hubungan hasil pemeriksaan aspartate …digilib.unila.ac.id/30217/3/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN HASIL PEMERIKSAAN ASPARTATE TRANSAMINASE DAN ALANINE TRANSAMINASE TERHADAP DERAJAT
KEPARAHAN PASIEN INFEKSI DENGUE DI RS URIP SUMOHARJO
BANDARLAMPUNG
(Skripsi)
Oleh:
Muty Hardani
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2018
HUBUNGAN HASIL PEMERIKSAAN ASPARTATE TRANSAMINASE DAN ALANINE TRANSAMINASE TERHADAP DERAJAT
KEPARAHAN PASIEN INFEKSI DENGUE DI RS URIP SUMOHARJO
BANDARLAMPUNG
Oleh
MUTY HARDANI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2018
ABSTRACT
THE CORRELATION BETWEEN ASPARTATE TRANSAMINASE AND ALANINE TRANSAMINASE TEST RESULT AND SEVERITY OF DISEASE ON PATIENTS WITH DENGUE INFECTION IN URIP
SUMOHARJO HOSPITAL BANDARLAMPUNG
By
MUTY HARDANI Background: Dengue infection have become major international public health concerns. This infection has been found to have profound effect on multiple organ systems including liver. Patients with raised aspartate transaminase (AST) and alanine transaminase (ALT) levels are more susceptible to higher severity of disease. But AST and ALT values have not been included as one of severity indicator. Objective: To determine the correlation between aspartate transaminase and alanine transaminase test result and severity of disease on patients with dengue infection. Method: This is an analytical observational study with cross sectional approach. The research conducted at Urip Sumoharjo Hospital in October-Desember 2017. Data was collected from 21 patients by using total sampling technique. AST and ALT test performed by using automated clinical chemistry analyzer (ACA) TRX 7010. Result: Raised AST levels have been seen in 66,7% of patients, while raised ALT levels in 52,4% patients. The values noted to be higher in day 6. Based on gamma correlation test between aspartate transaminase and alanine transaminase and severity of disease identified p value = 0,000 (<0,05) and r = 0,891 (0,76-1,00). Conclusion: there is significant correlation between aspartate transaminase and alanine transaminase test result and severity of disease. Keywords: ALT, AST, dengue, severity.
ABSTRAK
HUBUNGAN HASIL PEMERIKSAAN ASPARTATE TRANSAMINASE DAN ALANINE TRANSAMINASE TERHADAP DERAJAT KEPARAHAN
PASIEN INFEKSI DENGUE DI RS URIP SUMOHARJO BANDARLAMPUNG
Oleh
MUTY HARDANI
Latar belakang: Infeksi dengue adalah salah satu penyakit menular yang menjadi masalah penting bagi kesehatan masyarakat dunia. Infeksi ini menyebabkan kerusakan banyak organ termasuk hati. Pasien dengan kadar aspartate transaminase (AST) dan alanine transaminase (ALT) yang meningkat lebih rentan mengalami infeksi dengue dengan derajat keparahan yang tinggi. Namun hingga saat ini peningkatan AST dan ALT belum dimasukan sebagai salah satu indikator derajat keparahan. Tujuan: Untuk megetahui ada tidaknya hubungan hasil pemeriksaan aspartate transaminase dan alanine transaminase terhadap derajat keparahan pasien infeksi dengue. Metode: Penelitian menggunakan metode analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Dilakukan di RS Urip Sumoharjo pada bulan Oktober-Desember 2017. Jumlah sampel 21 orang dengan teknik total sampling. Pemeriksaan AST dan ALT dilakukan menggunakan automated clinical chemistry analyzer (ACA) TRX 7010. Hasil: Pasien dengan peningkatan AST (66,7%) lebih banyak dibandingkan ALT (52,4%). Puncak peningkatan terjadi pada hari ke-6. Uii korelasi gamma mengenai hubungan antara hasil pemeriksaan AST dan ALT terhadap derajat keparahan mendapatkan p value = 0,000 (<0,05) dan r = 0,891 (0,76-1,00). Simpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara hasil pemeriksaan AST dan ALT terhadap derajat keparahan penyakit, dimana semakin tinggi kadar AST dan ALT maka akan semakin berat derajat keparahan pasien. Kata kunci: ALT, AST, dengue, derajat keparahan.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 18 Agustus 1996. Penulis
merupakan anak pertama dari 3 bersaudara dari Bapak Harjo dan Ibu Irma
Sukmawardani.
Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Tunas Sejahtera
Bogor pada tahun 2002, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Insan Kamil
Bogor pada tahun 2008, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMP
Negeri 9 Bogor pada tahun 2011, dan Sekolah Menengah Atas (SMA)
diselesaikan di SMA Negeri 2 Bogor pada tahun 2014.
Tahun 2014, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SBMPTN).
Selama menjadi mahasiswa penulis aktif menjadi anggota PMPATD
Pakis Reascue Team dan LUNAR 2015-2016. Penulis juga pernah menjadi
Asisten Dosen Laboratorium Anatomi FK Unila tahun 2016-2017.
Dengan r idho Allah SWT,
Ku persembahkan tul isan ini untuk Mama, Ayah, dan Adik-Adikku
Tersayang…
SANWACANA
Segala puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT, yang atas
limpahan rahmat-Nya, peneliti mampu menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas
akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung.
Skripsi dengan judul “Hubungan Hasil Pemeriksaan Aspartate
Transaminase dan Alanine Transaminase terhadap Derajat Keparahan Pasien
Infeksi Dengue di RS Urip Sumoharjo Bandarlampung”
Terselesaikan skripsi ini merupakan ikhtiar peneliti yang tidak luput dari
bantuan dan dukungan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas Lampung
2. Dr. dr. H. Muhartono, S.Ked., M.Kes., Sp.PA., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung;
3. dr. Ety Apriliana, S.Ked., M. Biomed., selaku Pembimbing Utama yang
telah meluangkan waktu untuk membantu, memberi kritik, saran, dan
membimbing dalam penyelesaian skripsi ini;
4. Soraya Rahmanisa, S. Si., M. Sc, selaku Pembimbing Kedua yang telah
meluangkan waktu untuk membantu, memberi kritik, saran, dan
membimbing dalam penyelesaian skripsi ini;
5. Prof. Dr. dr. Efrida Warganegara, M.Kes., Sp. MK, selaku Penguji dan
dosen Pembimbing Akademik yang telah bersedia hadir dan memberikan
kritik, saran serta nasihat dan motivasi yang sangat bermanfaat bagi
peneliti;
6. Mamahku tercinta, Irma Surmawardani, terimakasih atas semua doa yang
tiada hentinya dan kasih sayang yang tak terbatas untuk penulis. Terima
kasih atas dukungan, nasihat, motivasi, dan pengorbanan yang telah
dilakukan demi tercapainya impian penulis. Semoga Allah SWT selalu
memberikan perlindungan dan karunia-Nya;
7. Ayahku, Harjo, terimakasih untuk segala kasih sayang dan kerja keras
yang tidak kenal lelah demi tercapainya impian penulis. Terimakasih atas
dukungan, kesabaran, dan pelajaran hidup diberikan kepada penulis.
Semoga Allah selalu SWT memberikan perlindungan dan karunia-Nya;
8. Adik-adik ku tersayang, Ilyasa Harmadika dan Karla Safitri Raharjo,
terimakasih atas semangat dan tawa yang selalu diberikan untuk penulis;
9. Seluruh Dosen dan Karyawan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat dan ikut membantu dalam
proses penelitian skripsi;
10. Seluruh dokter, perawat, pasien dan petugas laboratorium RS Urip
Sumoharjo Bandarlampung yang sudah meluangkan waktunya untuk
membantu proses penelitian penulis;
11. Tim skripsi, Sitti Maemunah dan Amrita Kirana. Terimakasih atas kerja
sama dan bantuan selama pengerjaan skripsi ini;
12. Sahabat yang mengisi masa kuliahku Agieska Amallia, Bella Pratiwi
Anzani, Kholifah Nawang Wulan, Sitti Hazrina terimakasih telah
memberikan semangat, hiburan, bantuan, dan kebersamaan yang tidak
akan saya lupakan. Semoga kita menjadi dokter yang sukses dan
professional;
13. Sahabat terbaik semasa sekolahku Bellyza Bilqissari dan Shafira Fauzia.
Terimakasih telah menemaniku dikondisi apapun. Semoga Allah SWT
selalu memberikan kalian kemudahan dalam mencapai cita-cita;
14. Amira Puri Zahra, Fitri Syifa Nabilla, Febrina Halimatunisa, Nadia
Rosmalia, Regina Triswara, dan Sutansyah Ahmad Iman terimakasih
telah berbagi suka duka selama kuliah bersama penulis;
15. Keluarga Anatomi FK Unila, terimakasih atas ilmu, kerjasama, motivasi,
pelajaran hidup, dan kekeluargaanya;
16. Seluruh teman-teman CRAN14L yang tidak bisa saya sebutkan satu per
satu, terimakasih atas kebersamaan yang terjalin.
Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Akan tetapi, sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini
dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin. Bandar Lampung, Januari 2018
Penulis,
Muty Hardani
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………. i DAFTAR TABEL …………………………...…………………………………. ii DAFTAR GAMBAR ………………………………………………..……….... iii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah Penelitian ....................................................................... 5 1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5
1.3.1 Tujuan Umum ......................................................................................... 5 1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Dengue ............................................................................................. 7 2.1.1 Epidemiologi .......................................................................................... 7 2.1.2 Etiologi ................................................................................................... 9 2.1.3 Vektor dan Transmisi ........................................................................... 10 2.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi ............................................................... 11 2.1.5 Gejala Klinis ......................................................................................... 17 2.1.6 Klasifikasi Derajat Keparahan Infeksi .................................................. 20 2.1.7 Pemeriksaan Penunjang ........................................................................ 22 2.1.8 Efek Infeksi Dengue pada Sel Hati ...................................................... 23 2.1.9 Enzim Aminotransferase Hati (AST dan ALT) .................................... 25 2.1.9 Tatalaksana ........................................................................................... 28
2.2 Kerangka Teori ............................................................................................ 30 2.3 Kerangka Konsep ........................................................................................ 31 2.4 Hipotesis ...................................................................................................... 31
ii
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ................................................................................ 32 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................... 32 3.3 Subjek Penelitian ....................................................................................... 32
3.3.1 Populasi ................................................................................................ 32 3.3.2 Sampel .................................................................................................. 33
3.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi ....................................................................... 33 3.4.1 Kriteria Inklusi ..................................................................................... 33 3.4.2 Kriteria Ekslusi ..................................................................................... 33
3.5 Identifikasi Variabel .................................................................................. 34 3.5.1 Variabel Bebas ...................................................................................... 34 3.5.2 Variabel Terikat .................................................................................... 34
3.6 Definisi Operasional Penelitian ................................................................. 35 3.7 Alat dan Bahan Penelitian ......................................................................... 36
3.7.1 Alat Penelitian ...................................................................................... 36 3.7.2 Bahan Penelitian ................................................................................... 36
3.8 Prosedur Penelitian .................................................................................... 36 3.8.1 Prosedur Anamnesis ............................................................................. 36 3.8.2 Prosedur Pemeriksaan Fisik ................................................................. 37 3.8.3 Prosedur Pemeriksaan AST dan ALT .................................................. 39
3.9 Alur Penelitian ........................................................................................... 41 3.10 Pengolahan Data ........................................................................................ 42 3.11 Analisis Data .............................................................................................. 42 3.12 Etika Penelitian .......................................................................................... 43
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian .......................................................................................... 44 4.1.1 Analisis Univariat .............................................................................. 44 4.1.2 Analisis Bivariat ................................................................................. 47
4.2 Pembahasan ............................................................................................... 50 BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan .................................................................................................... 57 5.2 Saran .......................................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 59 LAMPIRAN
iii
DAFTAR TABEL Tabel Halaman
1. Derajat klinis infeksi dengue..……………………………………………. 21
2. Nilai rujukan AST dan ALT …………………………………………….. 27
3. Definisi operasional variable penelitian…….……………………………. 35
4. Hasil pemeriksaan AST….....……………………………………………. 44
5. Hasil pemeriksaan ALT……..………………………………………..…. 45
6. Derajat keparahan penyakit pada pasien infeksi dengue ……..…………. 47
7. Hubungan hasil pemeriksaan AST terhadap derajat keparahan….………. 48
8. Hubungan hasil pemeriksaan ALT terhadap derajat keparahan….………. 49
iv
DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman
1. Struktur virus dengue ………………………………………………….… 9
2. Hipotesis secondary heterologous infection .……………………......…... 12
3. Patogenesis infeksi dengue …………………………………………….... 15
4. Manifestasi klinik infeksi dengue…………………………....…………... 17
5. Perjalanan infeksi dengue ……………………………………………….. 18
6. Kerangka teori ……………………………………………………………. 30
7. Kerangka konsep ………………………………………………………... 31
8. Alur penelitian …………………………………………………………… 41
9. Gambaran AST dan ALT berdasarkan lama onset demam……………… 46
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lembar persetujuan etik penelitian
Lampiran 2 Lembar pre survey penelitian
Lampiran 3 Lembar izin penelitian
Lampiran 4 Lembar inform consent
Lampiran 5 Data hasil pemeriksaan AST dan ALT serta derajat keparahan
pasien infeksi dengue
Lampiran 6 Analisis Univariat
Lampiran 7 Analisis Bivariat
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi dengue adalah salah satu penyakit menular yang merupakan masalah
penting bagi kesehatan masyarakat dunia (Karyanti & Hadinegoro, 2009).
Secara global, frekuensi terjadinya insiden infeksi dengue di seluruh dunia
terus meningkat selama lebih dari tiga dekade terakhir. Lebih dari 100 negara
di wilayah tropis dan subtropis menjadi lokasi endemik. World Health
Organization (WHO) memperkirakan 50 juta infeksi dengue terjadi setiap
tahun. Dari total seluruh penderita di dunia sekitar 2,5 miliar orang hidup di
negara endemik dimana 1,3 miliar orang diantaranya hidup di 10 negara
wilayah Asia Tenggara (WHO, 2011).
Jumlah kasus infeksi dengue terus meningkat selama tiga sampai lima tahun
terakhir di ASIA. Selain itu, terjadi peningkatan proporsi infeksi dengue
beserta tingkat keparahannya, terutama di Thailand, Indonesia dan Myanmar.
Indonesia sendiri saat ini berada di Kategori A daerah endemis infeksi dengue
di ASEAN (WHO, 2011).
2
Infeksi dengue di Indonesia memiliki angka kesakitan yang cenderung
meningkat dari tahun ke tahun bahkan sering menimbulkan Kejadian Luar
Biasa (KLB) (Kementrian Kesehatan, 2010). Pada tahun 2015 jumlah
penderita infeksi dengue yang dilaporkan sebanyak 129.650 kasus dengan
jumlah kematian sebanyak 1.071 orang, sehingga target Renstra Kementerian
Kesehatan untuk angka kesakitan infeksi dengue tahun 2015 sebesar < 49 per
100.000 penduduk Indonesia belum tercapai (Kementrian Kesehatan, 2015).
Di Provinsi Lampung angka kesakitan (IR) selama tahun 2004-2014
cenderung berfluktuasi. Pada tahun 2014 angka kesakitan di Provinsi
Lampung sebesar 16,8 per 100.000 penduduk yang artinya dibawah IR
Nasional yaitu 51 per 100.000 penduduk (Dinas Kesehatan Kota
Bandarlampung, 2014). Namun, case fatality rate (CFR) mengalami
peningkatan dari sebesar 0,98% pada tahun 2013 menjadi 1,63% pada tahun
2014 (Dinas Kesehatan Kota Bandarlampung, 2014).
Meningkatnya CFR dapat disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya
adalah sulitnya memprediksi perjalanan klinis infeksi dengue dengan
spektrum manifestasi klinis yang luas (Setiabudi et al., 2013). World Health
Organization (WHO) mengklasifikasikan derajat keparahan infeksi dengue
dalam beberapa tingkatan yaitu demam dengue (DD) dan demam berdarah
dengue (DBD) derajat I, II, III, dan IV. Demam Berdarah Dengue derajat III
dan IV disebut juga sebagai sindrom syok dengue (DSS) dimana terjadi syok
yang berat dengan tekanan darah dan nadi yang tidak teraba (WHO, 2011).
3
Pada awal fase akut (DD) manifestasi klinis yang terlihat berupa nyeri kepala,
nyeri retro-orbital, myalgia, arthralgia, ruam kulit, ptekie, uji bending positif,
turunnya kadar leukosit dan trombosit, serta naiknya kadar hematocrit.
Sedangkan DBD dapat ditegakkan jika semua hal terpenuhi, antara lain
riwayat demam akut, terdapat satu dari manifestasi perdarahan, jumlah
trombosit <100.000/ul, terdapat tanda-tanda kebocoran plasma, dan
penurunan hematokrit >20% (Suhendro et al., 2009; WHO, 2011).
Perjalanan penyakit dengue dapat berkembang sangat cepat dalam beberapa
hari, bahkan dalam hitungan jam penderita dapat berubah dari infeksi ringan
menjadi infeksi yang lebih berat. Akan tetapi, diagnosis klinis infeksi dengue
masih cukup menantang untuk dilakukan karena manifestasi klinis yang
ditunjukan tidak spesifik. Hasil pemeriksaan laboratorium yang tepat berguna
untuk membantu klinisi dalam menggambarkan perjalanan infeksi dengue
dalam berbagai tingkat keparahannya dan mencegah keterlambatan
manajemen pasien yang dapat berujung kematian (Mariko, Alkamar, & Putra,
2014).
Menurut penelitian yang dilakukan di Thailand, hasil pemeriksaan
laboratorium umum dapat digunakan untuk memprediksi pasien yang
beresiko tinggi menjadi sindrom syok dengue dengan sensitivitas 97%.
Pemeriksaan laboratorium tersebut meliputi hitung trombosit, hematokrit,
hitung leukosit, persen monosit, persen neutrofil, aspartate transaminase
(AST) dan alanine transaminase (ALT) (Potts et al., 2010).
4
Hati merupakan organ yang paling sering mengalami kerusakan akibat infeksi
dengue. Manifestasi hepatik timbul akibat toksisitas virus secara langsung
atau akibat adanya disregulasi imunologis sebagai respon terhadap virus
dengue (Gandhi & Shetty, 2013; Samanta & Sharma, 2015). Peningkatan
enzim transaminase hati merupakan salah satu penanda adanya disfungsi hati.
Walaupun kenaikannya dilaporkan signifikan pada infeksi dengue, kadar
AST maupun ALT belum dimasukan sebagai salah satu hasil pemeriksaan
laboratorium yang menentukan derajat keparahan infeksi (WHO, 2011).
