iv. hasil dan pembahasan - repository.ipb.ac.id · daging talas yang banyak dipasarkan adalah yang...

18
16 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TALAS Penelitian ini diawali dengan karakterisasi talas Banten yang meliputi penampakan fisik tanaman talas. Talas yang diamati adalah talas yang telah dikelompokkan berdasarkan umur panen. Umur panen talas yang diamati adalah 6 bulan, 8 bulan, 10 bulan, dan 12 bulan. Talas Banten ini berasal dari daerah Gunung Karang, Desa Juhut, Kabupaten Pandeglang. Habitat penanaman talas Banten ditunjukkan pada Gambar 7. Gambar 7. Habitat talas Banten di daerah Juhut, Pandeglang Talas Banten mempunyai keunikan yaitu mempunyai batang yang terdapat di dalam tanah. Batang yang tertanam di bawah tanah merupakan cormus yang berpati dan besar (Minantyorini dan Hanarida, 2002). Cormus yang terdapat pada talas Banten bentuknya memanjang dan mempunyai kecenderungan bertambah panjang setiap pertambahan umur tanaman. Cormus talas Banten mempunyai bentuk yang bercabang seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Cabang dari cormus diduga merupakan umbi talas Banten. Umbi talas Banten berukuran kecil bila dibandingkan dengan batang (cormus) talas tersebut. Bentuknya seperti tandan yang menempel pada cormus. Penampakan cormus talas Banten ditunjukkan pada Gambar 9 sedangkan penampakan umbi talas Banten pada Gambar 10. Gambar 8. Penampakan talas Banten

Upload: truongkien

Post on 14-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KARAKTERISASI TALAS

Penelitian ini diawali dengan karakterisasi talas Banten yang meliputi penampakan fisik

tanaman talas. Talas yang diamati adalah talas yang telah dikelompokkan berdasarkan umur

panen. Umur panen talas yang diamati adalah 6 bulan, 8 bulan, 10 bulan, dan 12 bulan. Talas

Banten ini berasal dari daerah Gunung Karang, Desa Juhut, Kabupaten Pandeglang. Habitat

penanaman talas Banten ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Habitat talas Banten di daerah Juhut, Pandeglang

Talas Banten mempunyai keunikan yaitu mempunyai batang yang terdapat di dalam tanah.

Batang yang tertanam di bawah tanah merupakan cormus yang berpati dan besar (Minantyorini

dan Hanarida, 2002). Cormus yang terdapat pada talas Banten bentuknya memanjang dan

mempunyai kecenderungan bertambah panjang setiap pertambahan umur tanaman. Cormus talas

Banten mempunyai bentuk yang bercabang seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Cabang dari

cormus diduga merupakan umbi talas Banten. Umbi talas Banten berukuran kecil bila

dibandingkan dengan batang (cormus) talas tersebut. Bentuknya seperti tandan yang menempel

pada cormus. Penampakan cormus talas Banten ditunjukkan pada Gambar 9 sedangkan

penampakan umbi talas Banten pada Gambar 10.

Gambar 8. Penampakan talas Banten

17

Gambar 9. Penampakan cormus talas Banten

Gambar 10. Penampakan umbi talas Banten

Talas Banten yang tumbuh di daerah Juhut belum mempunyai kepastian umur panen yang

tepat sehingga warga Juhut memanen talas apabila tanaman talas sudah terlihat besar dan tingginya

sudah melebihi tinggi manusia. Penelitian ini berupaya untuk mengkarakteristik talas Banten

berdasarkan umur panen sehingga diharapkan mampu mengetahui kepastian umur panen yang

tepat. Karakterisasi penampakan fisik talas Banten dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil karakteristik talas Banten berdasarkan umur panen

Karakteristik talas Umur Panen (bulan) Talas Bogor

(Nurafriani, 2010) 6 8 10 12

Bentuk batang memanjang memanjang memanjang memanjang membulat

Warna kulit batang coklat coklat coklat coklat merah

Warna daging batang kuning kuning kuning kuning putih

Panjang batang (cm) 34.81 40.56 54.13 66.95 10.3

Diameter batang (cm) 8.49 9.21 10.65 10.8 19

Bobot kotor batang (kg) 1.7 2.46 4.04 5.98 1.38

Bobot bersih batang (kg) 1.43 2.02 3.73 5.56 0.98

Batang (cormus) talas Banten mempunyai bentuk memanjang dengan setiap pertambahan

umur tanaman akan bertambah panjang. Dengan bentuk yang memanjang maka mempermudah

dalam pengupasan kulit batang sebelum dimasak. Selain itu, batang talas Banten permukaan kulit

luarnya rata sehingga mudah dikupas. Hal tersebut merupakan keuntungan yang dimiliki oleh talas

Banten. Namun bagian pangkal batang (batang yang letaknya paling dalam saat ditanam) memiliki

sedikit kesulitan saat dikupas karena banyaknya akar yang menempel pada batang dan adanya

umbi yang tumbuh disekitar pangkal batang.

Bentuk batang talas Banten berbeda dengan batang talas Bogor yang diteliti oleh Nurafriani

(2010) yang bentuknya membulat. Bila merujuk pada Minantyorini dan Hanarida (2002) yang

telah mengklasifikasikan bentuk batang ke dalam 8 kategori maka talas Banten masuk pada

Umbi talas Banten

Batang (cormus) talas Banten

18

kategori 6 yaitu bentuk memanjang sedangkan talas Bogor masuk ke dalam kategori 2 yaitu

membulat yang ditampilkan pada Gambar 2.

Warna kulit batang talas Banten yang diamati memiliki warna coklat untuk semua talas

Banten berbagai umur panen. Bila dibandingkan dengan talas Bogor yang memiliki warna kulit

merah, talas Banten memiliki penampakan kulit yang lebih gelap sehingga penampakannya adalah

warna coklat. Warna daging batang talas Bogor yang diamati memiliki warna kuning berbeda

dengan talas Bogor yang warna dagingnya adalah putih. Talas Bogor mempunyai warna kulit dan

daging buah yang sesuai dengan penjelasan Muchtadi dan Sugiyono (1992) bahwa talas memiliki

kulit berwarna kemerah-merahan dan dagingnya berwarna putih keruh.

Warna daging talas dapat mempengaruhi selera konsumen. Seorang konsumen akan

memilih talas dengan warna daging yang segar dan cerah warnanya. Karena daging talas yang

menarik (segar dan cerah warnanya) tidak memerlukan bahan pewarna sehingga aman untuk

dikonsumsi. Daging talas yang banyak dipasarkan adalah yang berwarna putih dan kuning

sehingga talas Banten memiliki potensi untuk dipasarkan karena memiliki warna kuning pada

dagingnya. Penampakan warna kuning pada talas Banten merupakan daya tarik karena pada talas

yang segar, warna kuningnya terlihat cerah.

Panjang batang pada talas Banten menunjukkan peningkatan setiap kenaikan umur panen.

