jawaban soal pertemuan 9
DESCRIPTION
peran pemangku kepentingan - GCGTRANSCRIPT
PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN
A. Penerapan Prinsip 4 OECD dalam Peraturan Perundang-undangan
Indonesia
Prinsip-prinsip mengenai corporate governance yang diterbitkan oleh
OECD telah menjadi acuan praktik pengelolaan bisnis oleh sebagian besar
masyarakat internasional. OECD terdiri atas enam prinsip besar yang masing-
masing prinsip tersebut diperjelas kembali dengan sub-sub prinsip. Masing-
masing prinsip berkonsetrasi mengatur permasalahan yang berbeda-beda. Dalam
prinsip empat, OECD berfokus pada “Peranan Stakeholders dalam Corporate
Governance” yang kemudian dirincikan dalam beberapa sub-prinsip.
Stakeholders disini adalah pihak pemangku kepentingan (masyarakat, pemerintah,
karyawan, investor, kreditur, pemasok, dan lain-lain).
Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan prinsip-prinsip
OECD dalam menjalankan corporate governance-nya, sehingga sedikit banyak
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan stakeholders akan
menerapkan prinsip 4 dari OECD. Berikut ini akan dijelaskan sub-prinsip dalam
OECD prinsip 4 dan contoh penerapannya di peraturan perundang-undangan
Indonesia.
1. Sub-Prinsip A - Hak Stakeholders yang dicakup dalam perundang-
undangan atau perjanjian harus dihormati
Pada sub-prinsip ini memfokuskan pada hak-hak stakeholders yang diatur
dalam perundang-undangan selain hak dari pemegang saham. Penerapan dalam
sub-prinsip ini dapat dilihat pada:
Peraturan Perundangan-undangan
Terkait
Penjelasan Isi
(Perihal Undang-Undang)
Peraturan Bapepam LK No. IV.B.2
Dalam peraturan ini dijelaskan
mengenai pedoman kontrak Reksa
Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif, yang mana didalamnya
disebutkan pula Hak-Hak Investor
yang menjadi sorotan dalam Sub-
prinsip ini. Dimana Investor
1
merupakan salah satu stakeholders.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
Undang-undang ini membahas
mengenai Perseroan Terbatas, dalam
Undang-Undang ini lebih
menekankan kepada pengelolaan
perseroan yang dilakukan oleh
manajemen perseroan dan
menekankan pada Hak-Hak
pemegang saham yang tidak dapat
secara langsung mengawasi kegiatan
perusahaan.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
Undang-undang ini membahas
mengenai Ketenagakerjaan, dimana
didalamnya dijelaskan pula mengenai
Hak-Hak tenaga kerja yang
merupakan salah satu dari
stakeholders.
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
Undang-undang ini membahas
mengenai Kepailitan dan Penundaan
Pembayaran Kewajiban dimana
didalamnya disebutkan pula
mengenai Hak-Hak Kreditur, yang
merupakan bagian dari stakeholders.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
Undang-undang ini membahas
mengenai Perlindungan Konsumen,
dimana didalamnya menyebutkan
Hak-Hak dan Kewajiban yang
dimiliki oleh seorang Konsumen
dan Pelaku usaha, dimana
konsumen merupakan stakeholders.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1995
Undang-undang ini disebut juga
sebgai Undang-Undang Pasar Modal,
dimana didalamnya juga dijelaskan
mengenai Hak-Hak Regulator
dalam pasar modal Indonesia.
2
Rincian Isi Undang-Undang diatas, terkait hak-hak stakeholders:
Peraturan Bapepam mengenai hak-hak investor
Hak-hak investor diatur didalam peraturan Bapepam LK No. IV.B.2, dimana
didalam peraturan tersebut di poin 6 disebutkan hak-hak dari unit penyertaan
(investor), hak-hak tersebut terdiri dari:
a. Mendapatkan bukti kepemilikan
b. Memperoleh laporan keuangan secara periodic
c. Memperoleh informasi mengenai nilai aktiva bersih reksa dana dalam harian
d. Menjual kembali dan mengalihkan sebagian atau seluruh unit penyertaan
e. Memperoleh laporan sebagaimana dimaksud dalam peraturan No. X.D.1
tentang Laporan Reksa Dana
f. Memperoleh bagian atas hasil likuidasi
Selain hak-hak dalam poin 6, di poin 7 juga dijelaskan dalam Kontrak Investasi
Kolektif dapat juga dimuat tentang hak pemegang Unit Penyertaan untuk
menerima pembagian hasil secara berkala.
