hikmah bab ii -...
TRANSCRIPT
10
BAB II
PENGARUH POLA ASUH ANAK USIA BALITA
TERHADAP PERKEMBANGAN TINGKAH LAKU ANAK
A. Pola Asuh Anak
1. Pengertian Pola Asuh
Secara etimologis, pola asuh adalah kata majemuk yang berasal
dari pola dan asuh. Pola berarti “model, gambar atau potongan untuk
contoh”. 1 dan diartikan sebagai “sistem, atau cara kerja”.2 Sedangkan
asuh diartikan “menjaga, merawat dan mendidik anak”.3 Jadi yang
dimaksud dengan pola asuh adalah cara yang ditempuh orang tua atau
pendidik dalam menjaga, merawat, mendidik dan mengarahkan agar
menjadi pribadi yang baik.
Menurut Kohn (1971), yang dikutip oleh Chabib Thoha bahwa :
Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berhubungan dengan anaknya, sikap ini dapat dilihat dari berbagai segi, antara lain dari cara orang tua atau pendidik memberikan peraturan kepada anak cara memberikan hadiah dan hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritas dan cara orang tua memberikan perhatian atau tanggapan terhadap keinginan anak. Dengan demikian yang dimaksud dengan pola asuh adalah bagaimana cara mendidik anak baik secara langsung maupun tidak langsung. 4
Cara mendidik secara langsung artinya bentuk-bentuk asuhan yang
berkaitan dengan pembentukan kepribadian, kecerdasan dan keterampilan
yang dilakukan secara sengaja baik berupa perintah, larangan, hukuman,
penciptaan situasi maupun pemberian hadiah sebagai alat pendidikan.
1 Saliman Sudarsono, Kamus Pendidikan Pengajaran dan Umum, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hlm. 184.
2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), hlm. 692.
3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996), edisi 2, hlm. 63.
4 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 110.
11
Dalam situasi seperti ini diharapkan muncul dari anak adalah efek
instruksional yakni respon-respon anak terhadap aktivitas pendidikan itu.
Mendidik secara tidak langsung adalah berupa contoh kehidupan
sehari-hari baik tutur kata sampai kepada adat kebiasaan dan pola hidup,
hubungan antara orang tua dengan keluarga, masyarakat, hubungan suami
istri. Semua ini secara tidak langsung telah membentuk situasi di mana
anak selalu bercermin terhadap kehidupan sehari-hari dari orang tua
maupun pendidik.
Karena begitu pentingnya peran orang tua maupun pendidik dalam
mendidik anak baik dalam sudut tinjauan agama, tinjauan sosial
kemasyarakatan maupun tinjauan individu. Dalam menumbuhkan
perkembangan kepribadian yang kuat dan mandiri, potensi jasmani dan
rohani serta intelektual harus berkembang secara optimal. Maka cara
mendidik anak ini dapat dilihat dalam 3 pola asuh terhadap anak, yakni
pola demokratis, pola otoriter dan pola permisif.
2. Dasar dan Fungsi Pengasuhan Anak
a. Dasar Pengasuhan
Tuntutan untuk mengasuh anak, disampaikan oleh banyak
pihak baik adat maupun agama. Dalam hal ini terdapat dua dasar
pengasuhan yaitu dasar operasional maupun dasar religius.
1) Dasar religius
Bahwa dalam pengasuhan anak terdapat ayat al-Qur’an dan
Sabda Nabi Muhammad SAW yang mengaturnya, yaitu :
a) Ayat al-Qur’an surat at-Tahrim ayat 6 yang berbunyi :
) 6: التحرمي (... ياأيها الذين ءامنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا
12
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka …”. (QS. At-Tahrim : 6) 5
b) Sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :
قال رسول اهللا صلى : عن ابى هريرة رضي اهللا عنه انه قال
مامن مولود إال يولد علىالفطرة فابوه : اهللا عليه وسلم
هانه يسجميانه اورصنيانه اود6 و
“Dari Abu Hurairah ra berkata Rasulullah saw bersabda: Tidaklah seorang yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, (suci dari kesalahan dan dosa), maka orangtuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. (H.R. Bukhori)
Dengan demikian, begitu pentingnya mendidik dan
mengasuh anak sejak dini akan lebih baik dalam membentuk
tingkah laku pada perkembangan selanjutnya.
2) Dasar operasional
Bahwa dalam pengasuhan anak terdapat undang-undang
yang mengatur tentang hal tersebut, yaitu pada keputusan
pemerintah RI No. 20 tahun 2003 pasal 28 ayat 3, yang mana
pendidikan pra sekolah tidak merupakan persyaratan untuk
memasuki pendidikan dasar tetapi lebih mengarah kepada
persiapan memasuki pendidikan dasar. Dengan demikian,
pendidikan pra sekolah meliputi : Pendidikan taman kanak-kanak,
kelompok bermain dan tempat penitipan anak maupun lainnya,
bukan suatu hal yang wajib diikuti oleh seorang anak usia tiga
sampai lima tahun. Sedangkan Tempat Penitipan Anak (TPA) ini
5 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : CV. Thoha Putra,
1989), hlm. 951. 6 Imam Bukhori, Shohih al-Bukhari, Juz II, (Baerut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t), hlm.
913.
13
dikelola oleh Departemen Sosial, karena tidak masuk kepada
pendidikan formal. 7
b. Fungsi Pengasuhan Anak
Dalam landasan bahwa mengasuh dalam rangka
mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh anak, maka fungsi
pengasuhan seharusnya melingkupi semua dimensi kemanusiaan pada
anak.
Menurut Hasan Langgulung, fungsi pengasuhan orang tua atau
pendidik dalam Islam mencakup tujuh bidang pendidikan, yaitu :
1) Dalam pendidikan jasmani dan kesehatan anak-anaknya baik dari aspek perkembangan maupun aspek perfungsian.
2) Dalam pendidikan akal (intelektual anak), yaitu dengan menolong anak menemukan bakat dan minat serta sikap intelektual yang melatih kemampuan akal
3) Pendidikan keindahan, dengan membiasakan hidup rapi dan teratur tanpa harus dengan kemewahan
4) Pendidikan psikologikal dan emosi anak, agar dapat menciptakan kematangan diri anak untuk berfikir positif dan dinamis
5) Pendidikan agama bagi anak-anak, yaitu dalam membangkitkan kekuatan spiritual yang bersifat naluriah melalui bimbingan agama untuk bekal kehidupan anak
6) Pendidikan akhlak, melatih untuk dibiasakan sejak kecil. 7) Pendidikan sosial bagi anak-anak sangat menentukan dalam
kehidupan dengan orang lain dalam bergaul. 8
Dari ke tujuh hal tersebut di atas secara umum fungsi
pengasuhan berperan dalam hal memberikan bantuan terhadap
perkembangan anak seutuhnya dalam arti dapat mengembangkan
potensi fisiknya semaksimal mungkin, serta sebagai pembinaan aspek
kecakapan, keterampilan (skill) nilai praktis yang harus diberikan
kepada anak.
Untuk melihat fungsi pengasuhan di atas, keberhasilan dan
kegagalan seseorang dalam mendidik anak tergantung kepada
7 Tim Redaksi Fokus Media, Undang-undang RI No. 20 th. 2003 tentang Sisdiknas, (Bandung: Fokus Media, 2003), hlm. 18.
8 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta : Al-Husna, 1995), hlm. 365-375.
14
pendidikan pertama yang diterimanya pada usia dini. Pada pengasuhan
yang apabila diterapkan secara setengah hati dan tidak tegas akan
berdampak negatif pada anak. Inilah sebenarnya yang menjadi
tanggung jawab keluarga dalam mendidik anak. Karena pendidikan
anak tergantung pada adanya kerjasama yang baik antara orang tua
atau pendidik di satu pihak, dan lingkungan keluarga atau masyarakat
yang lain. Dengan cara inilah kita dapat menciptakan generasi masa
depan anak yang mampu memahami misi hidupnya dengan baik.
Dari fungsi-fungsi di atas jika dapat terlaksana, maka hal ini
akan berpengaruh pada wujud diri anak, baik dari sisi kognisi, afeksi
maupun psikomotorik anak. perwujudan ini akan menyangkut
penyesuaian dalam dirinya maupun dengan lingkungan sekitarnya.
