gastroparesis diabetika

25
1. GASTROPARESIS DIABETIKA A. Definisi Tidak ada konsensus pasti yang menerangkan definisi gastroparesis diabetika. Istilah gastroparesis diabetika sering berubah menjadi gastropati diabetik. Bell et al mendefinisikan gastroparesis diabetik sebagai kelainan neuropati traktus gastrointestinal yang sering terjadi pada pasien diabetes. Talley et al menggunakan istilah gastropati diabetikum sebagai sindrom klinis dari gangguan saluran cerna bagian atas akibat gangguan motilitas pada pasien diabetes melitus dan didapatkan adanya keterlambatan pengosogan lambung. American Gastroenterological Association (AGA) membuat kesepakatan bahwa diagnosis gastroparesis harus berdasarkan adanya tanda dan gejala yang sesuai, keterlambatan pengosongan lambung, serta tidak adanya lesi obstruktif pada lambung maupun usus halus. Dengan demikian, gastroparesis diabetik dapat didefinisikan sebagai gastroparesis yang terjadi pada pasien dengan diabetes melitus dengan kriteria gastroparesis sesuai dengan yang dijelaskan AGA. Sebagian besar pasien mengeluhkan adanya keluhan saluran cerna bagian atas seperti mual, muntah, kembung, tetapi hubungan antara gejala dengan gangguan fungsi motorik lemah, dan lebih mengarah pada etiologi yang multifaktorial. Keluhan rasa penuh dan kembung sering sebagai prediksi adanya keterlambatan pengosongan gaster, tetapi banyak pasien dengan gastroparesis yang relative

Upload: dellakusuma

Post on 20-Jan-2016

578 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: GASTROPARESIS DIABETIKA

1. GASTROPARESIS DIABETIKA

A. Definisi

Tidak ada konsensus pasti yang menerangkan definisi gastroparesis diabetika.

Istilah gastroparesis diabetika sering berubah menjadi gastropati diabetik. Bell et al

mendefinisikan gastroparesis diabetik sebagai kelainan neuropati traktus

gastrointestinal yang sering terjadi pada pasien diabetes. Talley et al menggunakan

istilah gastropati diabetikum sebagai sindrom klinis dari gangguan saluran cerna

bagian atas akibat gangguan motilitas pada pasien diabetes melitus dan didapatkan

adanya keterlambatan pengosogan lambung.

American Gastroenterological Association (AGA) membuat kesepakatan bahwa

diagnosis gastroparesis harus berdasarkan adanya tanda dan gejala yang sesuai,

keterlambatan pengosongan lambung, serta tidak adanya lesi obstruktif pada lambung

maupun usus halus. Dengan demikian, gastroparesis diabetik dapat didefinisikan

sebagai gastroparesis yang terjadi pada pasien dengan diabetes melitus dengan kriteria

gastroparesis sesuai dengan yang dijelaskan AGA.

Sebagian besar pasien mengeluhkan adanya keluhan saluran cerna bagian atas

seperti mual, muntah, kembung, tetapi hubungan antara gejala dengan gangguan

fungsi motorik lemah, dan lebih mengarah pada etiologi yang multifaktorial. Keluhan

rasa penuh dan kembung sering sebagai prediksi adanya keterlambatan pengosongan

gaster, tetapi banyak pasien dengan gastroparesis yang relative asimtomatik.

Gastroparesis asimtomatik sering timbul pada pasien dengan diabetes melitus.

B. Epidemiologi

Suatu studi menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan penyebab kedua

tersering dari gastroparesis (24%) setelah idiopatik (33%), sedang penyakit tersering

lainnya adalah paska operasi lambung (19%).

Laporan mengenai prevalensi gangguan motilitas lambung pada penderita

diabetes memberikan hasil yang berbeda-beda, hal ini disebabkan beberapa factor

antara lain : tipe penderita diabetes yang diselidik (IDDM atau NIDDM, diabetes yang

lama dan berat, dengan atau tanpa gejala gastroparesis), kriteria yang digunakan untuk

diagnosa gastroparesis (berdasarkan gejala-gejala saja, berdasarkan adanya kelainan

motorik ataupun elektrik lambung, atau berdasarkan keterlambatan pengosongan

lambung), dan metode yang digunakan untuk menilai, mengosongkan lambung

(pemeriksaan barium, radiopaque marker, USG, ataupun scintography).

Page 2: GASTROPARESIS DIABETIKA

Dari hasil berbagai laporan disimpulkan bahwa sekitar 30-60% penderita diabetes

mengalami keterlambatan waktu pengosongan lambung, dan bahwa prevalensi

keterlambatan pengosongan lambung diperkirakan sama pada penderita IDDM maupun

NIDDM.