Pada umur panen 6 bulan panjang batang adalah 34.81 cm, kemudian pada umur panen 8 bulan

panjang batangnya mencapai 40.56 cm. Panjang batang talas umur panen 10 bulan adalah 54.13

cm dan talas Banten umur panen 12 bulan mencapai 66.95 cm. Selisih paling besar dijumpai pada

saat talas mencapai usia 10 bulan karena perbedaan panjangnya mencapai 13.57 cm bila dihitung

dari usia sebelumnya yaitu 8 bulan. Hal ini dimungkinkan karena talas Banten sedang mengalami

fase pemanjangan sel yang optimum. Dikatakan pemanjangan sel yang optimum karena saat

mencapai usia 12 bulan peningkatan panjang batang hanya sebesar 12.82 cm. Pertumbuhan

panjang batang disebabkan oleh adanya kerja hormon pertumbuhan di dalam tanaman. Pada kasus

ini hormon pertumbuhan yang berperan adalah sitokinin. Sitokinin berperan memacu pembelahan

sel dan memacu pembesaran sel.

Batang talas Banten memiliki panjang batang yang lebih besar daripada talas Bogor yang

hanya memiliki 10.3 cm seperti yang diteliti oleh Nurafriani (2010). Talas Bogor yang diteliti oleh

Nurafriani (2010) hanya ⅓ panjang batang talas Banten umur panen 6 bulan. Bila merujuk pada

klasifikasi yang dilakukan oleh Minantyorini dan Hanarida (2002) terhadap panjang batang talas

maka talas Banten masuk kedalam kategori 9 karena panjang batang mencapai lebih dari 18 cm.

Klasifikasi panjang batang yang dilakukan oleh Minantyorini dan Hanarida (2002) membagi

panjang batang menjadi empat kategori yaitu : 3 (<8 cm), 5 (8-12 cm), 7 (12-18 cm), dan

9 (>18 cm).

Bobot kotor (daging dan kulit) batang talas Banten umur 6 – 12 bulan berkisar dari 1.7 –

5.98 kg. Bobot batang mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan usia tanaman talas.

Pada umur panen 6 bulan bobot batangnya 1.7 kg dan pada usia 8 bulan bobotnya mencapai 2.46

kg. Bobot batang semakin bertambah pada umur panen 10 bulan yaitu sebesar 4.04 kg dan

kemudian bertambah lagi pada umur panen 12 bulan yaitu mencapai 5.98 kg. Berdasarkan data

tersebut maka dapat ditunjukkan bahwa semakin besar ukuran batang maka semakin berat

bobotnya. Hal ini pun menunjukkan keterkaitan dengan panjang batang yaitu semakin panjang

batang maka semakin besar bobot batang talas Banten. Pertambahan bobot batang talas Banten

dapat disebabkan oleh dua faktor pertumbuhan pada tanaman yaitu faktor dalam seperti hormon

tumbuh dan faktor lingkungan seperti air, kelembaban, suhu, dan cahaya.

19

Selain itu menurut Hidajat (1980), ukuran batang yang bertambah seiring dengan

bertambahnya umur juga disebabkan oleh meningkatnya jumlah sel-sel parenkima korteks akibat

pembelahan sel secara periklinal di sekitar berkas pembuluh yang selanjutnya melebar ke arah

radial dan tangensial, serta terjadinya pembelahan sel yang tersebar pada batang.

Bobot batang pada talas Banten memiliki bobot yang lebih besar bila dibandingkan dengan

talas Bogor. Talas Bogor hanya memiliki bobot sebesar 1.38 kg (Nurafriani, 2010) padahal talas

Bogor tersebut dipanen pada usia tanaman 8 bulan. Dengan adanya informasi tersebut, maka

menanam talas Banten mempunyai kelebihan dari segi bobot karena pada umur panen 6 bulan saja

sudah didapat bobot batang sebesar 1.7 kg berbeda dengan talas Bogor yang harus menunggu

sampai 8 bulan untuk mendapatkan bobot batang sebesar 1.38 kg.

Klasifikasi bobot batang talas Banten bila merujuk pada Minantyorini dan Hanarida (2002),

maka talas Banten umur panen 6 bulan masuk pada kategori 2, talas Banten umur panen 8 bulan

masuk pada kategori 3, dan talas Banten umur panen 10 bulan dan 12 bulan masuk pada kategori

99. Klasifikasi Minantyorini dan Hanarida (2002) membagi kategori bobot talas menjadi 4 yaitu

kategori 1 (<0.5 kg), 2 (0.5 – 2.0 kg), 3 (2.0 – 4.0), dan 99 (>4.0).

Hasil yang didapat dari karakterisasi fisik batang talas Banten menunjukkan adanya

peningkatan untuk setiap parameter seperti panjang batang, bobot batang, dan diameter batang.

Peningkatan tersebut berbanding lurus dengan peningkatan umur panen. Hasil karakteristik fisik

tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk menentukan umur panen yang terbaik pada talas

Banten.

Karakterisasi yang dilakukan tidak terbatas pada karakterisasi berdasarkan umur panen,

melainkan dilakukan juga karakterisasi per bagian batang. Bagian batang yang diamati adalah

ujung batang, tengah batang, dan pangkal batang. Ujung batang dilihat dari batang yang paling

dekat dengan pelepah daun talas. Bagian pangkal batang adalah bagian batang yang paling dalam

ditanam di tanah atau bagian yang paling dekat akar. Sedangkan bagian tengah batang adalah

batang yang menghubungkan ujung batang dengan pangkal batang. Pembagian batang menjadi

tiga potongan diawali dari pengukuran panjang batang secara keseluruhan kemudian hasil

pengukuran dibagi menjadi tiga bagian yang sama panjang. Pembagian batang menjadi tiga

potongan dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Pembagian bagian batang pada talas Banten

Karakterisasi penampakan fisik batang per bagian juga diamati agar dapat diketahui sebaran

bagian batang yang memiliki kapasitas bobot dan diameter terbesar serta melihat pola

pertumbuhan yang terjadi pada batang talas Banten. Pada potongan per bagian batang, sebaran

terbesar untuk bobot kotor, bobot bersih, dan diameter batang ditemukan pada bagian tengah

batang untuk setiap umur panen. Karakterisasi fisik per bagian batang dapat dilihat pada Tabel 3.

