final april cetak

12
W W A A R R T T A A L L P P P P M M LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UNIVERSITAS PADJADJARAN Vol. 1. Ed.2.No.2 APRIL 2009 Terbit Dua Bulan Sekali BERITA UTAMA MENYOAL METODE BELAJAR BERBASIS MAHASISWA “…Jadi dalam metode ini ada proses belajar dan proses integrasinya. Ini berbeda dengan SCL yang hanya berfokus pada aspek proses belajar mandiri, sehingga tidak menjamin aspek integrasi. Integrasi yang dimaksud adalah integrasi antarbidang ilmu.” Apalah arti lulus dari universitas dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi bila tak diimbangi oleh kualitas lulusan yang tinggi. Tampaknya begitulah hal yang ada di pikiran para petinggi Universitas Padjadjaran (Unpad) dalam menghadapi kualitas lulusan Unpad yang selama ini dirasa masih belum sebanding dengan IPK mereka yang tinggi. Kualitas yang dimaksud di sini berhubungan dengan keteram‐ pilan mengemukakan pendapat dalam suatu forum diskusi ilmiah. Atas dasar inilah para pemangku kepentingan Unpad mencoba mengubah metode pembelajaran yang memberikan waktu lebih banyak untuk berdiskusi dan membuat maha‐ siswa bisa lebih aktif mengungkap‐ kan pendapat. Dalam dasar‐dasar ilmu pedagogik, pembelajaran dengan pendekat‐ an demikian di‐ sebut pendekatan student centered learning (SCL). Mereka akhirnya sepakat mewajib‐ kan penerapan metode pembela‐ jaran ini di semua fakultas di lingkungan Unpad. Menurut Pembantu Rektor I Unpad, Prof.Dr. Husein Hernadi Bahti, komitmen bersama tersebut ditetapkan dalam Rencana Strategis Unpad Periode 2007‐2012. Unpad dalam hal pembelajaran ingin memberlakukan SCL. Selama ini metode belajar yang berlaku umum adalah metode konvensional, mahasiswa hanya dijejali ilmu pengetahuan oleh dosen. Memang ada sebagian (kecil?) dosen yang sudah rutin melakukan pembelajaran dengan teknik diskusi, seperti dalam metode SCL. “Kita coba mengimbau atau katakanlah mewajibkan seluruh fakultas, sesuai dengan kemam‐ puan masing‐masing, untuk menerapkan proses pembelajaran SCL ini,” ungkap Husein. Sesuai dengan kemampuan masing‐masing artinya sesuai dengan kemampuan tiap fakultas dalam hal menyiapkan fasilitas ruangan, laboratorium, peralatan, dan terutama para dosen. Dosen Jurusan Kimia, FMIPA Unpad itu menegaskan, metode pembelajaran SCL memang menuntut banyak persyaratan, antara lain harus menyiapkan banyak ruangan, selain koleksi buku perpustakaan yang lengkap. Sayangnya, tidak semua fakultas di Unpad memiliki fasilitas yang demikian. Bahkan beberapa fakultas masih kekurangan dosen. Inilah salah satu faktor utama yang menyebab‐kan metode pembelajaran SCL belum bisa sepenuhnya dilakukan di tiap fakultas hingga sekarang. Hingga kini baru Fakultas Kedokter‐ an (FK) dan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) yang sudah cukup mapan dengan metode tersebut atau metode yang mirip SCL. Hal ini tentu tak terlepas dari faktor keuangan mereka yang terkenal kuat. Pembantu Dekan II FK Unpad, Doktor Med. Tri Hanggono Achmad, mengakui, investasi yang dilakukan saat pertama kali mengubah metode pembelajaran memang luar biasa. Ketika itu hampir tiap minggu FK mengadakan workshop dan tutor training bagi seluruh dosen. ”Sosialisasi dilakukan dengan sangat gencar. Luar biasa effort‐nya,” katanya. Menurut Husein, memang sulit memulai metode pembelajaran baru ini. Dosen dituntut untuk bekerja ekstra. Misalnya, kehadiran dosen bertambah karena harus tutorial. Sulitnya, di sini fakultas harus menye‐ Bersambung ke Halaman 3 Proses belajar mengajar di program Magister Manajemen Unpad sumber : www.mm.unpad.ac.id

Upload: anggakusumah4249

Post on 20-Jun-2015

198 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Final April Cetak

WWAARRTTAA LLPPPPMM LLEEMMBBAAGGAA PPEENNEELLIITTIIAANN DDAANN PPEENNGGAABBDDIIAANN KKEEPPAADDAA MMAASSYYAARRAAKKAATT UUNNIIVVEERRSSIITTAASS PPAADDJJAADDJJAARRAANN Vol. 1. Ed.2.No.2 APRIL 2009 Terbit Dua Bulan Sekali

BERITA UTAMA

MENYOAL METODE BELAJAR BERBASIS MAHASISWA

“…Jadi dalam metode ini ada proses belajar dan proses integrasinya. Ini berbeda dengan SCL yang hanya berfokus pada aspek proses belajar mandiri, sehingga tidak menjamin aspek integrasi. Integrasi yang dimaksud adalah integrasi antarbidang ilmu.” Apalah arti lulus dari universitas dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi bila tak diimbangi oleh kualitas lulusan yang tinggi. Tampaknya begitulah hal yang ada di pikiran para petinggi Universitas Padjadjaran (Unpad) dalam menghadapi kualitas lulusan Unpad yang selama ini dirasa masih belum sebanding dengan IPK mereka yang tinggi. Kualitas yang dimaksud di sini berhubungan dengan keteram‐pilan mengemukakan pendapat dalam suatu forum diskusi ilmiah. Atas dasar inilah para pemangku kepentingan Unpad mencoba mengubah metode pembelajaran yang memberikan waktu lebih banyak untuk berdiskusi dan membuat maha‐siswa bisa lebih aktif mengungkap‐kan pendapat. Dalam dasar‐dasar ilmu pedagogik, pembelajaran dengan pendekat‐an demikian di‐sebut pendekatan student centered learning (SCL). Mereka akhirnya sepakat mewajib‐kan penerapan metode pembela‐jaran ini di semua fakultas di lingkungan Unpad. Menurut Pembantu Rektor I Unpad, Prof.Dr. Husein Hernadi Bahti, komitmen bersama tersebut ditetapkan dalam Rencana Strategis Unpad Periode 2007‐2012. Unpad dalam hal pembelajaran ingin memberlakukan SCL. Selama ini metode belajar yang berlaku umum adalah metode konvensional, mahasiswa hanya dijejali ilmu pengetahuan oleh dosen. Memang ada sebagian (kecil?) dosen yang sudah rutin melakukan pembelajaran dengan teknik diskusi, seperti dalam metode SCL. “Kita coba mengimbau atau katakanlah mewajibkan seluruh fakultas, sesuai dengan kemam‐puan masing‐masing, untuk menerapkan proses

pembelajaran SCL ini,” ungkap Husein. Sesuai dengan kemampuan masing‐masing artinya sesuai dengan kemampuan tiap fakultas dalam hal menyiapkan fasilitas ruangan, laboratorium, peralatan, dan terutama para dosen. Dosen Jurusan Kimia, FMIPA Unpad itu menegaskan, metode pembelajaran SCL memang menuntut banyak persyaratan, antara lain harus menyiapkan banyak ruangan, selain koleksi buku perpustakaan yang lengkap. Sayangnya, tidak semua fakultas di Unpad memiliki fasilitas yang demikian. Bahkan beberapa fakultas masih kekurangan dosen. Inilah salah satu faktor utama yang menyebab‐kan metode pembelajaran SCL belum bisa sepenuhnya dilakukan di tiap fakultas hingga sekarang. Hingga kini baru Fakultas Kedokter‐an (FK) dan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) yang sudah cukup mapan dengan metode tersebut atau metode yang mirip SCL. Hal ini tentu tak terlepas dari faktor keuangan mereka yang terkenal kuat. Pembantu Dekan II FK Unpad, Doktor Med. Tri Hanggono Achmad, mengakui, investasi yang dilakukan saat pertama kali mengubah metode pembelajaran memang luar biasa. Ketika itu hampir tiap minggu FK mengadakan

workshop dan tutor training bagi seluruh dosen. ”Sosialisasi dilakukan dengan sangat gencar. Luar biasa effort‐nya,” katanya. Menurut Husein, memang sulit memulai metode pembelajaran baru ini. Dosen dituntut untuk bekerja ekstra. Misalnya, kehadiran dosen bertambah karena harus tutorial. Sulitnya, di sini fakultas harus menye‐ Bersambung ke Halaman 3

Proses belajar mengajar di program Magister Manajemen Unpad sumber : www.mm.unpad.ac.id

Page 2: Final April Cetak

Vol. 1. Ed. 2. No. 2 APRIL 2009 WARTA LPPM Halaman 2

SOROTAN (Edisi April 2009)

SENANG MENYUAPI DAN DISUAPI

S. Sahala Tua Saragih (Pemimpin Redaksi) “Ah, itu mah cuma soal metode. Metode belajar‐mengajar mah bisa macam‐macam, tapi tujuannya ‘kan sama saja. Yang terpenting ‘kan semua materi kuliah sampai, dan mahasiswa bisa menjawab semua atau sebagian besar soal dengan benar sewaktu UTS dan UAS, sehingga hampir semua mahasiswa lulus dengan nilai bagus. Ini berarti, dosennya berhasil ‘kan? Pak Rektor dan Pak Dekan juga selalu menuntut kita agar menciptakan para lulusan dengan IPK tinggi ‘kan? Kalau bisa sebagian besar mahasiswa kita menjadi sarjana dengan predikat cum laude,” ujar seorang dosen senior dengan santai sambil tersenyum. Ini kutipan obrolan santai seorang dosen senior dengan seorang asistennya yang baru saja membaca buku Model-model

Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Konsep, Landasan Teoritis-Praktis dan Implementasinya, karya Trianto, S.Pd., M.Pd. Sang dosen muda, seperti halnya seniornya, tak pernah belajar pedagogi dengan formal, misalnya kuliah di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Biasanya guru merupakan lulusan LPTK. Dosen di luar LPTK dianggap sudah dengan sendirinya mengetahui dan menguasai metode belajar‐mengajar di perguruan tinggi. Lazimnya dosen muda meniru metode mengajar yang diterapkan oleh seniornya. Harus diakui secara jujur, kita (dosen di universitas ini sebagai contoh) umumnya tak pernah dipersiapkan dengan matang menjadi asisten dosen (kemudian menjadi dosen), yang tugas pokoknya tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik mahasiswa. Mungkin terlalu kasar kalau kita menggunakan istilah arek-arek Suroboyo, bonek (bondho nekat – modal nekat). Kita menjadi dosen dengan bonek. Modal kita cuma mengetahui sedikit‐banyak materi satu/beberapa kuliah yang kita peroleh sewaktu kuliah. Kita langsung tampil di kelas dan menangani para mahasiswa tanpa terlebih dahulu belajar pedagogi, filsafat pendidikan, psikologi pendidikan, politik pendidikan, teori‐teori, dan model‐model pembelajaran sejak baheula hingga kini, dan materi penting lain yang menjadi modal pokok tiap calon dosen. Bagaimana kita bisa menjadi dosen yang baik bila cuma bonek? Bahkan mungkin kita juga tak pernah membaca dan mempelajari Undang‐undang Pendidikan Nasional selama republik ini berdiri, yakni No. 4/1950 jo UU No. 12/1954UU No. 2/1989, dan yang terbaru UU No. 20/2003, serta UUD 1945 yang menjadi landasan UU tersebut. Apakah kita (dosen) juga pernah membaca dan mempelajari UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, UU terbaru tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan segala turunan semua UU itu? Apakah di republik ini ada etika profesi dosen (Kode Etik Dosen) yang berlaku secara nasional yang dibuat oleh sebuah/beberapa organisasi profesi dosen? Apakah di negeri ini ada organisasi profesi dosen seperti halnya kini beberapa organisasi profesi guru (pada zaman Orde Baru hanya PGRI ‐ Persatuan Guru Republik Indonesia)? Bagaimana bisa kita bekerja dengan benar di bidang pengajaran dan pendidikan tinggi bila landasan konstitusional, yuridis formal, dan etika profesinya saja tidak kita ketahui dan pahami dengan seksama? Apakah kita selalu mendorong para mahasiswa untuk menjadi orang yang bernafsu besar untuk maju? Apakah kita sering/selalu menyuntikkan virus n-ach (need for achievment), yaitu hasrat atau kebutuhan untuk berprestasi besar, kepada semua mahasiswa, dan upaya untuk mewujudkannya? Apakah kita mengajar dan mendidik mahasiswa menjadi manusia yang berorientasi hasil (yang terpenting lulus dengan IPK tinggi,

misalnya) atau manusia yang berorientasi proses? Apakah kita mengarahkan mereka menjadi manusia pragmatis, konsumtif, dan berpola hidup instant (siap saji) atau siap disuapi? Apakah kita mampu meyakinkan mahasiswa, bahwa materi tiap mata kuliah yang mereka peroleh dapat dan harus digunakan untuk memecahkan masalah nyata dalam kehidupan mereka sehari‐hari, baik ketika masih kuliah maupun setelah meninggalkan kampus ini? Apakah para dosen muda dan senior pernah mempelajari dan menerapkan ajaran atau pedagogi dua tokoh pendidkan ternama, yakni Paulo Freire dari Brasil (1921‐1997) dan Ki Hajar Dewantara yang bernama asli R.M. Suwardi Suryaningrat (1889‐1959)? Apakah kita pernah membaca buku‐buku bagus mereka dan banyak buku para ahli pendidikan yang berisi pembahasan buku‐buku kedua tokoh besar itu? Apakah kita pernah mengetahui dan menerapkan keputusan Komisi Internasional UNESCO yang merekomendasikan empat pilar belajar dalam memasuki abad ke‐21, yakni learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be (lihat artikel Prof.Dr. Soedijarto yang berjudul, “Pendidikan yang Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia” dalam Kurikulum yang Mencerdaskan, Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif, bunga rampai, 2007: 3‐36)? Andaikata sebelum tampil di depan kelas sebagai asisten dosen, kita terlebih dahulu memeroleh banyak bekal penting dan utama, baik melalui pembekalan formal oleh pihak pengelola universitas dan fakultas maupun belajar sendiri (otodidak), tentu kita tak lagi menerapkan model pembelajaran (belajar‐mengajar) konvensional alias kuno. Hingga kini umumnya dosen masih dengan senang hati menyuapi para mahasiswa, dan anehnya para mahasiswapun dengan senang hati disuapi terus oleh para dosen. Dosen memosisikan dirinya sebagai pengajar belaka, padahal seharusnya dia juga pendidik. Memang, sadar‐tak sadar, diakui atau tak diakui, model atau metode kuno yang jelas tak demokratis ini sangat mudah dilakukan oleh dosen dan mahasiswa. Tanpa bekerja keraspun kedua belah pihak dapat melaksanakan tugas masing‐masing dengan “baik”. Lebih daripada itu, metode ini juga bisa mempertahankan dominasi (penguasaan) dosen terhadap mahasiswa, dan sekaligus tetap menjaga wibawa tinggi dosen di mata mahasiswa. Metode ini jelas memosisikan dosen sebagai subjek (pihak yang dianggap menguasai materi kuliah), sedangkan mahasiswa sebagai objek belajar (pihak yang tidak tahu apa‐apa). Mahasiswa dianggap sebagai mahluk atau benda pasif yang siap diisi dan dibentuk oleh dosen. Hubungan subjek‐objek yang tak manusiawi inilah yang ditentang keras oleh Paulo Freire. Seharusnya, kata tokoh pedagogi itu, bukan guru mengajari murid, melainkan guru dan murid sama‐sama belajar. Guru/dosen bukanlah atasan, dan siswa/mahasiswa bukanlah bawahan. Inilah yang disebutnya pendidikan dialogis. Lalu, bagaimana dengan proses belajar mengajar di universitas? Apakah kita (dosen) terus senang menyuapi para mahasiswa kita, dan mereka juga terus dibiarkan senang disuapi? Apakah kita mau dan mampu menciptakakan lulusan yang tergolong manusia pembelajar, mandiri (independen), otonom, kritis, skeptis, nasionalis, patriotis, kreatif, inovatif, produktif, pekerja, dan berkemauan keras, memiliki harga diri dan percaya diri yang tinggi? Sekarang, masih percayakah Anda bahwa model pembelajaran inovatif dan konstruktif merupakan sebuah metode belajar‐mengajar belaka, dan hasilnya sama saja dengan model pembelajaran konvensional? ***

Page 3: Final April Cetak

Vol. 1. Ed. 2. No. 2 APRIL 2009 WARTA LPPM Halaman 3

MENYOAL METODE BELAJAR......... Sambungan dari Halaman 1 diakan kompensasi (berupa uang honorarium – Red.) bagi para dosen. Jika tidak demikian, tentu akan repot. Namun, sekali metode itu dijalankan secara serius, berikutnya tidak sulit lagi. Selama metode ini berjalan, ia berharap ada suatu mekanisme yang benar‐benar bisa memantau dan mengevaluasi para dosen dalam mengajar. Tim penjaminan mutu yang berfungsi menjamin mutu pelaksanaan kegiatan akademik, baik di universitas maupun di fakultas, rupanya belum benar‐benar berfungsi. Ia juga berharap pembinaan guru besar terhadap dosen‐dosen yang ada di bawahnya dapat ditingkatkan.

Sosialisasi SCL Dalam lingkup universitas, sosialisasi SCL dilakukan dengan bentuk lokakarya. Untuk itu, sambung Husein, Unpad telah menyiapkan sejumlah dana. Tahun ini tiap fakultas berhak memperoleh dana Rp 25 juta dari universitas untuk mengadakan lokakarya atau pelatihan metode SCL bagi para dosen. ”Yang penting kita bergulir saja. Metode ini mulai diterapkan secara pelan‐pelan, tapi menuju ke arah perbaikan proses belajar‐mengajar,” tambah mantan Dekan FMIPA Unpad itu. Keberhasilan penerapan metode ini sudah terbukti di FK. Ia mengakui, pemikiran para lulusan FK umumnya lebih kreatif daripada para lulusan fakultas‐fakultas yang belum menerapkan metode SCL.

PBL di FK FK memang fakultas yang lebih dulu meninggalkan metode pembelajaran konvensional dibandingkan fakultas‐fakultas lainnya di Unpad. Sejak 2001 FK melaksanakan metode pembelajaran problem-based learning (PBL). Meski sama‐sama berlandaskan keyakinan, bahwa pembelajaran akan lebih efektif bila mahasiswa secara aktif terlibat di dalamnya, namun PBL ternyata memiliki perbedaan dengan SCL.

