harmoni lanskap spiritual dan kontestasi komoditas di

12
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO. 2 2019 159 Harmoni Lanskap Spiritual dan Kontestasi Komoditas di Gunung Kawi Amirul Auzar Ch. Mahasiswa Program Magister Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia [email protected] Tony Rudyansjah Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia [email protected] Abstract In understanding spiritual landscape, human ideas and practices in dealing with something sacred was considered to be connected with history or memory, cosmology, livelihood, power, and social dynamics. These aspects appeared to create structures and agents entangled around something that was considered sacred. Through a study on the sacred sites of Gunung Kawi, this article wants to show how an awareness of spiritual landscape producing and co-existing with commodification practices. Through the intertwined of those two logics—spiritual landscape and commodification—a lot of things in Gunung Kawi, both human and non-human, were behaving as an agent and an object at the same time. The sacred was then created through the interaction between landscape and human framed by spirituality and commodity. Keywords: spiritual landscape, commodity, co-exist, artifacts. Pendahuluan Artikel ini bertujuan untuk mengembangkan konsep lanskap spiritual (spiritual landscape) dalam memahami hubungan antara manusia dengan lanskap yang dipercaya memiliki potensi spiritual. Seperti halnya agama, kekerabatan, dan moralitas, lanskap spiritual merupakan suatu konsep dalam ilmu antropologi (Allerton, 2009). Allerton berpendapat bahwa lanskap spiritual, sebagai sebuah konsep, berguna untuk memahami gagasan dan praktik manusia dan hubungan sosial yang disebabkan oleh keterlibatan lanskap yang mempengaruhinya. Lanskap spiritual yang mengacu pada gunung, pohon, sungai, atau laut, banyak ditemukan di Asia Tenggara; berbagai lanskap ini merupakan tempat-tempat ritual penting bagi masyarakat. Etnografi baru maupun lama telah memberikan perincian tentang tempat-tempat tertentu yang memiliki hubungan dengan makhluk roh atau makhluk halus (spirit beings) di Asia Tenggara. Boomgaard (1995) berpendapat bahwa salah satu tempat yang kerap dianggap memiliki hubungan makhluk halus adalah hutan atau, lebih tepatnya, spesies pohon tertentu. Di Jawa pada abad ke-19 dan 20, spesies pohon Ficus

Upload: others

Post on 17-Mar-2022

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO. 2 2019

159

Harmoni Lanskap Spiritual dan Kontestasi Komoditas di Gunung Kawi

Amirul Auzar Ch. Mahasiswa Program Magister Departemen Antropologi,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia [email protected]

Tony Rudyansjah

Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia [email protected]

Abstract

In understanding spiritual landscape, human ideas and practices in dealing with something sacred was considered to be connected with history or memory, cosmology, livelihood, power, and social dynamics. These aspects appeared to create structures and agents entangled around something that was considered sacred. Through a study on the sacred sites of Gunung Kawi, this article wants to show how an awareness of spiritual landscape producing and co-existing with commodification practices. Through the intertwined of those two logics—spiritual landscape and commodification—a lot of things in Gunung Kawi, both human and non-human, were behaving as an agent and an object at the same time. The sacred was then created through the interaction between landscape and human framed by spirituality and commodity. Keywords: spiritual landscape, commodity, co-exist, artifacts.

Pendahuluan Artikel ini bertujuan untuk mengembangkan konsep lanskap spiritual (spiritual landscape) dalam memahami hubungan antara manusia dengan lanskap yang dipercaya memiliki potensi spiritual. Seperti halnya agama, kekerabatan, dan moralitas, lanskap spiritual merupakan suatu konsep dalam ilmu antropologi (Allerton, 2009). Allerton berpendapat bahwa lanskap spiritual, sebagai sebuah konsep, berguna untuk memahami gagasan dan praktik manusia dan hubungan sosial yang disebabkan oleh keterlibatan lanskap yang mempengaruhinya. Lanskap spiritual

yang mengacu pada gunung, pohon, sungai, atau laut, banyak ditemukan di Asia Tenggara; berbagai lanskap ini merupakan tempat-tempat ritual penting bagi masyarakat. Etnografi baru maupun lama telah memberikan perincian tentang tempat-tempat tertentu yang memiliki hubungan dengan makhluk roh atau makhluk halus (spirit beings) di Asia Tenggara. Boomgaard (1995) berpendapat bahwa salah satu tempat yang kerap dianggap memiliki hubungan makhluk halus adalah hutan atau, lebih tepatnya, spesies pohon tertentu. Di Jawa pada abad ke-19 dan 20, spesies pohon Ficus

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO. 2 2019

160

dianggap suci dan memiliki legenda asal-muasal sendiri.

