interna case

29
STATUS PASIEN I. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. A Umur : laki laki TTL : Probolinggo, 20 Mei 1977 Usia : 33 tahun Status : Menikah Pekerjaan : Pedagang Alamat : Pulo gadung Masuk RS : 5 Januari 2013 II. ANAMNESA (Auto & Alloanamnesa, tanggal 16 Januari 2013) Keluhan Utama : Sesak napas Keluhan Tambahan : Cepat lelah (+) Nyeri perut (+) Mual (+), muntah (+) Nafsu makan menurun (+), Begah (+) BAB Berdarah (+) Riwayat Muntah Darah (+) Riwayat Penyakit Sekarang Os hari rawat ke 11, Sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit os merasa sesak nafas, sesak

Upload: puspita-dewi-kusuma

Post on 08-Aug-2015

161 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

sirosis

TRANSCRIPT

Page 1: Interna case

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. A

Umur : laki laki

TTL : Probolinggo, 20 Mei 1977

Usia : 33 tahun

Status : Menikah

Pekerjaan : Pedagang

Alamat : Pulo gadung

Masuk RS : 5 Januari 2013

II. ANAMNESA (Auto & Alloanamnesa, tanggal 16 Januari 2013)

Keluhan Utama : Sesak napas

Keluhan Tambahan :

– Cepat lelah (+)

– Nyeri perut (+)

– Mual (+), muntah (+)

– Nafsu makan menurun (+), Begah (+)

– BAB Berdarah (+)

– Riwayat Muntah Darah (+)

Riwayat Penyakit Sekarang

Os hari rawat ke 11, Sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit os

merasa sesak nafas, sesak dirasakan terus menerus dan mulai dirasakan ketika

perut mulai membesar yang semakin membesar sejak 1 tahun yang lalu, sesak

nafas semakin parah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

Keluhan perut membesar ini disertai benjolan pada pusat sejak 6 bulan

lalu, awalnya benjolan masih bisa dimasukkan tetapi sejak 3 bulan terakhir

benjolan terasa nyeri bila disentuh dan sulit dimasukkan, pasien juga

Page 2: Interna case

mengeluh badan lemas, nafsu makan berkurang karena terasa begah sehingga

berat badan penderita dirasakan semakin lama semakin berkurang.

Keluhan perut membesar ini tidak disertai jantung berdebar, sesak nafas

bila melakukan aktivitas disangkal, sering terbangun pada malam hari.

Bengkak juga dirasakan pada kedua kaki tetapi tidak disertai bengkak pada

kelopak mata. Tidak ada keluhan batuk-batuk lama dan sering berkeringat

pada malam hari.

Riwayat sakit kuning tidak ada, riwayat transfuse darah dan mengalami

pembedahan tidak ada. Riwayat sering minum minuman beralkohol,

mengkonsumsi jamu-jamuan tidak ada.

Penderita juga mengeluh mata kuning dan bab berwarna kehitaman 1x,

riwayat muntah darah 2x pada saat perawatan sebelumnya. Os sudah di

transfusi 4 kali pada perawatan sebelumnya.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi, gula, paru-paru disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat hipertensi, gula, paru-paru pada keluarga disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status Present

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Tinggi Badan : 168 cm

Berat Badan : 60 kg sebelum asites

Status Gizi :

Tanda Vital

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Nadi : 110 x/menit

Suhu : 36.5 º C

Page 3: Interna case

Pernafasan : 26 x/menit

Status generalis

Kepala

Bentuk : Normochephal, Distribusi merata

Rambut : Lurus, warna hitam, tidak mudah dicabut

Mata : Konjuntiva anemis (+/+), sclera ikterik (+/+), palpebra

Tidak edema

Hidung : Mukosa tidak hiperemis, sekret (-), septum deviasi (-)

Telinga :Daun telinga utuh, Normotia serumen (-)

Mulut : Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tenang

Leher

Inspeksi : Trakea di tengah

Palpasi : Perbesaran kelenjar getah bening (-)

Perbesaran Tiroid (-)

Thorax

Jantung

Inspeksi : Ictus Cordis terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba

Perkusi : Batas Kanan : Sela iga VI pada garis parasentralis

kanan

Batas Kiri : Sela iga VI gairs parasternal kiri

Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo

Inspeksi : Pergerakan nafas dinamis, pelebaran sela iga (-), retraksi (-),

spider nevi

Palpasi : Fremitus taktil kanan-kiri normal

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Page 4: Interna case

Auskultasi : Suara nafas Vesikuler, Ronkhi -/-, wheezing -/-

Abdomen

Inspeksi : Cembung, Herniasi umbilikalis (+) ukuran 6x5x2 cm, Venektasi

(+)

Palpasi : Dinding perut agak tegang, Hepar Lien sulit dinilai, Nyeri tekan

(+)

Perkusi : Redup, shifting dullness (+), nyeri ketok (+)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas

Akral hangat, edema -/-

Genital

Skrotum edema ?

