fr tb paru.docx

45
D. Faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit TBC Untuk terpapar penyakit TBC pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : 1. Faktor Sosial Ekonomi Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat bekerja yang buruk dapat memudahkan penularan TBC. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TBC, karenapendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup layak dengan memenuhi syarat- syarat kesehatan (Roebiono.PS, 2009) WHO (2003) menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin dan menurut Enarson TB merupakan penyakit terbanyak yang menyerang negara dengan penduduk berpenghasilan rendah. Sosial ekonomi yang rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan hunian yang tinggi dan buruknya lingkungan; selain itu masalah kurang gizi dan rendahnya kemampuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak juga menjadi problem bagi golongan sosial ekonomi rendah (Enarson DA, 1999) Dengan garis kemiskinan yang pada dasarnya ditentukan untuk memenuhi kebutuhan pangan utama, maka

Upload: sulastri

Post on 12-Aug-2015

73 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: FR TB PARU.docx

D. Faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit TBC

Untuk terpapar penyakit TBC pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa

faktor seperti :

1. Faktor Sosial Ekonomi

Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan

perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat bekerja yang buruk dapat

memudahkan penularan TBC. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan

penularan TBC, karenapendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup

layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan (Roebiono.PS, 2009)

WHO (2003) menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang

kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin dan menurut Enarson TB merupakan

penyakit terbanyak yang menyerang negara dengan penduduk berpenghasilan

rendah. Sosial ekonomi yang rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan hunian

yang tinggi dan buruknya lingkungan; selain itu masalah kurang gizi dan

rendahnya kemampuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak juga

menjadi problem bagi golongan sosial ekonomi rendah (Enarson DA, 1999)

Dengan garis kemiskinan yang pada dasarnya ditentukan untuk memenuhi

kebutuhan pangan utama, maka rumah tangga yang tergolong miskin tidak akan

mempunyai daya beli yang dapat digunakan untuk menjamin ketahanan pangan

keluarganya. Pada saat ketahanan pangan mengalami ancaman (misal pada saat

tingkat pendapatan mendekati suatu titik dimana rumah tangga tidak mampu

membeli kebutuhan pangan) maka status gizi dari kelompok rawan pangan akan

terganggu (Tabar SS, 2000)

14 Kriteria Rumah Tangga Miskin Versi BPS ( Bistok Saing ) 2008

1. Luas lantai bangunan kurang dari 8 m persegi per orang.

2. Lantai rumah dari tanah, bambu, kayu murahan.

3. Dinding rumah dari bambu, rumbia, kayu kualitas rendah, tembok

tanpaplester.

Page 2: FR TB PARU.docx

4. Tidak memiliki fasilitas jamban atau menggunakan jamban bersama.

5. Rumah tidak dialiri listrik.

6. Sumber air minum dari sumur atau mata air tak terlindungi, sungai, air hujan.

7. Bahan baker memasak dari kayu bakar, arang, minyak tanah.

8. Hanya mengonsumsi daging, ayam dan susu sekali seminggu.

9. Hanya sanggup membeli baju sekali setahun.

10. Hanya sanggup makan dua kali sehari atau sekali sehari.

11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas.

12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga petani dengan luas lahan 0,5

hektar,buruh tani, nelayan, buruh bangunan dengan penghasilan < Rp.600

ribu per bulan.

13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga tidak sekolah, tdk tamat SD/hanya

SD.

14. Tidak punya tabungan atau barang dengan nilai jual dibawah Rp500 ribu

seperti ternak, motor dan lain-lain.

Interpretasi :

Kategori sangat miskin : skor    12     kriteria

Kategori miskin : skor 6 - 10 kriteria

Kategori mendekati miskin : skor   5 -6    kriteria

(Kepala Bidang Sosial dan Budaya Bappeda Kota Padang Rusdi Jamil)

Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi

lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan

dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi

makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi

buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga

memudahkan terkena infeksi TB Paru (Depkes RI, 2001)

Secara global telah diketahui bahwa penyakit TB paru banyak dijumpai

di negara berkembang atau negara miskin.Hal ini dikarenakan status ekonomi

yang rendah memiliki kontribusi yang besar terhadap kejadian penyakit TB

paru.Keadaan ini terjadi karena dengan status ekonomi yang miskin menurut

Mangtani (1995) dapat memicu rendahnya daya tahan tubuh seseorang akibat

Page 3: FR TB PARU.docx

asupan makanan bergizi yang kurang, tidak sanggup berobat dan membeli obat.

Selain itu, kemiskinan juga mengharuskan seseorang bekerja keras secara fisik

sehingga kemungkinan sembuh akan menurun.

Masalah kesehatan tidak tepat bila digunakan sebagai suatu

konsumsi.Kesehatan perlu dipandang sebagai suatu intervensi dalam upaya

mencapai kesejahteraan masyarakat dan sebagai hak asasi manusia.Kaitan antara

kemiskinan dengan kesakitan yaitu dipengaruhi oleh penyakit sehingga daya

tahan tubuh menurun, tidak menggunakan pelayanan kesehatan, dan sanitasi

lingkungan buruk.Hal tersebut dapat terjadi akibat kurangnya pendapatan dan

pendidikan, kurang terjangkaunya pelayanan kesehatan. Dengan terserangnya

penyakit, maka pendapatan akan berkurang, akan menyebabkan hilangnya

pekerjaan, bertambahnya biaya perawatan kesehatan, dan kerentanan terhadap

suat penyakit akan meningkat.

Kemiskinan pada dasarnya menyebabkan suatu ketidakmampuan dalam

memenuhi kebutuhan dasar, kerentanan, ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan

untuk menyalurkan aspirasi. Kategori kemiskinan berdasarkan penyebabnya yaitu

bersifat struktural disebabkan oleh kebijakan dibidang ekonomi, sosial dan

budaya, politik dapat menyebabkan ketidakberdayaan dalam masyakarat,

berdasarkan kultural berkaitan dengan adanya nilai-nilai proaktif, tingkat

pendidikan yang rendah dan kondisi kesehatan dan asupan gizi yang buruk,

sedangkan secara alamiah dapat dihubungkan dengan kondisi geografi.

Kriteria kemskinan berdasarkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana

Nasional (BKKBN) di Indonesia adalah bahwa keluarga miskin merupakan

keluarga yang tidak dapat memenuhi kebutuhan salah satu atau lebih dari enam

indikator penentu kemiskinan dengan alasan ekonomi dari tabel kriteria variabel

kemiskinan rumah tangga, yaitumerupakan kriteria variabel yang menjadi

indikator tingkat kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) yang

menggunakan pendekatan basic needs, kemiskinan dipandang sebagai

ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun

non-makanan yang bersifat mendasar.

