isi usul kp mie
TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mie merupakan jenis makanan yang diperkirakan berasal dari daratan Cina.
Hal ini dapat dilihat dari budaya bangsa Cina, yang selalu menyajikan mie pada
perayaan ulang tahun sebagai simbol untuk umur yang panjang (Juliano dan Hicks,
1990). Dalam perkembangannya, mie merupakan produk yang sangat dikenal di
berbagai belahan dunia. Di Indonesia, mie bahkan telah menjadi pangan alternatif
utama setelah nasi.
Mie merupakan suatu jenis makanan hasil olahan tepung terigu yang sudah
dikenal oleh sebagian besar masyarakat, tidaklah terlalu berlebihan jika jenis
makanan ini digemari oleh berbagai lapisan masyarakat yang telah mengenalnya
(Astawan, 1999). Beragam jenis mie telah dikenal masyarakat, namun mie instan
merupakan ragam mie yang paling popular. Dataconsult (1995) melaporkan bahwa
konsumsi mie instan oleh masyarakat Indonesia pada tahun 1995 sebesar 3.544,5 juta
bungkus atau setara dengan 265.838 ton. Pada tahun-tahun berikutnya konsumsi mie
instan meningkat dengan laju sekitar 25%, dan pada awal tahun 2000-an sekarang ini,
angka ini diperkirakan terus meningkat dengan laju sekitar 15% per tahun. Impor
gandum Indonesia tahun 2002 mencapai 4 juta ton dan angka ini akan terus
meningkat (World Grain,2003 dalam Munarso 2002). Sebagian besar bahan gandum
tadi dibuat tepung terigu dan digunakan sebagai bahan baku pembuatan mie.
1
Perkembangan konsumsi mie pesat memberi pelajaran bahwa mie merupakan
jenis makanan yang sesuai dengan kebutuhan atau preferensi konsumen Indonesia.
Namun di sisi lain, konsumsi mie seperti saat ini berpeluang menurunkan devisa
negara, mengingat mie merupakan produk yang dibuat dari tepung terigu, suatu
komoditas impor. Sementara itu, pembangunan pertanian nasional telah mampu
menghasilkan beragam komoditas sumber karbohidrat yang perlu ditingkatkan
pemanfaatannya, terutama dalam rangka penyediaan pangan alternatif bagi
masyarakat. Oleh sebab itu, pemikiran yang paling sering muncul adalah perlunya
pengembangan teknologi mie berbahan baku tepung selain terigu, misalnya dengan
memanfaatkan tepung beras, sorgum, kasava, sagu dan sebagainya.
Teknologi seperti dimaksud di atas sebenarnya telah tersedia, namun belum
sepenuhnya dapat diterapkan mengingat kelengkapan produksinya, seperti alat proses
produksi, ketersediaan bahan baku secara kontinyu baik kwantitas dan kualitas belum
terpenuhi. Konsistensi produk (dalam arti mutu dan penampilannya) dalam uji coba
skala semi komersial juga belum terjamin. Beberapa teknologi bahkan dihasilkan
melalui proses yang belum didukung dengan perancangan yang memadai.
Praktik kerja lapang yang akan dilakukan difokuskan terhadap proses
pengolahan mie kering. Proses pengolahan mie kering menarik untuk dikaji,
mengingat kualitas suatu produk merupakan salah satu faktor penting dalam
meningkatkan daya saing produk, selain biaya produksi, sehingga akan diketahui
bagaimana proses pengolahan mie kering yang baik yang dilakukan oleh PT Tiga
Pilar Sejahtera Food Tbk. Sragen agar produknya mampu bersaing dipasaran.
2
B. Tujuan Praktik Kerja Lapang
Praktik kerja lapang yang akan dilaksanakan di PT. Tiga Pilar Sejahtera Food
Tbk. Sragen ini dimaksudkan untuk :
1. Mengetahui dan mempelajari proses pengolahan mie kering di PT. Tiga
Pilar Sejahtera Food Tbk. Sragen.
2. Melatih diri berperan aktif dalam beberapa kegiatan pengolahan mie kering
dan mengkaji masalah-masalah yang mungkin ditemui berkaitan dengan
proses pengolahan mie kering untuk dapat memberikan alternatif
pemecahannya dan sebagai bahan pertimbangan perusahaan dalam
pengembangan lebih lanjut.
