hukum perdata

121
1 BAB I EIGENRICHTING (TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI) Hukum materiil (sebagaimana terjelma dalam undang-undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat dalam masyarakat (Sudikno Mertokusumo, 1985: 1). Ini berarti hukum itu bukan sekadar sebagai pedoman, yang hanya untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja. Melainkan hukum itu untuk dijalankan, dilaksanakan. Kemudian timbul suatu pertanyaan, siapakah yang melaksanakan hukum? Jawabannya adalah setiap orang yang melaksanakan hukum. Adalah salah besar kalau ada anggapan bahwa yang melaksanakan hukum itu hanya orang-orang tertentu saja seperti sarjana hukum, pejabat ataupun para penegak hukum serta masyarakat hukum sendiri. Apakah benar masyarakat awam pun melaksanakan hukum ? Benar! Bahkan tanpa sesadarnya mereka itu telah melaksanakan hukum, contohnya: Seorang pemuda akan apel ke rumah pacarnya, si pemuda berkata, “Nanti aku datang ke rumah jam 19.00, kamu sudap siap ya,” dan sang pacar menjawab, "Ya, aku nanti sudah siap." Dengan contoh ini saja, mereka tanpa sadar telah melakukan hukum perjanjian. Dari contoh tersebut, bagaimana kalau salah satu dari mereka itu ingkar janji? Hukum materiil tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk itu diperlukan hukum formal, atau yang sering disebut Hukum Acara Perdata. Di sinilah peran hukum acara perdata, kalau salah satu mereka itu wanprestasi, maka hukum acara perdata dapat diberlakukan. Atau dengan kata lain, Hukum Acara Perdata ini dapat digunakan untuk menjamin ditaatinya hukum materiil perdata. Hukum Acara Perdata memang diadakan untuk mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim. Kata ‘hakim’ di sini perlu digarisbawahi. Hakim di sini berarti pengadilan yang berwenang. Bukan nama seseorang seperti misalnya ‘Christine Hakim’ ataupun bukan pula seorang yang berprofesi sebagai hakim, akan tetapi di luar pengadilan. Juga pengadilan yang tidak berwenang-memeriksa.

Upload: aul-rahman-firdaus

Post on 08-Nov-2015

143 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

hukum perdata yang berisi tentang keperdataan

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    EIGENRICHTING

    (TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI)

    Hukum materiil (sebagaimana terjelma dalam undang-undang atau yang

    bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi warga masyarakat tentang

    bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat dalam masyarakat

    (Sudikno Mertokusumo, 1985: 1). Ini berarti hukum itu bukan sekadar sebagai

    pedoman, yang hanya untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja. Melainkan hukum

    itu untuk dijalankan, dilaksanakan. Kemudian timbul suatu pertanyaan, siapakah

    yang melaksanakan hukum? Jawabannya adalah setiap orang yang melaksanakan

    hukum. Adalah salah besar kalau ada anggapan bahwa yang melaksanakan hukum

    itu hanya orang-orang tertentu saja seperti sarjana hukum, pejabat ataupun

    para penegak hukum serta masyarakat hukum sendiri.

    Apakah benar masyarakat awam pun melaksanakan hukum ? Benar!

    Bahkan tanpa sesadarnya mereka itu telah melaksanakan hukum, contohnya:

    Seorang pemuda akan apel ke rumah pacarnya, si pemuda berkata, Nanti aku datang

    ke rumah jam 19.00, kamu sudap siap ya, dan sang pacar menjawab, "Ya, aku nanti

    sudah siap." Dengan contoh ini saja, mereka tanpa sadar telah melakukan hukum

    perjanjian.

    Dari contoh tersebut, bagaimana kalau salah satu dari mereka itu ingkar janji?

    Hukum materiil tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk itu diperlukan hukum formal, atau

    yang sering disebut Hukum Acara Perdata. Di sinilah peran hukum acara perdata,

    kalau salah satu mereka itu wanprestasi, maka hukum acara perdata dapat

    diberlakukan.

    Atau dengan kata lain, Hukum Acara Perdata ini dapat digunakan untuk

    menjamin ditaatinya hukum materiil perdata. Hukum Acara Perdata memang diadakan

    untuk mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil

    dengan perantara hakim.

    Kata hakim di sini perlu digarisbawahi. Hakim di sini berarti pengadilan yang

    berwenang. Bukan nama seseorang seperti misalnya Christine Hakim ataupun bukan

    pula seorang yang berprofesi sebagai hakim, akan tetapi di luar pengadilan. Juga

    pengadilan yang tidak berwenang-memeriksa.

  • 2

    Jadi lebih jelasnya, tuntutan hak itu tidak dapat diajukan di rumah seorang

    hakim yang kebetulan menjadi tetangga, ataupun diajukan ke pengadilan yang tidak

    berwenang. Sebab tidak semua pengadilan berwenang untuk memeriksa perkara yang

    diajukan, Contohnya: Gugatan utang piutang diajukan ke Pengadilan Agama. Ataupun

    gugatan utang piutang yang ke semua para pihaknya berdomisili di Yogyakarta, akan

    tetapi gugatannya diajukan ke Pengadilan Negeri Bantul.

    Hukum Acara Perdata ini diadakan dengan tujuan untuk memperoleh

    perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah eigenrichting

    atau tindakan menghakimi sendiri, karena eigenrichting itu merupakan tindakan untuk

    melaksanakan hak menurut kemauannya sendiri yang bersifat sewenang-wenang,

    tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan, hingga akan menimbulkan

    kerugian. Maka tindakan menghakimi sendiri itu tidaklah dibenarkan.

    Contoh eigenrichting yang merugikan; A utang kepada setelah jatuh tempo A

    belum dapat membayar, B lalu menyuruh C seorang debt collector untuk menyita

    barang-barang milik A. Atau bahkan mungkin B menyuruh C untuk menculik dan

    memukuli A.

    Membicarakan eigenrichting, ada tiga pendapat dari para pakar, yaitu:

    1. Van Boneval Faure mengatakan:

    Tindakan menghakimi sendiri itu sama sekali tidak dibenarkan. Alasannya,

    karena hukum acara telah menyediakan upaya-upaya untuk memperoleh

    perlindungan hukum bagi para pihak melalui pengadilan, maka tindakan-

    tindakan menghakimi sendiri di luar pengadilan yang bisa merugikan pihak lain

    itu dilarang.

    2. Clavoringa berpendapat:

    Tindakan menghakimi sendiri pada asasnya diperbolehkan atau dibenarkan.

    Namun pengertiannya, bahwa yang melakukannya dianggap melakukan

    perbuatan melawan hukum.

    Catatan: dari kedua pendapat itu, pada hakikatnya baik Van Bonevall Faure

    maupun Cteveringa, adalah sama. Main hakim sendiri tidak dibenarkan,

    karena perbuatan itu mempunyai konsekuensi hukum tersendiri.

    3. Rutten mengungkapkan sebagai berikut:

  • 3

    Tindakan menghakimi sendiri pada asasnya tidak dibenarkan, akan tetapi apabila

    peraturan yang ada tidak cukup memberikan perlindungan, maka tindakan

    menghakimi sendiri itu secara tidak tertulis dibenarkan.

    Akan tetapi, kalau dilihat dari hukum acara perdata, tidak ada aturan yang secara tegas

    melarang tindakan eigenrichting itu merupakan perbuatan melawan hukum, juga dapat di

    hukum (lihat a.l. pasal 167 dan 406 KBHP).

    Tuntutan hak yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh

    pengadilan untuk mencegah eigenrichting, ada dua macam:

    1. Tuntutan hak mengandung sengketa, tuntutan ini biasa disebut gugatan. Adapun para

    pihaknya sekurang-kurangnya ada dua. Pihak yang merasa dirugikan dan menggugat

    disebut PENGGUGAT. Sedangkan pihak yang digugat disebut TERGUGAT.

    2. Tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa, pihaknya hanya ada satu. Pihak

    tersebut biasa disebut PEMOHON dan tuntutannya biasa disebut PERMOHONAN.

    Kemudian kalau kita membicarakan tentang peradilan, lazimnya peradilan itu dibagi menjadi

    dua, yaitu:

    1. Peradilan volunter (voluntaire jurisdictie) yang juga sering disebut dengan kata

    peradilan sukarela atau peradilan yang tidak sesungguhnya. Peradilan ini memeriksa

    perkara Permohonan, perkara yang tidak mengandung sengketa.

    2. Peradilan contentieus, yaitu peradilan sesungguhnya. Peradilan yang memeriksa

    perkara yang mengandung sengketa.

    Namun demikian sebenarnya tidak mudah kita membedakan antara peradilan volunter

    dan peradilan contentious. Bandingkan pada putusan akhir dari kedua pengadilan tersebut.

    Volunter menghasilkan penetapan dan contentieus menghasilkan putusan.

    Perikatan 1233 BW bersumber dari

    Perjanjian Undang-undang 1313 BW 1352 BW

    Undang-Undang saja Undang-Undang Karena Perbuatan Manusia 1353 BW Perbuatan yang sesuai dengan hukum (rechtmatige) Perbuatan yang melawan hukum 1354 & 1359 (onrechtmatige) 1365 s/d 1380

    Gambar 1. Skema Sumber Perikatan dan Pembedaannya

  • 4

    BAB II

    PENGERTIAN DAN SIFAT HUKUM ACARA PERDATA

    1. PENGERTIAN HUKUM ACARA PERDATA

    Hukum materiil di negara kita, baik yang termuat dalam suatu Perundang-undangan

    maupun yang tidak tertulis, merupakan pedoman atau pegangan ataupun penuntun bagi

    seluruh warga masyarakat dalam segala tingkah lakunya di dalam pergaulan hidup, baik itu

    perseorangan, masyarakat maupun dalam bernegara, apakah yang dapat dilakukan dan apa

    yang tidak boleh dilakukan. Ketentuan-ketentuan tersebut misalnya antara lain, "tidak boleh

    mencuri barang orang lain, tidak boleh mengganggu hak orang lain, ataupun tidak oleh kita

    berbuat dalam melaksanakan hak kita secara sewenang-wenang tanpa memperhatikan hak

    orang lain, dan sebagainya."

    Semua ketentuan-ketentuan tersebut tidaklah cukup hanya untuk dibaca, dilihat atau

    diketahui saja, melainkan untuk ditaati dan tapi di sini siapakah yang harus melaksanakan

    atau menerapkan kaidah-kaidah tersebut bila ada hukum materiil yang dilanggar. Apakah kita

    berhak secara sendiri-sendiri saja yang akan melaksanakan aturan tersebut ataukah harus oleh

    suatu badan tertentu yang telah ditunjuk secara resmi.

    Jika kita melaksanakan hukum materiil itu sendiri menurut kehendak pihak yang

    bersangkutan, maka dalam hal ini akan timbullah apa yang dikenal dengan istilah "Main

    Hakim Sendiri". Inilah yang justru sangat dikhawatirkan oleh kita semua, sebab dengan

    keadaan demikian itu tentu saja ketertiban dalam masyarakat tidak akan terjamin lagi,

    sedangkan ketertiban ini merupakan salah satu tujuan daripada hukum. Jika ada suatu badan

    atau lembaga, maka badan atau lembaga apakah atau yang manakah yang berwenang untuk

    melaksanakan hukum materiil ini.

    Oleh karena itulah maka dalam hal ini diperlukan sekali suatu bentuk perundang-

    undangan yang akan mengatur dan menetapkan tentang cara bagaimanakah melaksanakan

    hukum materiil ini. Sebab tanpa adanya aturan tersebut, maka hukum materiil ini hanya

    merupakan rangkaian kata-kata yang indah dan enak dibaca saja, tapi tidak dapat dinikmati

    oleh warga masyarakat.

