fiqih mawaris

272
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris FIQIH MAWARIS Ahmad Sarwat, Lc 1

Upload: ahmad-sarwat

Post on 19-Jun-2015

13.922 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Fiqih Mawaris adalah buku karya Ahmad Sarwat, Lc diwakafkan untuk umat Islam.

TRANSCRIPT

Page 1: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

FIQIHMAWARIS

Ahmad Sarwat, Lc

1

Page 2: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Judul BukuFiqih Mawaris

PenulisAhmad Sarwat

PenerbitDU CENTER

CetakanPertama

KeduaKetiga

Keempat

3

Page 3: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Istilah

Agar tidak terjadi selip paham dalam membicarakan hal-hal yang terkait dengan istilah warisan yang ditranslate ke dalam bahasa Indonesia, mari kita merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Misalnya kata mewarisi dan mewariskan, orang sering keliru membedakan keduanya. Menurut KBBI, kata 'mewarisi' adalah memperoleh warisan. Misalnya kalimat berikut : Amir mewarisi sebidang tanah milik ayahnya, pak Ali. Artinya, Amir memperoleh tanah yang ditinggalkan oleh pak Ali.

Sedangkan kata 'mewariskan' artinya adalah memberikan harta warisan atau meninggalkan sesuatu harta kepada orang lain. Misalnya kalimat berikut : Pak Ali mewariskan sebidang tanah kepada anaknya. Maksudnya, pak Ali memberikan harta warisan kepada anaknya.

Kata 'pewaris' adalah orang yang mewariskan, yaitu orang yang memberi harta warisan. Contoh dalam kalimat, pak Ali adalah pewaris dari anak-anaknya. Maksudnya, pak Ali memberi harta warisan kepada anak-anaknya.

Lawan kata pewaris adalah 'ahli waris', yaitu orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka). Contoh dalam kalimat, Amir adalah ahli waris dari ayahnya. Maksudnya, Amir menerima harta warisan dari ayahnya.

me·wa·risi v 1 memperoleh warisan dr: krn anak satu-satunya, dialah yg akan ~ seluruh harta kekayaan orang tuanya; 2 ki memperoleh sesuatu yg ditinggalkan oleh orang tuanya dsb: ia

5

Page 4: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

tidak saja memperoleh harta kekayaan, tetapi ia juga ~ utang-utang yg ditinggalkan almarhum; me·wa·ris·kan v 1 memberikan harta warisan kpd; meninggalkan sesuatu kpd: gurunya ~ ilmu silat kepadanya; 2 menjadikan orang lain menjadi waris; wa·ris·an n sesuatu yg diwariskan, spt harta, nama baik; harta

ahli waris orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka)

6

Page 5: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Daftar Isi

Urgensi dan Pensyariatan 171. Mengapa Kita Belajar Hukum Waris 17

1.1. Ilmu Waris Akan Dicabut 181.2. Perintah Khusus Dari Nabi SAW 191.3. Sejajar Dengan Belajar Al-Quran 191.4. Menghindari Perpecahan Keluarga 201.5. Ancaman Akhirat 21

2. Pensyariatan 222.1. Dalil Quran 222.2. Dalil Sunnah 262.3. Dalil Ijma' 27

Pengertian Waris 291. Definisi 29

1.1. Bahasa 291.2. Pengertian syariah 30

2. Waris, Hibah dan Wasiat 302.1. Waktu 312.2. Penerima 312.3. Nilai 322.4. Hukum 32

3. Istilah-istilah dalam ilmu waris 333.1. Tarikah 333.2. Fardh 333.3. Ashhabul Furudh. 333.4. Ashabah 343.5. Sahm 353.6. Nasab 353.7. Al-Far'u 353.8. Al-Ashl 36

Alokasi Harta 371. Menetapkan Kepemilikan Harta 37

7

Page 6: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

2. Pengurusan Jenazah 403. Hutang 414. Washiyat 43

Rukun, Syarat dan Sebab Warisan 451. Rukun Waris 45

1.1. Al-Muwarits 451.2. Al-Warits 451.3. Harta Warisan 46

2. Syarat Waris 462.1. Meninggalnya Muwarrits 462.2. Hidupnya Ahli Waris 492.3. Ahli Waris Diketahui 50

3. Sebab-sebab Adanya Hak Waris 503.1. Kerabat hakiki 503.2. Pernikahan 513.3. Al-Wala 51

Gugurnya Warisan 531. Hal-hal Yang Menggugurkan Warisan 53

1.1. Pembunuhan 531.2. Perbedaan Agama 541.3. Budak 56

2. Perbedaan Mahrum dan Mahjub 57

Penghalang Warisan (Al-Hujub) 591. Definisi 592. Macam-macam al-Hujub 603. Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman 614. Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman 62

Para Ahli Waris 631. Anak Laki-laki (ابن) 66

1.1. Bagian 66

8

Page 7: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

1.2. Menghijab 671.3. Dihijab oleh : 67

2. Anak Perempuan (بنت) 672.1. Bagian 682.2. Menghijab 692.3. Dihijab Oleh : 69

3. Istri (زوجة) 703.1. Bagian 703.2. Menghijab 713.3. Dihijab oleh 71

4. Suami 714.1. Bagian 724.2. Menghijab 724.3. Dihijab oleh 72

5. Ayah 735.1. Bagian 735.2. Menghijab 755.3. Dihijab oleh 76

6. Ibu 766.1. Bagian 766.2. Menghijab 786.3. Dihijab oleh 78

7. Kakek (أب أب) 797.1. Bagian 797.2. Menghijab 817.3. Dihijab oleh 81

8. Nenek (أم أب) 828.1. Bagian 828.2. Menghijab 828.3. Dihijab oleh 82

9. Saudara seayah-ibu (أخ شقيق) 8210. Saudari seayah-ibu 8311. Saudara seayah 8312. Saudari seayah 83

9

Page 8: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

13. Keponakan : anak saudara seayah-ibu 8314. Keponakan : anak saudara seayah 8315. Paman : saudara ayah seayah-ibu 8316. Paman : saudara ayah seayah 8317. Sepupu : anak laki paman seayah-ibu 8318. Sepupu : anak laki paman seayah 84

1.2. Ahli Waris Perempuan 862. Derajat Ahli Waris 87

2.1. Ashhabul furudh. 872.3. Penambahan bagi ashhabul furudh 892.4. Mewariskan kepada kerabat. 892.5. Tambahan hak waris bagi suami atau

istri. 892.6. Ashabah karena sebab. 892.7. Orang yang diberi wasiat lebih dari

sepertiga harta pewaris. 903. Bentuk-bentuk Waris 90

Ashhabul-Furudh 931. Definisi Ashhabul Furudh 932. Mendapat Setengah (1/2) 94

2.1. Suami 942.2. Anak perempuan (kandung) 952.3. Cucu perempuan keturunan 952.4. Saudara Kandung Perempuan 962.5. Saudara perempuan seayah 96

2. Mendapat Seperempat (1/4) 972.1. Suami 972.2. Istri 97

3. Mendapat Seperdelapan (1/8) 984. Mendapat Dua per Tiga (2/3) 99

4.1. Dua anak perempuan (kandung) 994.2. Dua orang cucu perempuan 1004.4. Dua saudara perempuan seayah (atau

lebih) 101

10

Page 9: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

5. Mendapat Sepertiga (1/3) 1025.1. Ibu 1025.2. Saudara laki-laki dan saudara

perempuan 103Masalah 'Umariyyatan 105

6. Mendapat Seperenam (1/6) 1076.1. Ayah 1086.2. Kakek 1086.3. Ibu 1086. 4. Cucu perempuan 1096. 5. Saudara perempuan 1106.6. Nenek asli 111

Ahli Waris 'Ashabah 1131. Pengertian 1132. Dalil Hak Waris Para 'Ashabah 1143. Macam-macam 'Ashabah 116

3.1. 'Ashabah bin nafs 1173.2. 'Ashabah bi Ghairihi dan Hukumnya 122

4. Perbedaan 'Ashabah bil Ghair dengan 'Ashabah ma'al Ghair 131

Berbagai Keadaan Para Ahli Waris 1331. Istri 134

1.1. Tidak Menghijab Orang Lain 1351.2. Tidak Dihijab Oleh Siapa Pun 1351.3. Cara Mendapat Waris 135

2. Suami 1362.1. Tidak Menghijab 1362.2. Tidak Terhijab 1362.3. Cara Mendapatkan Warisan 137

3. Anak Laki 1383.1. Menghijab Banyak Orang 1383.2. Tidah Dihijab oleh Siapa Pun 1413.3. Cara Mendapat Waris 141

11

Page 10: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

4. Anak Perempuan 1414.1. Menghijab 1414.2. Tidak Terhijab Oleh Siapa Pun 1424.3. Cara Menerima Warisan 142

5. Ayah 1445.1. Menghijab 1445.2. Tidak Terhijab Oleh Siapa pun 1455.3. Cara Mendapatkan Warisan 145

6. Ibu 1466.1. Menghijab 1476.2. Terhijab 1476.3. Cara Mendapatkan Waris 147

7. Kakek 1487.1. Menghijab 1487.2. Terhijab 1497.3. Cara Mendapatkan Warisan 150

8. Cucu 1528.1. Menghijab banyak orang 152

Cara Membagi Warisan 1571. Langkah Pertama 157

1.1. Hutang 1571.2. Wasiat 1571.3. Biaya Pengurusan Jenazah 158

2. Langkah Kedua 1582.1. Memilah 1582.2. Menghilangkan ahli waris yang terhijab

1593. Langkah Ketiga 161

12

Page 11: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Pengantar

5

Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Agung. Shalawat serta salam tercurah kepada baginda Nabi Muhammad SAW, juga kepada para shahabat, pengikut dan orang-orang yang berada di jalannya hingga akhir zaman.

Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.

Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan

13

Page 12: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.

Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.

Buku FIQIH MAWARIS ini hanyalah sebuah catatan kecil dari ilmu fiqih yang sedemikian luas. Para ulama pendahulu kita telah menuliskan ilmu ini dalam ribuan jilid kitab yang menjadi pusaka dan pustaka khazanah peradaban Islam. Sebuah kekayaan yang tidak pernah dimiliki oleh agama manapun yang pernah muncul di muka bumi.

14

Page 13: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Sayangnya, kebanyakan umat Islam malah tidak dapat menikmati warisan itu, salah satunya karena kendala bahasa. Padahal tak satu pun ayat Al-Quran yang turun dari langit kecuali dalam bahasa Arab, tak secuil pun huruf keluar dari lidah nabi kita SAW, kecuali dalam bahasa Arab.

Maka upaya menuliskan kitab fiqih dalam bahasa Indonesia ini menjadi upaya seadanya untuk mendekatkan umat ini dengan warisan agamanya. Tentu saja buku ini juga diupayakan agar masih dilengkapi dengan teks berbahasa Arab, agar masih tersisa mana yang merupakan nash asli dari agama ini.

Buku ini merupakan buku kedelapan dari rangkaian silsilah pembahasan fiqih. Selain buku ini juga ada buku lain terkait dengan masalah fiqih seperti fiqih thaharah, shalat, puasa, zakat, haji, ekonomi atau muamalah, nikah, waris, hudud dan bab lainnya.

Sedikit berbeda dengan umumnya kitab fiqih, manhaj yang kami gunakan adalah manhaj muqaranah dan wasathiyah. Kami tidak memberikan satu pendapat saja, tapi berupaya memberikan beberapa pendapat bila memang ada khilaf di antara para ulama tentang hukum-hukum tertentu, dengan usaha untuk menampilkan juga hujjah masing-masing. Lalu pilihan biasanya kami serahkan kepada para pembaca.

15

Page 14: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Semoga buku ini bisa memberikan manfaat berlipat karena bukan sekedar dimengerti isinya, tetapi yang lebih penting dari itu dapat diamalkan sebaik-baiknya ikhlas karena Allah SWT.

Al-Faqir ilallah

Ahmad Sarwat, Lc

16

Page 15: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Bab Pertama

Urgensi dan Pensyariatan

1. Mengapa Kita Belajar Hukum Waris

Untuk apa kita mempelajari hukum waris? Bukankah sudah ada kiyai dan para ulama yang bisa menangani urusan waris? Bukankah biasanya membagi waris menjadi tugas dan wewenang Kantor Urusan Agama (KUA)?

Barangkali pertanyaan seperti itu muncul di benak kita ketika pertama kali melihat buku ini.

17

Page 16: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Pertanyaan seperti itu mungkin ada benarnya. Sebab biasanya urusan pembagian waris memang menjadi urusan para kiyai dan ulama, setidaknya menjadi 'job' pak KUA. Jadi buat apa kita yang tidak punya urusan ini pakai sok belajar ilmu waris?

Pada bab pertama ini kita akan mempelajari kenapa kita yang awam ini perlu dan harus belajar ilmu waris. Ada beberapa sebab dan alasan yang melatarbelakangi hal itu. Antara lain :

1.1. Ilmu Waris Akan Dicabut

Sebagaimana kita sadari meski bangsa Indonesia ini mayoritas muslim, namun kita tahu bahwa agama kita diperangi lewat berbagai macam bentuk penggerogotan dari dalam. Salah satunya adalah dijejalinya kita dengan berbagai produk hukum yang bukan hukum Islam, seperti hukum barat dan hukum adat, lewat berbagai kurikulum pendidikan yang kita dapat dari sistem pendidikan nasional, atau dari adat istiadat turun temurun.

Maka lahirlah dari bangsa ini berlapis generasi muslim yang rajin shalat 5 waktu, fasih membaca Al-Quran, aktif mengaji kesana-kemari, gemar menghidupkan amaliyah sunnah, tetapi sama sekali tidak paham alias merasa asing dengan hukum waris Islam.

18

Page 17: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Keterasingan mereka atas hukum waris Islam ini merupakan kehancuran umat Islam yang sudah diprediksi oleh Rasulullah SAW sejak 14 abad yang lalu.

Rasulullah SAW secara khusus telah memberikan perintah untuk mempelajari ilmu waris, sebab ilmu waris itu setengah dari semua cabang ilmu. Lagi pula Rasulullah SAW mengatakan bahwa ilmu warisan itu termasuk yang pertama kali akan diangkat dari muka bumi.

اب@@أ اي@@ الل@@ه ولس@@ر الق الق جرعاأل نع فص@@ن هن@@إف هوملعو ضائرالف واملعت ةريره

يتمأ نم عزني ام لوأ وهو ىسني هنإو ملالعDari A'raj radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Wahai Abu Hurairah, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu dan dilupakan orang. Dan dia adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku". (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)

1.2. Perintah Khusus Dari Nabi SAW

ولس@@ر الق@@ الق ودعسم نب الله دبع نع واملعتو اسالن وهملعو آنرالق واملعت الله ضوبقم ؤرام ينإف اسالن وهملعو ضائرالف ىتح نتالف ره@@@@@ظتو ضبقيس@@@@@ ملالع نإو

19

Page 18: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

نم اندج@@ي ال ةض@@يرالف في انن@@ثاال فل@@تخيالحاكم رواه – اهب يضقي

Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Pelajarilah Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang-orang. Dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkan kepada orang-orang. Karena Aku hanya manusia yang akan meninggal. Dan ilmu waris akan dicabut lalu fitnah menyebar, sampai-sampai ada dua orang yang berseteru dalam masalah warisan namun tidak menemukan orang yang bisa menjawabnya". (HR. Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)1

1.3. Sejajar Dengan Belajar Al-Quran

Selain Rasulullah SAW memerintahkan kita belajar ilmu waris, khalifah Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu juga secara khusus memerintahkan umat Islam mempelajari ilmu waris. Bahkan beliau menyebutkan kita harus mempelajari ilmu waris sebagaimana kita belajar Al-Quran Al-Kariem.

:ولق@@ي انك@@ هن@@أ ابط@@الخ نب رم@@ع نع. آنرالق نوملعتت امك ضائرالف واملعت

Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu beliau berkata,

1 Al-Mustadrak ala Ash-Shahihaini lil-Hakim, jilid 18 halaman 328

20

Page 19: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

"Pelajarilah ilmu faraidh sebagaimana kalian mempelajari Al-Quran". 2

Perintah ini mengandung pesan bahwa belajar ilmu waris ini sangat penting bagi umat Islam. Karena disejajarkan dengan belajar Al-Quran.

1.4. Menghindari Perpecahan Keluarga

Seringkali di antara penyebab perpecahan keluarga adalah masalah harta waris. Dari banyak kasus yang terjadi, umumnya berhulu dari kurang pahamnya para anggota keluarga atas aturan dan ketentuan dalam hukum waris Islam.

Tidak dipelajarinya lagi ilmu waris oleh generasi Islam ternyata punya dampak yang sangat besar. Salah satunya adalah munculnya perpecahan keluarga. Lantaran ketika orang tua wafat, anak-anak yang tidak mengenal ilmu waris itu saling berebut harta disebabkan karena parameter yang mereka gunakan saling berbeda.

Sebagian anak ada yang ingin menerapkan hukum waris versi adat. Yang lainnya mau versi barat. Sebagiannya mau pakai hukum Islam.

Seandainya orang tua mereka telah mengjaari dan mendidik mereka sejak kecil dengan ilmu waris Islam, niscaya perpecahan keluarga tidak akan terjadi.

2

21

Page 20: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Sebab selayaknya anak-anak muslim yang tumbuh dengan pendidikan Islam, mereka pun dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama yang mengajarkan bagaimana cara membagi waris sesuai dengan ketentuan Allah SWT.

Dari berbagai kasus perpecahan keluarga tentang masalah waris, umumnya yang menjadi penyebab utama adalah awamnya para anggota keluarga dari ilmu hukum waris Islam.

Jalan keluar untuk menghindari perpecahan keluarga yang barangkali bukan terjadi hari ini adalah mempersiapkan anak-anak kita, terutama generasi muda, dengan bekal ilmu hukum waris. Sehingga sejak awal merea sudah punya pedoman buat bekal ketika dewasa nanti.

1.5. Ancaman Akhirat

Selain dua alasan di atas, memang Allah SWT telah mewajibkan umat Islam untuk membagi warisan sesuai dengan petunjuk dan ketetapan-Nya. Mereka yang secara sengaja melanggar dan tidak mengindahkan ketentuan Allah ini, maka Dia akan memasukkannya ke dalam api neraka.

Tidak hanya itu, tetapi dengan tambahan bahwa keberadaan mereka itu kekal abadi selamanya di dalam neraka. Bahkan masih ditambahkan lagi dengan jenis siksaan yang menghinakan.

22

Page 21: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Ketentuan seperti ini telah Allah cantumkan di dalam Al-Quran Al-Kariem.

zه يعص ومن يدخله حدوده ويتعد ورسوله اللا م~هين عذاب وله فيها خالد|ا نار|

Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.(QS. An-Nisa' : 13-14)

Di ayat ini Allah SWT telah menyebutkan bahwa membagi warisan adalah bagian dari hudud, yaitu sebuah ketetapan yang bila dilanggar akan melahirkan dosa besar. Bahkan di akhirat nanti akan diancam dengan siksa api neraka. Tidak seperti pelaku dosa lainnya, mereka yang tidak membagi warisan sebagaimana yang telah ditetapkan Allah SWT tidak akan dikeluarkan lagi dari dalamnya, karena mereka telah dipastikan akan kekal selamanya di dalam neraka sambil terus menerus disiksa dengan siksaan yang menghinakan.

Sungguh berat ancaman yang Allah SWT telah tetapkan buat mereka yang tidak menjalankan hukum warisan sebagaimana yang telah Allah tetapkan. Cukuplah ayat ini menjadi peringatan buat mereka yang masih saja mengabaikan perintah Allah sebagai

23

Page 22: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

ancaman. Jangan sampai siksa itu tertimpa kepada kita semua. Nauzu billahi min zalik.

2. Pensyariatan

Ketentuan dan kewajiban membagi waris dalam syariah Islam ditetapkan berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, serta ijma' para ulama.

2.1. Dalil Quran

Di dalam Al-Quran ada banyak ayat yang secara detail menyebutkan tentang pembagian waris menurut hukum Islam. Khusus di surat An-Nisa' saja ada tiga ayat, yaitu ayat 11,12 dan 176. Selain itu juga ada di dalam surat Al-Anfal ayat terakhir, yaitu ayat 75.

a. Ayat waris untuk anak

ه يوصيكم z@@ظ مث@@ل لل@@ذكر أوالدكم في الل ح@@ ثلث@@ا فلهن اثنتين فوق نساء كن فإن األنثيين

صف فلها واحدة| كانت وإن ترك ما النAllah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu

24

Page 23: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. (QS. An-Nisa' : 11)

b. Ayat waris untuk orang tua

ا الس~دس منهما واحد لكل وألبويه ت@@رك مم@@إن ولد له كان إن م ف@@ ه يكن ل وورث@@ه ول@@د ل@@

~لث فألمه أبواه وة ل@@ه كان فإن الث ه إخ@@ فألم@@د من الس~دس ة بع@@ ي ي وص@@ ا يوص@@ دين أو به@@

وأبن@@اؤكم آبآؤكم ~هم ت@@درون ال رب أي لكم أق@@| ة| نفع@@ا ه من فريض@@ z@@ه إن الل z@@عليم@@ا ك@@ان الل

حكيم|اDan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa' : 11)

25

Page 24: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

c. Ayat waris buat suami dan istri

ف ولكم. ا نص@@ م إن أزواجكم ت@@رك م@@ يكن لهن ب@@ع فلكم ولد لهن كان فإن ولد ل ا الر~ مم@@

ركن د من ت@@ ة بع@@ ي ين وص@@ ا يوص@@ دين أو به@@بع ولهن م إن ت@@ركتم مما الر~ كم يكن ل ول@@د ل~من فلهن ول@@د لكم ك@@ان فإن ا الث ت@@ركتم مم@@ة بعد من دين أو بها توصون وصي

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. (QS. An-Nisa' : 12)

d. Ayat waris Kalalah

Kalalah adalah seorang wafat tanpa meninggalkan ayah dan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki atau perempuan.

26

Page 25: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

رأة أو كاللة| يورث رجل كان وإن أخ ول@@ه ام@@د فلك@@ل أخت أو ا واح@@ دس منهم@@ إن الس@@~ ف@@

ركاء فهم ذل@@ك من أكث@@ر كانوا ~لث في ش@@ الثة بعد من آر� غي@@ر دين أو بهآ يوصى وصي مض@@

ة| zه من وصي zه الل حليم عليم واللJika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun (QS. An-Nisa' : 12)

e. Ayat waris Kalalah

Kalalah lainnya adalah seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan saudara perempuan.

27

Page 26: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

تفتونك ل يس@@ ه ق@@ z@@إن الكالل@@ة في يفتيكم الل نصف فلها أخت وله ولد له ليس هلك امرؤ

ترك ماMereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya. (QS. An-Nisa' : 176)

وا وأول@@@ ام هم األرح@@@ في ببعض أولى بعض@@@zه كتاب zه إن الل عليم شيء بكل الل

Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Anfal : 75)

2.2. Dalil Sunnah

Ada begitu banyak dalil sunnah nabi yang menunjukkan pensyariatan hukum waris buat umat Islam. Di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini :

28

Page 27: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

ال اسب@@ع ناب عن ال ق@@ ول ق@@ الل@@ه رس@@ ىلوألف يقب ام@@ف اه@@لهأب ضائرالف@@ واق@@حلأ.ركذ لجر

Dari Ibnu Abbas radiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabdam"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)

الله رسول قال قال ديز نب ةامسأ عنملسالم رافالك الو رفالكا ملسالم ثري ال

Dari Usamah bin zaid radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Seorang muslim tidak mendapat warisan dari orang kafir dan orang kafir tidak mendapat warisan dari seorang muslim. (HR Jamaah kecuali An-Nasai)3

ال روم@@ع نب الله دبع عن ال ق@@ ول ق@@ رس@@ىتش نيتلم لهأ ثاروتي ال الله

Dari Abullah bin Amr radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Dua orang yang berbeda agama tidak saling mewarisi.(HR. Ahmad Abu Daud dan Ibnu Majah)

3 Nailul Authar jilid 6 halaman 55

29

Page 28: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

ال تامالص@@ نب ةادب@@ع عن يبالن أن ق@@امهنيب سد~السب ثيرامال نم نيتدجلل ىضق

Dari Ubadah bin As-Shamith radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW menetapkan buat dua orang nenek yaitu 1/6 diantara mereka.(HR. Ahmad Abu Daud dan Ibnu Majah)

ةن@@@بالل ~يبالن ىض@@@ق ودعس@@@م نبا عن نيثل~لثل |ةل@@مكت سد~الس@@ نباال ةنبالو فصالنتخأللف يقب امو

Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW menetapkan bagi anak tunggal perempuan setengah bagian, dan buat anak perempuan dari anak laki seperenam bagian sebagai penyempurnaan dari 2/3. Dan yang tersisa buat saudara perempuan .(HR. Jamaah kecuali Muslim dan Nasai)4

2.3. Dalil Ijma'

Para shahabat, tabiin dan para ulama yang mewarisi nabi telah berijma' tentang pensyariatan hukum waris ini.