C. Manfaat Praktik Kerja Lapang
Praktik kerja lapang ini diharapkan memberi manfaat :
1. Menambah wawasan dan pengetahuan khususnya tentang proses
pengolahan mie kering di PT. Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk. Sragen.
2. Menambah pengalaman bekerja dengan cara partisipasi aktif dalam sebagian
proses pengolahan mie kering di PT. Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk. Sragen.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
Mie pertama dibuat dan berkembang di daratan Cina dan hingga kini masih
terkenal sebagai oriental noodle. Kemudian teknologi mie diperkenalkan oleh
Marcopolo kepada para bangsawan di Italia dan kemudian menyebar ke Perancis, dan
dari sana ke seluruh penjuru Eropa. Pada saat ini mie telah dikenal di berbagai negara
di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pembuatan mie juga telah bersifat modern dan
dapat dilakukan secara kontinu (Koswara, 2005).
Mie adalah suatu jenis produk pangan hasil olahan tepung terigu yang dibuat
dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang
diizinkan.
Berdasarkan segi tahap pengolahan dan kadar airnya, mie dapat dibagi
menjadi 5 golongan :
a. Mie mentah/segar adalah mie produk langsung dari proses pemotongan lembaran
adonan. Mie Segar ini sering juga disebut mie mentah. Jenis ini biasanya tidak
mengalami proses tambahan setelah benang mie dipotong (Hoseney, 1994). Mie
segar umumnya memiliki kadar air sekitar 35%, yang oleh karenanya mie ini
bersifat lebih mudah rusak. Namun jika penyimpananya dilakukan dalam
refrigerator, mie segar dapat bertahan hingga 50-60 jam dan menjadi gelap
warnanya bila melebihi waktu simpan tersebut. Agar diterima konsumen dengan
baik, mie segar harus berwarna putih atau kuning muda. Mie ini biasanya dibuat
4
dari terigu jenis keras (hard wheat), agar dapat ditangani dengan mudah dalam
keadaan basah.
b. Mie basah adalah jenis mie yang mengalami proses perebusan setelah tahap
pemotongan. Biasanya mie basah dipasarkan dalam keadaan segar. Kadar air mie
basah dapat mencapai 52% dan karenanya daya simpannya relatif singkat (40 jam
pada suhu kamar). Proses perebusan dapat menyebabkan enzim polifenol-
oksidase terdenaturasi, sehingga mie basah tidak mengalami perubahan warna
selama distribusi. Di Cina, mie basah biasa dibuat dari terigu jenis lunak dan
ditambahkan Kan-sui. Yang dimaksud kan-sui adalah larutan alkali yang tersusun
oleh garam natrium dan kalium karbonat. Larutan ini digunakan untuk
menggantikan fungsi natrium klorida dalam formula. Garam karbonat ini
membuat adonan bersifat alkali yang menghasilkan mie yang kuat dengan warna
kuning yang cerah. Warna tersebut muncul akibat adanya pigmen flavonoid yang
berwarna kuning pada keadaan alkali (Hoseney, 1994).
c. Mie kering adalah mie yang tidak mengalami proses pemasakan lanjut ketika
benang mie telah dipotong, tetapi merupakan mie segar yang langsung
dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 8-10%. Pengeringannya biasanya
dilakukan melalui penjemuran. Karena bersifat kering, daya simpannya juga
relatif panjang dan mudah penanganannya (Hoseney, 1994).
d. Mie goreng adalah mie mentah sebelum dipasarkan lebih dahulu digoreng
(Koswara, 2005).
5
e. Mie instan (mie siap hidang) adalah mie mentah, yang telah mengalami
pengukusan dan dikeringkan sehingga menjadi mie instan kering atau digoreng
sehingga menjadi mie instan goreng (Koswara, 2005). Mie instan dengan kadar air
5-8% biasanya dikemas bersama dengan bumbunya. Dalam keadaan seperti ini,
mie instan memiliki daya simpan yang lama (Hoseney, 1994)
A. Bahan-Bahan Dalam Proses Pembuatan Mie Kering
Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mie. Tepung terigu
diperoleh melalui penggilingan biji gandum dengan kualitas yang baik dan telah
dibersihkan (Ingglet, 1970). Menurut Sunaryo (1985), tepung terigu hasil
penggilingan harus mudah terpecah, kering dan tidak boleh menggumpal jika ditekan,
berwarna putih, bebas dari partikel, tidak berbau asing seperti busuk, berjamur, juga
bebas dari serangga kontaminan asing lainnya. Tepung terigu berfungsi membentuk
struktur mie, sumber protein dan karbohidrat. Kandungan protein utama tepung terigu
yang berperan dalam pembuatan mie adalah gluten. Gluten dapat dibentuk dari
gliadin (prolamin dalam gandum) dan glutenin. Protein dalam tepung terigu untuk
pembuatan mie harus dalam jumlah yang cukup tinggi supaya mie menjadi elastis dan
tahan terhadap penarikan sewaktu proses produksinya.
