hukum waris adat

24
HUKUM WARIS ADAT MAKALAH Diajukan untuk Memenuhi Tugas Perkuliahan, Mata Kuliah Hukum Adat Dalam Perkembangan, Semester IV, Tahun Akademik 2014 - 2015 Disusun Oleh : Yadi Supriatna 131000303 Di bawah Bimbingan Sisca Ferawati B, S.H., M.Kn. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PASUNDAN Jalan Lengkong Besar No. 68 Bandung Telp. (022) 4205945, 4262226 www.hukum.unpas.ac.id 2015

Upload: yadispire

Post on 16-Dec-2015

71 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Membahas mengenai permasalahan hukum waris adat yang ada di Indonesia

TRANSCRIPT

  • HUKUM WARIS ADAT

    MAKALAH

    Diajukan untuk Memenuhi Tugas Perkuliahan, Mata Kuliah Hukum

    Adat Dalam Perkembangan, Semester IV, Tahun Akademik 2014 -

    2015

    Disusun Oleh :

    Yadi Supriatna 131000303

    Di bawah Bimbingan

    Sisca Ferawati B, S.H., M.Kn.

    FAKULTAS HUKUM

    UNIVERSITAS PASUNDAN Jalan Lengkong Besar No. 68 Bandung

    Telp. (022) 4205945, 4262226

    www.hukum.unpas.ac.id

    2015

  • KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana atas rahmat dan

    karunianya kami diberikan kesempatan untuk menyelesaikan tugas makalah

    mengenai Hukum Waris Adat dengan lancar. Dalam penyusunan makalah ini

    saya selaku penyusun berterimakasih banyak kepada para pihak yang memberikan

    saran dan kritiknya. Terimakasih juga kepada para penulis buku yang telah saya

    kutip pendapatnya dalam isi makalah ini.

    Makalah ini menjelaskan mengenai hukum waris adat yang ada di Indonesia. Baik

    hukum waris adat bagi garis keturunan patrilineal, matrilineal maupun parental.

    Yang mana dalam sistem waris adat tersebut memang terdapat beberapa

    perbedaan yang mejadikan sebuah alasan dari sulitnya dalam mengkodifikasikan

    hukum waris yang ada di Indonesia saat ini.

    Semoga materi dalam makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya

    dan penulis pada khususnya, penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah

    ini masih jauh dari sempurna untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang

    bersifat membangun demi perbaikan kearah kesempurnaan. Akhir kata penulis

    sampaikan terimakasih.

    Bandung, 10 April 2015

    Penyusun

    i

  • DAFTAR ISI

    Kata Pengantar ...............................................................................................i

    Daftar Isi ..............................................................................................ii

    Bab I : Pendahuluan ..............................................................................................1

    A. Latar Belakang ..................................................................................1

    B. Rumusan Masalah ..................................................................................1

    Bab II : Tinjauan Pustaka ..................................................................................2

    Bab III : Pembahasan ..............................................................................................6

    A. Pembagian Hukum Waris Menurut Hukum Adat ..................................6

    B. Harta Waris Adat ..................................................................................7

    C. Hukum Waris Menurut Garis Keturunan : ..........................................10

    1. Hukum Waris Adat Patrlinial ........................................................10

    2. Hukum Waris Adat Matrillinial ............................................12

    3. Hukum Waris Adat Parental/Bilateral ................................13

    Bab IV : Penutup ............................................................................................18

    A. Kesimpulan ................................................................................18

    B. Saran

    ........................................................................................................19

    Daftar Pustaka ............................................................................................iii

    ii

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Negara Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat,

    termasuk dalam hal pewarisan, Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris

    diantaranya, diantaranya waris menurut hukum BW, hukum Islam, dan adat.

    Masing-masing hukum tersebut memiliki karakter yang berbeda dengan yang lain.

    Hukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan

    individual.Sistem waris kolektif yaitu, harta warisan dimiliki secara bersam-sama,

    dan ahli waris tidak diperbolehkan untuk memiliki secara pribadi. Jika ingin

    memanfaatkan harta waris tersebut, harus ada musyawarah dengan ahli waris yang

    lain. Sistem waris mayorat yaitu, harta waris dimiliki oleh ahli waris yang tertua,

    dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan ahli waris yang muda baik

    perempuan atau laki-lak sampai merka dewasa dan mampu mengurus dirinya

    sendiri.Sistem waris individual yaitu, harta warisan bisa dimliki secara pribadi

    oleh ahli waris, dan kepemilikkan mutlak ditangannya.

    Harta warisan menurut hukum adat bisa dibagikan secara turun-temurun

    sebelum pewaris meninggal dunia, tergantung dari musyawarah masing-masing

    pihak.Hal ini sangat berbeda dengan kewarisan hukum BW dan

    hukum Islam yang mana harta warisan harus dibagikan pada saat ahli waris telah

    meninggal dunia.Apabila harta warisan diberikan pada saat pewaris belum

    meninggal dunia, maka itu disebut pemberian biasa atau dalam hukum Islam

    bisadisebut sebagai hibah.

    Dengan adanya beragam bentuk sistem kewarisan hukum adat,

    menimbulkan akibat yang berbeda pula, maka pada intinya hukum waris harus

    disesuaikan dengan adat dan kebudayaan masing-masing daerah dengan kelebihan

    dan kekurangan yang ada pada sistem kewarisan tersebut.

