fermentasi substrat padat fermentasi kecap_melita mulyani_12.70.0080_b3

30
1. HASIL PENGAMATAN Hasil pengamatan uji sensori terhadap proses fermentasi kecap dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Uji Sensori Terhadap Proses Fermentasi Kecap Ke l Bahan dan Perlakuan Aroma Warna Rasa Kekentalan B1 Kedelai hitam 0,5% inokulum dan cengkeh + + +++ +++ B2 Kedelai putih 0,75% inokulum dan cengkeh - - - - B3 Kedelai hitam 0,75% inokulum dan daun serai +++ ++ + + B4 Kedelai putih 1% inokulum dan daun serai - - - - B5 Kedelai hitam 1% inokulum dan pala ++ +++ ++ ++ Keterangan : Aroma Kekentalan +++ : sangat kuat +++ : sangat kental ++ : kuat ++ : kental + : kurang kuat + : kurang kental Warna Rasa +++ : sangat hitam +++ : sangat kuat ++ : hitam ++ : kuat + : kurang hitam + : kurang kuat Berdasarkan Tabel 1. di atas dapat diketahui informasi mengenai hasil uji sensoris kecap yang dihasilkan dari berbagai konsentrasi inokulum yang berbeda dan penambahan bahan lain yang berbeda. Pada pengamatan sensoris ini, terdapat 4 parameter yang diuji yaitu aroma, kekentalan, rasa dan warna. Untuk kelompok B2 1

Upload: james-gomez

Post on 14-Sep-2015

65 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Pembuatan kecap pada praktikum Teknologi Fermentasi ini dilakukan melalui proses fermentasi kedelai sehingga dihasilkan cairan yang berwarna coklat sampai hitam yang kental. Proses fermentasi kecap meliputi 2 tahap fermentasi utama, yaitu fermentasi koji dan moromi. Fermentasi koji dilakukan dengan menggunakan jamur yang berasal dari ragi tempe, sedangkan fermentasi moromi dilakukan dengan perendaman dalam larutan garam.

TRANSCRIPT

1. HASIL PENGAMATANHasil pengamatan uji sensori terhadap proses fermentasi kecap dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Uji Sensori Terhadap Proses Fermentasi KecapKelBahan dan PerlakuanAromaWarnaRasaKekentalan

B1Kedelai hitam 0,5% inokulum dan cengkeh++++++++

B2Kedelai putih 0,75% inokulum dan cengkeh----

B3Kedelai hitam 0,75% inokulum dan daun serai+++++++

B4Kedelai putih 1% inokulum dan daun serai----

B5Kedelai hitam 1% inokulum dan pala+++++++++

Keterangan :AromaKekentalan+++: sangat kuat+++: sangat kental++: kuat++: kental+: kurang kuat+: kurang kentalWarnaRasa+++: sangat hitam+++: sangat kuat++: hitam++: kuat+: kurang hitam+: kurang kuat

Berdasarkan Tabel 1. di atas dapat diketahui informasi mengenai hasil uji sensoris kecap yang dihasilkan dari berbagai konsentrasi inokulum yang berbeda dan penambahan bahan lain yang berbeda. Pada pengamatan sensoris ini, terdapat 4 parameter yang diuji yaitu aroma, kekentalan, rasa dan warna. Untuk kelompok B2 dan B4 digunakan kedelai putih dengan tingkat inokulum dan penambahan bahan berbeda. Namun kecap kelompok B2 dan B4 mengalami kegagalan, sehingga tidak terdapat hasil uji sensori. Kelompok B1 yang menggunakan kedelai hitam dengan 0,5% inokulum dan penambahan cengkeh dihasilkan kecap yang memiliki aroma kurang kuat, berwarna kurang hitam, serta memiliki rasa yang sangat kuat dengan kekentalan yang sangat kental. Kecap dengan bahan kedelai hitam 0,75% inokulum dan penambahan daun serai yang dihasilkan kelompok B3 beraroma sangat kuat, berwarna hitam, memiliki rasa yang kurang kuat, dan tingkat kekentalan yang kurang. Untuk kelompok B5 yang menggunakan bahan kedelai hitam 1% inokulum dan penambahan pala dihasilkan kecap yang memiliki aroma dan rasa yang kuat, berwarna sangat hitam, dan memiliki kekentalan yang kental.

