jurnal manabu edit ndpg jepang 2005

31
1 KEBIJAKAN PERTAHANAN JEPANG: TINJAUAN STRATEGIS NDPG 2005 Asra Virgianita Nara Masista Rakhmatia PENDAHULUAN Perhatian utama Jepang terhadap situasi keamanan kawasan Asia Timur 1 dalam menyusun kebijakan pertahanan merupakan suatu tuntutan karena potensi ancaman semakin besar jika datang dari negara lain yang memiliki kedekatan geografis. Hal ini dinyatakan oleh Barry Buzan bahwa sebagian besar negara lebih takut pada tetangga mereka dibanding powers dalam jarak jauh. 2 Jepang termasuk negara yang merasakan hal tersebut, dengan memiliki permasalahan keamanan dengan Korea Utara, Cina, dan Korea Selatan yang tidak lain adalah negara tetangga di kawasan Asia Timur. Dalam terminologi keamanan, ‘kawasan’ berarti sebuah subsistem hubungan keamanan yang berbeda dan signifikan terjadi antara seperangkat negara yang nasib di antara mereka terikat oleh kedekatan geografis satu sama lain. 3 Keamanan satu negara bergantung pada keamanan negara lain di kawasan. Kawasan Asia Timur dikenal dengan situasi dan hubungan keamanan yang dinamis antarnegara di dalamnya yang dipengaruhi oleh keterkaitan sejarah panjang permusuhan yang terjadi hingga kini, terutama dalam politik dan militer. Kondisi seperti ini sesuai dengan konsep subsistem keamanan kawasan menurut Buzan yang dapat dilihat dalam pola amity (persahabatan) dan enmity (permusuhan) di area geografis tertentu. 4 1 Penulis menggunakan terminologi Asia Timur untuk kawasan yang mencakup Jepang, Cina, Taiwan, Korea Utara dan Korea Selatan. 2 Barry Buzan, “The Post-Cold War Asia-Pacific Security Order: Conflict or Cooperation?”, dalam Andrew Mack and John Ravenhill, (ed.), Pacific Cooperation: Building Economic and Security Regimes in the Asia- Pacific Region, (Boulder: Westview Press, 1995) hal. 131. 3 Barry Buzan, People, States & Fear, 2nd ed., (New York: Harvester Wheatsheaf, 1991), hal. 188. 4 Terminologi security complex digunakan untuk hasil formasi yang terbentuk dari amity dan enmity. Security complex didefinisikan sebagai kelompok negara yang perhatian keamanan primernya saling terkait secara dekat di mana keamanan nasional mereka tidak dapat secara nyata dipertimbangkan terpisah satu sama lain. Ibid., hal. 190.

Upload: iand-satia

Post on 15-Sep-2015

263 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

jurnal manabu

TRANSCRIPT

  • 1

    KEBIJAKAN PERTAHANAN JEPANG:

    TINJAUAN STRATEGIS NDPG 2005

    Asra Virgianita

    Nara Masista Rakhmatia

    PENDAHULUAN

    Perhatian utama Jepang terhadap situasi keamanan kawasan Asia Timur1 dalam

    menyusun kebijakan pertahanan merupakan suatu tuntutan karena potensi ancaman semakin

    besar jika datang dari negara lain yang memiliki kedekatan geografis. Hal ini dinyatakan oleh

    Barry Buzan bahwa sebagian besar negara lebih takut pada tetangga mereka dibanding

    powers dalam jarak jauh.2 Jepang termasuk negara yang merasakan hal tersebut, dengan

    memiliki permasalahan keamanan dengan Korea Utara, Cina, dan Korea Selatan yang tidak

    lain adalah negara tetangga di kawasan Asia Timur.

    Dalam terminologi keamanan, kawasan berarti sebuah subsistem hubungan

    keamanan yang berbeda dan signifikan terjadi antara seperangkat negara yang nasib di antara

    mereka terikat oleh kedekatan geografis satu sama lain.3 Keamanan satu negara bergantung

    pada keamanan negara lain di kawasan. Kawasan Asia Timur dikenal dengan situasi dan

    hubungan keamanan yang dinamis antarnegara di dalamnya yang dipengaruhi oleh

    keterkaitan sejarah panjang permusuhan yang terjadi hingga kini, terutama dalam politik dan

    militer. Kondisi seperti ini sesuai dengan konsep subsistem keamanan kawasan menurut

    Buzan yang dapat dilihat dalam pola amity (persahabatan) dan enmity (permusuhan) di area

    geografis tertentu.4

    1 Penulis menggunakan terminologi Asia Timur untuk kawasan yang mencakup Jepang, Cina, Taiwan, Korea

    Utara dan Korea Selatan. 2 Barry Buzan, The Post-Cold War Asia-Pacific Security Order: Conflict or Cooperation?, dalam Andrew

    Mack and John Ravenhill, (ed.), Pacific Cooperation: Building Economic and Security Regimes in the Asia-

    Pacific Region, (Boulder: Westview Press, 1995) hal. 131. 3 Barry Buzan, People, States & Fear, 2nd ed., (New York: Harvester Wheatsheaf, 1991), hal. 188.

    4Terminologi security complex digunakan untuk hasil formasi yang terbentuk dari amity dan enmity. Security complex

    didefinisikan sebagai kelompok negara yang perhatian keamanan primernya saling terkait secara dekat di mana keamanan

    nasional mereka tidak dapat secara nyata dipertimbangkan terpisah satu sama lain. Ibid., hal. 190.

  • 2

    Berdasarkan pola tersebut diatas, Jepang perlu melihat pola hubungan di dalam

    kawasan secara lebih menyeluruh untuk dapat menghasilkan kebijakan pertahanan negara

    yang sesuai. Kebijakan pertahanan negara didasarkan pada upaya untuk menghilangkan

    potensi ketidakamanan yang merupakan kombinasi dari ancaman (bersumber pada bahaya

    dari luar negara) dan kerawanan (bersumber dari situasi di dalam negara). Intensitas ancaman

    dipengaruhi oleh faktor identitas yang spesifik, kedekatan jarak dan waktu, kemungkinan

    terjadi, beban konsekuensi, dan apakah persepsi ancaman ditambah oleh situasi sejarah.

    Jepang melihat potensi ancaman yang tinggi dari kawasan, sementara di sisi lain Jepang juga

    memiliki beberapa kerawanan yang signifikan.

    Dalam mengantisipasi ancaman dan kerawanan, Buzan menyebut dua pilihan strategi

    yang dapat dipilih, yaitu strategi keamanan nasional dan strategi keamanan internasional.

    Strategi keamanan nasional memfokuskan kebijakan pada upaya mengurangi kerawanan dari

    negara.5

    Kerawanan dapat dikurangi dengan meningkatkan kemampuan atau kekuatan

    perlawanan untuk menghadapi ancaman tertentu. Ancaman militer dapat diatasi dengan

    memperkuat kekuatan militer, melakukan aliansi, atau mempertangguh negara dari serangan.

    Aliansi perlu dilakukan jika negara tidak dapat mengatasi ancaman dan kerawanan yang ada

    dengan kekuatan sendiri.6 Dibatasi oleh kerawanan dalam negeri, Jepang melihat aliansi

    dengan AS merupakan strategi penting yang diperlukan dalam kebijakan pertahanan Jepang.7

    5 Ibid., hal. 331.

    6 K.J. Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, 5

    th ed., (New Jersey: Prentice Hall, 1988), hal.

    105. 7 Jaminan keamanan dari AS untuk Jepang didasarkan pada Treaty of Mutual Cooperation and Security yang

    ditandatangani Januari 1960. Perjanjian ini menjadi dasar kerjasama pertahanan Jepang-AS selanjutnya.

    Jaminan keamanan Jepang dari AS kemudian diperkuat melalui kerjasama pertahanan, Bilateral Defense

    Cooperation, yang dibentuk tahun 1978, dengan ditandatanganinya Defense Cooperation Guidelines. Dalam

    upaya menghadapi perubahan situasi keamanan di kawasan pasca-Perang Dingin, Jepang pun memperluas

    kerjasama pertahanan dengan AS pada 17 April 1996 melalui Japan-U.S. Joint Declaration On Security: Alliance for the 21st Century. Japan-U.S. Joint Declaration On Security: Alliance For The 21st Century, diakses dari http://www.mofa.go.jp/region/n-america/us/security/security.html, pada tgl. 9 April 2005, pkl.

    21.47 WIB.

  • 3

    Strategi keamanan internasional memfokuskan kebijakan pada sumber dan penyebab

    ancaman, tujuannya tidak untuk menahan kemunculan ancaman, tetapi untuk mengurangi

    atau menghilangkan mereka melalui aksi politik.8

    Strategi ini memungkinkan upaya

    mengatasi masalah keamanan pada level kawasan dan sistem secara menyeluruh, dan

    menawarkan kebijakan keamanan dengan dana lebih efisien. Strategi keamanan yang dipilih

    Jepang, baik nasional atau internasional, akan menentukan kemampuan dalam mengantisipasi

    ancaman dan kerawanan yang dimiliki sehingga mempengaruhi tingkat keamanan

    negaranya.9 Jepang dalam hal ini harus selalu mengamati situasi keamanan di Asia Timur

    yang dinamis dan mereview situasi dalam negeri untuk dapat selalu merumuskan kebijakan

    pertahanan yang adaptif terhadap perubahan.

    National Defense Program Guidelines (NDPG) sebagai landasan kebijakan

    pertahanan Jepang tidak hanya mendefinisikan apa dan bagaimana seharusnya kemampuan

    pertahanan Jepang, tetapi juga menetapkan dengan jelas kebijakan keamanan mendasar

    Jepang.10

    NDPG tersebut menegaskan kebijakan keamanan Jepang secara menyeluruh yang

    berorientasi eksklusif pada pertahanan, tidak menjadi power militer besar yang dapat

    menciptakan ancaman ke seluruh dunia dengan membangun kemampuan pertahanan

    moderat.

    PENINGKATAN ANCAMAN KAWASAN: NDPG 2005 SEBAGAI SOLUSI?

    Isu Nuklir Korea Utara: Ancaman Nyata

    Isu nuklir Korea Utara merupakan ancaman bagi Jepang, Asia Timur, dan juga dunia

    internasional. AS bahkan memasukkan Korea Utara sebagai bagian dari Axis of evil. Jepang

    8 Barry Buzan, People, States & Fear, Op. Cit., hal. 334.

    9 Ancaman dan kerawanan kerap berubah, sebagai respon atas perkembangan sarana ancaman dan evolusi dalam

    negara yang mengubah sifat kerawanan. Raymond Aron menyebutnya dengan hukum perubahan, yaitu nilai militer, demografi, atau ekonomi dari sebuah wilayah berubah dalam teknik pertempuran dan produksi, dengan

    hubungan manusia dan institusi, Dikutip dari Barry Buzan, Ibid., hal. 144. 10

    Overview of Japanese Defense, diakses dari www.jda.go.jp/e/index_.htm pada tgl. 5 Maret 2006, pkl.21.43 WIB.

