hukum perkawinan adat

65

Upload: faizal-imam-dharmawan

Post on 24-Jun-2015

856 views

Category:

Law


11 download

DESCRIPTION

Hukum Perkawinan Adat

TRANSCRIPT

Page 1: Hukum Perkawinan Adat
Page 2: Hukum Perkawinan Adat

Hukum PerkawinanSejarah dan Pendapat-Pendapat

I. Didalam membicarakan sejarah, dapat kita mengambil kitab dari Prof. Elwood di dalam kitabnya “The Psychology Of Human Society” yang menyatakan bahwa kehidupan sosial itu harus dipandang sebagai suatu tabiat kejiwaan yang lebih tinggi dan lebih tersusun dari unsur-unsur keharusan biologis, sehingga merupakan elemen untuk hidup berkelompok yaitu :- dorongan untuk makan,- dorongan untuk mempertahankan diri,- dorongan untuk melangsungkan jenis.

II. Hal tersebut juga dinyatakan oleh Aristoteles, bahwa manusia adalah zoon politicon (makhluk sosial). Dengan demikian tegaslah bahwa perkawinan adalah merupakan peristiwa penting untuk kehidupan individu maupun masyarakat maupun bangsa.

III. Hal tersebut juga dinyatakan dengan tegas oleh Plato di dalam eugenetiknya (ilmu perbaikan keturunan), dimana Plato menyatakan bahwa wanita-wanita yang baik agar dikawinkan dengan pria yang baik supaya mendapat keturunan yang baik pula. Baik disini tidaklah baik dalam arti fisik, akan tetapi baik dalam arti ilmu.

Page 3: Hukum Perkawinan Adat

IV. a. Pendapat Prof. Dr. Steinmetz yang menyatakan “amat disayangkan sekali bahwa para rama dan para suster tidak

diperbolehkan kawin, sehingga mereka tidak mempunyai keturunan”. Sedangkan mereka

sebenarnya adalah orang-orang pilihan.V. Sebagai analog eugenetik Plato, maka

pada masa sekarang banyak terjadi kunstmatige inseminatie (insiminasi

buatan).Arti Insiminasi buatan adalah : pembuahan

tidak dengan persetubuhan. VI. Persoalan perkawinan adalah lebih

merupakan persoalan psikhis/kejiwaan. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam hal-hal

sebagai berikut :

Page 4: Hukum Perkawinan Adat

Di dalam BW diakui adanya perkawinan in extremis yang berarti perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah lanjut usianya ataupun dimana salah satu pihak sudah hampir meninggal dunia.

Dalam falsafah orang Jawa, dalam mengambil menantu, suami ataupun isteri diambil sebagai patokan ialah : bibit, bebet dan bobot.Bibit berarti : keturunan dari orang baik-baik ditinjau dari sudut kejiwaan.Bebet berarti : jika seorang wanita adalah wanita yang suci, dan jika seorang pria yang gagah perkasa berarti pria yang berani bertanggung jawab.Bobot berarti : diambil dari orang yang berbudi pekerti

Page 5: Hukum Perkawinan Adat

Menurut hukum adat perkawinan adalah urusan individu, urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat maupun urusan derajat satu sama lain dengan hubungannya yang sangat berbeda-beda.

Pengertian Perkawinan menurut hukum agama adalah perbuatan yang suci (sakramen) yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumahtangga serta berkerabat berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing.

Page 6: Hukum Perkawinan Adat

• Menurut Hukum Islam, Perkawinan adalah perikatan antara wali perempuan (calon isteri) dengan calon suami perempuan itu.

• Menurut Hukum Kristen Katolik, Perkawinan adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang total dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali.

• Menurut Hukum Hindu, Perkawinan (wiwaha) adalah ikatan antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri untuk mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan keturunan anak pria yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka Put, yang dilangsungkan dengan upacara ritual menurut agama Hindu.

Page 7: Hukum Perkawinan Adat

• Menurut Hukum Agama Budha yang merupakan Keputusan Sangha Agung tanggal 1 Januari 1977, Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria sebagai suami dan seorang wanita sebagai isteri yang berlandaskan cinta kasih (metha), kasih sayang (karunia), dan rasa sepenanggungan (mudita) dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga) bahagia yang diberkati oleh Sangyang Adi Budha/Tuhan Yang Maha Esa, para Budha dan para Bodhisatwa-Mahasatwa.