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lee et al. (2012), ditemukan
dari total 690 pasien dengan DBD dan DSS, peningkatan AST dan ALT
masing-masing terjadi pada 86% dan 46% pasien. Kadar enzim AST dan
ALT hati memiliki variasi peningkatan yang signifikan mengikuti perjalanan
derajat keparahan infeksi dengue di setiap fase demam (Lee et al., 2012).
Pasien dengan kadar AST dan ALT yang meningkat, lebih rentan mengalami
infeksi dengue dengan derajat keparahan yang tinggi dibandingkan dengan
yang memiliki kadar AST dan ALT hati yang normal saat didiagnosis (Islam,
Basher & Amin, 2012). Sehingga kadar AST dan ALT merupakan penanda
yang potensial untuk menentukan derajat keparahan infeksi.
Berdasarkan latar belakang di atas, pada penelitian ini peneliti bermaksud
untuk mengetahui ada tidaknya hubungan hasil pemeriksaan aspartate
Transaminase dan alanine Transaminase terhadap derajat keparahan infeksi
dengue.
5
1.2 Rumusan Masalah Penelitian
Apakah terdapat hubungan hasil pemeriksaan aspartate transaminase dan
alanine transaminase terhadap derajat keparahan infeksi dengue?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan hasil pemeriksaan aspartate
transaminase dan alanine transaminase terhadap derajat keparahan
infeksi dengue.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui ada tidaknya hubungan hasil pemeriksaan aspartate
transaminase terhadap derajat keparahan pasien infeksi dengue;
2. Mengetahui ada tidaknya hubungan hasil pemeriksaan alanine
transaminase terhadap derajat keparahan pasien infeksi dengue;
3. Mengetahui gambaran peningkatan kadar aspartate transaminase dan
alanine transaminase dari onset pertama demam.
6
1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi ilmu pengetahuan, sebagai bahan referensi mengenai hubungan hasil
pemeriksaan Aspartate Transaminase dan Alanine Transaminase terhadap
derajat keparahan infeksi dengue;
2. Bagi peneliti, menambah wawasan terhadap pemeriksaan penunjang
infeksi dengue dan menambah keterampilan dalam penulisan karya tulis
ilmiah;
3. Bagi praktisi, menjadi sumber informasi mengenai hubungan hasil
pemeriksaan Aspartate Transaminase dan Alanine Transaminase terhadap
derajat keparahan infeksi dengue.
7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Dengue Infeksi dengue merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus
genus Flavivirus, famili Flaviviridae (Karyanti, 2011). Infeksi ini memiliki
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi, yang disertai
leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik
(Jawetz, 2012; Suhendro et al., 2009).
2.1.1 Epidemiologi
Infeksi dengue banyak ditemukan pada wilayah tropis dan subtropis
terutama daerah dengan kondisi lingkungan mendukung sebagai tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Diperkirakan terdapat 50
juta atau lebih kasus dengue tiap tahunnya diseluruh dunia bahkan pada
tahun 2008 DBD dinobatkan sebagai penyebab kematian anak nomor
satu di wilayah Asia. Sebanyak 500.000 pasien dengan DBD
membutuhkan perawatan rumah sakit dan 2,5 % mengalami kematian
(Jawetz, 2012; WHO, 2011).
8
Indonesia sendiri saat ini berada di Kategori A daerah endemis infeksi
dengue di Asia. Kategori A merupakan predikat yang digunakan untuk
negara-negara dimana infeksi dengue merupakan masalah kesehatan
utama, banyak menyebabkan angka kesakitan dan kematian pada anak,
hiperendemis dengan keempat serotipe yang berbeda, dan menyebar
luas di seluruh wilayah hingga perdesaan (WHO, 2011). Kemenkes RI
pada tahun 2013 melaporkan bahwa selama 45 tahun terakhir, DBD
telah menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini telah
menyebar di 33 provinsi dan 436 kabupaten/kota dari 497
kabupaten/kota (88%). Angka kesakitan atau IR terus meningkat dan
cenderung menurun pada tahun 2010 ke 2011 kemudian meningkat
kembali pada tahun 2012 ke 2013 (41,25 per 100.000 penduduk). Bali,
DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur merupakan tiga provinsi dengan IR
tertinggi, sementara IR terendah ditempati oleh Maluku, Papua, dan
Nusa Tenggara Timur (Kementrian Kesehatan, 2015).
Di Provinsi Lampung angka kesakitan (IR) selama tahun 2004-2014
cenderung berfluktuasi. Pada tahun 2014 angka kesakitan di Provinsi
Lampung sebesar 16,8 per 100.000 penduduk yang artinya dibawah IR
Nasional yaitu 51 per 100.000 penduduk dengan Angka Bebas Jentik
(ABJ) kurang dari 95% (Dinas Kesehatan Kota Bandarlampung, 2014).
Jumlah tersebut menunjukan adanya penurunan dari tahun sebelumnya
yaitu 58,08 per 100.000 penduduk. Namun, case fatality rate (CFR)
mengalami peningkatan dari sebesar 0,98% pada tahun 2013 menjadi
1,63% pada tahun 2014 (Dinas Kesehatan Kota Bandarlampung, 2014).
9
2.1.2 Etiologi
Infeksi dengue disebabkan oleh virus genus Flavivirus, famili
Flaviviridae. Virus ini ditularkan melalui perantara nyamuk Aedes
aegypti atau Aedes albopictus dan mempunyai 4 jenis serotipe yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4 (Karyanti, 2011). Keempat serotipe
memiliki antigen yang hampir serupa namun DEN-3 memiliki insidensi
terbanyak di Indonesia (Suhendro et al., 2009). Virus begenom ssRNA
sensitif positif rantai tunggal ini memiliki diameter 40-50 nm dan
berbentuk sferis. Genom virus mencakup 10.700 nukleotida dan
mengkode 3.411 prekursor asam amino poliprotein yang meliputi
protein struktural dan protein non-struktural. Protein struktural terdiri
dari protein C untuk kapsid, protein M untuk prekursor membran, dan
protein E untuk selubung yang menentukan sifat biologis sel. Protein
non-struktural yang terdiri dari NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B,
dan NS5 berperan dalam replikasi virus. (Back & Lundkvist, 2013).
Gambar 1. Struktur Virus Dengue
(Guzman et al., 2010)
10
2.1.3 Vektor dan Transmisi
Gigitan nyamuk merupakan cara vektor menularkan virus dengue ke
host. Nyamuk Aedes aegypti adalah vektor utama penularan virus
dengue sedangkan nyamuk Aedes albopictus menjadi vektor
pendampingnya. Kedua spesies nyamuk memiliki genus Aedes dari
famili Culicidae, berukuran lebih kecil dibandingkan dengan ukuran
rata-rata nyamuk lain (CDC, 2012). Morfologinya cukup khas yaitu
memiliki gambaran lira putih pada punggungnya. Nyamuk betina
meletakkan telurnya di dinding tempat perindukannya 1-2 cm di atas
permukaan air. Pertumbuhan dari telur hingga menjadi nyamuk dewasa
memerlukan waktu kira-kira 9 hari (Departemen Parasitologi FK UI,
2008).
Transmisi terjadi apabila nyamuk Aedes betina menggigit manusia yang
terinfeksi. Selama fase viremia terjadi dua hari sebelum onset demam
dan berakhir 4-5 hari pasca onset. Nyamuk betina ukuran kecil dipaksa
untuk mengambil lebih banyak makanan (darah) guna mendapatkan
protein yang dibutuhkan untuk produksi telur. Setelah menelan darah
terinfeksi, virus bereplikasi di dalam lapisan sel epithelial midgut dan
selanjutnya ke dalam haemocoele untuk menginfeksi kelenjar saliva.
Saluran genital nyamuk juga terinfeksi, virus dapat sepenuhnya masuk
ke dalam telur yang sedang berkembang. Transmisi ini biasanya terjadi
selama musim hujan dimana temperatur dan kelembaban mendukung
untuk terjadinya perkembangbiakan nyamuk (WHO, 2011).
11
2.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi
Mekanisme pasti patogenesis infeksi dengue masih belum sepenuhnya
dapat dijelaskan. Nyamuk Aedes aegypti yang sudah terinfeksi virus
dengue, akan tetap infektif sepanjang hidupnya dan terus menularkan
kepada individu yang rentan pada saat menggigit dan menghisap darah
(WHO, 2009). Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus dengue
akan menuju organ sasaran yaitu sel kupffer hepar, endotel pembuluh
darah, nodus limpatikus, sumsum tulang, dan paru-paru (Soegijanto,
2010).
Teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary
heterologous infection theory) atau teori antibody dependent
enhancement (ADE). Hipotesis infeksi sekunder menyatakan bahwa
seseorang yang terinfeksi kedua kalinya dengan virus dengue yang
berbeda, maka akan terjadi reaksi amnestik dari antibodi heterolog yang
telah ada sebelumnya. Ikatan virus-antibodi non-netralisir ini
mengaktivasi makrofag dan akan bereplikasi di dalam makrofag,
sedangkan teori ADE menyatakan bahwa adanya antibodi yang timbul
justru bersifat mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag
(Rena, Utama, & Parwati, 2009).
12
Halstead pada tahub 1973 mengajukan hipotesis infeksi sekunder yang
menyatakan DBD tejadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue
dengan tipe yang berbeda (Suhendro et al., 2009).