    B. Rumusan Masalah

    1. Bagaimanakah pembagian waris menurut hukum adat?

    2. Bagaimana & Seperti apakah harta waris adat?

    3. Bagaimana pembagian waris adat berdasarkan garis keturunan?

    1

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasional belum terbentuk,

    dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh

    masyarakat RI, yakni hukum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat

    dan hukum Burgerlijk Wetboek (BW)1. Hal ini adalah akibat warisan hukum yang

    dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.

    Menggunakan hukum waris menurut hukum adat, menurut Wirjono

    Projodikoro (19911 : 58), hukum adat pada umumnya bersandar pada kaidah sosial

    normatif dalam cara berpikir yang konkret yang sudah menjadi tradisi masyarakat

    tertentu2.

    Menurut Ter Haar, hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang

    bertalian dengan dari abad ke abad penerusan dan peralihan harta kekayaan yang

    berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi. Selain itu, ada pendapat

    lain ditulis bahwa Hukum Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur

    proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda yang berwujud

    dan yang tidak berwujud, dari suatu angkatan generasi manusia kepada

    keturunnya.3

    Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa Hukum Waris

    Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun

    yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup atau setelah meninggal

    dunia kepada ahli warisnya.

    Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan

    dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya

    adalah :4

    1. Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang

    dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi

    1. Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan KuRikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980.hlm 1-20. 2. Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Mawaris (Bandung; Cv. Pustaka Setia,2009), hlm. 86 3. http://websiteayu.com/artikel/sistem-hukum-waris-adat2

    4. Ibid. 2

  • atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para

    ahli waris, sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta

    warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.

    2. Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie (bagian

    mutlak), sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris

    Islam.

    3. Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk

    sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.

    Berdasarkan ketentuan Hukum Adat pada prinsipnya asas hukum waris itu

    penting, karena asas-asas yang ada selalu dijadikan pegangan dalam penyelesaian

    pewarisan. Adapun berbagai asas itu di antaranya seperti asas ketuhanan dan

    pengendalian diri, kesamaan dan kebersamaan hak, kerukunan dan kekeluargaan,

    musyawarah dan mufakat, serta keadilan. Jika dicermati berbagai asas tersebut

    sangat sesuai dengan kelima sila yang termuat dalam dasar negara RI, yaitu

    Pancasila.

    Di samping itu, menurut Muh.Koesnoe, di dalam Hukum Adat juga

    dikenal tiga asas pokok, yaitu asas kerukunan, asas kepatutan dan asas

    keselarasan.Ketiga asas ini dapat diterapkan dimana dan kapan saja terhadap

    berbagai masalah yang ada di dalam masyarakat, asal saja dikaitkan dengan desa

    (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan). Dengan menggunakan dan mengolah

    asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan dikaitkan dengan waktu, tempat dan

    keadaan, diharapkan semua masalah akan dapat diselesaikan dengan baik dan

    tuntas.

    Hukum waris menurut hukum adat pada dasarnya merupakan

    sekumpulan hukum yang mengatur proses pengoperan dari satu generasi

    selanjutnya. Unsur-unsur hukum mawaris adat adalah sebagai berikut :

    a. Proses pengoperan atau hibah atau pewarisan atau warisan.

    Maksud dari proses disini berarti bahwa pewarisan hukum adat bukan

    selalu aktual dengan adanya kematian, atau walaupun tak ada kematian

    proses pewarisan itu tetap ada, mengenai penerusan, pengoperan dan

    penerusan kedudukan harta material dan immaterial, penerusan itu dari

    3

  • generasi ke generasi berikutnya. Jadi pewarisan ini bukan merupakan

    pewarisan individual.

    b. Harta benda materiil dan imateriil.

    Tiap kesatuan keluarga mesti ada benda-benda material yang dimiliki oleh

    keluarga itu, yang disebut dengan kekayaan. Kekayaan yang biasa disebut

    harta keluarga (gezinsgoed), dapat diperoleh dengan cara, antara lain : (1)

    harta suami istri yang diperoleh dari harta warisan dari orang

    tuanya(toessheding), (2) harta suami istri yang diperoleh sendiri sebelum

    perkawinan, (3) harta suami istri yang diperoleh bersama-sama semasa

    perkawinan, dan (4) harta yang ketika menikah kepada pengantin (suami

    istri). Kekayaan dalam keluarga tersebut pada dasarnya memiliki beberapa

    fungsi :

    1) Kekayaan merupakan basis material dalam kehidupan keluarga yang

    dinamakan harta rumah tangga bagi kesatuan rumah tangga.

    2) Kekayaan berfungsi untuk memberi basis material bagi kesatuan-

    kesatuan rumah tangga yang akan dibentuk oleh keturunan.

    3) Karena harta kekayaan itu merupakan basis material dari pada

    kesatuan-kesatuan kekeluargaan, maka dari sudut lain harta kekayaan

    itu merupakan alat untuk mempersatukan kehidupan keluarga.

    4) Karena harta kekayaan itu adalah pemersatu kehidupan keluarga, maka

    pada dasarnya dalam proses pewarisan, tidak dilakukan pembagian atau

    pada dasarnya harta peninggalan tak dibagi-bagi.

    Berdasarkan ketentuan mengenai fungsi dari pada harta kekayaan, maka

    dalam hukum waris di kenal dua harta macam peninggalan yaitu :

    a) Harta peninggalan yang dapat dibagi yaitu, peninggalan yang

    dibagi-bagikan pada ahli warisnya yaitu kepada anak-anaknya.

    b) Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi yaitu, jika orang itu

    meninggal, maka : hartanya menjadi harta pusaka yang dimiliki

    oleh komplek-famili yang dipimpin oleh kepala-famili, dan hanya

    ada seorang anak saja yang berhak mewarisi. Harta peninggalan

    yang tidak dapat dibagi di golongkan menjadi dua yaitu, mayorat

    (sistem pewarisan dimana anak tertua yang menjadi ahli waris) dan

    4

  • kolektif (suatu sistem kewarisan yang dimana harta pusaka yang

    dimiliki bersama, yaitu dimiliki oleh keluarga didalam arti kerabat

    (famili)).

    c. Satu generasi kegenerasi selanjutnya.

