iv. hasil dan pembahasan - repository.ipb.ac.id · daging talas yang banyak dipasarkan adalah yang...
TRANSCRIPT
16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISASI TALAS
Penelitian ini diawali dengan karakterisasi talas Banten yang meliputi penampakan fisik
tanaman talas. Talas yang diamati adalah talas yang telah dikelompokkan berdasarkan umur
panen. Umur panen talas yang diamati adalah 6 bulan, 8 bulan, 10 bulan, dan 12 bulan. Talas
Banten ini berasal dari daerah Gunung Karang, Desa Juhut, Kabupaten Pandeglang. Habitat
penanaman talas Banten ditunjukkan pada Gambar 7.
Gambar 7. Habitat talas Banten di daerah Juhut, Pandeglang
Talas Banten mempunyai keunikan yaitu mempunyai batang yang terdapat di dalam tanah.
Batang yang tertanam di bawah tanah merupakan cormus yang berpati dan besar (Minantyorini
dan Hanarida, 2002). Cormus yang terdapat pada talas Banten bentuknya memanjang dan
mempunyai kecenderungan bertambah panjang setiap pertambahan umur tanaman. Cormus talas
Banten mempunyai bentuk yang bercabang seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Cabang dari
cormus diduga merupakan umbi talas Banten. Umbi talas Banten berukuran kecil bila
dibandingkan dengan batang (cormus) talas tersebut. Bentuknya seperti tandan yang menempel
pada cormus. Penampakan cormus talas Banten ditunjukkan pada Gambar 9 sedangkan
penampakan umbi talas Banten pada Gambar 10.
Gambar 8. Penampakan talas Banten
17
Gambar 9. Penampakan cormus talas Banten
Gambar 10. Penampakan umbi talas Banten
Talas Banten yang tumbuh di daerah Juhut belum mempunyai kepastian umur panen yang
tepat sehingga warga Juhut memanen talas apabila tanaman talas sudah terlihat besar dan tingginya
sudah melebihi tinggi manusia. Penelitian ini berupaya untuk mengkarakteristik talas Banten
berdasarkan umur panen sehingga diharapkan mampu mengetahui kepastian umur panen yang
tepat. Karakterisasi penampakan fisik talas Banten dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil karakteristik talas Banten berdasarkan umur panen
Karakteristik talas Umur Panen (bulan) Talas Bogor
(Nurafriani, 2010) 6 8 10 12
Bentuk batang memanjang memanjang memanjang memanjang membulat
Warna kulit batang coklat coklat coklat coklat merah
Warna daging batang kuning kuning kuning kuning putih
Panjang batang (cm) 34.81 40.56 54.13 66.95 10.3
Diameter batang (cm) 8.49 9.21 10.65 10.8 19
Bobot kotor batang (kg) 1.7 2.46 4.04 5.98 1.38
Bobot bersih batang (kg) 1.43 2.02 3.73 5.56 0.98
Batang (cormus) talas Banten mempunyai bentuk memanjang dengan setiap pertambahan
umur tanaman akan bertambah panjang. Dengan bentuk yang memanjang maka mempermudah
dalam pengupasan kulit batang sebelum dimasak. Selain itu, batang talas Banten permukaan kulit
luarnya rata sehingga mudah dikupas. Hal tersebut merupakan keuntungan yang dimiliki oleh talas
Banten. Namun bagian pangkal batang (batang yang letaknya paling dalam saat ditanam) memiliki
sedikit kesulitan saat dikupas karena banyaknya akar yang menempel pada batang dan adanya
umbi yang tumbuh disekitar pangkal batang.
Bentuk batang talas Banten berbeda dengan batang talas Bogor yang diteliti oleh Nurafriani
(2010) yang bentuknya membulat. Bila merujuk pada Minantyorini dan Hanarida (2002) yang
telah mengklasifikasikan bentuk batang ke dalam 8 kategori maka talas Banten masuk pada
Umbi talas Banten
Batang (cormus) talas Banten
18
kategori 6 yaitu bentuk memanjang sedangkan talas Bogor masuk ke dalam kategori 2 yaitu
membulat yang ditampilkan pada Gambar 2.
Warna kulit batang talas Banten yang diamati memiliki warna coklat untuk semua talas
Banten berbagai umur panen. Bila dibandingkan dengan talas Bogor yang memiliki warna kulit
merah, talas Banten memiliki penampakan kulit yang lebih gelap sehingga penampakannya adalah
warna coklat. Warna daging batang talas Bogor yang diamati memiliki warna kuning berbeda
dengan talas Bogor yang warna dagingnya adalah putih. Talas Bogor mempunyai warna kulit dan
daging buah yang sesuai dengan penjelasan Muchtadi dan Sugiyono (1992) bahwa talas memiliki
kulit berwarna kemerah-merahan dan dagingnya berwarna putih keruh.
Warna daging talas dapat mempengaruhi selera konsumen. Seorang konsumen akan
memilih talas dengan warna daging yang segar dan cerah warnanya. Karena daging talas yang
menarik (segar dan cerah warnanya) tidak memerlukan bahan pewarna sehingga aman untuk
dikonsumsi. Daging talas yang banyak dipasarkan adalah yang berwarna putih dan kuning
sehingga talas Banten memiliki potensi untuk dipasarkan karena memiliki warna kuning pada
dagingnya. Penampakan warna kuning pada talas Banten merupakan daya tarik karena pada talas
yang segar, warna kuningnya terlihat cerah.
Panjang batang pada talas Banten menunjukkan peningkatan setiap kenaikan umur panen.
Pada umur panen 6 bulan panjang batang adalah 34.81 cm, kemudian pada umur panen 8 bulan
panjang batangnya mencapai 40.56 cm. Panjang batang talas umur panen 10 bulan adalah 54.13
cm dan talas Banten umur panen 12 bulan mencapai 66.95 cm. Selisih paling besar dijumpai pada
saat talas mencapai usia 10 bulan karena perbedaan panjangnya mencapai 13.57 cm bila dihitung
dari usia sebelumnya yaitu 8 bulan. Hal ini dimungkinkan karena talas Banten sedang mengalami
fase pemanjangan sel yang optimum. Dikatakan pemanjangan sel yang optimum karena saat
mencapai usia 12 bulan peningkatan panjang batang hanya sebesar 12.82 cm. Pertumbuhan
panjang batang disebabkan oleh adanya kerja hormon pertumbuhan di dalam tanaman. Pada kasus
ini hormon pertumbuhan yang berperan adalah sitokinin. Sitokinin berperan memacu pembelahan
sel dan memacu pembesaran sel.
