infeksi nosokomial klp 2
DESCRIPTION
tttTRANSCRIPT
INFEKSI
NOSOKOMIAL
Oleh
Kelompok II
Nur Insyani Syafar PO.71.3.251.12.1.029
A. Nur Eliza Batari PO.71.3.251.12.1.008
Hardiyanti Bogodad PO.71.3.251.12.1.016
A. Sulfiana Apriyanti PO.71.3.251.12.1.010
POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR
JURUSAN FARMASI
2014/2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan
rahmat dan karunianya sehingga kami diberikan kesempatan untuk
menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun sebagai tugas kuliah dan usaha
kami dalam meningkatkan wawasan tentang infeksi nosokomial.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan sebagai sumbangsih
pemikiran khususnya untuk para pembaca dan tidak lupa kami mohon maaf
apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat kesalahan baik dalam kosa kata
ataupun isi dari keseluruhan makalah ini. Kami sebagai penulis sadar bahwa
makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan untuk itu kritik dan saran sangat
kami harapkan demi kebaikan kami untuk kedepannya.
Makassar, 28 Oktober 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Infeksi nosokomial merupakan infeksi silang yang terjadi akibat perpindahan
mikroorganisme melalui petugas kesehatan dan alat yang dipergunakan saat
melakukan tindakan. Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau
cairan tubuh yang disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi
yang muncul selama seseorang tersebut dirawat di rumah sakit dan mulai
menunjukkan suatu gejala selama seseorang itu dirawat atau setelah selesai
dirawat disebut infeksi nosokomial. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit
dan menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa
masa inkubasi penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit, dan
infeksi yang baru menunjukkan gejala setelah 72 jam pasien berada dirumah sakit
baru disebut infeksi nosokomial (Light RW, 2001).
Rumah sakit merupakan suatu tempat dimana orang yang sakit dirawat dan
ditempatkan dalam jarak yang sangat dekat. Rumah sakit adalah tempat pasien
mendapatkan terapi dan perawatan agar sembuh dari penyakit yang diderita.
Selain untuk mencari kesembuhan, rumah sakit juga merupakan depot bagi
berbagai macam penyakit yang berasal dari penderita maupun dari pengunjung
yang berstatus karier. Kuman penyakit ini dapat hidup dan berkembang di
lingkungan rumah sakit seperti udara, air, lantai, makanan dan benda-benda medis
maupun non medis.
Dari hasil studi deskriptif Suwarni, A di semua rumah sakit di Yogyakarta
tahun 1999 menunjukkan bahwa proporsi kejadian infeksi nosokomial berkisar
antara 0,0% hingga 12,06%, dengan rata-rata keseluruhan 4,26%. Untuk rerata
lama perawatan berkisar antara 4,3 – 11,2 hari, dengan rata-rata keseluruhan 6,7
hari. Setelah diteliti lebih lanjut maka didapatkan bahwa angka kuman lantai
ruang perawatan mempunyai hubungan bermakna dengan infeksi nosokomial
(Suwarni, A, 2001).
Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian terbanyak
di negara miskin dan negara yang sedang berkembang karena penyakit-penyakit
infeksi masih menjadi penyebab utama. Suatu penelitian yang yang dilakukan
oleh WHO menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara
yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap
menunjukkan adanya infeksi nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10,0%
(Ducel, G, 2002).
Saat ini, insiden kejadian penyakit infeksi merupakan yang tertinggi di
Indonesia. Di samping itu infeksi nosokomial sering menimbulkan kematian,
memperpanjang waktu rawat nginap, menambah beban penderita dengan biaya
tambahan untuk perawatan clan pengobatan pasien (Dep.Kes RI Jakarta, 1983).
Pengetahuan terkait infeksi nosokomial sangat penting diketahui khususnya bagi
petugas kesehatan dan masyarakat yang ada d rumah sakit mengingat berbagai
kerugian yang dapat ditimbulkan akibat infeksi tersebut. Berdasarkan hal tersebut,
penulis bermaksud membuat makalah terkait infeksi nosokomial, diharapkan
dapat memberikan pemahaman terkait permasalahan tersebut.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah makalah ini,
yaitu:
1. Apa yang dimaksud infeksi nosokomial?
2. Apa saja jenis-jenis infeksi nosokomial?
3. Apakah faktor-faktor penyebaran infeksi nosokomial?
4. Bagaimana pencegahan infeksi nosokomial?
I.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah, adapun tujuan dari makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui definisi infeksi nosokomial
2. Untuk mengetahui jenis-jenis infeksi nosokomial
3. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebaran infeksi nosokomial
4. Untuk mengetahui pencegahan infeksi nosokomial
I.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini, yaitu:
1. Bagi peneliti
Sebagai media penambah wawasan terkait infeksi nosokomial serta
sebagai media pembelajaran dalam penulisan makalah.