4 Nailul Authar jilid 6 halaman 58

30

Page 29: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Bab Kedua

Pengertian Waris

1. Definisi

1.1. Bahasa

Al-miirats (الميراث) dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata (|ا |ا وميراث -waritsa-yaritsu-irtsan (ورث يرث إرثmiiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.

31

Page 30: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:

داوود سليمان وورث"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)

ا الوارثين نحن وكن"... Dan Kami adalah yang mewarisinya."

(al-Qashash: 58)

Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:

األنبياء ةثور العلماء'Ulama adalah ahli waris para nabi'.

1.2. Pengertian syariah

Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah : berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.

32

Page 31: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

2. Waris, Hibah dan Wasiat

Ada tiga istilah yang berbeda namun memiliki kesamaan dalam beberapa halnya, yaitu waris, hibah dan wasiat. Ketiganya memiliki kemiripan sehingga kita seringkali kesulitan saat membedakannya.

Tetapi akan terasa lebih mudah kalau kita buatkan tabel seperti berikut ini.

WARIS HIBAH WASIAT

Waktu Setelah wafat Sebelum wafat Setelah wafat

Penerima

Ahli warisahli waris &

bukan ahli warisbukan ahli waris

Nilai Sesuai faraidh Bebas Maksimal 1/3

Hukum wajib Sunnah Sunnah

2.1. Waktu

Dari segi wattu, harta waris tidak dibagi-bagi kepada para ahli warisnya, juga tidak ditentukan berapa besar masing-masing bagian, kecuali setelah pemiliknya (muwarrits) meninggal dunia. Dengan kata lain, pembagian waris dilakukan setelah pemilik harta itu meninggal dunia. Maka yang membagi waris pastilah bukan yang memiliki harta itu.

Sedangkan hibah dan washiyat, justru penetapannya dilakukan saat pemiliknya

33

Page 32: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

masih hidup. Bedanya, kalau hibah harta itu langsung diserahkan saat itu juga, tidak menunggu sampai pemiliknya meninggal dulu. Sedangkan washiyat ditentukan oleh pemilik harta pada saat masih hidup namun perpindahan kepemilikannya baru terjadi saat dia meninggal dunia.

2.2. Penerima

Yang berhak menerima waris hanyalah orang-orang yang terdapat di dalam daftar ahli waris dan tidak terkena hijab hirman. Tentunya juga yang statusnya tidak gugur.

Sedangkan washiyat justru diharamkan bila diberikan kepada ahli waris. Penerima washiyat harus seorang yang bukan termasuk penerima harta waris. Karena ahli waris sudah menerima harta lewat jalur pembagian waris, maka haram baginya menerima lewat jalur washiat.

Sedangkan pemberian harta lewat hibah, boleh diterima oleh ahli waris dan bukan ahli waris. Hibah itu boleh diserahkan kepada siapa saja.

2.3. Nilai

Dari segi nilai, harta yang dibagi waris sudah ada ketentuan besarannya, yaitu sebagaimana ditetapkan di dalam ilmu faraidh.

34

Page 33: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Ada ashabul furudh yang sudah ditetapkan besarannya, seperti 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 hingga 2/3. Ada juga para ahli waris dengan status menerima ashabah, yaitu menerima warisan berupa sisa harta dari yang telah diambil oleh para ashabul furudh. Dan ada juga yang menerima lewat jalur furudh dan ashabah sekaligus.

Sedangkan besaran nilai harta yang boleh diwasiatkan maksimal hanya 1/3 dari nilai total harta peninggalan. Walau pun itu merupakan pesan atau wasiat dari almarhum sebagai pemilik harta, namun ada ketentuan dari Allah SWT untuk membela kepentingan ahli waris, sehingga berwasiat lebih dari 1/3 harta merupakan hal yang diharamkan.

Bahkan apabila terlanjur diwasiatkan lebih dari 1/3, maka kelebihannya itu harus dibatalkan.

2.4. Hukum

Pembagian waris itu hukumnya wajib dilakuan sepeninggal muwarrits, karena merupakan salah satu kewajiban atas harta.

Sedangkan memberikan washiyat hukumnya hanya sunnah. Demikian juga memberikan harta hibah hukumnya sunnah.

3. Istilah-istilah dalam ilmu waris

Setiap cabang ilmu memiliki istilah-istilah yang khas, dimana istilah itu seringkali tidak

35

Page 34: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

sama dengan istilah yang umum. Berikut ini kami uraikan beberapa istilah yang akan seringkali muncul dalam mata kuliah ini.

3.1. Tarikah

Tarikah, (تركة) kadang dibaca tirkah, adalah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan.

Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).

3.2. Fardh

Fardh (فرض) adalah bagian harta yang didapat oleh seorang ahli waris yang telah ditetapkan langsung oleh nash Al-Quran, As-Sunnah atau ijma' ulama. Fardh itu adalah bilangan pecahan berupa 1/2, 1/3. 1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3. Harta yang dibagi waris itu adalah 1 lalu dipecah-pecah sesuai bilangan fardh.

Misalnya seorang istri yang ditinggal mati suaminya sudah dipastikan mendapat 1/8 bagian dari harta suaminya, apabila

36

Page 35: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

suaminya punya keturunan. Atau mendapat 1/4 bagian bila suaminya tidak punya keturunan.

3.3. Ashhabul Furudh.

Ashabul furudh (أصحاب الفروض) sesuai dengan namanya, berarti adalah orang-orangnya, yaitu orang-orang yang mendapat waris secara fardh. Mereka adalah ahli waris yang punya bagian yang pasti dari warisan yang diterimanya. Contoh ashabul furudh adalah suami, istri, ibu, ayah dan lainnya.

Besar harta yang diterimanya sudah ditetapkan oleh nash, tapi tergantung keadaannya. Sebagai contoh, seorang istri yang ditinggal mati suaminya sudah dipastikan besar harta yang akan diterimanya, yaitu 1/4 atau 1/8. Seandainya suaminya punya anak, maka istri mendapat 1/8 dari harta suami. Tapi kalau suami tidak punya anak, istri menapat 1/4 dari harta suami.

Begitu juga seorang suami yang ditinggal mati istrinya, sudah dipastikan besar harta yang akan diterimanya, yaitu 1/2 atau 1/4, tergantung keberadaan anak dari istri. Seandainya istri punya anak, maka suami mendapat 1/4 dari harta istri. Tapi kalau istri tidak punya anak, suami mendapat 1/2 dari harta istri.

37

Page 36: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Tapi intinya, ashabul furudh adalah para ahli waris yang sudah punya bagian pecahan tertentu dari harta muwarristnya.

3.4. Ashabah

Istilah ashabaha (عصبة) berposisi sebagai lawan fardh, yaitu bagian harta yang diterima oleh ahli waris, yang besarnya belum diketahui secara pasti. Karena harta itu hanyalah sisa dari apa yang telah diambil sebelumnya oleh ahli waris yang menjadi ashhabul-furudh.

Besarnya bisa nol persen hingga seratus persen. Tergantung seberapa banyak harta yang diambil oleh ahli waris ashhabul furudh. Kalau jumlah mereka banyak, maka bagian untuk ashabah menjadi kecil, kalau jumlah mereka sedikit, biasanya ashahabnya menjadi besar.

Misalnya, seorang anak laki-laki tunggal adalah ahli waris ashabah dari ayahnya yang meninggal dunia. Ibunya adalah ahli waris dari ashabul furudh, mendapat 1/8 dari harta suaminya. Sedangkan anak tersebut mendapat waris sebagai ashabah, atau sisa dari apa yang sudah diambil ibunya, yaitu 1 – 1/8 = 7/8.

3.5. Sahm

Sahm (سهم) adalah istilah untuk menyebut bagian harta yang diberikan kepada setiap

38

Page 37: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

ahli waris yang berasal dari asal masalah. Atau disebut juga jumlah kepala mereka.

Misalnya,

3.6. Nasab

Nasab (نسب) adalah hubungan seseorang secara darah, baik hubungan ke atasnya seperti ayah kandung, kakek kandung dan seterusnya. Hubugnan ke atas ini disebut abuwwah. Bisa juga hubungan seseorang ke arah bawah (keturunannya) seperti dengan anak kandungnya, atau anak dari anaknya (cucu) dan seterusnya. Hubngan ini disebut bunuwwah.

3.7. Al-Far'u

Istilah (الفرع) bila kita temukan di dalam ilmu waris, maksudnya adalah anak laki-laki atau anak perempuan dari almarhum yang akan dibagi hartanya. Termasuk juga anak dari anaknya (cucu) baik laki-laki maupun perempuan. Bila disebut Al-far'ul-warists maksudnya adalah anak laki-laki dan anak perempuan, atau ahli waris anak-anak tersebut ke bawahnya.

3.8. Al-Ashl

Yang dimaksud dengan istilah al-ashl ( adalah ayah kandung dan ibu (األصلkandung, juga termasuk ayah kandung atau ibu kandung dari ayah kandung (kakek). Dan kakek atau nenek yang merupakan ayah dan

39

Page 38: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

ibunya ayah ini disebut juga al-jaddu ash-shahih.

40

Page 39: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Bab Ketiga

Alokasi Harta

Bila ada seorang muslim meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta, tidak semua harta peninggalannya langsung dibagi sebagai warisan. Ada sejumlah pos pengeluaran yang harus ditunaikan terlebih dahulu. Tentu saja bila pos-pos pengeluaran itu memang ada. Setelah itu, barulah sisanya dibagi menurut hukum waris.

1. Menetapkan Kepemilikan Harta

Meski pun bagian ini nyaris tidak kita temukan di kitab-kitab fiqih klasik, namun

41

Page 40: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

pada kenyataannya, terutama di negeri kita, justru bagian ini paling rumit dari semua urusan pembagian warisan. Pertama yang harus dilakukan adalah memilah dan memilih mana yang merupakan harta almarhum dan mana yang harta milik orang lain, tetapi tercampur di dalam harta almarhum.

Mengapa demikian?

Karena ketentuan dalam hukum waris Islam, harta yang dibagi waris itu harus harta yang 100% dimiliki oleh almarhum yang meninggal dunia. Padahal kenyataan yang sering terjadi harta yang ada itu masih menjadi milik bersama, baik antara suami istri atau pun dengan pihak lain.

Ada beberapa contoh kasus yang sering terjadi dimana di dalam harta seseorang masih tercampur hak milik orang lain, diantaranya :

a. Usaha Bersama Suami Istri

Sepasang suami istri sejak menikah telah membangun usaha bersama, katakanlah membuka toko. Keduanya mengeluarkan harta benda dan tenaga untuk memajukan usaha keluarga itu secara bersama-sama. Bisa dikatakan harta yang mereka miliki itu menjadi harta berdua. Ketika keduanya masih hidup, barangkali tidak timbul persoalan, lantran kedua suami istri.

42

Page 41: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Tapi akan muncul masalah saat istri meninggal dunia. Apalagi bila suami kawin lagi. Tentu di dalam harta berupa usaha toko itu ada hak milik istri sebelumnya. Suami tentu tidak bisa menguasai begitu saja peninggalan itu.

Boleh jadi akan muncul masalah dengan anak-anak. Mereka akan mengatakan bahwa ibu mereka punya hak atas harta yang kini menjadi milik ayah dan ibu tiri mereka.

Dalam hal ini, harus dirunut ke belakang tentang status kepemilikan usaha keluarga itu. Berapakah besar yang menjadi milik suami dan berapa yang menjadi bagian istri, seharusnya ditetapkan terlebih dahulu.

Kalau istri sebagai pemilik atau pemegang saham, maka berapa besar saham istri harus ditetapkan secara jelas. Dan kalau istri berstatus sebagai pegawai, gajinya harus ditetapkan secara jelas juga.

Maka hanya harta yang sudah benar-benar 100% milik istri saja yang dibagi waris, sedangkan yang milik suami tentu tidak dibagi waris, karena dia masih hidup.

b. Suami Memberi Hadiah Kepada Istri

Sebuah keluarga pecah gara-gara istri almarhum dan anak-anaknya diteror oleh adik-adik almarhum sendiri. Pasalnya, menurut adik-adik almarhum, mereka berhak mendapat harta warisan berupa

43

Page 42: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

kolam pemancingan dari peninggalan harta kakak mereka, lantaran sang kakak tidak punya anak laki-laki. Dalam hal ini, kalau almarhum tidak punya anak laki-laki, sisa warisan jatuh kepada ashabah yang tidak lain adalah adik-adik almarhum.

Tapi menurut istri almarhum yang kini sudah menjanda, kolam pancing ikan yang diributkan itu pada dasarnya bukan asset harta milik suaminya yang sudah almarhum. Karena semasa hidupnya, almarhum telah menghadiahkan kolam pancing itu kepada dirinya sebagai hadiah ulang tahun.

Hal itu terbukti dari surat tanah yang memang atas nama istri. Maka harta itu tidak bisa dibagi waris, karena statusnya bukan milik almarhum.

Maka seberapa benar pernyataan dari masing-masing pihak, harus ditelusuri terlebih dahulu, baik dengan menghadirkan saksi-saksi atau pun dengan surat-surat bukti kepemilikan. Barulah setelah semua jelas, bagi waris bisa dilakukan.

c. Pinjam atau Beli

Ini kisah nyata. Seorang adik pinjam uang kepada kakaknya untuk naik haji. Dan sebagai jaminannya, sepetak sawah digadaikan kepada sang kakak.

Sayangnya sampai sekian puluh tahun kemudian, uang pinjaman ini tidak

44

Page 43: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

dikembalikan. Otomatis sawah sebagai jaminan pun juga masih di tangan sang kakak.

Ketika kedua kakak beradik ini sudah meninggal, anak dan cucu mereka bermaksud membagi harta warisan. Muncul masalah tentang status sawah, karena para ahli waris meributkan statusnya. Anak keturunan sang adik mengatakan bahwa sawah itu milik orang tua mereka, karena orang tua mereka tidak pernah menjual sawah itu semasa hidupnya, kecuali hanya menjadikannya sebagai jaminan hutang.

Sedangkan anak keturunan sang kakak mengatakan bahwa sawah itu sudah menjadi hak orangtua mereka, lantaran utang belum pernah dikembalikan.

Anak keturunan si adik akhirnya bersedia mengembalikan hutang orangtua mereka, tetapi nilainya hanya Rp. 30.000 saja, karena dulu pinjam uangnya hanya senilai itu saja. Karuan saja keluarga sang kakak meradang, karena apa artinya uang segitu di zaman sekarang ini. Padahal di masa lalu, uang segitu senilai dengan biaya pergi haji ke tanah suci. Mereka meminta setidaknya uang itu dikembalikan seharga biaya ONH sekarang, yaitu sekitar 30-an juta.

Dan masih banyak lagi kasus-kasus di tengah masyarakat, yang intinya menuntut

45

Page 44: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

penyelesaian terlebih dahulu dalam hal status kepemilikan harta almarhum.

2. Pengurusan Jenazah

Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir.

Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.

3. Hutang

Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:

46

Page 45: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."

Maksud hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar zakat, atau belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama ada sedikit perbedaan pandangan.

Al-Hanafiyah

Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan (harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya.

Mereka beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal dunia. Padahal, menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat dan keikhlasan, dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang yang sudah meninggal. Akan tetapi, meskipun kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi orang yang sudah meninggal, ia tetap akan dikenakan sanksi kelak pada hari kiamat sebab ia tidak menunaikan kewajiban ketika masih hidup. Hal ini tentu saja

47

Page 46: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

merupakan keputusan Allah SWT. Pendapat mazhab ini tentunya bila sebelumnya mayit tidak berwasiat kepada ahli waris untuk membayarnya. Namun, bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya.

Jumhur Ulama

Jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk menunaikan utang pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama saja seperti utang kepada sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan yang tidak memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak yang menyangkut harta peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan ataupun tidak.

Asy-syafi'iyah

Menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba.

Al-Malikiyah

Mazhab Maliki berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan utang piutang pewaris yang berkaitan dengan hak

48

Page 47: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

sesama hamba. Hanya saja mazhab ini lebih mengutamakan agar mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba daripada utang kepada Allah.

Al-Hanabilah

Ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang kepada sesama hamba dengan utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap ahli waris.

4. Washiyat

Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar utangnya.

Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada

49

Page 48: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."

Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada :

ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya),

kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian).

Pada ayat waris, wasiat memang lebih dahulu disebutkan daripada soal utang piutang. Padahal secara syar'i, persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, baru kemudian melaksanakan wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya penyebutan wasiat tentu mengandung hikmah, diantaranya agar ahli waris menjaga dan benar-benar melaksanakannya. Sebab

50

Page 49: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

wasiat tidak ada yang menuntut hingga kadang-kadang seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan utang piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam susunan ayat tersebut.

51

Page 50: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Bab Keempat

Rukun, Syarat dan Sebab Warisan

1. Rukun Waris

Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus terpenuhi tiga rukun waris. Bila salah satu dari tiga rukun ini tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.

Ketiga rukun itu adalah al-muwarrits, al-waarist dan al-mauruts. Lebih rincinya :

1.1. Al-Muwarits

Al-Muwarrits (المورث) sering diterjemahkan sebagai pewaris, yaitu orang

53

Page 51: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

yang memberikan harta warisan. Dalam ilmu waris, al-muwarrits adalah orang yang meninggal dunia, lalu hartanya dibagi-bagi kepada para ahli waris.

Harta yang dibagi waris haruslah milik seseorang, bukan milik instansi atau negara. Sebab instansi atau negara bukanlah termasuk pewaris.

1.2. Al-Warits

Al-Warits (الوارث) sering diterjemahkan sebagai ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menerima harta peninggalan, karena adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.

1.3. Harta Warisan

Harta warits (الموروث) adalah benda atau hak kepemilikan yang ditinggalkan, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya. Sedangkan harta yang bukan milik pewaris, tentu saja tidak boleh diwariskan.

Misalnya, harta bersama milik suami istri. Bila suami meninggal, maka harta itu harus dibagi dua terlebih dahulu untuk memisahkan mana yang milik suami dan mana yang milik istri. Barulah harta yang milik suami itu dibagi waris. Sedangkan harta yang milik istri, tidak dibagi waris karena bukan termasuk harta warisan.

54

Page 52: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

2. Syarat Waris

Selain rukun, juga ada syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk sebuah pewarisan. Bilamana salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan. Syarat pewarisan ada tiga:

2.1. Meninggalnya Muwarrits

Ada dua macam meninggal yang dikenal oleh para ulama ahli fiqih, yaitu meninggal secara hakiki dan meninggal secara hukum.

a. Meninggal secara hakiki

Meninggal secara hakiki adalah ketika ahli medis menyatakan bahwa seseorang sudah tidak lagi bernyawa, dimana unsur kehidupan telah lepas dari jasad seseorang.

b. Meninggal secara hukum

Meninggal secara hukum adalah seseorang yang oleh hakim ditetapkan telah meninggal dunia, meski jasadnya tidak ditemukan.

Misalnya, seorang yang hilang di dalam medan perang, atau hilang saat bencana alam, lalu secara hukum formal dinyatakan kecil kemungkinannya masih hidup dan kemudian ditetapkan bahwa yang bersangkutan telah telah meninggal dunia.

Bagi Waris Sebelum Meninggal

55

Page 53: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Ada fenomena lucu yang terjadi di tengah masyarakat, yaitu membagi-bagi harta waris sebelum muwarritsnya meninggal dunia. Malah, justru si muwarrits itulah yang membagi-bagi.

Padahal dalam hukum waris Islam, tidak terjadi ahli waris mendapat harta warisan, manakala seorang muwarrits belum lagi meninggal dunia.

Seorang tidak mungkin membagi-bagi warisan dari harta yang dimilikinya sendiri kepada anak-anaknya, pada saat dia masih hidup segar bugar.

Sebab syarat utama dari masalah warisan adalah bahwa pemilik harta itu, yaitu al-muwarrist, sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Jadi memang tidak mungkin seseorang membagi-bagikan sendiri harta warisan miliknya kepada keturunannya.

Bila hal tersebut dilakukannya, maka sebenarnya yang terjadi adalah hibah (pemberian), bukan warisan. Dan hibah itu sendiri memang tidak ada aturan mainnya. Dan siapapun pada hakikatnya boleh menghibahkan harta miliknya kepada siapa saja dengan nilai berapa saja.

Tapi konsekuensinya, harta yang sudah dihibahkan itu sudah pindah kepemilikan. Bila seseorang telah menghibahkan harta kepada anaknya, maka pada hakikatnya dia

56

Page 54: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

sudah bukan lagi pemiliknya, sebab harta itu sudah menjadi milik anaknya sepenuhnya. Bahkan bila kepemilikan itu ditetapkan dengan surat resmi, si anak berhak melalukan perubahan surat kepemilikannya.

Misalnya seorang ayah menghibahkan sebidang tanah berikut rumah kepada anaknya, maka si anak berhak untuk mengubah surat kepemilikan tanah dan rumah itu begitu dia menerimanya. Dan konsekuensi lainnya, berhubung si anak telah menjadi pemilik sepenuhnya tanah dan rumah itu, dia pun berhak untuk menjualnya kepada pihak lain. Meski si ayah masih hidup.

Sedangkan bila si ayah masih ingin memiliki sebidang tanah dan rumah itu selama hidupnya, tapi berpikir untuk memberikannya dengan jumlah yang dikehendakinya kepada anaknya setelah kematiannya, maka hal itu namanya washiyat.

Dalam hukum Islam, seorang ahli waris seperti anak tidak boleh menerima washiat berupa harta dari ayahnya (pewaris), sebab Rasulullah SAw bersabda bahwa tidak ada washiyat bukan ahli waris. Maka bila hal itu dilakukan juga, hukumnya haram.

Jadi yang dibenarkan hanya dua kemungkinan, yaitu harta diberikan ketika ayah masih hidup dan namanya hibah. Atau

57

Page 55: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

diberikan setelah dia meninggal dan namanya warisan. Dan ketika dibagi secara warisan, aturan pembagiannya telah baku sesuai dengan nash Al-Quran dan As-Sunnah. Maskudnya, si ayah yang dalam hal ini sebagai pemilik harta, tidak lagi berhak membagi-bagi sendiri harta warisan untuk para ahli warisnya. Semua harus diserahkan kepada hukum warisan, setelah dia meninggal dunia.

2.2. Hidupnya Ahli Waris

Hidup yang dimaksud adalah hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.

Ini adalah syarat yang kedua, yaitu orang yang akan menerima warisan haruslah masih hidup secara hakiki ketika pewaris meninggal dunia.

Seorang anak yang telah meninggal lebih dulu dari ayahnya, tidak akan mendapatkan warisan. Meski anak itu telah punya istri dan anak. Istri dan anak itu tidak mendapatkan warisan dari mertua atau kakek mereka. Sebab suami atau ayah mereka meninggal lebih dulu dari kakek.

Jalan keluar dari masalah ini ada tiga kemungkinan. Pertama, dengan washiyah wajibah, yaitu si kakek berwashiyat semenjak masih hidup agar cucu dan menantunya diberikan bagian harta. Bukan

58

Page 56: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

dengan jalan warisan melainkan dengan cara washiat.

Kedua, bisa juga dengan cara kesepakatan di antara para ahli waris untuk mengumpulkan harta dan diberikan kepada saudara ipar atau kemenakan mereka.

Ketiga, dengan cara hibah, yaitu si kakek sejak masih hidup telah menghibahkan sebagian hartanya kepada cucunya atau menantunya, sebab dikhawatirkan nanti pada saat membagi warisan, cucu dan menantunya akan tidak mendapat apa-apa.

Dan jika ada dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup.

Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.

2.3. Ahli Waris Diketahui

Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing,

59

Page 57: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima.

Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.

3. Sebab-sebab Adanya Hak Waris

Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:

3.1. Kerabat hakiki

Yaitu hubungan yang ada ikatan nasab, seperti ayah, ibu, anak, saudara, paman, dan seterusnya.

Seorang anak yang tidak pernah tinggal dengan ayahnya seumur hidup tetap berhak atas warisan dari ayahnya bila sang ayah meninggal dunia.

60

Page 58: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Demikian juga dengan kasus dimana seorang kakek yang telah punya anak yang semuanya sudah berkeluarga semua, lalu menjelang ajal, si kakek menikah lagi dengan seorang wanita dan mendapatkan anak, maka anak tersebut berhak mendapat warisan sama besar dengan anak-anak si kakek lainnya.

3.2. Pernikahan

Yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya.

Tapi berbeda dengan urusan mahram, yang berhak mewarisi disini hanyalah suami atau istri saja, sedangkan mertua, menantu, ipar dan hubungan lain akibat adanya pernikahan, tidak menjadi penyebab adanya pewarisan, meski mertua dan menantu tinggal serumah. Maka seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa bila mertuanya meninggal dunia.

Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal dunia tidak memberikan wairsan kepada adik iparnya, meski mereka tinggap serumah. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris. Misalnya pernikahan tanpa wali dan saksi, maka

61

Page 59: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

pernikahan itu batil dan tidak bisa saling mewarisi antara suami dan istri.

3.3. Al-Wala

Yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi.

Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.

Namun di zaman sekarang ini, seiring dengan sudah tidak berlaku lagi sistem perbudakan di tengah peradaban manusia, sebab yang terakhir ini nyaris tidak lagi terjadi.

62

Page 60: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Bab Kelima

Gugurnya Warisan

Bersama dengan kajian tentang siapa saja yang berhak mendapat warisan, ada juga hal-hal yang membuat seseorang yang seharusnya mendapat warisan, namun karena satu dan lain hal, haknya menjadi gugur. Sehingga orang tersebut tidak jadi menerima warisan.

1. Hal-hal Yang Menggugurkan Warisan

Hal-hal yang bisa menggugur hak waris seseorang ada tiga:

63

Page 61: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

1.1. Pembunuhan

Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka gugurlah haknya untuk mendapatkan warisan dari ayahnya. Si Anak tidak lagi berhak mendapatkan warisan akibat perbuatannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:

"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "

Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di kalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah:

بحرمانه عوقب بشيء تعجل منSiapa yang menyegerakan agar mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak mendapatkan bagiannya.  

Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan.

Mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.

Mazhab Maliki berpendapat bahwa hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris.

64

Page 62: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Mazhab Syafi'i mengatakan bahwa pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya.

Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.

1.2. Perbedaan Agama

Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Maka seorang anak tunggal dan menjadi satu-satunya ahli waris dari ayahnya, akan gugur haknya dengan sendiri bila dia tidak beragama Islam.

Dan siapapun yang seharusnya termasuk ahli waris, tetapi kebetulan dia tidak beragama Islam, tidak berhak mendapatkan harta warisan dari pewaris yang muslim. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:

| الكافر المسلم يرث ال " المسلم الكافر وال

65

Page 63: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim)

Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Namun sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Al-islam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).

Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam.

Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat orang yang murtad, apakah dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad?

66

Page 64: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.

Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan: "Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya.

Nampaknya pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat) dibanding yang lainnya, karena harta warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus diserahkan kepada baitulmal. Padahal pada masa sekarang tidak kita temui baitulmal yang dikelola secara rapi, baik yang bertaraf nasional ataupun internasional.

1.3. Budak

Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi

67

Page 65: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak).

Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.

2. Perbedaan Mahrum dan Mahjub

Ada perbedaan yang sangat halus antara pengertian al-mahrum dan al-mahjub, yang terkadang membingungkan sebagian orang yang sedang mempelajari faraid. Karena itu, ada baiknya juga dijelaskan perbedaan makna antara kedua istilah tersebut.

Seseorang yang tergolong ke dalam salah satu sebab dari ketiga hal yang dapat menggugurkan hak warisnya, seperti membunuh atau berbeda agama, di kalangan fuqaha dikenal dengan istilah mahrum. Sedangkan mahjub adalah hilangnya hak waris seorang ahli waris disebabkan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya atau lebih kuat kedudukannya.

68

Page 66: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Sebagai contoh, adanya kakek bersamaan dengan adanya ayah, atau saudara seayah dengan adanya saudara kandung. Jika terjadi hal demikian, maka kakek tidak mendapatkan bagian warisannya dikarenakan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris, yaitu ayah.

Begitu juga halnya dengan saudara seayah, ia tidak memperoleh bagian disebabkan adanya saudara kandung pewaris. Maka kakek dan saudara seayah dalam hal ini disebut dengan istilah mahjub.

Untuk lebih memperjelas gambaran tersebut, saya sertakan contoh kasus dari keduanya.

Contoh Pertama Seorang suami meninggal dunia dan

meninggalkan seorang istri, saudara kandung, dan anak --dalam hal ini, anak kita misalkan sebagai pembunuh. Maka pembagiannya sebagai berikut: istri mendapat bagian seperempat harta yang ada, karena pewaris dianggap tidak memiliki anak. Kemudian sisanya, yaitu tiga per empat harta yang ada, menjadi hak saudara kandung sebagai 'ashabah

Dalam hal ini anak tidak mendapatkan bagian disebabkan ia sebagai ahli waris yang mahrum. Kalau saja anak itu tidak membunuh pewaris, maka bagian istri

69

Page 67: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

seperdelapan, sedangkan saudara kandung tidak mendapatkan bagian disebabkan sebagai ahli waris yang mahjub dengan adanya anak pewaris. Jadi, sisa harta yang ada, yaitu 7/8, menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah.

Contoh KeduaSeseorang meninggal dunia dan

meninggalkan ayah, ibu, serta saudara kandung. Maka saudara kandung tidak mendapatkan warisan dikarenakan ter-mahjub oleh adanya ahli waris yang lebih dekat dan kuat dibandingkan mereka, yaitu ayah pewaris.

70

Page 68: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Bab Keenam

Penghalang Warisan (Al-Hujub)

1. Definisi

Al-hujub dalam bahasa Arab bermakna 'penghalang'. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:

هم اكل هم عن إن ب محجوبون يومئذ ر لSekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka" (QS. Al-Muthaffifin : 15)

71

Page 69: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum kuffar yang benar-benar akan terhalang, tidak dapat melihat Tuhan mereka di hari kiamat nanti.

Selain itu, dalam bahasa Arab juga kita kenal kata hajib yang bermakna 'tukang atau penjaga pintu', disebabkan ia menghalangi orang untuk memasuki tempat tertentu tanpa izin guna menemui para penguasa atau pemimpin.

Jadi, bentuk isim fa'il (subjek) untuk kata hajaba adalah hajib dan bentuk isim maf'ul (objek) ialah mahjub. Maka makna al-hajib menurut istilah ialah orang yang menghalangi orang lain untuk mendapatkan warisan, dan al-mahjub berarti orang yang terhalang mendapatkan warisan.

Adapun pengertian al-hujub menurut kalangan ulama faraid adalah menggugurkan hak ahli waris untuk menerima waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja disebabkan adanya orang yang lebih berhak untuk menerimanya.

2. Macam-macam al-Hujub

Al-hujub terbagi dua, yakni al-hujub bil washfi (sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-syakhshi (karena orang lain).

Al-hujub bil washfi berarti orang yang terkena hujub tersebut terhalang dari

72

Page 70: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

mendapatkan hak waris secara keseluruhan, misalnya orang yang membunuh pewarisnya atau murtad. Hak waris mereka menjadi gugur atau terhalang.

Sedangkan al-hujub bi asy-syakhshi yaitu gugurnya hak waris seseorang dikarenakan adanya orang lain yang lebih berhak untuk menerimanya. Al-hujub bi asy-syakhshi terbagi dua: hujub hirman dan hujub nuQShan. Hujub hirman yaitu penghalang yang menggugurkan seluruh hak waris seseorang.

Misalnya, terhalangnya hak waris seorang kakek karena adanya ayah, terhalangnya hak waris cucu karena adanya anak, terhalangnya hak waris saudara seayah karena adanya saudara kandung, terhalangnya hak waris seorang nenek karena adanya ibu, dan seterusnya.

Adapun hujub nuqshan (pengurangan hak) yaitu penghalangan terhadap hak waris seseorang untuk mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya, penghalangan terhadap hak waris ibu yang seharusnya mendapatkan sepertiga menjadi seperenam disebabkan pewaris mempunyai keturunan (anak).

Demikian juga seperti penghalangan bagian seorang suami yang seharusnya mendapatkan setengah menjadi seperempat, sang istri dari seperempat menjadi

73

Page 71: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

seperdelapan karena pewaris mempunyai anak, dan seterusnya.

Satu hal yang perlu diketahui di sini, dalam dunia faraid apabila kata al-hujub disebutkan tanpa diikuti kata lainnya, maka yang dimaksud adalah hujub hirman. Ini merupakan hal mutlak dan tidak akan dipakai dalam pengertian hujub nuQShan.

3. Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub

Hirman

Ada sederetan ahli waris yang tidak mungkin terkena hujub hirman. Mereka terdiri dan enam orang yang akan tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang tersebut adalah :

1. Anak kandung laki-laki 2. Anak kandung perempuan 3. Ayah 4. Ibu 5. Suami 6. Istri

Bila orang yang mati meninggalkan salah satu atau bahkan keenamnya, maka mereka ini pasti mendapat warisan. Sebab tidak ada penghalang antara mereka dengan almarhum yang wafat.

74

Page 72: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

4. Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub

Hirman

Ada 16 orang yang dapat terkena hujub hirman ada enam belas, sebelas terdiri dari laki-laki dan lima dari wanita. Mereka ini mungkin mendapat warisan tapi mungkin juga terhalang sehingga tidak mendapatkan warisan.

75

Page 73: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Bab Ketujuh

Para Ahli Waris

Salah satu kendala terbesar dalam mengerti dan menghafal siapa saja ahli waris adalah tidak adanya diagram atau struktur keluarga (family chart).

Apalagi ditambah dengan penyebutan yang relatif antara satu ahli waris dengan yang lainnya. Seorang ahli waris bisa saja dia menjadi 'ayah' bagi ahli waris lainnya. Tapi dalam waktu yang sama, dia adalah 'anak' dari seseorang. Bahkan dia juga seorang 'kakek', atau 'paman', 'saudara',

77

Page 74: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

'keponakan', 'cucu' bagi seseorang. Dan begitulah seterusnya.

Relatifitas ini akan menyulitkan kita dalam memahami duduk masalah. Maka dengan bantuan diagram struktur keluarga ini, kita akan dimudahkan.

Selain itu istilah-istilah yang kita gunakan dalam bahasa Indonesia sering tidak baku. Katakanlah sebagai contoh, akh li ab wa li um (أخ شقيق), sering kita terjemahkan menjadi saudara kandung. Sebagian orang memahami istilah saudara kandung adalah saudara yang sama-sama satu kandungan ibu, dimana ayah mereka bisa saja berbeda. Dan itu adalah saudara seibu (أخ ألم).

Untuk itu diagram ini selain berbahasa Indonesia, juga dilengkapi juga dengan istilah dalam bahasa Arab aslinya.

Diagram ini juga dilengkapi dengan nomor ahli waris, yang sepenuhnya merupakan ijtihad penulis sendiri. Sekedar untuk memastikan identitas seorang ahli waris, agar tidak tertukar-tukar penyebutannya dengan ahli waris yang lain. Kira-kira seperti id number kalau dalam sistem database.

Selain itu, diagram ini juga dilengkapi dengan daftar orang-orang yang terhijab oleh seorang ahli waris. Sehingga dengan mudah kita bisa memastikan siapa saja dari

78

Page 75: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

mereka yang terhijab, cukup dengan sekali melihat bagan.

Terakhir, diagram ini juga dilengkapi dengan bagian-bagian yang mungkin akan bisa diterima oleh seorang ahli waris.

nomor id ahli waris

nama ahli waris dalam bahasa arab

nama ahli waris (terjemah)

orang-orang yang dihijab olehnya

bagian-bagian yang bisa didapat bila syaratnya terpenuhi Kelemahan diagram ini adalah belum

tercantumnya syarat-syarat yang dapat menentukan berapa bagian yang didapat oleh seorang ahli waris.

79

Page 76: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

80

Page 77: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

1. Anak Laki-laki (ابن)

Kita urutkan pada nomor satu dalam daftar struktur keluarga adalah anak laki-laki. Mengingat kedudukan anak laki-laki sangat berpengaruh kepada nasib ahli waris yang lain. Untuk seterusnya agar memudahkan, kita tinggal menggunakan nomor urut satu sebagai id buat anak laki-laki.

1.1. Bagian

Asabah (sisa harta) bila ada ahli waris lain yang telah mengambil bagian masing-masing, dengan ketentuan anak laki-laki mendapat 2 kali bagian anak perempuan.Seorang anak laki-laki mendapat warisan

dengan cara ashabah, yaitu sisa harta yang sebelumnya diambil oleh ahli waris lain. Karena mendapat sisa, maka besarannya tidak pasti, tergantung seberapa besar sisa yang ada.

Contoh yang sederhana adalah seorang laki-laki wafat meninggalkan ahli waris : anak laki-laki dan istri. Maka hak anak laki-laki adalah sisa harta yang telah diambil terlebih dahulu oleh istri. Istri adalah ashabul furudh yang jatahnya sudah ditetapkan.

Dalam hal ini istri mendapat 1/8. Berarti sisanya adalah 7/8 bagian. Maka bagian yang didapat oleh anak laki-laki adalah 7/8.

81

Page 78: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Apabila almarhum juga meninggalkan anak perempuan, maka anak perempuan juga mendapat sisa seperti anak laki-laki, dimana jumlah sisa itu dibagi rata kepada anak perempuan, dengan ketentuan bahwa anak perempuan hanya mendapat setengah dari apa yang didapat anak laki-laki. Atau dengan kata lain, yang diterima anak laki-laki 2 kali lipat lebih besar dari anak perempuan.

Contoh, anak laki-laki ada 2 orang dan anak perempuan ada 3 orang. Pembagiannya adalah tiap anak laki-laki mendapat 2/8 bagian dari sisa itu dan tiap anak perempuan mendapat 1/8. Sehingga jumlahnya menjadi 2/8 + 2/8 + 1/8 + 1/8 + 1/8 = 7/8.

1.2. Menghijab

Ahli Waris id saudara seayah-ibu saudari seayah-ibu saudara seayah saudari seayah keponakan : anak saudara

seayah-ibu keponakan : anak saudara

seayah paman : saudara ayah

seayah-ibu paman : saudara ayah

seayah sepupu : anak laki paman

9101112131415161718192022

82

Page 79: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

seayah-ibu sepupu : anak laki paman

seayah cucu : anak laki dari anak

laki cucu : anak wanita dari

anak laki saudara & saudari seibu

1.3. Dihijab oleh :

Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa anak laki-laki tidak dihijab oleh siapa pun. Karena posisinya yang langsung berhubungan dengan muwarrits.

* * *

2. Anak Perempuan (بنت)

Anak perempuan yang dimaksud adalah anak perempuan dari muwarrits yang telah meninggal dunia. Kita letakkan pada nomor urut dua, karena posisinya yang sangat dekat dengan muwarrits, serta bersisian dengan anak lak-laki yang berada pada nomor urut satu.

2.1. Bagian

1/2 = menjadi satu-satunya anak almarhum

2/3 = dua orang atau lebih dan almarhum tak ada anak laki

83

Page 80: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

ashabah = almarhum punya anak lak-laki dengan ketentuan bagiannya 1/2 dari bagian anak laki-laki

Anak perempuan bisa punya tiga kemungkinan dalam menerima waris dari orang tuanya.

Pertama, dia mendapat 1/2 atau separuh dari semua harta warisan. Syaratnya, dia menjadi anak tunggal dari muwarritsnya. Artinya, dia tidak punya saudara satu pun baik saudara laki-laki atau pun saudara perempuan.

صف فلها واحدة| كانت وإن الن

Dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia mendapat separuh harta warisan yang ada..(QS. An-Nisa : 11)

Kedua, dia mendapat 2/3 dari semua harta. Syaratnya, dia tidak sendirian. Dia punya saudara perempuan sehingga minimal mereka berdua. Dan mereka semua akan mendapat jatah total (bukan masing-masing) 2/3 bagian, selama semuanya perempuan dan tidak ada saudara laki-laki satu pun.

ترك ما ثلثا فلهن اثنتين فوق نساء كن فإنDan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (QS. An-Nisa': 11)

84

Page 81: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Ketiga, kalau dia punya saudara laki-laki, dia bersama anak laki-laki akan mendapat ashabah atau sisa. Harta sisa itu dibagi rata dengan semua saudara atau saudarinya dengan ketentuan dia mendapat 1/2 dari jatah yang diterima saudara laki-lakinya.

ه يوصيكم z@@ظ مث@@ل لل@@ذكر أوالدكم في الل ح@@األنثيين

Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. (QS. An-Nisa : 11)

2.2. Menghijab

cucu : anak wanita dari anak laki saudara & saudari seibu

2022

Ada 2 orang yang dihijab oleh anak perempuan. Pertama, saudara atau saudari seibu tidak seayah. Kedua, cucu perempu-an

almarhum, dengan syarat jumlah anak perempuan itu dua orang atau lebih dan tidak ada cucu laki-laki yang menjadikan

85

Page 82: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

cucu perempuan sebagai ashabah bersamanya.

2.3. Dihijab Oleh :

Seorang anak perempuan tidak pernah dihijab oleh siapa pun, karena tidak ada penghalang antara dirinya dengan muwarritsnya, yaitu ayah kandungnya sendiri.

* * *

3. Istri (زوجة)

Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, maka dia menjadi ahli waris, berhak menerima sebagian harta yang sebelumnya milik suaminya.

Sedangkan harta yang dimiliki bersama antara suami istri, tidak dibagi waris begitu saja, namun dipisahkan terlebih dahulu. Yang menjadi bagian istri, tentu tidak dibagi waris. Yang dibagi waris hanya yang menjadi bagian suami.

3.1. Bagian

Seorang istri punya dua kemungkinan dalam menerima bagian, yaitu 1/4 atau 1/8 sebagaimana disebutkan di dalam ayat 11 surat A-Nisa'.

Pertama, bila suami yang meninggal itu tidak punya fara' waris5, maka hak istri

5 Diantara fara' waris antara lain : anak laki-laki, anak perempuan, juga anak laki-laki atau anak perempuan dari anak laki-

86

Page 83: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

adalah 1/4 bagian dari harta peninggalan almarhum suaminya.

بع ولهن م إن تركتم مما الر~ كم يكن ل ولد ل"Dan mereka mendapat 1/4 dari apa yang kamu tinggalkan bila kamu tidak mempunyai anak (QS. An-Nisa': 12)

Kedua, kalau suami punya fara' waris, artinya dia punya keturunan yang mendapatkan warisan, maka bagian istri adalah adalah 1/8 dari harta peninggalan suami.

~من فلهن ول@@د لكم ك@@ان فإن ا الث ت@@ركتم مم@@ة بعد من دين أو بها توصون وصي

"... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu ..." (QS. An-Nisa': 12)

3.2. Menghijab

Kedudukan seorang istri tidak menghijab siapa pun dari ahli waris suami. Keberadaannya hanya sekedar mengurangi harta saja, tetapi tidak membuat seseorang menjadi kehilangan haknya.

laki (cucu). Sedangkan anak laki atau anak perempuan dari anak perempuan, meski termasuk cucu juga, namun kedudukannya bukan termasuk fara' waris, karena cucu dari anak perempuan tidak termasuk dalam daftar ahli waris penerima warisan.

87

Page 84: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

3.3. Dihijab oleh

Karena hubungan langsung antara istri dan suami, maka tidak ada seorang pun yang bisa menjadi penghalang antara mereka. Dengan demikian, istri tidak dihijab oleh siapa pun.

* * *

4. Suami

Seorang laki-laki yang ditinggal mati oleh istrinya, maka dia menjadi ahli waris, berhak menerima sebagian harta yang sebelumnya milik istrinya.

Sedangkan harta yang dimiliki bersama antara suami istri, tidak dibagi waris begitu saja, namun dipisahkan terlebih dahulu. Yang menjadi bagian suami, tentu tidak dibagi waris. Yang dibagi waris hanya yang menjadi bagian istri.

4.1. Bagian

Seorang suami punya dua kemungkinan bagian, yaitu 1/2 atau 1/4 sebagaimana disebutkan di dalam ayat 11 surat A-Nisa'.

Pertama, bila istri yang meninggal itu tidak punya fara' waris, maka hak suami 1/2 bagian dari harta peninggalan almarhumah istrinya.

ف ولكم ا نص@@ رك م@@ م إن أزواجكم ت@@ يكن لهن ولد ل

88

Page 85: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

"... dan bagi kalian (para suami) mendapat separuh dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 12)

Kedua, kalau istri punya fara' waris, artinya dia punya keturunan yang mendapatkan warisan, maka bagian suami adalah adalah 1/4 dari harta peninggalan istri.

بع فلكم ولد لهن كان فإن تركن مما الر~"... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya (QS. An-Nisa': 12)

4.2. Menghijab

Kedudukan seorang suami tidak menghijab siapa pun dari ahli waris istri. Keberadaannya hanya sekedar mengurangi harta saja, tetapi tidak membuat seseorang menjadi kehilangan haknya.

4.3. Dihijab oleh

Karena hubungan langsung antara istri dan suami, maka tidak ada seorang pun yang bisa menjadi penghalang antara mereka. Dengan demikian, suami tidak dihijab oleh siapa pun.

* * *

89

Page 86: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

5. Ayah

Seorang ayah yang ditinggal mati oleh anaknya, baik anak itu laki-laki atau perempuan, termasuk orang yang berhak mendapatkan warisan. Tentu saja syaratnya adalah ayah masih hidup saat sang anak meninggal dunia. Kalau ayah sudah meninggal dunia terlebih dahulu, tidak menjadi ahli waris.

5.1. Bagian

Seorang ayah punya tiga macam kemungkinan dalam menerima hak warisnya.

1/6 = almarhum punya fara' waris laki-laki 1/6 + sisa = almarhum punya fara' waris

wanita, tidak punya fara' waris laki-laki Ashabah = almarhum tidak punya fara'

waris

Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari harta anaknya yang meninggal. Syaratnya, almarhum anaknya itu punya fara' waris laki-laki. Misalnya anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.

ا الس~دس منهما واحد لكل وألبويه ت@@رك مم@@ ولد له كان إن

Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta

90

Page 87: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)

Kedua, dia menerima 1/6 dan ditambah lagi dengan sisa harta yang ada. Hal itu terjadi manakala almarhum yaitu anaknya yang meninggal itu punya fara' waris perempuan6 dan tidak punya fara' waris laki-laki.

Bahwa sisanya itu menjadi hak ayah, karena dalam hal ini ayah menjadi ahli waris laki-laki yang lebih utama atau lebih dekat kedudukannya kepada almarhum dibandingkan dengan ahli waris lainnya. Rasulullah SAW bersabda :

ال اسب@@ع ناب عن ال ق@@ ول ق@@ الل@@ه رس@@ ىلوألف يقب ام@@ف اه@@لهأب ضائرالف@@ واق@@حلأ.ركذ لجر

"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)

Contohnya, seseorang wafat meninggalkan anak perempuan dan seorang ayah. Anak perempuan mendapat 1/2 bagian, sedangkan ayah mendapatkan 1/6 sebagaimana disebut dalam dalil berikut :

6 Fara' waris perempuan adalah anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Fara' waris laki adalah anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.

91

Page 88: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

ا الس~دس منهما واحد لكل وألبويه ت@@رك مم@@ ولد له كان إن

Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)

Harta yang telah diambil ayah dan anak perempuan itu tentu masih bersisa. Siapakah yang berhak atas harta ini?

Jawabnya adalah ayah. Mengapa? Karena ayah dalam hal ini menjadi ahli

waris yang merupakan ashabah juga. Meski pun pada dasarnya ada lagi ahli waris lain yang juga berhak menjadi ashabah, namun ayah telah menghijab mereka dan mengambil hak asabah itu untuk dirinya, dengan dasar dalil di atas.

Ketiga, ayah mendapat seluruh harta dengan cara ashabah, setelah ashabul furudh mengambil bagiannya. Syaratnya, almarhum tidak punya fara' waris, baik laki-laki atau pun perempuan.

م فإن ه يكن ل ~لث فألمه أبواه وورثه ولد ل الثBila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya mewarisi hartanya dimana bagian ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)

Di ayat ini tidak tertera kalimat yang secara langsung menyebutkan bahwa ayah

92

Page 89: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

mendapat sisanya. Hanya disebutkan bahwa ayah dan ibu itu menerima warisan dari anak mereka bersama-sama. Dan yang menjadi bagian buat ibu adalah 1/3. Logikanya, kalau bagian itu ibu sudah disebutkan maka bagian ayah pasti diketahui, yaitu sisanya.

Contohnya, seseorang wafat meninggalkan hanya seorang istri dan seorang ayah. Maka istri adalah ahli waris dari kalangan ashabul furud, jatahnya adalah 1/4 bagian, karena almarhum tidak punya fara' waris. Sisanya yang 3/4 bagian menjadi hak ayah sebagai ashabah bi nafsihi.

5.2. Menghijab

Ayah termasuk orang yang cukup banyak menghijab ahli waris yang lain, selain anak laki-laki. Ada 12 ahli waris yang dihijab dan tidak mendapatkan harta warisan, karena keberadaan ayah dari almarhum.