Page 4: FR TB PARU.docx

Batas kecukupan pangan dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan

untuk makanan yang memenuhi kebutuhan minimum energi 2.100 kalori

perkapita perhari.Batas kecakupan non-makan dihitung dari besarnya rupiah yang

dikeluarkan untuk non-makanan yang memenuhi kebutuhan minimum seperti

perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi.Selain itu kemiskinan

juga dapat berkaitan dengan kepadatan penduduk di daerah kumuh dan hal ini

dapat meningkatkan transmisi suatu penyakit (Ganguly, 2002).

Tabel Kriteria Variabel Kemiskinan Rumah Tangga

No Variabel Kemiskinan Kriteria Kemiskinan

1 Luas lantai bangunan tempat

tinggal

< 8 m2 per kapita

2 Jenis lantai bangunan tempat

tinggal

Tanah/bambu/kayu murahan

3 Jenis dinding bangunan tempat

tinggal

Bambu/rumbia/kayu berkualitas

rendah/tembok tanpa plester

4 Fasilitas tempat buang air besar Tidak punya atau bersama rumah

tangga lain

5 Sumber penerangan rumah Bukan listrik

6 Sumber air minum Sumur/mata air tidak

terlindungi/sungai/air hujan

7 Bahan bakar untuk memasak

sehari-hari

Kayu bakar/arang/minyak tanah

8 Konsumsi daging/ayam per Tidak pernah/satu minggu sekali

Page 5: FR TB PARU.docx

minggu

9 Pembelian pakaian baru setiap

anggota rumah tangga dalam

setahun

Tidak pernah membeli/satu setel

10 Frekuensi makan dalam sehari

untuk setiap anggota

rumahtangga

Satu kali/dua kali/ makan sehari

11 Kemampuan membayar untuk

berobat ke

Puskesmas/Poliklinik

Tidak mampu berobat

12 Lapangan pekerjaan kepala

rumah tangga

Petani dengan luas lahan <0,5 Ha,

buruh tani, nelayan, buruh

bangunan, buruh perkebunan, atau

pekerjaan lain dengan pendapata

rumah tangga < Rp. 600.000 per

bulan

13 Pendidikan kepala rumah

tangga

Tidak sekolah/tidak tamat SD/tamat

SD

14 Pemilihan asset/harta

bergerak/harta tidak bergerak

Tidak mempunyai tabungan/barang

yang mudah dijual dengan nilai >

Rp. 500.000,- seperti sepeda motor,

emas perhiasan, ternak,

perahu/kapal motor/atau barang

modal lainnya

Faktor Individu

1. Status Gizi.

Page 6: FR TB PARU.docx

Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan

lain- lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh sesoeranga sehingga rentan

terhadap penyakit termasuk TB Paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang

berpengaruh dinegara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak

(Roebiono.PS, 2009)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang

mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan

orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan

berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik

terhadap penyakit ( Depkes RI, 2001 )

Status gizi sangat menentukan seseorang dapat menjadi mudah sakit.Jika

seseorang kekurangan kalori, protein, dan zat besi maka penyakit TBC paru lebih

mudah terjadi.Oleh karenanya dengan status gizi yang baik maka kondisi

kesehatan dapat dipertahankan sedangkan keadaan kekurangan gizi (malnutrisi)

dapat memberikan kontribusi yang benar terhadap kejadian penyakit infeksi

(Weber, 2001; Cegielski, 2004). Menurut Yunus (1992) status gizi juga dapat

mempengaruhi pembentukan antibodi dalam tubuh dengan status gizi yang kurang

maka pembentukan antibodi akan terhambat, sehingga kemampuan untuk

terhindar dari penyakit juga akan berkurang.

menurut beberapa penelitian yang dilakukan mengenai status tuberkulosis

dengan TBC paru dihasilkan bahwa incident terjadinya penyakit TBC paru pada

vegetarian tiga kali lebih besar dibandingkan degan yang tidak penelitian ini

dilakukan di India oleh Chanarin dan Stefenson. Sedangkan penelitian yang

dilakukan di China dan Inggris adalah bahwa penderita TBC memiliki

kecendrungan memiliki kandungan zinc dan copper yang lebih rendah

dibandingkan bukan penderita. Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui

bahwa status gizi dan asupan makan sangat mempengaruhi kejadian penyakit

TBC. Selain ini pola hidup suatu masyarakat akan kebiasaan mengkonsumsi

makanan juga menjadi pengaruh yang besar dalam memicu timbulnya penyakit

TBC (Silviana, 2006).

Page 7: FR TB PARU.docx

Kekurangan gizi dapat menimbulkan dampak egatif yang timbul pada paru-

paru adalah lemahnya dan atrofi otot pernapasan, kapasitas vital dan tidal volume

akan menurun, dan cara kerja mukosilier menjadi tidak optimal. Perubahan yang

terjadi pada sistem imun merupakan hal terpenting dari rendahnya status gizi,

jumlah limfosit total menurun disebabkan berkurangnya sirkulasi sel T, fungsi sel

T akan menurun, fungsi imunologi lain juga akan berpengaruh misalnya aktivitas

komplemen, fungsigranulosit, serta pertahanan terhadap terjadinya infeksi, hal ini

yang dapat mempermudah terjadinya penularan penyakit infeksi termasuk TBC

(Baron, 2000; Moura, 2004).

2. Umur.

Penyakit TB-Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usaia

produktif (15 – 50) tahun. Dewasa ini dengan terjaidnya transisi demografi

menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut

lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan

terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB Paru (Roebiono.PS, 2009)

Beberapa faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika yaitu

umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS.Dari hasil

penelitian yang dilaksanakan di New York pada Panti penampungan orang-orang

gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis

aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi

tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia

diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50

tahun( Depkes RI, 2001 )

Beberapa penyakit tertentu dapat menyerang usia muda atau usia tua

yang lebih rentan atau kurang kebal terhadap penyakit menular, hal ini disebabkan

kedua kelompok umur tersebut daya tahan tubuhnya rendah. Di Eropa dan

Amerika Utara saat tuberkulosis ditemukan, insiden tertinggi terdapat pada usia

dewasa muda (Crofton, 2002).

Page 8: FR TB PARU.docx

Hasil penelitian Gustafon, P et all (2004) (dikutip dalam Desmon, 2006)

membuktikan bahwa ada efek dosis respon yaitu semakin tua umur akan

meningkatkan risiko untuk menderita penyakit tuberkulosis dengan OR pada usia

25-34 tahun adalah 1,36 (95% Cl 0,91-2,04) dan pada kelompok umur lebih dari

55 tahun OR sebesar 4,08 (95% Cl 2,664-6,31). Artinya bahwa hasil penelitian

gustafon menunjukkan usia diatas 55 tahun berisiko 4,08 kali menderita penyakit

tuberkulosis daripada umur kurang dari 55 tahun.

