issn: 0852 - 9124 jurnal

104
Akhmad Baihaqi, dkk Evaluasi Pembiayaan Modal Kerja Koperasi dengan Mekanisme Kemitraan Koperasi Bank (Studi Kasus Koperasi Petani Kakao Bank Syariah Mandiri) Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan Terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Aceh Romano dan T. Saiful Bahri Mengelola Daerah Surplus dan Daerah Defisit Beras di Provinsi Aceh Muhammad Insa Ansari Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Bentuk Legislasi di Kabupaten Aceh Besar Zulkifli Strategi Meningkatkan Pendapatan Aceh dari Sumber Zakat: Suatu Bukti Empirik Suriani dan Yefrizal Analisis Valuasi Ekonomi Wisata Alam Pantai Lampuuk dengan Pendekatan Travel Cost Method Nur Aidar dan Eri Munandar Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar VOLOME: 4 NOMOR: 2 ISSN: 0852 9124: NOVMEBER 2013 PEMERINTAH ACEH BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH 2013 EKONOMI DAN PEMBANGUNAN Jurnal VOLUME: 4 NOMOR: 2 November 2013 ISSN: 0852 - 9124

Upload: others

Post on 30-Nov-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Akhmad Baihaqi, dkk Evaluasi Pembiayaan Modal Kerja Koperasi dengan Mekanisme Kemitraan Koperasi – Bank (Studi Kasus Koperasi Petani Kakao – Bank Syariah Mandiri)

Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan Terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Aceh

Romano dan T. Saiful Bahri Mengelola Daerah Surplus dan Daerah Defisit Beras di Provinsi Aceh

Muhammad Insa Ansari Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Bentuk Legislasi di Kabupaten Aceh Besar

Zulkifli Strategi Meningkatkan Pendapatan Aceh dari Sumber Zakat: Suatu Bukti Empirik

Suriani dan Yefrizal Analisis Valuasi Ekonomi Wisata Alam Pantai Lampuuk dengan Pendekatan Travel Cost Method

Nur Aidar dan Eri Munandar Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar

VO

LO

ME

: 4 –

NO

MO

R: 2

– IS

SN

: 08

52

– 9

12

4: N

OV

ME

BE

R 2

01

3

PEMERINTAH ACEH BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

2013

EKONOMI DAN PEMBANGUNAN

Jurnal

VOLUME: 4 – NOMOR: 2 – November 2013

ISSN: 0852 - 9124

Page 2: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal
Page 3: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

[Bappeda Aceh]

[ISSN: 0852-9124] [Vol. 4 No.2,Nov 2013]

[0651-29713] | [0651-21440] | [[email protected]]

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Akhmad Baihaqi, dkk Evaluasi Pembiayaan Modal Kerja Koperasi dengan Mekanisme Kemitraan Koperasi – Bank (Studi Kasus Koperasi Petani Kakao – Bank Syariah Mandiri) (Cost Evaluation of Coperation Capital Work Wife Partnership Mechanism of Coperation – Bank (Case Study of Cocoa Farmer Coperation – Syariah Mandiri Bank))

Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Aceh (The Effect of Education Sector Government Expenditure on The Poverty in Aceh)

Romano dan T. Saiful Bahri Mengelola Daerah Surplus dan Daerah Defisit Beras di Provinsi Aceh (Management of Rice Surplus and Deficit in the Province of Aceh)

Muhammad Insa Ansari Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Bentuk Legislasi di Kabupaten Aceh Besar (Local Government Policy in the Form of Legislation in Aceh Besar District)

Zulkifli Strategi Meningkatkan Pendapatan Aceh dari Sumber Zakat: Suatu Bukti Empirik (Strategy to Increase Aceh’s Revenues from Zakat Sources: an Empirical Evidence)

Suriani dan Yefrizal Analisis Valuasi Ekonomi Wisata Alam Pantai Lampuuk dengan Pendekatan Travel Cost Method (Analysis of Economic Valuation for Pantai Lampuuk Tourism with Travel Cost Method Approach)

Nur Aidar dan Eri Munandar Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar (Factor Saffecting land convertion in paddy Fields at Darul imarah District Aceh Besar)

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) ACEH 2013

Page 4: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal
Page 5: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

i

TIM REDAKSI

JURNAL EKONOMI PEMBANGUNAN terbit dua kali setahun pada bulan Juli

dan November yang berisi tulisan hasil penelitian dan kajian analisis kritis di bidang

Ekonomi Pembangunan :

Pembina : Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh

Pengarah : Mahruzal, SE

Penanggung Jawab : Ir. Alamsyah, MM

Dewan Redaksi : Prof. Dr. Drh. Tongku Nizwan Siregar, MP

Prof. Dr. Ir. Hasanuddin, MP

Dr. Ir. Ema Alemina, MP

drh. T. Armansyah,TR, M.Kes

Pimpinan Redaksi : Ramzi, M.Si

Staf Redaksi : Bulman

Rahmad

Cut Soraya Iskandar

Sri Hastuti Supriatna

Zaiyadi

Alamat Redaksi

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh

Bidang Penelitian, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan

Subbidang Penelitian dan Pengembangan

Jl. Tgk. H. M. Daud Beureueh No. 26 Banda Aceh

Telepon: (0651) 21440, 29713

Website: www.bappeda.acehprov.go.id

Email: [email protected]

Page 6: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal
Page 7: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

ii

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah Kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan Ridha-Nya

sehingga Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Volume 4 Nomor 2 Edisi November Tahun

2013 dapat diterbitkan. Salawat dan Salam kepada junjungan kita Nabi Besar

Muhammad SAW yang telah menanamkan risalah kepada ilmuwan masa lalu, sekarang,

dan yang akan datang.

Penerbitan jurnal ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan dan

memajukan ilmu pengetahuan sekaligus memberikan informasi bagi stakeholder yang

berkaitan dengan Ekonomi dan Pembangunan di berbagai sektor.

Terbitan Volume 4 Nomor 2 Tahun 2013 ini tim redaksi telah berupaya

meningkatkan kualitasnya dengan melakukan perbaikan-perbaikan secara signifikan

dalam hal penambahan dewan pakar, format penulisan yang lebih konsisten, judul jurnal

yang lebih mudah dimengerti.

Setiap Volume berisi tujuh artikel, dan pada edisi ini yang dimuat adalah: 1) Evaluasi

Pembiayaan Modal Kerja Koperasi dengan Mekanisme Kemitraan Koperasi – Bank

(Studi Kasus Koperasi Petani Kakao – Bank Syariah Mandiri); 2) Pengaruh Pengeluaran

Pemerintah Sektor Pendidikan terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Aceh; 3) Mengelola

Daerah Surplus dan Daerah Defisit Beras di Provinsi Aceh; 4) Kebijakan Pemerintah

Daerah dalam Bentuk Legislasi di Kabupaten Aceh Besar; 5) Strategi Meningkatkan

Pendapatan Aceh dari Sumber Zakat: Suatu Bukti Empirik; 6) Analisis Valuasi Ekonomi

Wisata Alam Pantai Lampuuk dengan Pendekatan Travel Cost Method; dan 7) Faktor-

Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Kecamatan Darul Imarah

Kabupaten Aceh Besar.

Akhirnya ucapan terima kasih kepada para penyunting ahli dan reviewer yang telah

bersedia memberikan masukan demi penyempurnaan jurnal ini. Ucapan terima kasih

juga disampaikan kepada para penulis yang telah dimuat tulisannya. Harapan kami

semoga tulisan-tulisan ilmiah yang disajikan akan memberikan tambahan pengetahuan

kepada semua pembaca. Selain itu, kami juga mengundang semua pihak untuk dapat

mengirimkan tulisan ilmiah untuk terbitan selanjutnya. Redaksi juga mengharapkan

kritik dan saran dari semua pihak dalam upaya untuk meningkatkan kualitas jurnal ini.

Redaksi

Page 8: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal
Page 9: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

iii

DAFTAR ISI

Evaluasi Pembiayaan Modal Kerja Koperasi dengan Mekanisme Kemitraan

Koperasi – Bank (Studi Kasus Koperasi Petani Kakao – Bank Syariah Mandiri)

Akhmad Baihaqi, dkk .......................................................................................

72

Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan terhadap Jumlah

Penduduk Miskin di Aceh

Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam .................................................... 79

Mengelola Daerah Surplus dan Daerah Defisit Beras di Provinsi Aceh

Romano dan T. Saiful Bahri .............................................................................. 100

Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Bentuk Legislasi di Kabupaten Aceh

Besar

Muhammad Insa Ansari .................................................................................... 111

Strategi Meningkatkan Pendapatan Aceh dari Sumber Zakat: Suatu Bukti

Empirik

Zulkifli ................................................................................................................ 119

Analisis Valuasi Ekonomi Wisata Alam Pantai Lampuuk dengan Pendekatan

Travel Cost Method

Suriani dan Yefrizal .......................................................................................... 142

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Kecamatan

Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar

Nur Aidar dan Eri Munandar ........................................................................... 152

Page 10: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal
Page 11: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

ISSN: 0852 -9124 Vol. 4, No.2, Nov 2013

72

EVALUASI PEMBIAYAAN MODAL KERJA KOPERASI

DENGAN MEKANISME KEMITRAAN KOPERASI –

BANK (STUDI KASUS KOPERASI PETANI

KAKAO – BANK SYARIAH MANDIRI)

Cost Evaluation of Coperation Capital Work Wife Partnership

Mechanism of Coperation – Bank (Case Study of Cocoa

Farmer Coperation – Syariah Mandiri Bank)

Akhmad Baihaqi1, Ahmad Humam Hamid1, Yusya Abubakar1, dan Ashabul Anhar1 1Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala,

Darussalam, Banda Aceh

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian bertujuan mengidentifikasi kendala yang timbul dalam pelaksanaan pembiayaan dan

memberikan alternatif strategi untuk mengoptimalkan pengelolaan pembiayaan modal kerja koperasi. Penelitian

ini menggunakan metode survei, dengan sampel pengelola koperasi. Analisis data dilakukan secara kuantitatif

yang dipaparkan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan lemahnya transparansi dan akuntabilitas

berdampak terhadap proses pembiayaan. Strategi untuk mengoptimalkan kemampuan Sumber Daya Manusia

(SDM) dilakukan dengan tahapan proses: (1) Forum Group Discussion (FGD) untuk memberikan peta sosial

koperasi dalam hal karakter, pengetahuan dan pola kerja, (2) Pelatihan simulasi operasi bisnis untuk

meningkatkan kompetensi tata laksana usaha, (3) Pelatihan berbasis studi kasus untuk menjawab kendala yang

timbul dari kegiatan usaha.

Kata kunci: koperasi, modal kerja

ABSTRACT

The research aims to identify constraints the implementation of financing and provide alternative strategies

to optimize of working capital financing facilities. The study uses a survey method, sample are cooperative

management. Data analysis using quantitative data and analyzed descriptively.The results showed are weak of

transparency and accountability that impact to financing process. Strategies to optimize the human resources

process conducted by: (1) FGD, to provide of cooperatives social maps in character, knowledge and work

patterns, (2) business operation simulation training to improve the competence of business administration, (3)

case study-based training to respond business activities issues of working capital.

Keywords: cooperative, working capital

PENDAHULUAN

Kakao (Theobroma cacao) merupakan salah satu komoditi perkebunan rakyat yang

dapat diandalkan untuk dikembangkan selain kopi. Upaya pengembangan dan

memperkuat ekonomi sektor pertanian subsektor perkebunan telah dilakukan Pemerintah

Provinsi Aceh melalui program Economic Development Financing Facility (EDFF).

Page 12: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Ahkmad Baihaqi, dkk

73

Progam yang bertujuan mengembangkan ekonomi petani dari perkebunan kakao ini

masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Petani kakao di wilayah Pidie, Aceh

Utara dan Aceh Timur umumnya masih tergolong miskin karena rendahnya pendapatan

yang mereka peroleh dari tanaman kakao tersebut yaitu rata-rata 5,5 juta rupiah per ha

per tahun (Actionaid Australia-Keumang, 2010 dan Actionaid Australia-Keumang,

2012). Beberapa kendala yang dihadapi dalam meningkatkan ekonomi petani adalah

ketersediaan dan akses permodalan sehingga petani tidak dapat bersaing untuk

mendapatkan nilai tambah harga dengan kuantitas produksi yang dimuliki. Salah satu

upaya untuk memperkuat basis usaha kakao rakyat adalah dengan mengembangkan suatu

pola pembiayaan modal kerja bagi organisasi (koperasi) petani kakao. Dengan dukungan

dana dari Multi Donor Fund (MDF), Action Aid Australia bersama Yayasan Keumang

mengembangkan suatu pola kerjasama antara koperasi primer dan koperasi sekunder

dengan lembaga keuangan di 3 kabupaten, yaitu Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur

untuk meningkatkan rantai nilai kakao bagi petani. Langkah untuk meningkatkan nilai

tambah harga melalui kuantitas produksi, memperkuat kelembagaan koperasi dan modal

kerja, dengan peranan kelembagaan dapat diciptakan daya tawar yang lebih baik dalam

perdagangan komoditi kakao tersebut. Bantuan modal kerja diberikan kepada petani

kakao melalui 9 unit koperasi primer, empat unit di Kabupaten Pidie, tiga unit di

Kabupaten Aceh Utara, dan dua unit di Kabupaten Aceh Timur yang beranggotakan

petani kakao di tiga kabupaten dengan jumlah anggota 4.500 petani. Untuk mendukung

peningkatan rantai nilai pemasaran koperasi-koperasi primer membentuk 1 (satu) unit

wadah bersama yaitu koperasi sekunder.Kucuran dana modal kerja diperuntukkan bagi

unit usaha koperasi dalam tahap I ini untuk mendukung aktivitas jual beli biji kakao yaitu

sebesar 3 milyar rupiah yang dimulai pada 14 Februari 2012-16 Agustus 2012 (6 bulan).

Masing-masing pembagian dana yaitu 200 juta rupiah untuk koperasi primer dan 1,2

milyar bagi koperasi sekunder dan ditempatkan di bank sebagai jaminan usaha

(Colateral). Besarnya dukungan modal kerja koperasi sekunder bertujuan mendukung

likuiditas modal kerja koperasi sekunder. Tantangan yang dihadapi oleh usaha yang baru

mulai berjalan adalah kemampuan sumber daya manusia untuk mengelola keungan dan

bisnis kakao. Daya saing usaha koperasi dengan para pesaing adalah tersedianya modal,

pengetahuan, tanggung jawab, dan karakter sosial masyarakat turut mendukung daya

ungkit koperasi untuk mencapai kesuksesan. Untuk mencapai kemandirian koperasi perlu

pula dilakukan peningkatan keahlian dan monitoring yang berbasiskan kebutuhan

pengelola dan anggota.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei terhadap 9 sembilan unit

koperasi primer dan 1 (Satu) unit koperasi sekunder yang tersebar di Kabupaten Pidie,

Aceh Utara, dan Aceh Timur. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan

kuesioner terhadap kinerja operasional koperasi dalam pengelolaan modal kerja,

sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai pihak yang terlibat di dalam program

pembiayaan dan studi literatur lainnya. Sebaran koperasi dan lokasi penelitian disajikan

pada Tabel 1.

Page 13: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

74

Tabel 1. Lokasi dan sebaran sampel penelitian.

Lokasi Unit Kerja Koperasi

Kabupaten Pidie

Kecamatan Padang Tiji Meuguna

Kecamatan Mila, Keumala dan Sakti Beuratana

Kecamatan Tangse, Mane dan Geumpang TMG

Kecamatan Glumpang Tiga APKO

Kecamatan Glumpang Tiga Pusat Koperasi Kakao Aceh

Kabupaten Aceh Utara

Kecamatan Langkahan Ingin Maju

Kecamatan Pirak Timur, Paya Bakong, dan Grudong Pase Aneuk Ban Keumang

Kecamatan Cot Girek Pertanian CocoA

Kabupaten Aceh Timur

Kecamatan Peunaron Aceh Berkat

Kecamatan Peudawa dan Rantau Pereulak Aceh Mekar

Pengumpulan data primer pada survai ini dilaksanakan melalui kombinasi antara: 1)

pengamatan lapangan (observation), diskusi terfokus (focus group discussion/FGD)

dengan semua stakeholder, dan wawancara dengan responden (petani) dalam bentuk

kuesioner.

Analisis data diperoleh dari hasil wawancara dengan sejumlah responden. Data yang

diperoleh ditabulasi kemudian dilakukan analisis secara kuantitatif yang dipaparkan

secara deskriptif. Pendekatan kuantitatif deskriftif akan diperoleh hasil “pemaknaan dan

penjelasan” terhadap berbagai kondisi dan fakta serta informasi yang diperoleh terkait

petani kakao di lokasi penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Skema Pembiayaan

Upaya untuk meminimalkan ketimpangan bagi petani kakao dilakukan dengan

membentuk lembaga formal petani melalui pembentukan koperasi. ActionAid dan

Yayasan Keumang sebagai pelaksana program membentuk tujuh koperasi primer dan

meningkatkan kapasitas kelembagaan dua koperasi primer, serta satu unit koperasi

sekunder sebagai induk koperasi-koperasi primer. Koperasi ini merupakan salah satu

langkah meningkatkan produktivitas kelembagaan sosial yang menunjang.

Modal kerja yang disediakan oleh Multi Donor Fund (MDF) tersebut berfungsi

sebagai jaminan atas pinjaman yang diambil oleh koperasi untuk membeli kakao dari

petani anggotanya. Program ini MDF dalam pelaksanaannya menyediakan dana modal

kerja, namun modal kerjanya tidak diberikan langsung kepada koperasi. Modal kerja

ditempatkan di dalam rekening investasi terikat pada Bank Syariah Mandiri (BSM) dalam

mekanisme pembiayaan syariah ini sebagai jaminan pinjaman koperasi, selanjutnya

koperasi akan melakukan pinjaman ke BSM yang didukung oleh modal kerja (jaminan).

Mekanisme pembiayaan Modal Kerja tersebut diatur oleh sistem perbankan syariah.

Kerjasama pembiayaan yang dilakukan oleh koperasi-koperasi dengan lembaga

keuangan (Bank Syariah Mandiri) sebesar 3 milyar rupiah (Rp 200.000.00 untuk 9

koperasi primer dan Rp 1.200.000.000,- bagi koperasi sekunder) sebagai jaminan.

Realisasi pembiayaan yang dijalankan kepada koperasi petani kakao pada tahap pertama

adalah sebesar Rp 50.000.000,- untuk sembilan unit koperasi primer atau total Rp

Page 14: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Ahkmad Baihaqi, dkk

75

450.000.000 dan Rp 600.000.000,- bagi satu unit koperasi sekunder. Alokasi kebutuhan

modal kerja koperasi sekunder lebih besar sebagai upaya untuk menyokong aktivitas

pembelian dari sembilan unit koperasi primer. Aktivitas operasional modal kerja koperasi

tersebut dijelaskan pada Gambar 1.

Pelaksanaan dari kesepakatan pembiayaan antara koperasi dan Bank Syariah Mandiri

dengan jelas mengatur sistem bagi hasil bagi debitur dan kreditur tersebut, yaitu; (a)

modal kerja dipergunakan koperasi untuk membiayai modal usaha jual-beli biji kakao

yang dilaksanakan oleh koperasi primer dan koperasi sekunder; (b) nilai bagi-hasil atas

penyaluran pembiayaan investasi terikat kepada Koperasi sebagai pemilik dana adalah

4% per tahun; (c) nilai bagi-hasil yang diperoleh BSM atas pengelolaan investasi terikat

adalah 2% per-tahun, yakni biaya administrasi ditanggung oleh BSM; (d) Nilai bonus

yang diperoleh Koperasi dari Rekening Giro Syariah Mandiri adalah 0,8% flat p.a.; (e)

Nilai bagi-hasil yang diperoleh Koperasi dari Rekening Tabungan Syariah Mandiri

adalah 3,4% flat p.a. (f) Nilai bagi-hasil yang diperoleh dari deposito Rekening Investasi

Terikat Syariah Mandiri adalah 4% flat p.a., (g) Jangka waktu untuk peminjaman tahap

pertama dibatasi sampai dengan 6 (enam) bulan (Baihaqi et al., 2012).

Implementasi Pembiayaan dan Tantangan Koperasi

Kebersamaan koperasi didukung dengan tersedianya unit kerjasama yang akan

mendorong usaha koperasi. Kerjasama yang dibentuk oleh koperasi-koperasi primer

adalah membentuk “Pusat Koperasi Kakao Aceh” sebagai koperasi sekunder pemersatu

kerjasama. (Meyer, 1994 dalam Krisnamurthi, 1998) menjelaskan “koperasi sekunder

atau organisasi pemusatan bertujuan untuk mengembangkan bisnis koperasi primer, guna

mewujudkan peran sebagai pengimbang dalam ekonomi pasar kapitalistik. Koperasi

sekunder mengutamakan penerapan prinsip-prinsip bisnis sehubungan dengan lingkungan

bisnis yang dihadapi, dan disisi lain tetap dikelola secara demokratis.

Implementasi pembiayaan bagi koperasi-koperasi dilapangan menunjukkan adanya

Petani

Eksportir

Pembelian

Koperasi Primer

Pembelian

Penjualan

Gudang/ Proses

Koperasi Sekunder

Penjualan

Penbelian

Gudang/ Proses

Modal

wareh

ousing

apital

aktivitas

Kakao

Gambar 1. Diagram aktivitas usaha koperasi primer dan koperasi sekunder

Page 15: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

76

kelemahan yang umum terjadi ketika suatu usaha kecil menengah mulai beraktivitas,

yaitu transparansi dan akuntabilitas keuangan dari sisi internal koperasi dan penyediaan

dana cicilan pengembalian kredit kepada bank disisi eksternal koperasi. Lemahnya

transparansi dan akuntabilitas keuangan ini disebabkan lemahnya kemampuan sumber

daya manusia, akibat yang ditimbulkan adalah kerugian pada kegiatan awal pembelian

terutama oleh koperasi-koperasi primer. Aktualisasi kinerja keuangan koperasi dalam

periode awal pembiayaan dijelaskan melalui keuntungan dan kerugian disajikan pada

Gambar 2.

Gambar 2. Aktualisasi operasional pembelian dan penjualan koperasi primer dalam

pembiayaan modal kerja

Dapat dijelaskan bahwa kegiatan jual beli yang dilakukan oleh sepuluh koperasi

dalam masa pembiayaan yaitu, terdapat dua koperasi yang memperoleh keuntungan lebih

dari 8 juta rupiah yaitu Pusat Koperasi Kakao Aceh dan Meuguna, dua koperasi

memperoleh keuntungan lebih dari 1 juta rupiah yaitu APKO dan Ingin Maju, tiga

koperasi membukukan keuntungan di bawah 1 juta rupiah yaitu TMG, Aceh Mekar dan

Aceh Berkat, sementara itu tiga koperasi mengalami kerugian yaitu Beuratana, Cocoa

dan Aneuk Ban Keumang.

Untuk menanggulangi kelemahan koperasi tersebut langkah perbaikan yang dilakukan

adalah melakukan monitoring dan pendampingan bagi koperasi-koperasi. Kegiatan

monitoring di lapangan membantu koperasi dalam memperbaiki kinerja keuangan

sekaligus manajerial para pengelola koperasi. Secara nyata kondisi yang dialami

pengelola koperasi tersebut dapat dijelaskan bahwa, walaupun telah diberikan pelatihan

dibidang manajemen dan keuangan mereka belum memiliki pengalaman dalam aktivitas

usaha. Melalui pendampingan pengelola koperasi dibekali kembali pengetahuan

keuangan dan manajemen yang sesuai dengan kondisi lapangan yang terjadi. Kondisi

lapangan tersebut antra lain: (1) modal yang dicairkan dipegang tidak hanya oleh

bendahara; (2) tidak taat dan jelas pencatatan pembukuan; (3) modal tunai terlalu lama

dipegang bukan oleh bendahara; (4) pengelola meminjam modal kerja untuk kepentingan

Page 16: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Ahkmad Baihaqi, dkk

77

pribadi; (5) penaksiran harga beli tidak sesuai dengan acuan harga yang disepakati dan;

(6) fluktuasi harga pasar kakao.

Setelah dilakukan monitoring dan pelatihan pendampingan bagi keporasi, perbaikan

tata kelola manajerial pengelola koperasi mampu meningkatkan kinerja operasional

terutama transparansi dan akuntabilitas keuangan. Capaian kondisi tersebut mampu

mendorong kemandirian koperasi dalam pengelolaan pembiayaan perbankan. Hasil

capaian penggunaan modal kerja walaupun tidak signifikan memberikan keuntungan

maksimal, koperasi-koperasi telah mampu membukukan saldo bersih positif pada tahap

pertama pembiayaan antara koperasi dan Bank Syariah Mandiri. Kinerja keuangan

koperasi dijelaskan berdasarkan jumlah saldo pada akhir tutup buku periode pertama

pembiayaan seperti pada Gambar 3.

Gambar 3. Kinerja operasional keuangan koperasi setelah monitoring dan pendampingan

Model pelatihan yang dilakukan untuk memperbaiki kinerja operasional koperasi

dilakukan dalam tiga tahapan, dan di lapangan berdasarkan spesisik kendala yaitu: (1)

FGD kepada pengelola (pengurus, pengawas dan manager), hasil kegiatan akan

memberikan peta sosial koperasi dalam hal karakter, pengetahuan dan pola kerja. Kondisi

tersebut untuk menyatukan keberagaman, “Keberagaman dan perbedaan terjadi karena

fitrah manusia yang selalu ingin menunjukkan dan mempertahankan eksistensi dirinya

(Sumadi T. dan Japar M., 1998 dalam Supardi, 2009); (2) Pelatihan simulasi operasi

bisnis diberikan kepada manajer selaku pengelola unit usaha, selain untuk menigkatkan

kompetensi tata laksana jual beli serta pengelola mampu menjalankan usaha sesuai

dengan Prosedur Standar Operasional unit bisnis koperasi; (3) Pelatihan berbasis studi

kasus untuk menjawab tantangan yang timbul dari kegiatan usaha, pelaksanaan pelatihan

diberikan kepada pengelola keuangan untuk meningkatkan kompetensi bagi masing-

masing koperasi sehingga dapat menguasai teknik pemecahan masalah yang diperlukan.

Pelatihan berbasis kompetensi difokuskan pada kinerja aktual, dengan pendekatan

kompetensi peserta pelatihan diharapkan tidak sekedar tahu, tetapi juga dapat melakukan

sesuatu yang harus dikerjakan (Magkuprawira, 2009).

Kendala ketepatan waktu dalam penyediaan dana cicilan pengembalian kredit kepada

bank merupakan kelemahan bagi usaha bisnis yang baru berjalan, di samping masih

minimnya pengalaman usaha. Mengacu kepada aspek-aspek tersebut, penerapan sistem

cicilan kredit disesuaikan dengan kepentingan koperasi, kondisi ini didasari bahwa modal

kerja yang terus berputar dalam aktivitas jual beli. Sehingga Model pembayaran cicilan

Page 17: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

78

dilakukan dengan pola: (1) cicilan bagi hasil dibayarkan setiap bulan selama masa

pembiayaan; (2) cicilan kredit dibayarkan sekaligus pada periode akhir pembiayaan.

Untuk meningkatkan aktiva koperasi, dilakukan penerapan pengendalian biaya

operasional. Pengendalian biaya merupakan masalah penting dalam mempertahankan dan

meningkatkan profitabilitas bagi usaha, unsur tenaga kerja dan operasional merupakan

sumber yang paling dominan dalam biaya. Untuk mengurangi biaya tersebut perlu

dilakukan evaluasi biaya tenaga kerja dan overhead (Horne dan Wachowicz, 2009).

KESIMPULAN

Lemahnya kemampuan sumber daya manusia yang disebabkan beragamnya tingkat

pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki oleh para pengurus koperasi, sehingga tidak

terciptanya kesamaan misi organisasi dan lemahnya transparansi pengelolaan keuangan

mengakibatkan tidak tertata dengan baiknya pengelolaan pembukuan. Rendahnya

akuntabilitas berakibat tidak terlaksananya standar prosedur kerja yang telah ditetapkan.

PUSTAKA

ActionAid Australia dan Keumang, 2010. Baseline Survei Sosial Ekonomi Petani Kakao di Kabupaten Pidie,

Aceh Utara dan Aceh Timur. Banda Aceh.

ActionAid Australia dan Keumang, 2012. Enline Survei Sosial Ekonomi Petani Kakao di Kabupaten Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Banda Aceh.

Baihaqi, A., A. Anhar. A., Y., P. Safrizal, dan. Rudy. 2012. Standar Prosedur Operasi Untuk Pembiayaan Bagi

Modal Kerja Koperasi Kakao. ActionAid Australia-Keumang. Banda Aceh.

Horne, J., C., Van and M., J, Jr. 2009. Fundamentals of Fiancial Manajemen, Buku 1 Ed 12. Salemba Empat.

Jakarta.

Supardi, 2009. Filsafat, Ilmu dan Ilmu Sosial. Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.

Page 18: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

ISSN: 0852-9124 Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam

79

PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH SEKTOR

PENDIDIKAN TERHADAP JUMLAH

PENDUDUK MISKIN DI ACEH

The Effect of Education Sector Government Expenditure on The

Poverty in Aceh

Diana Sapha A.H1 dan Edwin Faris Bassam1 1Staf Pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh.

Email: [email protected] dan [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pengeluaran pemerintah sektor pendidikan

terhadap kemiskinan kabupaten/kota di Aceh. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder dari tahun 2008 sampai dengan 2010. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif

dengan menggunakan data panel. Untuk mengestimasi parameter model penelitian ini menggunakan pendekatan

Fixed Effect Metode (FEM). Metode ini secara sederhana menggabungkan (pooled) seluruh data series dan

cross section. Hasil perhitungan untuk melihat hubungan antara pengeluaran pemerintah sektor pendidikan

terhadap kemiskinan jika pemerintah menambah pengeluaran pemerintah, maka tingkat kemiskinan akan

meningkat, jadi pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan belum mampu menurunkan tingkat kemiskinan di

Aceh. Hendaknya pengeluaran pemerintah harus dipastikan efisiensi dan efektivitas penggunaannya sampai

pada sasaran terutama masyarakat yang kurang mampu.

Kata kunci : pengeluaran pemerintah, pendidikan dan kemiskinan

ABSTRACT

The purpose of this research was to determine the effect of the education sector government expenditureon

poverty districts/cities in Aceh. The data was used in this study is a secondary data from 2008 to 2010. This study used quantitative research methods using panel data. To estimate the parameters of our model using Fixed Effect

approach method (FEM). This method simply combines (pooled) the entire data series and cross section.

Calculation results for the relationship between government spending on education sector to the poverty in Aceh if the government increases government spending, poverty levels will increase, so the government spending in the

education sector has not been able to reduce the level of poverty in Aceh. Hopefully government spending must be

ensured the efficiency and effectiveness of its use until the targeted specially the poor.

Keywords : government expenditure, education and poverty

PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Pembangunan merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan hidup suatu negara.

Menciptakan pembangunan yang berkesinambungan adalah hal penting yang harus

dilakukan oleh sebuah negara dengan tujuan untuk menciptakan kondisi bagi masyarakat

untuk dapat menikmati lingkungan yang menunjang bagi hidup sehat, umur panjang dan

menjalankan kehidupan yang produktif. Dalam era globalisasi ini peranan pemerintah

untuk

Page 19: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 4, No. 2, Nov 2013

80

melakukan pembangunan ekonomi merupakan kunci untuk menuju masyarakat yang

lebih makmur, karena itu peranan pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan terutama

di negara-negara berkembang termasuk Indonesia harus benar-benar aktif dan positif.

Suatu kegiatan ekonomi akan optimal jika terdapat aktifitas pemerintah di dalamnya.

Pemerintah dapat menjadi pelaku kegiatan ekonomi yang memacu produksi dan

konsumsi. Pihak swasta biasanya mengalokasikan sumber daya yang dimiliki melalui

mekanisme pasar, jika sistem pasar benar-benar efisien di dalam mengalokasikan sumber

daya, maka peranan pemerintah terbatas, salah satunya ketika terjadi kegagalan dalam

private market (Samuelson dan Nordhaus, 2005).

Pemerintah akan masuk dan menyelesaikan permasalahan kegagalan pasar jika pihak

swasta dan individu-individu tidak bersedia memperbaiki keadaan dan mengeluarkan

biaya. Pemerintah dapat melalukan dua jenis kebijakan yaitu kebijakan moneter dan

kebijakan fiskal. Kebijakan moneter merupakan kebijakan pemerintah dalam

mempengaruhi tingkat suku bunga dan jumlah uang beredar. Kebijakan fiskal adalah

kebijakan pemerintah melalui pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah

mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam meningkatkan laju pertumbuhan

ekonomi. Pemerintah melalui instrumen kebijakan dapat menyelamatkan keadaan ketika

perekonomian mengalami kelesuan akibat adanya resesi ekonomi.

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengembangan SDM

(Todaro, 2006). Disejumlah negara sedang berkembang pendidikan telah mengambil

bagian terbesar dari anggaran pemerintahnya. Usaha-usaha untuk menyediakan

kesempatan seluas-luasnya bagi pendidikan sekolah dasar telah menjadi prioritas dasar

dari setiap pembangunan di negara-negara tersebut, namun kendati kerugian-kerugian

yang secara kuantitatif mengesankan untuk tingkat pendaftaran sekolah dasar (SD),

tingkat melek huruf tetap sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara maju.

Tujuan pembangunan dibidang pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan

bangsa. Dengan pendidikan maka diharapkan SDM di negara dan di daerah tersebut

meningkat, namun pembangunan sangat dipengaruhi oleh aspek pengelolaan, baik di

tingkat makro maupun mikro. Sistem pengelolaan yang efisien lebih menjamin

terlaksananya program-program dan tercapainya pembangunan pendidikan secara efektif

dan efisien maka sistem ini perlu terus diperbaiki dan disempurnakan.

Faktor lain (Susanti dkk, 1995:111) yang juga tidak kalah pentingnya adalah dana

yang dikeluarkan pemerintah untuk pembangunan pendidikan ini. Seiring dengan adanya

pendapatan perkapita, kemampuan masyarakat untuk membiayai pendidikan menjadi

lebih tinggi, sehingga permintaan akan jenjang pendidikan akan meningkat dan waktu

sekolah pun akan menjadi lebih lama. Pendidikan bermanfaat untuk meningkatkan

produktivitas menurut Todaro (2006) tingkat pendidikan secara umum dipengaruhi oleh

permintaan dan penawaran, yang hampir seluruh jasa dan fasilitas pendidikan disediakan

oleh pemerintah yang berarti sisi penawaran. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

tingkat pendidikan dapat dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah sektor pendidikan.

Page 20: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam

81

Sumber: DJPK, Depkeu 2011, Diolah

Gambar 1.1. Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan Daerah per Kabupaten/Kota

Tahun 2007 – 2010

Berdasarkan Gambar 1.1 selama tahun 2007 hingga 2010 proporsi pengeluaran

pemerintah atas pendidikan berubah-ubah di setiap kabupaten/kota. Pada kabupaten/kota

seperti Bener Meriah, Subusalam, Pidie Jaya, Nagan Raya, Singkil, dan Pidie data untuk

tahun 2007 belum tersedia. Kabupaten/kota yang proporsi pengeluaran pemerintah

terendah tahun 2007 adalah Kabupaten Simeuleu sebesar Rp. 27,9 milliar dan tertinggi

adalah Kabupaten Aceh Utara dengan Rp. 268,1 milliar. Sementara untuk tahun 2008

untuk terendah tetap Kabupaten Simeuleu dengan Rp. 27,9 milliar dan untuk yang

tertinggi masih tetap Kabupaten Aceh Utara dengan Rp. 373,4 milliar Untuk tahun 2009-

2010 proporsi pengeluaran pemerintah terendah yaitu Kota Subussalam dengan Rp. 47,2

milliar pada tahun 2009 dan Rp. 46,1 milliar pada tahun 2010. Dan tahun 2009-2010

yang tertinggi tetap Kabupaten Aceh Utara dengan Rp.344 milliar pada tahun 2009 dan

pada tahun 2010 sebesar Rp. 288,8 milliar dapat dilihat pada gambar 1 pada tahun 2007-

2010 Kabupaten Aceh Utara masih dengan posisi yang tertinggi pada proporsi

pengeluaran pemerintah sektor pendidikan Aceh (DJPK, 2011).

Sumber daya manusia sangatlah penting untuk negara maju maupun negara

berkembang seperti Indonesia umumnya dan Aceh khususnya. Ini di karenakan negara

yang memiliki sumber daya manusia yang berkualitas akan membangun bangsanya dan

daerahnya untuk menjadi suatu negara dan daerah yang maju yang memiliki penduduk

yang cerdas dan cakap dalam membangun daerahnya. Maka sumber daya manusia sangat

perlu di tingkatkan untuk mendapatkan cita-cita daerah itu sendiri.

Page 21: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

82

Selain itu kemiskinan merupakan salah satu masalah penting yang dihadapi

pemerintah yang mempengaruhi pembangunan manusia di Aceh. Tingkat kemiskinan

yang tinggi membuat individu tidak mempunyai alokasi dana dalam rangka memenuhi

kebutuhan dasarnya salah satunya yang berhubungan dengan proses pembangunan

manusia. Masalah kemiskinan merupakan hal penting yang perlu ditangani pemerintah

daerah Aceh.

