identifikasi dan inventarisasi potensi dan masalah daerah tertinggal

46
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan HARDIMAN SIAGIAN IV - 1 B B A A B B I I V V IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL 4.1. TELAAH KONDISI SOSIAL EKONOMI 4.1.1. Desa Tes, Timor Tengah Utara Letak dan Keadaan Umum Desa Tes terletak di sebelah utara kabupaten Timor Tengah Utara, sekitar 25 km dari Kefamenanu ibukota kabupaten Timor Tengah Utara, di perbatasan dengan distrik Oecussi (Ambeno) Negara Timor Leste. Desa Tes berbatasan di sebelah Utara dengan Napan dan Timor Leste, sebelah Selatan dengan desa Buk, sebelah Timur dengan desa Sainoni dan sebelah Barat dengan desa Napan dan Timor Leste. Secara administratif desa ini masuk dalam wilayah Kecamatan Bikoni Utara, kecamatan yang baru dimekarkan dari Kecamatan Miomaffo Timur pada bulan Juli 2008. Salah satu alasan pemekaran Kecamatan Bikoni Utara adalah mendorong perkembangan wilayah tertinggal terutama desa-desa yang terletak di perbatasan dengan Timor Leste. Kecamatan Bikoni Utara terdiri dari 9 desa, yaitu desa Napan, Tes, Sainoni, Fainake, Haumeni, Baas, Banain A, Banain B, dan Banain C. Enam desa diantaranya termasuk desa yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, yaitu Napan, Tes, Haumeni, Banain A, B dan C. Pos perbatasan utama terdapat di Desa Napan yang dilengkapi pos dan asrama TNI, polisi, dan imigrasi. Kondisi topografi desa Tes berbukit-bukit dengan ketinggian berkisar 400- 1200 m dpl. Seperti umumnya wilayah pulau Timor, desa Tes mengalami 8 bulan kering (kemarau) dari bulan April November, dan bulan yang relatif basah dari bulan Desember hingga Maret. Demografi Desa Tes terdiri dari 6 RT, 3 RW yang dibagi dalam 3 dusun dengan jumlah penduduk menurut data monografi desa tahun 2007 sebanyak 609 jiwa, laki-laki 295 orang, perempuan 314 orang, dengan jumlah rumah tangga 146. Struktur penduduk didominasi oleh penduduk usia muda seperti ditunjukkan Tabel 4.1.

Upload: hardiman-siagian

Post on 03-Jan-2016

908 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

STUDI POTENSI DAN PENGEMBANGAN WILAYAH TERTINGGAL (STUDI DI WILAYAH PERBATASAN: BINTAN, SANGIHE TALAUD, DAN TTU)

TRANSCRIPT

Page 1: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 1

BBBAAABBB IIIVVV

IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI

DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

4.1. TELAAH KONDISI SOSIAL EKONOMI

4.1.1. Desa Tes, Timor Tengah Utara

Letak dan Keadaan Umum

Desa Tes terletak di sebelah utara kabupaten Timor Tengah Utara, sekitar

25 km dari Kefamenanu ibukota kabupaten Timor Tengah Utara, di

perbatasan dengan distrik Oecussi (Ambeno) Negara Timor Leste. Desa

Tes berbatasan di sebelah Utara dengan Napan dan Timor Leste, sebelah

Selatan dengan desa Buk, sebelah Timur dengan desa Sainoni dan

sebelah Barat dengan desa Napan dan Timor Leste.

Secara administratif desa ini masuk dalam wilayah Kecamatan Bikoni

Utara, kecamatan yang baru dimekarkan dari Kecamatan Miomaffo Timur

pada bulan Juli 2008. Salah satu alasan pemekaran Kecamatan Bikoni

Utara adalah mendorong perkembangan wilayah tertinggal terutama

desa-desa yang terletak di perbatasan dengan Timor Leste. Kecamatan

Bikoni Utara terdiri dari 9 desa, yaitu desa Napan, Tes, Sainoni, Fainake,

Haumeni, Baas, Banain A, Banain B, dan Banain C. Enam desa

diantaranya termasuk desa yang berbatasan langsung dengan Timor

Leste, yaitu Napan, Tes, Haumeni, Banain A, B dan C. Pos perbatasan

utama terdapat di Desa Napan yang dilengkapi pos dan asrama TNI,

polisi, dan imigrasi.

Kondisi topografi desa Tes berbukit-bukit dengan ketinggian berkisar 400-

1200 m dpl. Seperti umumnya wilayah pulau Timor, desa Tes mengalami

8 bulan kering (kemarau) dari bulan April –November, dan bulan yang

relatif basah dari bulan Desember hingga Maret.

Demografi

Desa Tes terdiri dari 6 RT, 3 RW yang dibagi dalam 3 dusun dengan

jumlah penduduk menurut data monografi desa tahun 2007 sebanyak 609

jiwa, laki-laki 295 orang, perempuan 314 orang, dengan jumlah rumah

tangga 146. Struktur penduduk didominasi oleh penduduk usia muda

seperti ditunjukkan Tabel 4.1.

Page 2: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 2

Tabel 4.1. Struktur Penduduk Desa Tes Menurut Kelompok Umur

Kelompok Umur (Tahun) Laki-laki Perempuan Jumlah

0 - 5 38 33 71

6 - 10 36 35 71

11 - 15 30 32 62

16 - 20 17 20 37

21 - 25 26 22 48

26 - 30 14 11 25

31 - 35 16 18 34

36 - 40 9 20 29

41 - 45 18 22 40

46 - 50 15 11 26

51 - 55 14 7 21

56 - 60 9 11 20

61 - 65 13 13 26

66 - 70 17 13 30

>70 23 46 69

Jumlah 295 314 609

Sumber : Profil Desa Tes 2008

Sementara dilihat dari tingkat pendidikan seperti ditunjukkan pada Tabel

4.2., kelihatan bahwa tingkat pendidikan dan tingkat partisipasi

pendidikan (persekolahan) penduduk tergolong sangat rendah. Pada

kelompok usia 7-18 tahun, usia rata-rata SD - SLTA, 68 orang tidak

pernah sekolah sementara yang sedang bersekolah hanya 37 orang.

Secara umum tingkat partisipasi sekolah perempuan lebih tinggi dari laki-

laki.

Tabel 4.2. Struktur Penduduk Menurut Pendidikan Desa Tes

No. Pendidikan Laki-

laki Perempuan Jumlah

1. Usia 0-6 Tahun belum sekolah 38 38 76

2. Usia 7-18 tahun tidak pernah sekolah 34 34 68

3. Usia 7-18 tahun sedang sekolah 16 21 37

4. Usia 18-56 tahun tidak pernah sekolah 30 55 85

5. Usia 18-56 tahun pernah sekolah tidak tamat SD 7 18 25

6. Tamat SD 93 102 195

7. Tamat SMP 32 56 88

8. Tamat SMA 16 17 33

9. Tamat Perguruan Tinggi 1 1 2

Jumlah 267 342 609

Sumber : Profil Desa Tes 2008

Kondisi pendidikan menggambarkan juga kualitas angkatan kerja desa

Tes. Dari total 468 orang yang tergolong usia produktif (usia 18-56

Page 3: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 3

tahun) di desa Tes, 50 orang tidak memiliki kemampuan baca tulis (buta

aksara), terdiri dari 32 laki-laki dan 18 perempuan. Sementara yang

tidak tamat SD 98 orang, laki-laki 82 orang dan perempuan 16 orang.

Sementara yang tamat SD 195 orang, terdiri dari laki-laki 93 orang,

perempuan 102 orang, dan yang tamat SMP laki-laki 32 dan perempuan

56 orang.

Tabel 4.3. Kualitas Angkatan Kerja (Usia Produktif: 18-56 tahun) Desa Tes

Kaulitas Angkatan Kerja Laki-laki Perempuan Jumlah

Buta Aksara 32 18 50

Tidak tamat SD 82 16 98

Tamat SD 93 102 195

Tamat SMP 32 56 88

Tamat SLTA 18 17 35

Tamat PT 1 1 2

Jumlah 258 210 468

Sumber : Profil Desa Tes 2008

Dari data-data pada Tabel 4.3. kelihatan bahwa kualitas angkatan kerja

perempuan lebih dari laki-laki. Dilihat dari tingkat buta aksara dan tidak

tamat SD, laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Sementara apabila dilihat

dari tingkat partisipasi pendidikan (tamat sekolah) perempuan lebih tinggi

dari laki-laki, terutama untuk tingkat pendidikan dasar. Hal ini menjadi

catatan awal, bahwa dalam kondisi sosial budaya yang menempatkan

laki-laki dalam posisi yang lebih tinggi, perempuan justru memiliki

kecenderungan lebih berhasil dalam pendidikan dibandingkan laki-laki.

Sarana dan Prasarana

Transportasi

Ketersediaan sarana transportasi di desa ini sangat terbatas. Prasarana

penghubung seperti terminal belum ada. Pemilik angkutan (oplet) di desa

hanya satu orang dan yang berprofesi sebagai tukang ojek hanya 2 orang

(2 unit sepedamotor). Mobilitas penduduk tidak terlalu tinggi kecuali

untuk anak sekolah. Karena mereka tidak terlalu tergantung dengan

pasar, dan fasilitas umum lainnya. Sedangkan bagi penduduk yang

bekerja sebagai buruh di luar kota, biasanya tinggal sementara di kota

tersebut.

Untuk jalan penghubung antar kota dan antar desa sudah memadai.

Untuk menghubungkan desa Tes dengan kota Kefamenanu (ibukota

kabupaten) yangberjarak 25 km, dan desa-desa lainnya yang berada satu

jalur beroperasi secara regular oplet setiap setengah jam hingga 1 jam.

Page 4: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 4

Oplet ini melewati desa Tes dengan rute Kefamenanu – Napan, yang

berujung persis di depan pos perbatasan di Desa Napan.

Tetapi di dalam desanya sendiri sangat sulit menjangkau bebrapa rumah

karena ada di dalam desa. Misalnya untuk menjangkau sekolah Kecil sulit

menggunakan sepeda motor hanya bisa di tempuh dengan jalan kaki.

Sebagain besar kondisi jalan penghubung di dalam desa belum di

perkeras atau diaspal. Jika musim penghujan biasanya di bulan oktober

jalan menjadi becek dan sulit untuk dilalui.

Air Bersih

Ketersediaan air merupakan masalah yang sangat mendasar dan pelik di

desa Tes. Sumber utama air bersih adalah mata air dan sumur gali. Pada

musim kemarau, sumur gali kering dan penduduk harus berjalan cukup

jauh ke sumber air yang tersedia yaitu mata air yang terdapat di 3 lokasi

di sekitar lembah. Untuk menampung air hujan melalui bantuan dari LSM

telah dibangun 2 embung yang tentunya tidak berfungsi pada saat musim

kemarau.

Jumlah prasarana air bersih sangat terbatas, dimana hanya terdapat 9

sumur gali, 3 mata air dan 2 instalasi pipa air yang menghubungkan mata

air dengan penampungan-penampungan air yang lebih dekat dengan

pemukiman penduduk. Sembilan buah sumur yang ada digunakan oleh 14

rumah tangga, sementara mata air digunakan oleh sisanya.

Tabel 4.4. Prasarana Air Bersih di Desa Tes

No. Jenis Prasarana Jumlah Jumlah RMT pengguna

1. Sumur gali 9 14

2. Mata air 3 146

3. Embung 2 (belum berfungsi)

4. Pipa air 2 115

Sumber : Profil Desa Tes 2008

Listrik

Sebagian penduduk telah menikmati listrik yang bersumber dari genset

pembangkit yang penyediaanya dibantu oleh Departemen Sosial yang

dapat dinikmati oleh sekitar 90 rumah tangga atau sekitar 60 persen dari

jumlah rumah tangga yang ada. Listrik menyala dari jam 6 sore hingga

jam 10 malam. Setiap rumah yang mendapatkan sambungan listrik

membayar iuran Rp 95.000 setiap bulannya. Pengelolaan genset dan

penagihan iuran dilakukan oleh masyarakat melalui kesepakatan bersama.

Page 5: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 5

Keadaan Sosial Ekonomi

Aspek Sosial

Apabila harus bersekolah anak-anak Desa Tes harus ke desa Napan

dimana terdapat 1 buah sekolah tingkat SD (Sekolah Dasar), 1 buah

sekolah untuk tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan belum ada

untuk SLTA dan yang setingkat. Kedua desa harus saling berbagi fasilitas.

Dengan jumlah penduduk 609 dan anak usia sekolah dasar (6-15 tahun)

sebanyak 135 orang, sementara jarak dari Kantor Desa Tes ke Desa

Napan sejauh 7 km. Bisa dibayangkan jarak yang harus ditempuh anak-

anak ke sekolah dengan topografi yang berbukit. Semua lokasi sekolah

ada di Desa Napan, sehingga pemerintah Desa Tes berinisiatif untuk

membangun Sekolah Dasar Kecil yang diperuntukkan khusus bagi siswa-

siswa dari kelas 1 hingga kelas 3. Setelah naik kelas ke kelas 4, maka

semua siswa dialihkan ke SDN Tes yang berlokasi di Desa Napan.

Sebenarnya sekolah ini sudah berdiri sejak tahun 1930an oleh yayasan

katholik (YAPESA) dan kemudian di buat bangunan baru tahun 1980an di

desa Napan tetapi tetap menggunakan SD Tes.

Menurut Bapak Markus yang menjadi Kepala Sekolah SD kecil Tes, setelah

ditinggalkan misionaris, pengelolaan sekolah ini mengalami kemunduran.

Bangunan fisik Sekolah di Napan (SD, SMP dan Pendidikan Anak Usia

Dini/PAUD) sudah bagus dan terdapat ruangan yang cukup untuk

menampung siswa dan kondusif untuk belajar. Sungguh ironis jika

dibandingkan dengan kondisi fisik sekolah yang ada di Desa Tes (SD

Kecil).

Gambar 4-1. Kondisi Gedung SD Negeri Kecil di Desa Tes

Page 6: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 6

Gambar 4.1. menunjukkan kondisi yang sangat tidak kondusif untuk

belajar. Bangunan yang tidak punya dinding dan berlantai tadah.

Pembatas kelas hanya papan tulis. Dengan kondisi seperti ini apapun

aktivitas dikelas sebelas bisa didengar oleh kelas lain. Sekolah Kecil ini

hanya memiliki 3 ruangan. Kelas satu dan kelas dua berbagi ruangan

dengan sistem shift, kelas 1 masuk pagi hingga jam 10 WIT kemudian

kelas itu digunakan kembali oleh siswa kelas 2 hingga jam 13. 00 WIT.

Ruang guru hanya satu, ruang kepala sekolah berbagi dengan ruang guru

relawan. Guru dengan status PNS hanya satu orang dibantu 3 orang

relawan wanita, seorang dari relawan ini mengajar dengan membawa

anaknya yang masih balita.