Batang talas Banten memiliki panjang batang yang lebih besar daripada talas Bogor yang
hanya memiliki 10.3 cm seperti yang diteliti oleh Nurafriani (2010). Talas Bogor yang diteliti oleh
Nurafriani (2010) hanya ⅓ panjang batang talas Banten umur panen 6 bulan. Bila merujuk pada
klasifikasi yang dilakukan oleh Minantyorini dan Hanarida (2002) terhadap panjang batang talas
maka talas Banten masuk kedalam kategori 9 karena panjang batang mencapai lebih dari 18 cm.
Klasifikasi panjang batang yang dilakukan oleh Minantyorini dan Hanarida (2002) membagi
panjang batang menjadi empat kategori yaitu : 3 (<8 cm), 5 (8-12 cm), 7 (12-18 cm), dan
9 (>18 cm).
Bobot kotor (daging dan kulit) batang talas Banten umur 6 – 12 bulan berkisar dari 1.7 –
5.98 kg. Bobot batang mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan usia tanaman talas.
Pada umur panen 6 bulan bobot batangnya 1.7 kg dan pada usia 8 bulan bobotnya mencapai 2.46
kg. Bobot batang semakin bertambah pada umur panen 10 bulan yaitu sebesar 4.04 kg dan
kemudian bertambah lagi pada umur panen 12 bulan yaitu mencapai 5.98 kg. Berdasarkan data
tersebut maka dapat ditunjukkan bahwa semakin besar ukuran batang maka semakin berat
bobotnya. Hal ini pun menunjukkan keterkaitan dengan panjang batang yaitu semakin panjang
batang maka semakin besar bobot batang talas Banten. Pertambahan bobot batang talas Banten
dapat disebabkan oleh dua faktor pertumbuhan pada tanaman yaitu faktor dalam seperti hormon
tumbuh dan faktor lingkungan seperti air, kelembaban, suhu, dan cahaya.
19
Selain itu menurut Hidajat (1980), ukuran batang yang bertambah seiring dengan
bertambahnya umur juga disebabkan oleh meningkatnya jumlah sel-sel parenkima korteks akibat
pembelahan sel secara periklinal di sekitar berkas pembuluh yang selanjutnya melebar ke arah
radial dan tangensial, serta terjadinya pembelahan sel yang tersebar pada batang.
Bobot batang pada talas Banten memiliki bobot yang lebih besar bila dibandingkan dengan
talas Bogor. Talas Bogor hanya memiliki bobot sebesar 1.38 kg (Nurafriani, 2010) padahal talas
Bogor tersebut dipanen pada usia tanaman 8 bulan. Dengan adanya informasi tersebut, maka
menanam talas Banten mempunyai kelebihan dari segi bobot karena pada umur panen 6 bulan saja
sudah didapat bobot batang sebesar 1.7 kg berbeda dengan talas Bogor yang harus menunggu
sampai 8 bulan untuk mendapatkan bobot batang sebesar 1.38 kg.
Klasifikasi bobot batang talas Banten bila merujuk pada Minantyorini dan Hanarida (2002),
maka talas Banten umur panen 6 bulan masuk pada kategori 2, talas Banten umur panen 8 bulan
masuk pada kategori 3, dan talas Banten umur panen 10 bulan dan 12 bulan masuk pada kategori
99. Klasifikasi Minantyorini dan Hanarida (2002) membagi kategori bobot talas menjadi 4 yaitu
kategori 1 (<0.5 kg), 2 (0.5 – 2.0 kg), 3 (2.0 – 4.0), dan 99 (>4.0).
Hasil yang didapat dari karakterisasi fisik batang talas Banten menunjukkan adanya
peningkatan untuk setiap parameter seperti panjang batang, bobot batang, dan diameter batang.
Peningkatan tersebut berbanding lurus dengan peningkatan umur panen. Hasil karakteristik fisik
tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk menentukan umur panen yang terbaik pada talas
Banten.
Karakterisasi yang dilakukan tidak terbatas pada karakterisasi berdasarkan umur panen,
melainkan dilakukan juga karakterisasi per bagian batang. Bagian batang yang diamati adalah
ujung batang, tengah batang, dan pangkal batang. Ujung batang dilihat dari batang yang paling
dekat dengan pelepah daun talas. Bagian pangkal batang adalah bagian batang yang paling dalam
ditanam di tanah atau bagian yang paling dekat akar. Sedangkan bagian tengah batang adalah
batang yang menghubungkan ujung batang dengan pangkal batang. Pembagian batang menjadi
tiga potongan diawali dari pengukuran panjang batang secara keseluruhan kemudian hasil
pengukuran dibagi menjadi tiga bagian yang sama panjang. Pembagian batang menjadi tiga
potongan dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Pembagian bagian batang pada talas Banten
Karakterisasi penampakan fisik batang per bagian juga diamati agar dapat diketahui sebaran
bagian batang yang memiliki kapasitas bobot dan diameter terbesar serta melihat pola
pertumbuhan yang terjadi pada batang talas Banten. Pada potongan per bagian batang, sebaran
terbesar untuk bobot kotor, bobot bersih, dan diameter batang ditemukan pada bagian tengah
batang untuk setiap umur panen. Karakterisasi fisik per bagian batang dapat dilihat pada Tabel 3.
Pangkal batang
Tengah batang
Ujung batang
20
Tabel 3. Hasil karakterisasi penampakan fisik per bagian batang
umur panen (bulan) bagian batang bobot kotor (kg) bobot bersih (kg) diameter (cm)
6
ujung 0.51 0.42 7.94
tengah 0.63 0.58 8.79
pangkal 0.53 0.44 8.37
8
ujung 0.81 0.63 9.08
tengah 0.93 0.77 9.29
pangkal 0.81 0.62 9.07
10
ujung 1.34 0.98 9.76
tengah 1.71 1.44 10.81
pangkal 1.31 1.05 10.54
12
ujung 1.52 1.53 10.54
tengah 2.04 1.96 11.12
pangkal 1.91 1.70 11.23
Bagian batang talas Banten merupakan bagian yang sering dimanfaatkan oleh warga
setempat karena bobot batang lebih besar dari daripada umbi talas tersebut. Masyarakat setempat
menyebut umbi sebagai kimpul. Berdasarkan penelitian kali ini, kimpul baru ada saat talas Banten
mencapai umur tanaman 10 bulan. Hal ini diduga karena belum berkembangnya sel-sel
pertumbuhan kimpul. Oleh karena itu, pemanfaaatan batang pada talas Banten lebih diutamakan
daripada kimpul talas Banten. Karakteristik bobot kotor umbi (kimpul) talas Banten ditampilkan
pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil karakterisasi bobot kotor umbi (kimpul) talas Banten
umur panen (bulan) 6 8 10 12
bobot kotor (kg) - - 0.37 1.17
Karakteristik fisik yang dilakukan tidak cukup untuk dijadikan sebagai acuan untuk
penentuan umur panen talas Banten terbaik maka itu perlu dilakukan analisis kimia. Analisis kimia
yang dilakukan adalah kadar air batang. Pada pengukuran kadar air ini, selain talas dibedakan
berdasarkan umur panen, talas juga dibedakan berdasarkan bagian batang. Kadar air talas Banten
berdasarkan umur panen ditampilkan pada Gambar 12.
