gagal ginjal kronik

49
Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked 1 Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010 BAB I PENDAHULUAN Gagal ginjal kronik (GGK) mengambarkan suatu keadaan ginjal yang abnormal baik secara struktural maupun fungsinya yang terjadi secara progresif dan menahun, umumnya bersifat ireversibel. Sering kali berakhir dengan penyakit ginjal terminal yang menyebabkan penderita harus menjalani dialisis atau bahkan transplantasi ginjal. 1 Penyakit ini sering terjadi, seringkali tanpa disadari dan bahkan dapat timbul bersamaan dengan berbagai kondisi (penyakit kardiovaskular dan diabetes). Di Indonesia, dari data yang didapatkan berdasarkan serum kreatinin yang abnormal, diperkirakan pasien dengan GGK ialah sekitar 2000/juta penduduk. 2 GGK atau sering disebut juga penyakit ginjal kronik (Chronic kidney disease) memiliki prevalensi yang sama baik pria maupun wanita dan sangat jarang ditemukan pada anak-anak, kecuali dengan kelainan genetic, seperti misalnya pada Sindroma Alport ataupun penyakit ginjal polikistik autosomal resesif. 3,4 Terdapat perubahan paradigma dalam pengelolaan GGK karena adanya data-data epidemiologi yang menunjukan bahwa pasien dengan gangguan fungsi ginjal ringan sampai sedang lebih banyak daripada mereka yang dengan stadium lanjut, sehingga upaya penatalaksanaan lebih ditekankan kearah diagnosis dini dan upaya preventif. Selain itu ditemukan juga bukti-bukti bahwa intervensi atau pengobatan pada stadium dini dapat mengubah prognosa dari penyakit tersebut. Terlambatnya penanganan pada penyakit gagal ginjal kronik berhubungan dengan adanya cadangan fungsi ginjal yang bisa mencapai 20% diatas nilai normal, sehingga tidak akan menimbulkan gejala sampai terjadi penurunan fungsi ginjal menjadi 30% dari nilai normal. 2 GGK sering berhubungan dengan anemia. Anemia pada GGK muncuk ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m 2 dari permukaan tubuh. Anemia akan menjadi lebih berat lagi apabila fungsi ginjal menjadi lebih buruk lagi, tetapi apabila penyakit ginjal telah mencapai stadium akhir, anemia akan secara relatif menetap. Anemia pada GGK terutama diakibatkan oleh berkurangnya eritropoietin. Anemia merupakan kendala yang cukup besar bagi upaya mempertahankan kualitas hidup pasien GGK.

Upload: ameliana-kamaludin

Post on 26-Jun-2015

7.353 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

1

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

BAB I

PENDAHULUAN

Gagal ginjal kronik (GGK) mengambarkan suatu keadaan ginjal yang abnormal baik

secara struktural maupun fungsinya yang terjadi secara progresif dan menahun, umumnya

bersifat ireversibel. Sering kali berakhir dengan penyakit ginjal terminal yang menyebabkan

penderita harus menjalani dialisis atau bahkan transplantasi ginjal.1 Penyakit ini sering

terjadi, seringkali tanpa disadari dan bahkan dapat timbul bersamaan dengan berbagai kondisi

(penyakit kardiovaskular dan diabetes).

Di Indonesia, dari data yang didapatkan berdasarkan serum kreatinin yang abnormal,

diperkirakan pasien dengan GGK ialah sekitar 2000/juta penduduk.2

GGK atau sering disebut juga penyakit ginjal kronik (Chronic kidney disease) memiliki

prevalensi yang sama baik pria maupun wanita dan sangat jarang ditemukan pada anak-anak,

kecuali dengan kelainan genetic, seperti misalnya pada Sindroma Alport ataupun penyakit

ginjal polikistik autosomal resesif.3,4

Terdapat perubahan paradigma dalam pengelolaan GGK karena adanya data-data

epidemiologi yang menunjukan bahwa pasien dengan gangguan fungsi ginjal ringan sampai

sedang lebih banyak daripada mereka yang dengan stadium lanjut, sehingga upaya

penatalaksanaan lebih ditekankan kearah diagnosis dini dan upaya preventif. Selain itu

ditemukan juga bukti-bukti bahwa intervensi atau pengobatan pada stadium dini dapat

mengubah prognosa dari penyakit tersebut. Terlambatnya penanganan pada penyakit gagal

ginjal kronik berhubungan dengan adanya cadangan fungsi ginjal yang bisa mencapai 20%

diatas nilai normal, sehingga tidak akan menimbulkan gejala sampai terjadi penurunan fungsi

ginjal menjadi 30% dari nilai normal.2

GGK sering berhubungan dengan anemia. Anemia pada GGK muncuk ketika klirens

kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2

dari permukaan tubuh. Anemia akan menjadi lebih

berat lagi apabila fungsi ginjal menjadi lebih buruk lagi, tetapi apabila penyakit ginjal telah

mencapai stadium akhir, anemia akan secara relatif menetap. Anemia pada GGK terutama

diakibatkan oleh berkurangnya eritropoietin. Anemia merupakan kendala yang cukup besar

bagi upaya mempertahankan kualitas hidup pasien GGK.

Page 2: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

2

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang

beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan umunya berakhir

dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai

dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi

pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis maupun transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu

sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal

pada penyakit gagal ginjal kronik.

Kriteria penyakit ginjal kronik

1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari

3 bulan, berupa kelainan structural atau fungsional,

dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus

(LFG), dengan manifestasi:

Kelainan patologis

Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan

dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan

dalam tes pencitraan (imaging test).

2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60

ml/menit/1,73m2

selama 3 bulan, dengan atau tanpa

kerusakan ginjal.

Tabel 1. Kriteria penyakit ginjal kronik.5

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau

lebih dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.

Anatomi ginjal

Ginjal merupakan organ yang berbentuk kacang yang terletak di kedua sisi koloumna

vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah daripada ginjal kiri karena tertekan ke bawah

Page 3: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

3

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

oleh liver. Kutub atas ginjal kanan setinggi iga ke 12, sedangkan kutub ginjal kiri setinggi iga

ke 11. Permukaan anterior dan posterior kutub atas, bawah, dan tepi lateral ginjal berbentuk

cembung, sedangkan tepi medialnya berbentuk cekung karena adanya hilus. Beberapa

struktur yang masuk atau keluar dari ginjal melalui hilus diantaranya adalah arteri dan vena

renalis, saraf, pembuluh limfatik, dan ureter.

Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis (± setinggi vertebra lumbalis II). Aorta

terletak disebelah kiri garis tengah, sehingga arteri renalis kanan lebih panjang dari arteri

renalis kiri. Setiap arteri renalis bercabang sewaktu masuk ke dalam hilus ginjal.

Vena renalis menyalurkan darah dari masing-masing ginjal ke dalam vena kava inferior yang

terletak di sebalah kanan dari garis tengah. Vena renalis kiri kira-kira dua kali panjang dari

vena renalis kanan.

Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri

interlobaris yang berjalan diantara piramid, selanjutnya membentuk percabangan arkuata

yang melengkung melintasi basis piramid-piramid tersebut. Arteri arkuata lalu akan

membentuk arteriol interlobularis yang tersusun pararel dalam korteks. Arteriol interlobularis

ini selanjutnya membentuk arteriol aferen. Masing-masing arteriol aferen akan menyuplai ke

rumbai-rumbai kapiler yang disebut glomerolus (jamak : glomeruli). Kapiler glomeruli

bersatu membentuk arterior eferen yang kemudian bercabang-cabang membentuk sistem

jaringan portal yang mengelilingi tubulus dan kadang disebut kapiler peritubular.

Medula terbagi-bagi menjadi baji segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid

tersebut dikelilingi oleh korteks yang disebut kolumna Bertini. Piramid-piramid tersebut

tampak bercorak karena tersusun oleh segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron.

Papilla (apeks) dari tiap piramid membentuk duktus papilaris Bellini yang terbentuk dari

persatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul. Setiap duktus papilaris masuk ke

dalam suatu perluasan ujung pelvis ginjal berbentuk seperti cawan yang disebut kaliks minor.

Beberapa kaliks minor bersatu membentuk kaliks mayor, yang selanjutnya bersatu sehingga

membentuk pelvis ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoar utama sistem pengumpul ginjal.

Ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan vesika urinaria.

Ureter berasal dari bagian bawah pelvis renalis pada ureteropelvic junction lalu turun

ke bawah sepanjang kurang lebih 28 – 34 cm menuju kandung kemih. Dinding dari kaliks,

pelvis dan urter mengandung otot polos yang berkontraksi secara teratur untuk mendorong

urine menuju kandung kemih.

Page 4: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

4

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

Struktur mikroskopik ginjal:

a. Nefron

Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal terdapat sekitar 1

juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi yang sama. Setiap nefron

terdiri dari kapsula Bowman, yang mengitari rumbai kapiler glomerulus, tubulus

kontortus proksimal, lengkung henle, dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan

diri ke duktus pengumpul.

b. Korpuskular ginjal

Korpuskular ginjal terdiri dari kapsula bowman dan rumbai kapiler glomerulus. Kapsula

bowman merupakan suatu invaginasi dari tubulus proksimal. Terdapat ruang yang

mengandung urine antara rumbai kapiler dan sel-sel kapsula bowman, dan ruang yang

mengandung urine ini dikenal dengan ruang Bowman atau ruang kapsular Kapsula

Bowman dilapisi oleh sel-sel epitel. Sel epitel parietalis berbentuk gepeng dan

membentuk bagian terluar dari kapsula; sel epitel visceralis jauh lebih besar dan

membentuk bagian dalam kapsula dan juga bagian luar dari rumbai kapiler. Sel visceralis

membentuk tonjolan yang disebut podosit, yang bersinggungan dengan membrana basalis

pada jarak tertentu sehingga terdapat daerah yang bebas dari kontak antar sel epitel

Membrana basalis membentuk lapisan tengah dinding kapiler, terjepit diantara sel-sel

epitel pada satu sisi dan sel-sel endotel pada sisi yang lain. Membrana basalis membentuk

lapisan tengah dinding kapiler menjadi membrana basalis tubulus dan terdiri dari gel

hidrasi yang menjalin serat kolagen. Sel-sel endotel membentuk bagian terdalam dari

rumbai kapiler. Sel endotel langsung berkontak dengan membrana basalis.

Sel-sel endotel, membrana basalis, dan sel-sel epitel visceralis merupakan 3 lapisan yang

membentuk membrane filtrasi glomerulus. Membran filtrasi glomerulus memungkinkan

ultrafiltrasi darah melalui pemisahan unsur-unsur darah dan molekul protein besar.

Membrana basalis glomerulus merupakan struktur yang membatasi lewatnya zat terlarut

ke dalam ruang urine berdasarkan seleksi ukuran molekul. Komponen penting lainnya

dari glomerulus adalah mesangium, yang terdiri dari sel mesangial dan matriks

mesangial. Sel mesangial membentuk jaringan yang berlanjut antara lengkung kapiler

dari glomerulus dan diduga berfungsi sebagai kerangka jaringan penyokong.

c. Aparatus Jukstaglomerulus

Page 5: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

5

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

Aparatus jukstaglomelurus (JGA) terdiri dari sekelompok sel khusus yang letaknya dekat

dengan kutub vascular masing-masing glomelurus yang berperan penting dalam mengatur

pelepasan rennin dan mengontrol volume cairan ekstraselular (ECF) dan tekanan darah.

JGA terdiri dari 3 macam sel:

1. Juksta glomelurus (JG) atau sel glanular (yang memproduksi dan menyimpan

renin) pada dinding arteriol averen.

