februari 2014 - bi.go.id · pada tahun 2014, kinerja ekspor dari berbagai daerah diperkirakan terus...
TRANSCRIPT
L a p o r a n N u s a n t a r a | 1
FEBRUARI 2014
VOLUME 9 NOMOR 1
L a p o r a n N u s a n t a r a | 2
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi: Bank Indonesia Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Grup Asesmen Ekonomi Divisi Asesmen Ekonomi Regional Ph. 021-29818161, 29818868 Fax. 021-3452489, 2310553
Daftar Isi
Kata Pengantar
Bagian I Ringkasan Perkembangan dan Prospek Ekonomi Daerah
Boks 1: Gambaran Terkini Kesejahteraan Daerah
Boks 2: Pengaruh Upah terhadap Inflasi di Indonesia dari
Perspektif Regional
Bagian II Perekonomian Kawasan Timur Indonesia
II.1. Perekonomian Sulawesi, Maluku, dan Papua
II.2. Perekonomian Kalimantan
II.3. Perekonomian Bali-Nusa Tenggara
Boks 3: Kebijakan Pengaturan Ekspor Mineral
Bagian III Perekonomian Jawa
III.1. Perekonomian Jawa Bagian Barat
III.2. Perekonomian Jawa Bagian Tengah
III.3. Perekonomian Jawa Bagian Timur
III.4. Perekonomian Jakarta
Boks 4: Dampak Banjir di Jawa
Bagian IV Perekonomian Sumatera
IV.1. Perekonomian Sumatera Bagian Utara
IV.2. Perekonomian Sumatera Bagian Tengah
IV.3. Perekonomian Sumatera Bagian Selatan
Boks 5: Prospek Pengembangan Industri Biodiesel di Sumatera:
Peluang, Tantangan, dan Hambatan
Bagian V Pemetaan Daya Saing Daerah
Lampiran
L a p o r a n N u s a n t a r a | 3
Dalam proses perumusan kebijakan moneter, Bank Indonesia mempertimbangkan seluruh aspek
perekonomian termasuk berbagai dinamika ekonomi dalam perspektif kewilayahan. Pembahasan
menyeluruh tentang perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka di
daerah dilakukan secara periodik antara Dewan Gubernur dengan para Kepala Kantor Perwakilan Bank
Indonesia di seluruh Indonesia. Hasil dari pembahasan dimaksud menjadi bagian penting yang
melengkapi pemahaman Bank Indonesia terhadap kondisi makroekonomi dengan berbagai aspek risiko
yang berkembang.
Setelah mengalami pertumbuhan yang melambat dalam beberapa triwulan sebelunya, pada triwulan IV
2013, perekonomian nasional mampu kembali tumbuh meningkat didorong terutama oleh membaiknya
ekspor pertambangan Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan ekspor perkebunan Sumatera. Di sisi lain, pada
triwulan IV 2013, permintaan domestik masih tumbuh melambat, terutama di Jakarta dan Jawa. Dengan
demikian, meskipun untuk keseluruhan tahun 2013 ekonomi Indonesia tumbuh lebih lambat daripada
tahun 2012, kombinasi antara kinerja ekspor yang membaik dan permintaan domestik yang mengalami
moderasi menunjukkan bahwa upaya Bank Indonesia bersama pemerintah dalam mengatasi masalah
ketidakseimbangan eksternal (defisit transaksi berjalan) pada triwulan IV 2013 sudah mulai menunjukkan
hasil yang diharapkan.
Dari sisi perkembangan harga, laju inflasi pada tahun 2013 meningkat tajam dibandingkan dengan tahun
2012, terutama akibat implementasi kebijakan kenaikan harga BBM pada pertengahan tahun. Namun,
besaran realisasi inflasi ini relatif terkendali dibandingkan dengan periode kenaikan harga BBM pada
tahun 2005 dan 2008. Hal ini merupakan hasil dari koordinasi yang baik antara Bank Indonesia dan
pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, dalam upaya mengendalikan dampak lanjutan (second
round effect) dari kenaikan harga BBM bersubsidi dan penguatan pasokan pangan.
Pada tahun 2014, kinerja ekspor dari berbagai daerah diperkirakan terus meningkat seiring dengan
menguatnya tanda-tanda pemulihan ekonomi global disertai harga komoditas di pasar global yang
cenderung membaik. Di sisi lain, moderasi permintaan domestik diperkirakan berlanjut di berbagai
daerah walau dalam jangka pendek ada kenaikan aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan pemilu. Meski
demikian, tantangan dari penerapan kebijakan pengaturan ekspor mineral dalam jangka pendek
diperkirakan akan memengaruhi kinerja ekonomi daerah-daerah basis produksi tambang mineral.
Sementara itu, tekanan inflasi diperkirakan akan menurun, didukung terutama oleh moderasi permintaan
domestik dan prospek produksi pangan yang meningkat. Namun, Bank Indonesia akan terus mewaspadai
sejumlah risiko inflasi ke depan, termasuk gangguan pasokan pangan akibat banjir dan bencana alam
lainnya, kenaikan tarif tenaga listrik (TTL), dan dampak depresiasi rupiah. Oleh karena itu, upaya untuk
membawa inflasi kembali ke arah sasarannya akan terus ditingkatkan melalui penguatan koordinasi
antara Bank Indonesia dan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Demikian sekelumit asesmen Bank Indonesia mengenai kondisi terkini tahun 2013 dan prospek
perekonomian daerah tahun 2014. Asesmen yang lebih lengkap dapat dibaca dalam buku Laporan
Nusantara ini. Penyusunan buku Laporan Nusantara dilakukan melalui sebuah proses kolaborasi antara
Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter (DKEM) di kantor pusat Bank Indonesia dan para peneliti
L a p o r a n N u s a n t a r a | 4
ekonomi dari seluruh Kantor Perwakilan Wilayah Bank Indonesia. Dalam Laporan Nusantara edisi kali ini
juga diangkat hasil sebuah kajian mengenai gambaran terkini daya saing daerah yang disusun oleh Pusat
Riset dan Edukasi Bank Sentral (PRES) Bank Indonesia. Isu mengenai daya saing ini merupakan hal yang
sangat penting untuk dicermati mengingat sebentar lagi kita akan menghadapi era pasar bebas melalui
Komunitas Ekonomi ASEAN pada tahun 2015.
Akhir kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat menjadi referensi para pemangku
kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu kontribusi Bank Indonesia di dalam
pembangunan ekonomi daerah.
Jakarta, 17 Februari 2014
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Juda Agung Direktur Eksekutif
L a p o r a n N u s a n t a r a | 5
Bagian I
Ringkasan Perkembangan dan Prospek Ekonomi Daerah
PERKEMBANGAN TERKINI EKONOMI DAERAH
Setelah mengalami perlambatan pada beberapa triwulan sebelumnya, realisasi pertumbuhan ekonomi di
berbagai daerah pada triwulan IV 2013 mulai menunjukkan perbaikan seiring dengan menguatnya tanda-
tanda pemulihan ekonomi global. Perbaikan pertumbuhan ekonomi dialami oleh berbagai daerah di
Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan Sumatera. Secara agregat, kedua kawasan masing-masing tumbuh
6,6% dan 5,5% (yoy), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang masing-masing tumbuh 6,1% dan 5,0%
(Gambar I.1.). Perbaikan di kedua kawasan ini terutama didorong oleh kinerja ekspor, khususnya untuk
komoditas berbasis sumber daya alam (SDA) seperti pertambangan dan perkebunan. Perbaikan kinerja
ekonomi di kedua kawasan tersebut mendorong kenaikan laju pertumbuhan ekonomi nasional dari
5,63% pada triwulan III 2013 menjadi 5,72% pada triwulan IV 2013. Sebaliknya, laju pertumbuhan
ekonomi berbagai daerah di Jawa secara agregat tumbuh melambat dari 6,1% menjadi 6,0% karena
melemahnya permintaan domestik. Melemahnya permintaan domestik ini bahkan menyebabkan
pertumbuhan ekonomi Jakarta melambat cukup signifikan hingga berada di bawah 6%, yakni sebesar
5,6%, terendah sejak tahun 2009.
Untuk keseluruhan tahun 2013, kinerja pertumbuhan ekonomi di sebagian besar daerah mencatat angka
yang lebih rendah dibandingkan dengan capaian pada tahun 2012. Melambatnya kinerja ekonomi ini
dipengaruhi oleh berbagai tantangan yang mengemuka di sepanjang 2013, baik yang bersumber dari
eksternal maupun domestik. Perkembangan dinamika global, yang diwarnai pelemahan ekonomi di
negara maju disertai berlanjutnya penurunan harga komoditas di pasar global, berdampak pada
tertahannya laju pertumbuhan ekonomi berbagai daerah, yang merupakan basis ekspor sumber daya
alam (SDA) seperti di Sumatera dan KTI. Sementara itu, berbagai tantangan domestik, seperti kenaikan
harga BBM, depresiasi nilai tukar rupiah, dan kenaikan suku bunga terlihat berpengaruh lebih besar pada
kinerja investasi dan konsumsi rumah tangga di daerah-daerah Jawa dan Jakarta.
Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan IV 2013, year-on-year (yoy)
Sumber: BPS, diolah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 6
Sementara itu, tekanan inflasi cenderung mereda pada triwulan IV 2013 setelah sempat meningkat tinggi
dan mencapai puncaknya pada Agustus 2013 pasca kenaikan harga BBM bersubsidi pada akhir Juni 2013.
Inflasi pada Desember 2013 secara agregat tercatat mencapai 8,4% (yoy), relatif stabil dibandingkan
dengan periode akhir triwulan sebelumnya. Meredanya tekanan inflasi terutama dipengaruhi oleh
perkembangan harga-harga yang relatif lebih stabil di Jakarta, serta sebagian besar daerah di Jawa dan
KTI seiring terjaganya pasokan pangan dan minimalnya gangguan distribusi.
Di sisi lain, kenaikan inflasi yang lebih tinggi masih dialami beberapa daerah di Sumatera akibat lonjakan
harga bahan pangan, biaya transportasi, serta dampak erupsi Gunung Sinabung. Beberapa daerah di
Sumatera seperti Sumatera Utara dan Sumatera Barat bahkan mencatat kenaikan inflasi hingga
mencapai lebih dari 10% (yoy) (Gambar I.2.). Demikian halnya dengan inflasi di sebagian wilayah KTI
seperti Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Barat yang mencatat inflasi cukup signifikan
hingga mendekati 10% (yoy). Meskipun demikian, secara keseluruhan besaran realisasi inflasi pada tahun
2013 relatif terkendali dan lebih rendah dibandingkan dengan episode kenaikan harga BBM pada tahun
2005 dan 2008 yang memicu kenaikan inflasi hingga mencapai double digit yaitu masing-masing sebesar
17,11% dan 11,06% (yoy). Kondisi ini tidak terlepas dari keberhasilan berbagai langkah yang ditempuh
Bank Indonesia bersama-sama dengan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, dalam upaya
mengendalikan dampak lanjutan (second round effect) dari kenaikan harga BBM bersubsidi dan
penguatan pasokan pangan.
Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah, Desember 2013 (yoy)
Prospek ekonomi daerah pada triwulan I 2014 diperkirakan akan didukung oleh menguatnya tanda-tanda
pemulihan ekonomi global yang dimotori oleh negara maju. Kondisi ini akan berdampak positif bagi
perkembangan kinerja ekspor daerah, baik untuk komoditas manufaktur yang didominasi oleh daerah-
daerah di Jawa maupun komoditas berbasis SDA di Sumatera dan KTI. Implementasi kebijakan di bidang
manufaktur, antara lain kebijakan low cost green car (LCGC), dan berlanjutnya upaya mendorong
diversifikasi pasar ekspor akan mendorong perbaikan kinerja ekspor manufaktur lebih lanjut, terutama
dari Jawa dan Jakarta. Namun, laju pertumbuhan ekonomi di sebagian wilayah Kalimantan dan Sulampua
diperkirakan akan sedikit tertahan oleh implementasi kebijakan pengaturan ekspor mineral yang mulai
berlaku pada Januari 2014. Pelaku usaha di sektor mineral akan melakukan penyesuaian terhadap
Inf ≤ 7,7%8,4% < inf ≤ 9,0%Inf > 9,0% 7,7% < inf ≤ 8,4%
Sumber: BPS, diolah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 7
aktivitas ekspor mereka sehubungan dengan pemberlakuan bea keluar ekspor secara progresif yang
dikaitkan dengan kecepatan pembangunan smelter. Penyesuaian yang harus dilakukan oleh pelaku usaha
di sektor pertambangan tersebut berdampak pada aktivitas di sektor pertambangan terutama di daerah-
daerah yang merupakan basis produksi tambang, seperti Papua, Nusa Tenggara Barat, dan sebagian
daerah di Sulawesi.
Selain ditopang oleh perbaikan kinerja ekspor di luar komoditas mineral, pertumbuhan ekonomi di
berbagai daerah pada triwulan I 2014 juga didukung oleh meningkatnya permintaan domestik khususnya
konsumsi. Indikasi menguatnya permintaan konsumsi mulai terlihat terutama di sebagian besar daerah di
Jawa dan Jakarta, serta Sumatera. Hal ini didorong antara lain oleh meningkatnya intensitas kegiatan
terkait persiapan Pemilu 2014, perbaikan pendapatan terkait UMP, pemulihan kinerja ekspor
manufaktur, serta membaiknya harga komoditas ekspor di pasar global. Intensitas kegiatan terkait
Pemilu diperkirakan berdampak pada kenaikan belanja barang dan jasa. Dampak dari belanja jasa,
terutama untuk belanja iklan terkait Pemilu 2014, diperkirakan terkonsentrasi di Jakarta dan sebagian
daerah di Jawa mengingat cakupan media komunikasi yang digunakan peserta Pemilu akan lebih berskala
nasional. Di sisi lain, perbaikan investasi di berbagai daerah diperkirakan masih relatif terbatas. Sikap
pelaku usaha yang terindikasi lebih bersikap hati-hati dalam melakukan realisasi investasi di tahun politik
menyebabkan akselerasi kegiatan investasi diperkirakan baru akan terjadi setelah ada kejelasan hasil
Pemilu 2014. Kinerja investasi di berbagai daerah diperkirakan bertumpu pada belanja infrastruktur
pemerintah, terutama terkait MP3EI, dan percepatan pembangunan smelter sebagai respons terhadap
implementasi kebijakan pengaturan ekspor mineral.
Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan I 2014
Bag. UtaraBag.
Tengah
Bag.
SelatanAsesmen Tendensi Asesmen
Bag.
Barat
Bag.
Tengah
Bag.
TimurAsesmen
Kaliman-
tanBali-Nustra
Sulam-
puaAsesmen
PDB/PDRB
Konsumsi RT
Dampak persiapan
Pemilu, perbaikan
pendapatan, dan
keyakinan konsumen
Dampak persiapan
Pemilu dan
membaiknya
keyakinan konsumen
Dampak banjir
menghambat
transaksi dagang
kenaikan inflasi dan
menurunnya
keyakinan konsumen
Konsumsi
Pemerintah
Realisasi pengeluaran
untuk proyek terkait
MP3EI dan persiapan
Pemilu
Pengesahan APBD
terlambat
Siklus awal tahun yg
cenderung terbatas
Siklus awal tahun
anggaran yang
cenderung terbatas
Investasi
(PMTB)
Ekspansi usaha pd
industri sawit dan
realisasi proyek
pemerintah
Industri cenderung
menahan investasi
krn UMP dan nilai
tukar, serta Pemilu
Industri cenderung
menahan investasi
krn UMP dan nilai
tukar, serta Pemilu
Investasi smelter dan
proyek infrastruktur
terkait MP3EI
Ekspor LNPerbaikan ekspor
perkebunan
Perbaikan ekspor
barang manufaktur
Perbaikan ekspor
barang manufaktur
Pemberlakuan UU
Minerba dan bea
keluar ekspor
komoditas
Impor LN
Peningkatan
kebutuhan bahan
baku dan barang
modal
Peningkatan impor
bahan baku industri
Peningkatan impor
bahan baku untuk
kebutuhan industri
depresiasi nilai tukar
dan terbatasnya
perbaikan kinerja
tambang
JakartaSumatera Jawa KTI
*) Prakiraan arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year)
Dari sisi perkembangan harga, tekanan kenaikan inflasi pada triwulan I 2014 diperkirakan mereda di
sebagian besar daerah. Inflasi triwulan I 2014 secara agregat diperkirakan lebih rendah daripada triwulan
IV 2013. Prakiraan realisasi inflasi yang lebih rendah terjadi di sebagian besar daerah dan terutama
dikontribusi oleh beberapa daerah di KTI. Hal ini didukung oleh prospek capaian produksi pangan yang
cenderung membaik di daerah sentra produksi di KTI seperti Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat,
didukung kondisi cuaca yang lebih kondusif pada Februari-Maret 2014. Meski demikian, beberapa daerah
di Sumatera dan Sulampua diperkirakan masih menghadapi risiko kenaikan inflasi yang cukup tinggi pada
akhir triwulan I 2014.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 8
Dampak banjir yang melanda sejumlah daerah di Jawa dan bencana erupsi Gunung Sinabung di Sumatera
Utara terhadap inflasi diperkirakan relatif terkendali. Kenaikan inflasi yang cukup signifikan di Jakarta,
sebagian daerah di Sumatera dan Jawa pada Januari 2014 akibat distribusi barang yang terganggu oleh
dampak banjir dan bencana alam lainnya diperkirakan berangsur kembali pulih pada pertengahan
triwulan I 2014 seiring membaiknya kondisi cuaca. Langkah-langkah yang ditempuh oleh pemerintah
untuk melakukan perbaikan darurat terhadap infrastruktur jalan, khususnya di jalur distribusi utama,
diperkirakan dapat memitigasi kendala distribusi pangan yang terjadi di beberapa daerah terdampak.
Meski demikian, beberapa daerah sentra produksi yang terdampak banjir di Jawa mengindikasikan
terjadinya pergeseran masa panen.
Beberapa faktor risiko yang mengemuka seperti kenaikan biaya produksi barang akibat berlanjutnya
pelemahan rupiah dan kenaikan administered prices diperkirakan turut memengaruhi inflasi berbagai
daerah pada triwulan I 2014. Survei Bank Indonesia terakhir menunjukkan tendensi pelaku usaha untuk
mulai mentransmisikan kenaikan biaya produksi pada harga jual pada awal tahun. Kenaikan harga jual
barang diperkirakan terutama pada harga pada komoditas dengan kandungan impor tinggi seperti
otomotif, elektronik dan obat-obatan.
Gambar I.3. Peta Prakiraan Inflasi Daerah Triwulan I 2014
Proses penyesuaian ekonomi selama tahun 2013 yang berjalan dengan baik ditopang oleh stabilitas
sistem keuangan yang terjaga, khususnya ketahanan perbankan yang tetap kuat. Kondisi ini tercermin
dari risiko kredit yang masih relatif rendah. Meskipun aktivitas ekonomi melambat, rasio nonperforming
loan (NPL) di berbagai daerah selama triwulan IV 2013 masih berada dalam level aman. NPL perbankan di
Jakarta dan Jawa masing-masing tercatat sebesar 1,4% dan 2,0%. Sementara di Sumatera dan Kawasan
Timur Indonesia masing-masing tercatat 2,4% dan 2,1%. Ketahanan sektor rumah tangga juga terlihat
masih cukup kuat sebagaiman tercermin pada NPL dari sisi kredit kepada sektor bukan lapangan usaha
(kredit konsumsi) yang masih terjaga pada level yang aman. NPL kredit konsumsi di seluruh kawasan
secara agregat berada dibawah kisaran 2%. Kebijakan penyempurnaan ketentuan loan to value (LTV)
atau pun financing to value (FTV) untuk kredit pemilikan properti dan kredit konsumsi beragun properti
telah memperlambat laju kredit pada sektor ini. Dampak perlambatan penyaluran kredit konsumsi juga
terjadi pada kredit kendaraan bermotor, terutama sepeda motor terkait dengan kebijakan yang
Sumber: BPS, diolah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 9
mengatur pembayaran uang muka minimum (down payment/DP). Implementasi kebijakan tersebut
diharapkan memperkuat ketahanan sistem keuangan dengan lebih mengedepankan kehati-hatian
sehingga berdampak positif bagi terjaganya stabilitas sistem keuangan.
Perkembangan aktivitas perekonomian yang melambat juga tercermin pada kinerja sistem pembayaran
nontunai dan pengelolaan uang. Secara keseluruhan tahun 2013, nominal dan volume transaksi yang
dilakukan melalui sistem BI-RTGS cenderung menurun dibandingkan dengan transaksi yang terjadi pada
tahun 2012. Sementara itu, pengelolaan uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia menunjukkan
perbedaan karakteristik pola aliran uang di masing-masing wilayah. Pulau Jawa (di luar Jakarta) selama
2013 memiliki karakteristik net inflow. Sementara di tiga kawasan lainnya yakni Sumatera, Jakarta, dan
KTI menunjukkan pola net outflow.
Bank Indonesia secara konsisten selalu berupaya memastikan seluruh masyarakat memperoleh uang
layak edar sesuai kebutuhan. Selama tahun 2013, Bank Indonesia memprioritaskan distribusi uang layak
edar – melalui kegiatan kas keliling – ke daerah perbatasan seperti di Atambua (NTT), Nunukan
(Kaltara), dan di Papua. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan transaksi, Bank Indonesia pada awal
tahun 2014 menandatangani nota kesepahaman dengan Bank Papua New Guinea (PNG) dalam
memberdayakan kegiatan ekonomi di daerah perbatasan. Melalui nota kesepahaman ini, kedua Bank
Sentral bersepakat untuk meningkatkan peran lembaga keuangan Bank dan Pedagang Valuta Asing
(PVA) di masing-masing negara dalam meningkatkan aktivitas ekonomi di wilayah perbatasan dengan
mendorong terciptanya kelancaran dan keandalan sistem pembayaran.
PROSPEK EKONOMI DAERAH DAN TANTANGAN KE DEPAN
Prospek Ekonomi Daerah
Prospek perekonomian daerah secara agregat mengindikasikan perekonomian nasional pada tahun 2014
diperkirakan akan tumbuh mendekati batas bawah kisaran 5,8% – 6,2%. Perbaikan ekonomi di berbagai
daerah diperkirakan terus berlanjut seiring dengan menguatnya pemulihan ekonomi global disertai harga
komoditas ekspor yang terus membaik. Ekonomi Jawa dan Jakarta diperkirakan tumbuh lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah lainnya di Sumatera dan KTI. Prakiraan ini didukung oleh terus berlanjutnya
perbaikan ekspor manufaktur terutama untuk tekstil, elektronik dan kendaraan bermotor.
Di samping itu, berlanjutnya aktivitas kegiatan Pemilu dengan intensitas yang lebih kuat menjelang
pemilihan presiden diperkirakan memperbaiki kinerja permintaan domestik di berbagai daerah di Jawa
dan Jakarta. Faktor lain yang diperkirakan turut mendorong perbaikan ekonomi Jawa terkait dengan
mulai masuknya masa panen raya pada triwulan II 2014 hingga mencapai puncaknya pada awal triwulan
III 2014. Namun, dampak banjir yang melanda sejumlah daerah sentra produksi di Jawa pada awal tahun
2014 diperkirakan akan membayangi capaian produksi pangan pada masa panen raya tersebut. Selain
itu, beberapa daerah di Jawa mengindikasikan perkembangan investasi yang masih cenderung
melambat.
Membaiknya harga komoditas di pasar global diperkirakan turut mendorong peningkatan kinerja
perekonomian berbagai daerah di Sumatera dan KTI. Di Sumatera, tanda-tanda perbaikan kinerja ekspor
komoditas berbasis SDA, terutama hasil-hasil perkebunan yang mulai terlihat pada awal tahun 2014,
diperkirakan terus berlanjut disertai harga jual ekspor yang lebih baik. Hal ini diperkirakan berimbas pada
membaiknya pendapatan masyarakat sehingga mendorong kembali konsumsi rumah tangga. Beberapa
L a p o r a n N u s a n t a r a | 10
daerah di Sumatera juga mengindikasikan adanya peningkatan ekspansi pengolahan sawit yang akan
dilakukan oleh pelaku usaha pada tahun 2014, merespons prakiraan membaiknya permintaan CPO di
pasar internasional.
Sementara itu, prospek perekonomian berbagai daerah di KTI juga membaik seiring dengan berbagai
penyesuaian yang ditempuh oleh pelaku usaha dalam merespons pelaksanaan kebijakan pengaturan
ekspor mineral disertai upaya untuk mempercepat pembangunan smelter. Laju perbaikan ekonomi KTI
diperkirakan akan sangat tergantung pada seberapa cepat penyesuaian dapat dilakukan oleh para pelaku
usaha di sektor pertambangan dan kemajuan pembangunan smelter dapat dilakukan, termasuk orientasi
lokasi dan kendala yang dihadapi dalam pembangunan smelter.
Di sisi inflasi, perkembangan harga-harga di berbagai daerah diperkirakan terkendali dengan tingkat
inflasi yang cenderung menurun. Inflasi di sebagian besar daerah di KTI secara agregat diperkirakan
dapat kembali berada di bawah nasional, seiring dengan meningkatnya pasokan pada masa panen raya
mendatang disertai terjaganya kelancaran distribusi. Di samping itu, prakiraan prospek capaian produksi
pangan pada masa panen raya mendatang, di beberapa daerah sentra produksi KTI, diperkirakan lebih
tinggi dibandingkan dengan panen raya tahun sebelumnya. Hal serupa juga diperkirakan terjadi di
berbagai daerah sentra produksi di Jawa, walaupun banjir yang melanda sejumlah daerah di Jawa
membayangi capaian produksi. Pada beberapa daerah di Jawa, dampak banjir terhadap keseluruhan
produksi pangan diperkirakan terbatas, dengan besaran luas lahan puso yang relatif kecil. Di samping itu,
respons pemerintah dalam menjaga ketersediaan pasokan pangan berkontribusi positif pada stabilitas
harga pangan di daerah. Meski demikian, beberapa risiko yang perlu diwaspadai dampaknya terhadap
inflasi di daerah antara lain terkait kenaikan harga tarif tenaga listrik (TTL) yang akan diberlakukan
kepada industri mulai triwulan II 2014, dampak pass-through dari depresiasi nilai tukar terhadap harga
jual produk, serta rencana kenaikan LPG 12 kg dalam waktu dekat.
Tantangan Ke Depan
Prospek perekonomian daerah menghadapi beberapa tantangan utama yang diperkirakan turut
menentukan kinerja ekonomi dan inflasi ke depan. Pertama, tantangan yang bersumber dari dinamika
global yang dapat menyebabkan rentannya pemulihan ekonomi global, terutama dengan adanya potensi
kembali melambatnya kinerja ekonomi China dan ketidakpastian normalisasi kebijakan moneter di
Amerika Serikat. Hal ini secara tidak langsung dapat berdampak pada tertahannya kinerja ekspor dari
berbagai daerah dan mengganggu kegiatan investasi daerah.
Kedua, tantangan dari penerapan kebijakan pengaturan ekspor mineral. Dalam jangka pendek, beberapa
penyesuaian yang harus dilakukan oleh pelaku usaha di sektor pertambangan berpotensi berdampak
pada kinerja ekspor di beberapa daerah di wilayah Sulampua. Namun, dalam jangka menengah panjang,
penyesuaian yang telah dilakukan pelaku usaha dan konsistensi dari penerapan kebijakan ini akan
berdampak positif bagi peningkatan nilai tambah dari ekspor tambang, sehingga mendorong kinerja
ekonomi secara keseluruhan, terutama bagi daerah-daerah yang didominasi oleh kegiatan
pertambangan.
Ketiga, kemungkinan penerapan kebijakan administered prices terutama harga-harga energi (BBM
bersubsidi, tarif tenaga listrik, dan LPG) dan kebijakan tarif yang ditetapkan oleh daerah. Secara historis,
laju inflasi di daerah memiliki sensitivitas yang cukup tinggi terhadap adanya perubahan administered
prices. Kondisi ini memerlukan respons koordinasi yang lebih baik di daerah untuk meminimalkan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 11
dampak lanjutan dari kemungkinan diterapkannya kebijakan ini, terutama terkait dengan pengendalian
tarif angkutan dan jasa kemasyarakatan lainnya.
Keempat, dampak banjir dan bencana alam yang terjadi pada awal tahun 2014 terhadap prospek
produksi pangan dan inflasi daerah. Dalam kaitan ini maka langkah-langkah yang lebih intensif dan
terkoordinasi diperlukan untuk memastikan prioritas penanganan lahan terdampak banjir. Koordinasi di
tingkat pemerintah pusat dan daerah baik melalui TPI maupun TPID diperlukan untuk memastikan
ketersediaan dan akses petani – khususnya yang terdampak banjir dan bencana alam lainnya – terhadap
benih dan pupuk. Di samping itu, upaya untuk mengarahkan ekspektasi masyarakat perlu dilakukan
secara intensif dengan memberikan informasi yang lengkap kepada masyarakat tentang kondisi pasokan
pangan agar tidak terjadi panic buying di masyarakat.
Kelima, masih terkonsentrasinya daya saing daerah pada daerah-daerah di Jawa. Kemampuan daya saing
yang lebih baik di Jawa didukung oleh faktor stabilitas ekonomi makro, institusi pemerintah, tenaga kerja,
menjadi penunjang. Sementara itu, masih lebih rendahnya daya saing daerah-daerah di Sulampua,
Sumatera dan sebagian Kalimantan terutama disebabkan stabilitas ekonomi dan infrastruktur. Mengatasi
hal ini, upaya untuk mendorong kenaikan daya saing daerah perlu ditempuh bersama-sama oleh para
penentu kebijakan di daerah dan di tingkat pusat. Peningkatan kapasitas infrastruktur, khususnya terkait
konektivitas dan energi, dalam program MP3EI menjadi tumpuan bagi peningkatan kemampuan daya
saing berbagai daerah di luar Jawa. Selain itu, penerapan kebijakan pengupahan – khususnya UMP –
perlu dilakukan secara berimbang untuk mendorong perbaikan kesejahteraan tenaga kerja sekaligus
tidak merugikan daya saing ekonomi daerah.
Laporan Nusantara ini disarikan dari hasil pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan para Kepala Perwakilan Bank Indonesia Wilayah di seluruh Indonesia pada 10 Februari 2014 di Jakarta. Pertemuan
dilakukan secara periodik untuk membahas perkembangan terkini dan berbagai isu strategis yang menjadi perhatian di daerah sebagai bahan pertimbangan penting dalam perumusan kebijakan di Bank Indonesia
L a p o r a n N u s a n t a r a | 12
BOKS 1. Gambaran Terkini Kesejahteraan Daerah
Keberhasilan pencapaian laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dalam beberapa tahun terakhir
disertai pula dengan menurunnya angka kemiskinan di berbagai daerah (Grafik A.1). Secara nasional,
angka kemiskinan mengalami penurunan dari 11,7% pada tahun 2012 menjadi 11,5% pada tahun 2013.
Menurunnya angka kemiskinan merupakan hal yang sangat menggembirakan. Hal ini memberikan arti
bahwa tujuan pembangunan ekonomi telah memberikan imbas positif dalam mengatasi tantangan dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun, melihat lebih jauh beberapa indikator kesejahteraan lainnya menunjukkan masih besarnya
tantangan yang perlu diatasi dalam pembangunan ekonomi nasional. Terkait kemsikinan yang menurun,
jika dilihat secara spasial penurunan tersebut tidak terjadi secara merata. Beberapa daerah seperti
Jabagteng, Sulampua, dan Bali-Nustra justru cenderung persisten berada di atas nasional (Grafik A.1.).
Selain itu, pada indikator rasio gini, dalam beberapa tahun justru menunjukkan adanya kecenderungan
yang meningkat. Secara nasional, rasio gini meningkat dari 0,410 menjadi 0,413 pada tahun 2013. Hal ini
memberikan arti adanya kenaikan tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat. Memburuknya kondisi
ketimpangan juga tercermin pada meningkatnya jumlah provinsi yang masuk ke dalam kategori
ketimpangan sedang (0,4 < rasio gini < 0,5) (Grafik A.2.). Gambaran ketimpangan antar daerah
menunjukkan hal yang tidak berbeda, dari 11 provinsi yang termasuk kategori “ketimpangan sedang”, 8
provinsi di antaranya merupakan provinsi yang berada di KTI.
Meningkatnya ketimpangan pendapatan di tengah angka kemiskinan yang menurun mengindikasikan
adanya perbedaan laju peningkatan kesejahteraan di antara berbagai kelompok masyarakat. Pencapaian
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam beberapa tahun terakhir lebih banyak berdampak
positif pada meningkatnya laju pendapatan masyarakat kelas menengah atas yang lebih cepat.
Sementara itu, akselerasi laju pendapatan kelompok masyarakat menengah bawah relatif lebih lambat
karena mereka lebih banyak bekerja di sektor pertanian dan industri yang pertumbuhannya relatif lebih
lambat daripada sektor lainnya (Grafik A.3.).
Hal lain yang perlu dicermati adalah meningkatnya pengangguran di berbagai daerah pada tahun 2013.
Peningkatan tersebut antara lain terkait dengan menurunnya kinerja perekonomian daerah sepanjang
tahun 2013. Secara agregat, kawasan Sumatera mencatat kenaikan angka pengangguran yang cukup
tinggi pada tahun 2013. Sementara kondisi pengangguran di Kawasan Jawa relatif tidak berubah dari
tahun lalu. Kawasan Jakarta, meskipun mencatat penurunan tingkat pengangguran, namun masih
mencatat angka pengangguran tertinggi di antara kawasan lainnya, yaitu 9,02% (Grafik A.4).
Pada waktu mendatang, upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perlu lebih menyeluruh
melalui capaian pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Pembangunan ekonomi tidak semata melihat pada
angka realisasi kemiskinan yang cenderung menurun, namun bagaimana menciptakan perbaikan
ketimpangan pendapatan di antara masyarakat itu sendiri. Hal ini menjadi sangat kritikal dan perlu dilihat
sebagai bagian dari keberhasilan dalam upaya meningkatkan daya saing ekonomi di daerah.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 13
0
5
10
15
20
25
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
% Sumbagut
Sumbagteng
Sumbagsel
Jakarta
Jabagbar
Jabagteng
Jabagtim
Kalimantan
Sulampua
Bali-Nustra
Indonesia
Sumber: BPS, diolah
Grafik A.1. Persentase Penduduk Miskin Wilayah
0.25
0.27
0.29
0.31
0.33
0.35
0.37
0.39
0.41
0.43
0.45
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
KetimpanganSedang
KetimpanganRendah
Sumber: BPS, diolah
Grafik A.2. Rasio Gini per Provinsi
-
2
4
6
8
10
12
14
16
18
2009 2010 2011* 2012** 2013**
% yoy
PERTANIAN PERTAMBANGAN INDUSTRI
LGA BANGUNAN PHR
PENGANGKUTAN KEUANGAN JASA-JASA Sumber: BPS, diolah
Grafik A.3. Perkembangan PDB Sektoral
0
2
4
6
8
10
12
5
5.5
6
6.5
7
7.5
2010 2011 2012 2013
%%
Sumatera Jawa KTI
NASIONAL Jakarta (rhs)
Sumber: BPS, diolah
Grafik A.4. Tingkat Pengangguran Terbuka berdasarkan Kawasan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 14
BOKS 2. Pengaruh Upah terhadap Inflasi di Indonesia dari
Perspektif Regional1
Sebagai komponen pembentuk biaya, upah di pasar kerja dapat berpengaruh pada pembentukan harga
di pasar barang. Studi ini mencoba untuk menangkap kemungkinan tersebut dari sudut pandang
kenaikan upah minimum provinsi (UMP) terhadap inflasi provinsi di Indonesia untuk periode 2002 - 2012.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa kenaikan upah di provinsi turut berpengaruh positif terhadap
pembentukan inflasi di provinsi tersebut, setelah mempertimbangkan sejumlah faktor-faktor lain.
Perkembangan upah (Upah Minimum Provinsi/UMP) di sejumlah provinsi dalam beberapa tahun terakhir
menunjukkan tren peningkatan dan juga terlihat bervariasi antarprovinsi (Gambar B.1.). Kenaikan upah
tersebut berpotensi mendorong kenaikan inflasi. Ilustrasi sederhana di Grafik B.1. misalnya menunjukkan
adanya korelasi positif tersebut2.
Gambar B.1. Variasi Upah Minimum Provinsi
1 Disarikan dari “Dinamika dan Heterogenitas Inflasi Regional di Indonesia (Ridhwan, dkk, 2013).
2 Dapat pula dicatat bahwa hubungan di Grafik B.1. bisa saja bersifat dua arah yang kerap disebut sebagai spiral upah-
inflasi.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 15
Aceh
Jambi
Sumsel
Lampung
DKI
Jabar
Jateng JatimBali
NTT
Kalbar
Kalteng
Kaltim
Sultra
GorontaloMaluku
6.0
6.5
7.0
7.5
8.0
8.5
9.0
9.5
8 10 12 14 16 18
Inflasi (%,yoy)
Upah (%, yoy)
Sumber: CEIC dan BPS, Rata-Rata 2002 – 2012, diolah
Grafik B.1. Korelasi Upah dan Inflasi
Dari studi literatur, efek kenaikan upah pada laju inflasi dapat ditinjau baik dari sisi penawaran maupun
permintaan. Dari sisi penawaran, upah sebagai salah satu biaya input produksi dapat berpotensi
menyebabkan peningkatan inflasi, terutama jika peningkatan upah tidak dibarengi oleh peningkatan
produktivitas tenaga kerja. Sementara dari sisi permintaan, peningkatan upah berpotensi mendorong
peningkatan daya beli. Menggunakan data UMP (proksi dari upah) pada 30 provinsi di Indonesia (data
triwulanan 2002 sampai dengan 2012), hasil studi terbaru yang dilakukan oleh beberapa peneliti ekonomi
Bank Indonesia menunjukkan bahwa UMP berpengaruh signifikan terhadap inflasi daerah3.
Variasi pengaruh untuk setiap provinsi sangat tergantung pada rata–rata kenaikan upah di provinsi
tersebut, seperti yang dapat diilustrasikan dengan tingkat gradasi warna pada Gambar B.2. Warna hijau
gelap menunjukkan daerah dengan efek yang terbesar, sementara warna hijau muda menunjukkan efek
upah yang terendah.
Berangkat dari hasil di atas, untuk mengurangi dampak kenaikan UMP terhadap inflasi, maka kenaikan
upah perlu diimbangi dengan peningkatan produktivitas. Terkait dengan itu, Bank Indonesia terutama
melalui Kantor-Kantor Perwakilan Dalam Negeri (KPwDN) dapat berperan aktif dalam mendorong
kebijakan di daerah yang dapat mendukung peningkatan produktivitas, terutama melalui peningkatan
keahlian (skills) pekerja, dan kesesuaian antara pasokan dan permintaan keahlian (skills’ link and match)
di tingkat provinsi. Di sisi lain, pengelolaan ekspektasi inflasi melalui kebijakan moneter dapat terus
diperkuat, terutama mengingat kemungkinan hubungan dua arah antara kenaikan upah dan laju inflasi.
3 Dalam studi ini, determinan inflasi dimodelkan dalam bentuk reduced-form dan estimasi dilakukan dengan metode Panel
Data Dinamis Arellano-Bond Generalized Method of Moments (AB-GMM) first difference3. Bentuk reduced form adalah
sebagai berikut: , inflasi merupakan fungsi dari inersia (lag
inflasi), upah ( ) dan variabel lain yang terkait upah ( ) sebagai variabel-variabel kontrol, antara lain produktivitas
(output/tenaga kerja), output gap, harga minyak, nilai tukar, dan jarak ekonomi. Setelah dilakukan estimasi, diperoleh
hasil bahwa setelah mempertimbangkan faktor-faktor lain, variabel upah berpengaruh positif terhadap pembentukan
inflasi di provinsi. Hasil estimasi tersebut adalah sebagai berikut:
Dlog(IHK)= + 0,039 Dlog*(UMP)** + 0,579 Dlog*(lag Inflasi)*** + 0,248 Dlog*(lead Inflasi)***+ (Variabel Kontrol)
**, *** signifikan pada level 5% dan 1% , sampel: 1080 observasi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 16
Gambar B.2. Peta Efek Upah terhadap Inflasi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 17
Bagian II
Perekonomian Kawasan Timur Indonesia
Pertumbuhan ekonomi KTI secara agregat pada triwulan IV 2013 mencapai 6,6% (yoy), lebih tinggi
dibanding periode triwulan sebelumnya yang sebesar 6,1% (yoy). Akselerasi pertumbuhan ekonomi KTI
terutama didorong oleh perkembangan berbagai daerah di wilayah Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua).
Beberapa daerah di wilayah ini bahkan mencatat angka pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi seperti
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang mencapai lebih dari 15% (yoy). Sementara itu,
pertumbuhan ekonomi di wilayah Kalimantan dan Wilayah Bali-Nusa Tenggara relatif stabil pada periode
ini. Untuk keseluruhan tahun 2013, realisasi pertumbuhan ekonomi KTI tercatat lebih rendah dari
capaian pada tahun 2012. Hal ini terutama disebabkan oleh melambatnya kinerja ekspor barang
tambang, disertai perkembangan harga komoditas di pasar global yang masih cenderung lemah di
sepanjang 2013.
Sementara itu, tekanan inflasi berbagai daerah di KTI pada akhir tahun 2013 cenderung mereda seiring
dengan berlanjutnya koreksi harga pada beberapa bahan pangan serta terkendalinya dampak lanjutan
kenaikan harga BBM bersubsidi. Penurunan harga komoditas bahan makanan yang sejalan dengan
peningkatan pasokan, khususnya komoditas bumbu-bumbuan, mengurangi tekanan harga. Hal ini antara
lain dipengaruhi oleh adanya pergeseran puncak panen di beberapa daerah sentra produksi pangan KTI
yang mendorong melimpahnya pasokan pangan di paruh kedua 2013, kondisi cuaca yang kondusif bagi
produksi pangan – terutama produksi aneka ikan tangkap, dan minimalnya gangguan distribusi barang. Di
samping itu, berbagai langkah koordinasi yang ditempuh oleh Kantor-kantor Perwakilan Bank Indonesia
dan Pemerintah Daerah, khususnya melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID), di berbagai daerah
KTI turut berdampak positif dalam menjaga ekspektasi inflasi masyarakat.
Memasuki awal tahun 2014, berbagai indikator ekonomi di sejumlah daerah di KTI mengindikasikan
mengemukanya tantangan yang dapat memengaruhi kinerja ekonomi KTI. Di sisi pertumbuhan ekonomi,
kinerja sektor pertambangan yang memiliki peran besar dalam perekonomian kawasan diperkirakan
tumbuh melambat sehingga berdampak pada kinerja pertumbuhan ekonomi keseluruhan KTI.
Pertumbuhan ekonomi KTI pada triwulan I 2014 diperkirakan melambat. Prakiraan ini terutama
dipengaruhi oleh penyesuaian yang akan dilakukan oleh pelaku usaha di sektor pertambangan terkait
dengan implementasi kebijakan pengaturan ekspor mineral yang mulai berlaku sejak Januari 2014.
Beberapa daerah di KTI seperti Papua, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Tenggara diprakirakan tumbuh
melambat pada triwulan I 2014. Meski demikian, perkembangan kinerja sektor pertambangan di
Kalimantan yang didominasi oleh batubara diperkirakan dapat menahan perlambatan ekonomi KTI lebih
lanjut. Permintaan eksternal yang membaik seiring dengan menguatnya tanda-tanda pemulihan ekonomi
global dan beroperasinya beberapa pembangkit tenaga listrik baru diperkirakan berdampak positif bagi
perkembangan kinerja pertambangan batubara di Kalimantan.
Di sisi inflasi, perkembangan harga-harga umum di berbagai daerah di KTI diperkirakan cukup terkendali
didukung prakiraan produksi pangan yang lebih baik pada tahun 2014. Beberapa daerah di KTI yang
merupakan sentra produksi pangan seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan
Gorontalo diperkirakan mengalami kenaikan produksi pangan dibandingkan dengan realisasi pada
tahun 2013. Di samping itu, prakiraan kondisi cuaca yang mulai membaik pada Februari dan Maret 2014
L a p o r a n N u s a n t a r a | 18
diperkirakan berdampak positif bagi meredanya tekanan harga yang terjadi di awal tahun 2014 akibat
faktor cuaca yang menghambat distribusi dan bencana alam yang terjadi di sejumlah daerah.
Seiring dengan peningkatan aktivitas kegiatan ekonomi, pembiayaan perbankan kepada sektor-sektor
utama daerah di KTI tumbuh meningkat. Pembiayaan kredit di KTI didominasi oleh sektor perdagangan
dan sektor pertanian yang masing-masing memiliki pangsa besar yang cukup besar yakni 24,1% dan
10,3%. Sebagian besar pembiayaan kredit ke dua sektor tersebut disalurkan dalam bentuk kredit modal
kerja yang secara rata-rata berada pada kisaran 33% dari keseluruhan kredit yang disalurkan dan sekitar
29% kredit yang dimanfaatkan sebagai kredit investasi. Secara keseluruhan, penyaluran pembiayaan
perbankan masih tumbuh di atas 20% selama tahun 2013, walaupun melambat dibandingkan
pertumbuhan tahun sebelumnya karena dipengaruhi oleh tekanan yang dialami pelaku usaha terkait
perkembangan harga komoditas di pasar ekspor yang melemah. Di wilayah Sulampua, penyaluran kredit
perbankan kepada sektor pertambangan bahkan tercatat tumbuh negatif pada akhir tahun 2013 disertai
adanya tren kenaikan nonperforming loans.
Sementara itu, alokasi pembiayaan produktif untuk UMKM mencapai kisaran 26% dari total pembiayaan
dengan tingkat pertumbuhan mencapai di atas 26% (yoy) pada akhir tahun 2013. Sebagian besar kredit
UMKM disalurkan kepada sektor perdagangan dengan porsi di atas 60% sejak pertengahan tahun 2013.
Upaya untuk mendorong akses pembiayaan perbankan kepada UMKM terus ditempuh oleh Bank
Indonesia bersama-sama dengan Pemerintah Daerah, antara lain melalui pemberian bantuan teknis dan
pengembangan klaster. Beberapa klaster yang dikembangkan antara lain klaster kopi di Provinsi Bali pada
tahun 2013 dan klaster sapi di Provinsi Bali, NTB dan NTT pada tahun 2014. Di Sulampua, berbagai klaster
sektor pertanian dikembangkan di berbagai daerah mulai dari kakao, cabe, padi, sapi, ayam pedaging,
serta ikan bandeng. Dalam upaya pengembangan klaster tersebut, Bank Indonesia memberikan
dukungan dalam berbagai aspek mulai dari penguatan kelembagaan, peningkatan kompetensi
petani/peternak, hingga bantuan infrastruktur pendukung, serta hubungan dengan bank.
Perkembangan aktivitas transaksi nontunai di sistem pembayaran maupun transaksi tunai di KTI
menunjukkan kecenderungan yang juga meningkat. Transaksi melalui kliring mencatat kenaikan dari sisi
nominal transaksi dengan pertumbuhan hingga 3,1%, sementara jumlah warkatnya menurun sebesar
2,8%. Sementara itu, transaksi RTGS di semua wilayah di KTI mengalami kenaikan. Di Sulampua,
peningkatan transaksi nontunai melalui RTGS terjadi seiring meningkatnya berbagai kebutuhan transaksi
masyarakat dan pelaku usaha khususnya pada akhir tahun. Dalam rangka meningkatkan kualitas
pelayanan transaksi, Bank Indonesia telah menandatangani nota kesepahaman dengan Bank Sentral
Papua New Guinea (PNG) untuk meningkatkan peran lembaga keuangan Bank dan Pedagang Valuta
Asing (PVA) di masing-masing negara. Tujuannya untuk meningkatkan aktivitas ekonomi di wilayah
perbatasan dengan mendorong terciptanya kelancaran dan keandalan sistem pembayaran.
Prospek pertumbuhan ekonomi KTI diperkirakan masih menghadapi tantangan sebagai dampak dari
penyesuaian yang masih dilakukan oleh pelaku usaha terhadap kebijakan pengaturan ekspor mineral.
Setelah diperkirakan melambat pada triwulan I 2014, pertumbuhan ekonomi di KTI secara agregat pada
triwulan II 2014 diperkirakan membaik dan untuk keseluruhan tahun 2014 diperkirakan tumbuh di
kisaran 4,5% – 5,0%. Masuknya masa panen di triwulan mendatang dengan prakiraan capaian produksi
yang lebih baik disertai meningkatnya aktivitas konsumsi terkait dengan pelaksanaan Pemilu 2014
diperkirakan berkontribusi besar pada capaian pertumbuhan ekonomi KTI tahun 2014. Sementara itu,
pelaku usaha pertambangan diperkirakan secara bertahap mampu melakukan perubahan strategi
usaha dalam merespons pelaksanaan kebijakan pengaturan ekspor mineral disertai upaya untuk
L a p o r a n N u s a n t a r a | 19
mempercepat pembangunan smelter. Oleh karena itu, prospek pertumbuhan ekonomi KTI akan
tergantung antara lain pada kecepatan penyesuaian yang dilakukan oleh para pelaku usaha di sektor
pertambangan.
Sementara itu, tekanan inflasi diperkirakan sedikit mereda dengan membaiknya kembali pasokan pangan
dan distribusi. Inflasi diperkirakan berada di kisaran 6,5% – 6,9% (yoy) pada triwulan II 2014. Tekanan
kenaikan inflasi di berbagai daerah di Sulampua dan Bali-Nustra diperkirakan mereda, sedangkan
tekanan inflasi di wilayah Kalimantan justru masih berpotensi mengalami peningkatan. Meredanya
tekanan inflasi di wilayah Sulampua dan Bali-Nustra antara lain terkait dengan capaian produksi pangan
pada masa panen raya mendatang disertai faktor cuaca yang kondusif. Di samping itu, arus distribusi
barang antar daerah di dua wilayah ini diperkirakan terjaga. Sementara itu, perkembangan harga di
Kalimantan diperkirakan kembali mengalami tekanan karena masih besarnya potensi hambatan distribusi
akibat tingginya gelombang laut dan permasalahan kuotasi LPG 3 kg. Menghadapi potensi risiko yang
ada, TPID juga perlu mencermati adanya pergeseran pola panen yang akan terjadi dan implikasinya
terhadap kesinambungan pasokan pangan. Mencermati perkembangan terakhir dan berbagai faktor
risiko tersebut, maka untuk keseluruhan tahun 2014, inflasi KTI diperkirakan berada pada kisaran 4,9% –
5,4% (yoy).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 20
Bagian II.1 Perekonomian Sulawesi, Maluku, dan Papua
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian berbagai daerah di wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua) secara agregat
tumbuh menguat pada triwulan IV 2013. Beberapa provinsi seperti Papua, Papua Barat, dan Sulawesi
Tenggara dapat mencatat angka pertumbuhan yang cukup signifikan sehingga berkontribusi besar pada
kenaikan pertumbuhan ekonomi Wilayah Sulampua hingga mencapai 10,4% (yoy), lebih tinggi dari
triwulan sebelumnya yang sebesar 9,1% (yoy). Meningkatnya pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah
di wilayah Sulampua didorong oleh kinerja sektor pertambangan. Meningkatnya kinerja sektor
pertambangan di periode triwulan terakhir tahun 2013 ini menyebabkan wilayah Sulampua dapat
mencatat angka pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi selama tahun 2013 (8,7%, yoy) dibanding
capaian di tahun 2012 (8,1%, yoy).
Memasuki periode triwulan I 2014, perkembangan beberapa indikator ekonomi terkini mengindikasikan
potensi kembali melambatnya kinerja pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah di wilayah Sulampua.
Hal ini terutama dipengaruhi oleh penyesuaian yang perlu dilakukan oleh pelaku usaha di sektor
pertambangan terkait penerapan kebijakan pengaturan ekspor mineral yang mulai berlaku pada Januari
2014. Indikasi melambatnya kinerja ekonomi terutama terlihat di beberapa provinsi di wilayah Sulampua
yang memiliki pangsa sektor petambangan cukup besar dalam ekonominya, seperti Papua dan Sulawesi
Tenggara. Secara keseluruhan tahun 2014, pertumbuhan ekonomi wilayah Sulampua diprakirakan
berada di kisaran 5,4% – 5,9% (yoy).
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga tumbuh relatif stabil pada triwulan IV 2013. Pada triwulan sebelumnya,
konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 6,8% (yoy) dan kembali tumbuh dengan angka yang sama di
triwulan IV 2013. Hal tersebut didukung oleh cukup banyaknya penyelenggaraan event berskala nasional
maupun internasional di Manado (Sulawesi Utara), Makassar (Sulawesi Selatan), dan Palu (Sulawesi
Tengah). Untuk keseluruhan tahun 2013, konsumsi rumah tangga tumbuh melambat pada angka 6,8%
(yoy) setelah pada tahun 2012 tercatat tumbuh sebesar 7,0% (yoy). Melambatnya kinerja konsumsi
rumah tangga antara lain terkait dengan melemahnya pendapatan di sektor pertambangan seiring
berlanjutnya penurunan harga komoditas ekspor sepanjang tahun 2013.
Perkembangan beberapa indikator terkini menunjukkan konsumsi rumah tangga diperkirakan masih
cenderung melambat pada triwulan I 2014. Hasil Survei Penjualan Eceran (SPE) mengindikasikan tendensi
arah penjualan eceran yang melemah di Makassar maupun Manado (Grafik II.1.1). Demikian halnya
dengan dengan Indeks Keyakinan Konsumen dari hasil Survei Konsumen (SK) yang juga menunjukkan
kecenderungan melemah (Grafik II.1.2). Pelemahan tersebut dinilai terkait dengan kenaikan harga
komoditas strategis (LPG, ikan-ikanan, pangan lainnya) pada awal tahun dan kondisi cuaca yang tidak
kondusif, hingga bencana alam yang terjadi di beberapa daerah seperti banjir bandang di Manado.
Sementara itu, penyaluran kredit konsumsi di Sulampua juga masih berada pada tren yang melambat
(Grafik II.1.3).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 21
Konsumsi Pemerintah
Pada triwulan IV 2013, konsumsi pemerintah mengalami akselerasi pertumbuhan seiring dengan siklus
akhir tahun yang cenderung mendorong kenaikan realisasi anggaran. Penyelenggaraan Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) di beberapa daerah seperti Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, Papua, dan Maluku turut berkontribusi pada kenaikan penyerapan anggaran pemerintah
tersebut. Konsumsi pemerintah di berbagai daerah di wilayah Sulampua secara agregat tumbuh hingga
8,9% (yoy) pada triwulan IV 2013, dibanding 6,3% (yoy) di triwulan sebelumnya. Secara keseluruhan
tahun 2013, konsumsi pemerintah tumbuh melambat dari 7,9% (yoy) menjadi 6,6% (yoy). Hal ini turut
dipengaruhi oleh melambatnya pertumbuhan komponen belanja APBD agregat Sulampua dari 39% (yoy)
di 2012 menjadi 12% (yoy) di 2013.
Pada triwulan I 2014, kinerja konsumsi pemerintah diperkirakan kembali tumbuh melambat
dibandingkan triwulan sebelumnya. Perlambatan tersebut lebih dipengaruhi oleh pola siklikal realisasi
anggaran yang cenderung rendah di awal tahun dan efek dari tingginya pertumbuhan konsumsi
pemerintah pada akhir 2013. Indikasi penyerapan realisasi anggaran yang rendah pada awal tahun
terlihat pada giro milik pemerintah daerah di perbankan yang cenderung meningkat pada awal tahun
(Grafik II.1.4). Meski demikian, pengeluaran pemerintah terkait persiapan penyelenggaran Pemilihan
Umum (Pemilu) pada April 2014 diperkirakan menopang kinerja konsumsi pemerintah.
150
190
230
270
310
350
390
85
90
95
100
105
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3
I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014
IndeksIndeks
Makassar Manado - Skala Kanan
Grafik II.1.1. Indeks Penjualan Eceran Riil, Survei Penjualan Eceran Bank indonesia
100
110
120
130
140
150
160
170
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014
Indeks
Makassar Ambon Manokwari Palu
Grafik II.1.2. Indeks Keyakinan Konsumen, Survei Konsumen Bank indonesia
0
10
20
30
40
50
60
0
20
40
60
80
100
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
%, yoyRp Triliun
Kredit Konsumsi gKredit Konsumsi - Skala Kanan
Grafik II.1.3. Penyaluran Kredit Konsumsi
(10)
0
10
20
30
40
50
0
5
10
15
20
25
30
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
%, yoyRp Triliun
Giro BPD gGiro BPD - Skala Kanan
Grafik II.1.4. Giro Milik Bank Pemerintah Daerah
Investasi
Kinerja investasi di berbagai daerah di wilayah Sulampua tumbuh melambat pada triwulan IV 2013.
Pertumbuhan investasi secara agregat tercatat sebesar 10,3% (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 22
triwulan sebelumnya (11,3%, yoy). Melemahnya pertumbuhan investasi, terutama terjadi di Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara, dan Papua. Beberap hal yang diperkirakan memengaruhi melambatnya kinerj
investasi di wilayah Sulampua antara lain depresiasi nilai tukar dan meningkatnya suku bunga, serta
masih terbatasnya perbaikan harga komoditas ekspor utama di pasar global. Namun, berlanjutnya
realisasi pembangunan beberapa proyek infrastruktur seperti di Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku,
Maluku Utara, serta Papua, untuk pembangunan pembangkit listrik, jalan raya, jalan tol, perbaikan
fasilitas bandara maupun pelabuhan, hingga pembangunan jembatan dapat menopang pertumbuhan
investasi tetap berada pada level yang cukup tinggi pada akhir tahun 2013. Untuk keseluruhan tahun,
kecenderungan harga komoditas ekspor yang melemah sepanjang tahun 2013 dan masih terbatasnya
perkembangan investasi di sektor pertambangan berpengaruh pada capaian realisasi investasi di tahun
2013 yang tercatat lebih rendah dibanding tahun 2012.
Perkembangan terakhir mengindikasikan masih belum kuatnya kinerja investasi pada triwulan I 2014. Hal
ini terlihat dari indikator impor barang modal serta realisasi penanaman modal asing (PMA) Sulampua
yang cenderung tumbuh terbatas (Grafik II.1.5 dan Grafik II.1.6). Di sisi lain, penyaluran kredit investasi
terpantau memiliki tren yang stabil pada tingkat yang tinggi sehingga berpotensi menjadi faktor positif
yang menopang kinerja investasi (Grafik II.1.7). Kapasitas produksi terpakai Sulampua juga masih
bergerak stabil pada kisaran 68% sehingga masih sangat mungkin untuk mengalami peningkatan (Grafik
II.1.8). Implementasi kebijakan penerapan pengaturan ekspor mineral diperkirakan menjadi insentif bagi
pelaku usaha di sektor pertambangan untuk mempercepat realisasi pembangunan smelter.
(150)
(100)
(50)
0
50
100
150
0
10
20
30
40
50
60
70
I II III IV I II III IV
2012 2013
%, yoyJuta Ton
Impor Barang Modal gImpor Barang Modal - Skala Kanan
Sumber : Bea Cukai, diolah
Grafik II.1.5. Impor Barang Modal
(50)
0
50
100
150
200
250
300
350
400
0
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
1,600
1,800
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
%, yoyUSD Juta
Sektor Primer Sektor Sekunder
Sektor Tersier gTotal PMA - Skala Kanan
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
Grafik II.1.6. Realisasi Penanaman Modal Asing
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
0
5
10
15
20
25
30
35
40
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
%, yoyRp Triliun
Kredit Investasi gKredit Investasi - Skala Kanan
Grafik II.1.7. Penyaluran Kredit Investasi
66
67
68
69
70
71
72
50
55
60
65
70
75
80
I II III IV I II III IV
2012 2013
%%
Total - Skala Kanan Pertanian
Pertambangan Industri Pengolahan
Grafik II.1.8. Kapasitas Produksi Terpakai,
Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
L a p o r a n N u s a n t a r a | 23
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Pada triwulan IV 2013, ekspor luar negeri beberapa daerah di wilayah Sulampua mengalami peningkatan
yang cukup signifikan. Penguatan ekspor didorong oleh meningkatnya kinerja ekspor di beberapa
provinsi, terutama dari Papua, Papua Barat, dan Sulawesi Selatan terutama untuk komoditas tambang.
Hal ini antara lain dipengaruhi oleh membaiknya permintaan barang tambang oleh beberapa negara
mitra dagang utama dan juga diiduga sebagai antisipasi sebelum diberlakukannnya larangan ekspor
mineral pada awal tahun 2014. Secara keseluruhan tahun 2013, kinerja ekspor luar negeri dari Sulampua
ditopang kinerja produksi tambang utama di Provinsi Papua yang dapat beroperasi secara normal pada
2013 meskipun sempat terjadi terganggu selama beberapa waktu pada triwulan II 2013. Selain itu, Papua
Barat juga memberikan kontribusi melalui ekspor liquefied natural gas (LNG) yang cukup signifikan
sepanjang 2013.
Pada triwulan I 2014, ekspor Sulampua yang didominasi oleh produk tambang diperkirakan tumbuh
melambat (Grafik II.1.9). Faktor utama penyebab perlambatan adalah diterapkannya pengaturan ekspor
produk mineral. Penerapan aturan tersebut akan memengaruhi kinerja ekspor tembaga (Papua) serta
nikel (Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Sulawesi Tengah). Berdasarkan liaison yang dilakukan di
Sulawesi Tenggara dan beberapa daerah lainnya, penerapan kebijakan tersebut akan memengaruhi
aktivitas kegiatan ekspor perusahaan karena peran ekspor raw material selama ini masih cukup besar. Di
samping itu, cenderung melemahnya Purchasing Managers Index (PMI) negara tujuan ekspor berbagai
daerah di Sulampua, khususnya ke China dan Amerika Serikat (Grafik II.1.10) dan masih terbatasnya
perbaikan harga komoditas tambang di pasar global (Grafik II.1.11) berpotensi menahan laju perbaikan
kinerja ekspor lebih lanjut.
Impor
Pada triwulan IV 2013, impor mengalami akselerasi pertumbuhan. Impor ke berbagai daerah di wilayah
Sulampua secara agregat kembali mencatat pertumbuhan positif sebesar 5,5% (yoy) setelah sempat
mengalami kontraksi sebesar -0,1% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Menguatnya pertumbuhan impor
terjadir di hampir semua provinsi seiring kegiatan industri pengolahan yang juga menguat sehingga
mendorong kenaikan kebutuhan impor bahan baku industri. Untuk keseluruhan 2013, impor Sulampua
tumbuh melambat dari 5,7% (yoy) pada 2012 menjadi 3,6% (yoy). Melemahnya kinerja impor disebabkan
oleh tertahannya pertumbuhan kegiatan konsumsi dan investasi secara tahunan.
Memasuki triwulan I 2014, kinerja impor diperkirakan masih tumbuh meningkat dibandingkan triwulan IV
2013. Penguatan ini diindikasikan dari kinerja sektor sekunder, khususnya sektor bangunan di Papua,
Sulawesi Utara, dan Maluku Utara, yang diperkirakan cenderung meningkat. Secara historis, impor
barang modal dan barang konsumsi dari luar negeri berpotensi mengalami akselerasi pada awal tahun
untuk mendukung kegiatan di sektor sekunder (Grafik II.1.12).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 24
(60)
(40)
(20)
0
20
40
60
80
100
120
I II III IV I II III IV
2012 2013
%, yoy
Pertanian Industri Pertambangan
Sumber : Bea Cukai, diolah
Grafik II.1.9. Pertumbuhan Volume Ekspor Menurut Komoditas
44
46
48
50
52
54
56
58
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1
2013 2014
Indeks
Jepang Cina Amerika Serikat Eropa Series5
Sumber : Bloomberg
Grafik II.1.10. Purchasing Managers Index Negara Tujuan Ekspor
12,000
14,000
16,000
18,000
20,000
22,000
24,000
26,000
28,000
30,000
6,000
6,500
7,000
7,500
8,000
8,500
9,000
9,500
10,000
1 2 3 4 5 6 7 8 9101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9101112
2011 2012 2013
USD/ton metrikUSD/ton metrik
Harga Internasional Biji Tembaga
Harga Internasional Biji Nikel - Skala Kanan
Sumber : World Bank
Grafik II.1.11. Harga Internasional Komoditas Ekspor Pertambangan
(150)
(100)
(50)
0
50
100
150
I II III IV I II III IV
2012 2013
%, yoy
Barang Konsumsi Barang Modal Bahan Baku
Sumber : Bea Cukai, diolah
Grafik II.1.12. Pertumbuhan Volume Impor Menurut Kategori Barang
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertambangan dan Penggalian
Sektor pertambangan dan penggalian secara agregat tumbuh melambat di wilayah Sulampua dari 24,8%
(yoy) pada triwulan III 2013 menjadi 22,6% (yoy) pada triwulan IV 2013. Hal ini dipengaruhi oleh
perbaikan harga komoditas ekspor yang masih cenderung terbatas dan terhentinya produksi beberapa
perusahaan tambang lokal di Sulawesi Tengah. Meskipun demikian, langkah pelaku usaha dalam
mengantisipasi berlakunya larangan ekspor mineral pada awal Januari 2014 dan minimalnya kendala
operasional perusahaan tambang besar di wilayah Sulampua diperkirakan dapat menopang
pertumbuhan kinerja sektor pertambangan pada kisaran level yang masih tinggi. Indikasi ini terlihat dari
produksi tembaga dan emas di Papua yang meningkat cukup tinggi pada akhir tahun 2013 (Grafik II.1.13.
dan Grafik II.1.14.). Secara keseluruhan tahun 2013, relatif minimalnya gangguan operasional produksi
tambang di berbagai daerah di wilayah Sulampua mendorong pertumbuhan sektor pertambangan pada
tahun 2013 tumbuh 18,3% (yoy) dibandingkan capaian pada tahun 2012 (0,1%, yoy).
Pada awal triwulan I 2014, kinerja produksi sektor pertambangan diperkirakan tumbuh melambat. Mulai
berlakunya kebijakan pengaturan ekspor mineral diperkirakan mendorong pelaku usaha di sektor
L a p o r a n N u s a n t a r a | 25
tambang untuk melakukan beberapa penyesuaian sehingga diperkirakan berdampak pada aktivitas di
sektor tambang. Hasil liaison kepada beberapa perusahaan tambang di wilayah Sulampua
mengindikasikan hambatan utama yang dihadapi terutama terkait belum tersedianya fasilitas smelter
dengan kapasitas yang sebanding dengan hasil produksi. Kondisi ini selanjutnya akan memengaruhi
aktivitas produksi beberapa produk mineral. Beberapa pengusaha tambang kelas menengah di Maluku
Utara maupun Sulawesi Tengah mengindikasikan akan mulai berhenti beroperasi karena belum adanya
fasilitas smelter. Sementara itu, kinerja produksi dan ekspor bijih nikel di beberapa daerah di wilayah
Sulampua diperkirakan masih dalam tren yang melambat sedangkan ekspor bijih tembaga mengalami
akselerasi di akhir 2013 (Grafik II.1.15. dan Grafik II.1.16.).
(100)
(50)
0
50
100
150
200
250
0
50
100
150
200
250
300
350
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
%, yoyJuta Pounds
Produksi Tembaga gProduksi Tembaga - Skala Kanan
Sumber : Produsen, diolah
Grafik II.1.13. Produksi Konsentrat Tembaga Papua
(100)
(50)
0
50
100
150
0
100
200
300
400
500
600
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
%, yoyRibu Ons
Produksi Emas gProduksi Emas - Skala Kanan
Sumber : Produsen, diolah
Grafik II.1.14. Produksi Konsentrat Emas Papua
(60)
(40)
(20)
0
20
40
60
80
100
0
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
%, yoyWet Metric
Tons
Produksi Biji Nikel gProduksi Biji Nikel - Skala Kanan
Sumber : Produsen, diolah
Grafik II.1.15. Produksi Bijih Nikel Sulawesi Tenggara
(100)
(50)
0
50
100
150
I II III IV I II III IV
2011 2012
%, yoy
Biji Nikel Biji Tembaga
Sumber : Bea Cukai, diolah
Grafik II.1.16. Pertumbuhan Vol. Ekspor Tambang
Sektor Industri Pengolahan
Pada triwulan IV 2013, sektor industri pengolahan tumbuh meningkat hingga mencapai 11,4% (yoy)
setelah sebelumnya tumbuh 7,2% (yoy). Provinsi pendorong pertumbuhan sektor ini adalah Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku Utara, Maluku, dan terutama Papua Barat. Di Papua
Barat, meningkatnya kinerja industri dipengaruhi terutama oleh produksi LNG yang meningkat cukup
tinggi seiring membaiknya harga internasional LNG pada triwulan IV 2013. Meski demikian, secara
keseluruhan tahun 2013, sektor industri pengolahan tercatat tumbuh melambat dari 12,7% (yoy) pada
2012 menjadi 8,4% (yoy). Hal ini terutama dipengaruhi oleh kinerja industri LNG di Papua Barat. Di
daerah ini, penghentian operasi dua kilang milik produsen pada November 2012 berdampak pada
L a p o r a n N u s a n t a r a | 26
capaian produksi secara keseluruhan tahun. Meski salah satu kilang telah beroperasi kembali di
Desember 2012, kilang yang lain belum bisa beroperasi hingga awal 2013 karena masih dalam tahap
pemeliharaan.
Memasuki triwulan I 2014, sektor industri pengolahan diperkirakan tumbuh melambat. Produksi LNG di
Papua Barat diperkirakan tumbuh cenderung stabil pada triwulan I 2014 (Grafik II.1.17). Produksi terigu
dan realisasi pengadaan semen diperkirakan akan melambat sebagai dampak dari melemahnya
permintaan pasca masa akhir tahun dan selesainya target proyek-proyek pembangunan pada 2013
(Grafik II.1.18 dan Grafik II.1.19). Sementara itu, kinerja produksi nikel di Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Tenggara diperkirakan cukup baik pada triwulan I 2014 seiring kegiatan operasional yang berjalan
normal tanpa isu negatif yang berpotensi mengganggu produksi (Grafik II.1.20).
