hirschsprung disease

36
HIRSCHSPRUNG DISEASE (HD) ASRUL MAPPIWALI-FK UNHAS Pendahuluan Hirschsprung Disease (HD) adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpai pleksus auerbach dan pleksus meisneri pada kolon. Sembilan puluh persen (90%) terletak pada rectosigmoid, akan tetapi dapat mengenai seluruh kolon bahkan seluruh usus (Total Colonic Aganglionois (TCA). Tidak adanya ganglion sel ini mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik sehingga terjadi ileus fungsional (SPM, sardjito) dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon yang lebih proksimal ( IKA UI). Pasien dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1886. (Yoshida, 2004). Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion (Irwan, 2003). HD terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup (Belknap, 2006), Insidensi penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta (Irwan, 2003). Kebanyakan kasus penyakit Hirschsprung sekarang didiagnosis pada masa neonatus. Penyakit Hirschsprung sebaiknya dicurigai jika seorang neonatus tidak mengeluarkan mekonium dalam 24-48 jam pertama setelah kelahiran.

Upload: annisa-rahim

Post on 06-Sep-2015

33 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

bbb

TRANSCRIPT

  • HIRSCHSPRUNG DISEASE (HD)

    ASRUL MAPPIWALI-FK UNHAS

    Pendahuluan

    Hirschsprung Disease (HD) adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpai

    pleksus auerbach dan pleksus meisneri pada kolon. Sembilan puluh persen

    (90%) terletak pada rectosigmoid, akan tetapi dapat mengenai seluruh kolon

    bahkan seluruh usus (Total Colonic Aganglionois (TCA). Tidak adanya ganglion

    sel ini mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik sehingga terjadi ileus

    fungsional (SPM, sardjito) dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang

    berlebihan pada kolon yang lebih proksimal ( IKA UI).

    Pasien dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick

    Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald

    Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1886.

    (Yoshida, 2004). Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui

    secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan

    bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan

    peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion (Irwan, 2003).

    HD terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup (Belknap, 2006), Insidensi

    penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar

    1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta

    dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir

    1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien

    penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto

    Mangunkusomo Jakarta (Irwan, 2003).

    Kebanyakan kasus penyakit Hirschsprung sekarang didiagnosis pada masa

    neonatus. Penyakit Hirschsprung sebaiknya dicurigai jika seorang neonatus

    tidak mengeluarkan mekonium dalam 24-48 jam pertama setelah kelahiran.

  • Walaupun barium enema berguna untuk menegakkan diagnosis, biopsi rektum

    tetap menjadi gold standard penegakkan diagnosis. Setelah diagnosis

    dikonfirmasi, penatalaksanaan mendasar adalah untuk membuang jaringan

    usus yang aganglionik dan untuk membuat anastomosis dengan menyambung

    rektum bagian distal dengan bagian proksimal usus yang memiliki innervasi

    yang sehat. Mortalitas dari kondisi ini dalam beberapa dekade ini dapat

    dikurangi dengan peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif neonatus,

    tekhnik pembedahan dan diagnosis dan penatalaksanaan HD dengan

    enterokolitis (Belknap, 2006).

    Kontrol Saraf terhadap Fungsi Gastrointestinal

    1. Sistem saraf enterik

    a. Plexus myentericus Auerbach: mengatur pergerakan (motorik)

    b. Plexus submukosa Meissner: mengatur sekresi dan aliran darah lokal

    2. Sistem saraf otonom

    a. Persarafan parasimpatis: meningkatkan sebagian besar fungsi

    gastrointestinal

    b. Persarafan simpatis: menghambat sebagian besar fungsi gastrointestinal

  • Apa Itu Sel ganglion. Sel ganglion adalah sel yang terdiri dari massa jaringan

    saraf dalam tubuh. Massa ini dikenal sebagai ganglia. Sel-sel itu sendiri terdiri

    dari akson dan struktur dendrit yang mengirim dan menerima impuls saraf.

    Dua jenis yang paling umum dari sel-sel ganglion yang ditemukan dalam

    kelenjar adrenal dan dalam retina mata, meskipun sel juga dapat ditemukan di

  • bagian lain dari sistem saraf. Sel-sel ini membantu mengirimkan informasi ke

    seluruh tubuh.

    A. Sejarah

    Ruysch (1691) pertama kali melaporkan hasil autopsi adanya usus yang

    aganglionik pada seorang anak usia 5 tahun dengan manifestasi berupa

    megakolon. Namun baru 2 abad kemudian Harald Hirschsprung (1886)

    melaporkan secara jelas gambaran klinis penyakit ini, yang pada saat itu

    diyakininya sebagai suatu megakolon kongenital. Dokter bedah asal Swedia ini

    melaporkan kematian 2 orang pasiennya masing-masing usia 8 dan 11 bulan

    yang menderita konstipasi kronis, malnutrisi dan enterokolitis. Teori yang

    berkembang saat itu adalah diyakininya faktor keseimbangan syaraf sebagai

    penyebab kelainan ini, sehingga pengobatan diarahkan pada terapi obat-

    obatan dan simpatektomi. Namun kedua jenis pengobatan ini tidak

    memberikan perbaikan yang signifikan. Valle (1920) sebenarnya telah

    menemukan adanya kelainan patologi anatomi pada penyakit ini berupa

    absennya ganglion parasimpatis pada pleksus mienterik dan pleksus sub-

    mukosa, namun saat itu pendapatnya tidak mendapat dukungan para ahli.

    Barulah 2 dekade kemudian, Robertson dan Kernohan (1938) mengemukakan

    bahwa megakolon pada penyakit Hirschsprung disebabkan oleh gangguan

    peristaltik usus mayoritas bagian distal akibat defisiensi ganglion (Irwan, 2003).