Umur dianggap suatu faktor yang penentu yang dapat menyebabkan suatu

penyakit.Hal tersebut terjadi dikarenakan oleh pemaparan suatu penyakit biasanya

berkaitan erat dengan umur, selain itu, faktor imunitas (daya tahan tubuh)

ditentukan pula oleh umur.Infeksi yang sering disebabkan oleh virus, sering

ditemukan pada anak-anak, sedangkan apada orang dewasa, biasanya daya tahan

tuuhnya lebih kuat dan lebih sedikit dapat terpapar oleh kuman penyebab

penyakit.

Di negara berkembang kejadian TB paru lebih banyak terjadi pada usia

produktif dan 75% kematian akibat TB paru terjadi pada golongan umur ini.

Laporan Subdit TB Depkes RI tahun 2010, menyebutkan bahwa golongan umur

penderita TB paru di Indonesia terbanyak berusia antara 15-54 tahun dengan

keadaan status sosio-ekonomi yang rendah. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS)

Indonesia, dengan membaiknya keadaan sosial ekonomi serta meningkatnya taraf

hidup masyarakat maka jumlah penduduk usia lanjut akan semakin meningkat.

Hal ini dapat berarti bahwa penyakit infeksi yang menyerang pada usia tua

pun akan semakin meningkat jumlahnya, termasuk TB paru. Seperti halnya

negara maju seperti Amerika Serikat, kejadian penyakit TB paru lebih banyak

terjadi pada usia di atas 65 tahun (Hanson, 2001) walaupun kejadian penyakit

mulai meningkat pada usia 25 tahun.

Hal tersebut didukung oleh penelitian John M. Adam dari Brickner di New

York di ketahui bahwa penyakit TB banyak menginfeksi kaum gelandangan yang

mengenai usia muda, dan diperkirakan 75% penderita TB paru adalah kelompok

usia produktif, yaitu umur 15-44 tahun (KNCV, 2005).

Page 9: FR TB PARU.docx

3. Jenis Kelamin.

Penyakit TB Paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki

dibandingkan perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada

sekitar 1 juta perempuanyang meninggal akibat TB Paru, dapat disimpulkan

bahwa pada kaum lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh TB Paru

dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin

laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol

sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah

terpapar dengan agen penyebab TBParu (Roebiono.PS, 2009)

Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada

tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan

jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 %

pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung

meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun

0,7%. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita

karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga

memudahkan terjangkitnya TB paru.(Depkes RI, 2001 )

Terjadinya suatu penyakit menular sebagian besar hanya terjadi pada

salah satu jenis kelamin saja.Dimana penyakit yang berhubungan dengan

pemaparan yang terjadi di luar rumah lebih banyak didapatkan pada laki-laki,

namun penyakit infeksi yang berhubungan dengan pelvis di dapat lebih banyak

pada perempuan.

Seperti halnya penyakit TB paru lebih banyak ditemukan pada laki-laki

(Weber, 2001) dan selalu tinggi pada seluruh tingkatan umur. Kejadian TB paru

apada perempuan akan menurun secara cepat pada usia subur (Crofton, 1999).

Berbeda dengan teori sebelumnya, di Indonesia kejadian TB paru banyak

ditemukan pada perempuan dan biasanya terjadi pada usia subur (Mangunnegoro,

2001).

Berdasarkan tingkat interaksi sosial berbeda menurut jenis kelamin pada

sejumlah besar perbedaan sosial. Seperti di beberapa negara status interaksi sosial

Page 10: FR TB PARU.docx

natara laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama pada aktivitas.

Sementara di negara lainnya, perempuan banyak diketahui memiliki tingkat

interaksi yang rendah, banyak perempuanwaktu tinggal di rumah lebih banyak

dibandingkan dengan laki-laki.

Menurut penelitian Gustafon (2004) membuktikan bahwa laki-laki

mempunyai risiko 2,58 kali menderita tuberkulosis dibadingkan dengan wanita.

Hal tersebut juga didukung oleh laporan dari WHO tahun 1998 yang menjelaskan

di Afrika penyakit TB banyak menyerang jenis kelamin laki-laki yang jumlah

penderita TB paru hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah TB paru pada

wanita yaitu sebesar 42,34% pada laki-laki dan 28,92% pada wanita. Dari tahun

1985 sampai tahun 1997 diketahui penderita TB paru berjenis kelamin laki-laki

dilaporkan meningkat sebanyak 387 penderita (2,5%), sedangkan penderita pada

jenis kelamin perempuan menurun 52 kasus atau sebesar 0,7% (Bloch, 1989).

4. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan

seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan

pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka

seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat.

Selain itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis

pekerjaannya(Depkes RI, 2001)

Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi gaya hidup seseorang. Dimana

pendidikan yang kurang akan dapat mengakibatkan seseorang tidak dapat

meningkatkan tarif hidupnya, dimana dengan taraf hidup yang baik maka

pemenuhan akan kebutuhan pokok dapat dipenuhi dengan baik. Dengan

terpenuhnya kebutuhan pokok khususnya asupan gizi yang baik maka kejadian

penyakit tuberkulosis dapat ditanggulangi, seiring dengan meningkatnya daya

tahan tubuh. Menurut Rasmin (1992), taraf hidup bagi seseorang penting sekali

untuk menjaga agara terhindardari infeksi termasuk infeksi TB.

5. Pekerjaan

Page 11: FR TB PARU.docx

Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap

individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu

di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran

pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas,

terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.

Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan

keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara

konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi

terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang

mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan

kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga

sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk

terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah

dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki

tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya

penularan penyakit TB Paru(Depkes RI, 2001)

Hal menarik yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan penyakit TB

adalah masalah pekerjaan. Jenis pekerjaan tertentu yang dilakukan seseorang akan

mempengaruhi angka kejadian TB. Menurut Boris (2004) di negara berkembang

banyak dijumpai penderita TB meningkat pada orang yang memiliki jenis

pekerjaan yang dilakukan di lingkungan tidak sehat. Di lingkungan pekerjaan

dimana terjadi indoor air pollution seperti akibat rokok maupun pencemaran

bahan kimia yang lain akan meningkatkan kejadian TB.

Jika dihubungkan antara kejadian penyakit TB dengan penduduk yang

memiliki pekerjaan atau tidak, pada negara berkembang yang identik dengan

kemiskinan, pekerjaan susah didapat, angka kejadian TB cenderung meningkat

(Coker, 2005). Menurut Ridwan (1983) masyarakat yang tidak sanggup

meningkatkan daya tahan tubuh dengan intake makanan yang kurang maupun gizi

makanan yang tidak mencukupi.

