for knowledge and humanity

51
FOR KNOWLEDGE AND HUMANITY | MONDAY, FEBRUARY 11, 2013 HOME ABOUT US BLOG VIEWPOINT ACTIVITIES SHOWCASE SITEMAP Pengaruh Pembangunan Perkebunan Sawit Terhadap Masyarakat Pedalaman Kalimantan Mashudi Noorsalim Pembangunan perkebunan sawit dianggap dapat menyelesaikan sebagian masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat, terutama akibat yang ditimbulkan dari krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Kelapa sawit dan produk turunannya merupakan sumber pendapatan daerah yang besar dan dapat menyerap tenaga kerja.

Upload: emmi-maliza-hutagaol

Post on 12-Dec-2015

216 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

GGG

TRANSCRIPT

Page 1: For Knowledge and Humanity

FOR KNOWLEDGE AND HUMANITY   |   MONDAY, FEBRUARY 11, 2013

HOME ABOUT US

BLOG VIEWPOINT ACTIVITIES SHOWCASE

SITEMAP

Pengaruh Pembangunan Perkebunan Sawit Terhadap Masyarakat Pedalaman Kalimantan 

Mashudi Noorsalim

 

 

Pembangunan perkebunan sawit dianggap dapat

menyelesaikan sebagian masalah-masalah yang

sedang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat,

terutama akibat yang ditimbulkan dari krisis ekonomi

yang dialami Indonesia sejak pertengahan tahun

1997. Kelapa sawit dan produk turunannya

merupakan sumber pendapatan daerah yang besar

dan dapat menyerap tenaga kerja.

 

Page 2: For Knowledge and Humanity

Namun, pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak

selalu berjalan lancar, karena sebagian masyarakat

menganggap bahwa pembangunan tersebut justru

menghalangi akses terhadap sumberdaya alam.

 

Tulisan ini akan mendikskusikan proses masuknya

perkebunan sawit, dan pengaruhnya

terhadap masyarakat di Desa Sembuluh.

           

Pembangunan Perkebunan Sawit di Kabupaten

Seruyan

Dalam Rencana Strategis (Renstra) Pemerintah

Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2003 disebutkan

bahwa titik berat dan skala prioritas rencana

pemerintah daerah untuk lima tahun berikutnya

adalah “untuk menciptakan landasan yang kuat dan

kemampuan untuk meraih peluang dan mengatasi

tantangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi

daerah dan globalisasi ekonomi”. Hal tersebut akan

dilakukan dengan mengelola dan mengembangkan

sektor perikanan dan kelautan, sektor perkebunan

dan kehutanan, industri dan perdagangan,

pertambangan dan sektor pariwisata yang di dukung

oleh pengembangan kualitas SDM secara memadai.

Dengan mengembangkan sektor-sektor

Page 3: For Knowledge and Humanity

tersebut, diharapkan dapat menciptakan lapangan

kerja dan meningkatkan pendapatan daerah yang

akan dapat digunakan untuk perbaikan dan

peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan

publik bagi seluruh lapisan masyarakat.

 

Salah satu sektor yang cukup mendapatkan perhatian

oleh Pemerintah Provinsi Kalteng adalah sektor

perkebunan. Seperti diberitakan di berbagai media

dalam beberapa tahun terakhir, pembangunan

perkebunan sawit di Kalteng mengalami

perkembangan yang pesat. Dari data tahun 2004,

tercatat 75 perusahaan perkebunan sawit yang

mengajukan dan yang diberikan izin sudah

mengkonversi lahan tidak kurang dari 750 ribu hektar.

Pemerintah Provinsi Kalteng berencana akan

membangun perkebunan sawit sejuta hektar dengan

memanfaatkan lahan yang tersedia sekarang 1,7 juta

hektar. Rencananya, perkebunan sawit tersebut akan

dibangun di Kobar dengan luas 300 ribu hektar , di

Kotim dan Seruyan dengan luas 400 ribu hektar, serta

300 ribu hektar di Barito dan Kapuas.[1]

 

Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Kalteng

dimulai pada tahun 1992, yaitu ketika beberapa

Page 4: For Knowledge and Humanity

perusahaan swasta membuka lahan di Kotawaringin

Barat (Kobar) dan Kotim. Pada awalnya,

pembangunan perkebunan sawit difokuskan di bagian

Barat Provinsi Kalteng, sehingga pada tahun 1995

wilayah tersebut telah siap produksi. Sedangkan di

bagian Timur masih dalam tahap pembukaan lahan

(land clearing). Kemudian sejak tahun 1998, terjadi

ekspansi secara besar-besaran di subsektor

perkebunan sawit hingga empat tahun kemudian.

Beberapa perusahaan perkebunan sawit yang

beroperasi di sana adalah: PT. Astra Argo Lestari

Group, PT. Asam Jawa Group, PT. Graha Group, PT.

Salim Group, PT. Sinar Mas Group, dan lain-lain.

Namun, tidak terdapat satu pun perusahaan milik

negara atau pun perusahaan milik pemerintah daerah

hadir di sana.

 Jumlah penduduk Provinsi Kalteng pada tahun 2002 berjumlah 1.874.900 jiwa dengan perbandingan 49% perempuan dan 51% laki-laki. Perbandingan luas wilayah dengan jumlah penduduk menunjukkan tingkat kepadatan penduduk Provinsi Kalimantan Tengah tergolong kurang padat yaitu 12 jiwa/Km. Terdapat perbedaan kepadatan penduduk yang cukup berarti, dimana Kota Palangka Raya sebagai ibukota provinsi Kalteng merupakan kota dengan kepadatan paling tinggi 71,50 jiwa/KM2, sedangkan Kabupaten Barito Utara merupakan Kabupaten dengan kepadatan penduduk paling rendah yaitu 6,30 jiwa/KM2.

  

Area hutan yang luas yang dimiliki merupakan sumber ekonomi

yang sangat berarti dalam menggerakkan roda pembangunan

Page 5: For Knowledge and Humanity

Provinsi Kalteng. Terlebih setelah keluarnya beberapa peraturan

perundang-undangan seperti UU No. 1 Tahun 1967 tentang

Penanaman Modal Asing, UU No. 5 Tahun 1967 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan dan PP No. 21 Tahun 1970

tentang Hak Penguasaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil

Hutan, kegiatan eksploitasi hutan secara besar-besar telah

berlangsung di wilayah ini. Hal ini terlihat dari banyaknya

perusahaan HPH yang beroperasi sejak awal tahun 1970-an di

hampir seluruh wilayah provinsi ini. Tercatat tidak kurang dari

116 perusahaan HPH yang pernah beroperasi di Provinsi

Kalimantan Tengah, dengan luas area konsesi 12.023.000 hektar.

 

Klasifikasi Hutan Menurut Fungsi dan Luasnya

(Tahun 2002)[2]

 No Wilayah hutan Luas (Ha)1 Hutan lindung 1.029.527,322 Hutan suaka alam & wisata 744.596,003 Hutan produksi terbatas 4.056.911,604 Hutan produksi tetap 4.461.322,885 Hutan bakau 832.573,556 Hutan rakyat 13.359,007 Cagar alam 218.534,578 Taman nasional 409.861,869 Cagar budaya 678,1210 Taman wisata 17.128,9611 Suaka margasatwa 72.898,33

 

 

 

Perkembangan industri di Kalteng pada umumnya,

dan Kabupaten Kobar, dan Kotim (termasuk Seruyan)

sedang mengalami proses transisi dari industri kayu

Page 6: For Knowledge and Humanity

menjadi perkebunan berskala besar. Meskipun

industri kayu masih merupakan sumber pendapatan

daerah yang cukup besar, namun dengan semakin

menipisnya hutan yang tersedia telah membuat

pemerintah daerah mencari alternatir sumber

pendapatan daerah yang lain. Sebagai misal, antara

tahun 1994 hingga 1997, di Kabupaten Kotim telah

terjadi peningkatan luas area perkebunan sawit

swasta yang cukup besar dari 10.987 hektar menjadi

52.595 hektar, sedangkan perkebunan sawit

smallholder meningkat dari 3.218 hektar menjadi

10.641 hektar.

 

Menurut survei yang dilakukan oleh JICA,

pembangunan perkebunan sawit dalam skala besar

sangat potensial dilakukan di wilayah Danau

Sembuluh dan sekitarnya.[3] Hal itu dikarenakan

wilayah tersebut relatif datar, tanahnya sangat cocok

dan kepadatan penduduknya sangat rendah. Jika

pembangunan jalan dilakukan, maka akses

transformasi ke daerah itu menjadi sangat mudah.