3. Bentuk-bentuk Pola Asuh
Ada berbagai ciri perlakuan (pola asuh) yang diterima anak dari
orang tua maupun pendidik. Semuanya mempunyai implikasi sendiri-
sendiri pada anak. Secara garis besar ada 3 pola asuh yang diterapkan
kepada anak, yaitu :
a. Pola asuh otoriter
Merupakan cara mendidik anak dengan menggunakan
kepemimpinan otoriter, kepemimpinan otoriter mempunyai ciri yaitu
memimpin atau mengasuh anak dengan menentukan semua kebijakan,
langkah dan tugas yang harus dikerjakan bersifat agresif dan apatik.
Pola asuh otoriter juga ditandai dengan cara mengasuh anak
dengan aturan-aturan yang ketat, seringkali memaksa anak untuk
berperilaku seperti pengasuh, kebebasan untuk bertindak atas nama diri
sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan bertukar
pikiran dengan orang tua atau pengasuh, mereka yakin bahwa anak-
anak harus berada di tempat yang telah ditentukan. Karena pola asuh
otoriter ini menuntut agar semua peraturan-peraturan itu dipatuhi oleh
anak.
15
Pola asuh yang otoriter juga ditandai dengan penggunaan
hukuman yang keras, lebih banyak hukuman badan, anak juga diatur
segala keperluan dengan aturan yang ketat dan masih tetap
diberlakukan meskipun sudah menginjak dewasa. Anak yang
dibesarkan dalam situasi seperti ini akan mempunyai sifat yang ragu-
ragu, lemah kepribadian dan tidak sanggup mengambil keputusan
tentang apa saja.9
Sedangkan orang tua atau pendidik yang otoriter dicirikan
sebagai orang tua atau pendidik yang berorientasi pada diri sendiri,
mendominasi proses pendidikan, menuntut kepatuhan yang berlebihan,
tidak menggunakan pujian dan hadiah serta mengutamakan hukuman
sebagai alat pendidikan.
Perilaku yang dapat mencirikan orang tua atau pendidik yang
otoriter diantaranya sebagai berikut :
1) Anak harus mematuhi peraturan orang tua atau pendidik, dan tidak boleh membantah
2) Orang tua atau pendidik lebih cenderung mencari kesalahan pada pihak anak dan kemungkinan menghukumnya
3) Kalau terdapat perbedaan pendapat orang tua atau pendidik dengan anak, maka anak dianggap sebagai seorang yang suka melawan dan membangkang.
4) Lebih cenderung memberikan perintah dan larangan terhadap anak.
5) Lebih cenderung memaksakan disiplin 6) Orang tua atau pendidik lebih cenderung menentukan segala
sesuatu untuk anak dan anak hanya sebagai pelaksana (orang tua atau pendidik berkuasa).10
Dari ciri di atas dapat diketahui bahwa pola asuh otoriter
merupakan pola yang berpusat pada orang tua atau pendidik. Orang tua
atau pendidik sebagai sumber segalanya, sedangkan anak sebagai
9 Chabib Thoha, op.cit., hlm. 111. 10 Zahari Idris, Dasar-dasar Pendidikan, (Padang : Angkasa Raya, 1987), hlm. 39-40.
16
pelaksana saja. Dan sedikit atau tanpa melibatkan pendapat dan
inisiatif anak.
Dari pola otoriter ini, banyak merugikan anak dan lebih lanjut
kepada masyarakat. Sebab anak jadi tidak mengenali dan memahami
jati dirinya sendiri, sehingga seringkali berperilaku tidak tepat.
Misalnya anak sering membuat keonaran atau anak sangat pasif, secara
diri kerugian yang diterima anak tidak dapat mengembangkan potensi-
potensi dirinya. Sedangkan pada masyarakat, dari keonaran yang
dilakukan anak dapat merusak ketentraman lingkungan, juga
masyarakat kehilangan generasi penerus yang berkualitas.
b. Pola asuh permisif
Pola asuh permisif merupakan kebalikan dari pada otoriter,
pola asuh permisif merupakan pola asuh yang berpusat pada anak, di
mana anak mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk menentukan
segala sesuatu yang diinginkan sampai-sampai tidak ada batasan
aturan-aturan maupun larangan-larangan dari orang tua atau pendidik.
Pola asuh ini ditandai dengan cara orang tua atau pendidik,
mendidik anak secara bebas. Anak dianggap orang dewasa atau muda,
ia diberi kelonggaran seluas-luasnya untuk melakukan apa saja yang
dikehendaki. Kontrol orang tua atau pendidik sangat lemah, juga tidak
memberikan bimbingan yang cukup berarti bagi anaknya. Semua apa
yang kelak dilakukan oleh anak adalah benar dan tidak perlu
mendapatkan teguran, arahan atau bimbingan.11
Orang tua atau pendidik permisif apabila mendidik kedisiplinan
pada anak cenderung tidak berhasil sebab biasanya disiplin permisif
tidak membimbing anak berperilaku yang disetujui secara sosial dan
tidak menggunakan hukuman. Mereka membiarkan anak meraba
dalam situasi yang sulit untuk ditanggulangi oleh mereka sendiri tanpa
bimbingan atau pengendalian.12
11 Chabib Thoha, op.cit., hlm. 112. 12 Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak Jilid I, (Jakarta : Erlangga, 1988), hlm. 8.
17
Pada dasarnya orang tua atau pendidik permisif berusaha
menerima dan mendidik sebaik mungkin, tetapi cenderung sangat pasif
ketika sampai ke masalah penetapan batas-batas atau menanggapi
ketidakpatuhan. Pola permisif tidak begitu menuntut, juga tidak
menetapkan sasaran yang jelas bagi anak, karena meyakini bahwa anak
seharusnya berkembang sesuai dengan kecenderungan alamiahnya.
Ciri perilaku orang tua atau pendidik permisif yang dijabarkan
oleh Zahari Idris sebagai berikut :
1) Membiarkan anak bertindak sendiri tanpa memonitor dan membimbingnya.
2) Mendidik anak acuh tak acuh, pasif dan masa bodoh 3) Lebih menentukan pemberian kebutuhan material pada anak 4) Membiarkan saja apa yang diberlakukan anak (terlalu
membiarkan kebebasan untuk mengatur dirinya tanpa ada peraturan-peraturan dan norma-norma yang digariskan).
5) Kurang sekali keakraban dan hubungan yang hangat dengan keluarga maupun teman sebayanya.13
Dibandingkan pola otoriter dengan anak yang dididik secara
permisif ada peluang lebih besar untuk dapat lebih mengenali dirinya,
sifat keakuannya sedikit lebih terbangun, sebab anak lebih terbiasa
untuk dapat mengatur dan menata dirinya sendiri tanpa harus
tergantung pada orang lain. Namun juga berpeluang untuk
menciptakan anak-anak yang asosial sebab anak terbiasa untuk berbuat
semaunya sendiri.
c. Pola asuh demokratis
Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan orang
tua atau pendidik terhadap kemampuan anak. anak diberi kesempatan
untuk tidak selalu tergantung kepada orang tua atau pendidik. Orang
tua pendidik sedikit memberi kebebasan kepada anak untuk memilih
apa yang terbaik bagi dirinya. Anak didengarkan pendapatnya,
dilibatkan dalam pembicaraan terutama yang menyangkut dengan
kehidupan anak itu sendiri. Anak diberi kesempatan untuk
13 Zahari Idris, op.cit., hlm. 41.
18
mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit
berlatih untuk bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Anak
dilibatkan dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam
menyangkut hidupnya.
Pola demokratis yang digambarkan sebagai orang tua atau
pendidik yang memberi bimbingan, tetapi tidak mengatur mereka
memberi penjelasan tentang yang mereka lakukan serta membolehkan
anak memberi masukan dalam pengambilan keputusan penting.
