fiqh qurban
TRANSCRIPT
RINGKASAN FIQIH QURBAN
Al udh-hiyyah
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kita haturkan kehadirat Allah SWT atas nikmat iman dan Islam, sehingga kita masih diberi petunjuk untuk selalu berjalan di jalan‐Nya yang benar. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan pengikut setianya hingga akhir jaman. Amien.
Ilmu merupakan hak yang sangat penting dalam beribadah, sebab syarat diterimanya ibadah adalah niat yang ikhlas dan cara yang benar, dan untuk melakukan cara yang benar dibutuhkanlah ilmu yang benar pula.
Sebentar lagi kita akan memperingati salah satu hari raya umat muslim, yaitu Iedul Adha. Banyak amalan ibadah, terutama berkaitan dengan qurban, apakah keutamannya, syarat hewan qurban, tata cara berkurban, hingga berbagai macam hal yang berkaitan dengan qurban akan dijalankan oleh umat muslim di dunia. Untuk mendapatkan ibadah yang sempurna, maka harus disertai dengan ilmu yang benar pula.
Buku kecil ini berisi ringkasan Fiqih Qurban yang diambil dari ringkasan tulisan ulama yang di‐publish di internet. Buku ini berisi berbagai macam hukum‐hukum yang berkaitan dengan qurban itu sendiri. Selain itu juga dilengkapi dengan beberapa Tanya jawab yang berkaitan dengan teknis kegiatan qurban. Buku ini cukup praktis dan komprehensif dalam menjawab berbagai permasalahan yang berkaitan dengan prosesi qurban itu sendiri.
Peringkas mengucapkan banyak terima kasih pada penulis artikel Fiqh Qurban dari muslim.or.id, Ammi Nur Baits dan rumaysho.com,
Muhammad Abdul Tuasikal atas artikel mengenai fiqih qurban yang cukup lengkap dan komprehensif. Semoga Allah SWT memberkahi ilmu yang sudah ditulis ini hingga dapat memberikan manfaat bagi yang membaca.
Ngayogyakarto Hadiningrat, 5 Dzulhijah 1429 H
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI iii FIQH QURBAN 1 MASALAH PENGGABUNGAN NIAT UDH‐HIYYAH (QURBAN) DENGAN AQIQAH
2
Point Penting dalam Penggabungan Niat 4 Jalan Keluar dari Masalah 4 Kesimpulan 5 HIKMAH DI BALIK MENYEMBELIH QURBAN 6 Raihlah Ikhlas dan Takwa dari Sembelihan Qurban 6 KEUTAMAAN QURBAN 7 HUKUM QURBAN 8 HEWAN YANG BOLEH DIGUNAKAN UNTUK QURBAN 9 Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga 10 Ketentuan Untuk Sapi & Onta 11 Arisan Qurban Kambing? 11 Qurban Kerbau? 12 Urunan Qurban Satu Sekolahan 13 Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal? 15 KETENTUAN UNTUK SAPI & ONTA 15 Umur Hewan Qurban 16 Cacat Hewan Qurban 16 Hewan yang Disukai dan Lebih Utama untuk Diqurbankan 18
iv
Manakah yang Lebih Baik, Ikut Urunan Sapi atau Qurban Satu Kambing?
18
Apakah Harus Jantan? 19 LARANGAN BAGI YANG HENDAK BERQURBAN 19 WAKTU PENYEMBELIHAN 20 TEMPAT PENYEMBELIHAN 20 PENYEMBELIH QURBAN 21 TATA CARA PENYEMBELIHAN 21 Bolehkah Mengucapkan Shalawat Ketika Menyembelih? 22 PEMANFAATAN HASIL SEMBELIHAN 22 Bolehkah Memberikan Daging Qurban Kepada Orang Kafir? 23 Larangan Memperjual‐Belikan Hasil Sembelihan 24 Larangan Mengupah Jagal Dengan Bagian Hewan Sembelihan 25
Menyembelih Satu Kambing Untuk Makan‐Makan Panitia? Atau Panitia Dapat Jatah Khusus?
26
Nasehat & Solusi Untuk Masalah Kulit 27 Hukum Transfer Uang Untuk Berqurban Di Tempat Lain 29 KEUTAMAAN TANGGAL 1 SAMPAI 10 DZUL HIJJAH 34
Bagaimana dengan Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzul Hijjah) Secara Khusus?
34
BILA ‘IED JATUH PADA HARI JUMAT 35 Kesimpulan 38
|Ringkasan Fiqih Qurban
1
FIQIH QURBAN
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang‐orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.
Sebuah ayat yang menjadi pertanda disyari’atkannya ibadah qurban adalah firman Allah Ta’ala,
وانحر لربك فصل
“Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Di antara tafsiran ayat ini adalah “berqurbanlah pada hari raya Idul Adha (yaumun nahr)”. Tafsiran ini diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu ‘Abbas, juga menjadi pendapat ‘Atho’, Mujahid dan jumhur (mayoritas) ulama1.
Penyembelihan qurban ketika hari raya Idul Adha disebut dengan al udh‐hiyah, sesuai dengan waktu pelaksanaan ibadah tersebut.2 Sehingga makna al udh‐hiyyah menurut istilah syar’i adalah hewan yang disembelih dalam rangka mendekatkan diri pada Allah Ta’ala, dilaksanakan pada hari an nahr (Idul Adha) dengan syarat‐syarat tertentu.3
Dari definisi ini, maka yang tidak termasuk dalam al udh‐hiyyah adalah hewan yang disembelih bukan dalam rangka taqorrub pada Allah (seperti untuk dimakan, dijual, atau untuk menjamu tamu). Begitu pula yang tidak termasuk al udh‐hiyyah adalah hewan yang disembelih di luar hari tasyriq walaupun dalam rangka taqarrub pada Allah. Begitu pula yang
1 Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 6/195, Mawqi’ At Tafaasir. 2 Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 2/366, Maktabah At Taufiqiyyah, cetakan tahun 2003 3 Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1525, Multaqo Ahlul Hadits.
Ringkasan Fiqih Qurban|
2
tidak termasuk al udh‐hiyyah adalah hewan untuk aqiqah dan al hadyu yang disembelih di Mekkah.4
Catatan: Aqiqah adalah hewan yang disembelih dalam rangka mensyukuri nikmat kelahiran anak yang diberikan oleh Allah Ta’ala, baik anak laki‐laki maupun perempuan. Sehingga aqiqah berbeda dengan al udh‐hiyyah karena al udh‐hiyyah dilaksanakan dalam rangka mensyukuri nikmat kehidupan, bukan syukur atas nikmat kelahiran si buah hati. Oleh karena itu, jika seorang anak dilahirkan ketika Idul Adha, lalu diadakan penyembelihan dalam rangka bersyukur atas nikmat kelahiran tersebut, maka sembelihan ini disebut dengan sembelihan aqiqah dan bukan al udh‐hiyyah.5
MASALAH PENGGABUNGAN NIAT UDH‐HIYYAH (QURBAN) DENGAN AQIQAH
Mengenai permasalahan menggabungkan niat udh‐hiyah (qurban) dan aqiqah, para ulama memiliki beda pendapat.
Pendapat pertama: Udh‐hiyah (qurban) tidak boleh digabungkan dengan aqiqah. Pendapat ini adalah pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
Alasan dari pendapat pertama ini karena aqiqah dan qurban memiliki sebab dan maksud tersendiri yang tidak bisa menggantikan satu dan lainnya. ‘Aqiqah dilaksanakan dalam rangka mensyukuri nikmat kelahiran seorang anak, sedangkan qurban mensyukuri nikmat hidup dan dilaksanakan pada hari An Nahr (Idul Adha).6
Al Haitami –salah seorang ulama Syafi’iyah‐ mengatakan, “Seandainya seseorang berniat satu kambing untuk qurban dan ‘aqiqah sekaligus
4 Ibid 5 Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1526. 6 Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1526, Multaqo Ahlul Hadits.