  • 4

    merasakan ancaman nyata itu karena Korea Utara telah beberapa kali melancarkan uji coba

    rudal, yang dapat digunakan untuk membawa hulu ledak nuklir, hingga mencapai wilayah

    Jepang.11

    Upaya internasional dan tekanan dari AS untuk mengawasi program nuklir Korea

    Utara dilakukan. Korea Utara pada Juli 1977 menandatangani kesepakatan dengan Badan

    Energi Atom Internasional (IAEA) untuk mengawasi situs penelitian nuklir Yongbyon.12

    Pada 1985 Korea Utara juga menandatangani Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT).

    Pasca-Perang Dingin, AS berhasil memaksa Korea Utara menyetujui kesepakatan

    denuklirisasi dengan Korea Selatan dan menandatangani Full Scope Safeguard Agreement

    dengan IAEA pada 30 Januari 1992. IAEA dapat memonitor semua fasilitas nuklir Korea

    Utara dan melakukan rangkaian enam inspeksi dari Juni 1992 hingga Februari 1993. Korea

    Utara dan AS pada 21 Oktober 1994 di Jenewa menandatangani Agreed Framework, di mana

    Korea Utara akan membekukan program nuklir dan kedua pihak akan bekerjasama mengganti

    reaktor graphite-moderated dengan fasilitas sumber pembangkit listrik tenaga air (LWR).13

    AS akan memimpin konsorsium internasional, Korean-peninsula Energy Development

    Organization (KEDO), guna membangun dua reaktor air pembangkit tenaga listrik dan

    menyediakan 500.000 ton per tahun sumber energi minyak, heavy fuel oil, (HFO) untuk

    Korea Utara hingga reaktor pertama siap dioperasikan pada target tahun 2003. Setelah

    menandatangani Agreed Framework, Korea Utara justru mencari bahan bakar nuklir

    pengganti plutonium melalui program pengayaan uranium, highly enriched uranium (HEU).

    Dibandingkan fasilitas produksi plutonium, fasilitas produksi HEU lebih sulit dideteksi,

    hingga sulit diketahui secara akurat tahap pengembangan program.

    11

    Pengembangan nuklir Korea Utara dimulai tahun 1959 saat Uni Soviet dan Korea Utara membangun fasilitas

    penelitian nuklir di Yongbyon, 100 km sebelah utara ibukota Pyongyang, yang dibuka tahun 1962. Reaktor

    sebesar dua-kilowatt selesai tahun 1965 dan mulai aktif tahun 1967. Selama Perang Dingin Korea Utara terus

    mengembangkan fasilitas reaktor nuklir. Liz Harper, A Continuation of Nuclear Research, diakses dari http://www.pbs.org/newshour/bb/asia/northkorea/nuclear.html, pada tgl. 26 Maret 2006, pkl. 22.43 WIB. 12

    Liz Harper, Post-War Rebuilding and the Chinese-Soviet Alliance, diakses dari http://www.pbs.org/newshour/bb/asia/northkorea/time5.html, pada tgl. 26 Maret 2006, pkl. 22.32 WIB. 13

    Nuclear Weapons Program, diakses dari http://www.fas.org/nuke/guide/dprk/nuke/index.html, pada tgl 26 Maret 2006, pkl. 23.13 WIB.

  • 5

    Pada 6 Oktober 2002 AS mengumumkan bahwa Korea Utara, saat pertemuan

    dengan Asisten Menteri Luar Negeri James Kelly di Pyongyang, mengaku memiliki program

    senjata nuklir.14

    Korea Utara pada 10 Desember 2002 mengaktifkan kembali fasilitas nuklir

    Yongbyon dan mengusir seluruh pengawas PBB. Menurut Korea Utara, pengaktifan adalah

    untuk menghasilkan tenaga listrik akibat kekurangan pasokan bahan bakar, bukan

    mengembangkan senjata nuklir. Pengakuan itu tidak didukung hasil foto satelit yang

    menunjukkan reaktor nuklir tidak terkait pada sambungan listrik, seperti jika digunakan untuk

    pembangkit tenaga listrik. Maka, Jepang melalui pernyataan Menteri Luar Negeri pada 22

    Desember 2002 menyatakan kekhawatiran terhadap pemindahan segel yang dilakukan Korea

    Utara dan penghapusan fungsi perangkat pengawas yang dipasang di reaktor percobaan

    5MWe graphite-moderated Yongbyon.15

    Pada April 2003, dialog multilateral dimulai di Beijing, Cina, dengan tujuan

    mengakhiri program senjata nuklir Korea Utara.16

    Akhirnya dalam kesempatan itu, pada 24

    April 2003, Korea Utara untuk pertama kalinya mengaku memiliki senjata nuklir.17

    Ketua

    Delegasi Korea Utara, Kim Jong Il, dalam pertemuan six-party talks di Beijing, Cina, pada

    Agustus 2003 memperingatkan bahwa negaranya dapat melakukan uji coba senjata nuklir,

    dan bahkan mampu membuktikan bahwa negaranya mempunyai wahana untuk membawa

    senjata nuklir.18

    Pada 2 Oktober, Korea Utara menyatakan telah memproses kembali 8000

    14

    Liz Harper, Crisis Reignited, diakses dari http://www.pbs.org/newshour/bb/asia/northkorea/time9.html, pada tgl. 26 Maret 2006, pkl. 22.49 WIB. 15

    Statement by the Press Secretary/Director-General for Press and Public Relations, Ministry of Foreign Affairs, on North Korea's Removal of the Protective Seals of the Graphite-Moderated Experimental Reactor, diakses dari http://www.mofa.go.jp/announce/announce/2002/12/1222.html, pada tgl. 21 April, pkl. 22.21 WIB. 16

    Dengan format awal trilateral, terdiri atas Cina, Korea Utara dan AS, proses tersebut meluas menjadi format

    enam pihak dengan masuknya Jepang, Rusia, dan Korea Selatan. Dialog ini dinamakan dengan six-party talks.

    Six-party talks hingga akhir tahun 2004 sendiri telah diadakan sebanyak 3 kali, yaitu pada 27-29 Agustus 2003,

    25-28 Februari 2004, dan 23-26 Juni 2004, yang akan dijelaskan lebih lanjut pada subbab II.1.3. 17

    Nuclear Weapons Program, diakses dari http://www.fas.org/nuke/guide/dprk/nuke/index.html, Loc. Cit. 18

    Poltak Partogi Nainggolan (ed.), Konflik dan Perkembangan Kawasan Pasca-Perang Dingin, (Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2004),

    hal 247.

  • 6

    tabung limbah bahan bakar campuran yang dapat menghasilkan empat hingga enam bom

    nuklir dan mengancam akan mengekspor bahan nuklir.19

    Selain pengembangan nuklir, Korea Utara juga melakukan pengembangan rudal.

    Yang dimulai pada 1970-an dan menguji coba rudal balistik Scud-B buatan sendiri pada

    April 1984.20

    Pengembangan rudal berlanjut hingga pasca-Perang Dingin. Korea Utara

    memiliki rudal Scud jangkauan pendek yang dapat digunakan untuk mengenai target di

    negara tetangga. Korea Utara memproduksi Scud-C berjarak 500km, Scud-D berjarak

    800km, dan rudal Nodong berjarak 1300km. Korea Utara mungkin memiliki 100 rudal

    Nodong I jarak pendek.21

    Untuk jangkauan lebih jauh, Korea Utara mengembangkan rudal

    Taepodong 1 yang berjarak tempuh lebih dari 1.500-2.200 km.

    Uji coba rudal Nodong yang dilakukan Korea Utara pada Mei 1993 mencapai Laut

    Jepang. Insiden ini memunculkan kesadaran Jepang terhadap ancaman nyata Korea Utara.

    Bahkan, pada 31 Agustus 1998, Korea Utara meluncurkan rudal Taepodong 1, hingga

    melampaui wilayah Jepang dan mendarat di lepas pantai Sanriku. Ketua Sekretaris Kabinet

    Jepang pada 1 September mengumumkan respon keras terhadap peluncuran rudal dan

    mengambil tindakan tegas dengan menunda upaya normalisasi hubungan, menghentikan

    sementara bantuan pangan ke Korea Utara, menunda perkembangan KEDO dan membawa

    isu peluncuran rudal itu ke Dewan Keamanan PBB.22

    Di dalam negeri, Jepang meneruskan

    19

    Korea Utara memang diperkirakan memiliki kemampuan memproduksi hulu ledak nuklir. Fasilitas Yongbyon

    pada tahun 2003 memiliki 3000 ilmuwan dan peneliti, yang banyak diantaranya mempelajari teknologi nuklir di

    Uni Soviet, Cina, dan Pakistan lihat Benjamin Friedman, Fact Sheet: North Koreas Nuclear Weapons Program, 23 Januari 2003, diakses dari http://www.cdi.org/nuclear/nk-fact-sheet.cfm, pada tgl. 26 Maret 2006, pkl. 23.12 WIB. Jika dua fasilitas reaktor baru yang dibangun pada akhir 2002 selesai, fasilitas tersebut akan

    dapat menghasilkan 55 senjata nuklir setiap tahun. Bersama dengan keseluruhan fasilitas Yongbyon yang

    berjalan, Korea Utara dapat membuat lebih dari 200 senjata nuklir pada akhir dekade, David Albright, "North

    Korea's Current and Future Plutonium and Nuclear Weapon Stocks," Institute for Science and International

    Security, 15 Januari 2003,diakses dari http://www.isis-online.org/publications/dprk/fastfacts.html, pada tgl. 2

    Maret 2006, pkl. 13.30 WIB. 20

    Diakses dari http://www.nti.org/e_research/profiles/NK/, pada tgl. 19 April 2006, pkl. 21.44 WIB. 21

    "North Korea Special Weapons Guide," Global Security.org, diakses dari

    http://www.globalsecurity.org/wmd/world/dprk/index.html, pada tgl. tgl. 26 Maret 2006, pkl. 23.32 WIB. 22

    Announcement by the Chief Cabinet Secretary on Japan's immediate response to North Korea's missile launch, diakses dari http://www.mofa.go.jp/announce/announce/1998/9/901-2.html, pada tgl. 21 April 2006, pkl. 22.26 WIB.

