for knowledge and humanity
DESCRIPTION
GGGTRANSCRIPT
FOR KNOWLEDGE AND HUMANITY | MONDAY, FEBRUARY 11, 2013
HOME ABOUT US
BLOG VIEWPOINT ACTIVITIES SHOWCASE
SITEMAP
Pengaruh Pembangunan Perkebunan Sawit Terhadap Masyarakat Pedalaman Kalimantan
Mashudi Noorsalim
Pembangunan perkebunan sawit dianggap dapat
menyelesaikan sebagian masalah-masalah yang
sedang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat,
terutama akibat yang ditimbulkan dari krisis ekonomi
yang dialami Indonesia sejak pertengahan tahun
1997. Kelapa sawit dan produk turunannya
merupakan sumber pendapatan daerah yang besar
dan dapat menyerap tenaga kerja.
Namun, pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak
selalu berjalan lancar, karena sebagian masyarakat
menganggap bahwa pembangunan tersebut justru
menghalangi akses terhadap sumberdaya alam.
Tulisan ini akan mendikskusikan proses masuknya
perkebunan sawit, dan pengaruhnya
terhadap masyarakat di Desa Sembuluh.
Pembangunan Perkebunan Sawit di Kabupaten
Seruyan
Dalam Rencana Strategis (Renstra) Pemerintah
Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2003 disebutkan
bahwa titik berat dan skala prioritas rencana
pemerintah daerah untuk lima tahun berikutnya
adalah “untuk menciptakan landasan yang kuat dan
kemampuan untuk meraih peluang dan mengatasi
tantangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi
daerah dan globalisasi ekonomi”. Hal tersebut akan
dilakukan dengan mengelola dan mengembangkan
sektor perikanan dan kelautan, sektor perkebunan
dan kehutanan, industri dan perdagangan,
pertambangan dan sektor pariwisata yang di dukung
oleh pengembangan kualitas SDM secara memadai.
Dengan mengembangkan sektor-sektor
tersebut, diharapkan dapat menciptakan lapangan
kerja dan meningkatkan pendapatan daerah yang
akan dapat digunakan untuk perbaikan dan
peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan
publik bagi seluruh lapisan masyarakat.
Salah satu sektor yang cukup mendapatkan perhatian
oleh Pemerintah Provinsi Kalteng adalah sektor
perkebunan. Seperti diberitakan di berbagai media
dalam beberapa tahun terakhir, pembangunan
perkebunan sawit di Kalteng mengalami
perkembangan yang pesat. Dari data tahun 2004,
tercatat 75 perusahaan perkebunan sawit yang
mengajukan dan yang diberikan izin sudah
mengkonversi lahan tidak kurang dari 750 ribu hektar.
Pemerintah Provinsi Kalteng berencana akan
membangun perkebunan sawit sejuta hektar dengan
memanfaatkan lahan yang tersedia sekarang 1,7 juta
hektar. Rencananya, perkebunan sawit tersebut akan
dibangun di Kobar dengan luas 300 ribu hektar , di
Kotim dan Seruyan dengan luas 400 ribu hektar, serta
300 ribu hektar di Barito dan Kapuas.[1]
Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Kalteng
dimulai pada tahun 1992, yaitu ketika beberapa
perusahaan swasta membuka lahan di Kotawaringin
Barat (Kobar) dan Kotim. Pada awalnya,
pembangunan perkebunan sawit difokuskan di bagian
Barat Provinsi Kalteng, sehingga pada tahun 1995
wilayah tersebut telah siap produksi. Sedangkan di
bagian Timur masih dalam tahap pembukaan lahan
(land clearing). Kemudian sejak tahun 1998, terjadi
ekspansi secara besar-besaran di subsektor
perkebunan sawit hingga empat tahun kemudian.
Beberapa perusahaan perkebunan sawit yang
beroperasi di sana adalah: PT. Astra Argo Lestari
Group, PT. Asam Jawa Group, PT. Graha Group, PT.
Salim Group, PT. Sinar Mas Group, dan lain-lain.
Namun, tidak terdapat satu pun perusahaan milik
negara atau pun perusahaan milik pemerintah daerah
hadir di sana.
Jumlah penduduk Provinsi Kalteng pada tahun 2002 berjumlah 1.874.900 jiwa dengan perbandingan 49% perempuan dan 51% laki-laki. Perbandingan luas wilayah dengan jumlah penduduk menunjukkan tingkat kepadatan penduduk Provinsi Kalimantan Tengah tergolong kurang padat yaitu 12 jiwa/Km. Terdapat perbedaan kepadatan penduduk yang cukup berarti, dimana Kota Palangka Raya sebagai ibukota provinsi Kalteng merupakan kota dengan kepadatan paling tinggi 71,50 jiwa/KM2, sedangkan Kabupaten Barito Utara merupakan Kabupaten dengan kepadatan penduduk paling rendah yaitu 6,30 jiwa/KM2.
Area hutan yang luas yang dimiliki merupakan sumber ekonomi
yang sangat berarti dalam menggerakkan roda pembangunan
Provinsi Kalteng. Terlebih setelah keluarnya beberapa peraturan
perundang-undangan seperti UU No. 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing, UU No. 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan dan PP No. 21 Tahun 1970
tentang Hak Penguasaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil
Hutan, kegiatan eksploitasi hutan secara besar-besar telah
berlangsung di wilayah ini. Hal ini terlihat dari banyaknya
perusahaan HPH yang beroperasi sejak awal tahun 1970-an di
hampir seluruh wilayah provinsi ini. Tercatat tidak kurang dari
116 perusahaan HPH yang pernah beroperasi di Provinsi
Kalimantan Tengah, dengan luas area konsesi 12.023.000 hektar.
Klasifikasi Hutan Menurut Fungsi dan Luasnya
(Tahun 2002)[2]
No Wilayah hutan Luas (Ha)1 Hutan lindung 1.029.527,322 Hutan suaka alam & wisata 744.596,003 Hutan produksi terbatas 4.056.911,604 Hutan produksi tetap 4.461.322,885 Hutan bakau 832.573,556 Hutan rakyat 13.359,007 Cagar alam 218.534,578 Taman nasional 409.861,869 Cagar budaya 678,1210 Taman wisata 17.128,9611 Suaka margasatwa 72.898,33
Perkembangan industri di Kalteng pada umumnya,
dan Kabupaten Kobar, dan Kotim (termasuk Seruyan)
sedang mengalami proses transisi dari industri kayu
menjadi perkebunan berskala besar. Meskipun
industri kayu masih merupakan sumber pendapatan
daerah yang cukup besar, namun dengan semakin
menipisnya hutan yang tersedia telah membuat
pemerintah daerah mencari alternatir sumber
pendapatan daerah yang lain. Sebagai misal, antara
tahun 1994 hingga 1997, di Kabupaten Kotim telah
terjadi peningkatan luas area perkebunan sawit
swasta yang cukup besar dari 10.987 hektar menjadi
52.595 hektar, sedangkan perkebunan sawit
smallholder meningkat dari 3.218 hektar menjadi
10.641 hektar.
Menurut survei yang dilakukan oleh JICA,
pembangunan perkebunan sawit dalam skala besar
sangat potensial dilakukan di wilayah Danau
Sembuluh dan sekitarnya.[3] Hal itu dikarenakan
wilayah tersebut relatif datar, tanahnya sangat cocok
dan kepadatan penduduknya sangat rendah. Jika
pembangunan jalan dilakukan, maka akses
transformasi ke daerah itu menjadi sangat mudah.
Pada bulan Februari 2004, telah terdapat 26 investor
Perusahaan Besar Swasta (PBS), baik dari Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman
Modal Asing (PMA) yang masuk ke Kabupaten
Seruyan. Total investasi diperkirakan mencapai Rp
15,6 Trilyun dengan rincian masing-masing
pengusaha menanamkan modalnya Rp 600 Milyar dan
setiap investor rata-rata memiliki lahan perkebunan
kelapa sawit seluas 20.000 hektar. Hingga bulan Juni
2004, perusahaan Sawit yang telah mengajukan izin
bertambah menjadi 33 perusahaan dan yang sudah
memperoleh izin sebanyak 16 perusahaan
perkebunan dan yang sudah beroperasi sebanyak 11
perusahaan perkebunan sawit dan enam CPO.