|Ringkasan Fiqih Qurban
3
maka keduanya sama‐sama tidak teranggap. Inilah yang lebih tepat karena maksud dari qurban dan ‘aqiqah itu berbeda.”7
Ibnu Hajar Al Haitami Al Makkiy dalam Fatawa Kubronya menjelaskan, “Sebagaimana pendapat ulama madzhab kami sejak beberapa tahun silam, tidak boleh menggabungkan niat aqiqah dan qurban. Alasannya, karena yang dimaksudkan dalam qurban dan aqiqah adalah dzatnya (sehingga tidak bisa digabungkan dengan lainnya, pen). Begitu pula keduanya memiliki sebab dan maksud masing‐masing. Udh‐hiyah (qurban) sebagai tebusan untuk diri sendiri, sedangkan aqiqah sebagai tebusan untuk anak yang diharap dapat tumbuh menjadi anak sholih dan berbakti, juga aqiqah dilaksanakan untuk mendoakannya.”8
Pendapat kedua: Penggabungan qurban dan ‘aqiqah itu dibolehkan. Menurut pendapat ini, boleh melaksanakan qurban sekaligus dengan niat ‘aqiqah atau sebaliknya. Inilah salah satu pendapat dari Imam Ahmad, pendapat ulama Hanafiyah, pendapat Al Hasan Al Bashri, Muhammad bin Sirin dan Qotadah.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Jika seorang anak ingin disyukuri dengan qurban, maka qurban tersebut bisa jadi satu dengan ‘aqiqah.” Hisyam dan Ibnu Sirin mengatakan, “Tetap dianggap sah jika qurban digabungkan dengan ‘aqiqah.”9
Al Bahuti –seorang ulama Hambali‐ mengatakan, “Jika waktu aqiqah dan penyembelihan qurban bertepatan dengan waktu pelaksanaan qurban, yaitu hari ketujuh kelahiran atau lainnya bertepatan dengan hari Idul Adha, maka boleh melakukan aqiqah sekaligus dengan niat qurban atau melakukan qurban sekaligus dengan niat aqiqah. Sebagaimana jika hari
7 Tuhfatul Muhtaj Syarh Al Minhaj, 41/172, Mawqi’ Al Islam. 8 Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubro, 9/420, Mawqi’ Al Islam 9 Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 5/116, Maktabah Ar Rusyd, cetakan pertama, tahun 1409 H.
Ringkasan Fiqih Qurban|
4
‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, kita melaksanakan mandi jum’at sekaligus dengan niat mandi ‘ied atau sebaliknya.”10
Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah. Beliau mengatakan, “Jika qurban dan ‘aqiqah digabungkan, maka cukup dengan satu sembelihan untuk satu rumah. Jadi, diniatkan qurban untuk dirinya, lalu qurban itu juga diniatkan untuk ‘aqiqah.
Sebagian mereka yang berpendapat demikian, ada yang memberi syarat bahwa aqiqah dan qurban itu diatasnamakan si kecil. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa tidak disyaratkan demikian. Jika seorang ayah berniat untuk berqurban, maka dia juga langsung boleh niatkan aqiqah untuk anaknya.”11 Intinya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim membolehkan jika qurban diniatkan sekaligus dengan aqiqah.
Point Penting dalam Penggabungan Niat
Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa penggabungan niat diperbolehkan jika memang memenuhi dua syarat:
1. Kesamaan jenis. 2. Ibadah tersebut bukan ibadah yang berdiri sendiri, artinya ia bisa
diwakili oleh ibadah sejenis lainnya.
Kami contohkan di sini, bolehnya penggabungan niat shalat tahiyatul masjid dengan shalat sunnah rawatib. Dua shalat ini jenisnya sama yaitu sama‐sama shalat sunnah. Mengenai shalat tahiyatul masjid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا دخل أحدآم المسجد فلا يجلس حتى يصلي رآعتين
10 Syarh Muntahal Irodaat, 4/146, Mawqi’ Al Islam. 11 Fatawa wa Rasa-il Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/136, Asy Syamilah
|Ringkasan Fiqih Qurban
5
“Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid, maka janganlah dia duduk sampai dia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (shalat sunnah tahiyatul masjid).” (HR. Bukhari no. 1163 dan Muslim no. 714, dari Abu Qotadah.) Maksud hadits ini yang penting mengerjakan shalat sunnah dua raka’at ketika memasuki masjid, bisa diwakili dengan shalat sunnah wudhu atau dengan shalat sunnah rawatib. Shalat tahiyatul masjid bukan dimaksudkan dzatnya. Asalkan seseorang mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (apa saja shalat sunnah tersebut) ketika memasuki masjid, ia berarti telah melaksanakan perintah dalam hadits di atas.
Namun untuk kasus aqiqah dan qurban berbeda dengan shalat sunnah awatib dan shalat sunnah tahiyatul masjid. Qurban dan aqiqah memang sama‐sama sejenis yaitu sama‐sama daging sembelihan. Namun keduanya adalah ibadah yang berdiri sendiri dan tidak bisa digabungkan dengan lainnya. Qurban untuk tebusan diri sendiri, sedangkan aqiqah adalah tebusan untuk anak. Lihat kembali penjelasan Ibnu Hajar Al Makki di atas.
Jalan Keluar dari Masalah
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin pernah ditanya mengenai hukum menggabungkan niat udh‐hiyah (qurban) dan ‘aqiqah, jika Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak?
Syaikh rahimahullah menjawab, “Sebagian ulama berpendapat, jika hari Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak, kemudian dilaksanakan udh‐hiyah (qurban), maka tidak perlu lagi melaksanakan aqiqah (artinya qurban sudah jadi satu dengan aqiqah, pen). Sebagaimana pula jika seseorang masuk masjid dan langsung melaksanakan shalat fardhu, maka tidak perlu lagi ia melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Alasannya, karena dua ibadah tersebut adalah ibadah sejenis dan keduanya bertemu dalam waktu yang sama. Maka satu ibadah sudah mencakup ibadah lainnya.
Ringkasan Fiqih Qurban|
6
Akan tetapi, saya sendiri berpandangan bahwa jika Allah memberi kecukupan rizki, (ketika Idul Adha bertepatan dengan hari aqiqah), maka hendaklah ia berqurban dengan satu kambing, ditambah beraqiqah dengan satu kambing (jika anaknya perempuan) atau beraqiqah dengan dua kambing (jika anaknya laki‐laki).”12
Kesimpulan
1. Dari dua pendapat di atas, kami lebih condong pada pendapat pertama yang menyatakan bahwa penggabungan niat antara aqiqah dan qurban tidak diperbolehkan, karena walaupun ibadahnya itu sejenis namun maksud aqiqah dan qurban adalah dzatnya sehingga tidak bisa digabungkan dengan yang lainnya. Pendapat pertama juga lebih hati‐hati dan lebih selamat dari perselisihan yang ada.
2. Jika memang aqiqah bertepatan dengan qurban pada Idul Adha, maka sebaiknya dipisah antara aqiqah dan qurban.
3. Jika mampu ketika itu, laksanakanlah kedua‐duanya. Artinya laksanakan qurban dengan satu kambing atau ikut urunan sapi, sekaligus laksanakan aqiqah dengan dua kambing (bagi anak laki‐laki) atau satu kambing (bagi anak perempuan).
4. Jika tidak mampu melaksanakan aqiqah dan qurban sekaligus, maka yang lebih didahulukan adalah ibadah udh‐hiyah (qurban) karena waktunya bertepatan dengan hari qurban dan waktunya cukup sempit. Jika ada kelapangan rizki lagi, barulah ditunaikan aqiqah.
HIKMAH DI BALIK MENYEMBELIH QURBAN
12 Majmu’ Fatawa wa Rosail Al ‘Utsaimin, 25/287-288, Darul Wathon-Dar Ats Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H.
|Ringkasan Fiqih Qurban
7
Pertama: Bersyukur kepada Allah atas nikmat hayat (kehidupan) yang diberikan.
Kedua: Menghidupkan ajaran Nabi Ibrahim –khlilullah (kekasih Allah)‐ ‘alaihis salaam yang ketika itu Allah memerintahkan beliau untuk menyembelih anak tercintanya sebagai tebusan yaitu Ismail ‘alaihis salaam ketika hari an nahr (Idul Adha).
