hamdi argumen imkan

58
Argumen Imkan Mukadimah Argumen yang dipergunakan di sini untuk menelaah realitas eksistensi dan wujud eksternal dalam menegaskan eksistensi hakiki Tuhan adalah argumen imkan (contingent) dan wujub (necessity). Argumen ini merupakan salah satu argumen rasional yang paling kuat dalam membuktikan eksistensi Tuhan, karena tak satupun manusia berakal menolak dan memungkiri eksistensi dirinya dan realitas wujud-wujud di alam ini, sementara argumen ini secara prinsipil berpijak pada penerimaan realitas eksistensi dan wujud hakiki. Sebenarnya, Tuhan tidak gaib, yang gaib justru diri kita sendiri, Tuhan bahkan lebih berwujud dari wujud-wujud lain dan lebih bercahaya dari cahaya-cahaya lain. Jadi, kalau kita mempergunakan argumen-argumen untuk "pembuktian" wujud Tuhan, maka itu hanyalah berdimensi "mengingatkan" kita akan realitas hakiki itu. Banyak jalan menuju Roma. Banyak metode menyingkap wujud Tuhan, cara menyingkap Tuhan sebanyak realitas wujud-wujud. Jalan menuju kepada-Nya sangatlah banyak karena Dia memiliki banyak sisi (baca: nama dan sifat- Nya), setiap sisi-Nya merupakan jalan yang bisa digunakan para pesuluk. Walaupun jalan begitu banyak, 1

Upload: moh-hamdi

Post on 03-Jan-2016

48 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Argumen Imkan

Mukadimah

Argumen yang dipergunakan di sini untuk menelaah

realitas eksistensi dan wujud eksternal dalam menegaskan

eksistensi hakiki Tuhan adalah argumen imkan (contingent) dan

wujub (necessity). Argumen ini merupakan salah satu argumen

rasional yang paling kuat dalam membuktikan eksistensi Tuhan,

karena tak satupun manusia berakal menolak dan memungkiri

eksistensi dirinya dan realitas wujud-wujud di alam ini,

sementara argumen ini secara prinsipil berpijak pada

penerimaan realitas eksistensi dan wujud hakiki.

Sebenarnya, Tuhan tidak gaib, yang gaib justru diri kita

sendiri, Tuhan bahkan lebih berwujud dari wujud-wujud lain dan

lebih bercahaya dari cahaya-cahaya lain. Jadi, kalau kita

mempergunakan argumen-argumen untuk "pembuktian" wujud

Tuhan, maka itu hanyalah berdimensi "mengingatkan" kita akan

realitas hakiki itu.

Banyak jalan menuju Roma. Banyak metode menyingkap

wujud Tuhan, cara menyingkap Tuhan sebanyak realitas wujud-

wujud. Jalan menuju kepada-Nya sangatlah banyak karena Dia

memiliki banyak sisi (baca: nama dan sifat-Nya), setiap sisi-Nya

merupakan jalan yang bisa digunakan para pesuluk. Walaupun

jalan begitu banyak, tapi ada jalan yang paling kuat dan

sempurna dibanding yang lainnya. Dalam hal ini, kita harus

memilih argumen yang paling sempurna dalam menegaskan

eksistensi Tuhan, argumen adalah jalan menuju kepada-Nya

dalam kerangka akal teoritis. Semakin sempurna argumen maka

semakin sempurna pula pandangan dunia tauhid. Sempurna

1

pandangan dunia tauhid berarti sempurna tujuan hidup dan

hakikat wujud kita.

Sebelum kita masuk dalam pembuktian wujud Tuhan lewat

argumen ini, di bawah ini kami akan jabarkan dan jelaskan

secara terperinci beberapa pendahuluan dan pengertian yang

mendasar berkaitan dengan argumen ini. Dengan memahami

pengertian-pengertian itu, maka kita mudah mengikuti alur-alur

argumen dan memahami secara benar premis-premisnya.

Pengertian-pengertian yang akan dijelaskan antara lain:

1. Pengertian wujud kontingen (mumkin al-wujud), Wujud

Wajib (wajib al-wujud) dan wujud mustahil (mumtane'

al-wujud)

2. Pengertian keniscayaan

3. Prinsip kausalitas

4. Kemustahilan daur dan tasalsul

1. Pengertian Wujud Kontingen, Wujud Wajib dan Wujud

Mustahil

Ketika kita menelaah realitas-realitas eksistensi di alam ini

misalnya manusia, hewan, tumbuhan, gunung-gunung, batu-

batuan dan lain sebagainya, maka akan dapat kita simpulkan

bahwa realitas-realitas eksistensi tersebut, dalam rentangan

waktu, mengalami ketiadaan dan kemudian terwujud di alam ini.

Begitu pula, realitas-realitas wujud ini, dalam koridor ruang-

waktu, mengalami kesinambungan perubahan yang berjenjang.

Kelihatannya, tak ada satupun dari realitas-realitas tersebut yang

tak pernah mengalami perubahan dari awal perwujudannya dan

abadi pada satu kondisi dan tingkatan.

Jika wujud realitas-realitas itu adalah niscaya maka

senantiasa mewujud, dan sebaliknya jika wujud mereka itu tak

2

niscaya maka mustahil mewujud. Segala realitas eksistensi di

alam ini berawal dari penciptaan kemudian mengalami

perubahan dan pembaruan yang terus menerus dalam rentangan

waktu, dengan kata lain wujud realitas ini pernah berwujud dan

akan tak berwujud. Ini berarti bahwa yang niscaya pada esensi

realitas-realitas tersebut adalah berwujud dan tak berwujud.

Dengan ungkapan lain, esensi realitas-realitas berada pada titik

nol, bukan pada angka negatif (mustahil mewujud) dan bukan

pada angka positif (niscaya mewujud).

Dalam istilah Filsafat, dijelaskan bahwa jika eksistensi

sesuatu secara esensial meniscaya maka dia disebut Wujud

Wajib (wâjib al-wujud). Jadi Wujud Wajib adalah realitas yang

senantiasa berwujud dan ekistensi abadi. Dan jika eksistensi

sesuatu secara esensial mustahil meniscaya maka dia disebut

wujud mustahil (mumtane' al-wujud), artinya mustahil mewujud

atau keberadaanya abadi. Dan jika eksistensi sesuatu secara

esensial mungkin meniscaya maka disebut wujud kontingen atau

wujud bergantung (mumkin al-wujud), yang berarti bahwa bisa

jadi mewujud dan bisa jadi juga tak mewujud. Mengalami inovasi

dalam ciptaan dan abadi dalam perubahan dan gerak merupakan

sifat esensial dari wujud kontingen, seperti manusia, hewan,

tumbuhan dan lain sebagainya.

2. Pengertian Keniscayaan

Ketika kita memperhatikan kata-kata seperti, genap, ganjil,

delapan dan tujuh, maka kita akan menemukan hubungan antara

genap dengan delapan dan ganjil dengan tujuh. Kemudian,

hubungan tersebut akan membentuk premis-premis yang logis

seperti, delapan adalah genap dan tujuh adalah ganjil.

3

Interaksi logis antara angka delapan dan genap dan angka

tujuh dan ganjil didasarkan atas realitas luar yang ada di alam ini

dan di pikiran kita bahwa hubungan hakiki antara realitas-

realitas itu tak terpisahkan. Dengan ungkapan lain, genap

merupakan hakikat delapan dan delapan meniscayakan genap.

Adalah mustahil memisahkan antara sifat genap dan angka

delapan, begitu pula antara sifat ganjil dan angka tujuh.

Hubungan hakiki antara realitas-realitas tersebut disebut niscaya

atau keniscayaan.

Hubungan hakiki antara eksistensi dan Tuhan disebut

niscaya artinya eksistensi dan Tuhan adalah dua hal yang

mustahil terpisahkan yaitu wujud Tuhan pasti ada, mustahil

tiada, niscaya dan senantiasa ada. Dan wujud Tuhan, dalam

istilah filsafat, disebut Wujud Wajib (wâjib al-wujud).

3. Prinsip Kausalitas

Pada prinsipnya, teori kausalitas telah muncul seumur

dengan peradaban manusia, bahkan seusia dengan alam ini dan

realitas eksistensi itu sendiri. Manusia yang berakal senantiasa

mencari sebab-sebab dari setiap kejadian. Karena, dengan

mengetahui sebabnya berarti memahami akar dan sumber

akibat atau kejadian.

Di bawah ini, kami akan menghadirkan beberapa ungkapan

dari filsuf terkemuka tentang defenisi kausalitas sebagai berikut:

1. Al-Farabi berkata, "Sebab adalah sesuatu yang niscaya

ada dan hadir bersama dengan akibat."1

2. Ibnu Sina menyatakan, "Sebab adalah sesuatu yang

meniscayakan sesuatu yang lain, dan akibat mesti aktual

karena keaktualan sebabnya. "2

1 . Ta'liqat Farabi, hal. 6.2 . Kumpulan risalah Ibnu Sina, bab defenisi, hal. 117.

4

3. Mulla Sadra menyatakan, "Sebab memiliki dua pengertian,

pertama: sebab adalah wujud sesuatu yang memancarkan

realitas eksistensi yang lain dan ketiadaan sebab berefek

pada ketiadaan realitas itu. Pengertian kedua: sebab

adalah wujud yang meniscayakan kebergantungan hakiki

realitas lain, dan ketiadaan akibat karena ketiadaan

sebabnya."3

4. Syekh Isyraq Suhrawardi berkata, "Maksud sebab adalah

sesuatu yang keberadaannya meniscayakan sesuatu yang

lain dan memustahilkan kejamakan sebab. "4

Konklusi dari semua defenisi di atas adalah sebab

merupakan realitas wujud yang meniscayakan kebergantungan

mutlak dan hakiki segala eksistensi eksternal lainnya.

Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat contoh berikut. Secara

empiris, api menimbulkan panas. Api disebut sebab karena

meniscayakan panas. Panas disebut akibat karena bersumber

dari api. Secara hakiki, api dan panas memiliki hubungan khusus.

Hubungan khusus ini, dalam istilah filsafat, disebut kausalitas

atau hubungan sebab akibat. Dengan kausalitas, manusia bisa

menghubungkan antara satu realitas dengan realitas lain serta

menentukan sebab dan akibat dari realitas-realitas tersebut.

Sebagian filsuf barat yang beraliran empiris seperti David

Hume menolak hubungan kausalitas itu. Mereka beranggapan

bahwa yang bisa diempiriskan hanyalah api dan panas bukan

hubungan khusus yang bersifat niscaya (baca: kausalitas).

Segala realitas yang mustahil terempiriskan tidak dikategorikan

sebagai realitas yang berwujud. Karena, hubungan kausalitas itu

mustahil terempiriskan maka tak berwujud. Lebih lanjut dia

berkata, "segala pengetahuan manusia bersumber dari hal-hal

3 . Asfar, jilid 2, hal. 127.4 . Hikmah al-isyraq, hal. 62.

