infeksi cacing tambang asma

Upload: tommy-prasetyo-ali

Post on 29-Oct-2015

155 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

infeksi cacing tambang asma

TRANSCRIPT

20

BAB 1PENDAHULUAN 1.1 Latar BelakangCacing tambang termasuk soil-transmitted helminths yaitu cacing yang memerlukan tanah untuk berkembang menjadi bentuk infektif.1,2,4 Infeksi cacing tambang terdapat luas di seluruh Indonesia yang beriklim tropis, terutama di pedesaan, daerah kumuh, dan daerah yang padat penduduknya.1,2,4 Cacing tambang yang penting dalam masalah kesehatan masyarakat Indonesia yaitu Necator americanus dan Ancylostoma duodenale karena cacing tersebut hospes pada tubuh manusia.1,3,4 Terdapat spesies lain cacing tambang seperti Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum, namun kedua spesies tersebut merupakan hospes pada hewan seperti kucing dan anjing.3,4Prevalensi kecacingan ini sangat bervariasi dari satu daerah ke daerah lain, tergantung dari beberapa faktor antara lain daerah pedesaan atau perkotaan, kelompok umur, kebiasaan penduduk setempat yang berhubungan dengan kebersihan (tempat buang air besar dan tidak beralas kaki), pekerjaan penduduk, dan status ekonomi.1,5,6 Penelitian epidemiologi mengenai infeksi cacing tambang yang dilakukan di Cirebon, Jawa Barat berdasarkan status ekonomi dan kebersihan lingkungan mendapatkan angka prevalensi pada suatu kelompok dengan tingkat ekonomi dan kebersihan yang kurang adalah 82,4%, sedangkan pada kelompok lain dengan tingkat ekonomi dan kebersihan baik adalah 24%.1Asma merupakan suatu keadaan patologis sistem kekebalan tubuh yang ditandai oleh obstruksi saluran napas yang bersifat reversible akibat adanya suatu antigen yang menyebabkan inflamasi atau meningkatnya respons saluran nafas yang berlebihan terhadap berbagai rangsangan (hiperaktivitas).7-10Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia menurut data penelitian Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. SKRT tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab morbiditas. Pada SKRT 1992, asma naik peringkat sebagai penyebab morbiditas ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000.12Infeksi cacing tambang adalah infeksi yang mudah ditemui di semua negara di dunia.2,14,15 Suatu penelitian menunjukkan hubungan antara infeksi geohelminth dalam melindungi manusia terhadap alergi. Sebuah hubungan ini didukung oleh penelitian pada manusia dan hewan percobaan.5,11,16 Pada infeksi awal cacing tambang dapat menyebabkan peningkatan respon peradangan, namun setelah infeksi berulang atau kronis terjadi aktivasi dari sel T regulator yang menyebabkan penekanan dari reaksi radang sehingga infeksi cacing tambang menjadi kronis dan memungkinkan parasit untuk bertahan hidup.6 Efek tersebut tidak hanya berlaku untuk antigen parasit saja tetapi juga melindungi host dari antigen lain seperti aeroallergen.6

1.2 Perumusan MasalahBerdasarkan penjelasan singkat dalam latar belakang tersebut, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :Bagaimana peran cacing tambang dalam menurunkan kejadian asma?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan UmumMenjelaskan mengenai peran cacing tambang dalam menurunkan kejadian asma.

1.3.2 Tujuan Khusus1. Menjelaskan bagaimana respon imun tubuh terhadap infeksi cacing tambang.2. Menjelaskan bagaimana respon imun tubuh terhadap asma.3. Menjelaskan bagaimana hubungan infeksi cacing tambang dengan asma.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi MasyarakatMeningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai hubungan infeksi cacing tambang dalam menurunkan angka kejadian asma.

1.4.2 Bagi Bidang Ilmiah1. Memicu ide-ide kreatif bagi peneliti lain untuk meneliti mengenai peran cacing tambang dalam menurunkan angka kejadian asma.2. Karya Tulis Ilmiah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu bahan acuan yang digunakan untuk pengembangan penelitian lebih lanjut.