Page 8: Hukum Perkawinan Adat

Hukum Perkawinan Adat

• Perkawinan dlm Hukum Adat meliputi kepentingan dunia lahir dan dunia gaib.

• HAZAIRIN:Perkawinan merupakan rentetan perbuatan-perbuatan magis, yang bertujuan untuk perbuatan menjamin ketenangan, kebahagiaan, dan kesuburan.

Page 9: Hukum Perkawinan Adat

A. Van Gennep Perkawinan sebagai suatu rites de passage (upacara peralihan) peralihan status kedua mempelai. Peralihan ini terdiri 3 tahap:

- rites de separation- rites de merge- rites de aggregation

Page 10: Hukum Perkawinan Adat

Djojodigoeno: Perkawinan merupakan suatu paguyuban atau somah (Jawa: keluarga), dan bukan merupakan suatu hubungan perikatan atas dasar perjanjian. Hubungan suami-istri

sebegitu eratnya, sebagai suatu ketunggalanCth: Adanya harta gono-gini,

adanya istilah garwa (Jawa), adanya perubahan nama setelah kawin menjadi nama tua

Page 11: Hukum Perkawinan Adat

PERTUNANGAN Suatu fase sebelum

perkawinan, dimana pihak laki-laki telah mengadakan prosesi lamaran kepada pihak keluarga perempuan dan telah tercapai kesepakatan antara dua belah pihak untuk mengadakan perkawinan.

Pertunangan baru mengikat apabila pihak laki-laki telah memberikan kepada pihak perempuan tanda pengikat yang kelihatan (Jawa: peningset atau panjer).

Page 12: Hukum Perkawinan Adat

Beberapa alasan / motif pertunangan:

- Ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki dapat berlangsung dalam waktu dekat.

- Untuk membatasi pergaulan pihak yang telah diikat pertunangan

- Memberi kesempatan bagi kedua belah pihak untuk lebih saling mengenal

Page 13: Hukum Perkawinan Adat

Akibat pertunangan:Kedua belah pihak telah

terikat untuk melangsungkan perkawinan

Tetapi, walaupun sudah terikat dalam pertunangan bukan berarti kedua mempelai harus melaksanakan perkawinan. Tetap dimungkinkan terjadinya pembatalan pertunangan

Page 14: Hukum Perkawinan Adat

Kemungkinan pembatalan pertunangan:

1. Oleh kehendak kedua belah pihak

2. Oleh kehendak salah satu pihak- Jika dilakukan pihak yang

menerima tanda tunangan, mengembalikan tanda tunangan sejumlah atau berlipat dari yang diterima.

- Jika dilakukan pihak yang memberi tanda tunangan, tanda tunangan tidak dikembalikan.

Perkawinan tanpa pertunangan:- kawin lari- kawin rangkat

Page 15: Hukum Perkawinan Adat

PERKAWINAN dan Sifat Genealogis

Perkawinan dlm sistem PATRILINEAL Perkawinan dlm sistem MATRILINEL Perkawinan dlm sistem PARENTAL

Page 16: Hukum Perkawinan Adat

1. Perkawinan Patrilineal Perkawinan dengan

pembayaran “JUJUR” Jujur sebagai tanda

diputuskannya hubungan si isteri dengan persekutuannya

Setelah perkawinan, si isteri masuk sepenuhnya ke dalam keluarga / persekutuan si suami

Sistem pembayaran jujur:- Secara kontan- Dibayar dikemudian hari- Tidak dibayar

Page 17: Hukum Perkawinan Adat

Jika Jujur dibayar di kemudian hari:(Bali: “Nunggonin,” Batak: “Mandinding.”)

Hubungan antara menantu laki-laki dengan keluarga isteri seperti “buruh” dan “majikan”.

Si laki-laki harus memberikan jasanya pada keluarga mertuanya, tetapi ia tidak masuk ke keluarga isterinya (tetap sebagai anggota persekutuan asalnya)

Selama jujur belum dibayar, anak yang lahir akan masuk menjadi anggota persekutuan keluarga isteri.

Page 18: Hukum Perkawinan Adat

Jika jujur telah dibayar, anak-anak setelah pembayaran jujur tersebut masuk ke keluarga laki-laki

Jika jujur tidak dibayar: Dimaksudkan agar si laki-

laki masuk ke keluarga isteri

Sehingga anak yang dilahirkan nanti menjadi penerus keturunan /clan dari bapak mertua laki-laki tersebut.

