jurnal kualitas permukiman

31
1 PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK MENGKAJI KUALITAS PERMUKIMAN Oleh: Edwin Renada Taufan, Sarash Amalia Pridasari, Fonna Mauliddiyah, Intan Sania Nurmalasari, dan Anggini Nur Azizah Jurusan Sains Informasi Geografi dan Pengembangan Wilayah Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kualitas permukiman terkait dengan kepadatan penduduk. Lokasi penelitian berada di area permukiman di Kelurahan Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Citra penginderaan jauh yang digunakan adalah citra Quickbird perekaman tahun 2010. Metode yang digunakan adalah interpretasi visual citra dan aplikasi Sistem Informasi Geografis menggunakan pendekatan kuantitatif berjenjang tertimbang untuk mengetahui kualitas permukiman di Kelurahan Maguwoharjo. Interpretasi visual dilakukan dengan melakukan proses digitasi on screen dan pendekatan kuantitatif berjenjang dilakukan dengan melakukan skoring antar blok permukiman. Selain menggunakan citra penginderaan jauh, informasi mengenai kerawanan bencana, air bersih, dan sanitasi didapatkan melalui data sekunder berupa wawancara. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah Peta Kualitas Permukiman di Kelurahan Maguwoharjo yang diperoleh dengan mengoverlaykan data kajian kualitas fisik permukiman, kualitas lingkungan permukiman, kualitas sosial, kualitas dan tingkat pelayanan fasilitas kota, dan kajian kualitas bangunan di Kelurahan Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman. Kata kunci: penginderaan jauh, kualitas permukiman, interpretasi visual, Sistem Informasi Geografis, pendekatan kuantitatif berjenjang tertimbang.

Upload: tsaniyaintan

Post on 28-Jan-2016

51 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Penginderaan jauh untuk kota

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Kualitas permukiman

1

PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

UNTUK MENGKAJI KUALITAS PERMUKIMAN

Oleh:

Edwin Renada Taufan, Sarash Amalia Pridasari, Fonna Mauliddiyah,

Intan Sania Nurmalasari, dan Anggini Nur Azizah

Jurusan Sains Informasi Geografi dan Pengembangan Wilayah

Fakultas Geografi

Universitas Gadjah Mada

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kualitas permukiman terkait dengan

kepadatan penduduk. Lokasi penelitian berada di area permukiman di Kelurahan Maguwoharjo,

Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Citra penginderaan

jauh yang digunakan adalah citra Quickbird perekaman tahun 2010. Metode yang digunakan adalah

interpretasi visual citra dan aplikasi Sistem Informasi Geografis menggunakan pendekatan kuantitatif

berjenjang tertimbang untuk mengetahui kualitas permukiman di Kelurahan Maguwoharjo. Interpretasi

visual dilakukan dengan melakukan proses digitasi on screen dan pendekatan kuantitatif berjenjang

dilakukan dengan melakukan skoring antar blok permukiman. Selain menggunakan citra penginderaan

jauh, informasi mengenai kerawanan bencana, air bersih, dan sanitasi didapatkan melalui data

sekunder berupa wawancara. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah Peta Kualitas Permukiman

di Kelurahan Maguwoharjo yang diperoleh dengan mengoverlaykan data kajian kualitas fisik

permukiman, kualitas lingkungan permukiman, kualitas sosial, kualitas dan tingkat pelayanan fasilitas

kota, dan kajian kualitas bangunan di Kelurahan Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten

Sleman.

Kata kunci: penginderaan jauh, kualitas permukiman, interpretasi visual, Sistem Informasi Geografis,

pendekatan kuantitatif berjenjang tertimbang.

Page 2: Jurnal Kualitas permukiman

2

A. LATAR BELAKANG

Negara Indonesia merupakan salah satu

negara berkembang yang dicirikan dengan

jumlah penduduknya yang menempati posisi

keempat di dunia setelah Republik Rakyat Cina,

Amerika Serikat, dan India. Jumlah penduduk

merupakan salah satu aspek krusial di dalam

kajian permukiman karena jumlah penduduk

merupakan salah satu parameter untuk

melakukan kajian kualitas permukiman.

Kualitas permukiman dapat dijadikan

sebagai tolak ukur tingkat kesejahteraan

masyarakat yang ada di suatu wilayah. Kualitas

permukiman yang baik menunjukkan tingkat

kesejahteraan yang lebih baik pula dibandingkan

dengan suatu wilayah uang memiliki tingkat

kualitas permukiman yang rendah.

Metode yang saat ini masih digunakan

untuk melakukan analisa kualitas permukiman

di masyarakat adalah metode survey lapangan,

di mana dilakukan pengambilan sampel di suatu

area permukiman dengan mendatangi langsung

area tersebut dan melakukan pengamatan

maupun wawancara terhadap penduduk

mengenai yang mendiami area permukiman

tersebut.

Saat ini, penginderaan jauh banyak

digunakan untuk melakukan analisa terhadap

kualitas permukiman di suatu area. Hal ini

disebabkan karena penginderaan jauh memiliki

keunggulan pada resolusi spasial dan temporal,

di mana citra penginderaan jauh ini dapat

digunakan untuk melihat suatu area permukiman

dengan jelas dan dapat digunakan untuk melihat

perubahan suatu area permukiman pada kurun

waktuyang relatif cepat. Karakteristik spasial

yang menunjukkan fisik permukiman dapat

dilihat dengan baik menggunakan penginderaan

jauh.

Kelurahan Maguwoharjo menjadi

wilayah yang menarik untuk dikaji kualitas

permukimannya. Hal ini karena Kelurahan

Maguwoharjo merupakan salah satu Kelurahan

di Kecamatan Depok yang tengah berkembang

menjadi area perkotaan. Pada area yang tengah

berkembang, ditemukan banyak permasalahan,

terutama permasalahan mengenai permukiman.

Dengan bantuan interpretasi visual citra

penginderaan jauh, maka kajian hubungan

kualitas permukiman terhadap kesehatan

masyarakat sangat mungkin untuk dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk membuat

peta kualitas permukiman dan mengetahui

tingkat kualitas permukiman terkait dengan

kepadatan penduduk di Kelurahan

Maguwoharjo.

a. RUMUSAN MASALAH

Teknologi yang berkembang saat ini

merupakan alat untuk membantu manusia dalam

memecahkan berbagai permasalahan yang

terdapat di sekitarnya. Salah satu teknologi yang

dapat digunakan untuk membantu penyelesaian

masalah manusia, khususnya permasalahan

permukiman adalah teknologi penginderaan

jauh.

Teknologi penginderaan jauh dapat

digunakan untuk mengidentifikasi

permasalahan- permasalahan permukiman

dengan melakukan pengolah Sistem Informasi

Page 3: Jurnal Kualitas permukiman

3

Geografis menggunakan pendekatan kuantitatif

berjenjang tertimbang. Semakin banyak

ditemukan permasalahan, maka akan semakin

kompleks pula perumusan kebijakan terkait

dengan permukiman di suatu area. Selanjutnya

untuk mengetahui tingkat ketelitian dari proses

interpretasi dilakukan uji interpretasi yang

dilakukan di lapangan dengan menggunakan

teknik sampling.