0,00

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

120,00

140,00

160,00

2008

2009

2010

Sumber: BPS 2011, Diolah

Gambar 1.2. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota 2008-2010 (dalam ribuan jiwa)

Menurut Gambar 1.2 jumlah penduduk miskin Di Aceh yang terbesar adalah di

daerah Kabupaten Aceh Utara sangatlah tinggi apabila dibandingkan dengan daerah di

kabupaten/kota pada tahun 2008 dengan jumlah penduduk 135,7 ribu jiwa dan semakin

menurun dengan jumlah penduduk 124,40 ribu jiwa tahun 2010. Lalu penduduk miskin

terendah terdapat pada Kota Sabang jumlah penduduk miskin 7,14 ribu jiwa dan menurun

pada tahun 2010 sebesar 6,60 ribu jiwa. Dalam kurun waktu antara tahun 2008 sampai

2010 tingkat kemiskinan Aceh cenderung turun pada tahun berikutnya (BPS, 2011).

Berdasarkan latar belakang di atas menarik untuk dibahas mengenai pengaruh

pengeluaran pemerintah sektor pendidikan terhadap pengaruh kemiskinan pada periode

tahun 2008-2010.

Perumusan Masalah

Pengeluaran pemerintah memiliki hubungan yang kuat dengan pertumbuhan ekonomi,

terutama jenis pengeluaran pemerintah yang menyangkut pencapaian kesejahteraan

masyarakat. Pengeluaran tersebut adalah pengeluaran atas pendidikan. Sektor tersebut

merupakan sektor yang sangat penting bagi proses pembangunan. Pendidikan merupakan

Page 22: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam

83

upaya dalam mempersiapkan SDM yang berkualitas dalam memberikan kontribusi yang

positif terhadap pertumbuhan ekonomi sehingga dengan meningkatnya SDM maka akan

mengurangi kemiskinan. Dengan demikian yang menjadi permasalahan adalah bagaimana

pengaruh pengeluaran pemerintah sektor pendidikan terhadap kemiskinan di Aceh.

Tujuan Penelitian

Penulisan ini mempunyai tujuan untuk mengetahui Pengaruh Pengeluaran Pemerintah

Sektor Pendidikan Terhadap Kemiskinan di Aceh. Kegunaan Penelitian: a) Melihat

pengaruh pengeluaran pemerintah atas sektor pendidikan terhadap kemiskinan di Aceh

sehingga bisa menjadi masukan dalam perumusan kebijakan penganggaran; b) Hasil

penelitian ini diharapkan sebagai tambahan informasi bagi pembaca tentang kebijakan

belanja publik oleh pemerintah.

Kerangka Teoritis dan Konsepsi Pengertian Pengeluaran Pemerintah Menurut kamus lengkap ekonomi (Pass dan Lowes, 1994:268-269) pengeluaran

pemerintah (government expenditure) adalah pengeluaran dan investasi (investment) dari

pemerintah pusat dan daerah untuk menyediakan barang-barang sosial (social goods) dan

jasa-jasa (kesehatan, pendidikan, pertahanan/keamanan, jalan raya, dan lain sebagainya),

memasarkan barang dan jasa (batu bara, jasa pos, dan lain sebagainya) dan biaya sosial

untuk pengangguran, pensiunan, dan lain sebagainya (transfer payment) dalam model

arus sirkulasi pendapatan (circular flow of income payment), transfer payment tidak

dimasukkan dalam pengeluaran pemerintah karena pengeluaran ini tidak produktif yang

hanya berupa pemindahan penerimaan pajak dari suatu rumah tangga ke rumah tangga

lainnya.

Dalam rangka mencapai kondisi masyarakat yang sejahtera pemerintah menjalankan

berbagai macam program pembangunan ekonomi, aktivitas pemerintah dalam melakukan

pembangunan membutuhkan dana yang cukup besar, pengeluaran pemerintah

mencerminkan kombinasi produk yang dihasilkan untuk menyediakan barang publik dan

pelayanan kepada masyarakat yang memuat pilihan atas keputusan yang dibuat oleh

pemerintah. Dalam kebijakan fiskal dikenal ada beberapa kebijakan anggaran yaitu

anggaran berimbang, anggaran surplus, dan anggaran defisit. Menurut Mangkoesoebroto

(dalam Abdul Aziz, 2010) anggaran surplus digunakan jika pemerintah ingin mengatasi

masalah inflasi. Sedangkan anggaran defisit digunakan jika pemerintah ingin mengatasi

masalah pengangguran dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Jika pemerintah

merencanakan peningkatan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi angka

pengangguran maka pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya.

Teori Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan yang telah diambil oleh

pemerintah. Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang

dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan untuk

melaksanakan kebijakan tersebut (Guritno, 1993). Dasar teori pengeluaran pemerintah

adalah identitas keseimbangan pendapatan nasional (Y= C+I+G+(X-M)) dimana Y

mengambarkan pendapatan nasional sekaligus penawaran agregat, permintaan agregat

digambarkan pada persamaan C+I+G+(X-M) dimana G merupakan pengeluran

pemerintah yang merupakan bentuk dari campur tangan pemerintah dalam perekonomian.

Kenaikan atau penurunan pengeluaran pemerintah akan menaikkan atau menurunkan

pendapatan nasional. Pemerintah tidak cukup hanya meraih tujuan akhir dari setiap

kebijaksanaan pengeluarannya, tetapi juga harus memperhitungkan sasaran antara yang

Page 23: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

84

akan menikmati atau terkena kebijaksanaan tersebut. Pemerintah pun perlu menghindari

agar peningkatan perannya dalam perekonomian tidak justru melemahkan kegiatan

swasta (Dumairy, 1997).

Pemerintah sebagai pemegang peran penting dalam setiap hajat hidup masyarakat

Indonesia perlu melakukan kajian yang mendalam dalam setiap kebijakannya agar setiap

output yang dihasilkan dan diharapkan dapat tepat sasaran dan memberikan pengaruh

nyata terhadap masyarakat. Kebijakan yang tidak tepat sasaran melalui kebijakan alokasi

dana tiap sektor yang menyangkut kebutuhan masyarakat luas seharusnya perlu diberikan

porsi lebih dalam alokasi anggaran pemerintah, kebijakan pemerintah menyangkut sektor

pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial adalah beberapa contoh diantaranya yang

perlu diberikan perhatian lebih, hal ini dikarenakan pada sector-sektor tersebutlah

masyarakat dapat merasakan secara langsung dampak dari kebijakan pemerintah yang

diambil.

Beberapa alasan yang dapat dikemukakan adalah bahwa sector-sektor tersebut dapat

menjadi acuan dan gambaran dari pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang

dimaksud disini bukanlah pertumbuhan ekonomi secara statistik saja, namun

pertumbuhan ekonomi yang juga memberikan kontribusi langsung terhadap masyarakat.

Pertumbuhan ekonomi yang berlangsung di Indonesia selama ini tidak menyentuh

secara langsung ke lapisan masyarakat golongan ekonomi lemah, karena pertumbuhan

ekonomi yang secara statistik diungkapkan oleh pemerintah tidak mencerminkan

gambaran secara langsung kondisi sosial dalam masyarakat. Ditengah pertumbuhan

ekonomi Indonesia yang selalu dalam angka positif terdapat tingkat pengangguran yang

tidak berkurang secara signifikan demikian pula pada sektor yang menyangkut kebutuhan

publik lainnya seperti kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial yang masih belum

memadai, hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi hanya dipacu oleh pertumbuhan

konsumsi rumah tangga.

Klasifikasi Pengeluaran Pemerintah

Menurut Suparmoko (1994) pengeluaran pemerintah dapat dinilai dari berbagai segi

sehingga dapat dibedakan menjadi empat klasifikasi sebagai berikut: a) pengeluaran

pemerintah merupakan investasi untuk menambah kekuatan dan ketahanan ekonomi di

masa yang akan datang; b) pengeluaran pemeritah langsung memberikan kesejahteraan

bagi masyarakat; c) pengeluaran pemerintah merupakan pengeluaran yang akan datang;

d) pengeluaran pemerintah merupakan sarana penyedia kesempatan kerja yang lebih

banyak dan penyebaran daya beli yang lebih luas.

Oleh karena itu pengeluran pemerintah dapat dibedakan menjadi beberapa golongan

yaitu sebagai berikut :a) pengeluaran yang self liquiditing sebagian atau seluruhnya,

artinya pengeluaran pemerintah mendapatkan pembayaran kembali dari masyarakat yang

menerima jasa atau barang yang bersangkutan. Contohnya, pengeluaran untuk jasa negara

pengeluaran untuk jasa-jasa perusahaan pemerintah atau untuk proyek–proyek produktif

barang ekspor; b) pengeluaran yang reproduktif, artinya mewujudkan keuntungan-

keuntungan ekonomis bagi masyarakat, dengan naiknya tingkat penghasilan dan sasaran

pajak yang lain pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan pemerintah. Misalnya,

pemerintah menetapkan pajak progresif sehingga timbul redistribusi pendapatan untuk

pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat; c) pengeluaran yang tidak self liquiditing

maupun yang tidak produktif, yaitu pengeluaran yang langsung menambah kegembiraan

Page 24: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam

85

dan kesejahteraan masyarakat. Misalnya, untuk bidang rekreasi, objek-objek pariwisata

dan sebagainya. Sehingga hal ini dapat juga menaikkan penghasilan dalam kaitannya

jasa-jasa tadi; d) pengeluaran yang secara langsung tidak produktif dan merupakan

pemborosan, misalnya untuk pembiayaan pertahanan atau perang meskipun pada saat

pengeluaran terjadi penghasilan yang menerimanya akan naik; e) pengeluaran yang

merupakan penghematan di masa yang akan datang. Misalnya pengeluaran untuk anak-

anak yatim piatu. Jika hal ini tidak dijalankan sekarang, kebutuhan-kebutuhan

pemeliharaan bagi mereka di masa yang akan datang pasti akan lebih besar.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pengeluaran pemerintah

Indonesia secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan yaitu

pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin pada dasarnya

berunsurkan pos-pos pengeluaran untuk membiayai pelaksanaan roda pemerintahan

sehari-hari meliputi belanja pegawai, belanja barang: berbagai macam subsidi (subsidi

daerah dan subsidi harga barang); angsuran dan utang pemerintah; serta jumlah

pengeluran lain. Sedangkan pengeluaran pembangunan maksudnya adalah pengeluaran

yang bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk prasarana fisik, yang dibedakan

atas pembangunan yang dibiayai dengan dana rupiah dan bantuan proyek. Pengeluaran

rutin dan pengeluaran pembangunan mempunyai batasan yang tidak jelas. Sebagai

contoh, berbagai macam upah dan gaji tambahan yang menurut logika awam termasuk

pengeluaran rutin oleh pemerintah digolongkan sebagai pengeluaran pembangunan.

Pengeluaran pemerintah juga dapat dibedakan menurut berbagai macam klasifikasi

sebagai berikut: (1) pembedaan antara Pengeluaran atau Belanja Rutin dan Pengeluaran

atau Belanja Pembangunan: a) belanja rutin adalah belanja untuk pemeliharaan atau

penyelenggaraan pemrintah sehari-hari. Belanja rutin terdiri atas Belanja Pegawai, yaitu

untuk pembayaran gaji atau upah pegawai termasuk gaji pokok dengan segala macam

tunjangan. Belanja barang yaitu untuk pembelian barang-barang yang digunakan untuk

penyelenggaraan pemerintah sehari-hari. Belanja pemeliharaan yaitu pengeluaran untuk

memelihara agar milik atau kekayaan pemerintah tetap terpelihara secara baik. Belanja

perjalanan yaitu untuk perjalanan kepentingan penyelenggaraan pemerintahan; b) belanja

pembangunan adalah pengeluaran untuk pembangunan baik pembangunan fisik maupun

pembangunan non fisik spiritual. (2) pembedaan antara current account atau current

expenditure dengan capital expenditure atau capital account; a) Current expenditure atau

current budget (anggaran rutin), yaitu anggaran untuk penyelenggaraan pemerintah

sehari-hari, termasuk belanja pegawai dan belanja barang serta belanja pemeliharaan; b)

Capital expenditure atau capital budget (belanja pembangunan), yaitu rencana untuk

pembelian capital (tetap). (3) pembedaan Obligatory Expenditure dengan Optional

Expenditure antara Real Expenditure dengan Transfer Expenditure dan antara Liquidated

Expenditure dengan Cash Expenditure; a) Obligatory Expenditure atau pengeluaran

wajib adalah pengeluaran yang bersifat wajib harus dilakukan agar efektifitas

pelaksanaan pemerintah dapat terselenggara sebaik-baiknya; b) Optional Expenditure

atau pengeluaran opsional adalah pengeluaran yang dilakukan pada saat tiba-tiba

dibutuhkan; c) Real Expenditure atau pengeluaran nyata adalah pengeluaran untuk

membeli barang dan jasa; d) Liquidated Expenditure adalah pengeluaran sebagaimana

Page 25: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

86

yang sudah diajukan dan disetujui oleh DPR. Semula dalam RAPBN setelah mendapat

pengesahan menjadi APBN; e) Transfer Expenditure adalah pengeluaran yang tidak ada

kaitannya dengan mendapatkan barang dan jasa, jadi tidak ada direct quid pro quo; f)

Cash Expenditure adalah pengeluaran yang telah sungguh-sungguh dilaksanakan berupa

pembayaranpembayaran konkrit.

Alokasi Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan

Secara filosofis pelayanan sektor pendidikan merupakan salah satu alasan dan tujuan

dibentuknya negara, dengan demikian negara sebagai pemegang mandat dari rakyat

bertanggungjawab untuk menyelenggarakan pelayanan pendidikan sebagai usaha

pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Dalam hal ini, posisi negara adalah sebagai pelayan

rakyat (public servant) dan pemberi layanan. Sementara rakyat memiliki hak atas

pelayanan sektor pendidikan negara karena sudah memenuhi kewajibannya sebagai

warga negara, seperti membayar pajak (langsung maupun tidak langsung) dan terlibat

dalam pengawasan dan partisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 negara ini menegaskan bahwa salah satu

tujuan didirikan negara Indonesia adalah mencerdaskan seluruh rakyat. Cara yang

digunakan untuk mencapainya dengan memanfaatkan institusi pendidikan seperti sekolah

atau perguruan tinggi. Melalui institusi tersebut negara diberi kewajiban untuk membuka

akses bagi semua anggota masyarakat agar memperoleh layanan pendidikan bermutu.

Sadar akan kewajiban tersebut, negara menaruh perhatian khusus untuk bidang

pendidikan. Hal ini terlihat dalam konstitusi negara RI pasal 31 UUD 1945; UU No 20

tahun 2003 Tentang Sisdiknas (pasal 49 ayat 4) yang menyatakan alokasi anggaran

pendidikan minimal sebesar 20 % dari APBN/APBD. Bahkan, pada pasal 182 ayat 3 UU

No 11 Tentang Pemerintahan Aceh, alokasi dana pendidikan paling sedikit 30 % dari

APBA.

Keterkaitan antara UUPA dengan Kebijakan-kebijakan lain sebagaiman tersebut

tercermin dalam UUPA pasal 215, pendidikan yang diselenggarakan di Aceh merupakan

satu kesatuan dengan sistem pendidikan nasional serta disesuaikan dengan karakteristik,

potensi, dan kebutuhan masyarakat setempat. Pada butir pertama dari Pasal 217

disebutkan pula bahwa penduduk Aceh yang berusia 7 sampai dengan 15 tahun wajib

mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya. Terkait dengan disahkannya UU-PA,

kemudian memiliki konsekuensi hukum terhadap perubahan dan penyempurnaan qanun

tentang penyelenggaraan pendidikan di Provinsi Aceh yang sebelumnya telah dituangkan

dalam Qanun No 23 Tahun 2002 Pemerintah dan pemerintah daerah diwajibkan memberi

layanan dan kemudahan, serta menjamin pendidikan yang bermutu bagi setiap warga

negara tanpa ada diskriminasi.

Karenanya, pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya

dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh

sampai dengan lima belas tahun. Kedua aturan tersebut dengan jelas menerangkan bahwa

mutu dan bebas biaya dalam pelayanan pendidikan menjadi satu bagian. Artinya, selain

harus membiayai seluruh kegiatan operasional pendidikan, pemerintahpun

bertanggungjawab dalam peningkatan mutu guru, ketersediaan buku ajar, serta peralatan

dan perlengkapan belajar mengajar.

Upaya pemerintah dalam membangun dunia pendidikan tergambar pada program

wajib belajar yang harus tuntas tahun 2008, program bantuan operasional sekolah (BOS),

Page 26: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam

87

program perbaikan saran sekolah yang rusak dan lain-lain. Namun usaha tersebut belum

dapat memberi angin segar bagi dunia pendidikan. Ini terlihat dari informasi media

tentang penyimpangan dana pendidikan.

Pengaruh Pengeluaran Pemerintah atas Pendidikan

Teori pertumbuhan ekonomi yang berkembang saat ini didasari kepada kapasitas

produksi tenaga manusia di dalam proses pembangunan atau disebut juga investment in

human capital. Hal ini berarti peningkatan kemampuan masyarakat menjadi suatu

tumpuan yang paling efisien dalam melakukan pembangunan di suatu wilayah. Asumsi

yang digunakan dalam teori human capital adalah bahwa pendidikan formal merupakan

faktor yang dominan untuk menghasilkan masyarakat berproduktivitas tinggi. Teori

human capital dapat diaplikasikan dengan syarat adanya sumber teknologi tinggi secara

efisien dan adanya sumber daya manusia yang dapat memanfaatkan teknologi yang ada.

Teori ini percaya bahwa investasi dalam hal pendidikan sebagai investasi dalam

meningkatkan produktivitas masyarakat.

Investasi dalam hal pendidikan mutlak dibutuhkan maka pemerintah harus dapat

membangun suatu sarana dan sistem pendidikan yang baik. Alokasi anggaran

pengeluaran pemerintah terhadap pendidikan merupakan wujud nyata dari investasi untuk

meningkatkan produktivitas masyarakat. Pengeluaran pembangunan pada sektor

pembangunan dapat dialokasikan untuk penyediaan infrastruktur pendidikan dan

menyelenggarakan pelayanan pendidikan kepada seluruh penduduk Indonesia secara

merata. Anggaran pendidikan sebesar 20 persen merupakan wujud realisasi pemerintah

untuk meningkatkan pendidikan.

Menurut E.Setiawan (2006) implikasi dari pembangunan dalam pendidikan adalah

kehidupan manusia akan semakin berkualitas. Dalam kaitannya dengan perekonomian

secara umum (nasional) semakin tinggi kualitas hidup suatu bangsa, semakin tinggi

tingkat pertumbuhan dan kesejahteraan bangsa tersebut. Semakin tinggi kualitas

hidup/investasi sumber daya manusia yang kualitas tinggi akan berimplikasi juga

terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi nasional.

Kemiskinan

Kemiskinan menurut Mudrajad Kuncoro (2000) adalah ketidakmampuan untuk

memenuhi standar hidup minimum. Permasalahan standar hidup yang rendah berkaitan

pula dengan jumlah pendapatan yang sedikit (kemiskinan), perumahan yang kurang

layak, kesehatan dan pelayanan kesehatan yang buruk, tingkat pendidikan masyarakat

yang rendah sehingga berakibat pada rendahnya sumber daya manusia dan banyaknya

pengangguran. Tingkat standar hidup dalam suatu negara bisa diukur dari beberapa

indikator antara lain Gross National Product (GNP) per capita, pertumbuhan relatif

nasional dan pendapatan per kapita, distribusi pendapatan nasional, tingkat kemiskinan,

dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Menurut Todaro (2000), besarnya kemiskinan

dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan (poverty line). Konsep

yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut, sedangkan konsep

yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif.

Kemiskinan absolut adalah derajat kemiskinan di bawah, yaitu kebutuhan-kebutuhan

minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi. Ini adalah suatu ukuran tetap (tidak

berubah) di dalam bentuk suatu kebutuhan kalori minimum ditambah komponen-

Page 27: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

88

komponen non makanan yang juga sangat diperlukan untuk survive. Sedangkan

kemiskinan relative adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi

pendapatan, biasanya dapat didefinisikan di dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari

distribusi yang dimaksud. Mengutip pendapat Nurske, Jhingan (2000) dan Mudrajad

Kuncoro (2003) menyatakan bahwa negara/ daerah yang tingkat kemiskinannya tinggi,

umumnya terjerat ke dalam apa yang disebut lingkaran kemiskinan (vicious circle).

Nurske menjelaskan bahwa lingkaran kemiskinan mengandung arti deretan melingkar

kekuatan-kekuatan yang satu sama lain berinteraksi sedemikian rupa sehingga

menempatkan suatu negara daerah yang tingkat kemiskinannya tinggi tetap berada dalam

keadaan terbelakang. Menurut Nurske kemiskinan adalah sebab sekaligus akibat.

Pengentasan kemiskinan yang terkenal di banyak negara berkembang sekarang secara

eksplisit mengintegrasikan insentif untuk pengembangan modal manusia berupa

kesehatan dan pendidikan di antara keluarga-keluarga berpendapatan rendah.

Hubungan antara Pendidikan dan Kemiskinan

Ada dua alasan ekonomi mendasar yang memaksa kita percaya bahwa sistem

pendidikan di banyak negara berkembang pada dasar tidak memperhatikan aspek

pemerataan (equality), dalam arti anak-anak dari keluarga miskin tidak dibantu sedikit

pun untuk meningkatkan kesempatannya yang sangat terbatas itu dalam memperoleh dan

menyelesaikan program pendidikan pada segala tingkatan, apalagi jika kesempatan

mereka itu dibandingkan dengan kesempatan anak dari keluarga-keluarga kaya (Todaro):

(1) biaya-biaya individual untuk menempuh sekolah dasar (terutama bila dipandang dari

biaya oportunitis tenaga kerja seorang anak dari keluarga miskin) secara relatif jauh lebih

tinggi bagi anak-anak orang miskin daripada biaya-biaya yang harus dipikul oleh anak-

anak dari keluarga kaya; (2) manfaat yang diharapkan dari pendidikan sekolah dasar bagi

anak-anak dari keluarga miskin justru lebih rendah. Dengan demikian, adanya biaya yang

lebih tinggi yang dibarengi dengan manfaat yang lebih rendah menunjukkan “tingkat

pengembalian” (rate of returns) investasi pendidikan seorang anak dari keluarga miskin

begitu terbatas, sehingga kemungkinan besar ia akan mengalami putus sekolah pada awal

tahun pendidikannya.

Selanjutnya, mari kita lihat lagi alasan-alasan yang menyebabkan biaya-biaya tersebut

relatif tinggi, sedangkan manfaatnya justru lebih rendah bagi anak-anak dari keluarga

miskin. Tingginya biaya oportunitas tenaga kerja yang harus ditanggung keluarga miskin

jika anaknya bersekolah. Program wajib belajar yang menyediakan bangku secara cuma-

cuma memang tidak membebankan biaya moneter atau pungutan uang. Akan tetapi, bagi

keluarga-keluarga miskin pendidikan tidak pernah cuma-cuma. Anak-anak yang telah

mencapai usia sekolah dasar umumnya diperlukan tenaganya di lahan pertanian keluarga,

atau sekedar membantu menjajakan dagangan. Jika waktu yang sediannya digunakan

untuk bekerja (sehingga menghasilkan sejumlah pemasukan bagi keluarga digunakan

untuk bersekolah, maka pihak keluarga tentu saja menanggung kerugian yang kita kenal

dengan istilah biaya oportunitas (opportunity cost). Kerugian itu muncul karena keluarga

yang bersangkutan harus kehilangan input tenaga kerja berharga yang sangat

diperlukannya; jika fungsi yang sedianya dijalankan sang anak itu penting, maka keluarga

tadi terpaksa mengeluarkan biaya ekstra untuk memperkerjakan orang lain guna

mengantikan si anak. Biaya ini diluar biaya atau pengeluaran yang nyata seperti uang

sekolah, ongkos transport, ongkos pembuatan baju seragam, dan sebagainya. Biaya

oportunitas ini tidak masalah bagi keluarga yang berpendapatan lebih tinggi yang

Page 28: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam

89

kebanyakan tinggal di daerah perkotaan, Karena mereka memang sama sekali tidak

mengharapkan bantuan tenaga si anak.

Sebagai biaya oportunitas yang lebih tinggi, kehadiran dan prestasi sekolah cenderung

lebih rendah bagi anak-anak keluarga miskin bila dibandingkan dengan keluarga yang

berpendapatan lebih tinggi. Dengan demikian, walaupun di banyak negara berkembang

mudah dijumpai adanya pendidikan sekolah dasar yang bebas biaya, namun anak-anak

dari keluarga miskin, terutama anak-anak dari daerah pedesaan, jarang yang melanjutkan

pendidikan mereka hingga tamat. Pada akhirnya, jika pembenahan nasib anak-anak

miskin tersebut tidak segera dilakukan, akan tercipta suatu sistem pendidikan yang

seleksi dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan lebih lanjut hanya didasari pada

tinggi-rendahnya tingkat pendapatan keluarga.

Ketimpangan sistem pendidikan di negara-negara tersebut lebih mencolok pada

pendidikan tingkat universitas, yang sebagian atau seluruh biayanya (termasuk uang saku

para mahasiswa) disubsidi oleh pemerintah. Mengingat sebagian besar mahasiswa

universitas berasal dari golongan berpendapatan tinggi (karena telah diseleksi sewaktu di

tingkat sekolah lanjutan), pendidikan universitas yang biaya-biayanya seringkali

disubsidi dengan menggunakan uang pajak yang bersumber dari masyarakat luas itu pada

akhirnya justru hanya akan dinikmati oleh mereka yang berasal dari keluarga yang relatif

makmur. Dengan demikian, akan tercipta suatu proses yang sangat ironis serta

menyedihkan, yakni “transfer payment” dari golongan miskin kepada golongan kaya

yang berlangsung melalui program pendidikan tinggi yang gratis.

Investasi publik di bidang pendidikan akan memberikan kesempatan pendidikan yang

lebih merata kepada masyarakat sehingga sumber daya manusia (SDM) handal semakin

bertambah. Meningkatnya pendidikan akan mendorong peningkatan kualitas sumber daya

manusia dan peningkatan produktivitas tenaga kerja, yang pada gilirannya akan

meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan demikian diharapkan kondisi ini akan

memajukan perekonomian masyarakat dengan bertambahnya kesempatan kerjaserta

berkurangnya kemiskinan (Widodo dkk, 2011)

Penelitian Sebelumnya

Beberapa penelitian mengenai pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan

ekonomi baik nasional maupun internasional telah banyak dilakukan, antara lain:

Tabel 1. Penelitian Sebelumnya

Nama dan Judul Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

Analisis Pengaruh Sektor

Publik di Kabupaten/Kota

Pada Provinsi Jawa Tengah

Terhadap Pengentasan

Kemiskinan Melalui

Peningkatan Pembangunan

Manusia.

Ari Widodo, 2010

Moderated Regression

Analysis (MRA) dan

analisis Jalur (Path

Analysis) menganalisis

IPM dalam kaitannya

dengan hubungan antar

pengeluaran sektor publik

terhadap kemiskinan pada

pemerintah

Kabupaten/Kota di Jawa

Tengah.

IPM berperan sebagai variabel pure

moderating dan juga sebagai

variabel intervening dalam

kaitannya dengan hubungan antara

pengeluaran pemerintah sektor

publik tidak berpengaruh langsung

terhadap IPM maupun kemiskinan.

Pengeluaran pemerintah sektor

publik tidak bisa berdiri sendiri

sebagai variabel independen dalam

mempengaruhi kemiskinan.

Page 29: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

90

Nama dan Judul Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

Peranan Pengeluaran Pemerintah Dalam Pertumbuhan Ekonomi di Era Orde Baru dan Era Reformasi. Budi Indrawati, 2007

Model Keynes yaitu persamaan identitas atau disebut identitas pos pendapatan nasional (national income accounts identity

Dengan naiknya PDB maka pertumbuhan ekonomi meningkat, mengindikasikan bahwa naiknya kegiatan ekonomi nasional berarti meningkatnya kegiatan program-program pemerintah seperti dibidang tenaga kerja yaitu menambah lapangan pekerjaan, bidang kesehatan, pendidikan SDM dan lainnya.

Dampak Investasi Pendidikan Terhadap Perekonomian Dan Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Dan Kota Di Jawa Tengah. Niken Sulistyowati, 2010

Model sistem persamaan simultan (simultaneous equaction model) dan metode pendugaan model menggunakan Two Stage Least Squares (2SLS).

Peningkatan investasi pendidikan menyebabkan pertumbuhan ekonomi berjalan beriringan dengan penurunan ketimpangan pendapatan (tidak terjadi trade off antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan pendapatan). Implikasinya: Strategi pembangunan yang mengedepankan peningkatan kualitas SDM dapat dijadikan sebagai salah satu strategi dalam model pembangunan daerah di Indonesia.

Faktor-Faktor Penentu

Tingkat Kemiskinan Regional Di Indonesia. Samsubar Saleh, 2002

model estimasi

dengan menggunakan data cross section

sedangkan model (2) merupakan model

estimasi dengan menggunakan data panel

Berdasarkan hasil-hasil empirik dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan per propinsi di Indonesia adalah indeks pembangunan manusia (terdiri dari pendapatan perkapita, angka harapan hidup, rata-rata bersekolah), investasi fisik pemerintah daerah, tingkat kesenjangan pendapatan, tingkat partisipasi ekonomi dan politik perempuan, populasi penduduk tanpa akses terhadp fasilitas kesehatan, populasi penduduk tanpa akses terhadap air bersih, dan krisis ekonomi.

Dampak Investasi Sumberdaya Manusia Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dan Kemiskinan Di Indonesia: Pendekatan Model Computable General Equilibrium. Rasidin K. Sitepu dan Bonar M. Sinaga, 2005

metode ad-hoc, yaitu

solusi dari suatu pendekatan merupakan input bagi pendekatan lainnya, namun secara

keseluruhan pendekatan ini menggunakan model CGE

Investasi sumberdaya manusia untuk pendidikan dapat menurunkan poverty incidence, poverty depth dan poverty severity kecuali untuk rumahtangga bukan pertanian golongan atas di desa, bukan angkatan kerja di kota dan bukan pertanian golongan atas di

kota.

Page 30: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam

91

Kerangka Pemikiran

Permasalahan besar yang dihadapi di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Aceh terkait

tingginya angka kemiskinan. Salah satu hal yang biasa dilakukan pemerintah saat ini

dengan melakukan investasi pada sektor publik. Investasi sektor publik tersebut bisa di-

proxy dari pengeluaran pemerintah. Di antara sektor publik yang bermanfaat bagi

pengurangan kemiskinan adalah sektor pendidikan. Pendidikan merupakan elemen

terpenting dalam memberantas kemiskinan. Seseorang yang memperoleh pendidikan

akan memperoleh kesempatan yang lebih baik dan bisa memperbaiki standar hidupnya.

Pengaruh pendidikan tidak hanya mempengaruhi kemampuan individu untuk

mendapatkan tingkat upah maupun pendapatan yang tinggi, tetapi juga terhadap perilaku

dan pengambilan keputusan, yang akan meningkatkan kemungkinan sukses dalam

menjangkau kebutuhan pokok, bahkan pendidikan akan membuat seseorang terhindar

dari kondisi miskin (Zuluaga,1990). Berdasarkan uraian tersebut maka kerangka

pemikiran dalam penelitian ini adalah:

Hipotesis

Berdasarkan latar belakang dan kerangka teoritis serta memperhatikan situasi dan

kondisi pertumbuhan ekonomi yang mulai berkembang di Aceh maka penulis

merumuskan hipotesis yaitu pengeluaran pemerintah sektor pendidikan berpengaruh

negatif terhadap kemiskinan di Provinsi Aceh.

METODE PENELITIAN

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang ekonomi Sumber Daya Manusia di Aceh.

Penelitian ini membahas tentang pengeluaran pemerintah sektor pendidikan terhadap

kemiskinan di Aceh.

Sumber dan Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari

buku-buku, literatur, internet, catatan-catatan, serta sumber lain yang berhubungan

dengan masalah penelitian.

Adapun data yang dibutuhkan dalam penelitian ini antara lain:a) data pengeluaran

pemerintah sektor pendidikan tahun 2008- 2010 menurut kabupaten/kota Provinsi Aceh;

dan b) jumlah penduduk miskin tahun 2008-2010 menurut kabupaten/kota Provinsi Aceh.

Data ini merupakan kumpulan informasi mengenai ke dua variabel penelitian di 23

Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh dan dalam kurun waktu tiga tahunan. Jenis data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah data panel mengingat ketersediaan data secara series

yang pendek sehingga proses pengolahan data time series tidak dapat dilakukan berkaitan

Pengeluaran Pemerintah Sektor

Pendidikan

Kemiskinan

Page 31: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

92

dengan persyaratan jumlah data yang minim. Selain itu untuk menghindari bentuk data

dengan jumlah unit cross section yang terbatas pula sehingga sulit untuk dilakukan proses

pengolahan data cross section untuk mendapatkan perilaku yang hendak diteliti maka dapat

diatasi dengan penggunaan data panel (pooled data) agar diperoleh hasil estimasi yang

lebih baik dengan terjadinya peningkatan jumlah observasi yang berimplikasi terhadap

peningkatan derajat kebebasan selain itu hal ini juga dapat berpengaruh terhadap

peningkatan jumlah pengamatan. Kurun waktu tahun 2008-2010 serta data kerat lintang

(cross section data) yang meliputi 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh.

Model Analisis

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan menggunakan data

panel. Model ekonometrik yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi

linier sederhana. Analisis ini merupakan suatu metode yang digunakan untuk

menganalisis hubangan antar variabel yang dapat diekspresikan dalam bentuk persamaan

yang menghubungkan variabel bebas dan variabel terikat menurut Gujarati (dalam

Firmansyah, 2009). Dalam model data panel persamaan model dengan menggunakan data

cross-section dapat ditulis sebagai berikut:

Yi = β0 + β1 Xi + εi ; i = 1, 2, ..., N

dimana N adalah banyaknya data cross-section

Sedangkan persamaan model dengan time-series adalah:

Yt = β0 + β1 Xt + εt; t = 1, 2, ..., T

dimana T adalah banyaknya data time-series

Mengingat data panel merupakan gabungan dari time-series dan cross-section,

maka model dapat ditulis dengan :

Yit = β0 + β1 Xit + εit

i = 1, 2, ..., N ; t = 1, 2, ..., T

dimana:

N = banyaknya observasi

T = banyaknya waktu

N × T = banyaknya data panel

Untuk mengestimasi parameter model penelitian ini menggunakan pendekatan Fixed

Effect Metode (FEM). Metode ini secara sederhana menggabungkan (pooled) seluruh

data series dan cross section. Metode ini mengasumsikan bahwa koefisien regresi (slope)

tetap antar perusahaan dan antar waktu, namun intersepnya berbeda antar perusahaan

namun sama antar waktu (time invariant).

Estimasi Model Regresi Dengan Panel Data

Penelitian mengenai pengaruh tingkat kemiskinan, pengeluaran pemerintah di sektor

pendidikan dan kesehatan terhadap indeks pembangunan manusia di Provinsi Aceh,

menggunakan data time-series selama 3 (tiga) tahun terakhir yang diwakili data tahunan

dari 2008-2010 dan data cross-section sebanyak 23 data mewakili kabupaten/kota di

Provinsi Aceh. Kombinasi atau pooling menghasilkan 69 observasi dengan fungsi

persamaan data panelnya dapat dituliskan sebagai berikut:

POVit= α0 + α1GOVSPNDit +μit

dimana:

POV = Penduduk miskin kabupaten/kota Provinsi Aceh

Page 32: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam

93

GOV = Pengeluaran pemerintah sektor pendidikan kabupaten/kota Provinsi

Aceh

α0 = intercept

α1 = koefisien regresi variabel bebas

μit = komponen error di waktu t untuk unit cross section i

i = 1,2,3,…..,23 (data cross-section kabupaten/kota di Provinsi Aceh)

t = 1,2,3 (data time-series, tahun 2008-2010)

Definisi Operasional Variabel

Adapun definisi variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:(1) pengeluaran pemerintah atas pendidikan merupakan besarnya pengeluaran

pemerintah Provinsi Aceh untuk sektor pendidikan yang mencerminkan pengeluaran

pemerintah dari total anggaran pendapatan dan belanja yang dialokasikan untuk sektor

pendidikan. Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah alokasi belanja pemerintah

Provinsi Aceh sektor pendidikan tahun 2008-2010; (2) kemiskinan menurut BPS (2011)

merupakan suatu kondisi ketidak mampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Dalam

penelitian ini, data yang digunakan adalah jumlah penduduk miskin (dalam ribuan jiwa)

tahun 2008-2010.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Provinsi Aceh terletak antara 2’-6’ Lintang Utara dan antara 95’-98’ Bujur Timur

dengan ketinggian rata-rata 125 meter di atas permukaan laut. Sampai dengan tahun 2009

Provinsi Aceh dibagi menjadi 18 Kabupaten dan 5 Kota, terdiri dari 276 Kecamatan, 755

mukim dan 6.423 gampong atau desa.

Luas Provinsi Aceh 57.948,94 km dengan hutan mempunyai lahan terluas yaitu

mencapai 2.483.080 ha, diikuti lahan perkebunan rakyat seluas 699.401 ha, sedangkan

lahan industri mempunyai luas terkecil yaitu 3.928 ha.