    Pada dasarnya yang menjadi ahli waris dalam hukum adat adalah angkatan

    (generasi).

    d. Tata cara penyelenggaraan pembagian warisan.

    Tata cara penyelenggaraannya pembagian warisan menurut hukum adat

    meliputi tiga cara yaitu sebagai berikut :

    1) Waris, waris berdasarkan sistem tata tertib sanak yang terbagi dalam

    tiga sistem yaitu waris parental, waris patrilineal, dan waris

    matrilineal.

    2) Hibah, adalah perbuatan hukum yang dimana seseorang tertentu

    memberikan sutau barang(kekayaan) tertentu kepada seseorang yang

    diingkan, menurut kaidah hukum yang berlaku. Hibah dibagi emnajdi

    dua yaitu hibah biasa (pembagian barang milik seseorang yang

    langsung diikuti dengan pnyerahan seketika barang), dan hibah wasiat

    (pembagian barang milik seseorang yang tidak selalu diikuti

    penyerahan seketika itu, juga barang-barang itu kepada yang mendapat

    barang masing-masing dan abru akan diserahkan apabila si pemberi

    sudah meninggal dunai). Dengan kata lain hibah wasiat berlaku setelah

    si pemberi meninggal.

    5

  • BAB III

    PEMBAHASAN

    A. Pembagian Waris Menurut Hukum Adat

    Dalam hal pembagiannya yaitu anak-anak dan atau keturunannya serta janda,

    seluruh harta menurut pasal 852 BW harus di bagi sebagai berikut:

    1. Apabila anak-anak dari si wafat masih hidup, anak-anak itu dan janda

    mendapat masing-masing suatu bagian yang sama, misalnya ada 4 anak dan

    janda maka mereka masing-masing 1/5 bagian.

    2. Apabila salah seorang anak sudah meninggal lebih dahulu, dan ia mempunyai

    anak (jadi cucu dari si peninggal warisan), misalnya 4 cucu, maka mereka

    semua mendapat 1/5 bagian selaku pengganti ahli waris (plaatsvervulling)

    menurut pasal 842 BW. Jadi masing masing cucu mendapat 1/20 bagian.

    3. Dalam hal ini tidak diperdulikan apakah anak-anak itu adalah lelaki maupun

    perempuan, anak tertua atau termuda (zonder onderscheid van kunne of

    eerstegeboorte).5

    Menurut ketentuan Hukum Adat yang berkembang di dalam masyarakat,

    secara garis besar dapat dikatakan bahwa sistem (pembagianya) hukum waris adat

    terdiri dari tiga sistem, yaitu:6

    a. Sistem Kolektif, Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan dan

    pengalian harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dan tiap ahli

    waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari

    harta tersebut. Contohnya seperti Minangkabau, Ambon dan Minahasa.

    b. Sistem Mayorat, Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu

    kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada

    anak tertentu saja, misalnya anak laki-laki tertua (Bali, Lampung, Teluk Yos

    Sudarso) atau perempuan tertua (Semendo/ Sumatra Selatan), anak laki-laki

    termuda (Batak) atau perempuan termuda atau anak laki-laki saja.

    5 Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam (Yogyakarta: UII Press, 2005), hal. 78

    6 Lihat Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo

    Persada, 2012), hal 260

    6

  • c. Sistem Individual, berdasarkan prinsip sistem ini, maka setiap ahli waris

    mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-

    masing. Pada umumnya sistem ini dijalankan di masyarakat di Jawa dan

    masyarakat tanah Batak.

    B. Harta Waris Adat

    Harta waris adalah harta yang ditinggalkan atau yang diberikan oleh pewaris

    kepada warisnya, baik yang dapat dibagi maupun yang tidak dapat dibagi. Harta

    waris dapat dibagi dalam empat bagian, yaitu : harta asal, harta pemberian, harta

    pencaharian, hak dan kewajiban yang diwariskan.

    1. Harta asal

    Harta asal adalah harta yang diperoleh atau dimiliki oleh pewaris

    sebelum perkawinan yang dibawa kedalam perkawinan, baik harta itu

    berupa harta peninggalan maupun harta bawaan.

    Harta peninggalan dapat dibedakan harta peninggalan yang tetap

    tak terbagi dan harta peninggalan yang dapat dibagi, demikian juga harta

    bawaan ada harta bawaan di isteri dan harta bawaan suami.

    Harta peninggalan ada harta peningggalan yang tak terbagi dan

    harta peninggalan yang dapat dibagi.Dalam pewarisan yang banyak

    membawa persoalan adalah harta peninggalan yang tak terbagi, karena

    terhadap harta ini ada seolah-olah waris kehilangang haknya untuk

    memiliki secara perseorangan atau menguasai secara penuh.Suatu harta

    peninggalan tidak terbagi dalam hukum adat kita disebabkan karena sifat

    dan kedudukan dari harta itu. Dalam masyarakat bilateral di Jawa, harta

    peninggalan dapat menjadi harta peninggalan yang tak terbagi bilamana

    misalnya seorang janda atau anak-anaknya yang belum dewasa harus

    mendapat nafkahnya daripadanya dan pemberian nafkah ini tidak akan

    terjamin bila diadakan pembagian.