UU No. 13 tahun 2003, menekankan pada hak-hak karyawan
Dalam undang-undang ini dijelaskan beberapa hak-hak yang dimiliki oleh
tenaga kerja, beberapa contoh hak yang dibahas dalam undang-undang ini
adalah:
Pasal 88 (Pengupahan)
1. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
2. Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yan g layak
bagi kemanusiaan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemenrintah
menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh
3. Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) meliputi:
a. Upah minimum
b. Upah kerja lembur
c. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan
3
d. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain diluar
pekerjaannya
e. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya
f. Bentuk dan cara pembayaran upah
g. Denda dan potongan upah
h. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah
i. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional
j. Upah untuk pembayaran pesangon
k. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan
4. Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi
Pasal 99 (Kesejahteraan)
1. Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan
sosial tenaga kerja
2. Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilaksanakan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku
UU No. 37 Tahun 2004, menekankan pada hak-hak kreditur
Pasal 55
1. Setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek,
atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya
seolah-olah tidak terjadi kepailitan
Pasal 56
1. Hak eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dlaam pasal 55 ayat (1) dan
pihak ketiga untuk menuntu hartanya yang berada dalam penguasaan debitor
pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari
sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan
2. Pengangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap
tagihan kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak kreditor untuk
memperjuangkan utang
4
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999)
Dalam undang-undang ini disebutkan mengenai hak-hak yang dimiliki oleh
seorang konsumen, yaitu:
Pasal 4
Hak konsumen adalah:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya
9. Hak-hak yang diatur dalam kententuan perundang-undangan lainnya
2. Sub-Prinsip B – Kepentingan Stakeholders dilindungi undang-undang
Pada sub-prinsip ini dijelaskan bila stakeholders memiliki hak untuk
menuntut ganti rugi apabila hak yang dimilikinya dilanggar. Peraturan perundang-
undangan Indonesia yang mencerminkan penerapan sub-prinsip ini adalah:
5
Peraturan Perundangan-undangan
Terkait
Penjelasan Isi
(Perihal Undang-Undang)
Peraturan Bapepam LK No. IX.A.7
Peraturan ini membahas tentang Tanggung
Jawab Manajer Penjatahan Dalam Rangka
Pemesanan Dan Penjatahan Efek Dalam
Penawaran Umum.
Peraturan Bapepam LK N0. IX.A.10
Peraturan ini membahas tentang Penawaran
Umum Sertifikat Penitipan Efek Indonesia
(Indonesian Depository Receipt).
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
Peraturan ini membahasa tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat yang isinya melindungi
keseimbangan antara kepentingan pelaku
usaha dan kepentingan umum. Dimana
didalamnya diatur mengenai kegiatan yang
dilarang, posisi dominan, komisi
pengawasan persaingan usaha, dan tata cara
penanganan perkar, sehingga stakeholders
dapat melihat apakan kegiatan usaha yang
dilakukan oleh suatu perusahaan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku atau tidak.
3. Sub-Prinsip C – peningkatan kinerja bagi partisipasi karyawan
seharusnya didukung untuk berkembang
Sub prinsip ini menjelaskan sumber daya manusia merupakan salah satu
aset perusahaan yang dapat menentukan kesuksesan dari suatu kegiatan bisnis
atau operasi yang dilakukan oleh perusahaan dan menentukan kinerja dari suatu
perushaan. Untuk mencapai kinerja yang baik, perusahaan harus mampu
mengoptimalkan kinerja dari para pegawainya, salah satunya mungkin dengan
pemberian remunerasi yang dapat dipertanggung jawabkan, seperti keikut sertaan
pegawai dalam kepemilikan saham perusahaan atau Employee Stock Option
Program (ESOP). Namun, secara jelas peraturan Bapepam yang dimiliki saat ini
belum mengatur mengenai hal tersebut, tetapi mengenai penawaran ESOP sudah
6
ada peraturannya, yaitu Peraturan Bapepam LK No.IX.D.4 mengenai Penambahan
Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu.