Gambar 12. Hubungan antara kadar air batang dengan umur panen talas Banten
78.0378.30
76.23
77.40
76.0
76.5
77.0
77.5
78.0
78.5
6 bulan 8 bulan 10 bulan 12 bulan
kada
r ai
r ba
tang
(%
)
umur panen
21
Berdasarkan sidik ragam didapatkan hasil Pvalue > α (0.05) untuk faktor umur panen
(Lampiran 2) sehingga hipotesis H0 diterima yaitu faktor umur panen tidak berpengaruh terhadap
respon yang diamati (kadar air batang). Kadar air batang tertinggi ditemukan pada talas umur
panen 8 bulan yaitu 78.3% sedangkan kadar air terendah ditemukan pada talas dengan umur panen
10 bulan yaitu 76.23% namun tidak ada perbedaan yang nyata antara kadar air batang umur panen
tersebut.
Hasil serupa juga didapatkan pada faktor bagian batang bahwa sidik ragam didapatkan hasil
Pvalue > α (0.05) (Lampiran 2) sehingga hipotesis H0 diterima yaitu faktor bagian batang tidak
berpengaruh terhadap respon yang diamati (kadar air batang). Berdasarkan grafik pada Gambar 13,
kadar air tertinggi ditemukan pada bagian pangkal batang dan terendah ditemukan pada bagian
tengah. Tidak adanya perbedaan yang nyata disebabkan karena bagian batang berasal dari batang
yang sama.
Gambar 13. Hubungan kadar air dengan bagian batang talas Banten
Interaksi antara faktor umur dan bagian batang pun tidak berpengaruh nyata terhadap kadar
air batang karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 2) sehingga hipotesis H0 diterima. Pengaruh blok pun
tidak ada karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 2) dan hipotesis H0 diterima yaitu blok tidak
berpengaruh terhadap respon yang diamati yaitu kadar air batang.
Kandungan air yang terdapat pada batang talas berpengaruh pada jumlah rendemen tepung
yang dihasilkan. Kadar air yang tinggi pada batang akan menghasilkan rendemen tepung yang
sedikit namun sebaliknya bila kadar air rendah pada batang maka akan mendapatkan rendemen
tepung yang lebih banyak. Kadar air suatu bahan pangan merupakan sesuatu yang sangat penting.
Kadar air suatu bahan juga memepengaruhi umur simpan bahan pangan tersebut. Semakin rendah
kadar air suatu bahan maka akan semakin awet bahan pangan tersebut. Hal ini karena semakin
rendah nilai kadar air maka semakin rendah nilai aktifitas airnya. Nilai aktifitas air ini berkaitan
dengan mikroba. Aktifitas air dapat didefinisikan sebagai jumlah air bebas yang dapat digunakan
mikroba untuk mendukung pertumbuhannya (Winarno, 1997). Bahan pangan dengan aktifitas air
rendah maka air yang terdapat pada bahan tersebut tidak dapat digunakan mikroba untuk
melakukan pertumbuhan sehingga bahan pangan akan lebih awet.
77.68
75.41
79.38
74
75
76
77
78
79
80
ujung tengah pangkal
kada
r ai
r (%
)
bagian batang talas
22
B. KARAKTERISASI TEPUNG TALAS BERBAGAI UMUR PANEN
1. Kadar Air Tepung
Kadar air tepung talas Banten yang didapat menunjukkan hasil bahwa pada umur panen
8 bulan terjadi peningkatan kadar air namun kemudian terjadi penurunan pada umur panen 10
bulan terjadi penurunan begitu juga dengan tepung umur panen 12 bulan. Hubungan antara
kadar air tepung talas Banten dengan umur panen ditunjukkan pada Gambar 14.
Gambar 14. Hubungan antara kadar air tepung talas Banten dengan umur panen
Hasil sidik ragam didapatkan bahwa Pvalue > α (0.05) untuk faktor umur panen
(Lampiran 3) sehingga hipotesis H0 diterima untuk faktor umur panen yang menjelaskan bahwa
faktor umur panen tidak berpengaruh terhadap kadar air tepung. Pengaruh bagian batang pun
tidak ada karena hasil sidik ragam didapatkan bahwa Pvalue > α (0.05) untuk bagian batang
(Lampiran 3) sehingga hipotesis H0 diterima.
Interaksi antara umur panen dan bagian batang yang didapatkan dari sidik ragam
menunjukkan bahwa Pvalue > α (0.05) (Lampiran 3) sehingga hipotesis H0 diterima untuk
interaksi antara umur panen dan bagian batang yang menyatakan bahwa interaksi dari faktor
umur panen dengan faktor bagian batang tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati yaitu
kadar air tepung. Hasil serupa juga didapatkan untuk pengelompokkan yaitu Pvalue > α (0.05)
(Lampiran 3) untuk hasil sidik ragam. Sehingga blok tidak berpengaruh terhadap kadar air
tepung.
Kadar air tepung paling tinggi ditemukan pada tepung talas Banten umur panen 8 bulan
yaitu sebesar 6.42% sedangkan kadar air tepung yang terendah ditemukan pada tepung talas
umur panen 12 bulan yaitu 5.11%. Namun hal tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata. Kadar air tepung Banten telah memenuhi syarat kadar air yang aman untuk tepung yaitu
dibawah 14%, sehingga dapat mencegah pertumbuhan kapang (Winarno et al., 1980). Kadar
air juga berpengaruh terhadap keawetan produk pangan karena bahan yang berkadar air tinggi
akan lebih cepat busuk akibat adanya aktivitas mikroorganisme. Richana dan Sunarti (2002),
menambahkan bahwa jumlah air dalam bahan akan mempengaruhi daya tahan bahan terhadap
kerusakan yang disebabkan oleh mikroba maupun serangga.
Pada Gambar 15, grafik tersebut menunjukkan bahwa batang bagian tengah mempunyai
kadar air yang tinggi yaitu 6.25% sedangkan yang terendah ditemukan pada bagian pangkal
batang yaitu 5.41%. Hasil yang didapat tidak berpengaruh pada kadar air tepung yang didapat
5.92
6.42
5.89
5.11
4.5
5.0
5.5
6.0
6.5
7.0
6 bulan 8 bulan 10 bulan 12 bulan
kada
r ai
r te
pung
(%
)
umur panen
23
sehingga pemanfaatan batang dapat maksimal tidak tergantung pada bagian batang tertentu
saja.