Pangkal batang

Tengah batang

Ujung batang

20

Tabel 3. Hasil karakterisasi penampakan fisik per bagian batang

umur panen (bulan) bagian batang bobot kotor (kg) bobot bersih (kg) diameter (cm)

6

ujung 0.51 0.42 7.94

tengah 0.63 0.58 8.79

pangkal 0.53 0.44 8.37

8

ujung 0.81 0.63 9.08

tengah 0.93 0.77 9.29

pangkal 0.81 0.62 9.07

10

ujung 1.34 0.98 9.76

tengah 1.71 1.44 10.81

pangkal 1.31 1.05 10.54

12

ujung 1.52 1.53 10.54

tengah 2.04 1.96 11.12

pangkal 1.91 1.70 11.23

Bagian batang talas Banten merupakan bagian yang sering dimanfaatkan oleh warga

setempat karena bobot batang lebih besar dari daripada umbi talas tersebut. Masyarakat setempat

menyebut umbi sebagai kimpul. Berdasarkan penelitian kali ini, kimpul baru ada saat talas Banten

mencapai umur tanaman 10 bulan. Hal ini diduga karena belum berkembangnya sel-sel

pertumbuhan kimpul. Oleh karena itu, pemanfaaatan batang pada talas Banten lebih diutamakan

daripada kimpul talas Banten. Karakteristik bobot kotor umbi (kimpul) talas Banten ditampilkan

pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil karakterisasi bobot kotor umbi (kimpul) talas Banten

umur panen (bulan) 6 8 10 12

bobot kotor (kg) - - 0.37 1.17

Karakteristik fisik yang dilakukan tidak cukup untuk dijadikan sebagai acuan untuk

penentuan umur panen talas Banten terbaik maka itu perlu dilakukan analisis kimia. Analisis kimia

yang dilakukan adalah kadar air batang. Pada pengukuran kadar air ini, selain talas dibedakan

berdasarkan umur panen, talas juga dibedakan berdasarkan bagian batang. Kadar air talas Banten

berdasarkan umur panen ditampilkan pada Gambar 12.

Gambar 12. Hubungan antara kadar air batang dengan umur panen talas Banten

78.0378.30

76.23

77.40

76.0

76.5

77.0

77.5

78.0

78.5

6 bulan 8 bulan 10 bulan 12 bulan

kada

r ai

r ba

tang

(%

)

umur panen

21

Berdasarkan sidik ragam didapatkan hasil Pvalue > α (0.05) untuk faktor umur panen

(Lampiran 2) sehingga hipotesis H0 diterima yaitu faktor umur panen tidak berpengaruh terhadap

respon yang diamati (kadar air batang). Kadar air batang tertinggi ditemukan pada talas umur

panen 8 bulan yaitu 78.3% sedangkan kadar air terendah ditemukan pada talas dengan umur panen

10 bulan yaitu 76.23% namun tidak ada perbedaan yang nyata antara kadar air batang umur panen

tersebut.

Hasil serupa juga didapatkan pada faktor bagian batang bahwa sidik ragam didapatkan hasil

Pvalue > α (0.05) (Lampiran 2) sehingga hipotesis H0 diterima yaitu faktor bagian batang tidak

berpengaruh terhadap respon yang diamati (kadar air batang). Berdasarkan grafik pada Gambar 13,

kadar air tertinggi ditemukan pada bagian pangkal batang dan terendah ditemukan pada bagian

tengah. Tidak adanya perbedaan yang nyata disebabkan karena bagian batang berasal dari batang

yang sama.

Gambar 13. Hubungan kadar air dengan bagian batang talas Banten

Interaksi antara faktor umur dan bagian batang pun tidak berpengaruh nyata terhadap kadar

air batang karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 2) sehingga hipotesis H0 diterima. Pengaruh blok pun

tidak ada karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 2) dan hipotesis H0 diterima yaitu blok tidak

berpengaruh terhadap respon yang diamati yaitu kadar air batang.

Kandungan air yang terdapat pada batang talas berpengaruh pada jumlah rendemen tepung

yang dihasilkan. Kadar air yang tinggi pada batang akan menghasilkan rendemen tepung yang

sedikit namun sebaliknya bila kadar air rendah pada batang maka akan mendapatkan rendemen

tepung yang lebih banyak. Kadar air suatu bahan pangan merupakan sesuatu yang sangat penting.

Kadar air suatu bahan juga memepengaruhi umur simpan bahan pangan tersebut. Semakin rendah

kadar air suatu bahan maka akan semakin awet bahan pangan tersebut. Hal ini karena semakin

rendah nilai kadar air maka semakin rendah nilai aktifitas airnya. Nilai aktifitas air ini berkaitan

dengan mikroba. Aktifitas air dapat didefinisikan sebagai jumlah air bebas yang dapat digunakan

mikroba untuk mendukung pertumbuhannya (Winarno, 1997). Bahan pangan dengan aktifitas air

rendah maka air yang terdapat pada bahan tersebut tidak dapat digunakan mikroba untuk

melakukan pertumbuhan sehingga bahan pangan akan lebih awet.

77.68

75.41

79.38

74

75

76

77

78

79

80

ujung tengah pangkal

kada

r ai

r (%

)

bagian batang talas

22

B. KARAKTERISASI TEPUNG TALAS BERBAGAI UMUR PANEN

1. Kadar Air Tepung

Kadar air tepung talas Banten yang didapat menunjukkan hasil bahwa pada umur panen

8 bulan terjadi peningkatan kadar air namun kemudian terjadi penurunan pada umur panen 10

bulan terjadi penurunan begitu juga dengan tepung umur panen 12 bulan. Hubungan antara

kadar air tepung talas Banten dengan umur panen ditunjukkan pada Gambar 14.

Gambar 14. Hubungan antara kadar air tepung talas Banten dengan umur panen

Hasil sidik ragam didapatkan bahwa Pvalue > α (0.05) untuk faktor umur panen

(Lampiran 3) sehingga hipotesis H0 diterima untuk faktor umur panen yang menjelaskan bahwa

faktor umur panen tidak berpengaruh terhadap kadar air tepung. Pengaruh bagian batang pun

tidak ada karena hasil sidik ragam didapatkan bahwa Pvalue > α (0.05) untuk bagian batang

(Lampiran 3) sehingga hipotesis H0 diterima.

Interaksi antara umur panen dan bagian batang yang didapatkan dari sidik ragam

menunjukkan bahwa Pvalue > α (0.05) (Lampiran 3) sehingga hipotesis H0 diterima untuk

interaksi antara umur panen dan bagian batang yang menyatakan bahwa interaksi dari faktor

umur panen dengan faktor bagian batang tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati yaitu

kadar air tepung. Hasil serupa juga didapatkan untuk pengelompokkan yaitu Pvalue > α (0.05)

(Lampiran 3) untuk hasil sidik ragam. Sehingga blok tidak berpengaruh terhadap kadar air

tepung.

Kadar air tepung paling tinggi ditemukan pada tepung talas Banten umur panen 8 bulan

yaitu sebesar 6.42% sedangkan kadar air tepung yang terendah ditemukan pada tepung talas

umur panen 12 bulan yaitu 5.11%. Namun hal tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang

nyata. Kadar air tepung Banten telah memenuhi syarat kadar air yang aman untuk tepung yaitu

dibawah 14%, sehingga dapat mencegah pertumbuhan kapang (Winarno et al., 1980). Kadar

air juga berpengaruh terhadap keawetan produk pangan karena bahan yang berkadar air tinggi

akan lebih cepat busuk akibat adanya aktivitas mikroorganisme. Richana dan Sunarti (2002),

menambahkan bahwa jumlah air dalam bahan akan mempengaruhi daya tahan bahan terhadap

kerusakan yang disebabkan oleh mikroba maupun serangga.

