ganti rugi atas pembebasan hak atas tanah yang dikaitkan dengan fungsi social

30
BAB I PENDAHULUAN Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak rakyat Indonesia, untuk terus-menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya secara adil dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat kea rah penyelenggaraan Negara yang demokratis berdasarkan Pancasila. Untuk itu, pembangunan diarahkan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat. Kemakmuran yang adil dan merata tersebut hanya akan dapat dicapai melalui pembangunan. Setiap kegiatan pembangunan, baik fisik maupun non-fisik, langsung atau tidak langsung, selalu memerlukan tanah sebagai wadah dari kegiatan pembangunan tersebut. Kebutuhan akan tanah dalam masa pembangunan yang sekarang sangat meningkat bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, karena pada umumnya, hampir semua sektor pembangunan memerlukan tanah sebagai sarana utama untuk melaksanakan proyek-proyek pembangunan. Untuk memenuhi kebutuhan tanah, dalam usaha untuk melaksanakan pembangunan tersebut, pemerintah mengadakan atau menyediakan tanah berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, dengan kebijakan melalui pencabutan, pembebasan dan pelepasan atas tanah, yang dimiliki oleh rakyat secara pribadi maupun golongan. Sebagai perwujudan dari konsep pembangunan di atas, pemerintah telah melakukan pembangunan di berbagai bidang 1

Upload: iwen-boreg

Post on 23-Jun-2015

3.044 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ganti Rugi Atas Pembebasan Hak Atas Tanah Yang Dikaitkan Dengan Fungsi Social

BAB I

PENDAHULUAN

Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak rakyat Indonesia, untuk

terus-menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya secara adil dan

merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat kea rah penyelenggaraan Negara yang

demokratis berdasarkan Pancasila. Untuk itu, pembangunan diarahkan untuk mencapai

kemajuan dan kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat.

Kemakmuran yang adil dan merata tersebut hanya akan dapat dicapai melalui

pembangunan. Setiap kegiatan pembangunan, baik fisik maupun non-fisik, langsung atau

tidak langsung, selalu memerlukan tanah sebagai wadah dari kegiatan pembangunan tersebut.

Kebutuhan akan tanah dalam masa pembangunan yang sekarang sangat meningkat bila

dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, karena pada umumnya, hampir semua sektor

pembangunan memerlukan tanah sebagai sarana utama untuk melaksanakan proyek-proyek

pembangunan. Untuk memenuhi kebutuhan tanah, dalam usaha untuk melaksanakan

pembangunan tersebut, pemerintah mengadakan atau menyediakan tanah berdasarkan

Undang-undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, dengan kebijakan melalui pencabutan,

pembebasan dan pelepasan atas tanah, yang dimiliki oleh rakyat secara pribadi maupun

golongan.

Sebagai perwujudan dari konsep pembangunan di atas, pemerintah telah melakukan

pembangunan di berbagai bidang antara lain, fasilitas untuk kepentingan umum, misalnya

pembangunan di bidang pendidikan, sosial, hankam, pemukiman, industry dan proyek-proyek

yang bersifat menunjang kepentingan umum baik yang bersifat mencari keuntungaan maupun

yang bersifat tidak mencari keuntungan .

Kenyataan ini menuntut adanya penguasaan sejumlah areal tanah yang akan

diperlukan untuk membangun berbagai proyek dengan cara pembebasan tanah dan/atau

pencabutan hak atas tanah, pengambilan tanah-tanah penduduk melalui penggusuran, dsb.

Kejadian yang demikian kelihatan sudah lumrah terjadi dimana-mana pada berbagai kawasan

di negara kita.

Dalam banyak hal pembebasan tanah atau pengambilan/penggusuran tanah-tanah

penduduk selalu menimbulkan “ekses” yang mempunyai dampak cukup besar terhadap

1

Page 2: Ganti Rugi Atas Pembebasan Hak Atas Tanah Yang Dikaitkan Dengan Fungsi Social

stabilitas masyarakat. Berbagai ketegangan dalam masyarakat timbul karena adanya

ketidaksepakatan antara pemilik dengan tanah/pemegang hak atas tanah yang tanahnya akan

diambil untuk keperluan proyek-proyek pembangunan dengan pihak penguasa yang bertugas

untuk melakukan/meminta dilakukannya pembebasan tanah yang dimaksud, baik yang

menyangkut status hak, besar dan bentuknya ganti kerugian ataupun pelaksanaan teknis

lainnya.

Pencabutan, pembebasan dan pelepasan hak-hak atas tanah itu tidak hanya dilakukan

oleh pemerintah, namun juga diperuntukkan untuk proyek yang dilaksanakan oleh swasta.

Hanya saja, dalam penggunaanya berbeda.

Pemerintah melaksanakan pembebasan sebagian besar dipergunakan untuk

pembangunan proyek milik pemerintah atau fasilitas umum, seperti kantor pemerintahan,

jalan raya, pelabuhan, lapangan udara dan sebagainya. Sedangkan tujuan pembebasan

dilakukan oleh pihak swasta, dipergunakan untuk pembanguna proyek-proyek yang bersifat

komersil, misalnya pembangunan perumahan, pusat-pusat perbelanjaan.

Pola sengketa berkisar antar rakyat dan pemerintah atau rakyat dan swasta (yang

didukung oleh orang-orang pemerintah) mengenai besarnya ganti rugi antara rakyat dengan

pihak perkebunan serta kehutanan mengenai masalah kepemilikan, penggarapan, warisan dan

sewa-menyewa. Bahwa sengketa diantaranya karena manipulasi pejabat atau perantara-

perantara dan kecilnya ganti rugi atas tanah yang diambil.

Disamping itu juga, penguasaan tanah oleh rakyat dilakukan tanpa alas hak yang sah

dan dokumen kepemilikan tanah yang tidak lengkap. Dalam posisi yang demikian, pihak

yang membutuhkan tanah dihadapkan pada suatu keadaan yang dilematis. Keadaan ini dapat

melemahkan posisi yang membutuhkan tanah dan berpotensi menimbulkan masalah, yaitu

rakyat tidak memiliki baukti yang lengkap dan cukup atas tanah yang dimilikinya. Hal ini

terutama terjadi pada tanah-tanah yang belum bersertifikat , kekurangan itu antara lain:

a. Belum adanya penepatan ahli waris (pemilik asli/nama yang tercantum pada surat

keterangan tanah, yang telah meninggal dunia).

b. Tidak ada surat kuasa untuk melepas hak

c. Dan sebagainya.