6. Kebiasaan Merokok

Page 12: FR TB PARU.docx

Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko

untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik

dan kanker kandung kemih.Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk

terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia

per orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan 430

batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan 760

batang/orang/tahun di Pakistan (Achmadi, 2005). Prevalensi merokok pada

hampir semua Negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa,

sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok

akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru( Depkes RI, 2001 )

Faktor risiko lain yang dapat memicu kejadian TBC paru yaitu perilaku

merokok. Merokok merupakan perilaku yang sangat membahayakan kesehatan

masyarakat. Menurut Aditama (1997) kematian yang disebabkan oleh merokok

yaitu sebesar 2,5 juta orang setiap tahunnya yang dapat diartikan bahwa setiap 13

detik terjadi kematian. Kebiasaan merokok terbukti dapat memiliki hubungan

yang banyak terhadap kejadian suatu penyakit, diantaranya yaitu penyakit kanker

paru, bronchitis kronis, emfisema, penyakit kardiovaskular, penyakit TBC paru

dan lain sebagainya (Subramanian, 2005; Lam, 2005)

Beberapa fakta dapat terungkap dari berbagai penelitian yang dilakukan,

salah satunya bahwa seseorang yang memiliki risiko mengidap penyakit TBC

paru bila dihubungkan dengan banyaknya jumlah rokok yang dihisap perhari dan

lamanya merokok. Penelitian ini dilakukan oleh (Kolappan, 2002) menyebutkan

bahwa seseorang yang merokok kurang dari 10 tahun maka risiko mendapatkan

peyakit TBC paru meningkat sebanyak 1,72 kali bila sudah merokok selama 20

tahun maka risiko akan meningkat sebanyak 3,23 kali

7. Perilaku

Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan

penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara

pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan

Page 13: FR TB PARU.docx

akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya ( Depkes

RI, 2001 ) .

Faktor Lingkungan Rumah

1. Kondisi Rumah

Tempat tinggal merupakan kebutuhan pokok bagi setiap masyarakat,

samapentingnya, meskipun berbeda fungsinya, dengan dua unsur kebutuhan dasar

lainnya,yaitu pakaian (sandang) dan makanan (pangan). Dari kondisi lingkungan

tempat tinggaldapat terlihat tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dan

kondisi lingkunganyang sehat. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai

tempat tinggal atau huniandan sarana pembinaan keluarga; sedangkan perumahan

adalah kelompok rumah yangberfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau

lingkungan hunian dilengkapi dengansarana prasarana lingkungan (Menteri

Kesehatan RI, 1999) (Badan Pusat Statistik Jawa Tengah, 2000) (Badan Pusat

StatistikJawa Tengah, 2002)

Rumah dikatakan baik dan aman, jika kualitas bangunan dan lingkungan

dibuat denganserasi. Adapun rumah yang sehat adalah : (Menteri Kesehatan RI ,

1999) (Azwar, 1999)

a. Bahan bangunannya memenuhi syarat

Lantai tidak berdebu pada musim kernarau dan tidak basah pada musim

hujan.lantai yang basah dar berdebu merupakan sarang penyakit,

Dinding tembok adalah baik, namun bila di daerah tropis dan ventilasi

kurang akan lebih baik dari papan,

Atap genting cocok untuk daerah tropis, sedang atap seng atau asbes tidak

cocok untuk rumah pedesaan karena disamping mahal juga menimbulkan

suhu panas di dalam rumah.

b.Ventilasi cukup, yaitu minimal luas jendela/ ventilasi adalah 15% dari luas

lantai, karena ventilasi mempunyai fungsi :

Menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga

keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga.

Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya 02 di dalam rumah

Page 14: FR TB PARU.docx

yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi

meningkat.

Menjaga agar udara di ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban

(humidity ) yang optimum. Kelembaban yang optimal ( sehat ) adalah

sekitar 40 – 70% kelembaban yang lebih Dari 70% akan berpengaruh

terhadap kesehatan penghuni rumah. Kelembaban udara di dalam ruangan

naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.

Kelembaban Ills akan merupakan media yang baik untuk bakteri - bakteri

patogen ( penyebab penyakit ).

Membebaskan udara ruangan dari bakteri - bakteri, terutama bakteri

patogen,karena disitu selalu terjadi aliran udara yang tents menerus.

Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir.

Lingkungan perokok akan menyebabkan udara mengandung nitrogen

oksida sehingga menurunkan kekebalan pada tubuh terutama pada saluran

napas karena berkembang menjadi makrofag yang dapat menyebab

infeksi.

c. Cahaya matahari cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dimana cahaya

matahari ini dapat diperoleh dari ventilasi maupun jendela/genting kaca.

Suhu udara yang ideal dalam rumah antara 18 - 30°C. Suhu optimal

pertumbuhan bakteri sangat bervariasi, Mycobacterium tuberculosis tumbuh

optimal pada suhu 37°C. Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat

membunuh Mycobacterium tuberculosis . Bakteri tahan hidup pada tempat

gelap, sehingga perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang

gelap.

d.Luas bangunan rumah cukup, yaitu luas lantai bangunan rumah harus cukup

sesuai dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding

dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan berjubel ( over crowded ).

Rumah yang terlalu padat penghuninya tidak sehat, sebab disamping

menyebabkan kurangnya konsumsi 02 juga bila salah satu anggota keluarga

ada yang terkena infeksi akan mudah menular kepada anggota keluarga

yang lain. Kepadatan hunian ditentukan dengan jumlah kamar tidur dibagi

Page 15: FR TB PARU.docx

dengan jumlah penghuni ( sleeping density ), dinyatakan dengan nilai : baik,

bila kepadatan lebih atau sama dengan 0,7 cukup, bila kepadatan antara 0,5

- 0,7 dan kurang bila kepadatan kurang dari 0,5 (Azwar, 1999)

Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit

TBC. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan

kuman.Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan

penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi

berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium tuberculosis.(Depkes RI, 2001)

2. Kepadatan Hunian

Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit.

Semakin padat maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular

melalui udara akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota

keluarga yang menderita TB dengan BTA (+). Kuman TB cukup resisten

terhadap antiseptik tetapi dengan cepat akan menjadi inaktif oleh cahaya

matahari, sinar ultraviolet yang dapat merusak   atau melemahkan fungsi vital

organisme dan kemudian mematikan. Kepadatan hunian ditempat tinggal

penderita TB paru anak paling banyak adalah tingkat kepadatan rendah. Suhu

didalam ruangan erat kaitannya dengan kepadatan hunian dan ventilasi rumah

(Starke JR, 2003)

Kepadatan penghuni yang ditetapkan oleh Depkes (2000), yaitu rasio

luas lantai seluruh ruangan dibagi jumlah penghuni minimal 10 m2/orang. Luas

kamar tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih 2 orang tidur

dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun.