  • 5

    Hukum yang mengatur tentang cara mempertahankan dan menerapkan hukum

    materiil ini, dalam istilah hukum sehari-hari dikenal dengan sebutan Hukum Formil atau

    Hukum Acara.

    Hukum acara perdata bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materiil.

    Dengan demikian hukum acara perdata pada umumnya tidaklah membebani hak dan

    kewajiban seperti yang termuat dalam hukum perdata materiil, tapi memuat aturan tentang

    cara melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidah-kaidah yang termuat

    dalam hukum perdata materiil, atau dengan perkataan lain untuk melindungi hak

    perseorangan.

    Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., hukum acara perdata adalah

    peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata

    materiil dengan perantaraan hakim.1

    Dengan demikian dapatlah disimpulkan di sini, bahwa hukum acara perdata adalah

    rangkaian peraturan-peraturan yang membuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap

    dan di muka Pengadil an dan cara bagaimana Pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain

    untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. 2

    Dengan melihat pengertian di atas maka jelaslah bahwa hukum perdata tersebut dapat

    pula diartikan sebagai rangkaian aturan-peraturan hukum tentang cara-cara memelihara dan

    mempertahankan hukum perdata materiil. Perkataan hukum perdata ini haruslah diberi

    pengertian yang luas, artinya di sini meliputi pula hukum dagang. Penulis memberikan

    pengertian hukum perdata dalam arti luas ini, dengan maksud untuk mempermudah dalam

    pembahasan selanjutnya, sehingga tidak perlu lagi menyebutkan hukum dagang secara

    khusus di samping hukum perdata.

    Jadi tampaklah di sini, bahwa terdapat hubungan yang erat hukum perdata (hukum

    formil) dengan hukum acara perdata (hukum materiil), di mana secara garis besarnya

    dapatlah dikemukakan di sini bahwa hukum acara perdata berfungsi untuk mempertahankan

    atau menegakkan hukum perdata, sehingga dengan adanya hukum acara perdata ini, maka

    hukum perdata benar-benar akan dian manfaatnya oleh semua orang.

    Dengan adanya hukum acara perdata ini, maka diharapkan tindakan menghakimi

    sendiri (eigenrichting) akan dapat dicegah, setidak-tidaknya bisa dikurangi. Oleh karena bila

    1 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1985), hlm.

    2. 2 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur Bandung,

    1984), hal. 13.

  • 6

    kita perhatikan kenyataan dalam kehidupan masyarakat kita masih banyak orang

    menyelesaikan suatu perkara dengan caranya sendiri (misalnya dengan jalan kekerasan atau

    ancaman). Negara kita yang dikenal sebagai negara hukum, tentu tidak akan membenarkan

    tindakan menghakimi sendiri ini, karena ini jelas akan menimbulkan keresahan dalam

    masyarakat.

    Memang dalam hukum acara perdata itu sendiri tidak ada kita jumpai ketentuan yang

    dengan tegas melarang tindakan menghakimi sendiri. Tapi hukum acara perdata ini

    memberikan jalan atau petunjuk pada orang-orang (pihak) bagaimana cara menyelesaikan

    suatu perkara yang sedang ia hadapi dengan melalui jalur hukum. Sehingga dengan

    pengetahuan tentang acara ini, maka diharapkan para pihak akan menyelesaikan perkaranya

    dengan melalui jalur hukum sesuai dengan cara yang telah ditentukan dalam hukum acara

    yang bersangkutan.

    Dengan demikian dapat dikatakan di sini, bahwa hukum acara perdata ini

    menunjukkan jalan yang harus dilakukan oleh orang (pihak) agar soal yang sedang dihadapi

    dapat diperiksa dan diselesaikan oleh Pengadilan.

    Akhirnya dapatlah disimpulkan di. sini, bahwa objek daripada ilmu pengetahuan

    hukum acara perdata ialah keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan

    mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil dengan perantaraan kekuasaan

    negara.3 Perantaraan kekuasaan negara di sini maksudnya dengan melalui badan atau

    lembaga peradilan, yaitu suatu badan yang berdiri sendiri diadakan oleh negara yang bebas

    dari pengaruh siapa pun atau lembaga apa pun juga, yang memberikan putusan yang

    mengikat bagi semua pihak yang bertujuan mencegah eigenrichting.

    Lembaga peradilan ini berdiri sendiri dan tidak bisa dipengaruhi oleh lembaga lain,

    sehingga nantinya benar-benar diharapkan memberikan keputusan yang seadil-adilnya, sesuai

    dengan salah satu tujuan dari hukum itu sendiri.

    3 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur Bandung,

    1984), hal. 13.

  • 7

    BAB III

    SUMBER HUKUM DAN SEJARAH HUKUM ACARA

    PERDATA

    Hukum Acara Perdata bisa juga disebut dengan Hukum Perdata Formil, namun

    sebutan Hukum Acara Perdata. lebih fazim dipakai daripada Hukum Perdata Formil. Hukum

    Acara Perdata atau Hukum Perdata Formil sebetulnya merupakan bagian daripada Hukum

    Perdata. Sebab, di samping Hukum Perdata Formil, juga ada Hukum Perdata Materiil.

    Hukum Perdata Materiil ini Iazimnya hanya disebut Hukum Perdata saja.

    Apa yang dimaksud dengan Hukum Acara Perdata? 4

    Kalau kita membaca literatur-literatur Hukum Acara Perdata, maka kita akan

    menemui berbagai macam definisi Hukum Acara Perdata ini dari para ahli (sarjana), yang

    satu sama lain merumuskan berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengandung tujuan yang

    sama.

    Prof. Dr. R: Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum

    Acara Perdata di Indonesia menyatakan:

    "Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan Hukum Perdata.5

    Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., dalam karyanya yang berjudul Hukum Acara Perdata

    Indonesia menyatakan, bahwa:

    Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya Hukum Perdata Materiil dengan perantaraan hakim.6

    Prof. Dr. R. Supomo,-S.H., dalam bukunya Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri,

    meskipun tidak memberikan batasan, tetapi dengan menghubungkan tugas hakim,

    menjelaskan:

    4 Harus disadari bahwa Hukum Acara Perdata dapat dibedakan atas 2 (dua), macam, yaitu Hukum

    Acara Perdata di pengadilan dalam Iingkungan Peradilan Umum dan Hukum Acara Perdata dalam Iingkungan Peradilan Agama. Yang diuraikan dalam buku ini adalah Hukum Acara Perdata di lingkungan peradilan umum, yang juga berlaku pada pengadilan dalam Iingkungan Peradilan Agama, sepanjang tidak diatur secara khusus (Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama).

    5 Z Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, cet. VI, 1975, hal. 13.

    6 Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, cet. II, 1979, hal. 2.

  • 8

    Dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata (burgerlijke rechts orde), menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara. 7

    Inti dari berbagai macam definisi (rumusan) Hukum Acara Perdata di atas agaknya

    tidak berbeda dengan apa' yang telah dirumuskan dalam Laporan Hasil Simposium

    Pernbaharuan Hukum Perdata Nasional yang diselenggarakan oleh BPHN Departemen

    Kehakiman tanggal 21 -23 di Yogyakarta, bahwa Hukum Acara Perdata adalah hukum yang

    mengatur bagaimna caranya menjamin ditegakkannya atau dipertahankannya Hukum Perdata

    Materiil.

    Hukum Perdata (Materiil) yang ingin ditegakkan atau dipertahankan dengan Hukum

    Acara Perdata tersebut meliputi peraturan hukum yang tertulis dalam bentuk peraturan

    perundang-undangan (seperti BW, WVK, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), Undang-

    Undang Perkawinan, dan sebagainya) dan hukum yang tidak tertulis berupa Hukum Adat

    yang hidup dalam masyarakat. Hukum Perdata ini harus ditaati oleh setiap orang agar tercipta

    ketertiban dan ketenteraman dalam masyarakat.

    Beracara Perdata Dikenakan Biaya

    Untuk beracara perdata pada asasnya dikenakan biaya (Pasal 121 ayat (4), Pasal 182,

    Pasal 183 HIR/Pasal 145 ayat (4), Pasal 192, dan Pasal 194 RBg). Biaya perkara ini meliputi

    biaya kepaniteraan, pemanggilan-pemanggilan, dan pemberitahuan-pemberitahuan, serta bea

    meterai. Namun, semua biaya ini harus ditetapkan serendah mungkin, sehingga dapat terpikul

    oleh rakyat.

    Bagi mereka yang benar-benar tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat

    mengajukan permohonan beracara dengan cura-cuma (prodeo), yaitu dengan menyampaikan

    surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh Kepala Desa/Lurah serta

    diketahui/dibenarkan oleh Camat dalam wilayah di mana yang bersangkutan bertempat

    tinggal. Ketentuan ini dimaksudkan untuk pemerataan kesempatan memperoleh keadilan

    kepada seluruh lapisan masyarakat.

    Selanjutnya, bagi mereka yang benar-benar tidak mampu dan kurang mengerti tentang

    hukum, pada waktu sekarang dapat pula meminta bantuan hukum dengan cuma-cuma kepada

    Lembaga-lembaga/Biro-biro Bantuan Hukum yang ada di lingkungan Fakultas Hukum

    Universitas-universitas Negeri/Swasta, serta yang bernaung di bawah organisasi-organisasi

    7 Prof. Dr. R. Supomo, S.H., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, cet.

    V, 1972, hal. 12.

  • 9

    sosial dan politik; seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Peradin, Lembaga Pelayanan dan

    Penyuluhan Hukum (LPPH) di bawah naungan Golkar, Lembaga Bantuan dan

    Pengembangan Hukum (LBPH) di bawah naungan Kosgoro, Lembaga Konsultasi dan

    Bantuan Hukum (LKBH) Trisula di bawah naungan Soksi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

    MKGR, dan lain-lain. Advokat, menurut Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nornor 18 Tahun

    2003, malah wajib memberikn bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan

    yang tidak mampu.

    Apabila dalam pergaulan hukum di tengah-tengah masyarakat ada yang melakukan

    pelanggaran terhadap normal kaidah Hukum Perdata tersebut, penjual tidak menyerahkan

    barang yang dijualnya misalnya, maka hal itu jelas menimbulkan kerugian terhadap pihak

    lain. Untuk memulihkan hak perdata pihak lain yang telah dirugikan ini, maka Hukum

    Perdata Materiil yang telah dilanggar itu harus dipertahankan atau ditegakkan, yaitu dengan

    cara mempergunakan Hukum Acara Perdata. Jadi, pihak lain yang hak perdatanya dirugikan

    karena pelanggaran terhadap hukum perdata tersebut, tidak boleh memulihkan hak

    perdatanya itu dengan cara main hakim sendiri (eigenrichting), tetapi harus menurut

    ketentuan yang termuat dalam Hukum Acara Perdata.

    Dari sisi lain dapat dikatakan, bahwa pelanggaran terhadap Hukum Perdata itu akan

    menimbulkan perkara perdata, yakni perkara dalam ruang lingkup Hukum Perdata.

    Bagaimana caranya menyelesaikan perkara perdata ini di dalam negara yang berdasarkan

    hukum, tidak boleh dengan cara main hakim sendiri, tetapi harus dengan cara yang diatur

    dalam Hukum Acara Perdata. Oleh karena itu, juga dapat dikatakan, bahwa yang dimaksud

    dengan Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya

    menyelesaikan perkara perdata melalui badan peradilan.