  • 7

    pembelajaran terhadap sistem pertahanan rudal balistik. Pada September 1999, melalui dialog

    dengan AS, Korea Utara menyetujui penundaan peluncuran rudal hingga tahun 2003.

    Situasi memanas saat Korea Utara pada 10 Januari 2003 mengumumkan menarik

    diri dari NPT. Menteri Luar Negeri Yoriko Kawaguchi langsung menyatakan penyesalan atas

    keputusan Korea Utara dan menyatakan Jepang sangat khawatir terhadap situasi itu.23

    Perdana Menteri Jepang, Junichiro Koizumi, mendesak Pyongyang membatalkan keputusan

    menarik diri dari NPT.24

    Akan tetapi, Korea Utara tidak mengubris permintaan tersebut

    bahkan pengembangan rudal Korea Utara terus dilakukan. Tahun 2003, satelit pengindera AS

    mendeteksi pengerjaan sebuah rudal balistik baru yang didasarkan pada model R-27 Uni

    Soviet. Rudal balistik ini diluncurkan dari bawah permukaan air berbahan cair dengan jarak

    2500km. Versi berbasis daratnya memiliki panjang 12 meter dan diameter 1.5 meter dengan

    jarak 2500-4000km. Korea Utara sementara itu terus mengembangkan Taepodong 2 yang

    diperkirakan memiliki jarak antarbenua.

    Ancaman nyata Korea Utara kembali terjadi pada 5 Juli 2006, dengan peluncuran

    tujuh rudal balistik sekaligus yang terdiri atas bermacam jarak tempuh, yaitu lima rudal

    berjarak tempuh dekat, satu berjarak menengah, dan satu berjarak jauh. Namun, rudal

    berjarak jauh yang diperkirakan sebagai Taepodong 2 gagal meluncur setelah 40 detik.

    Sementara itu, semua rudal berjarak dekat jatuh di perairan laut Jepang. Tentu saja hal ini

    menunjukkan bagaimana Korea Utara menjadi ancaman nyata bagi Jepang.

    Selain isu nuklir dan rudal, persepsi ancaman Korea Utara datang dari kasus

    penculikan tiga belas warga negara Jepang oleh Korea Utara. Warga Jepang menjadi korban

    penculikan Korea Utara pada tahun 1977 hingga 1982. Kecurigaan Jepang akan penculikan

    23

    Statement by Ms. Yoriko Kawaguchi, Minister for Foreign Affairs, on the Declaration by North Korea to Withdraw from the NPT, 10 Januari 2003, diakses dari http://www.mofa.go.jp/announce/announce/2003/1/0110.html, pada tgl. 2 Mei 2006, pkl. 23.12 WIB. 24

    Korea Utara mengadakan uji coba peluncur rudal pada 24 Februari dan 10 Maret 2003 yang mendarat di Laut

    Jepang., dimana sebelumnya telah melakukan uji coba rudal balistik sejak Agustus 1998.Diakses dari

    http://www.nti.org/e_research/profiles/NK/, Loc. Cit.

  • 8

    yang dilakukan Korea Utara mulai dimunculkan pada pertemuan ketiga normalisasi Jepang-

    Korea Utara, Mei 1991. Korea Utara menolak tuduhan kasus penculikan dan meninggalkan

    konsultasi pertemuan kedelapan normalisasi pada November 1992 hingga mengakibatkan

    penundaan pembicaraan normalisasi Jepang-Korea Utara.

    Jepang juga membahas isu penculikan pada Pertemuan Palang Merah Jepang-Korea

    Utara pada September 1997, Desember 1997, dan Maret 2000 dengan mendesak Korea Utara

    melakukan penyelidikan menyeluruh dan mengambil tindakan penyelesaian masalah.

    Parlemen Jepang bahkan membentuk misi Murayama yang meminta Korea Utara terus

    melakukan penyelidikan. Pada lanjutan pembicaraan normalisasi Jepang-Korea Utara April

    2000 di Pyongyang dan Agustus 2000 di Jepang, Jepang menyatakan bahwa pembahasan

    sangkaan penculikan tidak dapat dihindari dalam rangka meningkatkan hubungan Jepang dan

    Korea Utara. Sebagai respon, Korea Utara menolak melakukan pembicaraan lebih lanjut jika

    Jepang terus menggunakan istilah penculikan dan memaksa agar kasus itu tidak lagi

    dimasukkan sebagai topik dalam pembicaraan normalisasi.

    Akhirnya, dalam pertemuan antara Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi dan

    pemimpin Korea Utara Kim Jong Il pada 17 September 2002, Korea Utara untuk pertama

    kalinya secara resmi mengakui telah menculik tiga belas warga negara Jepang selama periode

    1970-an dan 1980-an. Menurut Korea Utara, delapan dari tiga belas warga yang diculik telah

    meninggal dunia. Pada Oktober 2002, lima warga yang masih hidup mengunjungi Jepang.

    Namun, Korea Utara melarang mereka membawa serta keluarga. Publik Jepang menganggap

    pelarangan itu sebagai upaya Korea Utara menyandera warga Jepang. Pada 19 Desember

    2002, Kementerian Luar Negeri Jepang mengeluarkan pernyataan tentang penghilangan

    paksa (enforced or involuntary disappearances) dari warga Jepang. Dalam pernyataan itu

    Jepang menyambut pengeluaran resolusi mengenai penghilangan paksa the Question of

    Enforced or Involuntary Disappearances, dan memaksa bangsa terkait untuk mengatasi

  • 9

    masalah penghilangan paksa, termasuk penculikan oleh Korea Utara.25

    Publik menekan

    pemerintah Jepang untuk segera menyelesaikan permasalahan penculikan ini. Oleh karena itu

    dalam setiap pembicaraan yang melibatkan Korea Utara, termasuk pembicaraan normalisasi

    ataupun six-party talks, Jepang selalu memasukkan kasus penculikan ke dalam pembicaraan.

    Modernisasi Persenjataan Cina dan Sengketa Wilayah

    Permasalahan lain yang dihadapi Jepang di kawasan adalah modernisasi persenjataan

    Cina. Kemampuan militer Cina terus meningkat melalui modernisasi persenjataan dan

    profesionalisasi pasukan yang dilakukan sejak tahun 1978 hingga kini. Upaya peningkatan

    kapabilitas militer Cina juga sejalan dengan peningkatan anggaran pertahanan pasca-Perang

    Dingin, yang mengalami peningkatan sekitar 13%-17% terhitung sejak tahun 1991-2004. 26

    Peningkatan anggaran pertahanan yang signifikan dari tahun ke tahun, menandakan

    keseriusan Cina dalam meningkatkan kapabilitas militer. Kemampuan penyediaan anggaran

    militer yang besar didukung oleh perkembangan ekonomi Cina saat ini.

    Untuk personil militer, Cina mempunyai 2, 5 juta personel pada tahun 2000.27

    Terdapat juga 1,1 juta personel bertugas di kelompok Peoples Armed Police yang mengurus

    masalah internal dan perbatasan. Jumlah personel yang besar itu dibarengi usaha untuk

    meningkatkan profesionalisme melalui pembatasan personel dan penataan organisasi dan

    sistem demi meningkatkan efisiensi. Upaya peningkatan kemampuan personel dilakukan

    melalui latihan gabungan skala besar dari Angkatan Darat (AD), Laut (AL) dan Udara (AU),

    dan latihan pendaratan, serta upaya penguasaan pengetahuan dan teknologi.

    25 Pada Mei 2004, setelah Perdana Menteri Koizumi bertemu dengan Kim Jong Il, Korea Utara setuju mengembalikan lima

    anggota keluarga dari dua korban penculikan dan berjanji melakukan penyelidikan terhadap kasus penculikan sepuluh warga

    Jepang lain yang keberadaannya belum diketahui hingga saat ini. Statement by the Press Secretary/Director-General for Press and Public Relations, Ministry of Foreign Affairs, on the Resolution on the Question of Enforced or Involuntary

    Disappearances, dari http://www.mofa.go.jp/announce/announce/2002/12/1219.html, pada tgl. 19 April, pkl. 23.39 WIB. 26

    White Paper on National Defense issued by Chinese Government and other government publications, diakses

    dari http://www.chinatoday.com/arm/, tgl. 1 Januari 2005, pkl. 22.13 WIB. 27

    Frank W Moore, IDDS Research Analyst, China's Military Capabilities, Juni 2000, diakses dari http://www.comw.org/cmp/fulltext/iddschina.html, pada tgl. 1 Januari 2005, pkl. 22.08 WIB.

  • 10

    Modernisasi perlengkapan militer juga menjadi langkah penting yang dilakukan Cina.

    AD Cina memiliki jumlah simpanan tank yang diperkirakan mencapai 10.100,28

    dengan

    sistem loading senjata otomatis. Cina juga memiliki hampir 2000 tank ringan. AU Cina kini

    memiliki sekitar 4350 pesawat tempur dengan teknologi canggih dan terus mengimpor

    pesawat tempur dari Rusia, yang dilengkapi dengan rudal antipesawat canggih. Tahun 2002,

    Cina menandatangani kontrak pembelian senilai $5 milyar, dan akan secara tambahan

    melakukan pembelian ketiga 38 pesawat tempur Su 30.29

    Cina kini secara domestik

    mengembangkan pesawat tempur canggih J-10 (F-10) dan memodernisasi kekuatan udara

    dengan kemampuan pengisian bahan bakar saat penerbangan, sistem peringatan dini, kontrol

    dalam menjalankan aksi udara modern, sambil mengembangkan rudal penjelajah.

    Angkatan Laut Cina tengah membangun apa yang disebut dengan blue-water navy.30

    Modernisasi dijalankan dengan pengenalan kapal selam kelas-Kilo dan kapal penghancur

    kelas-Sovremenny dengan rudal anti-kapal supersonik dari Rusia. Cina juga memiliki

    kombatan aktif permukaan, program konstruksi kapal amfibi, dan beberapa vessels yang saat

    ini sedang dibuat dan dalam rencana tambahan unit. Cina pun berupaya mengembangkan

    kekuatan kapal selamnya dengan mengintensifkan pembangunan dan akuisisi kapal selam

    baru. Beberapa tahun belakangan Jepang menyaksikan kegiatan laut yang agresif dari kapal

    Angkatan Laut Cina yang berlayar di perairan dekat Jepang, seperti kasus kecelakaan yang

    diakibatkan oleh penyelaman kapal selam bertenaga nuklir Cina yang mengintrusi wilayah

    perairan Jepang pada November 2004.