Page 19: Hukum Perkawinan Adat

Dalam perkawinan sistem patrilineal dikenal kawin ganti suami (levirat)/ kawin ganti isteri (sororat)

Jika suami mati, maka si isteri yang menjada harus kawin lagi dengan saudara almarhum suaminya, atau jika si isteri mati maka si suami harus kawin dengan saudara almarhum isterinya

Page 20: Hukum Perkawinan Adat

Perbedaan Jujur dan mas kawin/maharJujur Mahar

•Konsep adat• Kewajiban kerabat pria yang dilakukan pada saat pelamaran kepada kerabat wanita untuk dibagikan kepada marga pihak perempuan•Dilakukan pada saat pelamaran•Tidak bisa dihutang

• Konsep Islam• Kewajiban

mempelai pria kepada mempelai wanita (individu)

• Dilakukan setelah akad nikah

• Bisa dihutang

Page 21: Hukum Perkawinan Adat

2. Perkawinan Matrilineal• Merupakan kebalikan

perkawinan jujur• Dilakukan dalam rangka

mempertahankan keturunan pihak isteri

• Pihak pria tidak membayar jujur kepada pihak perempuan, bahkan untuk daerah Minagkabau proses pelamaran dilakukan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki.

Page 22: Hukum Perkawinan Adat

• Suami turut berdiam di rumah isteri dan keluarga isteri.

• Tetapi suami tidak masuk ke dalam keluarga isterinya, melainkan tetap masuk keluarganya sendiri.

• Anak-anak keturunan dari perkawinan tersebut nantinya akan masuk ke dalam clan isterinya, dan si ayah tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya.

Page 23: Hukum Perkawinan Adat

3. Perkawinan Parental• Si suami masuk ke dalam

keluarga isterinya, dan sebaliknya.

• Sehingga akibat adanya perkawinan, baik suami maupun isteri menjadi mempunyai dua kekeluargaan.

• Dikenal pemberian hadiah perkawinan dr pihak laki-laki kepada pihak perempuan, tetapi bukan berfungsi sebagai jujur melainkan lebih kepada sumbangan biaya perkawinan dari pihak laki-laki.

Page 24: Hukum Perkawinan Adat

SISTEM PERKAWINAN Ada tiga macam:1. Sistem Endogami (Berlaku di

daerah toraja) 2. Sistem Eksogami (Gayo,

Alas, Tapanuli, Minagkabau, Sumatera

Selatan, Buru, dan Seram). 3. Sistem Eleutherogami

(Paling banyak diterapkan di daerah-

daerah di Indonesia

Page 25: Hukum Perkawinan Adat

UU No. 1 Th 1974• Perkawinan diatur secara

unifikasi • Hukum adat tentang

perkawinan dikesampingkan, karena yang digunakan adalah hukum agama (psl 2 ayat 1)

• Perkawinan dikonsepkan sebagai suatu perjanjian (psl 6 ayat 1)

Page 26: Hukum Perkawinan Adat

UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Pasal 1 menyebutkan :Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke Tuhanan Yang maha Esa.

Hal ini sesuai dengan apa yang diusulkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang mengusulkan agar di dalam perkawinan membentuk suatu brayat dan menimbulkan harta bersama.

.

Page 27: Hukum Perkawinan Adat

ALASAN BPHN

1. Ada perkawinan yang tidak membentuk brayat, yaitu :

– di Jawa Barat adanya perkawinan yang disebut :• nyalindung kagelung • manggih koyo

– di Jawa Tengah masih banyak juga adanya perkawinan yang disebut selir dan gundik.

– di dalam mastarakat patrilinial di Batak masih adanya perkawinan amani manu

– di masyarakat matrilinial masih adanya perkawinan bertandang

2. Timbulnya vergesellschaftung dari keluarga Akibat-akibat dari vergesellschaftung yang

tidak baik bagi individu maupun masyarakat adalah angka perceraian naik dan banyak anak-anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.