Mereka menghargai kemandirian anak-anaknya, tetapi menuntut
mereka memenuhi standar tanggung jawab yang tinggi pada keluarga,
teman dan masyarakat serta perilaku kekanak-kanakan tidak diberi
tempat.14
Jadi pola asuh demokratis ada hubungan timbal balik antara
anak dengan orang tua atau pendidik dalam menjalankan dan
memenuhi kewajiban masing-masing. Dalam pola ini tidak ada yang
mendominasi, semuanya mempunyai kesempatan yang sama dalam
menentukan keputusan dan tindakan.
Namun, menurut Prof. Dr. Abduh Azizi El-Qussy, yang dikutip
oleh Chabib Thoha mengemukakan, tidak semua orang tua atau
pendidik harus mentolelir terhadap anak. dalam hal-hal tertentu orang
tua atau pendidik perlu ikut campur, misalnya :
1) Dalam keadaan yang membahayakan hidupnya atau keselamatan anak.
2) Hal-hal yang terlarang bagi anak dan tidak tampak alasan-alasan yang lahir
3) Permainan yang menyenangkan bagi anak, tetapi menyebabkan keruhnya suasana yang mengganggu ketenangan umum.15
Pola asuh dan sikap orang tua atau pendidik yang demokratis
menjadikan adanya komunikasi yang dialogis antara anak dan orang tua
14 Lawrence S. Shopiro, Mengajarkan Emotional Intelegence, (Jakarta : Gramedia, 1999),
hlm. 28. 15 Chabib Thoha, loc.cit.
19
atau pendidik. Dan adanya kehangatan yang membuat anak merasa
diterima di keluarga atau di masyarakat menjadi pendorong terhadap
perkembangan anak ke arah yang positif.16
B. Perkembangan Tingkah Laku Anak
1. Pengertian Tingkah Laku
Secara etimologis, tingkah laku adalah kata majemuk yang berasal
dari kata tingkah dan laku. Tingkah berarti “perbuatan dan ulah yang aneh-
aneh atau tidak wajar”. 17 Sedangkan laku berarti “kelakukan atau
perbuatan”.18
Dalam bahasa Islam disebut sebagai “akhlak” bentuk jamak dari
kata “khulk” yang berarti “budi pekerti, perangai, tingkah laku atau
tabiat”.19
Dari segi bahasa “tingkah laku” adalah tanggapan atau reaksi
individu yang terwujud pada geark (sikap) tidak saja badan ataupun
ucapan.20
Sedangkan secara istilah, ada beberapa pendapat mengenai
pengertian tingkah laku.
a. Menurut J.B Watson yang dikutip oleh Sarlito Wirawan Sarwono
mengatakan bahwa :
“tingkah laku sebagai tanggapan atau balasan (respon) terhadap
rangsang (stimulus)”.21
16 M. Shochib, Pola Asuh Orang Tua, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1998), hlm. 6. 17 Peter Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta : Modern Inggris Press,
1991), hlm. 1351. 18 W.J.S Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen P dan K, (Jakarta : Balai Pustaka, 2003), hlm. 650. 19 Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2002), hlm. 1. 20 W.J.S Poerwadarminto, op.cit., hlm. 1279. 21 Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta : Rajawali Press, 1991),
hlm. 13.
20
b. Menurut Wolman Benjamin B mengatakan:
“Behavior is the totality of intra and extraorganismic actions and
interactions of an organism with its physical and social
environment”.22
“Perilaku adalah keseluruhan perilaku organ dalam dan organ luar
interaksi dari sebuh organ dengan lingkungan fisik serta lingkungan
sosialnya.”
c. Menurut Ibn Maskawaih yang dikutip oleh Hasyim Asy’ari
“Khuluq atau akhlak adalah keadaan gerak jiwa yang mendorong
untuk melakukan perbuatan dengan tanpa memerlukan pemikiran”.23
d. Menurut Ahmad Amin
“Akhklak adalah kebiasaan kehendak. Ini berarti bahwa kehendak itu
bila dibiasakan akan sesuatu, maka kebiasaannya itu disebut akhlak”.24
Kemudian dapat disinggung mengenai perkembangan, ada
beberapa pendapat pengertian dari perkembangan diantaranya :
a. Menurut F.J. Monk bahwa :
“Perkembangan adalah suatu proses yang kekal dan tetap yang menuju
ke arah suatu organisasi. Pada tingkat integrasi yang lebih tinggi,
berdasarkan proses pertumbuhan, kemasakan dan belajar”.25
b. Menurut Lester D. Crow dan Alice Crow yang dikutip oleh Mustaqim
bahwa :
“Perkembangan itu lebih tepat dapat dipergunakan untuk menunjuk
potensi-potensi tingkah laku dari dalam yang terpengaruh oleh
rangsangan lingkungan” 26
22 Wolman, Benjamin B., Dictionary of Behavioral Science, (New York: Van Nostrand
Reinhold Company, 1973), hlm. 41.
23 Hasyim Asy’ari, Akhlak Pesantren, (Yogyakarta : PT. Bayu Indra Grafika, 2001), hlm. 39.
24 Ibid., hlm. 40. 25 F.J. Monk, dkk, Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta : Gajah Muda University Press,
1982), hlm. 2. 26 Mustaqim, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 13.
21
c. Menurut Soegarda Poerbakawatja bahwa :
“Perkembangan merupakan suatu proses dalam pertumbuhan yang
menunjukkan adanya pengaruh dalam yang menyebabkan
bertambahnya tempo, kualitas dalam pertumbuhan”.27
Jadi, dari pengertian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa
perkembangan tingkah laku merupakan suatu proses perubahan dari
potensi yang dimiliki individu dan tampil dalam kualitas kemampuan, sifat
dan ciri-ciri baru terhadap stimulus atau rangsangan baik dari dalam
maupun dari luar, sehingga dapat mempengaruhi pola kehidupan anak
dalam tahap-tahap tertentu pada masa pertumbuhannya.
Karena tingkah laku merupakan satu kesatuan perbuatan dari
manusia yang berarti, di mana setiap tingkah laku manusia merupakan
response terhadap stimulus yang mana stimulus tersebut berupa kebutuhan
dan tujuan, dan tingkah tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dan
tujuan.
Sedangkan perkembangan merupakan suatu perubahan di mana
lebih menunjukkan kepada perubahan psikis yang terjadi akibat dari
kekuatan intern secara otomatis, dan kekuatan-kekuatan dari luar.
2. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Tingkah Laku
Secara sederhana faktor yang mempengaruhi perkembangan
tingkah laku ada 2 diantaranya faktor internal dan faktor external.
a. Faktor internal
Faktor internal adalah faktor yang terdapat di dalam diri pribadi
manusia, faktor tersebut terdapat dari :
1) Pengalaman pribadi
Setiap manusia pasti mempunyai pengalaman pribadi
masing-masing. Tentang masalah ini Zakiah Daradjat mengatakan :
“Sebelum anak masuk sekolah telah banyak pengalaman yang diterima di rumah dari orangtuanya, saudaranya serta seluruh anggota keluarganya di samping dari sepermainan.
27 Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta : Gunung Agung, 1982), hlm.
276.
22
Menurut penelitian ahli jiwa, terbukti bahwa semua pengalaman yang dilalui orang sejak lahir merupakan unsur pribadinya”.28
Faktor pengalaman ini disebut juga sebagai aliran
empirisme. Empirisme berasal dari kata empiris yang berarti
pengalaman. Menurut aliran empirisme seluruh perkembangan
manusia ditentukan oleh pengalaman yang diterimanya dari
lingkungan. Teori John dikenal dengan teori tabularasa, yaitu teori
yang menyatakan bahwa anak lahir di dunia bagaikan kertas putih
yang bersih. Apa dan bagaimana isi kertas tersebut tergantung
kepada yang menulisnya. Maka, bagaimana jadinya anak tersebut
kelak sepenuhnya tergantung dari pengalaman pengalaman yang
diperolehnya dari lingkugannya. Lingkungan yang menentukan
perkembangan anak tersebut dapat terjadi secara sengaja dan
dirancang secara sistematis.29
Sedangkan pendapat lain juga mengatakan bahwa tingkah
laku manusia dapat diubah sesuai dengan apa yang dikehendaki,
dengan memberikan perangsang tertentu. Dengan demikian
pengaruh tersebut dapat menciptakan manusia yang ideal dengan
menyediakan kondisi-kondisi yang diperlukan untuk itu.