    Cina saat ini juga mengembangkan satelit sebagai perlengkapan militer, seperti dua

    satelit baru pengindera, remote-sensing, yang dikenal dengan Ziyuan-1 dan -2. Upaya

    intelijen Cina terhadap negara tetangga akan lebih maksimal. Sebaliknya, Cina

    28

    Ibid. 29

    The National Institute for Defense Studies, East asian Strategic Review: 2003, (Tokyo: The national Institute

    for Defense Studies, 2003), hal. 186. 30

    Blue-water navy adalah kekuatan Angkatan Laut yang memiliki kemampuan proyeksi kekuatan laut dalam.

    Angkatan Laut seperti itu mampu beroperasi secara efektif melampaui pantai nasional mereka.

  • 11

    mengembangkan senjata anti-satelit yang dirancang untuk menyerang satelit musuh agar

    tidak mampu mendeteksi dan kemudian membuatnya macet saat diaktifkan, yang dinamakan

    satelit parasit31 Satelit parasit ini dapat digunakan untuk menyerang segala jenis satelit dan

    tetap tidak terdeteksi karena tidak mengganggu fungsi normal satelit musuh jika satelit parasit

    tidak diaktifkan.

    Selain peningkatan anggaran militer dan modernisasi peralatan militer konvensional,

    masih terdapat kapabilitas militer Cina yang menambah tingkat ancaman di kawasan. Cina

    merupakan satu-satunya kekuatan Asia dengan senjata nuklir berbasis laut, udara, dan darat.32

    Menurut Bulletin of the Atomic Scientist dan SIPRI Yearbook 1999, ukuran gudang nuklir

    Cina sekitar 400 hulu ledak. Buletin itu memperkirakan bahwa 20 rudal bersenjata nuklir

    ditempatkan untuk perang antarbenua, 230 senjata nuklir lain ditempatkan untuk angkatan

    udara, rudal, dan kapal selam dengan kemampuan regional, dan 150 hulu ledak nuklir

    dipercaya disimpan untuk penggunaan taktikal (rudal jarak pendek, pesawat penjatuh bom

    lingkup kecil, dan kemungkinan amunisi artileri atau senjata penghancur).33

    Cina pertama

    kali menguji coba perangkat nuklir pada tahun 1964. Sejak saat itu Cina telah

    mempercanggih dan memperkecil wujud perangkat nuklirnya.

    Cina juga memiliki tiga rudal dengan kategori rudal balistik jarak intermediasi

    (IRBM) dan rudal balistik jarak menengah (MRBM) yang dapat menjangkau seluruh

    kawasan Asia. Saat ini Cina tengah mengembangkan tipe baru rudal balistik antarbenua DF-

    31 dan rudal balistik diluncurkan dari kapal selam. Sebagai tambahan, Cina menambah

    penempatan rudal balistik jarak pendek di sepanjang pantai yang menghadap Selat Taiwan.

    Terakhir, Cina telah mengadakan penelitian dan pengembangan langkah-counter terhadap

    31

    Jon Dougherty, China develops anti-satellite weapon, 19 januari 2001, diakses dari http://www.worldnetdaily.com/news/article.asp?ARTICLE_ID=21409, pada tgl. 5 April 2006, pkl. 22.13 WIB. 32

    Samuel S. Kim, ed., China and the World: Chinese Foreign Relations in the Post-Cold War Era, (Colorado:

    Westview Press, Inc., 1994), hal. 176. 33

    William Arkin, "Nuclear Notebook: Chinese nuclear forces, 1999," dalam Bulletin of the Atomic Scientists,

    Vol. 55, No. 4, Mei/Juni 1999.

  • 12

    pertahanan rudal. Grafik-grafik dibawah ini memperlihatkan dengan jelas bagaimana

    perkembangan kekuatan militer khususnys tank, armada perang darat dan laut.

    Grafik 1.

    Perbandingan Jumlah Tank Yang Dimiliki Oleh Negara- Negara di Asia Timur

    Source: Frank W. Morore, IDDS Research Analyst,Chinas Military Capabilities, Juni 2000. diakses dari

    http://www.comw.org/cmp/fulltext/iddschina.html

    Grafik 2.

    Perbandingan Jumlah Pesawat Perang yang Dimiliki oleh Negara- Negara di Asia Timur

    Source: Frank W. Morore, IDDS Research Analyst,Chinas Military Capabilities, Juni 2000. diakses dari http://www.comw.org/cmp/fulltext/iddschina.html

  • 13

    Grafik 3.

    Perbandingan Jumlah Armada Kapal Perang Permukaan yang Dimiliki oleh Negara- Negara

    di Asia Timur

    Source: Frank W. Morore, IDDS Research Analyst,Chinas Military Capabilities, Juni 2000. diakses dari

    http://www.comw.org/cmp/fulltext/iddschina.html

    Grafik 4.

    Perbandingan Jumlah Armada Kapal Selam yang Dimiliki oleh Negara- Negara di Asia

    Timur

    Source: Frank W. Morore, IDDS Research Analyst,Chinas Military Capabilities, Juni 2000. diakses dari

    http://www.comw.org/cmp/fulltext/iddschina.html

    Dari penjabaran dan grafik diatas terlihat bagaimana Cina berupaya keras untuk terus

    memodernisasi kemampuan militernya. Profesionalisasi personel, pemanfaatan teknologi

    canggih pada peralatan militer, serta pengembangan teknologi nuklir dan rudal menjadi

    prioritas Cina saat ini. Jepang pun melihat peningkatan kemampuan militer Cina tersebut

  • 14

    perlu mendapat perhatian lebih agar tidak mengarah pada timbulnya ancaman nyata bagi

    Jepang. Dalam laporan White Defense Paper 2005 Jepang menyatakan adalah penting untuk

    memonitor pergerakan Cina dan mengidentifikasi strategi Cina. Selain itu dari grafik diatas

    tampak dengan jelas usaha Jepang dan Korea Selatan untuk mengejar ketertinggalan dalam

    hal kepemilikan tank, kapal perang darat dan laut yang juga ditandai dengan peningkatan

    anggaran militer seperti terlihat dalam tabel dibawah ini.

    Tabel 1. Tren Anggaran Belanja Militer Negara-negara di Asia Timur

    Tahun 1987-1997

    In million dollars

    Tahun Jepang

    Cina Taiwan Korea

    Utara

    Korea

    Selatan

    1987 31800 53000 6900 7370 878

    1988 33200 53600 8040 7380 9350

    1989 34500 53100 9410 7300 10300

    1990 35700 56600 9940 6960 11400

    1991 36700 54100 10300 5660 11000

    1992 37500 56600 10700 6100 11700

    1993 37900 57300 12100 5720 11900

    1994 38200 58000 11400 5820 12400

    1995 38800 62200 12800 6210 12400

    1996 40000 67200 12800 6100 14300

    1997 40800 74900 13100 6000 15000

    Source: World Military Expenditures and Arms Transfers, GPO, berbagai edisi dalam Anthony H

    Cordesman, The Asian and Chinese Military Balance, diakses dari:

    http://www.csis.org/media/csis/pubs/asai_ro_asian_mb_comp

    Sengketa atas kepulauan Senkaku adalah satu masalah yang menambah daftar konflik

    antara Jepang dan Cina.34

    Senkaku merupakan kumpulan lima pulau kecil yaitu Uotsuri, Kita,

    34

    Cina mengklaim Senkaku sebagai bagian dari Cina saat Dinasti Ming pada abad 13. Namun, kemenangan Jepang dalam perang Sino-Jepang tahun 1879 membuat Cina harus menyerahkan Senkaku ke Jepang.

    Penyerahan itu tertuang dalam Perjanjian Shimonoseki pada 17 April 1895. Senkaku terus berada di bawah

    kedaulatan Jepang hingga akhir Perang Dunia (PD) II. Perjanjian Kairo tahun 1943 menyebut bahwa Jepang

    harus mengembalikan wilayah Cina yang dianeksasi sebelum PD II. Namun, Jepang tidak mengembalikan

    Senkaku ke Cina, justru menjadikannya sebagai area manuver AL AS, bagian dari pemerintahan pendudukan di

    Okinawa. Ketika AS mengembalikan Okinawa ke Jepang tahun 1972, Jepang juga mendapat hak pemerintahan

    atas Senkaku. Setelah pengembalian Okinawa ke Jepang, AS tetap menjadikan Senkaku sebagai tempat uji coba

    militer dengan menyewanya dari pemerintah Jepang. Saat ini, empat pulau Senkaku dijadikan pulau-pulau

    pribadi.

  • 15

    Kojima, Kuba, dan Taisho dengan luas sekitar 7 km yang terletak sekitar 200 km di barat

    laut Taiwan dan 400 km di barat Okinawa.(lihat Gambar II.1).

    Gambar II.1 Kepulauan Senkaku

    Sumber: Diaoyutai Islands (Disputed) Map, dalam Microsoft Encarta Encyclopedia 2002. 1993-2001 Microsoft Corporation

    Pertikaian Jepang dan Cina atas Kepulauan Senkaku mencuat setelah United Nations

    Economic Commission for Asia and the Far East melaporkan dugaan adanya minyak di

    bawah Laut Cina Timur pada tahun 1968.35

    Sejak saat itu, Jepang dan Cina memulai

    serangkaian pertikaian dan klaim kedaulatan atas Kepulauan Senkaku. Pada tahun 1978,

    kelompok sayap kanan Jepang membangun sebuah mercusuar di salah satu pulau, yang

    kemudian menjadi titik penting dari ketegangan antara Jepang dan Cina. Serangkaian

    ketegangan antara kelompok sayap kanan Jepang dan pemerintah Cina terus terjadi selama

    tahun 1980-an hingga 1990-an.

    Pada tahun 1992, Cina mencantumkan dalam Territorial Water Laws klaimnya atas

    Senkaku dengan menyatakan bahwa Senkaku adalah wilayah Cina, dan Cina boleh mengusir

    kapal-kapal asing dari wilayahnya. Protes datang dari Jepang. Sejumlah insiden terjadi

    sepanjang tahun 1995 sampai tahun 1997. Cina sempat mengirimkan beberapa Sukhoi

    35

    Daniel Dzurek, The Senkaku/Diaoyu Islands Dispute, 18 Oktober 1996, diakses dari http://www-ibru.dur.ac.uk/docs/senkaku.html pada tanggal 3 Januari 2005 pukul 13.05 WIB.

  • 16

    menuju Senkaku. AU Jepang (ASDF) membalas dengan mengirimkan dua jet tempur. Pada

    Juni 1996 Jepang menyatakan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di sekitar Kepulauan Senkaku.