Hasil penelitian terhadap penderita IDDM menunjukkan adanya keterlambatan

waktu pengosongan lambung solid non digestible pada 62% penderita, keterlambatan

waktu pengosongan lambung liquid pada 25% penderita, dan tidak ada yang mengalami

keterlambatan pengosongan lambung solid digistibel. Pada IDDM, uji scintigraphy

terhadap 70 penderita menunjukkan 27,5% mengalami keterlambatan pengosongan

liquid dan 58,6% mengalami keterlambatan pengosongan solid. Pada NIDDM yang

baru terdiagnosa, ditemukan adanya keterlambatan pengosongan lambung semisolid

pada 36,6% dari 30 penderita.

C. Patofisiologi Gastroparesis Diabetika

Penyebab pasti penundaan pengosongan lambung belum diketahui.

Pengosongan lambung yang normal merupakan integrasi tonik dari fundus, antrum,

serta tahanan dari hasil kontraksi pilorus dan duodenum. Proses ini merupakan

interaksi yang kompleks dari otot polos, sistem saraf otonom, sel enterik, dan sel-sel

pacemaker khusus yang disebut dengan sel intersetisial Cajal ( ICC). Neurotransmiter

dan neuroendokrin juga berperan dalam motilitas lambung. Nitrit okside ( NO)

merupakan senyawa yang penting dalam menghambat nonadrenergik, nonkolinergik,

dan neurotransmiter di usus yang ikut berperan dalam mempengaruhi motilitas

lambung. NO berperan dalam tonus otot sfingter osefagus bagian bawah dan pilorus,

mengtur reflek fundus, serta mengatur reflek peristaltik pada usus. Disfungsi neuron

NO pada pleksus mienterikum akan menyebabkan terjadinya penyakit

gastrointestinal, termasuk gastroparesis. CRH ( Corticotropin Releasing Hormon)

terbukti dapat menurunkan motilitas lambung. Aktivitas mioelektrikal pertama kali

dicetuskan oleh ICC yang terdapat pada dinding otot antrum serta corpus gaster

selama kurang lebih 3 kali per menit. Gangguan pada fase ini dapat menyebabkan

terjadinya gastroparesis. Faktor lain yang juga mempengaruhi pengosongan lambung

adalah neuropati otonom, neuropati enterik, kelainan ICC, fluktuasi gula darah yang

terjadi tiba-tiba, dan faktor psikosomatis. Selain itu pengosongan lanbung biasanya

terjadi lebih lambat pada keadaan hiperglikemia dan menjadi lebih cepat selama

hipoglikemia. Kelailan kadar elektrolit ( hipokalsemia, hipomagnesemia) dan hormon

Page 3: GASTROPARESIS DIABETIKA

gastrointestinal ( motilin, gastrin) juga berpengaruh terhadap terjadinya gastroparesis.

(Ajumobi, et al, 2008)

Gambar 7. Patogenesis gastroparesis diabetikum (Ajumobi, et al, 2008)

D. Penegakan Diagnosis

a. Gejala Klinis

Diagnosis gastroparesis ditegakkan dengan adanya penundaan

pengosongan lambung dengan gangguan obstruksi telah disingkirkan melalui

pemeriksaan endoskopi dan pencitraan radiologi. Gejala yang muncul pada

gastroparesis adalah muntah, mual, cepat kenyang, kembung, tidak nyaman dan

nyeri pada perut, serta bersendawa . Gejala ini menyerupai dispepsia, akan tetapi

pada dispepsia pengosongan lambung terjadi lebih cepat. Oleh karena itu

diperlukan pengukuran terhadap kecepatan pengosongan lambung untuk

membedakan keduanya. Park, et al, 2006). Muntah yang terjadi pada gastroparesis

harus dibedakan dengan regurgitasi pada GERD . Pada gastroparesis biasanya

vomitus akan terjadi 30 menit setelah makanan masuk ke dalam lambung

( postprandial regurgitasi).

b. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya nafas busuk, tetapi tidak

spesifik. Selain itu diperlukan pemeriksaan fisik terhadap tanda-tanda malnutrisi

dan penurunan berat badan.

c. Pemeriksaan Penunjang

Page 4: GASTROPARESIS DIABETIKA

Tes pengosongan lambung pada beberapa pasien yang menunjukkan gejala

gangguan gastrointestinal bagian atas diperlukan untuk menegakkan diagnosa

gastroparesis. Hal ini bertujuan untuk membedakan dengan dengan dispepsia.

