jurnal dermatitis atopi

Upload: rendy-agustian

Post on 06-Jul-2015

853 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MEKANISME PENYAKIT

DERMATITIS ATOPI Thomas Bieber, M.D., Ph.D. Departemen Dermatologi dan Alergi, Universitas Bonn, Bonn, Jerman. SigmundFreud-Str. 25, 53105 atau email [email protected].

Dermatitis atopi atau ekzema, merupakan penyakit kulit yang sering ditemui yang sering berhubungan dengan kelainan atopi yang lain, seperti rhinitis alergika dan asma.1 Manifestasi klinis dari dermatitis atopi (gambar 1) bervariasi pada tiga tahapan umur yang dapat diidentifikasi. Pada bayi, lesi ekzema biasanya muncul pertama kali pada pipi dan kulit kepala. Garukan, dimana sering dimulai pada beberapa minggu selanjutnya menyebabkan erosi krusta. Selama anak-anak, lesi melibatkan fleksura, tengkuk, dan tungkai dorsal. Pada remaja dan dewasa, plak likenifikasi mengenai fleksura, kepala, dan leher. Pada tiap tahap, gatal yang berlanjut sepanjang hari dan memburuk pada malam hari menyebabkan sulit tidur dan terganggunya kualitas hidup pasien secara besar. Ciri khas dermatitis atopi adalah kronik, bentuk relaps pada inflamasi kulit, terganggunya fungsi barier epidermis yang memuncak pada kulit kering, dan sensitisasi yang dimediasi IgE terhadap makanan dan allergen lingkungan.2 Gambaran histologis patch dan plak ekzema akut adalah udem epidermal intraseluler (spongiosis) dan infiltrat limfosit perivaskular yang menonjol, monosit makrofag, sel dendritik, dan sebagian kecil eosinofil pada dermis. Pada likenifikasi subakut dan kronik dan plak ekskoriasi, epidermis menebal dan lapisan bagian atas mengalami hipertropi. Dua hipotesis mengenai mekanisme dermatitis atopi telah diusulkan. Salah satunya menyatakan bahwa defek primer yang berada pada sebuah gangguan imunologis yang menyebabkan sensitisasi yang dimediasi IgE, dengan disfungsi penghalang epitel dianggap sebagai sebuah konsekuensi inflamasi lokal. Usulan lain adalah defek intrinsik pada sel epitel menyebabkan disfungsi penghalang; aspek imunologis dipertimbangkan sebagai sebuah epifenomenon. Pada ulasan ini, Saya mengatur potongan teka-teki berbeda ke dalam gambaran koheren, pertanyaan yang memperkuat hipotesis, dan memadukan hasil

1

penelitian terkini dalam sebuah cara yang mempunyai implikasi untuk manajemen klinis dermatitis atopi.

Gambar 1. Aspek Klinis, Histologis, dan Imunohistokima Dermatitis Atopi Gambar A menunjukkan lesi awal dermatitis atopi onset dini yang melibatkan pipi dan kulit kepala pada bayi berusia 4 bulan. Gambar B menunjukkan manifestasi klasik dermatitis atopi di kepala dan leher pada dewasa. Gambar C menunjukkan: lesi likenifikasi fleksura pada dewasa, kronik. Panah pada gambar D (hematoksilin dan eosin), yang menunjukkan aspek histologis lesi akut, ditunjukkan dengan daerah spongiosis pada epidermis. Tanda bintang menunjukkan infiltrat perivaskular prominen. Gambar E (hematoksilin dan eosin) menunjukkan lesi kronik dengan dermis yang tebal. Tanda bintang menunjukkan infiltrat perivaskular prominen.

EPIDEMIOLOGI DERMATITIS ATOPI Prevalensi dermatitis atopi telah meningkat dua atau tiga kali lipat pada negara industri selama tiga dekade belakangan; 15 sampai 30% anak dan 2 sampai 10% orang dewasa menderita penyakit ini.3 Kelainan ini sering didahului oleh2

diatesis atopi yang termasuk asma dan penyakit alergi lain. Dermatitis atopi sering berawal pada awal masa bayi (jadi disebut dermatitis atopi onset dini). Total 45% dari semua kasus dermatitis atopi dimulai dalam 6 bulan pertama kehidupan, 60% dimulai selama tahun pertama, dan 85% dimulai sebelum umur 5 tahun. Lebih dari 50% anak yang terkena pada 2 tahun awal kehidupan tidak mempunyai tanda sensitisasi IgE, tetapi mereka menjadi tersensitisasi selama perjalan dermatitis atopi.4 Sampai 70% dari anak ini mempunyai remisi spontan sebelum masa remaja. Penyakit ini dapat juga timbul pada masa dewasa (disebut dermatitis alergi onset lambat), dan pada jumlah pasien ini yang besar tidak ada tanda sensitisasi yang dimediasi IgE.5 Prevalensi yang lebih rendah pada dermatitis atopi pada daerah pedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan mendorong jalan ke arah hipotesis kebersihan, dimana bahwa tidak adanya paparan pada masa kanak-kanak kepada agen infeksius meningkatkan kerentanan penyakit alergi.6 Konsep ini akhir-akhir ini telah dipertanyakan dengan perhatian ke dermatitis atopi.3,7

GENETIKA DERMATITIS ATOPI Tingkat kecocokan untuk dermatitis atopi lebih tinggi pada kembar monozigot (77%) daripada kembar dizigot (15%).8 Asma alergi atau rhinitis alergika pada orang tua muncul sebagai faktor minor pada perkembangan dermatitis atopi dalam keturunan, menyarankan dermatitis atopi spesifik gen.9 Pindaian genom luas telah menyoroti dermatitis atopi yang berhubungan dengaan lokus pada kromosom 3q21,11 1q21, 16q, 17q25, 20p,12 dan 3p26.13 Wilayah yang mempunyai hubungan tertinggi diidentifikasi pada kromosom 1q21, dimana berkumpul keluarga dengan gen yang berhubungan dengan epitel yang disebut kompleks diferensiasi epidermal.14 Kebanyakan wilayah genetik berhubungan dengan dermatitis atopi sesuai dengan lokus yang berhubungan dengan psoriasis, meskipun kedua penyakit ini sangat jarang berhubungan. Juga, hubungan genom yang diungkap dengan pemindaian ini tidak tumpang tindih dengan varian alel yang sering terdapat epidemiologis.3,4,16 Beberapa calon gen yang telah diidentifikasi pada dermatitis atopi,9,17 terutama pada kromosom 5q31-33. Semuanya mengkode sitokin yang terlibat pada3

pada

asma

alergi15;