20

2. 21

3. PEMBAHASAN

Rahman (1992) mengungkapkan bahwa kecap yang memiliki pH sekitar 4,9 - 5,0 merupakan salah satu jenis makanan tradisional yang dihasilkan melalui proses fermentasi kedelai atau kacang-kacangan hingga dihasilkan cairan yang berwarna coklat sampai hitam yang kental. Dalam jurnal berjudul Isolation and Identification of Aspergillus oryzae and the Production of Soy Sauce with New Aroma yang ditulis oleh Elbashiti et al. (2010) juga disebutkan bahwa kecap merupakan suatu cairan yang berwarna coklat gelap yang memiliki aroma dan rasa yang khas, dimana kecap dijadikan bahan pendukung yang sering digunakan dalam pembuatan masakan oriental. Judoamidjojo (1987) menambahkan bahwa berdasarkan kekentalan dan rasa, kecap dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu kecap manis dan kecap asin. Kecap manis mengandung gula palma cukup banyak dan garam dalam jumlah yang sedikit, serta memiliki konsistensi yang sangat kental, sedangkan kecap asin berkonsistensi lebih encer, memiliki warna yang lebih muda, dan mengandung gula palma dalam jumlah yang sedikit, namun memiliki kandungan garam yang cukup tinggi. Menurut SNI 01-3543-1994, kecap dapat pula diartikan sebagai salah satu produk makanan cair yang berasal dari fermentasi atau hidrolisis kacang kedelai dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan yang diizinkan.

Pada praktikum fermentasi substrat padat fermentasi kecap kali ini, bahan baku yang digunakan adalah kedelai putih dan kedelai hitam. Penggunaan kedua jenis kedelai ini telah sesuai dengan pernyataan Kasmidjo (1990) bahwa bahan dasar pembuatan kecap adalah kedelai putih atau hitam dalam bentuk utuh atau hancur. Santoso (1994) menambahkan bahwa kedelai yang digunakan sebaiknya utuh (tidak memar atau rusak), bebas dari kulit, batang, atau ranting tanaman. Selain itu juga bebas dari batu, kerikil, tanah atau biji-bijian tanaman lainnya. Moehyi (1992) mengungkapkan bahwa kedelai merupakan salah satu bahan nabati yang mengandung protein dalam jumlah yang tinggi (35%), namun memiliki kandungan lemak yang relatif rendah bahkan tidak ada. Selain kandungan protein, Rolling & Verseveld (1996) menjelaskan bahwa kedelai juga mengandung gula sebesar 20% dan berbagai karbohidrat seperti sukrosa, melibiosa, dan rafinosa.

3.1. Cara KerjaWinarno et al. (1980) menjelaskan bahwa proses pembuatan kecap dapat dilakukan melalui 3 cara, yaitu fermentasi, hidrolisis secara kimia, dan kombinasi antara keduanya. Pada praktikum ini, proses pembuatan kecap dilakukan melalui proses fermentasi. Menurut Hardjo (1964), pada proses pembuatan kecap terjadi pemecahan beberapa senyawa makromolekul kompleks dalam kedelai menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana, diantaranya adalah protein yang akan dipecah menjadi peptida dan asam amino; lemak menjadi asam lemak; sedangkan karbohidrat menjadi monosakarida. Hasil pemecahan senyawa-senyawa makromolekul inilah yang menghasilkan aroma, rasa, dan flavor pada kecap. Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Purwoko & Handjajani (2007), kecap yang dihasilkan melalui proses fermentasi memiliki cita rasa serta aroma yang lebih disukai konsumen daripada kecap yang dihasilkan dari proses hidrolisis kimia.

Santoso (1994) menjelaskan bahwa proses pembuatan kecap melalui fermentasi terdiri dari 4 tahapan, yaitu proses perebusan biji kedelai, tahap penjamuran, tahap penggaraman, dan proses perebusan akhir. Tahap perebusan dan penjamuran merupakan proses yang terjadi dalam fermentasi koji, sedangkan tahap penggaraman dan perebusan akhir termasuk dalam proses fermentasi moromi. Hal ini sesuai dengan cara kerja pembuatan kecap yang dilakukan pada praktikum kali ini, dimana terdiri dari 2 proses fermentasi utama, yaitu fermentasi koji dan fermentasi moromi.

3.1.1. Fermentasi KojiTahap awal fermentasi koji yang dilakukan pada praktikum ini dimulai dengan perendaman kedelai hitam maupun putih sebanyak 250 gram selama satu malam (12 jam) dalam air hingga terendam sempurna. Tortora et al. (1995) mengungkapkan bahwa proses perendaman kedelai bertujuan untuk menghidrasi air ke dalam biji kedelai sehingga pada proses pemasakan tidak membutuhkan waktu yang lama karena kedelai tersebut akan mudah lunak. Perendaman juga dilakukan supaya kulit ari kedelai lebih mudah terkelupas. Hal ini didukung oleh pernyataan Kasmidjo (1990) bahwa proses perendaman ini dapat meningkatkan berat kedelai menjadi dua kali lipat karena adanya proses penyerapan air. Setelah proses perendaman, biji kedelai akan mengalami pemekaran. Berdasarkan jurnal berjudul Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R. oligosporus yang dikemukakan oleh Purwoko & Handjajani (2007), perendaman kedelai dilakukan untuk mengubah semua isoflavon malonil-glikosida dan asetil-glikosida kedelai menjadi isoflavon glikosida yang dapat berubah menjadi isoflavon aglukon selama perendaman akibat aktivitas enzim glukosidase pada kedelai, sehingga selama proses fermentasi, Rhizopus sp. akan mampu mengubah senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana.