    Seluk-beluk bagaimana caranya menyelesaikan perkara perdata melalui badan

    peradilan, semuanya diatur dalam Hukum Acara Perdata. Dengan adanya Hukum Acara

    Perdata masyarakat merasa ada kepastian hukum, bahwa setiap orang dapat mempertahankan

    hak perdatanya dengan sebaik-baiknya dan setiap orang yang melakukan pelanggaran

    terhadap Hukum Perdata yang mengakibatkan kerugian terhadap orang lain dapat dituntut

    melalui pengadilan. Dengan Hukum Acara Perdata diharapkan ketertiban dan kepastian

    hukum (perdata) dalam masyarakat.

    Untuk dapat mencapai apa yang menjadi tujuan dari Hukum Acara Perdata

    sebagaimana disebutkan di atas ini, maka pada umumnya peraturan-peraturan Hukum Acara

    Perdata itu bersifat memaksa (dwingend recht), karena dianggap menyelenggarakan

  • 10

    kepentingan umum,8 sehingga peraturan Hukum Acara Perdata yang bersifat memaksa ini

    tidak dapat dikesampingkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan pihak-pihak yang

    berkepentingan mau tidak mau harus tunduk dan menaatinya. Meskipun demikian, ada juga

    bagian dari peraturan Hukum Acara Perdata yang bersifat pelengkap (aanvullend recht),

    karena dianggap mengatur penyelenggaraan kepentingan khusus dari yang bersangkutan,9

    sehingga peraturan Hukum Acara Perdata yang bersifat pelengkap ini dapat dikesampingkan

    atau disimpangi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Misalnya mengenai alat-alat bukti

    yang dipakai dalam pembuktian sesuatu perkara, pihak-pihak yang berkepentingan dapat

    mengadakan perjanjian yang menetapkan bagi mereka hanya dapat mempergunakan 1 (satu)

    macam alat bukti, umpamanya tulisan, sedangkan pembuktian dengan alat bukti lain tidak

    diperkenankan. Perjanjian yang mengatur tentang pembuktian yang berlaku bagi orang-orang

    yang mengadakan perjanjian tersebut dinamakan "perjanjian pembuktian", yang menurut

    hukum memang dibolehkan dalam batas-batas tertentu.10

    B. SUMBER-SUMBER HUKUM ACARA PERDATA

    Hukum Acara Perdata pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum yang

    berlaku sekarang di negara kita, masih belum terhimpun dalam 1 (satu) kodifikasi, tetapi

    tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik yang dibuat negara kita sendiri

    setelah merdeka maupun peninggalan kolonial Hindia Belanda dulu, yang belum bisa diganti

    hingga kini dengan Hukum Acara Perdata nasional.

    Berbagai macam peraturan perundang-undangan yang memuat Hukum Perdata

    tersebut, akan disebutkan satu per satu berikut ini, dimulai dengan peraturan perundang-

    undangan peninggalan zaman kolonial Belanda, kemudian peraturan perundang-undangan

    yang dibuat setelah kemerdekaan.

    1. Herziene Inlandsch Reglement (HIR)

    HIR adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah Pulau Jawa dan

    Madura. Sebetulnya HIR tidak hanya memuat ketentuan-ketentuan Hukum Acara Perdata

    saja, tetapi juga memuat ketentuan-ketentuan Hukum Acara Pidana, sebagaimana termuat

    dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 114 dan Pasat 246 sampai dengan Pasal 371 serta

    8 I. Rubini, S.H. dan Chidir All, S.H., Pengantar Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1974, hal.

    12. 9 Ibid. 10 Prof. R. Subekti,, S.H., Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, Cet. III, 1975, hal. 63.

  • 11

    beberapa pasal yang tersebar antara Pasal 372 sampai dengan Pasal 394. Namun, setelah

    adanya KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981) yang diundangkan tanggal 31

    Desember 1981, maka ketentuan-ketentuan Hukum Ilmu Acara Pidana yang termuat dalam

    HIR tidak berlaku lagi.

    Ketentuan Hukum Acara Perdata dalam HIR dituangkan pada Pasal 115 sampai

    dengan Pasal 245 serta beberapa pasal yang tersebar antara Pasal 372 sampai dengan Pasal

    394, sebab rangkaian pasal-pasal yang terakhir ini mengatur hal-hal yang berkenaan dengan

    Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana.

    Keseluruhan pasal-pasal HIR mengenai Hukum Acara Perdata sebagaimana

    disebutkan di atas, yakni Pasal 115 sampai dengan Pasal 245 tersebut, terhimpun dalam 1

    (satu) bab, yaitu Bab IX dengan judul "Perihal mengadili Perkara dalam Perkara Perdata,

    yang Diperiksa oleh Pengadilan Negeri". Bab yang memuat ketentuan Hukum Acara Perdata

    ini terdiri dari beberapa bagian, yaitu:

    Bagian I (Pasal 115 sampai dengan Pasal 161) tentang Pemeriksaan Perkara dalam

    Persidangan; 11

    Bagian II (Pasal 162 sampai dengan Pasal 177) tentang Bukti;

    Bagian III (Pasal 178 sampai dengan Pasal. 187) tentang Musyawarah dan Putusan;

    Bagian IV (Pasal 188 sampai dengan Pasai 194) tentang Banding;

    Bagian V (Pasal 195 sampai dengan Pasai 224) tentang Menjalankan Putusan;

    Bagian VI (Pasal 225 sampai dengan Pasal 236) tentang Beberapa Mengadili Perkara-

    Perkara Istimewa; dan

    Bagian VII (Pasal 237 sampai dengan Pasal 245) tentang Izin Berperkara Tanpa

    Ongkos Perkara.

    2. Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg)

    RBg adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah luar Pulau Jawa

    dan Madura. RBg terdiri dari 5 (lima) bab yang memuat 723 (tujuh ratus dua puluh tiga)

    pasal. Bab I, Bab III, Bab IV, dan Bab V yang mengatur tentang pengadilan pada umumnya

    dan acara pidana tidak berlaku lagi dengan adanya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun

    1951.

    11 Pasal 115 sampai dengan Pasal 117 HIR tidak berlaku lagi berhubung dihapuskannya Pengadilan

    Kabupaten oleh Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.

  • 12

    Ketentuan Hukum Acara Perdata termuat dalam Bab II yang terdiri dari 7 (tujuh) dari

    Pasal 104 sampai dengan Pasal 323. Titel I, titel II, titel III, titel VI dan titel VII tidak berlaku

    lagi `karena Pengadilan Districtgerecht, Districraad, Magistraadgerecht, Residentigerecht,

    dan Raad Justitie sudah tidak ada lagi. Yang berlaku hingga sekarang adalah titel IV dan titel

    V bagi Landraad (sekarang Pengadilan Negeri).

    Titel IV tersebut terdiri dari 6 (enam) bagian, yaitu:

    Bagian I (Pasal 142 sampai dengan Pasal 188) tentang Pemeriksaan Perkara dalam

    Persidangan;

    Bagian II (Pasal 189 sampai dengan Pasal 198) tentang Musyawarah dan Putusan;

    Bagian III (Pasal 199 sampai dengan Pasal 205) tentang Banding;

    Bagian IV (Pasal 206 sampai dengan Pasal 258) tentang Menjalankan Putusan;

    Bagian V (Pasal 259 sampai dengan Pasal 272)-tentang Beberapa Hal Mengadili

    Perkara yang Istimewa; dan

    Bagian VI (Pasal 273 sampai dengan Pasal 281) tentang Izin Berperkara Tanpa

    Ongkos Perkara.

    Sedangkan titel V (Pasal 282 sampai dengan Pasal 314) berisi tentang Bukti.

    3. Bungerlijk Wetboek (BW) 12

    Bungerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) meskipun sebagai

    kodifikasi Hukum Perdata Materiil, narnun juga memuat Hukum Acara Perdata, terutama

    dalam Buku IV tentang Pembuktian dan Daluwarsa (Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993).

    Selain itu, juga terdapat dalam beberapa pasal Buku I, misalnya, tentang tempat tinggal atau

    domisili (Pasal 17 sampai dengan Pasal 25), serta beberapa pasal Buku II dan buku III

    (misalnya Pasal 533, Pasal 535, Pasal 1244, dan Pasal 1365).

    4. Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29

    Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29 ini memuat ketentuan Hukum Acara Perdata

    tentang kekuatan pembuktian tulisan-tulisan di bawah tangan dari orang-orang Indonesia

    (Bumiputera) atau yang dipersamakan dengan mereka. Pasal-pasal ordonansi ini diambil oper

    dalam menyusun Rechts-Reglement voor de Buitengewesten (RBg). 13

    12 Prof. Dr. R. Supomo, S.H., op.cit., hal, 70. 13 Sehubungan dengan Burgerlijk Wetboek sebagai sumber Hukum Acara Perdata perlu dicatat apa

    yang dikemukakan Prof. Dr. Supomo, S.H. dalam buku Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri yang menyatakan: "Mr. Wichers, perancang Reglemen tersebut menulis dalam laporannya, tanggal 6 Juni 1848 (T.13

  • 13

    5. Wetboek van Koophandel (WvK)

    Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) meskipun juga

    sebagai kodifikasi Hukum Perdata Materiil, namun di dalamnya ada beberapa pasal yang

    memuat ketentuan Hukum Acara Perdata (misalnya Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 22, Pasal

    23, Pasal 32, Pasal 255, Pasal 258. Pasal 272, Pasal 273, Pasal 274, dan Pasal 275).

    6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947

    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 adalah Undang-Undang tentang Peradilan

    Ulangan di Jawa dan Madura. Undang-undang ini mulai berlaku sejak tanggal 24 Juni 1947.

    Dengan adanya undang-undang ini, maka peraturan mengenai banding dalam Herziene

    Inlandsch Reglement (HIR) Pasal 188 sampai dengan Pasal 194 tidak berlaku lagi.

    7. Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951

    Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 adalah Undang-Undang tentang

    Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan

    Acara Pengadilan-pengadiIan Sipil. Undang-undang ini mulai berlaku sejak diundangkan

    tanggal 14 Januari 1951.

    Dalam pasal 1 Undang-Undang Darurat ini dinyatakan bahwa beberapa pengadilan

    peninggalan Hindia Belanda, seperti Magistraad, Pengadilan Kabupaten, Raad District,

    Pengadilan Negorij, Pengadilan Swapraja, dan Pengadilan Adat dihapuskan. Selanjutnya,

    dalam Pasal 3 ayat (3)a dinyatakan bahwa perkara-perkara perdata dan/atau perkara-perkara

    pidana sipil yang diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya

    meliputi daerah-daerah hukum pengadilan-pengadilan yang dihapuskan itu.

    Selebihnya Undang-Undang Darurat ini tidak ada mengatur tentang Hukum Acara Perdata,

    tetapi hanya menyinggung Hukum Acara Pidana, dimana Pasal 6-nya disebutkan bahwa HIR

    harus dipakai sebagai pedoman bagi acara pidana sipil oleh segala Pengadilan Negeri dan hal. 370) bahwa ia membuat peraturan-peraturan tentang pembuktian dalam reglemen itu untuk menghindarkan kemungkinan bahwa hakim berbuat sekehendaknya atau untuk menjaga supaya hakim tidak rnemakai pasal-pasal BW tentang pembuktian untuk Pengadilan Negeri. Akan tetapi, apa yang dimuat dalam Reglemen Indonesia tidak lain ialah peraturan-peraturan pembuktian yang terdapat di BW hanya dengan sekadar perubahan-perubahan yang perlu." Rechtsreglement Buitengewesten 1927 mengoper peraturan Reglemen Indonesia dan pasal-pasal dari Staatsblad 1867 Nomor 29 (St. 1916 No. 44) tentang kekuatan pembuktian dari surat-surat di bawah tangan, ditambah dengan sebagian dari Buku IV dar BW. (Prof. Dr. Supomo, S.H., op.cit., hal. 70). Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. menyatakan: Pengadilan Negeri pada prinsipnya harus menurut hukum pembuktian dari BW sebagai pedoman, di mana perlu, yaitu apabila dalam suatu perkara perdata harus dilaksanakan 'suatu peraturan Hukum Perdata yang termuat dalam BW dan pelaksanaannya ini hanyadapat terjadi secara tepat jika hukum pembuktian dari BW yang bersangkutan diturut. (Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., op.cit., hal. 101 -102).