temuan

ini

konsisten

dengan

data

regulasi sintesis IgE; interleukin-4, interleukin-5, interleukin-12, interleukin-13, dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF). Sitokin ini dan lainnya diproduksi oleh dua tipe utama limfosit T. Sel T helper tipe 2 (Th2) memproduksi interleukin-4 serta interleukin-5 dan interleukin-13, dua sitokin yang mengatur peningkatan produksi IgE. Sel T helper tipe 1 (Th1) memproduksi terutama interleukin-12 dan interferon-, yang menekan produksi IgE dan menstimulasi produksi antibody IgG (Gambar 2A). Mutasi yang mempengaruhi fungsi wilayah promotor lymphocyte-attracting chemokine RANTES (regulated on activation, normal T-cell expressed and secreted) (17q11) dan meningkatkan fungsi polimorfisme didalam subunit reseptor interleukin-4 (16q12) telah diidentifikasi pada pasien dengan dermatitis atopi. Polimorfisme gen yang mengkode sitokin interleukin-18,18 dimana berkontribusi pergeseran regulasi silang Th1 dan Th2 melalui respon yang dimediasi Th1 (disebut juga polarisasi Th1), atau polimorfisme gen yang mengkode reseptor sistem imun bawaan19,20 mungkin berkontribusi pada ketidakseimbangan antara respon imun Th1 dan Th2 pada dermatitis atopi. Pada orang dengan dermatitis atopi, dominasi sitokin Th2 yang ditentukan secara genetis mempengaruhi maturasi sel B dan penyusunan kembali genom pada sel ini yang menawarkan pertukaran kelas isotope dari IgM ke IgE. Karena kulit kering dan bersisik merupakan simptom dari dermatitis atopi dan iktiosis vulgaris, kelainan keratinisasi dominan autosomal yang paling sering, kedua penyakit tersebut secara genetis mungkin dapat tumpang tindih. Setelah filaggrin gene (FLG) pada kromosom 1q21.3, yang mengkode protein kunci dalam diferensiasi epidermal, telah diidentifikasi sebagai gen yang terlibat dalam iktiosis vulgaris,21 beberapa kehilangan fungsi mutasi dari gen telah diidentifikasi pada pasien-pasien etnis Eropa dengan dermatitis atopi,22-25 dan lainnya, mutasi FLG khusus pada pasien etnis Jepang telah dilaporkan.25,26 Mutasi FLG muncul terutama pada dermatitis atopi onset dini dan menunjukkan sebuah kecenderungan melalui asma. Namun, tidak ada hubungannya antara FLG mutan dan penyakit alergi pada saluran napas tanpa dermatitis atopi. Sejak mutasi FLG telah diidentifikasi hanya pada 20% pasien etnis Eropa dengan dermatitis alergi, variasi genetik struktur epidermal lain, seperti enzim tripsi stratum korneum atau kolagen epidermis yang baru, akan sangat penting.27,28 Dermatitis atopi merupakan penyakit genetik kompleks yang meningkat dari interaksi gen-gen dan gen-lingkungan. Penyakit ini muncul dalam konteks dari dua4

kelompok genetik utama. Gen mengkode struktur protein epidermis atau epitel lain, dan gen yang mengkode elemen utama sistem imun.

FUNGSI PENGHALANG PADA KULITPENGHALANG FISIK

Kompartemen epidermis yang intak merupakan persyaratan untuk kulit dalam fungsinya sebagai penghalang fisik dan kimia. Penghalang sendiri merupakan stratum korneum, seperti semen dan bata pada lapisan epidermis atas.29 Perubahan penghalang yang menyebabkan peningkatan kehilangan air transepidermal merupakan ciri dari dermatitis atopi. Lipid interseluler pada lapisan tanduk epidermis disediakan oleh badan lamelar, dimana diproduksi oleh eksositosis dari keratinosit bagian atas. Perubahan pada seramida kulit yang merupakan tambahan variasi pada pH stratum korneum dapat mengganggu maturasi badan lamelar dan merusak penghalang.30 Pemisahan eskspresi enzim yang terlibat dalam keseimbangan struktur adhesi epidermis tampaknya juga berkontribusi merusak penghalang epidermis pada pasien dengan dermatitis atopi.27,31 Apakah perubahan epidermis ini adalah primer atau sekunder yang mendasari peradangan masih belum jelas sampai studi imunohistokimia32 dan genetik menggarisbawahi pentingnya mutasi FLG pada dermatitis atopi. FLG berkontribusi pada keratin sitoskeleton dengan bertindak sebagai contoh untuk perakitan cornified envelope: selain itu, kerusakan produk FLG berkontribusi pada kapasitas mengikat air pada stratum korneum.33 Variasi genetik FLG pada dermatitis atopi yang membelah secara proteolitik karena kurang kapasitas telah diidentifikasi,22 tetapi penentuan perubahan secara genetik lainnya pada epidermis (contoh; perubahan pada protein cornified envelope involucrin dan loricrin) atau komposisi lipid tampaknya juga berkontribusi pada disfungsi penghalang.14 Inflamasi yang mendasari dapat merubah ekspresi gen seperti FLG yang terlibat pada fungsi penghalang epidermal,34 memungkinkan peningkatan penetrasi transepidermal alergen lingkungan35,36 dan, dalam kolaborasi dengan pruritus, memelihara inflamasi dan sensitisasi.36,37

SISTEM IMUN BAWAAAN

Sel epitel pada permukaan diantara kulit dan lingkungan adalah lini pertama perlindungan system imun bawaan.38 Mereka dilengkapi dengan berbagai struktur penginderaan, dimana termasuk toll-like receptor (TLRs),39 C-tipe lectins,5

nucleotide-binding oligomerization domain-like receptors, dan peptidoglycanrecognition proteins.40 Setidaknya 10 TLRs yang berbeda telah dijelaskan pada manusia; mereka terikat pada bakteri, jamur (kedua dinding sel), atau struktur virus (DNA atau RNA yang disebut dengan motif cytosine phosphate guanidine (CpG)), dan kepada struktur mikroba lain disebut pola molekuler yang berhubungan dengan patogen. Aktivasi yang dimediasi TLR pada sel epitel merangsang produksi defensing dan katelisidin keluarga peptida antimikroba.38 Kulit memproduksi cathelicidin LL-37; human -defensins HBD-1, HBD-2, dan HBD-3; dan dermcidin. Inflamasi lingkungan mikro dicetuskan oleh interleukin4, interleukin-3, dan interleukin-10 menurunkan regulasi peptida antimikroba ini pada kulit pasien dengan dermatitis atopi.40-43 Untuk alasan ini, sangat sulit untuk mengelola infeksi mikroba kulit pada pasien dermatitis atopi. Kulit yang tampak normal atau mempunyai lesi secara ekstensif dikolonosisasi oleh bakteri seperti Staphylococcuus aureus atau jamur seperti malassezia. Pasien dengan dermatitis atopi cenderung menjadi ekzema herpetika dan ekzema vaksinatika karena berkurangnya produksi cathelicidin dimana mempunyai aktivitas antivirus poten.44,45