Gambar 15. Hubungan antara kadar air tepung dengan bagian batang talas Banten
Kadar air tepung talas mempunyai nilai yang berbeda dengan kadar air batang talas. Hal
ini dikarenakan pada tepung talas terjadi proses pengeringan sehingga air yang terkandung di
dalam batang menguap. Nilai kadar air pada tepung talas menunjukkan pola grafik yang sama
dengan kadar air batang talas. Hanya satu umur saja yang mempunyai pola grafik berbeda
yaitu pada umur panen 12 bulan. Pada batang, kadar air yang didapat meningkat sedangkan
pada tepung hasilnya menurun. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh pengaruh suhu dan lama
pengeringan serta kondisi saat pengeringan berlangsung. Selain itu tidak adanya parameter
yang jelas untuk mengetahui kekeringan keripik. Biasanya indikator keripik sudah kering
adalah keripik dapat dipatahkan sehingga keripik dapat langsung ditepungkan. Namun
kendalanya adalah keripik dipatahkan hanya beberapa sampel saja sehingga tidak semua
keripik dapat diketahui keseragaman kekeringannya.
Suhu yang kurang merata pada tray merupakan faktor penyebab ketidakseragaman
kekeringan keripik. Selain itu juga waktu pengeringan juga berpengaruh terhadap kekeringan
keripik. Semakin tinggi suhu dan lama pemanasan maka penguapan air yang terjadi akan lebih
banyak sehingga kadar airnya juga lebih rendah. Walaupun demikian, suhu yang terlalu tinggi
akan menyebabkan kegosongan pada bahan yang dikeringkan. Waktu yang terlalu lama juga
akan menyebabkan ketidakefisienan proses pengeringan, karena pada awal pengeringan
kecepatan jumlah air yang hilang per satuan waktu adalah tetap, tetapi kemudian terjadi
penurunan penghilangan air tidak akan terlalu banyak lagi (Winarno, 1997).
2. Rendemen Tepung
Rendemen tepung talas didapatkan dari hasil tepung dibandingkan dengan bobot bersih
(daging) batang talas. Rendemen tepung talas yang didapat menunjukkan peningkatan pada
umur panen 10 bulan. Rendemen tepung pada umur panen 10 bulan yaitu sebesar 24.39%
sedangkan rendemen terendah ditemukan pada umur panen 8 bulan yaitu 20.16%. Hubungan
antara rendemen tepung talas ditunjukkan pada Gambar 16.
Hasil sidik ragam menunjukkan Pvalue > α (0.05) (Lampiran 4) untuk faktor umur panen
sehingga hipotesis H0 diterima untuk faktor umur panen yaitu faktor umur tidak berpengaruh
terhadap rendemen tepung talas Banten. Interaksi yang terjadi juga tidak ada antara umur
5.85
6.25
5.41
5.2
5.4
5.6
5.8
6.0
6.2
6.4
ujung tengah pangkal
kada
r ai
r te
pung
(%
)
bagian batang
24
panen dan bagian batang karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 4). Blok pun tidak berpengaruh
untuk rendemen tepung talas karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 4).
Gambar 16. Hubungan antara rendemen tepung talas Banten dengan umur panen
Rendemen tepung talas umur panen 10 bulan mempunyai nilai rendemen tepung
terbesar. Hal ini karena didukung oleh kadar air batang paling kecil yaitu 76.23% dan juga nilai
kadar air tepung yang rendah yaitu 5.89%. Hal ini terbukti bahwa nilai kadar air mempengaruhi
rendemen tepung yang dihasilkan. Bahwa semakin meningkatnya kadar air maka rendemen
yang dihasilkan akan sedikit namun apabila kadar air dalam suatu bahan rendah maka
rendemen produk yang dihasilkan akan meningkat.
Gambar 17. Hubungan rendemen tepung dengan bagian batang talas
Pada Gambar 17 dapat dilihat bahwa rendemen tepung talas Banten cenderung
meningkat dari ujung ke bagian pangkal batang. Namun, hal ini tidak berpengaruh terhadap
rendemen tepung talas karena berdasarkan hasil sidik ragam didapatkan hasil Pvalue > α (0.05)
(Lampiran 4). Rendemen tepung talas dipengaruhi oleh proses pembuatan tepung talas seperti
pengeringan, penepungan, dan pengayakan. Proses tersebut dapat mengurangi rendemen
tepung talas yang dihasilkan. Pada proses pengeringan, banyak komponen talas yang hilang
akibat talas kering (sawut/keripik) tercecer di lantai dan menempel di tray dan sulit untuk
diambil. Pada proses penepungan dan pengayakan, ada sebagian tepung yang beterbangan dan
21.50
20.16
24.39
20.43
19
20
21
22
23
24
25
6 bulan 8 bulan 10 bulan 12 bulan
rend
emen
tep
ung
(%)
umur panen
21.05 21.09
22.73
20.5
21.0
21.5
22.0
22.5
23.0
ujung tengah pangkal
rend
emen
tep
ung
(%)
bagian batang
25
menempel pada bahan penampung tepung. Hal ini semua dapat mengurangi rendemen tepung
talas yang dihasilkan. Namun demikian, hal itu merupakan sesuatu yang lazim yang tidak dapat
dihindari, karena setiap proses pengolahan pangan pasti akan mengalami kehilangan. Baik
karena tercecer atau karena akumulasi di alat.
3. Kadar Oksalat
Metode yang digunakan dalam menghitung kadar oksalat adalah dengan menggunakan
metode HPLC (High Performance Liquid Chromatograph) karena memberikan hasil yang
sangat akurat (Savage et al., 2000). Dengan metode HPLC, analisis yang dilakukan adalah
soluble dan total oksalat sedangkan untuk insoluble oksalat biasanya dilakukan dengan metode
by different (Hollowey et al. 1989). Pada penelitian ini dilakukan analisis oksalat terlarut dan
total oksalat untuk mengetahui kandungan oksalat yang terdapat pada talas Banten. Hubungan
antara kandungan oksalat talas Banten dengan umur panen dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Hubungan antara kndungan oksalat talas Banten dengan umur panen
Hasil sidik ragam (Lampiran 5) didapatkan bahwa Pvalue > α (0.05) untuk faktor umur
panen sehingga hipotesis H0 diterima yang menjelaskan bahwa faktor umur panen tidak
berpengaruh terhadap kandungan oksalat yang ada di dalam talas. Berdasarkan grafik pada
Gambar 18 terlihat bahwa kandungan oksalat cenderung menurun pada umur tanaman talas 10
bulan namun mengalami kenaikan saat umur tanaman 12 bulan. Namun hal tersebut bukan
merupakan acuan karena berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 5) bahwa umur panen tidak
mempunyai pengaruh terhadap kandungan oksalat dalam talas.