2. Makula densa tubulus distal.

3. Mesangial ekstraglomerular atau sel lacis.

Makula densa adalah sekelompok sel epitel tubulus distal yang diwarnai dengan pewarnaan

khusus. Sel ini bersebelahan dengan ruangan yang berisi sel lacis dan sel JG yang menyekresi

lenin. Secara umum, sekresi renin dikontrol oleh faktor ekstrarenal dan intrarenal. Dua

mekanisme penting untuk mengontrol sekresi renin adalah sel JG dan makula densa. Setiap

penurunan tegangan dinding arteriol aferen atau penurunan pengiriman Na ke makula densa

dalam tubulus distal akan merangsang sel JG untuk melepaskan renin dari granula tempat

renin tersebut disimpan didalam sel. Sel JG, yang sel mioepitelialnya secara khusus mengikat

arteriol aferen, juga bertindaksebagai transducer tekanan perfusi ginjal. Volume ECF atau

volume sirkulasi efektif (ECV) yang sangat menurun menyebabkan menurunnya tekanan

perfusi ginjal, yang sirasakan sebagai penurunan regangan oleh sel JG. Sel JG kemudian

melepaskan renin ke dalam sirkulasi, yang sebaliknya mengaktifkan mekanisme renin-

angiotensin-aldosteron. Mekanisme kontrol kedua untuk pelepasan berpusat didalam sel

makula densa, yang dapat berfungsi sebagai kemoreseptor, mengawasi beban klorida yang

terdapat pada tubulus distal. Dalam keadaan kontraksi volume, sedikit natrium klorida (NaCl)

dialirkan ke tubulus distal (karena banyak yang di absorbsi ke dalam tubulus proximal)

kemudian timbal balik dari sel makula densa ke sel JG menyebabkan peningkatan renin.

Mekanisme sinyal klorida yang diartikan menjadi perubahan sekresi renin ini belum

diketahui dengan pasti. Suatu peningkatan volume ECF yang menyebabkan peningkatan

tekanan perfusi ginjal dan meningkatkan pengiriman NaCl ke tubulus distal memiliki efek

yang berlawanan dari contoh yang diberikan oleh penurunan volume ECF–yaitu menekan

sekresi renin. Faktor lain yang mempengaruhi sekresi renin adalah saraf simpatis ginjal, yang

merangsang pelepasan renin melalui reseptor beta1-adrenergik dalam JGA, angiotensin II

yang menghambat pelepasan renin. Banyak faktor sirkulasi lain yang juga mengubah sekresi

renin, termasuk elektrolit plasma (kalsium dan natrim) dan berbagai hormon, yaitu hormon

Page 6: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

6

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

natriuretik atrial, dopamin, hormone antidiuretik (ADH), hormon adrenokortikotropik

(ACTH), dan nitrit oksida (dahulu dikenal sebagai faktor relaksasi yang berasal dari

endothelium [EDRF] ), dan prostaglandin. Hal ini terjadi mungkin karena JGA adalah tempat

integrasi berbagai input dan sekresi renin itu mencerminkan interaksi dari semua faktor.

Fungsi ginjal

Ginjal mengekresi bahan-bahan kimia asing tertentu, seperti obat-obatan, hormon, dan

metabolit lain, tetapi fungsi ginjal paling utama adalah mempertahankan volume dan

komposisi ECF dalam batas normal. Tentu saja ini dapat terlaksana dengan mengubah

ekskresi air dan zat terlarut, kecepatan filtrasi yang tinggi memungkinkan pelaksanaan fungsi

ini dengan ketepatan yang tinggi. Pembentukan renin dan eritropoietin serta metabolism

vitamin D merupakan fungsi nonekskreator yang penting. Sekresi renin berlebihan yang

mungkin penting pada etiologi beberapa bentuk hipertensi. Defisiensi eritropoietin dan

pengaktifan vitamin D yang dianggap penting sebagai penyebab anemia dan penyakit tulang

pada uremia.

Ginjal juga berperan penting dalam degradasi insulin dan pembentukan sekelompok

senyawa yang mempunyai makna endokrin yang berarti, yaitu prostaglandin. Sekitar 20%

insulin yang dibentuk oleh pancreas didegradasi oleh sel-sel tubulus ginjal. Akibatnya,

penderita diabetes yang menderita payah ginjal mungkin membutuhkan insulin yang

jumlahnya lebih sedikit. Prostaglandin merupakan hormone asam lemak tak jenuh yang

terdapat dalam banyak jaringan tubuh. Medula ginjal membentuk PGI dan PGE2 yang

merupakan vasodilator potensial. Prostaglandin mungkin berperan penting dalam pengaturan

aliran darah ginjal, pengeluaran renin, dan reabsorbsi Na+. Kekurangan prostaglandin

mungkin juga turut berperan dalam beberapa bentuk hipertensi ginjal sekunder, meskipun

bukti-bukti yang ada sekarang ini masih kurang memadai.

Fungsi Utama Ginjal :

1. Fungsi ekskresi.

a. Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan mengubah

ekskresi air.

b. Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan mengubah-ubah

ekresi Na+.

Page 7: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

7

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

c. Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu dalam

rentang normal.

d. Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+

dan membentuk kembali HCO3-.

e. Mengekresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein (terutama

urea, asam urat, dan kreatinin).

f. Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat

2. Fungsi non-ekskresi.

a. Mensintesis dan mengaktifkan hormon.

b. Renin: penting dalam pengaturan tekanan darah.

c. Eritropoetin: merangsang produksi sel darah merah oleh sumsum tulang.

d. 1,25 dihidroksivitamin D3: hidroksilasi akhir vitamin D3 menjadi bentuk

paling kuat.

e. Prostaglandin: sebagian besar adalah vasodilator, bekerja secara lokal, dan

melindungi dari kerusakan iskemik ginjal.

f. Degradasi hormon polipeptida. Insulin, glukagon, parathormon, prolaktin,

hormon pertumbuhan, ADH, dan hormon gastrointestinal (gastrin,polipeptida

intestinal vasoaktif [VIP]).

Epidemiologi

Diperkirakan bahwa sedikitnya 6% pada kumpulan populasi dewasa di Amerika

Serikat telah menderita gagal ginjal kronik dengan LFG > 60 ml/mnt per 1,73 m2 (derajat 1

dan 2). Selain itu, 4,5% dari populasi Amerika Serikat telah berada pada derajat 3 dan 4. Data

pada tahun 1995-1999, menyatakan bahwa di Amerika Serikat insiden penyakit ginjal kronik

diperkirakan 100 kasus/juta penduduk/ tahun dan angka ini meningkat 8% setiap tahun.Di

Malaysia dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal per

tahun.Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60

juta/tahun.

Etiologi

Penyebab Gagal Ginjal Kronik dapat dibagi dua, yaitu :

1. Kelainan parenkim ginjal

Page 8: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

8

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

- Penyakit ginjal primer

- Glomerulonefritis

- Pielonefritis

- Ginjal polikistik

- TBC ginjal

- Penyakit ginjal sekunder

- Nefritis lupus

- Nefropati analgesic

- Amiloidosis ginjal

2. Penyakit ginjal obstruktif

- Pembesaran prostat batu

- Batu saluran kencing, dll.

Patofisiologi

Patofisiologi dari penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit awal

yang mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih

sama. Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi struktur dan fungsi dari nefron yang

sehat. Kompensasi hipertrofi ini diperantarai oleh molekul vasoaktif, sitokin, dan growth

factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan

kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti

oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya

diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak

aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut

memberikan kontribusi tehadap terjadinya hiperfiltrasi sclerosis dan progresifitas penyakit

tersebut.

Aktivasi jangka panjang Aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai

oleh Growth Factor, seperti Transforming Growth Factor ß (TGF-ß). Beberapa hal yang juga

dianggap berperan terhadap progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,

hipertensi, hiperglikemia, dan dislipidemia . Terdapat variabilitas inter individual untuk

terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial. Pada stadium paling

dini penyakit gagal ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana

basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan

terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea

Page 9: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

9

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan

(asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai

pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah,

mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%,

pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan

tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan

sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi saluiran kemih, infeksi saluran napas, maupun

infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau

hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit, antara lain Na+ dan K

+. Pada LFG di bawah

15%, akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan

terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy) antara lain dialisis atau transplantasi

ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

Azotemia adalah Retensi dari produk sisa nitrogen sebagai perkembangan insufisiensi

ginjal. Uremia adalah tahap yang lebih berat dari progresivitas insufisiensi ginjal dimana

berbagai sistem organ telah terganggu. Meskipun uremia bukan penyebab utama, urea dapat

menimbulkan gejala klinis seperti anoreksia , malaise, muntah dan sakit kepala. Produk

nitrogen lainnya seperti komponen guanido, urat dan hipurat , hasil akhir metabolisme asam

nukleat, poliamin, mioinosital, fenol, benzoat dan indol dapat tertahan dalam tubuh pada

penyakit ginjal kronik dalam hal ini dipercaya dapat meningkatkan angka kematian pada

uremia. Uremia tidak hanya mempengaruhi kegagalan ekskresi renal saja tetapi dapat juga

menyebabkan gangguan pada fungsi metabolik dan endokrin yang dapat menyebabkan

anemia malnutrisi, gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, protein, gangguan penggunaan

energi, dan penyakit tulang metabolik. Lebih jauh lagi kadar plasma berbagai hormon

polipeptida seperti paratiroid hormon (PTH), insulin, glukagon, luteinizing hormon, dan

prolaktin akan meningkat pada gagal ginjal, bukan hanya karena gangguan katabolisme ginjal

tetapi juga karena meningkatkan sekresi endokrin yang menimbulkan konsekuensi sekunder

dari ekskresi primer atau gangguan sintetik renal. Dilain sisi , produksi eritropoetin (EPO)

dan 1,25- dihidroksikolekalsiferol ginjal terganggu. Jadi patofisiologi dari sindrom uremia

dapat dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama merupakan akumulasi dari produk

metabolisme protein , yang kedua merupakan akibat dari kehilangan dari fungsi ginjal seperti

keseimbangan cairan dan elektrolit, kelainan hormon.

Page 10: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

10

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah ,

kuantitas hemoglobin, dan volume packed red cells (hematokrit) per 100 ml darah. Anemia

bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar

yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi

laboratorium.

Anemia merupakan satu dari gejala klinik pada gagal ginjal. Anemia pada penyakit ginjal

kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari permukaan

tubuh, dan hal ini menjadi lebih parah dengan semakian memburuknya fungsi ekskresi ginjal.

Terdapat variasi hematokrit pada pasien penurunan fungsi ginjal. Kadar nilai hematokrit dan

klirens kreatinin memiliki hubungan yang kuat. Kadar hematokrit biasanya menurun, saat

kreatinin klirens menurun sampai kurang dari 30 – 35 ml/menit. Anemia pada gagal ginjal

merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak ada faktor lain yang memperberat

seperti defisiensi besi yang terjadi pada gagal ginjal. Anemia ini bersifat hiporegeneratif.

Jumlah retikulosit yang nilai hematokrit nya dikoreksi menjadi normal, tidak adekuat.

Terdapat 3 mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis anemia pada gagal ginjal, yaitu:

Hemolisis, produksi eritropoetin yang tidak adekuat, dan penghambatan respon dari sel

prekursor eritrosit terhadap eritropoetin. Proses sekunder yang memperberat dapat terjadi

seperti intoksikasi aluminium.

1. Hemolisis.

Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien hemodialisis

kronik, masa hidup eritrosit diukur menggunakan 51Cr menunjukkan variasi dari sel

darah merah normal yang hidup tetapi rata-rata waktu hidup berkurang 25-30%.

Penyebab hemolisis terjadi di ekstraseluler karena sel darah merah normal yang

ditransfusikan kepada pasien uremia memiliki waktu hidup yang memendek, ketika

sel darah merah dari pasien dengan gagal ginjal ditransfusikan kepada resipien yang

sehat memiliki waktu hidup yang normal. Efek faktor yang terkandung pada uremic

plasma pada Na-ATPase membran dan enzim dari Pentosa phospat shunt pada

eritrosit diperkirakan merupkan mekanisme yang menyebabkan terjadinya hemolisis.