 

Pada bulan Februari 2004, telah terdapat 26 investor

Perusahaan Besar Swasta (PBS), baik dari Penanaman

Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman

Page 7: For Knowledge and Humanity

Modal Asing (PMA) yang masuk ke Kabupaten

Seruyan. Total investasi diperkirakan mencapai Rp

15,6 Trilyun dengan rincian masing-masing

pengusaha menanamkan modalnya Rp 600 Milyar dan

setiap investor rata-rata memiliki lahan perkebunan

kelapa sawit seluas 20.000 hektar. Hingga bulan Juni

2004, perusahaan Sawit yang telah mengajukan izin

bertambah menjadi 33 perusahaan dan yang sudah

memperoleh izin sebanyak 16 perusahaan

perkebunan dan yang sudah beroperasi sebanyak 11

perusahaan perkebunan sawit dan enam CPO.

Sejumlah investor juga menyatakan bersedia untuk

membangun pelabuhan dan pabrik pengolahan

minyak (CPO). Dengan demikian, diharapkan program

pekerbunan sawit akan menarik sebanyak lebih

1.000.000 tenaga kerja.

 

Pemerintah Kabupaten Seruyan berencana

membangun pelabuhan khusus minyak kelapa sawit

mentah yang akan diberi nama Pelabuhan Samudra

CPO Teluk Segintung. Pelabuhan ini akan dibangun

dengan luas 500 hektar dan jika dibangun sesuai

dengan rencana, maka pelabuhan ini akan menjadi

pelabuhan terbesar di Asia Tenggara. Biaya

pembangunan pelabuhan Segintung akan dimasukkan

Page 8: For Knowledge and Humanity

dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) 2005, dan tahun berikutnya. Dengan

pembangunan pelabuhan ini, pemerintah

berharapdapat menarik lebih banyak investor dari luar

maupun dalam negeri ke Seruyan, terutama investasi

dalam pembangunan pabrik CPO. Hingga saat ini, di

Seruyan telah terdapat 23 pabrik CPO, sembilan di

antaranya sudah beroperasi, dan satu lagi masih

dalam tahap pembangunan.

 

Meskipun hingga saat kini, sektor kehutanan[4] masih

menjadi andalan sumber pendapatan daerah

Kabupaten Seruyan, namun ke depan, tampaknya

perkebunan akan menjadi primadona sumber

pendapatan daerah. Terutama perkebunan kelapa

sawit yang telah menjadi aset perkebunan utama

selama ini. Pada saat ini, pembangunan perkebunan

kelapa sawit telah menempati lahan seluas 78.871

hektar, dan terus dikembangkan dengan membuka

lahan-lahan baru. Pusat tanaman kelapa sawit berada

di tiga dari lima kecamatan, yaitu Danau Sembuluh,

Hanau, dan Seruyan Tengah. Akan tetapi, yang baru

tercatat menghasilkan di Kecamatan Hanau dengan

produksi 2.814 ton.[5]

 

Page 9: For Knowledge and Humanity

Pengembangan ekonomi di kabupaten ini didasarkan

pada karakteristik masing-masing kecamatan. Jika

Seruyan Tengah, Hanau, dan Danau Sembuluh

memiliki perkebunan kelapa sawit, Seruyan Hulu

memiliki rotan, Seruyan Hilir memiliki wilayah

potensial bagi pengembangan budidaya tambak

udang dan area persawahan. Dibandingkan dengan

kecamatan lain, Seruyan Hilir terhitung memiliki jenis

tanah yang lebih baik untuk ditanami padi atau

tanaman pangan lainnya. Hasil tambak yang di

antaranya budidaya udang windu biasanya dibawa ke

Pulau Jawa kemudian diekspor ke mancanegara,

khususnya Jepang ton.[6]

 

Masuknya perkebunan Sawit di Sekitar

Sembuluh

Secara administratif, sejak tahun 2003, Kecamatan

Danau Sembuluh berada di wilayah Kabupaten

Seruyan. Sebelumnya, Danau Sembuluh termasuk

dalam wilayah Kabupaten Kotim. Pembentukan

Kabupaten Seruyan berdasarkan UU RI No. 5 Tahun

2002 yang termuat dalam Lembaran Negara RI No. 18

tahun 2002. Kabupaten Seruyan memiliki wilayah

seluas 16.404 kilometer persegi yang terdiri dari lima

kecamatan dan 91 desa. Menurut data tahun 2004,

Page 10: For Knowledge and Humanity

Kabupaten Seruyan memiliki jumlah penduduk

sebanyak 112.767 jiwa, dengan kepadatan penduduk

berkisar 6 jiwa/kilometer persegi dan pertumbuhan

penduduk 5,59%.

 

Berdasarkan paparan Bupati Kabupaten Seruyan

tahun 2004, telah terdapat 32 PBS yang akan

beroperasi di Seruyan, baik yang berasal dari

investasi dalam negeri maupun asing (PMDN/PMA).

[7] Saat ini sembilan PBS telah beroperasi dan

memiliki pabrik CPO. Sebanyak 16 PBS sedang

menjalankan kegiatannya yang diperkirakan telah

mencapai 50-70%. Kemudian sebanyak tujuh PBS

telah mendapatkan izin dan sedang mengurus izin

lokasi, sedangkan lima PBS masih menunggu

memperoleh izin prinsip/lokasi. Diperkirakan pada

tahun 2009/2010, sebanyak 25 PBS akan beroperasi

dan memiliki CPO, dan tujuh PBS lainnya akan

beroperasi pada tahun berikutnya.

 

Total nilai ivestasi dari ke 32 PBS diperkirakan

sebanyak 15 hingga 19,2 triliun rupiah. Nilai tersebut

berdasarkan asumsi yang dibuat oleh Bupati Seruyan,

yaitu: nilai investasi untuk satu hektar membutuhkan

dana sebanyak 25 juta rupiah dengan perincian biaya

Page 11: For Knowledge and Humanity

sarana jalan,tempat-tempat ibadah, kesahatan,

pendidikan, penerangan, perumahan karyawan dan

perkantoran; pembangunan pabrik CPO dengan

kapasitas 60 ton TBS per jam membutuhkan dana

sebanyak 100 milyar rupiah, sedangkan pabrik CPO

dengan kapasitas 90 ton TBS per jam membutuhkan

dana sebanyak 120 milyar rupiah; dan nilai investasi

satu PBS dengan luas lahan sekitar 20 ribu hektar,

dimulai dari perencanaan, penyediaan lahan,

pembibitan, perawatan, produksi hingga

pembangunan CPO membutuhkan dana sekitar 600

milyar rupiah. Untuk ke 32 PBS tersebut, Kabupaten

Seruyan telah menyediakan lahan seluas 450.175

hektar untuk perkebunan sawit.

 

Kecamatan Danau Sembuluh memiliki wilayah seluas

250.000 hektar. Menurut data yang dikeluarkan

Badan Pusat Statistik (BPS) Kotim tahun 2001, jumlah

penduduk kecamatan Danau Sembuluh adalah 10.409

jiwa.[8] Semula. Sebagian besar wilayah Kecamatan

Dana Sembuluh merupakan hutan komersial, namun

dalam paduserasi RTRWP yang terbaru wilayah

tersebut akan dipergunakan untuk perkebunan,

khususnya kelapa sawit.

 

Page 12: For Knowledge and Humanity

Dalam beberapa tahun terakhir, BPN telah

memberikan izin konsesi untuk perkebunan sawit

kepada 10 perusahaan di wilayah Kecamatan Danau

Sembuluh dengan luas 213.360 hektar. Namun, pada

pertengahan tahun 2000, kementrian kehutanan dan

perkebunan telah memberikan izin pelepasan

kawasan hutan untuk perkebunan sawit seluas 40.570

hektar kepada tiga perusahaan, yaitu PT Musi

Rawas Citra Harpindo, PT Bina Sawit Abadi Pratama I

and PT Agro Indomas (AI), yang kemudian

mendapatkan izin Hak Guna Usaha (HGU) dari BPN.

Pada tahun 2000 total area yang telah ditanami

16.142 hektar (Casson, 2001).

 

Perkebunan sawit di Kecamatan Danau

Sembuluh

dan sekitarnya[9]

 No Perusahaan Lokasi Izin Luas Area (HGU)

1.