5

yang empiris. Jika terdapat "keberhubungan" antara satu realitas

dengan realitas lain, hubungan ini hanya bersifat kebetulan,

bukan karena adanya hubungan kausalitas. Karena

"keberhubungan" dua realitas itu senantiasa terjadi, keberadaan

api memunculkan panas, maka "hubungan kausalitas" antara

kedua realitas itu terbentuk dalam pikiran."

Jawaban kritik dan penolakan kausalitas itu, sebagai

berikut:

Pertama, dalam filsafat Islam, hubungan kausalitas tidak ada

kaitannya dengan penginderaan lahiriah tapi berkaitan dengan

persepsi akal dan dibuktikan lewat pengkajian-pengkajian

rasional. Kajian-kajian rasionalitas tidak berangkat dari realitas

empiris. Dalam contoh di atas dimana api adalah sebab dan

panas adalah akibat hanya dimaksudkan untuk memudahkan

pemahaman atas hukum kausalitas. Penentuan sebab dan

akibat, dalam contoh itu, bukan wewenang filsafat. Filsafat hanya

merumuskan kaidah dan hukum universal. Hal yang wajar kalau

terjadi kesalahan dalam penentuan subyek masalah. Kritik yang

ditujukan ke subyek masalah, dalam kajian filsafat, tidak

dibenarkan. Kritik semestinya dialamatkan kepada kajian

filosofisnya., Kesalahan dalam penentuan itu bukan berarti

kekeliruan dalam kaidah universalnya.

Jadi sebab, akibat dan hubungan sebab akibat (baca: kausalitas)

memiliki realitas yang tak terpungkiri.

Sangat disayangkan kalau seorang ilmuwan menolak

prinsip kausalitas hanya karena ketidakmampuannya

menerapkan kaidah universal dalam wilayah partikularitasnya,

kecuali kalau rumusan epistimologinya mengharuskan semua

pengetahuan berasal dari realitas empiris. Jika demikian,

6

problem pada konsep epistimologi dan bukan pada penentuan

subyek sebab dan akibat.

Kedua, dalam ilmu logika, proposisi tersusun dari premis minor

dan premis mayor, misalnya A dari B dan B dari C, maka A dari C.

A dari B disebut premis minor dan B dari C disebut premis mayor.

Jika menolak prinsip kausalitas maka mustahil melahirkan

silogisme dari proposisi itu, yaitu A dari C. Menolak kausalitas

artinya ragu B dari A dan juga ragu B dari C, akhirnya mustahil

menyimpulkan A dari C. Jadi, silogisme A dari C hasil dari adanya

hubungan keniscayaan dari dua premis minor dan mayor.

Hubungan keniscayaan itu disebut hubungan kausalitas atau

hubungan sebab akibat.

Bukankah David Hume menggunakan premis-premis untuk

menolak hubungan kausalitas? Dia menyatakan sebagai berikut:

Hubungan kausalitas antara api dan panas adalah nonempiris

(premis minor), segala realitas nonempiris niscaya tak berwujud

(premis mayor), jadi hubungan kausalitas antara api dan panas

niscaya tak berwujud yaitu tak ada hubungan kausalitas diantara

kedua realitas itu (silogisme).

Kalau David Hume konsisten atas argumentasinya, maka

harus menolak konklusi atau silogisme dari argumen yang

dibangunnya. Karena, dalam proposisi kedua premis minor dan

mayor adalah sebab dan silogisme adalah akibat. Jadi, dalam

proposisi juga terdapat hubungan kausalitas.

Maka dari itu, menolak hubungan kausalitas sama dengan

menolak ilmu logika dan menolak ilmu logika sama dengan

menolak semua bentuk proposisi dan argumentasi, termasuk

argumentasi penolakan hubungan kausalitas itu sendiri. Dan

menolak argumentasi sama dengan menolak keberadaan ilmu

dan pengetahuan. Karenanya, penerimaan hubungan kausalitas

7

menjadi prinsip dalam semua realitas, baik eksternal maupun

internal (baca: alam pikiran).

Immanuel Kant ,filsuf besar asal Jerman, karena

mengetahui konsekuensi logis dari pemikiran Hume, lantas

mengambil jalan lain dalam menyikapi hubungan kausalitas itu.

Usahanya bahkan melahirkan problem lain. Dalam

pandangannya, kausalitas atau hubungan hakiki sebab akibat

hanya terwujud di alam pikiran dan bukan di alam eksternal.

Hubungan itu dikatakan ada di alam eksternal jika bisa

diaplikasikan kedalam fenomena ruang-waktu di alam materi.

Hubungan kausalitas itu, begitu juga argumen imkan

(contingency) dan wujub (necessity), tak bermanfaat jika

mustahil terterapkan dalam koridor ruang-waktu.

Kant, sebagaimana Hume, sepakat bahwa pengetahuan

berasal dari realitas empiris. Kant, berbeda dengan Hume,

berpendapat bahwa walaupun pengetahuan kita di peroleh dari

realitas-realitas empiris, ini bukan berarti semua pengetahuan

berasal dari realitas empiris.

Kritik Kant dalam masalah kausalitas sangat tidak

konsisten. Dia menolak sebagian yaitu menolak hubungan

kausalitas yang tak terempiriskan dalam ruang-waktu (alam

materi), jadi hubungan kausalitas itu tertolak di alam materi. Dan

dia menerima sebagian yakni hubungan kausalitas terterapkan

di alam gaib (alam non materi). Ketakkonsistenan Kant karena

mengkhususkan hubungan kausalitas itu di alam gaib. Tanpa dia

sadari, konsekuensi dari pengecualian itu sama dengan menolak

realitas semua alam, karena akan memunculkan pertanyaan

tentang bagaimana proses perwujudan alam-alam itu termasuk

alam gaib? Apakah ada hubungan antara alam-alam itu dan

bagaimana bentuk hubungannya? Kalau dia menerima adanya

8

"proses perwujudan" alam-alam itu dan mengakui "pola

hubungan" diantara realitas-realitas itu, maka tak ada jalan lain

kecuali menerima eksistensi hubungan kausalitas itu.

Dalam perspektif filsuf Islam, prinsip dan hubungan

kausalitas bersifat universal dan tak terbatas pada alam tertentu,

tapi terterapkan pada semua alam baik alam materi maupun

alam non- materi.

3.1. Gamblangnya Teori Kausalitas

Hukum kausalitas berbunyi, "setiap akibat membutuhkan

sebab." Defenisi ini adalah badihi, jelas dan tak membutuhkan

argumen. Ketika kita mempersepsi makna akibat, suatu realitas

eksistensi yang bergantung kepada wujud yang lain, maka kita

memahami bahwa kebergantungan dan kebutuhan kepada

wujud yang lain merupakan konsekuensi dan hakikat dari

eksistensi akibat. Jadi, sebenarnya kita tak perlu argumen dan

dalil (burhan) dalam membuktikan kebenaran prinsis kausalitas.

Dengan memperhatikan defenisi Wujud Wajib (wâjib al-

wujud) dan wujud kontingen (mumkin al-wujud) yang terjabarkan

di atas, maka hukum kausalitas itu menjadi: setiap wujud

kontingen membutuhkan sebab. Wujud kontingen memiliki

kuiditas (mahiyah), karenanya secara esensial berada diantara

ada Wujud Wajib dan wujud mustahil atau antara ada dan tiada.

Wujud yang demikian untuk mengada niscaya memerlukan

sebab pengada, tanpa sebab mustahil mewujud. Inilah hakikat

prinsip kausalitas.

Ciri-ciri wujud kontingen sebagai berikut: wujudnya lemah,

terbatas, kebergantungannya hakiki, kebutuhannya abadi, tak

sempurna dan secara esensial terus mengalami perubahan,

perpindahan dan gerak. Perubahan, perpindahan dan pergerakan

9

merupakan hakikat kebutuhan, kekurangan dan kemiskinan.

Wujud yang tak sempurna mustahil bisa mencukupi dan

menyempurnakan segala kebutuhan dan kekurangannya. Karena

itu, wujud kontingen secara aktual memerlukan realitas wujud

sempurna dalam penyempurnaan kekurangan dan pencukupan

segala kebutuhannya serta pengaktualan semua potensi yang

dimilikinya.

3.2. Hakikat Kausalitas

Hakikat kausalitas adalah setiap akibat memerlukan sebab

atau setiap wujud kontingen membutuhkan Wujud Wajib.

Sebagian filsuf barat, karena keliru memahami hakikat

kausalitas, menyangka bahwa setiap realitas eksistensi eksternal

memerlukan sebab. Karena Tuhan (wâjib al-wujud) juga

berwujud dan memiliki eksistensi maka juga memerlukan sebab.

John Hospers dalam menegaskan eksistensi Tuhan berkata,

"Begitu banyak anak remaja dan orang dewasa dengan penuh

keraguan bertanya kepada orang tua mereka tentang penyebab

eksistensi Tuhan. Pertanyaan mereka bisa dibenarkan, karena

kita telah menegaskan bahwa segala sesuatu memerlukan

sebab, dan kalau proposisi ini benar maka eksistensi Tuhan juga

memiliki sebab, dan kalau Tuhan tidak memiliki sebab maka

proposisi tersebut salah. Pada hal proposisi ini merupakan

pendahuluan dari argumen sebab akibat dan argumen imkan

(contingent) dan wujub (necessity).

Oleh karena itu, argumen imkan dan wujub kehilangan

keabsahannya dan bahkan mengandung kontradiksi satu dengan

lainnya. Pernyataan yang berbunyi : Tuhan tidak memiliki sebab,

ini bertentangan dengan defenisi kausalitas yang berbunyi:

segala sesuatu memiliki sebab. Kalau defenisi ini, sebagai

10

mukadimah argumen, benar maka silogisme argumen imkan dan

wujub juga benar, tapi mukadimah salah. Begitu banyak

masyarakat tidak memahami kenapa argumen ini digunakan

menegaskan eksistensi Tuhan. Mereka, pada akhirnya,

melupakan cara tersebut dalam menegaskan keberadaan

Tuhan." 5

Kritik John Hospers dan mereka yang sealiran

dengannya, menyangka bahwa segala realitas eksternal

memerlukan sebab, padahal maksud dari prinsip kausalitas

adalah setiap wujud yang tak sempurna niscaya memerlukan

sebab, bukan segala wujud. Tuhan adalah wujud yang sempurna,

Dia bukan wujud yang berkekurangan. Oleh karena itu, Tuhan

tak memiliki sebab, bahkan Dialah Sebab Pertama dan Sebab

dari segala sebab-sebab. Tuhan adalah realitas eksistensi yang

swa-ada.

Penegasan di atas bisa dianalogikan dengan ungkapan

sebagai berikut: sesuatu yang bergaram dan kegaramannya

bersumber dari zat lain seperti air, kegaramannya bukan

esensial, tapi bersumber dari zat lain. Ini berbeda jika

dibandingkan dengan zat garam itu sendiri, yang kegaramannya

bersifat esensial dan bukan berasal dari zat lain. Oleh karenanya,

zat garam tidak memerlukan zat lain untuk kegaramannya. Zat

garam bergaram dengan sendirinya atau swa-garam.

