hak politik perempuan menurut pemikiran · pdf filea. hak-hak perempuan dalam islam ... dengan...
TRANSCRIPT
HAK POLITIK PEREMPUAN MENURUT
PEMIKIRAN MUSTHAFA AL-SIBA’I
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Pensyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh
NOR NAJIHAH BINTI ISMAIL
NIM: 109045200011
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432 H / 2011M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yaang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 13 Juli 2011
Nor Najihah binti Ismail
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul "HAK POLITIK PEREMPUAN MENURUT MUSTHAFA AL-SIBA'I" telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan HukumUniversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Juni 201 1. skripsi initelah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada
Prograrn Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Ketatanegaraan Islam (Siyasah Syar'iyyah).
Jakada, 20 Juni 201 1
Mengesahkan,
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua
2. Sekretaris
3. Pembimbing I
4. Pembimbing II
5. Penguji I
6. Penguji II
Dr. Asmawi. M.AgNIP: 197210101 99703 1 008
Afivan Faizin. MANIP: 19721 0262003121 00i
Dr. Euis Nurlaelawati. MANIP: 1 97007 04199682402
Sri Hidayati" M.AgNIP: 1 971 0215199182402
Afwan Faizin. MANIP: 19721 0262003121 001
Fahmi Muhammad Ahmadi. MSiNIP: 1 9741 2132003121002
Itas Syariah dan Hukum
ip: 195505051982031012
i
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, puji syukur
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya, dan
semua yang telah dianugerahkan-Nya kepada penulis. Selawat dan salam semoga
senantiasa dilimpahkan kepada pembawa risalah Allah SWT, Nabi Muhammad
SAW, keluarga dan para sahabatnya, yang telah menunjukkan jalan hidayah dan
pembuka ilmu pengetahuan dengan agama Islam.
Skripsi yang berjudul “HAK POLITIK PEREMPUAN MENURUT
PEMIKIRAN MUSTHAFA AL-SIBA’I” penulis susun dalam rangka memenuhi
dan melengkapi persyaratan untuk mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.sy), jurusan
Siyasah Syari’yyah, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini, masih
banyak kekurangan dan kelemahan yang dimiliki penulis. Namun berkat
bantuan dan dorongan dari semua pihak, akhirnya penulisan skripsi ini dapat
diselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih secara khusus yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan kewenangan yang
ii
dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada penulisan untuk menyusun
skripsi ini.
2. Dr. Asmawi, M.Ag dan Afwan Faizin, MA selaku Ketua dan sekretaris
Jurusan Jinayah Siyasah Sya’iyyah Fakultas Syariah dan Hukum.
3. Dr. Euis Nurlaelawati, MA dan Sri Hidayati, M.Ag. selaku dosen pembimbing
penulis yang penuh kesabaran dalam memberi masukan dan saran, sehingga
skripsi ini dapat selesai dengan baik. Semoga apa yang telah diajarkan
mendapat balasan dari Allah SWT.
4. Kepada seluruh Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum, seluruh staf dan
karyawan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama, dan Perpustakaan
Fakultas Syariah dan Hukum, akademik Pusat, dan Rektorat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Teristimewa buat tatapan Ibunnda Mariam Taib yang telah mendidik dan tidak
putus-putus memberi semangat kepada penulis, dan tidak lupa juga kepada
kekandaku Faris, adik-adikku wafi, rafid, najibah, dan hanif yang disayangi
serta seluruh keluarga tercinta. Terima kasih atas segala doa dan kesabarannya
atas jerih payah dan pengorbanan yang tak terhingga serta senantiasa
memberikan semangat tanpa jemu hingga anakanda dapat menyelesaikan
pengajian. Jasa kalian tetap dalam ingatan tidak ada yang dapat dipersembahkan
sebagai balasan melainkan hanya sebuah kejayaan.
6. Warga Kudqi yang telah memberikan tempat belajar terutama Dato Tuan Guru
Haji Harun Taib, Rektor Ust. Mahmood Sulaiman, Ust Soud Said, Ust. Nik
iii
Mohd Nor, YB. Ust. Mohd Nor Hamzah, Ust. Rizki Ilyas, Ustadzah Zaitun,
Ust. Kamaruzaman, Ust. Sya’ri Zulkarnain, Ust. Asmadi, Ust. Khalil, Ustadzah
Asma’, Ustadzah ‘Atikah dan seluruh juga pelajar Kudqi yang tidak dapat
penulis sebutkan disini.
7. Teman-teman sahabat seperjuangan, saudari Syazwani, k.dah, k.aminah, k.su,
k.ain, an, ijah, k.azi, k.faizah, k.alfiah, hajar, baiyah, k.ngah, u.azhari, kasyah,
ridhuan, zailani, muaz, ramadhan, syamil, syukri, munir, najmi, ridhuan hamid,
farid, dan juga mantan presiden MCUJ sabri aljirani. Serta senior dan junior
k.suhaida, k.ummu, k.aisyah, k.mayah, zu, dan jannah. Juga tidak dilupakan
teman-teman lain dari Malaysia angkatan 2009/2010 dan angkatan 2010/2011
yang tidak tersebut namanya.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang
lebih baik dari semua yang telah mereka berikan dan lakukan untuk penulis
khususnya kepada semua pihak pada umumnya. Penulis menyampaikan harapan yang
begitu besar agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan
pembaca sekalian. Dan semoga Allah menjadikan penulisan skripsi ini sebagai suatu
amalan yang baik di sisi-Nya.
Jakarta, 10 JUNI 2011 M
08 Rajab1432 H
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………..i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...…iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………………..1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………………...8
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan …………………………………………9
D. Tinjauan Pustaka Terdahulu…….………………………………………9
E. Metode Penelitian..…………………………………………………..11
F. Sistematika Penulisan…….………………………………………….13
BAB II PROFIL DAN KARYA-KARYA MUSTHAFA AL-SIBA’I
A. Riwayat Hidup Musthafa As-Siba’i….………………………………..15
B. Karya- Karya Musthafa As-Siba’i……...………………..…………….24
1. Karya-karya Musthafa As-Siba’i Secara Umum...………….……..24
2. Karya Musthafa As-Siba’i Tentang Pemikiran Politik….………....27
BAB III HAK POLITIK PEREMPUAN MENURUT ISLAM
A. Hak-Hak Perempuan dalam Islam……………………………………..30
B. Hak-Hak Politik Perempuan Menurut Islam…………………………..37
1. Pengertian Hak Politik……………………………………………….37
v
2. Hak-Hak Politik Perempuan………………………………………....41
BAB IV HAK POLITIK PEREMPUAN MENURUT MUSTHAFA AL-SIBA’I
A. Hak Politik dan Permasalahannya………………………………….…50
B. Pemikiran Musthafa As-Siba’i Tentang Posisi Wanita dalam
Berpolitik……………………………………………………………..51
1. Hak Wanita Menjadi Kepala Negara……...................................51
2. Hak Memilih Wakil-Wakil Rakyat…………………………......56
3. Hak Dipilih sebagai Ahli Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR)…………...........................................................................58
4. Hak untuk Menjadi Pegawai Negeri………………………….…64
5. Hak Wanita dalam Memberi Kesaksian………………………...67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………70
B. Saran…………………………………………………………………..71
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..73
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Allah telah menciptakan manusia dua jenis, laki-laki dan perempuan, untuk
hidup bersama dalam suatu masyarakat. Keduanya diberi potensi yang sama dari sisi
insaniahnya, yakni berupa potensi akal dan potensi hidup (naluri dan kebutuhan
jasmani).1 Baik perempuan maupun pria memiliki sebuah tanggungjawab terhadap
masyarakat, tempat mereka hidup. Keduanya memiliki tugas yang sama untuk
melindungi masyarakat dari polusi dan kontaminasi.2 Sebagaimana laki-laki
mengambil peran aktif dan menikmati hak-hak sosialnya, perempuan juga memiliki
tanggung jawab yang sama. Al-Quran menyatakan :
Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhamu yang telah menciptakan kamu
dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari
(diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan
yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling
1 Najmah Sa’idah dan Husnul Khatimah, Revisi Politik Perempuan ( Bogor: Cv Idea Pustaka
Utama, 2003 ), Cet. Pertama, h. 149.
2 Ali Husain Al-Hakim, Membela Perempuan ( Jakarta: Al-Huda, 2005 ), Cet. Pertama, h. 42.
2
meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasimu. (Q.S. an-Nisa‟ 4:1).
Manusia seluruhnya berasal dari sumber yang sama, dengan demikian, tidak
seorang pun, baik laki-laki maupun perempuan, dapat mengklaim superioritas atas
yang lain di alam ini.
Islam telah menggariskan hak-hak wanita yang selalu dipersoalkan corak
perjuangannya dalam seminar-seminar dan diskusi, konferensi-konferensi local dan
internasional, buku-buku majalah, dan lain sebagainya. Hak-hak wanita yang
digariskan dalam Al-Quran di antaranya adalah, perempuan pasangan kepada laki-
laki begitu juga laki-laki merupakan pasangan perempuan, iman seorang perempuan
dan laki-laki dinilai sama tanpa perbedaan, sama mendapat imbalan yang sesuai
dengan pandangan dan sikap serta amal kebaikannya, memiliki hak yang sama dalam
usaha memperoleh dan memiliki harta, mempunyai hak dalam memperoleh warisan.
Dalam beberapa hal menurut hukum Islam sebagaimana fiqih, hak dan
kewajiban perempuan serta laki-laki berbeda. Kelebihan laki-laki dalam hak
kepimpinan, poligami, harta warisan, dan sebagainya, diimbangi dengan kewajiban
melindungi dan menafkahi keluarga. Kelebihan perempuan pula dalam hak
memperoleh nafkah dari laki-laki dan bukan sebaliknya, diimbangi pula oleh
kewajiban tertentu, seperti merawat dan membimbing anaknya.3
3 Ibn Musthafa, Wanita Menjelang Tahun 2000 ( Bandung: Al-Bayan, 1995 ) Cet. Keempat,
h. 89.
3
Begitulah pula dalam hal politik, keduanya diciptakan oleh Allah tidak lain
untuk saling bekerjasama dalam menyelesaikan urusan dan permasalahan bersama di
antara mereka, sebagaimana firman-Nya :
﴿
﴾
Orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan,sebagian mereka menjadi
penolong bagi sebagian yang lain. Mereka memerintah kemakrufan dan
mencegah kemungkaran. (Q.S. At-Taubah 9: 71).
Ayat ini menjelaskan secara lebih spesifik dengan penyebutan laki-laki
Mukmin dan perempuan Mukmin untuk melakukan salah satu bentuk aktivitas
politik, yaitu amar makruf nahi mungkar. Ayat ini lebih mempertegaskan lagi bahwa
sebagai bagian dari masyarakat, laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban untuk
berpolitik. Tidak bisa dipungkiri dan bahkan harus dipahami oleh seluruh kaum
Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, bahwa keduanya menjadi bagian dari
masyarakat atau umat yang memiliki tanggungjawab yang sama untuk ikut
menentukan arah, warna, dan pola generasi kini dan masa depan.
Oleh karena itu, boleh dikatakan picik jika orang berpandangan bahwa dunia
perempuan dibentengi oleh tirai domestik (kehidupan keluarga); cukuplah perempuan
pintar di antara kamar dan dapur, tak usahlah peduli dengan deru kehidupan dibalik
4
jendela. Disadari atau tidak, hal ini bisa membawa pada penindasan hak-hak
perempuan dalam kehidupan umum (diluar rumah). Semua ini tidak akan terjadi
apabila hak dan kewajiban wanita dalam kehidupan umum dijamin dan dilindungi
oleh masyarakat maupun penguasa.4
Sejarah telah mencatat beratus-ratus nama tokoh pejuang wanita Islam.
Sejarah dan penulisan mengenai mereka begitu luas. Semuanya ditinggalkan kepada
pengkaji-pengkaji modern bagi menjelaskan kesadaran politik di kalangan wanita.
Dr. Abdul Rahman ibn Khalifah menulis dalam bukunya Fil „Ilmi al-Siasah al-
Islami, bahwa “Sejarah politik Islam tidak hanya berkisar tentang pejuang laki-laki
Islam, bahkan ia juga menceritakan penglibatan kaum wanita yang bebas bersuara
dan sangat aktif berpartisipasi dalam politik.” 5
Politikus yang terkenal dalam sejarah Islam yaitu Ummu Salamah perlu
disebutkan dalam konteks ini. Nama asli dari Umuu Salamah ialah Hindun bintu
Umaiyah. Ia merupakan salah seorang Ummu Mu’minin, istri Rasulullah dan ahli
rombongan Islam pertama yang berpindah ke Habshah, kemudian ke Madinah.
Ummu Salamah terkenal dengan ide-ide yang bernas dalam hal politik dan bijak
menyusun strategi kepimpinan.6
4 Ibid, h.150.
5 Shayuthy Abdul Manas, Apa Kata Islam Mengenai Wanita Berpolitik ( Selangor : Pts
Publication dan Distribution, 2008 ) Cet. Pertama. h. 21.
6 Ibid., h.21.
5
Ummu Salamah pernah melalui pengalaman politik bersama Rasulullah ketika
peristiwa Hudaibiyah. Ketika itu, Rasulullah berjanji dengan sahabat-sahabatnya bagi
memasuki Kota Makkah dan mengerjakan umrah. Tetapi, mereka dihalang oleh orang
Quraisy di Hudaibiyah. Dalam rundingan itu, satu perjanjian yang dikenali sebagai
perjanjian Hudaibiyah terbentuk. Perjanjian itu menyatakan orang Madinah tidak
boleh memasuki Kota Makkah pada tahun itu dan boleh menunaikannya pada tahun
berikutnya.
Keputusan Rasulullah menandatangani perjanjian ini tidak disetujui oleh para
sahabat. Rasulullah mengarahkan para sahabat bertahalul yaitu menggunting
beberapa helai rambut dan menyembelih hewan korban bagi membatalkan umrah.
Malangnya, para sahabat enggan melaksanakan perintah Rasulullah itu. Rasulullah
masuk ke dalam kemah dalam keadaan sedih karena takut Allah SWT murka ke atas
kaum Muslimin. Dalam kondisi itu, Ummu Salamah memberi nasehat agar beliau
terlebih dahulu mengganti pakaian ihram yang dipakai, bertahalul dan menyembelih
hewan korban. Justru itu Rasulullah keluar lalu bertahalul, menyembelih hewan
korban dan menukarkan pakaian ihram. Perbuatan Rasulullah diperhatikan para
sahabat lalu mereka pun turut melakukan perkara yang sama.7
Sejarah ini mencatatkan keupayaan politik seorang wanita menandingi
keupayaan beribu-ribu orang pemimpin dan prajurit laki-laki. Banyak lagi kisah lain
yang menceritakan bagaimana Nabi Muhammad merujuk kepada wanita dalam
7 Ibid., h. 22.
6
urusan politik seperti peristiwa baiah yaitu janji setia bersama Nabi muhammad.
Wanita juga berhak berbai‟ah seperti laki-laki. Hal ini sama halnya dengan hak
mereka dalam perkawinan, penceraian, jual beli, dan pelbagai aspek sosial yang lain
yang diberikan sama dalam Islam.8
Yang dimaksudkan oleh penulis dengan hak politik, yaitu hak-hak yang dicari
oleh seseorang dengan menjadi anggota partai-partai politik dalam negara. Gejala-
gejala kegiatan politik dalam konteks masa kini adalah partisipasi nyata dalam
memilih penguasa, ikut serta dalam memilih wakil-wakil rakyat di dewan-dewan
legislatif. Dewan-dewan legislaif melakukan dua cabang tugas, yang pertama
membuat undang-undang dan yang kedua mengawasi tugas dewan eksekutif.