Selanjutnya kedelai tersebut dicuci, ditiriskan, dan dibuang kulit arinya. Santoso (1994) mengungkapkan bahwa pencucian dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang masih melekat atau tercampur pada biji kedelai. Setelah itu dilakukan proses perebusan biji kedelai hingga memiliki tekstur yang lunak / empuk, kemudian dilakukan penirisan dan pengeringan pada kedelai. Menurut teori Tortora et al. (1995), proses perebusan biji kedelai bertujuan untuk menginaktifkan zat-zat antinutrisi, melunakkan biji kedelai, dan menghilangkan bau langu dari biji kedelai. Selain itu, perebusan juga dapat mengurangi sebagian besar jumlah mikroorganisme yang terdapat pada permukaan biji kedelai. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Fukushima (2004) yang menyatakan bahwa pada tahap perebusan, enzim lipoksigenase yang menyebabkan bau langu pada kedelai akan terinaktivasi, sehingga bau langu pada kedelai dapat dihilangkan. Penirisan dan pengeringan kedelai hingga suam-suam kuku sesuai dengan pendapat Santoso (1994) yang mengungkapkan bahwa proses penirisan setelah perebusan bertujuan untuk mengurangi kandungan air pada kedelai dan menurunkan suhu biji kedelai yang menyebabkan tercapainya keadaan yang sesuai untuk dilakukan penambahan inokulum, sehingga inokulum yang ditambahkan tidak mati akibat tingginya suhu biji kedelai. Atlas (1984) menjelaskan bahwa tahap pengeringan hingga suam-suam kuku memiliki tujuan agar biji kedelai masih dalam kondisi yang cukup lembab karena kondisi yang lembab ini akan membantu pertumbuhan jamur pada permukaan kedelai dan dapat mengaktifkan enzim, seperti enzim protease dan enzim amilase karena enzim protease berperan untuk memecah protein menjadi asam amino, sedangkan enzim amilase berperan dalam pemecahan karbohidrat menjadi monosakarida sehingga proses fermentasi yang berlangsung menjadi lebih mudah.

Gambar 1. Perebusan Kedelai

Gambar 2. Penirisan dan Pengeringan Kedelai Putih (kiri) dan Kedelai Hitam (kanan)

Selanjutnya biji kedelai tersebut diletakkan di dalam besek yang telah disemprotkan alkohol dengan alas daun pisang yang telah dibersihkan. Penyemprotan alkohol pada besek dan pembersihan daun pisang dilakukan dengan tujuan untuk mencegah adanya kontaminasi silang pada produk fermentasi koji. Kasmidjo (1990) menjelaskan bahwa proses penginkubasian harus memungkinkan terjadinya kontak dengan udara luar karena proses fermentasi jamur harus dilakukan secara aerob yaitu membutuhkan oksigen atau O2 untuk pertumbuhannya. Oleh karena itu pengaturan kondisi fermentasi diperlukan karena penggunaan suhu yang tepat dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme kontaminan seperti Mucor sp. dan bakteri proteolitik yang dapat mempengaruhi hasil kecap.

Gambar 3. Peletakkan Kacang Kedelai dalam Besek dengan Alas Daun Pisang

Kemudian dilakukan penambahan inokulum komersial (ragi) untuk tempe dengan jumlah yang berbeda tiap kelompok, lalu diaduk hingga rata. Tahap ini telah sesuai dengan pernyataan Santoso (1994) yang menyatakan bahwa pada fermentasi kecap dilakukan penambahan ragi tempe yang kemudian diaduk hingga merata agar inokulum yang ditambahkan akan tersebar merata pula di seluruh permukaan biji kedelai. Setelah dilakukan penambahan inokulum, besek yang berisi kedelai dan inokulum dapat ditutup dengan daun pisang dan penutup besek. Lalu dilakukan inkubasi selama 2 hari pada suhu ruang. Hal ini telah sesuai dengan pendapat Santoso (1994) yang mengatakan bahwa biji kedelai yang telah diberi inokulum dapat diinkubasi pada suhu ruang (25-30C) selama 2-3 hari hingga pertumbuhan kapang dapat terlihat dengan terbentuknya miselia / hifa pada permukaan kedelai.

Gambar 4. Penimbangan Ragi TempeGambar 5. Pemberian Ragi pada Kedelai

Gambar 6. Pengadukan supaya Ragi Merata

Gambar 7. Pembungkusan dengan Daun PisangGambar 8. Inkubasi

Adanya miselia / hifa pada permukaan kedelai yang berbentuk seperti tempe menandakan bahwa proses fermentasi koji telah berjalan dengan baik. Berdasarkan pendapat Rahayu et al. (1993), selama proses fermentasi koji terjadi perubahan penting dalam kedelai yaitu degradasi karbohidrat dan protein oleh enzim yang dihasilkan oleh kapang. Astawan & Astawan (1991) menambahkan bahwa kapang yang berperan dalam proses fermentasi koji adalah Aspergillus oryzae, Aspergillus soyae, Aspergillus niger, dan Rhizopus sp. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Chancharoonpong et al. (2012) dalam jurnalnya yang berjudul Production of Enzyme and Growth of Aspergillus oryzae S. on Soybean Koji yang menyatakan bahwa selama fermentasi koji, Aspergillus oryzae menghasilkan enzim amilase dan protease yang berperan dalam pemecahan karbohidrat dan protein dalam kedelai. Pertumbuhan fungi ini berbanding lurus dengan produksi enzim, dimana pertumbuhan fungi yang semakin banyak akan menghasilkan enzim yang semakin banyak pula, dimana produksi enzim tertinggi terjadi selama 48 jam inkubasi.