    Di Minangkabau dikenal harta pusaka tinggi seperti rumah gadang,

    sawah atau peladangan.Dalam masyarakat matrilinial ini harta pusaka

    adalah kepunyaan kaum dimana ibu sebagai pusat pengusaannya.Harta

    peninggalan ini tidak mungkin dimiliki secara perseorangan melainkan

    7

  • secara bersama memilikinya bagi para anggota kerabat dari pihak ibu

    tersebut.

    Terhadap harta kerabat di Minangkabau atau di Hitu Ambon

    penguasaannya dipimpin oleh mamak kepala waris di Minangkabau, kepala

    dati di Hitu. Selain faktor-faktor di atas, harta peninggalan tak terbagi

    karena harta tersebut hanya diperuntukkan penguasaannya untuk diurus

    seperti dalam masyarakat patrilinial beralih-beralih di Bali harta

    peninggalan dikuasai oleh anak laki-laki yang tertua yang menggantikan

    kedudukan orang tua untuk mengurusi dan memelihara saudara-

    saudaranya, atau di Semendo yang menganut sistim matrilinial harta

    peninggalan hanya dikuasai dan diurus, tidak dapat dipindah tangankan,

    pada umumnya banyak harta peninggalan tetap tinggal tidak dibagi-bagi

    dan disediakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan materiil keluarga

    yang ditinggalkan. ( R,Soepomo, 1980 : hlm.81).

    Sedangkan harta peninggalan yang dapat dibagi pada umumnya

    terdapat pada masyarakat patrilinial di Batak, dan masyarakat bilateral di

    Jawa, dan tidak menutup kemungkinan di daerah-daerah yang harta

    peninggalan tersebut di atas karena pergeseran zaman dan merenggangnya

    sistim kekerabatan harta tersebut dibagi, namun pada prinsipya tidak dapat

    dibagi. Demikian juga di Semende yang menjadi harta yang tak terbagi

    atau tetap terbagi-bagi hanya harta tunggu tubang saja, sedangkan harta

    diluar harta tubang dapat dibagi.Harta yang dapat dibagi biasanya

    merupakan harta pencaharian atau harta bawaan.

    Harta bawaan adalah harta yang dimiliki oleh suami atau isteri

    sebelum perkawinan.Oleh sebab itu dibagi antara harta bawaan suami dan

    harta bawaan isteri.Harta bawaan itu ada yang terikat dengan kerabat dan

    ada yang tidak terikat dengan kerabat. Harta bawaan yang terikat dengan

    kerabat seperti harta pihak suami yang dibawa pihak suami yang dibawa ke

    tempat kediaman isterinya (matrilokal) dalam masyarakat matrilinial di

    Minangkabaum harta yang diberikan kepada anak perempuan selagi masih

    gadis di Batak yang dibawa menetap di tempat kediaman suaminya

    (patrilokal) yang dinamakan tano atau saba bangunan. Harta bawaan yang

    8

  • tidak terikat dengan kerabat, karena harta itu hasil pencaharian si suami

    selagi masih bujang (harta pembujangan, Sumatera Selatan), harta

    penantian bagi si isteri semasa gadis atau guna kaya di Bali baik harta

    perempuan ataupun harta laki-laki. Kedua harta ini dalam masyarakat kita

    mempunyai kedudukan yang berbeda sesuai dengan bentuk masyarakat itu.

    2. Harta pemberian

    Harta pemberian adalah harta yang dimiliki oleh pewaris karena

    pemberian, baik pemberian dari suami bagi si isteri, pemberian dari orang

    tua, pemberian kerabat, pemberian orang lain, hadiah-hadiah perkawinan

    atau karena hibah wasiat. Harta pemberian dibedakan dengan harta asal,

    sebab harta asal telah ada sebelum perkawinan sedangkan harta pemberian

    ada setelah perkawinan. Harta pemberian orang tua, dalam beberapa

    masyarakat terikat dengan kerabat, seperti harta pemberian si bapak kepada

    anak perempuannya sewaktu gadis ini Batak atau selagi anak tersebut

    dalam perkawinan (saba bangunan, pauseang, indahan arian), bila si isteri

    ini meninggal dan tidak mempunyai anak, maka harta ini akan kembali

    pada kerabatnya. Harta pemberian orang lain, seperti pemberian dari teman

    sekerja. Bila harta pemberian tersebut ditujukan kepada salah satu pihak

    suami-isteri, sama halnya dengan pemberian kerabat hanya saja motif

    pemberiannya berbeda. Pemberian kerabat biasanya didasarkan rasa

    kasihan, welas asih atau tolong-menolong, sedangkan pemberian orang lain

    karena rasa persahabatan dan sebagainya.

    3. Harta pencaharian

    Harta pencaharian adalah harta yang diperoleh oleh suami-isteri,

    suami saja atau isteri saja dalam perkawinan karena usaha dari suami-isteri

    atau salah satu pihak. Secara umum harta yang diperoleh dalam

    perkawinan adalah harta bersama suami-isteri, tetapi dalam beberapa

    masyarakat ada harta pencaharian suami saja, atau harta pencaharian si

    isteri saja disebabkan bentuk perkawinan dan sistim kekerabatannya.

    Di Minangkabau harta bersama dikenal harta suarang, di Jawa

    gono-gini, di Kalimantan harta perpantanganm di Bugis dan Makasar

    dikenal cakkara. Harta bersama dapat bertambah karena harta bawaan,

    9

  • harta pemberian, dan harta lain yang diperuntukkan untuk keluarga yang

    diberikan tersebut.

