hubungan harmoni manusia dengan alam dalam …repository.ub.ac.id/1941/1/leni wahyuni.pdf · dalam...
TRANSCRIPT
i
HUBUNGAN HARMONI MANUSIA DENGAN ALAM
DALAM SASTRA LISAN DI KEDIRI
(MODEL KAJIAN SASTRA PASTORAL)
SKRIPSI
OLEH
LENI WAHYUNI
NIM 135110701111036
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
ii
HUBUNGAN HARMONI MANUSIA DENGAN ALAM
DALAM SASTRA LISAN DI KEDIRI
(MODEL KAJIAN SASTRA PASTORAL)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Brawijaya
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
OLEH
Leni Wahyuni
NIM 135110701111036
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
iii
iv
v
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan limpahan rahmat, taufik,
dan hidayahnya, peneliti dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul
“Hubungan Harmoni Manusia Dengan Alam Dalam Sastra Lisan Di Kediri (Model
Kajian Sastra Pastoral) dengan baik dan tepat waktu. Penulisan skripsi ini disusun
untuk memenuhi salah satu persyaratan kelulusan program S1 Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Universitas Brawijaya. Penulisan skripi tersebut membahas
tentang sebuah gambaran hidup yang ideal oleh masyarakat Kediri yang termuat
dalam produk sastra lisan berbentuk legenda, mitos, mantra, dan ujub. Kehidupan
ideal yang dimaksudkan adalah hubungan baik mayarakat Kediri dengan alam dalam
artian yang lebih luas. Salah satunya adalah dengan cara memelihara dan menjaga
kelestarian alam.
Dalam penyelesaian tugas akhir ini, penulis mendapatkan arahan,
bimbingan, bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak yang telah membantu peneliti
dalam proses penyusunan skripsi sehingga dapat terselesaikan dengan baik. Oleh
karena itu penulis mengucapkan terimakasih teruntuk:
1. Bapak Nanang Bustanul Fauzi, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia.
2. Bapak Maulfi Syaiful Rizal, M.Pd., selaku dosen pembimbing yang memberikan
arahan, dukungan, dan memberi pelajaran dengan sabar dalam penulisan tugas
akhir sehingga menjadi tugas akhir yang selesai.
vii
3. Bapak Dr. Sony Sukmawan, M.Pd., selaku dosen penguji yang menyempatkan
waktunya untuk memberikan kritik, saran, dan bimbingan demi kelayakan dalam
penulisan tugas akhir.
4. Kedua oran tua, Bapak Kusdianto dan Ibu Tining yang senantiasa mendidik,
memberikan masukan, dan motivasi kepada penulis agar tugas akhir ini dapat
terseleaikan dengan baik.
5. Kedua saudara tercinta Nibra Setia Wibowo dan Rita Nur Sholekhah yang
senantiasa memberikan dorongan untuk terselaikannya penulisan tugas akhir.
6. Bapak Suratin yang memberi dukungan, informasi dan mendongengi semua
peristiwa yang ada di Kediri.
7. Keluarga besar Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FIB UB
2013 yang senantiasa memberikan semangat dan dukungan kepada peneliti.
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini tidak akan selesai tanpa bantuan
dari semua pihak yang telah disebutkan. Penulis sadar jika masih ada kekurangan
dalam penulisan tugas akhir ini. Oleh karena itu, adanya kitik dan saran dapat
membangun penulis yang sangat penulis harapkan. Semoga penyusun skripsi ini
dapat berguna bagi semua pihak terutama bagi penulis.
Malang, 07 Agustus 2017
Leni Wahyuni
viii
ABSTRAK
Wahyuni, L. 2017. Hubungan Harmoni Manusia dengan Alam Dalam Sastra
Lisan Di Kediri ‘Model Kajian Sastra Pastoral’. Program Studi Pendidikan
Bahasa Dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya.
Pembimbing : Maulfi Syaiful Rizal M.Pd
Kata Kunci : Hubungan Harmoni, Pastoral, Sastra Lisan, Masyarakat Kediri
Bencana ekologi disebabkan oleh faktor manusia yang
mempunyai perilaku membuang sampah sembarangan, pembangunan
yang mengurangi lahan hijau, dan pelepasan alih fungsi lahan yang
mengakibatkan ketidakseimbangan kebutuhan manusia dengan
kebutuhan alam. Adapun cara untuk menanggulangi fenomena-
fenomena di atas adalah dengan membangun paradigma manusia
terhadap pentingnya menjaga lingkungan. Nilai untuk memahami
lingkungan sendiri tertuang dalam kajian ekokritik sastra yang dapat
membantu, menentukan, bahkan menyelesaikan masalah ekologi.
Penelitian ini memanfaatkan studi ekokritik pada sastra lisan di Kediri
melalui deskripsi sastra pastoral yang termuat dalam sastra lisan di
Kediri.
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif
dengan menggunakan teknik wawancara secara mendalam dan
dokumentasi berupa rekaman percakapan dengan informan. Langkah
awal yang dilakukan peneliti adalah observasi tempat agar dapat
merefleksi seacara sistematis terhadap kegiatan dan interaksi pada
subjek penelitian.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, termuatnya ciri pastoral
yang terdapat dalam sastra lisan Kediri terdapat dalam legenda
Gunung Kelud dan Penghianatan Cinta Dewi Kilisuci, legenda Arca
Totok Kerot, legenda Kediri, mitos Sendang Tirto Kamandanu, Mitos
Pamuksan Sri Aji Jayabaya, mantra sembelih hewan, mantra memberi
makan sapi, mantra selametan desa (pemberian sesaji), dan ujub
selametan desa. Setelah peneliti melakukan studi lapang hasil yang
didapatkan adalah terdapatnya unsur pastoral seperti bucolic
‘penggembala’, konstruksi arcadia yang memuat unsur Idylls dan
nostalia, serta wacana retreat dan return pada sastra lisan di Kediri,
unsur pastoral yang tidak ditemukan unsur georgic karena
penggambaran bentuk kenyamanan bekerja masyarakat Kediri tidak
ditemukan dalam produk sastra lisan Kediri.
ix
ABSTRACT
Wahyuni, L. 2017. Relation Harmony of Human and Nature on Oral Literature
in Kediri 'Pastoral Literature Studies Model'. Study Program Indonesian
Literature, Faculty of Humanities, Brawijaya University.
Supervisor : Maulfi Syaiful Rizal, M.Pd
Keyword : Relation Harmony, Pastoral Literature, Oral
Literature, Kediri Society.
Ecological disasters are caused by people that have littering
behavior, building development that reduces green land, and the
disposal of land functions that leads to an imbalance of human needs
with natural needs. The way to overcome those phenomena are by
building a human paradigm of the importance of maintaining the
environment. The value to understand the environment itself is
contained in eco-critical literary studies that can help, determine, and
even solve an ecological problems. This study utilizes an eco-critical
study on oral literature in Kediri through a description of pastoral
literature contained in oral literature in Kediri.
This research used descriptive qualitative approach by using
interview technique and documentation in the form of conversation
record with the informant. The first step is the observation of the place
to reflect the activity and interaction on the subject of research.
Based on the results, pastoral traits are contained in oral
literature in Kediri can be seen on the figure of the shepherd, farmer,
and the breeder who represents the harmonious relationship between
human and nature. Harmonious relationship is contained in the
concept of Tri Hita Kirana which is the relationship between human
and God, human beings with human beings, and humans with the
natural surroundings. In this case, the nostalgic elements can be seen
in Kediri people that missing the figure that has been lost, Sri Aji
Jayabaya. To remember the figure of Sri Aji Jayabaya, Kediri people
held a ritual which is Satu Suro ritual, held at Sendang Tirto
Kamandanu, Menang village, Pagu sub-district, Kediri district
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL LUAR .............................................................................. i
HALAMAN SAMPUL DALAM .......................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................ iii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ iv
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ v
HALAMAN PENGANTAR ................................................................................ vi
ABSTRAK .......................................................................................................... viii
ABSTRACT .......................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 6
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 6
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ................................................................ 7
1.6 Definisi Operasional ......................................................................... 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................ 9
2.1 Penelitian Terdahulu ......................................................................... 9
2.2 Landasan Teori ............................................................................... 13
2.2.1 Sastra Lisan ............................................................................. 13
2.2.1.1 Cerita Rakyat .................................................................... 14
2.2.1.2 Legenda ............................................................................ 15
2.2.1.3 Mitos ................................................................................. 16
2.2.2 Mantra ..................................................................................... 17
2.2.3 Etika Manusia Kepada Alam Semesta .................................... 19
xi
2.2.4 Ekokritik Sastra ....................................................................... 20
2.2.5 Sastra Pastoral ......................................................................... 21
2.2.5.1 Bucolic ‘penggembala’ ..................................................... 22
2.2.5.2 Konstruksi Arcadia ........................................................... 22
2.2.5.3 Wacana Retreat dan Return .............................................. 25
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................... 26
3.1 Jenis Penelitian ............................................................................... 26
3.2 Data dan Sumber Data ..................................................................... 27
3.3 Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 28
3.4 Instrumen Kajian ............................................................................. 31
3.5 Keabsahan Data ............................................................................... 32
3.6 Analisis Data ................................................................................... 33
BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN .............................................................. 36
4.1 Deskripsi Pastoral Dalam Cerita Rakyat di Kediri ............................ 36
4.1.1 Bucolic ‘Penggembala’ ........................................................... 36
4.1.2 Konstruksi Arcadia ................................................................. 45
4.1.2.1 Unsur Idylls ................................................................... 45
4.1.2.2 Unsur Nostalgia ............................................................ 56
4.1.3 Wacana Retreat dan Return .................................................... 60
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 64
5.1 Simpulan ............................................................................................ 64
5.2 Saran .................................................................................................. 66
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 67
LAMPIRAN .......................................................................................................... 69
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Sastra Lisan Kediri ............................................................... hal.69
Lampiran 2 Analisis Sastra Lisan Kediri ......................................................... hal.84
Lampiran 3 Data Diri Narasumber ................................................................... hal.97
Lampiran 4 Berita Acara Bimbingan Skripsi ................................................... hal.98
\
xiii
DAFTAR SINGKATAN
Angka 1-75 : Temuan Data
ATT : Arca Totok Kerot
Buc : Bucolic
GK : Gunung Kelud
Idy : Idylls
K : Kediri
L : Legenda
M : Mantra
MH : Menyembelih Hewan
Mi : Mitos
MMH : Memberi Makan Hewan
Nos : Nostalgia
PSAJ : Petilasan Sri Aji Jayabaya
RR : Retreat dan Return
SD : Selametan Desa
SDms : Selametan Desa (memberi sesajen)
STT : Sendang Tirto Kamandanu
U : Ujub
WP : Wiwid Pari
xiv
DAFTAR GAMBAR
Lampiran 1 Daftar gambat lokasi penelitian .................................................... hal.94
15
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra tidak lagi berpusat pada manusia yang dijadikan sebagai objek atau
sasaran dalam menulis karya sastra. Akan tetapi, alam ikut berperan dalam
merepresentasikan sebuah karya sastra di dalamnya. Alam seringkali dijadikan
sebagai latar tempat sebuah cerita fiksional. Pemilihan unsur-unsur pada alam
seperti pohon, sungai, pasir, angin, dan benda-benda lain yang disajikan oleh alam
telah memperlihatkan bahwa alam dimanfaatkan oleh sastrawan sebagai bagian dari
sebuah karya sastra. Seperti yang telah diketahui, alam menyajikan segala sesuatu
yang dibutuhkan oleh manusia, baik itu dalam kepentingan sebuah mahakarya
manusia maupun keberlangsungan hidup untuk manusia itu sendiri. Hal ini
menggambarkan keterkaitan antara manusia dan alam yang saling memiliki
hubungan erat dan timbal balik antara satu dengan yang lainnya. Contohnya,
komponen biotik yang meliputi: tumbuhan, hewan, dan makhluk hidup lainnya,
serta komponen abiotik yang meliputi: tanah, air, udara, dan matahari yang
berperan penting dalam keberlangsungan kehidupan manusia di bumi. Oleh sebab
itu, manusia hendaknya menjaga dan merawat alam dengan sebaik-baiknya tanpa
harus mengeksploitasinya secara besar-besaran.
Ketidakseimbangan antara manusia dengan alam di Indonesia sangat
terlihat kontras, dilihat dari kondisi alam yang sangat memprihatinkan belakangan
ini. Maraknya bencana alam yang terjadi di Indonesia khususnya
1
2
Jawa Timur tidak terlepas dari campur tangan manusia yang tidak peduli terhadap
lingkungan. Menurut Riski (dalam Cristanto, 2017), pelepasan alih fungsi lahan dengan
kawasan yang seharusnya menjadi kawasan lindung yang beralih ke industri inilah
yang dapat mendorong kenaikan risiko bencana ekologis di berbagai daerah, misalnya
banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Kasus yang tidak lama ini terjadi di Tuban, Jawa
Timur adalah penambangan di gunung kapur Tuban yang dilakukan oleh PT Semen
Indonesia, penambangan tersebut menimbulkan banyak kerugian oleh aktivitas
pertambangan, di antaranya adalah polusi, limbah, konflik sosial, dan krisis air bersih.
Kondisi ini akan dikhawatirkan menimbulkan konflik sosial di masyarakat yang hidup
bergantung pada lahan dan air. Kenyataan tersebut memperlihatkan kompleksitas
manusia yang merupakan hasil interaksi manusia dengan alam.
Adapun upaya untuk menanggulangi ancaman bencana ekologis terhadapa
lingkungan adalah dengan cara pengawetan (konservasi) alam atau lingkungan. Dalam
hal ini Dwidjoseputro (1987:32) berpendapat bahwa untuk kepentingan dalam
kesejahteraan hidup manusia, perubahan yang menuju perbaikan kondisi alam perlu
mendapatkan perhatian yang terus menerus. Di samping itu manusia dan lingkungan
merupakan satu kesatuan yang harmonis tanpa ada kecenderungan untuk menguasai
satu sama lain. Manusia harus hidup bersahabat dengan alam sehingga kepentingan
manusia dengan kepentingan alam dapat berjalan dengan beriringan.
Siswanto (2008: 45) mengatakan bahwa manusia merupakan satu kesatuan
yang utuh. Hal ini menjelaskan bahwa saat manusia bertindak juga secara utuh, tidak
dapat dipisah antara bagian satu dengan yang lainnya karena pada dasarnya manusia
3
adalah sebagai pelaku atau subjek yang bertindak dalam hubungan dengan manusia
lainnya, manusia berkomunikasi dua arah, sedangkan dengan dunia di luar dirinya
berkomunikasi sepihak.
Adanya keterkaitan manusia dengan alam memunculkan tentang sebuah
konsep dalam setiap kebudayaan pada masyarakat Jawa. Pulau Jawa merupakan suatu
daerah yang meyakini kepercayaan mengenai legenda, dongeng dan mitos. Ketiga
unsur dari sastra lisan tersebut masih terjaga ekistensinya hingga saat ini.
Penyebarannya disebarkan melalui lisan. Hutomo dalam Amir (2013:77) memberi
batasan untuk sastra lisan yakni kesusastraan mencakup ekspresi suatu sastra dalam
kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara sambung lidah atau lisan. Sastra
jenis ini banyak ditemukan di wilayah pedesaan, karena fungsi dari sastra lisan adalah
sebagai upaya untuk kontrol sosial (Hutomo, 1991:18). Selain itu, masyarakat Jawa
juga meyakini adanya kekuatan gaib yang ada di wilayahnya, serta kepercayaan pada
mitos-mitos yang tersebar di suatu tempat. Contohnya, kepercayaan pada mitos
terhadap sumber mata air yang diyakini suci oleh masyarakat Desa Menang Kecamatan
Pagu Kabupaten Kediri, yakni ‘Sendang Tirto Kamandanu’. Sendang ini merupakan
situs peninggalan Kerajaan di masa pemerintahan raja Kediri Sri Aji Jayabaya.
Masyarakat sekitar meyakini bahwa Sendang Tirto Kamandanu merupakan ‘Patirtan’
yaitu mata air yang dianggap suci karena digunakan untuk mandi dan bersuci oleh raja
Sri Aji Jayabaya. Selain itu, air dari Sendang Tirto Kamandanu banyak digunakan
untuk keperluan pengunjung/peziarah sesuai dengan keyakinan masing-masing.
4
Beberapa cerita rakyat di Kediri menggunakan setting pada alam, misalnya
saja legenda Gunung Kelud dan Penghianatan Cinta Dewi Kilisuci yang berlatar
tempat di gunung, dan memiliki kedekatakan dengan alam karena letak geografisnya.
Penggunaan latar tempat di gunung menggambarkan sesuatu yang asri, sejuk, dan
tenang. Berbeda jika dibandingkan dengan kehidupan di kota yang ramai, sesak, dan
padat. Pada perkembangan sastra, adanya keterkaitan manusia dengan alam
memunculkan sebuah konsep tentang permasalahan ekologi dalam sastra. Hal ini
selaras dengan teori yang membahas tentang keterkaitan karya sastra dengan unsur
alam yaitu ekokritik. Istilah ekokritik digunakan sebagai istilah mengenai konsep kritik
sastra yang berhubungan dengan alam. Hal ini selaras dengan pendapat Garrard (dalam
Sukmawan, 2016:6) menyebutkan bahwa ekokritik dapat membantu menentukan,
mengeksploitasi, dan menyelesaikan masalah ekologi dalam pengertian yang luas.
Penelitian ini berfokus pada sastra lingkungan dengan model kajian pastoral
mengenai sastra lisan di Kediri. Gifford (1999:2) berpendapat bahwa pastoral adalah
suatu jenis sastra yang mendiskripsikan kehidupan desa secara berbeda dengan
kehidupan di daerah urban atau kota. Sebuah karya sastra dapat digolongkan ke dalam
sastra pastoral jika memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) Bucolic ‘pengembala’, (2)
konstruksi Arcadia (unsur Idylls, nostalgia, Georgic), serta (3) wacana Retrat dan
Return (Sukmawan, 2016:14-15).
Peneleitian ini menggunakan kajian ekokritik pastoral yang berfokus pada
sastra lisan. Sastra lisan yang ada di Kediri banyak ditemukan keterkaitan antara teks
sastra dengan unsur alam yang memenuhi kriteria dalam kajian ekokritik Pastoral.
5
Selain itu, pada penelitian ini data yang digunakan adalah paparan langsung dari
informan berupa cerita rakyat di Kediri yang mengandung unsur pastoral dan sumber
data yang digunakan adalah berupa legenda Gunung Kelud dan Penghianatan Cinta
Dewi Kilisuci, legenda Arca Totok Kerot, legenda Kediri, mitos Sendang Tirto
Kamandanu, Mitos Pamuksan Sri Aji Jayabaya, mantra sembelih hewan, mantra
memberi makan sapi, mantra selametan desa (pemberian sesaji), dan ujub selametan
desa.