Kegiatan-kegiatan politik yang lain adalah mengemukan pendapat, pro atau
kontra, terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan dewan eksekutif dan legislatif melalui
pidato, tulisan, demokrasi, pemogokan, atau mengajukan petisi. Ikut serta dalam
kegiatan partai-partai dan kekuatan-kekuatan nasional dan juga dicalonkan menjadi
anggota DPR dan dewan legislative merupakan hak-hak politik lain dari wanita.9
Menurut ringkasan dari keterangan Muhammad Ali Kuthub dalam bukunya
“Bai‟atun –Nisaa‟” dapat disimpulkan, bahwa wanita dalam Islam mempunyai
kesempatan untuk terjun dalam lapangan politik dan menduduki jabatan-jabatan
politik, baik itu sebagai hak kaum wanita atau sebagai kewajiban mereka. Dalam hal
8 Ibid., h. 23.
9 Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrirul Mar‟ah fi „Ashrir Risalah. Chairul Majid, Kebebasan
Wanita ( Jakarta: Gema Insani , 1997 ), Cet. Pertama, h. 527.
7
menduduki jabatan politik ada suatu pengecualian bagi kaum wanita, yaitu tidak
bolehnya kaum wanita menduduki jabatan “Imamah Kubra”, yaitu pejabat tertinggi
negara yang berkuasa, seperti misalnya kepala negara, raja, perdana menteri, dan
lain-lain predikat yang dipakainya, pokoknya yang mempunyai kekuasaan tertinggi
dalam suatu negara.10
Berkenaan dengan hal ini, seorang pemikir Islam, Dr. Musthafa al-Siba’i
berkata:
“ Setelah berdiskusi dan bertukar pendapat, kami berkesimpulan bahwa
Islam tidak melarang wanita menggunakan hak pilihnya. Pemilu adalah
pemilihan rakyat terhadap wakil-wakil yang menggantikan mereka dalam
membuat undang-uandang dan mengawasi pemerintah. Proses pemilu adalah
proses ketika seseorang pergi ke pos pemilihan. Di situ dia memberikan
suaranya untuk orang yang dipilihnya sebagai wakilnya di DPR. Wakil-wakil
ini akan berbicara di DPR atas namanya serta untuk membela dan
memperjuangkan hak dan kepentingannya. Di dalam Islam, perempuan tidak
dilarang menunjuk seseorang untuk mewakilinya dalam memperjuangkan hak
dan menyalurkan aspirasinya sebagai salah seorang warga masyarakat..” 11
Sebagai seorang tokoh, Musthafa As-Siba’i merupakan sosok yang menarik untuk
dianalisis mengenai pemikiran tentang hak politik perempuan. Ini karena ia
menjelaskan bahwa perempuan itu telah diberikan hak dalam politik oleh Islam, hak
memilih dalam pemilu dan hak untuk dipilih menjadi wakil rakyat, akan tetapi di
akhir kesimpulannya ia berpendapat kaum wanita itu tidak perlu menggunakan hak
10
Achmad Masruch Nasucha, Kaum Wanita dalam Pembelaan Islam ( Semarang : CV Toha
Putra, 1984 ) Cet. Pertama, h. 166.
11 Musthafa As-Siba’i, Al-Mar‟ah baina Fiqh wa Qanun. Penerjemah Chadidjah Nasution,
Wanita di antara Hukum Islam dan Undang-undang ( Jakarta: Bulan Bintang 1977 ) Cet. Pertama. h,
222.
8
ini karena beberapa faktor yang berkaitan dengan masalah sosial. Hal ini adalah
merupakan pandangannya berkaitan dengan penilaiannya terhadap kondisi msyarakat
Suriah ketika itu.
Dengan demikian, dalam meneliti hak-hak perempuan dalam berpartisipasi
politik, penulis berminat membahas dari sudut pandang Dr. Musthafa al-Siba’i. Ia
merupakan seorang ulama’ kontemporer yang kuat motivasinya dalam membela
akidah dan prinsip. Ia memiliki pengaruh yang besar dan peran yang nyata dalam
melayani problematika Islam dan Arab. Maka dengan ini, penulis terdorong untuk
menganalisa lebih mendalam melalui penelitian skripsi dengan judul, “Hak Politik
Perempuan Menurut Pemikiran Musthafa Al-Siba’i .”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar tidak terjadi kesimpang siuran dan keluar dari pembahasan ini, maka
penulis membatasi ruang lingkup mengenai hak perempuan dalam berpolitik menurut
syariat yang telah ditetapkan, dan juga apa saja pemikiran Dr. Musthafa al-siba’I
yang berkaitan dengan hak wanita dalam berpartisipasi politik.
2. Perumusan Masalah
Agar pembahasan ini bersifat komprehensif dan terfokus, maka akan
dirumuskan dalam pokok masalah berbentuk pertanyaan yaitu :
1. Bagaimana pemikiran Musthafa As-Siba’i tentang politik perempuan ?
9
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pemikiran politiknya ?
C. Tujuan dan manfaat penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukan di atas, maka yang
menjadi tujuan utama ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pemikiran atau pandangan Dr. Musthafa al-Siba’I
tentang hak-hak perempuan dalam politik.
2. Untuk mengetahui secara jelas apa faktor-faktor yang mempengaruhi
pemikiran Musthafa As-Siba’i.
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut :
1. Secara akedemis untuk mendapat jawaban-jawaban terhadap pelbagai
persoalan mengenai sejauhmana perempuan itu dibenarkan aktif dalam
berpolitik.
2. Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan
khususnya dibidang ketatanegaran Islam.
D. Tinjauan Pustaka Terdahulu
Sejumlah penelitian dengan bahasan tentang politik Islam telah dilakukan,
baik mengkaji secara spesifik topik tersebut ataupun yang mengkajinya secara umum
yang sejalan dengan bahasan penelitian ini. Berikut ini adalah tinjauan umum atas
sebagian karya-karya penelitian tersebut baik yang berupa buku maupun skripsi.
10
Salah satu penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Shayuthy
Abdul Manas yang berjudul “ Apa Kata Islam Mengenai Wanita Berpolitik”.12
Buku
ini menjelaskan hak-hak perempuan dalam berpartisipasi dalam politik dan batas-
batas mereka dalam dunia politik, juga memaparkan tokoh politik perempuan yang
mempunyai peran-peran yang tersendiri dalam sejarah Islam. Sekaligus menyadarkan
kaum perempuan, tentang pentingnya keterlibatan mereka dalam kancah politik.
Penelitian lain tentang isu ini dilakukan oleh Abdul Halim Abu Syuqqah
dalam bukunya yang berjudul “Tahrirul Mar‟ah fi „Ashrir Risalah”.13
Buku ini
secara umum menguraikan tentang peranan wanita muslimah dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan dan politik. Secara jelasnya ia cuba menyahuti sejumlah
problematika kewanitaan (muslimah) seperti contoh, etika peran wanita Muslimah
dalam kehidupan sosial dan pertemuannya dengan laki-laki, keterlibatan dalam
bidang profesi dan syari’atnya, serta keterlibatan mereka dalam kegiatan politik.
Selain dari dua penelitian yang tersebut di atas terdapat juga penelitian lain
yang dilakukan oleh Sufian Harun yang berjudul “ Gerakan Politik Wanita Muslimah
di Negara bagian Kelantan “.14
Penelitian ini membahaskan tentang gerakan politik
wanita Muslimah di negara bagian Kelantan dalam menfokuskan peran dan
12
Shayuthy Abdul Manas, Apa Kata Islam Mengenai Wanita Berpolitik (Selangor : Pts
Publication dan Distribution, 2008) Cet. Pertama
13 Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrirul Mar‟ah fi „Ashrir Risalah ( Kuwait: Darul Qalam,
1990 ), Cet. Pertama.
14 Mohd Sufian Bin Harun “Gerakan Politik Wanita Muslimah Di Negara bagian Kelantan” ,
(Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010).
11
partisipasi wanita dalam gerakan dewan Muslimah di Kelantan. Beliau juga
menjelaskan secara ringkas tentang hak dan kedudukan perempuan dalam Islam, dan
kewajiban partisipasi politik mereka menurut Al-Quran.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library
Recearch). Penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang kajiannya dilaksanakan
dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur, karena memang pada dasarnya
sumber data yang hendak digali lebih terfokus pada studi pustaka. Dengan demikian
penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Deskriptif di sini
dimaksudkan dengan membuat deskripsi secara sistematis dengan melihat dan
menganalisis data-data secara kualitatif.
2. Obyek Penelitian
Yang menjadi obyek dalam penelitian adalah pemikiran-pemikiran Musthafa
al-Siba’i tentang politik perempuan yang berkaitan dengan hak-hak mereka dalam
kiprah politik zaman modern, dan sejauhmana mereka ini dibenarkan menjabat
jabatan dalam bidang eksekutif, legislatif dan juga yudikatif.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, teknik pengumpulan
data dilakukan dengan mengkaji bahan-bahan yang terkait serta mempunyai relevansi
12
dengan obyek penelitian. Data yang diperoleh dapat dibedakan menjadi data primer
dan sekunder.
4. Sumber Data
Penulisan skripsi ini menggunakan dua sumber pokok dalam mengumpul
data, yakni sumber primer dan kedua sumber sekunder. Adapun rincian masing-
masing sumber adalah data primer dan sekunder.
a. Data Primer
Sumber data primer adalah data yang langsung diperoleh dari sumber yang
pertama dan obyek penelitian, yaitu buku karangan Dr. Musthafa al-Siba’i yang
berjudul Wanita Di antara Hukum Islam dan Perundang-Undangan,15
yang
membicarakan perihal hukum-hukum perempuan dalam Islam dan juga kiprah
mereka dalam politik.
b. Data Sekunder
Sedangkan data sekunder adalah data yang di perolehi dari sumber kedua atau
sumber pendukung dari data yang diperolehi dari data yang kita butuhkan. Data ini
akan di dapatkan dalam bentuk buku-buku, dokumen, literatur-literatur serta website,
dan juga kamus, jurnal, artikel, dan lain-lain yang berkaitan dengan obyek penelitian.
5. Metode Perbahasan
Data yang terkumpul, baik data primer atau sekunder yang didapatkan oleh
penulis, diproses dan diolah dengan menggunakan metode deskriptif dan analitis. Di
15
Musthafa As-Siba’i, Al-Mar‟ah baina Fiqh wa Qanun. Penerjemah Chadidjah Nasution,
Wanita di antara Hukum Islam dan Undang-undang ( Jakarta: Bulan Bintang 1977 ) Cet. Pertama.
13
mana data-data yang terkumpul bersifat pengamatan dari awal hingga akhir yang
menampilkan fakta melalui tehnik pengumpulan data dengan cara penelitian
kepustakaan yaitu dengan melakukan penelasuran literature atau buku-buku rujukan
serta data dari internet yang berkaitan dengan topik pembahasan.
6. Teknik Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007”
yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terbagi atas lima bab. Setiap bab terdiri dari
beberapa sub bab yang dimaksudkan untuk mempermudah dalam penyusunan skripsi
ini, sebagai berikut :
Bab I, bab ini berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II akan membahas tentang riwayat hidup, perjalanan intelektual, serta
karya-karya tokoh Dr. Musthafa al-Siba’i secara umum dan tentang pemikiran
politiknya.
14
Bab III akan menjelaskan tentang hak-hak perempuan dalam islam dan
hak-hak perempuan dalam politik, sejauhmana perempuan dibenarkan berpolitik
dalam Islam.
Bab IV akan mengemukan pemikiran-pemikiran Dr. Musthafa al-Siba’i
tentang hak-hak perempuan dalam berpartisipasi politik.
Bab V merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran
yang merupakan refleksi dari uraian sebelumnya.
15
BAB II
PROFIL DAN KARYA-KARYA MUSTHAFA AS-SIBA’I
A. Riwayat Hidup Musthafa As-Siba’i
Musthafa Husni As-Siba‟i lahir di Kota Himsh, Suriah, tahun 1915. Ia besar
di lingkungan keluarga ilmuwan terpandang, terkenal dengan keluasan ilmu, dan
melahirkan ulama sejak ratusan silam. Ayah dan kakeknya penanggung jawab
khutbah di Masjid Jami‟ megah di Himsh, dari generasi. Ia terpengaruh dengan
ayahnya, ulama mujahid, dan khatib memukau, Syaikh Husni Al-Siba‟i. Ia mengukir
sikap-sikap kepahlawanan mengagumkan melawan kaum penjajah. Ia melawan
mereka dengan jiwa, tenaga, dan harta.
Musthafa As-Siba‟i menemani ayahnya di majelis-majelis ilmu yang dihadiri
ulama-ulama Himsh, seperti Thahir Ar-Raes, Said Al-Maluhi, Fariq Al-Atasi, dan
Raghib Al-Wafa‟i. Ketika ia meminang seorang gadis, keluarga yang mengiringinya
mengatakan kepada pihak keluarga putri bahwa Musthafa As-Siba‟i orang yang
mneyibukkan sebagian besar waktunya untuk menangani tugas dakwah Islam. Ini
agar mereka tahu hal ini tidak timbul masalah di kemudian hari. Mereka menerima
pinangannya.1
1 Abdullah Al-„Aqil, Mereka Yang Telah Pergi ( Jakarta Timur : Al-I‟Tishom Cahaya Umat
2010) Cet. 1, h. 485.
16
Ia berpartisipasi dalam perlawanan terhadap penjajah Prancis Suriah. Ia
membagi-bagikan selebaran, berpidato, dan memimpin demonstrasi di Himsh ketika
usia enam belas tahun. Ia ditangkap orang-orang Prancis untuk pertama kalinya tahun
1931, dengan tuduhan membagi-bagikan selebaran anti politik Prancis di Himsh. Ia
ditangkap kedua kalinya oleh orang-orang Prancis disebabkan pidato-pidato agitatif
yang ia sampaikan untuk menentang politik dan kolonialisme Prancis. Pidato
terakhirnya ialah khutbah Jumat di Masjid Jami‟ terbesar di Himsh, dan melepaskan
tembakan ke arah orang-orang Prancis sebagai pembalasan atas kejahatan mereka.
Tahun 1933, Musthafa As-Siba‟i pergi ke Mesir untuk kuliah di Al-Azhar. Di
sana, ia berperan aktif bersama Ikhwan Muslimin Mesir di berbagai demonstrasi
menentang penjajahan Inggris tahun 1941. Ia ikut mendukung revolusi Rasyid Ali-
Kailani di Irak melawan Inggris. Ia ditahan pemerintah Mesir, atas instruksi Inggris,
bersama sejumlah rekan mahasiswa, yaitu Masyhur Adh-Dhamin, Ibrahim Al-
Qathan, Hasyim Al-Khazandar, Faris Hamdani, Ali Ad-Duwaik, dan Yusuf Al-
Masyari. Mereka mendekam di rumah tahanan kurang lebih selama tiga bulan,
kemudian dipindah ke penjara Sharfanda di Palestina dan mendekam di sana selama
empat bulan. Setelah itu, mereka dibebaskan dengan jaminan.2
1. Keterlibatan Musthafa As-Siba‟i dalam Ikhwanul Muslimin
Ketika kuliah, Syaikh Musthafa As-Siba‟i berkenalan dengan As-Syahid
Hasan Al-Banna, Musyid „Am Ikhwanul Muslimin Mesir. Hubungan keduanya
2 Ibid, h. 486-487.
17
terjalin dengan baik, bahkan setelah kepulangannya ke Suriah. Para ulama, dai, dan
tokoh-tokoh lembaga-lembaga Islam dari berbagai provinsi di Suriah berkumpul dan
memutuskan menyatukan barisan mereka dan berjuang di satu jamaah. Lalu,
berdirilah jamaah Ikhwanul Muslimin untuk seluruh wilayah negara Suriah. Delegasi
Mesir yang hadir di pertemuan tahun 1942 ini ialah Ustadz Said Ramadhan. Tiga
tahun setelah peristiwa itu, yakni tahun1945. Semua peserta pertemuan memilih
Ustadz Musthafa As-Siba‟i sebagai Muraqib ‘Am Ikhwanul Muslimin Suriah.3
Musthafa As-Siba‟i kembali ke Suriah untuk memasuki perang baru melawan
kerusakan di internal masyarakat, membina umat untuk mengikuti manhaj Islam yang
benar, dan manhaj Ikhwanul Muslimin yang kompeten dengan pembinaan pribadi,
keluarga, dan masyarakat Muslim, agar membuah hasil, yaitu tegaknya pemerintahan
Islam yang memberlakukan syariat Allah, menerapkan hukum-hukum-Nya,
memelihara kemaslahatan negara dan bangsa.
