gambus sebagai subkultur musikal religius - usd … · satu pertunjukan musik gambus al-asyik di...

155
GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS STUDI KASUS PRAKSIS GAMBUS KELOMPOK “AL-ASYIK” AMBULU, JEMBER - JAWA TIMUR Tesis Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Nur Imroatus Sholikhah NIM: 036322001 MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Upload: phamkiet

Post on 07-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS

STUDI KASUS PRAKSIS GAMBUS KELOMPOK “AL-ASYIK”

AMBULU, JEMBER - JAWA TIMUR

Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya,

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Nur Imroatus Sholikhah NIM: 036322001

MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2008

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 2: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

i

GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS

STUDI KASUS PRAKSIS GAMBUS KELOMPOK “AL-ASYIK”

AMBULU, JEMBER - JAWA TIMUR

Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya,

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Nur Imroatus Sholikhah NIM: 036322001

MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2008

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 3: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

ii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 4: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

iii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 5: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

iv

PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Gambus Sebagai Subkultur

Musikal Religius: Studi Kasus Praksis Gambus Kelompok Al-Asyik Ambulu,

Jember-Jawa Timur” merupakan hasil karya dan penelitian saya sendiri. Di

dalam bagian tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk

memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Peminjaman karya-karya

sarjana lain di dalam tesis ini adalah semata-mata untuk keperluan ilmiah

sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 6: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

v

MOTTO Karena sesungguhnya beserta kesulitan ada

kemudahan.

Sungguh, beserta kesulitan ada kemudahan.

(Q.S. Alam Nasyrah: 5-6)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 7: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

vi

PERSEMBAHAN

Untuk Mas Kiki, Zeta dan

Nashwa.

Terimakasih untuk kebaikan

kalian menciptakan banyak energi

yang membuatku tidak berhenti

berusaha

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 8: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

vii

KATA PENGANTAR

Saya sempat merasa menulis tesis merupakan “kutukan” dalam hidup

saya. Tidak ada kata lain yang melingkupi proses tersebut selain susah dan susah

banget. Kalau banyak teman berseloroh saya mencari hiburan dengan “membuat

anak”, itu ada benarnya juga. Meskipun banyak teman yang juga memaklumi

lamanya saya bikin tesis, ya salah satunya karena urusan anak. Akan tetapi, saya

juga perlu meyakinkan bahwa “hiburan dan anak” berbeda urusan dengan

kesusahan saya mengurusi “kutukan” menulis tesis.

Kesusahan pertama jelas pada kemampuan menulis dan membaca teks.

Saya baru yakin kalau S-1 saya betul-betul “gagal” ketika dihadapkan dengan

kenyataan kalau saya tidak bisa menulis sesuai dengan kaidah dan membaca

sesuai maksud. Kesusahan kedua pada kepercayaan diri saya untuk yakin

memakai pendekatan-pendekatan yang ditawarkan IRB. Saya sudah terlanjur

percaya bahwa membuat tulisan itu intinya setuju atau menolak, mendukung atau

mengkritik, deskriptif analisis atau eksplorasi deskriptif. Hingga IRB “memberi

tahu” bahwa tidak perlu setuju atau menolak kalau yang diperlukan cuma

merasakan; merasakan hidup itu memang hidup (kaya iklan, he) dan dapat

dihidupi, bukan sekadar mekanisme dalam sistem.

Untungnya Pak Nardi meyakinkan bahwa meskipun suasana membuat

tesis di IRB terlihat “mengerikan”, tapi stafnya seperti flower in the desert, yang

membuat saya betah. Terutama ketika Pak Nardi sudi menjadi guru belajar tata

bahasa hingga menjadi tempat curhat masalah rumah tangga; Romo Banar yang

selalu siap menjadi “DPR”. Pak Budiawan yang pasti sudi mengingatkan berbagai

keteledoran. Mbak Hengki yang selalu siap ditanya-tanya soal kemungkinan

dimaafkan dari berbagai kelalaian prosedur. Yang lebih menguntungkan lagi, IRB

membuat saya berjodoh dengan Pak Johan yang selalu meng-update dunia

musiknya. Di dalam bimbingan Pak Nardi dan Pak Johan, saya yakin kalau tema

gambus lebih masuk akal bagi saya dari pada tema-tema yang membuat saya

pura-pura mengalaminya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 9: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

viii

Berkah lain saya dapatkan dari teman-teman IRB dan keluarga.

Perempuan-perempuan IRB yang “tahan banting”: mbak Ntis dengan segala

kebaikan dan waktunya menemani proses berburu demi memenuhi berbagai

keperluan tesis dan juga yang tidak terkait dengannya; Mbak Melati dan Mas

Woody, kalau gak ada kalian, saya jamin gak akan ada bunyi musik dalam tesis

saya; Izzah yang selalu rela berlama-lama mendengarkan teori-teori sok tahu saya.

Teman-teman kelas: Pak Toto yang selalu percaya saya bisa nulis; Yus yang

dengan caranya meyakinkan saya kalau musik bukan hal yang rumit; Ferdi yang

memberikan suasana hidup baru bagi “kekuperanku”. Juga adik dan kakak kelas:

Mbak Devi, Linda, Yustina, Wahyudi, Mbak Yeni, dan teman-teman lain yang

tidak dapat saya sebut di sini. Di samping itu, keluarga Jember yang selalu

percaya saya sedang melakukan hal baik dan mendukung dengan ikut- ikutan

membantu mengumpulkan data.

Dengan semua itu, saya yakin bahwa saya sedang menjalani tantangan,

bukan “kutukan”. Tantangan yang hasilnya saya dedikasikan sepenuhnya untuk

kelompok Al-Asyik Ambulu. Terima kasih telah mengajarkan saya arti

“negosiasi” dan asyiknya menjadi orang biasa.

Nur Imroatus S

Januari 2008

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 10: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

ix

ABSTRAK

Memahami Al-Asyik sebagai subkultur musikal religius membutuhkan

tiga hal: pertama, memahami Al-Asyik sebagai bagian dari pembentuk musik; kedua, memahami musik gambus sebagai cara pemain menghidupi bentuk musiknya; ketiga, memahami bahwa dalam praktiknya, bentuk gambus yang dihidupi pemain tidak pernah benar-benar otonom. Ketiga pemahaman tersebut dapat dipakai untuk memahami, mengapa bentuk pertunjukan gambus Al-Asyik disebut religius di Ambulu? Dan, apa pentingnya hal itu bagi kelangsungan hidup bermasyarakat pemainnya?

Gambus disebut religius di Ambulu melalui penilaian dalam mekanisme budaya musikal religius. Dalam medan gambus, penilaian berasal dari ruang religius dan ruang musikal. Ruang religius merupakan arena perebutan legitimasi religius dan ruang musikal merupakan arena perebutan legitimasi musikal. Legitimasi religius di Ambulu didistorsi melalui pemaknaan simbol-simbol religius, antara lain: masjid, pengajian dan musholla. Simbol-simbol tersebut secara dinamis membentuk stuktur bahasa religius yang dipakai sebagai media komunikasi bagi “suara-suara” religius. Sedangkan, legitimasi musikal dipengaruhi oleh persaingan antara bentuk-bentuk musik ruang religius dengan bentuk-bentuk musik yang disediakan oleh industri musik religius tradisi. Untuk dapat mengakses bahasa ruang, pemain harus “peka” dengan bentuk-bentuk yang disediakan setiap ruang.

Bentuk yang diapropriasi pemain dari ruang religius adalah ja’fin. Sedangkan, bentuk yang diapropriasi dari ruang musikal, secara khusus, berasal dari kelompok gambus Balassyik, dalam bentuk sarah dan baladian. Hanya dengan menghidupi ja’fin, bentuk gambus pemain telah dinilai religius. Akan tetapi, habitus dan modal pemain sebagai pemain hadrah dan pemain band, membuat mereka merasa perlu bersaing dengan Balassyik. Persaingan tersebut menghasilkan empat bentuk gambus: pop ja’fin, sarah, baladian, dan dhaifah.

Akan tetapi, bentuk tersebut justru memposisikan “suara” Al-Asyik sebagai suara “bising”; suara yang tidak dapat dipakai untuk berkomunikasi dengan medan gambus religius. Suara yang bahkan diragukan legitimasi religiusnya. Di sisi lain, “suara” tersebut dihidupi sebagai artikulasi kombinasi habitus dengan modal pemain. “suara” tersebut adalah identitas Al-Asyik. Pada posisi ini, identitas Al-Asyik direposisi agar dikenali oleh legitimasi lainnya. Identitas tersebut juga membawa mereka melakukan reposisi dalam ruang religius dan ruang musikal. Lebih jauh, mereka juga mereposisi statusnya. Artinya, Al-Asyik secara sadar tidak sedang ingin bersuara melalui bahasa medan gambus mainstream. Mereka bahkan mengusahakan medannya sendiri. Key words: gambus, subkultur, budaya musikal religius.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 11: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

x

DAFTAR ISI

Hal HALAMAN JUDUL i HALAMAN PERSETUJUAN ii HALAMAN PENGESAHAN iii HALAMAN PERNYATAAN iv MOTTO v PERSEMBAHAN vi KATA PENGANTAR vii ABSTRAK ix DAFTAR ISI x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 B. Rumusan Masalah 4 C. Signifikansi Penelitian 5 D. Tinjauan Pustaka 5

1. Kajian Musik Gambus 6 2. Berbagai Kajian Musik 10

BAB II SOSIOLOGI BUDAYA MUSIKAL 17 A. Musik Sebagai Mentalitas (Music as Mentality) 18 B. Budaya Musikal 21

1. Budaya dan Subkulturnya 22 2. Subkultur Musikal 30

C. Kesimpulan 33 D. Metode Penelitian 35

a. Observasi Awal 35 b. Pengumpulan Data 36 c. Analisis Data 38

BAB III MEDAN GAMBUS AL-ASYIK 40 A. Ruang Religius 42

1. Masjid Besar Sebagai Ruang Distorsif 42 2. Jamaah Pengajian Sebagai Ruang Intensional 48 3. Musholla Sebagai Ruang “Bahasa” 52

B. Ruang Musikal 54 C. Kesimpulan 68

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 12: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

xi

BAB IV GAMBUS SEBAGAI BUDAYA MUSIKAL RELIGIUS 70 A. Ja’fin: Awal perjumpaan 70 B. Sarah dan Baladian: Musik Religius, Selera Komersil 75 C. Dhaifah: Akhir Perjalanan? 83 D. Kesimpulan 90 BAB V IDENTITAS GAMBUS AL-ASYIK 92 A. Identitas Religius Sebagai Konsistensi 92 B. Identitas Musikal Sebagai Cara Bersaing 98 C. Subkultur Sebagai Reposisi Identitas 106

1. Reposisi Religiusitas 108 2. Reposisi Musikal 112 3. Reposisi Status 114

BAB VI KESIMPULAN 117

Daftar Pustaka 121 Lampiran 1. Data Diri Pemain 123 2. Kuesioner 131 3. Daftar Peta

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 13: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Musik merupakan salah satu cara mengenali masyarakat1. Model interaksi yang

sedang dihidupi oleh seseorang atau kelompok tertentu dapat dilihat dari cara

menghidupi musiknya. Salah satu contoh menghidupi musik di Indonesia adalah

kasus “perebutan dangdut” antara Inul dengan Rhoma Irama. “Perebutan” yang

ditekankan justru bukan berasal dari musikalitas, melainkan bentuk ekspresi.

Rhoma mengklaim dangdut yang “benar” adalah dangdut yang diusahakannya 2.

Sedangkan, Inul (yang didukung oleh media) merasa bahwa dangdut adalah seni,

siapa saja boleh berkreasi atasnya.

Musik pada posisi ini merupakan arena perebutan makna. Pada akhirnya,

suatu jenis musik “harus siap” dimaknai oleh pendukungnya. Hampir tidak ada

satu jenis musik pun yang bebas dari jaring pemaknaan. Apa yang disebut sebagai

musik perjuangan, musik rohani, musik tradisi, musik religius, musik setan, dan

sebagainya, merupakan beberapa contoh musik yang dimaknai. Melalui

pemaknaan inilah orang dapat mengenali perbedaan satu jenis musik dengan

musik lainnya.

1 Dikutip dari pernyataan Dasilva, dkk: “... we understand something social about a group or society by the way that music is lived, by the way it supports and influence lives within that society”. Lihat, Fabio Dasilva, dkk, The Sociology of Music, halm: 1 2 Dalam wawancara dengan Tabloid Nova, Rhoma memposisikan dirinya sebagai “representasi dangdut yang sebenarnya”. Ia mengatakan, “Saya sejak dulu susah payah membangun dangdut dari yang tadinya tingkatan becek, sampai sekarang ini bisa di tengah, dan sekarang jadi primadona. Tiba-tiba, kok, ada pendatang baru yang mencemarkan”. Lihat, www.tabloidnova.com.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 14: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

2

Pada prosesnya, pemaknaan yang ada pada suatu jenis musik tidak hanya

dipakai sebagai pembeda dengan jenis musik lainnya, tapi juga menjadi pembeda

dengan pemaknaan lain yang ada pada jenis musik yang sama. Dangdut Inul

Daratista dan dangdut Rhoma Irama “berkonflik” kurang lebih pada makna

dangdut sebagai musik khas Indonesia. Apa yang khas menurut Inul berbeda

makna dengan Rhoma. Dengan kata lain, pembedaan yang melingkupi wilayah

musik merupakan cara orang mengekspresikan pengalamannya memaknai musik.

Pada kasus musik yang dimaknai sebagai musik religius, orang tidak

banyak memiliki pengalaman mempersoalkan musik jenis apa yang dapat

dimaknai religius. Secara khusus, pengalaman pemaknaan musik religius

diperoleh dari “perdebatan” mengenai sejauh mana jenis musik tertentu

menunjukkan makna religius. Misalnya saja, kelompok band Gigi yang “tiba-tiba”

dipercaya sebagai salah satu kelompok band religius dan mengeluarkan album

religius. Hal yang sama juga terjadi pada band Ungu dan juga Inul dengan album

“Inul Religius”. Padahal, sekitar 15 tahun lalu sebagian besar orang masih

meyakini Nasida Ria dan Bimbo sebagai “biang” artis musik religius.

Contoh fenomena musik religius di atas banyak terjadi pada ragam musik

industri. Dalam ragam musik tradisi, terutama tradisi Islam, sebutan musik

religius hampir selalu melekat pada jenis musik tertentu, misalnya: hadrah,

samroh (qasidah), diba’ (barjanji), saman, gambus, dan sebagainya. Makna dan

pertunjukannya pun memiliki pola dan bentuk yang relatif mapan. Pada kasus

musik gambus, umumnya orang memiliki pemaknaan yang hampir sama tentang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 15: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

3

religiusitas gambus; musik ala padang pasir, dimainkan oleh orang-orang

keturunan Arab dengan kostum jubah putih (gamis) dan syair bahasa Arab.

Akan tetapi, penilaian seperti itu pudar kalau orang menyaksikan salah

satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok

musik gambus pada umumnya yang dimainkan oleh keturunan Arab, seluruh

pemain Al-Asyik adalah remaja keturunan Jawa. Beberapa dari pemain terlihat

menggunakan kemeja dan celana panjang seperti hendak nongkrong di

poskamling. Sebagian dari mereka terlihat ada juga yang menggunakan peci. Alat

musik yang dipakai pun tidak hanya berupa marwas dan gitar gambus, tapi juga

keyboard, bass, biola, gitar rythm, drum dan juga tamborin. Tariannya tidak

banyak berbeda dengan tarian dangdut. Bagi orang yang belum mengenal gambus,

kemungkinan besar tidak akan menduga kalau pertunjukan tersebut adalah

pertunjukan musik religius. Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa Arab

(pop Timur Tengah).

Fenomena Al-Asyik bisa saja memunculkan pertanyaan; Apakah musik

gambus semacam ini masih bisa disebut musik religius?3 Atau, benarkah generasi

muda Islam tidak mampu lagi menampilkan musik religius dengan cara yang

Islami? Akan tetapi, keprihatinan semacam ini umumnya didasari pada pencarian

“doktrin” mengenai apa yang disebut musik religius4. Jika hal tersebut dilakukan

3 Pertanyaan yang sama juga pernah diajukan seorang musikus yang telah mapan (menurut tulisan tersebut) kepada Gus Dur, ketika melihat fenomena musik-musik religius di televisi, yang menurutnya bermutu rendah. Ia mengatakan, “Benarkah yang dituju adalah seni ‘musik agama yang akan membawa kepada kesadaran orang dan menyentuh getaran rasa kebesaran Tuhan’? Kalau benar itu yang dituju, dengan kualitas seperti itu, apa bukan sebaliknya yang terjadi?”. Lihat, Abdurrahman Wahid, Qasidah dalam Tuhan Tidak Perlu Dibela, halm: 30. 4 Yusuf Al-Qardlawi melakukan rumusan teologis (doktrin) mengenai fiqh musik dan lagu. Dalam rumusan tersebut Ia menunjukkan ayat-ayat Al-Quran dan hadist Nabi yang membolehkan dan melarang “bentuk” seni musik. Secara umum kajiannya merujuk pada fungsi musik dan lagu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 16: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

4

untuk memaknai bentuk musik Al-Asyik, tentu akan sangat menyederhanakan.

Lebih jauh, penilaian semacam itu tidak dapat dipakai memahami bahwa setiap

jenis musik memiliki peluang disebut sebagai musik religius dan masyarakat

memiliki kemungkinan untuk memilih bentuk musik religiusnya.

Tesis ini meneliti kelompok gambus Al-Asyik terutama karena mereka

menunjukkan peluang untuk memberi “bentuk” lain pada pertunjukan musik

gambus. Peluang-peluang inilah yang akan mengantarkan penelitian ini pada

pemahaman konteks yang menciptakan peluang tersebut. Lebih jauh, memahami

masyarakat yang mengusahakan peluang tersebut.

B. Rumusan Masalah

Ketertarikan tesis ini pada kelompok Al-Asyik didasari oleh cara orang atau

kelompok memiliki keputusan membentuk pengalaman kereligiusannya sendiri

melalui bentuk musik gambus yang dimainkannya. Sekaligus, tertarik dengan

musik gambus yang menyediakan ruang bagi kelompok Al-Asyik memutuskan

bentuk pertunjukannya sendiri. Akan tetapi, kedua ketertarikan tersebut hanya

dapat ditunjukkan melalui bentuk gambus yang dihidupi oleh Al-Asyik. Oleh

sebab itu, tesis ini perlu merumuskan hal-hal apa saja yang memungkinkan Al-

Asyik dapat menghidupi bentuk gambus tertentu. Rumusan tersebut adalah: sebagai alat untuk meningkatkan ketaqwaan, lebih pada deskripsi lirik. Secara khusus, dalam akhir pemaparan, Ia menentukan bentuk-bentuk musik yang dihidupi sebagai musik “religius” dalam realitas kaum muslimin (muslim?), antara lain: Pembacaan Al-Quran dengan tartil (dengan lagu) yang dilantunkan oleh sebagus-bagus suara (qari’); Adzan yang dikumandangkan dengan suara yang membuat pendengarnya suka; ibtihalat ad-diniyah (syair-syair permohonan); puji-pujian terhadap Nabi dalan bentuk sholawat; dan Nasyid yang berisi nyanyian natural yang tumbuh dari lingkungan masyarakat yang jauh dari unsur-unsur negatif. Lihat, Fiqh Musik dan Lagu: Prespektif Al-Quran dan As-sunnah, halm: 196-197. Khusus mengenai Nasyid, Ia membahas secara khusus daam buku lain yang berjudul Nasyid Vs Musik Jahiiyyah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 17: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

5

1. Mengapa pertunjukan gambus Al-Asyik masih disebut pertunjukan musik

religius? Proses pemaknaan seperti apa yang terjadi di dalamnya?

2. Bentuk-bentuk gambus apa saja yang disedikan oleh kultur musikal religius

yang ada? Bagaimana bentuk tertentu dihidupi oleh Al-Asyik?

3. Bagaimana Al-Asyik diposisikan dalam kultur musikal religius melalui

bentuk yang dihidupinya?

C. Signifikansi Penelitian

1. Pada umumnya penilaian terhadap musik cenderung stereotip. Dengan

penelitian ini, kita dapat menilai musik sebagai cara masyarakat memaknai

“hidupnya”. Artinya, alasan orang memilih musik tertentu tidak semata-mata

berdasarkan stereotip yang menempel pada suatu jenis musik.

2. Penelitian ini membantu memberikan cara pandang lain dalam menilai

masyarakat berdasarkan musik yang dihidupinya, atau sebaliknya.

3. Mengajak untuk lebih memperhatikan musik-musik yang kurang dikenal

seperti musik gambus, agar lebih banyak jenis musik yang dapat didengarkan.

D. Tinjauan Pustaka

Kegiatan meneliti pada dasarnya merupakan kegiatan yang akan menunjukkan

kekhasan “obyek” yang sedang diteliti. Menunjukkan kekhasan berarti juga

menunjukkan cara menunjukkan kekhasannya, cara mendekatinya. Orang dapat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 18: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

6

membedakan penelitian satu dengan penelitian lainnya, meskipun mungkin

obyeknya sama, salah satunya dari cara peneliti mendekati “obyeknya”.

Tinjauan pustaka, dalam tesis ini berguna untuk mengetahui sejauh mana

obyek yang sama didekati oleh para peneliti. Selain itu, tinjauan pustaka juga

berguna untuk melihat kemungkinan sebuah obyek dapat didekati dengan

pendekatan yang belum dipakai oleh peneliti lain. Oleh sebab itu, tinjauan pustaka

dalam tesis ini akan melihat penelitian tentang gambus yang pernah dilakukan

oleh peneliti lain dan melihat berbagai pendekatan yang dapat dipakai untuk

mendekati “obyek” musik.

1. Kajian Musik Gambus

Salah satu penelitian mengenai gambus di Indonesia dilakukan oleh Helene

Bouvier5. Dalam salah satu subjudulnya, ia membuat kategori seni pertunjukan

masyarakat Madura yang disebut sebagai “Musik Religius”. Secara tegas, Bouvier

menyebut penelitiannya sebagai penelitian antropologis deskriptif analitis6. Ia

memfokuskan penelitiannya pada deskripsi bentuk pertunjukan yang secara umum

dapat dikenali, seperti: penggunaan alat musik, struktur panggung, kegunaan

pertunjukan dalam masyarakat, dan sebagainya. Analisis dibutuhkan untuk

memposikan pertunjukan tersebut dalam konteks masyarakat Madura.

Gambus merupakan salah satu dari berbagai jenis seni pertunjukan

musik religius yang hidup di Madura. Bouvier mendeskripsikan gambus mirip

5 Helene Bouvier, Lebur : Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, 2002. 6 Ibid, halm: 2.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 19: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

7

dengan samman7. Perbedaannya, pertunjukan gambus cenderung lebih ‘meriah’

daripada samman. Biasanya, selain mengandalkan gitar gambus dan marwas,

pertunjukan musik gambus juga disertai keyboard dan biola. Qasidah8 yang

dinyanyikan tidak selalu berbahasa arab, tapi bisa juga bahasa Indonesia atau

bahasa Madura. Tariannya pun lebih dinamis dari pada samman. Jika samman

cenderung khusus untuk laki- laki dewasa, gambus dapat menyertakan anak-anak

usia tujuh tahun keatas.

Bouvier mengamati, tidak banyak kelompok musik gambus maupun

samman di Madura dibandingkan kelompok hadrah9. Selain membutuhkan

peralatan musik yang lebih banyak, alat musik gambus juga tidak banyak yang

dapat memainkannya. Bouvier tidak menyebutkan apakah hal itu terkait dengan

dominasi gambus dan samman yang dimainkan oleh ras keturunan Arab. Akan

tetapi, melalui data deskriptifnya, Bouvier mengamati bahwa seluruh kesenian

yang dikategorikan sebagai musik religius kecuali dangdut, intinya adalah

qasidah. Pembedaan tersebut berdasarkan pada pembedaan fungsi musikal;

apakah qasidah tersebut diiringi musik atau tidak, apakah ditarikan atau tidak,

7Bouvier mendeskripsikan samman sebagai nyanyian yang berisikan ayat Al-Quran dan qasidah. Dalam pelaksanaannya, samman kadang diiringi musik dan disertai tarian sederhana membentuk lingkaran. Lirik yang digunakan berbahasa Arab dan sesekali diselingi bahasa Madura. Samman lebih sering dipentaskan oleh masyarakat madura keturunan Arab dari kalangan kota. Ibid, halm: 210. 8Bouvier mendefinisikan qasidah sebagai nyanyian pujian, kadangkala berbentuk do’a, atas kebesaran Allah dan Nabi-nya dalam bahasa Arab. Ibid, halm: 208 9Hadrah merupakan qasidah dengan iringan musik tabuh, dilakukan secara berkelompok dan kadang disertai dengan gerakan tertentu. Alat musik yang populer digunakan dalam suatu pertunjukan hadrah adalah rebana atau terbhang (sejenis tambur datar). Sekurang-kurangnya ada lima rebana yang dibutuhkan oleh suatu kelompok hadrah dan masing-masing dipukul dengan cara yang berbeda. Hadrah adalah kesenian khas laki-laki dan liriknya berbahasa Arab. Sehingga, hadrah seringkali ditampilkan dalam acara-acara keagamaan karena nyaris tidak menimbulkan perdebatan mengenai hubungan seni dan agama. Beberapa orang menjadikan hadrah sebagai salah satu pekerjaan sampingan (semi-profesional). Ibid, halm: 210

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 20: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

8

tercampur lagu- lagu ‘profan’ dalam bahasa Indonesia, Madura atau yang lainnya.

Dari kategori musikal dan kegunaan pertunjukan tersebut, Bouvier membuat

urutan musik religius yang ada di Madura. Urutan tersebut, yaitu: Diba’ 10,

Saman, Hadrah, Qasidah (samroh)11, gambus dan dangdut 12.

Melalui deskripsi tersebut, Bouvier berhasil membuat identifikasi

musikalitas sekaligus fungsi musik religius dalam ritus kehidupan masyarakat

Madura. Akan tetapi, ia tidak menunjukkan (karena ia juga menghindari)

mengapa jenis-jenis musik tersebut diakui sebagai musik religius. Meskipun,

secara pribadi ia masih penasaran, karena baginya, musik-musik tersebut tidak

terasa religius sama sekali13.

Apa yang menjadi kegelisahan Bouvier, dilengkapi oleh Musmal dalam

tesisnya mengenai perkembangan gambus di Sumatera Utara. Musmal berusaha

menunjukkan latar belakang (sejarah?) yang membuat gambus dikenal sebagai

musik religius di Sumatera Utara. Musmal menceritakan tentang ‘perjalanan’

musik gambus hingga diterima sebagai salah satu genre musik masyarakat Melayu

dimulai dengan mencari titik tengah dari berbagai argumentasi mengenai

10 Diba’ merupakan doa dan ayat Al-Quran yang dibacakan atau diucapkan secara lisan bergantian dengan qasidah yang dinyanyikan tanpa tarian dan musik. Pembacaanya dilakukan oleh perempuan secara berkelompok. Dalam praktiknya, diba’ bukanlah seni pertunjukan, sehingga tidak mementingkan adanya penonton. Bouvier lebih menyebut diba’ sebagai ikrar keimanan daripada sebagai kesenian. Oleh karena itu, kehadirannya seringkali dikaitkan dengan acara keagamaan yang lebih privat sifatnya, seperti : pengajian mingguan atau arisan. Ibid, halm: 210. 11Samroh atau yang pada umumnya dikenal sebagai qasidah (sebagai jenis musik) merupakan kesenian yang paling populer dari beberapa jenis kesenian religius lainnya. Selain selalu diiringi dengan alat musik, samroh juga menampilkan lagu ‘profan’ bertema moral dan jarang menggunakan bahasa Arab. Kalau hadrah khas laki-laki, samroh khas perempuan. Oleh karena itu, pertunjukan samroh seringkali dilakukan pada acara-acara pengajian atau arisan. Acara keagamaan seperti Maulud Nabi atau Isra’ Mi’rad jarang menampilkan samroh karena masalah hubungan “seni, perempuan dan agama” (salah satunya ‘aurat’ suara perempuan). Ibid, halm: 211 12 Ibid, halm : 210-211. 13 Ibid, halm: 230

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 21: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

9

‘pembawa’ musik gambus di Indonesia. Dari sana, Musmal sampai pada

kesimpulan bahwa gambus adalah manifestasi evolusi budaya 14. Kesimpulan

tersebut menegaskan kontinuitas genre musik gambus di Sumatera Utara.

Berbagai kemungkinan seperti dinamika dan perkembangan masyarakat,

perkembangan seni pertunjukan di Medan, musisi dan komponis yang terkenal di

Medan sekaligus kebudayaan lokal dalam konteks nasional, dibahas dalam

tulisannya.

Selanjutnya, Musmal memaparkan urutan ‘bentuk’15 musik gambus yang

berkembang dalam tradisi musik Melayu. Penelitian Musmal, secara sederhana

memaparkan gambaran mengenai “seperti apa musik gambus itu?”. Secara

ringkas penelitian Musmal dapat dikatakan demikian: Musik gambus adalah

musik yang diiringi instrumen gitar gambus 16dan gendang kecil dengan dua

permukaan (marwas), umumnya dimainkan oleh laki- laki dan pementasannya

dilakukan pada acara-acara keagamaan serta liriknya kebanyakan berbahasa Arab.

Akan tetapi, Musmal tidak banyak membicarakan posisi gambus sebagai

musik religius. Bahkan, cara Musmal mendeskripsikan gambus, seolah tidak ada

yang “hidup”. Semua sekuen kejadian dan data mengenai gambus seolah

berasumsi pertunjukan gambus adalah ragam hiburan yang menjadi salah satu

“kekayaan budaya” Nusantara.

14 Musmal, Gambus Sebagai Salah Satu Ekspresi Musik Rakyat Melayu di Sumatera Utara: Kajian Perubahan dan Kontinuitas (tidak dipubikasikan), halm : 24. 15 ‘Bentuk’ musik gambus dalam pemaparan Musmal me liputi, alat musik, pemain, momen pelaksanaan, dan lirik. Lihat ibid, halm : 25-37 16 Dalam bahasa Inggris gitar gambus disamakan dengan lute dan dalam bahasa Arab dikenal sebagai ‘Ud. Lihat ibid, halm : 25.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 22: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

10

Yang dilakukan Musmal tidak banyak membantu untuk menjawab

persoalan klarifikatif: Kapan suatu jenis musik “impor” seperti gambus dapat

dimaknai sebagai musik “kekayaan budaya” Indonesia?; Bagaimana dengan

musik RnB yang diimpor dari tradisi musik kulit hitam Amerika dan ternyata

hidup subur di Indonesia? Mengapa kita tidak mengenalnya sebagai musik

religius (Kristen) juga?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut lahir dari asumsi bahwa musik yang

berkembang sebagai bentuk ekspresi tidak lagi dapat dikategorisasi berdasarkan

reproduksi informasi lokasi kemunculannya. Musik mencakup banyak wilayah

dalam kehidupan manusia. Tidak mengherankan apabila kajian tentang musik

tidak terbatas dengan satu pendekatan saja.

2. Berbagai Kajian Musik

Pada latar belakang penelitian telah dijelaskan bahwa ketertarikan penulis pada

tema musik tidak semata-mata karena persoalan musikalitas gambus. Lebih jauh,

musik menjadi semacam “magnet” yang dapat membuat seseorang atau kelompok

masyarakat tertentu bersedia mendukungnya. Musik pada konteks ini dipakai

untuk menjelaskan masyarakat yang membuatnya memiliki pesona untuk dipilih.