PT.Agro Indomas(1996)

Kec. Danau Sembuluh HGU

12,104 ha(12/HGU/BPN/98-6 April 1998)

2.PT. Mustika Sembuluh

Kec. Mentaya Hilir (Kuala Kuayan) Kotim

SK-Pelepasan Kawasan

15,994 ha(895/Kpts-II/1996.4/11/1996)3 thn 9 bln

3.PT. Indotruba Timur

Kec. Pembuang Hulu Izin Prinsip

9,750 ha(895/Menhut-VII/97.8/8/1997)

4.PT. Salawati Makmur

Kec. Danau Sembuluh Izin Prinsip

16,850 ha(487/Menhutbun-II/98. 8/4/1998)

Page 13: For Knowledge and Humanity

5.PT. Rungau Alam Subur.

Kec. Danau Sembuluh Izin prinsip

6,7251625/Menhutbun-II/96.11 Nop.1996)

6.PT. Salonok Ladang Mas

Kec. Danau Sembuluh Izin Prinsip

12,715 ha(951/Menhutbun-VII/97. 26/8/97)

7.

PT. Sawit Mas Nugraha Perdana

Kec. Danau Sembuluh

Menyampaikan Permohonan.

12.000 ha(525/67/UT/1995.17/4/1995)

 

Perusahaan perkebunan sawit yang pertama kali

masuk ke Sembuluh adalah PT Agro Indomas (PT AI)

pada tahun 1996. Sebelum tahun 1996, PT AI

bernama PT Bohindomas Permain yang sahamnya

dimiliki oleh tiga perusahaan Malaysia yaitu Agro

Hope Sdn Bhd, Shalimar Developments Sdn Bhd, and

Cosville Holding Sdn Bhd, dan tujuh pengusaha asal

Indonesia.[10] Pada bulan Desember 1996, Badan

Pertanahan Nasional (BPN) memberikan izin kepada

PT AI untuk membangun perkebunan sawit seluas

12,104 hektar dan membangun pabrik CPO dengan

kapasitas produksi 60 ton per jam di wilayah Danau

Sembuluh. Pada saat itu, Danau Sembuluh masih

menjadi wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur

(Kotim). Pada tahun 1999, sebagian besar konsesi

yang diberikan telah ditanami, dan PT AI mengajukan

konsesi tambahan seluas 3,760 hektar yang izinnya

keluar pada tahun 2000. Diperkirakan, total investasi

yang dikeluarkan oleh PT AI adalah 43 juta dollar

Page 14: For Knowledge and Humanity

Amerika yang kebanyakan dibiayai oleh Rabobank

Internasional dan Commonwealth Development

Corporation (CDC) yang bermarkas di Inggris.

 

Menurut survei awal yang dilakukan oleh PT AI,

sebagian besar lahan yang sekarang ditempati

merupakan alang-alang karena bekas perusahaan

kayu Inhutani III. Oleh karena itu, perusahaan tidak

perlu mendapatkan Izin Penebangan Kayu (IPK),

melainkan hanya izin pelepasan kawasan, dan Hak

Guna Usaha (HGU) (Casson, 2001). Namun, hasil

penelitian ANDAL yang dilakukan oleh PT Shantika

Mitra Wiguna pada tahun 1998, menyatakan bahwa

sebagian besar konsesi yang diberikan kepada PT AI

merupakan hutan sekunder di bawah Kementrian

Kehutanan.

 

Secara administratif, area perkebunan sawit milik PT

AI berada di wilayah desa Sembuluh I. Namun, Desa

Sembuluh II dan Dusun Lampasa merupakan desa

yang berada di dekat lokasi perkebunan PT AI juga

ikut terpengaruh atas hadirnya perkebunan tersebut.

Kehadiran PT AI telah menimbulkan gejolak di

masayarkat Sembuluh. Hal ini dikarenakan cara

mereka mengakuisisi lahan perkebunan yang

Page 15: For Knowledge and Humanity

dianggap secara sepihak oleh masyarakat. PT AI mulai

membuka lahan sejak tahun 1996, dengan melakukan

pengukuran dan land clearing tanpa terlebih dahulu

melakukan perundingan dengan masyarakat. Bahkan

proses akusisi kebun dan ladang dilakukan tanpa

sepengetahuan masyarakat. Pada saat itu, PT AI

didukung oleh birokrasi dan aparat pemerintahaan.

Setelah masyarakat mengetahui adanya penggarapan

lahan tersebut, terjadi terjadi gejolak di masyarakat.

Pada saat itu, masyarakat belum berani melakukan

demonstrasi karena dianggap berbahaya bagi negara.

Namun ketika kekuasaan Orda Baru runtuh pada

tahun 1998, masyarakat baru berani melakukan

demonstrasi. Barulah kemudian, PT AI bersedia

melakukan negosiasi dengan menawarkan biaya ganti

rugi lahan yang telah digarap masyarakat selama

bertahun-tahun dengan uang sebesar Rp 50 permeter

persegi untuk kebun buah-buahan dan Rp 25 untuk

lahan ladang dengan tanaman ringan. Tawaran

tersebut dianggap merugikan masyarakat, sehingga

masyarakat semakin marah dan melakukan sabotase

dengan melakukan pemotongan jembatan yang biasa

digunakan PT AI untuk menggarap kebunnyapada

anggal 11 Nopember 1999.

 

Page 16: For Knowledge and Humanity

Tentang akuisisi lahan secara sepihak memang

merupakan strategi yang dijalankan oleh PT AI

sebelum 1998. Seperti diakui oleh Berty, staf PT AI,

mengemukakan bahwa perusahaan menerapkan

strategi yang berbeda dalam mengakuisisi lahan milik

masyarakat sebelum tahun 1998 dan setelah tahun

1998. Jika sebelum tahun 1998, perusahaan membuka

dan menggarap lahan terlebih dahulu tanpa

bernegoisasi dengan masyarakat Sembuluh. Karena

pada prinsipnya, perusahaan perkebunan sawit telah

memperoleh izin dari Pemerintah Kabupaten Kotim.

[11] Pada saat itu, terdapat anggapan bahwa hutan di

sekitar Sembuluh adalah milik negara, dan bukan

milik masyarakat. Selain itu, menurut Berty, konteks

politik saat itu memang memberikan peluang lebih

besar kepada pemiliki modal daripada kepada

masyarakat.

 

Hal tersebut bertentangan dengan pendapat

masyarakat Sembuluh. Meskipun lahan tersebut tidak

bersertifikat, namun masyarakat telah menganggap

hutan dan ladang yang ada di sekitar mereka

merupakan milik bersama masyarakat desa.

Masyarakat menganggap bahwa mereka lebih

Page 17: For Knowledge and Humanity

memiliki hak karena mereka lebih dahulu menempati

area tersebut.

 

Setelah tahun 1999, konteks politik nasional telah

berubah, dan muncul kebebasan politik di tingkat

masyarakat. PT AI kembali melakukan negosiasi

dengan masyarakat dengan difasilitasi oleh

pemerintah Kabupaten Kotim. Sesuai dengan

kesepakatan antara pemerintah Kabupaten Kotim dan

PT AI, setiap satu hektar lahan diganti dengan uang

Rp 425.000.

 

Pada tahun 1999, Danau Sembuluh masih termasuk

dalam wilayah administratif Kabupaten Kotim. Setelah

UU UU No. 22 dan 25 tahun 1999 tentangOtonomi

Daerah dirilis, pemerintah daerah sangat mendukung

pembangunan perkebunan sawit di wilayah

Kecamatan Danau Sembuluh. Karena, perusahaan

perkebunan dapat meningkatkan pendapatan daerah,

termasuk meningkatkan pendapatan dari sektor pajak

dan pendapatan masyarakat yang bekerja di

perusahaan perkebunan sawit. Hingga tahun 2001,

telah terdapat 11 perusahaan perkebunan sawit yang

beroperasi di Kabupaten Kotim, yaitu: PT. Agro

Indomas, PT. Lestari Unggul Jaya, PT. Kridatama

Page 18: For Knowledge and Humanity

Lancar, PT. Musi Rawas, PT. Bina Sawit, PT. Kerry

Sawit, PT. Uni Primacom, PT. Hati Prima, PT. Bumi

Hutan Lestari, PT. Surya Barokah and PT. London

Sumatera (Casson, 2001). Dengan 11 perusahaan

tersebut, diharapkan dapat memproduksi 178.200 ton

CPO per hari, dan 49.500 ton PKO per hari.