Gambar 2. Hipotesis Secondary Heterologus Infections
(Suhendro et al., 2009)
Pada infeksi pertama terdapat antibodi yang memiliki aktivitas netralisasi
yang mengenali protein E dan monoklonal antibodi terhadap NS1, Pre M
dan NS3 dari virus penyebab infeksi, akibatnya terjadi lisis sel yang telah
terinfeksi virus tersebut melalui aktivitas netralisasi atau aktifasi
komplemen. Akhirnya banyak virus dilenyapkan dan penderita
mengalami penyembuhan. Pada infeksi kedua virus dengue berperan
sebagai super antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag
(Soegijanto, 2010).
13
Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan
memprosesnya menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang
menempel di makrofag ini akan mengaktifasi sel T-helper dan menarik
makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan
mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisiskan makrofag yang sudah
memfagositosis virus dan mengaktifkan sel B yang akan melepaskan
antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi
netralisasi, antibodi hemaglutinasi, dan antibodi fiksasi komplemen.
Mekanisme imunopatogenesis infeksi virus dengue melibatkan respon
humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas
yang dimediasi antibodi (Harikushartono et al., 2002).
Terjadinya infeksi makrofag, monosit atau sel dendritik oleh virus
dengue melalui proses endositosis yang dimediasi reseptor dan atau
melalui ikatan kompleks virus antibodi dengan reseptor Fc. Infeksi ini
secara langsung mengaktivasi sel T helper (CD4) dan sel T sitotoksik
(CD8) yang menghasilkan limfokin dan interferon γ. Selanjutnya,
interferon γ akan mengaktivasi makrofag yang menyebabkan sekresi
berbagai mediator inflamasi seperti TNF α, IL-1, dan PAF (platelet
activating factor), IL-6, dan histamin. Mediator inflamasi ini
mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran
plasma (Harikushartono et al., 2002).
14
Selain itu, kompleks virus dan antibodi ini akan mengaktifkan sistem
komplemen dengan mensekresikan C3a dan C5a (Clyde, Kyle, & Harris,
2006; Rena, Utama, & Parwati, 2009). Pelepasan C3a dan C5a
menyebabkan peningkatan permeabilitas plasma dinding pembuluh darah
dan perembesan plasma dari ruang intravaskuler ke ekstravaskuler
(plasma leakage), suatu keadaan yang berperan dalam terjadinya syok.
Kenaikan kadar C3a mempunyai korelasi dengan berat ringan penyakit.
Kadar C3a pada DBD dengan syok secara bermakna lebih tinggi
daripada kelompok lain yang lebih ringan (Sutaryo, 2004).
Mekanisme perjalanan infeksi menjadi derajat yang parah melibatkan
banyak faktor. Faktor genetik dari sel host mempengaruhi reaksi imun
tubuh dalam menghadapi virus dengue. Saat virus di transmisikan
melalui dermis, sel langerhans dan keratinosit juga ikut terinfeksi. Virus
menyebar dalam sirkulasi darah (viremia primer) dan menginfeksi
makrofag jaringan di beberapa organ, terutama makrofag dalam system
retikuloendotelial. Keberhasilan replikasi virus dalam monosit, makrofag,
sel endotel, sumsum tulang, sel stroma, dan sel hati merupakan penentu
jumlah virus (viral load) yang terukur dalam darah. Viral load
merupakan faktor resiko penting yang menentukan derajat keparahan
infeksi. Jumlah virus yang tinggi pada akhirnya menyebabkan disfungsi
sel endotel dan kelainan hemostasis tubuh terutama system koagulasi
(Martina, Koraka, & Osterhaus, 2009).
15
Perubahan hemostasis pada demam berdarah dengue dan dengue syok
sindrome yang melibatkan 3 faktor yaitu: (1) perubahan vaskuler; (2)
trombositopenia; dan (3) kelainan koagulasi (Suhendro et al., 2009).
Gambar 3. Patogenesis Infeksi Dengue (Martina, Koraka, & Osterhaus, 2009)
16
Menurut Suhendro et al (2009), trombositopenia pada infeksi dengue
terjadi akibat adanya supresi sumsum tulang dan destruksi serta
pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase
awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi
megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan
proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar tromobopoietin
dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan
kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi tromobositopenia.
Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya
antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan
sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui
mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-
tromoboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi tromobosit
(Suhendro et al., 2009).
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan
terjadinya koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium
III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi
melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga
berperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melalui aktivasi kontak
(kalikrein C1-inhibitor complex) (Price, Sylvia, & Wilson, 2006).
17
2.1.5 Gejala Klinis
Menurut WHO manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat
asimtomatik, maupun simtomatik berupa demam tidak khas (viral
syndrome), demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD),
dengue syok sindrom (DSS), bahkan expanded dengue syndrome yang
disertai organopati. Manifestasi klinis yang muncul tergantung pada
strain virus yang menginfeksi dan faktor host, seperti usia, dan status
imunitas seseorang (WHO, 2011).
Gambar 4. Manifestasi Klinis Infeksi Dengue
(WHO, 2011)
Pada Undifferentiated fever infant, anak, dan dewasa yang telah
terinfeksi virus dengue, terutama infeksi primer, akan menimbulkan
gejala demam yang tidak dapat dibedakan dengan infeksi virus lain.
Biasanya manifestasi ini disertai dengan ruam makulopapular, gejala
respiratori dan gastrointestinal (WHO, 2011).
18
Infeksi dengue memiliki tiga fase khas yaitu: (1) fase demam; (2) fase
kritis dan; (3) fase penyembuhan (WHO, 2011).
Gambar 5. Perjalanan Infeksi Dengue (WHO, 2011)
Pada fase demam penderita akan mengalami demam tinggi secara
mendadak selama 2-7 hari dengan gejala klis non spesifik seperti nyeri
kepala, malaise, wajah kemerahan, eritema kulit, myalgia, arthralgia,
nyeri retroorbital, rasa sakit di seluruh tubuh, fotofobia dan sakit kepala
serta gejala umum seperti anoreksia, mual dan muntah (Lye et al.,
2009).
19
Pada waktu transisi yaitu dari fase demam menjadi tidak demam, pasien
yang tidak diikuti dengan peningkatan pemeabilitas kapiler tidak akan
berlanjut menjadi fase kritis. Fase kritis terjadi selama 3-7 hari sakit dan
ditandai dengan penurunan suhu menjadi 37.5-38°C. Pada fase ini
terjadi peningkatan permebilitas kapiler yang diikuti dengan
peningkatan nilai hematokrit, sehingga dapat terjadi perburukan klinik
akibat dari hilangnya volume plasma. Periode kebocoran plasma yang
signifukan ini dapat berlangsung 24-48 jam. Di fase ini juga biasa
terjadi kerusakan organ terutama hati (WHO, 2009).
Syok hipovolemik dapat terjadi pada fase kritis karena hilangnya
plasma yang signifikan. syok dapat ditandai dengan takikardi, tekanan
nadi <20mmHg, hipotensi, kulit dingin dan lembab, dan capillary refill
time yang memanjang. Apabila pasien dapat bertahan selama 24-48 jam
fase kritisnya, reabsorbsi bertahap cairan kompartemen ekstravaskuler
akan berlangsung 48-72 jam berikutnya sehingga terjadilah fase
peneyembuhan. Fase ini ditandai dengan keadaan umum membaik,
nafsu makan kembali normal, gejala gastrointestinal membaik, status
hemodinamik stabil dan adanya diuresis. Nilai hematokrit kembali
stabil, jumlah leukosit biasanya kembali normal diikuti dengan
peningkatan jumlah trombosit (WHO, 2009).
20
2.1.6 Klasifikasi Derajat Keparahan Infeksi
Gejala klinis pada pasien dengue bervariasi sesuai dengan tingkat
keparahan (asimtomatik, ringan, atau berat) dan kelompok umur yang
terkena (anak-anak atau orang dewasa) (Macedo et al., 2014). Pada
tahun 2011, WHO mengembangkan suatu sistem klasifikasi derajat
keparahan penyakit infeksi dengue yang digunakan sebagai pedoman
diagnosis dan penentuan tatalaksana infeksi dengue. Trombositopenia
yang kehadirannya bersamaan dengan hemokonsentrasi membedakan
DBD derajat I dan derajat II dari demam dengue biasa (WHO, 2011).
Derajat keparahan infeksi dengue diklasifikasikan menjadi 4 derajat
(Macedo et al., 2014).
Demam berdarah dengue dapat dibedakan dari DD dengan hadirnya
peningkatan permeabilitas vaskuler (sindrom kebocoran plasma) dan
pertanda trombositopenia (<100.000/µl) terkait dengan perdarahan,
hepatomegali, dan fungsi liver abnormal (Li et al., 2007). DSS ditandai
dengan ditemukannya seluruh kriteria DBD disertai tanda-tanda syok
seperti nadi yang cepat dan lemah, penyempitan tekanan nadi ≤ 20
mmHg, peningkatan tekanan diastolik hingga 100/90mmHg atau
hipotensi. Kehadiran warning sign seperti muntah persisten, sakit
bagian abdominal, letargi, iritabilitas, dan oliguria merupakan pertanda
penting guna mencegah syok (WHO, 2011).