MEKANISME IMUNOPATOLOGI DERMATITIS ATOPIMEKANISME AWAL INFLAMASI KULIT

Dermatitis atopi onset dini biasanya timbul pada adanya sensitisasi alergi yang dimediasi IgE yang terdeteksi,4 dan pada beberapa anak kebanyakan perempuan sensitisasi seperti ini tidak pernah muncul.5 Mekanisme awal yang merangsang inflamasi kulit pada pasien dengan dermatitis atopi tidak diketahui. Mereka mungkin memerlukan rangsangan neuropeptida, rangsangan iritasi, atau garukan karena pruritus, yang melepaskan sitokin proinflamatoris dari keratinosit, atau mereka dapat menjadi T-cell-mediated tetapi reaksi independen IgE terhadap alergen hadir dalam penghalang epidermal yang terganggu atau pada makanan (disebut dermatitis atopi sensitif makanan). IgE spesifik alergen bukan merupakan prasyarat, namun, karena tes patch atopi dapat menunjukkan aeroalergen yang dipakai dibawah kulit yang tersumbat merangsang reaksi positif pada kehadiran IgE spesifik alergen.46,47

6

INISIASI TEMPAT SENSITISASI

Pada pasien dengan dermatitis atopi onset dini, sensitisasi yang dimediasi IgE sering muncul beberapa minggu atau bulan setelah lesi muncul,4 menunjukkan bahwa kulit merupakan tempat sensitisasi. Pada model hewan, mengulangi tantangan epidermal dengan ovalbumin yang merangsang IgE spesifik ovalbumin, alergi respiratoris, dan lesi ekzema pada tempat pemakaian.48 Proses yang mirip juga tampaknya terjadi pada manusia (Gambar 2B). Disfungsi penghalang epidermal merupakan prasyarat untuk penetrasi alergen dengan berat molekul tinggi pada serbuk sari, produk tungau rumah, mikroba, dan makanan. Molekul pada serbuk sari dan beberapa alergen makanan menggerakkan sel dendritik untuk meningkatkan polarisasi Th2.49,50 Ada banyak sel T pada kulit (106 sel T memori per cm kuadrat luas permukaan tubuh), hampir dua kali jumlah dalam sirkulasi.51,52 Selain itu, keratinosit pada kulit atopi memproduksi kadar tinggi interleukin7 like thymic stromal lymphopoietin yang memberi sinyal sel dendritik untuk menggerakkan polarisasi Th2.53 Dengan merangsang produksi sitokin dalam jumlah besar seperti GM-CSF atau kemokin, inflamasi kulit yang luas dapat mempengaruhi imunitas adaptif,54 mengubah fenotip monosit yang beredar,55-57 dan meningkatkan produksi prostaglandin E258 pada dermatitis atopi. Semua faktor ini menyediakan sinyal yang dibutuhkan untuk kulit kuat yang menggerakkan polarisasi Th2, dan untuk alasan ini, kulit bertindak sebagai titik masuk untuk sensitisasi atopik dan dapat mengirim sinyal yang dibutuhkan untuk sensitisasi alergenik pada paruparu atau usus. Perkembangan sensitisasi dan dermatitis atopi pada tulang belakang resipien setelah menanamkan sel punca darah dari seorang donor atopi 59 menyediakan dukungan untuk peran sistem hematopoietik sebagai faktor di samping disfungsi penghalang epidermal yang ditentukan secara genetis pada dermatitis atopi. IgE spesifik antigen merupakan struktur utama yang dikenal untuk alergen pada sel mast dan basofil. Dapat juga sebagai instrumental untuk rangsangan toleransi spesifik alergen atau dalam mekanisme antiinflamatoris,60 tetapi apakah peristiwa yang mendasari remisi spontan dermatitis atopi masih harus dieksplorasi.

7

Gambar 2. Paradigma Th1-Th2 dan Perannya pada Alergi dan Kulit sebagai Tempat Inisiasi untuk Sensitisasi. Panel A menunjukkan bahwa hasil diferensiasi sel T helper (Th) diperintahkan oleh jenis sel dendritik, lingkungan mikro, atau keduanya. Pada presentasi antigen, sel T naif dikenakan baik pada interleukin12 dan interleukin-18 atau interleukin-4, yang mempolarisasi mereka masing-masing ke dalam sel helper Th1 atau Th2. Sel Th1 memproduksi interferon-, dimana sel Th2 memproduksi interleukin-4, interleukin-5, dan interleukin-13. Sel Th0 memproduksi kedua sitokin Th1 dan Th2, kemungkinan dalam respon untuk mengurangi sinyal polarisasi. Kedua jenis sel T helper mempunyai fungsi fisiologi yang berbeda, dan diasumsikan bahwa keseimbangan halus antara sel Th1 dan Th2 disediakan dalam kondisi normal. Namun, dominasi Th2 yang kuat menyebabkan kondisi patologis seperti penyakit overproduksi IgE dan alergi. Panel B menunjukkan inflamasi yang dimediasi nonIgE. Disfungsi penghalang epidermal, sinyal iritatif mekanis, atau kejadian yang dimediasi sel T yang tidak terlibat dengan IgE menyebabkan reaksi inflamasi inisial disertai dengan perubahan fungsi sel dendritic residen. Sel ini juga ditempatkan untuk memproduksi secara lokal cytokine thymic stromal lymphopoietin (TSLP) dan mediator yang berasal dari serbuk sari. Sebagai hasil, sel dendritik bermigrasi ke nodus limfatikus regional dan merangsang polarisasi Th2 spesifik alergen. Reaksi inflamatoris mungkin juga mempunyai efek sistemik yang besar dalam sistem imun adaptif, mendukung perkembangan sensitisasi yang dimediasi IgE.