(30)(20)(10)010203040506070
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013*
%, yoyRibu Metrik Kubik
*) Angka sementara
Produksi LNG gProduksi LNG - Skala Kanan
Sumber : Produsen, diolah
Grafik II.1.17. Produksi LNG Papua Barat
(30)
(20)
(10)
0
10
20
30
40
020406080
100120140160180200
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
%, yoyRibu Ton Metrik
Produksi Terigu gProduksi Terigu - Skala Kanan
Sumber : Produsen, diolah
Grafik II.1.18. Produksi Terigu Sulawesi Selatan
(15)(10)(5)0510152025303540
0
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
1,600
1,800
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
%, yoyRibu Ton
Pengadaan Semen gPengadaan Semen - Skala Kanan
Sumber : Asosiasi Semen Indonesia, diolah
Grafik II.1.19. Realisasi Pengadaan Semen
(40)(30)(20)(10)
010203040506070
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
%; yoy
Ferronikel Nikel Matte
Sumber : Produsen, diolah
Grafik II.1.20. Pertumbuhan Produksi Nikel Olahan
Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR)
Sektor PHR tumbuh menguat di akhir 2013. Pada triwulan IV 2013, sektor PHR bertumbuh 10,2% (yoy),
lebih tinggi dari pertumbuhan triwulan sebelumnya (9,1%, yoy). Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Utara, Maluku, dan Maluku Utara menjadi pendorong akselerasi sektor ini. Peningkatan
tersebut terutama didukung oleh kegiatan perdagangan besar maupun eceran yang meningkat seiring
masa akhir tahun. Kehadiran pusat perbelanjaan besar di Sulawesi Tenggara menjadi faktor yang
menguatkan pertumbuhan. Di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara, penyelenggaraan event berskala
besar menjadi pemicu akselerasi. Akumulasi selama satu tahun menunjukkan adanya perlambatan
pertumbuhan sektor PHR dari 10,2% (yoy) pada 2012 menjadi 9,9% (yoy) pada 2013. Perlambatan ini
L a p o r a n N u s a n t a r a | 27
dipengaruhi oleh melemahnya pertumbuhan konsumsi maupun impor di 2013 sehingga kegiatan
perdagangan pun ikut melambat.
Melihat pada beberapa perkembangan indikator terkini, pertumbuhan sektor PHR diperkirakan akan
sedikit melambat pada triwulan I 2014. Tingkat penghunian kamar hotel di beberapa daerah di wilayah
Sulampua cenderung menurun pada awal tahun (Grafik II.1.21). Pola yang sama juga teramati pada
jumlah wisatawan mancanegara yang masuk ke Makassar dan Manado (Grafik II.1.22). Kemudian,
aktivitas bongkar dan muat di Pelabuhan Makassar selaku hub dari wilayah Sulampua cenderung
menurun di awal tahun, khususnya barang yang dimuat. Hal ini dikarenakan panen komoditas pangan
yang masih terbatas sehingga belum dapat dipasarkan ke daerah lain secara optimal apalagi dengan
kondisi cuaca yang tidak mendukung. Meski demikian, adanya hari raya keagamaan, hari raya
kebudayaan, serta persiapan Pemilu Legislatif pada periode triwulan berjalan dinilai dapat menopang
kegiatan perdagangan.
20
30
40
50
60
70
80
90
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
%
Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan
Sumber : Badan Pusat Statistik
Grafik II.1.21. Tingkat Penghunian Kamar Hotel
(40)
(30)
(20)
(10)
0
10
20
30
40
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
%, yoyOrang
Manado Makassar gJumlah Wisman - Skala Kanan
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik II.1.22. Jumlah Wisatawan Mancanegara
Sektor Pertanian
Sektor pertanian tumbuh meningkat dari 4,4% pada triwulan III 2013 (yoy) menjadi 8,3% (yoy) pada
triwulan IV 2013. Penguatan ini didorong oleh perbaikan kinerja sektor pertanian di sebagian besar
provinsi. Pergeseran puncak panen menyebabkan masih terdapatnya panen di beberapa daerah sentra
produksi di Sulawesi Selatan pada triwulan IV 2013. Produksi ikan yang meningkat signifikan di daerah
sentra seperti Maluku dan Maluku Utara ikut mendorong pertumbuhan sektor pertanian. Di Sulawesi
Tenggara, penguatan infrastruktur irigasi serta penambahan kapal untuk penangkapan ikan yang
ditempuh pemerintah menjadi faktor pendorong pertumbuhan. Untuk keseluruhan 2013, sektor
pertanian mengalami perlambatan dari 5,2% (yoy) menjadi 4,5% (yoy). Hal ini dinilai merupakan dampak
melemahnya pertumbuhan produksi padi di Sulampua (Grafik II.1.23). Berdasarkan angka sementara dari
Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan produksi padi Sulampua melambat dari 7,4% (yoy) pada 2012
menjadi 1,4% (yoy) pada 2013.
Pada triwulan I 2014, sektor pertanian diperkirakan tumbuh melambat. Belum tibanya musim panen
puncak serta curah hujan yang tinggi dinilai menghambat kinerja produksi tanaman bahan makanan
(Tabama). Demikian halnya dengan produksi ikan tangkap yang diperkirakan terbatas karena faktor cuaca
yang tidak kondusif pada Januari-Februari 2014 (Grafik II.1.24). Produksi komoditas perkebunan di
L a p o r a n N u s a n t a r a | 28
beberapa daerah di wilayah Sulampua terindikasi juga cenderung tumbuh melambat karena belum
tibanya masa panen dan insentif perbaikan harga komoditas di pasar global yang belum cukup tinggi.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
6.4
6.6
6.8
7.0
7.2
7.4
7.6
7.8
8.0
8.2
8.4
2009 2010 2011 2012 2013*
%, yoyJuta Ton
*) Angka sementara
Produksi Padi gProduksi Padi - Skala Kanan
Sumber : Badan Pusat Statistik
Grafik II.1.23. Produksi Beras
(150)
(100)
(50)
0
50
100
0
2
4
6
8
10
12
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1*
I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014
%, yoyRibu Ton
*) Angka sementara
PPN Ambon PPS Kendari
PPS Bitung gTotal Produksi Ikan - Skala Kanan
Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan
Grafik II.1.24. Produksi Ikan Tangkap
KETENAGAKERJAAN DAN KEMISKINAN
Rilis data terakhir menunjukkan tingkat pengangguran di wilayah Sulampua menunjukkan peningkatan
menjadi sebesar 4,8% pada Agustus 2013 dibandingkan Februari 2013 (4,7%). Secara umum, tingkat
pengangguran pada provinsi-provinsi di wilayah Sulampua mengalami kenaikan, kecuali Sulawesi Selatan,
Maluku Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Utara. Sementara itu, jika dibandingkan dengan tingkat
pengangguran terbuka (TPT) periode Agustus 2012 (5,0%), TPT di wilayah Sulampua mengalami
penurunan pada Agustus 2013.
Dari indikator kemiskinan, rasio penduduk miskin Sulampua meningkat pada September 2013 (15,2%)
dibandingkan Maret 2013 (14,7%). Secara umum, provinsi-provinsi di wilayah Sulampua turut mengalami
kenaikan rasio penduduk miskin kecuali Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Maluku (Grafik II.1.25). Jika
dibandingkan dengan tahun yang lalu, rasio penduduk miskin mengalami peningkatan karena pada
periode September 2012 rasio tersebut tercatat sebesar 14,9%. Naiknya rasio penduduk miskin juga
diikuti oleh menurunnya nilai tukar petani (NTP) di dua daerah sentra produksi komoditas pertanian di
Sulampua yaitu Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (Grafik II.1.26) yang dinilai merupakan dampak dari
tekanan inflasi yang lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
ProvinsiTingkat Pengangguran Terbuka
(Ags'2013 terhadap Feb'13)
Rasio Penduduk Miskin
(Sep'13 terhadap Mar'13)
Sulawesi Utara ↓ ↑Sulawesi Tengah ↑ ↓Sulawesi Selatan ↓ ↑Sulawesi Tenggara ↑ ↑Gorontalo ↓ ↑Sulawesi Barat ↑ ↓Maluku ↑ ↓Maluku Utara ↓ ↑Papua Barat ↑ ↑Papua ↑ ↑Sulampua ↑ ↑
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik II.1.25. Kondisi Ketenagakerjaan dan
Kemiskinan
95
100
105
110
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
I II III IV I II III IV
2012 2013
Indeks
Sulawesi Selatan Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah Papua
Sumber : Badan Pusat Statistik
Grafik II.1.26. Nilai Tukar Petani
L a p o r a n N u s a n t a r a | 29
PERKEMBANGAN INFLASI
Pada triwulan IV 2013, tekanan inflasi di wilayah Sulampua melemah dibandingkan triwulan
sebelumnya yaitu dari 7,59% (yoy) menjadi 7,02% (yoy). Melambatnya laju inflasi di Sulampua
dipengaruhi oleh laju inflasi di beberapa provinsi, antara lain Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Maluku, Papua Barat, dan Papua. Meredanya dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)
bersubsidi serta kondisi pasokan bahan pangan yang melimpah pada Oktober dan November 2013
menjadi faktor pendukung melemahnya tekanan kenaikan inflasi berbagai komoditas yang masuk
dalam kelompok volatile food. Meski demikian, tekanan inflasi masih terlihat cukup besar pada
kelompok komoditas core seperti emas dan bahan bangunan, serta administered prices sebagai
dampak dari kenaikan harga LPG dan penyesuaian tarif listrik tahap akhir.
(50)050100150200250300350400450
(15)(10)
(5)05
101520253035
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1
2013 2014
%, yoy%, yoy
Bahan Bakar Rumah Tangga Bandeng
Bawang Merah - Skala Kanan Cabe Merah - Skala Kanan
Grafik II.1.27. Perubahan Harga Beberapa Komoditas,
Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia
(2)
(1)
0
1
2
3
4
5
6
150155160165170175180185190195200205
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
2013 2014
%Indeks
Indeks Ekspektasi Harga (Konsumen)
Inflasi (mtm) Sulawesi Selatan Kumulatif 3 Bulan - Skala Kanan
Grafik II.1.28. Ekspektasi Harga Jangka Pendek
Konsumen, Survei Konsumen Bank Indonesia
Pada triwulan I 2014, perkembangan inflasi di berbagai daerah di KTI diperkirakan cenderung
melambat dibandingkan triwulan IV 2013. Perlambatan tersebut didukung oleh prakiraan produksi
pangan yang membaik seiring cuaca yang lebih kondusif pada periode Februari hingga Maret 2014.
Banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Sulampua diperkirakan memberi dampak yang
minimal pada lahan areal pertanian. Hasil Survei Pemantauan Harga (SPH) terakhir di Makassar yang
memiliki bobot kota terbesar di Sulampua (Grafik II.1.27), laju pertumbuhan tahunan harga
komoditas pangan cenderung melambat kecuali beberapa jenis ikan. Adapun dampak kenaikan
harga LPG yang terlihat dari kenaikan harga bahan bakar rumah tangga menjadi salah satu faktor
risiko yang dapat meningkatkan tekanan inflasi. Di samping itu, terjaganya ekspektasi konsumen
terhadap harga barang dan jasa periode tiga bulan ke depan turut berdampak positif bagi terjaganya
perkembangan inflasi ke depan (Grafik II.1.28).
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Dalam upaya pemantauan serta pengendalian inflasi di daerah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia
se-Sulampua telah ikut berperan aktif sebagai anggota Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID),
khususnya dalam merumuskan opsi kebijakan stabilisasi harga. Terkait upaya langsung pengendalian
harga, TPID se-Sulampua melakukan kegiatan pasar murah dan inspeksi mendadak (sidak), terutama
pada saat mendekati hari raya keagamaan. Terkait kenaikan harga LPG, TPID Sulawesi Selatan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 30
merekomendasikan penetapan harga eceran tertinggi (HET) untuk LPG komersial, sementara TPID
Sulawesi Utara melakukan sidak secara khusus terkait kenaikan harga LPG. Terkait ketahanan
pangan, beberapa TPID melakukan beberapa upaya khusus untuk meningkatkan pasokan komoditas
pangan. Di Sulawesi Utara, TPID bekerjasama dengan TNI dalam hal pemanfaatan lahan TNI sebagai
kebun komoditas pangan. Di Maluku, upaya peningkatan pasokan ikan segar dilakukan dengan
teknologi cold storage.
Di samping itu, TPID pada tingkat provinsi se-Sulampua juga melakukan upaya penguatan
kelembagaan serta peningkatan kesadaran maupun pengetahuan akan pengendalian inflasi. Di
Sulawesi Selatan, telah dilakukan workshop inflasi untuk mengakomodasi kebutuhan para anggota
TPID dalam penguatan pemahaman akan pentingnya pengendalian inflasi. Selain itu, untuk
mengatasi kondisi geografis dengan adanya instruksi pembentukan TPID di semua kabupaten/kota,
TPID Sulawesi Selatan membagi 24 kabupaten/kota menjadi lima zona. Kemudian, penyempurnaan
dan pembangunan sistem harga pangan juga menjadi fokus dan perhatian TPID di semua provinsi
dalam wilayah Sulampua. Ke depan, selain penguatan kelembagaan melalui pembentukan serta
koordinasi TPID di tingkat kabupaten dan kota, kegiatan pengendalian inflasi juga dihadapkan pada
beberapa tantangan terkait risiko inflasi pangan, peningkatan ekspektasi inflasi pada saat Pemilu,
serta beberapa kebijakan pemerintah yang secara langsung mempengaruhi harga (pajak daerah
tembakau, harga LPG, penyesuaian tarif listrik).
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Kredit yang disalurkan kepada sektor utama di wilayah Sulampua berada pada tren yang melambat
(Grafik II.1.29). Pada triwulan IV 2013, hanya kredit untuk sektor pertanian yang mengalami akselerasi.
Kredit ke sektor industri pengolahan dan sektor pertambangan bahkan mengalami kontraksi. Dari total
kredit yang disalurkan sebesar Rp194,3 triliun hingga Desember 2013, sektor pertanian mengambil
pangsa sebesar 3,0%. Selanjutnya sektor pertambangan dan penggalian memiliki pangsa sebesar 1,4%,
sektor industri pengolahan sebesar 3,6%, dan sektor perdagangan sebesar 27,9%. Adapun dilihat dari
kualitas penyaluran kredit yang diberikan kepada sektor utama di Sulampua, dapat dikatakan bahwa
seluruh sektor utama daerah masih memiliki nonperforming loan (NPL) di bawah 5% (Grafik II.1.30).
Dengan demikian, ketahanan sektor utama di Sulampua masih cukup baik meski dibayangi risiko
pengaturan ekspor komoditas tambang dalam bentuk mentah yang akan memengaruhi kinerja sektor
pertambangan dan penggalian.
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Penyaluran kredit kepada sektor rumah tangga di Sulampua masih masih berada pada tendensi yang
melambat di triwulan IV 2013 (Grafik II.1.31), terutama kredit pemilikian rumah (KPR). Pertumbuhan KPR
serta kredit rumah tangga yang lainnya mengalami perlambatan pada triwulan IV 2013. Di sisi lain, kredit
kendaraan bermotor (KKB) mengalami akselerasi sedangkan kontraksi kredit multiguna menipis pada
triwulan IV 2013. Dari total kredit konsumsi yang tercatat telah disalurkan sebanyak Rp94,1 triliun hingga
Desember 2013, pangsa kredit multiguna adalah sebesar 36,5% sedangkan KPR dan KKB masing-masing
mengambil pangsa sebesar 23,5% dan 8,0%. Sisanya merupakan kredit rumah tangga maupun lapangan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 31
usaha jenis lainnya. Selanjutnya, pembiayaan kepada rumah tangga di Sulampua dinilai masih memiliki
ketahanan yang cukup baik. Hal ini diindikasikan dari NPL kredit rumah tangga yang cenderung menurun
hingga akhir 2013 (Grafik II.1.32). Selain itu, seluruh jenis kredit rumah tangga memiliki NPL di bawah 5%.
(50)
0
50
100
150
200
250
300
(30)(20)(10)
01020304050607080
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
%, yoy%, yoy
Pertanian Industri Pengolahan
Perdagangan Pertambangan - Skala Kanan
Grafik II.1.29. Pertumbuhan Kredit Sektor Utama
0
2
4
6
8
10
12
14
16
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
%
Pertanian Pertambangan
Industri Pengolahan Perdagangan
4.7
2.8
3.5
3.9
Grafik II.1.30. Perkembangan NPL Kredit Sektor Utama
(50)
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
(60)
(40)
(20)
0
20
40
60
80
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
%, yoy%, yoy
KPR KKB Lainnya Multiguna - Skala Kanan
Grafik II.1.31. Pertumbuhan Kredit RT
0
1
1
2
2
3
3
4
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
%
KPR KKB Multiguna Lainnya
0.6
2.5
1.1
0.8
Grafik II.1.32. Perkembangan NPL Kredit RT
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Laju pertumbuhan kredit kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Sulampua mengalami
perlambatan pada triwulan IV 2013 (Grafik II.1.33.). Kredit UMKM tercatat tumbuh sebesar 21,0% (yoy)
setelah sebelumnya tumbuh sebesar 21,6% (yoy). Kredit produktif kepada UMKM di Sulampua
mengambil pangsa sebesar 30,9% dari total kredit yang disalurkan di Sulampua. Total nilai yang
disalurkan adalah sebesar Rp59,9 triliun. Kredit UMKM jenis investasi tercatat memiliki porsi sebesar
28,2% sedangkan kredit modal kerja memiliki pangsa sebesar 71,8%. Pembiayaan kepada UMKM di
Sulampua dinilai masih memiliki prospek yang baik seiring dengan angka NPL yang masih di bawah 5%
(Grafik II.1.34). Pada triwulan IV-2013, NPL kredit UMKM Sulampua tercatat sebesar 4,0%.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 32
0
10
20
30
40
50
60
0
10
20
30
40
50
60
70
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
%, yoyRp Triliun
Kredit Produktif UMKM gKredit Produktif UMKM - Skala Kanan
Grafik II.1.33. Pertumbuhan Kredit UMKM
3.0
3.5
4.0
4.5
5.0
5.5
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
%
NPL Kredit Produktif UMKM
4.0
Grafik II.1.34. Perkembangan NPL Kredit UMKM
0
20
40
60
80
100
120
140
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
I II III IV I II III IV
2012 2013
%, yoyRp Triliun
Total Transaksi RTGS gTotal Transaksi RTGS - Skala Kanan
Grafik II.1.35. Perkembangan Transaksi RTGS
(35)(30)(25)(20)(15)(10)(5)05101520
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
I II III IV I II III IV
2012 2013
%, yoyRp Triliun
Total Transaksi Kliring gTotal Transaksi Kliring - Skala Kanan
Grafik II.1.36. Perkembangan Transaksi SKNBI
Kinerja Sistem Pembayaran
Kinerja sistem pembayaran wilayah Sulampua mengalami penguatan pada triwulan IV 2013, khususnya
indikator transaksi melalui sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (BI-RTGS). Sementara
itu, kegiatan dengan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) mengalami perlambatan yang
cukup tajam (Grafik II.1.35 dan Grafik II.1.36). Meningkatnya transaksi melalui BI-RTGS di Sulampua
didukung oleh kegiatan transaksi yang meningkat pesat seiring masa akhir tahun untuk berbagai
keperluan masyarakat maupun pelaku usaha. Transaksi RTGS di Sulampua terutama masih didominasi
oleh aliran dana yang masuk (to) ke perbankan di Sulampua yang pangsanya mencapai 49%.
Untuk transaksi melalui SKNBI, terjadi kontraksi yang cukup dalam pada triwulan IV 2013. Pertumbuhan
transaksi melalui SKNBI tercatat sebesar -27,8% (yoy) setelah tumbuh sebesar 10,3% (yoy) pada
triwulan sebelumnya (Grafik II.1.36). Untuk keseluruhan satu tahun, transaksi nontunai melalui SKNBI di
Sulampua juga mengalami kontraksi pada 2013 sebesar -1,9% (yoy) setelah sebelumnya tumbuh 12,2%
(yoy) pada 2012. Perlambatan pertumbuhan transaksi kliring tersebut terutama terjadi di Sulawesi
Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Maluku Utara.
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Pengedaran uang tunai di Sulampua terpantau mengalami pertumbuhan yang melambat baik dari sisi
inflow maupun outflow (Grafik II.1.37). Aliran uang kartal yang keluar (outflow) tercatat mengalami
perlambatan pada triwulan IV 2013 dan tumbuh sebesar 1,9% (yoy) setelah sebelumnya tumbuh hingga
29,8% (yoy). Sementara itu, kinerja uang kartal yang masuk (inflow) juga melambat yaitu dari 25,6%
L a p o r a n N u s a n t a r a | 33
(yoy) pada triwulan III 2013 menjadi 18,5% (yoy) pada triwulan IV 2013. Hampir semua provinsi di
Wilayah Sulampua mengalami perlambatan pertumbuhan pengedaran uang. Sesuai dengan pola
historisnya, aliran keluar atau outflow meningkat signifikan pada akhir tahun seiring kebutuhan
masyarakat yang meningkat pada masa liburan tahun baru. Sementara itu, jumlah temuan uang palsu
mengalami peningkatan pada akhir tahun 2013 (Grafik II.1.38). Dilihat dari pangsanya, temuan uang
palsu terutama pada nominal pecahan besar. Mengatasi hal ini, Bank Indonesia terus melakukan upaya
koordinasi dengan pihak kepolisian dan secara konsisten memberikan edukasi kepada masyarakat
mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah.
12
10
8
6
4
2
0
2
4
6
8
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2011 2012 2013
Rp TriliunOutflow Inflow
Grafik II.1.37. Perkembangan Pengedaran Uang
(1,000)
0
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
7,000
8,000
0
200
400
600
800
1,000
1,200
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
%, yoyLembar
Temuan Uang Palsu gTemuan Uang Palsu
Grafik II.1.38. Perkembangan Temuan Uang Palsu
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Ke depan, perekonomian wilayah Sulampua memasuki babak baru dengan tantangan yang semakin
tidak mudah. Pengaturan ekspor mineral dalam bentuk mentah merupakan tantangan utama yang
berpotensi memengaruhi kinerja perekonomian Sulampua. Perkembangan terakhir mengindikasikan
tertahannya produksi bijih tembaga di Papua. Di Sulawesi Tenggara, produsen bijih nikel berisiko
mengalami penurunan ekspor. Selain itu, terdapat indikasi kegiatan operasional pengusaha tambang
kelas menengah tidak berlanjut di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.
Mempertimbangkan risiko tersebut, pertumbuhan ekonomi wilayah Sulampua diperkirakan tumbuh
pada kisaran 5,4% – 5,9% (yoy) untuk keseluruhan tahun 2014. Dilihat dari komponen permintaannya,
perlambatan pertumbuhan yang cukup drastis dialami oleh ekspor karena komoditas tambang
merupakan komoditas ekspor utama di wilayah Sulampua. Sementara itu, komponen PMTB
diperkirakan akan tetap tumbuh pada level yang cukup tinggi didukung oleh realisasi proyek
pembangunan infrastruktur, hotel, dan smelter di wilayah Sulampua. Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha
(SKDU) mengindikasikan bahwa perlambatan pertumbuhan kegiatan usaha sudah mulai terjadi sejak
triwulan I 2014. Hasil liaison kepada pelaku usaha di Sulampua juga mengindikasikan hal yang sejalan
bahwa prospek perekonomian pada tahun 2014, akan sangat dipengaruhi oleh seberapa cepat
penyesuaian pelaku usaha dalam merespons implementasi kebijakan pengaturan ekspor mineral.
Prospek Inflasi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 34
Tekanan harga yang sedikit meningkat pada awal tahun 2014 akibat kondisi cuaca buruk serta naiknya
harga LPG diperkirakan akan terus mereda seiring dengan mulai masuknya masa panen pada Maret
2014. Hal ini didukung panen komoditas pertanian terutama akan mencapai puncaknya pada triwulan II
dan triwulan III 2014 dan ikut menurunkan tekanan inflasi. Selain itu, kondisi cuaca membaik pada
periode September hingga November 2014 sehingga pasokan pangan akan melimpah. Adapun
ekspektasi harga konsumen periode enam enam bulan yang akan datang di Kota Makassar
menunjukkan tendensi yang terus menurun. Hal tersebut memberi indikasi bahwa ekspektasi
konsumen akan terkendali dan pada gilirannya menjaga pergerakan inflasi ke tingkat yang relatif lebih
rendah dibandingkan tahun sebelumnya (Grafik II.1.40.)
Inflasi Sulampua di akhir tahun 2014 diperkirakan berada pada kisaran 4,6% – 5,1% (yoy). Laju inflasi
tersebut melambat dibandingkan inflasi yang tercatat pada akhir tahun 2013 sebesar 7,0% (yoy).
Namun, beberapa faktor risiko yang dapat membuat tekanan inflasi terakselerasi lebih tinggi dari
perkiraan adalah apabila terdapat anomali cuaca ekstrim yang berlanjut hingga awal triwulan II 2014. Di
samping itu, dinamika pemulihan ekonomi global di satu sisi dapat berimbas pada kenaikan harga
komoditas sehingga berpotensi turut memengaruhi kenaikan inflasi. Dari sisi kebijakan pemerintah,
penyesuaian tarif listrik yang rencananya dilakukan pada Mei 2014 berpotensi memberikan tekanan
terhadap inflasi.
TabeI II.1.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
I II III IV Total Totalp
PDRB (%,yoy) 7.2 8.1 9.4 5.9 9.1 10.4 8.7 5.4 - 5.9
Sisi Permintaan
Konsumsi 6.6 7.2 6.7 6.4 6.7 7.3 6.8 7.0 - 7.5
Konsumsi swasta 6.9 7.0 6.9 6.8 6.8 6.8 6.8 6.7 - 7.2
Konsumsi Pemerintah 5.7 7.9 6.0 5.2 6.3 8.9 6.6 7.8 - 8.3
Pembentukan Modal Tetap Bruto 9.8 13.5 11.1 11.6 11.3 10.3 11.0 9.6 - 10.1
Ekspor (2.5) 1.9 11.2 2.7 15.7 22.7 13.3 1.2 - 1.7
Impor 2.1 5.7 4.9 4.3 (0.1) 5.5 3.6 6.7 - 7.2
Sisi Produksi
Sektor pertanian 5.0 5.2 3.3 2.2 4.4 8.3 4.5 4.6 - 5.1
Sektor pertambangan & penggalian (11.7) 0.1 27.7 (1.5) 24.8 22.6 18.3 (19.3) - (18.8)
Industri pengolahan 18.5 12.7 9.6 5.5 7.2 11.4 8.4 9.0 - 9.5
Listrik, gas & air bersih 8.1 11.6 8.1 10.9 10.4 10.3 9.9 9.3 - 9.8
Bangunan 13.1 12.7 8.6 9.3 8.9 7.4 8.5 11.4 - 11.9
Perdagangan, hotel & restoran 10.7 10.2 10.2 10.0 9.1 10.2 9.9 9.4 - 9.9
Pengangkutan & komunikasi 9.6 10.8 8.0 8.8 8.6 7.5 8.2 8.9 - 9.4
Keuangan, persewaan dan jasa perush. 11.9 11.9 15.1 13.1 13.9 13.0 13.7 10.9 - 11.4
Jasa-jasa 8.8 7.1 7.5 6.1 7.6 7.4 7.2 7.7 - 8.2
Inflasi IHK (%,yoy) 2.9 5.0 5.1 4.3 7.6 7.0 7.0 4.7 - 5.2
Sumber: Badan Pusat Statis tik, diolahp proyeks i Bank Indones ia
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Wilayah2011 2012
2013 2014
L a p o r a n N u s a n t a r a | 35
Bagian II.2 Perekonomian Kalimantan
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian wilayah Kalimantan pada triwulan IV 2013 tumbuh cukup stabil seiring mulai membaiknya
ekspor dan permintaan domestik. Kinerja pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah yang cenderung meningkat menopang stabilnya perekonomian Kalimantan sehingga dapat
tumbuh 3,8% (yoy). Untuk keseluruhan tahun 2013, melemahnya harga komoditas di pasar ekspor –
khususnya untuk batubara, CPO, dan karet - memengaruhi capaian pertumbuhan ekonomi yang lebih
rendah dibanding realisasi tahun sebelumnya.
Memasuki triwulan I 2014, berbagai indikator ekonomi di wilayah Kalimantan mengindikasikan
membaiknya pertumbuhan ekonomi yang akan terus berlanjut. Hal ini didukung oleh prakiraan
membaiknya permintaan batu bara, baik untuk pasar ekspor maupun domestik. Di pasar ekspor, indikasi
pemulihan ekonomi global yang menguat diperkirakan berdampak positif bagi kinerja ekspor batubara
dari Kalimantan disertai harga yang beranjak kembali meningkat. Sementara itu, meningkatnya
permintaan domestik didukung oleh mulai beroperasinya beberapa pembangkit listrik baru di beberapa
daerah. Secara keseluruhan, prospek perekonomian Kalimantan pada tahun 2014 diperkirakan terus
membaik dan berpotensi untuk dapat tumbuh di kisaran 4,4% – 4,8% (yoy).
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga tumbuh meningkat di triwulan IV 2013 seiring dengan membaiknya
pendapatan masyarakat. Komponen ini tercatat tumbuh sebesar 6,0% (yoy), atau lebih tinggi
dibandingkan triwulan III 2013 (5,7%, yoy). Perkembangan rata-rata batubara dan CPO di pasar
ekspor yang cenderung meningkat selama triwulan IV 2014 menjadi salah satu faktor peningkatan
pendapatan masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan Indeks Keyakinan Konsumen yang meningkat,
terutama di Kaltim (Grafik II.2.1.). Untuk keseluruhan tahun 2013, konsumsi rumah tangga di
wilayah Kalimantan tumbuh melambat terutama karena harga komoditas di pasar ekspor yang
cenderung menurun sepanjang tahun 2013.
Pada triwulan I 2014, membaiknya konsumsi rumah tangga diperkirakan terus berlanjut. Beberapa
faktor yang diperkirakan mempengaruhi peningkatan konsumsi adalah prospek berlanjutnya
perbaikan harga komoditas ekspor dan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP). Kenaikan UMP
pada tahun 2014 secara rata-rata tertimbang mencapai 19,0% dengan kenaikan tertinggi terjadi di
Kalimantan Barat (Tabel II.2.1.). Indikasi meningkatnya konsumsi terlihat pada beberapa hasil liaison
yang dilakukan kepada peritel utama di wilayah Kalimantan yang menunjukkan adanya
kecenderungan peningkatan penjualan pada triwulan I 2014. Selain itu, perluasan bandara
Sepinggan Balikpapan diperkirakan akan meningkatan jumlah wisatawan dan pertemuan-pertemuan
MICE di Balikpapan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 36
100
110
120
130
140
150
160
170
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 121 F2 F3 F
2012 2013 2014
Banjarmasin Pontianak Samarinda
Palangkaraya Kalimantan
indeks
Grafik II.2.1. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
Tabel II.2.1. Perkembangan UMP di Kalimantan
Provinsi UMP 2014 %Peningkatan
2013 %Peningkatan
2014
Kaltim Rp1.886.315 48,86% 7,66%
Kalsel Rp1.620.000 9,18% 21,12%
Kalteng Rp1.723.970 17,00% 11,00%
Kalbar Rp1.380.000 17,78% 30,19%
Konsumsi Pemerintah
Sementara itu, konsumsi pemerintah pada triwulan IV 2013 masih tumbuh cukup tinggi (8,8%, yoy),
walaupun lebih lambat daripada triwulan sebelumnya. Tingginya pertumbuhan konsumsi pemerintah ini
karena pihak pemerintah meningkatkan realisasi belanja daerah untuk mengejar target realisasi APBD,
baik melalui belanja operasional maupun belanja modal untuk pembangunan infrastuktur, terutama
realisasi proyek-proyek yang telah dilaksanakan ground breaking. Untuk tahun 2013, konsumsi
pemerintah tumbuh meningkat sebesar 7,8% (yoy) dari 6,5% (yoy) di tahun sebelumnya. Kondisi tersebut
turut dipengaruhi oleh meningkatnya belanja pemerintah provinsi dan pemerintah kota/kabupaten di
Kalimantan dari Rp52,8 triliun (2012) menjadi Rp62,7 triliun (2013), serta pengeluaran untuk
penyelenggaraan Pilkada di beberapa daerah di Kalimantan.
Sementara itu memasuki triwulan I 2014, konsumsi pemerintah diperkirakan kembali tumbuh melambat.
Minimnya kegiatan skala besar yang diadakan oleh pemerintah daerah pada triwulan I 2014 berdampak
pada rendahnya realisasi konsumsi pemerintah. Adapun untuk kegiatan Pemilu, anggaran menjadi
wewenang pemerintah pusat, sehingga dampak dari kegiatan Pemilu pada konsumsi pemerintah menjadi
relatif minimal.
Investasi
Perkembangan investasi pada triwulan IV 2013 tumbuh meningkat 5,9% (yoy) dibanding realisasi pada
triwulan sebelumnya. Membaiknya capaian kinerja investasi terutama dipengaruhi oleh berlanjutnya
realisasi beberapa proyek infrastruktur pemerintah di beberapa daerah di Kalimantan antara lain
penyelesaian bandara Samarinda Baru, pembangunan terminal penumpang bandara Supadio (Kalbar),
dan pelabuhan peti kemas Kariangau (Kaltim). Di samping itu, membaiknya harga komoditas di pasar
ekspor diperkirakan turut memberikan insentif bagi peningkatan realisasi investasi. Rilis data terakhir
dari BKPM menunjukkan kenaikan realisasi investasi di Kalimantan terutama berasal dari PMA (Grafik
II.2.2.).
Untuk keseluruhan tahun 2013, dinamika perkembangan harga komoditas ekspor yang cenderung
melemah berdampak pada cenderung rendahnya kinerja investasi Kalimantan. Pertumbuhan investasi
pada 2013 tercatat sebesar 6,5% (yoy), lebih lambat dari realisasi di tahun 2012 yang sebesar 9,8% (yoy).
Dari hasil liaison kepada perusahaan batubara dan CPO, harga komoditas yang menurun menyebabkan
penurunan kinerja keuangan perusahaan. Hal tersebut menyebabkan perusahaan mengurangi dan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 37
bahkan menunda kegiatan investasinya di tahun 2013. Perlambatan investasi juga terjadi karena
terdapat kendala penyelesaian proyek-proyek infrastruktur seperti masalah pembebasan lahan dan
perizinan.
(100)
0
100
200
300
400
500
600
(100)
(50)
0
50
100
150
200
250
300
350
400
I II III IV
I II III IV IF
2011
2012
2013
2014
F
2012 2013 2014 .
gInvestasi PMA gInvestasi PMDN (skala kanan)
%, yoy %, yoy
Sumber:Badan Koordinasi Penanaman Modal
Grafik II.2.2. Realisasi investasi PMA dan PMDN
(150)
(100)
(50)
0
50
100
150
200
250
(10)
0
10
20
30
40
50
60
I II III IV I II III IV I II III IV IF
2011 2012 2013 2014
Pengadaan semen Kredit investasi
Impor Barang Modal (skala kanan)
%,yoy %,yoy
Sumber:Asosiasi Semen Indonesia, Bea Cukai (diolah)
Grafik II.2.3. Pertumbuhan Pengadaan Semen, Impor Barang Modal dan Kredit Investasi
Memasuki triwulan I 2014, membaiknya kinerja investasi diperkirakan terus berlanjut didukung oleh
beberapa proyek infrastruktur berskala besar di wilayah Kalimantan. Beberapa proyek pembangunan
infrastruktur yang masih berlangsung pada triwulan berjalan antara lain bandara Sepinggan di
Balikpapan, penyelesaian bandara Samarinda Baru, pembangunan terminal penumpang bandara
Supadio, pembangunan jalan tol Samarinda-Balikpapan, pembangunan bandara Kalimarau Berau,
pembangunan jalan layang Banjarmasin dan pembangunan jalan penghubung bandara Tjilik Riwut di
Kalimantan Tengah. Perkembagan investasi oleh pelaku usaha juga menunjukkan adanya indikasi
peningkatan seiring prospek harga komoditas yang terus membaik. Kondisi ini terindikasi juga pada
beberapa indikator investasi seperti pengadaan semen, impor barang modal, dan pertumbuhan kredit
investasi yang cenderung meningkat (Grafik II.2.3.). Namun, beberapa permasalahan terkait
pembangunan infrastruktur pemerintah yang menghadapi kendala dalam realisasinya dan indikasi pelaku
usaha untuk menunda realisasi investasi terkait tingginya suku bunga dan depresiasi nilai tukar
diperkirakan menahan laju kenaikan investasi lebih lanjut.
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Ekspor luar negeri dari Kalimantan pada triwulan IV 2013 mulai menunjukkan adanya perbaikan.
Meningkatnya kinerja ekspor terutama didorong oleh komoditas batubara seiring dengan berlanjutnya
indikasi pemulihan ekonomi global (Grafik II.2.4.). Di samping itu, harga komoditas batubara di pasar
ekspor cenderung membaik. Namun, perbaikan kinerja ekspor lebih lanjut tertahan oleh masih
terbatasnya ekspor migas, terutama dari Kalimantan Timur.
Membaiknya kinerja ekspor luar negeri dari Kalimantan diperkirakan terus berlanjut pada triwulan I 2014
(Grafik II.2.5). Hal ini juga disertai prospek terus berlanjutnya perbaikan harga komoditas utama seperti
batubara, CPO dan karet. Sementara itu dari ekspor migas, mulai beroperasinya proyek yang mulai
berproduksi pada kuartal pertama tahun 2014 akan meningkatan produksi gas sebesar 365 juta kaki
L a p o r a n N u s a n t a r a | 38
kubik gas per hari (mmscfd) dan 250 barel minyak per hari. Kondisi ini diperkirakan akan menopang
ekspor migas di triwulan berjalan.
(60)
(40)
(20)
0
20
40
60
80
100
120
0
2
4
6
8
10
12
14
16
I II III IV I II III IV I II III IV I F
2011 2012 2013 2014
Ekspor Migas Ekspor non migas
gEkspor Migas (skala kanan) gEkspor Non Migas (skala kanan)
miliar USD %, yoy
Sumber: Bea Cukai, BPS Kaltim
Grafik II.2.4. Perkembangan Ekspor (Nilai)
(20)
(10)
-
10
20
30
40
50
60
70
-
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3
2011 2012 2013 2014
Ekspor non migas (volume) gEkspor Non Migas (skala kanan)
Jutaton %, yoy
Sumber: Bea Cukai
Grafik II.2.5. Ekspor Non Migas (Volume)
Impor
Impor luar negeri pada triwulan IV 2013 cenderung tumbuh melambat terkait masih terbatasnya
perbaikan kinerja sektor industri pengolahan. Pada periode ini impor non migas mencapai US$564,7 juta
(-40,5%, yoy) dan impor migas mencapai US$1.560,2 juta (-1,9%, yoy). Melambatnya impor diperkirakan
terkait dengan masih terbatasnya kinerja sektor industri pengolahan. Di samping itu, depresiasi nilai
tukar rupiah turut memengaruhi kinerja ekspor (Grafik II.2.5.).
Untuk triwulan I 2014, impor Kalimantan diperkirakan masih cenderung melambat (Grafik II.2.6.). Hasil
liasion dengan importir alat berat dan alat angkut pertambangan terjadi pengurangan penjualan sampai
30%. Penurunan tersebut selain karena depresiasi nilai tukar juga karena kinerja sektor pertambangan
yang belum terlalu membaik. Selain itu, kegiatan investasi yang dilakukan sebagian besar untuk
pembangunan infrastruktur dan investasi swasta yang membutuhkan barang modal relatif terbatas juga
akan menurunkan kinerja impor Kalimatan.
(60)
(40)
(20)
0
20
40
60
80
100
120
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
I II III IV I II III IV I II III IV I F
2011 2012 2013 2014
Impor Migas Impor non migas
gEkspor Migas (skala kanan) gEkspor Non Migas (skala kanan)
miliar USD %, yoy
Sumber: Bea Cukai, BPS Kaltim
(120)
(100)
(80)
(60)
(40)
(20)
0
20
40
60
80
100
(200)
(100)
0
100
200
300
400
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3
2012 2013 2014
Impor Barang Konsumsi Impor Barang Modal
Impor Bahan Baku (skala kanan)
%, yoy %, yoy
Sumber: Bea Cukai, BPS Kaltim
Grafik II.2.6. Perkembangan Impor Migas Grafik II.2.7. Perkembangan Impor Penggunaan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 39
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertambangan
Produksi batubara di Kalimantan pada triwulan IV 2013 diperkirakan mulai membaik seiring dengan
harga di pasar global yang cenderung meningkat. Mulai meningkatnya harga di pasar global juga ditandai
dengan naiknya harga batubara acuan (HBA) pada Desember 2013 yang naik menjadi US$80,31 per ton
dari US$76,89 per ton pada bulan September 2013. Meskipun demikian, produksi batubara secara
bulanan mulai menunjukkan perbaikan karena permintaan negara mitra dagang yang mulai meningkat.
Selain itu, masuknya musim dingin di China turut mendorong perbaikan permintaan ekspor batubara dari
Kalimantan. Meski demikian, secara keseluruhan produksi batubara masih belum mengalami kenaikan
yang lebih tinggi karena perbaikan harga ekspor belum dapat direspons sepenuhnya oleh seluruh
perusahaan batubara yang selama tahun 2013 menghentikan penjualan dan menutup sementara
tambangnya (Grafik II.2.8). Hal ini terindikasi dari liaison kepada asosiasi batubara yang menunjukkan
cukup banyaknya perusahaan eksplorasi batubara skala kecil-menengah yang mengalami kerugian dan
menutup usahanya akibat rendahnya harga batubara sepanjang tahun 2013.
(20)
(15)
(10)
(5)
0
5
10
15
20
25
30
35
0
10
20
30
40
50
60
70
I II III IV I II III IV I II III IV I
2011 2012 2013 2014
Produksi Batubara gProduksi Batubara (skala kanan)
jutaton%, yoy
Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi *Data produksi perusahaan besar/PK2B
40
45
50
55
60
65
70
75
80
85
(20)
0
20
40
60
80
100
I II III IV I II III IV I II III IV I F
2011 2012 2013 2014
gEkspor Batubara Harga batubara (skala kanan)
%, yoy US$/mt
Sumber:Bea cukai, Bloomberg
Grafik II.2.8. Produksi Batubara Grafik II.2.9. Ekspor Batubara dan Harga
Internasional
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa kinerja sektor pertambangan batubara akan terus membaik
di triwulan I 2014. Kondisi ini terutama didorong adanya peningkatan batubara untuk konsumsi domestik
dan luar negeri. Penambahan pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batubara seperti di Asam-Asam
(Kalimantan Selatan) dan pembangkit listrik mulut tambang di Tabalong (Kalimantan Selatan)
meningkatkan kebutuhan dalam negeri. Kebutuhan pasar domestik yang ditetapkan pemerintah untuk
tahun 2014 mencapai 95,6 juta ton (7,4%, yoy). Selain itu, dengan implementasi UU Minerba terkait
penggunaan smelter akan meningkatkan konsumsi batubara dalam negeri. Permintaan luar negeri
diperkirakan masih stabil dan cenderung meningkat (Grafik II.2.9). Di awal tahun 2014, impor batubara
China dari berbagai negara masih tumbuh 17,5% (yoy). Meskipun demikian masih terdapat beberapa
faktor risiko yang dapat menekan peningkatan kinerja sektor ini seperti rencana China untuk membatasi
impor batubara kualitas rendah, terhambatnya pengiriman batubara karena faktor cuaca buruk dan
gelombang tinggi, rencana implementasi kebijakan pengenaan bea keluar ekspor batubara.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 40
Sektor Industri Pengolahan
Selama triwulan IV 2013 kinerja sektor industri pengolahan wilayah Kalimantan yang ditopang oleh
industri migas cenderung menunjukkan penurunan. Produksi kilang minyak pada triwulan laporan hanya
mencapai 15,36 juta barrel (angka sementara), atau mengalami penurunan volume dibandingkan
produksi triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 17,39 juta barel (Grafik II.2.10.). Natural declining
yang terjadi di sumur-sumur minyak dan belum diimbangi dengan penemuan sumur yang baru
menyebabkan supply minyak ke pengolahan BBM menjadi berkurang. Selain itu, depresiasi nilai rupiah
juga menyebabkan korporasi mengurangi impor migasnya.
Sementara itu, produksi gas (LNG) yang pangsanya mencapai 73% dari industri pengolahan migas Kaltim
secara umum masih mengalami kontraksi pertumbuhan di triwulan IV 2013 (Grafik II.2.11.). Kondisi ini
dipengaruhi oleh tingginya natural declining yang mencapai 11%. Kontribusi hasil produksi sumur gas
baru di South Mahakam masih sangat minimal dalam mengurangi besarnya angka penurunan dari sumur
gas tua di Blok Mahakam. Berdasarkan hasil liaison terhadap perusahaan pengolahan gas terbesar di
Kaltim, total pengapalan sepanjang tahun 2013 hanya sebesar 185 kargo, atau turun 10% (yoy)
dibandingkan dengan tahun 2012 yang mencapai 206 kargo.
(30)
(20)
(10)
0
10
20
30
40
50
60
-
5
10
15
20
25
30
I II III IV I II III IV I II III IV I F
2011 2012 2013 2014
Produksi BBM Kaltim gProduksi BBM (skala kanan)
juta barel %, yoy
Sumber: Pertamina
(30)
(25)
(20)
(15)
(10)
(5)
0
5
10
15
20
0
10
20
30
40
50
60
70
80
I II III IV I II III IV I II III IV I
2011 2012 2013 2014
%, yoyCargo
Pengiriman LNG gPengiriman LNG (skala kanan)
Sumber:PT LNG Badak
Grafik II.2.10. Produksi BBM Kalimantan Timur Grafik II.2.11. Pengapalan LNG Kalimantan Timur
Perkembangan terkini mengindikasikan kinerja industri pengolahan berpotensi tumbuh lebih baik pada
triwulan I 2014. Natural declining industri migas Kaltim sedikit terkompensasi oleh hasil produksi tiga
sumur migas baru di South Mahakam yang menjadi bagian dari Blok Mahakam. Selain itu, tingginya
level penurunan produksi gas Kaltim diperkirakan sedikit tertutupi oleh hasil produksi gas dari 3 sumur
baru South Mahakam yang mulai memasuki tahap eksplorasi pada triwulan I 2014. Diperkirakan
produksi gas akan meningkat sebesar 365 juta kaki kubik gas per hari (mmscfd) dan 250 barel minyak
per hari. Kondisi ini diperkirakan akan menopang sektor industri pengolahan di triwulan berjalan.
Sektor Pertanian
Pada triwulan IV 2013, sektor pertanian mengalami peningkatan karena peningkatan produksi tanaman
bahan makanan (tabama) dan mulai membaiknya produksi kelapa sawit. Kondisi iklim dan cuaca pada
semester I 2013 yang merupakan kemarau basah menyebabkan bergesernya masa tanam dan masa
panen padi terutama di Kalimantan Selatan. Hal ini menyebabkan panen juga terjadi pada awal triwulan
IV 2013 sehingga produksi padi tumbuh 8,7% (yoy), meningkat dibandingkan dengan periode sebelumnya
L a p o r a n N u s a n t a r a | 41
(Grafik II.2.12). Dari sisi sub sektor perkebunan, produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di wilayah
Kalimantan pada triwulan IV 2013 mengalami perbaikan (Grafik II.2.13). Kondisi cuaca enam bulan yang
lalu (curah hujan 151 - 300 mm) mendukung pembentukan bunga sehingga produksi sawit membaik.
Namun demikian, karena masih berada pada fase pemulihan, maka hasil produksi TBS belum mampu
melebihi produksi pada tahun sebelumnya.
Untuk triwulan I 2014, perkembangan sektor pertanian diperkirakan kembali tumbuh melambat
dibandingkan sebelumnya terutama karena kinerja produksi padi yang tengah memasuki masa tanam.
Sesuai dengan kalender tanam terpadu yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian, pada musim
tanam (MT) I - 2013/2014 yaitu bulan Oktober 2013 sampai dengan Januari 2014, potensi tanam di
Kalimantan mencapai 1,03 juta hektar. Dengan luas baku sawah 1,20 juta hektar maka lahan sawah di
Kalimantan yang akan ditanami mencapai 85,83%. Pada MT I 2013/2014, sebagian besar lahan sawah
diperkirakan akan ditanami padi pada bulan Januari 2014 (34%). Selain itu, meskipun memasuki periode
panen, panen diperkirakan terhambat seiring dengan banjir yang melanda sejumlah kabupaten di Kalbar
dengan luas areal mencapai 2,59 ribu ha dan curah hujan yang masing cenderung tinggi (301-400 mm).
Meskipun demikian, sektor pertanian ditopang oleh membaiknya produksi kelapa sawit karena tanaman
kelapa sawit banyak memasuki usia produktif. Kondisi ini terlihat dari naiknya harga pembelian TBS di
Kalimantan sebesar 2% sampai dengan 7%.
(60)
(40)
(20)
0
20
40
60
80
-
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
I II III IV I II III IV I II III IV I F
2011 2012 2013 2014
Luas Panen Padi gLuas Panen Padi (skala kanan)
ribu Ha %, yoy
Sumber: Dinas Pertanian Kalsel, Dinas Pertanian Kalbar
(30)
(20)
(10)
0
10
20
30
40
-
200
400
600
800
1.000
1.200
1.400
1.600
1.800
2.000
I II III IV I II III IV I II III IV I F
2011 2012 2013 2014
Produksi TBS Sawit gProduksi TBS Sawit (skala kanan)
ribu ton %,yoy
Sumber: Dinas Perkebunan
Grafik II.2.12 Luas Panen Padi Grafik II.2.13 Produksi Sawit (TBS)
KETENAGAKERJAAN DAN KEMISKINAN
Penyerapan tenaga kerja di wilayah Kalimantan menunjukkan perbaikan karena penurunan jumlah
penduduk yang bekerja lebih rendah dibandingkan penurunan angkatan kerja. Jumlah penduduk
angkatan kerja di wilayah Kalimantan pada Agustus 2013 sebesar 6,9 Juta (-1,4%, yoy). Sedangkan
untuk jumlah penduduk bekerja mengalami penurunan sebesar 0,97% menjadi 6,6 Juta pada Agustus
2013. Penurunan tersebut juga diikuti oleh terjadinya penurunan tingkat pengangguran di Wilayah
Kalimantan dari 5,6% pada Agustus 2012 menjadi 5,1% pada Agustus 2013 (Grafik II.2.12). Jika dilihat
data per provinsi pada Agustus 2012 dan 2013, hanya Kalbar yang mengalami penurunan rasio
penyerapan tenaga kerja yang menyebabkan peningkatan pengangguran dari 3,6% pada Agustus 2012
menjadi 4,2% pada Agustus 2013. Sedangkan untuk ke empat provinsi lainnya dan agregat Kalimantan
mengalami peningkatan rasio penyerapan tenaga kerja dan penurunan tingkat pengangguran. Kondisi
di Kalimantan Barat tersebut di sebabkan oleh lebih besarnya penurunan penduduk bekerja
dibandingkan penurunan tenaga kerja, seperti halnya data rasio penyerapan tenaga kerja yang
L a p o r a n N u s a n t a r a | 42
mengalami penurunan. Kondisi tersebut juga terlihat dari realisasi penggunaan tenaga kerja yang
meningkat pada tahun 2013 sesuai hasil Survei Kondisi Dunia Usaha (Grafik II.2.13).
Sedangkan berdasarkan data kemiskinan Maret 2013 dan Agustus 2013, kemiskinan di Wilayah
Kalimantan mengalami peningkatan sebesar 5,7% atau sebesar 53,06 ribu orang. Peningkatan
kemiskinan yang terbanyak terjadi di daerah perkotaan dengan peningkatan sebesar 14,5%
dibandingkan peningkatan kemiskinan di perdesaan sebesar 2,5%. Peningkatan inflasi yang cukup
signifikan pada pertengahan tahun 2013 akibat kenaikan harga BBM bersubsidi dan permasalahan
pasokan komoditas strategis, serta perlambatan perekonomian wilayah Kalimantan mengakibatkan
adanya peningkatan penduduk miskin. Jika dilihat data per provinsi, Kalimantan Timur mengalami
peningkatan penduduk miskin terbesar (7,5%) diikuti oleh Kalimantan Barat (6,8%) dan Kalimantan
Tengah (6,1%). Sedangkan untuk Kalimantan Selatan jumlah penduduk miskin relatif stabil dengan
peningkatan yang sebesar 0,8%. Keberhasilan pengendalian inflasi dan perlambatan ekonomi yang
tidak sedalam provinsi lainnya mendorong pertumbuhan penduduk miskin di Kalimantan Selatan relatif
kecil.
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim KALIMANTAN
Penyerapan TK 2012 Penyerapan TK 2013
%, rasio
Sumber: BPS, diolah
(5)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
(10)
(5)
0
5
10
15
20
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I F
2010 2011 2012 2013 2014
Realisasi Penggunaan TK Perkiraan Penggunaan TK (skala kanan)
SBT SBT
Grafik II.2.14 Rasio Penyerapan Tenaga Kerja Grafik II.2.15 Perkembangan Penggunaan TK, SKDU
PERKEMBANGAN INFLASI
Pada triwulan IV 2013, tekanan kenaikan inflasi masih cenderung meningkat (Grafik II.2.16). Hal ini
dipengaruhi oleh kenaikan inflasi kelompok administered prices yang disebabkan oleh peningkatan TTL
tahap ke-4, permasalahan distribusi LPG 3Kg yang mendorong kelangkaan dan kenaikan harga LPG 3Kg,
serta realisasi peningkatan cukai rokok tahun 2013 yang mendorong kenaikan harga rokok kretek. Seiring
dengan tekanan inflasi kelompok administered prices, kelompok inti juga sedikit mengalami tekanan
akibat penyesuaian biaya produksi berbagai komoditas akibat peningkatan harga BBM bersubdisi dan
peningkatan harga angkutan udara.
Sementara itu, tekanan inflasi pada kelompok volatile food cenderung mereda terutama karena kembali
melemahnya permintaan masyarakat selepas periode musiman pada triwulan III 2013 (bulan Ramadhan
dan hari raya Idul Fitri), seiring meningkatnya pasokan beberapa komoditas dari sentra produksi (Grafik
II.2.17). Disisi lain, mulai meningkatnya curah hujan pada November dan Desember 2013 yang
berdampak pada meningkatnya ketinggian air sungai/rawa dan tingginya ombak laut jawa dan selat
Makassar, mengakibatkan adanya peningkatan potensi tekanan inflasi terutama dari kelompok ikan-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 43
ikanan (ikan gabus, ikan kembung dan ikan saluang) serta potensi terhambatnya pasokan dari pulau Jawa
dan Sulawesi.
3
4
5
6
7
8
9
10
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I F
2010 2011 2012 2013 2014
Inflasi Kalimantan Inflasi Nasional
%, yoy
Sumber: BPS, diolah
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
1 2 3 4 5 6 7 8 9*101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2011 2012 2013
% , yoy
Inflasi IHK Inflasi Core Volatile Food Adm Price
Sumber: BPS, diolah
Grafik II.2.16 Perkembangan Inflasi Grafik II.2.17 Disagregasi Inflasi Wilayah Kalimantan
Melihat perkembangan harga-harga terkini, tekanan kenaikan inflasi di Kalimantan diperkirakan masih
cukup besar. Tingginya curah hujan yang masih berlanjut pada bulan Januari dan diperkirakan sampai
dengan akhir Februari 2014, yang mengakibatkan hambatan terhadap pasokan (risiko kegagalan panen)
dan distribusi (hambatan akibat tingginya ombak) komoditas strategis seperti beras, bawang merah,
cabe, sayur-sayuran dan aneka ikan, serta seiring masuknya masa tanam beberapa komoditas strategis.
Selain itu, perlu di waspadai kenaikan harga sejumlah komoditas dan jasa yang oleh produsen belum
dilakukan sepenuhnya pada tahun 2013. Khusus untuk Kalimantan Barat, pada triwulan I 2014 juga
adanya risiko tekanan inflasi dari pelaksanaan Imlek, Cap Go Meh dan Sembayang Kubur, yang
berdasarkan data dalam sepuluh tahun terakhir (tahun 2003-2013) inflasi bulanan pada pelaksanaan hari
besar tersebut rata-rata mencapai 0,95%. Salah satu komoditas yang perlu diwaspadai memberikan
sumbangan inflasi yang cukup tinggi adalah harga tiket udara.
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Upaya pengendalian inflasi di wilayah Kalimantan telah dilakukan oleh TPID Kabupaten/kota, terdapat
berbagai bentuk upaya yang dilakukan oleh TPID di Wilayah Kalimantan seperti penguatan kelembagaan
melalui sosialisasi dan pembentukan TPID baru sebagai bentuk tindak lanjut Instruksi Mendagri No.
027/1696/SJ tanggal 2 April 2013 dan Surat Edaran Mendagri No. 500/6414/SJ tanggal 19 September
2013 dalam upaya pengendalian inflasi daerah. Sampai dengan Akhir tahun 2013 telah dilakukan
sosialisasi di seluruh KPw di Wilayah Kalimantan dan telah berhasil dibentuk tujuh TPID baru dan yang
semuanya di wilayah Kalimantan Selatan (Kab. Banjar, Kab. Tanah Laut, Kab. Hulu Sungai Utara, Kota
Banjarbaru, Kab. Tabalong, Kab. Hulu Sungai Selatan dan Kab. Balangan). Terkait pengendalian inflasi dari
sisi ekspektasi, seluruh provinsi telah mengembangkan Pilot Project Pusat Informasi Harga Pangan
Strategis (PIHPS) seperti papan harga di beberapa pasar di Pontianak, pengembangan sistem PIHPS
terintegrasi (web, sms dan papan harga di dua pasar) di Banjarmasin, peluncuran PIHPS di tiga kota di
Kaltim yang dihitung inflasi (Samarinda, Balikpapan dan Tarakan) dan pengembangan pilot project PIHPS
di Kota Palangkaraya.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 44
Untuk permasalahan pasokan, TPID diberbagai wilayah di Kalimantan telah memulai untuk meningkatkan
koordinasi dengan beberapa sentra produksi untuk memperlancar pasokan komoditas strategis, seperti
studi banding yang dilakukan oleh TPID Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan dalam rangka untuk
memperoleh informasi terkait upaya yang dapat diterapkan di wilayah masing-masing dalam
memperkecil potensi kendala supply dan permasalahan distribusi. Adanya MoU kerjasama daerah untuk
pemenuhan daging sapi oleh TPID Tarakan dengan provinsi NTB, Pare-pare dan Gorontalo, serta rencana
kerjasama antara berbagai daerah dengan inisiator TPID Balikpapan yang merupakan pintu masuk
Kalimantan Timur. Selain itu, koordinasi antar-anggota TPID juga perlu ditingkatkan sebagai upaya
monitoring dan pelaksanaan aksi pengendalian inflasi seperti operasi pasar terbuka, meningkatkan
pengawasan distribusi LPG di daerah untuk mencegah kelangkaan pasokan LPG 3Kg, serta berbagai
upaya lainnya dalam updaya pengendalian inflasi di daerah.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Sejalan dengan kinerja perekonomian yang mengalami perbaikan, berbagai indikator perbankan
wilayah Kalimantan mengindikasikan kegiatan intermediasi perbankan yang meningkat pada triwulan IV
2013. Kredit/pembiayaan berdasarkan lokasi proyek mengalami pertumbuhan sebesar 20,02% (yoy),
sedikit melambat jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 25,07% (yoy). Namun, jika
dilihat dari volume kredit/pembiayaan mengalami sedikit peningkatan dari Rp211 triliun pada triwulan
III 2013 menjadi Rp213 triliun pada triwulan IV 2013 (Grafik II.2.18). Peningkatan volume
kredit/pembiayaan tersebut disumbang oleh peningkatan kredit di Kalimantan Barat dan Kalimantan
Timur yang berasal dari sektor pertanian, PHR dan pertambangan (Grafik II.2.19). Sedangkan untuk
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah mengalami penurunan signifikan terhadap kredit di sektor
pertambangan, khususnya untuk wilayah Kalimantan Tengah. Secara umum, berdasarkan hasil liaison
menurunya penyaluran kredit lebih dipengaruhi oleh kondisi wait and see dari pelaku usaha di sektor
utama, terkait dengan pengetatan kondisi suku bunga secara nasional.
Kinerja sektor Industri di wilayah Kalimantan diperkirakan melambat seiring realisasi beberapa
kebijakan yang mempengaruhi ekspor, seperti Sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan
Implementasi Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara. Selain itu juga harga komoditas ekspor yang masih berada di level yang rendah juga
mempengaruhi kinerja industri. Kondisi tersebut selanjutnya diperkirakan berpotensi mempengaruhi
kinerja ekspor sehingga kemampuan bayar dan likuiditas perusahaan menjadi terbatas. Menurut
informasi KADIN Prov. Kalimantan Barat, selain berdampak pada penurunan ekspor, implementasi
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara juga berdampak
pada tingginya angka pemutusan hubungan kerja terhadap ±35.000 orang di seluruh wilayah
Kalimantan Barat. Angka tenaga kerja tersebut tidak hanya mencakup pegawai perusahaan tambang
yang ada di Kalimantan Barat, tetapi juga sektor pendukung tambang, seperti perusahaan kontraktor,
jasa bongkar muat, dan lain-lain. Hal tersebut juga akan berdampak pada probability of default dari
sektor utama di wilayah Kalimantan pada umumnya.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 45
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
-
50
100
150
200
250
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
% yoyRp triliun
Kredit Perbankan gKredit Perbankan (skala kanan)
(20)
0
20
40
60
80
100
Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan
PHR
%, yoy
gKredit twIV-12 gKredit twI-13 gKredit twII-13
gKredit twIII-13 gKredit twIV-13
Grafik II.2.18. Penyaluran Kredit Kalimantan Grafik II.2.19. Kredit Bank berdasarkan Sektor
Ekonomi
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Kredit/pembiayaan kepada rumah tangga di wilayah Kalimantan pada triwulan IV 2013 tumbuh sebesar
17% (yoy), sedikit melambat dari pertumbuhan periode yang sama pada tahun 2012 (Grafik II.2.20).
Perlambatan terbesar terjadi di pembiayaan multiguna yang menurun dari 82% pada triwulan IV 2012
menjadi 3% pada triwulan IV 2013 (Grafik II.2.21). Hal ini terjadi seiring dengan profil resiko yang
meningkat akibat peningkatan tingkat suku bunga pembiayaan secara umum. Namun disisi lain, terjadi
peningkatan pertumbuhan kredit kendaraan bermotor yang cukup signifikan dari 131% (yoy) pada
triwulan IV 2012 menjadi 638% (yoy) di kuartal terakhir 2013. Hal tersebut memperlihatkan kebijakan
LTV yang dikeluarkan oleh BI belum sepenuhnya efektif, terutama pada kredit kepemilikan roda empat.
Sedangkan untuk pembiayaan/kredit KPR mengalami penurunan sejalan diterapkannya kebijakan LTV
oleh Bank Indonesia.
-
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
-
10
20
30
40
50
60
70
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
Kredit Kepada RT gKredit RT (skala kanan)
Triliun Rp %, yoy
-
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1.000
(100)
(50)
-
50
100
150
I II III IV I II III IV
2012 2013
%, yoy
Pembiayaan KPR Pembiayaan Multiguna
Pembiayaan lainnya Pembiayaan KKB (skala kanan)
%,yoy
Grafik II.2.20 Penyaluran Kredit untuk Rumah Tangga Grafik II.2.21 Kredit/Pembiayaan berdasarkan
Klasifikasi
Secara umum untuk resiko kredit yang diperlihatkan NPL pada kredit kepada rumah tangga masih dalam
batas aman di bawah 5%. Berdasarkan hasil liaison, seperti halnya kredit secara umum, dapat berpotensi
untuk meningkatkan probability of default pembayaran. Sehingga hal tersebut direspons dengan
meningkatkan kehati-hatian perbankan dalam menyalurkan pembiayaan/kredit kepada rumah tangga.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 46
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Ditengah penyaluran kredit perbankan secara keseluruhan yang tumbuh melambat, kredit untuk Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pada triwulan IV 2013 juga mengalami sedikit penurunan (Grafik
II.2.22). Secara sektoral, perlambatan kinerja penyaluran kredit UMKM ini terutama disebabkan oleh
penurunan realisasi kredit di sektor pertambangan yang tumbuh 11,8% (yoy), lebih rendah dari triwulan
sebelumnya yang tumbuh 15,6% (yoy). Menurunya kredit disektor pertambangan di sebabkan
menurunnya perekonomian di sektor pertambangan, khususnya batubara yang disebabkan oleh
menurunya permintaan dan harga komoditas. Meskipun demikian, kemampuan UMKM untuk
mengembalikan kreditnya masih dalam batas yang aman sehingga tidak member risiko kepada sistem
keuangan.
Terkait pengembangan akses keuangan, berdasarkan hasil FGD dengan perbankan, hampir semua bank
telah melaksanakan edukasi perbankan bagi masyarakat, baik siswa, mahasiswa maupun masyarakat
umum. Hal ini tentu saja hal menggembirakan yang mendukung peningkatan akses keuangan masyarakat
pada perbankan. Walaupun demikian, Kalteng masih harus memecahkan beberapa isu strategis dalam
hal pengembangan UMKM, antara lain: (1) Masih sedikitnya outlet bank di kabupaten, terutama yang
berada cukup jauh dari ibu kota Provinsi ataupun kota Kabupaten. (2) BPD setempat sebagai salah satu
bank selain BRI yang telah membuka cabang di seluruh kabupaten di Kalimantan, lebih cenderung kredit
konsumtif dan kredit kepada PNS, serta kurang mengembangkan kredit produktif dan kredit kepada
UMKM. Selain itu, upaya penguatan kelembagaan untuk penyaluran pembiayaan/kredit bagi UMKM juga
dilakukan dengan mendorong terbentuknya PPKD, yang sampai dengan saat ini telah memasuki tahap
akhir pembentukan di provinsi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan.
Sedangkan dari sisi Bank Indonesia, telah disusun berbagai pengembangan UMKM dan edukasi kepada
masyarakat umum terkait lembaga keuangan guna memperluas akses masyarakat kepada lembaga
keuangan. Pengembangan UMKM yang dilaksanakan dalam bentuk Klaster seperti Klaster Kerajinan Bidai
dan Anyaman Rotan di Kalimantan Barat, Klaster Padi, Cabe Merah dan Bawang Merah di Kalimantan
Timur, Klaster Cabe, Padi Unggul, Sapi Pedaging di Kalimantan Selatan, dan Klaster Rumput Laut dan
Sarung Tenun Samarinda di Kalimantan Timur. Selain itu, dengan berkerjasama dengan instansi terkait
terutama perbankan, telah dilakukan dan direncanakan edukasi kepada masyarakat dengan target
peningkatan jumlah masyarakat yang terhubung dengan perbankan.
-
10
20
30
40
50
60
70
-
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
Kredit UMKM gKredit UMKM (skala kanan)
miliarRp %, yoy
0
1
2
3
4
5
6
7
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
NPL Pertanian NPL Pertambangani NPL PHR NPL UMKM
%, NPL
Grafik II.2.22 Penyaluran Kredit/Pembiayaan UMKM Grafik II.2.23 NPL Kredit UMKM Berdasarkan
Sektor Ekonomi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 47
Kinerja Sistem Pembayaran
Perkembangan kliring di wilayah Kalimantan pada triwulan IV 2013 mengalami peningkatan dibandingkan
triwulan sebelumnya. Jumlah warkat yang dikliringkan pada triwulan sebelumnya sebesar 260.096
lembar dan pada triwulan IV 2013 meningkat menjadi 276.225 lembar. Sedangkan volume transaksi
kliring pada triwulan IV 2014 sebesar Rp18,49 triliun, naik dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar
Rp17,13 triliun. Hal tersebut seiring dengan stabilnya pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV 2013 di
wilayah Kalimantan. Sementara itu, jumlah penolakan cek dan bilyet giro kosong yang ditemukan dalam
transaksi kliring mengalami penurunan dari jumlah lembar wakat, namun mengalami peningkatan pada
jumlah nominal sebesar Rp701 miliar pada triwulan IV 2013 dari Rp515 miliar pada triwulan III 2013.
Peningkatan yang cukup signifikan dari nominal cek dan bilyet giro kosong tersebut berasal dari wilayah
Kalimantan Selatan yang mengalami tren peningkatan semenjak triwulan I 2013 dan pada triwulan IV
2013 sebesar Rp386 miliar.
Transaksi nontunai yang melalui Real Time Gros Settlement (RTGS) di wilayah Kalimantan pada triwulan
IV 2013 mengalami kecenderungan meningkat dibandingkan triwulan III 2013. Peningkatan transaksi non
tunai tersebut seiring dengan peningkatan ekonomi dari triwulan sebelumnya. Pada November 2013
total transaksi RTGS wilayah Kalimantan sebesar Rp64,68 triliun dengan komposisi RTGS yang dari
Kalimantan ke luar wilayah Kalimantan sebesar Rp32,05 miliar, ke wilayah Kalimantan sebesar Rp8,31
miliar dan transaksi RTGS yang masuk dari luar wilayah Kalimantan sebesar Rp32,86 miliar.
-
50
100
150
200
250
300
350
400
450
-
5
10
15
20
25
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
Volume transaksi kliring Jumlah transaksi kliring (skala kanan)
Rp triliun ribu lembar
-
50
100
150
200
250
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
RTGS From-To RTGS To RTGS From
Rp triliun
Grafik II.2.24 Aktivitas Kliring Kalimantan Grafik II.2.25 Perkembangan aktivitas RTGS
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Net Outflow di wilayah Kalimantan meningkat pada triwulan IV 2013. Sejalan dengan meningkatnya
kebutuhan uang masyarakat menjelang perayaan natal dan tahun baru dan juga masuknya masa libur
sekolah, menyebabkan terjadinya peningkatan outflow uang tunai. Kegiatan pengelolaan uang tunai
Bank Indonesia di wilayah Kalimantan pada triwulan IV 2013 mencatat inflow sebesar Rp3,65 triliun,
turun sebesar 50,8% dibandingkan triwulan sebelumnya. Sedangkan, outflow tercatat sebesar Rp14,44
triliun, mengalami peningkatan sebesar 19,33% dibandingkan triwulan sebelumnya. Sehingga dengan
adanya peningkatan outflow dan penurunan inflow di wilayah Kalimantan, menyebabkan terjadinya
netflow negatif sebesar Rp10,79% pada triwulan IV 2013. Selain itu, selama triwulan IV 2013 rata-rata
temuan uang kertas palsu di wilayah Kalimantan mengalami penurunan dari 250 lembar per bulan pada
triwulan III 2013 menjadi 167 lembar per bulan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 48
-8
-6
-4
-2
0
2
4
6
8
10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2011 2012 2013
Triliun Rp
Net Inflow Inflow Outflow
0
100
200
300
400
500
600
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
2012 2013
lembar Temuan Uang Tidak Asli
Grafik II.2.26 Perkembangan Inflow/Outflow Uang Tunai
Grafik II.2.27 Temuan Uang Tidak Asli
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Secara umum, kinerja perekonomian wilayah Kalimantan pada tahun 2014 diperkirakan masih terjaga
dengan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan tahun 2013, yaitu dalam kisaran 4,4%-4,8% (yoy).
Dengan capaian tersebut, perekonomian tahun 2014 diperkirakan lebih baik daripada tahun 2013 (3,5%,
yoy). Dari sisi penggunaan, perekonomian diperkirakan akan didorong oleh konsumsi yang antara lain
didorong oleh pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden serta Anggota Legislatif.
