gastroparesis diabetika
TRANSCRIPT
1. GASTROPARESIS DIABETIKA
A. Definisi
Tidak ada konsensus pasti yang menerangkan definisi gastroparesis diabetika.
Istilah gastroparesis diabetika sering berubah menjadi gastropati diabetik. Bell et al
mendefinisikan gastroparesis diabetik sebagai kelainan neuropati traktus
gastrointestinal yang sering terjadi pada pasien diabetes. Talley et al menggunakan
istilah gastropati diabetikum sebagai sindrom klinis dari gangguan saluran cerna
bagian atas akibat gangguan motilitas pada pasien diabetes melitus dan didapatkan
adanya keterlambatan pengosogan lambung.
American Gastroenterological Association (AGA) membuat kesepakatan bahwa
diagnosis gastroparesis harus berdasarkan adanya tanda dan gejala yang sesuai,
keterlambatan pengosongan lambung, serta tidak adanya lesi obstruktif pada lambung
maupun usus halus. Dengan demikian, gastroparesis diabetik dapat didefinisikan
sebagai gastroparesis yang terjadi pada pasien dengan diabetes melitus dengan kriteria
gastroparesis sesuai dengan yang dijelaskan AGA.
Sebagian besar pasien mengeluhkan adanya keluhan saluran cerna bagian atas
seperti mual, muntah, kembung, tetapi hubungan antara gejala dengan gangguan
fungsi motorik lemah, dan lebih mengarah pada etiologi yang multifaktorial. Keluhan
rasa penuh dan kembung sering sebagai prediksi adanya keterlambatan pengosongan
gaster, tetapi banyak pasien dengan gastroparesis yang relative asimtomatik.
Gastroparesis asimtomatik sering timbul pada pasien dengan diabetes melitus.
B. Epidemiologi
Suatu studi menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan penyebab kedua
tersering dari gastroparesis (24%) setelah idiopatik (33%), sedang penyakit tersering
lainnya adalah paska operasi lambung (19%).
Laporan mengenai prevalensi gangguan motilitas lambung pada penderita
diabetes memberikan hasil yang berbeda-beda, hal ini disebabkan beberapa factor
antara lain : tipe penderita diabetes yang diselidik (IDDM atau NIDDM, diabetes yang
lama dan berat, dengan atau tanpa gejala gastroparesis), kriteria yang digunakan untuk
diagnosa gastroparesis (berdasarkan gejala-gejala saja, berdasarkan adanya kelainan
motorik ataupun elektrik lambung, atau berdasarkan keterlambatan pengosongan
lambung), dan metode yang digunakan untuk menilai, mengosongkan lambung
(pemeriksaan barium, radiopaque marker, USG, ataupun scintography).
Dari hasil berbagai laporan disimpulkan bahwa sekitar 30-60% penderita diabetes
mengalami keterlambatan waktu pengosongan lambung, dan bahwa prevalensi
keterlambatan pengosongan lambung diperkirakan sama pada penderita IDDM maupun
NIDDM.
Hasil penelitian terhadap penderita IDDM menunjukkan adanya keterlambatan
waktu pengosongan lambung solid non digestible pada 62% penderita, keterlambatan
waktu pengosongan lambung liquid pada 25% penderita, dan tidak ada yang mengalami
keterlambatan pengosongan lambung solid digistibel. Pada IDDM, uji scintigraphy
terhadap 70 penderita menunjukkan 27,5% mengalami keterlambatan pengosongan
liquid dan 58,6% mengalami keterlambatan pengosongan solid. Pada NIDDM yang
baru terdiagnosa, ditemukan adanya keterlambatan pengosongan lambung semisolid
pada 36,6% dari 30 penderita.
C. Patofisiologi Gastroparesis Diabetika
Penyebab pasti penundaan pengosongan lambung belum diketahui.