Pencampuran tepung terigu dengan air disertai pembuatan adonan akan
terbentuk gluten yang bersifat kohesif, elastik dan dapat direntangkan. Adonan yang
bersifat kenyal dan mempunyai daya kembang yang baik memungkinkan dibentuk
6
menjadi lembaran-lembaran tipis dan elastik, selajutnya lembaran dipotong
membentuk tali-tali mie (Gaman,1981). Bahan-bahan lain yang digunakan dalam
pembuatan mie antara lain air, garam, bahan pengembang, zat warna,bumbu dan
telur.
Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dan karbohidrat, melarutkan
garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Pati dan gluten akan mengembang dengan
adanya air. Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH antara 6 – 9, hal ini
disebabkan absorpsi air makin meningkat dengan naiknya pH. Makin banyak air yang
diserap, mie menjadi tidak mudah patah. Jumlah air yang optimum membentuk pasta
yang baik.
Garam berperan dalam memberi rasa, memperkuat tekstur mie,
meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mie serta mengikat air. Garam dapat
menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga pasta tidak bersifat
lengket dan tidak mengembang secara berlebihan.
Putih telur akan menghasilkan suatu lapisan yang tipis dan kuat pada
permukaan mie. Lapisan tersebut cukup efektif untuk mencegah penyerapan minyak
secara berlebihan sewaktu digoreng. Lesitin pada kuning telur merupakan pengemulsi
yang baik, dapat mempercepat hidrasi air pada terigu,dan bersifat mengembangkan
adonan.
7
B. Tahapan Proses Pembuatan Mie Kering
Proses pembuatan mie kering meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
1. Pencampuran (mixing)
Proses mixing merupakan suatu tahapan proses pencampuran bahan
berupa tepung (tepung terigu, tapioka, dan mokaf) dan larutan alkali dengan
komposisi tertentu sesuai dengan jenis produk yang akan dihasilkan hingga
menjadi adonan yang homogen dan teksturnya semi padat.
Penambahan larutan alkali pada adonan bertujuan untuk menambah
elastisitas adonan sehingga diperoleh tekstur yang diinginkan; memberi warna
yang khas pada mie, dan memberi sifat basa pada mie. Air alkali merupakan
larutan yang dibuat dari air murni yang telah mengalami pendinginan dan
ditambah sejumlah garam dan ingredient lain termasuk zat pewarna.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan pada proses mixing adalah:
a. Kondisi adonan dan jumlah larutan alkali yang dibutuhkan
Kondisi yang diinginkan adalah adonan tercampur homogen, memiliki
tekstur yang tidak lembek, dan tidak pera (kadar air 32-34 %). Sedangkan
jumlah larutan alkali yang ditambahkan idealnya ± 30 %.
b. Waktu mixing
Waktu yang digunakan pada proses mixing akan mempengaruhi suhu dan
homogenitas adonan. Semakin lama waktu mixing, suhu adonan akan
semakin tinggi. Tingginya suhu dikhawatirkan akan menyebabkan
8
terjadinya denaturasi protein sehingga adonan kehilangan teksturnya.
Namun, apabila waktu yang digunakan terlalu singkat akan mengurangi
homogenitas adonan.
c. Suhu adonan
Suhu adonan dipertahankan antara 25-38 ºC agar tidak terjadi denaturasi
protein. Namun demikian pada kenyataannya temperatur adonan dapat
mencapai 37 ºC.