4. Sub-Prinsip D – Jika Stakeholders berpartisipasi dalam corporate
governance seharusnya mereka akan memiliki akses atas informasi
yang relevan, cukup, dan dapat diandalkan secara tepat waktu dan
teratur
Sub prinsip ini menjelaskan, bila stakeholders memiliki partisipasi dalam
proses corporate governance perusahaan, stakeholders akan memiliki informasi
yang relevan mengenai perusahaan. Semakin banyak kepentingan berbagai pihak
yang terwakili dalam penerapan GCG maka akan semakin baik pula penerapan
GCG. Oleh karena itu, peran serta stakeholders yang terdiri dari berbagai pihak
sangat diperlukan dalam praktik GCG. Disini stakeholders tidak hanya
mementingkan informasi ekonomi maupun keuangan dari perusahaan tetapi juga
melihat bagaimana aspek lingkungan dan sosial perusahaan.
Peraturan Perundangan-undangan
Terkait
Penjelasan Isi
(Perihal Undang-Undang)
Peraturan Bapepam LK No. VIII.G.2
Peraturan Bapepam ini mengatur mengenai
kewajiban dari perusahaan untuk
mengungkapkan informasi yang berkaitan
dengan kegiatan sosial perushaan dalam
laporan tahunan perusahaan. Namun,
peraturan ini kemudian mengalami
perubahan, perubahannya dicantumkan
didalam peraturan baru yaitu Pearaturan
Bapepam LK No. X.K.6.
Peraturan Bapepam LK No X.K.6
Dalam peraturan perubahan ini dijelaskan
bila Perusahaan wajib menyampaikan
laporan tahunan kepada Bapepam dan LK
paling lambat 4 bulan setelah tahun buku
berakhir. Laporan tahunan yang dimaksud
wajib memuat, ikhtisar data keuangan
penting, laporan Dewan Komisaris,
7
Laporan Direksi, profil perusahaan, analisis
dan pembahasan manajemen, tata kelola
perusahaan, tanggung jawab sosial
perusahaan, laporan keuangan tahunan
yang telah diaudit, dan surat pernyataan
tanggung jawab Dewan Komisaris, dan
Direksi atas kebenaran isi laporan tahunan.
Kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh
perusahaan diatur didalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 mengenai
Perseroan Terbatas pada pasal 74 yang berisi:
1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan
2. Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dnegan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran
3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan
diatur dalam peraturan pemerintah
Laporan dari kegiatan sosial yang dilakukan perusahaan ini harus ikut
disampaikan kepada Bapepam sesuai dengan peraturan yang disebutkan diatas.
5. Sub-Prinsip E – karyawan dan serikat karyawan bebas
mengkomunikasikan praktik ilegal kepada Dewan Komisaris
8
Sub prinsip ini menjelasakan bila pegawai/karyawan tidak hanya terbatas
berperan dalam aktivitas operasional perusahaan saja, tetapi juga berperan untuk
turut mengawasi praktik GCG yang dijalankan didalam perusahaannya. Karyawan
berbeda dengan stakeholders lainnya, karena karyawan memiliki akses informasi
yang lebih langsung dan mendalam karena ikut serta dalam kegiatan perusahaan
sehingga dapat mengawasi praktik GCG perusahaan dengan baik. Namun untuk
dapat menjalani hak nya sebagai pengawas praktik GCG yang mungkin dijalankan
pula oleh petinggi perusahaan, perusahaan harus memberikan mekanisme yang
menjamin hak-hak karyawan dalam melaksanakan fungsi pengawasannya
tersebut.
Peraturan Perundangan-undangan
Terkait
Penjelasan Isi
(Perihal Undang-Undang)
Undang-Undang No.13 Tahun 2006
Undang-undang ini mengatur mengenai
perlindungan untuk saksi dan korban.
Peraturan ini diharapkan akan melindungi
hak-hak karyawan yang menjalankan
tugasnya dalam pengawasan praktik GCG
dan melakukan pelaporan atas tindakan
atau kemungkinan tindakan yang tidak
sesuai dengan peraturan.
Peraturan Bersama, Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung,
Kepala Kepolisian Negara Republik
Indoensia, Komisi Pemberantasan
Korupsi, dan Ketua Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban
(M.HH-11.HM.03.02.th.2011, PER-
045/A/JA/12/2011, 1 Tahun 2011,
KEPB-02/01-55/12/2011, 4 Tahun
2011)
Dalam peraturan bersama ini dijelaskan
mengenai pelapor, saksi pelapo, saksi
pelaku, syarat-syarat memperoleh
perlindungan, bentuk perlindungan, dan
lain sebagainya yang berkaitan dengan
wishtle blower.
