1 Anand Job,1 V. Rajan Sundaresan,1 Shalini Anandan,2 and Rita Ruby Albert1

1Department of ENT Unit-1, Christian Medical College, Indian Subcontinent, Vellore 632004, India2Department of Microbiology, Christian Medical College, Indian Subcontinent, Vellore 632004, IndiaCorrespondence should be addressed to Ajay Philip; [email protected] 31 May 2013; Accepted 2 July 2013

Tujuan: Otomicosis merupakan penyakit THT yang umum terjadi didaerah tropis. Sifat berulang

seringkali menimbulkan tantangan yang besar bagi dokter untuk mengobati. Meskipun sejumlah

obat anti jamur telah terdapat dipasaran, penggunaan obat secara berulang dapat menyebabkan

resistensi terhadap pengobatan dan beban finansial bagi penduduk pedesaan. Tujuan utama

penelitian adalah untuk menilai efektivitas penggunaan povidone iodine dalam pengobatan

otomicosis dan untuk mengidentifikasi jamur yang paling sering menyebabkan otomicosis dalam

populasi kami. Studi desain dan pengaturan: Sebuah studi longitudinal prospektif single blind

dilakukan selama 12 bulan disebuah pusat rujukan tersier. 34 pasien pada kelompok usia 15-70

tahun secara klinis didiagnosis dengan otomicosis dilibatkan dalam penelitian ini. Kamudian

individu dibagi dalam dua kelompok yang dipilih secara acak. Satu kelompok menerima 7,5%

povidone iodine tetes telinga dan kelompok lainnya menerima 1% kotrimazole dan lignocaine

tetes. Evaluasi didasarkan pada resolusi gejala-gejala dan tanda-tanda setelah pengobatan. Hasil:

Kedua kelompok menunjukkan perbaikan yang sebanding sehingga menunjukkan fungsi

penggunaan povidone iodine dalam pengelolaan otomicosis. Kesimpulan: Povidone iodine

merupakan anti jamur yang efektif dalam pengobatan otomicosis.

1. Pendahuluan

Otitis eksterna jamur (otomicosis) adalah penyakit yang umum terjadi

diseluruh Dunia, dengan frekuensi yang berbeda dalam berbagai zona geografi

yang berbeda. Hal ini sering terjadi didaerah tropis dan kadang-kadang

dikaitkan dengan komplikasi pada telinga tengah. Hal ini telah menjadi hal

yang membingungkan pada banyak ahli otologis karena sifatnya yang

berulang. Sekitar 100 tahun yang lalu oleh andral dan cavarret pada tahun 1843

dan mayer pada tahun 1844, banyak usaha telah dibuat dalam diagnosis dan

Page 2: Jurnal THT Co Ass

pengobatan Kondisi ini. Penyakit ini diseluruh Dunia terdapat kira-kira 5-25%

dari total kasus otitis eksterna.

Dalam sebuah klinik THT, rentang prevalensi sekitar 9% dan menjadi

sekitar 30,4% pada individu prasenting dengan otitis eksterna. Jamur

merupakan penyebab infeksi sekunder pada 1/3 CAE dari kasus otitis eksterna

dan sisanya dikaitkan dengan basil gram negatif.

Secara tradisional, pengobatan otomicosis berkisar dengan kepribadian

seseorang dan penghindaran pembersihan diri. Namun, seiring berjalannya

waktu, manajemen Tatalaksana barvariasi yang berkisar dari metacresylacetate,

asam borat, dan salep sulphatiazole dan berangsur-angsur ketokonazole topical,

tetes telinga cresylate, dan alumunium asetat tetes. Penggunaan

metacresylacetate dapat menyebabkan dermatitis dan kemudian dihentikan.

Pada kasus yang membandel, pengobatan dengan 75 sinar X ray juga telah

dicoba.

Dalam berbagai literatur telah banyak digunakan obat topical anti jamur

dalam pengobatan otomikosis, namun belum ada literatur yang mengevaluasi

fungsi yodium sebagai anti jamur dalam pengobatan otomicosis. yodium secara

rutin digunakan sebagai antiseptik yang biasa digunakan dalam bangsal bedah.