Sejumlah investor juga menyatakan bersedia untuk
membangun pelabuhan dan pabrik pengolahan
minyak (CPO). Dengan demikian, diharapkan program
pekerbunan sawit akan menarik sebanyak lebih
1.000.000 tenaga kerja.
Pemerintah Kabupaten Seruyan berencana
membangun pelabuhan khusus minyak kelapa sawit
mentah yang akan diberi nama Pelabuhan Samudra
CPO Teluk Segintung. Pelabuhan ini akan dibangun
dengan luas 500 hektar dan jika dibangun sesuai
dengan rencana, maka pelabuhan ini akan menjadi
pelabuhan terbesar di Asia Tenggara. Biaya
pembangunan pelabuhan Segintung akan dimasukkan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) 2005, dan tahun berikutnya. Dengan
pembangunan pelabuhan ini, pemerintah
berharapdapat menarik lebih banyak investor dari luar
maupun dalam negeri ke Seruyan, terutama investasi
dalam pembangunan pabrik CPO. Hingga saat ini, di
Seruyan telah terdapat 23 pabrik CPO, sembilan di
antaranya sudah beroperasi, dan satu lagi masih
dalam tahap pembangunan.
Meskipun hingga saat kini, sektor kehutanan[4] masih
menjadi andalan sumber pendapatan daerah
Kabupaten Seruyan, namun ke depan, tampaknya
perkebunan akan menjadi primadona sumber
pendapatan daerah. Terutama perkebunan kelapa
sawit yang telah menjadi aset perkebunan utama
selama ini. Pada saat ini, pembangunan perkebunan
kelapa sawit telah menempati lahan seluas 78.871
hektar, dan terus dikembangkan dengan membuka
lahan-lahan baru. Pusat tanaman kelapa sawit berada
di tiga dari lima kecamatan, yaitu Danau Sembuluh,
Hanau, dan Seruyan Tengah. Akan tetapi, yang baru
tercatat menghasilkan di Kecamatan Hanau dengan
produksi 2.814 ton.[5]
Pengembangan ekonomi di kabupaten ini didasarkan
pada karakteristik masing-masing kecamatan. Jika
Seruyan Tengah, Hanau, dan Danau Sembuluh
memiliki perkebunan kelapa sawit, Seruyan Hulu
memiliki rotan, Seruyan Hilir memiliki wilayah
potensial bagi pengembangan budidaya tambak
udang dan area persawahan. Dibandingkan dengan
kecamatan lain, Seruyan Hilir terhitung memiliki jenis
tanah yang lebih baik untuk ditanami padi atau
tanaman pangan lainnya. Hasil tambak yang di
antaranya budidaya udang windu biasanya dibawa ke
Pulau Jawa kemudian diekspor ke mancanegara,
khususnya Jepang ton.[6]
Masuknya perkebunan Sawit di Sekitar
Sembuluh
Secara administratif, sejak tahun 2003, Kecamatan
Danau Sembuluh berada di wilayah Kabupaten
Seruyan. Sebelumnya, Danau Sembuluh termasuk
dalam wilayah Kabupaten Kotim. Pembentukan
Kabupaten Seruyan berdasarkan UU RI No. 5 Tahun
2002 yang termuat dalam Lembaran Negara RI No. 18
tahun 2002. Kabupaten Seruyan memiliki wilayah
seluas 16.404 kilometer persegi yang terdiri dari lima
kecamatan dan 91 desa. Menurut data tahun 2004,
Kabupaten Seruyan memiliki jumlah penduduk
sebanyak 112.767 jiwa, dengan kepadatan penduduk
berkisar 6 jiwa/kilometer persegi dan pertumbuhan
penduduk 5,59%.
Berdasarkan paparan Bupati Kabupaten Seruyan
tahun 2004, telah terdapat 32 PBS yang akan
beroperasi di Seruyan, baik yang berasal dari
investasi dalam negeri maupun asing (PMDN/PMA).
[7] Saat ini sembilan PBS telah beroperasi dan
memiliki pabrik CPO. Sebanyak 16 PBS sedang
menjalankan kegiatannya yang diperkirakan telah
mencapai 50-70%. Kemudian sebanyak tujuh PBS
telah mendapatkan izin dan sedang mengurus izin
lokasi, sedangkan lima PBS masih menunggu
memperoleh izin prinsip/lokasi. Diperkirakan pada
tahun 2009/2010, sebanyak 25 PBS akan beroperasi
dan memiliki CPO, dan tujuh PBS lainnya akan
beroperasi pada tahun berikutnya.
Total nilai ivestasi dari ke 32 PBS diperkirakan
sebanyak 15 hingga 19,2 triliun rupiah. Nilai tersebut
berdasarkan asumsi yang dibuat oleh Bupati Seruyan,
yaitu: nilai investasi untuk satu hektar membutuhkan
dana sebanyak 25 juta rupiah dengan perincian biaya
sarana jalan,tempat-tempat ibadah, kesahatan,
pendidikan, penerangan, perumahan karyawan dan
perkantoran; pembangunan pabrik CPO dengan
kapasitas 60 ton TBS per jam membutuhkan dana
sebanyak 100 milyar rupiah, sedangkan pabrik CPO
dengan kapasitas 90 ton TBS per jam membutuhkan
dana sebanyak 120 milyar rupiah; dan nilai investasi
satu PBS dengan luas lahan sekitar 20 ribu hektar,
dimulai dari perencanaan, penyediaan lahan,
pembibitan, perawatan, produksi hingga
pembangunan CPO membutuhkan dana sekitar 600
milyar rupiah. Untuk ke 32 PBS tersebut, Kabupaten
Seruyan telah menyediakan lahan seluas 450.175
hektar untuk perkebunan sawit.
Kecamatan Danau Sembuluh memiliki wilayah seluas
250.000 hektar. Menurut data yang dikeluarkan
Badan Pusat Statistik (BPS) Kotim tahun 2001, jumlah
penduduk kecamatan Danau Sembuluh adalah 10.409
jiwa.[8] Semula. Sebagian besar wilayah Kecamatan
Dana Sembuluh merupakan hutan komersial, namun
dalam paduserasi RTRWP yang terbaru wilayah
tersebut akan dipergunakan untuk perkebunan,
khususnya kelapa sawit.
Dalam beberapa tahun terakhir, BPN telah
memberikan izin konsesi untuk perkebunan sawit
kepada 10 perusahaan di wilayah Kecamatan Danau
Sembuluh dengan luas 213.360 hektar. Namun, pada
pertengahan tahun 2000, kementrian kehutanan dan
perkebunan telah memberikan izin pelepasan
kawasan hutan untuk perkebunan sawit seluas 40.570
hektar kepada tiga perusahaan, yaitu PT Musi
Rawas Citra Harpindo, PT Bina Sawit Abadi Pratama I
and PT Agro Indomas (AI), yang kemudian
mendapatkan izin Hak Guna Usaha (HGU) dari BPN.
Pada tahun 2000 total area yang telah ditanami
16.142 hektar (Casson, 2001).
Perkebunan sawit di Kecamatan Danau
Sembuluh
dan sekitarnya[9]
No Perusahaan Lokasi Izin Luas Area (HGU)
1.
PT.Agro Indomas(1996)
Kec. Danau Sembuluh HGU
12,104 ha(12/HGU/BPN/98-6 April 1998)
2.PT. Mustika Sembuluh
Kec. Mentaya Hilir (Kuala Kuayan) Kotim
SK-Pelepasan Kawasan
15,994 ha(895/Kpts-II/1996.4/11/1996)3 thn 9 bln
3.PT. Indotruba Timur
Kec. Pembuang Hulu Izin Prinsip
9,750 ha(895/Menhut-VII/97.8/8/1997)
4.PT. Salawati Makmur
Kec. Danau Sembuluh Izin Prinsip
16,850 ha(487/Menhutbun-II/98. 8/4/1998)
5.PT. Rungau Alam Subur.
Kec. Danau Sembuluh Izin prinsip
6,7251625/Menhutbun-II/96.11 Nop.1996)
6.PT. Salonok Ladang Mas
Kec. Danau Sembuluh Izin Prinsip
12,715 ha(951/Menhutbun-VII/97. 26/8/97)
7.