Berdasarkan uraian di atas diperoleh

beberapa rumusan masalah, diantaranya adalah:

1. Bagaimana hasil penyadapan citra Quickbird

untuk memperoleh data variabel untuk

parameter penilaian kualitas permukiman ?

2. Bagaimana proses pemetaan untuk penilaian

kualitas permukiman ?

3. Bagaimana persebaran atau distribusi

kualitas permukiman yang ada di Kelurahan

Maguwoharjo?

b. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengaplikasikan teknik pengindraan jauh

menggunakan Citra Quickbird untuk

menyadap data variabel fisik lingkungan

permukiman.

2. Menerapkan Sistem Informasi Geografis

untuk memetakan kualitas permukiman

berdasarkan variabel yang digunakan dengan

menggunakan metode analisis Berjenjang

Tertimbang

3. Mengetahui persebaran kelas kualitas

permukiman yang ada di Kelurahan

Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Sleman

c. MANFAAT YANG DIHARAPKAN

Penelitian mengenai kualitas permukiman

ini diharapkan memiliki manfaat sebagai

berikut:

1. Data spasial kualitas permukiman di

Kelurahan Maguwoharjo, Kecamatan

Depok, Kabupaten Sleman dapat tersedia

dengan kualitas data yang baik

2. Mengembangkan teknologi aplikatif terkait

penginderaan jauh untuk studi perkotaan,

khususnya studi permukiman.

3. Sebagai salah satu bahan pertimbangan

dalam perencanaan penataan ruang kota

serta pengambilan keputusan dalam suatu

kebijakan.

d. TINJAUAN PUSTAKA

Kota merupakan bagian kecil muka bumi

yang mengalami perubahan-perubahan yang

cepat sehubungan dengan fungsinya sebagai

pusat kegiatan penduduk dengan tata guna lahan

dan fungsi sosial ekonomi yang beraneka.

Perubahan yang cepat tersebut menyebabkan

petugas kota selalu tertinggal dalam menyajikan

peta yang mutakhir dimana hal ini kurang

menguntungkan bagi perencana dan pengelola

kota (Sutanto, 1981).

Pembuatan peta kota memerlukan

pengukuran atau survey terrestrial. Pengukuran

tersebut perlu menggunakan teknik tertentu agar

dapat dilakukan secara cepat, lengkap dan

terpercaya hingga ke penyajiannya. Teknik baru

tersebut berupa penginderaan jauh atau remote

sensing, yakni ilmu dan seni untuk memperoleh

informasi tentang objek, daerah atau gejala yang

Page 4: Jurnal Kualitas permukiman

4

menganalisa data yang direkam oleh sensor

tanpa berhubungan langsung dengan objek,

daerah atau gejala yang dikaji (Lillesand, Th.M

& Kiefer, R.W, 1979 dalam Sutanto, 1981).

Penyajian peta kota memerlukan

penelitian, baik secara makro ataupun mikro.

Penelitian pada sistem makro dilakukan analisa

tentang interaksi antarkota, sedangkan penelitian

pada sistem mikro maka analisa dilakukan atas

sistem atau subsistem yang membentuk satu

kota. Teknik penginderaan jauh dapat

dipergunakan untuk kedua sistem penelitian

tersebut (Lintz, J. Jr & Simonett, D.S., 1976

dalam Sutanto, 1981). Dlam analisa sistem

makro, informasi yang dapat disadap dari citra

penginderaan jauh dan menjadi variabel, antara

lain luas wilayah kota, jarak dari kota satu ke

kota lainnya, jumlah rangkaian jalan utama,

jalan kereta api, dan daerah

industry/perdagangan. Sedangkan informasi

yang dapat disadap dari citra penginderaan jauh

untuk analisa sistem mikro, antara lain

perhitungan jumlah rumah mukim, kualitas

perumahan, tata guna lahan kota, batas fisik

kota, deteksi pemekaran kota dan rumah liar

(Sutanto, 1981).

Tata guna lahan ialah aktifitas manusia

atas lahan untuk memenuhi kebutuhannya.

Pengenalannya pada citra sering dilakukan lewat

penutup atau penggunaan lahan. Penggunaan

lahan dapat dilacak melalui liputan lahannya,

kemudian dikategorikan berdasarkan unsur dan

fungsinya. Suatu daerah dimasukan dalam

kategori permukiman apabila paling sedikit 80%

daripadanya tertutup oleh bangunan yang

menunjukkan ciri-ciri sebagai rumah tempat

tinggal (Sutanto, Gunadi & Gunawan,

Totok,1981).

Untuk mengenali tiap unsur liputan lahan

dari citra penginderaan jauh digunakan secara

bersama-sama beberapa diantara enam kunci

interpretasi yang ada, yaitu rona, tekstur, bentuk,

ukuran, bayangan dan pola. Kadang-kadang juga

digunakan kunci interpretasi lainnya, yakni letak

dan asosiasi (Sutanto, Gunadi & Gunawan,

Totok,1981). Hasil interpretasi kemudian

disajikan dalam bentuk peta. Peta tata guna

lahan merupakan peta yang paling sering

digunakan oleh para perencana kota (Lindgren,

D.T, 1974 dalam Sutanto, 1981). Hal ini

dikarenakan peta tata guna lahan kota

mencerminkan interaksi antara manusia dengan

lingkungannya secara lengkap dan dapat

menyajikan unsur-unsur seperti kepadatan

perumahan, kualitas perumahan, batas fisik kota

dan sebagainya apabila dibuat secara terperinci.

Permukiman adalah bagian dari

lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik

berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan

yang berfungsi sebagai lingkungan tempat

tinggal atau lingkungan hunian dan tempat

kegiatan yang mendukung perikehidupan dan

penghidupan (UU no.4 tahun 1992, tentang

Perumahan dan Permukiman). Permukiman

adalah kawasan yang didominasi oleh

lingkungan yang dilengkapi dengan prasarana

dan sarana lingkungan dan tempat kerja yang

memberikan pelayanan dan kesempatan kerja

yang terbatas untuk mendukung perikehidupan

dan penghidupan, sehingga fungsinya dapat

berdaya guna dan berhasil guna. Permukiman ini

dapat berupa permukiman perkotaan maupun

Page 5: Jurnal Kualitas permukiman

5

permukiman perdesaan (Kamus Tata Ruang

Tahun 1997). Permukiman adalah tempat atau

daerah untuk bertempat tinggal dan menetap

(Kamus Tata Ruang 1997) Permukiman di

dalam kamus tata ruang terdiri dari tiga

pengertian yaitu :

a. Bagian dari lingkungan hidup diluar

kawasan lindung, baik yang berupa kawasan

perkotaan maupun kawasan perdesaan yang

berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal

atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan

yang mendukung perikehidupan dan

penghidupan.

b. Kawasan yang didomisili oleh

lingkungan hunian dengan fungsi utama sebagai

tempat tinggal yang dilengkapi dengan

prasarana, sarana lingkungan dan tempat kerja

yang memberikan pelayanan dan kesempatan

kerja terbatas untuk mendukung perikehidupan

dan penghidupan sehingga fungsi permukiman

tersebut dapat berdaya guna dan berhasil guna.

c. Tempat atau daerah untuk bertempat

tinggal atau tempat untuk menetap.