Pengosongan lambung yang normal merupakan integrasi tonik dari fundus, antrum,
serta tahanan dari hasil kontraksi pilorus dan duodenum. Proses ini merupakan
interaksi yang kompleks dari otot polos, sistem saraf otonom, sel enterik, dan sel-sel
pacemaker khusus yang disebut dengan sel intersetisial Cajal ( ICC). Neurotransmiter
dan neuroendokrin juga berperan dalam motilitas lambung. Nitrit okside ( NO)
merupakan senyawa yang penting dalam menghambat nonadrenergik, nonkolinergik,
dan neurotransmiter di usus yang ikut berperan dalam mempengaruhi motilitas
lambung. NO berperan dalam tonus otot sfingter osefagus bagian bawah dan pilorus,
mengtur reflek fundus, serta mengatur reflek peristaltik pada usus. Disfungsi neuron
NO pada pleksus mienterikum akan menyebabkan terjadinya penyakit
gastrointestinal, termasuk gastroparesis. CRH ( Corticotropin Releasing Hormon)
terbukti dapat menurunkan motilitas lambung. Aktivitas mioelektrikal pertama kali
dicetuskan oleh ICC yang terdapat pada dinding otot antrum serta corpus gaster
selama kurang lebih 3 kali per menit. Gangguan pada fase ini dapat menyebabkan
terjadinya gastroparesis. Faktor lain yang juga mempengaruhi pengosongan lambung
adalah neuropati otonom, neuropati enterik, kelainan ICC, fluktuasi gula darah yang
terjadi tiba-tiba, dan faktor psikosomatis. Selain itu pengosongan lanbung biasanya
terjadi lebih lambat pada keadaan hiperglikemia dan menjadi lebih cepat selama
hipoglikemia. Kelailan kadar elektrolit ( hipokalsemia, hipomagnesemia) dan hormon
gastrointestinal ( motilin, gastrin) juga berpengaruh terhadap terjadinya gastroparesis.
(Ajumobi, et al, 2008)
Gambar 7. Patogenesis gastroparesis diabetikum (Ajumobi, et al, 2008)
D. Penegakan Diagnosis
a. Gejala Klinis
Diagnosis gastroparesis ditegakkan dengan adanya penundaan
pengosongan lambung dengan gangguan obstruksi telah disingkirkan melalui
pemeriksaan endoskopi dan pencitraan radiologi. Gejala yang muncul pada
gastroparesis adalah muntah, mual, cepat kenyang, kembung, tidak nyaman dan
nyeri pada perut, serta bersendawa . Gejala ini menyerupai dispepsia, akan tetapi
pada dispepsia pengosongan lambung terjadi lebih cepat. Oleh karena itu
diperlukan pengukuran terhadap kecepatan pengosongan lambung untuk
membedakan keduanya. Park, et al, 2006). Muntah yang terjadi pada gastroparesis
harus dibedakan dengan regurgitasi pada GERD . Pada gastroparesis biasanya
vomitus akan terjadi 30 menit setelah makanan masuk ke dalam lambung
( postprandial regurgitasi).
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya nafas busuk, tetapi tidak
spesifik. Selain itu diperlukan pemeriksaan fisik terhadap tanda-tanda malnutrisi
dan penurunan berat badan.
c. Pemeriksaan Penunjang
Tes pengosongan lambung pada beberapa pasien yang menunjukkan gejala
gangguan gastrointestinal bagian atas diperlukan untuk menegakkan diagnosa
gastroparesis. Hal ini bertujuan untuk membedakan dengan dengan dispepsia.
Pengukuran tekanan dan profil listrik dari fungsi lambung merupakan pilihan pada
sebagian besar pasien yang telah menderita diabetes.
Gastroparesis diabetik didiagnosis melalui adanya gejala saluran cerna atas
yang mendukung perlambatan pengosongan lambung pada pasien diabetes, tanpa
adanya obstruksi mekanik yang dapat menyebabkan gejala saluran cerna atas, dan
terdapat tanda-tanda perlambatan pengosongan lambung. Obstruksi usus halus dan
lambung disebabkan oleh massa intraabdomen harus diekslusi menggunakan
radiografi abdomen, computed tomography, dan magnetic resonance imaging.
Endoskopi dibutuhkan untuk menyingkirkan adanya striktur, massa, atau ulkus.
Pemeriksaan yang dibutuhkan untuk menyingkirkan infeksi, metabolik, dan
penyebab imunologis menyebabkan gejala saluran cerna atas yaitu pemeriksaan
darah lengkap, pemantauan metabolik komprehensif meliputi elektrolit dan tes
fungsi hati, urinalisis, tingkat sedimentasi eritrosit, dan pemeriksaan biokimia dan
imunologis untuk thyroid stimulating hormone. Setelah menyingkirkan etiologi lain
yang mungkin dan obstruksi dengan endoskopi dan pencitraan abdomen,
gastroparesis diabetik didiagnosis dengan menunjukkan adanya perlambatan
pengosongan lambung.