2. Bagi rumah sakit dan masyarakat
Makalah ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi untuk mencegah
terjadinya infeksi nosokomial dan menurunkan resiko kejadian infeksi
nosokomial.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definsi Infeksi Nosokomial
Infeksi adalah Adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang
disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik.Infeksi yang muncul
selama seseorang tersebut di rawat di rumah sakit dan mulai menunjukkan suatu
gejala selama seseorang itu dirawat disebut infeksi nosokomial.
Infeksi Nosokomial,berasal dari kata yunani nosos (penyakit) dan komeion
(merawat) nosocomion berarti”Rumah Sakit” jadi infeksi nosokomial ialah infeksi
yang di peroleh selama dalam perawatan di rumah sakit.Infeksi nosokomial
biasanya timbul ketika,pasien di rawat 3 x 24 jam di rumah sakit dan infeksi ini
sangat sulit di atasi karna di timbulkan oleh mikroorganisme dan bakteri.
Infeksi di rumah sakit ini juga dinamakan disebut juga sebagai ”Health-care
Associated Infections”atau ”Hospital-Acquired Infections (HAIs)”, infeksi
nosokomial ini merupakan persoalan serius karena dapat menjadi penyebab
langsung maupun tidak lagsung kematian pasien, kalaupun tak berakibat
kematian, infeksi yang bisa terjadi melalui penularan antar pasien, bisa terjadi
dari pasien ke pengunjung atau petugas rumah sakit dan dari petugas rumah sakit
ke pasien, hal ini mengakibatkan pasien dirawat lebih lama sehingga pasien harus
membayar biaya rumah sakit lebih banyak.
Infeksi nosokomial menurut WHO adalah adanya infeksi yang tampak pada
pasien ketika berada didalam rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya, dimana
infeksi tersebut tidak tampak pada saat pasien diterima dirumah sakit. Yang
disebut infeksi nosokomial ini termasuk juga adanya tanda tanda infeksi setelah
pasien keluar dari rumah sakit dan juga termasuk infeksi pada petugas petugas
yang bekerja di fasilitas kesehatan. Infeksi yang tampak setelah 48 jam pasien
diterima dirumah sakit biasanya diduga sebagai suatu infeksi nosokomial.
Infeksi Nosokomial (INOK) merupakan masalah kesehatan sejak ratusan
tahun lalu. Perhatian terhadap infeksi nosokomial telah ada sejak tahun 1840-an di
mana Ignaz Semmelweiz memperhatikan tingginya angka kematian pada ruangan
persalinan. Ia menduga bahwa ini terjadi akibat infeksi yang dibawa oleh dokter
dan mahasiswa dari ruang otopsi. Oleh karena itu ia meminta agar para dokter dan
mahasiswa mencuci tangan dulu dengan larutan klronitaed sebelum memeriksa
para ibu di ruangan. Ternyata setelah itu angka kematian menurun tajam. Di
Indonesia masalah infeksi nosocomial juga merupakan masalah yang cukup
serius. Apalagi di rumah sakit yang jumlah penderita dirawatnya banyak dengan
tenaga perawatnya banyak dengan tenaga perawatnya masih terbatas.
Masalah Infeksi Nosokomial pada tahun terakhir ini telah menjadi topik
pembicaraan di banyak negara. Telah diketahui bahwa pengelolaan infeksi
nosokomial menimbulkan biaya tinggi, baik yang ditanggung pihak penderita
maupun pihak Rumah Sakit. Bahkan di Amerika, infeksi nosokomial termasuk
dalam 10 besar penyebab kematian. Di negara maju, angka kejadian infeksi
nosokomial telah dijadikan salah satu tolok ukur mutu pelayanan rumah sakit. Izin
operasi suatu rumah sakit bisa dicabut karena tingginya angka kejadian infeksi
nosokomial. Infeksi Nosokomial dapat terjadi dimana saja diruang perawatan
rumah sakit, kapan saja, tanpa membedakan umur dan jenis penyakit.