Bapak Markus menuturkan seolah-olah pemerintah menutup mata akan

realitas sosial yang ada di Desa Tes. Sekolah-sekolah yang ada sekarang

tidak satu pun dari pemerintah, dan lebih mengandalkan bantuan dari

LSM lokal yang didukung Fund Rising dari luar negeri. Untuk saat ini

mereka berharap pada LSM PLAN untuk penyediaan infrastruktur

bangunan dan lainnya. Di Tahun 2007, sekolah kecil ini mendapat

bantuan untuk pengadaan buku, meja, papan tulis dan kapur. Bantuan ini

pun sangat terbatas.

Tabel 4.5. Kebutuhan dan Permasalan Pendidikan di Desa Tes

No Kebutuhan masyarakat

Permasalahan Rekomendasi Keterangan

1. Bangunan sekolah yang kondusif buat

belajar

Membutuhkan tenaga yang

cukup besar. Belum ada lembaga atau keinginan

pemerintah untuk membuat sekolah.

Pembangunan fisik sekolah

Saat ini sedang mengajukan

proposal ke PLAN.

Masyarakat bersedia

memberi sumbangan waktu dan

tenaga untuk membangun sekolah

2. Tenaga pengajar Dinas pendidikan belum menyediakan tenaga pengajar

yang berkualitas

- Memperkuat status tenaga pengajar

- menyediakan tenaga pengajar PNS

Saat ini ada 3 orang tenaga relawan sebagai

staf pengajar yang tidak diberi honor

3, Sarana pendukung lainnya seperti

buku, kapur

Ketersediaan buku masih sangat

terbatas. Hanya dimiliki oleh guru

Tidak mendukung menumbuhkan minat baca

Kerjasama antara dinas pendidikan

dan LSM lokal untuk menyediakan buku-buku pelajaran

Buku adalah media untuk

mempercepat tansfer ilmu pengetahuan.

Page 7: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 7

Sedangkan untuk SMP yang ada di Desa Napan baru berdiri tahun 2006

artinya baru berjalan 2 tahun. Dan sekolah ini dinamakan sekolah satu

atap karena masih lingkungan dengan SD. Belum ada pendidikan non

formal di desa ini hanya saja LSM yang bekerja di sini banyak

memberikan pelatihan-pelatihan untuk pemberdayaan masyarakat,

seperti kursus singkat budidaya pertanian dan membuat tenunan kain.

Antusias masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya begitu tinggi.

Hal ini berangkat dari kesadaran masyarakat untuk memperbaiki taraf

hidup. Bapak Donotus adalah seorang ayah yang mengkuliahkan anaknya

hingga ke Kediri. Meskipun dari segi pembiayaan tersendat-sendat tetapi

beliau menyakini sesatu yang dimulai dengan niat baik pasti akan diberi

kemudahan. Beliau adalah potret orang tua yang menyadari pentingnya

pendidikan sebagain bagian dari masa depan anak-anaknya.

Ketersediaan fasilitas di desa ini sangat rendah. Satu desa hanya memiliki

satu orang bidan dengan ketersediaan obat-obatan yang sangat terbatas.

Di desa ini banyak dukun yang tidak terlatih untuk membantu

menyembuhkan orang sakit dan persalinan. Menurut Martinus kepala desa

di Desa Tes, pihak desa sudah mengeluarkan peraturan kepada warganya

jika pada saat bersalin hanya dibantu oleh dukun yang tidak terlatih

dikenakan sanksi anaknya tidak mendapat akta lahir dan didenda Rp.

270.000. hal ini dilakukan untuk menekan angka kematian ibu dan bayi.

Pada tahun 2007, desa mengirimkan seluruh dukun untuk memperoleh

pelatihan tentang cara menangani persalinan yang baik. Dan hasil dari

pelatihan ini adalah mereka memiliki sertifikat yang diakui untuk

membantu persalinan. Dukun terlatih ini tetap diawasi oleh bidan

tersebut.

Fasilitas kesehatan yang lengkap ada di ibukota kabupaten yaitu di

Kefamenanu yang berjarak 25 km dari desa Tes. Di Kefamenanu tersedia

puskesmas rujukan bagi orang-orang yang sakit parah. Di sekitar

puskesmas ini terdapat 3 apotik yang berdekatan satu sama lain.

Salah satu yang mengkhawatirkan adalah pola makan yang tidak

seimbang yang menyebabkan kerawanan pangan, termasuk kurangnya

asupan gizi non karbohidarat dan protein terutama bagi ibu dan anak.

Gambaran tingkat kesejahteraan penduduk desa Tes tercermin juga dari

kondisi tempat tinggal mereka. Dari 147 rumah yang ada, hanya 20

rumah berlantai, sisanya 127 rumah berlantai tanah. Rumah yang

memiliki atap seng 65 rumah, sisanya beratap rumbia, illalang dan daun

lontar.

Page 8: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 8

Aspek Ekonomi

Mata pencaharian utama masyarakat desa Tes adalah pertanian, dari 145

RMT, 129 orang bermatapencaharian utama sebagai petani. Sementara

sebagian lain bekerja sebagai PNS, membuka usaha warung dan

mengerjakan kegiatan-kegiatan buruh dan keterampilan kayu dan tukang

jahit.

Tabel 4.6. Mata Pencaharian dan Usaha yang Ditekuni

I. Mata Pencaharian Utama Jumlah KK

Petani 129

PNS 2

Dukun kampung 2

II. Usaha Perdagangan

Warung 6

III. Usaha Keterampilan

Tukang kayu 9

Tukang batu 23

Tukang jahit 11

Tukang gali sumur 1

Sumber : Profil Desa Tes 2008

Jenis pertanian yang diusahakan dalah pertanian lahan kering sesuai

dengan keadaan lahan dan iklim di wilayah tersebut. Tanaman semusim

hanya dapat diuasahakan pada musim hujan, yang berlangsung singkat

antara bulan November sampai bulan Februari. Sementara sepanjang

musim kemarau penduduk bergantung kepada persediaan hasil panen

dari musim hujan. Tanaman yang disuahakan antara lain padi, jagung,

umbi-umbian dan sayuran dimulai di awal musim hujan. Pola penyiapan

dan pengolahan lahan pertanian masih menggunakan system tebas bakar.

Pola ini digunakan didasari alasan biaya, waktu dan juga faktor kebiasaan

yang telah berlangsung lama.

Tabel 4.7. Jenis Tanaman yang Diusahakan dan Luas Lahan

No. Tanaman yang Diusahakan

Luas Lahan (Ha)

Luas Rata-rata/ RMT (Ha)

1. Padi 45 0.31

2. Jagung 76 0.52

3. Ubi-Ubian 10 0.07

4. Buah-Buahan 5 0.03

5. Sayuran 1 0.01

6. Kelapa 4 0.03

7. Kopi 1 0.01

8. Kemiri 50 0.34

9. Jambu Mete 50 0.34

Sumber : Profil Desa Tes 2008

Page 9: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 9

Pada musim kemarau, untuk menutupi pengeluaran rumah tangga

masyarakat mengandalkan hasil dari tanaman-tanaman perkebunan

seperti kelapa, kemiri dan jambu mete serta ternak yang dikelola

seadanya. Beberapa keluarga juga memungut buah asam yang banyak

tumbuh di desa.

Dilihat dari luas tanaman yang dikelola (Tabel 4.7.), dan jumlah ternak

yang ada di didesa (Tabel 4.8.) dibandingkan dengan jumlah RMT

kelihatan bahwa produktivitas pertanian sangat rendah. Tanaman padi,

misalnya, dari 45 Ha lahan yang dapat ditanami padi, diratakan dengan

jumlah RMT, setiap rumah tangga hanya mengelola 0,31 Ha, yang

ditanami hanya satu kali satu tahun. Rata-rata luas tanaman jagung per

RMT adalah 0,52 Ha. Sementara tanaman keras yang utama, yaitu jambu

mete dan kemiri diusahakan rata-rata seluas 0,34 per RMT. Angka ini

tentunya sangat rendah, belum lagi apabila mempertimbangkan

penyebarannya.

Tabel 4.8. Populasi, Pemilik Ternak dan Rata-rata jumlah Ternak per RMT

No. Jenis Ternak Pemilik Populasi Rata-rata/RMT

1. Sapi 72 160 1.10

2. Babi 75 125 0.86

3. Kambing 41 76 0.52

4. Kuda 2 2 0.01

Sumber : Profil Desa Tes 2008

.

Gambar 4-1. Penyiapan Lahan Pertanian dengan Pola Tebas Bakar

Sebaran kepemilikan lahan dapat dilihat pada Tabel…. Seluruh RMT

memiliki lahan pertanian. Sepuluh RMT memiliki lahan kurang dari 0,5

Ha, 13 RMT memiliki lahan antara 0,5-1 Ha, dan 122 orang memiliki lahan

lebih dari 1 Ha. Indikator ini apabila dibandingkan dengan daerah intensif

pertanian seperti pulau Jawa misalnya, akan menggambarkan tingkat

kesejahteraan yang cukup baik. Namun dengan pola pertanian campuran

Page 10: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 10

lahan kering yang hanya dapat ditanami pada musim hujan, dan dengan

topografi berbukit-bukit kepemilikan lahan kurang dari 1 Ha dapat

dikatakan tidak memadai.

Tabel 4.9. Kepemilikan Lahan Pertanian

No. Kepemilikan Lahan Jumlah RMT

1. Tidak memiliki lahan 0

2. <0,5 Ha 10

3. 0,5-1 Ha 13

4. >1Ha 122

Total 145

Sumber : Profil Desa Tes 2008

Gambaran ekonomi desa yang meliputi mata pencaharian, kepemilikan

sumberdaya dan jenis-jenis komoditi yang diusahakan dengan berbagai

karakteristik khas seperti iklim dan topografi, pola pertanian dan sosial

budaya menghasilkan pola kehidupan (relasi sosial ekonomi) yang juga

khas.

Di desa ini tidak ada fasilitas apa pun yang menunjang kegiatan

perekonomian mereka. Pasar hanya ada di Kefamenanu. Begitu juga

dengan fasilitas seperti bank, koperasi dan yang menjual sarana

produksi pertanian. Setelah panen, mereka akan pergi ke Kefamenanu

untuk menggiling padi. Hasil panen ini biasanya mereka simpan hingga

panen berikutnya. Dan setiap rumahtangga pasti memiliki ternak selain

untuk upacara adat juga untuk keperluan makan. Berdasarkan pola dan

aktivitas tersebut maka dapat disimpulkan bahwa mereka tidak terlalu

tergantung terhadap pasar dan fasilitas yang lainnya.

Karena hampir semua penduduk bermata pencaharian sebagai petani,

selama musim kering dan menunggu panen biasanya penduduk dewasa

laki-laki akan bermigrasi ke kota-kota terdekat seperti Atambua dan

Kefamenanu untuk mencari nafkah sebagai buruh kasar, sementara

wanita akan tinggal dirumah untuk melakukan tugas domestik dan

merawat ternak.

Sistem pertanian disini sangat mengandalkan air hujan. Berbagai cara

diupayakan agar masalah air dapat teratasi. Baru-baru ini beberapa warga

desa mendapat pelatihan dari YABIKU tentang pengairan tetes (irigasi

tetes) untuk menghemat penggunaan air dan mengurangi penguapan.

Dan juga pemanfaatan lahan disekitar saluran air permandian umum

untuk digunakan menanam sayuran.

Baru-baru ini telah diterapkan pemisahakan kawasan pertanian dan

peternakan. Karena beberapa kasus menunjukkan hasil panen berkurang

Page 11: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 11

karena ternak yang dipeliharan di lepas di dekat sawah dan kebun hingga

merusak tanaman. Adapun jenis-jenis ternak yang diusahakan penduduk

adalah ayam, kambing, babi , kuda dan sapi. Menurut penduduk hampir

setiap rumahtangga memilki ternak babi karena memang digunakan

untuk upacara adat. Sedangkan untuk penduduk yang memiliki sapi

banyak digunakan sebagai tabungan untuk sekolah anak, dan juga untuk

upacara adat dan hari besar keagamaan.

Untuk bidang peternakan pada tahun 2007, ada bantuan kambing dari

PLAN 20 ekor per kelompok yang dibina (semuanya berjumlah 6

kelompok ) kemudian ada bantuan kambing lagi dari YABIKU per

rumahtangga (jumlah kurang tahu). Tetapi diawal ada wabah penyakit

kambing dan sebanyak 167 ekor kambing mati. Hingga saat ini belum

diketahui nama penyakit tersebut dan bagaimana cara mengatasinya.

Budidaya ternak dilakukan dengan cara melepas di alam terbuka. Mereka

belum pernah melakukan pengkandangan untuk ternak besar maupun

ternak kecil. Termasuk babi mereka hanya menambatkan ke satu tiang,

agar babi tersebut tidak pergi terlalu jauh.

Dengan hadirkan LSM lokal dengan berbagai program yang dijalankan

adalah penguatan sektor ekonomi rumahtangga. Mereka membuat dana

bergulir yang dimanfaatkan untuk membuka usaha seperti

mengembangkan peternakan mauapun pertanian. Selain itu, para ibu-ibu

memiliki organisasi berbasis ekonomi seperti SPP (Simpan Pinjam

Perempuan), UEP (Usaha Ekonomi Produktif). Kegiatan ekonomi tersebut

antara lain : Koperasi dagang, organisasi tenun ikat, kelompok

peternakan, kelompok tani perempuan dan lain-lain.

Kelembagaan Masyarakat Desa

Kelembagaan petani cukup kuat karena sudah membentuk kelompok-

kelompok sendiri. Kelompok ini digunakan untuk mengakses bantuan

seperti bibit permodalan dan lebih mudah masuknya inovasi. Karena

memang sudah menjadi bagi pemerintahan maupun donatur bahwa setiap

bantuan hanya diberikan kepada kelompok yang sudah berdiri lebih dari

setahun.

Menurut Bapak Juventius Kabelen selaku camat menyatakan kesadaran

untuk pembentukan kelompok merupakan suatu langkah yang positif.

Karena tetesan bantuan lebih mudah dilakukan. Posisi tawar-menawar

bagi petanai/peternak dan penenun menjadi lebih tinggi. Aspek

kelembagaan ini juga dibuat sebagai upaya preventif ketika musim

paceklik karena sebagain kelompok ini membuat simpan pinjam.

Page 12: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 12

Kelembagaan adat di desa ini sangat kental dan mengintervensi hampir

seluruh kegiatan sehari-hari. Bahkan bisa dikatakan secara administrasi

sistem pemerintahan tertinggi di desa ada pada kepala desa akan tetapi

secara teknis ditentukan oleh adat.

