hubungan kadar brain – derived neurotrophic …...i hubungan kadar brain – derived neurotrophic...
TRANSCRIPT
Universitas Sumatera Utara
Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id
Fakultas Kedokteran Tesis Magister (Kedokteran Klinis)
2018
Hubungan Kadar Brain – derived
Neurotrophic Factor dalam Serum
dengan Derajat Gejala Depresi pada
Penderita Psoriasis Vulgaris
Sjahrir, Muhammad
Universitas Sumatera Utara
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/10458
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
HUBUNGAN KADAR BRAIN – DERIVED NEUROTROPHIC
FACTOR DALAM SERUM DENGAN DERAJAT GEJALA DEPRESI
PADA PENDERITA PSORIASIS VULGARIS
TESIS
Oleh
dr. Muhammad Sjahrir
147105013
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALISDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARAMEDAN
2018
Universitas Sumatera Utara
HUBUNGAN KADAR BRAIN – DERIVED NEUROTROPHIC
FACTOR DALAM SERUM DENGAN DERAJAT GEJALA
DEPRESI PADA PENDERITA PSORIASIS VULGARIS
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Dokter Spesialis dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Oleh
MUHAMMAD SJAHRIR
NIM: 147105013
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
Universitas Sumatera Utara
i
Hubungan Kadar Brain – derived Neurotrophic Factor dalam Serum denganDerajat Gejala Depresi pada Penderita Psoriasis Vulgaris
Muhammad Sjahrir1, Elmeida Effendy2, Irma D. Roesyanto – Mahadi1
1Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 2Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa,Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP. H. Adam Malik
Medan, Indonesia
AbstrakLatar Belakang:Psoriasis adalah penyakit inflamasi kronis pada kulit yang dapat mengakibatkandepresi. Terdapat kesamaan substansi neurotropik dalam patogenesis psoriasis dandepresi yaitu brain-derived neurotrphic factor (BDNF). Ketidakseimbangan kadarBDNF dalam tubuh berpotensi mempengaruhi keparahan psoriasis dan depresi.
Tujuan:Untuk mengetahui hubungan antara kadar BDNF dalam serum dengan derajatgejala depresi pada penderita psoriasis vulgaris. Selain itu penelitian ini jugabertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar BDNF dalam serum denganskor psoriasis area and severity index (PASI) serta hubungan antara derajat gejaladepresi dengan skor PASI.
Metode:Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain potong lintang. Sebanyak23 orang penderita psoriasis vulgaris ikut serta dalam penelitian ini. Subyekpenelitian dilakukan pemeriksaan kadar BDNF dalam serum dengan metodeenzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Derajat gejala depresi diukurdengan menggunakan Beck depression inventory – II (BDI-II) dan derajatkeparahan psoriasis diukur dengan skor PASI. Hubungan antara kadar BDNFdalam serum dengan derajat gejala depresi dan skor PASI serta derajat gejaladerpresi dengan skor PASI dianalisis dengan uji korelasi Spearman.
Hasil:Terdapat hubungan negatif kuat antara kadar BDNF dalam serum dengan derajatgejala depresi pada penderita psoriasis vulgaris (r) -0,667 yang bermakna secarasignifikan (p) 0,001. Terdapat hubungan negatif sedang antara kadar BDNF dalamserum dengan skor PASI (r) -0,595 yang bermakna secara signifikan (p) 0,003 danterdapat hubungan positif kuat antara derajat gejala depresi dengan skor PASI (r)0,670 yang bermakna secara signifikan (p) < 0,001.
Kesimpulan:Pada penderita psoriasis vulgaris, semakin rendah kadar BDNF dalam serummaka semakin berat derajat gejala depresi dan skor PASI, serta semakin beratderajat gejala depresi maka semakin berat pula skor PASI.
Kata Kunci: psoriasis vulgaris, brain-derived neurotrophic factor, depresi
Universitas Sumatera Utara
ii
Correlation between Serum Brain-derived Neurotrophic Factor and DepressionSeverity in Psoriasis Vulgaris
Muhammad Sjahrir1, Elmeida Effendy2, Irma D. Roesyanto – Mahadi1
1Dermatology and Venereology Department, 2Psychiatry DepartmentFaculty of Medicine Universitas Sumatera Utara / Adam Malik General Hospital
Medan, Indonesia
AbstractBackground:Psoriasis vulgaris is a chronic inflammatory skin disorder that can lead todepression. There is similarity in neurotrophic substance in the pathogenesis ofpsoriasis and depression, it’s called brain-derived neurotrphic factor (BDNF).BDNF level imbalance potentially affect the severity of psoriasis and depression.
Objective:To evaluate the correlation between serum BDNF level and depression severity inpsoriasis vulgaris patient. This study also evaluate the correlation between serumBDNF level and psoriasis severity and also correlation between depressionseverity and psoriasis severity.
Methode:This is a cross-sectional analytic study that 23 psoriasis vulgaris patientsparticipated. All participants were performed serum BDNF level examination withenzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Depression severity asessed withBeck depression inventory – II (BDI-II) and psoriasis severity asessed withpsoriasis area and severity index. Correlation between all variables were analyzedwith Spearman’s correlation test.
Result:Serum BDNF level and depression severity are strongly negative correlated inpsoriasis vulgaris patients (r) -0,667 with significant value (p) 0,001. There ismoderate negative correlation between serum BDNF level with PASI score (r) -0.595 with significant value (p) 0,003. Depression severity and PASI score arestrongly positive correlated in psoriasis vulgaris patients (r) 0,670 with significantvalue (p) <0,001.
Conclusion:In psoriasis vulgaris patients, low level of serum BDNF will increase depressionseverity and PASI score. Depression severity positively affect PASI score.
Keywords: psoriasis vulgaris, brain-derived neurotrophic factor, depression
Universitas Sumatera Utara
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah mengizinkan
dan memberikan nikmat sehat kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis yang berjudul “Hubungan Kadar Brain-derived Neurotrophic
Factor dalam Serum dengan Derajat Gejala Depresi pada Penderita Psoriasis
Vulgaris” sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan Program Pendidikan
Dokter Spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dalam menyelesaikan tesis ini, banyak pihak yang telah memberikan saran dan
kritik yang membangun sejak awal pencarian judul sampai akhir penulisan
makalah. Dan juga pihak – pihak yang telah membantu secara moril dan materiil
yang tidak terhitung jumlahnya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi – tingginya
kepada:
1. Yang terhormat Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto - Mahadi, SpKK (K),
selaku pembimbing utama penulis, yang telah memberi masukan dan
koreksi serta dorongan semangat kepada penulis selama penulisan tesis ini.
2. Yang terhormat Dr. dr. Elmeida Effendy, M.Ked (KJ), SpKJ (K) selaku
pembimbing kedua penulis yang telah berkenan meluangkan waktu untuk
memberikan masukan dan koreksi selama penulisan tesis ini.
3. Yang terhormat Dr. dr. Nelva K. Jusuf, SpKK (K), FINSDV, FAADV
selaku Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin dan anggota
Universitas Sumatera Utara
iv
tim penguji, yang telah memberikan bimbingan, masukan dan koreksi
pada tesis ini.
4. Yang terhormat Dr. dr. Imam Budi Putra, MHA, SpKK, FINSDV,
FAADV selaku Ketua Program Studi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin yang telah memberikan semangat kerja keras dan disiplin
dalam menjalani pendidikan di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
5. Yang terhormat Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes selaku pembimbing
metodologi penelitian yang telah memberikan arahan dan koreksinya pada
tesis ini.
6. Yang terhormat dr. Richard Hutapea, SpKK (K), FINSDV, FAADV dan
dr. Irwan Fahri Rangkuti, SpKK, FINSDV, FAADV sebagai anggota tim
penguji, yang telah memberikan bimbingan, masukan dan koreksi pada
tesis ini.
7. Yang terhormat Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada
saya untuk dapat menjalankan pendidikan di Universitas Sumatera Utara.
8. Yang terhormat Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, SpS (K) selaku Dekan
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada
saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
9. Yang terhormat guru besar dan seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Universitas Sumatera Utara
v
Utara, RSUP. H. Adam Malik Medan, RSUD. dr. Pirngadi Medan dan RS.
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan selama
saya mengikuti pendidikan.
10. Yang terhormat Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, Direktur RSUD
dr. Pirngadi Medan dan Direktur RS. Universitas Sumatera Utara yang
telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada saya selama menjalani
pendidikan spesialis ini.
11. Yang terhormat seluruh pegawai dan perawat di SMF Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin di RSUP. H. Adam Malik Medan, RSUD. dr. pirngadi
Medan dan RS. Universitas Sumatera Utara atas bantuan, dukungan dan
kerjasama yang baik selama ini.
12. Yang terhormat para staf Laboratorium Patologi Klinik RSUP. H. Adam
Malik Medan atas bantuan, fasilitas dan kerjasama yang baik selama ini.
13. Yang terhormat seluruh peserta penelitian yang tidak dapat disebutkan
satu persatu, tanpa kesukarelaan bapak/ibu tesis ini tidak akan dapat
terselesaikan.
14. Yang terhormat seluruh teman sejawat peserta Program Pendidikan Dokter
Spesialis Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakuktas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dukungan, semangat
dan kerjasama yang baik dalam penyelesaian tesis ini.
15. Yang saya hormati dan sayangi kedua orang tua, abang dan kakak serta
seluruh keluarga besar yang telah memberikan dukungan doa dan
semangat selama saya menjalani masa pendidikan ini.
Universitas Sumatera Utara
vi
Saya menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu
penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan
tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Akhir kata, izinkan saya untuk memohon maaf yang setulus – tulusnya atas
segala kesalahan yang saya perbuat selama penyusunan tesis ini dan selama saya
menjalani masa pendidikan.
Medan, Januari 2018
Penulis
dr. Muhammad Sjahrir
Universitas Sumatera Utara
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... iABSTRACT.............. ....................................................................................... iiKATA PENGANTAR........ ............................................................................ iiiDAFTAR ISI................................................................................................... viiDAFTAR GAMBAR...................................................................................... ixDAFTAR TABEL .......................................................................................... xDAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiDAFTAR SINGKATAN DAN TANDA ....................................................... xii
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................. 11.1. Latar Belakang ......................................................... 11.2. Rumusan Masalah .................................................... 31.3. Hipotesis .................................................................. 41.4. Tujuan Penelitian ..................................................... 41.5. Manfaat Penelitian ................................................... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................... 62.1 Psoriasis ................................................................... 6
2.1.1 Epidemiologi ................................................ 62.1.2 Etiopatogenesis ............................................ 72.1.3 Manifestasi klinis ......................................... 112.1.4 Skor PASI .................................................... 122.1.5 Pemeriksaan penunjang................................ 122.1.6 Komplikasi ................................................... 132.1.7 Prognosis ...................................................... 14
2.2 Brain-Derived Neurotrophic Factor ....................... 152.3 Depresi ..................................................................... 16
2.3.1 Patofisiologi depresi...................................... 162.3.2 Gejala depresi................................................ 172.3.3 Alat ukur depresi dan tingkat depresi ........... 18
2.4 Psoriasis, BDNF dan Depresi .................................. 192.5 Kerangka Teori ........................................................ 222.6 Kerangka Konsep..................................................... 23
BAB 3 METODE PENELITIAN.................................................. 243.1 Desain Penelitian ..................................................... 243.2 Waktu dan Tempat Penelitian.................................. 243.3 Populasi dan Sampel Penelitian ............................... 243.4 Besar Sampel ........................................................... 253.5 Cara Pengambilan Sampel Penelitian ...................... 253.6 Identifikasi Variabel................................................. 253.7 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ................................... 253.8 Alat, Bahan dan Cara Kerja ..................................... 26
3.8.1 Alat dan bahan.............................................. 26
Universitas Sumatera Utara
viii
3.8.2 Cara kerja ..................................................... 273.9 Definisi Operasional ................................................ 303.10 Kerangka Operasional.............................................. 343.11 Pengolahan dan Analisis Data ................................. 343 12 Ethical Clearance .................................................... 34
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................ 354.1 Karakteristik Subyek Penelitian............................... 35
4.1.1 Karakteristik subyek penelitian berdasarkanumur ............................................................. 35
4.1.2 Karakteristik subyek penelitian berdasarkanjenis kelamin................................................... 37
4.1.3 Karakteristik subyek penelitian berdasarkanpendidikan ...................................................... 39
4.1.4 Karakteristik subyek penelitian berdasarkandurasi penyakit................................................ 39
4.2 Kadar Brain-derived Neurotrophic Factor .............. 404.3 Distribusi Derajat Gejala Depresi ............................ 414.4 Distribusi Skor PASI................................................ 424.5 Hubungan antara Kadar BDNF dengan Derajat
Gejala Depresi.......................................................... 424.6 Hubungan antara Kadar BDNF dengan Skor PASI. 444.7 Hubungan antara Derajat Gejala Depresi dengan
Skor PASI ................................................................ 45
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN.......................................... 485.1 Kesimpulan .............................................................. 485.2 Saran ........................................................................ 48
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 50LAMPIRAN.................................................................................................... 55
Universitas Sumatera Utara
ix
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
2.1 Kerangka Teori ................................................................................ 222.2 Kerangka Konsep ............................................................................ 233.1 Kerangka Operasional ..................................................................... 34
Universitas Sumatera Utara
x
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
4.1 Karakteristik Subyek Penelitian berdasarkan Umur .......................... 354.2 Karakteristik Subyek Penelitian berdasarkan Jenis Kelamin............. 374.3 Karakteristik Subyek Penelitian berdasarkan Pendidikan ................. 394.4 Karakteristik Subyek Penelitian berdasarkan Durasi Penyakit.......... 394.5 Kadar Brain-derived Neurotrophic Factor ........................................ 404.6 Distribusi Derajat Gejala Depresi ...................................................... 414.7 Distribusi Skor PASI.......................................................................... 424.8 Hubungan antara Kadar BDNF dengan Derajat Gejala Depresi ....... 424.9 Hubungan antara Kadar BDNF dengan Skor PASI........................... 444.10 Hubungan antara Derajat Gejala Depresi dengan Skor PASI............ 45
Universitas Sumatera Utara
xi
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Surat Persetujuan Komisi Etik ........................................................... 552 Naskah Penjelasan kepada Pasien...................................................... 563. Persetujuan Ikut Serta dalam Penelitian ............................................ 574. Status Penelitian................................................................................. 585. Beck Depression Inventory – II ......................................................... 616. Skor PASI .......................................................................................... 677. Intensitas Lesi pada Skor PASI.......................................................... 698. Data Peserta Penelitian ...................................................................... 709 Analisis Data...................................................................................... 7210 Pemeriksaan Kadar BDNF Serum ..................................................... 7511. Daftar Riwayat Hidup ........................................................................ 76
Universitas Sumatera Utara
xii
DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA
ACE : Angiotensin Converting EnzymeBDI - II : Beck Depression Inventory - IIBDNF : Brain Derived Neurotrophic FactorCD : Clusters of DifferentiationCES-D : Center for Epidemiologic Studies-Depression ScaleDNA : Deoxyribonucleic AcidDSM : Diagnostic Statistical Manual of Mental DisordersELISA : Enzyme Linked Immunosorbent AssayHADS : Hospital Anxiety and Depression ScaleHDL : High Density LipoproteinHDRS : Hamilton Depression Rating ScaleHLA : Human Leucocyte AntigenHPA : Hipotalamus – Pituitari – AdrenalIFN : InterferonIL : InterleukinkDa : KilodaltonLCE : Late Cornified EnvelopeMHC : Major Histocompatibility ComplexNGF : Nerve Growth FactorOD : Optical DensityPASI : Psoriasis Area and Severity IndexPHQ-9 : Patient Health Questionnaire-9p75NTR : p75 Neurotrophin ReceptorSSRI : Selective Serotonin Reuptake InhibitorsTNF : Tumor Necrosis FactorTh : T helperTrk : Tyrosine Kinase ReceptorVLDL : Very Low Density LipoproteinZDS : Zung Self-rating Depression Scale
Universitas Sumatera Utara
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Psoriasis adalah penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronis, dengan
dugaan faktor genetik sangat mempengaruhi munculnya penyakit ini.1 Psoriasis
memiliki karakteristik gangguan pertumbuhan dan diferensiasi epidermis serta
melibatkan agen – agen biokimia, imunologi, kelainan vaskular dan sistem saraf.1
Berdasarkan definisi tersebut, tampak bahwa sistem saraf terlibat dalam
munculnya psoriasis.