Kelainan fungsi dari Pentosa phospat shunt mengurangi ketersediaan dari glutation

reduktase, dan oleh karena itu mengartikan kematian eritrosit menjadi oksidasi Hb

dengan proses hemolisisis. Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan dari

luar masuk melalui dialisat atau sebagai obat-obatan. Peningkatan kadar hormon PTH

Page 11: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

11

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

pada darah akibat sekunder hiperparatioidsm juga menyebabkan penurunan sel darah

merah yang hidup pada uremia, sejak PTH yang utuh atau normal terminal fragmen

meningkatkan kerapuhan osmotik dari SDM manusia secara in vitro, kemungkinan

oleh karena peningkatan kerapuhan seluler. Hyperparatiroidism dapat menekan

produksi sel darah merah melalui 2 mekanisme.yang pertama, efek langsung

penekanan sumsum tulang akibat peningkatan kadar PTH, telah banyak dibuktikan

melalui percobaan pada hewan. Yang kedua, efek langsung pada osteitis fibrosa, yang

mengurangi respon sumsum tulang terhadap eritropoetin asing. Terdapat laporan

penelitian yang menyatakan adanya peningkatan Hb setelah dilakukan

paratiroidektomi pada pasien dengan uremia. Mekanisme lainnya yang menyebabkan

peningkatan rigiditas eritrosit yang mengakibatkan hemolisis pada gagal ginjal adalah

penurunan fosfat intraseluler (hipofosfatemia) akibat pengobatan yang berlebihan

dengan pengikat fosfat oral, dengan penurunan intracellular adenine nucleotides dan

2,3- diphosphoglycerate (DPG). Hemolisis dapat timbul akibat kompliksaidari

prosedur dialisis atau dari interinsik imunologi dan kelainan eritrosit. Kemurnian air

yang digunakan untuk menyiapkan dialisat dan kesalahan teknik selama proses

rekonstitusi dapat menurunkan jumlah sel darah merah yang hidup, bahkan terjadi

hemolisis. Filter karbon bebas kloramin yang tidak adekuat akibat saturasi filter dan

ukuran filter yang tidak mencukupi, dapat mengakibatkan denaturasi hemoglobin,

pemhambatan hexose monophosphate shunt, dan hemolisis kronik. Lisisnya sel juga

dapat disebabkan tercemarnya dialisat oleh copper, nitrat, atau formaldehide.

Autoimun dan kelainan biokomia dapat menyebabkan pemendekan waktu hidup

eritrosit. Hipersplenism merupakan gejala sisa akibat transfusi, yang distimulasi oleh

pembentukan antibodi, fibrosis sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati

kronis dapat mengurangi sel darah merah yang hidup sebanyak 75% pada pasien

dengan gagal ginjal terminal. Ada beberapa mekanisme lainnya yang jarang , yang

dapat menyebabkan hemolisis seperti kelebihan besi pada darah, Zn, dan formaldehid,

atau karena pemanasan berlebih. Perburukan hemolisis pada gagal ginjal juga dapat

disebabkan karena proses patologik lainnya seperti splenomegali atau mikroangiopati

yang berhubungan dengan periarteritis nodosa, SLE, dan hipertensi maligna.

2. Defisiensi Eritropoetin.

Page 12: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

12

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor lain yang

memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon eritropoesis

mencukupi tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu. Alasan yang paling

utama dari fenomena ini adalah penurunan produksi eritropoetin pada pasien dengan

gagal ginjal yang berat. Produksi eritropoetin yang inadekuat ini merupakan akibat

kerusakan yang progresif dari bagian ginjal yang memproduksi eritropoetin. Peran

penting defisiensi eritropoetin pada patogenesis anemia pada gagal ginjal dilihat dari

semakin beratnya derajat anemia. Selanjutnya pada penelitian terdahulu menggunakan

teknik bio-assay menunjukkan bahwa dalam perbandingan dengan pasien anemia

tanpa penyakit ginjal, pasien anemia dengan penyakit ginjal menunjukkan

peningkatan konsentrasi serum eritropoetin yang tidak adekuat.

Inflamasi kronik, menurunkan produksi sel darah merah dengan efek tambahan terjadi

defisiensi erotropoetin. Proses inflamasi seperti glomerulonefritis, penyakit

reumatologi, dan pielonefritis kronik, yang biasanya merupakan akibat pada gagal

ginjal terminal, pasien dialisis terancam inflamasi yang timbul akibat efek

imunosupresif.

3. Penghambatan eritropoesis.

Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel prekursor

eritrosit terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari eritropoesis yang tidak

adekuat pada pasien uremia. Terdapat toksin-toksin uremia yang menekan proses

ertropoesis yang dapat dilihat pada proses hematologi pada pasien dengan gagal ginjal

terminal setelah terapi reguler dialisis. Ht biasanya meningkat dan produksi sel darah

merah yang diukur dengan kadar Fe yang meningkat pada eritrosit, karena penurunan

kadar eritropetin serum. Substansi yang menghambat eritropoesis ini antara lain

poliamin, spermin, spermidin, dan PTH hormon. Spermin dan spermidin yang kadar

serumnya meningkat pada gagal ginjal kronik yang tidak hanya memberi efek

penghambatan pada eritropoesis tetapi juga menghambat granulopoesis dan

trombopoesis. Karena ketidakspesifikkan, leukopenia, dan trombositopenia bukan

merupakan karakteristik dari uremia, telah disimpulkan bahwa spermin dan spermidin

tidak memiliki fungsi yang signifikan pada patogenesis dari anemia pada penyakit

ginjal kronik. Kadar PTH meningkat pada uremia karena hiperparatiroidsm sekunder,

tetapi hal ini masih kontroversi jika dikatakna bahwa PTH memberikan efek

Page 13: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

13

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

penghambatan pada eritropoesis. Walaupun menurut penelitian, dilaporkan

paratiroidektomi menyebabkan peningkatan dari kadar Hb pada pasien uremia,

peneliti lain mengatakan tidak ada hubungan antara kadar PTH dengan derajat anemia

pada pasien uremia. Walaupun efek langsung penghambatan PTH pada eritropoesis

belum dibuktikan secara final, akibat yang lain dari peningkatan PTH seperti fibrosis

sum-sum tulang dan penurunan masa hidup eritrosit ikut bertanggung jawab dalam

hubungan antara hiperparatiroidsm dan anemia pada gagal ginjal.

4. Mekanisme lain yang mempengaruhi eritropoesis pada pasien dengan gagal ginjal

terminal dengan reguler hemodialisis adalah intoksikasi aluminium akibat terpapar

oleh konsentrasi tinggi dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat yang

mengandung aluminium. Aluminium menyebabkan anemia mikrositik yang kadar

feritin serum nya meningkat atau normal pada pasien hemodialisis, menandakan

anemia pada pasien tersebut kemungkinan diperparah oleh intoksikasi alumnium.

Patogenesis nya belum sepenuhnya dimengerti tetapi terdapat bukti yang kuat yang

menyatakan bahwa efek toksik aluminium pada eritropoesis menyebabkan hambatan

sintesis dan ferrochelation hemoglobine. Akumulasi aluminium dapat mempengaruhi

eritropoesis melalui penghambatan metabolisme besi normal dengan mengikat

transferin, melalui terganggunya sintesis porfirin, melalui terganggunya sirkulasi besi

antara prekursor sel darah merah pada sumsum tulang.

Manifestasi GGK dan Uremia:

1. Gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa

a. Homeostasis Natrium dan Air.

Pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronik yang stabil kandungan

Natrium dan H2O pada seluruh tubuh meningkat secara perlahan penyebabnya

adalah terganggunya keseimbangan glomerulotubular yang menyebabkan retensi

natrium atau natrium dari proses pencernaan menyebabkan penambahan natrium

yang menyebabkan ekspansi volume cairan ekstra seluler (CES) dimana ekspansi

CES akan menimbulkan hipertensi yang menyebabkan kerusakkan ginjal lebih

jauh. Pasien dengan penyakit ginjal kronik yang belum di dialisis tetapi terbukti

terjadi ekspansi CES, pemberian loop diuretik bersama dengan pengurangan

intake garam dapat digunakan sebagai terapi. Pasien dengan penyakit ginjal kronis

Page 14: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

14

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

juga memiliki gangguan mekanisme ginjal untuk menyimpan natrium dan H2O.

Ketika penyebab ekstra renal pada kehilangan cairan terjadi seperti muntah, diare,

berkeringat, demam, pasien akan mengalami kekurangan CES.

b. Homeostasis Kalium.

Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu disertai dengan

penurunan ekskresi kalium urine. Walaupun demikian hiperkalemia dapat terjadi

dengan gejala klinis berupa konstipasi, katabolisme protein, hemolisis,

pendarahan , transfusion of stored redblood cells, augmented dietary intake,

metabolik asidosis dan beberapa obat dapat menghambat kalium masuk ke dalam

sel atau menghambat sekresi kalium di distal nefron. Hipokalemia jarang terdapat

pada penyakit ginjal kronik. Biasanya merupakan tanda kurangnya intake kalium

dalam kaitannya pada terapi diuretik atau kehilangan dari gastro intestinal.

c. Metabolik Asidosis.

Dengan berlanjutnya gagal ginjal seluruh ekskresi asam sehari hari dan produksi

penyangga jatuh dibawah kadar yang diperlukan untuk mempertahankan

keseimbangan eksternal ion-ion hidrogen. Asidosis metabolik ialah akibat yang

tidak dapt dihindarkan. Pada kebanyakan pasien dengan insufisiensi ginjal yang

stabil, pemberian 20-30 mmol/hari natrium bikarbonat atau natrium sitrat

memperbaiki asidosis. Namun dalam respons terhadap tantangan asam yang

mendadak (apakah dari sumber endogen atau eksogen), pasien gagal ginjal kronik,

rentan terhadap asidosis, yang dibutuhkan jumlah alkali yang besar utuk koreksi.

Pemberian natrium harus dilaksanakan dengan perhatian yang seksama terhadap

status volume.

2. Penyakit tulang dan kelainan metabolisme kalsium dan fosfat.

Kelainan mayor dari penyakit tulang pada penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan

sebagai high bone turnover dengan tingginya kadar PTH atau low bone turnover dengan

rendah atau normalnya PTH. Patofisiologi dari penyakit tulang akibat sekunder

hiperparatiroidism berhubungan dengan metabolisme mineral yang abnormal yaitu :

(1). Penurunan LFG menyebabkan penurunan ekskresi inorganik fosfat (PO43-

) dan

menimbulkan retensi PO43-

.

(2). Tertahannya PO43-

memiliki efek langsung terhadap sintesis PTH dan masa sel

kelenjar para tiroid.

Page 15: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

15

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

(3) Tertahannya PO43-

juga menyebabkan terjadinya produksi yang berlebihan dan sekresi

PTH melalui turunnya ion Ca2+ dan dengan supresi produksi kalsitriol (1,25 – dihidroksi

oleh kalsiferol).

(4) Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari penurunan sintesis akibat

pengurangan masa ginjal dan akibat hiperfosfatemia. Kadar kalsitriol yang rendah, pada

akhirnya, menimbulkan hiperparatiroidism melalui mekanisme langsung dan tidak

langsung. Kalsitriol diketahui memiliki efek supresi langsung pada transkripsi PTH. Oleh

karena itu penurunan kalsitriol pada panyakit ginjal kronik menyebabkan peningkatan

kadar PTH. Selain itu pengurangan kalsitriol menimbulkan gannguan absorbsi Ca2+

dari

traktus gasrto interstinal, yang kemudian menimbulkan hipokalsemia, yang selanjutnya

meningkatkan sekresi dan produksi PTH. Secara keseluruhan, hiperfosfatemia,

hipokalsemia, dan penurunan sintesis kalsitriol, semuanya menyebabkan produksi PTH

dan proliferasi dari paratiroid sel, yang menimbulkan hiperparatiroid sekunder. Low turn

over bone disease dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu osteomalasia dan

penyakit tulang adinamik. Keduanya memiliki karakteristik berupa penurunan jumlah

osteoklas dan osteoblas dan dikemudian hari terjadi penurunan aktifitas. Pada

osteomalasia, terdapat akumulasi matriks tulang yang tidak termineralisasi, atau

peningkatan volume osteoid, yang dapat menyebabkan defisiensi vitamin D, peningkatan

deposit aluminium, atau asidosis metabolik. Penyakit tulang adinamik dikenali sebagai

kejadian lesi tulang hiperparatiroid pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan gagal

ginjak kronik, dan ini biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes. Penyakit tulang

adinamik memiliki kriteria berupa pengurangan volume tulang dan mineralisasi dan

merupakan hasil supresi produksi PTH denagn terapi kalsitriol. Osteodistrofi renal

merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Penatalaksaan

osteodistrofi renal dilaksanakan dengan mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian

hormon kalsitriol (1,25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan

asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorpsi fosfat di

saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan

dalam mengatasi hiperfosfatemia.