Satu hal yang unik di desa ini adalah pemilihan ‘tua adat’. ‘tua adat’ yang

terpilih boleh yang berasal dari penduduk pendatang. Menurut penduduk

pemilihan ‘tua adat’ bukan berdasakan turun temurun akan tetapi lebih

sikap yang ditampilkan dalam keseharian. Dan hanya orang-orang bijak

yang dipilih. Bijak dalam arti pintar menempatkan diri, mampu menjadi

‘hakim perdamaian’ untuk menangani masalah masyarakat termasuk

hingga ke masalah keluarga dan juga mampu memimpin upacara adat

sudah turun temurun dilakukan.

Di desa Tes terdapat beberapa fam antara lain yang termasuk rumpun

Dawan adalah Sikki, Kolo, dan Nule. Suku-suku ini memiliki tingkatan

tertentu di masyarakat. Suku Sikki adalah suku yang pertama kali tinggal

di Desa Tes sehingga suku ini adalah suku pemilik tanah luas/tuan tanah.

Suku Kolo dan suku Nule adalah suku pendatang yang menikahi penduduk

lokal. Selain rumpun Dawan ada beberapa suku yang mendiami wilayah

ini antara lain suku Flores, Batak dan pengungsin dari Timor Leste. Dan

kesemua suku hidup membaur dan harmonis.

Sekarang ini yang menjadi tua adat adalah orang Flores. Tua adat ini

juga menjadi pengambil keputusan akan pembangunan desa. Misalnya

jika LSM dan masayarakat ingin memperbaiki sumur atau melakukan

pendalam agar air lebih banyak maka harus konsultasi dahulu ke tua

adat. Apabila tua adat tidak berkenan maka pembangunan ini bisa

dibatalkan.

Dari hasil wawancara dengan beberapa penduduk, kekentalan adat saat

ini kadang-kadang menghambat pengembangan sumber daya alam.

Misalnya saja jika ingin memperbaiki sumber air agar pada musim kering

mampu mencukupi kebutuhan air penduduk. Maka setiap rumahtangga

diwajibkan membawa ternak kurban sebagai persembahan. Dan ini

menyulitkan untuk masyarakat. Begitu pun seperti program yang telah

dilakukan oleh PLAN dengan membuat Penambung Air Hujan (PAH) ini

mewajibkan masyarakat membawa kurbanya. Jika ini tidak dipenuhi,

masyarakat percaya pasti ada bencana karena alam tidak menerima.

Pada saat wawancara saya menyempatkan untuk bertanya kepada ibu-ibu

yang sedang mengambil air di sumur, mengapa sumur ini tidak

diperdalam. Karena dengan keadaan yang dangkal air sudah banyak,

mungkin jika diperdalam akan mampu memenuhi kebutuhan akan air di

Page 13: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 13

musim kering. Tetapi ibu-ibu menjawab lebih baik mereka berjalan ke

bukit untuk mengambil air daripada harus memperbaiki sumur. Karena

diwajibkan untuk membawa ternak kurban tiap rumahtangga sementara

tahun ini panen mereka termasuk gagal. Jadi banyak yang menjual

ternaknya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari. Upacaranya sendiri

banyak menghabiskan biaya untuk melakukan ritual.

Selain menghambat ada beberapa yang mendukung mempercepat

pelaksanaan program. Dengan dilibatkannya tua adat dalam program

mampu memobilisasi masyarakat untuk sungguh-sungguh melakukan

program tersebut. Karena masyarakat ini sangat tunduk terhadap tua

adat.

Peran penting yang masih umum ditaati dan berpengaruh posiitif terhadap

kehidupan masyarakat adalah pengaturan hutan larangan yang berfungsi

sebagai wilayah tangkapan air. Walaupun kelihatan meranggas, tetapi

kelihatan ada beberapa bagian dari perbukitan yang tetap terjaga dan

lebih padat vegetasinya dibanding lahan di sekitarnya. Pengenaan denda

dan sangsi adapt yang cukup bagi siapa yang mengambil, memungut dan

menebang pohon atau hasil hutan lain menjaga mata air di desa tetap

menyediakan air walaupun pada musim kemarau yang panjang.

Hubungan Sosial dengan Timor Leste

Masyarakat di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste di wilayah

Timor Tengah Utara umumnya Suku Dawan. Penduduk di bagian

Indonesia dan dibagian Timor Leste di sepanjang perbatasan memiliki

pada umumnya memiliki kaitan kekerabatan. Semenjak pemisahan diri

menjadi negara sendiri, praktis ada hambatan mobilitas dan komunikasi

masyarakat desa Tes dengan masyarakat di wilayah Timor Leste.

Hubungan sosial, budaya dan ekonomi yang berlangsung normal tiba-tiba

mengalami hambatan administrasi mengakibatkan adanya penyesuaian

terhadap pola-pola hubungan antara ke dua wilayah.

Setelah kemerdekaan Timor Leste di sepanjang perbatasan dibangun

check point sebagai pintu perlintasan dan pengawasan antara kedua

negara. Masyarakat dari kedua negara apabila harus bepergian ke bagian

lain harus melaporkan diri dan melengkapi diri dengan surat-surat yang

diperlukan sebagai bukti diri. Namun dengan system administrasi

keimigrasian yang tidak fleksibel, kebutuhan dan kepentingan bepergian

ke wilayah Timor Leste dan sebaliknya, baik untuk alasan sosial dan

ekonomi tidak serta merta dapat terlaksana. Padahal kepentingan itu

adakalanya sangat mendesak, semisal harus menghadiri upacara

kematian kerabat, atau kelahiran sanak keluarga.

Page 14: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 14

Pada tingkat tetua adat dan masyarakat di kedua wilayah yang memiliki

hubungan kekerabatan dan adat akhirnya muncul semacam kesepakatan

dan cara-cara pertemuan di luar titik perlintasan yang resmi dan tidak

membocorkannya kepada otoritas diperbatasan.

Dampak lain dari pemisahan kedua wilayah adalah banyaknya pengungsi

dari wilayah Timor Leste yang berlindung di wilayah Indonesia. Di desa

Tes sendiri terdapat 39 RMT eks Timor Leste yang akhirnya memilih

menjadi warga negara Indonesia. Mereka ini umumnya adalah

masyarakat yang memiliki hubungan darah langsung dengan masyarakat

di desa Tes.

Page 15: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 15

4.1.2. Desa (Kepulauan) Marore, Kabupaten Kepulauan Sangihe

Letak dan Keadaan Umum Lokasi

Desa Marore meliputi dua pulau yaitu Pulau Marore dan Pulau Mamanuk,

sebuah pulau yang tidak berpenghuni, yang sering menjadi tempat

persinggahan sementara para nelayan pada musim mencari ikan. Desa ini

terdiri dari 3 dusun dan satu anak kampung, yaitu pulau Mamanuk di

atas. Sehingga dalam pembahasan mengenai desa Marore, selanjutnya

pada bagian ini akan dipakai istilah pulau Marore yang mengacu pada

pengertian yang sama dengan desa Marore.

Berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 78 tahun 2005 tgl 29/12/2005,

gugusan pulau-pulau kecil terluar di Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara

yaitu Pulau Marore, Pulau Kawio, dan Pulau Kawaluso. Gugusan pulau-

pulau ini terletak di perairan Laut Sulawesi, dan Pulau Marore dengan

koordinat titik terluar 040

44’ 14’’ U dan 1250

28’ 42’’ T berhadapan

langsung dengan Pulau Balut, Philipina yang jarak tempuh dengan

speedboat sekitar enam jam.

Berkaitan dengan fungsi dan keberadaan pulau-pulau terluar ini, dibentuk

Kecamatan Border Crossing Agrement Marore yang kemudian pada 12

Sebtember 2008 statusnya diresmikan menjadi kecamatan defenitif yang

meliputi Desa Marore, Desa Kawio dan Desa Matutuang. Sebelum

pemekaran, desa Matutuang adalah anak desa Marore, dan Desa Marore

termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Tabukan Utara,

Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara. Luas desa

sebelum pemekaran sekitar 3,16 km2, yang mencakup pulau Marore 1,68

km2, pulau Mamanuk seluas 0,08 km2 (8 ha) dan pulau Matutuang seluas

1,40 km2.

Pulau Marore yang membujur dari barat daya ke arah timur laut

didominasi daerah perbukitan dan daerah pantai yang datar hanya

sebagian kecil saja dari pulau ini. Daerah perbukitan bergelombang

dengan ketinggian antara 0 dpl sampai dengan 110 dpl. Daerah

perbukitan merupakan daerah perkebunan kelapa, cengkeh, mangga,

jambu mete, bambu dan sebagainya yang tidak dikelola dengan baik.

Permukiman penduduk terbanyak berada di daerah pantai barat daya dan

sedikit di pantai timur. Di bagian tengah permukiman barat daya terdapat

daerah rendah/rawa yang ditumbuhi pohon sagu. Hanya sebahagian

kecil dari dataran di pulau Marore yang digunakan sebagai lahan

pemukiman dan berbagai fasilitas kantor dan rumah dinas dari instansi

Page 16: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 16

yang terkait dengan Border Crossing Agreement serta berbagai fasilitas

umum lainnya.

Demografi

Jumlah penduduk desa Marore berdasarkan data tahun 2007 (sebelum

pemekaran dengan Matutuang) adalah 862 jiwa dengan 219 kepala

keluarga, mencakup pulau Marore 562 jiwa yang terdiri atas 135 KK dan

penduduk pulau Matutuang sejumlah 300 jiwa. Pada tahun 2006

penduduk pulau Marore berjumlah 537 jiwa. Kenaikan jumlah penduduk

pulau yang cukup besar ini disebabkan kepulangan penduduk asal desa

Marore yang tinggal di Filipina. Berdasarkan data tahun 2006, mayoritas

penduduk di pulau Marore adalah pemeluk agama Kristen Protestan, (525

jiwa) Katolik 8 Jiwa dan Islam 1 jiwa. Penduduk di pulau Marore yang

bermata pencaharian sebagai petani/nelayan berkisar 80%, pegawai

negeri sipil 10%, pengusaha 4% dan mata pencaharian lain-lain 6%.

Tingkat pendidikan penduduk di pulau Marore sebagian besar lulusan SLTP

dan hanya sebagian kecil lulusan SLTA dan Sarjana.

Sarana dan Prasarana

Sarana Pendukung Border Crossing Area (BCA)

Sebagai pulau terluar yang merupakan Border Crossing Area (BCA) yang

menangani para pelintas batas dari Indonesia ke Filipina dan sebaliknya,

pulau Marore dilengkapi dengan berbagai prasarana kantor pendukung.

Prasarana kantor yang ada antara lain Kantor Kepala Kampung Marore,

Kantor Camat BCA (menjadi Camat Defenitif), Kantor Border Crossing

Philipina, Dinas Perhubungan & Syahbandar, Bea Cukai, Imigrasi dan Pos

TNI-AL, KORAMIL, Kepolisian. Tugas dan fungsi instansi yang

ditempatkan yang disebutkan diatas adalah untuk mengawasi lalu lintas

manusia dan barang yang keluar dari dan masuk ke wilayah Republik

Indonesia. Selain itu pemerintah juga membentuk satuan Hansip dan

Wanra yang direkrut dari masyarakat setempat untuk memperkuat

pelaksanaan fungsi Hankam di Pulau Marore.

Aksesibilitas dan Sarana Transportasi

Pulau Marore yang berjarak sekitar 206 mil (laut) dari Manado dan 75 mil

dari Tahuna (Ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe), dapat dicapai

dengan kapal perintis (KM Daraki Nusa, KM Daya Sakti) dengan jadwal

dua kali sebulan yang berangkat dari Bitung dengan rute Bitung ke

Tahuna – P. Lipang – P. Kawaluso – P. Matutuang – P. Kawio – P. Marore.

Perjalanan ditempuh sekitar 20 jam yang tergantung dengan lamanya

Page 17: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 17

penurunan penumpang dan barang di setiap pulau. Alternatif lain adalah

naik pesawat udara dua kali seminggu dari Manado ke Tahuna atau naik

kapal laut cepat setiap hari, kecuali Minggu, berangkat malam hari

dengan lama perjalanan sekitar 12 jam, kemudian dari Tahuna

perjalanan dilanjutkan dengan kapal perintis dari Bitung atau dengan

kapal Fuso/panboat dengan kapasitas sekitar 15 - 50 orang dengan waktu

tempuh sekitar 8-9 jam. Pelayaran dapat dilakukan jika cuaca baik sekitar

bulan April – Agustus. Pada saat cuaca tidak bersahabat dan laut

bergelombang besar, pelayaran hanya dapat dilakukan oleh kapal

berbobot diatas 1.000 DWT.

Gambar 4-3 : Alat Transportasi Masyarakat Di Marore

Terdapat dermaga tempat berlabuh yang mempunyai kedalaman 8,75

meter saat pasang tertinggi dan 6,30 meter saat surut terendah. Dermaga

ini hanya bisa disinggahi oleh kapal-kapal kecil dan kapal nelayan. Kapal

yang cukup besar harus buang sauh sekitar 500 meter dari dermaga dan

penumpang dan barang didiangkut dengan menggunakan perahu-perahu

nelayan.

Untuk menghubungkan lokasi-lokasi pemukiman terdapat jalan darat

yang terdapat sepanjang 300 meter dengan bahan jalan beton cor, yang

terdiri dari jalan di permukiman barat di tengah kampung dengan lebar

3,50 meter, jalan lingkungan dengan lebar 2,5 meter dan jalan

penghubung dari permukiman barat ke permukiman timur selebar 2,00

meter. Kondisi jalan penghubung dari permukiman barat ke timur

sebagian rusak berat karena tergerus oleh ombak dan sebagian lagi rusak

sedang, yang harus ditanggulangi.

Sarana-Prasarana Pendidikan dan Kesehatan dan Sosial Lainnya

Fasilitas umum dan sosial yang terdapat di pulau Marore terdiri dari

fasilitas pendidikan berupa satu buah TK, satu buah SD Negeri Marore dan

satu buah SLTP Negeri Tabukan Utara. Fasilitas kesehatan adalah berupa

Page 18: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 18

Puskesmas pembantu dengan satu orang tenaga medis. Keberadaan

fasilitas kesehatan ini sangat minim karena persediaan obat-obatan

sangat kurang, sehingga untuk kasus penyakit tertentu/berat

pengobatannya harus dirujuk ke RSU di Kota Tahuna. Di Marore terdapat

satu buah fasilitas peribadatan gereja. Sehubungan dengan ketersediaan

fasilitas perdagangan, di pulau Marore terdapat empat buah kios

penjualan yang menyediakan kebutuhan sehari-hari yang dikelola oleh

KUD dan perorangan.

Sumber Air dan Listrik

Sumber air minum yaitu dari lima buah sumur dangkal yang terletak di

kaki bukit, satu mata air yang terletak di punggung bukit dan 21 unit

tampungan air hujan. Sumur dangkal lainnya yang tersebar di

permukiman tidak digunakan untuk air bersih karena kesadahannya tinggi

sehingga tidak layak minum. Umumnya (sekitar 75 % ) rumah tangga

mempunyai sumur dangkal untuk MCK. Bentuk sumur dangkal bulat dan

persegi. Kedalaman air di sumur berkisar antara 1,0 m sampai dengan 3,0

m. Kedalaman muka air dari muka tanah sekitar 1,50 m.