Ada banyak pendekatan yang dapat melingkupi konteks tersebut. Salah

satunya pendekatan estestis atau estetika musik. Pendekatan ini membantu

memahami musik sampai pada tataran filosofis, yakni musik sebagai bentuk

pengetahuan. Dengan demikian, estetika musik bukanlah cara untuk menikmati

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 23: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

11

keindahan musik, melainkan usaha untuk memahami persoalan keindahan dalam

musik.

Suka Harjana dalam buku Estetika Musik memaparkan berbagai

kemungkinan musik dan manusia ‘menghadirkan’ keindahan. Suka Harjana

menekankan bahwa keindahan musik bukanlah suatu kebutuhan manusia.

Keindahan musik adalah proses di mana manusia menyadari keindahan secara

rasional. Keindahan dalam musik mutlak hasil kerja manusia.17 Yang dapat

dilakukan estetika adalah membawa persoalan musik pada rangkaian eksplorasi

filosofis tentang fakta keindahan musik. Fungsinya, untuk memuaskan kesadaran

manusia tentang esensi keindahan musik.

Cukup di situ yang dapat dilakukan estetika. Karena itulah, Suka Hardjana

berkali-kali mengatakan estetika musik hanya terlihat betul gunanya bagi

kehidupan manusia jika dilengkapi dengan pendekatan lain, seperti psikologi

musik, sosiologi musik, dan sebagainya. Karena, pemahaman tentang keindahan

musik pada akhirnya dipakai orang dalam komunikasi. Bagaimana komunikasi

tersebut berlangsung, tidak dapat dijelaskan secara estetis.

Pendekatan lain yang dapat dijadikan referensi kemungkinan besar adalah

psikologi. Psikologi musik pada umumnya berusaha untuk menjawab pertanyaan

mengenai musik kaitannya dengan emosi, terutama tentang bagaimana kerja

musik mempengaruhi perilaku manusia. Psikologi musik umumnya dipakai untuk

menghasilkan pengetahuan tentang musik yang dapat digunakan sebagai stimulan

(perangsang). Kaidah-kaidah dalam psikologi berguna dalam menganalisa

17 Suka Hardjana, Estetika Musik , halm: 40

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 24: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

12

kecenderungan emosi manusia merespon bunyi. Dengan kata lain, perilaku

musikal dapat dijelaskan menggunakan pengetahuan tentang psikologi bunyi.

Akan tetapi, berbagai hasil penelitian dalam kajian psikologi terapan18

menemukan hal lain yang menentukan perilaku musikal seseorang selain

musikalitas. Perilaku musikal juga ditentukan oleh jenis kelamin, perangkat emosi

individu, gaya mendengarkan musik, perkembangan budaya, rasa musik, hingga

pendidikan19. Oleh karena itu, David J. Hargreaves dan Adrian C. North

mengusulkan untuk mencermati praktik psikologi musik melalui buku yang

disuntingnya, The Social Psychology of Music. Semua tulisan dalam buku

tersebut menjadi semacam “ensiklopedi” kondisi yang memungkinkan orang

memiliki sikap tertentu terhadap musik. Pemahaman tentang hal itu, diharapkan

dapat membuat kajian seputar psikologi musik dapat lebih terbuka pada berbagai

kemungkinan reaksi individu atas musik yang didengarnya. Singkatnya, psikologi

musik hanya mampu menunjukkan asumsi subyektif keterkaitan musik dengan

pendukungnya. Kaitannya dengan tesis ini, memahami masyarakat melalui musik

yang didukungnya memerlukan pendekatan yang dapat menjembatani psikologi

dengan konteks sosialnya.

Senada dengan David J. Hargreaves dan Adrian C. North, Fabio Dasilva dkk

mencoba menerangkan subyektivitas perilaku musikal melalui pendekatan

sosiologi. Dasilva mengawali bukunya, The Sociology of Music, dengan judul

Music as Mentality. Ia menekankan bahwa musik merupakan hal yang sangat

18 lihat Djohan, Psikologi Musik, halm: 4. Dalam buku ini Djohan memberikan deskripsi mengenai tumbuh kembangnya psikologi musik sekaligus memberikan pemetaan mengenai kesejarahan wacana psikologi musik sampai dengan aplikasinya. 19 Hargreaves, David J, The Social Psychology of Music, halm: 25-243

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 25: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

13

subyektif. Bahkan, definisi tentang musik sangat tergantung pada pengetahuan

yang mendefinisikan20. Meskipun demikian, Dasilva menyadari bahwa penelitian

dalam sosiologi selama ini hanya dapat menjelaskan suatu obyek penelitian yang

dapat dibedakan dengan subyeknya.

Sosiologi dapat memahami “obyek” seperti musik hanya dengan meletakkan

musik sebagai bentuk sosialitas. Dasilva menyebutnya Music as Social.

Konsekuensinya, pendekatan sosiologi tidak banyak memberikan kontribusi pada

musikalitas, karena lebih menekankan pada masyarakat pendukung musik. Musik

diumpamakan sebagai cermin yang dapat memantulkan perilaku sosial

masyarakat21. Musik merupakan salah satu cara bagaimana masyarakat membuat

pembedaan dengan masyarakat lainnya. Realitas sosial menurutnya dapat didekati

antara lain dari perilaku individu dalam masyarakat, perilaku musikal dan

sebagainya.

Apa kaitan antara musik sebagai mentalitas dengan musik sebagai sosialitas?

Pertanyaan tersebut dapat dicarikan jawabannya melalui sosiologi yang menyadari

bahwa hubungan sosial terjadi karena komunikasi terus menerus antara perilaku

individu dengan sistem sosialnya. Individu memiliki peluang membentuk sistem

sosial, demikian juga sebaliknya. Musik sebagai “selera” memang sangat

subyektif, tapi selera musik seseorang bukanlah selera yang muncul begitu saja. Ia

disediakan oleh masyarakatnya untuk dipilih. Individu sebagai anggota

masyarakat menentukan pilihan berdasarkan pengalamannya bersosialisasi dalam

20 Fabio Dasilva, et al, The Sosiology of Music, University of Notre Dame press, Indiana : 1984, halm: 1 21 Ibid, halm: 1

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 26: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

14

berbagai kondisi. Artinya, Music as Mentality merupakan ekspresi hubungan

sosial dalam musik.

Sederhananya, perilaku musikal syarat dengan asumsi keindahan bagi

pelakunya (subyektif). Akan tetapi, asumsi tentang keindahan musik sangat

tergantung siapa yang sedang dibicarakan22 dan sosialitasnya. Pada posisi ini,

perilaku musikal menjadi sangat obyektif. Mementaskan sebuah perilaku

musikal23 berarti mementaskan suatu ‘drama sosial’24. Dengan demikian,

pendekatan yang dibutuhkan dalam tesis ini adalah pendekatan yang dapat

mewadahi asumsi-asumsi keindahan, pengalaman subyektif sekaligus sistem

sosial pembentuknya 25.

22 Adorno membagi delapan tipikal pendengar musik. Pertama, pendengar ahli (the expert), yaitu pendengar yang telah memiliki kemampuan memahami “bahasa” musik, termasuk orang yang mempelajari musik. Kedua, pendengar yang baik (good listeners), yaitu orang yang mampu mendengarkan musik lebih dari sekadar detil musikalnya, tapi juga mampu menentukan implikasi struktur dan teknis musikal pada suatu kondisi tertentu secara rasional. Ketiga, pendengar yang dekat dengan budaya konsumerisme (culture consumers) yang lebih memperhatikan performansi pemain dari pada elemen musikalnya. Keempat, pendengar emosional (emotional listeners) yang merujuk pada orang yang memiliki kecenderungan mendengarkan musik atas dasar emosi yang dimunculkan oleh musik (mulai dari syair sampai dengan video clip). Kelima, pendengar yang menilai musik pada implikasi buruknya saja (ressentiment listeners), terutama membenci berbagai kejadian yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan musik atau tren musik tertentu. Keenam, pendengar yang kurang lebih sama seperti ressentiment listeners, tapi lebih pada aliran musik kontemporer seperti jazz. Ketujuh, pendengar yang menekankan musik pada sisi hiburan semata (entertainment listeners) dan musik harus selalu mudah didengar dan bisa dijadikan teman bersantai. Kedelapan, pendengar yang anti musik (unmusical dan antimusical, yakni pendengar yang memahami mu sik secara berbeda. Ibid, halm: 67-68 23 Sehari-hari cukup dikenal dengan pentas musik. 24 Frase tersebut saya sarikan dari penjelasan Dasilva, dkk, “Meaning in music” (pemaknaan wilayah musik). Akan tetapi, istilah tersebut hadir setelah Dasilva menyebut musik sebagai ekspresi kenyataan sosial itu sendiri (music is social). Dengan kata lain, pemaknaan yang ada dalam pementasan musik mengasumsikan kesadaran posisi pendukung musik akan perannya masing-masing, seperti pada sebuah pementasan drama. 25 Gramsci memaknai hal ini sebagai dialektika. Hal ini diperlukan untuk tidak terjebak pada bahaya formalisme, psikologisme, sosiologisme atau bentuk dogmatisme dan determininisme lainnya. Karena praksis kemanusiaan bersifat dialektik, seni perlu merefleksikan kontradiksinya dan pada saat yang sama merebut apa yang permanen dalam proses sejarah. Lihat, Mikhail Liftschitz dan Leonardo salamini, Praksis Seni : Marx dan Gramsci, halm: 177-178

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 27: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

15

Musik pada tesis ini tidak lagi dilihat sebagai ragam hiburan. Musik sarat

dengan tarik menarik kepentingan dan kontestasi pemaknaan. Musik dapat dipakai

sebagai cara melihat masyarakat mengekspresikan apa yang dipahaminya tentang

sistem sosialnya. Pada posisi ini, gambus sebagai musik religius dapat didekati

sebagai cara masyarakat Ambulu memaknai sistem religiusitasnya.

Dari sinilah, penelitian mengenai musik dapat menunjukkan bagaimana

pengetahuan mengenai pemaknaan suatu ekspresi musikal dapat dimiliki oleh

individu atau kelompok masyarakat. Konsekuensinya, suatu pertunjukan musik

adalah hasil dari “komunikasi” pengetahuan para pendukungnya. Dalam musik

gambus, sekurangnya ada tiga kelompok pendukung yang akan

mengkomunikasikan pengetahuannya, yaitu: pengetahuan pemain, pengetahuan

penonton, dan pengetahuan penanggap. Setiap pengetahuan memiliki proses

pembentukan (proses budaya) masing-masing. Dengan kata lain, suatu

pertunjukan musik gambus adalah hasil dari persaingan budaya pemain, penonton

dan penanggap.

Lantas, pendekatan macam apa yang akan dipakai menjawab pertanyaan

penelitian? Pemaparan di atas sedikit banyak membantu dalam melihat posisi

gambus sebagai jenis musik sekaligus sebagai “aksi sosial”. Secara sederhana,

pendekatan yang memungkinkan menjawab pertanyaan penelitian ini

kemungkinan besar adalah Sosiologi Musik. Akan tetapi, sejauh mana Sosiologi

Musik dapat membantu menjawab pertanyaan penelitian hanya dapat dilihat dari

kategori-kategori yang ditawarkan Sosiologi Musik kaitannya dengan konteks

gambus Al-Asyik. Bab selanjutnya akan melihat kemungkinan tersebut, sekaligus

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 28: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

16

mencari bentuk metodologi yang tepat dalam memperoleh data dan menganalisa

data.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 29: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

17

BAB II

SOSIOLOGI BUDAYA MUSIKAL

Judul di atas dipakai sebagai salah satu kemungkinan membicarakan musik

melalui berbagai pendekatan, sekaligus memfokuskan tesis ini pada wacana yang

erat kaitannya dengan musik sebagai bagian dari cara hidup masyarakat. Dengan

kata lain, bab ini tidak bermaksud membatasi jenis pendekatan yang akan dipakai,

tapi lebih pada usaha merumuskan wacana tentang musik dalam sebuah

metodologi guna membantu menjawab rumusan masalah.

Sosiologi “diyakini” sebagai pendekatan yang memfokuskan kajiannya

pada pembentukan masyarakat. Sosiologi budaya musikal meletakkan musik

sebagai bagian dari cara masyarakat menunjukkan “bentuknya”. Hubungan musik

dan manusia dalam penelitian ini dipahami sebagai musik yang dihidupi oleh

masyarakatnya; praksis musikal1. Istilah budaya musikal dipakai untuk

“mengantisipasi” kemungkinan praksis musikal hadir sebagai entitas yang

memiliki mekanisme tertentu. Pada banyak kasus, praksis musikal erat kaitannya

dengan “politik representasi”2. Untuk itulah sosiologi dipilih sebagai salah satu

pendekatan (teoritis) yang dapat membuka peluang bagi munculnya berbagai

wacana sosial yang terlibat dalam mekanisme praksis musikal. Sederhananya, 1 Istilah praksis yang dipahami Bourdieu dianggap mewakili istilah musik yang dihidupi. Karena praksis bukan sekadar praktik dari aktivitas sosial tertentu, tapi juga praktik cara hidup tertentu. Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, halm: 5. 2 Pada pidato hari kemerdekaan tahun 1959, Sukarno menyatakan strategi politiknya dengan mengusung jargon anti imperialisme, termasuk imperialisme budaya: ”... kenapa dikalangan engkau najak jang tidak menentang imeperialisme kebudajaan? Kenapa dikalangan engkau banjak yang masih rock-’n-roll –rock-’n-rollan, dansa-dansian a la cha-cha- cha, musik-musikan a la ngak-ngik-ngek gila -gilaan, dan lain sebagainja lagi? ... tetapi engkau pemuda-pemudipun harus aktif ikut menentang imperialisme kebudajaan, dan melindungi serta mengembangkan kebudajaan Nasional!”. Ir. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Djilid III, halm: 379-380.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 30: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

18

bab ini menempatkan sosiologi budaya musikal sebagai salah satu perspektif

untuk mengenal masyarakat dari musik yang didukungnya.

Konsekuensinya, ada tiga hal yang diperlukan dalam bab ini. Pertama,

menunjukkan kaitan musik dengan masyarakat. Kedua, menunjukkan musik

sebagai budaya. Ketiga, menunjukkan praksis budaya musikal. Uraian berikut ini

adalah usaha yang dilakukan untuk merumuskan ketiganya.

A. Musik Sebagai Mentalitas (Music as Mentality)

Sub judul di atas merupakan subjudul buku The Sociology of Music karya Fabio

Dasilva, Anthony Blasi dan David Dees. Subjudul tersebut dipakai begitu saja

dalam bab ini dengan alasan judul tersebut persis mewakili asumsi bahwa

kecenderungan bermusik pada diri manusia sangatlah subyektif. Dasilva, dkk,

bahkan sejak awal mengatakan bahwa: music is located inside the very

consciousness which would do the defining3. Pendefinisian musik akan selalu

terbentur pada persoalan “musik yang mana dan musik siapa”. Bukan karena

banyaknya pilihan jenis musik, melainkan istilah musik merupakan istilah yang

sepenuhnya menunjukkan intervensi manusia pada wilayah bunyi.

Musik hampir selalu berupa suatu fenomena akustik (bunyi) yang

diwakilkan pada intrumen tertentu dan didengarkan oleh manusia4. Sejarah musik

menunjukkan wilayah musik yang dikenal saat ini merupakan hasil dari proses

pemaknaan budaya tertentu5. Setiap “generasi” memiliki ciri musikalitas, baik

3 Fabio Dasilva, dkk , The Sosiology of Music, halm: 1 4Guerino Mazzola, Semiotic Aspect of Musicology : Semiotics of Music, halm: 2 5Dalam The Music of Asean, Ramon P. Santos (ed) membuat kategori kebudayaan yang mempengaruhi bentuk musikal tertentu di Indonesia, antara lain: ”shamanism of North and Central

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 31: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

19

direproduksi oleh kelompok tertentu maupun industri . Hal inilah yang membuat

musik dapat dibedakan dan dikelompokkan.

Bab ini tidak akan banyak membicarakan dinamika pertumbuhan musik.

Bab ini justru berfokus pada dinamika orang menikmati musik dan dinamika

keberartian musik bagi hidup seseorang. Menikmati musik pada tahap tertentu

hampir sama dengan orang melakukan praktik keberagamaan6. Praktik semacam

ini, meskipun dihidupi oleh wilayah yang sangat privat, dapat dipahami secara

publik. Praktik orang menikmati dangdut Inul, misalnya, dapat dipahami melalui

pro-kontra yang terjadi dalam wilayah di luar urusan menikmati musik.

Pada tahap ini, wilayah privat atau subyektif dikenali dari

kecenderungannya menunjuk bentuk tertentu, demikian halnya dengan “pilihan”

bentuk musik. Sebagai pilihan, kecenderungan bermusik sangat subyektif. Akan

tetapi sebagai bentuk, musik tidak dapat begitu saja diakui sebagai “bentuk musik

saya”. Orang (seolah) bebas memilih dangdut, akan tetapi dangdut tidak mungkin

dapat diakui sebagai musik personal. Ada banyak orang yang dapat memiliki

kecenderungan memilih dangdut. Dalam waktu yang sama, orang yang sama juga

memiliki kemungkinan untuk memilih selain dangdut.

Artinya, musik memiliki “ruang” yang dapat menjangkau dan dijangkau

subyektivitas. Bukan sembarang subyektivitas, melainkan subyektivitas yang

dapat menjangkau musik sebagai wilayah estetis (seni). Lantas, apakah mungkin

subyektivitas menyatakan diri dalam ruang yang sangat tergantung pada

subyektivitas yang mendefinisikannya? Mungkin, jika masyarakat “menyediakan” Asia origin, Hinduism, Hinayana and Mahayana Buddhism, Iberian folk musical tradition and that of Islamic countries in the Middle-East, and with western influence. Lihat, halm: 33. 6 Fabio Dasilva, dkk, halm: 80-82.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 32: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

20

bentuk-bentuk yang didefinisikan oleh subyektivitas tertentu. Dengan kata lain,

subyektivitas yang bersifat personal hadir sebagai bentuk subyektivitas komunal.

Dasilva menyebut bentuk subyektivitas komunal tersebut sebagai

mentalitas; Bourdieu menyebutnya sebagai taste7. Secara umum orang sering

menyebutnya sebagai selera. Baik Dasilva maupun Bourdieu meyakini bahwa

selera memiliki kecenderungan untuk menunjuk pada “obyek estestis” tertentu

yang telah disediakan oleh masyarakatnya. Selera yang subyektif justru dikenali

dan dinilai dari kemampuannya memposisikan diri dalam mekanisme penilaian

suatu obyek estetis8. Ketika kemampuan tersebut dimiliki oleh sekelompok orang,

selera tersebut akan diakui sebagai selera kelompok. Artinya, musik sebagai selera

kelompok memiliki mekanisme yang dapat menjangkau “kesepakatan” setiap

subyektivitas pendukungnya.

Apa yang dilakukan musik agar dapat menjangkau kesepakatan setiap

subyektivitas pendukungnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat ditelusuri

dari pernyataan “musik sebagai bentuk yang didefinisikan oleh subyektivitas

tertentu”. Subyektivitas tersebut pastilah subyektivitas yang terseleksi dari proses

sosial tertentu. Untuk itulah, Dasilva dkk membuat rumusan lanjutan: Music as

Social. Musik sebagai sosialitas adalah subyektivitas yang dihasilkan dari

berbagai tarik menarik kepentingan sosial, mulai dari media yang menyiarkan

acara musik hingga “standar” musikalitas yang diberlakukan dalam suatu

7Istilah taste diletakkan Bourdieu kaitannya dengan “… regard taste in legitimate culture as a gift of nature”. Lihat, Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Jugdement of taste, halm: 1. 8Bourdieu menyebutnya habitus estetis, Aesthetic disposition “... the capacity to consider in and for themselves, as a form rather than function”. Ibid, halm: 3.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 33: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

21

kelompok musik9. Dengan kata lain, mendekati musik sebagai bentuk mentalitas

terkait erat dengan pemahaman proses pembentukannya.

Memahami proses pembentukan sosialitas musik berarti menunjukkan

bentuk interaksi yang terjadi dalam masyarakat; proses sosial10. Dalam hal ini,

musik merupakan bagian dari proses sosial. Lebih jauh, musik telah menjadi

bentuk dari proses sosial tertentu. Musik adalah budaya.

B. Budaya Musikal

Sub bab sebelumnya ditutup dengan pernyataan: musik adalah budaya. Apa

bedanya musik sebagai budaya dengan budaya musikal? Dengan memakai

“kerangka” sosiologi musik yang diusulkan Dasilva, keduanya tidak banyak

berbeda. Apapun definisinya, keduanya sama-sama hanya bisa ditunjukkan

melalui gejala musikal. Mengapa? Karena sosiologi tidak pernah betul-betul

bermaksud memahami esensi musik (musikalitas). Sosiologi musik hanya akan

melihat gejala musikal yang dapat dipakai sebagai penanda interaksi sosial.

Lantas, apa perlunya memakai istilah budaya musikal? Istilah budaya

musikal dipakai untuk menegaskan bahwa musik sebagai budaya akan mengalami

penilaian. Asumsi penilaian merupakan asumsi budaya bukan asumsi musikal.

Musik akan selalu dipahami dengan menggunakan pemaknaan yang disediakan

oleh budaya pendukungnya. Dengan memahami pemaknaan yang terlibat dalam

proses budaya, kita akan lebih mudah memahami mekanisme pemaknaan budaya

9 Fabio Dasilva, dkk, The Sociology of Music, halm: 4-5 10 “Music will thus be approached as a mentality, whose forms established interconnections among humans, i.e., social processes. Ibid, halm: 5

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 34: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

22

musikal. Oleh sebab itu, penjelasan mengenai bagaimana pemaknaan budaya

mengintervensi wilayah musikal dapat dimulai dengan melihat sejauh apa masalah

nilai dan pemakaan dihidupi sebagai bentuk interaksi oleh masyarakat.

1. Budaya dan Subkulturnya

Ada banyak proses pemaknaan yang terlibat dalam pembentukan budaya. Satu

proses pemaknaan mengisyaratkan interaksi berbagai pemaknaan. Satu

pemaknaan melibatkan banyak kepentingan. Akan tetapi, satu kepentingan,

dengan prosesnya, memiliki mekanisme pembentukan pemaknaan dan budayanya

sendiri. Artinya, budaya bukan proses yang linier. Sistem budaya tidak selalu

menggantungkan bentuknya pada satu “kesepakatan” yang dihasilkan oleh

interaksi banyak kepentingan. Bahkan, suatu kepentingan dapat memutuskan

bentuk budayanya dari interaksinya dengan “kesepakatan” yang telah ada.

Subkultur dipakai dalam bab ini untuk menegaskan bahwa budaya tidak

selalu terkait dengan kesepakatan banyak proses pemaknaan dan banyak

kepentingan. Satu kepentingan pun dapat memutuskan budayanya. Subkultur pada

dasarnya mewakili asumsi budaya semacam ini; bahwa di dalam budaya

memungkinkan budaya lainnya. Artinya, subkultur juga budaya. Lantas, untuk

apa istilah subkultur tetap dipakai dalam bab ini? Karena, dalam prakteknya

subkultur dipakai untuk menunjuk budaya yang tidak dapat begitu saja disebut

budaya. Subkultur bukan budaya biasa.

Kata subkultur merupakan kata yang diadopsi dari bahasa Inggris

subculture. Definisi umum subkultur, salah satunya dapat ditemukan dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 35: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

23

kamus atau ensiklopedi. Dalam kamus bahasa Inggris kata subculture

didefinisikan sebagai:

The behaviour and beliefs of a particular groups of people in society that

are different from those of most people. Example : The criminal/ drug/

youth subculture11.

The ideas, art, way of life of a group of people within a society, which are

different from the ideas, art, way of life of the rest of the society12.

Kedua definisi tersebut saya terjemahkan sebagai berikut, subkultur adalah:

Perilaku dan keyakinan sekelompok orang dalam suatu masyarakat yang

berbeda dengan orang kebanyakan. Contohnya: subkultur kriminal,

pengguna narkoba atau pemuda.

Ide, seni, dan cara hidup sekelompok orang dalam suatu masyarakat yang

berbeda dengan ide, seni dan cara hidup pada umumnya dalam suatu

masyarakat.

Secara etimologis, penggunaan awalan ‘sub’13 pada kata kultur

mengisyaratkan arti sebagai bagian (berada di dalam) dari kultur. Seperti halnya

subbab yang berarti bagian dari suatu bab, subkultur berarti bagian dari kultur.

Akan tetapi, dari terjemahan di atas dapat ditafsirkan arti subkultur tidak semata-

mata ingin menekankan bahwa subkultur merupakan bagian dari kultur, tapi juga

11 Oxford. Advanced Leaner’s Dictionary, halm : 1295 12 Collins Cobuilds, English Dictionary for Advanced Leaners. (third ed), halm : 1553 13 Awalan ‘sub’ dalam kamus bahasa Inggris jika dilekatkan pada kata lain dapat membentuk kata baru yang memiliki arti baru. Pertama , awalan ‘sub’ digunakan sebagai penunjuk sesuatu yang berada ‘dibawah’ tapi masih dalam satu rangkaian dengan kata aslinya. Misalnya, subway yang berarti jalan yang berada di bawah jalan. Kedua, awalan ‘sub’ pada kata benda akan me mbentuk kata benda baru yang berarti bagian dari kata bendanya atau bagian dari sesuatu yang lebih besar, misalnya: subsistem, subbab dan sebagainya. Ketiga, awalan ‘sub’ pada kata sifat akan membentuk kata sifat baru yang menunjuk pada inferioritas. Misalnya, subnormal yang berarti sifat kurang dari normal. Lihat, Collins Cobuilds, English Dictionary for Advanced Leaners. (third ed). HarperCollins Publisher. 2001. halm : 1552

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 36: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

24

berbeda dari kultur. Padahal, umumnya ‘pembedaan’ dilakukan untuk

membandingkan antar bagian, bukan dengan kesatuannya, misalnya, subbab satu

dengan subbab lainnya bukannya subbab dengan babnya. Kalau hal itu terjadi, ada

dua kemungkinan, subbab tidak menjelaskan bab atau bab yang tidak sesuai

dengan subbab. Dengan kata lain, keduanya selalu saling menegasikan.

Lantas, apa alasannya subkultur harus dibedakan dengan kultur? Kultur

dalam terjemahan di atas secara implisit didefinisikan sebagai sesuatu yang

dominan dan banyak dipakai orang, baik berupa perilaku, keyakinan, ide, seni dan

cara hidup. Dalam penggunaannya, kata subkultur seringkali digunakan sebagai

istilah (terutama dalam sosiologi) untuk memberi nama pada suatu hal yang tidak

dominan atau dianggap kurang baik. Dengan kata lain, kultur sebagai sesuatu

yang dominan dan baik.

Hebdige dalam tulisannya Subculture : The Meaning of Style14 memulai

menjelaskan gagasan subkultur dengan terlebih dahulu menjelaskan asumsi kultur

atau budaya. Hebdige juga memulai melihat definisi kultur dari kamus dan

menyimpulkan bahwa budaya adalah konsep yang sangat tidak jelas karena

pemaknaannya yang berbeda-beda15. Pada akhirnya, Hebdige menjelaskan definisi

dasar budaya pada alur yang cenderung sosialis. Definisi yang ada berasal dari

definisi tradisional dalam tradisi seni dan definisi yang lebih antropologis16.

14 St. Sunardi pada pendahuluan bukunya menjadikan tulisan Hebdige ini sebagai salah satu contoh tulisan yang menggunakan semiotika Roland Barthes yang berusaha untuk memposisikan subkultur sama saja dengan kultur. Lihat, Semiotika Negativa , halm:xi-xxvii. 15 Hebdige mengambil definisi kultur dari Oxford English Dictionary yang menyebutkan kultur sebagai kata benda yang seolah merangkum keseluruhan aktivitas manusia mulai dari kegiatan keberagamaan sampai dengan bercocok tanam. Lihat, Subculture : The Meaning of Style, halm: 5 16 Pembedaan keduanya juga dilakukan oleh Stuart Hall, Representation: Cultural Representation and Signifying Practice, halm: 2

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 37: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

25

Definisi pertama mengacu pada segala sesuatu yang dapat dikatakan “terbaik”,

seperti: opera, balet, drama, dan sebagainya. Definisi kedua, yang kemudian

dianut oleh Hebdige, dipinjam dari definisi Raymond Williams mengenai budaya

sebagai cara hidup tertentu yang mengekspresikan makna dan nilai tertentu. Cara

hidup yang dimaksud Williams adalah cara hidup yang dilakukan setiap hari oleh

masyarakat dan tidak terbatas di dalam seni dan pembelajaran17. Dengan kata lain,

objek kajian budaya, pada definisi kedua, dapat juga berupa hal-hal yang biasanya

dianggap sepele seperti final sepak bola, kuliner, musik, permainan tradisional,

dan sebagainya.

Definisi kedua bagi Hebdige lebih memberikan keleluasaan ruang gerak

untuk memformulasikan hubungan antara budaya dan masyarakat. Definisi

semacam ini memungkinkan menganalisa persoalan mengenai “makna dan nilai”

yang seolah tertutupi dalam tampilan ekspresi kehidupan sehari-hari. Persoalan

“makna dan nilai” inilah yang menjadi konsep pokok Hebdige dalam menganalisa

gaya subkultur 18 yang dalam keseharian diidentikkan dengan kesan “murahan”

dan “kurang berbudaya”.

Pada praktiknya Hebdige tidak serta merta melepas definisi pertama.

Mulanya, Hebdige memposisikan gaya subkultur dalam definisi pertama. Artinya,

Hebdige tertarik untuk meneliti subkultur, terutama punk, karena masih sering

dimaknai sebagai ‘anak haram’ budaya oleh orang kebanyakan. Pemaknaan

seperti itu diberikan kepada penganut subkultur lebih pada segala sesuatu yang

17 Dick Hebdige, Subculture : The Meaning of Style, halm:10-11 18 Secara spesifik Hebdige hendak menjelaskan terbentuknya gaya subkultur Punk Inggris yang secara tidak langsung menjelaskan hampir seluruh gaya kelompok-kelompok subkultur Inggris, seperti Teddy Boy dan Skin head.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 38: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

26

menempel padanya (mulai dari pakaian, musik, sampai gaya rambut). Dari sini

Hebdige berkesimpulan bahwa segala sesuatu yang menempel hingga menjadi

gaya, selalu melibatkan proses pemaknaan dan penilaian19. Punk dengan gayanya

telah melalui proses pemaknaan dan penilaian hingga menjadi sebuah subkultur

yang wajar saja jika dipinggirkan.

Selanjutnya, Hebdige membawa punk untuk dianalisa menggunakan

definisi kedua. Hebdige membawa persoalan “makna dan nilai” dalam tradisi

semiotika Roland Barthes20. Barthes mencoba memperlihatkan sifat-sifat

fenomena kultural dan membongkar makna laten kehidupan sehari-hari yang

tampak “wajar”. Barthes, seperti juga diinginkan Hebdige, tidak bermaksud

membuat kategorisasi tentang yang baik dan buruk atau yang benar dan yang

salah. Akan tetapi, Hebdige hendak membawa persoalan budaya pada pelacakan

historis mengenai pembentukan apa yang dikatakan “wajar” oleh kebanyakan

orang. Melalui Mythologies yang diusulkan Barthes, Hebdige ingin menguji

rangkaian aturan, kode, konvensi yang menjadikan pemaknaan dalam suatu

kelompok sosial tertentu “diterima” dan digunakan oleh hampir keseluruhan

masyarakat21.

Oleh sebab itu, budaya dalam definisi Williams sebagai “keseluruhan cara

hidup”, bagi Hebdige perlu mendapatkan dimensi praktis dalam pemahamannya.