“PBL menggunakan kasus atau permasalahan sebagai trigger untuk mendorong proses belajar dan mengintegrasikan hal baru,” kata Tri. Jadi dalam metode ini ada proses belajar dan proses integrasinya. Ini berbeda dengan SCL yang hanya berfokus pada aspek proses belajar mandiri, sehingga tidak menjamin aspek integrasi. Integrasi yang dimaksud adalah integrasi antarbidang ilmu. Dalam PBL mahasiswa diberikan masalah yang akan dihadapi dalam profesinya. Dengan demikian, dalam metode ini terdapat aspek penguatan relevansi terhadap kebutuhan nanti. Inilah yang juga tidak ada dalam metode SCL. Terlepas dari hal itu, metode pembelajaran yang berfokus pada mahasiswa membawa dampak positif. Studi yang dilakukan terhadap mahasiswa FK menunjukkan terjadi peningkatan waktu belajar. Metode ini membuat mahasiswa FK rajin mencari referensi, mendorong mereka bersikap mandiri dalam belajar, dan mendorong mahasiswa berpikir, terutama untuk memecahkan masalah nyata. Akan tetapi, di sisi lain, ada keluhan mahasiswa, yaitu waktu bermain dan keaktifan dalam kegiatan ekstrakurikuler berkurang. “Akan tetapi mereka harusnya bisa menyadari bahwa PBL secara metode juga mendorong kemam‐puan mereka dalam bermasyarakat dan memimpin, karena nggak mungkin dalam PBL mereka belajar sendiri. Dalam grup belajar ada rasa saling bertoleransi dan berdiskusi,” jelasnya. Satu hal yang perlu diingat, berdasarkan hasil evaluasi, metode PBL tidak berpengaruh terhadap aspek kognisi atau Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). Sebab, PBL bertujuan meningkatkan kemampuan belajar mandiri seumur hidup dan kemampuan memecahkan atau menyelesaikan masalah‐masalah nyata. Ini tentu tidak bisa diukur dari IPK, tapi dampaknya jelas terlihat di dunia kerja.*** Vanya Chairunisa

vanya [email protected]

INFO PENELITIAN ! 1. Penerimaan Proposal Hibah Pascasarjana untuk tahun anggaran 2010, paling lambat tanggal 23 September 2009, diserahkan ke LPPM Unpad Jl. Cisangkuy No. 62 Bandung. Untuk kelengkapan proposal peneliti diharuskan mengisi form usul peneliti yang telah disediakan oleh Dikti dan/atau bisa didownload di www.dp2m.dikti.net . 2. Penerimaan Proposal KKP3T Deptan untuk tahun anggaran 2010 bulan Agustus 2009 Keterangan lengkap dapat menghubungi:

Sub Bagian Program LPPM Unpad Bidang Penelitian Jl. Cisangkuy 62 Bandung. Telp. (022) 7279435

Page 4: Final April Cetak

Vol. 1. Ed. 2. No. 2 APRIL 2009 WARTA LPPM Halaman 4

sumber gambar: www.unpad.ac.id

BERITA UTAMA

METODE BELAJAR SCL versus TCL Di sela‐sela pemilihan dosen berprestasi di fakultasnya, Dekan Fakultas Sastra Unpad, Prof.Dr. Dadang Suganda menyisihkan waktunya buat bercerita tentang metode belajar Student

Centered Learning (SCL). Metode yang sesungguhnya tak baru ini kini mulai disosialisasikan di fakultas ini. Menurut Dadang, metode SCL relevan diterapkan setelah visi dan misi Fakultas Sastra sedikit berubah. “Sekarang kami mewajibkan semua jurusan untuk mengubah paradigma kurikulum yang dulunya berorientasi kepada rumpun ilmu murni, sekarang dicoba dikombi‐nasikan. Saya katakan, dengan 60% saja rumpun keilmuan murni sebagai identitas keilmuannya sudah cukup, dan yang 40% lagi diisi dengan kemampuan‐kemampuan yang sifatnya pragmatis dengan metode pembelajaran SCL,“ katanya. Kini semua jurusan di Fakultas Sastra sudah menerapkan prosentase itu dengan metode pembelajaran SCL. Di Jurusan Sejarah, Jurusan Jepang, dan Jurusan Indonesia sudah ada team teaching dengan sistem pembela‐jaran SCL. Sekalipun demikian, di beberapa Jurusan lainnya memang tampaknya masih dalam masa transisi. “Ini berkaitan dengan SDM, sumber daya manusia. Selama ini teman‐teman (dosen‐dosen – Red.) di Fakultas Sastra ini, karena terlalu lama pada metodologi yang lama, untuk mengubah ke model yang baru agak sedikit gegar budaya atau menemukan hambatan‐hambatan dalam implementasi. Apa pun metode pembelajarannya, substansi‐nya kembali ke roh‐roh lama juga sebetulnya. Tapi lambat laun mereka akan mengadaptasikan diri,” ujar dosen Jurusan Sastra Indonesia itu. Fakultas Sastra menyediakan anggaran sebesar Rp 2,5 juta tiap bulan untuk setiap jurusan yang ingin mengadakan seminar. Seminar yang dimaksud harus berkaitan dengan keilmuan, kurikulum, metode belajar, dan aspek‐aspek lain yang dibutuhkan untuk pengembangan jurusan masing‐masing. “Setelah seminar, mereka diminta membuat laporan dan kemudian dievaluasi. Ini ajang mengem‐bangkan kompetensi para dosen,” tutur Dadang. Untuk mendukung penerapan metode belajar SCL, Fakultas Sastra juga melakukan pengembangan atau peningkatan kemampuan para dosen, merekrut dosen‐dosen dari luar rumpun ilmu bahasa, dan meningkatkan infra‐strustur fakultas. Infrastruktur yang telah direncanakan, membuat museum naskah, gedung pertunjukan yang representatif, dan membuat pusat inkubator bisnis. Dalam pelaksanaan metode balajar SCL, Dadang melihat ada semacam resistensi dari mahasiswa. Namun dia tetap optimis akan metode belajar yang meningkatkan kreativitas mahasiswa ini. Pendapat serupa dikemukakan oleh Pembantu Dekan I Fakultas Sastra, Reiza D. Dienaputra, M.Hum. Menurutnya, mahasiswa tampak lebih senang kalau terlibat dalam proses belajar. Menurut dosen senior Jurusan Sejarah itu, SCL bukan lantas menjadi legalisasi bagi dosen untuk tidak hadir mengajar. Dia menyindir sikap ini dengan CBSA (Curuk Budak Sina Anteng). Kehadiran dosen dalam metode belajar SCL mutlak. Harapannya, melalui metode belajar ini dosen hadir sebagai fasilitator di dalam kelas. Akan tetapi apa kata mahasiswa? Nelly Siswaty, mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, FISIP Unpad rupanya lebih menyukai metode belajar TCL (Teacher Centered Learning) daripada SCL. “TCL menyenangkan karena kita bisa ‘mengorek’ dosen‐dosen yang pintar, jadi aku ikut pintar juga, daripada harus

menggali sendiri. Aku tidak suka mencari sendiri. Kalau berpusat pada dosen, aku dapat menangkap apa yang dia katakan, tapi kalau belajar sendiri, yang kutahu hanya yang aku bisa,” ujar Nelly argumentatif. Temannya satu jurusan, Taruli, mengungkap‐kan, metode belajar di fakultasnya masih cenderung berpusat pada dosen. “Dosennya satu arah. Kebanyakan dosennya mengajar, memberi ceramah. Nilai saya memang meningkat dengan metode TCL karena tinggal nyatet dari dosen dan waktu mau ujian dipelajari. Tapi kalau untuk minat belajar ‘ga memengaruhi, karena tinggal mendengar dosen, dan kita jadi malas,” ungkapnya. Lalu apa pula kata dosen? Nenden Indrayati Anggraeni, M.S., dosen Jurusan Kimia, FMIPA Unpad, ternyata menggunakan kedua metode itu (TCL dan SCL). Di FK Unpad dia pernah mengikuti pelatihan metode belajar yang diterapkan di sana yang berpusat pada mahasiswa. Di PTBS (Program Terpadu Basic Science) metode belajar yang dipakai berpusat pada dosen dengan metode satu arah, namun ada tutorial. “Metode yang manapun sebenarnya tidak ada kendala. Namun kalau memang mahasiswa sudah tidak suka dengan suatu mata kuliah, maka akan tidak lancar. Tetapi kalau mahasiswanya senang, maka akan lancar,” ujar Nenden. Menurutnya, metode belajar yang berpusat pada mahasiswa lebih dapat memicu mahasiswa aktif dalam belajar, sedangkan metode belajar yang satu arah cenderung membuat mahasiswa mengantuk. “Semuanya bergantung kepada kontrak belajar yang kita sepakati di awal perkuliahan,” katanya. Putri Ianne Barus, mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad mengungakpan, di jurusannya tidak ada dosen yang sepenuhnya memakai satu metode belajar. “Jurnalistik tidak lepas dari banyak tugas. Jadi kalau dosen menerangkan sesuatu, pasti juga akan ada tugas yang diberikan. Selalu ada kesempatan mahasiswa untuk menggali lagi. Dosen di Jurnalistik tidak ada yang mengajar TCL banget,” katanya. Putri sendiri lebih menyukai metode belajar yang berpusat pada dosen. “Tapi mahasiswa juga sebenarnya ‘ngga boleh pasif banget. Jadi, ya, dari dosen ‘kan kita tahu banyak hal, tapi jangan inggih-inggih wae. Jadi kita harus skeptis, kalau dosen ngomong apa, sebaiknya mahasiswa memastikan itu benar atau salah. Kalau salah ‘kan jadi ada bahan diskusi di kelas. Jadi bisa nanya lagi ke dosen itu,” jelasnya. Menurut mahasiswa angkatan 2005 ini, bila betul FK dan FKG telah menerapkan metode belajar SCL dan PBL, dan ternyata berhasil, itu karena kedua fakultas itu berada dalam ranah ilmu pasti (eksakta). Jadi, segala sesuatunya memang sudah pasti, sedangkan di fakultas‐fakultas ilmu sosial dan humaniora belum tentu bisa demikian. Dalam ilmu sosial dan humaniora, aneka pendapat banyak orang penting dan mesti didengarkan. Jadi, mahasiswa tetap sangat membutuhkan arahan dalam porsi yang besar dari para dosen, katanya. ***

Arie Christy Sembiring Meliala [email protected]

Page 5: Final April Cetak

Vol. 1. Ed. 2. No. 2 APRIL 2009 WARTA LPPM Halaman 5

Proses metode belajar student centered learning Sumber: teacherindevelopment.blogsome.com