As-Siba‟i dan rekan-rekan berupaya memasukkan materi-materi tarbiyah
Islamiyah di kurikulum pendidikan. Ia berusaha membuka Fakultas Syariah di
Universitas Suriah tahun 1955 dan menjadi dekan untuk pertama kalinya. Ia mulai
merintis penyusunan ensiklopedia fiqih Islam yang melibatkan ulama dari penjuru
dunia Islam untuk menyajikan fiqih Islam dengan format baru, yang mampu
menerapi problematika zaman dan memecahkan permasalahannya berdasarkan Al-
Quran, Sunnah, fiqih Ulama Salaf, dan ijtihad ulama kotemporer yang memiliki
3 Ibid, h. 487.
18
sarana dan perangkat untuk berijtihad. Ia dipilih menjadi ketua pertama untuk
penyusunan ensiklopedia ini.4
Damaskus memilih Musthafa As-Siba‟i sebagai wakil mereka di Dewan
Konstituante tahun 1949, padahal ia orang Himsh. Hanya dalam beberapa tahun saja,
sejak domisilinya di Damaskus, kariernya dengan cepat menanjak sebagai anggota
parlemen rakyat yang paling menonjol. Karena ia gema hakiki yang mengekspresikan
harapan dan penderitaan rakyat, suara menggema yang menyuarakan kebenaran tanpa
basa-basi, menentang kebatilan tanpa kompromi, menjauhkan diri dari politik dagang
sapi dan mencari keuntungan pribadi tanpa tawar menawar. Semua pandangan tertuju
kepadanya dan hati simpati padanya. Ia dipilih sebagai wakil ketua Dewan dan
menjadi anggota yang menonjol di komisi perundang-undangan. Ia diberi tawaran-
tawaran menggiurkan untuk masuk ke Departemen pemerintah, namun menolak,
karena lebih memprioritaskan perjuangan rakyat dan hidup untuk memecahkan
permasalahan masyarakat dan problematikanya. Ia menjadi anggota komisi
perundang-undangan dan salah seorang dari sembilan anggota yang menuliskan
rancangan undang-undang.5
Musthafa As-Siba‟i memimpin perang membela Al-Quran di ruang sidang
parlemen dan memimpin demonstrasi di Damaskus demi undang-undang. Ia dan
4 Ibid, h. 491.
5 Ibid, h. 492.
19
rekan-rekan berhasil menjauhkan karakter sekular dari undang-undang dan
mengukuhkan karakter Islan pada sebagian besar hukum-hukum primer tahun 1950.
Pada tahun yang sama (1950 M), Musthafa As-Siba‟i dinobatkan sebagai guru
besar Fakultas Hukum Universitas Suriah. Tahun 1951, ia menghadiri muktamar
umum Islam di Pakistan dan dihadiri perwakilan dari penjuru dunia Islam. Pada tahun
yang sama, ia pergi ke Makkah guna melaksanakan ibadah haji untuk kedua kalinya.
Pada tahun 1952, ia dan rekan-rekan mengajukan tuntutan kepada pemerintah Suriah
agar memberi izin kepada mereka untuk berpartisipasi bersama saudara-saudara
mereka di Mesir dalam rangka memerangi Inggris di Terusan Suez. Tentu saja
tindakan yang dilakukan pemimpin pemerintah Suriah, Adib Asy-Syaisyakali, ialah
memerintah pembubaran Jamaah Ikhwanul Muslimin dan penangkapan Musthafa As-
Siba‟i dan reka-rekannya serta menjebloskan mereka ke penjara. Dilanjutkan perintah
pemecatan Musthafa As-Siba‟i dari Universitas Suriah dan dideportasi ke Libanon.
Pada tahun 1953 diselenggarakan muktamar umum Islam di Al-Quds dan
dihadiri wakil Ikhwanul Muslimin dari seluruh negara, lembaga dan wakil negeri-
negeri Muslim. Pada tahun ini juga, Musthafa As-Siba‟i berkunjung ke Mesir, dan
untuk pertama kalinya bersama bertemu Yusuf Al-Qaradhawi, Ahmad Al-Assal, dan
Muhammad Ad-Damardasy.6
6 Ibid, h. 493-494.
20
Pada 1954, Musthafa As-Siba‟i menghadiri Muktamar Islam Kristen di Kota
Hamdun, Libanon, untuk mengcounter musuh-musuh Islam dari kalangan orientalis
dan orang-orang Kristen. Ia juga menghadiri pertemuan di Libanon atas undangan
Ustadz Hasan Al-Hudhaibi, Musyid „Am Kedua Ikhwanul Muslimin di negara-negara
Arab. Delegasi Mesir yang mengiringi Ustadz Hasan Al-Hudhaibi adalah Abdul
Hakim Abidin, Said Ramadhan, Shalih Abu Raqiq, dan Munir Dallah. Dari Suriah
Musthafa As-Siba‟i, dari Yordania Muhammad Abdur Rahman Khalifah. Dari Sudan,
Ali Thalibullah. Dari Irak, Muhammad Mahmud Ash- Shawwaf. Dan, dari Kuwait,
Abdul Aziz Al-Muthawwi‟.
Setelah kepulangan Hasan Al-Hudhaibi ke Mesir dan penangkapanya bersama
Ikhwanul Muslimin yang dilakukan rezim militer yang berkuasa di sana, Ikhwanul
Muslimin di seluruh negara Arab membentuk dewan pelaksana yang diketuai
Dr.Musthafa As-Siba‟i. Pada tahun 1955, Dr.Musthafa As-Siba‟i pergi bersama
dosen dan mahasiswa Universitas Suriah ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji,
yaitu ibadah haji ketiga baginya.7
Pada tahun yang sama, bersama rekan-rekannya, Musthafa As-Siba‟i
menerbitkan majalah mingguan Asy-Syihab, yang bertahan terbit hingga
disepakatinya persatuan dengan Mesir tahun 1958. Tahun yang sama (1955), Ia
memperoleh izin menerbitkan majalah bulanan Al-Muslimun setelah penerbitannya
di Mesir berhenti. Majalah ini terbit di Damaskus sampai tahun 1958 saja, lalu beralih
7 Ibid, h. 494.
21
pada pemiliknya yang asli, Dr.Said Ramadhan di Jenewa Swiss. Sebagai gantinya
Musthafa As-Siba‟I menerbitkan majalah bulanan Hadharatul Islam, yang ia kelola
hingga meninggal dunia. Setelah itu, pengelolaan majalah diserahkan kepada Adib
Ash-Shalih di Damaskus, tapi setelah itu terhenti.
Pada tahun 1956, dilaksanakan Muktamar Islam Di Damaskus. Pada tahun
yang sama, Musthafa As-Siba‟i diutus Universitas Suriah melakukan perjalanan ke
negara-negara Barat guna mengunjungi universitas-universitas Barat dan melihat
kurikulum studi Islam disana. Ia mengunjungi Itali, Inggris, Irlandia, Belgia, Belanda,
Denmark, Norwegia, Swedia, Polandia, Jerman, Swiss, dan Prancis. Di sana, ia
bertemu kaum orientalis, mendiskusikan karangan mereka tentang Islam, dan
menyingkap kesalahan-kesalan mereka, baik secara ilmiah atau historis.
Tahun 1957, Musthafa As-siba‟i bersama dekan di berbagai fakultas
Universitas Suriah melakukan perjalanan ke Rusia atas undangan Universitas
Moskow. Di perjalanan ini, ia mengunjungi sebagian besar universitas Rusia di
daerah, bertemu dosen studi ketimuran, sejarah, dan sosial, dan berdiskusi dengan
mereka, membantah pendapat mereka, dan mematahkan klaim mereka yang salah
tentang Islam dan kaum Muslimin.8
8 Ibid, h. 495.
22
2. Masa-masa produktif
Uniknya, masa sakit Musthafa As-Siba‟i yang penuh dengan penderitaan dan
kesulitan justru menjadi masa paling produktif sepanjang hidupnya disisi ilmiah.
Sehari sebelum ia wafat, ia ingin menulis tiga buku yaitu Al-Ulama‟ Al-Auliya‟, Al-
Ulama‟ Al-Mujahidun, dan Al-Ulama Asy-Syuhada‟.9
Pada tahun 1964, As-Siba‟i ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji
keempat kalinya, waktu itu ia menderita penyakit kronis dan mematikan yang sudah
lama ia derita. Selama tujuh tahun As-Siba‟i menderita lumpuh pada sebagian
tubuhnya termasuk tangan kirinya, tetapi beliau sabar, pasrah terhadap ketentuan
Allah, ridha terhadap hukum-Nya. Walaupun lumpuh sebagian tubuhnya tidak
menghalangi beliau untuk berdakwah dan membina umat. Ia tidak hanya pintar dalam
menulis, ahli dalam pidato, beliau juga mempraktekkan kewajiban agama dengan
ikhlas dan mengharapkan ridha Allah, padahal kondisi tubuhnya sudah uzur karena
lumpuh dan sakit yang diderita.10
Ada perkataan yang menarik dari Dr. Husni Huwaidi tentang kondisi As-
Siba‟i waktu sakit:
9 Ibid., h.479.
10 Ferry Nur, “Syekh As-Siba‟i: Pejuang Palestina dari Suriah”, artikel diakses 07 Disember
dari 2010 http://walausetitik.blogspot.com.
23
“Saya melihatnya ketika sakit, bersandar pada tongkat, berjalan di pagi dan
petang hari menuju masjid, pada saat orang-orang sihat dan kuat enggan pergi
ke masjid. Betapa sedikitnya orang sakit dan lumpuh, namun ia lebih kuat dari
pedang terhunus. Kelestariannya dalam jihad, betapapun ia lumpuh, menderita
sakit jantung dan hipertensi, tidak lain dalil nyata dan hujjah jelas bahawa
karakter orang ini ialah jihad dan tabiatnya perjuangan, nalurinya
pengorbanan, fitrahnya keberanian dan patriotisme. Bagaimana mungkin riya‟
mendapatkan peluang menyusup ke hatinya, futur menemukan jalan mengusik
jiwanya dan keraguan menemukan lorong merusak tekadnya? Maha suci
Allah yang memberi karunia kepadanya lalu ia mensedekahkannya dan
menimpakan ujian kepadanya lalu menjadikannya redha pada ujian.”11
3. Pulang ke Rahmatullah
Pada hari Sabtu 20 Jamadil Awal 1384 bersamaan 3 Oktober 1964, beliau
telah pergi menemui Tuhannya setelah seluruh hidupnya berjuang untuk meninggikan
kalimah Allah di atas muka bumi ini. Setelah berita kematian tersebar di seluruh
Suriah, seluruh rakyat datang untuk menziarahinya namun dihalang oleh pihak
pemerintah untuk mereka untuk masuk ke Damsyik. Kematian beliau merupakan
kehilangan besar bagi rakyat Suriah dan aktivis pergerakan Islam. Beristirehatlah
jasad beliau tapi pemikirannya dan semangat perjangan terus subur di kalangan umat
Islam. Antara kata-kata hikmah beliau :"Hidup ini perlu kaya dengan pekerjaan-
pekerjaan yang agung dan pendek angan-angan."12
11
Husni Huwaidi sebagaimana dikutip oleh Abdullah Al-„Aqil, Mereka Yang Telah Pergi (
Jakarta Timur : Al-I‟Tishom Cahaya Umat 2010) Cet. 1, h. 498.
12 Musthafa As-Siba‟i sebagaimana dikutip oleh Abu Ridhwan, “Mengenali kisah hidup
perjuangan Musthafa Al-Siba‟iyy (1915-1964)”, artikel diakses pada 10 Oktober 2010 dari
http://tarbiyyahpewaris.blogspot.com.
24
Mufti Palestina, Haji Muhamad Amin Husain menyifatkan kematian As-
Siba‟i merupakan kehilangan besar karena beliau merupakan seorang yang alim,
mujahid, ulamak dan pendakwah yang terkenal dengan ikhlas dan benar serta kuat
keazaman. Beliau seorang yang gigih dalam memperjuangkan isu-isu umat Islam dan
mempertahankannya termasuk mempertahankan Baitul Maqdis pada tahun 1948.
Semasa Abu Hassan al-Nadwi melawat Suriah pada tahun 1951 untuk menyampaikan
ceramah kepada Musthafa As-Siba‟i dan beliau mengiringi Al-Nadwi untuk
menyampaikan ceramah kepada aktivis-aktivis Ikhwan di Suriah dan melawat
tempat-tempat bersejarah di sana.13
B. Karya-Karya Musthafa As-Siba’i
Dr. Musthafa As-Siba‟i memiliki pengalaman yang luas di dunia tulis
menulis. Ia ulama peneliti dan ahli fiqih mujtahid yang menguasai fiqih Islam dari
sumber-sumbernya yang terpercaya, mengkaji permasalahan-permasalahan zaman
yang terus bermunculan, dan menganalogikannya dengan hukum-hukum yang ada
pijakannya di Al-Quran, Sunnah, dan ijma‟ ulama salaf.
1. Karya-karya Musthafa As-Siba’i Secara Umum
Musthafa As-Siba‟i memiliki pengalaman luas di dunia tulis-menulis. Ia
ulama peneliti dan ahli fiqih mujtahid yang menguasai fiqih Islam dari sumber-
sumbernya yang terpercaya, mengkaji permasalahan-permasalahan zaman yang terus
13 Abdullah Al-„Aqil, Mereka Yang Telah Pergi, h. 485.
25
bermunculan, dan menganalogikannya dengan hukum-hukum yang ada pijakannya di
Al-Quran, Sunnah, dan ijma‟ ulama salaf. Berikut adalah merupakan beberapa karya
yang dapat penulis jelaskan secara ringkas.
Buku As Sunnah wa makanatuha fit tasyri’il Islam14
yaitu sunnah dan
kedudukannya dalam legislasi Islam. Merupakan salah satu bukunya yang
menjelaskan kedudukan sunnah nabi terhadap Islam serta menyanggah pendapat-
pendapat para pendusta sunnah dan pengikut kaum orientalis, terutama Goldziher
yang mendapat bagian pertama dari sanggahan-sanggahannya.
Buku lain adalah Min rawa’i hadharatina15
yaitu mutiara peradaban kita.
Dalam karya ini, As-Siba‟i ingin membuktikan bahwa aspek-aspek kemanusiaan
yang abadi dalam peradaban kita labih kuat dan lebih indah, dan juga beliau ingin
menolak fitnah orang-orang yang mendakwakan bahwa peradaban Islam mempunyai
keaiban dan kekurangan. Lewat tulisannya ini juga ingin menggagalkan makar orang-
orang yang berupaya memalingkan perhatian generasi baru kita dari mutiara pusaka
kita di bidang peradaban.
Selain kedua buku tersebut, terdapat buku lain yaitu buku Syahrul qanunil
ahwalis syakhshiyyah16
yaitu penjelasan undang-undang pribadi yang terdiri dari tiga
14
Musthafa As-Siba‟i, As Sunnah wa makanatuha fit tasyri’il Islam ( Beirut : Al-Maktab Al-
Islam, 1985 ) Ct. Pertama.
15 Musthafa As-Siba‟i, Min rawa’i hadharatina ( Beirut : Darul Irsyad, 1968 ), Cet. Pertama.
16 Musthafa As-Siba‟i, Syahrul Qanunil Ahwalis Syakhshiyyah ( Damsyik: Al-Maktab Al-
Islami, 1966 ), Cet. Pertama.
26
bagian dan buku-buku lain mengenai topik ihwal pribadi, seperti syar’iyyatul Irtsi wa
Ahkamuhu ( legalitas warisan dan hukum-hukumnya), Ahkamuz Zawaji wa Inhilalihi
( hukum-hukum perkawinan dan pemutusannya ), Ahkamul Ahliyyah wa Washiyyah (
hukum-hukum keluarga dan wasiatnya ), dan Al-Washaya wal Faraidh ( wasiat-
wasiat dan pembagian warisan ).