Page 28: Hukum Perkawinan Adat

Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, antara lain dinyatakan, bahwa: - usia minimal untuk melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. - Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. - Bahkan bagi mereka yang belum mencapai usia 21 tahun harus mendapatkan izin dari kedua orangtuanya. - Perkawinan harus dicatatkan, yang tujuannya adalah agar peristiwa perkawinan menjadi jelas baik bagi yang bersangkutan maupun bagi warga masyarakat pada umumnya.

Page 29: Hukum Perkawinan Adat

HARTA PERKAWINAN UU 1 / 74: Psl 35-37 Terdiri dari (psl 35):

1. Harta bersama2. Harta bawaan

Harta bersama Adalah hak bersama suami dan istri, digunakan atas perjanjian kedua belah pihak. (Psl 36 ayat 1)

Harta bawaan Hak sepenuhnya masing2 pihak (Psl 36 ayat 2)

Page 30: Hukum Perkawinan Adat

Menurut Konsep Hk Adat Harta Perkawinan:

1. Harta Bersama / Harta Pencarian(Jawa: harta gono-gini, Minangkabau: harta suarang, dll)Meliputi segala kekayaan yang diperoleh suami atau isteri atau kedua-duanya secara bersama-sama, selama berlangsungnya perkawinan.

2. Harta Bawaan / Harta Asal(Jawa: gawan, Lampung: sesan, dll)Meliputi: harta / barang yg diperoleh suami / istri sebelum mereka menikah, harta / barang yang diperoleh dari warisan atau hibah.

3. Harta Pusaka / Harta peninggalan (hny utk daerah tertentu, spt: Batak, Minangkabau) Penguasaan harta perkawinan bergantung sistem kekerabatannya.

Page 31: Hukum Perkawinan Adat

Masyarakat Patrilinieal: Istri kedudukannya tunduk pada

hukum kekerabatan suami Shg semua harta perkawinan

dikuasai oleh suami Tidak ada pemisahan harta yang

penguasaannya berbeda-beda Semua harta, meliputi harta

pencarian (bersama), harta bawaan (harta hasil warisan dan hadiah), hingga harta pusaka (harta peninggalan) penguasaannya (hak mengaturnya) dipegang oleh suami.

Page 32: Hukum Perkawinan Adat

Masyarakat Matrilineal: “Harta tepatan tinggal, harta

pembawaan kembali, harta suarang dibagi, harta sekutu dibelah.”

Terdapat pemisahan kekuasaan thd harta perkawinan.

Harta pusaka adalah harta milik bersama kerabat, penguasaannya dipegang oleh Mamak Kepala Waris.

Suami atau istri hanya mempunyai hak pakai saja (cth: hak utk mengusahakan dan menikmati hasil panen dari tanah pusaka, hak mendiami rumah gadang) dan bukan memilikinya

Harta bersama (harta suarang) dikuasai secara bersama oleh suami dan istri

Harta bawaan dikuasai oleh masing-masing.

Page 33: Hukum Perkawinan Adat

Masyarakat Parental: Kedudukan suami – istri

sejajar Hanya dibagi menjadi:

harta bersama dan harta bawaan.

Harta bersama dikuasai bersama untuk kepentingan bersama

Harta bawaan dikuasai oleh masing-masing

Page 34: Hukum Perkawinan Adat

lembaga keluarga : merupakan kesatuan sosial yang terkecil yang terdiri dari suami, isteri serta anak-anaknya yang belum kawin, dimana suami isteri tersebut dibenarkan atau disahkan untuk mengadakan hubungan kelamain oleh masyarakat.

Fungsi sosial keluarga yaitu untuk reproduksi (melanjutkan keturunan), kerjasama ekonomi rumah tangga, edukatip (pendidikan) dan hubungan emosional anggota keluarga.

Page 35: Hukum Perkawinan Adat

Bentuk-Bentuk Perkawinan

•Bentuk perkawinan jujur (bride gilt marriage)•Bentuk perkwainan semendo (suitor service marriage)•Bentuk perkawinan bebas (exchange marriage)

Bentuk-bentuk perkawinan yang sampai saat ini masih hidup

•Perkawinan Pinang.•Perkawinan levirat.•Perkawinan lari.

Page 36: Hukum Perkawinan Adat

Adat Menetap Sesudah Perkawinan

• Pola Ambilokal atau UtrolokalYang memberikan kebebasan untuk memilih tempat tinggal, setelah perkawinan kepada masing-masing pihak.