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

10-1-13

Albumin 2,1

11-1-13

Albumin 2,3

13-1-13

Hb : 5,7

Leukosit : 5,05

Trombosit : 73

Ht : 16

14-1-13

Hb : 7,4

Leuko : 3,94

Trombosit : 50

Ht : 22

15-1-13

USG Abdomen

Hati mengecil, limfa membesar,

asites banyak Sol tidak terlihat.

DD/

Asites masih

18-1-13

Masa perdarahan 2,30 menit

Masa pembekuan 4,30 menit

Kimia klinik

Protein total 5,0 g/dl

Albumin 1,9 g/dl

Page 5: Interna case

Sirosis lanjut Bill total 8,2 mg/dl

Bill direk 4,0 mg/dl

Bill indirek 4,2 mg/dl

Ureum darah 67

Kreatinin 0,7

Elektrolit

Na 135 mEq/dl

K 4,5 mEq/dl

Cl 98 mEq/dl

21-1-13

Masa perdarahan 2,00 menit

Masa pembekuan 4,30 menit

PT 19,4 detik

APTT 77,1 detik

Penanda hepatitis

HBsAg (Kualitatif) Reaktif

125,91 S/CO

Protein total 5,4 g/dl

Albumin 2,5 g/dl

V. RESUME

Anamnesis :

Laki-laki 35 tahun dengan keluhan dyspneu sejak 7 hari sebelum masuk

rumah sakit, dyspneu dirasakan sejak perut membesar 1 tahun lalu, bila perut

berkontraksi os merasa nausea. Terdapat hernia umbilkalis sejak 6 bulan yang

masih bisa dimasukkan tetapi sejak 3 bulan terakhir hernia umbilikalis terasa

nyeri bila disentuh dan sulit dimasukkan. Kedua kaki juga bengkak dan melena

1x, Os pernah dirawat dengan keluhan hematemesis.

PF :

Mata : Konjungtiva anemis (+/+)

Sklera ikterik (+/+)

Page 6: Interna case

Abdomen : LP = 95cm

Inspeksi : cembung, venektasi (+), hernia umbilikalis (+)

Auskultasi : BU (+)

Perkusi : Redup pada keempat kuadran abdomen, Shifting

dullness (+)

Palpasi : Nyeri tekan (+), Hepar dan Spleen sulit dinilai

Ekstremitas bawah : udem pretibial (+/+)

Pemeriksaan penunjang :

USG Abdomen 15 januari 2013

Hati mengecil, limfa membesar, asites banyak, SOL tidak terlihat

DD/ Asites massif

Sirosis lanjut

Lab 21 januari 2013

HBsAg Reaktif

Albumin 2,5 mg/dl

VI. DAFTAR MASALAH

1. Asites dengan hipoalbumin e.c Sirosis hepatis

2. Melena e.c Suspek varises esofagus

3. Hernia Umbilikalis

VII. ASSESMENT

1. Asites dengan hipoalbumin e.c sirosis hepatis

Anamnesis : Sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit os merasa sesak

nafas, sesak dirasakan terus menerus dan mulai dirasakan ketika perut

mulai membesar yang semakin membesar sejak 1 tahun yang lalu, sesak

nafas semakin parah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Os juga

mengeluh nausea dan vomitus.