21
Tabel 1. Derajat Klinis Infeksi Dengue No. DD/DBD Derajat Tanda dan Gejala Laboratorium
1. DD Demam dengan 2 dari tanda berikut : • Sakit kepala • Nyri retro-orbital • Nyeri otot • Nyeri sendi • Ruam • Manifestasi
perdarahan • Tidak terdapat tanda
kebocoran plasma
• Leukopenia (leukosit≤ 5000 sel/mm3)
• Trombositopenia (trombosit <150.000 sel/mm3)
• Peningkatan hematocrit (5-10%)
• Tidak ada tanda kehilangan plasma
2. DBD I Demam dan manifestasi perdarahan (tes tourniquet positif) dan terdapat tanda kebocoran plasma
Trombositopenia < 100.000 sel/mm3, Hematokrit meningkat ≥ 20%
3. DBD II Seperti pada derajat I ditambah perdarahan spontan
Trombositopenia < 100.000 sel/mm3, Hematokrit meningkat ≥ 20%
4. DBD III Seperti pada derajat I atau II ditambah dengan kegagalan sirkulasi (nasi lemah, tekanan nadi sempit ≤ 20 mmHg, hipotensi, restlessness)
Trombositopenia < 100.000 sel/mm3, Hematokrit meningkat ≥ 20%
5. DBD IV Seperti pada derajat III ditambah syok yang berat dengan tekanan darah dan nadi yang tidak teraba
Trombositopenia < 100.000 sel/mm3, Hematokrit meningkat ≥ 20%
Sumber: (WHO, 2011)
22
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang
Pada umumnya diagnosis penyakit dengue sulit ditegakkan karena
gejala yang muncul tidak spesifik pada beberapa hari pertama dan sulit
dibedakan dengan penyakit infeksi lainnya (Suwandono et al., 2011).
Diagnosis infeksi dengue hanya dengan berdasarkan sindrom klinis
tidak dapat dipercaya sepenuhnya, sehingga diagnosis perlu
dikonfirmasi menggunakan pemeriksaan laboratorium (Shu & Huang,
2004).
Pemeriksaan darah lengkap yang biasanya dilakukan untuk
menegakkan diagnosis pasien suspek infeksi dengue adalah
pemeriksaan jumlah trombosit, nilai hematokrit, jumlah leukosit, kadar
hemoglobin, dan hapusan darah tepi (Suhendro et al., 2009).
Pemeriksaan darah lengkap sangat penting karena dapat digunakan
sebagai prosedur skrining, dan membantu membedakan diagnosis dari
berbagai penyakit lainnya. Dengan pemeriksaan darah lengkap dapat
dilihat daya tahan pasien dalam melawan penyakit dan sebagai
indikator untuk perjalanan penyakit infeksi dengue (Barbara, 1984).
Tes tambahan lainnya sebaiknya dilakukan jika ada indikasi, tes
tambahan tersebut antara lain tes AST, ALT, glukosa, serum elektrolit,
urea dan creatinin, bicarbonate atau lactate, kardiak enzim, dan ECG
(Suhendro et al., 2009).
23
2.1.8 Efek Infeksi Dengue pada Sel Hati
Tingkat viremia tinggi yang tinggi pada infeksi virus dengue terkait
dengan keterlibatan berbagai organ dalam bentuk penyakit yang parah
(Martina, Koraka, & Osterhaus, 2009). Hati adalah organ yang paling
umum mengalami kerusakan. Manifestasi hepatik dapat timbul akibat
dari toksisitas virus langsung atau disregulasi imunologis saat merespon
virus. Spektrum keterlibatan hati ditandai dengan peningkatan
asimtomatik transaminase hati seiring meningkatnya keparahan infeksi
(Samanta & Sharma, 2015).
Hepatosit dan sel kupffer merupakan target primer infeksi virus dengue
(Senevirante, Malavige, & Silva, 2006), hal ini telah dikonfirmasi
dalam biopsi dan otopsi kasus fatal (Huerre, 2001). Dalam menginfeksi
sel targetnya, langkah pertama yang dilakukan virus adalah pelekatan
pada reseptor yang ada pada permukaan sel inang. Protein E memiliki
peran dalam penempelan dari virus, meskipun sifat pasti reseptor yang
digunakan masih belum diketahui (Senevirante, Malavige, & Silva,
2006).
Heparan Sulfat memainkan peran penting sebagai katalisator masuknya
DENVs ke dalam sel hati (HepG2). Dalam sebuah penelitian, DEN-1
dapat menginfeksi dan bereplikasi dalam sel HepG2, hal ini
menunjukan adanya interaksi virus dengan sel hapar sehingga
memperkuat dugaan bahwa sel hepat merupakan target potensial virus
dengue (Thepparit & Smith, 2004). Dalam memilih targetnya, virus
24
memilih sel dengan lingkungan yang kondusif bagi virus untuk tumbuh
dan berkembang di dalam sel inang, kondisi lingkungan ini dipengaruhi
oleh serotipe virus, strain dan tipe sel. Misalnya, sel pada fase G2 sel
lebih rentan terhadap infeksi dengue bahkan dapat mempercepat
replikasi virus (Phoolcharoen & Smith, 2004).
Walaupun terdapat banyak pendapat mengenai mekanisme invasi virus
dengue, namun beberapa ahli telah menyetujui bahwa pengikatan virus
dengue ke hepatosit terfasilitasi. Hal ini berarti satu ikatan mendorong
pengikatan partikel berturut-turut, serupa dengan pengikatan oksigen
pada hemoglobin. Setelah penempelan virus, internalisasi dilakukan
dengan fusi langsung atau endositosis. Jalur masuk ini dapat
diperantarai atau bahkan saat tidak diperantarai oleh reseptor
(Senevirante, Malavige, & Silva, 2006).
Hasil akhir dari infeksi hepatosit oleh virus dengue adalah apoptosis
seluler, fenomena ini telah ditunjukkan baik secara in vivo maupun in
vitro. Setelah apoptosis, yang tersisa dari sel hanyalah councilman
bodies (Matsuda et al., 2005). Menurut Samanta & Sharma (2015),
berbagai jalur yang terlibat dalam apoptosis ini adalah adanya sitopati
viral, disfungi mitokondria akibat hipoksia, respon imunitas sel host,
dan stress pada retikulum endoplasma yang dipercepat.
25
Aktivasi apoptosis sel mitokondria berasal dari cacat fungsional dan
morfologi struktur akibat hipoksia jaringan. Kondisi tersebut
menstimulasi TRAIL dan TNF-α sehingga terjadi disfungsi mitokndria
oleh ekspresi virus dengue (Nagila et al., 2013). Konsentrasi sitokin
seperti interleukin (IL) -2, IL-6, tumor necrosis factor-α (TNF-α), dan
interferon-γ (IFN- γ) mencapai tingkat puncak pada 3 hari pertama
(Samanta & Sharma, 2015).
Hingga saat ini belum diketahui mekanisme bagaimana sistem imunitas
host merusak hati. Namun cedera pada demam berdarah diyakini
merupakan proses yang dimediasi sel T yang melibatkan interaksi
antara antibodi dan sel endotel serta sitokin ditambah polimorfisme
genetik dari faktor host (Samanta & Sharma, 2015).
2.1.9 Enzim Aminotransferase Hati (AST dan ALT)
Hati normalnya akan menghasilkan beberapa produk salah satunya
protein yang disebut sebagai enzim. Enzim adalah protein katalisator
yang dihasilkan oleh sel hidup dan umumnya terdapat di dalam sel.
Pada kondisi normal terdapat keseimbangan antara pembentukan enzim
dengan penghancurannya. Apabila terjadi kerusakan sel atau
peningkatan permeabilitas membran sel, enzim akan banyak keluar ke
ruang ekstra sel dan masuk ke sirkulasi. Oleh sebab itu, salah satu jenis
pemeriksaan yang sering dilakukan untuk mengetahui adanya
kerusakan hati adalah pemeriksaan enzimatik (Sacher & McPherson,
2000).
26
Penilaian kadar enzim transaminase merupakan pemeriksaan yang
sering digunakan untuk mengukur level beberapa jenis enzim hati.
Enzim tersebut berfungsi sebagai protein spesifik yang membantu
tubuh untuk memecahkan dan memetabolisme substansi yang
diperlukan dengan mengkatalisis reaksi transaminasi (Bernal &
Wendon, 2013).
Menurut Gowda et al (2009), terdapat dua produk yang biasanya diukur
sebagai bagian dari gambaran enzim transaminase:
a. ALT (alanine transaminase), disebut juga sebagai SGPT (serum
glutamik piruvik transaminase)
b. AST (aspartat transaminase), disebut juga sebagai SGOT (serum
glutamik oksaloasetik transaminase)
Enzim aspartat transaminase (AST) merupakan enzim mitokondria
yang berfungsi mengkatalisis pemindahan bolak-balik gugus amino dari
asam aspartat ke asam α- oksaloasetat membentuk asam glutamat dan
oksaloasetat (Price, Sylvia A, & Wilson, 2006). AST dapat ditemukan
dalam sel hepar, otot jantung, otot rangka, ginjal, otak, pancreas, pulmo,
white blood cell, dan eritrosit. Banyaknya organ yang terlibat
menyebabkan tes ini kurang spesifik untuk mendiagnosis penyakit hati
(Gowda et al., 2009).
27
Enzim yang dibuat dalam sel hepatosit adalah Alanine Transaminase
(ALT). ALT memiliki konsentrasi yang tinggi di hepar dan terdapat
dalam jumlah kecil pada organ lain. Hal ini menjadikan ALT menjadi
penanda yang lebih spesifik untuk menandakan kerusakan hati
dibandingkan AST. Kadar ALT meningkat hampir diseluruh penyakit
yang menyebabkan peradangan pada hati seperti hepatitis, sirosis
postneurotik, dan efek hepatotoksik obat (Kemenkes Kesehaatan,
2010). Pada kondisi normal enzim yang dihasilkan oleh sel hati
konsentrasinya rendah dalam darah.