8

SEL DENDRITIK

Sel dendritik epidermal pada dermatitis atopi menghasilkan IgE61 dan memperlihatkan high-affinity receptor (FRI).62-64 Pada lesi kulit, sel dendritik turunan plasmasitoid,65 dimana mempunyai aktivitas antivirus poten dengan produksi interferon-, hampir tidak ada.66 Dalam kontras, terdapat dua populasi sel dendritik myeloid: sel Langerhans dan sel dendritik inflamatoris epidermal.67 Pada dermatitis atopi, tetapi tidak pada kondisi lain, terdapat gambaran FRI densitas tinggi oleh kedua tipe sel tersebut. Sel Langerhans muncul pada kulit normal, tetapi sel dendritik inflamatoris epidermal muncul hanya pada inflamasi kulit. Mereka mengambil dan menghadirkan alergen ke sel Th1 dan Th2, dan mungkin juga ke sel T regulatoris.60 Pada ligase dengan FRI oleh IgE, sel Langerhans memproduksi interleukin-16, dimana mengambil sel T CD4+ ke kulit.68 Terpisah dari interleukin-16, sel Langerhans memproduksi hanya kemokin yang terbatas dan hamper tidak ada sitokin proinflamatoris.69 Pada penangkapan alergen, sel Langerhans berkontribusi terhadap polarisasi Th2 dengan mekanisme yang tidak diketahui, dan sel dendritik inflamatoris epidermal yang menyebabkan polarisasi Th1 dengan memproduksi interleukin-12 dan interleukin-18 dan melepas sitokin proinflamatoris. Pada tes patch atopi, jumlah besar sel dendritik inflamatoris epidermal menginvasi epidermis 72 jam setelah paparan alergen, dan mereka serta sel Langerhans meningkatkan regulasi gambaran FRI mereka.70

PENYAKIT BIFASIK YANG DIMEDIASI SEL T

Sel T CD4+ dan CD8+ spesifik alergen dapat diisolasi dari lesi kulit pada pasien dengan dermatitis atopi. Inflamasi pada dermatitis atopi adalah bifasik: sebuah fase awal Th2 mengawali sebuah fase kronik dimana sel Th0 (sel yang membagi beberapa aktivitas dari sel Th1 dan Th2) dan sel Th1 adalah dominan (Gambar 3).71 sitokin Th2 interleukin-4, interleukin-5, dan interleukin-13 dominan pada fase akut dari lesi, dan pada lesi kronik terdapat peningkatan interferon-, interleukin-12, interleukin-5, dan GM-CSF72; perubahan ini merupakan ciri khas dominasi Th1 dan Th0. Sel Th0 dapat berdiferensiasi menjadi sel Th1 atau Th2, tergantung pada dominasi lingkungan sitokin. Peningkatan ekspresi interferon- messenger RNA dengan sel Th1 mengikuti puncak ekspresi interleukin-12, dimana bertepatan dengan munculnya sel dendritik inflamatoris epidermal pada kulit. Kulit yang tampak normal

9

Gambar 3. Fase Akut dan kronik Dermatitis Atopi yang dimediasi oleh IgE dan Sel T. Pada dermatitis atopi fase akut, sel Langerhans diaktivasi pada ikatan alergen dengan bantuan IgE spesifik dan FRI. Mereka memproduksi monocyte chemotactic protein 1 (MCP-1) dan interleukin16. Alergen yang berasal dari peptida disajikan ke sel T oleh sel Langerhans yang merangsang profil Th2. Setelah migrasi ke kulit, monosit yang diambil berdiferensiasi menjadi inflammatory dendritic epidermal cell (IDEC) dan memproduksi sitokin proinflamatoris interleukin-1, interleukin-6, dan tumor necrosis factor (TNF-). Sekresi interleukin-12 dan interleukin-18 berperan untuk merubah dari Th2 menjadi Th1/0 dan demikian mengarah pada fase kronis penyakit ini.

pada pasien dengan dermatitis atopi mengandung infiltrat ringan, sangat kuat kemungkinan adanya inflamasi residual diantara flare.73 Perekrutan sel T ke dalam kulit diatur oleh jaringan kompleks mediator yang berkontribusi terhadap inflamasi kronis. Kemokin homeostasis dan inflamatoris diproduksi oleh sel kulit yang terlibat dalam proses ini.74,75 Sel inflamatoris dan keratinosit pada lesi kulit memperlihatkan chemoattractants kadar tinggi,76-78 dan keratinosit yang berasal dari thymic stromal lymphophoietin sel dendritik untuk memproduksi sel Th2 yang menarik timus dan aktivasi regulasi kemokin, TARC/CCL17. Dengan cara ini mereka mungkin meningkatkan kantung sirkulasi sel T regulatoris pada dermatitis atopi,82 tetapi lesi kulit sama sekali tanpa sel T regulatoris fungsional.83 Kompleksitas kompartemen sel T regulatoris belum dimengerti sepenuhnya, dan peran sel T regulatoris pada regulasi penyakit kulit inflamasi kronis masih sulit dipahami.10

STAPHYLOCOCUS AUREUS

Penekanan sistem imun bawaan pada kulit oleh lingkungan mikro inflamatoris pada dermatitis atopi menjelaskan kolonisasi kulit oleh S.aureus pada lebih dari 90% pasien dengan dermatitis atopi.83 Gambaran ini berkontribusi pada sensitisasi dan inflamasi alergi (Gambar 4). Menggaruk meningkatkan ikatan S.aureus ke kulit, dan meningkatkan jumlah seramidase yang berasal dari S.aureus yang dapat memperbruk defek pada penghalang kulit. Enterotoksin S.aureus84 meningkatkan inflamasi pada dermatitis atopi dan membangkitkan generasi IgE spesifik enterotoksin, dimana berhubungan dengan beratnya penyakit ini.85 Enterotoksin ini berinteraksi secara langsung dengan molekul kelas II kompleks histokompabilitas mayor dan rantai beta reseptor sel T untuk merangsang proliferasi antigen independen dari sel T. Mereka juga meningkatkan regulasi ekspresi reseptor antigen kutaneus yang berhubungan dengan limfosit pada sel T dan produksi keratinosit yang berasal dari kemokin yang merekrut sel T. Dengan merangsang saingan isoform- pada reseptor glukokortikoid di sel mononuklear, enterotoksin berkontribusi pada timbulnya resistensi pengobatan kortikosteroid lokal.

Enterotoksin S.aureus juga merangsang ekspresi ligan protein yang dirangsang glukokortikoid yang berhubungan dengan reseptor tumor necrosis factor pada sel penyaji antigen, menghasilkan inhibisi aktivitas supresif pada sel T regulatoris.86

MEKANISME PRURITUS

Gejala yang paling penting pada dermatitis atopi adalah pruritus persisten, yang mengganggu kualitas hidup pasien. Kurangnya efek antihistamin berpendapat terhadap peran histamin yang menyebabkan pruritus yang berhubungan dermatitis atopi.87 Neuropeptida, protease, kinin, dan sitokin merangsang gatal. Interleukin-31 adalah sitokin yang diproduksi oleh sel T yang meningkatkan kelangsungan hidup sel hematopoietik dan menstimulasi produksi sitokin inflamatoris oleh sel epitel. Hal ini sangat pruritogenik, dan kedua interleukin-31 dan reseptornya diekspresikan secara berlebihan pada lesi kulit.88-90 Selain itu, interleukin-31 meningkatkan regulasi dengan paparan eksotosin stafilokokus in vitro. Gambaran ini melibatkan interleukin31 sebagai faktor utama dalam perkembangan pruritus pada dermatitis atopi.