Keterlibatan sistem saraf pada psoriasis terbukti dengan adanya pengaruh
brain–derived neurotrophic factor (BDNF) dalam mengatur homeostasis
korneosit.2 Penelitian yang dilakukan oleh Brunoni dkk menemukan kadar BDNF
yang rendah pada penderita psoriasis.2 Akibat rendahnya kadar BDNF ini maka
apoptosis keratinosit terganggu, sehingga kematian keratinosit menjadi lebih
lama. Selain itu, rendahnya kadar BDNF pada penderita psoriasis mengakibatkan
transit - amplifying sub – population of basal keratinocytes tidak menjalankan
fungsinya sebagai inhibitor proliferasi keratinosit, sehingga terjadi percepatan
proliferasi keratinosit.2
Selain peranannya pada keratinosit, BDNF telah diketahui pula
peranannya pada depresi. Pada penderita depresi diketahui kadar BDNF dalam
serum dan hipokampusnya rendah.3-5
Penelitian post-mortem pada korban bunuh
diri yang mengalami depresi menunjukkan ekspresi BDNF secara konsisten
mengalami penurunan pada hipokampus.6-8
Kaitan BDNF dan depresi tidak
terpisahkan dengan aksis hipotalamus – pituiari – adrenal (HPA). Depresi terjadi
Universitas Sumatera Utara
2
akibat stres yang berkepanjangan, dimana terjadi hiperreaktivitas aksis HPA yang
berakibat pada peningkatan glukokortikoid. Peningkatan glukokortikoid ini
mengakibatkan penurunan ekspresi dan fungsi BDNF.9 Penurunan ekspresi dan
fungsi BDNF ini mengakibatkan kerusakan hipokampus dan area otak lainnya,
mengakibatkan mekanisme umpan balik negatif pada aksis HPA terganggu
sehingga kerusakan ini terjadi secara terus menerus. Hal ini diyakini sebagai salah
satu proses patologis yang terjadi pada depresi.9 Penelitian meta-analisis
mengatakan kadar BDNF dalam serum dapat dipertimbangkan sebagai penanda
(biological marker) pada kondisi depresi.9
Perjalanan penyakit psoriasis yang kronis dan belum ditemukan obatnya
berpotensi mengakibatkan depresi. Studi meta – analisis yang dilakukan oleh
Dowlatshahi dkk menemukan bahwa penderita psoriasis memiliki kecendrungan
gejala klinis depresi sebanyak satu setengah kali dibandingkan individu sehat.10
Fortune dkk mengatakan, gangguan psikologis yang dapat terjadi pada pasien
psoriasis adalah masalah penampilan.11
Lesi kulit pada psoriasis membuat kulit
menjadi tidak estetis mengakibatkan penderita menjadi rendah diri, penolakan
sosial, perasaan bersalah, malu, perasaan hampa, gangguan seksual hingga
gangguan pada pekerjaan.11
Gangguan psikologis pada psoriasis bahkan dapat
mengakibatkan ide bunuh diri. Cooper – Patrick dkk mengatakan, prevalensi ide
bunuh diri pada penderita psoriasis lebih tinggi dari pada kondisi medis lainnya
atau pada populasi secara keseluruhan.12
Uraian diatas menyiratkan adanya kaitan antara tampilan lesi kulit
psoriasis vulgaris dengan terjadinya depresi yang menarik untuk diketahui.
Penderita psoriasis vulgaris memiliki variasi manifestasi klinis yang beragam.
Universitas Sumatera Utara
3
Derajat keparahan psoriasis dapat ringan hingga berat, bergantung pada luas area
yang terkena dan intensitas lesi kulit yang tampak.13
Untuk mencapai obyektivitas
dalam menentukan keparahan psoriasis ini, maka terdapat indeks keparahan
psoriasis yang disebut dengan psoriasis area and severity index (PASI).13
Berdasarkan penjelasan diatas, tampak suatu kaitan antara psoriasis,
BDNF dan depresi. Psoriasis mempengaruhi kadar BDNF dan dapat
mengakibatkan depresi serta BDNF berperan dalam patogenesis depresi. Peneliti
belum menemukan penelitian yang menghubungkan antara psoriasis, BDNF dan
depresi di Indonesia. Hal ini yang menarik peneliti untuk melakukan penelitian
hubungan antara kadar BDNF dalam serum dengan derajat gejala depresi pada
penderita psoriasis vulgaris. Penelitian ini diharapkan akan membuka
pengetahuan bagi dokter, khususnya dokter spesialis kulit dan kelamin dalam
mengelola pasien psoriasis vulgaris agar menilai pasien tidak hanya keluhan fisik
semata namun melihat dari sisi psikologis pula.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apakah terdapat hubungan antara kadar BDNF dalam serum dengan
derajat gejala depresi pada penderita psoriasis vulgaris?
2. Apakah terdapat hubungan antara kadar BDNF dalam serum dengan
skor PASI?
3. Apakah terdapat hubungan antara derajat gejala depresi dengan skor
PASI?
Universitas Sumatera Utara
4
1.3 Hipotesis
1. Terdapat hubungan antara kadar BDNF dalam serum dengan derajat gejala
depresi pada penderita psoriasis vulgaris.
2. Terdapat hubungan antara kadar BDNF dalam serum dengan skor PASI.
3. Terdapat hubungan antara derajat gejala depresi dengan skor PASI.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara kadar BDNF dalam serum dengan
derajat gejala depresi pada penderita psoriasis vulgaris.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik demografik dan durasi penyakit penderita
psoriasis vulgaris.
2. Mengetahui kadar BDNF dalam serum penderita psoriasis vulgaris.
3. Mengetahui derajat gejala depresi penderita psoriasis vulgaris.
4. Mengetahui skor PASI penderita psoriasis vulgaris.
5. Mengetahui hubungan antara kadar BDNF dalam serum penderita
psoriasis vulgaris dengan skor PASI.
6. Mengetahui hubungan antara derajat gejala depresi penderita
psoriasis vulgaris dengan skor PASI.
Universitas Sumatera Utara
5
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Dalam bidang akademik
Menambah pengetahuan mengenai perkembangan patogenesis psoriasis
vulgaris, terutama kaitannya dalam bidang psikiatri.
1.5.2 Dalam masyarakat
Menjadi pengetahuan bagi masyarakat, bahwa penyakit psoriasis
vulgaris bukan hanya mengakibatkan kelainan kulit semata, tetapi dapat
mengakibatkan kelainan psikologis.
1.5.3 Dalam pengembangan penelitian
a. Meningkatkan pengetahuan peranan neurotropik BDNF pada
psoriasis vulgaris.
b. Sebagai data dasar bagi penelitian mengenai psoriasis vulgaris
selanjutnya.
1.5.4 Dalam pelayanan di rumah sakit
Memberikan masukan kepada pihak rumah sakit dalam penanganan
psoriasis yang terintegrasi dengan bidang psikiatri.
Universitas Sumatera Utara
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit inflamasi kulit kronis yang tidak menular dan
belum diketahui penyebabnya hingga saat ini. Psoriasis dipengaruhi oleh faktor
genetik, imunologi dan lingkungan yang memiliki karakteristik gangguan
pertumbuhan dan diferensiasi epidermis serta melibatkan agen – agen biokimia,
imunologi, kelainan vaskular dan sistem saraf.1
2.1.1 Epidemiologi
Psoriasis dapat menyerang seluruh manusia, tidak mengenal jenis kelamin,
usia dan ras. 1
Prevalensi psoriasis pada beragam populasi yaitu 0,1 % sampai 11,8
%.1
Di Eropa insidensi tertinggi psoriasis adalah pada negara Denmark.1 Di
Amerika, keturunan Afro-Amerika memiliki prevalensi lebih rendah
dibandingkan keturunan kulit putih yaitu 1,3 % : 2,5 %.14
Di Asia, insidensi
psoriasis tergolong rendah yaitu 0,4 %.1 Di Indonesia, prevalensi dan insidensi
psoriasis belum terdata dengan baik. Data yang terkumpul dari rekam medik
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik – Medan periode Januari hingga
Desember 2016 didapatkan bahwa dari 1,013 orang yang datang berobat ke
Poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 45 pasien (4,44%)
didiagnosis sebagai psoriasis vulgaris. Dari jumlah tersebut 23 pasien (51,1%)
berjenis kelamin laki - laki dan 22 pasien (48,9 %) berjenis kelamin perempuan.
Universitas Sumatera Utara
7
2.1.2 Etiopatogenesis
Psoriasis memiliki ciri percepatan laju proliferasi dan diferensiasi
keratinosit. Meskipun ciri tersebut telah diketahui, hingga saat ini penyebab
psoriasis masih belum pasti. Pada awalnya, keratinosit diyakini sebagai target
akhir dari suatu kaskade imunologis pada psoriasis, namun saat ini banyak bukti
yang menyebutkan bahwa keratinosit itu sendiri memiliki peran dalam terjadinya
psoriasis.15
Faktor imunologi, genetik, dan lingkungan merupakan faktor yang
saling mempengaruhi dalam terjadinya penyakit ini.16
Peranan sinyal – sinyal molekuler dan seluler dalam patogenesis psoriasis
termasuk ke dalam faktor imunologi. Salah satu contoh peranan sinyal molekuler
dan seluler adalah sel keratinosit. Keratinosit merupakan penghasil utama sitokin
proinflamasi, kemokin dan growth factor, dan juga mediator seperti eikosanoid,
serta mediator dalam sistem imun alami yaitu katelisidin, defensin dan protein
S100.17-19
Sinyal – sinyal molekuler tersebut akan merangsang kaskade respon
imun pada psoriasis. Pada penelitian ini, BDNF termasuk dalam famili growth
factor yang berperan pada homeostasis keratinosit.2
Selain keratinosit, peranan seluler juga diperankan oleh sel-T, natural
killer cells, sel dendritik, sel mast, makrofag, netrofil, sel endotel dan fibroblas.1
Semua sel – sel ini akan merangsang pengeluaran sitokin inflamasi yang akan
memicu proliferasi keratinosit. Sebagai contoh adalah sel T, sel T pada psoriasis
berada dalam kondisi teraktivasi, kemungkinan akibat adanya autoantigen yang
berada pada kulit.1 Sel T yang teraktivasi dan sel dendritik akan menghasilkan
TNF-α dan IFN-γ yang akan meningkatkan produksi IL-23, IL-23 ini akan
merangsang penambahan sel CD4+
Th17 dan Th22 yang selanjutnya
Universitas Sumatera Utara
8
menghasilkan IL-17 dan IL-22 yang memiliki efek hiperplasia epidermis dan
berperan pada inflamasi kronis.1 TNF-α pada psoriasis memiliki kadar yang tinggi
pada dermis dan sirkulasi darah. TNF-α juga memiliki peran yang signifikan pada
psoriasis, terbukti dengan adanya perbaikan lesi setelah diberikan TNF-α
inhibitor.16
Faktor genetik telah dibuktikan memiliki peranan kuat dalam terjadinya
psoriasis. Pada pengamatan suatu keluarga, psoriasis tampak sebagai autosomal
dominan.16
Gen utama terjadinya psoriasis yang telah diketahui adalah gen HLA-
Cw6.1 Selain gen HLA-Cw6, gen non – MHC diketahui pula berperan pada
kejadian psoriasis. Studi meta-analisis menunjukan bahwa delesi pada dua gen
late cornified envelope (LCE) yaitu LCE3C dan LCE3B merupakan faktor genetik
yang sering menjadi kerentanan dalam terjadinya psoriasis pada populasi yang
berbeda.16
Setelah faktor imunologi dan genetik, faktor berikutnya adalah faktor
lingkungan. Faktor lingkungan yang dapat mencetuskan psoriasis adalah infeksi,
hormon, trauma, obesitas, merokok, obat – obatan, pajanan sinar UV, dan
cuaca.1,16
Infeksi Streptokokus merupakan infeksi yang paling sering menjadi
pencetus psoriasis. Selain itu, infeksi Stafilokokus dan HIV juga diketahui sebagai
pencetus psoriasis. Perubahan hormon pada kehamilan diketahui dapat
memperbaiki psoriasis.16
Trauma fisik terbukti menjadi pencetus psoriasis,
dimana dibuktikan dengan adanya fenomena Koebner. Sebuah studi mengatakan
obesitas mempunyai risiko terjadinya psoriasis berat, baik dikaitkan dengan berat
badan itu sendiri atau berkaitan dengan gen obesitas ataupun kombinasi keduanya,
namun obesitas tidak mempengaruhi awitan terjadinya psoriasis.20
Sementara itu,
Universitas Sumatera Utara
9
Pernah dilaporkan bahwa psoriasis membaik dengan penurunan berat badan, dan
sebaliknya psoriasis menjadi lebih parah dengan bertambahnya berat badan.16
Merokok lebih dari 20 batang sehari meningkatkan risiko terjadinya psoriasis
berat sebanyak lebih dari dua kali lipat.20
Penggunaan obat – obatan yang sering
menjadi pencetus psoriasis adalah iodida, kortikosteroid, aspirin, litium, beta-
bloker, botulinum A, antimalaria, IFN-γ dan γ-imiquimod, ACE-inhibitor dan
gemfibrosil.16
Cuaca panas dan pajanan matahari diketahui dapat memperbaiki
psoriasis.16
Setelah diketahui fakor imunologi, genetik dan lingkungan dalam
terjadinya psoriasis, maka selanjutnya adalah proses terbentuknya lesi kulit pada
psoriasis. Pada lesi kulit psoriasis ditemukan mengendurnya pembuluh darah
akibat dilatasi pembuluh darah superfisial dan gangguan siklus sel epidermis.1
Hiperplasia epidermis berakibat pada percepatan laju pergantian sel (cell turnover
rate) dari normalnya sekitar 25 hari menjadi 3 – 5 hari saja.16
Dengan adanya
percepatan ini maka pematangan keratinosit juga terganggu.16
Keratinosit normalnya akan kehilangan inti pada stratum granulosum,
tetapi pada psoriasis inti ini tidak menghilang, kondisi ini disebut juga dengan
parakeratosis. Bersamaan dengan parakeratosis, sel epidermis juga gagal dalam
menghasilkan lipid yang adekuat. Lipid ini adalah substansi adhesi antar
korneosit. Dengan tidak adekuatnya kandungan lipid tersebut maka tampilan lesi
kulit psoriasis menjadi kering dan bersisik.16
Dengan adanya pemeriksaan mikroskop elektron, pemeriksaan
imunohistokimia dan studi molekuler pada lesi dan non – lesi psoriasis,
memberikan pemahaman mengenai hubungan antara proses seluler yang terjadi
Universitas Sumatera Utara
10
pada lesi psoriasis. Kulit yang tampak normal pada psoriasis diketahui telah
terjadi perubahan morfologi subklinis dan perubahan biokimia terutama
biosintesis lipid. Perubahan ini disebut dengan istilah “parakeratosis
histokimia”.21
Lesi inisial psoriasis ditandai dengan makula berukuran kepala jarum
pentul disertai edema yang jelas dan dilatasi venula.1 Tampak pula infiltrat sel
mononuklear pada dermis bagian atas. Lapisan epidermis yang diatasnya akan
spongiosis dengan adanya sedikit lapisan granular yang menghilang.1
Setelah lesi inisial, selanjutnya lesi akan terus berkembang sampai menjadi
lesi yang matur. Pada lesi yang masih berkembang ini (developing lesion) terjadi
peningkatan ketebalan epidermis sekitar 50 % dibandingkan pada kulit yang
tampak normal yang berdekatan dengan lesi.1 Terjadi pula peningkatan sintesis
DNA, jumlah sel mast dan peningkatan degranulasi sel mast serta makrofag dan
sel T pada dermis. Rete ridges mulai naik ke atas sampai akhirnya menjadi plak
psoriasis.1
Setelah melalui perjalanan dari lesi inisial menjadi lesi yang berkembang
(developing lesion), akhirnya lesi ini menjadi matur. Pada lesi yang matur
memiliki ciri elongasi rete ridges yang seragam dengan penipisan epidermis
diatas papila dermis.1 Ujung rete ridges membulat dengan penipisan dan elongasi.