Ketiga: Agar setiap mukmin mengingat kesabaran Nabi Ibrahim dan Isma’il ‘alaihimas salaam, yang ini membuahkan ketaatan pada Allah dan kecintaan pada‐Nya lebih dari diri sendiri dan anak. Pengorbanan seperti inilah yang menyebabkan lepasnya cobaan sehingga Isma’il pun berubah menjadi seekor domba. Jika setiap mukmin mengingat kisah ini, seharusnya mereka mencontoh dalam bersabar ketika melakukan ketaatan pada Allah dan seharusnya mereka mendahulukan kecintaan Allah dari hawa nafsu dan syahwatnya.13
Keempat: Ibadah qurban lebih baik daripada bersedekah dengan uang yang semisal dengan hewan qurban.14
Raihlah Ikhlas dan Takwa dari Sembelihan Qurban
Menyembelih qurban adalah suatu ibadah yang mulia dan bentuk pendekatan diri pada Allah, bahkan seringkali ibadah qurban digandengkan dengan ibadah shalat. Allah Ta’ala berfirman,
فصل لربك وانحر
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah.” (QS. Al Kautsar: 2)
تي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمينقل إن صلا
13 Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1528 14 Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/379
Ringkasan Fiqih Qurban|
8
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, nusuk‐ku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” (QS. Al An’am: 162). Di antara tafsiran an nusuk adalah sembelihan, sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abbas, Sa’id bin Jubair, Mujahid dan Ibnu Qutaibah. Az Zajaj mengatakan bahwa bahwa makna an nusuk adalah segala sesuatu yang mendekatkan diri pada Allah ‘azza wa jalla, namun umumnya digunakan untuk sembelihan.15
Ketahuilah, yang ingin dicapai dari ibadah qurban adalah keikhlasan dan ketakwaan, dan bukan hanya daging atau darahnya. Allah Ta’ala berfirman,
لن ينال الله لحومها ولا دماؤها ولكن يناله التقوى منكم
“Daging‐daging unta dan darahnya itu sekali‐kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al Hajj: 37)
Ingatlah, bukanlah yang dimaksudkan hanyalah menyembelih saja dan yang Allah harap bukanlah daging dan darah qurban tersebut karena Allah tidaklah butuh pada segala sesuatu dan dialah yang pantas diagung‐agungkan. Yang Allah harapkan dari qurban tersebut adalah keikhlasan, ihtisab (selalu mengharap‐harap pahala dari‐Nya) dan niat yang sholih. Oleh karena itu, Allah katakan (yang artinya), “ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapai ridho‐Nya”. Inilah yang seharusnya menjadi motivasi ketika seseorang berqurban yaitu ikhlas, bukan riya’ atau berbangga dengan harta yang dimiliki, dan bukan pula menjalankannya karena sudah jadi rutinitas tahunan.16
KEUTAMAAN QURBAN
15 Lihat Zaadul Masiir, 2/446. 16 Lihat penjelasan yang sangat menarik dari Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam Taisir Karimir Rahman fii Tafsiri Kalamil Mannan, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
|Ringkasan Fiqih Qurban
9
Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)
Hadis di atas didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah.17
HUKUM QURBAN
Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:
Pertama, wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…”18 Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka
17 Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’ 7/521 18 Syarhul Mumti’, III/408
Ringkasan Fiqih Qurban|
10
jangan sekali‐kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain‐lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau‐kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.”19
Dalil‐dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing‐masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing‐masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan: “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.” (Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120)
Yakinlah…! bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).
HEWAN YANG BOLEH DIGUNAKAN UNTUK QURBAN
19 Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454
|Ringkasan Fiqih Qurban
11
Hewan qurban hanya boleh dari kalangan Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak tertentu) yaitu onta, sapi atau kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan hewan‐hewan tersebut20 Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, “Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan‐hewan ternak (bahiimatul an’aam).” (QS. Al Hajj: 34) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Bahkan jika seandainya ada orang yang berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah…”21
Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga
Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266).
Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya kambing 1 untuk anak si A, kambing 2 untuk anak si B, karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.
20 Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406 21 Syarhul Mumti’, III/409
Ringkasan Fiqih Qurban|
12
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk seluruh dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih beliau mengatakan:”Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dst.
Namun seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban. Apakah harus izin terlebih dahulu kepada pemilik hewan?
Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah.
Ketentuan Untuk Sapi & Onta
Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406)
|Ringkasan Fiqih Qurban
13
Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.
Arisan Qurban Kambing?
Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibn Katsir dari Sufyan At Tsauri (Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj:36)22 Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.
Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban. Di antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net di bawah pengawasan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.”23. Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang, dan beliau jawab: “Jika di hadapkan dua permasalahan antara berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang, lebih‐lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat.”24.
22 Sufyan At Tsauri rahimahullah mengatakan: Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya: “Kamu berhutang untuk beli unta qurban?” beliau jawab: “Saya mendengar Allah berfirman: خير فيها لكم (kamu memperoleh kebaikan yang banyak pada unta-unta qurban tersebut) (QS: Al Hajj:36).” (lih. Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36). 23 Syarhul Mumti’ 7/455 24 Majmu’ Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144
Ringkasan Fiqih Qurban|
14
Namun pernyataan‐pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban dipahami untuk kasus orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau kasus hutang yang jatuh temponya masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada qurban dipahami untuk kasus orang yang kesulitan melunasi hutang atau hutang yang menuntut segera dilunasi. Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik. Wallahu a’lam.
Qurban Kerbau?
Para ulama’ menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya disikapi sebagai satu jenis (Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan kerbau, dari kalangan Syafi’iyah25 maupun dari Hanafiyah26. Mereka menganggap keduanya satu jenis.
Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.
Pertanyaan: “Kerbau dan sapi memiliki perbedaan dalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al An’am 143. Apakah boleh berqurban dengan kerbau?” Beliau menjawab: “Jika hakekat kerbau termasuk sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqur’an adalah jenis hewan
25 Hasyiyah Al Bajirami 26 Al ‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir 22/106
|Ringkasan Fiqih Qurban
15
yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab.” (Liqa’ Babil Maftuh 200/27) Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di atas maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu a’lam.
Urunan Qurban Satu Sekolahan
Terdapat satu tradisi di lembaga pendidikan di daerah kita, ketika iedul adha tiba sebagian sekolahan menggalakkan kegiatan latihan qurban bagi siswa. Masing‐masing siswa dibebani iuran sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di hari‐hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?
Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana yang digariskan oleh syari’at. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut adalah masalah pembiayaan. Sebagaimana dipahami di muka, biaya pengadaan untuk seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh karena itu kasus tradisi ‘qurban’ seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai qurban.
Pertanyaan: Tentang urunan biaya hewan qurban, ane pernah dengar kalau itu sah‐sah saja berapa pun orangnya (umpamanya satu sekolah). sebab hadits ketentuan batasan jumlah orang yang urunan adalah tentang qurban wajib bagi orang yang melaksanakan ibadah haji (dan haji hanya wajib untuk yang mampu). tentang qurban yang disembelih oleh orang yang sedang tidak berhaji tidak terdapat penjelasan yang tegas yang melarang, maka tidak boleh membatasi/mempersempit apa yang tidak dibatasi oleh Allah dan Rasul. bahkan Rasulullah pernah menyembelih hewan qurban beliau sambil berkata: ..Yaa Allah, terimalah dari Muhammad, dari keluarga Muhammad dan dari Umat Muhammad (Hadits telah disebutkan dalam makalah). ini menunjukkan bahwa satu hewan qurban
Ringkasan Fiqih Qurban|
16
boleh buat ramai‐ramai (tanpa keterangan apakan diperoleh dari kantong pribadi atau juga ramai‐ramai) Jawaban: Mungkin beberapa pertanyaan kami ajukan terlebih dahulu:
1. Dari pernyataan antum: sebab hadits ketentuan batasan jumlah orang yang urunan adalah tentang qurban wajib bagi orang yang melaksanakan ibadah haji (dan haji hanya wajib untuk yang mampu).
Akhi ‐yang semoga dirahmati oleh Allah‐ perhatikanlah bahwa zhohir (makna yang nampak jelas) dari dalil yang disampaikan oleh penulis di antaranya: Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406). Akhi dalil ini berlaku umum tidak dikatakan sedang menyembelih qurban di Makkah ketika berhaji (Al Hadyu) atau di luar Makkah (Al Udhiyyah). Sekarang adakah yang memalingkan dari makna ini? Adakah dalil yang membedakan aturan antara menyembelih qurban untuk jama’ah haji dan bukan? Jika tidak ada, kenapa bisa dibedakan ketentuan antara jama’ah haji dan bukan? NB : Setahu kami ketika kami membaca fatwa Al Lajnah Ad Da’imah, para ulama di sana mengatakan bahwa ketentuan untuk al hadyu (qurban yang disembelih jama’ah haji di Mekkah) dan yang selain jama’ah haji di luar Mekkah (dikenal dengan al udhiyah) adalah sama. Begitu pula dalam masalah urunan.
|Ringkasan Fiqih Qurban
17
2. Dari pernyataan antum : ..Yaa Allah, terimalah dari Muhammad, dari keluarga Muhammad dan dari Umat Muhammad (Hadits telah disebutkan dalam makalah). ini menunjukkan bahwa satu hewan qurban boleh buat ramai‐ramai (tanpa keterangan apakan diperoleh dari kantong pribadi atau juga ramai‐ramai)
Akhi siapakah yang biayai qurban yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas? Apakah seluruh umatnya ataukah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang mengeluarkan dana qurban? Lihat kembali pernyataan penulis di atas : Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” adalah biaya pengadaannya. Wallahu a’lam bish showab. Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal? Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
a) Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya meskipun ada yang sudah meninggal.
b) Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit27. Namun sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak ada tuntunan dari
27 Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765
Ringkasan Fiqih Qurban|
18
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
c) Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuknya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang diambil dari Risalah Udl‐hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51.