Gambar 9. Kedelai yang Ditumbuhi Miselium / Hifa

3.1.2. Fermentasi MoromiSetelah dilakukan inkubasi selama 2 hari, kedelai yang sudah ditumbuhi kapang disebut juga sebagai koji. Koji yang terbentuk lalu dipotong-potong agar pada tahap selanjutnya, yaitu pengeringan dapat merata serta memudahkan pelepasan filamen ini. Selanjutnya pengeringan dilakukan dengan dehumidifier selama 2-4 jam. Menurut Tortora et al. (1995), tahap pengeringan dilakukan untuk menghilangkan kapang yang melekat pada substrat karena kapang sudah tidak lagi digunakan pada tahap berikutnya. Peppler & Perlman (1979) menambahkan bahwa tahap pengeringan yang dilakukan bertujuan untuk menurunkan kadar air yang terkandung dalam kedelai, sehingga pertumbuhan kapang akan terhambat.

Gambar 10. Pemotongan KojiGambar 11. Hasil Pengeringan dalam Dehumidifier

Kedelai yang sudah kering lalu dimasukkan ke dalam toples plastik dan dilakukan penambahan larutan garam 20% dengan perbandingan 1 : 2, kemudian direndam selama 1 minggu. Menurut Tortora et al. (1995) tahap perendaman kedelai dengan larutan garam disebut dengan fermentasi garam / moromi yang dilakukan untuk mengekstrak senyawa-senyawa hasil hidrolisis pada tahapan fermentasi koji. Selain itu juga dapat membentuk flavor khas karena beberapa bakteri halofilik akan tumbuh, serta berperan sebagai media selektif untuk mencegah pertumbuhan mikroba berbahaya, namun pertumbuhan khamir dan bakteri pembentuk cita rasa masih dapat terjadi, dimana bakteri yang bekerja pada tahap moromi yaitu Lactobacillus delbrueckii dan khamir Hansenula sp. Penggunaan larutan garam 20% juga telah sesuai dengan pernyataan Santoso (1994) bahwa biji kedelai yang sudah berjamur dimasukkan ke dalam larutan garam 20%. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Astawan & Astawan (1991) yang mengungkapkan bahwa penggunaan larutan garam pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan tekanan osmotik yang tinggi, sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu, larutan garam yang ideal ditambahkan dalam proses pembuatan kecap adalah sekitar 15-20%. Jika kadar garam yang ditambahkan kurang dari 15%, maka pada kecap yang dihasilkan masih dapat ditemukan adanya mikroorganisme.

Gambar 12. Larutan Garam 20%

Ketika kedelai direndam dalam larutan garam selama 1 minggu, dilakukan penjemuran di bawah sinar matahari yang bertujuan untuk menyediakan udara dan suhu yang tepat pada khamir dan bakteri untuk tumbuh dan sesekali dilakukan proses pengadukan dengan tujuan untuk menghomogenkan larutan. Hal ini sesuai dengan teori Tortora et al. (1995) yang mengemukakan bahwa proses penjemuran dan pengadukan dilakukan dengan tujuan untuk memberikan aerasi dan menghomogenkan larutan. Selain itu, dengan adanya proses pengadukan maka pertumbuhan kapang juga akan semakin meningkat dikarenakan adanya kontak garam dengan substrat yang semakin banyak. Hal ini diperkuat dengan jurnal berjudul Effect of Temperature on Moromi Fermentation of Sauce with Intermitternt Aeration yang ditulis oleh Wu et al. (2010) bahwa pada tahap moromi akan terjadi penurunan pH dan pembentukan etanol yang akan berpengaruh pada kecap yang dihasilkan, namun bila suhu pada tahap moromi yang digunakan adalah 45C, maka dapat meningkatkan nilai pH dan mengurangi konsentrasi etanol yang dihasilkan. Selain itu juga dapat meningkatkan waktu aging dari soy sauce. Oleh karena itu perlu dilakukan penjemuran untuk mengontrol suhu pula.

Gambar 13. Penjemuran Kedelai yang Direndam dalam Larutan Garam di Bawah Sinar MatahariGambar 14. Pengadukan Kedelai yang Direndam dalam Larutan Garam

Setelah dilakukan perendaman selama 1 minggu, warna larutan garam akan menjadi keruh. Menurut Rahayu et al. (1993), hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya ekstraksi molekul-molekul sederhana hasil hirolisis enzim yang dihasilkan jamur ke dalam larutan garam. Selanjutnya, campuran kedelai dan larutan garam disaring untuk mengambil filtratnya dan memisahkan dengan padatan. Filtrat yang digunakan adalah sebanyak 250 ml dan dicampur dengan air mineral sebanyak 750 ml. Menurut Santoso (1994), proses penyaringan dilakukan untuk menghasilkan kecap yang bebas pengotor / kontaminan.