Makhluk halus juga tidak terlepas dalam gambaran masyarakat Asia Tenggara dengan air, seperti sungai, laut, atau danau. Laut Selatan Pulau Jawa, misalnya, memiliki peranan penting bagi orang Jawa karena asosiasinya dengan Nyi Roro Kidul, Ratu Pantai Selatan. Ia telah hidup lama di dalam ingatan orang Jawa. Beredar pula kepercayaan bahwa setiap penobatan raja Jawa senantiasa disertai dengan pernikahan mistis raja tersebut dengan Ratu Pantai Selatan (Aryono, 2015). Pernikahan tersebut dimaksudkan untuk membentengi kerajaan dan rakyatnya dari bahaya yang disebabkan oleh kekuatan di luar kehendak manusia. Demikian pula pada tulisannya, Spyer (2000) menggambarkan bagaimana penyelam laki-laki di Pulau Aru kerap menceritakan pertemuan mereka dengan roh bawah laut yang menuntut pengorbanan dengan imbalan kerang mutiara.

Pemaparan tentang kekuatan spirit yang bersemayam pada lanskap-lanskap tertentu di atas merupakan petunjuk untuk membingkai pemahaman akan data empiris yang penulis bawa dari Gunung Kawi. Gunung Kawi merupakan suatu tempat wisata religi dan pusat aktivitas spiritual terbesar di Malang, Jawa Timur. Ketenaran Gunung Kawi di berbagai daerah di Indonesia, bahkan di mancanegara, berawal dari dua sosok kenamaan: Eyang Djugo dan salah satu muridnya, Raden Mas Iman Soedjono. Eyang Djugo merupakan salah satu prajurit Pangeran Diponegoro yang dikejar-kejar oleh pasukan Belanda hingga berakhir di Kesamben, Blitar. Eyang Djugo kemudian menjadi seorang guru spiritual dan mendirikan padepokan di

Blitar. Semasa hidup ia sering pergi ke Gunung Kawi untuk bermeditasi. Perguruan milik Eyang Djugo kemudian diteruskan oleh Raden Mas Iman Sodjoeno dan dipindahkan ke lereng Gunung Kawi.

Tanpa mengenyampingkan perbedaan versi cerita yang ada, keduanya dipercaya dimakamkan di lereng Gunung Kawi, tepatnya di sebuah lokasi yang sekarang dinamai Pasarean (secara harfiah ‘peristirahatan,’ dalam bahasa Jawa). Versi lain menyebutkan bahwa Eyang Djugo dan Raden Mas Iman Soedjono tidak benar-benar dikuburkan di lereng Gunung Kawi, karena sebagian masyarakat percaya bahwa Eyang Djugo mati dalam keadaan moksa, sehingga jasadnya tidak pernah diketemukan, sementara Raden Mas Iman Soedjono hanya meninggalkan Padepokan dan pohon dewadaru yang ia bawa dari Tiongkok. Pasarean bukanlah satu-satunya situs suci di Gunung Kawi. Penulis jumpai setidaknya terdapat lima situs suci lainnya yang banyak dikunjungi orang, seperti Batu Gilang yang terkenal ampuh sebagai tempat mencari ‘peruntungan,’ Keraton yang dikenal sebagai tempat bersemedi/bertapa, Padepokan yang merupakan rumah dan perguruan peninggalan Raden Mas Iman Soedjono, serta Sumber Urip dan Sumber Manggis yang dianggap bekas pemandian Eyang Djugo dan Raden Mas Iman Soedjono.

Tulisan ini akan difokuskan pada pembahasan tentang Pasarean dan hubungannya dengan Batu Gilang, Keraton, Padepokan, Sumber Urip, dan Sumber Sari. Pembahasan akan diarahkan untuk memahami lanskap spiritual dalam konteks kontestasi diskursif (discursive contestation) antara dua logika yang ko-eksis sekaligus problematis: pada suatu saat masyarakat menggunakan logika spiritual dan pada saat yang lain

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO. 2 2019

161

menggunakan logika komoditas dan transaksional untuk memersepsi lanskap spiritual yang ada. Hal tersebut memunculkan pertanyaan, mengapa aktivitas spiritual yang dilakukan di Gunung Kawi membawa dampak pada praktik-praktik komoditas dan transaksional (yang pragmatis)? Kemudian, bagaimana para spiritualis tetap bisa mendapatkan pengalaman spiritualnya dalam keadaan yang demikian? Tulisan ini akan menganalisis hubungan antara manusia dan lanskap yang membentuk konstruksi pemikiran baru, di mana gunung yang awalnya diperlakukan hanya sebagai arena ritual, kini bertransformasi menjadi semakin kompleks karena adanya unsur komoditas. Dalam hal ini, setidaknya pada tataran analisis konseptual, terdapat struktur masyarakat dominan yang dapat dikategorikan menjadi dua: pertama, struktur masyarakat setempat yang tinggal di kaki Gunung Kawi, dan kedua, struktur yang dibawa oleh para pengunjung Gunung Kawi. A. Lanskap Gunung Kawi dan

Struktur Masyarakat Setempat Gunung Kawi terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Indonesia. Gunung setinggi 2.551 mdpl ini merupakan gunung berapi yang masih aktif. Menurut Kepala Desa Wonosari yang berada di kaki Gunung Kawi, gunung tersebut meskipun tidak terlihat berbahaya, namun harus diwaspadai karena masih memiliki aktivitas vulkanik, di samping banyak potensi bencana alam lainnya, seperti longsor, banjir, dan gempa. Sebagian penduduk Gunung Kawi, baik yang lahir di sana maupun pendatang, hidup dari hasil pertanian atau dengan berkebun di

hutan produksi milik negara, dengan hasil berupa komoditas ubi-ubian, kopi, dan tebu. Selain itu, mereka juga hidup dengan memanfaatkan aktivitas ekonomi yang terjadi di pasar di sekitar situs-situs suci Gunung Kawi.