Pengukuran tekanan dan profil listrik dari fungsi lambung merupakan pilihan pada

sebagian besar pasien yang telah menderita diabetes.

Gastroparesis diabetik didiagnosis melalui adanya gejala saluran cerna atas

yang mendukung perlambatan pengosongan lambung pada pasien diabetes, tanpa

adanya obstruksi mekanik yang dapat menyebabkan gejala saluran cerna atas, dan

terdapat tanda-tanda perlambatan pengosongan lambung. Obstruksi usus halus dan

lambung disebabkan oleh massa intraabdomen harus diekslusi menggunakan

radiografi abdomen, computed tomography, dan magnetic resonance imaging.

Endoskopi dibutuhkan untuk menyingkirkan adanya striktur, massa, atau ulkus.

Pemeriksaan yang dibutuhkan untuk menyingkirkan infeksi, metabolik, dan

penyebab imunologis menyebabkan gejala saluran cerna atas yaitu pemeriksaan

darah lengkap, pemantauan metabolik komprehensif meliputi elektrolit dan tes

fungsi hati, urinalisis, tingkat sedimentasi eritrosit, dan pemeriksaan biokimia dan

imunologis untuk thyroid stimulating hormone. Setelah menyingkirkan etiologi lain

yang mungkin dan obstruksi dengan endoskopi dan pencitraan abdomen,

gastroparesis diabetik didiagnosis dengan menunjukkan adanya perlambatan

pengosongan lambung.

Gambar 8. Aktivitas Myoelektrik Gaster

Page 5: GASTROPARESIS DIABETIKA

Elektrogastrografi merupakan metode non invasive untuk mengukur aktivitas

mioelektris gaster dengan menempatkan elktrode pada permukaan epigastrium. Pada

pasien normal, elektrogastrografi mengidentifikasi ritme elektrivitas fisiologis dari

lambung pada 3 siklus per menit. Pada beberapa pasien, dapat timbul disaritmia,

takigastria (3.6 sampai 9.9 siklus per menit) dan bradygastria (1 sampai 2.4 siklus

per menit). Meskipun keluhan dyspepsia berkorelasi lebih baik dengan

elektrogastrografi dibandingkan dengan skintigrafi, tetapi elektrogastrografi tidak

dapat mengukur aktivitas kontraktilitas lambung (Smith S., et al, 2003).

Gambar 9. Perbandingan hasil pemeriksaan Scintigraphy

Berbagai jenis penelitian pengosongan lambung meliputi scintigraphy dengan

gambar yang diambil pada jam pertama, kedua dan keempat; tes napas, dan

pemeriksaan ultrasonografi. Pengosongan lambung dari makanan fase padat oleh

scintigraphy diperkirakan merupakan teknik terbaik yang diterima untuk

mendiagnosis perlambatan pengosongan lambung karena scintigraphy dapat

mengukur jumlah pengosongan makanan berkalori fisiologis yang dapat menilai

fungsi motorik lambung. Teknik melibatkan pencampuran penanda radioisotop pada

makanan standar dan mengikuti jejaknya di dalam lambung menggunakan kamera

gamma. Untuk sebuah pemeriksaan yang dikatakan standar baku emas, perlu

diperhatikan bahwa tidak terdapat standarisasi teknik scintigraphy, dibuktikan

Page 6: GASTROPARESIS DIABETIKA

dengan adanya perbedaan zat yang digunakan antara pusat yang satu dengan pusat

yang lain, dan bahwa korelasi antara gejala dengan gastroparesis diabetik dan tingkat

pengosongan lambung tidak jelas.

Pengukuran hidrogen pernapasan 12 jam setelah mengkonsumsi makanan

mengandung potatoes starch dan laktulosa berkaitan dengan waktu transit disaluran

cerna atas dan telah dinyatakan sebagai alat skrining untuk gastroparesis sebelum

menggunakan pemeriksaan yang lebih mahal dan definitif. Tes pernapasan yaitu

mengkonsumsi makanan standar yang mengandung octanoat yang dilabeli

radioisotop karbon, suatu trogliseridemedium. 13C-octanoat diserap secara cepat di

usus halus dan dimetabolisme menjadi 13CO2 yang dikeluarkan oleh paru-paru saat

respirasi. Tingkat 13CO2terdeteksi di pernapasan sejalan dengan tingkat

pengosongan lambung, dan hasilnya berkaitan erat dengan hasil scintigraphy.

Namun, tes ini mengasumsikan tidak ada kelainan pada usus besar, pankreas, hati,

dan fungsi paru. Penelitian menggunakan tes pernapasan pada pasien diabetes

terbatas dan validasi tambahan pada pasien dengan gastroparesis dibutuhkan

sebelum penggunaan secara luas dapat disosialisasikan.