Gambar 15. Penyaringan KedelaiGambar 16. Penambahan Air pada Filtrat

Setelah dilakukan penyaringan, selanjutnya filtrat dimasak dengan penambahan beberapa bumbu seperti gula jawa dan rempah-rempah lainnya. Bumbu-bumbu yang digunakan dalam proses pemasakan kecap ini adalah gula jawa sebanyak 1 kg, 20 gram kayu manis, 3 gram ketumbar, 1 ruas jari kelingking laos, dan 1 buah bunga pekak. Selain itu juga ditambahkan beberapa bahan lain yang berbeda pada masing-masing kelompok, yaitu 1 gram cengkeh pada kelompok B1 dan B2; 1 batang serai yang sudah digeprak untuk kelompok B3 dan B4; serta 1 buah pala yang telah diparut pada kelompok B5. Tujuan dari penambahan bumbu dan bahan-bahan pada tahap pemasakan adalah untuk meningkatkan flavor dan cita rasa dari kecap yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fachruddin (1997) bahwa penambahan bumbu-bumbu dalam proses pemasakan kecap bertujuan untuk menambah aroma dan citarasa dari kecap yang dihasilkan, dimana bumbu-bumbu yang biasanya ditambahkan selama proses pemasakan kecap adalah lengkuas, daun salam, kayu manis, daun jeruk, ketumbar, laos, jinten, bunga pekak, dan kemiri. Penggunaan bumbu-bumbu tersebut digunakan karena mengandung minyak atsiri yang dapat mempengaruhi pembentukan aroma dan citarasa yang khas.

Gambar 17. Bumbu yang Ditambahkan

Kasmidjo (1990) menjelaskan bahwa penambahan gula jawa secara khusus bertujuan dalam pembentukan rasa manis pada kecap dan meningkatkan viskositas. Selain itu, gula jawa juga berperan dalam pembentukan warna kecap menjadi coklat karamel. Warna dari kecap ini dapat terbentuk karena adanya reaksi antar asam-asam amino dengan gula pereduksi, dimana jenis gula yang ada dalam kecap adalah glukosa, galaktosa, maltosa, xilosa, arabinosa dan komponen gula alkohol, seperti gliserol dan manitol. Hal ini didukung oleh pernyataan Judoamidjojo (1987) bahwa gula jawa berperan dalam reaksi maillard dan karamelisasi yang terjadi selama proses pemasakan kecap, dimana dari reaksi tersebut akan dihasilkan kecap yang berwarna gelap. Astawan & Astawan (1991) menambahkan bahwa ketumbar yang ditambahkan harus dihaluskan terlebih dahulu untuk memudahkan proses pencampuran dan mengekstrak senyawa-senyawa dalam bahan yang dapat menimbulkan aroma dan flavor yang khas. Hal ini juga dilakukan pada serai yang digeprak terlebih dahulu. Pemasakan dimulai dengan penambahan gula jawa terlebih dahulu hingga larut. Setelah gula jawa larut sempurna, maka semua bumbu yang telah dipersiapkan dapat ditambahkan dan dimasak hingga mendidih sambil dilakukan pengadukan sesekali untuk mencegah kematangan berlebih di dasar wajan dan meratakan flavor. Pemasakan dapat dihentikan ketika cairan sudah cukup mengental hingga menjadi kecap. Selanjutnya dilakukan penyaringan kecap untuk memisahkan larutan kecap dengan bumbu yang tersisa, sehingga didapatkan kecap yang bersih untuk diuji secara sensori.

Gambar 18. Penambahan Gula Jawa

Gambar 19. Proses Pemasakan Kecap

B5B3B1

Gambar 20. Hasil Kecap

3.2. Hasil PengamatanUji sensori yang dilakukan pada praktikum ini meliputi parameter aroma, warna, rasa, dan kekentalan dengan membandingkan kecap yang dihasilkan pada masing-masing kelompok. Namun kelompok B2 dan B4 yang membuat kecap dari kedelai putih tidak dapat dibandingkan karena pada tahap koji tidak terbentuk miselium / hifa, sehingga tidak dihasilkan kecap. Salah satu faktor yang mempengaruhi kegagalan tahap koji ini adalah kelembaban yang tidak sesuai karena menurut teori Atlas (1984), pada tahap koji dibutuhkan kondisi yang cukup lembab supaya jamur dapat tumbuh pada permukaan kedelai, sehingga menghasilkan beberapa enzim termasuk proteinase dan amilase yang berperan dalam penguraian senyawa kompleks. Selain itu, kualitas kedelai yang tidak baik juga dapat mempengaruhi kegagalan pembuatan kecap.