Dari data yang didapat dari surveilan WHO menyatakan angka kejadian
Infeksi Nosokomial cukup tinggi : 5% tahun atau 9 juta orang dari 190 juta yang
dirawat, angka kematiannya cukup tinggi.6. Infeksi Nosokomial dapat
menyebakan kematian dan ketidakwajaran, memperpanjang pasien untuk berada
di rumah sakit dan meningkatkan pengeluaran pasien. Semenjak 1970, National
Nosocomial Infection Surveillance System (NNIS) telah mengumpulkan dan
menganalisis data frekuensi infeksi nosocomial yang ada di U.S. rumah sakit.
Rumah sakit yang tergabung di NNIS dilaporkan dari 26,965 infeksi, 64%
disebabkan oleh single pathogen dan 20% disebabkan oleh multiple pathogen.
Dari 84% infeksi yang mana pathogen telah terinfeksi, 86% disebabkan oleh
bakteri aerobic, 2% bakteri anaerobic, dan 8% fungi. Virus, protozoa, dan parasite
lainnya terhitung 5%. Escheria coli, Pseudomonas aeruginosa, enterococci, dan
Staphyloccocus yang teridentifikasi pathogen. Data dari rumah sakit individual
didapatkan 50% infeksi pada pasien yang mati ketika di rumah sakit. 42 rumah
sakit dilaporkan dari total 22.432 infeksi, diantara 1.253 yang mati, ditemukan
1.811 yang terinfeksi. Kira-kira 1% dari semua Infeksi Nosokomial menyebabkan
kematian dan 3% terinfeksi yang memungkinkan juga kematian tersebut. Pasien
yang mati ketika di rumah sakit, 9% dilaporkan mati, 38% memungkinkan mati,
dan 37% tidak tidak terkait, 15% akibat infeksi lain.
Sehubungan dengan infeksi nosokomial ini, maka ada baiknya mengetahui
hal-hal sebagai berikut :
1. Secara umum infeksi nosocomial adalah infekksi yang didapatkan
penderita selama dirawat di rumah sakit
2. Infeksi nosocomial sukar diatasi karena sebagai penyebabkan adalah
mikrooraganisme/bakteri yang sudah resisten terhadap antibiotika
3. Bila terjadi infeksi nosocomial, maka akan terjadi penderitaan yang
berkepanjangan serta pemborosan waktu serta pengeluaran biaya yang
bertambah tinggi kadang-kadang kualitas hidup penderita akan menurun
4. Infeksi nosokomial disamping berbahaya bagi penderita, juga berbahya
bagi lingkungan baik selama dirawat dirumah sakit ataupun diluar rumah
sakit setelah berobat jalan
5. Dengan pengendalian infeksi nosokomial akan menghambat biaya dan
waktu yang terbuang
6. Dinegara yang sudah maju masalah ini telah diangkat menjadi masalah
nasional, sehingga bila angka infeksi noskomial disuatu rumah sakit tinggi,
maka izin operasionalnya dipertimbangkan untuk dicabut oleh istansi yang
berwenang.
Skema Penularan Nosokomial
Infeksi nosokomial mulai dengan penyebab (di bagian tengah gambar
berikut), yang ada pada sumber. Kuman keluar dari sumber melalui tempat
tertentu, kemudian dengan cara penularan tertentu masuk ke tempat tertentu di
pasien lain. Karena banyak pasien di rumah sakit rentan terhadap infeksi
(terutama Odha yang mempunyai sistem kekebalan yang lemah), mereka dapat
tertular dan jatuh sakit ‘tambahan’. Selanjutnya, kuman penyakit ini keluar dari
pasien tersebut dan meneruskan rantai penularan lagi.
Sumber Infeksi Nosokomial
Sumber yang paling vital dan sebagai penyebab utama dari infeksi
nosokomial adalah mikroorganisme.Bermacam-macam mikroorganisme yang bisa
menyebabkan infeksi ini yang biasanya terjadi di rumah sakit dan sebagian besar
terdapat dalam tubuh inang manusia yang sehat, seperti Escherichia Coli,
Klebsiella pneumonia, Candica albicans, Staphylococus aureus, Serratia
marcescens, Proteus mirabilis, dan beberapa Actinomyces spp. Mikroorganisme
penyebab infeksi disebabkan oleh perubahan resistensi inang dan modifikasi
mikrobiota inang,bila ketahanan tubuh pasien rendah akibat luka
berat,operasi,maka pathogen dapat berkembang biak dan menyebabkan sakit.