PT. Sawit Mas Nugraha Perdana
Kec. Danau Sembuluh
Menyampaikan Permohonan.
12.000 ha(525/67/UT/1995.17/4/1995)
Perusahaan perkebunan sawit yang pertama kali
masuk ke Sembuluh adalah PT Agro Indomas (PT AI)
pada tahun 1996. Sebelum tahun 1996, PT AI
bernama PT Bohindomas Permain yang sahamnya
dimiliki oleh tiga perusahaan Malaysia yaitu Agro
Hope Sdn Bhd, Shalimar Developments Sdn Bhd, and
Cosville Holding Sdn Bhd, dan tujuh pengusaha asal
Indonesia.[10] Pada bulan Desember 1996, Badan
Pertanahan Nasional (BPN) memberikan izin kepada
PT AI untuk membangun perkebunan sawit seluas
12,104 hektar dan membangun pabrik CPO dengan
kapasitas produksi 60 ton per jam di wilayah Danau
Sembuluh. Pada saat itu, Danau Sembuluh masih
menjadi wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur
(Kotim). Pada tahun 1999, sebagian besar konsesi
yang diberikan telah ditanami, dan PT AI mengajukan
konsesi tambahan seluas 3,760 hektar yang izinnya
keluar pada tahun 2000. Diperkirakan, total investasi
yang dikeluarkan oleh PT AI adalah 43 juta dollar
Amerika yang kebanyakan dibiayai oleh Rabobank
Internasional dan Commonwealth Development
Corporation (CDC) yang bermarkas di Inggris.
Menurut survei awal yang dilakukan oleh PT AI,
sebagian besar lahan yang sekarang ditempati
merupakan alang-alang karena bekas perusahaan
kayu Inhutani III. Oleh karena itu, perusahaan tidak
perlu mendapatkan Izin Penebangan Kayu (IPK),
melainkan hanya izin pelepasan kawasan, dan Hak
Guna Usaha (HGU) (Casson, 2001). Namun, hasil
penelitian ANDAL yang dilakukan oleh PT Shantika
Mitra Wiguna pada tahun 1998, menyatakan bahwa
sebagian besar konsesi yang diberikan kepada PT AI
merupakan hutan sekunder di bawah Kementrian
Kehutanan.
Secara administratif, area perkebunan sawit milik PT
AI berada di wilayah desa Sembuluh I. Namun, Desa
Sembuluh II dan Dusun Lampasa merupakan desa
yang berada di dekat lokasi perkebunan PT AI juga
ikut terpengaruh atas hadirnya perkebunan tersebut.
Kehadiran PT AI telah menimbulkan gejolak di
masayarkat Sembuluh. Hal ini dikarenakan cara
mereka mengakuisisi lahan perkebunan yang
dianggap secara sepihak oleh masyarakat. PT AI mulai
membuka lahan sejak tahun 1996, dengan melakukan
pengukuran dan land clearing tanpa terlebih dahulu
melakukan perundingan dengan masyarakat. Bahkan
proses akusisi kebun dan ladang dilakukan tanpa
sepengetahuan masyarakat. Pada saat itu, PT AI
didukung oleh birokrasi dan aparat pemerintahaan.
Setelah masyarakat mengetahui adanya penggarapan
lahan tersebut, terjadi terjadi gejolak di masyarakat.
Pada saat itu, masyarakat belum berani melakukan
demonstrasi karena dianggap berbahaya bagi negara.
Namun ketika kekuasaan Orda Baru runtuh pada
tahun 1998, masyarakat baru berani melakukan
demonstrasi. Barulah kemudian, PT AI bersedia
melakukan negosiasi dengan menawarkan biaya ganti
rugi lahan yang telah digarap masyarakat selama
bertahun-tahun dengan uang sebesar Rp 50 permeter
persegi untuk kebun buah-buahan dan Rp 25 untuk
lahan ladang dengan tanaman ringan. Tawaran
tersebut dianggap merugikan masyarakat, sehingga
masyarakat semakin marah dan melakukan sabotase
dengan melakukan pemotongan jembatan yang biasa
digunakan PT AI untuk menggarap kebunnyapada
anggal 11 Nopember 1999.
Tentang akuisisi lahan secara sepihak memang
merupakan strategi yang dijalankan oleh PT AI
sebelum 1998. Seperti diakui oleh Berty, staf PT AI,
mengemukakan bahwa perusahaan menerapkan
strategi yang berbeda dalam mengakuisisi lahan milik
masyarakat sebelum tahun 1998 dan setelah tahun
1998. Jika sebelum tahun 1998, perusahaan membuka
dan menggarap lahan terlebih dahulu tanpa
bernegoisasi dengan masyarakat Sembuluh. Karena
pada prinsipnya, perusahaan perkebunan sawit telah
memperoleh izin dari Pemerintah Kabupaten Kotim.
[11] Pada saat itu, terdapat anggapan bahwa hutan di
sekitar Sembuluh adalah milik negara, dan bukan
milik masyarakat. Selain itu, menurut Berty, konteks
politik saat itu memang memberikan peluang lebih
besar kepada pemiliki modal daripada kepada
masyarakat.
Hal tersebut bertentangan dengan pendapat
masyarakat Sembuluh. Meskipun lahan tersebut tidak
bersertifikat, namun masyarakat telah menganggap
hutan dan ladang yang ada di sekitar mereka
merupakan milik bersama masyarakat desa.
Masyarakat menganggap bahwa mereka lebih
memiliki hak karena mereka lebih dahulu menempati
area tersebut.
Setelah tahun 1999, konteks politik nasional telah
berubah, dan muncul kebebasan politik di tingkat
masyarakat. PT AI kembali melakukan negosiasi
dengan masyarakat dengan difasilitasi oleh
pemerintah Kabupaten Kotim. Sesuai dengan
kesepakatan antara pemerintah Kabupaten Kotim dan
PT AI, setiap satu hektar lahan diganti dengan uang
Rp 425.000.
Pada tahun 1999, Danau Sembuluh masih termasuk
dalam wilayah administratif Kabupaten Kotim. Setelah
UU UU No. 22 dan 25 tahun 1999 tentangOtonomi
Daerah dirilis, pemerintah daerah sangat mendukung
pembangunan perkebunan sawit di wilayah
Kecamatan Danau Sembuluh. Karena, perusahaan
perkebunan dapat meningkatkan pendapatan daerah,
termasuk meningkatkan pendapatan dari sektor pajak
dan pendapatan masyarakat yang bekerja di
perusahaan perkebunan sawit. Hingga tahun 2001,
telah terdapat 11 perusahaan perkebunan sawit yang
beroperasi di Kabupaten Kotim, yaitu: PT. Agro
Indomas, PT. Lestari Unggul Jaya, PT. Kridatama
Lancar, PT. Musi Rawas, PT. Bina Sawit, PT. Kerry
Sawit, PT. Uni Primacom, PT. Hati Prima, PT. Bumi
Hutan Lestari, PT. Surya Barokah and PT. London
Sumatera (Casson, 2001). Dengan 11 perusahaan
tersebut, diharapkan dapat memproduksi 178.200 ton
CPO per hari, dan 49.500 ton PKO per hari.