2) Pengaruh Emosi
Kemampuan untuk bereaksi secara emosional sudah ada
sejak anak dilahirkan. Namun pengaruh emosi ini tidak berjalan
dengan sendirinya, tetapi sangat dipengaruhi oleh peran
pematangan dan peran proses belajar yang dilakukan. Sehingga
menurut Soemiarti Padmonodewo bahwa emosi seseorang cukup
besar pengaruhnya terhadap pembentukan tingkah laku anak. hal
ini disebabkan oleh beberapa perubahan diantaranya :
28 Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Bulan Bintang : Jakarta, 1980), hlm. 11. 29 Wayan Nur Kancana, Perkembangan Jasmani dan Kejiwaan, (Surabaya : Usaha
Nasional, 2001), hlm. 25.
23
a) Kesadaran kognitif anak telah meningkat memungkinkan pemahaman terhadap lingkungan berbeda dengan tahapan semula pada masa bayi.
b) Imaginasi atau daya khayalnya lebih berkembang c) Berkembangnya wawasan sosial anak.
Umumnya mereka telah memasuki lingkungan di mana teman sebaya mulai berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari.30
Pengaruh emosi anak yang sehat sangat membantu bagi
keberhasilan anak, maka bimbingan yang perlu diperhatikan oleh
orang tua atau pendidik adalah dalam hal :
a) Kemampuan untuk mengenal, menerima dan berbicara tentang perasaan-perasaannya.
b) Menyadari bahwa ada hubungan antara emosi dengan tingkah laku sosial
c) Kemampuan untuk menyalurkan keinginannya tanpa menggangung perasaan orang lain
d) Kemampuan untuk peka terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain.31
b. Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang terdapat di luar diri pribadi
manusia. Adapun faktor-faktor tersebut antara lain :
1) Pengaruh orang tua
Mengingat pembentukan sikap dan tingkah laku yang
dilakukan sejak dalam kandungan, maka yang paling berperan di
sini adalah kedua orang tua. Oleh karena itu, orang tua hendaknya
menjadi contoh yang baik dalam segala aspek kehidupan bagi
anak, karena anak belum dapat memahami hanya dengan
pengertian saja.32
Dalam pengertian lain, bahwa faktor orang tua termasuk
dalam faktor hereditas ataupun faktor kelahiran atau keturunan.
30 Soemiarti Padmonodewo, Pendidikan Anak Pra Sekolah. (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1998), hlm. 30.
31 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 169-170.
32 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Bulan Bintang : Jakarta, 1996), hlm. 77.
24
Menurut Schopenhaner yang dikutip oleh Wayan Nurkancana
menyebut sebagai aliran Nativisme.
Nativisme berasal di kata Natives yang berarti kelahiran. Menurut aliran ini seluruh perkembangan manusia ditentukan oleh faktor-faktor yang telah dibawa oleh anak sejak ia dilahirkan (Hereditas). Faktor ini diterima oleh anak dari kedua orang tuanya, di mana kedua orang tuanya menerimanya dari leluhurnya terdahulu.33
2) Faktor lingkungan
Yang dimaksud dengan faktor lingkungan adalah semua
faktor yang berada di luar individu yang bersangkutan.
Perkembangan seorang telah dipengaruhi oleh lingkungan sejak
yang bersangkutan masih berada di dalam kandungan.34
Karena faktor lingkungan ini secara langsung dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan tingkah laku anak, maka faktor
lingkungan meliputi :
a) Faktor keluarga
Faktor keluarga disebut juga sebagai faktor rumah,
karena keluarga merupakan yang pertama berperan dalam
pembentukan kepribadian anak. Beberapa sifat lingkungan
rumah yang memungkinkan anak membentuk sifat-sifat
kepribadian yang dapat diterima oleh umum, yaitu :
(1) Kesediaan orang tua menerima anak sebagai anggota keluarga yang berharga
(2) Pertengkaran dan perselisihan paham antara orang tua supaya tidak terjadi dihadapan anak
(3) Adanya sikap demokratis yang memungkinkan setiap anggota keluarga mengikuti arah minatnya sendiri, sejauh tidak merugikan atau merintangi kesejahteraan orang lain, baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan di luar keluarga.
(4) Penyesuaian yang baik antara ayah dan ibu dalam pernikahan
33 Wayan Nurkancana, Op.Cit., hlm. 26. 34 Ibid., hlm. 31.
25
(5) Penerimaan (akseptasi) sosial para tetangga terhadap keluarga.35
Dengan demikian keluarga mempunyai fungsi yang
tidak hanya terbatas selaku penerus keturunan saja. Dalam
bidang pendidikan keluarga mempunyai pendidikan utama,
karena segala pengetahuan dan kecerdasan intelektual manusia
diperoleh pertama kali dari orang tua dan anggota keluarganya
sendiri.
b) Faktor teman sebaya
Dalam hal ini, anak belajar bermain dengan anak lain,
belajar bekerja sama dengan anak lain. Anak berusaha
mencapai realisasi diri melalui keberhasilan, anak harus
melebihi hasilnya sendiri untuk dapat maju. Cara-cara yang
memberikan keberhasilan dalam persaingan dalam hubungan
dengan teman sekolah, akan dipakainya dalam kompetisi
selanjutnya. Kebiasaan ini akan berlangsung terus dalam
integrasi kepribadian pada masa dewasa.36
c) Lingkungan sekolah
Merupakan badan pendidikan yang penting pula setelah
keluarga. Maka orang tua menyerahkan tanggung jawabnya
sebagian kepada lembaga sekolah, di mana sekolah berfungsi
sebagai pembantu keluarga dalam mendidik anak dan sekolah
memberikan pendidikan dan pengajaran apa yang tidak dapat
atau tidak ada kesempatan orang tua untuk memberikan
pendidikan dan pengajaran di keluarga.37
Lingkungan sekolah di sini dapat dikategorikan sebagai
tempat penitipan anak, yang dalam pengasuhan kepada anak
35 Singgih D. Gunarso dan Ny. Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Membimbing, (Jakarta
: PT. BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 75-76. 36 Ibid., hlm. 78. 37 Zuhairi, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), hlm. 179.
26
dididik dan dibina, akhirnya nanti menjadi bekal masuk ke
sekolah dasar dan sejenisnya..
d) Lingkungan masyarakat
Menurut Ngalim Purwanto mengenai masyarakat
mengatakan bahwa :
Masyarakat adalah kumpulan dan paduan dari keluarga yang uga didalamnya terdapat hukum-hukum, tata tertib, dan aturan-aturan yang tertulis dan tidak tertulis.38
Dalam masyarakat, individu (terutama anak-anak) akan
melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya atau
anggota masyarakat lainnya.
Dari beberapa faktor lingkungan di atas, maka apabila
kondisi lingkungan yang sehat, akan dapat merangsang
perkembangan anak sehingga mencapai hasil maksimal.
Lingkungan yang baik adalah lingkungan di mana anak dapat
memperoleh kesempatan untuk dapat menggunakan dan
mengembangkan kemampuan anak semaksimal mungkin.
Dengan mengetahui peranan lingkungan yang sangat
berpengaruh terhadap perkembangan anak, maka secara otomatis
baik tidaknya suatu lingkungan tergantung kepada orang tua atau
pendidik dapat mengarahkan dan menciptakan lingkungan tersebut
menjadi terkendali. Sehingga anak dapat memilih bagaimana dan
dengan siapa dia dapat bergaul atau berinteraksi dengan
masyarakat sekitar.
Dari kedua faktor tersebut, menurut William Stern
menciptakan hukum konvergensi yang dikutip oleh Wayan
Nurkancana menyatakan bahwa :
Perkembangan manusia adalah merupakan Resultante dari faktor hereditas dengan faktor lingkungan. Karena faktor
38 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 2002), hlm. 170.