Jawaban yang sempurna atas kritikan John Hospers adalah

bahwa defenisi kausalitas yang berbunyi, "Setiap wujud

membutuhkan sebab" adalah keliru. Dan juga defenisi yang

umum dipakai berbunyi, "Setiap akibat membutuhkan satu sebab

" juga kurang tepat, karena proposisi ini adalah proposisi analitis

yakni inti subyek berulang dipredikatnya, ini seperti kalau kita

katakan, "Setiap manusia adalah manusia. Karena defenisi akibat 5 . John Hospers, an introduction to philosophical analysis, hal. 431.

11

adalah sesuatu yang bergantung kepada selain dirinya., Jika kita

katakan, "Setiap akibat membutuhkan sebab" maka

sesungguhnya sama kalau dikatakan, "Jika sesuatu bergantung

kepada yang lain, sesuatu itu membutuhkan yang lain."

Kalau defenisi akibat adalah setiap wujud yang bergantung

membutuhkan sebab, maka masalah tersebut di atas akan tetap

terulang, karena kebergantungan sama dengan kebutuhan

kepada yang lain. Dalam penjelasan teori kausalitas kita harus

meletakkan tolok ukur kebergantungan dan kebutuhan sesuatu

itu sebagai subyek, dengan demikian kita akan menghasilkan

defenisi yang sempurna.

Defenisi yang sempurna tentang hukum kausalitas adalah

setiap wujud yang lemah dan rendah membutuhkan sebab. Tapi

defenisi yang umum digunakan oleh para filsuf dan bahkan Mulla

sadra tentang kausalitas adalah setiap kuiditas dalam

keberadaan dan ketiadaannya membutuhkan sebab.

3.3. Keidentikan Sebab dan Akibat

Salah satu pembahasan penting dalam teori kausalitas

adalah keidentikan antara sebab dan akibat. Filsuf Islam

membagi sebab dalam dua bagian, sebab ilahi dan sebab

natural. Sebab ilahi adalah sebab pemberi eksistensi dan wujud

bukan pemberi kuiditas kepada akibat. Sebab seperti itu,

meniscayakan kesempurnaan wujud akibat bersumber dari

kesempurnaan wujud sebab atau kesempurnaan wujud sebab

niscaya ada pada akibat. Jika, sebab tak memiliki kesempurnaan

wujud maka akibat mustahil memilikinya. Maksud dari

kesempurnaan yang mesti dimiliki oleh sebab dan akibat itu

adalah kesempurnaan eksistensi atau wujud dan bukan

kesempurnaan kuiditas. Kaidah filsafat berbunyi, "sesuatu yang

12

tak memiliki mustahil bisa memberi." Inilah makna keidentikan

antara sebab dan akibat. Berdasar pada kaidah ini, eksistensi

sesuatu tak otomatis berasal dari sebab tertentu. Setiap

kesempurnaan khusus akibat berasal dari kekhususan sebab.

Dan kesempurnaan khusus sebab meniscayakan kesempurnaan

khusus akibat. Pengetahuan akan hubungan keidentikan antara

sebab ilahi dan akibat itu lewat persepsi rasional bukan dari

metode empiris.

Sebab natural, berbeda dengan sebab ilahi, karena hanya

berkaitan dengan gerak disebut juga sebab materi.

Aplikasi sebab-sebab natural terbatas pada kondisi-kondisi

tertentu. Sebab itu hanya berlaku pada alam materi. Alam materi

meniscayakan gerak, karenanya perubahan-perubahan yang

terjadi di alam itu karena sebab natural.

Pembuktian keidentikan sebab natural dan akibat dengan

metode empiris bukan dengan jalan persepsi rasional. Misalnya,

api adalah panas. Kalau pembuktian kaidah itu lewat persepsi

akal, maka sebab api niscaya panas. Tapi tidaklah demikian.

Dengan metode empiris, kita bisa mengetahui sebab natural api.

Kita ketahui bahwa tidak semua benda merupakan sebab natural

api.

Sebagian filsuf barat menolak secara mutlak kaidah

keidentikan antara sebab dan akibat.

Jawabannya adalah kaidah itu adalah kaidah akal dan tak

bersumber dari realitas empiris. Kaidah itu bersifat badihi,

gamblang dan tak perlu dalil. Berbeda dengan sebab natural

yang berhubungan dengan realitas empiris. Karena itu, mustahil

menghukumi secara universal kaidah itu. Pembatasan sebab

hanya pada sebab natural dan melupakan sebab ilahi berefek

pada pembatalan kaidah itu secara umum.

13

3.4. Hubungan Keniscayaan Sebab dan Akibat

Hubungan keniscayaan antara sebab dan akibat bermakna

bahwa ketika sebab sempurna terwujud maka akibat niscaya

mewujud. Jadi, mustahil terpisah antara wujud akibat dan wujud

sebab sempurna.

Maksud sebab sempurna adalah realitas wujud yang

memenuhi segala syarat-syarat dan kebutuhan akibat dalam

perwujudan. Jadi, kalau diasumsikan bahwa akibat tak mewujud

dengan wujudnya sebab sempurna berarti bahwa ada syarat-

syarat dan kondisi-kondisi yang tak terpenuhi oleh sebab

sempurna. Jika asumsi itu diterima, maka ada kontradiksi dengan

kesempurnaan mutlak sebab. Begitu juga, jika diasumsikan

adanya halangan dan hambatan dalam perwujudan akibat,

inipun akan bertolak belakang dengan kesempurnaan mutlak

sebab, karena halangan juga merupakan syarat perwujudan

akibat. Kesempurnaan mutlak sebab berarti bahwa

meniscayakan ketiadaan segala penghalang dan hambatan

dalam perwujudan akibat.

3.5. Kebersamaan Hakiki Sebab dan Akibat

Di sini akan dibahas dua poin sebagai berikut:

1. Jika sebab sempurna ada maka niscaya akibat

mewujud.

2. Kalau akibat telah mewujud maka niscaya sebab

sempurna senantiasa ada.

Inti poin pertama adalah akibat senantiasa bersama

dengan sebab sempurnanya atau mustahil terpisah antara

keduanya. Mustahil jika sebab sempurna ada tapi akibat tiada

atau akibat terwujud tapi sebab sempurna meniada. Setiap

14

sebab sempurna berwujud niscaya akibat terwujud. Prinsipnya,

ada kebersamaan hakiki antara sebab sempurna dan akibat.

Argumen untuk poin pertama dirumuskan sebagai berikut:

Pertama-tama diasumsikan bahwa sebab sempurna ada

dan pada saat yang sama akibat niscaya tiada. Dengan asumsi

ini, maka sebab sempurna ada dan akibat tiada. Realitas itu

bertentangan dengan prinsip kausalitas. Berdasarkan prinsip itu,

ketiadaan akibat karena ketiadaan sebab sempurna. Jadi kalau

diasumsikan bahwa akibat tiada, berdasarkan prinsip kausalitas,

maka sebab sempurna pasti tiada, Karena sebab sempurna ada

(berdasarkan asumsi di atas) dan juga tiada (berdasarkan prinsip

kausalitas itu) maka menyebabkan terjadinya kontradiksi.

Setelah menjelaskan poin pertama, kita akan membahas

poin kedua. Hakikat poin kedua adalah jika akibat berwujud

maka niscaya sebab sempurna akan senantiasa berwujud.

Sebagian teolog Islam menolak pemikiran itu dengan

memberikan sebuah contoh antara rumah (sebagai akibat) dan

tukang bangunan (sebagai sebab) dan juga antara anak (sebagai

akibat) dan orang tuanya (sebagai sebab). Argumentasi mereka

antara lain: jika tukang bangunan meninggal maka rumah tetap

ada begitu juga kalau orang tua meninggal maka anak-anaknya

tetap ada. Jadi mustahil adanya kebersamaan hakiki antara

keduanya.

Jawaban kritikan sebagai berikut:

Sebab terbagi dua:

1. Sebab sempurna (sebab hakiki), contohnya matahari

dengan cahayanya (akibat).

2. Sebab tidak sempurna/cacat (sebab tidak hakiki)

contohnya tukang bangunan dan orang tua.

15

Subyek pembahasan kita di sini berkaitan dengan

kebersamaan hakiki antara sebab dan akibat adalah hubungan

kebersamaan hakiki sebab sempurna dan akibatnya bukan sebab

tidak sempurna/cacat dan akibatnya. Mustahil ada cahaya

matahari (akibat) tanpa mataharinya (sebab sempurna). Dalam

sebab tidak sempurna memungkinkan adanya keterpisahan

antara akibat dan sebabnya atau sebab dan akibatnya,

sebagaimana contoh antara tukang bangunan dengan rumah

atau antara orang tua dengan anak.

Argumentasi untuk poin kedua yaitu, sebagai berikut:

Untuk menetapkan kebenaran proposisi itu, kemustahilan

keterpisahan antara akibat dan sebab sempurnanya, kita tetap

menggunakan metode di atas, yaitu mengasumsikan bahwa

akibat ada dan pada saat yang sama tidak meniscayakan

eksistensi sebab sempurna. Dengan ungkapan lain, setelah

akibat terwujud maka tak ada kemestian keabadian eksistensi

sebab sempurna, jadi sebab sempuna bisa tetap ada dan juga

bisa menjadi tiada. Jika pada asumsi itu sebab sempurna tiada,

maka akibat ada dan pada saat yang sama sebab sempurna

tiada. Berdasarkan teori kausalitas, ketiadaan sebab sempurna

meniscayakan ketiadaan akibat. Jadi, kalau sebab sempurna

tiada (berdasar pada asumsi itu) maka akibat pun niscaya tiada.

Karena akibat ada (berdasarkan asumsi itu) dan juga tiada

(berdasarkan teori kausalitas) maka akan terjadi kontradiksi.

3.6. Hubungan Sebab Akibat Hanya Pada Wujud

Hal yang harus diperhatikan di sini adalah bahwa

hubungan kausalitas ini merupakan hubungan yang dibangun di

atas realitas wujud dan bukan pada dimensi kuiditas (mahiyah).

Hubungan kausalitas senantiasa terjadi antara dua wujud yakni

16

satu wujud yang senantiasa butuh kepada wujud lain. Dengan

ungkapan lain, hanya keberadaan dan eksistensi kuiditas yang

membutuhkan wujud lain. Dari sini, diketahui bahwa defenisi

kausalitas yang berbunyi, "Kuiditas dalam keberadaan dan

ketiadaan membutuhkan sebab" tak bisa ditolerir sama sekali,

karena kuiditas yang tiada sesungguhnya berada dalam

"ketiadaan murni". Maka dari itu, Sesuatu yang tiada bagaimana

mungkin bisa disandarkan kepadanya makna kebergantungan

dan kebutuhan secara hakiki. Misalnya, Yazid tiada, ini berarti

bahwa dia tak memiliki realitas wujud sama sekali. Jadi, mustahil

kalau kita katakan bahwa, "Yazid yang tiada bergantung dan

butuh kepada sesuatu." Oleh karena itu, tak ada hubungan

sebab-akibat (baca: kausalitas) dalam di "alam ketiadaan."