Pemerintah Kabupaten Kotim berharap bahwa uang

yang diputar untuk produksi di atas adalah 2.4 juta

Dolar Amerika dan diharapkan meningkat lagi pada

tahun 2005 menjadi 10 juta Dolar Amerika. Revenue

yang diharapkan diperoleh dari pajak perusahaan

adalah Rp 5.000 per ton minyak sawit yang diproduksi

(Casson, 2001)

 

Sejak tahun 2003, Kabupaten Kotim dimekarkan

menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Kotim,

Kabupaten Seruyan, dan Kabupaten Katingan. Dari 11

perusahaan perkebunan tersebut, beberapa di

antaranya masuk ke dalam wilayah Kabupaten

Seruyan, seperti PT Agro Indomas (PT AI), dan PT

Kerry Sawit Indonesia (PT KSI).[12]

 

Perubahan yang signifikan sejak dikeluarkannya UU

No. 22 dan 25 tahun 1999 adalah soal kontrol dan

pemberian izin pembangunan perkebunan yang

Page 19: For Knowledge and Humanity

dilakukan oleh pemerintahan di tingkat lokal. Sebelum

ini, untuk mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU),

perusahaan perkebunan sawit harus mendapatkan

rekomendasi dari dinas pertanian di tingkat provinsi

yang dapat melepaskan lahan atas permintaan

kementerian kehutanan dan perkebunan untuk

melepaskan lahan hutan dan kantor menteri pertanian

untuk melepaskan izin prinsip. Namun, seringkali,

untuk mengurus proses izin tersebut dibutuhkan

waktu antara lima hingga sepuluh tahun, dan dalam

prosesnya membutuhkan biaya tambahan (suap)

untuk mempercepat proses tersebut. Dengan

dikeluarkannya UU tersebut, diharapkan pemerintah

pusat dapat menyerahkan izin alokasi kepada

pemerintahan lokal di masa yang akan datang,

sehingga proses-proses yang memperlambat

pengurusan perizinan dapat diatasi.[13]

 

Respon Masyarakat Atas Hadirnya Perkebunan

Sawit di Sekitar Sembuluh

Antara tahun 1996 hingga 1999, sebagian besar

masyarakat Sembuluh masih menolak kehadiran

perkebunan sawit di Sembuluh, namun, setelah 2001

banyak di antara masyarakat yang kemudian

melepaskan tanahnya kepada perusahaan

Page 20: For Knowledge and Humanity

perkebunan sawit. Meskipun demikian, tidak berarti

proses pendirian perkebunan sawit berjalan lancar,

karena proses pelepasan lahan milik masyarakat

kepada perusahaan perkebunan sawit berjalan lambat

sehingga menghabiskan waktu banyak. Akibatnya,

pihak perusahaan juga merasa dirugikan secara

material atas tertundanya pendirian perkebunan

sawit. Munculnya kelompok dalam masyarakat yang

menolak kehadiran perkebunan sawit di sekitar

tempat tinggal mereka telah menimbulkan konflik

vertikal dan horisontal, yaitu antara masyarakat

dengan pihak pengelola perkebunan sawit, dan antar

kelompok dalam masyarakat.

 

Meskipun perusahaan perkebunan sawit berhasil

melakukan land clearing, penanaman kelapa sawit, di

saat krisis ekonomi tengah berlangsung, namun

mereka harus menghadapi penolakan dari beberapa

kelompok masyarakat di Sembuluh, dan juga

kelompok masyarakat sipil di tingkat nasional dan

internasional (Casson, 2001). Terutama PT AI yang

beroperasi di sekitar desa Sembuluh, mereka harus

menghadapi demonstrasi dan sabotase yang

dilakukan oleh kelompok masyarakat yang merasa

Page 21: For Knowledge and Humanity

dirugikan atas beroperasinya perkebunan kelapa

sawit milik PT AI.

 

Sejak awal masuknya PT AI[14] di sekitar Sembuluh

memang sudah menimbulkan konflik. Proses

masuknya PT AI sejak tahun 1995/1996, saat itu

melakukan pengukuran dan land clearing tanpa ada

proses perundingan dengan masyarakat Sembuluh.

Kebun dan ladang yang terdapat di sekitar Sembuluh

digarap tanpa sepengetahuan masyarakat. Seperti

disinggung sebelumnya, BP, seorang staf PT AI,

mengakui bahwa perusahaan menerapkan strategi

mengakuisisi lahan milik terlebih dahulu tanpa

negosiasi dengan masyarakat. Strategi ini dilakukan

sebelum tahun 1998, karena menurut pihak

perusahaan telah memperoleh izin dari Pemerintah

Kabupaten Kotim. Pada saat itu, terdapat anggapan

bahwa hutan di sekitar Sembuluh adalah milik negara,

dan bukan milik masyarakat. Selain itu, konteks politik

saat itu (masa rejim Orde Baru) memang memberikan

peluang lebih besar kepada perusahaan daripada

kepada masyarakat.

 

Beberapa waktu kemudian masyarakat menjadi resah

karena lahan tempat mereka berladang berubah

Page 22: For Knowledge and Humanity

menjadi area perkebunan sawit milik PT AI.

Perusahaan membuat patok-patok dan membabat

ladang beserta isinya dan kemudian menanamnya

dengan tunas kelapa sawit. Karena merasa hak-

haknya terabaikan, masyarakat mulai mengorganisir

diri mereka untuk melakukan demonstrasi. Upaya

demonstrasi dilakukan pertama kali oleh masyarakat

pada 12 Juni 1997 ke DPRD Kabupaten Kotim (pada

saat itu Desa Sembuluh masih merupakan bagian

wilayah administratif Kabupaten Kotim). Pada saat itu,

masyarakat Sembuluh bersama-sama dengan

penduduk Dusun Lampasa dan Tabiku serta penduduk

Desa Bangkal menuntut ganti rugi lahan yang diklaim

milik mereka kepada PT AI. Demonstrasi yang diikuti

sekitar 300 orang menyatakan bahwa sebanyak 113

lahan milik masyarakat yang nilainya sebesar Rp 400

juta belum dibayar oleh PT AI. Padahal, sebelumnya

telah terjadi kesepakatan antara pihak masyarakat

dengan PT AI. Masyarakat menganggap bahwa

penundaan pembayaran ganti rugi lahan merupakan

kesengajaan pihak perusahaan untuk mengulur-ulur

waktu.

 

Sesungguhnya, kejengkelan masyarakat terhadap PT

AI tidak hanya berakar pada persoalan ganti rugi

Page 23: For Knowledge and Humanity

lahan yang belum dibayarkan. Tetapi, pada

proses land clearing yang dilakukan oleh PT AI telah

menyebabkan konflik antara masyarakat Desa

Terawan dengan Desa bangkal (keduanya berbatasan

langsung dengan Desa Sembuluh) karena persoalan

batas tanah. Selain itu, terdapat makam yang

dianggap keramat oleh masyarakat yang terletak di

Sungai Dilam dekat Desa Terawan yang turut

“dibersihkan” oleh PT AI. Hal lain yang dianggap

merugikan masyarakat adalah cara PT AI

membersihkan lahan dengan membakar hutan.

Karena, selain menimbulkan dampak polusi,

masyarakat juga sering menjadi sasaran tuduhan

sebagai pembakar hutan oleh pemerintah. 

Merespons demonstrasi masyarakat tersebut, PT AI kemudian

bersedia memberikan ganti rugi lahan tahap I yang dilakukan

pada tahun 1998. Namun, ganti rugi tersebut tidak dianggap

tidak memuaskan dari pihak masyarakat, karena PT AI hanya

memberi Rp 50 per meter persegi untuk kebun buah-buahan dan

Rp 25 per meter untuk lahan ladang dengan tanaman ringan.

Namun pada saat yang, PT AI juga masih melakukan land

clearing untuk memperluas area perkebunan sawit. Situasi

tersebut membuat masyarakat semakin marah dan berencana

melakukan aksi lebih lanjut. Pada 18 Oktober 1999 mereka

melakukan aksi ke DPRD yang kemudian diteruskan dengan

pemotongan jembatan milik PT AI pada 11 November 1999.

[15] Aksi sabotase ini dipimpin oleh Wardian, salah satu tokoh

Page 24: For Knowledge and Humanity

masyarakat Sembuluh dan diikuti oleh 300 warga Sembuluh, dan

Desa Bangkal serta Terawan.

 

Adapun isu yang diangkat oleh masyarakat Sembuluh dalam aksi

tersebut tidak hanya menuntut masalah ganti rugi lahan saja,

tetapi masyarakat juga menuntut:

            Penyelesaian konflik yang terjadi antara perusahaan dan

masyarakat;

(1)   Perusahaan harus menanggulangi bahaya yang akan

mengancam akibat kerusakan lingkungan;

(2)   Perusahaan perkebunan harus dapat memberikan jaminan

untuk meningkatkan kesejahteraan dimasa datang karena

berbagai bidang usaha rakyat sudah banyak yang terganggu

dan hilang.