Tabel Bakteri Penyebab Infeksi:
Tempat Infeksi Bakteri
Sal. Cerna e. coli, salmonella, shigella
compylobacter
Sal. pernapasan atas h. influenzae, s. pyogenes, s.
pneumoniae
Sal. pernapasan bawah s. pneumoniae, p. aeroginosa, k.
pneumoniae, l. pneumophila
Septikemi e. coli, p. aeroginosa, s. Auerus
Luka bakar p. aeroginosa, e. coli, s. aureus
pyogenes
Luka s. aureus, s. epidermidis, klebsiella
bacteroides, p. mirabilis
marcescens
Sal. Kemih e. coli, p. aeruginosa, proteus
aerogenes, s. marcescens,
klebsiella, s. faecalis
Menurut Setyawati (2002), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya infeksi nosokomial antara lain :
1. Kuman penyakit (jumlah dan jenis kuman, lama kontak dan virulensi)
2. Sumber infeksi
3. Perantara atau pembawa kuman,
4. Tempat masuk kuman pada hospes baru,
5. Daya tahan tubuh hospes baru,
6. Keadaan rumah sakit meliputi; Prosedur kerja, alat, hygene, kebersihan,
jumlah pasien dan konstruksi rumah sakit,
7. Pemakaian antibiotik yang irasional,
8. Pemakaian obat seperti imunosupresi, kortikosteroid, dan sitostatika,
tindakan invasif dan instrumentasi,
9. Berat penyakit yang diderita
Gejala-gejala HAI’s (Infeksi Nosokomial) :
1. Demam
2. Bernapas cepat
3. Kebingungan mental
4. Tekanan darah rendah
5. Dikurangi urine output
6. Pasien dengan urinary tract infection Mei ada rasa sakit ketika kencing dan
darah dalam air seni
7. Tinggi sel darah putih dihitung
8. Radang paru-paru mungkin termasuk kesulitan bernapas dan ketidak
mampuan untuk batuk.
II.2 Jenis-jenis Infeksi Nosokomial
Penyakit infeksi nosokomial dapat timbul karena beberapa penyebab,
menurut Darmaji (2008) salah satu penyebabnya adalah mikroba pathogen seperti
bakteri, virus, jamur, dan lain-lain. Mikroba sebagai makhluk hidup (biotis) harus
berkembang biak, bergerak, dan berpindah tempat untuk bertahan hidup. Jenis
infeksi nosokomial yang sering terjadi menurut Tietjen dkk (2004) berdasarkan
survey yang dilakukan yaitu:
1. Infeksi tempat pembedahan atau infeksi luka operasi
Menurut Vannesa (2010) infeksi luka operasi adalah sebuah luka
bedah atau infeksi yang harus terjadi dalam waktu 30 hari dari operasi
bedah. Tanda dan gejala setidaknya adanya salah satu dari tanda dan gejala
berikut ini:
a. Bernanah dari tempat pembedahan,
b. Purulen dari luka atau drain ditempatkan di luka,
c. Organisme terisolasi dari budaya luka aseptik diperoleh,
d. Harus setidaknya satu dari tanda-tanda dan gejala infeksi - rasa sakit
atau nyeri, pembengkakan lokal, atau kemerahan / panas.
2. Infeksi Saluran kemih (ISK)
Infeksi saluran kemih kemungkinan terjadi terutama setelah tindakan
kateterisasi. Tindakan infasive lainnya seperti tindakan operatif vagina,
oleh karena itu pencegahan infeksi saluran kemih (nosokomial) merupakan
suatu keharusan. Sebagai penyebab adalah bakteri gram negative terutama
Psudomonas sp. dan kelompok Enterobacter dengan manifestasi klinisnya
adalah nyeri suprasimfisis, nyeri pinggang, disuria, serta urin yang keruh
atau piuria (Darmaji, 2008).
3. Febris Puerperalis
Febris puerperalis atau demam nifas merupakan infeksi yang muncul
pascapersalinan pervaginam. Tidak semua persalinan berjalan spontan.
Diperkirakan 7-8% akan mengalami kesulitan atau distoria (patologis).
Untuk menyelesaikan persalinan distosia ini diperlukan adanya tindakan
infasife yang sering kali membutuhkan instrument medis. Resiko adanya
terjadinya trauma jalan lahir serta trauma pada janin. Trauma jalan lahir
yang terjadi berupa robekan, laserasi, serta pendarahan yang dapat
menimbulkan infeksi. Trauma juga terjadi karena pengunaan instrument
medis untuk mengatasi persalinan.
Terjadinya infeksi karena mikrobia pathogen terutama berasal dari
flora normal vagina dan kulit di sekitar perineum, serta instrument medis
dan operator. Beberapa penelitian menyebutkan bakteri penyebab infeksi
yaitu Stapylococcus Haemolyticus, Streptococcus Aureus, Escherichia
Coli.