Hebdige memakai usulan EP Thomson untuk mengganti pengertian budaya versi

Williams, yang terkesan “pasrah”, menjadi “teori hubungan antar unsur yang

19Ibid, halm : 8 20Semiotika sering disebut sebagai disiplin ilmu yang erat kaitannya dengan Kajian Budaya, khususnya semiotika Barthes. Lihat, St. Sunardi, Semiotika Negativa, halm :x-xi 21 Dick Hebdige, Subculture : The Meaning of Style, halm : 9

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 39: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

27

terdapat dalam keseluruhan cara hidup”22. Hal ini untuk memunculkan kepekaan

bahwa “cara hidup”, seperti apapun, merupakan hasil “konflik” berikut cara-

caranya dari kepentingan semua unsur yang ada dalam suatu kelompok

masyarakat. Kata “ideologi” selanjutnya diperkenalkan Hebdige guna membuat

kerangka analitis yang dapat menyebutkan “bingkai” dari hubungan sosial seperti

ini.

Melaui Althusser, Hebdige membuat ilustrasi apa yang dimaksudnya

sebagai tindakan “ideologis”. Hebdige merumuskan istilah ideologi bukan sebagai

konsep tindakan, melainkan tindakan itu sendiri. Artinya, tidak satupun aktivitas

manusia lepas dari jaring ideologi, mulai dari cara menggosok gigi sampai dengan

kebutuhan untuk menyampaikan pendapat. Ideologi memadati wacana sehari-hari

tanpa membuat pelakunya sadar karena posisinya memang bukan dalam

kesadaran, tapi justru dalam alam bawah sadar23.

Ideologi juga erat kaitannya dengan kecenderungan untuk memposisikan

diri dalam “konflik” antar unsur masyarakat. Posisi ideologi tepat berada pada

“kesadaran” individu untuk melakukan peran sosialnya sesuai dengan status sosial

yang ada padanya (the role of a subject )24. Seorang guru bukan hanya “sadar”

22 Ibid, halm : 10 23 Hal ini berbeda dengan Marx yang meyakini bahwa ideologi merupakan suatu bentuk kesadaran yang diciptakan oleh penguasa, meskipun berupa “kesadaran palsu”, lihat, Hebdige halm: 12. 24Althusser membedakan State Apparatuses (SA) menjadi dua: Repressive State Apparatuses (RSA) dan Ideological State Apparatusses (ISA). RSA merujuk pada SA dalam teori negara Marx. Seperti ditegaskan Althusser dalam Essays On Ideology yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Tentang Ideologi : Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies “, gagasan Marx mengenai SA adalah aparatus negara (pemerintahan, polisi, penjara, dan sebagainya) yang dijalankan melaui ke kerasan dan berada dalam kewenangan “publik”. ISA berada dalam berbagai institusi yang ada dalam masyarakat, berupa “wewenang pengaturan” yang bersifat “privat” dan berfungsi melalui ideologi, seperti ISA Agama, ISA budaya (kesusasteraan, seni, olah raga dan sebagainya), ISA pendidikan, dan sebagainya. Lihat, halm: 23.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 40: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

28

mengenai tugasnya sebagai “guru”, tetapi ia juga harus “sadar” betul siapa yang

diajarnya, di sekolah mana ia mengajar, mengajar apa, dan sebagainya.

Dengan kata lain, fenomena kultural merupakan kerja dari ideologi yang

diterima begitu saja oleh masyarakat melaui peran sosialnya. Di sinilah semiotika

hendak membaca fenomena kultural. Nilai semiotika dari aspek budaya adalah

diperlakukannya fenomena kultural sebagai tanda, yakni sebagai unsur dalam

sistem komunikasi yang dikendalikan dengan aturan dan kode semantik,

meskipun sebenarnya secara kasat mata tidak dapat secara langsung dapat

tertangkap pengalaman25.

Untuk membongkar dimensi ideologis tanda, pertama-tama harus

diuraikan kode-kode yang dipakai untuk menyusun makna. Hal ini akan

membantu untuk menyusun bentuk dari sebuah “peta makna” yang akan terlihat

sebagai makna yang potensial, menyingkirkan banyak makna lainnya. Mengingat

bentuk-bentuk kekuasaan ada dimana-mana, maka makna potensial adalah makna

yang dimenangkan dari sebuah “konflik sosial” dan menjadi makna yang

berkuasa. Dengan kata lain, dengan memenangkan persaiangan makna berarti

makna yang dipresentasikan selalu tunggal. Penunggalan pemaknaan ini, ketika

dapat merangkul segala bentuk kepentingan politik, kelas dan momen yang tepat

akan menjadi ideologi dominan. Ideologi tersebut disebut juga ideologi orang

kebanyakan, yakni ideologi yang dimenangkan. Di dalamnya meliputi gagasan

yang mampu menjadi ekspresi ideal atas hubungan material dan diterima sebagai

25 Dick Hebdige, Subculture : The Meaning of Style, halm : 14

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 41: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

29

gagasan, meskipun itu adalah gagasan tentang kedominanan26. Hal inilah yang

dapat menjawab pertanyaan kritis, seperti: bagaimana segala bentuk klasifikasi

atau penggolongan (mulai dari ekonomi sampai pendidikan) dapat terjadi?

Kelompok dan kelas sosial mana yang menentukan pengaturan tersebut? Dan

sejauh mana mereka mengatur penggolongan tersebut?27.

Kenyataan inilah yang membawa Hebdige pada teori hegemoninya

Gramsci28. Istilah hegemoni mengacu pada situasi yang di dalamnya terdapat

persekutuan sementara antar beberapa kelompok. Persekutuan tersebut mampu

mengerahkan “otoritas sosial total” atas kelompok lain yang tersubordinasi, bukan

hanya dengan koersi atau memaksakan gagasan kekuasaan, tapi dengan

memenangkan dan membangun persetujuan hingga mengalamiahkan dan

mengabsahkan kekuasaan kelas-kelas dominan29. Hegemoni hanya dapat

dipertahankan sejauh kelas dominan berhasil membingkai seluruh definisi para

pesaingnya ke dalam jangkauan mereka. Kalaupun terdapat beberapa kelompok

subordinat yang tidak dapat dikontrol, setidaknya masih dalam identifikasi ruang

ideologis kelompok pemenang. Paling tidak, mereka dapat disebut sebagai

subkultur.

26 Ibid, halm : 15 27 Ibid, halm : 13 28 Sebenarnya Gramsci juga menyadari bahwa negara tidak semata-mata State Apparatuses, tapi termasuk juga institusi ‘masyarakat sipil’, seperti: gereja, sekolah, serikat buruh, dan sebagainya. Althusser sendiri sering disebut sebagai “penerjemah” teori Gramci karena hampir seluruh pembahasanya mengenai ideologi dimulai dari gagasan Gramsci. Kaitan yang paling mendasar antara “Ideologi” Althusser dan teori Hegemoni Gramsci adalah pada pembedaan RSA dan ISA. Baik Gramsci maupun Althusser keduanya meyakini bahwa wewenang institusi apapun yang ada dalam masyarakat merupakan bentuk dari usaha pengaturan oleh pihak yang berkuasa. “publik” dan “privat” dibedakan untuk melanggengkan “otoritas” kaum bosjuis atas wewenang negara. Lihat, Althusser , “Tentang Ideologi : Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies “, halm : 21. bdk dengan, Gramsci “Catatan-catatan Politik ”, halm : 194. 29 Dick Hebdige, Subculture : The Meaning of Style, halm : 16

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 42: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

30

Dari rumusan tersebut, Hebdige sebenarnya sedang membuat definisi

(bahkan teori!) subkultur. Subkultur, dalam praktiknya, mengisyaratkan usaha

merumuskan strategi hidup yang tidak disediakan bentuk dan maknanya dalam

sebuah kutur. Jika definisi sebelumnya merujuk pada kelompok, kali ini lebih

pada tindakannya. Suatu praktik sosial disebut subkultur apabila tindakan yang

sama memakai praktik pemaknaan lainnya dalam sebuah sistem sosial tertentu.

Atau, praktik signifikansi yang sama dilakukan untuk tindakan yang berbeda.

2. Subkultur Musikal

Menambah istilah “musikal” di belakang istilah subkultur, sedikit banyak akan

memunculkan keraguan; benarkah subyektivitas selera musik dapat mengontrol

subyektivitas lainnya? Bukankah selera musik merupakan disposisi musikal

(estetis)? Ketika selera musik “berjumpa” dengan proses sosial, ia juga akan

“berjumpa” dengan ketersediaan posisi dalam interaksi sosial. Berarti atau

tidaknya “perjumpaan” tersebut akan diketahui dari kecenderungan selera musik

seseorang memposisikan diri dalam interaksi sosial. Pada posisi ini, selera musik

“bersaing” dengan selera musik lainnya dalam menentukan status posisi; status

distingsi30. Oleh karena itu, selera musik dalam kajian sosiologi hanya dapat

ditunjukkan bentuk dan posisinya saat dipakai dalam suatu praksis musikal.

Suatu praksis musikal mengindikasikan suatu tindakan musikal. Budaya

pada prinsipnya dihidupi oleh berbagai tindakan sosial. Ketika penelitian ini

mengaitkan musik dengan pendukungnya, suatu tindakan musikal dapat diartikan 30 John Frow, Cultural Studies and Cultural Value, halm: 5.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 43: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

31

sebagai tindakan sosial. Budaya musikal dihidupi oleh berbagai tindakan musikal.

Sebagai sebuah tindakan, musik mengalami mekanisme proses yang nyaris tidak

banyak berbeda dengan tindakan sosial lainnya.

Praksis musikal, pada praktiknya, akan selalu terkait dengan kemungkinan

hadirnya selera musik sebagai bentuk musikal yang telah disediakan. Suatu

praksis musikal disebut sebagai bagian dari subkultur musikal ketika tindakan

musikal yang dihidupi oleh kelompok tertentu mengalami “miskomunikasi”

dengan bentuk-bentuk musikal yang telah disediakan (dan diatur) dalam suatu

budaya musikal. Praksis musikal ternyata tidak saja mereproduksi bentuk-bentuk

yang sudah ada, tapi juga “berambisi” memproduksi bentuk lainnya.

Pada posisi ini, praksis dihidupi oleh semangat mengekspresikan sesuatu.

Ekspresi ini dipicu oleh selera musik yang hendak merepresentasikan diri dalam

ruang sosial. Pada saat itulah, selera musik berjumpa dengan istilah “pemaknaan”,

“ideologi” dan “hegemoni”. Representasi selera musik dalam ruang sosial tidak

dapat membebaskan diri dari praktik pemaknaan dan “dicurigai” sebagai

representasi ideologis, atau bahkan representasi ideologi dominan (hegemoni).

Ketika representasi tersebut dipahami sebagai bentuk, maka sosiologi musik

merupakan sosiologi bentuk simbolik musik.

Teori praksis yang dirintis Bourdieu, menempatkan selera (disposisi

estetis) sebagai a cultural theory of action31. Budaya musikal merupakan

mainstream yang dipakai seseorang atau kelompok masyarakat

31 David Swartz, Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu, halm: 95

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 44: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

32

mengkonsultasikan seleranya. Hasil dari proses tersebut adalah suatu praksis

musikal. Bourdieu merumuskan praksis sebagai kombinasi disposisi (habitus)

dengan modal terhadap medan (praksis = habitus (modal) + medan)32. Rumusan

tersebut didasari oleh pemikiran Bourdieu mencari kemungkinan suatu tindakan

dilakukan bukan semata-mata mengikuti pola tindakan yang ada atau menjadi

produk dari aturan tertentu33.

Medan merupakan arena perebutan legitimasi (kekuasaan). Di dalamnya

meliputi ruang-ruang terstruktur yang diisi oleh berbagai jenis modal. Medan juga

menyediakan bentuk-bentuk khusus bagi pelaku untuk bertindak dan memiliki

mekanisme internalnya sendiri yang otonom dan relatif34. Dengan kata lain,

medan merupakan ruang obyektif yang merepresentasikan aturan yang legitimate.

Medan musikal, dalam hal ini, menunjukkan ruang obyektif musik yang dijadikan

arena perebutan kekuasaan. Representasi musik dalam medan musikal berupa

bentuk-bentuk simbolik musik yang telah atau akan siap dimaknai. Bentuk-bentuk

tersebut berasal dari materi musik yang memicu interpretasi pemaknaan. Dasilva

menyebut materi tersebut antara lain: harmoni, ritme, dan melodi35. Akan tetapi,

interpretasi pemaknaan hanya mungkin terjadi dalam budaya musikal. Karena,

pemaknaan yang akan menginterpretasi materi musik merupakan pemaknaan di

32 Richard Harker, dkk, (HabitusxModal)+Ranah=Praktik 33 David Swartz, Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu, halm: 95 34 St. Sunardi, dalam makalah kuliah Seni Pop, Estetika Musik Pop, halm: 5 35 Fabio Dasilva,dkk, The Sociology of Music, halm: 14. Bdk dengan Roger Kamien, Music: An Appreciation, halm: 2-86. Kamien meyakini ada sebelas elemen musik yang hadir bersama-sama ketika musik ditampilkan. Kesebelas elemen tersebut antara lain: suara (pitch, dinamika, warna nada), suara penyanyi dan alat musik pengiringnya, ritme, notasi musik, melodi, harmoni, kunci, tekstur musikal, bentuk musikal, performansi, dan gaya musikal.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 45: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

33

luar musik (extramusical meaning)36. Pemaknaan tersebut diperoleh dari budaya

pendukung musik37 (penonton, pemain, dan penanggap). Dengan kata lain, medan

musikal merupakan bentuk-bentuk musikal yang memakai kaidah bahasa budaya

musikal.

Kombinasi disposisi estetis (selera) dengan modal mengakses medan

pertama-tama dipengaruhi oleh kesadaran pada aturan main dalam medan.

Bagaimana kombinasi tersebut “berkomunikasi” dengan medan akan terlihat

dalam praksis musikal. Praksis musikal pada akhirnya menunjukkan bagaimana

suatu tindakan musikal dibentuk, mengikuti dan menginterpretasikan aturan yang

diinformasikan dalam medan musik. Lebih jauh, kita dapat memahami masyarakat

melalui musik yang didukungnya dengan cara memahami praksis musikalnya.

C. Kesimpulan

Budaya musikal religius merupakan budaya musikal yang “disepakati” oleh

budaya pemain, penonton dan penanggap. Dalam konteks Al-Asyik, tesis ini akan

melihat budaya musikal religius yang dihidupi oleh budaya pemain. Jika budaya

musikal religius terdiri dari beberapa praksis musikal religius, praksis gambus 36 Dasilva, dkk, memaparkan empat makna ekstra musikal yang biasanya hadir dalam suatu pertunjukan musik, antara lain: makna afektif (affective meanings), makna deskriptif (descriptive meanings), makna yang berkaitan dengan nilai (value meanings) , makna teknis (technical meanings). Makna afektif meliputi bentuk-bentuk emosi yang dihadirkan dalam suatu pertunjukan musik, seperti: senang, sedih, takut, marah dan sebagainya. Makna deskriptif biasanya mengaitkan musik dengan deskripsi tertentu, seperti: upacara, perang, hajatan, dan sebainya. Makna yang berkaitan dengan nilai biasanya hadir dalam pertunjukan musik dalam bentuk penilaian, seperti; baik, buruk, sopan, religius, urakan, seronok dan sebagainya. Sedangkan, pemaknaan teknik biasanya mengaitkan musik dengan kemasannya atau dengan standar teknis pelaksanaannya, seperti: profesional, rapi, jago, mahir dan sebagainya. lihat, ibid, halm: 11 37 Pendukung musik dalam tradisi musik industri berbeda dengan pendukung musik tradisi; “Traditional folk music, ... , is the work of nonspecialist ... what is not handed down from one generation to another in folk music is the work of improvisation. Lihat, ibid, halm:35

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 46: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

34

merupakan salah satu praksis musikal religius. Dengan kata lain, praksis Al-Asyik

merupakan salah satu praksis gambus sekaligus salah satu praksis musikal religius

dalam budaya musikal religius.

Dalam rumusan Bourdieu, praksis merupakan kombinasi habitus dengan

modal ditambah medan (habitus (modal) + medan). Dalam praksis musikal

gambus Al-Asyik, medan gambus yang akan dilalui merupakan medan yang

berkoordinasi dengan medan musik religius lain dalam suatu budaya musikal.

Medan merupakan bahasa yang dipakai oleh budaya musikal untuk

“mengundang” berbagai jenis pembicaraan; berbagai suara (speech). Setiap

praksis musikal merupakan suara yang dipahami oleh bahasa medannya. Ketika

suatu praksis musikal memakai suara yang tidak terlalu dipahami maksudnya oleh

bahasa medan, praksis tersebut akan disebut sebagai praksis subkultur musikal.

Artinya, yang menjadi “penentu” status praksis adalah kombinasi habitus dengan

modal, dalam hal ini, suara pemain.

Dengan kata lain, ada dua hal yang dibutuhkan untuk mengetahui status

praksis gambus Al-Asyik: medan gambus dan praksis gambus Al-Asyik. Dari

sana, akan diketahui suara apa yang hendak diusahakan oleh Al-Asyik. Sekaligus,

akan diketahui bagaimana “suara” tersebut dikenali oleh bahasa medan. Oleh

sebab itu, penulis membutuhkan metode penelitian yang dapat membantu

mengetahui hal tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 47: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

35

D. Metode Penelitian

Secara khusus, penelitian ini tertarik untuk memahami “suara” Al-Asyik dalam

praksis gambus. Suara Al-Asyik yang akan dipahami dalam penelitian ini akan

dibatasi dalam praksis gambus Al-Asyik di Ambulu sejak pembentukan kelompok

Al-Asyik (tahun 2000) hingga saat penelitian dilakukan (2006). Secara tehnis,

penelitian ini akan dibagi dalam tiga tahap: Observasi awal, pengumpulan data,

dan Analisis data.

a. Observasi Awal

Observasi awal dibutuhkan untuk melihat berbagai kemungkinan praksis gambus

Al-Asyik dapat dijelaskan. Dalam sebuah praksis gambus terdapat dua kenyataan:

praksis gambus Al-Asyik sebagai kondisi obyektif “suara” Al-Asyik dan medan

gambus sebagai kondisi obyektif aturan main dalam gambus. Untuk itulah,

Praksis Al-Asyik akan dipilih sebagai kasus yang akan dipahami melalui

mekanisme studi kasus 38. Artinya, sebelum menunjukkan praksis Al-Asyik, kita

perlu menunjukkan medan gambus yang dilaluinya agar kajian kasus praksis Al-

Asyik akan sampai pada menunjukkan data mengenai kekhasan39 praksis Al-

Asyik dibandingkan dengan praksis gambus lainnya.

b. Pengumpulan Data

38 Robert E. Stake, dalam Case Study, menegaskan bahwa studi kasus bukanlah metodologi. Studi kasus merupakan pilihan obyek yang akan dipelajari. Lihat, halm: 236. 39 Lihat, ibid, halm: 238.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 48: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

36

Bagaimana data mengenai medan gambus dikumpulkan? Dalam latar belakang

penelitian dimulai dengan meletakkan gambus sebagai musik religius. Asumsi

tersebut secara tegas menunjukkan legitimasi yang sedang diperebutkan dalam

praksis gambus adalah legitimasi religius dan legitimasi musikal. Kedua jenis

legitimasi tersebut akan diperebutkan oleh berbaga i kepentingan dalam ruang

sosial. Artinya, ada bentuk-bentuk khusus yang disediakan oleh struktur ruang

sosial dalam mengakomodasi proses perebutan legitimasi. Pada posisi ini, setiap

legitimasi akan memiliki bentuk dan struktur ruang sosialnya sendiri. Ruang

sosial tersebut memiliki aturan main sendiri. Ruang tersebut bersifat otonomi

relatif terhadap ekonomi; tidak semata-mata dikendalikan oleh mekanisme

ekonomis.

Dengan kata lain, penelitian ini akan melihat medan gambus dalam dua

ruang sosial yang dipakai sebagai ruang perebutan legitimasi religius dan

legitimasi musikal. Ruang tersebut diberi nama Ruang Religius dan Ruang

Musikal. Sederhananya, kita akan melihat proses pemaknaan religius gambus dan

proses pemaknaan musikal gambus. Artinya, penelitian ini membutuhkan data

yang dapat menunjukkan terjadinya proses pemaknaan; sejarah pemaknaan

gambus sebagai bagian dari kultur musikal religius di Ambulu.

Dalam kajian semiotika, kebutuhan data tersebut dapat diperoleh dengan

cara menguji rangkaian aturan, kode, konvensi yang menjadikan gambus dapat

dimaknai dalam ruang religius dan ruang musikal. Hal itu dapat dimulai dari

menentukan bentuk-bentuk yang disediakan oleh ruang sosial untuk

“memproduksi dan mereproduksi” makna religius dan makna musikal gambus.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 49: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

37

Metode yang dipakai untuk mengumpulkan data tersebut adalah observasi

langsung di lapangan.

Untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk tersebut dimaknai dapat

dilakukan dengan cara mengobservasi langsung bagaimana bentuk-bentuk

tersebut dipakai dalam interaksi sosial. Untuk lebih menguatkan data observasi,

data penelitian perlu dilengkapi dengan cara mengumpulkan dokumen atau

mewawancarai sumber informasi mengenai pemakaian bentuk-bentuk tersebut

selama ini. Metode ini berlaku untuk memenuhi kebutuhan data dalam memahami

ruang religius dan juga ruang musikal.

Selanjutnya, penelitian ini perlu melihat praksis gambus Al-Asyik yang

dapat ditunjukkan melalui bentuk-bentuk musikal yang dihidupi Al-Asyik. Data

mengenai hal itu dapat diperoleh dengan cara menanyakan langsung kepada

pemain, mengobservasi langsung di lapangan, atau melihatnya dalam video

rekaman pentas Al-Asyik.

Akan tetapi, bentuk-bentuk tersebut tidak akan sampai pada praksis

gambus khas Al-Asyik, ketika tidak melibatkan pemaknaan pemain Al-Asyik.

Penelitian ini perlu mengetahui “suara” Al-Asyik dalam menghidupi bentuk-

bentuk musikal gambus. Hal itu dapat dilakukan dengan cara mewawancarai

setiap pemain. Apa saja yang akan ditanyakan untuk mengetahui suara Al-Asyik?

Ketika Bourdieu meneliti “taste” masyarakat Paris, ia menanyakan kecenderungan

seseorang (yang digolongkan berdasarkan pendidikan dan kelas) memilih bentuk-

bentuk estetis dari produk budaya, seperti musik, pakaian, furniture, hingga

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 50: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

38

lukisan40. Dengan maksud yang sama, data mengenai “suara” Al-Asyik akan

dilihat dari kecenderungannya memilih produk musikal. Akan tetapi, karena

kebutuhan penelitian ini ingin memahami secara khusus “suara” Al-Asyik, maka

produk musikal akan diganti sebagai produk yang membuat gambus Al-Asyik

dapat diselenggarakan (the condition of existence). Dari pengamatan awal,

penyelenggaraan gambus bagi pemain Al-Asyik sangat tergantung pada: alat

musik berikut kemampuan pemain memainkan alat musik, text musik (termasuk

setting pertunjukan dan pakaian), dan pendukung musik (penanggap dan

penonton). Agar dapat dilihat kecenderungannya, draf pertanyaan dibuat berupa

kuesioner terbuka41.

Untuk mengecek validitas dan reliabilitas kecenderungan pemain,

penulis perlu membandingkannya dengan kecenderungannya memilih bentuk

tertentu dalam medan lain, misalnya: gaya rambut, jenis-jenis pajangan dinding

rumah, dan sebagainya 42. Selanjutnya, data mengenai medan dan praksis gambus

Al-Asyik akan dipakai untuk mengetahui dan menganalisa kombinasi habitus

dengan modal pemain.

c. Analisis Data

Analisis data pada prinsipnya menyusun dan membaca data agar dapat dipakai

untuk menjawab pertanyaan penelitian. Pertanyaan pertama dalam penelitian ini

mengenai proses pemaknaan yang menghasilkan gambus dinilai sebagai musik

religius. Pertanyaan ini dapat dijawab oleh data mengenai medan gambus. 40 Bourdieu, Distinction: A Social Critique of The Jugdement of Taste, halm: 13 41 Kuesioner dapat dilihat dalam lampiran 2, halm: 130-133. 42 Data kroscek dapat dilihat dalam lampiran

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 51: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

39

Pertanyaan kedua mengenai bentuk-bentuk yang disediakan oleh kultur

musikal religius yang ada dan bagaimana kelompok Al-Asyik memilih bentuknya.

Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang memiliki struktur “praksis gambus”.

Pertanyaan ini untuk menunjukkan apa yang khas dari Al-Asyik. Oleh sebab itu,

pertanyaan tersebut akan dijawab dengan “mengkomunikasikan” data mengenai

medan gambus dan data mengenai kecenderungan pemain Al-Asyik memilih

bentuk-bentuk tertentu.

Pertanyaan terakhir merupakan pertanyaan sosiologis. Pertanyaan

tersebut akan mengembalikan praksis Al-Asyik untuk direspon oleh masyarakat

Ambulu, terutama oleh medan gambus. Oleh sebab itu, pertanyaan tersebut akan

didekati dari jawaban dua pertanyaan sebelumnya. Ketika medan gambus dan

praksis gambus Al-Asyik dikenali bentuknya, dari sana akan terlihat apa yang

sedang disuarakan oleh kelompok Al-Asyik ketika berkomunikasi dengan ruang-

ruang sosialnya.

Dengan demikian, penyusunan data akan dimulai denga n membaca

medan gambus, praksis gambus Al-Asyik dan diakhiri dengan mengetahui suara

Al-Asyik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 52: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

40

BAB III

MEDAN GAMBUS AL-ASYIK

Bab ini akan menunjukkan medan gambus Al-Asyik sebagai upaya untuk melihat

sejarah gambus, terutama sejarah gambus Al-Asyik di Ambulu. Dengan memakai

istilah medan, penulis berharap sejarah gambus yang akan ditunjukkan dapat

menjangkau dinamika “internal” gambus. Medan gambus sekurang-kurangnya

akan menunjukkan situasi sosial macam apa yang dapat mengakomodasi gambus,

bagaimana bentuk-bentuk gambus diproduksi dan apa saja yang dibutuhkan untuk

terlibat dalam medan gambus. Lebih jauh, medan gambus juga akan menunjukkan

“bentuk gambus” mana yang legitimate.

Seperti telah dirumuskan dalam metode penelitian, gambus yang akan

dibahas dalam tesis ini adalah gambus yang dihidupi sebagai musik religius oleh

masyarakat Ambulu. Artinya, ketika merumuskan medan gambus, tesis ini tidak

akan dapat melepaskan diri dari penjelasan mengenai religiusitas gambus di

samping musikalitas gambus. Oleh karena itu, penjelasan mengenai medan

gambus akan dilihat dari dua ruang tersebut; ruang religius dan ruang musikal.

Akan tetapi, sebelum melangkah pada penjelasan masing-masing ruang,

penulis perlu terlebih dahulu menjelaskan batasan “wilayah” Ambulu. Secara

administratif orang Ambulu mengenal dua istilah pemakaian kata “Ambulu”;

Kecamatan Ambulu dan Desa Ambulu. Ada banyak desa yang berada dalam

wilayah administratif Kecamatan Ambulu, salah satunya Desa Ambulu. Karena

semua kegiatan administratif Kecamatan berada di Desa Ambulu, maka secara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 53: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

41

kultural Desa Ambulu dikenal juga sebagai “ibukota” dari Kecamatan Ambulu.

Akan tetapi, Desa Ambulu sebagai wilayah administratif sendiri juga memiliki

pembagian wilayah secara kultural: Desa Ambulu dan Ambulu Kota. Dengan

demikian, Ambulu Kota merupakan kota dari ibukota Kecamatan Ambulu.

Deskripsi di atas dikemukakan sebagai catatan penting untuk

menekankan “status” Ambulu sebagai wilayah kultural. Karena, sejarah Al-Asyik

yang akan dibahas dalam bab ini adalah sejarah Al-Asyik dari Desa Ambulu yang

memiliki kultur Ambulu Kota. Sekurang-kurangnya, karena para pemain Al-

Asyik tinggal di wilayah kultural Ambulu Kota (akan dijelaskan kemudian).

Lebih jauh, deskripsi tersebut diperlukan untuk menegaskan bahwa sejarah yang

akan dipakai untuk memahami Al-Asyik adalah sejarah masyarakat Ambulu Kota.

Gambar 1. Peta Desa Ambulu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 54: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

42

A. Ruang Religius

Apakah relevan membicarakan religiusitas di Ambulu? Pasti relevan. Karena,

wacana religiusitas pada dasarnya mengasumsikan adanya praktik keagamaan

dalam suatu kelompok masyarakat yang meyakini suatu agama. Di Indonesia,

praktik semacam ini sudah bisa dipastikan terjadi di semua tempat. Akan tetapi,

seberapa relevan pembicaraan tersebut di Ambulu? Inilah yang perlu ditunjukkan

saat ini.

Data yang dapat dengan mudah disebut sebagai penunjuk relevansi

tersebut adalah data agama penduduk Ambulu. Dari 14.787 jiwa (Laki- laki: 7200

jiwa dan Perempuan: 7587 jiwa), 14.643 beragama Islam dan sebagian besar

berafiliasi dengan NU (Nahdatul Ulama). Akan tetapi, data tersebut tidak banyak

dipakai dalam penelitian. Kemungkinan data yang dibutuhkan dalam penelitian

berasal dari data bentuk-bentuk religius; simbol yang berkonotasi dengan

religiusitas. Ada empat simbol demikian di Ambulu, yaitu: Masjid Besar, jamaah

pengajian, dan musholla.

1. Masjid Besar sebagai ruang distorsif

Masjid merupakan tempat ibadah orang Islam. Konsekuensinya, setiap orang

Islam dapat memakainya sebagai sarana beribadah. Akan tetapi, pada

perkembangannya, setiap masjid memiliki konsep tertentu dalam mepraktikkan

makna tempat ibadah. Misalnya; masjid sebagai rumah Allah, masjid merupakan

tempat suci, dan sebagainya. Akibatnya, produksi pemaknaan Masjid tidak hanya

berasal dari kata “ibadah” tapi juga dari istilah “rumah Allah” dan “suci”. Praktik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 55: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

43

memakai masjid sebagai tempat aman dari gangguan mahluk halus dan tempat

pengungsian yang aman atau larangan tidur di dalam masjid adalah contoh praktik

pemaknaan masjid bukan sebagai tempat ibadah.

Masjid Besar merupakan salah satu bentuk pemaknaan masjid di luar

makna masjid sebagai tempat ibadah. Istilah “Besar” yang mengikuti istilah

“Masjid” jelas bukan istilah “religius”. Akan tetapi, ketika istilah tersebut dipakai

bersama-sama dengan istilah “Masjid” yang pasti bermakna “religius”, maka

Masjid Besar dapat dimaknai sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar religius,

lebih dari sekadar tempat ibadah.

Salah satu masjid di Kecamatan Ambulu, mendapat “status” sebagai

Masjid Besar dari negara. Dari 7 masjid di tiga dusun yang ada di desa Ambulu (1

masjid di dusun Krajan, 2 masjid di dusun Sumberan dan 4 masjid di dusun

Langon), hanya satu yang ditetapkan sebagai Masjid Besar, yakni masjid yang ada

di dusun Krajan. Artinya, Masjid Besar merupakan satu-satunya masjid yang

berada di Ambulu Kota. Dengan kata lain, seperti telah disebutkan di atas, Masjid

Besar bukan hanya masjid dusun Krajan dan Desa Ambulu, tapi juga Masjid

Kecamatan Ambulu.