Tabel 2. Nilai Rujukan AST dan ALT
Ukuran Satuan Nilai Rujukan
ALT/SGPT U/L Perempuan : < 54 Laki-Laki : < 63
AST/SGOT U/L < 41
Sumber: (Lee et al., 2012)
Dalam beberapa penelitian ditemukan terdapat pebedaan kadar rerata
bilirubin serum, AST, dan ALT yang signifikan antara pasien DD
dengan DBD. Disfungi hepar lebih parah terjadi pada pasien DBD dan
DSS. Sebanyak 10% persen pasien DBD dan 100% pasien DSS
mengalami peningkatan AST >10 kali nilai normal, sedangkan
peningkatan kadar ALT >10 kali normal ditemukan pada 88,9% pasien
DSS (Jnaneshwari et al., 2014).
28
Umumnya kadar AST meningkat lebih cepat dan kadar puncaknya lebih
tinggi dari ALT. Hal ini tergolong berkebalikan dengan infeksi virus
lainnya yang menyerang hati. Kadar AST yang tinggi kemungkinan
bukan hanya berasal dari kerusakan hepar saja, tetapi juga dari cedera
miosit mengingat gejala musculoskeletal yang sering menyertai infeksi
dengue seperti nyeri otot/sendi (Jnaneshwari et al., 2014; Kuo et al.,
1992).
2.1.9 Tatalaksana Infeksi Dengue
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Umumnya penderita demam berdarah dianjurkan untuk dirawat
dirumah sakit di ruang perawatan biasa, akan tetapi pada kasus DBD
dengan komplikasi diperlukan perawatan yang intensif.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat
kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah
bilamana diperlukan (Departemen Kesehatan RI, 2005).
Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan
adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses
kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya
terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Jumlah
cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran
plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan
berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang
dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi
29
cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain
pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau
kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan
serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu
diwaspadai (Departemen Kesehatan RI, 2005).
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring dan
pemberian makanan dengan kandung-an gizi yang cukup, lunak dan
tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna.
Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa
parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia.
Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya
dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna
bagaian atas (lambung/duodenum) (Departemen Kesehatan RI, 2005).
30
2.2 Kerangka Teori
Kerusakan jaringan hati
Infeksi Heterolog Sekunder Dengue
Viremia
Endositosis virus dimediasi oleh
Heparine sulfate
Diagnosis Derajat Keparahan Infeksi
Gambar 5. Kerangka Teori Penelitian (Suhendro et al.,2009; Samanta & Sharma, 2015)
Agregasi trombosit
Sekresi sitokin proinflamasi Hepar
Komplek virus-antibodi
é nilai hematokrit
Tanda Kebocoran
plasma
Apoptosis seluler
Penurunan jumlah
trombosit
Reaksi amnestik antibodi Reaksi amnestik antibodi
Pembersihan trombosit oleh
RES
Disfungsi endotel
1. PGE 2. IL-1 3. TNF-α
Terjadi mekanisme : 1. Sitopati viral 2. Hipoksia mitokondrial 3. Stress pada retikulum
endoplasma 4. Kerusakan jaringan
Replikasi virus di hepatosit dan sel
kupffer
épermeabilitas vaskuler dan
fragilitas pembuluh darah
Ekstravasasi cairan
= Menyebabkan = Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti
Manifestasi Perdarahan
Demam Trombositopenia
é AST
é ALT
31
2.3 Kerangka Konsep
Gambar 7. Kerangka Konsep Penelitian
2.4 Hipotesis H0 = Terdapat hubungan bermakna antara hasil pemeriksaan AST dan ALT
terhadap derajat keparahan pasien infeksi dengue di RS Urip Sumoharjo
Bandarlampung.
H1 = Tidak terdapat hubungan bermakna antara hasil pemeriksaan AST dan
ALT terhadap derajat keparahan pasien infeksi dengue di RS Urip
Sumoharjo Bandarlampung.
Hasil Pemeriksaan : • Aspartate
Transaminase • Alanine
Transaminase
Derajat keparahan infeksi dengue
Variabel Bebas
Variabel Terikat
32
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan
menggunakan desain penelitian cross sectional.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan di bagian laboratorium patologi klinik Rumah
Sakit Urip Sumoharjo Bandarlampung. Pengumpulan data dilaksanakan pada
bulan Oktober 2017-Desember 2017.
3.3 Subjek Penelitian
3.3.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah semua pasien dengan diagnosis klinis
infeksi dengue menurut kriteria WHO 2011 di Rumah Sakit Urip
Sumoharjo Bandarlampung pada bulan Oktober 2017-Desember 2017.
33
3.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dianggap dapat mewakili
populasinya serta memenuhi kriteria ekslusi dan inklusi (Sastroatmoro
& Ismael, 2007). Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah
total sampling, dimana semua pasien dengan diagnosis klinis infeksi
dengue menurut WHO 2011 di Rumah Sakit Urip Sumoharjo
Bandarlampung pada bulan Oktober 2017-Desember 2017 dijadikan
subjek penelitian.
3.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi
3.4.1 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Pasien berusia lebih dari 5 tahun yang telah diagnosis infeksi
dengue secara klinis dan laboratorium menurut kriteria WHO 2011;
b. Pasien dengan hasil pemeriksaan AST dan ALT pada hari ke-1
hingga hari ke-7 sejak onset pertama demam.
3.4.2 Kriteria Ekslusi
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Pasien yang pada rekam medis memiliki gangguan fungsi hati
selain yang disebabkan oleh infeksi dengue seperti sirosis hepatis,
hepatitis, pankreatitis, dan infark miokard;
b. Pasien yang menderita infeksi lain selain infeksi dengue.
34
3.5 Identifikasi Variabel
3.5.1 Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah hasil pemeriksaan kadar AST
dan ALT pada pasien dengan diagnosis klinis infeksi dengue.
3.5.2 Variabel Terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah derajat keparahan pasien
yang telah didiagnosis infeksi dengue secara klinis dan laboratorium
menurut kriteria WHO 2011.
35
3.6 Definisi Operasional Penelitian
Definisi operasional dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel yang
mencantumkan definisi variabel, cara ukur, dan skala pengukuran.
Tabel 3. Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
1. Derajat keparahan infeksi dengue
Gejala/tanda klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien infeksi dengue. Terdiri dari : Demam Dengue, dan Demam Berdarah Dengue derajat I, II, III, dan IV
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium menurut kriteria WHO 2011
Rekam medis dan set pemeriksaan fisik
1=DD 2=DBD I 3=DBD II 4=DBD III 5=DBD IV
Ordinal
2. ALT Enzim yang banyak dihasilkan oleh sel hati dan meningkat karena adanya kerusakan hepatoselular. Nilai normal pada perempuan 54 IU/l dan pada laki-laki 63 IU/l
Pemeriksaan secara automatik menggunakan metode hemanalizer di Laboratorium Patologi Klinik RS Urip Sumoharjo
Automated clinical chemistry analyzer (ACA) TRX 7010
1= kadar ALT normal
2= kadar ALT meningkat < 3 kali nilai normal
3= kadar ALT meningkat 3-9 kali nilai normal
4= kadar ALT meningkat ≥ 10 nilai normal
Ordinal
3. AST Enzim yang dihasilkan pada jaringan-jaringan tubuh termasuk hati dan meningkat ketika sel pada jaringan tersebut mengalami kerusakan. Nilai normal < 41 IU/l
Pemeriksaan secara automatik menggunakan metode hemanalizer di Laboratorium Patologi Klinik RS Urip Sumoharjo
Automated clinical chemistry analyzer (ACA) TRX 7010
1= kadar AST normal
2= kadar AST meningkat < 3 kali nilai normal
3= kadar AST meningkat 3-9 kali nilai normal
4= kadar AST meningkat ≥ 10 nilai normal
Ordinal
36
3.7 Alat dan Bahan Penelitian
3.7.1 Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: alat
hematology analizer, automated clinical chemistry analyzer (ACA)
TRX 7010, disposable dropper (sekali pakai), lembar petunjuk
penggunaan, tabung reaksi tanpa antikoagulan, alat senrtrifugasi, spuit,
torniket, rekam medis pasien dengan diagnosis klinis infeksi dengue di
RS Urip Sumoharjo Bandarlampung bulan Oktober 2017-Desember
2017, alat tulis, dan program komputer statistika.
3.7.2 Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah serum pasien dengan diagnosis
klinis infeksi dengue.
3.8 Prosedur Penelitian
3.8.1 Prosedur Anamnesis
Anamnesis yang megarah kepada penyakit yang berhubungan dengan
keluhan pasien demam untuk penyakit tropik infeksi. Prosedur
anamnesis yang baik terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, anamnesis system, riwayat
penyakit keluarga, dan riwayat pribadi pasien (Oktaria et al., 2016).
a. Mengucapkan salam pada awal wawancara;
b. Mempersilahkan pasien duduk behadapan;
c. Memperkenalkan diri;
37
d. Menyampaikan informed consent dengan mejelaskan kepentingan
penggalian informasi yang benar tentang penyakit pasien dan
meminta waktu serta ijin untuk melakukan alloanamnesis jika
diperlukan;
e. Menanyakan identitas pasien yang terdiri dari: nama, umur, jenis
kelamin, alamat lengkap, pekerjaan, agama, dan suku bangsa;
f. Menanyakan keluhan utama, cross check, dan pastikan keluhan
utama;
g. Menanyakan keluhan lain atau tambahan;
h. Menggali informasi tentang riwayat penyakit sekarang;
i. Menanyakan riwayat penyakit dahulu;
j. Menanyakan riwayat penyakit dalam keluarga;
k. Menggali informasi tentang riwayat pribadi.