Kegiatan investasi juga masih tumbuh karena ada proyek-proyek MP3EI dan pertambangan migas yang
masih berlanjut. Sementara itu, dari sisi sektoral, perekonomian wilayah Kalimantan masih didorong oleh
tiga sektor utama, yaitu sektor pertanian, sektor pertambangan serta sektor industri pengolahan, yang
diperkirakan mengalami pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan tahun 2013. Peningkatan
pertumbuhan ekonomi terjadi hampir di seluruh provinsi, kecuali di Kalimantan Barat yang diperkirakan
mengalami perlambatan. Kondisi pertambangan bauksit di Kalimantan Barat yang terkena dampak UU
Minerba diperkirakan menahan laju pertumbuhan ekonomi di provinsi tersebut.
Prospek Inflasi
Tingkat inflasi tahunan di wilayah Kalimantan pada tahun 2014 akan lebih rendah dibandingkan inflasi
tahun 2013. Inflasi Kalimantan tahun 2014 diperkirakan sebesar 5,15% – 5,64 % (yoy), menurun dari
Inflasi tahun 2013 sebesar 8,56% (yoy). Terdapat beberapa faktor yang mendorong penurunan tekanan
inflasi di wilayah Kalimantan seperti: 1)base effect indek tahun 2013 yang lebih tinggi dikarenakan
adanya kebijakan menaikan harga BBM bersubsidi, 2) relatif stabilnya harga pangan didukung
berlanjutnya kebijakan relaksasi tata niaga impor, 3) minimalnya rencana kebijakan energi strategis,
sesuai rencana dalam APBN dan APBD 2014, walaupun pada awal Januari 2014 telah terjadi kenaikan
harga LPG 12Kg, 4) lebih rendahnya dampak kenaikan UMP 2014 lebih kecil dibandingkan dengan tahun
2013, serta 5) Berbagai kebijakan Pemerintah Daerah dan TPID untuk meperlancar pasokan dan distribusi
seperti pengembangan klaster komoditas penyumbang inflasi, koordinasi dan pemantauan harga secara
periodik, serta meningkatkan komunikasi pengendalian inflasi ke masyarakat untuk memengaruhi
ekspektasi Inflasi.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 49
Meskipun demikian, terjadi faktor risiko yang dapat mendorong tingkat inflasi 2014 lebih tinggi dari
perkiraan seperti: 1) Tekanan terhadap harga juga diperkirakan didorong oleh adanya kecenderungan
perbedaan/disparitas harga yang cukup lebar antarharga komoditas di level produsen dengan konsumen,
2) Dari sisi komoditas pangan, berdasarkan studi McKinsey, pada tahun 2030, sebagian besar daerah di
Indonesia, termasuk Kalimantan, hanya akan memiliki hasil panen pangan yang berkisar 20% dari rata-
rata tahun 2010-2012, jika tidak terdapat perbaikan sistem pengairan dan minimnya inovasi teknologi
pangan. Hal tersebut dapat berdampak pada tingginya harga komoditas pangan pada periode
mendatang. Solusi terhadap permasalahan tersebut tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi kita
bagaimana mengembangkan ketahanan pangan yang berkesinambungan ke depan, 3) gangguan cuaca
yang mempengaruhi pasokan pangan; dan iii) rencana kenaikan sejumlah komoditas dan jasa yang oleh
produsen belum dilakukan sepenuhnya pada tahun 2013 termasuk rencana penyesuaian tarif
transportasi udara yang akan banyak memengaruhi wilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan.
Tabel II.2.2. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
I II III IV Total Totalp
PDRB (%,yoy) 5,0 4,8 2,9 3,5 3,8 3,8 3,5 4,4-4,8
Sisi Permintaan
Konsumsi 5,8 6,2 7,1 6,7 6,5 6,7 6,7 8,1-8,5
Konsumsi swasta 5,6 5,7 7,3 6,7 5,7 6,0 6,4 8,3-8,7
Konsumsi Pemerintah 6,3 7,6 6,6 6,5 9,2 8,8 7,8 7,5-7,9
Pembentukan Modal Tetap Bruto 7,9 9,8 7,9 6,4 5,7 5,9 6,5 6,8-7,2
Ekspor 5,5 2,9 4,7 3,9 7,1 4,3 5,0 3,4-3,8
Impor 8,4 7,9 8,7 7,4 13,0 8,7 9,4 5,5-5,9
Sisi Produksi
Sektor pertanian 4,5 4,1 2,6 5,7 3,9 6,4 4,6 3,8-4,2
Sektor pertambangan & penggalian 6,8 5,3 0,7 1,4 0,2 0,1 0,6 2,1-2,5
Industri pengolahan (3,7) (3,67) (3,1) (3,5) 0,9 (1,0) (1,7) 0,5-0,9
Listrik, gas & air bersih 8,7 7,3 5,9 5,4 4,7 4,8 5,2 5,5-5,9
Bangunan 9,8 10,9 10,6 8,2 6,7 7,4 8,1 8,4-8,8
Perdagangan, hotel & restoran 8,3 8,2 5,2 6,6 7,2 6,8 6,5 6,9-7,3
Pengangkutan & komunikasi 8,9 9,2 7,4 7,4 8,2 8,2 7,8 7,5-7,9
Keuangan, persewaan dan jasa perush. 10,1 12,6 13,1 12,1 10,0 9,2 11,0 10,0-10,4
Jasa-jasa 8,5 8,4 7,6 6,6 8,9 8,4 7,9 7,9-8,3
Inflasi IHK (%,yoy) 5,3 5,8 6,0 6,3 8,4 8,6 8,6 5,2-5,6
Sumber: Badan Pusat Statis tik, diolahp proyeks i Bank Indones ia
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Wilayah2011 2012
2013 2014
L a p o r a n N u s a n t a r a | 50
Bagian II.3 Perekonomian Bali dan Nusa Tenggara
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian wilayah Bali-Nustra tumbuh sebesar 5,8% (yoy) pada triwulan IV 2013, melambat dari
5,9% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Melambatnya pertumbuhan ekonomi terjadi di hampir seluruh
provinsi dalam wilayah Bali-Nustra, kecuali Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Provinsi Bali yang
memiliki pangsa besar dalam perekonomian wilayah mengalami perlambatan ekonomi dari 5,97% (yoy)
pada triwulan sebelumnya menjadi 5,49% (yoy). Perlambatan pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh
kontraksi pada sektor bangunan yang tumbuh negatif sebesar -0,11% (yoy) pada triwulan IV 2013. Selain
itu juga terjadi perlambatan pada sektor pertanian dan jasa-jasa. Dari sisi permintaan, perlambatan
pertumbuhan investasi dan perlambatan ekspor berperan dalam menekan tingkat pertumbuhan.
Untuk keseluruhan tahun 2013 pertumbuhan ekonomi Wilayah Bali-Nustra lebih tinggi dibandingkan
dengan tahun sebelumnya yaitu dari 4,16% menjadi 5,84%. Capaian pertumbuhan ekonomi yang lebh
baik di wilayah ini terutama dikontribusi oleh provinsi NTB setelah sempat mengalami kontraksi
pertumbuhan ekonomi pada tahun 2012. Pertumbuhan di sepanjang tahun 2013 didorong oleh
pertumbuhan seluruh komponen di sisi permintaan, termasukkonsumsi dan investasi. Sedangkan dari sisi
produksi, pertumbuhan didorong oleh pertumbuhan sektor pertambangan yang menunjukkan
pertumbuhan positif di tahun 2013.
Perkembangan pada awal triwulan I 2014 mengindikasikan perekonomian Bali-Nustra dapat tumbuh
lebih tinggi dibanding triwulan sebelumnya. Membaiknya indikator ekonomi terlihat baik di Provinsi Bali,
Provinsi NTB, maupun Provinsi NTT. Prospek meningkatnya pertumbuhan ekonomi Bali-Nustra pada
kuarta pertama tahun 2014 didukung oleh perkembangan di sektor perdagangan, hotel, dan restoran;
dan sektor pertanian.
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Pada triwulan IV 2013 konsumsi rumah tangga di wilayah Bali-Nustra tumbuh mencapai 6,4% lebih tinggi
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Meningkatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga
terutama didorong oleh Provinsi Bali. Beberapa penyelenggaraan event berskala besar baik di tingkat
nasional maupun internasional seperti Konferensi Tingkat Tinggi APEC 2013 berkontribusi besar pada
kinerja pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Di samping itu, tingginya pertumbuhan konsumsi rumah
tangga sejalan dengan hasil Survei Konsumen yang masih menunjukkan optimisme masyarakat terhadap
kondisi perekonomian di Bali(Grafik II.3.2.).Namun, untuk keseluruhan tahun 2013, pertumbuhan
konsumsi rumah tangga di wilayah Bali-Nustra cenderung tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan
capaian di tahun 2012 terkait perkembangan di Provinsi NTB dan Provinsi NTT sejalan dengan indikasi
melemahnya daya beli masyarakat akibat tekanan harga komoditas pangan. Pertumbuhan konsumsi
rumah tangga selama tahun 2013 untuk Wilayah Bali-Nustra sebesar 4,56% (yoy) lebih rendah
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 5,0% (yoy).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 51
Memasuki triwulan I 2014, konsumsi rumah tangga diperkirakan cenderung kembali tumbuh melambat.
Indikasi melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga antara lain terlihat pada melemahnya
aktivitas kegiatan pertambangan yang dapat berimbas pada pendapatan dan penggunaan tenaga kerja
serta aktivitas pertanian yang terkendala jumlah pupuk bersubsidi. Hal lain yang diperkirakan turut
memengaruhi perkembangan konsumsi rumah tangga di wilayah ini terlihat pada tren penurunan kredit
konsumsi yang diperkirakan masih berlanjut.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
%(yoy)
Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi
Sumber: BPS, diolah
Grafik II.3.1. Pertumbuhan Konsumsi
-10
-5
0
5
10
15
20
25
30
0
20
40
60
80
100
120
140
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
% (yoy)IKK gIKK
Grafik II.3.2.Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
0
5
10
15
20
25
30
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2011 2012 2013
Triliun Rp % (yoy)
kredit konsumsi gkredit konsumsi (RHS)
Grafik II.3.3. Penyaluran Kredit Konsumsi
96
98
100
102
104
106
108
110
112
114
116
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
ITK BaliNustra
Sumber : BPS, diolah
Grafik II.3.4. Indeks Tendensi Konsumen
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah untuk wilayah Bali-Nustra pada triwulan IV 2013 tumbuh sebesar 13,5% (yoy),
melambat dari triwulan sebelumnya yang sebesar 16,4% (yoy). Perlambatan tersebut dipicu oleh
perlambatan pertumbuhan konsumsi pemerintah di Provinsi Bali yang melambat dari 37,5% (yoy)
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya menjadi 33,7% (yoy) dan konsumsi pemerintah di Provinsi
NTT dari 12,2% pada triwulan sebelumnya menjadi 4,1%, sementara konsumsi pemerintah di NTB
menunjukkan peningkatan. Untuk keseluruhan tahun 2013, membaiknya realisasi pengeluaran
pemerintah seiring dengan realisasi beberapa proyek infrastruktur berskala besar di Provinsi Bali
berdampak pada kenaikan pertumbuhan konsumsi pemerintah hingga mencapai 11,9%, jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya yang sebesar 3,8%. Di samping itu, penyelenggaraan
Pilkada di beberapa daerah di Bali-Nustra turut mendorong pertumbuhan konsumsi pemerintah.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 52
Pada triwulan I 2014, pertumbuhan konsumsi pemerintah diperkirakan tumbuh lebih rendah
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Rendahnya pertumbuhan konsumsi pemerintah disebabkan
oleh pengeluaran pemerintah yang mulai turun setelah pelaksanaan pilkada di seluruh provinsi di
Wilayah Bali-Nustra. Peningkatan realisasi belanja Pemerintah diperkirakan baru akan mencapai
puncaknya menjelang pelaksanaan Pemilu.
Investasi
Investasi pada triwulan IV 2013 tumbuh sebesar 1,6% lebih rendah dibanding pertumbuhan investasi
triwulansebelumnya yang sebesar 2,8% (yoy). Perlambatan investasi di Provinsi Bali dan Provinsi NTB
mendorong terjadinya perlambatan investasi Bali-Nustra tersebut. Di Bali sendiri,
kecenderunganmelambatnya terjadi seiring dengan mulai berakhirnya penyelesaian proyek infrastruktur
berskala besarterkait MP3EI. Proyek tersebut antara lain renovasi Bandara Internasional Ngurah Rai,
pembangunan jalan tol di atas air,serta pembangunan underpass Dewa Ruci. Di samping itu, harga tanah
yang melambung tinggi diduga turut memicu lebih lambatnya kinerja investasi di wilayah Bali-Nustra.
Kondisi ini juga sejalan dengan pertumbuhan penjualan semen pada akhir tahun 2013 yang
terkontraksihingga sebesar 30% (Grafik II.3.5.). Demikian halnya dengan penyaluran kredit investasi dan
impor barang modal yang tumbuh cenderung melambat pada triwulan IV 2013 (Grafik II.3.6. dan II.3.7.).
Kinerja investasi untuk keseluruhan tahun 2013 menunjukkan adanya perlambatan yang cukup besar,
yakni dari 16,0% (yoy) pada tahun 2012 menjadi 6,61% (yoy) pada tahun 2013.
Pada triwulan I 2014, investasi diperkirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Berlanjutnya beberapa pembangunan hotel-hotel di Bali serta pembangunan jalan lingkar
barat Mataram-Gerung dan pembangunan bendungan di Provinsi NTB turut mendorong perbaikan
kinerja investasi. Selain itu, investasi di NTT diperkirakan juga meningkat terkait dengan prioritas
pengembangan sektor transportasi laut dan penyeberangan dalam rangka percepatan pertumbuhan
ekonomi dan membangun konektivitas antar wilayah serta mendukung kepariwisataan di Provinsi NTT.
(40)
(30)
(20)
(10)
0
10
20
30
40
50
0
50
100
150
200
250
300
350
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2013
% (yoy)Penjualan semen gPenjualan semen (RHS)ribu ton
Sumber: Asosiasi Semen Indonesia
Grafik II.3.5. Penjualan Semen di Wilayah Bali-Nustra
0
10
20
30
40
50
60
0
2
4
6
8
10
12
14
16
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
%(yoy)triliun RpKredit investasi gkredit investasi (RHS)
GrafikII.3.6. PenyaluranKredit Investasi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 53
0
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
40,000
0
10
20
30
40
50
60
70
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2011 2012 2013
Nilai Impor Barang Modal Volume Impor Barang Modal (RHS)
Juta USD Ton
Grafik II.3.7.Nilai Impor Barang Modal Bali-Nustra
(200)
(100)
0
100
200
300
400
500
600
700
800
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11
2011 2012 2013
%(yoy)g consumption g raw material g capital goods
Grafik II.3.8.Pertumbuhan Impor Bali-Nustra menurut Penggunaan
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Kinerja ekspor luar negeri Bali-Nustra pada mengalami kontraksi yang cukup dalam pada triwulan IV
2013. Hal ini terutama dipengaruhi oleh perkembangan ekspor barang tambang di Nusa Tenggara Barat
yang cenderung masih terbatas karena terkendalnya kegiatan produksi. Untuk wilayah Bali-Nustra,
pangsa ekspor tembaga mencapai 36,5% dari total ekspor keseluruhan (Grafik II.3.11.). Di samping itu,
ekspor komoditas beberapa produk utama di wilayah Bali-Nustra seperti perikanan dan perhiasan
cenderung tumbuh melambat (Grafik II.3.10.). Untuk komoditas perikanan, kontraksi ekspor dipengaruhi
oleh oleh produksi ikan yang relatif terkendala di sepanjang triwulan IV2013. Upaya meningkatkan
tangkapan ikan terkendala oleh kondusi cuaca yang kurang kondusif, beberapa daerah penghasil ikan
juga mengindikasikan adanya kesulitan kapal-kapal penangakap ikan dalam memperoleh BBM bersubsidi
sehingga berdampak pada jumlah pasokan ikan yang berkurang. Sementara itu, terbatasnya ekspor
komoditas perhiasan disebabkan oleh menurunnya permintaan terutama dari pembeli dinegara-negara
Eropa.
Memasuki triwulan I 2014, kinerja ekspor diperkirakan dapat tumbuh membaik. Peningkatan ekspor
terjadi pada komoditas perikanan dan bahan makanan. Rencana Pemda NTT dalam menjalin kerjasama
dengan Timor Leste terkait ekspor bahan makanan seperti daging ayam dan telur diharapkan dapat
meningkatkan ekspor di awal tahun 2014. Dari sisi perikanan, kondisi cuaca yang mulai membaik di
pertengahan triwulan I 2014 diharapkan dapat meningkatkan ekspor komoditas tersebut. Namun masih
terdapat resiko penurunan ekspor di awal tahun terkait dengan kendala ekspor tembaga sejalan dengan
pengaturan ekspor mineral yang mulai berlaku pada awal tahun 2014. Hal ini menyebabkan kenaikan
ekspor Wilayah Bali-Nustra diperkirakan tidak terlalu tinggi.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 54
-100
-50
0
50
100
150
200
250
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2009 2010 2011 2012 2013
Nilai Ekspor
growth Ekspor (RHS)
Ribu Ton % (yoy)
Grafik II.3.9. Perkembangan Ekspor Bali-Nustra
0.00
50.00
100.00
150.00
200.00
250.00
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2011 2012 2013
Juta USDBarang dari Logam Mulia Ikan Tongkol/Tuna Biji Tembaga (RHS)
Grafik II.3.10. Perkembangan Ekspor Komoditas Utama Bali-Nustra
Biji Tembaga37%
Pakaian Jadi10%
Ikan Tongkol/Tuna
7%
Kayu Olahan Lain6%
Barang dari Logam Mulia
5%
Industri Lainnya
5%
Ikan Olahan5%
Lainnya25%
Grafik II.3.11. Share Ekspor Bali-Nustra 2013
0
50
100
150
200
250
0
10
20
30
40
50
60
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2011 2012 2013
WMT Juta USD
Volume Ekspor Nilai Ekspor (RHS)
Grafik II.3.12. Perkembangan Ekspor Tembaga Bali-Nustra
Impor
Setelah mengalami kontraksi selama beberapa waktu terakhir, impor kembali menunjukkan
pertumbuhan positif pada akhir tahun 2013 sehingga sepanjang tahun 2013 impor luar negeri masih
tumbuh positif (Grafik II.3.14.).Berdasarkan kelompoknya, pertumbuhan impor yang cukup tinggi terjadi
pada impor barang modal (capital goods) (Grafik II.3.8.). Jika dilihat dari pangsanya, pangsa impor
terbesar BalI-Nustra adalah untuk kelompok raw material dan auxiliary goods. Pangsa pasar kelompok
tersebut mencapai 57%, disusul oleh impor capital goods sebesar 37%, serta impor consumption goods
dengan pangsa sebesar 6% dari total impor Bali-Nustra.
Untuk triwulan I 2014, impor diperkirakan tumbuh lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya.
Perlambatan partumbuhan impor tersebut sejalan dengan investasi yang diperkirakan juga tumbuh
melambat diawal tahun 2014. Selain itu, dampak pelemahan rupiah diperkirakan masih akan dirasakan
pada awal tahun 2014 sehingga akan berdampak pada perlambatan impor Bali-Nustra.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 55
Barang Konsumsi
6%
Barang Modal37%Bahan baku dan
antara57%
Grafik II.3.13. Porsi Impor Bali-Nustra Tahun 2013
-100
100
300
500
700
900
1,100
1,300
1,500
0
50
100
150
200
250
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2011 2012 2013
Volume Impor g volume impor (RHS)
Ribu Ton %(yoy)
Grafik II.3.14. Perkembangan Volume Impor Bali-Nustra
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR)
Kinerja sektor PHR di Wilayah Bali-Nustra dipengaruhi oleh dinamika pariwisata yang sebagian besar
berada di Provinsi Bali. Pertumbuhan Sektor PHR di triwulan IV 2013 lebih rendah dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya 6,6% menjadi sebesar 6,1% (yoy). Sejalan dengan perlambatan pertumbuhan sektor
PHR, kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) triwulan IV 2013 juga lebih rendah dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya (Grafik II.3.15.). Sebagian besar wisman masih didominasi oleh wisman asal
Australia, China, dan Jepang (Grafik II.3.16.).
Untuk sepanjang tahun 2013, pertumbuhan Sektor PHR juga lebih rendah dibandingkan dengan tahun
sebelumnya yaitu dari 6,62% (yoy) pada tahun 2012 menjadi sebesar 6,55% (yoy). Inflasi yang relatif
tinggi di tahun 2013 yang didorong oleh kenaikan harga BBM bersubsidi menyebabkan kegiatan
perdagangan relatif tertahan. Depresiasi nilai Rupiah yang menyebabkan harga barang impor relatif lebih
tinggi juga memberikan dampak terhadap perlambatan pertumbuhan sektor PHR meskipun dampaknya
tidak signifikan.
Memasuki periode triwulan I 2014, kinerja sektor PHR diperkirakan dapat kembali tumbuh meningkat.
Hal ini diepngaruhi oleh prakiraan tingginya aktivitas pariwisata di awal tahun, sejalan dengan pesta
pergantian tahun dan hari raya keagaman sehingga banyak terdapat hari libur yang relatif panjang. Meski
demikian, indikasi penyaluran kredit perdagangan Bali-Nustra yang cenderung melambat disertai
ekspektasi pelaku usaha yang cenderung menurun berdasarkan hasil survei terakhir berpotensi menahan
kenaikan kinerja sektor PHR lebih lanjut (Grafik II.3.17. dan II.3.18.).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 56
(5)
0
5
10
15
20
25
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1,000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012 2013
% (yoy)Ribu orang
Jumlah wisman g Jumlah Wisman (RHS)
Sumber : Dinas Pariwisata Provinsi Bali, diolah
Grafik II.3.15. Kunjungan WIsatawan Mancanegara ke Bali
Australia29%
PRC11%
Malaysia
6%Japan
7%South of Korea
4%
UK4%
Singapore
4%
Taiwan3%
USA3%
France
4%
Others
25%
Sumber: Dinas Pariwisata Provinsi Bali, diolah.
Grafik II.3.16. Asal Wisatawan Mancanegara ke Bali Tahun 2013
051015202530354045
0
5
10
15
20
25
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
Triliun Rp%(yoy)Kredit Perdagangan
gKredit Perdagangan (RHS)
Grafik II.3.17. Kredit Sektor Perdagangan
0
20
40
60
80
100
120
140
160
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
Angka Indeks
Keg Ush PHR Balinustra
Keg Ush PHR Kalimantan
Keg Ush PHR Sulampua
Keg Ush PHR KTI
Grafik II.3.18. SKDU Sektor PHR
Sektor Pertanian
Pada triwulan IV 2013, sektor petanian tumbuh sebesar 1,6% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya yang sebesar 2,7% (yoy). Pertumbuhan yang lebih rendah tersebut dipengaruhi
oleh kondisicuaca yang kurang kondusif di sepanjang akhir tahun 2013, yang disertai angin kencang
dangelombang tinggi sehingga diperkirakan akan memengaruhi produktivitas di sektor pertanian
khususnya perikanan. Sejalan dengan hal ini, kredit sektor pertanian Bali-Nustra menunjukkan
pertumbuhan yang terus menurun pada akhir tahun 2013 (Grafik II.3.19.). Begitu pula dengan hasil survei
tendensi pelaku usaha di sektor pertanian yang menunjukkan arah yang sejalan denganperlambatan
pertumbuhan PDRB di Sektor Pertanian (Grafik II.3.20.).
Meski demikian, beberapa daerah di wilayah Bali-Nustra mengindikasikan risiko yang dapat menahan
kinerj sektor pertanian lebih lanjut. Ketersediaan pupuk bersubsidi pada masa tanam awal kali ini
terindikasi terbatas di beberapa daerah sehingga menjadi kendala pada masa tanam awal tahun ini. Di
samping itu, kondisi cuaca yang kurang kondusif diperkirakan mengganggu kegiatan produksi ikan
tangkap.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 57
-100102030405060708090
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
Miliar Rp %(yoy)
Kredit Pertanian
gKredit Pertanian (RHS)
Grafik II.3.19. Kredit Sektor Pertanian
-60
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
Angka IndeksBali-Nustra
Kalimantan
Sulampua
Grafik II.3.20. SKDU Sektor Pertanian
Sektor Pertambangan dan Penggalian
Sektor pertambangan Wilayah Bali-Nustra pada triwulan IV 2013 tumbuh lebih tinggi dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya yakni dari 5,4% menjadi 16,8%. Tingginya pertumbuhan sektor
pertambangan didorong oleh kinerja produksi tembaga yang cenderung meningkat mengantisipasi
berlakunnya larangan ekspor mineral pada awal tahun 2014. Untuk keseluruhan tahun 2013, sektor
pertambangan tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya seiring membaiknya
operasional kegiatan penambangan di Provinsi NTB.
Sektor pertambangan Wilayah Bali-Nustra pada triwulan I 2014 diperkirakan tumbuh melambat
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Masih berlangsungnya proses pelebaran dinding tambang
diperkirakan menjadi penyebab belum maksimalnya output sektor pertambangan. Selain itu penyesuaian
pelaku usaha dalam merespons implementasi kebijakan pengaturan ekspor mineral pada awal tahun
2014 diperkirakan berdampak pada aktivitas kegiatan penambangan mineral.
(80)
(60)
(40)
(20)
-
20
-
100
200
300
400
500
I II III IV I II III IV
2012 2013
%(yoy)Produksi (wmt)
Nilai (USD .000)
g-prod (%,yoy)-RHS
wmt/ribu USD
Grafik II.3.21.Perkembangan Pertambangan Tembaga
0
50
100
150
200
250
0
10
20
30
40
50
60
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2011 2012 2013
Juta USD %(yoy)
Volume Ekspor Nilai Ekspor
Grafik II.3.22. Ekspor Tembaga Wilayah Bali-Nustra
KETENAGAKERJAAN DAN KEMISKINAN
Jumlah penyerapan tenaga kerja di Wilayah Bali-Nustra pada Agustus 2013 tercatat menurun dari 6,34
juta pada Agustus 2012 menjadi sebesar 6,33 juta. Seiring dengan turunnya penyerapan ini, tingkat
pengangguran di wilayah Bali-Nustra juga tercatat meningkat dari 3,35% pada Agustus 2012 dan 3,05%
pada Maret 2013 menjadi 3,39% pada Agustus 2013. Peningkatan rasio pengangguran terutama terjadi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 58
pada Provinsi NTT, dari 2,89% padaAgustus 2012 menjadi 3,16% pada Agustus 2013. Peningkatan
pengangguran pada periode Agustus sejalan dengan berakhirnya beberapa kegiatan pembangunan
infrastruktur yang bersifat padat karya di Provinsi NTT. Selain itu, mundurnya musim tanam untuk
komoditas palawija diperkirakan turut mempengaruhi tingkat pengangguran di provinsi ini. Sementara
itu, Provinsi Bali yang tercatat memiliki tingkat pengangguran terendah, pada bulan Agustus 2013
tercatatmengalami penurunan yang cukup tajam dari 2,11% menjadi 1,79%. Penurunan ini dipengaruhi
olehmeningkatnya aktivitas industri pariwisata danpeningkatan pembangunan infrastruktur untuk
mempersiapkan MICE berskala internasional di Provinsi Bali seperti penyelenggaraan KTT APEC.
Seiring dengan penyerapan tenaga kerja dan penguatan pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan di
wilayan Bali-Nustra turut mengalami perbaikan. Rasio jumlah penduduk miskin wilayah Bali-Nustra
tercatat mengalami penurunan dari 14,66% pada September 2012 menjadi 14,49% pada September
2013. Penurunan rasio penduduk miskin terbesar terjadi di Provinsi NTB yang sejalan dengan
keberhasilan program pemerintah seperti penumbuhan wirausahawan. Sementara itu, walaupun
memiliki rasio penduduk miskin terkecil, rasio penduduk miskin Bali tercatat mengalami peningkatan
dari 3,95% pada Sepetember 2012 dan Maret 2013 menjadi 4,49% pada September 2013. Peningkatan
rasio penduduk miskin yang cukup tajam ini, diperkirakan dipengaruhi oleh peningkatan garis
kemiskinan baik untuk daerah pedesaan maupun perkotaan. Hal ini diperkirakan terjadi karena tekanan
inflasi yang cukup tinggi, terutama yang terjadi di daerah pedesaan.
Tabel II.3.1. Tingkat Pengangguran Bali-Nustra (%)
2011 2012 2013
Feb Ags Feb Ags Feb Ags
NTB 5.35 5.33 5.21 5.26 5.37 5.38
NTT 2.67 2.69 2.39 2.89 2.01 3.16
Bali 2.86 2.32 2.11 2.04 1.89 1.79
Bali-Nustra 3.60 3.41 3.20 3.35 3.05 3.39 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah.
PERKEMBANGAN INFLASI
Inflasi Bali-Nustra di triwulan IV 2013 sebesar 8,29% (yoy) terutama didorong terutama oleh
meningkatnya inflasi di provinsi NTB. Kenaikan inflasi di Provinsi NTB ini dipengaruhi oleh tingginya
permintaan pangan, khususnya pada masa perayaan Idul Adha, ditengah kondisi distrbusi pasokan yang
mulai terbatas karena faktor cuaca. Sementara itu, perkembangan inflasi di Provinsi Bali dan NTT justru
cenderung menurun pasca kenaikan harga BBM bersubsidi, disertai dan harga beberapa komoditas
pangan strategis seperti gula pasir yang turun dan relatif stabilnya harga komoditas pangan lainnya
seperti cabe merah dan minyak goreng. Tren penurunan harga emas internasional turut berperan dalam
mengurangi tekanan inflasi di wilayah Bali-Nustra. Di samping itu, mulai adanya penambahan rute baru
penerbangan di wilayah Bali-Nustra berkontribusi positif bagi penurunan harga kelompok angkutan
sehingga turut meredam tekanan kenaikan inflasi.
Untuk triwulan I 2014, inflasi diperkirakan lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya karena dampak
kenaikan harga BBM bersubsidi yang mulai berakhir di awal tahun 2014. Selain itu, adanya panen di
beberapa daerah di Wilayah Bali-Nustra diperkirakan dapat menahan tekanan inflasi yang terlalu dalam
L a p o r a n N u s a n t a r a | 59
di awal tahun. Dampak kenaikan harga LPG pun diharapkan tidak memberikan dampak yang signifikan
terhadap tekanan inflasi di Bali-Nustra.
Tabel II.3.2. Inflasi Bali-Nustra (yoy)
2011 2012 2013
I II III IV I II III IV I II III IV
Bali 7.93 7.45 4.4 3.75 4.52 4.32 4.37 4.71 6.47 5.47 7.9 7.44
NTB 7.81 5.85 6.38 6.55 8.84 8.51 6.36 4.00 5.18 5.46 8.13 9.38
NTT 8.68 6.55 4.37 4.68 3.6 5.02 5.21 5.33 7.11 5.26 8.57 8.57
Bali-Nustra 8.03 6.75 5.04 4.85 5.75 5.82 5.19 4.59 6.16 5.43 8.06 8.29 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah.
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Sebagai wadah dan sarana untuk mengendalikan inflasi, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di
wilayah Bali-Nustra secara konsisten terus melakukan peningkatan koordinasi antara anggotanya. Upaya
peningkatan koordinasi demi meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengendalian inflasi dilakukan
melalui beberapa langkah, antara lain pelaksanaan rapat secara rutin baik bulanan maupun semesteran,
diskusi mendalam dengan anggota TPID untuk mengevaluasi fenomena inflasi, serta meningkatkan
kerjasama dengan melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan pemerintah daerah yang dikoordinasikan
oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Penyaluran kredit di wilayah Bali-Nustra mengalami penurunan pertumbuhan pada triwulan IV 2013.
Penurunan pertumbuhan ini sudah terjadi sejak pertengahan triwulan sebelumnya. Pada akhir tahun
2013, pertumbuhan tahunan penyaluran kredit menurun hingga 21,04%, jauh lebih rendah dibandingkan
dengan pertumbuhan awal tahun 2013 yang mencapai 27,58%. Penurunan pertumbuhan ini berkaitan
dengan peningkatan suku bunga acuan sehingga mendorong naiknya suku bunga kredit sekaligus
mengurangi insentif bagi para pengusaha untuk menambah porsi kredit. Sejalan dengan penurunan
pertumbuhan kredit, penyaluran kredit pada sektor usaha juga menurun. Bahkan untuk sektor
pertambangan, terjadi kontraksi pertumbuhan penyaluran kredit sejak dari triwulan III 2012 hingga akhir
tahun 2013. Kontraksi ini berhubungan dengan tahapan perluasan dinding tambang tembaga yang
mengakibatkan output produksinya terbatas. Kredit sektor pertanian juga mengalami perlambatan
pertumbuhan yang cukup dalam pada akhir tahun 2013. Salah satu faktor penyebabnya adalah masalah
menurunnya luas panen akibat alih fungsi lahan pertanian. Alih fungsi ini menyebabkan lahan pertanian
menyusut sehingga ruang bagi penyaluran kredit pertanian menjadi semakin sempit.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 60
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
Triliun Rp % (yoy)Kredit perbankan gKredit perbankan
Grafik II.1.23. Penyaluran Kredit Perbankan
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
BALNUSRA BALI NTB NTT
REAL ESTATE DAN PERSEWAAN
TRANSPORTASI
HOTEL DAN RESTORAN
PERDAGANGAN
KONSTRUKSI
INDUSTRI
PERTANIAN
Grafik II.1.24. Kredit Bank Berdasarkan Sektor Ekonomi 2013
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Kredit konsumsi sebagian besar dilakukan oleh rumah tangga dengan pertumbuhan yang terus melambat
sejak triwulan II 2013. Pada akhir tahun 2013 pertumbuhan kreditnya hanya sebesar 15,98% sedangkan
triwulan sebelumnya mencapai 19,12%. Perlambatan pertumbuhan ini selain sejalan dengan peningkatan
suku bunga acuan, juga disebabkan oleh kebijakan LTV yang membatasi penyaluran kredit perumahan
dan kendaraan bermotor. Hal ini juga terindikasi oleh pertumbuhan kredit perumahaan dan kendaraan
bermotor yang tidak se-agresif periode sebelumnya. Sejak pertengahan triwulan III 2013 pertumbuhan
kredit perumahan cenderung stabil sementara pertumbuhan kredit kendaraan bermotor cenderung
menurun.
Penurunan pertumbuhan kredit perumahan dan kredit kendaraan bermotor juga diikuti oleh
membaiknya kualitas kredit. NPL kredit perumahaan untuk tipe di atas 70 menurun dari 0,49% pada
triwulan III 2013 menjadi 0,35% pada akhir tahun 2013. Demikian pula dengan kredit perumahan tipe 22
hingga 70 yang menurun dari 1,1% menjadi 0,91%. Untuk kredit kendaraan bermotor jenis mobil roda
empat, NPL-nya menurun dari 0,41% menjadi 0,32%. Hanya kredit kendaraan jenis sepeda motor saja
yang mengalami kenaikan NPL yaitu dari 1,14% pada triwulan III 2013 menjadi 1,16% pada akhir periode.
Penyaluran kredit kepemilikan sepeda motor kepada pelanggan dengan pendapatan yang lebih rendah
diperkirakan menjadi penyebab nilai NPL yang lebih besar dibandingkan dengan kredit kepemilikan
rumah maupun kendaraan roda empat.
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Proporsi kredit UMKM di Wilayah Bali-Nustra selalu berada di atas 35% dari total kredit yang disalurkan
pada kurun waktutahun 2011 hingga akhir 2013. Proporsi kredit UMKM pada akhir 2013 mencapai
36,65% sedikit meningkat dibandingkan dengan triwulan III2013 sebesar 36,27%. Kualitas kredit UMKM
juga terus membaik dengan nonperforming loan (NPL) sebesar 1,31% pada akhir 2013 lebih rendah
dibandingkan dengan triwulan III 2013 sebesar 1,49%. Nilai NPL akhir tahun 2013 juga merupakan yang
terendah sejak tahun 2010.
Akses UMKM kepada perbankan relatif baik yang ditunjukkan oleh hasil quick survey Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Wilayah III pada masyarakat umum dan UMKM yang menunjukkan bahwa kepada
masyarakat umum dan UMKM di Bali, NTB,NTT; sebanyak 90% responden mengenal layanan/produk
L a p o r a n N u s a n t a r a | 61
perbankan. Layanan perbankan yang paling banyak dimanfaatkan adalah setoran tunai (54%) dan
penarikan tunai (32%). Untuk memperluas akses UMKM kepada layanan perbankan ditempuh antara lain
dengan dilakukan dengan meminimalkan gap informasi antarpihak perbankan dan UMKM.
Kinerja Sistem Pembayaran
Meningkatnya aktivitas perekonomian sepanjang tahun 2013 turut memengaruhi peningkatan
kebutuhan transaksi nontunai menggunakan RTGS. Baik transaksi dari Bali-Nustra (RTGS) maupun
transaksi menuju Bali-Nustra (RTGS to) mengalami peningkatan transaksi dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Hingga akhir tahun 2013, total transaksi dari Bali-Nustra (RTGS) mencapai lebih dari Rp350
triliun. Sedangkan total transaksi ke Bali-Nustra (RTGS to) melampaui Rp210 triliun. Nilai transaksi
menggunakan RTGS sepanjang tahun 2013 cenderung meningkat, hal ini mengindikasikan adanya
peningkatan kebutuhan transaksi nontunai bernilai besar.
Transaksi nontunai menggunakan kliring mengalami peningkatan dari sisi nominal. Nominal transaksi
sepanjang 2013 mencapai Rp61,49 triliun, atau meningkat 10,51% dibanding tahun lalu. Meningkatnya
nominal transaksi menggunakan kliring menunjukkan bahwa kebutuhan masyarakat akan alat
pembayaran nontunai relatif mengalami peningkatan seiring dengan dibudayakannya less cash society.
Jumlah tolakan cek atau bilyet giro kosong pada tahun 2013 berkurang 63,16% dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Sementara itu nominal penolakan juga mengalami penurunan sebesar 50,19%.
Penurunan jumlah lembar maupun nominal tolakan cek atau bilyet giro kosong serta jumlah tolakan yang
terbilang rendah mengindikasikan bahwa sistempembayaran yang diselenggarakan di Wilayah Bali-
Nustra dapat dikatakan andal. Aliran uang kartal Bank Indonesia dengan perbankan di wilayah Bali-
Nustra berada pada posisi net outflow. Peningkatan transaksi outflow dipengaruhi oleh tingginya
aktivitas ekonomi yang dilakukan masyarakat.
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Seiring dengan optimisme pertumbuhan ekonomi nasional, perekonomian Bali-Nustra diperkirakan turut
mengalami pertumbuhan sebesar 5,9%-6,3% (yoy) pada tahun 2014. Pertumbuhan ini diperkirakan
didorong oleh pertumbuhan konsumsi baik konsumsi rumah tangga maupun konsumsi pemerintah.
Peningkatan kinerja ekonomi mendorong peningkatan pendapatan faktor produksi diperkirakan menjadi
alasan meningkatnya konsumsi rumah tangga di seluruh provinsi.Sementara itu, peningkatan belanja
pemerintah diperkirakan sangat dipengaruhi oleh belanja politik terkait dengan penyelenggaraan pemilu
legislatif dan pemilu presiden. Lebih lanjut, seiring dengan dengan perlambatan investasi yang terjadi
pada tahun 2014, kebutuhan barang modal, khususnya melalui jalur impor turut mengalami penurunan,
khususnya terjadi di Provinsi Bali. Hal ini menekan impor secara umum dan posisi impor neto mengalami
perlambatan.
Pada sisi penawaran, pertumbuhan diperkirakan didorong oleh perkembangan sektor-sektor utama
seperti pertanian danpertambangan. Sifat cuaca yang diperkirakan memasuki pola normalnya turut
mendorong kinerja sektor pertanian, selainitu, kecenderungan peningkatan harga pangan produk
pertanian juga turut menjadi insentif bagi pelaku sektor pertanian. Pada sektor pertambangan,
pertumbuhan dipicu oleh meningkatnya produksi konsentrat tembaga terkait dengan lokasi penggalian
yang telah mencapai lapisan dengan kandungan tembaga tinggi.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 62
Namun, optimisme pertumbuhan tahun 2014 ini masih dibayangi oleh beberapa risiko. Tantangan
terbesar muncul pada sektor pertambangan, peningkatan produksi sektor pertambangan sangat
tergantung pada implementasi aturan pemerintah mengenai pertambangan mineral dan batubara.
Kemungkinan terburuknya adalah adanya penutupan tambang tembaga sehingga dapat menekan
pertumbuhan ekonomi Provinsi NTB dan Wilayah Bali-Nustra jauh di bawah level pesimisnya.
Prospek Inflasi
Ke depan, tekanan inflasi pada tahun 2104 diperkirakan akan lebih terkendali dan berangsur kembali ke
pola normalnya. Secara umum, inflasi 2014 diperkirakan mencapai 5,4-5,9% (yoy). Sumber tekanan inflasi
pada 2014 terutama berasal dari komoditas bahan pangan khususnya untuk komoditas volatile food,
sementara kelompok inflasi inti diperkirakan akan mengalami peningkatan yang terbatas. Demikian pula
dengan pergerakan harga kelompok administered prices yang diperkirakan akan stabil.
Faktor risiko yang berpotensi mempengaruhi tekanan inflasi pada 2014 selain berasal dari kondisi cuaca
juga dari ekspektasi masyarakat sehubungan dengan pemilu sehingga masyarakat beranggapan akan
terjadi peningkatan permintaan. Selain peningkatan konsumsi, kelancaran dan keamanan pelaksanaan
pemilu juga menjadi sangat penting untuk diperhatikan sehingga tidak memicu adanya pembelian yang
tidak perlu. Selain itu, rencana peningkatan tarif dasar listrik (TDL) industri diperkirakan juga akan
mempengaruhi harga khususnya komoditas industri olahan. Hal ini disebabkan oleh relatif tingginya
kenaikan TDL tersebut yaitu sebesar 38,9% untuk industri golongan 3 dan 64,7% untuk industri golongan
4. Sebagai langkah antisipasi perlu dilakukan edukasi yang lebih komprehensif dan tepat kepada
masyarakat, baik oleh pemda maupun TPID. Hal ini penting mengingat masyarakat membutuhkan adanya
kepastian, terutama dalam hal keamanan.
Tabel II.1.4. Prospek Pertumbuhan Ekonomi Bali-Nustra (yoy)
I II III IV Total
PDRB (%,yoy) 4.2 6.0 5.6 5.9 5.8 5.8 5.4 - 5.9
Konsumsi 4.7 4.1 4.9 6.5 7.7 5.8 5.6 - 6.1
Konsumsi swasta 5.0 3.2 4.3 4.2 6.4 4.6 5.2 - 5.7
Konsumsi Pemerintah 3.8 7.9 9.1 16.4 13.5 11.9 7.5 - 8.0
Pembentukan Modal Tetap Bruto 16.0 12.5 10.3 2.8 1.6 6.6 6.6 - 7.1
Ekspor 1.6 4.0 7.2 13.4 10.0 8.7 9.0 - 9.5
Impor 6.2 9.5 11.9 14.8 13.4 12.5 8.9 - 9.4
Sektor pertanian 4.2 2.3 2.7 2.7 1.6 2.3 2.4 - 2.9
Sektor pertambangan & penggalian (23.7) 6.3 (1.3) 5.4 16.8 6.8 0.7 - 1.3
Industri pengolahan 5.7 6.7 6.0 4.9 6.2 5.9 4.0 - 4.5
Listrik, gas & air bersih 8.5 9.5 9.3 8.2 7.6 8.6 7.2 - 7.7
Bangunan 10.3 12.7 8.5 2.2 (0.1) 5.5 9.2 - 9.7
Perdagangan, hotel & restoran 6.6 6.6 7.0 6.6 6.1 6.5 6.8 - 7.3
Pengangkutan & komunikasi 6.9 5.3 5.6 6.3 6.9 6.0 5.8 - 6.3
Keuangan, persewaan dan jasa perush. 8.8 8.6 8.2 7.0 7.8 7.9 5.8 - 6.3
Jasa-jasa 6.1 7.1 7.8 10.2 9.0 8.7 8.2 - 8.7
Sisi Permintaan
Sisi Produksi
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah 20122013
2014
L a p o r a n N u s a n t a r a | 63
BOKS 3. Penerapan Kebijakan Pengaturan Ekspor Mineral
Dalam rangka meningkatkan peran sektor pertambangan bagi perekonomian nasional dan
pembangunan ekonomi daerah yang berkelanjutan, pemerintah menerbitkan Undang-Undang (UU) No. 4
Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Di dalam UU tersebut ditegaskan mengenai
kewajiban pelaku usaha di sektor pertambangan untuk melakukan pengolahan dan pemurnian untuk
hasil kegiatan tambang yang diekspor.
Diterbitkannya UU tersebut menjadi tonggak yang sangat penting bagi upaya untuk meningkatkan nilai
tambah ekspor. Pada gilirannya gilirannya hal ini akan mendorong kemajuan ekonomi dan pendapatan
masyarakat, khususnya di daerah-daerah yang menjadi basis sektor pertambangan seperti di wilayah
Sulampua, Kalimantan, dan sebagian Sumatera. Sebagai ilustrasi, proses pemurnian komoditas mineral
dapat menghasilkan kenaikan nilai tambah produk olahan hingga mencapai 300x lipat (Gambar C.1.).
Gambar C.1. Peningkatan Nilai Tambang Barang Mineral
Sumber: Kajian Kantor Perwakilan Dalam Negeri Bank Indonesia Wilayah I
Sebagai tindak lanjut dari diterbitkannya UU tersebut, pada awal tahun 2014 diterbitkan beberapa
petunjuk teknis dan aturan pelaksanaannya. Aturan pelaksanaan tersebut pada intinya mengatur bahwa
ekspor mineral dalam kadar tertentu masih dapat untuk dilakukan ekspor dengan disertai bea keluar
(Tabel C.1.), serta memberikan waktu kepada para pelaku usaha di sektor pertambangan untuk
membangun fasilitas smelter sampai dengan tahun 20174. Pengaturan bea keluar ini ditetapkan secara
progresif yakni dari kisaran 20%-25% pada semester I 2014 hingga mencapai 60% pada semester II 2016
(Tabel C.2.)5. Di samping itu, pemerintah juga menerbitkan aturan yang mewajibkan ekspor mineral
hanya dapat dilakukan oleh eksportir terdaftar disertai adanya proses verifikasi.
4 Peraturan Pemerintah (PP) No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah nomor 23 Tahun 2010
tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara; Peraturan Menteri ESDM No. 1 tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.
5 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 6/PMK.011/2014 Tanggal 11 Januari 2014 yang merupakan Perubahan Kedua
atas PMK No. 75/PMK.011/2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 64
Tabel C.1. Kadar Min. Konsentrat Mineral untuk Ekspor
Tabel C.2. Tarif Bea Keluar Konsentrat Mineral
Meski dalam jangka panjang berdampak positif, penerapan kebijakan pengaturan ekspor mineral ini
dalam jangka pendek akan memperlambat laju pertumbuhan sektor pertambangan, khususnya daerah-
daerah di wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI). Hal ini mengingat peran sektor pertambangan,
terutama ekspor tambang, yang besar dalam perekonomian wilayah Sulampua (Gambar C.2.). Bagi
pelaku usaha berskala besar yang pada umumnya telah memiliki fasilitas pemurnian (smelter) dan atau
merupakan penghasil batubara, implementasi aturan ini berdampak minimal. Namun, bagi pelaku usaha
pertambangan yang tidak memiliki smelter maka perlu segera melakukan upaya penyesuaian. Proses
penyesuaian ini dalam jangka pendek berpotensi menurunkan output dan penggunaan tenaga kerja di
sektor pertambangan di kawasan tersebut. Untuk itu, upaya untuk memitigasi dampak dari proses
penyeusaian yang terjadi perlu dilakukan melalui strategi kebijakan yang menyeluruh dengan melibatkan
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Gambar C.2. Peran Sektor Pertambangan dan Ekspor Tambang dalam Perekonomian wilayah Sulampua
L a p o r a n N u s a n t a r a | 65
Survei terhadap beberapa pelaku usaha di provinsi yang menjadi sentra kegiatan pertambangan
menunjukkan respon yang berbeda-beda terkait pemberlakuan UU minerba. Selain disebabkan oleh jenis
bahan tambang yang dihasilkan, perbedaan juga disebabkan oleh kemampuan pelaku usaha di masing-
masing provinsi. Hasil survei ini dapat menjadi langkah awal bagi upaya mitigasi risiko penurunan
kegiatan pertambangan di KTI.
Kinerja komoditas tambang batubara di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) relatif tidak terpengaruh oleh
aturan minerba sehingga produksinya dapat ditingkatkan. Demikian pula dengan pertambangan di
Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) juga tidak terpengaruh signifikan oleh aturan minerba karena
perusahaan tambang di Provinsi Sulsel telah memiliki smelter.
Tabel C.3. Hasil Survei Dampak UU Minerba Terhadap Pelaku Usaha Pertambangan
Keterangan Sultra Malut Sulsel Papua Sulteng Kaltim NTB Kalbar
Produk Nikel Nikel Nikel Tembaga Nikel Batubara Tembaga Bauksit
Dampak Penerapan UU
Minerba terhadap
kinerja perusahaan di
tahun 2014
Penurunan
Kegiatan Usaha
Penurunan
Kegiatan Usaha
Tidak
signifikan
Risiko
Pengurangan
Kegiatan Usaha
Signifikan Tidak
Berdampak
Risiko Penutupan
Kegiatan Usaha
Risiko Penutupan
Kegiatan Usaha
Produksi Menurun Menurun Meningkat Berpotensi
MenurunMenurun Meningkat
Berpotensi
Menurun
Berpotensi
Menurun
Penjualan Menurun Menurun MeningkatBerpotensi
MenurunMenurun Meningkat
Berpotensi
Menurun
Berpotensi
Menurun
Penggunaan Tenaga
KerjaStabil Stabil Stabil
Belum terdapat
pengurangan
tenaga kerja
Terjadi
Pengurangan
Tenaga Kerja
Stabil
Belum terdapat
pengurangan
tenaga kerja
Belum terdapat
pengurangan
tenaga kerja
Sumber: Quick Survei Kantor Perwakilan Dalam Negeri Bank Indonesia Wilayah I
Sementara itu, untuk pertambangan di Provinsi Papua, Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) dan Provinsi
Nusa Tenggara Barat (NTB) terdapat risiko kelangsungan kegiatan usaha. Meskipun konsentrat yang
dihasilkan sudah melebihi 15%, adanya bea keluar dianggap membebani kegiatan usaha pertambangan.
Hingga saat ini belum terdapat pengurangan tenaga kerja sebagai dampak dari aturan mengenai
minerba. Pengambil kebijakan perlu mendorong upaya mendirikan smelter secara mandiri bagi pelaku
usaha dengan skala besar sehingga adaptasi terhadap aturan ini dapat berjalan lebih cepat.
Hasil survei di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) dan Provinsi Maluku Utara (Malut) menunjukkan
penerapan aturan minerba tersebut sudah memberikan dampak pada kinerja usaha pertambangan.
Kegiatan usaha, produksi dan penjualan relatif menurun. Meskipun demikian, belum terjadi pengurangan
tenaga kerja pada sektor pertambangan di kedua provinsi tersebut. Berbeda dengan kedua provinsi
tersebut, untuk provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) terdapat indikasi adanya penutupan usaha dan
pengurangan tenaga kerja. Hal ini disebabkan oleh skala usaha kegiatan pertambangan di Provinsi
Sulteng yang relatif tidak terlalu besar sehingga pendirian smelter menjadi tantangan. Berbagai hasil
survei di atas yang menunjukkan respons berbeda di masing-masing provinsi dapat menjadi dasar bagi
pengambil kebijakan dalam mengantisipasi dampak penerapan aturan minerba.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 66
Bagian III
Perekonomian Jawa
Pertumbuhan ekonomi Kawasan Jawa pada triwulan IV 2013 melambat dibandingkan triwulan
sebelumnya. Perlambatan tersebut terjadi hampir di seluruh wilayah, terutama di Jakarta yang hanya
tumbuh sebesar 5,6% (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan
sebelumnya yang mencapai 6,2% (yoy). Selain itu, perlambatan ekonomi juga terjadi di wilayah
Jabagteng dan Jabagtim. Realisasi pertumbuhan ekonomi wilayah Jabagteng tercatat sebesar 5,4% (yoy)
dan wilayah Jabagtim sebesar 6,2% (yoy). Sementara itu, perekonomian wilayah Jabagbar mampu
tumbuh meningkat sebesar 6,2% (yoy). Untuk keseluruhan tahun 2013, pertumbuhan ekonomi kawasan
Jawa lebih rendah dari pertumbuhan pada 2012. Perlambatan di wilayah ini terutama disebabkan oleh
melemahnya konsumsi dan investasi. Konsumsi dan investasi yang melambat, khususnya di wilayah
Jakarta, disebabkan oleh meningkatnya tekanan inflasi, suku bunga, dan depresiasi nilai tukar. Sementara
itu, kinerja investasi juga cenderung terbatas sebagai pengaruh faktor eksternal, yaitu pemulihan
ekonomi dunia yang masih berjalan lambat dan ketidakpastian mengenai kelanjutan program stimulus
moneter di Amerika Serikat. Sentimen negatif terhadap perekonomian negara emerging market,
termasuk Indonesia turut menurunkan minat investor ke kawasan Jawa.
Pada triwulan IV 2013, inflasi kawasan Jawa relatif mereda namun masih pada level yang cukup tinggi.
Kelompok administered prices dan komponen inti lebih dominan mendorong inflasi dibanding volatile
food. Inflasi pada kelompok administered prices meningkat karena kenaikan tarif listrik tahap keempat
(Oktober 2013), angkutan udara dan kereta api. Inflasi inti relatif stabil di tengah masih kuatnya
permintaan dan berlanjutnya tekanan nilai tukar. Namun, koreksi pada harga emas internasional turut
mempengaruhi realisasi inflasi inti. Melimpahnya pasokan dari sentra produksi dan kelancaran distribusi
turut menjaga inflasi kelompok volatile food. Hal ini juga tidak terlepas dari peran koordinasi TPID di
kawasan Jawa yang difokuskan pada kelancaran distribusi barang dan peningkatan strategi komunikasi
dalam rangka menjaga ekspektasi inflasi.
Memasuki awal triwulan I 2014, kinerja perekonomian Jawa dan Jakarta diperkirakan relatif stabil.
Pertumbuhan ekonomi kawasan Jawa didukung oleh masih kuatnya konsumsi rumah tangga dan
membaiknya ekspor. Potensi peningkatan ekspor mulai terlihat seiring dengan semakin pulihnya
perekonomian negara maju. Adapun konsumsi pemerintah dan rumah tangga diperkirakan meningkat
sebagai pengaruh dari adanya realisasi belanja Pemilu 2014.
Di sisi inflasi, tekanan diperkirakan relatif rendah pada triwulan I 2014. Meskipun banjir melanda
sebagian Kawasan Jawa pada Januari 2014, inflasi pada triwulan ini melambat kea rah kisaran proyeksi
7,3% - 7,7% (yoy) didukung oleh terjaganya pasokan pangan (lihat Boks: Dampak Bencana Banjir di
Kawasan Jawa). Terputusnya jalur Pantura akibat banjir menyebabkan tertundanya distribusi barang
antar wilayah di Jawa. Namun, kesiagaan daerah dalam penanggulangan banjir yang meliputi upaya
perbaikan infrastruktur secara bertahap diperkirakan mampu meminimalkan dampak banjir terhadap
inflasi. Pada episode banjir tahun 2014 ini terdapat fenomena peningkatan pasokan pangan di daerah
sentra mengingat adanya hambatan distribusi ke daerah konsumen. Hal ini menyebabkan adanya
beberapa daerah sentra yang mengalami deflasi di tengah peningkatan harga pangan di daerah
konsumen. Sementara itu, kenaikan gas elpiji 12 kg mendorong inflasi melalui peningkatan harga
makanan jadi dan barang produksi industri rumah tangga. Terdapat pula potensi kenaikan harga pada
L a p o r a n N u s a n t a r a | 67
kelompok barang industri akibat dari pass through depresiasi nilai tukar secara bertahap. Langkah TPID
untuk meminimalkan tekanan inflasi adalah memastikan proses produksi berjalan sesuai siklus melalui
fasilitasi petani untuk melakukan penanaman kembali lahan yang terendam banjir (proses re-planting),
menjaga ketersediaan pasokan pangan, salah satunya melalui operasi pasar serta meningkatkan
komunikasi ke masyarakat terkait dengan ketersediaan pasokan pangan.
Ekonomi wilayah Jawa dan Jakarta didukung oleh peningkatan pembiayaan perbankan pada triwulan IV
2013. Tercatat pertumbuhan kredit perbankan di wilayah Jawa berdasarkan lokasi proyek mencapai
23,23% (yoy), sementara Jakarta mencapai 24% sampai dengan bulan Desember 2013. Penyaluran kredit
perbankan di Jawa sebagian besar dialokasikan untuk 3 (tiga) sektor utama, yaitu industri pengolahan
(porsi 28%), perdagangan (porsi 20%), dan pertanian (porsi 2%). Sementara itu, kredit di Jakarta sebagian
besar dialokasikan untuk sektor produksi perdagangan besar (porsi 17,81%), industri pengolahan (porsi
14,15%), dan perantara keuangan (porsi 12,10%). Berdasarkan penggunaan, kredit di Jawa dan Jakarta
disalurkan dalam bentuk kredit modal kerja (53,1%), kredit konsumsi (24,3%) dan kredit investasi
(22,6%).
Pertumbuhan kredit yang relatif tinggi saat ini diimbangi dengan terjaganya risiko kredit pada level yang
rendah. Secara sektoral, risiko penyaluran kredit yang tercermin pada rasio nonperforming loans pada
sektor utama di Jawa menunjukkan tren penurunan, yakni pada sektor industri pengolahan sebesar
1,34% dan sektor perdagangan sebesar 2,93%. Hal yang sama juga terlihat di Jakarta, khususnya di sektor
transportasi, pergudangan dan komunikasi, sektor perdagangan dan sektor industri pengolahan.
Pembiayaan kredit kepada UMKM di kawasan Jawa kecuali Jakarta menunjukkan peningkatan,
sementara di Jakarta cenderung melambat. Kredit UMKM di Jawa mampu tumbuh 18,53% (yoy), dengan
nominal mencapai Rp259,58 triliun. Pertumbuhan kredit UMKM Jawa didukung oleh stabilnya risiko
kredit (nonperforming loans) di level 3,40%, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun
sebelumnya yang tercatat sebesar 3,63%. Tren penurunan risiko kredit UMKM juga terlihat di wilayah
Jakarta. Sementara itu, perlambatan laju pertumbuhan penyaluran kredit UMKM di Jakarta ditengarai
terkait dengan pengetatan persyaratan pengajuan kredit serta penurunan target penyaluran kredit oleh
perbankan.
Sejalan dengan tren perkembangan ekonomi Jawa yang semakin meningkat, transaksi sistem
pembayaran baik tunai maupun nontunai di kawasan Jawa juga menunjukkan peningkatan. Pada
transaksi nontunai, seiring dengan semakin tingginya kebutuhan penyelesaian transaksi dalam jumlah
besar dan realtime, persentase nominal transaksi RTGS terhadap kliring menunjukkan peningkatan dari
sebesar 82,79% pada akhir tahun 2012 menjadi sebesar 85,28% pada akhir tahun 2013. Berbagai langkah
untuk meningkatkan penyediaan uang tunai di daerah terus dilakukan, salah satunya melalui penyediaan
kas keliling dan sosialisasi pengenalan keaslian Rupiah di beberapa wilayah di Jawa dan Jakarta.
Pada triwulan II 2014 pertumbuhan ekonomi kawasan Jawa diperkirakan meningkat signifikan seiring
dengan dampak positif dari penyelenggaraan Pemilu. Potensi peningkatan konsumsi rumah tangga dan
Pemerintah di kawasan Jawa diperkirakan berasal dari realisasi belanja Pemilu 2014. Investasi juga
diyakini akan mengalami peningkatan didorong oleh proyek infrastruktur di kawasan ini. Pendorong
pertumbuhan investasi tersebut terutama berasal dari wilayah Jawa Bagian Timur (Jabagtim) dengan
adanya pembangunan empat buah smelter yang direncanakan beroperasi pada tahun 2017. Di sisi
ekspor, diperkirakan terjadi perbaikan sebagai pengaruh faktor global yang akan berdampak positif pada
kinerja sektor industri di kawasan Jawa. Namun demikian, perlu diantisipasi risiko terkait tekanan biaya
L a p o r a n N u s a n t a r a | 68
produksi pasca kenaikan tarif listrik industri. Selain itu, ketergantungan impor dari sektor industri di
kawasan Jawa juga perlu mendapat perhatian. Mencermati perkembangan terakhir dan berbagai faktor
risiko tersebut, maka untuk keseluruhan tahun, pertumbuhan ekonomi kawasan Jawa pada 2014
diperkirakan mampu tumbuh 6,0% - 6,4%.
Seiring tibanya panen raya komoditas beras dan hortikultura di beberapa sentra produksi, diperkirakan
tekanan inflasi di Kawasan Jawa kembali mereda pada triwulan II 2014. Inflasi pada triwulan ini
diperkirakan berada di kisaran 6,8% - 7,3% (yoy). Selain itu, terjaganya kelancaran distribusi serta
kecukupan stok bahan pangan berpotensi mendorong deflasi kelompok volatile food. Namun, masih
terdapat potensi tekanan inflasi akibat kenaikan tarif tenaga listrik, pelaksanaan Pemilu dan dimulainya
bulan Ramadhan. Ke depan, TPID di kawasan Jawa akan terus mengupayakan penguatan koordinasi antar
provinsi dan strategi komunikasi efektif pada stakeholders daerah. Mencermati perkembangan terakhir
dan berbagai faktor risiko, diyakini inflasi di kawasan Jawa akan kembali ke pola normalnya dan pada
akhir tahun diprakirakan berada di kisaran 4,9% - 5,3% (yoy).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 69
Bagian III.1. Perekonomian Jawa Bagian Barat
PERTUMBUHAN EKONOMI
Pertumbuhan ekonomi wilayah Jawa Bagian Barat (Jabagbar) yang meliputi Provinsi Jawa Barat dan
Banten meningkat tinggi pada triwulan IV 2013 menjadi 6,2% (yoy) dibandingkan triwulan sebelumnya
sebesar 5,7% (yoy). Pertumbuhan tersebut disumbang oleh kinerja ekspor dan total konsumsi yang
meningkat sejalan dengan membaiknya permintaan eksternal dan pola belanja pemerintah yang
ekspansif pada akhir tahun. Dari sisi sektoral, kinerja sektor sektor pertanian; sektor listrik, gas, dan air
bersih; dan sektor PHR tumbuh meningkat, sedangkan kinerja sektor industri pengolahan tumbuh stabil
pada triwulan IV 2013. Secara keseluruhan tahun 2013, pertumbuhan ekonomi Jabagbar sebesar 6,0%
(yoy), melambat dibandingkan 2012. Perlambatan tersebut diakibatkan oleh melambatnya pertumbuhan
konsumsi rumah tangga dan investasi terkait dengan shock kenaikan harga BBM pada awal triwulan III
2013 dan adanya tekanan pada ekonomi makro. Meskipun demikian, perlambatan yang lebih dalam
dapat ditahan dengan kinerja ekspor dan konsumsi pemerintah yang tumbuh tinggi dibandingkan tahun
sebelumnya. Secara sektoral, perlambatan kinerja sektor PHR; sektor pengangkutan dan komunikasi;
serta sektor konstruksi turut berkontribusi terhadap melambatnya pertumbuhan Jabagbar tersebut.
Namun, kinerja sektor industri pengolahan secara keseluruhan tahun cukup baik.
Perkembangan berbagai indikator ekonomi makro terkini mengindikasikan pertumbuhan Jabagbar pada
triwulan I 2014 sedikit tertahan dibandingkan triwulan IV 2013 yang tumbuh tinggi. Tertahannya laju
pertumbuhan ekonomi tersebut terkait dengan melambatnya investasi sebagai pengaruh perkembangan
kondisi politik menjelang Pemilu. Sementara konsumsi rumah tangga diperkirakan cenderung tumbuh
stabil. Kinerja ekspor diperkirakan terus meningkat sejalan dengan indikasi membaiknya perekonomian
global dan perkembangan konsumsi domestik. Secara sektoral, kinerja sektor pertanian diperkirakan
cenderung melambat seiring dengan kondisi musim dan pergeseran musim panen. Di sisi lain, sektor
pengangkutan dan komunikasi bersama dengan sektor industri pengolahan dan sektor PHR menjadi
penyokong kinerja pertumbuhan di triwulan I 2014. Hal ini didukung oleh masih meningkatnya kinerja
ekspor. Prospek keseluruhan tahun 2014 diprakirakan akan semakin membaik. Laju pertumbuhan
ekonomi untuk keseluruhan tahun 2014 diprakirakan masing-masing mencapai 6,1% – 6,5% (yoy).
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga Jabagbar pada triwulan IV 2013 tumbuh stabil dibandingkan triwulan III 2013
sebesar 4,1% (yoy). Relatif stabilnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga tersebut sejalan dengan
semakin membaiknya daya beli rumah tangga pasca shock kenaikan harga BBM bersubsidi pada triwulan
III 2013. Hal ini terindikasi oleh berbagai indikator konsumsi yang menunjukkan kecenderungan membaik
hingga akhir triwulan IV 2013. Hasil Survei Keyakinan Konsumen (Grafik III.1.1) menunjukkan tren
peningkatan sejalan dengan Indeks Penjualan Eceran (Grafik III.1.2) yang masih meningkat. Lebih lanjut,
impor barang konsumsi Jawa Barat juga menunjukkan tren meningkat (Grafik III.1.3). Berdasarkan hasil
liason terhadap sejumlah responden utama di bidang ritel diketahui bahwa sekitar 50% peritel besar di
daerah Bandung dan Serang menyatakan peningkatan penjualan. Data penjualan kendaraan bermotor
L a p o r a n N u s a n t a r a | 70
juga menunjukkan pertumbuhan. Menurut GAIKINDO, total penjualan mobil nasional sepanjang tahun
2013 mencapai 1,23 juta unit, lebih besar daripada total tahun 2012 sebesar 1,12 juta unit. Di Provinsi
Jawa Barat, antusiasme permintaan LCGC Kota Bandung hingga awal semester II 2013 telah melampaui
kuota hingga akhir tahun. Dari kuota sebesar 1.350 unit hingga Desember 2013, jumlah pemesan sudah
mencapai 2.000 orang. Aktivitas konsumsi tersebut didukung pula dengan pembiayaan perbankan yang
tumbuh stabil sebagaimana tercermin dari pertumbuhan kredit konsumsi Jawa Barat yang mencapai
21,43% (yoy) (Grafik III.1.4).
Pada triwulan I 2014, konsumsi rumah tangga diperkirakan tetap kuat namun dengan potensi sedikit
melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Indikator Indeks Keyakinan Konsumen pada Januari 2014
mengindikasikan peningkatan keyakinan masyarakat yang terjadi khususnya di Provinsi Banten.
Berdasarkan hasil Survei Penjualan Eceran (SPE) Desember 2013, penjualan di Jawa Barat terindikasi
masih menunjukkan pertumbuhan. Meskipun demikian, berdasarkan rapat koordinasi TPID Provinsi Jawa
Barat pada Januari 2014, diketahui bahwa dampak hujan dan banjir cukup berpengaruh terhadap
berkurangnya penjualan di pasar tradisional dan modern pada awal triwulan I 2014 ini. Di samping itu,
Indeks Ekspektasi Konsumen maupun perkiraan pengeluaran rumah tangga dari hasil Survei Konsumen
mengindikasikan potensi penurunan tingkat pengeluaran rumah tangga dalam level yang moderat. Di sisi
kebijakan moneter, Bank Indonesia mengarahkan kebijakan moneter ke arah stabilisasi ekonomi makro
yang diperkirakan akan sedikit menahan laju konsumsi rumah tangga. Namun, realisasi belanja Pemilu
2014 berpotensi untuk menahan penurunan konsumsi rumah tangga lebih lanjut.
Konsumsi Pemerintah
Pada triwulan IV 2013, realisasi belanja pemerintah meningkat secara nominal, meskipun tumbuh sedikit
melambat dibandingkan dengan triwulan III 2013. Hal ini terkait dengan akselerasi penyerapan anggaran
di akhir tahun sebagaimana historisnya. Realisasi belanja Pemerintah Daerah Jawa Barat secara nominal
tumbuh cukup tinggi mencapai 13,4%, sehingga mendukung kinerja perekonomian pada triwulan IV
2013. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari dinas terkait, realisasi belanja pemerintah Provinsi Jawa
Barat hingga akhir tahun 2013 mencapai 92% dari total anggaran. Di sisi kabupaten/kota, realisasi belanja
pemerintah kota/kabupaten pun cenderung meningkat.
Sementara itu pada triwulan I 2014, konsumsi pemerintah diperkirakan melambat dibandingkan triwulan
sebelumnya karena pelaksanaan program/kegiatan pemerintah daerah yang belum mengalami akselerasi
di awal tahun. Meskipun demikian, pertumbuhan konsumsi pemerintah diperkirakan akan lebih tinggi
seiring masuknya periode Pemilu yang akan dilaksanakan pada April 2014 untuk Pemilu Legislatif (Pileg)
dan Juli 2014 untuk Pemilu Presiden (Pilpres). Selain itu, dipercepatnya pengesahan APBD di Jawa Barat
sebelum tahun 2014 untuk Provinsi Jawa Barat dan di sejumlah daerah antara lain seperti Kota Bandung,
Bogor, Karawang, dan Bekasi akan menjaga tingkat konsumsi pemerintah.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 71
-0.15
-0.10
-0.05
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
95
100
105
110
115
120
125
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1
2012 2013 2014
Indeks %, yoy
Indeks Keyakinan Konsumen Pertumbuhan (skala kanan)
Grafik III.1.1. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
-0.50
-0.30
-0.10
0.10
0.30
0.50
0.70
0.90
0
20
40
60
80
100
120
140
160
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1
2012 2013 2014
Indeks %, yoy
IPE Pertumbuhan (Axis Kanan)
Grafik III.1.2. Indeks Penjualan Eceran (IPE)
-20%
-10%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
-
100
200
300
400
500
600
700
I II III IV I II III IV
2012 2013
USD Juta yoyImpor Barang Konsumsi Jabagbar Pertumbuhan (RHS)
Grafik III.1.3. Impor Barang Konsumsi
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0
50
100
150
200
250
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
Rp Triliun %, yoy
Kredit Konsumsi Pertumbuhan (skala kanan)
Grafik III.1.4. Kredit Konsumsi
Investasi
Di triwulan IV 2013, realisasi pertumbuhan investasi Jabagbar cenderung melambat menjadi 5,9% (yoy)
dari triwulan III 2013 sebesar 6,9% (yoy). Melambatnya pertumbuhan investasi ini sejalan dengan data
Badan Koordinasi Promosi Penanaman Modal Daerah (BKPPMD) Provinsi Jawa Barat yang menunjukkan
penurunan minat perusahaan untuk melakukan investasi ke depan. Investasi pada triwulan IV 2013 lebih
rendah dari realisasi investasi pada triwulan III 2013 menjadi Rp25,3 triliun dari Rp27,9 triliun (Tabel
III.1.1). Tingginya realisasi investasi sampai dengan akhir triwulan III 2013 yang lalu ditengarai pula
sebagai faktor penyebab melambatnya investasi pada triwulan IV 2013. Melambatnya investasi pada
triwulan IV 2013 juga tercermin dari perlambatan pertumbuhan impor barang modal (Grafik III.1.5).