2. Pembentukan Untaian
Untuk membentuk untaian mie, adonan yang telah dicampur akan
dilewatkan ke dalam roll press hingga terbentuk lembaran. Tahapan
pembentukan untaian mie terdiri atas proses sheeting dan slitting.
a. Sheeting (pembentukan lembaran)
Merupakan tahapan proses yang bertujuan untuk membentuk lembaran
dari adonan yang dihasilkan pada tahap mixing. Proses pembentukan
lembaran dilakukan dengan melewatkan adonan ke dalam beberapa roll
press sampai diperoleh ketebalan tertentu yang siap untuk slitting menjadi
helaian mie.
b. Slitting (pembentukan untaian)
Slitting (Pembentukan untaian) merupakan suatu tahapan proses dimana
terjadi pemotongan lembaran adonan menjadi helaian yang siap dibentuk
menjadi gelombang mie. Pembentukan untaian dilakukan pada roller
terakhir dilengkapi dengan slitter agar tebentuk untaian mie.
9
c. Pembentukan gelombang dan pembagian jalur mie
Merupakan tahapan proses yang bertujuan untuk membentuk gelombang
mie yang rata dan rapi melalui mangkok slitter dan membaginya ke dalam
beberapa jalur.
3. Steaming
Steaming merupakan proses pengukusan mie yang keluar dari slitter
menggunakan steam dengan tujuan untuk memasak mie mentah menjadi mie
masak secara kontinyu. Dalam proses steaming, terjadi tiga tahap proses
gelatinisasi, yaitu pembasahan, absorbsi, dan pengeringan. Pada proses awal,
mie akan mengalami pembasahan pada permukaannya. Dalam tahap ini mie
masih bersifat plastis (mudah putus). Pada proses kedua mie mulai mengalami
gelatinisasi, dengan penyerapan panas ke dalam mie. Pada tahap ini mie
bersifat liat. Pada tahap ketiga terjadi penguapan air permukaan dan mulai
terbentuk lapisan film tipis pada permukaan sehingga mie menjadi halus dan
kering. Tahap ini disebut dengan solidifikasi karena sifat mie menjadi solid
atau bentuk untaian yang sulit berubah.
Mie yang keluar dari tahap pengukusan mempunyai suhu tinggi serta
mengandung banyak uap. Uap tersebut harus dihilangkan agar tidak
memberikan kondisi yang jenuh pada tahap pengeringan.
10
4. Shapping-Folding
Proses ini merupakan tahapan yang bertujuan untuk memotong mie
sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan, kemudian dilakukan
pelipatan. Pemotongan mie bertujuan untuk memotong lajur mie pada ukuran
tertentu kemudian melipatnya menjadi dua bagian sama besar. Pemotongan
dilengkapi dengan sebuah roller memanjang dengan pisau panjang. Untaian
mie dari conveyor steam box melewati roller kecil melintang yang lebih
menonjol dibanding conveyor dan berfungsi untuk melepaskan untaian mie
dari conveyor steam box. Setelah mengalami pemotongan, mie akan dilipat
menjadi dua bagian dengan bantuan cangkulan, gerakan cangkulan menekan
potongan mie tepat di tengah sehingga akan terbentuk mie yang lipatannya
sama besar. Kecepatan putaran alat cutting diatur tergantung pada ukuran mie
yang akan dihasilkan. Banyaknya potongan mie yang akan dipotong
berpengaruh terhadap waktu yang dibutuhkan saat frying dan cooling. Hal-hal
yang mempengaruhi keberhasilan proses cutting adalah kondisi pisau, folding
box, roll nylon, dan rantai transmisi.
5. Frying
Tujuan proses frying adalah untuk mengurangi kadar air dalam mie
serta memasak mie agar menjadi renyah. Selama proses frying terjadi transfer
panas dan transfer massa yang menyebabkan adanya sifat fisikawi, kimiawi,
dan mikrobiologi.
11
Proses frying dilakukan dengan menggunakan minyak goreng yang
sebelumnya telah dipanaskan terlebih dahulu dengan menggunakan heat
exchanger, maka saat penggorengan berlangsung terjadi perpindahan panas
yang mengakibatkan penguapan air dalam mie sehingga kadar air mie
berkurang. Selama pemanasan tersebut minyak mengalami perubahan warna,
oksidasi, polimerasi, dan hidrolisis. Perubahan-perubahan tersebut tidak
dikehendaki karena akan menyebabkan penurunan mutu yang dihasilkan
terutama karena pembentukan asam lemak bebas (FFA). Maka pada saat
proses pengorengan perlu ditambahkan minyak untuk menggantikan minyak
yang sudah rusak. Pada proses penggorengan, juga perlu dilakukan
pengaturan suhu untuk menjaga kualitas mie yang digoreng dan untuk
menghindari terjadinya case hardening.