2

Page 3: Ganti Rugi Atas Pembebasan Hak Atas Tanah Yang Dikaitkan Dengan Fungsi Social

Keadaan itu bukannya tidak diketahui oleh orang yang memerlukan tanah, akan tetapi

dengan berbagai alasan untuk melaksanakan proyek yang telah direncanakan tetap

dilakukan pembebasan dengan ganti rugi. Sehingga sulit bagi yang membutuhkan tanah

untuk memnetukan kepada siapa ganti rugi yang akan diberikan. Oleh sebab itu banyak

dijumpai pembayaran ganti rugi dilakukan pada orang yang sebenarnya tidak berhak,

yang akhirnya menimbulkan sengketa.

Konflik juga terjadi antara pemerintah dengan rakyat atau antara rakyat dengan pihak

swasta yang membutuhkan tanah, disebabkan karena kurangnya koordinasi antar instansi

yang terkait di bidang pertanahan. Misalnya, tidak adanya sinkronisasi antara suatu sector

dengan sector lainnya. Banyak sekali peraturan yang tidak berjalan, ataupun saling

bertabrakan dengan peraturan lain. Sebagai contoh dapat kita ajukan Undang-undang

No.20 Tahun 1961, yang mengatur tentang Pencabutan Hak Tanah Oleh Pemerintah

Untuk Kepentingan Umum. Undang-undang ini sangat sederhana dan setelah

diundangkan Tahun 1961, praktis undang-undang ini tidak pernah “in action” artinya

belum pernah dipergunakan untuk pencabutan hak atas tanah.

Peraturan hukum mengenai pencabutan, pembebasan atau pelepasan hak-hak atas tanah

untuk keperluan pemerintah maupun swasta dalam praktek, pelaksanaan peraturan

tersebut belum berjalan sesuai dengan isi dan jiwa ddari ketentuan-ketentuannya.

Sehingga, pada satu pihak timbul kesan seakan-akan hak dan kepentingan rakyat pemilik

tanah, tidak mendapat perlindungan hukum. Sedangkan dari pemerintah atau pihak yang

memerlukan tanah juga mengalami kesulitan-kesulitan dalam memperoleh tanah untuk

membangun proyeknya. Secara factual pelaksanaan pencabutan, pembebasan dan

pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum bernuansa konflik, baik dari sudut

peraturan dan paradigma hukum yang berbeda antara masyrakat dengan

penguasa/pemerintah serta penerapan hokum dari para hakim sangat bernuansa paham

positivis yang mengabaikan kaedah-kaedah social dan kebiasaan serta moral yang hidup

dalam masyarakat.

3

Page 4: Ganti Rugi Atas Pembebasan Hak Atas Tanah Yang Dikaitkan Dengan Fungsi Social

BAB II

PERMASALAHAN

Adapun permasalahan yang akan kami bahas adalah ;

1. Bagaimana pengadaan tanah untuk fungsi social yang dikaitkan dengan kepentingan

umum dalam doktrin negara hukum?

2. Bagaimana ganti rugi atas pembebasan hak atas tanah yang dikaitkan dengan fungsi

social?

4

Page 5: Ganti Rugi Atas Pembebasan Hak Atas Tanah Yang Dikaitkan Dengan Fungsi Social

BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengadaan Tanah untuk Fungsi Sosial yang Dikaitkan dengan Kepentingan

Umum dalam Doktrin Negara Hukum

Meliputi kepentingan perorangan , golongan, hubungan antara individu dan

sesamanya, sesame warga Negara, hubungan antara warga Negara dan pemerintahan

Negara, hubungan natara Negara ini dengan Negara lain, yang semuanya itu terdapat

dalam cabang-cabang hukum baik berupa hukum nasional maupun hukum

internasional.

Berdasarkan doktrin Negara hukum yang dianut UUD 1945, pemerintah

mempunyai hak untuk mendapatkan tanah, untuk pembangunan fasilitas kepentingan

umum antara lain dengan:

a) Jual beli

b) Pencabutan hak (onteigening)

c) Perampasan (Verbeurdverklaring)

d) Nasionalisasi

Pemerintah mendapatkan tanah untuk kepentingan pembangunan dapat dilakukan

dengan cara jual beli yaitu dengan kesepakatan, tanpa paksaan yang dilakukan secara

sukarela (voluntary) dari pemilik tanah. Antara pemerintah yang membutuhkan tanah

dan masyarakat pemilik tanah terlebih dahulu harus ada consensus atau kesepakatan.

Dan dilaksanakan dengan memperhatikan asas-asas vacta sunt servanda (janji adalah

mengikat), partij outonomie (kebebasan berkontrak) dan te goeder troeuw (itikad

baik). Sedangkan pemerintah mendapatkan tanah dengan cara pencabutan hak, adalah

dengan cara paksa (compulsory) dengan cara ganti rugi.

Prosedur jual beli hanya dapat dilakukan bagi tanah-tanah yang telah

mempunyai sertifikat, melalui PPAT. Sedangkan tanah yang belum mempunyai

sertifikat dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak dengan ganti rugi. Namun

5

Page 6: Ganti Rugi Atas Pembebasan Hak Atas Tanah Yang Dikaitkan Dengan Fungsi Social

pelaksanaannya juga harus dilakukan dengan syarat-syarat teknis yang sama dengan

tanah bersertfikat.

Pencabutan tanah (ontigening) dapat dilakukan oleh pemerintah untuk

pembangunan berbagai fasilitas kepentingan umum. Pencabutan hak tersebut tanpa

perlu adanya kesepakatan dari sipemilik/ yang menguasai tanah. Tetapi harus

dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian, jika tidak maka tindakan itu akan

menympangkan rasa keadilan, karena hal ini erat sekali kaitannya dengan hak asasi

manusia. Dengan demikian berdasarkan hal tersebut, maka pencabutan hak atas tanah

masyarakat harus dilakukan dengan ganti rugi yang layak. Sejalan dengan prinsip rule

of law sebagai suatu sendi dari suatu Negara hukum (rechtstaat), maka Negara harus

melindungi hak asasi manusia dan menjamin keadilan bagi warga Negaranya.