Pada Gambar 15, grafik tersebut menunjukkan bahwa batang bagian tengah mempunyai

kadar air yang tinggi yaitu 6.25% sedangkan yang terendah ditemukan pada bagian pangkal

batang yaitu 5.41%. Hasil yang didapat tidak berpengaruh pada kadar air tepung yang didapat

5.92

6.42

5.89

5.11

4.5

5.0

5.5

6.0

6.5

7.0

6 bulan 8 bulan 10 bulan 12 bulan

kada

r ai

r te

pung

(%

)

umur panen

23

sehingga pemanfaatan batang dapat maksimal tidak tergantung pada bagian batang tertentu

saja.

Gambar 15. Hubungan antara kadar air tepung dengan bagian batang talas Banten

Kadar air tepung talas mempunyai nilai yang berbeda dengan kadar air batang talas. Hal

ini dikarenakan pada tepung talas terjadi proses pengeringan sehingga air yang terkandung di

dalam batang menguap. Nilai kadar air pada tepung talas menunjukkan pola grafik yang sama

dengan kadar air batang talas. Hanya satu umur saja yang mempunyai pola grafik berbeda

yaitu pada umur panen 12 bulan. Pada batang, kadar air yang didapat meningkat sedangkan

pada tepung hasilnya menurun. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh pengaruh suhu dan lama

pengeringan serta kondisi saat pengeringan berlangsung. Selain itu tidak adanya parameter

yang jelas untuk mengetahui kekeringan keripik. Biasanya indikator keripik sudah kering

adalah keripik dapat dipatahkan sehingga keripik dapat langsung ditepungkan. Namun

kendalanya adalah keripik dipatahkan hanya beberapa sampel saja sehingga tidak semua

keripik dapat diketahui keseragaman kekeringannya.

Suhu yang kurang merata pada tray merupakan faktor penyebab ketidakseragaman

kekeringan keripik. Selain itu juga waktu pengeringan juga berpengaruh terhadap kekeringan

keripik. Semakin tinggi suhu dan lama pemanasan maka penguapan air yang terjadi akan lebih

banyak sehingga kadar airnya juga lebih rendah. Walaupun demikian, suhu yang terlalu tinggi

akan menyebabkan kegosongan pada bahan yang dikeringkan. Waktu yang terlalu lama juga

akan menyebabkan ketidakefisienan proses pengeringan, karena pada awal pengeringan

kecepatan jumlah air yang hilang per satuan waktu adalah tetap, tetapi kemudian terjadi

penurunan penghilangan air tidak akan terlalu banyak lagi (Winarno, 1997).

2. Rendemen Tepung

Rendemen tepung talas didapatkan dari hasil tepung dibandingkan dengan bobot bersih

(daging) batang talas. Rendemen tepung talas yang didapat menunjukkan peningkatan pada

umur panen 10 bulan. Rendemen tepung pada umur panen 10 bulan yaitu sebesar 24.39%

sedangkan rendemen terendah ditemukan pada umur panen 8 bulan yaitu 20.16%. Hubungan

antara rendemen tepung talas ditunjukkan pada Gambar 16.

Hasil sidik ragam menunjukkan Pvalue > α (0.05) (Lampiran 4) untuk faktor umur panen

sehingga hipotesis H0 diterima untuk faktor umur panen yaitu faktor umur tidak berpengaruh

terhadap rendemen tepung talas Banten. Interaksi yang terjadi juga tidak ada antara umur

5.85

6.25

5.41

5.2

5.4

5.6

5.8

6.0

6.2

6.4

ujung tengah pangkal

kada

r ai

r te

pung

(%

)

bagian batang

24

panen dan bagian batang karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 4). Blok pun tidak berpengaruh

untuk rendemen tepung talas karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 4).

Gambar 16. Hubungan antara rendemen tepung talas Banten dengan umur panen

Rendemen tepung talas umur panen 10 bulan mempunyai nilai rendemen tepung

terbesar. Hal ini karena didukung oleh kadar air batang paling kecil yaitu 76.23% dan juga nilai

kadar air tepung yang rendah yaitu 5.89%. Hal ini terbukti bahwa nilai kadar air mempengaruhi

rendemen tepung yang dihasilkan. Bahwa semakin meningkatnya kadar air maka rendemen

yang dihasilkan akan sedikit namun apabila kadar air dalam suatu bahan rendah maka

rendemen produk yang dihasilkan akan meningkat.

Gambar 17. Hubungan rendemen tepung dengan bagian batang talas

Pada Gambar 17 dapat dilihat bahwa rendemen tepung talas Banten cenderung

meningkat dari ujung ke bagian pangkal batang. Namun, hal ini tidak berpengaruh terhadap

rendemen tepung talas karena berdasarkan hasil sidik ragam didapatkan hasil Pvalue > α (0.05)

(Lampiran 4). Rendemen tepung talas dipengaruhi oleh proses pembuatan tepung talas seperti

pengeringan, penepungan, dan pengayakan. Proses tersebut dapat mengurangi rendemen

tepung talas yang dihasilkan. Pada proses pengeringan, banyak komponen talas yang hilang

akibat talas kering (sawut/keripik) tercecer di lantai dan menempel di tray dan sulit untuk

diambil. Pada proses penepungan dan pengayakan, ada sebagian tepung yang beterbangan dan

21.50

20.16

24.39

20.43

19

20

21

22

23

24

25

6 bulan 8 bulan 10 bulan 12 bulan

rend

emen

tep

ung

(%)

umur panen

21.05 21.09

22.73

20.5

21.0

21.5

22.0

22.5

23.0

ujung tengah pangkal

rend

emen

tep

ung

(%)

bagian batang

25

menempel pada bahan penampung tepung. Hal ini semua dapat mengurangi rendemen tepung

talas yang dihasilkan. Namun demikian, hal itu merupakan sesuatu yang lazim yang tidak dapat

dihindari, karena setiap proses pengolahan pangan pasti akan mengalami kehilangan. Baik

karena tercecer atau karena akumulasi di alat.

3. Kadar Oksalat

Metode yang digunakan dalam menghitung kadar oksalat adalah dengan menggunakan

metode HPLC (High Performance Liquid Chromatograph) karena memberikan hasil yang

sangat akurat (Savage et al., 2000). Dengan metode HPLC, analisis yang dilakukan adalah

soluble dan total oksalat sedangkan untuk insoluble oksalat biasanya dilakukan dengan metode

by different (Hollowey et al. 1989). Pada penelitian ini dilakukan analisis oksalat terlarut dan

total oksalat untuk mengetahui kandungan oksalat yang terdapat pada talas Banten. Hubungan

antara kandungan oksalat talas Banten dengan umur panen dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Hubungan antara kndungan oksalat talas Banten dengan umur panen

Hasil sidik ragam (Lampiran 5) didapatkan bahwa Pvalue > α (0.05) untuk faktor umur

panen sehingga hipotesis H0 diterima yang menjelaskan bahwa faktor umur panen tidak

berpengaruh terhadap kandungan oksalat yang ada di dalam talas. Berdasarkan grafik pada

Gambar 18 terlihat bahwa kandungan oksalat cenderung menurun pada umur tanaman talas 10

bulan namun mengalami kenaikan saat umur tanaman 12 bulan. Namun hal tersebut bukan

merupakan acuan karena berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 5) bahwa umur panen tidak

mempunyai pengaruh terhadap kandungan oksalat dalam talas.