Jika ditarik kesimpulan keterkaitan antara manusia, alam, dan karya sastra,
ketiganya adalah satu kesatuan yang utuh karena manusia sebagai subjek atau pelaku
yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem yang ada di bumi,
sedangkan karya sastra hadir sebagai pelengkap untuk mendidik manusia agar
berperilaku baik terhadap alam. Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan,
penelitian ini hadir untuk mengetahui keterkaitan antara karya sastra, manusia dan alam
dalam cerita rakyat di Kediri, dengan judul penelitian “Hubungan Harmoni Manusia
Dengan Alam Dalam Sastra Lisan di Kediri: (Model Kajian Sastra Pastoral).” Tujuan
dilakukannya penelitian ini adalah sebagai bentuk wujud nilai pendidikan lingkungan
yang dapat diterapkan oleh masyarakat agar selalu menjaga lingkungan dengan sebaik-
baiknya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut.
6
1) Bagaimana deskripsi karakter Bucolic ‘Penggembala’ dalam sastra lisan di
Kediri?
2) Bagaimana deskripsi Arcadia (unsur Idylls, nostalgia, dan Georgic) dalam sastra
lisan di Kediri?
3) Bagaimana deskripsi retreat dan return dalam sastra lisan di Kediri?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan
sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan karakter Bucolic ‘Penggembala’ dalam sastra lisan di Kediri.
2) Mendeskripsikan konstruksi Arcadia (unsur Idylls, nostalgia, dan Georgic)
dalam sastra lisan di Kediri.
3) Mendeskripsikan wacana retreat dan return dalam sastra lisan di Kediri.
1.4 Manfaat Penelitian
1) Manfaat Teoretis
Manfaat dalam penelitian ini adalah untuk memperkaya referensi mengenai
sejarah cerita rakyat di Kediri dan kajian ekokritik di Indonesia, serta dapat
memberikan sumbangsih bagi perkembangan sastra lingkungan atau ekokritik yang
ada di Indonesia.
2) Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan bagi masyarakat dan
peneliti.
7
1. Manfaat bagi masyarakat adalah memahami sejarah mengenai cerita rakyat di
Kediri. Manfaat kedua adalah dapat memperkaya pengetahuan baru mengenai
keterkaitan antara manusia dengan alam yang ada di dalam sastra lingkungan
atau biasa disebut ekokritik sastra.
2. Manfaat bagi peneliti adalah dapat menjadi pedoman dan wawasan baru
mengenai sejarah asal-usul tempat yang ada di Jawa Timur melalui studi dan
kajian sastra lingkungan.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Data penelitian ini menggunakan sastra lisan di Kediri yang dikaji dengan
Ekokritik sastra pastoral. Data ini berfokus pada model kajian pastoral yang ditelaah
dengan struktur Bucolic ‘pengembala’, konstruksi Arcadia yang memuat unsur Idylls,
nostalgia, dan Georgic, serta Retreat dan Return.
1.6 Definisi Operasional
Definisi operasional berisikan istilah yang terkait dengan penelitian untuk
menghindari adanya kesalahpahaman dalam menafsirkan istilah yang digunakan dalam
penelitian.
1) Hubungan harmoni manusia dengan alam: keterkaitan antara manusia
dengan alam yang menimbulkan keselarasan untuk sebuah kehidupan di
bumi.
2) Sastra Lisan: bagian dari sebuah kebudayaan yang tumbuh dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat dan diwariskan secara turun-
temurun, serta disebarkan secara lisan dan diakui sebagai milik bersama.
8
3) Kediri: sebuah kota yang ada di Jawa Timur, Indonesia. Kediri merupakan
salah satu wilayah yang memiliki banyak cerita rakyat, karena pada zaman
dahulu kerajaan besar terletak di kota ini, yaitu Kerajaan Kediri.
4) Ekokritik Sastra: disiplin ilmu yang mempelajari tentang hubungan antara
sastra dengan lingkungan yang dapat membantu menentukan bahkan
menyeleaikan masalah ekologi dalam pengertian yang lebih luas.
5) Sastra Pastoral: karya sastra yang menggambarkan kehidupan lingkungan
pedesaan yang sangat kontras jika dibandingkan dengan kehidupan di kota,
memiliki kriteria adanya sosok penggembala, penggambaran hidup ideal,
dan wacana ketidaksesuaian lapisan masyarakat Kediri dengan kehidupan
yang ada di kota sehingga terjadi sebuah pelarian ke desa.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Pada bagian ini diuraikan beberapa penelitian yang memiliki relevansi dengan
penelitian yang berjudul Hubungan Manusia dengan Alam dalam Cerita Rakyat di
Kediri “Model Kajian Ekokritik Pastoral ”
Lisnasari, L (2016) dalam sebuah skripsi yang berjudul Harmoni Alam Dalam
Cerita Rakyat Tengger (Sebuah Kajian Sastra Pastoral) membahas tentang hubungan
harmonis masyarakat Tengger dengan alam baik secara fisik maupun metafisik.
Penelitian tersebut, Lisnasari mengambil data tertulis berupa legenda dan mitos yang
ada di wilayah Tengger. Sumber data tersebut antara lain, (1) Legenda Kasada
berjumlah sepuluh cerita dari beberapa versi, (2) Legenda Karo berjumlah tujuh cerita
dengan versi yang berbeda, (3) Mitos Gua Widodaren, (4) Mitos Poten, (5) Mitos Jimat,
dan (6) Mitos Punden Tosari.
Penelitian Lisnasari memiliki keterkaitan dengan penelitian ini yaitu tentang
hubungan manusia dengan alam yang menggunakan model kajian ekokritik sastra
pastoral. Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini terletak pada data dan
sumber datanya. Penelitian sebelumnya menggunakan studi pustaka sedangkan pada
penelitian ini menggunakan studi lapang. Selain itu, data yang digunakan berupa
paparan naratif cerita rakyat Tengger, serta sumber data yang digunakan dalam
10
penelitian tersebut adalah cerita rakyat Tengger yang berupa legenda Kasada, legenda
Karo, mitos Gua Widodaren, Mitos Poten, mitos Jimat, dan mitos Punden Tosari.
Sedangkan pada penelitian ini data yang digunakan berupa paparan langsung dari
informan yang mengandung unsur sastra pastoral, sumber data yang digunakan adalah
legenda Gunung Kelud dan Penghianatan Cinta Dewi Kilisuci, legenda Arca Totok
Kerot, legenda Kediri, mitos Sendang Tirto Kamandanu, Mitos Pamuksan Sri Aji
Jayabaya, mantra sembelih hewan, mantra memberi makan sapi, mantra selametan
desa (pemberian sesaji), dan ujub selametan desa.
Hasil yang didapatkan dalam penelitian Lisnasari adalah terdapatnya ciri
pastoral yang yang ada di cerita rakyat Tengger meliputi karakter Bucolic, konstruksi
Arcadia (unsur Idylls, nostalgia, dan Georgic), serta wacana retreat dan return. Ciri
pastoral tersebut termuat dalam bentuk legenda Kasada, legenda Karo, dan mitos (Gua
Widodaren, Poten, jimat, dan punden Tosari). Unsur utama yang termuat dalam cerita
rakyat Tengger adalah unsur Idylls yang terwujud dari adanya hubungan harmonis
antara Masyarakat Tengger dengan Tuhan, sesama manusia, hewan, dan makhluk
psikis. Dalam hal ini, cara pandang dan laku hidup Masyarakat Tengger yang tercermin
dalam cerita rakyatnya sesuai dengan falsafah hidup Welas Asih Pepitu dan Bekti
Marang Guru Papat yang bermaknakan kewajiban manusia untuk menjaga keselarasan
kosmos.
Dewi (2015) dalam sebuah jurnal yang berjudul Manusia Dan Lingkungan
Dalam Cerpen Indonesia Kontemporer: Analisis Ekokrtik Cerpen Pilihan Kompas
11
yang mendiskripsikan tentang hubungan manusia dengan lingkungan dalam cerpen
Indonesia kontemporer. Dalam penelitian tersebut Dewi mengambil data dari
kumpulan cerpen koran Kompas sepanjang tahun 2010-2015 yang kemudian
ditemukan data berupa cerpen yang bertemakan lingkungan hidup. Tujuan
dilakukannya penelitian Dewi ini adalah untuk melihat apakah sastra Indonesia masa
kini telah memperlihatkan keberpihakan yang serius dalam upaya menjaga kelestarian
di Bumi.
Penelitian Dewi memiliki kesamaan dalam penelitian ini yaitu tentang
hubungan manusia dengan lingkungan dalam analisis ekokritik. Perbedaan penelitian
sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada kajian analisis
teorinya serta data dan sumber data yang digunakan. Penelitian sebelumnya membahas
hubungan manusia dengan lingkungan yang dikaji dengan terori ekokritik secara
umum, serta data yang digunakan dalam penelitian sebelumnya berupa cerpen-cerpen
bernuansa lingkungan yang dimuat diharian Kompas pada kurun waktu 2010 hingga
pertengahan tahun 2015. Sumber datanya adalah cerpen di surat kabar Kompas tahun
2010-2015, sedangakan pada penelitian Hubungan Manusia dengan Alam dalam cerita
Rakyat di Kediri “Model Kajian Ekokritik Pastoral” ini, lebih memfokuskan lagi pada
kajian ekokritik pastoral yang meliputi karakter Bucolic ‘penggembala’, konstruksi
Arcadia (unsur Idylls, nostalgia, dan Georgic), serta wacana retreat dan return dalam
cerita rakyat di Kediri. Data yang digunakan pada penelitian ini berupa paparan
langsung dari informan berupa cerita rakyat di Kediri yang menandung unsur pastoral,
12
sedangkan sumber data yang digunakan adalah legenda Gunung Kelud dan
Penghianatan Cinta Dewi Kilisuci, legenda Arca Totok Kerot, legenda Kediri, mitos
Sendang Tirto Kamandanu, Mitos Pamuksan Sri Aji Jayabaya, mantra sembelih hewan,
mantra memberi makan sapi, mantra selametan desa (pemberian sesaji), dan ujub
selametan desa.
Hardiningtyas (2015) dalam penelitian yang berjudul Ekokritik: Ritual dan
Kosmis Alam Bali dalam Puisi Saiban Karya Oka Rusmini membahas tentang
keterkaitan sastra dengan masalah lingkungan serta tradisi yang ada di Bali, yang
memiliki persamaan maupun perbedaan antara keadaan tekstual dan faktual, dengan
menunjukkan objek berupa puisi Saiban yang merupakan perwujudan sastra dan
lingkungan. Data penelitian ini diambil dari data deskriptif berupa kata-kata tertulis,
sedangkan sumber data yang digunakan adalah puisi Saiban karya Oka Rusmini.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang berjudul Hubungan Manusia
dengan Alam dalam Cerita Rakyat di Kediri “Model Kajian Ekokritik Pastoral”
terletak pada fokus kajian teori serta data dan sumber datanya. Fokus kajian pada
penelitian sebelumnya menggunakan ekokritik yang membahas sastra dengan alam,
sedangkan pada penelitian ini fokus kajian teorinya menggunakan ekokritik sastra
pastoral. Untuk data dan sumber data pada penelitian sebelumnya menggunakan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis, dan sumber datanya adalah puisi Saiban karya Oka
Rusmini, sedangkan data dan sumber data pada penelitian ini adalah data yang berupa
paparan langsung dari informan berupa legenda dan mitos, serta sumber data yang
13
digunakan pada penelitian ini adalah legenda Gunung Kelud dan Penghianatan Cinta
Dewi Kilisuci, legenda Arca Totok Kerot, legenda Kediri, mitos Sendang Tirto
Kamandanu, Mitos Pamuksan Sri Aji Jayabaya, mantra sembelih hewan, mantra
memberi makan sapi, mantra selametan desa (pemberian sesaji), dan ujub selametan
desa.
Penelitian yang dilakukan Hardiningtyas (2015) menghasilkan simpulan
bahwa puisi Saiban menggamarkan perwujudan ketenangan dan keselarasan kosmis,
terlihat sikap harmonis antara manusia dan alam lingkungannya. Sikap ini terwujud
melalui sikap rukun, sikap yang tidak saling mengusik atau tidak saling mengganggu
antarelemen kosmis. Dengan demikian, menjaga kerukunan kosmis merupakan
perwujudan sikap kasih sayang dan menjaga keberlanjutan kosmis, alam, dan
manusianya. Puisi Saiban ini menggambarkan tradisi yang kuat tentang spiritualitas
alam berpadu dengan tradisi dan nuansa religius Hindu menjadi salah satu nilai kearifan
lingkungan masyarakat Bali.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Sastra Lisan
Sastra lisan adalah suatu bentuk kesusastraan yang mencakup ekspresi
kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan dari
mulut ke mulut (Hutomo dalam Sudikan, 2001:2). Sastra lisan sering disebut literature
orally yang lebih dikenal dengan istilah folklor. Sesuai dengan namanya sastra lisan
14
merupakan sastra yang disampaikan dan dinikmati secara lisan dari mulut seorang
penyair kepada sekelompok pendengar. Secara harfiah sastra lisan bersifat komunal
atau umum yang berarti milik bersama dalam sekumpulan masyarakat tertentu di suatu
daerah. Hal ini yang memberikan ciri khas sastra lisan tiap daerahnya masing-masing
karena di dalam sastra lisan tertuang nilai budaya dan kearifan lokal yang mengikat
masyarakatnya. Sastra lisan dapat menjadi sebuah aset kebudayaan bagi masyarakat
yang melestarikannya dalam suatu wilayah, sehingga bentuk sastra lisan suatu daerah
bisa membedakannya dengan komunitas lain.
Ciri-ciri pengenal utama sastra lisan adalah terdapat di sebuah desa terpencil
atau pelosok. Biasanya masyarakat yang tinggal di daerah terpencil sebuah pedesaan
akan menjaga keutuhan budaya atau tradisi nenek moyang mereka yang berkembang
dan diyakini oleh masyarat setempat. Berbeda jika dibandingkan dengan kehidupan di
kota, sastra lisan yang berkembang di kota sedikit demi sedikit akan tergeser
eksistensinya oleh teknologi yang semakin maju dan pengaruh dari budaya luar yang
mudah di terima oleh masyarakat urban. Amir (2013:7) berpendapat bahwa sastra lisan
hidup ditengah-tengah masyarakat tradisonal, bentuknya tetap, dan menggunakan
ungkapan klise. Salah satu sastra lisan yang berkembang ditengah-tengah masyarakat
tradisional dan masih terjaga eksistensinya adalah sastra lisan yang ada di Kediri.
Masyarakat Kediri mempunyai banyak produk sastra lisan, diantaranya adalah legenda
dan mitos yang tersebar di sana.
2.2.1.1 Cerita Rakyat
15
Cerita rakyat merupakan bentuk produk sastra lisan yang berkembang disuatu
daerah. Hingga saat ini eksistensi cerita rakyat menjadi fenomena budaya yang bersifat
universal dalam kehidupan masyarakat. Dalam penelitian ini terdapat beberapa
pembahasan tentang cerita rakyat yang merupakan salah satu kategori folklor lisan.
Danandjaja (1984:2) menjelaskan definisi folklor adalah suatu kebudayaan kolektif
yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun dalam versi yang berbeda, baik
dalam bentuk lisan maupun tulis yang disertai dengan gerak isyarat atau alat peraga
unuk membantu mengingat. Folklor digolongkan menjadi beberapa golongan, dikutip
dari pendapat Brunvand (dalam Endraswara, 2009:29) folklor terdiri dari: 1) Folklor
lisan, yaitu folklor yang banyak diteliti orang. Beberapa bentul sastra lisan adalah
ujaran rakyat (folk speech), dialek, ungkapan, kalimat tradisonal, pertanyaan rakyat,
mite, legenda, nyanyian rakyat, dan lain sebagainya. 2) Folklor adat kebiasaan, yang
mencakup jenis folklor lisan dan non lisan, misalnya kepercayaan rakyat, adat-istiadat,
pesta, dan permainan rakyat. 3) Folklor material, yang mencakup jenis seni karya,
arsitektur, busana, makanan, dan lain-lain. Dalam hal ini cerita rakyat yang mencakup
legenda, dongeng, dan mitos yang diujarkan secara turun-temurun melalui lisan
merupakan warisan budaya yang sampai saat ini masih mempunyai nilai-nilai yang
patut dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kehidupan masa kini dan masa yang akan
datang.
Dalam penelitian ini, cerita rakyat yang dijadikan sebagai objek penelitian
berupa legenda Gunung Kelud dan Penghianatan Cinta Dewi Kilisuci, legenda Kediri,
16
mitos Sendang Tirto Kamandanu, dan mitos pamuksan Sri Aji Jayabaya. Selain
legenda dan mitos tersebut, penelitian ini juga akan mendeskripsikan tentang ritual
upacara slametan satu suro di Sendang Tirto Kamandanu. Mulder (1985:32)
menjeaskan definisi slametan adalah ritual pokok untuk melanjutkan,
mempertahankan, atau memperbaiki suatu tatanan tertentu yang bersifat sosio-religius
guna mempererat hubungan sesama manusia yang ikut serta dalam perayaan upacara
atau ritual adat tersebut.
2.2.1.2 Legenda
Legenda adalah cerita yang diyakini oleh beberapa masyarakat setempat
benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci atau sakral. Danandjaja (1984:66)
menjelaskan definisi legenda yaitu cerita prosa rakyat yang diyakini oleh empu cerita
sebagai suatu peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi pada masa lampau.
Masyarakat Jawa meyakini bahwa legenda-legenda yang pernah diceritakan oleh kakek
dan neneknya merupakan suatu peristiwa yang pernah terjadi di suatu tempat pada
masa lampau. Legenda memiliki kandungan nilai-nilai luhur yang bermanfaat bagi
masyarakat setempat untuk mematuhi norma atau larangan-larangan dalam kehidupan
yang telah dijalankan di suatu tempat. Legenda seringkali dipandang sebagai sejarah
kolektif yang tidak tertulis, penyebarannya pun melalui lisan dari mulut ke mulut,
sehingga legenda tersebut mengalami distorsi dari masa ke masa yang dapat berbeda
dari cerita aslinya.
17
Legenda bersifat sekuler atau suci dengan tokoh utamanya adalah manusia.
Dalam legenda bercerita tentang migrasi, perang dan kemenangan, pemimpin raja
zaman dahulu, serta kesuksesan dalam suatu dinasti yang sedang memerintah. Dalam
cerita rakyat yang ada di Kediri, ada beberapa legenda yang terkenal hingga saat ini
yaitu legenda Gunung Kelud dan Penghianatan Cinta Dewi Kili Suci, legenda Kediri,
dan legenda Arca Totok Kerot yang digunakan sebagai sumber data penelitian ini.