Namun kalau kita telusuri UUD 1945, sebagai dasar kehidupan Negara kita,

tidaklah dapat kita temukan suatu ketentuan yang tegas mengenai pencabutan atas

tanah (onteigening). Tetapi mengenai hal ini ada diatur dengan tegas dalam konstitusi

RIS dan UUDS 1950. Dalam UUPA, tidak mengenaka danya suatu perampasan

(penyitaan) tanah seseorang untuk pembangunan, kecuali karena suatu kejahatan,

demikian juga tidak mungkin karena pandangan politik seseotrang, tetapi harus

dengan ganti rugi.

Pembangunan nasional, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk

kepentingan umum memerlukan bidang tanah yang cukup dan untuk itu

pengadaannya perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya. Pelaksanaan pengadaan tanah

dilakukan dengan memperhatikan peran tanah dalam kehidupan manusia dan prinsip

penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Hal itu harus diusahakan dengan

cara yang seimbang dan untuk tingkat pertama ditempuh dengan cara musyawarah

langsung dengan para pemegang hak atas tanah.

Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum

dilakukan dengan prinsip keadilan, sebagaimana yang dimaksud dalam konsideran

keppres No. 55 tahun 1993, yaitu dengan penghormatan terhadap hak-hak atas tanah

yang diusahakan dengan cara seimbang dan dilakukan dengan cara musyawarah.

Perlakuan yang seimbang antara pemilik tanah dan yang membutuhkan tanah adalah

merupakan pemenuhan rasa keadilan bagi masing-masing pihak. Dalam hal ini maka

6

Page 7: Ganti Rugi Atas Pembebasan Hak Atas Tanah Yang Dikaitkan Dengan Fungsi Social

pemerintah harus bertindak secara adil dan dlaksanakan dengan etika moral yang

tinggi.

Berdasarkan hal tersebut, meskipun dalam perkembangan peraturan dan kebijakan

pengadaan tanahuntuk kepentingan umu, baik yang dilakukan dengan cara

pencabutan, pembebasan, dan pelepasan hak sebagaimana diatur dalam undang-

undang mengenai pengadaan tanah, secara substantif telah tertuang dalam norma-

norma ketiga peraturan tersebut mengandung unsure keadilan.. tetapi dalam praktek

pelaksanaannya, tindakan pemerintah banyak yang melanggar rasa keadilan

masyarakat, sehingga masyarakat yang empunya tanah seringkali dirugikan. Dengan

demikian walaupun norma hukum secara substantive telah mengakomodasi prinsip-

prinsip keadilan, tetapi apabila pemerintah tidak punya itikad dan kemauan secara

moril dan mempunyai political will untuk melaksanakannya, amak apapun

peraturannya tidak akan membawa manfaat bagi masyarakat.

Seyogianya pemerintah menegakkan keadilan diantara orang-orang yang

bersengketa dengan mengambil tindakan yang mencakup suatu tindak pemilihan yang

tidak memihak dan tidak kuatir terhadap suatu solusi karena perselisihan menurut

perintah undang-undang yang menghargai hak-hak manusia dimana undang-undang

melindunginya.

LEMBAGA PENGADAAN TANAH

Lembaga pengadaan tanah dengan cara pelepasan atau penyerahan hak yang

diatur dalam peraturan presiden no. 36/2005 yang menggantikan keputusan presiden

No. 55 tahun 1993 dan telah diubah lagi dengan peraturan presiden no. 65 tahun 2006

merupakan realisasi dari konsekuensi salah satu sifat pencabutan hak yaitu sebagai

satu-satu nya jalan terakhir untuk mendapatkan tanah karena pemilikanya tidak setuju.

Lembaga ini sebelumnya lebih dikenal sebagai lembaga pembebasan tanah.

Menurut pasal 1 butir 3 peraturan presiden no. 65 tahun 2006 Pengadaan tanah

adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi

kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-

benda yang berkaitan dengan tanah.

7

Page 8: Ganti Rugi Atas Pembebasan Hak Atas Tanah Yang Dikaitkan Dengan Fungsi Social

B. Ganti Rugi Atas Pembebasan Hak Atas Tanah yang Dikaitkan dengan Fungsi

Sosial

I. Tinjauan Umum Ganti RugiGanti rugi dapat ditinjau dari dua sudut, yaitu dari sudut KUHPerdata dan sudua UU Pokok Agraria yaitu

Pertama,.Menurut KUHPerdata tinjauan tentang ganti rugi meliputi persoalan yang menyangkut, apa yang dimaksud dengan ganti rugi, bilaman ganti rugi itu timbul dan apa ukuran ganti rugi itu serta bagaiman peraturannya dalam UU. Dalam pasal 1243 KUHPerdata dirumuskan :

Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberitakan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui tenggang waktu yang talah ditentukan.

Berdasarkan ketentuan tersebut, bahwa ganti kerugian itu adalah karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, at5au sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Artinya ganti rugi itu adalh kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi, kerugian wajib diganti oleh debitur terhitumh sejak ia dinyatakan lalai.

Selanjutnya KUHPerdata menegaskan bahwa ganti rugi itu terdiri dari tiga unsure yaitu: biaya, rugi, dan bunga, kecuali wanprestasi itu dapat dibuktikan karena adanya overmacht dan tidak ada itikad buruk dari debitur. Gnti rugi yang dapat dituntut penggantiannya adalah atas rugi yang dideritanya dan keuntungan yang sedianya harus dinikmatinya.

Biaya, rugi dan bunga dalam bahasa Belanda sering disebut kosten, schaden en intersten. Yang dimaksud dengan biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyatanya sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Rugi atau kerugian adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan debitur yang diakibatkan kelalaian debitur atau wanprestasi. Sedangkan yang dimaksud dengan bunga adalah rugi yang berupa kehilanagan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh debitur.