Terdapat dua desa dari dua kecamatan di daerah Gunung Kawi yang biasa dikunjungi oleh para spiritualis, yakni Desa Balesari di Kecamatan Ngajum dan Desa Wonosari di Kecamatan Wonosari. Di kedua desa tersebut terdapat situs yang dianggap suci dan memiliki potensi untuk melakukan kegiatan ritual. Di Desa Wonosari, sebagai kompleks situs suci terbesar di Gunung Kawi, terdapat Pasarean, Padepokan, Sumber Manggis, dan Sumber Urip—semuanya memiliki konteks sejarah yang berhubungan dengan Eyang Djugo dan Raden Mas Iman Soedjono. Desa seluas 553 Ha ini dulunya merupakan bagian dari Kecamatan Ngajum. Akan tetapi, pada tahun 1989 pemerintah memutuskan menjadikan Wonosari sebagai sebuah kecamatan tersendiri karena pertimbangan luas wilayah dan besarnya jumlah penduduk. Penduduk Desa Wonosari saat itu mencapai 7.043 jiwa, mendiami empat dusun, yaitu Sumber Sari, Pijombo, Wonosari, dan Kampung Baru. Adapun situs suci Keraton dan Batu Gilang berada di Desa Balesari. Baik Batu Gilang maupun Keraton tidak memiliki hubungan kesejarahan dengan Eyang Djugo dan Raden Mas Iman Soedjono.

Keberadaan situs-situs suci yang berada di kaki Gunung Kawi di atas merupakan hasil suatu proses historis interaksi antara manusia dengan lanskap, di mana keduanya saling membentuk. Basso (1996) berpendapat bahwa seiring waktu, suatu lanskap—yang tidak pernah lengkap, tetapi senantiasa dibuat dan

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO. 2 2019

162

dibuat kembali—akan menjadi penuh dengan kenangan. Dengan demikian, lanskap juga akan selalu bertindak sebagai mnemonic bagi cerita dan memori. Artinya, lanskap memiliki banyak potensi untuk berperan penting dalam proses simbolisasi spiritual, terutama melalui kenampakan-kenampakan fisik seperti batu, pohon, binatang, gunung, kuburan, atau sungai. Dalam keadaan tertentu, suatu lanskap tersedia untuk disakralkan melalui cara-cara dan aktivitas-aktivitas tertentu, sementara yang lain diabaikan. Proses yang sama juga berlaku pada pembentukan lanskap spiritual yang menjadi fokus dalam penelitian ini.

Antara lanskap dan spiritualitas sejak dahulu memiliki hubungan yang sangat erat. Manusia melalui gagasan-gagasan dan tindakan-tindakannya menciptakan ‘alam sakral’ (the sacred cosmos) yang berperan melampaui ketiakteraturan dan memasukkan manusia ke dalam keteraturan realitas. Dengan demikian, menurut Berger (2011), ‘alam sakral’ memberikan perlindungan bagi manusia terhadap apa yang disebut ‘teror kekacauan’ (the terror of anomy). Oleh karenanya, lanskap spiritual sebenarnya meminimalkan ancaman-ancaman pada keteraturan dunia dengan memberikan makna pada berbagai hal dan membuatnya dapat dimengerti dalam skema epistemologi yang lebih besar. Lanskap juga menjadi bagian dari episode sejarah tertentu yang mempunyai hubungan dengan kepercayaan masyarakat.

Pada bulan Juli 2020, penulis sempat berbincang-bincang dengan Juru Kunci Pasarean tentang bagaimana Eyang Djugo dan Raden Mas Iman Soedjono memilih Gunung Kawi sebagai tempat penghubung antara manusia dengan

makhluk halus. Sang Juru Kunci menjelaskan,

‘Ketika kita mundur ke belakang beberapa ratus tahun yang lalu, sekitar 1825–1830, di mana awal mula Eyang Djugo dan Raden Mas Iman Soedjono sering kali melakukan perjalanan ke kaki Gunung Kawi untuk aktivitas spiritualnya. Perjalanan dari rumah Eyang Djugo di Kesamben, Blitar, membutuhkan sekitar 24 jam, Mas, jika berjalan kaki menuju Gunung Kawi. Mereka memiliki bayangan Gunung Kawi merupakan tempat yang dekat dengan kekuatan roh. Gunung Kawi juga merupakan alat pemancar untuk terhubungkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan Gunung Kawi adalah tempat yang pas untuk dipilih sebagai peristirahatan terakhir bagi mereka.’ (Catatan lapangan, 07 Juli 2020)