3. Kelainan kardiovaskuler.

a. Penyakit Jantung Iskemik.

Page 16: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

16

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

Peningkatan prevalensi penyakit jantung koroner merupakan akibat dari faktor

resiko tradisional (klasik), yaitu hipertensi, hipervolemia, dislipidemi,

overaktivitas simpatis, dan hiperhomosisteinemia. Dan faktor resiko non-

tradisional, yaitu anemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme, dan derajat

mikroinflamasi yang dapat ditemukan dalam setiap derajat penyakit ginjal kronik.

Derajat inflamasi meningkatkan reaktan fase akut, seperti interleukin 6 dan C-

reaktif protein, yang menyebabkan proses penyumbatan koroner dan

meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler. Nitride oksida merupakan mediator

yang penting dalam pada dilatasi vaskular. Keberadaan nitrit oksida, pada

penyakit ginjal kronik menurun sebab terjadi prningkatan konsentrasi asimetris

dimetil-1-arginin.

b. Gagal jantung kongestif.

Kelainan fungsi jantung, seperti myocardial ischemic disease dan atau left

ventricular hypertrophy, bersamaan dengan retensi air dan garam pada uremia,

kadang menyebabkan gagal jantung kongestif dan edema pulmonal.

c. Hipertensi dan hipertrofi ventrikel kiri.

Hipertensi merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang paling sering.

Hipertensi yang berkepanjangan menyebabkan terjaadinya hipertrofi ventrikel.

4. Kelainan hematologi.

a. Anemia

Anemia terjadi pada 80 – 90 % pasien penyakit ginjal kronik terutama disebabkan

oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya

anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna,

hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi

asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi

akut maupun kronik, hirparatiroidisme yang berat, keracunan aluminium, dan

keadaan umum lain seperti hemoglobinopaties. Anemia yang tidak diterapi akan

berhubungan dengan beberapa kelainan fisiologis, seperti penurunan pengantaran

dan penggunaan oksigen ke jaringan, meningkatkan cardiac output, pembesaran

jantung, hipertrofi ventrikel, angina, gagal jantung kongestif, penurunan fungsi

mental dan kognitif, gangguan siklus menstruasi, gangguan host untuk melawan

infeksi. Selain itu anemia dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak

Page 17: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

17

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

dengan penyakit ginjal kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar

hemoglobin ≤ 10 g % atau hematokrit ≤ 30 %, meliputi evaluasi terhadap status

besi (kadar besi serum/serum iron,kapasitas ikat besi total/total iron binding

capacity, feritin serum), mencari sumber paerdarahan, morfologi eritrosit,

kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya.

b. Gangguan pembekuan.

Hal ini berhubungan dengan pemanjangan bleeding time, penurunan aktivitas

faktor pembekuan III, kelainan platelet agregation, dan gangguan konsumsi

protrombin. Gejala kliniknya berupa perdarahan yang abnormal, perdarahan dari

luka operasi, perdarahan spontan dari traktus gastro intestinal,dll.

5. Kelainan neuromuskular

Neuropati sentral, perifer, dan otonom, dengan gangguan komposisi dan fungsi otot,

merupakan komplikasi yang sering pada penyakit ginjal kronik. Gejala awal pada sistem

saraf pusat, seperti gangguan ingatan sedang, gangguan konsentrasi, dan gangguan tidur;

iritabilitas neuromuskular, seperti hiccups, keram, fasikulasi atau twiching otot. Pada

uremia terminal, didapatkan astherixis, mioklonus, chorea, bahkan sampai terjadi kejang

dan koma. Neuropati perifer biasanya menyerang saraf sensoris lebih dari saraf motorik,

ekstremitas bawah lebih dari ekstemitas atas, bagian distal lebih dari bagian proximal.

6. Kelainan gastrointestinal.

Kelainan pada gastrointestinal antara lain uremic foetor ,sensasi pengecapan seperti

metal, gastritis, peptic disease, ulserasi mukosa pada saluran pencernaan yang dapat

menyababkan nyeri perut, mual, muntah, dan kehilangan darah,peningkatan insiden

terjadinyadivertikulosis, pada pasien dengan penyakit ginjal polikistik, meningkatkan

terjadinya pankreatitis.

7. Gangguan metabolik endokrin

Pada penyakit ginjal kronik terjadi gangguan metbolisme glukosa dan pada wanita terjadi

penurunan hormon estrogen, sehingga terjadi amenorea, dan kemungkinan untuk menjadi

hamil menjadi sangat kecil. Pada laki-laki yang telah menjalani dialisis dalam waktu yang

lama akan terjadi impotensi, oligospermia, displasia sel germinal, yang menurunkan

kadar testosteron plasma.

8. Kelainan dermatologi.

Page 18: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

18

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

Pada penyakit ginjal kronik terdapat pallor pada kulit akibat anemia, ekimosis dan

hematoma akibat gannguan pembejkuab, gatal dan ekskoriasi akibat deposisi calcium-

fosfat dan hiperparatiroid sekunder, diskolorasi berwarna kuning akibat deposisi pigmen

metabolik dan urokrom, serta uremic frost akibat kadar urea itu sendiri.

Klasifikasi

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas 2 hal yaitu atas dasar derajat

penyakit dan diagnostik etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas satu dari

dua persamaan berdasarkan konsntrasi kreatinin plasma, umur, jenis kelamin, etnik.

Pertama, persamaan dari penelitian modifikasi diet pada penyakit ginjal yaitu:

Kedua, persamaan dari Kockcroft-Gault sebagai berikut :

Klasifikasi menurut NICE 2008

1. Memeriksa adanya proteinuria saat menentukan stadium dari GGK

2. Proteinuria:

a. Urin ACR (albumin clearance ratio) 30mg/mmol atau lebih.

b. Urin PCR 50 mg/mmol atau lebih.

(dengan perkiraan urinary protein excreation 0,5 g/24jam atau lebih)

3. Stadium 3 dari GGK harus dibagi menjadi 2 subkategori:

a. LFG 45 – 59 ml/min/1,73 m2

(stadium 3A)

b. LFG 30 – 44 ml/min/1,73 m2

(stadium 3B)

LFG (ml/menit/1,73m2) = 1,86 x ( P cr) - 1,154 x (umur) - 0,023

Keterangan: wanita x 0,742

Creatinin Clearance Test (ml/mnt) = (140 - umur) x BB

—————————————

72 x kreatinin plasma (mg/dl)

Keterangan: wanita x 0,85

Page 19: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

19

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

Tabel 2. Stadium penyakit ginjal kronik.

4. Penanganan pada GGK tidak boleh dipengaruhi oleh usia.

Pada orang dengan usia > 70 tahun dengan LFG 45 – 59 ml/min/1,73 m2, apabila keadaan

tersebut stabil seiring dengan waktu tanda ada kemungkinan dari gagal ginjal, biasanya

hal tersebut tidak berhubungan dengan komplikasi dari GGK.

Manifestasi klinis

Kardiovaskuler:

a. Hipertensi

b. Pembesaran vena leher

c. Pitting edema

d. Edema periorbital

e. Friction rub pericardial

Pulmoner:

a. Nafas dangkal

b. Krekels

c. Kusmaul

d. Sputum kental dan liat

Gastrointestinal:

a. Konstipasi / diare

b. Anoreksia, mual dan muntah

c. Nafas berbau ammonia

d. Perdarahan saluran GI

e. Ulserasi dan perdarahan pada mulut

Page 20: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

20

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

Muskuloskeletal:

a. Kehilangan kekuatan otot

b. Kram otot

c. Fraktur tulang

Integumen:

a. Kulit kering, bersisik

b. Warna kulit abu-abu mengkilat

c. Kuku tipis dan rapuh

d. Rambut tipis dan kasar

e. Pruritus

f. Ekimosis

Reproduksi:

a. Atrofi testis

b. Amenore

Sindrom uremia:

a. Lemah letargi

b. Anoreksia

c. Mual dan muntah

d. Nokturia

e. Kelebihan volume cairan (volume overload).

f. Neuropati perifer

g. Uremic frost

h. Perikarditis

i. Kejang

j. Koma.

Pemeriksaan penunjang

A. Gambaran laboratorium

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:

Sesuai dengan penyakit yang mendasari (diabetes militus, hipertensi, dll).

Page 21: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

21

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan

penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus kockcroft-gault. Kadar

kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.

Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan

kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia , hiper atau hipokloremia,

hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.

Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosituria, cast, isosisteinuria.

B. Gambaran radiologi

Pemeriksaan radiologi Penyakit ginjal kronik meliputi:

Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opaque.

Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati

filter glomerulus, di samping kekhawatiran pasien terjadinya pengaruh toksik oleh

kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakkan.

Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi.

USG ginjal memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis,

adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.

Indikasi USG (NICE 2008):

- Progresif GGK (LFG turun > 5 ml.min.1,73m2 dalam 5 tahun).

- Adanya hematuria

- Ada gejala obstruksi saluran kencing

- Ada riwayat keluarga penyakit ginjal polikistik dan berusia lebih dari 20

tahun.

- GGK stadium 4 dan 5.

- Memerlukan biopsi ginjal.

Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renogarfi dikerjakan bila ada indikasi.

Diagnosis

Diagnosis GGK ditegakan apabila LFG < 60 ml/min/1,73m2 selama lebih dari 3 bulan, atau

adanya bukti gagal ginjal (gambaran patologi yang abnormal atau adanya tanda kerusakan,

termasuk abnormalitas dari pemeriksaan darah dan urin atau gambaran radiologi). Bila dari

hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan belum dapat menegakkan diagnosis, maka dapat

dilakukan biopsy ginjal terutama pada pasien dengan ukuran ginjal mendekati normal. Tetapi

Page 22: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

22

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

prosedur ini dikontraindikasikan pada ginjal yang kecil bilateral, penyakit ginjal polikistik,

hipertensi tidak terkontrol, infeksi traktur urinarius, kelainan perdarahan, gangguan

pernapasan dan morbid obesity.6

Penatalaksanaan

Farmakoterapi (menurut NICE guidelines 15september2008)11

A. Kontrol tekanan darah

Pada orang dengan GGK, harus mengkontrol tekanan sistolik < 140 mmHg

(dengan kisaran target 120 – 139 mm Hg) dan tekanan diastolic < 90 mmHg.

Pada orang dengan GGK dan Diabetes dan juga orang dengan ACR 70 mg/mmol

atau lebih (kira-kira ekuivalent dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, atau

proteinuria 1 gr/24jam atau lebih), diharuskan untuk menjaga tekanan sistolik <

130 mmHg (dengan kisaran target 120-129 mmHg) dan tekanan diastolik < 80

mmHg.

B. Pemilihan agen antihipertensi

1st line: ACEInhibitor/ARBs (apabila ACEInhibitor tidak dapat mentolerir).

ACE Inhibitor/ARBs diberikan pada:

Pada GGK dengan diabetes dan ACR lebih dari 2,5 mg/mmol (pria) atau lebih dari

3,5 mg/mmol (wanita), tanpa adanya hipertensi atau stadium GGK.