BERITA UTAMA

KIAT JITU MEMERANGI KEMALASAN MAHASISWA Seperti umumnya mahasiswa di negeri ini, Mohamad Muflih (20 tahun), mahasiswa semester 6 Jurusan Sastra Arab, Fakultas Sastra Unpad, berharap dapat lulus dengan predikat cum laude. Dengan catatan, nilai tinggi (IPK) yang diperoleh bukanlah nilai semu. Harapannya, ia bisa mempertanggung‐jawabkan IPK‐nya sesuai dengan ilmunya. Masalahnya, kemalasan seringkali menderanya. Belajarpun dilakukan hanya menjelang ujian. Istilah populernya: SKS (sistem kebut semalam). Akan tetapi kini apa boleh buat Muflih harus membiasakan diri belajar mandiri secara konsisten. Soalnya, jurusan tempatnya berkuliah baru saja menerapkan metode belajar student-centered learning (SCL). Metode ini menuntut mahasiswa untuk belajar benar‐benar aktif. Dosenpun berperan hanya sebagai fasilitator, inspirator, dan motivator. “Sejak semester enam ini jurusan saya menerapkan metode SCL. Metode ini tidak menguntungkan mahasiswa yang malas. Mereka akan selalu ketinggalan karena ‘ngga sering meng‐update bahan kuliah,” kata Muflih. Akan tetapi ia menambahkan, metode ini memungkinkan adanya kemajuan pesat bagi mahasiswa yang rajin. Kemajuan memang dialami mahasiswa yang mau dan rajin mencari bahan belajar. Nunki Azhima (20), mahasiswa semester 4 FK Unpad, misalnya, merasakan betul manfaat besar dari kebiasaan rajin mencari bahan kuliah melalui buku dan internet. Wawasannya ‐ perlahan tapi pasti ‐ menjadi sangat luas. Meskipun tidak membawa perubahan berarti terhadap nilai akademik (IPK)‐nya, paling tidak belajar mandiri telah meningkatkan pengetahuannya. Selain itu, informasi langsung dari buku‐buku juga jauh lebih terpercaya daripada informasi lisan dari orang‐orang lain, termasuk dosen. Mencari bahan belajar secara mandiri awalnya dilakukan Nunki karena tuntutan metode pembelajaran yang berlaku di kampusnya. FK Unpad sejak 2001 menetapkan metode pembelajaran yang menuntut mahasiswa untuk belajar mandiri. Metode baru itu disebut problem-based learning (PBL). PBL terdiri dari dua bagian perkuliahan, yakni lecture dan tutorial. Lecture berupa kuliah dengan jumlah mahasiswa yang sangat banyak, sementara pada tutorial mahasiswa yang berkuliah dikelompok‐kelompokkan. Tiap kelompok beranggo‐takan 10‐12 mahasiswa dan difasilitasi oleh seorang tutor. Tutor, sebutan bagi dosen yang memandu kelompok, tidak boleh banyak berbicara. Dia hanya mengamati dan sesekali membantu mahasiswa yang mengalami kesulitan. Tutor membantu mahasiswa yang seringkali terkendala oleh ketidaktahuan batasan konteks suatu kasus. Mengenai mekanisme pembelajarannya, Tri Hanggono, Pembantu Dekan II FK Unpad, mengatakan, metode PBL menggunakan kasus atau masalah sebagai trigger (pemicu) untuk mendorong proses‐belajar dan mengintegrasikan hal baru. Nunki membenarkan penjelasan Tri. Dia menceritakan pengalamannya dalam mengikuti kuliah Sistem

Reproduksi Manusia. Mahasiswa FK belajar materi ini selama enam bulan. Tiap minggu mahasiswa diberi dosen satu kasus. Misalnya, kelahiran bayi yang tak normal. “Nah, kita harus belajar bagaimana mendiagnosis itu, bagaimana treatment‐nya, bagaimana pencegahannya. Kita juga melihat masalah ini dari segi etika kedokterannya, segi sumber penyakitnya, dan dari segi epidemiologi atau angka statistiknya,” tutur Nunki pula. Jika suatu kelompok mahasiswa menemukan kebuntuan, sang tutor merekomendasikan mahasiswa untuk mencari jalan keluarnya dengan bertanya kepada kelompok lain. Jadi, pembelajaran tidak hanya dengan kelompok sendiri, tetapi juga dengan kelompok‐keompok lain. Berbeda dengan FK, di Jurusan Sastra Arab yang menjadi tutor adalah mahasiswa yang dianggap mempunyai kemampuan lebih tinggi daripada teman‐temannya. Biasanya mahasiswa yang jadi tutor berlatar belakang pendidikan madrasah atau pesantren dan sudah cukup senior. Penentuan anggota kelompok mahasiswa dilakukan sendiri oleh mahasiswa. Pertimbangan pemilihan anggota kelompok biasanya berdasarkan kedekatan emosional, sehingga semua anggota kelompok itu bisa bekerja sama secara efektif. Tubagus Chaeru, dosen Jurusan Sastra Arab, mengakui, metode SCL membuat mahasiswa aktif di kelas. Penilaian pun bisa dilakukan menyeluruh, tidak hanya menilai kecerdasan intelektual seperti melalui UTS atau UAS, tetapi juga menilai kecerdasan lainnya, seperti intrapersonal dan interpersonal. Menurutnya, metode SCL yang diterapkan di jurusannya, meskipun baru setengah semester, telah menunjukkan peningkatan kemahiran para mahasiswa yang tak berlatar belakang pendidikan madrasah atau pesantren. Hal ini mungkin karena adanya tuntutan terhadap mereka untuk mempersiapkan presentasi. Diupayakan agar tiap penyaji lebih menguasai materi kuliah yang akan dipresen‐tasikan dibandingkan teman‐temannya sekelas. Namun Chaeru mengakui masih ada kendala dalam metode belajar ini. Salah satu di antaranya, dalam hal penilaian kemampuan tiap mahasiswa. Nilai mahasiswa yang lebih aktif cenderung lebih besar daripada yang pasif, terutama di bidang kemahiran. “Oleh sebab itu, di sini saya menyiapkan berbagai macam poin penilaian. Selain keaktifan di kelas, saya juga menilai presentasi dan makalahnya. Mudah‐mudahan ini bisa jadi solusi bagi yang kurang aktif. Kalau dia membuat makalah dalam tim itu, berarti di juga bisa menyerap ilmunya,” ungkap Chaeru. Kendala lain, daya belajar mahasiswa berbeda‐beda. Ia sendiri masih mencoba memadu‐madankan berbagai cara agar kemampuan berpikir analitik mahasiswa terbentuk. Di sisi lain, mahasiswa Jurusan Sastra Arab juga menghadapi beberapa kendala. Salah satu di antaranya, langkanya sumber belajar. Apalagi karena studi menyangkut bahasa asing, sehingga mahasiswa harus menerjemahkan dulu materi kuliah ke dalam bahasa Indonesia. Terlepas dari berbagai kendala, Muflih dan Nunki sepakat bahwa metode berbasis mahasiswa. Mereka bisa memahami materi dengan jauh lebih baik, Vanya Chairunisa

[email protected]

Page 6: Final April Cetak

Vol. 1. Ed. 2. No. 2 APRIL 2009 WARTA LPPM Halaman 6

Sumber : http://prayitnoramelan.kompasiana.com

DiSERTASI PILIHAN

CITRA DAN REPUTASI PRESIDEN SBY DI MEDIA CETAK Berita perihal sakit perut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mungkin masih melekat dalam ingatan kita. Sekitar pertengahan Maret lalu, ketika dijadwalkan menghadiri acara peresmian dua proyek pembangunan di kompleks Semen Tonasa, Pangkep, Sulawesi Selatan, presiden tiba‐tiba mengeluh sakit perut. Perwakilan tim dokter kepresidenan menyatakan, SBY mengalami gangguan pencernaan dan harus istirahat. Akibatnya, acara pun berlangsung tanpa kehadiran orang nomor satu di republik ini. Sebagian orang menanggapi peristiwa itu dengan biasa saja. Presiden juga manusia, jadi wajar saja ia sakit. Begitu komentar seorang anggota mailing list (Milis) detikforum. Akan tetapi sebagian orang lagi menanggapi peristiwa tersebut dengan serius. Peristiwa ini merebak menjadi spekulasi yang menyentuh kehidupan politik. Mereka berspekulasi, sakitnya presiden akibat stres berat menghadapi manuver lawan‐lawan politiknya menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. Pernyataan ini dipetik dari salah satu artikel dalam blog yang dikelola Dr. Widodo Judarwanto, Spa. Memang betul, lain padang lain belalang, lain orang lain pula persepsinya. Persepsi terhadap pemberitaan yang menyangkut diri Presiden SBY pastilah selalu beraneka ragam. Bagi Elvinaro Ardianto, dosen senior Jurusan Hubungan Masyarakat, Fikom Unpad, pemberitaan SBY di media massa, khususnya di media massa cetak, memiliki makna tertentu. Pemberitaan tersebut bisa menjadi public relations politik, dan mengungkap citra serta reputasi Presiden SBY. Persepsi ini kemudian diteliti dan dituangkan ke dalam sebuah disertasi yang berjudul, “Pemberitaan Media Massa Cetak sebagai Public Relations Politik dalam Membentuk Citra dan Reputasi Presiden SBY”. Pada Rabu (18/3) hasil penelitian yang dikemas apik dalam disertasinya dipresentasikan dan dipertahan‐kannya dalam sebuah sidang terbuka Program S3 di kampus Program Pascasarjana Unpad. Naro, begitu Ketua PAKT Fikom ini biasa dipanggil, dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan. Naro membandingkan teks‐teks berita Presiden SBY di dua koran harian besar, Pikiran Rakyat (PR) dan Kompas. Dengan judul yang bermacam‐macam, pada tingkat tertentu pemberitaan‐pemberitaan itu dapat meningkatkan citra dan reputasi SBY, tetapi dapat pula sebaliknya. Judul berita, “SBY Diminta Stop Tebar Pesona” (PR, 11‐1‐2008), misalnya, merupakan sebuah kritikan terhadap kinerja presiden keenam RI itu. Metafora ‘tebar pesona’ dalam konteks politik sendiri diartikan sebagai melakukan kebijakan yang kurang penting, hanya mencari popularitas. Lebih daripada itu, penegasan kegagalan dalam kasus Lumpur Sidoarjo, Jawa Timur, dan penanganan korban tsunami Aceh dan Nias di bagian awal kutipan pada berita ini telah membentuk reputasi buruk SBY. “Berdasarkan analisis produksi teks, Pikiran Rakyat memang cenderung membentuk citra dan reputasi SBY negatif,” kata Naro. Rupanya Kompas menunjukkan hal yang berbeda dari PR. Suratkabar nasional ini cenderung membentuk citra dan reputasi