Sementara itu, pertumbuhan kredit investasi cenderung stabil (Grafik III.1.6).
Perkembangan kinerja investasi pada Triwulan I 2014 diperkirakan sedikit melambat. Hal ini terutama
dipengaruhi oleh faktor Pemilu dimana pelaku usaha cenderung wait and see terhadap kondisi politik
dan sosial ekonomi. Investasi diprediksi masih akan tertahan hingga berakhirnya masa Pemilu 2014.
Selain itu, belum pulihnya harga komoditas global juga berpotensi mendorong perlambatan ekspansi
bisnis perusahaan.
Tabel III.1.1. Realisasi Investasi PMA/PMDN di Jawa Barat (Rp Miliar)
L a p o r a n N u s a n t a r a | 72
Sumber: BKPPMD Provinsi Jawa Barat
-50%-40%-30%-20%-10%0%10%20%30%40%
-
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
I II III IV I II III IV
2012 2013
USD Juta yoyImpor Barang Modal Jabagbar Pertumbuhan (RHS)
Grafik III.1.5. Impor Barang Modal Jabagbar
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
-
20,0
40,0
60,0
80,0
100,0
120,0
140,0
160,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
Rp triliun yoy
Kredit Investasi Pertumbuhan (Axis Kanan)
Grafik III.1.6. Kredit Investasi Jabagbar
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Kinerja ekspor luar negeri Jabagbar meningkat cukup tinggi. Membaiknya kinerja ekspor luar negeri
didorong oleh perbaikan ekonomi negara maju yang menjadi tujuan ekspor Jabagbar, khususnya Amerika
dan kawasan Eropa (Grafik III.1.7.) Berdasarkan Consensus Forecast Global Outlook 2013-2023,
pertumbuhan perekonomian global diperkirakan sebesar 2,3% di 2013 dan pada 2014 sebesar 3,0%.
Perbaikan ekonomi global tersebut turut mendorong ekspor komoditas manufaktur utama Jabagbar,
yakni komoditas TPT, elektronik, kimia dan makanan/minuman (Grafik III.1.8.).
Perkiraan pertumbuhan ekonomi dunia yang meningkat tahun 2014 juga akan mendorong peningkatan
ekspor Jabagbar pada triwulan I 2014, terutama pada komoditas pakaian jadi (tekstil dan produk
tekstil/TPT). Informasi dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan bahwa pelaku usaha cukup
optimis terkait dengan masih tingginya preferensi konsumen negara maju khususnya Amerika Serikat dan
Eropa terhadap produk TPT Indonesia.
-8.0
-6.0
-4.0
-2.0
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
8,000
8,200
8,400
8,600
8,800
9,000
9,200
9,400
I II III IV I II III IV
2012 2013
Perdagangan Luar Negeri
Pertumbuhan (skala kanan)
Juta USD (fob) % yoy
Grafik III.1.7. Perkembangan Ekspor Jabagbar
-8.0
-6.0
-4.0
-2.0
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
8,000
8,200
8,400
8,600
8,800
9,000
9,200
9,400
I II III IV I II III IV
2012 2013
Ekspor LN Sektor Industri
Pertumbuhan (skala kanan)
Juta USD (fob) % yoy
Grafik III.1.8. Perkembangan Ekspor Manufaktur Jabagbar
L a p o r a n N u s a n t a r a | 73
Impor
Impor tumbuh melambat sebesar 14,6% (yoy) pada triwulan IV 2013 dibandingkan dengan capaian
pertumbuhan pada triwulan sebelumnya (15,7%, yoy). Sejalan dengan meningkatnya konsumsi dan
ekspor, impor barang konsumsi dan bahan baku Jabagbar masih cukup kuat. Impor barang konsumsi
pada triwulan IV 2013 terutama untuk memenuhi peningkatan permintaan akhir tahun. Data impor
bahan baku menunjukkan adanya peningkatan untuk mendukung produksi barang ekspor (Grafik III.1.9).
Adapun pangsa impor bahan baku Jabagbar adalah lebih dari 90% total impor. Sementara itu, impor
barang modal cenderung melambat sejalan dengan perlambatan investasi di Jabagbar. Untuk triwulan I
2014, diperkirakan adanya peningkatan impor seiring dengan masih berlanjutnya peningkatan kinerja
ekspor dan masih kuatnya konsumsi rumah tangga.
-8%-6%-4%-2%0%2%4%6%8%10%12%
-
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
I II III IV I II III IV
2012 2013
USD Juta yoyImpor Bahan Baku Jabagbar Pertumbuhan (RHS)
Grafik III.1.9. Impor Bahan Baku Jabagbar
59,00
41,43
56,8756,44
42,7543,46
56,47
49,47
56,15
40,5538,40
51,86
35,29
47,47
34,41
50,56
0
10
20
30
40
50
60
70
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012 2013
Kandungan Impor
Grafik III.1.10. Persentase Kandungan Impor
Perdagangan Antar Daerah
Kinerja perdagangan antar daerah pada triwulan IV 2013 juga meningkat sejalan dengan meningkatnya
perdagangan luar negeri dan konsumsi rumah tangga yang masih cenderung stabil. Meskipun
pertumbuhan konsumsi rumah tangga nasional pada Triwulan IV 2013 sedikit melambat dibandingkan
triwulan sebelumnya namun masih pada level yang cukup tinggi. Hal ini mendorong meningkatnya
perdagangan Jabagbar dengan daerah lain. Survei Indeks Penjualan Eceran menunjukkan indikasi
peningkatan penjualan eceran yang akan mendorong kinerja perdagangan antar daerah. Meningkatnya
kinerja perdagangan antar daerah Jabagbar juga dikonfirmasi oleh realisasi penjualan mobil nasional
yang mencapai 1,2 juta unit atau naik sekitar 10% dari tahun sebelumnya.
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Industri Pengolahan
Pada triwulan IV 2013, industri pengolahan di Jabagbar tumbuh stabil dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya yakni sebesar 4,7% (yoy). Secara umum, meningkatnya kinerja sektor pengolahan ditopang
oleh kinerja industri otomotif (Grafik III.1.11), TPT serta makanan dan minuman olahan. Kinerja subsektor
otomotif Jabagbar didukung oleh produksi mobil berjenis LCGC yang memberikan kontribusi cukup
signifikan pada triwulan IV 2013, yakni sebesar 9% dari keseluruhan produksi mobil nasional. Meskipun
L a p o r a n N u s a n t a r a | 74
demikian, kenaikan harga BBM dan pelemahan nilai tukar ditengarai menahan pertumbuhan subsektor
otomotif pada triwulan IV 2013.
Pertumbuhan sektor TPT Jabagbar pada triwulan IV 2013 diindikasikan sedikit tertahan dengan merujuk
pada data pertumbuhan ekspor (Grafik III.1.12). Hingga periode November 2013, ekspor produk TPT
cenderun menurun, meskipun tumbuh sedikit lebih baik dibandingkan dengan triwulan III 2103. Adapun
target ekspor produk TPT pada 2013 sebesar USD13 miliar diperkirakan masih dapat tercapai.
878
1,000
1,250
-
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
2010 2011 2012 2013* 2014
Ribu Unit
Realisasi Produksi Target Produksi
* s.d. triwulan III 2013
Sumber : Gaikindo
Grafik III.1.11. Produksi Mobil
-12.0
-10.0
-8.0
-6.0
-4.0
-2.0
0.0
2.0
4.0
6.0
1,750
1,800
1,850
1,900
1,950
2,000
2,050
I II III IV I II III IV
2012 2013
Ekspor Tekstil Pertumbuhan (skala kanan)
Juta USD (fob) % yoy
Grafik III.1.12. Perkembangan Ekspor Tekstil
Berdasarkan liaison ke industri elektronik, permintaan ekspor luar negeri maupun dalam negeri terhadap
produk elektronik cenderung meningkat meskipun terjadi kenaikan harga (Grafik III.1.13.). Electronic
Marketers Club (EMC) mengatakan bahwa sepanjang tahun 2013, produsen barang elektronik telah
menaikkan harga rata-rata 5-15% sebagai dampak pelemahan nilai tukar. Hal ini mengingat sekitar 50%
komponen barang elektronik berasal dari impor. Selain itu, produsen barang elektronik juga menghadapi
tekanan biaya produksi. Kinerja ekspor perusahaan elektronik cenderung membaik sejalan dengan
membaiknya perekonomian global. Berdasarkan informasi dari Gabungan Perusahaan Elektronik (Gabel),
pada keseluruhan tahun 2013, penjualan elektronik mencapai Rp38,5 triliun. Pertumbuhan penjualan
produk elektronik pada 2013 tersebut sebesar 11%, melambat dibandingkan dengan pertumbuhan di
2012 yang mencapai 18%. Pada 2014, pertumbuhan penjualan industri elektronik diprediksi mampu
mencapai 10%, meskipun diwarnai risiko berlanjutnya tekanan ekonomi makro, kenaikan Tarif Tenaga
Listrik (TTL) dan masalah upah tenaga kerja.
-20.0
-15.0
-10.0
-5.0
0.0
5.0
10.0
15.0
0
100
200
300
400
500
600
I II III IV I II III IV
2012 2013
Ekspor Produk Elektronik
Pertumbuhan (skala kanan)
Juta USD (fob) % yoy
Grafik III.1.13. Perkembangan Ekspor Elektronik
-30.0
-20.0
-10.0
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
0
50
100
150
200
250
300
350
I II III IV I II III IV
2012 2013
Ekspor Bahan Kima
Pertumbuhan (skala kanan)
Juta USD (fob) % yoy
Grafik III.1.14. Perkembangan Ekspor Bahan Kimia
L a p o r a n N u s a n t a r a | 75
Kinerja sub industri kimia Jabagbar terus membaik sebagaimana tercermin dari pertumbuhan ekspor
bahan kimia yang tumbuh 18,2% pada triwulan IV 2013 (Grafik III.1.14.). Berdasarkan hasil diskusi dengan
Asosiasi Industri Olefin, Aromatik & Plastik (Inaplas), potensi perkembangan industri kimia di Banten
pada umumnya memperhatikan perkembangan kinerja industri makanan minuman yang sebagian bahan
bakunya dipasok oleh industri kimia. Di sisi lain, permintaan negara-negara tujuan ekspor kimia
diperkirakan meningkat sehubungan dengan membaiknya perekonomian global.
Kinerja sektor industri pengolahan pada triwulan I 2014 diperkirakan meningkat yang didorong oleh
meningkatnya proyeksi kinerja subsektor utama seperti industri alat angkut, industri mesin dan
peralatannya, industri TPT dan industri makanan/minuman dan tembakau. Meningkatnya kinerja sektor
industri pengolahan juga terkait dengan peningkatan aktivitas kegiatan ekonomi terkait pelaksanaan
pemilu dan permintaan masyarakat terhadap mobil LCGC.
Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR)
Kinerja sektor PHR tumbuh sebesar 7,6% (yoy) pada triwulan IV 2013, meningkat dibandingkan
pertumbuhan di triwulan sebelumnya sebesar 7,0% (yoy). Hal ini terkait dengan tingginya kedatangan
wisatawan domestik maupun asing (terutama Malaysia/Singapura) (Grafik III.1.15.) dan pemesanan
kamar hotel di wilayah Jabagbar (Grafik III.1.16). Adanya perayaan hari besar keagamaan dan event
tahun baru turut mendukung kinerja sektor PHR. Berdasarkan informasi dari PHRI Jabar, pertumbuhan
hotel dan restoran tersebut juga didorong oleh penggunaan fasilitas Meeting, Insentive, Conferences and
Exhibitions (MICE) oleh kalangan pemerintah dan swasta.
Untuk triwulan I 2014 diperkirakan pertumbuhan akan kembali meningkat dibandingkan dengan triwulan
IV 2013. Peningkatan tersebut sejalan dengan kegiatan terkait pemilu yang akan diselenggarakan di
Jabagbar mengingat jumlah penduduknya terbesar di Indonesia mencapai angka 55 juta jiwa. Hal ini akan
menyebabkan caleg banyak melakukan kampanye dan kegiatan di Jabagbar dalam rangka meraih simpati
masyarakat. Kegiatan ini diperkirakan akan meningkatkan kinerja sektor PHR Jabagbar.
-10%
-5%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
-
10
20
30
40
50
60
I II III IV I II III IV
2012 2013
yoyRibu OrangHusein Sastranegara (LHS) Muarajati (RHS)
Total Pertumbuhan (kanan)
Sumber: BPS Jawa Barat
Grafik III.1.16. Kunjungan Wisatawan Ke Jawa Barat
50,50
40,38
46,05
30
35
40
45
50
55
60
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
% Hotel Bintang Hotel Non Bintang Total
Sumber: BPS Jawa Barat
Grafik III.1.17. Tingkat Hunian Hotel
Sektor Pertanian
Sektor pertanian tumbuh sebesar 8,6% (yoy) di triwulan IV 2013, meningkat dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya sebesar dari 4,8% (yoy). Bila dibandingkan dengan pertumbuhan tahun
sebelumnya, kinerja sektor pertanian pada triwulan IV 2013 juga tumbuh lebih baik. Hal ini seiring
L a p o r a n N u s a n t a r a | 76
dengan masih adanya panen padi (Grafik III.1.17.) dan mundurnya musim tanam pada triwulan laporan.
Dengan berlangsungnya masa tanam musim rendeng di wilayah III Cirebon, luas tanam pada bulan
Desember 2013 tercatat mencapai 120.269 Ha. Sementara itu, produksi beras tercatat sebesar 64.507
ton dan produktivitas tercatat sekitar 6,9 ton/Ha. Selain itu, kinerja produk hortikultura juga terindikasi
meningkat sebagaimana terlihat dari produksi cabe merah yang tumbuh cukup tinggi (Grafik III.1.18).
3.481,53.170,5
3.517,9
2.118,4
5,2%3,2% 2,4%
32,4%
-15%
-10%
-5%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
-
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
4.000
I II III IV I II III IV
2012 2013
YoYRibuan Produksi Padi Pertumbuhan yoy (kanan)
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Prov. Jabar
Grafik III.1.17. Produksi Padi Jawa Barat
71,0
96,691,5
59,6
8,3%
59,1%
86,4%
114,3%
-40%
-20%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
140%
-
20
40
60
80
100
120
I II III IV I II III IV
2012 2013
Ribuan Ton
Produksi Cabe Merah
Pertumbuhan yoy (kanan)
Sumber: BPS dan Perkiraan Bank Indonesia
Grafik III.1.18. Produksi Cabe Jawa Barat
Produksi sektor pertanian pada triwulan I 2014 diperkirakan akan melambat dibandingkan triwulan IV
2013 terutama didorong oleh hasil produksi tanaman pangan yang memasuki masa panen pada
triwulan I 2013. Namun pertumbuhan pada sektor pertanian tertahan oleh bencana banjir yang
melanda beberapa sentra produksi padi di Jawa Barat terutama Indramayu dan Karawang. Selain itu,
semakin luasnya fenomena alih fungsi lahan di daerah sentra produksi berpotensi akan menahan
kinerja sektor pertanian apabila tidak diimbangi dengan penggantian dengan lahan baru yang sesuai.
Meskipun demikian, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan provinsi dan kabupaten/kota telah
menerapkan program percepatan tanam, pengadaan traktor kepada kelompok-kelompok tani, serta
bantuan mesin pengering ke sentra produksi beras.
KETENAGAKERJAAN DAN KEMISKINAN
Di sektor tenaga kerja, jumlah penduduk bekerja di wilayah Jabagbar tercatat mengalami peningkatan
sebesar 124 ribu orang menjadi 23 juta pada Agustus 2013 dari tahun sebelumnya sebesar 22,9 juta
(Grafik III.1.19). Kenaikan jumlah penduduk bekerja di Jabagbar tersebut sejalan dengan laju
pertumbuhan ekonomi 2013 yang cukup tinggi mencapai 6,0%. Dengan perkiraan laju pertumbuhan
ekonomi pada tahun 2014 yang semakin tinggi, diprakirakan jumlah penduduk bekerja juga akan semakin
meningkat sejalan dengan pembukaan jumlah lapangan kerja baru serta wirausaha baru. Berdasarkan
sektornya, sektor perdagangan dan industri mampu menyerap jumlah tenaga kerja terbesar
dibandingkan sektor lainnya (Grafik III.1.20.). Di sisi lain, sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan
ekonomi serta jumlah penduduk bekerja, persentase jumlah penduduk miskin menunjukkan tren
penurunan. Persentase jumlah penduduk miskin sekitar 9,6% atau sekitar 4,3 juta orang. Kondisi ini
sedikit meningkat dibandingkan periode Maret 2013 terkait dengan shock kenaikan harga yang terjadi di
2013.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 77
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik III.1.19. Pekerja dan Pengangguran
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik III.1.20. Jumlah Pekerja Menurut Sektor
PERKEMBANGAN INFLASI
Laju tekanan inflasi wilayah Jabagbar pada triwulan IV 2013 melambat dibandingkan triwulan III 2013
menjadi 9,2% (yoy). Meredanya tekanan inflasi tersebut tidak terlepas dari respon kebijakan BI serta
koordinasi kebijakan yang erat dengan pemerintah, terutama melalui peran TPID dalam merespon
kenaikan beberapa harga komoditas pangan dan harga BBM bersubsidi. Tekanan inflasi pada triwulan IV
2013 dipengaruhi oleh kenaikan harga gas elpiji dan kenaikan berbagai komoditas pangan seiring dengan
meningkatnya permintaan akhir tahun. Dari sisi lokasi, kota Depok mengalami tingkat inflasi tertinggi di
Jawa Barat mencapai 10,97% (yoy) (Grafik III.1.21).
Secara komponen, inflasi kelompok volatile food mengalami tren penurunan, sedangkan inflasi kelompok
administered prices dan inflasi inti terindikasi masih belum mereda (Grafik III.I.22). Penurunan inflasi
kelompok volatile food dipengaruhi oleh melimpahnya pasokan dari sentra produksi seperti cabai merah,
bawang merah, daging ayam ras dan telur ayam ras. Kenaikan tarif listrik tahap keempat, kenaikan harga
gas elpiji 12 kg mendorong inflasi kelompok administered prices meningkat. Sementara itu, tekanan
eksternal yang menyebabkan peningkatan biaya produksi pada beberapa barang yang bahan bakunya
dari impor mulai terlihat dampak inflasinya. Kenaikan tarif udara pada akhir tahun juga mendorong
peningkatan inflasi inti.
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik III.1.21. Perkembangan Inflasi
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik III.1.22. Disagregasi Inflasi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 78
Inflasi triwulan I 2014 diperkirakan cenderung melambat. Tekanan inflasi bersumber dari komoditas
bahan bakar rumah tangga seiring dengan kenaikan harga elpiji 12 kg yang telah ditetapkan. Kenaikan
gas elpiji 12 kg akan mendorong kenaikan berbagai kelompok makanan jadi dan barang produksi industri
rumah tangga. Kenaikan gas elpiji 12 kg juga mendorong masyarakat dan usaha mikro beralih
menggunakan gas elpiji ukuran 3 kg. Akibatnya, permintaan gas elpiji 3 kg meningkat dan menyebabkan
terjadinya kelangkaan gas elpiji 3 kg di beberapa daerah. Selain karena tingginya permintaan, kelangkaan
gas elpiji disebabkan juga karena terhambatnya distribusi gas elpiji akibat bencana banjir dan distribusi
ke agen yang terlambat. Bencana banjir di berbagai daerah di Jawa Barat dan Banten berpotensi
mendorong inflasi Januari 2014. Banjir menghambat pasokan distribusi barang dari sentra produksi
menuju Jakarta, sebagai akibatnya terdapat potensi peningkatan inflasi di daerah penyangga Jakarta
mengingat pasokan pangan untuk daerah tersebut diperoleh dari Jakarta. Namun secara umum,
cadangan beras Bulog masih mencukupi untuk mengatasi dampak bencana banjir di Jabagbar.
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Berbagai upaya dilakukan untuk meredakan tekanan inflasi yang terjadi di wilayah Jabagbar baik secara
jangka pendek maupun jangka panjang, salah satunya melalui penyediaan sistem informasi harga
pangan strategis. Pada November 2013, Forum Pengendalian Inflasi (FKPI) Jawa Barat meluncurkan
portal informasi harga pangan strategis (www.priangan.org). Informasi yang tersedia dalam portal
tersebut dapat diakses melalu pesan SMS Gateway dengan sebaran data pangan di tingkat
kabupaten/kota di Jawa Barat. Selain Priangan, FKPI Jawa Barat juga sedang memberdayakan running
text papan informasi harga yang tersebar di 9 (sembilan) lokasi di Jawa Barat. TPID Banten juga sedang
mengupayakan papan informasi harga di Kota Tangerang. Guna mendukung Instruksi Mendagri
No.027/1696/SJ tanggal 2 April 2013 tentang Keterjangkauan Harga Barang dan Jasa di Daerah, FKPI
Jawa Barat berinisiatif memberikan konsultansi kepada Kabupaten/kota yang akan membentuk TPID
baik dalam bentuk sosialisasi, kunjungan kerja, maupun forum diskusi. Selain itu, dalam upaya
mendorong akselerasi terbentuknya TPID di Kabupaten/kota, telah disusun buku panduan
pembentukan TPID yang dapat digunakan sebagai acuan dalam proses pembentukan dan operasional
TPID di Jawa Barat dan Banten.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Kinerja sektor keuangan dari sisi perbankan di Jabagbar pada triwulan IV 2013 masih cukup kondusif. Hal
ini tercermin dari pertumbuhan kredit sebesar 13,4% (yoy) (Grafik III.I.23). Sementara itu secara
keseluruhan NPL masih berada dalam level rendah mencapai 2,3%. Secara sektoral, penyaluran kredit
terutama ke sektor PHR yang mencapai Rp 71,2 triliun atau tumbuh 37,9% (yoy) (Grafik III.1.24).
Meskipun demikian, NPL di sektor PHR mengalami penurunan dari 4,0% pada triwulan III 2013 menjadi
3,6% (yoy) di triwulan IV 2013. Sebaliknya pada periode yang sama, NPL di sektor pertanian justru
meningkat dari 4,9% menjadi 5,7%.
Meningkatnya kredit di sektor PHR didorong oleh perbaikan bisnis perdagangan, hotel dan restoran pada
akhir tahun. Peningkatan tingkat hunian hotel dan tingkat penjualan ritel yang melampaui target
mendorong perbaikan kredit di sektor ini. Sementara itu, kredit di sektor pertanian justru cenderung
L a p o r a n N u s a n t a r a | 79
mengalami penurunan pada periode tanam di akhir tahun. Petani lebih memilih untuk menggunakan
dana sendiri untuk kebutuhan masa tanam.
Pada awal triwulan I 2014, petani di sebagian wilayah pantai utara Provinsi Jawa Barat yang meliputi
daerah Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon menghadapi bencana banjir. Banjir tersebut
merendam area persawahan dan pemukiman. Dalam kaitan itu, terdapat potensi peningkatan kredit
bermasalah di sektor pertanian pada tahun 2014.
Grafik III.1.23. Penyaluran Kredit
Grafik III.1.24. Kredit Bank berdasarkan Sektor Ekonomi
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Sampai dengan triwulan IV 2013, kredit konsumsi di wilayah Jabagbar meningkat dibandingkan dengan
triwulan III 2013 dari Rp137,6 triliun menjadi Rp140,4 triliun (Grafik III.1.25). Kualitas kredit konsumsi
juga semakin membaik yang tercermin dari penurunan NPL dari 1,7% pada triwulan III 2013 menjadi 1,5%
pada triwulan IV 2013. Dari sisi penggunaannya, Kredit Pemilikan Rumah (KPR) mengalami peningkatan
dari Rp40,5 triliun di triwulan III 2013 menjadi Rp41,9 triliun di triwulan IV 2013. Kualitas KPR juga
membaik pada periode yang sama dari 3,3% menjadi 2,8%.
Grafik III.1.25. Kredit Konsumsi Rumah Tangga
Grafik III.1.26. Ketahanan Keuangan Konsumen
Berdasarkan hasil Survei Konsumen pada triwulan I 2014, diperoleh informasi bahwa perkiraan posisi
pinjaman untuk durasi 6 bulan mendatang diperkirakan akan membaik yang diperlihatkan oleh nilai
indeks yang masih berada pada kisaran di atas 150 (Grafik III.1.26). Hal ini sejalan dengan perbaikan
kualitas kredit konsumsi rumah tangga, khususnya dari KPR dan Multiguna. Sementara itu, rata-rata
pendapatan rumah tangga per bulan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan
untuk membayar cicilan mengindikasikan arah yang meningkat. Hal ini diperkirakan karena konsumen
L a p o r a n N u s a n t a r a | 80
memiliki ekspektasi membaiknya pendapatan mereka pada tahun 2014 dan adanya kenaikan gaji baik
pegawai negeri sipil maupun kenaikan gaji buruh yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Penyaluran kredit kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di wilayah Jabagbar pada triwulan IV 2013
meningkat dibandingkan triwulan III 2013 dari Rp77,2 triliun menjadi Rp81,4 triliun (Grafik III.1.27).
Namun secara tahunan melambat dari 21,6% (yoy) pada triwulan III 2013 menjadi 15,5% (yoy) pada
triwulan IV 2013. Pangsa kredit UMKM di Jabagbar mencapai 25,6% terhadap total kredit yang disalurkan
di Jabagbar, atau mengalami peningkatan dari triwulan sebelumnya sebesar 25,2%. Sementara itu,
kualitas kredit UMKM juga mengalami penurunan dari triwulan III 2013 sebesar 4,0% menjadi 3,9% pada
triwulan IV 2013 (Grafik III.1.28).
Grafik III.1.27. Penyaluran Kredit UMKM
Grafik III.1.28. Kualitas Kredit UMKM
Pada triwulan 2014, di wilayah Jabagbar akan diupayakan peningkatan kredit di sektor pertanian dan
industri pengolahan. Di sektor pertanian, pemerintah akan mendorong peningkatan produksi bawang
merah dan cabai merah serta produk pangan hortikulturan lainnya. Program tersebut disamping
mendapat bantuan dari pemerintah juga membutuhkan pendampingan perbankan baik dalam bentuk
kredit maupun pelatihan. Sementara itu, Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Industri TPT yang
telah diluncurkan oleh Kementerian Perindustrian sejak tahun 2007 dan Program Restrukturisasi
Mesin/Peralatan Industri Alas Kaki dan Penyamakan Kulit sejak tahun 2009 akan terus dijalankan pada
tahun 2014. Pemerintah menetapkan pagu anggaran sebesar Rp106,5 milyar pada tahun 2014 dan
diharapkan dapat memberikan dampak positif antara lain berupa:
1. Pembiayaan investasi dari pihak Perbankan dan industri Tekstil dan Produk Tekstil serta Industri Alas
Kaki dan Industri Penyamakan Kulit sebesar Rp1,065 Triliun (US$ 90,25 juta), dan
2. Penciptaan kesempatan kerja sebesar 8.000 orang untuk industri Tekstil dan Produk Tekstil serta
industri Alas Kaki dan Industri Penyamakan Kulit.
Kinerja Sistem Pembayaran
Kinerja sistem pembayaran non tunai pada triwulan IV 2013 cukup kondusif dalam mendukung transaksi
perekonomian. Penggunaan RTGS menunjukkan tren meningkat baik dari sisi nominal maupun volume
transaksi jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Grafik III.1.29). Kondisi sebaliknya terjadi pada
L a p o r a n N u s a n t a r a | 81
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) yang cenderung mengalami tren penurunan (Grafik
III.1.30).
Transaksi RTGS dari Jawa Barat lebih besar dibandingkan transaksi RTGS yang menuju ke Jawa Barat. Hal
ini mengindikasikan banyaknya aliran dana yang keluar dari Jawa Barat menuju ke daerah lain. Kondisi ini
dipengaruhi antara lain oleh semakin banyaknya penduduk Jawa Barat yang hanya tinggal untuk bekerja,
sementara keluarganya berada di daerah lain. Pada triwulan IV 2013, kliring tolakan cenderung
mengalami penurunan baik dari sisi nominal maupun lembar.
Ket: * Angka Sementara
Grafik III.1.29. Perkembangan Transaksi RTGS
Ket: * Angka Sementara
Grafik III.1.30. Perkembangan Transaksi Kliring
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Berdasarkan pola historisnya, peredaran uang kartal di Jabagbar pada triwulan IV 2013 ditandai dengan
aliran masuk (inflow) uang kartal yang lebih besar dibandingkan aliran keluar (outflow) dari Bank
Indonesia. Tercatat pada triwulan ini, inflow mencapai Rp16,29 triliun sementara outflow sebesar Rp9,32
triliun (Grafik III.1.31). Realisasi inflow dan outflow pada triwulan IV 2013 tersebut lebih besar
dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya sehingga cukup memadai dalam mendukung
transaksi perekonomian sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat. Pada triwulan IV 2013
perkembangan uang palsu yang ditemukan oleh Bank Indonesia Wilayah VI cenderung menurun
mencapai 5.858 lembar (Grafik III.1.32).
Grafik III.1.31. Perkembangan Inflow-Outflow
Grafik III.1.32. Perkembangan UPAL
L a p o r a n N u s a n t a r a | 82
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Jabagbar pada tahun 2014 diperkirakan meningkat secara moderat di kisaran
6,1% - 6,5% (yoy) dengan perkiraan hampir seluruh komponen permintaan meningkat kecuali investasi
(Tabel III.1.2). Dari sisi permintaan, konsumsi rumah tangga diperkirakan meningkat yang dipengaruhi
oleh peningkatan pendapatan serta prospek melemahnya tekanan inflasi yang dapat meningkatkan daya
beli masyarakat. Perkiraan kinerja permintaan domestik pada tahun 2014 berdasarkan hasil quick survey
menunjukkan bahwa sekitar 58% responden berekspektasi permintaan domestik akan meningkat. Di sisi
lain, investasi diperkirakan cenderung tertahan terkait dengan Pemilu 2014. Berdasarkan hasil diskusi
dengan BKPPMD Jawa Barat, pelaku usaha diperkirakan akan sedikit menahan investasinya hingga
pemerintahan yang baru telah terpilih. Hasil liaison menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku usaha
cenderung menahan investasi di tahun 2014 dan memilih bersikap wait and see untuk investasi yang
bersifat ekspansif.
Ekspor diprediksi tumbuh stabil pada 2014 seiring dengan pemulihan ekonomi global (Grafik III.1.33),
meskipun masih terdapat risiko dari tekanan nilai tukar yang dapat berimbas pada kinerja eksportir
dengan kandungan impor tinggi. Dari hasil quick survey, sekitar 70% responden memperkirakan kondisi
ekspor stabil namun dengan kecenderungan meningkat. Di sisi lain, perkembangan impor tergantung
pada level pertumbuhan kinerja industri pengolahan serta perkembangan konsumsi. Mempertimbangkan
poin-poin sebelumnya, impor diperkirakan cenderung meningkat terutama untuk kebutuhan bahan baku
(90% impor Jabar merupakan bahan baku).
10%
70%
20%
Ekspor
Naik Stabil Turun
Sumber: Quick Survey Prospek Sektor Ekonomi Utama Jawa Bagian Barat
Grafik III.1.33. Perkiraan Permintaan Ekspor Tahun 2014
Prospek Inflasi
Inflasi Jabagbar pada tahun 2014 diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan inflasi tahun 2013.
Risiko inflasi pada 2014 dipengaruhi oleh faktor bencana banjir, kenaikan harga gas elpiji, kenaikan tarif
listrik untuk industri, dan tekanan dari sisi eksternal. Periode musiman inflasi seperti hari raya
keagamaan, libur sekolah dan tahun ajaran juga masih akan menjadi faktor risiko inflasi pada tahun 2014.
Sementara itu, faktor penahan inflasi diperkirakan berasal dari membaiknya ekspektasi positif
masyarakat terhadap dinamika harga di 2014, ketersediaan stok komoditas pangan, kebijakan impor, dan
respons terhadap dampak bencana yang cukup efektif. Pada tahun 2014, Pemerintah Daerah juga fokus
pada upaya peningkatan produksi pangan yang pokok (beras dan kedelai) serta hortikultura (cabai merah
dan bawang merah). Sejumlah langkah strategis yang akan dilaksanakan adalah peningkatan luas areal
L a p o r a n N u s a n t a r a | 83
tanam dengan pencetakan lahan sawah baru, bantuan benih pupuk, dan peralatan pertanian, serta
pendampingan melalui Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu. Proyeksi inflasi Jabagbar untuk
keseluruhan tahun 2014 diprakirakan berada pada rentang 4,7-5,1% (yoy).
Tabel III.1.2. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
2014
I II III IV Total Totalp
PDRB (%,yoy) 6.5 6.2 6.0 6.1 5.7 6.2 6.0 6.1 - 6.5
Sisi Permintaan
Konsumsi 5.8 4.3 4.3 3.8 4.7 4.9 4.4 5.0 - 5.5
Konsumsi swasta 5.7 4.6 4.4 4.5 4.1 4.1 4.3 4.5 - 4.9
Konsumsi Pemerintah 6.8 0.7 2.9 (3.2) 11.2 13.4 6.5 12.1 - 12.5
Pembentukan Modal Tetap Bruto 9.5 10.1 10.4 9.7 7.6 5.9 8.4 6.1 - 6.5
Ekspor 9.0 6.0 9.1 8.7 10.6 12.4 10.2 13.0 - 13.4
Impor 12.8 8.8 13.9 10.8 15.7 14.6 13.8 14.7 - 15.2
Sisi Produksi
Sektor pertanian 0.3 0.0 2.7 1.3 4.6 8.6 4.1 3.0 - 3.4
Sektor pertambangan & penggalian (4.9) (7.0) 4.6 (7.2) (2.0) 2.8 (0.6) 2.6 - 3.0
Industri pengolahan 5.8 3.7 4.8 5.5 4.9 4.7 5.0 5.1 - 5.5
Listrik, gas & air bersih 2.4 7.4 5.4 5.7 6.1 7.2 6.1 5.3 - 5.7
Bangunan 13.3 12.9 9.9 10.2 7.2 7.3 8.6 6.9 - 7.3
Perdagangan, hotel & restoran 8.4 11.5 7.1 9.1 6.9 7.6 7.6 8.0 - 8.4
Pengangkutan & komunikasi 13.7 11.5 11.5 10.5 7.8 6.7 9.0 9.0 - 9.4
Keuangan, persewaan dan jasa perush. 12.0 9.7 9.6 8.3 7.8 8.0 8.4 8.0 - 8.4
Jasa-jasa 7.9 8.2 7.7 4.0 6.0 5.9 5.9 6.7 - 7.2
Sumber: Badan Pusat Statis tik, diolahp proyeks i Bank Indones ia
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Wilayah2011 2012
2013
L a p o r a n N u s a n t a r a | 84
Bagian III.2 Perekonomian Jawa Bagian Tengah
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian wilayah Jawa Bagian Tengah (Jabagteng) tumbuh melambat signifikan pada triwulan IV
2013 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Jabagteng tumbuh melambat dari 6,0% (yoy) menjadi
5,4% (yoy). Baik Provinsi Jawa Tengah maupun DI Yogyakarta tumbuh melambat, dengan perlambatan
yang signifikan terjadi di DI Yogyakarta dari 6,5% (yoy) menjadi 4,3% (yoy). Faktor pendorong
perlambatan ekonomi Jabagteng pada triwulan IV 2013 adalah melemahnya konsumsi rumah tangga.
Untuk keseluruhan tahun 2013, perekonomian wilayah Jabagteng tumbuh melambat dibanding capaian
tahun sebelumnya. Jabagteng pada tahun 2013 tumbuh 5,8% (yoy), melambat dibanding tahun 2012
yang tumbuh 6,2% (yoy). Pertumbuhan ekspor yang cenderung melemah dan perlambatan investasi
sepanjang tahun 2013 menjadi sumber perlambatan ekonomi di wilayah ini. Di sisi lain, impor mengalami
kenaikan khususnya barang konsumsi dan bahan baku yang digunakan industri pengolahan. Naiknya
impor konsumsi sejalan dengan masih kuatnya konsumsi rumah tangga. Konsumsi swasta nirlaba juga
naik bila dibandingkan tahun sebelumnya. Pemilu 2014 meningkatkan konsumsi swasta nirlaba mulai
triwulan III 2013. Di sisi lain, investasi melambat meski masih tumbuh tinggi. Masih tingginya
pertumbuhan investasi didukung oleh swasta yang meningkatkan kapasitas produksinya. Dilihat dari
sektornya, melambatnya ekonomi Jabagteng utamanya didorong dari melemanya sektor perdagangan,
hotel, dan restoran serta sektor pertanian.
Perkembangan berbagai indikator ekonomi terakhir mengindikasikan ekonomi wilayah Jabagteng
tumbuh stabil pada triwulan I 2014. Tetap terjaganya pertumbuhan ekonomi didukung oleh optimisme
pelaku usaha dalam memandang kegiatan usaha. Optimisme pelaku usaha juga didasari menguatnya
kepercayaan konsumen dalam memandang perekonomian di tahun 2014. Investasi dan konsumsi
diperkirakan naik pada triwulan I 2014. Ekspor diperkirakan masih tumbuh tinggi namun dibarengi
dengan naiknya impor. Membaiknya perekonomian negara tujuan utama ekspor menjadi penopang
pertumbuhan ekspor. Secara sektoral perbaikan Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran diperkirakan
menjadi pendorong perekonomian Jabagteng triwulan I 2014. Secara keseluruhan, pertumbuhan
ekonomi wilayah Jabagteng pada 2014 diperkirakan mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2013.
Adapun faktor pendukung pertumbuhan ekonomi diperkirakan bersumber dari peningkatan ekspor dan
kuatnya konsumsi.
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga tumbuh melambat pada triwulan IV 2013 dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan IV 2013 sebesar 5,0% (yoy) atau 0,3%
(yoy) lebih rendah dibandingkan dengan triwulan III 2013. Melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah
tangga Jabagteng pada triwulan IV 2013 tercermin oleh indeks penjualan eceran yang menurun (Grafik
III.2.2) dan penyaluran kredit konsumsi yang melambat signifikan (III.2.3). Peningkatan harga barang
pasca kenaikan harga BBM bersubsidi menjadi faktor yang menahan laju konsumsi. Secara keseluruhan
konsumsi rumah tangga tahun 2013 tumbuh stabil dibanding tahun sebelumnya. Secara keseluruhan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 85
tahun 2013, konsumsi rumah tangga tumbuh 5,1% (yoy) atau sama dengan capaian pertumbuhan pada
tahun 2012. Secara spasial, konsumsi rumah tangga di Provinsi Jawa tengah naik menjadi 5,1% (yoy),
namun konsumsi rumah tangga Provinsi DI Yogyakarta melambat secara signifikan, yakni dari 6,7% (yoy)
menjadi 5,8% (yoy). Hal ini sejalan dengan keyakinan konsumen terhadap kondisi perekonomian di
Provinsi DI Yogyakarta yang dalam tren menurun.
Perkembangan terakhir mengindikasikan konsumsi rumah tangga cenderung tumbuh menguat pada
triwulan I 2014. Hal ini antara lain terindikasi dari beberapa hasil survei terakhir seperti Survei Penjualan
Eceran dan hasil liaison pada beberapa pelaku usaha perdagangan besar dan eceran (Grafik III.2.2). Hasil
SPE mengindikasikan penjualan eceran pada triwulan I 2014 diperkirakan tetap tinggi. Likert scale
ekspektasi penjualan pedagang besar dan eceran juga menunjukkan peningkatan. Survei Konsumen di
beberapa kota besar di Jabagteng memperlihatkan keyakinan konsumen cenderung menguat, baik
kondisi saat ini maupun ekspektasi ke depan (Grafik III.2.1). Hal-hal yang perlu menjadi perhatian adalah
bencana banjir yang terjadi di Jawa Tengah pada awal tahun 2014 yang berpotensi menahan konsumsi
rumah tangga.
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah tumbuh 7,7% (yoy) pada triwulan IV 2013, melambat dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya 8,0% (yoy). Pola realisasi belanja tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan
historisnya. Realisasi belanja terbesar terjadi pada triwulan akhir yang terkonfirmasi dari pola penarikan
giro pemerintah di bank (Grafik III.2.4). Secara keseluruhan tahun 2013, konsumsi pemerintah naik
dibanding tahun 2012. Konsumsi pemerintah tumbuh mencapai 5,5% (yoy) setelah sebelumnya di tahun
2012 tumbuh 4,8% (yoy). Realisasi belanja daerah berdasarkan estimasi realisasi belanja daerah secara
agregat (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) Desember 2013 di atas 90%, atau lebih tinggi dibanding realisasi
tahun 2012 87,6%.
Sesuai dengan pola musiman pada awal tahun, konsumsi pemerintah turun dibandingkan dengan
triwulan IV. Namun diperkirakan pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan I 2014 diperkirakan
lebih baik dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal ini terkait dengan rencana
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang segera merealisasikan anggaran belanja daerah untuk
penanggulangan banjir yang terjadi di awal tahun.
Grafik III.2.1 Indeks Keyakinan Konsumen
Grafik III.2.2 Indeks Penjualan Eceran serta Likert Scale Perdagangan Besar dan Eceran
L a p o r a n N u s a n t a r a | 86
Grafik III.2.3 Penyaluran Kredit Konsumsi
Grafik III.2.4 Giro Pemerintah di Perbankan
Investasi
Investasi pada triwulan IV 2013 naik dan tumbuh pada level yang tinggi. Investasi naik dari 8,1% (yoy)
menjadi 8,5% (yoy). Kenaikan investasi tersebut dalam bentuk non bangunan dan bangunan. Pada
investasi non bangunan, terdapat sejumlah investasi untuk peningkatan kapasitas produksi pada industri
pengolahan. Adanya pembangunan pabrik serta kelanjutan proyek infrastruktur turut mendorong
investasi bangunan. Realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) di Jabagteng baik secara jumlah proyek
maupun realisasi investasi naik. Sejalan dengan kenaikan impor barang modal pada triwulan IV 2013
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Penyaluran kredit investasi juga naik dibandingkan dengan
periode sebelumnya (dari 41,72% menjadi 57.15%). Sementara itu realisasi Penanaman Modal Dalam
Negeri turun secara realisasi nilai, meski secara jumlah proyek tetap mengalami kenaikan. Dari hasil
liaison yang dilakukan di wilayah Jabagteng, investasi pada triwulan IV 2013 secara umum masih
meningkat. Pada keseluruhan tahun 2013 investasi tetap dapat tumbuh tinggi meski sedikit melambat
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini sejalan dengan kinerja sektor bangunan yang tumbuh
tinggi.
Survei pada pelaku usaha mengindikasikan investasi cenderung tumbuh menguat pada triwulan I 2014.
Industri pengolahan tekstil dan kimia berencana untuk membeli mesin dan melakukan pembangunan
pabrik baru di tahun 2014. Kredit investasi diperkirakan masih tumbuh setidaknya sama seperti periode
sebelumnya. Beberapa perusahaan besar di Jawa memiliki sumber pembiayaan lain dari yang diperoleh
dari pasar modal.
Grafik III.2.5 Impor Barang Modal Jabagteng
Grafik III.2.6 Penyaluran Kredit Investasi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 87
Sumber: Badan Penanaman Modal
Grafik III.2.7 Realisasi Penanaman Modal Asing (PMA)
Sumber: Badan Penanaman Modal
Grafik III.2.8 Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Ekspor luar negeri Jabagteng pada triwulan IV 2013 tumbuh melambat. Ekspor ke USA melambat,
sementara ekspor ke Jepang dan Eropa masih meningkat. Dilihat dari komoditasnya, Tekstil dan Produk
Tekstil (TPT) serta barang dari kayu (furniture) tumbuh melambat. Pada produk TPT, komoditas pakaian
jadi tumbuh melambat. Namun di sisi lain, komoditas benang dan kain tetap mengalami kenaikan.
Meskipun demikian, pada keseluruhan tahun 2013 ekspor luar negeri tercatat mengalami peningkatan.
Hal ini didukung oleh masih kuatnya ekspor komoditas unggulan Jabagteng, yakni TPT dan barang dari
kayu. Produk TPT Jabagteng memiliki daya saing dari sisi kualitas, sehingga permintaan pasar terhadap
produk TPT tersebut masih cukup tinggi.
Pada triwulan I 2014 diperkirakan ekspor luar negeri mengalami kenaikan, seeiring dengan pemulihan
perekonomian dunia. Perkiraan IMF yang dirilid di World Economy Outlook edisi Oktober 2013
memperkirakan ekonomi negara maju membaik di tahun 2014. Demikian pula, Consensus Forecast di
bulan Desember memperkirakan hal yang sama. Hal ini akan mendukung ekspor produk TPT Jabagteng
ke negara maju. Berdasarkan survei yang dilakukan pada pelaku usaha di Jabagteng, lebih dari 50%
menjawab nilai ekspor luar negeri akan naik terutama dari produk TPT dan barang dari kayu. Daya saing
komoditas benang Jabagteng juga cukup kuat terkait kenaikan harga produk pesaing dari Cina sebagai
akibat meningkatnya biaya tenaga kerja. Diperkirakan negara lain yang biasa menggunakan produk
benang dari Cina akan beralih ke Indonesia.
Impor
Impor luar negeri tumbuh melambat, baik secara nilai maupun volume pada triwulan IV 2013.
Perlambatan impor terutama pada barang konsumsi dan bahan baku. Melambatnya impor barang
konsumsi terjadi pada kelompok bahan makanan yang dikonsumsi rumah tangga dan barang yang tidak
tahan lama. Namun, impor barang modal sebagai indikator investasi non bangunan masih menunjukkan
peningkatan. Secara keseluruhan tahun 2013, impor luar negeri mengalami kenaikan. Kenaikan impor
tersebut sejalan dengan tingginya pertumbuhan investasi dan aktivitas produksi di industri pengolahan.
Komoditas yang tercatat naik diantaranya produk serat tekstil, benang dan kain sebagai input industri
TPT. Selain itu, mesin industri juga tercatat mengalami kenaikan yang signifikan. Pada triwulan I 2014,
L a p o r a n N u s a n t a r a | 88
diperkirakan impor masih naik sejalan dengan menguatnya investasi. Kenaikan impor diperkirakan tetap
pada bahan baku dan barang modal. Sementara impor barang konsumsi diperkirakan stabil.
Grafik III.2.9. Perkembangan Ekspor dan Impor
Grafik III.2.10. Pertumbuhan Tahunan Ekspor dan Impor
Grafik III.2.11. Pertumbuhan Tahunan Ekspor Komoditas Unggulan
Grafik III.2.12. Pertumbuhan Tahunan Impor berdasar BEC
Perdagangan Antar Daerah
Ekspor produk Jabagteng ke daerah lain pada triwulan IV 2013 mengalami kenaikan dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya. Hal ini tercermin dari kenaikan produksi pada industri pengolahan di
tengah melambatnya ekspor luar negeri. Sementara untuk keseluruhan 2013, kinerja perdagangan antar
daerah cenderung melambat yang terindikasi dari penurunan produksi hasil pertanian dimana sebagian
besar dikonsumsi domestik selain itu kinerja produksi industri pengolahan juga menurun pada tahun
2013.
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertanian
Pertumbuhan sektor pertanian Jabagteng pada triwulan IV 2013 melambat dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Sektor pertanian tumbuh sebesar 1,6% (yoy), setelah sebelumnya tumbuh 3,4%
(yoy) pada triwulan III 2013. Likert scale penjualan sektor pertanian dan persepsi pelaku usaha pertanian
dalam Survei Kegiatan Dunia Usaha menunjukkan tren penurunan khususnya pada subsektor tanaman
bahan makanan (tabama). Berdasarkan Dinas Pertanian, perkiraan luas panen dan produksi padi di
L a p o r a n N u s a n t a r a | 89
triwulan IV lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya karena memasuki masa tanam. Produksi padi
triwulan IV diperkirakan sebesar 1,022 juta ton gabah kering giling (gkg) atau tumbuh 14,70% (yoy),
melambat dibanding triwulan III 23,76% (yoy). Hal ini menunjukkan produksi di triwulan IV 2013 lebih
rendah dibanding triwulan yang sama tahun sebelumnya. Kondisi ketidakpastian cuaca menyebabkan
produktivitas menurun.
Secara keseluruhan tahun 2013, sektor pertanian Jabagteng melambat. Perlambatan terjadi pada
subsektor tabama dan perikanan, sementara subsektor lain masih menguat. Perlambatan subsektor
tabama tercermin pada perlambatan pertumbuhan tahunan produksi padi berdasar ARAM II, dari 9,10%
(yoy) di tahun 2012 menjadi 0,28% (yoy) di 2013. Sementara itu, subsektor perkebunan tumbuh stabil.
Hal yang menahan pertumbuhan subsektor perkebunan adalah pergeseran musim tanam yang
mempengaruhi produksi beberapa hasil perkebunan, diantaranya gula dan kopi.
Sementara itu pada triwulan I 2014, sektor pertanian diperkirakan juga sedikit melambat. Banjir yang
cukup parah sejak bulan Januari 2014, membuat panen akan bergeser di bulan April dan Mei, sehingga
diperkirakan kinerja sektor pertanian akan membaik pada triwulan II 2014. Lahan padi yang tergenang
banjir pada awal Februari tercatat 46.473 ha, dan 25.161 ha diantaranya puso. Pemerintah daerah telah
menyediakan bantuan benih bagi petani yang terkena puso.
Sumber: Dinas Pertanian, diolah
Grafik III.2.13 Luas Tanam dan Luas Panen Padi
Sumber: Badan Pusat Statistik
Grafik III.2.14 Luas Panen dan Produksi Padi
Grafik III.2.15 Kegiatan Dunia Usaha dan Situasi Bisnis Perusahaan Sektor Pertanian
Grafik III.2.16. Pertumbuhan Tahunan Kredit yang Disalurkan pada Sektor Pertanian
L a p o r a n N u s a n t a r a | 90
Sektor Industri Pengolahan
Sektor industri pengolahan naik signifikan pada triwulan IV 2013. Industri pengolahan tumbuh mencapai
7,2% (yoy) pada triwulan IV 2013, naik tajam dibandingkan dengan triwulan III 2013 yang tumbuh 5,1%
(yoy). Hal ini terkonfirmasi dari peningkatan likert scale penjualan sektor industri pengolahan dan
kenaikan margin per unit. Pertumbuhan pada sektor industri pengolahan terutama ditopang oleh industri
pengolahan migas yang naik tajam untuk mengejar target produksi di tahun 2014. Impor minyak mentah
sebagai input pada industri migas mengalami kenaikan tajam di bulan Desember 2013. Meningkatnya
pertumbuhan sektor industri juga terindikasi pada produksi subsektor pengolahan makanan, minuman,
dan tembakau yang sebagian besar diarahkan ke pasar domestik. Di sisi lain, produksi industri
pengolahan Tekstil dan Hasil Pengolahan Tekstil (TPT) melambat, sejalan dengan perlambatan ekspor.
Kinerja industri pengolahan kayu juga sedikit melambat di triwulan IV 2013.
Industri pengolahan pada keseluruhan tahun 2013 mengalami kenaikan signifikan. Sektor industri
pengolahan tumbuh 6,0% (yoy), meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan
sebelumnya sebesar 5,1% (yoy). Kenaikan terjadi pada industri pengolahan nonmigas. Industri
pengolahan tekstil, barang kulit, dan alas kaki serta industri barang kayu dan hasil hutan lainnya naik
tajam pada tahun 2013. Meskipun terdapat perlambatan ekspor pada industri kayu olahan ke negara
maju (Amerika Serikat), pengusaha furniture telah melakukan diversifikasi ke pasar Eropa dan Cina serta
ke beberapa pasar baru yang potensial seperti India, Korea Selatan maupun Taiwan dan China. Industri
pengolahan makanan, minuman, dan tembakau juga naik meski tidak setinggi industri tekstil.
Pada triwulan I 2014, industri pengolahan diperkirakan tetap tumbuh pada level tinggi meski melambat
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Meningkatnya volume perdagangan dunia di tahun 2014
cukup signifikan dibandingkan dengan tahun 2013. Selain itu, faktor lain yang dapat meningkatkan
kinerja industri pengolahan pada periode berjalan adalah adanya penambahan kapasitas dari investasi
yang telah dilakukan pada tahun sebelumnya yang naik cukup tajam, khsususnya pada industri TPT.
Sementara itu faktor yang dapat menurunkan kinerja industri pengolahan diantaranya kenaikan TTL.
Grafik III.2. 17 Likert Scale Margin Per Unit
Sumber: Badan Pusat Statistik
Grafik III.2.18 Impor Migas
L a p o r a n N u s a n t a r a | 91
Grafik III.2.19. Situasi Bisnis Perusahaan
Grafik III.2.20. Pertumbuhan Tahunan Ekspor Benang Tenun dan Kain Tekstil vs Impor Serat
Tekstil
Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran
Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) pada triwulan IV 2013 melambat, sejalan dengan
melambatnya konsumsi rumah tangga. Dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) tercermin situasi
bisnis perusahaan pada triwulan IV 2013 yang lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Survei pedagang eceran dan likert scale sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran juga mengkonfirmasi
adanya perlambatan. Sejalan dengan ini, secara kumulatif pada tahun 2013 sektor ini tumbuh melambat
dibanding tahun 2012. Perlambatan sektor tersebut terjadi baik di Provinsi Jawa Tengah maupun DI
Yogyakarta.
Kinerja sektor PHR diperkirakan naik di triwulan I 2014. Beberapa prompt indicator yang mendukung
diantaranya (i) ekspektasi penjualan pedagang eceran, (ii) ekspektasi situasi bisnis perusahaan pelaku
usaha PHR, dan (iii) ekspektasi konsumen dalam memandang perekonomian ke depan. Berdasarkan
informasi dari pelaku usaha, terdapat indikasi konsumen menahan pembelian di triwulan IV 2013 dan
akan merealisasikan pembelian di triwulan I 2014. Penyelenggaraan Pemilu tahun 2014, diperkirakan
turut meningkatkan ekspektasi pelaku usaha dan konsumen di Jabagteng. Di sisi lain, banjir yang
melanda Provinsi Jawa Tengah khususnya di bagian utara yang sempat memutuskan jalur Pantura Jawa
berisiko menurunkan kinerja sektor PHR khususnya subsektor perdagangan besar dan eceran.
Grafik III.2.21. Situasi Bisnis Pelaku Usaha
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)
Grafik III.2.22. Perkembangan Hotel
L a p o r a n N u s a n t a r a | 92
KETENAGAKERJAAN DAN KEMISKINAN
Penyerapan tenaga kerja sedikit menurun di akhir Agustus 2013. Kondisi tersebut tercermin dari
kenaikan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), yang sejalan dengan melambatnya perekonomian. Dari
sisi penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian, sektor perdagangan, dan sektor industri menyerap tenaga
kerja terbesar. Penyerapan tenaga kerja mengalami penurunan di sektor industri, sektor konstruksi, dan
sektor perdagangan. Sementara dilihat dari status pekerjaan, penurunan terjadi pada status : (i) pekerja
bebas, (ii) berusaha dibantu buruh tetap, serta (iii) buruh atau karyawan.
Di sisi lain, data kemiskinan yang dirilis BPS menunjukkan adanya tren penurunan jumlah penduduk
miskin. Penduduk miskin Jabagteng menurun sebesar 0,59%. Penurunan ini terutama terjadi di daerah
perkotaan. Dibandingkan dengan total jumlah penduduk, persentase penduduk miskin juga dalam arah
menurun. Persentase penduduk miskin menurun dari 14,56% menjadi 14,44%. Penurunan ini hanya
terjadi di daerah perkotaan saja. Fenomena dimana penurunan penduduk miskin hanya terjadi di daerah
perkotaan tidak terlepas dari tingginya kenaikan garis kemiskinan di daerah pedesaan. Pada September
2013, garis kemiskinan meningkat dari Rp244.161/orang di Maret 2013 menjadi Rp261.881/orang.
Peningkatan garis kemiskinan daerah pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perkotaan.
Pertumbuhan garis kemiskinan daerah pedesaan sebesar 9%, sedangkan di daerah perkotaan tumbuh
5,34% pada periode yang sama.
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik III.2.23. Jumlah Penduduk Miskin
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik III.2.24. Garis Kemiskinan dan Persentase Penduduk Miskin
PERKEMBANGAN INFLASI
Inflasi triwulan IV 2013 sebesar 7,88% (yoy) sedikit meningkat dibandingkan dengan inflasi pada triwulan
sebelumnya sebesar 7,71% (yoy). Secara spasial, peningkatan inflasi terutama terjadi di Provinsi Jawa
Tengah, yaitu dari 7,72% menjadi 7,99% (yoy). Sementara di Provinsi DI Yogyakarta, inflasi menurun dari
7,60% menjadi 7,32% (yoy), sejalan dengan melambatnya perekonomian di provinsi tersebut. Kenaikan
inflasi terutama terjadi pada inflasi administered prices dari level 11,49% pada triwulan III 2013 menjadi
12,63% (yoy). Inflasi inti relatif stabil pada triwulan IV 2013 sebesar 4,39% (yoy). Sementara inflasi
kelompok volatile food masih tetap tinggi meski tidak sebesar periode sebelumnya. Faktor-faktor yang
memengaruhi hal tersebut adalah terjaganya pasokan bahan pangan. Komoditas bawang merah
memasuki masa puncak panen di sentra produksi Brebes pada November 2013. Peningkatan pasokan
komoditas ini cukup signifikan dalam meredam kenaikan harga seiring dengan keterbatasan pasokan
komoditas hortikultura lain seperti cabe merah, cabe rawit dan beberapa komoditas sayuran. Sementara
L a p o r a n N u s a n t a r a | 93
itu, stok beras Bulog yang mencukupi, berkontribusi terhadap kestabilan harga beras. Puso/gagal panen
di lahan pertanian padi sebagai pengaruh banjir pada periode akhir bulan Desember 2013 tidak
memberikan dampak yang signifikan. Dampak pelemahan nilai tukar secara umum tidak signifikan
sejalan dengan upaya dimana pengusaha tidak mem-pass trough pelemahan nilai tukar pada kenaikan
harga. Kondisi ini dikonfirmasi dari hasil liaison yang menyatakan kondisi tersebut.
Pada triwulan I 2014, inflasi diperkirakan sedikit turun namun masih berada di level yang cukup tinggi.
Inflasi pada triwulan I 2014 diperkirakan sebesar 7,01% (yoy) dengan mempertimbangkan capaian inflasi
pada Januari 2014 sebesar 1,01% (mtm) atau jauh lebih tinggi dari rata-rata lima tahun terakhir. Faktor
pendorong inflasi Januari 2014 diantaranya : (i) gangguan distribusi akibat banjir, (ii) penyesuaian upah,
(iii) kenaikan harga elpiji 12 kg. Komoditas penyumbang inflasi utama adalah upah tukang bukan mandor,
bahan bakar rumah tangga, beras, telur ayam ras, dan cabae merah. Upaya mengatasi hambatan
distribusi beras telah ditempuh Bulog dengan relokasi (pengalihan) stok beras bulog ke Depo/gudang
Bulog di wilayah Divre Jateng yang tidak terdampak banjir. Banjir berdampak minim pada produksi padi,
meskipun diperkirakan musim panen akan bergeser ke bulan April 2014. Elpiji tetap memberikan
sumbangan inflasi yang cukup besar meski sudah dilakukan penyesuaian harga kembali. Pada kelompok
inflasi inti, tekanan inflasi lebih didorong oleh naiknya ekspektasi masyarakat.
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik III.2.25. Perkembangan Inflasi
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik III.2.26. Disagregasi Inflasi Jawa Bagian Tengah
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Penguatan koordinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Jabagteng dilakukan semakin intensif. Telah
terbentuk TPID Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. TPID kabupaten/kota juga telah tersebar di 25
kabupaten/kota di Jawa Tengah dan 5 kabupaten/kota di DI Yogyakarta. Direncanakan akan dibentuk
TPID di 10 kabupaten/kota Jawa Tengah. Ke depan koordinasi antar TPID kabupaten/kota Jabagteng
merupakan agenda utama di tahun 2014.
Koordinasi telah dilakukan pasca banjir, beberapa hal yang akan dilakukan dan telah dilakukan
menganggulangi dampak banjir khususnya terkait ketersediaan barang (i) Bulog dan Dinas Pertanian
Provinsi Jawa Tengah telah berkoordinasi untuk penyiapan bibit baru untuk pengganti bibit yang
hanyut/rusak akibat banjir (re-planting), (ii) Bulog melakukan relokasi (pengalihan) stok beras bulog ke
Depo/gudang Bulog di wilayah Divre Jateng yang tidak terdampak banjir, (iii) pendataan lahan yang
terkena dampak banjir, dan (iv) perbaikan jalan rusak. TPID Provinsi Jawa Tengah juga melakukan
kunjungan ke TPID Kab Kudus sebagai daerah yang terkena dampak banjir yang cukup parah. Kunjungan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 94
ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi secara langsung permasalahan yang dihadapi daerah tersebut
dan kemudian menindaklanjuti dengan memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Provinsi.
Dalam rangka stabilisasi harga, TPID Provinsi Jawa Tengah akan melakukan penyempurnaan website
(laman) Sistem Informasi Harga Panan Strategis (SIHATI). Selain itu, SIHATI akan dikoneksikan dengan
data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) kab/kota di Jawa Tengah. Dalam waktu dekat akan
dilakukan pula dengan laman PIHPS Solo. Kerjasama antar daerah juga akan menjadi prioritas utama di di
tahun 2014 melalui penguatan data neraca pangan daerah.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Penyaluran kredit perbankan pada triwulan IV 2013 masih tumbuh meski melambat dibanding triwulan
sebelumnya. Pertumbuhan kredit yang melambat, sejalan dengan kenaikan suku bunga dan melemahnya
perekonomian domestik. Kredit di Jabagteng masih tumbuh cukup tinggi yaitu pada kisaran 17%. Kualitas
penyaluran kredit yang ditunjukkan oleh NPL gross tercatat masih baik dengan angka tetap di bawah 5%
dan berada pada tren menurun. Apabila dilihat berdasarkan jenisnya, pertumbuhan kredit investasi
masih tetap dalam tren meningkat. Sementara kredit modal kerja dan konsumsi cenderung melambat.
Kualitas penyaluran kredit berdasarkan penggunaan di bawah 5% dalam tren menurun. Pada triwulan
berjalan, pertumbuhan kredit diperkirakan masih relatif tinggi pada kisaran 15%. Adapun hal yang
mendasari adalah konsumsi yang masih cukup kuat dan peningkatan ekspor yang akan berpengaruh pada
kredit di sektor industri.
Grafik III.2.27. Kinerja Penyaluran Kredit Perbankan
Grafik III.2.28. Penyaluran Jenis Kredit Perbankan
Berdasarkan data kredit per sektor utama perekonomian Jabagteng, kredit di sektor industri dan
perdagangan hotel, dan restoran menurun. Penurunan kredit di sektor perdagangan ini ditengarai
sebagai pengaruh dari menurunnya kredit modal kerja. Hal ini juga sejalan dengan melemahnya sektor
perdagangan pada triwulan IV 2013. Di sisi lain, kredit sektor pertanian tumbuh meningkat. Risiko
penyaluran kredit pada tiga sektor utama ini masih berada di level aman (< 5%) dan tercatat lebih rendah
dibandingkan triwulan III 2013.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 95
Grafik III.2.29. Kredit Bank berdasarkan Sektor Ekonomi
Grafik III.2.30. NPL Kredit Sektor Utama Perbankan
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Kredit konsumsi dalam tren menurun pada triwulan IV 2013, sejalan dengan pertumbuhan konsumsi
rumah tangga yang melambat. Kenaikan suku bunga dan ekspektasi suku bunga ke depan yang
berpotensi meningkat, telah menahan perkembangan kredit sektor rumah tangga. Pangsa terbesar kredit
sektor rumah tangga digunakan untuk keperluan multiguna, diikuti kredit pemilikan rumah tinggal tipe
22 s.d 70. Sementara itu, pembiayaan kredit perumahan dan kendaraan roda empat relatif stabil.
Grafik III.2.31. Perkembangan Kredit Perbankan ke Rumah Tangga
Grafik III.2.32. Kinerja Penyaluran Kredit LK Non Perbankan
Grafik III.2.33. Rasio NPL Kredit Rumah Tangga
Grafik III.2.34. Rasio NPL Kredit Perumahan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 96
Secara umum, ketahanan sistem keuangan sektor rumah tangga masih terjaga, terkonfirmasi dari NPL
gross stabil di bawah 5%. NPL kredit kendaraan roda empat, sepeda motor, dan multiguna relatif stabil.
Sementara pada kredit perumahan, rasio NPL untuk KPA tipe di atas 70 dan ruko serta rukan dalam tren
meningkat. Hal ini terkait dengan meningkatnya suku bunga, pelemahan nilai tukar, serta melambatnya
permintaan di properti komersial.
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Pertumbuhan kredit UMKM Jabagteng cenderung melambat pada triwulan IV 2013. Hal ini sejalan
dengan melambatnya permintaan konsumen. Dengan berbagai tekanan yang dihadapi perekonomian
dalam dua triwulan terakhir, pengetatan persyaratan pembiayaan perbankan juga ditenggarai turut
berpengaruh pada pembiayaan sektor UMKM. Di sisi lain pangsa kredit UMKM terhadap total penyaluran
kredit perbankan Jabagteng masih tercatat lebih tinggi dibanding Nasional.
Grafik III.2.35. Perkembangan Kredit UMKM
Grafik III.2.36. Pangsa Kredit UMKM vs Nasional
Tabel III.2.1 Permasalahan Penyaluran KUR
Permasalahan
Kebanyakan calon debitur UMKM yang feasible telah menjadi debitur bank sehingga tidak bisa diberikan fasilitas KUR
Kemampuan debitur dalam mengembalikan kredit memerlukan jangka waktu lebih dari 3 tahun sementara penjamin hanya menjamin maksimal 3 tahun.
Usaha nasabah berubah-ubah, sehingga proses analisa kredit menyesuaikan usaha yang akan dibiayai.
Banyaknya calon debitur “baru akan berusaha”, sehingga masuk kategori tidak layak (feasible).
Persepsi masyarakat KUR hibah pemerintah sehingga tidak perlu dikembalikan.
Calon debitur KUR umumnya berlokasi usaha jauh dari kantor operasional Bank
Tabel III.2.2 Upaya yang Telah Dilakukan dalam Meningkatkan Penyaluran KUR
Upaya yang Telah Dilakukan
Koordinasi antar lembaga terkait dalam pemberian KUR (monitoring dan evaluasi KUR)
Pelatihan pada petugas kredit bank agar dapat menilai kelayakan usaha UMKM dengan lebih baik
Pelatihan kepada PJTKI agar dapat mengakses KUR TKI dengan lebih baik.
Pemberian modal kerja dan pelatihan kewirausahaan kepada beberapa UMKM.
Mendukung pengembangan UMKM melalui program klaster dan mendorong bank untuk membiayai unit usaha yang layak secara bisnis untuk dibiayai KUR.
Memfasilitasi pemeringkatan UMKM bekerjasama dengan PT. Pefindo dan Bank Jateng.
Penyediaan data dan informasi pada website BI mengenai komoditi unggulan wilayah
Memberikan peluang kepada bank untuk menyalurkan KUR melalui lembaga linkage
L a p o r a n N u s a n t a r a | 97
Pertumbuhan penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada triwulan IV 2013 melambat. Penyaluran KUR
Jabagteng tercatat sebesar Rp7,53 triliun, sebagian besar disalurkan di Jawa Tengah sebesar Rp6,56
triliun. Secara nasional, Provinsi Jawa Tengah di tahun 2013 merupakan provinsi terbesar kedua penyalur
KUR. Pangsa KUR Jawa Tengah 13,82% terhadap penyaluran KUR nasional. Jumlah debitur Jawa Tengah
merupakan yang terbanyak di Indonesia yaitu sebesar 1,75 juta. Beberapa permasalahan penyaluran KUR
dan upaya yang telah dilakukan dalam meningkatkan penyaluran KUR dapat dilihat pada Tabel III.2.1 dan
Tabel III.2.2.
Kinerja Sistem Pembayaran
Sejalan dengan melambatnya perekonomian di triwulan IV 2013, pertumbuhan tahunan RTGS melambat
dibarengi dengan perkembangan kliring yang stabil. Pertumbuhan tahunan RTGS melambat baik secara
nilai maupun volume (Grafik III.2.38). Hal ini terjadi baik RTGS ke luar, masuk, maupun antar daerah di
Jabagteng. Di sisi lain, kliring baik nominal dan warkat tumbuh stabil. Jika dilihat keseluruhan tahun 2013,
kinerja sistem pembayaran melambat dibanding tahun 2012. RTGS tumbuh melambat baik nilai maupun
warkat, khususnya RTGS ke luar dan antar daerah di Jabagteng. Sementara RTGS dari Jabagteng masih
naik. Pertumbuhan kliring baik nominal maupun warkat juga mengalami perlambatan.
Grafik III.2.37. Pertumbuhan Tahunan Kliring
Grafik III.2.38. Pertumbuhan Tahunan RTGS
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Nilai inflow pada triwulan IV 2013 untuk wilayah Jabagteng tercatat lebih rendah dibanding triwulan
sebelumnya, sejalan dengan melambatnya perekonomian Jabagteng. Outflow juga turun dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya. Secara keseluruhan tercatat net inflow pada triwulan IV 2013 meski tidak
sebesar triwulan sebelumnya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan uang dalam kondisi layak edar
dilakukan pula penarikan uang lusuh di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah V. Uang lusuh yang
ditarik tercatat naik dibandingkan jumlah pada triwulan III 2013. Dilihat berdasarkan proporsinya
terhadap inflow, persentase penarikan uang lusuh mengalami peningkatan dibanding periode
sebelumnya. Di sisi lain, peredaran uang palsu pada tahun 2013 menurun dibanding tahun 2012.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 98
Grafik III. 2.39. Perkembangan Kegiatan Perkasan di Jawa Bagian Tengah 2012-2013
Grafik III.2.40. Perkembangan Penarikan Uang Lusuh
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Jabagteng pada tahun 2014 diperkirakan tumbuh stabil dibanding tahun sebelumnya.
Jabagteng diperkirakan tumbuh pada kisaran 5,7% – 6,2% (yoy) atau masih tergolong tinggi. Secara
spasial, perekonomian Provinsi Jawa Tengah maupun DI Yogyakarta pada tahun 2014 tumbuh stabil.
Perkiraan pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah ini sejalan dengan perkiraan6 di Provinsi Jawa
Tengah yaitu 5,6% - 6,1% (yoy).