Note: Perbedaan kedua batas ACR berbeda diberikan di sini untuk memulai

pengobatan ACE Inhibitor pada orang dengan CKD dan proteinuria. Potensi manfaat

ACE inhibitor dalam konteks ini sangat meningkat jika seseorang juga memiliki

diabetes dan hipertensi dan dalam keadaan ini, sebuah batas yang lebih rendah

diterapkan.

GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR 30 mg/mmol atau lebih (kira-kira

ekuivalen dengan PCR 50 mg/mmol atau lebih, proteinuria 0,5 gr/24jam atau lebih).

GGK pada non-diabetik dan ACR 70 mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalen dengan

PCR 100 mg/mmol atau lebih, proteinuria 1 gr/24jam atau lebih), tanpa adanya

hipertensi atau penyakit kardivaskular.

GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR < 30 mg/mmol (kira-kira

ekuivalen dengan PCR < 50 mg/mmol, atau proteinuria < 0,5 gr/24jam.

Page 23: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

23

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

Saat menggunakan ACE Inhibitor/ARBs, upayakan agar mencapai dosis terapi

maksimal yang masih dapat ditoleransi sebelum menambahkan terapi 2nd

line

(spironolakton).

Hal-hal yang perlu diingat saat menggunakan ACE Inhibitor/ARBs:

o Orang dengan GGK, harus mengetahui konsentrasi serum potassium dan

perkiraan LFG sebelum memulai terapi ACE Inhibitor/ARBs. Pemeriksaan ini

diulang antara 1 sampai 2 minggu setelah penggunaan obat, dan setelah

peningkatan dosis.

o Terapi ACE Inhibitor/ARBs tidak boleh dimulai apabila konsentrasi serum

potassium secara signifikan > 5,0 mmol/L.

o Keadaan hiperkalemia menghalangi dimulainya terapi tersebut, karena

menurut hasil penelitian terapi tersebut dapat mencetuskan hiperkalemia.

o Obat-obat lain yang digunakan saat terapi ACE Inhibitor/ARBs yang dapat

juga mencetuskan hiperkalemia, bukan kontraindikasi penggunaan terapi

tersebut, tapi harus menjaga konsentrasi serum potassium.

o Stop terapi tersebut, bila konsentrasi serum potassium meningkat > 6,0

mmol/L atau lebih dan obat lain yang diketahui dapat meningkatkan

hiperkalemia sudah tidak digunakan.

o Dosis terapi tidak boleh ditingkatkan bila batas LFG saat sebelum terapi

kurang dari 25% atau kreatinin plasma meningkat dari batas awal kurang dari

30%.

o Apabila perubahan LFG 25% atau lebih atau perubahan kreatinin plasma 30%

atau lebih:

Investigasi adanya deplesi volume ataupun penggunaan NSAIDs.

Apabila tidak ada penyebab (yang diatas), stop terapi atau dosis harus

diturunkan dan alterlatif antihipertensi lain bisa digunakan.

C. Pemilihan statins dan antiplatelet

Terapi statin digunakan untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskular.7 Pada

orang dengan GGK, penggunaannya-pun tidak berbeda.

Penggunaan statin pada orang dengan GGK merupakan pencegahan sekunder dari

penyakit kardiovaskular, terlepas dari batas nilai lipid-nya.

Page 24: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

24

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

Penggunaan antiplatelet pada orang dengan GGK merupakan pencegahan

sekunder dari penyakit kardiovaskular. GGK bukan merupakan kontraindikasi

dari penggunaan aspirin dosis rendah, tetapi dokter harus memperhatikan adanya

kemungkinan perdarahan minor pada orang dengan GGK yang diberikan

antiplatelet multipel.

D. Komplikasi lainnya

Metabolisme tulang dan osteoporosis

- Melakukan pengukurang rutin untuk kalsium, fosfat, paratiroid hormone

(PTH) dan level vitamin D pada orang dengan GGK stadium 1, 2, 3A/3B,

tidak tirekomendasikan.

- Melakukan pengukuran kalsium, fosfat, konsentrasi PTH pada orang

dengan GGK stadium 4 dan 5 (LFG < 30 ml/min/1,73m2).

- Memberikan bisphosphonate, apabila ada indikasi untuk mencegah dan

mengobati osteoporosis pada orang dengan GGK stadium 1, 2, 3A/3B.

- Pemberian suplemen vitamin D:

o GGK stadium 1, 2, 3A/3B diberikan cholecalciferol atau

ergocalciferol.

o GGK stadium 4 dan 5 diberikan 1-alpha-hydroxycholecalciferol

(alfacalcidol) atau 1,25-dihydroxycholecalciferol (calcitrol).

- Monitor lonsentrasi serum kalsium dan fosfat pada orang yang

mendapatkan terapi diberikan 1-alpha-hydroxycholecalciferol

(alfacalcidol) atau 1,25-dihydroxycholecalciferol (calcitrol).

E. Anemia8

Penanganan anemia pada GGK harus dilakukan saat Hb < 11 g/dl (atau 10 g/dl

pada usia < 2 tahun).

Menentukan apakah anemia disebabkan oleh GGK atau bukan. Dengan

memperhatikan LFG < 60 ml/min/1.73m2.

Anemia defisiensi zat besi, biasanya pada:

o Orang dengan GGK stadium 5 dengan level ferritin < 100 mikrogram/L.

o Orang dengan GGK stadium 3 dan 4, dengan level ferritin < 100

mikrogram/L.

Penanganan anemia9

Page 25: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

25

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

1. Suplementasi eritropoetin

Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan telah tersedia menggunakan

recombinant human eritropoetin yang telah diproduksi untuk aplikasi terapi.

Seperti yang telah di demonstrasikan dengan plasma kambing uremia yang

kaya eritropoetin, human recombinant eritropoetin diberikan intravena kepada

pasien hemodialisa ,telah dibuktikan menyebabkan peningkatan eritropoetin

yang drastis. Hal ini memungkinkan untuk mempertahankan kadar Hb normal

setelah transfusi darah berakhir pada pasien bilateral nefrektomi yang

membutuhkan transfusi reguler. Pada gambar.3, saat sejumlah erotropoetin

diberikan IV 3x seminggu setelah setiap dialisa, pasien reguler hemodialisis

merespon dengan peningkatan Ht dengan dosis tertentu dalam beberapa

minggu. Percobaan menunjukkan bahwa AB yang melawan materi

rekombinan dan menghambat terhadap penggunaan eritropoetin tidak terjadi.

Efek samping utamanya adalah meningkatkan tekanan darah dan memerlukan

dosis Heparin yang tinggi untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi ekstra

korporial selama dialisis. Pada beberapa pasien, trombosis pada pembuluh

darah dapat terlihat.

Peningkatan tekanan darah bukan hanya akibat peningkatan viskositas darah

tetapi juga peningkatan tonus vaskular perifer. Komplikasi trombosis juga

berkaitan dengan tingginya viskositas darah bagaimanapun sedikitnya satu

kelompok investigator terlihat peningkatan trombosit. Penelitian in vitro

menunjukkan efek stimulasi human recombinant eritropoetin pada diferensiasi

murine megakariosit. Lalu trombositosis mungkin mempengaruhi

hiperkoagubilitas. Konsentrasi serum predialisis ureum kreatinin yang

meningkat dan hiperkalemia dapat mengakibatkan berkurangnya efisiensi

dializer karena tingginya Ht dan peningkatan nafsu makan karena peningkatan

keadaan umum. Kecepatan eritropoesis yang dipengaruhi oleh eritropoetin

dapat menimbulkan defisiensi besi khususnya pada pasien dengan peningkatan

blood loss. Seluruh observasi ini mengindikasikan bahwa recombinant human

eritropoetin harus digunakan dengan hati-hati. Hal ini juga memungkinkan

bahwa kebanyakan efek samping ini dapat diminimalkan jika nilai Hematokrit

Page 26: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

26

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

tidak meningkat ke normal, tetapi pada nilai 30-35%. Produksi recombinant

human eritropoetin merupakan manajemen yang utama pada pasien uremia.

Indikasi dan Kontraindikasi terapi EPO:

1) Indikasi:

Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan

penyebab lain anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah:

a. Cadangan besi adekwat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi

transferin > 20%.

b. Tidak ada infeksi yang berat.

2) Kontraindikasi:

hipersensitivitas terhadap EPO.

3) Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO, hati-hati pada keadaan:

a. Hipertensi tidak terkontrol.

b. Hiperkoagulasi.

c. Beban cairan berlebihan / fluid overload.

Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang cukup,

terdapat beberapa kriteria pengkajian status besi pada GGK:

i. Anemia dengan status besi cukup.

ii. Anemia defisiensi besi:

a. Anemia defisiensi besi absolut : Feritin serum < 100 mcg/L

b. Anemia defisiensi besi fungsional: Feritin serum > 100 mcg/L

Saturasi Transferin < 20 %

Terapi Eritropoietin Fase koreksi:

Tujuan: Untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai.

a. Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x seminggu

selama 4 minggu.

b. Target respon yang diharapkan :

Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4 % dalam 2-4

minggu.

c. Pantau Hb dan Ht tiap 4 minggu.

Page 27: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

27

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

d. Bila target respon tercapai: pertahankan dosis EPO sampai target Hb

tercapai (> 10 g/dL).

e. Bila terget respon belum tercapai naikkan dosis 50%.

f. Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu, turunkan

dosis 25%.

g. Pemantauan status besi:

Selama terapi Eritropoietin, pantau status besi, berikan suplemen

sesuai dengan panduan terapi besi.

Terapi EPO fase pemeliharaan:

a. Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>12 g/dL). Dosis 2 atau 1

kali 2000 IU/minggu. Pantau Hb dan Ht setiap bulan

Periksa status besi setiap 3 bulan.

b. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan

status besi cukup) maka dosis EPO diturunkan 25%

Pemberian eritropoetin ternyata dapat menimbulkan efek samping

diantaranya:

- Hipertensi:

i. tekanan darah harus dipantau ketat terutama selama

terapi eritropoetin fase koreksi.

ii. pasien mungkin membutuhkan terapi antihipertensi

atau peningkatan dosis obat antihipertensi.

iii. peningkatan tekanan darah pada pasien dengan

terapi eritropoietin tidak berhubungan dengan kadar

Hb.

- Kejang:

i. Terutama terjadi pada masa terapi EPO fase koreksi.

ii. Berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang cepat

dan tekanan darah yang tidak terkontrol.

Terkadang pemberian EPO menghasilkan respon

yang tidak adekwat. Respon EPO tidak adekwat bila

pasien gagal mencapai kenaikan Hb/Ht yang

Page 28: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

28

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

dikehendaki setelah pemberian EPO selama 4-8

minggu.

Terdapat beberapa penyebab respon EPO yang tidak adekwat yaitu:

a. Defisiensi besi absolut dan fungsional (merupakan penyebab

tersering).

b. Infeksi/inflamasi (infeksi akses,inflamasi, TBC, SLE,AIDS).

c. Kehilangan darah kronik.

d. Malnutrisi.

e. Dialisis tidak adekwat.

f. Obat-obatan (dosis tinggi ACE inhibitor, AT 1 reseptor antagonis).

g. Lain-lain (hiperparatiroidisme/osteitis fibrosa, intoksikasi

alumunium, hemoglobinopati seperti talasemia beta dan sickle cell

anemia, defisiensi asam folat dan vitamin B12, multiple mioloma,

dan mielofibrosis, hemolisis, keganasan).

Agar pemberian terapi Eritropoietin optimal, perlu diberikan terapi

penunjang yang berupa pemberian:

a. asam folat : 5 mg/hari

b. vitamin B6: 100-150 mg

c. vitamin B12 : 0,25 mg/bulan

d. vitamin C : 300 mg IV pasca HD, pada anemia defisiensi besi

fungsional yang mendapat terapi EPO.

e. vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid

f. vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif yang

diakibatkan terapi besi intravena.

g. Preparat androgen (2-3 x/minggu):

Dapat mengurangi kebutuhan EPO

Obat ini bersifat hepatotoksik, hati-hati pada pasien dengan

gangguan fungsi hati

Tidak dianjurkan pada wanita

2. Terapi transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialisis.

Seluruh terapi pengganti ginjal ekstra korporeal dan peritoneal dialisis pada

dasarnya dapat juga mempengaruhi patogenesis anemia pada gagal ginjal,

Page 29: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

29

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

sejak prosedur ini dapat membuang toksin yang menyebabkan hemolisis dan

menghambat eritropoesis. Selain itu, pengalaman klinis membuktikan bahwa

perkembangannya lebih cepat daripada menggunakan terapi eritropoetin.