  • 14

    segala kejaksaan padanya. Justru karena Undang-Undang Darurat ini tidak menyebut acara

    perdata, maka berarti peraturan-peraturan Hukum Acara Perdata yang berlaku sebelumnya

    seperti HIR dan RBg masih tetap berlaku dan mengikat.

    8. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 14

    Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 adalah undang-undang tetap kekuasaan

    Kehakiman yang mulai berlaku sejak ditetapkan tanggal 29 Oktober 2009. Undang-undang

    ini memuat beberapa pasal hukum acara pada umumnya dan beberapa pasal Hukum Acara

    Perdata. Ketentuan Hukum Acara pada umumnya tertuang dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,

    Pasal 5, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 50, Pasal 51, dan

    Pasal 52. Sedangkan ketentuan Hukum Acara Perdata termuat dalam Pasal 10, Pasaf 50,

    Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, dan Pasal 54.

    9. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986.

    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 adalah Undang-Undang tentang Peradilan

    Umum yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 8 Maret 1986. Dalam undang-undang

    ini diatur mengenai kedudukan, susunan, dan kekuasaan pengadilan dalam lingkungan

    Peradilan Urnum. Peraturan Hukum Acara Perdata, antara lain, termuat dalam Pasal 50, Pasal

    51, Pasal 60 dan Pasal 61. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 ini telah mengalami dua

    kali perubahan. Perubahan pertama dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004, kemudian

    perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009.

    10. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 15

    Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 adalah Undang-Undang tentang Mahkamah

    Agung yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 30 Desember 1985; yang kemudian

    diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-

    Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang mulai berlaku pada tanggal

    diundangkan 15 Januari 2004.

    14 Sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ini yang berlaku

    sebelumnya. Organisasi, administrasi, dan finansial badan-badan peradilan di Indonesia berada di bawah kekuasaan dan pembinaan Mahkamah Agung, sehingga kekuasaan kehakiman menjadi benar-benar mandiri terlepas dari kekuasaan pemerintah.

    15 Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tercantum Pasal 45A yang berisi pembatasan kasasi dalam kasus pidana, di mana permohonan kasasi tidak bisa dilakukan atas putusan praperadilan, perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda, dan perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.

  • 15

    11. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011

    Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang mulai berlaku

    sejak diundangkan tanggal 2 November 2011. Undang-undang ini mengatur bantuan

    hukum bagi orang atau kelompok orang miskin yang diselenggarakan oleh pemerintah

    dengan menggunakan dana yang dibebankan kepada APBN.

    Dalam Undang-undang ini diatur asas-asas bantuan hukum (Pasal 2), tujuan

    penyelenggaraan bantuan hukum (Pasal 3), penyelenggara bantuan hukum (Pasal 6), pemberi

    bantuan hukum (Pasal 8), hak pemberi bantuan hukum (Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11), hak

    dan kewajiban penerima bantuan hukum (Pasal 12 dan Pasal 13), syarat dan tata cara pemberi

    bantuan hukum (Pasal 14 dan Pasal 15), dan pendanaan bantuan hukum (Pasal 16, Pasal 17,

    Pasal 18, dan Pasal 19).

    12. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003

    Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 adalah Undang-Undang tentang advokat

    yang mulai berlaku sejak diundangkan pada tanggai 5 April 2003. Dalam undang-undang ini,

    antara lain, diatur tentang pengangkatan sumpah, status, penindakan, dan pemberhentian

    advokat. Selain itu juga, tentang hak dan kewajiban advokat, bantuan hukum cuma-cuma,

    kode etik, organisasi, dan Dewan Kehormatan Advokat.

    13. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memuat ketentuan-

    ketentuan Hukum Acara Perdata (khusus) untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan serta

    menyelesaikan perkara-perkara perdata mengenai perkawinan, pencegahan perkawinan,

    pembatalan perkawinan, dan putusnya perkawinan (perceraian) (Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6,

    Pasal 7, Pasal 9, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 25, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 55.

    Pasal 60, Pasal 63, Pasal 65, dan Pasal 66). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini diatur

    lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah .Nomor 9 Tahun 1975 yang mengatur secara

    lebih terperinci pasal-pasal yang memuat Hukum Acara Perdata tersebut.

    14. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

    Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

    Pembayaran Utang. Undang-undang ini mengatur Hukum Acara Perdata Khusus untuk

    memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara kepailitan.

  • 16

    15. Yurisprudensi16

    Beberapa yurisprudensi terutama dari Mahkamah Agung juga memuat ketentuan

    Hukum Acara Perdata. Bahkan, yurisprudensi Mahkamah Agung menjadi sumber Hukum

    Acara Perdata yang sangat penting di negara kita sekarang terutama untuk mengisi

    kekosongan, kekurangan, dan ketidaksempurnaan yang banyak terdapat dalam peraturan

    perundang-undangan Hukum Acara Perdata peninggalan zaman Hindia Belanda.

    Pada waktu sekarang sudah banyak beredar buku-buku dari berbagai penerbit yang

    berisi himpunan yurisprudensi ini, bahkan Mahkamah Agung sendiri secara periodik telah

    menerbitkannya.

    16. Peraturan Mahkamah Agung

    Peraturan Mahkamah Agung juga merupakan sumber Hukurn Acara Perdata. Dasar

    hukum Mahkamah Agung untuk mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung ini termuat

    dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang menyatakan:

    Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini.

    Dalam penjelasannya disebutkan:

    Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi. Dengan undang-undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam undang-undang ini. Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk undang-undang. Penyelenggara peradilan yang dimaksudkan undang-undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan. Dengan demikian, Mahkamah Agung tidak mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat, alat pembuktian, serta penilaian, ataupun pembagian beban pembuktian.

    C. SEJARAH SINGKAT HUKUM ACARA PERDATA

    1. Sejarah Singkat Herziene Inlandsch Reglement (HIR)

    Herziene Inlandsch Reglement (HIR) merupakan salah satu sumber Hukum Acara

    Perdata peninggalan kolonial Hindia Belanda yang masih berlaku di negara kita hingga kini.

    16 Yurisprudensi mengenai Hukum Acara Perdata dapat dilihat pada lampiran buku ini.

  • 17

    Herziene Inlandsch Reglement (HIR) sebenarnya berasal dari Inlandsch Reglement

    (IR) atau Reglement Bumiputera), yang termuat dalam Stb. 1848 Nomor 16 dengan judul

    (selengkapnya) Reglement op de uit oefening van de politie de Burgerlijke Rechtspleging en

    de strafvordering onder de Inlanders en de Vreemde Oosterlingen op Java en Madura

    (Reglement tentang pelaksanaan tugas kepolisian, peradilan perkara perdata dan penuntutan

    perkara pidana terhadap golongan Bumiputera dan Timur Asing di Jawa dan Madura).17

    IR pertama kali diundangkan tanggai 5 April 1848 (Stb. 1848 Nomor 16) merupakan

    hasil rancangan JHR. Mr. HL. Wichers, President hooggerechtshof (Ketua Pengadilan

    Tertinggi di Indonesia pada zaman Hindia Belanda) di Batavia. Beliau adalah seorang jurist

    bangsawan kenamaan pada waktu itu. Dasar wewenang Mr. Wichers membuat rancangan IR

    tersebut adalah Surat Keputusan Gubernur Jenderal J.J. Rochussen tanggal 5 Desember

    1846 Nomor 3 yang memberikan tugas kepadanya untuk merancang sebuah reglement

    (peraturan) tentang administrasi, polisi, dan proses perdata serta proses pidana bagi golongan

    Bumiputera. 18

    Pada waktu itu peraturan Hukurn Acara Perdata yang dipakai oleh pengadilan yang

    berwenang mengadili golongan Bumiputera dalam perkara perdata adalah peraturan Hukum

    Acara Perdata yang termuat dalam Stb. 1819 Nomor 20 yang hanya memuat 7 (tujuh) pasal

    tentang acara Perdata. Dalam menyusun rancangan IR, Wichers mempelajari lebih dahulu

    terhadap reglement tahun 1819 tersebut dan rencana tahun 1841 yang pernah dibuatnya atas

    dasar reglement 1819, di mana pada akhirnya ia berpendapat bahwa keduanya (reglement

    tahun 1819 dan rancangan tahun 1841 tersebut) tidak dapat dijadikan dasar untuk menyusun

    reglement yang akan dikerjakannya. 19

    Dalam waktu yang relatif singkat - belum sampai 1 (satu) tahun - tanggal 6 Agustus

    1847 Mr. Wichers telah berhasil membuat sebuah rencana peraturan Hukum Acara Perdata

    dan Pidana, yang terdiri dari 432 (empat ratus tiga puluh dua) pasal lengkap dengan

    penjelasan-penjelasannya. Rencana Wichers ini disambut berlainan oleh pihak-pihak yang

    dimintakan pertimbangannya. Ada yang tidak setuju seperti Mr. Hultman yang berpendapat

    bahwa rencana itu sangat berliku-Iiku dan terlalu mengikat, sehingga perlu disederhanakan.

    Akan tetapi, keberatan Hultman tidak dapat diterima oleh Hooggerechtshot. Pengadilan

    Tertinggi ini menilai rencana Wichers itu sebagai suatu kemajuan dibandingkan dengan

    17 K. Wantjik Saleh, S.H., Hukum Acara Perdata, Ghalia Indonesia, cet. III, 1977, hlm 11. 18 Ny. Retnowulan Sutantio, S.H., Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Alumni, Bandung,

    cet. I, 1979, hal. 16. 19 Mr. R. Tresna, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976, hal. 10.

  • 18

    peraturan tahun 1819. Kemudian, 2 (dua) orang dari Hooggerechtshof menghendaki supaya

    rencana itu dilengkapi dengan peraturan tentang vrijwaring, voeging, tussenkomst,

    reconventie, request civiel, dan sebagainya seperti halnya dengan Hukum Acara Perdata

    untuk golongan Eropa yang termuat dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering

    yang sering disingkat dengan Rv atau BRv. Namun, Wichers tidak bersedia untuk mengubah

    rencananya dengan usul-usul tambahan tersebut, dengan alasan, kalau orang sudah mulai

    menambah berbagai ketentuan terhadap rencana tersebut, akhirnya akan tidak terang lagi

    sampai di mana batasnya yang dianggap perlu atau patut ditambahkan itu. Jika demikian, kata

    Wichers, lebih baik memberlakukan saja hukum acara untuk golongan Eropa terhadap

    golongan Bumiputera.20

    Kendatipun demikian, Mr. Wichers sedikit banyak rupanya mendekati juga

    keinginan pengusul-pengusul tersebut. Akan tetapi, dengan pembatasan. Sesuai dengan itu ia

    memuat suatu ketentuan penutup yang bersifat umum. Ketentuan mana setelah diubah dan

    ditambah kini menjadi pasal yang penting sekali dari HIR, yaitu Pasal 393 yang berbunyi

    sebagai berikut:

    (1) Dalam hal mengadili di muka pengadilan bagi golongan Bumiputera tidak boleh

    dipakai bentuk-bentuk acara yang melebihi atau lain daripada apa yang telah

    ditetapkan dalam reglement ini.