Papila dermis menjadi edema disertai dilatasi kapiler yang berliki – liku. Lesi
matur pada psoriasis juga terdapat parakeratosis dengan kehilangan lapisan
granular dan juga terdapat ortokeratosis.1 Infiltrat limfosit, makrofag, sel dendritik
dan sel mast menjadi lebih banyak, tetapi pada lesi matur ini limfosit sudah
Universitas Sumatera Utara
11
mencapai epidermis. Sel netrofil juga ditemukan pada daerah parakeratosis
stratum korneum dan disebut dengan mikroabses Munro.1
2.1.3 Manifestasi klinis
Psoriasis vulgaris merupakan tipe psoriasis yang paling sering. Keluhan
subyektif yang dirasakan pasien umumnya berupa kulit bersisik disertai rasa gatal.
Area predileksi psoriasis vulgaris adalah kulit kepala, genitalia, umbilikus,
lumbosakral dan retroaurikular, dengan predileksi tersering adalah ekstensor lutut,
siku, kulit kepala dan punggung.1 Ciri – cirinya yaitu peninggian kulit disertai
inflamasi ditutupi oleh skuama perak keputihan. Apabila skuama dilepaskan dari
dasarnya, maka tampak kulit yang meradang di bawahnya.15
Pemeriksaan dermatologis pada psoriasis vulgaris berupa makula eritema
bersisik, papula dan plak. Pada awalnya hanya makula saja, lalu berkembang
menjadi makulopapula dengan batas yang jelas. Plak pada psoriasis memiliki ciri
berwarna perak dengan kemerahan dan berkilat.16
Psoriasis tidak hanya mengenai kulit tetapi dapat pula mengenai kuku dan
sendi. Psoriasis kuku mengakibatkan kuku berlekuk lalu menjadi tebal dan
kekuningan. Kuku dapat terpisah dari dasarnya (nail bed). Psoriasis kuku dapat
sulit dibedakan dengan infeksi jamur pada kuku. Sebuah studi retrospektif yang
dilakukan tahun 2014 menemukan bahwa apabila seseorang mengalami psoriasis
kuku maka diprediksi secara signifikan akan mengalami psoriasis artritis.22
Kejadian psoriasis artritis pada pasien psoriasis kulit adalah sebanyak 10 – 30 %.1
Artritis biasanya terjadi pada tangan dan kaki dan terkadang pada sendi besar.
Psoriasis artritis memiliki gejala nyeri, kaku dan kehancuran sendi.16
Universitas Sumatera Utara
12
2.1.4 Skor PASI
Manifestasi klinis psoriasis vulgaris dapat bervariasi dari ringan sampai
berat. Penilaian derajat keparahan ini berguna untuk menentukan pengobatan serta
menilai keberhasilan pengobatan.23
Penggunaan PASI dalam menilai derajat
keparahan psoriasis vulgaris adalah untuk meminimalisir subyektivitas penilai.
Meskipun meminimalisir subyektivitas, PASI memiliki kelemahan dalam
penggunaannya, yaitu dapat terjadi perbedaan hasil ketika digunakan oleh penilai
yang berbeda pada pasien yang sama.23
Oleh karena itu, untuk mencegah
subyetivitas, penilaian PASI harus dilakukan pada orang yang sama.13
PASI telah digunakan secara luas di dunia dan merupakan alat ukur yang
sangat berguna.23
Skor PASI memiliki rentang nilai 0 – 72. Angka ini berasal dari
penilaian luas area tubuh yang terkena dan keparahan lesi. Area tubuh yang dinilai
adalah kepala dan leher, sumbu tubuh, ekstremitas atas dan ekstremitas bawah.
Pada area tubuh tersebut, dinilai keparahan lesi dengan melihat eritema, ketebalan
atau indurasi dan skuama. Skor PASI dibawah 10 digolongkan sebagai psoriasis
ringan, 10 – 20 adalah psoriasis sedang dan diatas 20 adalah psoriasis berat.13
2.1.5 Pemeriksaan penunjang
Psoriasis vulgaris mudah didiagnosis secara klinis. Pemeriksaan
histopatologi dilakukan untuk kasus – kasus yang meragukan atau terdapat
penyulit.1 Pada pemeriksaan histopatologi, lesi plakat yang matur tampak tanda
spesifik berupa akantosis dengan elongasi seragam dan penipisan epidermis diatas
papila dermis.1 Tampak hiperkeratosis dan parakeratosis dengan penipisan atau
menghilangnya stratum granulosum.1 Pembuluh darah di papila dermis
memanjang, melebar dan berkelok – kelok. Pada lesi yang matang ditemukan
Universitas Sumatera Utara
13
limfosit pada dermis dan epidermis. Terdapat migrasi netrofil yang berasal dari
dilatasi pembuluh darah dermis atas ke epidermis dimana akan berkumpul di
stratum korneum dan di dalam lapisan Malpighian pada akhirnya terbentuk
spongioform pustules of Kogoj.1
Pemeriksaan kadar serum albumin diperlukan pada kasus psoriasis
vulgaris derajat berat, psoriasis pustular generalisata dan eritroderma. Biasanya
pada kondisi tersebut terjadi penurunan kadar serum albumin.1
Psoriasis dapat
pula mengakibatkan perubahan profil lipid, yang menjadi faktor risiko terjadinya
penyakit kardiovaskular dikemudian hari. Perubahan yang terjadi adalah
peningkatan high-density lipoprotein (HDL) sebanyak 15 % dan rasio kolesterol-
trigliserida dengan very low-density lipoprotein (VLDL) lebih tinggi yaitu 19 %.1
Penelitian menemukan pasien psoriasis vulgaris mengalami pengingkatan
kadar asam urat sebanyak 50% yang berkaitan luas lesi.1 Peningkatan asam urat
ini akan meningkatkan risiko penyakit Gout. Apabila psoriasis dapat dikendalikan
maka kadar asam urat dalam darah dapat dikendalikan pula.1
Pemeriksaan C-
reactive protein, α2-makroglobulin dan laju endap darah dapat dilakukan sebagai
penanda adanya inflamasi sistemik.1
Pemeriksaan ini sesuai dengan patogenesis
psoriasis vulgaris yang ditandai dengan adanya inflamasi kronis yang bersifat
lokal dan sistemik, namun pemeriksaan ini tidak spesifik untuk psoriasis.
2.1.6 Komplikasi
Psoriasis berat dan kronis dapat mengakibatkan penyakit kardiovaskular
dikemudian hari.24,25
Selain penyakit kardiovaskular, terjadi peningkatan frekuensi
rematoid artritis dan kolitis ulseratif pada psoriasis.26
Selain komplikasi secara
fisik, psoriasis memiliki komplikasi psikologis. Psoriasis menurunkan kualitas
Universitas Sumatera Utara
14
hidup dan berakibat pada gangguan psikososial. Gangguan psikososial yang
terjadi adalah akibat buruknya persepsi penampilan fisik pada psoriasis yang
mengakibatkan rasa rendah diri, penolakan sosial, rasa bersalah, malu, perasaan
hampa, gangguan seksual hingga gangguan dalam pekerjaan.11
Gangguan
psikososial ini bertambah berat dengan adanya rasa gatal dan nyeri.16
Psoriasis bersifat kronis dan belum ada obatnya hingga saat ini, sehingga
muncul stigma dalam masyarakat. Stigma bahwa psoriasis tidak dapat diobati,
membutuhkan pengobatan seumur hidup dan menular mengakibatkan pasien tidak
patuh dalam pengobatan dan dapat memperparah penyakitnya.27
Stigma psoriasis
mengakibatkan stres psikologis dan dapat berakhir pada depresi dan gangguan
cemas.28
Prevalensi depresi dan ide bunuh diri pada pasien psoriasis lebih tinggi
dibandingkan penyakit lainnya pada populasi secara umum.12
Penelitian
melaporkan penurunan fungsi fisik dan mental pada penderita psoriasis setara
dengan penyakit kanker, artritis, hipertensi, penyakit jantung, diabetes dan
depresi.29
Penelitian mengatakan 79 % pasien psoriasis berat memiliki pandangan
yang buruk terhadap hidupnya.30
2.1.7 Prognosis
Perjalanan penyakit psoriasis vulgaris tidak dapat diprediksi. Penelitian
yang mengikuti pasien psoriasis selama 21 tahun mendapatkan hasil bahwa,
sebanyak 71 % pasien mengalami lesi persisten, 13 % pasien sembuh sempurna
dan 16 % pasien mengalami intermiten.31
Psoriasis vulgaris terkadang mengalami
remisi spontan dengan penyebab yang tidak diketahui, kemungkinan akibat tubuh
dapat mentoleransi aktivitas autoimun pada psoriasis (self-reactive versus self-
tolerance).1
Universitas Sumatera Utara
15
2.2 Brain-Derived Neurotrophic Factor (BDNF)
BDNF merupakan substansi neurotropik dengan berat molekul 27 kDa.32
Neurotropik BDNF adalah famili growth factor (nerve growth factor) yang
mengatur pertumbuhan, pemeliharaan dan program kematian (apoptosis) sel saraf
dan juga memiliki fungsi diluar sistem saraf.33
Efek biologis yang ditimbulkan
oleh neurotropik sangat bergantung pada reseptor atau ko-reseptornya pada sel
target salah satunya pada kulit. BDNF merupakan neurotropik yang berperan
dalam neuroplastisitas, pertumbuhan saraf dan kekuatan sinaps termasuk juga
dalam fungsi memori dan belajar.34
BDNF yang berada pada kulit berfungsi untuk
memelihara kelangsungan hidup dan fungsi sel saraf pada kulit serta menjaga
homeostasis epidermis.35
Produksi utama BDNF pada otak adalah pada hipokampus, dimana
merupakan pusat belajar dan memori. Selain terletak pada hipokampus, BDNF
juga diproduksi di perifer seperti di sel epitel dan pembuluh darah, sel otot,
makrofag dan leukosit.36
Mayoritas BDNF diproduksi oleh Gen BDNF terletak
pada lengan pendek kromosom 11 (11p13), tepatnya terletak pada pasang basa
27,654,892 sampai 27,722,057 pada kromosom 11.37
Neurotropik berkerja pada famili reseptor tyrosine kinase (Trk) yaitu Trk
A, Trk B dan Trk C. BDNF bekerja dominan pada reseptor Trk B.38
Selain bekerja
pada Trk B, BDNF bekerja pula pada reseptor p75 (p75NTR) yang merupakan
bagian dari superfamili tumor necrosis factor (TNF)-receptor.37
Universitas Sumatera Utara
16
2.3 Depresi
Depresi sangat berpotensi mengakibatkan morbiditas dan mortalitas serta
dapat berakhir pada bunuh diri. Depresi merupakan gangguan yang heterogen,
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya.39
Gejala
penyertanya yaitu gangguan tidur dan nafsu makan, defisit dalam kognisi dan
energi, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, timbul rasa putus asa, rasa bersalah
dan tidak berdaya, tidak berharga, serta bunuh diri.39,40
Berdasarkan diagnostic
statistical manual of mental disorders edisi ke-5 (DSM-5), depresi dapat
diakibatkan oleh kondisi medis lain, dalam hal ini berkaitan dengan penelitian ini
yaitu depresi dapat diakibatkan oleh psoriasis.
2.3.1 Patofisiologi depresi
Hingga saat ini patofisiologi pasti depresi masih belum dapat dipastikan.40
Depresi dikaitkan dengan defisit dari fungsi atau jumlah faktor neurotropik,
monoamin, dan endokrin.39
Faktor neurotropik diperankan oleh BDNF yang memiliki peran penting
dalam regulasi plastisitas, ketahanan, dan pembentukan saraf (neurogenesis).39
BDNF diperkirakan memberi pengaruh terhadap kelangsungan hidup dan
pertumbuhan neuron melalui pengaktifan reseptor tirosin kinase B di neuron dan
sel glia.39
Stres memiliki kaitan dengan penurunan kadar BDNF dan berkurangnya
substansi neurotrofik.39
Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan struktural
atrofik di hipokampus dan bagian lain seperti korteks frontalis orbital medialis
dan singulatus anterior.39
Hipokampus berperan penting dalam ingatan
kontekstual dan regulasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA), sedangkan
singulatus anterior berperan dalam integrasi rangsang emosi, sementara korteks
Universitas Sumatera Utara
17
frontalis orbital medialis juga diduga berperan dalam ingatan, belajar dan emosi.39
Terjadinya depresi berkaitan dengan hilangnya aktivitas neurotropik, dimana pada
depresi mayor terjadi pengurangan 5-10% volume hipokampus dan pengurangan
substansial volume di singulus anterior serta korteks frontalis orbital medialis.
Berkurangnya volume pada struktur hipokampus akan bertambah sesuai lama
sakit dan jumlah waktu ketika depresi yang terjadi tidak diobati.39
Peranan monoamin pada depresi adalah terjadi defisiensi pada jumlah atau
fungsi serotonin, norepinefrin, dan dopamin dalam korteks dan limbus.39,40
Peranan serotonin pada depresi terbukti dengan membaiknya gejala depresi
setelah pemberian obat selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs). 39
Peranan neuroendokrin menjelaskan keterkaitan kelainan hormon dengan
terjadinya depresi. Terjadinya depresi dilaporkan berhubungan dengan
peningkatan kadar kortisol.40
Pada hipotesis ini disebutkan bahwa glukokortikoid
eksogen dan peningkatan kortisol endogen diketahui berkaitan dengan gejala -
gejala mood dan defisit kognitif serupa dengan peningkatan yang terjadi pada
depresi.39
2.3.2 Gejala depresi
Dalam praktek pelayanan primer, gejala depresi yang dapat dikeluhkan
pasien pertama kali dapat berupa rasa lelah yang berlebihan, sakit kepala,
gangguan gastrointestinal atau gangguan tidur.39,40
Oleh karena itu seorang dokter
pelayanan primer harus menilai setiap keluhan pasien secara holistik.
Secara umum terdapat tiga gejala pada depresi yaitu gejala fisik, gejala
psikis dan gejala sosial.39,40
Menurut beberapa ahli, gejala fisik pada depresi
mempunyai variasi yang luas sesuai dengan berat ringannya depresi yang dialami.
Universitas Sumatera Utara
18
Namun secara garis besar ada beberapa gejala fisik umum yang relatif mudah
dideteksi yaitu, perubahan berat badan atau nafsu makan yang signifikan,
gangguan pola tidur, perilaku pasif, menyukai kegiatan yang tidak melibatkan
orang lain, efisiensi dan produktivitas kerja menurun, mudah letih dan sakit.39,40
Gejala psikis pada depresi ditandai dengan hilangnya minat dan kesenangan,
hilangnya rasa percaya diri, sulit konsentrasi, sensitif, merasa diri tidak berguna,
perasaan bersalah, perasaan terbebani hingga ide bunuh diri.39,40
Gejala sosial
pada depresi ditandai dengan tidak mampu bersikap terbuka dan secara aktif
menjalin hubungan dengan lingkungan sekalipun ada kesempatan.39,40
2.3.3 Alat ukur depresi dan tingkat depresi
Untuk menentukan derajat depresi, terdapat beberapa instrumen yang
dapat digunakan. Instrumen – instrumen ini terdiri dari dua tipe, tipe yang pertama
adalah instrumen yang dilakukan oleh pasien sendiri dan yang kedua adalah
instrumen yang digunakan oleh seorang profesional seperti dokter.