27
hereditas tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai dengan faktor hereditas tersebut. sebaliknya lingkungan yang baik tidak bisa menghasilkan perkembangan yang optimal kalau pada diri anak tidak terdapat faktor hereditas yang diperlukan untuk perkembangan tersebut.39
Maka dapat dikatakan bahwa jalan perkembangan anak
sedikit banyaknya ditentukan oleh pembawaan yang turun
temurun, yang oleh aktivitas dan pemilihan atau penentuan anak
sendiri yang dilakukan dengan bebas di bawah pengaruh faktor-
faktor lingkungan tertentu, akan berkembang menjadi sifat-sifat
yang dimiliki oleh anak.
3. Aspek-aspek Perkembangan Anak Usia Balita
Pada hakikatnya, individu merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Tetapi untuk memudahkan memahami dunia perkembangan
anak terdapat aspek-aspek perkembangan menurut Thorndike, antara
lain:40
a. Aspek Fisik
Perkembangan fisik merupakan dasar dari kemajuan
perkembangan berikutnya. Dengan meningkatnya pertumbuhan tubuh
baik menyangkut ukuran berat dan tinggi, maupun kekuatan anak
memungkinkan anak untuk dapat lebih mengembangkan keterampilan
fisiknya dan eksplorasi terhadap lingkungannya dengan tanpa bantuan
dari orang lain. Perkembangan sistem syaraf pusat memberikan
kesiapan kepada anak untuk lebih dapat meningkatkan pemahaman
dan penguasaan terhadap tubuhnya.41
Perkembangan fisik anak ditandai juga dengan kemampuan
atau keterampilan motoriknya. Hal ini terletak dalam penampilan,
proporsi tubuh, berat, panjang badan dan keterampilan yang mereka
39 Wayan Nurkancana, op.cit., hlm. 28. 40 Ibid., hlm. 26. 41 Syamsu Yusuf, op.cit., hlm. 163.
28
miliki. Dalam keterampilan motorik ini terdapat dua bagian yaitu
keterampilan motorik kasar dan keterampilan motorik halus.
Keterampilan motorik kasar adalah koordinasi sebagian besar
otot tubuh misalnya melompat, main jungkat-jungkit, dan berlari.
Keterampilan motorik halus adalah koordinasi bagian kecil dari tubuh,
terutama tangan ketarampilan motorik halus misalnya kegiatan
membalik halaman buku, menggunakan gunting dan menggabungkan
kepingan aneka mainan.42
Perkembangan motorik inilah yang memungkinkan anak dapat
melakukan segala sesuatu, yang terkandung dalam jiwanya, dengan
sewajarnya. Dengan perkembangan motorik itu anak makin kaya
dalam bertingkah laku, sehingga memungkinkan anak memperkaya
perbendaharaan mainannya, bahkan memungkinkan anak
memindahkan aktivitas bermainnya. Kreativitas belajar dan bekerja
memungkinkan anak melakukan kewajiban, tugas, bahkan keinginan-
keinginannya sendiri.43
Ciri-ciri fisik anak usia antara 3 sampai 5 tahun dapat dilihat
dari beberapa segi diantaranya :
1) Proporsi tubuh
Dengan bertambahnya usia anak, perbandingan antar
bagian tubuh akan berubah. Dengan bertambahnya usia, letak
grativitas makin berada di bawah tubuh. Dengan demikian bagi
anak yang makin berkembang usianya, keseimbangan tersebut ada
ditungkai bagian bawah.
Pada akhir usia tiga tahun, seorang anak memiliki tinggi 3 kaki dan 6 inchi lebih tinggi saat ia berusia 5 tahun. Berat badannya kira-kira 15 Kg dan diharapkan menjadi 20 Kg saat ia berusia 5 tahun. Tentu saja perbedaan berat dan tinggi badan anak dipengaruhi oleh faktor keturunan, efek dari pemberian nutrisi, dan faktor lain yang dimiliki anak dalam riwayat hidupnya. Anak laki-laki akan lebih tinggi
42 Soemiarti Padmonodewo, Op.Cit., hlm. 26. 43 Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1995), hlm. 70.
29
dan lebih berat daripada anak perempuan, namun hal ini juga bisa saja berbeda karena bergantung pada perawatan dan kecenderungan pertumbuhan anak. Dalam usia ini otot-otot anak menjadi lebih kuat dan tulang-tulang tumbuh menjadi besar dan keras.44 Otakpun telah berkembang sekitar 75 % dari berat otak usia
dewasa. Gigi masih merupakan gigi susu dan akan berganti pada
perkembangan berikutnya dengan gigi tetap.
2) Perkembangan motorik anak
Perkembangan motorik tidak saja mencakup berjalan,
berlari, melompat, naik sepeda roda tiga, mendorong, menarik,
memutar dan berbagai aktivitas koordinasi mata tangan, namun
juga melibatkan hal-hal seperti menggambar, mengecat, mencoret
dan kegiatan lain.
Kemampuan keseimbangan membuat anak mencoba
berbagai kegiatan dengan keyakinan yang besar akan keterampilan
yang dimilikinya. Anak sangat menyukai gerakan yang
membangkitkan semangat. Untuk itu, mereka tidak butuh duduk
berlama-lama. Sehingga yang cocok pada usia ini permainan yang
merangsang kegemaran mereka akan gerakan-gerakan bukan
permainan kompetisi.45
Maka dari hal tersebut di atas perkembangan fisik anak
sangat diperlukan gizi yang cukup baik, karena kondisi kesehatan
anak yang baik akan memungkinkan anak dapat secara maksimal
menikmati apapun yang dilakukan dan dapat pula membantu anak
dalam mencapai keberhasilan maksimal dalam melakukan berbagai
kegiatan yang terkait dengan tugas, perkembangan yang harus
diselesaikan.
44 Reni Akbar Hawadi, op.cit., hlm. 6. 45 Ibid., hlm. 7.
30
Dalam rangka membantu perkembangan fisik anak maka
orang tua atau pengaruh harus memiliki sikap yang positif yang
berkaitan dengan perkembangan anak, diantaranya adalah :
a) Pengenalan atau pengetahuan akan namanya dan bagian-bagian tubuhnya
b) Kemampuan untuk mengidentifikasi fungsi-fungsi tubuh
c) Pemahaman bahwa walaupun setiap individu berbeda dalam penampilannya, seperti perbedaan dalam warna rambut, kulit dan mata, atau tingginya, namun semua orang memiliki kesamaan karakteristik fisik yang sama.
d) Menerima bahwa semua orang memiliki keterbatasan dalam kemampuannya, seperti setiap orang dapat berjalan, berlari atau melompat, tetapi tidak ada seorangpun yang dapat terbang
e) Kemampuan untuk memahami bahwa tubuh itu berubah secara konstan, dan pertumbuhan fisik itu berawal dengan kelahiran dan berakhir dengan kamatian.
f) Pemahaman akan pentingnya tidur, dan juga sebagai dua siklus kehidupan yang penting bagi kehidupan
g) Mengetahui kesadaran sensori (merasa, melihat, mendengar, mencium, dan menyentuh atau meraba).
h) Memahami keterbatasan fisik, seperti lelah, sakit, dan melemah.46
b. Aspek Psikis
Dalam aspek psikis ini terdapat 3 hal yang harus diperhatikan
dalam perkembangan anak diantaranya :
1) Kognitif (pengenalan)
Kognitif seringkali diartikan sebagai kecerdasan atau
berfikir. Kognitif adalah pengertian yang luas mengenai berfikir
dan mengamati. Jadi merupakan tingkah laku - tingkah laku yang
mengakibatkan orang memperoleh pengetahuan atau yang
dibutuhkan untuk menggunakan pengetahuan.47
Selain berfikir dan mengamati, tanggapan, fantasi, maupun
ingatan merupakan bagian dari kognitif. Perkembangan kognitif
46 Syamsu Yusuf, op.cit., hlm. 164-165. 47 Soemiarti Padmonodewo, op.cit., hlm. 27.
31
pada anak dipengaruhi oleh faktor kematangan dan pengalaman,
yaitu dinyatakan dengan pertumbuhan kemampuan merancang,
mengingat dan mencari penyelesaian masalah yang dihadapi.