KETENTUAN UNTUK SAPI & ONTA
Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406)
Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.
Umur Hewan Qurban
Untuk onta dan sapi: Jabir meriwayatkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelihdomba jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih)
Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, dengan rincian28:
28 Shahih Fiqih Sunnah, II/371-372, Syarhul Mumti’, III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461
|Ringkasan Fiqih Qurban
19
No. Hewan Umur minimal
1. Onta 5 tahun
2. Sapi 2 tahun
3. Kambing jawa 1 tahun
4. Domba/ kambing gembel 6 bulan (domba Jadza’ah)
Cacat Hewan Qurban
Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada empat29:
1. Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya: Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama’ madzhab syafi’iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
2. Sakit dan tampak sekali sakitnya.
29 Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang cacat hewan apa yang harus dihindari ketika berqurban. Beliau menjawab: “Ada empat cacat… dan beliau berisyarat dengan tangannya.” (HR. Ahmad 4/300 & Abu Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih oleh Turmudzi). Sebagian ulama menjelaskan bahwa isyarat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya ketika menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi jenis cacat yang terlarang. Sehingga yang bukan termasuk empat jenis cacat sebagaimana dalam hadis boleh digunakan sebagai qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/464)
Ringkasan Fiqih Qurban|
20
3. Pincang dan tampak jelas pincangnya: Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
4. Sangat tua sampai‐sampai tidak punya sumsum tulang.
Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban30.
Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada dua31 :
1. Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong 2. Tanduknya pecah atau patah
Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung32. Wallahu a’lam
Hewan yang Disukai dan Lebih Utama untuk Diqurbankan
Hendaknya hewan yang diqurbankan adalah hewan yang gemuk dan sempurna. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “…barangsiapa yang mengagungkan syi’ar‐syi’ar Allah maka sesungguhnya itu adalah berasal dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32). Berdasarkan ayat ini Imam Syafi’i rahimahullah menyatakan bahwa orang yang berqurban 30 Shahih Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti’ 3/294 31 Terdapat hadis yang menyatakan larangan berqurban dengan hewan yang memilki dua cacat, telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun hadisnya dlo’if, sehingga sebagian ulama menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/470)
32 Shahih Fiqih Sunnah, II/373
|Ringkasan Fiqih Qurban
21
disunnahkan untuk memilih hewan qurban yang besar dan gemuk. Abu Umamah bin Sahl mengatakan, “Dahulu kami di Madinah biasa memilih hewan yang gemuk dalam berqurban. Dan memang kebiasaan kaum muslimin ketika itu adalah berqurban dengan hewan yang gemuk‐gemuk.” (HR. Bukhari secara mu’allaq namun secara tegas dan dimaushulkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Mustakhraj, sanadnya hasan)
Diantara ketiga jenis hewan qurban maka menurut mayoritas ulama yang paling utama adalah berqurban dengan onta, kemudian sapi kemudian kambing, jika biaya pengadaan masing‐masing ditanggung satu orang (bukan urunan). Dalilnya adalah jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiallahu ‘anhu tentang budak yang lebih utama. Beliau bersabda, “Yaitu budak yang lebih mahal dan lebih bernilai dalam pandangan pemiliknya” (HR. Bukhari dan Muslim)33.
Manakah yang Lebih Baik, Ikut Urunan Sapi atau Qurban Satu Kambing?
Sebagian ulama menjelaskan qurban satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau onta, karena tujuh kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi34. Disamping itu, terdapat alasan lain diantaranya:
• Qurban yang sering dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh satu ekor, baik kambing, sapi, maupun onta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 onta.
• Kegiatan menyembelihnya lebih banyak. Lebih‐lebih jika hadis yang menyebutkan keutamaan qurban di atas statusnya shahih. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh penulis kitab Al Muhadzab Al Fairuz Abadzi As Syafi’i35.
33 Ibid 34 Shahih Fiqh Sunnah, 2/375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 & Syarhul Mumthi’ 7/458 35 Al Muhadzab 1/74
Ringkasan Fiqih Qurban|
22
• Terdapat sebagian ulama yang melarang urunan dalam berqurban, diantaranya adalah Mufti Negri Saudi Syaikh Muhammad bin Ibrahim36. Namun pelarangan ini didasari dengan qiyas (analogi) yang bertolak belakang dengan dalil sunnah, sehingga jelas salahnya.
Apakah Harus Jantan?
Tidak ada ketentuan jenis kelamin hewan qurban. Boleh jantan maupun betina. Dari Umu Kurzin radliallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aqiqah untuk anal laki‐laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi masalah jantan maupun betina.” (HR. Ahmad 27900 & An Nasa’i 4218 dan dishahihkan Syaikh Al Albani). Berdasarkan hadis ini, Al Fairuz Abadzi As Syafi’i mengatakan: “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika aqiqah berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk berqurban.” (Al Muhadzab 1/74)
Namun umumnya hewan jantan itu lebih baik dan lebih mahal dibandingkan hewan betina. Oleh karena itu, tidak harus hewan jantan namun diutamakan jantan.
LARANGAN BAGI YANG HENDAK BERQURBAN
Orang yang hendak berqurban dilarang memotong kuku dan memotong rambutnya (yaitu orang yang hendak qurban bukan hewan qurbannya). Dari Ummu Salamah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin berqurban maka janganlah dia menyentuh sedikitpun bagian dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim). Larangan tersebut berlaku untuk cara apapun dan untuk bagian manapun, mencakup larangan mencukur gundul atau sebagian saja, atau
36 Fatwa Lajnah 11/453
|Ringkasan Fiqih Qurban
23
sekedar mencabutinya. Baik rambut itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan maupun di ketiak37.
Apakah larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga ataukah berlaku juga untuk anggota keluarga shohibul qurban?
Jawab: Larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga (shohibul qurban) dan tidak berlaku bagi anggota keluarganya. Karena 2 alasan:
1. Dlahir hadis menunjukkan bahwa larangan ini hanya berlaku untuk yang mau berqurban.
2. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berqurban untuk dirinya dan keluarganya. Namun belum ditemukan riwayat bahwasanya beliau menyuruh anggota keluarganya untuk tidak memotong kuku maupun rambutnya. (Syarhul Mumti’ 7/529)
WAKTU PENYEMBELIHAN
Waktu penyembelihan qurban adalah pada hari Iedul Adha dan 3 hari sesudahnya (hari tasyriq). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap hari taysriq adalah (hari) untuk menyembelih (qurban).” (HR. Ahmad dan Baihaqi) Tidak ada perbedaan waktu siang ataupun malam. Baik siang maupun malam sama‐sama dibolehkan. Namun menurut Syaikh Al Utsaimin, melakukan penyembelihan di waktu siang itu lebih baik. (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 33). Para ulama sepakat bahwa penyembelihan qurban tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya fajar di hari Iedul Adha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat Ied maka sesungguhnya dia menyembelih untuk dirinya sendiri (bukan qurban). Dan barangsiapa yang menyembelih sesudah shalat itu maka qurbannya sempurna dan dia telah menepati sunnahnya kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim)38
37 Shahih Fiqih Sunnah, II/376 38 Ahkaamul Idain, 32
Ringkasan Fiqih Qurban|
24
TEMPAT PENYEMBELIHAN
Tempat yang disunnahkan untuk menyembelih adalah tanah lapangan tempat shalat ‘ied diselenggarakan. Terutama bagi imam/penguasa/tokoh masyarakat, dianjurkan untuk menyembelih qurbannya di lapangan dalam rangka memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa qurban sudah boleh dilakukan dan mengajari tata cara qurban yang baik. Ibnu ‘Umar mengatakan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyembelih kambing dan onta (qurban) di lapangan tempat shalat.” (HR. Bukhari 5552).