 

 

Konflik antara masyarakat Sembuluh dan PT AI telah

menarik perhatian kalangan LSM lokal, dan nasional.

Untuk LSM lokal, Yayasan Tahanjungan Tarung (YTT)

telah hadir memberikan advokasi dan pendampingan

terhadap masyarakat Sembuluh. Kemudian, Walhi dan

Sawit Watch merupakan LSM nasional yang sampai

sekarang aktif memberikan dukungan dan advokasi

terhadap masyarakat Sembuluh. Bahkan Down To

Earth (DTE), sebuah LSM internasional juga turut

mengkampanyekan perlindungan hak-hak sosial dan

ekonomi masyarakat Sembuluh. Kelompok-kelompok

tersebut menganggap bahwa perusahaan telah

Page 25: For Knowledge and Humanity

mengambil lahan milik masyarakat tanpa

mempertimbangkan pembayaran yang memadai,

atau dalam beberapa kasus tidak ada kompensasi

sama sekali, melanggar adat, dan meningkatkan

konflik dan kemiskinan penduduk di sekitar

perkebunan. Khususnya, penduduk yang

menggantungkan hidupnya pada ladang dan hutan,

karena perkebunan telah menempati lahan dan hutan

yang biasanya digunakan masyarakat untuk

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

 

Sebagai misal, DTE dalam terbitannya No. 49, Mei

2001 mengatakan bahwa di balik kerusuhan etnis di

Kalimantan Tengah tahun 2001 terdapat persoalan

peminggiran secara ekonomi dan pembatasan akses

sumberdaya alam tehadap masyarakat lokal.

[16] Menurut DTE, masyarakat tidak bisa lagi hidup

dari perkebunan hutan dan penebangan kayu skala

kecil begitu perusahaan kayu menggunduli kayu-kayu

yang bernilai. Tepatnya, sejak perusahaan

perkebunan masuk untuk menghabiskan hutan yang

tersisa, cenderung memanfaatkan pekerja pendatang

daripada orang Dayak. Banyak diantara mereka

adalah pendatang spontan, orang-orang dari pulau-

pulau lain yang mencari kesempatan untuk

Page 26: For Knowledge and Humanity

mendapatkan tanah dan membangun usaha dagang

kecil. Selain itu, DTE juga menulis kepada Clare Short,

Menteri Inggris untuk Pembangunan Internasional

pada Bulan Februari mendesak agar mengangkat

kerusuhan Kalteng dalam pertemuan kreditur CGI

Bulan April dan “menekan” pemerintah Indonesia

untuk bertindak dalam masalah-masalah dibalik ini,

termasuk penolakan hak adat atas tanah dan hak atas

sumber-sumber lain. Surat itu juga menyatakan

bahwa seharusnya departemennya mengambil

tindakan, karena CDC, badan investasi swasta yang

semua sahamnya dimilik DFID[17], sudah menanam

modal di subsektor perkebunan kelapa sawit di

Kalteng dan Kalbar.[18]

 

Penduduk di dusun Lampasa dan

Tabiku[19] merupakan komunitas yang paling

terpengaruh atas pembangunan perkebunan sawit di

sekitar tempat tinggal mereka. Karena, tempat tinggal

mereka sangat dekat dengan lokasi perkebunan

kelapa sawit. Pada saat saya melakukan penelitian

lapangan yang kedua (Juli-Agustus 2005), telah hadir

perusahaan perkebunan sawit yang baru, PT

Hamparan, yang telah melakukan land clearing di

sekitar satu kilometer dari perkampungan penduduk

Page 27: For Knowledge and Humanity

di dusun Tabiku. Ini berarti bahwa masyarakat Tabiku

hanya memiliki lahan untuk berladang seluas satu

kilometer dari kampung mereka.

 

Sebelum perusahaan perkebunan berdiri, masyarakat

menggantungkan hidupnya pada hutan, danau dan

perladangan. Masyarakat Sembuluh tidak

mengembangkan sistem pertanian permanen seperti

petani di Jawa dan Bali, melainkan mengembangan

sistem perladangan berpindah. Namun setelah hadir

perkebunan di sekitar mereka, kini masyarakat harus

mencari tempat yang sangat jauh, seringkali harus

mencari lahan di luar desa mereka untuk

mendapatkan bahan-bahan kayu dan non kayu untuk

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka.

Karena, akses terhadap lahan telah dibatasi oleh

perusahaan perkebunan.

 

Setelah tahun 1998, konflik antara PT AI dengan

masyarakat Sembuluh semakin meningkat.

Peningkatan itu ditandai dengan semakin seringnya

masyarakat melakukan demonstrasi. Pemerintah

Kabupaten Seruyan telah mengambil langkah-langkah

untuk menyelesaikan konflik. Namun, upaya-upaya

tersebut ditengarai oleh masyarakat Sembuluh

Page 28: For Knowledge and Humanity

sebagai pihak yang membela kepentingan

perusahaan. Pemerintah sangat mendukung

perusahaan perkebunan seperti PT AI karena mereka

percaya bahwa perusahaan perkebunan akan menjadi

sumber ekonomi yang penting bagi pemerintahan

daerah dan dapat meningkatkan pemasukan daerah

terutama di masa otonomi daerah. Karena, jika

pembangunan perkebunan milik PT AI berhasil,

pemerintah daerah berharap akan dapat menarik

investor lebih banyak lagi ke wilayah mereka.

 

Di sisi lain, upaya untuk melindungi perusahaan dari

sabotase masyarakat juga dilakukan oleh PT AI

dengan mendatangkan 23 orang Pasus dari kelompok

masyarakat Dayak Kahayan dan Maanyan (YTT,

2001). Pasus ini dipekerjakan oleh PT AI sebagai

Satuan Pengamanan (Satpam) perusahaan, yang

kebanyakan dari mereka adalah milisi sipil yang

pernah terlibat pada konflik etnis di Sampit pada

2001- 2001 lalu. Tim YTT (2001) mensinyalir bahwa

tujuan dari pihak perusahaan merekrut mereka adalah

untuk mengintimidasi masyarakat agar masyarakat

tidak berani demonstrasi atau mengganggu

kelancaran operasional perusahaan.[20] 

Page 29: For Knowledge and Humanity

Melihat dari indikasi akan terjadinya konflik kekerasan di atas,

Pemerintah Kabupaten Kotim menfasilitasi terbentuknya tim kecil

untuk menyelesaikan konflik tanah yang terjadi antara

masyarakat dengan PT AI. Tim tersebut terbentuk pada 10

Februari 2001, yang beranggotakan masing-masing lima orang

dari tiap desa (Desa Sembuluh I, Sembuluh II, Dukuh Lanpasa,

Desa Terawan, Desa Bangkal). Tugas tim kecil tersebut adalah

untuk memnverifikasi data-data lahan yang tumpang tindih.

Namun tim ini ditolak oleh masyarakat karena ganti rugi lahan

yang ditetapkan oleh tim ini sangat kecil. Lahan-lahan milik

masyarakat hanya diganti sebesar Rp 40.000 per hektar, dan

pihak perusahaan tidak akan mempertimbangkan apakah di lahan

tersebut terdapat tanam tumbuhnya atau tidak. Padahal, tim

sebelumnya yang dibentuk oleh masyarakat, yang disebut

dengan “Tim 9” pada 26 Oktober 2000, telah menetapkan harga

tanah yang terdapat tanam tumbuhnya seharga Rp 600.000, per

hektar dan yang tidak ada tanam tumbuhnya Rp 400.000. per

hektar. Namun, perusahaan tidak mematuhi keputusan yang

dibuat “tim 9” tersebut, dan tetap mengacu pada pertemuan

tanggal 10 Februari 2001 dengan dalih telah disaksikan aparat

Pemerintah Kabupaten Kotim.

 

Pada saat proses negosiasi berlangsung, masnyarakat

menganggap bahwa PT AI tidak memperlihatkan hubungan sosial

yang terhadap masyarakat Sembuluh dan sekitarnya. Pihak

perusahaan hanya berkomunikasi dengan masyarakat jika ada

keperluan yang berkaitan dengan persoalan ganti rugi tanah.

Menurut laporan YTT, pihak PT AI hanya menjalin hubungan sosial

secara baik dengan masyarakat dari Desa Terawan. Hal ini

dikarenakan kebanyakan tenaga kerja perusahaan berasal dari

desa tersebut. Karena hubungan baik dengan perusahaan

Page 30: For Knowledge and Humanity

tersebut, hampir sebagian besar penduduk Desa Terawan

bersedia melepas lahan mereka kepada perusahaan. Bahkan

tidak jarang para pekerja tersebut menjadi tameng saat terjadi

konflik dengan masyarakat Sembuluh dan desa-desa lain.