Pemerintah Kabupaten Kotim berharap bahwa uang
yang diputar untuk produksi di atas adalah 2.4 juta
Dolar Amerika dan diharapkan meningkat lagi pada
tahun 2005 menjadi 10 juta Dolar Amerika. Revenue
yang diharapkan diperoleh dari pajak perusahaan
adalah Rp 5.000 per ton minyak sawit yang diproduksi
(Casson, 2001)
Sejak tahun 2003, Kabupaten Kotim dimekarkan
menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Kotim,
Kabupaten Seruyan, dan Kabupaten Katingan. Dari 11
perusahaan perkebunan tersebut, beberapa di
antaranya masuk ke dalam wilayah Kabupaten
Seruyan, seperti PT Agro Indomas (PT AI), dan PT
Kerry Sawit Indonesia (PT KSI).[12]
Perubahan yang signifikan sejak dikeluarkannya UU
No. 22 dan 25 tahun 1999 adalah soal kontrol dan
pemberian izin pembangunan perkebunan yang
dilakukan oleh pemerintahan di tingkat lokal. Sebelum
ini, untuk mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU),
perusahaan perkebunan sawit harus mendapatkan
rekomendasi dari dinas pertanian di tingkat provinsi
yang dapat melepaskan lahan atas permintaan
kementerian kehutanan dan perkebunan untuk
melepaskan lahan hutan dan kantor menteri pertanian
untuk melepaskan izin prinsip. Namun, seringkali,
untuk mengurus proses izin tersebut dibutuhkan
waktu antara lima hingga sepuluh tahun, dan dalam
prosesnya membutuhkan biaya tambahan (suap)
untuk mempercepat proses tersebut. Dengan
dikeluarkannya UU tersebut, diharapkan pemerintah
pusat dapat menyerahkan izin alokasi kepada
pemerintahan lokal di masa yang akan datang,
sehingga proses-proses yang memperlambat
pengurusan perizinan dapat diatasi.[13]
Respon Masyarakat Atas Hadirnya Perkebunan
Sawit di Sekitar Sembuluh
Antara tahun 1996 hingga 1999, sebagian besar
masyarakat Sembuluh masih menolak kehadiran
perkebunan sawit di Sembuluh, namun, setelah 2001
banyak di antara masyarakat yang kemudian
melepaskan tanahnya kepada perusahaan
perkebunan sawit. Meskipun demikian, tidak berarti
proses pendirian perkebunan sawit berjalan lancar,
karena proses pelepasan lahan milik masyarakat
kepada perusahaan perkebunan sawit berjalan lambat
sehingga menghabiskan waktu banyak. Akibatnya,
pihak perusahaan juga merasa dirugikan secara
material atas tertundanya pendirian perkebunan
sawit. Munculnya kelompok dalam masyarakat yang
menolak kehadiran perkebunan sawit di sekitar
tempat tinggal mereka telah menimbulkan konflik
vertikal dan horisontal, yaitu antara masyarakat
dengan pihak pengelola perkebunan sawit, dan antar
kelompok dalam masyarakat.
Meskipun perusahaan perkebunan sawit berhasil
melakukan land clearing, penanaman kelapa sawit, di
saat krisis ekonomi tengah berlangsung, namun
mereka harus menghadapi penolakan dari beberapa
kelompok masyarakat di Sembuluh, dan juga
kelompok masyarakat sipil di tingkat nasional dan
internasional (Casson, 2001). Terutama PT AI yang
beroperasi di sekitar desa Sembuluh, mereka harus
menghadapi demonstrasi dan sabotase yang
dilakukan oleh kelompok masyarakat yang merasa
dirugikan atas beroperasinya perkebunan kelapa
sawit milik PT AI.
Sejak awal masuknya PT AI[14] di sekitar Sembuluh
memang sudah menimbulkan konflik. Proses
masuknya PT AI sejak tahun 1995/1996, saat itu
melakukan pengukuran dan land clearing tanpa ada
proses perundingan dengan masyarakat Sembuluh.
Kebun dan ladang yang terdapat di sekitar Sembuluh
digarap tanpa sepengetahuan masyarakat. Seperti
disinggung sebelumnya, BP, seorang staf PT AI,
mengakui bahwa perusahaan menerapkan strategi
mengakuisisi lahan milik terlebih dahulu tanpa
negosiasi dengan masyarakat. Strategi ini dilakukan
sebelum tahun 1998, karena menurut pihak
perusahaan telah memperoleh izin dari Pemerintah
Kabupaten Kotim. Pada saat itu, terdapat anggapan
bahwa hutan di sekitar Sembuluh adalah milik negara,
dan bukan milik masyarakat. Selain itu, konteks politik
saat itu (masa rejim Orde Baru) memang memberikan
peluang lebih besar kepada perusahaan daripada
kepada masyarakat.
Beberapa waktu kemudian masyarakat menjadi resah
karena lahan tempat mereka berladang berubah
menjadi area perkebunan sawit milik PT AI.
Perusahaan membuat patok-patok dan membabat
ladang beserta isinya dan kemudian menanamnya
dengan tunas kelapa sawit. Karena merasa hak-
haknya terabaikan, masyarakat mulai mengorganisir
diri mereka untuk melakukan demonstrasi. Upaya
demonstrasi dilakukan pertama kali oleh masyarakat
pada 12 Juni 1997 ke DPRD Kabupaten Kotim (pada
saat itu Desa Sembuluh masih merupakan bagian
wilayah administratif Kabupaten Kotim). Pada saat itu,
masyarakat Sembuluh bersama-sama dengan
penduduk Dusun Lampasa dan Tabiku serta penduduk
Desa Bangkal menuntut ganti rugi lahan yang diklaim
milik mereka kepada PT AI. Demonstrasi yang diikuti
sekitar 300 orang menyatakan bahwa sebanyak 113
lahan milik masyarakat yang nilainya sebesar Rp 400
juta belum dibayar oleh PT AI. Padahal, sebelumnya
telah terjadi kesepakatan antara pihak masyarakat
dengan PT AI. Masyarakat menganggap bahwa
penundaan pembayaran ganti rugi lahan merupakan
kesengajaan pihak perusahaan untuk mengulur-ulur
waktu.
Sesungguhnya, kejengkelan masyarakat terhadap PT
AI tidak hanya berakar pada persoalan ganti rugi
lahan yang belum dibayarkan. Tetapi, pada
proses land clearing yang dilakukan oleh PT AI telah
menyebabkan konflik antara masyarakat Desa
Terawan dengan Desa bangkal (keduanya berbatasan
langsung dengan Desa Sembuluh) karena persoalan
batas tanah. Selain itu, terdapat makam yang
dianggap keramat oleh masyarakat yang terletak di
Sungai Dilam dekat Desa Terawan yang turut
“dibersihkan” oleh PT AI. Hal lain yang dianggap
merugikan masyarakat adalah cara PT AI
membersihkan lahan dengan membakar hutan.
Karena, selain menimbulkan dampak polusi,
masyarakat juga sering menjadi sasaran tuduhan
sebagai pembakar hutan oleh pemerintah.
Merespons demonstrasi masyarakat tersebut, PT AI kemudian
bersedia memberikan ganti rugi lahan tahap I yang dilakukan
pada tahun 1998. Namun, ganti rugi tersebut tidak dianggap
tidak memuaskan dari pihak masyarakat, karena PT AI hanya
memberi Rp 50 per meter persegi untuk kebun buah-buahan dan
Rp 25 per meter untuk lahan ladang dengan tanaman ringan.
Namun pada saat yang, PT AI juga masih melakukan land
clearing untuk memperluas area perkebunan sawit. Situasi
tersebut membuat masyarakat semakin marah dan berencana
melakukan aksi lebih lanjut. Pada 18 Oktober 1999 mereka
melakukan aksi ke DPRD yang kemudian diteruskan dengan
pemotongan jembatan milik PT AI pada 11 November 1999.
[15] Aksi sabotase ini dipimpin oleh Wardian, salah satu tokoh
masyarakat Sembuluh dan diikuti oleh 300 warga Sembuluh, dan
Desa Bangkal serta Terawan.
Adapun isu yang diangkat oleh masyarakat Sembuluh dalam aksi
tersebut tidak hanya menuntut masalah ganti rugi lahan saja,
tetapi masyarakat juga menuntut:
Penyelesaian konflik yang terjadi antara perusahaan dan
masyarakat;
(1) Perusahaan harus menanggulangi bahaya yang akan
mengancam akibat kerusakan lingkungan;
(2) Perusahaan perkebunan harus dapat memberikan jaminan
untuk meningkatkan kesejahteraan dimasa datang karena
berbagai bidang usaha rakyat sudah banyak yang terganggu
dan hilang.
Konflik antara masyarakat Sembuluh dan PT AI telah
menarik perhatian kalangan LSM lokal, dan nasional.