6. Cooling
Proses pendinginan di mulai dengan pengangkutan mie panas ke
dalam ruang pendingin mie. Dengan suhu mie yang rendah sebelum dikemas,
maka mie akan lebih awet untuk disimpan di dalam etiket sesuai waktu yang
telah ditentukan. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pendinginan
adalah sebagai berikut:
a. Temperatur udara yang masuk
Temperatur udara yang masuk harus lebih rendah atau sama dengan suhu
kamar (< 32 ºC).
12
b. Jumlah dan kinerja fan
Kemampuan fan akan mempengaruhi jumlah udara yang dihembuskan.
Semakin banyak dan cepat putaran fan, semakin banyak udara yang
dihembuskan maka proses pendinginan akan semakin cepat tercapai.
c. Kondisi gelombang mie
Semakin rapat gelombang mie, maka panas yang ada akan semakin sulit
dibebaskan.
d. Jumlah produk
Semakin banyak mie yang didinginkan, udara segar yang dibutuhkan
semakin banyak dan waktunya semakin lama.
7. Packing
Packing (pengemasan) merupakan tahapan proses akhir yang
bertujuan untuk membungkus mie dengan menggunakan etiket. Pengemasan
dapat digunakan untuk memberikan identitas atau label pada mie dan dapat
melindungi mie dari kerusakan maupun kontaminasi yang menyebabkan
penurunan kualitas. Ada dua tahap pengemasan, yaitu:
a. Pengemasan primer
Pengemasan primer merupakan jenis pengemasan yang kemasannya
langsung bersentuhan dengan mie. Pada kemasan primer juga diberi etiket
atau label yang berisi nama produk, nama perusahaan, ingredient, tanggal
produksi, dan tanggal kadaluwarsa.
13
b. Pengemasan sekunder
Pengemasan sekunder merupakan pengemasan yang dilakukan dengan
cara mengemas kumpulan mie yang telah dikemas dengan menggunakan
kemasan primer dengan menggunakan karton. Karton direkatkan dengan
lakban dan diberi kode produksi setelah itu masuk ke gudang barang jadi.
Tujuan penggunaan karton ini sebagai wadah kedua adalah untuk
memudahkan dalam pengangkutan, distribusi, penyimpanan, dan
pengaturan, serta memberikan perlindungan terhadap kerusakan fisik dan
mekanis (Koswara, 2005).
C. Pengawasan Mutu dan HACCP
Mutu merupakan gambaran dan karakteristik menyeluruh suatu barang yang
menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan ataupun
yang tersirat. Keragaman mutu sangat penting untuk eksistensi produk yang
diperdagangkan. Mutu suatu barang merupakan jaminan yang akan memberi
keyakinan kepada konsumen (jaminan mutu eksternal) dan management
pengelolanya sendiri (jaminan internal).
Pengendalian mutu merupakan suatu usaha untuk mempertahankan mutu pada
tingkatan - tingkatan dan toleransi yang dapat diterima oleh konsumen. Pengendalian
mutu melibatkan teknik dan kegiatan operasional ditujukan untuk proses atau
menghilangkan penyebab timbulnya hasil yang kurang baik pada rangkaian mutu yang
relevan agar tercapai hasil guna yang ekonomis (Ishikawa, 1992).
14
Dalam melaksanakan pengendalian mutu, perusahaan mie kering mengadakan
pendekatan-pendekatan untuk meminimalkan kerugian karena mutu yang tidak baik.
Menurut Ahyari (1990), pendekatan-pendekatan dalam pengendalian kualitas adalah
sebagai berikut :
1. Pendekatan bahan baku.
Pengendalian kualitas atau mutu dengan pendekatan ini menitikberatkan
pada bahan baku yang akan digunakan pada proses produksi. Pengendalian mutu
bahan baku dimulai dari mencari bahan baku yang sesuai sampai dengan menjaga
kualitas bahan baku agar tidak rusak atau menurun pada waktu akan digunakan.
2. Pendekatan proses produksi.
Pengendalian kualitas dengan pendekatan ini dimulai dari saat bahan baku
masuk ke proses produksi sampai menghasilkan produk. Pengendalian
dimaksudkan agar kesalahan-kesalahan proses produksi yang menurunkan
kualitas dapat diminimalkan.