Sesungguhnya, subyek pembahasan dari teori kausalitas

adalah wujud kontingen dan bukan kuiditas, yakni wujud

kontingen dalam perwujudannya membutuhkan wujud lain, dan

kuiditas dari sisi bahwa dia itu wujud kontingen dalam

keberadaannya membutuhkan wujud lain.

3.7. Yang Tercipta adalah Wujud

Apa yang diciptakan oleh sebab? Apa yang terpancar dari

sebab? Pada poin ini, yang akan dibahas berkaitan dengan

realitas akibat sebagai sesuatu yang dicipta dan dipancarkan

oleh sebab.

Ketika sebab pengada mencipta akibat dan

mewujudkannya, maka yang hadir hanyalah suatu realitas

eksternal dan tidak lebih. Yakni yang terpancar dari sebab

adalah "sesuatu".

17

Dalam pembahasan filsafat, "sesuatu tersebut" memiliki

tiga kemungkinan:

1. Wujud.

2. Kuiditas.

3. Perwujudan kuiditas.

Misalnya, ketika panas akan diwujudkan di alam nyata,

maka sesuatu yang akan hadir di alam luar adalah:

1. Wujud.

2. Panas (kuiditas).

3. Perwujudan panas.

Pembahasan kita adalah menentukan mana diantara ketiga

unsur tersebut yang secara hakiki berhubungan langsung

dengan sebab. Filsuf Mulla Sadra dan para pendukung hikmah

muta'aliyah telah menetapkan secara filosofis bahwa yang

pertama kali terpancar dan tercipta dari sebab adalah wujud,

bukan kuiditas dan perwujudan kuiditas.

Di bawah ini akan dikemukan dua dalil yang mendukung

pendapat Mulla Sadra, sebagai berikut:

Argumentasi pertama tentang ketakterciptaan kuditas,

memuat dua pendahuluan:

Pendahuluan pertama, kuiditas merupakan sesuatu yang tak

hakiki dan nisbi yakni kehakikian ada pada wujud (ashalah al-

wujud). Penyandaran kepada sesuatu yang nisbi bersifat

aksidental, oleh karena itu, kuiditas tak memiliki eksistensi

hakiki.

Pendahuluan kedua, sesuatu yang tak hakiki adalah mustahil

tercipta. Dengan ungkapan lain, "Sesuatu yang tercipta adalah

sesuatu yang hakiki," karena hakikat akibat itu diberikan oleh

sebabnya, maka akibat juga merupakan sesuatu yang hakiki.

18

Dengan demikian, apa yang terpancar dari sebab adalah realitas

yang hakiki.

Kesimpulan dari dua pendahuluan tersebut adalah yang

tercipta oleh sebab adalah wujud dan bukan kuiditas.

Argumentasi kedua juga tentang ketakterciptaan kuiditas,

memuat dua pendahuluan:

Pendahuluan pertama, hubungan sebab-akibat merupakan

hubungan hakiki antara akibat dan sebabnya. Secara hakiki,

akibat adalah hubungan dan kebutuhan itu sendiri kepada sebab.

Akibat adalah kebutuhan itu sendiri, bukan sesuatu yang

memiliki kebutuhan. Jadi yang ada di alam luar hanya satu wujud

yang mandiri dan bukan dua wujud yang mandiri, karena kalau

ada dua wujud yang mandiri, maka wujud akibat mustahil butuh

kepada wujud sebab. Akibat secara mutlak bergantung kepada

sebabnya.

Pendahuluan kedua, kuiditas secara esensial tak memiliki

hubungan dengan wujud lain, karena kuiditas secara hakiki tak

lain adalah dirinya sendiri yakni berada diantara ada dan tiada.

Kesimpulannya, kuiditas mustahil berhubungan langsung

dengan sebab pengada, atau kuiditas bukan sesuatu yang

tercipta dan terpancar dari sebab.

Argumentasi ketiga tentang ketakterciptaan "perwujudan

kuiditas", memuat tiga pendahuluan:

Pendahuluan pertama, "perwujudan kuiditas" memiliki makna

yang relatif dan keberadaannya bergantung pada dua realitas.

"Perwujudan kuiditas" sebenarnya adalah hubungan yang

terbentuk antara wujud dan kuiditas.

Pendahuluan kedua, jika yang tercipta secara hakiki adalah

"perwujudan kuiditas", maka wujud dan kuiditas merupakan

19

sesuatu yang tak hakiki. Karena yang tercipta secara hakiki dari

sebab hanya satu, maka yang lainnya harus bersifat majasi.

Pendahuluan ketiga, sesuatu yang memiliki realitas hakiki

mustahil bergantung dan bersandar pada dua realitas tak hakiki

(majasi). Dengan ungkapan lain, adalah mustahil hadirnya pola

hubungan diantara dua realitas tak hakiki.

Oleh karena itu, mustahil sesuatu yang tercipta langsung

dari sebab secara hakiki adalah "perwujudan kuiditas".

Jadi, dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang secara hakiki

dicipta dan dipancarkan langsung oleh sebab tiada lain adalah

wujud (baca: akibat).

4. Kemustahilan Daur dan Tasalsul

4.1. Kemustahilan Daur (Sirkulasi)

Daur dan tasalsul merupakan salah satu pembahasan

penting dalam teori kausalitas.

Daur adalah bergantungnya wujud B kepada wujud A

dimana wujud A juga bergantung kepada wujud B.

Penjelasan: akibat B memerlukan sebab A dan sebab A

juga merupakan akibat B. Jadi, akibat B pada saat yang sama

juga sebab A. Oleh karena itu, B pada saat yang sama adalah

sebab dan akibat. Karena B adalah sebab A harus lebih dahulu

dari A dan karena A adalah akibat maka harus lebih belakang

dari B. Oleh karena itu, wujud A dibandingkan wujud B pada saat

yang sama merupakan wujud yang lebih dahulu adanya dan juga

wujud yang lebih belakang, yaitu wujud lebih dahulu dan juga

wujud tak lebih dahulu. Realitas ini menyebabkan inner

kontradiksi.

Oleh karena itu, daur merupakan sesuatu yang mustahil

terjadi, kemustahilan ini dikarenakan inner kontradiksi dan

20

menyebabkan keterdahuluan wujud sesuatu itu atas dirinya

sendiri.

4.2. Kemustahilan Tasalsul

Maksud tasalsul pada sebab-sebab pengada adalah

hadirnya mata rantai sebab-sebab dan akibat-akibat dalam garis

bentang yang tak terbatas, yaitu adanya A dari B, B dari C, C dari

D dan seterusnya hingga tak terbatas.

Tasalsul dikatakan mustahi ketika:

1. Seluruh wujud akibat ada secara aktual

2. Keseluruhan wujud akibat dan sebab-sebabnya berkumpul

secara aktual

3. Mata rantai dari wujud-wujud akibat dan sebab-sebabnya

terjadi dan ada secara aktual.

Jika salah salah satu dari ketiga syarat tasalsul tersebut

tidak aktual, maka tasalsul dalam pengertian dan istilah di atas

tak akan teraplikasi.

Misalnya jika sebagian dari akibat-akibat itu bersifat

potensi maka tasalsul ini mungkin terjadi karena wujud-wujud

yang ada senantiasa terbatas. Begitupula tasalsul ini bisa

diterima jika keseluruhan dari wujud-wujud akibat dan sebabnya

bersifat aktual akan tetapi tidak menyatu dalam satu mata rantai

wujud.

Mulla Sadra ,dalam kitab Asfar-nya menjabarkan salah satu

argumen kemustahilan tasalsul, menyatakan, "Wujud akibat jika

dibandingkan dengan sebabnya menjadi wujud penghubung

bahkan merupakan hubungan dan ketergantungan itu sendiri,

artinya: wujud akibat bukan wujud yang bebas dan berdiri sendiri

21

sebagaimana wujud sebabnya, dia ada dikarenakan adanya

sebab dan jika sebabnya tiada dia pun tiada."6

Penjelasan kemustahilan tasalsul sebagai berikut:

Jika sebab C dibandingkan dengan sebab yang lebih tinggi

darinya misalnya sebab B maka sebab C merupakan akibat dari

sebab B, begitu pula sebab B dibandingkan dengan sebab yang

lebih tinggi darinya sebab A maka sebab B merupakan akibat

sebab A, dan keadaan ini terus berlanjut kepada sebab-sebab

berikutnya. Karena setiap sebab, pada mata rantai tak terbatas

itu, adalah akibat dari sebab di atasnya dan juga setiap akibat

adalah sebab untuk akibat di bawahnya, maka kita akan memiliki

mata rantai kebergantungan-kebergantungan tak terbatas.

Dengan demikian, mustahil ada wujud mandiri pada mata rantai

itu. Karena, secara hakiki tak ada wujud mandiri, maka mustahil

terdapat wujud bergantung. Karena, mata rantai "wujud-wujud"

bergantung yang tak terbatas mustahil memiliki eksistensi hakiki

tanpa adanya wujud mandiri, maka secara hakiki tasalsul atau

rangkaian sebab-sebab dan akibat-akibat tak terbatas menjadi

mustahil.

Penjabaran Argumen Imkan dan Wujub

Setelah menjelaskan secara terperinci dasar-dasar dari

argumen ini, maka kita akan membuktikan realitas eksistensi

Tuhan. Secara hakiki, realitas eksistensi Tuhan tak tersembunyi

dari "pandangan" kita, Dia dekat dan bahkan sangat dekat dari

diri kita sendiri dan sangat terang dari cahaya apapun.

Tak bisa disangkal, secara empiris, ada alam materi yang

di dalamnya terdapat ribuan makhluk mulai dari manusia hingga

batu-batuan. Setelah kita menganalisa hakikat realitas wujud-

6 . Mulla Sadra, Asfar, jilid 2, hal. 166.

22

wujud eksternal ini, maka hanya terdapat dua asumsi sebagai

berikut:

Pertama, wujud kontingen (mumkin al-wujud)

Kedua, Wujud Wajib (wâjib al-wujud).

Asumsi ketiga, yaitu wujud mustahil (mumtane' al-wujud)

tak mungkin terwujud, karena secara riil kita melihat dan

merasakan ada realitas di luar diri kita, sementara wujud

mustahil tak mungkin bisa mewujud.

Pembuktian asumsi pertama sebagai berikut:

Apabila realitas wujud yang terasumsi adalah wujud

kontingen, berdasarkan prinsip kausalitas maka wujud itu

niscaya memerlukan sebab. Jika sebab itu adalah wujud

kontingen itu sendiri maka pertanyaan terus berlanjut tentang

sebab pada wujud kontingen berikutnya. Kalau wujud kontingen

itu belum berakhir pada sebab hakiki maka akan menyebabkan

tasalsul. Dan tasalsul adalah mustahil.