    (2) Namun demikian, Gubernur Jenderal berhak, apabila berdasarkan pengalaman

    ternyata bahwa dalam hal yang demikian itu sangat diperlukan, setelah meminta

    pertimbangan Hooggerechtshof, untuk pengadilan-pengadilan di Jakarta, Semarang,

    dan Surabaya dan lain-lain pengadilan seperti itu yang juga memerlukannya,

    menetapkan lagi ketentuan lainnya yang Iebih mirip dengan ketentuan-ketentuan

    hukum acara bagi pengadilan-pengadilan Eropa.

    Akhirnya rancangan Wichers diterima oleh Gubernur Jenderal dan diumumkan pada

    tanggal 5 April 1848 (Stb. 1848 Nomor 16) dengan sebut Reglement op de uit oefening van

    de politie de Burgerlijke Rechtspleging en de strafvordering onder de Inlanders en de

    Vreemde Oosterlingen op Java en Madura, yang sering disingkat dengan Inlandsch

    Reglement (IR) yang dinyatakan mulai berlaku sejak.tanggal 1 Mei 1848. IR ini kemudian

    disahkan dan dikuatkan dengan Firman Raja tanggal 29 September 1849 Nomor 93 yang

    20 Ibid., hal. 11.

  • 19

    diumumkan dalam Stb. 1849 Nomor 63; dan oleh karena dengan pengesahan ini sifat IR

    menjadi Koninklijkbesluit.21

    Sejak diumumkan pertama kali tanggal 5 April 1848, IR telah mengalami beberapa

    kali perubahan. Perubahan pertama dilakukan pada tahun 1926 Stb. 1929 Nomor 559 jo.

    Pasal 496). Perubahan terakhir dilakukan pada tahun 1941 (Stb. 1941 Nomor 44) yang

    dikatakan sebagai perubahan yang memperbarui (Herziene) terhadap lnlandsch Reglement,

    sehingga sejak itulah IR berubah menjadi HIR singkatan dari Herziene lnlandsch Reglement

    yang berarti Reglement Indonesia yang diperbaharui (yang sering pula disingkat RIB).

    Sekedar untuk diketahui, bahwa pembaharuan yang dilakukan terhadap IR menjadi

    HIR pada tahun 1941 itu sebetulnya hanya dilakukan terhadap acara pidana saja, yaitu

    mengenai pembentukan aparatur Kejaksaan atau Penuntut Umum (Openbaar Ministerie) yang

    berdiri sendiri, di mana anggota-anggotanya - Para jaksa - yang dulu ditempatkan di bawah

    pamong praja diubah menjadi di bawah Jaksa Tinggi atau Jaksa Agung. Perubahan IR pada

    tahun 1941 tersebut sama sekali tidak mengenai acara perdata.

    2. Sejarah Singkat Reehtsreglement voor de Buitengewesten (RBg)

    Sebagaimana telah dikemukakan, HIR adalah Hukum Acara Perdata bagi daerah

    Pulau Jawa dan Madura, sedangkan RBg adalah Hukum Acara Perdata bagi daerah-daerah

    luar Pulau Jawa dan Madura.

    RBg adalah singkatan dari Rechtsreglement voor de Buitengewesten (Reglement

    untuk daerah seberang) yang merupakan singkatan pula dari Reglement tot Regeling van het

    Rechtswezen in de Gewesten buiten Java en Madura", suatu ordonansi yang dibuat Gubernur

    Jenderal Hindia pada pada tanggal 11 Mei 1927 (Stb. 1927 Nomor 227) yang seluruhnya

    terdiri dari 8 (delapan) pasal. Gubernur Jenderal Hindia Belanda sendiri mempunyai

    wewenang untuk membuat peraturan Hukum Acara Perdata bagi daerah-daerah luar Pulau

    Jawa dan Madura ini berdasarkan Koninklijk Besluit tanggal 4 Januari 1927 Nomor 53.

    RBg yang dinyatakan Pasal VIII ordonansi tanggal 11 Mei 1927 Nomor 27 mulai

    berlaku sejak tanggal 1 Juli 1927, merupakan pengganti peraturan-peraturan Hukurn Acara

    Perdata yang lama yang tersebar dan berlaku bagi daerah-daerah tertentu saja. Yaitu

    ordonansi-ordonansi bagi daerah-daerah Bengkulu, Lampung, Palembang, Jambi, Sumatra

    21 Ny. Retnowulan Sutantio, op.cit., hal. 17.

  • 20

    Timur, Aceh, Riau, Bangka, Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan

    Timur, Manado, Sulawesi, Ambon, Ternate, Timor, Bali dan Lombok (Pasal I ordonansi).22

    Meskipun pada saat ordonansi tanggal 11 Mei 1927 Nomor 227 itu dicadangkan,

    masih ada beberapa peraturan lama yang dinyatakan tetap berlaku bagi daerah tertentu seperti

    bagi daerah Gorontalo (Pasal IV Ordonansi). Kecuali itu masih ada beberapa daerah yang

    dikecualikan dari berlakunya RBg, seperti daerah Irian Barat bagian selatan (Pasal III

    ordonansi).23

    RBg yang merupakan lampiran Pasal II ordonansi Tahun 1927 Nomor 227 dibuat oleh

    Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan mencontoh pada IR dan pasal-pasal Stb. 1867

    Nomor 29 tentang kekuatan pembuktian dari surat-surat di bawah tangan dari orang-orang

    Indonesia (Bumiputera) ditambah dengan sebagian dari BW Buku IV tentang pembuktian.24

    Dengan demikian, apabila pasal-pasal RBg dibandingkan dengan pasal-pasal HIR dan BW,

    akan terlihat banyak persamaan. Hanya beberapa pasal saja yang berbeda yang disesuaikan

    dengan keadaan khusus daerah-daerah luar Pulau Jawa dan Madura.

    Bagaimana kedudukan HIR dan RBg pada zaman Jepang? Sehubungan dengan ini

    Pemerintah Balatentara Dai Nippon pada tanggal 7 Maret 1942 telah mengeluarkan Undang-

    Undang Nomor 1 Tahun 1942 yang berlaku untuk Pulau Jawa dan Madura. Pasal 3 undang-

    undang ini menyatakan:

    Semua badan-badan Pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari Pemerintah yang dulu, tetap diakui sah buat sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Militer.

    Dengan adanya undang-undang ini maka HIR pada zaman Jepang masih tetap berlaku

    di Indonesia. Untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa dan Madura, ada badan-badan

    kekuasaan lain selain Balatentara Dai Nippon, yang tindakan-tindakannya tentangg hal ini

    boleh dikatakan sama. Dengan demikian, pada zaman Jepang, RBg juga masih tetap berlaku

    di Indonesia.25

    22 K. Wantjik Saleh, S.H., op.cit., hal. 12. 23 Pada waktu sekarang untuk daerah Irian Barat, ada Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 1963 tentang

    Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, Acara, dan Tugas Pengadilan-pengadilan Sipil dan Kejaksaan di Provinsi Irian Barat (LNRI 1963 Nomor 42). Pasal 4-nya menyatakan, bahwa susunan, kekuasaan, acara, dan tugas Pengadilan Tinggi di Kotabaru dan Pengadilan-pengadilan Negeri di Provinsi Irian Barat dilakukan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan untuk Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri dalam Undang-Undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (LN Tahun 1951 Nomor 9 dan Tambahan LN Nomor 81). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 1963 ini dinyatakan sebagai undang-undang.

    24 Prof. Dr. R. Supomo, S.H., op.cit., hal. 70. 25 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., op.cit., hal. 10.

  • 21

    Kemudian, HIR dan RBg masih tetap berlaku sampai Indonesia merdeka (1945) dan

    terus berlaku hingga sekarang berdasarkan aturan peralihan dalam Undang-Undang Dasar

    1945, Konstitusi RIS 1949, dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

    HIR dan RBg di atas menunjukkan, kedua hukum acara peninggalan kolonial Hindia

    Belanda itu usianya sudah sangat tua, lebih dari 1,5 (satu setengah) abad.

    HIR yang berasal dari IR yang mulai berlaku sejak 1 Mei 1848, yang kemudian

    ditiru dalam menyusun RBg yang berlaku sejak 1 Juli 1927, tentu saja disusun sesuai

    dengan kondisi masyarakat Indonesia masa itu, yang sebagian besar tidak bisa membaca dan

    menulis, sehingga bentuk-bentuk acaranya sangat sederhana dan tidak formalistis.

    Ketentuan-ketentuan HIR dan RBg itu sekarang tentu saja sudah ketinggalan zaman

    dan tidak bisa diandalkan untuk melaksanakan peradilan yang baik. Karenanya, para ahli

    sering menganjurkan agar hukum acara peninggalan kolonial Hindia Belanda itu segera

    diganti dengan Hukum Acara Perdata Nasional, yang dapat memenuhi kebutuhan praktek

    peradilan dan sesuai dengan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.

    Namun harapan tetap saja harapan. Kenyataannya Hukum Acara Nasional untuk

    menggantikan HIR dan RBg itu belum juga terwujud hingga kini kendatipun sudah lama

    didambakan.

    D. ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA

    Seperti halnya hukum-hukum pada bidang yang lain , Hukum Acara Perdata juga

    mempunyai beberapa asas, yang menjadi dasar dari ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara

    Perdata tersebut. Berikut ini akan diuraikan beberapa asas yang penting dalam Hukum Acara

    Perdata tersebut.

    1. Hakim Bersikap Pasif

    Asas ini mengandung beberapa makna:

    a. Inisiatif untuk mengadakan acara perdata ada pada pihak-pihak yang berkepentingan

    dan tidak pernah dilakuian oleh hakim. Hakim hanyalah membantu para pencari

    keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat

    tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 5 Undang-

    Undang Nomor 14 Tahun 1970). Hal ini disebabkan Hukum Acara Perdata justru

    hanya mengatur cara-cara bagaimana pihak-pihak mempertahankan kepentingan

    pribadi. Berbeda dengan Hukum Acara Pidana yang mengatur cara bagaimana

    mempertahankan kepentingan publik, maka inisiatif dalam acara pidana dilakukan

  • 22

    oleh pemerintah yang diwakili oleh jaksa sebagai penuntut umum serta alat-alat

    perlengkapan negara yang lain (Kepolisian). Kalau di dalam perkara perdata pihak-

    pihak yang berhadapan adalah pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu penggugat dan

    tergugat, di dalam perkara pidana.pihak-pihak yang berhadapan bukan orang yang

    melakukan tindak pidana (terdakwa) dengan orang yang jadi korban, melainkan

    terdakwa berhadapan dengan jaksa/penuntut umum selaku wakil negara. Selanjutnya,

    dalam perkara perdata para pihak yang berperkara dapat secara bebas mengakhiri

    sendiri perkara mereka yang telah diajukan dan diperiksa di pengadilan dan hakim

    tidak bisa menghalanginya. Pengakhiran perkara perdata ini dapat dilakukan dengan

    pencabutan gugatan atau dengan perdamaian pihak-pihak yang berperkara (Pasal 178

    HIR/Pasal 189 RBg). Sedangkan dalam perkara pidana, kalau perkara sudah diperiksa

    oleh pengadilan (hakim), perkara pidana tersebut tidak dapat dicabut lagi, tetapi harus

    diperiksa terus sampai selesai (ada putusan pengadilan). Hakim wajib mengadili

    seluruh tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak

    dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut (Pasal 178 HIR/Pasal 189

    RBg).

    b. Hakim mengejar kebenaran formil, yakni kebenaran yang hanya didasarkan pada

    bukti-bukti yang diajukan di depan sidang pengadilan tanpa harus disertai keyakinan

    hakim. Jika salah satu pihak yang berperkara mengakui kebenaran sesuatu hal yang

    diajukan oleh pihak lain, hakim tidak perlu menyelidiki lebih lanjut apakah yang

    diajukan itu sungguh-sungguh benar atau tidak. Berbeda dengan perkara pidana, di

    mana hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara pidana ini mengejar kebenaran

    materiil, yaitu kebenaran yang harus didasarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut

    undangundang dan harus ada keyakinan hakim.

    c. Para pihak yang berperkara bebas pula untuk mengajukan atau untuk tidak

    mengajukan upaya hukum, bahkan untuk mengakhiri perkara di pengadilan dengan

    perdamaian.