Pengukuran ultrasonografi dari perubahan pada regio antral lambung setelah

konsumsi makanan cair sangat berhubungan dengan tingkat pengosongan lambung.

Pencitraan ultrasound dari pengosongan makanan cair di lambung hanya untuk

penelitian dan tidak digunakan di klinik.

E. Diagnosis banding

Pada kebanyakan kasus, diagnosa gastroparesis dibuat berdasarkan adanya

mual dan muntah yang berlarut-larut pada penderita diabetes yang lanjut,

namun perlu diingat bahwa mual dan muntah sering dialami penderita diabetes dan

bukan seluruhnya disebabkan oleh gastroparesis. Mual dan muntah lazim terjadi

pada ketoasidosis akut yang umumnya akan mereda setelah koreksi kelainan

metabolic tersebut.

Sebelum menyimpulkan adanya suatu gangguan motilitas harus disingkirkan

kemungkinan obstruksi mekanis, peradangan maupun ulkus dengan endoskopi

ataupun foto serial saluran cerna atas. Meskipun agak jarang, obstruksi saluran cerna

bagian tengah dan bawah dapat menyerupai gastroparesis, bila tanda klinis

mengarah ke kemungkinan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan seperti foto polos

abdomen, barium follow through ataupun CT scan. Harus pula diingat

Page 7: GASTROPARESIS DIABETIKA

kemungkinan adanya perforasi, appendicitis, pankreatitis,penyakit susunan syaraf

pusat, sindroma paraneoplastik, efek samping obat, kehamilan dan psikogenik.

Banyak keadaan-keadaan lain yang dapat menyebabkan gastroparesis, keadaan

tersebut bisa menyebabkan gastroparesis yang tak berkaitan dengan diabetiknya

pada penderita diabetes, sehingga sebelum memulai terapi keadaan-keadaan

tersebut, terutama yang reversible haruslah diatasi.

F. Komplikasi Gastroparesis Diabetika

Komplikasi gastroparesis diabetika sangat serius sehingga sedapat

mungkin harus dicegah. Akibat muntah-muntah ataupun regurgitasi yang

berulang-ulang sering terjadi esofagitis yang berat dan luas yang menyebabkan

perdarahan saluran cerna atas yang akut maupun kronis, dapat pula terjadi robekan

esophagus Mallory weiss, pneumonia aspirasi, malnutrisi maupun gangguan

keseimbangan air dan elektrolit. Akibat terganggunya pengosongan lambung solid

non digestible dapat terjadi pembentukan bezoar di lambung.

Gastroparesis juga dapat menyebabkan terganggunya absorbsi obat oral

sehingga menyebabkan fluktuasi kadar obat dalam darah, hal ini menjadi masalah

yang penting bagi penderita diabetes dewngan obat hipoglikemik oral.

G. Penatalaksanaan Gastroparesis

Tujuan penatalaksanaan gastroparesis adalah memperbaiki kualitas hidup,

mencegah komplikasi dan untuk gastroparesis diabetika disertai terselenggaranya

kendali diabetes yang lebih baik. Sampai saat ini tindakan pengobatan lebih ditujukan

kepada kasus-kasus yang simptomatik, pada yang asimptomatik apalagi dengan

kendali diabetes yang baik belum diperlukan pengobatan, tetapi lebih ditujukan

membantu mencapai kendali gula darah yang lebih baik dan memperbaiki nutrisi,

pengobatan terhadap kasus asimptomatik dapat diberikan. Terhadap penderita

gastroparesis yang simptomatik sebaiknya dilakukan penyesuaian diit, yang

dianjurkan adalah porsi kecil namun sering, dengan kadar lemak dan serat yang

rendah dan tetap menjaga asupan kalori yang cukup (John. 2001). Bila cara tersebut

tidak menolong dapat diberikan makanan cair ataupun yang dihomogenesisasi, dan

pada kasus yang sangat berat mungkin diperlukan suatu feeding tube ke jejunum

untuk nutrisi enternal.

Page 8: GASTROPARESIS DIABETIKA

Gambar 10. Algoritme Penatalaksanaan Gastroparesis Diabetika

a. Manajemen Diet

Secara alami, gejala gastroparesis dapat menyebabkan berkurangnya intake

oral, termasuk berkurangnya intake makronutrien, penurunan berat badan,

dehidrasi, dan defisiensi vitamin dan mineral. Dengan demikian, tujuan manajemen

diet adalah mengembalikan dan mempertahankan status nutrisi dan secara

bersamaan mengurangi keluhan. Pada pasien diabetes, intervensi diet ditujukan

pada untuk mengontrol status glikemik pasien. Pada gejala sedang sampai

berat,kemungkinan dibutuhkan asupan nutrisi tambahan.