    Sebelum tahun 1948 sebenarnya belum terdapat bukti yang jelas tentang

    defek ganglion pada kolon distal sebagai akibat penyakit Hirschsprung, hingga

    Swenson dalam laporannya menerangkan tentang penyempitan kolon distal

    yang terlihat dalam barium enema dan tidak terdapatnya peristaltik dalam

    kolon distal. Swenson melakukan operasi pengangkatan segmen yang

    aganglionik dengan hasil yang memuaskan. Laporan Swenson ini merupakan

  • laporan pertama yang secara meyakinkan menyebutkan hubungan yang sangat

    erat antara defek ganglion dengan gejala klinis yang terjadi (Irwan, 2003).

    Bodian dkk. Melaporkan bahwa segmen usus yang aganglionik bukan

    merupakan akibat kegagalan perkembangan inervasi parasimpatik ekstrinsik,

    melainkan oleh karena lesi primer sehingga terdapat ketidakseimbangan

    autonomik yang tidak dapat dikoreksi dengan simpatektomi. Keterangan inilah

    yang mendorong Swenson melakukan pengangkatan segmen aganglionik

    dengan preservasi spinkter ani . Okamoto dan Ueda lebuh lanjut menyebutkan

    bahwa penyakit Hirschsprung terjadi akibat terhentinya proses migrasi sel

    neuroblas dari krista neuralis saluran cerna atas ke distal mengikuti serabut-

    serabut vagal pada suatu tempat tertentu yang tidak mencapai rektum (Irwan,

    2003).

    B. Anatomi

    Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior kiri.

    2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3

    bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian

    ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih

    panjang dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian

    terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih

    proksimal, dan, dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal dan internal ) serta otot-

    otot yang mengatur pasase isi rektum ke dunia luar. Spinkter ani eksterna

    terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan (Irwan, 2003).

    Persyarafan motorik spinkter ani interna berasal dari serabut syaraf simpatis

    (n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut syaraf

    parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis

  • serabut syaraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani

    dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis mensyarafi spinkter ani

    eksterna dan m.puborektalis. Syaraf simpatis tidak mempengaruhi otot

    rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanknikus (parasimpatis).

    Walhasil, kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan

    n.splanknikus pelvik (syaraf parasimpatis) (Irwan, 2003).

    Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :

    1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal

    2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler

    3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa

    Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3

    pleksus tersebut (Irwan, 2003).

    C. Etiologi

    Biasanya, karena bayi tumbuh dalam kandungan, kumpulan sel saraf (ganglia)

    mulai terbentuk antara lapisan otot di bagian usus besar yang panjang. Proses

    ini dimulai pada bagian atas dan berakhir di usus besar bagian bawah (dubur).

    Pada anak-anak dengan penyakit Hirschsprung, proses ini tidak selesai dan

    tidak ada ganglion di sepanjang seluruh panjang dengan dua titik. Kadang-

    kadang sel-sel yang hilang dari hanya beberapa centimeter dari usus besar.

    Mengapa hal ini terjadi tidak diketahui secara pasti. Hal ini dapat dikaitkan

    dengan beberapa gen mutations. Ini juga dikaitkan dengan beberapa kelenjar

    endokrin neoplasia, sebuah sindrom yang menyebabkan noncancerous Tumors

    di lendir membranes dan adrenal glands (terletak di atas ginjal) dan kanker dari

    thyroid gland (terletak di bagian bawah leher). Hirschsprung's tidak disebabkan

    oleh sesuatu yang tidak ibu selama kehamilan. Dalam beberapa kasus, penyakit

  • ini mungkin warisan, bahkan jika orang tua tidak memiliki penyakit.

    Hirschsprung juga 10 kali lebih sering terjadi pada anak-anak dengan Down

    syndrome

    D. Patofisiologi

    Tidak adanya ganglion yang meliputi pleksus Auerbach yang terletak pada

    lapisan otot dan pleksus Meisneri pada submukosa. serabut syaraf mengalami

    hipertrofi dan didapatkan kenaikan kadar asetilkolinesterase pada segmen

    yang aganglionik. ganguan inervasi parasimpatis akan menyebabkan kegagalan

    peristaltik sehingga mengganggu propulsi isi usus. obstruksi yang terjadi secara

    kronik akan menyeba

    bkan distensi abdomen yang sangat besar yang dapat menyebabkan terjadinya

    enterokolitis (SPM sardjito). Aganglionis kongenital pada usus bagian distal

    merupakan pengertian penyakit Hirschsprung. Aganglionosis bermula pada

    anus, yang selalu terkena, dan berlanjut ke arah proximal dengan jarak yang

    beragam.

    A B

    Gambar A, memperlihatkan sel-sel syaraf yang normal pada usus, sedangkan

    Gambar B memperlihatkan sel syaraf yang hilang pada bagian akhir usus

    Pleksus myenterik (Auerbach) dan pleksus submukosal (Meissner) tidak

    ditemukan, menyebabkan berkurangnya peristaltik usus dan fungsi lainnya.

    Mekanisme akurat mengenai perkembangan penyakit ini tidak diketahui. Sel

    ganglion enterik berasal dari differensiasi sel neuroblast. Selama

    perkembangan normal, neuroblast dapat ditemukan di usus halus pada minggu

    ke 7 usia gestasi dan akan sampai ke kolon pada minggu ke 12 usia gestasi.

  • Kemungkinan salah satu etiologi Hirschsprung adalah adanya defek pada

    migrasi sel neuroblast ini dalam jalurnya menuju usus bagian distal. Migrasi

    neuroblast yang normal dapat terjadi dengan adanya kegagalan neuroblast

    dalam bertahan, berpoliferase, atau berdifferensiasi pada segmen aganglionik

    distal. Distribusi komponen yang tidak proporsional untuk pertumbuhan dan

    perkembangan neuronal telah terjadi pada usus yang aganglionik. Komponen

    tersebut adalah fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecule, dan faktor

    neurotrophic.