Perkembangan jumlah oksalat berkaitan dengan pola pertumbuhan tanaman talas

Banten. Kandungan oksalat berkaitan dengan kebutuhan kalsium untuk pertumbuhan tanaman

sehingga diduga mempengaruhi pengendapan kalsium untuk pembentukkan kristal kalsium

oksalat. Seperti dijelaskan oleh Ma dan Miyasaka (1998), bahwa peran oksalat pada tumbuhan

antara lain sebagai perlindungan terhadap insekta dan hewan pemakan tumbuhan melalui

toksisitas dan/atau rasa yang tidak menyenangkan, dan osmoregulasi sehingga mempunyai arti

penting bagi talas dalam melindungi diri.

Pertumbuhan vegetatif tanaman talas yang maksimum sehingga menyebabkan

penurunan jumlah total kristal kalsium oksalat. Pertumbuhan yang cepat membutuhkan

8525.68

7115.37

5903.00

7030.14

5000

6000

7000

8000

9000

6 bulan 8 bulan 10 bulan 12 bulan

kada

r ok

sala

t (pp

m)

umur panen

26

kalsium yang tinggi untuk pertumbuhan tanaman karena fungsi kalsium pada tanaman

merupakan kation dari lamela tengah suatu dinding sel, dimana kalsium pektat merupakan

penyusun utamanya. Selain itu Ca memiliki andil penting dalam pengaturan membran sel

dengan jalan memelihara selektivitas terhadap berbagai jenis ion (Salisbury dan Ross, 1995).

Gambar 19. Hubungan antara kandungan oksalat dengan bagian batang talas

Berdasarkan grafik pada Gambar 19, sebaran kandungan oksalat yang tinggi berada

pada batang bagian ujung dengan rata-rata kandungan total oksalat sebesar 7,491.59 ppm.

Kandungan oksalat pada batang mempunyai pola kecenderungan menurun dari ujung batang

ke bagian pangkal batang. Namun berdasarkan sidik ragam didapatkan bahwa Pvalue > α (0.05)

(Lampiran 5) sehingga hipotesis H0 diterima yang menjelaskan bahwa faktor bagian batang

tidak berpengaruh terhadap kandungan oksalat yang ada di dalam talas.

Menurut Salisbury dan Ross (1995), kelebihan kalsium akan berdampak pada defisiensi

kalsium. Walaupun semua titik tumbuh peka terhadap defisiensi kalsium tetapi bagian akarlah

yang lebih parah. Bagian itu akan berhenti tumbuh, menjadi tidak teratur, terlihat bagai

membelit dan pada defisiensi berat akan mati. Sehingga bagian batang yang dekat akar

(pangkal) tidak dapat menerima kelebihan kalsium.

Interaksi antara umur panen dan bagian batang tidak berpengaruh terhadap kandungan

oksalat karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 5). Selain itu, blok pun tidak berpengaruh terhadap

oksalat yang ada di dalam talas karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 5).

Kandungan oksalat yang tinggi diduga berada di dekat daerah xilem yang terdapat di

dalam batang. Pada tumbuhan monokotil, jaringan pengangkut tersebar secara acak di dalam

jaringan dasar (biasanya tersusun atas sel-sel parenkim). Setiap jaringan pengangkut dikelilingi

oleh pembungkus (bundle sheath) dan memiliki xilem yang mengarah ke dalam serta floem yg

mengarah ke luar batang (Campbell et al., 2002). Menurut Horner dan Wagner (1995), kalsium

diangkut melalui xilem, kemudian dengan oksalat terlarut membentuk kristal kalsium oksalat.

Selain itu Schadel dan Walter (1980) melaporkan bahwa tanaman dapat mengurangi kelebihan

kalsium dengan cara pembuangan kalsium melalui proses gutasi dan penyimpanan kelebihan

kalsium dalam bentuk kristal kalsium oksalat di sekitar xilem.

Oksalat pada talas diduga kuat merupakan penyebab rasa gatal yang ditimbulkan talas.

Menurut Bradbury dan Nixon (1998), Rasa yang tajam ini disebabkan oleh kalsium oksalat

yang berbentuk raphide (Gambar 3) serta dapat menembus kulit lembut. Lebih lagi Bradbury

dan Holloway (1988) melaporkan bahwa kristal kalsium oksalat tipe raphide menyebabkan

7491.59

7032.296906.76

6700

6900

7100

7300

7500

7700

ujung tengah pangkal

kada

r ok

sala

t (pp

m)

bagian batang

27

rasa gatal dengan cara melepaskan diri dari sel idioblas melalui selubung sel yang robek.

Kemudian kristal ini menginjeksikan dirinya ke dalam jaringan mulut maupun kulit, dan

bersamaan dengan robeknya selubung, senyawa yang bersifat toksik dikeluarkan dari dari sel

idioblas. Senyawa yang bersifat toksik ini belum diketahui secara pasti komponennya.

4. Kadar Pati

Kadar pati pada tepung talas Banten dengan hasil terbesar ditemukan pada umur panen

8 bulan yaitu sebesar 96.36%. Sedangkan kadar pati terendah ditemukan pada talas Banten

umur panen 10 bulan yaitu sebesar 91.09%. Berdasarkan sidik ragam didapatkan Pvalue < α

(0.05) (Lampiran 6) sehingga hipotesis H0 ditolak dan hipotesis H1 diterima yaitu paling sedikit

ada satu umur panen yang mempengaruhi kadar pati pada talas Banten. Pada umur panen 8

bulan, diduga terjadi pembentukan pati pada talas saat berfotosintesis mempunyai kandungan

nutrisi yang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Leger (1980) yang menyatakan bahwa

waktu/umur panen tertentu merupakan titik optimal dimana kandungan nutrisi terutama

kandungan pati yang cukup tinggi dan sudah tidak terjadi penambahan yang berarti, pada

umumnya umbi yang dipanen pada umur panen yang lebih tua akan memiliki kandungan pati

yang lebih tinggi. Namun demikian peningkatan kandungan pati umbi yang ditanam juga

dipengaruhi oleh kondisi tanamna, terutama bagian daun yang erat kaitannya dengan proses

fotosintesis, dimana semakin tua umur tanaman, daunnya akan menguning sehingga sudah

tidak efektif lagi dalam kaitannya untuk peningkatan kandungan pati. Hubungan antara kadar

pati talas Banten dengan umur panen disajikan pada Gambar 20.