Buku lain lagi adalah buku Al-Istisyraq wal Mustsyriqun yaitu membongkar
kepalsuan orientalis17
. Lewat buku ini, Musthafa As-Siba‟i berusaha memberi
gambaran tentang langkah-langkah yang diambil oleh para orientalis dalam
menghancurkan Islam serta sarana-sarana yang dipakai untuk merialisasikan tujuan
tersebut. Kandungan buku ini terdiri dari dasar-dasar kajian orientalis, juga
memaparkan para orientalis masa kini yang berbahaya dan karya-karyanya.
Karya ilmiah Musthafa As-Siba‟i masih banyak, antara lain adalah seperti
Udhma’una fit Tarikh, Al-Qalaid min Faraidil Fawaid, Durus fi Da’watil Ikhwanil
Muslimin, Ahkamush Shiyam wa Falsafatuh, Ad-Din wa Daulah fil Islam, Nidhamus
Silmi wa Harbi fil Islam, Hadza Huwal Islam, Al-Istisyraq wal Mustsyriqun, Al-
Murunah wat Tathawwur fit Tasyri’ Al-Islami, Manhajuna fil Islah, Al-Alaqat bainal
Muslimin wal Masihiyyin fit Tarikh, At-Takaful Al-Ijtima’i fil Islam, Jihadunal fi
Filisthin, Masyru’iyyatul Irtsi wa Ahkamuh, Alam wa Amal, Ash-Shira’ bainal Qalbi
17
Musthafa As-Siba‟i, Al-Istisyraq wal Mustsyriqun. Penerjemah Ibnu Burdah, Membongkar
Kepalsuan Orientalisme ( Jakarta: Mitra Pustaka 1997 ), Cet. Pertama.
27
wal Aqli, Ashdaqul Ittijahatil Fikriyyah fisy Syarqil Arabi, dan Muqqadimaat
Hadharatil Islam.18
2. Karya Musthafa As-Siba’i Tentang Pemikiran Politik
Buku pertama adalah Isytirakiyyatul Islam yaitu kehidupan sosial menurut
Islam (sosialisme Islam).19
Buku ini merupakan usaha ia dalam memberi gambaran
perbaikan pada seluruh masyarakat Islam dalam membentuk sebuah negara atau
sebuah masyarakat yang lebih maju dari segi ekonomi, politik, dan juga sosial
masyarakatnya yang berlandaskan syari‟at Islam. Sosialisme Islam merupakan
sebuah sistem yang lebih menjamin masyarakat Islam yang lebih terdepan lagi. Lewat
tulisan ini ia telah memberi kupasan yang sangat mendalam, meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia tentang hak-hak asasi bagi setiap warga negara, undang-undang
yang menjamin berlakunya hak-hak itu serta penertiban jalannya, undang-undang
yang menjamin terwujudnya perlindungan masyarakat, dan pengokoh-pengokoh yang
dapat menegakkan terlaksananya undang-undang dan peraturan-peraturan
sebagaimana yang telah digariskan.
As-Siba‟i menyatakan bahwa kehidupan sosial menurut Islam menghendaki
supaya rakyat bekerjasama dengan pemerintah untuk merialisasikan perlindungan
masyarakat, misalnya dalam peraturan nafkah keluarga dan lain-lain. Oleh sebab itu
18
Abdullah Al-„Aqil, Mereka Yang Telah Pergi, h. 496.
19 Musthafa As-Siba‟i Isytirakiyyatul Islam. Penerjemah M. Abdai Ratomy Kehidupan Sosial
Menurut Islam ( Bandung: C.V. Diponegoro 1993 ), Cet. Keempat.
28
keuntungannya adalah amat banyaknya, seperti meringankan beban negara dalam
neraca keuangannya, mengekalkan rasa ikatan yang didasarkan kepada kecintaan dan
kemesraan, juga untuk mempererat tali kekeluargaan antara seluruh umat. Islam juga
menetapkan bahwa pemerintah, negara serta seluruh alat-alatnya dan golongan-
golongan yang sedang berkuasa wajib tunduk kepada kehendak rakyat. Jadi ianya
berbeda dengan sosialisme ala komunis, yang mengharuskan rakyat supaya tunduk
dan patuh selalu kepada kemauan golongan kecil yang berkuasa.20
Buku yang kedua adalah Al-Marah bainal Fiqhi walQanun21
yaitu wanita di
antara fiqih dan undang-undang. Yang mana buku ini menerangkan bahwa toleransi
Islam dalam sikapnya terhadap wanita dan hak-hak yang ditetapkan baginya termasuk
hal-hal yang sesuai dengan tabiatnya. Musthafa As-Siba‟i menjelaskan tentang
prinsip-prinsip yang telah diproklamirkan oleh Islam dan dikumandangkan oleh
Rasulullah s.a.w. mengenai wanita, yang mana Islam telah menempatkan wanita itu
pada tempat yang sesuai untuk dirinya dalam tiga bidang pokok yaitu bidang
kemanusiaan, bidang sosial, dan bidang hak milik. Jelas ia lagi, terdapatnya beberapa
perbedaan antara laki-laki dan wanita, seperti dalam status sebagai saksi, dalam
masalah warisan, masalah tebusan wanita, dan hal menjadi kepala negara.
20
Ibid, h. 315.
21 Musthafa As-Siba‟i, Al-Mar’ah bainal Fiqh wal Qanun ( Damsyik: Al-Maktab Al-Islami,
1984 ), Cet. Keempat.
29
Dalam bahagian kedua buku ini, As-Siba‟i membahas tentang hukum
keluarga, yaitu dalam soal perkawinan, masalah poligami,dan masalah thalaq. Ia juga
mengupas soal hak wanita dalam bidang politik, dan juga membicarakan tentang
bidang sosial, yaitu hak belajar, masalah wanita yang bekerja, dan bagaimana
pergaulan wanita itu ketika bekerja.
30
BAB III
HAK POLITIK PEREMPUAN MENURUT ISLAM
A. Hak-Hak Perempuan dalam Islam
Di dalam ajaran Islam tidak ada diskriminasi antara laki-laki dan wanita.
Namun wanita itu dipandang sebagai mitra sejajar laki-laki yang harmonis. Tidak
ada perbedaan kedudukan laki-laki dan wanita, baik sebagai individu hamba Allah,
sebagai anggota keluarga, maupun sebagai anggota masyarakat. Begitu pula halnya
dalam hak dan kewajiban. Kalaupun ada perbedaan, itu hanyalah karena akibat fungsi
dan tugas utama yang dibebankan kepada masing-masing jenis kelamin, sehingga
perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu memiliki kelebihan atas yang
lain, di mana fungsi dan tugas utama mereka itu sama-sama penting dan semua
dibutuhkan, karena saling menyempurnakan serta bantu membantu dalam
melaksanakan tugas dan kewajiban.1
Sesungguhnya standar kemuliaan dan ketinggian yang dicapai oleh wanita
adalah sejauh mana ia menikmati kedudukan dan hak-hak yang dapat menjaganya,
memuliakannya, melindunginya, dan menghargainya. Islam telah memberikan hak-
hak kepada wanita yang secara umum meliputi tiga hak yaitu hak-hak kemanusiaan,
hak ekonomi, dan hak-hak sosial.
1 Huzaemah Tahido, Hak dan Kewajiban Pria dan Wanita: Tuntunan Islam tentang
Kemitrasejajaran Pria dan Wanita (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1999), Cet. Ke-2, h. 77.
31
1. Hak-hak Kemanusiaan.
Hak-hak yang terrkait dengan kemanusiaan adalah pertama hak yang hidup;
sebagaimana firman Allah SWT:
“Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran)
anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat
marah. Dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang
disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya denga (menanggung)
kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah
alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu. (Q.S : Al- Nahl 16: 58-
59).
Sehubungan dengan ayat tersebut, maka kelahiran bayi perempuan seharusnya
disambut dengan hati senang, tidak dibunuh. Pada masa jahiliyyah sebagian bangsa
Arab sangat membenci bayi perempuan, bahkan mereka tidak segan-segan
menguburnya hidup-hidup kendati ia berasal dari darah dagingnya, karena rumor
kesusahan dan kesengsaraan yang akan muncul dari anak perempuan. Dan ayat
tersebut menunujukkan bahwa membunuh dan mengubur hidup-hidup bayi
perempuan merupakan tindakan yang dilarang Islam. Hal ini tersirat dengan adanya
pemberian hak untuk hidup bagi perempuan di dunia ini.
Hak yang kedua adalah persamaan antara laki-laki dan wanita dalam
mendapatkan balasan, baik di dunia maupun di akhirat; dalam melaksanakan ajaran
32
agama serta balasan yang diberikan antara laki-laki dan perempuan tidak ada
perbedaan. Menurut „Abbas Kararah dalam bukunya Ad-din wa Al-Mar’ah
mengatakan, Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan, bahkan menyamakan
kepada semua kaum muslimin yang bermacam jenis dan warna kulit untuk
menjalankan kewajiban agama, hak-hak serta balasannya.2 Sebagaimana maksud
firman Allah SWT:
“maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman,
sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal dari
kalian, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan
dari sebagian yang lain…”(Q.S: Ali Imran 3: 195).
Hak yang ketiga terkait dengan hak kemanusiaan adalah hak dalam
mengemukakan pendapat dan musyawarah: menurut syariat, perempuan mempunyai
hak untuk mengemukakan pendapat dalam masalah-masalah dan urusan umum.
Bahkan masalah ini sampai suatu batas terpenting dalam syariat Islam. Seperti kasus
yang terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Al-Khattab merupakan bukti yang
sangat jelas bahwa perempuan mempunyai hak mengungkapkan pendapatnya. Jadi
walaupun berbeda, selama ia memiliki argumentasi terhadap apa yang dikatakannya,
2 „Abbas Kararah sebagaimana dikutip oleh Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan Relasi Jender
Menurut Tafsir Al-Sya’rawi ( Jakarta: Teraju 2004 ) Cet. Pertama. h, 89.
33
pendapat tersebut perlu didengar. Pada suatu hari Umar berkhutbah di depan umum.
Di antara khutbahnya bahwa ia menyebutkan mahar perempuan itu tidak boleh lebih
dari empat puluh ons. Jika ada yang meminta lebih, maka kelebihannya untuk Baitul
Mal. Maka seorang perempuan berdiri dan berkata “Apakah itu pendapatmu?”
Khalifah balik bertanya, “Mengapa?” perempuan itu berkata, karena Allah SWT,
berfirman yang bermaksud:
“…sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta
yang banyak, maka jamganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit
pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta
dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (Q.S: An-Nisaa‟ 4: 20 ). Di sini Umar
mengakui kesalahanya dan mencabut keputusannya. Ia berkata, “perempuan ini benar
dan Umar salah.”3
2. Hak Ekonomi
Syari‟at Islam telah memberikan karunia kepada wanita dengan memberikan
hak-hak kepemilikannya secara utuh. Islam telah memberikan kepada wanita
kebebasan penuh untuk mengelola dan mengatur urusannya, baik yang berkait
3 Muhammad Anis Qasim Ja‟far, Al-Huquq Al-Siyasah li Al-Mar’ah fi Al-Islam. Penerjemah
Ikhwan Fauzi, Perempuan dan Kekuasaan ( Jakarta: Amzah, 2008 ), Cet. Kedua, h. 25.
34
dengan harta, kepemilikan, pardagangan atau lainnya. Termasuk dalam kategori ini
adalah kebebasan penuh untuk menggunakan maharnya, bila ia telah bersuami. Ia
juga mempunyai wewenang untuk melakukan akad jual beli, persewaan, serikat,
pegadaian, dan lain sebagainya.4 Terkait mahar ini Allah SWT berfirman:
.. ...
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerah kepada
kamu sebagian (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah
pemberian itu dengan senang hati”.(Q.S. An-Nisa’ 4: 24).
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa, perempuan dalam pernikahan
berhak mendapat mahar dari calon suaminya yang tidak ditentukan besar kecilnya,
karena jumlah mahar disesuaikan dengan kemampuan calon suaminya.
Begitu pula halnya dengan bekerja, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Islam memperkenankan perempuan mengerjakan tugas-tugas yang
mampu dikerjakannya dan sesuai dengan kodratnya. Al-Quran membebankan tugas
bekerja kepada laki-laki dan perempuan sekaligus.5
4 Mohd Sufian Bin Harun “Gerakan Politik Wanita Muslimah Di Negara bagian Kelantan” ,
(Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010),
h. 34.
5 Muhammad Anis Qasim Ja‟far, Al-Huquq Al-Siyasah li Al-Mar’ah fi Al-Islam. Penerjemah
Ikhwan Fauzi, Perempuan dan Kekuasaan ( Jakarta: Amzah, 2008 ), Cet. Kedua, h. 19.
35
… …
“..dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-
orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu…"(QS At-Taubah (9): 105)
3. Hak-hak Sosial
Hak-hak Sosial yang terkait dengan mental yaitu hak menuntut ilmu. Islam
mempersamakan antara laki-laki dan perempuan dalam hak belajar. Masing-masing
memiliki hak untuk memperoleh apa saja yang mereka inginkan, berupa bebagai jenis
pengetahuan, sastra, dan budaya. Rasulullah saw, bersabda :
قال عاير انشعب: حذثا صانح ب حا قال: اخبرا يحذ اب سالو قال حذثا انحارب قال"
رجم ي أم : قال رسل اهلل صه اهلل عه سالو ثالثت نى أجرا: ع أب بردة ع أب قال: حذثا
انكتاب آي بب آي بحذ صه اهلل عه سالو انعبذ انهك ارا اد حق اهلل حق يان رجم
(را انبخار)"كات عذ أيت فادبا فأحس تأدبا عها فأحس تعها اعتقا فتجزا فه أجر
“Kalau ada laki-laki punya pelayan perempuan, maka ajarilah dia, lalu
baguskanlah pengajarannya, didiklah dia, lalu baguskanlah pendidikannya.
Kemudian merdekakan dan nikahilah. Maka dia peroleh dua pahala” (HR.
Bukhari).6 Prinsip pengajaran perempuan telah diterapakan pada zaman Rasulullah
saw. dan dilanjutkan pada masa kekhalifahan khulafaur Rasyidin. Maka Aisyah
mendalami ilmu pengetahuan dan menjadi perempuan paling berilmu pada masanya.
6 Abdullah Muhammad al-Bukhari, Sohih Abi Abdullah al-Bukhari, ( Beirut: Darul Fikr,
1994 ), Jilid Satu. h. 38.
36
Oleh karena itu, Urwah bin Zubayr berkata tentang Aisyah, “saya tidak menemukan
orang yang sangat menguasai ilmu-ilmu fikih, kedokteran, dan syair selain Aisyah.”
Demikianlah pula Hafshah binti Umar bin Al-Khattab selalu mendalami ilmu hingga
telah menikah dengan Rasulullah saw.7 Mengenai hal ini, perlu saya kemukakan
firman Allah SWT:
“Allah menyatakan bahawasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang
berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia, yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Q.S. Ali Imran:
3: 18).
Ayat di atas jelas telah mendorong seluruh manusia untuk mencari ilmu tanpa
membedakan laki-laki dan perempuan, dan terdapat banyak lagi ayat-ayat Al-Quran
yang lain dan juga hadis-hadis yang berbicara tentang kewajiban belajar.
Memperoleh ilmu pengetahuan itu merupakan elemen esensial untuk peningkatan
martabat perempuan sehingga ia dapat menyempurnakan dirinya sendiri, kemudian
dapat mengembangkan potensi kemanusiaannya.
7 Ibid, h. 18.
37
Hak-hak sosial yang terkait dengan harta, yaitu hak mendapatkan nafkah,
sebagaimana firman Allah SWT, dan hak untuk menyusui anak dan mendapatkan
nafkah atas hal tersebut.
B. Hak-Hak Politik Perempuan Menurut Islam
1. Pengertian Hak Politik
Hak berarti kebenaran atau yang benar, baik dalam arti teoritis maupun dalam
praktis. Dalam lapangan teoritis, term hak dapat mengacu kepada ide, keterangan,
berita, atau pernyataan tentang sesuatu yang benar, yakni yang sesuai dengan
kenyataan. Istilah hak dapat pula mengacu kepada kenyataan itu sendiri, dengan
pengertian bahwa ia benar atau pasti ada, baik ada selamanya, atau ada sementara,
baik ada di masa lalu, atau ada di masa sekarang.