    Sebagai tambahan, pengamatan sel otot polos pada kolon aganglionik

    menunjukkan bahwa bagian tersebut tidak aktif ketika menjalani pemeriksaan

    elektrofisiologi, hal ini menunjukkan adanya kelainan myogenik pada

    perkembangan penyakit Hirschspurng. Kelainan pada sel Cajal, sel pacemaker

    yang menghubungkan antara saraf enterik dan otot polos usus, juga telah

    dipostulat menjadi faktor penting yang berkontribusi. Terdapat tiga pleksus

    neuronal yang menginnervasi usus, pleksus submukosal (Meissner),

    Intermuskuler (Auerbach), dan pleksus mukosal. Ketiga pleksus ini terintegrasi

    dan berperan dalam seluruh aspek fungsi usus, termasuk absorbsi, sekresi,

    motilitas, dan aliran darah.

    Motilitas yang normal utamanya dikendalikan oleh neuron intrinsik. Ganglia ini

    mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dimana relaksasi

    mendominasi. Fungsi usus telah adekuat tanpa innervasi ekstrinsik. Kendali

    ekstrinsik utamanya melalui serat kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik ini

    menyebabkan kontraksi, dan serat adrenergik menyebabkan inhibisi. Pada

    pasien dengan penyakit Hirschsprung, sel ganglion tidak ditemukan sehingga

    kontrol intrinsik menurun, menyebabkan peningkatan kontrol persarafan

    ekstrinsik. Innervasi dari sistem kolinergik dan adrenergik meningkat 2-3 kali

    dibandingkan innervasi normal. Sistem adrenergik diduga mendominasi sistem

  • kolinergik, mengakibatkan peningkatan tonus otot polos usus. Dengan

    hilangnya kendali saraf intrinsik, peningkatan tonus tidak diimbangi dan

    mengakibatkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik yang

    tidak terkoordinasi, dan pada akhirnya, obstruksi fugsional.

    E. Frekuensi

    1) United States, Penyakit Hirschsprung terjadi pada sekitar 1 dari per 5400-

    7200 kelahiran.

    2) Internasional, tidak diketahui frekuensi yang tepat untuk seluruh dunia,

    walaupun beberapa penelitian internasional melaporkan angka kejadian

    sekitar 1 kasus dari 1500 hingga 7000 kelahiran.

    3) Mortalitas/Morbiditas

    a. Sekitar 20% bayi akan memiliki abnormalitas yang melibatkan sistem

    neurologis, kardiovaskuler, urologis, atau gastrointestinal.

    b. Penyakit Hirschsprung telah diketahui terkait dengan penyakit dibawah ini:

    1. Syndrome Down

    2. Syndrom Neurocristopathy

    3. Waardenburg-Shah syndrome

    4. Yemenite deaf-blind syndrome

    5. Piebaldisme

    6. Goldberg-Shprintzen syndrome

    7. Multiple endocrine neoplasia type II

    8. Syndrome central hypoventilation congenital

    c. Megacolon aganglionik yang tidak diatasi pada masa bayi akan

    menyebabkan peningkatan mortalitas sebesar 80%. Mortalitas operative pada

  • prosedur intervensi sangat rendah.

    d. Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi yaitu kebocoran anastomose

    (5%), striktur anastomose (5-10%), obstruksi intestinal (5%), abses pelvis (5),

    dan infeksi luka (10%). Komplikasi jangka panjang termasuk gejala obstruktif,

    inkontinensi, konstipasi kronik, dan enterokolitis, komplikasi ini kebanyakan

    didapatkan pada pasien dengan segmen aganglionik yang panjang. Walaupun

    kebanyakan pasien akan mendapatkan permasalahan ini setelah operasi,

    penelitian jangka panjang telah menunjukkan bahwa lebih dari 90% anak akan

    mengalami perbaikan yang bermakna. Pasien dengan segmen aganglionik yang

    panjang terbukti memiliki outcome yang lebih buruk.

    4) Ras

    Penyakit Hirschsprung tidak memiliki predileksi pada ras tertentu.

    5) Jenis Kelamin

    Penyakit Hirschsprung lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan,

    dengan rasio sekitar 4:1. Akan tetapi, segmen aganglionik yang panjang sering

    ditemukan pada pasien perempuan.

    6) Umur

    Umur dimana pasien didiagnosis memiliki penyakit Hirschsprung semakin

    menurun sejak satu abad terakhir. Pada awal tahun 1900, usia median yaitu

    203 tahun; mulai tahun 1950 hingga 1970, usian median menjadi 206 bulan.

    Saat ini, sekitar 90% pasien dengan penyakit hirschsprung telah dapat

    didiagnosis pada masa perinatal.

    F. Klasifikasi

    Hirschprung Disease diklasifikasikan berdasarkan keluasan segmen

  • agangliosinosisnya, yaitu:

    1. Hirschprung disesase (HD) klasik (75%), segmen aganglionik tidak melewati

    bagian atas segmen sigmoid.

    2. Long segment HD (20%)

    3. Total colonic aganglionosis (3-12%)

    Beberapa lainnya terjadinya jarang, yaitu:

    1. Total intestinal aganglionosis

    2. Ultra-short-segment HD (melibatkan rektum distal dibawah lantai pelvis dan

    anus (Yoshida, 2004).

    G. Gambaran Klinis

    Gambaran klinis HD dapat kita bedakan berdasarkan usia gejala klinis mulai

    terlihat :

    1. Periode Neonatal

    Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang

    terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang

    terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikan.

    Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus ,

    sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4%

    untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen

    biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera.

    Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi

    penderita HD ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling

    tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1

    minggu. Gejalanya berupa diarhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan

    disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang

    dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah

    dilakukan kolostomi (Irwan, 2003).

  • 2. Anak.

    Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi

    kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik

    usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces

    biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap.

    Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari

    dan biasanya sulit untuk defekasi (Irwan, 2003).

    Klinis

    Anamnesis

    1. Sekitar 10% pasien memiliki riwayat penyakit yang sama pada keluarga.

    Keadaan ini semakin sering ditemukan pada pasien dengan segmen aganglion

    yang lebih panjang.

    2. Penyakit Hirschsprung harus dicurigai pada anak yang mengalami

    keterlambatan dalam mengeluarkan mekonium atau pada anak dengan

    riwayat konstipasi kronik sejak kelahiran. Gejala lainnya termasuk obstruksi

    usus dengan muntah empedu, distensi abdominal, nafsu makan menurun, dan

    pertumbuhan terhambat.