Untuk LSM lokal, Yayasan Tahanjungan Tarung (YTT)
telah hadir memberikan advokasi dan pendampingan
terhadap masyarakat Sembuluh. Kemudian, Walhi dan
Sawit Watch merupakan LSM nasional yang sampai
sekarang aktif memberikan dukungan dan advokasi
terhadap masyarakat Sembuluh. Bahkan Down To
Earth (DTE), sebuah LSM internasional juga turut
mengkampanyekan perlindungan hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat Sembuluh. Kelompok-kelompok
tersebut menganggap bahwa perusahaan telah
mengambil lahan milik masyarakat tanpa
mempertimbangkan pembayaran yang memadai,
atau dalam beberapa kasus tidak ada kompensasi
sama sekali, melanggar adat, dan meningkatkan
konflik dan kemiskinan penduduk di sekitar
perkebunan. Khususnya, penduduk yang
menggantungkan hidupnya pada ladang dan hutan,
karena perkebunan telah menempati lahan dan hutan
yang biasanya digunakan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Sebagai misal, DTE dalam terbitannya No. 49, Mei
2001 mengatakan bahwa di balik kerusuhan etnis di
Kalimantan Tengah tahun 2001 terdapat persoalan
peminggiran secara ekonomi dan pembatasan akses
sumberdaya alam tehadap masyarakat lokal.
[16] Menurut DTE, masyarakat tidak bisa lagi hidup
dari perkebunan hutan dan penebangan kayu skala
kecil begitu perusahaan kayu menggunduli kayu-kayu
yang bernilai. Tepatnya, sejak perusahaan
perkebunan masuk untuk menghabiskan hutan yang
tersisa, cenderung memanfaatkan pekerja pendatang
daripada orang Dayak. Banyak diantara mereka
adalah pendatang spontan, orang-orang dari pulau-
pulau lain yang mencari kesempatan untuk
mendapatkan tanah dan membangun usaha dagang
kecil. Selain itu, DTE juga menulis kepada Clare Short,
Menteri Inggris untuk Pembangunan Internasional
pada Bulan Februari mendesak agar mengangkat
kerusuhan Kalteng dalam pertemuan kreditur CGI
Bulan April dan “menekan” pemerintah Indonesia
untuk bertindak dalam masalah-masalah dibalik ini,
termasuk penolakan hak adat atas tanah dan hak atas
sumber-sumber lain. Surat itu juga menyatakan
bahwa seharusnya departemennya mengambil
tindakan, karena CDC, badan investasi swasta yang
semua sahamnya dimilik DFID[17], sudah menanam
modal di subsektor perkebunan kelapa sawit di
Kalteng dan Kalbar.[18]
Penduduk di dusun Lampasa dan
Tabiku[19] merupakan komunitas yang paling
terpengaruh atas pembangunan perkebunan sawit di
sekitar tempat tinggal mereka. Karena, tempat tinggal
mereka sangat dekat dengan lokasi perkebunan
kelapa sawit. Pada saat saya melakukan penelitian
lapangan yang kedua (Juli-Agustus 2005), telah hadir
perusahaan perkebunan sawit yang baru, PT
Hamparan, yang telah melakukan land clearing di
sekitar satu kilometer dari perkampungan penduduk
di dusun Tabiku. Ini berarti bahwa masyarakat Tabiku
hanya memiliki lahan untuk berladang seluas satu
kilometer dari kampung mereka.
Sebelum perusahaan perkebunan berdiri, masyarakat
menggantungkan hidupnya pada hutan, danau dan
perladangan. Masyarakat Sembuluh tidak
mengembangkan sistem pertanian permanen seperti
petani di Jawa dan Bali, melainkan mengembangan
sistem perladangan berpindah. Namun setelah hadir
perkebunan di sekitar mereka, kini masyarakat harus
mencari tempat yang sangat jauh, seringkali harus
mencari lahan di luar desa mereka untuk
mendapatkan bahan-bahan kayu dan non kayu untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka.
Karena, akses terhadap lahan telah dibatasi oleh
perusahaan perkebunan.
Setelah tahun 1998, konflik antara PT AI dengan
masyarakat Sembuluh semakin meningkat.
Peningkatan itu ditandai dengan semakin seringnya
masyarakat melakukan demonstrasi. Pemerintah
Kabupaten Seruyan telah mengambil langkah-langkah
untuk menyelesaikan konflik. Namun, upaya-upaya
tersebut ditengarai oleh masyarakat Sembuluh
sebagai pihak yang membela kepentingan
perusahaan. Pemerintah sangat mendukung
perusahaan perkebunan seperti PT AI karena mereka
percaya bahwa perusahaan perkebunan akan menjadi
sumber ekonomi yang penting bagi pemerintahan
daerah dan dapat meningkatkan pemasukan daerah
terutama di masa otonomi daerah. Karena, jika
pembangunan perkebunan milik PT AI berhasil,
pemerintah daerah berharap akan dapat menarik
investor lebih banyak lagi ke wilayah mereka.
Di sisi lain, upaya untuk melindungi perusahaan dari
sabotase masyarakat juga dilakukan oleh PT AI
dengan mendatangkan 23 orang Pasus dari kelompok
masyarakat Dayak Kahayan dan Maanyan (YTT,
2001). Pasus ini dipekerjakan oleh PT AI sebagai
Satuan Pengamanan (Satpam) perusahaan, yang
kebanyakan dari mereka adalah milisi sipil yang
pernah terlibat pada konflik etnis di Sampit pada
2001- 2001 lalu. Tim YTT (2001) mensinyalir bahwa
tujuan dari pihak perusahaan merekrut mereka adalah
untuk mengintimidasi masyarakat agar masyarakat
tidak berani demonstrasi atau mengganggu
kelancaran operasional perusahaan.[20]
Melihat dari indikasi akan terjadinya konflik kekerasan di atas,
Pemerintah Kabupaten Kotim menfasilitasi terbentuknya tim kecil
untuk menyelesaikan konflik tanah yang terjadi antara
masyarakat dengan PT AI. Tim tersebut terbentuk pada 10
Februari 2001, yang beranggotakan masing-masing lima orang
dari tiap desa (Desa Sembuluh I, Sembuluh II, Dukuh Lanpasa,
Desa Terawan, Desa Bangkal). Tugas tim kecil tersebut adalah
untuk memnverifikasi data-data lahan yang tumpang tindih.
Namun tim ini ditolak oleh masyarakat karena ganti rugi lahan
yang ditetapkan oleh tim ini sangat kecil. Lahan-lahan milik
masyarakat hanya diganti sebesar Rp 40.000 per hektar, dan
pihak perusahaan tidak akan mempertimbangkan apakah di lahan
tersebut terdapat tanam tumbuhnya atau tidak. Padahal, tim
sebelumnya yang dibentuk oleh masyarakat, yang disebut
dengan “Tim 9” pada 26 Oktober 2000, telah menetapkan harga
tanah yang terdapat tanam tumbuhnya seharga Rp 600.000, per
hektar dan yang tidak ada tanam tumbuhnya Rp 400.000. per
hektar. Namun, perusahaan tidak mematuhi keputusan yang
dibuat “tim 9” tersebut, dan tetap mengacu pada pertemuan
tanggal 10 Februari 2001 dengan dalih telah disaksikan aparat
Pemerintah Kabupaten Kotim.
Pada saat proses negosiasi berlangsung, masnyarakat
menganggap bahwa PT AI tidak memperlihatkan hubungan sosial
yang terhadap masyarakat Sembuluh dan sekitarnya. Pihak
perusahaan hanya berkomunikasi dengan masyarakat jika ada
keperluan yang berkaitan dengan persoalan ganti rugi tanah.
Menurut laporan YTT, pihak PT AI hanya menjalin hubungan sosial
secara baik dengan masyarakat dari Desa Terawan. Hal ini
dikarenakan kebanyakan tenaga kerja perusahaan berasal dari
desa tersebut. Karena hubungan baik dengan perusahaan
tersebut, hampir sebagian besar penduduk Desa Terawan
bersedia melepas lahan mereka kepada perusahaan. Bahkan
tidak jarang para pekerja tersebut menjadi tameng saat terjadi
konflik dengan masyarakat Sembuluh dan desa-desa lain.