Gambar 8. Aktivitas Myoelektrik Gaster
Elektrogastrografi merupakan metode non invasive untuk mengukur aktivitas
mioelektris gaster dengan menempatkan elktrode pada permukaan epigastrium. Pada
pasien normal, elektrogastrografi mengidentifikasi ritme elektrivitas fisiologis dari
lambung pada 3 siklus per menit. Pada beberapa pasien, dapat timbul disaritmia,
takigastria (3.6 sampai 9.9 siklus per menit) dan bradygastria (1 sampai 2.4 siklus
per menit). Meskipun keluhan dyspepsia berkorelasi lebih baik dengan
elektrogastrografi dibandingkan dengan skintigrafi, tetapi elektrogastrografi tidak
dapat mengukur aktivitas kontraktilitas lambung (Smith S., et al, 2003).
Gambar 9. Perbandingan hasil pemeriksaan Scintigraphy
Berbagai jenis penelitian pengosongan lambung meliputi scintigraphy dengan
gambar yang diambil pada jam pertama, kedua dan keempat; tes napas, dan
pemeriksaan ultrasonografi. Pengosongan lambung dari makanan fase padat oleh
scintigraphy diperkirakan merupakan teknik terbaik yang diterima untuk
mendiagnosis perlambatan pengosongan lambung karena scintigraphy dapat
mengukur jumlah pengosongan makanan berkalori fisiologis yang dapat menilai
fungsi motorik lambung. Teknik melibatkan pencampuran penanda radioisotop pada
makanan standar dan mengikuti jejaknya di dalam lambung menggunakan kamera
gamma. Untuk sebuah pemeriksaan yang dikatakan standar baku emas, perlu
diperhatikan bahwa tidak terdapat standarisasi teknik scintigraphy, dibuktikan
dengan adanya perbedaan zat yang digunakan antara pusat yang satu dengan pusat
yang lain, dan bahwa korelasi antara gejala dengan gastroparesis diabetik dan tingkat
pengosongan lambung tidak jelas.
Pengukuran hidrogen pernapasan 12 jam setelah mengkonsumsi makanan
mengandung potatoes starch dan laktulosa berkaitan dengan waktu transit disaluran
cerna atas dan telah dinyatakan sebagai alat skrining untuk gastroparesis sebelum
menggunakan pemeriksaan yang lebih mahal dan definitif. Tes pernapasan yaitu
mengkonsumsi makanan standar yang mengandung octanoat yang dilabeli
radioisotop karbon, suatu trogliseridemedium. 13C-octanoat diserap secara cepat di
usus halus dan dimetabolisme menjadi 13CO2 yang dikeluarkan oleh paru-paru saat
respirasi. Tingkat 13CO2terdeteksi di pernapasan sejalan dengan tingkat
pengosongan lambung, dan hasilnya berkaitan erat dengan hasil scintigraphy.
Namun, tes ini mengasumsikan tidak ada kelainan pada usus besar, pankreas, hati,
dan fungsi paru. Penelitian menggunakan tes pernapasan pada pasien diabetes
terbatas dan validasi tambahan pada pasien dengan gastroparesis dibutuhkan
sebelum penggunaan secara luas dapat disosialisasikan.
Pengukuran ultrasonografi dari perubahan pada regio antral lambung setelah
konsumsi makanan cair sangat berhubungan dengan tingkat pengosongan lambung.
Pencitraan ultrasound dari pengosongan makanan cair di lambung hanya untuk
penelitian dan tidak digunakan di klinik.
E. Diagnosis banding
Pada kebanyakan kasus, diagnosa gastroparesis dibuat berdasarkan adanya
mual dan muntah yang berlarut-larut pada penderita diabetes yang lanjut,
namun perlu diingat bahwa mual dan muntah sering dialami penderita diabetes dan
bukan seluruhnya disebabkan oleh gastroparesis. Mual dan muntah lazim terjadi
pada ketoasidosis akut yang umumnya akan mereda setelah koreksi kelainan
metabolic tersebut.