• Pola Patrilokal atau VirilokalYang menentukan keharusan pasangan suami isteri menetap di lingkungan kediaman keleuarga suami.

• Pola Matrilokal atau UxorilokalYang menentuikan keharusan pasangan suami isteri menetap di lingkungan kediaman keluarga isteri.

• Pola BilokalYang menentukan bahwa yang bersangkutan untuk waktu tertentu harus tinggal di lingkungan keluarga suami dan untuk masa-masa tertentu pula harus tinggal di lingkungan keluarga isteri.

Page 37: Hukum Perkawinan Adat

• Pola NeolokalYang mengharuskan kepada pasangan suami isteri untuk mencari tempat tinggal baru yang berada di luar lingkungan keluarga pihak suami maupun pihak isteri.

• Pola AvunkulokalYang menetapkan bahwa pasangan suami isteri harus bertempat tinggal di kediaman saudara laki-laki dari ibu suami.

• Pola NatolokalYang menentukan bahwa pasangan suami isteri harus tinggal terpisah, yaitu suami di tempat kerabat suami dan isteri di kerabat isteri.

Page 38: Hukum Perkawinan Adat

Larangan Perkawinan (Pasal 8 UU No. 1/1974 tentang

Perkawinan) • Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke

bawah ataupun ke atas.• Berhubungan darah dalam garis keturunan

menyamping yaitu antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya.

• Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau bapak tiri.

• Berhubungan susuan, yaitu antara yang bersangkutan dengan orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi paman susuan.

• Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang .

• mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

Page 39: Hukum Perkawinan Adat

LARANGAN TERTENTU DI DAERAH JAWA

• Pria dengan saudara sepupu ayahnya.

• Pria dengan saudara perempuan ayah atau ibunya.

• Pria dengan seorang wanita yang adalah kakak dari isteri kakak kandungnya (yang lebih tua). Inilah yang lazimnya disebut sebagai “dadung kepuntir”. Pada dasarnya larangan-larangan dalam melakukan perkawinan bertujuan utama untuk mencegah terjadinya incest.

Page 40: Hukum Perkawinan Adat

Yang dapat mencegah perkawinan adalah :

• para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah.

• saudara.• wali nikah.• Wali.• pengampu dari salah seorang calon

mempelai.• pihak-pihak yang berkepentingan• pejabat yang ditunjuk.

Page 41: Hukum Perkawinan Adat

Yang dapat mengajukannya pembatalan :

• para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suamiatau isteri

• suami atau isteri.• pejabat yang berwenang hanya

selama perkawinan belum diputuskan.• pejabat yang ditunjuk.• Setiap orang yang mempunyai

kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi setelah perkawinan itu putus

Page 42: Hukum Perkawinan Adat

Perkawinan Yang Dilarang

1. Nikah Mut’ahNikah yang tujuannya tidak untuk selamanya.

2. Nikah MuhallilPernikahan antara laki-laki dengan seorang wanita yang telah ditalak tiga

3. Nikah TafwidhNikah yang tidak dinyatakan kesediaan membayar mahar (mas kawin)

4. Nikah SyigharNikah tukar menukar calon suami istri yang berrada di bawah perwaliannya.

Page 43: Hukum Perkawinan Adat

Keturunanadalah ketunggalan leluhur, artinya ada perhubungan darah antara orang yang

seorang dan orang yang lain Keturunan dapat bersifat :• Lurus, apabila orang yang satu itu merupakan

langsung keturunan yang lain, misalnya antara bapak dan anak, antara kakak, bapak dan anak. Disebut lurus ke bawah kalau rangkaiannya dilihat dari kakek, bapak ke anak, sedangkan disebut lurus ke atas kalau rangkaiannya dilihat dari anak, bapak ke kakek.

• Menyimpang atau bercabang, apabila antara ke dua orang tua atau lebih itu terdapat adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak ibunya sama (saudara sekandung), atau sekakek-nenek dan lain sebagainya.