Permukiman merupakan suatu

lingkungan hidup yang berada diluar kawasan

lindung baik yang berupa kawasan perkotaan

maupun perdesaan yang berfungsi sebagai

lingkungan tempat tinggal serta tempat kegiatan

usaha dan kerja yang mendukung kehidupan dan

penghidupan. Hal inilah yang menjadikan pada

tingkat primer permukiman tempat tinggal. Pada

tingkat lebih lanjut, permukiman dapat diberi

fungsi atau misi sebagai penyangga kawasan

fungsional serta kawasan produktif lainnya.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia

No.4 Tahun 1992 Tentang perumahan dan

permukiman yang dimaksud dengan:

a. Rumah adalah bangunan yang

berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian

dan sarana pembinaan keluarga.

b. Perumahan adalah kelompok rumah

yang berfungsi sebagai lingkungan tempat

tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi

dengan prasarana dan sarana lingkungan

c. Permukiman adalah bagian dari

lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik

yang berupa kawasan perkotaan maupun

perdcsaan yang berfungsi sebagai lingkungan

tempat tinggal atau lingkungan hunian dan

tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan

dan penghidupan.

d. Satuan lingkungan permukiman

adalah kawasan perumahan dalam berbagai

bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan

ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang

terstruktur. (Hidayati, 2015)

Citra merupakan gambaran hasil

perekaman suatu objek di permukaan bumi yang

digambarkan dengan cara optik maupun

elektronik. Citra penginderaan jauh dapat

dimanfaatkandalam berbagai macam bidang

seperti pembangunan, pertanian, kehutanan,

kesehatan, dan lain sebagainya.

Salah satu citra yang cocok digunakan

untuk analisa permasalahan permukiman adalah

Citra Quickbird. Quickbird merupakan satelit

pengindraan jauh yang diluncurkan pada 18

Oktober 2001 di Amerika Serikat dan mulai

memproduksi data pengindraan jauh pada bulan

Mei 2002. Sensor yang digunakan pada satelit

ini nadalah dengan model pushbroom scanner.

Page 6: Jurnal Kualitas permukiman

6

Quickbird memiliki kemampuan dapat

menyimpan data dalam ukuran besar dengan

resolusi tertinggi. Satelit Quickbird

menghasilkan data multispektral pada saluran

spektral biru, hijau, merah, dan inframerah dekat

serta pankromatik. Quickbird dapat digunakan

pada berbagai aplikasi terutama dalam hal

perolehan data yang memuat infrastruktur,

sumber daya alam bahkan untuk keperluan

pengelolaan tanah seperti manajemen dan pajak.

Sistem Informasi Geografis (SIG)

merupakan sistem pengelolaan data secara

digital yang dapat digunakan untuk

memanipulasi, menganalisis, dan memonitoring

data bereferensi geografi. Saat ini SIG

dimanfaatkan untuk memecahkan beberapa

macam masalah dalam bebragai macam bidang

kehidupan melalui pengelolaan datanya salah

satunya dalam bidang kesehatan lingkungan dan

masyarakat.

Permukiman dapat diartikan sebagai

kawasan yang didominasi oleh lingkungan

hunian dengan fungsi utama sebagai tempat

tinggal yang dilengkapi dengan prasarana dan

sarana lingkungan dan tempat kerja yang

memberikan pelayanan dan kesempatan kerja

untuk mendukung perikehidupan dan

penghidupan sehingga fungsi-fungsi perumahan

tersebut dapat berdaya guna dan berhasil guna.

B. METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian berada di area

permukiman di Kelurahan Maguwoharjo. Data

yang digunakan adalah citra Quickbird

perekaman tahun 2010 dan data kerawanan

bencana dan sanitasi yang diperoleh berdasarkan

survey lapangan dan wawancara.

a. Bahan penelitian

1. Citra Quickbird sebagian daerah Yogyakarta

2. Software ArcGIS

3. Variabel penentuan perhitungan kualitas

permukiman

4. Alat tulis

b. Metode

1. Wilayah Kajian

Maguwoharjo adalah sebuah desa yang

terletak di kecamatan Depok, Sleman, Daerah

Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Lurah desa ini

adalah H. Imindi Kasmiyanto. Maguwoharjo

mempunyai kode pos 55282. Desa

Maguwoharjo terletak pada 7º46’21” LS dan

110º25’30” BT, dengan luas wilayah 15.010.800

M2, dan jumlah penduduk 25.125 jiwa. Nama

Maguwoharjo diambil dari nama lapangan

terbang yang ada di wilayah ini yakni lapangan

terbang Meguwo, yang sekarang lebih dikenal

dengan Bandar Udara Adisucipto. Selain Bandar

Udara Adisucipto, beberapa obyek vital yang

terdapat di wilayah ini diantaranya adalah:

Kampus Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta, dan Stadion Internasional

Maguwoharjo.

Pada mulanya Desa Maguwoharjo

merupakan wilayah yang terdiri dari 5 (lima)

Kelurahan dan 2 (dua) kampung, masing-masing

adalah: Kelurahan Kembang, Kelurahan Nayan,

Kelurahan Tajem, Kelurahan Paingan,

Kelurahan Padasan, Kampung Pengawatrejo,

Kampung Blimbingsari. Berdasarkan maklumat

Page 7: Jurnal Kualitas permukiman

7

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang

diterbitkan tahun 1946 mengenai Pemerintahan

Kelurahan, maka 5 (lima) Kelurahan dan 2 (dua)

kampung tersebut kemudian digabung menjadi 1

Desa yang otonom dengan nama Desa

Maguwoharjo. Secara resmi Desa Maguwoharjo

ditetapkan berdasarkan Maklumat Nomor 5

Tahun 1948 tentang Perubahan Daerah-Daerah

Kelurahan.

(https://id.wikipedia.org/wiki/Maguwoharjo,_De

pok,_Sleman)

Caturtunggal adalah sebuah desa yang

terletak di Kecamatan Depok, Sleman, Daerah

Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Desa

Caturtunggal terletak pada 7º46’48” LS, dan

110º23’45” BT, dengan luas wilayah 11.070.000

M² atau 889.7480 Ha dan didiami oleh 61.606

jiwa (data tahun 2012). Sebagai daerah dengan

PTN terbanyak, maka daerah ini hampir

seperempatnya dihuni oleh mahasiswa. Banyak

terdapat lokasi indekos dan penginapan.