    3. Ultrasound prenatal yang menunjukkan gambaran adanya obstruksi jarang

    ditemukan, kecuali pada kasus dengan melibatkan seluruh bagian kolon.

    4. Anak dengan usia yang lebih tua biasanya memiliki konstipasi kronik sejak

    kelahiran. Mereka juga dapat menunjukkan adanya penambahan berat badan

    yang buruk.

    5. Sekitar 10% anak yang datang dengan diare yang disebabkan oleh

    enterocolitis, dimana diperkirakan terkait dengan adanya pertumbuhan bakteri

  • akibat stasis. Keadaan ini dapat berkembang menjadi perforasi kolon, yang

    menyebabkan sepsis.

    6. Pada penelitian yang melibatkan 259 pasien, Menezes et al melaporkan 57%

    pasien datang dengan gejala obstruksi intestinal, 30% dengan konstipasi, 11%

    dengan enterocolitis, dan 2% dengan perforasi intestinal

    Pemeriksaan Fisik

    1. Pemeriksaan fisik pada masa neonatus biasanya tidak dapat menegakkan

    diagnosis, hanya memperlihatkan adanya distensi abdomen dan/atau spasme

    anus.

    2. Imperforata ani letak rendah dengan lubang perineal kemungkinan memiliki

    gambaran serupa dengan pasien Hirschsprung. Pemeriksaan fisik yang saksama

    dapat membedakan keduanya.

    3. Pada anak yang lebih besar, distensi abdomen yang disebabkan adanya

    ketidakmampuan melepaskan flatus jarang ditemukan. Differensial Diagnosis

    dari HD kita harus selalu membandingkan konstipasi, Ileus, Iritable Bowel

    Syndrome, dan Gangguan Motilitas Usus.

    Pemeriksaan Penunjang

    Pemeriksaan Laboratorium

    1. Kimia Darah : Pada kebanyakan pasien temuan elektrolit dan panel renal

    biasanya dalam batas normal. Anak dengan diare memiliki hasil yang sesuai

    dengan dehidrasi. Pemeriksaan ini dapat membantu mengarahkan pada

    penatalaksanaan cairan dan elektrolit.

    2. Darah Rutin : Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui hematokrit dan

  • platelet preoperatif.

    3. Profil Koagulasi : Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan tidak ada

    gangguan pembekuan darah yang perlu dikoreksi sebelum operasi dilakukan.

    Pemeriksaan Radiologi

    1. Foto Polos Abdomen dapat menunjukkan adanya loop usus yang distensi

    dengan adanya udara dalam rectum

    2. Barium enema

    a. Jangan membersihkan kolon bagian distal dengan enema sebelum

    memasukkan kontras enema karena hal ini akan mengaburkan gambar pada

    daerah zona transisi.

    b. Kateter diletakkan didalam anus, tanpa mengembangkan balon, untuk

    menghindari kaburnya zona transisi dan beresiko terjadinya perforasi.

    c. Foto segera diambil setelah injeksi kontras, dan diambil lagi 24 jam

    kemudian.

    d. Colon bagian distal yang menyempit dengan bagian proksimal yang

    mengalami dilatasi merupakan gambara klasik penyakit Hirschsprung. Akan

    tetapi temuan radiologis pada neonatus lebih sulit diinterpretasi dan sering kali

    gagal memperlihatkan zona transisi.

    e. Gambaran radiologis lainnya yang mengarah pada penyakit Hirschsprung

    adalah adanya retensi kontras lebih dari 24 jam setelah barium enema

    dilakukan

    Pemeriksaan lainnya

    Manometri anorektal

  • Manometri anorektal mendeteksi refleks relaksasi dari internalsphincter

    setelah distensi lumen rektal. Refleks inhibitorik normal ini diperkirakan tidak

    ditemukan pada pasien penyakit Hirschsprung. Swenson pertama kai

    menggunakan pemeriksaan ini. Pada tahun 1960, dilakukan perbaikan akan

    tetapi kurang disukai karena memiliki banyak keterbatasan.

    Status fisiologik normal dibutuhkan dan sedasi seringkali penting. Hasil positif

    palsu yang telah dilaporkan mencapai 62% kasus, dan negatif palsu dilaporkan

    sebanyak 24% dari kasus. Karena keterbatasan ini dan reliabilitas yang

    dipertanyakan, manometri anorektal jarang digunakan di Amerika Serikat.

    Karena malformasi kardiak (2-5%) dan trisomy 21 (5-15%) juga terkait dengan

    aganglionosis kongenital, pemeriksaan kardiologis dan genetik dianjurkan.

    Prosedur

    Biopsi Rektal

    Diagnosa definitif Hirschsprung adalah dengan biopsi rektal, yaitu penemuan

    ketidakberaadan sel ganglion. Metode definitif untuk mengambil jaringan yang

    akan diperiksa adalah dengan biopsi rektal full-thickness. Spesimen yang harus

    diambil minimal berjarak 1,5 cm diatas garis dentata karena aganglionosis

    biasanya ditemukan pada tingkat tersebut. Kekurangan pemeriksaan ini yaitu

    kemungkinan terjadinya perdarahan dan pembentukan jaringan parut dan

    penggunaan anastesia umum selama prosedur in dilakukan.

    Simple suction rectal biopsy

    Lebih terkini, simple suction rectal biopsy telah digunakan sebagai teknik

    mengambil jaringan untuk pemeriksaan histologis. Mukosa dan submukosa

    rektal disedot melalui mesin dan suatu pisau silinder khusus memotong

  • jaringan yang diinginkan. Keunggulan pemeriksaan ini adalah dapat dengan

    mudah dilakukan diatas tempat tidur pasien. Akan tetapi, menegakkan

    diagnosis penyakit Hirschsprung secara patologis dari sampel yang diambil

    dengan simple suction rectal biopsy lebih sulit dibandingkan pada jaringan

    yang diambil dengan teknik full-thickness biopsy. Kemudahan mendiagnosis

    telah diperbaharui dengan penggunaan pewarnaan asetilkolinesterase, yang

    secara cepat mewarnai serat saraf yang hypertrophy sepanjang lamina propria

    dan muscularis propria pada jaringan.