Gambar 20. Hubungan antara kadar pati talas Banten dengan umur panen *) keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata

Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 7) menunjukkan bahwa talas Banten mempunyai

perbedaan yang nyata untuk setiap umur panen. Berdasarkan hasil tersebut kandungan pati

tertinggi ditemukan pada umur panen 8 bulan yaitu 96.36%.

Jika dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu yang mendapatkan kadar pati umbi

talas sebesar 24.5% (Bradbury dan Holloway, 1988), kadar pati umbi talas yang diuji pada

penelitian ini menunjukkan hasil yang lebih tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh umur

talas serta macam kultivar yang digunakan dan lingkungan pembudidayaannya. Karena talas

yang diujikan oleh Bradbury dan Holloway (1988) adalah talas yang diambil dari negara Fiji.

94.63b

96.36a

91.09d

93.49c

90

91

92

93

94

95

96

97

6 bulan 8 bulan 10 bulan 12 bulan

kada

r pa

ti (%

)

umur panen

28

Berbeda dengan penelitian ini yang menggunakan talas Banten sebagai sampel ujinya. Selain

itu, bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa tepung sedangkan bahan yang dipakai

oleh Bradbury dan Holloway (1988) berupa umbi segar.

Penentuan kadar pati pun pernah dilakukan oleh Hartati dan Prana (2003), mereka

melakukan identifikasi terhadap kandungan pati yang dimiliki oleh 20 kultivar talas.

Berdasarkan hasil analisis, kandungan pati yang dimiliki oleh 20 kultivar talas tersebut berkisar

antara 68.24 – 72.61%. Hasil ini menunjukkan perbedaan kadar pati yang didapat pada

penelitian yaitu kisaran kandungan pati yalas Banten sebesar 91.09 – 96.36%. Perbedaan ini

didasari perbedaan genus tanaman talas karena talas yang diamati oleh Hartati dan Prana

(2003) merupakan talas genus Colocasia.

Fotosintesis yang terjadi pada talas Banten tertinggi pada talas umur panen 8 bulan

karena terjadi peningkatan kadar pati yang sangat tinggi. Jumlah kandungan pati yang tinggi

dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan tapi di daun yang amat penting adalah tingkat

dan lama cahaya seperti yang diungkapkan oleh Salisbury dan Ross (1995). Hal ini dapat

diduga karena kondisi lingkungan yang kurang optimal pada saat penanaman.

Pati yang sering dijumpai terdiri dari dua jenis yaitu amilosa dan amilopektin yang

keduanya terdiri dari D–glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α–1,4. Ikatan α–1,4

menyebabkan rantai pati menggulung menjadi kumparan. Amilopektin terdiri dari molekul

yang bercabang-cabang; cabang itu terdapat diantara C–6 dari glukosa pada rantai utama dan

C–1 dari glukosa pertama pada rantai cabang (ikatan α–1,6) (Salisbury dan Ross, 1995).

Gambar 21. Hubungan antara kadar pati dengan bagian batang talas

*) keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa Pvalue < α (0.05) (Lampiran 6) sehingga hipotesis

H0 ditolak dan hipotesis H1 diterima yaitu minimal ada satu bagian batang yang berpengaruh

terhadap kadar pati. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 7), bagian ujung batang berbeda

nyata dengan bagian tengah dan pangkal batang. Bagian ujung batang mempunyai kandungan

pati paling tinggi yaitu 94.98%. hal ini diduga bagian ujung merupakan bagian yang paling

dekat dengan daun tempat fotosintesis berlangsung.

Interaksi antara umur panen dan bagian batang mempengaruhi kadar pati yang ada pada

talas. Hal ini didasari oleh hasil sidik ragam yang menyatakan bahwa Pvalue < α (0.05)

(Lampiran 6) sehingga H0 ditolak dan H1 diterima yaitu paling sedikit ada sepasang interakasi

antara umur dan bagian batang yang mempengaruhi kadar pati. Perbedaan yang nyata untuk

94.98a

93.54b

93.16b

92.5

93.0

93.5

94.0

94.5

95.0

95.5

ujung tengah pangkal

kada

r pa

ti (%

)

bagian batang

29

interakasi antara umur dan bagian batang terdapat pada Lampiran 7. Sedangkan untuk blok

tidak berpengaruh terhadap kadar pati karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 6).

C. REDUKSI OKSALAT TALAS

Teknik reduksi oksalat yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan cara perendaman

talas menggunakan larutan NaCl. Ada dua konsentrasi larutan yang digunakan yaitu larutan NaCl

5% dan larutan NaCl 10%. Waktu perendaman juga diperhitungkan dalam penelitian ini dan taraf

waktu yang digunakan sebanyak 5 taraf yaitu 30, 60, 90, 120, dan 150 menit. Hubungan antara

waktu perendaman serta konsentrasi larutan NaCl yang digunakan terhadap reduksi oksalat dapat

dilihat pada Gambar 22.

Konsentrasi yang dipakai mengacu pada perlakuan terbaik yang dipakai oleh Mayasari

(2010). Pada penelitian Mayasari (2010) tersebut, konsentrasi yang terbaik dalam mereduksi

oksalat adalah perendaman talas dalam larutan NaCl 10%. Konsentrasi yang dipakai mempunyai

tingkat tertinggi pada 10%. Hal ini dikarenakan bila konsentrasi NaCl ditambahkan akan berakibat

asin pada rasa tepung yang dihasilkan sehingga pemakaian konsentrasi dibatasi. Sedangkan

pemilihan waktu didasarkan pada kemampuan yang dimiliki NaCl dalam menyerap oksalat pada

talas. Pada penelitian Mayasari (2010), waktu maksimum yang dipakai adalah 60 menit sedangkan

pada penelitian kali ini waktu maksimum yang dipakai adalah 150 menit. Hal ini dilakukan untuk

membuktikan kemampuan penyerapan oksalat oleh NaCl dapat lebih maksimal bila kondisi waktu

ditambahkan lebih dari 60 menit.

Gambar 22. Hubungan antara waktu perendaman dan konsentrasi NaCl terhadap reduksi oksalat

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa Pvalue > α (0.05) (Lampiran 8) untuk konsentrasi

NaCl yang digunakan. Sehingga hipotesis H0 diterima yaitu faktor konsentrasi larutan NaCl (petak

utama) tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati yaitu penurunan kandungan oksalat.

Sedangkan hasil sidik ragam untuk waktu perendaman menunjukkan bahwa Pvalue < α (0.05)

(Lampiran 8) sehingga hipotesis H0 ditolak dan H1 diterima yaitu minimal ada satu waktu

perendaman yang berbeda nyata. Kadar oksalat terendah ditunjukkan pada waktu perendaman 150

menit dan terendah selama perendaman 30 menit. Kandungan oksalat pada talas semakin menurun

setiap pertambahan waktu perendaman.