Pada tahun 2000-2003, persoalan limbah dari pabrik CPO PT AI
juga mewarnai pembicaraan masyarakat sehari-hari. Meskipun,
limbah hasil pembuangan sisa pengolahan CPO tersebut di
tampung di tempat- tempat penyaringan yang telah dipersiapkan
sebanyak 10 tahapan, namun pada saat hujan turun tidak
menutup kemungkinan meluap dan kekhawatir masyrakat akan
mengalir ke aliran-aliran sungai di daerah Desa Terawan. Pada
saat itu, pihak perusahaan mengantisipasi dengan menyedot
limbah tersebut ke mobil-mobil truk tangki yang kemudian akan
di semprotkan ke kebun-kebun sawit mereka. Hasil monitoring
yang dilakukan oleh YTT (2001), terdapat empat anak sungai dari
Sungai Rungau berpotensi terkena pencemaran dari hasil limbah
yang di timbulkan oleh pabrik CPO PT AI, yaitu: Sungai Ramania,
Sungai Dilam, Sungai Teluk Pikin, dan Sungai Tabang Tangkung.
Berbeda dengan persoalan yang dihadapi di Lampasa,
masyarakat khawatir dengan dampak
dari pemupukan yang di lakukan pihak perusahaan PT
AI terhadap tanaman sawit yang sangat dekat dengan
Sungai Peringi. Pupuk yang ditengarai penuh dengan
bahan kimia tersebut, jika musim penghujan
dikuatirkan akan mengalir ke Sungai Peringi tempat
penduduk Lampasa biasa mandi, mencuci, dan
mengambil air untuk dimasak.
Dirilisnya UU No. 22 dan 25 tentang Otonomi Daerah
(Otda), tidak sekaligus memudahkan akses
masyarakat terhadap sumberdaya alam di sekitarnya.
Tetapi sebaliknya, pemerintahan kabupaten Kotim
semakin menunjukkan keberpihakan dan
dukungannya kepada PT AI, dan juga perusahaan-
perusahaan perkebunan sawit lainnya. Hal ini terbukti
dengan diberikan kemudahan bagi perusahaan
perkebunan sawit yang beroperasi di sana, sedangkan
di lain pihak lahan masyarakat semakin dipersempit.
Hingga bulan Juni 2000, terdapat 11 perusahaan
perkebunan sawit yang beroperasi di wilayah
tersebut, yaitu PT. Agro Indomas, PT. Lestari Unggul
Jaya, PT. Kridatama Lancar, PT. Musi Rawas, PT. Bina
Sawit, PT. Kerry Sawit, PT. Uni Primacom, PT. Hati
Prima, PT. Bumi Hutan Lestari, PT. Surya Barokah, dan
PT. London Sumatera. Pemerintah daerah
berkeyakinan bahwa perusahaan perkebunan sawit
merupakan komoditas andalan masa depan bagi
Kabupaten Kotim karena dapat meningkatkan
pendapat asli daerah (Casson, 2001).
Seperti disebutkan pada bab sebelumnya, pada tahun
2003 Kabupaten Kotim dimekarkan menjadi tiga
wilayah kabupaten, di mana wilayah Kecamatan
Danau Sembuluh menjadi bagian dari Kabupaten
Seruyan. Sebagai kabupaten baru, Seruyan
mempunyai beban yang sangat besar karena jika
dalam lima tahun pertama gagal menjalankan
aktivitasnya secara mandiri maka seluruh wilayah
Seruyan akan dikembalikan ke Kabupaten semula
(Kotim). Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan
PAD dengan cara mendatangkan investor dalam
subsektor sawit sebanyak mungkin. Akibat dari upaya-
upaya untuk meningkatkan PAD tersebut telah
mengabaikan kepentingan masyarakat. Upaya Bupati
Seruyan untuk menarik investor asing di subsektor
perkebunan sawit dianggap oleh sebagian masyarakat
Sembuluh sebagai “kebijaksanaan gila-gilaan” karena
dapat menghancurkan kehidupan masyarakat lokal
(Acciaioli, 2005). Kebijakan yang dibuat bupati telah
menimbulkan konflik sosial, baik antara masyarakat
dengan perusahaan perkebunan sawit maupun antar
kelompok masyarakat sendiri.
Selain itu, figur dari Bupati Seruyan H. Darwan Ali juga
ditengarai sebagai pihak yang tidak membela
kepentingan masyarakat.[21] Sebelum menjadi
bupati, dia adalah seorang kontraktor dan pengusaha
yang menjalankan aktivitasnya di Sampit (ibukota
Kabupaten Kotim) dan Kuala Pembuang (ibukota
Kabupaten Seruyan). Kemudian, pada pertengahan
tahun 1990 an, H. Darwan Ali mulai aktif di Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan
kemudian berhasil meraih posisi sebagai kepala
cabang Kabupaten Kotim. Sebagai pengusaha, H.
Darwan Ali tidak dapat dikatakan sukses, bahkan
beberapa kali hampir bangkrut, tapi berhasil bangkit
karena pada dasarnya ulet dan licin. Sebelum menjadi
bupati, dia pernah dikabarkan terjerat hutang dalam
jumlah yang besar, namun kabar tersebut tidak
terdengar lagi setelah menjabat bupati. Menurut
informasi dari staf Pemkab Seruyan, H. Darwan Ali
memiliki saham di beberapa perusahaan perkebunan
sawit yang ada di Kecamatan Danau Sembuluh.
[22] Oleh karena itu, wajar jika H. Darwan Ali
cenderung membela kepentingan perusahaan
perkebunan sawit daripada kepentingan masyarakat.
Pada tahun 2003, satu lagi perusahaan perkebunan
sawit, yaitu PT KSI beroperasi di sekitar Sembuluh.
[23] Berbeda dengan kasus PT AI, PT KSI relatif tidak
menimbulkan konflik kekerasan dengan masyarakat
Sembuluh. Hal ini dikarenakan beberapa
alasan. Pertama, segala ketentuan mengenai
persoalan ganti rugi tanah masyarakat telah
dinegosiasikan dengan penduduk sebelum
perusahaan mulai melakukan land clearing. Berbeda
dengan PT AI yang menggarap lahan terlebih dahulu
baru kemudian dinegosiasikan, PT KSI akan
menggarap lahan jika persoalan ganti rugi sudah
benar-benar selesai. Hal ini juga dikarenakan
pengaruh reformasi di mana masyarakat semakin
berani menuntut kepada perusahaan maupun
pemerintah jika haknya dilanggar.
Kedua, jumlah masyarakat yang ingin menjual
lahannya juga semakin besar, dan masyarakat yang
menolak menjual lahan juga semakin sedikit. Setelah
tahun 2003, masyarakat Sembuluh tidak lagi malu-
malu menjual lahan yang diklaim miliknya kepada
perusahaan perkebunan sawit. Bahkan beberapa
masyarakat ada yang menjadi calo penjualan tanah
milik masyarakat kepada perusahaan perkebunan
sawit.
Ketiga, mengenai harga lahan per hektar telah banyak
dibahas sebelumnya dengan PT AI dan Pemerintah
Kabupaten Seruyan, sehingga PT KSI hanya perlu
menyesuaikan dengan pembahasan sebelumnya.
Meskipun belum ada keputusan, namun antara
tuntutan masyarakat dengan ketentuan perusahaan
sudah jelas (namun belum ada kesepakatan),
mengenai harga per hektar dan juga mengenai tanam
tumbuh tanaman yang akan dihargai berdasarkan
umur, dan jenis tanaman. Pemerintah Kabupaten
Seruyan memang telah menentukan harga ganti rugi
lahan per hektar adalah Rp 350 ribu, namun
masyarakat belum sepakat dengan ketentuan
tersebut.
Namun demikian, tidak berarti tidak ada konflik sama
sekali. Seperti akan dibahas di sub bab berikutnya,
konflik tidak lagi antara masyarakat dengan
perusahaan, tetapi juga antar kelompok dalam
masyarakat, bahkan antara sesama masyarakat yang
ingin menjual lahan mereka kepada perusahaan
perkebunan.
Pada tanggal tanggal 5 Februari 2003, diadakan
pertemuan antara masyarakat dengan PT KSI
di Gedung SD Sembuluh II-I.[24] Pertemuan tersebut
di hadiri oleh Pihak PT KSI, yaitu manajer PT KSI, H.