    Namun, kemudian kapal laut Cina ditemukan berada di dekat Senkaku untuk melakukan tes

    eksplorasi minyak. Hal ini semakin meningkat dari 1996 hingga 1997.

    Pada tahun 1996, krisis mencuat dipicu kelompok sayap-kanan Jepang yang kembali

    membangun dan meresmikan mercusuar di Senkaku. Juru bicara Kementerian Luar Negeri

    Cina Shen Guofang menuduh Jepang mendukung right-wing militarist 36 dengan

    mengizinkan pembangunan mercusuar di Senkaku. Cina membatalkan kunjungan wakil

    Perdana Menteri Li Lanqing ke Jepang dan mengambil langkah militer provokatif dengan

    mengirim dua kapal selam dan beberapa pesawat tempur ke Senkaku. Krisis kembali

    menegang pada Mei 1997, ketika anggota Parlemen Jepang, Shingo Nishimura, mengadakan

    inspeksi ke Senkaku sebagai bagian wilayah Jepang. Cina menganggap ini sebagai

    pelanggaran serius atas kedaulatan Cina. Kunjungan Perdana Menteri Hashimoto ke Cina

    pada September 1997 mampu menurunkan tensi isu Senkaku. Hashimoto mengatakan bahwa

    tetangga cenderung memiliki persoalan karena kedekatan hubungan mereka. Pada titik ini,

    isu Senkaku sempat mereda.

    Pertikaian atas Senkaku terus berlangsung. Namun, Cina dan Jepang tetap berupaya

    menggunakan jalur diplomasi untuk penyelesaiannya. Langkah diplomasi dilakukan melalui

    diskusi bilateral tingkat Menteri Luar Negeri pada tanggal 10 Mei 2000. Namun, diskusi itu

    gagal dan keinginan Cina untuk menetapkan daerah-daerah wilayahnya di kepulauan

    Senkaku tidak membuahkan hasil. Jepang tetap mengklaim Kepulauan Senkaku sebagai

    miliknya. Di tahun-tahun selanjutnya, Jepang terus melakukan eksplorasi minyak di Laut

    36

    Dalam perspektif Cina, asosiasi militer Jepang dengan AS potensial untuk kebangkitan kembali militerisme

    Jepang.

  • 17

    Cina Timur. Hal ini dianggap Cina sebagai sebuah tindakan unilateral tanpa kesepakatan

    terlebih dahulu dengan Cina.37

    Kapal-kapal Cina di lain pihak secara rutin tetap menerobos wilayah perairan

    Senkaku dan hal ini menambah keributan-keributan diplomatik. Sebagai reaksi atas keributan

    ini, Jepang dan Cina menegosiasikan sebuah persetujuan confidence-building pada Februari

    2001. Persetujuan ini menyatakan bahwa setiap pihak akan memberi tahu bila ada satu pihak

    yang melakukan penelitian ilmiah maritim di dekat pesisir pihak yang lain, kecuali untuk

    perairan teritorial. Cina beberapa kali melanggar hal ini. Belakangan Cina juga berupaya

    meningkatkan kapabilitas maritimnya di sekitar wilayah Senkaku.38

    Pada 15 Januari 2004

    kapal patroli Jepang dituduh Cina menyerang dua kapal nelayan Cina. Pada 24 Maret tahun

    itu tujuh aktivis Cina yang berencana tinggal di Senkaku selama 3 hari ditangkap oleh Jepang

    dengan alasan masuk secara ilegal. Hingga saat ini kasus sengketa wilayah Kepulauan

    Senkaku belum menghasilkan kesepakatan yang signifikan bagi perselisihan antara Jepang

    dan Cina. Oleh karena itu, perkembangan yang terjadi dari permasalahan ini turut menjadi

    perhatian utama Jepang.

    Selain itu, pertikaian antara Cina (Peoples Republic of China/PRC) dan Taiwan

    (Republic of China/RoC) yang masih terjadi saat ini juga cukup menarik perhatian Jepang.

    Perhatian Jepang terhadap masalah ini adalah apabila terjadi ketegangan yang mengarah pada

    konflik militer di Selat Taiwan, hal itu akan menimbulkan gangguan keamanan terhadap

    keseluruhan kawasan, termasuk bagi keamanan Jepang. Posisi Jepang mengenai isu Taiwan

    pun jelas, bahwa Jepang hanya mengakui PRC sebagai pemerintah Cina yang sah.

    37

    Pada 2 Maret 2000 armada kapal angkatan laut Cina melakukan latihan tempur di area pusat Laut Cina Timur

    yang masuk ke dalam wilayah ZEE Jepang. Jepang turut melakukan tindakan yang provokatif di mana LDP

    memasukan Kedaulatan Senkaku sebagai platform partai mereka. Japan-Chinas Foreign Ministers Meeting: Summary, diakses dari http://www.mofa.go.jp pada tanggal 15 November 2005, pukul 20.13 WIB. 38

    Richard Fisher, Jr. Submarine Incident Highlights Military Buildup, Asian Wall Street Journal, (November 17th, 2004), diakses dari

    http://66.102.7.104/search?q=cache:BPqHsJrZiYQJ:ftp.access.ba/bcc%2520thera%2520case/Heflin%2520-

    %2520Territorial%2520Disputes%2520of%2520Islands%2520(Asian-

    Pac.%2520JLP%2520200.doc+diayou+islands,+China,+diplomacy&hl=id, pada 15 November 2005, pukul

    20.05 WIB.

  • 18

    Sengketa Kepulauan Takeshima

    Ancaman lain dari kawasan yang dialami Jepang adalah sengketa wilayah dengan

    Korea Selatan atas wilayah Takeshima.39

    Takeshima merupakan gabungan dari dua pulau

    batu yang masing-masing berjarak 200 meter, yaitu pulau Onnajima yang berarti pulau Timur

    dan Otokojima yang berarti pulau Barat. Takeshima terletak di sebelah barat laut pulau Oki,

    propinsi Shimane, Jepang. Korea Selatan sendiri menyebut pulau ini dengan nama Dokdo.

    Pertikaian Jepang dan Korea Selatan atas Takeshima dimulai saat pada September

    1952 Presiden Korea Selatan Syngman Rhee mengirim kapal untuk penelitian ke Takeshima

    yang berujung pada tragedi pengeboman, mengakibatkan sengketa wilayah menjadi perhatian

    publik Jepang dan Korea Selatan untuk pertama kalinya. Konflik dan insiden pertikaian

    antara Jepang dan Korea Selatan di sekitar Takeshima terjadi beberapa kali selama tahun

    1950-an. Saat normalisasi hubungan antara Jepang dan Korea Selatan tercapai pada tahun

    1965, penyelesaian sengketa Takeshima tidak dimasukkan dalam perjanjian. Selama Perang

    Dingin, isu pertikaian wilayah ini pun berupaya ditekan.

    39

    Jepang menyatakan bahwa sesuai dengan fakta sejarah dan hukum internasional, pulau Takeshima merupakan

    bagian integral dari wilayah Jepang. Penguasaan Jepang atas Takeshima didukung oleh bukti sejarah bahwa

    sejak abad ke-17 Jepang telah memiliki kedaulatan atas Takeshima melalui penguasaan efektif. Kedaulatan

    Jepang atas Takeshima diperkuat dengan keputusan Kabinet pada tahun 1905 yang menyatakan penguasaan

    efektif Jepang sebagai negara modern atas Takeshima. Dokumen-dokumen Jepang sejak Era Meiji menunjukkan

    kepemilikan Jepang atas pulau dengan posisi yang sesuai dengan posisi Takeshima saat ini. Hal itu

    menunjukkan bahwa berdasar sejarah, Takeshima merupakan bagian wilayah Jepang, bukan hasil rebutan dari

    negara lain. Korea Selatan sendiri mendasarkan klaimnya atas Takeshima berdasarkan data sejarah yang lebih

    awal dari Jepang. Korea Selatan menunjukkan dokumen yang memasukkan Takeshima sebagai wilayah pertama

    yang tergabung dalam Dinasti Shilla Korea pada 512 SM. Berbagai survei lahan dan peta yang digambar

    beberapa abad kemudian juga menunjukkan fakta bahwa Takeshima dengan posisi geografi yang akurat,

    merupakan wilayah Korea. Korea Selatan kemudian mengeluhkan posisi politik lemah Korea terhadap Jepang

    yang terjadi pada tahun 1905. Kontrol politik Jepang atas Korea pada saat itu membuat Korea tidak dapat

    memprotes pengakuan Jepang bahwa Takeshima masuk ke dalam propinsi Shimane Jepang. Tidak ada aksi yang

    dapat dilakukan Korea saat itu. lihat The Issue of Takeshima, Maret 2004, diakses dari http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/takeshima/position.html, pada tgl. 13 Mei 2006, pkl. 23.05 WIB dan

    The Territorial Dispute Over Dokdo, diakses dari http://www.geocities.com/mlovmo/page4.html, pada tgl. 13 Mei 2006, pkl. 23.14 WIB.

  • 19

    Sengketa wilayah Takeshima kembali memanas setelah berakhirnya Perang Dingin.

    Pada Februari 1996 Menteri Luar Negeri Jepang Yukihiko Ikeda menegaskan kembali

    kepada publik penguasaan Jepang atas Takeshima setelah Korea Selatan memutuskan akan

    membangun pelabuhan di sana. Pada tahun 1997, tanpa mengindahkan protes dari Jepang,

    Korea Selatan bahkan membangun fasilitas pelabuhan yang dapat menampung 500 kapal

    pengangkut. Pada Desember 1998, sebuah menara lampu berpenjaga juga selesai dibuat.

    Memasuki abad ke-21, pertikaian atas Takeshima semakin sulit untuk dipersatukan.

    Pada April 2002, pemerintah Jepang menyetujui teks buku pelajaran yang memasukkan

    Takeshima ke dalam wilayah Jepang, tanpa memasukkan fakta terjadinya tumpang tindih

    sengketa wilayah dengan Korea Selatan. Pemerintah Korea Selatan di lain pihak sejak

    Agustus 2002 mengeluarkan rencana untuk membuat perangko dengan tema Takeshima.