Sebelum menyimpulkan adanya suatu gangguan motilitas harus disingkirkan
kemungkinan obstruksi mekanis, peradangan maupun ulkus dengan endoskopi
ataupun foto serial saluran cerna atas. Meskipun agak jarang, obstruksi saluran cerna
bagian tengah dan bawah dapat menyerupai gastroparesis, bila tanda klinis
mengarah ke kemungkinan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan seperti foto polos
abdomen, barium follow through ataupun CT scan. Harus pula diingat
kemungkinan adanya perforasi, appendicitis, pankreatitis,penyakit susunan syaraf
pusat, sindroma paraneoplastik, efek samping obat, kehamilan dan psikogenik.
Banyak keadaan-keadaan lain yang dapat menyebabkan gastroparesis, keadaan
tersebut bisa menyebabkan gastroparesis yang tak berkaitan dengan diabetiknya
pada penderita diabetes, sehingga sebelum memulai terapi keadaan-keadaan
tersebut, terutama yang reversible haruslah diatasi.
F. Komplikasi Gastroparesis Diabetika
Komplikasi gastroparesis diabetika sangat serius sehingga sedapat
mungkin harus dicegah. Akibat muntah-muntah ataupun regurgitasi yang
berulang-ulang sering terjadi esofagitis yang berat dan luas yang menyebabkan
perdarahan saluran cerna atas yang akut maupun kronis, dapat pula terjadi robekan
esophagus Mallory weiss, pneumonia aspirasi, malnutrisi maupun gangguan
keseimbangan air dan elektrolit. Akibat terganggunya pengosongan lambung solid
non digestible dapat terjadi pembentukan bezoar di lambung.
Gastroparesis juga dapat menyebabkan terganggunya absorbsi obat oral
sehingga menyebabkan fluktuasi kadar obat dalam darah, hal ini menjadi masalah
yang penting bagi penderita diabetes dewngan obat hipoglikemik oral.
G. Penatalaksanaan Gastroparesis
Tujuan penatalaksanaan gastroparesis adalah memperbaiki kualitas hidup,
mencegah komplikasi dan untuk gastroparesis diabetika disertai terselenggaranya
kendali diabetes yang lebih baik. Sampai saat ini tindakan pengobatan lebih ditujukan
kepada kasus-kasus yang simptomatik, pada yang asimptomatik apalagi dengan
kendali diabetes yang baik belum diperlukan pengobatan, tetapi lebih ditujukan
membantu mencapai kendali gula darah yang lebih baik dan memperbaiki nutrisi,
pengobatan terhadap kasus asimptomatik dapat diberikan. Terhadap penderita
gastroparesis yang simptomatik sebaiknya dilakukan penyesuaian diit, yang
dianjurkan adalah porsi kecil namun sering, dengan kadar lemak dan serat yang
rendah dan tetap menjaga asupan kalori yang cukup (John. 2001). Bila cara tersebut
tidak menolong dapat diberikan makanan cair ataupun yang dihomogenesisasi, dan
pada kasus yang sangat berat mungkin diperlukan suatu feeding tube ke jejunum
untuk nutrisi enternal.
Gambar 10. Algoritme Penatalaksanaan Gastroparesis Diabetika
a. Manajemen Diet
Secara alami, gejala gastroparesis dapat menyebabkan berkurangnya intake
oral, termasuk berkurangnya intake makronutrien, penurunan berat badan,
dehidrasi, dan defisiensi vitamin dan mineral. Dengan demikian, tujuan manajemen
diet adalah mengembalikan dan mempertahankan status nutrisi dan secara
bersamaan mengurangi keluhan. Pada pasien diabetes, intervensi diet ditujukan
pada untuk mengontrol status glikemik pasien. Pada gejala sedang sampai
berat,kemungkinan dibutuhkan asupan nutrisi tambahan.
Komponen utama dalam diet yang perlu dievaluasi adalah ukuran partikel,
ukuran makanan, dan kandungan makanan dan lemak dalam makanan. Alkohol
dan minuman berkarbonasi dilarang. Secara keseluruhan dapat disimpulkan saran
untuk diet gastroparesis adalah diet yang sering, ukuran kecil, makanan rendah
serat dan rendah lemak dengan peningkatan intake nutrisi dalam bentuk cairan.