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

30 60 90 120 150

kada

r ok

sala

t (pp

m)

waktu perendaman (menit)

NaCl 5%

NaCl 10%

30

Berdasarkan uji lanjut Duncan pada Lampiran 9 hanya waktu perendaman selama 90 menit

dan 120 menit yang tidak berbeda nyata. Sedangkan untuk waktu perendaman lainnya

menunjukkan perbedaan yang nyata. Berdasrkan persentase reduksi oksalat yang ditampilkan pada

Tabel 5, pengaruh waktu terbesar ditunjukkan pada 150 menit.

Tabel 5. Persentase reduksi oksalat talas pada perendaman larutan NaCl

kadar oksalat awal

(ppm) waktu (menit)

kadar oksalat akhir (ppm) persentase reduksi (%)

5% 10% 5% 10%

5894.40 30 5690.37 5729.07 3.46 3

5894.40 60 3594.08 3680.04 39.03 37.57

5894.40 90 3141.16 2023.68 46.71 65.67

5894.40 120 2739.29 1669.33 53.53 71.68

5894.40 150 1652.65 572.31 71.96 90.29

Interaksi antara konsentrasi larutan dan waktu perendaman tidak berpengaruh terhadap

reduksi oksalat. Hal ini berdasarkan sidik ragam yang ditunjukkan pada Lampiran 8 bahwa bahwa

Pvalue > α (0.05). Berdasarkan data pada Tabel 5, presentase reduksi oksalat terbesar ditemukan

pada larutan NaCl 10% dengan waktu perendaman selama 150 menit. Hal ini didasari oleh

semakin banyak partikel Na+ dan Cl- yang terdapat dalam larutan maka semakin banyak ikatan

yang terjadi dengan partikel Ca2+ dan C2O42- yang menghasilkan natrium oksalat (Na2C2O4) yang

larut dalam air sehingga kadar oksalat dapat tereduksi secara maksimal melalui air perendaman

yang terbuang.

Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mereduksi atau bahkan menghilangkan

kandungan oksalat yang ada di dalam talas. Salah satu metode yang digunakan adalah perendaman

dalam air hangat dengan suhu antara 38 – 48°C yang dilakukan oleh Huang dan Hollyer (1995).

Proses pemanasan pun juga telah dilakukan oleh Wahyudi (2010) yang menggunakan suhu 40°C

dalam merendam talas. Pada penelitian Wahyudi (2010), kandungan oksalat menurun hingga

81.96%.

Untuk mendapatkan hasil reduksi oksalat yang lebih banyak, seharusnya talas dipanaskan

dahulu pada suhu 40°C sebelum talas diberi perlakuan perendaman larutan garam. Namun hal itu

tidak dilakukan karena pada penelitian ini talas langsung direndam dengan larutan NaCl.

Perlakuan terbaik didapatkan pada perendaman talas dengan menggunakan larutan NaCl 10%

selama 150 menit mencapai penurunan oksalat sebanyak 90.29%. Walaupun talas Banten tidak

diberi perlakuan pemanasan tetapi hasil yang didapat menunjukkan penurunan yang lebih besar

dalam mereduksi oksalat daripada hasil yang didapatkan oleh Wahyudi (2010). Hal ini diduga

karena perendaman dengan larutan NaCl 10% tidak hanya melarutkan oksalat terlarut namun juga

kalsium oksalat yang tidak larut dalam air.

Reduksi oksalat dengan menggunakan larutan kimia seperti asam juga sudah pernah

dilakukan sebelumnya. Asam yang digunakan dapat bersifat asam kuat atau pun asam lemah.

Penggunaan asam kuat dalam mereduksi oksalat pernah dilakukan oleh Kurdi (2002). Kurdi

(2002) menggunakan larutan asam klorida 0.25% selama 4 menit. Hasil yang didapat hanya

mereduksi oksalat sebanyak 32%. Hasil yang didapat Kurdi mempunyai nilai yang lebih rendah

dalam mereduksi oksalat bila dibandingkan dengan penelitian ini yang menggunakan larutan NaCl

10% selama 150 menit. Padahal reaksi antara asam klorida dan kalsium oksalat akan membentuk

asam oksalat yang larut dalam air dan juga membentuk endapan kalsium klorida. Hal ini

disebabkan oleh sifat asam klorida yang termasuk jenis asam kuat (pKa= -8.0) yang dapat

31

terdisosiasi penuh dalam air, sehingga mampu melarutkan kalsium oksalat menjadi asam oksalat

(Schumm, 1978).

Perendaman dengan asam sitrat pun pernah dilakukan Onayemi dan Nwigwe (1987) yang

menggunakan larutan asam sitrat dengan konsentrasi 0.1% dengan lama perendaman 3 jam. Hasil

perendaman dengan asam sitrat dapat menurunkan oksalat hingga 80%. Hasil yang didapat cukup

tinggi karena konsentrasi yang digunakan hanya 0.1% namun waktu perendaman sangat lama yaitu

3 jam. Dengan waktu yang terlalu lama maka akan mengurangi tingkat kesukaan konsumen

terhadap produk karena rasa masam dari asam sitrat yang menimbulkan penyimpangan cita rasa.

Reduksi oksalat dengan perendaman larutan NaCl pernah dilakukan oleh Prabowo (2010)

pada umbi porang yang masih satu keluarga dengan talas dalam suku talas-talasan (Araceae).

Perendaman irisan umbi porang dilakukan secara berulang hingga lima kali pada larutan NaCl

4.5% dengan nilai efisiensi hampir 40%. Nilai efisiensi tersebut dinilai masih rendah karena tidak

mampu mereduksi sebagian besar kalsium oksalat dari irisan umbi.

Reduksi oksalat pada talas dengan perendaman larutan NaCl juga dilakukan oleh Mayasari

(2010). Mayasari menggunakan larutan NaCl 10% untuk merendam talas dengan lama waktu

perendaman 60 menit. Hasil penelitian Mayasari menunjukkan bahwa perendaman dengan larutan

NaCl 10% selama 60 menit mampu mereduksi oksalat sebesar 96.83%.

Perendaman dengan larutan garam NaCl 10% yang dilakukan mempunyai perbedaan hasil

dengan penelitian sebelumnya yaitu Mayasari (2010). Mayasari (2010) menyatakan bahwa dengan

perendaman larutan garam NaCl 10% selama 60 menit memiliki kemampuan terbaik untuk

mereduksi kandungan oksalat yang ada di talas namun pada penelitian kali ini waktu perendaman

terbaik adalah perendaman selama 150 menit dengan konsentrasi larutan yang digunakan sama

yaitu sebesar 10%. Perbedaan lama waktu yang didapat disebabkan oleh perbedaan jenis talas

yang digunakan. Talas yang dipakai oleh Mayasari adalah talas Bogor (C. esculenta L.Schoot)

yang mempunyai penampakan fisik dan kandungan kimia yang berbeda dengan talas Banten

(X. undipes K.Koch). Dengan adanya perbedaan jenis talas maka kemampuan untuk mengeluarkan

oksalat yang terkandung di dalam talas berbeda juga. Selain itu waktu maksimal yang dipakai

Mayasari hanya pada 60 menit berbeda dengan penelitian ini yang menggunakan waktu maksimal

150 menit. Bila Mayasari (2010) menambahkan taraf waktu lebih lama pada faktor waktu

perendaman maka akan didapat kemungkinan waktu terbaik bukan 60 menit melainkan taraf

waktu yang lebih panjang karena dengan lamanya waktu perendaman akan terjadi pengikatan ion

C2O42- oleh ion Na+ sehingga membentuk natrium oksalat (Na2C2O4) yang larut dalam air lebih

lama dan pengikatan ion tersebut dapat maksimal dengan lamanya waktu perendaman.