Komponen utama dalam diet yang perlu dievaluasi adalah ukuran partikel,

ukuran makanan, dan kandungan makanan dan lemak dalam makanan. Alkohol

dan minuman berkarbonasi dilarang. Secara keseluruhan dapat disimpulkan saran

untuk diet gastroparesis adalah diet yang sering, ukuran kecil, makanan rendah

serat dan rendah lemak dengan peningkatan intake nutrisi dalam bentuk cairan.

Jika pengukuran diet dan terapi farmakologi gagal mengurangi keluhan dan

mempertahankan status nutrisi, beberapa bentuk support rute pemberian makanan

perlu dilakukan. Pemberian makanan dengan pompa nasogastrik perlahan adalah

pilihan terapi yang disarankan. Walau dalam praktiknya, pasien dengan

gastroparesis berat jarang yang dapat mentoleransi volume yang dibutuhkan untuk

menentukan kebutuhan nutrisi mereka ketika makanan diberikan langsung ke

dalam lambung. Pemberian makanan langsung pada gaster dapat mengurangi risiko

Page 9: GASTROPARESIS DIABETIKA

aspirasi pada pasien dengan keterlambatan pengosongan lambung. Pemberian

makanan nasojejunum lebih dapat ditoleransi karena melewatkan lambung yang

malfungsi.

Kadar glukosa harus dipertahankan di bawah 180 mg/dl untuk mencegah

inhibisi dari kontrol mioelektris dan gerakan lambung. Mempertahankan kontrol

status glikemik penting karena hiperglikemia menginhibisi aksi obat prokinetik

seperti eritromisin.Obat oral antidiabetik dapat digunakan pada pasien diabetes tipe

2 dan gastroparesis ringan. Insulin dapat digunakan pada pasien diabetes melitus

tipe I dan pasien dengan gastroparesis berat.

b. Terapi prokinetik

Penggunaan obat-obat prokinetik untuk meningkatkan kecepatan

pengosongan lambung merupakan pendekatan paling efektif dalam pengobatan

penderita gastroparesis yang simptomatik. Sebelum terapi prokinetik dimulai

seharusnya waktu pengosongan lambung diukur, namun karena tidak praktis dapat

diberikan terapi pengobatan selama 4 minggu, bila symptom tidak berkurang

ataupun muncul kembali setelah terapi dihentikan maka waktu pengosongan

lambung harus diukur.

Ada berbagai bahan farmakologik yang memiliki efek prokinetik lambung,

namun obat-obat prokinetik yang secara luas digunakan, dalam mengobati

gastroparesis diabetika adalah metoclopramide, domperidone, cisapride dan

erythromycin. Karena sifat kelainan motorik yang beraneka ragam ada

gastroparesis diabetika maka tidak mungkin untuk memperoleh perbaikan terhadap

seluruh kelainan motorik / sensorik dengan satu obat. Waktu pemberian obat

prokinetik haruslah sedemikian rupa sehingga kadar plasma obat. Waktu

pemberian obat prokinetik haruslah sedemikian rupa sehingga kadar plasma

puncak dan aktivitas terapeutik bertepatan dengan waktu makan yaitu setidaknya

30 menit peprandial, selain itu juga perlu diberikan dosis malam hari untuk

mengurangi pembentukan bezzoar.

i. Metoclopramide

Metoclopramide adalah suatu derivat procainamide merupakan

antagonis reseptor dopamine D2 dan reseptor 5HT3, pelepas acetylcholine dan

inhibitor cholinesterase, memiliki khasiat prokinetik lambung dan anti emetik

dan dapat melewati sawar darah otak. Aktivitas prokinetiknya diperkirakan

Page 10: GASTROPARESIS DIABETIKA

berasal dari antagonisme reseptor dopamine lambung peningkatan

pelepasan acetylcholine dari plexus myentericus. Adapun aksi prokinetiknya

antara lain meningkatkan tekanan sfingter esophagus bawah, menghambat

relaksasi fundus, meningkatkan kontraktilitas antrum dan merelaksasi sfingter

pylorus. Aksi metoclopramide pada aktivitas IMMC masih belum jelas.