Jika pengukuran diet dan terapi farmakologi gagal mengurangi keluhan dan
mempertahankan status nutrisi, beberapa bentuk support rute pemberian makanan
perlu dilakukan. Pemberian makanan dengan pompa nasogastrik perlahan adalah
pilihan terapi yang disarankan. Walau dalam praktiknya, pasien dengan
gastroparesis berat jarang yang dapat mentoleransi volume yang dibutuhkan untuk
menentukan kebutuhan nutrisi mereka ketika makanan diberikan langsung ke
dalam lambung. Pemberian makanan langsung pada gaster dapat mengurangi risiko
aspirasi pada pasien dengan keterlambatan pengosongan lambung. Pemberian
makanan nasojejunum lebih dapat ditoleransi karena melewatkan lambung yang
malfungsi.
Kadar glukosa harus dipertahankan di bawah 180 mg/dl untuk mencegah
inhibisi dari kontrol mioelektris dan gerakan lambung. Mempertahankan kontrol
status glikemik penting karena hiperglikemia menginhibisi aksi obat prokinetik
seperti eritromisin.Obat oral antidiabetik dapat digunakan pada pasien diabetes tipe
2 dan gastroparesis ringan. Insulin dapat digunakan pada pasien diabetes melitus
tipe I dan pasien dengan gastroparesis berat.
b. Terapi prokinetik
Penggunaan obat-obat prokinetik untuk meningkatkan kecepatan
pengosongan lambung merupakan pendekatan paling efektif dalam pengobatan
penderita gastroparesis yang simptomatik. Sebelum terapi prokinetik dimulai
seharusnya waktu pengosongan lambung diukur, namun karena tidak praktis dapat
diberikan terapi pengobatan selama 4 minggu, bila symptom tidak berkurang
ataupun muncul kembali setelah terapi dihentikan maka waktu pengosongan
lambung harus diukur.
Ada berbagai bahan farmakologik yang memiliki efek prokinetik lambung,
namun obat-obat prokinetik yang secara luas digunakan, dalam mengobati
gastroparesis diabetika adalah metoclopramide, domperidone, cisapride dan
erythromycin. Karena sifat kelainan motorik yang beraneka ragam ada
gastroparesis diabetika maka tidak mungkin untuk memperoleh perbaikan terhadap
seluruh kelainan motorik / sensorik dengan satu obat. Waktu pemberian obat
prokinetik haruslah sedemikian rupa sehingga kadar plasma obat. Waktu
pemberian obat prokinetik haruslah sedemikian rupa sehingga kadar plasma
puncak dan aktivitas terapeutik bertepatan dengan waktu makan yaitu setidaknya
30 menit peprandial, selain itu juga perlu diberikan dosis malam hari untuk
mengurangi pembentukan bezzoar.
i. Metoclopramide
Metoclopramide adalah suatu derivat procainamide merupakan
antagonis reseptor dopamine D2 dan reseptor 5HT3, pelepas acetylcholine dan
inhibitor cholinesterase, memiliki khasiat prokinetik lambung dan anti emetik
dan dapat melewati sawar darah otak. Aktivitas prokinetiknya diperkirakan
berasal dari antagonisme reseptor dopamine lambung peningkatan
pelepasan acetylcholine dari plexus myentericus. Adapun aksi prokinetiknya
antara lain meningkatkan tekanan sfingter esophagus bawah, menghambat
relaksasi fundus, meningkatkan kontraktilitas antrum dan merelaksasi sfingter
pylorus. Aksi metoclopramide pada aktivitas IMMC masih belum jelas.