    C. Hukum Waris Adat Berdasarkan Garis Keturunan

    1. Hukum Waris Adat Patrilineal

    Patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur

    alurketurunan berasal dari pihak ayah. Kata ini seringkali disamakan

    dengan patriarkat atau patriari, meskipun pada dasarnya artinya

    berbeda. Patilineal berasal dari dua kata, yaitu pater (bahasa Latin) yang

    berarti "ayah", dan linea (bahasa Latin) yang berarti "garis". Jadi,

    "patrilineal" berarti mengikuti "garis keturunan yang ditarik dari pihak

    ayah".

    Sementara itu patriarkat berasal dari dua kata yang lain,

    yaitupater yang berarti "ayah" dan archein (bahasa Yunani) yang berarti

    "memerintah". Jadi, "patriari" berarti "kekuasaan berada di tangan ayah

    atau pihak laki-laki".7

    Di dalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam

    hukum waris sangat menonjol, contohnya pada masyarakat Batak dan Bali.

    Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab anak perempuan yang

    telah kawin dengan cara "kawin jujur" yang kemudian masuk menjadi

    anggota keluarga pihak suami, selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris

    orang tuanya yang meninggal dunia. Dalam masyarakat tertib Patrilineal

    seperti halnya dalam masyarakat Batak Karo, khususnya, dan dalam

    masyarakat Batak pada umumnya.8 Titik tolak anggapan tersebut, yaitu:

    a. Emas kawin (tukur), yang membuktikan bahwa perempuan dijual;

    b. Adat lakoman (levirat) yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi

    oleh saudara dari suaminya yang telah meninggal.

    c. Perempuan tidak mendapat warisan;

    7 http://id.wikipedia.org/wiki/PatRilineal

    8 Eman Suparman, Hukum Waris Ri dalam Perspektif Islam Adat dan BW, (Bandung:

    Refika Aditama, 2005), hlm. 43

    10

  • d. Perkataan naki-naki menunjukkan bahwa perempuan adalah makhluk

    tipuan, dan lain-lain.

    Akan tetapi ternyata pendapat yang dikemukakan di atas hanya

    menunjukkan ketidaktahuan dan sama sekali dangkal sebab terbukti dalam

    cerita dan dalam kesusasteraan klasik, kaum wanita tidak kalah peranannya

    dibandingkan dengan kaum laki-laki.9

    Meskipun demikian, kenyataan bahwa anak laki-laki merupakan

    ahli waris pada masyarakat patrilineal, dipengaruhi pula oleh beberapa

    faktor sebagai berikut:

    1) Silsilah keluarga didasarkan pada anak laki-laki. Anak perempuan tidak

    dapat melanjutkan silsilah (keturunan keluarga);

    2) Dalam rumah-tangga, isteri bukan kepala keluarga. Anak-anak

    memakai nama keluarga (marga) ayah. Istri digolongkan ke dalam

    keluarga (marga) suaminya;

    3) Dalam adat, wanita tidak dapat mewakili orang tua (ayahnya) sebab ia

    masuk anggota keluarga suaminya;

    4) Dalam adat, laki-laki dianggap anggota keluarga sebagai orang tua

    (ibu);

    5) Apabila terjadi perceraian, suami-isteri, maka pemeliharaan anak-anak

    menjadi tanggung jawab ayahnya. Anak laki-laki kelak merupakan ahli

    waris dari ayahnya baik dalam adat maupun harta benda.

    Di dalam pelaksanaan penentuan ahli waris dengan menggunakan

    kelompok keutamaan maka harus diperhatikan prinsip garis keturunan yang

    dianut oleh suatu masyarakat tertentu. Pada umumnya masyarakat Bali

    menganut susunan kekeluargaan patrilinial, sehingga dalam hukum adat di

    Bali terdapat persyaratan-persyaratan sebagai ahli waris menurut I Gde

    Pudja adalah :

    1) Ahli waris harus mempunyai hubungan darah, yaitu misalnya anak

    pewaris sendiri.

    2) Anak itu harus laki-laki.

    9. Ibid. Hlm. 66

    11

  • 3) Bila tidak ada anak barulah jatuh kepada anak yang bukan sedarah yang

    karena hukum ia berhak menjadi ahli waris misalnya anak angkat.

    4) Bila tidak ada anak dan tidak ada anak angkat, hukum Hindu membuka

    kemungkinan adanya penggantian melalui penggantian atas kelompok

    ahli waris dengan hak keutamaan kepada kelompok dengan hak

    penggantian lainnya yang memenuhi syarat menurut Hukum Hindu.10

    Apabila suatu keluarga hanya mempunyai anak perempuan tanpa

    ada anak laki-laki maka anak perempuan itu dapat diangkat statusnya

    sebagai anak laki-laki (sentana rajeg) dengan cara perkawinan ambil laki,

    sehingga anak perempuan tersebut dapat menjadi sebagai ahli waris dari

    harta warisan orang tuanya. Anak angkat berdasarkan hukum waris adat di

    Bali dilakukan bilamana suatu keluarga tidak mempunyai keturunan,

    sehingga fungsi anak angkat itu sebagai penerus generasi atau keturunan,

    agar mantap sebagai penerus keturunan dan tidak ada keragu-raguan maka

    pengangkatan anak ini haruslah diadakan upacara pemerasan dan

    diumumkan di hadapan masyarakat.11

    Upacara penggangkatan anak ini dimaksudkan untuk melepaskan

    anak itu dari ikatan atau hubungan dengan orang tua kandungnya dan

    sekaligus memasukkan anak itu ke dalam keluarga yang mengangkatnya.