4. Infeksi Saluran Cerna
Seorang pasien yang sedang dirawat dapat digolongakn terjangkit
infeksi saluran cerna apabila ditemukan gejala-gejala: adanya nyeri perut
secara mendadak kadang-kadang diserati nyeri kepala, nausea dan muntah-
muntah yang diikuti diare, dapat disertai/tanpa demam. Dikeadaan dengan
sindrom gastroenteritis manifestasi klinis ini dapat muncul setelah
beberapa saat penderita mengkonsumsi makanan/minuman yang disajikan.
5. Infeksi Saluran Napas Bawah
Saluran napas bawah adalah organ vital untuk ventilasi, namun
demikian tidak jarang jaringan lunak pada saluran napas ini harus
bersentuhan dengan peralatan medis untuk berbagai indikasi, baik sebagai
upaya menegakkan diagnosis, atau bagian dari terapi, maupun sebagai
upaya penunjang untuk kasus-kasus di luar kepentingan saluran napas itu
sendiri. Sebagai contoh: tindakan anestesi umum yang harus menggunakan
pipa endotrakeal, pipa orofaringeal, atau pipa nasofaringeal, tindakan
laringoskopi atau bronkoskopi, tindakan invasif yang lebih jauh seperti
trakeostomi, pemasangan ventilator.
Semua tindakan medis infasif pada contoh kasus-kasus tersebut
tentunya bukan tanpa resiko bagi penderitanya. Resiko paling besarnya
adalah menyebarnya mikrobia pathogen ke organ yang terdekat, yaitu paru
yang dapat menimbulkan peradangan parenkim paru (Darmaji, 2008)
6. Bakteremia dan septicemia
Bakteremia dan septicemia adalah infeksi siskemik yang terjadi akibat
penyebaran bakteri atau produknya dari suatu focus infeksi kedalam
peredaran darah. Menurut Tietjen, dkk (2006) Septicemia merupakan
keadaan yang gawat, oleh karena itu harus ditangani secara cepat dan tepat
untuk menghindari terjadinya akibat yang fatal. Bila terlambat, ada
kecenderungan mengarah ke keadaan syok dengan angka kematian yang
tinggi (50-90%). Sebagai pemicu timbulnya bakteremia dan septicemia
karena adanya tindakan medis infasif misalnya pemasangan kateter
intravaskuler untuk berbagai keperluan seperti pemberian obat, nutrisi
parental, hemodialisis, dan sebagainya. Manifestasi klinisnya berupa
reaksi inflamasi siskemik, yaitu demam yang tinggi, serta nadi dan
frekuensi pernapasan meningkat. Demam yang ada akan bertahan selama
minimal 24 jam dengan atau tanpa pemberian antipiretik.
Pada anak, secara umum tampak letargi, tidak mau makan/minum,
muntah, atau diare. Pada daerah kateter vena yang terpasang, kulit tampak
merah, edema disertai nyeri, dan kadang-kadang ditemukan eksudat.
II.3 Faktor-faktor penyebaran infeksi nosokomial
Adapun beberapa faktor penyebar infeksi nosokomial, diantaranya adalah
1. Agen infeksi
Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama dirawat
di rumah sakit. Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme
ini tidak selalu menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain
yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial. Kemungkinan
terjadinya infeksi tergantung pada:
a. Karakteristik mikroorganisme
b. Resistensi terhadap zat-zat antibiotika
c. Tingkat virulensi, dan
d. Banyaknya materi infeksius.
Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit
dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh
mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau
disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous
infection). Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih
disebabkan karena faktor eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya
melalui makanan dan udara dan benda atau bahan-bahan yang tidak steril.
Penyakit yang didapat dari rumah sakit saat ini kebanyakan disebabkan
oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada manusia yang
sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang normal
(Utama, 2006).
2. Respon dan toleransi tubuh pasien
Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan respon
tubuh pasien dalam hal ini adalah:
a. Usia
b. Status imunitas penderita
c. Penyakit yang diderita
d. Obesitas dan malnutrisi
e. Orang yang menggunakan obat-obatan
f. Imunosupresan dan steroid
g. Intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa
dan terapi.
Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi
tubuh terhadap infeksi kondisi ini lebih diperberat bila penderita menderita
penyakit kronis seperti tumor, anemia, leukemia, diabetes mellitus, gagal
ginjal, SLE dan AIDS. Keadaan-keadaan ini akan meningkatkan toleransi
tubuh terhadap infeksi dari kuman yang semula bersifat opportunistik.