Instrumen yang digunakan oleh pasien terdiri dari patient health
questionnaire-9 (PHQ-9), Beck depression inventory (BDI), Zung self-rating
depression scale dan center for epidemiologic studies-depression scale (CES-
D).40
Diantara alat penilaian diri sendiri yang tersedia, BDI merupakan alat yang
popular di seluruh dunia. Pertama kali diusulkan oleh Beck dkk, alat ukur ini telah
digunakan pada lebih dari 7000 studi.40
Kelebihan BDI adalah penerapan yang
mudah, murah dan memiliki kekuatan psikometri yang kuat.40
Penelitian ini
menggunakan BDI, dimana saat ini BDI yang dipakai adalah BDI-II. BDI-II yang
dibuat mengikuti hadirnya DSM – IV, dimana terdiri dari manifestasi psikologik
Universitas Sumatera Utara
19
dan somatik dari episode depresif mayor dalam 2 minggu terakhir. BDI dapat
digunakan pada usia ≥ 13 tahun.40
BDI-II terdiri dari 21 butir pernyataan untuk menilai keparahan gejala
depresi subyektif.40
Setiap respon dinilai dengan skala dari 0 (tidak) hingga 3
(berat). Tes meliputi kognitif, afektif dan somatik. Lama pengisian oleh pasien
adalah 5 – 10 menit. Interpretasi derajat gejala depresi BDI-II berdasarkan skor
yang didapatkan, skor 0 – 13 adalah depresi minimal, 14 – 19 depresi ringan, 20 –
28 depresi sedang dan 29 – 63 depresi berat.40
Instrumen yang digunakan oleh seorang yang terlatih, dalam hal ini adalah
dokter berupa Hamilton depression rating scale (HDRS). HDRS adalah suatu
skala pengukuran depresi yang terdiri dari 17 atau 21 pernyataan dengan fokus
primer pada gejala somatik.40
Penjumlahan skor hanya dilakukan pada 17
pertanyaan awal dimana total skor HDRS 0 – 7 dinyatakan normal sedangkan skor
≥ 20 dinyatakan depresi sedang - berat.40
2.4 Psoriasis, BDNF dan Depresi
Terdapat hubungan antara psoriasis, BDNF dan depresi. Pada psoriasis
terjadi penurunan kadar BDNF dan pada depresi juga terjadi penurunan kadar
BDNF. Hal ini memungkinkan kesamaan jalur patogenesis yang mendasari
keduanya. Psoriasis dapat mengakibatkan depresi, begitu pula depresi dapat
mencetuskan psoriasis.35,39
Botchkarev dkk mengatakan, persamaan asal embriogenesis kulit dengan
sistem saraf yaitu ektodermal, memungkinkan adanya peranan faktor
Universitas Sumatera Utara
20
pertumbuhan (growth factor) dalam mengontrol homeostasis kulit dan
remodelling, dalam hal ini yaitu peranan neurotropin.35
Keterkaitan sistem saraf dengan psoriasis terbukti dengan menyembuhnya
lesi psoriasis setelah saraf sensoris kulit dihilangkan.41,42
Akhir – akhir ini banyak
penelitian terfokus pada peranan neuropeptida seperti peranan neurotropik pada
psoriasis, kemungkinan akibat aktivasi sel mast yang berlanjut menjadi inflamasi
kulit lalu merangsang sitokin neuroinflamasi lainnya.34
Pada psoriasis terjadi kegagalan dalam keseimbangan antara proliferasi
dan apoptosis keratinosit. Proliferasi dan apoptosis ini dipengaruhi oleh
neuropeptida dan reseptornya. BDNF memiliki hubungan dengan kulit yaitu
menginduksi apoptosis pada keratinosit, tetapi tidak bekerja pada psoriatic
transit-amplifying sub-population of basal keratinocytes.41
Penelitian yang
dilakukan oleh Brunoni dkk menemukan rendahnya kadar BDNF pada penderita
psoriasis. Akibat rendahnya kadar BDNF ini maka apoptosis keratinosit
terganggu. Sehingga kematian keratinosit menjadi lebih lama. Selain itu,
rendahnya kadar BDNF pada penderita psoriasis mengakibatkan transit -
amplifying sub – population of basal keratinocytes tidak menjalankan fungsinya
sebagai inhibitor proliferasi keratinosit, sehingga terjadi percepatan proliferasi
keratinosit.2
BDNF berperan dalam patogenesis psoriasis melalui efek yang
ditimbulkan kepada keratinosit. Melalui reseptor utamanya yaitu TrkB, BDNF
berperan dalam proliferasi keratinosit dan inhibisi apoptosis.35
Sejalan dengan rendahnya kadar BDNF pada penderita psoriasis,
penelitian menunjukkan kadar BDNF pada penderita depresi juga rendah. Stress
Universitas Sumatera Utara
21
psikologis akan menurunkan kadar BDNF yaitu melalui pengaktifan aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal dan aksis simpatetik-adrenal-medula yang akan
meningkatkan kortisol serta sitokin neuroinflamasi dan menurunkan kadar
BDNF.43
Permasalahan psoriasis tidak hanya terbatas pada kulit. Manifestasi kulit
psoriasis dapat mengakibatkan tekanan psikologis dan penurunan kualitas hidup
penderitanya.1 Tekanan psikologis dan sosial yang dapat dialami pasien psoriasis
berupa stigma dan rasa malu yang pada akhirnya mengakibatkan depresi.
Penelitian melaporkan prevalensi depresi pada pasien psoriasis adalah 10 – 62%.16
Sebuah penelitian potong lintang menemukan 32% penderita psoriasis mengalami
depresi dari total 265 pasien psoriasis.44
Penderita psoriasis memiliki
kecendrungan yang lebih tinggi menjadi depresi dibandingkan penderita kusta,
vitiligo dan liken planus.16
Depresi pada penderita psoriasis mempengaruhi
kepatuhan berobat, sehingga apabila tidak diatasi keberhasilan pengobatan
mustahil untuk dicapai.16
Universitas Sumatera Utara
22
2.5 Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Imunologi Genetik Lingkungan
Sinyal
Molekuler
Seluler Gen HLA-Cw6,
Gen Non -
MHC
Sitokin dan
Kemokin, Innate
immune
mediators,
eikosanoid,
protease dan
inhibitornya,
sinyal transduksi
integrin, growth
factor
Natural killer
cells, sel mast,
makrofag,
netrofil,
keratinosit, sel
endotel dan
fibroblas, sel-T,
sel dendritik
Hormon, cuaca,
obesitas,
alkohol,
merokok,
trauma, obat,
infeksi,
ultraviolet
Nerve growth
factor
Psoriasis
vulgaris
Endokrin
Monoamin
Neurotropik
Brain – derived
Neurotrophic
Factor ⬇
Depresi
Kortisol
Serotonin,
norepinefrin,
dopamin
Atropi hipokampus,
singulus anterior,
korteks frontalis orbital
medialis
Gangguan area
korteks
serebri, limbus
Gangguan
mood, defisit
kognitif
Homeostasis keratinosit terggangu
Universitas Sumatera Utara
23
2.6 Kerangka Konsep
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Pada penelitian ini, penderita psoriasis vulgaris dilakukan pemeriksaan
kadar BDNF dalam serum. Penderita juga diukur derajat gejala depresi dan skor
PASI-nya. Kemudian dinilai apakah terdapat hubungan antara kadar BDNF dalam
serum dengan derajat gejala depresi, hubungan antara kadar BDNF dalam serum
dengan skor PASI dan hubungan antara derajat gejala depresi dengan skor PASI.
Kadar BDNF
dalam Serum
Derajat
Gejala
Depresi
Psoriasis
Vulgaris
Skor PASI
Hubungan Hubungan
Hubungan
Universitas Sumatera Utara
24
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi analitik dengan pendekatan potong lintang
(cross sectional).
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
1. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli 2016 sampai Oktober 2017,
bertempat di poliklinik SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Divisi
Imunodermatologi RSUP. H. Adam Malik Medan.
2. Pengambilan sampel darah dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik
RSUP.H. Adam Malik Medan, kemudian dilakukan pemeriksaan kadar
BDNF dalam serum.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi target:
Penderita psoriasis vulgaris berusia 20 – 65 tahun.
2. Populasi terjangkau:
Pasien usia 20 – 65 tahun yang menderita psoriasis vulgaris, yang berobat
ke Poliklinik SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Divisi
Imunodermatologi RSUP. H. Adam Malik Medan sejak bulan September
2016 sampai April 2017.
3. Sampel:
Populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi serta
bersedia ikut serta dalam penelitian.
Universitas Sumatera Utara
25
3.4 Besar Sampel
Untuk menentukan besar sampel tunggal minimal pada uji hipotesis
dengan koefisien korelasi (r) diperlukan informasi:
r = perkiraan koefisien korelasi = 0,72 45
Zα = tingkat kemaknaan (95%) = 1,96
Zβ = power (80%) = 0,842
Rumus yang digunakan:
n = {(Zα + Zβ ) / (0,5 ln [(1+r) / (1-r)])}2 + 3
n = {(1,96 + 0,842) / (0,5 ln [(1+0,72) / (1-0,72)])}2 + 3
n = 13
Besar sampel minimal dalam penelitian ini adalah 13 orang. Pada
penelitian ini jumlah subyek penelitian yang ikut serta adalah sebanyak 23 orang.
3.5 Cara Pengambilan Sampel Penelitian
Cara pengambilan sampel penelitian dilakukan menggunakan metode
consecutive sampling.
3.6 Identifikasi Variabel
3.6.1 Variabel bebas : Kadar BDNF dalam serum
3.6.2 Variabel terikat : Derajat gejala depresi, skor PASI
3.7 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.7.1 Kriteria inklusi:
1. Penderita yang didiagnosis secara klinis sebagai penderita
psoriasis vulgaris.
2. Berusia 20 – 65 tahun.
Universitas Sumatera Utara
26
3. Bersedia ikut serta dalam penelitian dan menandatangani informed
consent.
3.7.2 Kriteria eksklusi:
1. Penderita psoriasis vulgaris yang sedang hamil dan menyusui.
2. Penderita psoriasis vulgaris yang sedang menggunakan obat –
obatan topikal untuk mengobati psoriasis vulgaris (kortikosteroid
topikal, kalsipotriol, tazarotene, tar) minimal 2 minggu sebelum
dilakukan penelitian dan sistemik (metotreksat, asitretin,
siklosporin, kortikosteroid) minimal 6 minggu sebelum dilakukan
penelitian.
3. Penderita psoriasis vulgaris yang menderita gangguan bipolar dan
skizofrenia.
4. Penderita psoriasis vulgaris yang menggunakan obat antidepresan.
3.8 Alat, Bahan dan Cara Kerja
3.8.1 Alat dan bahan:
a. Untuk pengambilan sampel darah:
1) Satu pasang sarung tangan.
2) Satu buah alat ikat pembendung (torniquet).
3) Satu buah spuit disposable 3 ml.
4) Satu buah vacutainer (tabung pengumpul darah steril).
5) Satu buah plester luka.
b. Satu unit alat sentrifuge (alat pemusing untuk memisahkan serum).
c. Microtube (tabung mikro) 1 ml untuk menampung atau menyimpan
serum.
Universitas Sumatera Utara
27
d. Satu buah freezer yang digunakan untuk menyimpan sampel
sebelum pemeriksaan kadar BDNF.
e. 1 unit alat ELISA reader.
f. 1 unit kit human BDNF (R&D®, USA)
g. 1 lembar kuesioner Beck depression inventory - II.
3.8.2 Cara Kerja
1. Pencatatan data dasar dilakukan oleh peneliti di Poliklinik SMF
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan.
Pencatatan data dasar meliputi identitas penderita, anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan dermatologis yang meliputi
pemeriksan fenomena tetesan lilin dan tanda Auspitz.
2. Diagnosis klinis ditegakkan oleh peneliti, bersama dengan
pembimbing di Poliklinik SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUP. H. Adam Malik Medan.
3. Pengambilan sampel darah dilakukan oleh petugas Laboratorium
Patologi Klinik RSUP. H. Adam Malik Medan. Pengambilan
sampel darah dilakukan pada jam 8 – 9 pagi untuk menghindari
variasi hasil akibat irama sirkadian. Cara pengambilan sampel
darah adalah sebagai berikut: dengan menggunakan sarung tangan,
kulit di atas lokasi tusuk dibersihkan dengan kapas yang dibasahi
dengan alkohol 70 % dengan cara berputar dari dalam ke luar dan
dibiarkan sampai kering. Lokasi penusukan harus bebas dari luka
dan bekas luka. Darah diambil dari vena mediana cubiti pada lipat
siku. Dilakukan pembendungan dengan torniquet pada lengan atas
Universitas Sumatera Utara
28
dan pasien diminta untuk mengepal dan membuka telapak tangan
berulang kali agar vena terlihat jelas. Spuit disiapkan dengan
memeriksa jarum dan penutupnya. Setelah itu vena mediana cubiti
ditusuk dengan posisi 45 derajat dengan jarum menghadap ke atas.
Darah dibiarkan mengalir kedalam jarum kemudian jarum diputar
menghadap ke bawah. Agar aliran darah bebas, pasien diminta
untuk membuka kepalan tangannya. Kemudian darah dihisap
sebanyak 3 cc. Torniquet dilepas, lalu jarum ditarik dengan tetap
menekan lubang penusukan dengan kapas alkohol. Selanjutnya
tempat bekas penusukan ditekan dengan kapas alkohol sampai
darah tidak keluar lagi. Setelah itu bekas tusukan ditutup dengan
plester. Darah kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi
dan diputar 300 g selama 5 menit untuk mendapatkan serum.
Selanjutnya serum dimasukkan ke dalam microtube 1 cc dan
disimpan dalam freezer pada temperatur -70oC sampai semua
sampel terkumpul. Setelah semua sampel terkumpul, maka akan
dilakukan pemeriksaan kadar BDNF.
4. Pengukuran kadar BDNF dalam serum
Pengukuran kadar BDNF serum dilakukan di Laboratorium
Patologi Klinik RSUP. H. Adam Malik Medan dengan
menggunakan kit human brain derived neurotrophic factor
(R&D®, USA) dengan metode ELISA, Langkah – langkah
pengukuran BDNF dalam serum sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
29
a. Jumlah strip bergantung pada jumlah sampel dan standar yang
akan diperiksa.
b. Siapkan sumur kosong (blank well), sumur standar dan sumur
sampel. Pada sumur kosong, jangan ditambahkan sampel darah
dan horseradish peroxidase (HRP). Pada sumur standar
tambahkan larutan standar sebanyak 50 µl dan pada sumur
sampel tambahkan 40 µl larutan spesial dan 10 µl serum.
Selanjutnya tambahkan 50 µl HRP pada setiap sumur, kecuali
pada sumur kosong (blank well). selanjutnya tutup plat dan
kocok ringan lalu diinkubasi selama 60 menit pada suhu 37oC.
c. Buang kelebihan cairan dan keringkan. Tambahkan setiap
sumur dengan cairan pencuci, campur dan kocok selama 30
detik, hilangkan cairan pencuci dan letakan plat pada kertas
serap untuk mengeringkan. Ulangi langkah ini sebanyak 5 kali.
d. Tambahkan 50 µl larutan kromogen A dan dilanjutkan dengan
penambahan 50 µl larutan kromogen B pada setiap sumur.
Kocok perlahan dan inkubasi selama 10 menit pada suhu 37oC,
hindari pajanan cahaya.
e. Tambahkan larutan penghenti reaksi (stop solution) sebanyak
50 µl pada setiap sumur. Akan terjadi perubahan warna kuning
menjadi warna biru.
f. Atur sumur kosong (blank well) menjadi nol, ukur optical
density (OD) pada panjang gelombang 450 nm. Pengaturan ini
dilakukan 15 menit setelah penambahan stop solution.
Universitas Sumatera Utara
30
g. Berdasarkan konsentrasi standar dan hasil OD yang didapatkan,
kalkulasi kurva standar persamaan regresi linier, dan
aplikasikan nilai OD dari sampel serum untuk mendapatkan
konsenstrasi dari serum dalam satuan pg/ml.
5. Pengukuran derajat gejala depresi dengan menggunakan Beck
depression inventory-II:
a. Pengukuran derajat gejala depresi dilakukan oleh pasien
didampingi peneliti dan pembimbing dengan cara memberikan
BDI-II yang terdiri dari 21 kelompok pernyataan.
b. Pengisian BDI-II dilakukan selama 5 - 10 menit.
c. 21 kelompok pernyataan ini menentukan derajat gejala depresi
dengan menjumlahkan skor yang didapat.
d. Pilihan A bernilai 0, B bernilai 1, C bernilai 2 dan D bernilai 3.
Pernyataan yang dipilih oleh pasien dijumlahkan dan
diinterpretasikan.
e. Total skor 0 – 13 adalah depresi minimal, 14 – 19 depresi
ringan, 20 – 28 depresi sedang dan 29 – 63 depresi berat.
3.9 Definisi Operasional
1. Psoriasis vulgaris:
Definisi: Psoriasis vulgaris adalah penyakit peradangan kulit kronis dengan
gejala klinis plak eritema berbatas tegas ditutupi sisik berwarna keperakan.
Alat / cara ukur: Diagnosis psoriasis vulgaris ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan klinis oleh dokter spesialis kulit dan kelamin.
Universitas Sumatera Utara
31
Gambaran klinis psoriasis vulgaris: plak eritematosa yang ditutupi skuama
tebal berwarna putih keperakkan dengan predileksi pada daerah kulit kepala,
garis perbatasan kepala dan rambut, ekstremitas ekstensor, batang tubuh dan
lumbosakral disertai hasil pemeriksaan fenomena tetesan lilin atau tanda
Auspitz yang menunjukan hasil positif.