1.5 Ruang Lingkup PenulisanPenulisan ini dibatasi pada materi hubungan antara infeksi cacing tambang dengan asma.

1.6 MetodologiPenulisan ini dibuat dengan metode studi literatur. Bab I dalam karya tulis ini membahas pendahuluan, bab II menjelaskan teori tentang masalah yang dibahas, bab III berisi hipotesis, bab IV berisi pembahasan, dan bab V berisi kesimpulan dan saran yang ditulis oleh penulis.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 ASMA2.1.1 DEFINISIDefinisi asma masih sulit untuk ditentukan hingga saat ini karena asma merupakan penyakit yang kompleks. Semua definisi asma yang dikeluarkan oleh berbagai sumber hanya diambil dari gejala klinis yang tampak pada penderita. Berdasarkan sumber sumber tersebut ditarik kesimpulan, bahwa definisi asma adalah penyakit inflamasi kronis yang terjadi pada saluran nafas banyak ditemukan sel mast, limfosit T (sel T), dan eosinofil.4,8,12,23-262.1.2 EPIDEMIOLOGIAsma merupakan salah satu penyakit yang paling sering dijumpai dan sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia. Jumlah penderitanya kurang lebih sekitar 5% dari populasi manusia. Pada penelitian epidemiologis yang diadakan tahun 1993 di Surabaya, didapatkan prevalensi asma sebesar 7,7% dengan rincian 9,2% pada kaum pria dan 6,6% pada kaum wanita. Pada penelitian tersebut diteliti 6662 responden dengan rentang usia 13-70 tahun (rata-rata 35,6 tahun) yang berasal dari 37 puskesmas di Jawa Timur. Pada SKRT tahun 1995 prevalensi asma di seluruh wilayah Indonesia sebesar 13/1000. Pada SKRT tahun 2002 tercatat penderita asma di Indonesia sebanyak 12,5 juta jiwa. Pada SKRT tahun 2005 tercatat 225.000 orang meninggal dunia karena asma.1,12 Data dari WHO pada tahun 2005 didapat penderita asma sebanyak 300 juta jiwa.

2.1.3 KLASIFIKASIKlasifikasi asma dapat ditentukan dari banyak faktor seperti etiologi, berat ringannya penyakit, dan gambaran obstruksi saluran nafas, namun yang akan dibahas kali ini hanya berdasarkan etiologinya saja. Asma dibedakan menjadi 2 yaitu asma ekstrinsik atau atopic dan intrisik atau non-atopic.4,8,9Asma ekstrinsik paling banyak dijumpai, sekitar 70% dari semua penderita asma. Tipe ini berhubungan dengan atopi, yaitu reaksi Imunoglobulin E (IgE) dan T-Helper 2 cell (Th2) yang disebabkan oleh respon imun terhadap allergen. Allergen tersebut dapat bermacam-macam seperti debu, serbuk sari bunga, bulu kucing, dll.4,8,9,27 Asma intrinsik ditemukan sekitar 30% pada penderita asma. Mekanismenya sampai saat ini belum diketahui. Pada asma tipe intrinsik apabila dilakukan skin test maka hasilnya akan negatif dan tidak ditemukan peningkatan jumlah IgE.4 Yang menjadi faktor pencetusnya asma tipe ini adalah olahraga yang berlebihan (exercise-induced asthma), periode menstruasi (catamenial asthma), infeksi saluran pernafasan, gastro esophageal reflux disease (GERD), perubahan cuaca, stres. Faktor genetis pada asma tipe intrinsik sangat jarang ditemui.8,9,27 Pembagian ini tidak bisa di jadikan kesimpulan karena banyak dari penderita asma memiliki ciri pada kedua tipe tersebut.8,9

2.1.4 GEJALA KLINISPada tahun 1997, The National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI) membuat kesimpulan akan definisi asma berdasarkan gejala yaitu kelainan pernafasan berulang dan reversible dengan menggunakan obat bronkodilator antagonis 2 maupun sembuh sendiri.12 Pada penderita juga didapati hiperreaktifitas pada saluran nafasnya, sehingga menimbulkan inflamasi kronis dan berulang yang melibatkan mediator-mediator inflamasi seperti sel eosinofil, IgE, Th2, dan neutrofil.4,8,9,24,27 Kelainan pada pernafasan tersebut dapat berupa rasa sesak pada dada, suara nafas wheezing atau mengi, dan batuk. Suara mengi terdengar pada saat pasien ekspirasi, sehingga ekspirasinya terdengar memanjang.24 Suara mengi tersebut diakibatkan karena ada obstruksi pada saluran pernafasan.2.1.5 PATOFISIOLOGI2.1.5.1 PAPARAN PERTAMA