Mereka yang terhijab oleh ayah adalah : kakek : ayahnya ayah Nenek : ibunya ayah saudara seayah-ibu saudari seayah-ibu saudara seayah saudari seayah keponakan : anak saudara

seayah-ibu keponakan : anak saudara

seayah paman : saudara ayah seayah-

ibu

789101112131415161718

93

Page 90: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

paman : saudara ayah seayah sepupu : anak laki paman

seayah-ibu sepupu : anak laki paman seayah

5.3. Dihijab oleh

Seorang ayah tidak terhijab oleh siapa pun dari para ahli waris yang lain. Karena hubungan ayah dengan anaknya yang menjadi muwarrits adalah hubungan langsung.

* * *

6. Ibu

Ibu adalah orang yang juga dekat dengan anaknya yang meninggal dunia. Bila saat meninggalnya, ibu masih ada, sudah dipastikan ibu mendapat warisan.

6.1. Bagian

Seorang ibu punya tiga macam kemungkinan dalam menerima hak warisnya. 1/6 = almarhum punya fara' waris 1/3 = almarhum tidak punya fara' waris 1/3 dari sisa = bila almarhum punya fara'

waris (hanya dalam kasus umariyatain)

Pertama, ibu mendapat 1/6 dari harta almarhum anaknya yang wafat, bila anaknya itu punya fara' waris.

94

Page 91: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

ا الس~دس منهما واحد لكل وألبويه ت@@رك مم@@ ولد له كان إن

Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)

Kedua, seorang ibu mendapat 1/3 dari harta peninggalan almarhum anaknya, bila anaknya tidak punya fara' waris.

م فإن ه يكن ل ~لث فألمه أبواه وورثه ولد ل الثBila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya mewarisi hartanya dimana bagian ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)

Ketiga, ibu mendapatkan 1/3 dari sisa harta yang sudah diambil oleh para ashabul furudh, namun haknya yang 1/3 tidak berlaku.

Pembagian ini hanya terjadi bila seseorang wafat dengan meninggalkan hanya 3 orang ahli waris, yaitu suami/istri, ayah dan ibu. Kasus ini terjadi di zaman khalifah Umar bin al-Khattab dan dikenal dengan istilah kasus Umariyatain.7

7 Istilah kasus Umariyatain adalah dua kasus yang ditetapkan oleh Umar bin al-Khattab radhiyallahuanhu. Kasus pertama melibatkan 3 orang ahli waris, yaitu suami, ayah dan ibu. Kasus kedua melibatkan 3 orang juga yaitu istri, ayah dan ibu.

Dalam hal ini ada perbedaan pendapat dalam menafsirkan firman Allah pada kata : وورثه أبواه.

95

Page 92: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

6.2. Menghijab

Seorang ibu menghijab 2 orang ahli waris lainnya, yaitu nenek dari pihak ibu dan nenek dari pihak ayah. Atau dengan kata lain, dia menghijab ibunya sendiri (21) dan ibu dari suaminya (8).

6.3. Dihijab oleh

Seorang wanita yang ditinggal mati oleh anaknya, maka posisinya tidak akan terhijab oleh siapa pun. Karena mereka punya hubungan langsung tanpa diselingi oleh orang lain.

Menurut Khalifah Umar dan kebanyakan para shahabat nabi serta didukung oleh jumhur ulama, kata itu punya makna bahwa ayah dan ibu menerima warisan dari sisa warisan yang diambil oleh suami atau istri secara fardh. Ayah dan ibu tidak menerima waris secara fardh (1/3) dari asal harta.

Sebaliknya, menurut Ibnu Abbas radhiyallahuanhu, ibu mendapat 1/3 dari asal harta sebagaimana disebutkan dalam ayat ini. Sisanya, menjadi hak ayah. Dalam pandangan Khalifah Umar, kalau demikian, tidak ada arti kata tersebut.

Maka dalam kasus ini, suami yang ditinggal mati istrinya tanpa fara' waris mendapat 1/2 harta. Sisanya, yaitu 1/2 menjadi hak ayah dan ibu berdua secara ashabah, dengan ketentuan ibu mendapat 1/3 dari jatah mereka berdua dan ayah mendapat sisanya yaitu 2/3.

Kasus PeramaAhli WarisBagianIstri1/41/4Ibu3/41/4Ayah2/4Kasus

KeduaAhli WarisBagianSuami1/23/6Ibu1/21/6Ayah2/6

96

Page 93: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

* * *

7. Kakek ( أب أب )

Yang dimaksud dengan kakek disini adalah ayahnya ayah. Seorang kakek yang ditinggal mati oleh cucunya, baik cucu itu laki-laki atau perempuan, termasuk orang yang berhak mendapatkan warisan.

Syaratnya adalah ayah anak itu sudah meninggal dunia saat si cucu meninggal dunia. Kalau ayah anak itu masih hidup, maka kakek (ayahnya ayah) terhijab, sehingga kita tidak bicara tentang warisan buat kakek.

Semua hitungan untuk warisan buat kakek, selalu dalam kondisi bahwa ayah almarhum sudah meninggal terlebih dahulu.

7.1. Bagian

Seorang kakek punya tiga macam kemungkinan dalam menerima hak warisnya.

1/6 = almarhum punya fara' waris laki-laki 1/6 + sisa = almarhum punya fara' waris

wanita, tidak punya fara' waris laki-laki Ashabah = almarhum tidak punya fara'

waris

Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari harta anaknya yang meninggal. Syaratnya, almarhum cucunyanya itu punya fara' waris

97

Page 94: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

laki-laki. Misalnya anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.

ا الس~دس منهما واحد لكل وألبويه ت@@رك مم@@ ولد له كان إن

Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)

Kedua, dia menerima 1/6 dan ditambah lagi dengan sisa harta yang ada. Hal itu terjadi manakala almarhum yaitu cucunya yang meninggal itu punya fara' waris perempuan8 dan tidak punya fara' waris laki-laki.

Bahwa sisanya itu menjadi hak kakek, karena dalam hal ini kakek sebagai gantinya ayah menjadi ahli waris laki-laki yang lebih utama atau lebih dekat kedudukannya kepada almarhum dibandingkan dengan ahli waris lainnya. Rasulullah SAW bersabda :

ال اسب@@ع ناب عن ال ق@@ ول ق@@ الل@@ه رس@@ ىلوألف يقب ام@@ف اه@@لهأب ضائرالف@@ واق@@حلأ.ركذ لجر

"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa

8 Fara' waris perempuan adalah anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Fara' waris laki adalah anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.

98

Page 95: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)

Contohnya, seseorang wafat meninggalkan anak perempuan dan seorang kakek, yaitu ayahnya ayah. Anak perempuan mendapat 1/2 bagian, sedangkan ayahnya ayah mendapatkan 1/6 sebagaimana disebut dalam dalil berikut :

ا الس~دس منهما واحد لكل وألبويه ت@@رك مم@@ ولد له كان إن

Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)

Ketiga, kakek sebagai ayahnya ayah mendapat seluruh harta dengan cara ashabah, setelah ashabul furudh mengambil bagiannya. Syaratnya, almarhum tidak punya fara' waris, baik laki-laki atau pun perempuan.

م فإن ه يكن ل ~لث فألمه أبواه وورثه ولد ل الثBila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya mewarisi hartanya dimana bagian ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)

Contohnya, seseorang wafat meninggalkan hanya seorang istri dan seorang kakek (ayahnya ayah). Maka istri adalah ahli waris dari kalangan ashabul

99

Page 96: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

furud, jatahnya adalah 1/4 bagian, karena almarhum tidak punya fara' waris. Sisanya yang 3/4 bagian menjadi hak kakek sebagai ganti dari ayah yang sudah meninggal terlebih dahulu.

7.2. Menghijab

Kakek (ayahnya ayah) termasuk orang yang cukup banyak menghijab ahli waris yang lain, selain anak laki-laki. Ada 10 ahli waris yang dihijab dan tidak mendapatkan harta warisan, karena keberadaan ayah dari almarhum.

Mereka yang terhijab oleh ayah adalah : saudara seayah-ibu saudari seayah-ibu saudara seayah saudari seayah keponakan : anak saudara

seayah-ibu keponakan : anak saudara

seayah paman : saudara ayah seayah-

ibu paman : saudara ayah seayah sepupu : anak laki paman

seayah-ibu sepupu : anak laki paman seayah saudara/i yang hanya seibu

(rajih)

910111213141516171822

7.3. Dihijab oleh

100

Page 97: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Seorang kakek tidak terhijab oleh siapa pun dari para ahli waris yang lain, kecuali oleh ayah, yang dalam hal ini tidak lain adalah anaknya sendiri.

* * *

8. Nenek ( أب أم )

Yang dimaksud dengan nenek disini adalah ibu dari ayahnya almarhum.

8.1. Bagian

Dalam hal ini nenek hanya punya satu kemungkinan dalam mendapat bagian warisnya, yaitu 1/6. Syaratnya, almarhum tidak punya ibu dan ayah.

8.2. Menghijab

Nenek tidak menghijab siapa pun

8.3. Dihijab oleh

Nenek dihijab oleh 2 orang yaitu ayah. ayah ibu

56

* * *

9. Saudara seayah-ibu ( شقيق أخ )

Saudara disini bisa saja lebih tua (kakak) atau bisa saja lebih muda (adik). Yang penting, hubungan antara dirinya dengan almarhum adalah bahwa mereka punya ayah dan ibu yang sama. Kita menghindari penggunaan istilah saudara sekandung,

101

Page 98: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

karena konotasinya bisa keliru. Lebih pastinya kita gunakan istilah saudara seayah dan seibu.

9.1. Bagian

Saudara seayah seibu mendapat waris dari almarhum dengan cara ashabah, yaitu sisa harta waris yang sebelumnya dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris secara fardh. Dengan syarat, kedudukannya tidak terhijab oleh orang-orang yang menghijabnya. Dalam hal ini almarhum tidak meninggalkan anak, cucu, ayah atau kakek. Saat itulah saudara seayah seibu baru mendapat jatah warisan.

Contoh, seseorang wafat meninggalkan ahli waris hanya : istri dan saudara laki-laki seayah seibu. Maka pembagiannya warisannya adalah istri mendapat 1/4 dan saudara mendapatkan sisanya, yaitu 3/4 bagian.

Apabila saudara laki-laki juga punya saudara perempuan yang sama-sama seayah dan seibu, maka bagian yang diterimanya harus 2 kali lipat lebih besar.

Contoh, seseorang wafat meninggalkan istri, saudara laki-laki dan saudara wanita. Maka pembagian warisannya adalah istri mendapat 1/4, sisanya yang 3/4 itu dibagi dua dengan saudarinya, saudara mendapatkan 2/4 dan saudarinya mendapat 1/4.

102

Page 99: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

9.2. Menghijab

saudara seayah saudari seayah keponakan : anak saudara

seayah-ibu keponakan : anak saudara

seayah paman : saudara ayah seayah-

ibu paman : saudara ayah seayah sepupu : anak laki paman

seayah-ibu sepupu : anak laki paman seayah

1112131415161718

9.3. Dihijab Oleh :

Anak laki-laki Ayah Ayahnya ayah (kakek) Cucu laki-laki

15719

* * *

10. Saudari seayah-ibu

Saudari seayah dan seibu juga termasuk yang mendapat warisan, asalkan posisinya tidak terhijab.

10.1. Bagian

1/2 = almarhum tidak punya fara' waris (1-2-19-20) tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7) tidak punya saudara laki-

103

Page 100: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

laki seayah seibu (9) tidak punya saudari seayah seibu (10)

2/3 = almarhum tidak punya fara' waris (1-2-19-20) tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7) tidak punya saudara laki-laki seayah seibu (9) punya saudari seayah seibu (10)

Ashabah = almarhum tidak punya fara' waris (1-2-19-20) tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7) punya saudara laki-laki seayah seibu (9)

Saudari seayah seibu dengan almarhum bisa mendapatkan warisan dengan tiga kemungkinan.

Pertama, dia mendapat 1/2 bagian dari seluruh harta milik almarhum.

Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah, kakek, dan saudara laki-laki. Yang dia punya hanya seorang saudari perempuan seayah seibu. Maka saudarinya itu mendapat 1/2 dari semua harta warisan almarhum.

Kedua, dia mendapat 2/3 bagian dari seluruh harta milik almarhum.

Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah, kakek, dan saudara laki-laki. Yang dia punya hanya 2 orang saudari perempuan seayah seibu. Maka kedua saudaranya itu total mendapat

104

Page 101: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

2/3 dari semua harta warisan almarhum saudaranya. 2/3 bagian itu kemudian dibagi 2 lagi secara sama besar.

Ketiga, dia mendapat waris secara ashabah dari seluruh harta milik almarhum.

Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah atau kakek. Yang dia punya seorang saudara laki-laki seayah seibu. Maka mereka berdua mendapat warisan secara ashabah, dengan perbandingan bahwa saudara laki-lakinya itu mendapat 2/3 bagian dan dirinya mendapat 1/3 bagian.

* * *

11. Saudara seayah ( ألب أخ )

Saudara disini bisa saja lebih tua (kakak) atau bisa saja lebih muda (adik). Yang penting, hubungan saudara ini dengan almarhum bahwa mereka punya ayah yang sama tapi ibu mereka berbeda. Atau dalam bahasa lebih sederhana, hubungan antara almarhum dengan dirinya adalah saudara tiri.

11.1. Bagian

Saudara seayah mendapat waris dari almarhum dengan cara ashabah, yaitu sisa harta waris yang sebelumnya dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris secara fardh.

105

Page 102: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Dengan syarat, kedudukannya tidak terhijab oleh orang-orang yang menghijabnya. Artinya, almarhum tidak meninggalkan anak, cucu, ayah atau kakek, termasuk almarhum tidak punya saudara/i yang seayah dan seibu. Saat itulah saudara seayah baru kebagian jatah warisan.

Contoh, seseorang wafat meninggalkan ahli waris hanya : istri dan saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya warisannya adalah istri mendapat 1/4 dan saudara seayah mendapat sisanya, yaitu 3/4 bagian.

Apabila saudara laki-laki seayah itu juga punya saudara perempuan yang juga seayah, maka bagian yang diterimanya harus 2 kali lipat lebih besar dari saudari perempuannya itu.

Contoh, seseorang wafat meninggalkan istri, saudara laki-laki dan saudara wanita seayah. Maka pembagian warisannya adalah istri mendapat 1/4, sisanya yang 3/4 itu dibagi dua dengan saudarinya, saudara laki-laki mendapatkan 2/4 dan saudari perempuannya mendapat 1/4.

11.2. Menghijab

keponakan : anak saudara seayah-ibu

keponakan : anak saudara seayah

paman : saudara ayah seayah-ibu

paman : saudara ayah seayah

131415161718

106

Page 103: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

sepupu : anak laki paman seayah-ibu

sepupu : anak laki paman seayah

11.3. Dihijab Oleh :

Anak laki-laki Ayah Ayahnya ayah (kakek) Saudara laki-laki seayah seibu Saudara perempuan seayah

seibu * Cucu laki-laki

15791019

* * *

12. Saudari seayah ( ألب أخت )

Yang dimaksud dengan saudari perempuan seayah bahwa dirinya punya ayah yang sama dengan almarhum, tapi ibu mereka berbeda. Dengan mudah juga bisa kita sebut saudari perempuan tiri. Saudari tiri juga termasuk yang mendapat warisan, asalkan posisinya tidak terhijab.

10.1. Bagian

1/2 = almarhum tidak punya fara' waris (1-2-19-20) tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7) tidak punya saudara laki-laki seayah seibu (9) tidak punya saudari seayah seibu (10)

2/3 = almarhum tidak punya fara' waris (1-2-19-20)

107

Page 104: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7) tidak punya saudara laki-laki seayah seibu (9) punya saudari seayah seibu (10)

Ashabah = almarhum tidak punya fara' waris (1-2-19-20) tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7) punya saudara laki-laki seayah seibu (9)

Saudari seayah seibu dengan almarhum bisa mendapatkan warisan dengan tiga kemungkinan.

Pertama, dia mendapat 1/2 bagian dari seluruh harta milik almarhum.

Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah atau kakek, saudara laki-laki. Yang dia punya hanya seorang saudari perempuan seayah seibu. Maka dia mendapat 1/2 dari semua harta warisan almarhum saudaranya.

Kedua, dia mendapat 2/3 bagian dari seluruh harta milik almarhum.

Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah atau kakek, saudara laki-laki. Yang dia punya hanya 2 orang saudari perempuan seayah seibu. Maka kedua saudaranya itu total mendapat 2/3 dari semua harta warisan almarhum saudaranya. 2/3 bagian itu kemudian dibagi 2 lagi secara sama besar.

108

Page 105: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Ketiga, dia mendapat waris secara ashabah dari seluruh harta milik almarhum.

Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah atau kakek. Yang dia punya seorang saudara laki-laki seayah seibu. Maka mereka berdua mendapat warisan secara ashabah, dengan perbandingan bahwa saudara laki-lakinya itu mendapat 2/3 bagian dan dirinya mendapat 1/3 bagian.

13. Keponakan : anak saudara seayah-

ibu

14. Keponakan : anak saudara seayah

15. Paman : saudara ayah seayah-ibu

16. Paman : saudara ayah seayah

17. Sepupu : anak laki paman seayah-ibu

109

Page 106: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

18. Sepupu : anak laki paman seayah

Ahli Waris & Bagiannya Penghijaban (Hirman)

ابنAnak Laki-laki

Asabah (sisa harta) bila ada ahli waris lain yang telah mengambil bagian masing-masing

2 kali bagian anak perempuan bila almarhum memiliki 1 anak perempuan atau lebih

Menghijab saudara seayah-ibu saudari seayah-ibu saudara seayah saudari seayah keponakan : anak saudara

seayah-ibu keponakan : anak saudara

seayah paman : saudara ayah seayah-

ibu paman : saudara ayah seayah sepupu : anak laki paman

seayah-ibu sepupu : anak laki paman

seayah cucu : anak laki dari anak laki cucu : anak wanita dari anak

laki saudara & saudari seibu

Dihijab oleh : -

9101112131415161718192022

بنتAnak Perempuan

1/2 = menjadi satu-satunya anak almarhum

2/3 = dua orang atau lebih dan almarhum tak ada anak laki

ashabah (sisa harta) = almarhum punya anak lak-laki

cucu : anak wanita dari anak laki

saudara & saudari seibuDihijab oleh : -

2022

زوجةIstri

1/4 = almarhum tidak punya anak

1/8 = almarhum punya anak

Menghijab : -Dihijab oleh : -

زوجSuami

Menghijab : -Dihijab oleh : -

110

Page 107: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

1/2 = almarhumah tidak punya anak

1/4 = almarhumah punya anak

أبAyah

1/6 = almarhum punya anak dst

1/6 + sisa = almarhum punya anak wanita tidak ada anak laki dan ada sisa

Ashabah = almarhum tidak punya anak laki dan wanita serta masih tersisa

Menghijab kakek : ayahnya ayah Nenek : ibunya ayah saudara seayah-ibu saudari seayah-ibu saudara seayah saudari seayah keponakan : anak saudara

seayah-ibu keponakan : anak saudara

seayah paman : saudara ayah seayah-

ibu paman : saudara ayah seayah sepupu : anak laki paman

seayah-ibu sepupu : anak laki paman

seayahDihijab oleh : anak laki-laki

789

1011121314151617181

أمIbu

1/6 = almarhum punya fara' waris (anak laki/wanita dst)

1/3 = almarhum tidak punya fara' waris (anak laki/wanita dst)

1/3 dari sisa = bila almarhum punya fara' waris (anak laki/wanita dst)

Menghijab Nenek : Ibunya ibu

Dihijab oleh : -21

zجدKakek

(ayahnya ayah)

Menghijab saudara seayah-ibu saudari seayah-ibu saudara seayah saudari seayah keponakan : anak saudara

seayah-ibu keponakan : anak saudara

seayah paman : saudara ayah seayah-

ibu

910111213141516171822

111

Page 108: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

paman : saudara ayah seayah sepupu : anak laki paman

seayah-ibu sepupu : anak laki paman

seayah saudara & saudari seibu

Dihijab oleh : - ayah

5

zجدةNenek

(Ibunya ayah)

Menghijab : -Dihijab oleh : -

ayah 5

1.2. Ahli Waris Perempuan

1. anak perempuan [بنت] 2. ibu [أم] 3. anak perempuan (dari keturunan anak

laki-laki) [بنت ابن] 4. nenek (ibu dari ibu) [أم األم] 5. nenek (ibu dari) [أم األب] 6. saudari kandung perempuan [ أخت

[شقيقة7. saudari perempuan seayah [أخت ألب] 8. saudari perempuan seibu [أخت ألم] 9. istri [زوجة] 10. perempuan yang memerdekakan

budak [معتقة]

112

Page 109: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Cucu perempuan yang dimaksud di atas mencakup pula cicit dan seterusnya, yang penting perempuan dari keturunan anak laki-laki. Demikian pula yang dimaksud dengan nenek --baik ibu dari ibu maupun ibu dari bapak-- dan seterusnya.

2. Derajat Ahli Waris

Antara ahli waris yang satu dan lainnya ternyata mempunyai perbedaan derajat dan urutan. Tidak sebagaimana yang sering disalah-mengerti oleh kebanyakan orang untuk membagi rata setiap ahli waris dengan jumlah yang sama besar. Syariat Islam telah menetapkan bahwa masing-masing ahli waris itu memiliki derajat yang berbeda-beda, tergantung posisi hubungan mereka dengan almarhum.

Lebih jauh tentang derajat masing-masing ahli waris, berikut ini kami jelaskan :

2.1. Ashhabul furudh.

Golongan inilah yang pertama diberi bagian harta warisan. Mereka adalah orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijma'.

Ada diantara mereka yang mendapat :

1/2 dari total harta yang diwariskan (misalnya suami yang ditinggal mati istrinya dimana istrinya tidak punya anak),

113

Page 110: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

ada yang mendapat 1/3 (ibu almarhum bila almarhum tidak punya anak laki-laki),

1/4 (istri yang ditingal mati suaminya dimana suaminya tidak punya anak),

1/6 (ayah atau ibu), 1/8 (istri yang ditinggal mati suaminya

namun suami itu punya anak) juga ada yang mendapat 2/3.

Ketika membagi warisan, para ashhabul furudh inilah yang pertama kali diberikan bagian.

2.2. Ashabat Nasabiyah.

Setelah ashhabul furudh diberikan bagiannya sesuai dengan besar yang telah ditentukan oleh nash-nash syariah, kemudian giliran para ashabat nasabiyah menerima bagian. Ashabat nasabiyah yaitu setiap kerabat (nasab) pewaris yang menerima sisa harta warisan yang telah dibagikan sebelumnya kepada para ashhabul furudh.

Misalnya, seorang meninggal dan memiliki 2 ahli waris. Yang pertama merupakan ashhabul furudh yang besar bagiannya 1/4 (misalnya suami yang ditinggal mati istrinya dimana istri punya anak), sedangkan yang kedua merupakan ahli waris yang menjadi 'ashabah (anak laki-laki istri yang meninggal), maka harta itu dibagi dua untuk

114

Page 111: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

ashhabul furudh 1/4 sedangkan untuk ashabah 3/4 atau sisanya.

Seandainya ashhabul furudhnya ada beberapa orang, misalnya ada ada ibu (1/6), ayah (1/6), istri (1/8), maka ketiga orang tersebut diberikan terlebih dahulu haknya, sehingga hitungannya menjadi

1 - (1/6 + 1/6 + 1/8) = sisa untuk ashabah 1 - (4/24 + 4/24 + 3/24) = sisa untuk ashabah 1 - 11/24 = 13/24.

Maka ashabah akan mendapat sisanya yaitu 13/24 bagian dari total harta yang diwariskan. Dalam contoh di atas, yang menjadi ashabah adalah anak laki-laki almarhum.

Seandainya ternyata tidak ada ahli waris yang berupa ashhabul furudh, misalnya seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan ayah, ibu, istri, kecuali hanya anak laki-laki seorang saja, maka ia berhak mengambil seluruh harta peninggalan ayahnya. Dan bila tidak ada anak laki-laki, maka yang menjadi ahli waris adalah cucu dari anak laki-laki pewaris, saudara kandung pewaris, paman kandung, dan seterusnya.

2.3. Penambahan bagi ashhabul furudh

Sesuai bagian (kecuali suami istri).

115

Page 112: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

2.4. Mewariskan kepada kerabat.

Yang dimaksud kerabat di sini ialah kerabat pewaris yang masih memiliki kaitan rahim --tidak termasuk ashhabul furudh juga 'ashabah. Misalnya, paman (saudara ibu), bibi (saudara ibu), bibi (saudara ayah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak perempuan.

Maka, bila ahli waris tidak mempunyai kerabat sebagai ashhabul furudh, tidak pula 'ashabah, para kerabat yang masih mempunyai ikatan rahim dengannya berhak untuk mendapatkan warisan.

2.5. Tambahan hak waris bagi suami atau istri.

Bila pewaris tidak mempunyai ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dan 'ashabah, juga tidak ada kerabat yang memiliki ikatan rahim, maka harta warisan tersebut seluruhnya menjadi milik suami atau istri.