Dari sisi penggunaan, konsumsi domestik diperkirakan mengalami peningkatan baik konsumsi swasta
(rumah tangga dan swasta nirlaba) maupun konsumsi pemerintah. Konsumen di wilayah Jabagteng
cukup optimis dalam memandang perekonomian ke depan, yang tercermin dari indeks penghasilan,
kegiatan usaha, dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Sementara itu, investasi diperkirakan tetap tinggi
didorong oleh investasi yang dilakukan industri pengolahan migas dan pembangunan pabrik tekstil yang
direncanakan dimulai tahun 2014. Sementara itu, ekspor diperkirakan mengalami kenaikan. Di tahun
2014, pelaku usaha pada sektor industri pengolahan masih akan melakukan investasi. Berdasarkan survei
kepada pelaku usaha, mayoritas responden menjawab investasi yang dilakukan akan lebih tinggi
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Rencana investasi pada tahun 2014 berupa pengadaan mesin
baru, pembukaan kantor cabang serta pabrik baru.
Sektor Industri pengolahan, khususnya tekstil dan furnitur, diperkirakan tumbuh cukup baik sejalan
dengan masih kuatnya permintaan domestik dan membaiknya kinerja ekspor. Berdasarkan quick survey,
sebagian besar responden memperkirakan peningkatan volume penjualan. Faktor yang diperkirakan
dapat mendorong kinerja sektor industri pengolahan diantaranya penundaan penerapan Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu (SLVK) dan peningkatan kapasitas pada industri pengolahan TPT terkait investasi
yang telah dilakukan di tahun 2013. Penundaan SLVK dalam jangka pendek akan menguntungkan,
mengingat baru sebagian kecil eksportir yang memiliki sertifikat tersebut. Ke depan dengan adanya
sosialisasi dan kemudahan pengurusan izin maka nantinya produk Jabagteng akan mudah masuk ke
negara yang menerapkan SLVK.
6 Setiap triwulanan KPw BI Wilayah V melakukan Survei Proyeksi Indikator Makro Ekonomi dengan responden pelaku usaha, akademisi,
dan praktisi perbankan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 99
Prospek perekonomian Jabagteng masih dibayangi oleh kenaikan biaya produksi yang diantaranya
bersumber dari depresiasi rupiah dan kenaikan tarif listrik industri. Di sisi lain 44% responden
menyatakan biaya di tahun 2014 akan lebih tinggi dibanding normal, meski demikian tidak
mempengaruhi margin pelaku usaha (mayoritas sebanyak 91% menyatakan margin nya pada level
normal). Kenaikan upah minimun diperkirakan hanya memberi dampak yang minimal pada kinerja
industri pengolahan. Sebagian besar responden dari hasil quick survey menyatakan UMK yang telah
ditetapkan tidak memiliki pengaruh terhadap perusahaan. Kenaikan UMK hingga 10% masih dapat
diterima perusahaan, bahkan 38% responden menyatakan masih dapat menerima kenaikan UMK dalam
kisaran 20%-30%. Sementara itu, kenaikan tarif listrik untuk perusahaan terbuka dan industri besar di
bulan Mei 2014 diperkirakan akan meningkatkan biaya industri pengolahan. Di sisi lain, depresiasi rupiah
memberikan dampak pada industri pengolahan di Jabagteng khususnya di industri elektronik, farmasi,
dan makan-minuman (yang memilik kandungan impor tinggi seperti tepung terigu dan mie instan).
Sementara itu, industri pengolahan TPT relatif tidak mengalami dampak yang signifikan, walaupun input
industri ini kebanyakan berasal dari impor. Namun, terdapat juga industri yang diuntungkan dengan
adanya depresiasi nilai tukar yaitu industri pengolahan kayu. Hal ini mengingat input yang digunakan
mayoritas berasal dari pasar domestik sementara penjualan sebagian besar orientasi ekspor luar negeri.
Grafik III.2.41. Ekspektasi Konsumen dan Pelaku Usaha
Grafik III.2.42. Perkiraan Kondisi Pelaku Usaha 1 Tahun yang Akan Datang
Prospek Inflasi
Inflasi Jabagteng para tahun 2014 diperkirakan berada pada level 5.06 – 5,56 % (yoy), bias ke atas terkait
dampak banjir pada awal tahun. Secara lebih detail inflasi di Provinsi Jawa Tengah diperkirakan berada
pada kisaran 5.08 – 5,58 % (yoy) dan inflasi DIY diperkirakan pada kisaran 4.87 – 5,37% (yoy). Meskipun
banjir yang terjadi hingga akhir Januari 2014 berdampak pada rusaknya lahan persawahan sehingga
memundurkan panen hingga bulan Mei. Pergeseran masa panen diperkirakan dapat diredam dengan
kondisi stok beras Bulog yang saat ini relatif cukup besar. Berdasarkan informasi lapangan, Bulog Divre
Jateng telah mengeluarkan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) untuk penanganan bencana yang setara
dengan 473.586 kg beras, disamping tetap menyalurkan raskin bulan Januari sebesar 21.053 ton beras.
Sementara itu pasokan komoditas hortikultura untuk tahun 2014 khususnya komoditas cabe merah dan
cabe rawit diperkirakan cukup baik seiring dengan meningkatnya minat petani menanam komoditas
tersebut setelah harga komoditas yang cukup baik di pasaran selama kurun waktu 2 tahun terakhir.
Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian agar realisasi inflasi sesuai sasaran adalah perbaikan
sarana transportasi yang rusak pasca terjadinya banjir agar menjamin proses distribusi brang dan jasa
L a p o r a n N u s a n t a r a | 100
dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Selain itu adanya program asuransi pertanian khusunya
untuk komoditas padi di Jawa Tengah diperkirakan akan berdampak positif bagi petani sehingga
mencegah meningkatnya harga beras pada saat panen.
Tabel III.2.3 Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 101
Bagian III.3 Perekonomian Jawa Bagian Timur
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian wilayah Jawa Bagian Timur (Jabagtim) menunjukkan perlambatan pada triwulan IV 2013.
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan ini tercatat sebesar 6,2% (yoy), menurun 0,3% (yoy) dibandingkan
triwulan sebelumnya (6,5%, yoy). Secara keseluruhan, pada tahun 2013, perekonomian wilayah Jabagtim
tumbuh melambat dibandingkan dengan capaian tahun sebelumnya. Tekanan faktor eksternal yang
masih berlanjut, terutama perlambatan ekonomi negara mitra dagang memengaruhi penurunan kinerja
ekspor di triwulan ini. Selain itu, depresiasi nilai tukar juga memengaruhi kinerja ekspor sebagai akibat
dari masih tingginya kandungan impor atas komoditas ekspor di wilayah ini.
Pulihnya perekonomian negara maju serta tekanan nilai tukar yang mulai mereda diperkirakan mampu
meningkatkan kinerja perekonomian wilayah Jabagtim di triwulan I 2014. Faktor tersebut berpotensi
meningkatkan ekspor dan memperbaiki neraca perdagangan, sehingga perekonomian wilayah Jabagtim
diperkirakan mampu tumbuh positif pada triwulan I 2014. Adanya Pemilu 2014 diperkirakan turut
meningkatkan kinerja perekonomian wilayah Jabagtim, terutama dari saluran konsumsi rumah tangga
dan pemerintah. Secara khusus, kinerja industri pengolahan, yakni industri makanan-minuman, industri
tekstil dan industri percetakan diyakini mampu tumbuh signifikan. Kondisi ini secara keseluruhan akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi Jawa Timur pada 2014 di kisaran 6,4% – 6,8% (yoy).
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga tumbuh meningkat pada triwulan IV 2013. Hal ini didukung oleh stabilnya
pendapatan rumah tangga serta tingginya permintaan barang dan jasa pada perayaan Hari Besar
Keagamaan dan tahun baru. Peningkatan tersebut dikonfirmasi oleh meningkatnya omset riil penjualan,
terutama peralatan rumah tangga serta pakaian dan perlengkapannya (Grafik III.3.1.). Faktor tersebut
mendorong konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 8,2% (yoy), meningkat sebesar 0,7% (yoy)
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Untuk keseluruhan tahun 2013, konsumsi rumah tangga
tumbuh meningkat secara signifikan dan menjadi kontributor utama pertumbuhan di wilayah Jabagtim.
Pada triwulan I 2014, pertumbuhan konsumsi rumah tangga cenderung melambat. Hal ini terindikasi dari
Survei Konsumen di beberapa kota besar di wilayah Jabagtim yang menunjukkan rendahnya ekspektasi
masyarakat terhadap perekonomian dan pola konsumsi (Grafik III.3.2.). Meskipun demikian, perayaan
Imlek diperkirakan mampu meningkatkan konsumsi pada komoditas pangan dan buah-buahan. Ke
depan, beberapa faktor risiko perlu mendapat perhatian, terutama adanya pembatasan kredit yang
berpotensi semakin menurunkan pertumbuhan kredit konsumsi di wilayah Jabagtim. Selain itu, kenaikan
harga LPG 12 kg dan potensi banjir di beberapa wilayah, seperti Bojonegoro, Tuban dan Lamongan juga
diperkirakan turut memengaruhi perlambatan konsumsi di triwulan I 2014.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 102
-
100
200
300
400
500
600
-
20
40
60
80
100
120
140
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Indeks Omset Riil Peralatan Rumah Tangga
Pakaian & Perlengkapannya Makanan, Minuman, Tembakau
Alat Tulis Konstruksi
Barang Budaya dan Rekreasi
Indeks
Grafik III.3.1. Indeks Omset Riil Jabagtim
0
20
40
60
80
100
120
140
160
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE)
Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK)
Indeks
Grafik III.3.2. IKK, IKE dan IEK Jabagtim
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/kota di wilayah Jabagtim mengalami peningkatan di
triwulan IV 2013. Pertumbuhan konsumsi pemerintah mencapai 2,93% (yoy), meningkat 0,4% (yoy)
dibandingkankan triwulan sebelumnya. Tingginya realisasi belanja Pemerintah, terutama belanja modal
dan belanja program di akhir tahun mendorong peningkatan konsumsi Pemerintah di triwulan ini (Grafik
III.3.4.). Realisasi penyerapan belanja hingga bulan September 2013 mencapai 61,3% (Grafik III.3.3.).
Sementara itu, idle fund yang bersumber dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) maupun dana
yang belum dibelanjakan Pemerintah dan disimpan di perbankan relatif tinggi. Jumlah simpanan
Pemerintah Daerah Jabagtim di Bank Umum maupun BPR hingga Desember 2013 mencapai 40% dari
total belanja. Hal ini terutama disebabkan karena penundaan eksekusi proyek infrastruktur yang
terkendala oleh pembebasan lahan. Hingga akhir tahun 2013, diperkirakan total belanja dapat terealisasi
sebesar 98,41%. Pola realisasi belanja Pemerintah yang cenderung meningkat signifikan di pertengahan
hingga akhir tahun mendorong tingginya sumbangan belanja pemerintah daerah terhadap pertumbuhan
ekonomi Jabagtim pada triwulan IV 2013. Sementara itu, pada tahun 2014 diperkirakan terdapat potensi
peningkatan konsumsi Pemerintah seiring dengan meningkatnya belanja politik pra dan pasca
pelaksanaan Pemilu 2014.
Dari sisi pendapatan, Dana Perimbangan dari Pemerintah Pusat merupakan penyumbang utama
pendapatan wilayah Jabagtim di tahun 2013 dengan kontribusi sebesar 57,98%. Hingga Semester I 2013,
Dana Perimbangan yang diterima Pemerintah Daerah wilayah Jabagtim telah terealisasi sebesar Rp 22,21
Triliun atau 56,46% dari yang dianggarkan dalam APBD Jatim 2013. Sebagian besar dana tersebut berupa
Dana Alokasi Umum yang bertujuan untuk menutup deficit budget yang dianggarkan Pemerintah Daerah.
Selain itu, sumber pendapatan Pemerintah Daerah juga berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Hingga semester I 2013, PAD telah terealisasi sebesar Rp 17,19 Triliun yang dominan disumbang oleh
pajak daerah. Untuk keseluruhan tahun 2013, diperkirakan pendapatan Pemerintah Daerah dapat
terealisasi sebesar 117,2%.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 103
0
20
40
60
80
100
120
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
%
Sumber : Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Grafik III.3.3. Realisasi Penyerapan Belanja Jabagtim Gambar II.5. Penyerapan Belanja Modal Jabagtim
105.74
85.9189.8 92.8
0
20
40
60
80
100
120
2010 2011 2012 2013
%
Sumber : Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Gambar III.3.4. Penyerapan Belanja Modal Jabagtim
Investasi
Kinerja investasi di triwulan IV-2013 mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Investasi di triwulan ini tumbuh sebesar 7,7% (yoy), meningkat 1,2% (yoy) dibandingkan dengan triwulan
III 2013. Peningkatan investasi di triwulan ini terutama didorong oleh peningkatan Penanaman Modal
Asing (PMA). Investasi PMA di wilayah Jabagtim pada triwulan IV 2013 meningkat 57% menjadi 1.368,7
juta USD, sementara kinerja Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) cenderung turun sebesar 31%
menjadi Rp 6.529,1 Miliar (Grafik III.3.5). Tertariknya investor asing terhadap pasar investasi negara
emerging merupakan salah satu faktor pendorong relatif tingginya investasi asing di Jatim. Selain itu,
perekonomian yang relatif stabil dan tumbuh di atas level nasional serta adanya kemudahan izin investasi
turut mendukung peningkatan PMA. Apabila dilihat secara tahunan, investasi di tahun 2013 meningkat
signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, dengan dominasi pada Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN), Grafik III.3.6. Perbaikan kinerja investasi juga terindikasi dari volume penyaluran kredit investasi
yang memiliki tren peningkatan (Grafik III.3.7). Berdasarkan hasil liaison, investasi wilayah Jabagtim di
triwulan IV 2013 banyak dilakukan melalui peremajaan mesin produksi, sehingga impor barang modal
cenderung meningkat secara nominal, meskipun dengan dalam tren pertumbuhan yang melambat
(Grafik III.3.8).
-80
-30
20
70
120
170
220
270
50
2050
4050
6050
8050
10050
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
Nilai ProyekPMA (USD Juta) Nilai Proyek PMDN (Rp Miliar)
g PMA (%)-Skala Kanan g PMDN (%)-Skala Kanan
USD (Juta)Rp Miliar
%, qtq
Sumber: BKPM Provinsi Jatim
Grafik III.3.5.Realisasi Investasi Jabagtim
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
40000
-
5,000,000
10,000,000
15,000,000
20,000,000
25,000,000
30,000,000
35,000,000
40,000,000
45,000,000
2010 2011 2012 2013
PMA PMDN-Skala Kanan
Miliar Rp Miliar Rp
Sumber: BKPM Provinsi Jatim
Grafik III.3.6. Investasi PMA dan PMDN Jabagtim
L a p o r a n N u s a n t a r a | 104
-5
0
5
10
15
20
020000000400000006000000080000000100000001200000014000000160000001800000020000000
I II III IV I II III IV
2012 2013
Modal Kerja Investasi Konsumsi gModal Kerja (Skala Kanan)gInvestasi (Skala Kanan) gKonsumsi (Skala Kanan)
Juta Rp %, qtq
Grafik III.3.7.Penyaluran Kredit Investasi
(40)
(20)
-
20
40
60
80
100
120
140
160
0
100
200
300
400
500
600
700
800
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Capital Goods g_Capital Goods(FOB, juta usd)
Sumber: KPwBI Wil.IV (Jatim)
(%, yoy)
Grafik III.3.8. Perkembangan Impor Barang Modal
Pada triwulan I 2014, kinerja investasi diperkirakan sedikit melambat. Hasil quick survey dan liaison
menunjukkan bahwa pelaksanaan Pemilu 2014 membuat investor melakukan wait and see dan menunda
keputusan investasi 6-12 bulan ke depan. Tekanan di sektor industri berupa kenaikan UMK dan rencana
kenaikan tarif listrik industri diperkirakan berpotensi menahan realisasi investasi. Pelemahan tersebut
juga dikontribusikan dari masih rendahnya realisasi proyek MP3EI yang salah satunya adalah proyek jalan
tol Trans Jawa dengan realisasi baru mencapai 50,4%. Sementara itu, pembangunan Terminal Multi
Purpose Teluk Lamong senilai Rp4,1 triliun yang akan dioperasikan pada April 2014 juga baru terealisasi
sebesar 70% untuk tahap pemancangan, 20% pengerasan dan 58% untuk tahap pengecoran. Realisasi
proyek tersebut masih mengalami kendala teknis terkait pembebasan lahan, sehingga turut menahan
perlambatan kinerja investasi di triwulan I 2014.
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Kinerja ekspor luar negeri di wilayah Jabagtim pada triwulan IV 2013 menunjukkan perlambatan yang
relatif signifikan sebagai dampak pelemahan perekonomian negara mitra dagang, terutama China dan
India. Pada triwulan ini, ekspor menurun sebesar 19,7% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya
(Grafik III.3.9.). Selain itu, perlambatan kinerja ekspor juga didorong atas tingginya kandungan impor atas
barang ekspor di wilayah Jabagtim yang diperparah dengan semakin terdepresiasinya nilai tukar. Ekspor
wilayah Jabagtim didominasi oleh empat komoditas unggulan, yaitu minyak goreng (animal, vegetable,
fats and oil) , kertas (paper and paperboard), bahan kimia organik (organic chemicals), serta mutiara dan
batu perhiasan (pearl, precious and semi prec. stone). Berkembangnya industri pengolahan di wilayah ini
berkontribusi terhadap peningkatan nilai tambah atas komoditas ekspor, seperti produk minyak goreng
yang menjadi komoditas dengan net ekspor terbesar. Minyak sawit mentah yang diperoleh dari Kawasan
Timur Indonesia (KTI) diolah menjadi minyak goreng dan diekspor dengan pangsa terbesar di Asia (India,
China, dan Pakistan). Seluruh komoditas tersebut mengalami net ekspor, kecuali bahan kimia organik
yang masih mengalami net impor (Grafik III.3.10.).
Kinerja ekspor di triwulan I 2014 diperkirakan mengalami peningkatan seiring dengan kondisi
perekonomian global yang mulai pulih. Pertumbuhan industri hilir di negara lain, seperti industri
makanan dan minuman akan turut mendorong ekspor minyak nabati dan hewani serta bahan kimia
organik dari wilayah Jabagtim. Potensi membaiknya harga minyak sawit internasional di triwulan awal
(%)
L a p o r a n N u s a n t a r a | 105
2014 ini juga diperkirakan meningkatkan kinerja ekspor wilayah Jabagtim. Sementara itu, harga
internasional kertas yang relatif stabil juga menjadi pendorong stabilnya ekspor komoditas kertas (Grafik
III.3.12.). Namun demikian, perlu diperhatikan terkait terbatasnya hutan tanaman industri kertas di
Sumatera dan Jawa Timur merupakan kendala utama dalam perkembangan ekspor kertas.
Impor
Kinerja impor di triwulan IV 2013 menunjukkan peningkatan, sebagaimana ditunjukkan dengan net
ekspor yang semakin rendah (Grafik III.3.9.) . Impor Jatim yang sebagian besar didominasi oleh barang
modal menunjukkan tingginya sektor usaha di Jawa Timur dalam melakukan ekspansi skala usahanya.
Berdasarkan klasifikasi HS 2 Digit, impor Jatim di triwulan IV 2013 yang tertinggi adalah nuclear reactor,
boilers machine dan mechanic application serta iron and steel. Seiring dengan perkembangan industri
pengolahan, khususnya industri kendaraan bermotor dan peralatan mekanik rumah tangga, impor bahan
baku Jatim diprediksi juga akan meningkat. Pada triwulan I 2014, impor Jatim diperkirakan melambat
seiring dengan tekanan industri lokal akibat kebijakan pemerintah dan peningkatan harga baja
internasional yang membuat terbatasnya eksekusi ekspansi usaha.
-15
-10
-5
0
5
10
-5000000
0
5000000
10000000
15000000
20000000
25000000
30000000
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
Ekspor LN Impor LN
Net Ekspor LN gEkspor Luar Negeri-Skala Kanan
gImpor Luar Negeri-Skala Kanan
Juta Rp %,qtq
Grafik III.3.9. Perkembangan Ekspor Luar Negeri
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2011 2012 2013
Animal or vegt. fats and oilsOrganic chemicalsPaper and paperboard
Juta USD
Grafik III.3.10. Komoditas Ekspor Unggulan Jatim
-550
-50
450
950
1450
1950
2450
2950
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2011 2012 2013
Animal or vegt. fats and oilsOrganic chemicalsPaper and paperboard
Juta USD
Grafik II.11. Perkembangan Net Ekspor Komoditas Unggulan
80
280
480
680
880
1080
Jan
Fe
b
Ma
r
Ap
r
Ma
y
Jun
Jul
Au
g
Se
p
Oct
No
v
De
c
Jan
Fe
b
Ma
r
Ap
r
Ma
y
Jun
Jul
Au
g
Se
p
Oct
No
v
De
c
Jan
2012 2013 2014
Palm Oil Price Paper PriceUSD /Ton
Grafik II.12. Harga Kertas dan Minyak Sawit Internasional
(Juta
USD)
L a p o r a n N u s a n t a r a | 106
Perdagangan Antar Daerah
Net ekspor perdagangan antar daerah di wilayah Jabagtim pada triwulan IV 2013 mengalami
peningkatan. Hal ini terutama didukung oleh posisi Jawa Timur sebagai hub antara wilayah Indonesia
Bagian Barat dengan Indonesia Bagian Timur. Net ekspor perdagangan antar daerah pada triwulan ini
meningkat sebesar 26,2% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik III.3.13). Hal ini terindikasi
dari peningkatan volume barang yang dikirim melalui Pelabuhan Tanjung Perak sejak bulan September
hingga akhir tahun 2013 (Grafik III.3.14.). Tingginya permintaan barang dari KTI, terutama untuk
komoditas pangan, seperti beras dan Jagung serta komoditas hasil industri makanan dan minuman pada
hari raya Natal dan menjelang tahun baru mengkonfirmasi kenaikan ini. Pembangunan beberapa
pelabuhan di Jawa Timur, seperti Teluk Lamong, Pelabuhan Socah dan Pelabuhan Tanjung Wangi di
Banyuwangi diperkirakan semakin meningkatkan konektivitas dan perdagangan antar daerah di wilayah
Jabagtim di masa mendatang.
-10
-5
0
5
10
15
-5000000
0
5000000
10000000
15000000
20000000
25000000
30000000
35000000
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
Ekspor Antar Daerah Impor Antar Daerah
Net Ekspor Antar Daerah gEkspor Antar Daerah-Skala Kanan
gImpor Antar Daerah-Skala Kanan
Juta Rp %, qtq
Grafik II.13. Net Ekspor Perdagangan Antar Daerah
-80%
-30%
20%
70%
120%
170%
220%
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9
2009 2010 2011 2012 2013
Vol Barang g Jml Barang (rhs)Ribu Ton %, yoy
Sumber : BPS (diolah)
Grafik II.14. Pengiriman Barang Angkutan Laut
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR)
Kinerja sektor perdagangan, hotel, dan restoran di triwulan IV 2013 mengalami penurunan. Penurunan kinerja
terjadi di semua subsektor, terutama subsektor perdagangan. Tekanan di faktor eksternal akibat perlambatan
kinerja negara mitra dagang menyumbang pelemahan pada subsektor perdagangan. Sementara itu,
pelemahan subsektor hotel dan restoran didorong oleh pelemahan ekonomi domestik di wilayah Jabagtim.
Melemahnya konsumsi domestik akibat tekanan inflasi, suku bunga dan depresiasi nilai tukar di triwulan ini
turut mengonfirmasi perlambatan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Daya beli masyarakat mengalami
tekanan dan berdampak pada terbatasnya permintaan barang dan jasa. Pengeluaran masyarakat untuk
pemenuhan kebutuhan sekunder seperti rekreasi juga mengalami penurunan, yang berdampak pada
menurunnya tingkat okupansi hotel di wilayah Jabagtim pada triwulan ini (Grafik III.3.16.).
Menurunnya konsumsi listrik di triwulan ini juga mengindikasikan terbatasnya produktivitas sektor usaha
bisnis di wilayah Jabagtim (Grafik III.3.17.). Pada triwulan I 2014, kinerja sektor ini diperkirakan meningkat
seiring dengan semakin majunya kota tujuan wisata alam seperti Malang, Banyuwangi dan Jember yang
menarik wisatawan domestik maupun internasional. Pelaksanaan Pemilu 2014 serta relatif tingginya agenda
bisnis di awal tahun berpotensi meningkatkan kinerja subsektor perdagangan, hotel, dan restoran.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 107
-20-15-10-505101520253035
0
50
100
150
200
250
300
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9101112
2011 2012 2013
Konsumsi Listrik Bisnis gKonsumsi Listrik Bisnis-Skala Kanan
%,yoyKwh
Grafik III.3.16. Konsumsi Listrik Bisnis
-10
0
10
20
30
40
50
60
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11
2011 2012 2013
TPK Hotel Berbintang(%) gJumlah Wisman Melalui Juanda (%,yoy)
%, yoy
Grafik III.3.17. Indikator Subsektor Hotel
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Industri Pengolahan
Kinerja sektor industri pengolahan relatif stabil di triwulan IV 2013 dengan indeks produksi industri
pengolahan yang relatif stabil (Grafik III.3.18.). Stabilnya sektor industri pengolahan terutama didorong
oleh kenaikan subsektor industri semen dan barang galian bukan logam. Tingginya pengembangan
proyek infrastruktur di Jawa Timur, seperti penambahan ruas jalur Dupak, Tol Trans Jawa, Teluk Lamong
turut berkontribusi pada peningkatan kinerja subsektor ini. Sementara itu, sektor usaha industri
makanan-minuman, logam dasar besi dan baja serta kertas dan barang cetakan cenderung melambat.
Melalui kegiatan liaison terinformasi bahwa pelaku usaha mengharapkan dukungan kebijakan terkait
upaya subtitusi impor. Beberapa produk yang mampu diproduksi di dalam negeri diantaranya pupuk,
logam besi dan baja serta pakaian jadi. Perlambatan kinerja industri pengolahan juga terkonfirmasi
dengan penurunan konsumsi listrik industri (Grafik III.3.19.).
-
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
60.00
65.00
70.00
75.00
80.00
85.00
90.00
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
PERTANIAN TOTAL SELURUH SEKTORPERTAMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHANLISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH
Indeks Indeks
Grafik III.3.18. Indeks Produksi Industri pengolahan
-30%
-20%
-10%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
80
280
480
680
880
1080
1280
1480
123456789101112123456789101112123456789101112123456789101112123456789101112
2009 2010 2011 2012 2013
Konsumsi Listrik Industri Pertumbuhan
Kwh
Sumber : PLN (diolah)
%
Grafik III.3.19. Konsumsi Listrik Industri
Kinerja sektor industri pengolahan di triwulan I 2014 diperkirakan mengalami peningkatan sebagai
dampak atas pelaksanaan Pemilu 2014 yang diperkirakan meningkatkan kinerja industri makanan dan
minuman, industri percetakan dan tekstil. Faktor risiko yang perlu dicermati terkait kinerja industri
pengolahan adalah beberapa kebijakan Pemerintah seperti kenaikan UMK dan kenaikan tarif listrik
industri. Berdasarkan hasil quick survey, sebanyak 54%-58% pelaku usaha merespon kenaikan UMK
dengan menaikkan harga jual. Sementara 15%-18% sektor usaha akan melakukan rasionalisasi tenaga
L a p o r a n N u s a n t a r a | 108
kerja, terutama industri padat karya. Peningkatan harga komoditas bahan baku internasional juga
berpotensi menekan industri, terutama industri yang memiliki kandungan impor tinggi.
Di sisi lain, peningkatan Tarif Dasar Listrik (TDL) di 2014 untuk industri menengah dengan daya > 200 kVa
dan 30.000 kVa ke atas masing-masing sebesar 38,9% dan 64,7% menjadi faktor risiko. Beban tarif listrik
tersebut secara signifikan turut menambah biaya produksi industri menengah di wilayah Jabagtim hingga
48%-50% dari total biaya produksi. Selain itu, peningkatan iuran Jaminas Sosial Tenaga Kerja yang harus
ditanggung perusahaan juga semakin tinggi dan akan menekan kinerja sektor industri pengolahan. Di sisi
lain, naiknya harga baja internasional hingga mencapai 15-20% akan turut menekan kinerja sektor
industri pengolahan, terutama industri logam dan transportasi. Namun, dengan masih kuatnya
permintaan dan momen Pemilu 2014, diharapkan kinerja sektor industri pengolahan dapat terjaga.
Sektor Pertanian
Kinerja sektor pertanian di triwulan IV 2013 menunjukkan perlambatan, terutama sub sektor tanaman
bahan makanan dan tanaman perkebunan (Grafik III.3.20.). Hal ini dikonfirmasi dari indikator luas lahan
panen padi yang menurun di triwulan IV 2013 (Grafik III.3.21.). Penurunan kinerja sektor ini disebabkan
karena pola siklikal tanaman padi yang sedang berada pada masa tanam, sehingga panen baru dapat
dilakukan pada tiga-empat bulan ke depan. Namun demikian, masih terdapat beberapa wilayah yang
mengalami panen gadu, khususnya padi dan palawijaya serta panen sub kelompok bumbu-bumbuan di
sentra produksi Malang dan Probolinggo.
Banjir yang terjadi di beberapa daerah di wilayah Jabagtim, khususnya di sepanjang sungai Bengawan
Solo dan Kali Lamong berpengaruh secara terbatas terhadap kinerja sub sektor tanaman bahan makanan.
Sebanyak kurang lebih 9000 ha sawah yang sebagian besar sedang ditanami padi yang memasuki masa
tanam. Walaupun luas lahan yang terendam banjir relatif besar, namun tingkat kerusakan dan puso yang
terjadi tidak terlalu besar. Hal ini karena mayoritas tanaman padi baru memasuki usia tanam kurang dari
40 hari. Oleh karena itu, dampak banjir tidak secara signifikan berpengaruh terhadap kinerja sektor
pertanian. Kinerja pertanian di triwulan I 2014 diperkirakan meningkat terbatas seiring dengan adanya
pergeseran panen di beberapa daerah akibat terendamnya lahan sawah.
-2.00
-1.00
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
I II III IV I II III IV
2012 2013
Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan
Peternakan Perikanan
%, yoy
Grafik III.3.20. Perkembangan Kinerja Subsektor Pertanian
-
200,000
400,000
600,000
800,000
1,000,000
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
Luas Panen Padi (Ha) Luas Tanam Padi (Ha)
Sumber : Dinas Pertanian Provinsi (diolah)
Ha
Grafik III.3.21. Luas Lahan Tanam dan Panen Padi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 109
KETENAGAKERJAAN DAN KEMISKINAN
Data ketenagakerjaan wilayah Jabagtim menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Jumlah angkatan kerja di Provinsi Jawa Timur per Agustus 2013 sebanyak 20,137 juta orang,
meningkat dibandingkan bulan Februari 2013 (20,095 juta). Namun, peningkatan angkatan kerja diikuti
dengan peningkatan jumlah penduduk yang menganggur dan penurunan jumlah penduduk yang bekerja.
Kondisi perekonomian nasional maupun regional yang melemah merupakan salah satu pendorong
meningkatnya pengangguran di Jawa Timur. Secara sektoral, tenaga kerja di wilayah Jabagtim sebagian
besar diserap oleh sektor pertanian (40,83%), sektor perdagangan (22,91%), dan sektor jasa
kemasyarakatan (17,04%). Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja di sektor primer masih cukup tinggi,
meskipun terdapat indikasi menurun dan bergeser ke sektor sekunder dan tersier (Grafik II.2.2).
Persentase penduduk miskin di wilayah Jabagtim pada September 2013 mengalami peningkatan dari
12,55% menjadi 12,73%. Meskipun persentase penduduk miskin tertinggi berada di daerah pedesaan,
namun peningkatan persentase penduduk miskin di September 2013 tertinggi berada di daerah
perkotaan. Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan naik dari 8,57% menjadi 8,90% di
September 2013, sementara di daerah pedesaan tercatat peningkatan persentase penduduk miskin dari
16,15% menjadi 16,23%. Hal ini disebabkan karena kenaikan harga BBM di pertengahan tahun 2013 dan
peningkatan inflasi pada periode Lebaran. Peningkatan harga barang dan jasa mendorong kenaikan Garis
Kemiskinan (Rp273.758). Pola konsumsi, gaya hidup serta kenaikan harga barang dan jasa di daerah
perkotaan mendorong lebih tingginya peningkatan persentase penduduk miskin di daerah perkotaan. Di
sisi lain, sekitar 75% penerima Bantuan Langsung Tunai sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM
merupakan masyarakat di daerah pedesaan, sehingga dampak inflasi dan kenaikan harga BBM di daerah
pedesaan relatif terbatas.
-
20
40
60
80
100
120
2 8 2 8 2 8
2011 2012 2013
Pertanian Pertambangan Listrik, Gas, dan AirKonstruksi Perdagangan KeuanganLainnya
%
Grafik II.3.22. Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
18.00
20.00
-
1,000.00
2,000.00
3,000.00
4,000.00
5,000.00
6,000.00
7,000.00
8,000.00
2008.3 2009.3 2010.3 2011.3 2011.9 2012.3 2012.9 2013.3 2013.9
Jumlah Penduduk Miskin Persentase Penduduk Miskin-Skala Kanan
%Orang
Grafik III.3.23. Penduduk Miskin
PERKEMBANGAN INFLASI
Inflasi wilayah Jabagtim pada triwulan IV 2013 mencapai 7,59% (yoy) lebih rendah dibandingkan inflasi
nasional yang mencapai 8,38% (Grafik III.3.24) yang didorong inflasi administered price dan volatile food.
Tingginya inflasi kelompok administered price merupakan dampak kenaikan harga BBM bersubsidi
(triwulan II 2013) dan BBM non subsidi (triwulan IV 2013). Sedangkan untuk kelompok volatile food, sub
kelompok bumbu-bumbuan, sayur-sayuran dan buah-buahan mengalami inflasi terbesar sebagai dampak
dimulainya musim tanam pada triwulan IV 2013 untuk sejumlah komoditas (padi, bawang merah, cabe
L a p o r a n N u s a n t a r a | 110
merah) serta gangguan cuaca yang menyebabkan rusaknya tanaman sayur-sayuran. Inflasi inti kembali
stabil setelah sebelumnya meningkat pada triwulan III 2013, sebagai dampak dari tekanan internal dan
eksternal. Tekanan domestik berasal dari dampak lanjutan gejolak harga pangan dan kebijakan harga
energi. Sedangkan dari eksternal, tekanan harga telah dimulai pada triwulan III 2013 seiring dengan
pelemahan nilai tukar yang dipengaruhi oleh derasnya capital outflow sejalan dengan menguatnya isu
pengurangan stimulus moneter Bank Sentral Amerika Serikat. Dari unsur pembentuknya, core inflation
tradable mengalami kenaikan yang lebih besar dikarenakan kenaikan harga kelompok core traded-
konstruksi dalam bentuk peningkatan harga batu bata/batu tela (19,98%-yoy), pasir (15,88%) dan cat
kayu (12,88%) yang menjadi komponen sektor properti.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
Jatim Nasional
%, yoy
Grafik III.3.24. Perkembangan Inflasi s.d. Des 2013
Grafik III.3.25. Disagregasi Inflasi s.d. Des 2013
Masih sejalan dengan kondisi pada triwulan IV 2013, inflasi di triwulan awal 2014 juga diproyeksi
mengalami tekanan cukup tinggi dari kelompok bahan makanan akibat gangguan produktivitas bahan
pangan dan berlanjutnya permasalahan pasokan daging. Adanya gangguan produktivitas di sentra
produksi cabe di Kediri yang disebabkan mayoritas lahan di Kediri adalah tadah hujan, sehingga anomali
cuaca dan gangguan hama menyebabkan banyak petani mengalami gagal panen, petani beralih kepada
komoditas lainnya (cabe kecil dan tomat) dan luasan lahan tanam cabe merah semakin berkurang.
Demikian pula dengan permasalahan di sektor peternakan, khususnya daging sapi yang populasinya jauh
berkurang (Sensus Pertanian 2013).Hal ini mengingat tidak seimbangnya produksi daging sapi dengan
tingkat konsumsi masyarakat. Di sisi lain, rendahnya margin yang diperoleh peternak sapi (di kisaran
Rp500.000 per ekor sapi) menyebabkan kurangnya perhatian peternak untuk menggiatkan
pengembangbiakan sapi.
Selain faktor di atas, adanya banjir di beberapa daerah produksi di Jawa Timur diproyeksi akan
mengganggu stabilitas harga pangan. Tercatat 4.965 ha sawah di Bojonegoro, 1.985 ha di Gresik, 14,5 ha
di Ngawi terendam banjir sehingga petani harus menanam ulang padi atau segera memanen padi yang
masih dapat diselamatkan. Akibatnya masa panen padi menjadi mundur sehingga berpotensi mendorong
kenaikan harga karena keterbatasan pasokan. Selain itu, terhambatnya jalur transportasi karena
tingginya curah hujan juga diperkirakan memicu tidak lancarnya distribusi bahan pangan dari dan ke
Jawa Timur. Meskipun demikian, berdasarkan informasi dari Dinas Pertanian dampak yang ditimbulkan
dari banjir di Jawa Timur masih dapat ditangani dengan baik melalui kecukupan stok beras Bulog hingga
13 bulan ke depan serta penanaman kembali lahan sehingga tidak mengekskalasi inflasi pada tingkat
yang lebih tinggi.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 111
Tekanan inflasi dari kelompok transportasi dan keuangan juga diproyeksikan meningkat karena
berlanjutnya kenaikan bensin non subsidi. Sementara itu, tekanan dari kelompok Perumahan, Air, Listrik,
Gas dan Bahan Bakar bersumber dari dampak kenaikan LPG 12 kg sebesar Rp3.959/kg di awal tahun 2014
yang kemudian dikoreksi menjadi Rp1.000/kg diproyeksi memberikan sumbangan inflasi Jawa Timur
sebesar 0,29% pada Januari 2014.
Dengan mengacu pada uraian di atas, potensi inflasi wilayah Jabagtim sampai dengan triwulan I 2013
diproyeksi lebih rendah dibandingkan tahun 2013, yaitu berada dalam rentang 6,24% - 6,76%. Walaupun
sumber tekanan inflasi masih relatif sama yaitu bahan makanan (volatile food) namun magnitude inflasi
lebih kecil sebagai dampak akan dimulainya masa panen di beberapa sentra produksi di Provinsi Jawa
Timur seperti tomat (Kediri) dan bawang merah (Nganjuk dan Probolinggo) yang saat ini telah memasuki
masa tanam 60 hari (masa panen dimulai pada hari ke-90). Sedangkan untuk komoditas beras, tekanan
inflasi diproyeksi mereda pada akhir triwulan I 2014 sejalan dengan dimulainya masa panen raya dan
berkurangnya curah hujan. Namun, prakiraan inflasi tersebut dapat bias ke atas apabila dampak banjir
lebih besar dari yang diperkirakan. Dengan skenario terburuk dimana seluruh komoditas hortikultura dan
beras mengalami gagal panen, inflasi diprakirakan akan berada di kisaran 7,03% - 7,53%.
Grafik III.3.26. Asesmen Inflasi s.d. Triwulan I 2014
(60)
(40)
(20)
-
20
40
60
-
200,000
400,000
600,000
800,000
1,000,000
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
Luas Panen Padi (Ha) Luas Tanam Padi (Ha)gLuas Panen Padi (%) gLuas Tanam Padi (%)
Sumber : Dinas Pertanian Provinsi (diolah)
%
Ha
Grafik III.3.27. Luas Tanam dan Panen Padi Jawa Timur
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Upaya pengendalian inflasi oleh TPID Jawa Timur dilakukan melalui 2 (dua) kegiatan besar, yaitu secara
regular dan insidentil. Kegiatan regular merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh anggota TPID Jawa
Timur sesuai dengan tugas pokoknya masing-masing yang terkait dengan pengendalian harga. Sedangkan
kegiatan insidentil merupakan kegiatan mengendalikan tingkat inflasi yang berubah secara signifikan.
1. Kegiatan Insidentil
Di Jawa Timur koordinasi pengendalian inflasi untuk kegiatan yang bersifat insidentil dilakukan pada
waktu-waktu yang secara musiman mengalami peningkatan inflasi secara signifikan seperti
perayaan Hari Raya Idul Fitri (triwulan II) dan Hari Raya Natal (triwulan IV). Selain itu, koordinasi juga
dilakukan pada saat terdapat kebijakan pemerintah yang berdampak pada kenaikan harga. Kegiatan
TPID yang bersifat insidentil antara lain adalah :
a. Operasi Pasar (Subsidi Ongkos Angkut) oleh Biro Ekonomi dan Pembangunan serta Dinas
Perindustrian dan Perdagangan, melalui pemberian subsidi untuk biaya produksi (a.l.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 112
pengemasan, biaya angkut buruh, dll) bagi 4 (empat) komoditas utama yaitu beras, minyak
goreng, tepung terigu dan gula pasir. Operasi pasar ini dilakukan pada Hari Raya Idul Fitri 2013
dan mampu meredam kenaikan inflasi yang lebih tinggi. Sedangkan pada saat Natal karena
tidak terdapat indikasi gejolak harga yang tinggi, Operasi Pasar tidak dilakukan.
b. Kunjungan Pasar oleh Gubernur Provinsi Jawa Timur dan anggota TPID yang ditujukan untuk
memastikan tingkat harga di pedagang dan memberikan efek jera pada pasar yang menjual di
atas harga wajar.
c. Rapat Koordinasi saat kenaikan harga BBM untuk meminimalkan dampak lanjutan dan
peningkatan ekspektasi inflasi masyarakat (panic spending).
2. Kegiatan Regular
Kegiatan regular dilakukan oleh masing-masing anggota TPID sesuai kewenangan dan tupoksinya.
Beberapa contoh diantaranya yaitu :
a. Kerja sama antara Dinas Pertanian dengan ACI (Asosiasi Cabe Indonesia) untuk memastikan
ketersediaan cabe pada saat permintaan cabe meningkat.
b. Koordinasi Dinas Perdagangan dengan Pasar Induk Puspa Agro untuk melakukan lelang
komoditas unggulan daerah sehingga harga yang diterima konsumen dapat lebih rendah.
Hal-hal lain yang masih perlu menjadi perhatian TPID dalam mengendalikan inflasi, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. TPID Jawa Timur belum melakukan pemetaan surplus defisit produksi pertanian maupun
peternakan secara komprehensif. Jika hal ini dilakukan, permasalahan kenaikan harga akibat
kekurangan pasokan di daerah tertentu dapat dengan mudah dipenuhi oleh daerah lain yang
surplus (cross selling dengan prioritas pemenuhan antar daerah di Jawa Timur).
2. Kegiatan TPID yang bersifat insidentil hanya mampu meredam secara sementara kenaikan harga,
sehingga jika tidak dilakukan harga akan kembali naik. TPID belum secara komprehensif
menetapkan sumber permasalahan inflasi di Jawa Timur yaitu aspek produksi yang sangat
bergantung kepada cuaca, bersifat tradisional dan lahan yang semakin berkurang, serta aspek
distribusi yang terkendala oleh infrastruktur maupun tata niaga pasar.
3. Komunikasi TPID kepada masyarakat tentang tingkat harga belum optimal sehingga belum mampu
mengendalikan persepsi masyarakat.
Untuk meningkatkan peran TPID di seluruh wilayah Jabagtim, saat ini TPID Jawa Timur mendorong 38
Kabupaten/kota di Jawa Timur untuk membentuk TPID di tingkat Kabupaten/kota sehingga upaya
pengendalian harga dapat lebih menyentuh seluruh lapisan. Saat ini telah terbentuk 15 TPID
Kabupaten/kota, sementara 13 Kabupaten/kota lainnya masih dalam proses pembentukan.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Perkembangan kinerja bank umum di wilayah Jabagtim pada triwulan IV 2013 secara umum masih
menunjukkan peningkatan. Tercatat total aset bank umum sebesar Rp 420,52 triliun, meningkat 18,93%
(yoy) dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih tinggi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 113
apabila dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan III 2013 yang tercatat sebesar 18,74% (yoy). Kinerja
penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh 14,74% (yoy) hingga mencapai Rp 335,31 triliun pada
triwulan IV 2013, lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan III 2013 yang tercatat
sebesar 14,33% (yoy). Berdasarkan proporsi penempatan dana bank umum, sebagian besar dana
(50,15%) disimpan di Bank Indonesia, dan sisanya di bank umum lain (49,85%).
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
0.0
50.0
100.0
150.0
200.0
250.0
300.0
350.0
400.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
Kredit LB Kredit LP gKredit LB gKredit LP
%, yoyTriliun Rp
Grafik III.3.28. Penyaluran Kredit
-100
-50
0
50
100
150
200
250
300
350
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
NPL PERTANIAN, PERBURUAN DAN KEHUTANAN NPL INDUSTRI PENGOLAHAN
NPL PERDAGANGAN BESAR DAN ECERAN g NPL PERTANIAN, PERBURUAN DAN KEHUTANAN
g NPL INDUSTRI PENGOLAHAN g NPL PERDAGANGAN BESAR DAN ECERAN
Miliar Rp %, yoy
Grafik III.3.29. Risiko Kredit
Kinerja penyaluran kredit bank umum baik berdasarkan lokasi bank pelapor maupun lokasi kredit pada
periode laporan sedikit melambat dibandingkan periode sebelumnya. Jumlah kredit berdasarkan lokasi
bank pelapor di wilayah Jabagtim pada periode laporan sebesar Rp304,11 Triliun atau meningkat 26,41%
(yoy). Pertumbuhan kredit pada triwulan IV 2013 lebih rendah bila dibandingkan dengan capaian di
triwulan III 2013 sebesar 27,27% (yoy). Kredit berdasarkan lokasi proyek yang disalurkan bank umum di
Jabagtim tercatat lebih tinggi yaitu mencapai Rp343,07Triliun dengan pertumbuhan sebesar 24,59%
(yoy), juga lebih rendah dibandingkan triwulan III 2013. Perlambatan pertumbuhan kredit tersebut
disebabkan oleh telah kembali normalnya pola konsumsi masyarakat pasca puasa dan lebaran yang jatuh
pada periode triwulan III 2013. Tingginya penyaluran kredit perbankan didukung oleh terjaganya risiko
kredit yang cukup rendah di kisaran 1,75%.
Ditinjau dari sisi sektoral, penyaluran kredit di wilayah Jabagtim sebagian besar disalurkan kepada 3 (tiga)
sektor ekonomi utama yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan besar dan eceran, serta
sektor pertanian. Sektor industri pengolahan memperoleh proporsi kredit terbesar yaitu sebesar 29,8%
dari total kredit dengan jumlah mencapai Rp 90,63 triliun. Sektor perdagangan besar dan eceran
memperoleh porsi kredit terbesar kedua yaitu mencapai Rp 77,69 triliun atau 25,55% dari total kredit.
Sementara itu sektor pertanian yang memiliki risiko cukup tinggi dengan NPL mencapai 5,01%)
memperoleh porsi yang lebih kecil yaitu 2,58% dari total kredit atau setara dengan Rp 7,85 triliun (Grafik
III.3.29). Pembiayaan kepada ketiga sektor dimaksud masih memiliki prospek yang baik untuk
dikembangkan. Hal tersebut mempertimbangkan kinerja pertumbuhan kredit yang cukup tinggi dengan
rata-rata sebesar 32,13% (yoy), dan ditopang oleh NPL relatif rendah di kisaran 2,65%.
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Seiring dengan tingginya pertumbuhan ekonomi wilayah Jabagtim, permintaan kredit konsumsi
masyarakat khususnya Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) turut
menunjukkan peningkatan (Grafik III.3.30. dan III.3.31.). Namun, pasca diberlakukannya kebijakan LTV
dan ketentuan kredit untuk indent, jumlah KPR dan KKB di Jawa Timur berangsur menunjukkan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 114
penurunan. Kebijakan terkait manajemen risiko perbankan dalam pemberian KPR dan KKB yang tertuang
pada SE BI No. 15/40/DKMP (pengganti SE Eksternal No. 14/10/DPNP) diberlakukan pada 24 September
2013.
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
0.0
500.0
1000.0
1500.0
2000.0
2500.0
3000.0
3500.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
Mobil Roda Empat Sepeda Bermotor
NPL Mobil Roda Empat NPL Sepeda Bermotor
Miliar Rp%
Grafik II.30. PenyaluranKredit Kendaraan Bermotor
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
0.0
2000.0
4000.0
6000.0
8000.0
10000.0
12000.0
14000.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
KPR s.d. Tipe 21 KPR Tipe 22 s.d. 70KPR Tipe Diatas 70 NPL KPR s.d. Tipe 21NPL KPR Tipe 22 s.d. 70 NPL KPR Tipe Diatas 70
Miliar RpMiliar Rp %
Grafik II.31. Penyaluran Kredit Pemilikan Rumah
Tercatat kredit KPR yang disalurkan Bank Umum di Jawa Timur pada triwulan IV 2013 adalah sebesar Rp
27,71 triliun atau tumbuh 32,06%, lebih rendah apabila dibandingkan dengan pertumbuhan kredit pada
Triwulan III 2013 yang tercatat sebesar 33,61%. KPR terbesar adalah untuk pembelian rumah dengan tipe
22 s.d 70 dengan prosentase 43,37% dari total KPR yang disalurkan. KPR tipe dimaksud juga mencatat
pertumbuhan kredit tertinggi yaitu mencapai 39,30% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan KPR
secara keseluruhan sebesar 32,06% (yoy). Hal tersebut mengindikasikan tingginya kebutuhan rumah
sederhana untuk masyarakat menengah.
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Perhatian perbankan di wilayah Jabagtim terhadap pengembangan UMKM tercermin dari peningkatan
penyaluran jumlah kredit UMKM. Sampai dengan triwulan IV 2013, jumlah kredit UMKM yang disalurkan
sebesar Rp 83,27 triliun, tumbuh 20,51% (yoy) dibandingkan periode sebelumnya (Grafik III.3.32.).
Meskipun demikian, pangsa penyaluran kredit kepada sektor UMKM terhadap total kredit tetap
menunjukkan tren penurunan dari waktu ke waktu. Tercatat prosentase kredit UMKM terhadap total
kredit yang disalurkan pada bulan Desember 2013 adalah sebesar 27,38%, lebih rendah dibandingkan
bulan September yang tercatat sebesar 27,84%.
Di wilayah Jabagtim, penyaluran kredit UMKM sebagian besar ke 3 (tiga) sektor utama, yaitu sektor
perdagangan besar dan eceran (56%), sektor industri pengolahan (13%) dan sektor pertanian (7%). NPL
kredit UMKM tertinggi terdapat pada sektor pertanian yaitu di kisaran 6%. Secara spasial, penyaluran
kredit UMKM terbesar di Kota Surabaya sebesar Rp 15,31 Miliar (41,1%), Kota Malang Rp 14,63miliar
(9,34%), Kota Kediri Rp 12,72 miliar (5,77%) dan Kabupaten Jember Rp 16,73 miliar (5,25%).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 115
0
5
10
15
20
25
30
0
20
40
60
80
100
I II III IV I II III IV
2012 2013
Kredit UMKM LP Growth-Skala Kanan (%, yoy)
Grafik III.3.32. Penyaluran Kredit UMKM
0.000.501.001.502.002.503.003.504.004.50
I II III IV I II III IV
2012 2013
(%)
Grafik III.3.33. NPL Kredit UMKM
Kinerja Sistem Pembayaran
Transaksi keuangan dengan menggunakan sistem RTGS dan kliring di Jawa Timur secara umum masih
terus menunjukkan tren peningkatan (Grafik III.3.34 dan III.3.35). Pada triwulan IV 2013, jumlah volume
transaksi RTGS di Jawa Timur diperkirakan berada di atas kisaran 170.000 transaksi dengan nilai sekitar
Rp 210 Triliun. Merujuk pada pola historis transaksi, jumlah transaksi kliring dan RTGS di Jawa Timur
cenderung meningkat di akhir tahun.
0
50
100
150
200
250
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012 2013
Triliun Rp
Grafik III.3.34.Perkembangan RTGS
0
10
20
30
40
50
60
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012 2013
Triliun Rp
Grafik III.3.35. Perkembangan Kliring
Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur yang cukup tinggi semakin meningkatkan tuntutan akan penyelesaian
transaksi dalam jumlah besar dan dalam waktu yang singkat. Pada akhirnya kondisi tersebut
menyebabkan pergeseran nominal transaksi, dari kliring menuju RTGS. Tercatat pada awal tahun 2012,
share nominal kliring terhadap RTGS adalah sebesar 26%, namun pada akhir tahun 2013 (triwulan IV
2013), share transaksi kliring terhadap RTGS adalah sebesar20%.
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Pada triwulan IV 2013, jumlah aliran uang kartal dari dan ke Bank Indonesia di wilayah Jabagtim yang
meliputi KPwBI Wilayah IV (Surabaya), Malang, Kediri, dan Jember secara kumulatif kembali
menunjukkan posisi net outflow setelah mencatat inflow pada periode sebelumnya. Hal tersebut dapat
diartikan bahwa jumlah aliran uang yang keluar dari Bank Indonesia ke perbankan (outflow) lebih besar
dibandingkan dengan jumlah aliran uang dari perbankan ke bank Indonesia (inflow). Tercatat pada
L a p o r a n N u s a n t a r a | 116
triwulan IV 2013, jumlah inflow Jatim adalah sebesar Rp 10,98 triliun, lebih rendah apabila dibandingkan
dengan jumlah outflow yang tercatat sebesar Rp 14,42 triliun (Grafik III.3.40). Net outflow tersebut terkait
dengan tingginya permintaan uang kartal masyarakat pada masa liburan akhir tahun 2013. Pergerakan
jumlah perputaran uang harian di Jawa Timur searah dengan tren pergerakan pertumbuhan ekonomi,
yaitu di kisaran Rp10,52 triliun per hari. Sementara itu, temuan uang palsu pada triwulan IV 2013
diperkirakan meningkat (8000 lembar) seiring dengan tingginya transaksi masyarakat. Ke depan, temuan
uang palsu diperkirakan akan semakin menurun, seiring dengan semakin intensifnya sosialisasi keaslian
uang Rupiah dan koordinasi yang erat antara Bank Indonesia dengan pihak yang berwenang.
-6
-4
-2
0
2
4
6
8
10
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV*
2010 2011 2012 2013
Triliun Rp
Grafik III.3.36. Perkembangan Netflow
0100020003000400050006000700080009000
I II III
IV
I II III
IV
I II III
IV
I II III
IV*
2010 2011 2012 2013
(Lembar)
Grafik III.3.37. Temuan Uang Palsu
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Memasuki triwulan I 2014, perekonomian Jabagtim diperkirakan tumbuh meningkat. Secara keseluruhan
diperkirakan pertumbuhan ekonomi Jabagtim tahun 2014 mencapai 6,4-6,8% (yoy), cenderung stabil
dibandingkan tahun 2013 yang mencapai 6,55%. Faktor utama pendorong perbaikan perekonomian di
triwulan ini adalah peningkatan kinerja ekspor luar negeri. Hal ini dipengaruhi oleh semakin pulihnya
perekonomian negara yang dapat meningkatkan volume perdagangan internasional serta perbaikan
harga komoditas dunia. Konsumsi rumah tangga dan pemerintah di triwulan I 2014 diperkirakan
meningkat sebagai pengaruh dari pelaksanaan Pemilu 2014. Diperkirakan adanya belanja Pemilu
memberi tambahan 0,2-0,4% bagi pertumbuhan ekonomi Jabagtim di tahun 2014. Belanja pemerintah
pun diperkirakan mengalami peningkatan. Sementara itu, geliat investasi di sektor publik mulai
berpengaruh signifikan pada perekonomian Jabagtim dalam jangka panjang pasca terpilihnya Presiden
dan Dewan Legislatif.
Dari sisi penawaran, sektor utama ekonomi diperkirakan mengalami peningkatan. Sebagaimana
dikonfirmasi dari data dinas terkait, hasil survei dan liaison, diperkirakan sektor usaha mulai optimis
meskipun ketidakpastian global masih berpotensi berlanjut. Pada sektor industri pengolahan, jika nilai
tukar rupiah terhadap USD berada di atas Rp12.000,- maka dipastikan turut mempengaruhi biaya
produksi. Peningkatan kinerja konsumsi diperkirakan menggerakkan sektor perdagangan, hotel dan
restoran, serta industri pengolahan. Sementara itu, realisasi proyek MP3EI diperkirakan mendorong
kinerja sektor konstruksi, industri logam dan mesin serta industri semen. Dan selanjutnya diperkirakan
mampu menggerakkan sektor transportasi, subsektor perdagangan dan jasa-jasa.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 117
Prospek Inflasi
Pada tahun 2014, inflasi Jabagtim diproyeksikan berada di kisaran 4,84% - 5,34% atau kembali pola
normal untuk mendukung pada sasaran inflasi nasional. Di bawah ini adalah beberapa faktor risiko inflasi
di 2014 yang berpotensi memengaruhi realisasi inflasi Jabagtim pada 2014.
Downward Risk
- Hilangnya dampak base year IHK untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) sehingga inflasi kelompok
transportasi, keuangan dan jasa keuangan diperkirakan akan kembali pada pola normalnya yaitu di
kisaran 2% - 4% (yoy)
- Inflasi kelompok bahan makanan juga diperkirakan relatif stabil di kisaran 7% - 8% yang dipicu tidak
adanya kendala impor sehingga masih dapat menutupi pasokan domestik yang diperkirakan sedikit
terganggu sebagai dampak pergeseran masa tanam (faktor cuaca) dan keterbatasan sarana dan
prasarana pertanian (pupuk, benih, dll)
- Ketersediaan cadangan pangan (beras) oleh Bulog
- Sentra produksi di Jawa Timur telah memiliki kualitas yang baik dan produktivitas tinggi, namun masih
memerlukan dukungan pemerintah untuk pengembangannya (intensifikasi pertanian)
Upward Risk
- Masih berlanjutnya pelemahan nilai tukar Rupiah sehingga berpotensi mendorong peningkatan harga
emas perhiasan domestik di kisaran 3% - 4%
- Adanya potensi kenaikan inflasi kelompok administered price melalui penyesuaian kembali TTL dan
gas
- Tata niaga pasar yang belum mendukung distribusi barang secara optimal ke semua daerah di Jawa
Timur (misal : premanisme dan kartel).
Tabel III.3.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 118
2014
I II III IV Total Totalp
PDRB (%,yoy) 7.2 7.3 6.7 6.9 6.5 6.2 6.5 6.4-6.8
Sisi Permintaan
Konsumsi 6.6 5.6 6.3 6.6 7.1 7.7 6.9 7.5-7.9
Konsumsi swasta 7.2 6.1 6.8 6.9 7.5 8.2 7.4 7.9-8.3
Konsumsi Pemerintah 1.3 0.2 0.3 2.8 2.5 2.9 2.3 3.8-4.2
Pembentukan Modal Tetap Bruto 9.7 5.4 6.1 6.3 6.5 7.7 6.7 6.6-7.0
Ekspor 11.1 11.6 8.5 6.9 5.5 5.2 6.5 5.3-5.7
Impor 7.6 9.8 5.6 5.0 4.9 6.0 5.4 5.2-5.6
Sisi Produksi
Sektor pertanian 2.5 3.5 2.0 1.5 1.8 1.7 1.6 1.8-2.2
Sektor pertambangan & penggalian 6.1 2.1 2.7 2.6 4.9 3.2 3.3 3.3-3.7
Industri pengolahan 6.1 6.3 5.2 6.6 5.4 5.3 5.6 5.7-6.1
Listrik, gas & air bersih 6.3 6.2 5.3 4.6 4.6 4.2 4.7 5.4-5.8
Bangunan 9.1 7.1 8.3 10.5 8.5 9.0 9.1 8.8-9.2
Perdagangan, hotel & restoran 9.8 10.1 9.4 8.9 8.5 7.7 8.6 8.4-8.8
Pengangkutan & komunikasi 11.4 9.7 11.0 10.0 10.7 10.1 10.4 9.7-10.1
Keuangan, persewaan dan jasa perush. 8.2 8.0 8.5 7.8 7.4 6.7 7.7 7.3-7.7
Jasa-jasa 5.1 5.1 5.7 5.7 5.0 5.0 5.3 4.8-5.2
Inflasi IHK (%,yoy) 3.5 4.1 6.2 6.3 8.7 8.6 4.8-5.2
Sumber: Badan Pusat Statis tik, diolahp proyeks i Bank Indones ia
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah 2011 2012
2013
L a p o r a n N u s a n t a r a | 119
Bagian III.4. Perekonomian Jakarta
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian wilayah Jakarta mengalami perlambatan yang signifikan pada Tw IV 2013 dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya. Pada triwulan IV 2013 ekonomi wilayah Jakarta tumbuh sebesar 5,6% (yoy)
atau 0,6% (yoy) lebih rendah dibandingkan triwulan III 2013. Sehingga untuk keseluruhan tahun 2013,
perekonomian wilayah Jakarta tumbuh sebesar 6,1% (yoy), atau melambat dibandingkan dengan capaian
tahun sebelumnya sebesar 6,5% (yoy). Faktor utama yang memengaruhi perlambatan ekonomi wilayah
Jakarta ini yaitu turunnya konsumsi dan ekspor. Konsumsi yang melambat merupakan pengaruh dari
dinamika tekanan pada ekonomi makro domestik, utamanya tekanan inflasi, kenaikan suku bunga, dan
depresiasi nilai tukar. Belanja Pemilu tahun 2014 yang diperkirakan sebagian akan terealisasi pada akhir
2013 tidak terlihat dampaknya pada pertumbuhan PDRB triwulan IV 2014. Sementara itu, perlambatan
ekspor sangat terkait dengan faktor global, yakni kinerja perekonomian mitra dagang di Asia dan
penurunan permintaan dari daerah lain. Daya saing produk Jakarta juga diprediksi mengalami
penurunan, terutama karena adanya kenaikan biaya produksi yang cukup tinggi dari peningkatan upah
dan harga energi pada tahun 2013. Di sisi lain, kinerja investasi menunjukkan perbaikan di tengah
ketidakpastian perekonomian global dan tekanan pada perekonomian domestik semenjak awal semester
II 2013. Hal ini dipengaruhi oleh meningkatnya investasi pemerintah yang berpengaruh pada kinerja
investasi bangunan di Jakarta.
Perkembangan berbagai indikator ekonomi terakhir mengindikasikan membaiknya pertumbuhan
ekonomi wilayah Jakarta setelah tumbuh di level terendah selama empat tahun terakhir. Potensi
membaiknya ekonomi Jakarta juga didukung oleh faktor Pemilu 2014, yakni realisasi belanja kampanye
Pemilu yang akan mendukung perbaikan konsumsi. Kinerja investasi juga diperkirakan akan terjaga pada
level yang stabil dengan kondusifnya situasi politik dan keamanan serta fundamental perekonomian
domestik yang membaik. Sementara itu, perbaikan ekspor ditopang terutama oleh membaiknya faktor
global. Secara sektoral, perbaikan kinerja pada triwulan I 2014 diperkirakan terjadi pada sektor industri;
sektor perdagangan, hotel, dan restoran; sektor transportasi dan komunikasi; serta subsektor jasa
keuangan dan jasa perusahaan. Pertumbuhan ekonomi wilayah Jakarta pada triwulan I 2014
diproyeksikan sebesar 6,1% (yoy). Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi wilayah Jakarta pada tahun
2014 diprakirakan berada di kisaran 5,9% – 6,3% (yoy).
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga wilayah Jakarta pada triwulan IV 2013 tumbuh melambat dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Pada triwulan IV 2013 konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 5,7% (yoy), jauh di
bawah capaian triwulan III 2013 sebesar 6,0% (yoy). Secara keseluruhan tahun, konsumsi rumah tangga
tumbuh sebesar 6,0% (yoy), melambat cukup signifikan dari capaian tahun 2012 yang tercatat sebesar
6,3% (yoy). Melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan IV 2014 tercermin oleh
tren indeks penjualan eceran yang menurun (Grafik III.4.1.). Faktor yang memengaruhi perlambatan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 120
konsumsi rumah tangga pada triwulan IV 2013 ditengarai sebagai dampak dari tekanan terhadap kondisi
ekonomi makro domestik. Tingkat inflasi yang cukup tinggi pasca-kenaikan harga BBM bersubsidi serta
tekanan pada nilai tukar akibat dari defisit neraca perdagangan dan faktor global berimbas pada
kenaikan suku bunga. Hal ini menahan laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga di Jakarta, meskipun
daya beli konsumen Jakarta relatif masih kuat dengan stabilnya tingkat penghasilan. Hasil survei
konsumen menunjukkan indeks penghasilan konsumen dan ketersediaan lapangan kerja yang sedikit
membaik dibandingkan dengan triwulan III 2013 (Grafik III.4.2.).
Tekanan pada nilai tukar rupiah secara khusus berdampak pada kenaikan harga barang konsumsi yang
memiliki kandungan impor seperti kendaraan bermotor, barang elektronik, dan alat komunikasi.
Sepanjang triwulan IV 2013, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar 6,4%. Meskipun sebagian
pelaku usaha cenderung menunda passthrough dampak depresiasi nilai tukar ke harga jual produk,
mengingat kompetisi yang kuat dan melemahnya permintaan pasar, sejumlah produk barang impor telah
mengalami kenaikan secara bertahap pada triwulan IV 2013. Produsen kendaraan bermotor menaikkan
harga sekitar 1-2%, sedangkan produsen elektronik menaikkan harga di kisaran 2-3%. Hasil survei
penjualan eceran mengonfirmasi perlambatan penjualan barang elektronik dan alat komunikasi sebagai
dampak dari depresiasi nilai tukar (Grafik III.4.3.). Menyikapi kenaikan harga tersebut, sebagian
konsumen diperkirakan lebih menahan diri dalam membeli barang konsumsi impor.
Merujuk pada sejumlah indikator terkini, konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2014 diperkirakan
meningkat dibandingkan dengan triwulan IV 2013. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan
berjalan didukung oleh realisasi belanja terkait Pemilu legislatif (April 2014) dan Pemilu Presiden (Juli
2014). Perbaikan kinerja konsumsi rumah tangga tersebut juga terindikasi dari beberapa hasil survei
terakhir seperti survei konsumen dan survei penjualan eceran yang menunjukkan peningkatan indeks.
Peningkatan indeks keyakinan konsumen didorong oleh peningkatan ekspektasi konsumen atas kondisi
ekonomi ke depan serta stabilitas ekonomi makro, yang didukung dengan kebijakan moneter (Grafik
III.4.4.).
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121
2010 2011 2012 2013 2014
%, yoy%, mtm
gIndeks Penjualan Eceran (mtm) gIndeks Penjualan Eceran (yoy)
Grafik III.4.1. Perkembangan Indeks Penjualan Eceran
40
50
60
70
80
90
100
110
120
130
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1
2011 2012 2013 2014
Indeks
Penghasilan saat ini dibandingkan 6 bln yang lalu Ketersediaan lapangan kerja saat ini
Optimis
Pesimis
Grafik III.4.2. Indeks Penghasilan dan Ketersediaan Lapangan Kerja
L a p o r a n N u s a n t a r a | 121
-80
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1
2011 2012 2013 2014
gPenjualan Makanan Jadi gPenjualan Perlengkapan Rumah Tangga
gPenjualan Pakaian Jadi gPenjualan Elektronik & Alat Komunikasi
Grafik III.4.3. Indeks Penjualan Eceran Sejumlah Barang
60
70
80
90
100
110
120
130
140
150
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121
2010 2011 2012 2013 2014
IndeksIndeks Keyakinan Konsumen (IKK)
Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE)
Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK)
Optimis
Pesimis
Grafik III.4.4. Indeks Keyakinan Konsumen
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah pada triwulan IV 2013 meningkat sebagaimana tercermin dari meningkatnya
realisasi belanja Kementerian/Lembaga (K/L) dan Pemerintah Daerah. Konsumsi pemerintah tumbuh
sebesar 5,2% jika dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun 2012 atau meningkat sebesar 18,2%
dari triwulan III 2013. Sesuai pola musimannya, akselerasi belanja pemerintah dilakukan pada triwulan
akhir setiap tahunnya. Kinerja penyerapan anggaran Pemerintah Pusat (K/L) juga lebih baik pada tahun
2013 dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang memberikan kontribusi besar pada perekonomian
wilayah Jakarta. Dari 86 K/L, penyerapan anggaran di 44 K/L mencapai lebih dari 90%, sedangkan 28 K/L
lain memiliki serapan anggaran antara 80%-90%. Sementara itu, realisasi belanja APBD Jakarta tahun
2013 berkisar 85%, meningkat pesat dibandingkan dengan realisasi hingga akhir triwulan III 2013 sekitar
yang hanya 40%. Percepatan realisasi belanja terutama didorong oleh realisasi belanja modal, belanja
barang dan jasa. Pada triwulan IV 2013 juga mulai berjalan berbagai proyek fisik di wilayah Jakarta,
terutama yang terkait dengan program pencegahan banjir seperti pengerukan sungai, waduk, dan
saluran air.
Sesuai dengan pola musiman pada awal tahun anggaran, konsumsi pemerintah pada triwulan I 2014
diperkirakan tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Meskipun demikian,
realisasi anggaran pada triwulan I 2014 diperkirakan akan lebih besar dibandingkan dengan periode yang
sama pada tahun 2013. Hal ini terkait dengan rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang segera
merealisasikan anggarannya untuk pembiayaan proyek penanggulangan bencana banjir termasuk
perbaikan prasarana dan sarana publik yang terkena dampak banjir serta peningkatan fasilitas
transportasi publik untuk mengatasi kemacetan. APBD Provinsi DKI Jakarta 2014 yang disahkan lebih
cepat dibandingkan dengan pada tahun 2013, diperkirakan akan dapat menyokong realisasi belanja yang
lebih optimal pada triwulan berjalan.
Investasi
Realisasi investasi Jakarta pada triwulan IV 2013 mampu tumbuh meningkat di tengah tekanan ekonomi
makro domestik serta ketidakpastian perekonomian global terkait dengan pengurangan bertahap
stimulus moneter oleh Bank Sentral Amerika Serikat. Peningkatan investasi terefleksi pada data realisasi
investasi PMDN dan PMA triwulan IV 2013 yang lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya
(Grafik III.4.5.). Meningkatnya realisasi investasi khususnya PMA tersebut tidak terlepas dari masih
L a p o r a n N u s a n t a r a | 122
tingginya minat investor asing di sektor properti, industri pengolahan, jasa keuangan, dan subsektor
telekomunikasi. Faktor home market yang besar di Jakarta, serta posisi Jakarta sebagai hub perdagangan
menjadi pertimbangan utama dalam berinvestasi di Jakarta.
Indikator lain yang mengonfirmasi pertumbuhan investasi di Jakarta adalah tumbuhnya kredit investasi,
khususnya terkait dengan investasi PMDN yang juga meningkat (Grafik III.4.6.). Selain itu, impor barang
modal berupa mesin dan komponennya juga masih dalam tren meningkat (Grafik III.4.10.). Berdasarkan
hasil liaison, peningkatan kapasitas produksi dilakukan oleh sejumlah perusahaan yang bergerak di
produk bahan kimia dan plastik resin. Investasi pada industri pengolahan bahan kimia, karet dan plastik
akan mendukung pertumbuhan perekonomian Jakarta, mengingat industri tersebut merupakan industri
terbesar kedua setelah industri kendaraan bermotor.