Kalau realitas wujud itu kita asumsikan sebagai wujud

kontingen (misalnya A), maka berdasarkan prinsip kausalitas,

realitas ini niscaya membutuhkan sebab. Jika wujud kontingen A

(akibat) bergantung kepada wujud kontingen B (sebab),

sementara wujud kontingen B (akibat) juga bergantung kepada

wujud kontingen A (sebab), maka akan terjadi daur. Dan daur

adalah mustahil.

Pembuktian asumsi kedua sebagai berikut:

Jika diasumsikan bahwa realitas wujud itu adalah Wujud

Wajib, maka juga menjadi mustahil, karena realitas wujud-wujud

itu pernah tiada dan akan menjadi tiada atau eksistensinya tak

abadi. Realitas wujud-wujud itu adalah wujud kontingen bukan

Wujud Wajib. Secara esensial Wujud kontingen ini, baik dengan

23

perantaraan ataupun tidak, merupakan akibat dari sebab

pertama yang disebut Wujud Wajib (wâjib al-wujud).

Di bawah ini akan kami kemukakan beberapa argumentasi

para filsuf muslim dalam menegaskan kebenaran eksistensi

Tuhan dengan pendekatan argumen imkan dan wujub:

1. Argumentasi Al-Farabi

Realitas wujud ada dua bentuk: wujud pertama, ketika kita

memperhatikan esensinya maka kita akan mendapatkan bahwa

eksistensi baginya tak niscaya, wujud ini dinamakan wujud

kontingen. Wujud kedua, dengan memperhatikan esensinya akan

kita peroleh bahwa eksistensi baginya adalah niscaya, wujud ini

disebut Wujud Wajib.

Tidak mustahil jika kita mengasumsikan ketiadaan wujud

kontingen. Untuk mengada, wujud kontingen memerlukan sebab

dan jika telah berwujud maka eksistensinya menjadi "niscaya".

Esensi wujud kontingen tak abadi dan bersifat sementara. Wujud

kontingen mustahil menjadi sebab hakiki bagi realitas wujud

lainnya, oleh karena itu harus berujung kepada Wujud Wajib

yang merupakan Wujud Pertama sekaligus Sebab Pertama.

Mustahil kalau kita mengasumsikan ketiadaan Wujud

Wajib. Wujud Wajib tak memiliki sebab karena Dia adalah sebab

pertama untuk semua eksistensi7.

2. Argumentasi Ibnu Sina

Ibnu Sina ,dalam kitab al-Isyarat wa at-Tanbihat

menjabarkan argumen imkan dan wujub untuk membuktikan

eksistensi Tuhan, menyatakan, "Realitas wujud adalah Wujud

Wajib dan wujud kontingen. Jika realitas wujud itu adalah Wujud

Wajib maka terbuktilah realitas eksistensi Tuhan, dan jika realitas 7 . Abdurrahman Badawi, Mausu'at al-Falsafah, jilid 2, hal. 102.

24

wujud itu adalah wujud kontingen, dikarenakan kemustahilan

daur dan tasalsul, maka niscaya bergantung kepada Wujud

Wajib8. Jadi dalam dua pengandaian itu berakhir pada

pembuktian realitas eksistensi Tuhan."

3. Argumentasi Khwajah Nasir ad-Din at-Thusi

Jika realitas wujud itu adalah Wujud Wajib maka terbuktilah

eksistensi Tuhan, tapi kalau realitas wujud itu adalah wujud

kontingen maka meniscayakan adanya Wujud Wajib, jika tidak

demikian maka akan terjadi daur atau tasalsul, dan ini mustahil

terjadi9.

4. Argumentasi Mulla Sadra

Mulla Sadra tidak menganggap argumen imkan dan wujub

ini sebagai argumen yang paling tinggi, karena dalam

pandangannya walaupun argumen ini tidak meletakkan

makhluk-makhluk dan segala ciptaan Tuhan sebagai perantara

dalam pembuktian Tuhan, tapi argumen ini menggunakan sifat

kuiditas (baca: imkan) sebagai perantara dalam penegasan

eksistensi Tuhan, maka argumen ini tetap digolongkan dengan

argumen huduts-nya para teolog dan argumen geraknya

ilmuwan alam, yaitu argumen-argumen yang menggunakan

selain Tuhan sebagai perantara dalam pembuktian eksistensi-

Nya.

Mulla Sadra dalam hal ini, mengajukan satu bentuk

argumen yang bersifat ontologi yang dia namakan dengan

burhan shiddiqin, menurut dia burhan dan argumen ini adalah

argumen yang paling sempurna. Pada kesempatan ini, kita akan

mengutip ulasan Syahid Muthahhari atas burhan ini. Beliau

8 . Ibnu Sina, Al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid 3, hal. 20.9 . Allamah Al-Hilli, Syarh al-Kitab Tajrid al-'Itiqad, hal. 217.

25

berkata bahwa untuk memahami secara benar burhan ini

diperlukan lima pendahuluan, sebagai berikut:

1. Kehakikian wujud (ashalah al-wujud).

2. Kesatuan wujud (wahdah al-wujud).

3. Hakikat wujud mustahil tiada.

4. Hakikat wujud secara esensial setara dengan

kesempurnaan, ketakbergantungan, ketakterbatasan,

kekuatan, keaktualan, cahaya dan keagungan.

5. Wujud akibat identik dengan kelemahan,

ketaksempurnaan, kebergantungan dan keterbatasan.

Dengan memahami pendahuluan ini, dapat dikatakan

bahwa hakikat wujud adalah keberadaan dan eksistensi itu

sendiri. Hakikat wujud mustahil tiada. Hakikat wujud tak

menerima syarat dan kondisi dalam keberadaan dan

perwujudannya. Hakikat wujud identik dengan segala

kesempurnaan dan menolak segala bentuk kebergantungan dan

keterbatasan. Hakikat wujud azali dan abadi.

Argumen Mulla Sadra ini berbunyi sebagai berikut:

Tingkatan wujud, kecuali tingkatan paling tinggi yang

memiliki kesempurnaan tak terbatas dan ketakbergantungan

mutlak, adalah hubungan dan kebergantungan itu sendiri dan

jika jenjang paling tinggi itu tak berwujud, maka seluruh

tingkatan juga mustahil terwujud; karena asumsi keterwujudan

segala derajat wujud tanpa keberwujudan derajat paling tinggi

berarti bahwa derajat itu mandiri dan tak bergantung, sementara

hakikat wujudnya adalah hubungan dan kebergantungan itu

sendiri10.

5. Argumentasi Allamah Thabathabai

10 . Sadr al-Mutaallihin, Al-Asfar, jilid 6, hal. 14.

26

Tiada keraguan bahwa di alam ini terdapat realitas

eksistensi-eksistensi. Jika realitas eksistensi itu adalah Wujud

Wajib maka terbuktilah wujud Tuhan. Dan kalau realitas

eksistensi itu adalah wujud kontingen, karena wujud kontingen

telah terwujud maka pasti disebabkan oleh wujud di luar dirinya

yang disebut sebab. Kalau wujud kontingen itu tak

membutuhkan sebab maka dia pasti Wujud Wajib, karena wujud

kontingen itu memerlukan sebab, dan jika sebab itu adalah

Wujud Wajib maka terbuktilah wujud Tuhan. Kalau sebab itu

adalah wujud kontingen yang lain maka konsekuensinya adalah

terjadi daur atau tasalsul, dan ini mustahil. Dengan demikian,

hanya ada satu pilihan logis yaitu wujud kontingen itu

bergantung pada satu sebab yang disebut Wujud Wajib 11.

Kebergantungan Wujud Kontingen Kepada Wujud Wajib

Wujud kontingen dimana eksistensi dan wujud mustahil

dilekatkan pada esensinya maka untuk mewujud niscaya

membutuhkan faktor-faktor eksternal yang hakiki. Jika tidak

demikian, maka wujud kontingen itu mustahil terwujud.

Setiap wujud kontingen untuk mengada dan mewujud

secara esensial memerlukan faktor eksternal dan sebab

pengada.

Setiap wujud kontingen membutuhkan wujud yang lain

untuk memenuhi segala keperluannya, jika keperluan wujudnya

tidak terpenuhi maka dia mustahil mengada, dan jika wujud

kontingen telah terwujud berarti niscaya ada wujud lain yang

memenuhi kebutuhannya.

Realitas wujud lain yang memenuhi segala kebutuhan

wujud kontingen itu niscaya bukan dari wujud kontingen lain,

karena semua wujud kontingen memiliki sifat dan karakter wujud 11 ?. Allamah Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, hal. 320.

27

yang sama. Jadi, wujud kontingen hanya bergantung pada satu-

satunya wujud yaitu Wujud Wajib. Dan Kebutuhan dan

kebergantungan wujud kontingen kepada Wujud Wajib bersifat

abadi dan kekal, mulai dari "awal" perwujudannya hingga pada

"akhir" penciptaan. Hakikat dan esensi wujud kontingen adalah

kebergantungan dan kefakiran itu sendiri.

Kriteria Kebutuhan Wujud Kontingen Kepada Sebab

Apa kriteria dan tolok ukur kebutuhan wujud kontingen

kepada sebab? Jawaban para filsuf atas pertanyaan ini berbeda

secara subtansial dengan para teolog. Di bawah ini, akan kami

jabarkan jawaban beserta dalil-dalil dari masing-masing aliran

pemikiran itu:

1. Perspektif Para Filsuf

Para filsuf berkeyakinan bahwa kriteria kebutuhan wujud

kontingen kepada sebab adalah watak kebergantungannya

(imkan). Jadi, mereka berpendapat bahwa setiap wujud

kontingen beserta watak kebergantungan yang dimilikinya dan

posisi "wujud"nya yang terletak di antara eksistensi dan non-

eksistensi niscaya memerlukan sebab. Jika sesuatu itu adalah

Wujud Wajib, maka secara esensial dia mewujud dan tak

membutuhkan sebab dalam perwujudannya, begitupula jika

sesuatu itu wujud mustahil, maka secara esensial dia tiada dan

tak memerlukan sebab dalam ketiadaannya. Tapi, jika sesuatu

itu adalah wujud kontingen, maka secara esensial dalam

mewujud dan meniada niscaya membutuhkan sebab.

Kalau kita mempersepsikan pengertian wujud kontingen,

maka kita akan memahami bahwa "wujud" kontingen terletak

antara wujud dan non-wujud. Dengan posisinya yang demikian

28

itu, "wujud" kontingen niscaya membutuhkan sebab untuk

menggeser posisinya ke titik wujud sehingga mewujud.

Argumen para filsuf tentang kriteria di atas adalah sebagai

berikut:

Kuiditas (mahiyah) berdasarkan wujudnya niscaya

berwujud12 dan berdasarkan ketiadaannya niscaya akan tiada13.

Dua keniscayaan itu (keniscayaan mewujud dan keniscayaan

meniada) adalah keniscayaan yang bersyarat kepada

predikatnya14.