 

Pada tahun 2000-2003, persoalan limbah dari pabrik CPO PT AI

juga mewarnai pembicaraan masyarakat sehari-hari. Meskipun,

limbah hasil pembuangan sisa pengolahan CPO tersebut di

tampung di tempat- tempat penyaringan yang telah dipersiapkan

sebanyak 10 tahapan, namun pada saat hujan turun tidak

menutup kemungkinan meluap dan kekhawatir masyrakat akan

mengalir ke aliran-aliran sungai di daerah Desa Terawan. Pada

saat itu, pihak perusahaan mengantisipasi dengan menyedot

limbah tersebut ke mobil-mobil truk tangki yang kemudian akan

di semprotkan ke kebun-kebun sawit mereka. Hasil monitoring

yang dilakukan oleh YTT (2001), terdapat empat anak sungai dari

Sungai Rungau berpotensi terkena pencemaran dari hasil limbah

yang di timbulkan oleh pabrik CPO PT AI, yaitu: Sungai Ramania,

Sungai Dilam, Sungai Teluk Pikin, dan Sungai Tabang Tangkung.

 

Berbeda dengan persoalan yang dihadapi di Lampasa,

masyarakat khawatir dengan dampak

dari pemupukan yang di lakukan pihak perusahaan PT

AI terhadap tanaman sawit yang sangat dekat dengan

Sungai Peringi. Pupuk yang ditengarai penuh dengan

bahan kimia tersebut, jika musim penghujan

dikuatirkan akan mengalir ke Sungai Peringi tempat

penduduk Lampasa biasa mandi, mencuci, dan

mengambil air untuk dimasak.

Page 31: For Knowledge and Humanity

 

Dirilisnya UU No. 22 dan 25 tentang Otonomi Daerah

(Otda), tidak sekaligus memudahkan akses

masyarakat terhadap sumberdaya alam di sekitarnya.

Tetapi sebaliknya, pemerintahan kabupaten Kotim

semakin menunjukkan keberpihakan dan

dukungannya kepada PT AI, dan juga perusahaan-

perusahaan perkebunan sawit lainnya. Hal ini terbukti

dengan diberikan kemudahan bagi perusahaan

perkebunan sawit yang beroperasi di sana, sedangkan

di lain pihak lahan masyarakat semakin dipersempit.

Hingga bulan Juni 2000, terdapat 11 perusahaan

perkebunan sawit yang beroperasi di wilayah

tersebut, yaitu PT. Agro Indomas, PT. Lestari Unggul

Jaya, PT. Kridatama Lancar, PT. Musi Rawas, PT. Bina

Sawit, PT. Kerry Sawit, PT. Uni Primacom, PT. Hati

Prima, PT. Bumi Hutan Lestari, PT. Surya Barokah, dan

PT. London Sumatera. Pemerintah daerah

berkeyakinan bahwa perusahaan perkebunan sawit

merupakan komoditas andalan masa depan bagi

Kabupaten Kotim karena dapat meningkatkan

pendapat asli daerah (Casson, 2001).

 

Seperti disebutkan pada bab sebelumnya, pada tahun

2003 Kabupaten Kotim dimekarkan menjadi tiga

Page 32: For Knowledge and Humanity

wilayah kabupaten, di mana wilayah Kecamatan

Danau Sembuluh menjadi bagian dari Kabupaten

Seruyan. Sebagai kabupaten baru, Seruyan

mempunyai beban yang sangat besar karena jika

dalam lima tahun pertama gagal menjalankan

aktivitasnya secara mandiri maka seluruh wilayah

Seruyan akan dikembalikan ke Kabupaten semula

(Kotim). Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan

PAD dengan cara mendatangkan investor dalam

subsektor sawit sebanyak mungkin. Akibat dari upaya-

upaya untuk meningkatkan PAD tersebut telah

mengabaikan kepentingan masyarakat. Upaya Bupati

Seruyan untuk menarik investor asing di subsektor

perkebunan sawit dianggap oleh sebagian masyarakat

Sembuluh sebagai “kebijaksanaan gila-gilaan” karena

dapat menghancurkan kehidupan masyarakat lokal

(Acciaioli, 2005). Kebijakan yang dibuat bupati telah

menimbulkan konflik sosial, baik antara masyarakat

dengan perusahaan perkebunan sawit maupun antar

kelompok masyarakat sendiri.

 

Selain itu, figur dari Bupati Seruyan H. Darwan Ali juga

ditengarai sebagai pihak yang tidak membela

kepentingan masyarakat.[21] Sebelum menjadi

bupati, dia adalah seorang kontraktor dan pengusaha

Page 33: For Knowledge and Humanity

yang menjalankan aktivitasnya di Sampit (ibukota

Kabupaten Kotim) dan Kuala Pembuang (ibukota

Kabupaten Seruyan). Kemudian, pada pertengahan

tahun 1990 an, H. Darwan Ali mulai aktif di Partai

Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan

kemudian berhasil meraih posisi sebagai kepala

cabang Kabupaten Kotim. Sebagai pengusaha, H.

Darwan Ali tidak dapat dikatakan sukses, bahkan

beberapa kali hampir bangkrut, tapi berhasil bangkit

karena pada dasarnya ulet dan licin. Sebelum menjadi

bupati, dia pernah dikabarkan terjerat hutang dalam

jumlah yang besar, namun kabar tersebut tidak

terdengar lagi setelah menjabat bupati. Menurut

informasi dari staf Pemkab Seruyan, H. Darwan Ali

memiliki saham di beberapa perusahaan perkebunan

sawit yang ada di Kecamatan Danau Sembuluh.

[22] Oleh karena itu, wajar jika H. Darwan Ali

cenderung membela kepentingan perusahaan

perkebunan sawit daripada kepentingan masyarakat.

 

Pada tahun 2003, satu lagi perusahaan perkebunan

sawit, yaitu PT KSI beroperasi di sekitar Sembuluh.

[23] Berbeda dengan kasus PT AI, PT KSI relatif tidak

menimbulkan konflik kekerasan dengan masyarakat

Sembuluh. Hal ini dikarenakan beberapa

Page 34: For Knowledge and Humanity

alasan. Pertama, segala ketentuan mengenai

persoalan ganti rugi tanah masyarakat telah

dinegosiasikan dengan penduduk sebelum

perusahaan mulai melakukan land clearing. Berbeda

dengan PT AI yang menggarap lahan terlebih dahulu

baru kemudian dinegosiasikan, PT KSI akan

menggarap lahan jika persoalan ganti rugi sudah

benar-benar selesai. Hal ini juga dikarenakan

pengaruh reformasi di mana masyarakat semakin

berani menuntut kepada perusahaan maupun

pemerintah jika haknya dilanggar.

 

Kedua, jumlah masyarakat yang ingin menjual

lahannya juga semakin besar, dan masyarakat yang

menolak menjual lahan juga semakin sedikit. Setelah

tahun 2003, masyarakat Sembuluh tidak lagi malu-

malu menjual lahan yang diklaim miliknya kepada

perusahaan perkebunan sawit. Bahkan beberapa

masyarakat ada yang menjadi calo penjualan tanah

milik masyarakat kepada perusahaan perkebunan

sawit.

 

Ketiga, mengenai harga lahan per hektar telah banyak

dibahas sebelumnya dengan PT AI dan Pemerintah

Kabupaten Seruyan, sehingga PT KSI hanya perlu

Page 35: For Knowledge and Humanity

menyesuaikan dengan pembahasan sebelumnya.

Meskipun belum ada keputusan, namun antara

tuntutan masyarakat dengan ketentuan perusahaan

sudah jelas (namun belum ada kesepakatan),

mengenai harga per hektar dan juga mengenai tanam

tumbuh tanaman yang akan dihargai berdasarkan

umur, dan jenis tanaman. Pemerintah Kabupaten

Seruyan memang telah menentukan harga ganti rugi

lahan per hektar adalah Rp 350 ribu, namun

masyarakat belum sepakat dengan ketentuan

tersebut.

 

Namun demikian, tidak berarti tidak ada konflik sama

sekali. Seperti akan dibahas di sub bab berikutnya,

konflik tidak lagi antara masyarakat dengan

perusahaan, tetapi juga antar kelompok dalam

masyarakat, bahkan antara sesama masyarakat yang

ingin menjual lahan mereka kepada perusahaan

perkebunan.

 

Pada tanggal tanggal 5 Februari 2003, diadakan

pertemuan antara masyarakat dengan PT KSI

di Gedung SD Sembuluh II-I.[24] Pertemuan tersebut

di hadiri oleh Pihak PT KSI, yaitu manajer PT KSI, H.