Status kultural yang dimiliki masjid Ambulu Kota, memiliki

konsekuensi “kemudahan” administratif. Saat Depag (Departemen Agama)

memerlukan legitimasi kekuasaannya pada wilayah ideologis (salah satunya

agama), ia memakai masjid sebagai sarana mengkomunikasikan gagasan

kekuasaannya. Misalnya saja status Masjid Istiqlal Jakarta yang diklaim sebagai

Masjid Negara. Konsekuensinya, Masjid Istiqlal nyaris tidak memiliki identitas

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 56: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

44

“bangunan kultural”, melainkan bangunan yang melanggengkan pendapat negara.

Saat terjadi perbedaan pendapat mengenai hari raya Idul Fitri, Masjid Istiqlal

sudah bisa dipastikan melaksanakan Sholat Idul Fitri sesuai keputusan Menteri

Agama.

Proses yang melatarbelakangi berdirinya Masjid Istiqlal berbeda dengan

Masjid Besar. Akan tetapi, pengakuan negara atas Masjid Besar sama dengan

Masjid Istiqlal. Masjid yang didirikan dan dikelola oleh swadaya masyarakat

Ambulu Kota semula hanya dikenal sebagai Masjid Baitul Muttaqien. Pada awal

tahun 1985, Masjid Baitul Muttaqien berganti sebagai Masjid Jami’. Selanjutnya,

ia berubah menjadi Masjid Besar pada sekitar tahun 1994 dan diakui sebagai

masjid pemerintah. Perubahan tersebut dengan alasan nama Masjid Jami’ adalah

nama untuk masjid pemerintah tingkat Kabupaten. Sejak saat itu Masjid Besar

selalu mengapropiasi pendapat negara, terutama berkaitan dengan penentuan hari

raya Idul Fitri. Bahkan, saat jatuhnya hari raya Idul Fitri pemerintah berbeda

dengan keputusan PB NU, takmir Masjid Besar tetap menyelenggarakan sholat

Idul Fitri sesuai dengan keputusan pemerintah.

Lebih jauh, takmir Masjid Besar adalah orang yang diharapkan memiliki

status ganda: alim secara kultural dan alim secara kenegaraan. Status tersebut,

dalam faktanya, sangat mudah beradaptasi dengan situasi politik yang

memproduksi makna “kekacauan” untuk mendeskriditkan makna damai yang

dihidupi oleh aparatur negara. Sebagai masjid negara, takmir pun dituntut untuk

menyosialisasikan makna damai. Damai yang dimaksud di sini adalah konsisi

yang dapat menjembatani segala perbedaan yang ada, termasuk perbedaan afiliasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 57: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

45

NU dan Muhammadiyah, Partai Politik, sentimen Kyai, dan sebagainya. Masjid

Baitul Muttaqin tidak banyak bersuara mengenai “damai” dalam prespektif NU,

tapi damai dalam prespektif Negara. Terbukti, tema-tema ceramah-ceramah sholat

Jumat maupun sholat hari raya, cenderung mengapropriasi tema-tema kenegaraan,

seperti: himbauan saling menghormati antar pendukung partai, ceramah ahlak

dengan pengambilan contoh pejabat korupsi, dan sebagainya.

Masjid, pada posisi ini, tidak lagi bermakna tempat ibadah, tempat suci,

maupun rumah Allah. Makna masjid mengalami reproduksi (konsep) menjadi

tempat yang damai. Hal inilah yang menjadikan kepengurusan Masjid memiliki

kedekatan psikologis dengan Polsek (Kepolisian Sektor). Konsep “damai” yang

diyakini oleh pihak Masjid Besar (Ketua takmir dan sebagian besar pengurus)

sesuai dengan konsep menjaga keamanan yang dilakukan Polsek. Sudah menjadi

hal yang wajar setiap pergantian Kapolsek, ada “ritual” menyambangi Ketua

takmir.

Ketua takmir memiliki otoritas kultural dalam mempengaruhi kebijakan

Kapolsek yang berkaitan dengan “pengkondisian” masyarakat Ambulu. Bahkan,

dalam radius tertentu (sekitar 20 m) dari Masjid, segala aktifitas harus melalui ijin

pihak Masjid. Padahal, tepat di hadapan Masjid Besar terdapat alun-alun yang

paling representatif untuk mengadakan acara yang bersifat publikasi. Sebelum

otoritas masjid sekuat sekarang, pihak penyelenggara cukup meminta ijin

pemerintah desa atau kecamatan dengan pemberitahuan pada pihak polsek.

Karena relatif mudah, hampir semua kegiatan pernah diadakan di alun-alun, mulai

dari THR setiap tahun sampai dengan acara misbar (layar tancap). Saat ini, hanya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 58: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

46

acara-acara tertentu yang dapat memakai alun-alun, terutama acara-acara

“religius” menurut pihak Masjid. Kalaupun pernah ada konser musik band lokal

kabupaten, hal itu disebabkan promotornya adalah Djarum Super, yang pasti

memiliki modal untuk didahulukan.

Gambar 2. Masjid Besar Baitul Muttaqien Ambulu dan Alun-Alun Ambulu

Praktik konsep yang dipakai oleh pihak Masjid, sangat mempengaruhi

praktik religiusitas yang dilakukan di Masjid Besar. Hampir tidak ada ruang bagi

kyai NU lokal untuk menyampaikan ajaran ke-NU-an seperti fiqh sholat dan

ajaran sunnah dalam tradisi NU. Satu-satunya ruang tersebut hanya pada kajian

setiap Kamis Legi sore dan diisi oleh Kyai Baihaqi. Padahal, sebelumnya hampir

setiap hari ada pengajian tematik semacam itu. Misalnya, setiap hari Senin kajian

tauhid; Selasa kajian fiqh; Rabu kajian ahlak; Kamis kajian tafsir; dan Jumat

kajian hadis. Pemadatan tersebut lebih karena apa yang disampaikan para

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 59: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

47

penceramah seringkali menonjolkan sisi ke-NU-an, bukan ke-Islam-an. Hal itu

dianggap dapat membuat jarak yang lebih lebar (tidak damai) antara pihak Masjid

dan kelompok lain, terutama Muhammadiyah.

Pemeliharaan konsep damai tersebut dilakukan hingga pemilihan

anggota takmir. Pada posisi ini, pihak Masjid sangat percaya bahwa masjid

merupakan intitusi dengan misi. Karena itulah kebutuhan pada pengadaan struktur

kepengurusan termasuk tugas kerjanya merasa sangat diperlukan. Yang dapat

dilihat dari struktur tersebut adalah sebagian besar pengurusnya adalah orang-

orang memiliki modal yang cukup kuat; pedagang kaya, santri ponpes ternama

(modern), anggota DPRD, Kepala Sekolah, berpendidikan tinggi, kepala desa, dan

kyai moderat.

Konsekuensinya, cara takmir menghidupi masjid hampir selalu

mencerminkan habitus mereka. Salah satunya, menjadikan Masjid Besar sebagai

“pusat perhatian”(seperti kebanyakan pengurusnya). Mulai dari bangunan yang

dibuat sebagus mungkin (hampir setiap tahun ada pembangunan), mengadakan

Sema’an Al-Quran se-Kabupaten Jember, menghadirkan Penceramah dari luar

Kabupaten. Bahkan, mengundang kelompok gambus (ja’fin) dari Situbondo, yang

juga kelompok gambus pertama yang pernah tampil di Ambulu (1995).

Hal inilah yang menjadikan Masjid Besar sebagai salah satu simbol

religius yang dominan dalam ruang religius. Akan tetapi, produksi makna religius

dalam ruang religius yang ada di Ambulu tidak hanya dihasilkan oleh simbol

fisik, tapi juga oleh simbol kegiatan religius, salah satunya jamaah pengajian.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 60: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

48

Gambar 3. Kelompok ja’fin dari Situbondo

2. Jamaah pengajian sebagai ruang intensional Ruang ini berkebalikan dengan ruang Masjid. Jika ruang Masjid mendistorsi

pemaknaan tempat ibadah dengan konsep baru yang berlipat- lipat seperti konsep

“damai” dan “pusat perhatian”, ruang pengajian justru membuat suatu pemaknaan

“turun ke jalan” dan “dialami” oleh setiap muslim Ambulu. Jika ruang Masjid

membuat mekanisme seleksi, ruang pengajian membuat mekanisme sosialisasi.

Ruang pengajian membuat pemaknaan pengajian sebagai ruang mecari ilmu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 61: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

49

agama sebagai ruang yang wajib didatangi, bahkan bagi orang yang tidak merasa

perlu mencari ilmu agama.

Makna yang diproduksi bukanlah makna pengajian, melainkan pengajian

itu sendiri. Pengajian pada posisi ini meyakinkan orang Islam di Ambulu Kota

untuk mempercayai pengajian sebagai ruang yang baik; ruang yang religius.

Untuk itulah, hanya lembaga atau orang yang memiliki modal religiuslah yang

dapat membentuk jamaah pengajian. Di Ambulu, modal religius yang dimiliki NU

sebagai organisasi hanya berhasil “berkomunikasi” dengan jamaah pengajian

perempuan. Karena, jangkauan NU sebagai organisasi di Ambulu meliputi tingkat

dusun (Cabang, Anak Cabang, dan Ranting) ada lebih dari 10 kelompok pengajian

yang ada di Ambulu Kota. Mulai dari pengajian Muslimat NU Ambulu kota,

pengajian Fatayat Ambulu Kota, pengajian kubro Fatayat tingkat kecamatan,

hingga pengajian-pengajian Muslimat tingkat dusun. Padatnya jadwal pengajian

perempuan yang dilaksanakan di tingkat Ambulu Kota, mengakibatkan jamaah

pengajian yang diprakarsai masyarakat sangat terbatas. Hanya tersisa satu jamaah

yang diprakarsai oleh masyarakat, yaitu jamaah diba’ tingkat Ambulu Kota yang

dilaksanakan seminggu sekali.

Pengajian yang diprakarsai masyarakat justru lebih bisa bertahan di

kalangan laki- laki. Dari sekian banyak jamaah pengajian laki- laki, hanya satu

jenis pengajian yang diprakarsai oleh organisai NU tingkat ranting Ambulu Kota

(setiap malam Sabtu, 2 minggu sekali). Selain itu adalah pengajian dzikrul

ghofilin (sebulan sekali); pengajian Sholawat Nariyah (sebulan sekali); pengajian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 62: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

50

tahlil malam Jum’at yang dilaksanakan hampir semua kampung; dan pengajian

malam Selasa.

Khusus pengajian malam Selasa, reproduksi pemaknaan tidak hanya

berasal dari pengajian, tapi juga dari ketuanya (sekaligus penceramah tetap) Ustad

Abdullah Aslam. Sebagai salah satu murid pesantren Darul Hikmah Jember yang

direkomendasikan langsung oleh Ustad Agil (Kyai Pesantren), ia dapat menjadi

“representasi religius” kelompok etnis keturunan Arab (Wong Pakistan). Dengan

pakaian khasnya, jubah putih (gamis), ia “berhasil” menjadikan gamis sebagai

salah satu mode pakaian muslim yang dikenal dan dapat juga dipakai orang

Ambulu.

Dari sekian banyak jamaah pengajian yang ada di Ambulu, orang

memiliki kriteria menilai orang baik, salah satunya dinilai dari frekuensi datang ke

pengajian. Posisi pengajian jauh lebih efektif mengakumulasi bentuk-bentuk

komunikasi masyarakat muslim Ambulu. Tidak mengherankan, jika dalam

pengajian orang lebih leluasa “berbicara” karena merasa nyambung. Pengajian

membuat orang mengenal banyak bentuk “percakapan” hingga memiliki

mekanisme seleksi sendiri. Pengajian malam Selasa misalnya, lebih sering

didatangi oleh jamaah yang membutuhkan perbincangan Islam “kontemporer”.

Pengajian ini memiliki mekanisme mirip pengajian televisi, di mana ada

penceramah tetap yang memberikan “siraman rohani”. Pola komunikasi yang

dikembangkan adalah komunikasi searah.

Berbeda dengan jamaah malam Selasa, jamaah tahlil atau pengajian

malam Jumat memiliki konsep pengajian yang relatif interaktif di setiap kampung.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 63: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

51

Setiap orang “dibuat” memiliki peran; mulai dari pembacaan Al-Quran hingga

pembacaan tahlil, mulai dari pengiring srakalan, hingga pembaca sholawat. Akan

tetapi, mekanisme komunikasi yang diterapkan dalam pengajian malam Jumat

tidak sangat tergantung pada penceramah. Karena itulah, kebutuhan kelompok

pengajian malam Jumat dengan pengajian malam Selasa sangat berbeda.

Termasuk kebutuhan musik. Justru dari jamaah pengajian malam Jumat kelompok

hadrah muncul karena kebutuhan musikalisasi sholawat.

Singkatnya, model pengajian semacam pengajian malam Jumat memiliki

kemampuan mengapropriasi bentuk-bentuk bidang lain yang sejenis. Hadrah,

selain merupakan musikalisasi sholawat nabi, juga mengindikasikan bentuk

pertunjukan yang dihidupi dari pembagian peran yang seragam. Tidak ada alat

musik yang dominan atau pemain yang dominan. Semua pemain sekaligus

vokalis. Model tersebut tidak dimiliki oleh pengajian malam Selasa. Sampai

sekarang, tidak ada bentuk lain yang berkembang dalam ruang komunikasi

pengajian malam Selasa. Kalaupun ada usulan mengembangkan musik religius

dalam ruang pengajian malam Selasa, usulan tersebut tidak berhasil melahirkan

satu kelompok musik pun dari ruang ini.

Bagaimana dengan pengajian perempuan? NU sebagai motor penggerak

pengajian cukup membuat citra pengajian perempuan up to date, terkesan “maju”.

Bukan soal trend pengajian, melainkan terlihat religius pada zamannya. Untuk

itulah, bentuk-bentuk budaya pop (modern?) cepat menjadi model artikulasi

pengajian. Misalnya saja: model seragam jamaah yang setiap tahun berbeda,

mengikuti trend artis religius tertentu, atau melodi pelantunan diba’ yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 64: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

52

mengikuti lagu pop. Bahkan, kebutuhan jamaah perempuan pada musik religius

yang sedang populer terlihat betul hampir dalam segala hal. Karena, satu-satunya

musik religius perempuan yang populer adalah qasidah (Nasida Ria), sudah bisa

dipastikan seluruh kelompok yang terbentuk dari jamaah pengajian perempuan

adalah qasidah (samroh). Sebut saja kelompok Al-Inaroh, Al-Mar’atussholihah,

dan sebagainya.

3. Musholla sebagai ruang “bahasa”

Masjid dan Pengajian menjadikan makna yang ada padanya diseleksi atau di

distribusikan. Akan tetapi, musholla sebagai ruang religius justru mengalami

proses kehilangan makna dan hadir merepresentasikan format baru yang juga siap

dimaknai kembali. Hal ini terjadi pada musholla Najjatul Khoir dan Miftahul

Khoir. Eksistensi musholla yang terlanjur dimaknai sebagai alternatif tempat

sholat selain masjid, diganti dengan eksistensi tempat mengaji. Sekitar 30 tahun

nama musholla Najjatul Khoir diganti menjadi pesantren Najjatul Khoir.

Sementara, mengikuti “popularitas” Najjatul Khoir (termasuk mengikuti nama),

musholla Miftahul Khoir yang sebelumnya dikenal sebagai langgar Kauman

Kidul diubah menjadi Pesantren Miftahul Khoir.

Mekanisme pesantren pada dirinya sendiri merupakan ruang intensional

seperti pengajian. Jika makna pengajian “turun ke jalan” dengan cara “dialami”

oleh setiap muslim, makna pesantren justru “dialami” oleh orang yang merasa

mapan ilmu agamanya. Akan tetapi, pada perkembangannya ruang pesantren

menjadi ruang distorsif yang seringkali berakhir dengan dimaknai sebagai areal

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 65: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

53

luas dimana santri menginap. Pada kasus pesantren Ambulu, tidak ada pemilik

modal yang memiliki areal luas dan menyediakan kamar untuk santri menginap.

Hanya ada kelompok orang yang “terpanggil” untuk memberikan ilmunya. Sekitar

30 tahun lalu, setiap orang memiliki kelompok mengaji di rumah masing-masing.

Tradisi ini paling banyak dilakukan oleh Keluarga Marhaban. Akan tetapi, dalam

perjalanannya “privatisasi” rumah tinggal sering menjadi alasan untuk tidak lagi

memakai rumah sebagai tempat mengaji. Selain, karena pada praktiknya

mekanisme semacam ini telah diwakili oleh jamaah pengajian.

Jika pengajian telah mencukupi, kenapa muncul pesantren? Karena ada

kelompok muslim yang belum terpanggil dalam pengajian, yaitu kelompok remaja

dan anak-anak. Karena remaja dan anak-anak dinilai sebagai figur yang “labil”,

maka fungsi pesantren menjadi relevan untuk kelompok tersebut. Pesantren yang

dimaksud bukan “pesantren mainstream”, tapi pesantren musholla. Hasilnya, dua

simbol ruang religius terpaksa berada dalam satu ruang. Konsekuensinya, ada

produksi simbol dan pemaknaan baru yang diambil dari keduanya.

Simbol baru tersebut bukan saja merupakan simbol akumulasi

pemaknaan makna religius, tapi juga mengganti makna ruang religius yang

disaingi. Dalam hal ini, musholla adalah ruang yang disaingi oleh ruang

pesantren. Makna musholla hanya dipakai untuk menunjukkan status kepemilikan

ruang adalah masyarakat sekitar. Akan tetapi, pemaknaan selanjutnya dilakukan

oleh pesantren. Singkatnya, pesantren musholla dapat menghasilkan pemaknaan

pengelolanya adalah orang yang “dipercaya” oleh masyarakat sekitar. Sekaligus,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 66: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

54

menghasilkan pemaknaan dimana semua segmen (remaja SMP-SMA dan anak-

anak) pesantren di sekitar musholla memiliki kewajiban mengikuti pesantren.

Para pemain Al-Asyik “berjumpa” dengan ruang religius dalam

pesantren musholla Miftahul Khoir Kauman Selatan. Dari sana, mereka mengenal

“koneksi religius”. Dalam kehidupan sehari-hari takmir maupun pengurus

pengajian adalah tetangga mereka. Ketika berada dalam mekanisme ruang

religius, status tetangga akan tergeser oleh status religius. Untuk “menyapa”

tetangga dengan status religius, para pemain perlu memakai simbol-simbol

religius. Para pemain dapat “berkomunikasi” dengan tetangga religius saat

menjadi pemain hadrah pesantren Miftahul Khoir. Pada saat itulah pemain

memiliki modal kultural untuk mengakses medan religius, terutama medan musik

religius.

B. Ruang Musikal

Gambus sebagai musik religius tidak juga dapat melepaskan diri dari penilaian

ruang musikal. Ruang musikal, dalam hal ini, akan berhubungan secara

paradigmatik dengan ruang religius dalam membentuk medan gambus. Jika dalam

ruang religius, produksi makna religius gambus datang dan dihidupi dari simbol-

simbol yang berkonotasi dengan religiusitas, dalam ruang musikal akan dilihat

bagaimana simbol-simbol tersebut ditegaskan maknanya oleh simbol-simbol

musikal. Dengan kata lain, ruang musikal akan dilihat sebagai ruang perebutan

legitimasi musikal.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 67: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

55

Legitimasi macam apa yang sedang diperebutkan dalam gambus religius,

dapat dilacak dari ruang musik religius industri dan ruang musik religius tradisi.

Pembagian ruang tersebut bukan semata-mata untuk membedakan musik religius

yang dihidupi oleh industri dengan tradisi, tapi juga untuk menegaskan bahwa

interaksi keduanya dengan budaya masyarakat Ambulu telah menghasilkan

bentuk-bentuk musik religius. Dengan alasan yang sama, penjelasan mengenai

industri musik religius dan musik religius tradisi akan dilihat ketika berinteraksi

bersama-sama. Kalaupun penjelasan berikut dimulai dengan penjelasan mengenai

bisnis musik religius, hal itu lebih karena alasan tehnis; dari mekanisme bisnis

musik yang lebih jelas dan relatif mapan, akan dilihat apa yang dapat “diperbuat”

oleh musik religius tradisi yang memiliki mekanisme relatif lebih rumit.

Penjelasan tentang hal itu akan dimulai dengan pertanyaan: “musik

religius mana yang paling laku di Ambulu? Pertanyaan tersebut tidak mudah

dijawab kecuali dengan memberikan keterangan waktu; sekarang, sepuluh tahun

lalu, atau beberapa tahun yang akan datang? Pada umumnya, laku tidaknya suatu

jenis musik sangat tergantung pada waktu; dulu laris manis, sekarang bisa jadi

disebut kuno dan kurang laku. Dua puluh tahun lalu1, toko kaset di Ambulu laris

menjual album qasidah kelompok Nasida Ria. Bahkan, kelompok-kelompok

qasidah yang megikuti gaya Nasida Ria juga ikut laris. Beberapa tahun lalu, duet

sholawat Hadad Alwi dan Sulis menjadi ikon musik religius. Akhir-akhir ini,

kaset show kelompok gambus Balassyik di berbagai tempat juga banyak dimiliki

oleh masyarakat Ambulu, terutama masyarakat Ambulu kota. Berbarengan

1 Dilihat dari ijin industri Puspita Record untuk kaset Nasida Ria Vol. 21 tertulis tahun 1986.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 68: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

56

dengan beberapa jenis musik tersebut, musik-musik pop religius seperti album

Bimbo, Rhoma Irama, Ungu, Oppick, dan sebagainya juga tetap laris.

Pada posisi ini, medan musik religius sedang didekati dari legitimasi

ekonomis. Legitimasi ekonomis menyediakan bentuk-bentuk yang secara

keselurahan dapat meningkatkan akumulasi modal ekonomis; yaitu bisnis. Nasida

Ria, Bimbo, Balassyik, dan sebagainya disebut sebagai kelompok musik religius

“kelas atas” karena paling banyak mendatangkan keuntungan ekonomis.

Mengikuti kerangka Bourdieu, musik religius, dalam hal ini jelas merupakan

bagian dari bisnis kapitalis lanjut; produksi dan ukuran keberhasilan musik

religius ditentukan oleh jangkauan pembelinya2.

Untuk itulah, bisnis musik religius perlu melakukan “sosialisasi” untuk

menarik minat beli masyarakat. Sosialisasi tersebut tidak hanya berfungsi untuk

menjual lagu tapi juga menjual musik, kemasan musik, dan pendukung musik.

Musik (pop) secara tegas dikenalkan oleh bisnis industri rekaman melalui bunyi-

bunyian yang dihasilkan. Dari sana, musik dikemas dan dinilai. Teknologi

rekaman suara yang dikerahkan untuk memanipulasi suara turut mempengaruhi

“kelayakan” suatu album untuk dibeli. Program radio, program televisi, dan toko

kaset, merupakan media sosialisasi yang menunjukkan kelompok “pengkonsumsi”

musik. Nasida Ria, Bimbo, Balassyik, dan sebagainya kenalkan oleh media

tersebut sebagai artis dan pengkonsumsinya disebut penggemar artis.

Di Ambulu, ternyata, reaksi pasar pada Bimbo tidak selaris Nasida Ria.

Ketika Nasida Ria dikenalkan sebagai grup qasidah, jamaah pengajian perempuan

2 St. Sunardi dalam makalah kuliah Seni Pop, Estetika Musik Pop, halm:7

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 69: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

57

dan kelompok-kelompok samroh menjadi segmennya. Nasida Ria mengemas

qasidahnya identik dengan penyanyi dan semua pemain musiknya perempuan

berkerudung dan berseragam. Lebih jauh, qasidah Nasida Ria membuat

pendukung samroh merasa memiliki kedekatan dengannya. Padahal, di Ambulu

hampir semua perempuan muslim ikut pengajian. Hingga, sah-sah saja jika para

pemain samroh perlu mengubah penampilan dengan memakai seragam ala Nasida

Ria.

Gambar 4. Kelompok Nasida Ria

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 70: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

58

Gambar 5. Grup Samroh Santri Najjatul Khoir

Akan tetapi, Nasida Ria tidak hanya sedang membidik segmen “aktivis”

pengajian atau pemain samroh di daerah, tapi juga membidik segmen perempuan

muslim pada umumnya. Segmen tersebut diperluas dengan menunjukkan

kekuatan alat musik. Alat musik Nasida Ria dibuat berbeda dengan samroh. Alat

musik yang dipakai Nasida Ria digolongkan (oleh bisnis musik) sebagai alat-alat

musik modern, seperti keyboard, gitar elektrik, dan biola.

Agar Nasida Ria tidak cepat turun harga jual dan pamornya, industri

rekaman yang sama (Puspita Record) mengeluarkan kelompok tandingan, antara

lain “Puspita Ria”, “Nida Ria”, “Ampel’s Group” dan “El-Hawa”. Kelompok

tandingan juga dibentuk untuk menyaingi musikalitas Nasida Ria. Puspita Record

memproduksi kelompok “Rebana Modern” untuk menggaet konsumen yang tidak

terlalu setuju dengan pemakaian alat-alat musik modern dalam qasidah.

Kelompok-kelompok tersebut antara lain “Rebana Ria” dan “Al-Akhyar”.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 71: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

59

Kesuksesan genre qasidah3 di pasar musik dilengkapi oleh gambus.

Kalau dua jenis sebelumnya mengambil segmen perempuan, gambus ditujukan

untuk laki- laki. Puspita Record memproduksi Gambus El Balassyik Muhdar al

Atas (1989) dan El Muhajirin Abdullah Hinduan (1992). Tanama Record

memproduksi gambus Al Fata Wahid Dinar (1990). Pembedaan bentuk kelompok

gambus dengan kelompok genre qasidah lainnya adalah pada cara

memperkenalkan musik. Gambus justru dikenalkan bukan melalui musik,

melainkan melalui lirik dan penyanyinya; lirik berbahasa Arab dan penyanyi laki-

laki dengan cengkok Arab. Hal itu juga yang menjadikan pemberian nama

penyanyi bersama-sama dengan nama grup dalam cover kaset menjadi hal yang

hampir pasti.

Lantas, bagaimana orang mengenali musik gambus? Orang memang

tidak dibuat mengenal gambus secara musikal. Pemahaman orang terhadap

gambus sejak awal sudah dihentikan oleh cover kaset. Hampir semua cover kaset

gambus menunjukkan wajah penyanyi yang sedang membawa gitar gambus. Jika

bukan itu, biasanya cover menunjukkan foto penyanyi yang berpakaian dengan

model Timur Tengah. Hal itu menunjukkan bahwa musik gambus adalah musik

yang diadopsi dari musik Timur Tengah.

3 Lihat pengklasifikasian Helene Bouvier dalam Bab I. Bdk dengan, William P Malm, dalam Musical Culture of The pasific, the Near East, and Asia. Juga, Henry George Farmer, A History of Arabian Music to The XIIIth Century.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 72: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

60

Gambar 6. Contoh cover kaset gambus

Lebih jauh, cover kaset bahkan telah menjadi sumber informasi

mengenai gambus. Akan tetapi, informasi tersebut bukan dipakai untuk

“diinternalisasi” (seperti kasus samroh menginternalisasi qasidah), melainkan

untuk menegaskan gambus memang tidak bisa diinternalisasi oleh masyarakat

Ambulu. Tidak ada habitus musikal gambus dalam masyarakat Ambulu.

Mengapa laku? Karena cover dan tentunya lirik sangat akrab dengan

habitus religius masyarakat Ambulu. Musik gambus merupakan musik yang asing

didengar, tapi dapat diterima. Penerimaan tersebut tidak hanya berwujud

pembelian kaset, tapi juga dipakainya lagu- lagu gambus tersebut sebagai lagu

pengiring gerak dan tari dalam acara religius. Bahkan, lagu SalaminBa’it

(Abdullah Hinduan) dan Magadirr (El Fata) menjadi hits gambus “sepanjang

masa”.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 73: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

61

Musik gambus, pada posisi ini, tidak mudah untuk dibaca oleh modal

kultural lokal. Gambus menjadi musik yang hanya bisa didengar tapi tidak bisa

dipakai (sebagai budaya musikal religius). Gambus pada posisi ini, secara musikal

tidak banyak mendapat dukungan modal kultural. Mengetahui “kelemahan”

gambus semacam ini, industri rekaman gambus buru-buru memproduksi gambus

lain, yaitu gambus berbahasa Indonesia 4. Di tempat lain, seperti di Surabaya dan

Jakarta, gambus semacam ini menjadi penyelesaian “masalah” pasar gambus.

Sebaliknya, di Ambulu, gambus semacam ini justru tidak laku karena dianggap

tidak mengakses habitus apapun, religius maupun musikal.

Penyelesaian “masalah” justru datang dari gambus yang dipopulerkan

oleh Al-Qolam Record. Jika kelompok-kelompok gambus sebelumnya disiapkan

untuk dimaknai sebagai musik religius asing, dengan kelompok gambus La Tansa

Mustafa Abdullah (1994) keasingan tersebut “diakrabkan”. Bukan dengan

mengubah lirik Arab menjadi lirik Indonesia, tapi dengan musiknya. Musik

gambus La Tansa, meskipun tidak banyak berbeda dengan gambus lainnya,

menghadirkan kesan akrab dari kemampuannya membiarkan orang mengenal

unsur-unsur pembentuk musik gambus. Sejak dari cover kaset, mereka tidak

menunjukkan “keberartian” gitar gambus. Yang menjadi ikon dalam cover justru

Mustafa yang berwajah keturunan Arab. Dengan cara itu, orang dibuat menebak

gambus seperti apa yang sedang ditawarkan La Tansa. Ketika mendengarkan

suara Mustafa melantunkan lagu- lagu berlirik Arab dalam iringan musik gambus,

4 Gambus semacam ini sempat meramaikan industri gambus, seperti gambus yang dimainkan kelompok Gambus Modern Assalam dengan lagu “Gadis Pujaan”. Yang paling aktual adalah gambus yang dibawakan oleh kelompok Debu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 74: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

62

ternyata, secara psikologis orang merasa sedang mendengar musik pop; easy

listening.5

Gambar 7. Cover kaset Kelompok Gambus La Tansa

La Tansa, pada posis i ini, sedang mengalami apa yang dialami Nasida

Ria, yaitu memakai alat musik modern (gitar elektrik, bass elektrik, keyboard,

biola, dan drum set) untuk memproduksi citra modern. Konsekuensinya, untuk

menjangkau kelompok masyarakat yang tidak sepakat dengan pemakaian alat-alat

musik tersebut, industri rekaman juga perlu menyediakan musik gambus

tandingan. Kelompok gambus El Mira merupakan kelompok gambus yang

5 “Easy listening music is a style of popular music and radio format that emerged in the mid-20th century, evolving out of swing and big band music, and related to Beautiful music and Light music. Easy listening music features simple, catchy melodies, soft, laid-back songs and occasionally rhythms suitable for couples dancing”, lihat www.wikipedia.com. Bdk dengan “Easy listening is mostly instrumental pop music marked by light or nonexistent rhythms, designed to be as unobtrusive as possible. Though it's generally thought of as quiet background stuff (a.k.a. 'elevator music'), easy listening also embraces unusual genres like space-age pop and the 'exotica' sounds of Martin Denny and Juan Garcia Esquivel”, lihat www.cnet.com.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 75: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

63

dikenalkan oleh industri rekaman sebagai kelompok yang berbeda rasa musik

dengan La Tansa. El Mira adalah kelompok gambus ja’fin.