EosinofiliaIFN-IL-12Th2Ig E menempel pada sel mastAllergen /AntigenMakrofag/APCmerangsang Sel BSel Th0Menghasilkan Ig E spesifikIL-1 Menghasilkan IL-4Proliferasi Sel BSel PlasmaIL-2 dan IL-2RAktivasi sel Th0IL-4Th1Difrensiasi sel Th0TNF-Diferensiasi sel T

Gambar 1. Skema patofisiologi asma pada paparan pertama.Proses patofisiologi asma yang terpenting adalah paparan berulang. Gejala-gejala asma yang sudah dibahas sebelumnya akan timbul setelah terjadi paparan pertama. Pada paparan pertama penderita asma sama seperti orang normal dan tidak menunjukkan gejala apapun. Paparan pertama dimulai dengan masuknya allergen atau antigen. Allergen merupakan zat-zat tertentu yang dapat menimbulkan inflamasi saluran nafas pada penderita asma. Setelah masuk ke dalam tubuh antigen tersebut ditangkap oleh makrofag yang bertugas sebagai Antigen Presenting Cell (APC) (Gambar 1). 8,28Ikatan antigen-makrofag tersebut merangsang makrofag untuk mengeluarkan sitokin-sitokinnya seperti Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-12 (IL-12) ,dan Tumor Necroting Factor (TNF-). Sitokin-sitokin tersebut memiliki fungsi yang berbeda, IL-12 berperan dalam diferensiasi sel T menjadi Nave T-Cell (Th0), TNF- berperan dalam proses penarikan eosinofil atau eosinofilia, sedangkan IL-1 akan merangsang sel B yang belum teraktifasi untuk mengeluarkan Interleukin-4 (IL-4) atau B-Cell Growth Factor (BCGF). IL-4 berfungsi sebagai stimulant bagi sel B yang belum teraktifasi untuk berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu sel plasma.28 Bentuk sel plasma berbeda dengan sel B yang belum teraktifasi, sel plasma memiliki bentuk yang lebih besar dan dapat menghasilkan Immunoglubulin E (IgE). Antibodi tersebut dihasilkan dari Reticulum Endoplasma (RE) sel plasma. Antibody tersebut yang nantinya akan berikatan oleh salah satu reseptor sel mast dan akan menimbulkan gejala pada asma. 8,28Makrofag juga dapat merangsang Th0 untuk memproduksi Interleukin-2 (IL-2) dan Interleukin-2 receptor (IL-2R). IL-2 bersifat autokrin dan menyebabkan Th0 menghasilkan IL-4 dan Interferon- (IFN-). Kedua sitokin tersebut menentukan diferensiasi sel Th0. IFN- dapat merangsang sel Th0 berdiferensiasi menjadi sel Th1, sedangkan IL-4 yang dihasilkan oleh Th0 dapat berperan dalam proses diferensiasi sel B menjadi sel plasma dan diferensiasi sel Th0 menjadi sel Th2.282.1.5.2 PAPARAN KEDUA

Klon Sel B spesifikAllergen /AntigenSel plasma aktifSel Mast dan basofilAntibodi IgE spesifikMediator kimiaTimbul gejala asmaSRS-AECFHistaminLeukotrieneProstaglandin