Sementara kebutuhan listrik pulau Marore dipenuhi oleh listrik PLN yang

menggunakan genset pembangkit yang hanya dinyalakan pada malam

hari dari jam 6 sore hingga jam 12 malam.

Keadaan Sosial Ekonomi

Aspek Sosial: Kesejahteraan

Secara umum berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara dengan

penduduk, kondisi sosial masyarakat pulau Marore dicirikan dengan

kondisi keterbatasan akses terhadap pelayanan sosial ekonomi seperti

pendidikan, kesehatan, listrik, transportasi dan perdagangan. Tingkat

kesejahateraan penduduk pulau Marore secara umum lebih rendah dari

wilayah lain di Kabupaten Kepulauan Sangihe, terutama yang tinggal di

wilayah pulau utama Pulau Sangihe. Hal ini setidaknya ditunjukkan oleh

jumlah keluarga miskin yang mendapatkan bantuan program

penanggulangan kemiskinan, seperti BLT dan raskin dan jamkesmas,

yaitu 60 keluarga dari 135 kepala keluarga di pulau Marore.

Ketertinggalan dan kesenjangan pembangunan dengan wilayah lain

tercermin juga dari keluhan masyarakat yang merasa ditelantarkan oleh

Pemerintah Kabupaten Sangihe. Masyarakat Marore merasa pemerintah

(Pemkab Sangihe) kurang berupaya meningkatkan derajat ekonomi di

daerah perbatasan ini. Beberapa persoalan yang terungkap paling tidak

Page 19: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 19

dijadikan alasan dibalik keluhan dan kekecewaan masyarakat di pulau

Marore. Usaha penjualan keripik maupun abon, sebenarnya dapat

menunjang perekonomian di Marore, tetapi tidak ada upaya dan program

membantu pengembangan dan pemasaran. Saluran telepon yang hingga

kini dalam keadaan rusak dan hanya dibiarkan oleh Pemerintah Sangihe.

Ketersediaan alat-alat penunjang pendidikan seperti buku, papan tulis dan

kapur tidak sangat terbatas. Keterbatasan obat dan sarana lain di

puskesmas pembantu sangat minim. Termasuk juga penanganan 3 orang

penderita kusta yang ada di pulau Marore yang dilakukan seadanya oleh

tenaga 3 perawat kesehatan yang ada.

Mata Pencaharian

Sebagian besar dari penduduk di pulau Marore bekerja sebagai nelayan.

Hal ini didasarkan atas kondisi geografis wilayahnya yang merupakan

daerah kepulauan. Namun demikian terdapat juga masyarakat yang

memiliki mata pencaharian sebagai petani. Nelayan merupakan pekerjaan

yang utama bagi penduduk di Kampung Marore dalam membiayai

kebutuhan keluarga dan kebutuhan pendidikan. Penangkapan ikan oleh

para nelayan dilakukan oleh suatu tumah tangga sendiri dengan alat-alat

yang disiapkan sendiri walaupun ada aktifitas-aktifitas penangkapan ikan

yang dilakukan oleh kelompok-kelompok.

Mata pencaharian sampingan penduduk Kampung Marore adalah

berkebun dengan tanaman kelapa, cengkeh, mangga, jambu mete, dan

bambu yang umumnya ditanam di perbukitan, sementara lahan datar ada

hanya ditanami dengan umbi-umbian. Di samping itu, ada pula usaha lain

di bidang peternakan yaitu beternak ayam, kambing, babi, dan

sebagainya, tetapi hanya sebagai hewan peliharaan saja.

Walaupun penduduk memiliki mata pencaharian yang bervariasi seperti

nelayan, petani, pegawai negeri, buruh, dan lain-lain. Namun demikian

masyarakat Kampung Marore memiliki suatu kekhususan yakni

masyarakatnya digolongkan masyarakat nelayan.

Hubungan Sosial dengan Filipina

Jauh sebelum perjanjian lintas batas antara pemerintah Indonesia dengan

Filipina dan kemerdekaan yang dicapai oleh kedua negara, penduduk di

kepulauan Sangihe dan Talaud menjalin hubungan dengan penduduk di

Kepulauan Filipina bagian Selatan khususnya di Pulau Balut, Pulau

saranggani, dan Pulau Mindanau. Hubungan ini dapat terjadi karena faktor

geografis yakni jarak yang berdekatan antara beberapa pulau di

perbatasan sangihe dan Talaud dengan Filipina bagian selatan seperti

Page 20: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 20

antara Pulau Marore dengan Pulau Balut dan Saranggani, antara Pulau

Mianggas dengan St.Agustin yang berjarak ± 40 mil. Sedangkan jarak

Pulau Marore dan Miangas dengan ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe

kurang lebih 3-4 kali lebih jauh.

Selain faktor geografis, hubungan lintas batas antara kedua penduduk di

daerah perbatasan Indonesia dan Filipina disebabkan kepentingan

pemasaran hasil perikanan dan pertanian. Hasil pertanian khususnya

kopra dijual ke Filipina bagian selatan melalui sistem barter dengan

barang-barang keperluan rumah tangga lainnya.

Faktor lain, kondisi tanah pulau-pulau di wilayah ini terdiri atas tanah

karang dan berbatu sehingga gersang dan kurang subur. Pada musim

angin utara dan barat yang dibarengi dengan ombak besar dan arus yang

deras, pada musim angin selatan yang diikuti dengan musim kemarau

mengakibatkan penduduk di perbatasan terutama di pulau Miangas,

Marore, dan Kawio mengalami kekurangan bahan makanan. Untuk

mengatasi hal itu,mereka mengusahakan makanan dari luar.

Akibat intensitas hubungan di wilayah perbatasan kedua negara

berlangsung perkawinan antara penduduk warga negara Indonesia

dengan penduduk warga negara Filipina yang berada di pulau-pulau

perbatasan sehingga terjalin hubungan berdasarkan ikatan kekeluargaan.

Sehingga umum terjadi saling berkunjung di tempat-tempat bersejarah

seperti makam pahlawan dan nenek moyang serta leluhur mereka di

kedua negara.

Dari beberapa faktor yang melatarbelakangi saling berkunjungnya

penduduk di wilayah Sangihe dan Talaud dengan Filipina bagian Selatan,

mengakibatkan ada penduduk yang berasal dari Sangihe dan Talaud yang

telah menetap baik secara tetap maupun musiman terutama di Pulau

Balut dan Pulau Saranggani.

Berdasarkan data tahun data tahun 1980, kurang lebih 40.000 WNI

menetap di wilayah Mindanao, belum termasuk pelintas batas musiman.

Pada tahun 2005, diperkirakan sekitar 25.000 WNI menetap di wilayah

tersebut, dan banyak dari mereka yang telah memiliki anak dan cucu hasil

perkawinan dengan penduduk Mindanao dan pulau-pulau perbatasan.

Ketergantungan Ekonomi dengan Filipina

Perairan di sekitar Pulau Marore dan pulau-pulau sekitar merupakan

perairan yang kaya akan berbagaijenis ikan dan hasil laut yang bernilai

tinggi seperti cakalang, tuna, ikan batu, ikan bobara, kerapu, dan

baronang. Namun Transaksi hasil perikanan nelayan di wilayah

Page 21: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 21

perbatasan sepenuhnya bergantung dengan penampung dari Filipina.

sepenuhnya dikuasai Filipina. Tidak satupun pengusaha perikanan berasal

dari Indonesia yang melirik hasil tanggapan ikan nelayan di Pulau Marore.

Transaksi penjualan ikan ini sudah berlangsung bertahun-tahun, sejak

pulau Marore ditetapkan sebagai pulau BCA (Border Crossing Agremeent).

Harga ditentukan oleh penampung, nelayan Filipina yang datang

seminggu dua hingga tiga kali dengan membayar ikan segar seperti jenis

ikan bobara, kerapu, dan baronang dengan harga paling tinggi per kg Rp

6000-8000. Umumnya nelayan Filipina itu berasal dari Filipina Selatan,

Pulau Balut dan Batu Ganding. Sebab, jarak tempuh berlayar dari Filipina

Selatan ke Pulau Marore 3-4 jam, sedangkan Marore ke Tahuna, Ibukota

Kabupaten Kepulauan Sangihe bisa mencapai 8-9 jam dengan perahu

nelayan pamboat dalam keadaan cuaca yang baik.

Kesulitan lain yang dialami nelayan di Marore tidak memiliki tempat

penampung ikan hasil tangkapan, sekalipun pemerintah Provinsi Sulawesi

Utara telah berupaya membantu membangun gudang pendingin, tetapi,

ikan yang disimpan dalam gudang tersebut tak bisa bertahan lama karena

es dalam gudang itu cepat sekali mencair, paling lama daya tahannya 5

jam. Sementara es yang dibawah oleh nelayan Filipina bisa bertahan

sampai 15 jam, dan es itupun diberikan cuma-cuma kepada nelayan

Marore.

Menurut Dinas Perikanan Sulawesi Utara, besar kemungkinan para

nelayan Filipina yang beroperasi membeli hasil tanggapan nelayan di

Marore tidak dilengkapi izin. Karena, terhitung sejak Desember 2005 lalu

hubungan kerjasama Filipina dan Indonesia sektor penangkapan ikan

sudah berakhir.

Namun permasalahannya apabila nelayan Filipina dilarang dalam kegiatan

transaksi perikanan di Pulau Marore, dampak buruknya hasil tanggapan

ikan oleh nelayan di Pulau Marore sulit dipasarkan. Sebab, selama ini para

pengusaha perikanan Indonesia sendiri terkesan tak berminat membeli

ikan di nelayan pulau itu. Sebab disamping jaraknya jauh, jumlahnyapun

terbatas.

Page 22: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 22

4.1.3. Desa Mapur, Kabupaten Bintan

Letak dan Keadaan Umu Lokasi

Desa yang dipilih sebagai lokasi penelitian di Kepulauan Riau adalah desa

Mapur. Letaknya di gugusan luar kepulauan Bintan dan adanya

keterbatasan sarana transportasi menjadi pertimbangan. Selain itu, dari

data yang diperoleh dari Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa

kepulauan Riau, desa ini termasuk desa kategori desa tertinggal dan

masuk juga dalam program Percepatan Pembangunan Desa/Kelurahan

tertinggal tahun 2006, PNPM 2007/2008 dan dikategorikan sebagai

pulau/desa perbatasan.Desa Mapur terletak di gugus luar Kepulauan

Bintan yang berbatasan ke Utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan,

ke Selatan berbatasan dengan Laut Kelong, sebelah Timur dengan Laut

Cina Selatan, dan sebelah Barat dengan Laut Kawal. Desa ini merupakan

gugus kepulauan yang terdiri dari 16 pulau dengan luas total daratan

sekitar 44 km2 (4.400 Ha). Hanya dua diantara gugusan pulau ini dihuni

oleh penduduk desa, yaitu Pulau Mapur dan Pulau Merapas.

Pulau Mapur merupakan pulau terbesar mencakup lebih dari 95 % luas

wilayah daratan Desa Mapur, pulau Merapas yang dihuni oleh 5 KK

merupakan pulau memiliki luas hanya sepersepuluh luas pulau Mapur.

Selebihnya adalah pulau-pulau kecil yang masing-masing seluas 100 m2

hingga 1 Ha.

Tabel 4.10. Pulau-pulau di Kepulauan Desa Mapur

No. Nama Pulau Keterangan

1. P. Mapur Pusat pemukiman

2. P. Merapas Berpenghuni (<5% penduduk desa); Pengambilan telur penyu

3. P. Bayan Tidak dihuni; Kebun kelapa

4. P. Air Tidak dihuni

5. P. Sentut Tidak dihuni

6. P. Jeraha Tidak dihuni

7. P. Larang Tidak dihuni

8. P. Putang Tidak dihuni ;Pengambilan telur penyu

9. P. Berias Tidak dihuni

10. P. Malang Elang Tidak dihuni

11. P. Melibun Tidak dihuni ; Atol karang

12. P. Malang Nangka Tidak dihuni

13. P. Sama Tidak dihuni

14. P. Busung Mentigi (P. Dalas) Tidak dihuni; Pengambilan telur penyu

15. P. Ledang Tidak dihuni; Pengambilan telur penyu

16. P. Gegal Tidak dihuni

Sumber : Wawancara Lapangan

Page 23: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 23

Demografi

Wilayah Desa Mapur dibagi dalam 2 RW (Kampung Bebak dan kampung

Nendyang), dan 6 RT. Berdasarkan data desa tahun 2007, jumlah

penduduk desa Mapur sebanyak 802 orang, terdiri dari 414 orang laki-laki

dan 388 orang dengan jumlah rumah tangga 180. Pada tahun 2008,

jumlah penduduk desa Mapur mengalami peningkatan menjadi 846 orang,

terdiri dari laki-laki 450 orang, perempuan 396 orang, dengan jumlah

rumah tangga 211.

Perkembangan jumlah penduduk ini, selain disebabkan oleh kelahiran,

terutama akibat perpindahan penduduk ke desa Mapur. Perpindahan

penduduk terdiri dari penduduk Mapur yang pindah di luar desa kembali

ke desa Mapur, penduduk pendatang dan juga adanya penduduk yang

tidak terdata pada tahun sebelumnya, terutama penduduk yang

bermukim sementara di luar desa. Mereka ini terutama penduduk yang

bekerja dan sedang menempuh pendidikan di kota-kota di Pulau Bintan,

seperti di Kijang, Tanjung Pinang dan kota lainnya.

Tabel 4.11. Perkembangan Jumlah Penduduk Desa Mapur Tahun 2007-2008

Tahun Laki-laki

(jiwa)

Perempuan

(Jiwa)

Jumlah

(Jiwa)

Jumlah

KK

2007*) 414 388 802 180

2008**) 450 396 846 211

*) Keadaan Januari 2007 **) Keadaan April 2008

Bila dilihat dari struktur usia , desa Mapur didominasi oleh penduduk usia

muda. Penduduk yang berusia dibawah 10 tahun mencapai 28,37 persen

dari seluruh penduduk, penduduk berusia10-17 tahun mencapai 15,01

persen, usia 18-25 tahun 10,28 persen dan penduduk berusia 26-40

tahun mencakup 27,66 persen. Sementara penduduk yang berusia lebih

dari 40 tahun hanya sekitar 18,68 persen dari jumlah penduduk desa

Mapur. Hal ini berarti ke depannya, akan terjadi pertumbuhan penduduk

yang pesat di desa Mapur. Implikasinya, akan ada tekanan yang lebih

besar pada daya dukung wilayah desa kepulauan ini.