    Penemuan Histologis

    Baik pleksus myenteric (Auerbach) dan pleksus submukosa (Meissner) tidak

    ditemukan pada lapisan muskuler dinding usus. Serat saraf yang mengalami

    hypertrophy yang terlihat dengan pewarnaan asetilkolinesterase juga

    ditemukan sepanjang lamina propria dan muscularis propria. Sekarang ini telah

    terdapat pemeriksaan imunohistokimia dengan calretinin yang juga telah

    digunakan untuk pemeriksaan histologis usus aganglionik, dan terdapat

    penelitian yang telah menyimpulkan bahwa pemeriksaan ini kemungkinan

    lebih akurat dibandingkan asetilkolinesterase dalam mendeteksi aganglionosis.

    H. Pemeriksaan Radiologis

    Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada HD. Pada

    foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah,

    meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar.

    Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa

    Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas :

    1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang

    panjangnya bervariasi

  • 2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah

    daerah dilatasi. Daerah transisi merupakan regio dimana ditandari dengan

    terjadinya perubahan kaliber dimana kolon yang berdilatasi normal diatas dan

    kolon aganglionik yang menyempit dibawah (Yoshida, 2004).

    3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi (Irwan, 2003).

    Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas HD, maka

    dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam

    barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah

    terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon.

    Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan

    obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan

    sigmoid

    Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung. Tampak rektum yang

    mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar.

    I. Penatalaksanaan

    Seperti kelainan kongenital lainnya, HD memerlukan diagnosis klinik secepat

    dan intervensi terapi secepat mungkin, untuk mendapatkan hasil terapi yang

    sebaik-baiknya (Belknap, 2006).

    1. Preoperatif

    2. Operatif

    Tergantung pada jenis segmen yang terkena. pada hirschprung ultra short

    dilakukan miektomi rektum, sedangkan pada bentuk short segmen, tipikal, dan

    long segmen dapat dilakukan kolostomi terlebih dahulu dan beberapa bulan

    kemudian baru dilakukan operasi definitif dengan metode Pull Though Soave,

    Duhamel maupun Swenson. Apabila keadaan memungkinkan, dapat dilakukan

    Pull Though satu tahap tanpa kolostomi terlebih dahulu. persiapan operasi

  • meliputi dekompresi kolon dengan irigasi rektum, stabilisasi cairan dan

    elektrolit, asam basa serta temperatur, pemberian antibiotik. Perawatan pasca

    operasi meliputi dekompresi abdomen dengan tetap memasang pipa

    rektum,antibiotik injeksi, stabiltasi cairan dan elektrolit serta asam basa (SPM

    sardjito).

    Pengobatan medis

    Tujuan umum dari pengobatan ini mencakup 3 hal utama:

    1. Untuk menangani komplikasi dari penyakit Hirschsprung yang tidak

    terdeteksi,

    2. Sebagai penatalaksanaan sementara sebelum operasi rekonstruktif definitif

    dilakukan, dan

    3. Untuk memperbaiki fungsi usus setelah operasi rekonstruksi.

    Penatalaksanaan komplikasi diarahkan pada penyeimbangan cairan dan

    elektrolit, menghindari distensi berlebihan, dan mengatasi komplikasi sistemik,

    seperti sepsis. Maka dari itu, hydrasi intravena, dekompressi nasogastrik, dan

    jika diindikasikan, pemberian antibiotik intravena memiliki peranan utama

    dalam penatalaksanaan medis awal. Pembersihan kolon, yaitu dengan

    melakukan irigasi dengan rectal tube berlubang besar dan cairan untuk irigasi.

    Cairan untuk mencegah terjadinya ketidakseimbangan elektrolit. Irigasi colon

    secara rutin dan terapi antibiotik propilaksis telah menjadi prosedur untuk

    mengurangi resiko terjadinya enterocolitis. Injeksi BOTOX pada sphincter

    interna terbukti memicu pola pergerakan usus yang normal pada pasien post-

    operatif.

    Penanganan operatif

    Penanganan operatif Hirschsprung dimulai dengan diagnosis dini, yang

    biasanya membutuhkan biopsi rektal full-thickness. Pada umumnya,

    penatalaksanaan awal yaitu dengan membuat colostomy dan ketika anak

  • bertum buh dan memiliki berat lebih dari 10 kg, operasi definitif dapat

    dilakukan.

    Standar penatalaksanaan ini dikembangkan pada tahun 1950 setelah laporan

    tingginya angka kebocoran dan striktur pada prosedur tunggal yang

    dideskripsikan oleh Swenson. Akan tetapi, dengan kemajuan anastesia yang

    lebih aman dan monitoring hemodinamika yang lebih maju, prosedur

    penarikan tanpa membuat colostomy semakin sering digunakan.

    Kontraindikasi untuk prosedur tunggal ini adalah dilatasi maksimal usus bagian

    proksimal, entercolitis berat, perforasi, malnutrisi, dan ketidakmampuan

    menentukan zona transisional secara akurat.

    Untuk neonatus yang pertama kali ditangani dengan colostomy, mulanya zona

    transisi diidentifikasi dan colostomy dilakukan pada bagian proksimal area ini.

    Keberadaan sel ganglion pada lokasi colostomy harus dikonfirmasi dengan

    biopsi frozen-section. Baik loop atau end-stoma dapat dikerjakan, biasanya

    tergantung dari preferensi ahli bedah.

    Beberapa prosedur definitif telah digunakan, kesemuanya telah memberikan

    hasil yang sempurna jika dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman. 3

    jenis teknik yang sering digunakan adalah prosedur Swenson, Duhamel, dan

    Soave. Apapun teknik yang dilakukan, pembersihan kolon sebelum operasi

    definitif sangat penting.