Fenomena tetesan lilin: pada lesi yang bersisik dilakukan goresan dengan
pinggir gelas objek, maka akan tampak gambaran garis putih seperti tetesan
lilin.
Tanda Auspitz: pada lesi yang bersisik diangkat dengan menggunakan ujung
gelas objek, maka akan tampak bintik – bintik perdarahan dibawahnya.
Hasil ukur: Psoriasis vulgaris atau bukan psoriasis vulgaris
Skala ukur: Skala nominal
2. Brain - derived neurotrophic factor (BDNF)
Definisi: BDNF adalah famili growth factor (nerve growth factor) dengan berat
molekul 27 kDa. BDNF memilki fungsi pertumbuhan, pemeliharaan dan
program kematian sel (apoptosis) sel saraf dan juga memilki fungsi diluar
sistem saraf.
Alat / cara ukur: Kadar BDNF diukur dalam serum dengan pemeriksaan
laboratorium menggunakan metode enzyme linked immunosorbent assay
(ELISA) menggunakan perangkat human BDNF (R&D®, USA).
Hasil ukur: Hasil ukur akan didapatkan dalam satuan pg/ml.
Skala ukur: Skala numerik
Universitas Sumatera Utara
32
3. Gejala Depresi
Definisi: Gejala yang ditandai dengan kehilangan minat atau kesenangan,
perasaan tidak berguna, rasa bersalah, harga diri rendah, gangguan tidur dan
nafsu makan, perubahan berat badan, mudah lelah dan sulit konsentrasi serta
ide bunuh diri.
Alat / cara ukur: Beck depression inventory - II
Hasil ukur: Total skor 0 – 13 = depresi minimal, 14 – 19 = depresi ringan, 20 –
28 = depresi sedang dan 29 – 63 = depresi berat.
Skala ukur: Skala ordinal
4. Skor Psoriasis area and severity index (PASI)
Definisi: Metode yang digunakan untuk menilai derajat keparahan psoriasis
vulgaris berdasarkan luas area tubuh yang terlibat dan keparahan lesi.
Cara ukur: luas area yang terkena dibagi menjadi empat regio yaitu kepala dan
leher, badan, ekstremitas atas dan ekstrimitas bawah. Kemudian dihitung
intensitas lesi pada setiap regio. Intensitas terdiri dari eritema, ketebalan lesi
(indurasi) dan skuama yang dinilai dengan skor (0) tidak ada, (1) ringan, (2)
sedang, (3) berat dan (4) sangat berat. Ketiga skor intensitas ditambahkan
untuk setiap regio tubuh untuk menghasilkan subtotal A1, A2, A3, A4. Setiap
subtotal dikalikan dengan area permukaan tubuh yang ditunjukkan oleh regio.
A1 x 0,1 = B1 (Kepala dan leher)
A2 x 0,2 = B2 (Ekstremitas atas / lengan)
A3 x 0,3 = B3 (Batang tubuh)
A4 x 0,4 = B4 (Ekstremitas bawah / tungkai)
Universitas Sumatera Utara
33
Presentase area yang terkena psoriasis dinilai pada empat regio tubuh.
Presentase area tersebut diekspresikan sebagai (0) nol, (1) 1 – 9%, (2) 10 –
29%, (3) 30 – 49%, (4) 50 – 69%, (5) 70 – 89 atau (6) 90 – 100%.
Setiap skor area tubuh dikalikan dengan area yang terkena
B1 x (0-6) = C1 (Kepala dan leher)
B2 x (0-6) = C2 (Ekstremitas atas / lengan)
B3 x (0-6) = C3 (Batang tubuh)
B4 x (0-6) = C4 (Ekstremitas bawah / tungkai)
Skor PASI diperoleh dengan menjumlahkan C1+C2+C3+C4. Rentang nilai
yang peroleh adalah 0 - 72
Hasil ukur: Skor PASI < 10 = ringan, 10 – 20 = sedang, > 20 = Berat
Skala ukur: ordinal
Universitas Sumatera Utara
34
3.10 Kerangka Operasional
Gambar 3.1 Kerangka Operasional
3.11 Pengolahan dan Analisis Data
Data – data yang terkumpul diolah dengan metode analisis hipotesis untuk
menentukan derajat keeratan hubungan antar variabel. Analisis dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak pengolah data. Hubungan antara kadar BDNF
dalam serum dengan derajat gejala depresi dan skor PASI, serta hubungan antara
derajat gejala depresi dengan skor PASI dianalisis dengan uji korelasi Spearman.
Nilai p ≤ 0,05 menunjukkan suatu hubungan signifikan.
3.12 Ethical Clearance
Penelitian ini telah memperoleh ethical clearance dari komisi etik Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara dengan nomor 609 / TGL / KEPK FK
USU – RSUP HAM / 2016.
Pasien
Psoriasis vulgaris
Kriteria inklusi dan eksklusi
Skor PASI
Sampel
Derajat gejala
depresi
Kadar BDNF
serum
Universitas Sumatera Utara
35
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2016 sampai Oktober 2017.
Selama periode tersebut didapatkan 23 penderita psoriasis vulgaris yang bersedia
ikut serta dalam penelitian ini.
4.1 Karakteristik Subyek Penelitian
Karakteristik subyek penelitian dalam penelitian ini dilaporkan berdasarkan
karakteristik demografik yaitu umur, jenis kelamin dan pendidikan serta durasi
penyakit.
4.1.1 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan umur
Tabel 4.1 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan umur
Kelompok umur (tahun) n %
20 – 29 3 13
30 – 39 7 30,4
40 – 49 7 30,4
50 – 59 5 21,7
≥ 60 1 4,3
Total 23 100
Pada penelitian ini, subyek penelitian dalam kelompok umur 30 – 39 dan
40 – 49 tahun memiliki frekuensi yang sama yaitu 7 orang (30,4%) dan
merupakan frekuensi tertinggi. Sedangkan frekuensi terendah terdapat pada
kelompok umur ≥ 60 tahun yaitu 1 orang (4,3%).
Psoriasis menyerang segala usia, namun pada anak – anak insidensinya
rendah (0,71%).46
Serupa pada penelitian Kundacki dkk yang melaporkan bahwa
psoriasis pada usia kanak – kanak jarang ditemukan, yaitu 5,7% pada usia
Universitas Sumatera Utara
36
dibawah 10 tahun.47
Dalam penelitian ini, peneliti hanya mengikutsertakan
penderita psoriasis vulgaris berumur lebih dari 20 tahun.
Olsen dkk melaporkan, insidensi tertinggi psoriasis vulgaris di Norwegia
adalah pada kelompok laki - laki berumur 24 – 27 tahun dan pada perempuan
berumur 16 – 19 tahun.48
Sinniah dkk melaporkan bahwa insidensi tertinggi
psoriasis vulgaris terjadi pada kelompok umur 40 – 60 tahun (17,2%).49
Penelitian di Spanyol menemukan bahwa terjadi penurunan prevalensi psoriasis
vulgaris pada individu usia lanjut, terutama diatas 70 tahun.50
Kassi dkk melaporkan bahwa rata – rata umur pasien psoriasis vulgaris
adalah 39,6 tahun dengan umur termuda adalah 4 tahun dan tertua adalah 77
tahun. Terdapat 3 pasien anak – anak (5,3%) dan 53 pasien dewasa (94,7%). Dari
kelompok pasien dewasa tersebut, 38 pasien (67%) berada pada rentang umur 30
– 50 tahun.51
Studi di Indonesia oleh Artana dkk melaporkan data dari beberapa rumah
sakit di Indonesia pada tahun 2003 – 2006, yaitu terdapat 96 (0,4%) kasus baru
psoriasis berusia kurang dari 15 tahun dari 22,070 kunjungan baru.52
Studi lain
oleh Budiastuti dkk, melaporkan frekuensi tertinggi psoriasis vulgaris adalah pada
kelompok umur 31 - 40 tahun dengan rentang umur 23 – 70 tahun.53
Setyorini dkk
melaporkan nilai rerata umur psoriasis vulgaris adalah 46,58 ± 12,37 tahun
dengan rentang umur psoriasis vulgaris termuda adalah 21 tahun dan tertua adalah
74 tahun. Kelompok umur terbanyak adalah rentang 40 – 49 tahun dan 50 – 59
tahun dengan besar presentase masing – masing 27,5%.54
Kurniasari dkk dalam
laporannya terhadap pasien yang berkunjung ke RSUP. Dr. Kariadi pada tahun
2007 – 2011, menemukan psoriasis lebih banyak dijumpai pada kelompok umur
Universitas Sumatera Utara
37
30 – 39 tahun (21,9%), diikuti kelompok umur 40 – 49 tahun (20%) dan yang
terendah pada kelompok umur 0 – 9 tahun (1%) dan kelompok umur 80 – 89
tahun (1%).55
Penelitian yang dilakukan oleh Grace di Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik Medan menemukan frekuensi psoriasis vulgaris terbanyak pada
kelompok umur 40 – 60 tahun yaitu 55%, diikuti kelompok umur <40 tahun
sebesar 30% dan >60 tahun sebesar 15%.56
Penelitian yang dilakukan oleh Toruan
menemukan frekuensi tertinggi psoriasis vulgaris terjadi paling banyak pada
kelompuk umur 51 – 60 tahun sebesar 40%, diikuti kelompok umur 31 – 40 tahun
sebesar 28%, kelompok umur 41 – 50 tahun sebesar 24% dan kelompok umur 21
– 30 sebesar 8%.57
Sementara penelitian yang dilakukan oleh Suhoyo menemukan
frekuensi tertinggi psoriasis vulgaris pada kelompok umur 31 – 40 tahun (27,8%),
diikuti oleh kelompok umur 21- 30 tahun, 41- 50 tahun dan 61 – 70 tahun masing-
masing sebesar 16,7% dan terendah pada kelompok umur ≤20 tahun dan 51 – 60
tahun masing – masing sebesar 11,1%.58
4.1.2 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin
Tabel 4.2 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin n %
Laki – laki 12 52,2
Perempuan 11 47,8
Total 23 100
Penelitian ini tidak memiliki perbedaan karakteristik subyek penelitian
berdasarkan jenis kelamin yang mencolok, dimana subyek penelitian berjenis
kelamin laki – laki dan perempuan hanya berbeda 1 orang saja (4,4%).
Psoriasis vulgaris dapat menyerang laki – laki dan perempuan dengan
kesempatan yang sama.1,59
Namun, menurut Adam dalam penelitiannya
Universitas Sumatera Utara
38
melaporkan bahwa laki – laki (145/203) lebih banyak dua kali lipat dibandingkan
perempuan (58/203).60
Pada negara Denmark (4,2% vs 3,3%), Swedia (2,3% vs
1,5%) dan Tiongkok (0,17% vs 0,12%) frekuensi kejadian psoriasis vulgaris lebih
tinggi pada laki – laki dibandingkan pada perempuan.61-63
Sinniah dkk melaporkan bahwa, dari total 5607 pasien yang berobat ke
Rumah Sakit Tengku Ampuan Rahimah Malaysia pada periode waktu Januari
2003 – Desember 2005, terdapat 9,5% pasien menderita psoriasis. Dari jumlah
tersebut, 11,6% (316/2613) adalah laki – laki dan 7,2% (215/2994) adalah
perempuan.49
Penelitian di Indonesia, yaitu pada RSUPN. Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta tahun 2012 melaporkan jumlah penderita laki – laki adalah sebesar 60%
dan perempuan sebesar 40%, serupa dengan penelitian di RSUP Dr. Kariadi
Semarang yang melaporkan psoriasis pada laki – laki sebesar 57,1% dan
perempuan sebesar 42,9%.53,54
Di RSUP Mohammad Hoesin Palembang
melaporkan psoriasis pada laki – laki adalah sebesar 65%, sedangkan pada
perempuan sebesar 35%.64
Penelitian yang dilakukan oleh Grace di Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik Medan menemukan frekuensi psoriasis vulgaris pada laki – laki
sebesar 55% dibandingkan pada perempuan sebesar 45%.56
Sementara oleh
Toruan ditahun berbeda, menemukan frekuensi pada laki – laki sebesar 72% dan
perempuan sebesar 28% sedangkan oleh Suhoyo pada tahun 2014 menemukan
frekuensi pada laki – laki sebesar 33,3% dan perempuan sebesar 66,7%.57,58
Berdasarkan hasil penelitian - penelitian tersebut diatas, terdapat angka
kejadian dan prevalensi psoriasis vulgaris berdasarkan jenis kelamin yang
Universitas Sumatera Utara
39
beragam, hal ini mungkin dipengaruhi oleh perbedaan desain penelitian dan cara
pengambilan sampel yang digunakan.
4.1.3 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan pendidikan
Tabel 4.3 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan pendidikan
Pendidikan n %
SD 0 0
SMP 2 8,7
SMA 10 43,5
Perguruan Tinggi 11 47,8
Total 23 100
Karakteristik subyek penelitian berdasarkan pendidikan dalam penelitian
ini memiliki frekuensi tertinggi pada perguruan tinggi yaitu 11 orang (47,8%) dan
terendah pada SMP yaitu 2 orang (8,7%). Tidak terdapat perbedaan frekuensi
yang mencolok antara pendidikan perguruan tinggi dengan SMA yaitu hanya 1
orang (4,3%). Dalam penelitian ini tidak ada subyek yang berpendidikan terakhir
SD. Berdasarkan karakteristik pendidikan, dapat disimpulkan bahwa subyek
dalam penelitian ini memiliki intelektual yang baik.
4.1.4 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan durasi penyakit
Tabel 4.4 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan durasi penyakit
Durasi Penyakit (tahun) n %
< 5 5 21,7
5 – 10 4 17,4
11 – 15 8 34,8
> 15 6 26,1
Total 23 100
Penelitian ini memiliki frekuensi tertinggi pada rentang durasi penyakit 11
– 15 tahun yaitu 8 orang (34,8%) dan terendah pada rentang durasi penyakit < 5
tahun yaitu 5 orang (21,7%). Penelitian oleh Lin dkk melaporkan, dari 480 pasien
psoriasis vulgaris, 175 pasien menderita psoriasis lebih dari 10 tahun (38,6%), 124
Universitas Sumatera Utara
40
pasien (27,4%) menderita selama rentang waktu 1 – 5 tahun, 121 pasien (26,7%)
menderita selama rentang waktu 6 – 10 tahun dan 33 pasien (7,3%) menderita
kurang dari 1 tahun.65
Data – data tersebut membuktikan bahwa psoriasis vulgaris
merupakan penyakit yang bersifat kronis.
4.2 Kadar Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF)
Tabel 4.5 Kadar BDNF
Subyek (n) Mean ± SD Nilai minimal – maksimal
23 912,45 ± 180,94 575,06 – 1227,62
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa rerata kadar BDNF dalam penelitian ini
adalah 912,45 ± 180,94 pg/ml. Penelitian yang dilakukan oleh Narbutt dkk
melaporkan, rerata kadar BDNF pada penderita psoriasis vulgaris adalah 14,35
ng/ml.33
Rerata ini tidak berbeda secara signifikan pada pasien bukan penderita
psoriasis vulgaris yaitu 16,39 ng/ml (p = 0,121).33
Hasil penelitian Narbutt dkk
melaporkan kadar BDNF serum dalam satuan ng/ml yang jika dikonversikan ke
satuan pg/ml seperti dalam penelitian ini, memiliki hasil yang lebih tinggi
dibandingkan pada penelitian ini. Perbedaan lain penelitian ini dengan penelitian
Narbutt dkk adalah, pada penelitian ini kami tidak membandingkannya dengan
kontrol sehat.
Berbeda dengan Narbutt dkk, penelitian yang dilakukan oleh Brunoni dkk
melaporkan, rerata kadar BDNF penderita psoriasis vulgaris (3406 ± 3124 pg/ml)
lebih rendah secara signifikan (p < 0,01) dibandingkan pada kontrol sehat (5947 ±
6300 pg/ml).2
Perbedaan ini menunjukkan fenomena yang menarik untuk diteliti
lebih lanjut untuk membuktikan apakah BDNF memiliki peranan yang sangat
penting dalam patogenesis psoriasis.