Studi dilakukan untuk mengevaluasi anti jamur yang dimiliki oleh povidone

iodine dan dapat digunakan sebagai alternative yang lebih murah dalam

pengobatan otomicosis.

2. Bahan dan metode

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi apakah povidone

iodine efektif dalam mengobati otitis eksterna karena jamur. Sebuah studi

dengan metode single blind prospectif yang diacak secara case-control yang

dilakukan selama 12 bulan, izin penelitian institusional diperoleh sebelum

dimulainya penelitian dan informasi persetujuan diperoleh secara subjective.

Semua pasien yang didiagnosis otomicosis dalam rentang usia 15-70

tahun dilibatkan dalam penelitian ini. Kemudian dibagi dalam kelompok usia

15-30 tahun, 31-50 tahun dan 51-70 tahun.

Page 3: Jurnal THT Co Ass

Individu dengan otitis media supuratif, pasca operasi mastoidektomi, otitis

eksterna yang ganas, DM tidak terkontrol, memakai alat bantu dengar dan

mereka yang menjalani kemoterapi maupun post kemoterapi tidak diikutkan

dalam penelitian.

1) target ukuran sampel dan alasan pemikiran

Sebanyak 270 sampel telah dihitung. Hasil utama penelitian ini

adalah perbaikan gejala klinis dan kesembuhan pasien. Diperkirakan

bahwa 90% pada kelompok clotrimazole akan meningkat dibandingkan

75% pada kelompok povidone iodine. Untuk menemukan perbedaan 15%

pada hasilnya, dengan kekuatan asumsi menjadi 80% dan tigkat signifikan

5%, ukuran sampel dihitung sebanyak 135 pada masing-masing kelompok

(total sampel 270). Untuk kedua kelompok dengan persentase (angka

kesembuhan), clotrimazole (P1) = 90% dan mengusulkan tingkat

penyembuhan dengan povidone iodine (P2) = 75%, ukuran sampel

dihitung dengan ukuran sampel (n) = (𝑍@ + 𝑍1-𝑏)22𝑃𝑄/𝑑2, dimana 𝑃 = (𝑝1+𝑝2)/2 = (90+75)/2, 𝑍@ = type 1 error = 1.96, 𝑍1-𝑏 = type 2

error = 1.28,𝑑 = perbedaan hasil = 15, dan 𝑄 = 100% βˆ’ 𝑃 = 100 βˆ’ 82.5 =

17.5. Maka dari itu = 10.4 Γ— 2 Γ— 82 Γ— 17.5/225 = 134.7 = 135 pasien pada

kedua kelompok. Karena ini merupakan penelitian pertama yang

menggunakan povidone iodine pada kasus-kasus klinis yang didiagnosis

otomicosis, kami merencanakan untuk melakukan studi percontohan.

2) metode alokasi penyembunyian

masing-masing obat yang diberikan dalam tempat yang tertutup.

Obat diberikan dalam metode terbuka oleh staf perawat terlatih. Peneliti

utama, staf perawat dan pasien tidak menyadari jenis obat yang diberikan.

Penelitian dilakukan di departemen THT tersier dirumah sakit cristian

medical college and hospital vollere. Semua pasien rawat jalan dengan

keluhan gejala-gatal pada telinga, sensasi tersumbat pada telinga, tinnitus

maupun tuli adalah yang dievaluasi. Telinga diperiksa dengan otoskop dan

diagnosis otomicosis dibuat, berdasarkan riwayat pendakit dahulu, dan

pada pemeriksaan ditemukan hifa yang kusut, spora maupun adanya

Page 4: Jurnal THT Co Ass

endapat pada CAE. Pasien yang memenuhi kriteria diatas maka dirujuk ke

peneliti utama.

Peneliti utama kembali memeriksa pasien tersebut, telinga

divisuaisasikan dibawah kerja mikroskop (karl zeiss) dengan 250mm lensa

objektif dan mencatat temuan yang didapat.