Obat-obatan yang bersifat immunosupresif dapat menurunkan pertahanan
tubuh terhadap infeksi. Banyaknya prosedur pemeriksaan penunjang dan
terapi seperti biopsi, endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakan
pembedahan juga meningkatkan resiko infeksi (Utama, 2006).
3. Infeksi melalui kontak langsung dan tidak langsung
Infeksi yang terjadi karena kontak secara langsung atau tidak langsung
dengan penyebab infeksi. Penularan infeksi ini dapat melalui tangan, kulit
dan baju, seperti golongan staphylococcus aureus. Dapat juga melalui
cairan yang diberikan intravena dan jarum suntik, hepatitis dan HIV.
Peralatan dan instrumen kedokteran. Makanan yang tidak steril, tidak
dimasak dan diambil menggunakan tangan yang menyebabkan terjadinya
infeksi silang.
4. Resistensi antibiotika
Seiring dengan penemuan dan penggunaan antibiotika penicillin antar
tahun 1950-1970, banyak penyakit yang serius dan fatal ketika itu dapat
diterapi dan disembuhkan. Bagaimana pun juga, keberhasilan ini
menyebabkan penggunaan berlebihan dan penyalahgunaan dari
antibiotika. Banyak mikroorganisme yang kini menjadi lebih resisten.
Meningkatnya resistensi bakteri dapat meningkatkan angka mortalitas
terutama terhadap pasien yang immunocompromised. Resitensi dari
bakteri ditransmisikan antar pasien dan faktor resistensinya dipindahkan
antara bakteri. Penggunaan antibiotika yang terus-menerus ini justru
meningkatkan multiplikasi dan penyebaran strain yang resisten. Penyebab
utamanya karena:
a. Penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dan tidak terkontrol
b. Dosis antibiotika yang tidak optimal
c. Terapi dan pengobatan menggunakan antibiotika yang terlalu
singkat
d. Kesalahan diagnosa (Utama, 2006)
5. Faktor alat
Dari suatu penelitian klinis, infeksi nosokomial terutama disebabkan
infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi
kulit, infeksi dari luka operasi dan septikemia. Pemakaian infus dan kateter
urin lama yang tidak diganti-ganti. Di ruang penyakit dalam, diperkirakan
20-25% pasien memerlukan terapi infus. Komplikasi kanulasi intravena ini
dapat berupa gangguan mekanis, fisis dan kimiawi. Komplikasi tersebut
berupa:
a. Ekstravasasi infiltrat : cairan infus masuk ke jaringan sekitar
insersi kanula
b. Penyumbatan : Infus tidak berfungsi sebagaimana mestinya tanpa
dapat dideteksi adanya gangguan lain
c. Flebitis : Terdapat pembengkakan, kemerahan dan nyeri sepanjang
vena
d. Trombosis : Terdapat pembengkakan di sepanjang pembuluh vena
yang menghambat aliran infus
e. Kolonisasi kanul : Bila sudah dapat dibiakkan mikroorganisme dari
bagian kanula yang ada dalam pembuluh darah
f. Septikemia : Bila kuman menyebar hematogen dari kanul
g. Supurasi : Bila telah terjadi bentukan pus di sekitar insersi kanul
(Utama, 2006)
Beberapa faktor di bawah ini berperan dalam meningkatkan
komplikasi kanula intravena yaitu: jenis kateter, ukuran kateter,
pemasangan melalui venaseksi, kateter yang terpasang lebih dari 72 jam,
kateter yang dipasang pada tungkai bawah, tidak mengindahkan prinsip
anti sepsis, cairan infus yang hipertonik dan darah transfusi karena
merupakan media pertumbuhan mikroorganisme, peralatan tambahan pada
tempat infus untuk pengaturan tetes obat, manipulasi terlalu sering pada
kanula. Kolonisasi kuman pada ujung kateter merupakan awal infeksi
tempat infus dan bakteremia.
II.4 Pencegahan Infeksi Nosokomial
Fokus utama penanganan masalah infeksi dalam pelayanan kesehatan adalah
mencegah infeksi. Salah satu upaya pencegahan infeksi nosokomial adalah
menerapkan Universal Precaution pada petugas kesehatan atau petugas pelayanan
kesehatan. Universal Precaution adalah kewaspadaan terhadap darah dan cairan
tubuh yang tidak membedakan perlakuan terhadap setiap pasien, dan tidak
tergantung pada diagnosis penyakitnya (Irianto, 2010). Kewaspadaan universal
dimaksudkan untuk melindungi petugas layanan kesehatan dan pasien lain
terhadap penularan berbagai infeksi dalam darah dan cairan tubuh lain.