Dan dibolehkan untuk menyembelih qurban di tempat manapun yang disukai, baik di rumah sendiri ataupun di tempat lain39.
PENYEMBELIH QURBAN
Disunnahkan bagi shohibul qurban untuk menyembelih hewan qurbannya sendiri namun boleh diwakilkan kepada orang lain. Syaikh Ali bin Hasan mengatakan: “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam masalah ini.” Hal ini berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di dalam Shahih Muslim yang menceritakan bahwa pada saat qurban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih beberapa onta qurbannya dengan tangan beliau sendiri kemudian sisanya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu untuk disembelih40. (lih.)
TATA CARA PENYEMBELIHAN
1. Sebaiknya pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri.
2. Apabila pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut datang menyaksikan penyembelihannya.
39 Shahih Fiqih Sunnah, II/378 40 Ahkaamul Idain, 32
|Ringkasan Fiqih Qurban
25
3. Hendaknya memakai alat yang tajam untuk menyembelih. 4. Hewan yang disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan
dihadapkan ke kiblat. Kemudian pisau ditekan kuat‐kuat supaya cepat putus.
5. Ketika akan menyembelih disyari’akan membaca “Bismillaahi wallaahu akbar” ketika menyembelih. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, sedangkan menurut Imam Syafi’i hukumnya sunnah. Adapun bacaan takbir – Allahu akbar – para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:
o hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud 2795) Atau o hadza minka wa laka ‘anni atau ‘an fulan (disebutkan nama
shahibul qurban).” atau o Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa,
“Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban)”41
Bolehkah Mengucapkan Shalawat Ketika Menyembelih?
Tidak boleh mengucapkan shalawat ketika hendak menyembelih, karena 2 alasan:
1. Tidak terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan shalawat ketika menyembelih. Sementara beribadah tanpa dalil adalah perbuatan bid’ah.
2. Bisa jadi orang akan menjadikan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai wasilah ketika qurban. Atau bahkan bisa jadi seseorang membayangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
41 Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 92)Catatan: Tidak terdapat do’a khusus yang panjang bagi shohibul qurban ketika hendak menyembelih. Wallahu a’lam.
Ringkasan Fiqih Qurban|
26
ketika menyembelih, sehingga sembelihannya tidak murni untuk Allah42.
PEMANFAATAN HASIL SEMBELIHAN
Bagi pemilik hewan qurban dibolehkan memanfaatkan daging qurbannya, melalui:
1. Dimakan sendiri dan keluarganya, bahkan sebagian ulama menyatakan shohibul qurban wajib makan bagian hewan qurbannya. Termasuk dalam hal ini adalah berqurban karena nadzar menurut pendapat yang benar.
2. Disedekahkan kepada orang yang membutuhkan 3. Dihadiahkan kepada orang yang kaya 4. Disimpan untuk bahan makanan di lain hari. Namun
penyimpanan ini hanya dibolehkan jika tidak terjadi musim paceklik atau krisis makanan.
Dari Salamah bin Al Akwa’ dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa diantara kalian yang berqurban maka jangan sampai dia menjumpai subuh hari ketiga sesudah Ied sedangkan dagingnya masih tersisa walaupun sedikit.” Ketika datang tahun berikutnya maka para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu ?” Maka beliau menjawab, “(Adapun sekarang) Makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami kesulitan (makanan) sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Menurut mayoritas ulama perintah yang terdapat dalam hadits ini menunjukkan hukum sunnah, bukan wajib.43 Oleh sebab itu, boleh mensedekahkan semua hasil sembelihan qurban. Sebagaimana diperbolehkan untuk tidak menghadiahkannya (kepada orang kaya, ed.)
42 Syarhul Mumti’ 7/492 43 Shahih Fiqih Sunnah, II/378
|Ringkasan Fiqih Qurban
27
sama sekali kepada orang lain (Minhaajul Muslim, 266). (artinya hanya untuk shohibul qurban dan sedekah pada orang miskin, ed.)
Bolehkah Memberikan Daging Qurban Kepada Orang Kafir?
Ulama madzhab Malikiyah berpendapat makruhnya memberikan daging qurban kepada orang kafir, sebagaimana kata Imam Malik: “(diberikan) kepada selain mereka (orang kafir) lebih aku sukai.” Sedangkan syafi’iyah berpendapat haramnya memberikan daging qurban kepada orang kafir untuk qurban yang wajib (misalnya qurban nadzar, pen.) dan makruh untuk qurban yang sunnah44. Al Baijuri As Syafi’I mengatakan: “Dalam Al Majmu’ (Syarhul Muhadzab) disebutkan, boleh memberikan sebagian qurban sunnah kepada kafir dzimmi yang faqir. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk qurban yang wajib.” (Hasyiyah Al Baijuri 2/310)
Lajnah Daimah (Majlis Ulama’ saudi Arabia) ditanya tentang bolehkah memberikan daging qurban kepada orang kafir.
Jawaban Lajnah:
“Kita dibolehkan memberi daging qurban kepada orang kafir Mu’ahid45 baik karena statusnya sebagai orang miskin, kerabat, tetangga, atau karena dalam rangka menarik simpati mereka… namun tidak dibolehkan memberikan daging qurban kepada orang kafir Harby, karena kewajiban kita kepada kafir harby adalah merendahkan mereka dan melemahkan kekuatan mereka. Hukum ini juga berlaku untuk pemberian sedekah. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang‐orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari
44 Fatwa Syabakah Islamiyah no. 29843 45 Kafir Mu’ahid: Orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Termasuk orang kafir mu’ahid adalah orang kafir yang masuk ke negeri islam dengan izin resmi dari pemerintah. Kafir Harby: Orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Kafir Dzimmi: Orang kafir yang hidup di bawah kekuasaan kaum muslimin.
Ringkasan Fiqih Qurban|
28
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang‐orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah 8)
Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Asma’ binti Abu Bakr radhiallahu ‘anhu untuk menemui ibunya dengan membawa harta padahal ibunya masih musyrik.” (Fatwa Lajnah Daimah no. 1997).
Kesimpulannya, memberikan bagian hewan qurban kepada orang kafir dibolehkan karena status hewan qurban sama dengan sedekah atau hadiah, dan diperbolehkan memberikan sedekah maupun hadiah kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil.
Larangan Memperjual‐Belikan Hasil Sembelihan
Tidak diperbolehkan memperjual‐belikan bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit, kepala, teklek, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan terdapat ancaman keras dalam masalah ini, sebagaimana hadis berikut:
هل ةيحضأ الف هتيحضأ دلج عاب نم
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada nilainya.” (HR. Al Hakim 2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan: Hasan)
Tetang haramnya pemilik hewan menjual kulit qurban merupakan pendapat mayoritas ulama, meskipun Imam Abu Hanifah menyelisihi
|Ringkasan Fiqih Qurban
29
mereka. Namun mengingat dalil yang sangat tegas dan jelas maka pendapat siapapun harus disingkirkan.
Catatan:
• Termasuk memperjual‐belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau kepala dengan daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing. Karena hakekat jual‐beli adalah tukar‐menukar meskipun dengan selain uang.
• Transaksi jual‐beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak sah. Artinya penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit dan pembeli tidak berhak menerima kulit yang dia beli. Hal ini sebagaimana perkataan Al Baijuri: “Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban) disamping transaksi ini adalah haram.” Beliau juga mengatakan: “Jual beli kulit hewan qurban juga tidak sah karena hadis yang diriwayatkan Hakim (baca: hadis di atas).” (Fiqh Syafi’i 2/311).
• Bagi orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan (disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun shohibul qurban.
Larangan Mengupah Jagal Dengan Bagian Hewan Sembelihan
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwa “Beliau pernah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurusi penyembelihan ontanya dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan dia tidak boleh memberikannya kepada jagal barang sedikitpun.” (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam lafaz
Ringkasan Fiqih Qurban|
30
lainnya beliau berkata, “Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim). Danini merupakan pendapat mayoritas ulama46
Syaikh Abdullah Al Bassaam mengatakan, “Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin…..” (Taudhihul Ahkaam, IV/464). Pernyataan beliau semakna dengan pernyataan Ibn Qosim yang mengatakan: “Haram menjadikan bagian hewan qurban sebagai upah bagi jagal.” Perkataan beliau ini dikomentari oleh Al Baijuri: “Karena hal itu (mengupah jagal) semakna dengan jual beli. Namun jika jagal diberi bagian dari qurban dengan status sedekah bukan upah maka tidak haram.” (Hasyiyah Al Baijuri As Syafi’i 2/311).