Pada mulanya Desa Caturtunggal

merupakan wilayah yang terdiri dari 5 (lima)

kelurahan, yaitu Kelurahan Karangwuni,

Kelurahan Mrican, Kelurahan Demangan,

Kelurahan Ambarukmo, dan Kelurahan

Kledokan. Berdasarkan Maklumat Pemerintah

Daerah Istimewa Yogyakarta yang diterbitkan

tahun 1946 mengenai Pemerintahan Kelurahan,

maka lima kelurahan tersebut kemudian

digabung menjadi satu desa yang otonom

dengan nama Desa Caturtunggal yang secara

resmi ditetapkan berdasarkan Maklumat Nomor

5 Tahun 1948 tentang Perubahan Daerah-daerah

Kelurahan

(https://id.wikipedia.org/wiki/Caturtunggal,_De

pok,_Sleman )

2. Pengumpulan Data

Pengumpulan data-data dilakukan sebelum

dilakukan pengolahan data. Data yang

dikumpulkan meliputi dua jenis data yaitu data

primer dan data sekunder. Data sekunder yang

dikumpulkan adalah pengharkatan setiap

variabel sedangkan data primer yang

dikumpulkan meluputi citra Quickbird yang

akan digunakan untuk proses interpretasi citra.

Variabel yang dikumpulkan sebagai data

sekunder adalah

a. Kepadatan rumah

b. Tata letak

c. Lebar jalan

d. Kondisi jalan

e. Kondisi halaman

f. Pohon pelindung

g. Lokasi permukiman

h. Kerawanan bencana

i. Air bersih

j. Sanitasi

3. Perolehan Data

a. Data sekunder

Data variabel yang digunakan untuk

pengukuran kualitas permukiman, yaitu

data pengharkatan dari beberapa sumber

pustaka.

b. Data Primer

a) Citra Quickbird

Data yang diperoleh dari citra Quickbird

dengan proses interpretasi adalah data

kepadatan rumah, tata letak, lebar jalan,

Page 8: Jurnal Kualitas permukiman

8

kondisi jalan, kondisi halaman, pohon

pelindung dan lokasi permukiman.

b) Survey Lapangan

Data yang diperoleh dari survey

lapangan ada kedelapan variabel kualitas

permukiman yang digunakan untuk uji

interpretasi citra quickbird dan juga data

mengenai air bersih, kerawanan bencana

dan sanitasi. Ketiga variabel tersebut

tidak dapat diperoleh dari interpretasi

Citra Penginderaan Jauh sehingga harus

dilakukan survey lapangan.

4.Teknik Pengolahan dan Analisa Data

Variabel yang digunakan sebagai

parameter penentu kualitas permukiman yang

digunakan adalah tata letak/pola permukiman,

kondisi jalan, lebar jalan, kondisi halaman,

pohon pelindung, lokasi permukiman, air

bersih dan sanitasi. Berikut klasifikasi beserta

harkat setiap variabel,

1. Kepadatan pemukiman

Kepadatan permukiman didapatkan dari digitasi

atap rumah pada setiap blok yang ada. Digitasi

atap rumah tersebut digunakan untuk

menghitung kepadatan permukiman yang ada.

Perhitungan kepadatan pemukiman atau

kepadatan rumah didapat dari perhitungan

rumus :

Bobot tertinggi dari range 1-3, bobok tertinggi

yaitu 3 menunjukan tingkat kepadatan terendah,

semakin padat blok maka dianggap tingkat

kenyamanan berkurang dan memiliki kualitas

permukiman rendah.

2. Tata letak/pola permukiman

Pola permukiman menunjukan keteraturan

antara setiap rumah yang ada diblok

permukiman. Ketika pola permukiman yang ada

tidak teratur diasumsikan bahwa permukiman

tersebut kualitasnya buruk.

Kondisi tata

letak Kategori Harkat

>50%

bangunan

tertata teratur

Baik 3

25-50%

bangunan

tertata teratur

Sedang 2

<25%

bangunan

tertata teratur

Buruk 1

Tabel 1.1 Klasifikasi Pola Permukiman

Sumber : Ditjen Cipta Karya,

Departemen Pekerjaan Umum (1959, dalam

Rahardjo)

3. Lebar Jalan

Lebar jalan menentukan aksesibilitas suatu

tempat. Ketika lebar jalannya luas maka

kendaraan akan lebih mudah mobilitasnya dan

sebaliknya ketika jalan sempit maka mobilitas

Page 9: Jurnal Kualitas permukiman

9

akan semakin sulit. Lebar jalan yang bagus

menurut Departemen PU adalah lebih dari 6 m

lebarnya.

Lebar jalan Kategori Harkat

>50% Jalan masuk

lebar rata-rata >6m 2-

3 dapat dilalui mobil

dengan

Baik 3

25-50% dapat dilalui

mobil atau lebar jalan

antara 3-6m dapat

dilalui 1-2 mobil

Sedang 2

<25% dapat dilalui

mobil dengan lebar

jalan sekitar 4m

Buruk 1

Tabel 1.2 Klasifikasi Lebar Jalan

Sumber : Ditjen Cipta Karya,

Departemen Pekerjaan Umum (1959, dalam

Rahardjo)

4. Kondisi Jalan

Kondisi jalan merupakan salah indikator

suatu permukiman itu baik atau tidak. Ketika

akses permukiman itu baik maka permukiman

akan lebih nyaman untuk dihuni. Kondisi jalan

yang dimaksud seperti jalan yang beraspal atau

tidak, jalan yang rusak atau tidak. Jika jalan

sudah diaspal atau diperkeras maka diasumsikan

bahwa kondisi jalan semakin baik maka

berbanding lurus dengan kualitas permukiman

yang ada didekatnya.

Kondisi jalan Kategori Harkat

>50% telah

diperkeras dengan

aspal semen atau

konblok

Baik 3

25-50% pada jalan

blok pemukiman

belum diperkeras

Sedang 2

<25% jalan pada

blok permukiman

telah diperkeras

Buruk 1

Tabel 1.3 Klasifikasi Kondisi Jalan

Sumber : Ditjen Cipta Karya,

Departemen Pekerjaan Umum (1959, dalam

Rahardjo)

5. Kondisi Halaman

Kondisi halaman yang baik

mencerminkan kualitas permukiman yang ada,

misalnya seperti kondisi halaman di perumahan

dengan kondisi halaman di slum area atau

permukiman kumuh pastilah berbeda jauh.

Permukiman yang baik jauh dari kata kumuh

dan kotor. Maka dari itu penilaian kondisi

halaman rumah sangat penting dalam kajian

kualitas permukiman, dengan asumsi semakin

tertata dan terawat maka kualitas permukiman

akan semakin baik.