2.2.1.3 Mitos
Seperti yang sudah dijelaskan pada subbab sebelumnya, mitos atau mite
termasuk ke dalam genre prosa dalam bentuk cerita rakyat. Mitos sendiri memiliki
definisi yaitu cerita prosa rakyat yang menceritakan kisah berlatar masa lampau yang
mengandung penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan makhluk di dalamnya.
Dundes (dalam Danandjaja, 1984:62) berpendapat bahwa mitos adalah penjelasan suci
terbentuknya manusia seperti sekarang ini, harus diingat bahwa sesuatu yang
berhubungan dengan kepercayaan, terutama yang sudah berupa kitab suci akan sukar
sekali berubah. Menurut definisi yang sudah dijelaskan, mitos sering ditafsirkan
dengan pemahaman yang negatif, ia diidentikkan dengan dongeng atau cerita rekaan,
khayalan, dan bukan yang sebenarnya. Cara pandang inilah yang menjadi kesepakatan
pada kalangan masyarakat pendahulunya. Pada abad 19 semenjak ilmuan dari Barat
memiliki suatu pendekatan studi tentang mitos dengan sudut padang empirik dan bukan
hanya sudut bahasa, maka semenjak itu pula mitos memiliki kesan positif yang
dipahami sebagai cerita yang benar-benar terjadi (Roibin, 2009:86).
18
Mitos juga dapat dipahami sebagai realitas budaya yang kompleks dengan
kiasan atau cerita sakral yang berhubungan dengan even pada waktu primordial, yaitu
pada waktu permulaan yang mengacu pada asal mula segala sesuatu dan dewa-dewa
sebagai objeknya. Hal inilah yang dimaksud dengan istilah konsepsi yang digali dari
realitas. Pada saat yang sama ketika model itu diulang-ulang maka mitos itu menjadi
konsep yang dijadikan sebagai pedoman dan arahan bagi realitas kehiupan manusia.
Mitos diajarkan untuk dipercayai karena dianggap memiliki kekuatan untuk menjawab
keraguan yang sering dikaitkan dengan teologi dan ritual. tokoh utama mitos bisanya
binatang, dewa, atau pahlawan yang tindakannya terjadi pada masa lampau. Dalam
penelitian ini mitos yang diambil di wilayah Kediri adalah mitos air sendang yang
dianggap suci oleh masyarakat sekitar di Sendang Tirto Kamandanu dan mitos
petilasan Sri Aji Jayabaya.
2.2.2 Mantra
Mantra dikategorikan sebagai sastra lisan yaitu puisi rakyat yang bersifat
magis dan dimiliki oleh masyarakat yang diperoleh dan disebarkan secara lisan.
Perilaku magis ini biasa disebut sebuah perilaku yang dilakukan untuk mencapai suatu
tujuan tertentu yang diyakini oleh manusia ada di alam-meta empiris (Rusyana dalam
Sorayah, 2014:2). Penggunaan mantra pada saat ini mulai ditinggalkan oleh
masyarakat modern. Ketika masyrakat sudah mulai meninggalkan tradisi, tidak
dipungkiri bahwa sebenarnya masyarakat telah meninggalkan nilai-nilai luhur yang
dianutnya secara turun-temurun. Mantra jawa yang terdapat dalam Primbon merupakan
19
tradisi lisan yang bertransformasi ke bentuk tulis warisan dari leluhur Jawa untuk
tinggalan anak cucunya agar senantiasa keturunannya dalam ranah kesucian lahir dan
batin (Widodo, 2012:965).
Ujub merupakan suatu realitas budaya masyarakat Jawa yang mengandung
berbagai simbol dan mitos (Yanto, A, dkk. 2013:1). Setiap simbol memiliki makna
tertentu yang dapat menuntun masyarakat agar senantiasa meningkatkan keimanan dan
tingkah laku dalam kehidupannya. Dalam hal ini ujub akan diucapkan ketika
berjalannya sebuah ritual slametan sesudah semua piranti slametan telah disiapkan.
Slametan memiliki makna sosial bagi masyarakat Jawa yang sangat diyakini dan
memegang peranan penting dalam menciptakan suatu kondisi dalam menentukan sikap
dan tingkah laku bagi masyarakat yang bersangkutan. Salah satu wujud slametan yang
diadakan oleh masyarakat Kediri adalah slametan desa yang masih dilestarikan hingga
saat ini. Ujub mempunyai ciri yang bermuatan puisi dengan bahasa yang mudah
dipahami dari pada mantra. Banyak ditemukan ujub yang berbentuk lafal-lafal bahasa
Jawa yang termasuk kategori bahasa krama, sehingga masih bisa dipahami oleh
kalangan muda pada saat ini. Jika ditarik benang merah maka dapat disimpulkan
bahwasannya ujub merupakan ragam puisi untuk mengiri suatu ritual tertentu dalam
kehidupan masyarakat yang mempercayainya.
2.2.3 Etika Manusia Kepada Alam Semesta
Pandangan hidup manusia Jawa tidak dapat dipisahkan dengan konsep etika.
Etika sendiri merupakan pengetahuan mengenai tata cara kehidupan yang perlu
20
diketahui oleh manusia. Dalam hal ini etika juga disebut sebagai falsafah moral yang
membahas tentang sudut pandang manusia dalam perbuatannya. Perbuatan atau
tingkah laku manusia adalah tindakan-tindakan yang berasal dari akal budi sehingga
menghasilkan perbuatan baik dan buruk. Ciri khas dari manusia Jawa mengenai etika
adalah bahwasanya manusia Jawa menjunjung tinggi nilai keselarasan baik kepada
Tuhan, manusia, maupun kepada alam semesta yang tercakup dalam konsep Tri Hita
Kirana, yaitu tiga hubungan harmoni yang menyebabkan timbulnya kebahagiaan pada
manusia (Widyawati, 2010:64). Berdasarkan ketiga hubungan harmoni tersebut, maka
dapat diketahui bahwa manusia hidup di dunia ini tidak hanya berbuat baik kepada
Tuhan dan sesama manusia saja, melainkan juga harus berbuat baik kepada alam
semesta.
Manusia selain memiliki hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia, juga
memiliki hubungan dengan alam semesta. Hal ini dimaksudkan karena manusia
merupakan khalifah atau wakil Tuhan di bumi ini, bukan hanya berbuat baik kepada
sesama manusia saja melainkan juga berbuat baik kepada alam semesta. Oleh karena
itu, manusia Jawa merasa memiliki kepentingan untuk menjaga keselarasan alam
dengan cara dapat menjaga kerukunan dan mengakui kedudukan masing-masing pihak.
Ajaran tersebut sudah ditanamkan sejak kecil, sehingga manusia Jawa akan bertindak
rukun dan hormat terhadap sesama (Suseno, 1999:205).
2.2.4 Ekokritik Sastra
21
Ekokritik sastra adalah studi tentang hubungan antara sastra dengan
lingkungan fisik, Glotfelty (dalam Garrad, 2004:3). Ekokritik memfokuskan diri pada
karya sastra atas pengalaman manusia secara natural dan konsekuen di dunia yang
kultural ini. Dalam hal ini sastra dengan lingkungan fisik dalam kaitannya mempunyai
makna yang cukup luas, dimana keduanya saling berkaitan satu sama lain. Sebagai
sebuah karya sastra lisan yang memuat tentang unsur lingkungan, cerita rakyat
memiliki potensi untuk mengungkap pesan-pesan lingkungan kepada masyarakat
sehingga cerita rakyat tersebut muncul. Teks sastra lisan memuat potensi besar sebagai
teks sastra kearifan lingkungan atau sastra ekologi karena secara tersirat maupun
tersurat telah menghadirkan tema tentang lingkungan dan menjadikan tema lingkungan
sebagai orientasi etis teks (Sukmawan, 2016:29).
Kajian ekokritik sastra menuntut manusia agar senantiasa memperdulikan
alam dan peka terhadap pesan-pesan yang disampaikan lingkungan sehingga manusia
mampu mengidentifikasi masalah yang timbul diakibatkan oleh lingkungan. Selain itu
pengkajian teks sastra menggunakan ekokritik akan mencerminkan perilaku manusia
terhadap alam yang menunjukkan keseimbangan antara keduanya. Teks sastra yang
memuat unsur-unsur lingkungan adalah cerita rakyat yang berlatar alam pedesaan.
Contohnya saja produk sastra lisan yang berupa legenda Gunung Kelud dan
Penghianatan Cinta Dewi Kili Suci di Kediri. Dalam teks sastra tersebut latar yang
digunakan adalah alam pedesaan, serta unsur alam seperti gunung, sumur, dan sungai
digunakan dalam cerita tersebut.
22
2.2.5 Sastra Pastoral
Pastoral berasal dari bahasa Latin atau bahasa Yunani Pastor, yaitu Poimen,
yang berarti penggembala. Dalam hal ini pengembala erat kaitannya dengan kehidupan
di pedesaan yang selaras dengan ciri sastra pastoral, yaitu menggambarkan kehidupan
yang ideal disebuah pedesaan yang dekat dengan unsur-unsur alam. Sukmawan
(2016:30) menyatakan bahwa pada sekitar tahun 1610-an, pastoral merupakan bentuk
puisi atau drama yang di dalamnya memuat sebuah narasi para penggembala. Dalam
narasi tersebut terjadi dialog antar penggembala yang membicarakan tentang
pekerjaan, kehidupan sehari-hari, lukisan panorama, lanskap alam, dan lingkungan
pedesaan.
Sama halnya dengan pendapat Gifford (1999:2) menyatakan bahwa pastoral
merujuk pada setiap karya sastra yang menjabarkan tentang kehidupan suatu pedesaan
yang berbeda dengan daerah urban atau perkotaan. Sebuah sastra dapat dikatakan
sebagai sastra pastoral jika memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) ekosentris, (2) narasi
kehidupan, penghidupan, dan tata cara hidup yang selaras dengan norma alam, (3)
tempat hidupa yang nyaman dan ideal, (4) kesatuan harmoni antara manusia dan
lingkungan, (5) idealisasi desa dan romantisme masa lalu, serta (6) reflektif-
introspektif (Sukmawan, 2016:45). Untuk membedah teks sastra ke dalam sastra
pastoral dapat dilakukan dengan memperhatikan karakteristik yang telah dijelaskan di
dalam bukunya Sukmawan (2016:30) yang terurai atas deskripsi Bucolic
23
‘penggembala’, konstruksi Arcadia (unsur Idylls, nostalgia, dan Georgic), serta wacana
retreat dan return.
2.2.5.1 Bucolic ‘Pengembala’
Salah satu elemen penting yang menandai sastra pastoral adalah bucolic
‘penggembala’ yang dapat dimaknai secara sederhana bahwa penggembala berasal dari
kehidupan di desa (Sukmawan, 2016:31). Keberadaan unsur penggembala adalah tolak
ukur sebuah karya sastra yang masuk dalam kajian sastra pastoral. Dalam hal ini
gambaran karakter penggembala muncul dalam sebuah cerita rakyat yang ada di Kediri
yaitu legenda Gunung Kelud dan Penghianatan Cinta Dewi Kili Suci, penggambaran
tokoh sakti Lembu suro dan Mahesa suro yang diibaratkan sebagai hewan kerbau dan
sapi pada masa itu menjelaskan bahwa orang pada zaman dahulu mendewakan hewan
sebagai gambaran yang kuat dan sakti dalam kehidupannya. Jika ditarik benang merah
sapi dan kerbau adalah hewan yang digunakan untuk membajak sawah atau ladang
tempat masyarakat bercocok tanam maka karakter penggembala yang ada dalam sastra
pastoral sudah mewakili pada cerita rakyat tersebut. Penggembala digambarkan secara
khas pada legenda Gunung Kelud dan Penghianatan Cinta Dewi Kili Suci yang berlatar
di pegunungan karena unsur-unsur alam seperti gunung dan sungai juga digunakan
dalam cerita rakyat tersebut.
2.2.5.2 Konstruksi Arcadia
24
Struktut teks arcadia merujuk pada cara atau gaya hidup yang diidealkan.
Dalam hal ini cara hidup yang mengacu pada konsep ideal terpusat di pedesaan.
Sukmawan (dalam Gifford, 2016:34) memaparkan istilah Idylls yang tidak hanya
mengacu kepada bentuk puitika secara khusus tetapi juga berkembang menjadi istilah
umum. Perilaku membuang sampah pada tempatnya dapat dikatakan sebagai wujud
idylls karena telah menjaga lingkungan agar tetap bersih dan sehat. Masih mengutip
dalam bukunya Sukmawan (2016:34) konstruksi arcadia dibagi ke dalam tiga unsur,
diantaranya adalah: 1) unsur Idylls, menggambarkan nilai-nilai desa yang
mengimplikasikan kritisisme kota, 2) unsur nostalgia, suatu wujud yang selalu melihat
ke belakang atau ke masa lampau, 3) Georgic, menggambarkan kenyamanan bekerja
orang desa secara harmonis yang selaras dengan alam.
Idylls merupakan perwujudan gagasan, pemikiran, dan perilaku yang ideal.
Dalam hal ini unsur Idylls menggambaran kehidupan yang diidealkan oleh masyarakat
pedesaan. Pada masyarakat Jawa, gagasan, pemikiran, dan perilaku yang diidealkan
tergambar dalam sastra lisan yang berkembang di wilayah mereka, misalnya saja adat
istiadat desa yang diwariskan oleh nenek moyang kemudian sebisa mungkin
dilaksanakan dan dilestarikan ke dalam bentuk ritual slametan. Ritual slametan
mengungkap nilai-nilai yang dirasakan oleh orang Jawa, yaitu nilai kebersamaan,
ketetanggan, dan kerukunan (Suseno dalam Sukmawan, 2016:35).
Perilku yang diidealkan tentang bagaimana cara hidup tertentu tidak terlepas
dari kepercayaan atau kejadian masa lampau yang melatarbelakangi munculnya
25
gagasan dan perilaku yang diidealkan dalam masyarakat. Kejadian pada masa lampau
inilah yang menjadi penanda penting dalam unsur nostalgia. Unsur nostalgia adalah
elemen mendasar dari Arcadia yang merupakan bentuk untuk selalu melihat ke
belakang. Dalam hal ini pastoral merepresentasikan idealisasi sebuah kehidupan di
desa dan masa lalu yang mengimplikasikan masa depan yang lebih baik (Gifford dalam
Sukmawan, 2016:37). Nostalgia digambarkan dengan mendeskripsikan keadaan
zaman dulu dan sekarang yang jauh berbeda. Dalam bukunya Sukmawan (2016:38)
menyatakan bahwa penanda unsur notalgia terbagi menjadi dua aspek, yaitu aspek
kebahasaan yang ditandai dengan penggunaan keterangan waktu lampau, seperti ‘pada
zaman dahulu’, ‘konon’, ‘dahulu kala’, kemudian aspek yang kedua adalah aspek
substansi yang berisikan tentang sebuah kerinduan, kenangan yang manis dan indah,
masa silam atau masa lampau, sesuatu yang sudah tidak ada lagi sekarang, dan sesuau
yang letaknya jauh.
Unsur terkahir Arcadia adalah unsur georgic. Georgic merupakan bentuk
penggambaran cara proses bekerja pada masyarakat desa yang harmonis dengan alam
dimana akan memberikan perbedaan dengan suasana kota yang ramai. Penggambaran
pekerjaan di desa tampak dalam mantra dan dongeng masyarakat Jawa yang lebih
memperlihatkan detail pekerjaan pada sisi spiritualnya (Sukmawan, 2016:40). Hampir
setiap tahapan dalam bercocok tanam selalu diawali dengan ritual yang kemudian
disusul dengan perapalan mantra dalam setip proses ritual. Dalam masyarakat Jawa
sebelum mereka memulai bercocok tanam di ladang, mereka mempercayai sebuah
26
petangan yang mengacu pada kalender Jawa. Petangan sendiri memiliki arti yaitu
perhitungan baik-buruk yang dilukiskan dalam lambang dan watak hari, tanggal, bulan,
tahun, pranata wangsa, wuku, dan lain sebagainya (Purwadi dalam Sukmawan,
2016:40).
2.2.5.3 Wacana Retreat dan Return
Sukmawan (2016:42) memaparkan wacana retreat dan return sebagai wujud
pelarian dari kota. Hal ini terlihat sangat kontras jika dibandingkan dengan konsep
sastra pastoral yang merujuk pada cara atau gaya hidup yang diidealkan. Gaya hidup
yang ideal digambarkan pada kehidupan di desa yang sangat berbanding terbalik
dengan gaya hidup di kota. Retreat diartikan dengan pelarian manusia dari hingar-
bingar, komplesitas kehidupan dan permasalahan kota, dengan tujuan melepas diri atau
keluar dari tingkah laku kita (hijrah). Return merujuk pada kepulangan kembali menuju
desa dan memperbaiki perilaku mereka.
27
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bab ini akan dijabaran beberapa subbab metode penelitian berupa, (1)
Jenis Penelitian, (2) Data dan Sumber Data, (3) Teknik Pengumpulan Data, (4)
Instrument Kajian, (5) Keabsahan Data, dan (6) Analisis Data.
3.1 Jenis Penelitian
Pada penelitian yang berjudul Hubungan Harmoni Manusia Dengan Alam
Dalam Sastra Lisan Di Kediri (Model Kajian Sastra Patoral) adalah jenis penelitian
kualitatif. Menurut Basrowi dan Suwandi (dalam Bodgan & Taylor, 2008:21)
mendiskripsikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa dokumen tertulis maupun secara lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati. Penelitian kualitatif memiliki tingkat kritisme yang mendalam
karena metode ini biasanya dilakukan pada kondisi yang alamiah. Kondisi yang alami
seperti ini akan menghasilkan data yang diperoleh tidak dibuat-buat, berkembang apa
adanya, dan tidak adanya manipulasi. Dalam pnelitian kualitatif, pengumpulan data
tidak dipandu oleh teori, akan tetapi dipandu oleh fakta-fakta yang ditemukan pada saat
penelitian di lapangan. Oleh sebab itu, analisis data yang dilakukan bersifat induktif
yang berdasarkan pada fakta-fakta yang ditemukan, kemudian dapat dikonstruksikan
menjadi hipotesis (Sugiyono, 2014:3).
28
Dalam penelitian kualitatif seorang peneliti merupakan instrumen dalam
penelitian itu sendiri. Instrumen adalah alat untuk menggali data primer dari responden
sebagai sumber data terpenting dalam sebuah penelitian (Suyanto dan Karnaji,
2005:59). Untuk dapat menjadi instrumen, peneliti harus memiliki bekal teori dan
wawasan yang luas sehingga mampu bertanya, menganalisis, mendokumentasi foto,
dan mengkonstruksi situasi sosial yang diteliti menjadi lebh jelas dan bermakna.