Adapun bagi orang yang memperoleh hadiah atau sedekah daging qurban diperbolehkan memanfaatkannya sekehendaknya, bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. Akan tetapi tidak diperkenankan menjualnya kembali kepada orang yang memberi hadiah atau sedekah kepadanya (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, 69)
Menyembelih Satu Kambing Untuk Makan‐Makan Panitia? Atau Panitia Dapat Jatah Khusus?
Status panitia maupun jagal dalam pengurusan hewan qurban adalah sebagai wakil dari shohibul qurban dan bukan amil47. Karena statusnya
46 Shahih Fiqih Sunnah, II/379 47 Sebagian orang menyamakan status panitia qurban sebagaimana status amil dalam zakat. Bahkan mereka meyebut panitia qurban dengan ‘amil qurban’. Akibatnya mereka beranggapan panitia memiliki jatah khusus dari hewan qurban sebagaimana amil zakat memiliki jatah khusus dari harta zakat. Yang benar, amil zakat tidaklah sama dengan panitia pengurus qurban. Karena untuk bisa disebut amil, harus memenuhi beberapa persyaratan. Sementara pengurus qurban hanya sebatas wakil dari shohibul qurban, sebagaimana status sahabat Ali radhiallahu ‘anhu dalam mengurusi qurban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak ada riwayat Ali radhiallahu ‘anhu mendapat jatah khusus dari qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
|Ringkasan Fiqih Qurban
31
hanya sebagai wakil maka panitia qurban tidak diperkenankan mengambil bagian dari hewan qurban sebagai ganti dari jasa dalam mengurusi hewan qurban. Untuk lebih memudahkan bisa diperhatikan ilustrasi kasus berikut:
Adi ingin mengirim uang Rp 1 juta kepada Budi. Karena tidak bisa ketemu langsung maka Adi mengutus Rudi untuk mengantarkan uang tersebut kepada Budi. Karena harus ada biaya transport dan biaya lainnya maka Adi memberikan sejumlah uang kepada Rudi. Bolehkah uang ini diambilkan dari uang Rp 1 juta yang akan dikirimkan kepada Budi?? Semua orang akan menjawab: “TIDAK BOLEH KARENA BERARTI MENGURANGI UANGNYA BUDI.”
Status Rudi pada kasus di atas hanyalah sebagai wakil Adi. Demikian pula qurban. Status panitia hanya sebagai wakil pemilik hewan, sehingga dia tidak boleh mengambil bagian qurban sebagai ganti dari jasanya. Oleh karena itu, jika menyembelih satu kambing untuk makan‐makan panitia, atau panitia dapat jatah khusus sebagai ganti jasa dari kerja yang dilakukan panitia maka ini tidak diperbolehkan.
Nasehat & Solusi Untuk Masalah Kulit
Satu penyakit kronis yang menimpa ibadah qurban kaum muslimin bangsa kita, mereka tidak bisa lepas dari ‘fiqh praktis’ menjual kulit atau menggaji jagal dengan kulit. Memang kita akui ini adalah jalan pintas yang paling cepat untuk melepaskan diri dari tanggungan mengurusi kulit. Namun apakah jalan pintas cepat ini menjamin keselamatan??? Bertaqwalah kepada Allah wahai kaum muslimin… sesungguhnya ibadah qurban telah diatur dengan indah dan rapi oleh Sang Peletak Syari’ah. Jangan coba‐coba untuk keluar dari aturan ini karena bisa jadi qurban kita tidak sah. Berusahalah untuk senantiasa berjalan sesuai syari’at meskipun jalurnya ‘kelihatannya’ lebih panjang dan sedikit menyibukkan. Jangan pula terkecoh dengan pendapat sebagian orang, baik ulama maupun yang ngaku‐ngaku ulama, karena orang yang berhak
Ringkasan Fiqih Qurban|
32
untuk ditaati secara mutlak hanya satu yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka semua pendapat yang bertentangan dengan hadis beliau harus dibuang jauh‐jauh.
Tidak perlu bingung dan merasa repot. Bukankah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah mengurusi qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jumlahnya 100 ekor onta?! Tapi tidak ada dalam catatan sejarah Ali bin Abi thalib radhiallahu ‘anhu bingung ngurusi kulit dan kepala. Demikianlah kemudahan yang Allah berikan bagi orang yang 100% mengikuti aturan syari’at. Namun bagi mereka (baca: panitia) yang masih merasa bingung ngurusi kulit, bisa dilakukan beberapa solusi berikut:
• Kumpulkan semua kulit, kepala, dan kaki hewan qurban. Tunjuk sejumlah orang miskin sebagai sasaran penerima kulit. Tidak perlu diantar ke rumahnya, tapi cukup hubungi mereka dan sampaikan bahwa panitia siap menjualkan kulit yang sudah menjadi hak mereka. Dengan demikian, status panitia dalam hal ini adalah sebagai wakil bagi pemilik kulit untuk menjualkan kulit, bukan wakil dari shohibul qurban dalam menjual kulit.
• Serahkan semua atau sebagian kulit kepada yayasan islam sosial (misalnya panti asuhan atau pondok pesantren). (Terdapat Fatwa Lajnah yang membolehkan menyerahkan bagian hewan qurban kepada yayasan).
Mengirim sejumlah uang untuk dibelikan hewan qurban di tempat tujuan (di luar daerah pemilik hewan) dan disembelih di tempat tersebut? atau mengirimkan hewan hidup ke tempat lain untuk di sembelih di sana?
Pada asalnya tempat menyembelih qurban adalah daerah orang yang berqurban. Karena orang‐orang yang miskin di daerahnya itulah yang lebih berhak untuk disantuni. Sebagian syafi’iyah mengharamkan
|Ringkasan Fiqih Qurban
33
mengirim hewan qurban atau uang untuk membeli hewan qurban ke tempat lain – di luar tempat tinggal shohibul qurban – selama tidak ada maslahat yang menuntut hal itu, seperti penduduk tempat shohibul qurban yang sudah kaya sementara penduduk tempat lain sangat membutuhkan. Sebagian ulama membolehkan secara mutlak (meskipun tidak ada tuntutan maslahat). Sebagai jalan keluar dari perbedaan pendapat, sebagian ulama menasehatkan agar tidak mengirim hewan qurban ke selain tempat tinggalnya. Artinya tetap disembelih di daerah shohibul qurban dan yang dikirim keluar adalah dagingnya48.
Kesimpulannya, berqurban dengan model seperti ini (mengirim hewan atau uang dan bukan daging) termasuk qurban yang sah namun menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tiga hal:
a. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radiallahu ‘anhum tidak pernah mengajarkannya
b. Hilangnya sunnah anjuran untuk disembelih sendiri oleh shohibul qurban
c. Hilangnya sunnah anjuran untuk makan bagian dari hewan qurban.
Hukum Transfer Uang Untuk Berqurban Di Tempat Lain
Praktek sebagian kaum muslimin saat ini, apalagi yang berada di luar negeri seringkali mentransfer uang dan bermaksud menyembelih hewan qurban di negeri kita (bukan negeri orang yang ingin berqurban). Manakah yang lebih utama menyembelih di negerinya sendiri atau mentransfer uang ke negeri lain dan disembelih di sana? Mudah‐mudahan kita mendapat pencerahan dengan penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin berikut.
Beliau rahimahullah ditanya :
48 Fatwa Syabakah Islamiyah no. 2997, 29048, dan 29843 & Shahih Fiqih Sunnah, II/380
Ringkasan Fiqih Qurban|
34
Manakah yang lebih afdhol di zaman sekarang ini, kita memindahkan qurban ke daerah miskin, atau lebih afdhol kita menyembelih di daerah kita masing‐masing?
Jawab :
Pertanyaan ini sangatlah penting. Sebagian orang mentransfer uang yang setara dengan biaya hewan qurban yang diserahkan ke negeri miskin untuk menyembelih qurban di negeri tersebut. Bahkan orang ini juga melakukan propaganda di berbagai surat kabar atau selainnya untuk memotivasi manusia untuk berqurban di negeri lain. Ini sesungguhnya muncul karena tidak memahami tujuan syari’at, juga karena kurang memahami ilmu syar’i.