Rahman, dan empat orang staf lapangan, aparat
keamanan, yaitu Kapolsek Danau Sembuluh, Ray
Saputra, dan dua orang anak buahnya, Sutiyono,
Mardi, serta Danramil Danau Sembuluh. Dari pihak
masyarakat hadir Kades Sembuluh I, Bambang
Wahyudi,[25] dan tokoh masyarakat Desa Sembuluh I
dan Sembuluh II. Acara yang dipandu oleh Kades
Sembuluh I tersebut membicarakan tentang sejauh
mana masyarakat dapat menerima kehadiran
perusahaan perkebunan sawit di wilayah mereka.
Pada kesempatan tersebut, sebagian masyarakat
meminta ganti rugi lahan yang diambil oleh PT KSI
dengan nilai sebesar Rp 1 juta per hektar. Beberapa di
antara masyarakat ada pula yang meminta mengganti
tanaman sawit dengan tanaman karet jika sistem
plasma nanti dijalankan.
Selain itu, terdapat sebagian masyarakat yang tidak
dapat menerima sawit sama sekali, dengan alasan
kelangsungan hidup mereka. Tapi di lain pihak
terdapat pula sebagian masyarakat yang sangat
setuju sekali, karena kehadiran perkebunan kelapa
sawit dapat memberi peluang pekerjaan. Kedua
kelompok ini berdebat secara tajam sehingga hampir
terjadi perkelahian antar kelompok masyarakat
sendiri. Karena Kades Sembuluh I tidak dapat
memandu lagi, maka pemandi rapat diambil oleh
Kapolsek Danau Sembuluh. Suasana menjadi semakin
panas dan kelompok masyarakat yang menolak
kehadiran perkebunan sawit keluar dari pertemuan.
Dan pertemuan tersebut tetap berlangsung dengan di
hadiri kelompok masyarakat yang pro perusahaan
perkebunan kelapa sawit. Alhasil, segala keputusan
yang dibuat dalam rapat tersebut ditolak oleh
kelompok yang anti perusahaan perkebunan sawut.
Setelah pertemuan tersebut, kelompok masyarakat
yang menolak perkebunan sawit berkumpul untuk
menyikapi persoalan tersebut dan menghasilkan
adanya surat pernyataan sikap yang di tujukan pada
Bupati Kabupaten Seruyan (Kuala Pembuang) dan di
tembuskan pada instansi serta Gubernur Daerah TK I
Palangkaraya. Selain itu, masyarakat juga membuat
surat kepada Kapolda Kalteng untuk mengadukan
Kapolsek yang di nilai intimidatif serta terlalu banyak
mencampuri persoalan di pertemuan tersebut dengan
keterlibatannya mengambil alih acara.
Pada tahun 2004, satu lagi perusahaan perkebunan
sawit, yaitu PT Salonok Ladang Mas (SLM) mulai
beroperasi di sekitar Sembuluh. Meskipun baru
beroperasi pada tahun 2004, PT SLM telah
mendapatkan izin pada 16 Maret 2001 dengan
nomor HK.350/205/Bun.5/III/2001 dengan luas brutto
area 17.500 hektar dan luas netto 12.000
hektar. Namun, aktivitas dari PT SLM masih tahap
negosiasi dengan masyarakat dan untuk lahan-lahan
yang sudah jelas statusnya telah dilakukan land
clearing. Hingga penelitian ke lapangan pada
pertengahan tahun 2005, PT SLM masih melakukan
negosiasi dengan masyarakat.
Sikap Masyarakat terhadap Perkebunan Sawit
Seperti diberitakan di berbagai media, terutama
media lokal, pada waktu proses pembukaan lahan
untuk area perkebunan, telah menimbulkan konflik
antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat
Sembuluh. Selain konflik, masuknya perusahaan
perkebunan sawit telah menimbulkan
beragam respon dari masyarakat Sembuluh. Pertama,
masyarakat menolak kehadiran perkebunan sawit di
sekitar desa mereka karena hampir kebanyakan lokasi
perusahaan menempati lahan milik
masyarakat. Kedua, masyarakat yang menerima
dengan senang hati karena diuntungkan dengan
proses pembangunan perkebunan sawit.
1. Kelompok Masyarakat yang Menolak Perkebunan
Sawit
Sebagian masyarakat Sembuluh menganggap bahwa
perusahaan perkebunan akan menghalangi akses
mereka terhadap sumber-sumber ekonomi mereka,
dalam hal ini hutan dan ladang tempat bekerja
masyarakat. Alasan masyarakat Sembuluh menolak
hadirnya perkebunan sawit karena perusahaan
perkebunan sawit dianggap akan mengambil alih
lahan mereka, yang berarti akan menutup sumber
penghidupan mereka. Selain itu, masyarakat tidak
menyukai cara-cara kerja perusahaan perkebunan
yang menyerobot lahan milik mereka secara langsung
tanpa membicarakannya terlebih dahulu.
Noveria dkk., (2005) menyatakan bahwa terdapat dua
alasan mengapa masyarakat yang menolak kehadiran
perkebunan sawit. Pertama adalah tergusurnya
ladang dan hutan tempat masyarakat bekerja.
Mayoritas masyarakat Sembuluh adalah peladang dan
pencari kayu, atau setidak-tidaknya mereka pernah
melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Seperti
disebutkan di bab sebelumnya, masyarakat Sembuluh
adalah peladang berpindah. Mereka membuka hutan,
kemudian berladang selama dua hingga lima tahun
dan setelah dianggap tidak subur mereka akan
meninggalkan ladang tersebut untuk mencari ladang
yang baru lagi. Namun, dengan hadirnya perkebunan
sawit dalam skala yang besar, maka masyarakat
Sembuluh tidak dapat melakukan aktivitas berladang
lagi. Kedua, adalah mereka yang dengan
kesadarannya berusaha untuk melindungi masa
depan lingkungan sosial dan ekonominya. Untuk
kelompok yang kedua ini jumlahnya sangat sedikti
(minoritas). Mereka menolak perkebunan sawit karena
tahu bahwa kehidupan sosial dan ekonominya sedang
terancam. Lahan bagi mereka adalah salah satu dari
sumber utama penghidupan masyarakat yang harus
dijaga kelestariannya. Mereka telah berpikir bahwa
anak cucu mereka juga berhak atas lahan yang
mereka gunakan sekarang sehingga mereka tidak
berhak menjualnya kepada siapapun, termasuk
kepada perusahaan perkebunan. Mereka tahu bahwa
perusahaan perkebunan akan membabat habis lahan
mereka dan akan menjadikannya kebun dengan satu
jenis tanaman (monokultur) yang sama sekali baru
bagi masyarakat Sembuluh. Pembabatan ini akan
berpengaruh pada rusaknya ekosistem yang ada di
lingkungan mereka. Sebagaimana dipahami oleh
kelompok ini bahwa serangan hama belalang yang
kian hari kian besar merupakan pengaruh dari
perkebunan sawit. Pencemaran lingkungan juga
menjadi salah satu kekhawatiran mereka, baik akibat
pemakaian pupuk kimia untuk pohon sawit maupun
pencemaran akibat beroperasinya pabrik pengolahan
CPO.
Masyarakat yang menentang perkebunan sawit
tersebut sebagian besar adalah bekas peladang,
pedagang, juga aparat pemerintah desa yang cukup
gigih mempertahankan lahan miliknya. Beberapa
diantara mereka, secara ekonomi sudah cukup mapan
dan tidak perlu terlalu khawatir akan kehilangan
sumber penghasilan dari lahan yang akan ditempati
oleh perusahaan perkebunan. Rusaknya lingkungan
alam sehingga generasi muda di wilayah tersebut
kemungkinan akan mengalami berbagai akibat buruk
di masa mendatang hal inilah yang menjadi fokus
utama kekhawatiran mereka.