Didapatkannya debris pada otomikotik (gambar 1) didalam CAE

diklasifikasikan sebagai perancu yang ada hubunganya dengan isthmus,

tulang kanal maupun kartilagi kanal.

Eritema pada kartilago kanal dan tulang kanal adalah yang dicari,

dilakukan pencatatan status membran timpani, apakah padat atau terdapat

perforasi. Debris otomikotik dikeluarkan dengan suction, kemudian bagian

debris jamur dikirim untuk pemeriksaan smear jamur yang dimasukkan

dalam tabung reaksi steril yag mengandung saline.

Debris jamur yang mengganggu dilakukan pewarnaan gram. Swab

telinga pada penelitian ini disuntikkan kedalam blood agar (BA) dan

Sabouraud’s dextrose agar (SAB) dengan antibiotik dan thioglycolate

broth. BA di inkubasi pada suhu 37oC dalam atmosper CO2 dan SAB &

thioglycolate broth pada suhu 37oC selama 18 jam. Jika ada kecurigaan

pertumbuhan jamur pada titik inokulasi, lempeng diinkubasi kemudian

dievaluasi lebih lanjut selama 24 sampai 48 jam sampai terjadi sporulasi

dalam rangka untuk mengidentifikasi jamur. Pertumbuhan jamur yang

telah diidentifikasi disiapkan dengan lacto phenol cotton blue (LPCB).

Setelah diamati secara cermat terhadap lubang pada telinga, pasien

dikirimkan ke ruang perawatan THT untuk administrasi biaya obat oleh

perawat. Semua obat dibagikan secara serial yang telah dilakukan

pengacakan dengan menggunakan computer.

Page 5: Jurnal THT Co Ass

Dalam kasus pada kedua telinga yang terkena dampak, dipilih

telinga yang lebih parah terkena dampaknya dan diambil untuk tes teinga.

Berangsur-angsur dilakukan pada pasien dengan posisi berbaring atau

pada sisi yang tidak terkena dampak ataupun sisi dengan gejala yang

sedikit terkena dampak menghadapi ke atas. Tetesan yang telah

dimasukkan, dan pasien diminta mempertahankan posisi selama 10 menit.

Pasien diminta untuk memasukkan 3 tetes obat ke dalam telinga yang

terkena dampak setelah tangan dibersihkan secara menyeluruh, diulang

setiap hari selama 13 hari berturut-turut. Pada 2 minggu terakhir, pasien

ditinjau di OPD dan ditanyakan mengenai keluhan yang mereda,

ketekunan, perburukan gejala, dan munculnya gejala baru.

Telinga dilakukan pemeriksaan ulang dibawah mikroskop, temuan

dicatat dan kembali dilakukan pemeriksaan kultur telinga. Dengan tidak

adanya debris, diambil smear dari CAE. Hasil diperoleh baik jika tidak ada

gejala maupun maupun pada CAE bebas dari debris, dan setelah terapi

hasil smear menunjukkan flora normal maupun tidak adanya pertumbuhan.

Page 6: Jurnal THT Co Ass

3. Hasil

Jumlah laki-laki dan Perempuan pada ketiga kelompok usia

dibandingkan. Perempuan mendominasi pada kelompok usia pertama, laki-laki

medominasi pada kelompok usia kedua dan jumlah yang sama baik laki-laki

maupun Perempuan pada kelompok usia ke tiga (gambar 2). P-value 0,524.

Pada individu yang tidak bekerja, jumlah maksimal kasus, yang terdiri

dari ibu rumah tangga dari sebagian kedua kelompok yang terkena dampak

(gambar 3).

74% dari individu-individu terdiri dari telinga kiri yang terlibat dengan

sisa 26% pada telinga kanan yang terkena. Pruritus (gatal) merupakan gejala

yang paling umum terlihat pada 76,5% dari individu-individu yang diikuti

dengan discharge telinga, telinga terasa penuh, otalgia, tinnitus dan tuli (tabel

1).