    Prosedur Swenson

    1. Prosedur Swenson merupakan teknik definitif pertama yang digunakan

    untuk menangani penyakit Hirschsprung

    2. Segmen aganglionik direseksi hingga kolon sigmoid kemudian anastomosis

    oblique dilakukan antara kolon normal dengan rektum bagian distal

    Prosedur Duhamel

    1. Prosedur Duhamel pertama kali diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai

  • modifikasi prosedur Swenson

    2. Poin utamanya adalah pendekatan retrorektal digunakan dan beberapa

    bagian rektum yang aganglionik dipertahankan

    3. Usus aganglionik direseksi hingga ke bagian rektum dan rektum dijahit. Usus

    bagian proksimal kemudian diposisikan pada ruang retrorektal (diantara

    rektum dan sakrum), kemudian end-to-side anastomosis dilakukan pada

    rektum yang tersisa

    Prosedur Soave

    1. Prosedur Soave diperkenalkan pada tahun 1960, intinya adalah membuang

    mukosa dan submukosa dari rektum dan menarik usus ganglionik ke arah

    ujung muskuler rektum aganglionik.

    2. Awalnya, operasi ini tidak termasuk anastomosis formal, tergantung dari

    pembentukan jaringan parut antara segmen yang ditarik dan usus yang

    aganglionik. Prosedur ini kemudian dimodifikasi oleh Boley dengan membuat

    anastomosis primer pada anus.

    Myomectomy anorectal

    1. Untuk anak dengan penyakit Hirschsprung dengan segmen yang sangat

    pendek, membuang sedikit bagian midline posterior rektal merupakan

    alternatif operasi lainnya

    2. Prosedur ini membuang 1 cm dinding rektal ekstramukosal yang bermula

    sekitar proksimal garis dentate.

    3. Mukosa dan submukosa dipertahankan dan ditutup. Pendekatan

    laparaskopik sebagai penatalaksanaan penyakit Hirschsprung pertama kali

    dideskripsikan pada tahun 1999 oleh Georgeson. Zona transisi ditentukan

    awalnya ditentukan secara laparaskopik, diikuti dengan mobilisasi rektum

    dibawah peritoneal. Mukosa transanal diseksi dilakukan, diikuti dengan

    mengeluarkan rektum melalui anus dan anastomosis. Hasil fungsional

  • sepertinya sama dengan teknik terbuka berdasarkan hasil jangka pendek

    Diet

    Makanan berserat tinggi dan mengandung buah-buahan segar dapat

    mengoptimalkan fungsi usus post-operatif pada beberapa pasien.

    Aktivitas

    Batasi aktivitas fisik selama sekitar 6 minggu untuk penyembuhan luka secara

    baik

    Medikasi

    Tujuan dari farmakoterapi untuk mengeradiksi infeksi, mengurangi morbiditas,

    dan mengurangi komplikasi.

    Antibiotik

    Terapi antimikroba harus komprehensif dan mencakup seluruh patogen terkait

    dengan keadaan klinis. Pemilihan antibiotik juga sebaiknya dipandu oleh tes

    kultur darah dan sensitivitas.

    J. Komplikasi

    Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung

    dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan

    gangguan fungsi spinkter (Irwan, 2003).

    1. Kebocoran anastomose

    Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang

    berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada

    kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta

    trauma colok dubur atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini

    dan tidak hati-hati. Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran

    anastomose ini beragam, mulai dari abses rongga pelvik, abses intraabdominal,

    peritonitis, sepsis dan kematian (Irwan, 2003).

  • 2. Stenosis

    Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh

    gangguan penyembuhan luka di daerah anastomose, serta prosedur bedah

    yang dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur

    Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur

    Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave.

    Manifestasi yang terjadi dapat berupa kecipirit, distensi abdomen,

    enterokolitis hingga fistula perianal (Irwan, 2003).

    3. Enterokolitis

    Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapat

    berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian akibat

    enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5% dan 18,5%

    masing-masing untuk prosedur Duhamel modifikasi dan Swenson. Sedangkan

    angka kematiannya adalah 3,1% untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk

    prosedur Duhamel modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita

    dengan tanda-tanda enterokolitis adalah segera melakukan resusitasi cairan

    dan elektrolit, pemasangan pipa rektal untuk dekompresi, melakukan wash out

    dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari serta pemberian antibiotika yang tepat

    (Irwan, 2003).

    Overview

    The first report of a patient with Hirschsprung disease (HD) was made in 1691

    by Frederick Ruysch, but it was Danish pediatrician Harald Hirschsprung who in

    1888 published the classic description of congenital megacolon.[1] HD is

    characterized by the absence of myenteric and submucosal ganglion cells

    (Auerbach and Meissner plexuses) along a variable length of the distal

    gastrointestinal tract.[2]The disease results in decreased motility in the affected

    javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer');
  • bowel segment, lack of propagation of peristaltic waves into the aganglionic

    colon, and abnormal or absent relaxation of this segment and of the internal

    anal sphincter. (See the images below.)

    Hirschsprung disease. Frontal abdominal radiograph

    showing marked dilatation of the bowel with no gas in the rectum.

    Hirschsprung disease. Lateral view from a barium

    enema examination depicting the reduced diameter of the rectum and

    sigmoid. Hirschsprung disease. Barium enema showing

    reduced caliber of the rectum, followed by a transition zone to an enlarged-

    caliber sigmoid.

    Pathophysiology

    javascript:refimgshow(1)javascript:refimgshow(6)javascript:refimgshow(8)
  • The congenital absence of ganglion cells in the distal alimentary tract is the

    pathologic sine qua non of HD. The aganglionosis present in HD results from a

    failure of cells derived from the neural crest to populate the embryonic colon

    during development. This failure results from a fundamental defect in the

    microenvironment of the bowel wall that prevents ingrowth of neuroblasts.

    There are, so far, 11 genetic defects known to be associated with HD, including

    mutations to the endothelin-B receptor gene and the tyrosine kinase RET gene,

    the latter being responsible for a major role in all forms of HD

    susceptibility.[3]Because of the polygenic nature of HD, there is variable

    penetrance of the condition, leading to variable manifestations of the disease.

    There is variable penetrance even in families with identified genetic

    mutations/polymorphisms, suggesting also the presence of environmental

    influences and genetic modifiers.