Page 7: Interna case

Pemeriksaan Fisik : TTV : RR : 26x Mata : Sclera : ikterus (+)/(+) Abdomen :

I : CembungA : BU : normal, 6x/menitP : nyeri tekan (+), Hepatomegali, splenomegali sulit dinilaiP : redup diseluruh kuadran abdomen, Shifting dullness (+)

Ekstremitas bawah : Udem pretibial (+/+)

Pemeriksaan penunjang : USG Abdomen 15 januari 2013

Hati mengecil, limfa membesar, asites banyak, SOL tidak terlihat

DD/ Asites massif

Sirosis lanjut

Lab 21 januari 2013

HBsAg Reaktif

Albumin 2,5 mg/dl

Penatalaksanaan :

O2 nasal kanul : 2-4 L /menit bila sesak

Letonal 2x1

Lasix inj 2x1

Albumin 20%

Vomizol 2x1

Rantin 2x1

2. Melena e.c suspek varises esofagus

Anamnesis : BAB berwarna kecoklatan 1x, riwayat hematemesis 2x pada

perawatan sebelumnya

Pemeriksaan Fisik :

Mata : konjungtiva anemis (+/+)

Page 8: Interna case

Pemeriksaan penunjang :

Hb : 7,4

Planning :

Endoskopi

Penatalaksanaan :

Vit K 2x1

Transamin 2x1

3. Hernia umbilikalis

Anamnesis : Benjolan pada umbilicus sejak 6 bulan, awalnya benjolan

masih bisa dimasukkan tetapi sejak 3 bulan benjolan terasa nyeri bila

disentuh dan sulit dimasukkan kedalam perut.

Pemeriksaan fisik :

Abdomen :

Inspeksi : Herniasi umbilikalis ukuran 6x5x2cm, Rubor (+)

Palpasi : Nyeri tekan (+)

Planning :

Konsul bedah

VIII. PROGNOSA

Quo ad Vitam : Dubia ad malam

Quo ad Fungtionam : Dubia ad malam

Page 9: Interna case

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Sirosis Hepatis

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir

fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dnegan distorsi dari arsitektur

hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis

hepatoselular. Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi

jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis parenkim hati.

Patofisiologi Fibrosis

Terjadinya fibrosis hati menggambarkan kondisi ketidakseimbangan antara

produksi matriks ekstraseluler dan proses degradasinya. Matriks ekstraseluler, yang

merupakan tempat perancah (scaffolding) normal untuk hepatosit, terdiri dari jaringan

kolagen (terutama tipe I, III, dan V), glikoprotein, dan proteoglikan. Sel-sel stelata berada

dalam ruangan perisinusoidal, merupakan sel penting untuk memproduksi matriks

ekstraseluler. Sel-sel stelata, dulu bernama sel Ito, juga liposit, atau sel-sel perisinusoidal,

dapat mulai diaktivasi menjadi sel pembentuk kolagen oleh berbagai faktor parakrin.

Beberapa faktor dapat dilepas atau diproduksi oleh sel-sel hepatosit, sel-sel Kupfer, dan

endotel sinusoid pada saat terjadi kerusakan hati . sebagai contoh,

Tatalaksana Asites dan Edema

Untuk mengurangi edema dan asites, pasien dianjurkan membatasi asupan garam

dan air. Jumlah diit garam yang dianjurkan biasanya sekitar dua gram per hari, dan cairan

sekitar satu liter sehari.

Kombinasi diuretik spironolakton dan furosemide dapat menurunkan dan

menghilangkan edema dan asites pada sebagian besar pasien. Bila pemakaian diuretik

tidak berhasil (asites refrakter), dapat dilakukan parasentesis abdomen untuk mengambil

cairan asites secara langsung dari rongga perut. Bila asites sedemikian besar sehingga

menimbulkan keluhan nyeri akibat distensi abdomen, dan atau kesulitan bernafas karena

keterbatasan gerakan diafragma, parasentesis dapat dilakukan dalam jumlah lebih dari 5

liter (large volume paracentesis = LVP). Pengobatan lain untuk asites refrakter adalah

TIPS (Transjugular Intravenous Portosystemic Shunting) atau transplantasi hati.

Page 10: Interna case

ASITES

Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum. Asites

dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Pada dasarnya penimbunan cairan di rongga

peritoneum dapat terjadi melalui 2 mekanisme dasar yakni transudasi dan eksudasi.

Asites yang ada hubungannya dengan sirosis hati dan hipertensi porta adalah salah satu

contoh penimbunan cairan di rongga peritoneum yang terjadi melalui mekanisme

transudasi. Asites jenis ini paling sering dijumpai di Indonesia. Asites merupakan tanda

prognosis yang kurang baik pada beberapa penyakit. Asites juga menyebabkan

pengelolaan penyakit dasarnya menjadi semakin kompleks. Infeksi pada cairan asites

akan memperberat perjalanan penyakit dasarnya oleh karena itu asites harus dikelola

dengan baik. Pada bagian ini terutama akan dibahas lebih dalam asites akibat sirosis hati

dan hipertensi porta.