Kongesti membran timpani pada 67,6% pada individu-individu, diikuti

oleh eritema pada dinding tulang liang telinga, eritema pada dinding tulang

rawan liang telinga, nyeri tragus, tulang rawan dinding kanal bengkak,

discharge pada liang telinga, dan tulang pada dinding liang telinga bengkak.

Dari 34 individu, 24 individu terdapat sejarah sering membersihkan telinga dan

24 individu tersebut tidak terdapat serumen. Hal ini mungkin menjelaskan

bahwa serumen dapat dijadikan sebagai anti jamur (tabel 2).

Page 7: Jurnal THT Co Ass

Pada pemeriksaan swab telinga sebelum dilakukan pengobatan bakteri,

(nonformenting basil gram negatif +pseudomonas aeruginosa) terjadi sekitar

11,8% kasus sedangkan (pseudomonas aeruginosa + enterobacter) spesies dan

staphylococcus aureus terjadi 8,8% kasus (gambar 4).

Diantara jamur tersebut, aspergillus niger dan aspergillus flavus

merupakan jamur yang paling sering diisolasi (23,5%) dengan aspergillus

niger dengan yeast merupakan 11,7% dari kasus. aspergillus niger merupakan

jamur yang paling umum, Membentuk 60,86% Isolasi, baik hubungannya

dengan jamur lain maupun dalam Isolasi dan karenanya merupakan spesies

yang sering diidentifikasi di lembaga kami (gambar 5).

Page 8: Jurnal THT Co Ass

Setelah pengobatan dengan povidone iodine, Sembilan dari smear

tumbuh jamur pseudomonas aeruginosa, yang merupakan isolate bakteri yang

paling umum diikuti oleh enterobacter.

Setelah pengobatan dengan clotrimazole dan lignocaine, telah tumbuh 3

bakteri, dengan pseudomonas aeruginosa yang Membentuk isolate paling

umum diikuti oleh basil gram negatif. Mengingat infeksi jamur, pada kelompok

setelah pengobatan, 23 pasien tidak mengalami pertumbuhan jamur, 8 pasien

Page 9: Jurnal THT Co Ass

hilang tidak di follow up, dan 3 pasien masih memilihi sisa infeksi jamur; 2

dari kelompok povidone iodine dan 1 dari kelompok klotrimazole.

Dalam profil gejala, kelompok klortimazole menunjukkan resolusi

83,3%, 91,7%, 83,3%, 91,7% dan 91,7% pada pruritus, discharge telinga,

telinga terasa penuh, tinnitus dan tuli. Meskipun begitu menunjukkan resolusi

100% dari otalgia.

Pada kelompok povidone iodine, terdapat resolusi yang lengkap

terhadap tuli dan tinnitus, sedangkan pruritus, discharge telinga dan telinga

terasa penuh memiliki resolusi 93,3%. Otalgia hanya dapat diselesaikan pada

86,7% dari kasus.

Mengingat kelembutan dari tragus, 100% membutuhkan penggunaan

kedua obat otopical. Tidak ada perbedaan signifikan diantara kedua kelompok

(p value > 0,05); oleh sebab itu, kelompok tersebut sebanding. Povidone iodine

telah menunjukkan 100% resolusi pada kedua dinding tulang rawan yang

eritama dan bengkak, sedangkan kelompok clotrimazole menunjukkan respon

yang menguntungkan pada masing-masing gejala yaitu 83,3% dan 91,7%.

Eritema pada tulang liang telinga telah ditangani pada 91,7% dan 93,3% dari

masing-masing kasus. Clotrimazole menunjukkan resolusi 100% pada dinding

liang telinga yang bengkak, discharge telinga dan kongesti membran timpani

sedangkan povidone iodine menunjukkan resolusi 93%, 100% dan 86,7% pada

masing-masing gejala. Tidak ada perbedaan yang signifikan (p > 0,05) karena

kedua kelompok sebanding (tabel 3 dan 4).