11

Gambar 4. Jalur multipel Staphylococcus aureus yang Menggerakkan Sensitisasi dan Inflamasi Berdasarkan beberapa mekanisme, S.aureus dan produk-produknya menyediakan sinyal yang mendukung sensitisasi dan inflamasi. Seramidase S.aureus meningkatkan permeabilitas stratum korneum, dan kapasitas superantigenik enterotoksin S.aureus mengaktivasi sel T di dalam sebuah cara alergen independen. S.aureus merangsang ekspresi reseptor berbasis kulit cutaneous lymphocyteassociated antigen (CLA) pada sel T. Keratinosit yang berasal dari kemokin, thymic stromal lymphopoietin (TSLP), dan sekresi interleukin-31 dirangsang dan ditambah oleh enterotoksin S.aureus. Mereka juga berperan pada resistensi kortikosteroid dalam sel T dan mengubah aktivitas regulasi sel T. IgE spesifik S.aureus dihasilkan oleh sistem imun yang dapat terikat ke reseptor FRI pada sel dendritik dan memulai reaksi yang dimediasi IgE ke mikroba ini.

AUTOIMUNITAS PADA DERMATITIS ATOPI Selain antibodi IgE terhadap makanan dan aeroalergen, spesimen serum dari pasien dengan dermatitis atopi berat berisi antibodi IgE terhadap protein dari keratinosit dan sel endotel seperti mangan superoksida dismutase dan protein terikat kalsium.91,92 Kadar serum pada autoantibodi IgE ini berhubungan dengan beratnya penyakit. Menggaruk mungkin melepaskan protein intraseluler dari keratinosit. Protein ini dapat menjadi tiruan molekuler pada struktur mikroba dan sehingga dapat12

merangsang autoantibodi IgE.93 Sekitar 25% orang dewasa dengan dermatitis atopi mempunyai antibody IgE terhadap proteinnya sendiri.94 Pada pasien ini, dermatitis atopi onset dini, pruritus hebat, infeksi bakteri berulang, dan tingginya kadar serum IgE merupakan ciri khas dari penyakit ini. Selanjutnya, antibodi IgE terhadap protein sendiri dapat dideteksi pada pasien dengan dermatitis atopi sedini mungkin pada umur 1 tahun.94 Beberapa autoalergen pada kulit juga merupakan perangsang kuat terhadap respon Th1.92 Antibodi IgE pada dermatitis atopi dapat dirangsang dengan alergen lingkungan, tetapi antibody IgE terhadap autoantigen pada kulit dapat melancarkan inflamasi alergi. Sehingga dermatitis atopi tampaknya berdiri pada perbatasan antara alergi dan autoimunitas.

PENYATUAN HIPOTESIS Satu klasifikasi yang membedakan sebuah bentuk yang berhubungan dengan IgE pada dermatitis atopi (contoh., dermatitis atopi sejati, dahulu disebut dermatitis atopi ekstrinsik) dari bentuk yang berhubungan dengan non IgE (dermatitis nonatopi, dahulu disebut dermatitis atopi intrinsik).95 Divisi ini menyiratkan bahwa dermatitis nonatopi dan dermatitis atopi merupakan dua penyakit yang berbeda. Namun, sejak kulit kering merupakan tanda yang penting pada kedua kondisi ini, dan ketiadaan sensitisasi yang dimediasi IgE mungkin hanya faktor sementara, karena adanya kebutuhan untuk menyesuaikan hipotesis yang berbeda ini. Gambaran baru muncul dari temuan terakhir, dimana riwayat alami dermatitis atopi mempunyai tiga fase (Gambar 5). Fase awal adalah bentuk nonatopi dari dermatitis pada awal masa bayi, ketika sensitisasi belum terjadi. Selanjutnya, pada 60 sampai 80% pasien, faktor genetik mempengaruhi rangsangan sensitisasi yang dimediasi IgE pada makanan, alergen lingkungan, atau keduanya ini merupakan transisi menjadi dermatitis atopi sejati. Ketiga, menggaruk merusak sel kulit, dimana terjadi pelepasan autoantigen yang merangsang autoantibodi IgE dalam sebuah proporsi besar pada pasien dengan dermatitis atopi.

13

Gambar 5. Interaksi Gen-Gen dan Gen-Lingkungan pada Riwayat Alamiah Dermatitis Atopi. Sebagai hasil disfungsi penghalang epidermal yang ditentukan secara genetis dan efek faktor lingkungan, dermatitis nonatopi merupakan manifestasi pertama dermatitis atopi. Kemudian, karena predisposisi genetik mereka untuk sensitisasi yang dimediasi IgE, pasien menjadi tersensitisasi. Fenomena ini disukai oleh produk enterotoksin Staphylococcus Aureus. Akhirnya, garukan menyebabkan kerusakan jaringan dan pelepasan struktur protein, memicu respon IgE pada pasien dengan dermatitis atopi. Sensitisasi ini terhadap protein sendiri dapat disebabkan homologi epitop yang berasal dari alergen dan protein manusia dalam konteks mimikri molekuler.

IMPLIKASI KLINIS Karena disfungsi penghalang pada kulit dan inflamasi kronis merupakan karakteristik dermatitis atopi, pengelolaan klinis jangka panjang harus menekankan pada pencegahan, penyesuaian perawatan kulit secara intensif dan individual, mengurangi kolonisasi bakteri dengan cara aplikasi lotion lokal yang berisi antiseptik seperti triklosan dan klorheksidin, dan yang paling penting adalah kontrol inflamasi dengan penggunaan reguler kortikosteroid topikal atau inhibitor kalsineurin topikal. Pada anak-anak, sebelum dan sesudah diagnosis sensitisasi yang dimediasi IgE, langkah-langkah yang mencegah paparan terhadap alergen harus bermanfaat. Terapi dermatitis atopi saat ini adalah reaktif mengobati flare tetapi pengelolaan harus termasuk intervensi dini dan proaktif dengan kontrol efektif dan berkesinambungan14

terhadap inflamasi kulit telah terbukti efektif mengurangi jumlah flare.96 Ketika diterapkan pada awal masa bayi, secara potensial dapat membantu mengurangi sensitisasi kelak terhadap antigen lingkungan dan autoalergen.

KESIMPULAN Pengertian terakhir terhadap mekanisme genetis dan imunologis yang menggerakkan inflamasi kutaneus pada dermatitis atopi telah membawa kepada pemahaman yang lebih baik akan riwayat alamiah dari penyakit ini dan telah menggarisbawahi peranan penting fungsi penghalang epidermal dan sistem imun. Keduanya berperan terhadap sensitisasi yang dimediasi IgE dan harus

dipertimbangkan sebagai target terapi utama. Perkembangan terbaru bertujuan secara spesifik pada defek molekuler di stratum korneum dapat menyediakan cara yang disesuaikan untuk meningkatkan fungsi penghalang. Pengelolaan dini dan proaktif dapat meningkatkan hasil dan kualitas hidup bagi pasien dengan dermatitis atopi.