3.8.2 Prosedur Pemeriksaan Fisik
1. Prinsip Pemeriksaan
Pada pembuluh darah kapiler diciptakan suasana anoksia dengan
cara membendung aliran darah vena. Terjadinya anoksia jaringan
dan penambahan tekanan internal akan memperlihatkan
kemampuan kapiler untuk bertahan. Jika ketahanan kapiler rendah
maka akan timbul ptechiae di kulit (Gandasoebrata, 2013).
38
Tes Rumple Leede merupakan tes yang sederhana untuk melihat
gangguan pada vaskuler maupun trombosit. Tes Rumple Leede
akan positif bila terdapat gangguan vaskuler maupun trombosit
(Gandasoebrata, 2013).
2. Prosedur Analitik
a. Pasang manset tensimeter pada lengan atas. Carilah tekanan
sistolik (TS) dan tekanan diastolik (TD);
b. Buat lingkaran pada bagian volar lengan bawah dengan;
a. Radius 3 cm
b. Titik pusat terletak 2 cm di bawah garis lipatan siku;
c. Pasang kembali tensimeter dan membuat tekanan sebesar 1/2
X (TS+TD) pertahankan tekanan tersebut selama 5 menit.;
d. Longgarkan manset lalu perhatikan ada tidaknya ptechieae
dalam lingkaran yang telah dibuat.
3. Pasca Analitik
Menurut Gandasoebrata (2013), nilai rujukan yang digunakan
yaitu: < 10 Normal ( Negatif); 10-19 Dubia (Ragu–ragu); > 20
Abnormal ( Positif ).
39
3.8.3 Prosedur Pemeriksaan AST dan ALT
1. Prinsip pemeriksaan
Pemeriksaan AST dan ALT dilakukan secara langsung
menggunakan TRZ 7010 menggunakan prinsip kerja flow
cytometry (Gandasoebrata, 2013).
Flow cytometry adalah suatu teknologi yang menganalisis beberapa
karakter fisik dari sebuah partikel, umumnya sel, saat berada dalam
aliran cairan yang sempit melalui berkas cahaya. Awalnya sampel
darah di aspirasi dan diencerkan untuk rasio pra-set dan diberi
penanda fluoresensi eksklusif yang berikatan dengan asam nukleat.
Lalu sampel diangkut ke dalam aliran sel dan diterangi oleh sinar
semikonduktor sehingga sel dapat lewat satu per satu dan dapat
dilakukan penghitungan jumlah sel serta ukurannya
(Gandasoebrata, 2013).
2. Pengambilan dan pembuatan sampel
Sampel darah vena diambil dari vena mediana cubiti sebanyak 2 cc.
Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam tabung dengan
antikoagulan (EDTA). Tabung berisi darah didiamkan selama
kurang lebih 15-30 menit kemudian di sentrifuge selama 20 menit
pada kecepatan 3000 rpm. Serum sampel dipisahkan dan
dimasukan ke dalam botol berlabel untu dilakukan pemeriksaan
(Gandasoebrata, 2013).
40
3. Pemeriksaan
Pemeriksaaan menggunakan alat Automated Clinical Chemistry
Analyzer (ACA) TRX 7010 dengan prosedur:
a. Kabel power dihubungkan ke stabil;
b. Alat dihidupkan dengan menekan saklar on/off yang ada di sisi
kanan atas alat;
c. Alat akan secara otomatis melakukan self check kemudian
background check;
d. Alat dipastikan dalam posisi ready kemudian tekan tombol yes;
e. Masukan tanggal untuk identitas dan waktu pemeriksaan lalu
tekan tombol program 2 untuk consentration:
f. Pilih program SGOT/SPT pada layar
g. Diambil serum dengan menggunakan mikropipet 200 ul
h. Dimasukkan serum ke dalam “cup” sampel
i. Selanjutnya hasil secara automatic didapatkan dalam bentuk
print out;
j. Hasil pemeriksaan dibaca dan dicatat.
41
3.9 Alur Penelitian
= Tahap selanjutnya = Terdiri dari
Gambar 8. Alur Penelitian
Penentuan populasi yaitu seluruh pasien dengan diagnosis klinis infeksi dengue di
Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandarlampung pada Oktober 2017-
Desember 2017
Pengisian lembar informed consent pada sampel yang memenuhi kriteria inklusi
penelitian
Pengambilan sampel darah vena pasien
Tahap Persiapan
Analisis data menggunakan SPSS
Tahap Pengolahan Data
Pemilihan sampel yaitu penderita dalam populasi yang memenuhi kriteria inklusi
dan eklusi sebanyak 21 orang
Pengumpulan data rekam medis sampel yang diteliti dan menganalisis hubungan hasil pemeriksaan AST dan ALT dengan
derajat keparahan infeksi pasien
Pencatatan data yang diperoleh
Pemeriksaan kadar AST dan ALT mengunakan TRX7010 dilanjutkan
interpretasi hasil AST dan ALT
Tahap Pelaksanaan
42
3.10 Pengolahan Data
Menurut Sostroasmoro & Ismael (2007), data yang telah diperoleh dari
proses pengumpulan data akan diubah kedalam bentuk tabel–tabel
kemudian data diolah menggunakan program statistik komputer. Proses
pengolahan data menggunakan program ini terdiri dari beberapa langkah
berikut:
1. Coding, untuk mengkonversikan (menejermahkan) data yang
dikumpulkan selama penelitian ke dalam simbol yang cocok untuk
keperluan analisis;
2. Data entry, memasukkan data ke dalam komputer;
3. Verifikasi, memasukkan data pemeriksaan secara visual terhadap data
yang telah dimasukkan ke dalam komputer;
4. Output komputer, hasil yang telah dianalisis oleh komputer kemudian
dicetak.
3.11 Analisis Data
Analisis statistika untuk mengolah data hasil penelitian menggunakan
program statistik pada komputer yaitu SPSS dimana akan dilakukan dua
macam analisis data yaitu:
1. Analisis univariat
Analisis ini digunakan pada variabel bebas dan variabel terikat untuk
menentukan distribusi dan frekuensi dari keduanya (Notoatmodjo,
2007).
43
2. Analisis bivariat
Uji korelasi gamma digunakan untuk menganalisis hubungan masing-
masing hasil pemeriksaan yang meliputi hasil pemeriksaan AST dan
ALT dengan derajat keparahan infeksi dengue. Alasan pemilihan uji
korelasi gamma adalah karena kedua variabel yang diteliti berbentuk
skala kategorik ordinal dan tidak memiliki terlalu banyak katagori
(Notoatmodjo, 2007). Untuk pengujian kemaknaan digunakan batas
kemaknaan sebesar 5% (α= 0,05). Hasil uji dikatakan ada hubungan
yang bermakna bila nilai ρ value ≤ α (ρ value ≤ 0,05). Sebaliknya hasil
uji dikatakan tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik
apabila nilai ρ value> α (ρ value> 0,05) (Dahlan, 2011).
3.12 Etika Penelitian
Penelitian ini telah memperoleh surat kelayakan etik oleh komisi etik
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dengan nomor surat
3426/UM26.8/DL/2017.
57
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan simpulan sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan yang bermakna antara hasil pemeriksaan enzim
aspartate transaminase terhadap derajat keparahan pasien infeksi
dengue;
2. Terdapat hubungan yang bermakna antara hasil pemeriksaan enzim
alanine transaminase terhadap derajat keparahan pasien infeksi
dengue;
3. Persentase pasien yang mengalami peningkatan aspartate
transaminase lebih besar dibandingkan pasien mengalami
peningkatan alanine transaminase yaitu sebesar 66,7% dan 52,4%;
4. Peningkatan aspartate transaminase dan alanine transaminase
mencapai puncaknya pada hari ke-6 setelah onset demam pertama
atau pada fase kritis.
58
5.2 Saran
Peneliti memberikan beberapa saran dari penelitian ini, antara lain :
1. Pemeriksaan AST dan ALT perlu dilakukan secara rutin karena dapat
menggambarkan derajat keparahan penyakit sehingga tenaga medis
dapat lebih waspada dalam menangani pasien;
2. Peneliti selanjutnya dapat menganalisis lebih lanjut mengenai
parameter derajat keparahan lainnya, seperti hematokrit, urea, dan
faktor pembekuan darah.
DAFTAR PUSTAKA
Asim A, Alvi AH, Ambreen B, Nawaz AA, & Asif H. Assesment of dengue fever severity through liver function tests. Journal of the Colloge of Physicians and Surgeons Pakistan. 24(9):640-44. Back A & Lundkvist A. 2013. Dengue viruses an overview. Infection Ecology & Epidemiology. 3(1):19839. Barbara B. 1984. Hematology principle and procedure. Edisi ke-4. Boston: Department of Hematology Tufts New England Medical Center Hospital. Bernal W & Wendon J. 2013. Acute Liver Failure. New England Journal of Medicine. 369(26): 2525–2534. CDC. 2012. Mosquito life-cycle. Dengue homepage centers for disease control and prevention. USA Government. Tersedia dari http://www.cdc.gov/dengue/entomologyecology/m_lifecycle.html. (Diakses tanggal 23 Mei) Clyde K, Kyle JL, & Harris E. 2006. Recent advances in deciphering viral and host determinants of dengue virus replication and pathogenesis. Journal of Virology. 80(23):11418-31. Dahlan SM. 2011. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan deskriptif, bivariat, dan multivariat. Edisi 5. Jakarta: Salemba Medik. Departemen Kesehatan RI. 2005. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan kesehatan. 19-34. Departemen Parasitologi FK UI. 2008. Buku ajar parasitologi kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Badan Penerbit FK UI. Dinas Kesehatan Kota Bandarlampung. 2014. Profil kesehatan kota bandarlampung tahun 2014. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. (44):341.