Metode kualitatif dengan studi sastra sangat berkaitan, karena data yang ditemukan di
lapangan bersifat alamiah maka harus didiskripsikan kemudian disusul dengan analisis
data yang telah ditemukan.
Dilihat dari sudut pandang kualitatif, bahwa realitas dipandang sesuatu yang
holistik, permasalahan belum jelas, kompleks, dinamis, dan penuh makna, maka
peneliti bermaksud memahami situasi sosial secara mendalam terlebih dahulu,
kemudian menemukan pola, hipotesis dan teori. Selain itu, penelitian ini juga berupa
data deskriptif, misalnya kata-kata, gambar dan bukan angka yang merupakan ciri dari
penelitian kuantitatif.
3.2 Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini diambil dari tuturan lisan cerita rakyat dan darasan
mantra yang mengandung karakteristik sastra pastoral, yaitu 1) Bucolic ‘penggembala’,
2) konstruksi arcadia yang meliputi unsur Idylls, nostalgia, dan Georgic, serta 3)
wacana retreat dan return. Penuturan informan tersebut kemudian direkam ketika
peneliti melakukan wawancara langsung dengan informan. Menurut Sugiyono
(2011:20) dalam penelitian kualitatif proses memperoleh data atau informan pada
29
setiap tahapan dilakukan secara sirkuler, berulang-ulang dengan berbagai cara serta
dari berbagai sumber. Analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan, atau
data sekunder, yang akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian dan akan
berkembang setelah peneliti masuk dan selama penelitian.
Sumber data adalah subjek yang menunjukkan dari mana suatu data berasal
atau diperoleh (Arikunto, 2010:172). Sumber data dalam penelitian ini berupa legenda
Gunung Kelud dan Penghianatan Cinta Dewi Kilisuci, legenda Arca Totok Kerot,
legenda Kediri, mitos Sendang Tirto Kamandanu, Mitos Pamuksan Sri Aji Jayabaya,
mantra sembelih hewan, mantra memberi makan sapi, mantra selametan desa
(pemberian sesaji), dan ujub selametan desa, serta informan yang peneliti pilih yaitu
Mbah Suratin. Selain itu, peneliti melengkapi data penelitian dengan mengumpulkan
beberapa cerita rakyat Kediri melalui data pustaka yang berupa bahan-bahan tertulis,
yaitu legenda Kediri, kecamatan Pagu, kabupaten Kediri.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yang
berkaitan dengan kajian teori. Pengumpulan data dimaksudkan untuk memperoleh
bahan-bahan, keterangan, kenyataan-kenyataan dan informasi yang dapat dipercaya.
Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik wawancara secara mendalam dan
dokumentasi berupa rekaman percakapan saat wawancara dengan informan. Sebelum
peneliti melakukan penelitian lapang, langkah awal yang peneliti gunakan adalah
observasi tempat. Observasi merupakan bagian yang sangat penting untuk penelitian
kualitatif, karena peneliti dapat mendokumentasikan dan merefleksi secara sistematis
30
terhadap kegiatan dan interaksi subjek penelitian (Basrowi dan Suwandi, dalam Burns,
2008:93). Penelitian ini dilakukan di Desa Menang, kecamatan Pagu, kabupaten
Kediri. Alasan peneliti mengambil lokasi penelitian di Desa Menang Kediri adalah
desa tersebut merupakan desa yang masih relatif ajeg dalam menjalankan ritual. Seperti
yang dilakukan oleh masyarakat Menang adalah menjalankan tradisi ritual upacara
suroan setiap tanggal satu Suro. Kegiatan suroan ini dilakukan sebagai bentuk
penghormatan kepada leluhur mereka yaitu Prabu Sri Aji Jayabaya. Dalam tradisi yang
sudah dijalankan secara turun-temurun ini, upacara satu suro di Kediri memiliki
keistimewaan tersendiri yaitu upacara ini dihadiri langsung oleh perwakilan keluarga
besar Hondodento Yogyakarta. Kegiatan upacara ini diikuti iring-iringan barisan mulai
dari Kelurahan menuju Petilasan dengan rangkaian upacara yaitu menghaturkan
keinginan penyelenggra upacara ziarah, mengheningkan cipta, munjuk atur, tabur
bunga, caos dahar, peletakan pusaka, pembacaan doa, munjuk lengser, pengambilan
pusaka, upacara di pamuksan menuju Sendang Tirta Kamandaru.
Dalam penelitian sastra lisan, peneliti lapang terlibat dengan kehidupan
masyarakat di kampung tempat kesenian itu berada. Akan tetapi, teks tetaplah yang
terpenting, teks merupakan pusat penelitian sastra lisan (Amir, 2013:50). Kemudian
langkah selanjutnya adalah menentukan informan. Informan sendiri adalah orang-
orang yang ada pada latar penelitian. Informan dimanfaatkan untuk memberikan
informasi situasi dan kondisi latar belakang pada penelitian, sehingga peneiti dapat
menggali informasi lebih dalam pada informan. Selain itu, informan dimanfaatkan juga
untuk bertukar pikiran atau membandingkan suatu kejadian yang ditemukan dari
31
subjek lainnya. Adapun kriteria informan dalam penelitian ini adalah (1) informan
berusia 60 tahun ke atas, (2) Warga asli Desa Menang, (3) mempunyai pengetahuan
lengkap tentang keberadaan dan cerita tentang sastra lisan di Kediri, (4) serta dapat
berbicara lancar.
Peneliti banyak mendapatkan informasi melalui informan yaitu Mbah Suratin.
Informan yang dipilih merupakan orang asli desa Menang dan seorang juru kunci
Sendang Tirto Kamandanu. Mbah Suratin menjadi juru kunci di Sendang Tirto
Kamandanu sejak tahun 1999 sampai sekarang. Selain itu, Mbah Suratin juga
mengetahui banyak informasi tentang asal-usul tempat di Kediri yang masuk ke dalam
kriteria informan yang sudah ditentukan oleh peneliti sebelumnya, adapun beberapa
sastra lisan yang telah diceritakan oleh informan kepada peneliti antara lain, asal-usul
kerajaan Kediri, asal-usul Sendang Tirto Kamandanu, legenda Gunung Kelud, asal-
usul pamuksan Sri Aji Jayabaya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, peneliti memiliki
langkah-langkah dalam pengambilan data penelitian, Adapun langkah-langkah dalam
pengambilan data adalah sebagai berikut:
1) Mencari informan yang mengetahui tentang cerita rakyat yang ada di Kediri.
2) Wawancara secara mendalam dengan informan yang bernama Mbah Suratin untuk
mengetahui sastra lisan yang ada di Kediri.
3) Dokumentasi penelitian, dimaksudkan agar peneliti mendapatkan data yang akurat
dari informan yang berupa foto dan rekaman wawancara dengan informan.
4) Mengklasifikasi data, dimaksudkan agar mengetahui unsur-unsur sastra pastoral
yang ada dalam sastra lisan di Kediri, diantaranya adalah 1) Bucolic
32
‘penggembala’, 2) konstruksi arcadia yang meliputi unsur Idylls, nostalgia, dan
Georgic, serta 3) wacana retreat dan return.
5) Pemberian kode pada data yang sudah terkumpul.
3.4 Instrumen Kajian
Dalam penelitian ini diterapkan instrumen kajian berupa alat bantu untuk
panduan studi teks dan kodefikasi data. Studi teks dikembangkan berdasarkan unsur-
unsur pastoral yang menjadi teori dalam penelitian ini, sedangkan kodefikasi data
adalah pengkodean pada data yang untuk mempermudah klasifikasi data.
Tabel 1.1 panduan analisis data dan kodefikasi data
Variabel Sub Variabel Indikator Data Kode
Pastoral 1. Bucolic - Adanya sosok penggemala
dalam narasi teks sastra lisan
di Kediri.
- Karakter penggembala
dalam produk sastra lisan di
Kediri sesuai dengan
kehidupan di desa, seperti
petani, pencari kayu,
peternak, dan lain
sebagainya.
- Karakter penggembala
mempunyai keterkaitan
dengan alam, dengan cara
merawat alam sebaik-
baiknya.
(M/ MH/
Buc/ 01)
2. Arcadia
a. Idylls
- Penggambaran kehidupan
yang ideal dan idealkan.
- Hubungan masyarakat
Kediri dengan Tuhan melalui
kegiatan upacara ritual satu
suro setiap tahunnya.
- Hubungan masyarakat
Kediri dengan sesama yang
(Mi/ STT/
Idy/ 18)
33
b. Nostalgi
a
c. Georgic
menunjukkan sikap peduli,
guyup rukun, dan bergotong
royong.
- Hubungan masyarakat
Kediri dengan alam sekitar
(alam meta-empiris) melalui
sikap menyadari dan
menghormati dhanyang
penunggu atau mbaurekso
Mbok Sri, Dadang Kawuk,
Buto Lokaya, dan
Tunggulwulung.
- Penggambaran kehidupan
pada masa lampau yang
ditandai dengan kalimat
‘pada zaman dahulu’, ‘konon
cerita’, ‘jarene wong biyen’,
dan lain-lain.
- Adanya bentuk kerinduan
pada sesuatu yang telah
hilang.
- Penggambaran cara kerja
orang desa yang selaras
dengan alam.
- Keadaan nyaman
masyarakat Kediri yang
tinggal dan bekerja dalam
berbagai kedaan.
(Mi/ STT/
Nos/ 17)
(L/ K/ Geo/
58)
Wacana
Retreat dan
Return
- Penggambaran pelarian
masyarakat urban menuju
desa atas kehiruk-pikukan
kota.
- Pelarian psikis berupa
kesadaran manusia untuk
kembali ke tempat asalnya.
(L/ K/ RR/
34)
3.5 Keabsahan Data
Keabsahan data yang dilakukan dalam penelitian ini agar mendapatkan data yang
layak, absah, dan sesuai, maka perlu dilakukan langkah-langkah beriku ini:
34
1) Mendiskusikan hasil temuan di lapangan dengan dosen pembimbing dan teman
sejawat untuk bertukar pikiran mengenai kendala atau permasalahan dalam data,
serta mendapatkan informasi baru yang tidak diketahui oleh peneliti sebelumnya.
Dalam hal ini, dosen dan teman sejawat yang dipilih adalah yang mumpuni atau
mengetahui tentang teori ekokritik sastra pastoral untuk membedah data.
2) Mengamati kembali analisis yang telah dilakukan secara menyeluruh.
3) Mencari dan membaca dari berbagai sumber untuk memahami lebih dalam teori
ekokritik sastra pastoral, mencari tahu keterkaitan karya sastra dengan alam, serta
bagaimana manusia mengaplikasikan alam untuk mebuat karya sastra.
3.6 Analisis Data
Analisi data yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan fokus
permasalahan yang terkait dengan 1) Bucolic ‘penggembala’, 2) konstruksi arcadia
yang meliputi unsur Idylls, nostalgia, dan Georgic, serta 3) wacana retreat dan return
yang terdapat dalam cerita rakyat yang ada di Kediri. Adapun langkah-langkah dalam
menganalisis data adalah sebagai berikut.
1) Reduksi Data
Pada tahap ini penelitian dilakukan dengan membaca serta memahami
sejarah dan cerita rakyat di Kediri guna mencari data, menandai kalimat-kalimat
penting yang ada. Data yang dipilih adalah berupa kalimat yang masuk ke dalam
unsur-unsur sastra pastoral dan mengklasifikasi data yang ditemukan dalam
hubungan harmonis antara manusia dan alam pada sastra lisan di Kediri.
35
2) Sajian Data
Pada tahap ini dilakukan pengkalisifian paparan langsung berupa
wawancara tentang sastra lisan Kediri yang sudah di transkrip dan di transliterasi
ke dalam unsur-unsur sastra pastoral diantaranya adalah: 1) Bucolic
‘penggembala’, 2) konstruksi arcadia yang meliputi unsur Idylls, nostalgia, dan
Georgic, serta 3) wacana retreat dan return.
a) Menetukan karakter Bucolic ‘penggembala’ didasarkan pada kriteria bucolic:
adanya sosok penggembala yang ada di masyarakat di dalam teks sastra lisan,
sosok gembala yang sesuai dengan lingkungan pedesaan, serta keterkaitan
antara manusia dengan alam
b) Menentukan konstruksi Arcadia yang didasarkan pada kriteria deskripsi
hidup yang ideal “Idylls” berupa hubungan manusia dengan sesamanya,
manusia dengan alam, serta manusia dengan Tuhan yang hidup secara
harmonis. Unsur nostalgia yang ditandai dengan penggunakan keterangan
waktu lampau seperti ‘pada zaman dahulu’, ‘dahulu kala’, ‘konon cerita’, dan
lain sebagainya. Unsur Georgic, yang ditandai dengan adanya deskripsi cara
kerja orang desa yang selaras dengan alam, seperti peringatan upacara satu
Suro yang diadakan di Sendang Tirto Kamandanu.
c) Menentukan wacana retreat dan return yang didasarkan pada kriteria adanya
sebuah pelarian masyarakat urban atas hiruk-pikuk dan kemoderenan kota
menuju desa untuk memperbaiki perilaku mereka.
36
3) Penarikan Simpulan
Pada tahap ini peneliti dapat menjawab rumusan masalah dan tujuan
penelitian yang telah dituliskan pada bab II. Kemudian menyimpulkan hasil penelitian
yang dikaji dengan teori dari awal hingga akhir.
37
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bab ini akan dijabaran beberapa subbab metode penelitian berupa, (1)
Jenis Penelitian, (2) Data dan Sumber Data, (3) Teknik Pengumpulan Data, (4)
Instrument Kajian, (5) Keabsahan Data, dan (6) Analisis Data.
3.1 Jenis Penelitian
Pada penelitian yang berjudul Hubungan Harmoni Manusia Dengan Alam
Dalam Sastra Lisan Di Kediri (Model Kajian Sastra Patoral) adalah jenis penelitian
kualitatif. Menurut Basrowi dan Suwandi (dalam Bodgan & Taylor, 2008:21)
mendiskripsikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa dokumen tertulis maupun secara lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati. Penelitian kualitatif memiliki tingkat kritisme yang mendalam
karena metode ini biasanya dilakukan pada kondisi yang alamiah. Kondisi yang alami
seperti ini akan menghasilkan data yang diperoleh tidak dibuat-buat, berkembang apa
adanya, dan tidak adanya manipulasi. Dalam pnelitian kualitatif, pengumpulan data
tidak dipandu oleh teori, akan tetapi dipandu oleh fakta-fakta yang ditemukan pada saat
penelitian di lapangan. Oleh sebab itu, analisis data yang dilakukan bersifat induktif
yang berdasarkan pada fakta-fakta yang ditemukan, kemudian dapat dikonstruksikan
menjadi hipotesis (Sugiyono, 2014:3).
38
Dalam penelitian kualitatif seorang peneliti merupakan instrumen dalam
penelitian itu sendiri. Instrumen adalah alat untuk menggali data primer dari responden
sebagai sumber data terpenting dalam sebuah penelitian (Suyanto dan Karnaji,
2005:59). Untuk dapat menjadi instrumen, peneliti harus memiliki bekal teori dan
wawasan yang luas sehingga mampu bertanya, menganalisis, mendokumentasi foto,
dan mengkonstruksi situasi sosial yang diteliti menjadi lebh jelas dan bermakna.
Metode kualitatif dengan studi sastra sangat berkaitan, karena data yang ditemukan di
lapangan bersifat alamiah maka harus didiskripsikan kemudian disusul dengan analisis
data yang telah ditemukan.
Dilihat dari sudut pandang kualitatif, bahwa realitas dipandang sesuatu yang
holistik, permasalahan belum jelas, kompleks, dinamis, dan penuh makna, maka
peneliti bermaksud memahami situasi sosial secara mendalam terlebih dahulu,
kemudian menemukan pola, hipotesis dan teori. Selain itu, penelitian ini juga berupa
data deskriptif, misalnya kata-kata, gambar dan bukan angka yang merupakan ciri dari
penelitian kuantitatif.
3.2 Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini diambil dari tuturan lisan cerita rakyat dan darasan
mantra yang mengandung karakteristik sastra pastoral, yaitu 1) Bucolic ‘penggembala’,
2) konstruksi arcadia yang meliputi unsur Idylls, nostalgia, dan Georgic, serta 3)
wacana retreat dan return. Penuturan informan tersebut kemudian direkam ketika
peneliti melakukan wawancara langsung dengan informan. Menurut Sugiyono
(2011:20) dalam penelitian kualitatif proses memperoleh data atau informan pada
39
setiap tahapan dilakukan secara sirkuler, berulang-ulang dengan berbagai cara serta
dari berbagai sumber. Analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan, atau
data sekunder, yang akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian dan akan
berkembang setelah peneliti masuk dan selama penelitian.
Sumber data adalah subjek yang menunjukkan dari mana suatu data berasal
atau diperoleh (Arikunto, 2010:172). Sumber data dalam penelitian ini berupa legenda
Gunung Kelud dan Penghianatan Cinta Dewi Kilisuci, legenda Arca Totok Kerot,
legenda Kediri, mitos Sendang Tirto Kamandanu, Mitos Pamuksan Sri Aji Jayabaya,
mantra sembelih hewan, mantra memberi makan sapi, mantra selametan desa
(pemberian sesaji), dan ujub selametan desa, serta informan yang peneliti pilih yaitu
Mbah Suratin. Selain itu, peneliti melengkapi data penelitian dengan mengumpulkan
beberapa cerita rakyat Kediri melalui data pustaka yang berupa bahan-bahan tertulis,
yaitu legenda Kediri, kecamatan Pagu, kabupaten Kediri.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yang
berkaitan dengan kajian teori. Pengumpulan data dimaksudkan untuk memperoleh
bahan-bahan, keterangan, kenyataan-kenyataan dan informasi yang dapat dipercaya.
Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik wawancara secara mendalam dan
dokumentasi berupa rekaman percakapan saat wawancara dengan informan. Sebelum
peneliti melakukan penelitian lapang, langkah awal yang peneliti gunakan adalah
observasi tempat. Observasi merupakan bagian yang sangat penting untuk penelitian
kualitatif, karena peneliti dapat mendokumentasikan dan merefleksi secara sistematis
40
terhadap kegiatan dan interaksi subjek penelitian (Basrowi dan Suwandi, dalam Burns,
2008:93). Penelitian ini dilakukan di Desa Menang, kecamatan Pagu, kabupaten
Kediri. Alasan peneliti mengambil lokasi penelitian di Desa Menang Kediri adalah
desa tersebut merupakan desa yang masih relatif ajeg dalam menjalankan ritual. Seperti
yang dilakukan oleh masyarakat Menang adalah menjalankan tradisi ritual upacara
suroan setiap tanggal satu Suro. Kegiatan suroan ini dilakukan sebagai bentuk
penghormatan kepada leluhur mereka yaitu Prabu Sri Aji Jayabaya. Dalam tradisi yang
sudah dijalankan secara turun-temurun ini, upacara satu suro di Kediri memiliki
keistimewaan tersendiri yaitu upacara ini dihadiri langsung oleh perwakilan keluarga
besar Hondodento Yogyakarta. Kegiatan upacara ini diikuti iring-iringan barisan mulai
dari Kelurahan menuju Petilasan dengan rangkaian upacara yaitu menghaturkan
keinginan penyelenggra upacara ziarah, mengheningkan cipta, munjuk atur, tabur
bunga, caos dahar, peletakan pusaka, pembacaan doa, munjuk lengser, pengambilan
pusaka, upacara di pamuksan menuju Sendang Tirta Kamandaru.
Dalam penelitian sastra lisan, peneliti lapang terlibat dengan kehidupan
masyarakat di kampung tempat kesenian itu berada. Akan tetapi, teks tetaplah yang
terpenting, teks merupakan pusat penelitian sastra lisan (Amir, 2013:50). Kemudian
langkah selanjutnya adalah menentukan informan. Informan sendiri adalah orang-
orang yang ada pada latar penelitian. Informan dimanfaatkan untuk memberikan
informasi situasi dan kondisi latar belakang pada penelitian, sehingga peneiti dapat
menggali informasi lebih dalam pada informan. Selain itu, informan dimanfaatkan juga
untuk bertukar pikiran atau membandingkan suatu kejadian yang ditemukan dari
41
subjek lainnya. Adapun kriteria informan dalam penelitian ini adalah (1) informan
berusia 60 tahun ke atas, (2) Warga asli Desa Menang, (3) mempunyai pengetahuan
lengkap tentang keberadaan dan cerita tentang sastra lisan di Kediri, (4) serta dapat
berbicara lancar.
Peneliti banyak mendapatkan informasi melalui informan yaitu Mbah Suratin.
Informan yang dipilih merupakan orang asli desa Menang dan seorang juru kunci
Sendang Tirto Kamandanu. Mbah Suratin menjadi juru kunci di Sendang Tirto
Kamandanu sejak tahun 1999 sampai sekarang. Selain itu, Mbah Suratin juga
mengetahui banyak informasi tentang asal-usul tempat di Kediri yang masuk ke dalam
kriteria informan yang sudah ditentukan oleh peneliti sebelumnya, adapun beberapa
sastra lisan yang telah diceritakan oleh informan kepada peneliti antara lain, asal-usul
kerajaan Kediri, asal-usul Sendang Tirto Kamandanu, legenda Gunung Kelud, asal-
usul pamuksan Sri Aji Jayabaya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, peneliti memiliki
langkah-langkah dalam pengambilan data penelitian, Adapun langkah-langkah dalam
pengambilan data adalah sebagai berikut:
1) Mencari informan yang mengetahui tentang cerita rakyat yang ada di Kediri.
2) Wawancara secara mendalam dengan informan yang bernama Mbah Suratin untuk
mengetahui sastra lisan yang ada di Kediri.
3) Dokumentasi penelitian, dimaksudkan agar peneliti mendapatkan data yang akurat
dari informan yang berupa foto dan rekaman wawancara dengan informan.
4) Mengklasifikasi data, dimaksudkan agar mengetahui unsur-unsur sastra pastoral
yang ada dalam sastra lisan di Kediri, diantaranya adalah 1) Bucolic
42
‘penggembala’, 2) konstruksi arcadia yang meliputi unsur Idylls, nostalgia, dan
Georgic, serta 3) wacana retreat dan return.
5) Pemberian kode pada data yang sudah terkumpul.
3.4 Instrumen Kajian
Dalam penelitian ini diterapkan instrumen kajian berupa alat bantu untuk
panduan studi teks dan kodefikasi data. Studi teks dikembangkan berdasarkan unsur-
unsur pastoral yang menjadi teori dalam penelitian ini, sedangkan kodefikasi data
adalah pengkodean pada data yang untuk mempermudah klasifikasi data.
Tabel 1.1 panduan analisis data dan kodefikasi data
Variabel Sub Variabel Indikator Data Kode
Pastoral 1. Bucolic - Adanya sosok penggemala
dalam narasi teks sastra lisan
di Kediri.
- Karakter penggembala
dalam produk sastra lisan di
Kediri sesuai dengan
kehidupan di desa, seperti
petani, pencari kayu,
peternak, dan lain
sebagainya.
- Karakter penggembala
mempunyai keterkaitan
dengan alam, dengan cara
merawat alam sebaik-
baiknya.
(M/ MH/
Buc/ 01)
2. Arcadia
a. Idylls
- Penggambaran kehidupan
yang ideal dan idealkan.
- Hubungan masyarakat
Kediri dengan Tuhan melalui
kegiatan upacara ritual satu
suro setiap tahunnya.
- Hubungan masyarakat
Kediri dengan sesama yang
(Mi/ STT/
Idy/ 18)
43
b. Nostalgi
a
c. Georgic
menunjukkan sikap peduli,
guyup rukun, dan bergotong
royong.
- Hubungan masyarakat
Kediri dengan alam sekitar
(alam meta-empiris) melalui
sikap menyadari dan
menghormati dhanyang
penunggu atau mbaurekso
Mbok Sri, Dadang Kawuk,
Buto Lokaya, dan
Tunggulwulung.
- Penggambaran kehidupan
pada masa lampau yang
ditandai dengan kalimat
‘pada zaman dahulu’, ‘konon
cerita’, ‘jarene wong biyen’,
dan lain-lain.
- Adanya bentuk kerinduan
pada sesuatu yang telah
hilang.
- Penggambaran cara kerja
orang desa yang selaras
dengan alam.
- Keadaan nyaman
masyarakat Kediri yang
tinggal dan bekerja dalam
berbagai kedaan.
(Mi/ STT/
Nos/ 17)
(L/ K/ Geo/
58)
Wacana
Retreat dan
Return
- Penggambaran pelarian
masyarakat urban menuju
desa atas kehiruk-pikukan
kota.
- Pelarian psikis berupa
kesadaran manusia untuk
kembali ke tempat asalnya.
(L/ K/ RR/
34)
3.5 Keabsahan Data
Keabsahan data yang dilakukan dalam penelitian ini agar mendapatkan data yang
layak, absah, dan sesuai, maka perlu dilakukan langkah-langkah beriku ini:
44
1) Mendiskusikan hasil temuan di lapangan dengan dosen pembimbing dan teman
sejawat untuk bertukar pikiran mengenai kendala atau permasalahan dalam data,
serta mendapatkan informasi baru yang tidak diketahui oleh peneliti sebelumnya.
Dalam hal ini, dosen dan teman sejawat yang dipilih adalah yang mumpuni atau
mengetahui tentang teori ekokritik sastra pastoral untuk membedah data.
2) Mengamati kembali analisis yang telah dilakukan secara menyeluruh.
3) Mencari dan membaca dari berbagai sumber untuk memahami lebih dalam teori
ekokritik sastra pastoral, mencari tahu keterkaitan karya sastra dengan alam, serta
bagaimana manusia mengaplikasikan alam untuk mebuat karya sastra.
3.6 Analisis Data
Analisi data yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan fokus
permasalahan yang terkait dengan 1) Bucolic ‘penggembala’, 2) konstruksi arcadia
yang meliputi unsur Idylls, nostalgia, dan Georgic, serta 3) wacana retreat dan return
yang terdapat dalam cerita rakyat yang ada di Kediri. Adapun langkah-langkah dalam
menganalisis data adalah sebagai berikut.
1) Reduksi Data
Pada tahap ini penelitian dilakukan dengan membaca serta memahami
sejarah dan cerita rakyat di Kediri guna mencari data, menandai kalimat-kalimat
penting yang ada. Data yang dipilih adalah berupa kalimat yang masuk ke dalam
unsur-unsur sastra pastoral dan mengklasifikasi data yang ditemukan dalam
hubungan harmonis antara manusia dan alam pada sastra lisan di Kediri.
45
2) Sajian Data
Pada tahap ini dilakukan pengkalisifian paparan langsung berupa
wawancara tentang sastra lisan Kediri yang sudah di transkrip dan di transliterasi
ke dalam unsur-unsur sastra pastoral diantaranya adalah: 1) Bucolic
‘penggembala’, 2) konstruksi arcadia yang meliputi unsur Idylls, nostalgia, dan
Georgic, serta 3) wacana retreat dan return.
a) Menetukan karakter Bucolic ‘penggembala’ didasarkan pada kriteria bucolic:
adanya sosok penggembala yang ada di masyarakat di dalam teks sastra lisan,
sosok gembala yang sesuai dengan lingkungan pedesaan, serta keterkaitan
antara manusia dengan alam
b) Menentukan konstruksi Arcadia yang didasarkan pada kriteria deskripsi
hidup yang ideal “Idylls” berupa hubungan manusia dengan sesamanya,
manusia dengan alam, serta manusia dengan Tuhan yang hidup secara
harmonis. Unsur nostalgia yang ditandai dengan penggunakan keterangan
waktu lampau seperti ‘pada zaman dahulu’, ‘dahulu kala’, ‘konon cerita’, dan
lain sebagainya. Unsur Georgic, yang ditandai dengan adanya deskripsi cara
kerja orang desa yang selaras dengan alam, seperti peringatan upacara satu
Suro yang diadakan di Sendang Tirto Kamandanu.
c) Menentukan wacana retreat dan return yang didasarkan pada kriteria adanya
sebuah pelarian masyarakat urban atas hiruk-pikuk dan kemoderenan kota
menuju desa untuk memperbaiki perilaku mereka.
46
3) Penarikan Simpulan
Pada tahap ini peneliti dapat menjawab rumusan masalah dan tujuan
penelitian yang telah dituliskan pada bab II. Kemudian menyimpulkan hasil penelitian
yang dikaji dengan teori dari awal hingga akhir.
BAB IV
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Pastoral dalam Sastra Lisan di Kediri
Pastoral adalah bentuk penggambaran dari masyarakat desa yang bertolak
belakang dengan kehidupan pada masyarakat urban atau kota. Adapun karakter yang
terdapat dalam pastoral adalah, 1) adanya sosok Bucolic ‘penggembala’, 2) adanya
konstruksi Arcadia yang meliputi unsur Idylls, nostalgia, dan Georgic, serta 3) terdapat
wacana retreat dan return. Berikut adalah penjabaran pastoral pada produk sastra lisan
yang ada di Kediri.
4.1.1 Bucolic ‘penggembala’
Unsur Bucolic atau yang biasa disebut penggembala merupakan penanda
penting dalam sastra pastoral. Jika unsur ini tidak ada dalam pastoral suatu bentuk
produk sastra dikatakan bukan pastoral jika tidak adanya unsur Bucolic ‘penggembala’.
Dalam konteks ini penggembala merujuk pada masyarakat Kediri dan penggembalaan
dimaknakan sebagai aneka macam hewan peliharaan di wilayah tersebut. Penggembala
dan penggembalaan dalam produk sastra lisan pada masyarakat di Kediri secara
47
eksplisit terlihat dalam mantra menyembelih hewan. Berikut bunyi mantra untuk
menyembelih hewan.
Niat ingsun nyembelih kewan
Siro dedeko nyembelih gulu sak jeroning kulit
Nyembelih sak jeroning daging
Seujud kewan sapi, kerbau, kambing, ayam, dan lain-lain
yaiku dedeke sembelih aji benggolo geni
(M/ MH/ Buc/ 01)
Saya berniat menyembelih hewan
Saya menyembelih hewan dari leher hingga kulit.
Menyembelih sampai dalam daging
yang berwujud hewan sapi, kerbau, ayam, kambing, dan lain-
lain
yaitu hewan yang disembelih menggunakan benggolo geni
(M/ MH/ Buc/ 01)
Data M/ MH/ Buc/ 01 merupakan mantra menyembelih hewan yang
bermuatan bucolic ‘penggembala’. Mantra itu akan dirapalkan ketika hendak
menyembelih hewan berdasarkan kebutuhan. Kebutuhan yang dimaksud adalah tidak
hanya didasarkan pada keinginan mengkonsumsi sebagai lauk pauk saja, malainkan
masyarakat Kediri juga akan menyembelih hewan ketika ada acara tertentu seperti
pelaksanaan ritual upacara satu suro di Sendang Tirto Kamandanu, yaitu wujud
memberi sesajen dalam pelaksanaan ritualnya. Bentuk pemberian sesajen tersebut
dimaksudkan agar dilancarkan dalam pelaksanaan upacara. Persembahan sesajen
berisikan bubur, nasi dan lauk pauknya, di antaranya adalah daging hewan yang sudah
dimasak. Hewan yang dijadikan sesaji merupakan bentuk penggembalaan hewan yang
telah mereka rawat hingga dapat mereka makan. Dalam hal ini, bukan hanya manusia
48
yang diprioritaskan untuk mendapatkan pertimbangan moral, melainkan juga hewan
yang berhak diperlakukan dengan baik oleh manusia. Masyarakat sebagai
penggembala berharap ketika hewan peliharaan mereka disembelih tidak akan merasa
sakit serta membawa keberkahan bagi penggembalanya.
Desa Menang Kecamatan Pagu merupakan desa yang masih menjunjung
tinggi dan melestarikan budaya peninggalan nenek moyang mereka. Mayarakat
Menang tetap meyakini bahwa tradisi-tradisi yang telah dilakukan oleh para leluhur
mereka mempunyai kekuatan di dalam kehidupannya. Masyarakat percaya bahwa
kekuatan tersebut bisa mendatangkan rizky, menolak balak, dan lain sebagainya.
Adapun tradisi atau kepercayaan yang dilakakukan oleh masyarakat desa Menang
secara turun-temurun sampai sekarang adalah proses menyembelih hewan dengan
merapalkan mantra kejawen yang mereka yakini.
Jika dilihat dari kebiasaan menyembelih hewan tersebut, masyarakat desa
Menang masih banyak yang memelihara hewan ternak sebagai kebutuhan mereka.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Masykuri (2015:7) menyatakan bahwa
komoditi unggulan desa Menang Kecamatan Pagu diantaranya adalah padi, gogo,
bawang merah, rambutan, papaya, kacang panjang, kelapa, nangka, tebu, sapi,
kambing, domba, dan ayam buras. Dalam hal ini penggembala merujuk pada
masyarakat Kediri, sedangkan penggembalaan merujuk pada hewan ternak yang
dirawat oleh masyarakat Kediri. Masyarakat Menang memanfaatkan hasil komoditi
yang diperoleh untuk diperjual-belikan di kawasan perdagangan dan jasa di Kota
49
Kediri yaitu pasar induk (Pasar Setono Betek) yang merupakan pusat kegiatan
perdagangan skala besar untuk komoditas sayuran, buah, daging, ikan, dan lain
sebagainya. Selain itu, hasil komoditi yang sebagian mereka peroleh dimanfaatkan
untuk kebutuhan mereka sendiri.
Penggambaran sosok penggembala merujuk pada aktivitas khas daerah yang
berkaitan erat dengan aktifitas yang memperlihatkan kedekatan manusia dengan alam,
seperti yang dilakukan masyarakat Desa Menang Kecamatan Pagu yang berprofesi
sebagai peternak dan petani. Selain mantra menyembelih hewan, gambaran
penggembala dan penggembalaan juga terdapat pada mantra memberi makan hewan
yang memuat unsur Bucolic pada masyarakat Kediri. Berikut ini adalah gambaran pada
mantra memberi makan hewan ternak di Kediri.
Rep sirep nyirep kewan
Madepo madep sak jeroning kantongan
Siro lemu ujud koyo dadang kawuk
Siro pakani njilmo koyo sapi
Ojo lali-lali sirepe sapi
Kemeluk ngobong lirang
Soko sak jeroning rogo
Jalmu jalku jalle ajale
Kewan ruwasan
(M/ MMS/ Buc/ 09-10)
Wahai hewan tenanglah
Menghadaplah ke tempat makanan ini
Kamu (hewan) gemuklah seperti dadang kawuk
Kamu (hewan) diberi makan seperti sapi
Jangan lupa menenangkan sapi.
Asap mengepul membakar kemenyan.
Dari dalam jiwa ajalmu ajalku ajalnya
hewan peliharaan.
50
(M/ MMS/ Buc/ 09-10)
Pada data (M/ MMS/ Buc/ 09-10) merupakan mantra yang bermuatan Bucolic
‘penggembala’. Mantra tersebut memiliki maksud agar hewan yang dipeihara
senantiasa gemuk seperti dadang kawuk yang merupakan danyang dari semua hewan,
serta dijauhkan dari penyekit-penyakit yang akan menyerang hewan peliharaan dengan
cara membakar kemenyan, sehingga hasil yang didapatkan memelihara hewan ternak
tersebut akan memberikan hasil yang memuaskan yaitu hewan ternak mereka akan
sehat dan gemuk.
Secara implisit larik mantra di atas menggambarkan masyarakat Kediri
merupakan sosok penggembala hewan, seperti sapi, kambing, dan ayam. Hewan
tersebut merupakan hewan peliharaan mereka yang dijadikan sebagai komiditi
masyarakat. Pada kondisi tertentu peternak hewan memanfaatkan hewan peliharaannya
untuk keberlangsungan hidup mereka dengan cara diperjualbelikan selain untuk
dikonsumsi sendiri. Jika ditarik benang merah, kedua mantra tersebut menandakan
adanya sosok penggembala pada masyarakat Kediri karena masyarakat Kediri
khususnya di Dusun Menang masih mempertahankan mata pencaharian mereka
sebagai peternak dengan memelihara hewan seperti sapi, kambing, ayam, dan lain
sebagainya sebagai komoditi masyarakat sekitar.
Hewan-hewan ternak seperti sapi juga dimanfaatkan petani untuk membajak
sawah tempat mereka bercocok tanam. Masyarakat Kediri mengenal sistem bercocok
51
tanam sudah sejak masa pemerintahan Raja Sri Aji JayaBaya. Sehingga untuk
memenuhi kebutuhan pangan mereka, masyarakat Kediri pada masa itu menanam
sendiri semua kebutuhan pangan yang akan mereka makan. Seperti kunyit dan temu
lawak yang merupakan makanan sehari-hari Sang baginda raja Sri Aji Jayabaya.
Kemudian seiring berjalannya waktu masyarakat Kediri tidak hanya menanam kunyit
dan temu lawak saja, tetapi padi juga mereka tanam untuk makanan pokok mereka.