Walaupun debitur telah melakukan wanprestasi diharuskan membayar ganti rugi kepada kreditur, namun Undang-undang masih memberikan pembatasan-pembatasan yaitu : dalam hal ganti rugi yang bagaimana yang seharusnya dibayar oleh debitur atas tuntutan kreditur. Pembatasan-pembatasan itu sifatnya sebagai

8

Page 9: Ganti Rugi Atas Pembebasan Hak Atas Tanah Yang Dikaitkan Dengan Fungsi Social

perlindungan undang-undang terhadap debitur dari perbuatan sewenang-wenang pihak debitur. Pembatasan-pembatasan tersebut adalah debitur hanya diwajibkan mengganti biaya, kerugian dan bunga yang diharapkan atau sedianya dapat diduga pada waktu perikatan diadakan kecuali jika tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh karena tipu daya yang dilakukannya. Bahkan jika tidak dipenuhinya karena tipu daya debitur maka penggantian kerugian dan bunga yang menyebabkan kreditur menderita kerugian dan kehilangan keuntungan, hanya mencakup hal-hal yang menjadi akibat langsung dari tidak dilaksanakannya perikatan itu.

Dari hal tersebut diatas dapat diketahui bahwa ada dua pembatasan kerugian yaitu

1. Kerugian yang diduga ketika membuat perikatan2. kerugian sebagai akibat lAngsung dari wanprestasi (lalai)

Dua macam kerugian inilah yang harus dibayar oleh debitur kepada kreditur sebagai akibat dari wanprestasi. Jadi, tegasnya ganti rugi hanya.dapat diwajibkan terhadap kerugian nyata yang dapat diduga atau diperkirakan pada saat perikatan itu diadakan yang timbul akibat ingkar janji atau wanprestasi. Jumlahnya ditentukan dengan suatu perbandingan diantara kekayaan-kekayaan sesudah terjadinya ingkar janji/wanprestasi dan keadaan kekayaan seandainya tidak terjadi ingkar janji (wanprestasi) sebelumnya. Atau yang dapat diduga ketika perikatan dilahirkan dan apa yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi / ingkar janji. Pada umumnya, debitur hanya memberikan ganti rugi kalau gantirugi berhubungan langsung dengan ingkar janji.

Persyaratan “ Dapat diduga” tidak hanya ditujukan kepada kemungkinan timbulnys kerugian saja melainkan juga meliputi besarnya jumlah kerugian. Jika jumlah kerugian itu melampaui batas yang dapat diduga maka kelebihan yang melampaui batas itu tidak boleh dibebankan kepada debitur. Kecuali jiak debitur ternyata telah melakukan tipu daya.

Persyaratan adantya akibat langsung dari wanprestasi sebagaimana yang disebutkan diatas maka hal ini membawa kepada teori Kausalitas yaitu :

1. Teori condition sine qua non, dari Von Buri.2. Teori Adequate, dari Von Kries

Menurut teori condition sine qua non, setiap peristiwa adalah penting dan menyebabkan terjadinya akibat. Teori ini terlalu luas sehingga sulit dipakai menentukan terjadinya akibat. Sedangkan teori Adequate lebih terbatas lagi. Yang dimaksud dengan akibat langsung adalah akibat yang menurut pengalaman manusia yang normal apat diharapkan atau diduga akan terjadi. Dalam hubungan ini debitur berdasarkan pengalaman yang normal dapat menduga bahwa dengan

9

Page 10: Ganti Rugi Atas Pembebasan Hak Atas Tanah Yang Dikaitkan Dengan Fungsi Social

adanya wanprestasi ituakan timbul kerugian bagi kreditur. Dalam perjanjian jual beli misalnya, penjual dapaty menduga bahwa pembeli akan menderita kerugian jika barang yang dibelinya tidak dating. Kerugian yang diduga akan terjadi itu sebagai akibat langsung tidak dikirimnya barang oleh penjual yang wanprestasi.

Undang-undang tidak ada menentukan atau memberi penjelasan tentang teori apa yang akan dipergunakan untuk mementukan adanya hubungan sebab akibat tentang terjadinya suatu peristiwa. Tetapi dalam praktek peradilan ternyata yang dipakai adalah teori adequate dari Von Kries. Ajaran ini mengemuklakan bahwa ukuran untuk menentukan sebab dalam pengertian hukum adalah apabila dalam peristiwa secara langsung menurut pengalaman manusia dapat diharapkan menimbulkan akibat tertentu.

Undang-undang juga tidak memberi penjelasan tentang apa yang disebutkan akibat langsung dari ingkar janji, maka hal ini dapat dipecahkan dalam ajaran adequate yamg dairumuskan sebagai berikut : suatu peristiwa adalah akibat langsung dari peristiwa apabila menurut pengalaman manusia yang normal. Dari peristiwa tadi diharapkan akibat tertentu, misalnya sutu panitia sudah mengadakan suatu perjanjian untuk mengadakan suatu pertunjukan dengan suatu rombongan penyani dan panitia sudah sampai persiapan terakhir untuk mengadakan pertunjukan tersebut. Tiba-toba rombongan penyanyi itu tidak memenuhi janjinya kerugisn yang diterima panitia adalah merupakan akibat langsung dari tidak memenuhinya prestasi.

Selain dari pembatasn kerugian yang telah diuraikan diatas masih ada lagi pembatasan pembayaran ganti rugi tersebut yaitu dalam perjanjian yang pretasinya berupa pembayaran sejumlah uang, hal ini diatur dalam pasal 1250 KUHPerdata yang merumuskan

1. Dalam perikatan yang hanya berhubungan dengan sejumlah uang penggantian biaya, kerugian, dan bunga yang timbul karena keterlambatan pelaksanaanya hanya terdiri atas lima yang ditentukan ata sundang-undang, tanpa mengurangi berlakunya undanmg-undang khusus.

2. Penggantian biaya, kerugian dan bunga itu, tanpa perlu dibuktikan oleh adanya suatu kerugian oleh kreditur.

3. Pengganti biaya, kerugian dan bunga itu, baru wajib dibayar sejak dimuka pengadilan, kecuali jika undang-undang mengatakan hal itu belaku demi hukum.