Manusia mengubah berbagai benda

konkret yang dapat ditemukan pada lanskap ke dalam skema gagasannya. Rudyansjah (2015), dalam menjelaskan pemikiran Emile Durkheim, menerangkan bahwa totem merupakan emblem yang menjembatani dunia manusia yang bersifat alamiah sekaligus manusiawi, materi sekaligus simbolis, moral sekaligus fisik. Sebagaimana representasi binatang (totem) pada masyarakat Aborigin Australia menjembatani berbagai dimensi dunia manusia, lanskap spiritual juga dapat berfungsi sebagai simpul yang menyatukan otoritas moral manusia dengan makhluk-makhluk halus. Perjalanan hidup Eyang Djugo dan Raden Mas Iman Soejdono inilah yang memengaruhi struktur moralitas masyarakat setempat, sehingga mengonstruksi arti penting spiritualitas dan aktivitas ritual di Gunung Kawi hingga saat ini. Hal ini dibuktikan dengan adanya tradisi yang dilakukan oleh masyarakat

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO. 2 2019

163

setempat setiap tahun, seperti peringatan hari kematian Eyang Djugo yang bertetapan dengan tanggal 1 Selo, peringatan hari kematian Raden Iman Soedjono yang bertetapan dengan tanggal 12 Suro, serta acara Bersih Dusun yang dilakukan masyarakat setempat untuk menghormati punden masing-masing dusun, khususnya yang ada di Desa Wonosari.

Punden terkait dengan kepercayaan masyarakat Jawa, khususnya di Desa Wonosari, yang menyakralkan tempat-tempat tertentu yang dipercaya sebagai tempat bersemayam roh para leluhur dan menjadi cikal bakal suatu Desa. Masyarakat setempat percaya bahwa mereka mempunyai tanggung jawab untuk menjaga tempat-tempat punden dengan memberikan sesajen. Pak Hari, seorang tukang ojek yang biasa menunggu pelanggannya di pos ronda RW 8, pernah bercerita bahwa warga memiliki kewajiban untuk memberikan makanan kepada orang yang telah berjasa membabat hutan untuk membangun sebuah desa.

‘Ibarat anak kecil yang dirawat oleh orang tuanya, Mas, kita ini harus merawat leluhur yang berjasa ini dengan memberikan sesajen—mereka butuh makan juga, Mas. Kita tidak boleh melupakan mereka yang sudah melindungi warga dari pagebluk (bencana alam). Hal ini yang diajarkan oleh Eyang Djugo kepada kami.’ (Catatan Lapangan, 19 Juni 2020).

Cerita mengenai Eyang Djugo,

seorang spiritualis yang memiliki 40 murid yang tersebar di seluruh tanah Jawa, termasuk Raden Mas Iman Soedjono, memang disampaikan hanya secara lisan oleh masyarakat setempat kepada siapa pun yang datang ke Gunung Kawi. Namun

demikian, ingatan tentang kedua sosok guru–murid tersebut, yang mengajarkan ilmu kanuragan, agama, dan pertanian kepada murid-muridnya, masih hidup di tengah-tengah masyarakat setempat. Menurut Juru Kunci Pasarean, menyebarnya 40 murid ke seluruh tanah Jawa inilah yang menjadi salah satu alasan kesohoran Gunung Kawi hingga saat ini. Lanskap Gunung Kawi yang awalnya memiliki potensi spiritual tersendiri pada akhirnya diejawantahkan pada sosok Eyang Djugo dan Raden Mas Iman Soedjono sebagai simbolisasi seseorang yang bisa menghubungkan manusia dengan makhluk-makhluk halus.

Pengunjung dan Ritual Gunung Kawi Pada awal 2018 penulis melakukan kunjungan pertama kali ke Pasarean. Pada umumnya para pengunjung datang ke Gunung Kawi untuk berbagai agenda, di antaranya untuk wisata, ziarah, meditasi, berdoa, mendaki gunung, atau bersepeda gunung. Askew (2003) berpendapat bahwa suatu objek atau situs dapat dikatakan ‘sakral’ apabila memiliki ‘kekuatan khusus yang menuntut penghargaan, penghormatan, dan aktivitas ritual.’ Demikian halnya Pasarean; bahwa situs tersebut dianggap suci terlihat dari penyakralan terhadapnya oleh para pengunjung, khususnya dengan melakukan ritual. Mbah Jasir, salah seorang tukang sapu di area Pasarean, menaksir bahwa pengunjung yang datang ke sana dalam sehari tidak kurang dari seratus orang.

Pada umumnya para pengunjung membeli kembang yang sudah diwadahi dalam rantang karet atau daun pisang dari

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO. 2 2019

164

penjual di sepanjang jalan menuju tangga makam Mbah Djugo dan Raden Mas Iman Soedjono. Kembang yang telah diberi uang di atasnya kemudian diberikan kepada pembantu juru kunci untuk ditaburkan di makam keduanya. Setelah berdoa di dalam bangunan makam, para pengunjung biasanya melakukan beragam ritual, seperti mengelilingi bangunan makam sebanyak tujuh, sembilan, atau dua belas kali, berdoa di belakang bangunan makam, atau bermeditasi semalam suntuk. Bahkan ada yang rela berlama-lama menunggu jatuhnya daun pohon dewadaru yang tumbuh di depan bangunan makam di Pasarean. Ritual tersebut dimaksudkan untuk melihat tanda terkabulkannya doa mereka. Bagi pengunjung yang doa dan keinginannya tercapai, dianjurkan untuk kembali ke Pasarean guna melakukan ruwatan wayang kulit atau selamatan dengan harga yang beragam.