Kondisi kepadatan hunian perumahan atau tempat tinggal lainnya

seperti penginapan, panti-panti tempat penampungan akan besar pengaruhnya

terhadap risiko penularan. Di daerah perkotaan (urban) yang lebih padat

penduduknya dibandingkan di pedesaan (rural), peluang terjadinya kontak

dengan penderita TB lebih besar. Sebaliknya di daerah rural akan lebih kecil

kemungkinannya. Dapat disimpulkan bahwa orang yang rentan (susceptible )

akan terpapar dengan penderita TB menular lebih tinggi pada wilayah yang

Page 16: FR TB PARU.docx

pada penduduknya walaupun insiden sama antara yang penduduk padat dan

penduduk tidak padat (Karyadi E, 2006)

Beberapa faktor sosialekonomi diperkirakan mempengaruhi tingkat

kesakitan maupun kematianakibat penyakit tuberkulosis termasuk faktor

kepadatan penduduk.Besarnya prosentase penduduk yang berdiam di kota akan

mempengaruhibukan saja kepadatan namun juga hubungan antara seseorang

denganorang lainnya. Keadaan perumahan memberikan dampak langsung

kepadakesehatan lingkungan dan termasuk didalamnya jumlah orang dalam

saturumah.Lingkungan tempat tinggal diyakini beberapa peneliti sebagaifaktor

risiko. Dalam program penyehatan lingkungan pemukiman, telahditetapkan

syarat-syarat kesehatan untuk rumah tinggal antara lain :

o Luas ruangan rumah dibanding penghuni tidak kurang dari

9m2/jiwa

o Lantai dan dinding kamar tidur kering (tidak lembab)

o Pencahayaan memanfaatkan sinar matahari sebanyak mungkin

untuk penerangan dalam rumah pada siang hari

(Proyono Tjiptoheryanto, 1983)

Pengukuran kepadatan penghuni rumah dilakukan dengan menghitungluas

lantai bangunan dengan menggunakan alat ukur meteran standar) kemudian

dibagi dengan jumlah penghuninya yaitu 9 m2 perorang (Depkes,2006).

Kriteria objektif :

Padat : bila luas bangunan< 9m2perorang

Tidak padat : bila luas bangunan ≥ 9 m2 perorang

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di

dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan

dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload.Hal ini tidak

sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila

salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular

kepada anggota keluarga yang lain.

Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan

dalam m2/orang.Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari

Page 17: FR TB PARU.docx

kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia.Untuk rumah sederhana luasnya

minimum 10 m2/orang.Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3

m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi

tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur

sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak

di bawah 2 tahun. Untuk menjamin volume udara yang cukup, di syaratkan

juga langit-langit minimum tingginya 2,75 m. ( Depkes RI, 2001 )

Berkembangnya industry-industri di suatu daerah akan menyebabkan

terjadinya urbanisasi penduduk, sehingga penduduk yang berada di daerah

industry tersebut akan semakin padat. Hal ini aka mengakibatkan keadaan

perumahan yang padat dan kondisi rumah yang tidak memadai. Kondisi yang

demikian yang akan mempengaruhi kesehatan penghuni rumah di daerah

tersebut. Cepat lambatnya penyakit menular ditentukan oleh

kepadatan.Kepadatan merupakan pre-requiste untuk penularan penyakit.

Semakin padat, maka perpindahan penyakit khususnya penyakit melalui udara

akan semakin mudah dan cepat. Oleh karena itu, kepadatan dalam rumah

tempat tinggal merupakan variable yang berperan dalam kejadian TB paru

(Keputusan Menteri Kesehatan, 1999)

Rumah dikatakan padat penghuninya apabila perbandingan luas lantai

seluruh ruangan rumah dengan jumlah penghuni kurang dari 10 m2/orang.

Penelitian di Ciampea, Bogor yang dilakukan oleh Supriyono (2003) bahwa

risiko untuk mendapatkan TB paru 1,3 kali lebih tinggi pada penduduk yang

tinggal di rumah yang tidak memenuhi persayaratan kesehatan.

Keadaan tempat tinggal diperkirakan dapat memberikan kontribusi

langsung terhadap status kesehatan seseorang.Dimana kepadatan hunian

merupakan salah satu bagian dari lingkungan perumahan yang paling

menentukan.Kepadatan hunian ditentukan oleh banyaknya jumlah hunian atau

jumlah orang dalam ruangan dibandingkan dengan luas lantai ruangan tersebut.

Semakin banyak jumlah penghuni dalam ruangan, maka akan semakin padat

hunian yang ditempati. Hal tersebut juga dapat mempengaruhi kualitas udara

dalam ruangan juga akan semakin cepat tercemar, termasuk tercemar oleh

Page 18: FR TB PARU.docx

Mycobacterium tuberculosis yang dikeluarkan oleh penderita TBC melalui

percikan dahak.

Dari hasil penelitian Dahlan (2001), dinyatakan bahwa orang yang

tinggal dengan tingkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat

mempunyai risiko 3,8 kali lebih besar untuk terjadi penyakit TBC paru

dibandingkan dengan yang tinggal dengan kepadatan hunian yang memenuhi

syarat. Luas lantai ruangan sebagai indikator adalah 1 orang membutuhkan luas

lantai minimal 10 m2 (Depkes R.I, 1000)

Keadaan perumahan memberikan dampak langsung kepada kualitas

lingkungan terutama kualitas kesehatan yang dapat mempengaruhi kualitas

hidup orang yang tinggal didalamnya. Berdasarkan penelitian Adam (Hermain,

2001) bahwa orang yang tinggal lebih dari 24 bulan mempunyai risiko2,4 kali

menderita penyakit TBC paru aktif dibandingkan dengan orang yang tinggal

kurang dari 24 bulan. Hal tersebut dapat menjadi suatu indikator bahwa lama

tinggal seseorang dalam lingkungan yang kumuh dapat mempengaruhi

terjadinya penyakit TBC paru.

Menurut Soesanto (2000) suatu rumah dikatakan dapat memenuhi

syarat kesehatan bila suatu rumah tersebut memenuhi syarat kesehatan.Terdapat

empat hal yang dapat mempengaruhi yaitu rumah yang ditempati dapat

memenuhi kebutuhan fisiologis, meliputi pencahayaan, ventilasi, dan ruang

gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu tidur.rumah

dapat memenuhi kebutuhan psikologis seperti privacy yang cukup, komunikasi

yang sehat antar anggota keluarga penghuni rumah. Rumah juga dapat

memenuhi persyaratan pencegahan penyakit menular antar keluarga penghuni

rumah, meliputi penyediaan air minum, pengelolaan tinja, dan limbah rumah

tangga, bebas vector penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang berlebihan,

cukup sinar matahari pagi, terlindungnya makanan dan minuman dari

percemaran disamping pencahayaan dan penghawaan yang cukup. Rumah yang

dapat memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul

karena keadaan di luar maupub di dalam rumah, seperti persyaratan kontruksi

Page 19: FR TB PARU.docx

yang tidak mudah bocor dan roboh, yang tidak mudah terbakar, yang tidak

cenderung membuat penghuninya jatuh dan tergelincir.

Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

829/MENKES/SK/VII/1999 menjelaskan tentang persyaratan kesehatan

perumahan yang dapat dikatakan memenuhi syarat kesehatan. Rumah tinggal

yang dapat dikelompokkan sebagai rumah yang memenuhi syarat apabila rumah

tinggal tersebut menggunakan bahan bangunan yang tidak terbuat dari bahan

yang dapat melepas zat-zat yang dapat membahayakan kesehatan seperti debu

total tidak melebihi dari 150 µm.