Kondisi Kemiskinan

Kemiskinan merupakan masalah yang menyangkut banyak aspek karena berkaitan

dengan pendapatan yang rendah, buta huruf, derajat kesehatan yang rendah dan

ketidaksamaan derajat antar jenis kelamin serta buruknya lingkungan hidup (World Bank,

2004). Selain itu kemiskinan juga merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh

berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain tingkat pendapatan, pertumbuhan

ekonomi, tingkat pengangguran, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa,

lokasi, geografis, gender, dan lokasi lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah sangat

berupaya keras untuk mengatasi permasalahan kemiskinan tersebut sehingga

pembangunan dilakukan secara terus-menerus termasuk dalam menentukan batas ukur

untuk mengenali siapa si miskin tersebut.

Tabel 1 menunjukan bahwa jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota Provinsi

Aceh dari tahun 2008-2010 relatif mengalami penurunan jumlah penduduk miskin.

Kabupaten Aceh Utara sangatlah tinggi apabila dibandingkan dengan daerah di

kabupaten/kota pada tahun 2008 dengan jumlah penduduk 1.357.000 ribu jiwa dan

semakin menurun dengan jumlah penduduk 1.244.0000 ribu jiwa tahun 2010. Lalu

Page 33: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

94

penduduk miskin terendah terdapat pada kabupaten/kota Sabang jumlah penduduk

miskin 714.000 ribu jiwa dan menurun pada tahun 2010 sebesar 660.000 ribu jiwa.

Dalam kurun waktu antara tahun 2008 sampai 2010 tingkat kemiskinan di nanggroe Aceh

Darussalam cenderung turun pada tahun berikutnya.

Tabel 2. Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota Di Provinsi Aceh Tahun 2008-2010

(ribuan jiwa)

KABUPATEN Tahun

2008 2009 2010

Aceh Barat 43,69 40,39 42,40

Aceh Besar 63,46 58,97 66,20

Aceh Selatan 38,82 35,41 32,40

Aceh Tengah 40,64 38,17 35,30

Aceh Tenggara 30,89 27,87 30,00

Aceh Timur 76,22 68,30 66,50

Aceh Utara 135,70 126,59 124,40

Pidie 101,77 93,80 90,20

Banda Aceh 19,91 17,27 20,80

Sabang 7,14 6,54 6,60

Simeuleu 20,57 19,11 18,90

Bireuen 79,09 72,94 76,10

Singkil 22,24 20,29 19,90

Langsa 23,96 21,34 22,40

Aceh Jaya 17,24 17,13 15,60

Nagan Raya 33,21 30,86 33,40

Lhokseumawe 23,94 22,53 24,00

Gayo Lues 18,89 17,09 19,00

Aceh Barat Daya 17,43 25,00 25,20

Aceh Tamiang 50,82 45,29 45,20

Bener Meriah 31,28 28,58 32,10

Subulussalam 17,73 16,73 16,40

Pidie Jaya 37,70 35,60 34,70

Sumber: BPS 2011, Diolah

Perkembangan Pengeluaran Pemerintah atas Pendidikan

Pemerintah sebagai pelaksana pembangunan membutuhkan manusia yang berkualitas

sebagai modal dasar bagi pembangunan. Manusia dalam peranannya merupakan subjek

dan objek pembangunan yang berarti manusia selain sebagai pelaku dari pembangunan

juga merupakan sasaran pembangunan. Dalam hal ini dibutuhkan berbagai sarana dan

prasarana untuk mendorong peran manusia dalam pembangunan. Oleh karenanya

dibutuhkan investasi untuk dapat menciptakan pembentukan sumber daya manusia yang

produktif.

Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor fundamental bagi sebuah negara.

Pendidikan menjadi faktor penentu kualitas sumberdaya manusia yang kemudian akan

memberikan kontribusi bagi pembangunan negara. Sudah seharusnya pemerintah

memprioritaskan sektor pendidikan. Langkah yang dilakukan pemerintah untuk

Page 34: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam

95

membangun sektor pendidikan dapat terlihat dari pengeluaran pemerintah untuk

pendidikan. Perkembangan pengeluaran pemerintah atas pendidikan dapat dilihat pada

Tabel 3.

Tabel 3. Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan Kabupaten/Kota Di Provinsi Aceh

Tahun 2008-2010

KABUPATEN Tahun

2008 2009 2010

Aceh Barat 140,006,430,367.00 157,788,929,270.00 166,548,288,571.00

Aceh Besar 208,853,583,688.00 208,839,626,646.00 218,435,980,962.00

Aceh Selatan 135,190,118,260.00 156,362,870,032.00 157,403,111,900.00

Aceh Tengah 124,403,080,895.00 159,057,554,716.00 159,142,195,027.00

Aceh Tenggara 117,088,075,146.00 218,003,271,341.00 132,050,613,069.00

Aceh Timur 126,229,103,303.00 159,832,381,154.00 175,049,945,437.00

Aceh Utara 373,488,040,264.00 344,073,853,347.00 288,830,328,142.00

Pidie 196,341,461,690.00 230,409,815,430.00 239,587,958,084.00

Banda Aceh 175,435,369,175.00 220,440,703,853.00 199,394,001,950.00

Sabang 82,998,459,809.00 57,074,255,734.00 80,770,221,137.00

Simeuleu 27,968,222,103.00 73,229,876,920.00 68,455,832,897.00

Bireuen 220,196,840,910.00 250,668,602,124.00 257,615,389,553.00

Singkil 63,461,355,764.00 80,323,970,890.00 65,687,929,696.00

Langsa 100,363,197,662.00 110,485,695,361.00 111,427,350,343.00

Aceh Jaya 85,725,939,172.00 89,994,981,339.00 78,828,091,714.00

Nagan Raya 108,234,562,741.00 136,630,392,081.00 158,025,753,210.00

Lhokseumawe 128,055,038,689.00 135,825,530,840.00 120,020,385,857.00

Gayo Lues 60,556,377,979.00 74,949,878,741.00 56,411,432,226.00

Aceh Barat Daya 114,986,853,379.00 125,255,882,154.00 114,724,547,588.00

Aceh Tamiang 148,028,066,843.00 145,053,990,827.00 123,825,098,755.00

Bener Meriah 68,804,065,784.00 86,172,676,161.00 111,799,699,784.00

Subulussalam 28,249,475,404.00 47,253,804,247.00 46,179,243,123.00

Pidie Jaya 66,196,433,876.00 71,386,885,845.00 91,331,138,021.00

Sumber: DJPK, Depkeu 2011, Diolah

Berdasarkan Tabel 3 selama tahun 2007 hingga 2010 proporsi pengeluaran

pemerintah atas pendidikan berubah-ubah setiap kabupaten/kota. Pada Kabupaten/Kota

seperti Bener Meriah, Subusallam, Pidie Jaya, Nagan Raya, Singkil dan Pidie data untuk

tahun 2007 belum tersedia. Kabupaten/Kota yang proporsi pengeluaran pemerintah

terendah tahun 2007 adalah Kabupaten Simeuleu dengan Rp. 27,9 milliar dan tertinggi

adalah Kabupaten Aceh Utara dengan Rp. 268,1 milliar Sementara untuk tahun 2008

untuk terendah tetap Kabupaten Simeuleu dengan Rp. 27,9 milliar dan untuk yang

tertinggi masih tetap Kabupaten Aceh Utara dengan Rp. 373,4 milliar Untuk tahun 2009-

2010 proporsi pengeluaran pemerintah terendah yaitu Kota Subussalam dengan Rp. 47,2

milliar pada tahun 2009 dan Rp. 46,1 milliar pada tahun 2010. dan Tahun 2009-2010

yang tertinggi tetap Kabupaten Aceh Utara dengan Rp.344 milliar pada tahun 2009 dan

pada tahun 2010 sebesar Rp 288,8 milliar Dapat dilihat pada Tabel IV.1 pada tahun

2007-2010 Kabupaten Aceh Utara masih dengan posisi yang tertinggi pada proporsi

pengeluaran pemerintah sektor pendidikan Aceh.

Page 35: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

96

Hasil Uji Hipotesis Dan Analisis Penelitian

Analisis pembahasan ini dimaksudkan untuk mengetahui korelasi antara kedua

variabel yakni variabel bebas dan variabel terikat untuk membuktikan kebenaran

hipotesis dibuat. Penulis mengajukan dalam analisis matematika apakah kemiskinan

dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah sektor pendidikan. Seberapa jauh tingkat

pencapaian data yang tersedia dalam pencapaian kebenaran akan dijelaskan pada

perhitungan serta pengujian terhadap masing-masing koefisien regresi yang diperoleh

dengan alat bantu komputer.

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian yang digunakan dengan Shazam

10.0 untuk mengukur pengaruh pemerintah sektor pendidikan terhadap kemiskinan

kabupaten/kota di Aceh, maka model regresi OLS dengan metode panel data digunakan,

dengan kontribusi pemikiran dan hasil sebagai berikut:

POVit = β0,i + β1,i GOVSPND + εit

Model panel yang digunakan mengikuti fixed effect yang mengamsumsikan bahwa

setiap kabupaten/kota memiliki intersep yang sama, sehingga output regresi tidak lagi

menunjukkan adanya intersep. Hasil ditunjukkan oleh Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Regresi Model OLS dengan Metode Fixed Effect – Panel Data

Variabel Estimasi Parameter Standard

Error Uji-T P-value

GOVSPND 0,34089E-04 0,2776E-05 12,28 0,000 ***

R-

SQUARE

= 0,6993

LM TEST FOR CROSS-SECTION

HETEROSKEDASTICITY= 0,74478

P-VALUE = 0,68908

BREUSCH-PAGAN LM TEST

FOR DIAGONAL COVARIANCE

MATRIX = 46,775

P-VALUE =0,00000 ***

F-test

= 564,405

P-VALUE

=

0,0000***

JARQUE-BERA NORMALITY

TEST = 6,3367

P-VALUE= 0,042 *

Sumber: Hasil Penelitian, 2012

Note: *** signifikan pada tingkat keyakinan 99 persen, dan * Signifikan pada tingkat keyakinan 90

persen.

Hasil regresi di atas bertolak belakang dengan teorikan tetapi variabel pengeluaran

pemerintah sektor pendidikan signifikan. Hal tersebut tidak sesuai dengan hipotesis yang

digunakan dalam penelitian, yaitu pengeluaran pemerintah sektor pendidikan

berpengaruh terhadap kemiskinan di Aceh. Jadi hasil penelitian tidak menunjukkan

kesesuaian teori yaitu pengeluaran pemerintah atas pendidikan seharusnya berpengaruh

signifikan dan negatif terhadap kemiskinan karena secara teori semakin tinggi

pengeluaran pemerintah akan menyebabkan rendahnya tingkat kemiskinan.

Koefisien estimasi dari variabel GOVSPND adalah 0,000034089, artinya jika

pemerintah menambah pengeluaran pemerintah sebesar 1 juta rupiah tahun ini, maka

tingkat kemiskinan akan meningkat sebesar 34,089 orang atau sekitar 34 orang. Dengan

Page 36: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam

97

asumsi faktor-faktor lain dianggap konstan. Hasil ini signifikan secara statistik, karena

signifikan pada tingkat keyakinan 99%.Jika dibandingkan koefisien estimasi dengan

standar error, maka nilai koefisien estimasi lebih besar dari standar error, artinya data

pengeluaran pemerintah sektor pendidikan heterogen di kabupaten/kota Aceh. Nilai F-test

yang diestimasi adalah sebesar F-test = 564,405 dengan nilai P-value = 0,0000, nilai F-

test dan P-value menunjukan bahwa secara simultan, pengeluaran pemerintah sektor

pendidikan mempengaruhi kemiskinan dan variabel pengeluaran pemerintah sektor

pendidikan secara statistik signifikan dengan tingkat keyakinan 99%.

R2 (koefisien determinasi) adalah 0,6993. Artinya adalah bahwa sebesar 69,93 persen

perubahan-perubahan atau variasi yang terjadi di dalam kemiskinan di Aceh dapat

dijelaskan oleh perubahan-perubahan atau variasi yang terjadi dalam variabel

pengeluaran pemerintah sektor pendidikan di Aceh. Sedangkan sisanya sebesar 30,07

persen dijelaskan oleh variabel-variabel lain diluar model penelitian ini.

Sesuai dengan Teori (Todaro) subsidi dengan menggunakan uang pajak yang

bersumber dari masyarakat luas itu pada akhirnya justru hanya akan dinikmati oleh

mereka yang berasal dari keluarga yang relatif makmur. Dengan demikian, akan tercipta

suatu proses yang sangat ironis serta menyedihkan, yakni “transfer payment” dari

golongan miskin kepada golongan kaya yang berlangsung melalui program pendidikan

tinggi yang gratis. Program wajib belajar yang menyediakan bangku secara cuma-cuma

memang tidak membebankan biaya moneter atau pungutan uang. Akan tetapi, bagi

keluarga-keluarga miskin pendidikan tidak pernah cuma-cuma.

Penelitian USAID mengenai laporan anggaran daerah 2008-2011, cukup banyak

kabupaten/kota yang mengalokasikan biaya langsung pendidikannya untuk program-

program yang tidak berkontribusi langsung terhadap peningkatan akses maupun kualitas

pendidikan. Program-program seperti Administrasi Perkantoran dan Peningkatan Sarana

Aparatur tentunya dibutuhkan untuk memastikan bahwa pengelolaan layanan pendidikan

yang lebih baik. Namun demikian, dengan alokasi dana BL yang reratanya hanya 25%

saja, proporsi biaya langsung yang tinggi untuk program-program ini patut

dipertanyakan. Di beberapa daerah seperti Simeulue, Kota Banda Aceh, dan Kota

Probolinggo, alokasi dana untuk kedua program ini memakan sekitar, masing-masing

73%, 24% dan 18% biaya langsung pendidikannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Widodo dkk. juga menyatakan bahwa pengeluaran

pemerintah sektor pendidikan tidak berpengaruh secara langsung terhadap pengurangan

kemiskinan. Namun pengaruhnya dapat dirasakan jika pengeluaran tersebut berkaitan

dengan peningkatan kualitas pembangunan manusia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila pengeluaran pemerintah sektor

pendidikan tidak ditunjukkan untuk meningkatkan kualitas pembangunan manusia, maka

pengentasan kemiskinan tidak akan terwujud. Jika kebijakan pemerintah yang dijalankan

bukan kebijakan pemerintah yang pro poor, maka selamanya penduduk miskin terjebak

dalam lingkaran setan. Jadi menurut hasil penelitian, pengeluaran pemerintah sektor

Page 37: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

98

pendidikan tidak bisa berdiri sendiri dalam mempengaruhi kemiskinan tapi ada variable

lain yang mempengaruhi yaitu IPM.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan analisis kuantitatif yang dilakukan pada bab-bab sebelumnya dapat

dilihat bahwa penelitian ini bermaksud untuk melihat pengaruh pengeluaran pemerintah

sektor pendidikan terhadap kemiskinan kabupaten/kota di Aceh. Dari hasil pengujian

dapat ditarik kesimpulan dari hasil penelitian ini yaitu: (1) pemerintah menambah

pengeluaran disektor pendidikan sebesar 1 juta rupiah, maka tingkat kemiskinan akan

meningkat sebesar 34,089 orang atau sekitar 34 orang. Dengan asumsi faktor-faktor lain

dianggap konstan. Hasil ini signifikan secara statistik, karena hanya signifikan pada

tingkat keyakinan 99%; (2) perubahan-perubahan atau variasi yang terjadi di dalam

kemiskinan di Aceh dapat dijelaskan oleh perubahan-perubahan atau variasi yang terjadi

dalam variabel pengeluaran pemerintah sektor pendidikan di Aceh sebesar 69,93 persen.

Sedangkan sisanya sebesar 30,07 persen dijelaskan oleh variabel-variabel lain diluar

model penelitian ini.

Saran

Pemerintah dalam rangka mengurangi kemiskinan hendaknya lebih memprioritaskan

kebijakan pembangunan yang berpihak pada penduduk miskin, yakni dengan

menajamkan alokasi pengeluaran pemerintah sektor pendidikan yang lebih seimbang

dengan pengeluaran pembangunan di sektor lain seperti sektor infrastruktur yang disertai

dengan peningkatan efisiensi dalam pemanfaatanya.

Pemerintah harus bekerjasama dengan pihak swasta dalam hal pendidikan, karena

dengan adanya kerjasama dengan pihak swasta ini otomatis akan membuka lapangan

kerja yang berdampak pula terhadap peningkatan pendapatan penduduk yang

memungkinkan mereka lepas dari kemiskinan dan juga investasi pendidikan lebih

meningkat. Karena modal dari pihak swasta berbeda dengan pemerintah.

Diperlukan konsistensi pemerintah pusat dan daerah dalam melaksanakan amanat UU

No. 20 tahun 2003, tentang pendidikan dasar gratis dan anggaran pendidikan 20 persen

dari belanja pemerintah. Setiap pengeluaran pemerintah harus dipastikan efisiensi dan

efektivitas penggunaannya sampai pada sasaran (masyarakat yang kurang mampu).

Untuk penelitian selanjutnya bisa menambah variabel-variabel lainnya seperti angka

huruf melek, pengeluaran pemerintah sektor kesehatan dan faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat serta penelitian ini akan lebih bagus jika

data yang diteliti mencapai 5-10 tahun, agar dapat terlihat efeknya dalam jangka panjang.

Proporsi pengeluaran pemerintah atas pendidikan yang masih rendah menyebabkan

kelambanan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi maka pemerintah perlu

meningkatkan proporsi pengeluaran atas pendidikan dan juga pengawasan lebih ketat lagi.

Page 38: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam

99

DAFTAR PUSTAKA

Dumairy, 1999. Perekonomian Indonesia, Erlangga, Jakarta

Suparmoko, 1994. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek, Edisi keempat BPFE, Yogyakarta.

Susanti, Hera: Moh. Ikhsan dan Wildiyati (1995). Indikator-Indikator Makro Ekonomi. Lembaga Penerbit

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Dengan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Todaro, Michael P. 2006. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi 9. Jakarta: Erlanga. Alih Bahasa Drs.

Haris Munandar.

Page 39: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

ISSN: 0852-9124 Vol. 4, No. 2, Nov 2013

100

MENGELOLA DAERAH SURPLUS DAN DAERAH

DEFISIT BERAS DI PROVINSI ACEH

Management of Rice Surplus and Deficit

in the Province of Aceh

Romano1 dan T. Saiful Bahri1

Kata kunci: daerah surplus, daerah defisit, keseimbangan lahan sawah

ABSTRACT

This study aims is to analyze the surplus and deficit areas of rice in the province of Aceh and police setting

in the future. Research has been carried out by the method of survey across the central areas of rice production

and marketing centers in Aceh province and continued with FGD with key informants. The results showed there

were disparities between the east coast production, western and central regions. Major rice production centers

located along the eastern coast of Aceh, the region had a surplus during the year. However, only 3 region of the

west coast regional district that is surplus area, so that the procurement of rice is highly dependent on rice

distribution system to and from this area. Most region in central Aceh is still a deficit of rice, so the rice

consumption in the region is highly dependent on the distribution system of the eastern coast. Border area to

the exit door of grain and rice masuh premium of North Sumatra with a coefficient of inflow and outflow is

significant.

Keywords: surplus area, deficit area, balance of rice area

PENDAHULUAN

Aceh diharapkan sebagai salah satu daerah surplus beras dan menjadi pemasok beras

bagi daerah defisit lainnya di pulau Sumatera. Pada tahun 1990 impor beras masih sekitar

30 ribu ton maka pada 1992 menjadi 634 ribu ton, pada 1994 menjadi 876 ribu ton, dan

bahkan pada tahun 1995 menjadi lebih dari 3 juta ton. Pada 1998 volume impor beras

Indonesia telah mencapai 7,1 juta ton dan 5 juta ton pada 1999, dimana telah mengambil

bagian masing-masing sebesar 26 persen dan 21 persen dari volume beras yang

diperdagangkan di pasar dunia (Hartoyo, 2000; Wibowo, 2000).

1Staf Pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh

Email: [email protected] dan [email protected]

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menganalisis daerah surplus dan defisit beras di Provinsi Aceh serta menentukan

kebijakan di masa depan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei di daerah-daerah pusat

produksi padi dan pusat pemasaran di provinsi Aceh dan dilanjutkan dengan Forum Group Discussion (FGD) dengan pelaku kunci. Hasil penelitian menunjukkan ada kesenjangan antara produksi pantai timur, wilayah

barat, dan tengah. Sentra utama produksi padi terletak di sepanjang pantai timur Aceh, yang memiliki surplus

sepanjang tahun. Namun, hanya tiga wilayah di daerah pantai barat yang memiliki surplus, sehingga pengadaan beras sangat tergantung pada sistem distribusi beras dari dan ke daerah ini. Sebagian besar wilayah di Aceh

Tengah masih defisit beras, sehingga konsumsi beras di wilayah ini sangat tergantung pada sistem distribusi

dari pantai timur. Daerah perbatasan menjadi pintu keluar gabah dan beras premium masuk dari Sumatera Utara dengan koefisien inflow dan outflow yang signifikan.

Page 40: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Romano dan T. Saiful Bahri

101

Setelah pasar beras di Indonesia diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar

maka harga beras di Indonesia akan lebih fluktuatif. Bila sebelumnya faktor-faktor yang

menyebabkan fluktuasi harga beras terutama berasal dari faktor-faktor dalam negeri yang

memengaruhi penawaran dan permintaan beras domestik karena pemerintah atau Bulog

mengisolasi harga domestik dari ketidakpastian harga internasional, maka dengan

dihapuskannya monopoli impor beras oleh Bulog mengakibatkan semakin kompleksnya

faktor-faktor yang memengaruhi harga beras domestik. Fluktuasi harga tersebut dapat

bersumber dari fluktuasi produksi dalam negeri, fluktuasi harga pasar internasional, dan

fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap US$. Perubahan kebijakan tersebut juga

memengaruhi kondisi permintaan dan penawaran beras di Indonesia, dimana faktor-

faktor yang memengaruhi permintaan dan penawaran beras pada pasar yang terbuka lebih

beragam dan kompleks.

Kebijakan perberasan nasional ini juga berdampak pada kebijakan beras di Provinsi

Aceh. Oleh karena itu dibutuhkan suatu pengajian perberasan Aceh yang akan menjadi

material penyusunan kebijakan pada masa yang akan datang. Oleh karena itu dalam

pengajiannya didasarkan pada rencana Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Badan

Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Aceh pada periode berjalan dengan

mempertimbangkan dan menyesuaikan pada perubahan tugas dan fungsinya sesuai

dengan dinamika pembangunan di Aceh. Sesuai dengan spesifikasi daerah di Aceh juga

terdapat daerah sentra produksi padi, dan daerah defisit beras. Oleh karena itu perlu dikaji

kebijakan pengelolaan perberasan antar daerah surplus dan daerah defisit.

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi masalah dan tantangan pengadaan beras

kaitannya dengan Ketahanan Pangan berkelanjutan di Aceh (faktor penentu harga,

konsumsi beras kaitannya dengan daya beli masyarakat di Aceh). Lebih lanjut menyusun

prioritas program, kebijakan perberasan dan langkah strategis kaitannya dengan ketahanan

pangan yang sesuai dengan sasaran dan tujuan pembangunan di Aceh. Dengan demikian

hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi Pemerintah Aceh sebagai informasi yaitu;

Gambaran produksi dan konsumsi antar wilayah di Aceh dan gambaran masalah dan

tantangan yang dihadapi Pemerintah Aceh dalam pengadaan beras berkelanjutan di Aceh.

Secara teori kebijakan perberasan terdiri atas serangkaian program yang berkaitan

dengan pengadaan produksi, sistem distribusi, dan tataniaga beras, pengadaan stock

pengamanan, pengaturan harga tertinggi dan harga terrendah (Sapuan, 2000; Dawe,

2001). Walaupun demikian pengadaan beras domestik tidak terlepas dari prilaku

produsen beras, konsumsi masyarakat, dan kebijakan pemerintah.

Pemerintah sebagai fasilitator pembangunan melakukan kebijakan untuk melindungi

produsen dan konsumen beras. Petani sebagai produsen memiliki prilaku spesifik untuk

meningkatkan penghasilan dan keuntungan usaha. Oleh karena itu petani mengharapkan

harga gabah di pasar setinggi mungkin. Di lain pihak konsumen beras menghendaki

harga beras serendah mungkin agar dapat memenuhi nilai guna yang diharapkan dari

pengeluaran konsumsinya. Pemerintah sebagai pengelola negara harus mampu

melindungi rakyatnya dari kelaparan, dan sekaligus mendorong produksi padi. Dengan

Page 41: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

102

dasar ini pula lahir kebijakan pengadaan produksi, sistem distribusi, dan tataniaga beras,

pengadaan stock pengamanan, pengaturan harga tertinggi, dan harga terendah (Sapuan,

1999; dan Sawit, 2000).

Dalam analisis kebijakan harus dipahami bahwa penawaran beras pada periode waktu

tertentu merupakan akumulasi dari jumlah produksi dan jumlah impor beras pada periode

waktu tertentu.

St = PRODt + Mt

Dimana:

St = Jumlah penawaran beras domestik;

PRODt = Jumlah produksi beras;

Mt = Jumlah impor beras.

Produksi beras domestik dipengaruhi oleh harga beras, harga kedele (tanaman kedelai

merupakan komoditi substitusi lahan untuk tanaman padi di pantai timur Aceh), luas

areal tanam, dan tingkat teknologi. Perilaku produksi beras di Aceh dapat digambarkan

dalam bentuk fungsi sebagai berikut :

PRODt = f ( PBt, PKt, LAt, TEKNt )

Dimana:

PRODt = Jumlah produksi beras;

PBt = Harga beras;

PKt = Harga kedele;

LAt = Luas areal tanam padi;

TEKNt = Tingkat teknologi.

Persamaan produksi dalam bentuk linier:

PRODt = a0 + a1 PBt + a2 PKt + a3 LAt + a4 TEKNt + Et

dimana : a0 = intersep; a1-4 = parameter; Ei = variabel pengganggu.

Jumlah produksi beras merupakan jumlah produksi yang diharapkan pada tahun

sebelumnya sehingga persamaan produksi beras yang diharapkan (PROD*):

PRODt* = a0 + a1 PBt + a2 PKt + a3 LAt + a4 TEKNt + Et

Untuk mendapatkan model dinamis dari produksi beras, digunakan model penyesuaian

parsial Nerlove (Pindyck et all,1991;Gujarati,1999) dengan formulasi:

PRODt - PRODt-1 = (PROD*t PRODt-1)

PRODt = PROD*t + ( 1- ) PRODt-1.

Dengan = koefisien penyesuaian dengan nilai 0 < < 1.

Dengan mensubstitusikan (4) ke dalam (5) maka akan diperoleh persamaan dinamis

produksi beras :

PRODt= a0 + a1PBt + a2PKt+ a3 LAt + a4 TEKNt + (1- )PRODt-1+ Et

Bila a0 = a0*, a1 = a1*, a2 = a2*, a3 = a3*, a4 = a4*, ( 1- ) = a5, E1 = e1, maka

persamaan di atas menjadi :

PRODt = a0*+a1*PBt+a2*PKt+ a3* LAt + a4*TEKNt+a5

*PRODt-1 + et

Jadi perilaku produksi beras dijelas kan oleh variabel harga beras, harga jagung, luas

areal tanam, tingkat teknologi dan produksi beras tahun sebelumnya. Dalam model

Page 42: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Romano dan T. Saiful Bahri

103

penyesuaian parsial perubahan gradual dalam periode waktu yang panjang ditunjukkan

oleh nilai koefisien penyesuaian ( ). Apabila = 1, maka produksi yang diharapkan

akan sama dengan jumlah produksi yang terjadi, dan apabila = 0, maka jumlah produksi

yang diharapkan akan sama dengan jumlah produksi tahun sebelumnya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di seluruh sentra produksi padi dan sentra konsumsi beras di

Aceh. Metode kajian dengan langkah-langkah berikut: (a) melakukan konsultasi dengan

Kepala Badan, Wakil/Sekretaris, Kabid, dan Stakeholder lain; (b) mengkaji kinerja pada

periode tahun 2008 – 2011 baik dari segi capai program perberasan (c) melakukan Forum

Group Discussion (FGD) dan sekaligus penetapan kebijakan perberasan. Konsultasi

dengan Kasubdin antara lain data dan perencanaan; Kasubdin penyuluhan; Kasubdin Gizi

Masyarakat; dan lembaga terkait. FGD yang diselenggarakan di Badan Ketahanan

Pangan dan Penyuluhan Aceh. Ruang lingkup penelitian difokuskan pada kajian produksi

konsumsi, harga, tingkat teknologi kilang padi, dan pengelolaan daerah surplus serta

daerah defisit beras.

Data dan Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data primer dan skunder. Data primer diambil sampel

di 60 Kilang Padi di 18 Kabupaten/kota lokasi penelitian. Data primer juga dikumpulkan

dengan cara konsultasi dengan pihak yang berkompeten di Kabupaten serta melakukan

FGD di Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Provinsi.

Model Analisis

Model analisis yang digunakan adalah analisis regresi dinamis berstruktur dari fungsi

produksi beras: C = P – S + I – E

Dimana:

C = Beras yang tersedia untuk pemakaian di wilayah Provinsi Aceh

P = Produksi padi di wilayah Provinsi Aceh

S = Perubahan stok, selisih antara stok akhir dan stok awal

I = Bahan makanan yang di impor atau masuk ke wilayah bersangkutan

E = Bahan makanan yang di ekspor atau keluar wilayah

Untuk melihat arus suplai produksi padi dapat dirumuskan sebagai berikut:

St = Prodt + (Mt - Et)

Dimana:

St = Jumlah penawaran beras domestik;

PRODt = Jumlah produksi beras;

Mt = Jumlah beras masuk ke wilayah Aceh.

Et = Jumlah beras keluar wilayah Aceh.

Page 43: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

104

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Daerah Surplus dan Daerah Defisit Beras di Aceh

Pengelolaan daerah surplus dan daerah defisit beras menjadi sebuah tantangan bagi

Pemerintahan Aceh saat ini dan masa yang akan datang. Daerah surplus dengan berbagai

permasalahannya membutuhkan penanganan khusus agar petani produsen tetap bergairah

mengelola tanaman padi sesuai dengan tingkat teknologi budidaya yang dibutuhkan.

Untuk itu harus dipahami karakteristik daerah surplus dengan berbagai variabel

penentunya. Berdasarkan teori variabel penentu daerah surplus adalah luas tanam, luas

panen, pemanfaatan sarana produksi, dan produktivitasnya.

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat beberapa daerah surplus yang sebagian

besar berada di wilayah pantai timur Aceh. Untuk wilayah pantai timur secara umum

merupakan wilayah surplus beras dengan total produksi pada tahun 2011 sebesar 599.619

ton setara beras. Sementara konsumsi untuk wilayah ini mencapai 340.382 ton beras.

Semua kabupaten merupakan sentra produksi beras (mulai dari Kabupaten Aceh Besar,

Pidie, Pidie Jaya, Biruen, Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tamiang), sehingga

merupakan daerah surplus. Hanya empat kota yang menjadi daerah defisit beras (Kota

Sabang, Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Kota Langsa), seperti yang ditunjukkan pada

Tabel 1.

Tabel 1. Gambaran daerah surplus dan defisit beras di wilayah pantai timur Aceh tahun

2011

Kabupaten Produksi Konsumsi Surplu/Defisit

(ton) (ton) (ton)

Sabang - 3.513 (3.513)

Banda Aceh 243 25.881 (25.639)

Aceh Besar 98.365 40.093 58.271

Pi d i e 94.592 43.319 51.274

Pidie Jaya 30.133 15.245 14.888

Bireuen 90.222 44.947 45.275

Lhokseumawe 3.553 19.721 (16.168)

Aceh Utara 139.179 60.645 78.533

Langsa 3.563 17.103 (13.539)

Aceh Timur 77.260 41.048 36.211

Aceh Tamiang 62.510 28.869 33.642

Jumlah 599.619 340.382 259.237

Secara keseluruhan terdapat kelebihan (surplus) beras di wilayah pantai timur Aceh

sebanyak 259.237 ton setara beras. Produksi sebesar 318.095 ton setara beras di tujuh

kabupaten sentra produksi dan kekurang konsumsi sebesar 58.858 ton setara beras dapat

menutupi di empat kota sentra konsumsi. Dengan demikian aliran gabah dan beras dapat

ditelaah berdasarkan kedekatan letak lokasi sentra produksi dan sentra konsumsi tersebut.

Padi atau beras dari Kabupaten Aceh Besar, Pidie dan Pidie Jaya dapat memenuhi defisit

Page 44: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Romano dan T. Saiful Bahri

105

di Kota Sabang dan Banda Aceh, bahkan sebagian besar masih mengalir ke Provinsi

Sumatera Utara. Demikian juga padi dan beras dari Kabupaten Biruen dan Aceh Utara

dapat memenuhi defisit di Kota Lhokseumawe dan sebagian mengalir ke Provinsi

Sumatera Utara. Padi dan beras dari Kabupaten aceh Timur dapat memenuhi defisit di

Kota Langsa. Surplus padi di Kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Timur sebagian besar

(62 % dari surplus) mengalir ke Provinsi Sumatera Utara. Dalam sistem tataniaga padi di

wilayah pantai timur Aceh terdapat peran pedagang pengumpul di sentra produksi padi.

Pada sebagian besar transaksi padi, pedagang pengumpul dibekali modal oleh pedagang

besar dari masing-masing sentra pemasaran. Atau dengan kata lain pedagang pengumpul

(kolektor) menjadi komponen jaringan pasok pedagang besar dari Sumatera Utara.

Wilayah pantai barat Aceh juga masih menjadi daerah surplus, terutama di lima

kabupaten sentra produksi (Kabupaten Aceh selatan, Aceh Barat Daya, Nagan raya, Aceh

Barat, dan Aceh Jaya. Pada tahun 2011, surplus padi di daerah ini mencapai 37.616 ton

setara beras, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2. Surplus padi di enam kabupaten

(Aceh Selatan, Aceh Barat daya, Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Jaya dan Kabupaten

Simeulue) sebanyak 51.280 ton setara beras; dapat menutupi defisit di Kabupaten Aceh

Singkil dan Kota Subulussalam sebesar 13.665 ton setara beras.

Tabel 2. Gambaran daerah surplus dan defisit beras di wilayah pantai barat aceh tahun

2011

Kabupaten Produksi Konsumsi Surplu/Defisit

(ton) (ton) (ton)

Subulussalam 3.120 7.776 (4.656)

Simeulue 11.084 9.222 1.862

Aceh Singkil 2.726 11.735 (9.008)

Aceh Selatan 27.193 22.955 4.238

Aceh Barat 25.948 19.884 6.064

Aceh Barat Daya 43.863 14.450 29.413

Nagan Raya 22.361 16.188 6.173

Aceh Jaya 12.474 8.943 3.530

Jumlah 148.769 111.153 37.616

Aliran beras ke Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil, sebagian besar dari

Kabupaten Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan. Sebagian kecil beras untuk Kota

Subulussalam juga dipasok dari Sumatera Utara.

Wilayah tengah juga masih menjadi daerah surplus padi atau beras, terutama

Kabupaten Aceh Tenggara dan Gayo Lues. Daerah defisit Kabupaten Aceh Tengah dan

Bener Meriah, seperti yang ditunjukkan pada tabel 3. Kekurangan beras di Kabupaten

Aceh Tengah dan Bener Meriah sebagian besar dipasok dari Kabupaten Biruen, Aceh

Utara, dan Pidie. Kelebihan padi atau beras di Kabupaten Aceh Tenggara dan Gayo Lues

sebagian besar mengalir ke wilayah Provinsi Sumatera Utara. Kilang penggilingan padi

di dua kabupaten ini mengolah padi hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal, sehingga

yang dijual kepada pedagang di Sumatera Utara sabagian besar dalam bentuk gabah

Page 45: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

106

kering panen. Daerah-daerah sentra produksi yang menjual Gabah Kering Panen (GKP)

antara lain, Kecamatan Lawe Sigala-gala dan Bambel.

Tabel 3. Gambaran daerah surplus dan defisit beras di wilayah tengah tahun 2011

Kabupaten Produksi Konsumsi Surplu/Defisit

(ton) (ton) (ton)

Aceh Tenggara 49.983 20.447 29.535

Gayo Lues 15.294 9.156 6.138

Aceh Tengah 15.914 20.111 (4.197)

Bener Meriah 6.542 14.155 (7.613)

Jumlah 87.732 63.869 23.863

Neraca Beras di Provinsi Aceh

Neraca beras adalah keseimbanagn arus produksi dan konsumsi beras di suatu

wilayah. Neraca beras ditentukan oleh produksi padi setara beras, konsumsi lokal, arus

masuk (impor) dan arus keluar (ekspor). Neraca beras merupakan kondisi dimana

terdapat keseimbangan antara produksi dan konsumsi beras di suatu daerah. Untuk

menghitung jumlah beras yang tersedia untuk pemakaian di Provinsi Aceh digunakan

rumus: C = P – S + I – E

Dengan formula di atas maka neraca beras Provinsi Aceh dapat digambarkan

berdasarkan berdasarkan wilayah dan periode musim panen. Hasil perhitungan

menunjukkan bahwa terdapat variasi stock beras pada masing-masing wilayah pada tiga

kwartal menurut periode musim tanam, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.