Menurut WHO (2005) kewaspadaan universal diterapkan dengan cara :
1. Cuci tangan setelah berhubungan dengan pasien atau setelah membuka
sarung tangan
2. Segera cuci tangan setelah ada hubungan dengan cairan tubuh
3. Pakai sarung tangan bila mungkin akan ada hubungan dengan cairan tubuh
4. Pakai masker dan kacamata pelindung bila mungkin ada percikan cairan
tubuh
5. Tangani dan buang jarum suntik dan alat tajam lain secara aman; yang
sekali pakai tidak boleh dipakai ulang
6. Bersihkan dan disinfeksikan tumpahan cairan tubuh dengan bahan yang
cocok
7. Patuhi standar untuk disinfeksi dan sterilisasi alat medis
8. Tangani semua bahan yang tercemar dengan cairan tubuh sesuai dengan
prosedur
9. Buang limbah sesuai prosedur.
Pencegahan dari infeksi nosokomial oleh tenaga kesehatan diperlukan suatu
rencana yang terintegrasi, monitoring dan program yang termasuk:
1. Membatasi transmisi organisme dari atau antar pasien dengan cara
mencuci tangan dan penggunaan sarung tangan, tindakan septik dan
aseptik, sterilisasi dan disinfektan.
2. Mengontrol resiko penularan dari lingkungan.
3. Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi
yang cukup, dan vaksinasi.
4. Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur
invasif.
5. Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol penyebarannya
(Utama, 2006)
Adapun beberapa cara pencegahan infeksi nosokomial meliputi:
1. Dekontaminasi tangan
Transmisi penyakit melalui tangan dapat diminimalisasi dengan
menjaga hiegene dari tangan. Tetapi pada kenyataannya, hal ini sulit
dilakukan dengan benar karena banyaknya alasan seperti kurangnya
peralatan, alergi produk pencuci tangan, sedikitnya pengetahuan mengenai
pentingnya hal ini dan waktu mencuci tangan yang lama. Selain itu,
penggunaan sarung tangan sangat dianjurkan bila akan melakukan
tindakan atau pemeriksaan pada pasien dengan penyakit-penyakit infeksi.
Hal yang perlu diingat adalah memakai sarung tangan ketika akan
mengambil atau menyentuh darah, cairan tubuh, atau keringat, tinja, urin,
membran mukosa dan bahan yang kita anggap telah terkontaminasi dan
segera mencuci tangan setelah melepas sarung tangan
2. Instrumen yang sering digunakan Rumah Sakit
Simonsen et al (1999) menyimpulkan bahwa lebih dari 50% suntikan
yang dilakukan di negara berkembang tidaklah aman (contohnya jarum,
tabung atau keduanya yang dipakai berulang-ulang) dan banyaknya
suntikan yang tidak penting (misalnya penyuntikan antibiotika). Untuk
mencegah penyebaran penyakit melalui jarum suntik maka diperlukan:
a. Pengurangan penyuntikan yang kurang diperlukan, pergunakan
jarum steril, penggunaan alat suntik yang sekali pakai.
b. Masker; sebagai pelindung terhadap penyakit yang ditularkan
melalui udara. Begitupun dengan pasien yang menderita infeksi
saluran nafas, mereka harus menggunakan masker saat keluar dari
kamar penderita.
c. Sarung tangan; sebaiknya digunakan terutama ketika menyentuh
darah, cairan tubuh, feses maupun urine. Sarung tangan harus
selalu diganti untuk tiap pasiennya. Setelah membalut luka atau
terkena benda yang kotor, sarung tangan harus segera diganti.
d. Baju khusus juga harus dipakai untuk melindungi kulit dan pakaian
selama kita melakukan suatu tindakan untuk mencegah percikan
darah, cairan tubuh, urin dan feses.
3. Mencegah penularan dari lingkungan rumah sakit
Pembersihan yang rutin sangat penting untuk meyakinkan bahwa
rumah sakit sangat bersih dan benar-benar bersih dari debu, minyak dan
kotoran. Perlu diingat bahwa sekitar 90 persen dari kotoran yang terlihat
pasti mengandung kuman. Harus ada waktu yang teratur untuk
membersihkan dinding, lantai, tempat tidur, pintu, jendela, tirai, kamar
mandi, dan alat-alat medis yang telah dipakai berkali-kali.