Aktivitas antiemetiknya adalah berdasarkan antago-nisme reseptor dopamine
sentral pada chemoreceptor trigger zone dan vomiting center. Metoclopramide
dapat menurangi symptom statis lambung dan memperbaiki pengosongan
lambung solid maupun liquid, namun antara perbaikan symptom dengan
pengosongan lambung tidak berkorelasi. Pada pemakaian yang berke-
panjangan efek prokinetiknya akan menghilang meskipun perbaikan
simptomatiknya terus berlangsung. Metoclopramide dianggap merupakan
obat yang paling efektif dalam hal memperbaiki symptom. Metoclopramide
diberikan per oral dengan dosis 5 – 20 mg sebelum makan dan pada waktu
tidur. Dapat pula diberikan melalui intravena, intramuskuler, subkutan,
intrarektal maupun intraperitoneal. Efek samping metoclopramide setidak-
tidaknya mengenai 20% penderita, sifatnya tergantung dosis, dan yang
tersering adalah gangguan neurologik dan endokrinologik. Gangguan
neurologik berupa mengantuk, gelisah, cemas, depresi, symptom dystonic
(yaitu tardive dyskinesia, oculogyric crisis, opisthotonus, trismus dan
torticollis), dan symptom parkinsonisme (yaitu tremor, rigidity dan
akinesia). Gangguan endokrinologik antara lain hiperprolaktinemia yang
menyebabkan gynecomastia, mastalgia, galactorrhea dan amenorrhea, selain
itu dapat terjadi peningkatan kadar aldosterone dan thyrotropin dan penurunan
kadar luteinizing hormone, follicle stimulating hormone dan growth hormone.
ii. Domperidone
Domperidone merupakan derivat benzimidalzole, suatu antagonis
reseptor dopamine yang tidak melewati sawar darah otak. Aksi prokinetik
lambungnya adalah melalui penghambatan reseptor dopamine pada lambung
dan duodenum, sedangkan efek antiemetiknya hanya terjadi pada
chemoreceptor trigger zone. Domperidone efektif dalam mengendalikan
symptom dan memperbaiki pengosongan lambung pada gastoparesis
diabetika. Pemberian secara akut pada pendderita diabetes akan meningkatkan
kecepatan pengosongan solid maupun liquid, sesudah pengobatan 4 minggu
peningkatan pengosongan liquid tetap terjadi namun pengosongan solid
tidak, sedangkan symptom klinis membaik pada pengobatan akut maupun
kronis. Domperidone dapat diberikan melalui oral, intravena, intramuskuler
ataupun intrarektal. Dosis awal oral adalah 10 mg sebelum makan dan malam
sebelum tidur, dapat ditingkatkan menjadi 4 kali 20 mg perhari, dan pada
gastroparesis yang berat dapat ditingkatkan menjadi 4 x 30 mg perhari.
Insidens efek samping domperidone bervariasi dari 2-7%, umumnya
adalah mulut kering, sakit kepala, ruam kulit, gatal, diare, kegelisahan dan
gangguan endokrin yang berkaitan dengan hiperproklaktinemia.
iii. Cisapride
Cisapride merupakan suatu derivat benzamide yang tidak memiliki
sifat antidopaminergik, akan tetapi meningkatkan pelepasan acetylcholine
pada plexus myentericus intestinalis dan juga bersifat antagonis terhadap
reseptor 4 HT3 dan antagonis 5HT4. Cisapride tidak mempunyai efek
antiemetik langsung, namun dapat meningkatkan amplitudo kontraksi di
seluruh bagian saluran cerna sehingga menguntungkan bagi penderita. Obat ini
meningkatkan kontraksi antrum dan duodenum dan juga meningkatkan
koordinasi antroduodenal. Pada penderita gastroparesis diabetika cisapride
dapat memperbaiki pengosongan lambung liquid, solid maupun non
digestible solid, dan efek perbaikan ini terjadi pada pemberian akut maupun
kronis. Dibanding dengan metoclopramide, cisapride lebih poten dan dianggap
sebagai obat pilihan utama untuk gastroparesis pada saat ini. Cisapride
diberikan melalui oral dengan dosis 5-20mg, sebelum makan dan atau
pada waktu tidur.
Efek samping cisapride jauh lebih sedikit dibanding metoclopramide,
umumnya adalah kram perut, diare dan sakit kepala, biasanya bersifat
sementara dan dapat diatasi dengan pengurangan dosis.
iv. Erythromycin
Erythomycin merupakan antibiotik macrolide yang memiliki efek
menyerupai motilin terhadap motilitas saluran cerna, bekerja sebagai agonis
motilin dengan cara berkaitan dengan reseptor motilin pada antrum dan
duodenum bagaian atas, dan aktivitas ini tidak berkaitan dengan efek
antimikrobialnya. Studi inviro menunjukkan bahwa selain merangsang
kontraksi antrum dan duodenum, erythromycin juga menginhibisi otot pylorus.