    Epidemiology

    The incidence of HD has been shown to be approximately 1 case per 5,000 live

    births in the United States.[4]

    There seems to be a significant variance among ethnic groups, with an

    estimated 1.5 cases per 10,000 live births in whites, 2.1 cases per 10,000 live

    births in African Americans, and 2.8 cases per 10,000 live births in Asians.

    Males are affected more than females by a ratio of 4:1.[4] However, for short-

    segment disease, the male-to-female ratio is 4.2-4.4 and for long-segment

    disease the female-to-male ratio 1.2-1.9.[5]

    As a congenital disorder, HD is manifested mostly within the first several weeks

    of life and is diagnosed until age 5 years. Occasionally, patients are diagnosed

    only during adulthood.

    javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer');
  • Mortality and morbidity

    The polygenic and varied penetrance gene condition of HD determines a wide

    range of clinical symptoms, from obstipation immediately after birth to a much

    milder picture associated with incomplete evacuation, leading eventually to

    distended abdomen, recurrent constipation, and high diaphragm.

    Better diagnostic procedures, emphasis on early diagnosis, and improvements

    in surgical techniques have contributed to decrease the mortality of individuals

    with HD. The greatest morbidity and mortality is observed in children younger

    than 1 year, owing to the possible set of Hirschsprung-associated enterocolitis

    (HAEC), with a mean incidence of 25%, which can be fatal if not diagnosed and

    treated rapidly.

    Anatomy

    HD is regarded as a neurocristopathy because there is a premature arrest of

    the craniocaudal migration of vagal neural crest cells in the hindgut between

    the fifth and twelfth week of gestation to form the enteric nervous system. As

    a consequence, both intramural ganglion cells in the Meissner (submucosal)

    and Auerbach (myenteric) plexuses are absent. The anus is always involved,

    and a variable length of distal intestine may also be involved. The aganglionic,

    aperistaltic bowel segment effectively prevents the propulsion of the fecal

    stream, resulting in dilation and hypertrophy of the normal proximal colon.

    Patients can be classified by the extension of the aganglionosis, as follows:

    Classic short-segment HD (75% of cases) - Aganglionic segment does not

    extend beyond the upper sigmoid

    Long-segment HD (20% of cases)

    Total colonic aganglionosis (3-12% of cases)

  • Some rare variants are as follows:

    Total intestinal aganglionosis (when the whole bowel is involved)

    Internal anal sphincter achalasia (previously referred to as ultrashort-segment

    HD)

    Clinical details

    Newborns with HD come to medical attention with the following symptoms:

    Delayed passage of meconium (>24 h after birth)

    Abdominal distension that is relieved by rectal stimulation or enemas

    Vomiting

    Neonatal enterocolitis

    Older children and adult symptoms are as follows:

    Severe constipation

    Chronic abdominal distension

    Vomiting

    Failure to thrive[6]

    Children presenting with abdominal distension, explosive diarrhea, vomiting,

    fever, lethargy, rectal bleeding, and shock may possibly have developed HAEC.

    The greatest risk for HAEC development occurs before the diagnosis of HD has

    been made or after the definitive pull-through operation. Children with Down

    syndrome also have increased risk for the development of HAEC.

    HD occurs as an isolated trait in 70% of patients; it is associated with a

    chromosomal abnormality in 12% of cases (>90% trisomy 21) and with

    additional congenital anomalies in 18% of cases.[6]

    Some associated syndromes are as follows:

    Down syndrome

    javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer');
  • Multiple endocrine neoplasia type 2 (MEN2)

    Cat eye syndrome

    Waardenburg syndrome

    Bardet-Biedl syndrome

    Differentials

    Intestinal Neuronal Dysplasia

    Meconium Ileus

    Meconium Plug Syndrome Imaging

    Pediatric Constipation

    Small Left Colon Syndrome

    Intervention

    The treatment is surgical and is based on the removal or bypass of the poorly

    functioning aganglionic bowel, with anastomosis of normally innervated bowel

    just above the anus, at a level that prevents further functional obstruction but

    at the same time preserves fecal continence.[7] This can be done using a

    preliminary colostomy followed by a definitive pull-through procedure or a

    definitive single-stage procedure using the 3 common operations: the Soave

    pull-through, the Duhamel procedure, and the Swenson procedure. In current

    practice, the repair can be done transanally or with the assistance of

    laparoscopy.

    In general, the treatment plan varies according to the extent of aganglionosis

    and the age of the patient. In most cases, this restores nearly normal motility

    and enables most affected individuals to have normal bowel function.

    http://emedicine.medscape.com/article/410845-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/410969-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/928185-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/937183-overviewjavascript:showrefcontent('refrenceslayer');
  • All children with HD are at risk for postoperative incontinence, enterocolitis,

    and obstructive symptoms, regardless of which operation is performed. Every

    child should therefore be followed up on a regular basis until at least age 5

    years, or longer if they are still having problems at that point.[8]

    Preferred technique

    A diagnostic evaluation should begin with plain abdominal radiography,

    followed by a contrast enema examination of the colon to confirm the

    diagnosis of HD. Occasionally, ultrasonographic findings may also suggest the

    diagnosis.[9, 10, 11]

    Manometry

    The rectal manometry is complementary to barium enema examination and

    has an accuracy of 75%. It shows an absence of normal relaxation of the

    internal sphincter, with a reduction in the intraluminal pressure in the anal

    canal when the rectum is distended with a balloon. This technique is more

    reliable from day 12 after birth, when the normal rectoenteric reflex is present.

    Biopsy

    The predictive value of biopsy is essentially 100% in excluding HD if ganglion

    cells are present. It can be performed by a rectal suction biopsy or full-

    thickness rectal biopsy. The first one eliminates the need for general

    anesthesia; however, the latter provides bigger fragments of the submucosal

    neural plexus for histological examination. In HD, the biopsy reveals an

    absence of ganglion cells, hypertrophy and hyperplasia of nerve fibers, and an

    increase in acetylcholinesterase-positive nerve fibers in the lamina propria and

    muscularis mucosa. It must be taken well above the anal valves, since ganglion

    cells are normally absent in the anal canal.

    javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer');
  • Limitations of techniques

    A radiological/ultrasonographic study alone is not a sensitive enough tool to

    exclude HD. Manometry, rectal mucosal biopsy, or both are required for an

    accurate diagnosis.