Pembayaran ganti rugi berupa bunga adalah bunga karena lalainya atau terlambatnya membayar sejumlah uang itu. Bunga yang harus dibayar karena lalai disebut “moratoir interest” sebagai hukuman bagi debitur. Besarnya bunga itu adalh 6% setahun, tanpa mengurangi ketentuan lainnya dengan undang-undang yang menetapkan bunga yang lebih tinggi (Stb.1848/22 jo Stb. 1849/63). Dan menurut pasal 1250 KUHPerdata, bunga yang dituntut tidak boleh melebihi persentasi yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut kecuali dalam

10

Page 11: Ganti Rugi Atas Pembebasan Hak Atas Tanah Yang Dikaitkan Dengan Fungsi Social

perjanjian telah ditentukan cara perhitungan atau besarnya bunga itu, maka yang diberlakukan adalah apa yang telah diperjanjikan. Jika ditentukan bahwa bunga tersebut baru dihitung sejak dituntutnya ke pengadilan atau sejak dimasukkannya surat gugatan.

Bertolak dari pengertian ganti rugi yang diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ganti rugi menurut hukum perdata adalah dikaitkan dengan adanya wanprestasi, sehingga siapa yang wanprestasi akan dihukum untuk membayar ganti rugi, berupa biaya, rugi dan bunga berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan.

Kedua, dalam Undang-undang Pokok Agraria yang berkaitan dengan pencabutan hak atas tanah, diatur dalam Pasal 18 yang berbunyi : “untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dam Negara serta kepentingan bersama dan rakyat hal-hak atas tanah dapat docabut, dengan memberikan gantirugi yang layak dan menurut cara ynag diatur dengan undang-undang.

Sebagai realisasi dari ketentuan pasal 18 UUPA, maka pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksana yaitu UU No. 20 tahun 1961, tentang Pencabutan hak-hak atas tanah dan Benda-benda yang ada diatasnya, yaitu bahwa pencabutan hak-hk atas tanah dan benda-benda yang ada diatasny, supaya hanya dilaksanakan benar-benar umtuk kepentingan umum dan diakukan dengn hati-hati seeeeerta cara-cara yang adil dan bijaksana, segala sesuatunya sesuai dengan ketentuan-ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Cara pengadaan tanah yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961 dilakukan dengan lembaga pencabutan hak atas tanah. Cara ini mengandung hakekeat dan tindakan hukum yang berbeda jika dibandingkan dengan cara-cara pelepasan hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam Keppres No. 55 Tahun 1993.

Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang sebelumnya disebut sebagai pembebasan tanah adalah merupakan kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hk atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Salah satu kunci yang kelihatannya juga cukup menentukan dalam perbuatan hukum diatas itu adalah yang berkenaan dengan ganti rugi dalam pelepasam hak atau pembebasan tanah itu merupakan imbalan sewbagai pengganti nilai atas tanah yang diserahakan oleh pemilik atau pemegang hak atas tanah. Mengenai pencabutan atau pelepasan hak atas tanah A.P.Parlindungan menyatakan : Orang yang dicabut haknya itu tidak berada dalam keadaaan lebih miskin ataupun menjadi lebih miskin setelah pencabutan hak tersebut, ataupun akan menjadi miskin kelak karena uang pembayaran ganti rugi itu telah habis dikonsumsi. Minimal dia harus dalam situasi ekonomi yang sekurang-kurangnya sama seperti yang dicabut haknya, syukur kalau bertambah lebih baik.

11

Page 12: Ganti Rugi Atas Pembebasan Hak Atas Tanah Yang Dikaitkan Dengan Fungsi Social

II. Syarat-syarat Persetujuan Ganti Rugi Tanah

Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagaimana yang dirumuskan pada pasal 1 butir 2 Keppres No. 55 Tahun 1993 adalah merupakan ke kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hk atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Berdasarkan rumusan tersebut berarti bahwa pelepasan ataupenyerahan hak atas tanah tidak dapat dibenarkan dengan cara-cara paksaan/ atau tanpa kesepakatan dari pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka kegiatan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagai dasar hukum materilnya adalah hukum perdata yang terletak dalam bidang hukum perikatan. Perbutn hukum untuk melepaskan hubungan hukum pemegng hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya, tergantung kepada ada tidaknya kesepakatan atau persetujuam diantara kedua belah pihak. Hal ini berarti bahwa kesepakatan hukum tersebut harus memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 1320 KUHPerdata.

Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata untuk sahnya sutu perjnjian harus memenuhi empat syarat yaitu :

1. Adanya kesepakatan atau persetujuan antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (consensus)

2. Adanya kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian3. Adanya suatu hal tertentu4. Adanya suatu sebab yang halal.

Yang dimaksud dengan persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seia-sekata antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat itu. Pokok perjanjian itu berupa objek perjanjian dan syarat-syarat perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka mengkehendaki suatu yang sama secara timbale balik. Dengan demikian persetujuan sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam perundingan.

Persetujuan kehendak dari kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu, harus dilakukan secara bebas yaitu tanpa paksaan, kekhilafan, dan penipuan sebagaiman yang diatur dalam pasal 1321, 1322 dan 1328 KUHPerdata.

Persetujuan kehendak mengenai pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang diatur dalam UUPA No. 5 Tahun 1960, UU No. 20 Tahun !961, Peraturan Pemerintah No Tahun !973 , PMDN No. 15 Tahun 1975, dan Keppres No 55 Tahun 1993 harus dilakukan dengan musyawarah. Prinsip musyawarah untuk mencapai kesepakatan antara pemegang hak atas tanah dengan pihak yang memerlukan tanah adalah meupakan unsur yang esensil, maka oleh karena itu,

12

Page 13: Ganti Rugi Atas Pembebasan Hak Atas Tanah Yang Dikaitkan Dengan Fungsi Social

perbuatan hukum untuk pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya tergantung ada tidaknya kesepakatan atau persetujuan kehendak diantar kedua belah pihak. Hal ini berarti perbuatan hukum tersebut harus memperhatikan syarat-syarat sebagaiman yang ditentukan pada pasal 1320 KUHPerdata jo. 1338 KUHPerdata.

Pelaksanaan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah untuk kepentingan umum, juga harus dilaksanakan dengn itikad baik yang diatur dalam pasal 1338 ayatr (3)KUHPerdata, maka dalam pelaksanaan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah untuk kepentingan umum tidak boleh ada unsure pksaan atau ancaman dari pihak manapun juga. Para pihak berhak unyuk menolak apa yang ditawarkan atau yang dimintakan pihak lain baik mengenai penyerahan tanahnya maupun mengenai jumlah ganti ruginya.