El Mira, bahkan, menegaskan perbedaan bentuknya dengan

mengenalkan visualisasi gambus ja’fin. Hampir seluruh kelompok gambus hadir

di Ambulu menyapa pendengaran, bukan pengelihatan. Hanya Radio yang mereka

pakai sebagai media sosialisasi. Saat itu, kelompok-kelompok musik pop religius

nyaris tidak dapat memakai Televisi untuk menyosialisasikan diri (sebagai artis).

Biaya produksi untuk membuat video klip dan menayangkannya di Televisi

sangatlah mahal. Hanya Nasida Ria dan Nida Ria yang mampu membiayai

pengeluaran tersebut. Ketika Masjid Besar mementaskan gambus, hal itu menjadi

pengalaman pertama melihat musik gambus. El Mira justru hadir sebagai penegas

bentuk gambus yang ditanggap oleh Masjid. El Mira “diuntungkan” dengan

maraknya pembajakan kaset yang diproduksi oleh industri kaset rekaman berizin

(major label) dan teknologi audio visual (camcorder). Dengan biaya produksi

lebih kecil (karena bisa dilakukan sendiri), kaset bisa cepat disebarkan melalui

jaringan kaset bajakan.

Pengalaman tersebut bukan saja pengalaman pertama masyarakat

Ambulu menyaksikan bentuk pertunjukan gambus, tapi juga pengalaman pertama

masyarakat merasakan habitus gambus. Ternyata, gambus dekat dengan hadrah.

Dengan cepat, bentuk-bentuk ja’fin dibaca oleh (modal kultural) masyarakat,

terutama para pemain hadrah. Bentuk-bentuk hadrah, yang sebelumnya sangat

mapan dengan pola lima tepukan untuk sholawat dan tiga pola tepukan untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 76: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

64

srakalan, menjadi sedikit goyah ketika muncul dua pola tepukan yang ditawarkan

alat musik marwas yang mengiringi gitar gambus dalam ja’fin.

Agar tidak “terjebak” dalam ja’fin, kelompok hadrah yang ada di

Ambulu membuat pembedaan tegas peran musikal mereka. Mereka

memperkenalkan secara publik bahwa mereka adalah kelompok hadrah, tapi bisa

jiduri (dari srakalan), sekaligus ja’fin. Kelompok-kelompok tersebut antara lain

kelompok hadrah Timur Pasar, Utara Pasar, dan Kauman. Hal itu bisa dilakukan

karena setiap jenis musik dipakai dalam acara berbeda. Hadrah dipakai untuk

acara tahlil dan jiduri untuk srakalan. Sedangkan, ja’fin dipakai untuk mengisi

acara-acara religius selain yang memakai lirik sholawat. Pada posisi ini, gambus

ja’fin memiliki segmen yang mirip dengan qasidah. Bedanya, pemain dan

pendukung gambus ja’fin sebagian besar laki- laki.

Dalam praktiknya, ketiga kelompok hadrah yang berperan ganda

tersebut mengikuti mekanisme pengelolaan yang ditawarkan industri rekaman.

Kelompok gambus La Tansa, misalnya, dikelola (baca: diarahkan) oleh Alwi Al

Hadaad. Alwi Al Hadaad, belakangan dikenal oleh publik dengan nama Hadad

Alwi sebagai teman duet Sulis dalam berbagai album sholawat “Cinta Rosul” (I-

V). Baik kelompok Timur Pasar, Utara Pasar dan Kauman, memakai “jasa”

pengarah atau pengelola yang memiliki modal ekonomi dan modal religius relatif

mapan. Hampir semua operasional kelompok ditangggung oleh pengelola

(pemilik modal). Bahkan, “hidup matinya” kelompok tersebut sangat tergantung

oleh pengelolanya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 77: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

65

Pengelola, relatif konsekuen dengan tindakannya karena tidak sedang

menggandakan modal ekonomi. Secara ekonomis, mengelola kelompok tersebut

tidak menghasilkan keuntungan. Akan tetapi, pengelola sedang menggandakan

modal kultural (modal religius). Modal ini sangat penting di Ambulu. Hampir

setiap medan yang dihidupi masyarakat Ambulu, mengisyaratkan kekuasaan

legitimasi religius. Oleh karena itu, pengelola memiliki banyak peran dalam

menentukan bentuk-bentuk musikal yang dihidupi setiap kelompok.

Konsekuensinya, perlunya seorang pengelola kelompok musik religius,

menjadi bentuk mitos yang mapan. Bentuk tersebut dapat terus direproduksi

ketika industri rekaman masih tidak banyak menggunakan compact disc (CD).

Ketika CD semakin murah dan mudah diisi, konsumen musik mulai dibiasakan

dengan pengalaman menonton musik religius. Pengalaman tersebut hampir pasti

menonjolkan pengalaman menonton pertunjukan pemain dan bukannya mencari-

cari siapa yang mengarahkannya. Mitos tentang pengelola dipudarkan dengan

mitos tentang pemain.

“Kesuksesan” bentuk mitos tentang pemain mengalami puncaknya saat

Balassyik (1997-sekarang) mulai mendominasi pasar gambus ja’fin. Balassyik

mengemas visualisasi apa yang dikenal sebagai gambus oleh masyarakat selama

ini. Balassyik mengembalikan bentuk yang dulu dihidupi oleh La Tansa, Abdullah

Hinduan dan sebagainya, yang disebut Balassyik sebagai gambus sarah dan

baladian. Hal itu ditegaskan oleh para penyanyi Balassyik yang sebagian besar

adalah penyanyi kelompok gambus tersebut, seperti: Mustafa, Nizar Ali, Haidar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 78: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

66

Ali, dan sebagainya. Artinya, Balassyik diproduksi untuk membentuk pasar yang

berbeda dengan gambus ja’fin.

Fenomena Balassyik dibaca oleh masyarakat Ambulu melalui modal

kultural kemampuan memainkan alat musik Balassyik. Lebih jauh, Balassyik

memberikan informasi kemungkinan pemain mengusahakan modal kulturalnya

sendiri. Pemain gitar gambus, ternyata tidak dapat melepaskan diri dari pemain

tam-tam, pemain keyboard, dan pemain gitar elektrik. Memainkan gambus,

ternyata, tidak banyak berbeda dengan memainkan band. Oleh sebab itu,

Balassyik juga dibaca oleh modal kultural memainkan alat musik band, termasuk

para pemain band.

Keyakinan tersebut ditegaskan oleh industri rekaman musik pop. Ungu,

Repvblik, Gigi, dan sebagainya merupakan contoh kelompok band yang mampu

menembus pasar dengan dikenali sebagai musik religius. Bahkan, beberapa lagu

qasidah (Nasida Ria) juga dipakai dalam Album Gigi, seperti lagu Kota Santri dan

Perdamaian. Artinya, industri musik religius tidak hanya dicarikan bentuknya dari

berbagai bentuk-bentuk musik religius tradisi, tapi juga dari bentuk-bentuk musik

pop.

Di sisi lain, Balassyik juga menginformasikan bahwa memainkan

gambus, ternyata, berbeda dengan memainkan band. Balassyik mumunculkan

bunyi-bunyian yang tidak banyak diproduksi oleh musik pop. Melodi Balassyik

dikenali oleh modal kultural masyarakat melalui habitus yang berbeda dengan

habitus band. Habitus gambus di Ambulu diperoleh dari genre qasidah, ruang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 79: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

67

religius, dan modal mengakses bahasa Arab. Singkatnya, habitus gambus

diperoleh dari musik religius tradisi dan industri musik religius tradisi.

Paradoks tersebut justru dibaca oleh kelompok hadrah Kauman sebagai

peluang mengeluarkan modalnya. Para pemain merasa dapat memadukan

paradoks kerena mereka pemain hadrah sekaligus, sebagian besar pemain, pernah

menjadi pemain band (Faruk, Eko, Aris, Fredi, Totok, Hayung). Sejak saat itu

(2000), pemain hadrah Kauman mulai mengusahakan status barunya sebagai

pemain gambus. Oleh sebab itu, mereka pun merasa perlu membuat nama

kelompok agar dikenali saat kapan mereka dikenal sebagai kelompok hadrah atau

sebagai kelompok gambus. Melalui beberapa pertimbangan, termasuk

pertimbangan daya ingat penonton, nama Al-Asyiq dipilih. Nama tersebut

menegaskan bahwa mereka bisa sama dan sekaligus berbeda dengan Balassyik.

Sama-sama gambus, tapi gambus dari tradisi hadrah.

Akan tetapi, dalam praktiknya, nama Al-Asyiq tidak banyak diingat oleh

masyarakat Ambulu. Masyarakat lebih sering mengenali mereka sebagai

kelompok gambus “arek-arek Kauman”. Mengapa? Karena pada saat yang sama

kelompok hadrah Utara Pasar dan Timur Pasar juga mengumumkan sebagai

kelompok hadrah yang juga bisa main gambus. Artinya, Al-Asyiq sedang

disaingkan dengan kelompok lainnya.

Meskipun demikian, Al-Asyiq sadar betul kalau gambus yang

dihidupinya berbeda dengan kedua kelompok tersebut. Gambus Utara Pasar dan

gambus Timur Pasar hanya mampu memainkan ja’fin dan tidak memiliki modal

kultural memainkan alat musik modern untuk menyaingi Balassyik. Hal inilah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 80: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

68

yang menjadikan Al-Asyiq perlu mengambil langkah berani agar orang tidak lagi

membandingkannya dengan kedua kelompok tersebut. Langkah yang dipilih

adalah berhenti menyebut dirinya sebagai kelompok hadrah. Secara publik,

mereka hanya mengenalkan satu status, yaitu sebagai pemain gambus.

Konsekuensinya, para pemain juga merasa perlu mengubah gambaran orang

mengenai kelompoknya. Al-Asyiq, akhirnya, mengubah nama menjadi Al-Asyik.

Dengan nama “barunya”, Al-Asyik mulai merumuskan gambusnya dari awal.

C. Kesimpulan

Medan gambus merupakan medan yang dihidupi dari ruang religius dan ruang

musikal. Keduanya berhubungan secara paradigmatik. Akan tetapi, keduanya

memiliki mekanisme ruang yang berbeda. Ruang musikal lebih adaptif dengan

mekanisme dalam ketegori Bourdieu mengenai medan seni (artistic field). Medan

seni berada dalam medan kekuasaan (field of power) yang tidak lain adalah

kekuasaan ekonomi6. Sedangkan, ruang religius mempertahankan mekanisme

yang cenderung distorsif untuk menjaga kualitas modal kultural, terutama

berkaitan dengan menjaga kekuasaan legitimasi religiusitas.

Medan gambus, dalam hal ini, merupakan medan yang menampung tarik

ulur, interaksi, konflik, sekaligus pengabaian, antara ruang religius dan ruang

musikal; antara legitimasi religius dan legitimasi ekonomis. Aturan main yang

diberlakukan di dalamnya ditujukan untuk adaptif dengan kedua legitimasi ruang.

Akan tetapi, ketika pembacaan masyarakat Ambulu terhadap musik-musik religius

6 St. Sunardi, dalam makalah kuliah Seni Pop, Estetika Musik Pop, halm: 9

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 81: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

69

dengan legitimasi ekonomis memakai modal kultural, mau tidak mau bentuk-

bentuk pembacaan yang dilakukan pun pertama-tama ditujukan untuk

meningkatkan akumulasi modal kulturalnya.

Kehadiran Al-Asyik dalam kultur budaya musikal religius masyarakat

Ambulu, berawal dari kebutuhan semacam itu. Akan tetapi, ketika medan gambus

yang dihidupi adalah medan gambus Balassyik, Al-Asyik perlu mengeluarkan

modal kultural dari habitus musik pop selain dari habitus musik religius tradisi.

Konsekuensinya, praksis gambus Al-Asyik akan mengalami perpaduan antara

berbagai bentuk musik yang ada.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 82: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

70

BAB IV

GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS

Bab sebelumnya telah menjelaskan medan gambus yang harus dilalui Al-Asyik.

Pada bab ini akan ditunjukkan apa yang dilakukan Al-Asyik dalam

pertunjukannya (praksisnya). Penjelasan Bourdieu mengenai praksis,

mengarahkan pemahaman bahwa bentuk praksis adalah bentuk untuk

berkomunikasi dengan medan. Bentuk tersebut dapat berupa ekspresi pemain

terhadap ideologi medan, atau juga bentuk impresi ideologi pemain terhadap

kelompok lain1. Praksis yang akan ditunjukkan dalam bab ini juga akan membuka

kemungkinan bentuk-bentuk yang “gagal” diideologisasi. Dengan demikian, kita

dapat menempatkan praksis Al-Asyik dari pilihan-pilihan bentuk gambus yang

dihidupinya. Dalam wawancara, pemain menyebut empat bentuk gambus yang

sering mereka mainkan: ja’fin, sarah, baladian, dan dhaifah. Uraian berikut

merupakan upaya untuk menunjukkan keberartian setiap bentuk praksis.

A. Ja’fin: Awal perjumpaan

Ja’fin adalah bentuk gambus yang pertama kali diterima oleh masyarakat Ambulu,

khususnya kelompok Al-Asyik. Ja’fin sejak awal diterima masyarakat sebagai

musik religius. Dalam genre musik religius yang ada di Ambulu, ja’fin

menempati ruang religius yang sama dengan hadrah, rodat, dan jiduri. Hal itu

disebabkan karena alat musik dan lirik ja’fin memiliki kedekatan musikal dengan

1 Guerino Mazzolla, Semiotic Aspect of Musicology: Semiotic of Music, halm: 77.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 83: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

71

musik-musik tersebut. Baik hadrah, rodat, jiduri maupun ja’fin, seluruhnya

mengandalkan alat musik tepuk. Hadrah dan rodat lebih banyak menggunakan

hadrah (alat musik). Sedangkan, jiduri dan ja’fin dominan memakai marwas.

Produksi nada yang dihasilkan oleh warna suara gambus justru

memberikan efek rileks pada “ketegangan” bunyi marwas. Hal inilah yang

membedakan ja’fin dengan jenis musik lainnya. Kalau permainan hadrah dan

lain- lain diawali oleh vokal, ja’fin diawali oleh solo gitar gambus yang relatif

panjang. Secara psikologis, orang yang mendengar ja’fin seolah sedang diminta

perhatiannya, tapi tidak serta merta membuat orang menghentikan aktivitas

sebelumnya. Dalam ja’fin, pendengar diberi kesempatan untuk berpendapat

mengenai kemungkinan yang terjadi selanjutnya.

Akan tetapi, kesempatan berpendapat yang diberikan ja’fin hanya

terbatas dalam medan musik religius. Kesempatan berpendapat dibatasi dengan

“kemasan” ja’fin, yaitu kemasan dengan pemaknaan religius par exellence. Ja’fin

hanya ditampilkan dalam acara religius, dengan cara religius, kelompok orang

religius, lirik religius dan dengan pakaian religius2. Acara religius ditandai dengan

acara-acara HBK (Hari Besar Keagamaan) Islam, seperti: Maulid Nabi, Isra’

Mi’raj, Tahun baru Islam, dan sebagainya. Kelompok religius ditandai dengan

kelompok pendukung ruang religius, terutama takmir dan pengurus pengajian.

Cara religius ditandai dengan formasi pemain yang tidak memungkinkan orang

“banyak gaya”, seperti formasi duduk setengah lingkaran dan berhadapan sejajar

dengan penonton. Lirik religius ditandai dengan tema-tema keagamaan, misalnya

2 Lihat hasil kuesioner mengenai gambus religius dalam lampiran 3 halm: 136

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 84: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

72

seperti lagu Rabby Faj’al. Sedangkan, pakaian religius dalam ja’fin hanya gamis.

Dengan kata lain, pendapat yang mungkin dimunculkan adalah pendapat tentang

kereligiusan ja’fin.

Kesempatan berpendapat yang diberikan oleh ja’fin juga diterima oleh

pemain. Melalui kaset gambus yang ada di Ambulu, Al-Asyik dikenalkan dengan

“cara” memperlakukan irama ja’fin. Misalnya, gambus ja’fin yang dipopulerkan

El-Mira. Irama tetap yang dimiliki ja’fin ternyata dapat diperpadat dengan cara

menambah alat musik. Alat musik yang dikenalkan adalah keyboard.

Gambar 8. Kelompok gambus Al-Asyik

Mengapa keyboard? Karena keyboard dapat memberikan sensasi bunyi

sesuai kebutuhan. Ja’fin dinilai perlu menambah sensasi religius. Sensasi religius

terutama dapat dimunculkan dengan alat musik yang dapat menghasilkan efek

drone (bunyi nada rendah yang ditahan) seperti sitar India. Hasil petikan gitar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 85: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

73

gambus justru hanya menghasilkan bunyi yang amplitudonya pendek sehingga

tidak dapat menghasilkan efek drone. Efek drone tersebut dapat dimunculkan oleh

keyboard.

Dalam perkembangannya, keyboard nyaris tidak pernah absen dari

pertunjukan kelompok gambus manapun. Termasuk dalam pertunjukan Al-

Asyik3. Penanggap lebih cenderung menanggap kelompok gambus yang memakai

keyboard. Keyboard telah menjadi penanda “komersial”. Mengaitkan musik

religius dengan nilai komersial dalam sejarah musik di Indonesia hampir selalu

melibatkan keyboard.

Al-Asyik ternyata memerlukan ja’fin yang komersil. “Keperluan” Al-

Asyik terhadap keyboard bukan pada nilai komersil itu sendiri, melainkan pada

nilai yang sedang disaingi oleh nilai komersil, yaitu nilai religius. Pada saat itu,

Al-Asyik harus menunjukkan identitas yang dapat membedakannya dengan

kelompok gambus lokal seperti kelompok gambus Timur Pasar dan Utara Pasar.

Satu-satunya cara (karena sangat miskin informasi bentuk) yang mungkin

ditempuh adalah dengan membuat perbedaan bentuk. Keyboard dinilai sebagai

penanda perubahan bentuk. Dengan keyboard Al-Asyik tidak hanya menunjukkan

identitasnya, tapi juga menunjukkan status posisinya melebihi kelompok gambus

lainnya yang tidak mampu memainkan keyboard. Tak heran, pada awal karirnya,

Al-Asyik menargetkan kepemilikan keyboard. Proposal pada beberapa donatur

pun disebarkan. Dengan mengatasnamakan kelompok gambus binaan pesantren

Miftahul Khoir, mereka mampu meyakinkan para donatur yang sebagaian besar

3 Lihat hasil kuesioner pada lampiran 3, halm: 134

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 86: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

74

pendukung ruang religius untuk menyumbang. Akhirnya mereka mampu membeli

keyboard.

Bagaimana dengan pemainnya? Meskipun keyboard merupakan alat

musik “populer”, tapi tidak banyak orang Ambulu yang menguasainya. Keyboard

adalah alat musik yang diadopsi dari organ dan melalui proses yang lain alat

musik tersebut dinilai dekat dengan tradisi Kristen. Pada saat Aris bersedia untuk

belajar bermain keyboard secara otodidak dari kaset gambus. Seperti telah disebut

sebelumnya, kebutuhan menghadirkan keyboard dalam gambus adalah mengiringi

bunyi gitar gambus. Artinya, Aris memfokuskan keterampilannya bermain

keyboard untuk mengiringi gitar gambus.

Akan tetapi, pemaknaan “penanda” komersil yang dihasilkan oleh

keyboard jauh lebih banyak daripada kepentingan produksi nadanya dalam ja’fin.

Keyboard, pada praktiknya, bukan hanya menghasilkan sensasi komersil tapi juga

sensasi “ruang musikal”. Keyboard secara psikologis dapat memicu pemainnya

meningkatkan kemampuan musikalnya. Ketika Aris memperoleh informasi

pemakaian keyboard tidak hanya dari gambus, ia pun mulai mencoba memakai

keyboard untuk mengiringi ketipung (dangdut) dan gitar elektrik (pop dan rock).

Terbukti, saat ini Aris tidak hanya dikenal sebagai pemain gambus, tapi juga

menerima job.

Ketika ja’fin sangat tergantung pada sensasi komersil yang ditawarkan

keyboard, Aris pun menjadi “primadona”. Tanpa keyboard, Al-Asyik bisa tidak

jadi pentas. Artinya, Aris memiliki status (modal) yang lebih “baik” dibanding

pemain lainnnya. Tidak menutup kemungkinan, Aris memakai modalnya untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 87: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

75

melipatgandakan porsi keyboard dalam ja’fin. Untuk itulah, Al-Asyik mencari

kemungkinan lain untuk mengurangi dominasi sensasi keyboard.

Kemungkinan tersebut dicarikan dari cara memperpadat marwas.

Bagaimana mungkin? Dengan bentuk yang lebih kecil dari hadrah dan dengan

struktur nada terbatas, marwas pada dirinya sendiri sudah “padat”. Bahkan,

marwas tidak memberi kesempatan pada alat musik lain untuk mengaksesnya.

Kalaupun mungkin, kemungkinan itu sangat kecil.

Pertanyaan tersebut dijawab oleh fenomena Balassyik. Melalui

Balassyik, Al-Asyik mendapatkan bukan hanya informasi cara memadatkan

marwas, tapi juga meniadakan bunyi marwas. Cara tersebut diusulkan Balassyik

dengan menyebutnya sebagai gambus sarah dan baladian.

B. Sarah dan Baladian: Musik Religius, Selera Komersil

Musikalitas sarah dan baladian secara tegas berbeda dengan ja’fin. Perbedaaan

sarah dan baladian juga datang dari porsi alat musik pengganti marwas dalam

pertunjukan gambus. Semakin banyak porsi alat-alat musik tersebut, semakin

rapat jarak antar bunyi yang dihasilkan. Al-Asyik menyebutnya sarah bertempo

rapat. Sebaliknya, baladian lebih mudah dikenali dari tidak dominannya alat

musik tepuk (perkusi). Oleh sebab itu, Al-Asyik dapat mengidentifikasikan tempo

baladian secara lebih tegas; ¾-jeda.

Hadirnya sarah dan baladian sebagai bagian dari jenis gambus,

membuat orang lebih sulit mengidentifikasi apa sebenarnya musik gambus.

Kebingungan tersebut cepat diselesaikan oleh industri musik “Timur Tengah”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 88: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

76

yang diterima oleh masyarakat Ambulu dengan label musik gambus, seperti:

Kelompok gambus Abdullah Hinduan, gambus Haidar Ali, dan sebagainya.

Dengan lagu-lagu hits mereka seperti Magadiir, Salamim ‘Bait dan Narwatil

Ayyami, orang dibuat semakin tidak peduli mengenai “esensi” gambus. Dengan

cepat pula, sarah dan baladian dinilai setara dengan ja’fin; sama-sama gambus,

sama-sama religius dan sama-sama menggunakan bahasa Arab.

Konsekuensinya, sumber informasi bentuk pertunjukan gambus tidak

hanya datang dari ja’fin. Al-Asyik yang sedang “gelisah” dengan ja’finnya mulai

melirik tawaran bentuk yang disediakan sarah dan baladian. Mereka memilih

tawaran bentuk sarah dan baladian dari Balassyik. Sarah versi Balassyik dipakai

terutama pada bentuk “pengganti” marwas. Bentuk pengganti marwas bertugas

memberikan sensasi “tempo tetap”. Mengapa hanya sensasi? Karena warna suara

tumbuk, kendang dan tam-tam diakumulasikan oleh Balassyik untuk

mengartikulasikan warna suara marwas dengan hasil yang sudah pasti berbeda

dengan marwas. Akan tetapi, justru perbedaan itulah yang sedang ditunjukkan.

Karena alat-alat musik tersebut bukan sedang ditawarkan, tapi sedang memastikan

kemampuannya menggantikan marwas. Perbedaannya dengan marwas diakui

sebagai kelebihan; kelebihan memperluas ruang musikal gambus.

Hasilnya, penanda tempo dalam sarah tidak lagi berupa bunyi yang

terkesan menggantung, melainkan berupa bunyi yang terkesan mengakhiri. Dalam

ragam musik indutri, bunyi yang berkesan mengakhiri biasanya berasal dari bass

drum dan ketipung (dangdut). Atau, dalam gamelan, bunyi tersebut dapat

disetarakan dengan suara gong. Tidak mengherankan jika di kemudian hari, Al-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 89: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

77

Asyik merasa sah-sah saja memasukkan drum set dalam pertunjukannya. Fungsi

bass drum mempertegas bunyi ndut ketipung, sekaligus “menyelamatkan” gambus

dari dugaan memakai bentuk dangdut. Dalam pertunjukan Balassyik, hal itu

cukup diatasi oleh keyboard yang distel dengan warna suara drum.

Kehadiran keyboard, drum, tumbuk, kendang, dan tam-tam dalam sarah

versi Balassyik dipakai oleh Al-Asyik untuk “memadatkan” ja’fin. De facto hal

itu tidak mengganggu irama, tapi justru “mengganggu” penilaian (mitos) ja’fin.

Ja’fin yang sebelumnya hanya ditempatkan dalam ruang eksklusif (ruang

religius), ditarik oleh alat-alat musik modern pada ruang publik (ruang musikal).

Pada pertunjukan lagu Ja’fin Katabna terlihat bagaimana ja’fin berkompromi

dengan rasa pop. Pada bagian interlude, produksi irama yang biasanya diisi oleh

gitar gambus atau marwas, diisi penuh oleh drum set dan keyboard.

Konsekuensinya, Al-Asyik berada dalam status “tidak jelas”; sepertinya

ja’fin, tapi bisa memunculkan egolan dalam gerak ja’fin yang dikenal hanya

memainkan tangan dan kaki; sepertinya religius, tapi kok dinikmati seperti musik

profan. Ketidakjelasan tersebut dicarikan penegasannya dalam sarah. Dengan

mengapropriasi bentuk sarah Balassyik, Al-Asyik menegaskan

“ketidaksanggupannya” memenuhi prasyarat ja’fin. Akan tetapi, dengan sarah,

Al-Asyik hendak menambahi bahwa ketidaksanggupannya akan diganti dengan

prestasi, yaitu kemampuannya menyaingi sarah Balassyik. Jika berhasil, prestasi

ini akan mengantarkan gambus Al-Asyik sebagai kelompok dengan status religius

baru.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 90: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

78

Gambar 8. Goyang Ja’fin

Sarah dianggap lebih dekat dengan ja’fin daripada baladian. Dalam

sarah, irama tetap yang dimiliki ja’fin memiliki tempo yang lebih rapat. Tempo

rapat, dalam praksis musikal, hampir selalu dimaknai sebagai musik dengan bit

cepat dan suasana ceria, serta goyang4, misalnya saja musik ska, disko, dan

sebagainya. Perbedaan sarah dengan musik dengan tempo rapat lainnya adalah

pada irama ja’fin. Sarah memungkinkan mengapropiasi bentuk ja’fin jauh lebih

sering daripada baladian. Dengan mempertimbangkan kemungkinan tersebut,

pemain Al-Asyik dapat tetap berkomunikasi dengan ja’fin sekaligus merumuskan

sarah menurutnya.

Perbedaan yang paling menonjol antara sarah Balassyik dengan sarah

Al-Asyik terletak pada “kemandirian” alat musik modern. Al-Asyik tidak “yakin”

kalau alat-alat musik seperti keyboard, tumbuk, kendang, dan tam-tam adalah alat

4 “A song can mean happyness, it can mean dance!”. Lihat, Guerino Mazzola , Semiotic Aspect of Musicology: Semiotic of Music, halm: 75

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 91: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

79

musik “tambahan”5. Karena jika alat-alat tersebut dihilangkan, mereka tidak

mungkin seyakin saat ini dalam menghidupi gambus 6. Bahkan, sebagian besar

pemain merasa alat-alat musik tersebut perlu “dimandirikan” dengan cara

mendatangkan alat musik lain dalam genre yang sama dengan masing-masing

alat-alat. Genre musik yang dapat diakses oleh habitus modal Al-Asyik adalah

pop dan rock7. Kehadiran gitar elektrik, bass elektrik, dan drum set dipakai untuk

melengkapi alat musik yang sudah ada.

Hasilnya, sarah versi Al-Asyik terasa lebih “akrab” daripada sarah

Balassyik. Nilai “akrab” tersebut tidak hanya diproduksi oleh alat musik atau

melodi yang mengartikulasikan irama ja’fin, melainkan dari kemampuan

musiknya “berkomunikasi” dengan penontonnya. Sarah Al-Asyik jauh lebih

landai, lebih familiar dan lebih umum. Ja’fin hanya menjangkau ruang religius

mainstream yang identik dengan acara, lirik dan pakaian religius, serta reduktif

sebagai musik religius laki- laki. Sebaliknya, sarah Al-Asyik menjangkau

kemungkinan musikal untuk mengakses penonton perempuan dan penyanyi

perempuan8.

Pada posisi ini, Al-Asyik terlihat berbeda dengan Balassyik, meskipun

lagu dan aransemen musiknya sama. Akan tetapi, perbedaan tersebut pada saat

yang sama juga menjadikan status modal Al-Asyik disaingkan dengan Balassyik.

Persaingan dalam sarah dinilai menguntungkan Al-Asyik dalam wilayah yang

justru tidak sedang diusahakan para pemain, yaitu dalam wilayah hiburan. Al-

5 Hasil kuesioner menegenai alat musik yang harus ada dalam gambus, lampiran 3, halm: 135. 6 Hasil kuesioner mengenai reaksi terhadap keberadaan alat musik gambus, ibid, halm: 135. 7 Data kaset yang dikoleksi dan kelompok musik favorit, lampiran 1, halm: 123-128. 8 Hasil kuesioner tentang penonton dan penanggap, lampiran 3, halm;131.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 92: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

80

Asyik tidak menolak wilayah tersebut, tapi mereka harus meyakinkan bahwa

hiburan yang sedang ditawarkan adalah hiburan religius, komersil dan bisa

menyaingi Balassyik. Untuk meyakinkan hal itu, Al-Asyik perlu totalitas usaha

dalam menyaingi Balassyik.

Menyaingi Balassyik tidak hanya dalam sarah, tapi juga dalam baladian.

Baladian versi Balassyik menunjukkan kemungkinan lain “memperpadat” gitar

gambus dan mengurangi porsi bunyi alat musik tepuk selain melalui keyboard.

Bentuk yang ditawarkan dengan cara menggunakan alat musik pengganti marwas

hanya dalam jeda. Dengan demikian, kereligiusan baladian justru diantisipasi

sejak awal irama oleh gitar gambus dan dalam jeda oleh alat musik tepuk.

Masuknya drum set, tumbuk, tam-tam, kendang, dan keyboard dalam

gambus secara tegas telah “mengakhiri” bentuk ja’fin. Terutama setelah Balassyik

mampu merebut perhatian ruang religius dan ruang birokrasi. Tiba-tiba ja’fin

terasa sangat kuno, sedangkan sarah dan baladian menjadi sangat modern.

Melalui bentuk pertunjukan Balassyik, informasi bentuk gambus modern telah

menjangkau “kemasan” gambus. Balassyik menunjukkan bahwa musik religius

tidak perlu dimainkan dengan cara bersimpuh di atas karpet dan sejajar penonton.

Musik religius modern berarti modern pula setting panggungnya. Kaset-kaset

Balassyik yang beredar di Ambulu menunjukkan contoh-contoh pertunjukan

Balassyik saat pentas di Planet Hollywood Jakarta atau di Hotel Bandung Permai

Jember sebagai contoh pertunjukan modern.

Singkatnya, penilaian modern yang diperlihatkan oleh Balassyik telah

mampu menghasilkan perubahan bentuk. Mulai dari setting panggung hingga

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 93: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

81

pakaian. Dalam foto berikut digambarkan setting panggung yang diilhami dari

Balassyik.