Perkembangan jumlah oksalat berkaitan dengan pola pertumbuhan tanaman talas
Banten. Kandungan oksalat berkaitan dengan kebutuhan kalsium untuk pertumbuhan tanaman
sehingga diduga mempengaruhi pengendapan kalsium untuk pembentukkan kristal kalsium
oksalat. Seperti dijelaskan oleh Ma dan Miyasaka (1998), bahwa peran oksalat pada tumbuhan
antara lain sebagai perlindungan terhadap insekta dan hewan pemakan tumbuhan melalui
toksisitas dan/atau rasa yang tidak menyenangkan, dan osmoregulasi sehingga mempunyai arti
penting bagi talas dalam melindungi diri.
Pertumbuhan vegetatif tanaman talas yang maksimum sehingga menyebabkan
penurunan jumlah total kristal kalsium oksalat. Pertumbuhan yang cepat membutuhkan
8525.68
7115.37
5903.00
7030.14
5000
6000
7000
8000
9000
6 bulan 8 bulan 10 bulan 12 bulan
kada
r ok
sala
t (pp
m)
umur panen
26
kalsium yang tinggi untuk pertumbuhan tanaman karena fungsi kalsium pada tanaman
merupakan kation dari lamela tengah suatu dinding sel, dimana kalsium pektat merupakan
penyusun utamanya. Selain itu Ca memiliki andil penting dalam pengaturan membran sel
dengan jalan memelihara selektivitas terhadap berbagai jenis ion (Salisbury dan Ross, 1995).
Gambar 19. Hubungan antara kandungan oksalat dengan bagian batang talas
Berdasarkan grafik pada Gambar 19, sebaran kandungan oksalat yang tinggi berada
pada batang bagian ujung dengan rata-rata kandungan total oksalat sebesar 7,491.59 ppm.
Kandungan oksalat pada batang mempunyai pola kecenderungan menurun dari ujung batang
ke bagian pangkal batang. Namun berdasarkan sidik ragam didapatkan bahwa Pvalue > α (0.05)
(Lampiran 5) sehingga hipotesis H0 diterima yang menjelaskan bahwa faktor bagian batang
tidak berpengaruh terhadap kandungan oksalat yang ada di dalam talas.
Menurut Salisbury dan Ross (1995), kelebihan kalsium akan berdampak pada defisiensi
kalsium. Walaupun semua titik tumbuh peka terhadap defisiensi kalsium tetapi bagian akarlah
yang lebih parah. Bagian itu akan berhenti tumbuh, menjadi tidak teratur, terlihat bagai
membelit dan pada defisiensi berat akan mati. Sehingga bagian batang yang dekat akar
(pangkal) tidak dapat menerima kelebihan kalsium.
Interaksi antara umur panen dan bagian batang tidak berpengaruh terhadap kandungan
oksalat karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 5). Selain itu, blok pun tidak berpengaruh terhadap
oksalat yang ada di dalam talas karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 5).
Kandungan oksalat yang tinggi diduga berada di dekat daerah xilem yang terdapat di
dalam batang. Pada tumbuhan monokotil, jaringan pengangkut tersebar secara acak di dalam
jaringan dasar (biasanya tersusun atas sel-sel parenkim). Setiap jaringan pengangkut dikelilingi
oleh pembungkus (bundle sheath) dan memiliki xilem yang mengarah ke dalam serta floem yg
mengarah ke luar batang (Campbell et al., 2002). Menurut Horner dan Wagner (1995), kalsium
diangkut melalui xilem, kemudian dengan oksalat terlarut membentuk kristal kalsium oksalat.
Selain itu Schadel dan Walter (1980) melaporkan bahwa tanaman dapat mengurangi kelebihan
kalsium dengan cara pembuangan kalsium melalui proses gutasi dan penyimpanan kelebihan
kalsium dalam bentuk kristal kalsium oksalat di sekitar xilem.
Oksalat pada talas diduga kuat merupakan penyebab rasa gatal yang ditimbulkan talas.
Menurut Bradbury dan Nixon (1998), Rasa yang tajam ini disebabkan oleh kalsium oksalat
yang berbentuk raphide (Gambar 3) serta dapat menembus kulit lembut. Lebih lagi Bradbury
dan Holloway (1988) melaporkan bahwa kristal kalsium oksalat tipe raphide menyebabkan
7491.59
7032.296906.76
6700
6900
7100
7300
7500
7700
ujung tengah pangkal
kada
r ok
sala
t (pp
m)
bagian batang
27
rasa gatal dengan cara melepaskan diri dari sel idioblas melalui selubung sel yang robek.
Kemudian kristal ini menginjeksikan dirinya ke dalam jaringan mulut maupun kulit, dan
bersamaan dengan robeknya selubung, senyawa yang bersifat toksik dikeluarkan dari dari sel
idioblas. Senyawa yang bersifat toksik ini belum diketahui secara pasti komponennya.
4. Kadar Pati
Kadar pati pada tepung talas Banten dengan hasil terbesar ditemukan pada umur panen
8 bulan yaitu sebesar 96.36%. Sedangkan kadar pati terendah ditemukan pada talas Banten
umur panen 10 bulan yaitu sebesar 91.09%. Berdasarkan sidik ragam didapatkan Pvalue < α
(0.05) (Lampiran 6) sehingga hipotesis H0 ditolak dan hipotesis H1 diterima yaitu paling sedikit
ada satu umur panen yang mempengaruhi kadar pati pada talas Banten. Pada umur panen 8
bulan, diduga terjadi pembentukan pati pada talas saat berfotosintesis mempunyai kandungan
nutrisi yang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Leger (1980) yang menyatakan bahwa
waktu/umur panen tertentu merupakan titik optimal dimana kandungan nutrisi terutama
kandungan pati yang cukup tinggi dan sudah tidak terjadi penambahan yang berarti, pada
umumnya umbi yang dipanen pada umur panen yang lebih tua akan memiliki kandungan pati
yang lebih tinggi. Namun demikian peningkatan kandungan pati umbi yang ditanam juga
dipengaruhi oleh kondisi tanamna, terutama bagian daun yang erat kaitannya dengan proses
fotosintesis, dimana semakin tua umur tanaman, daunnya akan menguning sehingga sudah
tidak efektif lagi dalam kaitannya untuk peningkatan kandungan pati. Hubungan antara kadar
pati talas Banten dengan umur panen disajikan pada Gambar 20.
Gambar 20. Hubungan antara kadar pati talas Banten dengan umur panen *) keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata
Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 7) menunjukkan bahwa talas Banten mempunyai
perbedaan yang nyata untuk setiap umur panen. Berdasarkan hasil tersebut kandungan pati
tertinggi ditemukan pada umur panen 8 bulan yaitu 96.36%.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu yang mendapatkan kadar pati umbi
talas sebesar 24.5% (Bradbury dan Holloway, 1988), kadar pati umbi talas yang diuji pada
penelitian ini menunjukkan hasil yang lebih tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh umur
talas serta macam kultivar yang digunakan dan lingkungan pembudidayaannya. Karena talas
yang diujikan oleh Bradbury dan Holloway (1988) adalah talas yang diambil dari negara Fiji.