Mengingat hasil yang didapat, dapat dinyatakan bahwa kedua obat

memiliki khasiat yang sama dalam mengatasi tanda dan gejala diatas. Namun

hal ini tidak dapat ditetapkan sebagai nilai statistic yang tidak signifikan. Oleh

karena itu kami merekomendasikan penelitian dengan ukuran sampel yang

besar.

Page 10: Jurnal THT Co Ass
Page 11: Jurnal THT Co Ass

4. Diskusi

Otomicosis, merupakan Kondisi umum yang ditemui dalam praktek

THT, kadang-kadang bisa menjadi tantangan dan menyebabkan frustasi pada

pasien dan ahli otolaringologi. Meskipun komplikasi jarang terjadi dan jarang

mengancam kehidupan, penyakit ini seringkali kambuh dan mungkin

memerlukan pengobatan dan tindak lanjut yang berkepanjangan. Tujuan

pengobatan adalah tidak hanya untuk mengobati infeksi tetapi juga untuk

mengurangi tanda dan gejala yang disebabkan oleh Kondisi ini. Kekambuhan

yang tinggi dikaitkan dengan banyaknya jumlah spora. Otitis media supuratif

kronik, pasca operasi mastoidektomi, dan individu dengan imunokomprimise

dikaitkan sebagai faktor predisposisi untuk Kondisi ini. Oleh karena itu dalam

penelitian kami, kami tidak mengecualikan Kondisi diatas dan mencoba untuk

menganalisis apakah ada faktor-faktor predisposisi lain dari otomikosis,

mengatasi faktor-faktor yang mendasari.

Prinsip dasar dari pengelolaan otitis eksterna karena jamur termasuk

efektivitas aural toilet, mengidentifikasi organisme penyebab dan dihilangkan

dengan menggunakan zat anti jamur yang sesuai. Meskipun antijamur sistemik

telah di coba pada otomikosis, penggunaan topical biasanya digunakan sebagai

anti jamur yang hanya menyebabkan infeksi superficial. Kekambuhan pada

otomikosis telah ditemukan akibat masih terdapatnya spora. Penelitian telah

menunjukkan bahwa spora sub epitel tetap bertahan meskipun telah

menggunakan obat tetes telinga anti jamur topical dan oleh karenanya perlu

penekanan yang penting tentang lamanya durasi pengobatan dan tindak lanjut.

Namun dalam penelitian kami, pada pemeriksaan setelah 2 minggu

pengobatan, tidak ada spora yang muncul. Oleh karena itu kami lebih

menekankan pada aural toilet, terutama di daerah isthmus dan anterior recess.

Sejumlah pengobatan ototopikal telah digunakan di masa lalu. Hal ini termasuk

penerapan antiseptik seperti gentian violet, asam borat, cresylate dan

alumunium asetat (burrowssolution). Namun, obat ini dapat menimbulkan

ototoksik, terutama jika Kondisi tersebut terkait dengan perforasi membran

timpani.

Page 12: Jurnal THT Co Ass

Klotrimazole adalah obat anti jamur dari golongan azole yang

digunakan dalam pengobatan otomicosis. Hal ini umum digunakan dengan

kombinasi antibiotik topical maupun sediaan steroid. Pada penelitian lain, obat

tersebut efektif sebagai anti jamur dan mencapai tingkat kesembuhan 95%.

Kami merencanakan untuk melihat efektivitas penggunaan povidone

iodine 7,5% dalam pengelolaan otomicosis. Kami memilih povidone iodine

karena mudah tersedia dan terbukti efektif dalam tatalaksanan otitis media

supuratif kronik yang merupakan salah satu faktor predisposisi dari otomikosis.

Secara kimiawi stabil, murah dan resisten terhadap bakteri dan jamur belum

pernah dilaporkan. Penggunaan yang berlebihan dari setiap antibiotik dan

antimikroba dapat menyebabkan munculnya resistan terhadap organisme.