Kondisi halaman Kategori Harkat

>50% Halaman

rumah luas dan

terawat dengan

baik

Baik 3

25-50% terawat Sedang 2

Page 10: Jurnal Kualitas permukiman

10

dengan baik

<25% terawatt

dengan baik Buruk 1

Tabel 1.4 Klasifikasi Lebar Jalan

6. Pohon Pelindung

Pohon pelindung berfungsi sebagai peneduh

lingkungan permukiman, selain itu berfungsi

untuk mengurangi polusi oleh kendaraan

bermotor serta peneduh jalan. Pengharkatan

pada variabel ini diukur dengan asumsi semakin

banyak pohon pelindung dijalan maka semakin

baik kualitas permukiman.

Kondisi pohon

pelindung Kategori Harkat

>50% jalanan

memiliki pohon

pelindung

Baik 3

25-50% jalanan

memiliki pohon

pelindung

Sedang 2

<25% jalanan

memiliki pohon

pelindung

Buruk 1

Tabel 1.5 Klasifikasi Pohon Pelindung

Sumber : Ditjen Cipta Karya,

Departemen Pekerjaan Umum (1959, dalam

Rahardjo)

7. Lokasi Permukiman

Lokasi permukiman menunjukan kondisi suatu

lokasi permukiman dengan dasar penilaian

berupa lokasi permukiman terhadap sumber

polusi dan fasilitas kota. Asumsi yang

digunakan adalah dimana semakin jauh dari

sumber polusi dan semakin dekat dengan

fasilitas kota maka semakin nyaman digunakan

sebagai tempat tinggal dan memiliki kualitas

permukiman baik.

Kondisi lokasi

permukiman Kategori Harkat

Jauh dari sumber

polusi, dekat dengan

fasilitas kota.

Baik 3

Tidak terpengaruh

secara langsung

dengan sumber polusi

atau lokasi rentan

bencana.

Sedang 2

Lokasi dekat dengan

polusi, dekat dengan

sumber polusi udara

maupun suara.

Buruk 1

Tabel 1.6 Klasifikasi Lokasi Permukiman

8. Air Bersih

Penentuan lokasi permukiman selalu

mempertimbangkan keberadaan sumber air

bersih. Begitu juga untuk kualitas permukiman,

kualitas permukiman yang baik memiliki

sumber air bersih yang baik. Sumber air bersih

yang baik diasumsikan berasal dari PAM

kemudian air sumur dan untuk sumber air yang

buruk berasal dari sungai.

Sumber air Kategori Harkat

Page 11: Jurnal Kualitas permukiman

11

>50% dari jumlah

keluarga yang ada

pada blok

permukiman

menggunakan PAM,

dan Sumur sendiri

sebagai sumber air

bersih

Baik 3

25%-50% dari jumlah

keluarga yang ada

pada blok

permukiman

menggunakan PAM,

dan atau Sumur

sendiri sebagai

sumber air bersih

Sedang 2

25% dari jumlah

keluarga yang ada

pada blok

permukiman

menggunakan PAM,

dan atau Sumur, dan

atau menggunakan

sumber lain seperti

sungai sebagai

sumber air bersih

Buruk 1

Tabel 1.7 Klasifikasi Air Bersih

Sumber : Ditjen Cipta Karya,

Departemen Pekerjaan Umum (1959, dalam

Rahardjo)

9. Sanitasi

Sanitasi merupakan sarana atau fasilitas

untuk membuang limbah rumah tangga yang

sifatnya cair, padat maupun gas. Kualitas

permukiman yang baik merupakan permukiman

yang sehat dan jauh dari penyakit. Maka ketika

suatu permukiman memiliki pengelolaan limbah

yang baik seperti memiliki septic tank dan

tempat pembuangan sampah sendiri maka

permukiman tersebut dikatakan baik. Sedangkan

jika permukiman tidak memiliki pembuangan

limbah sendiri namun dibuang ke sungai maka

permukiman tersebut dikatakan buruk.

Lokasi sanitasi Kategori Harkat

>50% rumah pada

blok permukiman

memiliki WC dan

dilengkapi dengan

septitank

Baik 3

25-50% rumah

pada blok

permukiman

memiliki WC dan

dilengkapi dengan

septitank dan

selebihnya tanpa

septitank atau

menggunakan

selokan

Sedang 2

<25% rumah pada

blok permukiman

memiliki WC dan

dilengkapi dengan

septitank dan

selebihnya

menggunakan

sungai atau selokan

Buruk 1

Page 12: Jurnal Kualitas permukiman

12

Tabel 1.8 Klasifikasi Sanitasi

Sumber : Ditjen Cipta Karya,

Departemen Pekerjaan Umum (1959, dalam

Rahardjo)

10. Kerawanan Bencana

Kerawanan bencana menjadi faktor

penting dalam kualitas permukiman. Ketika

suatu permukiman berada di kawasan rawan

bencana maka permukiman tersebut dikatakan

tidak layak huni.

Kerawan Bencana Kategori Harkat

Permukiman berada

lokasi jarang terjadi

bencana

Baik 3

Permukiman berada di

lokasi bencana namun

relatif tidak terjadi

bencana

Sedang 2

Permukiman berada di

daerah rawan bencana

yang bahaya, seperti

daerah rawan longsor,

dekat dengan gunung

api

Buruk 1

Tabel 1.9 Klasifikasi Kerawanan

Bencana

5. TAHAP PEMBOBOTAN

Setelah dilakukan skoring seperti

ketentuan Departemen Pekerjaan Umum pada

setiap blok permukimannya. Kemudian

dilakukan pembobotan untuk setiap variabel

yang ada. Setiap variabel memiliki bobot yang

berbeda-beda dari variabel lainnya. Hal ini

didasarkan pada prioritas dari variabel tersebut,

ketika dirasa variabel tersebut sangat

berpengaruh maka memiliki bobot yang tinggi

dibandingkan dengan variabel yang tidak terlalu

berpengaruh.

Variabel Bobot

Kepadatan Rumah 3

Tata Letak 1

Lebar Jalan 3

Kondisi Jalan 2

Kondisi Halaman 2

Pohon Pelindung 1

Lokasi Permukiman 2

Kerawanan Bencana 3

Air Bersih 2

Sanitasi 3

Tabel 1.10 Aturan Pembobotan Tiap

Variabel

Variabel tata letak dan pohon pelindung

tidak dianggap terlalu mempengaruhi kualitas

permukiman maka memiliki nilai atau bobot

penimbang 1. Sedangkan untuk variabel

kepadatan rumah, lebar jalan, kerawanan

bencana dan sanitasi dianggap sebagai faktor

yang sangat berpengaruh terhadap kualitas

permukiman.

6. PENGKLASIFIKASIAN KUALITAS

PERMUKIMAN

Setelah dilakukan pembobotan sesuai

dengan variabel masing-masing kemudian

dilakukan penjumlahan total dari pembobotan

yang ada. Hasil pembobotan yang ada kemudian

di kelaskan menggunakan rumus.