94.63b
96.36a
91.09d
93.49c
90
91
92
93
94
95
96
97
6 bulan 8 bulan 10 bulan 12 bulan
kada
r pa
ti (%
)
umur panen
28
Berbeda dengan penelitian ini yang menggunakan talas Banten sebagai sampel ujinya. Selain
itu, bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa tepung sedangkan bahan yang dipakai
oleh Bradbury dan Holloway (1988) berupa umbi segar.
Penentuan kadar pati pun pernah dilakukan oleh Hartati dan Prana (2003), mereka
melakukan identifikasi terhadap kandungan pati yang dimiliki oleh 20 kultivar talas.
Berdasarkan hasil analisis, kandungan pati yang dimiliki oleh 20 kultivar talas tersebut berkisar
antara 68.24 – 72.61%. Hasil ini menunjukkan perbedaan kadar pati yang didapat pada
penelitian yaitu kisaran kandungan pati yalas Banten sebesar 91.09 – 96.36%. Perbedaan ini
didasari perbedaan genus tanaman talas karena talas yang diamati oleh Hartati dan Prana
(2003) merupakan talas genus Colocasia.
Fotosintesis yang terjadi pada talas Banten tertinggi pada talas umur panen 8 bulan
karena terjadi peningkatan kadar pati yang sangat tinggi. Jumlah kandungan pati yang tinggi
dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan tapi di daun yang amat penting adalah tingkat
dan lama cahaya seperti yang diungkapkan oleh Salisbury dan Ross (1995). Hal ini dapat
diduga karena kondisi lingkungan yang kurang optimal pada saat penanaman.
Pati yang sering dijumpai terdiri dari dua jenis yaitu amilosa dan amilopektin yang
keduanya terdiri dari D–glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α–1,4. Ikatan α–1,4
menyebabkan rantai pati menggulung menjadi kumparan. Amilopektin terdiri dari molekul
yang bercabang-cabang; cabang itu terdapat diantara C–6 dari glukosa pada rantai utama dan
C–1 dari glukosa pertama pada rantai cabang (ikatan α–1,6) (Salisbury dan Ross, 1995).
Gambar 21. Hubungan antara kadar pati dengan bagian batang talas
*) keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa Pvalue < α (0.05) (Lampiran 6) sehingga hipotesis
H0 ditolak dan hipotesis H1 diterima yaitu minimal ada satu bagian batang yang berpengaruh
terhadap kadar pati. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 7), bagian ujung batang berbeda
nyata dengan bagian tengah dan pangkal batang. Bagian ujung batang mempunyai kandungan
pati paling tinggi yaitu 94.98%. hal ini diduga bagian ujung merupakan bagian yang paling
dekat dengan daun tempat fotosintesis berlangsung.
Interaksi antara umur panen dan bagian batang mempengaruhi kadar pati yang ada pada
talas. Hal ini didasari oleh hasil sidik ragam yang menyatakan bahwa Pvalue < α (0.05)
(Lampiran 6) sehingga H0 ditolak dan H1 diterima yaitu paling sedikit ada sepasang interakasi
antara umur dan bagian batang yang mempengaruhi kadar pati. Perbedaan yang nyata untuk
94.98a
93.54b
93.16b
92.5
93.0
93.5
94.0
94.5
95.0
95.5
ujung tengah pangkal
kada
r pa
ti (%
)
bagian batang
29
interakasi antara umur dan bagian batang terdapat pada Lampiran 7. Sedangkan untuk blok
tidak berpengaruh terhadap kadar pati karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 6).
C. REDUKSI OKSALAT TALAS
Teknik reduksi oksalat yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan cara perendaman
talas menggunakan larutan NaCl. Ada dua konsentrasi larutan yang digunakan yaitu larutan NaCl
5% dan larutan NaCl 10%. Waktu perendaman juga diperhitungkan dalam penelitian ini dan taraf
waktu yang digunakan sebanyak 5 taraf yaitu 30, 60, 90, 120, dan 150 menit. Hubungan antara
waktu perendaman serta konsentrasi larutan NaCl yang digunakan terhadap reduksi oksalat dapat
dilihat pada Gambar 22.
Konsentrasi yang dipakai mengacu pada perlakuan terbaik yang dipakai oleh Mayasari
(2010). Pada penelitian Mayasari (2010) tersebut, konsentrasi yang terbaik dalam mereduksi
oksalat adalah perendaman talas dalam larutan NaCl 10%. Konsentrasi yang dipakai mempunyai
tingkat tertinggi pada 10%. Hal ini dikarenakan bila konsentrasi NaCl ditambahkan akan berakibat
asin pada rasa tepung yang dihasilkan sehingga pemakaian konsentrasi dibatasi. Sedangkan
pemilihan waktu didasarkan pada kemampuan yang dimiliki NaCl dalam menyerap oksalat pada
talas. Pada penelitian Mayasari (2010), waktu maksimum yang dipakai adalah 60 menit sedangkan
pada penelitian kali ini waktu maksimum yang dipakai adalah 150 menit. Hal ini dilakukan untuk
membuktikan kemampuan penyerapan oksalat oleh NaCl dapat lebih maksimal bila kondisi waktu
ditambahkan lebih dari 60 menit.
Gambar 22. Hubungan antara waktu perendaman dan konsentrasi NaCl terhadap reduksi oksalat
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa Pvalue > α (0.05) (Lampiran 8) untuk konsentrasi
NaCl yang digunakan. Sehingga hipotesis H0 diterima yaitu faktor konsentrasi larutan NaCl (petak
utama) tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati yaitu penurunan kandungan oksalat.
Sedangkan hasil sidik ragam untuk waktu perendaman menunjukkan bahwa Pvalue < α (0.05)
(Lampiran 8) sehingga hipotesis H0 ditolak dan H1 diterima yaitu minimal ada satu waktu
perendaman yang berbeda nyata. Kadar oksalat terendah ditunjukkan pada waktu perendaman 150
menit dan terendah selama perendaman 30 menit. Kandungan oksalat pada talas semakin menurun
setiap pertambahan waktu perendaman.
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
30 60 90 120 150
kada
r ok
sala
t (pp
m)
waktu perendaman (menit)
NaCl 5%
NaCl 10%
30
Berdasarkan uji lanjut Duncan pada Lampiran 9 hanya waktu perendaman selama 90 menit
dan 120 menit yang tidak berbeda nyata. Sedangkan untuk waktu perendaman lainnya
menunjukkan perbedaan yang nyata. Berdasrkan persentase reduksi oksalat yang ditampilkan pada
Tabel 5, pengaruh waktu terbesar ditunjukkan pada 150 menit.