Povidone iodine digunakan dalam mengatasi masalah karena sampai saat ini

tidak ada studi yang menunjukkan resistensi, yang merupakan penyebab

Meningkatnya keprihatinan pada masa sekarang. Di negara-negara berkembang

seperti India dimana povidone iodine merupakan obat yang efektif dan lebih

murah tanpa efek ototoksik merupakan Pilihan yang lebih baik. Kami telah

menghilangkan faktor perancu seperti individu dengan immunokompromise,

memakai alat bantu dengar, perforasi membran timpani karena membutuhkan

waktu yang lama dalam melakukan terapi, dan pengobatan selama 2 minggu

mungkin tidak cukup.

Mengingat rincian demografi otomikosis, sebuah penelitian retrospektif

yang dilakukan di shanghai pada tahun 2010 menyimpulkan bahwa Perempuan

lebih berpengaruh dengan perbandingan wanita:laki-laki 2:1. Hasil serupa

terlihat dalam studi yang dilakukan di Irak, namun dalam penelitian kami

menunjukkan dominan yang sama pada kedua jenis kelamin. Namun lain lagi

dengan studi yang dilakukan oleh Gutierre et al, dan studi di Nigeria

menunjukkan bahwa laki-laki lebih dominan pada Kondisi ini. Oleh karena itu

kami menyimpulkan bahwa jenis kelamin yang dominan untuk penyakit ini

meskipun ukuran sampel yang lebih besar diperlukan untuk hal yang sama.

Sangat sedikit studi yang telah menggambarkan distribusi jenis kelamin

dan usia, dan individu yang rentan terkena penyakit ini adalah usia 30-40

Page 13: Jurnal THT Co Ass

tahun. Dalam penelitian kami sejmlah besar kejadian pada kelompok usia 15-

30 tahun dan Perempuan lebih dominan. Namun hal ini tidak signifikan secara

statistic. Pada individu yang menganggur didominasi oleh ibu rumah tangga.

Berbagai faktor yang diambil dibandingkan obat, seperti gejala dan tanda-tanda

pasien, dibandingkan sebelum pengobatan dan setelah pengobatan dan

ditabulasikan.

Ini merupakan studi pertama dalam literatur dimana telah dinilai tanda-

tanda dan mencatat tanda-tanda resolusi setelah pengobatan, dan karenanya

kami mengusulkan grade otomycosis berdasarkan pada tanda. Tanda-tanda dan

gejala dalam penelitian ini digunakan dalam pedoman pemberian obat dimana

otalgia merupakan gejala utama yang diikuti oleh otore dan gangguan

pendengaran. Gatal akan menyebabkan individu untuk membersihkan telinga,

trauma epitel sehingga menyebabkan maserasi dan menyebabkan pertumbuhan

jamur dan mikroorganisme, sehingga mengarah ke infeksi. Dalam penelitian

kami, membersihkan telinga berulang kali memiliki pengaruh terhadap

Hilangnya serumen. Sebagian besar pasien gejala berpengaruh pada telinga

kiri. Penggunaan tangan yang tidak dominan dapat menyebabkan Kerusakan

epithelial dan karena itu terjadi infeksi. Ini mungkin terkait pada individu

dalam menggunakan tangan yang benar. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian

lebih lanjut termasuk penggunaan tangan pada individu dan sisi telinga yang

terkena.

Melihat pertumbuhan mikroba floral, penelitian menunjukkan bahwa

infeksi campuran cukup langka seperti jamur umumnya cenderung

menghambat bakteri flora. Dalam penelitian kami, kasus yang didiagnosis

otomikosis, infeksi campuran flora merupakan yang paling penting, dan kami

mengusulkan mungkin karena pembentukan biofilm yang dikenal cukup

resisten terhadap agen topical yang umum digunakan. Hal ini juga dapat

menjelaskan sifat berulangnya otomikosis. Penelitian lebih lanjut akan

diperlukan untuk mengkonfirmasi hal ini. Bakteri komensalisme seperti

staphylococcus epidermidis, corynebacterium spp, bacillus spp, coccus gram

positif (staphylococcus aureus, streptococcus spp, non pathogenic micrococci),

Page 14: Jurnal THT Co Ass

gram negatif bacil (pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, haemophilus

influenza, and moraxxela catarrhalis), dan miselium jamur dari genus

aspergillus maupun yeast seperti jamur, terutama candida spp.