Page 24: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 24

Tabel 4.12. Struktur Penduduk Berdasarkan Usia Desa Mapur

No. Umur

(Tahun)

Laki-laki Perempuan Jumlah

(Jiwa)

Persentase

(%)

1. 0 - 9 132 108 240 28.37

2. 10 - 17 62 65 127 15.01

3. 18 - 25 43 44 87 10.28

4. 26 - 40 133 101 234 27.66

5. > 40 80 78 158 18.68

Jumlah 450 396 846 100.00

Sumber : Data Desa Mapur, 2008

Salah satu karakteristik yang umum ditemui pada desa tertinggal adalah

tingkat pendidikan yang rendah dari penduduknya. Hal ini juga ditemui di

desa Mapur. Dari pendataan penduduk usia 18-40 tahun, sekitar 79

orang tidak sekolah, atau 24,61 persen dari kelompok usia 18-40 tahun

dan 9,34 persen dari jumlah penduduk desa, dan 39 orang diantaranya

masih buta huruf. Sementara yang tidak tamat SD mencakup 13,08

persen dari kelompok usia 18-40 tahun dan 4,96 persen dari jumlah

penduduk. Penduduk usia 18-40 tahun yang tamat SD sebanyak 160

orang (49,84 persen) atau 18,91 persen dari jumlah penduduk desa.

Penduduk usia 18-40 tahun yang tamat SMP 10 orang (3,12 persen), 1,18

persen dari jumlah penduduk dan tamat SLTA 30 orang (9,35 persen)

atau 3,55 persen dari jumlah penduduk.

Tabel 4.13. Struktur Penduduk Perdasarkan Tingkat Pendidikan

(Usia 18-40 Tahun) Desa Mapur

No. Tingkat Pendidikan Jumlah

(Jiwa)

(%) thd

Usia 18-40

Tahun

(%) thd

Jlh.

Penduduk

1. Tidak sekolah/Buta Huruf 79 24.61 9.34

2. Tidak Tamat SD 42 13.08 4.96

3. Tamat SD 160 49.84 18.91

5. Tamat SLTP 10 3.12 1.18

7. Tamat SLTA 30 9.35 3.55

Jumlah Usia 18-40 Tahun 321 100.00 37.94

Sumber : Data Desa Mapur, 2008

Layaknya wilayah kepulauan, mata pencaharian utama penduduk desa

Mapur adalah sektor perikanan. Sebanyak 199 rumah tangga, 94,31

persen, bekerja sebagai nelayan, 5 rumah tangga (3,32 persen) bekerja

sebagai petani, 7 rumah tangga (3,32 persen) bermatapencaharian

dagang, 4 RMT (1,90 persen) buruh/tukang, sisanya 5 RMT (2,37 persen)

merupakan PNS. Jumlah RMT terdata menurut mata pencaharian adalah

220, atau 104,31 persen dari jumlah rumah tangga, 211 rumah tangga,

Page 25: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 25

hal ini sebagai menunjukkan adanya sumber mata pencaharian

sampingan yang ditekuni oleh rumah tangga. Rumah tangga tangga

petani dan pedagang umumnya juga melakukan kegiatan perikanan

(nelayan).

Tabel 4.14. Struktur Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Desa Mapur

No. Mata Pencaharian Jumlah (RMT) Persentase (%) thd

Jumlah RMT

1 Nelayan 199 94.31

2 Petani 5 2.37

3 Dagang 7 3.32

4 Buruh/Tukang 4 1.90

5 PNS 5 2.37

6 Lain-Lain -

Jumlah 220 104.27

Sumber: Data Desa Mapur, 2008

Desa Mapur dihuni oleh berbagai kelompok etnis. Dari data tahun 2007,

terdapat 9 kelompok etnis yang mendiami desa kepulauan ini, yaitu

Melayu, Bugis, Flores, Buton, Jawa, Minang, Batak, Bawean dan Tionghoa.

Mayoritas penduduk adalah etnis Melayu, mencakup 66,08 persen dari

jumlah penduduk tahun 2007. Etnis kedua terbanyak adalah Bugis

mencakup 12,29 persen dari penduduk desa, diikuti oleh Jawa, 7,21

persen, Bawean 5,08 persen, Buton 3,55 persen, Flores 2,84 persen,

Tionghoa, 1,54 persen dan Batak 0,35 persen.

Tabel 4.15. Struktur Penduduk Berdasarkan Etnis Desa Mapur

No

.

Etnis Laki-Laki Perempuan Jumlah (Jiwa) Persentase

1 Melayu 290 269 559 66.08

2 Bugis 52 52 104 12.29

3 Flores 19 5 24 2.84

4 Buton 26 4 30 3.55

5 Jawa 24 37 61 7.21

6 Minang 5 4 9 1.06

7 Batak 2 1 3 0.35

8 Bawean 22 21 43 5.08

9 Tionghoa 9 4 13 1.54

Jumlah 449 397 846 100.00

Sumber : Data Desa Mapur, 2008

Page 26: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 26

Sementara, dilihat dari agama yang dianut oleh penduduk desa, 97,63

persen menganut agama Islam, 1,87 persen beragama Budha (etnis

Tionghoa), dan 0,5 persen penganut Katholik. Secara umum, hubungan

sosial diantara masyarakat dari berbagai etnis dan agama di desa ini

cukup baik.

Tabel 4.16. Struktur Penduduk Berdasarkan Agama Desa Mapur

No. Agama Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1. Islam 783 97.63

2. Kristen Katolik 4 0.50

3. Kristen Protestan - -

4. Budha 15 1.87

5. Hindu - -

802 100.00

Sumber: Data desa Mapur, Januari 2007

Sarana dan Prasarana

Aksesibilitas dan Sarana Transportasi

Desa Mapur berjarak sekitar 16 mil laut dari Kijang, ibukota kecamatan

Bintan Timur, yang merupakan pusat kegiatan administrasi dan ekonomi

terdekat. Tidak ada sarana transportasi rutin yang menghubungkan desa

dengan Kijang atau dengan wilayah pulau-pulau sekitarnya. Untuk

menuju desa, hanya dapat ditempuh dengan menumpang pompong

(sejenis perahu bermotor kecil) yang kebetulan hendak menuju desa

untuk membawa pedagang dan nelayan yang baru belanja atau menjual

hasil tangkapan di Kijang. Kalau tidak harus dengan mencarter pompong

dengan harga yang cukup mahal antara 500-800 ribu pulang pergi. Dan

apabila ombak sedang tinggi, tidak ada perahu yang berani mengarungi

laut menuju desa.

Ketiadaan sarana transportasi yang rutin dan akibatnya, tingginya biaya

transportasi, merupakan hambatan mobilitas penduduk desa Mapur. Hal

ini mengakibatkan lebih mahalnya barang-barang kebutuhan masyarakat

yang didatangkan dari luar desa.

Bagi penduduk desa yang ingin bepergian ke Kijang, penduduk menyewa

pompong secara berkelompok atau menumpang perahu yang sedang

membawa ikan untuk dijual ke tauke di sekitar Kijang. Biasanya mereka

dikenai tarif antara Rp 20-30 ribu sekali jalan. Berkaitan dengan

keterbatasan sarana transportasi ini, penduduk mengusulkan kepada

pemerintah kabupaten Bintan dan kepada PNPM penyediaan pompong.

Page 27: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 27

Sebagai ”pelabuhan” utama, di desa Mapur (di Pulau Mapur), terdapat

jalur tambatan perahu sepanjang 500 meter menjorok dari bibir pantai

menuju gapura sebagai gerbang utama desa. Tetapi pada masing masing

cluster rumah yang ada dipantai memiliki tambatan atau ”labuhan”

sendiri-sendiri.

Gambar 4-4. Pemukiman Masyarakat Nelayan Desa Mapur

Menjorok ke Pantai dengan Lajur Tambatan Perahu

Sementara di dalam pulau utama, pulau Mapur, penduduk dengan cukup

mudah menempuh dari satu sisi pulau ke sisi lainnya dengan berjalan

kaki. Namun demikian terdapat juga 12 sepeda motor dan 40 sepeda di

desa. Kedua jenis sarana ini dipakai juga sebagai sarana transportasi

lanjutan di daratan pulau Bintan dengan menumpankannya pada perahu

menuju Kijang.

Sarana- Prasarana Pendidikan dan Kesehatan dan Sosial Lainnya

Sarana pendidikan yang ada di desa Mapur 1 SD Negeri, dan 1 SMP

terbuka. Sebagian penduduk yang kemampuan ekonominya relatif lebih

baik, memilih menyekolahkan anak setelah lulus SD ke Kijang, ibukota

kecamatan Bintan Timur, yang berjarak sekitar 16 mil laut. Penduduk

yang kurang mampu akan menyekolahkan anaknya ke SMP terbuka yang

ada di desa. Untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTA, tidak ada

pilihan selain menyekolahkan anaknya ke Kijang. Anak yang sekolah di

Kijang atau di kota sekitarnya harus menetap di lokasi sekitar sekolah,

karena jarak dan tidak ada sarana transportasi yang rutin ke wilayah

kepulauan Mapur.

Sebagai pusat pelayanan kesehatan desa, terdapat 1 puskemas

pembantu, yang baru berdiri kurang dari satu tahun yang kadang

Page 28: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 28

dikunjungi dokter PTT secara tidak teratur. Pelayanan kesehatan di desa

pada dasarnya berpusat pada kehadiran seorang bidan desa dan poliklinik

desa (polindes) yang melayani tidak hanya masalah kesehatan ibu dan

anak tetapi juga masalah-masalah kesehatan lainnya. Sarana pelayanan

kesehatan lain adalah pelayanan pos yandu yang dikelola oleh wanita

desa sendiri dengan bimbingan dari bidan desa.

Gambar 4-5. Bangunan Pos Yandu “Nyiur Melambai” di Desa Mapur

Sarana Perdagangan

Untuk mendapatkan kebutuhan barang sehari-hari, di desa terdapat 7

warung yang menjual berbagai barang dari kebutuhan rumah tangga,

bahan bakar bahkan air galon yang semuanya didatangkan dari Kijang.

Sesekali datang juga pedagang keliling yang menjajakan berbagai

keperluan seperti pakaian, peralatan dapur dan barang lain. Dalam skala

yang kecil terdapat 2-3 orang nelayan yang cukup sejahtera yang

bertindak sebagai tengkulak bagi hasil-hasil perikanan dari nelayan kecil.

Kelembagaan Masyarakat Desa

Kelembagaan Sosial Kemasyarakatan

Kelembagaan sosial yang cukup kuat dalam kehidupan sosial masyarakat

desa adalah pemerintahan desa. Selain itu terdapat Lembaga

Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Badan Perwakilan desa yang

menjadi bagian dari system pemerintahan desa. Secara umum tingkat

partisipasi masyarakat desa dalam kegiatan sosial dan perencanaan

pengembangan desa cukup tinggi. Dalam perencanaan dan pengambilan

keputusan program desa dilakukan juga rapat yang melibatkan tidak

Page 29: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 29

hanya pengurus BPD dan LPMD tetapi juga menyertakan utusan

masyarakat desa.

Salah satunya, berkaitan dengan keluhan dan keresahan masyarakat soal

pengambilan kayu hutan dan mangrove yang telah sampai pada tingkat

mengkhawatirkan, melalui rapat desa yang dirumuskan dalam rapat

lembaga pemerintahan desa telah dikeluarkan Surat Keputusan Kepala

Desa yang melarang penebangan kayu baik oleh pengusaha ataupun

perorangan. Pengelolaan genset sebagai sumber listrik penduduk desa

berjalan dengan cukup baik melalui pengelolaan masyarakat desa.

Melalui rapat desa telah dibentuk pengurus yang bertugas dalam

pengelolaan operasi genset bantuan dari PT. Aneka Tambang. Tahun

2006, oleh PT. Aneka Tambang memberikan bantuan genset untuk

sumber tenaga listrik di desa Mapur berdaya sekitar 5.000 Volt Amperet

(Watt), yang dapat dapat menjangkau 93 rumah (KK) dengan daya

masing-masing rumah maksimal sekitar 450 Watt yang beroperasi dari

pukul 18.00 sampai 22.00. Tahun 2008, oleh PT. Aneka Tambang daya

genset ditambah menjadi 10.000 watt dan dapat mengalirkan tenaga

listrik untuk 125 pelanggan (rumah tangga) dengan daya sekitar 4

ampere (sekitar 900 watt). Sekitar 13 rumah yang tidak mampu

membayar iuran mendapat sambungan dari pelanggan,sehingga total

genset melayani 138 rumah. Setiap rumah dikenakan iuran listrik sebesar

Rp 93.000 per bulannya.

Pengurus pengelola genset terdiri dari ketua, bendahara dan operator

sebagai pengurus tetap dan tenaga pembantu teknis yang tenaganya

dapat dipakai sewaktu-waktu. Ketua bertanggung jawab terhadap

pengelolaan dan bertugas dalam pembelian bahan bakar. Bendahara

mengurus penagihan iuran, operator bertugas untuk menghidupkan dan

mematikan mesin setiap waktu yang telah disepakati dan memantau

jalannya mesin, dan tenaga pembantu teknis membantu operator dalam

pemeliharaan dan perbaikan mesin apabila dibutuhkan. Setiap bulannya,

pengurus mendapatkan honor yang jumlah ala kadarnya, ketua mendapat

honor Rp 100.000, bendahara Rp 100.000, operator karena bertugas lebih

banyak mendapatkan honor Rp 300.000, dan pembantu teknis diberikan

honor berdasarkan keperluan sesuai dengan bantuan yang diberikan.

Namun ditemui juga kasus ,dimana proses pelibatan masyarakat yang

cukup baik tidak diikuti pengambilan keputusan yang mencerminkan

kebutuhan masyarakat desa. Dalam pembangunan sarana pompa dan

penampungan air bersih, bantuan dari program COREMAP tahun 2007,

penentuan lokasi sumber air bersih pada lokasi dimana air berasa payau

membuat dana pembangunan intalasi ini mubazir karena air tidak dapat

Page 30: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 30

dimanfaatkan masyarakat untuk air minum. Padahal di desa terdapat

titik-titik sumber air tawar yang berjarak tidak terlalu jauh dari pusat

pemukiman.

Kelembagaan masyarkat lain yang terdapat di desa adalah kelompok

pengajian, himpunan nelayan dan pengurus mesjid.

Kelembagaan Ekonomi

Tidak terdapat pasar di desa, pasar terdekat berada di Kijang,ibukota

kecamatan Bintan Timur. Semua kebutuhan barang didatangkan dari

Kijang. Dengan adanya tambahan biaya transportasi yang cukup besar

mengakibatkan harga-harga di desa lebih tinggi dari Kijang. Bank, kantor

pos dan sarana pendukung ekonomi lainnya terdapat di Kijang.