    Radiography

    Radiographs of the neonatal abdomen with Hirschsprung disease (HD) may

    show multiple loops of dilated small bowel with air-fluid levels that can usually

    be determined to be a distal bowel obstruction. An empty rectum is a common

    finding. The classic image is a dilated proximal colon with the aganglionic cone

    narrowing towards the distal gut.[6] A cutoff sign in the rectosigmoid region

    with an absence of air distally is a useful finding in Hirschsprung-associated

    enterocolitis (HAEC). (See the images below.)

    Hirschsprung disease. Frontal abdominal radiograph

    showing marked dilatation of the small bowel with no gas in the rectum.

    Hirschsprung disease. Frontal abdominal radiograph

    showing marked dilatation of the bowel with no gas in the rectum. In the

    javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:refimgshow(2)javascript:refimgshow(3)
  • sitting position, air-fluid levels in the large bowel are seen.

    Hirschsprung disease. Lateral abdominal radiograph shows a very enlarged,

    stool-filled sigmoid. No air or stool content is seen in the rectum.

    Hirschsprung disease. Plain abdominal radiograph showing

    dilatation of the transverse colon and mucosal edema (toxic megacolon).

    HD is more definitively diagnosed by means of contrast enema examination,

    which can show the presence of a transition zone, irregular contractions,

    mucosal irregularity, and delayed evacuation of contrast material, among

    other findings. Contrast enemas should be avoided in patients with

    enterocolitis because of the risk of perforation.[12] (See the images below.)

    javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:refimgshow(4)javascript:refimgshow(12)
  • Hirschsprung disease. Barium enema technique

    shows slow contrast-material infusion. Hirschsprung

    disease. Lateral view from a barium enema examination depicting the reduced

    diameter of the rectum and sigmoid. Hirschsprung disease.

    Barium enema showing reduced caliber of the rectum, followed by a transition

    zone to an enlarged-caliber sigmoid. Hirschsprung disease.

    Barium enema showing reduced caliber of the rectum, followed by a transition

    javascript:refimgshow(5)javascript:refimgshow(6)javascript:refimgshow(7)javascript:refimgshow(8)
  • zone to an enlarged-caliber sigmoid. Hirschsprung disease. A

    24-hour-delayed radiograph obtained after a barium enema examination

    shows retention of barium and stool in the rectum. This is associated with a

    dilated stool-filled sigmoid. Hirschsprung disease. Barium

    enema showing reduced caliber and length of the large bowel, with no clear

    transition zone (total colonic aganglionosis). Hirschsprung

    disease. Barium enema showing a reduced-caliber rectum and dilated large-

    bowel loops with an irregular mucosal contour (dyskinesia).

    Transition zone is the term applied to the region in which a marked change in

    caliber occurs, with the dilated, normal colon above and the narrowed,

    javascript:refimgshow(9)javascript:refimgshow(10)javascript:refimgshow(11)
  • aganglionic colon below; although this is a highly reliable sign of HD, failure to

    visualize a transition zone does not rule out the presence of the disease.[13]

    The hallmark of the diagnosis is demonstration of the transition zone from the

    dilated bowel to the reduced-caliber bowel. Obviously, finding more than 1

    sign increases the accuracy in diagnosis. Signs of HD after barium enema

    administration include the following:

    Transition zone (often subtle during the first week of life)

    Abnormal, irregular contractions of aganglionic segment (rare)

    Thickening and nodularity of colonic mucosa proximal to transition zone

    (rare)

    Delayed evacuation of barium

    Mixed barium-stool pattern on delayed radiographs

    Distended bowel loops on plain radiographs that almost fill after contrast

    enema

    Question markshaped colon in total colonic aganglionosis

    According to the results of one study, the use of the rectosigmoid index

    (widest diameter of the rectum divided by the widest diameter of the sigmoid

    colon < 1 in HD) can in some cases help to identify HD in patients when the

    diagnosis would have been missed by looking at the transitional zone alone.[14]

    Degree of confidence

    Sensitivity and specificity of a contrast enema in the diagnosis of HD are

    reported as being 76% and 97%, respectively,[15] but may be extremely difficult

    in total colonic aganglionosis, with a transition zone only being accurately

    determined in 25% or less of all colonic aganglionosis patients.[16] Barium

    enema is not as sensitive or reliable as rectal suction biopsy in ruling out HD.[17]

    javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer');
  • False positives/negatives

    Many studies have documented that a maximum of 10% of neonates with HD

    do not have a transition zone on contrast enema.[18] In addition, older children

    with a very short aganglionic segment may not demonstrate a transition zone

    on contrast enema, particularly if the catheter has been placed above the

    transition zone in the rectum. False-positive rates can be as high as 48.5% on

    contrast enema, higher in female patients and children younger than 30

    days.[19] Finally, the contrast study is not always completely accurate in

    identifying the location of the pathologic transition zone, with 12% of cases

    having a pathologic transition zone, which is different from the radiological

    transition zone.[20]

    Computed Tomography

    CT scan is not usually indicated.

    Magnetic Resonance Imaging

    MRI is not usually indicated.

    Ultrasonography

    Although ultrasonography is not the first-choice imaging tool for diagnosing

    Hirschsprung disease (HD), diagnosis is possible with real-time

    ultrasonography.[21] Oestreich reported a case of unsuspected HD in a 1-

    month-old baby who was taken to a pediatrician for a check-up. A distended

    abdomen was noted. Ultrasonography revealed the same pattern that is

    observed in a barium enema examination, that is, a dilated sigmoid narrowing

    to a narrow rectum.[22]Ultrasonography may also help in determining the

    dynamic or adynamic state of fluid- or solid-filled bowel loops.

    Degree of confidence

    javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer');
  • The degree of confidence is low because gas-filled bowel loops can make the

    diagnosis of HD difficult.