PATOFISIOLOGI

Ada beberapa teori yang menerangkan patofisiologi asites transudasi. Teori-teori

itu misalnya underfilling, overfilling, dan periferal vasodilation. Menurut teori

underfilling, asites dimulai dari volume cairan plasma yang menurun akibat hipertensi

porta dan hipoalbuminemia. Hipertensi porta akan meningkatkan tekanan hidrostatik

venosa ditambah hipoalbuminemia akan menyebabkan transudasi, sehingga volume

cairan intravaskular menurun. Akibat volume cairan intravaskular menurun, ginjal akan

bereaksi dengan melakukan reabsorpsi air dan garam melalui mekanisme neurohormonal.

Sindrom hepatorenal terjadi bila volume cairan intravaskular sangat menurun. Teori ini

tidak sesuai dengan hasil penelitian selanjutnya yang menunjukkan bahwa pada pasien

sirosis hati terjadi vasodilatasi perifer, vasodilatasi splanchnic bed, peningkatan volume

cairan intravaskular dan curah jantung.

Teori overfilling mengatakan bahwa asites dimulai dari ekspansi cairan plasma

akibat reabsorbsi air oleh ginjal. Gangguan fungsi itu terjadi akibat peningkatan aktifitas

hormon anti-diuretik (ADH) dan penurunan aktifitas hormon natriuretik karena

penurunan fungsi hati. Teori overfilling tidak dapat menerangkan kelanjutan asites

menjadi sindrom hepatorenal. Teori ini juga gagal menerangkan gangguan

neurohormonal yang terjadi pada sirosis hati dan asites. Evolusi dari kedua teori itu

Page 11: Interna case

adalah teori vasodilatasi perifer. Menurut teori ini, faktor patogenesis pembentukan asites

yang amat penting adalah hipertensi porta yang sering disebut sebagai faktor lokal dan

gangguan fungsi ginjal yang sering disebut faktor sistemik.

Akibat vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid terjadi peningkatan resistensi sistem

porta dan terjadi hipertensi porta. Peningkatan resistensi vena porta diimbangi dengan

vasodilatasi splanchnic bed oleh vasodilatasi endogen. Peningkatan resistensi sistem

porta yang diikuti oleh peningkatan aliran darah akibat vasodilatasi splanchnic bed

menyebabkan hipertensi porta menjadi menetap. Hipertensi porta akan meningkatkan

tekanan transudasi terutama di sinusoid dan selanjutnya kapiler usus. Transudat akan

terkumpul di rongga peritoneum. Vasodilator endogen yang dicurigai berperan antara

lain: glukagon, nitric oxide (NO), calcitonine gene related peptide (CGRP), endotelin,

faktor natriuretik atrial (ANF), polipeptida vasoaktif intestinal (VIP), substansi P,

prostaglandin, enkefalin, dan tumor necrosis factor (TNF).

Vasodilator endogen pada saatnya akan memengaruhi sirkulasi arterial sistemik;

terdapat peningkatan vasodilatasi perifer sehingga terjadi proses underfilling relatif.

Tubuh akan bereaksi dengan meningkatkan aktifitas sistem saraf simpatik, sistem renin-

angitensin-aldosteron dan arginin vasopresin. Akibat selanjutnya adalah peningkatan

reabsorpsi air dan garam oleh ginjal dan peningkatan indeks jantung.

DIAGNOSIS

Asites lanjut amat mudah dikenali. Pada inspeksi akan tampak perut membuncit

seperti perut katak, umbilikus seolah bergerak ke arah kaudal mendekati simpisis os

pubis. Sering dijumpai hernia umbilikalis akibat tekanan intraabdomen yang meningkat.

Pada perkusi, pekak samping meningkat dan terjadi shiffting dullness. Asites yang masih

sedikit belum menunjukkan tanda-tanda fisis yang nyata. Diperlukan cara pemeriksaan

khusus misalnya dengan pudle sign untuk menemukan asites. Pemeriksaan penunjang

yang dapat memberikan informasi untuk mendeteksi asites adalah unltrasonografi. Untuk

menegakkan diagnosis asites, ultrasonografi mempunyai ketelitian yang tinggi.