Kinerja investasi Jakarta juga tidak terlepas dari investasi bangunan yang dominan. Meskipun terdapat
indikasi melambatnya permintaan properti komersial, sejalan dengan kenaikan suku bunga dan kebijakan
loan to value (LTV), serta faktor Pemilu 2014, sebagian besar pengembang di Jakarta tidak melakukan
penundaan investasi di bidang properti komersial. Selain itu, kontak liaison mengonfirmasi terus
dilakukannya ekspansi akuisisi lahan. Investasi pada proyek infrastruktur oleh pemerintah juga berada
dalam tren meningkat pada triwulan IV 2013.
Pada triwulan I 2013, kinerja investasi diprediksi stabil, sejalan dengan tekanan ekonomi makro yang
berkurang dan potensi perbaikan ekonomi domestik. Akselerasi investasi yang signifikan diperkirakan
belum akan terjadi pada triwulan berjalan, mengingat sebagian investor ditengarai akan menunggu
hingga berakhirnya Pemilu 2014 dan adanya kepastian arah kebijakan perekonomian dalam empat tahun
ke depan.
0
2
4
6
8
10
12
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012 2013
%
Investasi PMA (Juta USD) Investasi PMDN (Milyar Rp) gPDRB Investasi (axis kanan)
Sumber: BKPM, diolah
Grafik III.4.5. Realisasi Investasi PMDN dan PMA
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9101112
2011 2012 2013
%Rp Miliar
Kredit Investasi g.Kredit Investasi (asis kanan)
Grafik III.4.6. Kredit Investasi
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Kinerja ekspor produk Jakarta masih melanjutkan tren perlambatan pada triwulan IV 2013 dengan
pertumbuhan tercatat sebesar 0,6% (yoy). Selain faktor ketidakpastian perekonomian global, yang
memengaruhi permintaan terutama dari negara mitra dagang utama Jakarta di Asia, terdapat faktor daya
saing produk Jakarta yang mengalami penurunan sebagai akibat dari peningkatan biaya produksi yang
cukup signifikan semenjak semester II 2013. Kenaikan upah, biaya bahan baku impor, biaya logistik dan
distribusi serta energi merupakan faktor yang menurunkan daya saing produk ekspor Jakarta. Pelemahan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 123
nilai tukar ditengarai memberikan dukungan terhadap peningkatan volume ekspor, namun berdampak
pula pada penurunan nilai ekspor (Grafik III.4.7.), bila kandungan impor dari barang ekspor cukup besar.
Melambatnya pertumbuhan ekspor tercermin dari penurunan ekspor produk utama Jakarta, yaitu
kendaraan bermotor, mesin dan komponennya (Grafik III.4.7.).
Pada triwulan I 2014, kinerja ekspor Jakarta diperkirakan akan membaik. Hal ini terindikasi dari
pertumbuhan ekspor secara triwulanan yang kembali positif pada triwulan IV 2013 (0,54% qtq), setelah
mengalami kontraksi pada triwulan sebelumnya. Salah satu pendukung perbaikan ekspor tersebut adalah
membaiknya perekonomian negara mitra dagang ekspor, khususnya negara maju. Produk kendaraan
bermotor merupakan salah satu produk ekspor yang diperkirakan akan mengalami perbaikan ekspor. Hal
itu terkait dengan semakin meningkatnya kualitas dan beragamnya produk kendaraan bermotor yang
diproduksi termasuk low cost green car (LCGC). Potensi ekspor produk LCGC cukup besar dan tidak hanya
ke pasar negara ASEAN, tetapi juga ke pasar global lainnya seperti Amerika Selatan. Kendati demikian,
ekspor kendaraan bermotor juga menghadapi tantangan pada tahun 2014, khususnya dari sisi kompetisi
dan kenaikan biaya produksi dari upah tenaga kerja dan bahan baku impor. Perbaikan kinerja ekspor
juga diprediksi akan bersumber dari produk bahan kimia dan peralatan listrik. Kontak liaison perusahaan
di industri kimia memperlihatkan optimisme pada peningkatan penjualan pada tahun 2014.
-40
-20
0
20
40
60
80
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2011 2012 2013
%, yoy
g.Nilai Ekspor g.Volume Ekspor
Grafik III.4.7.Perkembangan Nilai dan Volume Ekspor
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
(150)
(100)
(50)
0
50
100
150
200
250
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
2012 2013
%, yoy%, yoy
gPakaian Jadi gMakanan Olahan
gAlat Listrik gKendaraan Bermotor
gIndustri (skala kanan)
Grafik III.4.8. Perkembangan Volume Ekspor Komoditas Utama
Impor
Perlambatan ekspor di Jakarta pada triwulan IV 2013 juga disertai dengan impor yang melambat. Impor
melalui Jakarta tercatat tumbuh sebesar 0,1% (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan dengan
pertumbuhan impor pada triwulan sebelumnya sebesar 2,2% (yoy). Perkembangan impor Jakarta ini
sejalan dengan perlambatan impor secara nasional. Perlambatan impor terindikasi baik secara volume
maupun nilai (Grafik III.4.9.). Berdasarkan jenisnya, perlambatan pertumbuhan impor terutama pada
impor barang konsumsi dan bahan baku (Grafik III.4.10.).
Penurunan impor barang konsumsi sejalan dengan fenomena pelemahan nilai tukar rupiah yang
menyebabkan preferensi konsumen untuk menggunakan barang impor berkurang. Penurunan impor
terjadi pada barang konsumsi tahan lama seperti barang elektronika maupun makanan jadi dan
minuman. Penurunan impor konsumsi barang tahan lama yang terdalam terutama berasal dari negara
Korea Selatan. Hal tersebut diduga terkait dengan penurunan permintaan hand phone (HP) asal negara
tersebut. Seiring dengan membaiknya ekspor, impor pada triwulan I diperkirakan akan meningkat.
Peningkatan impor terutama untuk bahan baku yang diperlukan oleh sektor industri berorientasi ekspor.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 124
-40
-20
0
20
40
60
80
100
120
140
1 2 3 4 5 6 7 8 9101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9101112
2011 2012 2013
%, yoy
g.Nilai Impor g.Volume Impor
Grafik III.4.9. Perkembangan Nilai dan Volume Impor
(40)
(20)
-
20
40
60
80
100
120
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2010 2011 2012 2013
%, yoy
Konsumsi Bahan Baku Barang Modal
Grafik III.4.10. Perkembangan Nilai Impor
Perdagangan Antar Daerah
Kinerja perdagangan wilayah Jakarta dengan daerah lain masih cukup kuat pada triwulan IV 2013. Hal ini
tercermin dari arus bongkar muat barang domestik dari Pelabuhan Tanjung Priok (Grafik III.4.16). Indikasi
tetap kuatnya perdagangan atau ekspor dari wilayah Jakarta ke daerah lain juga tercermin dari adanya
peningkatan produksi di industri pengolahan di tengah melambatnya ekspor luar negeri. Relatif kuatnya
permintaan dari daerah lain, khususnya dari KTI dipengaruhi oleh pola musiman akhir tahun.
Kinerja Sektor Utama
Sektor Jasa Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan
Sektor jasa keuangan, real estate, dan jasa perusahaan tumbuh melambat pada triwulan IV 2013. Sektor
ini mencatat pertumbuhan sebesar 4,6% (yoy), lebih rendah dari pencapaian pada triwulan III 2013
sebesar 5,0% (yoy). Sepanjang triwulan IV 2013, subsektor jasa keuangan Jakarta mengalami tekanan
cukup besar, yang terutama dipengaruhi oleh rencana berakhirnya stimulus moneter oleh Bank Sentral
Amerika. Selain itu, tekanan pada kondisi ekonomi makro, khususnya pada nilai tukar, menyebabkan
keluarnya dana dari pasar keuangan domestik. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan volume
perdagangan saham menurun tajam, sejalan dengan memburuknya pasar keuangan pada akhir tahun
2013. Pada subsektor real estate, penurunan kinerja terkait dengan melemahnya penjualan properti
komersial sebagai dampak dari penerapan kebijakan LTV dan ketentuan KPR indent, serta kenaikan suku
bunga perbankan. Dalam kegiatan liaison, salah satu pengembang terbesar di Jakarta mengonfirmasi
tidak tercapainya target penjualan pada tahun 2013. Lebih lanjut, diinformasikan oleh kontak liaison
tersebut bahwa dampak buruk ketentuan LTV lebih memberatkan dibandingkan dengan kenaikan suku
bunga kredit. Kebijakan LTV mengakibatkan sejumlah bank belum dapat mencairkan KPR/KPA karena
beberapa persyaratan tidak dapat dipenuhi oleh calon peminjam. Demikian pula, bisnis penyewaan
diperkirakan juga melambat dengan adanya kenaikan biaya sewa/kontrak rumah di Jakarta.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 125
-20
0
20
40
60
80
100
120
1 2 3 4 5 6 7 8 9101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9101112
2010 2011 2012 2013
%, yoy
gIHSG gIndeks Emiten Keuangan
gIndeks Emiten Properti gIndeks Emiten Perdagangan
Sumber: CEIC diolah
Grafik III.4.11.Perkembangan Indeks Pasar Keuangan
-100
-50
0
50
100
150
200
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2010 2011 2012 2013
%, yoy gFrekuensi Saham DiperdagangkangNilai Saham Diperdagangkan
Sumber : CEIC diolah
Grafik III.4.12. Kinerja Perdagangan Pasar Keuangan
Pada triwulan I 2014, kinerja sektor jasa keuangan, real estate dan jasa perusahaan belum menunjukkan
perbaikan yang berarti, dan diprakirakan hanya mampu tumbuh pada level yang sama dengan triwulan IV
2013. Meskipun demikian, pada bulan Januari 2014 terlihat adanya perbaikan kinerja IHSG, seiring
dengan relatif stabilnya nilai tukar. Selain itu, adanya perbaikan bursa regional turut mendukung
membaiknya pasar keuangan domestik. Kinerja subsektor jasa perusahaan juga diprediksi meningkat
pada triwulan berjalan terkait dengan meningkatnya intensitas realisasi belanja Pemilu 2014 melalui
penyelenggaraan event dan promosi (iklan) melalui media, serta jasa survei (pooling). Sementara itu,
pelemahan kinerja subsektor real estate masih berlanjut, sebagai pengaruh dari melambatnya transaksi
penyewaan maupun penjualan properti komersial. Beberapa perusahaan diperkirakan masih akan
menunda ekspansi bisnisnya termasuk perluasan sewa kantor maupun pembukaan kantor cabang baru.
Sektor Industri Pengolahan
Sektor industri pengolahan Jakarta pada triwulan IV 2013 menunjukkan kinerja yang lebih baik. Perbaikan
kinerja ini sejalan dengan perkembangan ekspor Jakarta. Sektor industri Jakarta mencatat pertumbuhan
sebesar 3,3% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan capaian pada triwulan sebelumnya sebesar 2,8%
(yoy). Berbagai indikator mengonfirmasi perbaikan kinerja sektor industri pengolahan Jakarta, antara lain
kembali positifnya pertumbuh ekspor produk Jakarta secara triwulanan, walaupun pertumbuhan
tersebut relatif masih terbatas. Selain itu, juga terdapat peningkatan produksi untuk memenuhi
kebutuhan akhir tahun di pasar domestik, walaupun dalam level yang terbatas. Terbatasnya permintaan
domestic, khususnya pada barang tahan lama yang merupakan produk manufaktur seperti kendaraan
bermotor dan barang elektronik, sebagai pengaruh dari kenaikan harga bahan baku impor. Berdasarkan
survei produksi industri pengolahan besar dan sedang di Jakarta (Tabel III.4.1), kenaikan produksi
terdapat pada industri bahan kimia, karet dan plastik, pakaian jadi, percetakan dan reproduksi rekaman.
Sedangkan pada industri mikro dan kecil, kenaikan produksi terdapat pada industri makanan dan
minuman, pakaian jadi dan barang dari kulit. Salah satu industri manufaktur di bidang tekstil secara
khusus menilai bahwa depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika cukup membantu perusahaan dan
berdampak positif dari sisi daya saing. Meski demikian, industri manufaktur saat ini juga dihadapkan
pada tekanan biaya produksi.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 126
Kinerja produksi kendaraan bermotor, yang merupakan sektor utama Jakarta, memperlihatkan adanya
peningkatan pertumbuhan produksi pada triwulan IV 2013. Selain untuk pemenuhan pasar ekspor,
penjualan mobil di pasar domestik masih cukup kuat didukung oleh produk LCGC, meskipun terjadi
kenaikan harga pada triwulan akhir 2013. Produk LCGC sendiri belum mengalami kenaikan harga terkait
dengan kandungan impor yang lebih rendah.
Peningkatan produksi di sektor industri pengolahan, di tengah ekspor yang masih terbatas,
mengindikasikan adanya penambahan stok. Hasil liaison ke sejumlah industri manufaktur di Jakarta
mengonfirmasi kinerja produksi yang lebih baik. Fenomena peningkatan kinerja produksi industri
pengolahan di tengah impor bahan baku yang melambat juga memberikan indikasi kecenderungan untuk
menggunakan stok bahan baku yang ada mengingat harga bahan baku impor yang semakin mahal.
-20
0
20
40
60
80
100
120
140
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9101112
2010 2011 2012 2013
%, yoy
gEmiten Industri dasar gEmiten Industri Manufaktur
Sumber: CEIC, diolah
Grafik III.4.13. Kinerja Emiten Sektor Industri di Jakarta
90
95
100
105
110
115
120
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2011 2012 2013
%, yoy
gProduksi Kendaraan Bermotor Indeks Produksi Industri Sumber: CEIC, diolah
Grafik III.4.14. Kinerja Produksi Kendaraan Bermotor
Tabel III.4.1. Tabel Indeks Produksi Industri Pengolahan Besar dan Sedang
qtq yoy
Industri Makanan -0.71 -1.22 0.37
Industri Tekstil -5.98 -6.13 2.02
Industri Pakaian Jadi 2.83 6.09 1.53
Industri Percetakan dan Reproduksi Media
Rekaman3.4 4.96 8.07
Industri Bahan Kimia dan Barang dari Bahan
Kimia1.47 8.63 6.28
Industri Karet , Barang dari Karet dan Plastik 5.7 14.35 7.72
Industri Barang Galian Bukan Logam 4.61 0.31 -2.45
Industri Logam Dasar 2.57 -0.6 -1.54
Industri Barang dari Logam, bukan Mesin dan
Peralatannya1.28 7.03 4.96
Industri Peralatan Listrik 2.86 2.63 -3.47
Industri Mesin dan Perlengkapan ytdl 2.72 -4.77 3.45
Industri Kendaraan Bermotor, trailer, dan Semi
trailer3.36 2.38 -1.37
Industri Alat Angkut lainnya 7.59 12.04 1.66
Indeks IBS DKI Jakarta 4.01 5.58 5.05
Jenis IndustriTriwulan IV 13
2013
Sumber: BPS Provinsi DKI Jakarta
L a p o r a n N u s a n t a r a | 127
Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (Pariwisata)
Pada triwulan IV 2013 sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR) tumbuh melambat cukup signifikan.
Pada periode ini sektor PHR hanya mampu tumbuh sebesar 4,8% (yoy). Sementara itu, pada triwulan
sebelumnya, sektor PHR tumbuh kuat mencapai 6,5% (yoy). Perlambatan sektor PHR terutama
bersumber dari melemahnya konsumsi masyarakat. Dengan margin keuntungan yang terbatas, kenaikan
harga barang dan jasa sebagai akibat dari depresiasi nilai tukar maupun penyesuaian tarif listrik,
diperkirakan sebagian ditransmisikan ke konsumen. Data bongkar muat barang domestik melalui Tanjung
Priok mengonfirmasi terbatasnya kinerja perdagangan antardaerah (Grafik III.4.15.). Demikian pula,
indeks penjualan eceran dan konsumsi barang tahan lama (Grafik III.4.16.) menunjukkan terbatasnya
pertumbuhan subsektor perdagangan sebagai akibat melemahnya perekonomian domestik. Hal yang
sama juga terlihat pada kinerja penjualan kendaraan bermotor yang dalam tren menurun (Grafik
III.4.17.).
Dari sisi pariwisata di Jakarta, beberapa indikator mengindikasikan adanya peningkatan kegiatan.
Pertumbuhan kegiatan pariwisata pada triwulan IV 2013 tercermin pada data pengunjung melalui
angkutan udara dan tingkat okupansi hotel di Jakarta. Adanya musim libur akhir tahun turut mendukung
kinerja subsektor pariwisata. Peningkatan kunjungan wisata ke Jakarta ditengarai juga sebagai dampak
dari melemahnya nilai tukar dan berbagai promosi yang gencar dilakukan untuk menarik wisatawan baik
asing maupun domestik. Meskipun demikian, belum terlihat indikasi peningkatan okupansi hotel sebagai
dampak dari faktor Pemilu 2014.
Di sisi lain, banjir yang melanda Jakarta dan beberapa daerah disekitarnya menjadi faktor yang
menghambat laju peningkatan sektor PHR pada triwulan I 2014. Meskipun sektor PHR diperkirakan
tumbuh lebih tinggi pada triwulan I 2014 dibandingkan dengan triwulan IV 2013, kinerjanya diperkirakan
akan lebih rendah dari periode yang sama tahun 2013. Hal ini disebabkan oleh kondisi cuaca yang tidak
kondusif dan banjir yang memutus jalur utama distribusi barang ke wilayah Jakarta. Beberapa akses
perdangan lumpuh akibat banjir, seperti di jalur pantai utara (pantura), Tol Cipularang, dan wilayah utara
Jakarta, yang menjadi lokasi pelabuhan Tanjung Priok. Banjir disertai kemacetan tersebut juga ditengarai
sebagai penyebab menurunnya konsumsi rumah tangga dan penjualan ritel. Menurut BMKG, kondisi
alam yang tidak menguntungkan ini diperkirakan masih akan berlanjut hingga Maret 2014. Selain
berpengaruh pada kegiatan perdagangan, dampak negatif dari kondisi alam ini juga berpengaruh pada
kegiatan di subsektor pariwisata.
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011
2010 2011 2012 2013
%,yoy CMA
g.Bongkar g.Muat
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik III.4.15. Bongkar Muat Barang Domestik
40
50
60
70
80
90
100
110
120
130
140
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121
2010 2011 2012 2013 2014
Indeks Penjualan Eceran (CMA) Indeks Konsumsi Barang Tahan Lama
Grafik III.4.16. Indeks Penjualan Eceran & Barang Tahan Lama
L a p o r a n N u s a n t a r a | 128
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
40000
45000
50000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2011 2012 2013
%, yoyUnit
Penjualan Kendaraan Bermotor TAM di Jakarta (estimasi)
gPenjualan Kendaraan Roda 2 (skala kanan)
gPenjualan Kendaraan Roda 4 (skala kanan)
Sumber: CEIC, diolah
Grafik III.4.17. Penjualan Kendaraan Bermotor
46
48
50
52
54
56
58
60
62
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
70
80
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011
2010 2011 2012
%%, yoy
Tingkat Okupansi Hotel (skala kanan) gPengunjung Soekarno-Hatta
Sumber: CEIC, diolah
Grafik III.4.18. Kinerja Subsektor Pariwisata Jakarta
Sektor Konstruksi
Di tengah melambatnya permintaan properti komersial, sebagai dampak dari kenaikan suku bunga dan
depresiasi nilai tukar, sektor konstruksi masih mampu tumbuh tinggi. Pada triwulan IV 2013 sektor
konstruksi dapat tumbuh sebesar 6,1% (yoy), meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan pada
triwulan III 2013 sebesar 5,7% (yoy). Prediksi awal bahwa akan terjadi penundaan sejumlah proyek
konstruksi properti komersial tidak sepenuhnya terjadi. Sejumlah pengembang secara khusus menunda
pembangunan proyek properti baru, namun kegiatan pembangunan dalam rangka melanjutkan
konstruksi proyek yang sudah berjalan banyak dilakukan, selain kegiatan perluasan lahan baru (land
bank). Indikator konsumsi semen (Grafik III.4.19.) yang meningkat dan masih tingginya pertumbuhan
penjualan bahan bangunan di Jakarta (III.4.20.) mengonfirmasi masih terjadinya peningkatan aktivitas di
sektor konstruksi.
Pertumbuhan sektor konstruksi pada triwulan IV 2014 ditopang oleh proyek pembangunan infrastruktur,
di antaranya yang cukup besar adalah proyek revitalisasi waduk Pluit dan Rio Rio serta proyek
pembangunan monorel dan MRT Jakarta. Selain itu, terdapat Proyek JEDI yang merupakan proyek
bertahap jangka panjang untuk menormalisasi sungai dan waduk di wilayah Jakarta dengan bantuan
pendanaan Bank Dunia. Dalam mengantisipasi banjir pada musim penghujan pada akhir tahun 2013,
Pemerintah Pusat (Kementerian PU) dan Pemerintah Daerah juga melakukan perbaikan saluran drainase,
bantaran sungai, dan kanal banjir.
Kinerja sektor konstruksi pada triwulan I 2014 diperkirakan sedikit melambat sebagai pengaruh dari
curah hujan yang tinggi dan banjir yang mengganggu proses pembangunan fisik. Selain itu, sejumlah
pengembang maupun investor cenderung masih akan menunda realisasi pembangunan proyek properti
komersial baru hingga setelah Pemilu 2014. Saat ini, pengembang cenderung menunggu hingga terlihat
adanya indikasi membaiknya permintaan serta terserapnya suplai properti komersial di pasar. Potensi
penundaan tersebut juga merupakan akibat dari berlanjutnya depresiasi rupiah yang mendorong
kenaikan harga bahan bangunan impor, sehingga perlu dilakukan penyesuaian estimasi biaya investasi.
Sedangkan dari sisi proyek investasi infrastruktur, baik yang dibiayai pemerintah maupun kerjasama
swasta-pemerintah, diprediksi masih akan mengalami peningkatan terutama dengan meningkatnya
anggaran APBD provinsi DKI Jakarta yang cukup signifikan. Selain proyek infrastruktur, Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta juga merencanakan pembangunan perumahan rakyat bersubsidi. Meskipun
L a p o r a n N u s a n t a r a | 129
demikian, sesuai dengan skema pendanaan multi years maka realisasi anggaran pada awal berjalannya
proyek infrastruktur relatif terbatas.
-40
-20
0
20
40
60
80
100
0
100
200
300
400
500
600
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2011 2012 2013
%, yoy
Konsumsi Semen (ribu ton) g.Konsumsi Semen (skala kanan)
Sumber: CEIC, diolah
Grafik III.4.19. Konsumsi Semen di Jakarta
-100
-50
0
50
100
150
200
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1
2011 2012 2013 2014
%
gPenjualan Perlengkapan Konstruksi gPenjualan Bahan Konstruksi Logam
gPenjualan Bahan Konstruksi Kayu
Grafik III.4.20. Penjualan Bahan Bangunan di Jakarta
KETENAGAKERJAAN DAN KEMISKINAN
Penyerapan tenaga kerja di Jakarta menunjukkan perbaikan. Kondisi tersebut tercermin dari penurunan
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Penyerapan tenaga kerja terbesar terjadi di sektor perdagangan,
rumah makan, dan jasa akomodasi. Perbaikan penyerapan tenaga kerja juga didukung dengan perbaikan
kualitas tenaga kerja, yang tercermin dari peningkatan tenaga kerja dengan pendidikan terakhir SMA
Kejuruan dan Diploma-Universitas yang meningkat. Tenaga kerja dengan pendidikan terakhir SMA
Kejuruan dan Diploma/ Universitas masing-masing mengalami peningkatan sebesar 11,4% dan 3,5%
dibandingkan dengan tahun lalu.
Perlambatan perekonomian Jakarta dan kenaikan inflasi di 2013 berdampak pada peningkatan tingkat
kemiskinan. Pada semester II tahun 2013, tingkat kemiskinan Jakarta tercatat sebesar 3,7%, lebih tinggi
dibandingkan dengan semester sebelumnya sebesar 3,5%. Tingkat kemiskinan di Jakarta tersebut
merupakan yang terendah dibandingkan dengan provinsi lainnya. Kendati demikian, pemerataan
kesejahteraan masih menjadi tantangan di Jakarta karena gini ratio di Jakarta, yang sebesar 0,43, masih
tergolong tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya. Gini ratio tersebut juga sedikit meningkat
dibandingkan dengan tahun 2012 sebesar 0,42.
Tabel III.4.2. Perkembangan Ketenagakerjaan
Agustus Februari Agustus
Penduduk Usia 15 Tahun ke atas 7,502.19 7,545.04 7,607.88
Angkatan Kerja 5,368.80 5,283.20 5,180.01
a. Bekerja 4,838.60 4,650.80 4,712.84
b. Pengangguran 530.00 513.20 467.18
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK, %) 71.60 68.40 68.09
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT, %) 9.90 9.90 9.02
20132012Kegiatan Utama
PERKEMBANGAN INFLASI
Tekanan inflasi Jakarta pada pengujung tahun 2013 mulai mereda, meski masih pada level yang cukup
tinggi. Realisasi inflasi Jakarta pada triwulan IV 2013 tercatat sebesar 8,00% (yoy), lebih rendah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 130
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya maupun inflasi nasional sebesar 8,38% (Grafik III.4.21.).
Tingginya inflasi pada akhir tahun 2013 disebabkan oleh peningkatan inflasi administered prices yang
cukup signifikan pada triwulan IV 2013 terutama disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar rumah
tangga dan tarif kereta api. Kenaikan harga elpiji 12 kg terkait dengan kebijakan pemerintah melakukan
pengalihan biaya transpor dan pengisian (filling fee), yang semula dari Pertamina, ke agen atau
distributor. Sementara itu, kenaikan tarif kereta api disebabkan oleh peningkatan biaya perawatan
khususnya komponen spare part yang masih diimpor.
Memasuki awal tahun 2014, tekanan inflasi masih cukup tinggi. Tekanan inflasi yang masih tinggi
tersebut berasal dari kelompok administered prices, terkait komoditas bahan bakar rumah tangga, dan
kelompok volatile food, terkait bencana banjir yang melanda sejumlah wilayah di sekitar Jakarta.
Kenaikan harga elpiji 12 kg, yang terjadi pada awal tahun, memberikan tekanan inflasi, khususnya pada
Januari 2014. Meningkatnya harga elpiji nonsubsidi kemasan 12 kg ditetapkan berlaku mulai awal tahun
2014, yang didasarkan pada meningkatnya harga pokok LPG di pasar serta turunnya nilai tukar rupiah.
Pada saat itu harga LPG ditetapkan meningkat Rp 3.500 per kg. Meski pada akhirnya kenaikan harga
dikoreksi menjadi Rp 1.000 per kg pada 7 Januari 2014, harga di tingkat konsumen, yang sudah terlanjur
meningkat cukup tinggi, tidak mengalami penyesuaian ke bawah secara langsung.
Banjir yang terjadi di Jakarta dan beberapa daerah di jalur Pantai Utara (Pantura) memicu kenaikan inflasi
volatile food. Beberapa komoditas pangan mengalami kenaikan harga. Hal tersebut disebabkan oleh
berkurangnya pasokan dari daerah sentra produksi maupun terganggunya distribusi karena sejumlah
daerah di Pantura dan akses menuju Pasar Induk yang terendam banjir. Kendati Pasar Induk Beras
Cipinang dan Pasar Induk Kramat Jati memiliki stok yang mencukupi, potensi risiko menipisnya pasokan
tetap ada. Hal tersebut dapat terjadi mengingat BMKG memperkirakan intensitas curah hujan hingga
Maret 2014 masih relatif tinggi. Di sisi lain, tekanan inflasi inti pada triwulan I 2014 terutama bersumber
dari komoditas berbahan dasar impor seperti susu bubuk, obat-obatan, dan alat elektronik.
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Penguatan koordinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Jakarta di antaranya melalui high level
meeting (HLM) pada tanggal 24 Desember 2013. Rapat Tim Kebijakan tersebut dihadiri oleh Asisten
Sekda Bidang Perekonomian dan instansi terkait yang mencakup SKPD Pemprov DKI Jakarta, BUMD, serta
pihak eksternal. Agenda utama HLM tersebut adalah evaluasi perkembangan dan pengendalian inflasi
tahun 2013 dan pembahasan rencana kerja TPID Provinsi DKI Jakarta tahun 2014.
Dalam rangka stabilisasi harga, TPID Provinsi DKI Jakarta juga melakukan finalisasi pembuatan website
(laman) Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) yang menjadi program prioritas pengendalian
inflasi tahun 2013. Selain itu, Pemprov DKI Jakarta mengupayakan penguatan kerja sama antara daerah,
melalui Perjanjian Kerja Sama (MoU) dengan Pemerintah Lampung. MoU tersebut memuat rencana kerja
sama antara Pemprov DKI Jakarta dengan Pemprov Lampung terkait perdagangan komoditas dari Pulau
Sumatera yang masuk ke Jakarta dan sebaliknya.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 131
3
4
5
6
7
8
9
10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2011 2012 2013
%, yoy
Jakarta Nasional
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik III.4.21. Perkembangan Inflasi
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2011 2012 2013
%,yoy
Inflasi IHK Core Adm Price Volatile Foods
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik III.4.22. Disagregasi Inflasi
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Penyaluran kredit perbankan pada triwulan IV 2013 secara nominal masih peningkatan, namun, tumbuh
melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Meskipun pertumbuhan kredit melambat sebagai
pengaruh kenaikan suku bunga dan melemahnya perekonomian domestik, penyaluran kredit di Jakarta
masih tumbuh tinggi. Rata-rata pertumbuhan kredit pada triwulan IV 2013 berada pada kisaran 23%.
Apabila dilihat berdasarkan jenisnya, maka pertumbuhan kredit investasi masih tetap dalam tren
meningkat. Sementara kredit modal kerja dan kredit konsumsi tumbuh melambat. Pada triwulan
berjalan, pertumbuhan kredit di Jakarta diperkirakan masih relatif tinggi. Adapun hal yang mendasari
adalah aktivitas perdagangan yang masih cukup kuat dan peningkatan ekspor yang akan berpengaruh
pada kredit di sektor industri.
0
5
10
15
20
25
30
35
0
200
400
600
800
1,000
1,200
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9101112
2011 2012 2013
% yoyTriliun Rp
Kredit gKredit (axis kanan)
(30)
(20)
(10)
0
10
20
30
40
50
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2011 2012 2013
% yoy
gKredit Modal Kerja gKredit Investasi gKredit Konsumsi
Grafik III.4.23. Kinerja Penyaluran Kredit Perbankan Grafik III.4.24. Penyaluran Jenis Kredit Perbankan
Berdasarkan data kredit per sektor utama perekonomian Jakarta yang terakhir (triwulan IV 2013), kredit
di subsektor industri dan real estate, dan jasa keuangan relatif stabil. Sedangkan kredit di subsektor
perantara keuangan menunjukkan kenaikan dan yang mengalami penurunan adalah kredit di sektor
perdagangan. Penurunan kredit di sektor perdagangan ini ditengarai sebagai pengaruh dari menurunnya
kredit modal kerja. Pada kredit real estate, penurunan terutama terjadi pada kredit rumah menengah
kecil (tipe sampai dengan 70) dan apartemen dengan tipe sampai dengan 21.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 132
0
20
40
60
80
100
120
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2011 2012 2013
% yoy
Industri Pengolahan
Perdagangan Besar & Eceran
Perantara Keuangan
Real Estate
Grafik III.4.25. Kredit Bank berdasarkan Sektor Ekonomi
0
1
2
3
4
5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2011 2012 2013
% Rasio NPL berdasarkan Lokasi Bank
Porsi NPL Konstruksi
Porsi NPL Perdagangan
Porsi NPL Real Estate & Jasa Perusahaan
Grafik III.4.26. Rasio NPL Kredit Sektor Utama Perbankan
Rasio Non performing loans (NPL) untuk sektor utama Jakarta khususnya di sektor konstruksi, sektor
perdagangan, dan sektor real estate dan jasa perusahaan meningkat pada triwulan IV 2013. Lonjakan
NPL tercatat pada November 2013 sebagai pengaruh dari kenaikan suku bunga dan tekanan nilai tukar.
Sementara itu, penurunan NPL terjadi di sektor industri pengolahan yang ditengarai sebagai dampak
meningkatnya kinerja produksi manufaktur seiring dengan perbaikan ekspor. Risiko kredit (NPL) di
Jakarta pada triwulan I 2014 diperkirakan terjaga dengan berkurangnya tekanan ekonomi makro. Rasio
NPL di Jakarta pada triwulan berjalan diprakirakan akan tetap berada di bawah 2% dengan stabilnya
kondisi ekonomi makro dan kebijakan moneter yang konstruktif. Dengan demikian, ketahanan sistem
keuangan korporasi di Jakarta diperkirakan masih terjaga pada level yang aman.
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Kredit sektor rumah tangga yang utamanya kredit konsumsi dalam tren menurun pada triwulan IV 2013
sebagai pengaruh dari kenaikan suku bunga dan ekspektasi suku bunga ke depan yang masih berpotensi
meningkat. Rumah tangga cenderung untuk menyesuaikan pola belanja (rasionalisasi) apabila kenaikan
upah tidak sepadan dengan peningkatan harga barang dan jasa secara umum. Pembiayaan kredit
perumahan dan kendaraan roda empat relatif stabil. Di sisi lain, kredit multiguna mengalami penurunan
drastis semenjak triwulan III 2013. Sementara itu, pertumbuhan kredit yang diberikan lembaga keuangan
(LK) nonperbankan masih tergolong stabil dan bahkan untuk pembiayaan leasing yang terutama untuk
kendaraan bermotor dalam tren meningkat.
(80)
(30)
20
70
120
170
1 2 3 4 5 6 7 8 9101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9101112
2011 2012 2013
% yoy Multiguna KPR Tipe 22 s.d. 70
KPR Tipe > 70 Roda Empat
Grafik III.4.27. Perkembangan Kredit Perbankan ke Rumah Tangga
-1
0
1
2
3
4
5
6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2011 2012 2013
%
NPL Rumah Tipe 22 - 70 NPL Rumah s.d. Tipe 21 NPL Ruko/Rukan
Grafik III.4.28. Rasio NPL Kredit Perumahan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 133
0
1
2
3
4
5
6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2011 2012 2013
%
NPL Sepeda Motor NPL Multiguna
NPLKomputer & Alat Komunikasi
Grafik III.4.29. Rasio NPL Kredit Pembiayaan Rumah Tangga
Grafik III.4.30. Perkembangan Kredit UMKM
Meskipun secara umum ketahanan sistem keuangan rumah tangga masih terjaga, telah terlihat adanya
peningkatan risiko, khususnya pada kredit perumahan. Rasio NPL untuk KPA sampai dengan tipe 21
dalam tren meningkat, setelah di awal 2013 mengalami lonjakan yang signifikan. Tren peningkatan rasio
NPL juga terjadi pada KPR rumah toko (ruko) serta rumah kantor (rukan), sementara rasio NPL untuk KPR
tipe 22 – 70 relatif stabil (Grafik III.4.28). Hal ini terkait dengan meningkatnya harga-harga secara umum,
kenaikan suku bunga kredit, serta melambatnya permintaan dan investasi di pasar properti komersial. Di
sisi lain, rasio NPL untuk pembiayaan konsumsi rumah tangga seperti sepeda motor dan multiguna dalam
tren menurun dan berada di bawah level 2%. Namun untuk kredit barang elektronik (komputer dan alat
komunikasi) menunjukkan peningkatan rasio NPL yang signifikan pada triwulan III 2013 dan cenderung
stabil di level yang tinggi pada triwulan IV 2013 (Grafik III.4.29).
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Pertumbuhan kredit UMKM di Jakarta cenderung masih melambat pada triwulan IV 2013. Di samping
faktor persaingan yang meningkat, melambatnya permintaan konsumen turut memengaruhi kinerja
UMKM. Dengan berbagai tekanan yang dihadapi perekonomian dalam dua triwulan terakhir, pengetatan
persyaratan pembiayaan perbankan juga ditengarai turut berpengaruh pada pembiayaan sektor UMKM.
Hingga saat ini, tidak sedikit pula pelaku usaha UMKM di Jakarta yang belum memiliki akses pembiayaan
ke perbankan. Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah mengusulkan
Perda pembentukan BUMD Penjaminan Kredit Daerah (Jamkrida) Jakarta pada Oktober 2013. BUMD ini
akan melakukan penjaminan terhadap pelaku UMKM dalam mendapatkan modal dari perbankan.
Jamkrida Jakarta telah mendapat dukungan dari Kemenko Perekonomian dan Bank Indonesia dan
diharapkan mampu mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran, mendorong tumbuhnya
kewirausahaan, serta meningkatkan daya saing DKI Jakarta.
Kinerja Sistem Pembayaran
Sejalan dengan perlambatan ekonomi yang terjadi di Jakarta pada triwulan IV 2013, nilai transaksi
melalui RTGS pada triwulan IV 2013 mengalami penurunan dibandingkan triwulan yang sama tahun lalu.
Nilai transaksi RTGS pada triwulan IV 2013 tercatat sebesar Rp91,1 triliun per hari atau sebanyak 24.324
transaksi per hari. Realisasi tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun
lalu sebesar Rp95,6 triliun atau sebanyak 25.932 transaksi per hari. Dari volume, transaksi juga
mengalami peningkatan. Dilihat dari sisi rata-rata harian, transaksi melalui kliring pada triwulan IV 2013
L a p o r a n N u s a n t a r a | 134
mengalami peningkatan baik secara nilai maupun volume, yaitu tercatat sekitar Rp6,2 triliun dengan
volume rata-rata 283.515 warkat. Hal ini diperkirakan terkait dengan adanya peningkatan aktivitas
perekonomian pada akhir tahun, khususnya di sektor perdagangan.
Tabel III.4.4. Transaksi RTGS
I II III IV I II III IV I II III IV*
RTGS (Rp Miliar) 87,962 84,200 92,211 84,435 64,369 90,311 89,864 95,589 82,003 101,507 91,000 91,116
Dari Jakarta 52,455 49,876 53,513 47,978 37,882 51,407 53,107 55,280 49,866 61,284 54,713 54,862
ke Jakarta(f-t) 16,412 16,158 16,759 14,567 11,097 15,412 15,405 16,768 13,840 16,924 14,540 15,208
ke Luar Jakarta(f) 36,043 33,718 36,753 33,411 26,785 35,995 37,702 38,512 36,025 44,360 40,172 39,654
Ke Jakarta 35,507 34,324 38,698 36,457 26,487 38,904 36,757 40,309 32,137 40,222 36,287 36,254
dari Luar Jakarta(t) 35,507 34,324 38,698 36,457 26,487 38,904 36,757 40,309 32,137 40,222 36,287 36,254
RTGS (Volume) 23,801 22,113 24,770 22,448 19,754 23,312 23,634 25,932 23,928 25,244 24,466 24,324
Dari Jakarta 14,764 13,721 15,488 13,780 12,196 14,815 15,258 16,799 15,516 16,505 16,123 16,002
ke Jakarta(f-t) 3,279 3,059 3,452 3,249 2,763 3,274 3,336 3,779 3,319 3,597 3,647 3,610
ke Luar Jakarta(f) 11,485 10,662 12,037 10,531 9,433 11,541 11,921 13,020 12,197 12,908 12,476 12,393
Ke Jakarta 9,037 8,393 9,281 8,668 7,558 8,497 8,377 9,134 8,412 8,740 8,343 8,322
dari Luar Jakarta(t) 9,037 8,393 9,281 8,668 7,558 8,497 8,377 9,134 8,412 8,740 8,343 8,322
201320122011
3,000
3,500
4,000
4,500
5,000
5,500
6,000
6,500
200,000
220,000
240,000
260,000
280,000
300,000
320,000
340,000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012 2013
Rp MiliarRibu lembar
Volume Nominal (skala kanan)
Grafik III.4.31. Transaksi Kliring
(30)
(25)
(20)
(15)
(10)
(5)
-
5
10
-
10
20
30
40
50
60
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012 2013
Triliun RpTriliun Rp
Inflow Outflow Netflow (skala kanan)
Grafik III.4.32. Inflow - Outflow
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Meningkatnya kebutuhan uang masyarakat memasuki masa libur akhir tahun dari Hari Besar Keagamaan
menyebabkan terjadinya peningkatan outflow uang tunai yang lebih besar daripada inflow. Dengan
peningkatan outflow tersebut, terjadi netflow negatif sebesar Rp27,3 triliun. Adapun temuan uang palsu
di wilayah Jakarta tetap melanjutkan tren penurunan sejalan dengan semakin ketatnya pengawasan dan
edukasi publik.
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Prospek pertumbuhan ekonomi Jakarta untuk keseluruhan tahun 2014 diprakirakan berada di kisaran
6,0%-6,4% (yoy) dengan kecenderungan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2013. Hal yang
mendasari proyeksi tersebut adalah adanya indikasi kuat membaiknya kinerja ekspor dan masih
kuatnya konsumsi. Perbaikan kinerja ekspor sangat dipengaruhi oleh faktor global dan daya saing
industrial. Dalam hal ini, Jakarta memiliki keunggulan dalam hal kemampuan SDM dan infrastruktur
teknologi yang dapat dimanfaatkan. Dengan dinamika perekonomian global maupun regional saat ini,
peningkatan kapabilitas dan kapasitas industri di Jakarta merupakan kunci dalam mendukung
L a p o r a n N u s a n t a r a | 135
pertumbuhan ekonomi pada tahun 2014, menjelang integrasi pasar ASEAN tahun 2015. Di sisi
konsumsi, belanja Pemilu 2014 diperkirakan akan mampu meningkatkan konsumsi. Selain itu, realisasi
pembangunan proyek infrastruktur fisik juga akan meningkatkan belanja atau konsumsi pemerintah
pada tahun 2014. Adapun faktor risiko dari sisi permintaan terdapat pada kinerja investasi yang
terpengaruh oleh kondisi tekanan makroekonomi dan faktor global. Komitmen Pemerintah Daerah
untuk meningkatkan fasilitasi investasi dan perdagangan merupakan faktor yang krusial pada 2014. Hal
ini terkait dengan implementasi Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di DKI Jakarta.
Dari sisi sektoral, kinerja sektor non-tradable masih akan memberikan kontribusi besar pada
pertumbuhan ekonomi Jakarta. Hal ini terkait dengan kuatnya konsumsi domestik dan semakin
berperannya sektor jasa di Jakarta. Tetap kuatnya konsumsi rumah tangga dan meningkatnya kelas
menengah akan mendukung kinerja sektor perdagangan dan pariwisata serta sektor transportasi dan
komunikasi. Khusus terkait sektor properti yang melambat, terdapat risiko kredit apabila kenaikan suku
bunga berlanjut. Selain itu, tertundanya proyek konstruksi juga dapat berpengaruh pada tingkat
penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja di Jakarta. Sementara itu, subsektor jasa keuangan, real
estate dan jasa perusahaan juga memiliki risiko tumbuh melambat dengan terbatasnya investasi baik
bangunan maupun nonbangunan.
Prospek Inflasi
Inflasi Jakarta untuk keseluruhan tahun 2014 diprakirakan sebesar 4,9%-5,3% (yoy) atau kembali ke
lintasan normal inflasi, yang selaras dengan target inflasi nasional yaitu 4,5%±1% (yoy). Hal tersebut
didasari oleh asumsi tidak adanya kenaikan harga energi yang signifikan terutama harga BBM serta
kondisi cuaca yang kondusif pascamusim penghujan di awal tahun 2014. Meskipun demikian, tetap
terdapat risiko inflasi yang bersumber dari keterbatasan pasokan pangan dan gangguan distribusi yang
perlu direspons baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Adapun inflasi di kelompok inti juga
memiliki potensi untuk meningkat sejalan dengan peningkatan harga komoditas global di tengah nilai
tukar yang terdepresiasi.
Tabel III.4.5.Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
I II III IV Total Totalp
PDRB (%,yoy) 6.7 6.5 6.5 6.3 6.2 5.6 6.1 6.2-6.6
Sisi Permintaan
Konsumsi 6.2 5.8 5.3 5.6 6.2 5.6 5.7 5.9-6.3
Konsumsi swasta 6.2 6.3 5.7 5.9 6.0 5.7 5.8 6.0-6.4
Konsumsi Pemerintah 3.7 1.1 0.4 2.8 9.5 5.2 4.7 5.2-5.6
Pembentukan Modal Tetap Bruto 10.0 9.0 5.9 5.0 4.7 5.3 5.3 5.2-5.5
Ekspor 12.2 6.3 5.7 4.7 3.3 0.6 3.5 2.5-2.9
Impor 12.8 7.0 4.3 3.2 2.2 0.1 2.5 1.4-1.8
Sisi Produksi
Sektor pertanian 0.8 0.8 1.5 0.7 2.7 1.8 1.6 0.4-0.8
Sektor pertambangan & penggalian 8.6 -0.9 -0.4 -0.7 -1.0 -1.3 -0.8 -0.6 - -1
Industri pengolahan 2.4 2.4 1.9 1.5 2.8 3.3 2.4 3.8-4.2
Listrik, gas & air bersih 4.0 4.5 3.8 2.6 1.7 2.5 2.9 4.0-4.4
Bangunan 7.9 6.9 6.5 6.3 5.7 6.1 5.7 6.4-6.8
Perdagangan, hotel & restoran 7.4 7.2 7.2 7.2 6.6 4.8 6.4 5.7-6.1
Pengangkutan & komunikasi 13.9 11.8 11.4 11.4 10.9 9.8 10.8 11.2-11.6
Keuangan, persewaan dan jasa perush. 5.0 5.4 5.7 5.4 5.0 4.6 5.2 4.7-5.1
Jasa-jasa 6.9 7.6 7.5 7.4 7.9 7.4 7.5 7.1-7.5
Inflasi IHK (%,yoy) 4.0 4.5 5.7 5.7 8.4 8.0 8.0 4.9-5.3
Sumber: Badan Pusat Statis tik, diolah
2011 20122013 2014Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Wilayah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 136
BOKS 4. Dampak Bencana Banjir di Jawa
Peta Bencana Banjir
Bencana banjir yang melanda sejumlah daerah di Jawa terhitung cukup besar luasannya (Gambar D.1.),
khususnya pada wilayah Jawa Bagian Barat Bagian Utara dan Jawa Bagian Tengah. Untuk wilayah Jawa
Bagian Barat, total wilayah terkena banjir mencapai 83.128 ha per tanggal 8 Februari 2014, dengan luas
perkiraan lahan puso sebesar 3.511 ha. Sedangkan wilayah Jawa Bagian Tengah mencapai 47.284 ha,
dengan perkiraan luas lahan puso sebesar 25.396,5 ha meliputi daerah Pemalang, Demak dan Kudus.
Berdasarkan peta potensi banjir LAPAN, luasan banjir tahun ini lebih besar dibandingkan 2013.
Diperkirakan potensi banjir akan berkurang pada bulan Maret sejalan dengan meredanya curah hujan.
Berbeda dengan tahun sebelumnya, banjir kali ini lebih banyak merusak lahan non pertanian. Selain itu,
tanaman yang rusak pun masih berumur 1 – 40 hari sehingga dapat dilakukan penanaman kembali (re-
planting). Hal ini hanya memengaruhi pada pergeseran musim tanam, sedangkan jumlah produksi
masih relatif stabil.
Gambar D.1. Wilayah Terdampak Banjir Triwulan I 2014
JANUARI
MARET
2013
JANUARI
MARET
2014
L a p o r a n N u s a n t a r a | 137
Dampak Bencana Banjir Terhadap Ekonomi
Bencana banjir tahun ini cukup banyak merusak sejumlah pemukiman dan memutuskan jalur
transportasi utama antar wilayah di Jawa. Hal tersebut berpengaruh pada terganggunya kelancaran
distribusi barang dan jasa, yang dapat berdampak pada kinerja perekonomian daerah. Khusus pada
sektor pertanian, dampak banjir berpotensi lebih dominan di wilayah Jawa Bagian Barat. Sedangkan,
gangguan pada kegiatan perdagangan, transportasi dan pengangkutan berpotensi memberikan dampak
pada kinerja perekonomian Jakarta dan sebagian wilayah Jawa Bagian Barat. Sedangkan di wilayah Jawa
Bagian Timur dampak banjir relatif moderat.
Dampak banjir pada kinerja konsumsi masyarakat diperkirakan tidak terlalu signifikan. Di sisi lain, belanja
pemerintah berpotensi meningkat seiring tingginya kebutuhan perbaikan infrastruktur dan fasilitas
publik. Bencana banjir yang terjadi berulang kali hendaknya mendorong terbentuknya system
management crisis untuk meminimalkan dampak banjir khususnya yang mengganggu kelancaran
distribusi barang dan jasa. Hal ini mengingat keterlambatan pasokan barang dan jasa dapat berdampak
pada peningkatan inflasi.
Dampak Bencana Banjir Terhadap Inflasi
Kerusakan beberapa jalur distribusi berdampak pada terhambatnya distribusi bahan pangan, terutama
menuju Jakarta dan sebagian Jawa Barat. Putusnya jalur Pantura memaksa pengalihan arus distribusi ke
lintas selatan yang memerlukan tambahan waktu dan mempengaruhi pembentukan harga akhir di
konsumen. Hal ini tercermin dari kecenderungan kenaikan harga bawang merah dan cabe merah di
wilayah Jawa Bagian Barat dan Jakarta, sedangkan harga komoditas yang sama di Jawa Bagian Timur
dan Jawa Bagian Tengah mengalami penurunan. Namun, kenaikan harga komoditas beras terjadi di
keseluruhan wilayah yang diyakini sebagai dampak dari gangguan distribusi. Selain itu, keterbatasan
pasokan terutama di Jakarta mendorong dilakukannya operasi pasar oleh Bulog guna menahan laju
kenaikan harga.
Inflasi di Kawasan Jawa pada bulan Januari 2014 tercatat lebih tinggi dibandingkan rata-rata 5 tahun
terakhir. Namun, memperhatikan kondisi terkini terkait kecukupan pasokan komoditas hortikultura serta
program re-planting lahan banjir, maka inflasi kawasan Jawa masih akan berada di kisaran 7,1% - 7,6%
(yoy).
(0.2)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Juli Agust Sep Okt Nop Des
(%,mtm)
Rata-rata 5 Tahun
2014
Jawa
Grafik D.1. Inflasi Kawasan Jawa
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Juli Agust Sep Okt Nop Des
(%,mtm)
Rata-rata 5 Tahun
2014
Jakarta
Grafik D.2. Inflasi Kawasan Jakarta
L a p o r a n N u s a n t a r a | 138
0
3,000
6,000
9,000
12,000
15,000
18,000
21,000
24,000
6,000
6,500
7,000
7,500
8,000
8,500
9,000
9,500
10,000
1313135242424131313524242424241313135242424131352424241313135242424213135242424
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1
2011 2012 2013 2014
Pasokan Beras PIBC (skala kanan)
Harga Beras Grosir
Harga Beras Eceran
Ton/MguRp/Kg Ton/MguRp/Kg
Grafik D.3. Pasokan dan Harga Beras di Jakarta
(6.00)
(4.00)
(2.00)
-
2.00
4.00
6.00
8.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
2012 2013 2014
Jabagtim Jabagbar Jabagteng Jakarta
(%, mtm)
Grafik D.4. Harga Beras Kawasan Jawa
L a p o r a n N u s a n t a r a | 139
Bagian IV
Perekonomian Sumatera
Perekonomian Kawasan Sumatera pada triwulan IV 2013 tumbuh 5,5% (yoy), membaik dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya sebesar 5,0% (yoy). Pertumbuhan ini ditopang oleh membaiknya aktivitas
ekspor luar negeri dan terjaganya pertumbuhan konsumsi domestik. Dari sisi sektoral, pertumbuhan
bersumber dari meningkatnya kinerja sektor pertanian baik subsektor perkebunan maupun tabama serta
sektor industri pengolahan. Pertumbuhan ekonomi di kawasan ini didukung oleh meningkatnya kinerja
ekonomi di wilayah Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) dengan pertumbuhan 5,0% (yoy) dan
Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) sebesar 6,4% (yoy). Peningkatan pertumbuhan ini terutama
dipengaruhi peningkatan produksi sawit, karet, batubara, dan timah pada kedua wilayah ini, seiring
dengan kembali meningkatnya permintaan ekspor. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di wilayah
Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) sedikit melambat terutama karena melambatnya kinerja sektor
Perdagangan, Hotel, dan Restoran; serta sektor jasa yang salah satunya disebabkan bencana Gunung
Sinabung. Untuk keseluruhan tahun 2013, perekonomian Sumatera tumbuh melambat dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, terutama akibat melambatnya investasi. Berdasarkan hasil liaison, kondisi
ekonomi global yang penuh ketidakpastian menyebabkan perusahaan swasta lebih mengalokasikan
investasinya untuk perawatan mesin dan peralatan pendukung produksi. Dari sisi sektoral, perlambatan
disebabkan oleh semakin dalamnya penyusutan di sektor pertambangan seiring turunnya produksi migas.
Sektor pertanian juga menunjukkan perlambatan seiring dengan pertumbuhan produksi karet selama
2013 yang tidak setinggi tahun 2012 sebagai reaksi atas rendahnya harga karet pada tahun 2013.
Sementara itu, tekanan inflasi Sumatera pada akhir tahun 2013 tercatat sebesar 8,92% (yoy), meningkat
dari akhir triwulan III 2013 sebesar 8,27% (yoy). Peningkatan ini terutama disebabkan oleh kenaikan
inflasi di wilayah Sumbagut dan Sumbagteng. Keterbatasan pasokan bahan pangan, yang bersamaan
dengan meningkatnya permintaan terkait libur Natal dan Tahun Baru, membuat harga bahan pangan,
terutama beras, bawang merah, dan cabai merah, di wilayah Sumbagut dan Sumbagteng meningkat.
Berkurangnya pasokan di wilayah Sumbagut disebabkan oleh erupsi yang terjadi di Sinabung, sedangkan
berkurangnya pasokan di wilayah Sumbagteng terjadi akibat gangguan cuaca, yang menyebabkan
terganggunya produksi di Sumatera Barat dan pasokan dari luar pulau di Kepulauan Riau. Faktor
pendorong inflasi lainnya berasal dari tarif angkutan udara, yang meningkat signifikan di Sumbagut dan
Sumbagteng sebagai dampak meningkatnya mobilitas masyarakat pada liburan akhir tahun.
Memasuki awal triwulan I 2014, perkembangan berbagai indikator ekonomi di sejumlah daerah di
Sumatera mengindikasikan pertumbuhan ekonomi yang moderat. Pertumbuhan ekonomi Sumatera pada
triwulan I 2014 diperkirakan stabil jika dibandingkan dengan triwulan IV 2013. Sumber pertumbuhan
berasal dari meningkatnya konsumsi domestik dan membaiknya kinerja ekspor luar negeri nonmigas.
Perbaikan ekspor luar negeri tersebut didorong oleh membaiknya kondisi perekonomian negara mitra
dagang serta potensi kenaikan harga komoditas. Investasi juga diperkirakan meningkat seiring ekspansi
kegiatan usaha pada industri crude palm oil (CPO) antara lain peningkatan fasilitas pengolahan kelapa
sawit di kawasan Industri Sei Mangkei dan pembangunan pabrik pengembangan benih sawit. Aktivitas
kampanye untuk pemilu 2014 diperkirakan turut memberikan dorongan positif pada konsumsi rumah
tangga, khususnya pada akhir triwulan I 2014. Sementara itu, belum adanya penemuan sumur minyak
L a p o r a n N u s a n t a r a | 140
baru di kawasan Sumatera, masuknya masa tanam kelapa sawit di beberapa wilayah Sumbagteng, serta
anomali cuaca di kawasan Sumatera diperkirakan dapat menahan laju pertumbuhan ekonomi Sumatera
pada triwulan I 2014.
Di sisi inflasi, peningkatan harga pangan mendorong tingginya inflasi bulan Januari 2014. Namun, pada
akhir triwulan I 2014 diperkirakan tekanan inflasi akan berkurang sehingga inflasi diperkirakan lebih
rendah dari triwulan IV 2013. Inflasi pada Januari 2014 meningkat akibat faktor cuaca dan bencana alam,
yang menyebabkan gangguan produksi seperti di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Sumatera
Selatan; serta gangguan distribusi seperti di Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung. Selain
cuaca, tekanan inflasi juga terjadi akibat naiknya harga gas elpiji. Tekanan harga diperkirakan mereda
seiring dengan masuknya masa panen raya di beberapa sentra produksi padi di Sumatera pada akhir
triwulan I 2014.
Membaiknya kinerja perekonomian direspons dengan pertumbuhan penyaluran kredit yang lebih tinggi
pada beberapa sektor utama Sumatera pada akhir tahun 2013. Usaha di sektor perkebunan karet,
industri pengolahan minyak sawit, industri pengolahan karet, serta pertambangan batubara tercatat
mengalami peningkatan penyaluran kredit. Masing-masing industri tersebut tercatat tumbuh 47,88%
(yoy), 61,14% (yoy), 6,52% (yoy), dan 21,36% (yoy). Dengan perkembangan tersebut, kredit di kawasan
Sumatera pada akhir 2013 mencapai Rp500,71 triliun atau tumbuh 18,07% (yoy). Pertumbuhan kredit
pada triwulan berikutnya diperkirakan melambat seiring dengan meningkatnya suku bunga kredit untuk
debitur kategori menengah dan non-UMKM yang menguasai 81,76% dari keseluruhan kredit. Kondisi
perekonomian yang membaik berdampak pada turunnya risiko kredit sektor-sektor utama yakni
pertanian dan industri pengolahan. NPL kredit di kawasan Sumatera tercatat sebesar 2,26% lebih rendah
dari triwulan sebelumnya yang mencapai 2,52%. Namun, perlu diwaspadai peningkatan risiko kredit ke
depan untuk beberapa sektor. Sektor-sektor yang perlu dicermati antara lain sektor pertambangan, yang
mengalami peningkatan NPL dari 3,79% menjadi 3,81%, dan sektor usaha persewaan alat berat yang
mengalami peningkatan NPL dari 2,63% menjadi 2,71%.
Sementara itu, kredit UMKM hingga akhir 2013 tercatat juga menunjukkan peningkatan. Kredit yang
disalurkan kepada UMKM mencapai Rp130,58 triliun atau tumbuh 15,20% (yoy). Pertumbuhan tersebut
sedikit lebih rendah dari triwulan sebelumnya seiring dengan peningkatan suku bunga kredit untuk
debitur UMKM. Selaras dengan membaiknya kondisi perekonomian secara umum, risiko kredit
cenderung membaik yang diindikasikan dengan turunnya rasio NPL dari 4,58% menjadi 4,14%. Namun,
perlu diwaspadai potensi peningkatan risiko kredit UMKM di sektor konstruksi dan sektor transportasi,
sehubungan dengan tingginya nilai NPL di kedua sektor tersebut dan NPL tersebut sedang dalam tren
yang meningkat.
Sejalan dengan meningkatnya aktivitas ekonomi pada triwulan IV 2013, transaksi tunai dan nontunai
menunjukkan peningkatan. Transaksi nontunai melalui transaksi RTGS dan kliring menunjukkan
peningkatan khususnya di Sumbagteng dan Sumbagsel. Peningkatan pada akhir triwulan IV diperkirakan
bersumber dari kegiatan ekspor komoditas unggulan yang mulai meningkat. Sementara itu, langkah
untuk meningkatkan penyediaan uang tunai di daerah terpencil terus dilakukan. Beberapa kantor
perwakilan Bank Indonesia di Sumatera bahkan melakukan kegiatan kas keliling ke daerah-daerah di luar
pulau utama Sumatera.
Jumlah penduduk usia kerja di Sumbagteng yang berada di pasar tenaga kerja pada tahun 2013 turun di
tengah meningkatnya jumlah penduduk usia kerja. Dibandingkan dengan tahun 2012, penduduk usia
L a p o r a n N u s a n t a r a | 141
kerja tahun 2013 meningkat 1,9%, namun diikuti dengan meningkatnya penduduk usia kerja yang tidak
berada di pasar tenaga kerja (bukan angkatan kerja) sebesar 9,5%. Hal ini berdampak pada turunnya
jumlah penduduk usia kerja yang berada di pasar tenaga kerja, sebagaimana tercermin dari menurunnya
angka partisipasi angkatan kerja (TPAK) dari 67,5% menjadi 65,6%. Di sisi lain jumlah penduduk yang
bekerja juga turun 1,76% dibandingkan dengan kondisi tahun 2012, sementara jumlah yang menganggur
meningkat 0,24%. Dengan kondisi ini, tingkat pengangguran terbuka meningkat, dari 5,14% pada tahun
2012 menjadi 5,24% pada tahun 2013.
Pada triwulan II 2014, ekonomi Sumatera diprakirakan tumbuh kuat seiring dengan dampak positif
penyelenggaraan pemilu dan membaiknya kinerja ekspor. Perekonomian Sumatera pada periode
tersebut didukung oleh meningkatnya perekonomian di seluruh wilayah di Sumatera. Dampak Pemilu
diperkirakan akan mendorong tumbuhnya konsumsi swasta dan pemerintah. Sementara itu,
meningkatnya harga komoditas utama serta membaiknya perekonomian negara maju diperkirakan
berdampak positif pada ekspor luar negeri.
Pada keseluruhan tahun 2014, ekonomi Sumatera diperkirakan tumbuh meningkat dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, yang didukung oleh peningkatan di seluruh wilayah. Pertumbuhan ekonomi akan
berada pada kisaran 5,5% - 6,0% (yoy). Konsumsi domestik masih tumbuh tinggi seiring dengan lebih
rendahnya inflasi, meningkatnya penghasilan masyarakat karena adanya kenaikan UMP dan dampak
pemilu 2014. Ekonomi global yang membaik juga akan mendorong kinerja ekspor. Dari sisi sektoral,
perekonomian diperkirakan didorong oleh kinerja sektor industri pengolahan dan PHR.
Sementara itu, tekanan inflasi diperkirakan mereda pada triwulan II 2014. Pada periode tersebut, inflasi
Sumatera diprakirakan berada di kisaran 7,23% - 7,73% (yoy). Penurunan tekanan inflasi diperkirakan
terjadi di seluruh wilayah Sumatera sebagai efek dari panen raya padi pada awal triwulan II 2014 serta
terjaganya pasokan bahan pangan strategis. Meski demikian, aktivitas pemilu berisiko untuk
meningkatkan tekanan dari sisi permintaan pada periode tersebut. Secara keseluruhan tahun 2014, inflasi
Sumatera diperkirakan lebih rendah dari tahun 2013. Hal tersebut didukung oleh pasokan bahan pangan
yang diperkirakan sudah membaik di wilayah Sumbagut dan adanya penambahan ruas jalan di wilayah
Sumbagsel. Beberapa program PIHPS dari TPID Sumut, Sumsel, Kepri, dan Jambi, juga diperkirakan akan
memberikan dampak positif bagi pengendalian ekspektasi masyarakat. Namun, perlu diwaspadai
meningkatnya imported inflation akibat melemahnya nilai tukar rupiah, serta gangguan pasokan akibat
kebakaran hutan sebagai efek El Nino dan anomali cuaca di Sumatera. Memerhatikan risiko dan kondisi
terkini, secara keseluruhan pada tahun 2014 inflasi Sumatera diprakirakan mencapai 4,87% - 5,37% (yoy).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 142
Bagian IV.1. Perekonomian Sumatera Bagian Utara
PERTUMBUHAN EKONOMI
Kinerja perekonomian wilayah Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) pada triwulan IV 2013 menurun jika
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh lebih rendahnya pertumbuhan di
kedua provinsi di dalam wilayah Sumbagut, yaitu Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya. Dari sisi lapangan usaha, perlambatan disebabkan oleh beberapa sektor,
yaitu sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; sektor angkutan dan komunikasi; dan sektor
perdagangan, hotel dan restauran. Dari sisi permintaan, rendahnya pertumbuhan konsumsi pada
triwulan IV 2013 menjadi penyebab utama melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Untuk keseluruhan tahun 2013, pertumbuhan ekonomi wilayah Sumbagut juga melambat dibandingkan
dengan capaian tahun sebelumnya. Perlambatan ini terutama terjadi pada sektor pertanian; industri
pengolahan; angkutan dan komunikasi dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Tingginya
nilai Impor tahun 2013 dan rendahnya konsumsi pemerintah menjadi penyebab utama relatif rendahnya
pertumbuhan Sumbagut dari sisi permintaan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Pada triwulan I 2014 pertumbuhan ekonomi Sumbagut diprakirakan lebih tinggi dari triwulan IV 2013.
Hal ini terutama dipengaruhi oleh optimisme pada konsumsi, terkait dengan perayaan imlek yang terjadi
pada awal tahun dan mulai terasanya aktivitas persiapan pemilu. Sementara itu, dari sisi lapangan usaha,
sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran; dan sektor Angkutan dan Komunikasi diperkirakan menjadi
pendorong utama pertumbuhan ekonomi pada periode tersebut. Optimisme yang terjadi pada triwulan I
2014 diperkirakan akan berlajut, sehingga pada akhir tahun 2014 kinerja perekonomian Sumbagut
membaik dan diprakirakan tumbuh di kisaran 5,7% - 6,2%.
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Pada triwulan IV 2013, konsumsi rumah tangga di wilayah Sumbagut tumbuh lebih rendah daripada
periode sebelumnya. Hal ini terjadi karena melambatnya konsumsi rumah tangga, baik di provinsi Aceh
maupun di provinsi Sumatra Utara. Tingginya inflasi dan bencana alam telah melemahkan daya beli
masyarakat, sehingga masyarakat menahan kegiatan konsumsi mereka. Salah satu indikator melemahnya
daya beli masyarakat yaitu dari nilai tukar petani (NTP) di wilayah Sumbagut yang menurun. NTP total
menunjukkan penurunan sebesar 4,3% (yoy), yang disebabkan oleh NTP Aceh yang turun sebesar 5,6%
(yoy) dan NTP Sumut yang turun sebesar 3,0% (yoy), dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Melemahnya konsumsi masyarakat juga tercermin dari menurunnya pembiayaan konsumsi masyarakat,
sebagaimana terlihat dari melambatnya pertumbuhan kredit konsumsi oleh perbankan dari 12,9% pada
triwulan III 2013 menjadi hanya sebesar 9,2% pada riwulan IV 2013.
Perkembangan terakhir mengindikasikan konsumsi rumah tangga cenderung tumbuh meningkat pada
triwulan I 2014. Hal ini antara lain terlihat dari beberapa hasil survei terakhir seperti Survei Konsumen
dan Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IX.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 143
Hasil Survei Konsumen menunjukkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) cenderung meningkat (Grafik
IV.1.1), yang diperkirakan terkait dengan peningkatan konsumsi masyarakat menjelang Imlek, yang
khususnya banyak dirayakan oleh masyarakat Sumatera Utara, serta mulai meningkatnya aktivitas terkait
Pemilu. Hasil liaison pada perusahaan ritel di Medan juga memperkirakan hal yang sama, sehingga
penjualan pada triwulan I 2014 diperkirakan meningkat. Namun, peritel melihat adanya risiko dari
kenaikan tarif listrik, biaya tenaga kerja dan pelemahan nilai tukar yang akan ditransmisikan ke konsumen
dengan manaikan harga jual. Kondisi ini dapat menahan peningkatan konsumsi masyarakat.
-15,00%
-10,00%
-5,00%
0,00%
5,00%
10,00%
15,00%
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
140,00
Me
i
Jun
i
Juli
Agt
Sep
t
Okt
No
p
De
s
Jan
Feb
Ma
r
Ap
r
Me
i
Jun
i
Juli
Agt
Sep
t
Okt
No
v
De
s
Jan
2012 2013 2014Indeks Keyakinan Konsumen growth (mtm%)
Grafik IV.1.1. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
0%
1%
2%
3%
4%
5%
6%
7%
8%
9%
I II III IV I II III IV I II III IV* I*
2011 2012 2013 2014
Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah Konsumsi
Grafik IV.1.2. Pertumbuhan Konnsumsi
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah pada triwulan IV 2013 tumbuh lebih tinggi dari triwulan sebelumnya.
Meningkatnya pertumbuhan konsumsi pemerintah disebabkan oleh peningkatan realisasi belanja
pemerintah daerah, di luar belanja modal, pada akhir tahun. Realisasi belanja daerah yang hingga
triwulan III 2013 masih sangat rendah dan hanya mencapai 60%, pada triwulan IV 2013 dipacu hingga
mencapai 90% dari pagunya dalam APBD7. Cukup ekspansifnya realisasi belanja daerah Pemprov
Sumatera Utara dan Aceh pada triwulan laporan, juga tercermin dari saldo simpanan milik Pemda
Sumbagut (Pemda Sumut dan Aceh) yang turun hingga 67,9% (qtq) dari Rp17,1 triliun pada triwulan III
2013 menjadi hanya Rp5,5 triliun pada akhir triwulan laporan (Grafik IV.1.3).
75,0%
80,0%
85,0%
90,0%
95,0%
100,0%
105,0%
-
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
9.000
10.000
2008 2009 2010 2011 2012 2013**
APBD Realisasi % Realisasi Thdp APBD
Sumber: Dirjen. Perimbangan Keuangan, Kemenkeu
Grafik IV.1.3. Realisasi Belanja Daerah Pemerintah Provinsi Sumut
-67,9%
-8,39%
-80%
-60%
-40%
-20%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
-
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
14.000
16.000
18.000
Tw I
Tw I
I
Tw I
II
Tw I
V
Tw I
Tw I
I
Tw I
II
Tw I
V
Tw I
Tw I
I
Tw I
II
Tw I
V
Tw I
Tw I
I
Tw I
II
Tw I
V
2010 2011 2012 2013
Rek.Pemda Sumbagut Growth qtq (%)
Grafik IV.1.4. Posisi Simpanan Pemda Sumbagut di Bank Umum
7 Perhitungan perkiraan menggunakan rata-rata pencapaian/realisasi APBD selama 5 tahun terakhir (tahun 2008 s.d 2012).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 144
Konsumsi pemerintah pada triwulan I 2014 diperkirakan masih akan mengalami kenaikan. Hal ini antara
lain terlihat dari nilai RAPBD Provinsi Sumatera Utara yang naik 0,8% menjadi Rp8,87 triliun dari
sebelumnya Rp8,49 triliun pada tahun 2013. Berdasarkan FGD dengan Dinas Peternakan Sumut, juga
terlihat peningkatan alokasi anggaran dari Kementerian terkait, di luar APBD, untuk program peningkatan
ketahanan pangan di Sumatera Utara pada tahun 2014 menjadi Rp15,9 miliar atau meningkat 10,3% dari
tahun 2013.