Huduts bukanlah sesuatu yang yang bisa ditempatkan di

antara dua keniscayaan itu, karena makna huduts adalah

sesuatu yang terwujud setelah ketiadaannya. Dengan demikian,

jelaslah bahwa keniscayaan adalah tolok ukur ketakbutuhan

kepada sebab. Oleh karena itu, selama kita tak memperhatikan

kuiditas dan watak kebergantungannya (imkan) beserta adanya

keniscayaan, maka kita tak akan pernah sampai pada kriteria

hakiki kebutuhan wujud kontingen kepada sebab.

Untuk memahami argumen di atas secara benar, kami

akan menyebutkan tiga pendahulan sebagai berikut:

Pendahuluan pertama: Para filsuf berkeyakinan bahwa

tolok ukur kebutuhan kepada sebab adalah keniscayaan dan

bukannya huduts, karena huduts adalah suatu sifat yang hadir

dari keterwujudan dan keterciptaan kuiditas. Misalnya, pada

waktu dulu A tiada kemudian pada waktu tertentu dia berwujud,

ini berarti bahwa ketiadaan A mendahului keberadaannya,

kondisi seperti ini disebut huduts.

12 . Sekarang ini berwujud, sebagaimana yang kita lihat dan rasakan adanya keberadaan kuiditas seperti manusia, hewan, tumbuhan dan sebagainya.13 . Pada waktu tertentu kuiditas akan tiada, punah dan hancur.14 . Artinya, setiap kuiditas (mahiyah) yang melekat kepada wujud berarti kuiditas itu niscaya mewujud.

29

Pendahuluan kedua: Pada sisi yang lain, kuiditas ketika

tiada maka niscaya tiada dan ketika berwujud maka niscaya

berwujud. A tiada pada waktu dulu berarti pada waktu itu A

niscaya tiada kemudian pada waktu tertentu A berwujud berarti

pada waktu itu dia niscaya berwujud.

Pendahuluan ketiga: Telah dikatakan bahwa keniscayaan

adalah tolok ukur ketak-butuhan kuiditas kepada sebab, yakni

kuiditas ketika niscaya berwujud atau tiada, dia tidak butuh

kepada sebab, karena sebab telah memberikan keniscayaan

kepada kuiditas.

Kesimpulan dari ketiga pendahuluan tersebut adalah

bahwa huduts merupakan sebuah sifat yang terambil dari

keterwujudan sesuatu dari ketiadaan, yakni perpindahan sesuatu

dari keniscayaan tiada menuju keniscayaan wujud. Dengan

demikian, keniscayaan sebagai tolok ukur ketak-butuhan kuiditas

kepada sebab dan bukan huduts.

Keniscayaan akan sirna ketika kuiditas tak lagi melekat

pada wujud dan tiada, karena pada kondisi ini kuiditas tak

"meminta" keberadaan dan ketiadaan. Jadi kuiditas dan sifat

imkannya harus dipandang sebagai kriteria dan tolok ukur

kebutuhan kepada sebab.

2. Perspektif Para Teolog

Para teolog beranggapan bahwa kriteria kebutuhan wujud

kontingen kepada sebab adalah huduts15 bukan imkan ( watak

15 . Huduts dalam makna leksikalnya berarti baru lawan dari lama (qadim). Dalam makna gramatikalnya (istilah), sesuatu dikatakan huduts (baru) jika ketiadaannya mendahului keberadaannya, artinya sesuatu itu pada awalnya tiada (tak tercipta) dan sekarang ada, berwujud atau tercipta. Huduts terbagi dua: pertama, huduts zati (lawan qadim zat) yaitu ketiadaan mendahului keberadaannya tapi bukan dalam rentangan waktu. Kedua, huduts zamani (lawan qadim zamani) yaitu ketiadaannya mendahului keberadaannya dalam rentangan waktu.

30

bergantung, kontingen)16. Jadi, sesuatu yang baru tercipta

(huduts) niscaya memerlukan sebab.

Berdasarkan perspektif para teolog tentang kriteria

kebutuhan tersebut, maka defenisi teori kausalitas berbunyi

demikian: setiap yang huduts niscaya membutuhkan sebab.

Argumen para teolog tentang tolok ukur kebutuhan wujud

kontingen kepada sebab adalah sebagai berikut:

Para teolog dengan bersandar pada dua pendahuluan,

beranggapan bahwa tolok ukur dan kriteria kebutuhan kepada

sebab adalah huduts dan bukan imkan. Kedua pendahuluan

tersebut adalah sebagai berikut:

Pendahuluan pertama: Jika kriteria kebutuhan kepada

sebab adalah imkan dan bukan huduts, maka dimungkinkan

terwujud suatu akibat yang bersifat qadim zamani 17.

Pendahuluan kedua: Mustahil terwujudnya akibat yang

bersifat qadim zamani.

Oleh karena itu, kriteria kebutuhan kepada sebab adalah

huduts dan bukan imkan.

Jika terwujud suatu akibat yang bersifat qadim zamani,

maka akibat tersebut pasti berwujud sejak awal (azali) dan

mustahil pernah tiada. Dan sesuatu yang tak pernah tiada,

niscaya tak membutuhkan sebab. Sesuatu yang dulu tiada dan

tidak azali maka perlu kepada sebab. Oleh karena itu, keazalian

yang menjadi tolok ukur ketak-butuhan kepada sebab. Wujud

akibat, mustahil memiliki sifat keazalian. Dengan demikian,

mustahil terwujudnya suatu akibat yang bersifat qadim zamani.

16 . Imkan (bergantung, kontingen) adalah makna hakiki dari kuiditas (mahiyah), artinya setiap kuiditas meniscayakan kebergantungan atau hakikat dari kuiditas adalah bergantung.17 . Qadim zamani adalah sesuatu yang ketiadaannya tak mendahului keberadaannya dalam rentangan waktu atau senantiasa berwujud dalam rentangan waktu. Qadim zat adalah sesuatu yang ketiadannya tak mendahului keberadaannya tak dalam rentangan waktu atau senantiasa berwujud bukan dalam rentangan waktu (azali), seperti wujud Tuhan.

31

3. Bantahan Filsuf Atas Argumentasi Teolog

Perspektif pertama:

Sebagaimana telah dibuktikan oleh para filsuf, bahwa

kriteria kebutuhan kepada sebab adalah imkan, dan imkan

merupakan sifat dan watak hakiki suatu kuiditas. Dengan

ungkapan lain, imkan merupakan keniscayaan dari kuiditas,

yakni setiap kuiditas pasti memiliki imkan.

Telah diketahui bahwa, jika sesuatu bersifat qadim zaman

maka dia akan senantiasa berwujud dan tak lagi "meminta"

keberadaan dan ketiadaan. Oleh karena itu, dia memiliki

kebutuhan yang abadi kepada sebab.

Dengan penjelasan lain, jika kita asumsikan bahwa

"sesuatu" yang tak berwujud dan juga tak tiada, ini sesuai

dengan makna imkan, dan juga diasumsikan bahwa "posisi

wujud"nya yang bisa mewujud dan juga bisa meniada, dan pada

saat yang sama dia berwujud sejak azali dan tak akan meniada

dalam rentangan waktu. Maka, keberadaan sesuatu itu, tanpa

ragu lagi, diperoleh dari selain dirinya sejak azali. Oleh karena

itu, qadim zamani tak bertentangan dengan hakikat wujud

akibat, yakni wujud akibat bisa bersifat qadim zamani.

Perspektif kedua:

Pandangan ini berdasarkan sebuah kajian yang mendalam

dalam hikmah al-muta'aliyah tentang hubungan hakiki sebab-

akibat. Kesimpulannya, "wujud" akibat adalah hubungan dan

kebergantungan esensial kepada sebab itu sendiri. Dengan

ungkapan lain, hubungan, kebutuhan dan kebergantungan

merupakan esensi dan hakikat "wujud" akibat. Kebergantungan

dan wujud akibat adalah satu kesatuan yang tak terpisah.

32

Inti ajaran ini adalah "wujud" akibat tak setara dengan

wujud sebabnya, akibat tak lain adalah hubungan kepada sebab,

akibat adalah pancaran sebab dan manifestasi wujud sebab. Jadi,

semakin "luas wujud" akibat maka semakin tinggi

kebergantungan dan kebutuhannya kepada sebab. Maka dari itu,

tak mustahil terjadi kesesuaian antara "wujud" akibat dan qadim

zamani. Keqadiman zamani "wujud" akibat tak menghilangkan

sifat kebutuhannya kepada sebab bahkan semakin memperkuat

keperluaan kepadanya.

4. Perspektif Imkan Fakir (al-imkan al-faqri)

Teori ini digagas pertama kali oleh filsuf Mulla Sadra. Teori

ini sangat sempurna dibandingkan dengan argumen imkan dan

wujub yang dianut oleh semua filsuf sebelum Mulla Sadra.

Landasan filosofis teori ini adalah kehakikian wujud (ashalah al-

wujud) dan gradasi wujud (tasykik al-wujud). Mulla Sadra

meletakkan kriteria dan tolok ukur kebutuhan kepada sebab

pada wujud itu sendiri.

Mulla Sadra mengkritik argumentasi para filsuf tentang

kriteria kebutuhan tersebut, ia menyatakan, "Anda meyakini

bahwa tolok ukur kebutuhan itu adalah imkan, dan imkan

merupakan salah satu sifat kuiditas. Karena imkan sebagai tolok

ukur, maka secara esensial dia niscaya berwujud, dan ketika

imkan berwujud maka kuiditas niscaya berwujud. Berdasarkan

pikiran ini, kuiditas merupakan realitas wujud yang mandiri dan

hakiki."

Menurut Mulla Sadra pikiran para filsuf dan para teolog

bertentangan dengan dua hal sebagai berikut:

Pertama, defenisi "wujud" imkan (kontingen) adalah "sesuatu"

yang secara esensial tak berwujud dan tak tiada.

33

Kedua, kehakikian wujud (ashalah al-wujud), yakni yang memiliki

realitas eksternal hakiki adalah wujud bukan kuiditas, kuiditas

hanya ber"wujud" dalam pikiran.

Berdasarkan dua hal di atas, karena kuiditas tak memiliki

wujud hakiki eksternal, maka tolok ukur kebutuhan itu pada

wujud itu sendiri.

Inti kekeliruan sebagian filsuf adalah ketika menganalisa

antara wujud dan kuiditas, mereka meletakkan kehakikian

(ashalah) pada kuiditas, dan karena imkan merupakan sifat

kuiditas maka tolok ukur kebutuhan itu disandarkan kepada

imkan. Tetapi berdasarkan kajian yang sempurna, disimpulkan

bahwa realitas eksternal yang hakiki adalah wujud (ashalah al-

wujud) dan kuiditas hanya berwujud dalam pikiran dan kuiditas

ketika berwujud di alam eksternal (baca: luar pikiran) hanya

mengikuti wujud. Karena kuiditas hanya berwujud dalam pikiran,

maka imkan, yang merupakan sifat kuiditas, juga berwujud

dalam pikiran.

Berdasarkan kehakikian wujud, gradasi wujud dan tolok

ukur kebutuhan kepada sebab adalah wujud, maka segala sifat,

seperti sempurna dan cacat, kuat dan lemah, butuh dan tak

butuh, tak terbatas dan terbatas, disandarkan kepada hakikat

wujud.