Pengaturan udara yang baik sukar dilakukan di banyak fasilitas
kesehatan. Usahakan adanya pemakaian penyaring udara, terutama bagi
penderita dengan status imun yang rendah atau bagi penderita yang dapat
menyebarkan penyakit melalui udara. Kamar dengan pengaturan udara
yang baik akan lebih banyak menurunkan resiko terjadinya penularan
tuberkulosis.
Selain itu, rumah sakit harus membangun suatu fasilitas penyaring air
dan menjaga kebersihan pemrosesan serta filternya untuk mencegahan
terjadinya pertumbuhan bakteri. Sterilisasi air pada rumah sakit dengan
prasarana yang terbatas dapat menggunakan panas matahari.
Toilet rumah sakit juga harus dijaga, terutama pada unit perawatan
pasien diare untuk mencegah terjadinya infeksi antar pasien. Permukaan
toilet harus selalu bersih dan diberi disinfektan.
4. Perbaiki ketahanan tubuh
Di dalam tubuh manusia, selain ada bakteri yang patogen oportunis,
ada pula bakteri yang secara mutualistik yang ikut membantu dalam proses
fisiologis tubuh dan membantu ketahanan tubuh melawan invasi jasad
renik patogen serta menjaga keseimbangan di antara populasi jasad renik
komensal pada umumnya, misalnya seperti apa yang terjadi di dalam
saluran cerna manusia. Pengetahuan tentang mekanisme ketahanan tubuh
orang sehat yang dapat mengendalikan jasad renik oportunis perlu
diidentifikasi secara tuntas, sehingga dapat dipakai dalam
mempertahankan ketahanan tubuh tersebut pada penderita penyakit berat.
Dengan demikian bahaya infeksi dengan bakteri oportunis pada penderita
penyakit berat dapat diatasi tanpa harus menggunakan antibiotika.
5. Ruangan Isolasi
Penyebaran dari infeksi nosokomial juga dapat dicegah dengan
membuat suatu pemisahan pasien. Ruang isolasi sangat diperlukan
terutama untuk penyakit yang penularannya melalui udara, contohnya
tuberkulosis dan SARS yang mengakibatkan kontaminasi berat. Penularan
yang melibatkan virus, contohnya DHF dan HIV. Biasanya, pasien yang
mempunyai resistensi rendah seperti leukimia dan pengguna obat
immunosupresan juga perlu diisolasi agar terhindar dari infeksi. Tetapi
menjaga kebersihan tangan dan makanan, peralatan kesehatan di dalam
ruang isolasi juga sangat penting. Ruang isolasi ini harus selalu tertutup
dengan ventilasi udara selalu menuju keluar. Sebaiknya satu pasien berada
dalam satu ruang isolasi, tetapi bila sedang terjadi kejadian luar biasa dan
penderita melebihi kapasitas, beberapa pasien dalam satu ruangan tidaklah
apa-apa selama mereka menderita penyakit yang sama.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahsan di atas dapat dimpulkan bahwa infeksi yang
muncul selama seseorang tersebut dirawat di rumah sakit dan mulai menunjukkan
suatu gejala selama seseorang itu dirawat atau setelah selesai dirawat disebut
infeksi nosokomial. Faktor Penyebab perkembangan infeksi nosokomial yaitu
agen infeksi, respon dan toleransi tubuh pasien, Infeksi melalui kontak langsung
dan tidak langsung, resistensi antibiotika dan faktor alat. Beberapa pencegahan
yang dapat dilakukan diantaranya rajin membersihkan atau mencuci tangan karena
kebersihan tangan adalah ukuran utama untuk mengurangi infeksi.
III.2 Saran
Diharapkan kepada penentu kebijakan dalam hal ini rumah sakit agar
memfasilitasi alat yang dibutuhkan dalam mencegah infeksi nosokomial di rumah
sakit dan kepada para petugas kesehatan serta masyarakat yang ada di rumah sakit
agar membiasakan diri mencuci tangan.
DAFTAR PUSTAKA
Deti, Ryanti. Infeksi nosokomial. http://Infeksi Nosokomial academia.edu diakses pada tanggal 28 Oktober 13.00 WITA
Kurniadi, H. (1993) Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial di RS Mitra Keluarga Jakarta, Cermin Dunia Kedokteran No. 82 tahun 1993.
Schaffer, et al (2000) Pencegahan Infeksi & Praktik yang Aman, Jakarta: EGC
Setyani, Ari. 2012. Nosokomial. http:// Nosokomial.html diakses pada tanggal 28 Oktober 13.00 WITA
Yusuf, Wahyuddi. 2013. Infeksi Nosokomial. http://Infeksi Nosokomial.html diakses pada tanggal 28 Oktober 13.00 WITA