Rincian peraturan perundangan-undangan diatas:
UU No. 13 Tahun 2006
9
Pasal 5 (Perlindungan Dan Hak Saksi dan Korban)
Seorang saksi dan korban berhak:
1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian
yang akan, sedang, atau telah diberikannya
2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentuka bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan
3. Memberikan keterangan tanpa tekanan
4. Mendapat penerjemah
5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat
6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus
7. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan
8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
9. Mendapatkan identitas baru
10. Mendapatkan tempat kediaman baru
11. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
12. Mendapat nasihat hukum
13. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindunganberakhir
Selain UU No 13 Tahun 2006, hal mengenai perlakuan terhadap whistle
blower (pelapor tindak pidana) dan saksi diatur pula dalam Peraturan Bersama
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian
Negara Republik Indoensia, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Ketua
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang didalamnya dijelaskan
mengenai:
Pasal 1
- Pelapor adalah orang yang mengetahui dan memberikan laporan serta
informasi tentang terjadinya atau akan terjadinya suatu tindak pidana
tertentu kepada penegak hukum dan bukan merupakan bagian dari pelaku
kejahatan yang dilaporkan
10
- Saksi Pelapor adalah orang yang melihat, mendengar, mengalami atau
terkait dengan tindak pidana dan melaporkan dugaan tentang terjadinya
suatu tindak pidana kepada pejabat yang berwenang untuk diusut sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
Pasal 3 (Syarat mendapatkan perlindungan bagi Pelapor dan Saksi Pelapor)
a. Adanya informasi penting yang diperlukan dalam mengungkap terjadinya
atau akan terjadinya suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir
b. Adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman atau
tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap Pelapor dan Saksi Pelapor
atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan
yang sebenarnya
c. Laporan tentang adanya ancaman atau tekanan tersebut disampaikan kepada
pejabat yang berwenang sesuai dengan tahap penanganannya dan dibuatkan
berita acara penerimaan laporan
Pasal 5 (Bentuk Perlindungan)
a. Pelapor dan saksi pelapor berhak untuk mendapatkan perlindungan secara
fisik, psikis, dan/atau perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
b. Pelapor dan saksi pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana,
administrasi maupun perdata atas laporan atau keterangan yang
diberikannya dihadapan aparat penegak hukum sesuai dengan tingkat
tahapan penanganan perkaranya
6. Sub-Prinsip F – Kerangka corporate governance seharusnya dilengkapi
dengan kerangka hukum yang berkaitan dengan kesulitan keuangan
Pada sub-prinsip ini dijelaskan bila sebaiknya dalam kerangka corporate
governance dilengkapi dengan kerangka hukum yang berkaitan dengan kesulitan
keuangan yang efisien dan efektif dan penegakan hukum yang relatif atas hak
kreditur. Pada sub-prinsip ini dijelaskan bila suatu perusahaan mengalami
kesulitan keuangan, maka hak kreditur harus diutamakan dibandingkan dengan
11
hak dari pemegang saham. Contoh penerapan sub-prinsip ini di peraturan
perundang-undangan Indonesia adalah:
Undang-undang Perseroan Terbatas (UU PT), Pasal 150
1. Kreditor yang melakukan penagihan kemudian ditolak oleh likuidator dapat
mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lama 60
hari sejak tanggal penolakan
2. Kredior yang belum mengajukan tagihannya dapat mengajukan melalui
pengadilan negeri dalam jangka waktu 2 tahun terhitung sejak pembubaran
perseroan diumumkan
3. Tagihan yang diajukan kreditor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
dilakukan dalam hal terdapat sisa kekayaan hasil likuidasi yang diperuntukkan
bagi pemegang saham
4. Dalam hal sisa kekayaan hasil likuidasi telah dibagikan kepada pemegang
saham dan terdapat tagihan kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pengadilan negeri memerintahkan likuidator untuk menarik kembali sisa
kekayaan hasil likuidasi yang telah dibagikan kepada pemegang saham
5. Pemegang saham wajib mengembalikan sisa kekayaan hasil likuidasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) secara proporsional dengan jumlah yang
diterima terhadap jumlahtagihan
Selain dibahas dalam UU PT No. 40 Tahun 2007, hak-hak mengenai
kreditur juga dijelaskan dalam Undang-Undang No 37 Tahun 2004 mengenai
Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Kewajiban, dimana dalam peraturan
tersebut juga disebutkan bila hak kreditur diprioritaskan dibandingkan dengan hak
pemegang saham saat terjadi likuidasi maupun kepailitan.