    Dari uraian di atas jelaslah bahwa makna dari hakim bersikap pasif dalam perkara

    perdata adalah bahwa hakim tidak menentukan luasnya pokok perkara. Hakim tidak boleh

    menambah atau menguranginya, namun tidak berarti hakim tidak berbuat apa-apa. Sebagai

    pimpinan sidang pengadilan, hakim harus aktif memimpin persidangan, sehingga berjalan

    lancar. Hakimlah yang menentukan pemanggilan, menetapkan hari persidangan, mendengar

    sendiri kedua belah pihak yang berperkara, serta memerintahkan supaya alat-alat bukti yang

  • 23

    diperlukan disampaikan ke depan persidangan. Bahkan jika perlu hakim karena jabatan (ex

    officio) memanggil sendiri saksi-saksi yang diperlukan. Selain itu, hakim juga berhak untuk

    memberikan nasihat, menunjukkan upaya-upaya hukum, dan memberikan keterangan kepada

    pihak-pihak yang berperkara (Pasal 132 HIR/Pasal 156 RBg). Karenanya,sering dikatakan

    oleh sementara ahli, bahwa hakim dalam sistem HIR adalah aktif sedang dalam sistem Rv

    adalah pasif.

    2. Sidang Pengadilan Terbuka untuk Umum

    Sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata pada Pengadilan dalam

    pemeriksaan perkara perdata pada asasnya terbuka untuk umum (Pasal 19 Undang-

    Undang Nomor 4 Tahun 2004). Ini berarti bahwa setiap orang boleh hadir, mendengar,

    dan menyaksikan jalannya pemeriksaan perkara perdata itu di pengadilan. Tujuan asas

    ini adalah untuk menjamin pelaksanaan Peradilan yang tidak memihak, adil, dan benar

    sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, yakni dengan meletakkan Peradilan di

    bawah pengawasan umum. di bawah Untuk kepentinan kesusilaan hakim memang dapat

    menyimpang dari asas ini. Misalnya, dalam perkara perceraian karena perzinahan. Akan

    tetapi, walaupun pemeriksaan suatu perkara dilakukan secara tertutup, tetapi putusannya

    harus tetap dibacakan dalam sidang pengadilan yang tidak unntuk umum. Putusan yang

    dibacakan dalam sidang penghajian ng tidak tberuka untukumum adalah tidak sah

    karenanya, tidak mempunyai kekuatan hukum dan putusan tersbeut batal dan putusan

    tersebut Batal Demi Hukum.

    3. Mendengar Kedua Belah Pihak

    Mendengar Hukum Acara, pihak-pihak yang berperkara harus diperlukan dan diberikan

    kesempatan yang sama untuk membela kepentingan mereka. Pendeknya pihak-pihak.

    yang berperkara harus diperlakukan secara adil.

    Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai suatu yang benar

    tanpa mendengar atau memberi kesempatan kepada pihak yang lain untuk

    mengemukakan/menyampaikan pendapatnya. Hal ini juga berarti bahwa pengajuan alat-

    alat bukti harus dilakukan di muka sidang pengadilan yang dihadiri oleh pihak-pihak

    yang berperkara (Pasal 121, Pasal 132 HIR/Pasal 145, non Pasal 157 RBg).

    Hakim tidak boleh mernberikan putusan dengan tidak memberikan kesempatan untuk

    kedua belah pihak yang berperkara. Putusan verstek bukanlah merupakan pengecualian

  • 24

    asas ini karena putusan verstek dijatuhkan justru karena tergugat tidak hadir dan ia juga

    tidak mengirimkan kuasanya, padahal ia sudah dipanggil dengan patut. Jadi, pihak

    tergugat yang tidak hadir telah mendapat kesempatan untuk didengar, tetapi ia tidak

    mempergunakan kesempatan itu.

    4. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan

    Hukum Acara Perdata yang berlaku sekarang, baik yang termuat dalam HIR maupun

    RBg tidak mengharuskan kepada pihak-pihak yang berperkara untuk mewakilkan

    pengurusan perkara mereka kepada ahli hukum, sehingga pemeriksaan di persidangan

    dilakukan secara langsung terhadap pihak-pihak yang berkepentingan. Walaupun

    demikian, para pihak yang berperkara -apabila menghendaki-boleh mewakilkan kepada

    kuasanya (Pasal -123 HIR/Pasal 147 RBg).

    Sistem Hukum Acara Perdata dalam HIR dan RBg ini berbeda dengan sistem Hukum

    Acara Perdata dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) yang

    mewajibkan para pihak yang berperkara untuk mewakilkan kepada seorang ahli hukum

    (procureur) dalam beracara di muka pengadilan. Perwakilan ini merupakan keharusan

    yang mutlak dengan akibat batalnya tuntutan (Pasal 106 ayat (1) Rv) atau diputuskan di

    luar hadirnya tergugat (Pasal 109 Rv) apabila Para pihak ternyata tidak diwakili. Sistem

    yang mewajibkan bantuan dari seorang ahli hukum dalam Rv ini didasarkan atas

    pertimbangan, bahwa di dalam suatu proses yang memerlukan pengetahuan hukum dan

    kecakapan teknis, maka para pihak yang berperkara perlu dibantu oleh seorang ahli

    hukum agar segala sesuatunya dapat berjalan lancar dan putusan dijatuhkan dengan

    seadil-adilnya.26

    5. Putusan Harus Disertai Alasan-alasan

    Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yang dijadikan dasar untuk

    mengadili (Pasal 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, Pasal 84 ayat (1), Pasal 319

    HIR/Pasal 195, dan Pasal 618 RBg). Asas ini dimaksudkan untuk menjaga agar jangan

    sampai terjadi perbuatan sewenang-wenang dari hakim. Putusan yang tidak lengkap atau

    kurang cukup pertimbangannya merupakan alasan untuk kasasi dan putusan tersebut

    harus dibatalkan (MA tanggal 22-7-1970 Nomor 638 K/Sip/1969 dan tanggal 16-12-

    1970 Nomor 492 K/Sip/1970).

    26 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., Op.cit., hal. 29; Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.,

    Op.cit., hal. 14.

  • 25

    Untuk lebih dapat mempertanggungjawabkan putusan, sering juga alasan-alasan yang

    dikemukakan dalam putusan tersebut didukung yurisprudensi dan doktrin. Hal ini bukan

    berarti bahwa hakim yang bersangkutan terikat pada putusan hakim sebelumnya. Akan

    tetapi, sebaliknya karena hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai

    hukum yang hidup dalam masyarakat. Karena itu, hakim harus berani meninggalkan

    yurisprudensi atau undang-undang yang sudah tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan

    masyarakat. Contoh klasik yang dapat dikemukakan di sini misalnya putusan Hoge Raad

    tanggal 31-1-1919 tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang

    meninggalkan pendapat Hoge Raad sebelumnya.27

    27 Ibid., hlm. 13..

  • 26

    BAB IV

    PERMOHONAN DAN GUGATAN

    Biasa dipergunakan istilah permohonan, tetapi sering juga disebut gugatan voluntair.

    Sebutan ini dapat dilihat dahulu dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1970

    (sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999) yang menyatakan:

    Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan mengandung

    pengertian di dalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yurisdiksi voluntair.

    Ketentuan Pasal 2 maupun penjelasan tersebut tidak diatur lagi dalam UU No. 4

    Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 14 Tahun 1970, namun ketentuan itu merupakan

    penegasan, di samping kewenangan badan peradilan penyelesaian masalah atau perkara yang

    bersangkutan dengan yurisdiksi contentiosa, yaitu perkara sengketa yang bersifat partai (ada

    pihak penggugat dan tergugat), juga memberi kewenangan penyelesaian masalah atau perkara

    voluntair, yaitu gugatan permohonan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagai

    tergugat. Jika undang-undang tersebut mempergunakan sebutan voluntair, MA memakai

    istilah permohonan. Istilah itu, dapat dilihat dalam "Pedoman Pelaksanaan Tugas dan

    Administrasi Pengadilan".28 Pada halaman 110 angka 15, dipergunakan istilah permohonan,

    namun pada angka 15 huruf (e) dipergunakan juga istilah voluntair; yang menjelaskan

    bahwa: "Perkara permohonan termasuk dalam pengertian yurisdiksi voluntair: Berdasarkan

    permohonan yang diajukan itu, hakim akan memberi suatu penetapan." 29 Dari penjelasan di

    atas, ditemui dua istilah yang sering dipergunakan, baik dalam literatur dan praktik, yaitu

    permohonan atau voluntair: Oleh karena itu, antara keduanya dapat saling dipertukarkan atau

    interchangeable.

    A. PENGERTIAN YURIDIS

    Permohonan atau gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan

    dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan

    kepada Ketua Pengadilan Negeri.30 Ciri khas permohonan atau gugatan voluntair:

    28 Pedoman Pelakasanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, MA RI: Jakarta, April 1994,

    hlm. 110. 29 Ibid., hlm. 111. 30 Lihat juga, Ibid, Buku II MA RI, hlm. 110, angka 5 huruf (a).

  • 27

    1. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata (for the benefit of one

    party only) 31

    Benar-benar murni untuk menyelesaikan kepentingan pemohon tentang sesuatu

    permasalahan perdata yang memerlukan kepastian hukum, misalnya permintaan izin

    dari pengadilan untuk melakukan tindakan tertentu;

    Denagan demikian pada prinsipnya, apa yang dipermasalahkan pemohon, tidak

    bersentuhan dengan hak dan kepentingan orang lain.

    2. Permasalahan yang dimohon penyesuaian kepada PN, pada prinsipnya tanpa sengketa

    dengan pihak lain (without disputes or differences with another party)

    Berdasarkan ukuran ini, tidak dibenarkan mengajukan permohonan tentang

    penyelesaian sengketa hak atau pemilikan maupun penyerahan serta pembayaran

    sesuatu oleh orang lain atau pihak ketiga.

    3. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat ex-

    parte.

    Benar-benar murni dan mutlak satu pihak atau bersifat ex-parte. Permohonan unt uk

    kepentingan sepihak (on behalf of one party) atau yang terlibat dalam permasalahan

    hukum (involving only one party to a legal matter) yang diajukan dalam kasus itu

    hanya satu pihak.32

    B. LANDASAN HUKUM YURISDIKSI VOLUNTAIR

    1. Berdasarkan Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970

    Landasan hukum kewenangan pengadilan menyelesaikan permohonan atau yurisdiksi

    voluntair, merujuk kepada ketentuan Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14

    Tahun 1970 (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999). Meskipun UU No.

    14 Tahun 1970 tersebut telah diganti oleh UU No. 4 Tahun 2004, apa yang digariskan Pasal

    2 dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 itu, masih dianggap relevan

    sebagai landasan gugatan voluntair. Ketentuan tersebut menegaskan:

    Pada prinsipnya; penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman (judicial power) melalui badan-badan peradilan bidang perdata tugas pokoknya menerima, memeriksa, dan

    31 Lihat juga. Henry Campbell Black, Black's Law Dictionary, West Publishing, St. Paul Minn, 1974,

    hlm. 517. 32 Bandingkan, Merriam Websters Dictionary of Law, Merriam Webster, Springfield Massachussetts,

    1996, hlm. 197

  • 28

    mengadili serta menyelesaikan setiap perkara (dalam pengertian sengketa = diputus) yang diajukan kepadanya

    Berdasarkan pada ketentuan ini, pada prinsipnya, fungsi dan kewenangan pengadilan

    di bidang perdata adalah memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara sengketa atau

    kasus yang bercorak persengketaan antara dua pihak atau lebih. Berarti yurisdiksi PN

    (pengadilan) di bidang perdata, adalah yurisdiksi contentiosa atau contentiuse rechtstaat yang

    bermakna proses peradilan sanggah-menyanggah antara pihak penggugat dengan tergugat.