Tabel 5. Persentase reduksi oksalat talas pada perendaman larutan NaCl
kadar oksalat awal
(ppm) waktu (menit)
kadar oksalat akhir (ppm) persentase reduksi (%)
5% 10% 5% 10%
5894.40 30 5690.37 5729.07 3.46 3
5894.40 60 3594.08 3680.04 39.03 37.57
5894.40 90 3141.16 2023.68 46.71 65.67
5894.40 120 2739.29 1669.33 53.53 71.68
5894.40 150 1652.65 572.31 71.96 90.29
Interaksi antara konsentrasi larutan dan waktu perendaman tidak berpengaruh terhadap
reduksi oksalat. Hal ini berdasarkan sidik ragam yang ditunjukkan pada Lampiran 8 bahwa bahwa
Pvalue > α (0.05). Berdasarkan data pada Tabel 5, presentase reduksi oksalat terbesar ditemukan
pada larutan NaCl 10% dengan waktu perendaman selama 150 menit. Hal ini didasari oleh
semakin banyak partikel Na+ dan Cl- yang terdapat dalam larutan maka semakin banyak ikatan
yang terjadi dengan partikel Ca2+ dan C2O42- yang menghasilkan natrium oksalat (Na2C2O4) yang
larut dalam air sehingga kadar oksalat dapat tereduksi secara maksimal melalui air perendaman
yang terbuang.
Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mereduksi atau bahkan menghilangkan
kandungan oksalat yang ada di dalam talas. Salah satu metode yang digunakan adalah perendaman
dalam air hangat dengan suhu antara 38 – 48°C yang dilakukan oleh Huang dan Hollyer (1995).
Proses pemanasan pun juga telah dilakukan oleh Wahyudi (2010) yang menggunakan suhu 40°C
dalam merendam talas. Pada penelitian Wahyudi (2010), kandungan oksalat menurun hingga
81.96%.
Untuk mendapatkan hasil reduksi oksalat yang lebih banyak, seharusnya talas dipanaskan
dahulu pada suhu 40°C sebelum talas diberi perlakuan perendaman larutan garam. Namun hal itu
tidak dilakukan karena pada penelitian ini talas langsung direndam dengan larutan NaCl.
Perlakuan terbaik didapatkan pada perendaman talas dengan menggunakan larutan NaCl 10%
selama 150 menit mencapai penurunan oksalat sebanyak 90.29%. Walaupun talas Banten tidak
diberi perlakuan pemanasan tetapi hasil yang didapat menunjukkan penurunan yang lebih besar
dalam mereduksi oksalat daripada hasil yang didapatkan oleh Wahyudi (2010). Hal ini diduga
karena perendaman dengan larutan NaCl 10% tidak hanya melarutkan oksalat terlarut namun juga
kalsium oksalat yang tidak larut dalam air.
Reduksi oksalat dengan menggunakan larutan kimia seperti asam juga sudah pernah
dilakukan sebelumnya. Asam yang digunakan dapat bersifat asam kuat atau pun asam lemah.
Penggunaan asam kuat dalam mereduksi oksalat pernah dilakukan oleh Kurdi (2002). Kurdi
(2002) menggunakan larutan asam klorida 0.25% selama 4 menit. Hasil yang didapat hanya
mereduksi oksalat sebanyak 32%. Hasil yang didapat Kurdi mempunyai nilai yang lebih rendah
dalam mereduksi oksalat bila dibandingkan dengan penelitian ini yang menggunakan larutan NaCl
10% selama 150 menit. Padahal reaksi antara asam klorida dan kalsium oksalat akan membentuk
asam oksalat yang larut dalam air dan juga membentuk endapan kalsium klorida. Hal ini
disebabkan oleh sifat asam klorida yang termasuk jenis asam kuat (pKa= -8.0) yang dapat
31
terdisosiasi penuh dalam air, sehingga mampu melarutkan kalsium oksalat menjadi asam oksalat
(Schumm, 1978).
Perendaman dengan asam sitrat pun pernah dilakukan Onayemi dan Nwigwe (1987) yang
menggunakan larutan asam sitrat dengan konsentrasi 0.1% dengan lama perendaman 3 jam. Hasil
perendaman dengan asam sitrat dapat menurunkan oksalat hingga 80%. Hasil yang didapat cukup
tinggi karena konsentrasi yang digunakan hanya 0.1% namun waktu perendaman sangat lama yaitu
3 jam. Dengan waktu yang terlalu lama maka akan mengurangi tingkat kesukaan konsumen
terhadap produk karena rasa masam dari asam sitrat yang menimbulkan penyimpangan cita rasa.
Reduksi oksalat dengan perendaman larutan NaCl pernah dilakukan oleh Prabowo (2010)
pada umbi porang yang masih satu keluarga dengan talas dalam suku talas-talasan (Araceae).
Perendaman irisan umbi porang dilakukan secara berulang hingga lima kali pada larutan NaCl
4.5% dengan nilai efisiensi hampir 40%. Nilai efisiensi tersebut dinilai masih rendah karena tidak
mampu mereduksi sebagian besar kalsium oksalat dari irisan umbi.
Reduksi oksalat pada talas dengan perendaman larutan NaCl juga dilakukan oleh Mayasari
(2010). Mayasari menggunakan larutan NaCl 10% untuk merendam talas dengan lama waktu
perendaman 60 menit. Hasil penelitian Mayasari menunjukkan bahwa perendaman dengan larutan
NaCl 10% selama 60 menit mampu mereduksi oksalat sebesar 96.83%.
Perendaman dengan larutan garam NaCl 10% yang dilakukan mempunyai perbedaan hasil
dengan penelitian sebelumnya yaitu Mayasari (2010). Mayasari (2010) menyatakan bahwa dengan
perendaman larutan garam NaCl 10% selama 60 menit memiliki kemampuan terbaik untuk
mereduksi kandungan oksalat yang ada di talas namun pada penelitian kali ini waktu perendaman
terbaik adalah perendaman selama 150 menit dengan konsentrasi larutan yang digunakan sama
yaitu sebesar 10%. Perbedaan lama waktu yang didapat disebabkan oleh perbedaan jenis talas
yang digunakan. Talas yang dipakai oleh Mayasari adalah talas Bogor (C. esculenta L.Schoot)
yang mempunyai penampakan fisik dan kandungan kimia yang berbeda dengan talas Banten
(X. undipes K.Koch). Dengan adanya perbedaan jenis talas maka kemampuan untuk mengeluarkan
oksalat yang terkandung di dalam talas berbeda juga. Selain itu waktu maksimal yang dipakai
Mayasari hanya pada 60 menit berbeda dengan penelitian ini yang menggunakan waktu maksimal
150 menit. Bila Mayasari (2010) menambahkan taraf waktu lebih lama pada faktor waktu
perendaman maka akan didapat kemungkinan waktu terbaik bukan 60 menit melainkan taraf
waktu yang lebih panjang karena dengan lamanya waktu perendaman akan terjadi pengikatan ion
C2O42- oleh ion Na+ sehingga membentuk natrium oksalat (Na2C2O4) yang larut dalam air lebih
lama dan pengikatan ion tersebut dapat maksimal dengan lamanya waktu perendaman.