Selama lima tahun terakhir penawaran beras di Aceh lebih didominasi peningkatan

produksi lokal. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa produksi beras di Provinsi Aceh

menunjukkan perkembangan yang linier, sehingga dengan fungsi:

St = Prodt + (Mt - Et)

Kinerja penawaran beras berdasarkan komponen di atas ditunjukkan pada Table 5.

S = 92.292 + 2,426 Prod t + 0,298 (M-E) + ε1

Tabel 4. ANOVA untuk penawaran beras Aceh dari tahun 2007 s/d 2008

Model Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 92,292 56,550 -1.632 .244

ArusKelua

r

2.426 .135 1.093 17.93

7

.003

ArusMasu

k

0.298 .15,6 .116 19.10 .019

a. Dependent Variable: Produksi

Ini berarti bahwa kebijakan suplai beras di Aceh masih bertumpu pada pengadaan

domestik. Dengan kata lain penawaran beras di daerah ini tidak boleh mengandalkan

beras dari luar wilayah. Hal ini dapat dimaklumi karena Provinsi Sumatera Utara masih

mengandalkan pasokan dari Aceh untuk memenuhi konsumsi masyarakat dan untuk

Page 46: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Romano dan T. Saiful Bahri

107

kebutuhan industri yang berbahan baku beras. Dari data tersebut maka koefisien

produksi dan komponen arus masuk keluar ditunjukkan pada Tabel 3.5 berikut ini:

Tabel 5. Penawaran beras Aceh selama lima tahun terakhir (2007 s/d 2011)

Tahun Produksi

(ton)

Arus Keluar

(ton)

Arus Masuk

(ton)

Konsumsi

(ton)

2007 797.352 362.212 44.181 479.321 2008 729.190 328.135 86.219 487.273

2009 809.567 364.305 49.905 495.167 2010 822.843 370.279 57.462 510.026

2011 836.120 376.254 55.539 515.405

Dapat juga dipahami bahwa Provinsi Aceh sebagai wilayah yang paling barat pulau

Sumatera harus mampu mandiri dalam pengadaan berasnya. Kalau tidak maka wilayah

ini akan menjadi daerah transit import beras ke provinsi lain di Sumatera. Hasil analisis

menunjukkan bahwa produksi beras domestik dipengaruhi oleh luas areal tanam, harga

beras, harga kedele (tanaman kedele merupakan komoditi substitusi lahan untuk tanaman

padi di pantai timur Aceh). Dengan demikian perilaku produksi beras di Aceh yang telah

digambarkan dalam bentuk fungsi pada Tabel 6.

Tabel 6. Koefisien Kinerja Penawaran Padi Aceh

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 22946.977 17511.937 1.310 .207

HargaBeras 116.730 97.793 2.198 1.194 .248

HargaKedele -289.987 249.349 -2.133 -1.163 .260

LuasTanam 4,089 146 986 28.027 .000

Tingkat Teknologi 0.108 0.037 0.108 2.939 .009

a. Dependent Variable: ProduksiBeras

Secara matematis, model produksi beras ditunjukkan pada persamaan berikut ini:

PRODt = 22.947 + 116,7 PBt - 290 PKt + 4.089 LAt + 0,108 TEKNt

Dari persamaan di atas dapat dipahami bahwa jumlah produksi beras di Provinsi Aceh

faktor yang paling dominan adalah luas areal tanam dan teknologi budidaya yang

digunakan. Harga beras terlihat tidak signifikan menentukan produksi beras di daerah ini.

Petani padi di Provinsi Aceh tidak terlalu respon terhadap perubahan harga. Demikian

juga dengan harga kedelai yang dianggap sebagai komoditi yang mendesak areal

pertanaman padi di daerah ini. Ternyata harga kedele tidak direspon oleh penanaman padi

dan produksi padi. Biasanya tanaman kedelai ditanam pada MT2 dan MT3 pada lahan

yang sesuai dengan keadaan lahan dan kondisi curah hujan.

Page 47: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

108

Bibit unggul, pupuk dan sarana produksi lainnya. Petani di Provinsi Aceh masih

sangat tergantung pada bantuan sebagai ekses dari bantuan pasca tsunami tahun 2004.

Petani di daerah ini masih sangat mengharapkan bantuan langsung tunai untuk mengelola

usaha tani padi secara intensif dan meningkatkan produktivitas areal persawahan. Lebih

jauh lagi teknologi pengairan yang sangat berpengaruh terhadap teknologi budidaya,

seperti SRI (System Rice Intensification) memerlukan pengelolaan air irigasi yang lebih

intensif. Oleh karena itu untuk meningkatkan produksi padi di Provinsi Aceh dua faktor

di atas (luas tanam dan teknologi budidaya) harus menjadi landasan kebijakan perberasan

pada masa yang akan datang.

Kebijakan Penciptaan Nilai Produksi dan Revitalisis Kilang Padi

Sejak tahun 2007 Gabah Kering Panen yang dibawa ke luar Aceh untuk diolah

menjadi beras yang lebih berkualitas sebanyak 696.561 ton dan meningkat pada tahun

2011 telah mencapai 797.833. Selama lima tahun terakhir, terdapat perkembangan arus

gabah yang mengalir ke luar Aceh rata-rata 3 persen per tahun. Selanjutnya arus masuk

beras dari luar Aceh juga bertambah dalam bentuk beras kualitas premium, seperti yang

ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Arus keluar gabah kering panen dan arus masuk beras premium dari tahun 2007

s/d 2011

Tahun Produksi GKP

(ton)

Produksi Stara

Beras (ton)

Arus Masuk

(ton)

Arus Keluar

GKP (ton)

2007 1.533.369 797.352 44.181 696.561

2008 1.402.288 729.190 86.219 631.029

2009 1.556.858 809.567 49.905 700.586

2010 1.582.394 822.843 57.462 712.077

2011 1.772.962 836.120 55.539 797.833

Perkembangan (% per tahun) 0,05 0,03

Terdapat permasalahan yang sangat krusial pada neraca beras di Aceh yang antara

lain: (1) Produksi Gabah Kering Panen Melimpah sehingga mengalami surplus; (2)

Terdapat aliran beras yang jumlahnya meningkat setiap tahun rata-rata 5 persen per

tahun; (3) Kilang padi yang beroperasi di Aceh tidak mampu berproduksi dengan

kapasistas terpasang; (4) Sebagian besar kilang penggilingan padi di Aceh sudah tua

dengan rendemen produksi yang sangat rendah.

KESIMPULAN

Kesimpulan

Provinsi Aceh yang sangat potensial sebagai lumbung beras sering menghadapi

permasalahan dalam ketersediaan beras, terutama wilayah terpencil dan daerah defisit

beras. Provinsi Aceh sebagai wilayah yang paling barat pulau Sumatera harus mampu

Page 48: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Romano dan T. Saiful Bahri

109

mandiri dalam pengadaan berasnya. Kalau tidak maka wilayah ini akan menjadi daerah

transit import beras ke Provinsi lain di Pulau Sumatera.

Faktor yang paling dominan adalah luas areal tanam dan teknologi budidaya yang

digunakan. Harga beras menjadi faktor yang tidak dominan yang menentukan produksi

beras di daerah ini. Petani padi di Provinsi Aceh tidak terlalu respon terhadap perubahan

harga. Dengan demikian peningkatan program penyuluhan di wilayah sentra beras masih

harus ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya. Penambahan tenaga penyuluh dan

peningkatan kualitas penyuluh sangat dibutuhkan untuk mendorong suplai beras di

daerah ini.

Petani di daerah ini masih sangat mengharapkan bantuan langsung tunai untuk

mengelola usahatani padi secara intensif dan meningkatkan produktivitas areal

persawahan. Lebih jauh lagi teknologi pengairan yang sangat berpengaruh terhadap

teknologi budidaya, seperti SRI (System Rice Intensification) memerlukan pengelolaan

air irigasi yang lebih intensif. Oleh karena itu untuk meningkatkan produksi padi di

Provinsi Aceh dua faktor diatas (luas tanam dan teknologi budidaya) harus menjadi

landasan kebijakan perberasan pada masa yang akan datang.

Kebijakan Pemerintahan Aceh untuk menciptakan nilai tambah atas produksi gabah

dapat dilakukan dengan peremajaan sebagian besar kilang padi dan revitalisasi usaha

penggilingan dan pembinaan kemitraan pada dunia industry. Hal ini juga berkaitan

dengan upaya mengatasi kerawanan beras di wilayah kerja penggilingan padi.

Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan di atas maka perlu direkomendasikan beberapa hal yang

berkaitan dengan: (a) Kebijakan perberasan Aceh. (b) Peranan BKP-Luh Aceh; (c)

Inovasi perberas pada masa yang akan datang. Kebijakan perberasan aceh untuk masa

yang akan datang disamping mendorong produksi padi, juga dibutuhkan pembenahan

sistem distribusi beras.

Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Aceh yang telah melakukan TUPOKSI

dapat menyempurnakan beberapa program yang sedang berlangsung dan mencari inovasi

lain untuk pengelolaan ketersediaan beras di Provinsi Aceh. Inovasi yang paling

dibutuhkan pada subsistem off farm dengan menyertakan masyarakat dalam sistem jaring

pasok, penciptaan nilai tambah pada industry gabah dan sistem distribusi beras di

masing-masing sentra produksi.

Kebijakan yang mungkin ditempuh pemerintah Aceh adalah dengan melakukan

revitalisasi usaha kilang padi, menetapkan “RESI GUDANG” untuk cadangan beras

pemerintah dan cadangan beras masyarakat. Resi gudang yang dimaksud dapat ditempuh

dengan cara mengalokasikan anggaran kepada UPTD Pangan di masing-masing

kabupaten yang mengharuskan membeli padi langsung dari petani (atau melalui

GAPOKTAN).

Page 49: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

110

DAFTAR PUSTAKA

Sapuan. 1999. Perkembangan Manajemen Pengendalian Harga Beras. http://www.Bulog.go.id/ papers/

k_002_beras.html.

Sapuan. 2000. Arah Kebijakan Kelembagaan Produksi dan Distribusi Beras: Aspek Kelembagaan dan

Distribusi. Dalam Pertanian dan Pangan: Bunga Rampai Pemikiran Menuju Ketahanan Pangan (Eds. R.

Wibowo). Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Sawit, M.H. 2000 Arah Kebijaksanaan Distribusi/perdagangan Beras dalam Mendukung Ketahanan pangan:

Perdagangan Dalam Negeri. Dalam Pertanian dan Pangan: Bunga Ram-pai Pemikiran Menuju Ketahanan

Pangan (Eds. R. Wibowo). Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Sudaryanto, T., B. Rachman dan S. Bachri. 2000. Arah kebijakan distribusi/Perdagangan Beras dalam

Mendukung Ketahanan Pangan: Perdagangan Luar Negeri. Dalam Pertanian dan dan Pangan: Bunga

Rampai Pemikiran Menuju Ketahanan Pangan (Eds. R. Wibowo). Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Page 50: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

ISSN: 0852-9124 Muhammad Insa Ansari

111

KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM

BENTUK LEGISLASI DI KABUPATEN

ACEH BESAR

Local Government Policy in the Form of Legislation

in Aceh Besar District

Muhammad Insa Ansari Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa materi muatan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah

kabupaten/kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan

serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ketentuan yang sama juga terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2011

tentang Tata Cara Pembentukan Qanun. Bertolak dari kedua ketentuan tersebut, tulisan ini mengkaji kebijakan

Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dalam bentuk legislasi yang dihasilkan dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian

hukum kepustakaan. Dimana dalam penelitian ini hanya mempergunakan data sekunder saja. Berdasarkan

kajian bahwa materi muatan qanun kabupaten tersebut dalam kurun waktu 5 (lima) tahun tersebut diantaranya berkaitan dengan pengesahan, perubahan dan pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja

Kabupaten, perizinan dan retribusi, organisasi dan tata kerja, perhubungan, kesehatan, sanitasi, dan pendidikan.

Dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 jumlah Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan mencapai 53 (lima puluh tiga), dimana qanun yang dihasilkan pada tahun 2010 sangat variatif jenisnya, meliputi anggaran

pendapatan dan belanja kabupaten, pengelolaan barang milik daerah, pengelolaan dan penyelenggaraan

pendidikan, susunan organisasi dan tata kerja lembaga keistimewaan, retribusi, perizinan, serta susunan

organisasi dan tata kerja dinas dan lembaga teknis. Sementara itu qanun yang dihasilkan pada tahun 2011 hanya

berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten.

Kata Kunci: kebijakan pemerintah daerah, materi muatan, legislasi

ABSTRACT

Under the provisions of Article 14 of Law No. 12 Year 2011 on the Establishment Regulation Legislation

states that the substance of provincial regulations and local regulations regency / city contains material content

in the context of regional autonomy enforcement and assistance as well as accommodate special local conditions and / or translation for further legislation and higher law. Similar provisions are also contained in

Article 4 paragraph (2) Aceh Qanun No. 5 of 2011 on Procedures for the Establishment of Qanun. Starting

from these two provisions, this paper examines government policy in Aceh Besar the form of legislation produced from 2007 to 2011. Research used in this study is the normative legal research or literature legal

research. Which uses secondary data only. Based on the assessment that the district qanun substance within five

(5) years of which related to approval, change and accountability of District Budget, permits and fees, organization and administration, transportation, health, sanitation, and education. From 2007 to 2011 the

number of Qanun Aceh Besar generated at 53 (fifty three), in which the qanun produced in 2010 varied,

covering county government budgets, asset management area, management and delivery of education, organizational structure and working procedures of the institution privileges, fees, permits, as well as

organizational structure and working procedures of agencies and technical institutions. Meanwhile qanun produced in 2011 only deals with the District Budget.

Keywords: local government policy, the substance, legislation

Page 51: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 4, No. 2, Nov 2013

112

PENDAHULUAN

Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan, pemerintah atau administrasi negara

melakukan berbagai tindakan hukum dengan menggunakan berbagai instrumen yuridis

dalam menjalankan kegiatan mengatur dan menjalankan urusan pemerintahan dan

kemasyarakatan, seperti peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan, peraturan

kebijaksanaan, perizinan, instrumen hukum keperdataan, dan sebagainya (Ridwan HR,

2006: 129). Instrumen-instrumen yuridis tersebut dikeluarkan baik oleh pemerintah pusat

maupun pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Konsideran huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan, menyebutkan bahwa untuk mewujudkan Indonesia

sebagai negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum

nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem

hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat

Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

Hal yang sangat prinsipil berdasarkan konsideran tersebut, bahwa Undang-Undang

Dasar 1945 merupakan sumber hukum yang sangat tinggi dan prinsip pembangunan

hukum nasional harus sesuai dengan konstitusi. Hal ini tentunya menarik kalau

dikaitkan dengan pendapat Hans Kelsen dalam buku General Theory of Law and State

yang telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, dimana disebutkan bahwa tata

urutan atau susunan hierakhis dari tata hukum suatu negara dapat dikemukakan bahwa

dengan mempostulasi norma dasar, konstitusi adalah urutan tertinggi di dalam hukum

nasional (Somardi, 1995:126).

Adapun jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Pasal 7 ayat

(1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan, adalah sebagai berikut: a). Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945; b). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c). Undang-

Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d). Peraturan Pemerintah; e).

Peraturan Presiden; f). Peraturan Daerah Provinsi; dan g). Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota. Hierarki dari peraturan-peraturan tersebut di atas sangatlah penting,

mengingat peraturan hukum menjadi dasarnya dari pada peraturan hukum yang lebih

rendah tingkatannya, dan yang terakhir ini menjadi dasar pula dari pada peraturan hukum

yang lebih rendah lagi tingkatannya (Soehino, 1986:140).

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa materi muatan peraturan

perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan

sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki peraturan perundang-undangan. Berdasarkan

ketentuan ini materi muatan dari setiap peraturan perundang-undangan sangat ditentukan

oleh hirakhi peraturan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan menyebutkan bahwa materi muatan peraturan daerah provinsi dan

peraturan daerah kabupaten/kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan

otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau

penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ketentuan ini

menjadi salah satu dasar penting tentunya dalam meninjau kebijakan daerah dalam

bentuk legislasi.

Page 52: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Muhammad Insa Ansari

113

Namun demikian, khusus untuk Pemerintahan Aceh dan pemerintah kabupaten/kota

yang ada dibawahnya, berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan

ada pengaturan secara khusus dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh, yaitu Bab XXXV Qanun, Peraturan Gubernur, dan Peraturan

Bupati/Walikota. Ketentuan tersebut merupakan ketentuan kekhususan yang berlaku

bagi pemerintah Aceh berkaitan dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini

sendiri harus dijadikan rujukan terutama oleh pihak legislatif dan pihak eksekutif dalam

membentuk peraturan perundang-undangan, serta ketentuan tersebut menjadi referensi

penting dalam pembuatan peraturan gubernur dan peraturan bupati/peraturan walikota.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, ada

beberapa hal yang dianggap penting berkaitan dengan kebijakan pemerintah daerah

dalam bentuk legislasi pemerintah kabupaten adalah sebagai berikut:

Pertama, berkaitan dengan pengesahan qanun kabupaten/kota. Dimana berdasarkan Pasal

232 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dimana

disebutkan bahwa qanun kabupaten/kota disahkan oleh bupati/walikota setelah mendapat

persetujuan bersama dengan DPRK.

Kedua, berkaitan dengan alasan pembentukan qanun kabupaten/kota. Dimana

ketentuan Pasal 233 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh, menyebutkan bahwa qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan

Pemerintahan Aceh, pemerintahan kabupaten/kota, dan penyelenggaraan tugas

perbantuan.

Ketiga, berkaitan dengan berlakunya qanun kabupaten/kota. Berdasarkan ketentuan

Pasal 233 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,

bahwa qanun kabupaten/kota berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah

kabupaten/kota.

Sebagai tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh maka dibentuklah Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata

Cara Pembentukan Qanun (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Tahun 2007 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Aceh Nomor 03). Namun pada

tanggal 30 Desember 2011 Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara

Pembentukan Qanun dicabut dengan Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata

Cara Pembentukan Qanun (Lembaran Aceh Tahun 2011 Nomor 10, Tambahan Lembaran

Aceh Nomor 38).

Pasal 4 ayat (2) Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan

Qanun menyebutkan bahwa qanun kabupaten/kota dibentuk dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota, pengaturan hal yang berkaitan dengan

kondisi khusus kabupaten/kota, penyelenggaraan tugas pembantuan dan penjabaran lebih

lanjut peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka tulisan singkat ini akan mendeskripsikan

dan menjelaskan kebijakan pemerintahan daerah dalam bentuk legislasi di Kabupaten

Aceh Besar selama tahun 2007 sampai dengan 2011.

Page 53: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

114

METODE PENELITIAN

Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Dimana dalam penelitian ini hanya mempergunakan data sekunder saja (Soekanto dan Mahmudji, 2001:14). Data sekunder dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat, terdiri dari norma dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan traktat (Soekanto dan Mahmudji, 2001:13). Ataupun juga bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim (Marzuki, 2008:12). Bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Marzuki, 2008:12). Dimana bahan hukum sekunder tersebut memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum (Soekanto dan Mahmudji, 2001:13). Sementara yang dimaksud dengan bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, indek komulatif, dan sebagainya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil legislasi Kabupaten Aceh Besar selama tahun 2007 hingga tahun 2011 dapat

dirincikan produk Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan setiap tahunnya adalah

sebagai berikut:

Qanun Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

Adapun Qanun Kabupaten Aceh Besar yang disahkan pada tahun 2007 adalah sebagai

berikut: a) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan

Pertama atas Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Besar Nomor 38 Tahun 2001 tentang

Pembentukan Susunan Organisasi dan tata Kerja Kecamatan Montasik; b) Qanun

Kabupaten Aceh Besar Nomor 2 Tahun 2007 tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan

Daerah Kabupaten Aceh Besar Nomor 40 Tahun 2001 tentang Pembentukan Susunan

Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan Ingin Jaya; c) Qanun Kabupaten Aceh Besar

Nomor 3 Tahun 2007 tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Daerah Kabupaten

Aceh Besar Nomor 43 Tahun 2001 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata

Kerja Kecamatan Kuta Baro; d) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 4 Tahun 2007

tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2007; e)

Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 5 Tahun 2007 tentang Perhitungan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Besar Tahun Anggaran 2007; dan f)

Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 6 Tahun 2007 tentang Perubahan APBD Tahun

Anggaran 2007.

Produk legislasi yang dihasilkan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar pada tahun

2007 lebih memfokuskan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan susunan

organisasi dan tata kerja kecamatan. Dimana pada tahun tersebut ada 3 (tiga) qanun yang

materi muatannya berkaitan dengan APBD. Disamping itu terdapat juga 3 (tiga) qanun

yang materi muatannya mengatur susunan organisasi dan tata kerja kecamatan.

Page 54: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Muhammad Insa Ansari

115

Qanun Kabupaten Aceh Besar Tahun 2008

Adapun Qanun Kabupaten Aceh Besar yang disahkan pada tahun 2008 adalah sebagai

berikut: a) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 1 Tahun 2008 tentang APBD

Kabupaten Aceh Besar Tahun 2008; b) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 2 Tahun

2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat

DPRK Aceh Besar; c) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 3 Tahun 2008 tentang

Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas dan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Aceh

Besar; c) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 4 Tahun 2008 tentang Susunan

Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kecamatan Dalam Kabupaten Aceh Besar; d)

Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pertanggungjawaban APBD

Tahun 2007; e) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 6 Tahun 2008 tentang

Penghapusan Kelurahan dan Pembentukan Gampong dalam Kabupaten Aceh Besar; f)

Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pendelegesian Kewenangan

Pemerintah Kabupaten Aceh Besar kepada Dewan Kawasan Sabang; g) Qanun

Kabupaten Aceh Besar Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pemberian Izin Kepemilikan dan

Pengguna Gergaji Rantai; h) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 9 Tahun 2008 tentang

Retribusi Izin Tempat Usaha; i) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 10 Tahun 2008

tentang Retribusi Izin Sanitasi, Farmasi dan Pelayanan Kesehatan dalam Kabupaten Aceh

Besar; j) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pengelolaan

Kebersihan dan Retribusi Pelayanan Kebersihan/Persampahan; k) Qanun Kabupaten

Aceh Besar Nomor 12 Tahun 2008 tentang Retribusi Tanda Daftar Perusahaan; l) Qanun

Kabupaten Aceh Besar Nomor 13 Tahun 2008 tentang Retribusi Izin Usaha, Izin

Perluasan dan Tanda Daftar Industri; m) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 14 Tahun

2008 tentang Retribusi Izin Usaha Perdagangan; n) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor

15 Tahun 2008 tentang Retribusi Izin Usaha Jasa Konstruksi; o) Qanun Kabupaten Aceh

Besar Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kesehatan; p) Qanun Kabupaten Aceh Besar

Nomor 17 Tahun 2008 tentang Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir dan Anak Balita; q)

Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 18 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan

Orang; r) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 18 Tahun 2008 tentang Retribusi

Pengujian Kendaraan Bermotor.

Dari 18 Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan pada tahun 2008, dimana

terdiri dari: 1) muatannya berkaitan dengan anggaran, yaitu APBD Kabupaten Aceh

Besar Tahun 2008, dan pertanggung jawaban APBD Tahun 2007; 2) muatannya

berkaitan dengan susunan organisasi dan tata kerja serta pelimpahan kewenangan,

diantaranya susunan organisasi dan tata kerja sekretariat daerah dan sekretariat DPRK,

dan susunan organisasi dan tata kerja dinas dan lembaga teknis daerah, dan susunan

organisasi dan tata kerja pemerintah kecamatan, dan penghapusan kelurahan dan

pembentukan gampong, serta pendelegesian kewenangan pemerintah Kabupaten Aceh

Besar kepada Dewan Kawasan Sabang; 3) materinya berkaitan dengan perizinan dan

retribusi, diantaranya adalah pemberian izin kepemilikan dan pengguna gergaji rantai,

retribusi izin tempat usaha, retribusi izin sanitasi, farmasi dan pelayanan kesehatan dalam

Kabupaten Aceh Besar, pengelolaan kebersihan dan retribusi pelayanan

kebersihan/persampahan, retribusi tanda daftar perusahaan, retribusi izin usaha, izin

perluasan dan tanda daftar industri, retribusi izin usaha perdagangan, retribusi izin usaha

jasa konstruksi, retribusi pengujian kendaraan bermotor; 3) materinya berkaitan dengan

pelayanan kesehatan, yaitu kesehatan dan kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak balita;

dan 4) materinya berkaitan dengan perhubungan, yaitu penyelenggaraan angkutan orang.

Page 55: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

116

Qanun Kabupaten Aceh Besar Tahun 2009

Adapun Qanun Kabupaten Aceh Besar yang disahkan pada tahun 2009 adalah sebagai

berikut: a) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 1 Tahun 2009 tentang Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Besar Tahun Anggaran 2009; b) Qanun

Kabupaten Aceh Besar Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pertanggungjawaban Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Besar Tahun 2008; c) Qanun

Kabupaten Aceh Besar Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pembentukan Susunan Organisasi

dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Aceh Besar; d)

Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Besar Anggaran 2009; e) Qanun

Kabupaten Aceh Besar Nomor 5 Tahun 2009 tentang Perubahan Pertama Qanun

Kabupaten Aceh Besar Nomor 7 Tahun 2003 Tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan

Olahraga; f) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Susunan

Organisasi dan Tata Kerja MAA Kabupaten Aceh Besar; g) Qanun Kabupaten Aceh

Besar Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Susunan Organisasi Tata Kerja

Lembaga Penyiaran Publik Lokal Radio Panglima Polem; h) Qanun Kabupaten Aceh

Besar Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Pemerintah Mukim; i) Qanun Kabupaten Aceh

Besar Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Perubahan Pertama Qanun Kabupaten Aceh Besar

Nomor 8 Tahun 2003 Tentang Retribusi Parkir di tepi Jalan Umum; j) Qanun Kabupaten

Aceh Besar Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Perubahan Pertama atas Qanun Kab. Aceh

Besar Nomor 11 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Terminal dan Pangkalan; dan k)

Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Gampong.

Dari 11 Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan pada tahun 2009, dimana

terdiri dari: 1) materi muatannya berkaitan dengan anggaran, diantaranya adalah

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Besar Tahun Anggaran 2009,

dan Pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh

Besar Tahun 2008, serta Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Kabupaten Aceh Besar Anggaran 2009; 2) materi muatannya berkaitan dengan susunan

organisasi dan tata kerja, diantaranya adalah pembentukan susunan organisasi dan tata

kerja Badan Penangulangan Bencana Daerah Kabupaten Aceh Besar, dan susunan

organisasi dan tata kerja MAA Kabupaten Aceh Besar, serta susunan organisasi tata kerja

Lembaga Penyiaran Publik Lokal Radio Panglima Polem; 3) materi muatannya berkaitan

dengan perizinan dan retribusi, diantaranya retribusi tempat rekreasi dan olahraga, dan

retribusi parkir di tepi jalan umum; 4) materinya berkaitan dengan pemerintahan,

diantaranya pemerintah mukim dan pemerintahan gampong; dan 5) materinya berkaitan

dengan perhubungan, yaitu pengelolaan terminal dan pangkalan.

Qanun Kabupaten Aceh Besar Tahun 2010

Adapun Qanun Kabupaten Aceh Besar yang disahkan pada tahun 2010 adalah sebagai

berikut: a) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 1 Tahun 2010 Tentang APBK

Kabupaten Aceh Besar Tahun 2010; b) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 2 Tahun

2010 Tentang Pertanggung Jawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Kabupaten Aceh Besar Tahun 2009; c) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 3 Tahun

2010 Tentang Penjabaran Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Aceh

Besar Tahun 2010; d) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 4 Tahun 2010 Tentang

Qanun BPHTB; e) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Qanun

Page 56: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Muhammad Insa Ansari

117

tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah (BPM) Kabupaten Aceh Besar; f) Qanun

Kabupaten Aceh Besar Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan

Pendidikan Kabupaten Aceh Besar; g) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 7 Tahun

2010 Tentang Qanun tentang susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Keistimewaan

Kabupaten Aceh Besar, MPU, MAA,MPD; h) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 8

Tahun 2010 Tentang Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Barbasis

Masyarakat; i) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 9 Tahun 2010 Tentang Retribusi

Pelayanan Pasar; k) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 10 Tahun 2010 tentang

Retribusi Pelayanan Tata/Tera Ulang; l) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 11 Tahun

2010 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; m) Qanun Kabupaten

Aceh Besar Nomor 12 Tahun 2010 tentang Retribusi Penyediaan/Penyedotan Kakus; n)

Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 13 Tahun 2010 tentang Izin Gangguan; o) Qanun

Kabupaten Aceh Besar Nomor 14 Tahun 2010 tentang Izin Mendirikan Bangunan; dan p)

Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 15 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Qanun

Nomor 3 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas dan Lembaga

Teknis Daerah Kabupaten Aceh Besar.

Dari 15 Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan pada tahun 2010, dimana

terdiri dari: 1) materi muatannya berkaitan dengan anggaran, diantaranya APBK

Kabupaten Aceh Besar Tahun 2010, dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Kabupaten Aceh Besar Tahun 2009, serta Penjabaran Perubahan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Aceh Besar Tahun 2010; 2) materi

muatannya berkaitan dengan susunan organisasi dan tata kerja, diantaranya susunan

organisasi dan tata kerja lembaga keistimewaan Kabupaten Aceh Besar, MPU, MAA,

MPD, dan susunan organisasi dan tata kerja dinas dan lembaga teknis daerah Kabupaten

Aceh Besar; 3) materinya muatannya berkaitan dengan perizinan dan retribusi,

diantaranya adalah BPHTB, retribusi pelayanan pasar, retribusi pelayanan tata/tera

ulang, retribusi pengendalian menara telekomunikasi, retribusi penyediaan/penyedotan

kakus, izin gangguan dan izin mendirikan bangunan; 4) materinya berkaitan dengan aset

daerah, yaitu pengelolaan barang milik daerah (BPM) Kabupaten Aceh Besar; 5)

materinya berkaitan dengan pendidikan, yaitu pengelolaan dan penyelenggaraan

pendidikan Kabupaten Aceh Besar; dan 6) materinya berkaitan dengan sanitasi, yaitu

pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan barbasis masyarakat.

Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan pada tahun 2010 sangat variatif

pengaturannya, meliputi anggaran pendapatan dan belanja kabupaten, pengelolaan barang

milik daerah, pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, susunan organisasi dan tata

kerja lembaga keistimewaan, retribusi, perizinan, serta susunan organisasi dan tata kerja

dinas dan lembaga teknis.

Qanun Kabupaten Aceh Besar Tahun 2011

Adapun Qanun Kabupaten Aceh Besar yang disahkan pada tahun 2011 adalah sebagai

berikut: a) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) Aceh Besar; b) Qanun Kabupaten

Aceh Besar Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pertanggung Jawaban Pelaksanaan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Kabupaten Aceh Besar Tahun Anggaran 2010; dan c) Qanun

Kabupaten Aceh Besar Nomor 3 Tahun 2011 tentang Perubahan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Kabupaten Aceh Besar Tahun 2011.

Page 57: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

118

Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan pada tahun 2011 hanyalah qanun yang

berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Aceh Besar.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, maka ada sejumlah kesimpulan yang

dapat diambil dari kebijakan pemerintah daerah dalam bentuk legislasi di kabupaten

Aceh Besar adalah: Pertama, Kebijakan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dalam

bentuk legislasi yang dihasilkan dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 berdasarkan

jumlahnya mencapai 53 (lima puluh tiga) Qanun Kabupaten Aceh Besar dengan materi

muatan diantaranya berkaitan dengan pengesahan, perubahan dan pertanggungjawaban

anggaran, perizinan dan retribusi, organisasi dan tata kerja, perhubungan, kesehatan,

sanitasi dan pendidikan. Kedua, Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan pada

tahun 2010 sangat variatif jenisnya, meliputi anggaran pendapatan dan belanja kabupaten,

pengelolaan barang milik daerah, pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, susunan

organisasi dan tata kerja lembaga keistimewaan, retribusi, perizinan, serta susunan

organisasi dan tata kerja dinas dan lembaga teknis. Ketiga, Qanun Kabupaten Aceh Besar

yang dihasilkan pada tahun 2011 hanya berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Kabupaten.

DAFTAR PUSTAKA

BPS Kabupaten Aceh Besar dan BAPPEDA Kabupaten Aceh Besar, 2012, Aceh Besar Dalam Angka 2012, BPS Kabupaten Aceh Besar dan BAPPEDA Kabupaten Aceh Besar, Kota Jantho.

Hans Kelsen, 1995. Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Emprik-

Deskriptif. [General Theory of Law and State], Diterjemahkan oleh Somadi, Rimdi Press, Jakarta

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soehino, 1986, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta

Soerjono Soekanto., dan Sri Mahmudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Radja

Grafindo Persada, Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5234).

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4633).

Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun (Lembaran Aceh Tahun 2011

Nomor 10, Tambahan Lembaran Aceh Nomor 38).

Page 58: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

ISSN: 0852-9124 Zulkifli

119

STRATEGI MENINGKATKAN PENDAPATAN ACEH

DARI SUMBER ZAKAT: SUATU BUKTI EMPIRIK

Strategy to Increase Aceh’s Revenues from Zakat Sources:

an Empirical Evidence

Zulkifli

Kepala Bidang P2EP Bappeda Aceh

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Provinsi Aceh telah diberikan otonomi oleh Pemerintah Indonesia dalam berbagai aspek administrasi sejak

tahun 1999. Dalam hal ini, pada tahun 2004 pemerintah Aceh mengesahkan diberlakukannya pembayaran zakat

atas penghasilan melalui lembaga formal yang dikenal sebagai Baitulmal. Namun, pembuat kebijakan mempertimbangkan bahwa tingkat kepatuhan rendah. Untuk daerah yang dikenal sepanjang sejarah karena

ketaatan kepada ajaran Islam, situasi seperti ini agak mengejutkan. Mengapa hal ini terjadi? Dan jika

pemerintah bermaksud untuk menambah pendapatan dari zakat, maka strategi apa yang perlu diambil? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kepatuhan pembayaran zakat melalui Baitulmal dan pendapatannya?

Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengusulkan dan memperkirakan model kepatuhan

zakat. Hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa jenis kelamin, usia, pendidikan, biaya bulanan, komitmen terhadap agama/iman, pelaksanaan hukum, akses mekanisme pembayaran, pemahaman/pengetahuan zakat,

persepsi pajak, dan faktor-faktor lingkungan yang ditemukan memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat kepatuhan pembayaran zakat. Temuan penelitian menyimpulkan bahwa dalam rangka meningkatkan

tingkat kepatuhan zakat pembayaran melalui Baitulmal, pemerintah perlu memperkuat penegakan hukum;

meningkatkan kesadaran tentang kewajiban membayar zakat atas penghasilan, membangun kepercayaan dalam memastikan Baitulmal sebagai suatu institusi yang mampu melaksanakan tugas-tugasnya secara jujur dan

efisien, meningkatkan jumlah counter (kantor) zakat dan memperkenalkan sistem pembayaran online, reformasi

undang-undang pajak yang ada seperti pengembalian zakat akan diberikan sebagai insentif bagi mereka yang

membayar zakat melalui Baitul Mal.

Kata kunci: model kepatatuhan zakat, prilaku kepatuhan, strategi

ABSTRACT

The Aceh province has been given the autonomy by the central government of Indonesia in various aspects

of administration since 1999. In this regards, in 2004 the government of Aceh has legislated an enactment

requiring the payment of zakat on income through a formal institution known as the Baitulmal. However, policy

makers are concerned that the compliance rate is found to be low. For a region that is known throughout history for its adherence to the Islamic teachings, such a situation is rather surprising. Why is this happening?

And if the government intends to increase zakat collection, what are then the strategies that need to be taken?

What are the likely factors affecting the compliance level of zakat payment via Baitulmal and its collection? Thus, the objective of this study is to propose and estimate a zakat compliance model. The results of the study

documented that gender, age, education, monthly expenses, commitment to the religion/faith, implementation of laws, accessible payment mechanism, zakat understanding/knowledge, tax perception, and environmental

factors are found to have significant relationships with the compliance level of zakat payment. The findings of

the study imply that in order to increase the compliance level of zakat payment via Baitulmal, the government needs to strengthen the law enforcement; increase awareness on the obligation to pay zakat on income; build

the trust in ensuring the Baitulmal as an able institution to execute her tasks honestly and efficiently; increase

the number of zakat counters and to introduce online payment system; reform the existing tax law such that zakat rebates should be granted as an incentive to those who pay zakat through Baitulmal.

Keywords: zakat compliance model, compliance behavior, strategy

Page 59: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 4, No. 2, Nov 2013

120

PENDAHULUAN

Zakat merupakan pembayaran yang diwajibkan oleh Islam kepada semua

penganutnya yang mempunyai harta dalam berbagai bentuk sekiranya cukup syarat haul

atau tempoh dan nisab atau satu jumlah minimum yang mencukupi untuk memenuhi

keperluan asas selama tempoh yang dikenakan (Alhabshi, 2003). Kewajiban ini lahir

karena zakat merupakan salah satu rukun Islam yang diwajibkan kepada individu muslim

oleh Allah SWT dengan maksud untuk pembersihan dan penyucian harta bagi orang yang

membayarnya (QS:At-Taubah, ayat 103) dan juga untuk menolong kaum dhu’afa atau

orang yang memerlukan (QS:At-Taubah, ayat 60).