Gambar 10. Al-Asyik dengan seragam kemeja

Akan tetapi, perubahan bentuk yang disediakan Balassyik tidak hanya

mengisi bentuk yang sudah ada, tapi juga menambah kebutuhan stok bentuk, salah

satunya kebutuhan terhadap sound system. Dalam ja’fin pengeras suara hanya

diperlukan untuk memunculkan suara penyanyi agar tidak teredam oleh suara alat

musik pengiring. Dalam sarah dan baladian yang ditunjukkan oleh Balassyik,

sound system juga merupakan kebutuhan musik pengiring; kebutuhan musik

pengiring mengeraskan “suara”nya.

Pada posisi ini, musik gambus modern diyakini dapat berfungsi sebagai

suara Islam. Lebih jauh, gambus dapat dipakai sebagai sarana menyuarakan esensi

keagamaan; dakwah. Medan sound system dalam praksis keagamaan erat

kaitannya dengan produksi makna dakwah. Melalui pemaknaan yang melekat

pada sound system, produksi makna gambus justru mengalami dualisme: religius

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 94: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

82

dan komersil. Di tangan Balassyik, dualisme tersebut dapat diselesaikan dengan

membuat hits. Hits tertentu dapat mengalihkan tuntutan religius maupun tuntutan

komersil. Hits Balassyik bahkan dengan sendirinya disebut religius komersil,

misalnya; lagu Ghonnili dan Wannashabiyya.

Bagaimana dengan Al-Asyik? Menyaingi Balassyik, menurut para

pemain Al-Asyik, dimulai dari menunjukkan kemampuan mereka “mengatasi”

pertunjukan Balassyik. Mereka perlu menegaskan apa yang dilakukan Balassyik

bisa juga mereka lakukan. Tidak hanya cukup di situ, Al-Asyik perlu menawarkan

perbedaan, sehingga orang bisa membandingkan. Lebih jauh, Al-Asyik perlu

membuat status modal Balassyik tidak banyak berarti di Ambulu.

Untuk itulah, Al-Asyik mulai merumuskan sarah dan baladian menurut

versinya. Hiburan yang religius dan komersil dapat dirumuskan dari tiga hal: alat

musik, pakaian dan lagu. Dari alat musik, Al-Asyik membuat pembedaan dengan

cara memperbanyak porsi gitar elektrik dan drum set. Hampir dalam semua jenis

gambus yang ditampilkan Al-Asyik, suara gitar elektrik dan drum memadati

melodi gambus. Alat tersebut, disengaja atau tidak, membuat gambus seolah tidak

sepenuhnya rela untuk dikenali sebagai musik religius. Karena dari sanalah,

makna hiburan dielaborasi oleh Al-Asyik. Al-Asyik justru menghadirkan simbol

religius dari pakaian. Al-Asyik menegaskan seragamnya adalah gamis.

Sedangkan, penilaian komersil didatangkan dari lagu hits berbagai kelompok

gambus yang dikenali Al-Asyik lewat kaset, termasuk hits Balassyik.

Dengan cara ini, Al-Asyik sedang mengusahakan hitsnya sendiri.

Dengan hitsnya Al-Asyik juga mengalami mekanisme diperlakukan sebagaimana

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 95: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

83

kelompok musik yang dilahirkan oleh industri musik seperti; menerima request

lagu dan ditanggap di luar Ambulu. Mekanisme ini pula yang membuat Al-Asyik

semakin yakin untuk memasuki industri musik religius 9. Oleh karena itu,

kebutuhan menghadirkan musik religius komersil yang menghibur dicarikan

bentuknya dengan menghadirkan kebutuhan baru; kebutuhan menghadirkan musik

hiburan yang komersil dan religius. Al-Asyik menyebutnya sebagai dhaifah.

C. Dhaifah: Akhir Perjalanan?

Dhaifah merupakan bentuk gambus yang “rencananya” dipakai Al-Asyik untuk

berkomunikasi dengan industri musik religius. Sarah dan baladian, dalam

penilaian Al-Asyik, ternyata telah menjadi ikon musik Balassyik. Meskipun

dalam praktiknya Al-Asyik mampu menawarkan alternatif bentuk sarah dan

baladian, hal itu tidak cukup untuk bersaing dengan Balassyik dalam konteks

industri musik religius. Al-Asyik beranggapan bahwa industri musik religius

dapat mengubah status suatu kelompok musik, dari biasa menjadi terkenal; dari

tidak diperhatikan menjadi pusat perhatian.

Hal tersebut ditegaskan oleh para pemain dalam kuesioner. Dalam

kuesioner mengenai alat musik, para pemain ternyata merasa perlu memakai alat-

alat musik yang dipakai Balassyik 10. Ketika alat musik yang mereka miliki

selengkap Balassyik, sebagian besar pemain yakin dapat menawarkan bentuk

gambusnya pada industri rekaman. Keinginan Al-Asyik berurusan dengan indutri

9 Hasil kuesioner dalam lampiran 3, halm: 137. 10 Ibid, halm: 135.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 96: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

84

rekaman juga dinyatakannya ketika ditanya mengenai penanggap yang paling

mereka inginkan11.

Alat musik dan penanggap, dalam hal ini, dipahami Al-Asyik sebagai

unsur pembentuk budaya musikal yang sangat kuat. Dari alat musik, orang dapat

segera tahu modern dan tidaknya musik yang akan dipakai nanti. Sedangkan, dari

penanggap, orang dapat memaklumi bentuk apapun yang diusahakan pemain

merupakan bentuk yang “disepakati” bersama dengan penanggap. Melalui

dhaifah, Al-Asyik sedang mengusahakan standar modern dan bentuk gambus

yang mungkin disepakati industri rekaman.

Padahal, kesepakatan industri rekaman dengan suatu kelompok atau

jenis musik tertentu merupakan bentuk kesepakatan ekonomis. Artinya, dengan

cara tersebut, Al-Asyik sedang berusaha mencari legitimasi ekonomis. Benarkah

Al-Asyik sedang mencari legitimasi ekonomis? Atau, benarkah Balassyik dapat

disaingi dengan cara memapankan diri dalam medan gambus yang dilegitimasi

oleh kepentingan ekonomis? Bukankah ketika mereka “ikut- ikutan” mengejar

legitimasi ekonomis, mereka tidak sedang bersaing dengan Balassyik tapi justru

melengkapi Balassyik? Bentuk dhaifah yang diperlihatkan Al-Asyik memang

terlihat memenuhi kebutuhan tersebut. Tidak dipakainya gitar gambus, marwas,

bahkan tumbuk, dan tam-tam merupakan indikator yang sangat jelas kalau Al-

Asyik sedang “mengejar” legitimasi ekonomis ruang musikal. Indikasi lain, irama

dhaifah sama sekali tidak menyisakan jejak irama baladian, sarah, apalagi ja’fin.

11Lihat lampiran 3, halm: 140

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 97: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

85

Irama dhaifah sepenuhnya memakai gaya musik pop, misalnya dalam lagu

Saaltinaar dan Aisyah.

Pada posisi ini, Al-Asyik secara tegas memisahkan ruang religius dan

ruang musikal. Dhaifah menunjukkan bahwa urusan ruang religius dalam wilayah

kemasan (performansi) dan urusan ruang musikal dalam wilayah “isi”

(musikalitas). Penilaian religius direduksi menjadi pakaian dan acara. Oleh sebab

itulah mereka berani memainkan sholawat versi Ungu dalam acara Maulid Nabi

yang diselenggarakan Masjid Besar.

Dalam praktiknya, Al-Asyik tidak pernah betul-bentul memakai dhaifah

sebagai identitas pertunjukannya. Dhaifah biasanya hanya dipakai sebagai lagu

pembuka dan lagu penutup. Lagu selanjutnya bisa berupa lagu ja’fin, baladian

maupun sarah. Bagi orang yang baru melihat pertunjukan Al-Asyik akan dibuat

“terkaget-kaget”; tiba-tiba membuat orang goyang semaunya, tiba-tiba pula

membuat orang bergoyang dengan aturan goyang tertentu. Akan tetapi,

pertunjukan Al-Asyik tidak pernah membiarkan musiknya untuk “tidak direspon”

oleh penonton. Bahkan, ja’fin pun “direkayasa” untuk dapat membuat orang

goyang.

Gambus di tangan Al-Asyik semacam gambus yang dipenuhi paradoks.

Karena itulah, pada awal pembahasan mengenai dhaifah, saya mengatakan kalau

dhaifah hanya “rencana” Al-Asyik untuk berkomunikasi dengan industri musik

religius, karena dalam pratiknya, dhaifah yang dimaksudnya tidak betul-betul

dipakai sebagai “suara”. Kecenderungan paradoksal tersebut juga dapat dilihat

dalam tabel ringkasan hasil kuesioner mengenai alat musik berikut ini:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 98: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

86

Nama pemain

Alat musik terpenting

Minimal alat musik untuk bermain gambus

Apa jadinya kalau alat tersebut tidak ada

Faruk (melodi)

Tam-tam Gitar gambus, marwas, tumbuk, tam-tam

Kurang religius

Fredy (tam-tam, marwas)

Keyboard Keyboard, gitar bass, melodi, tumbuk, tam-tam, marwas

Tidak jadi pentas

Hadi (tumbuk, marwas)

Keyboard Gitar gambus, marwas, tumbuk, tam-tam

Kurang religius

Zaenal (rhythm, tam-tam)

Keyboard Gitar gambus, marwas, tumbuk, tam-tam

Tidak jadi pentas

Eko (drum)

Keyboard Keyboard, melodi, biola, drum

Gambus kelihatan kuno

Aries (keyboard)

Gitar gambus

Gitar gambus, keyboard, melodi, drum, marwas

Gambus kelihatan kuno

Hayung (gitar gambus, tumbuk)

Semua alat musik gambus

Semua alat musik ditambah suling

Tidak disukai penonton

Totok (tam-tam, marwas)

Keyboard Gitar gambus, keyboard, melodi, drum, marwas

Tidak jadi pentas

Dari hasil di atas, sebagian besar pemain menganggap keyboard sebagai

alat musik yang paling penting dalam sebuah pertunjukan gambus. Akan tetapi,

ketika diminta menjawab alat musik yang sebenarnya dibutuhkan memainkan

gambus, jawaban mereka relatif beragam. Pertama, gambus dapat dimainkan

cukup dengan alat musik gitar gambus, marwas, tumbuk, dan tam-tam. Gambus

inilah yang dikenal sebagai ja’fin. Kedua, gambus dapat dimainkan dengan alat

musik perpaduan “modern dan tradisi” seperti, gitar gambus, keyboard, gitar

elektrik, dan marwas. Gambus dengan perpaduan semacam ini biasanya ditujukan

untuk mengakui bentuk ja’fin dan sarah modern. Ketiga, gambus bisa dimainkan

dengan memakai keyboard, bass elektrik, gitar elektrik, tumbuk, tam-tam, dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 99: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

87

marwas. Alat-alat tersebut merupakan alat yang dipakai dalam sarah dan

baladian. Keempat, gambus perlu memakai seluruh alat musik yang ada dan juga

ditambah seruling. Gambus semacam ini berusaha mengarikulasikan pop sarah

dan pop baladian. Kelima, gambus tidak perlu memakai alat musik “tradisi” sama

sekali, cukup dengan keyboard, gitar elektrik, biola, dan drum set. Sudah bisa

dipastikan pemain sangat mendukung kemerdekaan dhaifah.

Kelima tipe jawaban tersebut mengacu pada bentuk-bentuk musik yang

dihidupi Al-Asyik. Pada kolom selanjutnya, bentuk-bentuk tersebut diberi makna

oleh pemain. Pemaknaan yang diberikan berdasarkan arti pentingnya alat-alat

musik tertentu pada pemaknaan gambus. Data di atas menunjukkan variasi pemain

memaknai arti pentingnya alat. Jawaban “kurang religius” merupakan jawaban

yang diperuntukkan untuk memperoleh legitimasi ruang religius. Jawaban

“gambus kelihatan kuno” merupakan jawaban yang menunjukkan keterlibatan

ruang penilaian musikal, terutama industri musik religius. Jawaban “tidak disukai

penonton” jelas menandai ekspresi Al-Asyik sedang diimpresi oleh budaya

penonton. Sedangkan, jawaban “tidak jadi pentas” sebenarnya merupakan

jawaban yang mengindikasikan ketergantungan pemain terhadap pemaknaan

sebuah alat.

Secara sederhana, data di atas dapat disimpulkan sebagai data

pemaknaan ekstramusikal pemain pada alat-alat musik gambus. Lantas, apa

kaitannya dengan “kecenderungan paradoksal”? Ternyata, pemaknaan

ekstramusikal Al-Asyik berasal dari habitus pop. Mereka menyatakan diri sebagai

pemain gambus dan siap ditempatkan dalam medan gambus, tapi tidak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 100: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

88

sepenuhnya memakai habitus gambus. Artinya, modal mereka sebagai pemain

hadrah hanya dipakai untuk membaca ja’fin. Ketika membaca sarah, baladian

dan dhaifah, mereka sepenuhnya memakai modal kultural sebagai pemain band.

Konsekuensinya, unsur-unsur pop yang terlihat dimunculkan Al-Asyik dalam

berbagai bentuk gambus merupakan bentuk imposisi12pop. Ketika imposisi yang

diberikan mendominasi, seperti dalam dhaifah, para pemain terlibat “perang

internal”; “apa sebenarnya gambus itu? 13 Apakah gambus religius boleh tidak

kuno?14 Atau, pemaknaan apa saja yang bisa dipakai dalam gambus?15.

Pertanyaan tersebut justru menegaskan ketidakpahaman mereka memahami

bahasa medan gambus.

Apakah mengeluarkan “suara” perlu memahami “bahasa”? jawaban

pertanyaan tersebut sangat tergantung kepada siapa suara tersebut hendak

diperdengarkan. Dalam praksis Al-Asyik, hal itu dapat diketahui dari pendukung

suatu kultur gambus Al-Asyik, yaitu penonton dan penanggapnya.

12 Habitus sebagai sistem disposisi (durrable disposition) berfungsi untuk memp erantai posisi (position) dan mengambil posisi (position-taking). Kekuatan habitus inilah yang meneyediakan energi untuk melakukan tawar menawar (salah satunya dalam bentuk pembelaan) dengan imposisi dari medan. Lihat, St. Sunardi dalam makalah kuliah Seni Pop, Estetika Musik Pop, halm: 16. 13 Ditunjukkan dari kecenderungan pemain berbeda pendapat atas bentukbentuk gambus yang disediakan medan gambus, bahkan mereka juga tidak bersepakat dalam hal paling mendasar, seperti alat musik dan kriteria religius gamb us. Lihat lampiran 3, halm: 134-141. 14 Ibid, halm: 137. 15 Jawaban tersebut sekaligus menandai “kemandirian” pemain untuk menentukan maknanya dan tidak peduli dengan negosiasi pemaknaan yang mungkin dapat dicari sebagai gantinya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 101: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

89

Nama pemain

Alasan Al-Asyik disukai penonton

Alasan orang menanggap

Penanggap paling disukai

Penanggap paling tidak disukai

Faruk (melodi, gitar gambus)

Gaya pertunjukan bervariasi

Islami tapi modern

Bank Parpol

Fredy (tam-tam, marwas)

Gaya pertunjukan bervariasi

Penggemar gambus

Masyarakat umum

Papol

Hadi (tumbuk, marwas)

Gaya pertunjukan bervariasi

Dari daerah sendiri

Pak Camat Parpol

Zaenal (rythm, tam-tam)

Musiknya asyik buat goyang

Harga tanggapan terjangkau

Pak Camat Orang Kristen, Pakistan dan Cina

Eko (drum)

Gaya pertunjukan bervariasi

Harga tanggapan terjangkau

Pak Camat Parpol

Aries (keyboard)

Musiknya asyik buat goyang

Dari daerah sendiri

Pak Camat Orang Pakistan

Hayung (gitar gambus, tumbuk)

Pemainnya anak muda semua

Harga tanggapan terjangkau

Takmir masjid

Parpol

Totok (tam-tam, marwas)

Musiknya asyik buat goyang

Islami tapi modern

Bank Orang Kristen

Dari tabel di atas, terlihat betul suara Al-Asyik memang tidak sedang

ditujukan untuk memahami bahasa medan gambus. Bahasa medan gambus hanya

dipahami seperlunya. Legitimasi religius dan legitimasi musikal (ekonomis) yang

menguasai medan gambus, “dikejar” sebatas tidak menghegemoni. Bahasa medan

gambus ternyata bahasa elit masyarakat religius16. Pada kolom alasan Al-Asyik

disukai penonton, terlihat jawaban Al-Asyik sangat kompak, yakni menunjukkan

16 Kategori kelas ekonomis dipakai Bourdieu untuk menunjukkan status distingsi dari bidang seni. Bourdieu, Distinction: The Social Critique of The Judgement of Taste, halm: 35-38.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 102: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

90

kepercayaan diri pemain bukan pada wilayah “religius”, tapi wilayah “hiburan”.

Hal yang sama juga ditunjukkan ketika mereka menentukan penanggap yang

mereka sukai, sebagian besar menunjuk Pak Camat. Padahal Pak Camat, bahkan

bank, tidak banyak terlibat dalam “konflik” legitimasi medan gambus. Demikian

halnya ketika mereka ditanya mengenai penanggap yang paling tidak disukai,

sebagian besar menjawab parpol. Meskipun harga tanggapan parpol lebih besar

dari pada penanggap lainnya, parpol memiliki “peluang” untuk mendikte,

merepresi dan menghegemoni bentuk-bentuk yang dipakai Al-Asyik. Oleh sebab

itu, bentuk-bentuk praksis Al-Asyik dipenuhi dengan “perjuangan” menghadapi

bentuk-bentuk hegemonik semacam itu.

D. Kesimpulan

Ja’fin, sarah, dan baladian disediakan medan gambus sebagai suara yang dapat

dipakai berkomunikasi dalam bahasa medan gambus, lebih jauh, dalam budaya

musikal religius. Dalam praktiknya, Al-Asyik selalu bersaing dengan kelompok

lain untuk menunjukkan statusnya. Al-Asyik merasa bahwa bentuk-bentuk yang

disediakan oleh medan gambus tidak menyuarakan suara mereka. Dengan cara ini,

Al-Asyik juga ingin menunjukkan bahwa mereka juga mampu menciptakan

bentuk lain yang bisa dipahami medan gambus.

Mereka mengusulkan bentuk-bentuk gambusnya sendiri yang dipakai

untuk memenuhi persaingan legitimasi religius maupun musikal berdasarkan

modal kulturalnya sebagai pemain hadrah dan pemain band. Ja’fin, dalam medan

gambus sepenuhnya dipakai sebagai “penanda” kekuasaan legitimasi religius.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 103: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

91

Sedangkan, sarah dan baladian dipakai untuk memenuhi legitimasi musikal.

Ja’fin, sarah dan baladian semacam itu masih dihidupi dengan baik oleh pemain

Al-Asyik. Pada posisi ini, ketiga jenis gambus tersebut dibaca dengan memakai

modal kultural pemain hadrah.

Akan tetapi, persaingan “hebatnya” dengan Balassyik membuat pemain

perlu (harus) mengeluarkan modal kultural pemain band. Sehingga, pembacaan

para pemain terhadap ja’fin, sarah, dan baladian menghasilkan bentuk-bentuk

yang bukan hanya berbeda dengan mainstream, tapi juga menentang mainstream.

Perbedaan dan penentangan tersebut ditegaskan dengan merumuskan bentuk

gambus dhaifah. Dhaifah, lebih jauh, membuat momen yang membawa Al-Asyik

pada suasana miskomunikasi dengan medan gambus, sekaligus membuat Al-

Asyik terjebak pada wilayah esensi gambus; apa perlunya menghidupi gambus

kalau ternyata bertentangan dengan dakwah musik religius? Oleh sebab itu, setiap

bentuk yang diusahakan oleh pembacaan Al-Asyik masih saja disajikan bersama-

sama dengan bentuk-bentuk mainstream. Hal ini dipahami pemain Al-Asyik

sebagai “bisikan” suara mereka yang masih mungkin diselamatkan diantara

berbagai suara yang “berteriak”. Tabel berikut merupakan rumusan sederhana

bentuk-bentuk gambus dalam praksis Al-Asyik:

Ruang Musikal Religius Industri Habitus (modal) + Medan

Ruang religius

Musik Tradisi Musik Pop

Pemain hadrah Ja’fin Sarah

Pemain band Pop ja’fin Sarah Baladian Dhaifah

Sarah

Baladian

Pop religius

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 104: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

92

BAB V

IDENTITAS GAMBUS Al-ASYIK

Bab ini akan menganalisa praksis Al-Asyik antara lain kaitannya dengan “suara”

yang ingin ditunjukkan Al-Asyik sebagai identitasnya. Dalam bab III telah

dijelaskan bahwa medan gambus di Ambulu dibentuk oleh dua ruang: ruang

religius dan ruang musikal. Pada bab ini, akan ditunjukkan bagaimana identitas

Al-Asyik menjangkau identitas yang disediakan dalam dua ruang tersebut. Jika

berhasil, hal itu juga akan menunjukkan identitas Al-Asyik dalam ruang religius

dan ruang musikal.

A. Identitas Religius sebagai Konsistensi

Kebutuhan Al-Asyik menjangkau ruang religius merupakan kebutuhan

memperoleh status religius. Status religius di Ambulu hanya dapat diberikan oleh

ruang religius. Ruang religius, sebagaimana disebutkan dalam bab III, mendistorsi

makna religius dengan cara memproduksi simbol-simbol religius. Simbol tersebut

diproduksi bukan untuk menyosialisasikan ruang religius, tapi untuk menegaskan

perbedaan ruang religius dengan ruang lainnya. Penegasan tersebut perlu

dilakukan agar penilaian religius dapat dimiliki oleh ruang tertentu. Oleh karena

itu, setiap simbol yang diproduksi harus meyakinkan masyarakat bahwa simbol

tersebut adalah simbol terpilih, simbol religius terpilih.

Mempresentasikan simbol terpilih dalam musik religius salah satunya

diwakili oleh gambus. Mengapa gambus? Karena, pertunjukan gambus dikenalkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 105: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

93

di Ambulu pertama kali oleh Masjid Besar. Sebagai pelaksana pertama, Masjid

Besar memiliki otoritas memilih bentuk, sekaligus menjadikan bentuk tersebut

religius par ecxellence. Kelompok gambus dari Situbondo dipilih sebagai acara

hiburan selepas acara Semaan Al-Quran Akbar se-Kabupaten Jember (1995).

Pertunjukan tersebut bukan semata-mata pertunjukan hiburan pasca acara besar,

tapi juga untuk mengakumulasi mekanisme eksklusif ruang ibadah. Kelompok

gambus Situbondo dipakai sebagai simbol musik religius khusus; simbol musik

yang tidak bisa dimainkan oleh kelompok musik religius manapun di Ambulu.

Setidaknya hal itu ditegaskan dengan dua alat musik gambus: gitar

gambus dan marwas. Bentuk dua alat tersebut dikenali mirip gitar dan hadrah.

Jika gitar tersedia hampir di seluruh toko alat musik di Kabupaten Jember, tidak

demikian halnya dengan gitar gambus. Ia berada dalam genre yang sama dengan

alat musik petik yang berkonotasi profan, tapi seringkali dipakai dalam jenis

musik eksotis, seperti musik padang pasir atau musik Spanyol. Sesuatu yang

eksotis, dalam distorsi ruang religius dapat direduksi sebagai sesuatu yang

eksklusif, sehingga wajar jika tidak banyak orang yang dapat memainkannya.

Di sisi lain, marwas dikenal sebagai alat musik tepuk (perkusi). Alat

musik tepuk disosialisasikan di Ambulu sebagai alat musik religius. Melalui

hadrah, rodat, dan samroh, orang Ambulu nyaris tidak dapat meninggalkan alat

musik tepuk dalam setiap jenis musik religius. Jika gitar gambus dipakai sebagai

simbol eksklusif, marwas dipakai sebagai simbol yang akrab di telinga

masyarakat, simbol kepastian makna religius. Gitar gambus yang eksklusif, tampil

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 106: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

94

bersama dengan marwas yang pasti religius menghasilkan sensasi religius baru

dan eksklusif.

Kolaborasi marwas dan gitar gambus menghasilkan melodi yang tidak

akrab, tapi bisa diterima (melalui habitus). Interval pendek yang dihasilkannya

memiliki melisma dan hiasan melodis 1 yang dapat membuat “ketegangan”

produksi bunyi marwas dilonggarkan dengan produksi bunyi gitar gambus.

Meskipun sangat terbatas, kedua alat musik tersebut dapat menghasilkan gerak.

Ketika ditanggap oleh takmir masjid, yang tidak akrab dan menghasilkan gerak

terbatas tersebut mengalami penambahan status, yaitu bisa diterima sebagai

hiburan Islami. Artinya, gerakan yang dihasilkan kedua alat musik tersebut pun

turut diakui sebagai tarian Islami. Oleh karena itu, pada musik ini takmir masjid

pun bisa bergoyang.

Gambus semakin eksklusif (dan distorsif?) ketika liriknya memakai

bahasa Arab. Bukan soal arti, tapi habitus masyarakat Ambulu memakai bahasa

Arab adalah habitus ruang religius. Akses orang Ambulu pada bahasa Arab

hanyalah di Pondok Pesantren, kuliah jurusan keislaman (IAIN), dan dalam

pengajian. Ketika musik yang membingkainya cukup religius, orang tidak terlalu

memperdulikan arti lirik. Akan tetapi, ketika lirik Arab dipadukan dengan musik

yang merangsang gerakan tertentu, orang harus diyakinkan bahwa musik gambus

masih tetap religius. Salah satunya dengan ditanggap oleh ruang religius. Gambus

yang pasti religius semacam inilah yang dikenal sebagai ja’fin.

1 Helene Bouvier, Lebur : Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, halm : 75.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 107: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

95

Gagasan tentang ja’fin yang diproduksi oleh ruang religius (terutama

masjid), pada konteks Ambulu, menjadi tidak mudah digagalkan. Kalaupun bisa,

pastilah melalui mekanisme persaingan modal (ekonomi maupun kultural) dan

mampu mengakses habitus ruang religius. Kelompok Al-Asyik bisa bertahan

sebagai kelompok gambus bukan dalam rangka menggagalkan gagasan ruang

religius. Justru mereka menjadi “kepanjangan tangan” ruang religius. Sekurang-

kurangnya dari proses pembentukan Al-Asyik yang tidak bisa dilepaskan dari

campur tangan ruang religius dan pendukungnya2.

Lantas, bagaimana cara Al-Asyik memainkan ja’fin? Bukankah ja’fin

telah mengalami distorsi dan menjadi eksklusif? Apakah Al-Asyik kelompok

eksklusif juga? Ketika menamakan dirinya sebagai kelompok musik gambus, Al-

Asyik segera diposisikan sebagai kelompok musik religius eksklusif. Al-Asyik

pada diri pemainnya tidak banyak memiliki kebutuhan (modal) untuk mengakses

ruang religius. Akan tetapi, status pemain sebelumnya, sebagai pemain hadrah,

membuatnya memiliki modal kultural untuk mengakses marwas.

Akan tetapi, modal kultural mereka untuk mengakses gitar gambus

justru bukan berasal dari ruang religius, melainkan dari ruang profan. Pasar hanya

menyediakan gitar elektrik dan sebagian besar pemain juga pernah tergabung

dalam kelompok band. Selain habitus gambus, pemain juga memiliki habitus pop.

Penyelesaian makna eksklusif ruang religius justru berasal dari modal ekonomi

untuk mengakses gitar gambus. Gitar gambus dan kaset-kaset yang dipakai untuk

mempelajari musik gambus berasal dari ruang religius. Gitar gambus diperoleh

2 Lihat penjelasan dalam Bab III.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 108: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

96

dari donatur pengurus takmir dan pengurus NU dan kaset-kaset dipinjam dari

Ustad Nuryadin. Dengan kata lain, “suara” gambus Al-Asyik tidak banyak

berbeda dengan “suara” ruang religius.

Pada posisi ini, pemain mengalami dilema. Di satu sisi, gambus

diproduksi sebagai musik religius untuk mengeksklusifkan bentuk musik religius,

di sisi lain, gambus juga mengalami pemaknaan sebagai musik religius yang

dibebani dengan status sebagai alat dakwah Islam. Dilema tersebut dijawab oleh

fenomena Balassyik. Melalui Balassyik pemain menyadari adanya kesediaan

ruang religius membuka ruang yang tidak bisa dijangkauanya, yaitu ruang

musikal. Eksklusifitas bentuk ja’fin dilengkapi dengan sarah dan baladian dari

Balassyik. Jika dalam ja’fin pemain hanya mengeluarkan modalnya sebagai

pemain hadrah, dalam sarah dan baladian mereka mulai menemukan cara

mengeluarkan modal pemain bandnya. Suara tersebut, dipakai pemain untuk

mengeksplorasi muatan dakwah yang bisa dilakukan oleh gambus. Al-Asyik

sedang mengusahakan bentuk musik yang bisa dipakai untuk berdakwah.

Mengapa mereka tidak langsung memakai bentuk yang disediakan

Balassyik? Mereka menganggap Balassyik tidak sedang mengusahakan musik

dakwah. Bentuk-bentuk yang disediakan Balassyik tidak “peka” pada eksklusifitas

ruang religius di Ambulu. Untuk itulah, Al-Asyik tetap menghidupi bentuk ja’fin,

pop ja’fin. Ja’fin ditangan Al-Asyik telah mengalami hibridisasi dengan musik

pop.

Akan tetapi, kehadiran alat-alat musik modern membuat Al-Asyik

dicurigai. Untuk meyakinkan bahwa mereka tidak sedang menghianati ja’fin,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 109: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

97

mereka memakai semua konsep dari bentuk pertunjukan ja’fin: mulai dari cara

penyajian, hingga pakaian. Demi memenuhi konsep ja’fin, pemain gitar pop pun

dibuat duduk mengikuti skema duduk ala pemain ja’fin. Para pemain “rela”

memakai gamis, meskipun jelas itu bukan pakaian mereka sehari-hari, bahkan

pada hari paling religius, seperti Idul Fitri.

Hal itu dilakukan sebagai bagian dari pengorbanan sebuah konsistensi;

konsisten menjadi kepanjangan tangan ruang religius, sekaligus konsisten dengan

habitusnya. Ketika dua konsistensi berlawan berada dalam satu bentuk,

memungkinkan bentuk yang sedang diusahakan rawan dengan kekacauan.

Kekacauan tersebut berasal dari kecenderungan salah satu konsistensi untuk

mendominasi. Pada konsteks Al-Asyik konsistensi yang cenderung meminta

untuk diutamakan adalah konsistensi ruang religius. Karena, konsistensi ruang

religius lebih memiliki “suara” dalam praksis Al-Asyik.

Pada kondisi normal, hal itu tidak banyak menimbulkan tuntutan.

Bagaimanapun, Al-Asyik menyadari posisinya dalam ruang religius. Akan tetapi,

ruang religius juga menjadikan gambus Balassyik sebagai simbol musik religius

eksklusif. Kali ini bukan hanya bentuknya, tapi juga konsernya. Balassyik mampu

meyakinkan ruang religius bahwa musiknya sama religius dengan ja’fin.

Balassyik bahkan mampu meyakinkan bahwa tanpa harus melalui mekanisme

ruang religius, mereka juga bisa sangat religius. Konser Balassyik yang diadakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 110: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

98

di lapangan Glori3 dihadiri oleh hampir sebagian pendukung ruang religius,

termasuk ketua takmir.

Belum pernah ada konser semacam itu di Ambulu. Fenomena ini cepat-

cepat dijadikan momen eksklusif oleh ruang religius, untuk mengaburkan kesan

kalau ruang religius telah “dimasuki” oleh ruang industri kapital. Balassyik pun

masuk sebagai bentuk baru dalam jajaran simbol eksklusifitas ruang religius.