Gambar 1. Aktivitas pengunjung di Pasarean

(atas) dan Gambar 2. Harga selamatan (bawah).

Penulis menemukan bahwa para

pengunjung yang datang ke Pasarean adalah orang-orang yang memiliki masalah hidup yang kompleks. Kebanyakan dari mereka memiliki persoalan hidup, persoalan keluarga, kegagalan dalam usaha, dan sekadar ingin mencari peruntungan. Banyak pula yang datang kembali untuk melakukan ritual di Gunung Kawi karena menganggap ritual yang mereka lakukan sebelumnya berhasil. Para pengunjung ini berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang beragam, baik dari kalangan bawah maupun kalangan atas. Salah satu taipan Indonesia yang pernah berkunjung ke Gunung Kawi adalah Liem Sioe Liong, pendiri Salim Group. Hingga saat ini Anthony Salim, putra Liem Sioe Liong, selalu datang untuk melakukan ritual dan memberikan banyak kontribusi kepada masyarakat Gunung Kawi. Berbagai fasilitas seperti tempat-tempat ibadah (wihara, masjid), toilet umum, gedung serbaguna, serta infrastruktur pendukung lain yang ada di area Pasarean maupun Desa Wonosari,

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO. 2 2019

165

banyak yang dibangun dengan kontribusi pengunjung yang berlatar belakang pengusaha. Setiap tahun para pengunjung yang berhasil hajatnya berkat panjatan doa di Pasarean selalu memberikan uang ataupun sembako kepada warga.

Contoh lain, salah seorang informan bernama Pak Sulton, seorang pengusaha besi. Ia merupakan salah seorang pengunjung dari kalangan orang biasa yang mencapai keberhasilan dalam ritual. Ia pun mengadakan selamatan setiap tahun karena menganggap Eyang Djugo dan Raden Mas Iman Soedjono merupakan penghubung manusia dengan makhluk-makhluk halus (spirit beings). Ia kerap membagi-bagikan uang kepada warga di area Pasarean. Kurang lebih tiga tahun ia mengenal Pasarean Gunung Kawi dan sering datang untuk melakukan ritual wayang ruwatan. Pada bulan Juni 2020, penulis menyaksikan Pak Sulton melakukan ritual pemotongan sapi dan wayang ruwatan. Pada kesempatan itu, dapat ditaksir bahwa ia telah mengeluarkan uang lebih dari 20 juta rupiah untuk melakukan ritual. Terlebih lagi, di tengah-tengah ritual wayang ruwatan, ia mengeluarkan sejumlah uang dari dompet dan membagi-bagikannya kepada para pemain wayang dan penonton yang berjumlah puluhan orang. Masing-masing 50 ribu rupiah untuk pemain wayang dan 20 ribu rupiah untuk penonton, termasuk penulis, serta sebuah amplop tebal berisi uang untuk keluarga Juru Kunci Pasarean.

Masyarakat setempat banyak memberikan komentar terkait pengunjung yang melakukan ritual di Pasarean, khususnya pengunjung-pengunjung seperti Pak Sulton. Salah satu yang menarik untuk dikutip pada tulisan ini, adalah komentar

seorang warga RW 8, Desa Wonosari. Ia mengatakan:

‘Iya, harta juru kunci itu nggak bakalan habis, Mas. Orang kembang saja jadi duit. Ya nggak mesti yang datang itu beli kembang, tapi kebanyakan pasti beli. Entah 5 ribu, 10 ribu, pasti ada uang saksi. Itu kan haknya juru kunci. Kalau lagi ramai, bayangkan berapa banyak kembang yang masuk situ. Makanya, juru kunci itu nggak usah kerja ke mana-mana. Gudangnya uang itu ya yang punya Yayasan Pasarean itu. Kalau tamu sudah berhasil berdoa di Pasarean, akan ngasih uang sama Juru Kunci itu nggak eman: 10 juta, 20 juta, itu sudah biasa. Kayak Pak Sulton; potong sapi berapa puluh juta itu. Uangnya pasti dikasih. Pak Sulton tamu baru-baru ini, Mas. Tahun-tahun ini suksesnya. Yang lama itu Pak Liem, Mas; terus anaknya, Pak Anthony Salim, yang punya Kapal Api Surabaya. Pokoknya pebisnislah pasti datang. Bedanya, dia paling minta doa usaha, begitu. Kalau kita ekonominya bergantung sama Mbah; ramai sepinya jantung tombaknya kan di situ, kalau di situ sepi, ya warga Pasarean juga merasakan.’ (Catatan lapangan, 27 Juni 2020) Eliade (1959), dalam Cosmos and

History: The Myth of Eternal Return, berpendapat bahwa ‘manusia zaman dulu’ (the archaic man), yang bertentangan dengan manusia modern, secara terus-menerus menjadikan ritual-ritual sebagai pola dasar simbolisme yang mengandung aspek spiritual maupun fisikal, materi maupun simbolis, alamiah maupun manusiawi. Menurutnya, ‘alam pusat’ (center cosmic) merupakan tujuan ‘manusia zaman dulu’ menuju ‘poros jagat’ (axis mundi), atau kesadaran akan

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO. 2 2019

166

lanskap yang menghubungkan antara dunia dan akhirat.