Dalam sistem bercocok tanam padi, masyarakat Kediri akan merapalkan mantra wiwid
pari sebagai bentuk ritual sebelum diadakannya memanen padi. Adapun kutipan mantra
yang mengandung unsur Bucolic adalah sebagai berikut.
Niat ingsun metik pari
Ibu bumi bapak Nabi Adam ibu Kowo
Aku arep metik pari kanggo sangu urip rina lan wengi
(M/ WP/ Buc/ 15)
Saya berniat untuk memanen padi
Ibu bumi Nabi Adam dan ibu Kowo
saya mau memanen padi untuk bekal hidup siang dan malam
(M/ WP/ Buc/ 15)
Pada data (M/ WP/ Buc/ 15) adalah mantra yang bermuatan Bucolic, mantra
tersebut bermakna bahwasannya setiap pelaksanaan sebelum panen, masyarakat Kediri
mengenal istilah wiwit pari sebagai bentuk wujud syukur kepada Tuhan karena bisa
menuai benih yang mereka tanam, dengan harapan hasil panen akan melimpah dan
berkah. Pelaksanaan wiwit pari ini dilakukan ketika padi sudah menguning dan siap
untuk di panen. Dalam pelaksanaannya, sesajen juga diberikan kepada Mbok Sri yang
dianggap sebagai dewi Padi, adapun isi sesajen tersebut di antaranya adalah telur,
52
bawang putih, bawah merah, cabai, garam, dan penyedap rasa (micin).
Sebagaimana masyarakat petani di Jawa lainnya, masyarakat desa Menang
juga masih mempercayai keyakinan adanya kekuatan diluar dari diri manusia, yaitu
kekuatan dari sing Baurekso atau dhanyang. Hingga keyakinan itu menjadi tradisi yang
dilakukan oleh masyarakt desa Menang. Sejalan dengan pendapat Mursal (1999:21)
tradisi adalah kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun sekelompok masyarakat
berdasarkan pada setiap nilai kebudayaan. Kekuatan-kekuatan gaib yang adikodrati itu
tadi diyakini turut menentukan nasib manusia dalam setiap kehidupan. Seperti tradisi
wiwit pari yang dilakukan oleh masyarakat desa Menang secara turun-temurun sampai
sekarang. Sebagai salah satu ritus slametan masyarakat Jawa, wiwitan pada awalnya
dilaksanakan para petani guna memberikan persembahan untuk dewi padi atau biasa
dikenal dengan dewi Sri agar hasil panen mereka memuaskan. Selain itu, ritual
ditujukan untuk memohon agar tanaman padi para petani tidak diserang oleh hama,
hewan, atau tumbuhan yang akan menyerang padi di sawah. Dengan begitu masyarakat
akan merasa aman dari mara bahaya baik itu yang terlihat ataupun tidak terlihat.
Ritual merapalkan mantra wiwid pari bertujuan agar padi yang mereka tanam
akan tumbuh dengan subur. Dalam perapalan mantra disebutkan danyang penguasa
tanaman yaitu ibu bumi, bapak Nabi Adam, dan ibu Kowo. Disebutkan nama-nama
danyang tersebut agar padi yang mereka tanam senantiasa dijauhkan dari hama-hama
yang menyerang tanaman mereka karena danyang tersebut merupakan penunggu
tanaman di sawah. Selain ibu bumi, bapak Nabi Adam, dan ibu Kowo, danyang lain
53
penunggu padi adalah Mbok Sri atau Dewi Padi. Secara implisit wujud dari perapalan
mantra wiwid pari merupakan bentuk aktivitas masyarakat Kediri khususnya Menang
yang bermata pencaharian sebagai petani. Padi adalah hasil komoditi masyarakat
Dusun Menang sebagai makanan mereka sehari-hari, selain itu padi juga akan
diperjual-belikan untuk keberlangsungan hidup mereka yang menghasilkan uang.
Gambaran lain yang ditemukan pada kutipan legenda Gunung Kelud dan
penghianatan cinta Dewi Kilisuci juga menandakan adanya unsur Bucolic pada cerita
rakyat tersebut. Adapun kutipan yang terdapat pada legenda Gunung Kelud dan
penghianatan cinta dewi Kilisuci adalah sebagai berikut.
“Namun yang melamar bukan dari bangsa manusia,
karena yang satu berkepala lembu bernama Raja
Lembu Suro dan satunya lagi berkepala kerbau
bernama Mahesa Suro (L/ GK/ Buc/ 45)”.
Kutipan di atas menggambarkan bahwa Lembu Suro dan Mahesa Suro
merupakan sosok manusia yang berwujud lembu dan kerbau. Zaman dahulu para
kesatria yang memiliki kekuatan sakti mandraguna menggambarkan diri mereka
sebagai binatang. Menurut kepercayaan orang-orang terdahulu, sosok binatang yang
digambarkan pada dirinya menggambarkan bahwa ia merupakan orang yang sakti dan
kuat fisiknya seperti hewan. Sosok Lembu Suro dan Mahesa Suro ini diibaratkan
sebagai orang yang berkepala lembu dan kerbau, adanya unsur bucolic yang termuat
dalam karakter Lembu Suro dan Mahesa Suro merupakan penggambaran hewan sapi
dan lembu, orang pada zaman dahulu telah mengenal hewan lembu dan kerbau,
54
dimana lembu dan kerbau ini adalah hewan yang bertugas membantu petani untuk
membajak sawah mereka. Penggambaran tani terbukti pada kutipan legenda Kediri,
adapun kutipannya adalah sebagai berikut.
“Karena itu pula di sebelah tenggaranya kota
Mamenang ada desa bernama si Kunir dan si
Lawak, sebab desa itu menghasilkan hasil bumi
kunyit dan temulawak, yang menjadi santapan sang
Prabu (L/ K/ Buc/ 63)”.
Kutipan legenda di atas adalah wujud dari unsur bucolic. Masyarakat
terdahulu telah mengenal sistem bercocok tanam sebagai komiditinya. Terbukti bahwa
prabu Sri Aji Jayabaya hanya memakan hasil bumi yang telah ditanam oleh rakyatnya
sebagai makanannya sehari-hari. Selain penggambaran pada hewan ternak, produk
sastra dikatakan sebagai bucolic jika terdapat aktifitas di pedesaan yang
menggambarkan cara kerja mereka sebagai peternak, petani, atau pencari kayu. Selain
itu, gambaran lain yang menggambarkan unsur bucoli juga terapat pada legenda
Kediri. Adapun kutipan legendanya adalah sebagai berikut.
“Singkatnya, setelah kami selesai menebangi
pohon-pohon yang besar-besar dan tinggi-tinggi,
kemudian kami membersihkannya (L/ K/ Buc/
55)”.
Kyia Daha dan Kyia Daka mengembara disuatu wilayah hutan yang lebat,
kemudian melakukan babat alas di wilayah Kediri sebagai tempat tinggal mereka.
Babat alas ini dilakukan dengan menebangi pohon yang besar-besar dan tinggi-tinggi.
55
Hasil kayu yang telah mereka tebangi digunakan untuk membuat sebuah gubuk
sebagai tempat berteduh. Proses penebangan kayu di hutan inilah yang
menggambarkan adanya unsur bucolic dalam sebuah legenda Kediri karena Kyia Daha
dan Kyia Daka juga memanfaatkan hasil hutan berupa kayu untuk membuat sebuah
gubuk sebagai tempat berteduh mereka. Selain kutipan di atas terdapat beberapa
kutipan lagi yang menggambarkan adanya sosok bucolic ‘penggembala’ dalam
legenda Kediri. Adapun isi dari kutipan legenda Kediri aalah sebagai berikut.
“Hasil hutan, hasil pertanian pokoknya semua hasil
bumi yang menjadi makanan penduduk hendaknya kau
jaga baik-baik jangan sampai terkena lahar (L/ K/ Buc/
69)”.
“Gunanya apabila ada orang asing yang mengungsi atau
datang ke tempat itu dan membutuhkan pertolongan,
hasil hutan atau bumi yang dapat dimakan dapat
disumbangkan kepada mereka yang membutuhkan (L/
K/ Buc/ 70).
Berdasarkan data (L/ K/ Buc/ 69) dan (L/ K/ Buc/ 70) diketahui bahwa tokoh
dalam legenda Kediri yang bernama Tunggulwulung adalah penunggu disebelah
Timur sungai Brantas. Tunggulwulung ini bertugas untuk mengawasi aliran lahar
gunung Kelud agar tetap pada aliran yang sama sehingga tiak merusak pemukiman
warga dan lahan untuk bercocok tanam masyarakat Kediri. Dalam data tersebut
dijelaskan masyarakat Kediri sudah menenal sistem bercocok tanam sejak masa
pemerintahan Sri Aji Jayabaya hingga sekarang. Masyarakat sekitar mempercayai
adanya sosok penunggu atau danyang Tunggulwulung yang mengawasi wilayah
56
mereka dari bahaya lahar gunung Kelud. Data (L/ K/ Buc/ 70) juga menggambarkan
sistem bercocok tanam masyarakat Kediri, terbukti dengan adanya kutipan yang
menjelaskan bahwa orang asing yang datang ke tempat tersebut dan membutuhkan
pertolongan bisa memanfaatkan hasil hutan dan bumi untuk dimakan dan segala
keperluannya.
4.1.2 Konstruksi Arcadia
Konstruksi arcadia merujuk pada gaya hidup, suasana, lokasi, permukiman
atau lanskap hidup yang diidealkan. Dalam hal ini unsur-unsur arkadia terbagi menjadi
tiga macam, yaitu: 1) unsur Idylls, penggambaran kehidupan yang diidealkan dan
bertolak belakang dengan kehidupan masyarakat urban atau kota, 2) unsur notalgia,
kejadian masa lalu yang melatarbelakangi kehiupan yang ideal, dan 3) unsur georgic
menggambarkan kenyamanan bekerja orang desa yang selaras dengan alam
(Sukmawan, 2016:34). ketiga unsur tersebut didiskripsikan pada beberapa produk
sastra lisan di Kediri sebagai berikut.
4.1.2.1 Unsur Idylls
Idylls merupakan perwujudan dari gagasan, pemikiran, dan perilaku yang
diidealkan. Selain dianggap sebagai bentuk dari puitika nostalgia, perilaku ramah
terhadap lingkungan dapat dikatakan sebagai perilaku yang Idylls (Sukmawan,
2016:34). Dalam sastra lisan yang ada di Kediri termuat beberapa bentuk perilaku ideal
yang merujuk pada konsep kosmologi Tri Hita Karana, yaitu hubungan harmonis
57
dalam menghargai sesama aspek disekitarnya. Hubungan harmonis itu meliputi, 1)
hubungan harmonis masyarakat Kediri dengan Tuhan, 2) hubungan harmonis
masyarakat Kediri dengan sesama manusia, 3) hubungan harmonis masyarakat Kediri
dengan alam sekitarnya (makhluk psikis). Dengan menerapkan falsafah tersebut
diharapkan masyarakat dapat merubah pandangan hidup moderen yang lebih
mementingkan individualisme dan materialisme dengan cara masih menerapkan
ragam budaya yang dilestarikan. Contohnya prosesi upacara sakral pada tanggal satu
suro di Sendang Tirto Kamandanu. Dalam prosesi upacara tersebut konsep kosmologi
Tri Hita Karana dapat dijumpai pada beberapa ritual di dalamnya. Ketiga konsep
tersebut tercermin dalam perapalan mantra dan ujub yang ada di dusun Menang,
Kediri.
a) Hubungan Harmonis Mayarakat Kediri dengan Tuhan
Mayoritas masyarakat desa Menang memeluk agama islam, realitas ini
berimplikasi bahwa islam memberikan banyak pengaruh terhadap setiap kehidupan
masyarakat di sana. Dikutip dari wawancara dengan narasumber bahwa masyarakat
Menang masih mempercayai adanya ritual dan sesajen. Dalam ritual dibutuhkan
mantra untuk meminta keselamatan kepada Tuhan. Perapalan mantra pada bagian
pembuka dan penutup diawali dengan kalimat bismillahirohmanirokhim dan
assalamualaikum, seperti yang dilakukan umat muslim pada umumnya sebelum
melakukan aktifitas apapun. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat di Kediri selalu
mengikut sertakan Tuhan yang mewakili dalam kebudayaan islam pada setiap prosesi
58
ritualnya. Gambaran lain yang menunjukkan bahwa masyarakat Kediri selalu
mengikut sertakan Tuhan dalam setiap kehidupannya termuat dalam ritual sedekah
desa. Sedekah desa merupakan prosesi yang dilakukan dalam meminta keselamatan
kepada Tuhan (Allah SWT). Berikut ini adalah larik mantra sedekah desa di Kediri.
Bismillahhirohmanirokhim
Salammualaikumsalam
Niat ingsun jabang bayi
Sedulurku papat limo pancer
Kang kawah diari-ari
Aku njalok slamet kang Gusti maha suci
(M/ SB/ Idy/ 05-07)
Bismillahhirohmanirokhim
Salammualaikumsalam
Saya berniat pada jabang bayi
saudara saya empat dan lima pusat
Saya meminta keslamatan dari Allah yang Maha suci
(M/ SB/ Idy/ 05-07)
Konsep Tuhan (Allah SWT) dalam makrokosmos merupakan pusat alam
semesta. Hal ini selaras dengan penggalan mantra slametan desa yang ada di Kediri.
Dijelaskan bahwa dalam larik mantra di atas menggunakan kalimat pembuka
bismillahirrohmanirokhim dan assalamualaikum yang sering dilakukan oleh umat
muslim sebelum melaukan aktivitas apapun. Hubungan harmonis masyarakat Kediri
dengan Tuhan tercermin dalam penggalan mantra di atas. Disebutkan manusia hanya
meminta keselamatan dari Tuhan (Allah SWT), selain itu manusia juga harus sujud
bakti kepada Tuhan Sang pencipta alam semesta beserta isinya. Rasa bakti (taat dan
patuh) kepada Tuhan timbul dalam hati manusia karena Tuhan Maha ada, Maha
59
Kuasa, dan Maha Kasih yang melimpahkan kasih kepada umatNya. Sebagai manusia
yang beragama hendaknya memanjatkan puji syukur atas limpahan rahmat dan
hidayahNya.
Bentuk wujud syukur masyarakat Kediri dengan Tuhan adalah diadakannya
slametan desa. Dalam slametan terungkap nilai-nilai yang dirasakan paling mendalam
oleh orang Jawa, yaitu nilai kebersamaan, nilai ketetanggan, dan nilai kerukuran
(Suseno dalam Sukmawan, 2016:35). Pencapaian nilai-nilai tersebut menjadi
gambaran sebuah kehidupan yang diidealkan bagi masyarakat desa yang sangat
kontras dengan kehidupan masyarakat urban atau kota. Gambaran lain yang
mencerminkan hubungan harmonis antara manusia dan Tuhan tersirat pada legenda
Kediri. Berikut adalah kutipan dari legenda Kediri yang mencerminkan gambaran
kedekatan manusia dengan Tuhan.
“Ketika itu saya didatangi Syanghyang Wisnu yang
bersabda kepada saya bahwa beliau menghendaki untuk
mengejawantahkan atau turun dari kahyangan, menjadi
manusia dan akan menjadi raja di permukiman yang
kami buat. Saya tunduk dan berserah diri atas kehendak
Dewa Wisnu (L/ K/ Idy/ 56)”.
Data (L/ K/ Idy/ 56) menunjukkan adanya sikap sujud dan bakti manusia
kepada Syang Hyang Wisnu. Masyarakat Kediri pada zaman dahulu masih menganut
kepercayaan Hindu dalam kehidupannya. Hal ini memberikan banyak pengaruh
terhadapa pola pikir, sikap, dan perilaku masyarakat Kediri penggambaran masyarakat
Kediri yang memeluk agama hindu pada waktu pemerintahan Sri Aji Jayabaya dapat
60
dilihat pada data (L/ K/ Idy/ 56). Pada data tersebut dijelaskan sikap patuh dan tunduk
oleh tokoh Kyai Daka terhadap Syang Hyang Wisnu yang berperan sebagai dewa.
Dalam agama Hindu, dewa adalah Tuhan yang disembah dan dipuja oleh umat. Bentuk
penghormatan manusia kepada dewa adalah dengan cara beribadah dan memanjatkan
doa agar terhindar dari marabahaya.
Keyakinan manusia yang mengarah kepada praktik mempersonifikasikan
alam sebagai Tuhan, mempersonfikasikan roh-roh leluhur sebagai Tuhan, maupun
meyakini benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan magis tidak bisa untuk
dihindari lagi. Manusia bisa menyembah apa saja yang mereka miliki, misalnya saja
benda-benda tak hidup, tumbuhan, berhala, Tuhan yang ghaib, seorang manusia yang
kudus, dan lain sebagainya, namun alam batinnya tetap mampu membedakan
keyakinan religius dari yang bukan religius, karena pada dasranya dorongan manusia
untuk menyembah Tuhan merupakan suatu keniscayaan yang pasti (Roibin, 2009:69).
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak keberagaman, baik dari segi
bahasa, budaya, bahkan agama. Dialektika agama dan budaya pada masyarakat muslim
banyak melahirkan penilaian subjektif-pejoratif. Sebagian berusaha mensterilkan
agama dari kemungkinan akulturasi budaya setempat, sementara yang lain berusaha
membangun pola dialektika antar keduanya. Keadaan yang seperti inilah berjalan
secara periodik dari masa ke masa. Terlepas bagaimana keyakinan dari masing-masing
tiap individu pada agamanya, yang jelas potret keberagaman yang terjadi semakin
menunjukkan suburnya pola akulturasi , bahkan sinkretisasi lintas agama. Berikut ini
61
adalah gambaran hubungan harmonis masyarakat Kediri dengan Tuhan pada masa itu
yang tercermin pada larik legenda Kediri.
“Mereka melakukan ibadahnya dengan baik sungguh-
sungguh, mempelajari segala macam ilmu, seperti ilmu
duniawi dan ilmu batin. Pengetahuan itu mereka kuasai dan
mereka amalkan dengan sungguh-sungguh, sehingga mereka
sangat taat dalam hal ambatar atau melakukan ibadahnya.
Semua diyu, danawa sangat ketakutan (L/ K/ Idy/ 59)”.