Presiden SBY positif. Ini dapat dilihat dari hasil analisis teksnya. Kompas lebih cenderung menampilkan isu tentang kegiatan presiden dan perombakan kabinet. Bagi PR perombakan kabinet hanya merupakan akomodasi politik SBY. Oleh sebab itu, koran ini memilih menghadirkan pengamat‐pengamat dari berbagai disiplin ilmu yang dikenal kritis terhadap pemerintah, seperti Indra J. Pialang dan Ikhlasul Amal, sementara Kompas memilih suara‐suara dari Istana Presiden, yakni juru bicara SBY, Andi Mallarangeng dan Wakil Presiden, Jusuf Kalla. Menurut Naro, perbedaan pandangan di antara kedua media itu dipengaruhi faktor intensitas hubungan dengan pemerintah. Faktor ini turut memengaruhi konstruksi sosial wartawan masing‐masing. “Karena terbit di daerah, maka PR kurang berinteraksi dengan pusat kekuasaan, sementara Kompas makin lama makin bermitra dengan pemerintah, sehingga aspek kritisnya berkurang,” jelas penerima penghargaan Satyalancana Karya Sapta 10 Tahun dari Presiden RI pada 2004 ini. Hasil penelitian Naro juga mengungkapkan, meski dari sudut pandang produksi teks kedua koran itu menyiratkan hal berbeda, namun dari sudut pandang analisis konsumsi teks, pemberitaan SBY cenderung menimbulkan respon yang sama. Artinya, respon pembaca terhadap pemberitaan SBY cenderung kritis, sehingga pemberitaan Kompas terhadap citra dan reputasi positif cenderung ditolak. Seorang wartawan yang menjadi nara sumber dalam penelitian Naro berpendapat, berbagai perilaku SBY memang hanya tebar pesona. Presiden itu masih menerapkan kampanye pencitraan. Padahal, sewaktu penelitian ini dilakukan (2007), masa Pilpres 2009 masih cukup lama. Pentingnya PR Politik Berbagai pemberitaan kebijakan dan kinerja SBY untuk membentuk citra dan reputasi positif dalam ilmu hubungan masyarakat (Humas) termasuk ke dalam Humas Politik. Ini merupakan suatu metode komunikasi untuk menciptakan citra dan reputasi positif atas dasar kepentingan bersama. “Oleh sebab itu, public relations politik sangat relevan dengan masa‐masa pemilihan umum seperti sekarang,” komentar Prof.Dr. Nina Winangsih Syam, Ketua Tim Promotor Naro. Menurut PD I Fikom itu, hasil penelitian Naro sangat strategis untuk dipublikasikan. Ungkapan senada diungkapkan Prof.Dr. Soleh Soemirat, anggota Tim Oponen Ahli lainnya. Mantan Dekan Fikom Unpad ini berpendapat, pada masa pemilihan umum semua pihak, baik partai politik maupun tokoh politik, bisa berbicara apa saja. Akibatnya, banyak perbedaan pandangan yang mengemuka. Humas politik bisa dimanfaatkan untuk membiasakan para warga masyarakat dengan perbedaan, tanpa menimbulkan rasa permusuhan. “Saya dengar beberapa tokoh, terutama anggota dewan yang terhormat, sudah mulai menyukai, bahkan menagih dengan bertanya, seperti apa sih public relations politik itu?” ungkap Soleh. Ini menjadi isyarat bagi mereka yang berkecimpung di dunia kehumasan untuk menjelaskan hal tersebut, seperti yang telah dilakukan Naro melalui disertasinya. Akan tetapi, lanjut Soleh, penelitian Naro mengenai Humas Politik barulah langkah awal. Penelitian lanjutannya tentu sangat perlu dilakukan dan dikembangkan. Nah, siapa yang berminat untuk mengembangkannya? ***

Vanya Chairunisa dan Yuliasri Perdani [email protected] dan [email protected]

Page 7: Final April Cetak

Vol. 1. Ed. 2. No. 2 APRIL 2009 WARTA LPPM Halaman 7

INOVASI

REVITALISASI SANGGAR PLP PERTANIAN ARJASARI Prof.Dr. Tualar Simarmata

Ketua SPLPP Arjasari, Fakultas Pertanian Unpad Tak kenal maka tak sayang. Mungkin masih banyak warga akademik Unpad, termasuk para dosen, yang tak/belum mengenal Sanggar Penelitian, Latihan, dan Pengem‐bangan Pertanian (SPLPP) Unit Arjasari. Lembaga ini merupakan aset yang sangat penting dan strategis dalam mendukung kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masya‐rakat di lingkungan Fakultas Pertanian Unpad. SPLPP unit Arjasari berlokasi di Desa Arjasari, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung. SPLPP di atas lahan seluas 200 hektar ini terletak di sebelah Selatan Kota Bandung. Jaraknya cuma + 25 km dari alun‐alun Kota Bandung. Lahan SPLPP Unit Arjasari diperoleh berdasarkan sertifikat tanah Hak Pakai No. 2/ Lebak Wangi dan Gambar lokasi No. 5239/ 1980. Sertifikat dikeluarkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tk. I Jawa Barat c.q. Kepala Direktorat Agraria Propinsi Jawa Barat No. 2093/ Dit. PHT/ HP/ 1980 tanggal 9 Juli 1980. Sertifikat Hak Pakai lahan percobaan di Arjasari itu diserahkan langsung oleh Menteri Agraria di Gedung Pakuan pada tahun 1981. Fakultas Pertanian Unpad memeroleh dana Bantuan Presiden (Banpres) untuk membangun Laboratorium Mekanisasi seluas 2000 M2 di lahan SPLPP Arjasari berikut pengadaan peralatan laboratoriumnya, termasuk traktor. Pada tahun 1980 Fakultas Pertanian Unpad juga memperoleh dana dari Pemda Tk. I Jawa Barat yang digunakan untuk membangun kantor SPLPP Arjasari seluas kurang lebih 80 m2. Selanjutnya dibangun ruang kuliah seluas 1000 m2 hasil kerja sama Fakultas Pertanian Unpad dengan Departemen Pertanian. Misi utama SPLPP Unit Arjasari, mendukung pelaksanaan kegiatan pendidikan (Perkuliahan, Praktikum, dan Pelatihan), penelitian dan pengem‐bangan keilmuan serta pengabdian kepada masyarakat. Misi tersebut hingga akhir tahun 1990‐an berjalan dengan baik. Permasalahan terjadi pada akhir dekade tahun 1990‐an, gara‐gara krisis moneter pada 1998 dan masalah dengan masyarakat sekitar yang mengokupasi lahan SPLPP. Akibatnya, hampir seluruh kegiatan Fakultas Pertanian di SPLPP tersebut terhenti atau terganggu. Permasalahan tersebut pada September 2008 dapat diatasi, sehingga pengelolaan SPLPP Arjasari sepenuhnya kembali kepada Fakultas Pertanian. Sejak awal tahun ini dilakukan sosialisasi SPLPP kepada para petani, pemerintah desa, dan instansi terkait setempat. Setelah dilakukan berbagai pertemuan, SPLPP Arjasari kembali digunakan untuk

program pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat Fakultas Pertanian dan fakultas lainnya di lingkungan Unpad. Kondisi saat ini sudah kondusif dan para petani maupun pemerintah desa setempat mengharapkan SPLPP menjadi pusat berbagai kegiatan ilmiah dan kegiatan lainnya yang sekaligus juga berdampak positif terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat di sana. Oleh karena itu, ke depan SPLPP Arjasari diharapkan dapat dimanfaatkan seluruh fakultas di Unpad. Agrokompleks dan Bumi Perkemahan Dalam rangka revitalisasi atau mengembalikan fungsi dan peranan SPLPP Unit Arjasari, pada 6 April lalu dilakukan Urun Rembug antara Pimpinan Fakultas Pertanian Unpad dengan Rektor Unpad, Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pembantu Rektor Bidang Kerja Sama beserta segenap jajarannya, dan Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Unpad. Hadir pula pada acara itu para wakil dari sekretaris daerah dan dinas terkait dari Kabupaten Bandung dan pihak swasta. Hasilnya, SPLPP Unit Arjasari perlu revitalisasi menjadi Agrokompleks dan Bumi Perkemahan Pertanian, yang dikelola secara profesional. Kini SPLPP juga dimanfaatkan untuk mendu‐kung kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dan proses belajar mengajar dengan metode Student-Centered Learning (SCL). Untuk mendukung revitalisasi ini, Fakultas Pertanian memutakhirkan data dan menyu‐sun cetak biru (master plan) SPLPP Arjasari dengan segera. Agrokompleks dan Bumi Perkemahan Pertanian berperan sebagai pusat pendidikan dan pelatihan pertanian, etalase berbagai teknologi pertanian (teknologi tepat guna dan kreatif), pertanian terpadu, pusat perbenihan, laboratorium lapang bebagai komoditas, agrowisata, dan wisata ilmiah. Sebagai Agrokompleks dan Bumi Perkemahan Pertanian, SPLPP Unit Arjasari juga dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan seluruh fakultas di lingkungan Unpad. Selain itu SPLPP juga diharapkan menjadi gerbang penyebaran teknologi dan pusat berbagai kegiatan penelitian, pelatihan, dan pengabdian kepada masyarakat. Untuk itu masyarakat lokal khususnya generasi muda (para siswa SD, SMP, dan SMU) perlu ditingkatkan partisipasinya. Kaum muda itu dapat langsung mengenal kegiatan pertanian sebagai unggulan dalam membangun kemandirian pangan dan energi di Indonesia melalui SPLPP. ***

[email protected]