    Mengabaikan teguran Jepang, pada 16 Januari 2004, Korea Selatan mengeluarkan

    seperangkat perangko dengan tema dan gambar Takeshima.40

    Konflik kedua negara ini sesungguhnya tidak semata mengenai kepemilikan dua

    pulau Takeshima. Ketertarikan menguasai Takeshima berdasar pada sumber daya yang

    terdapat di perairan sekitar Takeshima, yaitu wilayah laut dan dasar laut seluas 16.600 mil

    persegi, termasuk wilayah yang mungkin mengandung 600 juta ton sumber daya gas hidrasi

    di sekitar Takeshima. Gas hidrasi adalah gas alami yang terkondensasi menjadi bentuk

    semipadat. Gas hidrasi adalah sumber energi generasi mendatang yang dapat dibuat menjadi

    gas alam cair jika sudah tercipta teknologi yang memadai. Takeshima juga dikelilingi oleh

    perairan kaya ikan. Alasan-alasan inilah yang membuat Jepang dan Korea Selatan terus

    memperkuat klaim mereka atas Takeshima. Jepang sendiri tidak dapat mengacuhkan

    permasalahan Takeshima ini karena menurut Jepang, Korea Selatan telah melakukan intrusi

    ke wilayah pulau terluar kedaulatan Jepang.

    40

    The Issue of Takeshima, Maret 2004, diakses dari http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/takeshima/position.html, Loc. Cit.

  • 20

    Terorisme: Ancaman Internasional

    Potensi ancaman yang dianggap paling mengganggu keamanan internasional saat ini,

    sejak tragedi 11 September 2001 di AS, tidak lain adalah terorisme. Jepang sebagai aliansi

    AS di kawasan Asia Timur memiliki pemikiran yang sama mengenai potensi ancaman teroris

    di kawasan ini. Jepang pernah mengalami peristiwa serangan teroris di dalam negeri, yang

    dilakoni oleh kelompok Aum Shinrikyo, sebuah kelompok religius yang mencampurkan

    kepercayaan Budha dan Hindu. Serangan kelompok ini terjadi tahun 1995 ketika sekelompok

    pengikutnya melakukan serangan gas beracun sarin di stasiun kereta bawah tanah. Serangan

    itu menewaskan 12 warga dan melukai ribuan lainnya.

    Pengalaman mengalami aksi terorisme dalam negeri memberi alasan kuat bagi Jepang

    untuk aktif memerangi isu teroris internasional. Peran aktif Jepang dalam memerangi aksi

    terorisme internasional telah dimulai sejak sebelum terjadi peristiwa 11 September. Hal itu

    juga terlihat dari pidato perwakilan resmi Jepang di PBB, Hiroshi Kawamura, pada 12

    November 1999. Pada pidato tersebut disebutkan bahwa Jepang mengutuk terorisme dengan

    segala bentuk dan manifestasinya. Sepenuhnya menyadari bahwa terorisme adalah ancaman

    utama bagi perdamaian dan keamanan dunia, Jepang berkeinginan terorisme dihadapi melalui

    semua sarana yang memungkinkan.41

    Perhatian Jepang terhadap isu terorisme semakin meningkat sejak peristiwa 11

    September 2001 menimpa AS. Perdana Menteri Junichiro Koizumi pada menyatakan bahwa

    Jepang tidak akan melupakan tragedi 11 September yang turut menewaskan 24 warga Jepang.

    Jepang akan terus berdiri di samping AS dalam perang melawan terorisme, dan secara aktif

    berkontribusi dalam upaya komunitas internasional untuk mencegah dan menghapus

    41

    Press Release MR.HIROSHI KAWAMURA, Representative of Japan to the United Nations, Measures to Eliminate International Terrorism, New York, 12 November 1999, diakses dari http://www.un.int/japan/3-statements/archives/111299-2-7.html, pada tgl. 10 Mei 2006, pkl. 22.43 WIB.

  • 21

    terorisme internasional dan untuk menjamin bahwa tindakan teroris seperti itu tidak akan

    terulang.42

    Jepang juga tidak luput memberi perhatian terhadap kasus terorisme yang menimpa

    negara di Asia tenggara. Salah satu kasus terbaru adalah serangan teroris di Jakarta. Menteri

    Luar Negeri Yoriko Kawaguchi pada 9 September 2004 menyatakan keterkejutan atas

    peristiwa pengeboman yang terjadi di dekat Kedutaan Australia di Jakarta.43

    Ia menyatakan

    serangan tersebut sebagai suatu hal yang sangat brutal dan tidak termaafkan. Ditegaskan pula

    dalam pernyataannya bahwa Jepang akan terus bekerja secara proaktif dalam perang melawan

    terorisme.

    NDPG 2005: Kebijakan Pertahanan Aktif & Mandiri

    Perkembangan situasi keamanan kawasan Asia Timur telah membuka mata Jepang

    untuk melahirkan kebijakan pertahanan yang lebih aktif dan mandiri. Kebijakan pertahanan

    Jepang yang pasif dan tidak mandiri merupakan figur kebijakan pertahanan Jepang selama

    ini. Hal ini membuat Jepang yang merupakan Macan Asia karena keunggulan ekonominya

    tampak seperti Macan yang tak bergigi karena tidak memiliki ancaman militer nyata terhadap

    negara lawan.44

    42

    Jepang kemudian turut berupaya aktif dalam memerangi aksi terorisme, dengan mengeluarkan pengaturan

    yang dibutuhkan dalam enam bidang, yaitu imigrasi, keamanan penerbangan, kerjasama masyarakat, kontrol

    ekspor, kerjasama penegakan hukum dan pembiayaan anti-teroris. Tidak ketinggalan Jepang pun mengadakan

    kesepakatan bilateral atau multilateral untuk bersama-sama berperang melawan terorisme, seperti dengan

    ASEAN, APEC, Indonesia, ataupun Rusia. Comment by Prime Minister Junichiro Koizumi, 11 Desember 2001, diakses dari http://www.mofa.go.jp/announce/announce/2001/12/1211.html, pada tgl. 29 Mei 2006, pkl.

    00.13 WIB. 43

    Statement by Ms. Yoriko Kawaguchi, Minister for Foreign Affairs, on the Terrorist Attack in Jakarta, Indonesia, diakses dari http://www.mofa.go.jp/announce/announce/2004/9/0909.html, paga tgl. 29 Mei, pkl. 00.21 WIB. 44

    Pembatasan terhadap kebijakan pertahanan Jepang didasarkan pada Konstitusi Pasal 9 tahun 1947, di mana

    Jepang dilarang untuk mengembangkan pasukan bersenjata yang kuat yang memiliki senjata nuklir ataupun

    senjata ofensif lainnya atau ditempatkan di luar Jepang. Setelah pecahnya Perang Korea tahun 1950 disusunlah

    pilar kebijakan pertahanan Jepang Doktrin Yoshida yang menetapkan kemampuan pertahanan diri Jepang

    melalui pembentukan National Police Reserve pada tahun 1950 sebagai cikal bakal Pasukan Bela Diri Jepang.

    Kebutuhan untuk memperkuat pertahanan Jepang diwujudkan melalui penyusunan Kebijakan Dasar Pertahanan Nasional pada Mei 1957.

  • 22

    Demi mengantisipasi perubahan situasi keamanan pada masa Perang Dingin, Jepang

    pun menyusun National Defense Program Outline (NDPO) 1976 yang menambahkan

    beberapa prinsip pada kebijakan pertahanan Jepang. Prinsip tersebut antara lain kebijakan

    yang berorientasi pertahanan, tidak menjadi power militer, menerapkan Three Non-Nuclear

    Principles, mempertahankan kontrol sipil atas militer, menerapkan Three Principles on Arms

    Export, dan menetapkan batas maksimum anggaran pertahanan sebesar 1% dari GNP (Gross

    National Product).

    Perubahan sistem internasional pasca-Perang Dingin dan meningkatnya potensi

    ancaman di kawasan menyebabkan Jepang merasa perlu mengantisipasi dengan menyusun

    kebijakan pertahanan baru Jepang dalam NDPO yang dikeluarkan pada November 1995.

    NDPO 1996 memasukkan peran keamanan Jepang di kawasan selepas Perang Dingin, yang

    mengedepankan rencana kerjasama Jepang-AS untuk menghadapi ancaman seperti situasi

    darurat di wilayah sekitar Jepang yang dapat mengganggu stabilitas kawasan. Inilah awal

    penetapan fokus perhatian Jepang terhadap masalah keamanan di kawasan.45

    Mengingat situasi keamanan kawasan Asia Timur yang semakin tidak menentu

    dengan banyaknya permasalahan yang dihadapi Jepang dengan negara tetangga, pada

    Desember 2004, Jepang membuat keputusan untuk menerapkan kebijakan pertahanan baru

    yaitu NDPG 2005 setelah melalui ulasan/review meluas dan menyeluruh terhadap potensi

    di kawasan.

    Dalam NDPG 2005 terdapat beberapa penyesuaian yang menarik untuk dikaji.

    Penyesuaian pertama adalah mengenai perubahan situasi keamanan internasional yang

    disebut dengan penamaan ancaman baru dan berbagai situasi. Penamaan tersebut

    45

    Berdasarkan Japan-U.S. Joint Declaration On Security, Jepang dan AS sepakat menandatangani Guidelines for Japan-U.S. Defense Cooperation yang baru di New York pada September 1997. Guidelines baru ini menggarisbawahi pandangan dasar dan aksi spesifik yang dikaitkan dengan kerjasama di bawah situasi normal,

    aksi dalam merespon serangan bersenjata terhadap Jepang, dan kerjasama dalam situasi di area sekitar Jepang

    yang akan memiliki pengaruh penting terhadap perdamaian dan keamanan Jepang. Ensuring peace and stability, diakses dari http://www.mofa.go.jp/policy/other/bluebook/1998/II-a.html, tgl. 9 April 2005, pkl. 21.38 WIB.

  • 23

    memperlihatkan bahwa Jepang menganggap ancaman yang ada saat ini sudah sangat

    mendesak hingga perlu diberi penegasan penamaan khusus bagi potensi ancaman yang

    meningkat. Potensi ancaman yang dimaksud adalah terorisme, senjata pemusnah massal, dan

    rudal balistik. Kawasan Asia Timur diwarnai oleh ketiga potensi ancaman tersebut sehingga

    adalah putusan rasional jika kemudian tingkat ancaman yang tinggi mendorong Jepang untuk

    menaruh perhatian utama kebijakan pertahanan atas ketiga isu itu.

    Penyesuaian kedua adalah pengidentifikasian langsung Korea Utara dan Cina sebagai

    pihak yang mendapat kewaspadaan khusus dari Jepang, yang belum pernah dilakukan Jepang

    dalam kebijakan pertahanan sebelumnya. Penyebutan Korea Utara dan Cina secara langsung

    menandakan perhatian utama keamanan Jepang pada kawasan, khususnya kedua negara ini.