Investasi
Realiasasi kegiatan investasi di wilayah Sumbagut pada triwulan IV 2013 melambat signifikan jika
dibandingkan dengan triwulan III 2013. Rendahnya investasi ini terjadi baik di Provinsi Sumatera Utara
maupun provinsi Aceh. Rendahnya investasi juga terlihat dari sisi pembiayaannya, tercermin dari
pertumbuhan penyaluran kredit investasi wilayah Sumbagut yang lebih rendah dari pertumbuhan
triwulan sebelumnya (grafik IV.1.5). Dari sisi sektor swasta, melambatnya investasi juga terkonfirmasi
dari hasil liaison kepada beberapa perusahaan, yang menyatakan investasi perusahaan menurun
dibandingkan dengan investasi yang direalisasikan pada tahun sebelumnya. Sementara itu, lebih
rendahnya realisasi belanja modal pemerintah menjelang akhir tahun 2013, baik Provinsi Sumatera Utara
maupun Aceh, turut berkontribusi pada rendahnya realisasi investasi pada periode tersebut.
Walaupun pada triwulan IV 2013 realisasi investasi relatif rendah, investasi keseluruhan tahun 2013
tumbuh lebih tinggi dari pertumbuhan tahun sebelumnya. Kondisi ini disebabkan oleh tingginya aktivitas
investasi di Wilayah Sumbagut pada periode awal tahun 2013, terutama terkait proyek MP3EI, khususnya
investasi infrastruktur seperti pembangunan Bandara Kualanamu. Dari sisi belanja modal Pemerintah,
terjadi peningkatan secara nominal, meskipun proporsi realisasi belanja modal pemerintah lebih rendah
dari pagu yang disediakan dalam APBD, sehingga tetap menyumbang bagi meningkatnya laju
pertumbuhan investasi. Belanja modal Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2013 diperkirakan hanya
akan mencapai 83,2% dari pagu dalam APBD 2013, lebih rendah dari tahun sebelumnya mencapai 88,3%.
Namun, dari sisi nominal, realisasi belanja tersebut lebih besar, yaitu sekitar Rp913,4 miliar, 13,79% lebih
tinggi dari tahun sebelumnya sebesar Rp803,6 miliar(Grafik IV.1.6).
Perkembangan indikator terakhir mengindikasikan kegiatan investasi pada triwulan I 2014 diperkirakan
cenderung meningkat. Indikasi tersebut dapat terlihat dari meningkatnya penyaluran semen di wilayah
Sumbagut (Grafik V.8). Realisasi penyaluran semen di wilayah Sumbagut ini meningkat 3,3%
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Peningkatan tersebut antara lain terkait dengan
penyelesaian proyek infrastuktur yang menjadi bagian dalam program MP3EI, seperti penambahan
fasilitas di Sentra Industri Sei Mangkei dan pembangunan Kuala Tanjung, serta pembangunan pabrik-
pabrik industri pengolahan. Proyek-proyek infrastruktur lain yang akan dibangun pada awal tahun 2014
yaitu penambahan hotel dan bangunan untuk kegiatan pusat perdagangan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 145
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
-
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
40.000
I II III IV I II III IV I II III Des
2011 2012 2013
milyar Rp
Aceh Sumut Growth (yoy)
Grafik IV.1.5. Penyaluran Kredit Investasi
75,4%
86,6%
80,5%
85,4%
88,3%
83,2%
65,0%
70,0%
75,0%
80,0%
85,0%
90,0%
-
200,0
400,0
600,0
800,0
1.000,0
1.200,0
1.400,0
2008 2009 2010 2011 2012 2013**
APBD Realisasi % Realisasi Thdp APBD
Sumber: Dirjen Perimbangan Keuangan, Kemenkeu
Grafik IV.1.6. Perkembangan Belanja Modal
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Kegiatan ekspor luar negeri pada triwulan IV 2013 menunjukkan perbaikan kinerja dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Pertumbuhan ekspor tercatat sebesar 2,2%, membaik dari triwulan sebelumnya.
Perbaikan tersebut terutama didukung oleh peningkatan ekspor di Provinsi Sumatera Utara, baik secara
nilai maupun secara volume, terutama untuk komoditas CPO dan karet (Grafik IV.1.7.). Pengusaha
mengakui bahwa pelemahan pelemahan nilai tukar sedikit menguntungkan, terutama bagi eksportir resin
karet alam. Di sisi lain, kegiatan eskpor Provinsi Aceh pada triwulan ini relatif menurun jika dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya.
Membaiknya kinerja ekspor pada triwulan IV 2013 mendorong peningkatan pertumbuhan ekspor untuk
seluruh tahun 2013. Peningkatan pertumbuhan tersebut lebih banyak disumbang dari Provinsi Sumatera
Utara, sementara pertumbuhan Provinsi Aceh pada tahun 2013 lebih rendah dari tahun 2012. Pelemahan
ekspor yang terjadi di Aceh ini diperkirakan sebagai akibat dari turunnya ekspor komoditas pertambangan,
khususnya bijih besi, yang nilainya semakin menurun, terkait dengan larangan pemerintah dalam
mengekspor bahan dasar mineral. Namun, dari sisi nilai, perbaikan ekspor Sumbagut pada tahun 2013 tidak
terlalu tampak. Hal ini disebabkan oleh relatif lebih rendahnya harga komoditas ekspor utama seperti CPO
dan karet dibandingkan dengan tahun 2012.
Perbaikan kinerja ekspor diperkirakan masih berlanjut pada triwulan I 2014, seiring dengan membaiknya
harga komoditas ekspor utama seperti CPO dan Karet. Optimisme tersebut juga didorong oleh perbaikan
ekonomi negara maju, yang diperkirakan akan menguat pada tahun 2014. Pelemahan nilai tukar juga
menjadi salah satu faktor pendorong meningkatnya ekspor. Optimisme peningkatan penjualan ekspor ini
juga dikonfirmasi kontak liasion di sektor perkebunan, terutama terkait perbaikan harga komoditas pada
tahun 2014. Walaupun demikian, krisis energi, baik listrik maupun gas, serta rencana pengurangan subsidi
listrik menjadi faktor risiko yang berpotensi menahan laju ekspor Sumbagut.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 146
-100%
-50%
0%
50%
100%
150%
200%
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
Jan
Fe
b
Ma
r
Ap
r
Me
i
Jun
Jul
Ag
ust
Se
p
Ok
t
No
p
De
s
Jan
Fe
b
Ma
r
Ap
r
Me
i
Jun
Jul
Ag
ust
Se
p
Ok
t
No
p
De
s
2012 2013
Juta USD
Ekspor CPO Ekspor Karet
Growth CPO (%,yoy) Growth karet (%,yoy)
Grafik IV.1.7. Ekspor Impor Komoditas Utama
-50%-40%-30%-20%-10%0%10%20%30%40%50%
0
100
200
300
400
500
600
700
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
Impor Value (ribu USD) Impor Volume (ton)
Growth Value % (yoy) Growth Volume % (yoy)
Grafik IV.1.8. Perkembangan Impor Sumbagut
Impor
Realiasasi impor luar negeri Sumbagut sampai dengan triwulan IV 2013 lebih rendah dari periode
sebelumnya. Rendahnya import Sumbagut ini lebih disebabkan oleh turunnya impor luar negeri di
provinsi Sumatera Utara, sebagai dampak dampak dari pelemahan nilai tukar rupiah. Berdasarkan
informasi dari Gabungan Importir Nasional Indonesia (GINSI) Sumatera Utara, pelemahan nilai tukar yang
terjadi mengakibatkan beberapa importir melakukan pengurangan maupun pembatalan order akibat
naiknya harga pembelian yang cukup signifikan. Pertumbuhan impor di Sumbagut mengalami kontraksi
baik dari sisi nilai maupun volume, yang masing-masing tumbuh -4,2% (yoy) dan -3,0% (yoy) (Grafik
IV.1.8). Kondisi ini berdampak pada kinerja impor Sumbagut kesuluruhan tahun 2013 yang tumbuh relatif
rendah.
Pada triwulan I 2014 pertumbuhan impor diperkirakan akan mengalami peningkatan dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya. Perbaikan tersebut sejalan dengan meningkatnya aktivitas ekonomi, yang
akan mendorong meningkatnya permintaan domestik. Seiring membaiknya daya beli masyarakat,
permintaan masyarakat akan barang-barang impor diprakirakan akan meningkat, meski dibayangi oleh
risiko berlanjutnya pelemahan nilai tukar rupiah.
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR)
Melemahnya daya beli masyarakat, berdampak pada menurunnya kinerja sektor PHR pada triwulan IV
2013. Pertumbuhan sektor PHR hanya tumbuh sebesar 6,6% (yoy), melambat jika dibandingkan dengan
pertumbuhan triwulan sebelumnya, yang mencapai 10,0% (yoy). Tingginya inflasi menyebabkan
masyarakat cenderung ragu dalam melakukan kegiatan konsumsinya. Keraguan tersebut terungkap dari
turunnya indeks pembelian barang tahan lama sebesar 7,4%, dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Menurunnya pendapatan diperkirakan juga berdampak pada optimisme konsumsi masyarakat di wilayah
Sumbagut. Hal ini ditunjukkan oleh indeks penghasilan saat ini dibandingkan dengan 6 bulan yang lalu,
yang turun 12,7% dari indeks triwulan sebelumnya (Grafik IV.1.9). Turunnya penghasilan masyarakat di
wilayah Sumbagut ini searah dengan turunnya Nilai Tukar Petani, dan juga meningkatnya tingkat
kemiskinan (naik 3,9%, dibandingkan bulan Maret). Di sisi lain, bencana alam Gunung Sinabung dan tanah
longsor pada jalur Medan-Berastagi memberikan dampak pada menurunnya kegiatan pariwisata di
L a p o r a n N u s a n t a r a | 147
sekitar Berastagi, yang merupakan daerah tujuan wisata utama di Sumbagut. Dari anekdotal yang
diperoleh menyatakan bahwa sejak bencana gunung Sinabung, lebih dari 50% tamu membatalkan
pesanan hotel di sekitar areal tersebut. Rendahnya realisasi pertumbuhan sektor PHR ini juga tercermin
dari rendahnya penyaluran kredit perbankan ke sektor ini (Grafik 1V.1.10). Pada triwulan IV 2013
pertumbuhan kredit sektor ini tercatat sebesar 24,2% (yoy), lebih rendah daripada pertumbuhan triwulan
sebelumnya yang mencapai 30,3% (yoy).
Pada triwulan I 2014, dengan kondisi ekonomi yang lebih kondusif, PHR diperkirakan masih dapat
membukukan pertumbuhan yang positif. Aktivitas masyarakat, terutama terkait musim kampanye Pemilu
Legislatif dan Presiden diperkirakan akan mendongkrak kinerja sektor ini. Selain itu, perayaan Imlek pada
awal triwulan I 2014, yang banyak dirayakan oleh masyarakat Sumatera Utara, diperkirakan juga akan
berkontribusi pada peningkatan sektor PHR. Berdasarkan hasil Survei Konsumen, tingginya aktivitas
konsumsi dikonfirmasi oleh tren peningkatan indeks penghasilan saat ini serta konsumsi barang tahan
lama yang mengalami peningkatan pada triwulan laporan (Grafik IV.1.9). Sementara itu, nilai penjualan
berdasarkan hasil Survei Perdagangan Eceran pada triwulan IV 2013 juga menunjukkan optimisme
walaupun tidak setinggi optimisme pada akhir tahun lalu dengan peningkatan sebesar 25,2% (yoy).
Optimisme sektor ini juga didukung oleh informasi dari hasil liaison yang umumnya menyatakan positif
akan dampak pemilu terhadap peningkatan permintaan sektor PHR pada triwulan I 2014.
80
90
100
110
120
130
140
150
Apr Mei Juni Juli Agt Sept Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov Des Jan
2012 2013 2014
Penghasilan saat ini dibandingkan 6 bln yl Konsumsi terhadap barang tahan lama
Indeks Keyakinan Konsumen Net Balance
Grafik IV.1.9. Indeks Keyakinan Konsumen
0
5
10
15
20
25
30
35
40
-
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
40.000
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
milyar Rp
Sumut Aceh Growth % (yoy)
Grafik IV.1.10. Kredit Sektor PHR
Sektor Pertanian
Kinerja sektor pertanian pada triwulan IV 2013 relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Sektor pertanian tumbuh dari 3,1% pada triwulan III menjadi 3,2% pada triwulan IV 2013. Perkembangan
sektor ini juga mendapat dorongan dari sisi pembiayaan, tercermin dari kredit sektor pertanian yang
mengalami pertumbuhan sebesar 21,3% (yoy) atau 15,2% (qtq). Sementara itu, kredit untuk tanaman
perkebunan utama di wilayah Sumbagut juga menunjukkan peningkatan, yaitu sebesar 33,7% (yoy) untuk
perkebunan Sawit dan meningkat sebesar 39,8% (yoy) untuk perkebunan Karet. Dari sisi produksi,
komoditas perkebunan masih menunjukkan peningkatan pada triwulan IV 2013, ditopang oleh panen
puncak tanaman perkebunan yang secara siklus terjadi pada triwulan IV 2013. Walaupun demikian, pada
akhir tahun 2013 pertumbuhan sektor pertanian Sumbagut sebesar 3,8% (yoy) lebih rendah daripada
pertumbuhan sektor ini tahun sebelumnya yang mencapai 5,0%. Hal ini terkait dengan bencana alam
letusan Gunung Sinabung dan cuaca ekstrim dengan curah hujan yang tinggi, yang menyebabkan hasil
panen tidak setinggi tahun sebelumnya.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 148
Kondisi sektor pertanian pada triwulan I 2014 diperkirakan masih relatif stabil dengan kecenderungan
menurun jika dibandingkan triwulan IV 2013. Walaupun pada bulan Februari-Maret wilayah Sumbagut
mengalami panen raya padi, diperkirakan kondisi sektor ini tidak begitu berbeda dari triwulan
sebelumnya. Hal ini disebabkan karena perkiraan penurunan luas panen, terutama dari subsektor
tanaman bahan makanan (tabama) sebagai dampak dari erupsi letusan Gunung Sinabung pada areal
pertanian tabama, sayur-sayuran dan buah-buahan. Total area pertanian mencapai 26.657 Ha, dengan
rincian 16.148 Ha areal pertanian tabama, 6.357 areal pertanian sayur-sayuran, dan 2.143 areal
pertanian buah-buahan. Selain itu, berdasarkan informasi Balai Potensi Tanaman Pangan dan
Holtikultura (BPTPH) Sumatera Utara, diperkirakan beberapa areal pertanian mengalami puso karena
banjir dan ancaman hama tikus. Pada subsektor tanaman perkebunan, walaupun tren harga
internasional untuk komoditas CPO dan karet sudah menunjukkan pergerakan positif, berdasarkan
informasi dari hasil liaison, produksi kelapa sawit dan karet diperkirakan akan sedikit tertahan karena
faktor cuaca, pengaruh black campaign, serta rendahnya kualitas Bokar di Sumbagut. Di sisi lain,
dukungan pembiayaan untuk sektor perkebunan diperkirakan masih tetap kuat, sehingga masih
memberikan optimisme bagi subsektor perkebunan pada periode berikutnya.
0
10
20
30
40
50
60
70
0
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
milyar Rp
Sumut Aceh Growth % (yoy)
Grafik IV.1.11. Kredit Sektor Pertanian Umum
0
50
100
150
200
250
0
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
14.000
16.000
18.000
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
milyar Rp
Kredit Sawit Kredit Karet
Growth Sawit % (yoy) Growth Karet % (yoy)
Grafik IV.1.12. Kredit kepada Perkebunan Sawit dan Karet
Sektor Industri Pengolahan
Kinerja sektor industri pengolahan pada triwulan IV 2013 menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan.
Sektor ini tumbuh 4,3% (yoy), dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang hanya sebesar 2,8% (yoy).
Perbaikan kinerja sektor industri pengolahan juga mendapat dukungan dari sisi pembiayaan perbankan,
sebagaimana tercermin dari meningkatnya pertumbuhan penyaluran kredit perbankan ke sektor tersebut
menjadi 31,2% (yoy) (Grafik IV.1.13). Perbaikan kinerja ekspor wilayah Sumbagut, terutama didorong
oleh sektor industri di provinsi Sumatera Utara. Sementara itu, sektor industri di Aceh mengalami
kontraksi semakin dalam yaitu dari tumbuh -4,3% pada triwulan III 2014 menjadi -8,2%. Kontraksi sektor
industri di Aceh dipicu antara lain oleh terbatasnya pasokan LNG, terutama untuk industri pupuk, yang
menyebabkan industri tersebut tidak beroperasi sejak pertengahan tahun 2013. Kontraksi sektor industri
pengolahan provinsi Aceh tersebut, menahan laju pertumbuhan sektor industri keseluruhan wilayah
Sumbagut tahun 2013 yang tumbuh melambat menjadi 3,2% dari tahun sebelumnya sebesar 3,4%.
Permasalahan ketersediaan gas diperkirakan berlanjut hingga triwulan I 2014, menyebabkan pesismisme pada
sektor tersebut. Sektor industri pengolahan diprakirakan tumbuh terbatas. Indikasi terbatasnya kinerja sektor
industri pengolahan terlihat dari impor bahan baku yang belum menunjukkan peningkatan signifikan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 149
Kebijakan pemerintah, yang merencanakan kenaikan tarif listrik industri, diperkirakan akan semakin menekan
kinerja sektor industri pengolahan karena meningkatnya biaya operasional.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
milyar Rp
Sumut Aceh Growth % (yoy)
Grafik IV.1.13. Kredit Sektor Industri Pengolahan
-120%
-100%
-80%
-60%
-40%
-20%
0%
20%
40%
60%
80%
0
100
200
300
400
500
600
700
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
Ribu USD
Impor Bahan Baku Value (USD) Impor Bahan Baku Volume (Ton)
Growth Value %(yoy) Growth Volume %(yoy)
Grafik IV.1.14. Impor Bahan Baku Sumbagut
KETENAGAKERJAAN DAN KEMISKINAN
Perkembangan ketenagakerjaan di wilayah Sumbagut pada tahun 2013 relatif meningkat, dalam arti
masyarakat usia kerja yang berada di pasar tenaga kerja meningkat. Hal itu ditunjukkan oleh adanya
peningkatan angkatan kerja di wilayah Sumbagut sebesar 1,5% (yoy). Meningkatnya partisipasi angkatan
kerja di wilayah Sumbagut lebih banyak disumbangkan oleh meningkatnya tingkat partisipasi kerja (TPK)
Sumatera Utara yang mengalami pertumbuhan cukup besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Sementara itu, TPK Provinsi Aceh walaupun mengalami peningkatan tetapi tidak setinggi peningkatan
yang terjadi di Sumatera Utara. Di sisi lain, tingkat pengangguran terbuka di wilayah Sumbagut juga
mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada akhir 2013 pengangguran
terbuka mencapai 7,5% lebih tinggi dari tahun 2012 lalu yang hanya mencapai 6,9%. Meningkatnya
pengangguran ini disebabkan banyak perusahaan yang mengalami kesulitan terutama akibat dari
meningkatnya biaya operasional. Perusahaan di wilayah Sumbagut harus menanggung dampak dari
kenaikan BBM dan krisis energi yang melanda wilayah Sumbagut. Kondisi krisis energi ini masih
diperparah dengan kenaikan nilai tukar yang menambah beban operasional dari perusahaan yang
menggunakan bahan baku impor.
64%
65%
66%
67%
68%
69%
70%
71%
72%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
140%
160%
Feb Agt
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Sumut Aceh Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
Sumber: BPS, diolah
Grafik IV.1.15. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
0%
1%
2%
3%
4%
5%
6%
7%
8%
9%
10%
0%
2%
4%
6%
8%
10%
12%
14%
16%
18%
20%
Feb Agt
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Sumut Aceh Tingkat Pengangguran Terbuka
Sumber: BPS, diolah
Grafik IV.1.16. Tingkat Pengangguran Terbuka
L a p o r a n N u s a n t a r a | 150
PERKEMBANGAN INFLASI
Tekanan inflasi wilayah Sumbagut pada triwulan IV 2013 relatif tinggi. Inflasi Sumbagut tercatat sebesar
9,92% (yoy), lebih tinggi dari inflasi tahun 2012 dan di atas inflasi Nasional yang sebesar 8,38% (yoy)
(grafik IV.1.17). Berdasarkan kota penyumbang inflasi di wilayah Sumbagut, inflasi tahunan terendah
terjadi di kota Banda Aceh sebesar 6,40% (yoy), sedangkan inflasi tertinggi terjadi di Pematang Siantar
sebesar 12,02% (yoy) (grafik IV.1.18). Kota Medan, yang merupakan kota dengan bobot inflasi terbesar di
wilayah Sumbagut, pada akhir tahun mengalami inflasi sebesar 10,09% (yoy). Tekanan inflasi di Sumbagut
sudah dimulai sejak awal tahun 2013. Tingginya inflasi Sumbagut terutama berasal dari dampak kebijakan
pembatasan impor hortikultura pada semester I 2013, kenaikan harga BBM bersubsidi pada akhir Juni
2013, kenaikan harga TTL/PAM/gas elpiji, serta kelangkaan pasokan bahan pangan pasca-erupsi Sinabung
September 2013. Komoditas penyumbang utama inflasi 2013 yaitu kelompok transportasi, komunikasi
dan jasa keuangan serta kelompok bahan makanan, terutama bawang merah, beras dan cabe merah
(Tabel IV.1.1).
0
2
4
6
8
10
12
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2010 2011 2012 2013persen (%)
Sumut Nasional
10,18
8,38
Sumber: BPS, diolah
Grafik IV.1.17. Inflasi Sumbagut vs Nasional
8,27
6,40
7,83
12,02
10,08 10,09
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
Lhok Aceh Padang Sidempuan
Pematang Siantar
Sibolga Medan
Sumber: BPS, diolah
Grafik IV.1.18. Inflasi Kota di Sumbagut vs Nasional
Tabel IV.1.1. Inflasi Wilayah Sumbagut berdasarkan Kelompok (yoy,%)
I II III IV I II III IV
Bahan Makanan 1,90 7,57 -0,12 1,36 9,01 9,73 11,95 13,35
Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau 3,79 5,77 4,59 4,70 5,41 5,14 5,84 3,35
Perumahan, Air, Listrik, Gas & Bhn Bakar 3,29 3,12 3,15 3,15 3,96 5,07 7,43 7,76
Sandang 13,19 10,29 6,52 5,38 2,37 -1,13 3,40 2,21
Kesehatan 3,81 3,83 2,43 2,57 2,31 2,23 1,82 2,16
Pendidikan, Rekreasi & Olahraga 4,11 4,52 4,23 3,26 4,64 6,21 7,49 7,63
Transpor, Komunikasi & Jasa Keuangan 3,56 3,25 3,18 6,32 4,38 8,36 15,33 18,40
Umum 3,84 5,43 2,83 3,52 5,49 6,33 8,99 9,92
Kelompok2012 2013
Sumber: BPS, diolah
Pada triwulan I 2014, tekanan inflasi Sumbagut diprakirakan mulai mereda, namun masih pada level yang
tinggi. Sumber inflasi diperkirakan terutama masih dari administered prices dan volatile food, terkait
dengan kenaikan harga gas elpiji 12 kg dan permintaan bahan makanan seperti buah impor dalam
perayaan imlek, persiapan pemilu dan gangguan alam seperti curah hujan yang tinggi dan bencana
gunung Sinabung yang dapat mengganggu suplai dan distribusi.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 151
Berdasarkan disagregasi, inflasi inti diperkirakan mulai merangkak naik pada triwulan I 2014. Pemicu
utama inflasi inti diperkirakan berasal dari kelompok sandang di wilayah Sumbagut. Meningkatnya
aktivitas ekonomi dan politik terutama menjelang pelaksanaan Pemilu Legislatif diperkirakan mendorong
peningkatan permintaan pada kelompok ini. Komoditas lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah
komoditas emas perhiasan yang harganya diperkirakan mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil SPH
sejak minggu pertama bulan Januari, secara rata-rata terjadi peningkatan harga dibandingkan dengan
minggu yang sama bulan sebelumnya sebesar 4,23% untuk emas 22 karat dan 3,19% untuk emas 24
karat.
Kelompok volatile food pada triwulan I 2014 diperkirakan masih mengalami inflasi walaupun tidak
setinggi periode sebelumnya. Tersedianya stok beras yang cukup pada awal tahun 2014 diperkirakan
dapat menurunkan harga beras yang sempat meningkat pada akhir Desember yang lalu. Berdasarkan
data BULOG, stok beras untuk wilayah Sumut dan Aceh masih aman hingga akhir triwulan I 2014.
Persediaan beras diperkirakan meningkat karena adanya panen pada awal Februari di Aceh dan sebagian
areal pertanian padi di Sumatera Utara. Dari sisi komoditas aneka bumbu, harga cabe merah diperkirakan
masih tertahan oleh relatif melimpahnya pasokan, terutama dari panen cabe di Aceh dan masuknya
pasokan dari Jawa. Harga komoditas bawang di wilayah Sumbagut juga diperkirakan tidak setinggi
triwulan IV 2013, seiring dengan masuknya pasokan dari Jawa untuk wilayah Sumbagut8. Walaupun
demikian ancaman bencana alam di wilayah Sumbagut seperti dampak dari letusan Gunung Sinabung
yang masih dirasakan dan juga ancaman banjir di beberapa daerah pemukiman maupun pertanian
menjadi hal yang perlu mendapatkan perhatian.
Dari sisi administered prices, inflasi diperkirakan masih tinggi karena pengaruh dari beberapa kebijakan
pemerintah yang bersifat Nasional di antaranya rencana pengurangan subsidi pada listrik, pengurangan
subsidi gas, dan kebijakan pemerintah terkait impor. Selain kebijakan yang bersifat nasional, kebijakan
administered prices yang bersifat lokal seperti rencana peningkatan tarif parkir untuk Provinsi Sumatera
Utara menjadi faktor risiko yang dapat mendorong inflasi lebih tinggi.
-5,00
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2010 2011 2012 2013
% (yoy)
Umum Core Volatile Foods Administered Price18.26
13.47
4.53
9.92
Sumber: BPS, diolah
Grafik IV.1.19. Inflasi Wilayah Sumbagut berdasarkan Kelompok (yoy,%)
0
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
70.000
80.000
90.000
I II III IV I II III IV V I II III IV I II III IV I II III IV V I II III IV I II III IV V I II III
Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des Jan
Rp
Cabe Merah Besar - Segar Cabe Merah Keriting - Segar
Cabe Rawit Hijau Bawang Merah
Grafik IV.1.20. Harga Kelompok Bumbu-bumbuan (yoy,%)
8 Informasi anekdotal dari Pedagang Cabe di pasar kota Medan dari Survei Pemantauan Harga KPw Wilayah IX
L a p o r a n N u s a n t a r a | 152
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Mengawali tahun 2014 TPID Provinsi Sumatera Utara meluncurkan PIHPS (Pusat Informasi Harga Pangan
Strategis) dengan nama “SiHarapanKu” (Sistem Informasi Harga Pangan dan Komoditas Utama), yang
dapat diakses tidak hanya melalui web site (www.hargasumut.org) tetapi juga menggunakan short
message service (SMS). Dalam waktu dekat PIHPS Sumut akan terintegrasi dengan PIHPS Kota Medan
(www.hargabahanpokok-medan.info), dan selanjutnya akan diintegrasikan dengan PIHPS Provinsi Aceh.
Peluncuran PIHPS ini merupakan upaya TPID untuk mempermudah akses masyarakat terhadap informasi
harga yang pada akhirnya akan bermuara pada pembentukan ekspektasi inflasi. Langkah lain yang telah
dilakukan tim TPID di wilayah Sumbagut dalam melakukan pengendalian harga di antaranya operasi
pasar di beberapa lokasi sebagai antisipasi peningkatan harga.
Dalam upaya memperkuat efektivitas pengendalian inflasi, TPID juga menggiatkan kegiatan komunikasi
ke media massa mengenai pasokan komoditas untuk membentuk ekspektasi masyarakat. Hal-hal yang
dikomunikasikan antara lain:
1. Memberikan penjelasan yang proporsional dampak letusan Gunung Sinabung terhadap pasokan
barang kebutuhan masyarakat dan upaya pemerintah dalam menangani bencana..
2. Melakukan kunjungan kepada importir ataupun distributor untuk melakukan pemantauan
pasokan dan harga di level produsen.
3. Melakukan klarifikasi inflasi angkutan udara dengan mengundang maskapai penerbangan dan
membahas metodologi survei dengan BPS mengingat angkutan udara sering menjadi komoditas
penyumbang inflasi.
4. Melakukan Capacity Building bagi TPID Kabupaten/kota yang baru terbentuk dan SKPD terkait.
5. Mengupayakan peningkatan kerjasama perdagangan antardaerah.
6. Melakukan upaya penegakan hukum terhadap penimbunan komoditas melaui kerjasama dengan
instansi yang berwenang.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Pembiayaan kegiatan pada sektor Korporasi, berupa kredit yang diterima dari Bank Umum terus
menunjukkan pertumbuhan yang relatif masih baik. Meskipun mengalami pertumbuhan yang melambat
pada akhir tahun seiring dengan kredit yang disalurkan oleh perbankan, proporsi kredit yang diterima
oleh sektor ekonomi lapangan usaha terhadap total kredit yand disalurkan terus mengalami peningkatan,
dari 63,0% pada awal tahun 2012 menjadi 67,7% pada akhir tahun 2013. Namun, kredit yang diberikan
oleh Bank Umum kepada tiga sektor utama di Sumbagut (Pertanian, Industri Pengolahan, dan
Perdagangan Hotel dan Restoran/PHR) pada akhir tahun 2013 relatif tidak mengalami perubahan
signifikan dibandingkan dengan posisi kredit pada akhir tahun 2012. Proporsi kredit kepada tiga sektor
utama tersebut hanya meningkat sedikit dari 53,2% dari total kredit di Desember 2012 menjadi 56,9% di
akhir tahun 2013. Seiring dengan perlambatan total kredit Perbankan, pertumbuhan kredit kredit kepada
ketiga sektor utama tersebut juga mengalami perlambatan dari 26,5% (yoy) di Desember 2012 menjadi
25,7% (yoy) pada 2013.
Sementara itu, di tengah tingginya risiko yang dihadapi dunia usaha, terkait cuaca dan bencana alam,
risiko kredit, sebagaimana tercermin pada nonperforming loans (NPL) di sektor lapangan usaha wilayah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 153
Sumbagut justru menunjukkan tren menurun (Grafik IV.1.22). Meski demikian, masih berlangsungnya
erupsi Gunung Sinabung, membuat risiko kelangsungan usaha pelaku usaha di daerah tersebut masih
tinggi. Hal ini berdampak negatif pada kemampuan bayar pelaku usaha tersebut, khususnya di sektor
pertanian dan THR.
0,00%
1,00%
2,00%
3,00%
4,00%
5,00%
6,00%
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV
2011 2012 2013
Triliun Rp.
Pertanian Industri Pengolahan
PHR NPL Kredit Sektor Lap. Usaha (%)
Grafik IV.1.21. Perkembangan Kredit kepada Tiga Sektor Utama dan NPL Kredit Sektor Lap.Usaha
-50%
0%
50%
100%
150%
200%
250%
0
5
10
15
20
25
30
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Me
i
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
No
v
De
s
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Me
i
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
No
v
De
s
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Me
i
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
No
v
De
s
2011 2012 2013
Triliun Rp.
Kredit KPR
Kredit KKB
Growth KPR yoy (%)
Growth KKB yoy (%)
%
Grafik IV.1.22. Perkembangan Kredit dan Pertumbuhan Tahunan Kredit KPR dan KKB
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Kredit konsumsi yang disalurkan kepada sektor ekonomi bukan lapangan usaha (rumah tangga) di
wilayah Sumbagut secara nominal terus mengalami peningkatan hingga akhir Desember 2013, meskipun
dengan pertumbuhan yang melambat. Berdasarkan daerahnya, kredit kepada rumahtangga terutama
disalurkan perbankan ke Sumatera Utara yaitu mencapai 77,5% dari total kredit konsumsi, sementara
sisanya (22,5%) ke Provinsi Aceh. Meskipun terus mengalami peningkatan, NPL kredit rumah tangga
masih relatif rendah yaitu dikisaran 1% sampai dengan 2%.
Berdasarkan kelompoknya, kredit yang diterima rumah tangga terutama digunakan untuk kredit
kepemilikan rumah dan kredit kendaraan bermotor. Seiring dengan implementasi berbagai kebijakan
yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yaitu Loan to Value (LTV) yang diterapkan sejak Juni 2012, LTV Jilid
II pada September untuk kredit pemilikan properti, konsumsi beragun properti, dan kendaraan bermotor
(KKB), kredit yang diterima oleh rumah tangga di wilayah Sumbagut terus mengalami perlambatan
pertumbuhan (Grafik IV.1.22). Meskipun pertumbuhan KKB dan KPR terus mengalami perlambatan, NPL
untuk KPR justru terus merangkak naik, walau masih dalam kisaran yang cukup rendah (di bawah 5%).
Pada Desember 2013, NPL untuk KPR properti residensial berkisar antara 2,4% sampai dengan 4,7%,
sementara NPL untuk KPR kepemilikan apartemen/flat tipe 22 sampai dengan 70 justru berada pada
level cukup tinggi (di atas 10%). Sementara itu, untuk NPL kredit KKB relatif masih cukup rendah (di
bawah 2%). Untuk NPL kredit yang dalam tren meningkat, dan NPL yang sudah pada level di atas 5%,
perlu mendapat perhatian. Apabila kondisi ini dibiarkan, dikhawatirkan akan berdampak pada
ketidakstabilan sistem keuangan karana “gagal bayar” di sektor rumah tangga.
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Dari keseluruhan kredit yang disalurkan, kredit kepada sektor UMKM triwulan IV 2013 di wilayah
Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) masih relatif rendah yaitu di bawah 27% (Grafik V.31). Dengan kata
lain, potensi pembiayaan perbankan ke sektor usaha di wilayah Sumatera Bagian Utara masih sangat
L a p o r a n N u s a n t a r a | 154
tinggi. Secara sektoral, terjadi perubahan skema penyaluran kredit UMKM, yaitu dari sektor industri
pengolahan ke sektor pertanian dan sektor Perdagangan Besar dan Eceran. Hal ini tercermin dari
turunnya porsi kredit kepada sektor industri pengolahan, terhadap total kredit UMKM, sejak Juli 2012
sebesar 12,81% menjadi 6,93% pada Desember 2013. Sementara itu, kredit pada sektor Pertanian terus
meningkat menjadi 15,23%, sedangkan sektor perdagangan besar dan eceran meningkat dari menjadi
53,46% pada Desember 2013.
Terkait dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR), posisi KUR relatif tidak mengalami perubahan berarti,
meskipun plafon KUR yang diberikan masih cukup tinggi. Hingga akhir Desember 2013, KUR wilayah
Sumbagut baru mencapai 35,9% dari plafon kredit atau sekitar Rp3,1 triliun. Sementara itu, akses
terhadap layanan jasa perbankan juga dirasakan masih terbatas meskipun mengalami peningkatan.
Masih relatif terbatasnya layanan jasa perbankan juga tercermin dari rasio terhadap jumlah rekening per
penduduk yang masih di bawah 50%. Terbatasnya persyaratan administratif yang dimiliki pengusaha
UMKM menjadi faktor penyebab kesulitan memperoleh akses kepada pembiayaan perbankan. Terkait
dengan ini, telah ditunjuk suatu lembaga yang menjamin kredit daerah, terutama UMKM. Dengan
hadirnya lembaga ini diharapkan dapat mempermudah akses UMKM kepada perbankan, meski belum
bankable.
Kinerja Sistem Pembayaran
Transaksi perbankan di wilayah Sumbagut melalui Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS)
pada triwulan IV 2013, baik secara nominal maupun volume mengalami penurunan. Secara nominal,
transaksi RTGS turun 29,5% (qtq) menjadi Rp160,3 triliun, sedangkan untuk volume mengalami
penurunan 32,3% (qtq) menjadi sebesar 157.740 transaksi (Tabel IV.1.2). Penurunan nominal maupun
volume transaksi RTGS di Provinsi Sumatera Utara pada triwulan IV 2013 tersebut diduga terkait dengan
preferensi masyarakat untuk memilih transaksi tunai dalam rangka perayaan hari raya Natal dan Tahun
Baru pada periode laporan.
Tabel IV.1.2. Perkembangan Transaksi dan Rata-rata Transaksi RTGS per Hari
*Data Sementara
Sementara itu, perputaran kliring perbankan di kawasan Sumatera Bagian Utara pada triwulan IV 2013
mengalami peningkatan secara nominal sebesar 0,4% (qtq) menjadi sebesar Rp34,4 triliun (Tabel V.3).
Namun, secara volume transaksi warkat kliring justru lebih rendah 5,6% (qtq) menjadi hanya 829.539
lembar warkat. Akibatnya, besaran rata-rata per hari nilai transaksi kliring di Sumatera Utara mencapai
Rp545 miliar, dengan rata-rata jumlah warkat yang diproses sebanyak 13.167 lembar warkat per-hari.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 155
Tabel IV.1.3. Perkembangan Perputaran Kliring Sumbagut
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Perkembangan aliran uang kartal di kawasan Sumatera Bagian Utara pada triwulan IV 2013 mengalami
net outflow Rp5,23 triliun. Nilai tersebut meningkat hingga 60,8% (qtq). Sektor PHR merupakan salah
satu sektor utama Sumbagut, sehingga sesuai dengan sektor utamanya, karakteristik aliran uang kartal
Sumbagut adalah aliran masuk neto (net inflow). Tingginya peningkatan arus masuk uang kartal di
Sumbagut pada triwulan IV 2013, ditengarai disebabkan meningkatnya transaksi perdagangan, terutama
Sumatera Utara, terkait dengan persiapan Natal dan Tahun Baru. Selain itu, Bank Indonesia juga
senantiasa berupaya untuk memadukan layanan pembayaran tunai dan nontunai dalam rangka
mewujudkan less-cash society. Salah satu pemaduan layanan pembayaran tunai dan nontunai yang
dilakukan Bank Indonesia adalah melalui pelayanan penukaran uang menggunakan Alat Pembayaran
Menggunakan Kartu (APMK) yang bertujuan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menggunakan
APMK sebagai alternatif uang kertas dan uang logam terutama pecahan kecil.
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Secara umum, pertumbuhan ekonomi wilayah Sumbagut pada tahun 2014 diprakirakan tetap berada
dalam lintasan yang meningkat. Perekonomian diperkirakan tumbuh pada kisaran 5,5% – 6,0 %,
bersumber dari permintaan domestik yang tetap kuat. Kegiatan Pemilu 2014 diperkirakan sudah mulai
memberikan dampak pada meningkatnya konsumsi domestik. Ekspansi kelas menengah yang terus
menguat mendorong peran konsumsi rumah tangga serta tetap tingginya impor barang konsumsi.
Sementara itu, pertumbuhan investasi relatif masih optimis didorong oleh penyelesaian infrastuktur yang
menjadi bagian proyek dalam MP3EI, pembangunan pabrik-pabrik industri pengolahan dan meningkatnya
belanja modal APBD tahun 2014.
Sementara dari sisi penawaran, pertumbuhan Sektor Pertanian pada tahun 2014 diperkirakan masih
cukup stabil. Harga komoditas yang diperkirakan membaik menjadi faktor pendorong optimisme,
terutama sektor industri pengolahan. Meningkatnya occupancy rate perhotelan dan transaksi
perdagangan sebagai efek dari Pemilu akan mendorong pertumbuhan dari sektor PHR pada tahun 2014.
Meski demikian kinerja ekonomi Sumbagut dari lapangan usaha tersebut dibayangi oleh beberapa faktor
berpotensi menurunkan kinerja, seperti risiko cuaca yang sulit diprediksi, dan berlanjutnya pelemahan
nilai tukar rupiah yang dapat meningkatkan biaya produksi.
Prospek Inflasi
Inflasi Sumbagut pada tahun 2014 diperkirakan menurun menuju kisaran target inflasi nasional sebesar
4,5%±1%. Terkendalinya inflasi pada sasaran nasional diperkirakan bersumber dari membaiknya pasokan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 156
bahan pangan. Beberapa upaya yang telah dilakukan untuk mendukung tersedianya pasokan antara lain
perubahan ketentuan impor bahan pangan; tersedianya informasi harga pangan yang semakin mudah
diakses masyarakat sejalan dengan diimplementasikannya PIHPS Sumut; ekstensifikasi dan intensifikasi di
sektor pertanian seperti program perluasan areal pertanian; serta pembangunan SLBTT (Sekolah
Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu). Pembangunan infrastruktur terkait konektivitas akan semakin
mendukung distribusi lebih lancar dan meningkatnya kerjasama perdagangan.
Di sisi lain beberapa faktor risiko yang dapat membawa inflasi ke atas antara lain komoditas bawang
putih, bawang merah, kedelai dan daging sapi karena banyak bersumber dari impor sehingga sangat
sensitif terhadap gejolak nilai tukar. Selain itu, rencana pembebanan biaya operasional angkutan udara
(cost surcharge); kenaikan PPh Pasal 22 atas impor barang tertentu dari 2,5% menjadi 7,5%; pengurangan
subsidi tenaga listrik untuk industri; pengurangan subsidi gas; periode musiman hari raya keagamaan
atau tahun ajaran baru; Pemilu 2014 yang berpotensi mendorong peningkatan konsumsi domestik; serta
gangguan alam yang dapat mengganggu produksi dan distribusi bahan makanan seperti curah hujan yang
tinggi pada awal tahun diperkirakan juga memberi tekanan terhadap inflasi Sumbagut.
Tabel IV.1.4. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
I II III IV Total Totalp
PDRB (%,yoy) 6.3 6.0 5.9 5.6 5.5 5.4 5.6 5.8 - 6.2
Sisi Permintaan
Konsumsi 6.2 5.6 7.0 6.7 6.7 5.7 6.5 7.4 - 7.8
Konsumsi swasta 6.4 5.9 7.5 6.7 6.6 5.5 6.6 7.8 - 8.2
Konsumsi Pemerintah 5.4 4.5 4.8 4.1 4.4 3.9 4.3 7.4 - 7.8
Pembentukan Modal Tetap Bruto* 6.8 6.8 8.6 8.2 7.0 5.0 7.2 8.0 - 8.4
Ekspor 12.7 2.8 1.2 3.6 4.0 5.7 3.6 3.1 - 3.5
Impor 16.3 4.9 6.7 7.3 7.9 6.4 7.1 7.0 - 7.4
Sisi Produksi
Sektor pertanian 5.0 4.9 5.5 3.5 3.1 3.2 3.8 3.3 - 3.7
Sektor pertambangan & penggalian 2.5 0.2 1.0 2.1 1.8 0.2 1.3 -0.7 - -0.3
Industri pengolahan 2.0 3.4 2.4 3.3 2.8 4.3 3.2 3.8 - 4.2
Listrik, gas & air bersih 8.2 3.9 5.5 4.7 3.5 3.0 4.1 3.9 - 4.3
Bangunan 8.1 6.8 7.1 7.9 6.8 6.4 7.0 7.2 - 7.6
Perdagangan, hotel & restoran 7.8 7.2 7.7 7.8 7.8 7.2 7.6 8.8 - 9.2
Pengangkutan & komunikasi 9.7 8.3 8.1 7.8 7.2 5.4 7.1 8.3 - 8.7
Keuangan, persewaan dan jasa perush. 13.1 10.9 8.1 8.2 10.0 6.6 8.2 8.1 - 8.5
Jasa-jasa 7.3 6.7 6.4 6.1 7.2 8.2 7.0 5.8 - 6.2
Inflasi IHK (%,yoy) 3.6 3.5 5.5 6.3 9.0 9.9 9.9 5.6 - 6.0
Sumber: Badan Pusat Statis tik, diolah
p : angka proyeksi
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Wilayah2011 2012
2013 2014
L a p o r a n N u s a n t a r a | 157
Bagian IV.2. Perekonomian Sumatera Bagian Tengah
PERTUMBUHAN EKONOMI
Pada triwulan IV 2013 kinerja perekonomian wilayah Sumatera bagian tengah (Sumbagteng)
menunjukkan perbaikan. Pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 5,5 %, meningkat cukup tinggi
dibandingkan dengan triwulan III 2014 yang hanya tumbuh 5,0% (yoy). Membaiknya pertumbuhan
ekonomi ditopang oleh meningkatnya perekonomian Riau dan Sumatera Barat. Realisasi konsumsi
pemerintah, yang meningkat signifikan dan perbaikan kinerja ekspor pada akhir tahun, mampu
mendorong perekonomian Sumbagteng mencapai pertumbuhan tertinggi sepanjang tahun 2013. Untuk
keseluruhan tahun, perekonomian wilayah Sumbagteng tumbuh melambat dibandingkan dengan capaian
tahun sebelumnya. Melemahnya aktivitas ekspor dan investasi menjadi sumber perlambatan ekonomi di
wilayah ini.
Pertumbuhan ekonomi wilayah Sumbagteng diprakirakan melambat pada triwulan I 2014. Ekonomi
Sumbagteng diprakirakan hanya dapat tumbuh 4,8% (yoy). Pelemahan tersebut terutama dipengaruhi
oleh menurunnya konsumsi pemerintah pada awal tahun, minimnya investasi, dan menurunnya ekspor
komoditas utama sejalan dengan siklus produksinya. Namun, secara keseluruhan tahun, perekonomian
wilayah Sumbagteng diprakirakan tumbuh menguat di kisaran 4,9% - 5,4% (yoy), dengan kecenderungan
bias ke atas. Meningkatnya konsumsi masyarakat, seiring dengan daya beli yang menguat, dan
membaiknya ekspor, sejalan dengan tren pergerakan harga komoditas yang menguat, menjadi sumber
utama penguatan ekonomi pada tahun 2014.
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga tumbuh melambat pada triwulan IV 2013 seiring masih tingginya tekanan inflasi
pada akhir tahun. Ketersediaan bahan makanan yang terbatas, akibat gangguan produksi dan distribusi
suplai bahan makanan, yang terkendala cuaca, menjadi faktor utama pendorong inflasi. Tingginya inflasi
melemahkan daya beli masyarakat. Kondisi ini menyebabkan rumah tangga harus mengurangi
konsumsinya (Grafik IV.2.1). Meski demikian, perlambatan tersebut tidak terjadi di Riau karena relatif
tingginya pendapatan per kapita mampu menjaga daya beli masyarakat. Untuk keseluruhan tahun 2013,
pertumbuhan konsumsi rumah tangga relatif stabil ditopang oleh membaiknya pendapatan masyarakat
Riau.
Konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2014 diprakirakan menguat seiring dengan tekanan inflasi yang
mereda. Selain itu, peningkatan konsumsi juga didukung oleh peningkatan belanja terkait pemilihan
kepala daerah (Pilkada) oleh masing-masing kandidat, baik untuk legislatif tingkat kota/kabupaten,
provinsi dan pemerintah pusat. Indikasi penguatan konsumsi ini terlihat dari kenaikan Indeks Keyakinan
Konsumen (IKK) dalam Survei Konsumen bulan Desember (Grafik IV.2.2). Penguatan IKK didorong oleh
membaiknya Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) dan Indeks Kondisi Ekonomi (IKE), sejalan dengan
ekspektasi peningkatan pendapatan, sebagai dampak dari kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan
nilai tukar petani (NTP) karena potensi kenaikan harga komoditas ekspor utama.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 158
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0
5
10
15
20
25
30
I II III IV I II III IV I II III IV I* II*
2011 2012 2013 2014
Nominal Growth (RHS)
Triliun Rp %, yoy
*Proyeksi Bank Indonesia Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.2.1. Pertumbuhan Konsumsi RT
-
20
40
60
80
100
120
140
160
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012 2013
Indeks
Indeks Keyakinan Konsumen
Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini
Indeks Ekspektasi Konsumen
Baseline (Batas Positif)
Grafik VI.2.2. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
0
2
4
6
8
10
12
0
1
2
3
4
5
6
I II III IV I II III IV I II III IV I* II*
2011 2012 2013 2014
Nominal Growth (RHS)
Triliun Rp %, yoy
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.2.3. Pertumbuhan Konsumsi Pemerintah
(30)
(20)
(10)
-
10
20
30
40
50
60
-
5
10
15
20
25
30
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
Triliun Rp
Nominal growth (RHS)
%, yoy
Grafik IV.2.4. Perkembangan Simpanan Pemda
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah meningkat signifikan pada akhir tahun sesuai dengan pola historisnya (Grafik
IV.2.3). Tingginya realisasi belanja pemerintah di Sumatera Barat dan Jambi bahkan berdampak pada
tumbuhnya konsumsi pemerintah di atas 10% (yoy). Dengan penyerapan anggaran yang meningkat
pesat, simpanan pemerintah daerah di bank umum menurun drastis, khususnya pada bulan Desember
(Grafik IV.2.4). Namun, secara keseluruhan tahun, konsumsi pemerintah melambat akibat minimnya
realisasi proyek pemerintah daerah berskala besar dan menurunnya persentase realisasi belanja
terhadap target APBD. Selama tahun 2013, hanya terdapat pelaksanaan dua proyek besar yaitu proyek
jembatan gantung di Jambi dan proyek jalan kelok sembilan di Sumatera Barat. Pada triwulan I 2014,
pertumbuhan konsumsi pemerintah diprakirakan kembali melambat sesuai dengan siklus belanja
pemerintah yang masih lambat pada awal tahun. Walaupun demikian, belanja pemerintah diyakini akan
lebih cepat terealisasi sejalan dengan tahun penyelenggaraan pemilu.
Investasi
Pertumbuhan investasi pada triwulan IV 2013 mengalami perlambatan (Grafik VI.2.5). Minimnya
investasi skala besar baik oleh swasta maupun pemerintah menjadi salah satu faktor penyebabnya
(Grafik IV.2.6). Berdasarkan hasil liaison, sebagian besar kegiatan investasi yang dilakukan oleh swasta
L a p o r a n N u s a n t a r a | 159
diperuntukan untuk perawatan mesin dan peralatan pendukung produksi. Investasi swasta terbesar
terjadi di kegiatan pertambangan, yang digunakan untuk keperluan perbaikan sumur, pengeboran di
sumur sisipan, perawatan dan usaha eksplorasi sumur baru. Di sisi lain, investasi yang dilakukan oleh
pemerintah relatif kecil terkait dengan banyaknya proyek infrastruktur MP3EI yang terkendala
pembebasan lahan. Secara keseluruhan tahun, pertumbuhan investasi turut melambat sejalan dengan
tingginya laju inflasi dan melemahnya nilai tukar.
Perlambatan investasi diperkirakan masih akan berlanjut pada triwulan I 2014. Hal ini terindikasi dari
informasi hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) mengenai ketiadaan investasi besar baru hingga awal
tahun depan. Kondisi ini sejalan dengan pesimisme pelaku usaha dalam memandang iklim investasi
akibat kenaikan suku bunga pinjaman, nilai tukar rupiah yang masih rendah, dan ketidakpastian politik
terkait dengan adanya pemilu.
0
2
4
6
8
10
12
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
I II III IV I II III IV I II III IV I* II*
2011 2012 2013 2014
Nominal Growth (RHS)
Triliun Rp %, yoy
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.2.5. Perkembangan Pertumbuhan Investasi
-40
-20
0
20
40
60
80
100
I II III IV
2013
Pertumbuhan Realisasi Investasi
%, yoy
Sumber: Laporan Kegiatan Penanaman Modal
Grafik IV.2.6. Realisasi Investasi Proyek
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Transaksi ekspor mencatat perbaikan signifikan pada triwulan IV 2013. Keunggulan kompetitif akibat
pelemahan nilai tukar rupiah, didukung oleh membaiknya perekonomian global, berdampak pada
meningkatnya ekspor pada akhir tahun (Grafik IV.2.7.). Kondisi ini terutama terlihat dari kenaikan ekspor
pada komoditas CPO, seiring dengan masa panen kelapa sawit, terutama di Sumatera Barat dan Riau
(Grafik IV.2.8.). Namun, secara keseluruhan tahun, kinerja ekspor mengalami perlambatan, terutama
akibat melambatnya perekonomian global yang berdampak pada menurunnya permintaan ekspor.
Perkembangan harga komoditas kelapa sawit dan karet yang menurun turut memperburuk nilai ekspor
(Grafik IV.2.9.).
Kinerja ekspor diprakirakan masih cukup kuat pada triwulan I 2014, seiring dengan kenaikan permintaan
negara mitra dagang. Kenaikan permintaan tersebut didukung oleh membaiknya perekonomian global,
seperti Singapura, India, China, dan Amerika Serikat, sehingga membawa optimisme meningkatnya
kinerja ekspor. Kondisi tersebut juga didukung oleh nilai tukar rupiah yang masih kondusif dan tren
meningkatnya harga komoditas utama. Komoditas komponen elektronik dan CPO akan menjadi
komoditas ekspor utama Sumbagteng pada periode ini.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 160
Impor
Kegiatan impor sedikit melambat pada triwulan akhir tahun 2013 akibat pelemahan nilai tukar rupiah dan
menurunnya daya beli masyarakat. Melambatnya pertumbuhan impor terutama berasal dari impor
bahan baku keperluan industri (Grafik IV.2.10.). Secara keseluruhan tahun, impor mengalami
perlambatan cukup signifikan diantaranya akibat melambatnya aktivitas industri di Kepulauan Riau.
Seiring dengan meningkatnya ekspor barang industri dan masa tanam kelapa sawit, kebutuhan impor
pada triwulan I 2014 diprakirakan akan meningkat. Dengan membaiknya kondisi ekonomi global,
terutama negara mitra dagang, permintaan barang ekspor diperkirakan membaik. Peningkatan ekspor,
terutama untuk produk industri, akan meningkatkan kebutuhan bahan baku, yang umumnya masih
bergantung dari impor. Selain itu masuknya masa tanam kelapa sawit di Riau dan Sumatera Barat
berdampak pada meningkatnya kebutuhan pupuk, yang umumnya masih dipenuhi melalui impor.
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
8,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2011 2012 2013
Miliar USDJuta Ton
Volume Ekspor Non-Migas (RHS) Nilai Ekspor Non-Migas (LHS)
Grafik IV.2.7. Perkembangan Ekspor Nonmigas
(100)
(80)
(60)
(40)
(20)
0
20
40
60
80
(100)
(50)
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
gCPO gKaret gElektronik
%, yoy %,yoy
Grafik IV.2.8. Perkembangan Volume Ekspor Komoditas Utama
0
100
200
300
400
500
600
700
-
200
400
600
800
1.000
1.200
1.400
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121*
2010 2011 2012 2013 2014
USD sen per kgUSD per Metrik Ton
CPO (LHS) Karet (RHS)
Sumber: Bloomberg
Grafik IV.2.9. Perkembangan Harga Karet dan CPO Dunia
0,00
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
0,35
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 11 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2011 2012 2013
Juta TonJuta Ton
Barang Setengah Jadi untuk Keperluan Industri
Bahan Baku Keperluan Industri
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.2.10. Perkembangan Volume Impor Komoditas Utama
L a p o r a n N u s a n t a r a | 161
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertambangan
Pada triwulan IV 2013 pertumbuhan sektor pertambangan mencatat peningkatan namun masih berada
di level yang rendah (Grafik IV.2.12). Membaiknya pertumbuhan lifting minyak di Riau mampu
meningkatkan kinerja sektor pertambangan. Perbaikan ini juga ditopang oleh meningkatnya eksplorasi
penambangan batu kapur di Sumatera Barat seiring dengan naiknya kebutuhan semen untuk sektor
bangunan. Namun, secara keseluruhan tahun 2013, sektor pertambangan masih mencatat pertumbuhan
yang negatif. Kondisi ini diakibatkan oleh lifting minyak bumi di Riau yang secara umum masih dalam
tren yang menurun, karena sebagian besar sumur minyak sudah tua dan kurang produktif. Pada triwulan
I 2014, pertumbuhan sektor pertambangan diprakirakan konsisten di level yang rendah dan kembali
tumbuh melambat. Lifting produksi minyak bumi di Riau dipastikan terus menurun seiring dengan
minimnya penemuan sumur baru (Grafik IV.2.11).
(10,0)
(8,0)
(6,0)
(4,0)
(2,0)
-
2,0
4,0
-
50
100
150
200
250
300
350
400
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012 2013
%ribu barel/hari
Lifting (lhs) yoy (rhs)
Sumber : PT Chevron, diolah
Grafik IV.2.11. Lifting Minyak Riau
3,8 3,9
3,2
2,41,9
-0,4
-1,2
-2,1
-4,1
-1,6
0,4
1,2
0,6 0,7
I II III IV I II III IV I II III IV I* II*
2011 2012 2013
Sumber : BPS, diolah
Grafik IV.2.12. Pertumbuhan Sektor Pertambangan
Sektor Industri Pengolahan
Pertumbuhan sektor industri pengolahan sedikit melambat pada triwulan IV 2013 (Grafik IV.2.13).
Ekspansi sektor industri dalam rangka pemenuhan ekspor tertahan oleh melemahnya permintaan
konsumsi rumah tangga akibat tekanan inflasi yang meningkat. Secara keseluruhan tahun 2013, sektor
kinerja industri pengolahan membaik, dibandingkan dengan tahun 2012. Perbaikan tersebut bersumber
dari meningkatnya produksi olahan kelapa sawit.
Pada triwulan I 2014, sektor industri pengolahan diprakirakan kembali menguat. Kondisi ini ditopang oleh
mulai membaiknya permintaan baik dari domestik maupun luar negeri, seiring dengan perbaikan daya
beli masyarakat dan perekonomian global. Subsektor industri pengolahan yang diperkirakan meningkat
adalah industri makanan dan minuman, seiring membaiknya konsumsi masyarakat, dan industri logam
dasar besi dan baja, sejalan dengan perbaikan ekonomi negara-negara tujuan ekspor Kepulauan Riau
seperti Amerika Serikat, Eropa, China dan India. Geliat sektor industri pengolahan juga didukung dari sisi
pembiaaan, tercermin dari pertumbuhan penyaluran kredit ke sektor industri pengolahan yang dalam
tren meningkat (Grafik IV.2.14).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 162
5,5
8,1
6,7
5,1 5,0
4,1
5,2 5,2
7,4
6,0
5,3 5,2 5,3
5,9
I II III IV I II III IV I II III IV I* II*
2011 2012 2013
%, yoy
Sumber : BPS, diolah
Grafik IV.2.13. Pertumbuhan Sektor Industri Pengolahan (%, yoy)
(20)
(10)
-
10
20
30
40
-
5
10
15
20
25
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
Triliun Rp
Nominal Kredit g (%, YoY)
%, yoy
Grafik IV.2.14. Perkembangan Penyaluran Kredit Industri Pengolahan
Sektor Pertanian
Kinerja sektor pertanian pada triwulan IV 2013 mencatat peningkatan pertumbuhan yang cukup
signifikan. Pertumbuhan sektor pertanian tersebut mencapai 6,3%, tertinggi sepanjang tahun 2013
(Grafik IV.2.15). Masuknya masa panen kelapa sawit di Riau dan Sumatera Barat pada periode tersebut
menjadi faktor utama pendorong kinerja sektor pertanian. Namun pada triwulan I 2014, pertumbuhan
sektor pertanian diperkirakan melambat. Meningkatnya curah hujan berpotensi mengganggu produksi
tanaman pangan dan hortikultura (Grafik IV.2.16). Selain itu, selesainya masa panen kelapa sawit dan
belum membaiknya harga karet dunia akan menurunkan produksi dari subsektor perkebunan.
5,4
4,44,8
3,4
4,4 4,5
3,0
3,84,1
3,4
4,5
6,3
4,5
5,3
I II III IV I II III IV I II III IV I* II*
2011 2012 2013
%, yoy
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.2.15. Pertumbuhan Sektor Pertanian
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika
Grafik IV.2.16. Prakiraan Curah Hujan Hingga Maret 2014
KETENAGAKERJAAN DAN KEMISKINAN
Kondisi ketenagakerjaan di wilayah Sumbagteng mengalami pemburukan seiring dengan melemahnya
pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013. Hal ini terlihat dari naiknya Tingkat Pengangguran Terbuka
(TPT) di seluruh provinsi di Sumbagteng yaitu pada kisaran 0,5% - 1,6%. Kenaikan rasio tertinggi terjadi di
Jambi, sementara terendah terjadi di Sumatera Barat. Meskipun demikian Jambi tetap menjadi provinsi
yang memiliki TPT terkecil sebesar 4,8% dan Sumatera Barat memiliki TPT terbesar mencapai 7,0%.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 163
Dari sisi kesejahteraan, perkembangan penduduk miskin relatif bervariasi. Di tengah tingginya tingkat
inflasi, di atas 8%, dan melemahnya harga komoditas kelapa sawit dan karet berdampak pada
menurunnya daya beli dan meningkatkan persentase penduduk miskin di Riau dan Jambi. Sementara itu,
peningkatan Upah Minimum Provinsi (UMP) mampu mendukung terjaganya daya beli masyarakat dan
memberi perbaikan tingkat kemiskinan di Sumatera Barat dan Kepulauan Riau.
PERKEMBANGAN INFLASI
Laju inflasi pada triwulan IV 2013 mengalami kenaikan signifikan. Tingginya tekanan harga di seluruh
provinsi di wilayah Sumbagteng berdampak pada tingkat inflasi yang mencapai 9,11% (yoy), jauh
meningkat dibandingkan dengan inflasi triwulan sebelumnya sebesar 8,18% (yoy) (Grafik IV.2.17). Laju
inflasi Sumatera Barat terus bertahan dan meningkat di level dua digit. Demikian pula halnya Riau,
Kepulauan Riau dan Jambi yang meningkat dari kisaran level 7% (yoy) menjadi di kisaran level 8% (yoy).
Secara umum, meningkatnya laju inflasi disebabkan oleh permasalahan pasokan bahan makanan, seiring
dengan cuaca yang kurang kondusif dan peningkatan permintaan pada periode libur natal dan tahun
baru.
Sumber utama kenaikan inflasi secara signifikan berasal dari kelompok barang administered prices dan
kelompok barang volatile food (Grafik IV.2.18). Pada kelompok barang administered prices, tekanan
inflasi meningkat disebabkan oleh naiknya tarif angkutan udara terkait adanya periode liburan panjang
antara 25 Desember 2013 hingga 1 Januari 2014. Selain itu, kenaikan inflasi administered prices juga
disebabkan oleh komoditas rokok, yang mengalami kenaikan di Jambi dan Riau sebagai dampak
perubahan tarif cukai tahun 2013. Sementara itu, laju inflasi kelompok barang volatile food meningkat
terutama akibat kenaikan harga cabe merah, bawang merah, dan beras. Harga beras di Sumatera Barat
dan Riau naik akibat meningkatnya curah hujan sehingga mengganggu kegiatan produksi di Sumatera
Barat. Sedangkan kenaikan harga cabe merah dan bawang merah terjadi di Kepulauan Riau akibat
gangguan cuaca sehingga suplai bahan makanan dari luar daerah tidak lancar.
Pada triwulan I 2014, tekanan inflasi diperkirakan sedikit mereda, meski kondisi cuaca belum kondusif
mendukung produksi sektor pertanian pada awal tahun. Mulai membaiknya kondisi cuaca pada bulan
Februari dan kesigapan pemerintah dalam menjaga ketersediaan bahan makanan melalui impor
diperkirakan dapat menahan tekanan inflasi.
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Mencermati perkembangan harga selama tahun 2013, faktor penyebab meningkatnya tekanan
inflasi di wilayah Sumbagteng bervariasi di tiap daerah. Secara umum, kenaikan harga disebabkan
oleh gangguan pasokan, kenaikan harga barang yang diatur pemerintah (BBM dan tarif listrik),
informasi harga yang tidak sempurna, serta peningkatan permintaan menjelang perayaan hari
keagamaan dan hari libur. Bank Indonesia beserta jajaran anggota Tim Pengendali Inflasi Daerah
(TPID) provinsi melaksanakan beberapa program kerja guna mengendalikan tekanan inflasi daerah.
Di Sumatera Barat dan Jambi telah dibangun Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) guna
mengendalikan ekspektasi masyarakat mengenai harga dan mengurangi asimetri informasi. Selain
itu juga dilakukan program pengembangan klaster cabe merah di provinsi yang sama guna menjaga
ketersediaan cabe merah. Penyaluran beras raskin dan penyelenggaraan operasi pasar murah juga
dilakukan dalam upaya meredam kenaikan harga bahan kebutuhan pokok.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 164
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012 2013
inflasi sumbagteng
inflasi nasional
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.2.17. Perkembangan Inflasi
-4
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
16
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
Adm. Prices
Volatile Foods
Core
% yoy
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.2.18. Disagregasi Inflasi
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Pertumbuhan pembiayaan sektor utama daerah mulai menunjukkan peningkatan, meski belum
setinggi pertumbuhan triwulan sebelumnya (Grafik IV.2.19.). Jumlah kredit yang disalurkan pada
triwulan IV 2013 tumbuh sebesar 17% (yoy), sedikit meningkat dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya yang tumbuh sebesar 15% (yoy). Sumber peningkatan berasal dari penyaluran kredit
sektor industri pengolahan yang tumbuh signifikan, dari 27% (yoy) pada triwulan III 2013 menjadi
32% (yoy), didorong oleh penyaluran kredit industri pengolahan kelapa sawit (Grafik IV.2.22). Laju
pertumbuhan kredit tertahan oleh perlambatan kredit pada sektor pertanian, dari 12% (yoy) pada
triwulan III 2013 menjadi 11% (yoy) (Grafik IV.2.20.). Selain itu, banyak perusahaan yang
mendapatkan dana pembiayaan dari head-office/holding company atau pinjaman dari bank luar
negeri yang menawarkan tingkat suku bunga lebih rendah dibandingkan dengan tingkat suku bunga
bank dalam negeri. Akibatnya, pinjaman kredit dari bank dalam negeri tumbuh terbatas.
Non Performing Loan (NPL) sektor utama Sumbagteng masih dalam batas aman, jauh dibawah
toleransi NPL sebesar 5%. NPL kredit sektor pertanian pada triwulan IV 2013 mencatat perbaikan
seiring dengan meningkatnya produksi dan harga jual CPO. Sementara itu NPL kredit sektor industri
pengolahan konsisten di level yang sangat rendah, berada pada kisaran 1%.
-
5
10
15
20
25
30
35
-
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
Triliun Rp
Nominal Kredit Pertumbuhan Kredit
%, yoy
Grafik IV.2.19. Pertumbuhan Penyaluran Kredit
-
5
10
15
20
25
30
35
40
-
5
10
15
20
25
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
Triliun Rp
Nominal Kredit Pertumbuhan Kredit
%, yoy
Grafik IV.2.20. Penyaluran Kredit Pertanian dan Perkebunan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 165
-
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
Triliun RpNominal Kredit Pertumbuhan Kredit
%, yoy
Grafik IV.2.21. Penyaluran Kredit Industri Pengolahan CPO
-0,5
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
4,5
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012 2014
NPL Sektor Industri Pengolahan NPL Pertanian
%
Grafik IV.2.22. Perkembangan NPL Kredit Industri Pengolahan Sawit
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Pada triwulan IV 2013, penyaluran kredit kepada rumah tangga tumbuh melambat. Kredit
konsumsi, sebagai indikator besaran penyaluran kredit kepada rumah tangga, memperlihatkan
kinerja yang lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Kredit konsumsi pada
triwulan IV 2013 tumbuh sebesar 11,61% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan
triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 12,79% (yoy). Rendahnya pencapaian pertumbuhan
kredit konsumsi disebabkan oleh pertumbuhan penyaluran kredit properti yang melambat dan
penurunan penyaluran kredit kendaraan bermotor. Kredit properti tumbuh lebih rendah pada
triwulan IV 2013, yaitu dari 16,01% (yoy) pada triwulan III 2013 menjadi 13,77% (yoy). Sementara
itu, penyaluran kredit kendaraan bermotor masih melanjutkan penurunan pada triwulan
sebelumnya. Kredit kendaraan bermotor tumbuh sebesar -10,92% (yoy) setelah pada triwulan
sebelumnya tumbuh sebesar -13,42% (yoy). Adanya kebijakan pengaturan LTV (Loan to Value)
pada pemberian kredit kepemilikan properti dan DP (Down Payment) kredit kendaraan bermotor
sejak pertengahan 2012, penyaluran kredit properti dan kendaraan bermotor tertahan karena
konsumen harus mengumpulkan dana yang cukup terlebih dahulu untuk memenuhi persyaratan
yang ditetapkan.
-
5
10
15
20
25
30
35
40
45
-
10
20
30
40
50
60
70
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
Triliun Rp
Nominal Kredit Pertumbuhan Kredit%, yoy
Grafik IV.2.23. Perkembangan Pertumbuhan Penyaluran Kredit Konsumsi
(40)
(20)
-
20
40
60
80
100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2.012 2.013
gKredit Properti gKredit Kendaraan Bermotor%, yoy
Grafik IV.2.24. Penyaluran Kredit kendaraan Bermotor dan Kredit Properti
L a p o r a n N u s a n t a r a | 166
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Penyaluran pembiayaan kepada UMKM menunjukkan penurunan. Pada triwulan IV 2013, kredit
UMKM yang disalurkan sebesar 15,31% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan
penyaluran kredit UMKM pada triwulan sebelumnya yang mencapai 19,22% (yoy). Menurunnya
pembiyaan kepada UMKM disebabkan oleh meningkatnya kehati-hatian perbankan dalam
menyalurkan kredit kepada UMKM. Hal ini merupakan dampak dari adanya kenaikan tingkat suku
bunga acuan yang berdampak pada kemampuan UMKM dalam membayar angsuran.
-
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
-
10
20
30
40
50
60
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
Triliun RpNominal Kredit
gKredit UMKM (%, YoY)
%
Grafik IV.2.25. Perkembangan Pertumbuhan Penyaluran Kredit UMKM
Kinerja Sistem Pembayaran
Perlambatan perekonomian berdampak pada penurunan transaksi di dalam sistem pembayaran.
Nilai transaksi BI-RTGS dari Sumbagteng ke luar Sumbagteng pada triwulan IV 2013 menurun dari
Rp31,6 triliun menjadi Rp28 triliun rupiah. Sejalan dengan kondisi tersebut, nilai transaksi BI-RTGS
dari luar Sumbagteng menuju Sumbagteng juga menurun dari Rp106,8 triliun menjadi Rp84,1 triliun.
Sebaliknya jumlah perputaran kliring mengalami peningkatan dari 409,6 ribu warkat menjadi 473,9
ribu warkat seiring dengan kebutuhan yang tinggi di akhir tahun.
-
10
20
30
40
50
60
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
Triliun
Ke Sumbagteng
Dari Sumbagteng
Grafik IV.2.26. Perkembangan Nilai Transaksi BI-RTGS
-
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
-
20.000
40.000
60.000
80.000
100.000
120.000
140.000
160.000
180.000
200.000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
Perputaran Kliring Penolakan CEK B/G
Lembar Lembar
Grafik IV.2.27. Perkembangan Jumlah Warkat Kliring dan Penolakan Cek B/G
L a p o r a n N u s a n t a r a | 167
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Pada triwulan IV 2013, arus uang masuk mencatat penurunan, sejalan dengan meningkatnya
konsumsi masyarakat. Kondisi ini menunjukkan meningkatnya kebutuhan uang kartal masyarakat
terkait libur keagamaan dan tahun baru. Nilai uang tunai yang masuk hanya sebesar Rp3,8 triliun
rupiah, jauh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar Rp8,6 triliun. Namun
demikian, arus uang keluar relatif stabil dengan mencapai Rp10,5 triliun Kondisi ini tercermin juga
dari meningkatnya arus uang keluar. Demikian pula halnya nilai transaksi arus uang outflow yang
turun dari Rp10,7 triliun menjadi Rp10,5 triliun 2013. Sementara itu uang tidak layak edar (UTLE)
meningkat dimana nilai uang yang diberikan tanda Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB)
mengalami peningkatan dari Rp1,1 triliun rupiah menjadi Rp1,4 triliun.