Lanskap sebagai Arena Komoditas Para pengunjung yang setiap harinya memadati Pasarean memicu munculnya banyak kepentingan dan kontestasi, khususnya bagi masyarakat setempat. Harvey (2001) dan Povinelli (1995) memberikan argumen yang menurut penulis dapat dijadikan pendekatan untuk melihat proses panjang hubungan manusia dengan lanskap yang mereka anggap ‘bernyawa’, yaitu ‘memiliki agensi untuk membentuk manusia.’ Dalam hal ini, lanskap tidak hanya membentuk suatu gagasan spiritual pada manusia, tetapi juga membentuk tindakan terhadap komoditas.

Peran lanskap Gunung Kawi sebagai keagenan nonmanusia (non-human agency) terbukti sejak masa Eyang Djugo dan Raden Mas Iman Soedjono, sebagaimana telah penulis diskusikan sebelumnya. Gunung Kawi merupakan sebuah gunung yang dianggap oleh keduanya sebagai medium yang memiliki kekuatan di luar batas manusia. Dengan tidak disangka-sangka, setelah meninggalnya kedua tokoh spiritual tersebut, para murid mereka kemudian mempersonifikasi makam di Pasarean sehingga sebagai benda konkret, makam tersebut juga sekaligus menjadi subjek yang dapat menghubungkan manusia dengan makhluk-makhluk halus. Peran kedua makam tersebut menjadi besar dalam mengembangkan gagasan dan tindakan manusia dalam memperlakukan lanskap Gunung Kawi melalui aktivitas ritual sekaligus komodifikasi.

Ingold (2000), dalam konteks memahami lanskap sebagai bagian dari proses historis interaksi manusia,

berpendapat bahwa “lanskap tidak pernah lengkap: tidak sepenuhnya ‘terbangun,’ tidak pula ‘tak terbangun,’ melainkan terus-menerus dalam proses pembangunan”—“the landscape is never complete: neither 'built' nor 'unbuilt', it is perpetually under construction.” Apa yang penulis pahami dari pendapat Ingold adalah bahwa sebenarnya suatu lanskap spiritual merupakan sebentuk ‘kesementaraan’ (temporality) yang bisa kapan saja berubah, bisa saja karena gagasan ataupun aktivitas ritual manusia di dalamnya. Di saat yang bersamaan, gagasan dan aktivitas manusia, terutama dalam hal ritual, juga dibentuk oleh lanskap yang seolah-olah hidup bagi masyarakat setempat karena konteks kesejarahannya. Hal ini terbukti dengan keberadaan keenam situs suci di Gunung Kawi.

Situs-situs di Gunung Kawi yang disakralkan pada mulanya tercatat hanya dua, yaitu Pasarean dan Padepokan yang merupakan peninggalan Eyang Djugo dan Raden Mas Iman Soedjono. Akan tetapi karena aktivitas ritual yang masif dilakukan oleh para pengunjung Pasarean, masyarakat setempat melihat adanya potensi lanskap Gunung Kawi untuk dijadikan komoditas. Banyaknya pengunjung, baik yang baru pertama kali maupun yang sudah berkali-kali kembali ke Pasarean untuk melakukan ritual, menjadi salah satu alasan masyarakat setempat menganggap Pasarean sebagai lanskap yang berpotensi untuk dijadikan komoditas.

Fenomena di atas, menurut pengamatan penulis selama tiga bulan penelitian lapangan selama (Maret–Juli 2020), bermula dari para pembantu (abdi dalem) atau murid Raden Mas Iman Soedjono yang bernama Eyang Kasio dan

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO. 2 2019

167

Mbah Muridun. Pasca-kematian Raden Mas Iman Soedjono, yang merupakan penerus perguruan Eyang Djugo dan sekaligus juru kunci pertama makam Eyang Djugo, murid pertamanya yang bernama Eyang Kasio diceritakan mengawini salah satu istri Raden Mas Iman Soedjono yang bernama Eyang Juwul. Sejak perkawinan keduanya, keturunan-keturunan mereka yang hingga saat ini telah mencapai generasi kelima, senantiasa menjadi juru kunci Pasarean. Sementara keturunan murid kedua yang bernama Mbah Muridun, mengurusi perguruan Raden Mas Iman Soedjono yang saat ini disebut sebagai situs suci Padepokan. Kedua murid Raden Mas Iman Soedjono inilah yang memegang hak milik atas tanah seluas 20 hektar di area Pasarean, Desa Wonosari, yang kini telah dibagi-bagikan kepada anak cucu mereka.