    Dalam sistem hukum adat waris patrilineal, pewaris adalah seorang yang

    meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik

    harta itu diperoleh selama dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena

    di dalam hukum adat perkawinan suku bersistem patrilineal, yang memakai

    marga itu berlaku keturunan patrilineal maka orang tua merupakan pewaris

    bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak laki-laki yang merupakan

    ahli waris dari orang tuanya.

    10 I Gde Pudja Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran Hindu

    Dharma, Cetakan Keempat, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha

    Departeman Agama INDONESIA, (selanjutnya disingkat I Gde Pudja I) hlm. 42.

    11.http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/5FHS1HUKUM/207711066/BAB%20II.pdf,

    hal. 17, 06-11-2013, 07.10 WIB

    12

  • Sifat masyarakat patrilinial adalah masyarakat yang anggota-

    anggotanya menarik garis keturunan melalui garis bapak.Sifat

    kekeluargaan masyarakat adat ini disebut juga dengan masyarakat

    Unilaterial. Pada masyarakat unilaterial diperlakukan kawin jujur.Pola

    pembagian harta warisan masyarakat parental adalah :

    a) Yang berhak mewarisi hanyalah anak laki- laki

    b) Kakek, jika tidak memiliki anak laki- laki

    c) Saudara laki- laki, jika kakek tidak ada

    2. Hukum Waris Adat Matrilinial

    Di RI hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa

    atau kelompok etnik yang ada.Pada dasarnya hal itu disebabkan oleh sistem

    garis keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar dari sistem suku-

    suku bangsa atau kelompok-kelompok etnik. Masalahnya adalah, antara

    lain: Apakah ada persamaan antara hukum waris adat yang dianut oleh

    berbagai suku atau kelompok tersebut, dan apakah hal itu tetap dianut

    walaupun mereka menetap di luar daerah asalnya.12

    Menguraikan system hukum adat waris dalam suatu masyarakat

    tertentu, kiranya tidak dapat terlepas dari system kekeluargaan yang

    terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan.Demikian pula halnya

    dengan system hukum adat waris dalam masyarakat matrilinial di

    Minangkabau, ini berkaitan erat dengan system kekeluargaan yang menarik

    garis keturunan dari pihak ibu.

    Hukum waris menurut hukum adat Minangkabau senantiasa

    merupakan masalah yang aktual dalam berbagai pembahasan.Hal itu

    mungkin disebabkan karena kekhasannya dan keunikannya bila

    dibandingkan dengan system hukum adat waris dari daerah-daerah lain

    di Indonesia ini.Seperti telah dikemukakan, bahwa system kekeluargaan di

    Minangkabau adalah system yang menarik garis keturunan dari pihak ibu

    yang dihitung menurut garis ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara

    12 Asri Thaher, S.H. Sistem Pewarisan dan Kekerabatan Adat Matrilinial. Tesis.

    Universitas Diponegoro. Semarang. Hal. 4

    13

  • perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun

    perempuan.

    Dengan system tersebut, maka semua anak-anak hanya dapat

    menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta Pusaka Tinggi

    yaitu harta yang turun-temurun dari beberapa generasi, maupun harta

    pusaka rendah yang harta yang turun dari satu generasi.

    3. Hukum Waris Adat Parental/Bilateral

    Sistem parental ini di Ri dianut di banyak daerah, seperti: Jawa,

    Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan,

    seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok.Berbeda

    dengan dua sistem kekeluargaan sebelumnya yaitu sistem patrilineal dan

    sistem matrilinial, sistem kekeluargaan parental atau bilateral ini memiliki

    ciri khas tersendiri pula, yaitu bahwa yangmerupakan ahli waris adalah

    anak laki-laki maupun anak perempuan.Mereka mempunyai hak yang sama

    atas harta peninggalan orangtuanya sehingga dalam proses pengalihan

    sejumlah hartakekayaan dari pewaris kepada ahli waris, anak laki-laki dan

    anak perempuan mempunyai hak untuk diperlakukan sama. Tiga

    bentuk sistem kekeluargaan yang sangat menonjol senantiasa

    merupakan contoh pembahasan.

    Hal tersebut mungkin didasarkan pada pertimbangan, bahwa di

    antara ketiga sistem kekeluargaan itu perbedaannya sangat prinsipil karena

    seolah-olah sistem patrilineal merupakan kebalikan dari sistem

    matrilinial.Kemudian kedua sistemtersebut dirangkum oleh satu sistem

    yang mengambil unsur dari kedua sistem tersebut, yaitu sistem parental

    atau bilateral.

    Hukum warisan parental atau bilateral adalah memberikan hak

    yang sama antara pihak laki-laki dan pihak perempuan, baik kepada suami

    dan istri, serta anak laki-laki dan anak perempuan termasuk keluarga dari

    pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan. Ini berarti bahwa anak laki-

    laki dan anak perempuan adalah sama-sama mendapatkan hak warisan dari

    14

  • kedua orang tuanya, bahkan duda dan janda dalam perkembangannya juga

    termasuk saling mewarisi.

    Bahkan proses pemberian harta kepada ahli waris khususnya

    kepada anak, baik kepada anak laki-laki maupun anak perempuan

    umumnya telah dimulai sebelum orang tua atau pewaris masih hidup. Dan

    sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat ini adalah individual

    artinya bahwa harta peninggalan dapat dibagi-bagikan dari pemiliknya atau

    pewaris kepada para ahli warisnya, dan dimiliki secara pribadi.

    Sifat sistem hukum kewarisan adat parental atau bilateral yang

    pada umumnya di pulau Jawa, termasuk Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa

    Barat dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sebenarnya dapat dilihat dari

    beberapa segi; pertama segi jenis kelamin, ini dapat dibagi dua kelompok,

    pertama kelompok laki- laki dan kelompok perempuan. Kedua segi

    hubungan antara pewaris dengan ahli waris.Dari segi ini juga ada dua

    kelompok pertama yaitu kelompok ahli waris karena terjadinya ikatan

    perkawinan suami dan istri.Kelompok kedua adalah kelompok hubungan

    kekerabatan, karena adanya hubungan darah ini ada tiga yaitu kelompok

    keturunan pewaris, seperti anak pewaris, cucu pewaris, buyut pewaris,

    canggah pewaris dan seterusnya ke bawah sampai galih asem.Kelompok

    asal dari pada pewaris, yaitu orang tua dari pewaris, seperti ayah dan ibu

    dari pewaris, kakek dan nenek pewaris, buyut laki-laki dan buyut

    perempuan pewaris, dan seterusnya ke atas dari pihak laki-laki dan

    perempuan.Dan kelompok ketiga adalah hubungan kesamping dari

    pewaris, seperti saudara-saudara pewaris, baik laki-laki maupun perempuan

    seterusnya sampai anak cucunya serta paman dan bibi seterusnya sampai

    anak cucunya, dan siwo atau uwa laki-laki dan perempuan sampai anak

    cucunya.

    Dalam sistem hukum warisan parental atau bilateral juga menganut

    keutamaan sebagai mana sistem hukum warisan matrilinial.Menurut

    Hazairin ada tujuh kelompok keutamaan ahli waris parental atau bilateral,

    15

  • artinya ada kelompok ahli pertama, kelompok ahli waris kedua, kelompok

    ahli waris ketiga dan seterusnya sampai kelompok ahli waris ketujuh.13

    Dimaksud kelompok keutamaan disini, ialah suatu garis hukum

    yang menentukan di antara kelompok keluarga pewaris, yang paling berhak

    atas harta warisan dari pewaris, artinya kelompok pertama diutamakan dari

    kelompok kedua dan kelompok kedua diutamakan dari kelompok ketiga

    dan seterusnya. Sehingga kelompok-kelompok ini mempunyai akibat

    hukum, bahwa kelompok pertama menutup kelompok kedua, dan

    kelompok kedua menutup kelompok ketiga seterusnya sampai kelompok

    ketujuh.Berdasarkan uraian tersebut di atas, tampaknya hukum warisan

    parental itu tidak terlepas dari sistem kekerbatan yang berlaku, karena

    kelompok ahli waris itu menghitungkan hubungan kekerabatan malalui

    jalur laki-laki dan jalur perempuan. Sehingga kedudukan ahli waris laki-

    laki dan perempuan sama sebagai ahli waris

    Atas dasar kesamaan hak antara laki-laki dengan perempuan,

    sehingga perolehan harta warisannya tidak ada perbedaan, yaitu satu

    berbanding satu, maksudnya bagian warisan laki-laki sama dengan bagian

    perolehan perempuan. Namun dalam perkembangannya hukum warisan

    adat parental khususnya di Jawa kelompok laki-laki dengan kelompok

    perempuan bervariasi ada dua berbanding satu, artinya laki-laki mendapat

    bagian dua bagian dan perempuan mendapat satu bagian. Adanya variasi

    itu karena terpengaruh ajaran agama Islam, karena hukum warisan Islam

    perolehan harta warisan antara laki-laki dengan perempuan dua berbanding

    satu, artinya laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan perempuan

    mendapat satu bagian, (lihat Quran Surat An-Nisa ayat 11 dan 12).

    Dengan adanya perubahan perolehan harta warisan antara laki-laki

    dengan perempuan, ini membuktikan bahwa hukum warisan adat parental

    khususnya di Jawa telah mendapat resepsi dari hukum Islam, meskipun

    dalam praktek belum seluruhnya mayarakat merecepsi hukum warisan

    Islam.

    13. http://www.kompasiana.com/posts/type/opinion/27 May 2013/ 12:16

    16

  • Sifat masyarakat parental adalah masyarakat yang anggota-

    anggotanya menarik garis keturunan melalui garis ibu dan garis

    bapak. Pola pembagian harta waris :

    a. Pertama, jika salah satu meninggal, harta warisan dibagi menjadi dua,

    yaitu harta benda asal ditambah setengah harta benda perkawinan. Ahli

    warisnya adalah :

    1) Semua anak- anaknya (laki- laki atau perempuan) dengan bagian

    sama rata,

    2) Bila tidak beranak, maka harta benda bersama jatuh pada yang

    masih hidup,

    3) Bila ada anak, maka harta asal jatuh pada famili yang tertua dari

    yang meninggal (orang tua), bila yang tertua tidak ada, harta asal

    jatuh pada ahliwaris kedua dari kedua orangtua tersebut (saudara

    laki- laki).

    b. Kedua, jika keduanya meninggal tanpa anak, harta benda bersama jatuh

    pada famili kedua belah pihak.