    Terdapat pernyataan bahwa pengembangan senjata pemusnah massal dan rudal balistik, serta

    pasukan operasi khusus Korea Utara menjadi faktor ketidakstabilan utama keamanan

    kawasan. Ditambah lagi dengan adanya pernyataan bahwa modernisasi kemampuan nuklir,

    rudal, dan pasukan laut dan udara Cina harus dipandang Jepang dengan waspada. Pernyataan-

    pernyataan tersebut menandakan bahwa potensi ancaman yang ada di kedua negara tersebut

    telah benar-benar menjadi nyata bagi Jepang.

    Konsep strategi keamanan terintegrasi dengan gabungan strategi keamanan nasional

    dan strategi keamanan internasional, merupakan terobosan baru dalam NDPG 2005. Bahkan

    strategi keamanan internasional belum pernah secara resmi dirumuskan dalam kebijakan

    pertahanan Jepang sebelumnya. Mengingat potensi ancaman yang tinggi di kawasan, terlihat

    bahwa Jepang merasa bahwa strategi keamanan nasional saja tidak cukup. Tindakan yang

    terbaik bukan semata-mata memperkuat pertahanan untuk menahan ancaman yang mungkin

    muncul dengan memperkuat kemampuan pertahanan sendiri ataupun melalui aliansi dengan

    AS, tetapi akan lebih baik bila Jepang langsung mendatangi sumber potensi ancaman untuk

    kemudian berupaya mencegah ancaman itu bahkan sebelum kemunculannya.

  • 24

    Pergeseran strategi baru dalam NDPG 2005 berupa konsep yang berorientasi lebih

    pada kemampuan merespon merupakan upaya untuk melihat bahwa potensi ancaman di

    kawasan sudah sangat meningkat. Kemungkinan terjadinya serangan terhadap Jepang begitu

    nyata dan dapat terjadi sewaktu-waktu sehingga strategi deterrence, dengan hanya berupaya

    agar suatu serangan tidak dilakukan oleh pihak lain terhadap Jepang, tidak lagi dapat

    diandalkan. Terlihat benar kewaspadaan Jepang terhadap potensi ancaman yang ada sehingga

    dengan orientasi respon tersebut Jepang seakan menganggap bahwa pelanggaran terhadap

    keamanan wilayah Jepang memang sudah akan terjadi sehingga Jepang harus selalu siap

    merespon ancaman tersebut.

    Sikap proaktif berpartisipasi dalam kegiatan kerjasama perdamaian internasional

    sebagai bagian integral upaya diplomatik Jepang merupakan bagian dari penyesuaian yang

    dilakukan dalam NDPG 2005. Ditandai dengan penguatan pada pernyataan Berdasarkan

    pada pengenalan bahwa ancaman terhadap perdamaian dan stabilitas komunitas internasional

    dengan situasi seperti konflik regional, proliferasi senjata pemusnah massal dan serangan

    teroris internasional akan secara serius memberi efek pada perdamaian dan keamanan Jepang,

    Jepang akan, dengan inisiatif sendiri, secara proaktif berpartisipasi dalam kegiatan kerjasama

    perdamaian internasional sebagai bagian integral upaya diplomatiknya. Pernyataan tersebut

    menggambarkan bahwa situasi keamanan kawasan yang ada saat ini sudah demikian

    kompleks sehingga tidak lagi memungkinkan upaya Jepang semata untuk mengatasinya.

    Peran aktif Jepang dalam pemeliharaan keamanan kawasan ditandai dengan keikutsertaan

    dalam ARF (Asean Regional Forum).

    Peran kemampuan pertahanan Jepang dalam NDPG 2005 mengalami penyesuain

    yaitu terdiri dari tiga hal: 1) respon efektif untuk ancaman baru dan berbagai situasi, 2)

    persiapan untuk menghadapi invasi skala penuh; dan 3) upaya proaktif atas keputusannya

    sendiri untuk meningkatkan keamanan lingkungan internasional. Dalam respon efektif untuk

  • 25

    Ancaman Baru dan Berbagai Situasi, yang terdiri atas lima bagian, yaitu respon terhadap

    serangan rudal balistik, respon terhadap serangan gerilya dan unit operasi khusus, respon

    terhadap invasi terhadap pulau terluar, patroli dan pengawasan di laut dan udara periferi, dan

    respon terhadap pelanggaran teritori udara dan penyusupan kapal operasi-khusus bersenjata

    dan lainnya, serta respon terhadap Bencana Skala Besar dan/atau nonkonvensional (Bencana

    Nuklir, Biologi, dan Kimia). Kelima respon yang dipersiapkan Jepang diwarnai oleh respon

    terhadap ancaman yang terdapat di kawasan seperti pengembangan nuklir dan rudal yang

    dilakukan Korea Utara dan Cina; strategi gerilya dan unit operasi khusus sedang

    dikembangkan Korea Utara; dan sengketa wilayah antara Jepang dengan Cina dan Korea

    Selatan yang merupakan negara tetangga Jepang. Kedekatan geografis menjadi alasan bahwa

    Jepang harus mampu merespon efektif segala potensi ancaman dari kawasan yang dapat

    terjadi sewaktu-waktu dengan waktu singkat yang dibutuhkan serangan untuk mencapai

    Jepang. Jadi, kelima respon efektif terhadap ancaman baru dan berbagai situasi ini sangat

    sesuai dengan potensi ancaman yang berkembang di kawasan.

    Penyesuaian angka kekuatan militer Jepang menunjukkan bahwa Jepang ingin

    memiliki postur militer yang lebih sesuai untuk menghadapi perubahan situasi keamanan di

    kawasan. Segala bentuk pengurangan, baik pada jumlah personel, unit utama, ataupun

    peralatan besar merupakan upaya untuk menjadikan postur militer Jepang menjadi lebih

    efisien, efektif, mudah dikoordinasikan, serta lebih mudah dimobilisasikan. Dapat dilihat pula

    bahwa pengurangan jumlah personel cadangan yang disertai dengan penambahan jumlah

    personel reguler menandakan Jepang ingin memiliki pasukan yang lebih disiagakan. Pasukan

    cadangan yang ada pun diberi penekanan memiliki kemampuan untuk dapat dimobilisasi

    segera. Sementara itu, dari kekuatan ASDF dapat terlihat bahwa Jepang berupaya

    meningkatkan kemampuan peringatan dini untuk mengantisipasi bila terdapat serangan

    mendadak dari negara-negara di kawasan yang ditujukan pada Jepang. Ditambahkan pula unit

  • 26

    pengisian bahan bakar di udara agar pesawat-pesawat Jepang mampu beroperasi lebih lama di

    udara. Dari kekuatan ini dapat dikatakan bahwa Jepang sangat mempersiapkan diri dengan

    pasukan yang siaga bila terjadi serangan mendadak untuk dapat mengatasi serangan tersebut

    sejak dini dan untuk mampu melakukan perlawanan selama mungkin.

    Penyesuaian terakhir dalam NDPG 2005 adalah lampiran yang menunjukkan

    kekuatan sistem pertahanan rudal balistik Jepang. Hal ini dipekuat dengan anggaran

    pertahanan Jepang yang secara keseluruhan menurun dari 4,814 trilliun yen menjadi 4,798

    trilliun yen tahun 2006, akan tetapi dana untuk sistem pertahanan rudal balistik menignkat

    sebesar 30,5% dari 182,6 milliar yen pada tahun ini.46

    Hal ini tentu berdampak pada angka

    kekuatan militer Jepang seperti yang tertera pada tabel 2 dan 3 dibawah ini:

    Tabel 2 . Kekuatan Pertahanan Jepang dalam NDPO 1996 dan NDPG 2005

    NDPO 1996 Jumlah

    Kekuatan

    NDPG 2005 Jumlah Kekuatan

    GSDF

    Self-Defense Personnel

    Regular Personnel

    Ready Reserve Personnel

    160,000

    145,000

    15,000

    Authorized Number of SDF

    Personnel

    Regular Personnel

    Reserve Personnel who can be

    promptly mobilized

    155,000

    148,000

    7,000

    Major Units

    Regionally Deployed Units

    Mobile Operation Units

    Ground-to-Air Missile

    Units

    8 Divisions

    6 Brigades

    1 Armored Division

    1 Airborne Brigade

    1 Helicopter Brigade

    8 Anti-Aircraft

    Artillery Groups

    Major Units

    Regionally Deployed Units

    Mobile Operation Units

    Surface-to-Air Missile Units

    8 Divisions

    6 Brigades

    1 Armored Division

    Central Readiness

    Group

    8 Anti-Aircraft

    Artillery Groups

    Main Equipment

    Battle Tanks

    Artillery

    Approx. 900

    Approx. 900

    Major Equipment

    Battle Tanks

    Artillery

    Approx. 600 vehicles

    Approx. 600 guns per

    vehicle

    MSDF

    Major Units

    Destroyer Units (For Mobile Operations)

    Destroyer Units (Regional District Units)

    Submarine Units

    Minesweeping Units

    Land-based Patrol Aircraft

    Units

    4 Flotillas

    7 Divisions

    6 Division

    1 Flotilla

    13 Squadrons

    Major Units

    Destroyer Units (For Mobile

    Operations)

    Destroyer Units (Regional

    District Units)

    Submarine Units

    Minesweeping Units

    Patrol Aircraft Units

    4 Flotillas (8

    Divisions)

    5 Divisions

    4 Division

    1 Flotilla

    9 Squadrons

    Main Equipment Main Equipment

    46

    Kompas, 21 Desember 2006.