    Jadi, ada yang bertindak sebagai penggugat dan ada pihak lain yang ditarik sebagai tergugat;

    Sistem dari yurisdiksi contentiosa inilah yang disebut peradilan biasa (ordinary court) atau

    judicature, yaitu: ada pihak penggugat dan tergugat serta di antara mereka ada kasus yang

    disengketakan.

    Secara eksepsional (exceptional). Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970, memberi kewenangan atau yurisdiksi voluntair kepada Pengadilan.

    Hal itu ditegaskan juga dalam Putusan MA No. 3139 K/Pdt/1984.33 Dikatakan, sesuai

    dengan ketentuan Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1970, tugas pokok pengadilan adalah memeriksa

    dan memutuskan perkara yang bersifat sengketa atau yurisdiction. Akan tetapi di samping itu,

    berwenang juga memeriksa perkara yang termasuk ruang lingkup yurisdiksi voluntair

    (voluntary jurisdiction) yang lazim disebut perkara permohonan. Namun kewenangan itu

    terbatas pada hal-hal yang tegas ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Memang

    yurisdiksi memperluas kewenangan itu sampai pada hal-hal yang ada urgensinya. Itu pun

    dengan syarat, jangan sampai memutus perkara voluntair yang mengandung sengketa secara

    partai yang harus diputus secara contentious.

    Bertitik tolak dari ketentuan ini, kepada PN diberi kewenangan voluntair (yurisdiksi

    voluntair) untuk menyelesaikan masalah perdata yang bersifat sepihak atau ex-parte dalam

    keadaan:

    Sangat terbatas atau sangat eksepsional dalam hal tertentu saja;

    Dengan syarat: hanya boleh terhadap masalah yang disebut dan yang ditentukan

    sendiri oleh undang-undang, yang menegaskan tentang masalah yang bersangkutan

    dapat atau boleh diselesaikan secara voluntair melalui bentuk permohonan.

    2. Berbagai Pendapat Mengenai Yurisdiksi Voluntair

    33 Tanggal 25-11-1987, Beberapa Yurisprudensi Perdata yang Penting, MA RI, 1992, hlm. 45.

  • 29

    Untuk lebih memahami landasan yurisdiksi voluntair yang dikemukakan di atas ada

    baiknya diperhatikan berbagai penjelasan dan pendapat yang diuraikan di bawah ini:

    a. Penetapan MA No. 5 Pen/Sep/1975 (Juni 1973) dalam Kasus Forest Product

    Corp Ltd.

    Penetapan ini merupakan penegasan dan pendapat resmi MA yang diterbitkan R.

    Subekti dalam kapasitasnya sebagai Ketua MA RI. Pendapat ini bersumber dari kasus

    Forest Products Corp Ltd.

    PN Jakarta Pusat telah menjatuhkan putusan voluntair dalam perkara permohonan No.

    274/1972:

    Putusan dijatuhkan pada tanggal 27 Juni 1972;

    Isi putusan:

    1) Menyatakan sah RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).

    2) Menyatakan perjanjian yang dibuat tidak mengikat Forest Products Corp Ltd.

    Atas permintaan pihak yang merasa dirugikan atas putusan voluntair PN Jakarta

    Pusat tersebut, MA mengeluarkan penetapan No. 5 Pen/Sep/1975 yang berisi

    pertimbangan dan penegasan, antara lain:

    Pernyataan secara deklatoir tentang sahnya RUPS dan susunan pengurus serta tidak

    mengikatnya perjanjian melalui gugatan voluntair, bertentangan dengan asas prosesual;

    Secara prosesual, ketetapan voluntair yang dijatuhkan PN dalam kasus ini, harus

    berdasarkan gugatan contentiosa;

    Yurisdiksi voluntair, hanya sah apabila hal itu ditentukan oleh undang-undang.34

    b. Putusan Peninjauan Kembali (PK) No/PK/AG/1990, Tanggal 22 Januari 1991

    PA (Pengadilan Agama) Pandeglang telah menjatuhkan penetapan ahli waris dan

    pembagian harta warisan yang diajukan salah seorang ahli waris dalam bentuk

    permohonan atau gugatan voluntair;

    Terhadap penetapan itu, ahli warts yang lain mengajukan PK kepada MA, dan atas

    permohonan itu, MA menjatuhkan putusan, antara lain menegaskan:

    1) Gugatan voluntair hanya dapat diterima pengadilan apabila untuk itu ada ketentuan

    UU yang mengatumya secara khusus;

    2) Dalam kasus penetapan ahli waris dan pembagian harta warisan, tidak ada dasar

    hukumnya35 untuk diperiksa secara voluntair.

    34 Lihat M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum, Citra Aditya Bakti,

    1997, hlm. 193.

  • 30

    c. Catatan Prof. Asikin Kusuma Atmadja pada Putusan MA No. 3139 K/Pdt/1984,

    tanggal 25 November 1987

    Catatan Prof. Asikin Kusuma Atmadja pada Putusan MA No. 3139 K/Pdt/1984, tanggal

    25 November 1987, antara lain mengatakan:

    Masalah pokok pengadilan, memeriksa, dan mengadili perkara-perkara yang

    sengketa (contentience jurisdictie);

    di samping itu, juga berwenang memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang

    termasuk ruang lingkup voluntair jurisdictie, akan tetapi kewenangan itu hanya

    terbatas sampai pada hal-hal yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan

    yang bersangkutan.36

    d. Pendapat Prof. Sudargo Gautama

    Pendapat Prof. Sudargo Gautama, antara lain mengatakan:

    Dalam hal terjadi penyelesaian secara voluntair mengenai suatu perkara, yang mengandung

    sengketa:

    Telah terjadi proses ex-parte;

    berarti penyelesaian sengketa melanggar tata tertib beracara yang baik (goede process

    orde), dan sekaligus melanggar asas audi alteram partem (hak pihak lain untuk

    membela dan hak mempertahankan kepentingannya);

    padahal semestinya, pihak yang terkena dalam permohonan voluntair dalam kasus ini,

    harus didengar sebagai pihak.37

    e. Berdasarkan Putusan MA

    Berdasarkan putusan MA, antara lain:

    Putusan MA No. 1210 K/Pdt/1985, 30 Juni 1987, antara lain menegaskan:

    PN telah memeriksa dan memutus permohonan secara voluntair, padahal di dalamnya

    terkandung sengketa, tidak ada dasar hukumnya.

    Putusan MA No. 130 K/Sep/1957, 5 November 1957, antara lain menyatakan:

    Permohonan atau voluntair yang diajukan meminta agar pengadilan memutuskan

    siapa ahli waris dan pembagian waris, sesudah melampaui batas kewenangan.

    Putusan MA No. 1391 K/Sep/1974, 6 April 1978, antara lain berbunyi:

    35 Ibid, hlm. 193. 36 Ibid. 37 Ibid.

  • 31

    Pengadilan tidak berwenang memeriksa dan mengadili permohonan penetapan

    (voluntair) hak atas tanah tanpa adanya sengketa atas tanah tersebut.

    Demikian landasan aturan umum (general regulatory) yang digariskan Pasal UU No. 14

    Tahun 1970 maupun yang ditegaskan oleh MA yang harus diterapkan dalam permohonan

    atau voluntair. Salah satu hal yang penting diperingatkan, yurisdiksi voluntair tidak meliputi

    penyelesaian sengketa hak. Tentang hal ini ditegaskan dalam Putusan MA No. 10

    K/Pdt/1985.38 Ditegaskan, putusan PN yang ditetapkan status hak atas tanah melalui gugatan

    voluntair, tidak sah tidak mempunyai dasar hukum, karena tidak ada ketentuan undang-

    undang yang memberi wewenang kepada PN untuk memeriksa permohonan yang seperti itu,

    sehingga sejak semula permohonan itu harus dinyatakan tidak dapat diterima.

    C. FUNDAMENTUM PETENDI DAN BEBERAPA PASAL KETENTUAN UU YANG

    DAPAT DIJADIKAN LANDASAN PERMOHONAN

    Fundamentum petendi atau posita (disebut juga positum) permohonan, tidak rumit

    dalam gugatan perkara contentiosa. Landasan hukum dan peristiwa yang menjadi dasar

    permohonan, cukup memuat dan menjelaskan hubungan hukum (rechtsver houding) antara

    diri pemohon dengan permasalahan hukum yang dipersoalkan. Sehubungan dengan itu,

    fundamentum petendi atau posita permohonan pada prinsipnya didasarkan pada ketentuan

    pasal undang-undang menjadi alasan permohonan, dengan menghubungkan ketentuan itu

    dengan peristiwa yang dihadapi pemohon.

    Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas, dideskripsi berbagai ketentuan pasal

    undang-undang yang dapat dijadikan dasar hukum (rechtsgrond, basic law) permohonan

    scara voluntair. Namun apa yang dideskripsi tersebut, belum meliputi seluruh permasalahan,

    tetapi baru sebagian dan jumlah yang ada, antara lain sebagai berikut:

    1. Bidang Hukum Keluarga

    Diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, maupun peraturan perundang-

    undangan yang berkaitan dengan hukum keluarga.

    a. Permohonan izin poligami berdasarkan Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1974:

    Dalil permohonan berdasar ketentuan yang digariskan Pasal 4 ayat (1);

    Diikuti dengan pemenuhan syarat-syarat yang disebut Pasal 5 ayat (1).

    38 Tanggal 30-6-1987, Yurisprudensi Indonesia, MA RI, 1993, hlm. 7.

  • 32

    b. Permohonan izin melangsungkan perkawinan tanpa izin orang tua, berdasarkan iWat

    (5) UU No. 1 Tahun 1974:

    Dalam hal orang tua berbeda pendapat memberi izin perkawinan bagi yang

    berumur 21 tahun atau mereka yang tidak memberi pendapat;

    Dalam peristiwa yang seperti itu, yang bersangkutan dapat mengajukan

    permohonan izin kepada Pengadilan untuk melangsungkan perkawinan tanpa izin

    orang tua.

    c. Permohonan pencegahan perkawinan berdasarkan Pasal 13 jo. Pasal 17 ayat (1) UU

    No. 14 Tahun 1970:

    Apabila dalam perkawinan yang dilangsungkan ada pihak yang tidak memenuhi

    syarat;

    Maka keluarga garis lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali, dan pengampu

    dapat mengajukan permohonan pencegahan kepada Pengadilan.

    d. Permohonan dispensasi nikah bagi calon mempelai pria yang belum berumur 16 tahun

    berdasarkan Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974.

    e. Permohonan pembatalan perkawinan, berdasarkan Pasal 25, 26 dan 27 UU No. 1

    Tahun 1974.

    f. Permohonan pengangkatan wali berdasarkan Pasal 23 ayat (2) Kompilasi Hukum

    Islam, Keppres No. 1 Tahun 1991 jo. Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987.

    g. Permohonan penegasan pengangkatan anak berdasarkan penggarisan yang diatur

    dalam SEMA No. 6 Tahun 1983 tanggal 30 September 1983 tentang Penyempurnaan

    SEMA No. 2 Tahun 1979.39

    2. Bidang Paten yang Diatur dalam UU No. 14 Tahun 2000

    Permohonan kepada Pengadilan Niaga agar menerbitkan penetapan segera dan efektif,

    berdasarkan Pasal 125, untuk:

    a. Mencegah berlanjutnya pelanggaran paten, khususnya:

    Mencegah masuknya barang yang diduga melanggar paten;

    Termasuk tindakan importasi.

    b. Menyimpan bukti yang berkaitan dengan pelanggaran paten dan menghindari terjadinya

    penghilangan barang bukti.