Oleh karena itu, hakikat wujud secara esensial identik dan

setara dengan kesempurnaan, ketakbergantungan,

ketakterbatasan dan keniscayaan; yakni wujud murni adalah

suatu wujud yang tak memilki kebutuhan dan batasan, dan

wujud terbatas memiliki sifat butuh dan bergantung. Intensitas

sifat kebergantungan dan kebutuhan ini muncul dari gradasi dan

tingkatan wujud, dan tingkatan melahirkan keterbatasan dan

keterbatasan mengakibatkan ketaksempurnaan dan

34

ketaksempurnaan meniscayakan kebutuhan dan

kebergantungan.

Maksud dari fakir dan kebergantungan di sini adalah

hubungan kepada wujud mandiri. Kebergantungan bukan

sesuatu yang melekat pada wujud terbatas, tetapi kefakiran dan

kebutuhan adalah wujud terbatas dan wujud kontingen itu

sendiri. Dengan demikian, seluruh wujud kontingen adalah

hubungan dan kebutuhan kepada Wujud Wajib dan wujud yang

mandiri hanyalah Wujud Wajib.

Kesimpulannya, kuiditas bukan sesuatu yang langsung

dicipta oleh Tuhan, tetapi yang dicipta adalah wujud. Jadi, yang

dihubungkan kepada-Nya juga adalah wujud. Maka, tolok ukur

Kebutuhan kepada sebab adalah wujud bukan sifat keqadiman

dan kehaditsan wujud. Berdasarkan tingkatan wujud, wujud

qadim sangat butuh kepada-Nya karena lebih "dekat" kepada-

Nya dibandingkan denga wujud hadits.

Kebutuhan Abadi Wujud Kontingen Kepada Sebab

Wujud kontingen tak hanya membutuhkan sebab diawal

penciptaannya tapi juga dalam kelangsungan wujudnya.

Pernyataan tersebut bersandar pada dua dalil sebagai

berikut:

Dalil pertama, tolok ukur dan kriteria kebutuhan kepada sebab

adalah imkan, dan imkan sebagai sifat hakiki kuiditas dan satu

kesatuan yang tak terpisah dari kuiditas. Imkan senantiasa

bersama dengan kuiditas mulai dari awal penciptaannya (huduts)

hingga pada "keabadian" wujudnya.

Dalil kedua, wujud akibat, berdasarkan teori imkan fakir (al-

imkan al-faqri) Mulla Sadra, merupakan wujud hubungan yang

bergantung mutlak kepada sebab. Kebergantungan adalah

35

hakikat wujud akibat. Karena wujud hubungan (baca: wujud

akibat) ini bukan wujud yang mandiri maka dalam perwujudan

dan "keabadian wujud"nya tetap membutuhkan sebab.

Para teolog menganggap bahwa kriteria kebutuhan kepada

sebab adalah huduts, maka kebutuhan wujud kontingen kepada

sebab terbatas hanya diawal penciptaan dan perwujudan.

Sesuatu yang telah tercipta (hadits) tak butuh lagi kepada sebab,

jadi sebab tak berpengaruh lagi dalam kelangsungan wujud

akibat. Jika demikian, tak mustahil kalau sebab tiada setelah

terwujudnya akibat. Pandangan para teolog atas hubungan

sebab akibat adalah bahwa wujud akibat bersifat mandiri, sebab

berhubungan dengan akibat lewat "pola hubungan" yang dicipta

oleh sebab. Akibat akan terwujud jika mendapatkan pancaran

wujud dari sebab lewat pola hubungan itu. Pola hubungan sebab-

akibat itu akan sirna setelah akibat terwujud, dan "pekerjaan"

sebab berakhir dengan sirnanya pola hubungan itu dan secara

mutlak hubungan antara sebab dan akibat juga terputus. Dari

sinilah, wujud akibat tak membutuhkan lagi sebab dalam

kelangsungannya.

Para teolog berpandangan bahwa hubungan antara sebab

dan akibat bersifat majasi, karena itu, ketiadaan satu tak mesti

meniadakan yang lain. Adalah tak mustahil, sebab ada tapi

akibat tiada, begitupula sebab bisa tiada setelah akibat terwujud

dan akibat bisa senantiasa berwujud tanpa sebab. Jadi, Tuhan

ada tapi makhluk "dulu" tiada, begitupula Tuhan bisa tiada

setelah makhluk tercipta dan makhluk bisa senantiasa berada

tanpa kehadiran Tuhan.

Kedua pandangan di atas, pandangan filsafat dan

pandangan kalam, akan berefek dalam warna pandangan dunia

tauhid seseorang. Efek ini akan jelas ketika membahas hubungan

36

prilaku manusia dan ilmu Tuhan, keterpaksaan (jabr) dan

kebebasan (ikhtiar) manusia dan juga dalam pembahasan tauhid

perbuatan.

Tafsiran Keliru Atas Argumen Imkan dan Wujub

Para filsuf dan pemikir barat mengadopsi argumen imkan

dan wujub dari fisuf-filsuf muslim, tetapi mereka tidak sempurna

dalam memahami dan memaparkannya. Kekeliruan dalam

paparan mereka adalah anggapan bahwa jika keseluruhan wujud

di alam ini adalah wujud-wujud kontingen maka niscaya pada

waktu tertentu wujud-wujud ini akan tiada. Kekeliruan ini,

membuat para pengkritik argumen ini beranggapan bahwa jika

alam ini senantiasa ada maka akan menjadi azali dan tak lagi

memerlukan sebab. Kondisi ini menjadikan alam ,yang secara

esensial merupakan wujud kontingen, sesuai dengan keazalian.

Artinya tak mustahil jika ada realitas wujud yang bergantung

kepada wujud azali tetapi keazalian ini tidak menghilangkan

kebergantungannya kepada sebab bahkan keperluannya

semakin bertambah.

Konsekuensi dari anggapan itu adalah waktu itu sendiri

menjadi realitas wujud yang berdiri sendiri dan mandiri dari

wujud kontingen, yakni waktu itu sendiri memiliki eksistensi

tetapi tak satupun realitas wujud berada di dalamnya. Nah,

sekarang kita bertanya tentang waktu itu sendiri, apakah dia

wujud kontingen? Kalau wujud kontingen maka tak perlu waktu

itu sendiri barada di dalam suatu realitas waktu. Jika waktu itu

sendiri bukan wujud kontingen maka pasti Wujud Wajib atau

wujud mustahil. Kalau wujud mustahil maka tak mungkin

mewujud, sementara secara riil waktu itu sendiri telah terwujud.

37

Jika waktu itu sendiri adalah Wujud Wajib maka juga mustahil,

karena waktu itu sendiri tidak memiliki sifat-sifat Wujud Wajib.

Konklusi dari pemahaman keliru itu adalah kalau

keseluruhan wujud di alam ini adalah wujud-wujud kontingen

maka niscaya pada waktu tertentu wujud-wujud itu akan

meniada.

Di bawah ini akan kami kutipkan pemaparan argumen

imkan dan wujub oleh Thomas Aquinas. Argumen ini sampai ke

tangan filsuf-filsuf barat melalui penerjemahan karya-karya Ibnu

Rusyd di abab pertengahan oleh Thomas Aquinas, seorang filsuf

dan teolog besar Kristen.

Menurut Thomas, dalil ini merupakan salah satu dari lima

dalil dalam pembuktian eksistensi Tuhan, ia berkata, "Kita

melihat realitas di alam ini bahwa sesuatu di masa yang akan

datang bisa mewujud dan juga meniada, ini dikarena bahwa

semua realitas tersebut berada dalam kondisi yang senantiasa

berubah. Tetapi, mustahil realitas-realitas itu senantiasa

mewujud, karena secara esensial, wujud kontingen tak

meniscayakan eksistensi. Oleh karena itu, segala wujud

kontingen pada waktu tertentu akan meniada. Wujud kontingen

untuk mewujud membutuhkan wujud yang senantiasa ada dan

mustahil tiada. Kalau pada zaman dahulu tak ada satupun wujud

(baca: selain wujud kontingen) maka mustahil wujud kontingen

bisa mengada. oleh karena itu, mustahil semua realitas wujud

adalah wujud kontingen, tetapi niscaya ada realitas wujud

sebagai Wujud Wajib."

Setiap realitas wujud adalah niscaya, tetapi

keniscayaannya ada yang berasal dari wujud lain dan berasal

dari diri sendiri (swa-niscaya). Sebagaimana telah ditetapkan

kaidah bahwa mustahil terjadi mata rantai tak terbatas dari

38

sebab-sebab dan akibat-akibat. Berdasarkan kaidah ini, terpaksa

kita menerima adanya realitas wujud yang secara esensial

adalah niscaya (baca: Wujud Wajib) dan keniscayaannya tak

berasal dari wujud lain, bahkan keniscayaan itu dipancarkan

kepada wujud lain. Manusia menyebut realitas wujud ini sebagai

Tuhan18.

Dengan menyimak paparan di atas, maka disimpulkan

bahwa pemahaman dan penjabaran argumen imkan dan wujub

dari filsuf-filsuf muslim sedikit berbeda dengan yang dipaparkan

oleh filsuf-filsuf barat. Karenanya, tidak berdasar berbagai kritik

yang dilontarkan oleh filsuf barat diatas bangunan argumen dari

filsuf muslim, karena ada kekeliruan dalam pemahaman dan

penjabaran argumen tersebut.

Kritik Atas Argumen Imkan dan Wujub

Argumen ini berpijak dan bersumber pada analisis rasional

keserbamungkinan esensi kuiditas. Ibnu Sina untuk pertama

kalinya menyebut argumen ini dalam kitab isyarat wa at-tanbihat

sebagai burhan siddiqin. Kekhususan argumen ini tidak

bersandar pada argumen gerak, keteraturan dan hudus

(kebaruan dalam penciptaan) tapi mempergunakan bentuk

hubungan ketergantungan esensi kuiditas (mahiyah) dan realitas

hakiki atau hubungan ketergantungan hakiki wujud kontingen

dan Wujud Wajib.

Kritikan filsuf barat atas argumen ini, sebenarnya tak lepas

dari faktor adanya kesalahan dalam penerjemahan karya-karya

filsuf muslim. Disamping itu juga, terdapat kesalahan dalam

memahami argumen ini, mereka tidak memasukkan teori

kausalitas sebagai bagian yang prinsipil dalam bangunan

18 . Etin Jilson, Mabani falsafe-e masahiyyat, penerjemah Muhammad Muhammad Reza-I, hal. 118.

39

argumen ini. Prinsip kausalitas merupakan prinsip universal bagi

semua bangunan argumen dan tak terkhusus pada argumen

imkan dan wujub. Menolak teori kausalitas sama artinya

menutup semua jalan untuk menetapkan dan menafikan segala

sesuatu.