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Akdis CA, Akdis M, Bieber T, et al. Diagnosis and treatment of atopic dermatitis in children and adults: European Academy of Allergology and Clinical immunology/American Academy of Allergy, Asthma and Immunology/PRACTALL Consensus Report. J Allergy Clin Immunol2006;118: 152-69. [Erratum, J Allergy Clin Immunol 2006;118:724.] 2. Leung DY, Bieber T. Atopic dermatitis. Lancet 2003;361:151-60. 3. Williams H, Flohr C. How epidemiology has challenged 3 prevailing concepts about atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol 2006;118:209-13. 4. Illi S, von Mutius E, Lau S, et al. The natural course of atopic dermatitis from birth to age 7 years and the association with asthma. J Allergy Clin Immunol 2004;113:925-31. 5. Novak N, Bieber T. Allergic and non- allergic forms of atopic diseases. J Allergy Clin Immunol 2003;112:252-62. 6. Strachan DP. Hay fever, hygiene, and household size. BMJ 1989;299:1259-60. 7. Zutavern A, Hirsch T, Leupold W, Weiland S, Keil U, von Mutius E. Atopic dermatitis, extrinsic atopic dermatitis and the hygiene hypothesis: results from a crosssectional study. Clin Exp Allergy 2005;35:1301-8. 8. Schultz Larsen FV, Holm NV. Atopic dermatitis in a population based twin Series: concordance rates and heritability estimation. Acta Derm Venereol Suppl (Stockh) 1985;114:159. 9. Morar N, Willis-Owen SA, Moffatt MF, Cookson WO. The genetics of atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol 2006; 118:24-34. 10. Palmer LJ, Cardon LR. Shaking the tree: mapping complex disease genes with linkage disequilibrium. Lancet 2005;366: 1223-34. 11. Lee YA, Wahn U, Kehrt R, et al. A major susceptibility locus for atopic dermatitis maps to chromosome 3q21. Nat Genet 2000;26:470-3. 12. Cookson WO, Ubhi B, Lawrence R, et al. Genetic linkage of childhood atopic dermatitis to psoriasis susceptibility loci. Nat Genet 2001;27:372-3. 13. Haagerup A, Bjerke T, Schitz PO, et al. Atopic dermatitis a total genomescan for susceptibility genes. Acta Derm Venereol 2004;84:346-52. 14. Cookson W. The immunogenetics of asthma and eczema: a new focus on the epithelium. Nat Rev Immunol 2004;4:978-88. 15. Bowcock AM, Cookson WO. The ge- netics of psoriasis, psoriatic arthritis and atopic dermatitis. Hum Mol Genet 2004;13 Spec No 1:R43-R55. 16. Flohr C, Johansson SG, Wahlgren CF, Williams H. How atopic is atopic dermatitis? J Allergy Clin Immunol 2004;114: 150-8. 17. Hoff jan S, Epplen JT. The genetics of atopic dermatitis: recent f indings and future options. J Mol Med 2005;83:682-92. 18. Novak N, Kruse S, Potreck J, et al. Single nucleotide polymorphisms of the IL18 gene are associated with atopic ec- zema. J Allergy Clin Immunol 2005;115: 828-33. [Erratum, J Allergy Clin Immunol 2006;118:1319.] 19. Lange J, Heinzmann A, Zehle C, Kopp M. CT genotype of promotor Polymorphism C159T in the CD14 gene is as- sociated with lower prevalence of atopic dermatitis and lower IL-13 production. Pe- diatr Allergy Immunol16

2005;16:456-7. 20. Ahmad-Nejad P, Mrabet-Dahbi S, Breuer K, et al. The toll-like receptor 2 R753Q polymorphism def ines a subgroup of patients with atopic dermatitis having severe phenotype. J Allergy Clin Immunol 2004;113:565-7. 21. Smith FJ, Irvine AD, Terron-Kwiat- kowski A, et al. Loss-of-function mutations in the gene encoding f ilaggrin cause ichthyosis vulgaris. Nat Genet 2006;38: 337-42. 22. Palmer CN, Irvine AD, Terron-Kwiat- kowski A, et al. Common loss-of-function variants of the epidermal barrier protein f ilaggrin are a major predisposing factor for atopic dermatitis. Nat Genet 2006;38: 441-6. 23. Weidinger S, Illig T, Baurecht H, et al. Loss-of-function variations within the f ilaggrin gene predispose for atopic dermtitis with allergic sensitizations. J allergy Clin Immunol 2006;118:214-9. [Errata, J Allergy Clin Immunol 2006;118:724, 922.]. 24. Marenholz I, Nickel R, Rschendorf F, et al. Filaggrin loss-of-function mutations predispose to phenotypes involved in the atopic march. J Allergy Clin Immunol 2006;118:866-71. 25. Sandilands A, Terron-Kwiatkowski A, Hull PR, et al. Comprehensive analysis of the gene encoding f ilaggrin uncovers prevalent and rare mutations in ichthyosis vulgaris and atopic eczema. Nat Genet 2007;39:650-4. 26. Nomura T, Sandilands A, Akiyama M, et al. Unique mutations in the f ilaggrin gene in Japanese patients with ichthyosis vulgaris and atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol 2007;119:434-40. 27. Vasilopoulos Y, Cork MJ, Murphy R, et al. Genetic association between an AACC insertion in the 3UTR of the stratum corneum chymotryptic enzyme gene and atop- ic dermatitis. J Invest Dermatol 2004; 123:62-6. 28. Sderhll C, Marenholz I, Kerscher T, et al. Variants in a novel epidermal collagen gene (COL29A1) are associated with atopic dermatitis. PLoS Biol 2007;5(9):e242. 29. Proksch E, Jensen JM, Elias PM. Skin lipids and epidermal differentiation in atopic dermatitis. Clin Dermatol 2003;21: 134-44. 30. Schmid-Wendtner MH, Korting HC. The pH of the skin surface and its impact on the barrier function. Skin Pharmacol Physiol 2006;19:296-302. 31. Hansson L, Bckman A, Ny A, et al. Epidermal overexpression of stratum corneum chymotryptic enzyme in mice: a model for chronic itchy dermatitis. J In- vest Dermatol 2002;118:444-9. 32. Seguchi T, Cui CY, Kusuda S, Takahashi M, Aisu K, Tezuka T. Decreased expression of f ilaggrin in atopic skin. Arch Dermatol Res 1996;288:442-6. 33. Scott IR, Harding CR. Filaggrin breakdown to water binding compounds during development of the rat stratum corneum is controlled by the water activ- ity of the environment. Dev Biol 1986; 115:84-92. 34. Howell MD, Kim BE, Gao P, et al. Cytokine modulation of atopic dermatitis filaggrin skin expression. J Allergy Clin Immunol 2007;120:150-5. 35. Proksch E, Flster-Holst R, Jensen JM. Skin barrier function, epidermal proliferation and differentiation in eczema. J Der- matol Sci 2006;43:159-69. 36. Hudson TJ. Skin barrier function and allergic risk. Nat Genet 2006;38:399-400. 37. Cork MJ, Robinson DA, Vasilopoulos Y, et al. New perspectives on epidermal barrier dysfunction in atopic dermatitis: gene-environment interactions. J17