Dalam praktek proses kegiatan untuk saling mendengar dan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kerelaan atau persetujuan kehendak antara pihak-pihak sangat sulit tercapai atau sulitdilaksanakan apabila yang bersangkutan tidak mempunyai kesadaran hukum, apalagi salah satu pihak tidak mengindahkan norma kepatutan dan kesusilaan.

III.Bentuk-bentuk Ganti Rugi

Pada asanya bentuk ganti rugi yang lazim diergunakan adalah uang. Oleh karena menurut para ahli hukum perdata maupun yurisprudensi, uang merupakan alat yang paling prakttisss, yang paling sedikt menimbulkan masalah dalam menyelesaikan suatu sengketa. Selain uang masih ada bentuk-bentuk lain yang diperlukan sebagai bentuk ganti rugi, yaitu pemulihan keadaan semula (in natura) dan larangan untuk mengulangi. Keduany ini kalau tidak ditepati dapat dierkuat dengan uang paksa. Jadi haruslah diingat bahwa uang paksa itu bukanlah merupakan wujud dari ganti rugi. Berdasarakan hal tersebut, maka bentuk ganti rug itu adalah berupa uang, bukan barang yang diperjanjiakn itu.

Ada juga terjadi kerugian dinilai dalam bentuk benda ( in natura) misalnya : A merusakkan benda yang dititipkan kepadanya oleh B, dapat dituntut ganti rugi dalam mereparasi benda itu, sehingga kembali ke keadaan semula. Dalam pada itu kreditur dapat juga menuntut agar diperhitungkan kerugian yang akan dating misalmya : A menderita kecelakaan karena dilanggar B dengan sepeda, berhak menuntut ganti rugi atas biaya-biaya perawatan yang akan dibayarkannya kepada dokter. Inilah yang dimaksud kerugian yang dapat diduga atau yang diperkirakan sebelumnya.

Bentuk ganti rugi dalam pencabutan, pembebasan dan pelepasan hak-hak atas tanah berbeda dengan ganti rugi dalam KUHPerdata tersebut diatas, dalam hal ini pembebasan, pencabutan dan pelepasan tanah memiliki suatu makna yang

13

Page 14: Ganti Rugi Atas Pembebasan Hak Atas Tanah Yang Dikaitkan Dengan Fungsi Social

berbeda, maksudnya pembyaran ganti rugi dengan sejumlah uang diberikan kepda pemilik tanah sebagai kompensai atas dilepaskannya ahk atas tanahnya sesuai dengan harga pasar dan memperhitungkan kerugian lain yang ada diatas tanahnya. Jadai gantirugi yang utama adalah merupakan penggantian kerugian, bilamana harta seorang pemilik yang dicabut dari harta pribadinya. Nilai ganti rugi yang dibayar tersebut harus sama dengan nilai yang diambil padanya, tujuan dari ganti rugi itu untuk mendapatkan uang yang nilainya setara dengan yang diambil.

Berdasarkan Keppres No 55 Tahun 1993 dalam pasal 13 merinci bentuk-bentuk ganti rugi dapat berupa :

1. uang ;2. tanah pengganti ;3. pemukiman kembali]4. gabungan dari dua atau lebih untuk ganti rugi sebagaimana dimaksud

dalam huruf a, b, dan c;5. bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Hanya sayangnya, dalam pasal 13 ini ganti rugi tidak juga diperhitungkan kerugian karena kepindsahan ketempat lain, atau kehilangan pencaharian ditempat yang lam,namun mungkin saja kelak nerkembang suatu benruk kerugian lain sebagai tafsiran pasal 13. sedangkan sebelumnya pada pasal 6 aya (2) PMDN No. 15 Tahun 1975 disebutkan bentuk ganti rugi dapat berupa uang, tanah, dan atau fasilitas lain. Batasan ini lebih sederhana jika dibandingkan dengan yang diatur dalam Keppres No. 55 tahun 1993.

IV. Cara Penetapan dan Yang Berhak Menerima Ganti Rugi

1. Cara Penetapan Ganti RugiPenentuan tentang besarnya ganti rugi jik ditinjau dari sudut hukum

perdata sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya adalah, bahwa ganti rugi dapat ditentukan berupa penggantian biya, rugi dan bunga yang nyata-nyata telah atau sedianya dapat diduga sebelum perikatan dilahirkan. Kerugian tersebut adalah merupakan akibat langsung dari wanprestasi.

Khusus mengenai perjanjian yang pretasinya berhubungan dengan pembayaran dengan sejumlah uang, ganti rugi hanya dapat dituntut semata-mata karena terlambatnya prestasi dilaksanakan. Kerugian hanya terdiri dari bunga yang ditentukan oleh undang-undang.

Ketentuan tentang ganti rugi terhadap pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dapat dilihat anatara lain dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 dan Keppres No. 55 Tahun 1993. Berdasarkan pasal PMDN NO. 15 Tahun 19775 ditentukan sebagai berikut :

14

Page 15: Ganti Rugi Atas Pembebasan Hak Atas Tanah Yang Dikaitkan Dengan Fungsi Social

(1) Di dalam mengadakan penafsiran/penetapan mengenai besarnya ganti rugi, Panitita Pembebasan Tanah harus mengadakan musyawarah dengan para pemilik/pemegang hak atas tanah dan/atau benda/tanaman yang ada di atasnya berdasarkan harga umum setempat.

(2) Dalam menetapkan besarny ganti rugi harus diperhatikan pula tentang :

a. Lokasi dan factor –faktor strategis lainnya yang dapat mempengaruhi harga tanah. Demikian pula dalam menettapkan ganti rugi atas bangunan dan tanaman harus berpedoman pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh Dinas Pekerjaan Umum/ Dinas Pertanian Setempat.

b. Bentuk ganti rugi berupa uang, tanah dan atau fasilitas-fasilitas lain;

c. Yang berhak atas ganti rugi itu ialah mereka yang berhak atas tanah/bangunan/tanaman yang ada diatasnya, dengan berpedoman kepada hukum adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam UUPA.