Dalam lapangan praktis, istilah hak mengacu kepada yang utama, apa yang
baik, dan apa saja yang dibutuhkan oleh manusia. Dengan demikian hak itu banyak
sekali, ada yang sangat mendesak, yang tidak dapat tidak harus dinikmati atau
diterima oleh setiap manusia, demi menjaga kelangsungan hidupnya, seperti udara,
air, makanan, kemampuan untuk menolak atau menghindari bahaya, dan lain
sebagainya. Itulah kebutuhan primer atau hak primer yang tidak dapat tidak harus
diterima oleh setiap manusia. Selain itu ada pula hak yang perlu diterima atau
dinikmati oleh setiap manusia, agar ia menjadi manusia, yang utama seperti
38
pendidikan yang baik, pengetahuan yang banyak, penghargaan, perlakuan yang adil,
perlindungan, keamanan, dan sebagainya.8
Perkataan politik berasal daripada bahasa Yunani, yaitu politikus dari kata
akar polis yaitu Negara kota dan dari bahasa Latin yaitu politica yang telah
digunakan sejak abad ke-5 S.M. lagi.9 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan politik
sebagai ilmu pengetahuan ketatanegaraan atau kenegaraan, segala urusan dan
tindakan mengenai pemerintah negara-negara terhadap negara lain dan kebijakan cara
bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah.10
Di dalam Ensiklopedia
Indonesia dijelaskan bahwa politik adalah hal-hal yang berhubungan dengan
pemerintahan, lembaga-lembaga dan proses-proses politik, kumpulan penekan, dan
hubungan-hubungan internasional serta tata pemerintahan.11
Menurut Prof. Miriam Budiarjo, politik adalah bermacam-macam kegiatan
dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-
tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut. Dalam hal ini,
menurutnya lagi, politik selalu menyangkut tujuan dari seluruh masyarakat (public
8 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia ( Jakarta: D Jambatan,
1992 ), Cet. Pertama, h. 281-282.
9 Musthafa Haji Daud, Pengantar Politik Islam ( Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka,
1997 ), Cet. Pertama, h. 1.
10 Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka, 1998 ), Cet.
Pertama, h. 694.
11
Ensiklopedia Indonesia, ( Edisi Khusus ) ( Jakarta: PT Lehtiar Baru-van Hoeve, 1980 ), h.
2739.
39
goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Lagipula, politik
menyangkut kegiatan berbagai-bagai kelompok, termasuk partai politik, dan kegiatan
orang-seorang (individu).12
Dalam konteks Islam, secara bahasa (lughah), politik (as-siyasah) sebenarnya
berasal dari kata sasa-yasusu-siyasatan, yang berarti mengurus kepentingan
seseorang. Secara lebih jelas Syaikh Hasan al-Banna menyatakan bahwa politik
adalah memperhatikan urusan umat, luar dan dalam negeri, intern dan ekstern,
secara individu dan masyarakat keseluruhannya, bukan terbatas pada kepentingan
golongan semata. Beliau juga berpendapat, bahwa politik tidak hanya menyangkut
penyelenggaran pemerintahan, tetapi juga mencakup upaya menciptakan sistem
bersih dan berkeadilan, di mana mekanisme kontrol berperan besar.13
Senada dengan al-Banna, Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam bukunya, Al-
Afkar as-Siyasah, mendefinisikan bahwa politik atau as-siyasah adalah mengatur
urusan umat, dengan negara sebagai institusi yang mengatur urusan tersebut secara
praktis, sedangkan umat mengoreksi, melakukan muhasabah terhadap pemerintah
dalam melakukan tugasnya.14
Bertolak dari pengertian bahwa politik adalah tanggungjawab pengaturan dan
pemeliharaan urusan umat atau masyarakat secara keseluruhan, maka dalam konteks
12 Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik ( Jakarta: Gramedia, 2007 ), Cet.
Ketigapuluh, h. 8.
13 Hassan al-Banna sebagaimana dikutip Oleh Najmah dan Husnul, Revisi Politik Perempuan
( Bogor: CV Idea Pustaka Utama, 2003 ) Cet. Pertama, h. 134.
14 Abdul Qadim Zallum, Al-Afkar As-Siyasi ( Beirut: Dar al-Ummah ), h. 14.
40
Islam tidak terlihat di dalamnya unsur perebutan kekuasaan, kekejaman,
ketidakadilan, dan sebagainya. Jadi, hak politik itu boleh didefinisikan sebagai hak-
hak yang diingini oleh individu dalam negara atau tanah kelahirannya. Menurut
Muhammad Ali Quthub dalam bukunya “Baithun Nisa’ li al-Nabiyy”, hak politik
boleh diuraikan sebagai hak masyarakat atau rakyat menyertai urusan-urusan negara
secara langsung seperti urusan kepala negara dan menteri, atau secara tidak
langsungnya sebagai contoh menjadi rektor pejabat, wakil rakyat, atau anggota di
jabatan-jabatan tertentu.15
Dalam konteks masa kini, hak berpolitik adalah hak memilih dan hak
mencalonkan wakil serta hak untuk menjadi calon dalam pemilu. Selain itu, ia juga
meliputi hak melantik pegawai-pegawai dalam jabatan pemerintah tanpa mengira
perempuan atau laki-laki selepas mengiklankan prinsip persamaan hak dalam
undang-undang. Ia merujuk kepada iklan internasional mengenai hak-hak asasi
manusia yang lahir daripada resolusi Pertubuhan bangsa-bangsa Bersatu pada 20
Disember (Kanun 1) pada tahun 1952.16
Dr. Muhammad Anis Qasim dalam bukunya Al-Huquq al-Siyasiyyah li al-
Mar’ah fi Islam wa al-fikr wa al-Tasyri’ al-Mu’ashir, menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan hak-hak politik adalah hak-hak yang ditetapkan dan diakui undang-
undang atau konstitusi berdasarkan keanggotaan sebagai warga negara, artinya hak-
15
Muhammad Ali Quthub sebagaimana dikuitip Oleh Shayuthy Abdul Manas, Apa Kata
Islam Mengenai Wanita Berpolitik ( Selangor : Pts Publication dan Distribution, 2008 ) Cet. Pertama.
h. 8. 16
Shayuthy Abdul Manas, Apa Kata Islam Mengenai Wanita Berpolitik ( Selangor : Pts
Publication dan Distribution, 2008 ) Cet. Pertama. h. 9.
41
hak politik itu hanya berlaku bagi warga negara setempat dan tidak berlaku bagi
warga negara asing.17
Dengan demikian jelas bahwa hak politik itu adalah hak setiap individu untuk
berpartisipasi dengan menjadi ahli dalam mana-mana badan politik dalam negara
seperti contoh melibatkan diri dalam partai-partai politik, hak memilih dalam pemilu,
hak menjadi wakil dalam DPR, dan sebagainya lagi hak-hak yang terkait rapat
dengan urusan-urusan negara dan pemerintahan.
2. Hak-Hak Politik Perempuan
Islam mengakui pentingnya peran wanita dalam kehidupan masyarakat dan
dampaknya pada kehidupan politik. Oleh karena itu, kaum wanita telah diberikan
hak-hak politik yang mencerminkan status mereka yang bermartabat, terhormat dan
mulia dalam Islam.18
Hak-hak tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hak Partisipasi dalam Memilih Pemimpin (Bai‟at)
Secara bahasa, kata baiat berarti mubaaya‟ah atau melakukan janji setia dan
ketaatan. Ibnu Manzhur mengatakan, “bai’at adalah ungkapan yang menggambarkan
tentang transaksi dan perjanjian, seakan masing-masing dari kedua belah pihak
menjual apa yang dimilikinya, memberikan ketulusan hati, ketaatan, dan urusan
peribadinya.”
17
Muhammad Anis Qasim Ja‟far, Al-Huquq Al-Siyasah li Al-Mar’ah fi Al-Islam. Penerjemah
Ikhwan Fauzi, Perempuan dan Kekuasaan ( Jakarta: Amzah 2008 ), Cet. Kedua, h. 34.
18 Fatimah Umar Nasir, Hak dan Kewajiban Perempuan dalam Islam (Jakarta: CV. Cendekla
Sentra Muslim, 2003), Cet. Pertama, h. 167.
42
Secara terminologi, Ibnu Khaldun mengatakan, “bai’at merupakan kontrak
dan perjanjian untuk taat. Misalnya, seorang yang menyampaikan sumpah setia,
membuat perjanjian dengan amirnya, kurang lebih dengan menyatakan bahwa dia
akan menyerahkan pengawasan atas urusannya sendiri dan kaum Muslimin
kepadanya dan bahwa dia tidak akan menandingi kekuasaannya dan bahwa dia akan
mentaatinya dengan melaksanakan semua tugas yang dibebankan kepadanya, baik dia
senangi maupun tidak.”19
Abdul Majid az-Zindani dalam bukunya Hak-hak Politik Wanita dalam Islam
menukilkan sebuah hadis yang berbunyi, “Selama sepuluh tahun Rasulullah
mendakwahi orang-orang di rumah-rumah mereka, di musim-musim haji di Mina dan
sebagainya. Beliau mengatakan, “siapa yang memberiku tempat berlindung, siapa
yang mau menolongku sehingga aku dapat menyampaikan risalah Tuhanku dan ia
mendapat surga.” Demikianlah, hingga Allah mengirimkan kami kepadanya diri
Yastrib lalu kami pun membenarkannya lalu ia menyebut hadis itu, hingga ia
mengatakan, “Maka, berangkatlah tujuh puluh tiga orang laki-laki dan dua wanita.
Kami janjikan kepadanya untuk melakukan bai’at Aqabah. Kami tanyakan kepada
Beliau, “Untuk apa kami membai‟atmu?” Beliau menjawab, “Untuk patuh dan taat
dalam keadaan giat maupun malas, untuk berinfak dalam keadaan susah maupun
lapang, untuk memerintahkan yang ma‟ruf dan melarang yang mungkar, serta
menolongku jika aku nanti datang kalian di Yasrib, sehingga kalian melindungiku
19
Ibnu Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadia Thoha, Muqaddimah (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2005), Cet. Ke-5, h. 258.
43
dari hal-hal yang kalian melindungi dari kalian, istri-istri, dan anak-anak kalian
sendiri, untuk itu kalian mendapatkan surga.”20
Ini adalah bai‟at yang diikuti oleh wanita sesuai dengan kemampuan mereka.
Dengan demikian jelaslah bahwa Nabi SAW menerima bai‟at kaum wanita.
Sebenarnya posisi penting yang diduduki kaum wanita dalam Islam terwujud dalam
bai‟at dan penegasan atas kelayakannya.
2. Hak Musyawarah dan Mengemukakan Pendapat
Wanita berhak untuk mengemukakan pendapatnya dan memberi
pertimbangan kepada pemimpin negara berkenaan dengan berbagai problematika
umum umat. Hal ini telah ditunjukkan oleh keumuman firman Allah SWT, yang
berbunyi sebagai berikut:
… )۳۸: ۴۲ /انشر (
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada
mereka”… (Q.S: Asy-Syura 42: 38).
20
Abdul Majid Az-Zindani, Hak-hak Politik Wanita dalam Islam (Jakarta: al-I‟tishom
Cahaya Umat, 2003), Cet. Pertama, h. 152-153.
44
Tidak ada hal yang mengkhususkan ayat ini untuk laki-laki tanpa melibatkan
wanita. Ketika peristiwa Hudaibiyah, Rasulullah SAW mendapat saran dari Ummu
Salamah yakni ketika para sahabat RA tidak mau mencukur dan menyembelih
budnah (hewan kurban) mereka. Rasulullah SAW masuk ke tanda menemui Ummu
Salamah lalu menceritakan tanggapan para sahabatnya. Ummu Salamah berkata,
“Wahai Nabi Allah, apakah baginda menghendaki itu? Keluarlah dan tidak usah
bicara dengan seorang pun di antara mereka hingga baginda menyembelih badnah
(hewan peliharaan). Lalu panggillah tukang cukur yang akan mencukur rambut
baginda.”21
Di antara haknya, seorang wanita mempunyai hak untuk menulis di media
massa, seperti contoh menulis artikel-artikel, makalah-makalah, atau disertasi di
Koran, majalah, internet, atau juga untuk seminar-seminar, dan juga mengirim surat
kepada para pejabat, dan berbagai media lainnya yang dapat digunakan untuk
mengemukakan pendapat dan pikiran.
3. Hak Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar (Pengawasan dan Evaluasi)
Hal ini ditunjukkan oleh nash, sebagaimana terdapat dalam firman-Nya, yang
berbunyi sebagai berikut:
… (۱۱۰ :۳ /ال عرا)
21
Asma‟ Muhammad Ziyadah, Peran Politik Wanita Dalam Sejarah Islam (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2001), Cet. Pertama, h. 157.
45
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk menusia, menyuruh
kepda yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah”…
(Q.S: Ali „Imran 3: 110)
Dan firman-Nya, yang berbunyi sebagai berikut:
… (۹:٧۱ /انتبت (
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan wanita, sebagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf mencegah dari yang munkar”… (Q.S: At-Taubah 9: 71)
Nash-nash ini bersifat umum bagi laki-laki dan wanita. Bahkan ayat ini
mengandung aspek politik dalam pengawasan terhadap pemerintah, evaluasi, dan
meminta pertanggungjawabannya. Berkenaan dengan ini, senantiasa melekat dalam
ingatan kita bagaimana Fatimah binti Al-Khattab beramar ma‟ruf nahi mungkar
kepada saudara kandungnya, Umar bin Al-Khattab, dengan penuh keberanian dan
ketegaran. Setelah mencela apa yang menjadi sesembahan Umar dan peribadatan
kepadanya, Fatimah mengenalkan dan menyampaikan Islam kepada Umar dengan
membacakan beberapa ayat Al-Quran dari surah Thaha. Akhirnya Umar pun masuk
Islam sekaligus menjadi pembela Islam.22
22
Najmah Sa‟idah dan Husnul Khatimah, Revisi Politik Perempuan ( Bogor: Cv Idea
Pustaka Utama, 2003 ), Cet. Pertama, h. 153.
46
4. Hak Menuntut Penguasa Jika Zalim
Hak ini adalah hak konstitusional yang telah dijamin oleh syari‟at bagi laki-
laki maupun wanita. Hal tersebut secara umum tersurat dalam firman-Nya:
)۴:۵۹ /انساء)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(Q.S:An-Nisa‟4:59)
Kembali kepada Allah dan Rasul, yaitu mengembalikan perkara yang
diperselisihkan itu kepda hukum Allah dan hukum Rasul-Nya SAW.
5. Hak Untuk Ikut Berjihad
Dalam keadaan negara aman jihad merupakan fardhu kifayah yang hanya
diwajibkan ke atas laki-laki yang tertentu saja. Kaum wanita tidak diwajibkan
melibatkan diri dalam perjuangan ini. Walau bagaimana pun Rasulullah SAW tidak
pernah melarang mereka daripada turut serta dalam kerja-kerja bantuan seperti
merawat tentara yang cedera serta keperluan lain.
47
Namun, ketika musuh menyerang sebuah negeri Muslim, maka seluruh
penduduk negeri tersebut harus pergi berperang melawan musuh. Dalam situasi
seperti ini, haram bagi siapa pun untuk menolak berperang.