3. Pendekatan produk akhir
Pendekatan produk akhir dilakukan dalam upaya untuk melihat kualitas
produk akhir dengan melakukan pengujian-pengujian kualitas terhadap produk yang
dihasilkan.
Mutu produk akhir tidak terpisahkan dari mutu bahan mentah dan kondisi
prosesingnya. Produk berkualitas unggul hanya dapat tercapai apabila dalam proses
produksi menggunakan bahan mentah yang bermutu tinggi serta kondisi prosesing
15
yang terkontrol. Standar mutu produk akhir tidak akan terpenuhi apabila salah satu
faktor tersebut tidak terpenuhi.
Terdapat tiga metode yang biasa dilakukan untuk pengawasan mutu suatu
produk pangan, yaitu metode fisik, metode kimia, dan metode mikrobiologis. Setiap
metode mempunyai kelebihan dan kekurangan masing - masing. Sehingga pabrik
berskala besar sering mengkombinasikan antara metode-metode tersebut untuk
memperoleh hasil dengan mutu yang lebih baik. Syarat mutu terhadap suatu produk
meliputi kriteria terhadap keadaan (karakteristik sensorik), komponen kimia, (Cu, Pb,
Zn, Hg), cemaran mikrobia.
Metode quality control yang paling populer pada industri pangan adalah
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). HACCP merupakan manajemen
resiko untuk menjamin keamanan pangan dan merupakan sistem pengawasan yang
bersifat mencegah atau preventif. HACCP adalah suatu analisis yang dilakukan
terhadap bahan produk atau proses yang harus mendapatkan pengawasan yang ketat
untuk menjamin bahwa produk yang dihasilkan aman dan memenuhi persyaratan
yang telah ditentukan. Tujuan HACCP adalah untuk memastikan prinsip sanitasi dan
hygiene dalam proses pengolahan pangan sehingga dihasilkan produk yang aman dan
memberikan bukti telah mengikuti aturan pengamatan (Mariot, 1999).
D. Sanitasi dan Penanganan Limbah
Industri pengolahan pangan berskala besar mempunyai perhatian yang besar
terhadap sanitasi yang berhubungan dengan proses produksi dan lingkungannya.
Sanitasi yang perlu diperhatikan dalam industri pangan mencakup sanitasi bahan,
16
pengolahan, pekerja dan sanitasi lingkungan. Kegiatan sanitasi dalam industri pangan
meliputi kegiatan secara aseptik dalam persiapan, pengolahan dan pengemasan
produk, pembersihan pabrik,dan lingkungan sekitar pabrik, dan kesehatan pekerja.
Limbah pengolahan pangan pada umumnya ditandai dengan adanya
kandungan benda padat yang tinggi dan BOD yang tinggi dalam hubungannya
dengan bahan buangan dari rumah tangga. Istilah pollution equivalent sering
digunakan untuk menunjukkan persoalan-persoalan yang ada dalam penanganan dan
pembuangan limbah pengolahan pangan (Buckle, et al.,1987).
Benda-benda buangan dari pengolahan pangan terutama adalah benda padat
dan cair, dan keduanya harus dibuang atau diubah bentuknya sehingga dapat berguna
atau mempunyai nilai. Evaluasi yang teliti dari bahan buangan yang dihasilkan sering
dapat menghasilkan penyelesaian ekonomis yang memuaskan (Buckle, et al.,1987).
Pengambilan kembali dan pengubahan limbah bahan pangan menjadi sangat
penting dilihat dari segi ekonomi pada industri pangan. Hal ini memungkinkan
pemanfaatan maksimal dari bahan mentah dan memperkecil persoalan polusi dan
penanganan limbah (Buckle, et al.,1987).
Menurut Buckle et al. (1987), pada umumnya cara penanganan limbah yang
digunakan tergantung pada:
1. Ada tidaknya, seberapa jauh (tempatnya), seberapa besar dan jenis dari pabrik
penanganan limbah dalam daerah tersebut.
2. Tingkat penanganan yang diperlukan untuk membuat saluran-saluran yang
memadai menuju agen-agen pengatur yang mengawasi pembuangan limbah.
17
3. Biaya penanganan.
4. Lapangan tanah yang tersedia untuk penanganan dan pembuangan.
Menurut Jenie dan Rahayu (1993), terdapat enam prinsip penanganan limbah.