Page 12: Interna case

Parasentesis diagnostik sebaiknya dilakukan pada setiap pasien asites baru.

Pemeriksaan cairan asites dapat memberikan informasi yang sangat penting untuk

pengelolaan selanjutnya, misalnya:

1. Gambaran makroskopik.

Cairan asites hemoragik sering dihubungkan dengan keganasan. Warna

kemerahan dapat juga dijumpai pada asites karena sirosis hati akibat ruptur

kapiler peritoneum. Chillous ascites merupakan tanda ruptur pembuluh limfe,

sehingga cairan limfe tumpah ke peritoneum.

2. Gradien nilai albumin serum dan asites (serum ascites albumine gradient).

Pemeriksaan ini sangat penting untuk membedakan asites yang ada hubungannya

dengan hipertensi porta atau asites eksudat

PENGOBATAN

Pengobatan asites transudat sebaiknya dilakukan secara komprehensif, meliputi:

1. Tirah baring.

Tirah baring dapat memperbaiki efektifitas diuretika, pada pasien asites transudat

yang berhubungan dnegan hipertensi porta, perbaikan efek diuretika tersebut

berhubungan dengan perbaikan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus akibat

tirah baring. Tirah baring akan menyebabkan aktifitas simpatis dan sistem renin-

angiotensin-aldosteron menurun. Yang dimaksud tirah baring disini bukan

istirahat total di tempat tidur sepanjang hari, tetapi tidur terlentang, kaki sedikit

diangkat, selama beberapa jam setelah minum obat diuretika.

2. Diet.

Diet rendah garam ringan sampai sedang dapat membantu diuresis. Konsumsi

garam (NaCl) perhari sebaiknya dibatasi hingga 40-60meq/hari. Hiponatremia

ringan sampai sedang bukan merupakan kontraindikasi untuk memberikan diet

rendah garam, mengingat hiponatremia pada pasien asites transudat bersifat

relatif. Jumlah total Na dalam tubuh sebenarnya di atas normal. Biasanya diet

Page 13: Interna case

rendah garam yang mengandung NaCl kurang dari 40 mEq/ hari tidak diperlukan.

Konsentrasi NaCl yang sangat rendah justru dapat mengganggu fungsi ginjal.

3. Diuretika.

Diuretika yang dianjurkan adalah diuretika yang bekerja sebagai

antialdosteron, misalnya spironolakton. Diuretika ini merupakan diuretika hemat

kalium, bekerja di tubulus distal dan menahan reabsorpsi Na. Sebenarnya potensi

natriuretik diuretika distal lebih rendah dari pada diuretika loop bila etiologi

peningkatan air dan garam tidak berhubungan dengan hiperaldosteronisme.

Efektifitas obat ini lebih bergantung pada konsentrasinya di plasma, semakin

tinggi semakin efektif. Dosis yang dianjurkan antara 100-600 mg/hari. Jarang

diperlukan dosis yang lebih tinggi lagi.

Diuretika loop dibutuhkan sebagai kombinasi. Diuretika ini sebenarnya

lebih berpotensi daripada diuretika distal. Pada sirosis hati, karena mekanisme

utama reabsorpsi air dan natrium adalah hiperaldosteronisme, diuretika loop

menjadi kurang efektif.

Target yang sebaiknya dicapai dengan terapi tirah baring, diet rendah

garam dan terapi diuretika adalah peningkatan diuresis sehingga berat badan turun

400-800 gram/hari. Pasien yang disertai edema perifer penurunan berat badan

dapat sampai 1500 gram/hari. Sebagian besar pasien berhasil baik dengan terapi

kombinasi tirah baring, diet rendah garam dan diuretika kombinasi. Setelah cairan

asites dapat dimobilisasi, dosis diuretika dapat disesuaikan. Biasanya diet rendah

garam dan spironolakton masih tetap diperlukan untuk mempertahankan diuresis

dan natriuresis sehingga asites tidak terbentuk lagi.

Komplikasi diuretika pada pasien sirosis hati harus diwaspadai.

Komplikasi itu misalnya: gagal ginjal fungsional, gangguan elektrolit, gangguan

keseimbangan asam-basa, dan ensefalopati hepatikum. Spironolakton dapat

menyebabkan libido menurun, ginekomastia pada laki-laki, dan gangguan

menstruasi pada perempuan.