Kondisi ini membuat posisi Al-Asyik semakin tidak “dilirik” oleh ruang religius.

Lebih jauh, hal itu semakin membuat pemain lebih sulit menunjukkan konsistensi

habitusnya; menunjukkan identitasnya. Untuk menunjukkannya, Al-Asyik perlu

bersaing dengan Balassyik.

B. Identitas Musik sebagai Cara Bersaing

Bersaing dengan Balassyik jauh lebih mudah daripada bersaing dengan ruang

religius, karena persaingan tersebut berada dalam ruang musikal. Ruang musikal

adalah ruang yang paling memungkinkan pemain mengeluarkan modal kultural

sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, dalam konteks gambus ruang musikal

merupakan ruang yang berhubungan secara paradigmatik dengan ruang religius.

Dengan kata lain, musik religius harus dapat meningkatkan kualitas simbolik

ruang religius, demikian juga sebaliknya. Apa yang terjadi dalam mekanisme

3 Di Ambulu terdapat dua tempat yang biasa dipakai sebagai arena publik, yaitu alun-alun yang berada di depan masjid besar dan lapangan Glori yang berada di sebelah timur kampung Timur Pasar. Jika penggunaan alun-alun sering terkait dengan izin dari pihak takmir masjid, pengguaan Glori hanya memerlukan ijin dari Kecamatan dan Polsek. Oleh sebab itu, penyelenggaraan acara yang dilakukan di Glori tidak dapat dikontrol oleh pihak masjid dan seringkali acara yang diselenggarakan berkonotasi negatif.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 111: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

99

ruang musikal menjadi referensi ruang religius untuk “mengklaim” suatu jenis

musik bermakna religius atau tidak.

Melalui fenomena Balassyik, produksi bentuk musik religius di Ambulu

diperoleh dari dua macam sumber yang berbeda dengan sumber bentuk ja’fin,

yaitu ruang religius dan industri musik religius. Konsekuensinya, Gambus sebagai

musik religius bukan dihasilkan dari mekanisme intensional maupun distorsi

ruang religus semata, tapi juga melalui mekanisme menciptakan “bahasa religius”.

Ketika “bahasa” tersebut diperoleh dari bahasa religius musik industri, Al-Asyik

pun mengalami penilaian industri. Melalui sumber ruang religius, Al-Asyik hanya

perlu menunjukkan dirinya sebagai kelompok musik baru dengan tradisi lama.

Melalui sumber industri musik religius, Al-Asyik perlu menunjukkan bahwa

selain menghidupi tradisi lama, mereka juga adaptif dengan musik kontemporer

(baca:pop). Sebagai kelompok musik yang telah diakui sebagai kelompok musik

religius oleh ruang religius, usaha “adaptasi” semacam itu jelas tidak dibutuhkan.

Tanpa bersaing dengan Balassyik, Al-Asyik sudah religius.

Lantas, mengapa Al-Asyik perlu bersaing dengan Balassyik? Karena,

status kelompok religius yang “diberikan” oleh ruang religius adalah status

kelompok, bukan status medan. Semua kelompok gambus yang dilahirkan dari

kebutuhan distorsif ruang religius sudah pasti religius. Al-Asyik menyaingi

Balassyik untuk menghindarkan ruang religius dari kemungkinan menilai

berdasarkan hegemoni bentuk yang disajikan Balassyik (legitimasi Balassyik).

Jika hal itu terjadi, status religius medan gambus akan menyaratkan apropiasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 112: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

100

bentuk musik Balassyik. Artinya, posisi Al-Asyik semakin terhimpit oleh

kepentingan lain dalam medan gambus.

Oleh sebab itu, Al-Asyik tidak memerlukan persaingan dalam ruang

religius, karena mereka tidak sedang menyaingi religiusitasnya, melainkan sedang

menyaingi statusnya (modal sosial) dalam medan gambus. Karena Balassyik

bukan kelompok yang dihasilkan dari ruang religius Ambulu, persaingan yang ada

justru meliputi hal-hal yang tidak disediakan oleh ruang religius. Status Balassyik

diasumsikan dapat disaingi dari nama kelompok dan alat musik: mulai dari

mengganti nama “Al-Asyiq” menjadi Al-Asyik, hingga memakai semua alat

musik yang ada dalam pertunjukan Balassyik.

Pemain Al-Asyik merasa posisi status Balassyik hanya berada satu

tingkat di atasnya. Al-Asyik bahkan telah menjadi “imitasi” Balassyik.

Penghalang penyeteraan status tersebut adalah industri musik gambus 4. Untuk

itulah, mereka selalu menyediakan pertunjukannya untuk dinilai secara musikal

oleh industri musik. Hal yang paling mungkin dilakukan Al-Asyik adalah

menunjukkan kemampuan mereka memainkan gambus Balassyik. Hampir semua

pertunjukan Al-Asyik menampilkan beberapa lagu Balassyik, terutama yang

sedang trend, seperti Ghonnili dan Narwatil Ayyami. Cara itu dilakukan Al-Asyik

agar orang mulai sadar bahwa mereka sedang bersaing dengan Balassyik, bukan

dengan kelompok gambus lokal atau kelompok ja’fin.

Pada posisi ini, Al-Asyik sedang menghindari ja’fin. Ja’fin dianggap

sebagai bentuk lama yang ditunjuk oleh ruang religius. Ruang religius telah

4 Lihat hasil kuesioner, lampiran 3, halm: 135

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 113: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

101

menambah dua bentuk baru dari fenomena Balasssyik, yakni sarah dan baladian.

Al-Asyik “ikut- ikutan” menghidupi sarah dan baladian untuk dipakai dalam dua

momen sekaligus; meneruskan distorsi ruang religius, sekaligus menyaingi

musikalitas Balassyik.

Sarah dikerahkan seluruhnya untuk berkomunikasi dalam acara yang

dilegitimasi sebagai acara religius. Komunikasi tersebut menegaskan bahwa Al-

Asyik sanggup mengartikulasikan konsep Balassyik dalam mekanisme ruang

religius. Dengan “imitasi” yang dilakukan Al-Asyik, ruang religius tidak perlu

lagi repot-repot “mendatangkan” Balassyik sebagai sumber bentuk gambus yang

baru. Al-Asyik telah menyediakan bentuk baru tersebut langsung dalam

mekanisme ruang religius. Sarah dalam praksis Al-Asyik berbentuk “perpaduan”

ja’fin dengan sarah Balassyik.

Perpaduan antara ja’fin dan sarah secara musikal justru “merugikan”

ja’fin. Perpaduan tersebut mengakibatkan ja’fin berada dalam kendali sarah,

karena sarah hadir memang untuk memperpadat musikalitas ja’fin. Lebih jauh,

sarah akan menunjukkan pada pendukungnya bahwa secara de facto, ja’fin dapat

digantikan dengan sarah. Buktinya, konser Balassyik ditegaskan oleh ruang

religius sebagai konser religius, pertama-tama karena kemampuan sarah

mengemas irama ja’fin, bahkan gambaran religius ja’fin. Oleh sebab itulah, Al-

Asyik mengusulkan pop ja’fin.

Pop ja’fin dipakai Al-Asyik untuk menunjukkan bahwa ja’fin berbeda

dengan sarah, sekaligus tidak mudah digantikan oleh sarah. Dalam penilaian Al-

Asyik, kepercayaan diri sarah dapat menggantikan ja’fin berasal dari musikalitas.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 114: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

102

Sarah dinilai oleh pendukungnya memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi

dibandingkan ja’fin yang hanya mengandalkan gitar gambus, keyboard, dan

marwas. Pop ja’fin yang diusulkan Al-Asyik justru ingin membuktikan

kemampuan irama ja’fin mengadaptasi alat musik lain, terutama alat musik

modern seperti gitar elektrik, bass elektrik, dan drum set.

Persaingan Al-Asyik dengan Balassyik melalui sarah mengesankan

kalau Al-Asyik sedang membela bentuk musikal ruang religius dari imposisi

bentuk musikal Balassyik. Pada posisi ini, Al-Asyik juga merasa sedang mengejar

modal sosial yang dulu diperolehnya dari legitimasi religius. Sarah, dan secara

umum gambus balassyik, dianggap telah menurunkan kualitas modal sosial

pemain Al-Asyik. Untuk mendapatkan kembali kualitas modalnya, Al-Asyik

merasa perlu “memperlancar” hubungan dengan ruang religius dengan cara

memakai ja’fin sebagai bentuk yang dipakai menyaingi bentuk Balassyik.

Inti persaingan justru berada dalam gambus baladian. Jika sarah dipakai

untuk “memperlancar” hubungan dengan ruang religius, baladian justru dipakai

untuk menunda komunikasi dengan ruang religius. Jika penundaan tersebut tidak

dilakukan, Al-Asyik tidak akan pernah betul-betul menyaingi Balassyik. Karena

dalam baladian, medan gambus sepenuhnya dimenangkan Balassyik. Kalau ruang

religius mengklaim baladian sebagai musik religius, hal itu disebabkan

ketidakmampuan ruang religius menyaingi modal Balassyik. Oleh sebab itu,

dalam baladian Al-Asyik tidak membutuhkan persetujuan ruang religius.

Pada praktiknya, baladian dalam konsep Balassyik identik dengan

pengurangan dominasi alat tepuk dalam gambus. Balassyik bahkan tidak memakai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 115: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

103

marwas, tapi tam-tam (ditabuh). Warna suara tam-tam jauh lebih “lembut”

daripada marwas, sehingga adaptif dengan alat musik pukul (perkusi) lainnya

seperti tumbuk dan kendang. Baladian mengakses habitus gambus melalui irama

tetap, tapi dengan tempo yang jauh lebih longgar.

Dalam pandangan Al-Asyik, pesona baladian Balassyik berasal dari

kedekatan baladian dengan gaya musik pop. Untuk itulah, Al-Asyik merasa

percaya diri untuk mengeluarkan modal yang didukung oleh habitus pop mereka.

Ketika alat musik modern seperti gitar elektrik (dengan penambahan efek

distorsi), bass elektrik, drum set, keyboard, dan kendang dipakai dalam

pertunjukan Al-Asyik, hal itu dihadirkan untuk membunyikan “suara” baladian

Al-Asyik.

Akan tetapi, Balassyik telah menunjukkan bahwa baladian dalam

dirinya sendiri memang pop, pop gambus. Ketika Al-Asyik berusaha menyaingi

baladian, Balassyik melalui mekanisme yang sama dengan sarah, yaitu

mengusulkan pop baladian, usaha tersebut gagal total. Dalam baladian, Al-Asyik

jelas-jelas kalah modal dengan Balassyik. Apalagi, hampir semua hits Balassyik

adalah baladian, seperti lagu Ghannili.

Kekalahan tersebut tidak mungkin dibebankan pada ruang religius,

karena sejak awal Al-Asyik “mengesampingkan” ruang religius. Untuk itulah Al-

Asyik mengusahakan imposisi bentuk lain yang didapatkannya dari qasidah; kalau

tidak bisa menyaingi musiknya, ya menyaingi penyanyinya. Kehadiran Zulaikha,

Farida, dan beberapa penyanyi qasidah yang terkenal di Ambulu dipakai untuk

menunjukkan bentuk baladian ala Al-Asyik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 116: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

104

Baladian semacam ini pastilah bukan bentuk yang diinginkan Al-Asyik.

Kalau terus menerus dilakukan, modal Al-Asyik akan disaingkan dengan qasidah;

Al-Asyik akan dikenal sebagai kelompok yang menghadirkan penyanyi bagus,

bukan musik yang bagus. Oleh karena itu, Al-Asyik merasa perlu melakukan

strategi lain, yaitu dengan mengadopsi bentuk ruang musik lain yang tidak banyak

berbeda bentuk dengan gambus. Bentuk tersebut berasal dari musik pop Arab

(Timur Tengah). Al-Asyik menyebut bentuk tersebut sebagai dhaifah.

Perbedaan yang paling mencolok antara dhaifah dengan jenis gambus

lain pada penggunaan alat musik modern. Jika dalam jenis gambus lain alat musik

modern dipakai untuk menarik-ulur alat musik “gambus” (baca: ja’fin), dalam

dhaifah alat musik tradisi gambus tidak dipakai sama sekali. Alat musik dan

melodi dhaifah seluruhnya pop. Lebih jauh, Al-Asyik sedang menunjukkan jenis

gambus yang tidak dipakai oleh Balassyik dan tidak diusulkan ruang religius, tapi

tetap disebut gambus.

Hasilnya, gambus terasa sangat pop. Bahkan, gambus lebih mudah

membuat orang bergoyang. Goyangan inilah yang hampir memutus komunikasi

dengan ruang religius. Tapi, lagu Timur Tengah, lirik Arab, musik gambus,

pakaian gamis, dan Al-Asyik, cukup meyakinkan ruang religius bahwa musik

gambus dhaifah masih dalam “zona aman”, meskipun tidak melakukan “kontak”

langsung dengan ruang religius.

Putus kontak atau menunda komunikasi dengan ruang religius dan tidak

dinilai sebagai dosa, merupakan hal yang sangat menggembirakan. Inilah yang

dimaksud hiburan religius ala Al-Asyik. Inilah konsep yang sedang dicarikan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 117: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

105

bentuknya oleh Al-Asyik. Mengapa masih dicari? Bukankah mereka telah mampu

menyaingi Balassyik dengan dhaifah? Ternyata, Al-Asyik tidak betul-betul

sedang mengusahakan dhaifah. Dhaifah hanya dipakai untuk “menyadarkan”

ruang religius bahwa Balassyik sedang mengimposisi bentuk-bentuk gambusnya.

Kalau ruang religius tidak segera menyadarinya, maka legitimasinya akan mudah

dikalahkan oleh ruang musik industri.

Akan tetapi, ruang religius justru menganggap dhaifah sebagai gambus

yang sangat serius diusahakan Al-Asyik. Kecenderungan tersebut terlihat sejak

Al-Asyik mengusahakan pop ja’fin. Dalam penilaian ruang religius, Al-Asyik

selalu mengusahakan bentuk-bentuk yang diadopsi dari ruang profan. Hal itu

dibuktikan dari selalu dipakainya alat-alat musik modern dalam pertunjukan Al-

Asyik. Al-Asyik dinilai tidak mampu melepaskan diri dari jerat habitus pop nya.

Konsekuensinya, kolaborasi setiap alat musik menjadikan gambus terkesan

“terbuka” pada setiap genre musik, terutama musik pop. Kebaruan yang

disuarakan Al-Asyik, berbatas sangat tipis dengan musik pop.

Alih-alih menunjukkan kelemahan ruang religius, Al-Asyik justru dinilai

sedang menunjukkan kelemahannya, yaitu mudah dipengaruhi oleh musik

industri. Hal itu menyebabkan kebaruan yang hendak disampaikan Al-Asyik

berbeda perlakuan dengan kebaruan yang disampaikan Balassyik. Kombinasi

habitus gambus dengan modal Balassyik jauh lebih mudah dipakai sebagai suara

bentuk musik religius baru, dibanding kombinasi Al-Asyik. Melalui dhaifah,

ruang religius juga telah menganggap Al-Asyik sebagai kelompok musik religius,

tapi bukan untuk ruang religius. Terbukti, ketika Al-Asyik tampil dalam acara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 118: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

106

Maulid Nabi yang diselenggarakan masjid tahun 2006, bukan karena diundang,

tapi karena mereka menawarkan diri. Oleh karena itu, pihak takmir perlu

menampilkan kelompok musik lain yang dinilai lebih religius, yakni kelompok

Miftahul Khoir. Kelompok yang mengemas sholawat dalam konsep musik Kyai

Kanjeng (kelompok musik Emha Ainun Najib).

Pertanyaan yang mungkin diajukan atas kondisi tersebut adalah: “Apa lagi yang

bisa dilakukan Al-Asyik?” Pertanyaan tersebut berdasarkan asumsi bahwa Al-

Asyik sedang mengalami penurunan kualitas posisi dalam ruang religius. Proses

memposisikan diri (taking position) yang sedang diusahakan Al-Asyik justru

memposisikannya dalam ruang lain. Al-Asyik diakui sebagai musik religius tapi

tidak diakui ruang religius. Al-Asyik diakui sebagai kultur musikal religius, tapi

berbeda dengan kultur musikal religius yang ada dalam ruang religius. Al-Asyik

sedang diposisikan sebagai subkultur dalam kultur musikal religius. Bentuk-

bentuk gambus yang diusahakan Al-Asyik terasa memunculkan “kebisingan” bagi

bentuk-bentuk yang telah mapan.

C. Subkultur sebagai Reposisi Identitas

Apakah gambus Al-Asyik masih bisa dikategorikan sebagai musik religius? Ya,

menurut Al-Asyik. Karena sejak awak pemain Al-Asyik memang sedang

mengusahakan musik religius. Jika sejak awal pemain hendak mengusahakan

musik bukan religius, mereka tidak perlu repot-repot mengurusi gambus.

Mengapa gambus? Karena melalui gambus mereka dapat mengeluarkan

ekspresinya. Bukan sembarang ekspresi, tapi ekspresi yang memiliki

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 119: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

107

kecenderungan untuk berkomunikasi. Ekspresi tersebut merupakan suara

kelompok Al-Asyik. Suara yang membedakannya dengan kelompok musik lain.

Suara yang bagi ruang religius terasa “bising”.

Bentuk identitas musikal macam apa yang ingin ditunjukkan pemain?

Jawaban atas pertanyaan tersebut merujuk pada konsep identitas itu sendiri.

Dalam paparan di atas telah dijelaskan dua ruang yang dipakai pemain Al-Asyik

untuk mencari padanan bentuk dari konsep yang dimilikinya mengenai religiusitas

dan musikalitas. Gambus bahkan dipakai pemain untuk mengumumkan bentuk

identitas religiusitas dan musikalitasnya dalam kultur musikal religius di Ambulu.

Akan tetapi, bentuk identitas yang hendak diumumkan bukanlah bentuk

identitas yang diperolehnya begitu saja. Ia lahir melalui mekanisme penilaian.

Bentuk identitasnya akan dinilai oleh ruang religius dan ruang musikal. Nilai

itulah yang menentukan posisi Al-Asyik dalam kultur musikal religius di Ambulu.

Ketika Al-Asyik diposisikan sebagai subkultur, bukan berarti Al-Asyik tidak

eksis. Dalam teori subkultur Hebdige diketahui bahwa posisi tidak diusahakan

semata-mata untuk posisi itu sendiri. Subkultur dihidupi bukan untuk subkultur itu

sendiri, melainkan untuk melanggengkan sistem tertentu; habitus. Habitus sebaga i

durrable disposision memungkinkan pemain untuk tetap berada di suatu posisi

sekaligus mengusahakan posisi lain (reposisi). Posisi lain yang sedang diusahakan

bukanlah posisi yang berbeda dengan posisi sebelumnya, melainkan posisi lama

yang diperbaharui bentuknya. Untuk itulah para pemain memakai bentuk (form)

yang ada untuk dideformasi. Al-Asyik sedang melakukan deformasi. Setidaknya

dari gambus dhaifah representasi deformasi jelas terlihat. Reposisi macam apa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 120: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

108

yang sedang diusahakan dengan deformasi? Hal itu dapat dilacak dari dua ruang

yang dilaluinya, ruang religiusitas dan ruang musikalitas.

1. Reposisi Religiusitas

Reposisi religiusitas mengasumsikan adanya ketidakpuasan Al-Asyik dengan

pemaknaan religius yang diterima posisi lamanya dalam ruang religius. Melalui

gambus, terutama pop ja’fin dan dhaifah, pemain hendak menunjukkan kualitas

baru dari status lamanya dalam ruang religius sebagai pendakwah. Penjelasan

sebelumnya menunjukkan bagaimana kelompok Al-Asyik dapat memaknai

dakwah sebagai salah satu kriteria ruang religius. Akan tetapi, status pendakwah

tidak serta merta diberikan pada orang yang memiliki kesadaran dakwah. Di sana

juga disebutkan bagaimana kontestasi modal terjadi, hingga pemain dapat

berkomunikasi soal “dakwah” dalam medan musik religius. Status baru pemain

sebagai pendakwah adalah bagian dari aksi dakwah, modal dakwah.

Konsekuensinya, posisi sosial Al-Asyik dalam kulktur musikal religius

tidak lagi meneruskan distorsi ruang religius. Saat ini, mereka memiliki ruang

religiusnya sendiri untuk berdakwah. Dakwah yang sedang dilakukan bukanlah

dakwah mengenai esensi agama melainkan dakwah ekspresi keberagamaan

(religiusitas). Melalui gambus, pemain hendak berdakwah mengenai “cara

menikmati hidup” orang-orang beragama. Gambus sebagai hiburan religius.

Pada praktiknya, hiburan religius mendistorsi praksis musik religius

pada penilaian lirik. Jika lirik dapat mengajak orang pada tingkat keimanan

tertentu, maka hiburan tersebut dapat disebut religius. Nasyid sebagai genre musik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 121: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

109

religius nyaris tidak memiliki ruang untuk “dipertanyakan” religiusitasnya karena

selalu dapat menyelamatkan musiknya dengan lirik- lirik bertema ajaran Islam.

Konsekuensinya, musik religius seolah memiliki “beban” untuk membuat lirik

sesuai standar lirik religius. Karena lirik dipahami, pemain juga memiliki “beban”

mengamalkan apa yang disampaikannya dalam lirik. Pada posisi inilah pemain

dinilai sebagai pendakwah dalam mainstream budaya musikal religius.

Konteks Al-Asyik tidak memerlukan lirik untuk meyakinkan publik

tentang religiusitas musiknya, bahkan lirik sebagai esensi dakwah musikal. Pada

posisi ini, Al-Asyik justru telah menyelamatkan liriknya dari pertanyaan tentang

religiusitas dengan menghidupi musik gambus. Lirik gambus yang semula

diadopsi dari qasidah (kitab) hingga dikenal sebagai qasidah gambus, direduksi

sebagai lirik bertema umum dan memakai bahasa Arab.

Dengan gambus, pemain Al-Asyik juga menyelamatkan habitus

musiknya dari dikotomi musik profan atau religius. Lirik dan habitus musik

pemain (pop) dalam gambus seolah “dinaungi” oleh makna gambus. Padahal,

seringkali pertunjukan gambus Al-Asyik menjadikan gambus sebagai simbol

imposisi yang telah ditaklukkan. Misalnya, pada lagu Aisyah atau Saaltinaar,

terlihat betul bagaimana gitar gambus dan marwas sama sekali tidak dimainkan

meskipun ada dalam pertunjukan.

Bahkan, dengan gambus, Al-Asyik juga telah menyelamatkan diri dari

“beban” perilaku religius. Cukup dengan memakai gamis, musik yang ada dapat

melonggarkan standar joget ala ja’fin. Gambus pun dapat dibuat goyang seperti

dangdut. Meskipun memiliki perbedaan dengan goyang dangdut, setidaknya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 122: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

110

goyang gambus Al-Asyik telah mampu menjadi tempat menuangkan ragam

pengalaman masyarakat mengenai goyang yang “wajar” dan tidak melanggar

norma. Mereka hanya berjoget. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari

kesenangan itu. Apalagi, jika goyangan dilakukan pada acara religius dan oleh

orang-orang dengan citra religius.

Lantas, bagaimana dengan “tuntutan” dakwah meningkatkan

keimanan? Sebagaimana disinggung sebelumnya, mereka tidak sedang berdakwah

mengenai “doktrin” agama. Mereka sedang mendakwahkan praktik doktrin

agama; praksis religiusitas. Melalui gambus mereka berdakwah mengenai tidak

sampainya doktrin. “Doktrin” musik religius dipahami oleh pemain hanya sebagai

musik berbahasa Arab, memakai gamis dan ditampilkan pada acara religius.

Doktrin agama di Ambulu dapat diwakili dengan menghadirkan simbol religius:

Pakistan, pakaian dan perhelatan. Doktrin agama yang demikian dianggap tidak

“bersuara” dalam dakwah medan musik. Oleh karena itu, memberikan “suara”

pada doktrin agama adalah bentuk dakwah. “Suara” tersebut dapat membuat orang

memutuskan apakah setuju atau tidak dengan esensi agama dalam medan musik

religius.

Pada praktiknya, suara yang diberikan justru berasal dari ruang profan,

musik pop. Bukankah “suara” itu justru bertentangan dengan doktrin agama?

Tidak, jika memakai aturan main dalam ruang musik pop, terutama aturan main

kapitalisme industri musik. Melalui industri musik pop, masyarakat telah lama

(di)akrab(kan) dengan istilah musik religius. Sebut saja Bimbo sebagai kelompok

musik yang identik dengan musik dan lagu religius. Yang terbaru adalah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 123: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

111

kelompok Gigi, Ungu, Radja dan Repvblik. Bahkan, musik pop mampu

mengadaptasi bentuk-bentuk musik tradisi (industri). Lagu “Perdamaian” yang

dibawakan oleh Gigi dan lagu “Kota Santri” yang dinyanyikan oleh Krisdayanti

dan Anang, merupakan dua lagu hits kelompok qasidah Nasida Ria. Artinya,

pemahaman sebagian besar masyarakat tentang gambus sebagai musik religius

juga berasal dari pemahaman istilah musik religius yang dipopulerkan musik

industri. Dimulai dari qasidah Nasida Ria hingga sholawat Kyai Kanjeng, musik

dengan label “tradisi” ikut serta dalam industri musik religius Industri.

Pemahaman inilah yang dipakai oleh pemain Al-Asyik sebagai status

“suara”, bukan “suara” itu sendiri. “Suara” yang diberikan Al-Asyik justru berasal

dari ruang profan dalam industri musik pop. Dengan konsep musik religius

industri, pemain mencari bentuknya dalam ruang musik pop industri. Mengapa?

Karena, habitus mereka tidak banyak menunjukkan kemungkinan modal dapat

mengakses ruang musik religius industri. Agak sulit bagi anak SMA Bima atau

Pancasila yang sebagian anak pedagang dan bukan santri mengoleksi atau

membiasakan diri dengan musik religius. Koleksi musik mereka dan kelompok

musik favorit mereka menunjukkan kecenderungan pada wilayah profan. Wilayah

itu, dalam industri media, dipenuhi dengan citra (mitos!) mengenai globalitas dan

modernitas.

Dengan kata lain, pemain ingin menjadikan bentuk gambus sebagai

suara musik religius modern. Ketika musik bersanding bersama dengan istilah

religius dan modern, hal itu bukan saja menunjukkan ekstra musikal, tapi juga

ekstra religius, yakni religiusitas. Pada posisi ini Al-Asyik berusaha meyakinkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 124: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

112

ruang religius mengenai kemampuan religiusitas memaknai doktrin. Untuk itulah,

Al-Asyik membutuhkan reposisi ruang musikal untuk menunjukkan bentuk yang

dihasilkan dari pemaknaannya tersebut.

2. Reposisi Musikal

Persaingan Al-Asyik dengan Balassyik menyisakan “kekacauan” bagi posisi Al-

Asyik. Bukan kekacauan dalam ruang musikal, tapi kekacauan dalam ruang

religius. Kekacauan tersebut berasal dari “ketidakmampuan” Al-Asyik membuat

ruang musikal berhubungan secara paradigmatik dengan ruang religius.

Kekacauan tersebut dimulai dari pop ja’fin dan ditegaskan oleh dhaifah.

Apakah mereka berniat menghidupi bentuk lama? Tidak. Dengan

status sosial pemain sebagai “masyarakat biasa” dan sebagian besar berprofesi

sebagai pedagang, ngoyo (berusaha keras) mengejar legitimasi religius bukan

bagian dari habitus mereka. Akan tetapi, melalui reposisi religiusitas, pemain Al-

Asyik sadar bahwa menjadi masyarakat Ambulu berarti tidak dapat melepaskan

diri dari penilaian religius. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mereka

memilih (dan dipilihkan) menghidupi gambus.

Lantas, bagaimana mereka mereposisi musikalitas yang terlanjur tidak

diakui oleh ruang religius? Cara yang mereka lakukan adalah dengan tidak banyak

peduli dengan legitimasi ruang musikal maupun ruang religius. Bagaimana

mungkin? Bukankah sebagai kelompok gambus mereka telah diposisikan sebagai

kelompok musik religius oleh ruang religius dan dinilai secara musikal oleh ruang

musikal? Tepat di situlah Al-Asyik mereposisi musikalitasnya. Kalau sudah jelas

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 125: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

113

diakui sebagai kelompok religius, kenapa harus “panik” ketika bentuk-bentuk

yang ditawarkan kelompok lain mengimposisi bentuk sebelumnya?

Pemain Al-Asyik mungkin baru menyadari kalau sirkulasi bentuk-

bentuk gambus tidak akan pernah berhenti sejalan dengan bentuk-bentuk musik

sebagai barang produksi. Yang perlu mereka lakukan justru menangkap bentuk

gambus yang telah mapan dan tidak mudah diimposisi bentuk lain. Gambus

semacam ini telah menjadi bentuk mitos yang tidak hanya diakui oleh ruang

religius, tapi juga ruang lain, seperti ruang kesenian masyarakat. Ia juga menjadi

sumber bentuk dari bentuk-bentuk gambus lain.

Adakah gambus semacam itu dalam habitus masyarakat Ambulu? Ada,

tapi tidak berbentuk pengalaman visual, hanya didengar. Gambus tersebut

terkesan easy listening dan sangat populer, karena dikenal sebagai “gambus

tradisi” dan direproduksi dalam berbagai acara religius. Bentuk dan pemakaiannya

seperti lagu- lagu yang hanya dikenali sebagai lagu sehari-hari5, seperti lagu

“Soleram” atau lagu “Bungon Jumpa” (Aceh). Gambus semacam ini, pada dirinya

sendiri tidak mudah dianulir, karena ia tidak bekerja dalam mekanisme musik

sebagai medan perebutan legitimasi, melainkan bekerja sebagai mitos yang

menghasilkan hiburan religius, pleasure.

Mitos semacam ini berguna sebagai metabahasa6. Gambus, pada posisi

ini tidak ditangkap maksudnya sebagai gambus yang siap dibentuk dan dimaknai

(gambus sebagai bahasa legitimasi). Sebagai metabahasa, gambus semacam ini

biasanya telah disiapkan oleh pengalaman masyarakat untuk tidak mudah diganti- 5 Ketika dipakai dalam industri musik, lagu semacam ini biasanya dituliskan dengan nama pencipta NN (No Name). 6 St. Sunardi, Semiotika Negativa , halm: 106

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 126: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

114

ganti bentuknya karena ia menyimpan berbagai kode potensial yang ditunjuk oleh

meta bahasa, bahasa masyarakat. Kalau bentuknya diganti, ia memiliki

mekanisme defensif yang ditandai dengan “tidak nyaman ditelinga”. Contoh

gambus tersebut dapat ditemukan dalam lagu Towileh.

3. Reposisi Status

Status dalam struktur budaya musikal memiliki kekuatan dalam medan ketika

berfungsi sebagai modal sosial. Artinya, dalam kondisi yang tepat status dapat

dipakai mengakumulasi modal ekonomis dan kultural yang ada dalam masyarakat.

Status Al-Asyik dalam ruang religius, dari penjelasan di atas, hanya mampu

mendistribusikan modal. Persaingannya dengan Balassyik dalam ruang religius

justru mempertegas perbedaan kualitas modal dan kualitas status Al-Asyik.

Dengan “gambus tradisi” (folk gambus) medan gambus tidak mudah

dikontrol oleh ruang religius dan ruang industri musik gambus. Kalaupun hendak

mengontrol, ruang religius dan indutri musik harus sampai pada legitimasi religius

dan legitimasi musikal masyarakat kolektif, legitimasi masyarakat popular7.