Pada data (L/ K/ Idy/ 59) di atas menjelaskan bahwa umat Hindu dalam cerita
Kediri bergantung kepada Tuhan yang menjadi tempat berlindung dan meminta segala
keinginannya dengan cara melakukan ibadah dengan baik dan sungguh-sungguh
kepada Syang Hyang Wisnu. Hal ini menjelaskan bahwa pada masa pemerintahan raja
Sri Aji Jayabaya masyarakat Kediri memiliki hubungan kedekatan dan keharmonisan
dengan Tuhan. Data (L/ K/ Idy/ 59) juga menyebutkan diyu dan danawa tidak akan
mengganggu ketentraman hidup masyarakat Kediri karena mereka taat dalam
beribadah. Diyu dan danawa dalam agama hindu adalah raksasa besar atau makhluk
pengganggu seperti setan atau iblis dalam islam. Perilaku taat melaksanakan ibadah
mencerminkan kehidupan yang diidealkan oleh masyarakat desa karena diyakini
memiliki kedekatan batin anatara manusia dengan Sang Pencipta-Nya.
b) Hubungan Harmonis Masyarakat Kediri dengan Sesama Manusia
Hubungan harmonis masyarakat Kediri dengan sesama manusia tercermin
dalam ujub slametan sendang dan cerita rakyat yang berkembang di sana. Dalam
konstruksi masyarakat Kediri, selain pola hubungan manusia dengan Tuhan,
62
masyarakat Kediri juga percaya bahwa menjalin hubungan yang harmonis dengan
sesama manusia dan alam meta-empiris (alam gaib) juga sebuah keharusan yang harus
dilakukan. Tujuannya adalah penghormatan terhadap leluhur yang menempati posisi
vital dalam masyarakat Jawa (Sukmawan, 2016:37). Salah satu bentuk perilaku
masyarakat Kediri terhadap sesamanya tereprensentasi dalam ujub slametan sendang
di bawah ini.
Bismillahirrohmanirrokhim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu
Para sedoyo kulo mok dlimo
Ngajakipun hajatan warga masyarakat
Nggih meniko dinten dino seloso kliwon
Hajatipun dungo pindungo kaslametan desa Menang
Nggih meniko ngerohi cikal-bakal dusun Menang
(U/ SD/ Idy/ 27)
Bismillahirrohmanirrokhim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu
Para hadirin semuanya, saya mengajak hajatan
warga masyarakat
yang diadakan pada hari Selasa Kliwon. Hajatan akan
dilakukan dengan meminta keselamatan Desa Menang
Yang mengetahui sesajen Dusun Menang
(U/ SD/ Idy/ 27)
Larik di atas merujuk pada semua elemen yang mengikuti slametan di Sendang
Tirto Kamandanu. Terlihat saat pemimpin slametan yang merapalkan ujub di atas
mengajak semua masyarakat untuk ikut serta dalam acara slametan Sendang. Kondisi
tersebut relevan dengan konsep bahwa selametan sendang merupakan media untuk
merekatkan hubungan keharmonisan yang menciptakan kerukunan, keselarasan, dan
63
kekuatan gotong royong dalam masyarakat yang hidup di desa. Komunikasi manusia
dengan sesamanya, manusia dengan makhluk dalam dimensi lain merupakan suatu
perwujudan sikap yang diidealkan.
Dalam bukunya Suseno (1993:5) menyatakan bahwa slametan merupakan
ritus religius orang Jawa. Slametan banyak memiiki makna sosial bagi masyarakat
Jawa yang sangat diyakini dan memegang peranan penting dalam menciptakan kondisi
untuk mempertebal rasa aman, serta memberi pegangan dalam menentukan sikap dan
tingkah laku bagi masyarakat yang bersangkutan. Salah satu tradisi slametan yang rutin
diadakan oleh masyarakat Menang adalah slametan satu suro di Sendang Tirto
Kamandanu. Slametan ini dilakukan untuk mengenang leluhur mereka yaitu Sri Aji
Jayabaya sebagai rasa hormat dan patuh terhadap leluhur mereka. Dalam pelaksanaan
ritual slametan akan dirapalkan ujub untuk melakanakan kegitan tersebut. Larik pada
ujub dalam setiap peritiwa slametan di desa Menang merupakan salah satu realitas
pengguna bahasa yang dapat menjadi objek kajian sastra lisan Jawa.
Dalam hal ini dapat dilihat bahwa masyarakat Kediri tidak melepaskan tradisi
kejawen dan budaya dari nenek moyangnya begitu saja, melainkan mereka masih
menjalan tradisi tersebut hingga saat ini. Menurut Mulder (dalam Roibin, 2009:145)
menjelaskan bahwa kepercayaan masyarakat Jawa sebelum masuknya agama-agama
besar telah memiliki pandangan hidup sendiri yang disebut dengan kejawen atau
jawanisme. Mentalis kejawen lebih condong kepada sinkretisme dan sanggup
menampung berbagai argumentasi agama formal. Konsep Tuhan selalu ada dalam
64
semua harmoni, yaitu harmoni manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya,
dan manusia dengan alam.
c) Hubungan Harmonis Mayarakat Kediri dengan Alam Sekitarnya (Alam
Meta-Empiris)
Hubungan harmonis antara manusia dengan alam sekitarnya tercermin dalam
perilaku manusia yang merawat dan menjaga linkungan sehingga terwujud
keharmonisan alam dan tetap terjaga keseimbangan ekosistemnya. Untuk mewujudkan
keharmonisan dengan lingkungan, bentuk-bentuk nyata yang dapat menjadi panduan
dan dilaksanakan adalah melalui bersih desa atau selametan desa. Dalam pelaksanaan
bersih desa/selametan desa ini masyarakat Kediri akan membersihkan tempat yang
akan dijadikan ritual upacara selametan desa. Selain itu situs bersejarah peninggalan
kerajaan Kediri juga dirawat tanpa merusak peninggalan bersejarah kerajaan Kediri.
Sikap merawat lingkungan tersebut mencerminkan masyarakat Kediri telah peduli
terhadap lingkungan sekitar dan menghormati para leluhur mereka. Prosesi bersih
desa/selametan desa selalu dilakukan ritual yang dipersembahkan untuk danyang
penunggu disuatu tempat. Danyang secara kuat hadir di dalam kehidupan masyarakat
Kediri. Masyarakat sekitar mempercai bahwa danyang atau makhluk gaib yang ikut
serta dalam merawat alam dan makhluk hidup yang ada di wilayah tersebut. Dalam
perapalan mantra misalnya, penyebutan kata danyang atau baureksa merupakan hal
yang lazim dalam perapalan mantra. Berikut ini larik dari mantra selametan desa atau
sedekah bumi.
65
Sirepe cahyoning rembulan
Ngerohi sumber, wit, lan watu
Nggih meniko ngerohi danyang kaki danyang sing mbaurekso
(M/ SDms/ Idy/ 23)
Kekuatan dari cahaya bulan
Yang mengetahui sumber mata air, pohon, dan batu
Yang mengetahui danyang kakek danyang yang baureksa
(M/ SDms/ Idy/ 23)
Pada larik mantra di atas dijumpai pelafalan kata yang menyebutkan danyang
dan baureksa. Danyang dan baureksa tersebut ditujukan kepada makhluk gaib
penunggu tempat-tempat sakral, misalnya sendang. Pada larik mantra dijelaskan
kekuatan yang berasal dari cahaya rembulan yang menuju tempat-tempat penghunian
para makhluk psikis yaitu sumber mata air, pohon, dan batu. Masyarakat Kediri
meyakini bahwa ketiga tempat tersebut adalah tempat bersemayamnya makhluk gaib
penunggu tempat atau wilayah yang disakralkan. Munculnya makhluk-makhluk psikis
dalam masyarakat Kediri merupakan penjabaran dari makrokosmos. Dikutip dari
bukunya Haq (2011:6), mendiskripsikan bahwa makrokosmos adalah sikap dan
pandangan hidup terhadap alam semesta yang mengandung kekuatan supranatural dan
penuh dengan hal-hal yang bersifat mistis. Gambaran lain kedekatan masyarakat Kediri
dengan lingkungan sekitarnya tercermin pada cerita rakyat yang berupa legenda Kediri.
Adapun kutipan yang menggambarkan kedekatan manusia dengan alam sekitarnya
(alam meta-empiris) adalah sebagai berikut.
“Waktu itu ada seorang abdi raja Prabu Jayabaya
bernama Ki Krama Taruna yang ikut muksa menjadi
siluman, lalu diperintahkan bertempat tinggal di
66
Sendang (mata air) Desa Kalasan. Tempat tersebut
terletak di barat daya kota Mamenang, di sebelah barat
gunung Kelud dan menjadi dhanyang atau datu di situ.
Sampai sekarang para petani yang mempunyai sawah di
situ, apabila sawahnya kekurangan air lalu mengadakan
upacara dengan jalan menyediakan sesaji, air sendhang
atau mata air di situ diaduk (L/ K/ Nos/ 57)”.
Pada data (L/ K/ Nos/ 57) ditemui larik yang menyebutkan kata dhanyang.
Dhanyang tersebut merujuk pada penunggu sendang di wilayah desa Kalasan, barat
daya kota Mamenang. Masyarakat setempat meyakini bahwa Ki Krama Taruna adalah
penunggu Sendang (mata air) diwilayah tersebut yang memiliki peran andil terhadap
kemakmuran masyarakat desa Kalasan di Kediri perihal wilayah ladang atau
persawahan. Dalam dimensi hubungan masyarakat Kediri terhadap makhluk metafisik
tersebut hakikatnya merupakan tumbuhnya sikap menyadari bahwa mereka selalu
hidup berdampingan.
Fenomena di atas dapat diamati secara nyata dalam tradisi keberagaman
masyarakat muslim, misalnya pada pola relasi peziarah muslim kejawen dengan budaya
berziarah ke makam yang ada di wisata ritual tertentu. Dari proses tersebut secara
umum dapat diketahui karakteristik peziarah muslim kejawen memiliki banyak
keunikan dan daya tarik tersendiri. Unik dalam artian memiliki kompleksitas ekspresi
keberagaman yang bernuansa mistis, baik dari segi cara kepemahaman agama maupun
perilaku keberagamnnya. Misalnya dengan mendatangi lokasi tertentu yang dianggap
sakral, keramat, maupun suci, dan meyakini tempat tersebut dapat memberikan berkah
kepada siapa saja yang berniat mencari keutamaan dari tempat tersebut. Seperti yang
67
dilakukan masyarakat muslim di desa Menang Kabupaten Kediri pada sebuah sumber
mata air atau yang biasa mereka sebut Sendang Tirto Kamandanu, mereka
mempercayai dan mengkeramatkan Sendang (sumber mata air) yang diyakini
merupakan tempat patirtan (mata air yang dianggap suci) yang digunakan Prabu
Jayabaya bertahta, selian itu masyarakat sekitar percaya bahwasanya air dari Sendang
tersebut dapat memberikan berkah bagi siapa saja yang meminumnya.
Dalam kepercayaan masyarakat setempat bahwa kondisi baik misalnya
sumber air lancar akan berdampak pada kesuburan tanaman mereka disawah yang
keikutsertaan Sang dhanyang dalam menjaga ekosistem di sana. Sama halnya dengan
datangnya kondisi yang buruk misalnya sumber air dan ladang mengering yang
berdampak pada kesusahan masyarakat merupakan bencana yang menimpa seseorang
karena telah menyimpang dari pranata atau tidak mematuhi norma yang ada. Kondisi
tersebut menjadikan masyarakat menyadari bahwa Sang baureksa atau dhanyang telah
memberikan pelajaran atas pranata yang tidak dipatuhi oleh masyarakat setempat,
sehingga masyarakat Kediri meyakini jika mengadakan upacara atau ritual sesaji dan
air sendang atau mata air di situ diaduk, tak lama kemudian air yang keluar dari mata
air atau sendang tersebut kian banyak hingga permukaannya tampak naik sehingga
airnya mengalir ke sawah atau ladang.
Dikutip dari Suseno (dalam Sukamawan, 2016:36) menjelaskan bahwa
fenomena-fenomena yang terjadi di atas relevan dengan kepekaan terhadap alam meta-
empiris yang menemukan jawabannya dalam berbagai cara, misalnya upacara atau
ritual sesaji yang dilakukan oleh masyarakat. Dalam kondisi tersebut menggambarkan
68
adanya hubungan manusia dengan alam sekitar (alam meta-empiris) yang terjadi di
Kediri.
4.1.2.2 Unsur Nostalgia
Nostalgia merupakan elemen dasar dari unsur Arcadia. Pastoral dibangun oleh
arcadia yang selalu melihat ke belakang serta merepresentasikan idealisasi kehidupan
desa dan masa lalu, hal ini harus mengimplikaikan masa depan yang lebih baik yang
terdapat dalam bahasa masa kini (Gifford dalam Sukmawan 2016:37). Penanda unsur
nostalgia terbagi menjadi dua aspek, yaitu aspek bahasa yang ditandai dengan
keterangan waktu lampau dan aspek isi yang berupa kerinduan terhadap sesuatu yang
jauh dan hilang. Bentuk dari unsur masa lalu ditandai dengan penggunaan bahasa
dengan keterangan waktu lampau, mialnya ‘zaman dahulu’, ‘konon cerita’, dan
‘dahulu kala’, serta adanya kerinduan terhadap sesuatu yang telah hilang atau jauh.
Meninjau dari data yang ada, ciri tersebut muncul pada legenda dan mitos yang ada di
Kediri, di antaranya pada legenda Gunung Kelud dan Penghianatan Cinta Dewi
Kilisuci di bawah ini.
“Dikisahkan Dewi Kilisuci anak putri Jenggolo Manik
yang terkenal akan kecantikannya dilamar dua orang
raja. Namun yang melamar bukan dari bangsa manusia,
karena yang satu berkepala lembu bernama Raja Lembu
Suro dan satunya lagi berkepala kerbau bernama
Mahesa Suro (L/ GK/ Nos/ 44)”.
Berdasarkan data (L/ GK/ Nos/ 44) pada kutipan di atas, tampak penanda
bahwa adanya kejadian masa lalu pada awal kalimat yang melatarbeakangi cerita.
69
Tokoh pada cerita di atas diyakini oleh masyarakat Kediri bahwa terjadinya persoalan
seperti gunung Kelud meletus adalah sumpah dari tokoh Lembu Suro dan Mahesa Suro
yang sakit hati karena telah dihianati oleh Dewi KiliSuci. Lembu Suro dan Mahesa Suro
terpedaya oleh rayuan Dewi KiliSuci untuk masuk ke dalam sumur buatan mereka
sendiri, setelah mereka sudah masuk ke dalam sumur yang sangat dalam, Dewi Kili
Suci memerintahkan prajurit Jenggala untuk menimbun keduanya dengan batu.
Akhirnya Lembu Suro dan Mahesa Suro mati karena tertimbun tumpukan batu di dalam
sumur. Tetapi sebelum mereka tewas Lembu Suro sempat melontarkan sumpah dengan
mengatakan “Ya, orang Kediri besok akan mendapatkan balasanku yang sangat besar.
Kediri bakal jadi sungai, Blitar akan jadi daratan, dan Tulungagung akan menjadi
danau”.
Berdasarkan legenda di atas, masyarakat Kediri selalu mengadakan upacara
sesaji sebagai tolak balak atas sumah Lembu Suro yang disebut Larung Sesaji. Upacara
tersebut masih dilakukan masyarakat lereng gunung Kelud sampai sekarang pada
tanggal satu suro. Selain dimaksudkan sebagai tolak balak sumpah Lembu Suro yang
ditipu oleh Dewi Kili Suci, masyarakat Kediri juga melakukan upacara larung sesaji
sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan dan juga bentuk rasa hormat pada penunggu
gunung Kelud. Upacara larung sesaji yang diadakan oleh masyarakat lereng gunung
Kelud pada setiap tahunnya merupakan bentuk representasi simbolik pelunasan
kerinduan terhadap sosok leluhur mereka, dan perwujudan harmonisasi antara manusia
dengan alam sekitar.
70
Kepercayaan terhadap cerita pada masa lampau menjadikan adanya laku ideal
dalam masyarakat yang menggambarkan wujud pelestarian budaya nenek moyang pada
masyarakat lereng gunung Kelud. Kepercayaan pada cerita masa lampau tersebut,
merupakan bentuk rasa hormat dan patuh kepada Syang Hyang Widhi yang berimbas
kepada sikap masyarakat yang mengedepankan kepentingan alam untuk mewujudkan
kearifan ekologis. Unsur nostalgia juga ditemukan dalam mitos Sendang Tirto
Kamandanu, adapun kutipannya adalah sebagai berikut.
“Pada zaman dahulu terdapat sebuah sumber mata air yang
bernama sumber buntung. Sumber artinya tempat air dan
buntung artinya tidak memiliki ekor. Jadi sumber buntung
diartikan sebagai sumber mata air yang tidak memiliki
aliran untuk ke sungai (Mi/ STT/ Nos/ 35).”
“Konon, tempat ini merupakan patirtaan (mata air yang
dianggap suci) yang digunakan ketika Prabu Jayabaya
bertahta (Mi/ STT/ Nos/ 37).”
Pada data (Mi/ STT/ Nos/ 17) dan (Mi/ STT/ Nos/ 19) kalimat pertama yang
menjadi penanda kejadian masa lampau terlihat pada penggunaan frasa ‘pada zaman
dahulu’ dan ‘konon’. Data pertama menjelaskan tentang adanya sebuah sumber mata
air di Kediri pada waktu itu. Orang pada zaman dahulu menyebutnya dengan Sendang
(sumber mata air). Sendang ini mempunyai nama yaitu sumber buntung, yang diartikan
sebagai sumber mata air yang tidak memiliki aliran ke sungai. Namun seiring dengan
berjalannya waktu, Sendang tersebut dipugar dan diganti nama oleh keluarga besar
Hondodento Yogyakarta menjadi Sendang Tirto Kamandanu. Tirto Kamandanu
memiliki makna tersendiri yaitu sumber mata air yang memberikan kehidupan.
71
Sedangkan dalam pengaplikasiannya sumber mata air ini memberikan kegunan yang
beraneka ragam bagi makhluk hidup. Contohnya saja air Sendang tersebut dapat
diminum oleh masyarakat yang beristirahat ditempat itu.
Pada data kedua menjelaskan tentang bentuk kerinduan tentang sesuatu yang
telah hilang oleh masyarakat Kediri pada leluhur mereka yaitu Sang Prabu Raja Sri Aji
Jayabaya. Masyarakat Kediri meyakini bahwa zaman dahulu, Sendang tersebut dibuat
untuk melukad atau tempat mandi dan bersuci oleh Prabu Sri Aji Jayabaya. Pada satu
sisi, kesan kerinduan terbentuk saat ingatan mereka merindukan sosok leluhurnya yaitu
Sang Prabu Sri Aji Jayabaya untuk hadir di masa sekarang. Sedangkan disisi lain sosok
tersebut telah jauh dan hilang. Selain pada mitos Sendang Tirto Kamandanu, unsur
nostalgia juga terdapat pada legenda Arca Totok Kerot, adapun kutipan legenda
tersebut adalah sebagai berikut.
“Dikisahkan dalam sebuah cerita rakyat yang terkenal di
Kediri bahwa sebenarnya Totok Kerot tersebut adalah
penjelmaan puteri cantik dari seorang demang di Lodaya
(Lodoyo) Blitar (L/ ATK/ Nos/ 48).