Ketidakefektivan pada terapi pengganti ginjal merupakan akibat keterbatasan

pengetahuan tentang toksin dan cara terbaik untuk menghilangkannya.

Pendekatan sederhana untuk meningkatkan terapi dtoksifikasi pada uremia

dengan meningkatkan batas atas ukuran molekular yang dibuang dengan difusi

dan atau transportasi konvektif tidak menghasilkan hasil yang memuaskan.

Misalnya, tidak ada data yang membuktikan bahwa hemofiltrasi yang

mencakup pembuangan jangkauan molekuler yang lebih besar dibanding

hemodialisis dengan membaran selulosa yang kecil, merupakan dua terapi

utama dalam mengkoreksi anemia pada gagal ginjal. Selain itu continious

ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) , juga merupakan terapi dengan

pembuangan jangkauan molekuler yang besar, ini lebih baik dibandingkan

dengan hemodialisis standar dengan membaran selulosa yang kecil. Hal ini

masih tidak jelas jika keuntungan CAPD ini hanya karena pembuangan yang

lebih baik dari inhibitor eritropoesis. Beberapa penelitian mengindikasikan

CAPD meningkatkan produksi eritropoetin, mungkin juga diluar ginjal dan

karena oleh itu meningkatkan eritropoesis. Walaupun mekanismenya belum

diketahui.

3. Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine.

Sejak inhibitor eritropoesis diketahui, pada kasus intoksikasi aluminium, terapi

dapat selektif dan efektif efek aluminium yang memperberat pada anemia

dengan gagal ginjal selalu harus diasumsikan ketika terjadi anemia mikrositik

dengan normal atau peningkatan feritin serum pada pasien reguler

hemodialisis. Diagnosis ditegakkan denan peningkatan nilai aluminium serum,

riwayat terpapar aluminium baik oral maupun dialisat, gejala intoksikasi

aluminium seperti ensekalopati penyakit tulang aluminium , dan keberhasilan

percobaan terapi. Terapi utama adalah pemberian chelator deferoxamin (DFO)

IV selama satu sampai dua jam terakhir saat hemodialisa atau hemofiltrasi

atau CAPD. Range dosis 0,5 – 2,0 gr, 3 kali seminggu. DFO memobilisasi

aluminium sebagai larutan yang kompleks, dimana kemudian dibuang dengan

Page 30: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

30

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

terapi dialisis atau prosedur filtrasi. Efek samping utama adalah hipotensi,

toksisitas okular, komplikasi neurologi seperti kejang dan mudah terkena

infeksi jamur. Efek samping ini berespons terhadap pemberhentian terapi

sementara waktu, pengurangan dosis atau pemberhentian terapi. Efek DFO

pada anemia dapat berakibat drastis, yang menggambarkan perubahan nilai

hemoglobine, feritin serum, dan konsentrasi aluminium, MCV, MCH pada

pasien dengan ostemalasia yang berhubungan dengan aluminium. Pada

permulaan terapi pasien mengalami anemia mikrositik peningkatan nilai

aluminium serum dan feritin. Setelah beberapa bulan terapi dengan DFO,

MCV dan MCH pada nilai diatas normal, hemoglobin meningkat secara

signifikan dan feritin serum dan aluminium menurun.

4. Mengkoreksi hiperparatiroidism.

Sekunder hiperparatiroid pada anemia dengan gagal ginjal, paratiroidektomi

bukan merupakan indikasi untuk terapi anemia. Pengobatan supresi aktivitas

kelenjar paratiroid dengan 1,25-dihidroksi vitamin D3 biasanya berhubungan

dengan peningkatan anemia.

5. Terapi Androgen.

Efek yang positif pada terapi ini yaitu meningkatkan produksi eritropoetin,

meningkatkan sensitivitas polifrasi eritropoetin yang sensitif terhadap populasi

stem cell. Testosteron ester (testosteron propionat, enanthane, cypionate),

derivat 17-metil androstanes (fluoxymesterone, oxymetholone, methyl

testosterone), dan komponen 19 norterstosteron (nandrolone dekanoat,

nandrolone phenpropionate) telah sukses digunakan pada terapi anemia

dengan gagal ginjal. Respon nya lambat dan efek dari obat ini dapat terbukti

dalam 4 minggu terapi. Nandrolone dekanoat cukup diberikan dengan dosis

100-200 mg, 1 x seminggu. Testosteron ester tidak mahal tetapi harus dibatasi

karena efek sterilitas yang besar. Komponen 19-nortestosteron memiliki ratio

anabolik : androgenik yang paling tinggi dan yang paling sedikit menyebabkan

hirsutisme serta paling aman untuk pasien wanita. Fluoksimesterone dapat

menyebabkan priapismus pada pasien pria. Penyakit Hepatoseluler kolestatik

dapat menyebabkan komplikasi pada penggunaan zat ini dan lebih sering pada

17 methylated steroid. Pada keadaan meningkatnya transaminase darah yang

Page 31: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

31

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

progesif dan bilirubin serum yang meningkat, terapi harus dihentikan. Namun,

komponen 17- methylated steroid ini memiliki ratio anabolik/ androgen yang

baik dan dapat diberikan secara oral. Terapi dengan androgen dapat

menimbulakan gejala prostatism atau pertumbuhan yang cepat dari Ca prostat.

Rash kulit, perubahan suara seperti laki-laki, dan perubahan fisik adalah efek

samping lainnya pada terapi ini.

6. Suplementasi besi.

Penggunaan pengikat fosfat dapat mempengaruhi dengan absorpsi besi pada

usus. Monitoring penyimpanan besi tubuh dengan determinasi ferritin serum

satu atau dua kali pertahun merupakan indikasi. Absorpsi besi usus tidak

dipengaruhi oleh uremia, suplementasi besi oral lebih dipilih ketika terjadi

defisiensi besi. Jika terapi oral gagal untuk memperbaiki defisiensi besi,

penggantian besi secara parenteral harus dilakukan. Hal ini dilakukan dengan

iron dextran atau interferon. Terapi IV lebih aman dan nyaman dibanding

injeksi intra muskular. Syok anafilaktik dapat terjadi pada 1% pasien yang

menerima terapi besi parenteral. Untuk emngurangi kejadian komplikasi yang

berbahaya ini, pasien harus di tes dengan 5 menit pertama dengan dosis kecil

dari total dosis. Jumlah yang diperlukan untuk replinish penyimpanan besi

dapat diberikan dengan dosis terbagi yaitu 500mg dalam 5-10 menit setiap

harinya atau dosis tunggal dicampur dengan normal saline diberikan 5% iron

dextran dan diinfuskan perlahan dalam beberapa jam.

Terapi besi fase pemeliharaan:

a. Tujuan : menjaga kecukupan persediaan besi untuk eritropoiesis selama

terapi EPO.

b. Target terapi: Feritin serum > 100 mcg/L – < 500 mcg/L

Saturasi transferin > 20 % – < 40 %

c. Dosis

i. IV : iron sucrose : maksimum 100 mg/minggu

iron dextran : IV : 50 mg/minggu

iron gluconate : IV : 31,25-125 mg/minggu

ii. IM : iron dextran : 80 mg/ 2 minggu

iii. Oral: 200 mg besi elemental : 2-3 x/hari

Page 32: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

32

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

iv. Status besi diperiksa setiap 3 bulan

v. Bila status besi dalam batas target yang dikehendaki lanjutkan

terapi besi dosis pemeliharaan.

vi. Bila feritin serum > 500 mcg/L atau saturasi transferin > 40%,

suplementasi besi distop selama 3 bulan.

vii. Bila pemeriksaan ylang setelah 3 bulan feritin serum < 500 mcg/L

dan saturasi transferun < 40%, suplementasi besi dapat dilanjutkan

dengan dosis 1/3-1/2 sebelumnya.

7. Transfusi darah.

Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi transfusi darah

adalah:

a. Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik

b. Tidak memungkinkan penggunaan EPI dan Hb < 7 g /dL

c. Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamik

d. Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO ataupun

yang telah mendapat EPO tetapi respon belum adekuat, sementara

preparat besi IV/IM belum tersedia, dapat diberikan transfusi darah

dengan hati-hati

e. Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah : 7-9 g/dL (tidak

sama dengan target Hb pada terapi EPO). Transfusi diberikan secara

bertahap untuk menghindari bahaya overhidrasi, hiperkatabolik

(asidosis), dan hiperkalemia. Bukti klinis menunjukkan bahwa

pemberian transfusi darah sampai kadar Hb 10-12 g/dL berhubungan

dengan peningkatan mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat,

walaupun pada pasien dengan penyakut jantung. Pada kelompok

pasien yang direncakan untuk transplantasi ginjal, pemberian transfusi

darah sedapat mungkin dihindari.

F. Nutrisi

Pemberian nutrisi yang seimbang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energi dan

nutrient sekaligus mengurangi gejala-gejala uremia dan menunda percepatan penurunan

fungsi ginjal atau memperlambatnya. Status nutrisi memiliki kaitan erat dengan angka

mortalitas pada pasien dengan GGK. Dianjurkan kecukupan energy > 35 kkal/kgBB/hari,

Page 33: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

33

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

sedangkan untuk usia > 60 tahun diberikan 30 kkal/kgBB/hari, sedangkan untuk usia > 60

tahun diberikan 30 kkal/kgBB/hari. Asupan kalori harus cukup untuk mencegah

terjadinya proses katabolik. Bila asupan peroral tidak memadai untuk memenuhi

kebutuhan nutrisis sehari-hari sesuai dengan status gizi seseorang, dapat ditambahkan

nutrisi parenteral. Perbandingan kalori yang bersumber dari lemak dan karbohidrat

sebesar 25% : 75%. Selain itu diberikan kombinasi dari asam amino esensial dan non

esensial. Jumlah maksimal pemberian karbohidrat adalah 5 g/kgBB. Sedangkan lipid

diberikan maksimal 1 g/kgBB dalam bentuk fat emulsion 10-20% sebanyak 500 mL.

Diet rendah garam, dalam bentuk protein sekitar 0,6 – 0,75% g/kgBB/hari,dengan protein

yang memiliki nilai biologic tinggi, sebesar 0,35 g/kgBB/hari tergantung dari beratnya

gangguan fungsi ginjal. Pasien dengan gagal ginjal krooni harus mengurangi asupan

proeinnya karena protein berlebih akan menyebabkan terjadinya penumpukan nitrogen

dan ion inorganic yang akan mengakibatkan gangguan metabolic yang disebut uremia.

Dua penelitian meta-analisis membuktikan efek dari restriksi protein memperlambat

progresivitas penyakit ginjal diabetik dan non-diabetik. Asupan kalori yang cukup sekitar

35 kkal/kgBB.

LFG (ml/min) Protein (g/kgBB/hari) Fosfor (g/kg/hari)

> 60 Tidak perlu restriksi protein Tidak perlu restriksi

25 – 60 0,6 g/kgBB/hari termasuk

≥0,35 g/kgBB/hari protein

dengan nilai biologik tinggi.

≤ 10

5 – 25 0,6 g/kgBB/hari termasuk

≥0,35 g/kgBB/hari protein

dengan nilai biologic tinggi.

0,3 g/kgBB/hari dengan

suplementasi asam amino

esensial ketoanalog.

≤ 10

≤ 9

< 60

(sindrom nefrotik)

0,8 g/kgBB/hari (+1 g

protein/ g proteinuria) arau

0,3 g/kgBB/hari dengan

suplementasi asam amino

≤ 12

≤ 9

Page 34: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

34

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

esensial atau ketoanalog (+1

g protein/ g proteinuria)

Tabel 3. Restriksi protein pada pasien dengan GGK.3

Berbagai formula cairan parenteral untuk pasien dengan GGK:10

Formula Kopple:

Air 1000 – 2000 ml/hari

Glukosa 500 – 600 g/hari

Asam amino 35 – 45 g/hari

Kalori 35 – 50 kkal/kgBB/hari

NPC/N 300 (GGK) 500 (GGA)

Elektrolit Na, K, Ca, Mg, Zn, Cu, et al.

Vitamin dan lipid

Formula Teraoka:

50% glukosa 1000 ml

10% NaCl 40 ml

K asparte 1 mEq

8,5% Ca gluconate 6 mEq

Mg Sulfat 6 mEq

K2PO4 1 mEq

Kidmin 400 – 600 ml

Lipid 400 ml/w

Vitamin dan trace elemen

Pemakaian kidmin:

- Partial parenteral nutisi : 200 ml, sekali sehari selama 2 jam atau pada waktu dialisis.

- Total parenteral nutrisi : 400 ml, dengan 300 kkal/100 ml melalui vena sentral.

Prognosis

Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya

buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang ini,

bertujuan hanya untuk mencegah progesivitas dari GGK itu sendiri. Selain itu, biasanya GGK

sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala,

sehingga penanganannya seringkali terlambat.

Page 35: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

35

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

BAB III

IKHTISAR KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. A

Jenis kelamin : Laki-laki

Tempat/tgl lahir : Kediri, 03 Juni 1949

Agama : Islam

Usia : 60 tahun

Golongan darah : O, rh +

Status : Menikah

Pendidikan terakhir : SMU

Pekerjaan : Swasta

Alamat : Cipedak, Jagakarsa

Suku : Jawa

Kebangsaan : Indonesia

Masuk RS : 29 Juli 2010, 17.30

RIWAYAT PENYAKIT

A. Anamnesis

Autoanamesis.

B. Keluhan utama

Pasien Tn. A mengeluh mual dan muntah sejak malam hari.

C. Riwayat penyakit sekarang

Pasien Tn.A datang ke Poliklinik penyakit dalam Rumah Sakit Marinir Cilandak (RSMC)

pada tanggal 29 Juli 2010. Pasien mengeluhkan mual dan muntah dengan tampak sisa ampas

makanan sejak kemarin malam, tanggal 28 Juli 2010. Pasien juga tampak sesak dan gelisah.

Pasien tidak sakit kepala, tidak demam, tidak ada nyeri perut, tidak ada nyeri sendi atau otot,

tidak ada tanda-tanda perdarahan. Pasien mengatakan tidak dapat tidur dengan nyenyak.

Page 36: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

36

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

Pasien mengaku BAK normal tidak ada darah, tidak ada nyeri. BAB normal, tida ada darah

dan tidak ada lendir. Nafsu makan pasien menurun dan badannya juga terasa lemas. Pasien

menyangkal adanya nyeri menelan, batuk dan pilek.

D. Riwayat penyakit terdahulu

Pasien Tn.A sebelumnya pernah dirawat di Rumah Sakit Marinir Cilandak (RSMC) pada

tanggal 21 juni 2010 dengan keluhan utama nyeri dada bagian kiri disertai keringat dingin

setelah menonton pertandingan sepak bola disertai sesak. Pasien keluar tanggal 24 juni 2010

dengan keluhan sesak sudah tidak ada dan pasien direncanakan untuk rawat jalan. Pasien

kontrol di poliklinik pada tanggal 8 juli 2010 dengan keluhan badan terasa lemas dan muntah

bila ingin makan. Pasien datang lagi kontrol pada tanggal 22 juli dengan tanpa keluhan.

Pasien mengaku memiliki riwayat penyakit hipertensi yang tidak terkontrol, karena tidak

minum obat dengan teratur. Pasien mengaku memiliki riwayat penyakit diabetes militus.

Pasien juga mengaku memiliki riwayat penyakit ginjal. Pasien menyangkal adanya riwayat

penyakit jantung, riwayat penyakit asma. Pasien mengaku tidak memiliki alergi obat apapun.

E. Riwayat keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti pasien. Ayah pasien memiliki riwayat

hipertensi disertai diabetes mellitus. Riwayat penyakit jantung, asma, tuberkulosis, alergi, dan

keganasan disangkal.

F. Riwayat Kebiasaan/pola hidup

Riwayat merokok dan riwayat mengkonsumsi alkohol disangkal oleh pasien. Pasien jarang

olahraga. Pasien mandi 3x sehari. BAK lancar 3x sehari tanpa disertai distensi. BAB lancar

1x sehari. Pasien rata-rata sehari minum 8 gelas air. Pasien makan teratur 3x sehari. Pasien

tidur cukup 8 jam setiap harinya.

PEMERIKSAAN FISIK

(dilakukan saat masuk RS, tanggal 29 Juli 2010).

Keadaan umum Sakit sedang.

Page 37: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

37

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

Kesadaran Kompos mentis.

Tekanan darah 200/120 mmHg.

Nadi 92 x/menit, teratur, isi cukup.

Suhu 36 ºC.

Pernapasan 40 x/menit, teratur, kedalaman cukup.

Berat badan 62 kg

Tinggi badan 170 cm

Kepala Normocephaly, tidak terdapat deformitas.

Rambut Hitam disertai rambut putih, tidak mudah dicabut.

Mata CA -/-, SI -/-, Pupil bulat isokor, RCL/RCTL ++

/++.

Telinga Tidak terdapat serumen.

Hidung Tidak terdapat deviasi septum.

Tenggorokan Tonsil T1 - T1, tenang, faring tidak hiperemis.

Gigi & mulut Higiene oral cukup.

Leher JVP 5-2 cm H2O, tidak terdapat pembesaran KGB.

Dada Tampak gerakan dada simetris statis dinamis, tidak ada retraksi.

Jantung Bunyi jantung I dan II murni, tidak terdapat murmur dan gallop.

Paru I : Simetris, statis, dan dinamis.

P : Fremitus paru kanan sama kuatnya dengan paru.

P : Paru kiri dan kanan sonor.

A : Suara napas vesikuler, terdapat ronkhi kasar pada kedua

Page 38: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

38

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

lapang paru terutama 1/3 basal paru, terdapat wheezing pada kedua

lapang paru.

Abdomen I : Datar, tidak tampak kelainan kulit , tidak ada venektasi,

tidak ada caput medusa.

P : Tidak terdapat nyeri tekan, hati dan limpa tidak teraba.

P : Timpani, tidak ada shifting dullness.

A : Bising usus normal.

Anggota gerak Akral hangat, tidak terdapat edema pada kedua ekstrimitas,

perfusi perifer baik.

Kulit Tidak tampak sianosis, tidak tampak pucat, tidak tampak ikterik.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan hematologi (tanggal 29 Juli 2010)

Pemeriksaan Hasil pemeriksaan Nilai normal

Hemoglobin 6,6 P:13-17 gr/dl, W:12-16 gr/dl

Hematokrit 20 37-54 %

Leukosit 7.100 5.000 - 10.000 /ul

Trombosit 245.000 150.000 - 400.000 /ul

WBC 7,1 x 103 /ul

LY 2,1 x 103 /ul

Page 39: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

39

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

MO 0,4 x 103 /ul

GR 4,5 x 103 /ul

LY% 30,2 %

MO% 5,7 %

GR% 64,1 %

RBC 2,56 x 106

/ul

Hgb 6,6 g/dl

HCT 19,8 %

MCV 77,3 fl

MCH 25,7 pg

MCHC 33,3 g/dl

RDW 17,0 %

PLT 245 x

PCT 0,166 %

MPV 6,8 fl

PDW 10,3 fl

Morfolofi darah tepi

Eritrosit

Mikrositik hipokrom

anisositosis

fragmentasi, sel

target, sel pensil,

jumlah menurun.

Page 40: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

40

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

Leukosit Jumlah normal,

dengan diff count:

1/10/3/51/32/3

Trombosit Morfologi normal,

jumlah normal.

KESAN

Anemia mikrositik

hipokrom disertai

eosinophilia.

SARAN RC, ferritin, tes

fungsi hati, urinalisa.

Pemeriksaan kimia darah (tgl 29 Juli 2010)

Pemeriksaan Hasil pemeriksaan Nilai normal

Ureum darah 176 20 – 50 mg%

Kreatinin darah 3,79 0,8 – 1,1 mg/dl

Asam urat 4,88 2 – 7 mg/dl

GDS 144 < 200 mg/dl

Pemeriksaan Analisa gas darah (tgl 29 Juli 2010)

Pemeriksaan Hasil pemeriksaan Nilai normal

pH 7,258 7,35 – 7,45 mmHg

pCO2 45,4 35 – 45 mmHg

Page 41: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

41

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

pO2 101,3 85 – 95 mmHg

HCO3 20,5 22 – 29 mmol/L

Base excess - 5,9 (-2) – (+3)

TCO2 21,9 23 – 27 mmol/L

O2 sat 96,3 85 – 95 %

FOLLOW UP

30 Juli 2010 Jam 07.00

S Sejak jam 03.00 dini hari pasien merasa tidak sesak, nyeri dada +, batuk +

O TD : 150/90 mmHg

Nadi : 100 x/min

Suhu : 36,2 ºC

RR : 24 x/min

KU/Kes : Sakit sedang/compos mentis

Mata : CA -/-, SI -/-, Pupil bulat isokor, RCL/RCTL ++

/++.

THT : T1-T1, tenang, FH.

Cor : S1S2 Reguler, Murmur -, Gallop –

Pulmo : SN Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-, Stridor -/+

Abd : Supel, timpani, BU +, NT –

Eks : akral hangat, udema -, ptekie -

A CKD

P Diet RP II dan RG II

IVFD Kidmin : Asering (2:1) 12 tpm

Inj. Lasix 2x1 amp IV

Inj. Narfoz 3x1 amp IV

Angioten 1x50 mg tab

Bicnat 3x1 tab

Page 42: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

42

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

Prorenal 3x2 tab

Osteocal 2x1 tab

As.folat 3x1 tab

30 Juli 2010 Jam 15.00

S Sesak + baik saat berbaring maupun posisi setengah tidur, nyeri tekan +,

batuk +.

O TD : 170/100 mmHg

Nadi : 108 x/min

Suhu : 36 ºC

RR : 25 x/min

KU/Kes : Sakit sedang/compos mentis

Mata : CA -/-, SI -/-, Pupil bulat isokor, RCL/RCTL ++

/++.

THT : T1-T1, tenang, FH.

Cor : S1S2 Reguler, Murmur -, Gallop –

Pulmo : SN Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-, Stridor -/+

Abd : Supel, timpani, BU +, NT –

Eks : akral hangat, udema -, ptekie -

A CKD + HHD

P Tx teruskan

30 Juli 2007 Jam 16.00

S Sesak belum berkurang, nyeri dada +, batuk +.

O TD : 180/100 mmHg

Nadi : 96 x/min

Suhu : 36,5 ºC

RR : 28 x/min

Page 43: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

43

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

KU/Kes : Sakit sedang/compos mentis

Mata : CA -/-, SI -/-, Pupil bulat isokor, RCL/RCTL ++

/++.

THT : T1-T1, tenang, FH.

Cor : S1S2 Reguler, Murmur -, Gallop –

Pulmo : SN Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-, Stridor -/+

Abd : Supel, timpani, BU +, NT –

Eks : akral hangat, udema -, ptekie -

A CKD + HHD

P Tx teruskan

30 Juli 2007 Jam 17.00

S Sesak belum berkurang, nyeri dada +, batuk +.

O TD : 180/100 mmHg

Nadi : 104 x/min

Suhu : 35,8 ºC

RR : 28 x/min

KU/Kes : Sakit sedang/compos mentis

Mata : CA -/-, SI -/-, Pupil bulat isokor, RCL/RCTL ++

/++.

THT : T1-T1, tenang, FH.

Cor : S1S2 Reguler, Murmur -, Gallop –

Pulmo : SN Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-, Stridor -/+

Abd : Supel, timpani, BU +, NT –

Eks : akral hangat, udema -, ptekie -

A CKD + HHD

P Tx teruskan

30 Juli 2007 Jam 18.00

Page 44: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

44

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

S Sesak belum berkurang, nyeri dada +, batuk +.

O TD : 180/100 mmHg

Nadi : 104 x/min

Suhu : 36 ºC

RR : 32 x/min

KU/Kes : Sakit sedang/compos mentis

Mata : CA -/-, SI -/-, Pupil bulat isokor, RCL/RCTL ++

/++.

THT : T1-T1, tenang, FH.

Cor : S1S2 Reguler, Murmur -, Gallop –

Pulmo : SN Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-, Stridor -/+

Abd : Supel, timpani, BU +, NT –

Eks : akral hangat, udema -, ptekie -

A Uremia

P Inj. Lasix 2 amp (ekstra)

Perdipin 2 mg/kgBB

Insulin 3x8 UI (SC)

Meylon 2 tetes bolus (pekat-pekat) – dengan skin test

Meylon drip 2 amp dalam RL 100cc (30 menit)

Transfusi PRC 1 kantong/hari

Pasang kateter

DIAGNOSIS

Diagnosis kerja pada pasien ini adalah CKD, diagnosis ini dibuat berdasarkan hasil

anamnesis bahwa pasien memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol dan sudah berjalan

dalam waktu yang lama. Pada gejala klinis, pasien menunjukan keadaan sesak, lemas, mual

dan muntah yang menuju kearah penyakit tersebut. Pada pemeriksaan fisik, secara nyata

didapatkan tekanan darah tinggi yang tidak menunjukan adanya perubahan yang signifikan

setelah pemberian terapi, adanya irama jantung yang cepat atau takikardia, respiratory rate

yang meningkat sesuai dengan keadaan pasien yang tampak sesak. Pada pemeriksaan

penunjang, ditemukan peningkatan ureum, peningkatan kreatinin darah, penurunan

Page 45: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

45

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

haemoglobin yang juga turut mendukung diagnosa CKD, selain itu ditemukan juga laju

filtrasi glomerulus >20 ml/min/1,73m2

yang menurut klasifikasi gagal ginjal kronik

mengambil dari National kidney foundation guidelines termasuk dalam derajat 4 (penurunan

berat pada LFG).

Tatalaksana

ICU

Hemodialisis

Prognosis

Ad Vitam : Dubia et malam

Ad fungsionam : Dubia et malam

Ad Sanationam : Dubia et malam

Resume

Seorang laki-laki berusia 61 tahun datang ke poliklinik penyakit dalam Rumah Sakit Marinir

Cilandak (RSMC), dengan keluhan utama mual dan muntah, dengan tampak sisa ampas

makanan sejak kemarin malam, pada tanggal 28 Juli 2010. Keluhan lain berupa sesak napas

dan gelisah, pasien juga tidak dapat tidur dengan nyenyak. Pasien mengaku BAK normal

tidak ada darah, tidak ada nyeri. BAB normal, tida ada darah dan tidak ada lendir

Sebelumnya pasien pernah dirawat di RSMC pada tanggal 21 Juni 2010 dengan keluhan

nyeri dada disertai keringat dingin setelah menonton pertandingan sepak bola, pasien saat itu

terdiagnosis dengan angina disertai CKD disertai HHD. Pasien keluar dari RS pada tanggal

24 Juni 2010 dengan tanpa disertai keluhan apapun. Pasien direncanakan untuk rawat jalan.

Pasien secara rutin melakukan control ke poliklinik penyakit dalam RSMC. Pasien kontrol

pada tanggal 8 Juli 2010 dengan keluhan badan terasa lemas dan muntah bila ingin makan.

Kemudian pasien control lagi pada tanggal 22 Juli 2010 dengan tanpa keluhan. Pasien

mengaku memiliki riwayat penyakit hipertensi yang tidak terkontrol, karena tidak minum

obat dengan teratur. Pasien mengaku memiliki riwayat penyakit diabetes militus. Pasien juga

mengaku memiliki riwayat penyakit ginjal. Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit

jantung, riwayat penyakit asma. Pasien mengaku tidak memiliki alergi obat apapun.

Page 46: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

46

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

Pasien menyangkal memiliki riwayat merokok dan riwayat mengkonsumsi alkohol disangkal

oleh pasien. Pasien mengaku sehari-hari jarang olahraga. Pasien mandi 3x sehari. BAK lancar

3x sehari tanpa disertai distensi. BAB lancar 1x sehari. Pasien rata-rata sehari minum 8 gelas

air. Pasien makan teratur 3x sehari. Pasien tidur cukup 8 jam setiap harinya. Pada

pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum pasien sakit sedang dan compos mentis. Status

gizi baik. Cara berbaring dan berjalan lemah, tekanan darah pasien 200/100 mmHg, nadi

92x/min, reguler, isi cukup, sesuai karotis, respiratory rate 40x/min, teratur, suhu 36ºC,

TB/BB: 170 cm/62kg, konjungtiva tampak anemis, THT baik, gilut baik, JVP 5-2 cm H2O,

tidak terdapat pembesaran KGB. Bunyi jantung regular, tanpa ada murmur dan gallop. Suara

paru bronkovesikuler, disertai ronkhi kasar pada kedua lapang paru, terutama 1/3 basal paru,

terdapat wheezing pada kedua lapang paru. Pada pemeriksaan abdomen, datar, tidak terdapat

kelainan, tidak terdapat nyeri tekan, terdengar bising usus normal. Pada pemeriksaan

ekstrimitas, kedua ekstrimitas baik, tidak ada udema. Pada pemeriksaan laboratorium,

diketahui pasien anemia dengan Hb 6,6 gr/dl, hematokrit menurun 20%, hasil morfologi

darah tepi, mikrositik hipokrom anisositosis fragmentasi, sel target, sel pensil, jumlah

menurun. Pasien diberikan terapi berupa: bedrest, diet rendah protein II (asupan protein 35 g

diberikan pasien dengan berat badan 60 kg) dan rendah garam II (Diberikan untuk pasien

dengan odema, asites dan hipertensi yang tidak terlalu berat, dalam pengolahan makanan

boleh menggunakan ½ sdt garam (2 g)), infus kidmin berbanding asering (2:1) 12 tpm,

injeksi Lasix 2x1 amp IV, injeksi narfoz 3x1 amp IV, angioten 1x 50 mg tab, bicnat 3x1 tab,

prorenal 3x2 tab, osteocal 2x1 tab, as.folat 3x1 tab. Pasien disarankan untuk masuk ICU dan

melakukan hemodialisis.

Page 47: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

47

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

BAB IV

PEMBAHASAN KASUS

Diagnosis pada pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Pasien adalah laki-laki berusia 61 tahun, dalam kasus ini pasien

didiagnosis sebagai gagal ginjal kronik berdasarkan hasil anamesis, dimana pasien memiliki

riwayat hipertensi yang tidak terkontrol karena tidak minum obat secara teratur. Hal ini juga

didukung dengan riwayat keluarga pasien, dimana ayah pasien juga memiliki riwayat

hipertensi.

Apabila dilihat dari gejala klinis yang timbul, gejala pasien yang merasa mual,

muntah, disertai sesak dan penurunan nafsu makan juga dapat mendukung kearah gagal ginjal

kronik. Bila dilihat dari pemeriksaan fisik, secara nyata dapat ditemukan adanya peningkatan

tekanan darah, respiratory rate yang meningkat menunjukan adanya sesak, adanya irama

jantung yang takikardia, adanya konjungtiva yang anemis menunjukan adanya anemia.

Pada pemeriksaan penunjang, hasil laboratorium darah menunjukan bahwa

haemoglobin pasien rendah akibat defisiensi eritropoitin yang berhubungan dengan gagal

ginjal kronik, terdapat peningkatan yang bermakna pada ureum dan kreatinin yang

menunjukan adanya gangguan pada ginjal. Pemeriksaan analisa gas, menunjukan keadaan

pasien dalam respirapori asidosis yang belum terkompensasi, pada pemeriksaan morfologi

darah tepi, didapatkan hasil anemia mikrositik hipokrom. LFG pasien 20 ml/min/1,72 m2,

terdiagnosa pasien gagal ginjal kronik derajat 4.

Pada kasus ini, gagal ginjal kronik yang dialami pasien dapat diklasifikasikan dalam

tahapan berat, dilihat dari gejala klinis yang dialami oleh pasien dan hasil laboratorium darah.

Sedangkan etiologic GGK pada kasus ini adalah hipertensi yang dapat menyebabkan

nefrosklerosis, hal ini disimpulkan berdasarkan anamnesis pasien yang memiliki riwayat

hipertensi yang tidak terkontrol karena pasien tidak teratur minum obat.

Sedangkan komplikasi yang dihadapi pasien dalam kasus ini yang adalah anemia. Hal

ini dibuktikan dengan hasil laboratorium darah dan hasil morfologi darah tepi yang

menunjukan keadaan pasien yang anemia.

Page 48: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

48

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

Pada kasus gagal ginjal kronik, tranfusi darah sifatnya hanya sementara, untuk itu

diperlukan juga pemberian eritropoietin. Selain itu pengendalian homosistein juga penting

dengan memberikan asam folat dan vitamin B12.Kemudian pemberian CaCO3 600 – 800

mg/hari juga diperlukan pada pasien ini untuk mengatasi hiperfosfatemia.

Pada tanggal 30 juli 2010, pasien dianjurkan untuk menjalani hemodialisa atas dasar:

1. Adanya penurunan LFG

2. Adanya peningkatan kadar ureum

3. Adanya peningkatan kreatinin

4. Adanya sindrom uremia berupa mual, muntah, penurunan nafsu makan.

Page 49: Gagal Ginjal Kronik

Laporan Kasus Gagal Ginjal Kronik Ameliana Kamaludin, S.Ked

49

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSMC – FKUPH Periode 26 Juli – 2 Oktober 2010

DAFTAR PUSTAKA

1. Ardaya. Manajemen gagal ginjal kronik. Nefrologi Klinik, tatalaksana Gagal ginjal Kronik,

2003. Palembang:Perhimpunan Nefrologi Indonesia, 2003:13-22

2. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Gagal ginjal kronik. Dalam

Kapita selekta kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius FKUI,2001:531-534.

3. Skorecki K, Green J, Brenner BM. Chronic Renal Failure. Dalam Braunwald E, Fauci AS,

Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, et al (eds): Harisson’s Principles od Internal Medicine, 16rd

ed. New York, McGraw Hill, 2005:1653-1663.

4. Gold, NS. Chronic Renal Failure. http://www.5mcc.com/content.html.

5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Dalam Ilmu Penyakit Dalam

Vol.1, ed.4. Jakarta: FKUI, 2007:570

6. Nasution MY, Prodjosudjadi W. pemeriksaan penunjang pada penyakit ginjal. Dalam Noer

S. Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi ketiga. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2001:299-306

7. Baigent C, Landry M (2003) Study of heart and renal protection. Kidney International 63:

S207-S210.

8. National institutes for health and clinical excellences guidelines 39. Anemia management

in people with chronic kidney disease.Develop by the national collaborating centre for

chronic condition. 2006,September.

9. Perhimpunan Nefrologi Indonesia dalam: Konsensus Manajemen Anemia Pada pasien

Gagal Ginjal Kronik: 2001

10. Ali Z. Nutrisi parenteral pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Dalam Nefrologi Klinik,

Tatalaksana Gagal ginjal Kronik, 2003. Palembang: perhimpunan nefrologi Indonesia, 2003:

39-34.

11. National institutes for health and clinical excellences guidelines 73.Early identification

and management of chronic kidney disease in adult in primary and secondary care.Develop

by the national collaborating centre for chronic condition. 2008,September.