Pada manusia erythromycin dapat meningkatkan kontraksi antrum,
memperbaiki kontraksi antroduodenal, mengurangi waktu aktivitas IMMC
fase 2 dan merangsang serta memperpanjang aktivitas IMMC fase 3 (5
kutip). Kao dkk menyimpulkan bahwa erythromycin efektif terhadap
gastroparesis diabetika karena memperbaiki transit esophagus dan pengo-
songan lambung.
Studi meta analisis mengenai penggunaan obat-obat prokinetik pada
penderita gastroparesis menunjukkan bahwa erythromycin lebih unggul
dibanding cisapride, metoclopramide maupun domperidone dalam hal
mempercepat pengosongan lambung.
Pemberian erythromycin 200 mg intravena kepada penderita
gastroparesis diabetika akan memperbaiki pengosongan lambung solid
maupun liquid secara dramatis menjadi seperti yang terlihat pada orang
normal, bila diberi secara oral kali 250 mg selama 4 minggu, perbaikan juga
terjadi namun hasilnya kurang dibanding intravena. Erythromycin tersedia
untuk penggunaan oral dalam bentuk stearat dan etyl succinate. Dosis
erythromycin stearst adalah 3 kali 250 mg diberikan 30 – 60 menit sebelum
makan. Untuk penggunaan intravena dalam bentuk lactobionate diberikan
sebagai infus selama 30 menit dengan dosis 200 mg, diencerkan dalam larutan
garam fisiologis.
Pada orang normal erythromycin dapat menimbulkan efek samping
mual, muntah, kejang abdomen dan diare, sedangkan pemberian yang
berlama-lama sebagai prokinetik akan meningkatkan resiko timbulnya strain
bakteri resisten. Saat ini dikembangkan derivat erythromycin, ER 523, suatu
agonis reseptor motilin yang 18 kali lebih kuat dari erythromycin namun
tidak memiliki aksi antibiotik, dan terbukti efektif memperpendek waktu
pengosongan lambung liquid maupun solid pada penderita IDDM dengan
gastroparesis yang berat.
v. Antiemetik
Ondansentron, antagonis reseptor 5-HT3 dapat digunakan untuk
mengontrol keluhan, tetapi tidak menunjukkan perbaikan dalam pengosongan
lambung. Mirtazipine adalah antidepresan yang aktif pada resep 5-HT3 dan
dilaporkan bermanfaat untuk gastroparesis refrakter dibandingkan terapi lain.
Antidepresan trisiklik juga bermanfaat dalam sindrom muntah kronik. Ada
beberapa gabungan terapi yang sedang dalam evaluasi penggunaannya untuk
gastroparesis. Sebagai contoh, prokinetik azithromycin dan mitemcinal dapat
menstimulasi reseptor motilin. Ghrelin, suatu hormone peptide yang
diproduksi oleh sel entero-endokrin dalam lambung yang menstimulasi nafsu
makan dan meningkatkan gerak lambung.
c. Terapi Endoskopi dengan injeksi botulinum
Pylorospasme berperan dalam berkembangnya Gastroparesis. Toksin
botulinum merupakan inhibitor yang poten untuk transmisi neuromuskuler dan
terbukti berefek dalam manajemen gastroparesis. Pada studi yang melibatkan 8
pasien, nilai skoring keluhan menurun dari 27 menjadi 12.1, empat pasien
meningkatkan dosis insulin 5 unit/ hari dan 6 pasien mengalami peningkatan berat
badan. Dalam penelitian yang berbeda, pengosongan gaster dapat diperbaiki dengan
injeksi botulinum, tetapi keluhan tidak berbeda dengan pada grup yang diberi
placebo dengan botulinum (Ajumobi dan Griffin, 2008).
d. Terapi elektrostimulasi
Elektrostimulasi gaster dapat memperbaiki keluhan mual, muntah, kualitas
hidup, dan status nutrisi pada pasien dengan Gastroparesis refrakter. Tiga prinsip
dari elekstrostimulasi gaster antara lain arus listrik bolak-balik, frekuensi tinggi,
stimulasi berurutan. Elektrostimulasi gaster dilakukan melalui electrode yang
ditanam dalam lapisan serosa melalui satu atau dua protocol stimulasi. Satu protokol
merupakan stimulasi dengan energi tinggi, durasi lama. Kelihatannya gastric pacing
dapat memperbaiki symptom gastroparesis dan mempercepat pengosongan lambung
pada penderita gastroparesis yang berat, sehingga pada masa mendatang mungkin
dapat merupakan pilihan terapi pada gastroparesis.