(Perlu diketahui) bahwa maksud dari berqurban itu ada beberapa:
Maksud pertama, untuk bertaqorub (mendekatkan diri) pada Allah dengan menyembelih qurban tersebut. Karena menyembelih merupakan ibadah yang sangat agung. Bahkan Allah juga menggandengkan ibadah yang satu ini dengan shalat, sebagaimana firman Allah,
فصل لربك وانحر
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (QS. Al Kautsar [108] : 2)
قل إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, nusuk‐ku49, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” (QS. Al An’am [6] : 162). Ini jika yang memilih nusuk bermakna sembelihan.
49 Makna nusuk di sini ada empat pendapat. Ada yang mengatakan bermakna sembelihan. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ibnu Qutaibah. Ada yang mengatakan pula bermakna ibadah. Az Zujaj mengatakan, “Nusuk adalah setiap amalan yang mendekatkan diri pada Allah. Namun umumnya nusuk digunakan untuk sembelihan.” Ada pula yang mengatakan bermakna ad din (agama), sebagaimana yang dikatakan oleh Al Hasan. Yang terakhir mengatakan bahwa nusuk adalah ad din (agama), haji dan
|Ringkasan Fiqih Qurban
35
Penyembelihan itu sendiri adalah ibadah. Bagaimana mungkin engkau dapat mengerjakan ibadah (dengan benar) jika engkau mengirimkan beberapa dirham ke negeri lain yang sama dengan harga hewan sembelihan, kemudian hewan ini disembelih atas namamu?
Sungguh Allah Ta’ala berfirman pula,
لن ينال الله لحومها ولا دماؤها ولكن يناله التقوى منكم
“Daging‐daging unta dan darahnya itu sekali‐kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al Hajj [22] : 37)
Maksud kedua, jika seseorang mengirimkan uang untuk menyembelih kurban di negeri lain, maka dia telah kehilangan kesempatan berdzikir kepada Allah Ta’ala. Padahal Allah Ta’ala berfirman,
ولكل أمة جعلنا منسكا ليذآروا اسم الله
“Dan bagi tiap‐tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah.” (QS. Al Hajj [22] : 34)
Allah Ta’ala menjadikan penyebutan nama Allah (dzikrullah) sebagai illah (alasan) adanya manasik yang Dia menyariatkannya. Dzikir semacam ini bisa gugur jika seseorang melakukan penyembelihan di luar daerahnya. Bahkan terkadang pula ada yang melakukan penyembelihan qurban tanpa menyebut nama Allah sama sekali.
Maksud ketiga, kalau qurban tersebut dilakukan di luar daerah, luputlah sunnah memakan daging qurban. Padahal Allah Ta’ala berfirman,
فكلوا منها وأطعموا البائس الفقير
sembelihan. Inilah yang diriwayatkan oleh Abu Sholeh dari Ibnu Abbas. (Lihat Zadul Masiir, tafsir Surat Al An’am ayat 162)
Ringkasan Fiqih Qurban|
36
“Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang‐orang yang sengsara dan fakir.”(QS. Al Hajj [22] : 28)
Memakan sebagian dari daging qurban ini adalah wajib menurut kebanyakan ulama. Apabila hewan qurban ini disembelih di luar daerah, maka akan luput perintah ini, baik kita anggap hukum memakan daging oleh shohibul qurban adalah wajib atau mustahab.
Maksud keempat, apabila daging qurban tersebut disembelih di luar daerah, maka akan samarlah syiar Islam yang mulia ini (yaitu al udhiyah50) yang Allah menjadikan syiar ini di tengah‐tengah negeri kaum muslimin sebagai pengganti dari syiar (al hadyu) yang Allah menjadikan syiar ini di Mekkah. Syiar qurban yang ada di Mekah disebut al hadyu. Sedangkan syiar qurban yang ada di negeri kaum muslimin lainnya dinamakan al udhiyah. Allah Ta’ala telah menjadikan syiar ini yaitu al hadyu yang berada di Mekkah dan al udhiyyah yang berada di luar Mekkah (negeri kaum muslimin lainnya), tujuannya adalah untuk menjadikan ibadah ini sebagai syiar di seluruh negeri Islam. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan untuk orang yang hendak berqurban sama dengan ketentuan yang disyariatkan pada orang yang berihrom. Contoh hal ini adalah larangan memotong sebagian rambut.
Maksud kelima, jika qurban ini dilakukan di luar daerah maka syiar ini lama kelamaan akan mati. Anak cucu kita mungkin tidak mengenal syiar yang mulia ini lagi. Jika syiar al udhiyah itu dilakukan di tempat kita (bukan di luar daerah), tentu seluruh anggota keluarga akan merasakan ibadah yang mulia ini, mereka akan merasakan melakukan ketaatan pada Allah. Apabila kita mentransfer beberapa dirham ke negeri lain untuk qurban di sana, apakah tujuan seperti ini bisa kita peroleh? Tentu syiar yang mulia ini akan luput (hilang).
50 Lihat penjelasan Syaikh rahimahullah selanjutnya. Yang dimaksud al udhiyah adalah qurban yang dilakukan di luar Mekkah. Sedangkan al hadyu adalah qurban yang dilakukan di Mekkah
|Ringkasan Fiqih Qurban
37
Kami katakan bahwa di antara kesalahan yang begitu jelas adalah engkau mentransfer sejumlah uang untuk berqurban di negeri lain. Karena sebagian maslahat yang kami sebutkan ini bisa luput disebabkan engkau berqurban dengan mentransfer uang ke luar daerah.
Maksud keenam, sebagian orang menganggap bahwa tujuan qurban itu hanya untuk memberi makan orang miskin yang kelaparan. Kita tahu bahwa tujuan seperti ini penting.
Namun, Allah Ta’ala berfirman,
لن ينال الله لحومها ولا دماؤها ولكن يناله التقوى منكم
“Daging‐daging unta dan darahnya itu sekali‐kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al Hajj [22] : 37)
Jika memang engkau ingin bersedekah dengan beribadah qurban, engkau ingin saudaramu yang muslim di tempat lain juga mendapatkan manfaat dari qurbanmu, maka sembelihlah qurban tersebut di negerimu. Lalu kalau mau memberi manfaat pada mereka, kirimlah beberapa dirham, makanan, pakaian ke tempat lain (bukan mentansfer untuk qurban, pen). Adakah yang menghalangimu melakukan semacam ini?
Oleh karena itu, aku mengharapkan di antara kalian –semoga Allah senantiasa memberkahi kalian‐ untuk menjelaskan kesalahan ini pada kaum muslimin lainnya. Janganlah mereka mengganti qurban ini dengan mentransfer uang ke negeri lainnya. Akan tetapi hendaklah mereka tetap menyembelih di negeri mereka masing‐masing.
Satu Kerancuan
Jika ada yang mengatakan : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mewakilkan penyembelihan qurbannya (al hadyu) kepada Ali bin
Ringkasan Fiqih Qurban|
38
Abi Tholib atau beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim qurbannya dari Madinah ke Makkah.
Sanggahan
Ingatlah bahwasanya pengiriman al hadyu yang dilakukan seperti ini adalah dalam kondisi mendesak. Karena perlu diperhatikan bahwa al hadyu itu hanya boleh dilakukan di Mekkah (berbeda dengan al udhiyah sebagaimana dalam penjelasan yang telah lewat, pen). Kalau qurban tersebut disembelih di Madinah, maka bukan dinamakan al hadyu lagi.
Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewakilkan qurban ini kepada Ali bin Abi Tholib, hal ini dilakukan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau sudah tersibukkan dalam mengurus umatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan semua hewan untuk disembelih. Namun ingat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam masih meminta jatah dari hasil qurban tadi untuk beliau masak, lalu dimakanlah daging dan diminumlah kuahnya. Lihatlah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meninggalkan memakan sebagian dari daging qurban tersebut.