Smears yang dilakukan sebelum terapi, memiliki dominasi bakteri basil

gram negatif dan pseudomonas aeruginosa, dan 75% pada grup ini ada

hubunganya dengan jamur. Penyusunan yang kami lakukan di hitung dengan

sebagian besar yang lain dalam mengisolasi aspergillus sebagai spesies yang

paling umum. Ketika seseorang mengalami gejala, sering dikaitkan dengan

tidak seimbangnya antara pathogen dengan onset infeksi. Didapatkannya

enterococcus dan enterobacter pada penelitian kami menunjukkan bahwa

transmisi faeco-aural adalah dari bakteri.

Baik pada clotrimazole maupun povidone iodine mengalami perbaikan

gejala dan tanda pada individu selelah terapi, keduanya memiliki sisa penyakit

jamur 16,6% dan karena itu povidone iodine memiliki tingkat kesembuhan

yang setara dengan clotrimazole. Povidone iodine telah terbukti dapat

membunuh sebagian besar bakteri dalam biofilm. Namun begitu penggunaan

povidone iodine kurang efektif dibandingkan hydrogen peroksida dalam

biofilm. Hydrogen peroksida merupakan iritan pada kulit sehingga penggunaan

pada liang telinga yang mengalami eritematous dapat menyebabkan pasien

merasa lebih tidak nyaman. Hal ini menyebabkan timbulnya buih dan bila

digunakan harus dibawah Pengawasan. Alkohol lebih cepat merusak biofilm

dari staphylococcus epidermidis. Candida telah diketahui Membentuk biofilm

terutama dalam kateter, dan studi sekarang menyarankan pembentukan biofilm

spesies aspergillus dengan bakteri. Belum ada literatur yang menunjukkan

bahwa biofilm dianggap sebagai penyebab infeksi berulang saluran

pendengaran bagian eksterna. Maka dari itu kami menunjukkan bahwa

kekambuhan dari penyakit tidak hanya akibat dari spora, mungkin juga karena

pembentukan biofilm.

Pemberian antibiotik oral infeksi yang terjadi bersamaan dengan infeksi

bakteri pada resolusis yang tidak lengkap dari infeksi liang telinga maupun

selulitis pada pada liang telinga bagian luar. Tidak seperti penelitian lain yang

Page 15: Jurnal THT Co Ass

hanya membandingkan gejala dengan hasil kultur, mengkategorikan gejala

hanya terbatas pada berbagai bagian liang telinga dan kongesti membran

timpani yang diikuti oleh eritema dinding tulang keras dan tulang rawan.

Debris jamur yang paling sering dicatat yaitu pada isthmus tulang rawan,

menunjukkan migrasi epitel dan kegagalan dalam menghilangkan organisme,

sehingga sebuah nidus dapat menumbuhkan jamur dengan subur. Penggunaan

tetes telinga yang diaplikasikan sekali sehari berdasarkan penelitian yang

dilakukan sebelumnya oleh Nong et al, menunjukkan angka kesembuhan

sebesar 95%. Sebagai hasil povidone iodine sebanding dengan kelompok

clotrimazole, povidone iodine juga dapat diterapkan sekali sehari sehingga

meningkatkan kepatuhan pasien. Tak satupun dari pasien kami yang

menunjukkan tanda dan gejala dermatitis alergi.

5. Kesimpulan

Hasil penelitian mendukung penggunaan povidone iodine dalam

pengobatan otomicosis, sehingga dapat menghindari munculnya resisten

organisme. Penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar

dibutuhkan yang diperlukan untuk memberikan nilai yang signifikan secara

statistic untuk mengukur obat yang lebih efektif. Telah banyak studi mengenai

penggunaan povidone iodine pada kasus-kasus klinis yang didiagnosis

otomicosis disampig pengelolaan otitis media supuratif kronis.