Gambar 2. Skema patofisiologi paparan ulang oleh allergen pada asma.Setelah paparan pertama usai, maka akan dibentuk klon sel B spesifik untuk antigen pada paparan pertama. Tujuan pembentukan klon tersebut adalah untuk membuat respon yang lebih cepat jika ada paparan berulang oleh allergen yang sama. Apabila terjadi paparan ulang oleh allergen yang sama, maka klon sel B tersebut akan berubah menjadi sel plasma dan menghasilkan IgE yang spesifik untuk antigen tersebut. IgE spesifik tersebut akan beredar bebas didalam darah dan akan berikatan dengan sel mast atau basofil pada salah satu reseptornya (Gambar 2).8,28Proses ikatan tersebut yang akan menyebabkan gejala klinis pada asma melalui pengeluaran mediator-mediator kimia oleh sel mast. Mediator-mediator tersebut antara lain: 8,9,281. HistaminHistamine menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler.2. Slow-Reactive Substance of Anaphylaxis (SRS-A)Menyebabkan kontraksi otot polos kuat dan berkepanjangan pada saluran pernafasan3. Eosinophil Chemotactic Factor (ECF)Memiliki fungsi untuk menarik eosinofil kedaerah peradangan.4. Leukotriene C4, D4, dan E4Bronkokonstriksi kuat dan memanjang, peningkatan permeabilitas kapiler, dan produksi mukus saluran pernafasan.5. Prostaglandin D2Bronkokonstriksi dan vasodilatasi pembuluh darah.

2.1.5.3 EOSINOFIL RECRUITMENTMakrofag setelah berikatan dengan antigen akan mensekresi TNF- yang akan merangsang epitel saluran nafas sehingga menghasilkan 2 zat kimia yaitu Thymus Activated Regulated Chemokine (TARC) dan Macrophage-Derived Chemokine (MDC). Kedua zat tersebut akan menarik sel Th2 dan berikatan dengan reseptor sel Th2 yang menyebabkan Th2 menghasilkan IL-4, Interleukin-5 (IL-5), dan Interleukin-13 (IL-13). IL-5 memiliki nama lain yaitu Eosinophyl Colony Stimulating Factor (ECSF) yang fungsinya secara langsung menarik eosinofil.8,9,25 IL-4 dan IL-13 berperan secara tidak langsung dalam penarikan eosinofil dengan cara menghasilkan eotaxin-1 dan menarik eosinofil (Gambar 3).

TNF-MakrofagMerangsang Th2IL-5IL-4IL-13Epitel saluran nafasMDCTARCMenarik EosinofilEotaxin-1 Epitel saluran nafas

Gambar 3. Proses penarikan eosinofil pada patofisiologi asma.2.2 INFEKSI CACING TAMBANGPenyakit ini tersebar di daerah tropis maupun subtropis.29 Di Indonesia penyakit ini lebih banyak disebabkan oleh cacing Necator americanus dan Ancylostoma duodenale.1,3 Gejala klinis penyakit ini tergantung pada jumlah cacing yang menginfeksi usus, paling sedikit 40 cacing dewasa diperlukan untuk menyebabkan terjadinya anemia dan gejala klinis pada pasien dewasa.2,29Penyakit cacing tambang umumnya disebabkan oleh cacing Necator americanus dan Ancylostoma duodenale, jarang disebabkan oleh Ancylostoma braziliensis, Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma malayanum.30 Penyakit ini biasa juga disebut ankilostomiasis atau nekatoriasis.3,29

2.2.1 SIKLUS HIDUPSiklus pertama berasal dari telur cacing yang berasal dari cacing dewasa betina. Telur tersebut dikeluarkan bersamaan proses defekasi manusia. Telur cacing tambang memiliki ukuran sekitar 70x45 mikron. Bentuknya lonjong, berdinding tipis, dan kedua kutub mendatar. Telur tersebut memiliki beberapa sel didalamnya. Kondisi tanah lembab, hangat, dan basah sangat cocok untuk telur cacing tambang (Gambar 4). 3,29-31Setelah sekitar 1-2 hari telur tersebut akan menetas lalu berubah menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform tersebut berkembang dan hidup di tanah.31 Larva ini berukuran sekitar 250 mikron. Apabila dilihat secara mikroskopis akan terlihat rongga mulut yang panjang dan sempit. Esofagus dengan dua bulbus dan menempati 1/3 panjang badan bagian anterior. Larva rabditiform akan hidup selama 5-10 hari (Gambar 4).3,31Larva rabditiform kemudian berubah menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit manusia dan memulai proses infeksi cacing. Stadium ini adalah stadium infektif bagi cacing tambang. Larva filariform memiliki ukuran sekitar 500 mikron. Apabila dilihat dengan menggunakan mikroskop akan terlihat rongga mulut yang tertutup dan esofagusnya menempati panjang badan bagian anterior (Gambar 4).3,29-31 Proses infeksinya diawali dengan masuknya larva filariform ke dalam kulit, biasanya melalui kulit telapak kaki. Setelah itu cacing akan masuk ke aliran darah sampai ke jantung dan paru-paru. Setelah sampai paru-paru, larva filariform akan bermigrasi melalui saluran pernafasan sampai ke daerah faring. Larva tersebut akan masuk ke dalam saluran pencernaan bersamaan dengan proses makan dan minum manusia. Sesampainya di usus halus larva filariform akan mencapai bentuk dewasanya dan bertelur di sana (Gambar 4).29-31