Aktivitas antiemetiknya adalah berdasarkan antago-nisme reseptor dopamine

sentral pada chemoreceptor trigger zone dan vomiting center. Metoclopramide

dapat menurangi symptom statis lambung dan memperbaiki pengosongan

lambung solid maupun liquid, namun antara perbaikan symptom dengan

pengosongan lambung tidak berkorelasi. Pada pemakaian yang berke-

panjangan efek prokinetiknya akan menghilang meskipun perbaikan

simptomatiknya terus berlangsung. Metoclopramide dianggap merupakan

obat yang paling efektif dalam hal memperbaiki symptom. Metoclopramide

diberikan per oral dengan dosis 5 – 20 mg sebelum makan dan pada waktu

tidur. Dapat pula diberikan melalui intravena, intramuskuler, subkutan,

intrarektal maupun intraperitoneal. Efek samping metoclopramide setidak-

tidaknya mengenai 20% penderita, sifatnya tergantung dosis, dan yang

tersering adalah gangguan neurologik dan endokrinologik. Gangguan

neurologik berupa mengantuk, gelisah, cemas, depresi, symptom dystonic

(yaitu tardive dyskinesia, oculogyric crisis, opisthotonus, trismus dan

torticollis), dan symptom parkinsonisme (yaitu tremor, rigidity dan

akinesia). Gangguan endokrinologik antara lain hiperprolaktinemia yang

menyebabkan gynecomastia, mastalgia, galactorrhea dan amenorrhea, selain

itu dapat terjadi peningkatan kadar aldosterone dan thyrotropin dan penurunan

kadar luteinizing hormone, follicle stimulating hormone dan growth hormone.

ii. Domperidone

Domperidone merupakan derivat benzimidalzole, suatu antagonis

reseptor dopamine yang tidak melewati sawar darah otak. Aksi prokinetik

lambungnya adalah melalui penghambatan reseptor dopamine pada lambung

dan duodenum, sedangkan efek antiemetiknya hanya terjadi pada

chemoreceptor trigger zone. Domperidone efektif dalam mengendalikan

symptom dan memperbaiki pengosongan lambung pada gastoparesis

diabetika. Pemberian secara akut pada pendderita diabetes akan meningkatkan

kecepatan pengosongan solid maupun liquid, sesudah pengobatan 4 minggu

Page 11: GASTROPARESIS DIABETIKA

peningkatan pengosongan liquid tetap terjadi namun pengosongan solid

tidak, sedangkan symptom klinis membaik pada pengobatan akut maupun

kronis. Domperidone dapat diberikan melalui oral, intravena, intramuskuler

ataupun intrarektal. Dosis awal oral adalah 10 mg sebelum makan dan malam

sebelum tidur, dapat ditingkatkan menjadi 4 kali 20 mg perhari, dan pada

gastroparesis yang berat dapat ditingkatkan menjadi 4 x 30 mg perhari.

Insidens efek samping domperidone bervariasi dari 2-7%, umumnya

adalah mulut kering, sakit kepala, ruam kulit, gatal, diare, kegelisahan dan

gangguan endokrin yang berkaitan dengan hiperproklaktinemia.

iii. Cisapride

Cisapride merupakan suatu derivat benzamide yang tidak memiliki

sifat antidopaminergik, akan tetapi meningkatkan pelepasan acetylcholine

pada plexus myentericus intestinalis dan juga bersifat antagonis terhadap

reseptor 4 HT3 dan antagonis 5HT4. Cisapride tidak mempunyai efek

antiemetik langsung, namun dapat meningkatkan amplitudo kontraksi di

seluruh bagian saluran cerna sehingga menguntungkan bagi penderita. Obat ini

meningkatkan kontraksi antrum dan duodenum dan juga meningkatkan

koordinasi antroduodenal. Pada penderita gastroparesis diabetika cisapride

dapat memperbaiki pengosongan lambung liquid, solid maupun non

digestible solid, dan efek perbaikan ini terjadi pada pemberian akut maupun

kronis. Dibanding dengan metoclopramide, cisapride lebih poten dan dianggap

sebagai obat pilihan utama untuk gastroparesis pada saat ini. Cisapride

diberikan melalui oral dengan dosis 5-20mg, sebelum makan dan atau

pada waktu tidur.

Efek samping cisapride jauh lebih sedikit dibanding metoclopramide,

umumnya adalah kram perut, diare dan sakit kepala, biasanya bersifat

sementara dan dapat diatasi dengan pengurangan dosis.

iv. Erythromycin

Erythomycin merupakan antibiotik macrolide yang memiliki efek

menyerupai motilin terhadap motilitas saluran cerna, bekerja sebagai agonis

motilin dengan cara berkaitan dengan reseptor motilin pada antrum dan

duodenum bagaian atas, dan aktivitas ini tidak berkaitan dengan efek

antimikrobialnya. Studi inviro menunjukkan bahwa selain merangsang

kontraksi antrum dan duodenum, erythromycin juga menginhibisi otot pylorus.