Menurut Piaget, yang dikutip oleh Syamsu Yusuf
mengemukakan bahwa :
Perkembangan kognitif pada usia ini berada pada periode preoperasional, yaitu tahapan di mana anak belum mampu menguasai operasi mental secara logis. Periode ini ditandai dengan berkembangnya representasional, atau “Symbolic Function”, yaitu kemampuan menggunakan sesuatu untuk merepresentasikan (mewakili) sesuatu yang lain dengan menggunakan simbol (kata-kata, gesture atau bahasa gerak, dan benda). Dapat juga dikatakan sebagai “semiotic function”, kemampuan untuk menggunakan simbol-simbol (bahasa, gambar, tanda atau isyarat, benda, gesture, atau peristiwa) untuk melambangkan suatu kegiatan, benda yang nyata, atau peristiwa. Melalui kemampuan di atas, anak mampu berimajinasi atau berfantasi tentang berbagai hal. Anak dapat menggunakan kata-kata peristiwa dan benda untuk melambangkan yang lainnya.48
Kegiatan mengamati pada aspek kognitif ini dimaksudkan
untuk mengenal dunia sekitar dengan menggunakan alat indra,
seperti melihat sesuatu dengan mata, mendengar suara dengan
telinga, dan lain sebagainya. Dalam periode anak-anak, kegiatan
pengamatan benar-benar telah dilakukan secara aktif. Apalagi bila
diingat, bahwa dalam periode ini anak manusia sedang haus-
hausnya dan memiliki keinginan yang kuat untuk mengenal segala
sesuatu di sekitarnya, maka hampir seluruh aktivitas hidupnya
tercurahkan ke sana, baik secara langsung maupun tidak
langsung.49
48 Syamsu Yusuf, Op.Cit., hlm. 165 49 Imam Bawani, Ilmu Jiwa Perkembangan dalam Konteks Pendidikan Islam, (Surabaya :
PT. Bina Ilmu, 1990), hlm. 85.
32
Begitu anak-anak mengamati sesuatu baik dengan mata,
telinga, hidung dan sebagainya maka di dalam kesadaran mereka
terdapat kesan, hasil atau gambaran dari kegiatan pengamatan itu,
yang dalam istilah psikologi disebut “Tanggapan”. Jadi tanggapan
adalah gambaran, hasil atau kesan yang tinggal atau terjadi dalam
kesadaran seseorang, sesudah itu mengamati sesuatu. Gambaran
atau kesan itulah yang menimbulkan atau sekaligus membentuk
pengertian, pengenalan atau pemahaman seseorang terhadap apa
yang diamati.
Karena kegiatan pengamatan terus terjadi pada anak-anak
di setiap saat, maka hari demi hari terjadilah akumulasi tanggapan
atau pengertian tentang sesuatu yang jumlahnya semakin banyak.
berarti, di sini telah terjadi penerimaan dan penambahan tanggapan
atau pengertian yang sifatnya terus menerus. Tanggapan atau
pengertian itu, selanjutnya disimpan dalam otak dan pada suatu
saat bila dibutuhkan, sebagian atau seluruhnya akan diproduksi
atau ditimbulkan kembali. Kegiatan untuk menerima, menyimpan
dan mereproduksikan kembali tanggapan atau pengertian semacam
itulah, dalam dunia psikologi disebut ingatan.
Dalam periode anak-anak, obyek pengamatan dan ingatan
yang biasanya disukai anak, tentu saja adalah benda dan apa saja
yang menarik perhatian anak sesuai dengan tingkat usia tersebut.
namun yang perlu dicatat, bahwa kuat atau tidaknya ingatan
seorang anak, tergantung kepada banyak faktor dan salah satunya
adalah intelegensi atau kecerdasan. Jadi pikiran dianggap berpusat
di kepala karena menggunakan sarana atau alat yang disebut akal,
nalar atua otak. Dengan demikian anak dikatakan dapat berfikir,
berarti anak mempunyai perasaan yang mana perasaan ini sering
33
diasosiasikan dengan organ tubuh lain yang terdapat di dalam dada
yaitu hati.50
2) Afektif (perasaan)
Perasaan adalah suatu pernyataan yang sedikit banyak
bersifat subyektif, untuk merasakan senang dan tidak bergantung
kepada perangsang atau indera tertentu. Jadi perasaan secara
langsung berkaitan dengan apa yang tergores dalam hati seseorang,
dan wujud aslinya berupa senang atau tidak senang terhadap
sesuatu. 51
Di samping senang dan tidak senang ada pula yang merinci
perasaan sebagai sifat ketuhanan, sosial, keindraan, tanggapan,
insting, simpati dan lain sebagainya. Tetapi di sini akan dibahas
mengenai sifat ketuhanan sosial.
a) Sifat ketuhanan
Pengetahuan anak tentang agama terus berkembang
sesuai dengan perkembangan intelektualnya (berfikirnya) yang
tertangkap dalam kemampuan berbahasa, yaitu sudah dapat
membentuk kalimat, mengajukan pertanyaan dengan kata-kata :
apa, siapa, di mana, dari mana, dan ke mana, maka pada usia
antara 3-5 tahun anak sudah diajarkan shahadat, bacaan, dan
gerakan sholat, doa-doa dan al-Qur’an.
Pengetahuan anak dapat berkembang dengan baik
apabila :
(1) Melihat sikap dan perilaku orang tua dalam mengamalkan ibadah
(2) Mendengarkan ucapan-ucapan orang tua (3) Pengalaman dan meniru ucapan dan perbuatan
orangtuanya. 52
50 Ibid., hlm. 89. 51 Ibid., hlm. 93. 52 Syamsu Yusuf, op.cit., hlm. 177.
34
Di samping mengajarkan hal-hal di atas, kepada
anakpun diajarkan atau dilatihkan tentang kebiasaan-kebiasaan
melaksanakan akhlakul karimah, seperti :
(1) Mengucapkan salam (2) Membacakan basmalah pada saat mau mengerjakan
sesuatu (3) Membaca hamdalah pada saat mendapatkan
kenikmatan dan setelah mengerjakan sesuatu (4) Menghormati orang lain (5) Belajar memberi shodaqoh (6) Memelihara kebersihan (kesehatan) baik pada
dirinya maupun lingkungan.53 Untuk menanamkan nilai-nilai agama kepada anak pada
usia ini, dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan dalam
mengajarkan agama karena hal tersebut akan menjadi
kebiasaan bagi anak untuk bertingkah laku dalam kehidupan
sehari-hari.
b) Sifat sosial
Pada usia antara 3 sampai 5 tahun, perkembangan sosial
anak sudah tampak jelas, karena mereka sudah mulai aktif
berhubungan dengan teman sebayanya yang sebagai sahabat
dan teman bermain bagi anak. pergaulan dengan teman-teman
mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan anak. melalui
pergaulan itulah anak belajar hidup dan bergaul dengan
masyarakat luas di luar pagar rumahnya.54
Untuk bermain seorang anak perlu diberikan kebebasan
yang wajar kepada anak untuk memilih teman-temannya. tetapi
perlu dan selalu diingat, bahwa seorang anak yang memilih
teman yang berkecenderungan buruk, sikap orang tua harus
sigap dan segera memberi pengertian kepada anak agar tidak
meniru dari perbuatan temannya tersebut.
53 Ibid. 54 Dewa Ketut Sukardi, Bimbingan Perkembangan Jiwa Anak, (Jakarta : Ghalia Indonesia,
1986), hlm. 81.
35
Sedangkan tanda-tanda perkembangan sosial anak
menurut Syamsu Yusuf adalah :
(1) Anak mulai mengetahui aturan-aturan, baik di lingkugnan keluarga maupun dalam lingkungan bermain
(2) Sedikit demi sedikit anak sudah mulai tunduk pada peraturan
(3) Anak mulai menyadari hak dan kepentingan orang lain
(4) Anak mulai dapat bermain bersama anak-anak lain, atau teman sebaya.55
Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh
iklim sosio psikologis keluarga. Apabila di lingkungan
keluarga tercipta suasana yang harmonis, saling
memperhatikan, saling membantu (bekerja sama) dalam
menyelesaikan tugas-tugas keluarga, terjalin komunikasi antar
anggota keluarga, dan konsisten dalam melaksanakan aturan,
maka anak akan memiliki kemampuan, atau penyesuaian sosial
dalam berhubungan dengan orang lain.
Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa aspek-aspek
perkembangan selain aspek fisik dan psikis adalah aspek gerak,
atau yang disebut aktivitas anak. untuk mengetahui bahwa semua
aktivitas tingkah laku anak dipengaruhi oleh suatu perbuatan yang
nyata atau terwujud yang didasari oleh kehendak anak. dengan
demikian ada 3 faktor yang mendasari aktivitas yang dapat diamati
pada anak, yaitu :
a) Peranan naluri dalam perbuatan
“Naluri adalah pola-pola tingkah laku yang kompleks
yang tidak dipelajari, tetapi diperoleh dari kelahiran, dan dapat
terlihat pada seseorang”.56
55 Syamsu Yusuf., Op.Cit., hlm. 171. 56 Singgih D. Gunarso, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 1996),
hlm. 13.
36
Kemampuan naluriah berbeda dari kemampuan sebagai
hasil tahap-tahap perkembagnan fisik jasmaniah,
perkembangan mental, perkembangan sosial dan
perkembangan karakterologisnya. Misalnya kemampuan
memegang sesuatu adalah hasil koordinasi, integrasi dan
sinkronisasi antara berbagai segi perkembangan. Sesuai
perkembagnan yang menyeluruh pada anak, maka dasar-dasar
naluriah perbuatan-perbuatannya lambat laun berkurang dan
sejajar dengan ini, mulailah tumbuh fungsi-fungsi fisik yang
sederhana sampai kepada yang kompleks.
b) Refleks dan aktivitas tubuh
Kecuali perbuatan-perbuatan naluriah pada anak dapat
pula kita amati adanya gerakan-gerakan atau aktivitas-aktivitas
yang berupa refleks-refleks. Pada umumnya gerakan-gerakan
reflektoris ini bertujuan melindungi diri dari kemungkinan-
kemungkinan menerima rangsang-rangsang, baik dari luar
tubuh maupun dari dalam tubuh sendiri yang mungkin
mengancam kerusakan-kerusakan tubuh, ataupun sesuatu yang
tidak menimbulkan keuntungan atau kesenangan seseorang,
ataupun juga untuk memperoleh keuntungan akibat gerakan-
gerakan refleks tersebut. gerakan-gerakan refleks seperti
menarik tangan, menarik kaki, bersin, kedipan mata, dan lain-
lain. Merupakan latihan gerakan-gerakan yang lebih kuat dan
halus. Dari hasil penyelidikan I.P Pavlov yang dikutip oleh
Singgih D Gunarso dibuktikan bahwa :
Gerakan-gerakan refleks ini berkembang dan dapat dipindahkan dari satu refleks ke refleks yang lain. Bertumpu pada pendapat sederhana ini, maka para ahli menganggap bahwa tingkah laku motorik pada manusia tidak lain adalah hasil rangkaian perpindahan antara refleks yang satu dengan refleks yang lain.57
57 Ibid., hlm. 14.
37
c) Kebutuhan dan kehendak
Kalau kedua faktor di atas banyak sangkut pautnya
dengan kehidupan bayi dan anak kecil, maka faktor ketiga ini
banyak menyangkut aktivitas-aktivitas anak yang lebih besar.
Kehendak ini ada kalanya jelas disadari dan dirasakan
anak, dipihak lain mungkin tidak disadari, tidak dirasakan, atau
tidak diketahui oleh anak. Dengan kelangsungan hidup anak
dapat membutuhkan banyak hal yang tidak dapat dinyatakan
dengan ekspresi yang tepat, karena perkembangan anak belum
mencapai taraf pengekspresian atau pengungkapan melalui
ucapan ataupun perbuatan-perbuatan yang nyata dan sesuai.
Dengan demikian, adanya kebutuhan maka timbul suatu
dorongan atau kehendak untuk bertingkah laku, dan tingkah
laku ini diarahkan untuk mencapai sesuatu tujuan, sehingga
dengan demikian kebutuhan tersebut terpenuhi atau kehendak
itu terpuaskan dan tidak ada lagi dorongan.58
4. Proses Pembentukan Tingkah Laku
Tingkah laku bukanlah warisan orang tua, namun terjadi setelah
melalui interaksi dengan lingkungannya. Tingkah laku sebagai sesuatu
yang baru, terbentuk melalui proses panjang. Menurut Krathwohl yang
dikutip oleh Suhartin Citrabrata bahwa proses pembentukan sikap yang
merupakan permulaan terbentuknya tingkah laku melalui tahapan-tahapan:
a. Penerima, pada taraf ini anak akan menyadari nilai-nilai tersebut dalam menerimanya.
b. Memberikan jawaban atau respon, pada taraf ini anak tidak hanya menerimanya saja, tetapi telah memberi jawaban
c. Menilai, pola taraf ini akan mulai membentuk suatu sistem nilai pada dirinya, kemudian sistem ini dijadikan bagian dari dunianya.
d. Organisasi, anak mengorganisasikan sistem nilainya sehingga menjadi keutuhan yang bulat. Ini meneliti semua nilai yang telah diambilnya tadi mungkin ada yang ditambah atau yang
58 Ibid., hlm. 16.
38
dibuang, sehingga dengan demikian sikap yang menjadi teguh dan konsisten, tidak akan digoyahkan.
e. Taraf perbuatan atau pengalaman-pengalaman pada taraf ini terlihat tingkah laku sebagai penjelmaan sikap mental atau pendiriannya.59
Selain itu, terdapat pendapat lain menurut teori Operant
Conditioning yang dikutip oleh Mustaqim mengatakan bahwa proses
pembentukan tingkah laku meliputi :
a. Menentukan hadiah bagi tingkah laku yang diinginkan. b. Mengidentifikasi komponen-komponen yang dianggap bisa
membentuk tingkah laku tersebut. c. Menyusun komponen-komponen tersebut secara sistematis. d. Mengidentifikasi hadiah (penguat) tiap-tiap komponen secara
sistematis. e. Melakukan pembentukan tingkah laku, dengan memakai urutan
komponen-komponen yang telah disusun.60
Pembentukan tingkah laku ini timbul dan berkembang diikuti oleh
perangsang-perangsang tertentu kemudian timbulnya response. Response
ini bersifat memperkuat, misalnya anak melakukan perbuatan belajar
menyanyi setelah selesai lalu diberi hadiah, maka saat-saat berikutnya
akan lebih giat menyanyi. Cara pemberian hadiah tidak berlaku terus
menerus, melainkan terbatas sampai terbentuknya komponen tingkah laku.
Tetapi ada juga bagi anak, bahwa pembentukan dengan jalan
pembiasaan dan pengalaman hidup yang ditanamkan sejak kecil dengan
cara pembiasaan pada diri anak dan pemberian keteladanan, merupakan
faktor yang paling dominan dalam pembentukan pribadi anak pada
kehidupan kelak.
5. Pengaruh Pola Asuh Anak Usia Balita terhadap Perkembangan Tingkah
Laku Anak
Masa anak merupakan periode perkembangan yang cepat dan
terjadi perubahan dalam banyak aspek perkembangan. Maka pengetahuan
59 Suhartin Citrabrata, Cara Mendidik Anak dalam Keluarga Masa Kini, (Jakarta : Bratara
Karya Aksara, Jakarta, 1986), hlm. 155-156. 60 J. Mustaqim, op.cit., hlm. 56-57.
39
tentang perkembangan anak dapat membantu mengembangkan diri anak,
dan memecahkan masalah yang dihadapi anak. memahami dunia anak
tersebut dengan cara mendidik dan mengarahkan anak sesuai jenjang
usianya dengan mengetahui pola asuh yang diterapkan kepada anak.
Maka perlakuan terhadap anak akan memberi kesan pada waktu
masa kanak-kanak dan mempengaruhi kecenderungan berprestasi pada
masa selanjutnya. Pola asuh yang diterapkan kepada anak dengan baik
akan membantu orang tua atau pendidik untuk mengetahui dengan pasti
bahwa itu sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai
dengan kebutuhannya.61
Dalam tahapan ini dari usia tiga sampai lima tahun, anak mulai
memperluas perkembangan imajinasinya. Salah satu diantaranya dapat
membedakan antara dirinya dengan orang lain, sehingga anak mulai
menguasai gerakan-gearkan fisiknya dengan baik yang memberinya rasa
percaya diri.62
Dalam mendidik anak dapat ditemui bermacam-macam perilaku
orant tua, yaitu cenderung otoriter di mana orang tua dalam mendidik
anaknya lebih cenderung menentukan segala sesuatunya dan anak hanya
sebagai pelaksana.