Keenam cara tersebut antara lain:
1. Penanganan pendahuluan (pre treatment), pada penanganan ini biasanya
partikel yang berukuran agak besar seperti benda-benda mengapung atau
benda mengendap dapat dipisahkan sehingga tidak mengganggu proses
selanjutnya.
2. Penanganan primer (primary treatment), dilakukan untuk melengkapi tahap
pendahuluan. Pada proses ini kadang-kadang dilakukan penambahan bahan
kimia untuk membantu terjadinya penggumpalan sehingga pengendapan lebih
cepat terjadi. Selain dengan cara pengendapan bisa juga dilakukan dengan
cara pengapungan yaitu dengan menghembuskan udara dari bawah sehingga
partikel-partikel akan mengapung dan mudah dipisahkan.
3. Penanganan sekunder (secondary treatment), dilakukan dengan cara
mengurangi kandungan bahan organik pada limbah dengan bantuan mikroba.
Aerasi kadang-kadang diperlukan untuk memperbanyak mikroba aerobik.
4. Penanganan tersier (tertiary treatment), merupakan lanjutan dari proses
biologik dimana biasanya digunakan berbagai jenis saringan seperti saringan
pasir, saringan multimedia, saringan mikro,saringan vakum, dan berbagai
saringan lain tergantung kebutuhan.
18
5. Tahap desinfektasi, tujuan dari proses ini adalah untuk menurunkan atau
menghilangkan mikroba patogen dengan berbagai cara yaitu fisik atau dengan
menggunakan bahan kimia.
6. Proses lanjutan adalah proses untuk menangani lumpur sebagai hasil olahan
limbah agar dapat digunakan untuk keperluan yang bermanfaat.
19
III. MATERI DAN METODE
A. Waktu dan Tempat
Pelaksanaan Praktik Kerja Lapang direncanakan akan dilaksanakan selama
kurang lebih satu bulan (25 hari kerja) pada bulan Januari sampai dengan Februari
2011 di PT. Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk. Sragen
B. Materi Praktik Kerja Lapang
Materi yang akan dikaji dalam praktik kerja lapang ini adalah :
1. Kondisi Umum Perusahaan
a. Sejarah dan Perkembangan perusahaan.
b. Struktur organisasi perusahaan.
c. Tenaga kerja
2. Proses Pengolahan
a. Bahan baku.
b. Proses pengolahan.
c. Alat dan mesin produksi.
3. Pengawasan Mutu Proses Pengolahan dan HACCP
4. Sanitasi dan Pengelolaan Limbah
20
C. Metode Praktik Kerja Lapang
Metode yang digunakan dalam praktik kerja lapang adalah :
1. Survei langsung terhadap kegiatan proses pengolahan mie kering di PT. Tiga
Pilar sejahtera Food Tbk. Sragen
2. Partisipasi aktif dalam proses pengolahan mie kering di PT. Tiga Pilar
sejahtera Food Tbk. Sragen
3. Wawancara kepada karyawan dan petugas lain di PT. Tiga Pilar sejahtera
Food Tbk. Sragen
Pengambilan data dalam praktik kerja lapang ini meliputi :
1. Pengambilan data primer
a. Wawancara dengan karyawan dan petugas lain di PT. Tiga Pilar sejahtera
Food Tbk. Sragen
b. Berpartisipasi aktif dalam sebagian tahapan proses pengolahan.
c. Observasi terhadap kegiatan dan hasil pengolahan mie kering.
2. Pengambilan data sekunder:
a. Data – data dari PT. Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk. Sragen
b. Dokumen, data, catatan, buku, pustaka dan segala informasi mengenai
pengolahan mie kering.
21
IV. JADWAL PELAKSANAAN PRAKTIK KERJA LAPANG
Jadwal pelaksanaan praktik kerja lapang dilaksanakan selama 25 hari kerja
yaitu mulai bulan Januari 2010 minggu ke empat sampai dengan bulan Februari 2010
dengan jadwal pelaksanaan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Jadwal pelaksanaan Praktik Kerja Lapang
No KegiatanMinggu
I II III IV
1Persiapan dan pengenalan kondisi
lingkungan perusahaan
2
Pelaksanaan dan pengambilan data
primer kegiatan pengolahan pada
produksi mie kering
3Pelaksanaan dan Pengambilan data
primer dan sekunder di lapang
4
Mengolah data untuk persiapan
penyusunan laporan Praktik Kerja
Lapang
22