Page 12: GASTROPARESIS DIABETIKA

Pada manusia erythromycin dapat meningkatkan kontraksi antrum,

memperbaiki kontraksi antroduodenal, mengurangi waktu aktivitas IMMC

fase 2 dan merangsang serta memperpanjang aktivitas IMMC fase 3 (5

kutip). Kao dkk menyimpulkan bahwa erythromycin efektif terhadap

gastroparesis diabetika karena memperbaiki transit esophagus dan pengo-

songan lambung.

Studi meta analisis mengenai penggunaan obat-obat prokinetik pada

penderita gastroparesis menunjukkan bahwa erythromycin lebih unggul

dibanding cisapride, metoclopramide maupun domperidone dalam hal

mempercepat pengosongan lambung.

Pemberian erythromycin 200 mg intravena kepada penderita

gastroparesis diabetika akan memperbaiki pengosongan lambung solid

maupun liquid secara dramatis menjadi seperti yang terlihat pada orang

normal, bila diberi secara oral kali 250 mg selama 4 minggu, perbaikan juga

terjadi namun hasilnya kurang dibanding intravena. Erythromycin tersedia

untuk penggunaan oral dalam bentuk stearat dan etyl succinate. Dosis

erythromycin stearst adalah 3 kali 250 mg diberikan 30 – 60 menit sebelum

makan. Untuk penggunaan intravena dalam bentuk lactobionate diberikan

sebagai infus selama 30 menit dengan dosis 200 mg, diencerkan dalam larutan

garam fisiologis.

Pada orang normal erythromycin dapat menimbulkan efek samping

mual, muntah, kejang abdomen dan diare, sedangkan pemberian yang

berlama-lama sebagai prokinetik akan meningkatkan resiko timbulnya strain

bakteri resisten. Saat ini dikembangkan derivat erythromycin, ER 523, suatu

agonis reseptor motilin yang 18 kali lebih kuat dari erythromycin namun

tidak memiliki aksi antibiotik, dan terbukti efektif memperpendek waktu

pengosongan lambung liquid maupun solid pada penderita IDDM dengan

gastroparesis yang berat.

v. Antiemetik

Ondansentron, antagonis reseptor 5-HT3 dapat digunakan untuk

mengontrol keluhan, tetapi tidak menunjukkan perbaikan dalam pengosongan

lambung. Mirtazipine adalah antidepresan yang aktif pada resep 5-HT3 dan

dilaporkan bermanfaat untuk gastroparesis refrakter dibandingkan terapi lain.

Antidepresan trisiklik juga bermanfaat dalam sindrom muntah kronik. Ada

Page 13: GASTROPARESIS DIABETIKA

beberapa gabungan terapi yang sedang dalam evaluasi penggunaannya untuk

gastroparesis. Sebagai contoh, prokinetik azithromycin dan mitemcinal dapat

menstimulasi reseptor motilin. Ghrelin, suatu hormone peptide yang

diproduksi oleh sel entero-endokrin dalam lambung yang menstimulasi nafsu

makan dan meningkatkan gerak lambung.

c. Terapi Endoskopi dengan injeksi botulinum

Pylorospasme berperan dalam berkembangnya Gastroparesis. Toksin

botulinum merupakan inhibitor yang poten untuk transmisi neuromuskuler dan

terbukti berefek dalam manajemen gastroparesis. Pada studi yang melibatkan 8

pasien, nilai skoring keluhan menurun dari 27 menjadi 12.1, empat pasien

meningkatkan dosis insulin 5 unit/ hari dan 6 pasien mengalami peningkatan berat

badan. Dalam penelitian yang berbeda, pengosongan gaster dapat diperbaiki dengan

injeksi botulinum, tetapi keluhan tidak berbeda dengan pada grup yang diberi

placebo dengan botulinum (Ajumobi dan Griffin, 2008).

d. Terapi elektrostimulasi

Elektrostimulasi gaster dapat memperbaiki keluhan mual, muntah, kualitas

hidup, dan status nutrisi pada pasien dengan Gastroparesis refrakter. Tiga prinsip

dari elekstrostimulasi gaster antara lain arus listrik bolak-balik, frekuensi tinggi,

stimulasi berurutan. Elektrostimulasi gaster dilakukan melalui electrode yang

ditanam dalam lapisan serosa melalui satu atau dua protocol stimulasi. Satu protokol

merupakan stimulasi dengan energi tinggi, durasi lama. Kelihatannya gastric pacing

dapat memperbaiki symptom gastroparesis dan mempercepat pengosongan lambung

pada penderita gastroparesis yang berat, sehingga pada masa mendatang mungkin

dapat merupakan pilihan terapi pada gastroparesis.