3.2.1. AromaBerdasarkan hasil pengamatan diperolah data bahwa aroma yang dihasilkan pada tiap kelompok berbeda-beda. Aroma kecap yang sangat kuat dihasilkan oleh kelompok B3 (penggunaan 0,75% inokulum + serai), sedangkan aroma kurang kuat dihasilkan oleh kelompok B1 (penggunaan 0,5% inokulum + cengkeh), dan aroma kuat dihasilkan pada kecap kelompok B5 (penggunaan 1% inokulum + pala). Hasil ini kurang sesuai dengan teori Rahayu et al. (1993) yang mengungkapkan bahwa semakin tinggi jumlah inokulum yang ditambahkan, maka aroma kecap yang dihasilkan akan semakin lemah. Astawan & Astawan (1991) menambahkan bahwa jumlah inokulum yang ditambahkan pada kedelai dapat mempengaruhi kecepatan penguraian protein dan karbohidrat yang terkandung pada kedelai, sehingga semakin banyak jumlah inokulum yang ditambahkan, maka degradasi protein dan karbohidrat akan berlangsung semakin cepat dan ketika proses penguraiannya berlebihan justru akan menghasilkan flavor yang tidak baik. Ketidaksesuaian ini dapat terjadi dikarenakan adanya penambahan bumbu yang berbeda pada masing-masing kelompok. Hal ini diperkuat dengan teori Kasmidjo (1990) bahwa flavor khas yang dihasilkan oleh kecap dapat pula dipengaruhi karena adanya penambahan berbagai bumbu selama pemasakan. Selain itu, aroma kecap juga dipengaruhi oleh beberapa senyawa-senyawa organik yang terkandung dalam kecap. Hal ini disampaikan oleh Feng et al. (2013) bahwa kecap kedelai mengandung beberapa komponen flavor organik yaitu alkohol, ester, fenol, asam, dan heterocyclics yang berperan penting dalam pembentukan aroma dan kualitas dari kecap yang dihasilkan.

Armstrong (1995) menambahkan bahwa pembentukan aroma dan flavor kecap juga dapat ditentukan oleh adanya beberapa komponen nitrogen pendukung seperti kadaverin, arginin, histidin, dan amoniak karena senyawa-senyawa tersebut akan bereaksi dengan asam suksinat dan asam glutamat, sehingga dapat membentuk flavor kecap yang enak. Hal ini didukung oleh pernyataan Su et al. (2005) dalam jurnalnya yang berjudul Effects of Temperature and Sodium Chloride Concentration on the Activities of Proteases and Amylases in Soy Sauce Koji bahwa senyawa utama yang memberikan flavor pada kecap adalah asam amino dan peptida rantai pendek yang berasal dari pemecahan protein melalui tahap fermentasi koji. Oleh karena itu akivitas proteolitik yang terjadi pada fermentasi koji sangat penting dalam proses pembuatan kecap. Muangthai et al. (2007) menambahkan bahwa asam amino yang paling berperan adalah asam amino glutamat yang memberikan aroma spesifik pada kecap.

3.2.2. WarnaDari segi warna diketahui bahwa warna yang dihasilkan kecap pada setiap kelompok berbeda. Warna kecap kelompok A1 kurang hitam, kelompok A3 berwarna hitam, sedangkan kelompok A5 berwarna sangat hitam. Selama proses pemasakan, gula jawa yang ditambahkan akan mengalami reaksi browning sehingga menghasilkan warna hitam kecoklatan pada kecap yang dihasilkan. Hal ini diperkuat oleh teori Astawan & Astawan (1991) yang mengungkapkan bahwa kecap yang berwarna coklat kehitaman dihasilkan karena adanya reaksi pencoklatan (browning) antara gula pereduksi dengan asam amino. Kasmidjo (1990) menambahkan pula bahwa dengan adanya penambahan gula jawa maka dapat menghasilkan kecap yang berwarna coklat karamel. Amalia (2008) juga menjelaskan bahwa gula jawa memiliki warna coklat kemerahan hingga coklat tua, dimana gula jawa ini berperan penting dalam pembentukan warna kecap karena akan terjadi reaksi maillard dan karamelisasi selama proses pemasakan kecap. Warna kecap semakin kuat / gelap dengan adanya penambahan gula jawa dalam konsentrasi yang lebih banyak. Pada praktikum ini digunakan gula jawa dengan jumlah yang sama pada masing-masing kelompok, namun justru menghasilkan warna yang berbeda pada kecap. Perbedaan warna ini dapat terjadi dikarenakan aplikasi suhu dan waktu pemasakan yang berbeda. Hal ini diungkapkan oleh Kasmidjo (1990) bahwa semakin tinggi suhu pemasakan dan semakin lama kecap dimasak, maka semakin hitam warna dari kecap.