Misalnya, seorang suami meninggal tanpa memiliki kerabat yang berhak untuk mewarisinya, maka istri mendapatkan bagian seperempat dari harta warisan yang ditinggalkannya, sedangkan sisanya merupakan tambahan hak warisnya.

Dengan demikian, istri memiliki seluruh harta peninggalan suaminya. Begitu juga

116

Page 113: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

sebaliknya suami terhadap harta peninggalan istri yang meninggal.

2.6. Ashabah karena sebab.

Yang dimaksud para 'ashabah karena sebab ialah orang-orang yang memerdekakan budak (baik budak laki-laki maupun perempuan). Misalnya, seorang bekas budak meninggal dan mempunyai harta warisan, maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk salah satu ahli warisnya, dan sebagai 'ashabah. Tetapi pada masa kini sudah tidak ada lagi.

2.7. Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta pewaris.

Yang dimaksud di sini ialah orang lain, artinya bukan salah seorang dan ahli waris. Misalnya, seseorang meninggal dan mempunyai sepuluh anak. Sebelum meninggal ia terlebih dahulu memberi wasiat kepada semua atau sebagian anaknya agar memberikan sejumlah hartanya kepada seseorang yang bukan termasuk salah satu ahli warisnya.

Bahkan mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat boleh memberikan seluruh harta pewaris bila memang wasiatnya demikian.

2.8. Baitulmal (kas negara).

117

Page 114: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Apabila seseorang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris ataupun kerabat --seperti yang saya jelaskan-- maka seluruh harta peninggalannya diserahkan kepada baitulmal untuk kemaslahatan umum.

3. Bentuk-bentuk Waris

1. Hak waris secara fardh (yang telah ditentukan bagiannya).2. Hak waris secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).3. Hak waris secara tambahan.4. Hak waris secara pertalian rahim.

Pada bagian berikutnya butir-butir tersebut akan kami jelaskan secara detail.

* * *

118

Page 115: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Bab Kedekapan

Ashhabul-Furudh

1. Definisi Ashhabul Furudh

Ashabul furudh adalah para ahli waris yang nilai haknya telah ditetapkan secara langsung dan mendapatkan harta waris terlebih dahulu, sebelum para ashabah.

Jumlah bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu :

setengah (1/2) seperempat (1/4) seperdelapan (1/8) dua per tiga (2/3)

119

Page 116: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

sepertiga (1/3) seperenam (1/6).

Kini mari kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa saja ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dengan bagian yang berhak ia terima.

2. Mendapat

Setengah (1/2)

Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separuh atau sebesar 50% dari total harta yang

diwariskan dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut ialah

suami anak perempuan cucu perempuan keturunan anak laki-laki saudara kandung perempuan saudara perempuan seayah.

Rinciannya seperti berikut:

2.1. Suami

Suami yang ditinggal mati oleh istrinya berhak untuk mendapatkan separuh (1/2) harta warisan milik istrinya atau 50 %, dengan syarat apabila istri sebagai pewaris

120

Page 117: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, baik anak keturunan itu dari suami tersebut ataupun dari suami sebelumnya. Dalilnya adalah firman Allah:

ف ولكم ا نص@@ رك م@@ م إن أزواجكم ت@@ يكن لهن ولد ل

"... dan bagi kalian (para suami) mendapat separuh dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 12)

2.2. Anak perempuan (kandung)

Anak perempuan (kandung) mendapat bagian separuh harta atau sebesar 50 % dari total harta peninggalan pewaris. Dengan syarat anak perempuan tersebut tidak mempunyai saudara atau maksudnya dia anak tunggal. Dalilnya adalah firman Allah:

صف فلها واحدة| كانت وإن الن

Dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia mendapat separuh harta warisan yang ada..(QS. An-Nisa : 11)

Bila kedua persyaratan tersebut tidak ada, maka anak perempuan pewaris tidak mendapat bagian setengah

2.3. Cucu perempuan keturunan

121

Page 118: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan mendapat bagian separuh

Cucu perempuan ini juga termasuk yang mendapatkan 1/2 (50%) dari total harta yang diwariskan dengan tiga syarat:

Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki).

Apabila hanya seorang (yakni cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki tersebut sebagai cucu tunggal).

Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki. Dalilnya sama saja dengan dalil bagian

anak perempuan (sama dengan nomor 2). Sebab cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki sama kedudukannya dengan anak kandung perempuan bila anak kandung perempuan tidak ada.

Maka firman-Nya "yushikumullahu fi auladikum", mencakup anak dan anak laki-laki dari keturunan anak, dan hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama.

2.4. Saudara Kandung Perempuan

Saudara kandung perempuan akan mendapat bagian separuh harta warisan dengan tiga syarat:

Ia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki.

122

Page 119: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara perempuan).

Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan, baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan. Dalilnya adalah firman Allah berikut:

تفتونك ل س@@ ه ق@@ z@@ة في يفتيكم الل إن الكالل@@ نصف فلها أخت وله ولد له ليس هلك امرؤ

ترك ما"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaituj: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya ...'" (QS. An-Nisa': 176)  

2.5. Saudara perempuan seayah

Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian separuh dari harta warisan peninggalan pewaris, dengan empat syarat:

Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki.

Apabila ia hanya seorang diri. Pewaris tidak mempunyai saudara

kandung perempuan.

123

Page 120: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakak, dan tidak pula anak, baik anak laki-laki maupun perempuan. Dalilnya sama dengan Butir 4 (an-Nisa':

176), dan hal ini telah menjadi kesepakatan ulama.

2. Mendapat

Seperempat (1/4)

Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat

(1/4) dari harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri. Rinciannya sebagai berikut:

2.1. Suami

Seorang suami berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan istrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun dari suami lain (sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah berikut:

بع فلكم ولد لهن كان فإن تركن مما الر~"... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari

124

Page 121: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

harta yang ditinggalkannya (QS. An-Nisa': 12)

2.2. Istri

Seorang istri akan mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan suaminya dengan satu syarat, yaitu apabila suami tidak mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun dari rahim istri lainnya. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah berikut:

"... Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12)

Ada satu hal yang patut diketahui oleh kita --khususnya para penuntut ilmu-- tentang bagian istri. Yang dimaksud dengan "istri mendapat seperempat" adalah bagi seluruh istri yang dinikahi seorang suami yang meninggal tersebut. Dengan kata lain, sekalipun seorang suami meninggalkan istri lebih dari satu, maka mereka tetap mendapat seperempat harta peninggalan suami mereka.

Hal ini berdasarkan firman Allah di atas, yaitu dengan digunakannya kata lahunna (dalam bentuk jamak) yang bermakna 'mereka perempuan'. Jadi, baik suami meninggalkan seorang istri ataupun empat orang istri, bagian mereka tetap seperempat dari harta peninggalan.

125

Page 122: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

3. Mendapat Seperdelapan (1/8)

Dari sederetan ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari

harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Dalilnya adalah firman Allah SWT:

~من فلهن ول@@د لكم ك@@ان فإن ا الث ت@@ركتم مم@@ة بعد من دين أو بها توصون وصي

"... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuh, wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu ..." (QS. An-Nisa': 12)

126

Page 123: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

4. Mendapat Dua per Tiga (2/3)

Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita:

4.1. Dua anak perempuan

(kandung)

Dua anak perempuan (kandung) atau lebih itu tidak mempunyai saudara laki-laki, yakni anak laki-laki dari pewaris. Dalilnya firman Allah berikut:

ترك ما ثلثا فلهن اثنتين فوق نساء كن فإنDan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (QS. An-Nisa': 11)

Ada satu hal penting yang mesti kita ketahui agar tidak tersesat dalam memahami hukum yang ada dalam Kitabullah. Makna "fauqa itsnataini" bukanlah 'anak perempuan lebih dari dua', melainkan 'dua anak perempuan atau lebih', hal ini merupakan kesepakatan para ulama.

127

Page 124: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Mereka bersandar pada hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mengisahkan vonis Rasulullah terhadap pengaduan istri Sa'ad bin ar-Rabi' r.a. --sebagaimana diungkapkan dalam bab sebelum ini.

Hadits tersebut sangat jelas dan tegas menunjukkan bahwa makna ayat itsnataini adalah 'dua anak perempuan atau lebih'. Jadi, orang yang berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah "anak perempuan lebih dari dua" jelas tidak benar dan menyalahi ijma' para ulama.

4.2. Dua orang cucu perempuan

Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, akan mendapat 2/3 dengan persyaratan sebagai berikut:

Pewaris tidak mempunyai anak kandung, baik laki-laki atau perempuan.

Pewaris tidak mempunyai dua orang anak kandung perempuan.

Dua cucu putri tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki.

4. 3. . Dua saudara kandung perempuan Dua saudara kandung perempuan (atau

lebih) mendapatkan 2/3 dengan persyaratan sebagai berikut:

Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki maupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakek.

128

Page 125: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu tidak mempunyai saudara laki-laki sebagai 'ashabah.

Pewaris tidak mempunyai anak perempuan, atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Dalilnya adalah firman Allah:

"... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176)  

4.4. Dua saudara perempuan seayah (atau lebih)

Dia mendapat bagian dua per tiga dengan syarat sebagai berikut:

Bila pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek.

Kedua saudara perempuan seayah itu tidak mempunyai saudara laki-laki seayah.

Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan). Persyaratan yang harus dipenuhi bagi dua

saudara perempuan seayah untuk mendapatkan bagian dua per tiga hampir sama dengan persyaratan dua saudara kandung perempuan, hanya di sini (saudara seayah) ditambah dengan keharusan adanya

129

Page 126: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan). Dan dalilnya sama, yaitu ijma' para ulama bahwa ayat "... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176) mencakup saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah. Sedangkan saudara perempuan seibu tidaklah termasuk dalam pengertian ayat

tersebut. Wallahu a'lam.

5. Mendapat

Sepertiga (1/3)

Adapun ashhabul furudh

yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.

5.1. Ibu

Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat:

Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki.

Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun perempuan), baik saudara itu sekandung

130

Page 127: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

atau seayah ataupun seibu. Dalilnya adalah firman Allah:

م فإن ه يكن ل ~لث فألمه أبواه وورثه ولد ل الثdan jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga..." (QS. An-Nisa': 11)

Juga firman-Nya:

الس~دس فألمه إخوة له كان فإنJika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam..." (QS. An-Nisa': 11) 

Catatan:

Lafazh ikhwatun bila digunakan dalam faraid (ilmu tentang waris) tidak berarti harus bermakna 'tiga atau lebih', sebagaimana makna yang masyhur dalam bahasa Arab --sebagai bentuk jamak. Namun, lafazh ini bermakna 'dua atau lebih'.

Sebab dalam bahasa bentuk jamak terkadang digunakan dengan makna 'dua orang'. Misalnya dalam istilah shalat jamaah, yang berarti sah dilakukan hanya oleh dua orang, satu sebagai imam dan satu lagi sebagai makmum.

131

Page 128: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Dalil lain yang menunjukkan kebenaran hal ini adalah firman Allah berikut:

ه إلى تتوبا نإ قلوبكما صغت فقد اللJika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan)(QS. At-Tahrim: 4)

5.2. Saudara laki-laki dan saudara perempuan

Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, akan mendapat bagian sepertiga dengan syarat sebagai berikut:

Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki ataupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakak.

Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih.

Adapun dalilnya adalah firman Allah:

رأة أو كاللة| يورث رجل كان وإن أخ ول@@ه ام@@د فلك@@ل أخت أو ا واح@@ دس منهم@@ إن الس@@~ ف@@

~لث في شركاء فهم ذلك من أكثر كانوا الث"... Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak

132

Page 129: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu ..." (QS. An-Nisa': 12)  

Catatan

Yang dimaksud dengan kalimat "walahu akhun au ukhtun" dalam ayat tersebut adalah 'saudara seibu'. Sebab Allah SWT telah menjelaskan hukum yang berkaitan dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung dalam akhir surat an-Nisa'. Juga menjelaskan hukum yang berkaitan dengan bagian saudara laki-laki dan perempuan seayah dalam ayat yang sama. Karena itu seluruh ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan "walahu akhun au ukhtun" dalam ayat itu adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu.

Selain itu, ada hal lain yang perlu kita tekankan di sini yakni tentang firman "fahum syurakaa 'u fits tsulutsi" (mereka bersekutu dalam yang sepertiga). Kata bersekutu menunjukkan kebersamaan. Yakni, mereka harus membagi sama di antara saudara laki-laki dan perempuan seibu tanpa

133

Page 130: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

membedakan bahwa laki-laki harus memperoleh bagian yang lebih besar daripada perempuan. Kesimpulannya, bagian saudara laki-laki dan perempuan seibu bila telah memenuhi syarat-syarat di atas ialah sepertiga, dan pembagiannya sama rata baik yang laki-laki maupun perempuan. Pembagian mereka berbeda dengan bagian para saudara laki-laki/perempuan kandung dan seayah, yang dalam hal ini bagian saudara laki-laki dua kali lipat bagian saudara perempuan.

Masalah 'Umariyyatan

Pada asalnya, seorang ibu akan mendapat bagian sepertiga dari seluruh harta peninggalan pewaris bila ia mewarisi secara bersamaan dengan bapak berdasarkan pemahaman bagian ayat (artinya) "jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga".

Akan tetapi, berkaitan dengan ini ada dua istilah yang muncul dan dikenal di kalangan fuqaha, yakni 'umariyyatan dan al-gharawaini. Disebut 'umariyyatan sebab kedua hal ini dilakukan oleh Umar bin Khathab dan disepakati oleh jumhur sahabat ridhwanullah 'alaihim. Sedangkan al-gharawaini bermakna 'dua bintang cemerlang', karena kedua istilah ini sangat masyhur. Dalam kasus ini, ibu hanya diberi

134

Page 131: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

sepertiga bagian dari sisa harta warisan yang ada, setelah sebelumnya dikurangi bagian suami atau istri. Agar lebih jelas, saya sertakan contohnya.

Contoh Pertama Seorang istri wafat dan meninggalkan

suami, ibu, dan ayah. Suami mendapat bagian setengah (1/2) dari seluruh harta warisan yang ada. Ibu mendapat sepertiga (1/3) dari sisa setelah diambil bagian suami. Kemudian ayah mendapat seluruh sisa yang ada. Untuk lebih jelas lagi saya berikan tabelnya:

Pokok masalahnya dari 6

Keterangan

Jumlah Bagian Nilai

Suami 1/2 3Ibu 1/3 dari sisa setelah dikurangi

bagian suami1

Ayah Seluruh sisa peninggalan sebagai 'ashabah

2

Dalam contoh kasus ini ibu mendapatkan bagian sepertiga dari sisa setelah diambil bagian suami pewaris, sebab bila ia memperoleh sepertiga dari seluruh harta yang ada maka ia akan mendapat bagian dua kali lipat bagian ayah. Hal ini tentunya bertentangan dengan kaidah dasar faraid yang telah ditegaskan dalam Al-Qur'an dalam bagian ayat "lidzdzakari mitslu

135

Page 132: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

hazhzhil untsayain". Karenanya untuk tetap menegakkan kaidah dasar tersebut, ibu mendapat bagian sepertiga dari harta warisan setelah diambil hak suami pewaris. Dengan demikian, hak ayah menjadi dua kali lipat dari bagian yang diterima ibu.

Contoh Kedua Seorang suami meninggal dunia dan ia

meninggalkan istri, ibu, dan ayah. Istri mendapat bagian seperempat (1/4) dari seluruh harta peninggalan suaminya, sedangkan ibu mendapat bagian tiga per empat dari sisa setelah diambil hak istri. Sedangkan bagian ayah adalah sisa harta yang ada sebagai 'ashabah.

Pokok masalahnya dari 4

Keterangan

Jumlah Bagian Nilai

Isteri 1/4 1Ibu 1/3 dari sisa setelah dikurangi

bagian isteri1

Ayah Mendapat bagian seluruh sisa peninggalan yang ada sebagai 'ashabah

2

Dari kedua contoh tersebut tampak oleh kita bahwa pada hakikatnya bagian ibu pada tabel pertama adalah seperenam (1/6), sedangkan pada tabel kedua adalah seperempat (1/4). Adapun penyebutannya dengan istilah sepertiga dari sisa setelah

136

Page 133: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

diambil hak suami atau istri adalah karena menyesuaikan adab qur'ani.

Masalah 'umariyyatan ini pernah terjadi pada masa sahabat, tepatnya masa Umar bin Khathab r.a.. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang terkenal. Pendapat pertama dintarakan oleh Zaid bin Tsabit r.a. yang kemudian diambil oleh jumhur ulama serta dikokohkan oleh Umar bin Khathab dengan menyatakan bahwa bagian ibu adalah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri.

Sedangkan pendapat yang kedua diutarakan oleh Ibnu Abbas r.a.. Menurutnya, ibu tetap mendapat bagian sepertiga (1/3) dari seluruh harta yang ditinggalkan suami atau istri (anaknya). Bahkan Ibnu Abbas menyanggah pendapat Zaid bin Tsabit: "Apakah memang ada di dalam Al-Qur'an istilah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri?" Zaid menanggapinya dengan mengatakan: "Di dalam Kitabullah juga tidak disebutkan bahwa bagian ibu sepertiga dari seluruh harta peninggalan yang ada bila ibu bersama-sama mewarisi dengan salah satu suami atau istri. Sebab yang disebutkan di dalam Al-Qur'an hanya "wawaritsahu abawahu".

Jadi, menurut hemat saya, apa yang dipahami Zaid dan dipilih oleh jumhur ulama

137

Page 134: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

serta ditetapkan oleh Umar bin Khathab itulah pendapat yang sahih. Wallahu a'lam.

* * *

6. Mendapat

Seperenam (1/6)

Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada tujuh orang. Mereka adalah :

1. ayah 2. kakek asli (bapak dari ayah) 3. ibu 4. cucu perempuan keturunan anak laki-laki 5. saudara perempuan seayah 6. nenek asli 7. saudara laki-laki dan perempuan seibu.

6.1. Ayah

Seorang ayah akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris mempunyai anak, baik anak laki-laki atau anak perempuan.

Dalilnya firman Allah

ا الس~دس منهما واحد لكل وألبويه ت@@رك مم@@ ولد له كان إن

138

Page 135: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)

6.2. Kakek

Seorang kakek (bapak dari ayah) akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki dari keturunan anak, dengan syarat ayah pewaris tidak ada.

Jadi, dalam keadaan demikian salah seorang kakek akan menduduki kedudukan seorang ayah, kecuali dalam tiga keadaan yang akan saya rinci dalam bab tersendiri.

6.3. Ibu

Ibu akan memperoleh seperenam (1/6) bagian dari harta yang ditinggalkan pewaris, dengan dua syarat:

Bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki keturunan anak laki-laki.

Bila pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih, baik saudara laki-laki ataupun perempuan, baik sekandung, seayah, ataupun seibu. Dalilnya firman Allah (artinya):

الس~دس فألمه إخوة له كان فإن

139

Page 136: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam (QS. An-Nisa': 11).

6. 4. Cucu perempuan

Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seorang atau lebih akan mendapat bagian seperenam (1/6), apabila yang meninggal (pewaris) mempunyai satu anak perempuan. Dalam keadaan demikian, anak perempuan tersebut mendapat bagian setengah (1/2), dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris mendapat seperenam (1/6), sebagai pelengkap dua per tiga (2/3).

Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam sahihnya bahwa Abu Musa al-Asy'ari r.a. ditanya tentang masalah warisan seseorang yang meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak laki-lakinya, dan saudara perempuan. Abu Musa kemudian menjawab:

"Bagi anak perempuan mendapat bagian separuh (1/2), dan yang setengah sisanya menjadi bagian saudara perempuan."

Merasa kurang puas dengan jawaban Abu Musa, sang penanya pergi mendatangi Ibnu Mas'ud. Maka Ibnu Mas'ud berkata: "Aku akan memutuskan seperti apa yang pernah

140

Page 137: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

diputuskan Rasulullah saw., bagi anak perempuan separuh (1/2) harta peninggalan pewaris, dan bagi cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai pelengkap 2/3, dan sisanya menjadi bagian saudara perempuan pewaris."

Mendengar jawaban Ibnu Mas'ud, sang penanya kembali menemui Abu Musa al-Asy'ari dan memberi tahu permasalahannya. Kemudian Abu Musa berkata:

"Janganlah sekali-kali kalian menanyaiku selama sang alim ada di tengah-tengah kalian."

Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian seperenam (1/6) dengan syarat bila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki. Sebab bila ada anak laki-laki, maka anak tersebut menjadi penggugur hak sang cucu.

Selain itu, pewaris juga tidak mempunyai anak perempuan lebih dari satu orang. Sebab jika lebih dari satu orang, anak-anak perempuan itu berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3), dan sekaligus menjadi penggugur (penghalang) hak waris cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris.

6. 5. Saudara perempuan

141

Page 138: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Saudara perempuan seayah satu orang atau lebihakan mendapat bagian seperenam (1/6), apabila pewaris mempunyai seorang saudara kandung perempuan. Hal ini hukumnya sama denga keadaan jika cucu perempuan keturunan anak laki-laki bersamaan dengan adanya anak perempuan.

Jadi, bila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah atau lebih, maka saudara perempuan seayah mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna dari dua per tiga (2/3). Sebab ketika saudara perempuan kandung memperoleh setengah (1/2) bagian, maka tidak ada sisa kecuali seperenam (1/6) yang memang merupakan hak saudara perempuan seayah.6. Saudara laki-laki atau perempuan seibu

Dia akan mendapat bagian masing-masing seperenam (1/6) bila mewarisi sendirian.

Dalilnya adalah firman Allah :

رأة أو كاللة| يورث رجل كان وإن أخ ول@@ه ام@@الس~دس منهما واحد فلكل أخت أو

Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi

142

Page 139: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. (QS. An-Nisa' : 12)

Dan persyaratannya adalah bila pewaris tidak mempunyai pokok (yakni kakek) dan tidak pula cabang (yakni anak, baik laki-laki atau perempuan).

6.6. Nenek asli

Nenek asli mendapatkan bagian seperenam (1/6) ketika pewaris tidak lagi mempunyai ibu. Ketentuan demikian baik nenek itu hanya satu ataupun lebih (dari jalur ayah maupun ibu), yang jelas seperenam itu dibagikan secara rata kepada mereka. Hal ini berlandaskan pada apa yang telah ditetapkan di dalam hadits sahih dan ijma' seluruh sahabat.

Ashhabus Sunan meriwayatkan bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. untuk menuntut hak warisnya. Abu Bakar menjawab:

"Saya tidak mendapati hakmu dalam Al-Qur'an maka pulanglah dulu, dan tunggulah hingga aku menanyakannya kepada para sahabat Rasulullah saw."

Kemudian al-Mughirah bin Syu'bah mengatakan kepada Abu Bakar:

"Suatu ketika aku pernah menjumpai Rasulullah saw. memberikan hak seorang nenek seperenam (1/6)."

143

Page 140: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Mendengar pernyataan al-Mughirah itu Abu Bakar kemudian memanggil nenek tadi dan memberinya seperenam (1/6).

144

Page 141: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Bab Kesembilan

Ahli Waris 'Ashabah

1. Pengertian

Kata 'ashabab dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak. Disebut demikian, dikarenakan mereka --yakni kerabat bapak-- menguatkan dan melindungi.

Dalam kalimat bahasa Arab banyak digunakan kata 'ushbah sebagai ungkapan bagi kelompok yang kuat. Demikian juga di dalam Al-Qur'an, kata ini sering kali

145

Page 142: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

digunakan, di antaranya dalam firman Allah berikut:

الوا بة ونحن ال@@ذئب أكل@@ه لئن ق@@ ا عص@@ |ا إن@@ إذخاسرون ل

"Mereka berkata: 'Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi.'" (QS. Yusuf: 14)

Maka jika dalam faraid kerabat diistilahkan dengan 'ashabah hal ini disebabkan mereka melindungi dan menguatkan. Inilah pengertian 'ashabah dari segi bahasa.

Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah para fuqaha ialah : ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya bagiannya dengan tegas.

Sebagai contoh, anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah, dan paman (saudara kandung ayah). Kekerabatan mereka sangat kuat dikarenakan berasal dari pihak ayah.

Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah

146

Page 143: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

ashhabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing.

2. Dalil Hak Waris Para 'Ashabah

Dalil yang menyatakan bahwa para 'ashabah berhak mendapatkan waris kita dapati di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah :

ا الس~دس منهما واحد لكل وألبويه ت@@رك مم@@إن ولد له كان إن م ف@@ ه يكن ل وورث@@ه ول@@د ل@@

~لث فألمه أبواه الثDan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga" (an-Nisa': 11).

Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) masing-masing mendapatkan seperenam (1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan. Tetapi bila pewaris tidak mempunyai anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi milik kedua orang tua.

Ayat tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai anak, maka ibu mendapat bagian sepertiga (1/3).

147

Page 144: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Namun, ayat tersebut tidak menjelaskan berapa bagian ayah.

Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil bagian ibu, dua per tiganya (2/3) menjadi hak ayah. Dengan demikian, penerimaan ayah disebabkan ia sebagai 'ashabah.

Dalil Al-Qur'an yang lainnya ialah :

ا أخت ول@@ه ول@@د ل@@ه ليس هلك امرؤ إن فله@@م إن يرثهآ وهو ترك ما نصف ها يكن ل ولد ل

Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak. (QS. An-Nisa': 176).

Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara kandung. Namun, yang disebutkan justru saudara kandung akan menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta peninggalan yang ada bila ternyata pewaris tidak mempunyai keturunan.

Kemudian, makna kalimat "wahuwa yaritsuha" memberi isyarat bahwa seluruh harta peninggalan menjadi haknya. Inilah makna 'ashabah.

148

Page 145: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan Rasulullah saw.:

ال اسب@@ع ناب عن ال ق@@ ول ق@@ الل@@ه رس@@ ىلوألف يقب ام@@ف اه@@لهأب ضائرالف@@ واق@@حلأ.ركذ لجر

"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)

Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar memberikan hak waris kepada ahlinya. Maka jika masih tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang paling utama dari 'ashabah.

Ada satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata yang digunakan Rasulullah dengan menyebut "dzakar" setelah kata "rajul", sedangkan kata "rajul" jelas menunjukkan makna seorang laki-laki.

Hal ini dimaksudkan untuk menghindari salah paham, jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk orang dewasa dan cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak mendapatkan warisan sebagai 'ashabah dan menguasai seluruh harta warisan yang ada jika dia sendirian. Inilah rahasia makna sabda Rasulullah saw. dalam hal penggunaan kata "dzakar".

149

Page 146: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

3. Macam-macam 'Ashabah

'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan 'ashabah sababiyah (karena sebab). Jenis 'ashabah yang kedua ini

disebabkan memerdekakan budak. Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik budak) dapat menjadi ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan.

Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu:

'ashabah bin nafs (nasabnya tidak tercampur unsur wanita),

'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang lain)

'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama dengan yang lain).

3.1. 'Ashabah bin nafs

'Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri kaum wanita, mempunyai empat arah, yaitu:

CatatanDalam dunia faraid,

apabila lafazh 'ashabah disebutkan tanpa diikuti

kata lainnya (tanpa dibarengi bil ghair atau ma'al ghair), maka yang

150

Page 147: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

1. Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu, cicit, dan seterusnya.

2. Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.

3. Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbatas pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk 'ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.

4. Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun yang seayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.

Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya sesuai urutan di atas. Arah anak lebih didahulukan (lebih kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada arah saudara.

Hukum 'Ashabah bin nafs

151

Page 148: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Telah saya jelaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi mempunyai empat arah, dan derajat kekuatan hak warisnya sesuai urutannya. Bila salah satunya secara tunggal (sendirian) menjadi ahli waris seorang yang meninggal dunia, maka ia berhak mengambil seluruh warisan yang ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh, maka sebagai 'ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada ashhabul furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul furudh ternyata tidak ada sisanya, maka para 'ashabah pun tidak mendapat bagian. Sebagai misal, seorang istri wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, saudara laki-laki seayah.

Sang suami mendapat bagian setengah (1/2), saudara perempuan mendapat bagian setengah (1/2). Saudara seayah tidak mendapat bagian disebabkan ashhabul furudh telah menghabiskannya.

Adapun bila para 'ashabah bin nafs lebih dari satu orang, maka cara pentarjihannya (pengunggulannya) sebagai berikut:

Pertama: Pertarjihan dari Segi Arah

Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa 'ashabah bin nafsih, maka pengunggulannya dilihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan

152

Page 149: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

dibandingkan yang lain. Anak akan mengambil seluruh harta peninggalan yang ada, atau akan menerima sisa harta waris setelah dibagikan kepada ashhabul furudh bagian masing-masing.

Apabila anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki dan seterusnya. Sebab cucu akan menduduki posisi anak bila anak tidak ada. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak laki-laki, ayah, dan saudara kandung. Dalam keadaan demikian, yang menjadi 'ashabah adalah anak laki-laki. Sebab arah anak lebih didahulukan daripada arah yang lain. Sedangkan ayah termasuk ashhabul furudh dikarenakan mewarisi bersama-sama dengan anak laki-laki.

Sementara itu, saudara kandung laki-laki tidak mendapatkan waris dikarenakan arahnya lebih jauh. Pengecualiannya, bila antara saudara kandung laki-laki maupun saudara laki-laki seayah berhadapan dengan kakak. Rinciannya, insya Allah akan saya paparkan pada bab tersendiri.

Kedua: Pentarjihan secara Derajat

Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa orang 'ashabah bi nafsihi, kemudian mereka pun dalam satu arah, maka pentarjihannya dengan melihat derajat mereka, siapakah di antara mereka

153

Page 150: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

yang paling dekat derajatnya kepada pewaris.

Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan anak serta cucu keturunan anak laki-laki. Dalam hal ini hak warisnya secara 'ashabah diberikan kepada anak, sedangkan cucu tidak mendapatkan bagian apa pun. Sebab, anak lebih dekat kepada pewaris dibandingkan cucu laki-laki.

Contoh lain, bila seseorang wafat dan meninggalkan saudara laki-laki seayah dan anak dari saudara kandung, maka saudara seayahlah yang mendapat warisan. Sebab ia lebih dekat kedudukannya dari pada anak saudara kandung. Keadaan seperti ini disebut pentarjihan menurut derajat kedekatannya dengan pewaris.

Ketiga: Pentarjihan Menurut Kuatnya Kekerabatan

Bila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat banyak 'ashabah bi nafsihi yang sama dalam arah dan derajatnya, maka pentarjihannya dengan melihat manakah di antara mereka yang paling kuat kekerabatannya dengan pewaris.

Sebagai contoh, saudara kandung lebih kuat daripada seayah, paman kandung lebih kuat daripada paman seayah, anak dari

154

Page 151: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

saudara kandung lebih kuat daripada anak dari saudara seayah, dan seterusnya.

Catatan

Perlu untuk digarisbawahi dalam hal pentarjihan dari segi kuatnya kekerabatan di sini, bahwa kaidah tersebut hanya dipakai untuk selain dua arah, yakni arah anak dan arah bapak.

Artinya, pentarjihan menurut kuatnya kekerabatan hanya digunakan untuk arah saudara dan arah paman.

Mengapa Anak Lebih Didahulukan daripada Bapak?

Satu pertanyaan yang sangat wajar dan mesti diketahui jawaban serta hikmah di dalamnya. Sebab, keduanya memiliki posisi sederajat dari segi kedekatan nasab pada seseorang, ayah sebagai pokok dan anak merupakan cabang. Berdasarkan posisi ini sebaiknya garis anak tidak didahulukan daripada garis ayah.

Namun demikian, ada dua landasan mengapa garis anak lebih didahulukan. Landasan pertama berupa dalil Al-Qur'an, sedangkan yang kedua berupa dalil aqli.

Firman Allah :

ا الس~دس منهما واحد لكل وألبويه ت@@رك مم@@ولد له كان إن

155

Page 152: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak." (QS. An-Nisa: 11).

Dalam ayat tersebut Allah SWT menjadikan ayah sebagai ashhabul furudh bila pewaris mempunyai anak, sedangkan bagian anak tidak disebutkan.

Dengan demikian, jelaslah bahwa anak akan mendapatkan seluruh sisa harta peninggalan pewaris, setelah masing-masing dari ashhabul furudh telah mendapatkan bagiannya. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa garis anak lebih didahulukan daripada garis bapak.

Sedangkan secara aqli, manusia pada umumnya merasa khawatir terhadap anak (keturunannya), baik dalam hal keselamatannya maupun kehidupan masa depannya. Oleh sebab itu, orang tua berusaha bekerja keras untuk memperoleh harta dan berhemat dalam membelanjakannya, semuanya demi kesejahteraan keturunannya.

Bahkan, tidak sedikit orang tua yang bersikap bakhil, sangat kikir dalam membelanjakan hartanya, demi kepentingan masa depan anaknya. Maka sangat tepat apa yang disabdakan Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya "al-waladu mabkhalah

156

Page 153: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

majbanah" (anak dapat membuat seseorang berlaku bakhil dan pengecut).

Makna hadits tersebut sangat jelas bahwa orang tua menjadi kikir --bahkan pengecut-- karena sangat khawatir terhadap masa depan anaknya. Karena itu mereka tidak segan-segan menimbun harta dan kekayaan demi menyenangkan keturunan pada masa mendatang. Tidak sedikit orang tua yang menjadi pengecut hanya disebabkan menjaga kemaslahatan keturunannya pada hari depannya.

Dengan demikian, mereka takut berhadapan dengan musuh atau siapa pun yang mengganggu kemudahan jalan rezekinya. Inilah alasan bahwa hati seseorang cenderung lebih dekat kepada anaknya dibandingkan kepada ayahnya. Wallahu a'lam.

Catatan

Satu hal yang mesti kita ketahui bahwa 'ashabah bi nafsihi harus dari kalangan laki-laki, sedangkan dari kalangan wanita hanyalah wanita pemerdeka budak. Jika demikian berarti wanita tersebut sebagai 'ashabah bi nafsihi, bila budak yang dibebaskannya tidak mempunyai keturunan (kerabat).

3.2. 'Ashabah bi Ghairihi dan Hukumnya

157

Page 154: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

'Ashabah bi ghairihi hanya terbatas pada empat orang ahli waris yang kesemuanya wanita:

1. Anak perempuan, akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya (yakni anak laki-laki).

2. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan menjadi 'ashabah bila berbarengan dengan saudara laki-lakinya, atau anak laki-laki pamannya (yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki), baik sederajat dengannya atau bahkan lebih di bawahnya.

3. Saudara kandung perempuan akan menjadi 'ashabah bila bersama saudara kandung laki-laki.

4. Saudara perempuan seayah akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya, dan pembagiannya, bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.

Syarat-syarat 'Ashabah bi Ghairihi

'Ashabah bi Ghairihi tidak akan terwujud kecuali dengan beberapa persyaratan berikut:

Pertama: haruslah wanita yang tergolong ashhabul furudh. Bila wanita tersebut bukan dari ashhabul furudh, maka tidak akan menjadi 'ashabah bi ghairih. Sebagai contoh,

158

Page 155: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

anak perempuan dari saudara laki-laki tidak dapat menjadi 'ashabah bi ghairih dengan adanya saudara kandung laki-laki dalam deretan ahli waris. Sebab dalam keadaan demikian, anak perempuan saudara laki-laki bukanlah termasuk ashhabul furudh.

Kedua: laki-laki yang menjadi 'ashabah (penguat) harus yang sederajat. Misalnya, anak laki-laki tidak dapat menjadi pen-ta'shih (penguat) cucu perempuan, dikarenakan anak laki-laki tidak sederajat dengan cucu perempuan, bahkan ia berfungsi sebagai pen-tahjib (penghalang) hak waris cucu. Begitu juga anak laki-laki keturunan saudara laki-laki, tidaklah dapat menguatkan saudara kandung perempuan disebabkan tidak sederajat.

Ketiga: laki-laki yang menjadi penguat harus sama kuat dengan ahli waris perempuan shahibul fardh. Misalnya, saudara laki-laki seayah tidak dapat men-ta'shih saudara kandung perempuan. Sebab saudara kandung perempuan lebih kuat kekerabatannya daripada saudara laki-laki seayah.

Catatan

Setiap perempuan ahli waris berhak mendapat bagian setengah (1/2) jika sendirian, ia berhak mendapatkan bagian dua per tiga (2/3) bila menerima bersama

159

Page 156: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

saudara perempuannya, dan akan menjadi 'ashabah bila mempunyai saudara laki-laki.

Kaidah ini hanya berlaku bagi keempat ahli waris dari kalangan wanita yang saya sebutkan (yakni anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah).

Dalil Hak Waris 'Ashabah bi Ghairihi Dalil bagi hak waris para 'ashabah bi

ghairih adalah firman Allah (artinya):

Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan" (QS. An-Nisa': 11)

Dan juga berlandaskan dalil :

dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan" (QS. An-Nisa': 176)

Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan "ikhwatan" dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki dan saudara kandung perempuan dan yang seayah. Mereka berpendapat bahwa kata ikhwatan tidak mencakup saudara laki-laki atau perempuan yang seibu, disebabkan hak waris mereka berdasarkan fardh (termasuk ashhabul furudh) bukan sebagai 'ashabah.

160

Page 157: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Selain itu, hak waris mereka pun antara laki-laki dan perempuan-- sama rata, berdasarkan ayat :

"maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu" (QS. An-Nisa': 12).

Sebab Penamaan 'Ashabah bi Ghairihi Adapun sebab penamaan 'ashabah bi

ghairihi adalah karena hak 'ashabah keempat wanita itu bukanlah karena kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, akan tetapi karena adanya 'ashabah lain ('ashabah bi nafsihi), seperti saudara kandung laki-laki ataupun saudara laki-laki seayah mereka.

Bila para 'ashabah bi nafsihi itu tidak ada, maka keempat wanita tersebut mendapat hak warisnya secara fardh.

3.3.'Ashabah ma'al Ghair 'Ashabah ma'al Ghair ini khusus bagi para

saudara kandung perempuan maupun saudara perempuan seayah apabila mewarisi bersamaan dengan anak perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-laki. Jadi, saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah bila berbarengan dengan anak perempuan --atau cucu perempuan keturunan anak laki-laki dan seterusnya-- akan menjadi 'ashabah. Jenis 'ashabah ini di kalangan ulama dikenal dengan istilah 'ashabah ma'al ghair.

161

Page 158: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Satu hal yang perlu diketahui dalam masalah ini, seperti yang ditegaskan dalam kitab Hasyiyatul Bajuri (hlm. 108): "Adapun saudara perempuan (kandung dan seayah) menjadi 'ashabah jika berbarengan dengan anak perempuan adalah agar bagian saudara perempuan terkena pengurangan, sedangkan bagian anak perempuan tidak terkena pengurangan. Sebab bila kita berikan hak waris saudara perempuan secara fardh, maka akan naiklah pokok pembagiannya dan hak bagian anak perempuan akan berkurang. Kemudian, di segi lain tidaklah mungkin hak saudara perempuan itu digugurkan, karena itu dijadikanlah saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah agar terkena pengurangan."

Dalil 'Ashabah ma'al Ghair Yang menjadi landasan bagi hak waris

'ashabah ma'al ghair adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lainnya, bahwa Abu Musa al-Asy'ari ditanya tentang hak waris anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, dan saudara perempuan (sekandung atau seayah). Abu Musa menjawab: "Bagian anak perempuan separuh, dan bagian saudara perempuan separuh."

Penanya itu lalu pergi menanyakannya kepada Ibnu Mas'ud r.a., dan dijawab: "Aku akan memvonis seperti apa yang diajarkan

162

Page 159: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Rasulullah saw., bagian anak perempuan setengah (1/2) dan bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), sedangkan sisanya menjadi hak saudara perempuan kandung atau seayah."

Penanya itu pun kembali kepada Abu Musa al-Asy'ari dan menceritakan apa yang telah diputuskan Ibnu Mas'ud. Lalu Abu Musa berkata: "Janganlah kalian menanyakannya kepadaku selama sang alim (Ibnu Mas'ud) berada bersama kalian."

Dari penjelasan Ibnu Mas'ud dapat disimpulkan bahwa hak saudara perempuan bila mewarisi bersama-sama dengan anak perempuan mengambil sisa harta pembagian yang ada. Hal ini berarti saudara kandung perempuan atau saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah ma'al ghair.

Catatan

Sangat penting untuk diketahui bersama bahwa bila seorang saudara kandung perempuan menjadi 'ashabah ma'al ghair, maka ia menjadi seperti saudara kandung laki-laki sehingga dapat menghalangi hak waris saudara seayah, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Selain itu, dapat pula menggugurkan hak waris yang di bawah mereka, seperti anak keturunan

163

Page 160: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

saudara (keponakan), paman kandung ataupun yang seayah.

Begitu juga saudara perempuan seayah, apabila menjadi 'ashabah ma'al ghair ketika mewarisi bersama anak perempuan pewaris, maka kekuatannya sama seperti saudara laki-laki seayah hingga menjadi penggugur keturunan saudaranya dan seterusnya.

Untuk lebih menjelaskan masalah tersebut saya sertakan contoh seperti berikut:

Contoh Pertama

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan anak perempuan, saudara perempuan, dan saudara laki-laki seayah, maka pembagiannya adalah sebagai berikut:

Pokok masalahnya dari 2

Keterangan Jumlah Bagian

Nilai

Anak perempuan 1/2 1Saudara kandung perempuan 'ashabah ma'al ghair

1/2 1

Saudara laki-laki seayah gugur 0

Keterangan

Bagian anak perempuan adalah setengah secara fardh, dan sisanya merupakan bagian saudara kandung perempuan disebabkan ia

164

Page 161: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

menjadi 'ashabah ma'al ghair, yang kekuatannya seperti saudara kandung laki-laki. Sedangkan saudara laki-laki seayah terhalang karena saudara kandung perempuan menjadi 'ashabah.

Contoh Kedua

Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dua orang saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya seperti dalam tabel berikut:

Pokok masalahnya dari 4

Keterangan Jumlah Bagian

Nilai

Suami 1/4 1Cucu perempuan 1/2 2Saudara kandung perempuan

'ashabah ma'al ghair

1

Saudara laki-laki seayah

mahjub 0

Keterangan

Suami memperoleh seperempat bagian karena pewaris mempunyai cabang ahli warisnya. Sedangkan cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian setengah secara fardh, kemudian sisanya

165

Page 162: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

yaitu seperempat-- menjadi hak dua saudara kandung perempuan pewaris sebagai 'ashabah ma'al ghair. Sedangkan bagian saudara laki-laki seayah gugur karena adanya dua saudara kandung.

Contoh Ketiga

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak perempuan, saudara perempuan seayah, dan anak laki-laki saudara laki-laki (kemenakan). Pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 3

Keterangan Jumlah Bagian

Nilai

Dua anak perempuan

2/3 2

Saudara perempuan seayah

'ashabah ma'al ghair

1

Anak saudara laki-laki

mahjub 0

Keterangan

Dua orang anak perempuan mendapatkan dua per tiga dan sisanya untuk saudara perempuan seayah disebabkan ia menjadi 'ashabah ma'al ghair. Sedangkan anak saudara laki-laki ter-mahjub oleh saudara perempuan seayah.

166

Page 163: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Contoh Keempat

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, seorang ibu, saudara perempuan seayah, dan paman kandung (saudara dari ayah kandung). Maka pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 6

Keterangan Jumlah Bagian

Nilai

Anak perempuan 1/2 3Cucu perempuan 1/6 1Ibu 1/6 1Saudara perempuan seayah

'ashabah ma'al ghair

1

Keterangan

Anak perempuan mendapat bagian setengah sebagai fardh, cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat seperenam bagian sebagai penyempurna dua per tiga, dan ibu mendapatkan seperenam. Sedangkan sisanya untuk saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah ma'al ghair, karena kekuatannya seperti saudara laki-laki seayah sehingga ia menggugurkan paman kandung. Begitulah seterusnya.

167

Page 164: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Catatan

Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu tidak berhak menjadi ahli waris bila pewaris mempunyai anak perempuan. Bahkan anak perempuan pewaris menjadi penggugur hak saudara (laki-laki/perempuan) seibu sehingga tidak dapat menjadi 'ashabah.

4. Perbedaan 'Ashabah bil Ghair dengan 'Ashabah ma'al Ghair

Dari uraian sebelumnya dapat kita ketahui bahwa 'ashabah bil ghair adalah setiap wanita ahli waris yang termasuk ashhabul furudh, dan akan menjadi 'ashabah bila berbarengan dengan saudara laki-lakinya. Misalnya, anak perempuan menjadi 'ashabah bila bersama saudara laki-lakinya (yakni anak laki-laki pewaris). Saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah menjadi 'ashabah bil ghair dengan adanya saudara kandung laki-laki ataupun saudara laki-laki seayah. Dalam hal ini bagi yang laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan.

Adapun 'ashabah ma'al ghair adalah para saudara kandung perempuan ataupun

168

Page 165: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

saudara perempuan seayah bila berbarengan dengan anak perempuan, dan dalam hal ini mereka mendapatkan bagian sisa seluruh harta peninggalan sesudah ashhabul furudh mengambil bagian masing-masing. Tampak semakin jelas perbedaan antara dua macam 'ashabah itu, pada 'ashabah bil ghair selalu ada sosok 'ashabah bi nafsih, seperti anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah. Sedangkan dalam 'ashabah ma'al ghair tidak terdapat sosok 'ashabah bi nafsih.

Jadi, secara ringkas, pada 'ashabah bil ghair para 'ashabah bi nafsih menggandeng kaum wanita ashhabul furudh menjadi 'ashabah dan menggugurkan hak fardh-nya. Sedangkan 'ashabah ma'al ghair tidaklah demikian. Seorang saudara perempuan sekandung atau seayah tidak menerima bagian seperti bagian anak perempuan atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Akan tetapi, anak perempuan atau cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian secara fardh, kemudian saudara perempuan sekandung atau seayah mendapatkan sisanya. Inilah perbedaan keduanya.

Dapatkah Seseorang Mewarisi dari Dua Arah?

169

Page 166: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Kita mungkin sering mendengar pertanyaan seperti itu, dan tentu saja hal ini memerlukan jawaban. Maka dapat ditegaskan bahwa seseorang bisa saja mendapatkan warisan dari dua arah yang berlainan, misalnya ia sebagai ashhabul furudh dan juga sebagai 'ashabah, atau satu dari arah fardh dan yang kedua dari arah karena rahim. Agar persoalan ini lebih jelas, saya sertakan contoh:

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang nenek, saudara laki-laki seibu, dan seorang suami, yang juga merupakan anak paman kandung pewaris. Maka pembagiannya sebagai berikut: Untuk nenek seperenam (1/6), saudara laki-laki seibu seperenam (1/6), suami setengah (1/2) sebagai fardh-nya, dan sisanya untuk suami sebagai 'ashabah karena ia anak paman kandung.

Contoh lain: seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan dua anak perempuan, bibi (saudara ibu) yang salah satunya menjadi istrinya. Maka pembagiannya seperti berikut: sang istri mendapat bagian seperempat sebagai fardh-nya karena adanya ikatan perkawinan, dan hak lainnya ialah ikut mendapat bagian sisa yang ada karena ikatan rahim.

170

Page 167: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

* * *

171

Page 168: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Bab Kesepuluh

Berbagai Keadaan Para Ahli Waris

Sudah kita ketahui bersama bahwa terkadang seorang ahli waris mendapat bagian yang lumayan besar, namun kadang mendapat bagian yang kecil, atau boleh jadi malah tidak mendapat sama sekali akibat terhijab atau terhalang oleh adanya ahli waris lainnya.

Dalam pertemuan kali ini, kita akan bahas lebih dalam lagi satu persatu keadaan-keadaan yang berbeda bagi seorang ahli waris. Tanpa menguasai bab ini, sulit bagi kita untuk bisa membagi warisan dengan

173

Page 169: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

benar. Bahkan boleh dikatakan, materi ini merupakan intisari semua kajian tentang pembagian warisan. Untuk memudahkan, mari kita lihat kembali bagan para ahli waris berikut ini. Kita akan mulai tidak berdasarkan urutan laki atau perempuan, melainkan menurut yang umumnya terjadi di tengah masyarakat. Sehingga lebih mendekatkan kita kepada kenyataan yang sesungguhnya.

174

Page 170: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

1. Istri

Kita mulai dari istri karena beberapa alasan. Pertama, setiap ada kematian seseorang, biasanya istri adalah orang yang paling penting untuk disebutkan. Istri boleh jadi adalah orang yang paling bersedih atas kematian suaminya, sebab istri biasanya adalah belahan jiwa yang telah menemani suami sepanjang perjalanan hidup.

Ada beberapa hal yang terkait dengan keadaan istri yang ditinggal mati oleh suaminya terkait dengan masalah warisan :

1.1. Tidak Menghijab Orang Lain

Seorang istri ketika ditinggal mati suaminya, tidak pernah menghijab (hirman) oleh siapa pun. Kedudukan seorang istri tidak akan membuat ahli waris lain menjadi kehilangan haknya atau berkurang. Tidak seperti anak laki-laki almarhum yang akan menghijab banyak orang

1.2. Tidak Dihijab Oleh Siapa Pun

Seorang istri tidak pernah dihijab oleh siapa pun. Karena kedudukannya yang langsung berhubungan dengan suaminya sebagai pewaris.