Page 13: Jurnal Kualitas permukiman

13

Jumlah kelas yang digunakan adalah 5

kelas yaitu dari kelas buruk, agak buruk, sedang,

agak baik dan baik.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Daerah kajian penelitian kelompok 3

adalah sebagian desa Maguwoharjo dan

sebagian desa Caturtunggal. Jika dilihat pada

citra, daerah kajian kelompok 3 seperti gambar

yang ada di bawah ini.

Gambar Citra Quickbird

Kajian kualitas permukiman dapat

dilakukan pada berbagai unsur yang membentuk

lingkungan permukiman, baik unsur fisik, sosial,

ekonomi maupun politik. Untuk penelitian ini,

kajian kualitas permukiman dilakukan dengan

jenis kajian kualitas berupa kajian kualitas

lingkungan fisik permukiman. Kajian kualitas

lingkungan fisik permukiman tersebut menilai

tingkat kenyamanan dan kesehatan lingkungan

permukiman untuk tempat tinggal. Kenyamanan

dan kesehatan lingkungan permukiman pada

penelitian ini diukur dengan menggunakan

beberapa variabel, yaitu kepadatan permukiman,

tata letak/pola bangunan, lebar jalan, kondisi

jalan, kondisi halaman, pohon pelindung, lokasi

permukiman, kerawanan bencana, air bersih dan

sanitasi.

Tahap awal kajian kualitas lingkungan

fisik permukiman dalam penelitian ini ialah

tahap interpretasi visual citra. Citra yang

diinterpretasi ialah citra digital Quickbird,

dengan lokasi kajian berupa sebagian bagian

timur-selatan Desa Maguwoharjo. Quickbird

merupakan salah satu citra penginderaan jauh

yang dapat digunakan untuk studi perkotaan

karena kemampuannya dalam memetakan

fenomena perkotaan dengan resolusi spatial

yang tinggi. Salah satu kajian perkotaan

menggunakan citra Quickbird ialah untuk

menentukan kualitas lingkungan fisik

permukiman, karena data variabel fisik

lingkungan permukiman dapat disadap dari citra

tersebut. Interpretasi citra dilakukan bersamaan

dengan pembedaan lahan permukiman dan lahan

non permukiman dengan cara delineasi lahan

permukiman melalui digitasi. Lahan

permukiman pada citra Quickbird dicirikan

dengan rona kemerahan yang umumnya

memiliki kepadatan bentukan bangunan dan

ukuran atap tertentu. Lahan permukiman yang

demikian didigitasi (didelineasi) berdasarkan

blok-blok permukimannya. Hal tersebut

Page 14: Jurnal Kualitas permukiman

14

dilakukan untuk mempermudah analisis yang

detail dari keseluruhan permukiman yang ada.

Hasil interpretasi visual citra hanya

mampu menjawab bagaimana kondisi kepadatan

rumah, tata letak/pola permukiman, lebar jalan,

kondisi jalan, kondisi halaman, pohon pelindung

dan lokasi permukiman. Untuk variabel kualitas

permukiman berupa kerawanan bencana, air

bersih dan sanitasi tidak dapat disadap dari citra

Quickbird. Oleh karena itu, dilakukan observasi

atau survey lapangan secara langsung untuk

melakukan cek hasil interpretasi visual sekaligus

mencari jawaban atas kondisi kerawanan

bencana, air bersih dan sanitasi melalui

wawancara terhadap penduduk yang tinggal di

lokasi permukiman kajian. Wawancara tidak

dilakukan terhadap seluruh penduduk yang ada,

melainkan hanya diambil beberapa sampel dari

masing-masing blok permukiman yang

diharapkan jawabannya mampu mewakili

kondisi blok permukiman tersebut.

Penilaian terhadap variabel kualitas

lingkungan fisik permukiman dilakukan dengan

membagi kondisinya ke dalam tiga kriteria,

yaitu baik, sedang dan buruk. Mengingat skala

data tersebut merupakan skala data yang

berjenjang, maka masing-masing kriteria

penilaian memiliki harkat, yaitu 3 untuk kriteria

baik, 2 untuk sedang dan 1 untuk buruk. 1.

a. Kepadatan Rumah

Kepadatan rumah dinilai dengan melihat

jumlah luas atap dan luas blok permukimannya.

Asumsinya, ketika keberadaan rumah semakin

padat dalam satu blok permukiman, maka jarak

antarrumah semakin berdekatan (sempit). Hal

tersebut berdampak pada semakin berkurangnya

ruang-ruang yang dapat dimanfaatkan dan

berimplikasi pada tingkat kenyamanan yang

semakin menurun untuk bertempat tinggal di

blok permukiman tersebut. Dengan demikian,

semakin padat rumah di suatu blok permukiman,

maka semakin rendah kualitas lingkungan fisik

permukimannya.

Pada lokasi penelitian, blok-blok

permukiman yang ada sebagian besar dinilai

memiliki kepadatan rumah yang sedang. Masih

sedikit blok permukiman yang rumah-rumahnya

tidak terlalu padat, namun demikian sangat

sedikit pula blok permukiman yang kepadatan

rumahnya relatif buruk. Kepadatan rumah yang

sedang kebanyakan ditemukan agak jauh di

bagian selatan ring road, sedangkan kepadatan

rumah yang baik ditemukan sedikit masing-

masing di bagian utara dan selatan ring road.

Untuk kepadatan rumah yang buruk ditemukan

kebanyakan di dekat dengan ring road, baik itu

di utara maupun di selatannya. Kemungkinan

hal tersebut terjadi akibat keinginan penduduk

dekat dengan jalan utama, yakni ring road, untuk

mendapat akses yang tinggi, sehingga mereka

cenderung mendekati dan memadati daerah

pinggiran ring road.

b. Tata letak

Tata letak permukiman dinilai dengan

melihat bagaimana keteraturan, penataan atau

pola dari letak bangunan rumah, apakah teratur,

cukup teratur, ataukah kurang tertata. Suatu blok

permukiman dinilai memiliki tata letak yang

baik jika bangunannya memiliki pola yang

teratur, searah dan menghadap ke jalan.

Semakin tidak teratur polanya, maka tata letak

permukiman semakin tidak baik (buruk).

Page 15: Jurnal Kualitas permukiman

15

Asumsinya, semakin teratur tata letak

permukimannya, maka berdampak pada tingkat

aksesibilitas yang semakin mudah dan

berimplikasi pada semakin tingginya tingkat

kenyamanan untuk bertempat tinggal di

permukiman tersebut. Artinya, permukiman

yang demikian memiliki kualitas lingkungan

fisik yang baik.

Pada lokasi penelitian, blok permukiman

hampir seluruhnya dinilai memiliki tata letak

yang cukup teratur (sedang). Masih sangat

sedikiti blok permukiman yang pengaturan tata

letaknya tergolong teratur (baik), dan bisa

dikatakan sangat minim blok permukiman yang

tata letak bangunannya kurang teratur (buruk).