Elektrostimulasi gaster dapat diklasifikasikan sebagai single-channel dan
multichannel. Stimulasi dengan energy tinggi, frekuensi rendah (pulsasi panjang)
bertujuan mengembalikan gelombang ritme perlahan 3 siklus per menit dari aktivitas
normal myoelektris gaster dan telah terbukti memperbaiki keluhan dan waktu
pengosongan lambung (Ajumobi dan Griffin, 2008).
e. Penanganan operatif
Tindakan operatif seperti loop gastroenterostomy, vagotomy dan pyloroplasty
terhadap gastroparesis diabetika umumnya mengecewakan sehingga hampir
tidak digunakan, kalaupun digunakan hanya pada kasus yang sangat berat yang
tidak respons terhadap terapi medis lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ajumobi A.B., Griffin R.A. Clinical Review Article of Diabetic Gastroparesis: Evaluation and
Management. Hospital Physician, 2008; 27-32.
Anne M. R. Agur; Moore, Keith L. 2007. Essential Clinical Anatomy (Point (Lippincott
Williams & Wilkins)). Hagerstown, MD: Lippincott Williams & Wilkins.; p. 150.
Barrett K, Brooks H, Bitano S, Barman S. Ganong’s review of medical physiology. 23th
edition. New York: McGraw Hill; 2010.
Cammillery M.. Diabetic Gastroparesis. N Engl J Med, 2007: 356;8.
Foster DW.Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Asdie, A,
editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.
Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar ilmu penyakit
dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai
penerbit FKUI, 2006; 1857.
Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology. 11th edition. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2006.
Herbst RS (2004). "Review of epidermal growth factor receptor biology". International
Journal of Radiation Oncology, Biology, Physics 59 (2 Suppl): 21–6.
John CR.; Jeffrey LB.; 2001. Management of the Patient with Gastroparesis.
http://journals.lww.com/jcge/Fulltext/2001/01000/Efficacy_of_Prolonged_Administrati
on_of.5.aspx (8 Februari 2014)
Keld R., Kinsey L., Athwal V., Lal S. Review Pathogenesis, Investigation, and Dietary and
Medical Management of Gastroparesis. J Hum Nutr Diet, 2011; 24: 421-430.
Maryani, Sri. 2003. Gastroparesis Diabetika.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3370/1/penydalam-srimaryani8.pdf (8
Februari 2014)
Omar F.,David M. Anatomy at a Glance. 2002 by Blackwell Science Ltd, Blackwell
Publishing company. p31_39
Park I.M., Camilleri M. Gastroparesis Clinical Update. American Journal of Gastroenterology,
2006; 101: 1129-1139.
Parkman H.P., Hasler W.L., Barnett J.L.,Eaker E.Y. Electrogastrography: a Document
Prepared by the Gastric Section of The American Motility Society Clinical GI Testing
Task Force. Neurogastroenterol Motil, 2003; 15: 89-102.
Persi.Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu Diabetes.2008 [ diakses
tanggal 8 Februari 2014] http: //pdpersi.co.id
Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes mellitus. Patofisiologi :
Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson price, Lorraine Mc Carty Wilson; alih
bahasa, Brahm U. Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia. Jakarta;2005; hal.1259
Richard M. Gore; Marc S. Levine. 2007. Textbook of Gastrointestinal Radiology. Philadelphia,
PA.: Saunders.
Sherwood L. Human physiology: From cells to system. 7th edition. Toronto: Brooks/Cole
Cengage Learning; 2010.
Smith S., Williams C.S., Ferris C.D. Diagnosis and Treatment of Chronic Gastroparesis and
Chronic Intestinal Pseudo-Obstruction. Gastro Clin N Am, 2003; 32: 619-658.
Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia
2011. Jakarta : PERKENI, 2011
Venturi S.; Venturi M. 2009. "Iodine in evolution of salivary glands and in oral health".
Nutrition and Health 20 (2): 119–134.
Varon A.R., Zuleta J. From The Physiology of Gastric Emptying of The Understanding of
Gastroparesis. Rev Col Gastroenterol, 2010; 25: 207-212.
Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis dan strategi
pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1906.