Maka kami berharap kepada kalian –semoga Allah selalu memberkahi kalian‐ untuk selalu menasehati saudara‐saudara kalian. Ingatlah permasalahan qurban bukanlah hanya bertujuan untuk memberi makan orang miskin agar mereka bisa mengambil manfaat dari daging qurban tersebut. Namun, yang lebih penting dari itu adalah bentuk taqorub (mendekatkan diri) kepada Allah dalam menyembelih yang Allah juga menggandengkan ibadah qurban ini dengan ibadah shalat (dalam beberapa ayat, pen). Kalian tidaklah terlarang memberikan manfaat pada saudara kalian. Kalian bisa mengirimkan mereka uang (bukan maksud untuk berqurban, namun untuk kebutuhan lainnya, pen)
|Ringkasan Fiqih Qurban
39
KEUTAMAAN TANGGAL 1 SAMPAI 10 DZUL HIJJAH
Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
– رشعلا أيام ينعي – األيام هذه نم الله ىلإ أحب اهيف الصالح لمعلا أيام نم ام يف داهجلا الو : لاق ؟ الله ليبس يف داهجلا الو الله لوسر اي : اولاق .ءيشب كلذ نم عجري ملف ، هلامو هسفنب جرخ لجر إال ، الله ليبس
“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan selama 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah.” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud & dishahihkan Syaikh Al Albani)
Berdasarkan hadis tersebut, ulama’ sepakat dianjurkannya berpuasa selama 8 hari pertama bulan Dzul hijjah. Dan lebih ditekankan lagi pada tanggal 9 Dzul Hijjah (Hari ‘Arafah)
Diceritakan oleh Al Mundziri dalam At Targhib (2/150) bahwa Sa’id bin Jubair (Murid terbaik Ibn Abbas) ketika memasuki tanggal satu Dzul Hijjah, beliau sangat bersungguh‐sungguh dalam beribadah sampai hampir tidak bisa mampu melakukannya.
Bagaimana dengan Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzul Hijjah) Secara Khusus?
Terdapat hadis yang menyatakan: “Orang yang berpuasa pada hari tarwiyah maka baginya pahala puasa satu tahun.” Namun hadis ini hadits palsu sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Zauzy (Al Maudhu’at 2/198), As Suyuthi (Al Masnu’ 2/107), As Syaukani (Al Fawaidul Majmu’ah).
Ringkasan Fiqih Qurban|
40
Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzul Hijjah karena hadisnya dhaif. Namun jika berpuasa karena mengamalkan keumuman hadis shahih di atas maka diperbolehkan. (disarikan dari Fatwa Yas‐aluunaka, Syaikh Hissamuddin ‘Affaanah). Wallaahu a’lam.
BILA ‘IED JATUH PADA HARI JUMAT
Banyak yang menanyakan bagaimana jika Hari Raya atau Idul Adha jatuh pada hari Jum’at, apakah shalat Jum’atnya gugur karena telah melaksanakan shalat ‘ied?
Mudah‐mudahan penjelasan berikut dapat menjawab hal ini.51
Apabila hari raya Idul Fithri atau Idul Adha bertepatan dengan hari Jum’at, apakah shalat Jum’at menjadi gugur karena telah melaksanakan shalat ‘ied? Untuk masalah ini para ulama memiliki dua pendapat.
Pendapat Pertama: Orang yang melaksanakan shalat ‘ied tetap wajib melaksanakan shalat Jum’at.
Inilah pendapat kebanyakan pakar fikih. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menggugurkan kewajiban ini bagi orang yang nomaden (al bawadiy). Dalil dari pendapat ini adalah:
Pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,
البيع وذروا الله ذآر إلى فاسعوا الجمعة يوم من للصالة نودي إذا آمنوا الذين أيها يا
51 Pembahasan kali ini kami olah dari Shahih Fiqih Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/594-596, Al Maktabah At Taufiqiyah
|Ringkasan Fiqih Qurban
41
“Hai orang‐orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumu’ah: 9)
Kedua: Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Di antara sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
قلبه على الله طبع بها تهاونا جمع ثالث ترك من
“Barangsiapa meninggalkan tiga shalat Jum’at, maka Allah akan mengunci pintu hatinya.”52 Ancaman keras seperti ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu wajib.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مريض أو صبى أو امرأة أو مملوك عبد أربعة الإ جماعة فى مسلم آل على واجب حق الجمعة
“Shalat Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: [1] budak, [2] wanita, [3] anak kecil, dan [4] orang yang sakit.”53
Ketiga: Karena shalat Jum’at dan shalat ‘ied adalah dua shalat yang sama‐sama wajib (sebagian ulama berpendapat bahwa shalat ‘ied itu wajib), maka shalat Jum’at dan shalat ‘ied tidak bisa menggugurkan satu dan lainnya sebagaimana shalat Zhuhur dan shalat ‘Ied.
Keempat: Keringanan meninggalkan shalat Jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied adalah khusus untuk ahlul bawadiy (orang yang nomaden seperti suku Badui). Dalilnya adalah,
52 HR. Abu Daud no. 1052, dari Abul Ja’di Adh Dhomri. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih 53 HR. Abu Daud no. 1067, dari Thariq bin Syihab. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Ringkasan Fiqih Qurban|
42
ثم الخطبة قبل فصلى ، الجمعة يوم ذلك فكان عفان بن عثمان مع شهدت ثم عبيد أبو قال الجمعة ظرينت أن أحب فمن ، عيدان فيه لكم اجتمع قد يوم هذا إن الناس أيها يا فقال خطب
له أذنت فقد يرجع أن أحب ومن ، فلينتظر العوالى أهل من
“Abu ‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan hari tersebut adalah hari Jum’at. Kemudian beliau shalat ‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan berkata, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari di mana terkumpul dua hari raya (dua hari ‘ied). Siapa saja dari yang nomaden (tidak menetap) ingin menunggu shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.”54
Pendapat Kedua: Bagi orang yang telah menghadiri shalat ʹIed boleh tidak menghadiri shalat Jumʹat. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang‐orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir.
Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari pendapat ini adalah:
Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
قال فكيف . عيدين اجتمعا فى يوم قال نعم-صلى اهللا عليه وسلم-أشهدت مع رسول الله .»من شاء أن يصلى فليصل « صنع قال صلى العيد ثم رخص فى الجمعة فقال
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau
54 HR. Bukhari no. 5572.
|Ringkasan Fiqih Qurban
43
melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan.”55
Asy Syaukani dalam As Sailul Jaror (1/304) mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). An Nawawi dalam Al Majmu’ (4/492) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa hadits ini shahih. Intinya, hadits ini bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.
Kedua: Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].”56 Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.
Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka‐mereka ini.57
55 HR. Abu Daud no. 1070, Ibnu Majah no. 1310. 56 HR. Abu Daud no. 1071. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. 57 Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/596, Al Maktabah At Taufiqiyah
Ringkasan Fiqih Qurban|
44
Kesimpulan:
• Boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied untuk tidak menghadiri shalat Jumʹat sebagaimana berbagai riwayat pendukung dari para sahabat dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat ini.
• Pendapat kedua yang menyatakan boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ʹied tidak menghadiri shalat Jumʹat, ini bisa dihukumi marfu’ (perkataan Nabi) karena dikatakan “ashobas sunnah (ia telah mengikuti ajaran Nabi)”. Perkataan semacam ini dihukumi marfu’ (sama dengan perkataan Nabi), sehingga pendapat kedua dinilai lebih tepat.
• Mengatakan bahwa riwayat yang menjelaskan pemberian keringanan tidak shalat jum’at adalah khusus untuk orang yang nomaden seperti orang badui (yang tidak dihukumi wajib shalat Jum’at), maka ini adalah terlalu memaksa‐maksakan dalil. Lantas apa faedahnya ‘Utsman mengatakan, “Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan”? Begitu pula Ibnu Az Zubair bukanlah orang yang nomaden, namun ia mengambil keringanan tidak shalat Jum’at, termasuk pula ‘Umar bin Khottob yang melakukan hal yang sama.
• Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah anjuran untuk membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah jika hari ‘ied bertemu dengan hari Jum’at pada shalat ‘ied dan shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اسم سبح) ب الجمعة وفى العيدين فى يقرأ ‐ملسو هيلع هللا ىلص‐ الله رسول آان يقرأ واحد يوم فى والجمعة العيد اجتمع وإذا قال (الغاشية حديث أتاك هل) و (األعلى ربك
.الصالتين ىف أيضا بهما
|Ringkasan Fiqih Qurban
45
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam dua ‘ied yaitu shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing‐masing shalat.58
Hadits ini juga menunjukkan dianjurkannya membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah ketika hari ‘ied bertetapan dengan hari Jum’at dan dibaca di masing‐masing shalat (shalat ‘ied dan shalat Jum’at).
• Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri shalat ‘ied, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur sebagaimana dijelaskan pada hadits yang sifatnya umum. Hadits tersebut menjelaskan bahwa bagi yang tidak menghadiri shalat Jum’at, maka sebagai gantinya, ia menunaikan shalat Zhuhur (4 raka’at).59
Semoga apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat‐Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
58 HR. Muslim no. 878. 59 Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 8/182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al Ifta.
Ringkasan Fiqih Qurban|
46
Catatan :