Oleh itu, kedudukan zakat adalah sangat penting yaitu sama sebagaimana kedudukan

shalat bagi setiap orang Mukmin. Ajaran Islam memberikan peringatan dan ancaman

keras terhadap orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat. Perintah pemaksaan

kepada wajib zakat untuk membayarnya adalah jelas kepada jenis harta yang telah

disepakati (‘iktifaq) seperti zakat ke atas hasil tanaman seperti gandum, kurma, zakat

peternakan (unta, lembu dan kambing) serta zakat galian emas dan perak. Perintah zakat

kepada harta yang belum disepakati (‘ikhtilaf) walaubagaimanapun terdapat sedikit

perbedaan karena terdapat sebagian ulama yang mewajibkannya dan sebagian yang lain

tidak sehingga kepatuhan untuk membayar zakat dari harta jenis ini masih berbeda di

kalangan individu tergantung pada situasi, kefahaman individu dan lingkungannya

termasuk adanya qanun dan fatwa (Hairunnizam, et al., 2007). Diantara harta dari

kategori ini adalah harta yang diperoleh dari pendapatan gaji, upah, sewa, dan

penghasilan profesi (jasa). Berdasarkan fatwa Majelis Ulama Aceh tahun 1983,

penghasilan jasa diartikan sebagai hasil atau bayaran yang diperoleh seseorang sebagai

imbalan dari guna/manfaat sesuatu seperti gaji, upah, sewa, hasil profesi, tunjangan,

bonus dari apa saja pekerjaan dan jasa profesional dan bukan profesional. Mengenai

kewajiban zakat ini, Majelis Ulama Aceh telah mengeluarkan fatwa tentang kewajiban

pembayarannya sejak tahun 1983. Namun sampai saat ini hasil pungutan zakat melalui

institusi formal pungutan zakat masih rendah dibandingkan dengan potensi yang ada.

Salah satu penyebab rendahnya pungutan zakat adalah kurangnya kesadaran/kepatuhan

individu pembayar zakat untuk menunaikan kewajibannya melalui institusi formal

pungutan zakat (Baitulmal).

Oleh karena itu, muncul pertanyaan apakah individu yang tidak membayar zakat

kepada Baitulmal tersebut bermakna mereka tidak mengeluarkan zakat atau mereka

menyalurkan zakat secara langsung kepada asnaf yang ada dilingkungan tempat

tinggalnya yang dapat diartikan bahwa tingkat kepatuhan mereka untuk membayar zakat

melalui institusi formal seperti yang diamanatkan dalam Qanun masih rendah. Tentunya,

ketidakpatuhan ini dapat dikatakan sebagai bocoran bagi penerimaan pendapatan daerah

Aceh. Sehubungan dengan hal tersebut, maka faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi

seseorang untuk bersedia membayar zakat melalui institusi formal. Permasalahan-

permasalahan inilah yang akan dikaji dalam penelitian ini, sehingga dengan demikian

akan dapat ditentukan strategi apa yang dapat ditempuh oleh Pemerintah Aceh untuk

Page 60: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Zulkifli

121

meningkatkan pendapatan asli Aceh dari sumber zakat melalui Baitulmal dalam rangka

mempercepat pemberantasan kemiskinan di Aceh.

PERKEMBANGAN DAN PERANAN INSTITUSI PUNGUTAN ZAKAT

Zakat merupakan ibadah yang diwajibkan secara individu dalam kehidupan

bermasyarakat, namun demikian zakat juga sebenarnya sebagian dari ruang lingkup

tanggung jawab pemerintahan negara. Oleh karena itu dalam penulisan-penulisan Islam,

walaupun zakat sering dibahas di dalam bab ibadah di samping shalat, puasa dan haji,

zakat juga dibahas dalam topik-topik mengenai kenegaraan dan pemerintahan. Ini berarti

bahwa zakat sebenarnya bukanlah urusan pribadi yang hanya bisa diuruskan sendiri

secara individu oleh ummat Islam. Sebaliknya zakat merupakan sebagian dari sistem

sosial yang perlu diuruskan oleh pemerintah. Berdasarkan hal tersebut maka pengurusan

zakat adalah menjadi kewajiban pemerintah terutama dengan membentuk institusi yang

teratur untuk melaksanakan tugas pemungutan dan pendistribusian zakat-zakat ini.

Bila menilik berdasarkan dalil-dalil tentang kewajiban berzakat, dapatlah dimengerti

bahwa sebetulnya masalah zakat ini diurus oleh satu institusi yang legal dan mempunyai

wewenang untuk itu. Dan pada dasarnya yang berhak mengurusnya adalah pemerintah

melalui institusi formal yang dibentuk. Hal ini dapat dilihat dari dalil dalam Al Qur’an di

antaranya dengan menggunakan perkataan “Ambillah...” (At Taubah : 103) dan hadist

nabi : “ Beritahu mereka bahwa Allah SWT telah mewajibkan ke atas mereka zakat dari

harta-harta mereka, yang akan dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada

orang-orang fakir “. Perkataan “ ambillah” dan “dipungut” bermakna bahwa ada pihak

tertentu yang melaksanakan kerja-kerja tersebut.

Sebagai sebuah wilayah yang mempunyai penduduk muslim mayoritas, Provinsi

Aceh tentunya mempunyai potensi sumber dana zakat yang sangat besar dan strategis.

Pelaksanaan zakat di Aceh telahpun dimulai sejak kedatangan Islam di nusantara ini.

Zakat merupakan salah satu sumber dana untuk pengembangan ajaran Islam dan

perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah. Sebagai contoh, Belanda terlibat dalam

perang besar yang berkepanjangan melawan orang-orang Aceh yang fanatik, mereka kuat

dalam melawan penjajah karena mereka memiliki sumber dana berupa hasil zakat

(Yoesoef, 1985; Daud, 1991).

Namun, pengelolaan zakat pada masa itu belum mempunyai mekanisme tertentu,

kaum muslimin biasanya menyalurkan zakat itu secara langsung kepada mustahik, guru,

teungku/kiayi, dan masjid-masjid. Hal ini disebabkan karena kaum muslimin

melaksanakan zakat hanya atas keyakinan bahwa zakat merupakan kewajiban ke atas

harta yang dimiliki. Kemudian setelah munculnya organisasi-organisasi Islam pada awal

abad ke 20, zakat mulai diurus oleh organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadyah,

Nahdatul Ulama dan lain-lain. Hal ini disebabkan pada masa itu belum didapatkan suatu

badan resmi yang dibentuk oleh pemerintah (Somad, 1996).

Selanjutnya pada pertengahan abad ke 20, mulai adanya upaya membentuk suatu

badan yang berskala nasional untuk menguruskan zakat yaitu dengan dikeluarkannya

Peraturan Menteri Agama Nomor 4 dan Nomor 5 tahun 1968 mengenai pembentukan

Badan Amil Zakat dan Baitul Mal. Dan dilanjutkan dengan Perintah Presiden Republik

Page 61: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

122

Indonesia dengan suratnya Nomor 07/PRIN/10/1968 mengenai penunjukan komite

pelaksanaan seruan Presiden tentang pelaksanaan zakat. Berdasarkan peraturan inilah

akhirnya didirikan Badan Amil Zakat, Infaq, dan Sedekah (Andy, 1997). Pembentukan

Badan Amil Zakat, Infaq, dan Sedekah (BAZIS) ini tidak mengurangi atau

menghancurkan aktivitas badan zakat yang telah ada di organisasi-organisasi Islam

sebelumnya. Mereka masih tetap melaksanakan urusan zakat itu sebagaimana biasa

karena tiada peraturan resmi yang melarangnya.

Sebelum organisasi BAZIS dibentuk, di Aceh sebenarnya pernah didirikan Badan

Penertiban Harta Agama (BPHA) pada tahun 1973. BPHA memiliki tugas untuk

memelihara harta-harta agama, seperti zakat, wakaf, harta Baitulmal dan harta-harta

agama lainnya. Pada tahun 1976, institusi ini kemudian diubah dengan nama Badan Harta

Agama (BHA) yang mempunyai cabang hingga ke tingkat pedesaan. Namun pada tahun

1993, peranan BHA ini akhirnya diganti Badan Amil Zakat, Infaq, dan Sedekah (BAZIS).

Pada saat ini, keberadaan BAZIS secara nasional dikuatkan lagi dengan dikeluarkan

Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan diikuti dengan

Keputusan Menteri Agama Nomor 581 tahun 1999 tentang pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 38 tersebut. Berdasarkan Undang-Undang ini dan Undang-Undang Nomor 18

tahun 1999 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Aceh, maka pada tahun 2000

Pemerintahan Aceh telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Qanun) Nomor 5 tentang

Pelaksanaan Syari’at Islam. Pada pasal 14 ayat (3) peraturan ini diamanatkan bahwa

pengelolaan harta-harta agama dikembalikan kepada prinsip Baitulmal dan Pemerintah

Aceh berkewajiban untuk menertibkan, mengumpulkan, mengelola, mengawal, dan

menggunakan kekayaan Baitulmal tersebut.

Perubahan dan penyesuaian kembali BAZIS menjadi Baitulmal seperti yang

dimaksud dalam Qanun tersebut mempunyai tujuan supaya institusi zakat dapat

melakukan pengelolaan zakat sesuai dengan perkembangan prinsip-prinsip zakat modern.

Oleh karena itu, diharapkan nantinya Baitulmal dapat menjadi institusi keuangan negara

yang diselenggarakan oleh pemerintah dan dipergunakan untuk membiayai seluruh

kepentingan umat Islam. Gagasan ini pada dasarnya berkeinginan untuk mengambil

prinsip-prinsip dengan fungsi-fungsi yang pernah dijalankan institusi Baitulmal pada

masa Rasulullah SAW dan Khulafaurrasyidin. Secara undang-undang, gagasan ini

dikuatkan lagi dengan dikeluarkan Qanun Pemerintah Aceh Nomor 7 tahun 2004

mengenai pengelolaan zakat yang telah direvisi termasuk dengan Qanun Nomor 10

Tahun 2010. Qanun ini mengatur tentang zakat secara lebih komperehensif termasuk

menentukan jenis-jenis harta yang dikenakan zakat diantaranya kewajiban membayar

zakat pendapatan.

Dari perkembangan institusi zakat seperti yang disebutkan di atas, maka dapat

dikatakan bahwa pengelolaan harta agama di Indonesia telah mengalami kemajuan yang

berarti yaitu dengan telah dimilikinya berbagai undang-undang dan peraturan tentang

pengelolaan zakat. Dalam konteks Provinsi Aceh pula secara khusus telah memiliki

beberapa undang-undang dan peraturan tersendiri berkenaan masalah zakat ini. Walaupun

institusi zakat di Aceh telah memiliki sejumlah landasan yuridis legal tentang

pengelolaan zakat tersebut, namun realitasnya bahwa institusi zakat belum mampu secara

Page 62: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Zulkifli

123

optimal menggugah kesadaran masyarakat untuk berzakat. Dengan perkataan lain

pemberlakuan undang-undang, qanun dan peraturan lainnya itu belum mampu

memberdayakan (empowerment) potensi zakat yang ada dalam masyarakat. Oleh sebab

itu, sejauh ini zakat yang dikumpulkan belum mampu menunjukkan peranan yang

signifikan dalam memberantas kemiskinan ummat. Realitasnya sebagian besar

masyarakat Aceh masih dibelenggu kemiskinan, sampai Maret 2013 tingkat kemiskinan

di Aceh masih sangat tinggi dibandingkan dengan tingkat kemiskinan secara nasional

yaitu sebanyak 17,60% dibanding nasional yang hanya 11,37%.

Seharusnya dengan adanya undang-undang, qanun dan peraturan mengenai zakat

tersebut telah dapat memacu institusi zakat untuk berperan lebih optimal dalam

memberikan dampak yang nyata bagi kesejahteraan masyarakat penerima zakat. Namun

sehingga kini pengelolaan dan perberdayaan zakat di Aceh masih saja didapati masalah,

hambatan, dan tantangan yang mempengaruhi kinerja institusi zakat.

POTENSI DAN PERMASALAHAN

Pembangunan yang dilaksanakan melalui rencana pembangunan jangka pendek,

menengah, dan jangka panjang pada prinsipnya bertujuan untuk mencapai tujuan hidup

berbangsa dan bernegara yaitu tercapainya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

Demikian juga halnya di Aceh, saat ini pembangunan diarahkan dalam rangka

pencapaian visi dan misi Pemerintah Aceh periode 2012-2017 di bawah kepemimpinan

dr. Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf (ZIKIR) yaitu untuk mewujudkan Aceh yang

bermartabat, sejahtera, berkeadilan, dan mandiri berlandaskan Undang-Undang

Pemerintahan Aceh sebagai wujud MoU Helsinki.

Untuk mencapai tujuan baik secara nasional maupun daerah tersebut, berbagai

program pembangunan baik yang bersifat fisik maupun yang berkaitan dengan peraturan

perundangan telah dilaksanakan seperti terus menyempurnakan berbagai perundangan

yang telah ada.

Disisi lain, keberhasilan pembangunan sangatlah tergantung kepada berbagai faktor

antaranya kemampuan keuangan daerah terlebih lagi pada era pelaksanaan otonomi

daerah saat ini. Pemerintah daerah perlu melakukan berbagai terobosan untuk mencari

sumber keuangannya sendiri sesuai dengan peraturan-peraturan dan undang-undang yang

ada supaya dapat memastikan bahwa pembangunan yang direncanakan dapat

dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Dalam hal ini, Provinsi Aceh sebagai salah satu provinsi di Indonesia pada saat ini

telah diberikan wewenang oleh Pemerintah Pusat untuk menjalankan roda pemerintahan

secara khusus yang disebabkan oleh berbagai pertimbangan politik, ekonomi, dan sejarah

melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Pelaksanaan

Syariat Islam, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dan

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kesemua Undang-

undang tersebut telah memberikan wewenang yang lebih luas kepada Pemerintah Aceh

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya termasuk memperluas komponen

sumber pendapatan daerah yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan perbelanjaan

pemerintahan dan pembangunan. Diantara sumber baru sebagai komponen pendapatan

daerah yang diperkenankan oleh undang-undang tersebut adalah hasil pungutan zakat.

Page 63: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

124

Provinsi Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan

merupakan wilayah dengan penduduk Islam yang hampir 100 persen telah menjadikan

zakat sebagai salah satu komponen penerimaan daerah disamping hasil pungutan pajak.

Sehingga upaya peningkatan pungutan zakat melalui efektifitas dan efesiensi pungutan

serta perluasan sumber zakat baru telah menjadi tumpuan dalam melaksanakan

pembangunan daerah akhir-akhir ini. Melihat kondisi daerah pada masa ini, sumber zakat

yang sangat potensial dijadikan sebagai salah satu primadona untuk meningkatkan

pungutan zakat oleh institusi formal pungutan zakat adalah bersumber dari zakat

pendapatan. Hal ini disebabkan karena struktur perekonomian Aceh pada saat ini telah

mulai menunjukkan peralihan dari sektor pertanian kepada sektor industri dan jasa.

Peningkatan persentase kontribusi sektor industri dan jasa terhadap Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB) Aceh dalam kurun waktu sepuluh tahun kebelakangan ini lebih

besar bila dibandingkan dengan kontribusi sektor pertanian. Secara persentase, kontribusi

sektor industri dan jasa dari tahun 2003 sampai 2012 meningkat secara rata-rata lebih dari

16 persen pertahun, sedangkan kontribusi sektor pertanian dalam kurun waktu tersebut

hanya meningkat sebesar lebih kurang 8-9 persen pertahun, walaupun secara keseluruhan

jumlah sumbangan sektor pertanian masih dominan bila dibandingkan dengan

sumbangan sektor lainnya terhadap PDRB Aceh. Peningkatan ini adalah sangat beralasan

karena jumlah penduduk Aceh yang bekerja di sektor industri dan jasa telah naik secara

signifikan dalam sepuluh tahun terakhir ini.

Potensi yang besar tersebut ternyata masih sangat berbanding terbalik dengan jumlah

pungutan yang dapat dikumpulkan oleh Baitulmal sebagai institusi formal pungutan

zakat. Walaupun jumlah zakat yang dapat dikumpulkan secara keseluruhan terus

menunjukkan peningkatan setiap tahunnya seperti yang dipublikasi dalam laporan

penerimaan dan distribusi dana zakat, infaq, dan shadaqah yaitu jumlah zakat yang dapat

dikumpulkan sebanyak Rp. 1,3 milyar pada tahun 2004, turun menjadi Rp. 1 milyar pada

tahun 2005, dan meningkat kembali pada tahun-tahun berikutnya menjadi sebesar Rp. 1,7

milyar pada tahun 2006, Rp. 2,8 milyar pada tahun 2007, Rp. 3,7 milyar pada tahun 2008,

Rp. 7 milyar pada tahun 2009 dan sebesar Rp. 9 milyar pada tahun 2010 dan terus

meningkat pada tahun 2011 dan 2012. Namun kalau dilihat jumlah pungutan zakat yang

disampaikan dalam laporan penerimaan dan distribusi dana zakat, infaq, dan shadaqah,

ternyata pembayaran zakat pendapatan sejauh ini hanya dominan diperoleh dari pegawai

negeri sipil. Itupun tidak seluruh pegawai negeri yang dikategorikan wajib zakat

pendapatan membayar melalui Baitulmal dengan berbagai alasan. Sedangkan zakat jasa

dari hasil pendapatan lain seperti pegawai swasta, jasa pengangkutan, penghasilan profesi

dan lain sebagainya masih sangat sedikit yang dapat dikumpulkan.

Beberapa kategori penghasilan masyarakat yang termasuk ke dalam usaha-usaha di

sektor jasa yang diwajibkan untuk membayar zakat pendapatan di Provinsi Aceh adalah

antara lain: 1) penghasilan dari usaha profesi. Sektor profesi ini diartikan sebagai

kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dengan kepakaran/keahlian dan menerima

imbalan dari jasa yang diberikan; 2) penghasilan dari usaha yang berkaitan dengan

institusi keuangan, baik perbankan maupun non perbankan. Sektor usaha ini akan

menghasilkan pendapatan berupa penghasilan jasa dalam menjalankan fungsinya sebagai

institusi penyaluran pinjaman; 3) penghasilan dari usaha jasa pengangkutan. Sektor ini

dimaksudkan sebagai usaha pemindahan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat

lainnya. Imbalan yang diterima dari aktivitas ini baik berupa upah atau ongkos

Page 64: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Zulkifli

125

dimasukkan ke dalam kategori penghasilan jasa; 4) penghasilan dari usaha jasa kontruksi

dan pengadaan barang. Sektor ini akan menghasilkan keuntungan dari proyek yang

dibina/dibangun atau barang yang disediakan kepada pemerintah, perusahaan atau orang

perseorangan lainnya; 5) penghasilan dari usaha jasa sewa menyewa. Seseorang yang

menjalankan aktivitasnya dengan menyewakan sesuatu dan mendapatkan penghasilan

dari usaha tersebut; 6) penghasilan dari pendapatan gaji dan upah, baik pegawai negeri,

pegawai perusahaan/swasta maupun buruh.

Sebenarnya potensi zakat yang sangat besar tersebut bukan saja dalam konteks Aceh,

namun secara nasional potensi zakat sebetulnya amatlah besar. Sebagai sebuah negara

yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan dari segi kuantitaspun merupakan

jumlah umat Muslim terbanyak di dunia, maka Indonesia tentunya mempunyai potensi

dana zakat yang sangat besar dan strategis. Apabila dilihat secara kumulatif dari

perolehan dana zakat, infaq, dan sedekah (ZIS) di seluruh Indonesia pada awal tahun

1990-an, dana ZIS yang terkumpul hanya sebesar Rp. 11 milyar, namun pada tahun 2000

meningkat kepada lebih dari Rp. 250 milyar. Sebuah jumlah yang cukup signifikan untuk

melaksanakan pembangunan dan pengentasan kemiskinan.

Walaupun potensi zakat demikian besar, dalam realitas yang ada sekarang perolehan

zakat dari sumber zakat pendapatan masih sangat sedikit yang dapat dikumpulkan.

Padahal kewajiban terhadap zakat pendapatan telah diputuskan wajib melalui fatwa

Majlis Ulama Indonesia (MUI) Aceh sejak tahun 1983. Hal ini disebabkan oleh berbagai

faktor yang antaranya berhubungan dengan kesediaan dan kepatuhan masyarakat

pembayar zakat untuk membayar zakat melalui institusi formal pungutan zakat

(Baitulmal). Bagi Provinsi Aceh, ketidakpatuhan para muzakki untuk membayar zakat

melalui Baitulmal merupakan bocoran dari penerimaan daerah karena sumber tersebut

merupakan komponen dari pendapatan asli Aceh.

Secara institusi pula, Baitulmal Aceh merupakan suatu institusi resmi yang didirikan

oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 18 tahun 2003 tentang

Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Baitulmal Provinsi Aceh dan selanjutnya

dalam Qanun No. 7 tahun 2004 disebutkan dalam pasal 15 bahwa Baitulmal mempunyai

tugas antaranya melakukan pendataan muzakki, pengumpulan zakat, pendataan mustahik,

dan pengagihan zakat. Selanjutnya Qanun ini direvisi dengan Qanun No. 10 tahun 2007

tentang Baitulmal.

Institusi-institusi pengelola harta agama di Provinsi Aceh memang telah berjalan

selama beberapa dekade, dengan nama yang telah berganti-ganti pula, namun

eksistensinya belum dapat diandalkan secara maksimal dalam mengelola harta agama

(Damanhur, 2006). Oleh karena itu, Rusjdi (2003) mengatakan bahwa untuk mencapai

institusi zakat yang ideal, perlu adanya penyelesaian terhadap berbagai kendala struktur,

teknologi, dan psikologis supaya dapat terwujudnya tujuan yang diharapkan. Selanjutnya,

menurut Marzi (2004) terdapat beberapa kendala yang telah diidentifikasi dalam

menjadikan zakat sebagai sumber pendapatan asli Aceh antaranya prestasi lembaga

pengelola zakat yang rendah, pemahaman masyarakat yang sempit tentang zakat dan

penegakan undang-undang zakat.

Secara umum, beberapa kendala, hambatan, dan tantangan yang dihadapi dalam

meningkatkan perolehan zakat termasuklah kurangnya kesadaran wajib zakat untuk

menunaikan kewajibannya dan masih sempitnya pandangan masyarakat terhadap

konsepsi fiqh zakat. Konsepsi fiqh zakat sangat perlu dikaji ulang karena konsepsi fiqh

Page 65: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

126

zakat yang ada belum merangkumi segala aspek yang terjadi pada zaman modern ini

seperti memperhitungkan tentang dana yang berdaya maju (seperti sektor industri dan

pelayanan jasa). Pemanfaatan sistem zakat yang berdaya maju atau al Mal al Mustafad

termasuk di dalamnya zakat pendapatan yang berhasil akan berkisar pada tiga persoalan,

yaitu; (1) kefahaman dan keyakinan terhadap konsep zakat al Mal al Mustafad ; (2)

fatwa/peraturan zakat dan (3) pemerintah/baitulmal/institusi zakat (Mujaini, 2000). Bagi

institusi zakat di Indonesia paling tidak ada dua permasalahan yang sampai kini masih

dihadapi, yaitu krisis kepercayaan dan profesionalisme (Nirwan, 1999).

Disamping itu, secara khusus dalam pengelolaan zakat di Aceh juga terdapat beberapa

permasalahan lain yang dihadapi antaranya bahwa pemahaman masyarakat tentang zakat

dapat dikatakan masih sangat rendah apabila dibandingkan dengan pemahaman mereka

tentang shalat, puasa, dan kewajiban syariat lainnya, konsep fikih zakat yang dipahami

dan dipelajari masyarakat pada saat ini dirasakan masih agak sempit sehingga perlu

diperluas supaya sesuai dengan kondisi sosiokultural dan dinamika perkembangan

perekonomian serta masih adanya kelemahan dalam aspek sumber daya manusia

pengelola zakat. Permasalahan-permasalahan ini tentu pada akhirnya akan mempengaruhi

kinerja institusi zakat dalam upayanya untuk memaksimumkan hasil pungutan zakat

berdasarkan potensi yang ada. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai langkah strategis

dalam rangka meminimumkan permasalahan yang ada dan disisi lain akan mampu

meningkatkan pungutan zakat sebagai penerimaan daerah yang nantinya akan dapat

dipergunakan untuk percepatan pemberantasan kemiskinan di Aceh.

BUKTI EMPIRIK

Fenomena hasil pungutan zakat yang rendah bila dibandingkan dengan potensi yang

ada diantaranya disebabkan karena rendahnya tahap kesediaan masyarakat untuk

melakukan pembayaran melalui institusi formal pungutan zakat. Masyarakat cenderung

melakukan pembayaran zakat secara langsung kepada asnaf penerima seperti kebiasaan

yang telah mereka lakukan pada masa sebelum adanya peraturan atau qanun yang

mewajibkan masyarakat untuk membayar zakat melalui Baitulmal. Sesuai dengan Qanun

Aceh, apabila masyarakat tidak membayar atau mengelak membayar zakat melalui

Baitulmal maka hal ini dapat dikatakan sebagai bocoran penerimaan pendapatan daerah

karena hasil pungutan zakat telah dijadikan sebagai salah satu komponen penerimaan

pendapatan daerah. Oleh karena itu, seandainya pemerintah ingin meningkatkan jumlah

perolehan pendapatan daerah melalui pungutan zakat, maka perlu dijalankan berbagai

strategi yang efektif di masa yang akan datang. Agar dapat menentukan strategi apa yang

sesuai untuk diimplementasikan maka perlu diteliti terlebih dahulu berkenaan dengan

faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi tingkat kesediaan atau perilaku kepatuhan

masyarakat untuk membayar zakat melalui Baitulmal.

Pembahasan mengenai perilaku kesediaan atau kepatuhan masyarakat sebetulnya

merupakan hal yang sangat kompleks, karena ianya menyangkut berbagai dimensi seperti

dimensi ilmu ekonomi, sosiologi, dan psikologi. Oleh karena itu, adalah sesuatu yang

penting dan logik apabila diandaikan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dalam

ilmu-ilmu tersebut mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung kepada perilaku

kepatuhan masyarakat untuk membayar zakat melalui Baitulmal.

Sehubungan dengan itu, maka sebelum menentukan mengenai strategi pungutan zakat

terlebih dahulu dalam tulisan ini akan dibahas tentang model perilaku kepatuhan

Page 66: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Zulkifli

127

masyarakat. Model perilaku kepatuhan ini didasarkan pada teori-teori perilaku yang telah

dipergunakan dalam mengkaji dan menentukan langkah-langkah pengelolaan perpajakan.

Teori-teori ini tentunya perlu disesuaikan dengan prinsip dan kaedah-kaedah Islam,

sehingga pengadopsian teori-teori tersebut tidak bertentangan atau akan selaras dengan

filosofi mengapa zakat itu wajib. Hal ini penting, karena walaupun zakat dan pajak

mempunyai persamaan karena berhubungan dengan kewajiban di bidang harta, namun

keduanya mempunyai perbedaan yang sangat besar. Berdasarkan falsafah, keduanya

sebenarnya terdapat perbedaan yang signifikan antara kepatuhan zakat dan pajak.

Kepatuhan pajak berkaitan dengan kepuasan jasmani (keduniawian) masyarakat semata-

mata, sedangkan kepatuhan zakat pula tidak saja berkaitan dengan kepuasan jasmani

tetapi juga berkaitan dengan ibadah atau kerohanian. Oleh karena itu, model perilaku

kepatuhan zakat perlu disesuaikan dengan memasukkan falsafah zakat yaitu sebagai suatu

kewajiban yang ditetapkan dalam ajaran Islam.

Pembentukan Model Perilaku Kepatuhan Zakat

Dalam membentuk model perilaku kepatuhan zakat, akan dikembangkan suatu model

berdasarkan kepada model kepatuhan yang telah ada dalam literatur pajak. Langkah

pertama adalah melakukan pengembangan secara teoritis ke atas model perilaku

kepatuhan pajak yaitu dengan memperhitungkan berbagai aspek dimensi ilmu yang

berkaitan dengan perilaku. Hal ini adalah penting karena pembahasan mengenai perilaku

kepatuhan masyarakat sebetulnya merupakan hal yang sangat komplek, ianya

menyangkut berbagai dimensi seperti dimensi ilmu ekonomi, sosiologi, dan psikologi.

Selanjutnya model yang telah dikembangkan tersebut disesuaikan dengan memasukkan

prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam yang akhirnya akan diperoleh suatu model kepatuhan

masyarakat dalam membayar zakat melalui institusi formal pungutan zakat. Kerangka

kerja pembentukan model kepatuhan zakat adalah seperti berikut:

Gambar 1. Kerangka kerja pembentukan model perilaku kepatuhan zakat.

Model kepatuhan dan ketidakpatuhan (pengelakan) pajak didasari kepada teori

ekonomi yang dikenal dengan teori masyarakat rasional (Hite, 1987). Model ini pertama

sekali diperkenalkan oleh Allingham dan Sandmo (1972), kemudian dikembangkan oleh

Srinavasan (1973), Yitzhaki (1974), Watanabe (1987), Borck (2004), Hindriks dan Myles

(2006), Chorvat (2007), Galbiati dan Zanella (2008) dan Tuzova, Y (2009). Berdasarkan

teori masyarakat rasional, bahwa masyarakat pembayar pajak akan memaksimumkan

kepuasannya dengan kendala kepada biaya yang perlu dikeluarkan dalam pembuatan

sesuatu keputusan apakah dia patuh atau mengelak dalam membayar pajak. Biaya yang

terlibat ditimbulkan oleh faktor denda dan kemungkinan ditangkap oleh pihak berwajib.

Pembayar pajak akan melihat tindakan pengelakan pajak yang mereka lakukan dari sudut

keuntungan atau kerugian yang bakal mereka peroleh yang bermakna bahwa keputusan

yang diambil turut melibatkan resiko berupa hukuman atau denda (Allingham & Sandmo,

1972; Srinivasan, 1973).

Model Perilaku

Kepatuhan Pajak

(tax compliance

model)

Prinsip dan

Nilai-nilai

Islam

(Islamic value)

Model Perilaku

Kepatuhan Zakat

(zakat compliance

model)

Page 67: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

128

Untuk memaksimumkan kepuasannya, pembayar pajak akan melaporkan pendapatan

mereka dalam jumlah serendah mungkin ataupun tidak melaporkan sama sekali, tindakan

itu berhadapan dengan resiko kemungkinan dapat diketahui dan dihukum/didenda oleh

pihak berwajib. Apabila tindakan pengelakan pajak yang dilakukan tidak diketahui dan

ditangkap oleh pihak berkuasa maka pembayar pajak akan terus melakukan pengelakan

pajak. Sebaliknya, apabila kelakuannya dapat dideteksi dan ditangkap maka pembayar

pajak akan mengalami kerugian karena penalti atau denda yang terpaksa dibayar kepada

pemerintah.

Berdasarkan model yang dibentuk oleh Allingham dan Sandmo (1972), pembayar

pajak akan memilih apakah membayar atau mengelak membayar pajak dengan prediksi

kepuasan yang maksimumnya sebagai berikut:

E(U) = ( 1 – p ( w – x )) U( Ync ) + p ( w – x ) U( Yc )

Di mana, U (Ync) adalah kepuasan yang diperoleh dari pendapatan Y dengan asumsi

bahwa pengelakan pajak tidak dapat dideteksi atau ditangkap dan U (Yc) adalah kepuasan

pembayar pajak apabila ianya dapat didekteksi dan ditangkap/dikenakan denda, dan p (w

– x) adalah kemungkinan dapat diketahui oleh pihak berwajib. Apabila w adalah

pendapatan aktual (actual income), x adalah pendapatan yang dinyatakan (declared

income), t adalah kadar pajak yang dikenakan dan F adalah penalty/hukuman yang

dikenakan, maka kendala untuk pemaksimuman kepuasan atau maksimum utiliti

pembayar pajak akan dapat ditulis persamaan sebagai berikut:

Ync = w – t(x)

Yc = ( 1 – t ) w – F t ( w – x )

Dengan memasukkan persamaan (2) dan (3) sebagai kendala (constraint) ke dalam

persamaan (1), maka diperoleh persamaan berikut :

Max E(U) = [( 1–p(w–x) ) U ( w–t(x) )] + [p(w–x) U ( w-t(w) – F ( t(w)-t(x) )]

Max E(U) = [ (U (w–t(x) ) – p(w–x) U (w–t(x) ) ]

+ [ p(w–x) U (w-t(w) – F ( t(w)-t(x) )]

Di mana, F ( t(w)-t(x) ) adalah merupakan total penalti/denda yang akan dikenakan

apabila perbuatan mengelak pajak dapat diketahui. Dengan demikian, dari persamaan (4)

atau (5), diperoleh First Order Condition (FOC) sebagai berikut:

(X)

E(U)

= [- (1-p) U’ [w-t(x)] t’(x)] + [p U’ [(1-t)w-Ft(w-x)] (F) t’(x)] = 0

atau dapat ditulis;

)('1

)(Y' c

ncYpU

pU

= (F)

Dari persamaan (7) dapat didefinisikan bahwa kemungkinan masyarakat mengelak

membayar pajak kepada pemerintah ()('1

)(Y' c

ncYpU

pU

) adalah tergantung kepada beban

hukuman/penalti (F) yang akan dikenakan apabila perbuatan mengelak pajak yang

dilakukan dapat diketahui dan diambil tindakan oleh pemerintah. Selanjutnya, Watanabe

(1987) telah mengembangkan persamaan (7) ini dengan menambah beberapa variabel

Page 68: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Zulkifli

129

yang relevan seperti memasukkan variabel biaya yang dikeluarkan dalam melakukan

pengelakan pajak (r). Dengan demikian, persamaan (7) dapat ditulis menjadi:

)('1

)(Y' c

ncYpU

pU

= (F + r)

Untuk memenuhi persyaratan fungsi yang maksimum, maka Second Order

Conditions dari persamaan (6) dapat ditulis sebagai berikut :

2

2

(X)

E(U)

= ( 1 – p ) { U”[Ync] ( t’(x) )2 - U’[Ync] t”(x) } +

p { U”[Yc] ( (1-F) t’(x) )2 - U’[Yc] (F-1) t”(x) } < 0

Dari persamaan (6) hingga (8), diperoleh bahwa kepuasan maksimum bagi

masyarakat yang melakukan pengelakan pajak dengan menyatakan pendapatan (declared

income = x) yang lebih rendah daripada pendapatan aktual (actual income = w) atau [Ync

= w – t(x)] adalah tergantung kepada seberapa besar total beban hukuman/penalti yang

dikenakan {F(t(w)-t(x))} jika perbuatannya diketahui dan juga seberapa besar biaya yang

harus dikeluarkan bagi melakukan pengelakan pajak tersebut. Masyarakat dikatakan akan

patuh membayar pajak apabila ia merasa beban penalti yang diterima adalah lebih berat

sehingga menurunkan tingkat kepuasannya, demikian juga sebaliknya apabila total beban

hukuman/penalti yang diterima lebih ringan maka masyarakat cenderung akan mengelak

membayar pajak.

Apabila hal ini dikaitkan dengan permasalahan kepatuhan dan ketidakpatuhan

(pengelakan) zakat (baca = kepada institusi formal/baitulmal), maka sebetulnya

pematuhan dan pengelakan zakat tidak hanya tergantung kepada beban fisik atau materi

seperti beban hukuman/penalti dalam model pengelakan pajak semata-mata, tetapi lebih

menyeluruh/komperehensif yang mencakup materi atau fisik dan juga mental atau

kerohanian. Hal ini disebabkan karena zakat merupakan perintah agama yang secara

konseptual merupakan satu entitas yang berbeda dengan pajak. Oleh karena itu, adalah

logik apabila kita menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pematuhan dan

pengelakan zakat perlu dibahas secara luas yang mencakup serta memperhitungkan faktor

fisik/materi, mental, spiritual atau prinsip-prinsip agama sekaligus. Justru itu, kita perlu

mengembangkan pemikiran teoritis untuk membentuk suatu model konseptual kepatuhan

zakat berlandaskan teori-teori perilaku baik dari aspek ekonomi, sosiologi maupun

psikologi yang telah ada dengan menyesuaikan dan memasukkan prinsip-prinsip Islam

yang lebih luas.

Landasan Teori Model Perilaku Kepatuhan Zakat

Model pengelakan pajak yang telah dibahas diatas berlandaskan kepada teori rasional

dalam ilmu ekonomi. Berdasarkan teori tersebut, bahwa prinsip rasional hanya diasaskan

kepada kepuasan fisik/materi (keduniawian) saja. Rasionalisme didefinisikan sebagai

suatu proses memaksimumkan sesuatu kehendak berdasarkan kepada satu set kendala

(constraint). Definisi seperti ini menurut Kahf (1983) perlu ditafsirkan kembali jika

istilah yang sama ingin dipergunakan dalam ilmu ekonomi Islam karena istilah tersebut

masih agak kabur sebab sebarang masalah bisa dirasionalkan dengan merujuk kepada

satu set aksiom atau prinsip tertentu. Oleh karena itu, sesuai dengan prinsip Islam maka

asas kepada rasional sememangnya bukan saja kepuasan fisik tetapi juga kepuasan

Page 69: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

130

rohani. Terlebih lagi yang berkaitan dengan zakat yang merupakan ibadah atau perintah

agama. Untuk memahami konsep rasionalisme bagi masyarakat Muslim, maka ruang

lingkup kehidupannya untuk menikmati kepuasan perlu diperluas kepada dua dimensi,

yaitu kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat. Apapun tindakannya akan memberi

pengaruh kepada kesejahteraan atau kebajikannya dalam kedua-dua alam kehidupan

tersebut. Maka perilakunya dalam memilih suatu bentuk keputusan yang bisa mencapai

satu tingkat tertinggi nilai kini kepuasan (present values of his satisfaction) melalui

kebajikan kehidupan dunia dan akhirat (Kahf, 1995). Dengan demikian, masyarakat

Muslim masih bertindak secara rasional apabila ia melepaskan sebagian penggunaan

pribadi atau penggunaan ekonominya demi membelanjakan hartanya untuk kepentingan

masyarakat dan agama Islam. Ia rela berbuat demikian untuk meningkatkan kepuasannya

yang lebih menyeluruh yaitu kepuasan yang merangkumi kepuasan fisik (materi) dan

kepuasan rohani.