Mengomentari hal ini, Syeikh Mahmud Syalthut berkata: “Ketika orang-orang
kafir menyerang negeri muslim, maka setiap muslim harus memerangi dan memukul
mundur mereka. Dalam situasi ini, maka boleh wanita berperang tanpa seizin
suaminya, anak tanpa izin ayahnya, dan budak tanpa seizin majikannya.” Dalam
situasi-situasi seperti ini, di mana jiwa dan harta manusia terancam, Islam mengajak
laki-laki dan wanita untuk bekerjasama memperbaiki perdamaian dan
keharmonisan.23
Sayyid Quthub menulis: “Allah SWT tidak menjadikan jihad sebagai suatu
kewajiban bagi wanita. Pada saat yang sama, Allah SWT tidak melarang mereka
untuk ikut serta dalam jihad dan terjun dalam beberapa pertempuran pada masa Nabi
SAW. Namun, kejadian seperti itu jarang dan merupakan kekecualian karena Allah
SWT tidak mewajibkan jihad bagi wanita sebagaimana diwajibkan kepada laki-
laki.”24
23 Mahmud Syalthut, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah (Jeddah: Dar al-Syuruq, 1970), Cet. Ke-
2, h. 228.
24 Sayyid Quthub, Fi Dzilalil Al-Qur’an (Beirut: Dar al-Syuruq, 1978), Cet. Ke-2, h. 644.
48
6. Hak Untuk Memberikan Perlindungan
Dalam Islam, wanita dan juga laki-laki berhak untuk menawarkan
perlindungan dan keamanan kepada siapa pun, sekalipun kepada seorang musyrik
atau musuh perang. Suaka dapat diberikan oleh seorang laki-laki atau seorang wanita,
muslim merdeka atau budak. Suaka tersebut dengan segera dan secara otomatis sah
tetapi harus dibuat resmi melalui persetujuan penguasa atau komandan pasukan.25
Islam telah memberikan kepada wanita hak untuk memberikan suaka dan
perlindungan kepada musuhnya. Ummu Hani, anak perempuan Abu Thalib
meriwayatkan dalam sebuah hadis shahih, “Aku mendatangi Rasulullah SAW pada
hari penaklukan Mekah dan berkata, „Ya Rasulullah! Kakak laki-lakiku Ali telah
menyatakan bahwa dia akan membunuh seorang laki-laki yang telah aku beri
perlindungan. Laki-laki itu adalah si anu bin Hubaira.‟ Rasulullah SAW berkata, „Ya
Ummi Hani! Kami akan memberikan suaka kepada orang yang telah kamu beri
perlindungan.”26
7. Wanita dan Jabatan Penguasa
Menduduki jabatan penguasa (kepala pemerintahan) berarti memikul
tanggungjawab agama dan juga negara. Hal ini berlaku bagi kepala negara, gubernur,
25 Sayyid Sabiq, Fiqih as-Sunnah (al-Qaherah: Dar al-Rayyan Turats, 1991), Jilid 2, h. 694.
26 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari (Beirut: al-Maktab al-
Islam, Dar al-Soader, t.t.), Jilid 6, h. 195.
49
komandan pasukan dan lain-lain. Berdasarkan prinsip “pembagian tugas dan
tanggungjawab,” jabatan penguasa seperti itu hanya dapat dipikul oleh laki-laki.27
Meskipun demikian, perempuan dapat menduduki jabatan eksekutif yang
tidak begitu berat yang tidak bertentangan dengan peran alamiah dan utama mereka
sebagai ibu dan istri. Umar RA Khalifah kedua, menunjuk Asy-Syafa‟ binti Abdullah
al-Adawiyyah sebagai pengelola pasar. Umar RA mau mendengarkan sarannya.
Umar menjaganya dan kadang-kadang menyerahkan sebagian urusan pasar
kepadanya. Hal ini telah diriwayatkan oleh dua cucu laki-laki Asy-Syafa‟, Abu Bakar
dan Usman, anak Ibn Abi Hutsmah.28
Umar RA menyerahkan tanggungjawab seperti
itu kepadanya karena dia pandai menulis, mempunyai pengetahuan yang luas dan
seorang wanita yang shalihah.
Dengan demikian Islam telah mengangkat martabat dan kehormatan wanita
dengan memberikan dan menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka
dalam berbagai aspek dunia bangsa mereka.
27
Mohd Sufian Bin Harun “Gerakan Politik Wanita Muslimah Di Negara bagian Kelantan” ,
(Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010),
h. 42.
28 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, Jilid 4, h. 341.
50
BAB IV
HAK PEREMPUAN MENURUT MUSTHAFA AS-SIBA’I
A. Hak Politik dan Permasalahannya
Wanita Islam, pada awal lahirnya agama Islam, tidak begitu mementingkan
masalah-masalah politik, walaupun agama Islam sudah memberikan hak-hak penuh
sama dengan laki-laki kepada mereka. Tidak ada berita, bahwa ada wanita yang ikut
berkumpul bersama-sama sahabat di Balai Pertemuan Bani Sa’idah setelah wafatnya
Rasulullah, untuk bermusyawarah memilih siapa yang akan diangkat sebagai khalifah
menjadi pengganti beliau dalam mengurus kepentingan kaum Muslimin. Kita tidak
pernah mendengar berita bahwa kaum wanita bersama-sama dengan kaum pria dalam
menangani urusan pengangkatan Khalifah itu. Demikian juga, tidak kita dengar berita
bahwa, Khalifah-Khalifah yang empat pernah mengumpul kaum wanita secara khusus
dalam merundingkan sesuatu masalah dengan mereka, seperti yang diperbuat oleh
Khalifah-Khalifah itu dengan kaum pria untuk membicarakan masalah-masalah
Negara. Kita juga tidak mengetahui dalam sejarah Islam seluruhnya, tentang adanya
barisan kaum wanita yang ikut aktif bersama-sama dengan kaum pria mengatur
Negara dan merundingkan masalah-masalah politik, dan memimpin tentera ke medan
perang.1
1 Musthafa As-Siba’i, Al-Mar‟ah baina Fiqh wa Qanun. Penerjemah Chadidjah Nasution,
Wanita di antara Hukum Islam dan Undang-undang ( Jakarta: Bulan Bintang 1977 ) Cet. Pertama. h,
216.
51
Musthafa As-Siba’i menjelaskan mengenai fenomena ini dengan
mengkaitkannya dengan pemikiran barat. Menurutnya, jika negara-negara barat dan
para penganut aliran-alirannya mulai menerapkan pemikiran barat dalam masalah
kaum wanita, mereka mulai terpengaruh. Mereka kemudian mengajukan tuntutan
agar supaya wanita itu diberi hak yang sama dengan hak laki-laki di bidang politik.
Akhirnya muncullah di beberapa Negara istilah hak memilih dan hak dipilih untuk
ikut serta duduk dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam hubungan ini As-
Siba’i mencoba untuk mengetengahkan, bahwa sebenarnya wanita itu mencapai hak
memilih dan dipilih ini bukanlah dengan kemauan yang murni dari suatu bangsa yang
merdeka. Sebenarnya kaum wanita mencapai hak-haknya dalam suasana mendungnya
kehidupan di Dewan Perwakilan itu dan terjadinya perubahan besar-besaran dalam
bidang ketenteraan, dan mungkin juga berasal dari ketentuan seseorang yang
memerintah secara diktator. Namun bagaimanapun juga wanita sekarang ini sudah
berhak memilih dan berhak dipilih.2
B. Pemikiran Musthafa As-Siba’i Tentang Posisi Wanita dalam Berpolitik
1. Hak Menjadi Kepala Negara
Islam mewajibkan supaya pimpinan tertinggi dalam suatu negara berada di
tangan seorang laki-laki. Dalam masalah ini, Rasulullah s.a.w. bersabda :
2 Ibid, h. 221.
52
نا بهغ رسل ال نقد فع اهلل بكهت أاو انجمع أب بكرة رض اهلل ع قحدثا عثا انثى عف انحس
را )ن فهح قو ن أيرى ايرأة : اهلل صه اهلل عه سهى أ أم فارس قد يهكا عهى بت كسر قال
. (انبخار
“Dari Abu Bakrah radhiallahuanhu katanya: ketika sampai kabar kepada Rasulullah
S.A.W. bahwa penduduk persi telah mengangkat anak perempuan Kisra menjadi Raja
mereka. Lalu Beliau bersabda: Tidaklah akan beruntung suatu bangsa, yang
menyerahkan pimpinan negaranya kepada seorang wanita.” (H.R. Bukhari).3
Mengomentari hadits di atas, Musthafa As-Siba’i mengatakan, yang dimaksud
kepimpinan dalam hadits tersebut adalah khusus kepimpinan tertinggi karena hadits
itu disampaikan berkenaan dengan berita penyerahan kepimpinan negara kepada
salah satu anak perempuan Kisra oleh bangsa Persia. Secara umum, ijma’ ulama tidak
melarang kepimpinan ini bagi perempuan berdasarkan adanya kesepakatan seluruh
ulama atas dibolehkannya perempuan menjadi wali bagi anak-anak dan orang-orang
yang mengalami keterbelakangan kapabilitas, mewakili suatu organisasi
kemasyarakatan dalam mengelola kekayaan umat, atau menjadi saksi.4
Menurut Musthafa As-Siba’i memang jelas bahwa wanita tidak dibenarkan
menjadi kepala negara. Tidak bolehnya wanita itu menjadi pemimpin yang tertinggi
dalam suatu negara, itu juga tidaklah ada hubungannya dengan nilai kemanusiaan,
kemuliaan dan kecakapan wanita itu. Namun, hal itu berhubungan dengan
3 Muhammad al-Bukhari, Abdullah, Sohih Abi Abdullah al Bukhari, Beirut, Darul Fikr,
Juzu’9, h.70.
4 Musthafa As-Siba’i, Al-Mar‟ah baina Fiqh wa Qanun. Penerjemah Chadidjah Nasution,
Wanita di antara Hukum Islam dan Undang-undang ( Jakarta: Bulan Bintang 1977 ) Cet. Pertama. h,
62.
53
kesejahteraan bangsa secara keseluruhan, dan erat hubungannya dengan suasana
kejiwaan dari kaum wanitanya, dan tugasnya dikalangan masyarakat.
Menurut penulis As-siba’i memahami hadis ini secara kontekstual, yang mana
hadits ini dikaitkan dengan asbabul wurudnya, yakni diucapkan Nabi ketika Putri
Kisra Raja Persia menggangtikan ayahnya menjadi pemimpim tertinggi. Kisra tidak
memiliki anak laki-laki akibat perang saudara di negeri itu. Bisa dibayangkan, dalam
kondisi kerajaan yang penuh dengan perang saudara, naiknya putri Kisra tentu tidak
akan membawa kerajaan menuju kejayaan. Apalagi hadits ini juga berkaitan dengan
terkabulnya doa Nabi agar Allah S.W.T menghancurkan kerajaan Persia lantaran
Kisra menyobek surat beliau.
Dengan memperhatikan konteksnya, hadits ini berlaku secara khusus dan
bukan menyatakan bahwa tidak akan ada negeri yang makmur jika dipimpin
perempuan. Nabi membaca surah al-Naml di Makkah dan menceritakan pada orang
ramai kisah Ratu Balqis yaitu Ratu Kerjaan Saba yang memimpin kaumnya ke arah
iman dan kejayaan dengan pintar. Mustahil beliau menguruskan kerajaannya
sebagaimana yang dikatakan dalam hadits dengan cara bertentangan dengan wahyu
yang diturunkan. Ratu Balqis mempunyai kerajaan yang luas sepertimana hud-hud
menceritakan, sebagaimana Firman Allah:
54
“sungguh, kudapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka, dan
dia dianugerahi segala sesuatu serta memiliki singgahsana yang besar”(QS. Al-
Naml: (27) 23).
Berkaitan dengan hal ini Syeikh Al-Ghazali, pemikir kotemporer Mesir
mengatakan apabila diteliti hadits yang dikemukakan oleh As-Siba’i merupakan
hadits ahad (tidak mutawatir ), menurutnya kenapa hanya berkutat dengan hadits ini
dan tidak melihat kepada Al-Quran ketika berbicara mengenai kepemimpinan
perempuan.5
As-Siba’i menyatakannya lagi, kepala negara dalam Islam bukanlah hanya
suatu jabatan formaliatas saja, sebagai lambang yang hanya bertugas menandatangani
surat-surat. Kepala negara adalah pemimpin rakyat, merupakan otaknya yang
berpikir, wajahnya yang menonjol, lidahnya yang berbicara, dan harus mempunyai
keistimewaan yang luas dan besar pengaruh serta akibatnya. Di antaranya adalah,
kepala negara itulah yang memproklamirkan perang dengan negara lain, langsuang
memimpin tentera ke medan perang, menetapkan perdamaian dan perletakan senjata
itu pantas atau menetapkan perang itu diteruskan, jika kesejahteraan negara
menghendakinya.6
As-Siba’i mengemukan alasan bahwa segala apa yang dikemukakan itu tidak
lebih kurang dari fakta yang memang nampak, dan kalau ditemukan dalam sejarah,
5 Al-Ghazali, Al-Sunnah an-Nabawiyyah baina Ahlul Fiqh wa Ahlul Hadits, h. 50.
6 Ibidh., h. 63.
55
ada wanita-wanita yang sanggup memimpin negara tentera dan menyelami
pertempuran-pertempuran, maka hal itu jarang sekali ditemukan. Jika, hal-hal yang
jarang itu lalu ditonjolkan untuk menutupi dan melupakan tabiat yang nampak pada
sebahagian besar kaum wanita dari masa ke masa sepanjang sejarah dan dikalangan
semua bangsa-bangsa. Dan sampai sekarang ini, belum melihat negara-negara yang
maju lalu bertindak latah mengerahkan kaum wanita ketengah-tengah segala macam
lapangan hidup. Umpamanya belum ada negara yang menyetujui wanitanya menjadi
menteri pertahanan, atau menjadi Panglima Perang mengepalai keseluruhan
tenteranya, atau memimpin sesuatu satuan tentera umtuk menggempur sesuatu
daerah, atau memimpin sesuatu pleton saja umpamanya. Hal itu tidaklah
menyebabkan wanita itu menjadi rendah, karena kehidupan ini tidaklah seluruhnya
berjalan di atas satu rel saja yang merupakan kekerasan, kekuatan, kekejaman, dan
ketegasan. Jika kehidupan ini demikian coraknya, tentulah dunia ini akan menjadi
neraka yang tidak dapat ditanggungkan panasnya.7
Fakta sejarah ternyata bebicara, tidak seperti yang diasumsikan oleh As-Siba’i
perempuan dalam Islam banyak yang mampu menjadi kepala negara. Dalam berbagai
catatan berbahasa Arab, kaum perempuan telah dikenal sebagai kepala negara dan
nama mereka disebut-sebut dalam khutbah Jum’at, begitu juga nama mereka tertera
pada uang logam. Seperti di New Delhi ada Razia Sultan (634 H), di Mesir ada
Syajarat ad-Durr, di masa Mughal ada Kutlugh Turkan (681H) dan ramai lagi yang
tidak tersebut.
7 Ibid., h. 65.
56
Kesimpulannya hadits yang dijadikan dalil oleh As-Siba’i adalah sahih yang
disebut dalam kitab hadits paling sahih, yaitu sahih Bukhari. Adalah tidak pantas
membiarkannya tanpa menyebarkan apa-apa kebaikan darinya. Hasilnya masih
diragukan pada suatu yang sahih. Bolehkah kita bina satu hukum syara’ yang umum
yaitu haram melantik wanita sebagai kepala negara berdasarkan bukti yang diragui
atau Zhonni al-Thubut dan hadits ahad. Pada pandangan penulis, penulis tidak
mengatakan wanita boleh menjabat jabatan kepemimpinan tertinggi negara, akan
tetapi sebaliknya bukti yang melarang wanita memimpin belum mencukupi.