Page 44: Hukum Perkawinan Adat

Derajat Kekerabatan Masyarakat Jawa

• saudara kandung (keturunan derajat pertama)

• saudara misan (satu kakek dan nenek)• saudara mindo (kakek dan nenek ke dua)

• cucu (keturunan derajat ke dua)• buyut (keturunan derajat ketiga)

• canggah (keturunan derajat ke empat)• wareng (keturunan derajat ke lima)

• udeg-udeg gantung siwur (keturunan derajat ke enam)

• petarangan bubrah (keturunan derajat ketujuh)

Page 45: Hukum Perkawinan Adat

Untuk kepentingan keturunan, dibuatlah “silsilah” yaitu suatu bagan dimana digambarkan dengan jelas garis-garis keturunan dari seseorang atau suami/isteri, baik yang lurus ke atas, lurus ke

bawah maupun yang menyimpang.

Hubungan kekeluargaan merupakan faktor yang sangat penting dalam :

•Masalah perkawinan, yaitu untuk meyakinkan apakah ada hubungan kekeluargaan yang

merupakan larangan untuk menjadi suami-isteri (misalnya : terlalu dekat, adik kakak sekandung

dan lain sebagainya);• Masalah waris, hubungan kekeluargaan

merupakan dasar pembagian harta peninggalan.

Page 46: Hukum Perkawinan Adat

ANAK KANDUNG DAN ANAK SAH

• Anak kandung berorientasi pada konsep biologis, yang artinya adalah anak yang beribu wanita yang melahirkannya dan berayah laki-laki suami ibunya dan yang penyebab kelahiran dia.

• Anak Sah berorientasi pada konsep yuridis, artinya adalah anak yang lahir selama dan sebagai akibat perkawinan yang sah.

Page 47: Hukum Perkawinan Adat

Pengertian Anak Luar Kawin Atau Anak Tidak Sah (anak kampang, anak haram

jadah, anak kowar),• Anak dari kandungan ibu sebelum terjadi

pernikahan;• Anak dari kandungan ibu setelah

bercerai lama dari suaminya;• Anak dari kandungan ibu tanpa

melakukan perkawinan sah;• Anak dari kandungan ibu karena

dberbuat zina dengan orang lain;• Anak dari kandungan ibu yang tidak

diketahui siapa ayahnya.

Page 48: Hukum Perkawinan Adat

Akibat-akibat Hukum Dari Hubungan Antara Orang Tua

Dengan Anak • larangan perkawinan antara

anak dengan orang tuanya (antara anak laki-laki dengan ibunya, antara anak perempuan dengan ayahnya).

• kewajiban orang tua untuk mengurus anak-anaknya.

• pada perkawinan anak perempuan, ayah menjadi wali.

Page 49: Hukum Perkawinan Adat

1. Pengangkatan Anak :Seorang anak yang bukan anak kandung dari suami isteri, tetapi lahir batin dianggap sebagai anak kandung sendiri.

2. Anak Peliharaan :Seorang anak yang dipelihara oleh suatu keluarga, hanya dengan dasar kasihan.

3. Quasi Adopsi :Seorang anak yang lahirnya sama dengan hari dan wetonnya dengan salah satu orang tuanya, maka dalam suatu upacara adat anak tersebut diberikan kepada salah seorang keluarga, namun setelah upacara anak tersebut dikembalikan kepada orang tua asli.

Page 50: Hukum Perkawinan Adat

Motivasi Pengangkatan Anak• Untuk meneruskan silsilah, • Tidak mempunyai keturunan, • Untuk memancing lahirnya anak, • Karena kasih sayang dan ingin

menolong (rasa kekeluargaan dan perikemanusiaan),

Page 51: Hukum Perkawinan Adat

Proses Pengangkatan Anak

• Pengangkatan anak secara diam-diam

• Pengangkatan anak secara terang - Non Yudiciil - Yudiciil - Pengesahan anak angkat - Pengangkatan anak

Page 52: Hukum Perkawinan Adat

Akibat Hukum Pengangkatan Anak

• Pada masyarakat patrilinial :hubungan antara anak angkat dengan orang tua kandungnya secara kelembagaan menjadi putus. Si anak angkat menjadi masuk ke dalam marga orang tua angkatnya, sehingga anak angkat tidak mewaris dari harta peninggalan orang tua kandungnya.

• Pada masyarakat parental :Secara kelembagaan masih ada hubungan anak angkat dengan orang tua kandungnya (masih memiliki dua orang tua), oleh karena itu si anak angkat mengambil air dari dua sumber yaitu dari orang tua angkatnya dan orang tua kandungnya.

Page 53: Hukum Perkawinan Adat

Kedudukan Hak Mewaris Anak Angkat

• Anak angkat memiliki kedudukan yang sama dengan anak kandung.