Bukti orang-orang Islam mencari jalan untuk memaksimumkan kepuasan fisik/materi

dan juga kepuasan kerohanian telah difirmankan oleh Allah S.W.T di dalam Al-Quran

Surah Al-Baqarah ayat 201, yang bermaksud; “Dan di antara mereka pula ada yang

(berdoa dengan) berkata : Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan

kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari azab Neraka”. Dengan demikian, dalam

memaksimumkan kepuasannya, selain faktor eksternal seperti pemberlakuan undang-

undang (qanun) dengan mencantumkan denda dan penalti yang jelas dan tegas, seorang

Muslim juga tidak terlepas dengan pengaruh faktor internal seperti keimanan dan moral

(akhlak). Hal ini juga selaras dengan teori kognitif dalam ilmu psikologi dan perspektif

normatif dalam ilmu sosiologi, kedua teori ini menyatakan bahwa faktor penentu

kepatuhan adalah tergantung kepada keadilan dan moral pribadi seseorang.

Selanjutnya dari aspek sosiologi, antara faktor yang bisa mempengaruhi perilaku

masyarakat dikatakan karena pengaruh lingkungan. Teori ilmu sosiologi yang berkaitan

dengan aspek perilaku dikenal dengan Reference Group Theory. Menurut Cartwright dan

Zander (1968), Reference Group Theory didefinisikan sebagai suatu kelompok (group)

yang dijadikan referensi atau rujukan oleh para anggotanya dalam berkelakuan terhadap

sesuatu hal. Menurut teori ini, masyarakat yang menjadi anggota kelompok akan

berusaha untuk mempertahankan keanggotaannya dengan mengikuti perilaku kelompok

yang dijadikan rujukannya.

Selanjutnya, Spicer dan Lundstedt (1976) menyatakan bahwa adalah logik untuk

menganggap hubungan seseorang dengan masyarakat di lingkungannya atau masyarakat

lain seperti sahabat, saudara, rekan sekerja, dan kenalan sebagai bagian dari kelompok

rujukan pembayar pajak. Dalam konteks ini, pematuhan atau pengelakan pajak oleh

seseorang akan terjadi apabila kelompok yang dijadikan referensi oleh masyarakat

tersebut membenarkan berlakunya pematuhan atau pengelakan pajak (Vogel, 1974;

Wallschutzky, 1984; Weigel, et al,. 1987).

Bagi masyarakat Muslim, standar dalam kelompok rujukan perlu diperhitungkan

kesesuaian dengan prinsip-prinsip Islam. Apabila standar dalam kelompok rujukan

bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam atau syariah maka sepatutnya standar tersebut

tidak akan dijadikan rujukan oleh anggota kelompok tersebut. Justru itu, faktor

kefahaman, kepercayaan dan keimanan akan menentukan perilaku kepatuhan seseorang

apakah mengikuti kelompok maupun tidak.

Page 70: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Zulkifli

131

Dari sisi ilmu psikologi pula, teori yang sering dipergunakan dalam menentukan

perilaku pematuhan dan pengelakan pajak adalah Teori Pertukaran (Exchange Theory).

Teori pertukaran berdasarkan kepada pertimbangan psikologi manusia yang terpengaruh

oleh prediksi kompensasi yang akan diperoleh dari keputusan yang dibuat. Dikatakan

perilaku pembayar pajak mempunyai hubungan yang erat dengan prediksi kompensasi

yang akan diterima dari pemerintah sebagai bentuk pengorbanan atas sebagian dari

pendapatan mereka untuk menjalankan tanggungjawab membayar pajak. Kompensasi ini

berupa penyediaan fasilitas umum oleh pemerintah dari hasil pajak yang dipungut. Dalam

hal ini, masyarakat pembayar pajak menginginkan pemerintah bertingkahlaku efektif,

efesien, transparan, dan bijak dalam membelanjakan uang mereka, sedangkan pemerintah

pula perlu menjaga tingkat kepuasan pembayar pajak sehingga mereka terus patuh

kepada undang-undang perpajakan. Jika harapan pembayar pajak tidak terwujud, maka

pembayar pajak tidak akan meneruskan hubungan pertukaran sehingga mereka akan

mengelak dari membayar pajak.

Apabila teori ini diperluas dengan memasukkan prinsip-prinsip agama sememangnya

kompensasi atau ganjaran yang diharapkan sebagai balasan dari kesediaan masyarakat

mengorbankan sebagian hartanya seperti untuk membayar zakat bukan saja berupa

ganjaran fisik (material) keduniawian tetapi juga berupa ganjaran kerohanian (pahala)

yaitu untuk mencapai al-falah. Hal semacam ini juga diakui oleh pemikir-pemikir

konvensional yang menyatakan bahwa ciri utama kelakuan bermoral didorong oleh faktor

internal yang tidak menghiraukan balasan material pada diri sendiri. Antara ciri kelakuan

bermoral juga berupa pengorbanan dan kesanggupan mengetepikan kesenangan (denial

of pleasure) demi mempertahankan prinsip moral berkenaan (Kamil, 2002). Dalam Islam,

pengekangan kesenangan dan pengorbanan harta benda dan jiwa raga semata-mata hanya

untuk mendapatkan ganjaran yang dijanjikan oleh Allah SWT. Firman Allah dalam surah

Ash-Shaff, ayat 11-12 yang bermaksud “(iaitu) kamu beriman kepada Allah dan

RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik

bagimu, jika Mengetahui (11). Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan

memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan

(memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah 'Adn. Itulah

keberuntungan yang besar (12)”.

Dalam teori psikologi yang lain, perilaku pematuhan dan pengelakan pajak juga

dikatakan dipengaruhi oleh kefahaman dan pengetahuan masyarakat terhadap bidang

berkenaan. Apabila masyarakat telah memahami dan mempunyai pengetahuan tentang

pajak baik mengenai fungsi maupun kegunaan pajak yang dibayarkan, maka akan

mempengaruhi psikologi masyarakat dalam meningkatkan kepatuhannya untuk

membayar pajak. Hal seperti ini dikenal sebagai Teori Penyumbang (Attribution Theory).

Menurut Hite (1987), asumsi yang digunakan dalam teori penyumbang adalah bahwa

masyarakat biasanya akan menginterpretasi dan menganalisa sesuatu kejadian secara

rasional untuk memahami struktur penyebab kejadian tersebut. Penyebab berlakunya

sesuatu kejadian memainkan peranan penting dalam menentukan reaksi dan perilaku

masyarakat terhadap sesuatu kejadian (Arrington dan Reckers, 1985). Dengan arti kata

lain, sikap yang terbentuk dari pengetahuan dan pemahaman kepada faktor-faktor

dilingkungannya akan mempengaruhi seseorang untuk bertindak apakah mematuhi atau

mengelak melakukan sesuatu.

Berdasarkan beberapa teori perilaku seperti yang telah disebutkan di atas, maka

apabila kita membahas mengenai perilaku kepatuhan niscaya kita tidak bisa hanya

Page 71: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

132

mengedepankan satu aspek ilmu pengetahuan saja. Perilaku kepatuhan berkaitan erat

antara beberapa disiplin ilmu seperti ekonomi, sosiologi, dan juga psikologi. Oleh yang

demikian, maka perilaku kepatuhan zakat diyakini dipengaruhi oleh berbagai variabel

yang kompleks. Justru itu, perlu dibentuk suatu model konseptual berpandukan

permasalahan dan teori-teori perilaku dalam literatur di atas.

Dari uraian mengenai teori perilaku yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan

bahwa perilaku pematuhan dan pengelakan zakat tidak hanya tergantung kepada

hukuman jika adanya pemberlakuan undang-undang (qanun) dengan adanya ancaman

hukuman, tetapi juga tergantung kepada berbagai faktor lain seperti komitmen kepada

agama/keimanan (Iman), kefahaman/pengetahuan tentang zakat, kemudahan mekanisme

pembayaran yang disediakan oleh institusi formal pungutan zakat, kepercayaan kepada

institusi formal pungutan zakat, persepsi sistem pajak (sistem pajak yang masih

memberatkan pembayar zakat karena beban ganda), dan pengaruh lingkungan. Faktor-

faktor tersebut diprediksi akan mempengaruhi perilaku masyarakat apakah membayar

zakat melalui institusi formal pungutan zakat (Baitulmal), membayar zakat secara

langsung kepada asnaf penerima ataupun tidak membayar kepada pihak manapun.

Dengan demikian, apabila model pengelakan pajak dalam persamaan (1) dimodifikasi

dengan menambah serta memasukkan beberapa variabel yang telah diidentifikasi

tersebut, maka dapat dibentuk suatu model persamaan pematuhan dan pengelakan zakat

kepada institusi formal pungutan zakat sebagai berikut:

E(U) = [ 1 – ρ (α - z(α)) U(Ztb ) ] + [ ρ (α - z(α)) U(Zb) ]

Dimana, U(Ztb) adalah kepuasan yang diperoleh apabila tidak membayar zakat

melalui institusi formal pungutan zakat dan U(Zb) adalah kepuasan pembayar zakat

apabila melakukan pembayaran melalui institusi formal pungutan zakat (Baitulmal), ρ(α-

z(α)) adalah kemungkinan membayar zakat melalui Baitulmal, α adalah jumlah

pendapatan wajib zakat, z adalah kadar zakat dan z(α) adalah jumlah zakat yang

dikeluarkan kepada Baitulmal. Dengan demikian, apabila ρ(α-z(α))=0 berarti bahwa

masyarakat tidak membayar zakat melalui Baitulmal tapi ada kemungkinan membayar

zakat melalui saluran lainnya atau tidak membayar zakat sama sekali.

Selanjutnya apabila faktor yang telah diidentifikasikan dalam model konseptual di

atas yaitu faktor pemberlakuan undang-undang/qanun (β1); komitmen kepada

agama/keimanan (β2); kefahaman/pengetahuan zakat (β3); kemudahan mekanisme

pembayaran (β4); kepercayaan kepada institusi formal pungutan zakat (β5); persepsi

sistem pajak (β6); dan pengaruh lingkungan (β7); dimasukkan ke dalam model, maka

kendala dalam pemaksimuman kepuasan masyarakat pembayar zakat melalui institusi

formal adalah seperti persamaan berikut:

Zb = α – z (α)

Ztb = ( 1 – z ) α – ((β1 + β2 + β3 + β4 + β5 + β6+ β7)( α – z (α)))

Atau persamaan (10) dapat ditulis;

Max E(U) = [1–ρ(α-z(α)) U [(α–z(α)) - ((β1 + β2 + β3 + β4 + β5 + β6+ β7)(α – z (α))) ] +

[ ρ (α - z(α)) U(( 1 – z ) α ]

Page 72: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Zulkifli

133

Di mana, β1 ; β2 ; β3 ; β4 ; β5 dan β6 merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi

individu untuk patuh atau mengelak membayar zakat melalui Baitalmal. Dengan

demikian, dari persamaan (13), diperoleh First Order Condition (FOC) sebagai berikut :

)(

E(U)

= {[ -( 1 – ρ ) U ’ ( α – z(α) ) – [ [((β1 + β2 + β3 + β4 + β5 + β6+ β7)(α – z

(α)))].

(β1 + β2 + β3 + β4 + β5 + β6+ β7)]z’(α)} + {ρ U’(1-z)α – z’(α)} = 0

atau,

{ ρ U’ [Zb] z’(α) } = {( 1 – ρ ) U’ [Ztb] (β1 + β2 + β3 + β4 + β5 + β6+ β7) z’(α) }

Dengan bentuk lain, persamaan (15) dapat ditulis sebagai berikut :

)('1

)(Z' b

tbZU

U

= (β1 + β2 + β3 + β4 + β5 + β6+ β7)

Di mana, )

b

('1

)(Z'tbZU

U

adalah kemungkinan masyarakat membayar zakat melalui

institusi formal pungutan zakat (Baitulmal) dalam rangka memaksimumkan kepuasannya.

Bentuk kemungkinan seperti ini, yaitu apakah seseorang membayar zakat melalui

institusi formal atau Baitulmal (Zb) maupun tidak membayar melalui Baitulmal (Ztb) atau

membayar melalui saluran lain seperti membayar secara langsung kepada asnaf

penerima, melalui ulama ataupun melalui institusi non formal seperti melalui pengurus

mesjid-mesjid, maka dapat dianalisis dengan menggunakan metode regresi logistik

multinomial. Model logit dengan variabel bebas yang banyak seperti diatas telah pernah

dipergunakan oleh Gaiha (1985) dalam penelitiannya mengenai kemiskinan di India.

Model dalam persamaan 16 juga dikembangkan dengan memasukkan beberapa variabel

demografi yang dianggap mempengaruhi variabel terikat seperti jenis kelamin, umur, dan

tingkat pendidikan responden.

Analisis Model Empiris

Sebelum dilakukan analisis terhadap model kepatuhan dan pengelakan zakat, terlebih

dulu dilakukan pilot test untuk menguji apakah konstruk yang dibuat telah reliabel dan

valid. Hasil Uji reliability dan validity terhadap setiap konstruk yang dibuat dalam

penelitian ini menunjukkan nilai Crombach Alpha berkisar antara 0,616 hingga 0,870.

Nilai Crombach Alpha ini merupakan petunjuk bagi kaedah internal consistency yaitu

nilai derajat interkorelasi antara satu item dengan item lain dalam mengukur variabel

yang sama. Semakin tinggi nilai Crombach Alpha semakin tinggi tingkat korelasi antara

satu item dengan item lainnya dalam suatu konstruk variabel berkenaan. Dengan

demikian, hasil pilot test mengenai reliability tersebut yang diuji dapat disimpulkan pada

tahap yang bisa diterima (≥ 0,60) hingga sangat baik (≥ 0,80).

Selanjutnya, mengenai uji validity terhadap setiap variable dalam konstruk diperoleh

nilai KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) antara 0,554 hingga 0,818 dan semua konstruk

melewati ujian Bartlett’s test of sphericity yang berarti bahwa matrik korelasi adalah

bukan matrik identitas. Hal ini dapat dilihat pada nilai Chi-square yang tinggi antara

Page 73: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

134

41,079 dan 1426,163 dengan tahap yang signifikan (sig=0,000). Nilai KMO yang

demikian menandakan bahwa ukuran kecukupan persampelan berada pada kisaran bisa

diterima/biasa (≥ 0,50) hingga membanggakan (≥ 0,80). Namun secara umum, nilai

KMO berada pada tingkat lebih dari biasa (sekitar 0,70). Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa penggunaan analisis faktor untuk menguji validitas konstruk adalah

sesuai dan ukuran kecukupan sampel adalah mencukupi. Dengan demikian, selanjutnya

dilakukan analisis faktor dengan menggunakan prosedur Principal Component Analysis

(PCA) dan varimax rotation. Dari analisis faktor diperoleh bahwa semua konstruk

mempunyai dimensi/faktor komponen lebih dari satu, yaitu antara dua hingga tiga

dimensi, kecuali variabel β2. Namun berdasarkan uji lanjut dengan menggunakan kaedah

analisis korelasi pair-wise diperoleh bahwa konstruk-konstruk tersebut mempunyai

korelasi yang signifikan di antara satu dimensi dengan dimensi lainnya. Dengan

demikian, walaupun semua variabel mempunyai lebih dari satu dimensi/komponen,

namun konstruk tersebut masih berada dalam konsep dasar. Oleh karena itu, maka model

yang dibuat (persamaan 16) dapat diuji dengan menggunakan regresi logistik

multinomial.

Sebelum uji penuh dengan analisis regresi logistic multinomial dilakukan terhadap

model yang dibuat, maka terlebih dulu dilakukan uji klasifikasi untuk variabel terikat

yang telah ditentukan dalam model tersebut. Hal ini penting untuk memastikan apakah

pengklasifikasian tersebut telah sesuai ataupun tidak sehingga analisis regresi logistic

multinomial dapat dilakukan terhadap model. Pengklasifikasian pembayaran zakat

ditentukan berdasarkan kepada lima item yang biasa digunakan sebagai saluran

pembayaran zakat oleh masyarakat Aceh dalam rangka menunaikan kewajiban zakatnya,

yaitu angka 1 diberikan untuk masyarakat yang tidak membayar zakat, angka 2 diberikan

untuk masyarakat yang membayar secara langsung kepada asnaf penerima, angka 3

diberikan kepada masyarakat yang membayar melalui ulama atau pemuka agama

setempat, angka 4 diberikan kepada masyarakat yang membayar melalui pengurus mesjid

atau organisasi non formal, angka 5 diberikan kepada masyarakat yang membayar

melalui Baitulmal.

Hasil uji pengklasifikasian secara keseluruhan (overall classification result) terhadap

konstruk variabel terikat menunjukkan pengklasifikasian item variabel terikat tersebut

tidak sesuai. Dengan kata lain, hasil penelitian menunjukkan analisis regresi logistik

multinomial tidak sesuai digunakan untuk menguji model yang telah dibuat. Persentase

benar (percent correct) dari klasifikasi item pembayaran zakat di Aceh yang mempunyai

persentase tertinggi hanyalah pada item pembayaran zakat secara langsung kepada asnaf

(83,7%) dan item pembayaran melalui Baitulmal (32,1%). Sedangkan item tidak

membayar zakat, bayar melalui ulama atau pemuka agama dan bayar melalui institusi

non formal mempunyai nilai percent correct yang kecil, yaitu masing-masing 5,7% dan

0,0%. Dengan demikian, maka perlu dilakukan pengklasifikasian ulang terhadap item

konstruk tersebut yaitu 3 item yang persentase betulnya kecil akan diklasifikasikan

kembali dengan memasukkan ke dalam satu kategori jawaban yaitu tidak membayar

melalui Baitulmal sehingga variabel terikat hanya terdapat 2 item jawaban yaitu 1 bagi

Page 74: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Zulkifli

135

yang membayar melalui Baitalmal dan 0 bagi yang tidak membayar melalui Baitulmal.

Oleh karena itu, regresi logistik yang sesuai digunakan untuk menganalisis model

kepatuhan dan pengelakan zakat adalah regresi logistik binomial.

Analisis Regresi Logistik Binomial

Untuk menganilisis regresi logistik binomial digunakan data sebanyak 452 responden

yaitu individu yang telah wajib zakat pendapatan berdasarkan qanun Aceh. Hasil uji

terhadap model prilaku kepatuhan zakat dengan menggunakan skor tunggal untuk

masing-masing variabel diperoleh bahwa model yang diuji mempunyai kebagusan

padanan dengan data. Secara keseluruhan hubungan antara variabel terikat dan variabel

bebas diperoleh pada tingkat yang agak rendah, yaitu dengan nilai cox and snell (R2 =

0,202) dan nagelkerke (R2 = 0,278). Selanjutnya, nilai chi-square pada uji Hosmer and

Lemeshow diperoleh sebesar 4,731 (df=8) yaitu dengan nilai signifikan (sig. 0,786).

Adapun hipotesis yang dibentuk terhadap uji Hosmer and Lemeshow adalah; hipotesis

null; bahwa tidak terdapatnya perbedaan di antara data empiris dengan model penelitian

dan hipotesis alternatifnya adalah bahwa terdapatnya perbedaan di antara data empiris

dengan model penelitian. Di samping itu, model yang diuji juga dapat menprediksi

ramalan hasil pada tingkat yang agak tinggi yaitu lebih daripada 70 persen. Ini dapat

dilihat pada tabel klasifikasi yang menunjukkan tingkat ramalan betul secara keseluruhan

(Overall Percentage) mengenai kepatuhan adalah 73,90 persen. Setelah diuji model

berkaitan dengan kebagusan padanan dan keterkaitan antara variabel terikat, selanjutnya

dilakukan analisis regresi logistik terhadap model. Hasil analisis regresi logistik dapat

dilihat pada Tabel 1 berikut:

Tabel. 1. Hasil analisis regresi logistik model perilaku kepatuhan zakat

β S.E. Wald df Sig. Exp(β)

Jenis Kelamin -.491**) .236 4.320 1 .038 .612

DU1 1.215***) .277 19.210 1 .000 3.371

DU2 .497*) .284 3.061 1 .080 1.644

DU3 .268 .335 .641 1 .423 1.307

DU4 -.754 .664 1.292 1 .256 .470

Pendidikan -.193*) .116 2.777 1 .096 .824

DP1 -.786**) .392 4.025 1 .045 .456

DP2 -.481 .426 1.276 1 .259 .618

DP3 -.307 .511 .361 1 .548 .735

DP4 -.849 .617 1.895 1 .169 .428

β1 .410**) .205 4.019 1 .045 1.508

β2 .232*) .135 2.959 1 .085 1.261

β3 -.903***) .250 13.025 1 .000 .405

β4 .312*) .177 3.111 1 .078 1.366

β5 .057 .195 .086 1 .769 1.059

β6 -.904***) .227 15.859 1 .000 .405

β7 .599***) .186 10.371 1 .001 1.821

Constant 1.295 1.397 .859 1 .354 3.650

*) signifikan pada α<10%; **) signifikan pada α<5% dan ***) signifikan pada α <1%.

Page 75: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

136

Berdasarkan hasil analisis regresi logistik terhadap model yang telah dibentuk

diperoleh bahwa variabel demografi (jenis kelamin, dummy umur (DU), tingkat

pendidikan dan tingkat pengeluaran/dummy perbelanjaan/DP responden), variabel

keimanan, kemudahan fasilitas, persepsi sistem pajak, pengetahuan dan pengaruh

lingkungan mempengaruhi perilaku pematuhan zakat dengan tingkat signifikansi antara α

<1% hingga α <10%.

Jenis kelamin responden memberi pengaruh yang berbeda kepada kepatuhan zakat.

Tingkat kepatuhan perempuan adalah lebih tinggi dibandingkan laki-laki dan signifikan

pada aras 5%, yaitu dengan nilai koefisien jenis kelamin menunjukkan tanda negatif (-

0,491). Yang bermakna bahwa peningkatan nilai ke arah 1 (laki-laki) menyebabkan

berkurangnya log nisbah “odds” kemungkinan kepatuhan zakat. Berkaitan dengan umur

responden, hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang lebih muda mempunyai

tahap kesediaan dan kepatuhan yang agak baik untuk membayar zakat melalui Baitulmal.

Sepatutnya, peningkatan umur responden akan dapat meningkatkan kefahaman dan

kesediaan membayar zakat. Namun, kenyataannya di Aceh, mereka yang lebih berumur

lebih tinggi kecenderungannya membayar zakat secara langsung kepada asnaf. Kebiasaan

ini telah dilakukan sejak sebelum pemberlakuan qanun zakat. Sehingga pemahaman

mereka cenderung menurut kelaziman atau kebiasaan yang telah mereka lakukan selama

ini. Pemahaman ini perlu diperbetulkan dengan memberikan pendidikan secara kontinu

terutama mengenai kelebihan-kelebihan apabila zakat dibayarkan dan diuruskan oleh

institusi formal pungutan zakat. Demikian juga mengenai tingkat pendidikan, lazimnya

semakin meningkatnya tahap pendidikan seseorang maka akan semakin meningkat pula

pengetahuan atau kefahaman seseorang terhadap sesuatu. Dengan demikian akan

berpengaruh kepada masyarakat untuk melakukan sesuatu tindakan dan mengambil

keputusan. Terlebih lagi tindakannya dalam mematuhi undang-undang. Namun,

berdasarkan hasil penelitian ini, hubungan antara tahap pendidikan responden dengan

kepatuhan zakat pendapatan adalah negatif. Ini bermakna bahwa masyarakat yang

berpendidikan lebih cenderung membayar zakat secara langsung kepada asnaf penerima

ataupun melalui saluran lain dibandingkan dengan membayar melalui Baitulmal. Hal ini

berkaitan dengan tingkat kepercayaan dan juga disebabkan kebiasaan masyarakat Aceh

yang membayar zakat secara langsung kepada asnaf.

Variabel indeks nilai agama/keimanan dalam penelitian ini diukur berdasarkan

formula yang dibentuk oleh Naziruddin dan Shabri (2002) kemudian dimodifikasi dengan

mengklasifikasikan dalam bentuk skala likert. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

makin tinggi tingkat keimanan seseorang semakin cenderung seseorang membayar zakat

baik melalui institusi formal maupun secara langsung kepada asnaf penerima zakat.

Dengan keimanan yang tinggi, masyarakat sememangnya patuh untuk membayar zakat

dan ianya dapat meningkatkan kesediaannya untuk membayar melalui Baitulmal.

Hasil penelitian tentang variabel undang-undang (qanun) menunjukkan bahwa faktor

qanun zakat berhubungan secara positif dan signifikan pada α<5% terhadap perilaku

kepatuhan zakat. Dengan demikian, pemberlakuan undang-undang (qanun) zakat tersebut

sangat perlu dalam menentukan kepatuhan membayar zakat, dengan adanya

pemberlakuan qanun maka masyarakat akan menyadari bahwa zakat merupakan suatu

kewajiban serta tanggungjawab terhadap agama dan sosial yang harus ditunaikan oleh

warganegara dan ianya mesti dibayarkan melalui institusi formal pungutan zakat. Oleh

karena itu, untuk meningkatkan lagi pungutan zakat di Aceh perlu menjalankan qanun

Page 76: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Zulkifli

137

zakat secara penuh, lebih tegas dan jelas serta konsisten karena qanun ini merupakan

salah satu faktor penentu kepatuhan zakat di Aceh.

Pengaruh faktor kefahaman atau pengetahuan zakat terhadap kepatuhan zakat adalah

signifikan dan bertanda negatif. Kedudukan koefisien yang negatif ini disebabkan oleh

beberapa faktor antaranya bahwa sebagian besar responden yang memahami dan

berpengetahuan tentang zakat baik dari segi konsep, pensyariatan, dan peranannya dan

pada waktu yang sama juga menunaikan kewajiban pembayarannya melalui saluran

lainnya seperti membayar secara langsung kepada asnaf penerima yang telah lazim

dilakukan sebelum pemberlakuan qanun zakat. Hal ini juga disebabkan bahwa

masyarakat wajib zakat di Aceh masih bebas memilih apakah membayar zakat melalui

institusi formal ataupun membayar secara langsung kepada asnaf. Walaupun ini

bertentangan dengan qanun, namun disebabkan tiadanya penegakan yang tegas dan jelas

terhadap qanun zakat maka masyarakat muslim masih bebas untuk memilih saluran

pembayaran zakat. Disamping itu, pembayaran zakat yang mereka lakukan pada masa ini

lebih bergantung kepada faktor tanggungjawab mereka terhadap ajaran agama. Umumnya

masyarakat Aceh memahami bahwa zakat adalah antara rukun Islam yang wajib

ditunaikan tidak mesti melalui institusi formal tetapi juga bisa secara langsung kepada

asnaf penerima. Terlebih lagi penegakan qanun zakat dengan adanya ancaman denda di

Aceh masih banyak masyarakat yang tidak mengetahuinya.

Selanjutnya, dari analisis regresi logistik diperoleh hasil penelitian mengenai

pengaruh faktor kepercayaan kepada Baitulmal terhadap kepatuhan masyarakat untuk

membayar zakat melalui institusi tersebut adalah positif, namun tidak signifikan. Hal ini

terjadi karena masyarakat masih menganggap bahwa Baitulmal adalah sama seperti

institusi non-formal lainnya yang telah dibentuk sebelumnya. Sehingga mereka umumnya

tidak begitu melihat mengenai kepengurusan Baitulmal, sebaliknya mereka tetap

melakukan pembayaran zakat seperti kebiasaan sebelum dibentuknya Baitulmal sebagai

institusi formal pungutan zakat, yaitu kecenderungannya untuk membayar secara

langsung kepada asnaf. Dengan demikian, tidak timbulnya persoalan kepercayaan kepada

institusi formal yang mempengaruhi masyarakat untuk membayar zakat melalui institusi

formal tersebut secara signifikan. Namun faktor kepercayaan ini tetap mempengaruhi

secara positif. Oleh karena itu, pengurus Baitulmal diharapkan untuk selalu meyakinkan

masyarakat bahwa pengelolaan zakat oleh institusi tersebut dapat berdaya guna dan

berhasil guna melalui berbagai kebijakan yang transparan, jujur, adil, seksama, dan

mematuhi rambu-rambu syariat Islam.

Faktor kemudahan mekanisme pembayaran zakat yang disediakan oleh institusi

formal pungutan zakat terhadap kepatuhan zakat adalah positif dan signifikan pada

α<10%. Ini berarti bahwa faktor kemudahan pembayaran zakat merupakan faktor penting

bagi masyarakat dalam melakukan pembayaran zakat melalui Baitulmal. Kemudahan

yang disediakan oleh Baitulmal seperti skim pemotongan gaji bagi pegawai negeri telah

meningkatkan kesediaan mereka untuk membayar zakat melalui Baitulmal. Rendahnya

pungutan zakat melalui Baitulmal pada waktu ini antaranya disebabkan kemudahan

pembayaran zakat seperti penggunaan sistem pembayaran zakat secara online yang belum

tersedia dan juga konter-konter pungutan zakat yang masih sangat terbatas Dengan

demikian, maka untuk meningkatkan pungutan zakat hal ini perlulah menjadi perhatian

yang serius dan diharapkan pengurus Baitulmal dapat lebih proaktif lagi di masa

mendatang.

Page 77: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

138

Faktor selanjutnya adalah persepsi terhadap sistem pajak. Hubungan faktor persepsi

sistem pajak dengan kepatuhan zakat adalah bersifat negatif dan signifikan. Sistem pajak

yang sekarang berlaku di Indonesia dikatakan masih membebankan para pembayar zakat,

karena dapat menjadi beban ganda (double duty) ataupun bayaran ganda (double

payment) bagi pembayar zakat. Apabila sistem rebate terhadap pajak bagi zakat yang

telah dikeluarkan dapat dioptimalkan maka akan merubah persepsi beban ganda (double

duty) ataupun bayaran ganda (double payment) sehingga akan lebih meningkatkan lagi

kepatuhan pembayaran zakat melalui Baitulmal.

Demikian juga pengaruh faktor lingkungan ternyata berhubungan secara positif dan

signifikan terhadap kepatuhan pembayaran zakat pendapatan. Secara spesifik, faktor

lingkungan belum pernah diteliti secara mendetail dalam penelitian-penelitian terdahulu

berkaitan dengan kepatuhan zakat. Pembentukan variabel ini berdasarkan Reference

Group Theory dalam bidang ilmu sosiologi. Ternyata, secara empiris di Aceh bahwa

dalam membayar zakat melalui Baitulmal, pandangan kelompok referensi/rujukan seperti

sahabat, saudara, rekan sekerja dan kenalan mengenai persepsi mereka terhadap

pembayaran zakat melalui institusi formal pungutan zakat dapat mempengaruhi

masyarakat wajib zakat untuk melaksanakan pembayaran melalui institusi berkenaan.

Apabila pengaruh lingkungannya postif, maka kecenderungan kepatuhan masyarakat

untuk membayar zakat melalui institusi formal pungutan zakat adalah meningkat,

demikian juga sebaliknya.

STRATEGI MENINGKATKAN PUNGUTAN ZAKAT

Berdasarkan hasil penelitian seperti yang telah diuraikan di atas, maka setidaknya ada

beberapa langkah penting dan strategis yang dapat dilakukan dalam upaya peningkatan

pendapatan daerah melalui pungutan zakat oleh institusi formal (Baitulmal) yang dapat

dipergunakan untuk mempercepat pemberantasan kemiskinan di Aceh, yaitu antara lain:

1) berkenaan dengan faktor demografi, maka perlu dilaksanakannya konsep-konsep

tarbiyah dengan pendekatan yang lebih intensif untuk memberi pemahaman yang benar

tentang kewajiban zakat. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang

kelebihan-kelebihan termasuk efektifitas apabila zakat yang mereka salurkan diurus oleh

institusi formal pungutan zakat (Baitulmal). Dengan demikian akan mengakibatkan

masyarakat akan bersedia dan patuh untuk membayar zakat melalui institusi formal

pungutan zakat; 2) berkenaan dengan faktor keimanan, maka perlu dilakukan berbagai

langkah yang dapat meningkatkan pemahaman dan keimanan individu wajib zakat.

Peningkatan keimanan seseorang dapat dilakukan melalui pendidikan agama. Oleh yang

demikian, maka sudah sewajarnya setiap individu terus memperdalam pengetahuan

agamanya untuk memudahkan dalam menjalankan perintah Allah SWT termasuk dalam

hal pembayaran zakat. Dalam hal peningkatan religiosity masyarakat, peran pemerintah

juga tidak bisa diabaikan terutama dalam menciptakan kondisi dan situasi yang nyaman

bagi masyarakat dalam menjalankan ibadahnya.

Pemerintah perlu memastikan dan mendukung secara kontinyu mengenai pendidikan

agama baik yang dilakukan secara formal di lembaga pendidikan maupun pada lembaga-

lembaga non formal seperti pondok-pondok pesantren. Peningkatan keimanan juga dapat

dilakukan melalui ceramah-ceramah, diskusi-diskusi agama, dan pengajian-pengajian

yang semestinya pemerintah juga turut terlibat dengan menyediakan fasilitas-fasilitas

Page 78: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Zulkifli

139

yang diperlukan; 3) diharapkan pihak terlibat dalam urusan zakat dapat menjalankan

qanun zakat secara konsisten, tegas, dan kontinyu kepada individu wajib zakat yang

enggan membayar melalui Baitulmal. Namun, sebelum hal ini dilakukan sebaiknya pihak

berkompeten perlu melakukan sosialisasi yang intensif, memberi pengertian dan

pendekatan yang jitu untuk memastikan bahwa individu wajib zakat bersedia membayar

melalui institusi formal pungutan zakat; 4) faktor kemudahan mekanisme pembayaraan

zakat yang merupakan salah satu faktor penting dalam rangka meningkatkan pungutan

zakat melalui institusi formal pungutan zakat, maka penyediaan kemudahan mekanisme

pungutan zakat seperti membayar zakat secara online, skim pemotongan gaji dan

memperbanyak konter-konter zakat adalah sangat diperlukan; 5) selanjutnya, masyarakat

perlu memahami bahwa kewajiban zakat mesti ditunaikan dan ianya akan lebih efektif

dan efesien apabila diurus oleh institusi pemerintah yang amanah. Hal ini juga selaras

dengan perintah agama seperti yang dinyatakan dalam Al Qur’an yaitu zakat hendaklah

“dipungut” yang bermakna bahwa harus ada suatu pengurusan dari penguasa. Dengan

demikian, maka amatlah perlu diberi perhatian yang serius oleh berbagai pihak

terutamanya pihak terkait bagi meningkatkan lagi tahap pemahaman masyarakat terhadap

kewajiban zakat. Pemahaman masyarakat perlu ditingkatkan dan diluruskan secara terus

menerus serta diberi penerangan yang cukup dan efektif secara kontinyu supaya individu

wajib zakat memahami secara menyeluruh mengenai konsep, pensyariatan dan peranan

zakat dalam memajukan ekonomi ummah. Terlebih lagi apabila zakat dikelola oleh

pemerintah melalui institusi formal. Di samping itu, individu wajib zakat juga perlu

memahami peranan pemerintah dalam memberdayakan dana zakat untuk kemaslahatan

ummah. Dengan demikian, menjadi tugas dan tanggungjawab semua pihak bagi memberi

penjelasan yang memadai melalui berbagai sarana seperti ceramah, khutbah,

pendidikan/tarbiyah yang pada saat ini porsinya masih dianggap sangat sedikit yang

membicarakan mengenai zakat kecuali hanya di bulan ramadhan; 6) dalam hal

hubungannya dengan pajak, mengingat persepsi masyarakat terhadap sistem pajak yang

dianggap masih membebankan individu pembayar zakat sehingga memberi pengaruh

kepada kepatuhan zakat, maka pihak berkuasa perlu mengambil langkah-langkah yang

sesuai, efektif, dan jitu untuk menangani masalah ini. Oleh yang demikian, maka

pemberlakuan zakat sebagai rebate kepada pajak perlu dijalankan segera secara efektif

dan efesien karena hal ini merupakan suatu insentif bagi pembayar zakat untuk

membayar melalui institusi formal pungutan zakat. Dengan demikian diharapkan

pungutan zakat melalui institusi formal pungutan zakat dapat ditingkatkan. Walaupun

secara ekonomi ianya tidak menambahkan pendapatan asli daerah secara riil, namun

peningkatan kepatuhan zakat dapat menjadikan penerimaan zakat juga bertambah yang

akhirnya akan dapat juga meningkatkan pendapatan daerah yang lebih besar seperti

konsep dan analisis yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun. Di samping itu, ini juga

merupakan suatu tugas dan tanggungjawab pemerintah yang menjalankan syariat Islam

secara kaffah untuk menjamin masyarakatnya melaksanakan dan menunaikan kewajiban

agama dengan aman dan nyaman; 7) mengenai pengaruh faktor lingkungan yang didapati

bahwa pengaruh rekan sekerja, saudara dan kenalan memainkan peranan penting dalam

meningkatkan kepatuhan zakat. Maka, suatu langkah pendidikan, penerangan dan

penjelasan yang cukup perlu diadakan oleh institusi formal pungutan zakat untuk

mendidik, menjelaskan dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang peranan dan

kebaikan apabila zakat dibayarkan melalui institusi formal pungutan zakat.