Gambar 4. Daur hidup cacing tambang.31

ACB

Gambar 5. Larva dan telur cacing tambang (32) (A) Larva rabditiform, (B) Telur cacing tambang, (C) Larva filariform

2.2.2 MORFOLOGI CACING TAMBANGa. Ancylostoma duodenaleCacing ini dapat dikenali dengan dua pasang gigi pada mulutnya apabila dilihat secara mikroskopis. Secara makroskopis cacing ini memiliki panjang tubuh sekitar 1 cm. Bentuk tubuhnya menyerupai huruf C. Perbedaan jenis kelaminnnya dapat dilihat dari bagian ekornya, apabila cacing jantan memiliki lingkaran kopulatriks, sedangkan pada betina memiliki ekor yang runcing (Gambar 6).3,30,31

AB

Gambar 6. Ancylostoma duodenale stadium dewasa (33).(A) Ancylostoma duodenale (B) Mulut Ancylostoma duodenale memiliki 2 pasang taring.

b. Necator americanusCacing ini memiliki perbedaan dengan Ancylostoma duodenale adalah salah satunya dengan melihat bagian mulutnya. Necator americanus memiliki benda kitin pada mulutnya. Secara makroskopis tubuhnya tidak jauh berbeda dengan Ancylostoma duodenale, memiliki panjang tubuh yang sama dan memiliki perbedaan reproduksi pada daerah ekornya. Perbedaan secara makroskopis dapat dilihat dari bentuk tubuhnya yang menyerupai huruf S.3

ABGambar 7. Necator americanus stadium dewasa.32(A) Necator americanus(B) Mulut Necator americanus memiliki benda kitin.