Rahman, dan empat orang staf lapangan, aparat

Page 36: For Knowledge and Humanity

keamanan, yaitu Kapolsek Danau Sembuluh, Ray

Saputra, dan dua orang anak buahnya, Sutiyono,

Mardi, serta Danramil Danau Sembuluh. Dari pihak

masyarakat hadir Kades Sembuluh I, Bambang

Wahyudi,[25] dan tokoh masyarakat Desa Sembuluh I

dan Sembuluh II. Acara yang dipandu oleh Kades

Sembuluh I tersebut membicarakan tentang sejauh

mana masyarakat dapat menerima kehadiran

perusahaan perkebunan sawit di wilayah mereka.

Pada kesempatan tersebut, sebagian masyarakat

meminta ganti rugi lahan yang diambil oleh PT KSI

dengan nilai sebesar Rp 1 juta per hektar. Beberapa di

antara masyarakat ada pula yang meminta mengganti

tanaman sawit dengan tanaman karet jika sistem

plasma nanti dijalankan.

 

Selain itu, terdapat sebagian masyarakat yang tidak

dapat menerima sawit sama sekali, dengan alasan

kelangsungan hidup mereka. Tapi di lain pihak

terdapat pula sebagian masyarakat yang sangat

setuju sekali, karena kehadiran perkebunan kelapa

sawit dapat memberi peluang pekerjaan. Kedua

kelompok ini berdebat secara tajam sehingga hampir

terjadi perkelahian antar kelompok masyarakat

sendiri. Karena Kades Sembuluh I tidak dapat

Page 37: For Knowledge and Humanity

memandu lagi, maka pemandi rapat diambil oleh

Kapolsek Danau Sembuluh. Suasana menjadi semakin

panas dan kelompok masyarakat yang menolak

kehadiran perkebunan sawit keluar dari pertemuan.

Dan pertemuan tersebut tetap berlangsung dengan di

hadiri kelompok masyarakat yang pro perusahaan

perkebunan kelapa sawit. Alhasil, segala keputusan

yang dibuat dalam rapat tersebut ditolak oleh

kelompok yang anti perusahaan perkebunan sawut.

 

Setelah pertemuan tersebut, kelompok masyarakat

yang menolak perkebunan sawit berkumpul untuk

menyikapi persoalan tersebut dan menghasilkan

adanya surat pernyataan sikap yang di tujukan pada

Bupati Kabupaten Seruyan (Kuala Pembuang) dan di

tembuskan pada instansi serta Gubernur Daerah TK I

Palangkaraya. Selain itu, masyarakat juga membuat

surat kepada Kapolda Kalteng untuk mengadukan

Kapolsek yang di nilai intimidatif serta terlalu banyak

mencampuri persoalan di pertemuan tersebut dengan

keterlibatannya mengambil alih acara.

 

Pada tahun 2004, satu lagi perusahaan perkebunan

sawit, yaitu PT Salonok Ladang Mas (SLM) mulai

beroperasi di sekitar Sembuluh. Meskipun baru

Page 38: For Knowledge and Humanity

beroperasi pada tahun 2004, PT SLM telah

mendapatkan izin pada 16 Maret 2001 dengan

nomor HK.350/205/Bun.5/III/2001 dengan luas brutto

area 17.500 hektar dan luas netto 12.000

hektar. Namun, aktivitas dari PT SLM masih tahap

negosiasi dengan masyarakat dan untuk lahan-lahan

yang sudah jelas statusnya telah dilakukan land

clearing. Hingga penelitian ke lapangan pada

pertengahan tahun 2005, PT SLM masih melakukan

negosiasi dengan masyarakat.

 

Sikap Masyarakat terhadap Perkebunan Sawit

Seperti diberitakan di berbagai media, terutama

media lokal, pada waktu proses pembukaan lahan

untuk area perkebunan, telah menimbulkan konflik

antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat

Sembuluh. Selain konflik, masuknya perusahaan

perkebunan sawit telah menimbulkan

beragam respon dari masyarakat Sembuluh. Pertama,

masyarakat menolak kehadiran perkebunan sawit di

sekitar desa mereka karena hampir kebanyakan lokasi

perusahaan menempati lahan milik

masyarakat. Kedua, masyarakat yang menerima

dengan senang hati karena diuntungkan dengan

proses pembangunan perkebunan sawit.

Page 39: For Knowledge and Humanity

 

1. Kelompok Masyarakat yang Menolak Perkebunan

Sawit

Sebagian masyarakat Sembuluh menganggap bahwa

perusahaan perkebunan akan menghalangi akses

mereka terhadap sumber-sumber ekonomi mereka,

dalam hal ini hutan dan ladang tempat bekerja

masyarakat. Alasan masyarakat Sembuluh menolak

hadirnya perkebunan sawit karena perusahaan

perkebunan sawit dianggap akan mengambil alih

lahan mereka, yang berarti akan menutup sumber

penghidupan mereka. Selain itu, masyarakat tidak

menyukai cara-cara kerja perusahaan perkebunan

yang menyerobot lahan milik mereka secara langsung

tanpa membicarakannya terlebih dahulu.

 

Noveria dkk., (2005) menyatakan bahwa terdapat dua

alasan mengapa masyarakat yang menolak kehadiran

perkebunan sawit. Pertama adalah tergusurnya

ladang dan hutan tempat masyarakat bekerja.

Mayoritas masyarakat Sembuluh adalah peladang dan

pencari kayu, atau setidak-tidaknya mereka pernah

melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Seperti

disebutkan di bab sebelumnya, masyarakat Sembuluh

adalah peladang berpindah. Mereka membuka hutan,

Page 40: For Knowledge and Humanity

kemudian berladang selama dua hingga lima tahun

dan setelah dianggap tidak subur mereka akan

meninggalkan ladang tersebut untuk mencari ladang

yang baru lagi. Namun, dengan hadirnya perkebunan

sawit dalam skala yang besar, maka masyarakat

Sembuluh tidak dapat melakukan aktivitas berladang

lagi. Kedua, adalah mereka yang dengan

kesadarannya berusaha untuk melindungi masa

depan lingkungan sosial dan ekonominya. Untuk

kelompok yang kedua ini jumlahnya sangat sedikti

(minoritas). Mereka menolak perkebunan sawit karena

tahu bahwa kehidupan sosial dan ekonominya sedang

terancam. Lahan bagi mereka adalah salah satu dari

sumber utama penghidupan masyarakat yang harus

dijaga kelestariannya. Mereka telah berpikir bahwa

anak cucu mereka juga berhak atas lahan yang

mereka gunakan sekarang sehingga mereka tidak

berhak menjualnya kepada siapapun, termasuk

kepada perusahaan perkebunan. Mereka tahu bahwa

perusahaan perkebunan akan membabat habis lahan

mereka dan akan menjadikannya kebun dengan satu

jenis tanaman (monokultur) yang sama sekali baru

bagi masyarakat Sembuluh. Pembabatan ini akan

berpengaruh pada rusaknya ekosistem yang ada di

lingkungan mereka. Sebagaimana dipahami oleh

Page 41: For Knowledge and Humanity

kelompok ini bahwa serangan hama belalang yang

kian hari kian besar merupakan pengaruh dari

perkebunan sawit. Pencemaran lingkungan juga

menjadi salah satu kekhawatiran mereka, baik akibat

pemakaian pupuk kimia untuk pohon sawit maupun

pencemaran akibat beroperasinya pabrik pengolahan

CPO.

 

Masyarakat yang menentang perkebunan sawit

tersebut sebagian besar adalah bekas peladang,

pedagang, juga aparat pemerintah desa yang cukup

gigih mempertahankan lahan miliknya. Beberapa

diantara mereka, secara ekonomi sudah cukup mapan

dan tidak perlu terlalu khawatir akan kehilangan

sumber penghasilan dari lahan yang akan ditempati

oleh perusahaan perkebunan. Rusaknya lingkungan

alam sehingga generasi muda di wilayah tersebut

kemungkinan akan mengalami berbagai akibat buruk

di masa mendatang hal inilah yang menjadi fokus

utama kekhawatiran mereka.