Kusnoputranto (2000) menjelaskan bahwa rumah sehat harus dapat

memenuhi kebutuhan fisiologis seperti ventilasi yang baik dengan ukuran 10-20%

dari luas lantai, pencahayaan minimal cshaya matahari masuk 60 lux yang tidak

menyilaukan dan mampu membunuh kuman patogen yang dapat menyebabkan

penyakit, kepadatan tempat hunian dianjurkan minimal luas lantai kamar tidur

tidak kurang dari 8 m2 dan dianjurka tideak lebih dari dua orang tidur, rumah juga

harus bebas dari tingkat kebisingan maksimal untuk perumahan yang ideal

sebesar 40-55 dB. Bahan bangunan yang dianjurkan sebaiknya tidak terbuat dari

bahan yang dapat membahayakan kesehatan seperti asbes dan ju7ga tidak terbuat

dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme

patogen.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dahlan (2001) menyimpulkan

bahwa orang yang tinggal dengan tingkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi

syarat kesehatan mempunyai risiko 3,8 kali untuk menderita TBC dibandingkan

dengan orang yang tinggal dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat

kesehatan.

3. Pencahayaan

Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas

jendela kaca minimum 20% luas lantai.Jika peletakan jendela kurang baik atau

kurang leluasa maka dapat dipasang genteng kaca.Cahaya ini sangat penting

karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya

Page 20: FR TB PARU.docx

basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya

yang cukup.

Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau

kurang lebih 60 lux., kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang lebih

redup.

Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi

lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya..Cahaya yang sama

apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman

dalam waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama Penularan

kuman TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari

dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka resiko penularan

antar penghuni akan sangat berkurang. ( Depkes RI, 2001 )

Intensitas cahaya alami yaitu sinar matahari sangat ditentukan oleh

letak dan lebar jendela.Untuk memperoleh sinar matahari pada waktu pagi hari

yang optimal sebaiknya jendela ruangan atau kamar tidur menghadap ke timur

atau luas jendela minimal sebesar 10-20 % dari luas lantai.Kebutuhan standar

cahaya alami dan buatan, baik langsung maupun tidak langsung ke seluruh

ruangan rumah meurut Keputusa Menteri Kesehatan No.

829/MenKes/SK/VII/1999 adalah 60-120 lux.

Penularan basil tuberkulsosis relative tidak tahan terhadap sinar

matahari. Oleh karena itu bila dalam ruangan siar matahari dapat langsung

masuk ke dalam ruangan serta sirkulasi udara diatur, maka risiko penularan

diantara penghuni rumah akan sangat berkurang. Kusnindar (1993)

menyatakan bahwa pengaruh intensitas cahaya berkaitan degan matinya basil

Tuberkulosis oleh sinar matahari terutama sinar ultraviolet.Dan besarnya

pencahayaan rumah mempunyai hubungan yang bermakna dengan BTA positif

(Sukana, 2000).

Pencahayaan dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu pencahayaan alami

yang bersumber dari sinar matahari dan pencahayaan buatan yang merupakan

rekayasa buatan manusia. Menurut Depkes (1999) pencahayaan ruangan

sebaiknya minimal 60 lux dan tidak menyilaukan matan. Cahaya yang terlalu

Page 21: FR TB PARU.docx

banyak akan menyilaukan mata sedangkan jumlah cahaya yang terlalu sedikit

akan mengakibatkan mudahnya kuman hidup dan berkembang biak. Karena

dengan oencahayaan yang kuran kondisi lingkungan akan lembab.

Penelitian di Harvard menyebutkan bahwa sinar ultraviolet (UV) dapat

membunuh kuman TB paru, penelitian ini kemudian dibuktikan pada individu

yang tinggal di tempat penampungan diberikan lampu sinar UV serta individu

yang tinggal di rumah diberikan lampu tanpa sinar UV. Hasilnya membuktikan

bahwa individu yang tinggal di rumah tanpa sinar UV lebih banyak terinfeksi

kuman TB paru, walaupun infeksinya tidak semua bermanifestasi pada

kejadian penyakit TB paru (Rosche, 2002).

4. Ventilasi

Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk

menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti

keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap

terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam

rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban

udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari

kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk

pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya

kuman TB.

Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan

dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi

aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu

mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur

selalu tetap di dalam kelembaban (humiditiy) yang optimum.

Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi

sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal 5% dari

luas lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai.

Udara segar juga diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara

Page 22: FR TB PARU.docx

dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar 22° – 30°C dari kelembaban

udara optimum kurang lebih 60%. (Depkes RI, 2001 )

Ventilasi mempengaruhi proses difusi udara, dengan kata lain

mengencerkan konsentrasi kuman TB paru dengan kuman lain sehingga

kuman-kuman tersebut dapat terbawa keluar dan mati terkena siar matahari dan

siar ultraviolet. Ventilasi merupakan tempat untuk memasukkan cahaya

ultraviolet. Hal ini akan semakin baik apabila konstruksi rumah menggunakan

bahan seperti kaca, hal ini merupakan kombinasi yang baik. Menurut

Keputusan Menteri Kesehatan No. 829/MenKes/SK/VII/1999 bahwa ventilasi

yang baik adalah 10 % dari lantai rumah. Adrial (2006) yang menyebutkan

bahawa kelompok yang mempunyai rumah dengan luas ventilasi kurang dari

10 % luas lantai dapat berisiko 4,55 kali untuk terjadi TB paru dengan BTA

positif (+) dibandingkan dengan kelompok yang mempunyai rumah dengan

ventilasi lebih dari 10 % dari luas lantai rumah.

Kualitas udara di dalah rumah berkaitan dengan ventilasi dan kegiatan

penghuninya.Bertambahnya jumlah penduduk dalam pemukiman dalam

perkotaan, menyebabkan kepadatan bangunan dan sulit untuk membuat

ventilasi. Perjalanan kuman TB paru setelah dibatukkan aka terhirup oleh

orang sekitarnya sampai ke paru-paru, sehingga dengan adanya ventilasi yang

baik akan menjamin pertukaran udara dan konsentrasi droplet dapat dikurangi.

Konsentrasi droplet pervolume udara dan lamanya waktu menghirup udara

tersebut memungkinkan seseorang akan terinfeksi kuman TB paru. (Depkes

2002)

5. Kelembaban

Kelembaban udara menunjukkan kadar uap air yang di udara.