Kedatangan pengunjung untuk melakukan ritual tidak hanya dimanfaatkan oleh keluarga para juru kunci. Masyarakat setempat pada awal kemasyhuran Gunung Kawi pun beralih profesi dari petani menjadi pengantar tamu. Sebelum tahun 1990-an, akses Gunung Kawi tidak semudah sekarang. Namun seiring waktu dilakukan pembangunan infrastruktur baik dari dana pemerintah maupun dari para pengunjung yang berhasil berkat ritual di Gunung Kawi. Pada waktu itu para pengunjung harus berjalan kaki dari Kecamatan Kepanjen menuju Pasarean yang berjarak 23 km. Oleh karena itu, masyarakat setempat memelihara kuda untuk dijadikan alat transportasi bagi para pengunjung. Masyarakat setempat menamai dirinya sebagai ‘pengantar tamu.’ Pengantar tamu di sini meliputi orang-orang yang memahami ritual di Gunung Kawi, serta yang memfasilitasi kebutuhan para

pengunjung, menyediakan penginapan, menyediakan alat ritual, menjadi pemimpin doa, atau menjalankan fungsi-fungsi lainnya.

Inilah yang menyebabkan awal mula ledakan Gunung Kawi sebagai tempat wisata religi. Menurut sepengetahuan pihak juru kunci, jumlah pengantar tamu yang ada saat ini mencapai lebih dari 300 orang. Pengantar tamu menjadi profesi yang menjanjikan bagi masyarakat setempat, bahkan bagi orang-orang dari berbagai daerah lain seperti Pekalongan (Jawa Tengah), Malang Kota, Madura, dan kota-kota lain di Jawa Timur yang kemudian menetap di sana. Pengantar tamu memiliki banyak lapisan yang bergerilya di situs-situs suci Gunung Kawi. Mereka biasanya sangat mudah dijumpai di pinggir-pinggir jalan, di area makam Pasarean dan situs-situs suci lain. Bahkan ada juga pengantar tamu yang cukup menunggu di rumah masing-masing karena sudah memiliki tamu tetap yang sudah berkali-kali datang ke Gunung Kawi.

Pada bulan Maret 2020 penulis sempat mengobrol dengan salah seorang pengantar tamu yang tengah duduk-duduk di sebuah pos ronda. Dia mengatakan bahwa pendapatannya dari mengantarkan tamu lebih besar ketimbang pendapatan para pedagang maupun abdi dalem juru kunci Pasarean. Penulis memperhatikan para pengunjung yang datang ke Pasarean akan mengeluarkan biaya lebih mahal jika menggunakan jasa pengantar tamu. Biaya yang yang harus dikeluarkan setidaknya meliputi retribusi masuk dan biaya parkir yang bisa lebih dari 20.000 rupiah, pembelian alat-alat ritual (kembang, dupa, dan lain-lain), biaya selamatan minimal 45.000 rupiah, tip untuk pengantar tamu, dan uang untuk juru kunci yang menurut

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO. 2 2019

168

informan antara 50.000 hingga 5 juta rupiah. Semua itu disesuaikan dengan kebutuhan dan niat pengunjung. Pengantar tamu biasanya pandai mengolah pembicaraan, khususnya dalam menceritakan kesakralan dan sejarah situs-situs suci kepada para pengunjung.

Selain menjadi pengantar tamu, masyarakat setempat juga melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi lain, seperti membuka toko yang menjual alat-alat ritual (dupa, kemenyan, kembang, lilin, kantong kain,1 buku Ciamsi2), berjualan pakaian, berjualan hasil pertanian (ubi-ubian, pisang, dan lain-lain), atau bahkan membuka jasa penginapan, baik home stay maupun hotel. Mereka yang berprofesi sebagai pedagang dan pengusaha juga dapat menjadi pengantar tamu sebagai pekerjaan sampingan. Pak Subur, salah seorang warga, merupakan contoh sukses—dari seorang pengantar tamu, kemudian memiliki toko paling besar di area Pasarean. Saat ini Pak Subur sudah memiliki tamu tetap yang kerap menghubunginya untuk mengadakan selamatan di Pasarean.

Sebagaimana pendapat Tilley (2004), lanskap dan tempat-tempat tertentu memiliki ‘efek material dan ideologis nyata terhadap orang-orang dan relasi-relasi sosial’ (‘real material and ideological effect on persons and social relations’). Dalam hal ini, sesuai pendapat Strathern (1999), keagenan kadang-kadang didistribusikan melalui jejaring antara

1 Kantong kain maksudnya adalah kantong yang digunakan untuk mewadahi kembang setelah ritual di Pasarean yang diberikan oleh juru kunci. Menurut penjual kantong tersebut, biasanya kembang ditaruh di atas pintu rumah orang yang memiliki hajat tertentu. Kantong itu memiliki dua warna: kuning dan merah. 2 Tradisi kuno yang biasa dilakukan oleh orang Tionghoa untuk mengetahui atau meramal nasib seseorang.

artefak (dalam hal ini, makam Pasarean) dan gagasan (spiritual dan komoditas) membentuk tindakan dan kehidupan sosial. Dampak dari aktivitas ritual di lingkungan Pasarean dan Padepokan memiliki potensi untuk dijadikan komoditas. Warga yang berada di luar Desa Wonosari, seperti Ngajum, serta mereka yang tidak memiliki akses untuk dapat menjadi pengantar tamu di area Pasarean dan Padepokan, telah berupaya membangun situs-situs suci lain dengan mendirikan dan mengembangkan tempat-tempat seperti Keraton, Batu Gilang, Sumber Urip, dan Sumber Manggis. Masyarakat setempat kemudian coba mencari manfaat dengan meyakinkan para pengunjung bahwa di dalam lanskap Gunung Kawi tidak hanya Pasarean yang dapat menjadi penghubung manusia dengan makhluk-makhluk halus.