Allergy Clin Immunol 2006;118:3-21. 38. Braff MH, Gallo RL. Antimicrobial peptides: an essential component of the skin defensive barrier. Curr Top Microbiol Immunol 2006;306:91-110. 39. Trinchieri G, Sher A. Cooperation of Toll-like receptor signals in innate immune defence. Nat Rev Immunol 2007;7:179-90. 40. McGirt LY, Beck LA. Innate immune defects in atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol 2006;118:202-8. 41. Ong PY, Ohtake T, Brandt C, et al. Endogenous antimicrobial peptides and skin infections in atopic dermatitis. N Engl J Med 2002;347:1151-60. 42. Rieg S, Steffen H, Seeber S, et al. De- f iciency of dermcidin-derived antimicrobial peptides in sweat of patients with atopic dermatitis correlates with an impaired innate defense of human skin in vivo. J Immunol 2005;174:8003-10. 43. Howell MD, Gallo RL, Boguniewicz M, et al. Cytokine milieu of atopic dermatitis skin subverts the innate immune re- sponse to vaccinia virus. Immunity 2006;24:341-8. 44. Peng WM, Jenneck C, Bussmann C, et al. Risk factors of atopic dermatitis patients for eczema herpeticum. J Invest Dermatol 2007;127:1261-3. 45. Howell MD, Wollenberg A, Gallo RL, et al. Cathelicidin deficiency predisposes to eczema herpeticum. J Allergy Clin Immunol 2006;117:836-41. 46. Ingordo V, DAndria G, DAndria C, Tortora A. Results of atopy patch tests with house dust mites in adults with intrinsic and extrinsic atopic dermatitis. J Eur Acad Dermatol Venereol 2002;16:450-4. 47. Kerschenlohr K, Darsow U, Burgdorf WH, Ring J, Wollenberg A. Lessons from atopy patch testing in atopic dermatitis. Curr Allergy Asthma Rep 2004;4:285-9. 48. Spergel JM, Mizoguchi E, Brewer JP, Martin TR, Bhan AK, Geha RS. Epicutaneous sensitization with protein antigen induces localized allergic dermatitis and hyperresponsiveness to methacholine af- ter single exposure to aerosolized antigen in mice. J Clin Invest 1998;101:1614-22. 49. Traidl-Hoffmann C, Mariani V, Hoch- rein H, et al. Pollen-associated phytoprostanes inhibit dendritic cell interleukin-12 production and augment T helper type 2 cell polarization. J Exp Med 2005;201:627-36. [Erratum, J Exp Med 2005;201:1347.] 50. Shreff ler WG, Castro RR, Kucuk ZY, et al. The major glycoprotein allergen from Arachis hypogaea, Arah1, is a ligand of dendritic cell-specific ICAMgrabbing nonintegrin and acts as a Th2 adjuvant in vitro. J Immunol 2006;177:3677-85. 51. Kupper TS, Fuhlbrigge RC. Immune surveillance in the skin: mechanisms and clinical consequences. Nat Rev Immunol 2004;4:211-22. 52. Clark RA, Chong B, Mirchandani N, et al. The vast majority of CLA+ T cells are resident in normal skin. J Immunol 2006;176:4431-9. 53. Soumelis V, Reche PA, Kanzler H, et al. Human epithelial cells trigger dendritic cell mediated allergic inflammation by producing TSLP. Nat Immunol 2002;3:673-80. 54. Denburg JA, van Eeden SF. Bone marrow progenitors in inflammation and repair: new vistas in respiratory biology and pathophysiology. Eur Respir J 2006;27:441-5. 55. Bratton DL, Hamid Q, Boguniewicz M, Doherty DE, Kailey JM, Leung DY.18

Granulocyte macrophage colony stimulating factor contributes to enhanced monocyte survival in chronic atopic dermatitis. J Clin Invest 1995;95:211-8. 56. Novak N, Kruse S, Kraft S, et al. Di- chotomic nature of atopic dermatitis reflected by combined analysis of monocyte immunophenotyping and single nucleotide polymorphisms of the interleukin-4/ interleukin-13 receptor gene: the dichotomy of extrinsic and intrinsic atopic dermatitis. J Invest Dermatol 2002;119:870-5. 57. von Bubnoff D, Scheler M, Hinz T, Matz H, Koch S, Bieber T. Comparative immunophenotyping of monocytes from symptomatic and asymptomatic atopic individuals. Allergy 2004;59:933-9. 58. Chan SC, Kim JW, Henderson WR Jr, Hanif in JM. Altered prostaglandin E2 regulation of cytokine production in atopic dermatitis. J Immunol 1993;151:3345-52. 59. Hallstrand TS, Sprenger JD, Agosti JM, Longton GM, Witherspoon RP, Henderson WR Jr. Long-term acquisition of allergen-specif ic IgE and asthma follow- ing allogeneic bone marrow transplanta- tion from allergic donors. Blood 2004;104:3086-90. 60. Bieber T. The pro- and anti-inf lam- matory properties of human antigenpresenting cells expressing the high aff inity receptor for IgE (Fc epsilon RI). Immunobiology 2007;212:499-503. 61. Bruynzeel-Koomen C, van Wichen DF, Toonstra J, Berrens L, Bruynzeel PL. The presence of IgE molecules on epidermal Langerhans cells in patients with atopic dermatitis. Arch Dermatol Res 1986;278:199-205. 62. Bieber T, de la Salle H, Wollenberg A, et al. Human epidermal Langerhans cells express the high aff inity receptor for im- munoglobulin E (Fc epsilon RI). J Exp Med 1992;175:1285-90. 63. Wang B, Rieger A, Kilgus O, et al. Epidermal Langerhans cells from normal human skin bind monomeric IgE via Fc ep- silon RI. J Exp Med 1992;175:135365. 64. Novak N, Bieber T. The role of dendritic cell subtypes in the pathophysiology of atopic dermatitis. J Am Acad Dermatol 2005;53:Suppl 2:S171-S176. 65. Cao W, Liu YJ. Innate immune func- tions of plasmacytoid dendritic cells. Curr Opin Immunol 2007;19:24-30. 66. Wollenberg A, Wagner M, Gunther S, et al. Plasmacytoid dendritic cells: a new cutaneous dendritic cell subset with dis- tinct role in inf lammatory skin diseases. J Invest Dermatol 2002;119:1096-102. 67. Wollenberg A, Kraft S, Hanau D, Bieber T. Immunomorphological and ultrastructural characterization of Langerhans cells and a novel, inf lammatory dendritic epidermal cell (IDEC) population in lesional skin of atopic eczema. J Invest Dermatol 1996;106:446-53. 68. Reich K, Heine A, Hugo S, et al. Engage- ment of the Fc epsilon RI stimulates the production of IL-16 in Langerhans cell-like dendritic cells. J Immunol 2001;167:6321-9. 69. Novak N, Valenta R, Bohle B, et al. FcepsilonRI engagement of Langerhans cell-like dendritic cells and inf lammatory dendritic epidermal cell-like dendritic cells induces chemotactic signals and different T-cell phenotypes in vitro. J Allergy Clin Immunol 2004;113:949-57. 70. Kerschenlohr K, Decard S, Przybilla B, Wollenberg A. Atopy patch test19