2. Hak memilih wakil-wakil rakyat
Dalam hal memilih wakil-wakil rakyat atau dengan kata lain hak memilih
dalam pemilu. Menurut pendapat As-Siba’i yang juga sebenarnya merupakan
pendapat sejumlah pakar dalam bidang syariat ketika berdialog antara mereka tentang
sejauhmana agama menetapkan atau mengakui hak pilih dan pencalonan kaum
wanita. Dan setelah diadakan pembicaraan dan penelitian tentang arah dari beberapa
arah pemikiran, akhirnya ditetapkan bahwa Islam tidak melarang pemberian hak
memilih itu kepada wanita. Pemilu adalah pemilihan rakyat terhadap wakil-wakil
yang menggantikan mereka dalam membuat undang-undang dan mengawasi
pemerintah. Proses pemilu adalah proses ketika seseorang pergi ke pos pemilihan,
disitu dia memberikan suaranya untuk orang yang dipilihnya sebagai wakilnya di
DPR. Wakil-wakil ini akan berbicara di DPR atas namanya serta untuk membela dan
memperjuangkan hak dan kepentingannya. Dan dalam Islam, wanita itu tidak dilarang
57
menunjuk seseorang untuk mewakilinya dalam memperjuangkan hak dan
menyalurkan aspirasinya sebagai salah seorang warga masyarakat. Ini berikutan
negara Suriah ketika itu untuk pertama kalinya hak memilih diberikan kepada wanita
pada tahun 1950 M. Pada masa itu ditetapkan undang-undang pemilihan yang baru,
yang mana di dalamnya diberikan hak penuh untuk memilih kepada kaum wanita, dan
undang-undang ini diwajibkan kepada seluruh bangsa. Pada tahun itu juga dibentuk
Dewan Konstituante, dan terus langsung mulai menyusun undang-undang dasar.8
Namun, menurutnya lagi dalam membenarkan wanita untuk turut memilih
wanita itu dilarang bercampur aduk dengan kaum pria pada waktu mengadakan
pemungutan suara dan mengajukan calon, yang akan menyebabkan terjadinya hal-hal
yang diharamkan dalam Islam. Seperti bercampur gaulnya laki-laki dan wanita, dan
mempamerkan kaum wanita itu dihadapan orang ramai, dan membuka wajah-wajah
mereka yang sebenarnya diperintahkan ditutup. Dan untuk menghindarkan hal-hal
yang terlarang ini sudah ditetapkan bahwa wanita datang ke tempat pemilihan dan
setelah melaksanakan tugasnya mereka harus langsung kembali ke rumah tanpa
bercampur dengan laki-laki dan tanpa terjadi hal-hal terlarang.9
Jelaslah di sini penulis bersetuju dengan As-Siba’i dalam masalah hak pilih
tidak perlu ada perbedaan antara laki-laki dan wanita kecuali dalam masyarakat yang
masih tertutup, yang di dalamnya kaum wanita tidak bebas bergerak, dilarang
melakukan segala bentuk kegiatan kemasyarakatan, serta dikucilkan secara total dari
8 Ibid., h. 222.
9 Ibid., h. 222.
58
kaum laki-laki. Kondisi masyarakat seperti itu membutuhkan penanganan yang
pelahan-lahan dan beransur-ansur. Di dalam masyarakat yang sudah terbuka yang di
dalamnya kaum wanita dapat mengambil bagian dalam kehidupan bermasyarakat,
tidak perlu lagi ada cara beransur-ansur. Bahkan, tindakan konkret akan membuat
berbagai macam unsurnya saling berinteraksi dan menghasilkan berbagai perubahan
yang berarti dari tahun ke tahun, baik terhadap pola pikir wanita buta aksara yang
hanya mengikuti pendapat ayah dan suaminya, atau pola pikir masyarakat awam yang
tunduk pada sikap keluarga atau mengikuti sikap orang-orang kaya dan berkuasa, atau
juga terhadap pola pikir calon-calon kalangan tradisional untuk mewakili rakyat. Di
lapangan akan terlihat sosok-sosok dan partai-partai yang membawa prinsip-prinsip
dan pemikiran-pemikiran baru. Mereka sudah pasti menjalankan peran tertentu dalam
memberikan penyuluhan terhadap kaum laki-laki dan wanita. Melakukan tindakan
konkret dengan tirk-trik baru kan menarik simpati kaum laki-laki dan wanita
meskipun dia buta huruf serta akan mampu menumbuhkan kesadaran yang terus
berkembang sejalan dengan perputaran waktu sehingga mereka memiliki aspirasi
yang bebas dan pendapat yang mandiri serta bersumber dari keyakinan dan
kepentingannya.
3. Hak dipilih sebagai ahli Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Kaidah ushul mengatakan bahwa yang asal dalam semua perkara adalah
boleh. Mengingat tidak adanya pelarangan agama terhadap hak wanita untuk
dicalonkan, jadi pencalonan wanita pada dasarnya boleh-boleh saja. Adapun soal
59
penerapannya secara konkret, kita ambil segala sesuatu yang diperbolehkan agama,
sesuai dengan situasi dan kondisi, serta bermanfaat bagi kita semua. 10
Terkait dengan ini, Musthafa As-Siba’i menyatakan pendapatnya bahwa, jika
prinsip Islam tidak melarang wanita menjadi pemilih, apakah dia dilarang menjadi
wakil? Untuk menjawab pertanyaan ini, ia terlebih dulu menjelaskan tabiat dan sifat
dewan perwakilan rakyat yang harus kita memahaminya. Jabatan ini tidak terlepas
dari dua tugas pokok, yaitu membuat undang-undang dan peraturan, serta melakukan
pengwasan terhadap langkah-langkah dan kebijakan dewan eksekutif.11
Mengenai tugas menetapkan undang-undang sebenarnya dalam Islam tidak
ada suatu ajaran yang mencegah kaum perempuan untuk menjadi pembuat undang-
undang. Ini karena membuat undang-undang itu pada dasarnya membutuhkan ilmu
pengetahuan yang luas, serta mendalami kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan hal-
hal yang sangat mendesak bagi masyarakat, yang kira-kira tidak dapat ditangguhkan
lagi. Dan Islam sudah memberikan hak belajar, menuntut ilmu kepada laki-laki dan
perempuan sama saja. Dalam sejarah Islam kita penuh memuat nama-nama kaum
wanita yang menonjol dalam ilmu Hadits, Fiqih, dan kesusasteraan Arab, dan banyak
lagi ilmu pengetahuan yang lain-lain. Di samping itu, tugas mengawasi kekuasaan
eksekutif, maka sebenarnya tugas itu tidak lain dari perbuatan menyuruhkan berbuat
10
Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrirul Mar‟ah fi „Ashrir Risalah. Penerjemah Chairul
Majid, Kebebasan Wanita ( Jakarta: Gema Insani 2000 ) Cet. Pertama, h. 537.
11 Musthafa As-Siba’i, Al-Mar‟ah baina Fiqh wa Qanun. Penerjemah Chadidjah Nasution,
Wanita di antara Hukum Islam dan Undang-undang ( Jakarta: Bulan Bintang 1977 ) Cet. Pertama. h,
223.
60
baik dan melarang berbuat buruk (Amar ma’ruf Nahi mungkar).12
Sedang kaum pria
dan kaum wanita itu sama dalam pandangan Islam, seperti firman Allah: surah at-
taubah ayat 71:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf,
dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat dari Allah. Sungguh, Allah
Mahaperkasa, Mahabijaksana”. (Q.S. At-Taubah: 9: 71)
Berdasarkan ayat ini, jelaslah bahwa dalam ajaran-ajaran Islam tidak ada
larangan yang menyebabkan wanita kehilangan haknya untuk menjadi wakil rakyat,
baik untuk membuat undang-undang ataupun mengawasi pelaksananya.
Namun, menurut As-Siba’i kalau ditinjau dari segi lain, maka akan ditemukan
bahwa prinsip dan peraturan umum dalam Islam membendung kaum wanita untuk
mempergunakan haknya ini. Bukan karena kurangnya kecakapannya tetapi karena
terdapatnya faktor-faktor yang bersangkutan dengan kesejahteraan keluarga,
12
Ibid., h. 224.
61
kesejahteraan masyarakat, karena memelihara kesejahteraan rumah tangga
umpamanya, menyebabkan wanita harus menumpahkan seluruh perhatiannya kepada
rumah tangganya dan jangan sibuk mengerjakan sesuatu yang lain. Demikian juga,
pergaulan wanita dan laki-laki yang bukan muhrimnya dengan bebas, hukumnya
haram dalam Islam, terutama sekali dua-duaan dengan laki-laki yang bukan
muhrimnya itu. Demikian juga wanita membukakan bahagian badannya, selain muka
dan tapak tangannya, hukumnya haram dalam islam. Dan juga kepergian wanita ke
luar negeri tanpa disertai oleh muhrimnya juga haram hukumnya.13
Inilah tinjauan dari segi kedudukan wanita itu sebagai wakil rakyat. Dan dari
segi lain dilihat pula bahwa Islam menitik beratkan kesejahteraan umum sebagai
landasan utama dalam undang-undangnya, mana yang dibutuhkan oleh kesejahteraan
umum itu dibolehkan dalam Islam sedang dalam hal-hal yang tidak dikehendaki oleh
kesejahteraan umum itu maka Islam melarang dan mencegahnya. Dan kalau
didiskusikan kedudukan wanita sebagai wakil rakyat, ternyata bahwa bahayanya lebih
banyak dari manfaatnya.14
Ia mengemukakan bukti, dengan kejadian yang berlaku dalam pemilihan
umum pada tahun 1957 M, yang mana di tempat-tempat perhimpunan kaum wanita di
Damaskus, bahwa di sana perasaan tegang antara satu sama lain sudah memuncak
dan sebagian ibu-ibu kaum bangsawan sampai melontarkan tuduhan yang tidak enak
didengar oleh teliga siapa saja kepada teman-teman wanitanya yang nampaknya
13
Ibid., h. 225.
14 Ibid., h. 226.
62
mendukung salah seorang calon. Bahwa ketegangan itu itu kemudian meledak dalam
bentuk pertengkaran sampai terjadi serang-menyerang, dan pukul-pukulan dengan
sandal antara sesama wanita, sehingga polisi perlu turun tangan. Justru dari peristiwa
itu, mereka yang tadinya mendukung pencalonan wanita untuk menjadi wakil rakyat
itu merasa menyesal terhadap sikap mereka.15
As-Siba’i juga membuat penyelidikan dengan mengunjungi dunia Eropah
sebanyak empat kali, menetap di sana beberapa bulan. Selama penyelidikan itu, ia
tidak merasakan pengaruh ikut sertanya wanita barat itu aktif di bidang politik secara
umum, sebagai anggota DPR secara khususnya. Ini karena ketika As-Siba’i
mengunjungi Kantor DPR di Britania, dan turut menghadiri salah satu sidangnya
yang cukup lama, kaum wanita yang menjadi anggota DPR semuanya tidak hadir.16
Menurut penulis dengan menganalisa kedua aspek itu akan jelas bagi syariat
mengacu pada apa yang dikenal dalam terminologi Islam sebagai amar ma’ruf nahi
mungkar dan memberikan nasihat tentang agama. Artinya, tugas ini wajib hukumnya
bagi umat Islam, baik sebagai pemimpin ataupaun rakyat umum. Melaksanakan amar
ma’ruf, nahi mungkar, dan menyampaikan nasihat dituntut dari semua kaum laki-laki
dan wanita. Al-Quran dengan tegas menyatakan:
15
Ibid., h. 226-227.
16 Ibid., h. 230.
63
“Dan orang-orang Yang beriman, lelaki dan perempuan, setengahnya
menjadi Penolong bagi setengahnya Yang lain; mereka menyuruh berbuat kebaikan,
dan melarang daripada berbuat kejahatan; dan mereka mendirikan sembahyang dan
memberi zakat, serta taat kepada Allah dan RasulNya. mereka itu akan diberi rahmat
oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. At-
Taubah 9: 71)
Selama wanita berhak memberikan nasihat, mengemukakan mana pendapat
yang benar menurutnya, melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar dengan
mengatakan, ini benar dan ini salah, maka tidak ada alasan melarang keanggotaannya
di DPR guna melaksanakan tugasnya. Pada dasarnya, masalah tradisi dan pergaulan
boleh-boleh saja selama tidak ada larangan dari nash yang sahih dan tegas. 17
Hal ini terkait dengan asumsi bahwa dengan menyatakan wanita boleh duduk
menjadi anggota DPR, tidak berarti bahwa wanita boleh bercampur baur dengan laki-
laki yang bukan mahramnya tanpa batasan dan syarat, atau kegiatannya tersebut
misalnya merugikan kepentingan suami, rumahtangga dan anak-anaknya, atau juga
keanggotaannya di DPR membuatnya melanggar norma-norma Islam menyangkut
pakaian, gerak-geri, dan pembicaraan. Tapi justru sebaliknya, semua harus dijaga dan
diperhatikan sepenuhnya tanpa kecuali.
17
Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrirul Mar‟ah fi „Ashrir Risalah. Penerjemah Chairul Majid,
Kebebasan Wanita ( Jakarta: Gema Insani 2000 ) Cet. Pertama, h. 541.
64
Mengenai konsep kesejahteraan umum yang telah disebutkan sebelum ini,
menurut penulis ini merupakan pertimbangan interpretatif As-Siba’i yang dianut
tradisi masyarakat Suriah pada saat itu. Padahal, konsep kesejahteraan umum bisa
berubah dari masa ke masa dan berbeda antara satu negara dengan negara lain.
Demikian juga berbeda cara-cara mengapresiasikannya.
4. Hak menjadi pengawai negeri
Sebelum ini telah diterangkan bahwa Islam dengan tegas melarang kaum
wanita untuk dijadikan sebagai kepala negara dan sudah dijelaskan apa hikmah
larangan itu. Selain itu, As-Siba’i menambahkan pula bahwa jabatan yang disamakan
dengan menjadi kepala negara itu segala jabatan yang menyebabkan wanita itu
mengemban pertanggungan jawab berat. Sebelum penulis lanjutkan perbahasan ini,
apa yang dapat penulis paham tentang hak menjadi pengawai negeri adalah hak untuk
bekerja di kantor-kantor pemerintah.
Musthafa As-Siba’i menjelaskan bahwa dari segi sosialnya sudah jelas bahwa
memberikan tugas kepergawaian kepada kaum wanita berarti wanita akan mendesak
kaum pria dalam lapangan kerja mereka yang wajar. Dan kita sudah menyaksikan
bahwa saat-saat wanita membanjir memenuhi kantor-kantor pemerintah, di saat-saat
itu terlihat di pihak lain, pemuda-pemuda yang sudah menggondol ijazah yang tinggi-
tinggi berkeliaran di jalan-jalan raya, mencari pekerjaan ke sana ke mari, atau duduk-
duduk sepanjang hari di warung-warung kopi, karena mereka tidak mendapatkan
lowongan di kantor-kantor pemerintah. Menurutnya, benarlah bahwa mengangkat
65
wanita sebagai pengawai negeri dan mengerjakan tugas yang sebaiknya dikerjakan
oleh laki-laki, sebenarnya tidak dinilai baik oleh kesejahteraan umum. Maka kalau
misalnya banyak orang mengeluh karena sedikitnya laki-laki yang cakap untuk
mengisi jabatan-jabatan di dalam negara, bolehlah dikatakan bahwa suasana itu
memang mendorong untuk mengangkat wanita sebagai pengawai negeri. Tetapi kalau
membolehkan wanita keluar dari tugas rumahtangganya dan lalu didudukkan dia di
kantor-kantor pemerintahan, kemudian menolak pemuda-pemuda untuk memangku
jabatanya yang wajar di kantor itu, dan menyuruh mereka pulang ke rumah atau
berkeliaran hilir-midik di jalan-jalan raya adalah merupakan hal atau perbuatan
menjungkir-balikkan dunia ini. Selanjutnya, hal itu dapat merusak susunan atau
system masyarakat, dan menjalankan lokomotif negara ini menuju anarkhi dan
kehancuran.18
Apa yang menyebabkan As-Siba’i berpendapat sedemikian adalah menurut
penulis faktor sosial yang berlaku di negara Suriah ketika itu, yang mana di kantor-
kantor pemerintah diisi oleh pegawai-pegawai yang mayoritasnya terdiri dari kaum
wanita. Menurut As-Siba’i sudah jelas bahwa wanita dalam melaksanakan tugasnya
itu hampir tidak dapat melaksanakan separuh dari pekerjaan laki-laki, dan hal ini
sudah disiarkan oleh Kepala Bahagian Kepergawaian Mesir pada tahun 1961. Sebagai
bukti, ia tambahkan bahwa seorang karyawati jika berkumpul dengan temannya
18
Musthafa As-Siba’i, Al-Mar‟ah baina Fiqh wa Qanun. Penerjemah Chadidjah Nasution,
Wanita di antara Hukum Islam dan Undang-undang ( Jakarta: Bulan Bintang 1977 ) Cet. Pertama. h,
234.