B. Elemen-Elemen Utama dalam CSR
Definisi Corporate Social Responsibility (CSR) masih menjadi perdebatan
dalam menemukan arti yang tepat agar dapat diterima oleh semua orang. Di dalam
Corporate Social Responsibility and Stakeholder Approach : a conceptual review,
penulis menggolongkan definisi CSR berdasarkan pandangan akademisi dan
12
bisnis & perwakilan masyarakat. Salah satu definisi CSR menurut Baker yang
merupakan seorang akademisi adalah
“CSR is about how companies manage the business processes to produce an
overall positive impact on society”.
Sedangkan menurut Novo Nordisk yang berasal dari golongan bisnis,
definisi CSR adalah
“Social responsibility for Novo Nordisk is about caring for people. This
applies to our employees and the people whose healthcare needs we serve. It
also considers the impact of our business on the global society amd the local
comunnity. At such, social responsibility is more than a virtue –it is a
business imperative.”
Terdapat beberapa elemen utama di dalam CSR, yaitu :
1. CSR vs Philantrophy
Corporate philanthropy mengacu pada gagasan perusahaan untuk
memberikan kembali sejumlah kekayaan secara finansial kepada masyarakat
yang dihasilkan dari input yang diperoleh dari masyarakat. Perbedaan CSR
dan corporate philanthropy adalah phylantrophy atau amal tidak membuat
perusahaan mengembangkan strategi yang lebih luas untuk menilai dampak
yang terjadi secara komprehesif kepada masyarakat, dan juga tidak
membuat rancangan, aturan, dan dan alat untuk meningkatkan kinerja
terhadap masyarakat. Menurut Caroll (1991), CSR terdiri dari 4 tingkatan
yaitu ekonomi, legal, etika, dan phylantroph. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa phylantrophy merupakan salah satu komponen CSR dan
keberadaannya tidak lebih penting dibandingkan dengan ketiga elemen
lainnya.
2. A long term perspective (Perspektif Jangka Panjang)
Perspektif jangka panjang merupakan karakteristik pertama yang sempat
diungkapkan oleh Davis pada tahun 1970 dan Caroll 1999. Hal ini
menegaskan bahwa CSR merupakan bagian dari perspektif jangka panjang
atas keuntungan ekonomi yang tidak dapat diukur secara finansial tetapi
akan menyediakan aset yang berharga bagi profitabilitas perusahaan di masa
depan dan pada akhirnya akan menyebabkan perusahaan mendapatkan
13
social power. Gagasan ini berlanjut kepada konsep sustainability, yakni
perusahaan tidak hanya mengejar keuntungan jangka pendek tetapi
mengejar berbagai macam tujuan yang dikombinasikan untuk menjamin
kelangsungan bisnis dan kemakmuran di lingkungan yang selalu berubah.
3. Beyond the Law (di luar Hukum)
Karakteristik yang kedua dari CSR adalah CSR berada di luar persyaratan
ekonomi, teknis, dan persyaratan legal yang sempit. Menurut Johnson dan
Scholes (2002), CSR berkonsentrasi pada cara bagaimana sebuah organisasi
melebihi kewajiban minimum kepada para pemangku kepentingan melalui
peraturan dan corporate governance. Kepatuhan suatu perusahaan terhadap
hukum tidak mencerminkan apakah suatu perusahaan telah bertanggung
jawab dan menerapkan corporate social responsibility.
4. Accountability to stakeholders (Akuntabilitas kepada Pemangku
Kepentingan)
Karakteristik yang ketiga yang pernah diungkapkan oleh Frederick (1987);
Mitnick (1995); dan Jones (1999) adalah mengenai gagasan tentang bisnis
yang akuntabel untuk semua pemangku kepentingan yang yang dapat
diidentifikasi dan memiliki klaim baik secara legal ataupun ekspektasi
moral, dalam aktivitas bisnis yang mempengaruhi mereka.