reactions show a rapid inf lux of inflammatory dendritic epidermal cells in patients with extrinsic atopic dermatitis and patients with intrinsic atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol 2003;111:869-74. 71. Grewe M, Walther S, Gyuf ko K, Czech W, Schpf E, Krutmann J. Analysis of the cytokine pattern expressed in situ in inhalant allergen patch test reactions of atopic dermatitis patients. J Invest Dermatol 1995;105:407-10. 72. Taha RA, Leung DY, Ghaffar O, Bo- guniewicz M, Hamid Q. In vivo expression of cytokine receptor mRNA in atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol 1998;102:245-50. 73. Mihm MC Jr, Soter NA, Dvorak HF, Austen KF. The structure of normal skin and the morphology of atopic eczema. J Invest Dermatol 1976;67:305-12. 74. Homey B, Steinhoff M, Ruzicka T, Leung DY. Cytokines and chemokines orchestrate atopic skin inflammation. J Al- lergy Clin Immunol 2006;118:17889. 75. Nomura I, Gao B, Boguniewicz M, Darst MA, Travers JB, Leung DY. Distinct patterns of gene expression in the skin lesions of atopic dermatitis and psoriasis: a gene microarray analysis. J Allergy Clin Immunol 2003;112:1195-202. 76. Morales J, Homey B, Vicari AP, et al. CTACK, a skin-associated chemokine that preferentially attracts skin-homing memory T cells. Proc Natl Acad Sci U S A 1999;96:14470-5. 77. Homey B, Alenius H, Muller A, et al. CCL27-CCR10 interactions regulate T cell- mediated skin inflammation. Nat Med 2002;8:157-65. 78. Gombert M, Dieu-Nosjean MC, Win- terberg F, et al. CCL1-CCR8 interactions: an axis mediating the recruitment of T cells and Langerhans-type dendritic cells to sites of atopic skin inf lammation. J Immunol 2005;174:5082-91. [Erratum, J Immunol 2005;174:8219.] 79. Gilliet M, Soumelis V, Watanabe N, et al. Human dendritic cells activated by TSLP and CD40L induce proallergic cytotoxic T cells. J Exp Med 2003;197:1059-63. 80. Trautmann A, Akdis M, Kleemann D, et al. T cell-mediated Fasinduced keratinocyte apoptosis plays a key pathogenetic role in eczematous dermatitis. J Clin Invest 2000;106:25-35. 81. Ziegler SF. FOXP3: of mice and men. Annu Rev Immunol 2006;24:209-26. 82. Ou LS, Goleva E, Hall C, Leung DY. T regulatory cells in atopic dermatitis and subversion of their activity by superantigens. J Allergy Clin Immunol 2004;113:756-63. 83. Verhagen J, Akdis M, Traidl-Hoff- mann C, et al. Absence of T-regulatory cell expression and function in atopic dermatitis skin. J Allergy Clin Immunol 2006;117:176-83. 84. Cardona ID, Cho SH, Leung DY. Role of bacterial superantigens in atopic dermatitis: implications for future therapeu- tic strategies. Am J Clin Dermatol 2006;7:273-9. 85. Bunikowski R, Mielke M, Skarabis H, et al. Prevalence and role of serum IgE antibodies to the Staphylococcus aureus-derived superantigens SEA and SEB in children with atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol 1999;103:119-24. 86. Cardona ID, Goleva E, Ou LS, Leung DY. Staphylococcal enterotoxin B inhibits regulatory T cells by inducing glucocorti- coid-induced TNF receptor-related protein ligand on monocytes. J Allergy Clin Immunol 2006;117:688-95.20

87. Diepgen TL. Long-term treatment with cetirizine of infants with atopic dermatitis: a multi-country, double-blind, randomized, placebo-controlled trial (the ETAC trial) over 18 months. Pediatr Allergy Immunol 2002;13:278-86. 88. Sonkoly E, Muller A, Lauerma AI, et al. IL-31: a new link between T cells and pruritus in atopic skin inflammation. J Allergy Clin Immunol 2006;117:411-7. 89. Paus R, Schmelz M, Br T, Steinhoff M. Frontiers in pruritus research: scratching the brain for more effective itch therapy. J Clin Invest 2006;116:117486. 90. Neis MM, Peters B, Dreuw A, et al. Enhanced expression levels of IL-31 correlate with IL-4 and IL-13 in atopic and allergic contact dermatitis. J Allergy Clin Immunol 2006;118:930-7. 91. Mittermann I, Aichberger KJ, Bnder R, Mothes N, Renz H, Valenta R. Autoimmunity and atopic dermatitis. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2004;4:367-71. 92. Aichberger KJ, Mittermann I, Reininger R, et al. Hom s 4, an IgE-reactive autoantigen belonging to a new subfamily of calcium-binding proteins, can induce Th cell type 1-mediated autoreactivity. J Immunol 2005;175:1286-94. 93. Schmid-Grendelmeier P, Flckiger S, Disch R, et al. IgE-mediated and T cellmediated autoimmunity against manganese superoxide dismutase in atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol 2005;115:1068-75. 94. Mothes N, Niggemann B, Jenneck C, et al. The cradle of IgE autoreactivity in atopic eczema lies in early infancy. J Allergy Clin Immunol 2005;116:706-9. 95. Johansson SG, Bieber T, Dahl R, et al. Revised nomenclature for allergy for global use: report of the Nomenclature Review Committee of the World Allergy Organization, October 2003. J Allergy Clin Immunol 2004;113:832-6. 96. Berth-Jones J, Damstra R J, Golsch S, et al. Twice weekly f luticasone propionate added to emollient maintenance treatment to reduce risk of relapse in atopic dermatitis: randomised, double blind, parallel group study. BMJ 2003;326:1367.

21