Legitimasi tersebut, seringkali, dikondisikan oleh media. Apa yang disebut

legitimasi kelompok, seringkali jatuh pada definisi legitimasi kelompok ala

media. Media pada posisi ini, telah mampu menyatukan masyarakat pada

7 Dalam makalah kuliah Seni Pop yang berjudul munculnya kategori Pop, St. Sunardi merumuskan tiga macam kolektivitas, yaitu volk (folk ) atau rakyat, popular atau kerakyatan, dan pop. Volk terkauit dengan masyarakat tradisional tertentu yang hidup dalam batas-batas ideologis tertentu, dan kadang-kadang dalam suku tertentu. Kerakyatan erat kaitannya dengan rakyat (volk) yang bisa dimaknai bangsa; rakyat yang bergerak secara politis. Sedangkan, pop merupakan pengalaman yang lahir dari budaya konsumsi dan didukung oleh tehnologi informasi baru (media). Maksud legitimasi masyarakat popular, kurang lebih, merumuskan bentukbentuk pengalaman yang dimulai dari pengalaman masyarakay (sebagai the popular) dengan realitas media. Halm: 1-5

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 127: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

115

keseragaman kebutuhan religius, dan juga membiarkannya meledak kedalam:

batas-batas tradisi, ideologi, kelas, cair dan membuat “kepanikan” dengan

kumpulan massa yang “memperebutkan” ketidakpastian atas nama “legitimasi”8.

Gambus “tradisi” seolah menjadi jawaban atas “kepanikan” tersebut;

apa yang telah meledak ke dalam, dipastikan juga bisa diselesaikan di dalam.

Setidaknya, dengan cara ini, masyarakat tidak perlu kembali “panik” dengan

kebutuhan bentuk religius baru. Lantas, status macam apa yang mungkin diterima

Al-Asyik dengan mengejar legitimasi popular? Tentu saja, status sebagai

kelompok musik religius rakyat.

Status sebagai kelompok musik religius rakyat kali ini berbeda dengan

status yang sama dalam ruang religius. Kali ini status tersebut dimaknai sebagai

status ruang religius rakyat (medan religius rakyat). Status tersebut meletakkan

kontrol legitimasinya pada pemahaman masyarakat terhadap doktrin agama.

Status tersebut, dipakai sebagai modal untuk memprotes ruang religius

mainstream.

Al-Asyik memprotes hegemoni ruang religius, sebagai bagian dari

pendukung ketidakadilan sistem sosial yang ada (social inequality)9, terutama

dalam wilayah ekspresi budaya. Praktek pemaknaan dalam wilayah ekspresi

budaya hampir selalu diarahkan ruang religius, khususnya masjid, untuk

“menyenangkan” politik kebijakan publik pemerintah. Dengan dalih menjadi

patner pemerintah dalam mewujudkan stabilitas nasional, berbagai ekspresi

budaya “terpaksa” dilarang, mulai dari karnaval 17-an hingga gerak jalan Watu

8 Baudrillard, dalam ibid halm: 5-7 9 Fabio Dasilva, dkk, The Sociology of Music, halm: 88-92

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 128: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

116

Ulo-Ambulu. Bahkan masjid dipakai sebagai alat politis. Masjid yang berada pada

lingkungan NU harus rela membiarkan sebagian besar jamaahnya mengadakan

sholat Idul Fitri di tempat lain hanya karena alasan berbeda dengan pemerintah.

Masjid menjadi sangat rentan dipolitisasi.

Oleh sebab itu, dengan status “barunya”, protes Al-Asyik ditujukan

untuk “perbaikan” mekanisme ruang religius. Melalui status itu pula, Al-Asyik

hendak merumuskan aturan main bergambus di Ambulu; aturan main dalam

medan gambus rakyat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 129: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

117

BAB VI

KESIMPULAN

Sejak awal, tesis ini mengarahkan seluruh pembahasan pada “deformasi” makna

religius pertunjukan Al-Asyik. Sejak awal pula, tesis ini membahas pertunjukan

Al-Asyik dalam konteks gambus sebagai musik religius. Lebih jauh, gambus

sebagai kultur musikal religius dimaknai sebagai gambus sebagai cara masyarakat

membentuk dan menghidupi musik religius.

Melalui sosiologi musik, proses tersebut dapat dilihat dengan cara

melihat bentuk-bentuk praksis musikal Al-Asyik yang juga merupakan bagian

dari budaya musikal religius di Ambulu. Bentuk-bentuk tersebut menandai

“suara” yang dipakai Al-Asyik menunjukkan identitasnya.

Data di atas menunjukkan bahwa identitas Al-Asyik dalam medan

gambus tidak disuarakan dengan bentuk yang sama. Al-Asyik memulai

“perjalanan” gambusnya dengan menghidupi ja’fin yang diusulkan oleh ruang

religius (yang didistorsi oleh takmir masjid) sebagai pengalaman pertama melihat

gambus. Selanjutnya, fenomena Balassyik melahirkan bentuk gambus religius

sarah dan baladian yang menjadi kepanjangan tangan medan gambus industri

mengimposisi bentuk gambus ruang religius di Ambulu.

Dengan modal kultural sebagai pemain hadrah dan sebagian besar

pemain band, Al-Asyik kembali harus “melayani” usulan bentuk tersebut. Habitus

Al-Asyik tampaknya tidak banyak setuju dengan bentuk yang diusulkan

Balassyik. Akan tetapi, karena habitus ruang religius terlanjur terimposisi dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 130: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

118

bentuk tersebut, mau tidak mau Al-Asyik sebagai bagian dari mekanisme ruang

musikal, menerima bentuk tersebut. Penerimaan tersebut tidak bersifat

menyeluruh. Sarah dan Baladian dicarikan bentuknya dalam ja’fin melalui cara

“tambal-sulam” bagian-bagiannya 1 hingga berwujud pop ja’fin dan dhaifah.

Bentuk tersebut diarahkan Al-Asyik agar dapat dikenali dalam dua

ruang: ruang religius dan ruang musikal. Ternyata, ruang religius dan ruang

musikal justru tidak menerima ja’fin pop dan dhaifah sebagai bentuk dalam

medan gambus. Ja’fin pop dan dhaifah dianggap salah tempat dan salah makna 2.

Lebih jauh, bentuk tersebut telah “mengelua rkan” Al-Asyik dalam medan

gambus. Sejak saat itulah Al-Asyik memainkan praksisnya sebagai praksis

subkultur musikal religius.

Melalui subkultur, Al-Asyik dapat menambahkan konsep ruang lain.

Misalnya, pada kasus bentuk “gambus tradisi” Al-Asyik menghadirkan konsep

ruang penonton, budaya penonton gambus. Hal itu berfungsi untuk menambah

mitos gambus yang dihidupi di Ambulu. Sekurang-kurangnya, identitas mereka

juga dapat dikenali dalam mitos lain. Jika berhasil, Al-Asyik dapat menjauhkan

identitas dari “kekuasaan” mitos medan gambus. Dengan cara ini, Al-Asyik dapat

memulai untuk merumuskan bentuk identitasnya; identitas kebebasannya.

Identitas macam ini dapat menimbulkan dorongan kuat untuk sampai pada zona

nir tekanan (pleasure). Identitas inilah yang sedang dicarikan bentuknya, agar

1 Hebdige menyebutnya Brikolage dalam konteks style as brikolage. Dala m Subculture: The Meaning of Style, halm: 113-118 2 Hebdige menyebutnya “The Unnuturak Break ” (Putus tak Alami), sebagai cara untuk merumuskan koherensi dalam kontradiksi. Ibid, halm: 90-99.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 131: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

119

dapat berkomunikasi dengan pleasure penonton. Pop ja’fin, dhaifah dan gambus

“tradisi”, kemungkinan besar merupakan bentuk yang selama ini diusahakannya.

Melalui subkultur yang sengaja dihidupi oleh Al-Asyik, kita dapat

melihat adanya kemungkinan Al-Asyik bertahan lama. Al-Asyik dengan

modalnya seolah dapat mengadaptasi berbagai bentuk-bentuk yang berdatangan.

Subkultur justru menunjukkan identitasnya melalui kemampuannya menciptakan

ruang kosong untuk diisi dengan bentuknya sendiri. Bentuk-bentuk tersebut

diusahakan oleh Al-Asyik dengan cara selalu mengkomunikasikan habitus

dengan modalnya. Habitus musik religius di Ambulu berkombinasi dengan modal

pemain hadrah dan pemain band, dipakai Al-Asyik untuk merumuskan identitas

musik religiusnya.

Sekilas identitasnya terlihat mandiri dan tidak terlihat diimposisi oleh

musik gambus industri. Sebenarnya, Al-Asyik justru diimposisi makna oleh

qasidah. Usaha-usaha yang dilakukannya tidak lain adalah bentuk-bentuk qasidah.

Hal ini dimakna i Al-Asyik sebagai cara mitos melawan mitos. Dengan memakai

mitos qasidah dan megakui sebagai kelompok gambus, Al-Asyik hendak

menyaingi mitos gambus yang mudah menghegemoni saat ini. Inilah unnatural

break yang dipakai sebagai identitas.

Dalam arti yang sangat luas, identitas semacam ini akan menunjukkan

berbagai “pembedaan” dengan kelompok lain, ideologi lain, kelas sosial lain,

bahkan status lain. Identitas semacam inilah yang menjadikan Al-Asyik memiliki

status distingsi. Status tersebut dapat diperlakukan sebagai modal dalam sistem

pembentukan dan proses dalam medan yang berhomologi dengan medan gambus.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 132: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

120

Artinya, apa yang dilakukan tesis ini hanya merumuskan mekanisme

praksis; mekanisme kombinasi habitus gambus dengan modal Al-Asyik

berkomunikasi dengan medan gambus. Bagaimana praksis tersebut

“berkomunikasi” dengan praksis pendukung lainnya (penonton dan penanggap)

maupun homologinya dengan medan lain, seperti pakaian dan setting panggung,

belum banyak disebutkan dalam tesis ini. Oleh sebab itu, saya menyebut

penelitian ini sebagai penelitian pembuka bagi penelitian lain yang hendak

memahami masyarakat berikut pola komunikasinya melalui praksis estetika,

terutama musik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 133: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

121

DAFTAR PUSTAKA

Althusser, Louiss. Tentang Ideologi : Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis,

Cultural Studies. Jalasutra : Yogyakarta.

Bourdieu, Pierre. (1984). Distinction: A Social Critique of The Judgment of Taste.

Harvard University Press, Massachusetts.

-------------------. (1977). Outline of a Theory Practice. Cambridge University

Press, Cambridge.

Bouvier, Helene. (2002). Lebur : Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat

Madura. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Hoffer, R. Charles. (1989). The Undertanding of Music (ed). Wadsworth

Publishing Company, Belmont California

Cobuilds, Collins. (2001). English Dictionary for Advanced Leaners (third ed).

HarperCollins Publisher.

Dasilva, Fabio dkk. (1984). The Sosiology of Music. University of Notre Dame

Press, Indiana.

Djohan. (2002). Psikologi Musik. Buku baik, Yogyakarta.

Farmer, George Henry. (1929). A History og Arabian Music To The XIII th

Century. luzac and CO, London.

Frow, John. (1995). Cultural Studies and Cultural Value. Clarendon Press,

Oxford.

Gramsci, Antonio (1987) “Catatan-catatan Politik”. Pustaka Promethea,

Surabaya.

Hall, Stuart. Cultural Representation and Signifying Practice

Hardjana, Suka. (1983). Estetika Musik. Depdikbud, Jakarta.

Hargreaves, J. David. (1997). The Social Psychology of Music. Oxford University

Press, New York.

Harker, Richard, dkk. (2005). (HabitusxModal)+Ranah=Praktik, Jalasutra,

Yogyakarta.

Hebdige, Dick. (2002). Subculture : The Meaning of Style. Rouledge, London

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 134: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

122

Kamien, Roger. (1976). Music an Appreciation (ed). McGraw-Hill Book

Company.

Liftschitz, Mikhail and Salamini, Leonardo. (2003). Praksis Seni : Marx dan

Gramsci. Alinea, Yogyakarta.

Malm, P. William. (1967). Musical Culture of The Pasific, The Near East and

Asia. Prentice-Hall, New Jersey.

Mazzola, Guerino. Semiotic Aspect of Musicology : Semiotics of Music

Musmal. (2003). Tesis dengan Judul Gambus Sebagai Salah Sautu Ekspresi

Musik Rakyat Melayu di Sumatera Utara. Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.

Oxford Advanced Leaner’s Dictionary. (2000). Oxford University Press.

Qardhawi, Al-Yusuf. (2003). Fiqh Musik dan Lagu: Prespektif Al-Quran dan As-

Sunnah. Mujahid Press, Bandung.

------------------------, (2000). Nasyid Vs Musik Jahilliyah. Mujahid Press,

Bandung.

Santos, P. Ramon. (1995). The Music of Asean. Asean Committee on Cultural and

Information, Philipina.

Swartz, David. (1997). Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu.

The University of Chicago Press, Chicago.

Sunardi, St. (2004). Semiotika Negativa. Buku baik, Yogyakarta.

-------------, (2007). Makalah-Makalah Kuliah Seni Pop, tidak dipublikasikan.

Wahid, Abdurrahman. (1999). Tuhan Tidak Perlu Dibela (ed). Lkis, Yogyakarta.

www. tabloidnova.com

www.wikipedia.com

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 135: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

123

Lampiran 1 : Data Diri Pemain

Nama : Faruk

Usia : 28 Th

Alat Musik yang dimainkan : Gitar Melodi

Alamat : Jl. Diponegoro I/22 Ambulu

Tinggal bersama : Orang Tua

Lama tinggal di Ambulu : 28 Th

Pekerjaan : Pedagang sandal dan sepatu

Pendidikan terakhir : SMA Bima

Pekerjaan orang tua : Pedagang sandal dan sepatu

Hobi : berpetualang dan main musik

• Keadaan rumah

1. Usia rumah : sekitar 20 th

2. Imej rumah : Agak mewah

3. Jenis furnitur : umum

4. Pilihan dekorasi : 5. Pengamatan lain : Rumahnya lumayan besar dan berpagar

besi

• Pakaian : Kaos dan celana jeans • Rambut : sedang (di bawah di atas bahu) • Gaya bicara

1. Aksen : Jawa 2. Cara bicara : Tertata dan diplomatis

• Koleksi Kaset: rock, klasik, dangdut, gambus • Grup musik favorit: YNGwei Malsteen (kelompok bandnya dulu)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 136: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

124

Nama : Fredy Oktavian

Usia : 19 Th

Alat Musik yang dimainkan : Tam-tam, marwas

Alamat : Kauman-Ambulu

Tinggal bersama : Kakak

Lama tinggal di Ambulu : 19 Th

Pekerjaan : (kadang tukang parkir)

Pendidikan terakhir : SMA Bima

Pekerjaan orang tua : Wiraswasta

Hobi : Musik

• Keadaan rumah

1. Usia rumah : Kira-kira 35 tahun

2. Imej rumah : agak mewah tapi berantakan

3. Jenis furnitur : umum

4. Pilihan dekorasi : 5. Pengamatan lain : rumah berpagar besi

• Pakaian : kaos dan celana jeans • Rambut : Pendek dan rapi • Gaya bicara

3. Aksen : Jawa 4. Cara bicara : standar

• Koleksi kaset : tidak punya • Grup musik favorit : Balassyik dan Slank

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 137: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

125

Nama : Hadi

Usia : 26 th

Alat Musik yang dimainkan : Tumbuk, marwas

Alamat : Kauman - Ambulu

Tinggal bersama : Orang tua dan Istri

Lama tinggal di Ambulu : 26 Th

Pekerjaan : Pedagang Hewan (Blantik Sapi dan

Kambing)

Pendidikan terakhir : SMA Bima

Pekerjaan orang tua : Pedagang

Hobi : Main Musik

• Keadaan rumah

1. Usia rumah : sekitar 45 th

2. Imej rumah : Tua

3. Jenis furnitur : Didominasi oleh furnitur dari kayu dan

berusia lama.

4. Pilihan dekorasi : 5. Pengamatan lain : Ada kandang kambing di sebelah rumah

• Pakaian : kaos dan celana 3/4 • Rambut : pendek rapi • Gaya bicara

5. Aksen : Jawa 6. Cara bicara : Tertata dan diplomatis

• Koleksi kaset : Rock, klasik, dangdut, dan gambus

• Grup musik Favorit:Balassyik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 138: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

126

Nama : Zaenal

Usia : 25 Th

Alat Musik yang dimainkan : Rythm, tam-tam, marwas

Alamat : Kauman - Ambulu

Tinggal bersama : Keluarga

Lama tinggal di Ambulu : 25 Th

Pekerjaan : pedagang

Pendidikan terakhir : SMK Pancasila

Pekerjaan orang tua : Wiraswasta

Hobi : Sepak Bola, main musik

• Keadaan rumah

1. Usia rumah : sekitar 30 Th.

2. Imej rumah : sederhana cenderung tua

3. Jenis furnitur : sederhana

4. Pilihan dekorasi : foto keluarga dan foto Presiden serta Wapres.

5. Pengamatan lain :

• Pakaian : kaos dan celana 3/4 • Rambut : pendek dan lurus • Gaya bicara

7. Aksen : Jawa 8. Cara bicara : standar

• Koleksi Kaset : Rock, klasik, dan gambus

• Grup musik favorit: Slank

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 139: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

127

Nama : Eko

Usia : 18 Th

Alat Musik yang dimainkan : Drum

Alamat : Kauman - Ambulu

Tinggal bersama : Orang Tua

Lama tinggal di Ambulu : 18 Th

Pekerjaan : Pelajar

Pendidikan terakhir : SMA Bima

Pekerjaan orang tua : Pedagang

Hobi : Main Musik

• Keadaan rumah

1. Usia rumah : sekitar 30 Th

2. Imej rumah : sederhana tapi rapi

3. Jenis furnitur : umum (tidak pesifik)

4. Pilihan dekorasi : Foto keluarga 5. Pengamatan lain : di depan rumah terdapat warung makanan

kecil

• Pakaian : Kaos dipadu dengan celana 3/4 • Rambut : Pendek tanpa mengikuti tren tertentu • Gaya bicara

9. Aksen : Jawa 10. Cara bicara : standar

• Koleksi Kaset : Rock, klasik, dan gambus

• Grup musik favorit : Peter Pan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 140: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

128

Nama : Aries

Usia : 21 Th

Alat Musik yang dimainkan : Keyboard

Alamat : Kauman-Ambulu

Tinggal bersama : Orang tua

Lama tinggal di Ambulu : 21 Th

Pekerjaan :

Pendidikan terakhir : SMP Kartika

Pekerjaan orang tua : Wiraswasta

Hobi : Main musik

• Keadaan rumah

1. Usia rumah : Sekitar 5 th (baru direnovasi)

2. Imej rumah : Rapi dan bersih

3. Jenis furnitur : umum

4. Pilihan dekorasi : Gambar Ka’bah, Kaligrafi dan foto keluarga.

5. Pengamatan lain :

• Pakaian : Kaos Oblong dan Sarung • Rambut : Pendek seperti model rambut polisi • Gaya bicara

11. Aksen : Jawa 12. Cara bicara : Standar

• Koleksi Kaset : dangdut dan gambus

• Grup musik favorit : Balassyik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 141: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

129

Nama : Hayung

Usia : 21 Th

Alat Musik yang dimainkan : Tumbuk dan gitar gambus

Alamat : Kauman-Ambulu

Tinggal bersama : Orang Tua

Lama tinggal di Ambulu : 19 Th

Pekerjaan : Mahasiswa (Poltek)

Pendidikan terakhir : SMK

Pekerjaan orang tua : Wiraswasta

Hobi : Semua yang positif

• Keadaan rumah

1. Usia rumah : Sekitar 30 Th

2. Imej rumah : Sederhana tapi rapi

3. Jenis furnitur : umum

4. Pilihan dekorasi : Foto Keluarga, Foto Presiden dan Wapres 5. Pengamatan lain :

• Pakaian : Hem dan celana panjang

• Rambut : Pendek dan rapi

• Gaya bicara

13. Aksen : Jawa

14. Cara bicara : Tertata dan diplomatis

• Koleksi Kaset : Rock, klasik, dangdut, gambus, qasidah,

campursari

• Grup musik favorit : Slank

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 142: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

130

Nama : Totok Hartoyo

Usia : 18 Th

Alat Musik yang dimainkan : Tam-tam, marwas

Alamat : Kauman-Ambulu

Tinggal bersama : Orang Tua

Lama tinggal di Ambulu : 18 Th

Pekerjaan : Pelajar

Pendidikan terakhir : SMA Bima

Pekerjaan orang tua : Wiraswasta

Hobi : Musik

• Keadaan rumah

1. Usia rumah : 35 Th

2. Imej rumah : sederhana cenderung kumuh

3. Jenis furnitur : umum

4. Pilihan dekorasi :

5. Pengamatan lain : kondisi tembok rumah penuh dengan

bercak-bercak hitam akibat resapan air atau lembab.

• Pakaian : Kaos dan celana panjang • Rambut : model acak (segi) pendek dan panjang di bagian depan • Gaya bicara

15. Aksen : Jawa 16. Cara bicara : standar

• Koleksi kaset : Rock

• Grup musik favorit : Nindji, Samson dan Ungu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 143: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

131

Lampiran 2: Kuesioner

1. Dari mana Anda mendapatkan alat musik tersebut :

a. Pinjam b. Beli sendiri c. Sewa d. Dapat sumbangan e. Pemain bawa sendiri

2. Alat musik apa saja yang minimal harus dimiliki oleh sebuah grup musik gambus ? a. Gitar gambus, tam-tam, marawis b. Gitar gambus, tam-tam, marawis, tumbuk c. Gitar gambus, tam-tam, marawis, keyboard d. Gitar gambus, keyboard, gitar bass, drum, marawis e. Keyboard, gitar rhythm, gitar bass, biola, drum f. Lainnya: ……….

3.Kalau anda punya alat musik selengkap Balassyik, apa yang anda lakukan?

a. Menggelar konser gratis b. Menawarkan diri pada industri rekaman c. Menaikkan tarif tanggapan d. Berkonsentrasi pada ja’fin e. Lainnya.....

4.Alat musik apa yang harus ada dalam pertunjukan gambus Al-Asyik? a. Gitar gambus b. Tam-tam c. Marawis d. Gitar Rhythm e. Drum f. Keyboard g. Lainnya: ………

5.Apa jadinya kalau alat musik tersebut tidak ada ?

a. Kurang religius b. Tidak disukai penonton c. Tidak jadi pentas d. Tidak dibayar e. Gambus jadi kelihatan kuno

6. Apa alasan yang membuat sebuah lagu disebut religuis? (pilihan boleh lebih

dari satu dan maksimal tiga pilihan) a. Kalau liriknya berbahasa Arab b. Kalau musiknya dekat dengan timur tengah c. Kalau lagunya dipakai pada acara keagamaan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 144: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

132

d. Kalau penyanyinya ahli qiroah, adzan atau penyanyi qasidah e. Kalau pakaian pemain menggunakan kerudung atau gamis f. Lainnya……….

7.Apa rasanya kalau pentas tanpa Sound System

a. Biasa saja, yang penting penonton suka b. Tidak jadi masalah karena yang penting misi dakwahnya c. Kurang percaya diri karena terkesan kampungan d. Membuat memainkan musik jadi kurang bersemangat e. Mendingan tidak usah pentas saja.

8.Ada berapa orang yang bisa main alat yang anda mainkan?

a. Dua orang b. Tiga orang c. Semua bisa d. Rata-rata bisa e. Tidak ada yang bisa kecuali Anda

9.Bagaimana cara anda memainkan suatu karya baru?

a. Dengar sekali langsung bisa main b. Dengar dua kali langsung bisa main c. Dengar lebih dari dua kali baru bisa main d. Latihan intensif dengan teman-teman lainnya, baru bisa main total

1. Aisyah 5. Saaltinar 2. Katabna 6. Rabby Faj’al 3. Magadir 7. Ana Habbataik 4. Ghonnili 8. Wanashabiya

Perhatikan daftar lagu diatas!

10. Kalau semua lagu diatas disukai penonton dan penanggap, sebutkan tiga

lagu yang paling anda sukai!

11. Lagu mana yang paling religius menurut anda? a. Katabna b. Ghannili c. Wanashabiya d. Magadir e. Lainnya ……………

12. Lagu mana yang paling tidak religius? a. Saaltinar b. Magadir c. Ana Habbaitak d. Wanashabiya e. Lainnya ……………..

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 145: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

133

13. Kalau Al-Asyik memiliki kesempatan rekaman, gambus jenis apa yang ingin dimainkan? a. Ja’fin b. Balladian c. Sarah d. Da’ifah e. Lainnya …………….

14. Menurut anda, apa yang paling disukai penonton dari penampilan Al-Asyik?

a. Musiknya yang asyik buat goyang b. Pemainnya yang sudah dikenal c. Kostumnya yang santai d. Gaya pertunjukannya yang penuh variasi e. Lagu-lagunya yang islami tapi gaul f. Penyanyinya yang keren suaranya g. Lainnya ………….

15. Kalau yang menonton Al-Asyik hanya ibu-ibu dan remaja putri, apa yang

anda lakukan? a. Terus pentas b. Mengganti lagu sesuai dengan penonton c. Mencari tahu, mengapa musik gambus hanya diterima ibu- ibu dan remaja

putri d. Mencari pemain perempuan e. Lainnya ………………

16. Acara apa yang paling mahal harga tanggapannya? a. Pernikahan b. Kampanye c. Peresmian Dealer d. Undangan Kecamatan e. Lainnya………….

17. Menurut anda apa alasan orang menanggap gambus?

a. Islami tapi modern b. Harga tanggapan yang terjangkau c. Berasal dari daerah sendiri d. Lainnya …………………

18. Kalau sama-sama dibayar, lebih suka ditanggap siapa?

a. Takmir Masjid b. Pak Camat c. Masyarakat biasa d. Partai Politik e. Bank f. Lainnya ……………….

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 146: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

134

19. Ditanggap siapa yang paling tidak anda inginkan, meskipun dibayar?

a. Orang Kristen b. Orang Cina c. Orang Pakistan d. Parpol e. Polisi f. Kyai Pesantren g. Lainnya ………….

20. Siapa penanggap yang paling anda inginkan, tapi belum pernah menanggap

Al-Asyik? a. Bupati b. Pemilik Rekaman c. Kyai Terkenal d. Lainnya ………..

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 147: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

135

Lampiran 3: Hasil Kuesioner 1. Dari mana Anda mendapatkan alat musik tersebut :

Nama Pemain

Pinjam

Kelompok beli sendiri

Sewa

Sumbangan Bawa sendiri

Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

2. Alat musik apa saja yang minimal harus dimiliki oleh sebuah grup musik gambus?

Nama Pemain A B C D E F

Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

3. Kalau anda punya alat musik selengkap Balassyik, apa yang anda lakukan?

Nama Pemain

Menggelar konser gratis

Menawarkan diri pada industri rekaman

Menaikkan tarif tanggapan

Berkonsentrasi pada gambus ja’fin

Lainnya

Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 148: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

136

4. Alat musik apa yang harus ada dalam pertunjukan gambus Al-Asyik? Nama Pemain

Gitar gambus

Tam-tam

Marawis

Gitar Rhythm

Drum

Keyboard

Lainnya

Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * * * * * * Totok *

5. Apa jadinya kalau alat musik tersebut tidak ada ?

Nama Pemain

Kurang religius

Kurang disukai penonton

Tidak jadi pentas

Tidak dibayar

Gambus kelihatan kuno

Lainnya

Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

6. Apa alasan yang membuat sebuah lagu disebut religuis? (pilihan boleh lebih

dari satu dan maksimal tiga pilihan) Nama Pemain

Liriknya berbahasa Arab

Musiknya dekat dengan Timur Tengah

Dipakai pada acara keagamaan

Penyanyinya ahli qiroah, atau penyanyi qasidah

Pakaian kerudung atau gamis

Lainnya

Faruk * * * Fredy * * * Hadi * * * Zaenal * * * Eko * * * Aries * * * Hayung * * * Totok * * *

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 149: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

137

7. Apa rasanya kalau pentas tanpa Sound System a. Biasa saja, yang penting penonton suka b. Tidak jadi masalah karena yang penting misi dakwahnya c. Kurang percaya diri karena terkesan kampungan d. Kurang bersemangat memainkan musik e. Mendingan tidak usah pentas saja.

Nama Pemain

A B C

D

E F

Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

8. Ada berapa orang yang bisa main alat yang anda mainkan?

Nama Pemain Dua orang

Tiga orang

Semua bisa

Rata-rata bisa

Hanya anda

Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

9. Bagaimana cara anda memainkan suatu karya baru?

Nama Pemain Dengar sekali

Dengar dua kali

Lebih dari dua

kali

Latihan intensif

baru bisa

Lainnya

Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 150: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

138

1. Aisyah 5. Saaltinar 2. Katabna 6. Rabby Faj’al 3. Magadir 7. Ana Habbataik 4. Ghonnili 8. Wanashabiya

Perhatikan daftar lagu diatas!

10. Kalau semua lagu diatas disukai penonton dan penanggap, sebutkan tiga lagu

yang paling anda sukai!

Nama Pemain 1 2 3 4 5 6 7 8

Faruk * Fredy * * * Hadi * * * Zaenal * * * Eko * * * Aries * * * Hayung * * * Totok * * *

11. Lagu mana yang paling religius menurut anda? Nama Pemain Katabna

Ghannili

Wanashabiya

Magadir

Rabby Faj’al

Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

12. Lagu mana yang paling tidak religius? Nama Pemain Saaltinar Magadiir

Ana Habbaitak

Wanashabiya

Lainnya

Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 151: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

139

13. Kalau Al-Asyik memiliki kesempatan rekaman, gambus jenis apa yang ingin dimainkan?

Nama Pemain Ja’fin Baladian Sarah Dhaifah Lainnya

Faruk * Fredy * * * * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * * * * Totok * * * *

14. Menurut anda, apa yang paling disukai penonton dari penampilan Al-Asyik?

Nama Pemain A B C D E F G

Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

15. Kalau yang menonton Al-Asyik hanya ibu-ibu dan remaja putri, apa yang

anda lakukan? Nama Pemain

Terus pentas Mengganti lagu

Cari tahu alasannya

Mencari pemain

perempuan

Lainnya

Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 152: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

140

16. Acara apa yang paling mahal harga tanggapannya? Nama Pemain

Pernikahan Kampanye Peresmian dealer

Kecamatan Lainnya

Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal Tergantung

lokasi dan acara

Eko * Aries Sunnatan Hayung Tergantung

permintaan dan tempat

Totok Tergantung pengurus

17. Menurut anda apa alasan orang menanggap gambus?

Nama Pemain Islami tapi

modern

Harga terjangkau

Dari daerah sendiri

Lainnya

Faruk * Fredy Penngemar

gambus Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

18. Kalau sama-sama dibayar, lebih suka ditanggap siapa?

Nama Pemain Takmir Camat Masyarakat biasa

Parpol Bank

Lainnya

Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 153: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

141

19. Ditanggap siapa yang paling tidak anda inginkan, meskipun dibayar? Nama Pemain

Orang Kristen

Orang Cina

Orang Pakistan

Parpol Polisi kyai Lainnya

Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * * * Eko * Aries * Hayung * Totok *

20. Siapa penanggap yang paling anda inginkan, tapi belum pernah menanggap

Al-Asyik? Nama Pemain Bupati Pemilik

Rekaman Kyai

terkenal Lainnya

Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hanung * Totok *

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 154: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

142

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 155: GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS - USD … · satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok ... Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa

143

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI