fr tb paru.docx
TRANSCRIPT
D. Faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit TBC
Untuk terpapar penyakit TBC pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti :
1. Faktor Sosial Ekonomi
Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan
perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat bekerja yang buruk dapat
memudahkan penularan TBC. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan
penularan TBC, karenapendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup
layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan (Roebiono.PS, 2009)
WHO (2003) menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang
kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin dan menurut Enarson TB merupakan
penyakit terbanyak yang menyerang negara dengan penduduk berpenghasilan
rendah. Sosial ekonomi yang rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan hunian
yang tinggi dan buruknya lingkungan; selain itu masalah kurang gizi dan
rendahnya kemampuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak juga
menjadi problem bagi golongan sosial ekonomi rendah (Enarson DA, 1999)
Dengan garis kemiskinan yang pada dasarnya ditentukan untuk memenuhi
kebutuhan pangan utama, maka rumah tangga yang tergolong miskin tidak akan
mempunyai daya beli yang dapat digunakan untuk menjamin ketahanan pangan
keluarganya. Pada saat ketahanan pangan mengalami ancaman (misal pada saat
tingkat pendapatan mendekati suatu titik dimana rumah tangga tidak mampu
membeli kebutuhan pangan) maka status gizi dari kelompok rawan pangan akan
terganggu (Tabar SS, 2000)
14 Kriteria Rumah Tangga Miskin Versi BPS ( Bistok Saing ) 2008
1. Luas lantai bangunan kurang dari 8 m persegi per orang.
2. Lantai rumah dari tanah, bambu, kayu murahan.
3. Dinding rumah dari bambu, rumbia, kayu kualitas rendah, tembok
tanpaplester.
4. Tidak memiliki fasilitas jamban atau menggunakan jamban bersama.
5. Rumah tidak dialiri listrik.
6. Sumber air minum dari sumur atau mata air tak terlindungi, sungai, air hujan.
7. Bahan baker memasak dari kayu bakar, arang, minyak tanah.
8. Hanya mengonsumsi daging, ayam dan susu sekali seminggu.
9. Hanya sanggup membeli baju sekali setahun.
10. Hanya sanggup makan dua kali sehari atau sekali sehari.
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas.
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga petani dengan luas lahan 0,5
hektar,buruh tani, nelayan, buruh bangunan dengan penghasilan < Rp.600
ribu per bulan.
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga tidak sekolah, tdk tamat SD/hanya
SD.
14. Tidak punya tabungan atau barang dengan nilai jual dibawah Rp500 ribu
seperti ternak, motor dan lain-lain.
Interpretasi :
Kategori sangat miskin : skor 12 kriteria
Kategori miskin : skor 6 - 10 kriteria
Kategori mendekati miskin : skor 5 -6 kriteria
(Kepala Bidang Sosial dan Budaya Bappeda Kota Padang Rusdi Jamil)
Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi
lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan
dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi
makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi
buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga
memudahkan terkena infeksi TB Paru (Depkes RI, 2001)
Secara global telah diketahui bahwa penyakit TB paru banyak dijumpai
di negara berkembang atau negara miskin.Hal ini dikarenakan status ekonomi
yang rendah memiliki kontribusi yang besar terhadap kejadian penyakit TB
paru.Keadaan ini terjadi karena dengan status ekonomi yang miskin menurut
Mangtani (1995) dapat memicu rendahnya daya tahan tubuh seseorang akibat
asupan makanan bergizi yang kurang, tidak sanggup berobat dan membeli obat.
Selain itu, kemiskinan juga mengharuskan seseorang bekerja keras secara fisik
sehingga kemungkinan sembuh akan menurun.
Masalah kesehatan tidak tepat bila digunakan sebagai suatu
konsumsi.Kesehatan perlu dipandang sebagai suatu intervensi dalam upaya
mencapai kesejahteraan masyarakat dan sebagai hak asasi manusia.Kaitan antara
kemiskinan dengan kesakitan yaitu dipengaruhi oleh penyakit sehingga daya
tahan tubuh menurun, tidak menggunakan pelayanan kesehatan, dan sanitasi
lingkungan buruk.Hal tersebut dapat terjadi akibat kurangnya pendapatan dan
pendidikan, kurang terjangkaunya pelayanan kesehatan. Dengan terserangnya
penyakit, maka pendapatan akan berkurang, akan menyebabkan hilangnya
pekerjaan, bertambahnya biaya perawatan kesehatan, dan kerentanan terhadap
suat penyakit akan meningkat.
Kemiskinan pada dasarnya menyebabkan suatu ketidakmampuan dalam
memenuhi kebutuhan dasar, kerentanan, ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan
untuk menyalurkan aspirasi. Kategori kemiskinan berdasarkan penyebabnya yaitu
bersifat struktural disebabkan oleh kebijakan dibidang ekonomi, sosial dan
budaya, politik dapat menyebabkan ketidakberdayaan dalam masyakarat,
berdasarkan kultural berkaitan dengan adanya nilai-nilai proaktif, tingkat
pendidikan yang rendah dan kondisi kesehatan dan asupan gizi yang buruk,
sedangkan secara alamiah dapat dihubungkan dengan kondisi geografi.
Kriteria kemskinan berdasarkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) di Indonesia adalah bahwa keluarga miskin merupakan
keluarga yang tidak dapat memenuhi kebutuhan salah satu atau lebih dari enam
indikator penentu kemiskinan dengan alasan ekonomi dari tabel kriteria variabel
kemiskinan rumah tangga, yaitumerupakan kriteria variabel yang menjadi
indikator tingkat kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) yang
menggunakan pendekatan basic needs, kemiskinan dipandang sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun
non-makanan yang bersifat mendasar.
Batas kecukupan pangan dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan
untuk makanan yang memenuhi kebutuhan minimum energi 2.100 kalori
perkapita perhari.Batas kecakupan non-makan dihitung dari besarnya rupiah yang
dikeluarkan untuk non-makanan yang memenuhi kebutuhan minimum seperti
perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi.Selain itu kemiskinan
juga dapat berkaitan dengan kepadatan penduduk di daerah kumuh dan hal ini
dapat meningkatkan transmisi suatu penyakit (Ganguly, 2002).
Tabel Kriteria Variabel Kemiskinan Rumah Tangga
No Variabel Kemiskinan Kriteria Kemiskinan
1 Luas lantai bangunan tempat
tinggal
< 8 m2 per kapita
2 Jenis lantai bangunan tempat
tinggal
Tanah/bambu/kayu murahan
3 Jenis dinding bangunan tempat
tinggal
Bambu/rumbia/kayu berkualitas
rendah/tembok tanpa plester
4 Fasilitas tempat buang air besar Tidak punya atau bersama rumah
tangga lain
5 Sumber penerangan rumah Bukan listrik
6 Sumber air minum Sumur/mata air tidak
terlindungi/sungai/air hujan
7 Bahan bakar untuk memasak
sehari-hari
Kayu bakar/arang/minyak tanah
8 Konsumsi daging/ayam per Tidak pernah/satu minggu sekali
minggu
9 Pembelian pakaian baru setiap
anggota rumah tangga dalam
setahun
Tidak pernah membeli/satu setel
10 Frekuensi makan dalam sehari
untuk setiap anggota
rumahtangga
Satu kali/dua kali/ makan sehari
11 Kemampuan membayar untuk
berobat ke
Puskesmas/Poliklinik
Tidak mampu berobat
12 Lapangan pekerjaan kepala
rumah tangga
Petani dengan luas lahan <0,5 Ha,
buruh tani, nelayan, buruh
bangunan, buruh perkebunan, atau
pekerjaan lain dengan pendapata
rumah tangga < Rp. 600.000 per
bulan
13 Pendidikan kepala rumah
tangga
Tidak sekolah/tidak tamat SD/tamat
SD
14 Pemilihan asset/harta
bergerak/harta tidak bergerak
Tidak mempunyai tabungan/barang
yang mudah dijual dengan nilai >
Rp. 500.000,- seperti sepeda motor,
emas perhiasan, ternak,
perahu/kapal motor/atau barang
modal lainnya
Faktor Individu
1. Status Gizi.
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan
lain- lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh sesoeranga sehingga rentan
terhadap penyakit termasuk TB Paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang
berpengaruh dinegara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak
(Roebiono.PS, 2009)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang
mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan
orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan
berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik
terhadap penyakit ( Depkes RI, 2001 )
Status gizi sangat menentukan seseorang dapat menjadi mudah sakit.Jika
seseorang kekurangan kalori, protein, dan zat besi maka penyakit TBC paru lebih
mudah terjadi.Oleh karenanya dengan status gizi yang baik maka kondisi
kesehatan dapat dipertahankan sedangkan keadaan kekurangan gizi (malnutrisi)
dapat memberikan kontribusi yang benar terhadap kejadian penyakit infeksi
(Weber, 2001; Cegielski, 2004). Menurut Yunus (1992) status gizi juga dapat
mempengaruhi pembentukan antibodi dalam tubuh dengan status gizi yang kurang
maka pembentukan antibodi akan terhambat, sehingga kemampuan untuk
terhindar dari penyakit juga akan berkurang.
menurut beberapa penelitian yang dilakukan mengenai status tuberkulosis
dengan TBC paru dihasilkan bahwa incident terjadinya penyakit TBC paru pada
vegetarian tiga kali lebih besar dibandingkan degan yang tidak penelitian ini
dilakukan di India oleh Chanarin dan Stefenson. Sedangkan penelitian yang
dilakukan di China dan Inggris adalah bahwa penderita TBC memiliki
kecendrungan memiliki kandungan zinc dan copper yang lebih rendah
dibandingkan bukan penderita. Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui
bahwa status gizi dan asupan makan sangat mempengaruhi kejadian penyakit
TBC. Selain ini pola hidup suatu masyarakat akan kebiasaan mengkonsumsi
makanan juga menjadi pengaruh yang besar dalam memicu timbulnya penyakit
TBC (Silviana, 2006).
Kekurangan gizi dapat menimbulkan dampak egatif yang timbul pada paru-
paru adalah lemahnya dan atrofi otot pernapasan, kapasitas vital dan tidal volume
akan menurun, dan cara kerja mukosilier menjadi tidak optimal. Perubahan yang
terjadi pada sistem imun merupakan hal terpenting dari rendahnya status gizi,
jumlah limfosit total menurun disebabkan berkurangnya sirkulasi sel T, fungsi sel
T akan menurun, fungsi imunologi lain juga akan berpengaruh misalnya aktivitas
komplemen, fungsigranulosit, serta pertahanan terhadap terjadinya infeksi, hal ini
yang dapat mempermudah terjadinya penularan penyakit infeksi termasuk TBC
(Baron, 2000; Moura, 2004).
2. Umur.
Penyakit TB-Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usaia
produktif (15 – 50) tahun. Dewasa ini dengan terjaidnya transisi demografi
menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut
lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan
terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB Paru (Roebiono.PS, 2009)
Beberapa faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika yaitu
umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS.Dari hasil
penelitian yang dilaksanakan di New York pada Panti penampungan orang-orang
gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis
aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi
tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia
diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50
tahun( Depkes RI, 2001 )
Beberapa penyakit tertentu dapat menyerang usia muda atau usia tua
yang lebih rentan atau kurang kebal terhadap penyakit menular, hal ini disebabkan
kedua kelompok umur tersebut daya tahan tubuhnya rendah. Di Eropa dan
Amerika Utara saat tuberkulosis ditemukan, insiden tertinggi terdapat pada usia
dewasa muda (Crofton, 2002).
Hasil penelitian Gustafon, P et all (2004) (dikutip dalam Desmon, 2006)
membuktikan bahwa ada efek dosis respon yaitu semakin tua umur akan
meningkatkan risiko untuk menderita penyakit tuberkulosis dengan OR pada usia
25-34 tahun adalah 1,36 (95% Cl 0,91-2,04) dan pada kelompok umur lebih dari
55 tahun OR sebesar 4,08 (95% Cl 2,664-6,31). Artinya bahwa hasil penelitian
gustafon menunjukkan usia diatas 55 tahun berisiko 4,08 kali menderita penyakit
tuberkulosis daripada umur kurang dari 55 tahun.
Umur dianggap suatu faktor yang penentu yang dapat menyebabkan suatu
penyakit.Hal tersebut terjadi dikarenakan oleh pemaparan suatu penyakit biasanya
berkaitan erat dengan umur, selain itu, faktor imunitas (daya tahan tubuh)
ditentukan pula oleh umur.Infeksi yang sering disebabkan oleh virus, sering
ditemukan pada anak-anak, sedangkan apada orang dewasa, biasanya daya tahan
tuuhnya lebih kuat dan lebih sedikit dapat terpapar oleh kuman penyebab
penyakit.
Di negara berkembang kejadian TB paru lebih banyak terjadi pada usia
produktif dan 75% kematian akibat TB paru terjadi pada golongan umur ini.
Laporan Subdit TB Depkes RI tahun 2010, menyebutkan bahwa golongan umur
penderita TB paru di Indonesia terbanyak berusia antara 15-54 tahun dengan
keadaan status sosio-ekonomi yang rendah. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS)
Indonesia, dengan membaiknya keadaan sosial ekonomi serta meningkatnya taraf
hidup masyarakat maka jumlah penduduk usia lanjut akan semakin meningkat.
Hal ini dapat berarti bahwa penyakit infeksi yang menyerang pada usia tua
pun akan semakin meningkat jumlahnya, termasuk TB paru. Seperti halnya
negara maju seperti Amerika Serikat, kejadian penyakit TB paru lebih banyak
terjadi pada usia di atas 65 tahun (Hanson, 2001) walaupun kejadian penyakit
mulai meningkat pada usia 25 tahun.
Hal tersebut didukung oleh penelitian John M. Adam dari Brickner di New
York di ketahui bahwa penyakit TB banyak menginfeksi kaum gelandangan yang
mengenai usia muda, dan diperkirakan 75% penderita TB paru adalah kelompok
usia produktif, yaitu umur 15-44 tahun (KNCV, 2005).
3. Jenis Kelamin.
Penyakit TB Paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki
dibandingkan perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada
sekitar 1 juta perempuanyang meninggal akibat TB Paru, dapat disimpulkan
bahwa pada kaum lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh TB Paru
dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin
laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol
sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah
terpapar dengan agen penyebab TBParu (Roebiono.PS, 2009)
Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada
tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan
jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 %
pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung
meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun
0,7%. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita
karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga
memudahkan terjangkitnya TB paru.(Depkes RI, 2001 )
Terjadinya suatu penyakit menular sebagian besar hanya terjadi pada
salah satu jenis kelamin saja.Dimana penyakit yang berhubungan dengan
pemaparan yang terjadi di luar rumah lebih banyak didapatkan pada laki-laki,
namun penyakit infeksi yang berhubungan dengan pelvis di dapat lebih banyak
pada perempuan.
Seperti halnya penyakit TB paru lebih banyak ditemukan pada laki-laki
(Weber, 2001) dan selalu tinggi pada seluruh tingkatan umur. Kejadian TB paru
apada perempuan akan menurun secara cepat pada usia subur (Crofton, 1999).
Berbeda dengan teori sebelumnya, di Indonesia kejadian TB paru banyak
ditemukan pada perempuan dan biasanya terjadi pada usia subur (Mangunnegoro,
2001).
Berdasarkan tingkat interaksi sosial berbeda menurut jenis kelamin pada
sejumlah besar perbedaan sosial. Seperti di beberapa negara status interaksi sosial
natara laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama pada aktivitas.
Sementara di negara lainnya, perempuan banyak diketahui memiliki tingkat
interaksi yang rendah, banyak perempuanwaktu tinggal di rumah lebih banyak
dibandingkan dengan laki-laki.
Menurut penelitian Gustafon (2004) membuktikan bahwa laki-laki
mempunyai risiko 2,58 kali menderita tuberkulosis dibadingkan dengan wanita.
Hal tersebut juga didukung oleh laporan dari WHO tahun 1998 yang menjelaskan
di Afrika penyakit TB banyak menyerang jenis kelamin laki-laki yang jumlah
penderita TB paru hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah TB paru pada
wanita yaitu sebesar 42,34% pada laki-laki dan 28,92% pada wanita. Dari tahun
1985 sampai tahun 1997 diketahui penderita TB paru berjenis kelamin laki-laki
dilaporkan meningkat sebanyak 387 penderita (2,5%), sedangkan penderita pada
jenis kelamin perempuan menurun 52 kasus atau sebesar 0,7% (Bloch, 1989).
4. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan
seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan
pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka
seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat.
Selain itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis
pekerjaannya(Depkes RI, 2001)
Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi gaya hidup seseorang. Dimana
pendidikan yang kurang akan dapat mengakibatkan seseorang tidak dapat
meningkatkan tarif hidupnya, dimana dengan taraf hidup yang baik maka
pemenuhan akan kebutuhan pokok dapat dipenuhi dengan baik. Dengan
terpenuhnya kebutuhan pokok khususnya asupan gizi yang baik maka kejadian
penyakit tuberkulosis dapat ditanggulangi, seiring dengan meningkatnya daya
tahan tubuh. Menurut Rasmin (1992), taraf hidup bagi seseorang penting sekali
untuk menjaga agara terhindardari infeksi termasuk infeksi TB.
5. Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap
individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu
di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran
pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas,
terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.
Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan
keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara
konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi
terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang
mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan
kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga
sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk
terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah
dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki
tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya
penularan penyakit TB Paru(Depkes RI, 2001)
Hal menarik yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan penyakit TB
adalah masalah pekerjaan. Jenis pekerjaan tertentu yang dilakukan seseorang akan
mempengaruhi angka kejadian TB. Menurut Boris (2004) di negara berkembang
banyak dijumpai penderita TB meningkat pada orang yang memiliki jenis
pekerjaan yang dilakukan di lingkungan tidak sehat. Di lingkungan pekerjaan
dimana terjadi indoor air pollution seperti akibat rokok maupun pencemaran
bahan kimia yang lain akan meningkatkan kejadian TB.
Jika dihubungkan antara kejadian penyakit TB dengan penduduk yang
memiliki pekerjaan atau tidak, pada negara berkembang yang identik dengan
kemiskinan, pekerjaan susah didapat, angka kejadian TB cenderung meningkat
(Coker, 2005). Menurut Ridwan (1983) masyarakat yang tidak sanggup
meningkatkan daya tahan tubuh dengan intake makanan yang kurang maupun gizi
makanan yang tidak mencukupi.
6. Kebiasaan Merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko
untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik
dan kanker kandung kemih.Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk
terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia
per orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan 430
batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan 760
batang/orang/tahun di Pakistan (Achmadi, 2005). Prevalensi merokok pada
hampir semua Negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa,
sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok
akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru( Depkes RI, 2001 )
Faktor risiko lain yang dapat memicu kejadian TBC paru yaitu perilaku
merokok. Merokok merupakan perilaku yang sangat membahayakan kesehatan
masyarakat. Menurut Aditama (1997) kematian yang disebabkan oleh merokok
yaitu sebesar 2,5 juta orang setiap tahunnya yang dapat diartikan bahwa setiap 13
detik terjadi kematian. Kebiasaan merokok terbukti dapat memiliki hubungan
yang banyak terhadap kejadian suatu penyakit, diantaranya yaitu penyakit kanker
paru, bronchitis kronis, emfisema, penyakit kardiovaskular, penyakit TBC paru
dan lain sebagainya (Subramanian, 2005; Lam, 2005)
Beberapa fakta dapat terungkap dari berbagai penelitian yang dilakukan,
salah satunya bahwa seseorang yang memiliki risiko mengidap penyakit TBC
paru bila dihubungkan dengan banyaknya jumlah rokok yang dihisap perhari dan
lamanya merokok. Penelitian ini dilakukan oleh (Kolappan, 2002) menyebutkan
bahwa seseorang yang merokok kurang dari 10 tahun maka risiko mendapatkan
peyakit TBC paru meningkat sebanyak 1,72 kali bila sudah merokok selama 20
tahun maka risiko akan meningkat sebanyak 3,23 kali
7. Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan
penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara
pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan
akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya ( Depkes
RI, 2001 ) .
Faktor Lingkungan Rumah
1. Kondisi Rumah
Tempat tinggal merupakan kebutuhan pokok bagi setiap masyarakat,
samapentingnya, meskipun berbeda fungsinya, dengan dua unsur kebutuhan dasar
lainnya,yaitu pakaian (sandang) dan makanan (pangan). Dari kondisi lingkungan
tempat tinggaldapat terlihat tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dan
kondisi lingkunganyang sehat. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai
tempat tinggal atau huniandan sarana pembinaan keluarga; sedangkan perumahan
adalah kelompok rumah yangberfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dilengkapi dengansarana prasarana lingkungan (Menteri
Kesehatan RI, 1999) (Badan Pusat Statistik Jawa Tengah, 2000) (Badan Pusat
StatistikJawa Tengah, 2002)
Rumah dikatakan baik dan aman, jika kualitas bangunan dan lingkungan
dibuat denganserasi. Adapun rumah yang sehat adalah : (Menteri Kesehatan RI ,
1999) (Azwar, 1999)
a. Bahan bangunannya memenuhi syarat
Lantai tidak berdebu pada musim kernarau dan tidak basah pada musim
hujan.lantai yang basah dar berdebu merupakan sarang penyakit,
Dinding tembok adalah baik, namun bila di daerah tropis dan ventilasi
kurang akan lebih baik dari papan,
Atap genting cocok untuk daerah tropis, sedang atap seng atau asbes tidak
cocok untuk rumah pedesaan karena disamping mahal juga menimbulkan
suhu panas di dalam rumah.
b.Ventilasi cukup, yaitu minimal luas jendela/ ventilasi adalah 15% dari luas
lantai, karena ventilasi mempunyai fungsi :
Menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga
keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya 02 di dalam rumah
yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi
meningkat.
Menjaga agar udara di ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban
(humidity ) yang optimum. Kelembaban yang optimal ( sehat ) adalah
sekitar 40 – 70% kelembaban yang lebih Dari 70% akan berpengaruh
terhadap kesehatan penghuni rumah. Kelembaban udara di dalam ruangan
naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.
Kelembaban Ills akan merupakan media yang baik untuk bakteri - bakteri
patogen ( penyebab penyakit ).
Membebaskan udara ruangan dari bakteri - bakteri, terutama bakteri
patogen,karena disitu selalu terjadi aliran udara yang tents menerus.
Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir.
Lingkungan perokok akan menyebabkan udara mengandung nitrogen
oksida sehingga menurunkan kekebalan pada tubuh terutama pada saluran
napas karena berkembang menjadi makrofag yang dapat menyebab
infeksi.
c. Cahaya matahari cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dimana cahaya
matahari ini dapat diperoleh dari ventilasi maupun jendela/genting kaca.
Suhu udara yang ideal dalam rumah antara 18 - 30°C. Suhu optimal
pertumbuhan bakteri sangat bervariasi, Mycobacterium tuberculosis tumbuh
optimal pada suhu 37°C. Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat
membunuh Mycobacterium tuberculosis . Bakteri tahan hidup pada tempat
gelap, sehingga perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang
gelap.
d.Luas bangunan rumah cukup, yaitu luas lantai bangunan rumah harus cukup
sesuai dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding
dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan berjubel ( over crowded ).
Rumah yang terlalu padat penghuninya tidak sehat, sebab disamping
menyebabkan kurangnya konsumsi 02 juga bila salah satu anggota keluarga
ada yang terkena infeksi akan mudah menular kepada anggota keluarga
yang lain. Kepadatan hunian ditentukan dengan jumlah kamar tidur dibagi
dengan jumlah penghuni ( sleeping density ), dinyatakan dengan nilai : baik,
bila kepadatan lebih atau sama dengan 0,7 cukup, bila kepadatan antara 0,5
- 0,7 dan kurang bila kepadatan kurang dari 0,5 (Azwar, 1999)
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit
TBC. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan
kuman.Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan
penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi
berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium tuberculosis.(Depkes RI, 2001)
2. Kepadatan Hunian
Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit.
Semakin padat maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular
melalui udara akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota
keluarga yang menderita TB dengan BTA (+). Kuman TB cukup resisten
terhadap antiseptik tetapi dengan cepat akan menjadi inaktif oleh cahaya
matahari, sinar ultraviolet yang dapat merusak atau melemahkan fungsi vital
organisme dan kemudian mematikan. Kepadatan hunian ditempat tinggal
penderita TB paru anak paling banyak adalah tingkat kepadatan rendah. Suhu
didalam ruangan erat kaitannya dengan kepadatan hunian dan ventilasi rumah
(Starke JR, 2003)
Kepadatan penghuni yang ditetapkan oleh Depkes (2000), yaitu rasio
luas lantai seluruh ruangan dibagi jumlah penghuni minimal 10 m2/orang. Luas
kamar tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih 2 orang tidur
dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun.
Kondisi kepadatan hunian perumahan atau tempat tinggal lainnya
seperti penginapan, panti-panti tempat penampungan akan besar pengaruhnya
terhadap risiko penularan. Di daerah perkotaan (urban) yang lebih padat
penduduknya dibandingkan di pedesaan (rural), peluang terjadinya kontak
dengan penderita TB lebih besar. Sebaliknya di daerah rural akan lebih kecil
kemungkinannya. Dapat disimpulkan bahwa orang yang rentan (susceptible )
akan terpapar dengan penderita TB menular lebih tinggi pada wilayah yang
pada penduduknya walaupun insiden sama antara yang penduduk padat dan
penduduk tidak padat (Karyadi E, 2006)
Beberapa faktor sosialekonomi diperkirakan mempengaruhi tingkat
kesakitan maupun kematianakibat penyakit tuberkulosis termasuk faktor
kepadatan penduduk.Besarnya prosentase penduduk yang berdiam di kota akan
mempengaruhibukan saja kepadatan namun juga hubungan antara seseorang
denganorang lainnya. Keadaan perumahan memberikan dampak langsung
kepadakesehatan lingkungan dan termasuk didalamnya jumlah orang dalam
saturumah.Lingkungan tempat tinggal diyakini beberapa peneliti sebagaifaktor
risiko. Dalam program penyehatan lingkungan pemukiman, telahditetapkan
syarat-syarat kesehatan untuk rumah tinggal antara lain :
o Luas ruangan rumah dibanding penghuni tidak kurang dari
9m2/jiwa
o Lantai dan dinding kamar tidur kering (tidak lembab)
o Pencahayaan memanfaatkan sinar matahari sebanyak mungkin
untuk penerangan dalam rumah pada siang hari
(Proyono Tjiptoheryanto, 1983)
Pengukuran kepadatan penghuni rumah dilakukan dengan menghitungluas
lantai bangunan dengan menggunakan alat ukur meteran standar) kemudian
dibagi dengan jumlah penghuninya yaitu 9 m2 perorang (Depkes,2006).
Kriteria objektif :
Padat : bila luas bangunan< 9m2perorang
Tidak padat : bila luas bangunan ≥ 9 m2 perorang
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di
dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan
dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload.Hal ini tidak
sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila
salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular
kepada anggota keluarga yang lain.
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan
dalam m2/orang.Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari
kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia.Untuk rumah sederhana luasnya
minimum 10 m2/orang.Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3
m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi
tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur
sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak
di bawah 2 tahun. Untuk menjamin volume udara yang cukup, di syaratkan
juga langit-langit minimum tingginya 2,75 m. ( Depkes RI, 2001 )
Berkembangnya industry-industri di suatu daerah akan menyebabkan
terjadinya urbanisasi penduduk, sehingga penduduk yang berada di daerah
industry tersebut akan semakin padat. Hal ini aka mengakibatkan keadaan
perumahan yang padat dan kondisi rumah yang tidak memadai. Kondisi yang
demikian yang akan mempengaruhi kesehatan penghuni rumah di daerah
tersebut. Cepat lambatnya penyakit menular ditentukan oleh
kepadatan.Kepadatan merupakan pre-requiste untuk penularan penyakit.
Semakin padat, maka perpindahan penyakit khususnya penyakit melalui udara
akan semakin mudah dan cepat. Oleh karena itu, kepadatan dalam rumah
tempat tinggal merupakan variable yang berperan dalam kejadian TB paru
(Keputusan Menteri Kesehatan, 1999)
Rumah dikatakan padat penghuninya apabila perbandingan luas lantai
seluruh ruangan rumah dengan jumlah penghuni kurang dari 10 m2/orang.
Penelitian di Ciampea, Bogor yang dilakukan oleh Supriyono (2003) bahwa
risiko untuk mendapatkan TB paru 1,3 kali lebih tinggi pada penduduk yang
tinggal di rumah yang tidak memenuhi persayaratan kesehatan.
Keadaan tempat tinggal diperkirakan dapat memberikan kontribusi
langsung terhadap status kesehatan seseorang.Dimana kepadatan hunian
merupakan salah satu bagian dari lingkungan perumahan yang paling
menentukan.Kepadatan hunian ditentukan oleh banyaknya jumlah hunian atau
jumlah orang dalam ruangan dibandingkan dengan luas lantai ruangan tersebut.
Semakin banyak jumlah penghuni dalam ruangan, maka akan semakin padat
hunian yang ditempati. Hal tersebut juga dapat mempengaruhi kualitas udara
dalam ruangan juga akan semakin cepat tercemar, termasuk tercemar oleh
Mycobacterium tuberculosis yang dikeluarkan oleh penderita TBC melalui
percikan dahak.
Dari hasil penelitian Dahlan (2001), dinyatakan bahwa orang yang
tinggal dengan tingkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat
mempunyai risiko 3,8 kali lebih besar untuk terjadi penyakit TBC paru
dibandingkan dengan yang tinggal dengan kepadatan hunian yang memenuhi
syarat. Luas lantai ruangan sebagai indikator adalah 1 orang membutuhkan luas
lantai minimal 10 m2 (Depkes R.I, 1000)
Keadaan perumahan memberikan dampak langsung kepada kualitas
lingkungan terutama kualitas kesehatan yang dapat mempengaruhi kualitas
hidup orang yang tinggal didalamnya. Berdasarkan penelitian Adam (Hermain,
2001) bahwa orang yang tinggal lebih dari 24 bulan mempunyai risiko2,4 kali
menderita penyakit TBC paru aktif dibandingkan dengan orang yang tinggal
kurang dari 24 bulan. Hal tersebut dapat menjadi suatu indikator bahwa lama
tinggal seseorang dalam lingkungan yang kumuh dapat mempengaruhi
terjadinya penyakit TBC paru.
Menurut Soesanto (2000) suatu rumah dikatakan dapat memenuhi
syarat kesehatan bila suatu rumah tersebut memenuhi syarat kesehatan.Terdapat
empat hal yang dapat mempengaruhi yaitu rumah yang ditempati dapat
memenuhi kebutuhan fisiologis, meliputi pencahayaan, ventilasi, dan ruang
gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu tidur.rumah
dapat memenuhi kebutuhan psikologis seperti privacy yang cukup, komunikasi
yang sehat antar anggota keluarga penghuni rumah. Rumah juga dapat
memenuhi persyaratan pencegahan penyakit menular antar keluarga penghuni
rumah, meliputi penyediaan air minum, pengelolaan tinja, dan limbah rumah
tangga, bebas vector penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang berlebihan,
cukup sinar matahari pagi, terlindungnya makanan dan minuman dari
percemaran disamping pencahayaan dan penghawaan yang cukup. Rumah yang
dapat memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul
karena keadaan di luar maupub di dalam rumah, seperti persyaratan kontruksi
yang tidak mudah bocor dan roboh, yang tidak mudah terbakar, yang tidak
cenderung membuat penghuninya jatuh dan tergelincir.
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
829/MENKES/SK/VII/1999 menjelaskan tentang persyaratan kesehatan
perumahan yang dapat dikatakan memenuhi syarat kesehatan. Rumah tinggal
yang dapat dikelompokkan sebagai rumah yang memenuhi syarat apabila rumah
tinggal tersebut menggunakan bahan bangunan yang tidak terbuat dari bahan
yang dapat melepas zat-zat yang dapat membahayakan kesehatan seperti debu
total tidak melebihi dari 150 µm.
Kusnoputranto (2000) menjelaskan bahwa rumah sehat harus dapat
memenuhi kebutuhan fisiologis seperti ventilasi yang baik dengan ukuran 10-20%
dari luas lantai, pencahayaan minimal cshaya matahari masuk 60 lux yang tidak
menyilaukan dan mampu membunuh kuman patogen yang dapat menyebabkan
penyakit, kepadatan tempat hunian dianjurkan minimal luas lantai kamar tidur
tidak kurang dari 8 m2 dan dianjurka tideak lebih dari dua orang tidur, rumah juga
harus bebas dari tingkat kebisingan maksimal untuk perumahan yang ideal
sebesar 40-55 dB. Bahan bangunan yang dianjurkan sebaiknya tidak terbuat dari
bahan yang dapat membahayakan kesehatan seperti asbes dan ju7ga tidak terbuat
dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme
patogen.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dahlan (2001) menyimpulkan
bahwa orang yang tinggal dengan tingkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi
syarat kesehatan mempunyai risiko 3,8 kali untuk menderita TBC dibandingkan
dengan orang yang tinggal dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat
kesehatan.
3. Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas
jendela kaca minimum 20% luas lantai.Jika peletakan jendela kurang baik atau
kurang leluasa maka dapat dipasang genteng kaca.Cahaya ini sangat penting
karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya
basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya
yang cukup.
Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau
kurang lebih 60 lux., kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang lebih
redup.
Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi
lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya..Cahaya yang sama
apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman
dalam waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama Penularan
kuman TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari
dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka resiko penularan
antar penghuni akan sangat berkurang. ( Depkes RI, 2001 )
Intensitas cahaya alami yaitu sinar matahari sangat ditentukan oleh
letak dan lebar jendela.Untuk memperoleh sinar matahari pada waktu pagi hari
yang optimal sebaiknya jendela ruangan atau kamar tidur menghadap ke timur
atau luas jendela minimal sebesar 10-20 % dari luas lantai.Kebutuhan standar
cahaya alami dan buatan, baik langsung maupun tidak langsung ke seluruh
ruangan rumah meurut Keputusa Menteri Kesehatan No.
829/MenKes/SK/VII/1999 adalah 60-120 lux.
Penularan basil tuberkulsosis relative tidak tahan terhadap sinar
matahari. Oleh karena itu bila dalam ruangan siar matahari dapat langsung
masuk ke dalam ruangan serta sirkulasi udara diatur, maka risiko penularan
diantara penghuni rumah akan sangat berkurang. Kusnindar (1993)
menyatakan bahwa pengaruh intensitas cahaya berkaitan degan matinya basil
Tuberkulosis oleh sinar matahari terutama sinar ultraviolet.Dan besarnya
pencahayaan rumah mempunyai hubungan yang bermakna dengan BTA positif
(Sukana, 2000).
Pencahayaan dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu pencahayaan alami
yang bersumber dari sinar matahari dan pencahayaan buatan yang merupakan
rekayasa buatan manusia. Menurut Depkes (1999) pencahayaan ruangan
sebaiknya minimal 60 lux dan tidak menyilaukan matan. Cahaya yang terlalu
banyak akan menyilaukan mata sedangkan jumlah cahaya yang terlalu sedikit
akan mengakibatkan mudahnya kuman hidup dan berkembang biak. Karena
dengan oencahayaan yang kuran kondisi lingkungan akan lembab.
Penelitian di Harvard menyebutkan bahwa sinar ultraviolet (UV) dapat
membunuh kuman TB paru, penelitian ini kemudian dibuktikan pada individu
yang tinggal di tempat penampungan diberikan lampu sinar UV serta individu
yang tinggal di rumah diberikan lampu tanpa sinar UV. Hasilnya membuktikan
bahwa individu yang tinggal di rumah tanpa sinar UV lebih banyak terinfeksi
kuman TB paru, walaupun infeksinya tidak semua bermanifestasi pada
kejadian penyakit TB paru (Rosche, 2002).
4. Ventilasi
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk
menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap
terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam
rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban
udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari
kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya
kuman TB.
Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan
dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi
aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu
mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur
selalu tetap di dalam kelembaban (humiditiy) yang optimum.
Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi
sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal 5% dari
luas lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai.
Udara segar juga diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara
dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar 22° – 30°C dari kelembaban
udara optimum kurang lebih 60%. (Depkes RI, 2001 )
Ventilasi mempengaruhi proses difusi udara, dengan kata lain
mengencerkan konsentrasi kuman TB paru dengan kuman lain sehingga
kuman-kuman tersebut dapat terbawa keluar dan mati terkena siar matahari dan
siar ultraviolet. Ventilasi merupakan tempat untuk memasukkan cahaya
ultraviolet. Hal ini akan semakin baik apabila konstruksi rumah menggunakan
bahan seperti kaca, hal ini merupakan kombinasi yang baik. Menurut
Keputusan Menteri Kesehatan No. 829/MenKes/SK/VII/1999 bahwa ventilasi
yang baik adalah 10 % dari lantai rumah. Adrial (2006) yang menyebutkan
bahawa kelompok yang mempunyai rumah dengan luas ventilasi kurang dari
10 % luas lantai dapat berisiko 4,55 kali untuk terjadi TB paru dengan BTA
positif (+) dibandingkan dengan kelompok yang mempunyai rumah dengan
ventilasi lebih dari 10 % dari luas lantai rumah.
Kualitas udara di dalah rumah berkaitan dengan ventilasi dan kegiatan
penghuninya.Bertambahnya jumlah penduduk dalam pemukiman dalam
perkotaan, menyebabkan kepadatan bangunan dan sulit untuk membuat
ventilasi. Perjalanan kuman TB paru setelah dibatukkan aka terhirup oleh
orang sekitarnya sampai ke paru-paru, sehingga dengan adanya ventilasi yang
baik akan menjamin pertukaran udara dan konsentrasi droplet dapat dikurangi.
Konsentrasi droplet pervolume udara dan lamanya waktu menghirup udara
tersebut memungkinkan seseorang akan terinfeksi kuman TB paru. (Depkes
2002)
5. Kelembaban
Kelembaban udara menunjukkan kadar uap air yang di udara.
Pertumbuhan bakteri sangat dipengaruhi oleh adanya air atau uap air, karena
kelembaban merupakan hal yang pasti dibutuhkan untuk pertumbuhan semua
mikroorganisme khususnya bakteri.Kontaminasi bakteri di udara suatu ruangan
dapat terjadi akibat adanya debu atau partikel di udara yang mengandung uap
air yang melayang dan mengandung bakteri. Kelembaban udara pada setiap
ruangan harus diupayakan memenuhi syarat sesuai dengan Keputusan Menteri
Kesehatan No. 829/Menkes/SK/VII/1999 yaitu berkisar 40%-70% kelembaban
yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan menjadi tempat
perkembangbiakan mikroorganisme, termasuk kuman TB sehingga
viabilitasnya lebih lama. Berdasarkan penelitian Karminingsih (2002)
menyebutkan bahwa rumah dengan kelembaban lebih besar 60% beresiko
terkena TB 2,76 kali dibanding rumah dengan kelembaban lebih kecil atau
sama dengan 60%.
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan,
dimana kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22°
– 30°C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung,
tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan
lembab (Depkes RI, 2001)
6. Lantai Rumah
Secara hipotesis, jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses
kejadian Tb paru melalui kelembaban ruangan. Lantai tanah cenderung
menimbulkan kelembaban ruangan.Lantai rumah cenderung menimbulkan
kelembaban, dengan demikia viabilitas kuman TB paru di lingkungan juga
dipengaruhi dengan keadaan lantai.
7. Penggunaan Obat Nyamuk
Penggunaan obat nyamuk perlu diperhatikan lebih lanjut, bahan
pembakaran obat nyamuk terbuat dari bahan kimia dan jika menggunakan
obat nyamuk nakar maka risiko terjadinya penyakit juga semakin tinggi,
akibat adanya bahan kimia yang dikeluarkan dari hasil pembakaran obat
nyamuk tersebut. Bahan kimia yang dikeluarkan dapat terakumulasi baik di
lingkungan maupun di dalam tubuh manusia yang terpajan oleh polutan
yang dihasilkan oleh obat nyamuk bakar.
Nursanti (2002) menjelaskan bahwa penggunaan obat nyamuk bakar
dapat meningkatkan kejadia TB paru dibandingkan dengan yang tidak
menggunakan obat nyamuk bakar. Paparan yang berulang dapat
mengakibatkan peningkatan infeksi saluran pernafasa dan juga dapat
menimbulkan penyakit kanker (Chauhan, 1994 dalam Silviana, 2006)
Faktor Demografi
1. Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk ditentukan oleh jumlah dan distribusi penduduk di
suatu wilayah.Kepadatan penduduk selain menentukan cepat atau lambatnya
kejadian suatu penyaki dapat menular, banyak tidaknya penderita paabila terjadi
perubahan secara darurat seperti kejadian kasus luar biasa dan besar kecilnya
tempat pelayanan kesehatan.Tingkat kepadatan digunakan untuk membagi daerah
hunian menjadi daerah perkotaan dan pedesaan. Perbedaan keduanya yaitu sangat
jelas terlihat pada kepadatan penduduknya, ketersediaan airnya, leterseidaan
makanan, teknologi, gaya hidup, aktifitas sosial, stress dan kekebalan
terhadappenyakit dengan segala konsekuensinya (Soemirat, 2000).
Beberapa faktor sosial ekonomi yang dapat mempengaruhi tingkat kesakitan
maupun kematian akibat penyakit TBC diantaranya dipengaruhi oleh faktor
kepadatan penduduk.prosentase penduduk yang bertemoat tinggal di kota akan
mempengaruhi hubungan antara seseorang dengan orang lain.
Achmadi (1991) menjelaskan bahwa masalah kesehatan lingkungan
cenderung timbul pada daerah dengan kepadatan penduduk tinggi di suatu
wilayah, seperti wilayah perkotaan.pertumbuhan penduduk dalam suatu wilayah
dengan kecendrungan peningkatan penggunaan energi dan kegiatan dapat
memperburuk kondisi kesehatan lingkungan. Sedangkan Lomanta (1989)
mengungkapkan bahwa dalam ilmu epidemiologi diketahui bahwa daerah dengan
kepadatan penduduk yang tinggi lebih mudah menjadi korban wabah
dibandingkan dengan wilayah yang memiliki jumlah penduduk yang jarang
2. Iklim
Pengaruh iklim sangat besar terhadap perkembangan kehidupan agen di
lingkungan terutama bagi agen penyakit TB. Agen yang hidup juga dipengaruhi
oleh temperature, keberadaan cairan, dan zat lainnya yang terdapat di lingkungan
sekitar. Selain itu iklim juga dapat mempengaruhi host beserta perilakunya. Media
transmisi penyakit juga dipengaruhi oleh iklim.
Unsur-unsur iklim dapat beragam jumlahnya, beberapa diantaranya yaitu
presipitasi (hujan), temperature atau suhu, kelembaban, kecepatan angin, cahaya
matahari, dan beberapa fenomena lainnya speerti kabut, embun beku, hujan es
disertai angin rebut dan unsure-unsur lain cuaca. Iklim dapat mempengaruhi
ekosistem, habitat binatang penular penyakit, bahkan tumbuh kembangnya koloni
kuman secara alamiah. Dengan demikian secara langsung atau tidak langsung
dapat mempengaruhi terjadinya penyakit, seperti demam berdarah (Achmadi,
2005).
Perubahan alam dapat mempengaruhi kesehatan melalui dua cara yaitu scara
langsung akan mempengaruhi peningkatan insiden penyakit, kelainan jiwa,
cedera, dan kematian yang diakibatkan oleh peningkatan gelombang panas atau
banjir, badai, atau kejadian iklim yang ekstrim lainnya. Secara tidak langsung
merupakan hal yang penting pada periode yang lebih panjang dimana peningkatan
insiden penyakit dapat disebabkan oleh rawannya pangan dan air atau penduduk
yang terpaksa pindah atau mengungsi (Rachmat, 2001, Chandra, 2005).
Faktor yang mempengaruhi iklim di Indonesia menurut Sandy (1996)
terdapat empat indikator, yaitu suhu rata-rata tahunan tinggi sebagai akibat dari
letak yang dekat dengan katulistiwa, adanya hembusan angin musim yang
membawa musim hujan dan musim kemarau sebagai akibat dari perbedaan
tekanan udara di daerah Asia dan Australia, bebas dari hembusan angin taifun
karena kepualauan Indonesia sebagian besar terletak tidak lebih dari 10° Lintang
Utara dan 10° Lintang Selatan, kadar kelembaban udara senantiasa tinggi sebagai
akibat dari sifat kepulauan, yaitu luasnya lautan dan selat-selat serta suhu yang
tinggi, dapat mengakibatkan jumlah penguapan selalu tinggi. Pada musim
kemarau dan tempat lain dikenal paling kering kadar kelembaban udara selalu
tinggi. Pada musim kemarau dan tempat lain di kenal paling kering kadar
kelembaban udara diantaranya 70-80%, sehingga Indonesia dikenal memiliki
iklim tropis basah dan kadar kelembaban udara yang tinggi, sehingga
menyebabkan tidak adanya perbedaan yang ekstrim antara suhu yang minimum
dengan maksimum.
Menurut buku ilmu pengetahuan popular menjelaskan bahwa suhu dan
kelembaban udara merupakan salah satu yang mempengaruhi cuaca. Cuaca selalu
berpengaruh terhadapa kehidupan manusia. Cuaca dilapisan troposfer akan
semakin tinggi altitude dan akan menyebabkan suhu udara semakin menurun serta
semakin rendah juga kelembaban udaranya (Chandra, 2005).
Kelembaban udara yang standar apabila kelembaban mencapai 40-70%
dikatakan kelembaban tidak memenuhi standar bisa lebih dari 70% atau kurang
dari 40%. Kelembaban merupakan media yang baik untuk kelangsungan hidup
bakteri patogen termasuk kuman TB paru (Depkes, 1999). Diketahuinya bahwa
kuman TB paru ini akan mudah hidup pada kondisi lingkungan yang lembab dan
akan mudah mati pada kondisi lingkungan yang terkena sinar matahari langsung.
3. Ketinggian Wilayah
Ketinggian wilayah merupakan bagian dari kondisi geografi. Dimana
pengetahuan tentang kondisi geografi bermanfaat untuk melakukan perencanaan
kesehatan yang dapat memberikan penjelasan mengenai etiologi penyakit.
Perbandingan pola penyakit sering dilakukan antara batas-batas daerah
pemerintahan, kota dan desa, daerah atau tempat yang berdasarkan batas-batas
alam seperti pegunungan, sungai, laut, atau padang pasir.
Epidemiologi geografis mempelajari tentang distribusi penyakit atas dasar
tempat dan analisisinya dihubungkan dengan sifat agen dan lingkungan setempat,
cara transmisi, dan mekanisme reservoirnya. Berbagai penyakit didata atas dasar
lokasi dengan tujuan pengendalian dan pencegahan wabah (Soemirat, 2000).
Epidemiologi geografi dapat menjelaskan gambaran spasial insiden suatu
penyakit dan kematian. Studi ini merupakan bagian dari epidemiologi deskriptif
yang secara umum berhubungan dengan gambaran timbulnya penyakit yang
dihubungkan dengan karakteristik demografi (umur, jenis kelamin), selain itu juga
dihubungkan dengan tempat dan waktu (Chandra, 2005).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menyebutkan
bahwa perkiraan kejadian TB di daerah dataran tinggi di Peru, terbukti bahwa di
dataran tinggi (3.340 m dan 3.500 m dari permukaan laut) prevalensi kasus TB
pada penduduk di dataran tinggi lebih rendah (5,7% dan 6,8%) dibandingkan
dengan penduduk yangtinggal di dataran rendah (sea level) yaitu 25% dan 33%
dengan odds ratio= 4,5-5. Jadi dapat disimpulkan bahwa prevalensi kejadian TB
paru di dataran rendah 4,5 sampai 5 kali lebih besar dibandingkan dengan
prevalensi di dataran tinggi (Chandra, 2005).
Penelitian ini didukung oleh penelitian lainnya yang dilakukan di Kenya dan
Afrika Selatan yang menyebutkan prevalensi penyakit TB paru dua kali lebih
besar terjadi di dataran rendah dibandingkan dengan dataran tinggi. Penyebaran
penyakit TB didaerah dataran tinggi dapat dipengaruhi oleh berkurangnya
kemampuan bertahan hidup kuman penyebab TB dikarenakan kelembaban udara
di dataran tinggi yang lebih rendah dan daerah dataran tinggi terpapar lebih besar
sinar UV. Selain itu dipengaruhi oleh adanya kekebalan tubuh terhadap penyakit
TB yang mungkin disebabkan oleh kurangnya reaksi oksigen dalam tubuh atau
faktor genetik yang sudah menetap pada populasi yang tinggal di dataran tingg
(Chandra, 2005).
Faktor Penularan
1. Sumber Penularan
Seseorang dengan BTA positif, seringkali akan menularkan anggota
keluarganya sendiri khususnya anak-anak. Jelaslah keluarga merupakan
kontak yang dekat.Apalagi ditambah dengan keadaan rumah dengan luas
kamar tidur yang kurang dari 8 m2 yang memungkinkan anggota keluarga
tidur lebih dari 2 orang.Penelitian Chapman menemukan bahwa terjadinya
tuberkulosis pada anak-anak lebih kuat jika berada dalam satu rumah
dengan BTA positif (Nelson, 2001).
2. Serumah dengan Sumber Penular
Kontak serumah dengan penderita TBC merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya TBC.Semua kontak penderita TBC positif harusdiperiksa dahak.Kontak
erat seperti dalam keluarga dan pemaparan besar-besaran seperti pada petugas
kesehatan memungkinkan penularan lewatpercikan dahak.Faktor risiko tersebut
semakin besar bila kondisi lingkunganperumahan jelek seperti kepadatan
penghuni, ventilasi yang tidak memenuhi syarat dan kelembaban dalam rumah
merupakan media transisikuman TBC untuk dapat hidup dan menyebar. Untuk itu
penderita TBCdapat menularkan secara langsung terutama pada lingkungan
rumah,masyarakat di sekitarnya dan lingkungan tempat bekerja,
makinmeningkatnya waktu berhubungan dengan penderita memberikemungkinan
infeksi lebih besar pada kontak.Hal tersebut memberikan gambaran bahwa
pemaparan kuman TBCdapat dipengaruhi oleh faktor individu, keeratan kontak
dan faktor lingkungan rumah seseorang
3. Lama Kontak
Lama kontak adalah kurun waktu kontak tinggal bersama denganpenderita
secara terus-menerus sehingga pada proses ini melalui batuk atau bersin,
penderita TBC paru BTA (+) menyebarkan kuman ke udaradalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei).Sekali batuk dapatmenghasilkan sekitar
3000 percikan, Selain itu faktor yangmemungkinkan seseorang terpajan
kuman TBC paru ditentukan olehkonsentrasi percikan dalam udara dan
lamanya menghirup udara tersebutkarena risiko tertular tergantung dari
tingkat pajanan dengan percikandahak dimana pasien TBC paru dengan
BTA (+) memberikankemungkinan risiko penularan lebih besar dari
pasien TBC paru BTA (-)(Depkes, 2008).
Masa inkubasi kuman TBC mulai dari masuknya kuman sampaiterjadi
infeksi diperkirakan 6 bulan sampai dengan 2 tahun (Depkes,2002).