Page 79: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

140

Dengan demikian, pola pikir (mindset) masyarakat akan berubah dengan lebih

menyadari keutamaan pembayaran zakat melalui institusi formal. Sehingga akan

membentuk faktor lingkungan yang memahami arti penting zakat apabila dikelola oleh

pemerintah. Di samping itu, institusi zakat sendiri perlu memperbaiki diri secara

berterusan/kontinyu demi meningkatkan pelayanan, efektifitas pengurusan, dan

transparansi terutama dalam hal distribusi dana zakat supaya dapat meningkatkan image

mereka di mata masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Alhabshi, S.O. 2003. Peranan Zakat dalam Membantu Pembangunan Ekonomi Negara Kuala Lumpur.

Persatuan Ekonomi dan Pengurusan Islam Malaysia.

Allingham, M.G dan A. Sandmo. 1972. Income tax evasion; a theoritical analysis. Jurnal of Public Economics

1:323-328.

Andy, L.T. 1997. Beberapa pemikiran tentang mekanisme badan amil zakat. Dalam Wiwoho, B., et.al: Zakat

dan Pajak. Jakarta. Penerbit Gema Insani Press.

Arrington, C.E. dan P.M.J Reckers. 1985. A social-psykological investigation into perceptions of tax evasion.

Accounting and Business Research: 163-176.

Borck, R. 2004. Income tax evasion and the penalty structure. European Public Choice Society. Berlin.

Cartwright, D. Dan A. Zander. 1968. Group Dynamics: Research and Theory. Ed. Ke-3. New York: Penerbit

Harper and Row Publishers.

Chorvat, T. 2007. Tax compliance and the Neuroeconomics of Intertemporal substitution, National Tax Journal.

George Mason University.

Damanhur. 2006. Kesan pelaksanaan cukai pendapatan dan penguatkuasaan zakat terhadap gelagat kepatuhan

membayar zakat pendapatan di Aceh. Thesis sarjana pada Jabatan Syariah dan Ekonomi Bahagian

Pengajian Syariah Akademi Pengajian Islam. Universiti Malaya.

Daud, M. 1991. Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf. Jakarta. Penerbit UI Press.

Gaiha, R. 1985. Poverty, technologi and infrastructure in rural india. Cambridge Journal of Economics. Vol. 9.

Galbiati, R. dan G. Zanella. 2008. The Tax Evasion Social Multiplier: Evidence from Italy. Bocconi University,

Italy. Econpubblica.

Wahid H., S. Ahmad, dan M. Ali. 2007. Kesedaran Membayar Zakat Pendapatan di Malaysia. Islamiyyat 29 :

53-70.

Hindriks, J., and G. D Myles. 2006. Tax Compliance and Evasion. International Public Economics, The MIT

Press.

Hite, P.A. 1987. An aplication of attribution theory ini taxpayer non compliance research. Public Finance 42(1):

105-117.

Kamil, M.I. 2002. Kesan persepsi undang-undang dan penguatkuasaan zakat terhadap gelagat kepatuhan zakat

pendapatan gaji. Kertas kerja yang dibentangkan pada Muzakarah Pakar Zakat. Universiti Kebangsaan

Malaysia.

Marzi, A. 2004. Zakat dan pajak daerah sebagai pendapatan asli daerah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam:

suatu analisis terhadap pengelolaan zakat dan pajak di kota Banda Aceh. Thesis sarjana pada Program Studi

Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan.

Kahf .M. 1983. Taxation policy in an Islamic economy. Dalam Ziauddin Ahmad, et.el. Fiscal Policy and

Resource Allocation in Islam. Jeddah; International Centre for Research in Islamic Economics. King Abdul

Aziz University.

Kahf .M. 1995. Ekonomi Islam, Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam. Terjemahan dari The

Islamic Economy: Analytical of the Functioning of the Islamic Economic System. Yogyakarta. Indonesia.

Penerbit Pustaka Pelajar

Page 80: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Zulkifli

141

Mujaini Tarimin. 2000. Pelaksanaan zakat pendapatan dan permasalahannya. Dalam Zakat Menuju Pengurusan

Profesional. Kuala Lumpur. Penerbit Utusan Publications & Distributors SDN BHD.

Naziruddin, dan A.M Shabri. 2002. The influence of religiosity, income and consumption on saving behavior:

the case of international Islamic university Malaysia. Dalam Proceedings Simposium Nasional I Sistem

Ekopnomi Islami. 13-14 Mac 2002. Yogyakarta. Indonesia.

Nirwan, N. 1999. Institusi zakat dan aplikasinya di Indonesia. Disertasi Sarjana Fakulti Pengajian Islam.

Universiti Kebangsaan Malaysia.

Rusjdi, A.M. 2003. Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi (Menuju

Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam). Banda Aceh. Logos-IAIN Ar-Raniry.

Somad, A. 1996. Pelaksanaan Zakat di Indonesia: Pengelolaan, Problema dan Penyelesaiannya. Jakarta.

Penerbit ICMI.

Spicer, M.W. dan S.B Lunstedt. 1976. Understanding tax evasion. Public Finance 1: 295- 305.

Srinavasan, T.N. (1973). Tax evasion: a model. Journal of Public Economics 2: 339-346.

Tuzova,. 2009. A Model of Tax Evasion with Heterogeneous Firms. University of Minnesota.

Vogel, J. 1974. Taxation and public opinion in Sweden. National Tax Journal 27: 499-513.

Wallschutzky, I.G. 1984. Possible causes of tax evasion. Journal of Economics Psychology 5: 371-384.

Watanabe, S., 1987. Income tax Evasion: A theoretical analysis. Public Choice Studies. No. 8.

Weigel, R.H., D.J Hessing dan Elffers, H. 1987. Tax evasion research: a critical appraisal and theoritical model.

Journal of Economics Psychology 8: 215-235.

Yitzhaki, S. 1974. A Note on Income Tax Evasion: A Theoretical Analysis. Journal of Public Economics, 3(2),

201-202.

Yoesoef, M.D. 1985. Zakat dan sistem perpajakan di Indonesia, ditinjau menurut hukum Islam. Tesis pada

Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Page 81: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

ISSN: 0852-9124 Vol 4, No. 2, Nov 2013

142

ANALISIS VALUASI EKONOMI WISATA ALAM

PANTAI LAMPUUK DENGAN PENDEKATAN

TRAVEL COST METHOD

Analysis of Economic Valuation for Pantai Lampuuk Tourism

with Travel Cost Method Approach

Suriani1 dan Yefrizal2

E-mail: [email protected] dan [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan memformulasikan strategi pengembangan yang tepat untuk diterapkan di objek wisata Pantai Lampuuk melalui pendekatan Travel Cost Method (TCM). Model analisis yang digunakan adalah

regresi berganda dengan OLS (Ordinary Least Square). Hasil estimasi menunjukkan bahwa faktor-faktor yang

memengaruhi perkembangan objek wisata alam Pantai Lampuuk yaitu biaya perjalanan menuju lokasi Pantai Lampuuk berpengaruh negatif terhadap jumlah kunjungan, Biaya perjalanan ke lokasi wisata lain berpengaruh

positif terhadap jumlah kunjungan, biaya opportunity berpengaruh positif terhadap jumlah kunjungan wisata, dan biaya tiket masuk berpengaruh negatif terhadap jumlah kunjungan. Posisi wisata alam Pantai Lampuuk

menunjukkan bahwa objek wisata ini dapat menonjolkan kekuatan atau potensi yang dimiliki dan dapat

menutupi atau meminimalkan kelemahan yang ada dengan keindahan alam yang dimilikinya sehingga pembangunan di bidang pariwisata di Aceh perlu ditingkatkan.

Kata kunci: valuasi ekonomi, travel cost method (TCM)

ABSTRACT

This study aims to formulate appropriate development strategy to be applied in Lampuuk Beach attractions approach Travel Cost Method (TCM). The analysis model used is multiple regression with OLS (Ordinary Least

Square). The estimation results indicate that the factors that influence the development of the natural

attractions that Lampuuk Beach travel costs to the location Lampuuk Beach negatively affect the number of visits, cost of travel to other tourist locations positive effect on the number of visits, the opportunity cost positive

effect on the number of tourist visits and the cost of admission negatively affect the number of visits. Position

Lampuuk beach nature suggests that this attraction can highlight strengths or potential and can cover up or minimize the weaknesses that exist with its natural beauty so that development in the field of tourism in Aceh

needs to be improved.

Keywords: economic valuation, travel cost method (TCM), tourism demand (number of visits)

PENDAHULUAN

Pengembangan kegiatan pariwisata alam mempunyai dampak positif dan negatif, baik

dari segi ekonomi, sosial, lingkungan dan masyarakat sekitar. Dampak positif dalam

pengembangan dapat berupa peningkatan pendapatan masyarakat, menambah pendapatan

dan devisa negara, membuka kesempatan kerja dan usaha bagi masyarakat sekitar serta

meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti penting konservasi sumberdaya alam.

Dampak negatif yang sering muncul dalam pengembangan kegiatan kepariwisataan ini

berupa tindakan perusakan (vandalisme) terhadap obyek wisata tersebut, baik bangunan

maupun obyek alamnya. Manfaat ekonomi taman wisata alam selama ini belum banyak

diketahui secara pasti karena sifatnya yang intangible (tidak terukur). Penilaian terhadap

Page 82: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Suriani dan Yefrizal

143

taman wisata alam sangat penting untuk diketahui sebagai bahan pertimbangan dalam

pengembangan dan pengelolaan yang berkelanjutan. Tempat rekreasi tidak memiliki nilai

pasar yang pasti, maka penilaian tempat rekreasi dilakukan dengan pendekatan biaya

perjalanan. Metode biaya perjalanan ini dilakukan dengan menggunakan informasi

tentang jumlah uang yang dikeluarkan dan waktu yang digunakan untuk mencapai tempat

rekreasi untuk mengestimasi besarnya nilai benefit dari upaya perubahan kualitas

lingkungan dari tempat rekreasi yang dikunjungi (Yakkin,1997 dalam Sahlan, 2008).

Secara prinsip metode biaya perjalanan ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap

individu untuk mendatangi tempat-tempat rekreasi. Misalnya, untuk menyalurkan hobi

memancing di pantai, seorang konsumen akan mengorbankan biaya untuk mendatangi

tempat tersebut. Dengan mengetahui pola pengeluaran dari konsumen ini, dapat dikaji

berapa nilai (value) yang diberikan konsumen kepada sumber daya alam dan lingkungan.

Asumsi mendasar yang digunakan pada pendekatan Travel Cost Method adalah bahwa

utilitas dari setiap konsumen terhadap aktivitas, misalnya rekreasi, bersifat dapat

dipisahkan (separable). Oleh karena itu, fungsi permintaan kegiatan rekreasi tersebut

tidak dipengaruhi oleh permintaan kegiatan lainnya seperti menonton, berbelanja, dan

lain-lain. Metode Biaya Perjalanan (Travel Cost Method) ini dilakukan dengan

menggunakan informasi tentang jumlah uang yang dikeluarkan untuk mencapai tempat

rekreasi untuk mengestimasi besarnya nilai benefit dari upaya perubahan kualitas

lingkungan dari tempat rekreasi yang dikunjungi.

Aceh merupakan salah satu provinsi di ujung Indonesia paling barat. Aceh memiliki

18 kabupaten dan 5 kota. Kabupaten Aceh Besar merupakan kabupaten terpanjang di

.Aceh memiliki berbagai destinasi wisata baik alam maupun budaya. Namun, pariwisata

Aceh sempat mengalami keterpurukan akibat Tsunami yang menghantam beberapa

tempat di Provinsi Aceh pada 26 Desember 2004. Seiring dengan pembenahan-

pembenahan pada beberapa wilayah di Aceh. Aceh kembali bangkit dan menawarkan

wisata tsunami, alam serta budaya yang mampu menarik kunjungan wisatawan.

Kabupaten Aceh Besar adalah kabupaten yang memiliki 23 kecamatan. Salah satunya

Kecamatan Lhoknga yang memiliki keindahan alam pantai yang sangat menarik untuk di

kunjungi misalnya Pantai Lampuuk yang menjadi salah satu tempat liburan yang sangat

dekat dengan Kota Banda Aceh dan menjadi salah satu lokasi favorit bagi masyarakat Kota

Banda Aceh dan Aceh besar untuk berlibur bersama keluarga. Mengacu dengan

diadakannya pogram pemerintah Aceh untuk mempromosikan pariwisata Aceh melalui

Visit Banda Aceh Years 2013. Pembenahan dibidang sektor pariwisata terus dikembangkan

untuk meningkatkan pelayanan yang prima kepada wisatawan yang ingin beliburan ke

Aceh, guna untuk menambah pendapatan masyarakat dan kesejahtraan masyarakat. Oleh

karena itu penelitian ini ingin mengetahui bagaimana nilai ekonomi pantai lampuuk dengan

cara menganalisis Valuasi Ekonomi Wisata Alam Pantai Lampuuk (Pendekatan TCM)

dengan merumuskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi permintaan wisata alam

pantai Lampuuk.

Untuk membahas permasalahan dalam penelitian diperlukan beberapa landasan teori

yang berkaitan dengan permintaan pariwisata dan faktor-faktor yang mempengaruhinya

antara lain Menurut McEarchen (2000) permintaan pasar suatu sumber daya adalah

penjumlahan seluruh permintaan atas berbagai penggunaan sumber daya tersebut.

Sedangkan menurut Nophirin (dalam Salma dan Indah, 2004) permintaan adalah berbagai

kombinasi harga dan jumlah suatu barang yang ingin dan dapat dibeli oleh konsumen

pada berbagai tingkat harga untuk suatu periode tertentu.

Page 83: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

144

Menurut Undang-Undang Nomor 90 Tahun 1990, wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata. Sedangkan Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut.

Penilaian (valuation) sumberdaya alam adalah alat ekonomi yang digunakan untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh sumberdaya alam melalui teknik penilaian tertentu. Barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam dan lingkungan seperti nilai rekreasi, nilai keindahan, dan sebagainya yang tidak dapat diperdagangkan dan sulit mendapatkan data mengenai harga dan kuantitas dari barang dan jasa tersebut. Nilai yang dihasilkan dari sumberdaya alam dapat dikategorikan dalam nilai guna ordinal, karena manfaat atau kenikmatan yang diperoleh dari mengkonsumsi barang-barang tidak dapat dikuantifikasikan (Sukirno, 2004). Pendekatan yang digunakan untuk menilai (valuation) terhadap sumberdaya alam dan lingkungan dengan teknik pengukuran tidak langsung (indirect) menggunakan metode biaya perjalanan (TCM). Pendekatan biaya perjalanan merupakan metode valuasi dengan cara mengestimasi kurva permintaan barang-barang rekreasi terutama rekreasi luar (outdoorrecreation).

Pada mulanya pendekatan biaya perjalanan digunakan untuk menilai manfaat yang diterima masyarakat dari penggunaan barang dan jasa lingkungan. Pendekatan ini juga mencerminkan kesediaan masyarakat untuk membayar barang dan jasa yang diberikan lingkungan dibanding dengan jasa lingkungan dimana mereka berada pada saat tersebut. Banyak contoh sumber daya lingkungan yang dinilai dengan pendekatan ini berkaitan dengan jasa-jasa lingkungan untuk rekreasi di luar rumah yang seringkali tidak diberikan nilai yang pasti. Untuk tempat wisata, pada umumnya hanya dipungut harga karcis yang tidak cukup untuk mencerminkan nilai jasa lingkungan dan juga tidak mencerminkan.kesediaan membayar oleh para wisatawan yang memanfaatkan sumber daya alam tersebut. Untuk lebih sempurnanya perlu diperhitungkan pula nilai kepuasan yang diperoleh para wisatawan yang bersangkutan (Suparmoko, 2000).

Dalam memperkirakan nilai tempat wisata tersebut akan menyangkut waktu dan biaya yang dikorbankan oleh para wisatawan dalam menuju dan meninggalkan tempat wisata tersebut. Semakin jauh jarak wisatawan ke tempat wisata tersebut, akan semakin rendah permintaannya terhadap tempat wisata tersebut. Permintaan yang dimaksud adalah permintaan efektifnya yang disertai dengan kemampuan untuk membeli. Para wisatawan yang lebih dekat dengan lokasi wisata tentu akan lebih sering berkunjung ke tempat wisata tersebut dengan adanya biaya yang lebih murah yang tercermin pada biaya perjalanan yang dikeluarkannya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa wisatawan mendapatkan surplus konsumen. Surplus konsumen merupakan kelebihan kesediaan membayar atas harga yang telah ditentukan. Oleh karena itu surplus konsumen yang dimiliki oleh wisatawan yang jauh tempat tinggalnya dari tempat wisata akan lebih rendah dari pada mereka yang lebih dekat tempat tinggalnya dari tempat wisata tersebut (Suparmoko, 2000).

Untuk menilai ekonomi dengan pendekatan biaya perjalanan ada dua teknik yang dapat digunakan yaitu: 1) Pendekatan sederhana melalui zonasi; dan 2) Pendekatan individual. Melalui metode biaya perjalanan dengan pendekatan zonasi, pengunjung dibagi dalam beberapa zona kunjungan berdasarkan tempat tinggal atau asal pengunjung, dan jumlah kunjungan tiap minggu dalam penduduk di setiap zona dibagi dengan jumlah pengunjung pertahun untuk memperoleh data jumlah kunjungan per seribu penduduk dan penelitiannya dengan menggunakan data sekunder. Sedangkan metode biaya perjalanan dengan pendekatan individual, metode biaya perjalanan dengan menggunakan data

Page 84: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Suriani dan Yefrizal

145

primer yang diperoleh melalui surve. Fungsi permintaan dari suatu kegiatan rekreasi dengan metode biaya perjalanan melalui pendekatan individual dapat diformulasikan sebagai berikut (Fauzi, 2004). Vij = f (Cij, Tij, Qij, Sij, Fij, Mi) Dimana:

Vij : jumlah kunjungan oleh individu I ke tempat j Cij : biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh individu I untuk mengunjungi

lokasi j Tij : biaya waktu yang dikeluarkan oleh individu I untuk mengunjungi lokasi j Qij : persepsi responden terhadap kualitas lingkungan dari tempat yang

dikunjungi Sij : karakteristik substitusi yang mungkin ada di daerah lain Fij : faktor fasilitas-fasilitas di daerah j Mi : pendapatan dari individu I

Penelitian ini menggunakan metode biaya perjalanan individu (Individual Travel Cost) untuk menghitung atau mengestimasi nilai ekonomi wisata Pantai Lampuuk. Pada dasarnya semua metode dapat digunakan untuk menghitung nilai ekonomi suatu kawasan. Seseorang yang melakukan kegiatan wisata atau rekreasi pasti melakukan mobilitas atau perjalanan dari rumah menuju obyek wisata, dan dalam melaksanakan kegiatan tersebut pelaku memerlukan biaya-biaya untuk mencapai tujuan rekreasi, sehingga biaya perjalanan dapat memberikan korelasi positif dalam menghitung nilai ekonomi suatu kawasan wisata yang sudah berjalan dan berkembang.

Penelitian mengenai valuasi ekonomi wisata alam telah banyak dilakukan seperti Bambang et al., (2007) dalam penelitiannya berjudul “Valuasi Ekonomi Taman Wisata Alam Punti Kayu Palembang” bertujuan memperoleh informasi tentang: (1) karakteristik pengunjung Taman Wisata Alam Punti Kayu; (2) faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan kunjungan rekreasi; (3) persamaan permintaan manfaat rekreasi dari Taman Wisata Alam Punti Kayu; (4) valuasi ekonomi Taman Wisata Alam. Dari hasil penelitian diketahui, karakteristik pengunjung yang terdiri atas umur, jenis kelamin, penghasilan, jenis pekerjaan, biaya yang dikeluarkan selama kegiatan rekreasi, motivasi, dan jenis kendaraan yang digunakan sangat bervariasi. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan model analisis regresi berganda. Faktor-faktor yang mempengaruhi kunjungan ke Taman Wisata Alam Punti Kayu meliputi biaya perjalanan, jumlah penduduk per kecamatan, dan jumlah waktu kerja per hari.

Penelitian yang dilakukan oleh Djijono (2002) dengan judul Valuasi Ekonomi Menggunakan Metode Travel Cost Taman Wisata Hutan di Taman Wan Abdul Rachman Propinsi Lampung bertujuan menghitung nilai ekonomi yang diperoleh pengunjung dalam mengunjungi Taman Wan Abdul Rachman. Metode analisis yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap permintaan produk dari jasa lingkungan wisata alam hutan raya menggunakan regresi linier berganda, sedangkan nilai ekonomi rekreasi diduga dengan menggunakan metode biaya perjalanan wisata (travel cost method). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah jumlah kunjungan per 1000 penduduk (orang), sedangkan variabel bebas meliputi biaya perjalanan (transportasi, konsumsi, karcis, dan lain-lain), biaya transportasi (Rp), pendapatan/uang saku per bulan (Rp), jumlah penduduk kecamatan asal pengunjung (orang), pendidikan (tahun), waktu kerja per minggu (jam) dan waktu luang per minggu (jam). Dari hasil regresi diketahui bahwa yang berpengaruh pada jumlah kunjungan secara signifikan adalah biaya perjalanan, jumlah penduduk, pendidikan dan waktu kerja.

Page 85: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

146

Penelitian yang dilakukan oleh Sahlan (2008) dengan judul Valuasi Ekonomi Wisata

Alam Otak Kokok Gading dengan Pendekatan Travel cost bertujuan untuk melakukan

valuasi ekonomi guna menilai manfaat yang dihasilkan oleh kawasan Wisata alam Otak

Kokok Gading. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis regresi linier

berganda dengan tujuh variabel utamanya yaitu variabel jumlah kunjungan (Y), biaya

perjalanan (X1), biaya waktu (X2), persepsi responden (X3), karakteristik substitusi (X4),

fasilitas-fasilitas (X5) dan pendapatan individu (X6). Hasil pengujian secara parsial

menunjukkan bahwa dari enam variabel yang digunakan hanya dua variabel yang

berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat yaitu variabel karakteristik substitusi dan

pendapatan individu. Sedangkan hasil pengujian secara simultan menunjukkan bahwa

semua variabel bebas mempunyai pengaruh yang nyata terhadap variabel terikat (jumlah

kunjungan).

METODE PENELITIAN

Ruang lingkup yang diteliti hanya terbatas pada jumlah kunjungan wisatawan ke

lokasi pantai Lampuuk dan menghitung biaya yang dikeluarkan oleh responden untuk

menuju ke lokasi objek wisata dengan pendekatan biaya perjalanan untuk mengetahui

bagaimana permintaan terhadap wisata alam pantai lampuuk dan nilai ekonomis wisata

alam pantai lampuuk.

Populasi dalam penelitian ini adalah pengunjung objek wisata Pantai Lampuuk yang

melakukan wisata di tempat tersebut dengan jumlah yang tidak diketahui secara pasti.

Dari populasi tersebut diambil sampel sebanyak 100 orang. Metode sampling yang

digunakan adalah purposive sampling. Teknik ini dikenakan pada individu yang secara

kebetulan dijumpai atau yang dapat dijumpai yang diteliti.

Berdasarkan sumber data, maka data yang digunakan dalam penelitian ini dapat

dikelompokkan menjadi: data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara

langsung dengan responden yang dijadikan sampel dengan menggunakan daftar

pertanyaan (kuisoner) yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Data sekunder yaitu data

yang diperoleh dari hasil pengolahan pihak kedua atau data yang diperoleh dari hasil

publikasi pihak lain. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari

dinas ataupun instansi terkait, Pengelola Pantai Lampuuk, serta berbagai literatur baik

buku maupun jurnal-jurnal yang relevan.

Model Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda

dengan pendekatan OLS (Ordinary Least Squares), (Gujarati, 2007). dan kemudian

diformulasikan ke dalam penelitian ini sebagai berikut:

Jk = β0 + β

1 Bpl+β

2Bpwl+ β

3 Bo+ β

4 BTm+ e

di mana : Jk : Jumlah Kunjungan

β0 : Konstanta

β 1,

β2, β

3, β

4, β

5, β

6, : Koefisien regresi Bpl : Biaya Perjalanan menuju Pantai Lampuuk Bpwl : Biaya Perjalanan Ke Tempat Wisata Lain Bo : Biaya opertunity BTm : Biaya Tiket Masuk e : Error term

Page 86: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Suriani dan Yefrizal

147

Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan bahwa variabel yang diukur

memang benar-benar variabel yang hendak diteliti oleh peneliti (Cooper dan Schindler,

dalam Zulganef, 2006). Sedangkan uji reliabilitas adalah ukuran yang menunjukkan

bahwa alat ukur yang digunakan dalam penelitian keperilakuan mempunyai keandalan

sebagai alat ukur, diantaranya di ukur melalui konsistensi hasil pengukuran dari waktu ke

waktu jika fenomena yang diukur tidak berubah (Harrison, dalam Zulganef, 2006).

Penelitian memerlukan data yang valid dan reliabel. Dalam rangka urgensi ini, maka

kuesioner sebelum digunakan sebagai data penelitian primer, terlebih dahulu di uji coba

kan ke sampel uji coba penelitian. Uji coba ini dilakukan untuk memperoleh bukti sejauh

mana ketepatan dan kecermatan alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya.

Definisi Operasional Variabel

Variabel penelitian ini terdiri dari: 1) Jumlah Kunjungan ke Wisata Pantai Lampuuk

diukur melalui jumlah kunjungan yang dilakukan oleh individu selama satu bulan

terakhir, variabel ini diukur secara kontinyu dalam satuan kekerapan (kali); 2) Biaya

Perjalanan ke wisata Pantai Lampuuk merupakan keseluruhan biaya yang dikeluarkan

oleh pengunjung untuk mengunjungi wisata Pantai Lampuuk. Biaya perjalanan ini

menyangkut biaya-biaya yang dikeluarkan pengunjung termasuk biaya transportasi

pulang pergi, biaya parkir, biaya penginapan, biaya konsumsi, biaya dokumentasi, serta

biaya-biaya lain yang relevan. Variabel ini diukur menggunakan skala kontinyu dengan

satuan rupiah (Rp/kunjungan); 3) Biaya Perjalanan ke wisata lain, Biaya perjalanan

yang dikeluarkan oleh pengunjung menuju objek wisata lain. Biaya perjalanan ini

menyangkut biaya-biaya yang dikeluarkan pengujung termasuk biaya transportasi

pulang pergi, biaya parkir, biaya penginapan, biaya konsumsi, biaya dokumentasi.

Variabel ini diukur menggunakan skala kontinyu dengan satuan rupiah

(Rp/kunjungan); 4) Biaya Opertunity respondenyaitu biaya yang harus dikorbankan

karena tidak bekerja selama berekreasi ke wisata alam Pantai Lampuuk. Variabel ini

diukur menggunakan skala kontinyu dengan satuan (rupiah/jam); 5) Biaya tiket masuk

menuju wisata alam Pantai Lampuuk merupakan biaya yang wajib dibayar oleh

responden untuk menikmati alam Pantai Lampuuk biaya tiket masuk variabel ini

dihitung dengan skala kontinyu dengan satuan (rupiah).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil uji Validitas Dan Reliabilitas

Pengujian validitas data dalam penelitian ini dilakukan secara statistik, yaitu dengan

menggunakan uji person product-momentcoefficient of correlation dengan bantuan SPSS

version 20. Berdasarkan output komputer seluruh pertanyaan dinyatakan valid karena

memiliki tingkat signifikansi di bawah 5 persen.

Selanjutnya untuk mengukur kehandalan kuisoner, digunakan uji reliabilitas dengan

melihat Cronbachalpha uji ini dimaksudkan untuk mengukur bahwa instrumen yang

digunakan benar-benar bebas dari kesalahan sehingga dapat dipakai dengan baik pada

kondisi yang berbeda-beda.

Page 87: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

148

Tabel 2. Hasil uji validitas

No Biaya

Wisata

Lokasi

Lain

Biaya

Wisata Lain

Kondisi

Lingkungan

Harga

Tiket

Penda

patan

Biaya

Wisata

Pearson Correlation 1 .090 .352** -.107 .368** .494**

Sig. (2-tailed) .376 .000 .290 .000 .000

N 100 100 100 100 100 100

LokasiLain Pearson Correlation .090 1 .311** .225* .546** .345**

Sig. (2-tailed) .376 .002 .024 .000 .000

N 100 100 100 100 100 100 Biaya

Wisata

Lain

Pearson Correlation .352** .311** 1 .002 .326** .369**

Sig. (2-tailed) .000 .002 .983 .001 .000

N 100 100 100 100 100 100

Kondisi Lingkungan

Pearson Correlation -.107 .225* .002 1 -.067 .070

Sig. (2-tailed) .290 .024 .983 .510 .486

N 100 100 100 100 100 100

Harga

Tiket

Masuk

Pearson Correlation .368** .546** .326** -.067 1 .352**

Sig. (2-tailed) .000 .000 .001 .510 .000

N 100 100 100 100 100 100

Pendapatan

Pearson Correlation .494** .345** .369** .070 .352** 1

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .486 .000

N 100 100 100 100 100 100

Sumber: Hasil Penelitian, 2013 (diolah)

Ukuran reliabilitas dianggap handal apabila nila cronbachAlpha lebih besar atau sama

dengan 0.60. Dari hasil uji realibilitas yang dilakukan dengan bantuan SPSS diperoleh

hasil sebagai berikut:

Tabel 3. Hasil uji reliabilitas

ReliabilityStatistics

Cronbach'sAlpha Cronbach'sAlphaBased on

StandardizedItems

N of Items

671 661 6

Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2013.

Dari hasil pengujian SPSS pada output validitas dengan tingkat signifikan sebesar

0.01 atau 99 persen. Ini dapat dilihat dari Tabel 2, hasil pengujian menunjukkan tiap-tiap

variabel mempunyai bintang dua. Selanjutnya dalam pengujian realibilitas pada Tabel 3

dapat dilihat bahwa cronbachalpha secara keseluruhan mempunyai nilai sebesar 0,671.

Jadi kesimpulan untuk pengujian validitas dan realibilitas telah memenuhi syarat untuk

dilanjutkan penelitian yang lebih mendalam.

Hasil Estimasi Regresi Linier Berganda

Tabel 4. Hasil estimasi regresi linier berganda variabel Travel Cost Method Variabel Koefisien (B) Std. Error thitung Sig.

Constant 2,806 .205 13,692 .000

Biaya Perjalanan Lampuuk -1.318E-005 000 -2,598 .006

Biaya Perjalanan Ketempat Lain 8.757E-006 000 1,800 .075

Biaya Opportunity

Biaya Opportunity2

7.287E-007

-5.635E-13

000

000

2,598

-0,202

.001

.841

Tiket masuk -1.465E005 000 -0,556 .580

Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2013.

Page 88: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Suriani dan Yefrizal

149

Dari hasil estimasi pada Tabel 4, digunakan sebagai interpretasi dasar bagi penelitian

ini yaitu: 1) Rata-rata berkunjung sebanyak dua kali dalam satu bulan, hal ini sangat

rasional mengingat posisi lokasi wisata ini tidak dekat dengan Kota Banda Aceh; 2)

Biaya perjalanan ke Pantai Lampuuk sebesar -0,00001318 yang bermakna bahwa jika

terjadi kenaikan biaya perjalanan sedangkan variabel lain tetap maka terjadi penurunan

kunjungan ke Pantai Lampuuk. Sebagai ilustrasi, jika terjadi kenaikan biaya perjalanan

sebesar Rp100.000 maka kunjungan ke Pantai Lampuuk berkurang sebesar 1,3kali

dengan asumsi variabel lain dianggap tetap; 3) Biaya perjalanan ketempat wisata lain

mempunyai tanda positif, ini bermakna adanya substitusi antara objek wisata lain dengan

Pantai Lampuuk; 4) Biaya yang timbul akibat melakukan perjalanan ke Pantai Lampuuk

(opportunitycost) berbentuk kematrik menggambarkan bahwa kondisi kesejahteraan

masyarakat masih relatif rendah sehingga biaya yang hilang akibat berkunjung masih

sangat rendah, jika biaya ini terus meningkat akan terjadi penurunan kunjungan karena

terlalu besar biaya yang dikeluarkan oleh konsumen; 5) Biaya tiket masuk mempunyai

tanda negatif, ini bermakna bahwa jika terjadi kenaikan harga tiket masuk,

caterisparibus, maka jumlah kunjungan akan berkurang. Keadaan ini sangat rasional jika

terjadi kenaikan sebesar Rp100.000 maka jumlah kunjungan berkurang sebanyak 1,4 kali.

Hasil Pengujian Secara Parsial (Uji-t)

Uji-t dilakukan untuk melihat apakah variabel-variabel independen dapat

mempengaruhi variabel dependen diperlukan pengujian statistik secara parsial. Dengan

dilakukannya uji-t ini maka akan diketahui apakah variabel biaya Lampuuk, biaya wisata

lain, waktu kerja dan biaya tiket masuk. Dari hasil pengujian yang dapat di lihat pada

Tabel 4-18 maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

Ttabel = 1,66105 pada tingkat signifikansi 5 persen (0,05)

Variabel biaya ke wisata lampuuk

Hasil penelitian terhadap variabel biaya ke wisata Lampuuk diperoleh thitung sebesar -

2.815 (nilai absolut) sedangkan untuk nilai ttabel 1,66105. Hasil perhitungan ini

menunjukkan bahwa thitung>ttabel. Berdasarkan hasil perhitungan statistik tersebut, maka

secara parsial variabel biaya ke wisata Lampuuk berpengaruh secara signifikan terhadap

jumlah kunjungan.

Variabel biaya wisata lain.

Hasil penelitian terhadap variabel Biaya wisata lain diperoleh thitung sebesar 1,800

sedangkan untuk nilai ttabel 1,66105. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa

thitung>ttabel. Berdasarkan hasil perhitungan statistik tersebut, maka secara parsial biaya

wisata lain berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah kunjungan.

Variabel biaya opportunity

Hasil penelitian terhadap variabel waktu kerja diperoleh thitung sebesar 2.598 sedangkan

untuk nilai ttabel 1,66105. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa thitung>ttabel. Berdasarkan

hasil perhitungan statistik tersebut, maka secara parsial variabel biaya opportunity

berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah kunjungan. Dan apabila biaya opportunity

dikuadratkan (untuk melihat tingkat signifikansi) maka hasil dari regresi adalah -0,202

(nilai absolut) sedangkan thitung sebesar 1,166105 hasil perhitungan menunjukkan thiung<ttabel.

Berdasarkan hasil perhitungan regresi tersebut maka secara parsial variabel biaya

opportunitytidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah kunjungan.

Page 89: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

150

Variabel Biaya tiket masuk

Hasil penelitian terhadap variabel biaya tiket masuk diperoleh thitung sebesar -0,556

(nilai absolut) sedangkan untuk nilai ttabel 1,66105. Hasil perhitungan ini menunjukkan

bahwa thitung<ttabel. Berdasarkan hasil perhitungan statistik tersebut, maka secara parsial

variabel biaya tiket masuk tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah

kunjungan.

Uji F

Uji F digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen secara

simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Derajat kepercayaan yang

digunakan adalah 0,5. Apabila nilai F hasil perhitungan lebih besar dari pada nilai F

menurut tabel maka hipotesis alternatif, yang menyatakan bahwa semua variabel

independen secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

Tabel 5. ANOVA Untuk Travel CostMethod

Model Sum of

Squares Df

Mean

Square F Sig

1 7.570 4 1.893 4.164 0.004b

43.180 95 0.455

50.750 99

Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2013.

Dari Tabel di atas diperoleh nilai Fhitung sebesar 4.164 dengan nilai probabilitas

Sig=0,004. Nilai Fhitung4.164 >Ftabel2,00 (dapat dilihat pada lampiran tabel f), dan nilai Sig

lebih kecil dari nilai probabilitas 0,5 atau nilai 0,004 < 0,5, maka variabel independen

secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan untuk analisis valuasi ekonomi wisata Alam

Pantai Lampuuk dengan menggunakan metode travel cost method, maka dapat

disimpulkan bahwa: 1) Biaya perjalanan menuju Pantai Lampuuk berpengaruh terhadap

jumlah kunjungan secara signifikan sebesar -1,31 atau satu kali kunjungan, artinya

semakin tinggi biaya perjalanan maka dapat mengurangi satu kali jumlah kunjungan; 2)

Biaya perjalanan ke tempat lain berpengaruh signifikan terhadap jumlah kunjungan

sebesar 8,75 atau dapat mengurangi jumlah kunjungan ke wisata alam Pantai Lampuuk

sebesar 9 kali kunjungan, semakin murah biaya perjalanan ketempat wisata lain semakin

berkurang minat wisatawan untuk berkunjung ke Pantai Lampuuk; 3) Biaya opportunity

berpengaruh signifikan terhadap jumlah kunjungan sebesar 7,28 atau 7 kali kunjungan,

semakin tinggi biaya opportunity semakin berkurang minat wisatawan untuk berlibur; 4)

Tiket masuk tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah kunjungan artinya

berapapun harga tiket masuk tidak mempengaruhi pengunjung untuk datang ke lokasi

wisata Alam Pantai Lampuuk.