“Sikap yang otoriter seringkali anak-anaknya akan menunjukkan
ciri-ciri pasivitas dan menyerah segala-galanya kepada pemimpin”.63
Sikap otoriter orang tua lebih banyak memberikan larangan dan
tanpa ada pengertian pada anaknya serta cenderung memaksakan disiplin.
Perilaku demokratis orang tua sebagai didikan di mana orang tua
sering bertindak mengenai tindakan-tindakan yang harus diambil,
menerangkan alasan dari peraturan-peraturan, menjawab pertanyaan-
pertanyaan anak dan bersikap toleran. Sikap demokratis akan
61 Stephen Lekane, Aktivitas Anak-anak di Saat Pertumbuhan, (Bandung : Sinar Kumala, 1980), hlm. 18.
62 Hadi Subrata, Mengembangkan Kepribadian Anak Balita, (Jakarta : PT. BPK. Gunung Mulia, 1988), hlm. 30.
63 W.A Genungan, Psikologi Sosial, (Bandung : PT. Erisco, 1996), hlm. 189.
40
menimbulkan ciri-ciri berinisiatif, tidak takut, lebih giat dan lebih
bertujuan, tetapi juga memberi kemungkinan berkembangnya sifat-sifat
tidak taat (tidak mau menyesuaikan diri).
Sebaliknya, orang tua yang membiarkan (permisif) adalah orang
tua yang memberikan kebebasan sebanyak mungkin kepada mereka dan
menempatkan harapan-harapan kepada anak.
Dapat disimpulkan bahwa mengenai pola asuh anak bahwa orang
tua yang paling efektif lebih sering memilih gaya authoritative. Orang tua
yang dapat dipercaya cenderung mempunyai anak yang mandiri,
bersahabat, bekerja sama dengan orang tua, tegas, harga diri yang tinggi,
dan berorientasi pada prestasi.
Sebaliknya orang tua otoriter atau sangat permissive cenderung
mempunyai anak yang kurang dalam sifat yang disebutkan sebelumnya.
Sehingga di sini menekankan pentingnya peranan orang tua dalam
mengontrol dan memberikan pujian atas tingkah laku anak yagn baik,
memberikan tanggung jawab yang diperlukan, dan mengharapkan anak-
anak bertindak dengan cara-cara yang matang. Maka orang tua yang
efektif dalam mempengaruhi anak akan memberikan alasan memberikan
kebebasan.64
Pola asuh orang tua di Indonesia kebanyakan menggunakan pola
ganda, yakni dalam memberikan kepuasan emosional orang tua bersifat
permisif atau menuruti kehendak anak, dan biasanya hal ini menyebabkan
anak menjadi manja. Tetapi ada pula yang cenderung menelantarkan anak,
artinya kurang memperhatikan anak. kedua, bahwa dibiarkannya anak
kurang mendapatkan perhatian bukan karena orang tua tidak memiliki
kasih sayang, melainkan karena :
a. Seorang ibu belum siap menjadi orang tua
b. Terjadi salah pengertian yang dianggapnya sebagai orang dewasa
64 Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : Grasindo, 2002), hlm.
78-79.
41
c. Karena kesibukan sebagai akibat orang tua bekerja.65
Pola ganda juga dapat dijumpai tidak hanya jika salah satu orang
yang mengasuh sama-sama menggunakan pola asuh yang berbeda. Maka
mengenai pola hubungan antara orang tua dengan anak, diperoleh
beberapa pola hubungan salah satu diantaranya yang berkenaan dengan :
a. Sifat pengasuh yang dirasakan anak sehingga ada kalanya pengasuh yang demokratis, otoriter atau permisif.
b. Pola pengasuh yagn memanjakan disiplin keras dalam kehidupan keluarga di rumah atau memberi kebebasan.
c. Kedudukan anak yang merasa diterima atau ditolak pengasuh.66
Dari beberapa pendapat di atas menurut hemat penulis bahwa dari
ketiga, pola asuh yang diterapkan bagi anak merupakan sesuatu yang
terpenting bagi dunia perkembangan anak. karena bagaimanapun baik
buruknya pola asuh yang diberikan kepada anak tergantung bagaimana
pengasuh mengelolanya. Dalam memberikan perlakuan terhadap anak
harus juga memperhatikan faktor kejiwaan anak, karena jika seorang
pengasuh salah dalam mengasuh anak akan berakibat cara perlakuan yang
negatif pada anak dan akhirnya anak lebih cenderung berbuat seenaknya
sendiri.
Selanjutnya akan dibahas sedikit mengenai pengasuhan anak pada
tempat penitipan anak. Pada masyarakat yang didalamnya makin banyak
kaum ibu yang harus meninggalkan rumah untuk bekerja ketika anaknya
masih amat kecil, makin diperlukan perawatan paruh waktu. Karena anak
yang masih kecil memerlukan kehadiran ibu secara normal.
Maka sebagai pengganti pengasuhan seorang ibu menyerahkan
perawatan dan pendidikan anaknya kepada seorang perawat atau seorang
pengasuh sehingga dapat berpengaruh dalam perkembangan anak, hal ini
dapat diamati dengan :
a. Bagaimana cara dan sikapnya dalam mendidik anak
b. Siapa yang lebih berpengaruh, ibu atau pengasuh
65 M. Chabib Thoha, op.cit., hlm. 113. 66 Ibid., hlm. 114.
42
c. Bagaimana sikap pengasuh terhadap anak-anak lain.67
Dalam pengasuhan ini seorang ibu terkadang memilih
memasukkan anaknya di tempat penitipan anak. semula sarana penitipan
anak ini diperuntukkan bagi ibu dari kalangan keluarga yang kurang
beruntung, sedangkan sekarang sarana ini lebih banyak diminati oleh
keluarga tingkah menengah dan atas yang umumnya disebabkan kedua
orang tuanya bekerja. Tempat penitipan anak ini hanya sebagai pelengkap
terhadap asuhan orang tua dan bukan sebagai pengganti asuhan orang tua,
yang dikelola oleh departemen sosial. Alasan seorang ibu menyerahkan
anaknya kepada tempat penitipan anak, antara lain :
a. Kebutuhan untuk melepaskan diri sejenak dari tanggung jawab dalam hal mengasuh anak secara rutin
b. Keinginan untuk menyediakan kesempatan bagi anak untuk berinteraksi dengan teman seusianya dan tokoh pengasuh lain
c. Agar anak mendapat stimulasi kognitif secara baik d. Agar anak mendapat pengasuhan pengganti sementara ibu
bekerja.68
Tempat penitipan anak yang sehat biasanya menampung 20 sampai
65 anak dengan rentang usia yang amat berbeda (satu bulan sampai lima
tahun). Secara teoritis tempat penitipan anak mempunyai empat tujuan
pokok, walaupun pada prakteknya penekanan tujuan antara tempat
penitipan yang satu bisa berbeda dengan yang lain diantaranya :
a. Perawatan serta kenyatamanan fisik, termasuk pemberian makan
b. Perkembangan emosional dan rasa aman serta percaya diri c. Bantuan dalam menangani hubungan dengan anak lain dan
orang dewasa d. Bahasa dasar dan keterampilan pendidikan dalam persiapan
memasuki sekolah formal.69
67 Ny. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Membimbing, (Jakarta:
PT. BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 58. 68 Soemiarti Padmonodewo, op.cit., hlm. 77. 69 Kathy Sylva, Ingrid Lunt, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : Arcan, 1988), hlm. 186.
43
Kebanyakan tempat penitipan anak cenderung memberi tekanan
pada perawatan dan pelatihan fisik, terutama karena banyak anak demikian
memerlukan pemenuhan kebutuhan dan kenyamanan fisik yang mendasar.