Page 8: Final April Cetak

Vol. 1. Ed. 2. No. 2 APRIL 2009 WARTA LPPM Halaman 8

sumber gambar: www.unpad.ac.id

WARTA OPINI

DOSEN KORIDOR Yesmil Anwar Staf Pengajar Fakultas Hukum

Dalam suatu acara dinner yang diselenggarakan oleh MetroTV, untuk menghormati dua puluh tujuh rektor dari berbagai universitas di Indonesia, saya duduk berdampingan dalam satu meja oval bersama beberapa orang rektor dengan Bapak Surya Paloh pemilik Metro Group dan Tuty Adhitama Pemimpin Umum SK Bisnis Indonesia. Kehadiran saya di sana bukan sebagai rektor melainkan hanya mewakili rektor karena beliau berhalangan hadir. Saya diminta memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum. Dalam acara dinner yang nyaman tersebut, para hadirin saling tukar menukar kartu nama. Pak Surya Paloh dan Ibu Tuty Adhitama sambil memberikan kartu namanya pada saya, meminta kartu nama saya. Saya tertegun sejenak, karena saya tidak punya kartu nama. Namun dengan sopan saya minta maaf dan berkata sambil ‘melucu’, “wah…pak, dosen mah tidak perlu kartu nama, berbeda dengan Bapak dan Ibu, politisi dan selebriti media massa serta bapak‐bapak rektor pasti perlu memiliki kartu nama agar mudah berkomunikasi!” Ujar saya dalam dialek sunda yang saya sengaja kentalkan untuk menekankan ‘sense of humor’ urang sunda. Hadirin tertawa…..seraya melanjutkan menyantap hidangan yang super lezat. Tak lama kemudian terdengar pembawa acara mempersi‐lakan Pak Surya Paloh sebagai tuan rumah berkenan memberkan kata sambutan di mimbar. Sementara hadirin mendengarkan pidato beliau yang impresif, berapi‐api. Pikiran saya menerawang ke kampus Unpad tercinta di mana lebih dari dua puluh lima tahun saya mengajar. Selama ini saya tidak terlalu berurusan dengan alamat kantor, karena saya tidak punya kantor. Surat‐surat yang ditujukan pada saya selalu dikirimkan ke rumah saya oleh ekspedisi melalui petugas dari kampus. Saya punya kampus yang sangat saya cintai sejak masih mahasiswa, punya ruang kelas di mana saya mengajar, punya halaman kampus yang asri, punya kafetaria yang menyajikan sayur bayam kesukaan saya, punya aula besar tempat segala hal digelar, punya lapangan parkir yang padat dengan mobil mahasiswa yang mewah‐mewah, sehingga kadang‐kadang sulit bagi kami para dosen untuk ‘ikutan’ parkir di tempat kami mengabdikan ilmu pada mahasiswa. Punya perpustakaan yang bukunya banyak sudah lawas dan tidak lagi nyaman dibaca karena membuat bersin. Punya ruang jurusan yang kumuh dan tidak menjanjikan suasana keilmuan, karena kadang‐kadang hanya dipakai untuk rapat selama 2 jam di hari Jumat. Punya WC yang cukup nyaman meskipun jumlahnya terbatas, punya mesjid yang sejak mahasiwa saya sambangi setiap Jumat. Tapi, saya tidak pernah punya kantor maupun alamat jelas. Yang pasti kampus kami di Fakultas Hukum Unpad. Berlokasi di Jalan Dipati Ukur no.35. Jadi untuk apa saya harus punya kartu nama? Karena saya dan sebagian besar teman‐teman dosen tidak pernah punya sejumput meja kursi atau lemari untuk menyimpan tugas‐tugas dan skripsi mahasiswa atau locker tempat menyimpan surat‐surat. Selama ini kalau saya

dan kawan‐kawan dosen datang ke kampus cukup berdiri‐diri atau duduk‐duduk di koridor ruangan dekan, pembantu dekan dan berbagai ruang keadministrasian di lantai 2 gedung utama, sambil memandangi mahasiswa lewat dari sana. Kadang‐kadang kami melakukan ‘kenakalan’ memberi nilai bagaikan juri kontes kecantikan pada beberapa mahasiswi yang cantik….. Yah, itulah yang membuat saya menjuluki diri saya dan teman‐teman sebagai dosen koridor, karena sepanjang saya mengajar di Fakultas Hukum, saya hanya berada di koridor sebelum masuk kelas. Kami saksikan pembangunan gedung di kawasan kampus Dipati Ukur, tapi tak satu pun untuk ruang kerja dosen. Lucunya, justru yang diutamakan kantin untuk ruang makan dosen! Terkadang saya dan kawan dosen bertandang ‘mengganggu’, numpang duduk, baca Koran, dan makan kue yang tersedia buat tamu di kantor kolega kami yang beruntung memiliki ruang ber‐AC, meja, kursi, dan lemari pribadi karena jadi pejabat di fakultas. Domisili mereka jelas di kampus. Barangkali mereka memang layak punya kartu nama. Memang, kami punya ruang buat para dosen duduk beramai‐ramai seperti guru SD, dengan meja besar yang diisi dengan kursi ukiran yang berjejalan. Kursi ukiran itu mungkin dimaksudkan agar tampak keren atau karena tadinya semula ruangkan tersebut diperuntukan bagi para guru besar. Tapi maaf, kami tidak betah duduk di sana karena sumpek dan sulit untuk menerima tamu atau mahasiswa yang akan bimbingan atau konsultasi. Rasanya sulit sekali untuk menumbuhkan suasana ilmilah dalam situasi yang demikian. Kampus rasanya hanya sebagai tempat proses belajar mengajar bukan untuk mengembangkan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tidak terasa ada suasana ilmiah tumbuh subur. Dialog‐dialog ilmiah hanya terjadi diruang‐ruang kelas yang formal. Dalam diskusi formal, ujian sarjana, dan pasca‐ sarjana. Birokrasi kampus disamakan dengan birokrasi departemen, suasana kolegial antar stake holder tidak terbangun dengan baik. Saya merasa asing di rumah sendiri…… Tiba‐tiba lamunan saya terhenti. Suara tepuk tangan hadirin dalam acara dinner menyadarkan saya, rupanya Pak Surya Paloh sudah selesai berpidato. Acara ditutup dengan foto bersama dengan Pak Surya Paloh. Semua rektor berjejer rapih di barisan depan, di samping atau di belakang Pak Surya Paloh. Mereka berusaha untuk berada paling dekat dengan Pak Surya Paloh. Karena tahu bahwa esok pagi wajah mereka akan terpampang besar di surat kabar milik Media Group. Sementara saya memilih tempat berpose di sudut paling belakang saja. Karena merasa tidak punya kartu nama……

Page 9: Final April Cetak

Vol. 1. Ed. 2. No. 2 APRIL 2009 WARTA LPPM Halaman 9

REFORMASI PENGABDIAN

KKN BERSAMA MAHASISWA-DOSEN Selama ini banyak kritik dari berbagai pihak terhadap penyelenggaraan Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa (KKNM) Unpad. Mata kuliah wajib di luar kampus ini dianggap kurang tepat guna dan tidak ada pula keberlanjutannya. Kritik yang telah lama terlontar itu akhirnya ditanggapi juga oleh pengelola Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat (LPM) Unpad, yang baru‐baru ini telah disatulembagakan dengan Lembaga Penelitian. Kini namanya LPPM Unpad (lihat “Berita Utama” Warta LPPM edisi Februari 2009). Mulai tahun ini LPPM menerapkan paradigma baru dalam pelaksanaan KKNM. Pelaksanaan KKNM pada Juli‐Agustus mendatang dipadukan dengan Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) yang dilakukan oleh para dosen. “Namanya adalah Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa‐Pengabdian kepada Masyarakat Dosen (KKNM‐PKMD) Integratif. Hal itu dilatarbelakangi oleh keinginan kita untuk mendayagunakan KKN sekaligus juga pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan para dosen,” ungkap Sekretaris LPPM Unpad, Sondi Kuswaryan, M.S. kepada Warta LPPM, baru‐baru ini di kantor lama LPM, di Jl Banda, Bandung. Selain menjawab kritikan, penerapan KKNM‐PKMD Integratif juga merupakan upaya LPPM membuat program yang berkesinambungan dalam pembinaan desa. Jadi nanti dalam KKNM‐PKMD terpadu tersebut Unpad memiliki desa binaan. Suatu desa kelak dibina tidak hanya setahun, tapi sekurang‐kurangnya lima tahun. Tiap desa binaan Unpad akan memeroleh beberapakali kali layanan peserta KKNM‐PKMD Integratif. Menurut Sondi, mekanismenya juga mengalami reformasi (pembaruan) di berbagai sisi. Mula‐mula tim dari Divisi KKN LPPM mengobservasi desa‐desa yang membutuhkan bantuan atau pengembangan masyarakat setempat. Setelah tim itu mengidentifikasi dan memetakan dengan benar masalah nyata dan serius di desa yang bersangkutan, LPPM menyosialisasikan masalah itu kepada para dosen melalui fakultas‐fakultas. Kemudian para dosen membuat proposal PKM yang dipadukan dengan KKNM. Dengan demikian, isi program KKNM‐PKMD yang diusulkan dalam proposal benar‐benar klop atau sesuai dengan masalah yang sedang dihadapi masyarakat desa yang akan disasar. Model KKNM‐PPMD Intergratif sebetulnya tidak jauh berbeda dengan KKNM yang selama ini dilaksanakan Unpad. KKNM bertujuan agar mahasiswa bisa menyusun suatu program, yaitu melakukan observasi, identifikasi masalah, dan kemudian menentukan program apa yang bisa dilaksanakan. “Bedanya, perencanaan PKM berasal dari tim dosen yang terdiri dari satu ketua dan dua anggota, sedangkan KKN dari mahasiswa. Nah, ini diintegrasikan. Jadi pelaksanaannya, dosen melakukan observasi yang dituangkan dalam bentuk proposal, mahasiswa juga melakukan observasi untuk menentukan program apa yang akan dilakukan di desa itu. Yang berbeda itu, dosen menyusun proposal jauh sebelum pelaksanaan, sedangkan mahasiswa menyusun program ketika sudah di lapangan,” jelas Sondi. Tidak Cukup Waktu Sosialisasi Dosen senior Fakultas Peternakan itu mengungkap‐kan, pada Maret‐April 2009 ini telah masuk 134 proposal dosen ke LPPM. Jumlah ini jelas jauh melebihi ekspektasi LPPM, yang hanya 40 proposal. Namun bila dibandingkan dengan jumlah seluruh dosen di Unpad (lebih dari 2000