(3) Panitia pembebasan tanah berusaha agar dalam menentukan besarnya ganti rugi terdapat kata sepakat diantar para anggota panitia dengan memperhatikan kehendak dari para pemegang hak atas tanah. Jika terdapat perbedaan tafsiran ganti rugi diantaranya para anggita panitia itu, maka yang dipergunakan adalah harga rata-rata dari tafsiran masing-masing anggota.

(4) Pelaksanaan pembebasan tanah harus dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat.

(5) Keputusan Panitia Pembebasan Tanah mengenai besar/bentuknya ganti rugi tersebut disampaikan kepada instanasi yang memerlukan tanah, para pemegang hak atas tanah dan para anggota panitia yang turut mengambil keputusan.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam menentukan besarnya ganti rugi harus dilakukan musyawarah melalui proses atau kegiatan saling memperhatikan kehendak antara pemegang hak atas tanah dan Panitia Pembebasan tanah untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Dan dalam melakukan penafsiran/penetapan ganti kerugian panitia diharapkan benar-benar mengusahakan tercapainya persetujuan kedua belah pihak berdasarkan musyawarah serta dengan memperhatikan harga umum setempat dan factor-faktor yang lain yang mempengaruhi harga tanah.

Menurut pasal 1 ayat 93) PMDN NO. 15 Tahun 1975 yang dikatakan sebagai harga umum setempat adalah harga dasar yang ditetapkan secara berkala oleh panitia.

15

Page 16: Ganti Rugi Atas Pembebasan Hak Atas Tanah Yang Dikaitkan Dengan Fungsi Social

Menurut keppres No 44 tahun 1993, cara penentuan ganti rugi pelepasan hak atas tanah berbeda dengan yang diatur dalam PMDN NO 15 tahun 1975. pasal 15 Keppres No 55 Tahun 1993, menegaskan bahwa dasar dan cara perhitungan ganti rugi ditetapkan dengan dasar :

a. Harga tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau yang sebenarnya, dengan memperhatikan nilai jual objek Pajak Bumi dan Bangunan yang terakhir untuk tanah yang bersangkutan.

b. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan

c. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.

Selanjutnya dalam pasal 16 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 1994 ditentukan pula :

(1) Panitia memberikan penjelasan kepada kedua belah pihak sebagai bahan musyawarah untuk mufakat, terutama mengenai ganti rugi harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Nilai tanah berdasarkan nilai nyata atau yang sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Objek pajk Bumi dan Bangunan (NJOP) tahun terakhir untuk ytanah yang bersangkutan ;

b. Faktor-faktor yang memperngaruhi harga tanah :1) lokasi tanah2) jenis hak atas tanah3) status penguasaan atas tanah4) peruntukan tanah5) kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata

ruang wilayah 6) prasarana yang tersedia7) fasilitas dan utilitas8) lingkungan9) lain-lain yang mempengaruhi harga tanah

c. nilai taksiran bangunan, tanaman, benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah

(2) Pemegang hak atas tanah dan pemilik bangunan, tanaman da/atau benda-benda yang lain yang terkait dengan tanah yang bersangkutan atau wakil yang ditunjuk menyampaikan keinginanaya mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi

(3) Instansi pemerintah yang memerlukan tanah menyampaikan tanggapan terhadap keinginan pemegang hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) dengan mengacu kepada unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

16

Page 17: Ganti Rugi Atas Pembebasan Hak Atas Tanah Yang Dikaitkan Dengan Fungsi Social

(4) Ganti rugi diupayakan dalam bentuk yang tidak menyebabkan perubahan terhadap pola hidup masyarakat dengan mempertimbangkan kemungkinan dilaksanakannya alih pemukiman ke lokasi yang sesuai.

Penentuan besarnya ganti rugi sebagaimana tersebut di atas jauh lebih maju bila dibandingkan dengan penentuan yang diatur dalam PMDN No. 15 Tahun 1975, yang menentukan bahwa harga dasar tanah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. Sedangkan dalam Keppres No 55 Tahun 1993 ditetapkan atas dasar nilai yang nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun terakhir untuk tanah yang bersngkutan serta memperhatikan fakktor-faktor yang mempengaruhi harga tanah tersebut.

Namun dalam praktk masa lau, sering terjadi yang diamggap sebagai musyawarah untuk menetapkan besarnya ganti rugi lebih dititikberatkan paddd segi formalitanya/formalitas belaka, misalnya ada undangan musyawarah, frekuensi dilakukannyan musyawarah, jumlah yang dihadiri dan sebagainya. Jika dibandingkan dengan masalah substansialnya. Suatu musyawarah untuk dapat menghasilkan kesepakatan harus dilandasi atas kesejajaran antara pihak-pihak yang bermusyawarah dan dilaksanakan tanpa tekana berupa apapun, berupa situasi atau tindakan penekanan dalam berbagai gradasinya baik yang tejadi dalam pertemuan maupun di luar pertemuan, yng secara psikologis sangat mempengaruhi masyarakat yang akan kehilangan hak atas tanahnya. Walaupun secara procedural musyawarah telah memenuhi syarat, namun apabila keputusn yang dihasilkan dilandasi adanya tekanan, maka tidak dapat dikatakan telah tercapai kesepakatan, karena tekanan itu merupakan perwujudan dari pemaksaan kehendak satu pihak untuk menekan pihak lain agar mengikuti kehendaknya. Disamping itu, dalam proses musyawarah sering terlibat orang-orang diluar kepanitiaan yang resmi, misalnya aparat militer biasanya berdalih untuk mengadakan pengamanan yang tidak jelas fungsi dan tanggung jawabnya, sehingga hal ini akan menguburkan arti musyawarah secara substansal.

Munculnya kasus-kasus selama ini, merupakan bukti bahwa musyawarah tidak berjalan sebagaiman mestinya. Persoalan ynag sering dikemukakan oleh para pemegang hak atas tanah adalah ketika musyawarah dilakukan, mereka diminta untuk mnerima besarnya ganti rugi yang telah ditetapkan secara sepihak oleh panitia dan tidak jarang aparat pemerintah mendekatimereka dengan kekuasaan. Padahal yang diharapkan oleh pemegang hak atas tanah hanyalah kehidupan yang lebih baik atau paling tidak sama dengan keadaaan mereka sebelum digusur.