David Hume, dalam kritikannya terhadap argumen ini, ia

menyatakan, "Jika secara esensial, hubungan antara wujud-

wujud partikular (sebagian wujud kontingen) dan eksistensi dan

non-eksistensi di alam ini bersifat sama dan seimbang, maka

untuk mewujud memerlukan sebab. Kaidah ini tidak berlaku

secara universal untuk keseluruhan realitas wujud, karena tak

ada kesetaraan antara wujud-wujud partikular dan keseluruhan

wujud, misalnya jika setiap manusia memiliki satu ibu, maka

tidak bisa dihukumi secara universal bahwa keseluruhan manusia

memilki satu ibu."19

Jawaban kritikan di atas sebagai berikut:

Hume menyangka bahwa argumentasi itu berlandaskan

atas keserbamungkinan mewujudnya sebagian wujud kontingen

di alam. Anggapan ini sangat keliru, karena inti argumen imkan

dan wujub adalah wujud kontingen niscaya membutuhkan wujud

lain (baca: Wujud Wajib) untuk mengada. Kaidah ini bersifat

hakiki dan universal yang berkaitan dengan keseluruhan wujud

kontingen dan bukan sebagiannya.

Kritik lain atas argumen ini adalah keniscayaan wujud

hanya merupakan kategori logika20 dan kategori logika tidak

berhubungan dengan realitas eksistensi eksternal atau wujud

hakiki.

Jawaban kritikan tersebut sebagai berikut:

19 . Bertrand Russel, Irfan wa Mantiq, hal. 213.20 . Sebuah pahaman yang tidak didasarkan pada obyek nyata dan tidak berasal dari realitas dan eksistensi hakiki.

40

Keniscayaan memilki pengertian yang sama dalam ilmu

logika dan filsafat. Makna keniscayaan dalam ilmu logika juga

teraplikasikan dalam filsafat. Keniscayaan ini terkait secara

langsung dengan realitas eksternal dan wujud-wujud hakiki di

alam ini.

Mullla sadra berkata, "Bahwa keniscayaan memiliki satu

pengertian, tetapi pengertian ini bergradasi sesuai dengan

predikat yang melekat kepadanya, misalnya angka empat

niscaya genap dan wujud Tuhan niscaya ada. Pengertian

keniscayaan yang ada pada kedua proposisi itu memiliki gradasi

dan berjenjang. Keniscayaan tidak semata-mata berhubungan

dengan realitas eksistensi Tuhan, tetapi berkaitan dengan segala

realitas wujud baik eksternal (wujud di alam) maupun internal

(wujud dalam pikiran."21

Argumen imkan dan wujub tidak berpijak pada analisis akal

tentang pengertian kuiditas wujud kontingen yang secara

esensial meniscayakan kebergantungan kepada sebab, tetapi

berpijak pada analisis akal tentang realitas eksistensi eksternal

dan wujud hakiki di alam ini. Jadi pengertian keniscayaan murni

berasal dan bersumber dari eksistensi eksternal dan wujud

hakiki, dan bukan sebuah pengertian yang tak memiliki obyek

nyata dan hakiki (baca: pengertian yang semata-mata dalam

pikiran).

Ibnu sina dalam memaparkan argumen tersebut secara

langsung menggunakan obyek eksternal dan eksistensi hakiki

dalam proposisi. Dia berkata, "Karena wujud mustahil tidak

memiliki realitas eksternal dan wujud hakiki maka yang berwujud

hanya dua kemungkinan yaitu wujud kontingen dan Wujud

Wajib, dan kalau realitas eksistensi eksternal itu adalah wujud

21 . Mulla Sadra, Asfar, jilid 1, hal. 91.

41

kontingen maka niscaya memerlukan sebab (baca: Wujud

Wajib)."22

Sangkaan David Hume atas keniscayaan adalah sebagai

berikut: pertama, pengertian keniscayaan hanya dalam kategori

logika dan menolak aplikasinya dalam filsafat23. Kedua,

keniscayaan terbatas pada proposisi analitik yang predikatnya

melekat pada subyek.

Jadi, anggapan Hume tentang bahwa keniscayaan hanya

teraplikasikan pada satu subyek yang telah terasumsi

validitasnya dalam pikiran, dan kemudian subyek itu diletakkan

berbandingan dengan subyek atau bagian-bagian dari subyek itu

sendiri, lalu subyek yang terasumsi itu atau bagian-bagiannya

dipredikasikan kepada subyek yang terasumsi itu, seperti

manusia adalah manusia.

Berdasarkan prasangka di atas, setiap argumentasi yang

berakhir berpijak pada keniscayaan hanya berlaku dalam ruang

lingkup presentasi pikiran dan pemikiran dan tidak berhubungan

dengan realitas eksternal dan wujud hakiki.

Jawaban atas sangkaan ini adalah sebagai berikut:

Keniscayaan berlaku pada semua proposisi baik analitik24

maupun hakiki25. Pengertian keniscayaan bersumber dari

fenomena hakiki dan menunjuk langsung pada eksistensi

eksternal yang nyata.

22 . Ibnu Sina, Isyarat wa at-Tanbihat, jilid 3, hal. 18.23 . Subyek pembahasan filsafat adalah realitas eksistensi eksternal dan wujud hakiki.24 . Proposisi analitik adalah subyek pembahasan hanya dalam pikiran, misalnya sekutuTuhan mustahil ada. Jadi, apa yang diasumsikan oleh akal tentang sekutu Tuhan tidaklah mustahil hadir dalam pikiran, dengan ungkapan lain bahwa asumsi sekutu Tuhan adan dalam pikiran.25 . Proposisi hakiki adalah subyek pembahasannya di alam eksternal dan berkaitan dengan wujud hakiki, misalnya Imam Husain as syahid di karbala atau Zionis membunuh anak-anak Palestina. Proposisi tersebut aktual dan faktual.

42

Argumen imkan dan wujub tidak bersandar pada analisa

pikiran atas pemahaman kuiditas eksistensi yang terasumsi,

tetapi terbangun di atas analisa akal atas realitas eksistensi luar

dan wujud hakiki dan juga diperoleh dari perbandingan langsung

antara persepsi suatu kuiditas dan extensi-extensinya26. Jadi,

yang dipergunakan dalam argumen ini adalah konsepsi

keniscayaan yang terkait secara hakiki dengan extensi-extensi

eksternal, dan extensi keniscayaan adalah eksistensi hakiki dan

realitas eksternal27. Oleh karena itu, pengetahuan kita terhadap

eksistensi keniscayaan itu sendiri bersifat badihi. Mengingkari

keniscayaan sama dengan menolak eksistensi, realitas dan

wujud hakiki. Menolak eksistensi dan wujud hakiki sama dengan

memungkiri diri kita sendiri.

Kritik lain untuk argumen ini bersifat epistimologis bukan

filosofis. Kritik ini berbunyi, "Suatu argumen dianggap sempurna

jika realitas eksternal dan wujud hakiki berada dalam jangkauan

persepsi akal dan pengetahuan-pengetahuan rasionalitas

manusia bersesuaian dengan realitas eksistensi hakiki, jika

realitas wujud tersebut tidak dalam jangkauan persepsi akal

maka argumen tersebut tidak sempurna dan tak berguna.

Sebagai contoh dalam argumen ini, dikatakan bahwa realitas

terbagi dua bagian yaitu Wujud Wajib dan wujud kontingen, dan

pembagian ini bersandar pada kaidah kemustahilan

terkumpulnya dua hal yang kontradiksi, kaidah ini walaupun

bersifat rasional tetapi tidak memiliki realitas eksistensi hakiki

26 . Pengertian extensi (mishdaq) dapat dicontohkan sebagai berikut: Muhammad, Ali, Hasan dan Husain adalah manusia. Jadi yang dimaksud dengan Muhammad, Ali, Hasan dan Husain adalah extensi (mishdaq) dari manusia. Manusia itu sendiri tidak memiliki obyek luar, yang ada obyeknya di luar adalah Muhammad dan sebagainya.27. Wujud eksternal adalah bersifat hakiki dan pengetahuan atasnya bersifat badihi, jelas, gamblang dan tak memerlukan argumen. Manusia yang menolak realitas eksistensi eksternal dan wujud hakiki sama dengan menolak eksistensi dan wujud dirinya sendiri.

43

dan obyek luar yakni dua wujud yang saling berkontradiksi dan

bertentangan mustahil mewujud di alam riil. Karena argumen ini

berhubungan dengan kaidah itu maka argumen imkan dan wujub

tidak memiliki pondasi yang kuat."

Jawaban atas kritikan itu adalah sebagai berikut:

Kritikan ini berhubungan dengan ilmu epistimologi.

Pengkritik meragukan nilai ilmu dan pengetahuan manusia, dan

keraguan atas ilmu dan pengetahuan manusia sama dengan

menolak dan memungkiri kebenaran ilmu dan pengetahuan

manusia, konsekuensinya adalah pengingkaran realitas eksternal

dan eksistensi hakiki.

Bentuk keraguan seperti ini sangat halus sehingga

terkadang kita tak menyadari keterjebakan kita di dalamnya.

Problem yang sangat besar adalah kalau kita tidak mengetahui

metode dan rumusan penyelesaiannya. Keraguan merupakan

jembatan emas untuk sampai kepada kesempurnaan ilmu dan

pengetahuan, tetapi menetap di atas jembatan itu akan

mengakibatkan ketersiksaan jiwa dan keterasingan batin

terhadap dirinya sendiri. Inti dan hakikat ilmu dan pengetahuan

sama dengan hakikat eksistensi eksternal dan wujud hakiki.

Menolak kebenaran ilmu dan pengetahuan manusia sama

dengan mengingkari realitas eksistensi eksternal dan

memungkiri realitas eksistensi erksternal sama dengan menolak

keberadaan dan eksistensi diri sendiri. Jadi, perbedaan yang

nyata dalam ilmu dan pengetahuan manusia bukan bermakna

ketiadaan kebenaran ilmu dan pengetahuan, tetapi perbedaan

itu berarti bahwa ilmu dan pengetahuan manusia berjenjang,

bertingkat dan bergradasi. Perbedaan itu jangan dipandang

secara horizontal atau hitam putih, tetapi dipersepsi secara

vertikal atau bergradasi.

44

Dalam perspektif ontologis Mulla Sadra, dijelaskan bahwa

realitas eksternal dan wujud hakiki bersifat gradasi, yakni ada

perbedaan intensitas dalam eksistensi hakiki. Jadi, wujud yang

paling tinggi hingga wujud yang paling rendah semuanya disebut

wujud, dibalik kemajemukan wujud terdapat kesatuan wujud

yang hakikatnya bergradasi. Karena ilmu dan pengetahuan

berpijak pada realitas eksternal dan wujud hakiki maka ilmu dan

pengetahuan juga berjenjang. Wujud Wajib (baca: wujud Tuhan)

adalah wujud yang paling tinggi dan sempurna, jadi ilmu yang

berkaitan dengan wujud Tuhan menjadi ilmu yang paling tinggi

dan sempurna, dan begitu pula sebaliknya, hubungan antara

wujud yang rendah dengan ilmu. Pluralitas dalam hal ini adalah

pluralitas bergradasi dan bukan horizontal.

45