orang), maka jumlah itu tergolong kecil. Ternyata semua (134) proposal itu diajukan oleh kurang‐lebih 402 dosen saja dari sekitar 1900 dosen Unpad. Tampak jelas, sebagian besar dosen Unpad belum ambil bagian dalam membuat proposal KKNM‐PKMD Integratif ini. Maklumlah, masa sosialisanya relatif singkat, sehingga sampai kini masih banyak sekali dosen yang tak mengetahuinya. Ketua Divisi Pengelolaan dan Pengembangan KKN, LPPM, Dr. Zainuddin pada kesempatan terpisah mengemuka‐kan, meskipun jumlah proposal yang masuk ke LPPM sudah cukup banyak, namun isi sebagian proposal itu tidak/belum sesuai dengan harapan LPPM. Isi proposal umumnya memang sudah bagus, tapi secara operasional belum sesuai dengan target. Oleh karena itu, pihak pengelola LPPM mencoba melihat kemungkinan perubahan lokasi atau sasaran. Jika proposal yang diajukan tim dosen ini diterima, maka salah satu dari tiga anggota pembuat proposal harus bersedia menjadi Dosen Pembimbing Lapangan (DPL). Tiap DPL mendampingi dua kelompok KKNM (satu kelompok KKNM beranggotakan 30 mahasiswa) di dua desa. Mahasiswa dan dosen akan bersama‐sama melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat di desa‐desa di Jawa Barat. Kegiatan KKNM‐PKMD Integratif haruslah berdasarkan tema yang ditetapkan dalam proposal, namun tidak tertutup kemungkinan perubahan agar benar‐benar sesuai dengan kondisi tiap desa yang dibina. DPL menjadi asisten dalam penyusunan program yang dilakukan oleh mahasiswa. Tiap desa ditempati 30 mahasiswa dari minimal empat fakultas. Tiap mahasiswa wajib membuat rencana kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa setempat. Mahasiswa dapat melakukan ini karena mereka sudah terlebih dahulu mengamati desa yang akan mereka layani. “Pada dasarnya mahasiswa harus mampu menangkap apa yang dibutuhkan masyarakat desa, lalu disesuaikan dengan disiplin ilmunya. Melalui proses urun rembug bersama, setiap individu dari bidang ilmu spesifik sendiri‐sendiri berkumpul, kemudian membahas masalah yang diidentifikasikan versi bidang studinya. Itu menjadi bentuk kegiatan yang benar‐benar diaplikasikan,” tambah dosen senior Fakultas MIPA ini. Mobilisasi 3.000 Mahasiswa Sejak pendaftaran KKNM secara online hingga akhir pendafataran (30 April lalu), LPPM mencatat 3.389 orang peserta KKNM tahun ini. Namun LPPM belum bisa memastikan apakah semua mahasiswa itu bisa ikut KKNM‐PKPD Integratif. KKN Juli‐Agustus 2009 merupakan masa transisi, baik dalam hal pelaksanan maupun dalam hal penerimaan (rekrutmen) peserta. Para pengelola LPPM akan belajar dari pengalaman pada masa peralihan ini. “Saya kira dengan jumlah 3.000 mahasiswa, mobilisasinya akan menimbulkan masalah. Teknisnya, mungkin kami akan memberangkatkan 3.000 mahasiswa secara bertahap selama tiga hari berturut‐turut. KKN baru dimulai pertengahan Juli karena ada Pemilihan Presiden pada 8 Juli. Biasanya dimulai awal Juli,“ ungkap Sondi pula. Model baru KKNM‐PPMD ini akan menjadi model KKN selanjutnya. Kelak KKNM‐PKMD Integratif dilaksanakan dua kali setahun pada tiap akhir semester. Bersambung ke Halaman 11

Page 10: Final April Cetak

Vol. 1. Ed. 2. No. 2 APRIL 2009 WARTA LPPM Halaman 10

RALAT WARTA LPPM EDISI FEBRUARI ! Dalam Berita Utama Warta LPPM edisi Februari 2009 yang berjudul, “Berganti Status, Tak Semudah Membalikkan Telapak Tangan”, di halaman 2 ada kalimat “Di sisi lain, persiapan Unpad menuju BHP sendiri saat ini baru sebatas membuat draf undang-undang BLU.” Kalimat tersebut keliru. Seharusnya tertulis “Di sisi lain, persiapan Unpad menuju BHP sendiri saat ini baru sebatas membuat draf statuta BLU.” Demikian perbaikannya. Kami memohon maaf atas kekeliruan tersebut. Redaksi

WARTA PENELITIAN 1. Laporan Kemajuan Penelitian Andalan dan laporan penggunaan keuangan bulan Juni 2009 (format laporan kemajuan bisa dilihat di Panduan Andalan Unpad 2009) sedangkan Pemantauan dan Evaluasi Tahap I akan dilaksanakan pada bulan Juli 2009. 2. Laporan Kemajuan Penelitian Litmud Unpad, Hibah Bersaing, Fundamental, Hibah Pascasarjana, Penelitian Strategis Nasional Dikti dan laporan penggunaan keuangan, paling lambat tanggal 30 Juni 2009 (format laporan kemajuan dapat diambil di Subbagian Program), sedangkan Monitoring dan Evaluasi (Monev) akan dilaksanakan pada bulan Agustus – September 2009 (pemberitahuan menyusul) 3. Laporan Kemajuan Program Insentif Ristek dan laporan penggunaan keuangan, paling lambat tanggal 30 Juni 2009 (format laporan kemajuan dapat dilihat di buku Panduan Ristek 2009), sedangkan Monitoring dan Evaluasi (Monev) akan dilaksanakan pada bulan Agustus – September 2009 (pemberitahuan menyusul) 4. Laporan kemajuan dan laporan persiapan kegiatan KKP3T Deptan paling lambat akhir bulan Juni 2009 (format dapat dilihat di buku panduan KKP3T Deptan 2009) Keterangan lengkap dapat menghubungi : Sub Bagian Program Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Bidang Penelitian Jl. Cisangkuy 62 Bandung 40115 Telp/Fax (022) 7279435, email : [email protected], [email protected]

WARTA JURNAL

Jurnal yang akan diterbitkan : 1. Jurnal Sosiohumaniora Vol. 11 No 2 Juli 2009 2. Jurnal Bionatura Vol. 11 No 2 Juli 2009

WARTA PENGABDIAN Pelaksanaan Program KKNM‐PPMD INTEGRATIF Tahun 2009 dilaksanakan pada tanggal : 1. Kuliah Umum Tanggal 11 Juni 2009* 2. Kuliah Khusus tanggal 12 – 24 Juni 2009* Lokasi Pelaksanaan KKN‐M 1. Kabupaten Garut (Pantai Selatan) 2. Kabupaten Tasikmalaya Selatan 3. Kabupaten Ciamis 4. Kabupaten Cianjur Selatan 5. Kabupaten Sukabumi Selatan Keterangan Lebijh lanjut dapat menghubungi : Divisi Pengelolaan dan Pengembangan KKNM bidang Pengabdian Kepada Masyarakat LPPM Unpad Jl. Banda No. 40 Bandung 40115 Telp/Fax (022) 4203901 email : [email protected] * tentatif

Page 11: Final April Cetak

Vol. 1. Ed. 2. No. 2 APRIL 2009 WARTA LPPM Halaman 11

RESENSI BUKU

HKI dalam KERANGKA INDIKASI GEOGRAFIS

Judul buku : Geographical Indications Protection in Indonesia Based on Cultural Rights Approach

Penulis : Miranda Risang Ayu Penerbit : Nagara, Jakarta Tahun terbit : Cetakan pertama, 2009 Tebal : 438 halaman Seiring dengan perkembangan industri kultural yang semakin pesat dewasa ini, hak kekayaan intelektual (HKI) menjadi salah satu isu penting yang terus menerus mengemuka. Kontroversi pendaftaran paten tempe dan batik oleh pihak‐pihak asing, misalnya, menjadi contoh nyata betapa masalah HKI dapat membawa implikasi yang luas dalam kehidupan kita. Maka untuk mengurangi kebingungan dan kesalahpahaman, segala seluk beluk HKI perlu terus ditelaah, dipahami, dan disebarluaskan kepada masyarakat. Miranda Risang Ayu, dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (FH Unpad) telah lama menggeluti masalah HKI. Pada tahun 2006 alumnus University of Technology Sydney (UTS) yang juga Ketua UPT HKI Unpad ini menerbitkan buku berjudul, Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis. Menurutnya, HKI tidak hanya mencakup masalah paten dan hak cipta. Indikasi geografis juga menjadi masalah penting dalam HKI, karena dapat secara langsung merujuk asal produk tertentu. Lebih daripada itu, indikasi geografis sebuah produk dapat pula mengungkapkan karakter unik yang hanya dihasilkan oleh sebuah wilayah geografis tertentu, sehingga dapat dibedakan dengan produk dari wilayah geografis lain. Dalam buku terbarunya, Geographical Indications Protection in Indonesia Based on Cultural Rights Approach

(2009), Miranda mengupas lebih jauh indikasi geografis di Indonesia, terutama berkaitan dengan keterikatan Indonesia dalam perjanjian Trade-Related Aspects on Intellectual Property Rights (TRIPS). Melalui penelitian yang dilakukannya di tujuh wilayah Indonesia dan dua lokasi di Australia serta dilengkapi dengan penelusuran pustaka yang komprehensif, ia merumuskan empat model pilihan yang dapat digunakan Indonesia dan negara‐negara yang terikat perjanjian TRIPS untuk melindungi HKI dalam kerangka indikasi geografis di tingkat nasional. Khusus konteks Indonesia, Miranda menyimpulkan, moda perlindungan indikasi geografis di level spesifik adalah moda yang paling cocok untuk diterapkan sebagai sebuah sistem perlindungan. Terlepas dari kekeliruan ini, buku teks ini sangat penting dibaca oleh semua orang dengan berbagai latar belakang kelimuan. Meski ditulis dalam kerangka ilmu hukum, penelitian Miranda perlu ditelaah dan disebarluaskan pada khalayak luas mengingat luasnya cakupan dan implikasi HKI dalam kehidupan kita kini dan kelak. Selamat menikmati isinya yang sangat berbobot! ***

Nunik Maharani Hartoyo [email protected]

KKN Bersama Mahasiswa-Dosen.. sambungan dari halaman 9 Seperti biasa mahasiswa yang akan melaksanakan kuliah KKNM harus telah lulus minimal 110 SKS. Asumsinya, mahasiswa peserta KKNM memiliki IPK baik, rata‐rata mengambil dan luus 20 SKS per semester. Jadi, dalam enam semester mahasiswa yang bersangkutan sudah melunasi 120 SKS. Dengan program studi S1 selama delapan semester, berarti mahasiswa diasumsikan sudah menguasai 75% disiplin ilmunya. Mahasiswa diharapkan bisa melihat segala sesuatu dari disiplin ilmunya. Ada kekhawatiran di kalangan mahasiswa, pelaksanaan KKNM–PPMD Integratif akan membatasi kreativitas mahasiswa. Zainuddin menyatakan, mahasiswa tidak perlu takut terhadap paradigma baru KKN. Mungkin ada kekhawatiran dari paradigma lama dengan sistem tematik. Takutnya mahasiswa menganggap kreativitasnya dibatasi, karena mahasiswa melakukan kegiatan yang sebenarnya kegiatan dosen. “Sama sekali tidak begitu, karena ada kegiatan yang direncanakan sendiri oleh mahasiswa,” tegas Zainuddin.