Pada tingkat desa, terdapat lembaga keuangan mikro berupa kelompok

simpan pinjam ibu-ibu yang dinamai “Koperasi PKK”. Walaupun diberi

nama Koperasi, kelompok ini belum berebentuk koperasi. Kelompok ini

beranggotakan 60 orang wanita ibu rumah tangga. Modal yang dikelola

oleh kelompok saat ini berkisar Rp 25.000.000 yang bergulir dalam

bentuk pinjaman anggota dengan maksimal pinjaman Rp 2 juta. Biaya

pinjaman ditetapkan 5 persen setiap bulannya. Mekanisme pinjaman dan

cicilan diatur dengan cara yang fleksibel. Tingkat perguliran dan

pengembalian dana pinjaman cukup tinggi. Bahkan kelompok ini

mengharapkan adanya bantuan permodalan untuk dapat memenuhi

kebutuhan anggotanya. Selain itu kelompok juga membina pembuatan

kerupuk, abon ikan dan kue kering. Produk kerupuk “Cahaya Mapur”

telah dikenal dan dipasarkan di Kijang. Pinjaman dana kelompok

umumnya digunakan untuk usaha kecil rumah tangga dan dana mendesak

seperti biaya sekolah, biaya perbaikan rumah dan pengobatan.

Tahun 2008 ini, oleh program PNPM dibentuk satu kelompok UEP Kenanga

yang beranggotakan 10 orang dengan dana yang dikelola Rp 10 juta.

Dana bergulir ini telah habis dibagi oleh 10 anggota kelompok yang

digunakan untuk usaha pembuatan kerupuk, warung, dan biaya sekolah.

Direncanakan akan dibentuk 2 kelompok lagi.

Sementara dalam kegiatan perikanan ditemui adanya hubungan ekonomi

antara nelayan desa dengan tauke berupa hubungan permodalan.

Umumnya nelayan desa Mapur (juga desa-desa lain di sekitar) adalah

nelayan dengan modal kecil. Armada tangkap yang dipakai adalah

perahu motor kecil dengan daya paling besar 22 PK, sebagian lagi

menggunakan perahu motor yang lebih kecil dan sampan tanpa mesin.

Untuk melengkapi armada dan memenuhi kebutuhan logistik dan

kebutuhan hidup nelayan bergantung pada “kesediaan” tauke untuk

Page 31: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 31

memberikan pinjaman modal kerja. Sebelum melaut, seluruh kebutuhan

logistik dipenuhi oleh tauke yang nantinya akan diperhitungkan dari hasil

penjualan ikan. Apabila hasil tangkapan tidak mencukupi pembayaran

pinjaman, maka sisa pinjaman akan diperhitungkan sebagai hutang yang

akan dibayar pada periode melaut berikutnya. Dan pola ini berlangsung

berulang sehingga membuat semacam ikatan ketergantungan nelayan

terhadap tauke berupa kewajiban untuk menyetorkan hasil tangkapan

pada satu tauke yang telah memberikan mereka pinjaman.

Umumnya tauke-tauke penampung hasil perikanan di sekitar Bintan Timur

(Kijang) adalah warga Singapura atau yang memiliki hubungan dagang

langsung dengan Singapura.

Ada kebiasaan yang makin melanggengkan hubungan ini yang dikenal

dengan istilah masyarakat setempat sebagai “hutang buang laut”. Istililah

ini bermakna penghapusan hutang yang oleh tauke dipandang tidak

terlalu besar yang biasanya dilakukan pada hari raya Imlek.

Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam

Potensi sumber daya laut dan pesisir di wilayah perairan sekitar

kepulauan Desa Mapur cukup melimpah, hamparan terumbu karang di

wilayah ini cukup luas dan kaya akan berbagai jenis ikan dan biota laut

lainnya. Pulau ini juga mempunyai pantai yang cukup indah dan

berpotensi untuk dikembangkan sebagai aset wisata. Selain itu, Pulau

Mapur juga menyimpan potensi sumber daya alam wilayah daratan

berupa hutan dan ladang perkebunan kelapa dan cengkeh.

Kepulauan Mapur yang kaya akan potensi sumber daya laut yang bernilai

ekonomi tinggi menjadi wilayah tangkap nelayan-nelayan dari berbagai

daerah di Kabupaten Kepulauan Riau, bahkan nelayan dari Thailand dan

Philipina. Sebagai daerah tangkapan nelayan dari berbagai wilayah,

perairan Desa Mapur rawan terhadap penggunaan jenis-jenis alat tangkap

yang merusak (bom, potas dan trawl). Di samping itu, karena letaknya di

jalur pelayaran internasional perairan Desa mapur juga rawan terhadap

terjadinya pencurian ikan.

Sebagai wilayah kepulauan kehidupan penduduk Desa Mapur bertumpu

pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Sekitar 94 persen dari

rumah tangga bermata pencaharian sebagai nelayan penangkap ikan.

Armada penangkapan penduduk setempat umumnya sejenis pompong

kecil bermesin 22 PK dan perahu sampan. Dengan armada tangkap yang

kecil, daya jangkau dan kemampuan nelayan penduduk desa Mapur dan

sekitarnya terbatas hanya pada perairan sekitar kepulauan Mapur. Pada

musim utara yaitu pada bulan November – Januari biasanya angin bertiup

Page 32: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 32

kencang dan ombak cukup tinggi, nelayan Mapur hanya beroperasi sekitar

pesisir kepulauan. Pada musim seperti ini, mobilitas penduduk ke Kijang

juga berkurang.

Selain penangkapan ikan, pada bulan Mei – September, sebagian dari

penduduk desa memungut telur penyu pada pulau-pulau di desa Mapur.

Terdapat 4 pulau yang menjadi tempat bertelur penyu. Kegiatan ini

dilakukan hanya sebagai mata pencaharian sampingan dan kelihatannya

pengambilan telur penyu belum pada tingkat yang membahayakan

kelestarian penyu di wilayah ini.

Walaupun memiliki potensi pengembangan yang masih cukup luas,

pertanian belum dikembangkan menjadi usaha tani yang intensif.

Budidaya tanaman pangan dan hortikultura dilakukan dalam bentuk yang

sangat sederhana dan seadanya. Dari FGD, menurut penduduk desa

gangguan hama babi, monyet dan tupai menjadi kendala dalam budidaya

pertanian,selain juga harga-harga faktor produksi seperti pupuk dan

bibit/benih. Namun kelihatannya, persoalan utamanya bersumber dari

belum tumbuhnya budaya bercocok tanam, karena kebutuhan masih

dapat diperoleh dari laut.

Beberapa isu pokok yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya

alam di kepulauan dan perairan sekitar Pulau Mapur diantaranya adalah:

Pertama, peningkatan pemanfaatan sumber daya alam (pesisir, laut dan

daratan) di wilayah Mapur mulai mengancam kelestarian potensi sumber

daya laut, termasuk terumbu karang yang ada di Desa Mapur. Kondisi

terumbu karang telah mengalami kerusakan. Hasil studi dari P2O-LIPI

tahun 2004 dan studi yang dilakukan COREMAP 2006 serta pengamatan

nelayan setempat menunjukkan bahwa di beberapa tempat terumbu

karang telah mengalami kerusakan yang parah.

Penggunaan bom, bius/potas dan beroperasinya trawl dalam menangkap

ikan diklaim sebagai penyebab utama kerusakan terumbu karang di

perairan Mapur. Penggunaan bom masih tetap berlangsung meskipun

telah berkurang intensitasnya sejak akhir tahun 1990-an. Kegiatan

penangkapan ikan hidup dengan menggunakan bius/potas dengan

memakai kompresor yang umumnya dilakukan oleh pengusaha bermodal

besar masih berlangsung. Kegiatan ini makin marak karena permintaan

pasar internasional terhadap ikan hidup yang cukup tinggi. Sementara itu,

nelayan lokal mulai intensif menangkap ikan hidup dengan menggunakan

bubu. Dalam lima tahun terakhir penggunaan bubu oleh nelayan Desa

Mapur meningkat cukup tajam. Penggunaan bubu yang intensif dan

Page 33: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 33

massive ini dalam jangka panjang dikhawatirkan juga akan merusak

terumbu karang.

Selain terumbu karang, potensi sumber daya pesisir Desa Mapur yang

sudah berkurang karena eksploitasi berlebih adalah hutan mangrove.

Sebelum dieksploitasi, seluruh pantai Pulau Mapur dikelilingi oleh hutan

mangrove. Pada saat ini mangrove hanya dapat ditemui di pantai sebelah

Timur dan beberapa tempat yang kondisinya sudah menipis. Kayu

mangrove oleh penduduk setempat digunakan untuk membuat arang. Di

desa dapat ditemui tungku pembakaran arang kayu mangrove yang sudah

tidak dioperasikan karena ketersediaan bahan baku yang sudah menipis.

Bersamaan dengan eksploitasi mangrove, hutan yang ada di Pulau Mapur

juga sudah mengalami penggundulan karena pembalakan yang dilakukan

oleh para pengusaha kayu. Rusaknyan eksosistem mangrove di

kepulauan desa ini telah mulai berakibat pada ancaman abrasi pantai di

desa Mapur. Kekhawatiran ini juga disuarakan oleh penduduk pada FGD

yang dilaksanakan di kantor desa Mapur.

Kedua, penggunaan berbagai jenis alat tangkap yang merusak dalam

pemanfaatan sumber daya laut berpotensi menimbulkan konflik. Konflik

dalam pemanfaatan sumberdaya laut antara nelayan lokal dengan nelayan

pendatang yang menggunakan bom, bius dan trawl sudah mulai timbul.

Penggunaan bom yang umumnya dilakukan oleh nelayan dari luar desa

telah menimbulkan keresahan nelayan lokal. Selama ini nelayan lokal

telah berpartisipasi melakukan pengawasan dengan melapor kepada

petugas keamanan laut (KAMLA) jika melihat kegiatan pengeboman.

Karena melakukan pelaporan ini masyarakat Desa Mapur sering mendapat

ancaman dari para pengebom. Konflik antara nelayan lokal dengan

pengusaha trawl terjadi karena kapal-kapal trawl yang beroperasi di

wilayah perairan Mapur sering menabrak rumpon-rumpon milik nelayan

lokal. Sementara itu, peningkatan penggunaan bubu yang cukup tajam,

terutama pada musim angin Timur berpotensi menimbulkan konflik

wilayah tangkap di antara nelayan lokal. Pada saat ini, konflik tersebut

belum muncul. Akan tetapi dengan semakin tingginya persaingan untuk

mendapatkan hasil tangkapan, di masa datang potensi konflik wilayah

tangkap kemungkinan bisa terjadi.

Selain konflik berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut, konflik

internal juga terjadi dalam pemanfaatan sumber daya alam di darat.

Hutan di Pulau Mapur telah rusak dikarenakan pembalakan yang

dilakukan oleh penguasaha maupun oknum masyarakat. Upaya

penyelamatan hutan sudah dilakukan, diantaranya adalah adanya Surat

Keputusan Kepala Desa yang melarang penebangan kayu baik oleh

Page 34: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 34

pengusaha ataupun perorangan. Lemahnya pengawasan dan tidak

konsistennya aparat dalam menerapkan aturan tersebut telah

menimbulkan konflik antara penduduk desa dengan pengusaha

penebangan kayu dan oknum perambah hutan lainnya.

Ketiga, pemanfatan sumberdaya laut Desa Mapur oleh masyarakat Desa

belum mempunyai dampak yang signifikan terhadap peningkatan

kesejahteraan penduduk. Secara umum potret kesejahteraan penduduk

Desa Mapur masih memprihatinkan. Rata-rata pendapatan rumah tangga

penduduk Desa Mapur sekitar Rp 720.000. Seperti kehidupan nelayan

pada umumnya di mana pendapatan masyarakatnya tidak menentu dan

sangat tergantung sekali pada musim. Pendapatan penduduk Desa Mapur

sangat tidak menentu, pada musim ikan rata-rata pendapatannya sekitar

Rp. 1.507.000 per bulan. Sebaliknya pada musim paceklik (kurang ikan)

pendapatannya hanya sekitar Rp 201.000 per bulan. Pada musim sulit

ikan tidak jarang rumah tangga nelayan berhutang pada tauke untuk

memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, pada musim banyak

ikan di mana pendapatan mereka meningkat mereka tidak menyisihkan

penghasilannya untuk ditabung yang dapat digunakan menutupi

kebutuhan hidup di masa paceklik. Dari segi pendidikan, mayoritas

penduduk masih berpendidikan SD ke bawah dan keterampilan yang

dimiliki umumnya juga terbatas pada jenis-jenis keterampilan yang

berkaitan dengan kegiatan kenelayanan.

Keempat, rencana pengembangan wilayah Bintan sebagai kawasan

pariwisata telah mendorong pengusaha-pengusaha nasional dan dari

negara tetangga untuk berinvestasi di wilayah ini. Model pengembangan

wisata bahari yang menjual pesona laut dan pulau telah menjadikan

wilayah kepulauan Bintan (dan Kepualaun Riau) menjadi kavling-kavling

pengusaha besar. Di desa Mapur sendiri, semenjak tahun 1997 telah

terjadi perpindahan hak kepemilikan tidak kurang dari 700 ha lahan darat

kepulauan kepada investor. Namun sampai saat ini lahan tersebut belum

dikembangkan dan menjadi lahan yang tidak dapat dimanfaatkan oleh

penduduk setempat.

Page 35: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 35

4.2. TELAAH POTENSI DAN PERMASALAHAN WILAYAH TERTINGGAL

Telaah terhadap potensi dan permasalahan dilihat dari aspek kewilayahan

dan persoalan ketertinggalan dan kemiskinan di tingkat desa. Dalam

tingkat strategi dan kebijakan, pembangunan wilayah tertinggal berbeda

dengan penanggulangan kemiskinan. Penanggulangan kemiskinan

ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga

melampaui garis kemiskinan. Pembangunan wilayah tertinggal juga

bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun dengan

fokus wilayah yang terisolir, tertinggal, terpencil dan masyarakatnya

miskin. Telaah terhadap potensi dan masalah pada ketiga desa,

selanjutnya dikembangkan ke tingkat wilayah, didekati dari pengertian di

atas tersebut.

Berdasarkan data status Kabupaten perbatasan dari Kementerian

Pengembangan Daerah Tertinggal tahun 2007, dari tiga kabupaten yang

menjadi lokasi studi, Kabupaten Bintan tergolong sebagai kabupaten yang

sudah sangat maju, sementara kabupaten Kepulauan Sangihe tergolong

maju. Akan tetapi kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) digolongkan

sebagai kabupaten sangat tertinggal.

Sementara dilihat dari tingkat kersejahteraan penduduk, dengan mengacu

pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masing-masing wilayah

diperoleh gambaran perkembangan ketiga wilayah. Berdasarkan data

dathun 2006, Kabupaten Kepulauan Sangihe memiliki IPM 73,4 urutan ke

4 Provinsi Sulut dan 64 dari sekitar 400 kabupaten/kota di Indonesia.

Untuk tingkat provinsi, Suluwesi Utara berada pada urutan ke 2 nasional

dengan IPM 74,8. Kabupaten Bintan memiliki IPM 70,9 berada pada

urutan ke 4 dari 6 kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Riau dan urutan

137 untuk tingkat kabupaten/kota secara nasional. Sementara Propvinsi

Kepulauan Riau berada pada urutan ke 7 tingkat provinsi secara nasional.