Universitas Sumatera Utara
41
Penelitian oleh Nakamura dkk melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara kadar BDNF penderita psoriasis vulgaris dengan pruritus
(1,45 ± 0,3) dan tanpa pruritus (1,24 ± 0,41).66
Penelitian mereka mengukur kadar
BDNF melalui pemeriksan histokimia. Pruritus pada penderita psoriasis dapat
menjadi gejala yang paling mengganggu.67
Patogenesis pruritus pada psoriasis
vulgaris diyakini melalui mekanisme inflamasi neurogenik yaitu melalui peranan
neurotropik. Neurotropik seperti BDNF, substansi P, calcitonin gene-related
peptide, vasoactive intestinal peptide, dan lain - lain berperan sebagai
imunomodulator yang mengakibatkan degranulasi sel mast, sehingga berakhir
pada pelepasan substansi pruritogenik.67
Tidak signifikannya perbedaan kadar
BDNF pada penelitian Nakamura dkk tersebut, menunjukkan ranah penelitian
BDNF pada psoriasis vulgaris masih sangat luas.
4.3 Distribusi Derajat Gejala Depresi
Tabel 4.6 Distribusi derajat gejala depresi
Derajat Gejala Depresi n %
Minimal 7 30,4
Ringan 7 30.4
Sedang 9 39,1
Berat 0 0
Total 23 100
Frekuensi tertinggi derajat gejala depresi pada penelitian ini adalah depresi
derajat sedang, yaitu sebanyak 9 orang (39,1%). Dalam penelitian ini tidak
ditemukan penderita psoriasis vulgaris dengan derajat gejala depresi berat.
Fatthy dkk melaporkan dalam penelitiannya, presentase depresi derajat
sedang pada kelompok penderita psoriasis adalah sama dengan kelompok depresi
secara keseluruhan (23% dan 20%).45
Namun pada kelompok depresi secara
Universitas Sumatera Utara
42
keseluruhan, presentase depresi derajat berat lebih tinggi dari pada kelompok
penderita psoriasis vulgaris (80% dan 23%).45
4.4 Distribusi Skor PASI
Tabel 4.7 Distribusi skor PASI
Skor PASI n %
Ringan 13 56,5
Sedang 4 17,4
Berat 6 26,1
Total 23 100
Frekuensi tertinggi skor PASI pada penelitian ini adalah pada skor PASI
derajat ringan yaitu sebanyak 13 orang (56,5%). Sedangkan frekuensi terendah
adalah pada skor PASI derajat sedang, yaitu sebanyak 4 orang (17,4%).
Penelitian yang dilakukan oleh Fathy dkk melaporkan, rerata skor PASI
dari 90 penderita psoriasis vulgaris adalah 20,8 ± 18,8.45
Sebanyak 70% penderita
dikategorikan sebagai psoriasis vulgaris derajat sedang hingga berat dengan skor
PASI > 10.45
4.5 Hubungan antara Kadar BDNF dengan Derajat Gejala Depresi
Tabel 4.8 Hubungan antara kadar BDNF dengan derajat gejala depresi
p r r2
Kadar BDNF dengan derajat gejala depresi 0,001 -0,667 0,445
*Uji korelasi Spearman
Setelah data kadar BDNF dalam serum dan derajat gejala depresi dianalisis
dengan korelasi Spearman, didapatkan nilai koefisien korelasi (r) adalah -0,667
dengan nilai signifikansi (p) 0,001. Hal ini menunjukkan hubungan negatif kuat
Universitas Sumatera Utara
43
antara kadar BDNF dalam serum dengan derajat gejala depresi, dimana semakin
rendah kadar BDNF serum akan meningkatkan derajat gejala depresi.68
Nilai koefisien determinasi (r2) pada analisis ini ditemukan sebesar 0,445
atau 45%, yang menunjukkan bahwa 45% faktor yang mempengaruhi derajat
gejala depresi adalah kadar BDNF dalam serum dan sisanya yaitu 55%
merupakan faktor lainnya.
Fatthy dkk melaporkan bahwa terdapat perbedaan kadar BDNF yang lebih
rendah pada kedua kelompok psoriasis (tanpa depresi 25,2 ± 6,5 ; dengan depresi
16,9 ± 2,5) dibandingkan dengan kelompok kontrol sehat (26,5 ± 3,6).45
Kadar
BDNF lebih rendah secara signifikan pada pasien psoriasis vulgaris yang
menderita depresi dibandingkan dengan pasien psoriasis yang tidak menderita
depresi (mean difference 8,3 ; p < 0,001).45
Kadar BDNF juga lebih rendah secara
signifikan pada pasien psoriasis vulgaris yang menderita depresi dan penderita
depresi saja dibandingkan dengan kontrol sehat (p < 0,0001 dan p < 0,001).45
Rerata kadar BDNF lebih rendah secara signifikan (p < 0,01) pada kelompok
pasien psoriasis yang menderita depresi (16,9 ± 2,5) dibandingkan dengan
penderita depresi tanpa psoriasis vulgaris (21,5 ± 5,8). 45
Duclot dkk mengatakan, kadar BDNF yang rendah diketahui berperan
dalam patofisiolgi depresi, namun kadarnya dapat ditingkatkan dengan pemberian
antidepresan.69
Namun demikian, kadar BDNF dalam serum tidak berkorelasi
dengan derajat keparahan depresi, sehingga masih menjadi pertanyaan apakah
dapat digunakan sebagai biomarker depresi.69
Peran BDNF dalam terjadinya depresi terbukti dengan adanya empat hal.70
Pertama, depresi menyebabkan penurunan kadar BDNF dalam hipokampus dan
Universitas Sumatera Utara
44
korteks prefrontal. Kedua, depresi memicu atropi dendrit saraf didalam
hipokampus dan korteks prefrontal. Ketiga, adanya bukti peningkatan kadar
BDNF dalam hipokampus dan korteks prefrontal setelah pemberian antidepresan.
Ke-empat, kadar BDNF meningkat didalam amygdala dan area-neural accumbent
yang memfasilitasi gejala depresi. Oleh karena itu, Yu dkk menyimpulkan bahwa
gejala depresi yang muncul bergantung pada kadar BDNF di lokasi anatomi yang
terkena.70
4.6 Hubungan antara Kadar BDNF dengan Skor PASI
Tabel 4.9 Hubungan antara kadar BDNF dengan skor PASI
p r r2
Kadar BDNF dengan skor PASI 0,003 -0,595 0,354
*Uji korelasi Spearman
Setelah data kadar BDNF dan skor PASI dianalisis dengan korealsi
Spearman, didapatkan nilai koefisien korelasi (r) adalah -0,595 dengan nilai
signifikansi (p) 0,003. Hal ini menunjukkan hubungan negatif sedang antara kadar
BDNF dalam serum dengan skor PASI, dimana semakin rendah kadar BDNF
serum akan meningkatkan skor PASI.68
Nilai koefisien determinasi (r2) pada analisis ini ditemukan sebesar 0,354
atau 35%, yang menunjukkan bahwa 35% faktor yang mempengaruhi skor PASI
adalah kadar BDNF dalam serum dan sisanya yaitu 65% dipengaruhi oleh faktor
lainnya.
Fatthy dkk melaporkan, tidak terdapat korelasi antara kadar BDNF dengan
skor PASI (r = 0.217 ; p = 0,250).45
Begitu pula oleh Narbutt dkk, mereka
melaporkan tidak terdapat hubungan antara kadar BDNF dengan skor PASI.33
Universitas Sumatera Utara
45
Rerata kadar BDNF pada penelitian mereka adalah 14,5 ng/ml dengan rerata skor
PASI 14,3 (p > 0,05).33
Penelitian yang dilakukan oleh Brunoni dkk melaporkan, tidak terdapat
perbedaan (p = 0,59) kadar BDNF pada penderita psoriasis ringan (3649 ± 3653
pg/ml) dengan psoriasis berat (3280 ± 2837 pg/ml).2 Namun pada penelitian
mereka derajat keparahan psoriasis tidak dinilai dengan skor PASI, tetapi
dikelompokan berdasarkan ada tidaknya riwayat psoriasis artritis dan penggunaan
terapi sistemik seperti metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil, agen biologis
dan fototerapi.2
Raap dkk melaporkan tidak terdapat hubungan antara kadar BDNF dengan
skor PASI.71
Namun, dalam publikasi ilmiahnya tidak dicantumkan rerata kadar
BDNF pada penderita psoriasis karena bukan merupakan tujuan utama dari
peneltiannya.
4.7 Hubungan antara Derajat Gejala Depresi dengan Skor PASI
Tabel 4.10 Hubungan antara derajat gejala depresi dengan skor PASI
p r r2
Derajat gejala depresi dengan skor PASI < 0,001 0,670 0,448
*Uji korelasi Spearman
Setelah data derajat gejala depresi dan skor PASI dianalisis dengan
korealsi Spearman, didapatkan nilai koefisien korelasi (r) adalah 0,670 dengan
nilai signifikansi (p) < 0,001. Hal ini menunjukkan hubungan positif kuat antara
derajat gejala depresi dengan skor PASI, dimana semakin tinggi derajat gejala
depresi, semakin meningkatkan skor PASI.68
Universitas Sumatera Utara
46
Nilai koefisien determinasi (r2) pada analisis ini ditemukan sebesar 0,448
atau 45%, yang menunjukkan bahwa 45% faktor yang mempengaruhi skor PASI
adalah derajat gejala depresi dan sisanya yaitu 55% dipengaruhi oleh faktor
lainnya.
Akay dkk melaporkan bahwa terdapat hubungan positif antara derajat
depresi dengan skor PASI, dimana derajat depresi meningkat seiring dengan
peningkatan skor PASI (p < 0,01).72
Pada 16 penderita psoriasis vulgaris dengan
skor PASI 0 – 3, 12 diantaranya tidak mengalami depresi (BDI < 13), 3 penderita
mengalami depresi sedang ( BDI 14 – 24) dan 1 penderita mengalami depresi
berat (BDI ≥ 24). Pada 17 penderita psoriasis vulgaris dengan skor PASI > 3 –
15, 5 diantaranya tidak mengalami depresi, 3 penderita mengalami depresi ringan
dan 9 penderita mengalami depresi sedang sampai berat. Pada 17 penderita
dengan skor PASI ≥ 15, 4 diantaranya tidak mengalami depresi, 4 penderita
mengalami depresi sedang dan 9 penderita mengalami depresi berat.72
Pujol dkk menemukan, terdapat penurunan derajat depresi pada pasien
psoriasis vulgaris yang sejalan dengan penurunan skor PASI pada kunjungan
pertama dan kedua di poliklinik rawat jalan.73
Rerata skor PASI pada kunjungan
pertama adalah 13,24 ± 9,5 menjadi 5,07 ± 6,03 (p < 0,01) dan rerata skor HADS
pada kunjungan pertama adalah 12,52 ± 7,91 menjadi 10,78 ± 7,32 (p < 0,001).
Mayoritas subyek penelitian mereka mendapatkan terapi topikal (53,6%) diikuti
dengan terapi agen biologis (36,1%).73
Penelitian D’erme dkk menyimpulkan bahwa intervensi psikologis dan
pemberian antidepresan dapat memperbaiki keparahan psoriasis vulgaris.74
Mereka melaporkan bahwa terdapat penuruan skor depresi HDRS dan PASI yang
Universitas Sumatera Utara
47
signifikan pada kelompok psoriasis vulgaris yang diberikan terapi esitalopram
setelah sebelumnya diberikan terapi anti TNF-α.74
Penelitian yang dilakukan oleh Menter dkk melaporkan, tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara depresi dengan skor PASI (r = 0,1 ; p = 0,21).75
Namun, penelitian mereka menemukan adanya hubungan yang signifikan antara
perbaikan skala depresi Zung self – rating depression scale (ZDS) dengan
penurunan skor PASI setelah diberikan adalimumab selama 12 minggu (p <
0,0001).75
Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya depresi dan keparahan
psoriasis tidak dapat dipisahkan. Perbedaan lain penelitian ini dengan penelitian
Menter dkk adalah mereka menggunakan alat ukur depresi (ZDS) yang berbeda
dengan penelitian ini yaitu Beck depression inventory – II (BDI-II).
Korkoliakou dkk melaporkan, tidak terdapat perbedaan yang bermakna
antara depresi dengan psoriasis vulgaris dan kontrol sehat (p = 0,28).76
Penelitian
mereka menggunakan alat ukur depresi hospital anxiety and depression scale
(HADS) yang berbeda dengan penelitian ini serta tidak menilai derajat keparahan
psoriasis vulgaris dengan skor PASI.
Universitas Sumatera Utara
48
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan:
1. Terdapat hubungan negatif kuat yang signifikan antara kadar BDNF dalam
serum dengan derajat gejala depresi.
2. Subyek penelitian terbanyak adalah pada kelompok umur 30 – 39 dan 40 –
49 tahun, jenis kelamin laki – laki, pendidikan perguruan tinggi dan
berdurasi penyakit 11 – 15 tahun.
3. Nilai rerata kadar BDNF dalam serum penderita psoriasis vulgaris adalah
912,45 ± 180,94 pg/ml.
4. Derajat gejala depresi terbanyak pada penelitian ini adalah depresi sedang.
5. Frekuensi tertinggi skor PASI pada penelitian ini adalah pada skor PASI
derajat ringan.
6. Terdapat hubungan negatif sedang yang signifikan antara kadar BDNF
dalam serum dengan skor PASI.
7. Terdapat hubungan positif kuat yang signifikan antara derajat gejala
depresi dengan skor PASI.
5.2 Saran
1. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan menilai kadar BDNF pada
psoriasis tipe lainnya.
Universitas Sumatera Utara
49
2. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan menilai kadar BDNF pada
penyakit kulit lainnya yang bersifat kronis.
3. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan menilai peranan neuropeptida
lainnya pada psoriasis vulgaris seperti substansi P, calcitonin gene-related
peptide, vasoactive intestinal peptide, dan lain - lain.
Universitas Sumatera Utara
50
DAFTAR PUSTAKA
1. Gudjonson JE, Elder JT. Psoriasis. dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine. Edisi ke-8. New york: Mcgraw Hill companies; 2012. h.
197 – 231.
2. Brunoni AR, Lotufo PA, Sabbag C, Goulart AC, Santos IS, Bensenor IM.
Decreased brain-derived neurotrophic factor plasma levels in psoriasis
patients. Brazilian Journal of Medical and Biological Research. 2015:
48(8):711-714.
3. Karege F, Perret G, Bondolfi G. Decreased serum brain-derived neurotrophic
factor levels in major depressed patients. Psychiatry Res. 2002: 109 (2): 143-
8.
4. Sen S, Duman R, Sanacora G. Serum brain-derived neurotrophic factor,
depression, and antidepressant medications: meta-analyses and implications.
Biol Psychiatry. 2008: 15; 64 (6): 527-32.
5. Chen B, Dowlatshahi D, MacQueen GM, et al. Increased hippocampal BDNF
immunoreactivity in subjects treated with antidepressant medication. Biol
Psychiatry. 2001: 50 (4): 260-5.
6. Dwivedi Y, Rao JS, Rizavi HS et al. Abnormal expression and functional
characteristics of cyclic adenosine monophosphate response element binding
protein in postmortem brain of suicide subjects. Arch Gen Psychiatry. 2003:
60: 273–282.
7. Karege F, Vaudan G, Schwald M, Perroud N, La Harpe R. Neurotrophin
levels in postmortem brains of suicide victims and the effects of antemortem
diagnosis and psychotropic drugs. Brain Res. 2005: 136: 29–37.
8. Dunham JS, Deakin JF, Miyajima F, Payton A, Toro CT. Expression of
hippocampal brain-derived neurotrophic factor and its receptors in Stanley
consortium brains. J Psychiatrs. 2009: 43: 1175–1184.
9. Kunugi H, Hori H, Adachi N, Numakawa T. Interface between hypothalamic
– pituitary – adrenal axis and brain – derived neurotrophic factor in
depression. Psychiatry and Clinical Neurosciences. 2010; 64: 447-459.
10. Dowlatshahi EA, Wakkee M, Arends LR, Nijsten T. The prevalence and odds
of depressive symptoms and clinical depression in psoriasis patients: a
systemic review and meta - analysis. Journal of investigative dermatology.
2014 Jan; 134: 1542 – 1551.
11. Fortune DG. Psychologic factors in psoriasis: Consequences, mechanisms,
and interventions. Dermatol Clin. 2005: 23(4):681-694.
12. Cooper-Patrick L, Crum RM, Ford DE. Identifying suicidal ideation in
general medical patients. JAMA. 1994: 272(22):1757-1762.