Page 14: Interna case

Hemat kalium

Diuretik yang mempertahankan kalium menyebabkan diuresis tanpa

kehilangan kalium dalam urine. Yang termasuk dalam klompok ini antara lain

aldosteron, traimteren dan amilorid.

Antagonis Aldosteron

Aldosteron adalah mineralokortikoid endogen yang paling kuat. Peranan

utama aldosteron ialah memperbesar reabsorbsi natrium dan klorida di tubuli serta

memperbesar ekskresi kalium. Yang merupakan antagonis aldosteron adalah

spironolakton dan bersaing dengan reseptor tubularnya yang terletak di nefron

sehingga mengakibatkan retensi kalium dan peningkatan ekskresi air serta

natrium. Obat ini juga meningkatkan kerja tiazid dan diuretik loop. Diuretik yang

mempertahankan kalium lainnya termasuk amilorida, yang bekerja pada duktus

pengumpul untuk menurunkan reabsorpsi natrium dan ekskresi kalium dengan

memblok saluran natrium, tempat aldosteron bekerja. Diuretik ini digunakan

bersamaan dengan diuretik yang menyebabkan kehilangan kalium serta untuk

pengobatan edema pada sirosis hepatis. Efek diuretiknya tidak sekuat golongan

diuretik kuat.

Mekanisme kerja

Penghambatan kompetitif terhadap aldosteron. Bekerja di tubulus renalis

rektus untuk menghambat reabsorpsi Na+, sekresi K+ dan sekresi H+

Farmakokinetik

70% spironolakton oral diserap di saluran cerna, mengalami sirkulasi

enterohepatik dan metabolisme lintas pertama. Metabolit utamanya kankrenon.

Kankrenon mengalami interkonversi enzimatik menjadi kakreonat yang tidak

aktif.

Efek samping

Efek toksik yang paling utama dari spironolakton adalah hiperkalemia

yang sering terjadi bila obat ini diberikan bersama-sama dengan asupan kalium

yang berlebihan. Tetapi efek toksik ini dapat pula terjadi bila dosis yang biasa

diberikan bersama dengan tiazid pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal

Page 15: Interna case

yang berat. Efek samping yang lebih ringan dan reversibel diantranya

ginekomastia, dan gejala saluran cerna.

Indikasi

Antagonis aldosteron digunakan secara luas untuk pengobatan hipertensi

dan udem yang refrakter. Biasanya obat ini dipakai bersama diuretik lain dengan

maksud mengurangi ekskresi kalium, disamping memperbesar diuresis.

Sediaan dan dosis

Spironolakton terdapat dalam bentuk tablet 25, 50 dan 100 mg. Dosis

dewasa berkisar antara 25-200mg, tetapi dosis efektif sehari rata-rata 100mg

dalam dosis tunggal atau terbagi. Terdapat pula sediaan kombinasi tetap antara

spironolakton 25 mg dan hidraoklortiazid 25mg, serta antara spironolakton 25 mg

dan tiabutazid 2,5 mg.

Loop Diuretik

Termasuk dalam kelompok ini adalah asam etakrinat, furosemid dan

bumetanid. Asam etakrinat termasuk diuretik yang dapat diberikan secara oral

maupun parenteral dengan hasil yang memuaskan. Furosemid atau asam 4-kloro-

N-furfuril-5-sulfomail antranilat masih tergolong derivat sulfonamid. Diuretik

loop bekerja dengan mencegah reabsorpsi natrium, klorida, dan kalium pada

segmen tebal ujung asenden ansa Henle (nefron) melalui inhibisi pembawa

klorida. Obat ini termasuk asam etakrinat, furosemid da bumetanid, dan

digunakan untuk pengobatan hipertensi, edema, serta oliguria yang disebabkan

oleh gagal ginjal. Pengobatan bersamaan dengan kalium diperlukan selama

menggunakan obat ini.

Mekanisme kerja :

Secara umum dapat dikatakan bahwa diureti kuat mempunyai mula kerja

dan lama kerja yang lebih pendek dari tiazid. Diuretik kuat terutama bekerja pada

Ansa Henle bagian asenden pada bagian dengan epitel tebal dengan cara

menghambat kotranspor Na+/K+/Cl- dari membran lumen pada pars ascenden

ansa henle, karena itu reabsorpsi Na+/K+/Cl- menurun.