Hal ini dikarenakan sebagian besar rumah yang

ada pada blok permukiman dibangun searah dan

menghadap ke jalan, meskipun keteraturannya

hanya tergolong cukup karena tanpa

perencanaan. Blok permukiman yang memiliki

tata letak yang paling baik ditemukan pada

komplek perumahan yang berada di sebagian

bagian utara ring road daerah kajian. Mengingat

daerah tersebut merupakan komplek perumahan,

umumnya dibangun dengan bangunan yang

polanya tertata satu-satu, posisi bangunannya

searah dan menghadap jalan untuk mendapat

aksesibilitas yang mudah.

c. Lebar jalan

Lebar jalan menjadi salah satu variabel

kualitas lingkungan fisik permukiman dari

penilaian aspek aksesibilitas. Lingkungan

permukiman yang baik secara fisik pasti

mengakomodasikan akses penduduk dalam

melakukan mobilitas. Oleh karena itu,

diasumsikan bahwa semakin lebar jalan yang

terdapat di suatu permukiman, maka kualitas

permukimannya semakin baik, dikarenakan

adanya aksesibilitas yang semakin tinggi dan

meningkatkan kenyaman bertempat tinggal.

Lebar jalan yang baik untuk permukiman

minimal rata-rata 6 meter, agar jalan tersebut

dapat dilewati kendaraan sampai mobil besar.

Jika hanya mampu dilalui mobil berukuran

normal, maka lebar jalan tersebut dikategorikan

sedang (3-6 meter). Dan jika suatu jalan tidak

mampu dilalui kendaraan mobil, hanya mampu

dilalui motor atau bahkan hanya pejalan kaki,

maka lebar jalan yang ada dinilai buruk (< 3

meter).

Pada lokasi penelitian, sebagian besar

blok permukiman yang ada ditemukan memiliki

jalan yang lebarnya mampu dilalui oleh mobil-

mobil berukuran sedang. Jalan tersebut belum

tentu jalan utama, bisa juga jalan lokal. Untuk

jalan utama yang lebarnya mampu

mengakomodasi mobil-mobil besar ialah ring

road, oleh karena itu, blok permukiman di

sekitarnya dinilai memiliki lebar jalan yang

baik. Asumsinya, semakin mendekati jalan utara

(jalan besar) maka terdapat hierarki yang

menyebabkan ukuran jalan semakin besar pula.

Semakin menjauhi ring road, lebar jalan

semakin kecil. Akan tetapi, lebar jalan yang

buruk bisa dikatakan tidak ditemukan di lokasi

penelitian.

d. Kondisi jalan

Variabel lain yang digunakan untuk

menilai aspek aksesibilitas pada lingkungan fisik

permukiman ialah kondisi jalan. Dasar penilaian

kondisi jalan ialah pengerasan jalan, apakah

jalan yang ada telah di perkeras dengan aspal,

Page 16: Jurnal Kualitas permukiman

16

semen atau konblok, atau belum. Asumsinya,

jalanan besar yang umum digunakan sebagai

jalan utama biasanya sudah diperkeras dengan

aspal agar dapat mengakomodasi mobilitas

kendaraan, namun semakin kecil dan sempit

jalan yang ada diduga akan semakin tidak

diperkeras karena urgensi untuk

mengakomodasikan kendaraan semakin kecil.

Pada lokasi penelitian, seluruh jalan

yang ada dinilai memiliki kondisi yang baik,

baik itu diaspal, disemen ataupun hanya sekedar

dikonblok saja. Meskipun demikian, tidak

ditemukan jalan yang belum diperkeras (hanya

tanah saja). Mengingat kepadatan permukiman

yang dicerminkan dari kepadatan rumah yang

relatif sedang, maka dimungkinkan mobilitas

penduduknya cukup tinggi pula, sehingga

kebutuhan atau pemintaan terhadap kondisi jalan

yang baik relatif tinggi.

e. Kondisi halaman

Kondisi halaman menjadi variabel yang

digunakan untuk menilai apakah suatu rumah

memiliki halaman yang luas dan telah terawat

dengan baik atau tidak. Jika suatu rumah

memiliki halaman yang luas, maka diasumsikan

tersedia ruang lebih di sana untuk aktifitas

penghuninya, sehingga penghuni tidak merasa

kesempitan dan terbatas. Hal tersebut

berimplikasi pada meningkatnya kenyamanan

bertempat tinggal. Dengan demikian, kualitas

fisik lingkungan permukiman dinilai baik.

Pada lokasi penelitian, sebagian besar

blok permukiman hanya memiliki kondisi

halaman yang tergolong sedang (halaman

luasnya 25-50%). Hal ini dikarenakan padatnya

rumah-rumah yang ada, sehingga halaman setiap

rumah tidaklah begitu luas. Halaman rumah

yang dinilai luas ditemukan pada komplek

perumahan. Mengingat pembangunan komplek

perumahan biasanya terencana maka

kemungkinan rumah-rumah yang ada memiliki

halaman yang >50% terawatt dengan baik.

f. Pohon pelindung

Pohon pelindung yang menjadi variabel

kualitas fisik lingkungan permukiman ialah

pohon-pohon yang bukan berada di halaman

rumah, melainkan pohon-pohon yang menjadi

pelindung dan berada di tepi jalan. Pohon

pelindung tersebut dapat menetralkan polusi

udara sekaligus menghijaukan dan melindungi

pengendara atau pengguna jalan lain. Pohon

pelindung menjadi variabel kualitas lingkungan

fisik permukiman karena asumsi bahwa semakin

banyak pohon pelindung di sekitar jalan, maka

tingkat polusi udara dapat diminimalkan, tingkat

kenyamanan meningkat, dan kualitas lingkungan

fisik permukiman menjadi baik.

Pada lokasi penelitian, <25% jalan yang

ditemui di blok-blok permukiman yang ada

memiliki pohon pelindung. Artinya, keberadaan

pohon pelindung di tepi-tepi jalan sangat sedikit.

Hal tersebut menyebabkan saat berkendara

terasa panas dan terasa menyesakkan akibat

tingkat polusi udara yang tinggi.

g. Lokasi permukiman

Lokasi permukiman diukur dengan dasar

penilaian berupa kedekatannya dengan sumber

polusi dan fasilitas kota. Asumsinya, semakin

jauh dari sumber polusi, maka semakin nyaman

lokasi pemukiman tersebut untuk dijadikan

tempat tinggal. Semakin dekat dengan fasilitas

kota, maka akses untuk memenuhi kebutuhan

Page 17: Jurnal Kualitas permukiman

17

manusia semakin mudah. Artinya, kualitas

permukiman fisik semakin baik.

Pada lokasi penelitian, ditemukan bahwa

sebagian besar permukiman yang ada memiliki

lokasi yang tidak terlalu dekat tapi juga tidak

terlalu jauh dari sumber polusi dan fasilitas kota.

h. Kerawanan bencana

Kerawanan bencana menjadi salah satu

variabel penilai baik tidaknya kualitas fisik

lingkungan permukiman. Dasar penilainannya

adalah letak permukiman terhadap area atau

sumber-sumber utama yang berpotensi bencana.