13. Coimbra S, Oliveira H, Figueiredo A, Rocha-Pereira P, Santos-Silva A.
Psoriasis: Epidemiology, Clinical and Histological Features, Triggering
Factors, Assessment of Severity and Psychosocial Aspects. Dalam: O’Daly J,
penyunting. Psoriasis – a systemic disease. Croatia: In Tech, 2012. h. 69-82.
14. Gelfand JM et al. The prevalence of psoriasis in African Americans: Results
from a population-based study. J Am Acad Dermatol. 2005: 52(1):23-26.
Universitas Sumatera Utara
51
15. Nestle FO et al. Skin immune sentinels in health and disease. Nat Rev
Immunol. 2009: 9(10):679-691.
16. Meffert J. Psoriasis [internet]. USA: [publisher unknown]; [date unknown]
[2015 January 22; cited 2016 Juli 3]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1943419-overview
17. Grone A. Keratinocytes and cytokines. Vet Immunol Immunopathol. 2002:
88(1-2):1-12.
18. Duell EA, Ellis CN, Voorhees JJ. Determination of 5,12, and 15-
lipoxygenase products in keratomed biopsies of normal and psoriatic skin. J
Invest Dermatol. 1988: 91(5):446-450.
19. Braff MH et al. Cutaneous defense mechanisms by antimicrobial peptides. J
Invest Dermatol. 2005: 125(1):9-13.
20. Herron MD et al. Impact of obesity and smoking on psoriasis presentation
and management. Arch Dermatol. 2005: 141(12):1527-1534.
21. Braun-Falco O. Dynamics of growth and regression in psoriatic lesions:
Alterations in the skin from normal into a psoriatic lesion, and during
regression of psoriatic lesions. California: Stanford University Press; 1971.
22. Langenbruch A, Radtke MA, Krensel M, Jacobi A, Reich K, Augustin M.
Nail involvement as a predictor of concomitant psoriatic arthritis in patients
with psoriasis. Br J Dermatol. 2014: 171(5):1123-8.
23. Pereira da Silva MF, Miot LD, Fortes MR, Marques SA. Psoriasis:
correlation between severity index (PASI) and quality of life index (DLQI) in
patients assessed before and after systemic treatment. An Bras Dermatol.
2013; 88(5): 760-3.
24. Mallbris L et al. Increased risk for cardiovascular mortality in psoriasis
inpatients but not in outpatients. Eur J Epidemiol. 2004: 19(3):225-230.
25. Henseler T, Christophers E. Disease concomitance in psoriasis. J Am Acad
Dermatol. 1995: 32(6):982-986.
26. Augustin M et al. Co-morbidity and age-related prevalence of psoriasis:
Analysis of health insurance data in Germany. Acta Derm Venereol. 2010:
90(2):147-151.
27. Ginsburg IH, Link BG. Feelings of stigmatizationin patients with psoriasis. J
Am Acad Dermatol. 1989: 20(1):53-63.
28. Gupta MA, Gupta AK, Watteel GN. Early onset (<40 years old) psoriasis
comorbid with greater psychopathology than late onset psoriasis: A study of
137 patients. Acta Derm Venereol. 1996: 76(6):464-466.
29. Rapp SR et al. Psoriasis causes as much disability as other major medical
diseases. J Am Acad Dermatol. 1999: 41(3 Pt 1):401-407.
30. Krueger G et al. The impact of psoriasis on quality of life: Results of a 1998
National Psoriasis Foundation patient-membership survey. Arch Dermatol.
2001: 137(3) :280-284.
31. Fry L. An Atlas of Psoriasis. Carnforth, Parthenon Publishing, 1992.
32. Huang EJ, Reichardt LF. Neurotrophins: roles in neuronal development and
function. Annu Rev Neurosci. 2001: 24: 677-736.
33. Narbutt J, Olejniczak I, Sztychny SD, Jedrzejowska SA, Kwiatkowska SI,
Hawro T, et al. Narrow band ultraviolet B irradiations cause alteration in
interleukin-31 serum level in psoriatic patients. Arch Dermatol Res. 2013:
305:191–195.
Universitas Sumatera Utara
52
34. Duman RS, Monteggia LM. A neurotrophic model for stress related mood
disorders. Biol Psychiatry. 2006: 59: 1116-1127.
35. Botchkarev VA et al. Neurotrophin in skin biology and pathology. Journal of
investigative dermatology. 2006: 126: 1719 – 1727.
36. Timmusk T, et al. Multiple promoters direct tissue-specific expression of the
rat BDNF gene. Neuron. 1993: 10:475–489.
37. Chen Y, Zeng J, Cen L, Chen Y, Wang X, Yao G et al. Multiple roles of the
p75 neurotrophin receptor in the nervous system. J Intl Med Res. 2009: 37:
281–288.
38. Chao MV, Bothwell M. Neurotrophins: to cleave or not to cleave. Neuron.
2002: 33: 9–12.
39. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi-
12. Jakarta: Penerbit EGC; 2014.
40. Halverson JL. Depression [internet]. USA: [publisher unknown]; [date
unknown] [2016 April 29; cited 2016 August 8]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/286759-overview
41. Raychaudhuri SP, Farber EM. Neuroimmunologic aspects of psoriasis. Cutis.
2000: 66:357–362.
42. Reich A, Orda A, Wis´nicka B, Szepietowski JC. Plasma neuropeptides and
perception of pruritus in psoriasis. Acta Derm Venereol. 2007: 87:299–304.
43. Bath KG, Schilit A, Lee FS. Stress effects on BDNF expression: effects of
age, sex, and form of stress. Neuroscience. 2013: 239: 149-156.
44. Schmitt J, Ford DE. Understanding the relationship between obejctive disease
severity, psoriatic symptoms, illness-related stress, health-related quality of
life and depressive symptoms in patients with psoriasis – a structural
equations modeling approach. Gen Hosp Psychiatry. 2007: 29 (2): 134-140.
45. Fatthy H, Tawfik AA, Madbouly N. Evaluation of serum brain-derived
neurotrophic factor to assess the association between psoriasis and
depression. J Egypt Women Dermatol. 2015; 12:186–190.
46. Ibrahim G, Waxman R, Helliwell PS. The prevalence of psoriatic arthritis in
people with psoriasis. Arthritis and Rheumatism. 2009; 61(10): 1373-8.
47. Kundacki N, Ursen UT, Babiker MO, Urgey EG. The evaluation of the
sociodemographic and clinical features of turkish psoriasis patients.
International journal of dermatology. 2002; 59(1): 19-24.
48. Olsen AO, Grjibovski A, Magnus P, Tambs K, Harris JR. Psoriasis in
Norway as observed in a population based Norwegian twin panel. Br J
Dermatol. 2005; 153: 346-51.
49. Sinniah B, Saraswathy DS, Prashant BS. Epidemiology of psoriasis in
Malaysia: a hospital based study. Med J Malaysia. 2010; 21: 216-24.
50. Parisi S, Symmons D, Griffiths C, Ashcroft DM. Global epidemiology of
psoriasis: A systematic review of incidence and prevalence. Journal of
investigative dermatology. 2013; 133:377-85.
51. Kassi K, Mienwoley OA, Kouyate M, Koui S, Kouassi KA. Severe skin
forms of psoriasis in black africans: epidemiological, clinical, and
histological aspect related to 56 cases. Hindawi publishing corporation
autoimmune disease. 2013; 56(4): 1032.
52. Artana IP, Gautama A, Adiguna MS, Karmila D. Psoriasis inversa dan
kandidiasis kutis intertriginosa pada bayi [disertasi]. Denpasar, Bali: 2011.
Universitas Sumatera Utara
53
53. Budiastuti A, Sugianto R. Hubungan umur dan lama sakit terhadap derajat
keparahan penderita psoriasis. M Med Ind. 2009; 43:312-6.
54. Setyorini M, Triestianawati W, Wiryadi BE, Alam Jacoeb TN. Proporsi
sindrom metabolik pada penderita psoriasis vulgaris berdasarkan kriteria
national cholesterol education program adult treatment panel III di RS DR.
Cipto Mangunkusumo dan sebuah klinik swasta di Jakarta. MDVI. 2012;
39(1):2-9.
55. Kurniasari I, Yasmin I, Muslimin, Kabulrachman. Karakteristik psoriasis di
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. Kariadi Semarang. Dalam: Julianto I,
Mawardi P, penyunting. Buku kumpulan makalah lengkap II PIT XII
PERDOSKI. Solo; 2012. h.71-3.
56. Grace. Hubungan kadar vascular endhothelial growth factor (VEGF) serum
dengan skor psoriasis area and severity index (PASI) pada penderita psoriasis
vulgaris di RSUP. H. Adam Malik Medan. [Tesis] Medan: Universitas
Sumatera Utara; 2016.
57. Toruan VM. Perbandingan kadar sitokin interleukin-17 dalam serum antara
penderita dengan bukan penderita psoriasis vulgaris. [Tesis] Medan:
Universitas Sumatera Utara; 2014.
58. Suhoyo WW. Hubungan kadar nitrit oxide serum pasien psoriasis vulgaris
dengan skor psoriasis area and severity index. [Tesis] Medan: Universitas
Sumatera Utara; 2014.
59. Griffiths CE, Barker JN. Psoriasis. dalam: Burns T, Breathnach SM, Cox NH,
Griffiths CE, editor. Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke-8. UK:Wiley
Blackwell; 2010. h. 20.1-60.
60. Adam BA. Psoriasis in a hospital population. Med. J. Malaysia.1980; 34:
379-4.
61. Brandrup F, Green A. The prevalence of psoriasis in Denmark. Acta Derm
Venereol. 1981; 61:344–6.
62. Hellgren L. The Prevalence in Sex, Age and Occupational Groups in Total
Populations in Sweden. Morphology, Inheritance and Association with other
Skin and Rheumatic Diseases. Psoriasis. 1967; 34(2): 126-9.
63. Cooperative Psoriasis Study Group Distribution of psoriasis in China: A
nationwide screening in 1984. Chinese Journal of Dermatology. 1986;
19:253–62.
64. Subagio, Thaha MA, Rusmawardiana, Tjekyan RM. Hubungan profil lipid
dengan keparahan psoriasis di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
[Disertasi] Palembang: Universitas Sriwijaya; 2011.
65. Lin TY, et al. Qualitiy of life in patients with psoriasis in northern Taiwan.
Chang Gung Med J. 2011; 34:186-96.
66. Nakamura M, Toyoda M, Morohashi M. Pruritogenic mediators in psoriasis
vulgaris: comparative evaluation of itch-associated cutaneous factors. Br J
Dermatol. 2003; 149: 718–730.
67. Szepietowski JC, Reich A. Pruritus in psoriasis: An update. Eur J Pain. 2016;
20: 41 - 46.
68. Mukaka MM. A guide to approriate use of correlation coefficient in medical
research. Malawi Med J. 2012; 24(3): 69-71.
Universitas Sumatera Utara
54
69. Duclot F, Kabbaj M. Epigenetic mechanisms underlying the role of brain-
derived neurotrophic factor in depression and response to antidepressants. J
Exp Biol. 2015; 218: 21-31.
70. Yu H, Chen Z. The role of BDNF in depression on the basis of its location in
the neural circuitry. Acta Pharmacol. 2011; 32: 3–11.
71. Raap U, Werfel T, Goltz C, Deneka N, Langer K, Bruder M, et al. Circulating
levels of brain-derived neurotrophic factor correlate with disease severity in
the intrinsic type of atopic dermatitis. Allergy. 2006; 61: 1416–1418.
72. Akay A. Pekcanlar A, Bozdag KE, Altintas L, Karaman A. Assessment of
depression in subjects with psoriasis vulgaris and lichen planus. JEADV.
2002; 16: 347–352.
73. Pujol RM, Puig L, Dauden E. Sanchez-Carazo JL, Toribio J, Vanaciocha F,
Yebenes M, et al. Mental Health Self-Assessment in Patients With Moderate
to Severe Psoriasis: An Observational, Multicenter Study of 1164 Patients in
Spain (The VACAP Study). Actas Dermosifi liogr. 2013; 104(10): 897–903.
74. D’Erme, Zanieri F, Campolmi E, Santosuosso U, Betti S, Agnoletti AF, et al.
Therapeutic implications of adding the psychotropic drug escitalopram in the
treatment of patients suffering from moderate–severe psoriasis and
psychiatric comorbidity. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2014; 28(2): 246-9.
75. Menter A, Augustin M, Signorovitch J, Yu AP, Wu, EQ, Gupta SR, et al. The
effect of adalimumab on reducing depression symptoms in patients with
moderate to severe psoriasis: A randomized clinical trial. J Am Acad
Dermatol. 2010; 62: 812-8.
76. Korkoliakou P, Christodoulou C, Kouris A, Porichi E, Efstathiou V, Kaloudi
E, et al. Alexithymia, anxiety and depression in patients with psoriasis: a
case–control study. Annals of General Psychiatry. 2014; 13:38.
Universitas Sumatera Utara
56
Lampiran 2
NASKAH PENJELASAN KEPADA PASIEN
Selamat pagi / siang,
Perkenalkan nama saya dr. Muhammad Sjahrir. Saat ini saya sedang menjalani program pendidikan dokter spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Untuk memenuhi salah satu persyaratan menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis di FK USU yang sedang saya jalani, saya melakukan penelitian dengan judul “HUBUNGAN KADAR BRAIN – DERIVED NEUROTROPHIC FACTOR DALAM SERUM DENGAN DERAJAT GEJALA DEPRESI PADA PENDERITA PSORIASIS VULGARIS”. Brain-derived Neurotrophic Factor (BDNF) adalah suatu zat dalam sistem saraf yang berfungsi untuk memelihara sel – sel saraf, selain itu juga memiliki fungsi menjaga keseimbangan antara produksi dan kematian sel kulit. BDNF diyakini berperan pula dalam terjadinya depresi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara kadar brain derived neurotrophic factor dengan derajat gejala depresi pada penderita psoriasis vulgaris. Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan masyarakat, bahwa psoriasis vulgaris bukan penyakit kulit semata, tetapi melibatkan organ lain salah satunya sistem saraf dan kejiwaan.
Jika Saudara/ Saudari bersedia untuk ikut serta dalam penelitian ini, maka saya akan melakukan tanya jawab terhadap Saudara/ Saudari untuk mengetahui identitas pribadi secara lebih lengkap. Setelah itu akan dilakukan pengambilan darah dan pengisian lembar Beck depression inventory-II untuk mengetahui kondisi depresi saudara/saudari.
Pengambilan darah akan dilakukan di laboratorium Patologi Klinik RSUP. H. Adam Malik Medan dengan cara daerah lengan yang akan diambil darahnya diolesi dengan kapas alkohol agar steril kemudian akan dipasangkan ikat lengan lalu ditusuk jarum suntik steril setelah itu jarum suntik ditarik dan bekas tusukan akan ditutup dengan kapas alkohol. Darah yang diambil sebanyak 1 sendok teh, dilakukan oleh petugas laboratorium Patologi Klinik RSUP. H. Adam Malik Medan, selanjutnya diperiksa kadar BDNF-nya.
Saudara/ Saudari tidak akan dikutip biaya apapun dalam penelitian ini dan kerahasiaan mengenai penyakit yang diderita peserta penelitian terjamin. Keikutsertaan Saudara/ Saudari dalam penelitian ini adalah bersifat sukarela. Bila tidak bersedia Saudara/ Saudari berhak menolak diikusertakan dalam penelitian ini. Jika Saudara/ Saudari bersedia dan menyetujui pemeriksaan ini, mohon untuk menandatangani formulir persetujuan ikut serta dalam penelitian dan berhak atas biaya transportasi sebesar Rp.50.000,-
Jika Saudara/ Saudari masih memerlukan penjelasan lebih lanjut dapat menghubungi saya di nomor telepon 082166771881. Atas kerjasama Saudara/ Saudari saya mengucapkan terima kasih.
Hormat saya,
dr. Muhammad Sjahrir
Universitas Sumatera Utara
57
Lampiran 3
PERSETUJUAN IKUT SERTA DALAM PENELITIAN
Setelah mendapat penjelasan, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
Jenis kelamin :
Umur : tahun
Alamat :
Telepeon :
Dengan ini menyatakan secara sukarela SETUJU untuk ikut serta dalam penelitian dan
mengikuti prosedur pemeriksaan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya dalam keadaan sadar tanpa paksaan
dari siapapun.
Medan, ...............................