    39 Lihat Himpunan SEMA dan PERMA tahun 1951-1991, MA RI, Februari 1999, h1m. 466 et seqq.

  • 33

    c. Meminta kepada pihak yang merasa dirugikan agar memberitahukan bukti yang

    menyatakan pihak tersebut memang berhak atas paten itu.

    3. Bidang Perlindungan Konsumen Berdasarkan UU No 8. Tahun 1999 tentang

    Perlindungan Konsumen

    a. Permohonan penetapan eksekusi kepada PN atas putusan Majelis Badan Penyelesaian

    Sengketa Konsumen berdasarkan Pasal 57.

    b. Yurisdiksinya diajukan kepada PN di tempat kediaman konsumen yang dirugikan,

    jadi kepada PN tempat kediaman permohonan eksekusi, bukan di tempat kediaman

    termohon eksekusi.

    4. Permohonan Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik

    Monopoli dan Persaingan

    Permohonan atau permintaan penetapan eksekusi kepada PN atas putusan Komisi

    Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang telah berkekuatan hukum tetap, berdasarkan

    Pasal 46 ayat (2).

    Menurut Pasal 46 ayat (1) keputusan KPPU dianggap berkekuatan tetap, apabila pelaku

    usaha yang bersangkutan, telah mengajukan keberatan kepada PN paling lambat 14 hari

    dari tanggal penerimaan pemberitahuan keputusan KPPU.

    5. Permohonan Berdasarkan UU No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan

    Permohonan pemeriksaan yayasan berdasarkan Pasal 53 kepada Ketua PN, untuk

    mendapatkan data dan keterangan atas dugaan organ yayasan:

    melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atau perbuatan yang bertentangan

    dengan Anggaran Dasar Yayasan;

    melakukan perbuatan yang merugikan yayasan serta pihak ketiga;

    lalai melaksanakan tugas;

    melakukan perbuatan yang merugikan negara.

    Yang dapat atau berhak mengajukan permohonan:

    a. oleh pihak ketiga atas huruf a, b, dan c;

    b. oleh Kejaksaan atas huruf d, mewakili kepentingan umum.

    Permohonan dituangkan dalam bentuk penetapan oleh PN berdasarkan Pasal 54:

    dapat menolak,

  • 34

    dapat juga mengabulkan, dengan menyebutkan penetapan pemeriksaan serta

    mengangkat paling banyak 3 orang ahli,

    Pasal 56 mewajibkan ahli menyampaikan laporan hasil pemeriksaan laporan kepada

    Ketua PN, paling lambat 30 hari, dan

    Selanjutnya Ketua PN memberikan salinan laporan pemeriksaan kepada pemohon

    atau Kejaksaan dan Yayasan.

    6. Permohonan Berdasarkan UU No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas

    Permohonan pembubaran Perseroan Terbatas berdasarkan Pasal 7 ayat (4)

    Orang yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan pembubaran ke PN;

    Atas alasan, apabila lewat 6 bulan, pemegang saham kurang dari dua orang.

    Permohonan izin melakukan sendiri pemanggilan RUPS kepada Ketua PN Pasal 67 ayat (1) :

    Apabila direksi atau komisaris tidak menyelenggarakan RUPS tahunan pada waktu

    yang ditentukan, atau

    melakukan sendiri pemanggilan RUPS lainnya, apabila direksi atau komisaris setelah

    lewat 30 hari terhitung sejak permintaan, tidak melakukan pemanggilan RUPS lainnya

    tersebut.

    Penetapan Ketua PN mengenal pemberian izin dalam kasus ini, merupapenetapan

    instansi pertama dan terakhir.

    c. Permohonan kepada ketua PN untuk menetapkan korum RUPS, apabila korum RUPS

    kedua tidak tercapai, berdasarkan Pasal 73 ayat (6).

    d. Permohonan pailit oleh direksi secara voluntary petition (atas permohonan sendiri) ber-

    dasarkan Pasal 90 ayat (1) dan ayat (2) asalkan permohonan itu berdasarkan putusan

    RUPS.

    e. Permohonan pemeriksaan oleh PN mengenai perbuatan melawan hukum (PMH) yang

    dilakukan perseroan atau yang dilakukan direksi maupun komisaris yang merugikan

    perseroan, berdasarkan Pasal 110 ayat (2)

    Yang dapat atau yang berhak mengajukan permohonan:

    1) pemegang saham atas nama sendiri atau atas nama perseroan yang mewakili paling

    sedikit 1/10 dari seluruh saham;

    2) pihak lain yang dalam anggaran dasar atau berdasarkan perjanjian diberi

    wewenang untuk mengajukan permohonan pemeriksaan;

    3) kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum.

  • 35

    PN berwenang:

    1) menolak permohonan, apabila tidak ada dasar;

    2) mengabulkan dengan jalan mengeluarkan penetapan pemeriksaan, dan mengangkat

    paling banyak tiga orang ahli untuk melakukan pemeriksaan;

    3) laporan hasil pemeriksaan, disampaikan kepada Ketua PN;

    4) Ketua PN memberikan salinan laporan kepada pemohon dan Perseroan yang

    bersangkutan.

    f. Permohonan kepada Ketua PN untuk menetapkan penggantian seluruh atau mebasian

    biaya pemeriksaan kepada pemohon, direksi, atau komisaris Owdasarkan Pasal 113

    ayat (3).

    g. Permohonan pembubaran perseroan kepada PN berdasarkan Pasal 117 ayat (1)

    adalah:

    1) Kejaksaan berdasarkan alasan kuat, bahwa perseroan melakukan pelanggaran

    kepentingan umum;

    2) Seorang pemegang saham atau lebih tepat yang memiliki 1/10 bagian dari jumlah

    seluruh saham;

    3) Kreditur berdasar alasan:

    a) perseroan tidak mampu membayar utang setelah dinyatakan pailit,

    b) harta kekayaan perseroan tidak cukup melunasi seluruh utang setelah pernyataan

    pailit dicabut.

    Permohonan kepada Ketua PN mengangkat likuidator baru dan menghentikan likuidar lama

    berdasarkan Pasal 123 atas alasan tidak melaksanakan tugas.

    7. Permohonan Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek

    Berdasarkan Pasal 85 dapat diajukan permohonan voluntair kepada pengadilan negeri agar

    diterbitkan penetapan sementara, mengenai:

    a. Pencegahan masuknya barang yang berkaitan melanggar hak merek;

    b. Penyimpanan alat bukti yang berkaitan dengan pelanggaran merek.

    Demikian gambaran sepintas, permasalahan yang dapat diajukan penyelesaian melalui

    permohonan atau gugatan voluntair yang diatur dalam berbagai pasal peraturan perundang-

    undangan. Akan tetapi, deskripsi di atas belum meliputi seluruh permasalahan.

    Permasalahan yang dijelaskan hanya bersifat random atau acak dari sebagian kecil peraturan

    perundang-undangan. Sehubungan dengan itu, masih banyak lagi permasalahan yang dapat

  • 36

    diselesaikan pengadilan melalui gugatan permohonan di berbagai peraturan perundang-

    undangan yang lain.

    D. PETITUM PERMOHONAN

    Sudah dijelaskan, pada kasus permohonan, pihak yang ada hanya pemohon sendiri.

    Tidak ada pihak lain yang ditarik sebagai lawan atau tergugat. Pada prinsipnya, tujuan

    permohonan untuk menyelesaikan kepentingan pemohon sendiri tanpa melibatkan pihak

    lawan. Dalam kerangka yang demikian, petitum permohonan harus mengacu pada

    penyelesaian kepentingan pemohon secara sepihak.

    Sehubungan dengan itu, petitum permohonan tidak boleh melanggar atau melampaui hak

    orang lain. Harus benar-benar murni merupakan permintaan penyelesaian kepentingan

    pemohon, dengan acuan sebagai berikut:

    1. Isi petitum merupakan permintaan yang bersifat deklaratif

    Pemohon meminta agar dalam diktum penetapan pengadilan, memuat pernyataan

    dengan kata-kata: menyatakan bahwa pemohon adalah orang yang berkepentingan

    atas masalah yang dimohon.

    2. Petitum tidak boleh melibatkan pihak lain yang tidak ikut sebagai pemohon.

    Ukuran ini merupakan konsekuensi dari bentuk permohonan, yang bersifat ex-parte

    atau sepihak saja.

    3. Tidak boleh memuat petitum yang bersifat condemnatoir (mengandung hukum)

    Ukuran ini, merupakan konsekuensi lebih lanjut dari sifat ex-parte yang benar-benar

    melekat (inherent) dalam permohonan. Oleh karena tidak ada pihak lawan atau

    tergugat, dengan sendirinya tidak ada pihak yang dapat ditimpakan hukuman.

    4. Petitum permohonan, harus dirinci satu per satu tentang hal-hal yang dikehendaki

    pemohon untuk ditetapkan Pengadilan kepadanya

    5. Petitum tidak boleh bersifat compositur atau ex aequo et bono

    Seperti yang dikatakan di atas, petitum permohonan harus dirinci, jadi bersifat

    enumeratif. Oleh karena itu, tidak dibenarkan petitum yang berbentuk mohon keadilan

    saja.

    E. PROSES PEMERIKSAAN PERMOHONAN

    1. Jalannya Proses Pemeriksaan secara Ex-Parte

    Oleh karena yang terlibat dalam permohonan hanya sepihak, yaitu pemohon sendiri ,

    proses pemeriksaan permohonan hanya secara sepihak atau bersifat ex-parte, sedangkan yang

  • 37

    hadir dan tampil dalam pemeriksaan persidangan, hanya pemohon atau kuasanya. Tidak ada

    pihak lawan atau tergugat pemeriksaan sidang benar-benar hadir untuk kepentingan

    pemohon. Oleh karena itu, yang terlibat dalam penyelesaian permasalahan hukum, hanya

    sepihak yaitu pemohon.

    Pada prinsipnya proses ex-parte bersifat sederhana:

    mendengar keterangan pemohon atau kuasanya sehubungan dengan permohonan,

    memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan pemohon, dan

    tidak ada tahap replik-dublik dan kesimpulan.

    2. Diperiksa di Sidang hanya Keterangan dan Bukti Pemohon

    Di dalam proses yang bercorak ex parte, hanya keterangan dan bukti-bukti pemohon

    yang diperiksa pengadilan. Pemeriksaan tidak berlangsung secara (contradictory) atau op

    tegenspraak. Maksudnya, dalam proses pemeriksaan, tidak ada bantahan pihak lain. Hanya

    dalam proses pemeriksaan gugatan contentiosa (gugatan yang bersifat partai di mana ada

    penggugat dan tergugat) yang berlangsung secara contradictoir. Dalam hal ini, keterangan

    dan bukti-bukti yang diajukan penggugat dapat dibantah dan dilumpuhkan tergugat, dan

    sebaliknya.

    3. Dipermasalahkan Penegakan Seluruh Asas Persidangan

    Pada proses pemeriksaan permohonan yang bersifat ex parte, tidak ditegakkan seluruh

    asas pemeriksaan persidangan. Namun tidak pula sepenuhnya disingkirkan.

    a. Yang Tetap Ditegakkan

    1) Asas kebebasan peradilan (judicial independency)

    - Tidak boleh dipengaruhi siapa pun.

    - Tidak boleh ada direktiva dari pihak mana pun.