Asumsinya, semakin dekat dengan area atau

sumber bencana, semakin rawan risiko bencana

permukiman tersebut, yang artinya kualitas

permukiman semakin buruk.

Pada lokasi penelitian, bisa dikatakan

hampir tidak ada bencana berarti yang

mengancam permukiman tersebut. Tidak ada

gunung api yang terlalu dekat, tidak ada sungai

besar yang terlalu dekat pula. Dan mengingat

topografi wilayahnya yang relatif datar, tidak

ada bencana longsor yang mengancam pula.

Salah satu bencana yang dapat terjadi dan

mengancam permukiman di sana hanyalah

gempa bumi, itupun tidak terjadi secara terus

menerus, melainkan fluktuatif. Oleh karena itu,

bisa digeneralisasikan bahwa kawasan

permukiman daerah penelitian tidak memiliki

kerawanan bencana yang berarti.

i. Air bersih

Air bersih dinilai dari ketersediannya

pada suatu permukiman, apakah bersumber dari

PAM, sumur atau dari sungai. Permukiman yang

air bersihnya berasal dari PAM ialah

permukiman berkualitas baik, apalagi kalau

tetap terdapat sumur.

Pada lokasi penelitiam, sebagian besar

blok permukiman tersedia air bersih yang

bersumber dari sumur. Rata-rata kedalaman

sumurnya sekitar 6-8 meter. Untuk komplek

perumahan, lokasi tersebut dinilai menggunakan

air bersih yang bersumber dari PAM.

j. Sanitasi

Sanitasi merupakan penyehatan

lingkungan kaitannya dengan limbah. Dasar

penilaiannya ialah ada tidaknya tempat

pembuangan limbah, apakah dibuang ke

selokan, sungai atau septitanc. Asumsinya, suatu

permukiman dinilai berkualitas baik jika

sanitasinya baik, yaitu jika pembuang limbahnya

ke septic tank, bukan ke selokan atau ke sungai.

Pada lokasi penelitan, sebagian besar

blok permukiman memiliki septic tank sebagai

wadah limbahnya.

KUALITAS PERMUKIMAN

Hasil dari pengolahan menggunakan

metode kuantitatif berjenjang tertimbang dari

kesepuluh variabel kualitas permukiman yang

ada menghasilkan kualitas permukiman yang

baik dan agak baik. Permukiman yang tergolong

kelas baik berada di perumahan Casa Grande.

Perumahan Casa Grande memiliki

kualitas permukiman yang baik dengan nilai

variabel hampir semuanya baik kecuali untuk

pohon perindang. Perumahan Casa Grande

sumber air bersihnya berasal dari PAM.

Perumahannya sangat tertata dengan rapi dan

bersih. Sehingga menghasilkan harkat kualitas

permukiman yang baik karena input variabel

permukiman klasifikasinya tergolong baik.

Page 18: Jurnal Kualitas permukiman

18

Selain itu, permukiman yang tergolong

baik menurut hasil permbobotan yaitu terletak di

utara jalan Solo. Daerah tersebut merupakan

kawasan perhotelan yang dekat dengan akses

jalan yang sangat bagus. Sehingga jelas

menghasilkan kualitas permukiman yang sangat

baik.

Kemudian sisa dari permukiman yang

ada daerah kajian merupakan permukiman yang

tergolong agak baik. Sehingga secara

keseluruhan dinilai dari segi fisik pada daerah

kajian yaitu sebagian daerah Desa Maguwoharjo

dan Desa Caturtunggal tergolong baik kualitas

permukimannya. Hal tersebut berarti penduduk

nyaman tinggal di daerah tersebut atas dasar

pertimbangan faktor fisik yang baik.

D. KESIMPULAN

1. Citra Quickbird merupakan salah satu citra

penginderaan jauh yang dapat digunakan

untuk studi perkotaan karena kemampuannya

dalam memetakan fenomena perkotaan

dengan resolusi spatial yang tinggi. Salah

satu kajian perkotaan menggunakan citra

Quickbird ialah untuk menentukan kualitas

lingkungan fisik permukiman, karena data

variabel fisik lingkungan permukiman dapat

disadap dari citra tersebut

2. Hasil interpretasi Citra Quickbird terkait

dengan data variabel fisik lingkungan

permukiman dapat diorganisasikan

menggunakan sistem informasi geografi,

yang mana dengan sistem tersebut dapat

dibuat model dan pemetaan kualitas fisik

permukiman. Pemodelan spatial yang

dibentuk ialah pemodelan spatial dengan

metode analisis berjenjang tertimbang,

dimana setiap variabel fisik memiliki skoring

dan pembobotan atas kontribusinya dalam

menciptakan kualitas permukiman. Jumlah

keseluruhan skoring yang telah dibobot dari

masing-masing variabel lingkungan fisik

permukiman menjadi nilai kualitas fisik

lingkungan permukiman yang masuk kelas

tertentu.

3. Kualitas fisik lingkungan permukiman di

Desa Maguwoharjo dan Caturtunggal

sebagian besar tergolong agak baik

permukimannya dan sebagian kecil baik.

Kualitas permukiman yang baik berada di

perumahan Casa Grande dan di kawasan

perhotelan di jalan Solo.

Page 19: Jurnal Kualitas permukiman

19

DAFTAR PUSTAKA

Hidayati, Iswari Nur. 2015. Modul Praktikum Penginderaan Jauh untuk Studi Perkotaan (GKP 0209).

Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM

Sutanto, Gunadi & Gunawan, Totok. 1981. PENGGUNAAN FOTO UDARA UNTUK PEMBUATAN

PETA PENGGUNAAN LAHAN KOTA KOTAMADYA YOGYAKARTA. Yogyakarta : Fakultas

Geografi UGM – Bakosurtanal

Sutanto. 1981. APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DALAM PERENCANAAN KOTA. Yogyakarta :

Fakultas Geografi UGM

https://id.wikipedia.org/wiki/Maguwoharjo,_Depok,_Sleman (diakses oleh Edwin Renada

Taufan, 5 November 2015 pukul 04.53 WIB)

https://id.wikipedia.org/wiki/Caturtunggal,_Depok,_Sleman (diakses oleh Edwin Renada

Taufan, 5 November 2015 pukul 04.53 WIB)

Page 20: Jurnal Kualitas permukiman

20

LAMPIRAN

Page 21: Jurnal Kualitas permukiman

21

Page 22: Jurnal Kualitas permukiman

22

Page 23: Jurnal Kualitas permukiman

23

Page 24: Jurnal Kualitas permukiman

24

Page 25: Jurnal Kualitas permukiman

25

Page 26: Jurnal Kualitas permukiman

26

Page 27: Jurnal Kualitas permukiman

27

Page 28: Jurnal Kualitas permukiman

28

Page 29: Jurnal Kualitas permukiman

29

Page 30: Jurnal Kualitas permukiman

30

Page 31: Jurnal Kualitas permukiman

31