1.3. Cara Mendapat Waris

Allah SWT telah mentapkan hak waris seorang istri di dalam Al-Quran :

175

Page 171: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

بع ولهن م إن ت@@ركتم مما الر~ كم يكن ل ول@@د ل~من فلهن ول@@د لكم ك@@ان فإن ا الث ت@@ركتم مم@@ة بعد من دين أو بها توصون وصي

Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu (QS. An-Nisa : 12)

Istri mendapat 1/4 bagian dari total harta yang diwariskan atau setara dengan 25%, dengan syarat bahwa suaminya tidak punya fara' waris. Maksudnya adalah suaminya tidak punya anak baik laki atau perempuan, atau tidak punya cucu baik laki atau perempuan, atau keturunannya lagi bila memang ada.

Istri mendapat 1/8  bagian dari total harta yang diwariskan atau setara dengan 25%, yaitu bila suaminya punya fara' waris.Bila jumlah istri lebih dari satu, misalnya 2

orang atau 3 orang atau malah 4 orang, maka semuanya hanya mendapat 1/4 atau 1/8 dan dibagi rata. Tidak dibedakan apakah istri itu sudah punya anak atau belum, juga tidak dibedakan apakah istri itu sudah lebih lama menikahnya atau baru saja dinikahi.

176

Page 172: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Dan bukan masing-masing mendapat 1/4 atau 1/8.

 Istri yang mendapat warisan dari suaminya terbatas pada istri yang ketika suaminya meninggal, statusnya masih istri yang sah atau meski sudah ditalak, namun masih dalam masa 'iddah.

Sedangkan bila ketika suaminya wafat, statusnya sudah bukan istri karena sudah dicerai misalnya, maka tidak mendapatkan hak apa-apa. Mengapa? Karena sesungguhnya dirinya bukan lagi menjadi istri almarhum saat suaminya wafat. Mantan istri tidak pernah berhak atas warisan suaminya.

2. Suami

Suami adalah laki-laki yang menikah dengan almarhum dan masih berstatus sebagai suami ketika almarhumah istrinya wafat.

2.1. Tidak Menghijab

Seorang suami yang ditinggal mati istrinya, posisinya tidak akan menghijab siapa pun dari para ahli waris istrinya.

2.2. Tidak Terhijab

Demikian juga sebagai suami, tidak akan terhijab oleh siapa pun dalam arti hijab hirman (yang mengharamkan dari menerima

177

Page 173: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

warisan). Kecuali bila disebut hijab dalam kasus seorang suami akan berkurang bagiannya lantaran almarhumah istrinya punya fara' waris seperti anak atau cucu. Hijab ini disebut dengan hijab nuQShan.

2.3. Cara Mendapatkan Warisan

Seorang suami adalah termasuk bagain dari ashabul furudh. Besar bagian yang diterimanya sudah ditetapkan dan tidak bergantung kepada sisa dari orang lain. Allah SWT sudah menetapkan hak warisan buat suami yaitu dalam firman-Nya :

ف ولكم ا نص@@ رك م@@ م إن أزواجكم ت@@ يكن لهن ب@@ع فلكم ولد لهن كان فإن ولد ل ا الر~ مم@@

ة بعد من تركن دين أو بها يوصين وصيDan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (QS. An-Nisa :12)

Maka ada dua kemungkinan bagi suami untuk mendapatkan harta warisan dari almarhumah istrinya :

Mendapat 1/2 (50%) atau separuh dari total harta yang dimiliki istri, apabila istri

178

Page 174: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

tidak punya fara' waris. Seperti anak laki, anak perempuan, atau cucu laki atau perempuan dari anak laki-laki.

Mendapat 1/4 (25%) dari total harta yang dimiliki istri, apabila istri tidak punya fara' waris seperti yang disebut di atas.

3. Anak Laki

Anak laki-laki punya kedudukan yang sangat istimewa dalam masalah warisan dari orang tuanya. Sebab keberadaannya mengakibatkan bahwa para ahli waris lain jadi termahjub.

3.1. Menghijab Banyak Orang

Karena begitu banyaknya orang-orang yang terhijab oleh anak laki-laki, dimana jumlahnya sampai 13 orang, maka untuk memudahkan mengingat siapa saja yang terhijab, kita bagi berdasarkan kelompok. Kita sebut saja kelompok saudara, kelompok keponakan, kelompok paman, kelompok sepupu dan kelompok cucu.

a. 6 Orang Kelompok Saudara (kakak atau adik)

Ada 6 saudara yang akan kehilangan haknya, baik kakak maupun adik, mendapatkan warisan, bila almarhum punya anak laki-laki. Mereka adalah :

179

Page 175: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Saudara laki-laki seayah dan seibu dengan almarhum : akh syaqiq (أخ شقيق)

Saudari perempuan seayah dan seibu dengan almarhum : ukht syaqiqah ( أخت (شقيقة

Saudara laki-laki seayah tapi tidak seibu dengan almarhum : akh li ab (أخ ألب)

Saudari perempuan seayah tapi tidak seibu dengan almarhum : ukht li ab ( بألأخت )

Jalur saudara mereka adalah saudara seayah seibu atau hanya seayah. Sedangkan yang dari jalur saudara seibu saja tapi tidak seayah adalah :

Saudara laki-laki dan perempuan yang seibu tidak seayah dengan almarhum :

akh li um )أخت ألم / أخ (

b. 2 Orang Keponakan

Keponakan adalah anak dari saudara, tapi yang termasuk ke dalam ahli waris hanyalah anak laki-laki dari saudara laki-laki. Keponakan yang dari jalur saudara perempuan, tidak termasuk ahli waris. Demikian juga keponakan perempuan, meski anak dari saudara laki-laki, tidak termasuk ahli waris.

Anak laki-laki dari saudara laki-laki, dimana saudara laki-laki itu seayah dan seibu dengan almarhum. Disebut juga ( ابن أخ (شقيق

Anak laki-laki dari saudara laki-laki, dimana saudara laki-laki itu hanya seayah dengan

180

Page 176: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

almarhum, tapi tidak seibu. Disebut juga ( (ابن أخ ألبSedangkan anak dari saudara perempuan

almarhum, baik yang seayah seibu atau pun yang seayah saja, keduanya bukan termasuk ahli waris.

c. 2 Orang Paman

 Yang dimaksud dengan paman disini adalah saudara laki-laki ayah, bukan saudara laki-laki ibu. Saudara laki-laki ibu bukan termasuk ahli waris. Saudara laki-laki ayah termasuk ahli waris, namun posisinya terhijab bila almarhum punya anak laki-laki. Ada dua jenis paman dalam hal ini, yaitu :

Saudara laki-laki ayah alamrhum yang hubungan mereka adalah seayah dan seibu. Kalau dipandang dari anak laki-laki almarhum, dia adalah saudara laki-laki kakek. Disebut juga dengan (عم شقيق)

Saudara laki-laki ayah alamrhum yang hubungan mereka adalah seayah saja tapi tidak seibu. Sama dengan di atas, kalau dipandang dari anak laki-laki almarhum, dia adalah saudara laki-laki kakek. Disebut juga dengan ( ألب عم )

d. 2 Orang Sepupu

Yang dimaksud dengan sepupu disini adalah anak-anak paman yang disebutkan di

181

Page 177: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

atas. Mereka anak laki-laki dari saudara laki-lakinya ayah yang almarhum. Dan juga ada dua jenis, yaitu :

Anak laki-laki paman yang mana paman itu dengan ayah almarhum saudara seayah dan seibu. Disebut juga (ابن عم شقيق)

Anak laki-laki paman yang mana paman itu dengan ayah almarhum saudara seayah tapi tidak seibu. Disebut juga (ابن عم ألب)

e. 2 Orang Cucu

Cucu yang mendapat warisan adalah anak dari anak laki-laki. Sedangkan anak dari anak perempuan bukan termasuk ahli waris. Keberadaan cucu akan terhijab apabila almarhum punya anak laki-laki. Baik anak laki-laki itu ayah dari cucu itu, atau pun sebagai paman dari cucu itu.

Anak laki-laki sebagai paman bisa diilustrasikan sebagai berikut :

Seseorang, sebut saja namanya Abdullah yang punya harta cukup banyak. Beliau punya dua orang anak laki-laki, katakan saja Ahmad dan Hasan yang sudah berkeluarga. Ahmad sudah punya anak dan Hasan juga sudah punya anak. Namun Ahmad kemudian wafat meninggalkan anak-anaknya.

Beberapa saat kemudian, Abdullah wafat. Dalam hal ini almarhum Abdullah wafat meninggalkan anak laki-laki yaitu Hasan dan

182

Page 178: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

juga cucu yaitu anak-anak Ahmad dan anak-anak Hasan. Keberadaan anak laki-laki menghijab cucu, baik cucu itu anak dari Ahmad maupun anak dari Hasan. Sehingga para cucu itu tidak mendapatkan warisan.

Yang kasihan adalah anak-anak Ahmad, sebab mereka tidak dapat warisan dari kakek mereka, lantaran mereka punya paman yaitu Hasan sebagai anak laki-laki dari almarhum. Kalau anak-anak Hasan, meski mereka tidak mendapat warisan, tetapi orang tua mereka yaitu Hasan sudah dapat warisan.

Dalam kasus ini, di beberapa negara Islam diterapkan washiyat wajibah, agar anak-anak Ahmad bisa tetap mendapatkan harta, meski bukan lewat warisan tapi lewat washiyat dari kakek mereka.

3.2. Tidah Dihijab oleh Siapa Pun

Anak laki-laki almarhum tidak akan dihijab oleh siapa pun juga. Sebab dia termasuk ahli waris yang punya hubungan langsung dengan almarhum, seperti juga dengan ayah almarhum, ibu almarhum, atau istri almarhum, yang mana mereka semua pasti tidak akan dihijab oleh siapa pun.

3.3. Cara Mendapat Waris

Anak laki-laki almarhum baik sendiri, dua orang atau lebih mendapat warisan dari ayahnya dengan cara ashabah. Yaitu sisa

183

Page 179: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

harta yang telah sebelumnya diberikan kepada para ashabul furudh. Sehingga anak laki-laki punya kesempatan mendapat harta warisan lebih banyak, atau sebaliknya bisa juga mendapat lebih sedikit. Semua tergantung dari seberapa banyak jumlah yang diambil oleh para ashabul furudh.

4. Anak Perempuan

4.1. Menghijab

Anak perempuan almarhum menghijab beberapa orang, antara lain :

Cucu almarhum yang perempuan, yaitu anak perempuan dari saudara laki-lakinya yang sudah wafat sebelumnya. Apabila jumlah anak perempuan dua orang atau lebih dan mereka tidak punya saudara laki-laki. Artinya, almarhum hanya meninggalkan anak-anak perempuan saja yang bukan anak tunggal. Minimal jumlahnya 2 orang. Sedangkan cucu yang laki-laki tidak terhijab oleh keberadaannya. Sedangkan cucu almarhum yang merupakan anaknya sendiri, memang bukan termasuk ahli waris.

Saudara almarhum yang seibu tapi tidak seayah, baik saudara itu laki-laki maupun perempuan.

4.2. Tidak Terhijab Oleh Siapa Pun

184

Page 180: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Posisi anak perempuan sama saja dengan anak laki-laki, dimana mereka tidak akan terhijab oleh siapa pun, karena punya hubungan langsung dengan almarhum.

4.3. Cara Menerima Warisan

Allah SWT telah menjelaskan di dalam Al-quran tentang pembagian warisan untuk anak perempuan.

ه يوصيكم z@@ظ مث@@ل لل@@ذكر أوالدكم في الل ح@@ ثلث@@ا فلهن اثنتين فوق نساء كن فإن األنثيين

صف فلها واحدة| كانت وإن ترك ما النAllah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta.(QS. An-Nisa : 11)

Ada tiga kemungkinan bagi anak perempuan

 Bila anak perempuan itu anak tunggal, tidak punya saudara baik laki-laki maupun perempuan, maka dia akan menerima warisan secara fardh yang besarnya 1/2 bagian dari seluruh total harta warisan.

185

Page 181: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Atau sebesar 50% dari semua harta almarhum ayahnya.

Bila anak perempuan itu dua orang atau lebih sementara mereka tidak punya satu pun saudara laki-laki, artinya almarhum ayah mereka tidak punya anak laki-laki, kecuali hanya mereka, maka mereka akan mewarisi dengan cara fardh yaitu sebesar 2/3 bagian dari seluruh harta yang ditinggalkan almarhum. Maksud dari 2/3 itu adalah nilai totalnya, bukan masing-masing mendapat 2/3. Kalau jumlah mereka ada 2 orang, maka 2/3 itu dibagi dua, kalau mereka ada 3 orang, maka 2/3 itu dibagi tiga dan begitu seterusnya.

Bila anak perempuan baik satu orang saja atau lebih memiliki saudara laki-laki, maka mereka mewarisi harta ayah dengan cara ashabah bersama-sama dengan anak laki-laki. Untuk itu yang diterima tiap anak perempuan separuh dari yang diterima anak laki-laki. Atau dengan kata lain, tiap anak laki almarhum akan menerima harta yang besarnya dua kali lipat dari yang diterima anak perempuan. Sebagai contoh bila seseorang wafat meninggalkan satu anak laki dan dua anak perempuan, maka harta itu dibagi 4 bagian sama besar. Dua bagian untuk anak laki-laki, satu bagian untuk anak 

186

Page 182: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

perempuan pertama dan satu bagian untuk anak perempuan kedua. Sebenarnya kasus yang paling sering

terjadi dalam masalah waris sebatas hanya pada mereka ini saja, yaitu untuk istri dan anak-anak saja. Baik anak laki-laki atau anak perempuan. Sedangkan para ahli waris selebihnya biasanya sudah tidak ada (wafat) atau terhijab oleh adanya anak laki-laki)

Sebenarnya sangat jarang sekali terjadi dimana seorang wafat namun ayahnya masih hidup. Kalau pun ada orang yang meninggal masih muda dan ayahnya masih hidup, biasanya mereka belum mapan dan tidak punya harta yang besar, sehingga perlu dibagi waris.

Namun bukan berarti hal ini tidak pernah ada sama sekali. Berapa banyak orang yang mati muda, tapi lumayan kaya, sementara kedua orang tuanya masih hidup. Kedua orang tua ini tentu termasuk ahli waris almarhum, dimana mereka punya hak tertentu atas harta yang ditinggalkan oleh anak mereka.

5. Ayah

Seorang ayah yang ditinggal meninggal oleh anaknya, baik anak itu laki-laki atau perempuan, punya hak atas harta anaknya. Demikian juga dalam hal menghijab, seorang ayah bisa menghijab beberapa orang.

187

Page 183: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

5.1. Menghijab

Bila almarhum meninggal dan ayahnya masih hidup, maka ayah ini akan menghijab beberapa orang, yaitu :a. Orang tua ayah

Kakek almarhum, yaitu ayahnya sendiri. ( (أب أب

Nenek almarhum, yaitu ibunya sendiri (أم (أب

b. Saudara almarhum dengan beberapa jenis variasinya

Saudara laki-laki almarhum yang seayah dan seibu (أخ شقيق)

Saudara perempuan almarhum yang seayah dan seibu (أخت شقيقة)

Saudara laki-laki almarhum yang seayah saja tapi tidak seibu (أخ ألب)

Saudara perempuan almarhum yang seayah saja tapi tidak seibu (أخت ألب)

Saudara laki-laki almarhum yang seibu saja tapi tidak seayah (أخ ألم)

Saudara perempuan almarhum yang seibu saja tapi tidak seayah (أخت ألم)

c. Paman

Saudara laki-laki ayah yang hubungannya seayah dan seibu dengan ayah. (عم شقيق)

Saudara laki-laki ayah yang hubungannya seayah saja tapi tidak seibu dengan ayah. (عم ألب)

d. Keponakan

188

Page 184: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah yang hubungannya seayah dan seibu dengan ayah. (ابن عم شقيق)

Anak laki-laki dari Saudara laki-laki ayah yang hubungannya seayah saja tapi tidak seibu dengan ayah. (ابن عم ألب)

5.2. Tidak Terhijab Oleh Siapa pun

Ayah alamrhum karena posisinya yang langsung, maka dia tidak terhijab oleh adanya siapa pun.

5.3. Cara Mendapatkan Warisan

Allah SWT telah memberikan penjelasana di dalam Al-Quran tentang pembagian warisan untuk ayah :

ا الس~دس منهما واحد لكل وألبويه ت@@رك مم@@ولد له كان إن

...Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak...(QS. An-Nisa' : 11)

Ayah almarhum akan mendapatkan warisan dari anaknya yang wafat dengan salah satu dari tiga bentuk :

Apabila almarhum ketika wafat punya anak laki-laki, atau punya cucu laki-laki, maka dia akan mendapat bagian 1/6 dari total harta yang diwariskan.

189

Page 185: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Apabila almarhum tidak punya anak laki-laki tapi hanya anak perepmuan atau cucu perempuan dari anak laki, maka dia akan mendapat dengan dua cara. Pertama, dia mendapat warisan secara fardh, yaitu 1/6. Kedua, dia juga mendapat ashabah (sisa dari para ashabul fardh).

Apabila almarhum tidak punya anak laki-laki dan juga tidak punya anak perempuan, maka dia akan mewarisi harta anaknya dengan cara ashabah bi nafsihi. Tentu saja setelah harta itu dikurangi atau diambil oleh ashabul furudh bila ada.

 6. Ibu

Yang dimaksud dengan ibu dalam hal ini adalah wanita yang melahirkan almarhum. Seorang ibu yang kematian anaknya, akan mendapatkan warisan serta akan menghijab, namun tidak akan terhijab oleh siapa pun. Allah SWT telah menetapkan masalah ibu dalam Al-Quran bersama dengan ayah :

ا الس~دس منهما واحد لكل وألبويه ت@@رك مم@@إن ولد له كان إن م ف@@ ه يكن ل وورث@@ه ول@@د ل@@

~لث فألمه أبواه الث...Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta

190

Page 186: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga...(QS. An-Nisa' : 11)

6.1. Menghijab

Seorang ibu yang kematian anaknya akan menghijab ayahnya sendiri, atau dengan kata lain bahwa kakek/nenek almarhum dari pihak ibu akan terhijab.

6.2. Terhijab

Seorang ibu yang kematian anaknya tidak akan terhijab oleh siapa pun. Kecuali yang diistilahkan dengan hijab nuQShan, dimana seharusnya mendapat 1/3 menjadi 1/6.

6.3. Cara Mendapatkan Waris

Mendapat 1/6 dari total harta almarhum, apabila almarhum anaknya wafat dengan meninggalkan fara' waris, baik anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki atau perempuan lewat jalur anak laki.

Mendapat 1/3 dari total harta almarhum, apabila almarhum anaknya wafat tanpa menginggalkan fara' waris seperti di atas, atau tidak punya saudara atau saudari.

Mendapat 1/3  (tsulutsul baqi) dari dari sisa harta setelah sebelumnya diambil oleh ashabul furudh, bukan 1/3 dari total

191

Page 187: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

harta warisan. Yaitu apabila ahli waris almarhum hanya tiga orang saja : istri, ayah dan ibu. Atau apabila ahli waris hanya terbatas pada suami, ayah dan ibu. Masalah ini disebut juga dengan masalah Umariyatain, karena merupakan dua kasus yang diputuskan oleh Umar bin al-Khattab ra. Atau disebut juga dengan masalah Gharrawain. Khusus dalam masalah yang ketiga, ada

dua kasus yang mungkin terjadi :

Pertama, almarhum yang meninggal laki-laki dan hanya punya tiga ahli waris yaitu istri, ayah dan ibu. Maka dalam hal ini istri mendapat 1/4 karena almarhum tidak punya fara' waris, ibu mendapat 1/3 dari sisanya yaitu 1/3 dari 3/4 = 3/12 atau sama dengan 1/4, dan ayah mendapat sisanya yaitu 2/4 atau 1/2 dari total harta yang diwariskan.

Kedua, yang meninggal perempuan dan almarhum hanya punya tiga ahli waris yaitu suami, ibu dan ayah. Maka dalam hal ini suami mendapat 1/2 bagian karena almarhumah tidak punya fara' waris, ibu mendapat 1/3 dari sisanya. Sisanya adalah 1/2, sehingga bagian ibu adalah 1/3 x 1/2 = 1/6. Dan sisa paling akhir menjadi hak ayah yang mewarisi secara ashabah, yang besarnya adalah 1 - ( 1/2 + 1/6  ) = 1 - (3/6 + 1/6) = 1 - 4/6 = 2/6. Atau sama dengan 1/3 bagian dari total harta yang diwariskan.

192

Page 188: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

7. Kakek

Kakek yang dimaksud disini adalah ayahnya ayah. Disebut juga dengan Al-Jaddu Ash-Shahih. Sedangkan kakek yang merupakan ayah dari ibu disebut Al-Jaddu Ghairu Shaih.

7.1. Menghijab

Ayahnya ayah bila ada dan masih hidup akan menghijab beberapa orang, seperti : saudara, keponakan, paman dan sepupu. Rincinnya adalah sebagai berikut :

a. Saudara Almarhum

Saudara laki-laki almarhum yang seayah dan seibu.

Saudara perempuan almarhum yang seayah dan seibu

Saudara laki-laki almarhum yang seayah saja tapi tidak seibu.

Saudara perempuan almarhum yang seayah saja tapi tidak seibu

Saudara laki-laki almarhum yang seibu saja saja tapi tidak seayah

Saudara perempuan almarhum yang seibu saja tapi tidak seayah

b. Keponakan Almarhum

Anak laki-laki dari saudara laki-laki almarhum yang seayah dan seibu

Anak laki-laki dari saudara laki-laki almarhum yang seayah saja tapi tidak seibu

193

Page 189: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

c. Paman Almarhum

Saudara laki-laki ayah yang hubungannya seayah dan seibu

Saudara laki-laki ayah yang hubungannya seayah saja tapi tidak seibu

d. Sepupu Almarhum

Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah yang hubungannya seayah dan seibu

Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah yang hubungannya seayah saja tapi tidak seibu

7.2. Terhijab

Ayah Almarhum : Kakek almarhum tidak akan mendapat warisan alias terhijab apabila ayah almarhum masih ada. Sebab antara almarhum dengan kakek masih melewati satu orang yaitu ayah. Selama ayah masih ada, maka kakek tidak akan menerima warisan.

7.3. Cara Mendapatkan Warisan

Dalam kenyataannya hal ini sangat jarang terjadi, yaitu seorang meninggal dunia dan kakeknya yang menjadi ahli warisnya. Yang biasanya terjadi, seorang kakek meninggal dunia lalu cucunya yang menjadi ahli warisnya.

Tapi meski hal ini jarang terjadi, tetap saja mungkin terjadi. Untuk itu sebagai antisipasi

194

Page 190: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

bila ternyata kejadian ini menjadi kenyataan, kita sudah tahu jawabannya.

Intinya, posisi kakek itu pengganti dari ayah almarhum, bila sang ayah meninggal dunia. Maka cara pembagian warisan untuk kakek sama dengan pembagian warisan untuk ayah, dengan syarat ayah almarhum telah meninggal dunia. Maka sebagai ganti dari ayah, kakek akan mendapatkan warisan sebagaimana ayah.

Kakek almarhum akan mendapatkan warisan dari cucunya yang wafat dengan salah satu dari tiga bentuk :

a. Mendapat seluruh harta warisanApabila kakek menjadi ahli waris

almarhum satu-satunya yang tersisa. Artinya, almarhum tidak memiliki siapa-siapa yang menjadi ahli waris kecuali hanya kakeknya saja seorang diri.

b. Mendapat 1/6Kakek akan menerima waris sebesar 1/6

apabila terpenuhi syarat berikut :

Apabila almarhum ketika wafat tidak punya ayah.

Almarhum punya fara' waris laki-laki, yaitu anak laki-laki, atau cucu laki-laki dan seterusnya.

c. Mendapat Sisa HartaKakek akan menerima sisa harta bila

syarat-syarat berikut terpenuhi :

195

Page 191: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

ada ahli waris yang mengambil bagian mereka secara fardh.

almarhum ketika wafat tidak punya Ayah.

almarhum ketika wafat tidak punya fara' waris laki maupun perempuan, yaitu anak laki atau perempuan, cucu laki atau perempuan dan seterusnya.

Sebagai contoh, almarhum wafat meninggalkan istri dan ibu, tanpa punya keturunan. Maka istri mendapat 1/4 dan ibu mendapat 1/3. Dan kakek mendapat sisanya yaitu sebesar 5/12.

1 – (1/4+1/3) = 12/12 - (3/12+4/12) = 12/12 – 7/12 = 5/12

d. Mendapat 1/6 dan sisaKakek mendapat 1/6 ditambah sisa dari

harta yang telah dibagi kepada ahli waris lain, apabila syarat berikut terpenuhi :

ada ahli waris yang mengambil bagian mereka secara fardh.

almarhum ketika wafat tidak punya Ayah.

almarhum ketika wafat punya fara' waris perempuan saja dan tidak fara' waris laki-laki. Misalnya, anak perempuan atau cucu perempuan dan seterusnya.