5. Social contract (Kontrak Sosial)
Berdasarkan pendapat pemangku kepentingan, CSR sering diasosiasikan
dengan kontrak sosial dan izin untuk mengoperasikan bisnis. Izin untuk
mengoperasikan bisnis menggambarkan izin dari masyarakat untuk
perusahaan agar dapat melakukan kegiatan operasi perusahaan dengan
asumsi bahwa perusahaan tersebut akan bertindak secara adil dan
menunjukkan akuntabilitas atas tindakannya melebihi persyaratan legal
yang ada. Menurut Moir, pandangan kontrak sosial membuat perusahaan
bertindak secara bertanggung jawab karena hal tersebut merupakan
bagaimana cara yang diinginkan masyarakat dalam menjalankan kegiatan
operasi perusahaan bukan hanya sekedar untuk memenuhi kepentingan
komersil.
6. The Notion of Power (Gagasan atas Kekuasaan)
14
Hal mengenai kekuasaan ini sedang menjadi perdebatan dalam CSR.
Pendukung gagasan ini mengatakan bahwa sumber dari tanggung jawab
perusahaan berasal dari kekuasaan dan pengaruh yang dimiliki oleh
perusahaan tersebut yang akan menyebabkan efek moral dalam masyarakat
secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini diungkapkan oleh L’tang
pada tahun 1995.
7. Legitimacy of business activity (Legitimasi Aktivitas Bisnis)
Legitimasi dianggap penting dalam dunia bisnis dan dianggap sebagai suatu
insentif untuk terlibat dalam tanggung jawab sosial mengindikasikan bahwa
masyarakat memberikan legitimasi dan kekuasaan untuk bisnis kepada
perusahaan. Dalam jangka panjang, perusahaan yang tidak menggunakan
kekuasaan sesuai dengan cara yang dianggap bertanggung jawab oleh
masyarakat akan kehilangan legitimasi tersebut.
8. A contextual process (Sebuah proses yang Kontekstual)
Dua karakteristik akhir dari CSR adalah pandangan bahwa CSR merupakan
sebuah proses dan bukan sebuah hasil (outcome). Hal ini diungkapkan oleh
Jones pada tahun 1980. Menurut L’Etang, CSR adalah sebuah proses yang
berlangsung secara terus-menerus yang memantau lingkungan dengan
hubungannya dan CSR bukan merupakan sebuah misi tetap yang
berhubungan dengan sebuah kelompok yang spesifik dengan prioritas yang
telah ditetapkan dengan statis.
Karakteristik selanjutnya dalam praktiknya CSR cenderung sangat
kontekstual. CSR sangat sensitif terhadap lingkungan, organisasi, dan kekhususan
individual.
Kesimpulannya, CSR dapat dilihat sebagi sebuah proses yang melibatkan
kelompok pemangku kepentingan, yang dalam praktiknya menjadi sangat
kontekstual dan diserahkan kepada lingkungan secara luas. CSR diterapkan dalam
perspektif jangka panjang dan mengacu kepada prinsip etika yang tidak perlu
diatur dalam hukum karena adanya kontrak sosial antara antara masyarakat
dengan kalangan bisnis. Keberadan kontrak sosial memungkinkan masyarakat
untuk mengambil kembali social power yang telah diberikan atas kewajiban yang
tidak terpenuhi.
15
Di bawah ini merupakan kontribusi yang dilakukan oleh kelompok
akademisi dan kelompok bisnis dan masyarakat terhadap konsep CSR dalam
usaha untuk mencari pemicu utama dalam pengembangan dan ruang lingkup
CSR. Dari segi akademis, akademisi cenderung memandang CSR dari segi
kontrak sosial dibandingkan dengan sustainability begitu pula dari segi akademis
akan lebih memandang kepada sisi legitimasi dibandingkan dengan kekuasaan
bisnis yang dianggap penting oleh masyarakat sipil.
Gambar 1 The CSR Concept : Major Contribution
Sumber: Corporate social responsibility and stakeholder approach: a conceptual review
C. Stakeholder Theory dan CSR
Stakeholder theory sering disebut sebagai konsep yang berlawanan dengan
konsep shareholder, yang menyatakan bahwa hanya shareholder yang memiliki
klaim yang legal atas perusahaan. Menurut Emiliani (2001), model stakeholder
mengakui adanya klaim yang legal oleh pemegang saham perusahaan tetapi tidak
menyetujui bahwa hanya shareholder yang merupakan pihak istimewa dalam
memperoleh klaim tersebut. Stakeholder theory menerima profitabilitas sebagai
tujuan perusahaan tetapi lebih dengan tujuan yang lebih luas dibandingkan dengan
16
Power
Voluntary
EnvironmentalSocialEconomic
Sustainability
Multi Stakeholders
CSR
Social Contract
Process
Beyond the Law
Legitimacy
Contextual
Business and civil society contribution
Academic Contributions
model shareholder. Menurut model stakeholder, sebuah perusahaan atau
organisasi harus berusaha mencapai tujuannya berupa profitabilitas dengan
memuaskan pemangku kepentingan dengan cara yang adil.