Gandasoebrata R. 2013. Penuntun Laboratorium Klinis. Jakarta: Dian Rakyat. Gandhi K & Shetty M. 2013. Profile of liver function test in patients with dengue infection in South Indi. Medical Journal of Dr. D.Y. Patil University. 6(4):370-72. Gowda S, Desai PB, Hull VV, Math AK, Vernekar SN, & Kulkarni SS. 2009. A review on laboratory liver function tests. The Pan African medical journal. 3:17. Guzman MG, Halstead SB, Artsob H, Buchy P, Farrar J, Nathan MB, et al. 2010. Dengue : a continuing global threat Europe PMC Funders Author Manuscripts. Nat Rev Microbiol. 8(120):7-16. Hapsari, EAH. 2014. Tatalaksana infeksi dengue. Semarang: Divisi Infeksi & Penyakit Tropis Departemen Kesehatan Anak RSUP Dr KariAdi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Harikushartono, Hidayah N, Darmowandowo W, & Soegijanto S. 2002. Demam berdarah dengue: ilmu penyakit anak, diagnosa dan penatalaksanaan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Huerre MR, Lan NT, Marianneau P, Hue NB, Khun H, Hung NT, et al. 2001. Liver histopathology and biological correlates in five cases of fatal dengue fever in Vietnamese children. Virchows Arch. 438(2):107-15. Islam QT, Basher A, & Amin R. 2012. Dengue : a practical experience of medical professionals in hospital. J Medicine. 13:160-64. Jawetz. 2012. Mikrobiologi kedokteran Jawetz. Edisi ke-25. Jakarta: EGC. Jnaneshwari M, Jayakumar S, Kumar AK, Uday G. 2014. Study of serum aminotransferase levels in dengue fever. J of Evolution of Med and Dent Sci. 3(10):2445-55. Kabir A, Abdullah AA, Sadeka MM, Ahmed H, & Kahhar MA. 2008. Original articles the impact of dengue on liver function as evaluated by aminotransferase levels. J Medicine. 9:66-68.
Karyanti MR. 2011. Diagnosis dan tata laksana terkini dengue. Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN Cipto Mangunkusumo FKUI. 1-14. Karyanti MR & Hadinegoro SR. 2009. Perubahan epidemiologi demam berdarah dengue di indonesia. Sari Pediatri. 10(6):424-32. Kementrian Kesehatan RI. 2010. Buletin jendela epidemiologi. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2:48 Kementrian Kesehatan RI. 2015. Profil kesehatan Indonesia 2014. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Koolman J & Rohm KH. 2001. Color atlas of biochemistry . Stuttgart: Georg Thieme Verlag. Terjemahan Indonesia oleh Dr. rer. physiol Septelia Inawati Winandi. Jakarta: Hipokrates. Kuo CH, Dar IT, Chi SC, Chi KL, Shue SC, & Yun FL. 1992. Liver biochemical test and dengue fever. Am J Trop Med Hyg. 47(3):265-70. Lee LK, Gan VC, Lee VJ, Tan AS, Leo YS, & Lye DC. 2012. Clinical relevance and discriminatory value of elevated liver aminotransferase levels for dengue severity. PLOS Negleted Tropical Diseases. 6(6):1-8. Li H, Wang H, Liu S, Deng Y, Zhang Y, Tian Q, et al. 2007. Phosphorylation of tau antagonizes apoptosis by stabilizing catenin , a mechanism involved in Alzheimer’s neurodegeneration. Proceedings of the National Academy of Sciences. 104(9):3591–3596. Lye DC, Lee VJ, Sun Y, & Leo YS. 2009. Lack of efficacy of prophylactic platelet transfusion for severe thrombocytopenia in adults with acute uncomplicated dengue infection. Clinical Infectious Diseases. 48(9):1262–65. Macedo GA, Gonin MLC , Pone SM, Cruz OG, Nobre FF, & Brasil P. 2014. Sensitivity and specificity of the world health organization dengue classification schemes for severe dengue assessment in children in Rio de Janeiro. PLoS ONE. 9(4):1-8
Mariko R, Alkamar A, & Putra AE. 2014. Uji diagnostik pemeriksaan antigen nonstruktural 1 untuk deteksi dini infeksi virus dengue pada anak. Sari Pediatri. 16(2):121-7. Martina B, Koraka P, & Osterhaus A. 2009. Dengue virus pathogenesis : an integrated view. Clinical Microbiology Reviews. 22(4):564-81. Matsuda T, Almasan A, Tomita M, Tamaki K, Saito M, Tadano M, et al. 2005. Dengue virus-induced apoptosis in hepatic cells is partly mediated by Apo2 ligand/tumour necrosis factor-related apoptosis-inducing ligand. J Gen Virol. 86(4):1055-65. Oktaria D, Oktavany, Betta K, Dian IA, Rika L, Oktadoni S, et al. 2016. Buku panduan clinical skill laboratory: CSL semester 3. Edisi ke-4. Bandarlampung: Tim CSL Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Nagila A, Netsawang J, Suttitheptumrong A, Morchang A, Khunchai S, Srisawat C, et al. 2013. Inhibition of p38MAPK and CD137 signaling reduce dengue virus-induced TNF-α secretion and apoptosis. Virol J. 10:105 Noisakran S & Perng GC. 2008. Alternate hypothesis on the pathogenesis of dengue hemorrhagic fever (DHF)/dengue shock syndrome (DSS) in dengue virus infection. Experimental Biology and Medicine. 233:401-8. Notoatmodjo S. 2005. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Pancharoen C, Rungsarannot A, & Thisyakom U. 2002. Hepatic dysfunction in dengue patients with various severity. J Med Assos Thai. 85(1):298-301. Phoolcharoen W & Smith DR. 2004. Internalization of the dengue virus is cell cycle modulated in HepG2, but not Vero cells. J Med Virol. 74:434-41. Potts JA, Gibbons RV, Rothman AL, Srikiatkhachorn A, Thomas SJ, Supradish P, et al. 2010. Prediction of dengue disease severity among pediatric thai patients using early clinical laboratory indicators. PLOS Negleted Tropical Diseases. 4(8):2-8.
Price, Sylvia A, & Wilson LM. 2006. Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: Penerbit EGC. Rena NMRA, Utama S, & Parwati, T. 2009. Kelainan hematologi pada demam berdarah dengue. Journal Penyakit Dalam. 10(3):218-25. Sacher RA & McPherson RA. 2004. Tinjauan klinis atas hasil pemeriksaan laboratorium. Edisi Ke-1. Jakarta : EGC. Samanta J & Sharma V. 2015. Dengue and its effects on liver. WJCC. 3(2):125-32. Samitha F, Wijewickrama A, Gomes L, Punchihewa CT, Madusanka SDP, Dissanayake H, et al. 2016. Patterns and couses of liver involvement in acute dengue infection. BMC Infectious Diseases. 16(319):1-9. Sastroasmoro S & Ismael S. 2007. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi Ke-3. CV Sagung Seto: Jakarta. Seneviratne SL, Malavige GN, & Silva HJ. 2006. Pathogenesis of liver involvement during dengue viral infections. Trans R Soc Trop Med Hyg. 100:608-14. Setiabudi D, Setiabudiawan B, Parwati I, & Garna H. 2013. Perbedaan kadar platelet activating factor plasma antara penderita demam berdarah dengue dan demam dengue: the difference of platelet activating factor plasma level between dengue hemorrhagic fever and dengue fever patients. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. 45(4):251-56. Shu P & Huang J. 2004. Current advances in dengue. American Society for Microbiology. 11(4):642-50. Shukla Vaibhav & Chandra Ashok. 2016. A study of hepatoc dysfunction in dengue. Journal of The Association of Physicians of India. 61:460-1. Soegijanto S. 2010. Patogenesa infeksi virus dengue recent update. Applied Management of Dengue Viral Infection in Children. 11-45.
Soegijanto, Soegeng. 2012. Demam Berdarah Dengue. Edisi Kedua. Surabaya: Airlangga University Press. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, & Pohan HT. 2009. Demam berdarah dengue. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, & Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2773-9. Sung JM, Lee CK, & Wu HBA. 2012. Intrahepatic infiltrating NK and CD8 T cells cause liver cell death in different phases of dengue virus infection. PLoS ONE. 7(9):1-9. Sutaryo. 2004. Dengue. Yogyakarta: Medika Fakultas Kedokteran UGM. Suwandono A, Parwati I, Irani P, & Rudiman F. 2011. Perbandingan nilai diagnostik trombosit , leukosit , antigen NS1 dan antibodi IgM anti dengue. J Indon Med Assoc. 61(8):326-32. Thepparit C & Smith DR. 2004. Serotype-specific entry of dengue virus into liver cells: identification of the 37-kilodalton/67-kilodalton high-affinity laminin receptor as a dengue virus serotype 1 receptor. J Virol. 78:12647-56. WHO. 2009. Dengue: guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control, Geneva, 2009. Tersedia dari: http://www.who.int/tdr/publications/documents/dengue-diagnosis.pdf (Diakses tanggal 20 Mei 2017) WHO. 2011. Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic fever. Geneva: World Health Organization.