           

2. Kelompok Masyarakat yang Mendukung

Perkebunan Sawit

Sebagian masyarakat Sembuluh dapat menerima

kehadiran perkebunan sawit di sekitar mereka karena

Page 42: For Knowledge and Humanity

merasa diuntungkan dengan proses pembangunan

perkebunan sawit. Misalnya adalah para penduduk

yang merasa memiliki lahan yang luas, para makelar

tanah, penduduk yang tidak memiliki tanah namun

terlibat dalam pembebasan lahan, dan sebagian

aparat pemerintahan desa, aparat kecamatan serta

aparat kabupaten, dan juga para pegawai

perusahaan. Kelompok ini merupakan pendukung

utama perkebunan sawit. Masyarakat yang

dikategorikan sebagai pendukung perkebunan sawit

karena secara terang-terang mendukung program

tersebut dan mereka yang dengan sukarela menjual

lahannya untuk perusahaan perkebunan sawit. Di

antara mereka bahkan ada yang menjadi agen aktif,

yaitu secara aktif mempengaruhi anggota masyarakat

lainnya untuk mendukung program perkebunan sawit

atau mempengaruhi orang lain untuk menjual

lahannya kepada perusahaan perkebunan sawit.

Beberapa agen aktif ini adalah aparat desa yang

mempunyai posisi penting dan pengaruh yang kuat di

masyarakat. Mereka ini biasanya mempunyai

“hubungan khusus” dengan perusahaan (Noveria

dkk., 2005).

 

Page 43: For Knowledge and Humanity

Dilihat dari motivasinya, Noveria dkk. (2005)

menyatakan terdapat dua kelompok yang dapat

dinyatakan sebagai pendukung program perkebunan

sawit.Pertama adalah kelompok yang menjual

lahannya karena alasan untuk mendapatkan uang.

Kebutuhan akan barang-barang dan gaya hidup yang

mewah telah menyebabkan sebagian masyarakat

memerlukan uang dalam jumlah yang besar dan

dalam waktu yang cepat. Meskipun Sembuluh adalah

desa terpencil, namun sebagian masyarakat telah

terpengaruh oleh budaya konsumen seperti yang

terjadi di kota-kota besar. Misalnya, banyaknya

barang-barang elektronik dan gaya hidup yang relatif

mewah telah menjadi pemandangan sehari-hari di

Sembuluh. Kedua adalah kelompok yang secara sadar

menjual lahannya karena mereka tidak dapat menolak

program perkebunan sawit yang secara nyata

didukung oleh pemerintah. Sebagian penduduk

melihat bahwa program perkebunan sawit adalah

program yang dicanangkan oleh pemerintah yang

harus dipatuhi. Juga menyadari bahwa mereka tidak

mungkin menang melawan kolaborasi antara

perusahaan besar dan pemerintah. Selain memiliki

modal finansial yang besar, lawan yang dihadapi

adalah berkuasa sekali. Di sisi lain, perusahaan juga

Page 44: For Knowledge and Humanity

menawarkan uang yang cukup besar dan dalam

waktu yang cepat. Maka dari itu, tidak ada pilihan

bagi penduduk untuk menerima program perkebunan

sawit.

[1] Kalteng Post, 1 Mei 2004.[2] Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Tengah. 2003 dan Kalimantan Tengah Dalam Angka 2002.[3] Lihat Casson (2000)[4] Kontribusinya yang selalu di atas 20 persen menjadikannya unggulan pada kegiatan ekonomi penduduk. Hutan-hutan Seruyan selain menghasilkan kayu, juga hasil ikutannya, seperti rotan yang banyak tumbuh di Kecamatan Seruyan Hulu.

[5] Kompas, 18 Maret 2004.[6] Kompas, 18 Maret 2004.[7] Lihat http://www.seruyan.go.id.[8] Terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 5.501 orang dan penduduk perempuan sebanyak 4.908, dan 2.620 Kepala Keluarga (KK). Lihat Kotawaringin Timur dalam Angka 2001.[9] Sumber: analisis berita surat kabar lokal Kalteng (Noveria dkk., 2004).[10] Konglomerat asal Sri Langka, Carson Cumberbatch, memiliki dan mengontrol kedua perusahaan asal Malaysia, yaitu Agro Hope Sdn Bhd, Shalimar Developments Sdn Bhd, sedangkan yang menjadi pengelola PT AI di Sembuluh adalah Agro Hope Sdn Bhd (Casson 2001).[11] Pada saat PT Agro Indomas membuka lahan pada tahun 1996, secara admnistratif Kecamatan Danau Sembuluh masih menjadi wilayah dari Kabupaten Kotim. Wawancara dengan Berty, Juni 2004.

Page 45: For Knowledge and Humanity

[12] PT Kerry Sawit Indonesia (KSI) adalah perusahaan yang 90% sahamnya dimiliki oleh PPB Group Berhad, konglomerat asal Malaysia. PT KSI memperoleh bantuan pendanaan dari HSBC. Pada tahun 2004, PT KSI telah mulai beroperasi Dukuh Tabiku dan Desa Sembuluh I, dengan luas lahan 6000 hektar.[13] Namun, meskipun UU No. 22 dan 25 tahun 1999 telah diberlakukan, praktik pengurusan izin lokasi perkebunan masih mengikuti pola-pola lama. Gubernur Kalteng menyatakan bahwa pemerintah pusat belum serius menjalankan UU tersebut (Casson, 2000).[14] PT AI mendapatkan izin pada 10 Maret 1995 dengan nomor izin HK.350/E5.188/03.95 dengan luas area 15.000 hektar.[15] Kalteng Pos, 2 September 2003.[16] Lihat http://dte.gn.apc.org/55iOP.htm[17] CDC yang sahamnya dimiliki oleh DFID merupakan investor yang memiliki saham di PT AI.[18] Lihat http://dte.gn.apc.org/55iOP.htm[19] Secara administratif, Lampasa sudah menjadi desa yang berdiri sendiri, sedangkan Tabiku masih menjadi bagian desa Sembuluh I.[20] Pasus merupakan singakatan dari Pasukan Khusus, sebutan untuk sekelompok orang yang menjadi milisi bayaran untuk menjaga perusahaan dan siap melakukan kekerasan jika diperlukan. Mereka ini sangat ditakuti karena dianggap berhasil membunuh dan mengusir orang Madura pada kasus konflik Dayak-Madura di Sampit pada tahun 2000-2001.

Page 46: For Knowledge and Humanity

[21] Informasi mengenai H. Darwan Ali diperoleh dari masyarakat Sembuluh sendiri, dan beberapa orang yang berhasil saya temui secara acak di Kuala Pembuang, ibukota Kabupaten Seruyan. H. Darwan Ali sangat dikenal di Sembuluh karena dia memang berasal dari sana.[22] Namun, informan tidak bersedia menyebutkan perusahaan perkebunan sawit apa saja.[23] Sebelumnya, terdapat satu perusahaan perkebunan sawit yang telah beroperasi di sekitar Sembuluh, yaitu PT Sawit Nugra Perdana (SNP). Namun, hubungan masyarakat dengan PT SNP relatif tidak diwarnai isu konflik, karena letaknya cukup jauh dari tempat tinggal penduduk, dan hanya sebagian lahannya dijadikan area perkebunan PT SNP.[24] Pertemuan masyarakat Dukuh Tabiku dengan pihak PT KSI sebelumnya dilakukan pada

tanggal 3 Februari 2003, di gedung SD Tabiku. Hadir dalam pertemuan tersebut adalah Kades Sembuluh I, aparat Keamanan Telaga Pulang (Kapolsek, Danramil) dan pihak masyarakat. Dalam pertemuan tersebut, masyarakat menuntut persoalan ganti rugi tanah dengan nilai Rp 1 juta per hektar, sedangkan perusahaan menentukan harga Rp 350 ribu per hektar. Alhasil, pertemuan tersebut tidak menghasilkan keputusan dan mereka mempunyai sikap mendengar keputusan dari pertemuan di Desa Sembuluh I yang akan dilaksanakan pada tanggal 5 Februari 2003.[25] Perlu diinformasikan di sini bahwa sikap Kades Sembuluh I, Bambang Wahyudi adalah keponakan dari H. Darwan Ali, Bupati Seruyan, yang ditengarai memiliki saham di beberapa perusahaan perkebunan sawit di Danau Sembuluh. Bambang Wahyudi merupakan salah satu tokoh masyarakat yang aktif mendukung hadirnya perkebunan sawit di sekitar Desa Sembuluh. Pada pemilu 2004 lalu, Bambang Wahyudi berhasil menjadi anggota DPD tingkat II Kabupaten Seruyan, sehingga dia harus melepaskan jabatannya sebagai Kades Sembuluh I.© 2010 THE INTERSEKSI FOUNDATION. ALL RIGHTS RESERVED. Contact Us  

HOME   / VIEWPOINT   / ESSAYS   / Pengaruh Pembangunan Perkebunan Sawit di Kalimantan   /