Pada data (L/ ATK/ Nos/ 30) dalam legenda Arca Totok Kerot tampak
penanda bahwa legenda tersebut terjadi pada masa lampau. Komposisi cerita yang
cukup lengkap, terlihat dari tokoh, latar waktu, tempat, dan peristiwa yang menjadikan
legenda tersebut sebagai konstruksi yang nyata terjadi pada masa lampau. Penanda
adanya unsur nostalgia terdapat pada awal kalimat penggunaan frasa ‘dikisahkan’.
Penanda tersebut menggambarkan bahwa legenda Arca Totok Kerot pernah terjadi pada
72
masa lampau. Bukti lain yang menguatkan bahwa legenda tersebut pernah terjadi
adalah ditemukannya patung atau arca Totok Kerot di Dusun Bulu Pasar Kabupaten
Kediri.
Legenda Arca Totok Kerot menceritakan tentang keinginan seorang puteri
cantik dari Lodoyo Blitar yang ingin diperistri oleh Sri Aji Jayabaya. Namun karena
tidak mendapatkan izin dari kedua orang tuanya, puteri tersebut nekat datang ke Kediri
agar diperistri oleh Sang Prabu Sri Aji Jayabaya. Setelah sampai di kerajaan Kediri
puteri tersebut terlibat peperangan oleh pasukan kerajaan Kediri dan memenangkan
peperangan tersebut. Setelah itu Sang Puteri bersikeras ingin bertemu dengan Sri Aji
Jayabaya, tuntutan puteri tersebut dikabulkan oleh Prabu Jayabaya. Karena Sang Prabu
telah mendengar keinginan puteri tersebut agar diperistri, maka Prabu Sri Aji Jayabaya
menyampaikan penolakannya, hingga akhirnya puteri tersebut kembali membuat onar
dan di sabda oleh Sang Prabu menjadi arca rakasasa yang menyerupai buto (rakasa).
4.1.3 Wacana Retreat dan Return
Wacana retreat dan return merupakan bentuk pelarian dari kehiruk-pikukan
kehidupan di kota menuju ke desa. Sejalan dengan penjelasan dalam bukunya
Sukmawan (2016:42) mendeskripsikan bahwa pelarian dari kota menuju desa ini
bertujuan untuk melepaskan diri dari segala kemoderenan kota yang dianggap tidak
sesuai lagi dengan naluri seseorang. Dalam legenda Arca Totok Kerot ditemukan
adanya bentuk pelarian dari kota menuju desa dalam sebuah kutipan di bawah ini.
73
“Totok Kerot pernah dipindah dari tempat asalnya dan
diletakkan di alun-alun kota Kediri. Namun dalam
waktu satu malam, Arca Totok Kerot tidak betah akan
tempat barunya. Arca Totok Kerot mulai menyusun
rencana melarikan diri. Pada tengah malam tiba- tiba
saja berkumpul dua ekor gajah dan tujuh ekor sapi di
alun-alun. Kesembilan hewan itupun menarik Arca
Totok Kerot menuju Dusun Bulupasar, tempat asal
sang arca (L/ ATK/ RR/ 50)”.
Berdasarkan data (L/ ATK/ RR/ 50) arca Totok Kerot merupkan penjelmaan
atau penggambaran dari seorang puteri cantik yang berasal dari Lodoya (Lodoyo) Blitar
yang datang ke Kediri dengan tujuan agar diperistri oleh Sang raja Prabu Sri Aji
Jayabaya. Setelah membuat kerushan di kerajaan Kediri, puteri cantik dari Blitar tadi
disabda oleh Jayabaya dengan menyebut Sang Puteri memiliki kelakuan seperti
layaknya buto atau raksasa, hingga akhirnya terwujudlah sebuah arca raksasa yang
dinamai dengan arca Totok Kerot.
Pada data (L/ ATK/ RR/ 50) dijelaskan bahwa pelarian Arca Totok Kerot
merupakan penjelmaan puteri cantik dari Lodoyo Blitar yang mulanya berada di desa
Bulu Pasar kemudian dipindah tempatkan ke alun-alun kota Kediri. Cerita yang
berkembag di masyarakat sekitar bahwa patung atau arca Totok Kerot pernah dipindah
dari tempat asalnya oleh masyarakat Kediri ke alun-alun kota Kediri, namun arca Totok
Kerot tersebut secara tiba-tiba kembali lagi ke tempat asalnya karena diyakini oleh
masyarakat setempat bahwa arca Totok Kerot tidak betah tinggal di tempat yang baru
yaitu alun-alun kota Kediri, ia lebih menyukai tempat aslinya di Dusun Bulupasar.
Bentuk return merujuk pada kepulangan kembali Arca Totok Kerot pada Dusun
74
Bulupasar yang menjadi tempat asalnya. Dalam legenda yang ada di Kediri lainnya,
dikisahkan pula sebuah pelarian oleh Kyai Daha dan Kyai Daka ke daerah hutan di
Kediri. Adapun kutipan legenda Kediri yang memiliki unsur retreat adalah sebagai
berikut.
“Mas Ngabei purbawidjaja, kalau hanya soal yang
begitu, itu mudah sekali. Karena sesungguhnya sayalah
cikal-bakal atau orang pertama yang membuka hutan
dan yang pertama bertempat tinggal di Kadhiri. Ketika
itu saya dan adik saya bersama-sama menebangi hutan
di dekat sungai Kadhiri (Berantas) dengan maksud
untuk dijadikan pemukiman (L/ K/ RR/ 52)”.
Pada data (L/ K/ RR/ 52) dikisahkan bahwa pelarian dilakukan oleh Kyai
Daha dan Kyai Daka menuju hutan. Perajalan yang dilakukan oleh Kyai Daha dan Kyai
Daka termasuk bentuk pelarian dengan beragam motifnya sebagaimana yang
ditunjukkan pada larik legenda Kediri di atas. Pengembaraan menuju hutan yang
dilakukan oleh Kyai Daha dan Kyai Daka dapat dikatakan memuat ide tentang retreat
pasoral karena perjalanan yang dilakukan menuju hutan untuk mencari ketenangan
yang jauh dari keramaian kota, hal tersebut merupakan bentuk penanda dari pemikiran
retreat. Selain adanaya bentuk pelarian menuju desa, pada legenda Kediri juga memuat
bentuk pelarian untuk menyelesaikan dan membicarakan permasalah yang sedang
terjadi, sehingga menenangkan diri di hutan menjadi salah satu upaya untuk
menyelesaikan masalah yang datang sewaktu-waktu.
“Karenanya pesanggrahan itu dinamakan Wanacatur
yang artinya hutan tempat merembug atau berunding.
75
Jika ada hal yang perlu dipecahkan, saya dan
Tunggulwulung ditugaskan untuk mengiringi baginda
raja pergi ke Wanacatur (L/ K/ RR/ 62)”.
Pada data (L/ K/ RR/ 62) menjelaskan adanya bentuk pelarian yang dilakukan
oleh Baginda Raja Sri Aji Jayabaya dan puterinya menuju hutan. Pelarian di sini yang
dimaksudkan adalah mencari ketenangan di hutan untuk menghindari keramaian di
Kerajaan Kediri. Selain itu wanacatur atau hutan ini dijadikan tempat oleh Sang Prabu
Jayabaya sebagai tempat berembug atau berunding jika ada suatu hal yang haru
dipecahkan. Selain itu, gambaran lain dari retreat juga terdapat pada legenda Kediri
sebagai berikut.
“Saya ditugaskan untuk bertempat tinggal di GOA
SELOBALE yang terletak di sebelah barat Banawi
atau kali Brantas. Sedangkan Tunggulwulung
ditugaskan untuk bertempat tinggal di gunung Kelud,
menjadi raja makhluk halus yang ada di situ (L/ K/ RR/
66-67)”.
Data di atas menunjukkan adanya perpindahan tempat tinggal menuju goa dan
gunung. Pada legenda Kediri diceritakan bahwa zaman dahulu, sebelum Sang Prabu
Jayabaya moksa, Kyai Buto Lokaya dan Tunggulwulung mendapat wasiat dari Sang
Prabu untuk bertempat tinggal di goa dan gunung Kelud. Keduanya diperintahkan
untuk menajaga dan mengawasi wilayah-wilayah yang sudah dibagi oleh Sang Prabu
Sri Aji Jayabaya. Dimanapun lokasi dan apapun model perjalanan retreat yang
ditemukan dalam penggalan dari larik-larik di atas, pasti terdapat return (kembali) dari
76
lokasi itu ke dalam konteks dimana hasil perjalanan dapat dipahami dan diungkapkan
(Sukmawan, 2016:44).
77
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Karakteristik pastoral dalam sastra lisan masyarakat Kediri secara implisit
termuat dalam legenda, mitos, mantra, dan ujub yang dimiliki oleh masyarakat Kediri
dalam upaya pemeliharaan lingkungan. Karakteristik pastoral yang terdapat dalam
sastra lisan Kediri dimaksudkan sekaligus menjadi karakteristik narasi teks ekokritik
sastra lisan di Kediri. Melalui penjabaran dalam struktur pastoral di antaranya adalah
unsur bucolic ‘penggembala’, idylls, nostalgia, georgic, serta wacana retreat dan return
memuat karakteristik keharmonisan hubungan manusia dengan alam baik secara fisik
maupun meta fisik.
Kemunculan sosok penggembala petani dan peternak merepresentasikan
keharmonisan hubungan manusia dengan lingkungan dalam artian yang lebih luas.
Ketiga aktivitas tersebut mewujudkan hubungan dalam upaya penjagaan kosmos
melalui upacara ritual upacara adat, hasil komoditi dari sektor pertanian dan peternakan
menjadi salah satu unsur sesaji dalam upacara adat, pemanfaatan kayu sebagai sarana
yang dimanfaatkan untuk menunjang kebutuhan dalam upacara adat. Hal ini merupakan
salah satu upaya yang dilakukan oleh masyarakat Kediri dalam menjaga keseimbangan
kosmos dan hidup secara harmonis dengan alam fisik maupun meta fisik.
Unsur idylls mendeskripsikan konsep kehidupan masyarakat Kediri yang
diidealkan dengan menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dan Tuhan,
78
hubungan harmonis dengan sesama manusia, serta hubungan baik dengan alam sekitar
(alam meta empiris). Hal tersebut dapat dilihat pada pelaksanaan rutin tahunan yang
diadakan setiap tanggal satu suro oleh masyarakat Kediri, upacara tersebut membuat
masyarakat menjadi guyub rukun kepada sesama dengan cara berkumpul dan ikut
berpartisipasi dalam upacara ritual. Kedekatan masyarakat Kediri dengan Tuhan
terlihat saat seorang dukun merapalkan mantra dan diikuti doa oleh mayarakat Kediri
guna rasa syukur dan meminta perlindungan dari Tuhan (Allah SWT). Selain itu
gambaran kedekatan manusia dengan linkungan tercermin pada sikap pemeliharaan
lingkunan yang dilakukan oleh masyarakat Kediri dalam upacara ritual satu suro.
Sebelum diadakannya ritul, sebuah tempat yang menjadi lokasi ritual akan dibersihkan
terlebih dahulu agar saat berlangsungnya upacara bisa mengikuti dengan hikmat.
Unsur nostalgia menjelaskan tentang kerinduan terhadap sesuatu yang telah
hilang dan jauh. Bentuk kerinduan terhadap sosok abdi masa lampau dihadirkan pada
masa sekarang dengan diadakannya perayaan upacara ritual adat satu suro di Sendang
Tirto Kamandanu. Upacara tersebut menggambarkan bentuk kebaktian masyarakat
Kediri terhadap leluhur mereka yaitu Sang Prabu Sri Aji Jayabaya. Selain itu, gagasan
georgic menjelaskan tentang kenyamanan bekerja masyarakat Kediri untuk tetap
beraktivitas sebagai petani, peladang, dan peternak sebagai komoditi di sana. Gagasan
wacana retreat dan return dalam legenda Kediri menjelaskan adanya sosok yang
melakukan pengembaraan ke hutan sebagai bentuk pelarian dari keramaian dan
kehiruk-pikukan kota dan kembali menuju desa atau hutan untuk mencari ketenangan
79
dalam jiwa dengan menghindari konflik guna menjaga keharmonisan hubungan dengan
alam.
5.2 Saran
Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat dilakukan untuk upaya peningkatan manfaat
dan pelestarian produk sastra lisan yang ada di Kediri.
a) Bagi Lembaga Pendidikan
Cerita rakyat yang berkembang di Kediri dapat dijadikan sebagai bahan ajar
materi sastra lama pada pelajaran bahasa Indonesia. Selain itu, cerita rakyat di Kediri
yang berupa legenda Gunung Kelud dan Penghianatan Dewi Kili Suci, legenda Arca
Totok Kerot, legenda Kediri, mitos Sendang Tirto Kamandanu, dan mitos Pamuksan
Sang Prabu Sri Aji Jayabaya dapat dijadikan sebagai bahan ajar muatan lokal agar
generasi penerusnya tidak kehilangan identitas sebagai pewaris kebudayaan di Kediri.
b) Bagi Peneliti Selanjutnya
Menjadi referensi penelitian yang sejenis dengan sastra lingkungan yaitu ekokritik
sastra. Mengingat penelitian dengan kajian ekokritik sastra masih sangat jarang
diteliti karena dapat dikatakan kajian ekokritik sastra ini masih baru dibandingkan
dengan kajian sastra yang lainnya. Sehingga dapat memperkaya khazanah penelitian
sastra Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, A. 2013. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset.
Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian. Yogyakarta: PT Rineka Cipta.
Basrori & Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Danandjaja, J. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta:
PT Grafiti Pers.
Dewi, N. 2015. Manusia Dan Lingkungan Dalam Cerpen Indonesia Kontemporer:
Analisis Ekokritik Cerpen Pilihan Kompas. (Online).
(http://journal.uny.ac.id/index.php/litera/ article/view/7211/6216). Diakses pada
tanggal 22 April 20017.
Dwidjoseputro. 1987. Manusia Dengan Linkungannya. Jakarta: Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan, Direktorat endral Pendidikan Tinggi, Departemen
Pendidikan an Pengajaran.
Endraswara, S. 2009. Metode Penelitian Folklor: Konsep, Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta: Media Presindo.
Gifford, Terry. 1999. Pastoral. New York: Routledge.
Garrard, G. 2004. Ecocriticsm: The New Critical Idiom. New York: Routledge.
Hardiningtyas, P. R. 2015. Ekokritik: Ritual dan Kosmis Alam Bali dalam Puisi Saiban
Karya Oka Rusmini. (Online).
(http://eprints.unlam.ac.id/1560/1/e_proceedings_ecology_of_
language_and_literature%20(2015).pdf#page=126). Diakses pada tanggal 23
April 2017.
Hutomo, S.S. 1991. Mutiara Yang Terlupakan. Malang: Dioma.
Khumaini. A. 2014. Legenda Gunung Kelud dan Kisah Penghianatan Cinta Dewi
Kilisuci. (online), (https://www.merdeka.com/peristiwa/legenda-gunung- kelud-
dan-kisah-pengkhianatan-cinta-dewi-kilisuci.html) diakses pada tanggal 07 Juni
2016.
Lisnasari, L. 2016. Harmoni Alam Dalam Cerita Rakyat Tengger (Sebuah Kajian
Sastra Pastoral). Skripsi. Malang: Unversitas Brawijaya.
Masturina, A. 2016. Makna Sendang Made Bagi Masyarakat Desa Made Kecamatan
Kudu Kabupaten Jombang. (Online). (http://journal.unair .ac.id/download-
fullpapers-auneb6349 f5d0full.pdf), diakses pada tanggal 17 April 2017.
Masykuri, A. 2015. Geografi Regional Indonesia: Kajian Wilayah Kabupaten Kediri,
Jawa Timur. (Online). (https://www.academia.edu /183472
82/GEOGRAFI_REGIONAL_INDONESIA_KAJIAN_WILAYAH_KABUPA
TEN_KEDIRI_JAWA_TIMUR)
Mulder, N. 1985. Pribadi dan Masyarakat Di Jawa. Jakarta: Sinar Harapan
Mursal, E. 1999. Kajian Transformasi Budaya. Bandung: Angkasa.
Perdana, V. 2013. Arca Totok Kerot-Legenda Putri Cantik Dari Kerajaan Lodaya.
(Online). (https://koswisata.blogspot.co.id/2013/09/arca-totok-kerot.html).
diakses pada tanggal 07 Juni 2016.
Prabowo, M. P. 2017. Dalam Satu Hari, 12 Insiden Bencana Alam Terjadi Di Jawa
Timur. (Online). (http://jatim.tribunnews.com/2017/02/16/dalam-satu- hari-12-
insiden-bencana-ala m-terjadi-di-jawa-timur?page=2), diakses pada tanggal 29
Maret 2017.
Riski, P. 2017. Bencana Ekologi Ancam Jawa Timur, (Online),
(http://www.voaindonesia. com/a/bencana-ekologi-mengancam-jawa-timur/
3668756.html), diakses pada tanggal 29 Maret 2017.
Roibin. 2009. Relasi Agama & Budaya Masyarakat Kontemporer. Malang:UIN-
Malang Press.
Siswanto, W. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo.
Sudikan. S.Y. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D. Bandung:
Alfabeta
Sukmawan, S. 2016. Ekokritik Sastra: Menanggap Sasmita Arcadia. Malang: UB
Press.
Suseno, F.M. 1999. Etika Jawa: Sebuah Analisis Falsafi Tentang Kebijakanaan Hidup
Jawa. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Suyanto & Karnaji. 2005. Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan.
Jakarta: Kencana
Widodo, W. 2012. Kearifan Lokal Dalam Mantra Jawa. (Online).
(https://icssis.files.wordpress. com/2012/05/09102012-75.pdf). Diakses pada
tanggal 27 April 2017.
Widodo, W. 2012. Mantra Kidung Jawa (Kajian Repetisi dan Fungsi). (Online).
(https://digilib. uns.ac.id/…=/Mantra-Kidung-Jawa-Kajian-Repetisi-Dan-
Fungsi-abstrak.pdf).Diakses pada tanggal 27 April 2017.
Widyawati, W. 2010. Etika Jawa (Menggali Kebijaksanaan dan Keutamaan Demi
Ketentraman Lahir Batin). Yogyakarta: Pura Pustaka.
Yanto, A. Adianto, M.R & Wijajanti, A. 2013. Simbol-simbol Lingual dalam Tuturan
”Ujub Genduren” Siklus Hidup Masyarakat Desa Seneporejo. (Online).
(http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/63490/
ANDRI%20YANTO.pdf?sequence=1). Diakses pada tanggal 16 Juli 2017.