• Anak angkat menjadi ahli waris bersama dengan anak kandung terhadap harta bersama orang tua angkatnya

• Anak angkat berhak mewaris terbatas pada harta gono-gini (harta bersama).

• Anak angkat tidak berhak mewaris terhadap harta pusaka (asli).

• Anak angkat bisa menutup hak mewaris ahli waris asal

Page 54: Hukum Perkawinan Adat

Kep. Menteri Sosial R.I. No. 41/HUK/KEP/VII/1984

• Pengangkatan anak antar warga negara Indonesia1. Calon Orang tua angkat :

a. berstatus kawin dan berumur minimal 25 tahun atau maksimal 45 tahun; b. selisih umur antara calon orang tua angkat dengan calon anak angkat minimal 20 tahun c. pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak sekurang-kurangnya sudah kawin 5 tahun dengan mengutamakan yang keadaannya sebagai berikut : - tidak mungkin mempunyai anak (dengan surat

keterangan dokter kebidanan/dokter ahli), atau - belum mempunyai anak atau - mempunyai anak angkat seorang dan mempunyai anak kandung

Page 55: Hukum Perkawinan Adat

d. dalam keadaan mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan

dari pejabat yang berwenang, serendah rendahnya lurah/kepala desa setempat. e. berkelakuan baik berdasarkan surat keterangan dari

KepolisianR.I. f. dalam keadaan sehat jasmani dan rokhani berdasarkan surat keterangan dokter Pemerintah. g. mengajukan pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak semata-mata untuk kepentingan kesejahteraan anak.

• Calon Anak Angkat :a. berumur kurang dari 5 (lima) tahun.

b. persetujuan tertulis dari Pemerintah negara asal calon anak angkat. c. berada dalam asuhan organisasi sosial.

Page 56: Hukum Perkawinan Adat

PERCERAIAN Dalam pandangan adat adalah

suatu hal yang semaksimal mungkin harus dihindari.

Masyarakat patrilineal cenderung tdk mengenal (mengharamkan sama sekali) perceraian

Sebab-sebab dimungkinkannya perceraian:1. Istri berzinah 2.Ketidakmampuan istri/suami

untuk menghasilkan keturunan3.Suami meninggalkan isteri

dalam waktu yang sangat lama /isteri berkelakuan tidak sopan

4.Adanya kesepakatan bersama untuk bercerai

Page 57: Hukum Perkawinan Adat

PERCERAIANPutusnya perkawinan pada umumnya disebabkan karena dua sebab, yaitu cerai mati dan cerai hidup. Cerai hidup mungkin disebabkan karena beberapa hal :

isteri berzinah. tidak ada keturunan karena permufakatan karena isteri meninggalkan suaminya

untuk kemudian tinggal di tempat kediaman keluarganya.

Page 58: Hukum Perkawinan Adat

ALASAN PERCERAIANa. Salah satu pihak (suami atau isttri) berbuat zina,

pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya, perbuatan yang buruk yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ada ijin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah, atau karena hal lain diluar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama (lima) 5 tahun atau hukuman yang lebih berat.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacad badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

f. Antara suami istri, terus menerus terjadi perselisihan dan tidak ada harapan akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga.

g. Suami melanggar taklik-talak yang dia ucapkan saat ijab-kabul;

h.Suami beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidaakharmonisan dalam keluarga.

Page 59: Hukum Perkawinan Adat

TATA CARA PERCERAIAN

1. Talak Talak ialah pembubaran ikatan perkahwinan dengan lafaz talaq. Penceraian boleh dilakukan dengan lafaz soreh (jelas) dan lafaz Kinayah (sindiran).

2. Ta’lik TalakTa'liq artinya perjanjian yang dibuat oleh suami selepas akad nikah . Cerai ta'liq boleh dilakukan apabila berlaku pelanggaran atas ta'liq dan setelah gugatan dibuat serta disahkan oleh Pengadilan.

3. KhulukPerceraian tebus talaq ialah satu perceraian yang diminta oleh isteri kepada suaminya dengan memberi uang atau harta benda sebagaimana yang dipersetujui melalui ijab dan qabul. Cerai Khulu' adalah merupakan cerai bain sughra dan tidak boleh dirujuk melainkan dengan akad dan mas kahwin yang baru.