Arjun Appadurai, dalam Commodities and the Politic of Value, membenarkan bahwa komoditas itu seperti orang (person), memiliki kehidupan sosial. Hal ini berbeda dengan pandangan Georg Simmel (1978) yang mendefinisikan komoditas sebagai objek yang (hanya) memiliki nilai ekonomi. Situs-situs suci seperti Pasarean bisa saja dianggap sebagai suatu komoditas, objek hasil tindakan manusia yang dapat ‘diperjualbelikan’ sebagai sumber penghidupan kepada orang-orang yang tertarik dengan dunia spiritual. Namun demikian, tidak bisa dimungkiri bahwa yang menarik para spiritualis untuk mengunjungi Gunung Kawi adalah imajinasi dan persepsi mereka tentang kesakralan sebuah lanskap. Marshall Sahlins (2013), melalui konsepsinya tentang ‘kesalahpahaman yang bekerja’ (working misunderstanding), menegaskan bahwa dua orang atau kelompok dengan pemaknaan logika yang berbeda bisa

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO. 2 2019

169

mengada secara berdampingan (co-exist) dan saling melanggengkan. Nampaknya demikian pula yang terjadi di Gunung Kawi.

Kesimpulan Dua logika, spiritualitas dan komoditas, yang hidup berdampingan (co-exist) pada saat-saat tertentu, di satu sisi dapat menciptakan harmoni karena saling membutuhkan. Namun di sisi lain, juga menghadirkan kontestasi. Hal ini nampak dari perjalanan dan perubahan kesejarahan lanskap Gunung Kawi. Sejak masa Eyang Djugo dan Raden Mas Iman Soedjono, Gunung Kawi dianggap sebagai tempat penghubung antara manusia dengan makhluk-makhluk halus. Pemaknaan lanskap ini kemudian bergeser pada personifikasi makam Eyang Djugo dan Raden Mas Iman Soedjono karena konteks kesejarahan mereka yang dianggap

memperkenalkan ilmu pengetahuan di Gunung Kawi, hingga dalam perkembangannya kemudian terjadi kontestasi di antara situs-situs suci. Hal ini tidak pernah luput dari arti penting lanskap sebagai penghubung antara manusia dengan makhluk-makhluk halus (spirit beings). Masyarakat setempat yang melihat adanya potensi komodifikasi terhadap lanskap Gunung Kawi sebenarnya juga masih memiliki keterikatan spiritual karena meyakini konteks kesejarahan kesakralan Gunung Kawi. Justru kesadaran akan lanskap spiritual itulah yang dimanfaatkan oleh warga setempat, sehingga terjadi transformasi menjadi lanskap yang lebih kompleks karena hadirnya logika komoditas. Hubungan manusia dan lanskap terbentuk dari proses sejarah panjang dan aktivitas-aktivitas di dalamnya.

Referensi

Allerton, C. 2009 ‘Visible Relations and Invisible Realms: Speech, Materiality and Two Manggarai

Landscapes.’ Dalam Landscapes Beyond Land: Routes, Aesthetics, Narratives, disunting oleh A. Arnason, N. Ellison, J. Vergunst, & A. Whitehouse. Oxford: Berghahn.

Aryono 2015 ‘Siapakah Sebenarnya Nyi Roro Kidul?’ Historia. Berger, P. L. 2011 The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion. Open Road Boomgaard, P. 1995 ‘Sacred Trees and Haunted Forests in Indonesia Particularly Java, Nineteenth and

Twentieth Centuries.’ Dalam Asian Perceptions of Nature: A Critical Approach, disunting oleh O. Bruun & A. Kalland, pp. 47–62. Richmond: Curzon Press.

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO. 2 2019

170

Harvey, P. 2001 ‘Landscape and Commerce: Creating Contexts for the Exercise of Power.’ Dalam

Contested Landscapes: Movement, Exile and Place, disunting oleh B. Bender & M. Winer, pp. 197–210. Oxford: Berg.

Ingold, T. 2000 The Perception of the Environment: Essays in Livelihood, Dwelling and Skill.

London: Routledge. Povinelli, E. 1995 ‘Do Rocks Listen? The Cultural Politics of Apprehending Australian Aboriginal

Labor.’ American Anthropologist 97(3): 505–518. Rudyansjah, T. 2015 Emile Durkheim: Pemikiran Utamanya dan Percabangannya ke Radcliffe-Brown,

Fortes, Levi-Straus, Turner, dan Holbraad. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Sahlins, M. 2013 Islands of History. Chicago: University of Chicago Press. Spyer, P. 2000 The Memory of Trade: Modernity’s Entanglements on an Eastern Indonesian Island.

Durham & London: Duke University Press. Strathern, M. 1999 Property, Substance and Effect: Anthropological Essays on Persons and Things.

London: Athlone Press. Tilley, C. 2004 The Materiality of Stone: Explorations in Landscape Phenomenology. Oxford: Berg.