66
sesama karyawati, maka mereka lau menghabiskan banyak sekali waktunya untuk
mengobrol, membicarakan masalah-masalah yang berhubung dengan emosi masing-
masing yang tidak ada hubungannya dengan tugas yang mereka emban, dan juga
tidak menguntungkan kesejahteraan negara sedikit pun. Demikian juga Departemen
Luar Negeri ketika itu sudah berhenti menempatkan karyawati di kantor-kantornya
semenjak terbentuknya Republik Persatuan Arab, setelah mereka meneliti bahwa
penempatan kaum wanita di kantor-kantor itu tidak ada faedahnya bagi negara, dan
malahan merupakan pemborosan biaya dan menghabiskan waktu dengan sia-sia.19
Apa yang dapat penulis simpulkan di sini, As-Siba’i coba untuk menyatakan
seolah-olah kondisi itu melebihkan kaum wanita dari kaum laki-laki, yang
menyebabkan laki-laki tidak ada tempat untuk mencari kerja. Menurut hemat penulis
As-siba’i hanya menilai dari segi kondisi yang terjadi di tempatnya ketika itu,
sedangkan jika meneliti teks-teks Al-Quran dan hadits-hadits Nabi, tidak ada yang
melarang wanita menjadi pengawai negeri dengan tetap menghormati nilai-nilai
kesusilaan dan aturan syariat. Adapun kenyataan di lapangan sejauhmana besarnya
jumlah wanita yang menduduki kantor-kantor pemerintah adalah soal lain, yang mana
tergantung kemampuan individual dan kesiapannya untuk berkompetisi dengan kaum
laki-laki.
19
Ibid., h. 236.
67
5. Hak Wanita dalam Memberi Kesaksian.20
Dalam hal yang terkait dengan peradilan, Musthafa As-Siba’i tidaklah
menjelaskannya secara rinci, akan tetapi ia hanya membicarakan mengenai masalah
kesaksian wanita di pengadilan.
Islam menetapkan bahwa hak-hak seseorang dapat ditetapkan dengan adanya
dua saksi laki-laki yang adil, atau seorang laki dan dua orang wanita. Hal ini di
terangkan dalam ayat yang menerangkan masalah utang-piutang:
“dan hendaklah kamu menetapkan dua orang saksi dari kaum pria, kalau dua
saksi itu tidak ada, maka diganti dengan seorang laki-laki dan dua orang wanita,
yang kamu setujui sebagai saksi, kalau-kalau lupa salah seorang dari wanita
yang dua itu, maka akan diingati oleh temannya yang satu lagi”(Q.S. Al-
Baqarah: 2: 282).
As-Siba’i mengatakan di sini jelas bahwa perbedaan ini tidak ada
hubungannya dengan kemanusiaan, kemuliaan, dan kecakapan. Jadi wanita itu sama
dengan laki-laki dalam kemanusiaannya. Dan menetapkan syarat bahwa dua orang
wanita sama dengan seorang laki-laki dalam fungsinya sebagai saksi, mestinya hal itu
disebabkan sesuatu berada diluar kemuliaan dan penghormatan masyarakat kepada
wanita itu. Dan kalau diperhatikan, bahwa di samping memperbolehkan wanita itu
20
Ibid., h. 49-52.
68
bertindak bebas mempergunakan hartanya, Nampak bahwa Islam juga menekankan
bahwa tugas utama dari wanita adalah mengurus rumahtangganya dan memelihara
kesejahteraan keluarganya. Oleh sebab itu, wanita biasanya lebih banyak berada di
rumah, biasanya sehari-harian, termasuk jam-jam yang biasa dilaksanakan perbuatan
berjual-beli. Jadi kesaksian wanita terhadap sesuatu hak yang berhubungan dengan
dilakukannya transaksi di kalangan masyarakat biasanya jarang sekali terjadi. Dan
oleh sebab itu, maka adalah suatu hal yang wajar kalau wanita itu tidak begitu
mementingkan usaha-usaha untuk mengingat-ingatnya, karena mungkin wanita itu
melihat peristiwa itu terjadi hanya secara kebetulan, karena dia sedang lewat di jalan
raya untuk suatu keperluannya dan ia tidak merasa perlu untuk memperhatikan
kejadian itu. Maka kalau wanita itu dihadapkan ke pengadilan untuk menjadi saksi,
mungkin sekali ia lupa, atau tersalah dalam mengemukakan fakta, terpengaruh
dengan prasangkanya. Tetapi kalau ada temannya, seorang wanita lagi,
mengemukakan kesaksian yang sama, maka hilanglah kemungkinan mereka berdua
sama-sama lupa.
Oleh sebab itu, sebagian ahli-ahli Fiqih menetapkan bahwa kesaksian wanita
tidak diterima dalam masalah pidana. Sebabnya adalah seperti yang telah dikemukan
di atas, bahwa biasanya wanita itu sibuk dengan urusan rumahtangganya, dan tidaklah
mudah untuk menghadiri pertengkaran-pertengkaran yang berakhir dengan
pembunuhan atau yang senada dengan itu. Dan sudah menjadi prinsip hukum Islam,
bahwa hukuman tidak dapat dijatuhkan jika terdapatnya keragu-raguan. Maka
kesaksian wanita terhadap suatu peristiwa pembunuhan termasuk hal-hal yang diliputi
69
keragu-raguan, yaitu keragu-raguan tentang tidak sanggupnya wanita itu
mempersaksikan peristiwa itu, sesuai dengan keadaan jasmaniyyahnya pada waktu
peristiwa itu terjadi.
Jelas As-Siba’i lagi, pengertian ini juga diperhatikan dalam menetapkan
wanita itu sebagai saksi dalam hal-hal yang tidak biasa dihadirinya. Sebaliknya,
dalam hal-hal yang memang biasa dipersaksikan oleh wanita, maka kesaksiannya
diterima, walaupun hanya sendirian saja, terutama dalam hal-hal yang tidak biasa
dipersaksikan oleh laki-laki. Sebagai contoh misalnya ahli-ahli Fiqih menetapkan
Hukum Islam, bahwa seorang wanita sudah pernah melahirkan, atau sudah janda, atau
masih gadis, dan juga dalam masalah adanya cacat jasmani pada anggota vital
seoarng wanita. Semua ini berlaku pada masa lalu, karena pada waktu itu tidak ada
yang mengurus wanita itu kalau melahirkan, kecuali kaum wanita saja, dan demikian
juga merawatnya, dan juga meneliti ada atau tidaknya cacat jasmaninya.
Jadi masalahnya bukanlah masalah kemuliaan dan kehinaan, bukan pula
masalah ada atau tidaknya kecakapan, tetapi masalah keyakinan dalam menetapkan
sesuatu hukum, dan supaya hakim menguasai persoalan yang terjadi. Dan memang
hal itu sangat dipentingkan oleh semua Undang-Undang yang adil.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis bahaskan secara jelas pada
bab-bab terdahulu, penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa perempuan menurut Islam mempunyai hak dalam berpartisipasi politik,
atas dasar prinsip persamaan untuk ikut aktif bersama kaum laki-laki,
membangun, mengubah dan membebaskan energi-energi dalam masyarakat.
Untuk itu suatu upaya yang wajib untuk melibatkan perempuan dalam
kehidupan politik. Ini karena dalam Islam tidak ditemukan aturan-aturan yang
melarang perempuan untuk menikmati hak-hak tersebut, sebaiknya sesuai
dengan fitrah keperempuanannya dan syariat.
2. Musthafa As-Siba’i dengan jelas mengemukakan bahwa Islam telah
memberikan hak politik kepada perempuan, yaitu hak memilih dan dipilih.
Namun, menurutnya terdapat posisi yang tidak diperbolehkan untuk di duduki
oleh perempuan yaitu perempuan menjadi kepala pemerintah dilarang tegas
oleh Islam. Akan tetapi As-siba’i berpandangan bahwa perempuan tidak perlu
menggunakan hak yang telah diberikan kepada mereka. Hal itu menurutnya
disebabkan karena ia memandang bahwa ketika kaum perempuan tidak
menggunakan hak itu, hal ini dapat mendatangkan kebaikan sosial. Namun
71
demikian, ini merupakan ijtihad atau pandangannya dalam menilai kebaikan
mengikut adat dan ikutan masyarakat. Bahkan pula kebaikan sosial itu boleh
berubah dari satu zaman ke satu zaman yang lain, dari sebuah negara ke negara
yang lain karena wujudnya perbedaan pandangan dalam menilainya.
3. Bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran Musthafa As-Siba’i tentang
partisipasi politik perempuan, secara umumnya adalah faktor sosial yang terjadi
ketika itu. Antara faktor-faktor lain lagi, As-Siba’i selaku Muraqib ‘am
Ikhwanul Muslimin coba untuk menanggapi problematika yang terjadi pada saat
itu, untuk membuat perbaikkan terhadap dalam masyarakat Islam terutamanya
masyarakat Suriah ketika hayatnya. Dengan kajian-kajian yang telah
dilakukannya di sebagian negara-negara barat, yang mana tidak berjayanya
wanita dalam partisipasi politik.
B. Saran
1. Kepada kaum perempuan khususnya, politik dan kenegaraan adalah sebagian
dari sistem Islam dan menjadi kewajiban kepada kita untuk sama-sama
berpartisipasi demi mengemban amanah sebagai insan Mukallaf yaitu yang
dipertanggungan jawab sama seperti laki-laki, dan Islam juga mengharuskan
perempuan untuk memiliki kesadaran politik serta membolehkan mereka
berkiprah dalam politik tanpa melupakan tabiat aslinya dengan ketentuan-
ketentuan yang telah ditetapkannya.
72
2. Kepada semua masyarakat Islam, khususnya di Indonesia agar mengoptimalkan
segala usaha supaya kaum perempuan semuanya sadar dan faham tentang hak-
hak dan kewajiban mereka yang telah diberikan oleh Islam dan seterusnya
menghayati serta melaksanakan Islam secara menyeluruh dalam segenap aspek
kehidupan.
73
DAFTAR PUSTAKA
al-Quran al-Karim
Abu Syuqqah, Abdul Halim, Tahrirul Mar’ah fi ‘Ashrir Risalah. Penerjemah Chairul
Majid, Kebebasan Wanita ( Jakarta: Gema Insani 2000 ) Cet. Pertama.
„Aqil, al, Abdullah, Mereka Yang Telah Pergi ( Jakarta Timur : Al-I‟Tishom Cahaya
Umat 2010) Cet. Pertama.
Asqalani, al, Ibnu Hajar, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari (Beirut: al-Maktab
al-Islam, Dar al-Soader, t.t.), Jilid 6.
Az-Zindani, Abdul Majid, Hak-hak Politik Wanita dalam Islam (Jakarta: al-I‟tishom
Cahaya Umat, 2003), Cet. Pertama.
Baltaji, Muhammad, Makanah Al-Mar’ah fi Al-Quran wa As-Sunnah. Penerjemah,
Afifuddin Said, Kedudukan Wanita dalam Al-Quran dan As-Sunnah ( Solo :
2007, Media Insani ) Cet. Pertama.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik ( Jakarta: Gramedia, 2007 ), Cet.
Ketigapuluh.
Daud, Musthafa Haji, Pengantar Politik Islam ( Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan
Pustaka, 1997 ), Cet. Pertama.
Ensiklopedia Indonesia, ( Edisi Khusus ). Jakarta: PT Lehtiar Baru-van Hoeve, 1980.
Faris, Muhammad Abdul Qadir Abu, Fiqh Siyasah Menurut Imam Asy-Syahid Hasan
Al-Banna ( Kuala Lumpur : Pustaka Syuhada, 2000) Cet. Pertama.
Hakim, al, Ali Husain, Membela Perempuan ( Jakarta: Al-Huda, 2005 ), Cet.
Pertama.
Harun, Mohd Sufian, Gerakan Politik Wanita Muslimah Di Negara bagian Kelantan
(Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010).
Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’rawi (
Jakarta: Teraju 2004 ) Cet. Pertama.
74
Ja‟far, Muhammad Anis Qasim, Al-Huquq Al-Siyasah li Al-Mar’ah fi Al-Islam.
Penerjemah Ikhwan Fauzi, Perempuan dan Kekuasaan ( Jakarta: Amzah
2008 ), Cet. Kedua.
Khaldun, Ibnu, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadia Thoha, Muqaddimah (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2005), Cet. Kelima.
Khatimah, Najmah Sa‟idah dan Husnul, Revisi Politik Perempuan (Bogor : Cv Idea
Pustaka Utama, 2003) Cet. Pertama.
Manas, Shayuthy Abdul, Apa Kata Islam Mengenai Wanita Berpolitik ( Selangor : Pts
Publication & Distributors 2008) Cet. Pertama.
Muhammad al-Bukhari, Abdullah, Sohih Abi Abdullah al Bukhari, Beirut, Darul Fikr,
Juzu‟ 1&9.
Musthafa, Ibn, Wanita Menjelang Tahun 2000 ( Bandung: Al-Bayan, 1995 ) Cet.
Keempat.
Nasir, Fatimah Umar, Hak dan Kewajiban Perempuan dalam Islam (Jakarta: CV.
Cendekla Sentra Muslim, 2003), Cet. Pertama.
Nasucha, Achmad Masruch, Kaum Wanita Dalam Pembelaan Islam ( Semarang : CV
Toha Putra, 1984 ) Cet. Pertama.
Quthub, Sayyid, Fi Dzilalil Al-Qur’an (Beirut: Dar al-Syuruq, 1978), Cet. Kedua.
Sabiq, Sayyid, Fiqih as-Sunnah (al-Qaherah: Dar al-Rayyan Turats, 1991), Jilid 2.
Siba‟i, as, Musthafa, As Sunnah wa makanatuha fit tasyri’il Islam ( Beirut : Al-
Maktab Al-Islam, 1985 ) Ct. Pertama.
Siba‟i, as, Musthafa, Min rawa’i hadharatina ( Beirut : Darul Irsyad, 1968 ), Cet.
Pertama.
Siba‟i, as, Musthafa, Syahrul Qanunil Ahwalis Syakhshiyyah ( Damsyik: Al-Maktab
Al-Islami, 1966 ), Cet. Pertama.
Siba‟i, as, Musthafa, Al-Istisyraq wal Mustsyriqun. Penerjemah Ibnu Burdah,
Membongkar Kepalsuan Orientalisme ( Jakarta: Mitra Pustaka 1997 ), Cet.
Pertama.
Siba‟i, as, Musthafa, Isytirakiyyatul Islam. Penerjemah M. Abdai Ratomy Kehidupan
Sosial Menurut Islam ( Bandung: C.V. Diponegoro 1993 ), Cet. Keempat.
75
Siba‟i, as, Musthafa, Al-Mar’ah baina Fiqh wa Qanun. Penerjemah Chadidjah
Nasution, Wanita di antara Hukum Islam dan Undang-undang ( Jakarta:
Bulan Bintang 1977 ) Cet. Pertama.
Syalthut, Mahmud, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah (Jeddah, Dar al-Syuruq, 1970), Cet.
Kedua.
Tahido, Huzaemah, Hak dan Kewajiban Pria dan Wanita: Tuntunan Islam tentang
Kemitrasejajaran Pria dan Wanita (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1999),
Cet. Kedua.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia ( Jakarta: D
Jambatan, 1992 ), Cet. Pertama.
Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: Balai
Pustaka, 1998 ), Cet. Pertama.
Ziyadah, Asma‟ Muhammad, Peran Politik Wanita Dalam Sejarah Islam (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2001), Cet. Pertama.
Situs Internet:
Abu Ridhwan, “Mengenali Kisah Hidup Perjuangan Musthafa Al-Siba‟iyy (1915-
1964)”, artikel diakses pada 10 Oktober 2010 dari
http://tarbiyyahpewaris.blogspot.com.
Ferry Nur, “Syekh As-Siba‟i: Pejuang Palestina dari Suriah”, artikel diakses 07
Disember dari 2010 http://walausetitik.blogspot.com.