Penurunan kandungan oksalat mencapai 96.83% yang dilakukan oleh Mayasari dapat juga

disebabkan oleh adanya perlakuan pemanasan sebelum perendaman dengan larutan NaCl.

Penelitian Mayasari merupakan penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Wahyudi (2010) sehingga

tingginya penurunan oksalat yang dicapai oleh Mayasari sangat besar karena memang pada saat

pemanasan dengan suhu 40°C saja, kandungan oksalat sudah menurun 81.96%. Dengan adanya

proses perendaman dengan air panas, asam oksalat yang ada di dalam talas dapat berkurang karena

kandungan oksalat dalam bahan berpindah ke air rendaman yang tidak mengandung oksalat.

Perpindahan oksalat dari dalam talas ke air rendaman memungkinkan kandungan oksalat pada

talas berkurang.

Reduksi oksalat pada talas Banten perlu dilakukan karena asam oksalat dan garamnya dapat

memiliki efek merusak terhadap gizi dan kesehatan manusia, terutama dengan mengurangi

penyerapan kalsium dan membantu pembentukan batu ginjal seperti yang dijelaskan oleh Noonan

dan Savage (1999). Kebanyakan kencing batu terbentuk pada manusia karena adanya kristal

32

kalsium oksalat (Hodgkinson, 1977). Penderita batu ginjal harus membatasi total asupan oksalat

tidak melebihi 50 – 60 mg per hari (Massey et al., 2001).

Menurut Holmes dan Kennedy (2000), makanan yang mengandung oksalat (>10 mg/100g)

termasuk makanan yang tinggi oksalat sehingga berpeluang dalam menyebabkan batu ginjal.

Berdasarkan pernyataan Holmes dan Kennedy (2000) tersebut oksalat dalam makanan tidak boleh

melebihi 10 mg/100 g. Dengan kata lain makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak boleh

melebihi 100 ppm karena dapat berisiko pada batu ginjal.

Bila membandingkan dengan hasil reduksi oksalat yang didapat, maka tepung yang

dihasilkan dapat berisiko terhadap pembentukan batu ginjal. Makanan yang mengandung oksalat

100 ppm tidak boleh melebihi 50 – 60 mg per hari (Massey et al., 2001), sehingga bila

dikalibrasikan dengan hasil tepung yang didapat maka asupan makanan tidak boleh melebihi 10.5

mg per hari untuk tepung dengan kandungan oksalat sebesar 572.31 ppm. Namun biasanya

penggunaan tepung secara langsung jarang ditemukan. Biasanya pemanfaatan tepung dipakai

untuk pengolahan makanan. Sehingga dengan adanya proses pengolahan yang terjadi dapat

menurunkan kandungan oksalat yang ada dalam tepung talas Banten.

D. PEMANFAATAN TALAS BANTEN ( Xanthosoma undipes K.Koch)

Talas Banten merupakan sumber pangan lokal yang sedang digalakkan oleh Pemda Banten

guna melaksanakan diversifikasi pangan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan

pada beras sehingga mampu meningkatkan ketahanan pangan nasional dan instrumen peningkatan

produktivitas kerja melalui perbaikan gizi masyarakat.

Minimnya informasi mengenai talas Banten oleh warga setempat menjadikan talas Banten

hanya dianggap sebagai tanaman liar yang tumbuh subur. Pada awalnya masyarakat setempat

menyebut talas Banten sebagai talas Belitung. Namun karena bentuknya yang besar dan warnanya

kuning maka talas Banten disebut sebagai beneng atau besar koneng. Selain itu baru setelah

adanya pemberitahuan oleh Petugas Pertanian Lapangan (PPL) Pemda Banten bahwa talas Banten

mempunyai nilai jual dan konsumsi, talas Banten dibudidayakan dan bahkan telah dipamerkan

dalam pameran makanan lokal tingkat provinsi maupun nasional.

Talas Banten banyak ditemukan di daerah Gunung Karang di Desa Juhut, kabupaten

Pandeglang. Talas jenis ini lebih unggul karena tidak membutuhkan perawatan khusus. Selain itu

PPL Juhut Dadi Supriadi menjelaskan bahwa talas Banten lebih unggul karena bentuknya besar,

dan ukurannya bisa satu meter lebih. Rasanya pun juga enak dan pulen sehingga dapat diolah

menjadi berbagai makanan seperti keripik, bolu, digoreng atau dikukus dan diberi taburan kelapa

parut (Radar Banten, 2010).

Biasanya makanan yang diolah berasal dari bahan mentah talas (batang) padahal

pemanfaatan langsung batang talas dapat menyebabkan batu ginjal karena kandungan oksalat pada

batang talas Banten yang tinggi yaitu mencapai 61,783.75 ppm (Mayasari, 2010). Untuk

mengurangi risiko batu ginjal, sebaiknya talas Banten dijadikan tepung karena kandungan oksalat

dalam bentuk tepung lebih sedikit. Pada penelitian kali ini didapatkan kandungan oksalat tepung

talas tanpa perlakuan reduksi oksalat adalah berkisar antara 4,479.65 – 9,721.90 ppm. Sedangkan

apabila dengan perlakuan reduksi oksalat dengan perendaman larutan NaCl 10%, kandungan

oksalat pada tepung talas Banten mencapai 572.31 ppm. Sehingga pemanfaatan tepung talas lebih

aman dibandingkan dengan pemanfaatan batang talas Banten secara langsung. Selain itu,

kandungan oksalat dapat turun kembali saat proses pengolahan pangan berlangsung. Sehingga

olahan pangan aman untuk dikonsumsi.

33

Berdasarkan kandungan gizinya, tepung talas Banten mempunyai kandungan karbohidrat

sebesar 90.68% dan kandungan protein sebesar 6.74% (Novita, 2011). Dengan melihat kandungan

karbohidrat dan protein yang tinggi maka tepung talas Banten mempunyai keunggulan dari nilai

kandungan gizinya. Dengan adanya keunggulan tersebut maka diversifikasi pangan dapat terwujud

dengan adanya product development dari talas Banten berupa tepung talas Banten. Saat ini Balai

Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Cimanggu Bogor menggunakan tepung

talas Banten rendah oksalat untuk membuat produk olahan berupa cookies, brownies, dan bakpau.

Dengan adanya product development tersebut maka meningkatkan nilai sosial talas Banten dan

dapat bersaing dengan jenis talas lainnya.