Page 16: Interna case

Farmakokinetik

Ketiga obat mudah diserap melalui saluran cerna, dengan derajat yang

agak berbeda-beda. Bioavaibilitas furosemid 65 % sedangkan bumetanid hamper

100%. Diuretic kuat terikat pada protein plasma secara ekstensif, sehingga tidak

difiltrasi di glomerulus tetapi cepat sekali disekresi melalui system transport asam

organic di tubuli proksimal. Kira-kira 2/3 dari asam etakrinat yang diberikan

secara IV diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh dan dalam konjugasi

dengan senyawa sulfhidril terutama sistein dan N-asetil sistein. Sebagian lagi

diekskresi melalui hati.sebagian besar furosemid diekskresi dengan cara yang

sama, hanya sebagian kecil dalam bentuk glukuronid. Kira-kira 50% bumetanid

diekskresi dalam bentuk asal, selebihnya sebagai metabolit.

Efek samping

Efek samping asam etakrinat dan furosemid dapat dibedakan atas :

1. Reaksi toksik berupa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang

sering terjadi.

2. Efek samping yang tidak berhubungan dengan kerja utamanya jarang

terjadi. Gangguan saluran cerna lebih sering terjadi dengan asam etakrinat

daripada furosemid.

Tidak dianjurkan pada wanita hamil kecuali bila mutlak diperlukan.

Asam etakrinat dapat menyebabkan ketulian sementara maupun menetap.

Ketulian sementara dapat terjadi pada furosemid dan lebih jarang pada bumetanid.

Ketulian ini mungkin sekali disebabkan oleh perubahan komposisi eletrolit cairan

endolimfe. Ototoksisitas merupakan suatu efek samping unik kelompok obat ini.

Pada penggunaan kronis, diuretik kuat ini dapat menurunkan bersihan litium.

Indikasi

Furosemid lebih banyak digunakan daripada asam etakrinat, karena

ganguan saluran cerna yang lebih ringan. Diuretik kuat merupakan obat efektif

untuk pengobatan udem akibat gangguan jantung, hati atau ginjal.

Sediaan

Asam etakrinat. Tablet 25 dan 50 mg digunakan dengan dosis 50-200 mg

per hari. Sediaan IV berupa Na-etakrinat, dosisnya 50 mg, atau 0,5-1 mg/kgBB.

Page 17: Interna case

Furosemid. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 20,40,80 mg dan

preparat suntikan. Umunya pasien membutuhkan kurang dari 600 mg/hari. Dosis

anak 2mg/kgBB, bila perlu dapat ditingkatkan menjadi 6 mg/kgBB.

Bumetanid. Tablet 0.5mg dan 1 mg digunakan dengan dosis dewasa 0.5-

2mg sehari. Dosis maksimal per hari 10 mg. Obat ini tersedia juga dalam bentuk

bubuk injeksi dengan dosis IV atau IM dosis awal antara 0,5-1 mg, dosis diulang

2-3 jam maksimum 10mg/kg.

4. Terapi Parasentesis.

Parasentesis sebenarnya merupakan cara pengobatan asites yang tergolong kuno.

Pada mulanya karena berbagai komplikasi. Beberapa tahun terakhir ini

parasentesis kembali dianjurkan karena mempunyai banyak keuntungan

dibandingkan terapi konvensional bila dikerjakan dengan baik. Untuk setiap liter

cairan asites yang dikeluarkan sebaiknya diikuti dengan substitusi albumin

parenteral sebanyak 6-8 gram. Setelah parasentesis sebaiknya terapi konvensional

tetap diberikan. Parasentesis asites sebaiknya tidak dilakukan pada pasien sirosis

dengan Child-Pugh C, kecuali asites tersebut refrakter.

Pengobatan sirosis dekompensata.

Asites: tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram

atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretik.

Awalnya dengan pemberian spironolaton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari.

Respons diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya

edema kaki atau 1 kg/hari dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton

tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari.

Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respons, maksimal dosisnya

160 mg/hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa

hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.

Asites.

Etiologi. Cairan asites merupakan cairan eksudat atau cairan transudat. Asites eksudatif

umumnya disebabkan oleh radang dan memiliki berat jenis cairan yang tinggi, dengan

kadar protein lebih atau sama dengan 3gr%. Asites transudatif, seperti yang terdapat pada

Page 18: Interna case

sirosis, disebabkan oleh transudasi kapiler darah atau sinusoid dan saluran limf hati ke

dalam rongga peritoneum.