Provinsi NTT dengan IPM 64,8 berada pada urutan ke 31 dari 33 provinsi

di Indonesia. Gambaran yang kurang lebih sama untuk kabupaten TTU.

Artinya, dari sisi pembangunan manusia, yang dilihat dari tingkat

kesejahteraan yang meliputi aspek pendidikan, kesehatan dan

pendapatan, Kabupaten Kepulauan Sangihe lebih sejahtera dari

Kabupaten Bintan, dan kabupaten TTU terburuk dari ketiganya.

Gambaran tingkat wilayah ini kita menjadi titik tolak telaah terhadap

kondisi wilayah desa tertinggal pada masing-masing kabupaten. Dari

aspek pembangunan dan pengembangan wilayah secara umum Tabel

4.17. menunjukkan ketimpangan pembangunan pada ketiga desa

(wilayah) yang menjadi lokasi studi.

Page 36: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 36

Tabel 4.17. Matriks Gambaran Umum Keadaan Wilayah Ketiga Lokasi Studi

Wilayah/desa Pusat Kegiatan

Ekonomi dan

Administrasi

Type

Wilayah

Aksesibilitas

(Transportasi)

Keterkaitan

dengan Pusat

Kegiatan

Ekonomi

Lokal

Keterkaitan

dengan Pusat

Kegiatan

Ekonomi

Negara

Tetangga

Potensi

Wilayah

Mata

Pencaharian

Utama

Wilayah

Perbatasan RI-

Filipina,

Kepulauan

Sangihe

Tahuna (Ibukota

Kabupaten); Manado

(Ibukota Propinsi);

Bitung (Perlabuhan

Utama), Mindanao

Kepulauan

terluar,

sangat

terpencil

Reguler, jarang:

Sulit/Biaya

Tinggi,

tergantung

cuaca,

Rendah,

aksesibilitas

rendah dan

biaya tinggi

Tinggi,

aksesibilitas

lebih lancar;

pemasaran

hasil perikanan

dan pertanian

Potensi

perikanan tinggi

Perikanan

Wilayah Pulau-

Pulau Terluar,

Bintan

Kijang (Ibukota

Kecamatan), Tanjung

Pinang, Batam dan

Singapura.

Kepulauan,

terpencil

Tidak reguler;

tersedia

cukup/biaya

tinggi

Tinggi,

aksesibilitas

Tinggi Potensi

perikanan

tinggi, potensi

wisata tinggi,

pertambangan

cukup tinggi

(bauksit, pasir)

Perikanan

Wilayah

Perbatasan RI-

Timor Leste,

TTU

Kefamenanu Daratan,

berbukit-

bukit,

tandus,

cukup

terpencil

Relatif

lancar/reguler,

biaya rendah

Tinggi Sangat rendah Potensi

pertanian

rendah,

pertambangan

diperkirakan

cukup tinggi.

Pertanian

lahan kering

Page 37: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 37

Dari simpulan yang ditunjukkan dalam Tabel 4.17., potensi dan

permasalahan perkembangan wilayah secara umum yang dihadapi oleh

masing-masing desa (wilayah) adalah sebagai berikut:

1. Pulau Marore dan pulau terluar dan terpencil di perbatasan RI-Filipina

Sebagai pulau-pulau terpencil dan berada di perbatasan, walapupun

memiliki potensi perikanan yang cukup tinggi, dengan aksesibilitas

yang sulit, perekonomian wilayah tertinggal dari wilayah-wilayah di

pulau utama dan daratan utama Sulawesi Utara. Potensi perikanan

dan potensi daratan dengan tanaman kelapa dan tanaman keras

lainnya, kebutuhan ekonomi dasar dapat dipenuhi dengan cukup

memadai, namun pengembangan ekonomi yang lebih maju

terkendala pemasaran dan akses terhadap sarana ekonomi lainnya.

Ketergantungan ekonomi dengan Mindanao, dalam sudut pandang

nasional dapat merugikan namun dalam pengembangan ekonomi

lokal justru menguntungkan.

2. Desa Mapur dan pulau-pulau terpencil di kabupaten Bintan dan Kepulauan Riau

Wilayah ini berada pada segitiga pertumbuhan ekonomi paling

pesat di Asia Tenggara. Interaksi perdagangan antara warga ketiga

negara, terutama yang digerakkan oleh keturunan Cina menjadi

factor pendorong perkembangan. Wilayah ini juga diproyeksikan

menjadi kawasan industri terpadu dan resort wisata bertaraf

internasional. Manfaat perkembangan ini dirasakan juga oleh

penduduk Mapur yang mayoritas nelayan. Secara ekonomi

masyarakat Mapur memiliki potensi pengembangan yang sangat

besar. Kendala yang dihadapi adalah sulitnya sarana transportasi

regular yang menghubungkan mereka dengan wilayah sekitar.

Dalam hal pemasaran hasil perikanan tidak menemui kesulitan,

karena telah tercipta pola hubungan nelayan dengan tauke yang

telah berjalan puluhan tahun.

Namun dengan keterbatasan kapasitas dan daya armada

penangkapan nelayan di wilayah ini sangat tergantung kepada pola

ketergantungan yang diciptakan oleh system tauke yang ada.

Permasalahan potensial yang akan dihadapi terkait dengan rencana

pengembangan resort wisata, terutama di pulau-pulau kecil di

Bintan (Mapur dan sekitarnya), tersingkirnya masyarakat sebagai

“pemilik” wilayah pulau-pulau mereka. Gejala ini telah mulai

Page 38: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 38

kelihatan terutama di Mapur, sekitar 700 ha dari wilayah kepulauan

yang kecil ini telah dikuasai oleh pemodal.

Permasalahan lain adalah kegiatan penambangan pasir laut dan

darat serta bauksit yang telah berlangsung lama di wilayah ini telah

mengakibatkan kerusakan pada wilayah daratan dan laut yang

mengakibatkan kerapuhan wilayah pulau-pulau lebih lanjut. Daya

dukung pulau-pulau kecil yang sangat terbatas akan

membahayakan di masa depan apabila kebijakan penambangan

tetap berlangsung seperti saat ini.

Dalam hal perikanan, bebasnya nelayan-nelayan asing, atau

nelayan besar yang dimodali asing dan pemodal lainnya akan

mengurangi kesempatan nelayan kecil untuk berkembang.

Maraknya praktek pemboman ikan dan penggunaan trawl telah

mulai berakibat berkurangnya hasil tangkapan ikan nelayan-

nelayan kecil. Selain itu, pemanfaatan dan perusakan mangrove

yang ditemui di Mapur dan pulau-pulau lainnya menjadi ancaman

kelangsungan hidup masyarakat di pulau-pulau kecil.

Secara umum, wilayah Mapur dan pulau-pulau terpencil lainnya

berpotensi besar. Ancaman terbesar yang mereka hadapi justru

berasal dari pengembangan wilayah itu sendiri, yaitu pengembanga

industri pertambangan dan pariwisata serta persaingan yang tidak

seimbang dengan nelayan besar. Dan tentu saja hubungan

ketergantungan dengan tauke.

3. Desa Tes dan wilayah perbatasan RI-Timor Leste di TTU

Dari sudut pandang pengembangan wilayah, kombinasi yang

ditemui dari berbagai faktor di desa Tes dan wilayah perbatasan

dengan Timor Leste, tidak menyediakan banyak pilihan dalam

pengembangan. Sebagai perbatasan yang menuai berbagai

persoalan dari kekisruhan Timor Leste, ditambah dengan kondisi

alam dan sosial budaya setempat, pengembangan kebutuhan

dasar dan sarana-prasarana pendukung menjadi realistis.

Wilayah dimana penyediaan sumber kehidupan yang hakiki masih

menjadi persoalan klasik, yaitu pangan dan air, pengembangan

pola pertanian yang benar-benar berkelanjutan dan dapat

memenuhi kebutuhan masyarakat setempat tidak hanya pada

musim hujan menjadi benar-benar dibutuhkan.

Ppotensi tambang ditengarai terdapat cukup besar di wilayah ini,

walaupun saat ini masih pada tahap eksplorasi awal. Namun

menjadi pertanyaan besar, apabila potensi pertambangan benar-

Page 39: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 39

benar aktual bagaimana dampaknya terhadap masyarakat

setempat.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari gambaran umum ketiga wilayah diatas

adalah : Keterpencilan dan aksesibilitas menjadi hambatan utama bagi

dua wilayah kepulauan yaitu pulau-pulau kecil di kabupaten Bintan

(Kepulauan Riau) dan pulau-pulau terluar di kabupaten Kepulauan

Sangihe. Potensi perikanan dan keuntungan dari kemudahan pemasaran

hasil perikanan dialami oleh nelayan pulau Mapur dan sekitarnya. Namun

mengalami hambatan transportasi namun lebih ke mobilitas penduduk

dan distribusi kebutuhan pokok. Sementara pulau Marore dan sekitarnya

mengalami persoalan kesulitan aksesibilitas baik secara ekonomi dan

maupun sosial. Ketergantungan perdagangan dengan Filipina pada

dasarnya menempatkan mereka lebih sebagai subordinatt. Wilayah

perbatasan TTU dengan Timor Leste memiliki karakteristik yang jauh

berbeda dengan dua wilayah kepulauan di atas. Faktor-faktor iklim dan

topografi berbukit dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah menjadi

salah satu faktor penghambat di wilayah ini. Kelangkaan sumberdaya dan

rendahnya tingkat pendidikan ditambah dengan aspek budaya yang lebih

menjadi penghambat ketimbang menjadi pendukung.

Dengan gambaran keadaan tiga wilayah di atas, gambaran yang lebih

lengkap diperoleh dengan menelaah derajat keterpenuhan kebutuhan

penduduk pada tingkat desa (Tabel 4.8). Secara umum keterpenuhan

kebutuhan dasar pada ketiga desa relatif rendah, namun dengan tingkat

yang berbeda. Kecukupan pangan dapat dipenuhi secara memadai di

Marore dan Mapur, dipengaruhi oleh ketersediaan sumber alam di kedua

wilayah desa yaitu perikanan. Ketersediaan pangan bermakna adanya

pendapatan yang dapat dipergunakan secara berkelanjutan untuk

memenuhi kebutuhan dasar hidup seperti beras, bahan bakar dan

pendukung pangan lainnya. Selain itu tersedia ikan dan hasil laut yang

lain yang cukup melimpah setidaknya untuk dikonsumsi sendiri.

Sementara di TTU, terdapat kondisi ketidakpastian sepanjang tahun dari

hasil pertanian setempat. Musim kemarau yang lebih panjang dari

biasanya sudah cukup mengancam tidak saja pendapatan tetapi

kebutuhan bahan makanan dasar. Komoditi pertanian pangan seperti

jagung, padi dan ubi-ubian secara ekonomis juga tidak memiliki nilai tukar

yang memadai untuk menunjang kebutuhan lain. Walaupun setiap rumah

tangga memelihara hewan ternak seperti babi, sapi, ayam dan kambing,

budidayanya masih sangat subsisten.

Ketersediaan air bersih menjadi masalah bagi penduduk ketiga wilayah.

Di desa Mapur, tersedia sumber air bersih yang cukup namun kualitasnya

Page 40: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 40

umumnya tidak layak minum. Terdapat sumber air minum yang baik

tetapi terbatas. Di desa ini sebenarnya telah dibangun sarana

penampungan dan kran air bersih namun perencanaan dan penempatan

pada lokasi sumber air payau mengakibatkan fasilitas ini tidak

dimanfaatkan. Persoalan yang sama ditemui juga di Marore. Sementara

di Tes, kelangkaan air menjadi masalah yang sangat mendasar terutama

pada musim hujan.

Terdapat dua type pemukiman di Mapur, pemukiman darat dan

pemukiman yang menjorok ke laut. Kondisi pemukiman penduduk di

darat lebih bersih, sementara pemukiman yang menjorok kelaut walaupun

kelihatan lebih bagus tapi kelihatan kumuh. Pemukiman di Marore

umumnya berada ditepi pantai, tetapi berbeda dengan Mapur, di Marore

terdapat ruang kosong pantai antara laut dengan pemukiman. Rumah

penduduk umumnya telah berbahan beton dan kayu namun kelihatan

kurang bersih dan tidak terawat. Sementara di Tes, pemukiman

didominasi rumah dengan dinding pelepah lontar dan atap rumbia, ilalang

dan lontar.

Tabel 4.18. Matriks Keterpenuhan Kebutuhan Dasar

Wilayah/ Desa

Pangan Air Bersih Perumahan Listrik Kesehatan Pendidikan

Marore Ketersediaan

pangan cukup,

terutama

sumber protein

(ikan); bahan

pangan lain

didatangkan

dari luar pulau

Tersedia

cukup,

kualitas

kurang

Secara umum

kualitas

perumahan

kurang baik

Dipenuhi

pembangkit

PLN di tingkat,

diakses kurang

dari 50%

(hanya menyala

malam dari)

Tidak ditemui

masalah

kesehatan

yang serius;

fasilitas

puskesmas

pembantu

SD, SMP

(tingkat

partisipasi

pendidikan

cukup

tinggi,angka buta

aksara rendah)

Mapur Ketersediaan

pangan cukup,

terutama

sumber protein

(ikan); bahan

pangan lain

didatangkan

dari luar pulau

Tersedia

cukup,

kualitas

kurang baik

untuk

diminum;

Secara umum

kualitas

perumahan

cukup baik,

tetapi rentan

terhadap

gelombang

Tersedia dari

genset bantuan

dana CSR;

diakses lebih

dari 50%;

hanya menyala

pada malam

hari

Malaria

(endemik),

diare terkait

dengan

sanitasi;

puskesmas

pembantu,

polindes

SD, SMP

terbuka (tingkat

pendidikan

penduduk

rendah, angka

buta aksara

cukuptinggi)

Tes Ketersediaan

pangan rendah,

rentan terhadap

kerawanan

pangan

Tersedia

cukup hanya

pada musim

hujan,

kualitas baik

Secara umum

kualitas buruk

Tersedia dari

genset bantuan

LSM; diakses

lebih dari 50 %

Malaria

(endemik),

diare, kolera;

rawan gizi

buruk pada

anak; polindes

SD Kecil,

bangunan

darurat (tingkat

pendidikan

sangat rendah,

terutama laki-

laki, angka buta

aksara sangat

tinggi)

Page 41: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 41

Penyediaan tenaga listrik di ketiga desa bersumber dari genset

pembangkit. Di Mapur, pembangkit tersedia dari bantuan Aneka Tambang

dan dikelola oleh masyarakat setempat, hal sama ditemui di Tes. Genset

yang diperoleh dari bantuan LSM dikelola oleh masyarakat setempat. Di

Pulau Marore, listrik dipasok oleh PLN terutama untuk melayani

kebutuhan instansi pemerintahan berkaitan dengan fungsi Border

Crossing Agreement di sana.