2.2.3 RESPON TUBUH TERHADAP INFEKSI CACING TAMBANGInfeksi cacing tambang bersifat kronis.11,13,34 Respon imun terhadap cacing ditandai dengan respon Th2 dengan memproduksi IL-4, IL-5, dan IL-13. Seiring dengan peningkatan sitokin-sitokin tersebut, produksi IgE dan penyebaran sel-sel granulosit juga meningkat. Polarisasi Th0 menjadi Th1 ataupun Th2 dipengaruhi oleh tipe antigen dan sitokinnya. Infeksi cacing ditemukan banyak IL-4 yang dianggap sebagai prototip dari sitokin Th2. IL-4 dapat meningkatkan perubahan Th yang belum terpolarisasi menjadi Th2, sedangkan IFN- menjadi prototip bagi sitokin Th1.Pada infeksi cacing tambang terjadi skewing Th2 response, yang ditandai oleh polarisasi Th0 menjadi Th2. Proses ini menyebabkan meningkatnya sitokin-sitokin khas Th2 seperti IL-4, IL-5, IL-13. Seperti yang sudah dijelaskan pada patofisiologi asma, IL-4 berperan dalam maturasi sel B menjadi sel plasma. Sel plasma yang nantinya akan menghasilkan IgE. Sedangkan IL-5 dan IL-13 akan berperan dalam recruitment eosinofil, sehingga nantinya dapat menyebabkan eosinofilia.2.3 HUBUNGAN ASMA DENGAN CACING TAMBANGBerdasarkan European Academy of Allergology and Clinical Immunology (EAACI), definisi dari alergi adalah respon hipersensitivitas yang disebabkan oleh agen lingkungan dan suhu pada dosis tertentu yang dapat ditoleransi oleh orang normal.11Cacing tambang merupakan parasit ekstraseluler. Cacing tambang memerlukan waktu untuk bermigrasi ke usus halus untuk bereproduksi. Apabila infeksi tersebut sudah kronis akan terjadi respon imun yang berlebihan sehingga tubuh akan memberikan umpan balik dengan pengaktifan Regulatory T-Cell (Treg).11,13,34 Treg aktif karena umpan balik negatif dari respon Th2 yang merupakan sel pro-inflamasi.28Treg memiliki dua sitokin utama yang berfungsi sebagai anti-inflamasi yaitu Interleukin 10 (IL-10) dan Transforming Growth Factor (TGF-). Sitokin-sitokin tersebut yang berperan penting dalam mengontrol respon imun. IL-10 dan TGF- menghambat proses maturasi dari makrofag sehingga sitokin-sitokin produk makrofag akan berkurang dan menghambat proses diferensiasi sel T, sehingga produksi sitokin yang dihasilkan oleh sel Th1 dan Th2 (gambar 8).11,13,34,35Sitokin pertama yang dihasilkan oleh makrofag adalah TNF-.8,28 TNF- berfungsi sebagai chemoattractant bagi sel-sel granulosit. Produksi TNF- yang berkurang menyebabkan proses penarikan sel-sel granulosit seperti sel mast, eosinofil, dan basofil. Proses ini akan menyebabkan menurunnya proses degranulasi mediator kimiawi.35Sitokin lainnya adalah IL-12.8,28 Sitokin tersebut memiliki fungsi pada proses diferensiasi sel T menjadi Th0. Apabila produksi IL-12 berkurang secara tidak langsung akan menyebabkan penurunan produksi sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh sel Th.36-37

Produksi IL-10Aktivasi TregTNF- Menurunkan maturasi makrofagIL-12 Proses menarik sel granulosit Diferensiasi sel T menjadi Th0 Produksi sitokin pro-inflamasi Produksi mediator kimiawi Skewing Th2 responseInfeksi cacing tambang Produksi TGF-

Gambar 8. Respon tubuh terhadap cacing tambanGTelah dibahas di atas bagaimana infeksi cacing tambang bersifat kronis. Mekanisme tersebut tidak hanya melindungi manusia dari respon imun terhadap cacing namun dapat melindungi manusia dari penyakit yang disebabkan oleh hipersensitifitas pada respon imun, seperti asma. Asma merupakan penyakit kronis, yang dapat menghasilkan respon tubuh sama seperti infeksi cacing yaitu peningkatan respon Th2.Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Scrivener dkk. pada tahun 1999 menunjukan adanya bukti bahwa tingginya derajat infeksi cacing tambang dapat mencegah timbulnya gejala asma (mengi) pada orang memiliki riwayat atopi. Penelitian tersebut dilakukan di Jimma, Ethiopia. Pada penelitian ini digunakan 205 orang dari kelompok kasus dan 399 orang dari kelompok kontrol yang keduanya berasal dari daerah perkotaan dan pedesaan. Kelompok kasus adalah kelompok yang sudah terindentifikasi memiliki riwayat mengi dalam 12 bulan terakhir dan berumur lebih dari 14 tahun, sedangkan kelompok kontrol adalah orang yang belum teridentifikasi memiliki riwayat mengi dalam 12 bulan terakhir dan berumur lebih dari 14 tahun.Pada pemeriksaan tinja didapatkan hasil 140 dari 572 orang (24%) terinfeksi cacing tambang (mayoritas Necator americanus). Dari 140 orang yang terinfeksi cacing tambang, mayoritas diderita oleh orang yang tinggal di daerah pedesaan baik pada kelompok kontrol maupun kasus. Temuan telur cacing tambang tersebut dihitung dan dibagi menjadi 4 kelas berdasarkan jumlahnya. Setelah dilakukan pembagian maka didapatkan hasil hubungan bahwa infeksi cacing tambang dapat menurunkan kejadian mengi dengan OR