    17

  • BAB IV

    PENUTUP

    A. Kesimpulan

    Hukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan

    individual. Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta,

    baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih

    hidup atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Harta waris adalah

    harta yang ditinggalkan atau yang diberikan oleh pewaris kepada warisnya, baik

    yang dapat dibagi maupun yang tidak dapat dibagi. Harta waris dapat dibagi

    dalam empat bagian, yaitu : harta asal, harta pemberian, harta pencaharian, hak

    dan kewajiban yang diwariskan.

    Di dalam sistem patrinial kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam

    hukum waris sangat menonjol, contohnya pada masyarakat Batak dan Bali.Yang

    menjadi ahli waris hanya anak laki-laki.

    Dalam system matrilinial semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris

    dari ibunya sendiri baik untuk harta pusaka tinggi maupun untuk harta pusaka

    rendah. Jika yang meninggal itu adalah seorang laki-laki maka anak-anaknya dan

    jandanya tidaklah ahli waris mengenai harta pusaka tinggi, tetapi ahli warisnya

    adalah seluruh kemenakannya dari pihak laki-laki.

    Sistem kekeluargaan parental atau bilateral ini memiliki ciri khas tersendiri

    pula, yaitu bahwa yang merupakan ahli waris adalah anak laki-laki maupun anak

    perempuan. Mereka mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan

    orangtuanya sehingga dalam proses pengalihan sejumlah harta kekayaan dari

    pewaris kepada ahli waris, anak laki-laki dan anak perempuan mempunyai hak

    untuk diperlakukan sama. Berikut perbandingan tiga sistem kewarisan :

    18

  • No. Sistem

    Kewarisan

    Ciri-ciri Kelebihan Kekurangan

    1.

    Individual

    Harta peninggalan

    itu dibagi-

    bagikankepemilik-

    annya kepada para

    waris

    Para waris dapat

    bebas mengusai

    dan memiliki

    harta warisan

    bagiannya tanpa

    dipengaruhi

    anggota-anggota

    keluarga yang

    lain

    Pecahnya harta

    warisan dan

    meregangnya

    tali kekerabatan.

    2.

    Kolektif

    Harta peninggalan

    diteruskan dan

    dialih-kan

    kepemilikan-nya

    dari pewaris

    kepada ahli waris

    sebagai kesatuan

    yang tidak terbagi-

    bagi

    penguasaannya

    dan pemilikannya.

    Dapat terlihat

    apabila fungsi

    harta kekayaan

    itu

    diperuntukkan

    bagi

    kelangsungan

    harta anggota

    keluarga

    tersebut.

    menimbulkan

    cara berpikir

    yang terlalu

    sempit, kurang

    terbuka karena

    selalu

    terpancang pada

    kepentingan

    keluarga saja

    3.

    Mayorat

    Harta peninggalan

    diwarisi

    keseluruhan-nya

    atau sebagian

    besar (sejumlah

    harta pokok dari

    suatu keluarga)

    oleh seorang anak

    saja.

    Terletak pada

    kepemimpinan

    anak tertua yang

    mengganti-kan

    kedudukan

    orang tuanya

    yang telah

    meninggal untuk

    mengurus harta.

    Tampak apabila

    anak tertua ini

    ternyata tidak

    mampu

    mengurus harta

    kekayaan orang

    tuanya itu

    19

  • B. SARAN

    Dalam sistem waris nasional kini sangat sulit untuk diadakan sebuah

    kodifikasi, karena dalam sebuah sistem waris nasional terdapat beberapa garis

    keturunan dalam sistem hukum adat yang memang amat sangat jauh berbeda dan

    apabila dikodifikasikan maka akan hilangnya jati diri negara kita yang terdiri dari

    beberapa adat yang berkembang. Memang pada dasarnya apabila seseorang

    memiliki keyakinan dan asumsi lain maka akan berubah akan sistem kewarisanya

    karena disebabkan oleh beberapa faktor.

    Setiap karakter bangsa ini nantinya memang sangatlah menentukan ciri

    dari bangsa kita yaitu negara dengan keberanekaragaman adat dan sistem

    hukumnya tapi memang hal tersebut sedikit menghambat karena terjadi sebuah

    permasalahan yang kompleksitas dimana jika diseragamkan maka akan hilang

    sebagian yang menjadi kekhasan negara kita dan apabila tida maka itu dia menjadi

    sebuah permasalahan yang membingungkan.

    Saran kami selaku penulis memang harus dikodifikasikan tanpa

    menghilangkan esesnsi dari sistem hukum adat dari masing-masing adat tersebut

    dengan kata lain dikodifikasikan dengan memuat ketentuan-ketentuan khusus

    didalamnya.

    20

  • DAFTAR PUSTAKA

    Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam (Yogyakarta: UII

    Press,2005).

    Asri Thaher, S.H. Sistem Pewarisan dan Kekerabatan Adat Matrilinial. Tesis.

    Universitas Diponegoro. Semarang.

    Eman Suparman, Hukum Waris RI dalam Perspektif Islam Adat dan BW,

    (Bandung: Refika Aditama, 2005).

    http://websiteayu.com/artikel/sistem-hukum-waris-adat2

    http://id.wikipedia.org/wiki/Patrilineal.

    http://library.upnvj.ac.id/pdf/5FHS1HUKUM/207711066/BAB%20II.pdf, hal. 17,

    06-11-2013, 07.10 WIB

    http://kompasiana.com/post/opini

    I Gde Pudja Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran Hindu

    Dharma, Cetakan Keempat, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat

    Hindu dan Budha Departeman Agama INDONESIA, (selanjutnya

    disingkat I Gde Pudja I).

    Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Mawaris (Bandung; Cv. Pustaka Setia,2009).

    Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

    2012)