Organ hati dalam tubuh manusia banyak fungsinya. Selain menyimpan lemak dan

berbagai nutrisi yang diperlukan, hati juga menjadi penyaring zat-zat racun yang

membahayakan tubuh. Ketika fungsinya gagal, transplantasi hati menjadi pilihan terakhir.

Ascites untuk kasus transplantasi hati terutama terkait dengan prognosis yang buruk

dalam jangka pendek dan menengah, yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi

diuretik dan membutuhkan paracentesis berulang, transjugular intrahepatik

portosystemic shunt (TIPS), atau peritoneovenous shunt. Ensefalopati juga dapat

berkembang tanpa terdeteksi pada kebanyakan pasien sehingga tidak mendapatkan terapi

yang semestinya.

Hambatan sistem porta- Sirosis Hati.

Seringkali, jumlah jaringan fibrosa berkembang sangat hebat di dalam struktur

hati, menghancurkan banyak sel parenkim dan akhirnya berkontraksi di sekitar pembuluh

darah, sehingga sangat menghambat darah porta melalui hati. Proses penyakit ini dikenal

sebagai sirosis hati. Penyakit ini lebih umum disebabkan oleh alkoholisme, tetapi

penyakit ini juga dapat mengikuti masuknya racun seperti karbon tetraklorida, penyakit

virus seperti hepatitis infeksiosa, dan proses infeksius di dalam duktus biliaris.

Sistem porta juga kadang-kadang terhambat oleh suatu gumpalan besar yang

berkembang di dalam vena porta atau cabang utamanya. Bila sistem porta tiba-tiba

tersumbat, kembalinya darah dari usus dan limpa melalui sistem aliran darah porta hati ke

sirkulasi sistemik menjadi sangat terhambat, tekanan kapiler di dalam dinding usus

meningkat 15 sampai 20 mmHg di atas normal. Penderita sering meninggal dalam

beberapa jam karena kehilangan cairan yang banyak dari kapiler ke dalam lumen dan

dinding usus.

Aliran Limfe yang sangat tinggi dari hati.

Karena pori dalam sinusoid hati sangat permeabel dan memungkinkan segera

berlalunya cairan dan protein ke ruang Disse, aliran limfe dari hati biasanya mempunyai

konsentrasi protein sekitar 6 gr/dl, yang hanya kurang sedikit daripada konsentrasi

protein plasma. Juga, permeabilitas ekstrem dari epitelium sinusoid hati memungkinkan

Page 19: Interna case

terbentuknya limfe dalam jumlah besar. Oleh karena itu, kira-kira setengah dari limfe

yang dibentuk di dalam tubuh di bawah kondisi istirahat muncul di dalam hati.

Pengaruh tekanan tinggi pembuluh hati dalam menimbulkan transudasi cairan dari

sinusoid hati dan kapiler porta ke rongga abdomen-Asites.

Bila tekanan vena hepatika yang mengalir ke vena cava meningkat hanya 3

sampai 7 mmHg di atas normal, mulai terjadi transudasi sejumlah besar cairan ke saluran

limfe dan juga kebocoran melalui permukaan luar simpai hati langsung ke rongga

abdomen. Cairan tersebut hampir semuanya plasma, berisi 80 sampai 90 persen protein

plasma normal. Pada tekanan vena yang tetap tinggi, yaitu 10 sampai 15 mmHg, aliran

limfe hati meningkat sampai 20 kali dari normal, dan keluarnya cairan dari permukaan

hati dapat sangat besar sehingga menyebabkan sejumlah besar cairan bebas sehingga

menyebabkan sejumlah besar cairan bebas di dalam rongga abdomen, yang disebut

sebagai asites.

Hambatan aliran porta melalui hepar juga menyebabkan tekanan kapiler yang

tinggi di seluruh sistem pembuluh porta dari saluran pencernaan, menimbulkan edema

dalam dinding usus dan transudasi cairan melalui serosa usus ke dalam rongga abdomen.

Hal ini, juga, dapat menyebabkan asites tetapi lebih jarang dibandingkan keluarnya cairan

dari permukaan hati sebab segera terbentuk saluran pembuluh kolateral dari vena porta ke

vena sistemik, sehingga mengurangi tekanan kapiler usus kembali ke nilai yang aman.