3.2.3. RasaBerdasarkan pada hasil pengamatan dari segi rasa, kecap yang dihasilkan kelompok B1 memiliki rasa yang sangat kuat, diikuti dengan kecap kelompok B5 yang kuat dan B3 yang kurang kuat. Perbedaan rasa yang dihasilkan dapat disebabkan karena perbedaan bumbu yang ditambahkan pada proses pemasakan. Perbedaan waktu pemasakan juga menjadi hal yang mempengaruhi aspek rasa kecap yang dihasilkan. Hal tersebut diungkapkan Amalia (2008) bahwa proses pemasakan kecap yang terlalu lama justru akan membuat citarasa dari kecap berkurang. Selain itu, aktivitas bakteri ternyata juga akan mempengaruhi pembentukan rasa kecap. Menurut Rahayu et al. (2005), pembentukan rasa kecap akan dipengaruhi oleh penggunaan bumbu-bumbu dan aktivitas bakteri asam laktat, seperti Lactobacillus delbrueckii yang akan tumbuh selama proses fermentasi moromi berlangsung. Lactobacillus delbrueckii ini akan menghasilkan asam-asam organik seperti asam asetat, asam laktat, asam suksinat, dan asam fosfat yang akan menurunkan pH kecap, sehingga berperan dalam pembentukan rasa kecap.

3.2.4. KekentalanDari segi kekentalannya, kecap yang dihasilkan kelompok B1 sangat kental, kelompok B3 menghasilkan kecap yang kurang kental, sedangkan kelompok B5 menghasilkan kecap yang kental. Kasmidjo (1990) mengemukakan bahwa kekentalan kecap diperoleh karena adanya penambahan gula jawa selama pemasakan kecap. Hal ini sesuai pula dengan pernyataan Peppler & Perlman (1979) bahwa tingkat kekentalan kecap disebabkan karena adanya penambahan gula jawa selama proses pemasakan kecap berlangsung dan jumlah inokulum yang ditambahkan dapat pula mempengaruhi kekentalan kecap yang dihasilkan. Berdasarkan teori Lim et al. (2010) dijelaskan bahwa semakin banyak konsentrasi inokulum yang digunakan akan menyebabkan komponen-komponen yang terdapat dalam kedelai semakin banyak keluar, sehingga akan meningkatkan kekentalan kecap yang dihasilkan. Oleh karena itu seharusnya kelompok B5 menghasilkan kecap yang paling kental karena menggunakan inokulum dalam jumlah yang paling banyak jika dibandingkan dengan kelompok lainnya. Adanya ketidaksesuaian dengan teori dapat terjadi dikarenakan suhu dan waktu pemasakan yang berbeda pada masing-masing kelompok. Menurut Kasmidjo (1990), suhu yang tinggi dan waktu pemasakan yang lama akan meningkatkan viskositas karena semakin banyak kadar air yang teruapkan. Selain itu adanya uji sensori yang dilakukan oleh panelis memiliki kelemahan dalam hal penilaian yang subjektif, sehingga hasil yang didapat kurang akurat.

Menurut Astawan & Astawan (1991), kualitas kecap dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah penggunaan jenis kedelai, lama waktu fermentasi, dan tingkat kemurnian inokulum. Kondisi selama proses fermentasi berlangsung juga dapat mempengaruhi kecap yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kasmidjo (1990) bahwa selama proses fermentasi berlangsung, ada hal-hal yang perlu dikontrol yaitu suhu, kelembaban, aerasi, dan kadar air sehingga kontaminasi mikroba yang tidak diinginkan dapat diminimalkan.

4. KESIMPULAN

Kecap merupakan produk makanan cair dari kacang-kacangan yang dapat dihasilkan melalui 3 cara, yaitu fermentasi, hidrolisis secara kimia, dan kombinasi antara keduanya. Pada proses pembuatan kecap terjadi pemecahan senyawa makromolekul menjadi senyawa-senyawa lebih sederhana yang menghasilkan aroma, rasa, dan flavor pada kecap. Dua proses fermentasi utama yang terjadi dalam pembuatan kecap adalah fermentasi koji dan moromi. Kapang yang berperan dalam proses fermentasi koji adalah Aspergillus oryzae, Aspergillus soyae, Aspergillus niger, dan Rhizopus sp. Tahap perendaman kedelai dengan larutan garam disebut dengan fermentasi garam / moromi untuk mengekstrak senyawa hasil hidrolisis pada tahapan fermentasi koji. Penjemuran kedelai dan larutan garam bertujuan untuk menyediakan udara dan suhu yang tepat pada khamir serta bakteri untuk tumbuh, sedangkan pengadukan bertujuan untuk menghomogenkan larutan. Penambahan bumbu dan bahan-bahan pada tahap pemasakan bertujuan untuk meningkatkan flavor dan cita rasa dari kecap yang dihasilkan. Penambahan gula jawa bertujuan dalam pembentukan rasa manis pada kecap, memberikan warna coklat hingga kehitaman, dan meningkatkan viskositas. Semakin tinggi jumlah inokulum yang ditambahkan, maka aroma kecap yang dihasilkan akan semakin lemah. Senyawa utama yang memberikan flavor pada kecap adalah asam amino dan peptida rantai pendek yang berasal dari pemecahan protein melalui tahap fermentasi koji. Faktor yang mempengaruhi warna kecap adalah jumlah gula jawa yang ditambahkan, aplikasi suhu, dan waktu pemasakan. Rasa kecap dipengaruhi oleh penambahan bumbu, aktivitas bakteri, dan waktu pemasakan. Kekentalan kecap dipengaruhi oleh jumlah penambahan gula jawa, jumlah inokulum, suhu, dan waktu pemasakan Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas kecap adalah penggunaan jenis kedelai, lama waktu fermentasi, tingkat kemurnian inokulum, dan kondisi selama proses fermentasi.