  • 27

    Destroyers

    Submarines

    Combat Aircraft

    Approx. 50

    16

    Approx. 170

    Destroyers

    Submarines

    Combat Aircraft

    47

    16

    Approx. 150

    ASDF

    Major Units

    Aircraft Control and

    Warning Units

    Interceptor Units

    Support Fighter Units

    Air Reconnaissance Units

    Air Transport Units

    Ground-to-Air Missile

    Units

    8 Groups

    20 Squadrons

    1 Squadron

    (Airborne Early

    Warning Squadron)

    9 Squadrons

    3 Squadrons

    1 Squadron

    3 Squadrons

    6 Groups

    Major Units

    Aircraft Control and Warning

    Units

    Fighter Aircraft Units

    Air Reconnaissance Units

    Air Transport Units

    Aerial Refueling/Transport Units

    Surface-to-Air Missile Units

    8 Warning Groups

    20 WarningSquadrons

    1 Airborne Early

    Warning Group (2

    Squadrons)

    12 Squadrons

    1 Squadrons

    3 Squadron

    1 Squadrons

    6 Groups

    Main Equipment

    Combat Aircraft

    Fighters (Included in Combat Aircraft)

    Approx. 400

    Approx. 300

    Main Equipment

    Combat Aircraft

    Fighters (Included among

    Combat Aircrafts)

    Approx. 350

    Approx. 260

    Ballistic

    Misile

    Defense

    Force

    Main Equipment Aegis-Equipped Destroyers

    4

    Major Units Aircraft Warning and Control

    Units

    Surface-to-AirGuided Missile

    Units

    7 Groups

    4 Squadrons

    3 Groups

    Sumber: Situs resmi Japan Defense Agency diakses dari http://www.jda.go.jp/e/index_.htm

    Tabel. 3. Kekuatan Militer Negara-Negara di Asia Timur Tahun 2006

    Jenis Jepang Cina Korea Utara Korea

    Selatan

    Taiwan

    Manpower (1,000s)

    Total Active

    239,9 2,255 1,106 687,7 290

    Strategic Missile Forces (1,000s) - 100 - - -

    Army and Guard Manpower

    (1,000s)

    148,2 1,600 950 560 200

    Total Main Battle tanks 980 7,580 3,500 2,330 926

    Light SAM Launchers 1,220 284 10,000 1,090 581

    Air Force Manpowers (1,000s) 45,6 400 110 64 45

    Total Combat Aircraft 300 2,643 590 540 300

    Major SAM Launchers 1,440 1,078 38 - -

    Total Helicopters 40 80 308 28 35

    Total Naval Manpower (1,000s) 44,4 255 46 63 45

    Pastol Craft (Missile) 9 96 43 5 62

    Destroyer Guided Missile 40 21 - 6 9

    Naval Air 9,800 26,000 - - -

    Naval Aircraft 80 436 - - 32

    Sumber: IISS Military Balance 2005-2006, London Routledge, dalam Cordesman & Kleiber, The Asian

    Conventional Military Balance in 2006: The Northeast Asian Military Balance, diolah kembali oleh penulis ,

    diakses dari http://www. http://www.csis.org/media/csis/pubs/asai_ro_asian_mb_comp

  • 28

    Bagi Jepang, serangan mendadak paling berbahaya yang mungkin terjadi adalah bila

    serangan tersebut datang dari negara tetangga Jepang sendiri, karena jarak yang berdekatan

    membuat serangan tersebut dapat segera mencapai wilayah Jepang. Oleh karena itu, postur

    militer yang diwujudkan Jepang ini sangat sesuai untuk mengatasi serangan yang datang dari

    negara lain di Asia Timur ataupun untuk mengatasi ancaman yang muncul dari perubahan

    mendadak situasi keamanan secara menyeluruh di kawasan Asia Timur. Ditambah lagi

    dengan fakta uji coba peluncuran rudal balistik yang dilakukan oleh Korea Utara serta upaya

    Cina untuk mengembangkan rudal balistik, semakin menyakinkan Jepang akan adanya

    ancaman yang nyata atas serangan rudal dan nuklir karena jangkauan rudal balistik tersebut

    dapat mencapai dan bahkan melampaui wilayah Jepang.

    PENUTUP

    Perumusan NDPG 2005 menunjukkan bahwa Jepang menyadari sepenuhnya

    perubahan situasi internasional yang terjadi, termasuk peningkatan potensi keamanan yang

    terjadi di kawasan Asia Timur. NDPG 2005 memberi penekanan pada konsep strategi

    keamanan terintegrasi yang mengimplementasikan penerapan strategi keamanan nasional dan

    strategi keamanan internasional secara beriringan.

    Konsep strategi keamanan terintegrasi dalam NDPG 2005 merupakan rumusan

    kebijakan pertahanan yang dianggap cukup tepat mengatasi peningkatan potensi ancaman di

    kawasan secara lebih menyeluruh. Strategi keamanan nasional semata tidak dapat diterapkan

    pada situasi keamanan kawasan yang menampilkan potensi ancaman yang kompleks. Dengan

    penambahan strategi keamanan internasional, terdapat upaya untuk mencegah kemunculan

    potensi ancaman itu sejak awal langsung ke sumber permasalahan.

    Ketidakpastian situasi keamanan kawasan memunculkan pandangan Jepang bahwa

    serangan dari negara lain di kawasan terutama Korea Utara dan Cina dapat terjadi setiap

  • 29

    saat. Ditambah lagi, sebagai negara tertutup, arah kebijakan Korea Utara sulit diperkirakan.

    Dalam hal ini, strategi baru Jepang untuk membangun kekuatan pertahanan yang multifungsi,

    fleksibel, dan efektif, dengan penekanan pada kemampuan merespon mampu menjawab

    tantangan tersebut. Respon cepat hanya dapat dijalankan oleh pasukan yang selalu siaga.

    Respon cepat membutuhkan perlengkapan yang maksimal. Pengurangan jumlah

    perlengkapan disertai penerapan teknologi canggih akan membuat penggunaan perlengkapan

    lebih maksimal. Sementara itu, penambahan skuadron pada kelompok peringatan dini udara

    menjadi penambahan penting yang diperlukan agar serangan eksternal yang datang dapat

    segera diketahui. Dari GSDF sendiri dengan dibentuknya Kelompok Siaga Terpusat dalam

    unit operasi mobile akan menambah kemampuan Jepang dalam merespon langsung

    peringatan serangan eksternal hingga mendukung fungsi kelompok skuadron peringatan dini.

    Meski memiliki kekuatan pertahanan yang multifungsi, fleksibel, dan efektif,

    penguatan aliansi dengan AS merupakan strategi berharga bagi Jepang baik dalam hal

    kekuatan deterence maupun kepentingan politis Jepang di kawasan. Selain itu upaya Jepang

    untuk lebih aktif terlibat dalam kerjasama keamanan internasional dengan mengupayakan

    dialog-dialog dalam penyelesaian masalah merupakan upaya strategis. Ancaman nuklir Korea

    Utara dapat diatasi tidak hanya dengan meningkatkan kekuatan pertahanan Jepang dan

    memperkuat aliansi pertahanan Jepang-AS, tetapi juga dengan mengupayakan dialog bersama

    Korea Utara. Kasus penculikan warga Jepang oleh Korea Utara mulai memperlihatkan titik

    terang saat Jepang memulai dialog berkesinambungan dengan Korea Utara. Hal ini juga dapat

    dilakukan untuk mengurangi kekhawatiran terhadap modernisasi militer Cina. Dialog

    kesepahaman dapat diadakan antara Jepang dan Cina, untuk menumbuhkan saling pengertian

    di antara kedua negara.47

    47

    PM Abe bertekad mengurangi ketegangan dengan Cina dan Korea Selatan, akan tetapi di sisi lain akan lebih

    tegas terhadap Korea Utara sebelum masalah penculikan warga Jepang diselesaikan.

  • 30

    Untuk mengatasi permasalahan keamanan kawasan lebih menyeluruh, keterlibatan

    Jepang dalam ARF merupakan langkah strategis. Kerjasama yang erat antara Jepang dengan

    negara-negara di kawasan dapat menjadi langkah tepat untuk mengatasi ancaman yang

    dipersepsikan. Apalagi ancaman terorisme yang bersifat lintas batas hanya dapat ditangkal

    melalui kerjasama internasional.

    Tidak hanya berfokus pada potensi ancaman dari luar, NDPG 2005 juga dirancang

    sebagai kebijakan pertahanan yang mampu mengatasi kerawanan dalam negeri Jepang.

    Pengurangan populasi Jepang saat ini diatasi dengan efisiensi personel. Jumlah personel yang

    lebih sedikit diiringi peningkatan kemampuan agar lebih efektif. Efisiensi perlengkapan

    militer sementara itu sesuai untuk mengatasi kerawanan energi Jepang karena jumlah

    perlengkapan yang lebih sedikit membutuhkan energi lebih sedikit pula.

    Meski kebijakan pertahanan NDPG 2005 dapat dikatakan ideal untuk mengatasi

    peningkatan potensi ancaman eksternal serta kerawanan yang ada, masih terdapat kekurangan

    dalam perumusannya. Kekurangan berkaitan dengan kekuatan pertahanan laut Jepang dari

    MSDF. Pertahanan laut seharusnya menjadi prioritas utama Jepang yang merupakan negara

    yang dikelilingi oleh wilayah perairan. Beberapa kasus penyusupan kapal asing ke wilayah

    perairan Jepang menunjukkan bahwa kekuatan pertahanan laut Jepang masih belum

    maksimal dalam mengamankan wilayah perairan. Maka sepatutnya Jepang meningkatkan

    kemampuan pertahanan laut dengan menambah dan mempercanggih perlengkapan

    pertahanan laut yang ada. Namun, langkah yang terdapat dalam NDPG 2005 adalah justru

    pengurangan jumlah beberapa unit besar seperti unit penghancur dalam unit distrik regional,

    unit kapal selam, dan unit pesawat patroli serta pengurangan perlengkapan utama seperti

    kapal penghancur dan pesawat perang. Pengurangan seperti ini akan mempengaruhi

    kemampuan pertahanan laut Jepang.

  • 31

    Selain itu, berkaitan dengan pengembangan sistem pertahanan rudal balistik (BMD)

    Jepang akan dapat mengurangi fungsi deterrence dari kemampuan rudal dan nuklir yang

    dimiliki negara lain di kawasan. Jika hal itu terjadi maka negara-negara tersebut akan mencari

    jalan lain untuk meningkatkan kemampuan deterrence mereka yang mungkin memicu

    dinamika persenjataan di Asia Timur. Keinginan Korea Selatan untuk mengembangkan

    sistem peluru kendali atau rudal pertahanan yang terpisah dari sistem pertahanan yang

    disiapkan Amerika Serikat mengindikasikan kemungkinan terjadinya perlombaan senjata di

    kawasan Asia Timur.

    Oleh karena itu, Jepang sepatutnya lebih mengedepankan strategi keamanan

    internasional yang telah dirumuskan. Potensi ancaman senjata pemusnah massal di kawasan

    diharapkan dapat menurun jika Jepang lebih mengintesifkan dialog-dialog kesepahaman

    dengan negara-negara yang terlibat. Terpilihnya Shinzo Abe sebagai PM Jepang baru, yang

    mengusung sejumlah kebijakan termasuk aliansi lebih dekat dengan Amerika Serikat, revisi

    konstitusi pasifis dan kebijakan luar negeri yang tegas, sangat diharapkan dapat membawa

    kebijakan yang lebih diplomatis dan strategis untuk keamanan Jepang khususnya dan

    kestabilan kawasan pada umumnya.

    *********