Penurunan kandungan oksalat mencapai 96.83% yang dilakukan oleh Mayasari dapat juga
disebabkan oleh adanya perlakuan pemanasan sebelum perendaman dengan larutan NaCl.
Penelitian Mayasari merupakan penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Wahyudi (2010) sehingga
tingginya penurunan oksalat yang dicapai oleh Mayasari sangat besar karena memang pada saat
pemanasan dengan suhu 40°C saja, kandungan oksalat sudah menurun 81.96%. Dengan adanya
proses perendaman dengan air panas, asam oksalat yang ada di dalam talas dapat berkurang karena
kandungan oksalat dalam bahan berpindah ke air rendaman yang tidak mengandung oksalat.
Perpindahan oksalat dari dalam talas ke air rendaman memungkinkan kandungan oksalat pada
talas berkurang.
Reduksi oksalat pada talas Banten perlu dilakukan karena asam oksalat dan garamnya dapat
memiliki efek merusak terhadap gizi dan kesehatan manusia, terutama dengan mengurangi
penyerapan kalsium dan membantu pembentukan batu ginjal seperti yang dijelaskan oleh Noonan
dan Savage (1999). Kebanyakan kencing batu terbentuk pada manusia karena adanya kristal
32
kalsium oksalat (Hodgkinson, 1977). Penderita batu ginjal harus membatasi total asupan oksalat
tidak melebihi 50 – 60 mg per hari (Massey et al., 2001).
Menurut Holmes dan Kennedy (2000), makanan yang mengandung oksalat (>10 mg/100g)
termasuk makanan yang tinggi oksalat sehingga berpeluang dalam menyebabkan batu ginjal.
Berdasarkan pernyataan Holmes dan Kennedy (2000) tersebut oksalat dalam makanan tidak boleh
melebihi 10 mg/100 g. Dengan kata lain makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak boleh
melebihi 100 ppm karena dapat berisiko pada batu ginjal.
Bila membandingkan dengan hasil reduksi oksalat yang didapat, maka tepung yang
dihasilkan dapat berisiko terhadap pembentukan batu ginjal. Makanan yang mengandung oksalat
100 ppm tidak boleh melebihi 50 – 60 mg per hari (Massey et al., 2001), sehingga bila
dikalibrasikan dengan hasil tepung yang didapat maka asupan makanan tidak boleh melebihi 10.5
mg per hari untuk tepung dengan kandungan oksalat sebesar 572.31 ppm. Namun biasanya
penggunaan tepung secara langsung jarang ditemukan. Biasanya pemanfaatan tepung dipakai
untuk pengolahan makanan. Sehingga dengan adanya proses pengolahan yang terjadi dapat
menurunkan kandungan oksalat yang ada dalam tepung talas Banten.
D. PEMANFAATAN TALAS BANTEN ( Xanthosoma undipes K.Koch)
Talas Banten merupakan sumber pangan lokal yang sedang digalakkan oleh Pemda Banten
guna melaksanakan diversifikasi pangan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan
pada beras sehingga mampu meningkatkan ketahanan pangan nasional dan instrumen peningkatan
produktivitas kerja melalui perbaikan gizi masyarakat.
Minimnya informasi mengenai talas Banten oleh warga setempat menjadikan talas Banten
hanya dianggap sebagai tanaman liar yang tumbuh subur. Pada awalnya masyarakat setempat
menyebut talas Banten sebagai talas Belitung. Namun karena bentuknya yang besar dan warnanya
kuning maka talas Banten disebut sebagai beneng atau besar koneng. Selain itu baru setelah
adanya pemberitahuan oleh Petugas Pertanian Lapangan (PPL) Pemda Banten bahwa talas Banten
mempunyai nilai jual dan konsumsi, talas Banten dibudidayakan dan bahkan telah dipamerkan
dalam pameran makanan lokal tingkat provinsi maupun nasional.
Talas Banten banyak ditemukan di daerah Gunung Karang di Desa Juhut, kabupaten
Pandeglang. Talas jenis ini lebih unggul karena tidak membutuhkan perawatan khusus. Selain itu
PPL Juhut Dadi Supriadi menjelaskan bahwa talas Banten lebih unggul karena bentuknya besar,
dan ukurannya bisa satu meter lebih. Rasanya pun juga enak dan pulen sehingga dapat diolah
menjadi berbagai makanan seperti keripik, bolu, digoreng atau dikukus dan diberi taburan kelapa
parut (Radar Banten, 2010).
Biasanya makanan yang diolah berasal dari bahan mentah talas (batang) padahal
pemanfaatan langsung batang talas dapat menyebabkan batu ginjal karena kandungan oksalat pada
batang talas Banten yang tinggi yaitu mencapai 61,783.75 ppm (Mayasari, 2010). Untuk
mengurangi risiko batu ginjal, sebaiknya talas Banten dijadikan tepung karena kandungan oksalat
dalam bentuk tepung lebih sedikit. Pada penelitian kali ini didapatkan kandungan oksalat tepung
talas tanpa perlakuan reduksi oksalat adalah berkisar antara 4,479.65 – 9,721.90 ppm. Sedangkan
apabila dengan perlakuan reduksi oksalat dengan perendaman larutan NaCl 10%, kandungan
oksalat pada tepung talas Banten mencapai 572.31 ppm. Sehingga pemanfaatan tepung talas lebih
aman dibandingkan dengan pemanfaatan batang talas Banten secara langsung. Selain itu,
kandungan oksalat dapat turun kembali saat proses pengolahan pangan berlangsung. Sehingga
olahan pangan aman untuk dikonsumsi.
33
Berdasarkan kandungan gizinya, tepung talas Banten mempunyai kandungan karbohidrat
sebesar 90.68% dan kandungan protein sebesar 6.74% (Novita, 2011). Dengan melihat kandungan
karbohidrat dan protein yang tinggi maka tepung talas Banten mempunyai keunggulan dari nilai
kandungan gizinya. Dengan adanya keunggulan tersebut maka diversifikasi pangan dapat terwujud
dengan adanya product development dari talas Banten berupa tepung talas Banten. Saat ini Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Cimanggu Bogor menggunakan tepung
talas Banten rendah oksalat untuk membuat produk olahan berupa cookies, brownies, dan bakpau.
Dengan adanya product development tersebut maka meningkatkan nilai sosial talas Banten dan
dapat bersaing dengan jenis talas lainnya.