Pertumbuhan bakteri sangat dipengaruhi oleh adanya air atau uap air, karena

kelembaban merupakan hal yang pasti dibutuhkan untuk pertumbuhan semua

mikroorganisme khususnya bakteri.Kontaminasi bakteri di udara suatu ruangan

dapat terjadi akibat adanya debu atau partikel di udara yang mengandung uap

air yang melayang dan mengandung bakteri. Kelembaban udara pada setiap

ruangan harus diupayakan memenuhi syarat sesuai dengan Keputusan Menteri

Page 23: FR TB PARU.docx

Kesehatan No. 829/Menkes/SK/VII/1999 yaitu berkisar 40%-70% kelembaban

yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan menjadi tempat

perkembangbiakan mikroorganisme, termasuk kuman TB sehingga

viabilitasnya lebih lama. Berdasarkan penelitian Karminingsih (2002)

menyebutkan bahwa rumah dengan kelembaban lebih besar 60% beresiko

terkena TB 2,76 kali dibanding rumah dengan kelembaban lebih kecil atau

sama dengan 60%.

Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan,

dimana kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22°

– 30°C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung,

tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan

lembab (Depkes RI, 2001)

6. Lantai Rumah

Secara hipotesis, jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses

kejadian Tb paru melalui kelembaban ruangan. Lantai tanah cenderung

menimbulkan kelembaban ruangan.Lantai rumah cenderung menimbulkan

kelembaban, dengan demikia viabilitas kuman TB paru di lingkungan juga

dipengaruhi dengan keadaan lantai.

7. Penggunaan Obat Nyamuk

Penggunaan obat nyamuk perlu diperhatikan lebih lanjut, bahan

pembakaran obat nyamuk terbuat dari bahan kimia dan jika menggunakan

obat nyamuk nakar maka risiko terjadinya penyakit juga semakin tinggi,

akibat adanya bahan kimia yang dikeluarkan dari hasil pembakaran obat

nyamuk tersebut. Bahan kimia yang dikeluarkan dapat terakumulasi baik di

lingkungan maupun di dalam tubuh manusia yang terpajan oleh polutan

yang dihasilkan oleh obat nyamuk bakar.

Nursanti (2002) menjelaskan bahwa penggunaan obat nyamuk bakar

dapat meningkatkan kejadia TB paru dibandingkan dengan yang tidak

Page 24: FR TB PARU.docx

menggunakan obat nyamuk bakar. Paparan yang berulang dapat

mengakibatkan peningkatan infeksi saluran pernafasa dan juga dapat

menimbulkan penyakit kanker (Chauhan, 1994 dalam Silviana, 2006)

Faktor Demografi

1. Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk ditentukan oleh jumlah dan distribusi penduduk di

suatu wilayah.Kepadatan penduduk selain menentukan cepat atau lambatnya

kejadian suatu penyaki dapat menular, banyak tidaknya penderita paabila terjadi

perubahan secara darurat seperti kejadian kasus luar biasa dan besar kecilnya

tempat pelayanan kesehatan.Tingkat kepadatan digunakan untuk membagi daerah

hunian menjadi daerah perkotaan dan pedesaan. Perbedaan keduanya yaitu sangat

jelas terlihat pada kepadatan penduduknya, ketersediaan airnya, leterseidaan

makanan, teknologi, gaya hidup, aktifitas sosial, stress dan kekebalan

terhadappenyakit dengan segala konsekuensinya (Soemirat, 2000).

Beberapa faktor sosial ekonomi yang dapat mempengaruhi tingkat kesakitan

maupun kematian akibat penyakit TBC diantaranya dipengaruhi oleh faktor

kepadatan penduduk.prosentase penduduk yang bertemoat tinggal di kota akan

mempengaruhi hubungan antara seseorang dengan orang lain.

Achmadi (1991) menjelaskan bahwa masalah kesehatan lingkungan

cenderung timbul pada daerah dengan kepadatan penduduk tinggi di suatu

wilayah, seperti wilayah perkotaan.pertumbuhan penduduk dalam suatu wilayah

dengan kecendrungan peningkatan penggunaan energi dan kegiatan dapat

memperburuk kondisi kesehatan lingkungan. Sedangkan Lomanta (1989)

mengungkapkan bahwa dalam ilmu epidemiologi diketahui bahwa daerah dengan

kepadatan penduduk yang tinggi lebih mudah menjadi korban wabah

dibandingkan dengan wilayah yang memiliki jumlah penduduk yang jarang

2. Iklim

Page 25: FR TB PARU.docx

Pengaruh iklim sangat besar terhadap perkembangan kehidupan agen di

lingkungan terutama bagi agen penyakit TB. Agen yang hidup juga dipengaruhi

oleh temperature, keberadaan cairan, dan zat lainnya yang terdapat di lingkungan

sekitar. Selain itu iklim juga dapat mempengaruhi host beserta perilakunya. Media

transmisi penyakit juga dipengaruhi oleh iklim.

Unsur-unsur iklim dapat beragam jumlahnya, beberapa diantaranya yaitu

presipitasi (hujan), temperature atau suhu, kelembaban, kecepatan angin, cahaya

matahari, dan beberapa fenomena lainnya speerti kabut, embun beku, hujan es

disertai angin rebut dan unsure-unsur lain cuaca. Iklim dapat mempengaruhi

ekosistem, habitat binatang penular penyakit, bahkan tumbuh kembangnya koloni

kuman secara alamiah. Dengan demikian secara langsung atau tidak langsung

dapat mempengaruhi terjadinya penyakit, seperti demam berdarah (Achmadi,

2005).

Perubahan alam dapat mempengaruhi kesehatan melalui dua cara yaitu scara

langsung akan mempengaruhi peningkatan insiden penyakit, kelainan jiwa,

cedera, dan kematian yang diakibatkan oleh peningkatan gelombang panas atau

banjir, badai, atau kejadian iklim yang ekstrim lainnya. Secara tidak langsung

merupakan hal yang penting pada periode yang lebih panjang dimana peningkatan

insiden penyakit dapat disebabkan oleh rawannya pangan dan air atau penduduk

yang terpaksa pindah atau mengungsi (Rachmat, 2001, Chandra, 2005).

Faktor yang mempengaruhi iklim di Indonesia menurut Sandy (1996)

terdapat empat indikator, yaitu suhu rata-rata tahunan tinggi sebagai akibat dari

letak yang dekat dengan katulistiwa, adanya hembusan angin musim yang

membawa musim hujan dan musim kemarau sebagai akibat dari perbedaan

tekanan udara di daerah Asia dan Australia, bebas dari hembusan angin taifun

karena kepualauan Indonesia sebagian besar terletak tidak lebih dari 10° Lintang

Utara dan 10° Lintang Selatan, kadar kelembaban udara senantiasa tinggi sebagai

akibat dari sifat kepulauan, yaitu luasnya lautan dan selat-selat serta suhu yang

tinggi, dapat mengakibatkan jumlah penguapan selalu tinggi. Pada musim

kemarau dan tempat lain dikenal paling kering kadar kelembaban udara selalu

Page 26: FR TB PARU.docx

tinggi. Pada musim kemarau dan tempat lain di kenal paling kering kadar

kelembaban udara diantaranya 70-80%, sehingga Indonesia dikenal memiliki

iklim tropis basah dan kadar kelembaban udara yang tinggi, sehingga

menyebabkan tidak adanya perbedaan yang ekstrim antara suhu yang minimum

dengan maksimum.