Fasilitas kesehatan puskesmas pembantu terdapat di Mapur dan Marore,

sementara di penduduk Tes harus menempuh perjalanan sekitar 7 km

untuk dapat dilayani puskesmas pembantu. Secara umum, ketersediaan

tenaga kesehatan di ketiga desa terbatas. Masalah kesehatan yang

menonjol ditemui di Tes yaitu malaria, kolera dan diare. Selain itu, tingkat

gizi buruk dan kesehatan ibu dan anak menjadi persoalan serius didesa

ini. Malaria, dan diare juga sering ditemui di Mapur. Sementara di

Marore tidak terdapat kasus-kasus kesehatan yang menonjol.

Tingkat pendidikan di ketiga desa secara umum rendah, namun di Marore

tingkat partisipasi pendidikan hingga SLTP dan SLTA tergolong tinggi.

Tingkat pendidikan di Mapur masih rendah, dan tingkat buta aksara juga

masih cukup tinggi. Kondisi yang jauh lebih buruk ditemui di Tes. Sekitar

9 persen dari jumlah penduduk buta aksara, dan tingkat partisipasi

pendidikan anak usia sekolah sangat rendah. Tingkat partisipasi

pendidikan perempuan lebih tinggi dari laki-laki.

Analisis SWOT terhadap Kondisi Potensi dan Permasalahan

Dari telaah terhadap kondisi potensi dan permasalahan dari ketiga daerah

tertinggal dilakukan identifikasi faktor-faktor internal yang menjadi

pendukung dan penghambat dan faktor-faktor eksternal yang dapat

menjadi peluang dan ancaman dalam pengembangan daerah tersebut ke

depan.

Pada Tabel 4.19. dibawah ini disajikan faktor-faktor internal yang

menjadi kekuatan dan kelemahan yang bersumber dari dalam masyarakat

itu sendiri. Sementara pada Tabel 4.10. disajikan faktor-faktor eksternal

yaitu kondisi dan perkembangan dari luar termasuk di dalamnya

kebijakan dan program pembangunan yang berpotensi menjadi peluang

atau sebaliknya sebagai ancaman dalam upaya pengembangan wilayah

dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Page 42: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 42

Tabel 4.19. Faktor-faktor Internal Pengembangan Daerah Tertinggal

WILAYAH/DESA STRENGTH (KEKUATAN) WEAKNESS (KELEMAHAN)

MAPUR Potensi perikanan yang cukup melimpah

Berada pada jalur

perdagangan yang ramai

Heterogen dan terbuka terhadap masyarakat luar

Tingkat bertahan hidup

tinggi

Lingkungan yang indah

dan eksotik

Tingkat pendidikan yang rendah

Ketersediaan sarana-

prasarana rendah

Cepat berpuas diri

Permodalan rendah: armada

penangkapan ikan sederhana

Terpencil: mobilitas rendah

MARORE Potensi perikanan yang cukup melimpah

Berada pada jalur

perdagangan antar negara

Terbuka terhadap

masyarakat luar

Posisi sebagai check point

antar negara

Memiliki hubungan yang

erat dengan Mindanao

Tingkat pendidikan yang rendah

Ketersediaan sarana-

prasarana rendah

Cepat berpuas diri

Permodalan rendah: armada

penangkapan ikan kecil

Terpencil: mobilitas rendah

Transportasi dan aktivitas nelayan tergantung cuaca

TES Tingkat bertahan hidup tinggi

Sadar dan

mengkonservasi sumber air

Posisi sebagai check point

antar negara

Potensi tanaman keras dan peternakan

Budaya patrinial sangat kuat

dan Pengeluaran dan

kebutuhan adat sangat

tinggi

Kurang terbuka terhadap inovasi

Pendidikan dan kesehatan

rendah

Ketersediaan sarana-prasarana rendah

Wilayah terpencil, tandus

dan berbukit-bukit

Pola pertanian tebas bakar

dan subsisten

Page 43: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 43

Tabel 4.20. Faktor-faktor Eksternal Pengembangan Daerah Tertinggal

WILAYAH/DESA OPPORTUNITY (PELUANG) THREAT (ANCAMAN)

MAPUR Perkembangan wilayah

Bintan sebagai kawasan

industri dan pariwisata

Kebijakan dan program

pengembangan pulau-pulau

terpencil dan perbatasan

Pasar yang besar dan

potensial:Singapura dan

Malaysia

Kebijakan penambangan

pasir dan bauksit yang

tidak terkendali

Perkembangan wilayah

Bintan sebagai kawasan

industri dan pariwisata

Kegiatan Nelayan Asing

dan penggunaan Trawl

Hubungan

ketergantungan modal

dengan tauke

Perubahan iklim/cuaca:

perubahan pola

transportasi dan nelayan

MARORE Perkembangan wilayah

Kapet Bitung dan jalur

Pasifik

Kebijakan dan program

pengembangan pulau-pulau

terpencil dan perbatasan

Hubungan sosial, ekonomi

dan budaya yang erat

dengan Mindanao

Perlintasan pendatang

gelap dari Mindanao

Ketergantungan

perdagangan dengan

Filipina

Perubahan iklim/cuaca:

perubahan pola

transportasi dan nelayan

Prosedur imigrasi yang

tidak berorientasi kondisi

lokal

TES Kebijakan dan program

pengembangan daerah

perbatasan

Pengembangan wilayah

Timur Indonesia dan

kedekatan ke Australia

Hubungan sosial budaya

yang erat dengan Timor

Leste

Potensi pertambangan

Kondisi Timor Leste yang

tidak berkembang dan

cenderung rawan

Perubahan iklim:

perubahan pola pertanian,

ketersediaan air

Rencana pengembangan

pertambangan

Prosedur imigrasi yang

tidak berorientasi kondisi

lokal

Selanjutnya dari identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi, baik

internal maupun eksternal, dapat ditentukan posisi dan selanjutnya

dirumuskan berbagai alternatif sebagai dasar bagi strategi dan

pengembangan masing-masing desa/wilayah tertinggal. Perumusan

dilakukan dengan menyusun matriks SWOT untuk masing-masing

desa/wilayah dengan menggabungkan faktor-faktor tadi diperoleh empat

kombinasi strategi (Tabel 4.21., 4.22., dan 4.23.)

Page 44: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 44

Tabel 4.21. Perumusan Alternatif Strategi dengan Matriks SWOT untuk Desa

Mapur dan Wilayah Sekitarnya

INTERNAL

FAKTOR

EKSTERNAL

FAKTOR

Kekuatan (S)

Potensi perikanan yang cukup melimpah

Berada pada jalur perdagangan yang ramai

Heterogen dan terbuka terhadap masyarakat luar

Tingkat bertahan hidup

tinggi

Lingkungan yang indah dan eksotik

Kelemahan (W)

Tingkat pendidikan yang rendah

Ketersediaan sarana-prasarana rendah

Cepat berpuas diri

Permodalan rendah: armada

penangkapan ikan sederhana

Terpencil: mobilitas rendah

Peluang (O)

Perkembangan wilayah

Bintan sebagai kawasan industri dan pariwisata

Kebijakan dan program

pengembangan pulau-pulau terpencil dan perbatasan

Pasar yang besar dan

potensial:Singapura dan Malaysia

S-O Strategi

Mengaitkan

pengembangan wilayah dengan potensi lokal dan

memperhatikan keterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan dan proses ekonomi

Peningkatan kapasitas dan

kemampuan masyarakat untuk dapat mengakses pasar

W-O Strategi

Peningkatan kualitas SDM

melalui pendidikan berbasis masyarakat

(formal/informal) untuk meningkatkan kemampuan dan akses terhadap pasar dan perkembangan regional

Pengembangan prasarana dan sarana transportasi

Peningkatan kapasitas permodalan

Ancaman (T)

Kebijakan

penambangan pasir dan bauksit yang tidak terkendali

Perkembangan wilayah

Bintan sebagai kawasan industri dan pariwisata

Kegiatan Nelayan Asing dan penggunaan Trawl

Hubungan

ketergantungan modal dengan tauke

Perubahan iklim/cuaca:

perubahan pola transportasi dan nelayan

S-T Strategi

Kebijakan penambangan

yang memperhatikan daya dukung pulau-pulau kecil

dan kelangsungan hidup masyarakat

Pengawasan dan penindakan praktek

penangkapan ikan yang ilegal

Peningkatan kapasitas permodalan dan manajerial usaha

Peningkatan kapasitas armada penangkapan

W-T Strategi

Peningkatan kualitas SDM

melalui pendidikan berbasis masyarakat dan

mengaitkannya dengan pengembangan wilayah (industri dan pariwisata)

Pengembangan industri dan

pariwisata yang berbasis pada potensi lokal dan menempatkan masyarakat lokal sebagai subyek dan bernilai tambah bagi masyarakat setempat

Page 45: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 45

Tabel 4.22. Perumusan Alternatif Strategi dengan Matriks SWOT untuk Desa

Marore dan Wilayah Sekitarnya

INTERNAL

FAKTOR

EKSTERNAL

FAKTOR

Kekuatan (S)

Potensi perikanan yang cukup melimpah

Berada pada jalur perdagangan antar negara

Terbuka terhadap masyarakat luar

Posisi sebagai check point

antar negara

Memiliki hubungan yang erat dengan Mindanao

Kelemahan (W)

Tingkat pendidikan yang rendah

Ketersediaan sarana-prasarana rendah

Cepat berpuas diri

Permodalan rendah: armada penangkapan ikan kecil

Terpencil: mobilitas rendah

Transportasi dan aktivitas nelayan tergantung cuaca

Peluang (O)

Perkembangan wilayah

Kapet Bitung dan jalur Pasifik

Kebijakan dan program

pengembangan pulau-pulau terpencil dan perbatasan

Hubungan sosial,

ekonomi dan budaya yang erat dengan Mindanao

S-O Strategi

Mengaitkan

pengembangan wilayah dengan potensi lokal dengan melibatkan masyarakat lokal dalam

kegiatan dan proses ekonomi

Peningkatan kapasitas dan

kemampuan masyarakat

untuk dapat mengakses pasar

Memanfaatkan kedekatan hubungan dengan Filipina

sebagai faktor pendorong pengembangan wilayah

Penyederhanaan prosedur lintas batas untuk

keuntungan wilayah dan masyarakat lokal

W-O Strategi

Peningkatan kualitas SDM

melalui pendidikan berbasis masyarakat (formal/informal) untuk meningkatkan kemampuan

dan akses terhadap pasar dan perkembangan regional

Pengembangan prasarana

dan sarana transportasi

Peningkatan kapasitas permodalan

Pengembangan pusat

kegiatan ekonomi dan adminsitrasi di wilayah terluar

Ancaman (T)

Perlintasan pendatang gelap dari Mindanao

Ketergantungan

perdagangan dengan Filipina

Perubahan iklim/cuaca:

perubahan pola transportasi dan nelayan

Prosedur imigrasi yang

tidak berorientasi kondisi lokal

S-T Strategi

Pengawasan dan

penindakan praktek ilegal sekaligus juga pengembangan prosedur

hubungan ekonomi antar negara konteks lokal

Peningkatan kapasitas permodalan dan manajerial usaha

Peningkatan kapasitas armada penangkapan

W-T Strategi

Peningkatan kualitas SDM

melalui pendidikan berbasis masyarakat dan mengaitkannya dengan

pengembangan wilayah (industri dan pariwisata)

Penyediaan dan pengembangan sarana dan

prasarana pendukung yang dapat diakses oleh masyarakat

Penyederhanaan prosedur

imigrasi konteks setempat

untuk tujuan keuntungan wilayah dan masyarakat setempat

Page 46: IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL

Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi

Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal

Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

HARDIMAN SIAGIAN IV - 46

Tabel 4.23. Perumusan Alternatif Strategi dengan Matriks SWOT untuk Desa

Tes dan Wilayah Sekitarnya

INTERNAL

FAKTOR

EKSTERNAL

FAKTOR

Kekuatan (S)

Tingkat bertahan hidup tinggi

Sadar dan mengkonservasi sumber air

Posisi sebagai check point antar negara

Potensi tanaman keras dan

peternakan

Kelemahan (W)

Budaya patrinial kuat dan

pengeluaran adat sangat tinggi

Kurang terbuka terhadap

inovasi

Pendidikan dan kesehatan

rendah

Ketersediaan sarana-

prasarana rendah

Wilayah terpencil, tandus dan

berbukit-bukit

Pola pertanian tebas bakar dan

subsisten

Peluang (O)

Kebijakan dan

program pengembangan daerah perbatasan

Pengembangan

wilayah Timur

Indonesia dan kedekatan ke Australia

Hubungan sosial

budaya yang erat dengan Timor Leste

Potensi pertambangan

S-O Strategi

Pengembangan program

berbasis pembuhan dasar dan pengelolaan usaha pertanian dan peternakan yang berkelanjutan

Pengembangan komoditi

perkebunan dan peternakan khas lokal

Penyederhanaan prosedur

lintas batas untuk keuntungan masyarakat lokal

Kebijakan penambangan

yang memperhatikan tata air dan tidak mengurangi kemampuan produksi lahan pertanian dan masyarakat lokal

W-O Strategi

Peningkatan kualitas SDM

melalui pendidikan berbasis masyarakat (formal/informal) dan penyelarasan praktek adat dengan kesejahteraan sosial ekonomi

Pengembangan prasarana dan

sarana dasar (pendidikan, kesehatan, listrik dan komunikasi)

Ancaman (T)

Kondisi Timor Leste

yang tidak berkembang dan cenderung rawan

Perubahan iklim:

perubahan pola pertanian, ketersediaan air

Rencana

pengembangan pertambangan

Prosedur imigrasi

yang tidak

berorientasi kondisi lokal

S-T Strategi

Hubungan masyarakat

antar negara: Pengawasan dan penindakan praktek ilegal sekaligus juga pengembangan prosedur

hubungan sosial antar negara disesuaikan dengan kondisi lokal

Pengembangan komoditas

yang adaptif terhadap kondisi alam setempat dan

bernilai ekonomi dan konservasi

Pengembangan

pertambangan yang tidak merusak tata air dan daya dukung lahan pertanian

yang sudah rendah

W-T Strategi

Peningkatan kualitas SDM

melalui pendidikan berbasis masyarakat dan mengaitkannya dengan kesehatan masyarakat, pemenuhan kebutuhan dasar, gender dan

Penyediaan dan

pengembangan sarana dan prasarana pendukung yang dapat diakses oleh masyarakat

Penyederhanaan prosedur

imigrasi konteks setempat

untuk tujuan keuntungan wilayah dan masyarakat setempat