17

Page 18: Ganti Rugi Atas Pembebasan Hak Atas Tanah Yang Dikaitkan Dengan Fungsi Social

2. Dasar dan Kriteria Pemberian Ganti RugiYang berhak menerima ganti rugi bukan hanya pemilik yang

melepaskan atau menyerahkan hak atas tanah melainkan juga pemilik bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda yang lain yang terkait dengan tanah yang bersangkutan. Karena di dalam masyarakat bias saja pemilik tanah sekaligus sebagai pemilik bangunan dan tanaman dan bisa juga pemilik tanah berbeda dengn pemilik bangunan maupun tanaman serta benda-benda yang diatasnya.

Dalam upaya pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum ada perbedaan antara pemberian ganti rugi kepada pemegang hak atas tanah, tetapi menempati/memakai tanah yang akan dibebaskan. Bagi mereka yang tidak mempunyai hak atas tanah, diberikan uang santunan/uang pesangon. Besarnya uang pesango/santunan yang diberikan kepada yang memakai tanah tanpa suatu hak ditetapkan oleh panitia menurut pedoman yang ditetapkan oleh Bupti/Walikotamadya.

Terhadap tanah yang digarap tanpa izin yang ehak atau kuasanya, penyelesaian dilkukan berdasarkan UU No 51 Prp Tahun 1960, tentang larangan Pemakain Tanpa yang Berhak Atau Kuasanya. Hal ini berarti bagi penggarap atau pihak yang menguasai tanah secara fisik tanpa suatu alas hak. Berdasarkan ketentuan ini bagi mereka yang menguasai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya tidak diberikan ganti rugi, namun harus diselesaikan secara musyawarah dan memberikan uang pesangon/santunan bagi mereka.

Jika kita mengacu pada Keputusan presiden No 55 tahun 1993 jo Peraturan Menteri Agrria No 1 Tahun 1994, maka bagi mereka yang tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah, apabila tanahnya diambil untuk pembangunan kepentingan umum mereka tidak berhak atas ganti rugi tersebut. Mereka ini hanya berhak atas uang santunan, yang besarnya ditentukan oleh Bupati?Walikota. taksiran nilai tanah menurut jenis hak untuk tanah hak milik yang belum bersertifikat dinilai 90%.

Ketentuan ini masih belum jelas atau rancu karena tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai tanah milik yang bersertifikat sebagai tanda bukti atas tanah untuk mengganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk pembngunan kepentingan umum ini perlu ditinjau lembali. Sangatlah tidak adil apabila mereka mempunyai mempunyai hak atas tanah, tetapi tidak mempunyai bukti-bukti formal hany diberikan uang santunan/pesangon.

Penggantian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat diberikan dengan bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat. Yang dikatakan ulayat adalah tanah masyarakat hukum adat yang tidak mengandung unsur kepemilikan

18

Page 19: Ganti Rugi Atas Pembebasan Hak Atas Tanah Yang Dikaitkan Dengan Fungsi Social

perseorangan. Begitu juga terhadap bidang tanah wakaf ganti kerugiannya diberikan dalam bentuk tanah, bangunan dan perlengkapan yang diperlukan.

3. Kriteria penetapan Standar Harga DasarDengan berlakunya Keppres No 55 tahun 1993, dasar dan cara perhitungan ganti rugi ditetapkan atas dasar harga dasar yang sebenarnya, nilai jual bangunan dan nilsi jual tanaman. Disamping itu, bentuk dan besarnya ganti rugi ditetapkan dengan musyawarah. Dengan memperhitungkan harga tanag yang sebebnarnya/nilai tanah yang berdasarkan nilai nyata, harus dilakukan dengan memeperhatikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tahun terakhir tana yang bersangkutan. Namun Keppres No 55 Tahun 1993 tidak ada mengatur standard baku dalam menetapkan NJOP.

UU No. 12 tahun 1985, tantang Pajak Bumi dan Bangunan, menyatakan bahwa dasar pengenaan pajak adalah NJOP. Menurut UU tersebut yang dimaksud dengan NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui harga dengan objek lain yang sejenis yang telah diketahui nilai jualnya. NJOP juga bias diperoleh melalui objek pajak pengganti. Besarnya NJOP ditentukan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah-daerah tertentu sesuai dengan perkembangannya dapat ditetapkan setiap tahun.

V. Konsinyasi/Penawaran Pembayaran Tunai diikuti Penitipan

Konsinyasi/ Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penitipan, adalah merupakan salah satu cara untuk menghapuskan suatu perikatan, sebagaiman yang diatur dalam Pasal 1404 KUHPerdata yang merumuskan :

(1) Jika Kreditur menolak pembayaran, maka debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas apa yang harus dibayarnya; dan jika kreditur menolaknya, maka debitur dapat menitipkan uang atau barangnya ke pengadilan.

(2) Penawaran demikian, yang diikuti dengan penitipan, membebaskan debitur, dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu dilakukan menurut cara-cara yang diatur oleh undang-undang; sedangkan apa yang dititipkan secara demikan adalah atas tanggungan kreditur.

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, suatu perikatan dapat berakhir dengan suatu konsinyasi, dengan syarat bila kreditur menolak pembayaran dari debitur, dan konsinyasi tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang diatur oleh UU. Maka dalam hal pembebasan, pelepasan hak atas tanah, bentuk dan besarnya ganti rugi yang telah ditetapkan panitia, walaupun

19

Page 20: Ganti Rugi Atas Pembebasan Hak Atas Tanah Yang Dikaitkan Dengan Fungsi Social

pemilik tanah belum bersedia namun dalamprakteknya pihak yang membutuhkan tanah melakukan penitipan pembayaran tunai ke Pengadilan Negeri agar mereka dapat melakukan pengosongan tanah dan melakukan pembangunan. Kenyataan ini adalah sangat merugikan pihak pemilik tanah, hal ini disebabkan belum adanya kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi.

Untuk sahnya suatu konsinyasi harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 1405 KUHPerdata. Sedangkan agar penyimpanan atau penitipan barang atau uang yang dilakukan oleh debitur itu sah menrut hokum haruslah berdasrkan pasal 1406 KUHPerdata. Ketentuan dari 1405 KUHPErdata sampai dengan 1407 tersebut adalah prosedur yang harus dipenuhi untuk melakukan konsinyasi atau penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan barang atau uang yang ditawarkan,

20