Menurut buku ilmu pengetahuan popular menjelaskan bahwa suhu dan

kelembaban udara merupakan salah satu yang mempengaruhi cuaca. Cuaca selalu

berpengaruh terhadapa kehidupan manusia. Cuaca dilapisan troposfer akan

semakin tinggi altitude dan akan menyebabkan suhu udara semakin menurun serta

semakin rendah juga kelembaban udaranya (Chandra, 2005).

Kelembaban udara yang standar apabila kelembaban mencapai 40-70%

dikatakan kelembaban tidak memenuhi standar bisa lebih dari 70% atau kurang

dari 40%. Kelembaban merupakan media yang baik untuk kelangsungan hidup

bakteri patogen termasuk kuman TB paru (Depkes, 1999). Diketahuinya bahwa

kuman TB paru ini akan mudah hidup pada kondisi lingkungan yang lembab dan

akan mudah mati pada kondisi lingkungan yang terkena sinar matahari langsung.

3. Ketinggian Wilayah

Ketinggian wilayah merupakan bagian dari kondisi geografi. Dimana

pengetahuan tentang kondisi geografi bermanfaat untuk melakukan perencanaan

kesehatan yang dapat memberikan penjelasan mengenai etiologi penyakit.

Perbandingan pola penyakit sering dilakukan antara batas-batas daerah

pemerintahan, kota dan desa, daerah atau tempat yang berdasarkan batas-batas

alam seperti pegunungan, sungai, laut, atau padang pasir.

Epidemiologi geografis mempelajari tentang distribusi penyakit atas dasar

tempat dan analisisinya dihubungkan dengan sifat agen dan lingkungan setempat,

cara transmisi, dan mekanisme reservoirnya. Berbagai penyakit didata atas dasar

lokasi dengan tujuan pengendalian dan pencegahan wabah (Soemirat, 2000).

Epidemiologi geografi dapat menjelaskan gambaran spasial insiden suatu

penyakit dan kematian. Studi ini merupakan bagian dari epidemiologi deskriptif

Page 27: FR TB PARU.docx

yang secara umum berhubungan dengan gambaran timbulnya penyakit yang

dihubungkan dengan karakteristik demografi (umur, jenis kelamin), selain itu juga

dihubungkan dengan tempat dan waktu (Chandra, 2005).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menyebutkan

bahwa perkiraan kejadian TB di daerah dataran tinggi di Peru, terbukti bahwa di

dataran tinggi (3.340 m dan 3.500 m dari permukaan laut) prevalensi kasus TB

pada penduduk di dataran tinggi lebih rendah (5,7% dan 6,8%) dibandingkan

dengan penduduk yangtinggal di dataran rendah (sea level) yaitu 25% dan 33%

dengan odds ratio= 4,5-5. Jadi dapat disimpulkan bahwa prevalensi kejadian TB

paru di dataran rendah 4,5 sampai 5 kali lebih besar dibandingkan dengan

prevalensi di dataran tinggi (Chandra, 2005).

Penelitian ini didukung oleh penelitian lainnya yang dilakukan di Kenya dan

Afrika Selatan yang menyebutkan prevalensi penyakit TB paru dua kali lebih

besar terjadi di dataran rendah dibandingkan dengan dataran tinggi. Penyebaran

penyakit TB didaerah dataran tinggi dapat dipengaruhi oleh berkurangnya

kemampuan bertahan hidup kuman penyebab TB dikarenakan kelembaban udara

di dataran tinggi yang lebih rendah dan daerah dataran tinggi terpapar lebih besar

sinar UV. Selain itu dipengaruhi oleh adanya kekebalan tubuh terhadap penyakit

TB yang mungkin disebabkan oleh kurangnya reaksi oksigen dalam tubuh atau

faktor genetik yang sudah menetap pada populasi yang tinggal di dataran tingg

(Chandra, 2005).

Faktor Penularan

1. Sumber Penularan

Seseorang dengan BTA positif, seringkali akan menularkan anggota

keluarganya sendiri khususnya anak-anak. Jelaslah keluarga merupakan

kontak yang dekat.Apalagi ditambah dengan keadaan rumah dengan luas

kamar tidur yang kurang dari 8 m2 yang memungkinkan anggota keluarga

tidur lebih dari 2 orang.Penelitian Chapman menemukan bahwa terjadinya

Page 28: FR TB PARU.docx

tuberkulosis pada anak-anak lebih kuat jika berada dalam satu rumah

dengan BTA positif (Nelson, 2001).

2. Serumah dengan Sumber Penular 

Kontak serumah dengan penderita TBC merupakan salah satu faktor risiko

terjadinya TBC.Semua kontak penderita TBC positif harusdiperiksa dahak.Kontak

erat seperti dalam keluarga dan pemaparan besar-besaran seperti pada petugas

kesehatan memungkinkan penularan lewatpercikan dahak.Faktor risiko tersebut

semakin besar bila kondisi lingkunganperumahan jelek seperti kepadatan

penghuni, ventilasi yang tidak memenuhi syarat dan kelembaban dalam rumah

merupakan media transisikuman TBC untuk dapat hidup dan menyebar. Untuk itu

penderita TBCdapat menularkan secara langsung terutama pada lingkungan

rumah,masyarakat di sekitarnya dan lingkungan tempat bekerja,

makinmeningkatnya waktu berhubungan dengan penderita memberikemungkinan

infeksi lebih besar pada kontak.Hal tersebut memberikan gambaran bahwa

pemaparan kuman TBCdapat dipengaruhi oleh faktor individu, keeratan kontak

dan faktor lingkungan rumah seseorang

3. Lama Kontak

Lama kontak adalah kurun waktu kontak tinggal bersama denganpenderita

secara terus-menerus sehingga pada proses ini melalui batuk atau bersin,

penderita TBC paru BTA (+) menyebarkan kuman ke udaradalam bentuk

percikan dahak (droplet nuclei).Sekali batuk dapatmenghasilkan sekitar

3000 percikan, Selain itu faktor yangmemungkinkan seseorang terpajan

kuman TBC paru ditentukan olehkonsentrasi percikan dalam udara dan

lamanya menghirup udara tersebutkarena risiko tertular tergantung dari

tingkat pajanan dengan percikandahak dimana pasien TBC paru dengan

BTA (+) memberikankemungkinan risiko penularan lebih besar dari

pasien TBC paru BTA (-)(Depkes, 2008).

Page 29: FR TB PARU.docx

Masa inkubasi kuman TBC mulai dari masuknya kuman sampaiterjadi

infeksi diperkirakan 6 bulan sampai dengan 2 tahun (Depkes,2002).