Page 60: Hukum Perkawinan Adat

4. FasahFasakh ialah pembubaran perkahwinan

disebabkan oleh sesuatu perkara yang diharuskan oleh Hukum Syara'. Di antara perkara-perkara yang mengharuskan Fasakh ialah apabila suami atau isteri:

- Tidak diketahui di mana mereka berada selama waktu lebih daripada satu tahun.

- Tidak mengadakan peruntukan nafkah isteri selama waktu 3 bulan.

- Telah dihukum penjaran selama waktu tiga tahun atau lebih.

- Tidak menunaikan tanpa sebab nafkah batin selama setahun.

5. Anggapan Mati Anggapan mati ialah apabila suami telah mati atau dipercayai telah mati atau telah tidak didapati apa-apa kabar mengenai diri suami selama wktu 4 tahun atau lebih. Apabila keadaan itu berkelanjutan dan isteri itu hendak kawin lagi hendaklah mendapatkan

pengesahan anggapan mati dari Pengadilan.

Page 61: Hukum Perkawinan Adat

Akibat Perceraian terhadap Harta Perkawinan

Harta Bersama• Harta bersama diatur menurut hukum

masing-masing (hk Islam, Adat, atau B.W) (Pasal 37)

• Dlm masyarakat patrilineal tdk mengenal perceraian, shg jk tjd mrp pelanggaran adat, shg istri tdk berhak menuntut bagian harta bersama (maupun jg thd harta bawaannya)

• Pada masyarakat parental, dan pada umumnya, harta bersama dibagi antara kedua belah pihak, masing-masing separuh.

• Jika salah satu pihak meninggal berada di bawah kekuasaan pihak yg masih hidup, utk kemudian diwariskan kpd anak-anaknya. Jk tdk ada anak, dibagikan kpd kerabat pihak yg meninggal.

Page 62: Hukum Perkawinan Adat

Aspek Perkawinan

1. Aspek HukumPerkawinan diwujudkan dalam bentuk akad yang merupakan perjanjian yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak.

2. Apek SosialSudah menjadi kodrat alam bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berbeda mempunyai rasa tertarik untuk mengenalnya, mencintai bahkan untuk hidup bersama. Dengan perkawinan berakibat penting dalam masyarakat yaitu dengan keturunan yang pada akhirnya membentuk keluarga yang merupakan bagian masyarakat.

3. Aspek KeagamaanAntara individu dengan individu yang lainnya atau antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lainnya tidak ada yang lebih atau kurang derajat kemanusiaannya. Yang menjadi ukuran, manusia mana yang lebih tinggi disisi Allah hanyalah ketaqwaannya atau kepatuhannya dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama Allah

Page 63: Hukum Perkawinan Adat

Fakta hukum yang membuktikan telah terjadinya suatu perkawinan adalah suatu kejadian atau peristiwa hukum tertentu yang umumnya berupa perbuatan manusia yang dapat dijadikan patokan atau pegangan yang menguatkan bahwa suatu perkawinan antara dua orang tertentu memang telah terjadi sehingga secara yuridis telah mempunyai nilai keabsahan yaitu telah dicatat di Catatan Sipil bagi yang non muslim, ijab kabul bagi yang muslim dan rangkaian peristiwa dalam acara/upacara-upacara perkawinan dalam adat.

Page 64: Hukum Perkawinan Adat

lembaga keluarga : merupakan kesatuan sosial yang terkecil yang terdiri dari suami, isteri serta anak-anaknya yang belum kawin, dimana suami isteri tersebut dibenarkan atau disahkan untuk mengadakan hubungan kelamain oleh masyarakat.

Fungsi sosial keluarga yaitu untuk reproduksi (melanjutkan keturunan), kerjasama ekonomi rumah tangga, edukatip (pendidikan) dan hubungan emosional anggota keluarga.

Page 65: Hukum Perkawinan Adat

Hakekat Perkawinan

• Mengatur dan mengesahkan hubungan sex,• Memberi ketentuan hak dan kewajiban serta

perlindungan kepada hasil hubungannya yaitu anak,

• Memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup,

• Memenuhi kebutuhan akan harta,• Memenuhi kebutuhan akan gengsi dan naik klas

dalam masyarakat,• Pemeliharaan hubungan baik antara kelompok

kerabat• Memenuhi kebutuhan sex.