Terdapat dua dimensi pendekatan stakeholder theory yakni instrumental
stakeholder theory dan normative stakeholder theory approach. Instrumental
stakeholder theory menganggap stakeholder management theory merupakan alat
untuk mencapai hasil yang diinginkan, terutama profitabilitas sedangkan
normative stakeholder theory lebih mengakui sisi klaim legitimasi etis dari para
pemangku kepentingan atas tujuan perusahaan sebagai hal yang utama.
Instrumental stakeholder theory cenderung mendapat kritik karena membenarkan
klaim para pemangku kepentingan dalam pembuatan strategi hanya karena alasan
ekonomi.
Stakeholder theory dan konsep CSR memiliki keterkaitan satu sama lain.
Konsep stakeholder tidak dibangun berdasarkan dengan konsep CSR, tetapi
literatur CSR sebagian dibangun atas literatur mengenai stakeholder dan begitu
juga sebaliknya. Berdasarkan Carol pada tahun 1991, konsep stakeholder
menyebabkan munculnya isu tanggung jawab sosial dengan menggambarkan
kelompok tertentu atau orang yang berbisnis, yang harus dipertimbangkan dalam
orientasi CSR.
Stakeholder theory diterapkan dalam CSR karena konsep CSR bertujuan
untuk menerangkan tentang isu tanggung jawab bisnis yang harus dipenuhi
sedangkan konsep pemangku kepentingan (stakeholder) menjelaskan tentang isu
bisnis siapa dan pihak yang harus diberikan tanggung jawab oleh pelaku bisnis.Di
dalam CSR yang dimiliki perusahaan biasanya disebutkan secara spesifik
mengenai tanggung jawab dan kewajiban yang harus dilakukan kepada
stakeholder contohnya perusahaan memiliki tanggung jawab, kewajiban, dan kode
etik atas hubungannya dengan pemasok, konsumen, dan lingkungan sekitar
perusahaan.
Konsep CSR juga berhubungan dengan harapan masyarakat mengenai
perilaku perusahaan, dalam hal ini menurut Wood dan Jones pada tahun 1995,
stakeholder memiliki tiga peran yaitu :
17
Stakeholder merupakan sumber harapan untuk mengetahui apakah kinerja
perusahaan yang sebenarnya diinginkan dan tidak diinginkan. Dalam hal ini
stakeholder membantu mendefinisikan norma perilaku perusahaan.
Stakeholder mengalami efek dari perilaku perusahaan
Stakeholder membantu dalam mengevaluasi hasil dari perilaku perusahaan
apakah perusahaan telah memenuhi dan mempengaruhi masyarakat.
D. Hubungan Corporate Social Responsibility dan Corporate Governance
Perusahaan dalam menjalankan kegiatan bisnisnya memiliki hubungan
dengan berbagai pemangku kepentingan baik internal maupun eksternal. Oleh
karena itu, diperlukan suatu tata kelola perusahaan yang baik untuk dapat
mengakomodasi hubungan perusahaan dengan para pemangku kepentingan
tersebut. FCGI (2001) mendefinisikan tata kelola perusahaan sebagai:
Seperangkat peraturan yang mendefinisikan hubungan antara pemegang
saham, manajer, kreditor, pemerintah, pekerja dan pemangku kepentingan
lainnya baik internal maupun eksternal yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban mereka, atau sistem yang mengendalikan atau mengarahkan
perusahaan. Tujuannya adalah untuk menciptakan nilai tambah kepada para
pemangku kepentingan.
Para pemangku kepentingan yang dimaksud juga mencakup lingkungan
sosial dan masyarakat pada umumnya. Dalam konteks yang berkaitan dengan
hubungan kerja sama antara perusahaan dan para pemangku kepentingan ini,
konsep tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility (CSR) dapat
digunakan untuk mencapai penerapan tata kelola perusahaan yang baik.