Semarang, 21 Juni 2015Asisten Dosen, Abigail Sharon Frisca Melia

Melita Mulyani12.70.0080

5. 6. DAFTAR PUSTAKA

Amalia, T. (2008). Pengaruh Karakteristik Gula Merah dan Proses Pemasakan Terhadap Mutu Organoleptik Kecap Manis. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.

Armstrong, S. B. (1995). Buku Ajar Biokimia Edisi Ketiga. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Astawan, M. & M. W. Astawan (1991). Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental and Applications. Mc Milland Publishing Company. New York.

Chancharoonpong, C.; P. C. Hsieh & S. C. Sheu. (2012). Production of Enzyme and Growth of Aspergillus oryzae S. on Soybean Koji. International Journal of Bioscience, Biochemistry and Bioinformatics, Vol. 2 (4) : 228-231.

Elbashiti, T.; A. Fayyad & A. Elkichaoui. (2010). Isolation and Identification of Aspergillus oryzae and the Production of Soy Sauce with New Aroma. Pakistan Journal of Nutrition, Vol. 9 (12) : 1171-1175. Palestina.

Fachruddin. (1997). Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta.

Fukushima, D. (2004). Industrialization of Fermented Soy Sauce Production Centering Around Japanese Shoyu. Marcel Dekker, Inc. New York.

Hardjo, S. (1964). Pengolahan dan Pengawetan Kedelai untuk Bahan Makanan Manusia. Bagian Gizi Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.

Judoamidjojo, R. M. (1987). The Studies on Kecap - Indigenous Seasoning of Indonesia. Thesis Doctor pada University of Agriculture. Japan.

Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Lim, J. Y.; J. J. Kim; D. S. Lee; G. H. Kim; J. Y. Shim; I. Lee & J. Y. Imm. (2010). Physicochemical Characteristic and Production of Whole Soymilk from Monascus Fermented Soybeans. Food Chemistry, Elsevier, Vol. 120 (1) : 255-260. Korea.

Moehyi, S. (1992). Penyelenggaraan Makanan Institusi & Jasa Boga. Bhratara. Jakarta.

Muangthai, P.; P. Upajak & W. Patumpai. (2007). Study of Protease Enzyme and Amino Acid Contents in Soy sauce Production from Peagion Pea and Soy bean. KMITL Sci. Tech. Journal, Vol. 7 (S2).

Peppler, H. J. & Perlman, D. (1979). Microbial Technology : Fermentation Technology. Academic Press. San Fransisco.

Purwoko, T. & N. S. Handjajani. (2007). Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R. oligosporus. Jurnal BIODIVERSITAS, Vol. 8 (2) : 223-227. Surakarta.

Rahayu, A.; Suranto & Purwoko, T. (2005). Analisis Karbohidrat, Protein, dan Lemak pada Pembuatan Kecap Lamtoro Gung (Leucaena leucocephala) terfermentasi Aspergillus oryzae. Bioteknologi, Vol. 2 (1): 14-20. Surakarta.

Rahayu, E.; R. Indrati; T.utami; E. Harmayani & M. N. Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi Food & Nutrition. Collection, PAU Pangan & Gizi UGM. Yogyakarta.

Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.

Rolling, W. F. & Verseveld, H. W. (1996). Characterization of Tetragenococcus halophila Population in Indonesian Soy Mash (Kecap) Fermentation. Applied and Environmental Microbiology, Vol. 62 (4) : 1203-1207. Netherlands.

Santoso, H. B. (1994). Kecap dan Taoco Kedelai. Kanisius. Yogyakarta.

Standar Nasional Indonesia SNI 01-3543-1994 : Standar Mutu Kecap Manis. Badan Standardisasi Nasional-BSN. Jakarta.

Su, N. W.; M. L. Wang; K. F. Kwok & M. H. Lee. (2005). Effects of Temperature and Sodium Chloride Concentration on the Activities of Proteases and Amylases in Soy Sauce Koji. Journal of Agricultural and Food Chem., Vol. 53 (5) : 1521-1525. Taiwan.

Tortora, G. J.; R. Funke & C. L. Case. (1995). Microbiology. The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.

Winarno, F. G.; S. Fardiaz & D. Fardiaz. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Wu, T. Y.; M. S. Kan; L. F. Siow & L. K. Palniandy. (2010). Effect of Temperature on Moromi Fermentation of Soy Sauce with Intermittent Aeration. African Journal of Biotechnology, Vol. 9 (5) : 702-706. Malaysia.

7. 8. LAMPIRAN

8.1. Laporan Sementara8.2. Abstrak Jurnal