196

Page 192: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Sebagai contoh, almarhum wafat meninggalkan istri dan ibu, tapi punya anak perempuan. Maka istri mendapat 1/8, ibu mendapat 1/6, anak perempuan mendapat 1/2, dan kakek mendapat 1/6. Karena masih ada sisa, maka sisanya itu juga menjadi hak kakek selain yang 1/6 tadi. Sisanya adalah 1/24 dengan hitungan sebagai berikut :

1 – (1/8 + 1/6 + 1/2 + 1/6) = 24/24 - (3/24 + 4/24 + 12/24 + 4/24) = 24/24 – 23/24 = 1/24

Maka kakek mendapat 1/6 sebagai fardh, lalu ditambah 1/24 sebagai sisa (ashabah), sehingga jumlahnya adalah 5/24.

1/6 + 1/24 = 4/24 + 1/24 = 5/24

8. Cucu

Yang dimaksud dengan cucu disini adalah anak dari anak laki-laki, baik cucu itu laki-laki maupun perempuan.

8.1. Menghijab banyak orang

a. Saudara almarhum (kakak atau adik)

Ada 6 jenis saudara baik kakak maupun adik yang kehilangan haknya mendapatkan warisan lantaran almarhum punya cucu laki-laki. Mereka adalah :

197

Page 193: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

Saudara (kakak atau adik) almarhum, laki-laki, seayah serta seibu dengan almarhum. Disebut juga dengan Akh Syaqiq (أخ شقيق)

Saudari (kakak atau adik) almarhum, perempuan, seayah dan seibu dengan almarhum. Disebut juga dengan Ukhtu Syaqiqah (أخت شقيقة)

Saudara (kakak atau adik) almarhum, laki-laki, seayah tapi tidak seibu dengan almarhum. Disebut juga dengan Akh li Ab (أخ ألب)

Saudari (kakak atau adik) almarhum, perempuan, seayah tapi tidak seibu dengan almarhum. Disebut juga dengan Ukhti li Ab ( بأأخت ل )

Saudara (kakak atau adik) almarhum, laki-laki, seayah serta seibu dengan almarhum. Disebut juga dengan Akh li Ummi (أخ ألم)

Saudara (kakak atau adik) almarhum, laki-laki, seayah serta seibu dengan almarhum. Disebut juga dengan Ukhtu li Ummi (أخت ألم)

b. Keponakan dari jalur saudara laki-laki

Termasuk yang dihijab oleh adanya anak laki-laki almarhum adalah keponakan almarhum, yaitu anak laki-laki dari saudara laki-laki alamrhum. Ada dua jenis keponakan dalam hal ini, yaitu :

198

Page 194: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Anak laki-laki dari saudara laki-laki, dimana saudara laki-laki itu seayah dan seibu dengan almarhum. Disebut juga (ابن (أخ شقيق

Anak laki-laki dari saudara laki-laki, dimana saudara laki-laki itu hanya seayah dengan almarhum, tapi tidak seibu. Disebut juga (ابن أخ ألب) Sedangkan anak dari saudara perempuan

almarhum, baik yang seayah seibu atau pun yang seayah saja, keduanya bukan termasuk ahli waris.

c. Paman

 Yang dimaksud dengan paman disini adalah saudara laki-laki ayah, bukan saudara laki-laki ibu. Saudara laki-laki ibu bukan termasuk ahli waris, sedangkan saudara laki-laki ayah termasuk ahli waris, namun posisinya terhijab bila almarhum punya anak laki-laki. Ada dua jenis paman dalam hal ini, yaitu :

Saudara laki-laki ayah alamrhum yang hubungan mereka adalah seayah dan seibu. Kalau dipandang dari anak laki-laki almarhum, dia adalah saudara laki-laki kakek. Disebut juga dengan (عم شقيق)

Saudara laki-laki ayah alamrhum yang hubungan mereka adalah seayah saja tapi tidak seibu. Sama dengan di atas, kalau dipandang dari anak laki-laki almarhum,

199

Page 195: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

dia adalah saudara laki-laki kakek. Disebut juga dengan ( ألب عم )

d. Sepupu

Yang dimaksud dengan sepupu disini adalah anak-anak paman yang disebutkan di atas. Yaitu anak laki-laki dari saudara laki-lakinya ayah yang almarhum. Dan juga ada dua jenis, yaitu :

Anak laki-laki paman yang mana paman itu dengan ayah almarhum saudara seayah dan seibu. Disebut juga ( (ابن عم شقيق Anak laki-laki paman yang mana

paman itu dengan ayah almarhum saudara seayah tapi tidak seibu. Disebut juga (ابن عم ألب)

Dihijab

Cucu laki-laki tidak pernah dihijab oleh siapa pun kecuali hanya satu orang saja, yaitu anak laki-laki dari almarhum. Anak laki-laki yg menghijab cucu laki-laki itu bisa jadi ayah si cucu mapun pamannya.

.

200

Page 196: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Bab Kesebelas

Cara Membagi Warisan

1. Langkah Pertama

Langkah paling awal adalah mengeluarkan terlebih dahulu segala hal yang tekait dari harta almarhum yang meninggal. Diantaranya :

1.1. Hutang 

Semua hutang almarhum/almarhumah harus dikeluarkan terlebih dahulu dari harta yang dimilikinya. Kecuali bila orang yang memberi hutang itu menyatakan kerelaannya atas hutang-hutang itu.

201

Page 197: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

1.2. Wasiat 

Bila almarhum/almarhumah pernah berwasiat atas harta yang dimilikinya, maka sebelum warisan dibagikan, wasiat itu harus dikeluarkan terlebih dahulu. Dengan syarat jumlahnya tidak boleh melebihi dari 1/3 dari total hartanya. Bila telah melebihi, maka hukumnya tidak boleh karena yang 2/3 itu adalah milik ahli waris.

1.3. Biaya Pengurusan Jenazah

Semua biaya untuk pengurusan jenazah, bahkan mulai dari biaya rumah sakit bila ada, hingga biaya memandikan, mengkafani, menguburkan dan lainnya, bisa diambilkan dari harta almarhum/almarhumah.

Dari langkah ini akan segera bisa didapat nilai nominal harta almarhum/almarhumah. Tentu harta itu bukan hanya uang, tetapi bisa berbentuk rumah, tanah, kendaraan atau apapun.

Namun untuk memudahkan penghitungan, biasanya dilakukan penaksiran atas semua asset beliau dalam besaran nominal. Meski benda-benda itu tidak harus langsung dijual kepada pihak lain.

2. Langkah Kedua

Langkah kedua adalah mengumpulkan semua daftar ahli waris dan memilahnya. Pengumpulan daftar ahli waris ini untuk

202

Page 198: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

memisahkan siapa saja yang berhak atas warisan dan siapa saja yang tidak mendapat hak. Paling tidak ada dua pemilahan.

2.1. Memilah

Pada langkah ini tugas kita berikutnya adalah memilah antara ahli waris yang sesungguhnya dengan yang bukan ahli waris. Boleh jadi dalam persangkaan orang, ada individu yang dianggap sebagai keluarga dan seolah dia mendapat warisan, tetapi ternyata secara daftar awal pun sudah bukan termasuk ahli waris.

Misalnya, anak tiri, ayah diri, mantan istri, mantan suami, anak angkat, ayah atau ibu angkat dan lainnya, mereka semua sesungguhnya tidak pernah terdaftar sebagai ahli waris.

Anak tiri meski sudah diperlakukan sebagai anak sendiri, tapi secara hukum syariah tidak pernah mendapatkan harta lewat warisan. Namun bila lewat jalan lain masih dimungkginkan. Misalnya lewat hibah dari almarhum sebelum wafat, atau lewat wasiat. Demikian juga istri yang sudah dicerai suami dan telah habis masa iddahnya, bila sang suami wafat, maka mantan istri itu sudah bukan lagi ahli waris.

Contoh :

Seseorang wafat meninggalkan seorang mantan istri yang telah diceraikan sebulan

203

Page 199: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

yang lalu, seorang istri yang masih sah dan seorang istri yang telah diceraikannya secara 2 tahun lalu. Siapakah diantara mereka yang dapat warisan ?

Jawaban :

Yang mendapat warisan adalah istri yang telah diceraikan sebulan yang lalu dan istri yang masih sah. Sedangkan istri yang telah diceraikan 2 tahun sebelumnya, tidak mendapat warisan. Karena hubungannya dengan mantan istri itu sudah bukan istri lagi. Sedangkan yang baru diceraikan 1 bulan yang lalu mendapatkan warisan, lantaran masa iddahnya belum berakhir. Sebagaimana diketahui bahwa masa iddah seorang wanita yang diceraikan suaminya adalah 3 kali masa suci dari haidh.

2.2. Menghilangkan ahli waris yang terhijab

Meski seseorang termasuk daftar ahli waris, namun belum tentu dalam sebuah pembagian warisan dia pasti mendapat warisan. Sebab bisa jadi hubungannya dengan almarhum/almarhumah terhijab. Sehingga dia tidak boleh menerima warisan akibat adanya hijab.

 Prinsipnya, bila hubungan seorang ahli waris dengan almarhum masih melewati ahli waris lainnya, maka bila ahli waris yang yang ada diantara keduanya masih ada,

204

Page 200: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

maka ahli waris yang berada pada lapis keduanya tidak akan mendapat warisan.

Kenyataannya, hanya ada 6 orang yang tidak mungkin terhalangi, bahkan untuk memudahkan mengingatnya, kita susun saja menjadi anak, orang tua dan pasangan. Dengan rincian yaitu :

anak baik laki atau perempuan orang tua yaitu ayah dan ibu pasangan yaitu suami atau istri

Selain keenam orang di atas, mungkin terhalang dan mungkin tidak.

Contoh 1 : Seorang wafat dengan meninggalkan ayah kandung dan paman yang merupakan saudara ayah. Hubungan almarhum dengan pamannya diselingi dengan adanya ayah, maka paman tidak mendapat warisan bila ayah masih ada. Namun bila ayah tidak ada, paman mendapatkan warisan.  Posisi paman dalam hal ini sama dengan posisi kakek, seandainya ayah tidak ada sedangkan kakek masih ada, maka kakek mendapatkan warisan dari cucunya.

Contoh 2 : Saudara kandung laki-laki akan terhalang oleh adanya ayah dan keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).

Contoh 3 : Saudara laki-laki seayah akan terhalang dengan adanya saudara kandung

205

Page 201: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

laki-laki, juga terhalang oleh saudara kandung perempuan yang menjadi 'ashabah ma'al Ghair, dan terhalang dengan adanya ayah serta keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).

Contoh 4 : Saudara laki-laki dan perempuan yang seibu akan terhalangi oleh pokok (ayah, kakek, dan seterusnya) dan juga oleh cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya) baik anak laki-laki maupun anak perempuan.

Hasil atas langkah kedua ini adalah daftar orang-orang yang pasti mendapat warisan, baik sebagai ashabul furudh ataupun sebagai ashahabah.

Contoh

Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, ibu, paman, kakek, bibi, saudara laki-laki, saudara perempuan dan anak laki-laki. Siapa diantara mereka yang mendapat warisan dan siapakah yang terhijab?

Jawab :

Pada awalnya semua memang termasuk ahli waris, namun ada beberapa mereka yang termahjub karena keberadaan ahli waris lainnya. Yang memahjub anak laki-laki yang menghijab paman, keponakan, saudara laki-laki dan saudara perempuan. Kakek terhijab oleh adanya ayah. Sehingga yang

206

Page 202: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

menerima warisan hanyalah anak laki-laki, ayah, ibu saja.

3. Langkah Ketiga

Langkah ketiga adalah menentukan pokok masalah. Persoalan pokok masalah ini di kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk mengetahui pokok masalah.

Untuk apa kita mengetahui pokok masalah? Apa gunanya? Apa tujuannya?

Sebenarnya urusan ini hanya sekedar untuk menemukan nilai yang didapat oleh para ahli waris. Hal itu disebabkan Al-Quran dan As-sunnah menyebutkan bilangan pecahan untuk menetapkan bagian yang didapat oleh para ahli waris. Bilangan pecahan itu adalah setengah (1/2), sepertiga (1/3), seperempat (1/4), seperenam (1/6), seperdelapan (1/8) dan duapertiga (2/3).

Seandainya dalil-dalil itu menggunakan besaran prosentase, mungkin kita tidak perlu bicara tentang ashlul-masalah ini. Misalnya dalam kasus seorang laki-laki wafaat meninggalkan seorang seorang istri dan ayah. Isstri mendapat bagian 1/8 dan ayah 1/6, maka agak sulit buat kita untuk menghitung langsung 1/8 + 1/6.

Tapi kalau angka 1/8 dan 1/6 itu disebutkan dengan besaran prosentase,

207

Page 203: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

maka lebih mudah untuk menjumlahkannya. 1/8 sebenarnya sama dengan 12,5 % dan 1/6 sama dengan 16,66 %. Jadi jumlah keduanya adalah 12,5% + 16,66 % = 29,16 %.

Sedangkan menjumlahkan 1/8 dengan 1/6, perlu sedikit teknik untuk mendapatkan hasilnya. Dengan metode hitungan sederana sebenarnya mudah saja bagi kita untuk menjumlahkan beberapa bilangan pecahan, dimana "penyebutnya " tidak sama. Dalam bilangan pecahan kita mengenal dua istilah, yaitu pembilang dan penyebut. Dimana kedua bilangan itu ditulis dengan dipisahkan menggunakan garis miring. Pembilang adalah angka sebelum garis miring dan penyebut dalam bilangan setelah garis miring.

Contoh, bilangan setengah itu ditulis [1/2], maka bilangan 1 adalah pembilang dan bilangan 2 adalah penyebut. Demikian juga dengan [2/3], maka bilangan 2 adalah pembilang dan bilangan 3 adalah penyebut.

Secara sederhana, kita bisa menjumlahkan bilangan pecahan dengan cara menjumlahkan pembilangnya saja tanpa menjumlahkan penyebutnya, asalkan penyebutnya sama. Misalnya 1/2 + 1/2 = 2/2. Atau 2/4 + 1/4 + 1/4 = 4/4.

Namun akan sedikit bermasalah ketika kita harus menjumlahkan beberapa bilangan

208

Page 204: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

pecahan yang berbeda penyebutnya. Misalnya, 1/8 + 1/6. Berapakah jumlahnya ?.

Untuk menjumlahkannya, kita terpaksa harus menyamakan dulu penyebutnya. Caranya dengan mengganti masing-masing penyebut dengan sebuah bilangan terkecil yang habis dibagi oleh masing-masing penyebut. Kalau kita pilih bilangan 16, memang 16 itu bisa habis dibagi 8, tapi tidak bisa dibagi 6, jadi angka 16 tidak cocok.

Demikian juga bila kita pilih bilangan 12, memang 12 itu bisa habis dibagi 6, tapi tidak bisa dibagi 8. Pilihannya adalah 24, sebab 24 itu bisa habis dibagi 8 dan 6. Jadi kita sama dulu penyebut masing-masing menjadi angka 12. Lalu pembilangnya kita sesuaikan agar nilainya tetap sama.

Caranya dengan mengalikan pembilang dengan hasil bagi penyebut yang telah disamakan dengan penyebut asalnya. Lalu masing-masing pembilang yang telah disesuaikan dijumlahkan, sedangkan penyebutnya tidak perlu dijumlahkan.

 Maka bilangan 1/8 itu kita ubah penyebutnya menjadi 24. Lalu kita membagi 24 dengan 8, hasilnya adalah 3. Lalu kita kalikan 3 dengan pembilangnya yaitu 1. Hasilnya adalah 3. Maka 1/8 sama dengan 3/24.

Bilangan 1/6 itu kita ubah penyebutnya menjadi 24 juga. Lalu kita membagi 24

209

Page 205: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

dengan 6, hasilnya adalah 4. Lalu kita kalikan 4 dengan pembilangnya yaitu 1. Hasilnya adalah 4. Maka 1/6 sama dengan 4/24. Jadi hasil akhir penjumlahan itu adalah

3/24 + 4/24 = 7/24. Kalau kita perhatikan, sebenarnya 7/24 ini sama besarnya dengan 29,16 %.

Metode Yang Digunakan Dalam Kitab Klasik

Tapi yang berkembang di masa lalu bukan dengan prosentase, juga bukan dengan penyamaan pembilang dan penyebut, melainkan dengan metode pencarian ashlul-masalah. Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh angka pembagian hak setiap ahli waris tanpa melalui pemecahan yang rumit. Karena itu, para ulama ilmu faraid tidak mau menerima kecuali angka-angka yang jelas dan benar (maksudnya tanpa menyertakan angka-angka pecahan).

Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa ahli warisnya. Artinya, kita harus mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya hanya termasuk 'ashabah, atau semuanya hanya dari ashhabul furudh, atau gabungan antara 'ashabah dengan ashhabul furudh.

210

Page 206: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya dari 'ashabah, maka pokok masalahnya dihitung per kepala --jika semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka pokok masalahnya dari lima. Atau seseorang wafat meninggalkan sepuluh saudara kandung laki-laki, maka pokok masalahnya dari sepuluh.

Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka satu anak laki-laki kita hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal ini diambil dari kaidah qur'aniyah: bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Pokok masalahnya juga dihitung dari jumlah per kepala.

Misalnya, seseorang wafat dan hanya meninggalkan lima orang anak, dua laki-laki dan tiga perempuan. Maka pokok masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain, bila mayit meninggalkan lima anak perempuan dan tiga anak laki-laki, maka pokok masalahnya sebelas, dan demikian seterusnya.

Kemudian, jika ternyata ahli waris yang ada semuanya dari ashhabul furudh yang sama, berarti itulah pokok masalahnya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami dan saudara kandung perempuan. Maka pokok

211

Page 207: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

masalahnya dari dua (2). Sebab, bagian suami setengah (1/2) dan bagian saudara kandung perempuan juga setengah (1/2). Secara umum dapat dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama --misalnya masing-masing berhak mendapat seperenam (1/6)-- maka pokok masalahnya dari enam (6). Bila semuanya berhak sepertiga (1/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3). Bila semuanya seperempat (1/4) atau seperdelapan (1/8), maka pokok masalahnya dari empat atau delapan, begitu seterusnya.

Sedangkan jika para ahli waris yang ditinggalkan pewaris terdiri dari banyak bagian --yakni tidak dari satu jenis, misalnya ada yang berhak setengah, seperenam, dan sebagainya-- kita harus mengalikan dan mencampur antara beberapa kedudukan, yakni antara :

angka-angka yang mutamatsilah (sama) angka-angka yang mutadaakhilah (saling

berpadu) angka-angka yang mutabaayinah (saling

berbeda). Untuk memperjelas masalah ini, baiklah

kita simak kaidah yang telah diterapkan oleh para ulama ilmu faraid. Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah kita untuk memahami pokok masalah ketika ahli waris terdiri dari berbagai sahib fardh yang mempunyai bagian berbeda-beda.

212

Page 208: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Para ulama faraid membagi kaidah tersebut menjadi dua bagian:

Pertama: bagian setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8).

Kedua: bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).

Apabila para ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian yang pertama saja (yakni 1/2, 1/4, 1/8), berarti pokok masalahnya dari angka yang paling besar. Misalnya, bila dalam suatu keadaan, ahli warisnya dari sahib fardh setengah (1/2) dan seperempat (1/4), maka pokok masalahnya dari empat (4).

Misal lain, bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari para sahib fardh setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8) --atau hanya seperempat dengan seperdelapan-- maka pokok masalahnya dari delapan (8). Begitu juga bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari sahib fardh sepertiga (1/3) dengan seperenam (1/6) atau dua per tiga (2/3) dengan seperenam (1/6), maka pokok masalahnya dari enam (6). Sebab angka tiga merupakan bagian dari angka enam. Maka dalam hal ini hendaklah diambil angka penyebut yang terbesar.

Akan tetapi, jika dalam suatu keadaan ahli warisnya bercampur antara sahib fardh

213

Page 209: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

kelompok pertama (1/2, 1/4, dan 1/8) dengan kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6) diperlukan kaidah yang lain untuk mengetahui pokok masalahnya. Kaidah yang dimaksud seperti tersebut di bawah ini:

1. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh setengah (1/2) --yang merupakan kelompok pertama-- bercampur dengan salah satu dari kelompok kedua, atau semuanya, maka pokok masalahnya dari enam (6).

2. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperempat (1/4) yang merupakan kelompok pertama-- bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau salah satunya, maka pokok masalahnya dari dua belas (12).

3.  Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperdelapan (1/8) yang merupakan kelompok pertama-- bercampur dengan seluruh kelompok kedua, atau salah satunya, maka pokok masalahnya dari dua puluh empat (24).

Untuk lebih memperjelas kaidah tersebut, mari kita buat beberapa contoh.

Contoh : Kasus Pertama

Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara laki-laki seibu,

214

Page 210: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

ibu, dan paman kandung. Maka pembagiannya sebagai berikut:

suami mendapat setengah (1/2) saudara laki-laki seibu seperenam (1/6) ibu sepertiga (1/3) sedangkan paman sebagai 'ashabah, ia akan mendapat sisa yang ada setelah ashhabul furudh menerima bagian masing-masing. Bila tidak tersisa, maka ia tidak berhak menerima harta waris.

Dari contoh tersebut tampak ada campuran antara kelompok pertama (yakni 1/2) dengan sepertiga (1/3) dan seperenam (1/6), yang merupakan kelompok kedua. Berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh tersebut adalah enam (6).

Lihat diagram:

Pokok masalah dari enam (6)

Suami setengah (1/2) 3/6 3

Saudara laki-laki seibu seperenam (1/6)

1/6 1

Ibu sepertiga (1/3) 2/6 2

Paman kandung, sebagai 'ashabah

0

Dalam contoh ini, kebetulan harta habis dibagi untuk semua ashhabul furudh tanpa

215

Page 211: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

sisa, dengan demikian maka paman tidak mendapat apa-apa alias nol, lantaran statusnya hanya sebagai ahli waris ashabah. Namun dalam seandainya salah satu dari ashhabul furudh di atas tidak ada, misalnya tidak ada saudara laki-laki yang jatahnya (1/6), maka sisa itu menjadi milik paman sebagai ashabah.

Contoh : Kasus Kedua

Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua orang saudara laki-laki seibu, dan seorang saudara laki-laki kandung. Maka pembagiannya seperti berikut:

bagian istri seperempat (1/4) ibu seperenam (1/6) dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3) dan saudara kandung laki-laki sebagai

'ashabah.  Pada contoh ini tampak ada campuran

antara bagian seperempat (1/4) --yang termasuk kelompok pertama-- dengan seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka berdasarkan kaidah, pokok masalahnya dari dua belas (12). Angka tersebut merupakan hasil perkalian antara empat (yang merupakan bagian istri) dengan tiga (sebagai bagian kedua saudara laki-laki seibu). Tabelnya tampak berikut ini:

Pokok masalah dari dua belas (12)

216

Page 212: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

Istri seperempat (1/4)) 3/12 3

Ibu seperenam (1/6) 2/12 2

Dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3)

4/12 4

Saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah (sisanya)

3/12 3

Dalam contoh kasus kali ini, saudara kandung laki-laki sebagai ashabah beruntung, karena masih ada sisa dari para ashhabul furudh, sehingga dia mendapatkan sisanya yang masih lumayan besar, yaitu 3/12 dari total harta atau 1/4 bagian atau 25% dari seluruh harta yang dibagi waris.

Contoh : Kasus Ketiga

Seseorang kakek wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya sebagai berikut:

istri mendapat seperdelapan (1/8) anak perempuan setengah (1/2) cucu perempuan keturunan anak laki-laki

mendapat seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3)

bagian ibu seperenam (1/6) Sedangkan saudara kandung laki-laki

sebagai 'ashabah, karenanya ia mendapat

217

Page 213: Fiqih Mawaris

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc

sisa harta waris bila ternyata masih tersisa.  Pada contoh ini tampak ada percampuran

antara seperdelapan (1/8) sebagai kelompok pertama dengan seperenam (1/6) sebagai kelompok kedua. Maka berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh ini dari dua pulah empat (24). Berikut ini tabelnya:

Pokok masalah dari 24

Bagian istri seperdelapan (1/8) 3/24 3

Bagian anak perempuan setengah (1/2)

12/24

12

Cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam (1/6)

4/24 4

Bagian ibu seperenam (1/6) 4/24 4

Saudara kandung laki-laki, sebagai 'ashabah (sisa)

1/24 1

Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok masalah timbul sebagai hasil perkalian antara setengah dari enam (yakni 3) dengan delapan (6 : 2 x 8 = 24). Atau setengah dari delapan (yakni empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6 = 24). Hal seperti ini disebabkan setengah dari dua angka tersebut (yakni enam dan delapan) ada selisih, karenanya kita ambil setengah dari salah satu angka tadi, kemudian kita

218

Page 214: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

kalikan dengan angka yang lain dengan sempurna. Begitulah seterusnya.

219

Page 215: Fiqih Mawaris

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

221