Menurut UU Perseroan Terbatas No.40/2007 Pasal 1 butir 3, definisi
tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah:
Komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang
bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun
masyarakat pada umumnya.
CSR lebih lanjut dibahas dalam Bab V UU Perseroan Terbatas No.40/2007
Pasal 74 sebagai berikut:
18
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan.
(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
diatur dengan peraturan pemerintah.
Dalam penjelasan Pasal 74 ayat (1) disebutkan:
Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam
adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan
sumber daya alam.
Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan
sumber daya alam adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak
memanfaatkan sumber daya alam tetapi kegiatan usahanya berdampak pada
fungsi kemampuan sumber daya alam.
Menurut Suciyati (2010) mengenai Pasal 74 ayat (3), sanksi yang dikenakan
bukan karena perusahaan tidak melaksanakan CSR menurut UU PT, melainkan
karena perusahaan mengabaikan CSR sehingga melanggar aturan-aturan yang
terkait tanggung jawab sosial dan lingkungan dan akan dikenakan sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan yang dilanggar tersebut.
Pelaksanaan CSR diatur pula dalam UU Penanaman Modal No.25/2007,
sebagai berikut:
Pasal 15
Setiap penanam modal berkewajiban:
a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;
b. melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
19
c. membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan
menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal;
d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha
penanaman modal; dan
e. mematuhi semua ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 34
(1) Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau
d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.
(3) Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha
perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dengan adanya pernyataan yang tertuang dalam UU Perseroan Terbatas dan
UU Penanaman Modal mengenai CSR, menandakan bahwa saat ini pelaksanaan
CSR oleh perusahaan menjadi kewajiban yang berlandaskan hukum, di mana
sebelumnya CSR dilaksanakan atas dasar kesadaran perusahaan yang lebih
bersifat moral, meskipun sanksinya berasal dari peraturan perundang-undangan
terkait.
Dengan melaksanakan CSR secara benar artinya perusahaan telah
melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik dan berarti perusahaan telah
memenuhi prinsip dasar GCG, terutama prinsip responsibilitas. KNKG (2006)
menjelaskan prinsip dasar dari responsibilitas sebagai berikut:
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkugan sehingga
20
dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat
pengakuan sebagai good corporate citizenship.
Pedoman pokok pelaksanaan prinsip responsibilitas oleh perusahaan mencakup:
Prinsip kehati-hati oleh organ perusahaan dan memastikan kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan peraturan
perusahaan.
Pembuatan perencanaan dan pelaksanaan CSR yang memadai dengan peduli
terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar
perusahaan.
Pelaksanaan CSR tidak hanya memberikan manfaat kepada masyarakat,
tetapi juga memberikan manfaat bagi perusahaan baik dalam jangka pendek,
jangka menengah, maupun jangka panjang, di antaranya sebagai berikut:
Masyarakat cenderung akan memilih produk dari perusahaan yang memiliki
citra positif sehingga dapat meningkatkan penjualan produk perusahaan.
Investor lebih ingin melakukan penanaman modal pada perusahaan yang
memiliki tanggung jawab, salah satu aspek tanggung jawab perusahaan
dapat dilihat dari pelaksanaan CSR-nya.
Para karyawan dapat melakukan interaksi secara lebih santai sehingga
membangkitkan suasana dinamis dan menciptakan keakraban serta
kekompakan di antara para karyawan sehingga mengurangi tingkat
perputaran karyawan.
Perusahaan dapat membangun jaringan strategis untuk kelancaran
pengembangan usaha di masa depan dengan berbagai pihak, termasuk
lembaga pemerintah baik nasional maupun internasional.
Pelaksanaan CSR merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah dari
penerapan GCG. Pelaksanaan CSR dengan baik, konsisten, dan secara terus-
menerus akan mengarahkan pada pembangunan yang berkelanjutan bagi
perusahaan tidak hanya dalam aspek ekonomi (pencapaian profit), tetapi juga
memperhatikan aspek lingkungan dan sosial para pemangku kepentingan lainnya,
seperti karyawan, pemerintah, dan masyarakat luas (tidak hanya pemegang
saham) sehingga pada akhirnya perusahaan akan dapat menciptakan nilai tambah
bagi seluruh pemangku kepentingan.
21
22