Elektrostimulasi gaster dapat diklasifikasikan sebagai single-channel dan

multichannel. Stimulasi dengan energy tinggi, frekuensi rendah (pulsasi panjang)

bertujuan mengembalikan gelombang ritme perlahan 3 siklus per menit dari aktivitas

normal myoelektris gaster dan telah terbukti memperbaiki keluhan dan waktu

pengosongan lambung (Ajumobi dan Griffin, 2008).

e. Penanganan operatif

Tindakan operatif seperti loop gastroenterostomy, vagotomy dan pyloroplasty

terhadap gastroparesis diabetika umumnya mengecewakan sehingga hampir

tidak digunakan, kalaupun digunakan hanya pada kasus yang sangat berat yang

tidak respons terhadap terapi medis lainnya.

Page 14: GASTROPARESIS DIABETIKA

DAFTAR PUSTAKA

Ajumobi A.B., Griffin R.A. Clinical Review Article of Diabetic Gastroparesis: Evaluation and

Management. Hospital Physician, 2008; 27-32.

Anne M. R. Agur; Moore, Keith L. 2007. Essential Clinical Anatomy (Point (Lippincott

Williams & Wilkins)). Hagerstown, MD: Lippincott Williams & Wilkins.; p. 150.

Barrett K, Brooks H, Bitano S, Barman S. Ganong’s review of medical physiology. 23th

edition. New York: McGraw Hill; 2010.

Cammillery M.. Diabetic Gastroparesis. N Engl J Med, 2007: 356;8.

Foster DW.Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Asdie, A,

editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.

Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar ilmu penyakit

dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai

penerbit FKUI, 2006; 1857.

Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology. 11th edition. Philadelphia: Elsevier

Saunders; 2006.

Herbst RS (2004). "Review of epidermal growth factor receptor biology". International

Journal of Radiation Oncology, Biology, Physics 59 (2 Suppl): 21–6.

John CR.; Jeffrey LB.; 2001. Management of the Patient with Gastroparesis.

http://journals.lww.com/jcge/Fulltext/2001/01000/Efficacy_of_Prolonged_Administrati

on_of.5.aspx (8 Februari 2014)

Keld R., Kinsey L., Athwal V., Lal S. Review Pathogenesis, Investigation, and Dietary and

Medical Management of Gastroparesis. J Hum Nutr Diet, 2011; 24: 421-430.

Maryani, Sri. 2003. Gastroparesis Diabetika.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3370/1/penydalam-srimaryani8.pdf (8

Februari 2014)

Omar F.,David M. Anatomy at a Glance. 2002 by Blackwell Science Ltd, Blackwell

Publishing company. p31_39

Park I.M., Camilleri M. Gastroparesis Clinical Update. American Journal of Gastroenterology,

2006; 101: 1129-1139.

Page 15: GASTROPARESIS DIABETIKA

Parkman H.P., Hasler W.L., Barnett J.L.,Eaker E.Y. Electrogastrography: a Document

Prepared by the Gastric Section of The American Motility Society Clinical GI Testing

Task Force. Neurogastroenterol Motil, 2003; 15: 89-102.

Persi.Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu Diabetes.2008 [ diakses

tanggal 8 Februari 2014] http: //pdpersi.co.id

Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes mellitus. Patofisiologi :

Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson price, Lorraine Mc Carty Wilson; alih

bahasa, Brahm U. Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia. Jakarta;2005; hal.1259

Richard M. Gore; Marc S. Levine. 2007. Textbook of Gastrointestinal Radiology. Philadelphia,

PA.: Saunders.

Sherwood L. Human physiology: From cells to system. 7th edition. Toronto: Brooks/Cole

Cengage Learning; 2010.

Smith S., Williams C.S., Ferris C.D. Diagnosis and Treatment of Chronic Gastroparesis and

Chronic Intestinal Pseudo-Obstruction. Gastro Clin N Am, 2003; 32: 619-658.

Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia

2011. Jakarta : PERKENI, 2011

Venturi S.; Venturi M. 2009. "Iodine in evolution of salivary glands and in oral health".

Nutrition and Health 20 (2): 119–134.

Varon A.R., Zuleta J. From The Physiology of Gastric Emptying of The Understanding of

Gastroparesis. Rev Col Gastroenterol, 2010; 25: 207-212.

Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis dan strategi

pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B,

Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1906.