2. Kelompok Masyarakat yang Mendukung
Perkebunan Sawit
Sebagian masyarakat Sembuluh dapat menerima
kehadiran perkebunan sawit di sekitar mereka karena
merasa diuntungkan dengan proses pembangunan
perkebunan sawit. Misalnya adalah para penduduk
yang merasa memiliki lahan yang luas, para makelar
tanah, penduduk yang tidak memiliki tanah namun
terlibat dalam pembebasan lahan, dan sebagian
aparat pemerintahan desa, aparat kecamatan serta
aparat kabupaten, dan juga para pegawai
perusahaan. Kelompok ini merupakan pendukung
utama perkebunan sawit. Masyarakat yang
dikategorikan sebagai pendukung perkebunan sawit
karena secara terang-terang mendukung program
tersebut dan mereka yang dengan sukarela menjual
lahannya untuk perusahaan perkebunan sawit. Di
antara mereka bahkan ada yang menjadi agen aktif,
yaitu secara aktif mempengaruhi anggota masyarakat
lainnya untuk mendukung program perkebunan sawit
atau mempengaruhi orang lain untuk menjual
lahannya kepada perusahaan perkebunan sawit.
Beberapa agen aktif ini adalah aparat desa yang
mempunyai posisi penting dan pengaruh yang kuat di
masyarakat. Mereka ini biasanya mempunyai
“hubungan khusus” dengan perusahaan (Noveria
dkk., 2005).
Dilihat dari motivasinya, Noveria dkk. (2005)
menyatakan terdapat dua kelompok yang dapat
dinyatakan sebagai pendukung program perkebunan
sawit.Pertama adalah kelompok yang menjual
lahannya karena alasan untuk mendapatkan uang.
Kebutuhan akan barang-barang dan gaya hidup yang
mewah telah menyebabkan sebagian masyarakat
memerlukan uang dalam jumlah yang besar dan
dalam waktu yang cepat. Meskipun Sembuluh adalah
desa terpencil, namun sebagian masyarakat telah
terpengaruh oleh budaya konsumen seperti yang
terjadi di kota-kota besar. Misalnya, banyaknya
barang-barang elektronik dan gaya hidup yang relatif
mewah telah menjadi pemandangan sehari-hari di
Sembuluh. Kedua adalah kelompok yang secara sadar
menjual lahannya karena mereka tidak dapat menolak
program perkebunan sawit yang secara nyata
didukung oleh pemerintah. Sebagian penduduk
melihat bahwa program perkebunan sawit adalah
program yang dicanangkan oleh pemerintah yang
harus dipatuhi. Juga menyadari bahwa mereka tidak
mungkin menang melawan kolaborasi antara
perusahaan besar dan pemerintah. Selain memiliki
modal finansial yang besar, lawan yang dihadapi
adalah berkuasa sekali. Di sisi lain, perusahaan juga
menawarkan uang yang cukup besar dan dalam
waktu yang cepat. Maka dari itu, tidak ada pilihan
bagi penduduk untuk menerima program perkebunan
sawit.
[1] Kalteng Post, 1 Mei 2004.[2] Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Tengah. 2003 dan Kalimantan Tengah Dalam Angka 2002.[3] Lihat Casson (2000)[4] Kontribusinya yang selalu di atas 20 persen menjadikannya unggulan pada kegiatan ekonomi penduduk. Hutan-hutan Seruyan selain menghasilkan kayu, juga hasil ikutannya, seperti rotan yang banyak tumbuh di Kecamatan Seruyan Hulu.
[5] Kompas, 18 Maret 2004.[6] Kompas, 18 Maret 2004.[7] Lihat http://www.seruyan.go.id.[8] Terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 5.501 orang dan penduduk perempuan sebanyak 4.908, dan 2.620 Kepala Keluarga (KK). Lihat Kotawaringin Timur dalam Angka 2001.[9] Sumber: analisis berita surat kabar lokal Kalteng (Noveria dkk., 2004).[10] Konglomerat asal Sri Langka, Carson Cumberbatch, memiliki dan mengontrol kedua perusahaan asal Malaysia, yaitu Agro Hope Sdn Bhd, Shalimar Developments Sdn Bhd, sedangkan yang menjadi pengelola PT AI di Sembuluh adalah Agro Hope Sdn Bhd (Casson 2001).[11] Pada saat PT Agro Indomas membuka lahan pada tahun 1996, secara admnistratif Kecamatan Danau Sembuluh masih menjadi wilayah dari Kabupaten Kotim. Wawancara dengan Berty, Juni 2004.
[12] PT Kerry Sawit Indonesia (KSI) adalah perusahaan yang 90% sahamnya dimiliki oleh PPB Group Berhad, konglomerat asal Malaysia. PT KSI memperoleh bantuan pendanaan dari HSBC. Pada tahun 2004, PT KSI telah mulai beroperasi Dukuh Tabiku dan Desa Sembuluh I, dengan luas lahan 6000 hektar.[13] Namun, meskipun UU No. 22 dan 25 tahun 1999 telah diberlakukan, praktik pengurusan izin lokasi perkebunan masih mengikuti pola-pola lama. Gubernur Kalteng menyatakan bahwa pemerintah pusat belum serius menjalankan UU tersebut (Casson, 2000).[14] PT AI mendapatkan izin pada 10 Maret 1995 dengan nomor izin HK.350/E5.188/03.95 dengan luas area 15.000 hektar.[15] Kalteng Pos, 2 September 2003.[16] Lihat http://dte.gn.apc.org/55iOP.htm[17] CDC yang sahamnya dimiliki oleh DFID merupakan investor yang memiliki saham di PT AI.[18] Lihat http://dte.gn.apc.org/55iOP.htm[19] Secara administratif, Lampasa sudah menjadi desa yang berdiri sendiri, sedangkan Tabiku masih menjadi bagian desa Sembuluh I.[20] Pasus merupakan singakatan dari Pasukan Khusus, sebutan untuk sekelompok orang yang menjadi milisi bayaran untuk menjaga perusahaan dan siap melakukan kekerasan jika diperlukan. Mereka ini sangat ditakuti karena dianggap berhasil membunuh dan mengusir orang Madura pada kasus konflik Dayak-Madura di Sampit pada tahun 2000-2001.
[21] Informasi mengenai H. Darwan Ali diperoleh dari masyarakat Sembuluh sendiri, dan beberapa orang yang berhasil saya temui secara acak di Kuala Pembuang, ibukota Kabupaten Seruyan. H. Darwan Ali sangat dikenal di Sembuluh karena dia memang berasal dari sana.[22] Namun, informan tidak bersedia menyebutkan perusahaan perkebunan sawit apa saja.[23] Sebelumnya, terdapat satu perusahaan perkebunan sawit yang telah beroperasi di sekitar Sembuluh, yaitu PT Sawit Nugra Perdana (SNP). Namun, hubungan masyarakat dengan PT SNP relatif tidak diwarnai isu konflik, karena letaknya cukup jauh dari tempat tinggal penduduk, dan hanya sebagian lahannya dijadikan area perkebunan PT SNP.[24] Pertemuan masyarakat Dukuh Tabiku dengan pihak PT KSI sebelumnya dilakukan pada
tanggal 3 Februari 2003, di gedung SD Tabiku. Hadir dalam pertemuan tersebut adalah Kades Sembuluh I, aparat Keamanan Telaga Pulang (Kapolsek, Danramil) dan pihak masyarakat. Dalam pertemuan tersebut, masyarakat menuntut persoalan ganti rugi tanah dengan nilai Rp 1 juta per hektar, sedangkan perusahaan menentukan harga Rp 350 ribu per hektar. Alhasil, pertemuan tersebut tidak menghasilkan keputusan dan mereka mempunyai sikap mendengar keputusan dari pertemuan di Desa Sembuluh I yang akan dilaksanakan pada tanggal 5 Februari 2003.[25] Perlu diinformasikan di sini bahwa sikap Kades Sembuluh I, Bambang Wahyudi adalah keponakan dari H. Darwan Ali, Bupati Seruyan, yang ditengarai memiliki saham di beberapa perusahaan perkebunan sawit di Danau Sembuluh. Bambang Wahyudi merupakan salah satu tokoh masyarakat yang aktif mendukung hadirnya perkebunan sawit di sekitar Desa Sembuluh. Pada pemilu 2004 lalu, Bambang Wahyudi berhasil menjadi anggota DPD tingkat II Kabupaten Seruyan, sehingga dia harus melepaskan jabatannya sebagai Kades Sembuluh I.© 2010 THE INTERSEKSI FOUNDATION. ALL RIGHTS RESERVED. Contact Us
HOME / VIEWPOINT / ESSAYS / Pengaruh Pembangunan Perkebunan Sawit di Kalimantan /