-
1
2
3
4
5
6
7
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
Triliun Rp
Inflow
Outflow
Grafik IV.2.28. Perkembangan Inflow dan Outflow
-
200
400
600
800
1.000
1.200
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013
Pemusnahan UTLE
Miliar Rp
Grafik IV.2.29. Perkembangan Pemusnahan UTLE
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Ekonomi Sumbagteng diperkirakan tumbuh meningkat pada tahun 2014. Pertumbuhan diprakirakan
berada pada rentang 4,9% – 5,4% (yoy). Roda pertumbuhan ekonomi terutama berasal dari
konsumsi masyarakat, seiring dengan meredanya inflasi sehingga daya beli menguat. Sementara itu,
ekspor diyakini membaik sejalan dengan tren pergerakan harga komoditas yang menguat dan
permintaan oleh negara tujuan ekspor yang meningkat. Dari sisi lapangan usaha, peningkatan
pertumbuhan akan didorong oleh sejumlah sektor utama yaitu sektor industri pengolahan dan
sektor PHR berkontribusi dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Sektor industri pengolahan
diperkirakan tumbuh meningkat seiring dengan potensi peningkatan permintaan internasional akan
produk CPO dan elektronik. Di samping itu, kegiatan MICE serta kunjungan wisatawan ke wilayah
Sumbagteng diperkirakan mendorong pertumbuhan sektor PHR.
Prospek Inflasi
Dari sisi harga, tekanan inflasi pada tahun 2014 diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan
tahun 2013. Inflasi diprakirakan akan berada pada rentang 4,59% - 5,09% (yoy). Meredanya inflasi ke
depan juga disebabkan oleh ketiadaan kebijakan kenaikan harga energi strategis dan stabilnya
pertumbuhan ekonomi. Selain itu, potensi berlanjutnya pertumbuhan ekonomi Sumbagteng yang
L a p o r a n N u s a n t a r a | 168
stabil di tahun 2014 juga mengurangi tekanan inflasi ke depan. Meski demikian, risiko inflasi ke
depan masih besar, di antaranya adalah gangguan cuaca yang akan memengaruhi pasokan pangan
dan rencana kenaikan harga sejumlah barang dan jasa oleh produsen yang belum dilakukan
sepenuhnya pada tahun 2013, terutama bila depresiasi nilai tukar masih berlanjut. Faktor risiko lain
yang perlu dipertimbangkan adalah kemungkinan penerapan kebijakan subsidi tetap untuk bahan
bakar minyak (BBM).
Tabel IV.2.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
I II III IV Total Totalp
PDRB (%,yoy) 5.9 5.2 4.7 4.5 4.2 5.0 4.6 4,9 - 5,4
Sisi Permintaan
Konsumsi 5.7 6.2 6.8 6.1 5.3 6.3 6.1 6,9 - 7,4
Konsumsi swasta 5.5 6.3 7.4 6.8 5.9 6.4 6.4 7,5 - 8,0
Konsumsi Pemerintah 7.0 5.3 3.3 2.2 2.1 4.5 4.5 3,4 - 3,9
Pembentukan Modal Tetap Bruto 10.5 8.3 8.4 7.9 7.8 7.8 7.8 4,5 - 5,0
Ekspor 7.9 3.1 0.4 -0.2 0.1 1.8 1.8 3,2 - 3,7
Impor 8.8 5.5 3.2 1.4 1.6 1.9 1.9 4,3 - 4,8
Sisi Produksi
Sektor pertanian 4.5 3.9 3.2 3.4 4.5 6.3 4.6 3,9 - 4,4
Sektor pertambangan & penggalian 3.3 -0.4 -4.8 -1.6 0.4 1.2 -1.0 0,1 - 0,6
Industri pengolahan 6.3 4.9 7.7 6.0 5.3 5.2 5.9 6,0 - 6,5
Listrik, gas & air bersih 7.7 5.1 5.7 5.8 3.3 4.8 4.9 3,3 - 3,8
Bangunan 10.5 11.9 10.7 9.2 8.4 9.4 9.6 4,9 - 5,4
Perdagangan, hotel & restoran 8.2 11.3 11.1 8.5 4.9 5.9 7.5 8,4 - 8,9
Pengangkutan & komunikasi 8.6 9.0 9.2 8.5 6.2 7.1 7.7 7,8 - 8,3
Keuangan, persewaan dan jasa perush. 7.1 8.5 9.3 7.1 5.7 4.9 6.7 6,3 - 6,8
Jasa-jasa 7.8 7.6 7.8 6.1 6.1 6.7 6.8 8,0 - 8,5
Inflasi IHK (%,yoy) 4.41 3.18 4.99 5.52 8.18 9.11 9.11 4,59 - 5,09
Sumber: Badan Pusat Statis tik, diolahp proyeks i Bank Indones ia
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Wilayah2011 2012
2013 2014
L a p o r a n N u s a n t a r a | 169
Bagian IV.3. Perekonomian Sumatera Bagian Selatan
PERTUMBUHAN EKONOMI
Pertumbuhan ekonomi Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) pada triwulan IV 2013 tumbuh meningkat
seiring membaiknya kinerja sektor pertanian dan sektor pertambangan. Perbaikan kinerja sektor utama
tersebut berdampak pada meningkatnya konsumsi rumah tangga. Peningkatan pertumbuhan terjadi di
provinsi Sumatera Selatan, Lampung, dan Bengkulu. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan
ekonomi Sumbagsel tercatat meningkat dari 5,6% (yoy) pada triwulan III 2013 menjadi 6,4% (yoy).
Bila dilihat secara keseluruhan tahun 2013, Sumbagsel mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sebagai dampak dari ketidakstabilan perekonomian global,
yang terefleksi dari rendahnya harga beberapa komoditas unggulan. Kondisi ini berdampak pada
melambatnya pertumbuhan sektor pertanian dan sektor perdagangan. Dari sisi permintaan, perlambatan
pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh lebih rendahnya pertumbuhan investasi dan konsumsi
pemerintah dari tahun sebelumnya. Perlambatan ini terjadi di seluruh provinsi di Sumbagsel.
Pertumbuhan ekonomi Sumbagsel pada tahun 2013 tercatat 5,9% (yoy) lebih rendah dari pertumbuhan
2012 yang mencapai 6,2% (yoy).
Pada triwulan I 2014 pertumbuhan ekonomi diperkirakan sedikit melambat karena turunnya kinerja
sektor pertanian khususnya subsektor tanaman bahan makanan (tabama) dan sektor pertambangan
migas. Dari sisi permintaan, faktor pendorong ekonomi pada triwulan I 2014 berasal ekspor luar negeri
untuk komoditas nonmigas, seiring dengan membaiknya perekonomian global dan harga komoditas
global. Meskipun demikian, meningkatnya impor luar negeri menjadi faktor pendorong perlambatan
ekonomi Sumbagsel pada triwulan ini.
Pada tahun 2014, perekonomian Sumbagsel diperkirakan tumbuh lebih tinggi, didorong terutama oleh
peningkatan konsumsi rumah tangga, seiring membaiknya ekspor komoditas perkebunan. Kondisi ekspor
perkebunan yang membaik akan mendorong kinerja dari sektor pendukung serta konsumsi domestik
seiring meningkatnya pendapatan masyarakat. Dengan terjaganya konsumsi masyarakat, pelaksanaan
pemilu 2014, dan pembangunan beberapa hotel berbintang, sektor PHR diperkirakan tumbuh meningkat
pada tahun 2014. Namun, belum ditemukannya sumber minyak baru di wilayah Sumbagsel, pengetatan
pemberian izin baru untuk tambang timah, serta penerapan aturan baru mengenai penjualan ekspor
timah membayangi capaian ekonomi Sumbagsel tahun 2014.
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga tumbuh sedikit meningkat pada triwulan IV 2013 karena terjaganya pendapatan
masyarakat seiring membaiknya permintaan ekspor untuk komoditas pertanian dan pertambangan serta
pola konsumsi akhir tahun yang cenderung meningkat. Konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh 7,7%
(yoy) meningkat tipis dari triwulan sebelumnya sebesar 7,6% (yoy) (Grafik IV.3.1.). Meningkatnya rata-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 170
rata indeks konsumsi barang tahan lama Sumbagsel dari 107,4 menjadi 110,12 mengonfirmasi
membaiknya konsumsi rumah tangga.
0
2
4
6
8
10
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
Konsumsi Konsumsi RT
-15
-10
-5
0
5
10
15
105
110
115
120
125
130
135
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1
2012 2013 2014
Indeks Keyakinan Konsumen
Pertumbuhan (%yoy, RHS)
Grafik IV.3.1. Pertumbuhan Konsumsi Grafik IV.3.2. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
Perkembangan indikator hingga Januari 2014 mengindikasikan adanya peningkatan optimisme
masyarakat terhadap perekonomian yang ditunjukkan dengan hasil Indeks Keyakinan Konsumen yang
meningkat (Grafik IV.3.2). Optimisme ini didorong oleh adanya potensi perbaikan harga komoditas
ekspor utama dalam periode mendatang.
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi Pemerintah mengalami perlambatan pada triwulan IV 2013. Realisasi belanja APBD provinsi
pada triwulan IV 2013 tercatat menyusut 14,05% (yoy) setelah pada triwulan sebelumnya mencapai
0,76% (yoy) (Grafik IV.3.3). Turunnya realisasi APBD tersebut dipengaruhi oleh minimnya realisasi belanja
modal selama triwulan IV 2013 serta adanya kebijakan untuk mempercepat realisasi anggaran sehingga
terjadi pergeseran pola realisasi anggaran pemerintah provinsi. Dengan pola belanja ini, realisasi belanja
pemerintah daerah Sumbagsel tahun 2013 mencapai 90,65% lebih rendah dari tahun sebelumnya yang
mencapai 91,35% .
Pada triwulan I 2014 konsumsi pemerintah diprakirkan meningkat, seiring dengan kebijakan pemerintah
untuk mempercepat realisasi anggaran tahun 2014. Realisasi anggaran pemerintah ini di antaranya
berasal dari dimulainya pembangunan jalan layang dan sekolah di Lampung terkait MP3EI serta realisasi
belanja rutin pemerintah terkait pemilu 2014 pada akhir triwulan I 2014.
Investasi
Pada triwulan IV 2013 investasi meningkat, seiring dengan perluasan kapasitas produksi dan peremajaan
mesin produksi pada industri minyak sawit dan industri olahan karet. Pertumbuhan investasi tercatat
meningkat dari 6,8% (yoy) menjadi 7,2% (yoy). Secara keseluruhan, investasi pada tahun 2013 melambat
menjadi 7,6% (yoy). Hal ini sejalan dengan data realisasi investasi yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) untuk wilayah Sumbagsel, yang menyebutkan terjadi perlambatan
pertumbuhan untuk pertumbuhan Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN) (Grafik IV.3.4).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 171
-50
0
50
100
150
200
250
0.0
1000.0
2000.0
3000.0
4000.0
5000.0
6000.0
2011 2012 2013
PMA (Juta US$) PMDN (Rp Miliar)
gPMA (%yoy, RHS) gPMDN (%yoy, RHS)
Sumber: BKPM
Grafik IV.3.4. Perkembangan Investasi Sumbagsel
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
Tril
iun
Ru
pia
h
Kredit Investasi Pertumbuhan (%yoy, RHS)
Grafik IV.3.5. Penyaluran Kredit Investasi
Investasi pada triwulan I diperkirakan meningkat seiring dengan keyakinan para pelaku usaha terhadap
perekonomian triwulan mendatang. Ekspektasi yang membaik ini direfleksikan melalui peningkatan
pertumbuhan kredit investasi Sumbagsel dari 38,65% (yoy) menjadi 48,29% (yoy) (Grafik IV.3.5).
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Pada triwulan IV 2014 kinerja ekspor luar negeri meningkat sebagai dampak depresiasi rupiah yang
menetralkan kondisi harga komoditas internasional yang belum pulih. Volume ekpor karet mentah
tumbuh meningkat dari 15,87% (yoy) menjadi 23,82% (yoy) (Grafik IV.3.6) begitu juga dengan minyak
sawit yang meningkat dari -16,56% (yoy) menjadi 9,51% (yoy) (Grafik IV.3.7). Dengan demikian ekspor
pada triwulan IV 2013 tumbuh 17,03% (yoy) setelah pada triwulan sebelumnya tumbuh 11,00% (yoy).
Dengan perkembangan tersebut, secara keseluruhan, kinerja ekspor tahun 2013 tumbuh 12,80% (yoy)
meningkat cukup signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya tumbuh 3,50% (yoy).
Pada triwulan I 2014, ekspor luar negeri untuk komoditas nonmigas diperkirakan meningkat, seiring
optimisme adanya potensi perbaikan harga komoditas ekspor utama. Potensi pelaku usaha untuk
meningkatkankan ekspor pada triwulan I 2014 terindikasi dari tingginya kredit ekspor pada akhir tahun
2013 yang mencapai Rp16,4 triliun atau tumbuh meningkat dari -4,4% (yoy) menjadi 33% (yoy) (Grafik
IV.3.8).
-5.0
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
0
50
100
150
200
250
300
350
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
Juta
To
n Volume Ekspor Karet
Pertumbuhan (%yoy, RHS)
Grafik IV.3.6. Perkembangan Ekspor Crude Rubber
-40.00
-20.00
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
0
200
400
600
800
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
Juta
To
n
Volume Ekspor CPO
Pertumbuhan (%yoy, RHS)
Grafik IV.3.7. Perkembangan Ekspor Minyak Sawit
L a p o r a n N u s a n t a r a | 172
Impor
Sementara itu, pertumbuhan impor pada triwulan IV 2013 meningkat signifikan terutama untuk barang
modal dan bahan baku, seperti peralatan industri dan pupuk. Peningkatan impor pupuk terkait dengan
masuknya musim tanam untuk tabama dan tanaman perkebunan (Grafik II.7.9). Walaupun terjadi
pelemahan rupiah, impor untuk bahan baku dan barang modal meningkat untuk keseluruhan tahun
2013. Pada triwulan I 2014, impor dari luar negeri diperkirakan akan meningkat, terutama untuk barang
konsumsi seiring dengan konsumsi rumah tangga yang cenderung lebih baik.
-150
-100
-50
0
50
100
150
200
0
100
200
300
400
500
600
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2012 2013
Juta
To
n
Volume Impor Pupuk
Pertumbuhan (%yoy, RHS)
Grafik IV.3.9. Perkembangan Impor Pupuk
-150
-100
-50
0
50
100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2012 2013
Pertumbuhan Volume Ekspor (%yoy)
Pertumbuhan Volume Impor (%yoy)
Grafik IV.3.10. Perkembangan Ekspor Impor Luar Negeri
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertanian
Kinerja sektor pertanian pada triwulan IV 2013 meningkat signifikan, sejalan dengan meningkatnya
kinerja ekspor sektor pertanian. Pertumbuhan sektor pertanian tercatat meningkat, dari 3,4% (yoy) pada
triwulan III 2013 menjadi 10,6% (yoy) pada triwulan IV 2013. Pertumbuhan ini terutama didorong oleh
kinerja subsektor perkebunan yang diindikasikan dengan meningkatnya ekspor karet dan minyak sawit
dari subsektor perkebunan. Selain itu, kinerja tabama pada triwulan IV 2013 juga mengalami peningkatan
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, didorong oleh peningkatan luasan panen di Provinsi
Lampung dan Bangka Belitung. Membaiknya produksi tabama tersebut terindikasi dari Angka Ramalan II
2013 yang menunjukkan peningkatan produksi padi di seluruh wilayah Sumbagsel (Tabel IV.3.1). Namun,
kinerja sektor pertanian secara keseluruhan tahun 2013 masih menurun dibandingkan tahun 2012, yang
terutama disebabkan oleh turunnya produksi karet akibat rendahnya level harga (Grafik IV.3.11).
Pada triwulan I 2014, kinerja sektor pertanian diperkirakan mengalami perlambatan karena subsektor
tabama masih berada dalam masa tanam pada 2 bulan pertama triwulan I 2014. Cuaca yang kurang
bersahabat, menyebabkan banjir terjadi di beberapa area produsen di Sumsel, Lampung, dan Bangka
Belitung pada Januari 2014, sehingga menggeser masa tanam tabama.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 173
Tabel IV.3.1. Angka Ramalan Produksi Padi
Provinsi ATAP 2011 ATAP 2012 ARAM II 2013 Growth
(%yoy) Sumsel 3,384,670 3,295,247 3,593,463 9.0
Babel 15,210 22,395 29,087 29.9
Lampung 2,940,795 3,101,455 3,218,232 3.8
Bengkulu 502,552 581,910 626,175 7.6
Sumbagsel 6,843,227 7,001,007 7,466,957 6.7 Sumber: Badan Pusat Statistik
-15-10-50510152025303540
-10 20 30 40 50 60 70 80 90
100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2011 2012
Rib
u T
on Sumbagsel (ton)
Pertumbuhan (%yoy, RHS)
Sumber: Gapkindo Sumsel
Grafik IV.3.11. Produksi Karet
Sektor Pertambangan
Pertumbuhan sektor pertambangan pada triwulan IV 2013 juga mengalami peningkatan, seiring
meningkatnya produksi batubara dan timah (Grafik II.7.12). Berdasarkan liaison dengan salah satu
perusahaan batubara di Sumatera Selatan diketahui bahwa produksi batubara selama tahun 2013
meningkat hampir 25% (yoy), yang mayoritas ditujukan untuk permintaan domestik, di tengah harga
komoditas batubara yang fluktuatif (Grafik II.7.13). Sementara itu, produksi dari subsektor migas selama
triwulan IV cenderung stabil karena belum ada produksi dari sumber minyak baru. Dengan demikian,
pertambangan pada triwulan IV 2013 tumbuh 2% (yoy) lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang
mencapai 1% (yoy). Dengan perkembangan tersebut, selama tahun 2013 pertumbuhan sektor
pertambangan mengalami peningkatan dari 0,8% (yoy) menjadi 1,7% (yoy).
Pada triwulan I 2014, kinerja sektor pertambangan diperkirakan melambat. Musim hujan yang masih
terus berlangsung menghambat produksi tambang batu bara. Selain itu, kewajiban penjualan timah
melalui bursa timah dengan berbagai persyaratannya diperkirakan masih mengganggu produksi timah
untuk skala penambangan rakyat.
Grafik IV.3.12. Produksi Timah
30
40
50
60
70
80
90 Harga Batubara
Pertumbuhan (RHS)
USD/mt %yoy
Sumber: Bloomberg
Grafik IV.3.13. Harga Batubara Internasional
L a p o r a n N u s a n t a r a | 174
Sektor Industri Pengolahan
Sektor industri pengolahan tumbuh moderat pada triwulan IV 2013. Sumber pendorong pertumbuhan
berasal dari peningkatan produksi industri minyak sawit dan olahan karet. Sementara itu, industri
pengolahan migas tumbuh melambat karena terimbas efek dihentikannya produksi pertamina sebagai
reaksi atas pencurian minyak pada pipa-pipa milik pertamina. Namun, secara keseluruhan tahun 2013
sektor industri pengolahan mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2012, yaitu dari 5,1%
(yoy) menjadi 6,6% (yoy), seiring meningkatnya produksi CPO dan olahan karet. Keyakinan akan
membaiknya kondisi harga karet (Grafik IV.3.14) dan CPO (Grafik IV.3.15) di pasar internasional menjadi
pemicu peningkatan kinerja industri pengolahan pada triwulan I 2014, yang diperkirakan tumbuh
meningkat.
KETENAGAKERJAAN DAN KEMISKINAN
Total angkatan kerja penduduk Sumbagsel sebanyak 13,27 juta jiwa dengan lebih dari 80% penduduknya
berdomisili di Sumatera Selatan dan Lampung. Rilis data yang dikeluarkan BPS menunjukkan
pengangguran di Sumbagsel meningkat, sebagaiman tercermin dari lebih tingginya Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) yang menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Tabel IV.3.2).
Hal ini disertai dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang mengalami penurunan
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini sejalan dengan kinerja pertumbuhan ekonomi yang
melambat pada triwulan IV 2013. TPAK terendah berada di provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel).
Menurunnya kinerja pertambangan di Babel, turut berdampak pada akitivitas perekonomian masyarakat
yang umumnya bekerja di sektor pertambangan dan penggalian.
Tabel IV.3.2. Kondisi Ketenagakerjaan Wilayah Sumbagsel
2012 2013 2012 2013 2012 2013
Sumsel 3,746,373 3,646,996 69.6 66.5 5.7 5.0
Babel 604,163 619,700 65.7 62.9 3.5 3.7
Lampung 3,638,000 3,595,500 66.3 64.7 5.2 5.9
Bengkulu 861,390 841,000 70.7 67.3 3.6 4.7
Sumbagsel 8,849,926 8,703,196 67.9 65.6 5.1 5.2
Provinsi/
Wilayah
Angkatan Kerja TPAK TPT
Sumber: Badan Pusat Statistik
Tingkat kemiskinan penduduk Sumbagsel tahun 2013 menunjukkan perbaikan. Meningkatnya
pertumbuhan ekspor tahun 2013 yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun 2012, mendorong
membaiknya penghasilan masyarakat yang berasal dari hasil ekspor. Dengan demikian tejadi perbaikan
kondisi ekonomi masyarakat Sumbagsel pada tahun. Presentase penduduk miskin pada tahun 2013
tercatat sebesar 13,92%, lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2012 sebesar 14,20% (Tabel IV.3.3).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 175
Tabel IV.3.3. Tingkat Kemiskinan di Wilayah Sumbagsel
2010 2011 2012 2013
Sumatera Selatan 15.47 14.24 13.48 14.06
Bengkulu 18.30 17.50 17.51 17.75
Lampung 18.94 16.93 15.65 14.39
Bangka Belitung 6.51 5.75 5.37 5.25
Sumbagsel 16.74 15.10 14.20 13.92
Persentase Penduduk Miskin (%)Propinsi
Sumber: Badan Pusat Statistik
PERKEMBANGAN INFLASI
Dibandingkan dengan wilayah Sumatera lainya, capaian inflasi Sumbagsel tahun 2013 merupakan yang
terendah. Inflasi Sumbagsel tercatat sebesar 7,63% (Grafik IV.3.16). Secara umum, inflasi sepanjang
tahun 2013 dipengaruhi oleh kebijakan pembatasan impor hortikultura pada awal tahun, kenaikan harga
Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi pada pertengahan tahun, dan kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL).
Hal tersebut membuat inflasi volatile food meningkat pada awal tahun, dilanjutkan dengan
meningkatnya tekanan inflasi administered prices pada pertengahan tahun. Namun menjelang akhir
tahun, laju inflasi terkendali, seiring dengan berbagai langkah yang diambil pemerintah sebagai hasil dari
koordinasi Bank Indonesia dan pemerintah yang mendorong stabilnya persediaan pasokan bahan pangan
(Grafik IV.3.17).
Inflasi pada triwulan I 2014 diperkirakan lebih rendah dari triwulan sebelumnya, sejalan dengan masa
panen raya, yang diperkirakan berlangsung pada bulan Maret 2014. Adapun potensi gangguan cuaca,
seperti gelombang tinggi di perairan Bangka Belitung dan Selat Sunda, serta banjir di beberapa area
Sumatera Selatan dan Lampung berisiko meningkatkan tekanan inflasi khususnya pada awal triwulan I
2014. Sementara itu, meningkatnya tekanan dari sisi permintaan akibat penyelenggaraan pemilu 2014
dan dimulainya bulan puasa pada akhir Juni, serta gangguan pasokan akibat dimulainya masa tanam padi
ke-2, khususnya di provinsi Lampung, menjadi faktor yang akan meningkatkan inflasi Sumbagsel pada
triwulan II 2014.
0
2
4
6
8
10
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11
2011 2012 2013
Nasional Sumbagsel
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.3.16. Perkembangan Inflasi
-5
0
5
10
15
20
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11
2011 2012 2013
Umum Core
Volatile Foods Adm. Prices
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.3.17. Disagregasi Inflasi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 176
Koordinasi Pengendalian Inflasi
TPID sudah didirikan di setiap provinsi di wilayah Sumbagsel. TPID setiap kota/kabupaten juga sedang
tahap proses pendirian dan Bank Indonesia Wilayah VII akan memfokuskan pada TPID di kota/kabupaten
yang menjadi basis penghitung inflasi. Untuk mengendalikan ekspektasi harga, TPID Sumatera Selatan
sudah mendirikan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Provinsi Sumatera Selatan dengan
mendirikan website informasi harga, layanan sms, dan akan mendirikan papan harga di pasar utama di
kota Palembang. Dalam tahun 2014 hal serupa akan dikembangkan di TPID Provinsi Kep. Bangka Belitung
yang diharapkan dapat menekan laju inflasi di daerah tersebut, yang selama ini berada di atas nasional
dan merupakan salah satu yang tertinggi di wilayah Sumatera.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi Sumbagsel juga direspons oleh meningkatnya penyaluran kredit
oleh perbankan di wilayah ini (Grafik IV.3.18). Kredit pada triwulan IV 2013 tercatat tumbuh meningkat
dari 19,4% (yoy) pada triwulan III 2013 menjadi 21,4% (yoy) pada triwulan IV 2013. Peningkatan
pertumbuhan kredit terjadi pada sektor dominan Sumbagsel yakni sektor pertanian, sektor
pertambangan, dan sektor perdagangan (Grafik IV.3.19.). Peningkatan pertumbuhan kredit pada sektor
pertanian terutama terjadi pada usaha perkebunan karet dan pertanian padi-palawija. Sementara itu,
peningkatan produksi batubara dan timah sejak awal triwulan IV 2013 berdampak pada peningkatan
penyaluran kredit pada usaha pertambangan batu bara dan bijih timah.
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
0
20
40
60
80
100
120
140
160
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
Tri
liu
n R
up
iah Kredit Pertumbuhan (%yoy, RHS)
Grafik IV.3.18. Penyaluran Kredit
(50.0)
-
50.0
100.0
150.0
200.0
250.0
300.0
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
Pertanian Pertambangan
Industri Pengolahan PHR
Grafik IV.3.19. Pertumbuhan Kredit Sektor Ekonomi Utama
Risiko kredit masih terjaga di level yang rendah bahkan terjadi penurunan NPL dari 2,33% menjadi 2,19%
seiring dengan membaiknya kinerja perekonomian sektor utama. Namun, penyaluran kredit pada usaha
industri pengolahan makanan ke depan perlu mendapat perhatian khusus karena nominal NPLnya paling
besar dan berada pada tren yang meningkat.
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Kredit nonproduktif pada triwulan IV 2013 tercatat tumbuh melambat (Grafik IV.3.22) yang terutama
disebabkan dampak adanya kebijakan BI terkait Loan-to-Value (LTV). Pertumbuhan kredit KPR sejak
L a p o r a n N u s a n t a r a | 177
bulan Agustus 2013 terus berada pada tren penurunan sejak Bulan Agustus 2013. Sementara itu, kredit
untuk kendaraan bermotor mengalami penyusutan (Grafik IV.3.20). Dengan diterapkannya LTV, risiko
kredit pada KPR, KPA, kredit untuk rukan, dan kredit kendaraan bermotor mengalami penurunan yang
dicerminkan oleh rasio NPL kredit-kredit tersebut yang terus menurun (Grafik IV.3.21). Seiring dengan
suku bunga kredit konsumtif yang mengalami peningkatan, serta efek kebijakan LTV, pertumbuhan kredit
konsumtif diperkirakan mengalami perlambatan pada triwulan I 2014.
-40
-20
0
20
40
60
80
100
120
140
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
I II III IV I II III IV I II III IV
Mil
iar
Ru
pia
h KPR KPA RukanKKBgKPR KPA Rukan (%yoy, RHS)gKKB (%yoy, RHS)
Grafik IV.3.20. Penyaluran Kredit Tempat Tinggal dan Kendaraan
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
KPR KPA RukanKKBMultiguna
Grafik IV.3.21. NPL Kredit Rumah Tangga
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Kredit UMKM pada triwulan IV 2013 mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya
seiring meningkatnya suku bunga khususnya untuk segmen debitur menengah yang menguasai 41,19%
(Grafik IV.3.23.). Persepsi pelaku UMKM bahwa seluruh kredit UMKM mengalami peningkatan suku
bunga akibat kenaikan BI rate juga menyebabkan permintaan kredit ini turun yang terindikasi dari
melambatnya pertumbuhan debitur kredit UMKM. Penyaluran kredit UMKM di Sumbagsel terkonsentrasi
pada sektor perdagangan yakni mencapai 52%. Dari sisi risiko kredit, rasio NPL masih berada pada level
yang rendah yaitu 3% dan berada pada tren penurunan sejak April 2013.
0
10
20
30
40
50
60
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013
Tril
iun
Ru
pia
h
Kredit UMKM
Pertumbuhan (%yoy, RHS)
NPL
Grafik VI.3.23. Penyaluran Kredit UMKM
Pertanian20%
Industri Pengolahan4%
Konstruksi5%
PHR52%
Real Estat, Jasa Perusahaan
4%
Lainnya15%
Grafik IV.3.24. Pangsa Kredit UMKM
Kinerja Sistem Pembayaran
Membaiknya kinerja beberapa sektor utama pada triwulan IV 2013 juga tercermin dari meningkatnya
transaksi nontunai melalui fasilitas RTGS (Grafik IV.3.25.) dan kliring (Grafik IV.3.26.). Pada triwulan IV
L a p o r a n N u s a n t a r a | 178
2013, transaksi RTGS mencapai Rp125,18 triliun atau tumbuh meningkat dari 0,27% (yoy) menjadi 5,90%
(yoy). Sementara itu, kliring mencapai Rp24,8 triliun atau tumbuh meningkat dari 10,20% (yoy) menjadi
31,64% (yoy).
-20
-10
0
10
20
30
40
50
-
10
20
30
40
50
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2012 2013
Rp
Tri
liu
n RTGS Pertumbuhan (%yoy, RHS)
Grafik II.7.25. Perkembangan RTGS Outgoing
-40
-20
0
20
40
60
80
100
-
2
4
6
8
10
12
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2012 2013
Rp
Tri
liu
n Kliring Pertumbuhan (%yoy, RHS)
Grafik II.7.26. Perkembangan Perputaran Kliring
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Sektor ekonomi yang dominan di Sumatera Selatan yaitu pertanian, tambang dan industri pengolahan.
Dengan dominasi sektor-sektor tersebut, maka ciri khas aliran uang kartal di wilayah Sumbasel adalah
aliran neto keluar (net outflow) Pada triwulan IV 2013, aliran uang kartal menunjukkan peningkatan net
inflow sebesar 205,6% atau mencapai Rp 3,80 triliun (Grafik IV.3.27). Kondisi ini mencerminkan
meningkatnya kebutuhan uang kartal masyarakat, terkait aktivitas liburan akhir tahun. Selain itu, rasio
pemusnahan uang lusuh terhadap uang kartal yang masuk ke kantor Bank Indonesia juga meningkat
(Grafik IV.3.28).
-6
-4
-2
-
2
4
6
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11
2012 2013
Rp
Tri
liu
n
Net Flow Inflow Outflow
Grafik IV.3.27. Perkembangan Net Flow
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
-
100
200
300
400
500
600
700
800
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2012 2013
Pemusnahan Uang Lusuh (Rp Miliar)
Rasio Pemusnahan Uang Lusuh terhadap Inflow
Grafik IV.3.28. Perkembangan Pemusnahan Uang Lusuh
L a p o r a n N u s a n t a r a | 179
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Berbagai perkembang indikator terkini yang memberikan gambaran yang positif, sehingga mendukung
optimisme membaiknya kondisi ekonomi Sumbagsel tahun 2014. Berdasarkan proyeksi perekonomian
dunia yang dipublikasikan oleh World Economic Outlook (WEO), Consensus Forecast, perekonomian
negara maju diperkirakan akan membaik, khususnya untuk Amerika Serikat dan Eropa, sedangkan negara
berkembang seperti China diprakirakan tumbuh stabil, sementara India diperkirakan membaik. Hal ini
mengindikasikan peluang ekspor yang membaik. Perbaikan kondisi ekonomi diprakirakan terjadi di
seluruh provinsi di wilayah Sumbagsel. Sumber pertumbuhan akan berasal dari membaiknya ekspor luar
negeri nonmigas, khususnya komoditas perkebunan, yaitu kelapa sawit dan karet, yang pasarnya
sebagian besar ditujukan ke negara-negara maju. Perbaikan kinerja di sektor perkebunan akan
berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat dan mendorong menguatnya daya beli
masyarakat. Membaiknya daya beli masyarakat berdampak positif bagi perkembangan kinerja sektor
PHR. Membaiknya daya beli masyarakat juga akan didukung oleh lebih rendahnya tekanan inflasi tahun
2014 dan peningkatan UMP tahun 2014.
Selain dari sisi permintaan, perbaikan kinerja ekonomi juga akan didorong dari sisi produksi, seiring
dengan kondisi usaha yang lebih kondusif. Berdasarkan informasi GAPKINDO dan GAPKI, hasil produksi
karet dan CPO diperkirakan meningkat, seiring mulai adanya produksi dari tanaman baru hasil
penanaman kembali (replanting). GAPKI Sumsel juga memperkirakan produksi pada tahun 2013 di atas
satu juta ton, dan masih akan meningkat hingga tahun 2014 (Tabel IV.3.5).
Tabel II.7.5. Proyeksi Produksi Industri Karet Sumatera Selatan
Tahun Lisensi Perkiraan Harapan N/N-1
Ton/Th Produksi Produksi
2012 1.383.200 927.000
2013 1.457.300 1.011.000 1.019.000 1.099
2014 1.531.500 1.096.900 1.141.000 1.119
2015 1.605.500 1.181.900 1.290.000 1.130
Sumber: GAPKI Sumatera Selatan
Prospek perekonomian Sumbagsel pada tahun 2014 masih dibayangi beberapa risiko. Di antaranya, dari
sektor tambang, risiko berasal dari keterbatasan sumber produksi serta industri pengolahan migas.
Berdasarkan liaison kepada pelaku usaha tambang migas, sumber minyak baru di Sumbagsel pada tahun
2014 masih dalam tahap eksplorasi. Tanpa adanya sumber minyak baru, produksi migas di wilayah
Sumbagsel akan cenderung turun. Hal ini dapat menjadi faktor yang mengurangi optimalitas kinerja
sektor pertambangan dan industri pengolahan Sumbagsel selama 2014. Sementara itu, pada sektor
pertanian ancaman muncul dari potensi anomali cuaca yakni tingginya curah hujan pada awal tahun yang
menyebabkan banjir pada beberapa sentra produksi Sumbagsel dan musim kemarau yang diyakini
datang lebih cepat. Kondisi ini akan sangat membayangi kinerja subsektor tabama pada tahun 2014.
Prospek Inflasi
Inflasi Sumbagsel pada tahun 2014 diperkirakan akan kembali ke pola normalnya yaitu pada kisaran 5,0-5,5%.
Hal ini didasarkan pada membaiknya kondisi distribusi antar daerah seiring beroperasinya beberapa ruas
L a p o r a n N u s a n t a r a | 180
jalan dari proyek MP3EI, menghilangnya efek kenaikan harga BBM bersubsidi pada 2013, dan terjaganya
ekspektasi inflasi yang didukung kegiatan dan program TPID. Namun, hingga akhir tahun 2014 terdapat
beberapa potensi risiko yang dapat meningkatkan tekanan inflasi Sumbagsel. Dari sisi permintaan,
peningkatan UMP 2014 serta pelaksanaan pemilu 2014 diperkirakan meningkatkan konsumsi
masyarakat. Dari sisi pasokan, adanya anomali cuaca di Sumbagsel seperti curah hujan tinggi atau musim
kemarau terjadi lebih awal, dapat mengganggu produksi tanaman pangan tahun 2014. Sementara itu dari
sisi kebijakan pemerintah, peningkatan tekanan inflasi dapat disumbang oleh kenaikan TDL untuk
pelanggan rumah tangga besar, industri menengah, dan industri besar, rencana kenaikan harga elpiji 12
kg secara bertahap mulai 1 Juli 2014, dan rencana kenaikan tarif PDAM pada beberapa kota di
Sumbagsel.
Tabel IV.3.6. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
I II III IV Total
PDRB (%,yoy) 6.5 6.2 6.0 5.8 5.6 6.4 5.9 5.8 - 6.3
Sisi Permintaan
Konsumsi 6.5 6.5 7.2 7.1 7.5 7.2 7.2 7.2 - 7.7
Konsumsi swasta 6.2 6.6 7.6 8.2 7.6 7.7 7.8 7.7 - 8.2
Konsumsi Pemerintah 7.9 5.5 3.9 0.4 6.4 4.1 3.7 5.0 - 5.5
Pembentukan Modal Tetap Bruto 11.6 11.4 8.4 8.1 6.8 7.2 7.6 7.2 - 7.7
Ekspor 17.0 3.5 12.4 10.2 11.0 17.3 12.8 6.5 - 7.0
Impor 25.8 7.5 10.5 13.4 12.9 28.7 16.7 7.3 - 7.8
Sisi Produksi
Sektor pertanian 5.1 5.1 1.8 3.3 3.4 10.6 4.6 3.0 - 3.5
Sektor pertambangan & penggalian 3.1 0.8 1.4 2.6 1.0 2.0 1.7 0.9 - 1.4
Industri pengolahan 5.3 5.1 8.1 7.0 5.8 5.7 6.6 6.1 - 6.6
Listrik, gas & air bersih 8.7 8.7 7.1 8.8 9.5 7.3 8.2 7.4 - 7.9
Bangunan 11.6 8.4 10.2 8.7 7.2 4.3 7.5 7.8 - 8.3
Perdagangan, hotel & restoran 7.1 7.6 8.7 7.0 7.1 5.0 6.9 7.8 - 8.3
Pengangkutan & komunikasi 12.2 11.3 8.7 8.8 7.5 6.9 8.0 10.7 - 11.2
Keuangan, persewaan dan jasa perush. 8.1 10.5 10.8 8.6 9.1 7.0 8.9 11.4 - 11.9
Jasa-jasa 7.9 8.4 8.7 7.1 10.2 6.4 8.1 7.1 - 7.6
Inflasi IHK (%,yoy) 4.0 3.7 6.2 4.9 7.6 7.6 7.6 5.0 - 5.5
Sumber: Badan Pusat Statis tik, diolahp proyeks i Bank Indones ia
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Wilayah2011 2012
20132014P
L a p o r a n N u s a n t a r a | 181
BOKS 5. Prospek Pengembangan Industri Biodiesel di Sumatera:
Peluang, Tantangan, dan Hambatan
Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk, konsumsi BBM di Indonesia
juga terus meningkat (Grafik E.1.). Kondisi produksi lokal yang ada saat ini tidak akan mampu
mengimbangi permintaan yang naik 4-5% per tahun. Semakin tingginya kesenjangan antara konsumsi dan
produksi menyebabkan kebutuhan impor Indonesia akan mencapai 1 juta barel/hari pada tahun 2020.
Tingginya impor ini membuat beban neraca pembayaran dan fiskal semakin tinggi.
949 942862
778
390
1344 1368 14181496
1600
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2009 2010 2012 2015 2020
Actual Projection
Th
ou
san
ds
Ba
rre
ls D
ail
y
Domestic Crude Oil Production
Product Consumption
Sumber: Pertamina
Ket.: Proyeksi berdasarkan proyeksi pertumbuhan produk 1,8% CAGR
Grafik E.1. Perbandingan Produksi dan Konsumsi BBM
Sumatera 71,5%
Jawa 25,2%
Kalimantan 2,7%
Sumber: Dit. Bioenergi KemenESDM
Gambar E.1. Kapasitas Produksi Biodiesel di Indonesia
39%
38%
8%15%
SUMATERA
MALAYSIA
Indonesia Lainnya
DUNIA Lainnya
36%
42%
12%10%
SUMATERA
MALAYSIA
Indonesia Lainnya
DUNIA Lainnya
PRODUKSI EKSPOR
Sumber: Statistik Sawit Indonesia
Grafik E.2. Perbandingan Produksi dan Ekspor Kelapa Sawit Sumatera dan Dunia
Tabel E.1. Perbandingan Produksi Kelapa Sawit Indonesia
PR PBN PBS
1 Sumatera 7,563,132 1,672,139 8,366,517 3.7
2 Jawa 9,643 33,033 9,629 2.55
3 Kalimantan 945,041 198,740 4,179,327 3.21
4 Sulawesi 178,486 25,420 310,691 3.06
5 Maluku dan Papua 86,884 32,656 22,075 2.86
Produktivitas
(ton/ha)
Produksi (ton)WilayahNo
Sumber: BPS dan Ditjen Bun, Kementan (2013)
Kondisi ini meningkatkan urgensi penggunaan sumber energi alternatif yang terbarukan dan ramah
lingkungan. Salah satu jenis sumber energi alternatif tersebut adalah biodiesel, yang dapat dibentuk dari
minyak nabati kelapa sawit. Ekspor Indonesia untuk komoditas sawit selama ini mayoritas dalam bentuk
CPO yang harganya sangat fluktuatif. Dengan mengolah minyak sawit (CPO) menjadi biodiesel, terutama
untuk memenuhi bahan bakar di dalam negeri, diharapkan harga menjadi lebih stabil. Melalui
pengolahan biodiesel, selain ketergantungan terhadap BBM dalam negeri dapat perlahan diturunkan,
pengolahan ini akan mengurangi beban neraca pembayaran dan fiskal terkait biaya subsidi BBM.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 182
Pemanfaatan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel memiliki banyak keunggulan
dibandingkan dengan penggunaan minyak nabati lainnya (minyak bunga matahari, minyak kedelai, dan
minyak rapa). Kebutuhan lahan untuk penanaman kelapa sawit relatif lebih rendah dengan produktivitas
minyak nabati yang lebih tinggi dari komoditas lainnya. Selain itu kelapa sawit tersedia secara melimpah
di Indonesia.
Dari total produksi biodiesel yang sudah terpasang, Sumatera memiliki pangsa tertinggi atau mencapai
71,5% dari produksi Indonesia. Produksi biodiesel di Sumatera berpusat di Sumatera Utara dan Riau. Hal
ini menambah keyakinan bahwa potensi biodiesel menjadi sangat besar di Sumatera, didukung
banyaknya perkebunan sawit serta pabrik biodiesel yang sudah beroperasi. Produksi biodiesel di
Sumatera terus menunjukkan peningkatan. Data sementara untuk tahun 2013 produksi mencapai 2,04
juta liter atau tumbuh 32% (yoy) dari tahun 2012 (Tabel E.2). Dari sisi orientasi pemasaran, sejak tahun
2011 biodiesel Sumatera mayoritas ditujukan untuk ekspor.
Tabel E.2. Perkembangan Produksi Biodiesel Sumatera (satuan dalam ribuan kiloliter)
Tahun Produksi Domestik Ekspor % Ekspor
2009 140 91 49 35
2010 170 156 14 8
2011 1268 254 1015 80
2012 1548 469 1079 69.7
2013* 2043 613 1430 70 *Data sementara
Sumber: Asosiasi Produsen Biodiesel
Untuk keperluan domestik, saat ini biodiesel telah sebagai campuran bahan bakar solar untuk produknya
yang dikenal dengan biosolar. 70% jatah solar untuk indonesia bagian barat sudah dicampur dengan
biodiesel. Untuk mengamankan suplai biodiesel beberapa perusahaan di Sumatera Utara sepakat untuk
bersinergi mengembangkan bisnis biofuel terintegrasi. Saat ini perusahaan di Sumatera Utara telah
produksi 2.500 ton/hari dan diperkirakan 10 tahun mendatang mampu berproduksi menjadi 3.500
ton/hari. Pada periode mendatang, PT PLN juga berencana menggunakan biodiesel sebagai bahan bakar
tujuh pembangkit listrik di Sumbagut dan Kalimantan Barat. Pasokan biodiesel untuk keperluan PLN ini
akan dipasok oleh 3 perusahaan pengolah biodiesel.
Adapun tantangan dan hambatan yang selama ini terjadi dalam pengembangan biodiesel adalah sebagai
berikut:
a. Keberlanjutan suplai
Perlu disusunnya mekanisme jaminan suplai dari sisi bahan baku biodiesel. Perlunya penyediaan
lahan khusus untuk penanaman tanaman diversifikasi bahan baku Biodiesel, melalui kebun energi
yang mendukung penyediaan bahan baku secara berkelanjutan.
b. Kesiapan peralatan dan kendaraan yang bisa menggunakan biodiesel
Perlu segera didorong kebijakan industri peralatan mesin/kendaraan yang dapat menggunakan
biodiesel dengan persentase secara bertahap sesuai roadmap.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 183
c. Harga
Pengembangan pricing policy yang memberikan jaminan kepastian pengusahaan kepada produsen
dan mengurangi fluktuasi harga di tingkat konsumen (pengguna). Sedang diupayakan pula agar biaya
transportasi akan ada didalam struktur Harga Patokan biodiesel.
d. Kesiapan infrastruktur
Penyediaan insentif yang mendorong pengembangan infrastruktur pendukung yang masih kurang,
misalnya sarana distribusi dan pencampuran biodiesel.
e. Hambatan Perdagangan Internasional.
Uni Eropa menganggap biodiesel dari minyak sawit masih memiliki tingkat emisi yang tinggi serta
merusak kelestarian hutan sehingga tidak ramah lingkungan. Uni Eropa juga menerapkan bea ekspor
anti dumping pada produk biodiesel dari Indonesia
L a p o r a n N u s a n t a r a | 184
Bagian V – Isu Strategis
Daya Saing Daerah di Indonesia9
Tren perekonomian dunia saat ini mengarah pada era globalisasi dengan semakin terbukanya informasi
dan perdagangan antar negara. Negara dalam satu region juga cenderung untuk bersatu sebagai
antisipasi terhadap globalisasi seperti World Trade Organization (WTO), ASEAN Free Trade Area (AFTA),
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan lain sebagainya. Kemampuan suatu negara untuk dapat bertahan
dan bersaing dalam era perekonomian global sangat erat kaitannya dengan kemampuan negara tersebut
dalam mengidentifikasi daya saing yang dimiliki. Daya saing sendiri tidak hanya mencakup produktivitas
atau efisiensi pada level makro, tetapi juga mencakup tataran mikro. Oleh karena itu, peningkatan daya
saing tidak cukup hanya dilakukan melalui peningkatan sektor swasta saja, tetapi harus menyeluruh
hingga ke rumah tangga dan bahkan individu. Dengan demikian, tujuan akhir dari peningkatan daya saing
perekonomian adalah peningkatan tingkat kesejahteraan penduduk di dalam perekonomian tersebut.
Persaingan antar negara yang tinggi dalam era globalisasi tentunya tidak hanya akan berdampak pada
perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Terlebih setelah era otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal, globalisasi akan berdampak langsung pada perekonomian daerah karena adanya contagion effect
dari pengaruh yang terjadi di pusat ke daerah. Meski demikian, suatu daerah akan memiliki reaksi yang
berbeda dalam menyikapi dampak dari adanya fenomena globalisasi ini. Hal inilah yang akan menentukan
posisi tawar masing-masing daerah dalam kancah persaingan global yang semakin ketat (Horvath, 2004).
Keadaan tersebut menjadi tuntutan bagi setiap daerah di Indonesia untuk dapat meningkatkan daya
saing. Daya saing negara merupakan agregat dari daya saing daerah sehingga daya saing antar daerah di
Indonesia merupakan “ujung tombak” bagi peningkatan daya saing nasional.
Daya saing daerah menurut The European Commision (Dijkstra, 2011) didefinisikan sebagai kemampuan
daerah untuk memproduksi barang dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan pasar yang disertai dengan
kemampuan mempertahankan pendapatan yang tinggi dan berkelanjutan dan mampu menciptakan
kesempatan kerja yang relatif tinggi. Dikaitkan dengan faktor-faktor penentu daya saing, terdapat 3
tingkatan dalam program pembangunan daerah, yaitu kategori dasar, faktor pembangunan dan penentu
keberhasilan. Kategori dasar adalah faktor pengukur daya saing daerah, sementara faktor pembangunan
merupakan faktor yang mempertinggi daya saing daerah atau faktor yang memiliki dampak antara
terhadap faktor dasar. Adapun penentu keberhasilan seperti kondisi sosial dan lingkungan merupakan
variabel yang memiliki dampak tidak langsung terhadap faktor dasar dan faktor pembangunan serta lebih
bersifat jangka panjang.
Daya saing daerah di Indonesia dibentuk oleh faktor-faktor utama (input) baik yang bersifat endowment
maupun yang diakibatkan oleh adanya interaksi aktivitas seperti perbedaaan lingkungan produktif,
struktur dan kondisi perekonomian daerah, perbedaan SDM baik dari jumlah dan kualitasnya,
infrastruktur, SDA dan kondisi lembaga keuangan dan perbankan yang ada. Kinerja faktor utama
pembentuk daya saing akan menghasilkan perbedaan pada kinerja perekonomian (output) masing-
masing daerah. Hal ini dapat digambarkan dalam piramida daya saing daerah sebagaimana Gambar V.1.
9 Penelitian Daya Saing Daerah Dilakukan oleh Pusat Riset dan Edukasi Bank Sentral Bank Indonesia dilakukan tahun 2008
dan tahun 2011.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 185
Gambar V.1. Piramida Daya Saing Daerah
Giap et.al (2013) dari Lee Kuan Yew School of Public Policy National University of Singapore juga
memetakan daya saing 33 provinsi di Indonesia. Data yang digunakan dalam studi oleh Giap et al adalah
data tingkat provinsi tahun 2010 dan memasukan DKI Jakarta dalam perhitungannya (meski disadari
sebagai outlier). Metodologi yang digunakan adalah memetakan kemampuan daya saing menjadi 4
lingkup yaitu stabilitas ekonomi makro; perencanaan pemerintahan dan institusi; kondisi keuangan;
bisnis dan tenaga kerja; serta kualitas hidup dan pembangunan infrastruktur yang diolah dengan
menggunakan analisis SWOT. Adapun hasil studi ini menyimpulkan bahwa 10 peringkat pertama dari
daya saing provinsi di Indonesia adalah DKI Jakarta, Jakarta Timur, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, Banten, Kepulauan Riau, Bali dan Riau
Daya Saing Kabupaten/kota
Bank Indonesia pada tahun 2008 melakukan pemetaan daya saing ekonomi daerah dengan level
kabupaten/kota di Indonesia. Pemetaan ini kemudian dikinikan pada tahun 2011 dengan menggunakan
data 2010. Daerah yang diteliti terdiri dari 458 kabupaten/kota di Indonesia secara keseluruhan pada
tahun 2010 (termasuk daerah-daerah pemekaran) diluar Provinsi DKI Jakarta. DKI Jakarta dikeluarkan dari
perhitungan ini karena merupakan outlier atau dikecualikan. Pengukuran indeks daya saing daerah
Kabupaten/kota di Indonesia dalam studi ini, menggunakan kerangka piramida yang terdiri dari interaksi
antara faktor input-output-outcome sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Hasil perhitungan akan memberikan “potret” profil daya saing daerah-daerah kabupaten/kota di
Indonesia secara keseluruhan. Hasil ini menunjukkan posisi relatif suatu daerah terhadap daerah lain
dengan memperhatikan semua faktor-faktor yang dimilikinya serta seberapa jauh daerah tersebut dapat
merealisasikan potensi dari faktor-faktor yang dimilikinya tersebut. Dari pengukuran indeks daya saing
yang dilakukan pada tahun 2011, dapat ditampilkan posisi daya saing per wilayah ekonomi (kecuali DKI
Jakarta) sebagai berikut (Grafik V.1.).
Grafik V.1. Skor Daya Saing Sisi Input Per Wilayah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 186
Berdasarkan grafik di atas, beberapa wilayah yang memiliki tingkat daya saing sisi input di atas rata-rata
nasional dari daya saing kabupaten/kota (0,82) adalah Jawa Barat dan Banten (1,28), Sumatera Bagian
Tengah (0,99), Kalimantan – Sulawesi – Papua (0,84), dan Jawa Bagian Timur (0,83). Untuk Jawa bagian
Tengah memiliki daya saing yang sama dengan rata-rata nasional (0,82). Adapun wilayah yang masih
memiliki daya saing sisi input di bawah rata-rata nasional daya saing kabupaten/kota adalah Sumatera
bagian Utara (0,69), Sumatera Bagian Selatan (0,71), dan Bali- Nusa Tenggara (0,67).
Masih dalam grafik yang sama, apabila dilihat dari input yang membentuk daya saing, secara rata-rata
nasional, daya saing Indonesia masih ditopang oleh perekonomian daerah (dengan variabel produktivitas
sektoral, keuangan daerah, dan keterbukaan, investasi dan kemahalan daerah). Pada indikator
perekonomian daerah, dengan adanya faktor PDRB dalam pengukuran daya saing daerah, wilayah yang
memiliki SDA yang kaya relatif akan lebih tinggi peringkat daya saingnya dibanding dengan daerah yang
tidak berbasis SDA. Hal ini terbukti dengan hasil wilayah yang ditopang oleh perekonomian daerah adalah
untuk wilayah Kalisulampua, Balinustra, Sumatera Bagian Utara. Wilayah-wilayah ini didominasi oleh
kabupaten yang berbasis pada sumber daya alam khususnya pertambangan. Wilayah Jawa (bagian
tengah, barat dan timur) lebih ditopang oleh SDM dan ketenagakerjaan (merah muda). Hal ini sejalan
dengan fasilitas pendidikan dan pelatihan yang lebih terkumpul di wilayah Jawa.
Selain ditopang oleh SDM dan ketenagakerjaan, wilayah Jawa juga banyak didorong oleh indikator
infrastruktur (warna coklat). Hal ini juga antara lain juga dipengaruhi oleh terpusatnya sentra ekonomi
dan perdagangan di Jawa yang mendorong penyediaan infrastruktur yang lebih lengkap. Untuk indikator
perbankan dan lembaga keuangan (warna kuning) juga lebih menonjol di wilayah Jawa. Indikator yang
cukup tersebar merata di seluruh wilayah adalah indikator lingkungan usaha produktif yang terdiri dari
kondisi pemerintah dan masyarakat (warna hijau).
Apabila daya saing dilihat untuk masing-masing kabupaten dan kota, dapat disajikan bahwa untuk daya
saing dari sisi input yang terdiri dari indikator perekonomian daerah; SDM dan ketenagakerjaan;
Lingkungan Usaha Produktif; Infrastruktur, SDA dan Lingkungan; serta perbankan dan lembaga keuangan;
kabupaten/kota yang masuk dalam 10 besar adalah Kabupaten Mimika - Papua, Kota Surabaya - Jawa
Timur, Kabupaten Sumbawa Barat - NTB, Kabupaten Siak - Riau, Kabupaten Kutai Kartanegara - Kaltim,
Kota Cilegon - Banten, Kota Bontang - Kaltim, Kota Bengkalis - Riau, Kota Medan - Sumut. Adapun apabila
dilihat secara rinci per indikator, dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Indikator Perekonomian Daerah
Indikator perekonomian di daerah dihitung dari variabel produktivitas sektoral, keuangan daerah dan
keterbukaan, investasi dan kemahalan daerah. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, wilayah yang
memiliki daya saing tinggi pada indikator perekonomian daerah merupakan daerah yang memiliki
ekonomi dengan basis sumber daya alam khususnya pertambangan. Hal ini juga terlihat, bahwa
kabupaten/kota yang memiliki daya saing tinggi pada perekonomian merupakan daerah yang
memiliki PDRB yang tinggi dan berbasis pada pertambangan seperti Kabupaten Mimika, Kabupaten
Sumbawa Barat, Kabupaten Siak, Kota Bontang, dan Kabupaten Kutai Kartanegara yang menempati
peringkat 5 besar. Dengan basis pertambangan, PDRB daerah-daerah ini relatif lebih besar
dibandingkan dengan daerah lain yang berbasis non pertambangan dan hasil pengukuran
“keterbukaan” yang diukur dengan potensi ekspor daerah.
b. Indikator SDM dan Ketenagakerjaan
Daya saing untuk Sumber Daya Manusia dan Ketenagakerjaan dihitung dengan menggunakan data
demografi dan tenaga kerja. Peringkat daya saing pada kategori ini didominasi oleh kabupaten/kota
yang secara administratif maju dan sebagian besar merupakan kabupaten/kota yang berada di pulau
L a p o r a n N u s a n t a r a | 187
Jawa. Hal ini antara lain disebabkan pendidikan dan pelatihan dari daerah-daerah ini. Dari sisi
kependudukan, sebagian besar penduduk Indonesia memang terkonsentrasi di pulau Jawa dengan
sarana dan prasarana pendidikan yang lebih baik dibandingkan dengan wilayah lainnya. Lima
kabupaten/kota yang masuk dalam kabupaten Tangerang - Banten, Kabupaten Bogor – Jawa Barat,
Kabupaten Bandung – Jawa Barat, Kota Surabaya – Jawa Timur dan Kota Bandung – Jawa Barat.
c. Indikator Lingkungan Usaha Produktif
Daya saing untuk indikator lingkungan usaha produktif merupakan gambaran dari kondisi pemerintah
dan masyarakat dalam mendukung terbentuknya iklim investasi di daerah. Lingkungan usaha
produktif merupakan ukuran seberapa besar daerah dapat menarik minat dunia usaha untuk
melakukan kegiatan usaha di daerah tersebut dengan cara menciptakan kondisi ideal bagi dunia
usaha dalam melakukan aktivitasnya. Sebagaimana dijelaskan pada gambaran daya saing per
wilayah, indikator ini relatif merata tersebar antar wilayah. Adapun lima besar peringkat daya saing
untuk lingkungan usaha produktif adalah Kabupaten Kutai Kartanegara - Kaltim, Kabupaten Mimika -
Papua, Kota Palangkaraya - Kalteng, Kabupaten Bengkulu - Bengkulu, dan Kabupaten Bengkalis –
Riau. Apabila dilihat hingga 10% peringkat teratas, masuk pula kabupaten/kota yang berbasis pada
industri – jasa seperti kota Surabaya, Medan, Padang dan Tangerang.
d. Indikator Infrastruktur, SDA, dan Lingkungan
Daya saing untuk indikator ini diukur dari kondisi transportasi dan komunikasi, ketersediaan energi,
dan dukungan sumber daya alam serta lingkungan. Hasil menunjukkan bahwa daerah dalam
kelompok ini didominasi oleh Kabupaten/kota yang kaya akan sumber daya alam dan atau daerah
Kabupaten/kota yang memiliki basis ekonomi sektor industri. Setengah dari Kabupaten/kota yang
termasuk ke dalam peringkat ini merupakan daerah Kabupaten/kota di Pulau Jawa yang memiliki
intensitas yang lebih tinggi dalam aktivitas ekonomi di sektor industri dan jasa dengan 5 peringkat
pertama adalah Kota Cilegon - Banten, Kota Surabaya - Jatim, Kota Medan - Sumut, Kota Mimika -
Papua dan Kota Bandung - Jabar.
e. Indikator Perbankan dan Lembaga Keuangan
Daya saing Kabupaten/kota untuk indikator perbankan dan lembaga keuangan dihitung dari
infrastruktur perbankan dan non-perbankan serta kinerja dari sektor keuangan di daerah. Sistem
keuangan suatu daerah akan mempengaruhi alokasi faktor produksi yang terjadi di perekonomian
daerah tersebut. Semakin baik kinerja lembaga perbankan dan non-perbankan akan mendorong
aktivitas ekonomi yang tinggi, yang pada akhirnya akan mendorong posisi daya saing suatu daerah.
Dari hasil pemeringkatan, peringkat daya saing kabupaten/kota pada indikator perbankan dan lembaga
keuangan didominasi oleh kabupaten/kota yang menjadi pusat pemerintahan daerah dan pusat aktivitas
ekonomi seperti industri dan jasa perdagangan. Hal ini dipengaruhi oleh masih terpusatnya layananan
jasa keuangan pada kabupaten/kota tersebut. Lima peringkat pertama pada indikator ini merupakan
kota-kota besar di Indonesia seperti Kota Surabaya - Jatim, Kota Bandung - Jabar, Kota Medan - Sumut,
Kota Semarang - Jateng dan Kota Denpasar - Bali.
Selain dari sisi input, daya saing juga dipetakan juga sisi output dari masing-masing daerah kabupaten
dengan variabel yang digunakan adalah produktivitas tenaga kerja, PDRB per kapita dan tingkat
kesempatan kerja. Adaun 10 besar peringkat daya saing untuk faktor output adalah Kab. Mimika – Papua,
Kota Bontang – Kaltim, Kab. Siak – Riau, Kab. Kutai Kartanegara – Kaltim, Kab. Kutai Timur – Kaltim, Kab.
Sumbawa Barat – NTB, Kab. Bengkalis – Riau, Kota Balikpapan – Kaltim, dan Kota Lhokseumawe – NAD.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 188
Selanjutnya, penjumlahan dari input dan output akan membentuk daya saing secara umum. Untuk 10
besar kabupaten/kota yang memiliki peringkat tertinggi adalah Kab. Mimika – Papua, Kota Bontang –
Kaltim, Kab. Siak – Riau, Kab. Kutai Kartanegara – Kaltim, Kota Kediri – Jatim, Kab. Sumbawa Barat – NTB,
Kab. Kutai Timur – Kaltim, Kab. Bengkalis – Riau, Kota Surabaya – Jatim, dan Kota Cilegon – Banten.
Adapun posisi per wilayah dapat digambarkan sebagai berikut (Grafik V.2.).
Grafik V.2. Porsi Total Daya Saing
Sama halnya dengan faktor perekonomian daerah pada indikator sisi input, dalam sisi output dihitung
dengan memasukkan PDRB per kapita. Dengan adanya variabel ini, daerah dengan PDRB yang tinggi dan
jumlah penduduk yang sedikit tentunya memiliki keunggulan. Hal ini tampak pada grafik di atas (bar
dengan warna biru) yang menggambarkan score daya saing sisi output, wilayah Kalisulampua dan
Sumatera bagian Tengah memiliki daya saing ouput yang relatif lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya.
Untuk total daya saing, wilayah yang memiliki daya saing melebihi rata-rata nasional dari total daya saing
kabupaten/kota (1,94) adalah Sumatera Bagian Tengah (2,48), Jawa Bagian Barat (2,20), Kalisulampua
(1,98) dan Jawa Bagian Timur (1,95).
Dari studi ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa kabupaten/kota dengan PDRB yang tinggi cenderung
memiliki daya saing yang tinggi melalui indikator perekonomian daerah pada sisi input dan produktivitas
sektoral pada sisi output khususnya karena bonus alam dalam bentuk potensi pertambangan.
Kabupaten/kota yang memiliki daya saing tertinggi secara umum didominasi oleh kabupaten/kota yang
memiliki basis ekonomi yang bersumber pada kekayaan alam. Bagi kabupaten/kota yang memiliki sumber
daya alam yang tidak terbarukan perlu dicermati dalam pelaksanaan perencanaan pembangunan jangka
panjang di daerah tersebut mengingat kesinambungan daya saing daerah sangat ditentukan oleh
kelangsungan usaha berbasis SDA yang tidak terbarukan. Salah satu alternatif yang bisa dilakukan adalah
dengan mentransformasikan manfaat atas kepemilikan sumberdaya alam menjadi kegiatan-kegiatan yang
bisa meningkatkan input dan output daya saing daerah yang memiliki sifat keberlanjutan, misalnya
dengan meningkatkan pembangunan SDM, menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik dan
peningkatan infrastruktur.
Sementara itu daerah/kabupaten kota yang memiliki posisi daya saing rendah pada umumnya merupakan
daerah yang berbasis ekonomi pada sektor primer khususnya pertanian dan umumnya berada jauh dari
pusat pemerintahan di provinsi. Bagi kabupaten/kota ini hendaknya mampu berkembang bersama
kabupaten/kota yang lebih berkembang secara ekonomi dengan konsep komplementer. Kebijakan ini
tentunya harus didukung oleh pemerintah provinsi dan pemerintah pusat mengingat konsep ini memiliki
keterbatasan karena adanya Otonomi Daerah. Kabupaten/kota yang memiliki daya saing rendah
umumnya memiliki infrastruktur yang kurang memadai, suplai tenaga kerja yang sedikit, akses rendah
terhadap pasar di kota besar dan dukungan perbankan dan lembaga keuangan yang terbatas dan menjadi
hambatan bagi kabupaten/kota tersebut untuk berkompetisi.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 189
Grafik V.3. Kekuatan Daya Saing per Wilayah
Dari grafik di atas, daya saing di wilayah Sumatera Bagian Tengah dan Kalimantan-Sulawesi-Papua relatif
kuat pada indikator perekonomian daerah dengan hasil keduanya di atas rata-rata nasional dari daya
saing kabupaten/kota. Sementara daya saing di wilayah Jawa Bagian Barat, Jawa Bagian Timur dan Jawa
Bagian Tengah kuat oleh indikator SDM dan tenaga kerja; dan infrastruktur, SDA dan lingkungan;
perbankan dan lembaga keuangan, dengan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional
untuk daya saing kabupaten/kota. Adapun peta yang lebih rinci dibandingkan dengan rata-rata nasional
adalah sebagai berikut (Tabel V.1.).
Tabel V.1. Posisi Daya Saing per Wilayah dan Per Indikator
Kemampuan suatu daerah untuk meningkatkan daya saing daerah akan sangat bergantung pada
kemampuannya dalam mengidentifikasi faktor-faktor penentu daya saing daerahnya, baik dari sisi
keunggulan maupun keterbatasan. Dengan melihat peta di atas, perlu adanya suatu terobosan dalam
upaya peningkatan daya saing dengan melihat potensi serta kelemahan dari masing-masing daerah.
Upaya peningkatan seharusnya fokus pada upaya-upaya perbaikan dari indikator yang menjadi
keterbatasan dari suatu daerah. Dari peta di atas, dapat dilihat bahwa penguatan daya saing harus mulai
fokus pada penguatan wilayah timur Indonesia yang relatif tertinggal di beberapa indikator meskipun
unggul dalam hal perekonomian daerah (faktor PDRB). Sementara untuk daerah Jawa, dengan adanya
kelemahan pada sisi perekonomian daerah (dalam hal ini banyak dipengaruhi oleh PDRB) dan lingkungan
usaha produktif (dalam hal ini terkait dengan tumpang tindih peraturan daerah dan belanja pelayanan
publik per kapita) perlu adanya penguatan seperti adopsi teknologi untuk mengatasi kejenuhan dalam
produksi. Sedangkan untuk wilayah timur Indonesia, harus mulai berbenah khususnya terkait dengan
SDM dan ketenagakerjaan; lingkungan usaha produktif; infrastruktur; serta layanan perbankan dan
lembaga keuangan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 190
Implementasi MPE3EI untuk Peningkatan Daya Saing Daerah
MP3EI merupakan terobosan pembangunan ekonomi di Indonesia untuk menuju negara maju sehingga
Indonesia dapat meningkatkan daya saing dengan memperhatikan beragamnya potensi dan keunggulan
serta keterbatasan yang dimiliki daerah. Strategi MP3EI adalah mengintegrasikan 3 pilar utama yakni (i)
koridor ekonomi, (ii) menguatkan konektivitas nasional dan (iii) memperkuat SDM dari sisi sains dan
teknologi. Indikasi investasi untuk kegiatan utama pada 6 koridor ekonomi tahun 2011-2014 sebesar Rp
4.787.588 miliar yang berasal dari BUMN dengan komposisi alokasi investasi per koridor yakni Sumatera
30%, Jawa 36%, Kalimantan 11%, Sulawesi 5%, Bali-Nustra 8% dan Papua-Maluku 10% (Grafik V.3.).
Sumber: Sekretariat KP3EI
Grafik V.4. Indikasi Investasi Kegiatan Ekonomi Utama MP3EI
Pembedaan kebijakan berdasarkan kemampuan masing-masing daerah diharapkan dapat membantu
pemerintah daerah dalam menetapkan suatu kebijakan yang dapat meningkatkan daya saing daerahnya
dengan sasaran akhir peningkatan kesejahteraan. Dengan kemampuan ini pula daerah diharapkan
mampu untuk mengolah potensi yang ada untuk mengoptimalkan pembangunan daerah dan pada
akhirnya mampu meningkatkan kemampuan berkompetisi dengan daerah lain dalam era otonomi daerah
dan yang sudah dekat adalah menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan diberlakukan tahun
2015.
Daftar Pustaka Dijkstra, Lewis. Annoni P. Kozovska, K. Regional Competitiveness Index: Theory, Methods and Findings.
WP 02/2011. European Union. 2011.
Saaty, Thomas L. Decision Making-The Analytic Hierarchy and Network Processes (AHP/ANP). Journal of Systems Science and Systems Engineering. Tsinghua University, Beijing. Vol.13. No.1, March 2004.
Giap, Tan Khee. Amri, Mulya. Low, Linda dan Yam, Tan Kong. Analisis Daya Saing dan Strategi Pembangunan untuk 33 Provinsi Indonesia. Asia Competitiveness Institute, Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore. World Scientific. 2013.
Umar, Juoro. Daya Saing Provinsi-Provinsi Indonesia: Memanfaatkan Untuk Pengembangan Ekonomi Regional dan Pembangunan Manusia. Ulasan pada Analisis Daya Saing dan Strategi Pembangunan untuk 33 Provinsi Indonesia. Asia Competitiveness Institute, Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore. World Scientific. 2013.
ag
L a p o r a n N u s a n t a r a | 191
Editor
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Kontributor
Andree Breithner (Kantor Perwakilan Wilayah I – Sulawesi, Maluku & Papua)
Daniel Agus Prasetyo (Kantor Perwakilan Wilayah II – Kalimantan)
Agni Alam Awirya (Kantor Perwakilan Wilayah III – Bali & Nusa Tenggara)
Wahyu Ari Wibowo (Kantor Perwakilan Wilayah VI – Jawa Bagian Barat)
Adela Putri Rizkia (Kantor Perwakilan Wilayah V – Jawa Bagian Tengah)
Komalia Rahmayani
Merlin Dwi Yunaniar (Kantor Perwakilan Wilayah IV – Jawa Bagian Timur)
Ciptoning Suryo Condro (Kantor Perwakilan Wilayah IX – Sumatera Bagian Utara)
Dythia Sendrata
Haris Prabowo (Kantor Perwakilan Wilayah VIII – Sumatera Bagian Tengah)
Miko Bayuaji
Septine Wulandini (Kantor Perwakilan Wilayah VII – Sumatera Bagian Selatan)
MHA Ridhwan
Hesti Werdaningtyas
(Grup Riset Ekonomi)
Nurhemi (Pusat Riset dan Edukasi Bank Sentral)
L a p o r a n N u s a n t a r a | 192