Jabar Selatan Jadi Sasaran Mulai tahun ini (2009) KKNM dilaksanakan di lima kabupaten di daerah Jabar Selatan, yaitu Cianjur, Ciamis, Sukabumi, Garut, dan Tasikmalaya. Tentunya ada alasan mengapa KKNM tahun ini berbeda dari wilayah KKN sebelumnya. LPPM mengamati adanya perbedaan perlakuan dan Indeks Pembangunan Masyarakat (IPM) antara daerah Jabar Utara dan Jabar Selatan. Masyarakat di Jabar Selatan pada umumnya terisolasi. Dosen tak cukup sibuk mengajar dan mendidik para mahasiswa yang jumlahnya memang terus semakin membengkak serta melakukan penelitian belaka. Dosen juga harus sibuk mengabdikan ilmu masing‐masing kepada masyarakat, terutama melalui program KKNM‐PKMD Integratif. Rakyat desa‐desa Jabar dengan penuh harap terus menanti pengabdian kita. Jangan kecewakan saudara‐saudara kita yang jauh tertinggal itu! *** Purwaningtyas Permata Sari & Yesi Yulianti.

[email protected] dan [email protected])

Page 12: Final April Cetak

Vol. 1. Ed. 2. No. 2 APRIL 2009 WARTA LPPM Halaman 12

PROFIL

TRI HANGGONO ACHMAD:

BERHASIL MELALUI UJIAN Laki‐laki berkacamata ini menjadi salah satu informan bagi pihak‐pihak yang ingin mengetahui lebih jauh tentang metode pembelajaran problem-based learning (PBL). Memang, FK Unpad di mana dia mengabdikan diri selama ini, telah lebih dulu menerapkan metode yang mendorong mahasiswa lebih aktif belajar mandiri ini dibandingkan dengan beberapa FK universitas lain. Maka, ketika metode PBL secara nasional marak digembar‐gemborkan pada 2005, Pembantu Dekan II FK Unpad ini sibuk menerima tamu‐tamu yang datang berkunjung ke tempatnya. Namun kesibukan menjamu tamu kini sudah jarang dilakoninya. Setelah hampir empat tahun berlalu, Doktor Med. Tri Hanggono Achmad mengaku telah lama tak berbicara masalah PBL. Meski demikian, ia bersedia melayani Warta LPPM di kampus Jatinangor baru‐baru ini. Dengan ramah Tri menjawab berbagai pertanyaan seputar metode pembelajaran yang tak berbeda jauh dengan metode student-centered learning (SCL) ini. Ia juga menceritakan hasil penelitiannya tentang hasil PBL yang telah diterapkan di FK Unpad sejak tahun 2001. Ilmuwan kelahiran Bandung, 22 September 1962 ini mengungkapkan, ada penelitian mengenai PBL yang sangat berkesan baginya. Ia dan tim peneliti FK Unpad berhasil membuktikan, mahasiswa mempunyai adaptasi yang kuat terhadap perubahan pola belajar. Artinya, jika ada perubahan, sebenarnya yang cenderung mengalami kesulitan mengikuti perubahan itu adalah para dosen. Dosen umumnya sudah terpatri cukup lama dengan pola mengajar konvensional. Mereka sudah memiliki keyakinan tertentu, sehingga jika ingin mengubah keyakinan itu, harus ada hasil spektakuler. Tanpa bukti itu, keyakinan mereka susah diubah. Lain halnya dengan mahasiswa. Mereka cenderung menerima apa saja yang diberikan. Akan tetapi yang terjadi selama ini, justru para dosen meragukan kemampuan mahasiswa beradaptasi terhadap metode belajar yang baru. “Padahal sebenarnya para mahasiswa sangat potensial untuk menerima inovasi dalam proses belajar‐mengajar,” kata Tri. Ia menambahkan, meskipun tidak diberi kuliah, mahasiswa tetap bisa mendapatkan ilmu pengetahuan. Pada saat ujian mereka mampu mengerjakannya. Mereka bisa menguasai ilmunya. “Hal ini telah dibuktikan dan hasilnya tidak bisa dimungkiri,” tegas lulusan International Fellowship in Medical Education–Educational Commission for Foreign Medical Graduate, Amerika Serikat (1999‐2000) ini. Penelitian Tri dan timnya mengenai PBL juga mencakup bidang student assessment atau ujian mahasiswa. Mereka fokus pada bidang ini, karena salah satu aspek penting pendidikan adalah ujian. Ujian telah menjadi drive (kendali) terkuat bagi seseorang untuk belajar. Bahkan mahasiswa program doktor (S3) pun belajar hanya pada saat akan ujian. Jarang sekali mahasiswa yang belajar karena memang tertarik kepada ilmunya. Dari sana mereka menduga, ujian bukan hanya men‐drive belajar, tapi juga

memengaruhi proses pendidikan. Atas dasar itu mereka memutuskan untuk fokus memperbaiki dan memperkuat aspek ujian ini. Perbaikan dilakukan melalui standardisasi kelulusan. Tri menjelaskan, perlu dibuat standardisasi melalui contoh dua mahasiswa yang sama‐sama mendapatkan B. Salah satu mahasiswa mendapatkan B cukup dengan nilai 62, sementara mahasiswa satunya lagi baru mendapatkan B ketika nilainya mencapai 67. Meskipun sama‐sama mendapat B, tapi ada perbedaan nilai yang signifikan. “Ini ‘kan fatal,” katanya tegas. Dengan adanya standardisasi, ia berharap orang tidak akan lagi ragu‐ragu. Orang akan yakin, bahwa nilai tinggi juga menunjukkan ilmunya benar‐benar tinggi. IPK 3,5 tidak lantas menunjukkan orang itu ‘jagoan’ bila standar penilaiannya tidak baik. Penguatan aspek ujian dilakukan atas dasar bahwa hasil ujian harus membawa feedback (umpan balik) terhadap proses belajar. Hasil ujian yang tidak memberikan umpan balik terhadap proses pembelajaran tidak akan ada gunanya. Kepercayaan yang diberikan ini juga tidak terlepas dari keikutsertaan unit ujian FK dalam konsorsium Asia‐Pasifik. Bahkan dengan hibah yang datang dari Bank Dunia sebentar lagi mereka juga dipercaya untuk mengembangkan ujian nasional pendidikan dokter gigi, perawat, dan bidan. “Itu luar biasa kekuatan kami, sehingga kami mampu mengembangkan sistem ujian yang andal sekarang,” ujar suami Tina Ratnawati ini. Menurut Tri, penelitian harus terus dikembangkan. Masalah keterbatasan waktu untuk meneliti dapat diatasi dengan pembagian tugas. FK sendiri mempunyai unit‐unit khusus yang menangani penelitian dan penyelenggaraan ujian, sehingga regenerasinya masih cukup kuat. Untuk dapat meneliti, dosen harus rajin membaca banyak buku bagus yang relevan dengan program studi masing‐masing. Penulis utama dalam delapan publikasi ilmiah, dosen FK ini menambahkan, membaca buku bukan hanya secara hakiki, membaca referensi, tetapi juga membaca fenomena sekitar. Penelitian dimulai dari fenomena yang terjadi di sekitarnya. Kemampuan membaca fenomena akan muncul jika dosen mau berpikir. Inilah hal mendasar dalam penelitian. Metode PBL, menurut Tri mampu mendorong para dosen dan mahasiswa melakukan penelitian‐penelitian. Dalam proses pembelajaran muncul masalah, lalu berkembanglah pemikiran untuk menelitinya. Inilah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mendorong terciptanya iklim penelitian yang kondusif. Semoga pengalaman yang disampaikan oleh Dr. Tri Hanggono ini dapat memacu fakultas lain untuk meningkatkan kinerjanya.*** Vanya Chairunisa

[email protected]

WWAARRTTAA LLPPPPMM Alamat Redaksi : Jl. Cisangkuy No. 62 Bandung 40115 Telp/Fax. (022) 7279435/7208013 Email: [email protected]

PEMBINA: Rektor Unpad‐Ganjar Kurnia; NARASUMBER: Dekan di lingkungan Unpad; PENANGGUNG JAWAB: Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Unpad‐Oekan S. Abdoellah; PEMIMPIN UMUM: Sekretaris Bidang Penelitian LPPM Unpad‐Chay Asdak; PEMIMPIN REDAKSI: S. Sahala Tua Saragih; DEWAN REDAKSI: Dede Mariana; Redaktur Pelaksana: Yesi Yulianti dan Nunik Maharani Hartoyo; Anggota Staf Redaksi: Arie Christy Sembiring Meliala, Purwaningtyas Permata Sari, Yuliasri Perdani, dan Vanya Chairunisa. KOORDINATOR SIRKULASI: Endang Supriatna; ANGGOTA SIRKULASI/TEKNIS: Mochamad Syaiful, Cucu Cuminawati, Arief Irmansyah, dan Ade Chaidir; REDAKTUR ARTISTIK: Deni Rustiandi

Tri Hanggono Ahmad saat wawancara di ruang kerjanya sumber : vanya chairunissa