Saran

Pemerintah daerah hendaknya bekerja sama dengan masyarakat sekitar dalam

mengelola wisata alam Pantai Lampuuk guna untuk mendapatkan pelayanan yang baik

dan dapat memuaskan pengunjung yang berlibur ke lokasi wisata dan juga dapat

Page 90: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Suriani dan Yefrizal

151

menambah pendapatan masyarakat sekitar dalam mengelola wisata alam tersebut.

Dengan adanya pelayanan yang baik maka pengunjung merasa puas dan akan sering

mengunjungi lokasi wisata dan akan memajukan lokasi dalam jangka panjang lokasi

tersebut menjadi tempat favorit bagi masyarakat untuk berlibur dan dapat menambah

pendapatan masyarakat setempat serta pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor

pariwisata. Penelitian ini dapat juga menggunakan beberapa variabel lain seperti harga

barang yang diperjualbelikan di lokasi wisata dan variabel lainnya yang dapat mengukur

nilai pasar Wisata Alam Pantai Lampuuk dan dapat digunakan dalam penelitian

selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Djijono. 2002. Valuasi Ekonomi Menggunakan Metode Travel Cost Taman Wisata Hutan di Taman Wisata Wan AbdulRahman, Propinsi Lampung. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702).

http://rudict.tripod.com/sem 023/ adnan_wantasem.htm.

Gujarati, 2003. Ekonometrika Dasar. Erlangga: Jakarta. Terjemahan. Sumarno Zain.

Mc.Eachern, 2001. Ekonomi Mikro. Salemba Empat. Jakarta. Terjemahan. Sigit Triandaru.

Suparmoko dan M. R. Suparmoko. 2000. Ekonomika Lingkungan. Edisi Pertama. BPFE-Yogyakarta.

Salma, I. A. dan S. Indah. 2004. AnalisisPermintaan Objek Wisata Alam Curug Sewu, Kabupaten Kendal dengan Pendekatan Travel Cost. Jurnal Dinamika Pembangunan, Vol 1 No. 2/Des 2004.

Tnunay, Tontje. 1996. Potensi Wisata Jawa Tengah Berwawasan Lingkungan. Klaten: Sahabat.

Page 91: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

ISSN: 0852-9124 Vol 4, No. 2, Nov 2013

152

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH

FUNGSI LAHAN SAWAH DI KECAMATAN DARUL

IMARAH KABUPATEN ACEH BESAR

Factor Saffecting land convertion in paddy Fields at Darul imarah District Aceh Besar

Nur Aidar1 dan Eri Munandar2

1Staf pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala 2Alumni pada Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh harga lahan sawah, kebutuhan ekonomi dan produktivitas

tanah terhadap keputusan menjual lahan sawah oleh petani di kecamatan Darul Imarah kabupaten Aceh Besar.

Penelitian ini menggunakan data primeryang diperoleh melalui observasi langsung dan wawancara terhadap pemilik lahan sawah di Kecamatan Darul Imarah.Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan

instansi yang terkait dengan penelitian. Model regresi yang digunakan adalah metode regresi logistik

menggunakan data primer dari 92 responden. Hasil penelitian menunjukkan harga penawaran lahan sawah memengaruhi petani untuk menjual lahan sawahnya. Penetapan harga lahan yang lebih tinggi akan menambah

peluang petani menjual lahan pertanian sebesar 3,324 kali.Sementara itu kebutuhan ekonomi dan produktivitas

lahan tidak berpengaruh signifikan terhadap upaya penjualan lahan sawah.

Kata kunci: harga, kebutuhan ekonomi, produktivitas, keputusan menjual

ABSTRACT

This studyaimed to determine the effect ofwet landprices, economic needsand land productivity to

decisionto sell paddy field by farmersin the districtof Aceh Besarsub district Darul Imarah. This study uses

primary data collected through direct observation an dinterviews withowners ofpaddy fields in sub distric Darul Imarah. Secondary data obtained from the Central Statistics Agency (BPS) and thein stitutions

associated with there search. Regression model use dislogistic regression method using primary data from 92

respondents. Results showed prices affect farmers'paddy field soffers to sell his farm. Determination of higher land prices will increase the opportunities for farmers to sell agricultural land 3,324 times. While the needs of

the economy and productivity of the land does not significantly influence the paddy field sales efforts.

Keywords: price, economic needs, productivity, decisionto sell

PENDAHULUAN

Fenomena konversi lahan sawah terus terjadi sampai tingkat mencemaskan dan mengganggu. Secara umum, faktor eksternal dan internal mendorong konversi lahan sawah. Faktor eksternal merupakan dampak transformasi struktur ekonomi dan demografis. Lahan tidak berubah, tetapi permintaan meningkat akibat pertumbuhan penduduk. Akibatnya, penggunaan lahan bergeser pada aktivitas non-sawah yang lebih menguntungkan. Faktor internal yang menyebabkan konversi lahan adalah kemiskinan. Buruknya kondisi sosial ekonomi memicu petani menjual lahan sawahnya.

Di sisi internal sektor pertanian, berbagai karakteristik dari usaha tani sendiri belum sepenuhnya mendukung ke arah pelaksanaan pelastarian lahan pertanian yang ada. Sempitnya rata-rata luas lahan yang diusahakan petani karena proses fragmentasi. Sempitnya lahan berakibat pada tidak tercukupinya hasil kegiatan usaha pertanian

Page 92: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Nur Aidar dan Eri Munandar

153

teknologi baru untuk peningkatan produktivitas, yang terjadi kemudian bukan moderenisasi tapi penjualan lahan sawah untuk penggunaan lainnya (konversi lahan sawah). Sektor lain, pertumbuhan perekonomian menuntut pembangunan infrastruktur baik berupa jalan, bangunan industri dan perumahan (real estate). Dengan kondisi demikian, diduga permintaan lahan untuk penggunaan berbagai sektor itu semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan banyak lahan sawah, terutama yang berada di sekitar perkotaan, mengalami konversi ke penggunaan lain. Di samping itu, dalam sektor pertanian itu sendiri, kurangnya insentif pada usaha tani lahan sawah diduga akan menyebabkan terjadi konversi lahan ke tanaman pertanian lainnya. Permasalahan di atas diperkirakan akan mengancam kesinambungan produksi beras nasional. Karena beras merupakan bahan pangan utama, maka isu konversi lahan perlu mendapat perhatian. Jika tidak ketergantungan pada impor akan semakin meningkat.

Bagi pemilik lahan, mengkonversi lahan sawah untuk kepentingan non-sawah saat ini memang lebih menguntungkan. Secara ekonomis, terutama lahan sawah, harga jualnya tinggi karena biasanya berada di lokasi yang berkembang. Namun, bagi petani penggarap dan buruh tani, konversi lahan menjadi bencana karena mereka tidak bisa beralih pekerjaan. Pertumbuhan penduduk yang cepat diikuti dengan kebutuhan perumahan (real estate) menjadikan lahan-lahan pertanian berkurang di berbagai daerah. Lahan petani yang semakin sempit semakin terfragmentasi akibat kebutuhan perumahan (real estate) dan lahan industri. Petani lebih memilih bekerja di sektor informal daripada bertahan di sektor pertanian. Daya tarik sektor pertanian yang terus menurun juga menjadikan petani cenderung melepas kepemilikan lahannya. Pelepasan kepemilikan lahan cenderung diikuti dengan konversi lahan (Gunanto, 2007).

Kabupaten Aceh Besar adalah salah satu kabupaten yang terus menghadapi masalah konversi lahan, khususnya lahan sawah. Konversi ini mengakibatkan luas lahan sawah di Aceh Besar terus menurun. Lahan yang paling banyak mengalami konversi adalah jenis lahan sawah yang beralih fungsi menjadi lahan nonpertanian, seperti digunakan untuk bangunan, industri, perumahan, dan sebagainya.

Berdasarkan data di Dinas Pertanian Aceh Besar tahun 2011, luas area persawahan mencapai 30.421 Ha dan tersebar di 23 kecamatan. Total penyusutan lahan pertanian sebesar 673. Adapun rincian penyusutan lahan pertanian di Aceh Besar disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Penyusutan lahan sawah pertanian di Aceh besar tahun 2007-2010

Kecamatan PenyusutanLahan Sawah

(Ha)

Lhong 25

Lhoknga 15

Leupung 10

Indrapuri 17

Kuta Cot Glie 5

Seulimum 5

Kota Jantho -

Lembah Seulawah 20

Mesjid Raya -

Darussalam 7

Baitussalam 210

Kuta Baro 38

Montasik 25

Ingin Jaya 50

Krueng Barona Jaya 110

Page 93: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

154

Kecamatan PenyusutanLahan Sawah

(Ha)

Sukamakmur 5

Kuta Malaka 2

Simpang Tiga 9

Darul Imarah 30

Darul Kamal 10

Peukan Bada 50

Pulo Aceh -

Blang Bintang 25

Total 673

Sumber: Dinas Pertanian Aceh Besar 2011

Alih fungsi lahan pertanian secara besar-besaran dapat merugikan pertumbuhan sektor pertanian. Alih fungsi lahan pertanian dapat menurunkan kapasitas produksi dan daya serap tenaga kerja yang selanjutnya berdampak pada penurunan produksi pangan dan pendapatan per kapita keluarga tani. Dalam upaya meningkatkan produksi padi, mulai tahun 2012 Pemerintah Kabupaten Aceh Besar mulai mencetak 500 hektare sawah baru di beberapa wilayah. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatan luas sawah yang akan ditanami oleh petani. Perkembangan luas sawah yang ditanam dapat diperhatikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan luas sawah yang ditanam di Aceh Besar (dalam Ha) Tahun

2007-2010.

Kecamatan 2007 2008 2009 2010

Lhong 565 1.115 1.250 1.345

Lhoknga 340 287 435 849

Leupung - 37 112 285

Indrapuri 4.267 4.322 3.787 4.643

Kuta Cot Glie 2.663 1.538 2.498 2.856

Seulimum 4.724 4.173 1.943 5.139

Kota Jantho 182 365 171 777

Lembah Seulawah 1.033 284 421 656

Mesjid Raya 25 5 50 25

Darussalam 4.077 1.627 2.678 4.766

Baitussalam - 103 55 45

KutaBaro 4.416 2.641 1.642 3.871

Montasik 7.187 2.556 3.166 7.357

Ingin Jaya 5.150 2.435 3.827 3.475

Krueng Barona Jaya 414 695 105 1.083

Sukamakmur 3.613 3.670 3.448 2.900

Kuta Malaka 1.159 1.284 1.102 1.219

SimpangTiga 2.010 1.905 1.796 1.441

DarulImarah 726 482 763 706

Darul Kamal 715 130 1.080 715

Peukan Bada 227 115 222 245

Pulo Aceh - 35 35 182

Blang Bintang Na 1.880 3.551 3.371

Total 43.214 31.685 34.137 47.926

Sumber: Aceh Besar Dalam Angka, 2011

Page 94: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Nur Aidar dan Eri Munandar

155

Sampai saat ini studi mengenai jual beli lahan pertanian masih sangat langka padahal pemahaman yang lengkap tentang persoalan ini dapat berkontribusi dalam perumusan strategi kebijakan di bidang pertanahan, terutama dalam hubungannya dengan upaya meminimalkan laju konversi lahan pertanian maupun dalam rangka mengurangi laju fragmentasi lahan pertanian. Penelitian ini mencoba mengetahui pengaruh harga lahan sawah, kebutuhan ekonomi, dan produktivitas tanah terhadap keputusan petani untuk menjual lahan sawah di Kecamatan Darul Imarah kabupaten Aceh Besar.

Sihaloho (2004) menjelaskan bahwa konversi lahan adalah alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian atau dari lahan nonpertanian ke lahan pertanian. Ada 2 (dua) faktor utama yang memengaruhi konversi lahan yaitu 1) faktor pada arus makro yang meliputi perubahan industri, pertumbuhan pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah, dan kemiskinan ekonomi, 2) faktor pada aras mikro yang meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi rumah tangga), dan strategi bertahan hidup rumah tangga.

Dolan dan Simon (2001) menyatakan harga sebagai sejumlah uang atau jasa atau barang yang ditukar pembeli untuk beraneka produk atau jasa yang disediakan penjual. Harga merupakan pengorbanan ekonomis yang dilakukan pelanggan untuk memperoleh produk atau jasa. Selain itu, harga adalah salah satu faktor penting bagi konsumen dalam mengambil keputusan untuk melakukan transaksi atau tidak.

Purwowidodo (1992:2) mengatakan produktivitas tanah (kemampuan suatu tanah untuk menghasilkan suatu tanaman yang diusahakan dengan sistem pengelolaan tertentu) dan kesuburan tanah sebagai kemampuan tanah untuk menyediakan unsur hara merupakan penunjang dalam pertumbuhan tanaman.

Menurut Schiffman dan Kanuk (2000), kebutuhan individu bersifat innate dan yang lainnya dirasakan karena acquired. Innate needs atau kebutuhan utama adalah kebutuhan secara fisiologis seperti sandang, pangan, papan, air, perlindungan dan sebagainya. Kebutuhan ini harus dipenuhi karena menyangkut kelangsungan hidup dari individu.

Beberapa penelitian tentang alih fungsi lahan telah dilakukan seperti Sumaryanto (2010) menyimpulkan bahwa sebagian besar dari faktor-faktor sosial ekonomi yang memengaruhi keputusan petani menjual lahan terkait dengan tingkat pendidikan dan peranan pertanian dalam kehidupan rumah tangga petani. Terdapat kecenderungan yang nyata bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan anggota rumah tangga maka semakin besar peluang rumah tangga petani yang bersangkutan untuk menjual lahan. Di sisi lain, peluangnya menjadi semakin kecil jika pertanian dapat diandalkan sebagai sumber lapangan kerja dan sumber pendapatan rumah tangganya.

Irawan dan Supena (2010) menyebutkan bahwa kegiatan konversi lahan sawah cenderung menimbulkan penurunan produksi persatuan lahan yang semakin besar dari tahun ke tahun, sebaliknya pencetakan sawah cenderung memberikan dampak peningkatan produksi per satuan lahan yang semakin kecil. Kecenderungan demikian terjadi karena konversi lahan sawah semakin bergeser ke daerah dengan teknologi usahatani yang cukup tinggi, sedangkan pencetakan lahan sawah semakin bergeser ke daerah dengan teknologi usahatani yang semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan sumberdaya alam (lahan dan air) yang potensial bagi pencetakan sawah semakin terbatas.

Metode Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ekonomi Sumber Daya Alam khususnya

mengenai Faktor-faktor yang memengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar. Penelitian ini mencoba mencari hubungan variabel harga tanah, kebutuhan ekonomi, dan produktifitas tanah terhadap keputusan menjual

Page 95: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

156

tanah oleh petani. Variabel-variabel yang akan diuji pengaruhnya terhadap keputusan menjual lahan oleh petani di Aceh Besar adalah harga lahan (X1), kebutuhan ekonomi (X2), dan produktivitas tanah (X3).

Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari beberapa instansi yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dinas Pertanian Aceh Besar. Data primer diperoleh melalui observasi langsung dan wawancara terhadap petani pemilik lahan sawah di kecamatan Darul Imarah Aceh Besar.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani di kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar dari 1189 orang petani yang memiliki lahan sawah sendiri diambil sampel dengan kriteria memiliki lahan pertanian sawah yang aktif berproduksi, baik yang berada di Kecamatan Darul Imarah maupun di kecamatan lain dan memiliki lahan dengan tujuan penggarapan bukan untuk investasi. Penetapan jumlah sampel dihitung dengan rumus Slovin dengan tingkat keyakinan 90 persen (α=0,10) (Riduwan, 2004:65), sebagai berikut:

2.1

N

eNn

n = Sampel

N = Jumlah populasi

e2 = Nilai kritis

Berdasarkan data yang bersumber dari Kantor Camat Darul Imarah, jumlah petani

pemilik lahan sawah sebanyak 1189 jiwa sehingga jumlah sampel yang dibutuhkan dapat

dihitung sebagai berikut:

2)1,0(11891

1189

n

89,12

1189n

24,92n

Total sampel digenapkan menjadi 92 sampel. Untuk memperoleh sampel yang baik

maka dilakukan distribusi jumlah sampel berdasarkan distrubusi populasi per

mukim.Adapun rincian perhitungan jumlah sampel per mukim disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Distribusi sampel penelitian per mukim

Mukim Jumlah Petani

Pemilik Lahan Sampel

Pembulatan

Sampel

Daroy/Jempet 551 42,63 43

Lam Ara 362 28,01 28

Lamreung 260 20,12 20

Ulee Susu 16 1,24 1

Total 1189 92 92 Sumber: Kantor Camat Darul Imarah (2012)

Penggunaan Regresi Linear Logistik untuk menguji jika jawaban variabel Y

berbetuk Ya atau Tidak, dengan syarat jika Ya nilainya 1 dan jika Tidak nilainya 0.

Page 96: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Nur Aidar dan Eri Munandar

157

Dengan cara ini, model logistis dapat diperluas untuk kasus ketika pilihannya adalah

antara lebih dari dua alternatif (Gujarati dan Dawn, 2009).

Dimana:

Y = Keputusan menjual lahan

X1 = Harga tanah

X2 = Kebutuhan ekonomi

X3 = Produktifitas lahan

b0 = Konstanta

b1, b2, b3 = Koefisien regresi

ei = errorterm

Definisi Operasional Variabel

Adapun definisi operasional variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1)

keputusan menjual lahan (Y) adalah keputusan petani untuk mau menjual lahan

pertaniannya. Jawaban berbentuk ya bernilai 1 atau Tidak bernilai 0; 2) harga lahan (X1)

adalah harga lahan yang ditawarkan oleh calon pembeli kepada petani. Perhitungan

menggunakan Skala Likert; 3) kebutuhan ekonomi (X2) adalah kebutuhan yang harus

dipenuhi petani baik rutin maupun kebutuhan mendesak. Perhitungan menggunakan

Skala Likert; dan 4) produktivitas lahan (X3) adalah kemampuan lahan berproduksi yang

dilihat dari hasil produksi. Perhitungan menggunakan Skala Likert.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Karakteristik wilayah penelitian

Darul Imarah merupakan salah satu kecamatan di Aceh Besar yang berlokasi dekat

dengan kota Banda Aceh. Darul Imarah beribu kota Lampeunerut. Jumlah penduduk laki-

laki sebanyak 25.625 jiwa dan perempuan sebanyak 26.301 jiwa. Darul Imarah terdiri dari 4

mukim dan 32 desa. Adapun nama-nama permukim dapat diperhatikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Nama pemukiman dan desa di Kecamatan Darul Imarah

Mukim Desa

Mukim Daroy/Jeumpet Garot

Gue Gajah

Geundreng

Jeumpet Ajun

Lampasi Engking

LeuUe / Mata Ie

Pashie Beutong

Punie

Ulee Leung

UleeTuy

Page 97: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

158

Mukim Desa

Mukim Lam Ara Daroy Kameu

Kandang

Lam Bheu

Tingkeum

MukimLamreung Bayu

Lagang

Lam Cot

Lam Kawee

Lamblang Manyang

Lamblang Trieng

Lampeuneurut Gampong

Lampeuneurut Ujong Blang

Lamreung

Lamsiteh

Lheu Blang

Mukim Ulee Susu Denong

Kuta Karang

Lampeuneu-eun

Lamsidaya

Lamtheun

Leugeu

Paya Roeh

Sumber: Kantor Camat Darul Imarah (2012)

Karakteristik Responden

Responden penelitian ini terdiri dari pria maupun wanita. Responden yang dipilih

merupakan respoden yang memiliki lahan pertanian sawah di kecamatan Darul Imarah.

Adapun distribusi responden dapat diperhatikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik Responden

Uraian Responden (orang) Persentase (%)

Umur

31– 40 25 27.17

41– 50 38 41.30

51– 60 28 30.43

61> 1 1.08

Jenis Kelamin

Laki-laki 72 78,3

Perempuan 20 21.74 Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah).

Berdasarkan Tabel 5 responden terbanyak berumur antara 41-50 tahun yang yaitu 38

respoden atau sebesar 41.30 persen. Sementara itu, responden yang berumur diatas 61-70

tahun adalah jumlah respoden paling sedikit yaitu hanya 1 respoden atau sebesar 1,1

Page 98: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Nur Aidar dan Eri Munandar

159

persen. Dari tabel 5 dapat diketahui bahwa di pada lokasi penelitian, umur 41 sampai 50

tahun merupakan umur yang paling banyak memiliki lahan sawah di kecamatan Darul

Imarah dan masih dalam kategori usia produktif sehingga masih mampu menggarap

lahan sawah untuk ditanami padi.

Sementara itu petani di kecamatan Darul Imarah memiliki luas lahan sawah yang

berbeda-beda. Luas lahan minimum yang dimiliki respoden yaitu 250 m2, sedangkan luas

lahan terluas yang dimiliki berukuran 850 m2. Rata-rata luas lahan yang dimiliki hanya

500 m2. Untuk mengetahui luas lahan yang dimiliki oleh respoden dapat dilihat pada

Tabel 6.

Tabel 6. Respoden berdasarkan luas lahan

LuasLahan

(m2) Respoden Persentase

250 17 18.5

300 7 7.6

350 1 1.1

400 8 8.7

450 1 1.1

500 35 38.0

550 1 1.1

600 5 5.4

700 2 2.2

750 9 9.8

800 3 3.3

830 1 1.1

850 2 2.2

Total 92 100.0

Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah).

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa luas lahan terbanyak yang dimiliki petani yaitu

500 m2 yaitu sebanyak 35 respoden. Luas lahan kedua yang terbanyak dimiliki petani

adalah 250 m2 yaitu sebanyak 17 petani. Terdapat juga petani yang memiliki lahan sawah

seluas 850 m2 yaitu sebanyak 2 orang. Kepemilikan lahan oleh respoden tidak hanya

diperoleh dari proses jual beli melainkan juga dari proses warisan. Adapun sumber-

sumber perolehan kepemilikan lahan respoden disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Sumber kepemilikan lahan

Sumber Respoden Persentase

Warisan 66 71.7

Beli 15 16.3

Lain-lain 11 12.0

Total 92 100.0

Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah).

Page 99: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

160

Dari tabel di atas diketahui bahwa 66 respoden memiliki lahan pertanian dari hasil

warisan keluarga, sedangkan 15 respoden dari membeli, sedangkan selebihnya dari upaya

lainnya seperti hibah atau pemberian saudara atau kerabat. Sebanyak 71,7 persen

memiliki lahan dari warisan keluarga karena rata-rata orang tua respoden merupakan

petani dan pemilik lahan di Aceh Besar.

Letak lahan yang dimiliki respoden ada yang terpisah dan ada yang terkumpul pada

satu lokasi. Adapun jenis letak lahan responden disajikan dalam Tabel 8 di bawah ini:

Tabel 8. Lokasi lahan

Letak Respoden Persentase

Satulokasi 49 53.3

Terpisah 43 46.7

Total 92 100.0

Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah).

Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa 49 respoden memiliki lahan yang berada pada

satu lokasi/satu desa atau sebanyak 53,3 persen respoden memiliki lahan pertanian yang

berada pada satu lokasi, sedangkan 43 respoden lainnya memiliki lahan yang terpisah-

pisah /berlainan desa.

Hasil penelitian terhadap 92 responden menunjukkan bahwa tidak seluruh respoden

pernah menjual lahan sawah miliknya. Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa sebesar 84,8

persen atau sebanyak 78 respoden menyatakan bahwa tidak pernah menjual lahan sawah

ke pada pihak lain, sedangkan 14 respoden menyatakan pernah menjual lahan sawah ke

pihak lain.

Tabel 9. Respoden berdasarkan kesediaan menjual lahan

Menjual Respoden Persentase

Tidak 78 84.8

Ya 14 15.2

Total 92 100.0

Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah).

Ada beberapa faktor yang memengaruhi keputusan respoden dalam menjual lahan

salah satunya adalah harga lahan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 65

responden (70,7 persen) menyatakan tidak setuju bahwa bahwa faktor harga

memengaruhi keputusan dalam menjual lahan. Selain menjawab tidak setuju, terdapat

juga 13 responden yang menjawab sangat tidak setuju. Adapun rincian jawaban

responden mengenai faktor harga disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Tanggapan konsumen terhadap harga

Jawaban Respoden Persentase

Sangat tidak setuju 13 14.1

Tidak setuju 65 70.7

Setuju 14 15.2

Total 92 100.0

Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah).

Page 100: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Nur Aidar dan Eri Munandar

161

Selain faktor harga, keputusan respoden juga dipengaruhi oleh faktor kebutuhan. Kebutuhan yang mendesak bisa saja menjadi penentu respoden menjual lahan jika sumber penghasilan lain tidik ada. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 84,8 persen atau sebanyak 78 responden menyatakan tidak setuju bahwa kebutuhan memengaruhi responden untuk menjual lahan sebanyak 12 responden menjawab setuju bahwa produktivitas akan memengaruhi responden dalam menjual lahan. Adapun rincian jawaban responden mengenai kebutuhan disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Tanggapan Konsumen Terhadap Kebutuhan Ekonomi

Jawaban Respoden Persentase

Sangat tidak setuju 2 2,2

Tidak setuju 78 84,8

Setuju 12 13,0

Total 92 100,0

Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah).

Selain faktor harga dan kebutuhan ekonomi, keputusan respoden juga dipengaruhi oleh faktor produktivitas. Sebanyak 74 responden menyatakan tidak setuju bahwa produktivitas lahan memengaruhi keputusan penjualan lahan. Bahkan terdapat 17 respoden yang menyatakan sangat tidak setuju jika faktor produktivitas menyebabkan penjualan lahan. Hanya satu 1 respoden yang setuju jika faktor produktivitas dinyatakan berpengaruh terhadap penjualan lahan. Adapun rincian jawaban responden mengenai produktivitas disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Tanggapan konsumen terhadap produktivitas

Jawaban Respoden Persentase

Sangat tidak setuju 17 18,5

Tidak setuju 74 80,4

Setuju 1 1,1

Total 92 100.0

Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah).

Untuk mengetahui pengaruh harga, kebutuhan ekonomi dan produktivitas terhadap keputusan penualan lahan pertanian di Aceh Besar maka dilakukan uji regresi logistik biner terhadap data-data yang diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner. Pengolahan data menggunakan aplikasi SPSS. Hasil regresi disajikan pada Tabel 13 di bawah ini.

Tabel 13. Hasil regresi

Model Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) -0,253 0,271 -0,936 0,352

Harga 0,148 0,071 0,223 2,077 0,041

Kebutuhan 0,096 0,092 0,109 1,045 0,299

Produktifitas -0,032 0,104 -0,033 -0,308 0,759

a. Dependent Variable: Menjual Lahan

ttabel = 1,290 Fhitung = 1,814 Ftabel = 2,700 R2= 0,058

Sumber: HasilPenelitian, 2012 (diolah)

Page 101: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013

162

Hasil estimasi Tabel 13 harus ditransformasikan agar dapat diinterpretasikan. Hasil

transformasi disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Hasil estimasi parameter model logistik

Variabel Koefisien Anti Ln (-1x100)

harga 0,148 1,1590 15,90

kebutuhan 0,096 1,10075 10,07

produktivitas -0,032 0,9685 -3,14

Sumber: HasilPenelitian, 2012 (diolah)

Hasil uji di atas diintepretasikan sebagai berikut: 1) hasil p-value pada tingkat

keyakinan 10 persen menunjukkan bahwa dari ketiga variabel yang diuji pengaruhnya

terhadap keputusan menjual lahan hanya satu variabel yang menunjukkan pengaruh

positif yaitu harga ketika nilai p-value sama dengan 0,041. Sedangkan variabel kebutuhan

ekonomi dan produktivitas tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap

keputusan menjual lahan sawah di kecamatan Darul Imarah; 2) koefisien Harga (β1)

sebesar 0,148 memiliki arti bahwa jika harga jual tanah ditetapkan lebih tinggi sebesar 1

persen maka akan menambah kecenderungan petani menjual lahan pertaniannya

bertambah sebesar 15,90 dengan asumsi variabel lain dianggap tetap. Artinya jika harga

lahan pertanian yang lebih mahal maka akan meningkatkan peluang penjualan lahan

tersebut; dan 3) untuk koefisien kebutuhan ekonomi (β2) dan produktivitas (β3) tidak

dapat diinterpretasikan karena hasil uji menunjukkan tidak terdapat pengaruh perubahan

kebutuhan dan produktivitas terhadap peluang penjualan lahan pertanian oleh petani di

kecamatan Darul Imarah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa peluang penjualan lahan

akibat adanya peningkatan atau penurunan kebutuhan ekonomi adalah sama, begitu juga

dengan peluang akibat adanya peningkatan dan penurunan produktivitas Hipotesis lahan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Harga lahan sawah memengaruhi petani untuk menjual lahan sawahnya. Peningkatan

harga tanah mampu meningkatkan peluang petani yang memiliki lahan sawah untuk

menjual lahannya. Oleh sebab itu, harga lahan sawah berpengaruh terhadap kegiatan alih

fungsi lahan di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar.

Kebutuhan ekonomi dan produktivitas lahan tidak berpengaruh signifikan terhadap

upaya penjualan lahan sawah. Oleh sebab itu, kebutuhan ekonomi dan produktivitas tidak

berpengaruh terhadap kegiatan alih fungsi lahan di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten

Aceh Besar.

Saran/Rekomendasi

Pemilik lahan diharapkan dapat menjaga ketersedian lahan pertanian sawah di Aceh

Besar tanpa harus tergiur oleh penawaran harga yang diberikan oleh pembeli. Pemerintah

Aceh Besar harus lebih peduli dalam upaya menjaga ketersedian lahan sawah di Aceh

Besar dalam upaya menjamin ketersedian produksi pertanian.

Page 102: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Nur Aidar dan Eri Munandar

163

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2008. Aceh Besar Dalam Angka 2007. BPS Aceh.

------------------------. 2009. Aceh Besar Dalam Angka 2008. BPS Aceh.

------------------------. 2010. Aceh Besar Dalam Angka 2009. BPS Aceh.

------------------------. 2011. Aceh Besar Dalam Angka 2010. BPS Aceh.

Dolan, R.J and H. Simon. 2001. Power Pricing: How Managing Price Transform the Bottom Line. The Free

Press.

Gujarati, N. D and P.C. Dawton. 2009. Basic Econometrics 5th ed. Singapore : Mc. Graw Hill.

Gunanto, E.S., 2007. Konversi Lahan Pertanian Mengkhawatirkan. http://www.tempointeraktif.com

Irawan, Bambang dan Supena Friyatno.---- Dampak Konversi Lahan Sawah di Jawa terhadap Produksi Beras

dan Kebijakan Pengendaliannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Purwowidodo. 1992. Telaah Kesuburan Tanah. Angkasa, Bandung

Riduwan (2004). Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Alfabeta, Bandung

Schiffman, L.G. and L.L. Kanuk. 2000. Consumer Behavior. 7th ed. Prentice Hall. New Jersey: Upper Saddle

River

Sihaloho M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria di Kelurahan Mulyoharjo

Kecamatan Bogor Selatan. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Page 103: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

KETENTUAN PENULISAN ARTIKEL

JURNAL EKONOMI DAN PEMBANGUNAN

Artikel merupakan hasil penelitian atau review kajian analisis kritis bidang ekonomi

dan pembangunan yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dan belum

pernah dipublikasikan atau tidak sedang dikirimkan untuk publikasi lainnya.

1. Artikel adalah hasil karya asli penulis atau tim penulis, bukan hasil plagiasi dalam

bentuk apapun baik sebagian atau seluruhnya. Editor dan BAPPEDA Aceh tidak

dapat dituntut secara hukum karena alasan plagiasi yang ditemukan dalam artikel

yang dimuat.

2. Struktur artikel yang berupa hasil penelitian terdiri atas: Abstrak (100-150 kata)

memuat tentang masalah penelitian, tujuan, metode, hasil penelitian, dan kesimpulan.

Abstrak ini ditulis dalam dua bahasa yaitu: Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Kata kunci atau key words terdiri atas tiga sampai lima kata. PENDAHULUAN

(artikel kajian analisis kritis tanpa sub judul) berisikan tentang alasan penelitian,

perumusan masalah, tujuan dan kegunaan, serta didukung oleh studi kepustakaan dan

penelitian sebelumnya. METODE PENELITIAN memuat tentang metode

penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis. HASIL DAN

PEMBAHASAN berisi tentang hasil penelitian berdasarkan metode dan analisis yang

digunakan dalam penelitian. KESIMPULAN memuat (1) kesimpulan dan (2)

saran/rekomendasi. DAFTAR PUSTAKA memuat semua kutipan yang digunakan

dalam artikel tersebut.

3. Struktur artikel yang berupa hasil review terdiri atas: Abstrak (100-150 kata) memuat

tentang masalah, tujuan, pembahasan, dan kesimpulan. Abstrak ini ditulis dalam dua

bahasa yaitu: Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Kata kunci atau key words terdiri

atas tiga sampai lima kata. PENDAHULUAN (artikel kajian analisis kritis tanpa sub

judul) berisikan tentang alasan penulisan, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan,

serta didukung oleh studi kepustakaan. PEMBAHASAN berisi tentang uraian

penyelesaian permasalahan. KESIMPULAN memuat (1) kesimpulan dan (2)

saran/rekomendasi. DAFTAR PUSTAKA memuat semua kutipan yang digunakan

dalam artikel tersebut.

4. Identitas Penulis (nama, alamat, email, asal lembaga penulis). Identitas penulis adalah

nama resmi penulis dan lembaga penulis, bukan nama samaran atau nama tidak resmi

lainnya.

5. Artikel diketik dengan MS word, dua spasi, huruf times New Roman, ukuran 12 pt

(karakter/inchi) dengan kertas ukuran kuarto. Panjang artikel minimal 15 halaman dan

maksimal 20 halaman, dan margin kiri dan atas 4 cm, margin bawah dan kanan 3 cm.

Semua halaman harus diberi nomor, termasuk lampiran.

6. Apabila terdapat kata/kalimat selain Bahasa Indonesia (bahasa asing) agar

penulisannya di cetak miring (italic).

7. Pengutipan bahan rujukan mengikuti aturan catatan badan (body notes) seperti:

a. Penulis tanggal (Green, 1997)

b. Dua penulis: (Dornbusch dan Fischer, 1994)

c. Penulis lebih dari dua orang: (Hoy et.al., 2001)

d. Dua sumber kutipan dengan dua penulis yang berbeda: (Chiang, 1984; Dowling,

1995)

e. Dua kutipan dengan penulis yang sama tapi tahunnya berbeda: (Friesman, 1972,

1978)

Page 104: ISSN: 0852 - 9124 Jurnal

f. Dua kutipan dari seorang penulis tapi tahunnya sama: (Greene, 1995a, 1995b)

g. Kutipan dari instansi sebaiknya dalam singkatan lembaga tersebut: (BPS, 2001)

8. Daftar pustaka disusun berdasarkan abjad dari nama akhir penulis pertama dan bukan

nomor urut. Daftar pustaka dengan nama penulis (kelompok penulis) yang sama

diurutkan secara kronologis.

Beberapa contoh penulisan daftar pustaka:

Jurnal:

Salim, S. 2004. Reinventing jatidiri koperasi. Jurnal Ekonomi Kewirausahaan. III

(2):1-8.

Buku:

Todaro, M.P. and S.C. Smith, 2003. Pembangunan Ekonomi di Negara Ketiga. 8th

Edition. Pearson Education Limeted, United Kingdom.

Skripsi/Tesis/Disertasi/Laporan penelitian:

Sugiyanto, 2007, Pengaruh Kompetensi dan Komitmen Manajemen Terhadap

Kinerja Keuangan, Promosi Ekonomi Anggota dan Struktur Modal. Disertasi.

PPS Universitas Padjadjaran. Bandung.

Prosiding:

Hamdan, T. Armansyah, M. Hambal, dan Cut Nila Thasmi. 2008. Profil steroid

kambing kacang lokal yang mengalami induksi superovulasi dengan anti-

ingibin hasil isolasi dari sel granulose. Prosiding Seminar Nasional Hasil

Penelitian Antar Universitas “Sains dan Teknologi”. Banda Aceh: 527-533

Website:

BPS, 2010 Luas Areal Perikanan Darat dan Perikanan Umum Menurut

Kabupaten/Kota. Aceh. www.bps.go.id

Artikel dikirim ke alamat redaksi:

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Bidang Penelitian, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan

Sub. Bidang Penelitian dan Pengembangan

Jln. Tgk. H. M. Daud Beureueh No. 26 Banda Aceh

Telp. (0651) 21440 – 29713 dan Facsimilie (0651) 33654

Email: [email protected]

Artikel yang sudah diterima dikategorikan menjadi (a) Diterima tanpa perbaikan, (b)

Diterima dengan perbaikan editor, (c) Diterima dengan perbaikan penulis, dan (d) Ditolak

karena kurang sesuai dengan persyaratan jurnal ini. Artikel yang sudah dimuat hak

ciptanya adalah hak cipta bersama penulis dan BAPPEDA Aceh.