Dokter pemeriksa Menyetujui,
(dr. Muhammad Sjahrir) ( )
Universitas Sumatera Utara
58
Lampiran 4
STATUS PENELITIAN
Tanggal pemeriksaan :
Nomor urut penelitian :
Nomor rekam medik :
ANAMNESIS
Nama :
Alamat :
Telp. :
Tempat tanggal lahir (hari, bulan, tahun) / Umur :
Lama menderita :
Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan
Bangsa/Suku : 1. Batak 2. Jawa
3.Melayu 4. Minangkabau
5. Tionghoa 6.Lainnya
Agama : 1. Islam 2.Kristen Protestan
3. Katolik 4. Hindu
5.Budha
Pendidikan : 1. Belum sekolah
2. SD / sederajat
3. SMP / sederajat
4. SMA / sederajat
5. Perguruan tinggi
Keluhan Utama :
Riwayat perjalanan penyakit :
Riwayat penyakit keluarga :
Riwayat penyakit terdahulu :
Universitas Sumatera Utara
59
Riwayat pemakaian obat :
PEMERIKSAAN FISIK
Status generalisata
Keadaan umum :
Kesadaran :
Gizi :
Tekanan darah :
Frekuensi nadi :
Suhu :
Frekuensi pernapasan :
Keadaan Spesifik :
Kepala :
Leher :
Toraks :
Abdomen :
Genitalia :
Ekstremitas :
Status dermatologis
Lokalisasi :
Efloresensi :
Fenomena tetesan lilin:
Tanda Auspitz:
Skor PASI:
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Kadar Brain-Derived Neurotrophic Factor :
Universitas Sumatera Utara
60
PEMERIKSAAN GEJALA DEPRESI (BDI-II)
Interpretasi:
DIAGNOSIS KERJA :
PENATALAKSANAAN:
PROGNOSIS
Quo ad vitam :
Quo ad functionam :
Quo ad sanactionam :
Universitas Sumatera Utara
61
Lampiran 5
Beck Depression Inventory-II
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Pendidikan :
Status Perkawinan :
Pekerjaan :
Pendapatan :
Suku :
Tanggal Pemeriksaan :
lnstruksi: Kuesioner ini terdiri dari 21 kelompok pernyataan. Silakan membaca masing -
masing kelompok pernyataan dengan seksama, dan pilih satu pernyataan yang terbaik pada
masing-masing kelompok yang menggambarkan dengan baik bagaimana perasaan anda.
Lingkari huruf abjad di depan pernyataan yang telah anda pilih. Jika beberapa pernyataan
dalam beberapa kelompok sama bobotnya, lingkari nomor yang paling tinggi untuk kelompok
itu. Yakinkan bahwa anda tidak memilih lebih dari satu pernyataan untuk satu kelompok,
termasuk soal nomor 16 (Perubahan Pola Tidur) atau soal nomor 18 (Perubahan Selera
makan).
Universitas Sumatera Utara
62
Pilihlah satu jawaban yang sesuai dengan keadaan anda
1. A. Saya tidak merasa sedih
B. Saya merasa sedih
C. Saya sedih dan murung sepanjang waktu dan tidak bisa menghilangkan
perasaan itu
D. Saya demikian sedih atau tidak bahagia sehingga saya tidak tahan lagi
rasanya
2. A. Saya tidak terlalu berkecil hati mengenai masa depan
B. Saya merasa kecil hati mengenai masa depan
C. Saya merasa bahwa tidak ada satupun yang dapat saya harapkan
D. Saya merasa bahwa masa depan saya tanpa harapan dan bahwa semuanya
tidak akan dapat membaik
3. A. Saya tidak menganggap diri saya sebagai orang yang gagal
B. Saya merasa bahwa saya telah gagal lebih daripada kebanyakan orang
C. Saat saya mengingat masa lalu, maka yang teringat oleh saya hanyalah
kegagalan
D. Saya merasa bahwa saya adalah seorang yang gagal total
4. A. Saya mendapat banyak kepuasan dari hal-hal yang biasa saya lakukan
B. Saya tidak dapat lagi mendapat kepuasan dari hal-hal yang biasa saya
lakukan
C. Saya tidak mendapat kepuasan dari apapun lagi
D. Saya rnerasa tidak puas atau bosan dengan segalanya
5. A. Saya tidak terlalu merasa bersalah
B. Saya merasa bersalah di sebagian waktu saya
Universitas Sumatera Utara
63
C. Saya agak merasa bersalah di sebagian besar waktu
D. Saya merasa bersalah sepanjang waktu
6. A. Saya tidak merasa seolah saya sedang dihukum
B. Saya merasa mungkin saya sedang dihukum
C. Saya pikir saya akan dihukum
D. Saya merasa bahwa saya sedang dihukum
7. A. Saya tidak merasa kecewa terhadap diri saya sendiri
B. Saya kecewa dengan diri saya sendiri
C. Saya muak terhadap diri saya sendiri
D. Saya membenci diri saya sendiri
8. A. Saya tidak merasa lebih buruk dari pada orang lain
B. Saya mencela diri saya karena kelemahan dan kesalahan saya
C. Saya menyalahkan diri saya sepanjang waktu karena kesalahan-kesalahan
saya
D. Saya menyalahkan diri saya untuk semua hal buruk yang terjadi
9. A. Saya tidak punya sedikitpun pikiran untuk bunuh diri
B. Saya mempunyai pikiran - pikiran untuk bunuh diri, namun saya tidak
akan melakukannya
C. Saya ingin bunuh diri
D. Saya akan bunuh diri jika saya punya kesempatan
10. A. Saya tidak lebih banyak menangis dibandingkan biasanya
B. Sekarang saya lebih banyak menangis dari pada sebelumnya
C. Sekarang saya menangis sepanjang waktu
Universitas Sumatera Utara
64
D. Biasanya saya rnampu menangis, namun kini saya tidak dapat lagi
menangis walaupun saya menginginkannya
11. A. Saya tidak lebih terganggu oleh berbagai hal dibandingkan biasanya
B. Saya sedikit lebih pemarah dari pada biasanya akhir-akhir ini
C. Saya agak jengkel atau terganggu di sebagian besar waktu saya
D. Saya merasa jengkel sepanjang waktu sekarang
12. A. Saya tidak kehilangan minat saya terhadap orang lain
B. Saya agak kurang berminat terhadap orang lain dibanding biasanya
C. Saya kehilangan hampir seluruh minat saya pada orang lain
D. Saya telah kehilangan seluruh minat saya pada orang lain
13. A. Saya mengambil keputusan-keputusan hampir sama baiknya dengan yang
biasa saya lakukan
B. Saya menunda mengambil keputusan-keputusan begiiu sering dari yang
biasa saya lakukan
C. Saya mengalami kesulitan lebih besar dalam mengambil
keputusankeputusan daripada sebelumnya
D. Saya sama sekali tidak dapat mengambil keputusan-keputusan lagi
14. A. Saya tidak merasa bahwa keadaan saya tampak lebih buruk dari biasanya
B. Saya khawatir saya tampak lebih tua atau tidak menarik
C. Saya merasa bahwa ada perubahan-perubahan yang menetap dalam
penampilan saya sehingga membuat saya tampak tidak menarik
D. Saya yakin bahwa saya terlihat jelek
15. A. Saya dapat bekerja sama baiknya dengan waktu-waktu sebelumnya
B. Saya membutuhkan suatu usaha ekstra untuk mulai melakukan sesuatu
Universitas Sumatera Utara
65
C. Saya harus memaksa diri sekuat tenaga untuk mulai melakukan sesuatu
D. Saya tidak mampu mengerjakan apa pun lagi
16. A. Saya dapat tidur seperti biasanya
B. Tidur saya tidak senyenyak biasanya
C. Saya bangun 1-2 jam lebih awal dari biasanya dan merasa sukar sekali
untuk bisa tidur kembali
D. Saya bangun beberapa jam lebih awal dari biasanya dan tidak dapat tidur
kembali
17. A. Saya tidak merasa lebih lelah dari biasanya
B. Saya merasa lebih mudah lelah dari biasanya
C. Saya merasa lelah setelah melakukan apa saja
D. Saya terlalu lelah untuk melakukan apapun
18. A. Nafsu makan saya tidak lebih buruk dari biasanya
B. Nafsu makan saya tidak sebaik biasanya
C. Nafsu makan saya kini jauh lebih buruk
D. Saya tak memiliki nafsu makan lagi
19. A. Berat badan saya tidak turun banyak atau bahkan tetap akhir-akhir ini
B. Berat badan saya turun lebih dari 2,5 kg
C. Berat badan saya turun lebih dari 5 kg
D. Berat badan saya turun lebih dari 7.5 kg
20. A. Saya tidak lebih khawatir mengenai kesehatan saya dari pada biasanya
B. Saya khawatir mengenai masalah-masalah fisik seperti rasa sakit dan
tidak enak badan, atau perut mual atau sembelit
Universitas Sumatera Utara
66
C. Saya sangat cemas mengenai masalah-masalah fisik dan sukar untuk
memikirkan banyak hal lainnya
D. Saya begitu cemas mengenai masalah-masalah fisik saya sehingga tidak
dapat berfikir tentang hal lainnya
21. A. Saya tidak melihat adanya perubahan dalam minat saya terhadap seks
B. Saya kurang berminat di bidang seks dibandingkan biasanya
C. Kini saya sangat kurang berminat terhadap seks
D. Saya telah kehilangan minat terhadap seks sama sekali
Total Skor:
Interpretasi:
Keterangan: A = 0, B = 1, C = 2 D = 3
0 – 13 = depresi minimal
14 – 19 = depresi ringan
20 – 28 = depresi sedang
29 – 63 = depresi berat
Universitas Sumatera Utara
67
Lampiran 6
Psoriasis Area and Severity Index (PASI)
Nama Pasien Tanggal Nomor Rekam Medis
Skor lesi
Eritema (E)
Tidak ada
Ringan
Sedang
Berat
Sangat
berat
Indurasi (I)
Skuama (S)
Skor 0 1 2 3 4
Skor area
Area 0 1-9% 10-29% 30-49% 50-69% 70-89% 90-100%
Skor 0 1 2 3 4 5 6
Universitas Sumatera Utara
68
Penghitungan
Skor lesi Kepala (a) Badan (b) Ekstremitas
atas (c)
Ekstremitas
bawah (d)
Eritema (E)
Indurasi (I)
Skuama (S)
Jumlah:
E+I+S
% area yang
terkena
Subtotal:
Jumlah x skor
area
Area tubuh:
subtotal x …
X 0.1 X 0.2 X 0.3 X 0.4
Total a b c d
Skor PASI = a+b+c+d =
Keterangan : <10 = ringan
10 – 20 = sedang
>20 = berat
Universitas Sumatera Utara
70
Lampiran 8
Data Peserta Penelitian
No. Inisial Umur
(tahun
)
Jenis
Kelamin
Pendidikan Durasi
Penyakit
(tahun)
Skor
PASI
Kadar
BDNF
(pg/ml)
Derajat
Gejala
Depresi
1. PSO 1 35 L SMA 3 1,8
(ringan)
994,67 6
(minimal)
2. PSO 2 49 P Perguruan
Tinggi
15 11,7
(sedang)
916,13 20
(sedang)
3. PSO 3 41 L Perguruan
Tinggi
20 7,7
(ringan)
884,50 17
(ringan)
4. PSO 4 62 L Perguruan
Tinggi
20 25,2
(berat)
575,06 27
(sedang)
5. PSO 5 55 P SMA 40 13,8
(sedang)
1088,45 15
(sedang)
6. PSO 6 37 P SMA 6 3,7
(ringan)
1227,62 9
(minimal)
7. PSO 7 46 L SMA 13 23,8
(berat)
673,45 20
(sedang)
8. PSO 8 20 L SMA 0,25 3,6
(ringan)
907,45 7
(minimal)
9. PSO 9 39 L Perguruan
Tinggi
11 6,9
(ringan)
839,45 18
(ringan)
10. PSO 10 31 P SMA 13 18,8
(sedang)
719,43 20
(sedang)
11. PSO 11 49 P Perguruan
Tinggi
24 23,5
(berat)
633,35 28
(sedang)
12. PSO 12 58 L Perguruan
Tinggi
5 8,2
(ringan)
722,46 22
(sedang)
13. PSO 13 45 P SMA 20 6,8
(ringan)
861,63 14
(ringan)
14. PSO 14 51 P Perguruan
Tinggi
12 2,4
(ringan)
1063,92 14
(ringan)
15. PSO 15 36 L SMA 6 36,9 773,41 22
Universitas Sumatera Utara
71
(berat) (sedang)
16. PSO 16 31 P SMP 4 5,7
(ringan)
1145,61 7
(minimal)
17. PSO 17 25 P Perguruan
Tinggi
3 1,7
(ringan)
1055,40 8
(minimal)
18. PSO 18 49 L Perguruan
Tinggi
14 1,8
(ringan)
996,7 16
(ringan)
19. PSO 19 54 L Perguruan
Tinggi
20 20,2
(berat)
783,24 22
(sedang)
20. PSO 20 41 L SMA 10 10,4
(sedang)
1009,20 5
(minimal)
21. PSO 21 53 P SMA 11 5,6
(ringan)
1203,65 14
(ringan)
22. PSO 22 22 P SMP 2 3,2
(ringan)
1037,93 13
(minimal)
23. PSO 23 39 L Perguruan
Tinggi
14 21,7
(berat)
873,59 18
(ringan)
Universitas Sumatera Utara
72
Lampiran 9
Analisis Data
umur
3 13.0 13.0 13.0
7 30.4 30.4 43.5
7 30.4 30.4 73.9
5 21.7 21.7 95.7
1 4.3 4.3 100.0
23 100.0 100.0
20-29
30-39
40-49
50-59
>60
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
jeniskel
12 52.2 52.2 52.2
11 47.8 47.8 100.0
23 100.0 100.0
L
P
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
pendidikan
2 8.7 8.7 8.7
10 43.5 43.5 52.2
11 47.8 47.8 100.0
23 100.0 100.0
SMP
SMA
PT
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
durasipenyakit
5 21.7 21.7 21.7
4 17.4 17.4 39.1
8 34.8 34.8 73.9
6 26.1 26.1 100.0
23 100.0 100.0
<5
5-10
11-15
>15
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
Universitas Sumatera Utara
73
Hubungan antara kadar BDNF dalam serum dengan derajat gejala depresi
Descriptive Statistics
23 575.06 1227.62 912.4478 180.94231
23
bdnf
Valid N (listwise)
N Minimum Maximum Mean Std. Dev iation
gejdepresi
7 30.4 30.4 30.4
7 30.4 30.4 60.9
9 39.1 39.1 100.0
23 100.0 100.0
minimal
ringan
sedang
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
pasi
13 56.5 56.5 56.5
4 17.4 17.4 73.9
6 26.1 26.1 100.0
23 100.0 100.0
ringan
sedang
berat
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
Correlations
1.000 -.667**
. .001
23 23
-.667** 1.000
.001 .
23 23
Correlation Coef f icient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coef f icient
Sig. (2-tailed)
N
bdnf
gejdepresi
Spearman's rho
bdnf gejdepresi
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
Universitas Sumatera Utara
74
Hubungan antara kadar BDNF dengan skor PASI
Hubungan antara derajat gejala depresi dengan skor PASI
Correlations
1.000 -.595**
. .003
23 23
-.595** 1.000
.003 .
23 23
Correlation Coef f icient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coef f icient
Sig. (2-tailed)
N
bdnf
pasi
Spearman's rho
bdnf pasi
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
Correlations
1.000 .670**
. .000
23 23
.670** 1.000
.000 .
23 23
Correlation Coef f icient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coef f icient
Sig. (2-tailed)
N
gejdepresi
pasi
Spearman's rho
gejdepresi pasi
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
Universitas Sumatera Utara
76
Lampiran 11
Daftar Riwayat Hidup
Data Pribadi
1. Nama : dr. Muhammad Sjahrir
2. Tempat & Tanggal Lahir : Cimahi, 9 September 1987
3. Umur : 30 tahun
4. Jenis Kelamin : Laki - laki
5. Status : Belum menikah
6. Pendidikan : S1 Profesi Dokter
7. Agama : Islam
8. Kebangsaan : Indonesia
9. Alamat : Jl. Flamboyan I / 3 no.19 Tanjung Selamat -
Medan Tuntungan, Medan - 20134
10. Telp. : 082166771881
Pendidikan Formal
1. SD : SD Islam Al-Azhar Kemang Jakarta
2. SMP : SMP Negeri 102 Jakarta
3. SMA : SMA Taruna Nusantara Magelang
4. S1 : Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta
Universitas Sumatera Utara